Pedang Tetesan Air Mata Ying Xiong Wu Lei A Hero Without Tears Karya Khu Lung Bagian 3
"Benar!" "Kalau toh Taysu ini dapat melihat adanya firasat yang kurang baik pada senjata tersebut, mengapa dia tidak memusnahkannya dengan begitu saja?" "Sebab hasil tempaan tersebut menghasilkan pedangnya yang kelewat indah dan sempurna, siapakah yang tega untuk turun tangan memusnahkan hasil karya dan jerih payahnya sendiri selama sepanjang hidupnya?" Kemudian ujarnya lagi: "Lagi pula setelah pedang itu keluar dari tempaan, maka jadilah sebilah senjata mustika, biarpun bisa memusnahkan wujudnya, tak mungkin memusnahkan kesaktiannya, cepat atau lambat firasat tersebut akan tetap terwujud juga." Tampaknya Siau-ko dapat memahami maksudnya itu dan berkata: "Ya, di dunia ini memang terdapat sementara benda yang selamanya tak mungkin dapat dimusnahkan." "Oleh sebab itu, bila kau meloloskan pedang tersebut hari ini, maka ada satu orang yang akan tewas di ujung pedang itu, dan orang tersebut adalah kau sendiri, karena hari ini kau bukanlah tandingan dari Suma Cau-kun." Ditatapnya Siau-ko lekat-lekat, kemudian terusnya: "Sekarang kau tentu sudah mengerti bukan walaupun pertarungan ini nampaknya adil, namun sesungguhnya sama sekali tidak adil." "Oooh?" "Bila seseorang sudah mencapai suatu tingkat kemajuan, sudah memperoleh suatu daya pengaruh, ia dapat menciptakan pula berbagai kejadian yang bertujuan untuk melemahkan kekuatan lawan, agar kemenangan dapat diraih oleh pihaknya, dan kejadian tersebut seringkali akan membuat orang merasa amat menderita." Hal ini memang suatu kenyataan, kenyataan yang amat keji. Sekarang Siau-ko tak dapat menyangkal lagi, karena sekarang dia telah memahami hal tersebut, sudah memperoleh pelajaran yang cukup tragis. "Oleh sebab itu apabila kau benar-benar ingin menghadapi Suma Cau-kun, satu-satunya cara adalah turun tangan secara tiba-tiba dan membunuhnya di ujung pedangmu, sebab pada hakekatnya kau tidak memiliki kesempatan untuk melangsungkan pertarungan yang adil dengan dirinya." Siau-ko mengepal kencang sepasang tinjunya kencang-kencang. "Mengapa kau harus memberitahukan segala sesuatunya ini kepadaku?" ia bertanya kepada orang itu, "mengapa kau harus menyelamatkan diriku?" "Sebab aku tidak membunuhmu, maka akupun tak akan membiarkan kau mati di tangan orang lain." "Tentunya kaupun tak ingin agar pedang tersebut jatuh ke tangan orang lain, bukan?" "Betul!" Jawaban orang ini ternyata tepat dan jelas.
Kembali Siau-ko bertanya kepadanya: "Kalau toh kau sudah mempunyai sebuah senjata yang tiada tandingannya di dunia ini, apakah kau masih mengharapkan pedangku ini?" "Aku tidak mengharapkan," jawab orang itu hambar, "bila aku menginginkannya, sudah menjadi milikku sedari dulu." Tentang hal ini Siau-ko memang tak dapat menyangkal. "Lantas mengapa kau menguatirkan tentang benda tersebut" Apakah pedang ini mempunyai suatu hubungan yang luar biasa dengan dirimu sendiri?" Mendadak orang itu turun tangan, mencengkeram pergelangan tangan Siau-ko. Peluh dingin segera jatuh bercucuran membasahi tubuh Siau-ko, saking sakitnya peluh dingin telah membasahi seluruh badannya." Tapi dia tahu, dia pasti telah menyentuh luka hati orang ini, suatu luka hati yang tak ingin disentuh oleh siapapun. Seseorang yang berhati keras dan dingin seperti ini, mengapa justru memiliki perasaan yang begitu lemah" "Petimu maupun pedangku berasal dari orang yang sama, bukankah antara kau dan aku pun terjalin suatu hubungan yang istimewa pula?" Siau-ko berkata lagi, "mengapa kau tidak bersedia memberitahukan semua kejadian tersebut kepadaku?" Persoalan-persoalan seperti ini harus ditanyakan oleh Siau-ko, biarpun akan berakibat hancurnya pergelangan tangannya, dia tetap harus menanyakannya sampai jelas. Sayangnya dia tidak memperoleh jawaban. Orang itu sudah melepaskan cengkeramannya, lalu melayang keluar dari pagoda itu. Di luar pagoda terbentang selapis cahaya putih keperak-perakan, orang itu bersama petinya telah lenyap di balik bunga salju yang memutih itu. Hari sudah bertambah kelam, Siau-ko sudah cukup lama berpikir di situ, tapi masih banyak persoalan yang tidak dimengerti olehnya. Sebab dia pada hakekatnya tak mampu untuk menghimpun semua pikirannya. Walaupun dia telah berpikir pulang-pergi, namun hanya bayangan si nona berkaki indah yang memenuhi benaknya. "Siapakah dia sebenarnya" Datang darimana" Hendak kemana?" "Siapa pula orang-orang yang berniat membunuhnya" Apakah pertemuanku dengannya merupakan bagian yang sengaja diatur oleh Suma Cau-kun?" "Kini dia telah pergi secara tiba-tiba, apakah Suma Cau-kun juga yang menyuruhnya pergi" Agar dia bersedih hati dan putus asa karenanya?" Entah apapun yang terjadi, Siau-ko bertekad akan mencarinya sampai ketemu dan menanyakan persoalan ini sampai jelas.
Tapi ia tak berhasil menemukannya. Pada hakekatnya dia tak tahu kemanakah dia mesti pergi untuk mulai dalam usaha pencariannya. Bagi seorang pemuda yang baru terjun ke dunia persilatan, tanpa pengalaman, tanpa teman, tanpa orang yang bersedia membantunya, apa pula yang bisa dia lakukan" Kecuali menggunakan pedangnya untuk membunuh orang, apalagi yang bisa dia lakukan" Siapa pula yang harus dibunuhnya" Siapa pula yang sepantasnya dibunuh" Siapakah yang dapat memberitahukan semua jawaban tersebut kepadanya" ooo)O(ooo Hari semakin gelap, angin yang berhembuspun semakin bertambah kencang. Suara lonceng bergema bertalu-talu, membelah keheningan malam yang mencekam seluruh jagad. Dari arah dapur di halaman belakang, terhembus lewat bau harum bubur yang membuat perut terasa lapar, beberapa orang pendeta yang pulang kemalaman sedang menikmati santapan malam mereka dengan lahap. Ketika mendengar suara sepatu berpaku yang menembusi salju, tiba-tiba Siau-ko teringat akan diri Cu Bong. Cu Bong berada di Lok-yang. Bab-6. Ruang Singa Jantan Lok-yang adalah sebuah kota indah yang penuh dengan peninggalan-peninggalan kuno serta panorama yang indah yang cocok untuk dikunjungi. Namun Siau-ko tidak tertarik dengan kesemuanya itu. Ia datang ke kota antik ini bukan berniat untuk menikmati panorama indah maupun peninggalan-peninggalan kuno. Dia datang kemari hanya ingin mencari suatu tempat, dan seorang sahabat. Yang dicari adalah Ruang Singa Jantan (Hiong-say-tong), Ruang Singa Jantan dari Cu Bong. Akhirnya ia berhasil menemukannya. Markas besar Ruang Singa Jantan terletak di lorong Unta Tembaga, menurut cerita orang, luas gedung itu hampir menempati seluas sebuah lorong. Dengan cepat Siau-ko berhasil menemukannya.
Dalam anggapannya semula, Ruang Singa Jantan pastilah sebuah bangunan besar yang kokoh dan antik, biarpun tidak terlalu megah dan mentereng, namun pasti luas dan lebar, berwibawa seperti pemiliknya Cu Bong. Apa yang diduganya memang tak salah, sebetulnya Ruang Singa Jantan memang berbentuk demikian, hanya ada satu hal yang tak pernah diduga olehnya, bangunan yang kokoh dan megah itu sekarang sudah terbakar habis sehingga tinggal puing-puing berserakan. Kecuali beberapa ruangan rumah di belakang sana, Ruang Singa Jantan yang mentereng itu sudah musnah tertelan api. Siau-ko merasakan hatinya bagaikan tenggelam. Angin dingin berhembus lewat bagaikan sayatan golok, puing-puing yang berserakan itu masih beterbangan ketika terhembus angin, entah berapa banyak kayu yang hangus terbakar, entah berapa banyak tulang manusia yang berubah menjadi abu. Anak murid Ruang Singa Jantan yang dahulu banyak tak terhitung jumlahnya, kini tak nampak sesosokpun. Bangunan yang dulunya amat megah dan mentereng, sekarang tinggal keadaan yang suram menyedihkan hati. Apakah yang terjadi di sini" Bagaimanakah terjadinya" Hawa dingin yang mencekam seolah-olah merubah tempat itu menjadi neraka. Kemanakah perginya Cu Bong" Kemana pula perginya jago-jago tangguh andalan Cu Bong" Mendadak Siau-ko teringat akan Cho Tang-lay, teringat cara kerjanya, teringat kekejaman, kelicikan dan kebusukan hatinya. Semua peristiwa yang berlangsung di Ang-hoa-ki tempo hari, kini satu demi satu melintas lewat di dalam benak Siau-ko. Mendadak ia menjadi paham, apa sebabnya Cho Tang-lay membiarkan Cu Bong lolos dengan selamat. Dengan kehadiran Cu Bong di kota Ang-hoa-ki, berarti kekuatan penjagaan di kota Lok-yang menjadi lemah sekali, bila mengirim orang untuk melakukan sergapan tiba-tiba, tak disangkal lagi inilah kesempatan yang paling baik. Kesempatan yang demikian baiknya ini sudah pasti telah ditunggu-tunggu cukup lama oleh Cho Tang-lay. Mungkin di saat dia mengangkat cawan untuk menghormati kemenangan Cu Bong tempo hari, pasukan penyergapnya sedang berada di tengah perjalanan. Sudah pasti apa yang terlihat sekarang merupakan hasil serangan yang dilakukan waktu itu. Cu Bong sendiri merasa dirinya berhasil meraih kemenangan, padahal dia telah dikalahkan. Kali ini, dia benar-benar dikalahkan secara tragis. Sepasang tangan dan kaki Siau-ko telah menjadi dingin dan kaku.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana hebatnya pukulan batin yang diderita Cu Bong ketika itu, namun ia percaya Cu Bong tak akan runtuh akibat pukulan tersebut. Asal Cu Bong masih hidup, dia pasti tak akan dapat dirobohkan oleh siapapun. Satu-satunya persoalan yang dipikirkan olehnya sekarang adalah bila Cu Bong terburu-buru hendak membalas dendam, sebab Cho Tang-lay tentu sudah mempersiapkan perangkap di kota Tiang-an untuk menantikan kedatangannya. Jika Cu Bong menuju Tiang-an sekarang, maka kesempatannya untuk kembali dalam keadaan hidup pasti kecil sekali. Entah siapapun yang menderita pukulan batin sebesar ini, jalan pemikiran maupun gerak- geriknya tak urung akan terpengaruh oleh emosi, amarah dan keteledoran. Asal ada sedikit saja keteledoran, bisa jadi hal tersebut akan berubah menjadi suatu kesalahan yang bisa menciptakan kematian baginya. Rencana yang diatur Cho Tang-lay selama ini tak pernah ada titik kelemahan barang sedikitpun. Teringat akan kesemuanya ini, Siau-ko merasakan hatinya pun ikut menjadi dingin. Di dalam waktu sekejap inilah dia telah mengambil suatu keputusan. Dia harus berangkat kembali ke Tiang-an, entah saat ini Cu Bong masih hidup atau sudah mati, dia harus berangkat kembali. Andaikata Cu Bong belum mati, mungkin saja dia masih dapat menyumbangkan tenaganya bagi teman. Dia masih mempunyai sepasang tangan, sebilah pedang dan selembar nyawa. Jilid ke-5 Andaikata Cu Bong sudah tewas di tangan Cho Tang-lay, diapun akan memburu ke situ untuk membereskan layon dari sahabatnya dan membalaskan dendam bagi kematian sahabatnya itu. Pokoknya bagaimanapun juga, hingga sekarang dia hanya menganggap Cu Bong seorang sebagai sahabatnya. Sedang Cu Bong merupakan satu-satunya orang yang menganggap dia sebagai sahabatnya. Biarpun hingga sekarang dia masih belum dapat memahami secara keseluruhan kata 'sahabat' tersebut, karena sebelumnya ia tak pernah mempunyai sahabat. Tapi dia mempunyai semacam semangat. Semacam semangat kependekaran, semangat berjiwa besar dan semangat kesetiaan kawan. Justru dikarenakan dalam dunia ini masih terdapat sementara orang yang memiliki jiwa serta semangat seperti ini, maka kebenaran dan keadilan selalu berhasil mengalahkan kejahatan, makhluk yang bernama manusia pun bisa hidup langgeng di dunia ini.
Sayang sekali, dengan kemampuan Siau-ko berpikir, dia selalu menjumpai kesulitan. Lorong sempit yang semula hening tak bermanusia, mendadak dipecahkan oleh munculnya seseorang. Orang itu berbaju coklat dan mempunyai perawakan tubuh setinggi empat depa, diapun memiliki selembar wajah kuda yang tak sedap dipandang, sepasang alis matanya yang tebal bagaikan dua buah sapu yang saling bertautan, bahkan mempergunakan seutas tali yang tebal untuk mengikatnya di tengah kening. Usianya tidak terlalu besar, tapi ia justru nampak agak ketuaan, di bawah alis matanya tajam, begitu ketemu Siau-ko, sepasang matanya bagaikan sebatang paku yang menancap di tubuh Siau-ko saja, tak pernah dapat dipisahkan kembali. Siau-ko pernah bertemu dengan orang ini. Manusia dengan bentuk wajah yang begini istimewa, memang seringkali mendatangkan kesan yang amat mendalam bagi siapapun yang pernah bertemu dengannya. Siau-ko masih ingat, sebenarnya orang itu berada di jalan raya di luar gang yang sempit itu menjual kueh, mempergunakan sebilah pisau tipis yang panjang, lagi sempat mengirisi kueh manis yang terbuat dari buah apel. Tapi sekarang pisau tersebut sudah terselip di atas ikat pinggangnya. Rasanya memang bukan suatu pekerjaan yang mudah bila ingin memotong-motong tubuh seseorang dengan pisau seperti ini. Begitu orang tadi keluar dari halaman, suasana di lorong tersebut menjadi ramai secara tiba- tiba. Orang-orang yang sebetulnya berada di jalan raya, tiba-tiba saja meluruk masuk ke dalam lorong itu bersama-sama, semua orang yang ada di situ seakan-akan telah berkumpul semua di situ, bagaikan datangnya air pasang dalam waktu singkat menenggelamkan Siau-ko. Siau-ko hanya merasakan dirinya seakan-akan terjerumus ke dalam suasana pasar malam yang ramai, empat arah delapan penjuru penuh dengan manusia, manusia yang beraneka ragam sehingga suasana menjadi sesak dan tak gampang dilalui, membuatnya sama sekali tak mampu berkutik lagi. Ia tak tahu bagaimana mesti menghadapi situasi seperti ini, karena dia memang belum pernah menjumpai kejadian seperti apa yang dihadapinya sekarang. Si penjual kueh tadi seperti sudah terdesak ke hadapannya, tapi sekarang justru tak nampak lagi. Perawakan orang itu memang terlalu pendek, sudah barang tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk menemukan manusia semacam ini di antara kerumunan orang banyak, tapi bila dia hendak mempergunakan pisau pemotong kuehnya untuk menusuk pinggang seseorang, mungkin hal ini dapat dilakukan olehnya jauh lebih gampang daripada memotong kueh. Tentu saja Siau-ko tak ingin termakan oleh tusukan pisaunya. Oleh sebab itu dia perlu mencari orang itu lebih dahulu, dia tahu orang itu bisa jadi adalah pemimpin dari rombongan tersebut.
"Aku ingin membeli kueh!" tiba-tiba Siau-ko berteriak keras, "kemana perginya si penjual kueh?" "Aku tidak pergi kemana-mana," seseorang dengan suara yang berat dan parau menjawab, "aku berada di sini." Suara tersebut berkumandang dari belakang punggung Siau-ko, dengan cepat Siau-ko berpaling, namun tak terlihat olehnya akan orang tersebut. Walaupun tidak nampak orangnya, namun suaranya masih kedengaran, itulah sebabnya dengan cepat dia paham, orang itu tak terlihat selama ini tak lain karena dia tidak melihat sambil menundukkan kepalanya. Orang itu memang sangat cebol, apalagi kalau berada di tengah kerumunan orang banyak. Andaikata kau tidak memandang sambil menundukkan kepala, sudah jelas tak akan tertampak. "Kau tidak melihatku, akupun tidak melihatmu. Bagaimana mungkin transaksi bisa dilangsungkan?" dia bertanya kepada Siau-ko. "Persoalan itu mah, mudah penyelesaiannya." Tiba-tiba Siau-ko berjongkok di antara kerumunan orang banyak, walaupun wajah orang tak nampak, tapi selembar muka kuda yang panjang dan lebar telah muncul di hadapan matanya. "Sekarang, apakah boleh membicarakan soal transaksinya?" ia bertanya. Orang itu tertawa lebar, sedemikian lebarnya sampai-sampai mulutnya terbelah hingga ke ujung telinga. "Masa kau benar-benar ingin membeli kueh?" "Selain membeli kueh apakah kita masih ada transaksi atau jual beli lain yang mungkin dapat dibicarakan?" "Sayang sudah tak ada." "Kalau begitu biar aku membeli kueh saja." "Berapa yang mau kau beli?" "Berapa pula yang hendak kau jual kepadaku?" "Asal kau mampu membayar mahal, berapapun sanggup kujualkan kepadamu." "Berapa sih harga kuehmu itu?" "Itu mah mesti dilihat-lihat dulu." "Melihat apanya?" "Melihat orangnya."
"Melihat orangnya?", Siau-ko tak mengerti, "masa untuk menjual kuehpun mesti menilai orangnya dulu?" "Tentu saja harus dilihat orangnya dulu, manusia macam apa yang hendak membeli kueh, harga itu pula yang akan ku tawarkan." Melihat orangnya baru menentukan harga, prinsip tersebut memang termasuk salah satu taktik untuk berdagang. "Ada sementara orang hanya cukup membayar dua rence uang tembaga untuk memperoleh kuehku, tapi ada pula yang berani membayar lima ratus tahil emas murni tanpa kulayani permintaannya," kata orang itu pelan, "sebab aku tidak cocok dengan orangnya." "Bagaimana dengan aku?" tanya Siau-ko, "apakah kau merasa cocok dengan aku?" Beberapa saat lamanya orang itu mengamati Siau-ko dari atas hingga ke bawah. Mendadak mencorong sinar tajam dari balik matanya yang sempit, setelah itu tanyanya secara tiba-tiba: "Apakah kau datang dari Tiang-an?" "Benar!" "Dalam bungkusan yang kau bawa itu bukankah sebilah pedang?" "Benar!" "Apakah kau datang dari Tiang-an kemari karena hendak mencari Cu Toaya dari ruang Hiong- say-tong?" "Benar!" Tiba-tiba orang itu tertawa lebar sehingga nampak sebaris giginya yang putih bersih. "Kalau begitu transaksi kita tak mungkin bisa dilanjutkan lagi....." "Mengapa?" "Sebab orang mati tak mungkin bisa makan kueh, kuehku juga tak akan dijual untuk orang mati." Telapak tangan Siau-ko mulai berkeringat, tentu saja keringatnya keringat dingin. Andaikata badai manusia yang datang dari empat penjuru mendesak dan menghimpitnya terus, akhirnya dia pasti akan mati terhimpit, siapa yang tahan menghadapi pria tersebut" Diapun sempat mendengar dengusan napas orang-orang itu mulai memburu keras lantaran gembira seakan-akan mereka gembira karena bakal berhasil membunuh seseorang. Kini kerumunan orang banyak sudah mulai menghimpitnya, tangan kanan si penjual kuehpun sudah mulai menggenggam pisau pemotong kuehnya yang terselip di pinggang. Mendadak Siau-ko menemukan suatu hal..... Yang paling menakutkan di dunia ini sesungguhnya adalah manusia, apabila kekuatan manusia dihimpun menjadi satu, maka kekuatan tersebut jauh lebih menakutkan daripada kekuatan apapun yang ada di dunia ini.
Tapi Siau-ko masih dapat menahan diri, sebab diapun mengetahui bahwa orang-orang tersebut adalah anggota Hiong-say-tong, seperti juga dia, berdiri di pihak Cu Bong. Maka dari itu diapun berkata: "Aku datang dari Tiang-an, dalam bungkusan ini memang berisikan sebilah pedang tajam pembunuh, hanya saja orang yang hendak kubunuh bukan Cu Bong." "Siapa yang hendak kau bunuh?" "Orang yang hendak kubunuh adalah orang yang hendak kau bunuh juga," Sahut Siau-ko, "sebab akupun seperti juga kalian, akupun sahabat Cu Bong." "Oooh......" "Aku she Ko bernama Cian-hui." "Apakah Ko Cian-hui yang berarti makin lama semakin terbang tinggi?" "Betul, tanyakan sendiri pada Cu Bong, betulkah dia mempunyai seorang sahabat semacam diriku?" "Tak perlu ditanyakan lagi." "Kenapa?" Dari balik matanya yang sempit tiba-tiba terpancar cahaya licik, mendadak saja dia tertawa tergelak ke arah Siau-ko. "Kau anggap aku tidak tahu kalau kau adalah sahabat Cu Bong?" "Jadi kau tahu?" "Justru karena aku tahu, maka aku hendak membunuhmu." Tiba-tiba Siau-ko merasakan punggungnya menjadi basah, basah oleh keringat dingin yang bercucuran. Walaupun lautan manusia masih menghimpitnya semakin rapat, walaupun pisau pemotong kueh dari penjual kueh itu tampak tajam, namun dalam keadaan yang sangat kritis itu, dia masih mempunyai kesempatan untuk menghancurkan tangan yang menggenggam pisau tersebut, menghancurkan tulang hidung dari si muka kuda dan mengorek keluar sepasang biji matanya yang memancarkan kelicikan dan kekejaman itu. Tapi dia tak dapat bertindak secara sembarangan, dia tak ingin berbuat ceroboh. Bisa saja dia menghabisi nyawa orang ini tapi lautan manusia yang datang menghimpitnya dari empat penjuru tak mungkin bisa dibunuh olehnya, lagipula dibunuhpun tak akan ada habisnya. Bila dia manfaatkan kesempatan yang amat singkat itu untuk membunuh orang tersebut, bisa jadi dia sendiri bakal dicincang hingga hancur berkeping-keping oleh orang lain. Si penjual kueh kembali tertawa, katanya sambil tertawa seram: "Kau toh belum mampus, mengapa tidak segera turun tangan?"
Belum habis perkataan itu diutarakan, Siau-ko yang sebenarnya berjongkok di hadapannya itu tiba-tiba saja bangkit berdiri, begitu bangkit tubuhnya lantas melejit ke tengah udara, seperti dari atas muncul sebuah tangan besar yang tak berwujud yang menarik bajunya hingga melambung ke udara. Ilmu meringankan tubuh seperti ini jarang dijumpai dalam dunia persilatan, ini pula termasuk kepandaian mencari hidup yang luar biasa ampuhnya. Sayang sekali dia bukan seekor burung, tentu saja diapun tak bersayap. Tubuhnya hanya sempat melambung di udara untuk sementara waktu, ketika hawa murninya memudar, maka tubuhnya akan merosot kembali setiap saat, sudah barang tentu diapun akan terjatuh kembali ke tengah kerumunan orang banyak. Dalam hal ini dia sendiri mengerti jelas. Dia tahu orang-orang yang berada di bawah sana tentu sudah meloloskan senjata masing- masing sambil menyiapkan serangan mematikan, begitu dia turun, serangan yang mematikan pasti dilepaskan. Waktu itu biarpun dia masih bisa mencabut pedang untuk membunuh orang, dia sendiripun pasti akan tewas pula di tangan orang lain dan terjungkal di tengah tumpukan mayat. Dia tak ingin melakukan perbuatan semacam itu, tentu saja diapun tak ingin menyaksikan adegan seram yang menggidikkan hati. Tapi...... dia sendiripun tak ingin mati. Di saat yang sangat kritis inilah, mendadak dia menyaksikan seutas tali dilontarkan ke arahnya dari tempat kejauhan. Dalam keadaan begini, dia tak sempat melihat jelas dari manakah datangnya tali tersebut, diapun tak sempat mengetahui siapa yang telah melemparkan tali tersebut ke arahnya. Yang beruntung saja dia sempat menyambut tali itu dan persis dapat menangkapnya secara tepat. Tali itu ditarik oleh seseorang dengan sepenuh tenaga, memanfaatkan kesempatan mana, dia pun melayang ke depan mengikuti gaya tarik dari tali tadi. Keadaannya seperti sebuah layang-layang yang dinaikkan ke udara, semakin ditarik dia melambung semakin tinggi. Orang yang menarik tali itupun seperti sedang menarik layang-layang, melaju ke depan dengan cepat. Siau-ko masih sempat melihat bentuk tubuh orang itu, namun sangat mengenal suara yang ditimbulkan olehnya. Suara sepatu paku yang sedang berlarian di atas permukaan salju. Dengan cepat timbul perasaan hangat di dalam hati kecil Siau-ko. Dia seakan-akan melihat seseorang yang memakai sepatu paku sedang menarik ekor seekor kuda dan berlarian kencang ke arah depan sana.
Diapun seakan-akan melihat orang yang duduk di atas punggung kuda itu, melihat juga kegagahan serta keperkasaannya. Memang dari dulu dia sudah tahu, Cu Bong tak mungkin bisa dirobohkan secara mudah oleh siapapun. "Ko Siau-hiap, tak nyana kau benar-benar datang!" begitu menghentikan larinya, si Sepatu Paku jatuh berlutut di atas permukaan salju, "Tongcu memang sudah bilang, Ko Siau-hiap tentu akan datang menengoknya, tak disangka Ko Siau-hiap benar-benar datang menjenguknya." Siau-ko harus mempergunakan tenaga yang paling besar untuk menarik sahabatnya yang paling setia ini dari atas permukaan salju. "Yang seharusnya berlutut adalah aku," dia berkata kepada si Sepatu Paku, "karena engkaulah yang telah menyelamatkan selembar jiwaku." Si Sepatu Paku menyeka air matanya yang nyaris meleleh keluar, paras mukanya kembali berubah menjadi gagah dan perkasa. "Hamba memang sudah tahu, Coa Tiong tak akan melepaskan setiap sahabat dari Tongcu," ucap si Sepatu Paku lebih jauh, "segenap sahabat Tongcu boleh dibilang telah tewas semua di tangannya, bahkan yang datang dari kejauhan pun tak ada yang dilepaskan." "Coa Tiong adalah si makhluk penjual kueh itu?" "Ya, dialah orangnya." "Tentunya dia bukan seorang penjual kueh sungguhan bukan" Sebenarnya siapakah dia?" "Dia sama seperti keparat she Nyo tersebut, sebetulnya dia adalah orang kepercayaan dari Tongcu." "Apakah diapun mengikuti jejak Nyo Kian mengkhianati Tongcu kalian?" "Dia lebih jahat ketimbang Nyo Kian," si Sepatu Paku berkata dengan penuh kebencian, "sewaktu dia mengkhianati Tongcu, persis di saat hati Tongcu sedang sedih, di saat Tongcu sedang umat membutuhkan orang untuk mendukungnya." Tanpa keterangan lebih jauh pun Siau-ko memahami maksud batinnya. "Oooh, rupanya sewaktu kalian pulang dari Tiang-an, selain markas besar Hiong-say-tong telah dihancurkan, Coa Tiong pun telah berkhianat......" Siau-ko menghela napas panjang, "aaaai.... kehidupan kalian selama waktu-waktu tersebut pasti tak baik." "Benar! Kehidupan kami waktu itu memang amat tidak baik." "Tapi, biarpun kehidupan yang amat tak baik pun toh akhirnya dapat dilalui bukan?" "Ya, kehidupan yang bagaimanapun payahnya toh akhirnya bisa dilalui," ulang si Sepatu Paku bagaikan sebuah boneka saja, menirukan kembali kata-kata dari Siau-ko. Dari balik sorot matanya tiba-tiba terpancar suatu perasaan sedih dan duka yang tak terlukiskan dengan kata-kata, seakan-akan sorot mata seseorang menyaksikan tubuh sendiri semakin tenggelam ke air..... tiada harapan lagi untuk melanjutkan hidupnya sendiri.
Tiba-tiba perasaan Siau-ko juga turut tenggelam. Coa Tiong telah mengkhianati Cu Bong di saat dia menghadapi kesulitan, tapi hingga sekarang Cu Bong masih memberi kesempatan kepada pengkhianat tersebut hidup dengan riang gembira di dalam dunia ini. Jelas tindak tanduk seperti ini bukanlah sepak terjang dari watak Cu Bong di hari-hari biasa. Siau-ko segera menatap wajah si Sepatu Paku lekat-lekat, kemudian sepatah demi sepatah kata dia bertanya: "Apakah kau tak berani memberitahukan kepadaku hal yang sesungguhnya?" "Persoalan apa yang tak berani kukatakan kepadamu?" Sepatu Paku turut menjadi tegang. Sambil menggenggam bahunya kencang-kencang, Siau-ko berseru lebih jauh: "Bukankah Tongcu kalian telah celaka di tangan orang?" "Tidak!" "Sungguh tidak?" "Sungguh tidak!" si Sepatu Paku seperti ingin berusaha menunjukkan sikap yang lebih riang dan gembira, "sekarang juga hamba akan mengajak Ko Siauhiap untuk pergi menjumpainya." ooo)O(ooo Hutan yang lebat kini berubah menjadi pepohonan yang gundul karena tertimbun salju, batu- batu karang yang hitam berkilat justru mencuat di sana-sini. Seonggokan api unggun berkobar di depan batu karang, dan seseorang berdiri di atas batu karang itu. Orang itu bertubuh kurus kering hingga tinggal kulit pembungkus tulang, seperti seekor burung pemakan bangkai yang sudah lama tidak menikmati daging bangkai. Kobaran api unggun berkilauan memancarkan cahayanya dan menyinari raut wajahnya yang kurus. Itulah selembar wajah lebar yang putus asa dan penuh diliputi kesedihan, alis matanya yang tebal berkerut kencang, sepasang matanya yang lebar dan lesu tak bercahaya tersembunyi di balik kelopak matanya yang cekung. Tanpa bergerak dia mengamati cahaya api dihadapannya, seolah-olah sedang menantikan munculnya suatu keajaiban dari balik kobaran api itu. Orang itu tentunya bukan Cu Bong. Cu Bong si Singa Jantan tak mungkin akan berubah menjadi begini rupa. Selama ini si Singa Jantan Cu Bong adalah seorang lelaki sejati, seorang lelaki sejati yang tak akan bisa dirobohkan oleh siapa saja. Tapi si Sepatu Paku justru menyembah di hadapan orang itu sambil berseru: "Lapor Tongcu, orang yang ingin Tongcu jumpai telah datang."
Siau-ko tidak mengucurkan air mata. Biarpun air matanya sudah berkumpul dalam kelopak matanya dalam jumlah yang banyak serta setiap saat hendak mengalir keluar, namun ia tidak membiarkan air mata tersebut jatuh bercucuran. Ia sudah banyak tahun tak pernah mengucurkan air mata. Kini, Cu Bong telah mendongakkan kepalanya dan memandang wajahnya dengan pandangan kosong, seolah-olah dia sudah tidak mengenal lagi orang yang kini berdiri dihadapannya. Pelan-pelan Siau-ko menundukkan kepala. Baru sekarang dia mengerti, apa sebabnya dari balik sorot mata si Sepatu Paku bisa terpancar sinar putus asa dan kepedihan yang luar biasa, tapi diapun tidak habis mengerti, lelaki sejati yang pernah membunuh orang tanpa berkedip sewaktu di luar kota Ang-hoa-ki tempo hari, mengapa bisa dirobohkan orang dengan begitu mudah" "Siau-ko, Ko Cian-hui?" Tiba-tiba Cu Bong berteriak keras dan melompat turun dari atas batu karang, berlarian untuk memeluk tubuh Siau-ko. Dalam sekejap mata itulah, dia seakan-akan sudah memperoleh kembali semangat untuk hidup. "Aku sudah tahu kau pasti akan kemari, ternyata kau benar-benar telah datang kemari." Ia memeluk Siau-ko sekencang-kencangnya, menempelkan wajah sendiri ke wajah Siau-ko. Kemudian dia tertawa sekeras-kerasnya persis seperti gelak tertawanya setelah berhasil memenggal batok kepala manusia di luar kota Ang-hoa-ki tempo hari. Tapi Siau-ko segera merasakan wajah sendiri menjadi basah, basah oleh air mata. Entah air mata siapakah itu" Mungkin dia, mungkin ia sendiri" Si Sepatu Paku sedang memanasi arak di atas api unggun dengan mempergunakan sebatang tombak besi, angin dingin berhembus amat kencang membuat pohon cemara bergoyang kian kemari, arak tersebut belum juga mendidih. Tapi darah yang mengalir di dalam tubuh Siau-ko kini sudah mulai mendidih. "Cho Tang-lay, si bajingan keparat anak jadah ini memang seorang tokoh yang hebat," Cu Bong mulai berbicara, "biarpun dia telah mengobrak-abrik sarangku, mau tak mau aku harus merasa kagum kepadanya." Setelah arak masuk perut, semangat dan kejantanannya makin lama semakin tumbuh kembali, terusnya: "Tapi kagum tinggal kagum, cepat atau lambat suatu hari Locu pasti akan memenggal batok kepalanya untuk kujadikan poci arak." Siau-ko menatap ke arahnya, memandang wajahnya hingga lama sekali, tiba-tiba dia bertanya: "Mengapa kau belum pergi juga?"
Tiba-tiba Cu Bong bangkit berdiri, tapi pelan-pelan duduk kembali, perasaan sedih, kecewa dan putus asa sekali lagi muncul di atas wajahnya. "Sekarang aku belum boleh pergi," kata Cu Bong lirih, "bila aku pergi saat ini, dia sudah pasti akan mati." "Siapakah dia" Apakah seorang wanita?" Cu Bong menggelengkan kepalanya dengan mulut tetap membungkam, arakpun cawan demi cawan diteguk ke dalam perutnya. "Kau belum juga pergi membunuh Coa Tiong, apakah juga dikarenakan dia?" kembali Siau-ko bertanya. Sekali lagi Cu Bong menggeleng, lewat lama kemudian dengan menggunakan semacam suara yang parau seperti mangkuk pecah, dia balik bertanya kepada Siau-ko: "Tahukah kau si anak jadah peliharaan lonte busuk itu, telah membawa pergi berapa banyak orangku?" "Berapa banyak yang telah dia bawa pergi?" "Semuanya!" "Semuanya?" Siau-ko amat terkejut, "apakah segenap anggota Hiong-say-tong telah pergi mengikutinya?" "Selain si Sepatu Paku seorang, hampir semuanya telah berpihak kepadanya," ucap Cu Bong, "selama beberapa tahun ini, Coa Tiong selalu membantuku dalam kepengurusan keuangan, segenap harta dan pemasukan maupun pengeluaran dari Hiong-say-tong dipegang olehnya. Belum pernah aku turut campur dalam soal keuangan tersebut." "Maka kau lantas berpendapat tak ada gunanya pergi mencarinya, sebab orangnya jauh lebih banyak daripada orangmu?" Kali ini Cu Bong mengakui, semangat dan kejantanannya yang mulai tumbuh setelah terpengaruh arak panas tadi tiba-tiba saja hilang lenyap dengan begitu saja. Dengan mempergunakan sebuah tangannya yang besar tapi kurus untuk memegang cawan arak, secawan demi secawan arak panas diteguk ke dalam perut, seakan-akan kecuali arak panas, sudah tiada persoalan lain lagi di dunia ini yang diperhatikan olehnya. Siau-ko mulai merasakan hatinya menjadi sakit, sakit sekali bagaikan ditusuk-tusuk dengan jarum. Sekarang dia telah menyaksikan sendiri bukan hanya bentuk badan Cu Bong saja yang mengalami perubahan, bagian dalamnya pun sudah mulai berubah menjadi busuk. Dahulu, Cu Bong bukanlah seorang manusia seperti ini. Dahulu, bila dia tahu orang yang berkhianat kepadanya masih berada di jalan raya sambil menanti kesempatan untuk membunuh sahabatnya, biarpun ada beribu-ribu orang perajurit yang melindungi orang tersebutpun dia akan tetap menyerbu masuk ke dalam kepungan untuk menghabisi nyawa orang itu. Mungkin di sinilah letak sebab utama mengapa anak buahnya pada berkhianat semua.
Siapakah yang bersedia mengikuti seorang pemimpin yang telah patah semangat dan putus asa untuk hidup terus dalam dunia persilatan seperti ini" Hingga sekarang Siau-ko masih belum juga mengerti mengapa seorang lelaki sejati yang bersemangat baja, tiba-tiba bisa berubah menjadi begini rupa" Persoalan apakah yang menyebabkan perubahan secepat itu" Persoalan ini tidak dia tanyakan kepada Cu Bong, saat itu Cu Bong sudah mabuk, mabuk jauh lebih cepat daripada di saat-saat lampau. Tulang belulangnya yang besar, kini hanya dilapisi selapis kulit dan daging yang tipis, itu persis seperti seonggokan tulang belulang singa jantan yang sekarat. Siau-ko sungguh merasa tak tega untuk memandangnya lebih jauh. Cahaya api unggun masih berkilauan. Sepatu Paku masih juga memasak arak, diapun tidak memandang sekejappun ke arahnya, namun di balik pancaran sinar matanya justru terpercik sinar putus asa, sedih dan murung. Siau-ko bangkit berdiri dan berjalan menghampirinya, lalu menyodorkan secawan arak kepadanya. Sepatu Paku agak ragu sejenak, akhirnya dia meneguk habis isi cawan tersebut. Siau-ko memenuhi kembali cawannya dengan arak, kemudian sambil menghela napas ia berkata: "Ternyata aku memang tak salah menilaimu, kau memang benar-benar sahabat karibnya." "Hamba bukan sahabat Tongcu, hamba tidak pantas," sahut Sepatu Paku dengan sikap serius. "Kau keliru, mungkin hanya kau seorang di dunia ini yang benar-benar merupakan sahabat karibnya, dan hanya kau seorang yang pantas menjadi kawan sejatinya." "Hamba tidak pantas," Sepatu Paku tetap merendah, "dan lagi hambapun tak berani berpandangan demikian." "Tapi dalam kenyataannya, hanya kau seorang yang mendampinginya sekarang." "Hal ini tak lebih karena selembar nyawa hamba adalah pemberian dari Tongcu, sudah sewajibnya mengikutinya terus sepanjang hidup." "Tapi sekarang dia telah berubah menjadi begini rupa." "Terlepas Tongcu telah berubah menjadi bentuk apapun, dia masih tetap merupakan Tongcu- ku." Sepatu Paku menandaskan, "dalam hal ini aku tak bakal berubah pandangan untuk selamanya." "Tidakkah kau bersedih hatimu setelah menyaksikan perubahannya yang begitu besar?" Sepatu Paku segera terbungkam, dia tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Siau-ko kembali menuang arak, lalu sambil meneguknya pelan-pelan dia amati wajah orang itu lekat-lekat.
Lama kemudian ia baru berkata lagi sambil menghela napas panjang: "Aku tahu, perasaanmu pasti amat bersedih hati seperti juga perasaanku sekarang, kaupun tentu berharap ia bisa bangkit serta bersemangat jantan kembali." Sepatu Paku membungkam dalam seribu bahasa. Sambil mengamatinya lekat-lekat, Siau-ko berkata lebih jauh: "Sayang sekali aku tak berhasil menemukan cara yang terbaik untuk membangkitkan kembali semangatnya." Sepatu Paku meneguk pula secawan arak, kali ini dia menuang sendiri arak tersebut untuk dirinya. Siau-ko turut meneguk secawan, lalu teriaknya keras: "Bila kau tak bisa menemukan cara tersebut, justru aku dapat menemukannya." Sepatu Paku segera mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Siau-ko tanpa berkedip. "Namun, sebelum itu kau harus bercerita dulu kepadaku, apa sebabnya ia dapat berubah menjadi begini rupa?" Siau-ko menatap pula wajah si Sepatu Paku lekat-lekat, "apakah disebabkan seorang wanita?" "Ko Siau-hiap," suara si Sepatu Paku bagaikan orang sedang menangis tersedu-sedu, "mengapa kau mengharuskan aku untuk menjawab pertanyaan ini?" "Tentu saja kau harus menjawab, sebab untuk menyembuhkan suatu penyakit, kita harus mengetahui lebih dahulu sumber dari penyakit tersebut." Sebenarnya Sepatu Paku telah bersiap sedia untuk menerangkan, tapi tiba-tiba ia menggelengkan kembali kepalanya. "Hamba tak bisa menjawab, hambapun tak berani menjawab." "Mengapa?" Sepatu Paku segera duduk kembali dan memeluk kepala sendiri dengan sepasang tangannya, tidak menggubris Siau-ko lagi. Sesungguhnya persoalan apakah yang menyebabkan perubahan atas diri Cu Bong" Benarkah dikarenakan seorang wanita" Lalu siapakah wanita itu" Kemanakah dia telah pergi" Mengapa Sepatu Paku tak berani mengatakannya" ooo)O(ooo Malam semakin kelam, udara semakin dingin, sementara api unggun mulai melemah dan mendekati saat padam.
Sepatu Paku meronta untuk bangkit berdiri kemudian gumamnya pelan: "Hamba akan mencari tambahan ranting kayu untuk api unggun kita." Ia belum beranjak terlalu jauh ketika secara tiba-tiba Cu Bong memperdengarkan teriakannya yang sangat keras. "Tiap-wu, kau jangan pergi!" pekiknya parau, "kau adalah milikku, tak seorangpun boleh membawa kau pergi dari sisiku." Teriakan tersebut ibarat sebuah cambukan keras yang menghajar di atas tubuh Sepatu Paku, ia tertegun dan berdiri kaku. Menyusul kemudian sekujur badannya mulai gemetar keras. Dalam pada itu Cu Bong sudah membalikkan tubuhnya dan tertidur kembali. Siau-ko segera melompat ke muka dan menghadang jalan pergi Sepatu Paku, dia menggenggam bahunya erat-erat. "Pasti Tiap-wu, pasti orang itu adalah Tiap-wu!" pekik Siau-ko keras-keras, "Cu Bong pasti berubah lantaran perempuan yang bernama Tiap-wu." Sepatu Paku menundukkan kepalanya rendah-rendah, dia mengakui kebenaran tersebut. "Apakah dia masih berada di Lok-yang sekarang?" kembali Siau-ko bertanya. "Tidak ada" jawab Sepatu Paku, "semalam sebelum hamba dan Tongcu sampai di rumah setelah pergi ke Ang-hoa-ki, ada orang telah menyerbu markas Hiong-say-tong kami, waktu itu kebetulan giliran Coa Tiong yang jaga malam, ternyata dalam keadaan tanpa persiapan sama sekali, markas kami dihancurkan total, bukan hanya gedung Hiong-say-tong terbakar habis, merekapun menghabisi nyawa empat puluhan jago-jago kami sebelum berlalu dari situ." "Aku percaya penyerbu-penyerbu itu dikirim oleh Cho Tang-lay." "Sudah pasti, bukan saja para pendatang terdiri dari jago-jago pilihan, lagi pula mereka mengetahui sekali tentang seluk beluk kami." "Itu berarti dalam tubuh Hiong-say-tong sudah tersusup mata-mata dari Coa Tiong." "Itulah sebabnya ada orang menaruh curiga Coa Tiong telah mempunyai niat mengkhianati Tongcu sedari dulu, ada pula yang beranggapan lantaran dia tahu ia telah melalaikan tugas sehingga takut Tongcu menjatuhi hukuman yang setimpal, maka iapun memberontak." "Apakah Tiap-wu turut memberontak bersama-samanya?" Sepatu Paku menggeleng. "Selama ini nona Tiap-wu tak pernah memandang sebelah matapun terhadap lelaki busuk itu, mana mungkin dia akan kabur bersama-samanya?" "Jangan-jangan ia sudah diculik oleh orang-orang Cho Tang-lay, yang kemudian dijadikan sandera guna memeras Cu Bong?" Sepatu Paku menghela napas panjang.
"Justru karena itulah maka Tongcu tidak berangkat ke Tiang-an untuk membuat perhitungan dengan Suma Cau-kun." "Sekalipun Coa Tiong tidak berkhianat, apakah diapun tak akan pergi kesana?" "Mungkin saja tidak!", Sepatu Paku menjawab sedih, "bila Tongcu datang ke Tiang-an, bisa jadi para keparat dari Toa Piau-kiok tersebut akan menyembelih nona Tiap." Suara pembicaraannya kini kedengaran seperti mau menangis, sangat memilukan hati. "Tongcu pernah memberitahukan kepada Siaujin, asal nona Tiap bisa hidup dalam keadaan segar bugar, biarpun Tongcu lebih menderitapun tidak menjadi soal." "Justru karena masalah nona Tiap ini, maka Tongcu kalian baru berubah menjadi pemurung dan tak bersemangat, masalah apapun tak ingin dilakukan dan itulah sebabnya sampai sekarang Coa Tiong masih bisa malang melintang di tengah jalan raya dengan sekehendak hatinya sendiri." "Ya, hamba sendiripun tidak menyangka kalau Tongcu bisa patah semangat karena seorang perempuan, bahkan mimpipun hamba belum pernah menduganya." Sebetulnya dia mengira Siau-ko pasti akan merasa kejadian ini amat menggelikan hati, patut dikasihani dan lucu. Tapi dugaannya tersebut ternyata keliru besar. Tiba-tiba saja dia menjumpai sorot mata Siau-ko pun turut berubah menjadi sedih, dia sedang memandang ke tempat kegelapan di kejauhan sana dengan termangu. Siau-ko sedang teringat akan seorang perempuan yang sama sekali tak diketahui namanya, tapi membuahkan bibit cinta yang tak pernah terlupakan untuk selamanya. Tentu saja Sepatu Paku tak akan mengetahui persoalan tersebut, sampai lewat lama kemudian ia baru mendengar kembali nada suara pembicaraan dari Siau-ko dengan suara yang lembut tapi penuh kesedihan. "Tongcu kalian sama sekali tidak berubah, dia masih tetap seorang lelaki sejati," ucap Siau-ko, "hanya seorang lelaki sejati baru akan memikirkan nasib orang lain, bila dia tidak memperhatikan mati hidup orang lain, mungkin kaupun tak akan mengikutinya." "Ya, benar." Sepatu Paku menyahut agak tergagap. Lewat lama kemudian, dia baru memberanikan diri untuk berkata kembali: "Ko Siauhiap, hamba ingin mengatakan sesuatu, bolehkah ku utarakan keluar?" "Katakanlah." "Setiap orang sudah sewajibnya memperhatikan orang lain, tapi keliru besar bila kita harus menyiksa diri sendiri demi orang lain, sebab keadaan demikian justru malahan akan membuat sedih dan kecewanya orang yang diperhatikan olehnya." Siau-ko tertawa paksa, lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain.
"Aku lihat tempat di sana ada batu cadas yang bisa dipakai untuk berteduh, aku hendak tidur dulu, dan kaupun harus pergi tidur......" Suasana kembali dicekam keheningan yang luar biasa, yang terdengar tinggal suara api yang melalap ranting-ranting kayu kering. Sepatu Paku mengambil sebuah selimut tebal dilapiskan di atas batu, lalu membopong Cu Bong dan membaringkan tubuhnya di atas selimut tebal tadi, setelah itu menutupi badan Cu Bong dengan dua buah selimut bulu. Sementara dia sendiri tidur di sisinya, berbaring di atas batu cadas yang dingin dan tidur melingkar seperti seekor udang. ooo)O(ooo Sebelum fajar menyingsing, Sepatu Paku terbangun dari tidurnya karena kedinginan, diapun melihat Siau-ko telah mendusin. Di bawah pancaran sinar fajar, dia melihat Siau-ko sedang cuci muka dengan bunga salju, bahkan seperti sedang membuka bungkusan kainnya. Sepatu Paku tidak melihat jelas apakah isi buntalan tersebut adalah sebilah pedang, diapun tak sempat melihat bagaimanakah bentuk pedang tersebut. Sepatu Paku memang tak berani memperhatikan dengan seksama, sebab dia memang berlagak seolah-olah tak melihat. Namun jantungnya berdebar keras, kian lama kian keras debaran hatinya. Ketika Cu Bong mendusin, hari sudah terang tanah. Sepatu Paku sudah mendusin sedari tadi, kini dia sedang memasak air. Namun Siau-ko tidak nampak batang hidungnya lagi di situ. Cu Bong segera melompat bangun, lalu dengan sepasang matanya yang besar dan merah berdarah memandang ke sekeliling tempat itu untuk menemukan jejak rekannya. Sementara dari tenggorokannya memperdengarkan suara auman binatang buas yang amat menusuk pendengaran. "Diapun telah pergi?" Cu Bong bertanya kepada Sepatu Paku, "sejak kapan dia telah pergi" Ia kemana" Apakah tak akan kembali lagi ke sini?" "Lapor Tongcu, sewaktu Ko Siau-hiap pergi, ia tidak berpesan apa-apa, hambapun tak tahu kemanakah dia telah pergi, tapi Tongcu semestinya dapat menduga sendiri, karena Ko Siau-hiap adalah sahabat Tongcu." Cu Bong sebenarnya sudah berubah menjadi layu dan lemah karena kesedihan dan kekecewaannya, namun setelah mendengar ucapan dari Sepatu Paku, tiba-tiba saja semangatnya bangkit kembali, dari balik matanya yang merah membarapun mencorong sinar tajam, dia melompat bangun secara mendadak. "Benar, seharusnya kuketahui kemanakah dia telah pergi!" teriak Cu Bong keras-keras, "Sepatu Paku, mari kita berangkat."
"Baik!" semangat Sepatu Paku pun seolah-olah turut berkobar pula, air mata sempat membasahi kelopak matanya, "semenjak pagi tadi hamba telah mempersiapkan segala sesuatunya, hamba memang harus mempersiapkan diri selalu, karena hamba selalu menantikan tibanya saat seperti hari ini." ooo)O(ooo Bab-7. Kesetiaan Kawan Coa Tiong duduk di atas sebuah bangku yang terbuat dari empat batang kayu dengan selembar kain terpal, memandang orang-orang yang berlalu-lalang di tengah jalan, wajahnya tampak suram dan selalu murung, setiap orang dapat melihat bahwa sikapnya hari ini kurang begitu baik. Sebenarnya Siau-ko sudah menjadi katak dalam tempurung, ikan di dalam jala, siapa sangka di saat yang paling akhir mangsanya berhasil meloloskan diri dari cengkeramannya. Hal ini mungkin dikarenakan kesuksesan yang selalu dicapai dalam setiap operasinya, keberhasilan yang selalu diperoleh dengan cepat, maka barulah tercipta keteledoran seperti ini. Padahal selama beberapa hari ini dia tak pernah sedetikpun melupakan Cu Bong. Dia tahu Cu Bong belum meninggalkan Lok-yang hingga sekarang, bila dia berniat untuk mencarinya, sudah pasti dapat ditemukan dengan cepat. Hingga kini dia tidak pergi mencarinya, hal tersebut bukan dikarenakan dia sungkan dengan sahabat lamanya, melainkan dia tak berani berbuat demikian. Sekarang, walaupun ia telah menggantikan kedudukan Cu Bong, namun dalam dasar hatinya dia masih tetap menaruh semacam perasaan takut dan ngerinya terhadap Cu Bong yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Di bawah bimbingan dan pimpinan Cu Bong selama banyak tahun, perasaan jeri dan takut itu sudah lama mengakar di dalam hati kecilnya. Hingga kini setiap kali teringat akan Cu Bong, seluruh badannya akan menjadi dingin, peluh dingin akan membasahi seluruh badannya. Kadangkala di tengah malam pun dia akan terbangun dari impian buruk dan menjumpai seluruh badannya telah basah kuyup oleh peluh dingin yang bercucuran. Dia hanya berharap Cu Bong datang mencarinya. Di sepanjang jalanan dia sudah mempersiapkan perangkap dan jebakan yang mematikan, asal perintah diturunkan, segenap orang-orangnya akan bermunculan dan menyerang dengan cermat. Dalam keadaan demikian, biarpun Cu Bong berada pada kondisi badan yang paling top pun, dia tak akan berhasil untuk meloloskan diri. Itulah sebabnya saban hari dia pasti duduk di situ untuk menjual kueh, karena dia mempergunakan diri sebagai umpan untuk memancing Cu Bong si ikan besar.
Betul tindakan tersebut agak berbahaya, tapi asal Cu Bong masih hidup, maka jangan harap dia bisa melewati sisa hidupnya dengan aman dan tenteram. ooo)O(ooo Tempat tersebut merupakan sebuah jalan raya yang ramai, di situ terdapat rumah makan, terdapat toko, terdapat pula pasar, maka sejak pagi hari jalanan tersebut sudah penuh dengan manusia yang berlalu-lalang. Suasana pada dua hari terakhir ini sedikit agak berbeda, sebab paling tidak setengah dari orang-orang yang berada di jalanan tersebut adalah orang-orang pihaknya. Diantara mereka bukan saja banyak terdiri dari anggota lama Hiong-say-tong, juga terdapat pembunuh-pembunuh bayaran yang khusus di undang dari jauh. Mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang berdarah dingin, bersedia membunuh siapapun saja dengan imbalan uang. Cu Bong belum pernah bertemu dengan orang-orang tersebut, sedangkan merekapun tidak mempunyai perasaan apapun terhadap Cu Bong. Sekalipun orang-orang bekas anggota Hiong-say-tong seperti juga dirinya, masih menaruh perasaan jeri terhadap Cu Bong, tentu saja di saat turun tanganpun menaruh perasaan jeri, tapi berbeda dengan pembunuh-pembunuh bayaran tersebut, mereka tak akan mengenal siapa saja termasuk terhadap sanak keluarganya sendiri. Teringat akan hal ini, perasaan Coa Tiong baru terasa agak legaan, tapi pada saat itulah dia melihat ada seseorang berjalan masuk ke dalam jalan raya itu. "Siau-ko, Ko Cian-hui" Hampir saja Coa Tiong tidak percaya dengan pandangan mata sendiri. Orang yang kemarin baru lolos dari kematian, ternyata saat ini khusus datang lagi untuk menghantar kematian sendiri. Siau-ko hanya mengenakan selembar celana pendek yang tipis dengan membawa jubah panjangnya di atas bahu. Wajahnya berubah merah karena kedinginan, matanyapun nampak merah darah, agaknya sudah cukup lama ia tak bisa tidur dengan nyenyak. Namun semangatnya justru kelihatan segar, gerak-geriknya pun amat mantap, tak jauh berbeda seperti orang-orang lain yang keluar rumah untuk mencari sarapan. Orang-orang yang sudah mengenalnya sama-sama membelalakkan mata dan memandang ke arahnya dengan terkejut, hawa napsu membunuh telah menyelimuti sorot mata mereka. Menghadapi situasi demikian ini, Siau-ko sama sekali tidak menggubris, bereaksi pun tidak. Orang-orang yang berada di tepi jalan sudah mulai bersiap sedia melancarkan serangan, tapi anehnya ternyata Coa Tiong belum menurunkan komandonya, dia seperti membiarkan Siau-ko berjalan menghampiri ke hadapannya. Akhirnya Siau-ko menghentikan langkahnya di depan meja kecil yang dipakai Coa Tiong menjual kueh. Di atas meja sudah tersedia beberapa potong kueh yang ditutup dengan kain.
Siau-ko melemparkan dua benggol uang tembaga ke meja, lalu menatap wajah Coa Tiong lekat-lekat. "Aku akan membeli kuehmu dua benggol, tolong beri kueh yang ada buahnya." Coa Tiong balas menatap Siau-ko, lama sekali, tiba-tiba ia baru berkata sambil tertawa: "Kau benar-benar datang untuk membeli kueh." "Apa sih yang diherankan" Apa pula yang menggelikan?" "Ya, memang tidak menggelikan, sedikitpun tidak menggelikan," sahut Coa Tiong, "kenyataan semacam ini sepantasnya bila disambut dengan isak tangis yang paling memedihkan hati." "Lantas mengapa kau belum menangis?" "Karena yang seharusnya menangis bukan aku, tapi kau!" "Oya?" "Tahukah kau, begitu perintah kuturunkan, bisa jadi kau akan menjadi landak dengan cepat, paling tidak di atas tubuhmu akan muncul tujuh delapan belas buah lubang yang mengucurkan darah seperti kantong air yang berlubang." "Oya?" "Tapi sekarang kau masih hidup, tahukah kau mengapa kau dapat hidup hingga kini?" tanya Coa Tiong. "Aku tidak tahu." "Sebab aku ingin sekali bertanya kepadamu, sesungguhnya mau apa kau datang kemari" Menjadi perantaraannya Cu Bong untuk membicarakan syarat-syarat denganku" Ataukah mohonkan ampun bagi keselamatan jiwanya?" Siau-ko menatap wajahnya lekat-lekat, memandang sampai setengah harian lamanya, mendadak ia menghela napas panjang. "Aaaai....... apakah rahasia hati orang lain tak pernah bisa mengelabui dirimu?" Coa Tiong kembali tertawa. "Padahal Cu Bong boleh datang sendiri kemari, bagaimanapun juga kita toh pernah bersaudara," ucapnya dengan sungguh-sungguh, "asalkan syaratnya tidak kelewatan, apa saja yang dia inginkan, aku tetap akan mengabulkannya." "Sungguh?" "Tentu saja sungguh, sesungguhnya aku sendiripun tak ingin beradu syaraf terus dengannya, bagaimanapun juga kita toh tetap saudara sendiri, bila sesama saudara saling gontok-gontokan terus, akhirnya kedua belah pihak sama-sama terluka dan orang lainlah yang mendapat untung, apa manfaatnya buat kita?" "Ya, betul! Memang sama sekali tak ada manfaatnya."
"Itulah sebabnya kau boleh kembali dan sampaikan maksudku ini kepadanya, aku yakin kau pasti dapat merasakan juga kesungguhan hatiku ini." "Tentu saja aku dapat merasakannya," ucap Siau-ko, "hanya saja aku tetap merasa sedikit agak keheranan." "Apanya yang mengherankan?" "Apakah kau tak pernah membayangkan bahwa aku datang mewakili Cu Bong untuk membunuhmu?" Coa Tiong segera tertawa, bahkan di balik sorot matanya yang tajam bagaikan sembilu pun mengandung senyuman. "Kau adalah orang pintar, mana mungkin kau akan berbuat demikian?" serunya, "semua orang yang berada di jalanan adalah orang-orangku, asal kau turun tangan, mungkin saja aku dapat terbunuh, tapi akibatnya kau sendiripun akan mampus." "Aku percaya, dalam hal ini akupun dapat melihatnya sendiri," kata Siau-ko. "Kau masih muda, masa depanmu masih panjang, lagi pula kaupun tidak mempunyai hubungan persahabatan yang kelewat mendalam dengan Cu Bong, buat apa mesti menjual nyawa baginya?" Coa Tiong menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa, kemudian terusnya: "Tentu saja kau tak bakal melakukan perbuatan seperti ini." Siau-ko turut tertawa. "Perkataanmu memang tepat sekali, hanya manusia paling tolol di dunia ini yang akan melakukan perbuatan seperti ini." Coa Tiong tertawa makin tergelak, tertawa semakin gembira. Di saat dia sedang tertawa paling riang itulah, mendadak tampak sekilas cahaya hijau yang tipis berkelebat lewat, tahu-tahu sebilah pedang yang tajam telah menembusi ulu hatinya. Senyuman yang semula menghiasi wajahnya mendadak berubah kaku, seperti ada selembar topeng kulit manusia yang ditempelkan di atas wajahnya. Dalam detik yang amat singkat itu, segenap suara dan kegiatan seolah-olah turut menjadi beku dan kaku. Tapi sesaat kemudian menjadi kegaduhan yang luar biasa, membuat suasana sepanjang jalan raya itu berubah menjadi kalut bagaikan mie kuah di kuali. Satu-satunya orang yang masih bisa mempertahankan ketenangannya hanya Siau-ko seorang. Dia memang khusus datang ke situ untuk berbuat demikian, sebab dia beranggapan persoalan ini wajib dilakukan olehnya, berhasil atau gagal, mati atau hidup, sudah tak pernah dipikirkan lagi olehnya. Kini tugasnya kewajibannya telah ditunaikan dengan baik, diapun telah menyaksikan akhir dari seorang pengkhianat, maka masalah yang lain tidak terpikirkan lagi olehnya.
Biarpun dia tak ambil perduli, tapi ada orang yang justru memperhatikan persoalan itu dengan serius. ooo)O(ooo Di tengah kekalutan dan kegaduhan yang menyelimuti seluruh jalan raya, di saat orang-orang yang berkumpul disekitar tempat itu belum sempat turun tangan melakukan terjangan, mendadak........ Sesosok bayangan manusia tiba-tiba saja melayang turun dari tengah udara dengan kecepatan tinggi. Bagaikan burung Rajawali yang menyambar mangsanya, bayangan manusia itu melayang turun di sisi Siau-ko dan menyambar tangan si anak muda itu. "Dia adalah sahabatku," dengan suara yang lantang bagaikan pekikan singa jantan, Cu Bong berseru, "bila kalian hendak mengusiknya, bunuhlah aku lebih dulu!" ooo)O(ooo Bab-8. Tiap-wu Empat ekor burung merpati pos terbang dari Lok-yang menuju ke langit nan biru. Dalam waktu singkat, bayangan tersebut sudah lenyap di balik awan yang tebal. Tapi sayang, dari ke empat ekor burung merpati tersebut, seekor lenyap karena tersesat, seekor lagi mati terhembus angin dingin dan tinggal dua ekor yang berhasil tiba di Tiang-an dengan selamat. Kejadian ini berlangsung tanggal delapan bulan dua. "Coa Tiong telah tewas," dengan nada tenang Cho Tang-lay memberitahukan kepada Suma Cau-kun, "Nyo Kian mampus di sini, dua orang yang lain tewas dalam sergapan yang ku atur tempo hari dan kini giliran Coa Tiong. Ini berarti dari ke empat Toa-kim-kong dari Cu Bong sudah tak seorangpun yang tersisa." Suma Cau-kun sedang menikmati daging sapi panggangnya, hidangan dengan menu tersebut seolah-olah sudah menjadi sumber kehidupannya setiap hari, biasanya saat seperti inipun merupakan saat yang terbaik dari semangatnya dan saat yang paling jernih pikirannya. "Kapan Coa Tiong mampus?" ia bertanya kemudian. "Kemarin pagi, satu jam berselang baru kuterima berita kematiannya." Di antara anak buahnya memang terdapat seorang ahli dalam memelihara burung merpati pos, maka di antara mereka yang ditugaskan mencari kabar ke Lok-yang, biasanya dibekali pula dengan satu dua ekor burung merpati. Dalam jaman seperti itu, memang tak ada cara menyampaikan berita yang jauh lebih cepat daripada cara tersebut. "Aku seperti mendengar orang berkata bahwa Coa Tiong telah berhasil menguasai Hiong-say- tong, mengapa dia bisa mati secara mendadak......" Suma Cau-kun berkata hambar, "manusia seperti dia, semestinya tak bakal mati sedemikian cepat."
"Andaikata ada sebilah pedang yang tiba-tiba menembusi ulu hatinya, bagaimanapun ampuhnya seseorang toh dia bakal mampus juga dengan cepat." "Tapi untuk menembusi ulu hatinya dengan sebilah pedangpun bukan suatu pekerjaan yang gampang, pedang itu milik siapa?" "Milik Siau-ko, Ko Cian-hui" "Aaaah, lagi-lagi dia!" dengan gemas Suma Cau-kun mengiris sepotong daging, "jadi dia sudah sampai di Lok-yang?" "Mungkin dia baru sampai dua hari berselang." Pelan-pelan Suma Cau-kun mengunyah hingga daging sapi yang harum itu benar-benar sudah masuk ke dalam perutnya. Ia baru berkata lagi: "Berbicara dari kecepatan pedang Ko Cian-hui, tentu saja Coa Tiong bukan tandingannya, tapi kalau toh Coa Tiong berhasil menguasai Hiong-say-tong, paling tidak lima puluh kaki di sekelilingnya harus terdapat jago-jago lihay yang melindunginya." "Konon, peristiwa tersebut berlangsung di sebuah jalan raya," kata Cho Tang-lay, "bukan saja seluruh jalan raya dipenuhi bekas anak buah Hiong-say-tong, bahkan terdapat pula sepuluh orang pembunuh bayaran yang diundang dengan bayaran tinggi. Bila musuhnya berani melalui jalanan tersebut, pada hakekatnya ibarat seekor domba yang memasuki gerombolan serigala, bayangkan saja bagaimana gawatnya suasana di situ....." "Tapi Siau-ko telah menuju ke sana." "Benar! Siau-ko memang ke situ, pergi ke situ seorang diri, seorang dengan sebilah pedang, persis seperti si nenek yang membawa keranjang untuk membeli sayur, wajar dan leluasa." "Kemudian?" "Kemudian diapun menusuk ulu hati Coa-tiong dengan pedang itu, masuk dari dada dan tembus ke punggung." "Mengapa Coa Tiong memperkenankan musuhnya mendekati dia" Mengapa dia tidak menitahkan anak buahnya untuk menyerang lebih dulu?" "Dalam hal ini aku sendiripun kurang jelas," sahut Cho Tang-lay, "aku pikir alasan yang terpenting adalah Coa Tiong bukan saja ingin memperalat Siau-ko untuk membunuh Cu Bong, lagi pula diapun tidak memandang tinggi akan dirinya, dia pasti beranggapan bahwa dia tak akan berani turun tangan dalam keadaan seperti itu." "Kalau begitu kematian Coa Tiong sedikit banyak tak perlu disesalkan," ucap Suma Cau-kun dingin, "barang siapa berani menilai rendah musuh yang dihadapinya, dia memang pantas untuk mampus." Coa tiong bukan hanya memandang rendah kecepatan gerak serta kepandaian silat dari Siau- ko, diapun memandang rendah keberanian serta sikap lawan. Tiba-tiba Suma Cau-kun menghela napas kembali.
"Tapi Siau-ko pun pasti mampus pula. Ketika pergi ke sana, dia pasti membawa tekad untuk mati. Cu Bong memang sangat mujur bisa memperoleh sahabat seperti dia." "Manusia semacam ini memang tak banyak lagi jumlahnya sekarang, mati seorang berakhir seorang makin berkurang, tapi kini masih belum berkurang." "Jadi Siau-ko belum mati?" "Belum!" jawab Cho Tang-lay hambar, "sekarang mungkin saja dia hidup jauh lebih gembira daripada kebanyakan orang yang berada di dunia ini." "Mengapa?" Suma Cau-kun kelihatan sangat terkejut bercampur keheranan. "Sebab dia memang tak salah mencari teman, Cu Bong tidak membiarkan dia pergi beradu jiwa seorang diri." "Apakah Cu Bong pun turut menyusul ke situ?" Suma Cau-kun makin terperanjat, "bukankah dia sendiri telah menyembunyikan diri macam anjing budukan setelah melihat Coa Tiong membawa pergi sebagian besar anak buahnya" Dalam keadaan seperti itu, masa dia bernyali untuk datang kesana?" "Sebetulnya aku mengira riwayatnya sudah habis, keadaannya sudah menyerupai sebiji buah kelapa yang kulit luarnya sudah kita hancurkan, hingga tinggal isinya yang lunak....." "Apakah kulit luarnya yang keras kini mulai tumbuh kembali.....?" "Agaknya seperti begitu." "Bagaimana tumbuhnya?" Cho Tang-lay termenung beberapa saat, lama kemudian pelan-pelan ia baru berkata: "Ada sementara pepohonan yang nampaknya sudah layu dan mati di kala musim dingin tiba, tapi bila musim semi telah datang dan memperoleh cahaya matahari yang hangat serta hembusan angin yang lembut di musim semi, tiba-tiba saja pohon itu memperoleh kembali kehidupannya dan tumbuh lagi beberapa lembar daun hijau." Suaranya seolah-olah datang dari tempat yang amat jauh, terusnya lebih jauh: "Ada sementara teman yang daya pengaruhnya persis seperti sengatan matahari dan hembusan angin lembut di musim semi. Bagi Cu Bong, Ko Cian-hui lah sahabatnya dari jenis begini." Suma Cau-kun menghela napas panjang. "Ya, dia memang manusia begitu, entah terhadap siapapun tetap sama saja." Tiba-tiba Cho Tang-lay termenung, sepasang mata serigalanya tersembunyi di balik kelopak matanya yang kelabu, tiba-tiba saja dia menunjukkan suatu perubahan mimik wajah yang sukar dipahami oleh setiap orang. Cahaya tajam dibalik matanya pun lambat laun semakin memudar. Suma Cau-kun seperti tidak terlalu memperhatikan akan hal ini, kembali dia melanjutkan: "Orang-orang yang diatur Coa Tiong di sepanjang jalan raya itu sebagian adalah orang-orang bekas anak buah Cu Bong, melihat Cu Bong bisa memperoleh kembali keangkeran dan keperkasaannya seperti dahulu, sudah pasti mereka dibikin keder oleh wibawanya, apalagi Coa Tiong pun sudah tewas di ujung pedang Siau-ko. Maka dari itu kesimpulannya adalah begini, setelah Cu Bong munculkan diri, kebanyakan orang-orang tersebut tak berani turun tangan lagi, karena Cu Bong masih mempunyai sebuah semangat."
Cho Tang-lay masih tetap membungkam dalam seribu bahasa. Terdengar Suma Cau-kun berkata lebih jauh: "Orang-orang yang diundang Coa Tiong dengan bayaran tinggipun lebih-lebih tak akan berani turun tangan lagi." "Mengapa?" "Sebab mereka adalah orang-orang yang punya harganya, Coa Tiong dapat membayar mereka, Cu Bong pun pasti dapat membayar pula harga mereka." Dibalik nada suaranya itu terdengar penuh dengan nada ejekan, lanjutnya: "Bila seseorang sudah mempunyai harganya, maka mereka tak akan berharga lagi, sepeserpun tak laku." Sekali lagi Cho Tang-lay menutup mulutnya rapat-rapat. "Justru karena Coa Tiong melupakan kedua hal tersebut, maka Cu Bong dan Siau-ko baru bisa hidup terus hingga sekarang." Berbicara sampai di sini, Suma Cau-kun menghembuskan napas lega, seolah-olah dia merasa puas sekali dengan kesimpulan tersebut. Cho Tang-lay belum memberikan reaksinya, juga dia tetap membungkam diri dalam seribu bahasa. Suma Cau-kun yang menyaksikan kejadian tersebut tak tahan lagi segera menegur: "Apakah kau sama sekali tak punya pendapat apa-apa?" Cho Tang-lay menggeleng. "Ketika Cu Bong muncul di situ, apakah di sana telah terjadi kembali suatu peristiwa?" kembali Suma Cau-kun bertanya dengan kening berkerut. "Tidak tahu!" "Tidak tahu?" hampir saja Suma Cau-kun berteriak keras, "mengapa kau bisa tak tahu?" Setelah termenung beberapa saat lagi, Cho Tang-lay baru menjawab dengan dingin: "Sebab berita tersebut bukan dibawa manusia, melainkan burung merpati. Sayang sekali si burung merpati tak pandai berbicara, mereka hanya mampu membawa surat saja." Jilid ke-6 Setelah berhenti sebentar, kembali Cho Tang-lay menambahkan: "Burung merpatipun bukan burung elang, perjalanan dari Lok-yang ke Tiang-an juga tidak dekat, untuk membawa surat pada kaki burung merpati, surat tersebut tak mungkin bisa terlalu panjang." Nada suara Cho Tang-lay sama sekali tanpa luapan emosi. "Untuk menjelaskan peristiwa semacam itu, pasti dibutuhkan sepucuk surat yang amat panjang, maka mereka hanya bisa membagi surat tersebut menjadi empat bagian, empat pucuk surat yang dibawa oleh empat ekor burung merpati." "Berapa ekor burung merpati yang telah kau terima?" "Dua ekor," sahut Cho Tang-lay, "dua ekor burung merpati dengan dua bagian surat."
"Dua bagian yang mana?" "Bagian yang pertama dan bagian yang terakhir." "Apa yang kau ceritakan tadi tentunya termasuk bagian yang pertama, bukan" Bagaimana dengan bagian yang terakhir?" "Bagian yang terakhir itu sudah merupakan bagian penutup saja, hanya terdiri dari beberapa huruf, mari kubacakan saja isi selengkapnya." Dengan cepat Cho Tang-lay membacakan isi surat tersebut selengkapnya. "Dalam pertarungan ini, ada dua puluh tiga orang yang tewas, luka parah sembilan belas orang, luka ringan sebelas orang, boleh dibilang sangat mengerikan keadaannya, lama setelah pertarungan itu berakhir, darah masih mengalir di mana-mana membasahi seluruh permukaan jalan raya, hanya Cu Bong dan Ko Cian-hui yang tetap sehat wal'afiat." Lama setelah Cho Tang-lay menyelesaikan kata-katanya, Suma Cau-kun baru menghela napas panjang. "Orang yang tewas lebih banyak daripada yang terluka parah, sedang orang yang terluka parahpun lebih banyak daripada yang terluka ringan, bisa dibayangkan betapa sengitnya pertempuran yang telah berlangsung di sana." "Ya, dari sini dapat disimpulkan bahwa bukannya tiada orang yang turun tangan waktu itu." Kata Cho Tang-lay hambar. "Keadaan di jalan raya waktu itu ibarat sebuah bungkusan obat peledak yang sumbunya belum terbakar, asal ada satu orang saja mulai dengan aksinya, maka orang tersebut akan menjadi penyulut dari sumbu tersebut, bahkan sumbu itu segera akan tersulut," kata Suma Cau-kun lebih jauh, "itulah sebabnya asalkan ada orang berani turun tangan waktu itu, bungkusan besar obat peledak tersebut akan segera meledak dan menghancur-lumatkan tubuh Cu Bong maupun Siau- ko." "Betul, keadaan pada waktu itu memang demikianlah." "Tapi Cu Bong dan Siau-ko masih bisa hidup segar bugar hingga sekarang." "Benar, mereka berdua memang belum mati." "Dengan kekuatan mereka berdua, bagaimana mungkin bisa melawan serangan dari begitu banyak orang?" "Mereka bukan hanya berdua, tapi bertiga." "Siapakah orang yang ketiga?" "Si Sepatu Paku!" "Sepatu Paku?" "Sepatu Paku bukan sepatu paku sungguhan, Sepatu Paku adalah nama dari seorang manusia." "Bagaimana dengan ilmu silatnya?"
"Tidak seberapa hebat." "Tapi kau seperti menaruh hormat kepadanya." "Ya, benar!" Cho Tang-lay segera mengaku, "terhadap orang yang berguna, aku memang selalu menaruh hormat." "Diapun berguna?" "Berguna sekali. Mungkin dia jauh lebih berguna daripada segenap anggota Cu Bong lainnya yang digabungkan menjadi satu." "Apakah hal ini disebabkan dia dapat menyebabkan kematian Cu Bong setiap saat?" "Mati bukan suatu kejadian yang sulit, diapun tak akan menyuruh Cu Bong mati setiap saat," ujar Cho Tang-lay, "asalkan Cu Bong masih hidup, dia pasti akan berpkir untuk mencari daya upaya agar bisa hidup lebih jauh, sebab dialah yang melayani kebutuhan Cu Bong, keadaannya terhadap Cu Bong ibarat seekor anjing tua terhadap majikannya." "Bila setiap saat dia hanya berniat untuk mengorbankan jiwa demi Cu Bong, maka manusia semacam ini tak ada harganya untuk dipandang kelewat tinggi," sambung Cho Tang-lay lebih jauh dengan suara sedingin es. Mendadak Suma Cau-kun tertawa terbahak-bahak. "Haaaahhh....... haaaahhhh....... haaaaaahhhh.... aku memahami maksudmu, aku sangat memahami maksudmu." Cho Tang-lay memandang sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin, dibalik sorot mata yang dingin tiba-tiba terpancar pula serentetan cahaya kegusaran yang tajam bagaikan sembilu dan amat menakutkan, mendadak dia membalikkan badan lalu berlalu dari sana dengan langkah lebar. ooo)O(ooo Langit kembali sudah gelap, bunga salju masih melayang jatuh menimpa atap rumah, hanya orang yang sedang kesepian baru akan mendengar suara semacam ini. Gelak tertawa Suma Cau-kun telah berhenti sejak tadi, kini bukan saja dibalik sorot matanya tiada cahaya senyuman, bahkan sebaliknya penuh dengan pancaran sinar kesedihan. Dia hanya mendengar suara bunga salju yang berguguran, ia tidak mendengar suara langkah kaki istrinya yang melangkah masuk. Sebab sewaktu Go Wan masuk ke dalam ruangan, dia sudah mulai meneguk arak. Pelan-pelan Go Wan menghampirinya dan duduk disampingnya. Ia tak pernah membujuk suaminya agar berhenti minum arak, karena dia adalah seorang perempuan yang pintar, termasuk pula seorang istri yang bijaksana, dia tahu ada sementara persoalan yang tak mungkin dapat dicegah oleh siapapun.
Tapi keadaan hari ini sedikit agak berbeda dengan keadaan di hari-hari biasa, ternyata hari ini diapun turut minum arak, bahkan meneguk dengan cepat. Sampai dia menghabiskan cawan arak yang ke tiga, Suma Cau-kun baru berpaling dan memandang ke arahnya. "Agaknya masih pagi sekarang," dia berkata. "Ya, agaknya memang demikian." "Agaknya kau sudah mulai minum arak?" "Ya, agaknya memang begitu," kembali Go Wan menjawab dengan suara yang lembut. Dia memang seorang istri yang lembut, sangat-sangat lembut, selalu menuruti perkataan suaminya, biarpun sedang sedih atau lagi gusar, nada suaranya selalu halus dan lembut, belum pernah menunjukkan sikap mengambek ataupun marah. Tapi Suma Cau-kun tahu dengan jelas. "Kau hanya akan minum arak semenjak pagi baru bila sedang berada dalam keadaan marah, apa yang menyebabkan kau menjadi marah hari ini?" Go Wan tidak menjawab, diapun tidak membuka suara. Go Wan hanya minum arak dengan membungkam, lalu memenuhi cawan suaminya dengan arak pula. "Aku tahu apa yang menyebabkan kau menjadi marah, di sebabkan kedatangan Cho Tang-lay bukan" Kau tidak senang menyaksikan cara berbicaranya terhadap diriku?" Go Wan tetap membungkam, namun dia mengakui atas kebenaran dari ucapan tersebut. "Tapi kaupun harus tahu, di hari-hari biasa, sikapnya tidak demikian, hari ini diapun sedang marah," Suma Cau-kun meneruskan, "sebab hari ini aku selalu memuji-muji Siau-ko dihadapannya." Mendadak dari balik matanya tersungging suatu sinar ejekan yang amat sinis. "Selama ini, dia paling benci kalau mendengar aku memuji orang lain sebagai teman yang baik dihadapannya." "Apakah dia sedang cemburu?" tiba-tiba Go Wan berbicara sambil mempertinggi suaranya, bahkan penuh dengan nada ejekan, "bahkan aku sendiripun tak pernah cemburu, atas dasar apa dia merasa cemburu?" Biasanya Go Wan adalah seorang perempuan yang lembut, sangat lembut, tapi sekarang dia telah menghabiskan lima cawan arak. Arak yang diminumnya barusan adalah arak yang biasanya paling digemari Suma Cau-kun, padahal arak kegemaran Suma Cau-kun adalah arak keras, arak yang paling keras. Bila seorang perempuan yang di hari-hari biasa jarang minum arak, tiba-tiba saja menghabiskan lima cawan arak keras, maka apapun yang dia katakan waktu itu patut untuk dimaafkan.
Jangan lagi perempuan, seorang lelaki yang jarang minum arak, bila tiba-tiba dia menghabiskan lima cawan arak keras dan mengoceh tidak keruan, diapun pantas untuk dimaafkan. Maka Suma Cau-kun tertawa bergelak. "Kau memang sedang cemburu, kau selalu merasa cemburu terhadap Cho Tang-lay, seolah- olah mengira aku dapat menganggap dia sebagai perempuan saja." "Aku tahu, kau tak bakal menganggapnya sebagai perempuan, diapun tidak menganggap kau sebagai perempuan," Go Wan menghabiskan secawan lagi, "dia selalu menganggap kau bagaikan putranya, bila tiada dia, pada hakekatnya kau tiada kedudukan seperti hari ini." Nada suaranya tiba-tiba menjadi parau, tanyanya lagi kepada suaminya: "Mengapa kau tak melakukan sedikit pekerjaan atas prakarsa sendiri, agar ia tahu bahwa kaupun bisa hidup tanpa dia sekalipun" Mengapa kau tak pernah membuktikan kepadanya?" Suma Cau-kun tidak menjawab, diapun tidak membuka suara. Seperti juga istrinya, dia minum arak dengan mulut membungkam, lalu memenuhi cawan istrinya dengan arak. Tapi Go Wan tidak minum lagi, dia segera menjatuhkan diri ke dalam pelukan suaminya dan menangis tersedu-sedu. Suma Cau-kun tidak menangis, bahkan dalam kelopak matanya pun tiada cahaya air mata. Dia seakan-akan sudah tak berair mata lagi. ooo)O(ooo Di dalam bangunan gedung yang megah, di balik kebun yang luas dan indah, terdapat sebuah sudut bangunan yang sepi, di sudut bangunan tersebut terdapat sebuah pintu yang amat sempit. Dari balik pintu itu bergema suara petikan harpa yang merdu merayu, tapi siapapun tidak tahu tempat apakah di balik pintu tersebut dan tiada orang yang pernah tahu siapakah pemetik harpa itu. Sebab daerah tersebut telah ditetapkan oleh Cho Tang-lay sebagai daerah terlarang, bila ada orang berani melangkah masuk ke dalam daerah terlarang itu, bila kaki kirinya yang melangkah masuk lebih dulu, kaki kirinya akan dipotong, bila kaki kanannya dulu, maka kaki kanannya dulu yang akan dipotong. Peraturan tersebut nampak amat sederhana, tapi dibalik kesederhanaan tersebut justru mendatangkan hasil yang manjur. Entah datang dari tempat kediaman Suma Cau-kun ataukah dari ruang kecil kediaman Cho Tang-lay, untuk sampai ke situ maka orang mesti melewati sebuah jalanan yang amat panjang. Dengan membawa sebuah payung dan menerobos salju, Cho Tang-lay berjalan menelusuri jalanan yang kecil itu menuju daerah terlarang. Meskipun ia tidak mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya, bekas kaki yang tertinggal di atas permukaan salju pun amat tipis.
Di sudut sana, terdapat pintu sempit yang selalu dalam keadaan tertutup rapat. Cho Tang-lay mendekati pintu itu, mula-mula mengetuk tiga kali, kemudian mengetuk satu kali lagi, kemudian setelah menunggu amat lama baru pintu itu terbuka sedikit. Yang membukakan pintu adalah seorang gadis yang cantik, dengan mengenakan pakaian berwarna putih salju, paras mukanya amat cantik dan menawan hati. Dengan suara yang rendah dan penuh hormat, Cho Tang-lay segera bertanya: "Apakah Lo sianseng telah bangun?" "Telah bangun sejak tadi, orang yang berusia lanjut memang bangunnya kelewat pagi, mungkin mereka tahu sisa hidupnya sudah tak lama, maka setiap saat dan kesempatan dipergunakan dengan sebaik-baiknya." Di balik pintu adalah sebuah halaman kecil yang sepi, di tengah hembusan angin dingin, terendus bau harum bunga Bwe yang semerbak. Di bawah sebatang pohon Siong yang besar, berdiri sebuah gardu kecil bersegi enam, seorang kakek sedang duduk dalam gardu sambil menikmati bunga salju yang beterbangan di angkasa, dia seolah-olah terpesona oleh pemandangannya. Tiada orang yang tahu usia serta namanya, bahkan dia sendiripun sudah melupakan hal tersebut. Perawakan tubuhnya kurus lagi kecil, dari kejauhan dia nampak seperti seorang bocah berusia delapan sembilan tahunan, kepalanya yang botak persis seperti kulit kepala yang keras, sedangkan wajahnya penuh dengan kerutan-kerutan yang meninggalkan bekas penderitaan serta pengalaman yang cukup luas. Usia yang tak berperasaan telah membuat tubuhnya sama sekali menjadi kusut, namun sepasang matanya justru masih sering memancarkan sinar berkilauan yang mengartikan kecerdasan dan kesegaran bagaikan seorang anak kecil. Berada dalam keadaan demikian, sepasang matanya nampak seperti lautan biru yang berada di bawah cahaya matahari. Dengan sikap yang sangat menghormat, Cho Tang-lay berdiri di luar gardu kecil, kemudian setelah memberi hormat, katanya pelan: "Aku lihat air muka Lo sianseng jauh lebih cerah ketimbang sewaktu aku datang tempo hari, seperti menjadi muda dua puluh tahun secara tiba- tiba." Sebenarnya kakek itu tidak memandang ke arahnya, juga tidak berniat menggubrisnya, tapi sekarang ia berpaling secara tiba-tiba dan berkedip berulang kali. "Kau benar-benar melihat aku seperti lebih muda dua puluh tahun?" "Tentu saja." "Kalau begitu kau adalah seorang buta, seorang buta yang tolol dan goblok," Walaupun kakek itu sedang memaki orang, suaranya kedengaran amat riang.
"Apakah tidak kau lihat usiaku sekarang seolah-olah empat puluh tahun lebih muda?" Cho Tang-lay segera tertawa. Gadis berbaju serba putih itu berjalan ke sisi kakek tersebut, si kakek segera menarik tangannya dan menggenggamnya erat-erat. "Kesemuanya ini tak lain berkat jasanya," kakek itu berkata lagi sambil tertawa, "hanya gadis muda yang cantik seperti dia baru dapat membuat seorang kakek menjadi muda kembali." "Kesemuanya inipun berkat jasaku, "sambung Cho Tang-lay cepat, "akulah yang mengirim dia kemari." "Tapi aku tak merasa berterima kasih kepadamu, walau hanya sedikitpun," kakek itu mengerdipkan lagi matanya secara licik dan nakal, "aku tahu kau sedang menjilat pantatku, ingin mengorek sesuatu lagi dari dalam benakku." Ternyata Cho Tang-lay tidak mencoba menyangkal. Maka kakek itu bertanya lagi: "Apa yang ingin kau korek dari benakku kali ini?" "Tentang seseorang." "Siapa?" "Siau Lay-hiat" Senyuman yang semula menghiasi wajah kakek itu mendadak lenyap tak berbekas, bahkan sepasang matanya yang berkilatpun kini berubah menjadi keabu-abuan. "Siau Lay-hiat, Siau Lay-hiat......." Kakek itu bergumam tiada hentinya, "dia masih hidup" Dia belum mati?" "Belum!" Kembali kakek itu menghela napas panjang. "Sekarang aku baru mengerti, manusia macam apakah dirimu itu." Dengan jari tangannya yang kurus kering, dia menuding ke hidung Cho Tang-lay, kemudian melanjutkan: "Kau adalah telur busuk yang paling luar biasa, manusia yang paling tolol, paling goblok dan paling dungu, maka hanya kau yang berani mengusiknya." Cho Tang-lay tetap membungkam, dia tidak menjadi gusar karenanya. Bagaimanapun kakek tersebut akan bersikap kepadanya, dia seakan-akan tak akan menjadi gusar, sebab hanya kakek ini yang bisa memberitahukan segala persoalan yang ingin diketahui olehnya. "Aku tidak berniat mengusiknya," kata Cho Tang-lay, "aku hanya ingin mengetahui dua hal yang menyangkut dirinya." "Dua hal yang mana?" "Kepandaian silatnya serta senjata andalannya."
Mendadak kakek itu nampak seperti amat tegang, padahal seorang kakek seperti dia tidak seharusnya bersikap begini tegang. "Kau pernah melihat senjata apakah yang dia pergunakan?" tanyanya kepada Cho Tang-lay. "Belum pernah!" "Tentu saja kau belum pernah melihatnya," kakek itu menjadi lega kembali, "sebab hanya sukma-sukma gentayangan dalam neraka yang pernah melihat." "Belum pernah ada orang yang melihat senjatanya?" "Sama sekali tak pernah, seperti diapun tak pernah akan melihat bekas air mata saja." "Bekas air mata" Bekas air mata siapa?" "Bekas air mata Siau Taysu." "Siapakah Siau Taysu?" "Siau Taysu adalah ayahnya Siau Lay-long." Selama ini Cho Tang-lay selalu menganggap dirinya sebagai orang yang amat cerdik, tapi sekarang ia sendiripun dibikin kebingungan. Ia tak habis mengerti terhadap perkataan dari kakek itu, kembali dia bertanya: "Mengapa dia tak dapat melihat bekas air mata ayahnya?" "Sebab, bila dia melihat bekas air mata tersebut, dia akan mati oleh bekas air mata." "Bekas air mata pun bisa membunuh orang?" Cho Tang-lay semakin tidak mengerti. Kakek itu memandang ke tempat kejauhan, dibalik sorot matanya seolah-olah penuh dengan perasaan sedih dan ngeri, seakan-akan seseorang yang menyaksikan suatu peristiwa yang tak bisa dipahami maupun di mengerti. Entah berapa lama kemudian, dia baru pelan-pelan menggerakkan tangannya yang kusut dan mengambil sebuah harpa dari hadapannya. "Criiiing.....criiiing...." bunyi senar harpa bergema memecahkan keheningan. "Tiap-wu, menarilah untukku." Mantel perak terlepas dari atas bahu, si gadis berbaju perak itu masih tetap berpakaian perak. Baju berwarna perak dikombinasikan dengan gaun panjang berwarna perak pula. Mengikuti liak-liuknya tubuh yang ramping, gaun panjang beterbangan ke sana kemari hingga tampak sepasang kakinya yang indah dan penuh daya tarik. Tiada orang yang bisa melukiskan tariannya, juga tiada orang yang dapat melukiskan keindahan sepasang kakinya.
Bahkan Ti Siau-hou dan Ti Cing-leng yang paling mengerti menikmati perempuanpun hanya bisa berkata demikian: "Pada hakekatnya aku tidak percaya kalau di tubuh seorang manusia bisa tumbuh sepasang kaki yang begitu indah." Irama harpa tiba-tiba berubah menjadi amat murung, sedih dan pedih, sedang sang penaripun membawakan tariannya bagaikan daun kering yang berguguran terhembus angin, indah sekali, indah yang menggetarkan perasaan. Mendadak cahaya air mata mulai memenuhi kelopak mata si kakek tersebut. "Criiiing....." Tahu-tahu senar harpa putus jadi dua dan irama yang memedihkan pun segera terhenti. Sang penari yang membawakan tarian jatuh melingkar di tanah, bagaikan burung Angsa yang tenggelam di balik awan. Kemudian suasana berubah menjadi tenang dan hening, begitu tenang, begitu indah. Sementara titik-titik air mata jatuh berlinang membasahi wajah kakek itu, setetes demi setetes jatuh bercucuran. "Beginilah macam bekas air mata," kakek itu bergumam, "beginilah bekas air mata." "Bagaimana sih bentuknya?" "Tiada keduanya di dunia ini, sempurna sama sekali tanpa cacad sedikitpun," kata kakek itu, "tiada senjata tajam di dunia ini yang bisa lebih tajam daripada pedang tersebut." Lalu lanjutnya: "Ya, sebilah pedang, sebilah pedang yang sempurna tanpa cacad, seperti juga tarian dari Tiap- wu." "Mengapa pedang tersebut dinamakan bekas tetesan air mata?" "Sebab di atas pedang tersebut terdapat bekas tetesan air mata. Ketika pedang tersebut sedang ditempa, bila ada air mata yang menetes ke atas pedang makan akan timbullah bekas tetesan air mata yang tak pernah dapat terhapus untuk selamanya." "Bekas tetesan air mata siapa?" "Air mata Siau Taysu, Siau Taysu yang tiada keduanya di dunia ini." "Pedang mestika bila muncul, dewa dan setan akan ketakutan, prinsip ini cukup kupahami, tapi aku tak habis mengerti mengapa Siau Taysu harus meneteskan air mata karena pedang itu?" "Sebab dia bukan hanya pandai membuat pedang, iapun menguasai ilmu perbintangan," nada suara kakek tersebut penuh nada kepedihan, "tatkala pedang itu keluar dari tempaan, dari atas senjata tersebut dia telah menangkap suatu hawa sesat yang luar biasa." "Bagaimana maksudmu?" Kakek itu menghela napas panjang. "Aaaai.....tadi kau toh sudah bilang bila pedang mestika muncul, dewa dan setanpun akan ketakutan. Begitu pedang tersebut muncul, segera terasalah bahwa sesat yang menyertai senjata tersebut, bukan saja pedang itu akan mencari korban setiap muncul dari sarungnya, bahkan
diapun membutuhkan pula korban sajian dari seseorang yang paling dekat dengan Siau Taysu sendiri." "Bukankah orang yang berada paling dekat dengan Siau Taysu adalah Siau Lay-hiat?" "Benar!" kakek itu sedih, "sejak pedang itu selesai dibuat, Siau Taysu sudah mengetahui kalau putra tunggalnya bakal tewas di ujung pedang tersebut." "Mengapa ia tidak musnahkan saja pedang itu?" "Sebab dia tak tega, juga tak berani. Pedang tersebut merupakan hasil karyanya yang paling berhasil, sudah barang tentu dia tak tega untuk menghancurkannya." Tentang persoalan ini Cho Tang-lay cukup mengerti. "Tapi aku tak habis mengerti, apa sebabnya ia tak berani memusnahkannya?" "Bila takdir sudah mengatur demikian, siapakah yang berani melawannya" Apalagi sesuatu yang telah dijadikan takdir, tiada kekuatan manusia yang bisa melawannya." Dari sorot mata si kakek tersebut kembali memancar keluar sinar ngeri dan seram, lanjutnya: "Bila Siau Taysu menghancurkan pedang itu, siapa tahu akan timbul bencana yang lebih mengerikan lagi yang akan menimpa putra tunggalnya itu." "Kemudian dengan cara apa Siau Taysu mengatur pedang tersebut?" berkilat sepasang mata Cho Tang-lay. "Siau Taysu mempunyai tiga orang murid, muridnya yang pertama memperoleh ilmu perbintangannya...." "Ya, akupun mendengar orang bilang kalau dalam dunia persilatan terdapat seorang kakek pengasah pedang yang pandai meramal, mungkin orang inilah murid pertama dari Siau Taysu?" ucap Cho Tang-lay. Kakek itu manggut-manggut. "Murid kedua dari Siau Taysu yakni Siau Khong-cu mendapat ilmu membuat pedang darinya, diapun menjadi seorang Kiam-su (empu ahli pedang) yang termasyhur di kemudian hari." "Siau Khong-cu?" tergerak hati Cho Tang-lay, "apakah Siau Taysu yang kemudian menciptakan senjata kaitan Lee-piat-kou itu?" "Ya, dialah orangnya!" "Kedua orang itu hampir semuanya merupakan manusia-manusia luar biasa, tapi Siau Taysu telah mewariskan ilmu pedangnya yang paling membanggakan itu untuk muridnya yang ketiga, bahkan mewariskan pula bekas tetesan air matanya kepada orang itu." "Mengapa harus diwariskan kepadanya?" "Karena orang ini bukan saja berjiwa besar, berhati besar, berhati bajik, suka mengasingkan diri, pun tak punya ambisi untuk mencari nama ataupun pahala, diapun tak pernah membunuh orang."
"Setelah mewarisi segenap ilmu pedang dari Siau Taysu, tentu saja tiada orang yang bisa merampas pedang tetesan air mata itu dari tangannya," kata Cho Tang-lay, "sudah barang tentu manusia bijaksana seperti ini tak bakal mencelakai pula putra tunggal gurunya." "Ya, bahkan saat dia berusia tiga puluh tahunan, orang itu sudah mengasingkan diri di tengah gunung dan bersumpah tak melangkah lagi ke dalam dunia keramaian, setelah matipun dia ingin dikubur bersama pedang tetesan air mata di atas bukit itu." "Di bukit mana?" "Entahlah! Tiada orang yang tahu." Cho Tang-lay segera menghela napas panjang, katanya: "Justru karena kejadian inilah maka di dalam dunia persilatan telah kekurangan seseorang ahli pedang, juga kekurangan sebilah senjata mestika. Suatu keuntungan bagi umat manusia, ataukah ketidak beruntungan?" "Tapi Siau Lay-hiat toh masih dapat hidup terus karena kejadian ini." "Benar!" kata Cho Tang-lay pula, "bagaimanapun juga Siau Lay-hiat belum sampai mati oleh pedang tetesan air mata, paling tidak ia masih hidup hingga sekarang." Walaupun suaranya penuh nada sedih, tapi sepasang matanya justru memancarkan cahaya berkilauan, seperti lelaki hidung belang, hidung bangor yang melihat seorang gadis bugil berdiri di depan pembaringannya. Menanti dia mendongakkan kepalanya lagi, kakek yang berada dalam gardu itu sudah tertidur pula. ooo)O(ooo Salju masih turun rintik-rintik, pintu kecilpun setengah terbuka. Saat itu Cho Tang-lay sudah keluar sedang Tiap-wu siap untuk menutup pintu. Asal pintu ini sudah tertutup, maka tempat tersebut seolah-olah terpisah sama sekali dengan dunia luar. Tiap-wu hanya berharap tak pernah ada lagi orang yang mengetuk pintu, agar dia dan kakek itu hidup bebas di sana, karena dia sudah tiada menaruh harapan lagi terhadap dunia luar, sama sekali tiada kesan apa-apa. Sebab perasaannya sekarang sudah mati, yang tertinggal tak lebih hanya sebuah tubuh yang kaku dan sepasang kaki. Sepasang kakinya ini bagaikan gading gajah, tanduk menjangan, bagian yang paling berharga dalam kehidupannya, dan di sini juga letak dari sumber ketidak-beruntungannya. Andaikata ia tidak memiliki sepasang kaki itu, mungkin dia hidup sebagai manusia lain, bisa jadi kehidupannya jauh akan lebih berbahagia. Tiap-wu berdiri di balik pintu kecil dengan kepala tertunduk, dia hanya berharap Cho Tang-lay berlalu dari situ secepatnya. Apa mau dibilang, Cho Tang-lay justru telah membalikkan badan, menatapnya dengan sutau pandangan yang aneh, lama sekali mengawasinya tanpa berkedip.
"Selama beberapa hari ini, apakah kehidupanmu bisa dilewatkan dengan baik?" "Ya, sangat baik." Nada suara Tiap-wu sama sekali tak berperasaan, hampir sedingin dan sekaku suara Cho Tang-lay. "Asal kau bersedia, kau dapat berdiam untuk selamanya di sini," kata Cho Tang-lay lagi, "akupun jamin tak akan ada orang yang berani mengganggumu." "Terima kasih." "Tapi akupun dapat mengirim kau ke suatu tempat yang lain, "ujar Cho Tang-lay lebih jauh, "asal aku senang, setiap saat aku dapat mengantarmu ke tempat lain, aku tahu ada sementara orang yang berharap aku dapat berbuat demikian." Tiba-tiba Tiap-wu membungkukkan badan seperti anak domba yang terkejut, lalu mundur ke sudut di belakang pintu dan menggumpal diri menjadi satu. Melihat hal itu Cho Tang-lay tertawa senang. "Sudah barang tentu aku tak akan berbuat demikian." Di balik sinar matanya terkandung cahaya kekejian. "Aku tak lebih hanya menginginkan kau tahu, kau mesti berbaik kepadaku sebab kau telah berhutang budi kepadaku." Tiap-wu segera mendongakkan kepalanya dan menatapnya tajam-tajam..... "Dengan cara apa aku mesti berbaik kepadamu" Apakah aku harus menemani kau naik ranjang?" tiba-tiba perempuan itu berseru. Jangan dilihat sikapnya yang begitu anggun seperti perempuan tingkat tinggi, nyatanya cara perempuan ini berbicara jauh lebih busuk daripada ucapan seorang lonte. "Tentunya kau sudah pernah mendengar, ilmuku bermain di ranjang sangat hebat dan tiada tandingannya di dunia ini, setiap lelaki yang pernah tidur denganku, mereka tak akan melupakan untuk selamanya. Apalagi bila sepasang kakiku sudah ikut bergerak, ooooh....jangan ditanya bagaimana nikmatnya kaum pria merasakannya, mungkin mimpipun kau tak pernah membayangkan." Ia mulai tertawa, makin lama tertawanya semakin kalap dan memekikkan telinga. "Tapi aku tahu, kau tak bakal menyukai aku, sebab yang kau sukai bukan aku, kau hanya menyukai seseorang, hidupmu sepanjang masa hanya untuknya......." Ia belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika...... "Plooookk!" Tahu-tahu Cho Tang-lay telah mengayunkan tangannya dan menampar wajahnya keras-keras.
Dengan cepat di atas pipinya yang putih dan cantik itu telah membekas lima buah jalur merah yang membengkak, namun rasa ngeri dan takut yang memancar di wajahnya malah hilang lenyap tak berbekas, sebagai gantinya terselip sikap sinis dan penuh hinaan. Cho Tang-lay segera menelikung tangannya kuat-kuat ke belakang punggung, membuat gadis itu kesakitan dan mengucurkan air mata, kemudian sepatah demi sepatah ia baru berkata: "Kau keliru besar." Dengan pancaran sinar mata penuh rasa penderitaan dan emosi, dia meneruskan: "Sekarang juga aku akan membuat kau mengerti, kesalahanmu itu terlalu besar." ooo)O(ooo Tengah malam sudah lewat. Suasana dalam sebuah gedung kecil itu gelap gulita, tanpa setitik cahaya pun. Tiap-wu berbaring di atas pembaringannya dalam keadaan bugil, di bawah cahaya lentera, sepasang kakinya nampak lebih indah dan merangsang napsu, membuat siapapun akan rela masuk neraka asal dapat menikmati sepasang kakinya itu. Kini, air matanya sudah tidak bercucuran lagi. Bila teringat kembali penghinaan, penderitaan dan kesengsaraan yang pernah dialaminya barusan, maka penghinaan, penderitaan dan kesengsaraan yang pernah dialaminya di masa lampau hanya berupa permainan kanak-kanak belaka. Pada hakekatnya, dia tak bisa membayangkan kalau dalam dunia saat ini masih terdapat seorang manusia yang lebih buas dan kejam daripada seekor binatang. Pintu penghubung di luar halaman telah tertutup rapat, Cho Tang-lay sudah pergi sejak tadi, dan sekarang Tiap-wu lamat-lamat mendengar ada suara pemuda sedang berbincang-bincang. Suara itu amat lirih, tapi lamat-lamat Tiap-wu masih mendengar kalau dia sedang memberitahukan kepada Cho Tang-lay bahwa Suma Cau-kun jatuh sakit secara tiba-tiba, bahkan sakitnya amat parah, sudah beberapa orang tabib diundang datang, tapi hasilnya selalu nihil. Atas nasehat dari para tabib, akhirnya diputuskan Suma Cau-kun perlu untuk beristirahat beberapa saat guna memulihkan kembali kesehatannya sehingga untuk sementara waktu tidak menerima tamu. Cho Tang-lay segera membungkam dalam seribu bahasa setelah mendengar laporan tersebut, sampai lama, lama sekali, dia baru bertanya kepada pemuda itu: "Maksudmu, ia tak dapat menerima tamu" Ataukah semua orang tak dapat dijumpai?" "Agaknya siapa saja tak akan ditemui." "Termasuk aku?" "Mungkin begitu." "Maka hujin sengaja menitahkan kepadamu untuk menyampaikan kabar tersebut untukku, agar aku tidak mengganggu ketenangannya lagi?"
"Hujin cuma bilang, harap segala urusan yang hendak dibicarakan Cho Sianseng ditunda pelaksanaannya, biar Lo-cong Piau-tau sembuh lebih dulu." "Kau telah bertemu dengan tabib-tabib yang diundang hujin?" "Ketiga-tiganya telah kujumpai semua." Kemudian pemuda tersebut menyebutkan ketiga nama tabib itu. Tak salah lagi, mereka adalah tabib-tabib kenamaan dari Tiang-an. "Apa yang mereka katakan?" kembali Cho Tang-lay bertanya, "apakah mereka semua mengatakan Lo-cong sakit parah dan bila keadaan dibiarkan berlarut, maka keselamatan jiwanya sangat berbahaya?" Kemudian setelah termenung lama sekali, dia baru menghela napas sambil melanjutkan: "Padahal beberapa hari ini dia tidak seharusnya jatuh sakit, sakitnya sungguh tidak kebetulan." "Mengapa?" Tampaknya pemuda itupun merupakan orang kepercayaan Cho Tang-lay, itulah sebabnya dia berani mengajukan pertanyaan tersebut. Tiap-wu yang berada dalam ruangan mendadak merasakan tubuhnya mengejang keras, karena dia mendengar Cho Tang-lay kembali mempergunakan cara yang paling keji dan paling buas untuk mengutarakan ucapannya sepatah demi sepatah: "Sebab dua hari kemudian Cu Bong pasti akan datang kemari." ooo)O(ooo Bab-9. Belum Terlambat Fajar baru menyingsing. Dari ujung jalan sana tampak seekor kuda dilarikan cepat-cepat menembusi badai salju menuju ke kota Lok-yang. Penunggangnya mengenakan pakaian berwarna hijau dengan topi yang amat lebar, dia memakai topinya rendah-rendah sehingga separuh bagian wajahnya hampir tertutup. Kepandaian orang ini dalam menunggang kuda amat hebat, tapi begitu memasuki wilayah kota Lok-yang, dia segera melompat turun dari kudanya, seakan-akan bukan saja enggan diketahui wajah aslinya oleh orang lain, diapun tak ingin orang lain mengetahui gerakan tubuhnya yang lincah. Padahal baru pertama kali ini dia datang ke Lok-yang, orang-orang Lok-yang belum ada yang pernah bertemu dengannya. ooo)O(ooo Fajar bulan kedua di kota Tiang-an, sama dinginnya dengan keadaan di Lok-yang, kebanyakan orang masih bersembunyi di balik selimut masing-masing, tapi Cho Tang-lay sudah bangun dari tidurnya.
Biarpun semangat dan kesegarannya amat baik, sayang paras mukanya justru kelihatan amat berat dan serius. Suma Cau-kun sudah beberapa hari jatuh sakit, kondisinya sama sekali belum ada perubahan, tidak heran kalau perasaannya kurang begitu cerah. Beberapa hari terakhir ini dia belum sempat bertemu dengan Suma Cau-kun, saban kali dia hendak pergi menengoknya, selalu dihadang oleh Go Wan. Suasana di ruang dalam penuh dengan bau harumnya obat-obatan, wajah Go Wan nampak lesu dan murung, tapi sikapnya telah kukuh dan tegas, kecuali dia dan tabib yang memeriksa penyakit, semua orang dilarang masuk ke dalam, termasuk Cho Tang-lay sendiri. Padahal baru pertama kali ini dia bersikap kurang sopan terhadap Cho Tang-lay. Menghadapi sikap demikian ini, Cho Tang-lay sama sekali acuh tak acuh, malah dia berkata begini kepada orang lain: "Demi keselamatan suaminya, entah perbuatan apapun yang dilakukan seorang wanita, semua perbuatannya itu pantas untuk dimaafkan." ooo)O(ooo Saat ini fajar baru menyingsing, tapi di dalam kebun sudah ada dua orang tamu yang menunggu Cho Sianseng. Kedua orang tersebut yang satu she Kian yang lain she Sie, mereka adalah tabib kenamaan dari kota Tiang-an. Bila dihari-hari biasa, mereka pasti masih bersembunyi di balik selimut dekat tungku pemanas untuk menghangatkan diri. Tapi pagi ini belum lagi fajar menyingsing, mereka telah diundang datang oleh orang yang diutus Cho Tang-lay, bahkan tidak mempersilahkan mereka masuk ke ruangan yang hangat, melainkan disuruh menanti di luar gardu. Bila bulan ke enam, di luar gardu tentu banyak aneka bunga indah, angin yang semilir tentu akan membuat suasana terasa bertambah segar dan nyaman. Tapi sekarang, angin dingin masih berhembus kencang bagaikan sayatan pisau, biarpun kedua orang tabib itu sudah mengenakan pakaian tebal walaupun tangannya sudah digarang di atas tungku pemanas, toh wajahnya menghijau karena kedinginan, kalau bisa mereka ingin sekali membuka dua resep obat cuci perut untuk Cho Tang-lay. Sudah barang tentu ingatan demikian hanya bisa tersimpan dalam hati dan tak berani diutarakan keluar, apa akibatnya bila melukai Cho sianseng, mungkin setiap keluarga di kota Tiang-an sudah mengetahuinya dengan jelas. Maka dari itu sewaktu Cho Tang-lay muncul di ujung jalan sana, mereka berdua segera mengunjukkan wajah riang dan menjura sambil menyampaikan salam. Sikap Cho Tang-lay terhadap merekapun cukup sungkan.
"Dalam suasana yang begini dingin dan membeku, aku tidak mengundang kalian berdua duduk dalam ruang penghangat, melainkan mempersilahkan kalian berada di sini, tentunya kamu berdua merasa sangat keheranan, bukan?" Dalam hati mereka memang keheranan, namun di mulut tak berani mengutarakannya keluar. "Saat salju hampir berakhir, bunga Bwe justru mencapai saat untuk mekar," ujar Sie Tay-hu cepat, "sudah pasti tuan seorang seniman, jangan-jangan kami sengaja di undang untuk menikmati bunga salju." "Aku memang berniat mengundang kalian berdua untuk melihat semacam benda, tetapi benda tersebut bukan pula salju." Kalau bukan salju lantas apa" "Kulit badan Soat-hujin di pesanggrahan luar kota milik Sie Tayhu lebih putih dari salju, sedangkan nona Hoa yang diajak tidur Kian Tayhu semalam jauh lebih indah daripada bunga Bwe di sini....." kata Cho Tang-lay sambil tersenyum, "kalau maksudku hanya mengundang kalian guna menikmati salju atau bunga Bwe, buat apa mesti mengundang kalian kemari?" Kedua orang tabib kenamaan itu segera merasakan peluh dingin mulai jatuh bercucuran. Istri mereka sendiripun tidak mengetahui akan rahasia ini, darimana Cho Tang-lay dapat mengutarakannya sejelas itu" Bila kau sudah berada di hadapan seseorang yang dapat mengutarakan semua rahasia pribadimu secara gamblang, apalagi yang berani kau katakan" "Harap kalian berdua mengikuti aku." Walaupun senyum Cho Tang-lay tampaknya mengandung maksud-maksud tak beres, terpaksa Sie Tayhu dan Kian Tayhu harus mengikuti juga di belakangnya. Ketika tiba di depan sebuah selokan yang terbuat dari batu putih, Cho Tang-lay segera memrintahkan orang untuk membuka lapisan batu di atasnya, kemudian baru berpaling sambil katanya kepada mereka berdua: "Harap kalian berdua melihat sendiri, benda apakah ini?" Jelas tempat itu adalah selokan dan siapa saja akan mengetahuinya sebagai selokan. Selokan inikah yang akan ditunjukkan Cho Tang-lay kepada mereka dengan mengundang kehadiran mereka sepagi buta ini" Apa indahnya dengan selokan tersebut" Tanpa terasa Sie Tayhu maupun Kian Tayhu menjadi tertegun dan berdiri melongo. Cho Tang-lay berdiri terus di situ sambil mengawasi selokan tersebut dengan termangu seakan-akan tiada benda lain yang lebih indah di dunia ini ketimbang selokan tersebut. Kian Tayhu nampak jauh lebih gelisah dan tak sabaran, tiba-tiba ia menegur: "Tampaknya tempat tersebut tak lebih hanya sebuah selokan." "Tepat sekali! Tampaknya memang tak lebih Cuma sebuah selokan," kata Cho Tang-lay hambar, "karena memang selokan lah yang kulihat, bagaimana mungkin bisa mirip yang lain?" Sekali lagi Sie Tayhu dan Kian Tayhu terbungkam dalam seribu bahasa.
Misteri Tirai Setanggi 2 Panji Wulung Karya Opa Imbauan Pendekar 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama