Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bagian 2
Orang itu sama sekali tidak memberi reaksi, seolah-olah dia tidak melihat kalau dihadapannya sudah seseorang yang duduk di situ. Kotak kulit kerbau berwarna coklat itu berada di tepi meja, bila Siau-ko menghendaki, sekali raih saja benda tersebut akan berhasil direbutnya. Bila dia merebut kotak itu, lantas melarikan diri, apa akibatnya yang bakal terjadi" Siau-ko tidak berani mencobanya. Di hari-hari biasa, nyalinya memang besar, agaknya tiada beberapa persoalan yang tak berani dia lakukan. Tapi manusia yang nampaknya sudah sakit parah dan hampir sekarat ini justru memiliki semacam tenaga misterius yang tak bisa dijelaskan, suatu daya pengaruh yang membuat siapapun tak berani memusuhinya secara sembarangan. Kembali Siau-ko memperhatikannya beberapa saat, mendadak sambil merendahkan suaranya sehingga suara tersebut hanya dia seorang yang mendengar ia berbisik: "Aku tahu, kaulah orangnya, aku tahu kaulah yang telah membunuh Nyo Kian." Akhirnya orang itu mendongakkan juga kepalanya dan memandang sekejap ke arahnya, dari balik sorot matanya yang pudar, tak bersinar, mendadak terlintas cahaya berkilat, seakan-akan munculnya sekilas halilintar di tengah langit yang kelabu. Namun setelah halilintar itu lewat, sama sekali tak kedengaran suara guntur. Dengan cepat orang itu pulih kembali menjadi lemah tak bertenaga, ia merogoh ke dalam sakunya mengeluarkan uang dan diletakkan di meja, kemudian dengan mulut tetap membungkam, mengangkat kotaknya dan berlalu dari situ. Dengan cepat Siau-ko menyusul kemudian. Kali ini, ternyata orang itu tidak seperti tiga kali berselang, hilang lenyap dengan begitu saja di tengah udara. Ia selalu berjalan di muka, bahkan berjalan amat lambat, seakan-akan kuatir kalau Siau-ko tak sanggup menyusulnya. Setelah berjalan setengah harian, tiba-tiba Siau-ko menyaksikan dia berjalan kembali ke lorong sempit di mana kemarin pernah di jumpai...... Lorong jelek ini sepi dan hening, sebuah lorong buntu yang jarang dilewati manusia. Berdebar keras detak jantung Siau-ko setelah menyaksikan kesemuanya itu. Mungkinkah dia sengaja mengajaknya kemari karena dia sudah mengetahui rahasianya" Dan sekarang dia bermaksud hendak menghilangkan saksi dengan mengandalkan peti rahasianya" Pada hakekatnya Siau-ko tidak tahu senjata macam apakah peti tersebut, diapun tak tahu apakah serangan tersebut dapat dibendung dengan mempergunakan jurus pedang yang dimilikinya" Justru karena dia tidak tahu, maka hatinya tiba-tiba merasa takut dan ngeri yang sebelumnya belum pernah ia rasakan.
Tapi orang ini tampaknya tidak mirip seorang pembunuh, juga tidak model seorang manusia yang pandai membunuh. Sekarang dia telah membalikkan badan, menghadap ke arah Siau-ko, lewat lama kemudian dia baru bertanya kepada Siau-ko dengan suara yang datar namun agak parau: "Tahukah kau siapakah aku?" "Tidak tahu." "Sebelum bulan satu tanggal lima belas, pernahkah kau berjumpa denganku?" "Tidak pernah." "Apakah tampangku adalah tampang dari seorang manusia yang pandai membunuh sesamanya?" "Bukan!" "Pernahkah kau saksikan aku membunuh orang?" "Tidak pernah!" "Mengapa kau mengatakan aku telah membunuh Nyo Kian?" "Karena petimu itu." sahut Siau-ko, "aku tahu di dalam peti ini terdapat sejenis senjata yang amat misterius, bahkan sangat menakutkan......." Orang itu mengamati Siau-ko, mengamati sampai lama sekali. Sorot matanya, sikapnya, gayanya sewaktu berdiri, napasnya, bahan pakaiannya dan bungkusan di dalam genggamannya, hampir setiap bagian telah diperhatikan olehnya dengan seksama. Tampaknya dia memperhatikan jauh lebih teliti ketimbang Cho Tang-lay, sepasang matanya yang sayu dan berwarna kelabu seakan-akan tersimpan semacam bentuk senjata rahasia yang bisa dipakai untuk menyelidiki orang lain. Kemudian dengan mempergunakan suara yang sama datarnya dia bertanya lagi kepada Siau- ko: "Kau bilang namamu Ko Cian-hui?" "Benar!" "Kau datang dari mana?" "Dari atas gunung" "Apakah sebuah gunung yang tinggi sekali" Apakah tempat kediamanmu terdapat sebuah mata air dan sebatang pohon Siong?" "Benar" "Apakah pakaian yang kau kenakan dipintal dari kapas yang dihasilkan sendiri di belakang bukit itu?" "Benar"
Siau-ko mulai terkejut bercampur keheranan, tampaknya apa yang dia ketahui tentang dirinya jauh lebih banyak daripada orang lain. "Apakah di atas gunung itu terdapat seorang kakek yang suka minum teh" Apakah dia sering duduk di bawah pohon Siong itu untuk memasak air dengan mata air di sisinya?" "Benar, tentang petimu itu aku bisa mengetahui darinya." "Apakah dia menceritakan juga tentang diriku ini?" "Tidak!" Orang itu menatap wajah Siau-ko tajam-tajam, dari balik matanya yang sayu terlintas setitik cahaya tajam. "Apakah diapun tak pernah menyinggung tentang diriku" Sedikit masalahpun yang berhubungan denganku juga tak pernah ia singgung?" "Sama sekali tidak, dia orang tua hanya memberitahukan kepadaku, senjata yang paling menakutkan di dunia ini adalah sebuah peti." "Pernahkah kau memberitahukan hal ini kepada orang lain?" "Tidak pernah." "Adakah orang lain yang mengetahui asal usulmu?" "Tidak ada," Siau-ko kembali menggeleng, "Cho Tang-lay pernah memeriksa bahan pakaianku, rupanya dia ingin meraba asal usulku dari bahan pakaian yang kukenakan, sayang sekali dia tak berhasil menemukan apa-apa." Kapasnya mereka tanam sendiri, kainnya mereka pintal sendiri, pakaiannya mereka jahit sendiri, bukit itupun sebuah bukit tinggi tanpa nama, kecuali mereka tak pernah ada orang awam lain yang pernah menginjakkan kakinya di sana. Sambil tersenyum Siau-ko berkata: "Biarpun Cho Tang-lay mempunyai kepandaian yang luar biasa di dunia ini, jangan harap dia bisa menyelidiki asal usulku." "Bagaimana dengan pedangmu" Apakah ada orang yang pernah melihat pedangmu itu?" kembali orang itu bertanya. "Ada beberapa orang." "Siapa saja mereka itu?" "Beberapa orang yang telah mampus, setiap orang yang melihat pedangku ini telah tewas semua di ujung pedang tersebut." "Apakah pedangmu itu mempunyai sesuatu keistimewaan?" "Benar!" "Apa sih keistimewaannya?"
"Pada punggung pedang ini terdapat sebuah bekas yang aneh sekali, bekas tersebut seperti bekas tetesan air mata seseorang........." Tiba-tiba saja dari mata manusia pembawa peti itu menampilkan suatu perubahan yang sukar dimengerti oleh siapapun, seakan-akan merasa sangat sedih, seolah-olah juga merasa amat gembira. "Tetesan air mata, wahai tetesan air mata, rupanya di dunia ini betul-betul terdapat pedang seperti ini," ia bergumam, "mengapa di atas pedang pembunuh terdapat noda tetesan air mata" Mengapa di dunia ini harus ada pedang semacam ini?" Siau-ko tak mampu menjawab. Persoalan semacam ini memang suatu masalah yang pelik, masalah yang mungkin tak terjawabkan oleh siapapun. Akhirnya Siau-ko tak tahan untuk bertanya lagi kepadanya: "Sekarang apakah kau sudah dapat memberitahukan kepadaku, siapakah kau sebenarnya" Mengapa bisa mengetahui begitu banyak tentang urusanku?" Orang itu tetap membungkam, tak berbicara sepatah katapun, mendadak ia tempelkan ibu jari di ujung jari tengah dan memetikkan suara nyaring. Dalam waktu singkat Siau-ko mendengar suara berputarnya roda kereta dan derap kaki kuda yang ramai berjalan mendekat. Menanti ia berpaling, sebuah kereta berkain hitam sudah terparkir di depan lorong jelek itu. Manusia berpeti itu sudah mengangkat petinya beranjak pergi, membuka pintu keretanya dan duduk ke dalam, setelah itu baru bertanya kepada Siau-ko: "Apakah kau bersedia naik?" Dari mana datangnya kereta itu" Siau-ko tidak tahu. Hendak kemanakah kereta itu" Siau-ko juga tidak tahu. Namun toh dia naik juga, biarpun dia jelas mengetahui kereta itu akan membawanya ke neraka, ia akan tetap mengikutinya. Ruang kereta itu luas, mewah lagi nyaman, keretapun berjalan cepat tapi mantap, agaknya ke empat ekor kuda, penghela maupun kusirnya telah menerima pendidikan yang ketat dan keras. Tak bisa disangkal pula kereta maupun roda kereta dirancang secara khusus dan istimewa, sebab sekalipun seorang raja muda, belum tentu dia memiliki kereta kuda sebaik ini. Tapi, seorang manusia sederhana yang berpakaian sederhana dengan hidangan yang sederhana, mengapa bisa memiliki kereta kuda yang begitu megah dan mewah" Banyak persoalan yang ingin ditanyakan Siau-ko, tapi setelah naik ke dalam kereta, orang itu pejamkan matanya, begitu pejamkan mata, lantas tertidur. Peti yang amat misterius itu terpampang di hadapannya, persis di depan tempat duduknya.
Sekali lagi Siau-ko merasakan hatinya tergerak. 'Kalau ku curi lihat peti ini, apa yang akan dia lakukan"' demikian dia berpikir, 'aaahhh, aku toh cuma ingin tahu, biarpun ketahuan, rasanya toh tak menjadi soal.......' Ya, daya rangsang tersebut memang terlalu besar, sedemikian besarnya sampai sukar dilawan. Akhirnya Siau-ko tak kuasa menahan diri lagi, dia mengulurkan tangannya ke depan. Tangannya bisa bergerak cekatan berkat pengalamannya selama banyak tahun, apalagi pernah memperoleh pendidikan yang sangat ketat, menyusul percobaan yang pertama secara beruntun dia melepaskan pula tiga puluhan kunci yang dibuat oleh sebelas ahli kunci kenamaan di bagian-bagian yang berbeda. Bagi orang lain, biarpun ada anak kunci yang tersediapun mungkin kesulitan untuk membukanya, tapi alat yang dia gunakan saat ini tak lebih hanya seutas kawat. Alat rahasia di atas peti tersebut dengan cepat berhasil dia temukan, lalu 'kraaakk!' alat rahasianya berhasil di sentuh. Pemilik peti itu masih juga tertidur nyenyak. Benda apakah yang terdapat dalam peti itu" Mengapa orang bilang peti ini merupakan senjata yang paling menakutkan di dunia ini" Akhirnya rahasia dibalik peti itu akan terungkap. Siau-ko merasakan detak jantungnya berdebar lebih keras lagi. Dengan suatu cara yang pelan dan lembut, pelan-pelan dia membuka penutup peti itu. Isi peti tersebut agaknya cuma sejumlah pipa besi dan lempengan besi yang jumlahnya kira- kira tiga empat belas macam, setiap jenisnya memiliki bentuk maupun ukuran yang berbeda-beda. Sayang sekali Siau-ko tak sempat melihat jelas. Begitu penutup peti itu dibuka, tiba-tiba saja dia mengendus bau harum bunga yang semerbak memancar ke luar dari balik peti itu. Menyusul kemudian, iapun roboh tak sadarkan diri. Jilid ke-3 Mengapa sebuah lempengan besi yang tak beraturan bentuknya bisa dianggap sebagai senjata yang paling menakutkan di dunia ini" Siau-ko belum sadar seluruhnya, tapi pertanyaan tersebut bagaikan seekor ular berbisa yang selalu menggelitik di dalam hatinya. Sampai dia betul-betul sadar, Siau-ko baru dibuat tertegun saking terperanjatnya oleh pemandangan yang terbentang di hadapannya saat ini.
Secara tiba-tiba ia menemukan bahwa dirinya telah sampai di suatu tempat yang baru mungkin terjadi bila ia sedang mendapat suatu impian yang paling hebat. Tempat tersebut menyerupai sebuah gua di lambung bukit, dan Siau-ko yakin barang siapapun yang sampai di situ pasti akan mempunyai perasaan yang sama dengannya, terpesona oleh suasana gua itu. Belum pernah ia saksikan pula benda-benda luar biasa yang hebat dan mengejutkan seperti ini di tempat manapun di dunia ini. Dimulai dari lentera kristal buatan Persia yang digantungkan di antara batu-batu kristal beraneka ragam, permadani berlukisan indah menutupi permukaan tanah sampai berbagai ragam senjata tajam berbentuk aneh yang di atur dalam empat rak besar, pokoknya hampir semua benda yang berada di situ belum pernah dilihat bahkan didengar oleh Siau-ko sebelumnya. Selain daripada itu terdapat pula San-hu (lukisan) dalam ketinggian beberapa kaki, gading gajah sepanjang beberapa depa, kuda putih yang terbuat dari batu pualam, Manau (intan permata) merah dan Zamrud hijau yang indah berkilau. Di sisi lain, terdapat sebuah meja besar yang dipenuhi dengan berpuluh-puluh ragam botol kristal yang berisikan arak wangi dari manca negara. Empat lima orang gadis cantik berpakaian rawan berdiri di sisi pembaringan dan sedang memandang ke arah Siau-ko dengan senyum manis dikulum. Salah seorang di antaranya berambut pirang, bermata hijau dan berkulit putih seperti salju, ia tertawa paling polos dan menarik. Di samping itu terdapat pula gadis berkulit coklat, tubuhnya halus lembut dan seakan-akan berminyak sehingga kelihatan agak berkilauan. Siau-ko benar-benar terpesona dibuatnya. Senjata-senjata tersebut, intan permata itu, gadis-gadis cantik tersebut, hampir semuanya merupakan benda-benda langka yang jarang dapat dijumpai setiap orang. Mungkinkah tempat tersebut bukan di alam semesta lagi" Kalau tempat semacam inilah yang dinamakan neraka, pasti ada berjuta-juta manusia yang lebih suka memilih masuk neraka daripada hidup di alam dunia. ooo)O(ooo "Siapakah kalian" Dimanakah tempat ini?" Pertanyaan tersebut telah diajukan berulang kali, namun gadis-gadis tersebut cuma tertawa, tertawa melulu tanpa berbicara. Siau-ko ingin bangkit berdiri, namun bahunya segera ditekan oleh tangan lembut seorang gadis cantik yang berdiri di sisinya. Siau-ko segera duduk kembali, ia tak berani meronta, apalagi menyentuh gadis tersebut. Walaupun dia tahu bahwa dirinya termasuk seorang lelaki yang tidak gampang terangsang atau terpikat oleh bujuk rayu gadis-gadis cantik.
Tapi yang membuatnya paling tak tahan adalah gadis berambut pirang bermata hijau tersebut, terutama belaian tangannya yang begitu lembut di atas wajahnya, menghembuskan napas lembut di sisi telinganya. Siau-ko mengerti, salah satu 'bagian' dari rongga tubuhnya mulai menunjukkan perubahan yang sangat cepat, suatu perubahan yang kurang sedap dibicarakan. Tiba-tiba saja tubuhnya melengkung ke depan, melengkung ke suatu arah yang tak mungkin di duga oleh siapapun dan menuju ke arah yang tak mungkin disangka oleh siapapun. Dua orang gadis yang menekan bahunya dan membelai pipinya itu hanya merasakan tangannya menjadi licin, tahu-tahu orang yang mereka tekan, mereka belai itu sudah hilang lenyap tak berbekas. Ketika mereka berpaling lagi, barulah dijumpai pemuda itu sudah menyembunyikan diri di balik patung Buddha emas yang jauh letaknya di situ. "Harap kalian jangan kemari," Siau-ko berteriak keras, "aku bukanlah orang baik, bila kalian berani kemari lagi, aku akan benar-benar tak sungkan terhadap kalian." Berbicara sesungguhnya dia memang sedikit takut dengan gadis-gadis tersebut, tapi bila mereka benar-benar menghampirinya, diapun tidak akan merasa terlalu sedih, juga tak akan mati ketakutan. Sayangnya mereka tidak menghampirinya, seorangpun tidak, karena pada saat itulah si tuan rumah telah munculkan diri. Dia adalah seorang lelaki yang kurus, tinggi dan tampan, pakaiannya hanya sebuah jubah panjang berwarna hitam yang berkilauan, rambutnya dibiarkan terurai di belakang bahu. Sekalipun pakaiannya sangat sederhana, akan tetapi orang ini kelihatan seperti seorang Kaisar. Terutama sekali raut wajahnya. Garis-garis mukanya tertera jelas, setiap lekukan dan tonjolan terbentuk secara sempurna. Paras mukanya pucat pias, sama sekali tiada setitikpun warna darah, seakan-akan terukir dari batu Tay-li yang putih bersih, suatu profil yang anggun tapi mengandung watak dingin dan kaku yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. Menyaksikan kemunculan orang ini, serentak kawanan gadis tersebut menjatuhkan diri menyembah. "Aku tahu, kau pastilah tuan rumah tempat ini," Siau-ko segera berseru keras. "Memang itulah diriku!" "Aku tidak kenal denganmu, kaupun tidak kenal denganku, mau apa kau membawaku kemari?" "Aku sendiripun tak tahu."
"Kau sendiripun tak tahu?" Siau-ko berteriak semakin keras, "bagaimana mungkin kau tak tahu?" "Sebab aku memang tidak menyuruh kau kemari, adalah kau sendiri yang turut aku kemari." Jawaban tersebut kontan membuat Siau-ko tertegun, sedemikian tertegunnya sampai setengah harian lamanya tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. "Aku sendiri yang turut kau kemari" Jadi kau...... kau adalah si manusia pembawa peti itu?" "Betul!" Siau-ko segera memegangi kepala sendiri kencang-kencang seakan-akan segera akan roboh tak sadarkan diri. Seorang manusia berpakaian kasar, berdandan sederhana, tiba-tiba saja berubah menjadi seorang kaisar. Kejadian semacam ini biasanya hanya akan terjadi di dalam cerita dongeng, tapi Siau-ko justru telah menjumpainya secara tak disangka-sangka. "Sesungguhnya manusia macam apakah kau?" Siau-ko berjalan keluar dari balik patung Buddha, "seorang pembunuh gelap yang berkelana dalam dunia persilatan sambil membawa peti" Ataukah seorang pertapa kaya raya yang hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia?" Kemudian setelah berhenti sejenak, dia menambahkan: "Kedua macam manusia ini sama sekali berbeda, sesungguhnya manusia macam apakah yang merupakan raut wajah aslimu?" "Dan kau sendiri" Sebetulnya kau termasuk manusia macam apa?" ia balik bertanya kepada Siau-ko, "seorang pemuda berdarah panas yang merasa ingin tahu terhadap setiap masalah yang ada di dunia ini" Ataukah seorang jago pedang tak berperasaan yang membunuh orang bagaikan membabat rumput?" "Aku adalah seorang manusia yang belajar pedang, bila seseorang ingin belajar pedang, dia harus mempersembahkan tubuhnya untuk pedang, biar matipun tak menyesal." Kemudian Siau-ko bertanya pula kepadanya: "Bagaimana dengan kau" Mengapa kau membunuh orang" Karena harta" Ataukah karena kau merasa amat gembira sewaktu membunuh orang?" Lalu setelah mengamatinya lekat-lekat, ia menambahkan: "Tatkala seseorang mengetahui bahwa dirinya mampu memutuskan mati hidup seseorang, apakah diapun akan merasa gembira sekali?" Tiba-tiba manusia berjubah hitam itu membalikkan badannya, berjalan ke depan meja, menuang arak dari botol kristal, kemudian pelan-pelan meneguknya. Setelah itu dia baru berkata dengan suara hambar: "Bagiku, hal tersebut sudah bukan terhitung suatu hal yang menggembirakan hati, sayang sekali akupun termasuk manusia seperti kebanyakan orang, akupun dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang sesungguhnya tak ingin kulakukan." "Kali ini apa sebabnya kau membunuh Nyo Kian?" "Demi Cu Bong, sebab aku telah berhutang selembar nyawa kepadanya."
"Nyawa siapa?" "Nyawaku sendiri." "Cu Bong pernah menolongmu?" "Setiap orang pasti akan mengalami suatu saat yang sial di mana keselamatan jiwanya terancam, tidak terkecuali pula dengan diriku," manusia berbaju hitam itu berkata hambar, "di lain waktu kau pun bisa mengalami saat-saat seperti ini, tapi kau tak akan pernah bisa menduga siapakah yang bakal menolongmu waktu itu, seperti juga sekarang kau pun tak tahu siapa-siapa saja di kemudian hari yang akan mati di tanganmu." "Bukan mati di tanganku, tapi di ujung pedangku, "Siau-ko menerangkan, "orang yang mati di ujung pedangku semuanya telah persembahkan tubuh mereka untuk pedang seperti juga diriku, bila aku sampai tewas di ujung pedang mereka, akupun tak akan menyesal." Mendadak manusia berbaju hitam itu mengambil sebilah pedang antik dari atas dinding, lalu ujarnya sambil memandang dingin diri Siau-ko: "Seandainya sekarang juga kubunuh kau dengan mempergunakan pedang ini?" "Maka aku akan merasa menyesal sekali sebab sampai sekarang aku belum tahu siapakah dirimu." "Yang kau ketahui sudah amat banyak, sudah sedemikian banyaknya, hingga pantas bila kubunuh dirimu." "Oya?" "Kau telah mengetahui kalau akan membunuh Nyo Kian, telah mencuri lihat petiku itu." "Tapi aku tak berhasil melihat apapun, aku masih belum habis mengerti, mengapa peti tersebut disebut senjata paling menakutkan di dunia ini." "Kau ingin tahu?" "Ya, sangat ingin!" Mendadak manusia berbaju hitam itu meloloskan pedangnya, hawa pedang yang menggidikkan hati segera memancar keluar dari balik senjata tersebut, cahaya pedang yang berkilauan berwarna hijau muda. "Pedangku ini bernama Lik-liu, benda warisan Ku Tojin dari bukit Pa-san," manusia berbaju hitam itu membelai ujung pedangnya dengan lembut, "dulu, Ku Tojin pernah malang melintang di kolong langit dengan mengandalkan empat puluh sembilan jurus Hui-hong-wu-lin-kiam nya, tidak sedikit jumlah jago-jago pedang kenamaan yang tewas di ujung pedangnya." Dia melepaskan pedangnya, lalu mengambil sebilah kampak besar dari atas rak. "Kampak ini adalah kampak yang pernah dipergunakan pendekar sakti dari Hong-san, Bu Leng-ciau. Berat bersih tujuh puluh tiga kati," ia menerangkan, "walaupun jurus serangannya hanya terdiri dari sebelas jurus, namun setiap jurus memiliki daya membunuh yang mengerikan. Konon belum pernah ada jago persilatan yang mampu bertahan tujuh jurus di tangannya."
Di sisi kampak Swan-hoa-hu tersebut merupakan sebilah senjata yang mirip tombak tapi bukan tombak, sebab ujung tombak tersebut bukan berbentuk runcing, melainkan sebilah golok, golok yang digantungkan dengan seutas rantai. "Thi-lian-hui-lian (Golok terbang rantai besi) membunuh orang bagaikan membabat rumput kering, konon senjata ini berasal dari Tang-ing (Jepang), jurus serangannya sangat hebat dan belum pernah dijumpai di daratan Tiong-goan." Menyusul kemudian dia menunjuk ke arah sepasang Poan-koan-pit, sepasang garpu Go-bi-ci, sebilah Oh-hau-lan, sebilah pedang berkait, sebilah tombak berkait, sebuah tabung jarum Jit-seng- ciam, sebilah golok lengkung Persia dan sebuah tongkat besar berwarna putih kumala, kemudian menerangkan: "Senjata-senjata tersebut semuanya milik jago-jago lihay masa lampau, setiap senjata memiliki jurus serangan yang khas dan setiap senjata tersebut pernah meraih entah berapa banyak nyawa jago-jago persilatan." "Yang kutanyakan adalah petimu itu, bukan senjata-senjata lainnya ini," tak tahan Siau-ko berseru. "Tapi petiku itu justru merupakan intisari daripada senjata-senjata tersebut," kata manusia berbaju hitam itu hambar. "Aku tidak mengerti," seru Siau-ko, "mengapa di dalam sebuah peti bisa terdapat tiga belas intisari dari senjata-senjata tersebut" Aku lihat isi petimu itu paling-paling hanya pipa besi dan lempengan besi rongsokan belaka." "Tentu saja rahasia dari peti itu tak akan kau pahami, tapi kaupun harus mengerti, semua persenjataan yang ada di dunia ini sesungguhnya memang terdiri dari rongsokan besi-besi belaka, namun jika semua lempengan besi itu digabungkan menjadi satu, akan terciptalah sebuah senjata hebat." Ia menjelaskan lebih lanjut: "Sekalipun sebilah golok, harus ada tubuh golok, gagang golok, gelang golok, sarung golok dan lain sebagainya yang tergabung menjadi satu sebelum tercipta menjadi sebilah golok." Siau-ko seperti agak memahami keterangan tersebut. "Jadi maksudmu, kau bisa menggabungkan semua lempengan besi yang berada di dalam petimu itu untuk menciptakan sejenis senjata?" "Bukan sejenis saja, melainkan tiga belas macam senjata, tiga belas macam senjata yang berbeda-beda." Siau-ko menjadi tertegun. "Menggunakan tiga belas macam cara yang berbeda untuk menciptakan tiga belas jenis senjata yang berlainan pula, tapi setiap jenis yang terbentuk tidak sama dengan senjata biasa yang sering dilihat, karena setiap macam bentuk senjata paling tidak memiliki kegunaan dari dua- tiga macam senjata," manusia berbaju hitam itu menerangkan lebih jauh, "senjata-senjata tersebut berikut intisari perubahan jurus serangan dari segenap senjata tersebut terdapat di dalam petiku ini." Ia berpaling dan mengawasi Siau-ko, kemudian menambahkan: "Sekarang, apakah kau sudah mengerti?" Siau-ko sudah dibuat sama sekali tertegun.
Sekarang ia sudah mengerti, tak heran kalau Nyo Kian dan Im-boan-thian sekalian bertujuh nampaknya seperti tewas di ujung tiga-empat macam senjata yang berbeda, padahal yang turun tangan hanya seorang. Meskipun dalam hal ini Siau-ko pernah membayangkan, namun ia tak mau mempercayainya seratus persen. Bila tidak melihat dengan mata kepala sendiri, siapapun tidak akan percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat semacam senjata yang terbentuk dari aneka ragam senjata yang rumit. Tapi sekarang, mau tak mau Siau-ko harus percaya. Maka tak tahan lagi dia menghela napas panjang: "Manusia yang sanggup menciptakan senjata semacam ini sudah pasti seorang yang memiliki bakat alam yang luar biasa." "Benar." Mendadak di atas wajah manusia berbaju hitam yang dingin dan kaku itu terlintas suatu perubahan mimik wajah yang sangat aneh, seperti seorang penganut sekte agama yang fanatik tiba-tiba membicarakan dewa yang dipujanya. "Tiada orang yang mampu menandinginya," manusia berbaju hitam itu menerangkan lebih jauh, "ilmu pedangnya, kecerdasan otaknya, jalan pikirannya, kebajikan hatinya serta caranya membuat pedang, boleh dibilang tiada taranya di dunia ini." "Siapakah dia?" "Dialah orang yang menciptakan pedang tetesan air mata milikmu itu......" Sekali lagi Siau-ko menjadi tertegun. Tiba-tiba saja ia mempunyai suatu perasaan yang sangat aneh , dia merasa di antara dia dan manusia berbaju hitam yang misterius ini seakan-akan memiliki suatu hubungan yang luar biasa. Perasaan ini segera membuat hatinya terkejut, heran, gembira juga ngeri. Dia masih ingin tahu lebih banyak lagi tentang peti itu, pedang itu serta manusia dan hal ikhwal dari manusia yang luar biasa itu, dia ingin mengetahui kesemuanya itu lebih banyak lagi. Tapi manusia berbaju hitam itu seperti tak ingin memberitahukan lebih banyak lagi tentang hal tersebut kepadanya, ia telah mengalihkan pokok pembicaraannya ke masalah lain. "Peti tersebut memang merupakan hasil karya senjata yang belum pernah ada duanya di dunia ini namun bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk mempergunakannya, bila seseorang tidak memiliki daya kemampuan yang luar biasa untuk mempergunakannya, benda tersebut pun tak akan memperlihatkan daya pengaruhnya." Sikapnya sewaktu berbicara sama sekali bukan seperti lagi membanggakan diri, tiada pula maksud untuk menonjolkan kemampuannya, dia seperti sedang menuturkan suatu kenyataan belaka. "Bukan saja orang ini harus menguasai penuh semua perubahan jurus dari ketiga belas macam senjata tersebut, diapun harus memahami bentuk dan cara kerja setiap macam senjata itu,
lagi pula dia harus memiliki sepasang mata yang cekatan, dengan begitu dia baru dapat menyusun semua lempengan besi yang berada di dalam peti tersebut dalam waktu singkat. Setelah berhenti sebentar, manusia berbaju hitam itu berkata lebih jauh: "Selain daripada itu, dia juga harus mempunyai pengalaman yang luas, reaksi yang cekatan dan keputusan yang tepat." "Mengapa?" "Sebab musuh yang berbeda akan menyebabkan senjata dan jurus serangan yang digunakanpun berbeda, maka di dalam waktu yang paling singkat, kau harus dapat memutuskan bentuk senjata apakah yang bisa menandingi dan menguasai lawanmu itu," kata manusia berbaju hitam tersebut, "dan sebelum lawan mulai turun tangan, kaupun harus memperhitungkan secara tepat, dengan berapa jenis benda-kah kau mesti membentuk senjata yang kau harapkan itu" Bahkan senjata itu harus sudah selesai dirakit sebelum pihak lawan mulai menyerang, asal kau terlambat untuk bertindak di sana, maka nyawamu akan hilang di ujung tangan lawan." Siau-ko tertawa getir. "Kelihatannya kejadian semacam ini sudah bukan termasuk pekerjaan yang mudah lagi, untuk mencari manusia semacam ini di kolong langit, mungkin tak akan dijumpai beberapa orang." Dengan pandangan yang amat tenang, manusia berbaju hitam itu mengawasi lawannya, lewat lama kemudian ia baru berkata dingin: "Untuk membuka petiku itupun sudah bukan suatu pekerjaan mudah, tapi kau berhasil membukanya dengan cepat, tanganmu sudah cukup trampil." "Ya, agaknya memang begitu." "Ilmu silatmu sudah mempunyai dasar yang cukup kuat, bahkan ilmu yang kau latih seperti pelajaran rahasia dari negeri Thian-tok (India), seperti ilmu Yoga dari puncak Himalaya." "Agaknya memang begitu." "Si kakek yang mewariskan pedang tetesan air mata kepadamu, sesungguhnya memang mempunyai sedikit hubungan dengan petiku ini," manusia berbaju hitam itu berkata hambar, "oleh sebab itu hingga kini kau belum mati." "Apakah sebetulnya kau hendak membunuhku?" tanya Siau-ko, "mengapa kau tidak turun tangan?" "Sebab aku hendak menahanmu di sini, aku ingin kau mewarisi ilmu silatku, mewarisi petiku ini dan mewarisi segenap yang ada di tempat ini." Apa yang diucapkan barusan sesungguhnya merupakan suatu keberuntungan yang mimpipun tak pernah di sangka oleh orang lain. Harta karun yang tiada taranya. Ilmu silat yang maha dahsyat. Senjata yang paling menakutkan di kolong langit. Seorang pemuda yang tidak memiliki segala-galanya, tiba-tiba saja akan memperoleh segala sesuatunya, kehidupannya bakal berubah di dalam waktu sekejap mata.
Bagaimana perasaan si anak muda ini" Siau-ko sama sekali tidak memberikan sedikit reaksipun, seakan-akan sedang mendengarkan suatu kisah cerita yang sama sekali tiada hubungan dengan dirinya. Kembali manusia berbaju hitam itu berkata: "Satu-satunya pra-syarat yang kuinginkan adalah sebelum kau berhasil mempelajari seluruh ilmu silat yang kumiliki, dilarang untuk meninggalkan tempat ini barang selangkahpun." Syarat semacam ini tak terhitung muluk, lagi pula memang amat beralasan. "Sayang sekali kau lupa menanyakan satu hal kepadaku," ujar Siau-ko mendadak, "kau lupa bertanya kepadaku, apakah aku bersedia tinggal di sini atau tidak?" Padahal persoalan seperti ini tak perlu ditanyakan, hanya orang tolol atau orang gila saja yang akan menampik syarat seperti ini. Siau-ko bukan orang gila, diapun bukan orang tolol. Oleh sebab itu si manusia berbaju hitam itu bertanya sekali lagi: "Kau bersedia tidak?" "Aku tidak bersedia!" jawab Siau-ko tanpa berpikir panjang, "akupun tak tertarik." Mendadak kelopak mata manusia berbaju hitam itu mengerut kencang. Drai kelopak mata seorang manusia biasa berubah menjadi tajam bagaikan ujung jarum, seperti mata sebilah pedang, antup seekor lebah yang langsung menembusi sepasang mata Siau-ko. Sepasang mata Siau-ko sama sekali tidak berkedip. Lewat beberapa saat kemudian manusia berbaju hitam itu baru bertanya: "Mengapa kau tidak bersedia?" "Sesungguhnya bukan disebabkan apa-apa," kata Siau-ko, "mungkin disebabkan tempat ini kelewat sesak, sedangkan aku sudah terbiasa melewati kehidupan di alam bebas." Ditatapnya manusia yang misterius dan menakutkan itu lekat-lekat, kemudian terusnya lagi dengan suara hambar: "Mungkin hal ini disebabkan aku tak ingin menjadi seorang manusia seperti kau." "Kau tahu, manusia macam apakah diriku ini?" "Aku tidak tahu, tapi aku tetap merasa bahwa kau seperti selalu hidup di balik bayangan hitam, entah kau muncul dengan bentuk wajah macam apapun, kau selalu seolah-olah muncul dari balik bayangan hitam." Setelah menghela napas, terusnya: "Walau kau memiliki harta kekayaan yang melebihi satu negeri, ilmu silat yang tiada taranya di dunia ini, tapi ada kalanya aku merasa bahwa kehidupanmu seperti tidak segembira diriku, bahkan ada kalanya aku merasa simpatik dan kasihan kepadamu." Manusia berbaju hitam itu memandang ke arahnya, cahaya tajam yang mencorong keluar dari balik matanya tiba-tiba saja membuyar, membuyar hingga tinggal segumpal bayangan cahaya belaka, membuyar jadi kosong dan tak ada apa-apa.
"Setiap orang berhak untuk memilih serta menentukan gaya hidupnya sendiri, begitu pula dengan aku, memiliki hak untuk menetapkan gaya hidupku," kata Siau-ko lantang, "aku ingin hidup bebas di bawah timpaan cahaya matahari, sekalipun aku ingin membunuh orang, akupun akan menantangnya secara terang-terangan, mengajaknya melangsungkan suatu pertarungan yang seadil-adilnya." Mendadak manusia berbaju hitam itu tertawa dingin. "Kau anggap Suma Cau-kun benar-benar akan melangsungkan duel satu lawan satu yang adil denganmu?" "Ku tantang dia secara terang-terangan dan terbuka, kita bertarung satu lawan satu, siapa bilang hal ini tidak adil?" "Sekarang, tentu saja kau tak akan mengerti," sekali lagi manusia berbaju hitam itu menghela napas panjang, "bila kau sudah memahaminya nanti, mungkin keadaan sudah terlambat." "Entah bagaimanapun juga, aku tetap akan menghadirinya," kata Siau-ko tegas-tegas, "sekarang perutku laparnya setengah mati, aku hanya berharap kau suka mengundangku makan sampai kenyang, kemudian mengijinkan aku pergi." Dengan wajah gembira, dia berkata lebih jauh: "Aku dapat melihat bahwa kau bukan seorang yang kecil hati, permintaanku ini tentunya belum terhitung keterlaluan bukan?" "Memang tidak terhitung keterlaluan," ujar manusia berbaju hitam itu dingin, "cuma sayang kaupun lupa menyakan satu hal kepadaku" "Soal apa?" "Orang yang sudah sampai di sini, selamanya tak ada yang bisa keluar lagi dalam keadaan hidup." "Aku percaya dengan perkataanmu itu," kata Siau-ko sambil tertawa, "untung saja dalam setiap masalah, tentu ada pengecualiannya, bukan?" Kemudian sambil tertawa lebih riang dia meneruskan: "Aku percaya kau pasti akan memberikan pengecualian bagiku untuk kali ini saja." "Mengapa aku harus memberi pengecualian kepadamu?" "Karena kita bersahabat, bukan bermusuhan, akupun belum pernah menyalahi dirimu." "Kau keliru, kau bukan sahabatku, kau masih belum pantas untuk menjadi sahabatku." Tiba-tiba dari balik sinar matanya memancar keluar bayangan cahaya yang sangat aneh. "Seandainya aku bersedia memberi pengecualian kepadamu, hal ini hanya disebabkan satu alasan saja." "Apa alasanmu?" "Karena aku simpatik dan kasihan kepadamu." Bayangan cahaya yang memancar ke luar dari balik matanya seolah-olah berubah kembali menjadi suatu ejekan yang sinis, dingin dan tak sedap dipandang.
"Di dalam dunia ini hanya ada orang membenciku, takut kepadaku, belum pernah ada orang menaruh rasa kasihan kepadaku, justru karena hal ini, tak ada salahnya kalau kau kuberi satu kesempatan bagimu." "Kesempatan yang bagaimana?" Manusia berbaju hitam itu bangkit berdiri dan mengambil dua botol kristal dari meja, kemudian menyuruh Siau-ko untuk memilih sebotol di antaranya. "Mengapa aku harus memilih?" tanya Siau-ko, "kedua botol arak ini seperti sama bentuknya, bahkan bentuk dan coraknyapun tidak berbeda." "Hanya ada satu hal yang berbeda." "Soal apa?" "Dari kedua botol arak ini ada sebuah diantaranya merupakan arak beracun, arak beracun yang bisa menembusi usus dan merenggut nyawa." Sesungguhnya dari antara kedua botol arak tersebut masih ada satu hal yang berbeda, salah satu botol itu berisi jauh lebih sedikit daripada botol arak yang lain. Karena isi arak di dalam botol itu sudah dituang sedikit oleh manusia berbaju hitam itu, bahkan sudah diteguknya. Buktinya hingga sekarang dia masih hidup. Dalam hal ini Siau-ko seharusnya dapat mengetahui dengan jelas, tapi dalam kenyataan, dia justru memilih botol yang lain. Dengan pandangan dingin, manusia berbaju hitam itu memandang ke arahnya, kemudian menegur dingin: "Pilihanmu sudah benar?" "Sudah! Bahkan pilihan tak bakal berubah lagi." "Sudahkah kau lihat arak dari botol manakah yang telah kuteguk tadi?" "Aku dapat melihat dengan jelas." "Tahukah kau arak dari botol yang manakah telah kueguk?" "Aku tahu." "Mengapa kau tidak memilih botol arak yang telah kuminum tadi?" "Karena aku masih belum ingin mampus." Siau-ko tertawa, tertawa dengan lebih riang, lanjutnya: "Kau tahu, aku toh bukan orang buta, juga tidak terhitung kelewat bodoh, tentu saja aku dapat melihat botol arak yang manakah telah kau teguk tadi, namun dalam kenyataannya, kau tetap menyuruh aku memilih, sebab sebagian besar orang, apalagi di dalam keadaan seperti ini, tentu akan memilih botol arak yang telah kau teguk isinya tadi."
Apa yang dikatakan memang merupakan suatu kenyataan. "Untung saja aku tidak termasuk kebanyakan orang itu, kaupun tak bakal menganggap aku seperti manusia-manusia tersebut," ujar Siau-ko lebih jauh, "bila arak yang kau teguk tadi benar- benar tak ada racunnya, mustahil kau akan mempergunakan cara ini untuk mencoba diriku." Kemudian setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan: "Bila kau ingin menghadapiku, gunakanlah cara yang lebih sukar dan pelik." "Padahal memilih dalam keadaan seperti ini bukanlah suatu pekerjaan yang sangat mudah." Ada sementara orang, meski cerdik dan bisa berpikir kalau arak beracun yang dimaksudkan bisa jadi adalah arak yang berasal dari botol arak yang telah diteguk manusia berbaju hitam tadi, belum tentu dia memiliki keberanian untuk memilih botol arak yang lain. "Arak beracun itu milikmu, tentu saja kau memiliki obat penawarnya, sekalipun kau habiskan delapan sampai sepuluh botolpun tak akan menjadi masalah, tapi bagiku....... setetespun sudah berabe, apalagi sebotol?" Kemudian setelah berhenti sejenak, dia meneruskan: "Itulah sebabnya aku terpaksa memilih botol yang ini saja." Dengan mempergunakan sorot mata yang aneh, manusia berbaju hitam itu mengawasi wajah Siau-ko, kemudian dengan suara yang aneh pula, dia bertanya: "Bila kau salah memilih?" "Maka biarkan saja aku mampus." Seusai mengucapkan perkataan tersebut, Siau-ko segera meneguk habis isi arak dalam botol yang dipilihnya itu. Kemudian diapun roboh ke atas tanah. ooo)O(ooo Bab-4. Perjumpaan Aneh Ko Cian-hui tidak mampus. Apa yang dia duga memang sangat tepat, nyalinya juga terhitung cukup besar, itupun sebabnya dia tak sampai menemui ajalnya. Satu-satunya masalah yang membuat hatinya menyesal adalah dia sama sekali tidak tahu dengan cara apakah dia keluar dari tempat itu dan tidak tahu di manakah letak gua yang amat misterius dan rahasia tersebut. Sehabis meneguk arak tersebut, ia segera roboh tak sadarkan diri, kemudian ketika ia bisa sadar kembali, dijumpai dirinya sudah kembali ke rumah penginapan kecil semula, berbaring di atas pembaringan kayu dalam kamar sendiri. Bagaimana caranya ia kembali ke situ" Sejak kapan dia kembali ke sana" Tak setitikpun keterangan yang diperoleh.
Tentu saja orang lainpun tak akan mengetahuinya. Tiada orang yang tahu kemanakah perginya selama dua hari ini, juga tiada orang yang memperhatikan kemana dia telah pergi. Untung saja ada suatu benda yang membuktikan bahwa pengalamannya selama dua hari terakhir ini bukan hanya impian belaka. Benda itu tak lain adalah sebuah peti. Sebuah peti kulit kerbau berwarna coklat gelap. Begitu sadar dari pingsannya, Siau-ko segera menjumpai peti tersebut. Peti itu tergeletak di sisi pembaringan, warna maupun bentuknya tak berbeda dengan peti yang pernah diintipnya tempo hari. Bahkan alat rahasia serta kunci dari peti itupun tak berbeda. Seandainya isi peti ini benar-benar adalah senjata ampuh yang tiada duanya di dunia ini, mengapa ia meninggalkan benda tersebut untuk dirinya" Biarpun Siau-ko tidak percaya, tak urung tergerak juga hatinya sehingga tak tahan dia ingin membuka dan mengintip isinya. Untung dia belum melupakan pelajaran yang diterimanya tempo hari. Bila setiap kali membuka sebuah peti, seseorang harus jatuh pingsan satu kali, jelas hal tersebut bukan suatu kali, jelas hal tersebut bukan suatu kejadian yang boleh dianggap main-main. Maka begitu peti itu di buka, Siau-ko sudah melejit keluar jendela. Angin dingin yang tajam bagaikan sayatan pisau menghembus masuk dari balik jendela, menggulung ke dalam ruang kamar, betapapun hebatnya asap pemabok, dalam keadaan demikian tentu akan tersapu bersih. Beberapa saat kemudian Siau-ko baru berputar masuk kamar dan melangkah ke dalam ruangannya. Tapi setelah menyaksikan benda dalam peti itu, dengan cepat ia merasa sangat kecewa. Isi peti itu bukan sebangsa alat senjata yang tangguh, melainkan hanya sejumlah intan permata dan setumpuk daun emas yang berbentuk besar. Jumlah harta yang diperoleh dari peti tersebut cukup baginya untuk memborong sebidang tanah yang luas dalam kota, dapat pula menyuruh penduduk sekota untuk saling bunuh membunuh untuk memperolehnya. Tapi ia sama sekali tak tertarik. ooo)O(ooo Peristiwa itu sudah berlangsung tiga hari yang lalu. Selama tiga hari itu, walaupun setiap kali keluar rumah, dia selalu membawa serta peti tersebut, namun cara hidupnya tak berubah barang sedikitpun.
Ia masih tetap berdiam di dalam rumah penginapan kecil yang murah itu, makan mie kuah yang paling murah. Dia seolah-olah tidak mengetahui kalau isi peti tersebut bisa digunakan untuk melakukan persoalan apapun, juga tidak tahu kalau dirinya telah berubah menjadi seorang hartawan yang kaya raya. Sebab dia pernah berpikir sampai di situ, pada hakekatnya tak ingin tahu. Diapun tak mempunyai perhitungan terhadap nilai dari harta karun tersebut. Dia juga tak ingin cara hidupnya berubah gara-gara suatu perubahan. Tapi pada tanggal dua puluh lima bulan pertama ini, kehidupannya toh tetap mengalami perubahan, perubahan yang sangat aneh. ooo)O(ooo Hari ini udara cerah. Sehabis sarapan mie di warung langganannya, sebenarnya Siau-ko ingin kembali ke rumah penginapannya dan tidur lagi sepuas-puasnya. Hingga saat ini dari pihak Suma Cau-kun dan Cho Tang-lay sama sekali tiada kabar berita, diapun tak tahu sampai kapankah tantangan duelnya dilayani. Walaupun begitu, ia sedikitpun tidak gelisah. Manusia berbaju hitam yang misterius dan tanpa sebab musabab menghadiahkan sejumlah harta kepadanya pun sama sekali tiada kabar beritanya. Setiap waktu setiap saat dia bersiap-siap untuk mengembalikan peti tersebut kepadanya, karena itulah setiap saat ia selalu membawa serta peti itu kemanapun dia pergi. Tapi mulai saat itu, bisa jadi mereka tak pernah akan bersua kembali dan peti itu bisa jadi akan berubah menjadi suatu beban bagi dirinya. Tapi Siau-ko tidak mengeluh ataupun kesal lantaran hal tersebut. Agaknya tiada persoalan apapun di dunia ini yang bisa mempengaruhi perasaannya lagi. Bila orang lain menyuruh dia menanti dua hari, diapun akan menanti selama dua hari, bila menyuruhnya menanti selama dua bulan, diapun akan menanti selama dua bulan, pokoknya cepat atau lambat, suatu saat tentu ada berita yang diperolehnya. Kalau sudah begini, apalagi yang mesti dirisaukan" Sekarang dia telah mengambil keputusan, sebelum pertarungannya berlangsung, dia tak akan melakukan pekerjaan apapun. Dia harus tetap memelihara kondisi badannya pada keadaan yang paling prima, bahkan harus mempertahankan pula perasaannya dalam ketenangan serta ketentraman. ooo)O(ooo Tengah hari ini, sewaktu Siau-ko menelusuri permukaan salju yang melapisi jalan raya untuk kembali ke rumah penginapannya, ditemukan ada orang sedang menguntitnya dari belakang.
Tak usah berpalingpun Siau-ko sudah dapat menduga siapakah orang ini. Sejak semalam ketika ia sedang bersantap, ia sudah mengetahui kalau orang ini selalu mengawasi gerak-geriknya, macam seekor kucing yang mengintai tikus. Orang ini mengenakan pakaian yang compang-camping, mengenakan topi bulu. Biarpun perawakannya bukan termasuk tinggi besar, namun wajahnya penuh berkumis, langkah kakinya sangat ringan, jelas pernah belajar ilmu silat selama banyak tahun. Siau-ko belum pernah berjumpa dengan orang ini, pun tidak mengerti apa sebabnya dia mengintai dirinya. Padahal ia merasa kalau dirinya tidak memiliki suatu daya tarik yang bisa menimbulkan perhatian orang lain untuk mengintainya. Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, mendadak suara langkah kaki di belakang sana tak kedengaran lagi. Baru saja Siau-ko menghembuskan napas lega, tiba-tiba meluncur datang seutas tali dari lorong samping langsung mengancam lehernya. Tali itu amat besar dan kasar, pada ujungnya di buat tali simpul hidup yang dengan cepat menjirat leher Siau-ko, menjirat secara tepat. Apabila leher seseorang sampai terjirat oleh tali sebesar ini, niscaya sepasang biji matanya akan menonjol keluar, nyawanya tentu saja setiap saat bakal putus. Dalam hal ini Siau-ko cukup mengerti. Maka begitu tali ditarik, tubuhnya segera melejit ke udara dan melayang-layang seperti sebuah layang-layang. Ternyata orang yang menjirat tengkuknya dengan tali laso tersebut adalah si berewok tadi. Si Berewok masih menarik talinya sekuat tenaga, sayang tali itu mendadak putus dan orang yang dijiratnya tadi telah menerkam ke arahnya secara ganas. Si Berewok segera putar badan dan melarikan diri, tapi tak seberapa jauh kemudian ia menjadi keheranan, rupanya Siau-ko sama sekali tidak berniat untuk mengejarnya. Setelah berlarian beberapa tombak lagi, mendadak si Berewok itu menghentikan langkahnya, Siau-ko masih belum juga mengejarnya. Lama kelamaan habis sudah kesabarannya, sambil membalikkan badan ia memandang ke arah Siau-ko dengan pandangan terkejut, kemudian menegur: "Mengapa kau tidak mengejarku?" Suatu pertanyaan yang aneh dan luar biasa untuk di dengar, tapi jawaban dari Siau-ko ternyata lebih hebat lagi. "Mengapa aku harus mengejarmu?" "Apakah kau tidak tahu bahwa baru saja kujirat lehermu dengan tali laso tersebut?" tanya si berewok tertegun. "Aku tahu."
"Kalau toh sudah tahu, mengapa kau lepaskan diriku dengan begitu saja?" "Sebab aku toh tak sampai terjirat mati olehmu." "Tapi paling tidak kau harus bertanya kepadaku, sebenarnya siapakah aku dan apa sebabnya menjirat mati dirimu?" "Aku tak ingin bertanya." "Mengapa?" "Sebab sesungguhnya aku memang tak ingin tahu." Selesai menjawab pertanyaan tersebut, Siau-ko membalikkan badan dan berlalu dari situ, berpalingpun tidak. Sekali lagi si Berewok berdiri tertegun. Selama hidupnya belum pernah ia jumpa manusia seperti Siau-ko ini. Tapi manusia semacam diapun belum pernah dijumpai Siau-ko selama ini, Siau-ko tidak mengejarnya, dia malah mengejar Siau-ko, bahkan dari dalam sakunya, ia mengeluarkan seutas tali lagi, dengan cepat membuat sebuah simpul hidup dan menjirat leher Siau-ko lagi. Jeratannya memang amat jitu, sekali lagi leher Siau-ko terjerat olehnya. Hanya sayangnya, biarpun sudah terjerat, namun sedikitpun tiada gunanya. Bagaimanapun ia sudah menarik dengan sekuat tenaga, Siau-ko masih tetap berdiri tenang di situ, bukan saja tengkuknya tak sampai terjerat putus, bahkan bergerakpun tidak. Si Berewok segera bertanya lagi: "Hei, bagaimana sih engkau ini" Mengapa aku tak pernah berhasil menjerat mati dirimu?" "Sebab selain mempunyai tengkuk, aku masih mempunyai tangan berikut jari tangannya secara lengkap." Ketika tali laso tersebut menjerat tengkuk Siau-ko tadi, ia memang mengaitnya dengan jari tangan, persis mengait tali tersebut di depan tenggorokannya. Ketika jari tangan tersebut membetotnya kuat-kuat, si Berewok segera tertarik ke depan, baru saja membalikkan badan si Berewok sudah menumbuk di atas dadanya. "Permainan talimu tidak bagus," seru Siau-ko, "selain bermain tali, permainan apa lagi yang kau kuasai?" "Akupun pandai bermain golok," sahut si Berewok cepat. Belum lagi tubuhnya berdiri tegak, sebilah golok pendek telah dicabut keluar, golok tersebut langsung ditusukkan ke atas iga Siau-ko. Sayang sekali permainan goloknya kurang cepat, Siau-ko hanya mengetuk pergelangan tangannya dengan sebuah jari tangan, tahu-tahu golok tersebut sudah mencelat dari cekalannya.
"Aku lihat lebih baik kau lepaskan diri saja," sambil menghela napas Siau-ko menggelengkan kepalanya berulang kali, "permainan apapun yang kau pergunakan terhadapku, tak ada gunanya." Sebenarnya tubuh si berewok itu sudah hampir mencium tanah, mendadak dengan jurus ikan Leihi melentik, tubuhnya melejit secara tiba-tiba, sepasang kakinya seperti kapas saling menggunting di tengah udara dan menyambar batang kepala Siau-ko. Pada hakekatnya tindakan seperti ini tak pernah diduga sebelumnya oleh Siau-ko. Bukan saja sepasang kaki si Berewok lincah dan cekatan, lagi pula sangat kuat dan bertenaga, hampir saja Siau-ko tak mampu menghembuskan napas panjang, apalagi bau yang teruar keluar dari celana bobrok yang dikenakan itu baunya luar biasa. Siau-ko benar-benar tak tahan, mendadak tubuhnya berputar dan melejit dengan suatu gerakan yang sangat aneh dan luar biasa, tahu-tahu tubuh si Berewok sudah terlempar keluar, begitu tubuhnya mencium tanah, celananya turut robek dan terlihatlah sepasang kakinya. Celana itu memang sudah rapuh dan hampir robek, tak heran kalau begitu terobek, langsung robek sampai ke atas, hampir saja kedua belah kaki tersebut terlihat jelas. Kali ini Siau-ko yang gantian tertegun. Dia seakan-akan menyaksikan tumbuhnya sekuntum bunga segar dari balik tumpukan tahi kerbau. Setiap manusia mempunyai kaki, sesungguhnya tiada sesuatu yang aneh atau luar biasa dengan kaki orang itu, namun belum pernah Siau-ko saksikan sepasang kaki yang begitu indahnya seperti kaki orang tersebut. Bukan cuma Siau-ko saja yang belum pernah melihatnya, mungkin sebagian besar orang yang berada di dunia inipun belum pernah melihatnya. Mungkin tidak berapa orang di dunia saat ini yang bisa melihat sepasang kaki seperti ini. Kaki itu amat mulus, putih dan segar, lekukannya indah dan penuh dengan daging yang kenyal, kulitnya segar seperti susu, seputih susu yang baru diperas dari tetek lembu betina. Mimpipun Siau-ko tak pernah membayangkan kalau si Berewok yang kotor lagi bau itu ternyata memiliki sepasang kaki yang sangat indah. Yang lebih tak disangka olehnya adalah si Berewok yang gagal menjerat mati dirinya, gagal menusuk mati dirinya itu malah menangis tersedu-sedu, duduk di tanah sambil menutupi wajahnya dengan ke dua belah tangan dan menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil, isak tangisnya amat menyedihkan hati. Waktu itu Siau-ko sudah bersiap-siap meninggalkan tempat itu, pergi seperti tadi, tanpa berpaling sedikitpun jua, sayang dia justru tak tahan untuk bertanya juga. "Apa sih yang kau tangisi?" "Aku senang menangis, aku suka menangis dan aku ingin menangis, kau tak usah mencampurinya." Seorang lelaki berewok yang bertampang 'seram' ternyata berbicara dengan lagak seorang gadis cilik bahkan sama tak tahu aturannya dengan seorang gadis binal, betul-betul suatu kejanggalan yang luar biasa.
Siau-ko segera mengambil keputusan untuk tidak menggubrisnya, dia bertekad untuk pergi dari situ. "Hei, berhenti kau!" mendadak si Berewok itu membentak lagi. "Mengapa aku harus berhenti?" "Kau ingin pergi dengan begitu saja" Kau anggap ada kejadian yang begitu enaknya di dunia ini?" "Mengapa aku tak boleh pergi" Kau hendak menjerat mati aku, hendak mencincang aku dan sekarang aku akan berlalu dengan begitu saja, hal ini sudah cukup luar biasa bagimu, apalagi yang kau inginkan?" "Aku hanya ingin kau mencungkil keluar sepasang biji matamu," seru si Berewok keras, "mengorek keluar biji matamu yang jahat tersebut dan serahkan kepadaku." Siau-ko ingin tertawa, namun tak mampu untuk tertawa, akhirnya dia berkata: "Aku toh belum edan, mengapa aku harus mengorek keluar biji mataku sendiri?" "Karena kau telah melihat kakiku, sepasang kakiku ini tak boleh dilihat oleh setiap orang dengan seenaknya saja." Siau-ko harus mengakui kalau sepasang kakinya memang berbentuk istimewa dan indahnya luar biasa. Tapi dia sendiripun bukan sengaja akan melihatnya, apalagi kalau hanya sepasang kaki yang terlihat orang lain, kejadian semacam inipun tak terhitung suatu kejadian yang luar biasa. Maka dengan perasaan mendongkol Siau-ko lantas berkata: "Bila kau merasa kurang terima, akupun bersedia memperlihatkan sepasang kakiku untukmu, setiap saat kau boleh melihatnya, berapapun tidak menjadi masalah." "Kentut anjingmu!" "Aku bukan anjing, lagi pula aku tidak mengentut." "Tentu saja kau bukan anjing, sebab kau lebih goblok daripada seekor anjing. Anjing-anjing di dunia ini masih jauh lebih cerdik daripadamu, entah anjing besar atau anjing kecil, anjing jantan atau anjing betina, semuanya masih seratus kali lebih cerdik daripadamu, karena kau adalah seekor babi!" Makin berbicara si berewok ini semakin bertambah sewot. Tiba-tiba saja dia berseru sambil melompat-lompat: "Kau adalah seekor babi dungu, apakah tidak kau ketahui, aku adalah seorang perempuan?" "Bagaimana mungkin kau seorang perempuan" Aku tidak percaya," seru Siau-ko termangu- mangu, "perempuan mana yang penuh berewok?" Tampaknya kemarahan si Berewok sudah mendekati hampir gila, mendadak ia comot berewok di wajah sendiri dan merobeknya semua, kemudian dilemparkan ke wajah Siau-ko dengan gemas. Menyusul kemudian tubuhnya ikut meluncur ke depan, pinggulnya berputar dan sepasang kakinya sekali lagi menggunting kepala Siau-ko secara ganas.
Sepasang kaki yang telanjang dan mulus, tak secuwil benangpun yang melekat di sana. Kali ini Siau-ko benar-benar tak berani berkutik, dia hanya memandang ke arahnya sambil tertawa getir. "Dengan kau, aku tak merasa punya dendam, tak merasa punya sakit hati, mengapa kau berbuat demikian kepadaku?" "Karena aku sudah tertarik kepadamu." Sekali lagi Siau-ko merasa terperanjat sampai termangu-mangu untuk beberapa saat, untung saja si Berewok yang kini sudah tidak berewok lagi itu berkata lebih jauh: "Kau tak usah keburu merasa mabok, aku bukan tertarik atas dirimu atau tampangmu itu." "Lantas apa yang membuatmu tertarik kepadaku?" "Peti dalam genggamanmu itu!", si nona yang sudah tak berewok ini berteriak, "asal kau berikan peti itu kepadaku, aku tak akan mencari gara-gara lagi denganmu, kaupun selama hidup tak pernah akan melihat tampangku lagi." "Tahukah kau apa isi petiku ini?" "Tentu saja tahu isi dari petimu itu paling tidak bernilai delapan puluh laksa tahil emas murni dan intan permata." "Darimana kau bisa tahu?" Tentu saja Siau-ko merasa keheranan, sebab belum pernah ia buka peti tersebut di hadapan orang lain. Nona itu tidak menjawab, sebaliknya malah bertanya lagi: "Tahukah kau siapakah ayahku?" "Aku tak tahu!" "Dia adalah seorang pencuri sakti, seorang pencuri ulung yang sudah tersohor di seantero jagad, belum pernah operasinya mengalami kegagalan biar satu kalipun." "Bagus, kepandaian yang amat bagus." "Tapi kalau dibandingkan dengan kakekku, dia masih kalah jauh sekali," ujar si nona lebih jauh, "tahukah kau siapakah kakekku itu?" "Tidak!" "Dia orang tua adalah seorang perampok ulung, bertemu orang merampok orang, bertemu setan merampok setan." Siau-ko segera menghela napas panjang. "Aaaaai, rupanya tiga generasi dari keluargamu semuanya melakukan profesi seperti ini." "Oooooh, kau baru mengerti sekarang" Bagi seseorang yang tiga generasinya sudah melakukan pekerjaan semacam ini, bagaimana mungkin dia tidak tahu benda apakah yang berada di dalam petimu itu?"
"Aku memang pernah mendengar, orang yang melakukan pekerjaan seperti ini, kebanyakan memiliki kepandaian tersebut, dari gaya seseorang sewaktu berjalanpun dia dapat menilai apakah orang tersebut membawa barang yang berharga atau tidak." "Tepat sekali ucapanmu itu, tapi aku tidak dapat melihat manusia macam apakah dirimu ini." "Oya?" "Kau membawa satu peti penuh intan permata dan emas murni, tapi saban hari hanya mendahar semangkuk mie kuah yang berharga tiga sen, sebetulnya kau ini si kikir ataukah si manusia yang berwatak aneh?" "Biarpun isi petiku penuh dengan emas murni dan intan permata, sayang sekali semua benda tersebut bukan milikku, maka biarpun aku ingin menghadiahkan kepadamu pun tak mungkin bisa." Kemudian setelah berhenti sejenak, Siau-ko berkata lebih jauh: "Akupun dapat menjamin sekalipun kepandaianmu sepuluh kali lipat lebih hebatpun jangan harap peti tersebut dapat kau rampas dari tanganku." Tiba-tiba si nona itu menghela napas panjang. "Aaaai, akupun tahu kalau tak mampu merampasnya dari tanganmu," ia berkata, "tapi bagaimanapun juga aku harus mencobanya terus, biar selembar nyawa menjadi taruhanpun aku tetap akan mencoba terus sampai berhasil." "Mengapa?" "Sebab kalau di dalam tiga hari mendatang aku tak bisa menyiapkan uang sebesar lima laksa tahil perak, toh nyawaku tetap akan melayang." Sepasang biji matanya tiba-tiba berputar dan air matapun jatuh bercucuran dengan derasnya, ia berkata lebih jauh: "Coba bayangkan sendiri, selain berusaha untuk mendapatkannya dari tanganmu, kemanakah aku harus mencari uang sebesar lima laksa tahil perak itu?" Air matanya seperti hujan gerimis berlinang tiada hentinya. "Aku tahu kalau kau adalah seorang yang berhati baik, kau tentu dapat menolongku, dan aku pasti akan berterima kasih kepadamu sepanjang masa." Perasaan Siau-ko sudah mulai melembek. "Mengapa kau harus menyiapkan uang sebesar lima laksa tahil perak dalam tiga hari?" "Sebab piau-kiok milik Suma Cau-kun hanya bersedia menghantarku pulang ke rumah bila aku sanggup membayar lima laksa tahil perak, padahal aku tinggal di wilayah Kwang-tong, jika tiada perlindungan dari mereka, setiap saat nyawaku bisa lenyap di pinggir jalan, bahkan orang yang mengurusi mayatkupun belum tentu ada." Siau-ko segera tertawa dingin. "Hmmmm, untuk menghantar seseorang ke wilayah Kwang-tong saja sudah minta bayaran lima laksa tahil, hati mereka benar-benar kelewat hitam...."
"Sekalipun demikian, aku tak akan menyalahkan mereka, sebab menghantarku pulang memang bukan suatu pekerjaan yang terlalu mudah," kata si nona cepat-cepat, "bila aku adalah Suma Cau-kun, pasti harga yang kuminta lebih tinggi lagi." "Mengapa?" "Karena orang-orang yang hendak membunuhku memang manusia-manusia yang kelewat menakutkan, siapapun tak ingin bermusuhan dengan mereka. Aku percaya kaupun selama hidup tak akan pernah menduga kalau di dunia ini benar-benar terdapat manusia buas dan kejam seperti mereka." Sekujur badannya mulai gemetar keras, wajahnya seolah-olah dilapisi oleh selapis kabut tipis, saat inipun dapat terlihat dengan jelas bahwa wajahnya sedang mengejang keras karena perasaan takut dan ngeri yang kelewat batas. Ia benar-benar ketakutan setengah mati. Melihat keadaan tersebut, tak tahan Siau-ko segera bertanya: "Siapa sih mereka itu?" Si nona seperti sudah tidak mendengar lagi apa yang ditanyakan oleh pemuda tersebut. Dengan air mata bercucuran dia berkata kembali: "Aku tahu, sudah pasti mereka tak akan melepaskan diriku, aku tahu, setiap saat mereka bisa mengejarku dan membinasakan diriku." Ia seakan-akan sudah mendapat firasat jelek, semacam perasaan menghadapi ancaman yang datang dari serombongan binatang buas........seperti seekor binatang yang merasa bakal ada pemburu yang bakal menghabisi nyawanya. Walau perasaan seperti ini sukar untuk dijelaskan, tapi kadangkala memang cukup tepat. Pada sat itulah, dari atas dinding pagar di kedua belah sisi lorong memancar keluar sejumlah senjata rahasia, yang dari sebelah kiri adalah segumpal hujan perak, sedang dari sebelah kanan muncul beberapa titik bintang. Reaksi dari Siau-ko selalu amat cepat. Dengan peti di tangan kanan dan buntalan di tangan kiri, dia bendung datangnya ancaman senjata rahasia tersebut. Kemudian ia sambar si nona yang sedang melilit lehernya dengan sepasang kakinya itu untuk berkelit ke sebelah kanan. Tapi dia segera mendengar suara rintihan dan helaan napas dari nona tersebut, kemudian terasa jepitan sepasang kakinya yang semula kuat dan bertenaga, tiba-tiba saja berubah menjadi lemas, kemudian rontok dari tengah udara. Siau-ko tidak ikut terseret ke bawah, malah sebaliknya melejit kembali ke tengah udara dengan kaki kanan menopang di kaki kiri, lalu mempraktekkan teknik pinjam tenaga, menggunakan tenaga itu dia melejit lagi beberapa kaki di tengah udara. Dengan cepat dijumpainya dua bayangan manusia di balik dinding tembok yang sedang menyembunyikan diri ke balik tempat kegelapan, gerakan tubuh mereka semuanya enteng dan lincah, jelas ilmu meringankan tubuhnya terhitung tidak lemah.
Ketika mereka melarikan diri ke atas atap rumah beberapa kaki jauhnya dari posisi semula, Siau-ko telah melayang turun di atas dinding tersebut. Mendadak ke dua orang itu membalikkan badan dan memelototi ke arahnya, wajah mereka tertutup semua oleh selembar topeng berwajah bengis, sedang matanya memancarkan sinar kebuasan yang sungguh menggidikkan hati. Salah seorang di antaranya tiba-tiba berkata dengan suara yang dingin dan parau: "Sahabat, kepandaian silatmu lumayan juga, untuk berlatih ilmu meringankan tubuh semacam Te-im-cong bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, bila kau mesti mati dalam usia muda, rasanya hal ini pantas untuk di sayangkan." Siau-ko segera tersenyum. Jilid ke-4 "Untung saja sementara waktu ini aku masih belum kepingin mati, lagi pula tak bakalan mati." "Kalau begitu, ada baiknya kau menuruti nasehatku saja, kau tak bakal bisa mengurusi hal ini." "Mengapa tak bisa?" "Bila kau sudah diincar oleh manusia seperti kami ini, ibaratnya kau sudah kemasukan setan iblis," kata orang itu, "baik kau sedang bersantap, maupun sedang tidur, bahkan entah pekerjaan apa saja yang sedang kau lakukan, setiap saat setiap detik kemungkinan besar ada senjata rahasia ataupun senjata tajam yang akan menyambar tenggorokan ataupun alis matamu, bila kau sedang mendusin dari tidurmu, bisa jadi kaupun akan menyaksikan ada orang sedang mengiris daging tubuhmu secara pelan-pelan." Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih mengerikan, dia meneruskan: "Manusia siapapun bila sudah berjumpa dengan kejadian seperti ini, perasaan mereka pasti tak bakal gembira." Siau-ko menghela napas panjang. "Ya, peristiwa semacam ini memang tidak menggembirakan, tapi sayangnya aku justru memiliki tabiat aneh seperti ini." "Oya?" "Semakin orang lain melarangku untuk mengurusinya, aku semakin berkeinginan untuk mencampurinya." "Kalau begitu silahkan saja kau pulang untuk menunggu saat kematianmu," tiba-tiba seorang yang lain berseru sambil tertawa dingin tiada hentinya. Dengan suatu gerakan yang bersama-sama, kedua orang itu membalikkan badannya sambil melejit dan kabur ke arah belakang. Walaupun gerakan tubuh mereka terhitung cukup cepat, paling tidak Siau-ko masih mampu menyusul salah seorang di antara mereka. Sayangnya di atas tanah justru masih terbaring sesosok tubuh, begitu terjengkang ke tanah, orang itu tidak bergerak lagi, sementara kakinya yang mulus dan indah tersebut sudah berubah menjadi merah padam bagaikan buah masak.
Padahal orang ini tiada hubungan sama sekali dengan Siau-ko, namun kalau suruh Siau-ko membiarkan si nona tersebut tergeletak mampus di tepi lorong tanpa menggubrisnya, jelas perbuatan seperti ini tak mungkin bisa dilakukan olehnya. Luka yang dideritanya itu terletak di belakang pahanya, mulut luka yang kecil, kecil sekali, namun sekarang sudah mulai membengkak, bahkan panas sekali rasanya. Ini berarti senjata rahasia tersebut ada racunnya, sejenis racun yang cukup ganas. Untung saja nasibnya terhitung baik, karena dia telah berjumpa dengan Siau-ko, seorang manusia yang memang berasal dari suatu daerah pegunungan yang penuh dengan ular beracun, semut beracun serta aneka ragam serangga beracun. Di dalam saku orang seperti ini sudah barang tentu obat pemunah racun selalu tersedia lengkap. Tak heran kalau nona tersebut tak sampai mati, bahkan dengan cepatnya telah mendusin kembali. Sewaktu gadis itu sadar kembali, tubuhnya sudah berbaring di atas pembaringan kayu dalam rumah penginapan, mulut lukanya telah dibalut dengan secarik kain kasar. Ia memandang ke arah Siau-ko, memandang setengah harian lamanya, kemudian bertanya secara tiba-tiba: "Aku sudah mampus?" "Agaknya belum!" jawab Siau-ko pelan. "Kalau begitu apakah akupun belum mampus?" "Tampaknya memang demikian." "Mengapa aku belum mampus?" ia seperti tercengang dengan kejadian tersebut, "mereka telah mengejarku, mengapa aku belum mati?" "Sebab nasibmu masih terhitung bagus, kau telah bertemu dengan aku......" Tiba-tiba si nona yang tidak berewok lagi itu menjadi marah, serunya keras-keras: "Aku sudah didesak orang sehingga tak punya jalan lagi, saban hari mesti lari kian kemari seperti seekor anjing gila, bersembunyi ke sana mengumpat ke mari, terkena senjata rahasia beracun dari musuh lagi, mengapa kau masih mengatakan nasibku mujur?" Kemudian sambil mendelik ke arah pemuda tersebut, dia berkata lebih jauh: "Aku ingin mendengarkan penjelasanmu, nasib yang bagaimanakah baru terhitung nasib jelek?" Siau-ko tertawa getir, ya dia memang cuma bisa tertawa getir belaka. Nona tersebut melototi dirinya setengah harian lagi sebelum menghela napas secara tiba-tiba. "Aku tahu, kau pasti tak akan memberikan peti itu kepadaku, maka kuanjurkan kepadamu, lebih baik jangan mencampuri urusanku lagi." "Mengapa?"
"Kau tak bakal bisa mengurusi persoalan seperti ini, toh mati hidupku sama sekali tak ada sangkut pautnya denganmu, dan akupun memang tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kau." "Sebetulnya kita memang tak mempunyai hubungan apa-apa, tapi sekarang agaknya saja seperti ada hubungan." "Kentut busuk anjingmu," tiba-tiba nona itu berteriak, "ayo katakan, hubungan apakah yang terjalin di antara kita" Ayo cepat katakan kepadaku!" Siau-ko terbungkam dalam seribu bahasa. Selama hidup belum pernah ia jumpai manusia seperti ini, dahulu tidak, di kemudian haripun tidak. Tapi sekarang dia justru telah bertemu dengan seorang manusia seperti ini. "Dimanakah tempat ini?" lagi-lagi si nona bertanya, "mengapa kau membawa aku memasuki sarang anjing sejelek ini?" "Karena tempat ini bukan sarang anjing, tempat ini adalah kamar kediamanku." Mendadak si nona membelalakkan lagi sepasang matanya. "Kau memang babi, kau betul-betul seekor babi," teriaknya kemudian semakin nyaring, "semua orang tahu kalau kau berdiam di sini, tapi kau telah membawa aku kemari, apakah baru merasa senang apabila mereka sudah berhasil membunuhku" Apakah kau baru gembira bila mereka sudah berhasil mencincang tubuhku sehingga hancur berkeping-keping?" Mendengar perkataan tersebut Siau-ko segera tertawa. Manusia tak tahu aturan seperti ini memang tidak sering dapat dijumpai. Nona itu semakin gusar. "Hei, kau masih bisa tertawa" Apa yang menggelikan?" "Apa yang kau inginkan dariku" Suruh aku menangis?" "Kau adalah babi, mana ada babi bisa menangis" Kapan kau pernah melihat ada babi bisa menangis?" "Ucapanmu memang betul, "seakan-akan menemukan suatu teori secara tiba-tiba, Siau-ko berseru keras, "agaknya babi memang tak bisa menangis, tapi aku pikir babipun agaknya tak bisa tertawa." Tampaknya nona itu sudah hampir menjadi gila saking kheki dan mendongkolnya, setelah menghela napas, dia berseru: "Perkataanmu memang betul, kau bukan babi, kau manusia, orang yang sangat baik, aku Cuma harap kau sudi mengantarku pulang ke rumah, lebih cepat lebih baik." "Aku harus mengantarmu kemana?" "Mengantar aku ke rumah kediamanku, tempat itu tak mungkin bisa mereka temukan."
"Bila merekapun tak bisa menemukan, apa lagi aku" "Pernahkah kau berpikir, di sini pasti ada seseorang yang dapat menemukannya?" "Siapakah orang itu?" "Tentu saja aku," jerit si nona lagi. ooo)O(ooo Sebuah bangunan rumah yang tidak terlalu besar, ternyata dihuni oleh enam belas keluarga. Tentu saja ke enam belas keluarga tersebut tidak termasuk orang-orang yang berakal, asal mereka punya sedikit akal saja tak mungkin akan berdiam di tempat semacam itu. Bila kau tak bisa membayangkan bagaimanakah cara hidup enam belas keluarga yang berdesak-desakan dalam sebuah rumah kecil seperti sarang burung merpati itu, maka kau seharusnya berkunjung sendiri ke rumah itu dan menyaksikan sendiri bagaimanakah manusia- manusia tersebut melewati kehidupan mereka. Belakangan ini, dalam rumah acak-acakan tersebut bukan dihuni oleh enam belas keluarga lagi, tapi telah berubah menjadi tujuh belas keluarga, sebab pemilik rumah tersebut telah membagi dua kamar kayu yang terbuat dari papan di halaman belakang sana dan disewakan kepada seseorang dari luar desa. Orang itu adalah seorang manusia berewok yang mengenakan topi berbulu. Melihat rumah tinggal diri si nona yang sudah tak berewok lagi itu, Siau-ko segera tertawa. "Kelihatannya rumah mewah yang kau tempati ini seperti tidak lebih bagus daripada sarang anjing yang kutempati." Sekarang, ia telah mengantarnya sampai di rumah. Kalau di siang hari, tempat seperti ini akan dipenuhi oleh suara gaduhnya anjing menggonggong, ayam berkokok, cekcok suami isteri, jeritan anak-anak yang berlarian dan aneka ragam suara gaduh lainnya. Dalam suasana begini, biarpun ada seekor lalat yang terbang masukpun pasti akan segera ketahuan. Untung saja hari sudah malam sekarang dan lagi mereka melompat masuk melalui tembok pekarangan sebelah belakang. Jika seseorang ingin menyembunyikan diri rasanya memang sulit untuk menemukan tempat lain yang jauh lebih bagus daripada tempat ini. Bagaimana mungkin si nona dapat menemukan tempat seperti ini" Mau tak mau Siau-ko harus turut merasa kagum. Yang membuatnya tidak sangka adalah kesadaran otaknya seperti tetap jernih tadi, agaknya racun yang mengeram dalam tubuhnya telah dibersihkan semua dari tubuhnya, tapi sekarang dia jatuh pingsan lagi, bahkan pingsannya ini jauh lebih lama. Sebetulnya Siau-ko selalu beranggapan bahwa obat penawar racunnya sangat manjur, tapi kini dia mulai sedikit curiga.
Lantaran racun yang mengeram dalam tubuhnya kelewat dalam sehingga merasuk ke dalam tulang dan nadi darahnya" Ataukah daya kerja obat penawarnya yang kurang manjur" Tapi entah bagaimanapun jua, Siau-ko tak mungkin bisa berlalu dengan begitu saja. Apalagi keadaan si nona saat ini tidak begitu mantap, ada kalanya jatuh pingsan, ada kalanya sadar kembali, sewaktu tak sadar banyak keringat dingin akan bercucuran dan mengigau yang bukan-bukan, tapi bila sedang mendusin dengan sepasang matanya yang sayu dan lemah dia awasi terus wajah Siau-ko, seakan-akan takut kalau Siau-ko akan meninggalkan dirinya secara tiba-tiba. Terpaksa Siau-ko harus mendampinginya, bahkan kebiasaannya makan mie kuah setiap haripun harus diurungkan. Bila sedang lapar, dia akan keluar melalui pintu belakang untuk membeli beberapa biji bakpao, bila lelah diapun bersandar di kursi untuk tidur. Dia sendiripun tidak mengerti apa sebabnya dia dapat berbuat demikian, gara-gara seorang gadis asing yang baru dikenalnya, dia telah mengubah sama sekali kebiasaan hidup sehari- harinya. Tapi tak dapat disangkal lagi, dia adalah seorang gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan. Tatkala Siau-ko membersihkan debu dan keringat dingin dari wajah si nona dengan kain basah, segera ditemukan kalau gadis tersebut selain memiliki sepasang kaki indah, paras mukanya juga cantik sekali. Tapi kalau ada orang mengatakan Siau-ko telah mencintainya sehingga ia bersedia tetap tinggal di sini, sampai matipun Siau-ko tak mau mengaku. Di dalam hati kecilnya tak pernah terbentik bayangan perempuan, dia selalu menganggap kedudukan seorang perempuan dalam hatinya tak lebih hanya sebutir nasi dalam sekuali nasi putih. Lantas dikarenakan apakah dia sampai berbuat demikian" Apakah disebabkan keadaannya yang mengenaskan" Ataukah karena sorot matanya yang penuh rasa terima kasih dan permohonan itu" Perasaan antara manusia dengan manusia memang selamanya tak mungkin bisa dipahami secara jelas oleh pihak ke tiga. ooo)O(ooo Rasanya dua atau tiga hari sudah lewat, walaupun Siau-ko merasa tubuhnya dekil, lagi lelah, namun ia tak menyesal barang sedikitpun jua...... Bila peristiwa yang sama sekali lagi berlangsung, dia akan tetap berbuat yang sama. Selama dua hari ini, biarpun si nona tak pernah berbicara sepatah katapun dengannya, namun menyaksikan sorot matanya itu dapat terasa pula bahwa dia telah menganggapnya sebagai orang yang paling dekat dengannya, menjadi satu-satunya tumpuan harapan baginya. Perasaan semacam ini sesungguhnya perasaan yang bagaimana"
Siau-ko sendiri tak dapat membayangkan bagaimanakah perasaan hatinya sekarang, dalam sepanjang hidupnya belum pernah ada orang yang menjadikan dirinya sebagai tumpuan harapan. Suatu hari ketika ia bangun dari tidurnya, dijumpai nona tersebut sedang memandangi wajahnya dengan membungkam, setelah mengawasi lama sekali tiba-tiba ia berbisik: "Kau sudah lelah, kau sudah seharusnya berbaring dan tidur sebentar." Suaranya begitu lembut dan halus, penuh daya tarik yang memikat hati. Tanpa berpikir panjang Siau-ko segera membaringkan diri, berbaring di atas separuh pembaringan yang sengaja disisihkan nona tersebut untuk dirinya. Kedua orang itu sama-sama melakukan semuanya tadi sebagai suatu kejadian yang lumrah, selumrah daun kering yang rontok bila terhembus angin. Begitu membaringkan diri, Siau-ko segera tertidur nyenyak. Dia memang terlalu lelah, tak heran kalau tidurnya kali ini sangat nyenyak. Entah berapa lama sudah lewat, ketika mendusin kembali, hari sudah mendekati senja. Orang yang berbaring di sisinya telah bangun dan membersihkan badan, kini dia sedang menyisir rambutnya yang panjang dan masih basah oleh air, ia duduk di ujung pembaringan sana dan memandang ke arahnya dengan mulut membungkam. Lambat-laun hari di luar jendela menjadi gelap, deruan angin dingin yang kencang lambat laun sudah mulai mereda. Suasana menjadi tenang, hening, hangat dan nyaman. Tiba-tiba nona itu bertanya: "Tahukah kau, siapa namaku?" "Tidak!" "Namaku saja tidak kau ketahui, mengapa kau begitu baik kepadaku?" "Entahlah!" Berbicara sebenarnya Siau-ko memang benar-benar tidak tahu. Dia hanya tahu bahwa dirinya telah berjumpa dengan seorang perempuan seperti ini dan telah melakukan suatu perbuatan. Yang lainnya, dia sama sekali tak tahu. Tiba-tiba nona itu menghela napas dan berkata lagi: "Padahal aku sendiripun tak tahu manusia macam apakah dirimu itu, akupun tidak tahu siapa namamu." Sambil membelai pipi si anak muda dengan lembut, dia meneruskan: "Tapi aku tahu dengan pasti, kaupun akan memberikan sebagian tempat bagiku untuk berbaring bukan?" Dengan cepat Siau-ko memberi sebagian tempat baginya dan nona itupun membaringkan diri, berbaring di sisinya, berbaring di dalam pelukannya. Segala sesuatunya berlangsung dengan begitu lumrah, seperti air hujan yang turun dari langit, seperti matahari yang pasti terbit dari ufuk timur.
Begitu lumrahnya, begitu indahnya sampai memabukkan hati siapapun juga. ooo)O(ooo Malam amat sepi, suasana di jalan raya begitu lengang, sepi dan senyap. Mereka bergandeng tangan menyelusuri jalannya yang dilapisi salju, mencari penjual makanan di tepi jalan dan menikmati semangkuk bakso yang panas, harum dan segar. Mereka tidak minum arak. Merekapun tidak membutuhkan arak untuk membangkitkan kobaran cinta di dalam hatinya. Kemudian mereka bergandengan tangan lagi, kembali ke rumah penginapan dimana Siau-ko berdiam, sebab Siau-ko masih mempunyai beberapa macam barang yang tertinggal di sana. Baru saja membelok sebuah tikungan, mereka segera menjumpai suatu peristiwa yang sangat aneh. Telapak tangan si nona yang semula hangat dan lembut, secara tiba-tiba berubah menjadi dingin seperti es. Pintu gerbang rumah penginapan yang telah tutup, namun di luar penginapan, di bawah cahaya lentera gantung, berdiri sesosok bayangan manusia. Orang itu berdiri seperti patung, bergerak sedikitpun tidak, selembar wajahnya telah kaku karena udara yang dingin, namun sikapnya masih tetap tenang. Siau-ko menggenggam tangan si nona yang dingin kencang-kencang, lalu berkata dengan lembut: "Kau tak usah kuatir, orang itu bukan datang mencarimu." "Darimana kau bisa tahu?" "Dia adalah orangnya piau-kiok, bulan satu tanggal lima belas berselang, aku telah berjumpa dengannya." "Apakah setiap orang yang kau jumpai tak akan kau lupakan?" "Rasanya begitulah." Belum lagi mereka berjalan ke depan, ternyata orang itu sudah membungkukkan badan dan memberi hormat kepada Siau-ko. "Siau-jin Sun Tat menjumpai Ko Tayhiap." "Darimana kau bisa tahu akan diriku?" "Bulan satu tanggal lima belas berselang, siau-jin pernah berjumpa dengan Ko Tayhiap," ujar Sun Tat dengan mantap, "persis di luar kamar rahasia di mana Nyo Kian terbunuh." "Apakah orang yang telah kau jumpai tak akan kau lupakan?" "Tidak!"
Setelah tersenyum, Siau-ko berkata lagi: "Akupun masih ingat dengan kau, kau merupakan satu-satunya orang yang tidak kurobohkan waktu itu." "Kesemuanya itu tak lain berkat belas kasihan dari Ko Tayhiap." "Mau apa kau berdiri mematung di situ" Apakah sedang menanti aku?" "Benar! Hamba sudah menunggu dua hari semalam di sini." "Berdiri terus dalam posisi demikian?" "Selama dua hari belakangan ii jejak Ko Tayhiap sukar diketahui, siau-jin pun kuatir kehilangan kesempatan, maka selama ini tak berani meninggalkan tempat ini." "Andaikata aku tidak kembali?" "Maka siau-jin pun akan menunggu terus di sini." "Bila tiga hari tiga malam kemudian baru kembali, apakah kau akan menunggu di sini sampai tiga hari tiga malam?" "Sekalipun Ko Tayhiap akan kembali tiga bulan mendatang, hamba tetap akan berdiri menanti di sini." Jawaban dari Sun Tat tersebut amat tenang dan lembut. "Siapa yang suruh kau berbuat demikian?" tanya Siau-ko, "apakah Cho Tang-lay?" "Benar!" "Apakah semua perintah yang diberikan olehnya tentu akan kau laksanakan?" "Perintah Cho Sianseng selalu tegas, hingga kini belum ada orang yang berani membangkang perintahnya." "Mengapa kalian begitu menuruti perkataannya?" "Hamba tidak tahu, hamba hanya tahu menjalankan perintah dan belum pernah terpikir mengapa demikian." Siau-ko menghela napas panjang. "Aaaaai, orang tersebut benar-benar seorang manusia yang luar biasa, bukan saja mempunyai keberanian dan pengetahuan, ketajaman matanya juga mengagumkan, dia memiliki bakat yang luar biasa." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya: 'Oleh sebab itu aku selalu merasa tidak habis mengerti, apa sebabnya Liong-tau Toako piau-kiok bukan dia?" Paras muka Sun Tat sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun, seakan-akan ia tidak mendengar perkataan itu. Selembar kartu undangan dikeluarkan dari sakunya dan dipersembahkan dengan hormat. "Surat undangan inilah yang khusus disampaikan Cho Sianseng untuk Ko Tayhiap."
"Kau sudah menunggu dua hari semalam di sini, apakah tujuannya hanya menyerahkan surat undangan tersebut kepadaku?" "Benar!" "Pernahkah kau pikirkan, bila kau tinggalkan kartu undangan tadi di meja kasir, akupun sama saja akan melihatnya?" "Hamba tak pernah berpikir ke situ," ujar Sun Tat, "hambapun tak berani memikirkan persoalan-persoalan yang lain, sebab banyak berpikir bukan suatu perbuatan baik." Sekali lagi Siau-ko tertawa. "Betul, ucapanmu memang betul!", setelah menerima kartu undangan tersebut, lanjutnya, "di kemudian hari akupun harus banyak belajar darimu." Siau-ko tidak perlu membuka kartu undangan tersebut, sebab dia tahu kartu itu bukan undangan pesta, melainkan sebuah kartu undangan untuk bertarung. Ketika dibuka, maka terbaca isinya yang amat ringkas: Bulan dua tanggal satu, pagi buta. Perhimpunan keluarga Li, kuil Cu-ini-si, pagoda Tay-eng-tha. Tertanda: Suma Cau-kun. "Bulan dua tanggal satu?" tanya Siau-ko, "hari ini tanggal berapa?" "Hari ini tanggal tiga puluh bulan satu." "Berarti tanggal yang ditetapkan adalah besok?" "Benar!", sekali lagi Sun Tat menjura dengan hormat, lalu serunya: "Hamba ini mohon diri lebih dahulu." Dia membalikkan badan dan menempuh perjalanan beberapa tombak, ketika secara tiba-tiba Siau-ko memanggilnya lagi. "Kau bernama Sun Tat?" ia bertanya kepada pemuda yang ulet dan berjiwa baja ini, "apakah kau saudaranya Sun Thong?" "Benar!", Sun Tat menghentikan langkahnya, namun tak berpaling, "hamba adalah saudaranya Sun Thong." Malam semakin larut, udara semakin dingin. Memandang bayangan tubuh Sun Tat yang kian menjauh di balik kegelapan sana, tiba-tiba Siau-ko berpaling dan berkata kepada si nona yang selama ini berdiri bersandar di sisi tubuhnya: "Sudahkah kau perhatikan sesuatu?" "Persoalan apa?"
"Kau adalah seorang gadis yang cantik rupawan, sejak dilahirkan mata lelaki memang ditujukan untuk menyaksikan perempuan macam kau, tapi Sun Tat tak pernah memandang sekejap matapun kepadamu." "Mengapa aku harus memperhatikannya" Mengapa kau menyuruh dia melihatku?" si nona seperti rada gusar, "apakah kau baru gembira jika mata laki-laki itu mengawasi terus diriku" Apa sih maksudmu yang sebenarnya?" Siau-ko tidak membiarkan ia marah terus. Bila seorang gadis sudah dipeluk erat-erat oleh kekasihnya, betapapun marahnya dia pasti akan mereda dengan sendirinya. "Padahal aku sudah mengetahui maksudmu," ujar nona itu lembut, "kau hanya ingin memberitahukan kepadaku, Sun Tat bukan seorang manusia biasa." Setelah berhenti sejenak, dengan suara yang lebih lembut dan halus ia berkata lebih jauh, "tapi aku tak ingin kau memberitahukan persoalan seperti ini kepadaku, akupun tak ingin tahu tentang persoalan-persoalan seperti ini." "Lantas apa yang ingin kau ketahui?" "Aku hanya ingin tahu, apa sebabnya Suma Cau-kun mengajakmu untuk bertemu di pagoda Tay-eng-tha?" "Sesungguhnya bukan dia yang mengundangku, tapi akulah yang mengajaknya bertemu, aku mengundangnya sejak bulan satu tanggal lima belas berselang." "Mengapa kau mengajaknya bertemu?" "Sebab akupun ingin mengetahui suatu hal, aku selalu ingin tahu, Suma Cau-kun yang selalu tak pernah terkalahkan ini, apakah benar-benar tak akan terkalahkan untuk selamanya?" Sebelum Siau-ko menyelesaikan perkataan tersebut, ia telah merasakan tangan si nona berubah menjadi dingin secara tiba-tiba. Sebetulnya dia mengira nona itu akan memohon kepadanya, mohon kepadanya agar besok jangan pergi, daripada membuat dia merasa gelisah dan kuatir. Siapa tahu nona itu justru memberitahukan kepadanya: "Besok tentu saja kau akan ke sana, bahkan pasti akan berhasil untuk mengalahkan dia, tapi kaupun harus menyanggupi pula satu hal kepadaku." "Soal apa?" "Malam ini kau jangan menyentuhku, mulai saat ini kau tak boleh menyentuh aku lagi." Sambil mendorong Siau-ko ke belakang, dia melanjutkan: "Aku minta kau ikut aku pulang sekarang juga dan tidur dengan sebaik-baiknya." ooo)O(ooo
Siau-ko tak bisa tidur nyenyak, bukan dikarenakan di sisinya berbaring si nona yang berkaki indah, melainkan karena gelisah dan tegang menghadapi pertarungan esok pagi. Sebenarnya dia sudah tertidur. Dia menaruh kepercayaannya penuh atas dirinya, diapun menaruh perasaan percaya terhadap orang yang berada di sisinya. "Aku tahu, kau pasti akan menunggu sampai aku kembali," ujar Siau-ko kepadanya, "mungkin sebelum aku mendusin esok, aku telah kembali kemari." "Mengapa aku harus menunggu sampai kau kembali" Mengapa aku tak boleh mengikuti dirimu?" tanya si nona. "Sebab kau adalah seorang gadis, gadis biasanya lebih mudah merasa tegang, pertarunganku melawan Suma Cau-kun amat penting artinya, menang atau kalahpun hanya selisih waktu sedikit, bila kau turut menyaksikannya, hatimu pasti akan merasa tegang." "Bila kau tegang, akupun akan turut tegang, bila aku tegang, akupun bisa mati," tambahnya. "Dapatkah kau mencari seseorang yang tidak gampang merasa tegang untuk menemanimu, agar bisa mengawasimu dari sisi arena?" "Tidak dapat!" "Mengapa?" "Sebab aku tak akan menemukannya." "Apakah kau tak punya teman?" "Sebenarnya tak ada seorang manusiapun tapi sekarang untung saja ada seorang, sayang sekali dia tidak berada di sini, dia berada di kota Lok-yang." "Lok-yang?" "Bila kau pergi ke Lok-yang, pasti akan kau dengar namanya, dia she Cu bernama Bong." Gadis itu tidak berkata apa-apa lagi, sepatah katapun tidak berbicara lagi. Siau-ko juga tidak memperhatikan perubahan mimik wajahnya tersebut. ooo)O(ooo Siau-ko mulai melatih kembali gerakan-gerakannya yang aneh dan rahasia tersebut. Latihan tersebut bukan saja akan membuat ototnya mengendor dan segar penuh tenaga, pikirannya dapat pula dibuat jernih sehingga perasaannya dapat terkendalikan. Maka dari itulah dengan cepat dia telah tertidur, tidurnya nyenyak sekali, biasanya tidur seperti ini akan berakhir sampai esok pagi. Tapi malam ini dia hanya tertidur sampai tengah malam, terbangun secara tiba-tiba, ia terbangun oleh suatu perasaan yang sangat aneh.
Saat ini semestinya adalah saat yang paling tenang sepanjang tahun, bahkan suara bunga salju yang menimpa atap rumah pun tak terdengar sama sekali. Suara semacam ini tak mungkin akan membangunkan siapapun. Sebenarnya Siau-ko masih keheranan, dia tak habis mengerti mengapa secara tiba-tiba bisa mendusin. Tapi dengan cepat dia telah memahami akan satu hal. Dalam ruangan tersebut hanya tinggal dia seorang, sedang orang yang berbaring di sisinya entah sudah pergi kemana. Bagaimana perasaan seseorang sewaktu tiba-tiba terjatuh dari loteng bertingkat sepuluh" Demikian pula perasaan yang dialami Siau-ko saat ini. Dia merasakan kepalanya secara tiba-tiba menjadi pening, seluruh tubuhnya menjadi lemas, kemudian ia tak tahan untuk membungkukkan badan dan mulai muntah-muntah. Sebab saat-saat itulah dia sudah merasa bahwa kepergian si nona tersebut merupakan kepergian yang kekal, selama hidupnya tak nanti akan balik lagi ke sisinya. Mengapa dia pergi tanpa pamit" Mengapa dia pergi tanpa meninggalkan pesan barang sepatah katapun" Mengapa dia pergi dengan begitu saja" Siau-ko tidak mengerti, dia benar-benar tidak habis mengerti, sebab pada hakekatnya dia tak mampu untuk berpikir sampai ke situ. Di tengah kegelapan malam yang sepi, di saat udara yang amat dingin, dia hanya sempat memikirkan satu hal. Siapakah namanya" Hingga kini diapun tak tahu. ooo)O(ooo Bab-5. Badai Pembunuhan Fajar telah menyingsing. Salju yang mulai turun semenjak semalam hingga kini belum juga berhenti, seluruh permukaan kuil yang baru dibersihkan kembali dilapisi dengan bunga salju yang berwarna putih keperak- perakan. Bunyi lonceng bergema memecahkan keheningan, kemudian di tengah hembusan angin dingin, lamat-lamat terdengar suara pembacaan doa yang bergema dari dalam ruang kuil sebelah kanan. Suma Cau-kun duduk tenang di pembaringannya sambil mendengarkan pembacaan doa itu, dengan tenang menikmati arak dingin yang dibawanya semalam.
Arak itu dingin seperti salju, namun setelah diteguk terasa panas seperti terbakar. Cho Tang-lay telah berjalan masuk, dia hanya mengawasi gerak-geriknya dengan pandangan dingin. Namun Suma Cau-kun berlagak seolah-olah tidak tahu. Akhirnya Cho Tang-lay buka suara berkata: "Kalau sekarang sudah mulai minum arak, apakah hal ini tidak kelewat awal" Sekalipun kau ingin minum arak hari ini, mengapa tidak menunggu sampai datangnya malam nanti?" "Mengapa?" "Karena kau akan segera menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, besar kemungkinannya jauh lebih tangguh daripada apa yang kita bayangkan sekarang." "Oya?" "Oleh sebab itu bila kau bersikeras ingin minum arak, paling tidak haruslah menunggu sampai pertarungan kalian telah berlangsung." Tiba-tiba Suma Cau-kun tertawa. "Mengapa aku harus menunggu sampai waktu itu" Apakah kau lupa bahwa aku adalah Suma Cau-kun yang selamanya tak pernah akan terkalahkan?" Di balik senyumannya itu terselip nada menyindir yang sukar dilukiskan dengan kata-kata. "Bagaimanapun juga aku toh tak bakal kalah, biarpun minum sampai mabuk juga tak akan kalah, sebab kau pasti sudah mengatur segala sesuatunya dengan baik, semua persoalan telah dipersiapkan dengan jitu." Kemudian setelah tertawa terbahak-bahak, terusnya: "Bocah keparat yang bernama Ko Cian- hui itu pasti akan kalah, pasti akan mampus." Cho Tang-lay tidak tertawa, tidak mengaku, pun tidak menyangkal, mimik wajahnya tetap hambar tanpa perubahan. Suma Cau-kun memandang sekejap ke arahnya, kemudian ujarnya lebih jauh: "Kali ini, dapatkah kau memberitahukan kepadaku, sebetulnya persiapan apakah yang telah kau atur?" Cho Tang-lay termenung lagi beberapa waktu, kemudian baru ujarnya hambar: "Ada sementara persoalan yang sebenarnya bisa terjadi setiap saat, tanpa persiapan darikupun sama saja." "Kau hanya cukup secara tanpa sengaja memperlihatkan satu dua hal saja kepada Ko Cian- hui." "Setiap orang tak urung akan berjumpa secara kebetulan akan sementara kejadian, entah siapapun yang dijumpai, sama saja tak ada gunanya." Mendadak dia maju ke depan, mengambil sebotol arak putih dari atas meja kecil dan menuang setitik air bersih ke dalamnya. Arak dan air segera bercampur menjadi satu.
"Bukankah kejadian semacam ini sangat lumrah?" Cho Tang-lay bertanya pelan. "Benar!" "Ada sementara orangpun demikian juga, setelah saling bertemu, mereka akan berbaur menjadi satu seperti arak dan air." "Tapi bila arak dan air telah bercampur, araknya akan berubah menjadi tawar, airpun berubah bobotnya." "Demikian pula dengan manusia, keadaannya sama sekali tak jauh berbeda." "Oooooh.....," Suma Cau-kun berseru tertahan. Kembali Cho Tang-lay berkata: "Ada sementara orang bila sudah saling bertemu, mereka akan berubah, dan kadang kala pula mereka akan berubah menjadi lemah." "Seperti air yang bercampur dengan arak?" "Betul!" "Maka kaupun mengatur suatu pertemuan antara Ko Cian-hui dengan seseorang yang seperti air ini?" "Benar!," Cho Tang-lay mengangguk, "pertemuan yang tak terduga, berpisah tanpa duga, siapapun tak dapat berbuat apa-apa." Kemudian dengan suara yang lebih dingin dan tawar dia menambahkan: "Sesungguhnya di dunia ini memang banyak terdapat kejadian seperti ini." Suma Cau-kun segera tertawa terbahak-bahak. "Mengapa sih kau begitu baik kepadaku?" ia bertanya, "mengapa kau selalu mengatur segala sesuatunya demi kepentinganku secara baik dan sempurna?" "Karena kau adalah Suma Cau-kun." Jawaban Cho Tang-lay amat sederhana. "Suma Cau-kun tak pernah akan terkalahkan untuk selamanya." ooo)O(ooo Sekarang, Siau-ko telah berdiri di bawah pagoda Tay-eng-tha. Di bawah pagoda tiada bayangan, sebab hari ini tiada matahari, tanpa cahaya matahari, tentu saja tak ada bayangan. Perasaan Siau-ko pun tanpa bayangan. Perasaannya kini kosong melompong, tiada sesuatu apapun. Namun dalam genggamannya masih terdapat sebilah pedang, sebilah pedang yang terbungkus dengan kain kasar, sebilah pedang yang jarang dilihat orang. Hanya ada pedang, tanpa peti.
Peti itu tidak dibawa oleh si nona berkaki indah, diapun tidak seharusnya pergi tanpa pamit, tapi dia telah pergi, dia seharusnya pergi dengan membawa peti tersebut, namun dia tidak membawanya pergi. Peti tersebut masih tetap tersimpan di dalam kamar tidur Siau-ko. Yang harus tetap tertinggal ternyata tak mau tinggal, yang tidak seharusnya tetap tinggal, mengapa harus tetap tinggal terus di sana" Dia sendiripun tak tahu sudah berapa lama dia ke situ, tak tahu sejak kapan sampai di sana. Dia hanya tahu dirinya sudah datang, karena dia telah melihat Cho Tang-lay dan Suma Cau- kun. ooo)O(ooo Baju yang dipakai berwarna putih dan hitam, sepasang matanya juga putih dan hitam, yang putih seperti salju yang hitam seperti tinta bak. Dimanapun Suma Cau-kun munculkan diri, dia selalu memberi kesan demikian kepada setiap orang. Suatu perpaduan yang menyolok, jelas dan terang, antara hitam dan putih. Di dalam waktu sedetik tersebut, di tengah dunia yang berwarna putih keperak-perakan ini semua cahaya dan kementerengan seakan-akan hanya menjadi miliknya seorang sedangkan Cho Tang-lay tak lebih hanya salah satu bayangan dari pantulan cahayanya tersebut. Cho Tang-lay sendiripun seperti amat memahami persoalan ini, maka dia selalu hanya berdiri di samping, selalu tak akan menghalangi pancaran cahayanya. Pandangan pertama yang terlihat oleh Siau-ko adalah sepasang mata Suma Cau-kun yang jeli dan biji matanya yang hitam. Seandainya ia berjalan lebih dekat lagi, bila memperhatikan dengan lebih seksama, mungkin dia akan menjumpai titik merah di balik matanya itu, titik merah seperti kobaran api yang membara. Sayang sekali dia tidak melihatnya. Selain Cho Tang-lay, tiada orang yang bisa mendekati Suma Cau-kun. "Kau adalah Ko Cian-hui?" Suma Cau-kun menegur. "Benar!" Suma Cau-kun sedang memperhatikan pula wajah Siau-ko, mengawasi sorot matanya, wajahnya dan gerak-geriknya. Walaupun di bawah pagoda Tay-eng-tha tiada bayangan, namun seluruh tubuhnya justru seakan-akan terselubung bayangan hitam.
Dengan tenang sekali Suma Cau-kun memperhatikannya setengah harian, mendadak ia membalikkan badan dan tanpa berpaling berlalu dari situ. Cho Tang-lay tidak menghalanginya, ia tetap berdiri kaku di tempat, bahkan sepasang matanya berkedip pun tidak. Justru Siau-ko yang telah menerkam ke depan dan menghalangi jalan perginya. "Mengapa kau pergi?" dia menegur. "Sebab aku tak ingin membunuhmu", sahut Suma Cau-kun, "bagi mereka yang kalah di ujung pedangku hanya kematian yang diterimanya." Begitu tenang sikapnya seakan-akan tak pernah meneguk setetes arakpun. "Padahal kau seharusnya sudah mengetahui sendiri, kini kau sudah menderita kekalahan, karena kau sudah menjadi seorang manusia yang kosong seperti karung beras yang kini sudah tiada sebutir beraspun...." Seorang manusia yang berperasaan hampa ataupun sebuah karung goni yang kosong memang tak jauh berbeda, kedua-duanya tak mampu berdiri sendiri. Jika untuk berdiri saja sudah tak sanggup, apalagi ingin meraih kemenangan" Semestinya teori semacam ini dipahami setiap orang. Hanya Siau-ko seorang yang tidak mengerti. Karena dia sekarang sudah berperasaan hampa, bila pikirannya hampa, bagaimana mungkin bisa memahami teori seperti itu" Maka dia mulai melepaskan bungkusan sendiri, bungkusan tersebut tidak kosong. Di dalam bungkusan itu terdapat pedang, pedang yang dalam waktu singkat dapat merenggut nyawa seseorang, tapi dapat pula memberi alasan yang cukup bagi orang lain untuk merenggut jiwanya pula di dalam waktu singkat. Walaupun langkah kaki Suma Cau-kun telah berhenti sekarang, namun sorot matanya justru ditujukan ke tempat kejauhan sana. Ia tidak memperhatikan Siau-ko lagi sebab dia tahu di saat pemuda ini akan mencabut pedangnya, tak seorangpun dapat merintanginya. Diapun tak memperhatikan Cho Tang-lay lagi, sebab dia tahu Cho Tang-lay tak pernah memberikan reaksi apapun terhadap kejadian seperti itu. Namun di balik sorot matanya justru terlintas setitik kedukaan yang amat tawar. Selembar nyawa yang begitu di sayang, bila sudah tiba suatu saat dan keadaan, mengapa akan berubah menjadi begitu rendah dan tak ada harganya" Tangannya telah menggenggam pula gagang pedangnya, sebab dalam keadaan demikian tiada pilihan lagi baginya.
"Blaaaam!" Pedang itu sudah melentik ke depan, namun pedang Suma Cau-kun belum juga diloloskan. Karena pada saat itulah dari atas pagoda Tay-eng-tha mendadak meluncur turun sesosok bayangan manusia. Tentu saja yang melayang turun dari atas pagoda bukan bayangan saja melainkan seorang manusia sungguhan, namun gerakan tubuh orang itu sedemikian cepatnya sehingga Suma Cau- kun sendiripun tak sempat melihat dengan jelas manusia macam apakah dia, dia hanya melihat sesosok bayangan abu-abu melayang ke bawah dan menyambar tubuh Siau-ko. Maka Siau-ko pun turut meluncur pergi, bukan meluncur ke depan, tapi melayang seperti burung yang terbang. Dalam waktu singkat, bayangan tubuh mereka sudah berada di tingkat ke tiga pagoda Tay- eng-tha tersebut. Kemudian dalam sekejap mata kemudian, kedua sosok bayangan manusia itu sudah mencapai tingkat ke tujuh dari pagoda itu. Lalu bayangan mereka hilang lenyap dengan begitu saja. Sebenarnya Suma Cau-kun berniat mengejar, namun Cho Tang-lay segera mencegah dengan suara hambar: "Kau toh tak berniat membunuhnya, buat apa mesti dikejar?" ooo)O(ooo Salju telah berhenti, pendeta tua muncul menuangkan air teh kemudian mengundurkan diri lagi. Ada kalanya datang, ada kalanya pergi, ada kalanya rontok ada kalanya berhenti, salju yang turun tanpa terasapun memang selalu demikian. Bagaimana dengan manusianya" Bukankah manusiapun demikian juga" Suma Cau-kun masih duduk dengan tenang di atas pembaringan, meneguk arak dinginnya yang belum habis. Lewat lama kemudian tiba-tiba ia bertanya kepada Cho Tang-lay: "Siapakah orang itu?" "Orang yang mana?" "Kau seharusnya tahu siapa yang kumaksudkan, kau melarangku untuk mengejarnya, apakah disebabkan kau takut kepadanya?" jengek Suma Cau-kun sambil tertawa dingin. Cho Tang-lay bangkit berdiri, berjalan ke tepi jendela, membukanya tapi kemudian menutupnya kembali, setelah itu dia baru membalikkan badan menghadap Suma Cau-kun. "Setiap tokoh dalam persilatan memiliki kepandaian yang berbeda-beda, bila jago lihay sedang bertarung, seringkali perbedaan antara menang dan kalah hanya tergantung pada situasi dan keadaan pada saat itu," Cho Tang-lay menerangkan, "semenjak Siau-li si Pisau Terbang
mengasingkan diri, hampir boleh dibilang tiada jago yang benar-benar tanpa tandingan di kolong langit." "Hampir-hampir tak ada" Ataukah sama sekali tak ada?" "Aku sendiripun tak dapat memastikan secara tepat," suara Cho Tang-lay kedengaran agak parau, "cuma ada orang yang pernah memberitahukan kepadaku, di dunia ini, di suatu tempat yang tak kuketahui namanya, benar-benar hidup seorang manusia seperti ini." "Siapa?" paras muka Suma Cau-kun agak berubah, "siapakah orang yang kau maksudkan?" "Dia she Siau, bernama Lay-hiat." ooo)O(ooo Siau-ko merasa seolah-olah tertidur lagi, di saat dia hendak melepaskan kain dan mencabut pedangnya, mendadak dia tertidur, bahkan dalam tidurnya dia merasa seolah-olah dibawa terbang tinggi ke angkasa. Sesungguhnya dia sendiripun tak bisa membedakan mana yang impian dan mana pula yang kenyataan. Bila seseorang tertotok jalan darah tidurnya oleh suatu gerak serangan yang ringan dan sempurna, seringkali dia akan merasakan keadaan seperti ini. Tatkala ia mendusin kembali, terdengar ada orang sedang bersenandung lirih, dibalik nyanyiannya lamat-lamat terbawa pula hawa pedang yang menyeramkan serta suasana serius yang menggidikkan hati. "Pengembara tiga kali menyanyi Hanya menyanyikan pahlawan Pengembaran tanpa tempat tinggal Pahlawan tanpa air mata......." Ketika suara nyanyian itu berhenti, si penyanyi pelan-pelan membalikkan tubuhnya, tampak selembar wajah yang kuning pucat, sepasang mata yang lesu tak bersinar dan mengenakan pakaian abu-abu yang amat sederhana. Dia hanya seorang manusia yang sederhana, membawa sebuah peti yang sederhana pula. ooo)O(ooo "Siau Lay-hiat?" Denyut nadi Suma Cau-kun yang membara terasa berkobar dengan kencang, tapi hatinya justru tidak menjadi panas karena hal itu. "Manusia macam apakah dia" Sudahkah kau berjumpa dengannya?" "Belum pernah! Tak seorangpun yang pernah bertemu dengannya," jawab Cho Tang-lay, "sekalipun orang itu pernah bertemu dengannya, belum tentu mereka tahu siapakah dia."
ooo)O(ooo Angin berhembus amat kencang, dingin dan menggidikkan hati. Oleh karena mereka berada di tempat yang amat tinggi, puncak tertinggi dari pagoda tingkat tujuh. "Oooh, kau! Lagi-lagi kau" seru Siau-ko sambil celingukan kian kemari, "sesungguhnya siapakah kau" Mengapa secara tiba-tiba membawaku ke tempat seperti sarang setan begini?" "Kau takkan bertemu setan di sini, tapi jika tidak kubawa dirimu kemari, aku benar-benar akan melihat setan gentayangan." Setelah berhenti sejenak, dia menambahkan: "Ya, sesosok setan baru mampus!" "Apakah setan yang baru mampus itu adalah diriku?" "Mungkin saja demikian." "Darimana kau bisa tahu kalau aku pasti akan mati?" "Sebab pedangmu." Dari balik matanya yang lesu tak bercahaya seakan-akan muncul setitik cahaya bintang secara tiba-tiba, bagaikan bintang fajar yang terang benderang tapi begitu jauh, begitu misterius dan penuh teka-teki. "Pedang-pedang kenamaan di masa lalu sudah banyak yang terkubur dan musnah, tapi pedangmu masih terhitung pedang tajam yang tiada keduanya di dunia ini, dalam lima ratus tahun mendatang, tiada sebilah pedangpun yang mampu menandinginya." "Oya?" "Orang yang menempa pedang ini adalah seorang Taysu keturunan Ouw Cu-ki, diapun seorang jago pedang pada jamannya, tapi sepanjang hidupnya dia tak pernah menggunakan pedang ini, bahkan tak pernah mencabutnya untuk diperlihatkan kepada orang lain." "Mengapa?" "Sebab pedang ini kelewat ganas, asal dicabut keluar dari sarungnya pasti akan menghirup darah manusia." Mimik wajahnya tetap kaku tanpa perasaan sebab wajahnya selalu dilapisi oleh bahan obat- obatan penyaruan yang kuning kepucat-pucatan, namun sorot matanya justru memancarkan sinar kedukaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. "Sewaktu pedang ini keluar dari tempaan, Taysu tersebut sudah melihat cahaya keganasan dari ujung pedang itu, semacam cahaya buas yang mendatangkan firasat buruk, oleh sebab itu tanpa terasa dia melelehkan air matanya yang membasahi pedang tersebut dan berubahlah pedang itu dengan tetesan air matanya." "Jadi tetesan air mata tersebut terbentuk karena kejadian demikian ini?"
Kisah Pedang Bersatu Padu 16 Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Pendekar Elang Salju 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama