Pendekar Binal Karya Khu Lung Bagian 8
Suara seorang yang berat parau lantas berjangkit di balik cahaya lampu itu,
"Kawanan bangsat dari mana, berani sembarangan menerobos ke tempat suci kami?"
Menyusul seorang lagi membentak dengan bengis, "Menerobos ke tempat suci yang terlarang, hukumannya mati, buat apa tanya asal-usul mereka"!"
Suara orang terakhir ini diucapkan dengan perlahan-lahan, tapi menimbulkan semacam pengaruh yang membikin jeri orang.
Segera Ui-keh Taysu berseru, "Apakah di situ Sin-sik Totiang adanya?"
Orang tadi hanya mendengus saja.
Lalu Ui-keh Taysu berkata pula, "Apakah Totiang sudah lupa kepada Ui-keh Taysu dari Ngo-tay-san?"
"Di tempat suci ini tidak ada persoalan kenalan lama segala. Ciaat!" jawab suara itu dan begitu suara "ciaat" diucapkan, serentak berpuluh larik sinar pedang menyambar dari balik cahaya lampu sana dan secepat kilat menyerang Ui-keh Taysu, Ong It-jiau dan lain-lain, semuanya mengincar tempat mematikan seperti tenggorokan dan sebagainya.
Siau-hi-ji juga menjadi sasaran serangan, dia tidak berani berkelit walaupun sinar pedang musuh menyambar tiba. Maklumlah, dia tidak berani sembarangan bergerak khawatir digigit ular. Namun pedang musuh tidak kenal ampun dan tetap menyambar ke arahnya. Dalam keadaan kepepet, saking cemasnya ia berbalik menengadah dan bergelak tertawa.
Karena tertawanya itu, kawanan ular yang melingkar di tubuhnya sama menegak leher dan menjulurkan lidah. Ular memenuhi tubuh seorang anak tanggung, bentuknya yang luar biasa ini tentu saja mengagetkan semua orang. Tanpa terasa dua pedang yang menusuk ke arahnya terhenti seketika.
Maka tertampaklah dua bayangan orang, kiranya dua Tojin berjubah ungu dan berjenggot.
Tojin sebelah kiri lantas membentak, "He, kau bocah ini menertawakan apa?"
"Aku mentertawai Go-bi-pay kalian yang sok anggap pihak sendiri paling hebat, tak tahunya kalian hanya kawanan manusia linglung yang tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk," kata Siau-hi-ji. "Coba jawab, seumpama betul kami melanggar tempat suci kalian yang dilarang didatangi orang luar, tapi cara bagaimana kalian mendapat tahu akan kedatangan kami ini?"
Tojin itu mendengus, jawabnya, "Memangnya kau kira Go-bi-san adalah tempat yang boleh didatangi orang sesukanya" Ada orang menyusup ke belakang gunung masakah Go-bi-pay kami tidak tahu?"
"Jika kedatangan kami ini kepergok secara mendadak, maka penjagaan kalian yang ketat ini harus dipuji. Tapi jelas kalian memang sudah siap siaga di sini, memangnya Go-bi-pay kalian mempunyai ilmu nujum yang bisa tahu apa yang bakal terjadi di sini?"
"Soal ini bukan urusanmu," bentak Tojin itu dengan bengis.
"Sudah tentu urusanku," kata Siau-hi-ji. "Soalnya sebelum kedatangan kami tentu ada orang memberi laporan rahasia kepada pihak kalian, betul tidak"
Hm, apakah kalian tidak perlu berpikir mendalam dari mana orang itu mengetahui akan kedatangan kami ini?"
"Betul," teriak Tio Coan-hay dari kejauhan sana, "Semua itu adalah perangkap yang sengaja diatur oleh orang itu agar pihak kalian saling labrak dengan kami ...." Belum habis ucapannya, mendadak ia menjerit, rupanya karena sedikit meleng saja ia telah dilukai oleh orang Go-bi-pay.
"Perangkap apa" Mana ada perangkap apa segala?" ujar si Tojin tadi sambil mengeryitkan kening.
Siau-hi-ji berteriak, "Asalkan kalian berhenti menyerang, segera dapat kubongkar perangkap ini ...."
Tapi seorang lantas berseru, "Jangan percaya ocehannya, setan cilik itu sengaja main ulur waktu belaka."
"Betul, bekuk dia dulu baru bicara lagi nanti!" Tojin tadi pun membentak.
Siau-hi-ji menyadari bila pihak lawan mulai turun tangan, maka jangan harap dirinya dapat lolos. Diam-diam ia menyesal tadi tidak membersihkan kawanan ular itu dengan makanan ular dalam kotak itu, tapi sengaja membiarkan kawanan ular itu untuk menggertak orang segala, kini jadinya bikin susah dirinya sendiri.
Dalam keadaan kepepet, mendadak ia membentak, berbareng ketiga kotak kecil yang dipegangnya itu disambitkan ke arah kedua Tojin di depannya.
Tapi sekali pedang mereka bekerja, kontan ketiga kotak itu terbelah menjadi enam. Obat bius, obat penawar bisa dan makanan ular jatuh berhamburan.
Dengan sendirinya daya serangan pedang kedua Tojin itu rada merandek, tapi dalam sekejap saja mereka lantas menubruk maju pula.
Diam-diam Siau-hi-ji mengeluh dan gegetun, katanya sambil menyeringai, "Di waktu ingin mencelakai orang berbalik lupa akan kemungkinan membikin susah dirinya sendiri ...."
Belum lagi pedang lawan menyambar tiba, sekonyong-konyong terdengar suara mendesing belasan kali, begitu keras dan cepat suara mendesing itu, hanya sekejap saja api lilin yang redup serta cahaya lampu yang terang tadi sama padam seluruhnya.
Selagi Siau-hi-ji terkejut, tiba-tiba sebuah tangan telah memegangi tangannya disertai suara bisikan di telinganya, "Ssst, jangan bersuara, ikutlah padaku!"
Siau-hi-ji merasa tangan itu dingin bagai es, tapi terasa pula licin dan lunak sekali, bahkan suara itu pun lembut tak terperikan dan rasanya sudah sangat dikenalnya. Tanpa terasa timbul semacam rasa hangat dalam hatinya, dengan suara lirih ia pun bertanya, "Kau Thi Sim-lan?"
"Ehm," jawab singkat suara itu dengan lirih.
Sambil ikut berjalan dengan nona itu, tanpa terasa ia menghela napas gegetun dan berkata, "Baru sekarang kutahu kepandaianmu menggunakan Amgi (senjata rahasia) ternyata selihai ini, hanya sekejap saja dapat memadamkan belasan lampu, sungguh jauh lebih mahir daripadaku."
"Yang memadamkan lampu itu bukan diriku," kata Thi Sim-lan.
"Bukan dirimu?" Siau-hi-ji melengak.
Sesudah lampu padam tadi, untuk sejenak suasana menjadi sunyi, tapi segera berjangkit suara bentakan dan jeritan, berpuluh orang saling membentak dalam kegelapan, "He, siapa itu?"
"Siapa lagi yang menerobos kemari?"
"Nyalakan lampu, lekas!"
Dan belum sempat Thi Sim-lan menjawab pertanyaan Siau-hi-ji tadi, tahu-tahu cahaya lampu sudah terang benderang pula, kelihatan para Tosu Go-bi-pay sama mepet dinding sedangkan rombongan Ong It-jiau juga berkumpul di suatu sudut.
Di bawah sinar lampu itu tampak di ruangan situ sudah bertambah pula dua orang, pakaian mereka seputih salju, rambut hitam legam, kulit badan mereka ternyata lebih putih bersih daripada bajunya, biji mata mereka pun lebih hitam daripada rambutnya.
Semula Siau-hi-ji mengira orang yang mampu memadamkan belasan lampu sekaligus dalam sekejap itu tentulah seorang tokoh yang lihai, siapa tahu yang muncul adalah dua gadis jelita yang tampaknya lemah gemulai.
Yang berada di ruangan batu belakang gunung Go-bi saat ini adalah tokoh terkenal di dunia Kangouw, apalagi kawanan Tosu Go-bi-pay, semuanya adalah jago silat pilihan. Tapi kedua gadis berbaju putih ini ternyata sama sekali tidak menaruh perhatian kepada siapa pun, sorot mata mereka tampak angkuh dan acuh tak acuh terhadap orang lain.
Sikap angkuh pembawaan dan tidak dibuat-buat dengan sendirinya mempunyai daya pengaruh tersendiri. Meski cahaya lampu kini sudah terang benderang lagi, suasana di dalam ruangan malah berubah sunyi senyap dan mencekam.
Tiba-tiba Siau-hun Kisu mendengus, "Hm, tempat Go-bi-pay yang terlarang ini ternyata sembarangan diterobos oleh orang perempuan dan anak murid Go-bi-pay hanya tinggal diam saja, sungguh kejadian aneh yang belum pernah terdengar di dunia Kangouw."
Dia bicara sambil melirik Sin-sik Totiang, jelas dia berharap tokoh utama Go-bi-pay itu dapat segera bertindak.
Wajah Sin-sik Totiang tampak prihatin, para anak murid Go-bi-pay sudah mulai berisik mengunjuk gusar.
Tapi kedua gadis jelita itu tetap tenang-tenang saja, yang sebelah kiri berperawakan ramping, raut muka potongan daun sirih, alisnya lentik di antara sikapnya yang dingin itu kelihatan cantik yang sukar dilukiskan.
Sedang gadis sebelah kanan bertubuh kecil, wajah bulat dengan mata yang besar, hidung mancung, tapi pada ujung hidung ada beberapa bintik jerawat, namun begitu jadi menambah keelokannya.
Dalam pada itu mata si gadis wajah bulat terbelalak semakin lebar dan berkata pada kawannya, "Kakak Ho-loh, kau dengar tidak, katanya belakang gunung Go-bi ini seharusnya tidak boleh didatangi kita."
Gadis lain yang dipanggil dengan nama Ho-loh itu mendengus, "Hm, tempat apa pun di dunia ini, kalau kita ingin datang boleh datang, mau pergi boleh pergi, siapa yang dapat merintangi kita dan siapa pula yang berani merintangi kita?"
Sin-sik Totiang tak tahan lagi, segera ia membentak bengis, "Anak perempuan dari manakah kalian, besar amat nada ucapanmu!"
Karena bentakan pemimpinnya, anak murid Go-bi-pay tidak sabar pula, serentak dua larik sinar pedang menggunting ke arah kedua gadis jelita itu.
Tapi melirik saja tidak kedua nona itu, ketika sinar pedang sudah mendekat barulah tangan halus salah seorang itu meraih perlahan terus didorong ke samping. Tiada seorang pun yang tahu persis bagaimana gerak tangan si gadis, tahu-tahu kedua pedang yang menyambar tiba itu ditolak balik sehingga pedang sebelah kiri kena menusuk pundak kanan murid Go-bi-pay dan pedang lain menabas putus secomot rambut Tojin Go-bi-pay yang lain.
Keruan kedua Tosu Go-bi-pay kaget setengah mati, rontok nyali mereka, seketika mereka berdiri mematung dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ong It-jiau, Ui-keh Taysu dan lain-lain juga melengak kaget, begitu pula tak terkecuali Sin-sik Totiang, segera ia melompat maju dan menegur, "Apakah ...
apakah ini gaya 'Ih-hoa-ciap-giok' dari Ih-hoa-kiong?"
"Hm, masih boleh juga pandanganmu," jawab Ho-loh tawar.
Si gadis muka bulat juga lantas menjengek, "Hm, sekarang tentu kau tahu asal usul kami, apakah kau masih anggap nada ucapan kami tadi terlalu besar?"
Dengan wajah pucat Sin-sik Totiang bertanya pula, "Selamanya Go-bi-pay dan Ih-hoa-kiong tiada permusuhan, untuk apakah kedatangan nona?"
"Kami juga tidak ingin apa-apa, hanya minta kau memperlihatkan harta karun tinggalan Yan Lam-thian," kata Ho-loh. "Sungguh kami hanya ingin melihatnya saja."
"Harta karun tinggalan Yan Lam-thian apa?" Sin-sik menegas dengan melengak.
"Ah, pakai berlagak pilon segala," jengek si gadis muka bulat. "Pokoknya harus kau keluarkan, kalau tidak ... Hmk!"
"Go-bi-pay kami sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Yan Lam-thian, cara bagaimana harta karunnya bisa tersimpan di sini?" kata Sin-sik dengan bingung. Mendadak sorot matanya memancar ke sekelilingnya, ia menyeringai, lalu menyambung, "Ya, tahulah aku sekarang, rupanya kedatangan kalian juga ingin mencari harta karun ini?"
Ong It-jiau, Ui-keh Taysu dan lain-lain sama bungkam dan tak berani menanggapi, bahwa orang Ih-hoa-kiong telah muncul pula di dunia Kangouw, apalagi yang dapat mereka ucapkan.
Dengan suara serak Sin-sik Totiang berkata pula, "Semua ini pasti suatu perangkap, kalian dan kami adalah orang-orang yang tertipu, jika kita saling labrak sendiri, inilah yang diharapkan jahanam yang mengatur perangkap keji itu."
Siau-hi-ji sudah mundur ke samping sana, segera ia menanggapi dengan mendengus, "Hm, tadi sudah kukatakan begitu, kau justru tidak percaya, sekarang kau sendiri yang bilang demikian, ini namanya menampar mulutnya sendiri."
Dalam pada itu si gadis bermuka bulat berkata pula, "Jadi maksudmu di sini tiada terdapat harta karun tinggalan Yan Lam-thian?"
"Dengar saja belum pernah," jawab Sin-sik gegetun.
"Enci Ho-loh, kau percaya tidak pada ucapannya?" tanya si muka bulat.
"Selamanya aku tidak percaya kepada omongan orang lain," jawab Ho-loh hambar. "Ucapan siapa pun aku tetap tidak percaya."
"Jika nona tidak percaya, apa boleh buat," ujar Sin-sik Totiang.
"Siapa bilang tidak boleh buat" Kami ingin menggeledah!" jengek si muka bulat.
"Menggeledah?" Sin-sik menegas, air mukanya berubah hebat.
"Benar, geledah!" kata si muka bulat. "Kulihat beberapa peti mati ini adalah tempat penimbunan harta karun yang paling bagus, maka harus kau buka dan perlihatkan kepada kami."
Sungguh tidak kepalang murka para murid Go-bi-pay, juga Sin-sik Totiang, rambut dan jenggotnya seakan-akan berdiri semua. Tapi sebisanya ia tetap bersabar, katanya dengan suara berat, "Isi peti itu adalah jenazah leluhur Go-bi-pay kami turun temurun, siapa pun di dunia ini dilarang membukanya."
"Di sinilah kelihatan belangnya," jengek si gadis muka bulat. "Kalau betul isi peti itu adalah orang mati, lalu apa jeleknya diperlihatkan kepada kami, memangnya hanya dilihat saja akan kehilangan satu kerat tulang belulangnya" Bila keberatan diperlihatkan kepada kami, itu tandanya kau menyembunyikan sesuatu."
"Tidak bisa," akhirnya Sin-sik Totiang membentak dengan murka. "Siapa yang ingin membuka peti, dia harus melangkahi dulu mayat anak murid Go-bi-pay."
"Untuk itu makan waktu, kami tak sabar menunggu," ucap si gadis muka bulat.
"Ih-hoa-kiong terlalu menghina orang, biarlah Go-bi-pay mengadu jiwa dengan kalian!" bentak Sin-sik Totiang mendadak, berbareng pedang lantas dilolos, sekali sinar pedang berkelebat, kontan menusuk tenggorokan nona itu. Serangan dalam keadaan murka, dengan sendirinya luar biasa lihainya.
Betapa pun kedua gadis berbaju putih itu belum cukup sempurna kepandaian mereka, melihat serangan yang sangat lihai ini mereka tidak berani menggunakan gaya "Ih-hoa-ciap-giok" untuk menangkisnya. Cepat mereka menggeser langkah dan berkelit ke samping.
Dalam pada itu berpuluh pedang anak murid Go-bi-pay juga sudah bergerak, biarpun kedua nona itu memiliki kepandaian bagus juga sukar melayani pedang yang mengamuk itu.
Mendadak Thi Sim-lan melepaskan pegangan tangan Siau-hi-ji, katanya,
"Kau tunggu di sini dan jangan bergerak, aku akan ...."
"Kau mau apa?" Siau-hi-ji terbelalak.
"Waktu aku kesasar di pegunungan sunyi, mereka yang menolong aku, ketika kau terancam bahaya juga berkat pertolongan mereka," tutur Thi Sim-lan.
"Sekarang mereka mengalami kesulitan, mana boleh kutinggal diam tanpa memberi bantuan?"
"Biarpun mengalami kesulitan, masakah orang Ih-hoa-kiong memerlukan bantuan orang luar?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Betul ucapanmu!" tiba-tiba seorang menyambung perkataan Siau-hi-ji itu.
Suaranya nyaring bening dan singkat, baru saja suara itu terdengar, tahu-tahu sesosok bayangan sudah melayang lewat di samping Siau-hi-ji.
Padahal keadaan terang benderang, namun Siau-hi-ji tidak dapat melihat jelas orang itu lelaki atau perempuan dan bagaimana bentuknya. Padahal mata Siau-hi-ji sangat awas, tapi kini warna baju orang pun tak terlihat jelas.
Sungguh selama hidupnya belum pernah melihat gerakan secepat itu, lebih-lebih tak pernah terpikir di dunia ini ada orang secepat dan segesit itu.
Dalam sekejap saja terdengar suara mendering beradunya pedang, lalu berpuluh pedang sama jatuh ke lantai. Orang lain sama sekali tidak tahu cara bagaimana pedang sebanyak itu terlepas dari pegangan yang empunya, hanya anak murid Go-bi-pay sendiri yang tahu bagaimana terjadinya, mereka merasa sekonyong-konyong suatu arus tenaga mahabesar membetot pedangnya untuk dibenturkan kepada kawannya, karena tenaga benturan yang kuat luar biasa itu, tangan mereka terasa linu dan pedang terlepas dari cekalan. Semuanya menjerit kaget sambil memegangi pergelangan tangan masing-masing, pikiran mereka pun sama bingung karena tidak tahu persis bagaimana bisa terjadi begitu.
Pedang Sin-sik Totiang sendiri tidak sampai terlepas, tapi ia pun kaget dan cepat melompat mundur, ia coba mengawasi sekelilingnya, kecuali kedua nona baju putih tadi, mana ada bayangan orang lain" Namun di bawah cahaya lampu yang terang, berpuluh pedang jelas berserakan di lantai.
Sin-sik Totiang menengadah dan menghela napas panjang, serunya penuh penyesalan, "Sudahlah!" Mendadak pedang terus menggorok leher sendiri.
Rupanya ia menjadi putus asa, Go-bi-pay yang termasyhur dan malang melintang di dunia Kangouw kini ternyata tidak mampu melawan ilmu silat seorang yang tak dikenal, jelas runtuhlah nama baik Go-bi-pay, untuk itu ia merasa hanya dapat menembusnya dengan kematian selaku seorang pimpinan.
Tak terduga pada detik yang menentukan itulah, sebuah tangan tiba-tiba terulur dari belakangnya dan perlahan menarik tangannya, sedang tangan yang lain lantas merampas pedangnya. Padahal pedang Sin-sik Totiang ini boleh dikatakan sehidup semati dengan dia dan entah sudah mengalami betapa banyak pertempuran besar, pedang itu belum pernah berpisah dengan dia. Tapi entah mengapa kini pedang dapat dirampas orang dengan mudah saja.
Keruan Sin-sik Totiang terkejut dan gusar pula. Tertampak seorang pemuda baju putih melangkah keluar dari belakangnya, kedua tangan mendukung pedang rampasan dan memberi hormat dengan tersenyum, katanya, "Harap Totiang suka memaafkan kelancanganku, apabila para Totiang kalian tidak mulai menyerang kaum wanita, betapa pun Tecu tidak berani sembarangan turun tangan."
Di bawah cahaya lampu tertampak dengan jelas pemuda ini paling-paling baru berumur 14-15 tahun, tapi ilmu silatnya, gayanya, sama sekali tak pernah terbayang oleh tokoh-tokoh persilatan yang hadir ini. Baju putih yang dipakai juga kain yang sederhana, tapi sikapnya yang agung berwibawa itu sungguh sukar dibandingi oleh pemuda lain atau pangeran sekalipun.
Sebegitu jauh anak itu baru bicara beberapa patah kata saja, tapi gayanya, santunnya, sampai Swat-hoa-to Liu Giok-ju yang sudah banyak berpengalaman juga terpesona dan mabuk kepayang. Seketika suasana menjadi sunyi, semua orang terkesima.
Sin-sik Totiang seolah-olah terpengaruh juga oleh gaya memikat anak muda itu sehingga mau tak mau harus bersikap ramah pula walaupun dia sangat murka. Dengan membalas hormat ia menjawab, "Apakah saudara ini datang dari Ih-hoa-kiong?"
"Benar, tecu Hoa Bu-koat, datang dari Ih-hoa-kiong," jawab pemuda baju putih. "Orang Ih-hoa-kiong sudah lama tak berkecimpung di dunia Kangouw sehingga sudah lupa pada adat istiadat, apabila ada sesuatu kesalahan, diharap para sahabat sudi memaafkan."
Cara bicaranya sedemikian sopan, begitu rendah hati, sikapnya itu mirip seorang majikan yang pada dasarnya memang ramah tamah sedang bicara kepada kaum hambanya, meski sikap pihak majikan begitu memang pembawaan, tapi bagi kaum hambanya terasa tidak tenteram di hati.
Walaupun wajahnya senantiasa tersenyum simpul dan bersikap ramah, tapi orang lain tetap mengagungkan dia.
Padahal Sin-sik Totiang, Ui-keh Taysu, Ong It-jiau, Khu Jing-po dan lain-lain hampir semuanya adalah tokoh dari suatu aliran tersendiri, kedudukan cukup terhormat, tapi entah mengapa di hadapan anak muda ini terasa serba salah dan kikuk, ingin bicara, tapi sukar keluar dari mulut.
Dengan suara nyaring Ho-loh lantas berseru, "Nah, Kongcu kami sudah datang, sekarang peti mati ini boleh dibuka tidak?"
Air muka Sin-sik Toating berubah pula. Tapi sebelum menjawab, tiba-tiba si anak muda yang bernama Hoa Bu-koat itu menyela, "Kukira tentang harta karun ini pasti omong kosong belaka, Cayhe berharap hadirin jangan mau tertipu oleh muslihat keji orang jahat, marilah kita berkawan saja daripada menjadi lawan, urusan ini mulai sekarang jangan kita ungkit-ungkit lagi."
"Omitohud! Pikiran Kongcu yang mulia sungguh harus dipuji," ucap Ui-keh Taysu.
"Benar," seru Ong It-jiau, "bila ada yang ingin saling labrak lagi sehingga dijadikan buah tertawaan jahanam yang mengatur tipu muslihat ini, maka dia itu pasti orang tolol."
Serentak Khu Jing-po, Pang Thian-ih dan lain-lain juga menyatakan setuju dan ingin mohon diri.
Sin-sik Totiang memberi hormat kepada Hoa Bu-koat dan mengucapkan terima kasih.
Suasana pertempuran yang tadinya tegang itu hanya berdasarkan beberapa patah-kata Bu-koat Kongcu tadi segera berubah menjadi aman tenteram dan damai.
Kerlingan genit Liu Giok-ju sejak tadi terus melengket pada diri Hoa Bu-koat, Thi Sim-lan juga memandangi anak muda itu dan tanpa terasa tersembul juga senyuman kagum.
"Hmk!" mendadak Siau-hi-ji mendengus, lalu berlari keluar lorong bawah tanah itu.
Thi Sim-lan melenggong, setelah ragu-ragu sejenak, akhirnya ia pun ikut berlari keluar.
Sementara itu terdengar Tio Coan-hay sedang berseru, "Giok-tayhiap, Giok-locianpwe ...."
Ho-loh juga berseru, "He, nona itu, mengapa engkau juga pergi?"
Sin-sik Totiang memanggil juga, "Eh, Siausicu itu, tadi banyak menerima petunjukmu, sudilah engkau mampir ke tempat kami."
Pada hakikatnya Siau-hi-ji tidak pedulikan seruan mereka, tanpa menoleh langsung ia lari keluar gua. Di luar gua masih ada kabut tipis, tapi rembulan sedang memancarkan cahayanya yang indah.
Siau-hi-ji hanya memandang ke depan saja dan berjalan terus tanpa berhenti diikuti Thi Sim-lan. Kira-kira seminuman teh, akhirnya anak muda itu menemukan sepotong batu besar dan duduklah dia di situ.
Thi Sim-lan menghela napas panjang, katanya, "Urusan harta karun ternyata berakhir begini, sungguh tak pernah terpikir olehku."
"Memangnya apa yang pernah kau pikir?" tanya Siau-hi-ji dengan ketus.
Thi Sim-lan melengak, ia menunduk, katanya pula dengan perasaan sedih,
"Aku banyak mengalami siksa derita lantaran peta harta karun yang ternyata tidak bernilai sepeser pun, bahkan jiwaku hampir melayang. Kalau kupikir sekarang sungguh sangat penasaran."
"Adalah pantas penderitaanmu itu," kata Siau-hi-ji.
Dengan menggigit bibir dan menunduk Sim-lan berkata, "Kutahu engkau pasti banyak mengalami kesusahan di Buyung-san-ceng itu, makanya engkau meninggalkan diriku begitu saja, aku tidak menyalahkanmu, cuma engkau ...."
"Cuma apa" Umpama kau menyalahkan aku, lalu mau apa?" kata Siau-hi-ji dengan ketus.
Mendadak Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, "Meng ... mengapa kau bicara demikian?"
"Cara kubicara memang begini, jika tidak suka janganlah kau mendengarkan.
Hm, cara bicara orang lain lebih enak didengar, boleh kau mendengarkan ocehannya saja."
Mata si nona menjadi merah dan berkaca-kaca, setelah terdiam sejenak, kemudian ia memaksakan tertawa dan bertanya, "Bilakah engkau datang ke Go-bi-san sini?"
"Hmk!" dengus Siau-hi-ji.
"Mengapa tubuhmu terdapat ular sebanyak ini?" tanya Sim-lan dengan suara lembut.
"Hmk!" kembali Siau-hi-ji menjengek.
Thi Sim-lan menjadi dongkol, ia membanting kaki dan duduk di atas batu itu.
Maka kedua orang kini duduk menempel punggung dan sama-sama tidak bicara.
Entah berapa lamanya, akhirnya Siau-hi-ji tidak tahan, tiba-tiba ia mengomel,
"Huh, lagaknya bocah itu!"
Tapi Thi Sim-lan seperti tidak mendengar sama sekali dan tidak menanggapinya.
Siau-hi-ji menjadi kikuk, akhirnya tidak tahan pula, ia senggol si nona dengan punggungnya dan berseru, "He, orang tuli, kau dengar tidak perkataanku?"
"Hmk!" Thi Sim-lan mendengus menirukan suara Siau-hi-ji, "Orang tuli mana bisa mendengar perkataan orang."
Siau-hi-ji melenggong, tapi segera ia berseru, "Tapi ... tapi bukankah kau sudah mendengar" Kalau tidak mendengar, kenapa kau dapat menjawab"
Kau ... kau ...." bicara ke sana ke sini, akhirnya ia sendiri menjadi geli dan bergelak tertawa.
Diam-diam Thi Sim-lan memang sedang tertawa geli, kini tanpa terasa ia pun terkikik-kikik.
Di tengah suara tertawa mereka, tanpa terasa kedua muda-mudi itu telah duduk berjajar, entah Thi Sim-lan yang menggeser kemari lebih dulu atau Siau-hi-ji yang menggeser duluan.
Sesudah sama-sama tertawa sejenak, mendadak Siau-hi-ji berkata, "Hm, bocah itu benar-benar banyak lagaknya!"
"Sebenarnya juga bukannya dia berlagak, tapi orang lain yang menjunjung tinggi lagaknya," ujar Thi Sim-lan dengan lembut.
"Hm, jangan kau mengira dia tidak berlagak, sikapnya itu hanya bikinan belaka agar orang memuji dia sopan santun, padahal .... Hm, kentut anjing!"
jengek Siau-hi-ji pula. "Maklumlah, Ih-hoa-kiong boleh dikatakan tempat suci yang diagungkan dunia persilatan sekarang, sebagai satu-satunya ahli waris Ih-hoa-kiong, adalah pantas juga jika dia sok berlagak," ujar Sim-lan dengan tertawa.
"Hmk... Hmk-hmk ... hmk-hmk-hmk," demikian berulang-ulang Siau-hi-ji mendengus.
Thi Sim-lan tertawa geli, perlahan ia meraba tangan anak muda itu, tapi cepat dia tarik kembali tangannya demi nampak ular yang melilit di pergelangan tangan Siau-hi-ji. Katanya kemudian dengan tertawa, "Eh, apakah kau tahu bahwa alis matanya sungguh sangat mirip dirimu, pada hakikatnya dia serupa denganmu, orang yang tidak kenal tentu mengira kalian adalah saudara sekandung."
"Jika aku pun berbentuk banci seperti dia, rasanya lebih baik kumati saja,"
kata Siau-hi-ji. Thi Sim-lan hanya meliriknya dengan mengulum senyum dan tidak menanggapi lagi.
Tiba-tiba Siau-hi-ji mendengus pula, "Anehnya, manusia yang suka berlagak dan bicara seperti banci justru ada orang menyukainya."
"O ... siapakah yang menyukai dia?" tanya Sim-lan.
"Kau!" jawab Siau-hi-ji.
"Aku?" Sim-lan melengak, akhirnya ia tertawa geli, "Kau bilang aku menyukai dia" Hah, gila!"
"Jika kau tidak menyukai dia, mengapa kau memandang dia hingga terkesima" Dan bila kau tidak suka padanya, mengapa dalam segala hal kau suka bicara membelanya?"
Muka Thi Sim-lan menjadi merah saking gemasnya, katanya kemudian dengan gregetan, "Baik, anggaplah aku menyukai dia. Ya, aku menyukai dia setengah mati. Toh kau bukan sanak kadangku, kau tidak perlu urus."
Mendadak ia membanting kaki dan duduk membalik tubuh pula.
Siau-hi-ji sengaja memberosot duduk di tanah sambil mengomel, "Hm, lagaknya seperti kakek kecil, manusia demikian paling menjemukan."
Tanpa menoleh Thi Sim-lan menanggapi, "Tadi kau bilang dia seperti banci, mengapa sekarang kau katakan dia seperti kakek-kakek."
"Kumaksudkan dia seperti ... seperti nenek cilik," jawab Siau-hi-ji dengan mengada-ada.
Mendadak Thi Sim-lan mengikik tawa.
Siau-hi-ji mendelik, semprotnya, "Apa yang kau tertawai?"
"Hihi," Sim-lan mengikik pula, lalu menjawab dengan sekata demi sekata,
"Tahulah aku sekarang, kiranya kau cemburu!"
"Aku cemburu?" Siau-hi-ji melonjak bangun. "Hm, mustahil!" Mendadak ia duduk dan bergumam dengan gegetun, "Ya, rasanya sekarang aku memang rada-rada cemburu."
Sambil tertawa menggiurkan Thi Sim-lan menjatuhkan diri ke pangkuan anak muda itu. Tapi segera ia melompat bangun pula dan berseru dengan suara terputus-putus, "He, ular ... ular-ular ini mengapa tidak kau enyahkan saja."
"Jika kudapat mengenyahkan mereka, maka bahagialah aku!" ucap Siau-hi-ji dengan bersungut.
"Kau ... kau tidak sanggup mengenyahkan mereka?" kaget juga Thi Sim-lan.
Siau-hi-ji menghela napas, jawabnya, "Setelah Pek-coa-sin-kun mati, kini mungkin tiada yang sanggup mengenyahkan mereka, siapa saja bila ingin menyentuh mereka, maka akulah yang akan dipagut paling dulu."
"Wah, lantas bagaimana ... bagaimana baiknya" Memangnya selamanya kau akan membawa serta mereka?"
Dengan murung Siau-hi-ji termangu-mangu, sejenak kemudian tiba-tiba ia berseru dengan lagak jenaka, "Begini juga ada baiknya, tubuhku penuh ular, tentu tiada anak perempuan yang berani mendekati aku."
"Orang bicara dengan sungguh, kau justru sengaja bercanda," omel Thi Sim-lan dengan mendongkol sambil berpaling pula ke arah lain. Tapi segera ia menoleh dan berkata dengan tertawa, "He, aku ada akal."
"Bagus, bagaimana akalmu?" tanya Siau-hi-ji dengan girang.
"Ular-ular ini jangan kau beri makan, bila mereka mati kelaparan, dengan sendirinya mereka akan rontok semuanya."
Siau-hi-ji seperti lagi berpikir, jawabnya sambil manggut-manggut, "Benar, benar, akalmu ini sungguh amat bagus!"
"Terima kasih," ucap Thi Sim-lan dengan tertawa manis.
"Tapi kau melupakan sesuatu," tiba-tiba Siau-hi-ji menambahkan pula.
"Sesuatu apa?" "Ular-ular ini meski gundul, tapi mereka bukan Hwesio."
"Artinya?" Thi Sim-lan melengak bingung.
"Kalau bukan Hwesio, tentu tidak pantang makan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.
Thi Sim-lan melenggong bingung, mendadak ia melonjak bangun dan berseru, "He, maksudmu jika ... jika mereka lapar, maka dagingmu dan darahmu juga akan dimakannya?"
"Hah, kau ternyata anak jenius, baru sekarang kutahu," ucap Siau-hi-ji dengan tak acuh.
"Wah, lantas bagaimana ini?" Thi Sim-lan menjadi gelisah dan hampir menangis. "Kukira harus ... harus ...."
"Harus" apa ternyata sukar diucapkannya, saking kelabakan ia hanya berputar-putar saja di situ.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang berkata, "Mengapa budak itu bisa menghilang mendadak, sungguh aneh."
Lalu seorang lagi menanggapi dengan nada dingin, "Hari ini dia kabur, besok juga kita akan membekuk dia."
Begitu mendengar suara kedua orang itu, seketika air muka Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan berubah hebat.
"Siau-sian-li!" seru Sim-lan dengan saura tertahan.
"Dan Buyung Kiu!" sambung Siau-hi-ji.
"Mari lekas ... lekas kita lari!"
Akan tetapi baru sekarang mereka tahu bahwa jalan yang mereka tempuh ini adalah jalan buntu, tiga sisinya dinding tebing menjulang tinggi, jalan satu-satunya adalah arah yang dilalui Siau-sian-li itu.
Tangan dan kaki Thi Sim-lan menjadi dingin, katanya, "Wah, ini ... ini ...."
"Sembunyi dulu!" seru Siau-hi-ji. Dan baru saja mereka sempat sembunyi, sementara itu Siau-sian-li dan Buyung Kiu sudah muncul.
"Aneh juga Go-bi-san ini, gunung seluas ini ternyata tiada tempat berteduh yang layak, hanya di sini mending dapat digunakan istirahat, marilah kita mengaso sejenak daripada mencari kian kemari," demikian terdengar Siausian-li mengomel. Lalu dia mendahului duduk di atas batu, yaitu tempat yang diduduki Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan tadi.
Diam-diam Siau-hi-ji dan Thi Sim-lan mengeluh, kalau kedua nona itu tetap berada di situ, sukar diketahui sampai kapan baru mereka bisa lolos dengan selamat.
Entah sudah lewat berapa lama, tiba-tiba Siau-sian-li bersuara pula, "Kau kedinginan tidak?"
"Huh, seperti putri pingitan, begini saja kedinginan," jengek Buyung Kiu.
"Sekalipun di tanah bersalju juga aku takkan mengeluh kedinginan."
Siau-sian-li mengangkat pundak dan tidak menanggapi, lalu memejamkan mata untuk istirahat.
Diam-diam Siau-hi-ji mencibir dan membatin, "Sudah tentu kau tidak takut dingin, dengan telanjang bulat saja kau sanggup tiduran di atas balok es, memangnya siapa ingin berlatih ilmu setan seperti kau?"
Selang sejenak pula, tiba-tiba Siau-sian-li berdiri dan berkata, "Kau tidak takut dingin, kau memang hebat, tapi aku tidak tahan."
"Tidak tahan juga harus bertahan," ucap Buyung Kiu.
"O, nona Kiu, Cici yang baik, marilah kita mencari kayu bakar untuk membuat api unggun!" Siau-sian-li memohon dengan tertawa.
Akhirnya Buyung Kiu berbangkit juga dengan kemalas-malasan. Kedua nona melihat ke sana dan ke sini, akhirnya mereka menuju ke tempat sembunyi Thi Sim-lan dan Siau-hi-ji.
Keruan anak muda itu kebat-kebit, pikirnya, "Sialan, mengapa kupilih tempat sembunyi yang terdapat ranting kayu bakar dan rumput kering ini, sungguh sial."
Maklumlah, mereka sembunyi di balik semak-semak yang banyak terdapat daun dan rumput kering serta akar-akar kering yang paling bagus untuk api unggun. Tentu saja Thi Sim-lan terlebih cemas, tangan sampai berkeringat dingin dan tubuh pun rada gemetar. Sementara itu Siau-sian-li dan Buyung Kiu sudah mendekat, karena gemetarnya Thi Sim-lan sehingga akar dan rumput kering ikut bergetar dan menerbitkan suara kresak-kresek.
Cepat Siau-sian-li menghentikan langkahnya dan berkata, "He, dengarkan, suara apakah itu?"
"Jangan khawatir, memangnya ada setan?" ujar Buyung Kiu.
Tiba-tiba timbul akal Siau-hi-ji, cepat ia melepaskan ikat rambut sendiri sehingga semrawut, diam-diam ia tertawa geli sendiri, entah apa yang ditertawai. Keruan hampir meledak perut Thi Sim-lan saking dongkolnya, dalam keadaan demikian anak muda itu masih sempat tertawa.
Sementara itu Siau-sian-li berjalan ke depan sambil mengomel, "Andaikan tiada setan, mendadak keluar ular juga bisa celaka!"
"Ada aku, apa pun tidak perlu takut," belum habis ucapan Buyung Kiu, sekonyong-konyong dari tempat gelap melompat keluar suatu makhluk aneh.
Siau-sian-li melonjak kaget, keringat dingin seketika membasahi tubuhnya.
Tapi Buyung Kiu lantas membentak, "Siapa itu yang main gila di situ?"
Segera makhluk aneh menjerit, "Buyung Kiu, wahai Buyung Kiu, betapa keji kau bikin celaka diriku, aku mati kelelap menjadi setan rendaman ... Buyung Kiu, ayo bayar jiwaku, Buyung Kiu!"
Di bawah cahaya rembulan Buyung Kiu dapat melihat jelas "makhluk aneh"
ini sudah dikenalnya, siapa lagi kalau bukan Siau-hi-ji" Anak muda yang sudah binasa terkurung di gudang es bawah tanah itu.
Betapa besar nyali Buyung Kiu juga tidak tahan, ia menuding Siau-hi-ji sambil berkata dengan suara gemetar, "Kau ... kau ...." belum lanjut ucapannya, tanpa ampun ia jatuh pingsan.
Walaupun tidak tahu seluk-beluk terkurungnya Siau-hi-ji di gudang es oleh Buyung Kiu itu, tapi melihat tubuh Siau-hi-ji penuh ular dan Buyung Kiu semaput saking ketakutan, mau tak mau Siau-sian-li pun ngeri, ia menjerit satu kali, lalu putar tubuh dan lari tanpa menoleh lagi.
Hanya sekejap saja bayangan Siau-sian-li sudah menghilang, bukan lantaran nyalinya kecil, soalnya kejadian ini teramat luar biasa dan sukar dipercaya, siapa pun pasti akan pecah nyalinya.
Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "O, ularku sayang, selanjutnya tak peduli akan membikin celaka diriku atau tidak, yang jelas aku harus berterima kasih padamu. Sedikitnya sudah dua kali kalian telah menyelamatkan jiwaku."
Yang paling bingung dengan sendirinya Thi Sim-lan, seperti orang linglung ia keluar dari tempat sembunyinya, ia pandang Siau-hi-ji dengan terbelalak heran, akhirnya ia tanya, "Apa yang terjadi?"
"Apa yang terjadi, kau sendiri kan sudah menyaksikan," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Tapi ... tapi bilakah engkau dicelakai Buyung Kiu" Katanya kau mati kelelap dan menjadi setan rendaman segala, sungguh aku ... aku tidak mengerti."
"Anak perempuan memang lebih baik tidak mengerti, semakin banyak mengerti, semakin banyak pula kesukaranmu, cukup asalkan kau tahu aku masih mempunyai satu-dua jurus simpanan saja."
Thi Sim-lan termenung sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, "Kau memang mempunyai kepandaian simpanan, Buyung Kiu ternyata dapat kau gertak hingga kelengar, Siau-sian-li kena ditakuti olehmu hingga lari terbirit-birit. Kejadian ini kalau diceritakan kepada orang lain, mustahil orang mau percaya."
Siau-hi-ji memandang Buyung Kiu yang menggeletak tak sadarkan diri itu, katanya kemudian, "Menurut pendapatmu, cara bagaimana harus kukerjai dia?"
Thi Sim-lan berpikir sejenak, lalu menjawab, "Biarkan dia terbaring pingsan di sini, kita tinggal pergi saja." Tapi setelah melihat air muka Siau-hi-ji tiada tanda-tanda setuju, segera ia menyambung pula, "Atau ... atau kau ringkus dia dengan rotan, bila dia siuman, pukul dia beberapa kali untuk melampiaskan dendammu."
"Hm, kebijaksanaan perempuan, pikiran perempuan," jengek Siau-hi-ji.
"Memangnya hukuman sekeras ini belum cukup?"
"Sudah tentu tidak cukup."
"Masakah akan ... akan kau bunuh dia?"
"Jika tidak kubunuh dia, memangnya harus kutunggu dia yang membunuh aku?"
"Tapi kalau engkau membunuhnya sekarang, bukankah kurang gemilang?"
"Gemilang" Hm, waktu dia hendak membunuh aku juga tak pernah terpikir olehnya cara gemilang segala," jengek Siau-hi-ji.
"Tapi ... tapi apa pun dia adalah perempuan!"
"Memangnya kalau perempuan bukan manusia" Perempuan harus diberi hak istimewa?"
Thi Sim-lan membanting-banting kaki dan berkata, "Sungguh tak kuduga engkau sedemikian ... sedemikian kejam. Aku ... aku ...."
"Kalau kau tidak ingin menyaksikannya, silakan menyingkir pergi," kata Siauhi-ji.
Dengan mendongkol Thi Sim-lan membanting kaki pula, lalu berlari pergi.
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya lagi, ia melototi Buyung Kiu dan bergumam,
"Kau perempuan yang berhati keji ini, kalau tidak kubunuhmu berarti aku berdosa kepada diriku sendiri."
Setelah merandek sejenak, lalu ia menjengek pula, "Hm, kebetulan dapat kugunakan ular berbisa, ingin kulihat ular berbisa lebih jahat atau dirimu yang lebih beracun."
Habis itu ia lantas pegang tangan Buyung Kiu dan disodorkan kepada ular yang melilit di lengannya.
Saat itu rembulan sedang memancarkan sinarnya yang terang, wajah Buyung Kiu tertampak jelas, raut mukanya yang kekurus-kurusan potongan daun sirih tampak sangat pucat, bulu matanya yang panjang melengkung, kelopak matanya yang terpejam, walaupun dalam keadaan pingsan, tapi kelihatan sangat mempesona dan menimbulkan rasa kasihan.
Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangannya juga sangat halus dan lemas, tangan sebagus ini hendak disodorkan agar dipagut ular, siapa pula yang berhati setega itu"
Tangan Siau-hi-ji terasa sangat lemas, tapi bila teringat nona itu pernah mengurungnya di kamar batu hingga dirinya hampir mati kelaparan dan kedinginan, tanpa terasa api amarahnya berkobar pula. Segera ia menjengek,
"Hm, apa pun juga kau tak dapat menyesali diriku, kalau kau tidak bermaksud membunuhku, tentu aku pun takkan membunuhmu ...."
Tiba-tiba seorang menanggapinya dengan suara kalem, "Membunuh seorang anak perempuan dengan cara begitu, apakah tidak mengurangi nilai dirimu sebagai seorang lelaki?"
Siau-hi-ji melonjak kaget dan membentak, "Siapa itu?"
Baru saja ia bersuara, tahu-tahu di depannya sudah bertambah satu orang, yaitu Bu-koat Kongcu yang sopan santun itu, di belakangnya berdiri pula tiga orang, yang dua berpakaian putih mulus, seorang lagi adalah Thi Sim-lan.
Ketiga nona itu sedang memandang Siau-hi-ji dengan melotot seakan-akan ingin menelannya bulat-bulat.
Dalam hati Siau-hi-ji entah betapa rasa gusarnya, tapi lahirnya dia tetap tertawa saja, ia masih memegangi tangan Buyung Kiu dan berkata dengan tersenyum, "Maksudmu aku tidak boleh membunuhnya?"
Dengan suara ramah Hoa Bu-koat menjawab, "Seorang lelaki adalah layak rada ramah-tamah terhadap anak perempuan, seumpama dia pernah berbuat sesuatu yang tidak baik padamu juga kau harus mengalah mengingat dia adalah perempuan."
"Hahaha, sungguh Hoa-kongcu yang berbudi halus dan pintar menyelami perasaan orang," seru Siau-hi-ji sambil terbahak-bahak. "Di dunia ini terdapat lelaki seperti engkau, sungguh bahagialah kaum wanita. Seharusnya perempuan di seluruh dunia ini harus bersatu dan memberikan medali emas kepadamu."
"Ah, masakah begitu?" sahut Hoa Bu-koat dengan tersenyum.
Tapi Siau-hi-ji lantas menambahkan pula, "Dan kalau kau hendak dibunuh orang perempuan, lalu bagaimana sikapmu, apakah kau akan memejamkan mata membiarkan dirimu terbunuh" Masakah kau tidak melawannya sama sekali?"
"Jika aku berbuat sesuatu yang salah padanya, andaikan dibunuhnya juga aku tidak menyesal," jawab Hoa Bu-koat dengan kalem.
"Tapi bila si perempuan yang berbuat sesuatu kesalahan padamu, kau membunuhnya tidak?"
"Betapa pun lelaki harus mengalah sedikit kepada orang perempuan."
"Hah, jalan pikiranmu ini entah kau belajar dari mana" Kalau menurut dirimu, jadi semua lelaki di dunia pantas mampus, semuanya harus terjun ke laut."
"Juga tidak perlu begitu," ucap Hoa Bu-koat dengan tertawa.
Siau-hi-ji melotot dongkol, ia menjadi bingung apakah Hoa Bu-koat ini orang pintar atau bodoh atau pura-pura bodoh.
Dengan tersenyum simpul Hoa Bu-koat memandang Siau-hi-ji, tidak mengunjuk gusar dan juga tidak cemas, kalau saja dia memang lemah lembut begitu tentu sejak tadi Siau-hi-ji sudah ayun tangan mengamparnya.
Celakanya Siau-hi-ji tidak berani bertindak demikian, soalnya ilmu silat Hoa Bu-koat benar-benar teramat tinggi baginya.
Terpaksa Siau-hi-ji hanya menghela napas dan berkata pula, "Jadi maksudmu supaya aku membebaskan dia?"
"Ya, jika saudara membebaskan dia baru sesuai dengan perbuatan seorang ksatria sejati," ucap Hoa Bu-koat.
"Sekarang kubebaskan dia, kalau kelak dia membunuh diriku, lalu bagaimana?"
"Urusan yang belum terjadi kan sukar diramal oleh siapa pun, betul tidak?"
"Baik, kalau kubunuh dia berarti bukan perbuatan seorang lelaki atau ksatria sejati, sebaliknya kalau dia hendak membunuhku adalah tindakan yang jamak, perbuatan yang adil, jika kuterbunuh juga pantas, begitu bukan?"
"Bukan begitulah maksudku," jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum, "hanya saja ...."
"Aku tidak pedulikan apa maksudmu, yang jelas sekarang aku tidak mampu menandingimu, andaikan kau kentut juga harus kudengarkan. Tapi bila kelak kau tak dapat menandingi aku, di hadapanmu nanti akan sengaja kubunuh beberapa perempuan." Habis itu Siau-hi-ji lantas mencampakkan tangan Buyung Kiu dan menambahkan pula, "Nah, anggaplah kau lebih lihai, bawalah dia pergi!"
Hoa Bu-koat juga tidak gusar oleh ejekan itu, dia tetap tersenyum dan berkata, "Terima kasihlah kalau begitu."
Dalam pada itu si nona muka bulat berbaju putih tadi lantas memburu maju dan memondong Buyung Kiu. Jengeknya dengan melotot kepada Siau-hi-ji,
"Kalau saja Kongcu tidak hadir di sini, tentu sejak tadi sudah kubunuhmu agar kau tahu lihainya kaum perempuan."
"Hm, silakan saja sesukamu," dengus Siau-hi-ji, "Mau membunuh atau ingin memaki boleh silakan saja sebab kau adalah perempuan dan perempuan memang dilahirkan untuk memaki lelaki. Betul tidak, Hoa-kongcu?"
Hoa Bu-koat tertawa, jawabnya, "Lelaki yang dimaki perempuan terhitung orang yang bahagia. Ada sementara lelaki, jangankan didekati anak perempuan, memakinya saja si perempuan tidak sudi."
"Hahaha, jika begitu, jadi aku ini sungguh berbahagia, kelak aku pun perlu mencari beberapa orang perempuan untuk membikin bahagia padamu."
"Jika betul, kelak Cayhe akan pasang telinga dan mendengarkan dengan hormat," ujar Hoa Bu-koat dengan tersenyum.
Mata Siau-hi-ji jadi mendelik, hampir saja dadanya meledak saking dongkolnya.
Maklumlah, kedua anak muda ini sejak kecil hidup di dunianya sendiri-sendiri.
Yang satu dibesarkan di Ih-hoa-kiong, suatu tempat yang tiada terdapat orang lelaki, seluruh penghuni Ih-hoa-kiong seratus persen adalah perempuan, sejak kecil di bawah pengaruh orang perempuan, setiap saat hanya perempuan yang dilihatnya dan dididik pula oleh orang perempuan.
Sebaliknya yang seorang dibesarkan di suatu lembah yang terdiri dari lelaki melulu, total jenderal cuma ada seorang "setengah perempuan" saja. Kalau kaum lelaki berkumpul, maka dapatlah dibayangkan bagaimana pandangan mereka terhadap orang perempuan.
Sebab itulah jalan pikiran kedua anak muda ini sama sekali berbeda, watak dan tabiatnya dengan sendirinya juga tidak sama. Jadinya kedua anak muda itu memang pasangan yang berlawanan.
Dalam pada itu Ho-loh juga telah menarik tangan Thi Sim-lan dan berkata,
"Marilah nona, kau pun ikut pergi bersama kami."
"Aku ... aku ...." Thi Sim-lan menunduk ragu, berulang-ulang ia melirik ke arah Siau-hi-ji.
"Lelaki begitu, untuk apa menggubrisnya, marilah ikut kami pergi saja," kata si muka bulat dengan gemas.
"Kongcu kami juga ingin bercakap-cakap dengan engkau," ujar Ho-loh dengan tersenyum.
"Ya, pergi, lekas pergi bersama mereka," teriak Siau-hi-ji, "Walaupun sekarang aku sial, tapi masih mendingan, bila kau tetap mengintil diriku, mungkin aku akan tambah sial."
Thi Sim-lan semakin menunduk, air matanya tampak berlinang-linang.
Segera si nona muka bulat menarik Sim-lan dan berkata, "Jangan gubris dia, ayolah kita pergi!"
Hoa Bu-koat memberi hormat dengan tersenyum simpul, lalu ia pun membalik tubuh untuk melangkah pergi. Dilihatnya Buyung Kiu yang dipondong Ho-loh itu mendadak bergerak, mulutnya bergumam seperti mengigau, "Siau-hi-ji, Kang Hi, Kang Siau-hi, lepaskan ... lepaskan diriku!"
Air muka Hoa Bu-koat tampak berubah hebat, sekonyong-konyong ia berpaling dan menatap tajam Siau-hi-ji.
"Kau inikah Kang Hi, Kang Siau-hi alias Siau-hi-ji?" tanyanya dengan sekata demi sekata.
Melengak juga Siau-hi-ji, jawabnya kemudian, "Benar! Apakah namaku ini sangat terkenal?"
Kembali Hoa Bu-koat menatapnya dengan termenung sejenak, lalu menghela napas perlahan, katanya, "Sungguh menyesal ...."
"Menyesal" Mcngapa kau menyesal?" tanya Siau-hi-ji dengan terbelalak.
"Sebab aku hendak membunuhmu!" jawab Hoa Bu-koat dengan perlahan.
Ucapan ini membuat semua orang terperanjat.
"He, apakah otakmu menjadi kurang waras" Mengapa mendadak hendak membunuhku?" tanya Siau-hi-ji.
"Sebab kau inilah Kang Hi, makanya akan kubunuh," tutur Bu-koat. "Di dunia seluas ini hanya seorang saja yang harus kubunuh, ialah kau, Kang Hi, Kang Siau-hi alias Siau-hi-ji."
Siau-hi-ji termenung sejenak, katanya kemudian, "Ya, pahamlah aku, tentunya ada orang menyuruh kau membunuhku."
"Ya, atas perintah guruku!" jawab Bu-koat.
Mendadak Thi Sim-lan berteriak histeris, "Mengapa gurumu menyuruhmu membunuh dia " Mengapa ... mengapa ...." dia ingin menerjang maju, tapi dirangkul kencang-kencang oleh si gadis baju putih.
Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat sedang muka berhadapan muka, maka tiada seorang pun yang memandang ke sana.
Selang sejenak, mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "Bagus, memangnya aku pun ingin membunuhmu, soalnya sekarang aku memang bukan tandinganmu, makanya aku bersabar, namun kini ...." sekonyong-konyong ia angkat kedua tangannya terus menubruk ke arah Hoa Bu-koat.
Sesungguhnya ilmu silat Siau-hi-ji sama sekali bukan tandingan Hoa Bu-koat, tapi asalkan dapat menyentuh Hoa Bu-koat, maka ular berbisa di tubuhnya itu pasti akan menyerangnya. Ular kan tidak kenal siapa pun juga. Jadi jiwa Hoa Bu-koat pasti melayang, namun jiwa Siau-hi-ji sendiri juga sukar diramalkan.
Di luar dugaan, baru saja tangannya bergerak mendadak pergelangan kedua tangannya lantas kaku kesemutan, belum lagi tubuhnya mendekat lawan, tahu-tahu pandangannya menjadi gelap dan jatuh tersungkur ....
***** Waktu Siau-hi-ji siuman, yang pertama dilihatnya adalah sebuah anglo yang sedang mengepulkan asap dupa. Bau dupa yang terendus itu terasa bukan gaharu dan juga bukan adas, tapi semacam bau harum yang sukar disebutkan, seperti bau harum bunga, juga seperti bau obat, jika dicium lebih teliti, rasanya juga seperti bau pupur anak perempuan.
Siau-hi-ji malas mencari tahu bau harum apakah dupa itu, pokoknya ia merasa nyaman mengendus bau sedap itu. Lalu ia melihat pula sebilah pisau.
Gagang pisau itu bertatahkan batu permata dan tergantung di ujung pembaringannya, sarung pisau seperti terbuat dari kulit ikan hiu sehingga kelihatan sangat menarik, pisau dengan sarungnya itu seakan-akan khusus untuk hiasan belaka.
Tapi ruangan ini hanya terdapat sebuah hiasan ini, selebihnya sangat sederhana, cuma terawat dengan baik dan resik, rasanya nyaman.
Siau-hi-ji tak dapat menerka tempat apakah ini, ia menduga bisa jadi rumah gubuk yang dibangun Hoa Bu-koat sebagai tempat tinggal darurat karena harus berdiam di Go-bi-san.
Tapi cara bagaimana dia berada di tempat Hoa Bu-koat" Bukankah dirinya tadi tergigit ular berbisa yang tak mungkin tertolong" Apakah Hoa Bu-koat mau menolongnya" Bukankah Hoa Bu-koat tegas menyatakan ingin membunuhnya" Tapi begitu berpaling, segera dilihatnya pemuda she Hoa itu.
Cahaya sang surya menyinari jendela yang sederhana terbuat dari bambu. Di bawah sinar matahari Hoa Bu-koat sedang duduk, alis matanya, wajahnya, sikapnya yang tenang, pakaiannya juga putih bersih, betapa pun Siau-hi-ji sendiri mau tak mau juga harus mengakui seterunya itu adalah pemuda cakap yang jarang ada bandingannya di dunia ini.
Tampaknya Hoa Bu-koat sudah duduk cukup lama di situ, tapi kelihatan adem ayem saja, sedikit pun tidak gelisah, tetap sabar, tampaknya dia masih sanggup duduk lebih lama lagi di situ.
Dalam hal ini pun Siau-hi-ji merasa kagum, jika Siau-hi-ji, pada hakikatnya sedetik saja dia tidak sabar duduk. Diam-diam ia mengerahkan tenaga, terasa sehat-sehat saja tanpa kurang sesuatu apa pun. Waktu ia memeriksa tubuh sendiri, ternyata ular-ular sialan itu sudah lenyap, tiada nampak seekor pun.
Diam-diam ia heran dan merasa lega.
"He, apakah kau yang menolong aku?" serunya kepada Hoa Bu-koat.
"Benar," sahut Bu-koat acuh tak acuh.
"Racun ular selihai itu kau pun mampu menolongku?" tanya Siau-hi-ji.
"Dupa Sian-cu-hiang (dupa dewi) dan Soh-litan (pil gadis suci) yang sudah kau minum itu dapat menawar segala macam racun."
"Tadi bukankah engkau ingin membunuhku?"
"Sekarang pun tetap ingin kubunuhmu!"
"Jika begitu, untuk apa kau menawarkan racunku dengan obat mujarab yang tak ternilai itu?"
"Soalnya kuharus membunuhmu dengan tanganku sendiri, takkan kubiarkan kau mati disebabkan urusan lain."
Siau-hi-ji berkedip heran, tanyanya, "Mengapa kau harus membunuhku dengan tanganmu sendiri?"
"Karena begitulah perintah yang kuterima."
Sejenak Siau-hi-ji terdiam, katanya kemudian, "Kau diperintahkan untuk membunuhku dengan tanganmu sendiri" Aku tidak boleh mati di tangan orang lain dan urusan lain, apakah ... apakah kau tidak merasa heran" Kau ...
kau tidak menanyakan apa sebabnya?"
"Aku tidak perlu tanya," sahut Bu-koat.
"Ehm, tampaknya kau sangat penurut."
"Perintah Ih-hoa-kiong kami sangat keras dan tiada yang berani membangkang."
"Tampaknya kau pun sangat jujur, apa yang kutanya selalu kau jawab dengan tulus."
"Siapa pun yang tanya padaku tentu akan kujawab dengan sejujurnya, sekalipun aku harus membunuhmu, tapi tiada sangkut-pautnya dengan persoalan tanya jawab."
"Jadi sudah pasti kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri?"
"Ya, pasti!!" "Tapi kalau kau yang kubunuh, bagaimana?"
"Kau takkan mampu membunuhku."
"Kau berani bertempur terang-terangan denganku?"
"Justru aku harus mencabut nyawamu dengan cara jujur dan terang-terangan."
"Baik, kau mundur dulu beberapa tindak, biar kubangun!" kata Siau-hi-ji.
Hoa Bu-koat benar-benar bangkit dan mundur hampir belasan tindak.
Perlahan-lahan Siau-hi-ji merangkak bangun sambil bergumam, "Kau ini sungguh teramat jujur, tapi aku tidak tahu apakah kejujuranmu ini tulen atau cuma pura-pura saja, bisa jadi kau terlalu yakin akan kesanggupanmu terhadap segala urusan, makanya kau bersikap seenaknya saja."
Sembari berkata mendadak ia lolos belati yang gagangnya bertatahkan batu permata dan tergantung di ujung pembaringan itu terus melompat turun.
Hoa Bu-koat tetap memandangi dia dengan hambar saja, sedikit pun tidak menunjuk perubahan sikap. Hanya gayanya yang adem ayem dan tenang ini sudah cukup membikin malu tokoh terkemuka dunia persilatan yang paling tenang sekalipun.
Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, "Kau ingin kematianku, hal itu tidak sulit, tapi kau ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri, hahaha, kukira selama hidupmu ini jangan kau harap."
"Memangnya kenapa" Apa aku tidak mampu?" tanya Hoa Bu-koat acuh.
"Kenapa" Haha, kalau begini?" ujar Siau-hi-ji sambil mengacungkan ujung belati ke hulu hati sendiri.
Baru sekarang air muka Hoa Bu-koat tampak sedikit berubah, tanyanya, "Apa artinya ini?"
Siau-hi-ji memberi muka badut padanya, katanya dengan tertawa, "Asalkan kau melangkah sedikit kemari, segera pisau ini kutikamkan dan selama hidupmu jangan harap lagi akan dapat membunuhku dengan tanganmu sendiri, sebab akulah yang membunuh diriku dengan tanganku sendiri."
Seketika Hoa Bu-koat terkesima tak dapat bicara lagi. Sungguh tak terpikir olehnya akan langkah kejutan Siau-hi-ji ini.
Kalau bicara ilmu silat, sudah tentu Hoa Bu-koat jauh lebih tinggi, tapi bicara mengenai kecerdikan dan tindak mendadak menghadapi perubahan persoalan, betapa pun dia tak dapat menandingi Siau-hi-ji yang aneh dan cerdas serta banyak tipu akalnya ini.
Sudah tentu semua itu lantaran lingkungan hidup kedua anak muda itu sama sekali berbeda, "Ih-hoa-kiong" yang diagungkan itu tentu mengutamakan tindak tanduk secara terang-terangan dan ksatria jelas tak dapat menandingi anak didik kawanan penjahat yang berkumpul di Ok-jin-kok itu.
Begitulah mimpi pun Hoa Bu-koat tak mengira Siau-hi-ji akan mempergunakan akal bulus begitu. Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas berkata,
"Nah, kau masih ingin membunuhku dengan tanganmu sendiri, maka sekarang kau harus bersabar dulu, janganlah mendekatiku, jangan bergerak
...." sambil bicara ia tatap Hoa Bu-koat seraya mundur ke belakang setindak demi setindak.
Seketika Hoa Bu-koat merasa mati langkah dan tidak tahu cara bagaimana harus menghadapi tindakan Siau-hi-ji ini, terpaksa ia diam saja di tempat dan menyaksikan Siau-hi-ji mundur keluar pintu.
Siau-hi-ji tidak berani bertindak gegabah dan lengah, meski sudah mundur sampai di luar pintu, tetap tanpa berkedip ia mengawasi Hoa Bu-koat.
Di luar masih berselimutkan kabut pagi, bunga pegunungan yang tak diketahui namanya tampak bergaya indah di tengah kabut, meski sang surya sudah mulai memancarkan sinarnya, tapi belum dapat menembus kabut pegunungan Go-bi yang tebal itu.
Setindak demi setindak Siau-hi-ji masih terus mundur ke belakang dan menelusuri jalan kecil yang diapit oleh tetumbuhan bunga pegunungan. Ia masih terus mengawasi Hoa Bu-koat, khawatir kalau-kalau pemuda itu mengejarnya, karena itu ia tidak berani berpaling ke belakang.
Melihat Siau-hi-ji masih terus berjalan mundur, tiba-tiba Hoa Bu-koat seperti ingat sesuatu, cepat ia berseru, "He, Kang Hi, lekas ... lekas berhenti ...." Di tengah seruannya segera ia bermaksud memburu keluar.
Tapi Siau-hi-ji lantas membentaknya, "Jangan bergerak! Berani kau keluar pintu, segera ku ...."
Terpaksa Hoa Bu-koat menahan langkahnya di ambang pintu, ia menjadi gugup hingga keringat dingin membasahi jidatnya, ia berseru pula, "Lekas berhenti, kau tidak boleh mundur lagi, di ... di belakangmu ...."
Baru saja kata-kata "di belakangmu" terucapkan, sebelah kaki Siau-hi-ji yang melangkah mundur sudah menginjak tempat kosong, disertai suara jeritan ngeri, seketika anak muda itu terjerumus ke bawah.
Di belakang Siau-hi-ji ternyata sebuah jurang yang sangat curam dan tertutup oleh kabut tebal sehingga dalamnya tak terkirakan. Hoa Bu-koat menyaksikan Siau-hi-ji terjerumus ke bawah dan tidak sempat memburu maju untuk meraihnya.
Suara jeritan Siau-hi-ji yang melengking tajam dan singkat itu menimbulkan gema suara dari sekeliling lembah pegunungan secara susul-menyusul seakan-akan jagat ini penuh suara jeritan kaget Siau-hi-ji.
Hoa Bu-koat menjadi lemas lunglai dan bersandar di pintu, dengan linglung ia pandang kabut tebal di depan sana, butiran keringat berketes-ketes dari dahinya.
Sementara itu Thi Sim-lan telah memburu keluar dengan langkah sempoyongan, beberapa nona berbaju putih mengikut di belakangnya. Setiba di depan Hoa Bu-koat, dengan cemas Sim-lan bertanya, "Siapa itu menjerit"
Apakah dia" ... apakah dia" ...."
Hoa Bu-koat hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Dia ... dia di mana?" tanya Sim-lan..
Bu-koat hanya menghela napas sambil menggeleng.
Melihat air muka anak muda itu, Sim-lan mundur dua langkah, katanya pula dengan suara gemetar, "Apakah kau telah ... telah membunuhnya?"
Mendadak ia menubruk maju, ia hujani tubuh Hoa Bu-koat dengan kepalannya.
Namun Hoa Bu-koat tetap diam saja, tidak menangkis juga tidak menghindar.
Kepalan Thi Sim-lan menghantam tubuhnya dengan kuat, tapi dia seperti tidak merasakannya.
Para nona baju putih menjadi gusar dan khawatir, mereka membentak dan hendak menghajar Thi Sim-lan, Hoa Bu-koat malah mencegah mereka, katanya dengan gegetun kepada Thi Sim-lan, "Aku tidak membunuh dia ... dia sendiri yang tergelincir ke dalam jurang."
Tergetar tubuh Thi Sim-lan, ia mundur dengan terhuyung-huyung, katanya,
"Kau ... kau benar-benar tidak ... tidak membunuh dia?"
"Selama hidupku belum pernah berdusta sepatah kata pun," sahut Hoa Bu-koat.
"Jika begitu mengapa kau tidak membalas pukulanku?" seru Thi Sim-lan dengan serak. Hoa Bu-koat memandangnya dengan sorot mata yang halus, katanya dengan gegetun, "Kutahu perasaanmu saat ini sangat berduka, biarpun kau melukai aku juga dapat kupahami, sama sekali aku tidak menyalahkanmu."
Thi Sim-lan berdiri melenggong, entah bagaimana rasa hatinya sukar untuk dilukiskan. Hoa Bu-koat ini sedemikian bajik dan baik hati, sedemikian halus budinya, sedangkan Siau-hi-ji, ya busuk ya kasar, tapi justru Siau-hi-ji terlebih mendalam bersarang di lubuk hatinya, lebih membuatnya kesengsem dan berat untuk berpisah, membuatnya selalu terkenang dan sukar dilupakan.
Sorot mata Hoa Bu-koat tampak semakin lembut, katanya pula, "Nona Thi, lebih baik engkau pergi istirahat saja, engkau ...."
"Ya, aku harus istirahat, harus pergi ...." Mendadak Thi Sim-lan lari ke tepi jurang sambil berteriak dengan suara serak, "Siau-hi-ji, tunggulah, kudampingimu untuk istirahat bersama ...."
Tapi sebelum ia tiba di tepi jurang, Hoa Bu-koat sudah menyusul dan menarik tangannya, sekuatnya Sim-lan meronta, tapi tak dapat melepaskan diri biarpun segenap tenaga sudah dikeluarkannya.
Dengan air mata bercucuran Thi Sim-lan berteriak, "Lepaskan aku, lepaskan
... mengapa tidak biarkan kutemani dia .... Dia sendirian mati di bawah sana, alangkah kesepian dia ...."
Tiba-tiba seorang menanggapinya dengan suara dingin, "Siapa yang mati di bawah sana" .... Seorang dapat mati dengan tenang dan sunyi, sungguh bahagialah dia."
Di tengah kabut putih tebal itu sesosok bayangan tubuh yang ramping tampak muncul dengan perlahan laksana badan halus dari alam arwah. Siapa lagi dia kalau bukan Buyung Kiu.
Muka Buyung Kiu sangat pucat, kedua matanya yang besar dan jeli mempesona itu pun kehilangan cahayanya sehingga kelihatan seperti orang linglung.
Dengan geregetan Thi Sim-lan menjawabnya, "Siau-hi-ji akhirnya mati, tentunya kau bergirang bukan" Dia mati di bawah jurang ini, apakah kau ingin melihat mayatnya?"
Buyung Kiu menggeleng perlahan, katanya, "Tidak, dia tidak mati di sini, yang mati di sini pasti bukan dia." Mendadak ia terkekeh-kekeh dan menyambung pula, "Sudah lama dia mati di Buyung-san-ceng, aku sendiri yang membunuhnya, seorang tidak ... tidak mungkin mati dua kali, betul tidak?"
Rambutnya yang panjang itu tampak bertebaran ditiup angin, cara tertawanya seperti orang gila.
Dengan perasaan haru dan kasihan Hoa Bu-koat memandanginya, katanya kemudian dengan perlahan, "Ho-loh, nona ini sangat terkejut tadi sehingga pikirannya belum jernih kembali, kau payang dia ke dalam rumah saja."
Segera Ho-loh memegang tangan Buyung Kiu, tapi nona itu masih terkekeh-kekeh dan berseru, "Aku sendiri yang membunuh dia, aku menyaksikan sendiri setannya! Hahaha, apakah kalian pernah melihat setan" Dapatkah ...
dapatkah kalian membunuhnya?"
Mendadak Thi Sim-lan juga tertawa keras dan berteriak, "Tiada seorang pun di antara kalian yang mampu membunuhnya, satu-satunya yang dapat membunuhnya ialah dia sendiri ...." Dari tertawa keras mendadak ia menangis sedih, dengan suara pilu ia berteriak pula. "Tapi akhirnya ia benar-benar membunuh dirinya sendiri, akhirnya ia menghancurkan dirinya sendiri ...
mengapa orang pintar selalu akan menghancurkan dirinya sendiri ...."
Memang, orang pintar terkadang memang sok pintar sehingga akibatnya menjadi korban kepintarannya sendiri, akhirnya meski mereka dapat mencelakai orang lain, tapi juga membikin susah dirinya sendiri.
Akan tetapi Siau-hi-ji bukanlah manusia demikian ini. Siau-hi-ji jauh lebih pintar daripada orang macam demikian. Tadi, waktu sebelah kakinya menginjak tempat kosong dan terjerumus ke bawah, gerakan itu hanya pura-pura saja dan sengaja diperlihatkan kepada Hoa Bu-koat.
Kiranya sebelum itu dia sudah melihat jelas keadaan sekitarnya, waktu dia terjerumus ke bawah sudah diincarnya dengan tepat tempat perimbangan badannya. Begitu tubuhnya terperosok ke bawah, segera belati yang dipegangnya itu menikam ke dinding tebing.
Gerakan berbahaya demikian sudah tentu memerlukan ketajaman mata, ketelitian dan keberanian. Maklumlah, untuk menipu orang, lebih-lebih menipu orang macam Hoa Bu-koat, kalau tidak menyerempet bahaya mana bisa berhasil"
Maka ketika Thi Sim-lan menjerit dan menangis, Buyung Kiu mengakak dan berteriak, Hoa Bu-koat bicara dengan lembut, semua itu dapat didengar oleh Siau-hi-ji dengan jelas karena dia menempel pada dinding tebing.
Dengan sendirinya timbul macam-macam perasaan yang sukar dikatakan dalam hati Siau-hi-ji setelah mendengar jerit tangis dan teriak tawa itu, namun dia benar-benar berhati baja, dia tega, ia anggap tidak tahu dan tidak dengar semua itu.
Sampai akhirnya suasana menjadi sunyi, Siau-hi-ji menghela napas lega.
Selang sejenak pula, perlahan ia merambat ke atas, ia coba mengintip ke atas melalui tebing. Benar juga, di atas sana tiada seorang pun. Selagi dia hendak merangkak ke atas, siapa tahu pada saat itulah sekonyong-konyong di sebelahnya seperti ada suara orang.
Dalam kejutnya Siau-hi-ji cepat berpaling, segera dilihatnya suara itu bukan suara manusia melainkan suara kera, belasan ekor kera entah datang dari mana, semuanya sedang menirukan caranya merambat, bahkan menirukan caranya mengintip ke atas jurang.
Rupanya Go-bi-san memang banyak terdapat kawanan kera, bahwa kera suka menirukan gaya manusia, ini sudah sering didengar oleh Siau-hi-ji dari para paman penghuni Ok-jin-kok ketika dia masih kecil.
Kini ia benar-benar melihat kawanan kera yang nakal itu, ia menjadi geli dan dongkol pula. Malahan ia pun bingung cara bagaimana mengusir mereka.
Terpaksa ia hanya mendesis-desis saja, "Ssst, pergi ...."
Tapi kawanan kera itu pun balas mengejeknya dengan muka yang dibuat-buat jenaka, bahkan juga mendesis-desis dan bercuat-cuit. Ada sebagian kera yang bermuka merah seperti pantat, kelihatan menakutkan ketika melotot.
Khawatir kawanan kera itu mengejutkan Hoa Bu-koat, diam-diam Siau-hi-ji menjadi gelisah, saking mendongkolnya tiba-tiba ia gunakan sebelah tangannya untuk memukul dan mengusirnya.
Tapi begitu tangannya terjulur, segera ia menyadari keadaan bisa runyam.
Kawanan kera itu mendadak juga menubruk tiba, semuanya menjulurkan tangan menirukan tingkah Siau-hi-ji.
Dalam keadaan biasa tentu Siau-hi-ji tidak perlu takut, tapi sekarang tubuhnya bergelantung di dinding jurang, kedua tangannya tidak bebas bergerak, maka begitu diserbu kawanan kera itu, seketika ia terjerumus lagi ke bawah.
Keruan tidak kepalang takut dan gugupnya, celakanya dia tidak berani berteriak minta tolong. Hanya kedua tangannya meraih-raih sebisanya pada dinding tebing, belatinya juga sudah jatuh ke bawah, sampai lama sekali baru terdengar suara "trang".
Rupanya dinding tebing itu mendekuk ke dalam, makanya belati itu dapat jatuh lurus ke dasar jurang. Dari kumandang suara jatuhnya belati yang sekian lama baru terdengar, dapat diperkirakan jurang itu sangat dalam.
Siau-hi-ji sudah mandi keringat dingin, tangan sudah tidak dapat meraih sesuatu tempat yang dapat digunakan untuk menahan tubuhnya, kalau terperosok sampai tempat mendekuknya dinding itu pasti akan langsung terjerumus ke bawah dan mustahil kalau tubuhnya tidak terbanting hingga hancur lebur.
Sungguh konyol, manusia paling pintar di dunia ini ternyata bisa mati di tangan kawanan kera. Teringat ini, Siau-hi-ji hanya meringis saja, entah harus menangis atau harus tertawa.
Dilihatnya kawanan kera itu pun menirukan caranya terperosok ke bawah, tapi mendadak kawanan kera itu bercuit-cuit, satu sama lain bergandengan tangan, berpuluh kera itu saling tarik menarik dan kaki menahan dinding jurang, maka jadi mirip satu untai merjan yang bergelantungan di udara, tiada seekor pun yang terjatuh.
Sebaliknya Siau-hi-ji sudah terjerumus ke bawah, tangannya tidak dapat meraih sesuatu lagi. Terpaksa ia hanya memejamkan mata dan pasrah nasib.
Pikirnya dengan menyeringai, "Tamatlah riwayatku ... Siau-hi-ji akhirnya mati dibunuh kawanan kera ...."
Di luar dugaan, pada saat itu juga entah dari mana datangnya mendadak sebuah cakar kera yang berbulu lebat mencengkeram baju dadanya. Tenaga cakar itu sungguh kuat luar biasa, namun daya perosot Siau-hi-ji ke bawah pun sangat keras, baju yang dicengkeram cakar kera robek dan tubuh Siauhi-ji masih terus terperosot.
Syukurlah pada detik terakhir itu cakar kera yang lain secepat kilat terjulur pula dan tepat berhasil menjambak rambut Siau-hi-ji.
Sudah tentu Siau-hi-ji meringis kesakitan hingga air mata hampir menetes, akan tetapi tubuhnya lantas tertahan dan tidak terjerumus ke bawah.
Sekilas terlihat untaian kera yang sedang main ayun-ayunan tadi sedang bercuit-cuit sambil menjibir padanya. Sedangkan kedua cakar kera yang menyelamatkan jiwanya itu terjulur dari sebuah gua di dinding tebing itu.
Diam-diam Siau-hi-ji membatin, "Yang mencengkeram diriku ini mungkin adalah raja kera, kalau tidak masakah memiliki tenaga sebesar ini. Terhadap manusia kiranya kera tiada punya kehendak baik, kalau aku sudah diseret ke atas, entah cara bagaimana aku akan disiksa."
Cara Siau-hi-ji ambil keputusan sungguh lebih cepat daripada siapa pun di dunia ini, begitu terpikir apa yang mungkin terjadi segera dia mengumpulkan tenaga dan bermaksud memanjat ke gua itu dan membekuk lawan lebih dulu.
Tak tahunya, belum lagi ia bergerak, tiba-tiba dari dalam gua berkumandang suara orang, suaranya kecil dan tajam, ucapnya dengan sekata demi sekata,
"Jangan bergerak, sekali bergerak segera kulemparkan kau ke jurang!"
Suara yang kecil dan tajam itu sungguh tujuh bagian mirip suara kera, tapi yang diucapkan jelas adalah bahasa manusia, memangnya kera juga dapat bicara manusia" Wah, jangan-jangan di Go-bi-san ini ada siluman kera"
Kembali Siau-hi-ji berkeringat dingin, tanyanya dengan suara gemetar,
"Sesungguhnya kau ... kau ini apa?"
Suara itu terkikik-kikik dan menjawab, "Kau sendiri apa, apa itulah diriku."
"Kau ... kau manusia?" tanya Siau-hi-ji.
"Coba terka aku ini manusia atau bukan?"
Siau-hi-ji menjadi ngeri, katanya pula, "Apa kehendakmu?"
"Luruskan tanganmu dan tidak boleh bergerak," kata suara itu.
Terpaksa Siau-hi-ji menurut, ia menurunkan kedua tangannya, mendadak tubuhnya diangkat ke atas oleh orang itu sehingga terasa seperti mengapung di udara.
Cakar kera itu menutuk pula kedua pundaknya, yang ditutuk ternyata tempat Hiat-to yang membuat tangannya tak dapat bergerak lagi. Habis itu, ia benar-benar seperti seekor ikan diseret masuk ke dalam gua.
Mulut gua tidak besar, tapi di dalam gua ternyata tidak kecil.
Karena diseret begitu saja, sekujur badan Siau-hi-ji terasa pegal linu, kepala pusing. Waktu ia membuka mata, dilihatnya seekor kera sedang tertawa lebar padanya.
"Kera" ini sungguh tidak kecil, juga tidak terlalu besar, malahan lebih pendek daripada Siau-hi-ji.
Waktu dipandang lebih teliti, "kera" ini ternyata berbaju, walaupun compang-camping, tapi jelas memang pakaian manusia, pakaian tulen, bukan tiruan.
Ketika diteliti lebih lanjut, seluruh badan "kera" ini tidak saja berambut, bahkan berjenggot, jika dia ini kera, mengapa berambut dan berjenggot. Tapi kalau dia manusia, mengapa justru persis kera"
"Nah, sekarang kau sudah melihat jelas bukan?" demikian "kera" itu bertanya dengan terkikik-kikik, "Coba katakan, aku ini mirip apa?"
"Ada tiga bagian kau ini mirip manusia?" jawab Siau-hi-ji dengan tabahkan hati.
"Dan tujuh bagian lebih mirip kera, begitu bukan?"
"Ya, kalau tidak mendengar kau bicara manusia, pada hakikatnya setengah bagian saja kau tidak memper manusia."
Menghadapi kejadian aneh itu, ia sudah nekat dan tidak memikirkan mati-hidup lagi, sama sekali ia pun tidak gentar akan diperlakukan bagaimana oleh
"makhluk aneh" itu.
Tapi "kera" itu ternyata tidak marah, sebaliknya malah tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Supaya kau tahu, aku ini memang keranya manusia dan manusianya kera, kau bilang aku ini manusia jelas betul, bilang aku kera juga tidak salah."
Siau-hi-ji jadi melengak, serunya, "Keranya manusia ... manusianya kera ...
memangnya kau ini ...."
"Jangan kau percaya ocehannya," tiba-tiba suara seorang lagi menimbrung dengan dingin. "Hakikatnya dia adalah manusia, cuma bentuknya saja mirip kera, pula berdiam lama dengan kawanan kera, maka sifat manusianya menjadi tersisa sedikit."
Bagian dalam gua itu sangat luas, cahaya matahari hanya dapat menembus masuk melalui mulut gua yang sempit itu, maka bagian belakang gua itu gelap gulita tak kelihatan apa pun.
Suara itu jelas berkumandang dari dalam gua, dingin, kaku, kedengarannya tidak terlalu mirip bicaranya manusia. Keruan Siau-hi-ji terkejut pula, serunya,
"He, kau" Apa kau ini?"
Terlihat sesosok bayangan melangkah keluar perlahan dari tempat gelap, perawakannya juga kurus kecil, rambut semrawut, bentuknya juga cuma tiga bagian saja mirip manusia. Tapi sorot matanya tampak bening, bahkan penuh kecerdasan, hanya manusia saja yang memiliki mata demikian ini.
Siau-hi-ji menghela napas lega, katanya, "Ya, kau manusia, tapi ... siapakah kau sebenarnya" Mengapa berada di tempat begini" Sebab apa pula kau berubah seperti ini?"
Orang itu menghela napas panjang, katanya, "Boleh kau tanya dia saja."
Belum lenyap suaranya, si "kera" tadi sudah lantas melonjak dan memaki dengan gusar, "Tanya padaku" Hm, jika bukan lantaran kau, mana bisa kuterkurung di tempat seperti neraka ini dan mana mungkin berubah bentuk menyerupai kera begini?"
"Hm, memangnya kau mirip manusia?" jengek orang itu. "Di antara Cap-ji-she-shio kalian siapakah yang menyerupai manusia?"
Sebenarnya Siau-hi-ji sedang memandang kedua orang ini dengan rasa kaget, heran dan rada geli pula melihat bentuk mereka, tapi demi mendengar ucapan ini, seketika ia terperanjat, ia pandang si "kera" dan bertanya, "Jadi ...
jadi engkau ini orang Cap-ji-she-shio?"
Mendadak si "kera" membusungkan dada dan menjawab, "Betul, aku inilah Hian-ko-sin-kun (si malaikat penyuguh buah) dari Cap-ji-she-shio."
Tanpa terasa Siau-hi-ji melangkah mundur mepet gua, lalu berpaling kepada orang satunya lagi, "Dan engkau ... engkau" ...."
"Hehe, kau masih muda, tentu tak pernah mendengar namaku ...." ucap orang itu dengan menyeringai. Mendadak ia berdiri tegak dan berseru, "Tapi pada lima belas tahun yang lalu, kalau orang persilatan menyebut 'Hui-hoa-boan-thian, Lok-to-bu-seng' (bunga bertebaran di udara, jatuh ke tanah tanpa menimbulkan suara) Sim Gin-hong, kukira hampir setiap orang kenal namaku ini."
"Huh, kentutmu busuk!" jengek Hian-ko-sin-kun alias si kera, "Sejak dulu paling-paling kau juga cuma tukang kawal saja, bila mendengar nama Cap-ji-she-shio kami, kau pasti kabur terbirit-birit."
"Hm, apa betul begitu?" Sim Gin-hong balas mengejek. "Kalau Cap ji-she-shio memang begitu lihai, mengapa kalian tidak mampu merampas harta benda kawalanku, sebaliknya kena kukurung di sini selama empat belas tahun tanpa berdaya apa-apa."
Begitulah kedua orang itu saling mengejek dan saling memaki, Siau-hi-ji jadi melenggong heran. Baru sekarang ia tahu kedua orang ini bukankah kawan melainkan saling bermusuhan malah.
Seperti diketahui pada permulaan cerita ini, untuk menyelamatkan barang kawalannya dari gangguan kawanan Cap-ji-she-shio, Sim Gin-hong telah minta bantuan Yan Lam-thian yang tidak sempat dipenuhi pendekar besar itu, tapi sekembalinya Yan Lam-thian setelah gagal menyongsong saudara angkatnya, yaitu Kang Hong (ayah Siau-hi-ji), di tengah jalan dipergokinya Hian-ko-sin-kun dan begundalnya sedang berhadapan dengan rombongan Sim Gin-hong. Banyak gerombolan Cap-ji-she-shio terbunuh oleh Yan Lam-thian, tapi Hian-ko-sin-kun yang berani bersikap menantang pada Yan Lam-thian malah diampuni jiwanya. Namun begitu ia telah menjadi tawanan Sim Gin-hong dan dipaksa memberitahukan di mana partai harta benda kawalan Sim Gin-hong yang dirampas itu.
Rupanya pihak Cap-ji-she-shio cukup licik, Hian-ko-sin-kun telah memancing Sim Gin-hong ke gua ini, tapi akhirnya mereka berdua terkurung sendiri di gua ini selama empat belas tahun.
Bahwa dua seteru dapat hidup bersama terkurung di dalam gua selama empat belas tahun, sungguh Siau-hi-ji tak dapat membayangkan cara bagaimana mereka dapat melewatkan hari-hari begitu.
Dilihatnya kedua orang itu sedang saling melotot, seperti panah yang sudah siap di busurnya, sekali jepret segera meleset. Tapi sampai sekian lamanya kedua orang ini ternyata tiada yang turun tangan lebih dulu.
Dengan menyeringai Hian-ko-sin-kun berkata, "Kau jangan lupa, kini sudah hadir setan cilik ini, aku takkan kesepian lagi, seumpama saat ini kubunuhmu juga bukan soal."
Sim Gin-hong menjengek, "Hm, lantaran kau dendam padaku, kau tidak rela mati duluan daripada diriku, makanya kau tahan hidup sampai sekarang. Jika aku benar-benar mati, kau pun takkan hidup lama lagi."
"He, jika begitu, lantaran kalian ini saling dendam, maka tahan hidup terus hingga sekarang," timbrung Siau-hi-ji.
"Memangnya orang Cap ji-she-shio boleh mati lebih dulu daripada si tukang kawal busuk ini?" ucap Hian-ko-sin-kun dengan menggereget.
"Jadi selama belasan tahun ini dilewatkan kalian dengan cara saling gebuk dan saling maki?" tanya Siau-hi-ji.
"Jika tidak saling gebuk dan saling maki, lalu cara bagaimana melewati hari-hari panjang ini?" kata Sim Gin-hong.
"Kalau tidak begitu, tentu sudah sejak dulu kumampuskan dia!" sambung Hian-ko-sin-kun.
"Sungguh tak tersangka bahwa dendam juga menimbulkan kekuatan sehebat ini," kata Siau-hi-ji dengan gegetun. "Aku cuma tahu bahwa dendam membuat orang mati, tak tersangka dendam juga membuat orang hidup, sungguh kejadian yang tak pernah kudengar."
"Kau masih terlalu muda, hal-hal yang belum kau pahami masih sangat banyak," ujar Sim Gin-hong.
"Tapi kalian berdua mengapa tidak berdaya upaya untuk lolos dari sini?"
tanya Siau-hi-ji. "Jika dapat lolos tentu sudah sejak dulu-dulu kutinggal pergi, masakah perlu kau setan cilik ini bertanya lagi?" jawab Hian-ko-sin-kun alias si kera.
"Kalau kalian tak dapat lolos dari sini, cara bagaimana pula kalian dapat masuk ke sini?"
"Soalnya partai harta benda itu disembunyikan di sini," tutur si kera dengan gemas. "Aku telah memaksa dia membawaku ke sini. Dengan sendirinya aku tidak percaya penuh padanya, maka kusuruh dia masuk ke sini lebih dulu dan aku ikut di belakangnya ... kami masuk ke sini dengan menggunakan tali."
"O, kiranya aslinya dia tukang kawal, kau hendak merampas barang kawalannya, tapi dengan suatu tipu daya dia menyembunyikan barang kawalannya di sini sehingga kau menubruk tempat kosong," demikian Siau-hi-ji menguraikan kejadian dahulu menurut rekaannya. "Cuma ilmu silatnya bukan tandinganmu, akhirnya kau dapat memaksa dia membawamu ke sini."
"Walaupun masih ada liku-likunya, tapi garis besarnya memang begitu," kata Sim Gin-hong.
"Sampai di sini, kalian menggunakan tali kerek untuk turun ke sini," ucap Siau-hi-ji pula. "Dia di depan dan kau di belakang, soalnya kau khawatir dia memotong tali dan kau bisa jatuh ke jurang."
Pendekar Binal Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tukang kawal busuk ini tak dapat dipercaya, apa pun dapat dilakukannya, maka senantiasa aku harus waspada," kata si kera.
"Lalu ke mana tali itu?" kata Siau-hi-ji pula. "Mestinya kalian dapat merayap ke atas lagi dengan tali itu, memangnya tali itu telah dipotong putus oleh orang lain lagi?"
"Mana ada orang lain lagi yang memotong tali itu" Tatkala mana tiada bayangan setan sekalipun," tutur si kera.
"Aneh, habis ke mana tali itu?" tanya Siau-hi-ji heran.
Gigi si kera berkeriutan saking geregetan, katanya, "Begitu melihat harta karun, aku menjadi kegirangan dan lupa daratan, kesempatan itu telah digunakan tukang kawal busuk ini untuk membakar tali."
Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu bertepuk tangan dan berseru, "Aha, benar, tentunya tali itu telah dicelup ke dalam minyak sehingga mudah terbakar."
"Memang, baru saja tali itu tersulut api, wah, dalam sekejap saja lantas terbakar sebagian besar sehingga aku tak dapat berbuat apa pun. Sungguh tak pernah kuduga akan tindakannya yang licik ini," omel si kera.
"Ya, sungguh akal yang bagus, dengan sendirinya tak tersangka olehmu,"
ujar Siau-hi-ji. "Tampaknya dia memang sudah berniat mengurungmu di sini, ia sendiri pun bertekad akan gugur bersamamu, kalau tidak masakah dia sengaja membawamu ke tempat penyimpanan harta karun ini."
Sim Gin-hong menyeringai, katanya, "Sungguh tak nyana sekecil ini umurmu, tapi seperti cacing di dalam perutku saja yang dapat memahami jalan pikiranku. Tatkala mana memang telah kupikirkan tipu daya yang baik untuk menjebaknya, akhirnya kupikir hanya tempat ini saja yang dapat mengurungnya selama hidup, kalau tidak masakah aku mau membawanya ke sini?"
"Tapi selama ini cara bagaimana kalian hidup, sungguh aku tidak habis mengerti?"
"Sudah tentu berkat usahaku ...." seru si kera.
"Aha, betul," kata Siau-hi-ji, "Julukan kera adalah 'Hian-ko'
(mempersembahkan buah), kau adalah 'Hian-ko-sin-kun', dengan sendirinya kau tahu caranya menyuruh kawanan kera mempersembahkan buah-buahan kepada kalian."
Ucapannya bernada menyindir, tapi bagi pendengaran Hian-ko-sin-kun malah sangat menyenangkan. Dengan tertawa ia berkata, "Watak kawanan kera, rasanya di dunia ini tiada yang lebih mengenalnya daripadaku. Bila kulempar batu keluar gua untuk menimpuk mereka, dengan sendirinya mereka akan meniru dengan balas menyambit kami, dan yang mereka sambitkan ke sini adalah buah-buahan."
"Jika batu yang mereka sambitkan ke sini, lalu bagaimana?" tanya Siau-hi-ji.
"Di luar adalah tebing jurang yang beratus kaki tingginya, dari mana datangnya batu," ucap si kera dengan tertawa.
"Betul, betul," Siau-hi-ji mengangguk setuju. "Kera memetik buah memang jauh lebih mudah daripada memungut batu. Tapi ... tapi hanya sedikit buah-buahan apakah kalian dapat makan kenyang?"
"Apa yang dimakan kawanan kera, apa pula yang kami makan, meski ukuran makan kera tidak banyak, tapi kami pun tidak perlu makan terlalu banyak,"
ujar Hian-ko-sin-kun. Sambil memandangi tubuh mereka yang kecil dan kurus kering, Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Betul juga, ini jelas kelihatan."
"Tapi kau setan cilik ini jangan keburu gembira," kata Hian-ko-sin-kun dengan menyeringai, "Selanjutnya yang kau makan juga begini-begini saja. Cuma kau pun jangan khawatir, selama belasan tahun ini hanya kau yang kulihat, tidak mungkin kubikin kau mati kelaparan."
"Aku pun sudah bosan melihat tampangmu yang monyong, seumpama hendak kau bikin dia mati kelaparan juga aku tidak setuju," timbrung Sim Gin-hong.
Siau-hi-ji tidak menggubris lagi pertengkaran kedua seteru itu, dia memandang keluar gua dengan termangu-mangu.
Dengan tertawa Hian-ko-sin-kun berkata pula, "Selanjutnya kita adalah anggota satu keluarga, bisa jadi kau pun akan tinggal di sini untuk tiga puluh atau lima puluh tahun. Eh, siapakah namamu, coba sebutkan!"
"Kang Hi," jawab Siau-hi-ji.
"Kang Hi" .... Haha, Ang-sio-hi, Jing-tim-hi, Sian-hi-theng .... Ehm, alangkah lezatnya makanan itu .... Ai, betapa baiknya jika kau ini benar-benar seekor ikan, tentu aku dapat menikmati santapan enak, sekalipun dimakan mentah-mentah juga lumayan," lalu si kera memejamkan mata dan membayangkan betapa lezatnya masakan di restoran, mulutnya tampak berkecek-kecek dan air liur pun hampir saja menetes.
"Hm, dalam keadaan begini, seekor ikan saja bagimu mungkin jauh lebih berharga daripada benda mestika," jengek Sim Gin-hong.
"Memang," sahut Hian-ko-sin-kun alias si kera. "Saat ini, detik ini, segenap benda mestika di seluruh dunia ini juga tak dapat ditukarkan satu porsi Ang-sio-hi yang sedap dengan saus tomat yang kental itu."
"Jika sejak mula kau tahu hal ini, tentu kau takkan datang ke sini," jengek Sim Gin-hong pula.
"Eh, bicara sekian lamanya, partai harta pusaka yang kalian sembunyikan itu berada di mana?" tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.
"Kau ingin melihatnya?" tanya Sim Gin-hong.
"Batu permata dan benda mestika, siapa pun ingin melihatnya," ucap Siau-hi-ji.
"Baiklah, ikutlah kemari ...."
Tapi Hian-ko-sin-kun lantas membentak, "Semua itu milikku, berani kau menjamahnya segera kuhantam mampus kau!" Setelah mendelik sekian lama, akhirnya ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi ada baiknya juga diperlihatkan kepada Siau-hi-ji ini agar dia tahu betapa kayanya aku ini."
Sembari berkata, segera ia menyeret keluar dua buah peti dari pojok yang gelap sana. Kedua peti besi itu sudah karatan, tapi ternyata penuh berisi ratna mutu manikam yang membuat pandangan silau.
Betapa bangga dan senangnya Hian-ko-sin-kun alias si kera, ini terbukti dari tertawanya yang terbahak-bahak sehingga matanya yang memang kecil itu bertambah sempit.
"Siau-hi-ji," katanya kemudian, "Sekarang kau sudah lihat bukan, semua ini adalah milikku, asalkan ... asalkan kuberikan satu dua biji batu permata ini padamu, maka cukuplah bagimu untuk hidup mewah selama hidup tanpa bekerja."
Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia terkesima memandangi benda mestika yang gemerlapan itu.
Selang sejenak barulah dia menghela napas dan berkata, "Sayang, sungguh sayang!"
Hian-ko-sin-kun juga ikut menghela napas, tukasnya, "Ya, memang sayang seribu sayang, memiliki harta benda sebanyak ini, tapi sedikit pun tak dapat menikmatinya."
"Tapi yang kusayangkan bukankah urusan ini," jengek Siau-hi-ji.
Si kera melotot, teriaknya, "Tidak menyayangkan urusan ini" Memangnya di dunia ini masih ada urusan lain yang harus disayangkan?"
"Yang kusayangkan adalah agak terlambat kalian bertemu dengan aku," kata Siau-hi-ji dengan tenang-tenang.
Melengak juga si kera, "Memangnya kenapa kalau kami lebih dini bertemu denganmu?"
"Jika satu tahun lebih dini kalian bertemu dengan aku, tentu saat ini kalian sudah hidup bebas bahagia selama setahun di dunia luar sana. Bila kalian bertemu lebih dini sepuluh tahun dengan aku, saat ini kalian sudah hidup mewah selama sepuluh tahun."
Persis seekor kera, Hian-ko-sin-kun garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan mata berkedip-kedip, katanya, "Maksudmu ...."
"Maksudku jika kalian dapat lebih dini bertemu dengan aku, tentu sudah lama kutolong kalian keluar dari sini."
Serentak Hian-ko-sin-kun menyurut mundur dua langkah dengan mata melotot, matanya tidak berkedip-kedip lagi. Ia pandang Siau-hi-ji dengan heran seakan-akan di hidung anak muda itu timbul sekuntum bunga nan indah.
"Kau tidak percaya?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.
Sekonyong-konyong si kera bergelak tertawa, tertawa geli, "Hahahaha, kau anak gila, pembual kecil, kau mampu menolong kami keluar Hahahaaah"
Mendadak ia pegang bahu Sim Gin-hong dan tertawa terpingkal-pingkal sehingga perut terasa mules. Lalu katanya kepada kawannya itu, "Kau dengar tidak" Bocah ini bilang mampu menolong kita keluar" Hahaha, dia anggap dirinya orang macam apa" Hihi, mungkin dia kira dirinya malaikat dewata."
Sim Gin-hong tidak menanggapinya, ia pandang Siau-hi-ji, ia tatap mata Siauhi-ji yang bening dan besar itu, ia perhatikan senyum yang terkulum di wajah anak muda itu, lalu berkata dengan perlahan, "Bisa jadi dia memang punya akal."
"Kau ... kau juga percaya ocehan setan cilik ini?" teriak si kera.
"Dia tiada alasan membohongi kita," jawab Sim Gin-hong.
"Tapi neraka ini ke atas tidak mencapai langit, ke bawah tidak sampai di bumi, hanya terkatung-katung di dalam perut gunung, kita sendiri sudah berusaha selama belasan tahun dan tidak mampu keluar, masakah begitu si setan cilik ini datang segera kita dapat keluar?" teriak si kera pula.
Siau-hi-ji tersenyum, katanya, "Soalnya bentuk kepala tuan dengan kepala hamba ini rada berbeda."
Si kera menjadi gusar, dampratnya, "Memangnya kepalamu lebih berguna daripada kepalaku?"
"Mana kuberani bilang begitu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa, "Kepala hamba juga tidak banyak lebih berguna daripada kepala tuan, paling-paling hanya berselisih dua puluh kali lipat saja."
"Kentut busuk!" si kera berjingkrak gusar.
"Tapi tuanku juga tidak perlu marah," Siau-hi-ji berolok-olok pula. "Kepala yang dimiliki tuanku boleh dikatakan juga tidak jelek, sedangkan kepala hamba ini mungkin di seluruh jagat belum ada kepala lain yang sama."
"Baik, jika begitu, lekas katakan akalmu yang baik, kalau tidak pasti kubunuhmu," teriak si kera.
"Dan bila akalku sudah kukatakan, lalu bagaimana?" tanya Siau-hi-ji.
"Jika akalmu cukup bagus, biar kupanggil kau sebagai kakek juga aku rela,"
ucap si kera. "Ai, ai, mana kuberani, cucu macam tuanku ini mana aku sanggup terima,"
ujar Siau-hi-ji sambil tertawa. "Tapi kalau tuanku berani, ayolah kita bertaruh!"
"Bertaruh apa"!" tanya Hian-ko-sin-kun.
"Di dalam tiga bulan kalau aku tak dapat menolong kalian keluar dari neraka ini, maka anggaplah aku kalah, kuberikan kepalaku ini."
"Tiga bulan?" si kera menegas, "He, hahaha, kukira kepalamu sakit, sekalipun tiga tahun ...."
"Tidak perlu tiga tahun, cukup tiga bulan saja," tukas Siau-hi-ji. "Tapi di dalam tiga bulan ini kalau benar-benar aku dapat mengeluarkan kalian dari neraka ini, lalu bagaimana"!"
"Anggap aku kalah dan akan kuberikan delapan kepalaku."
"Kepala tuanku itu tidak leluasa dibawa ke sana kemari, diberikan kepada Li Toa-jui juga dia tidak doyan. Satu saja repot, kalau delapan kan bisa tambah runyam," dia goyang-goyangkan tangan mencegah ucapan si kera, lalu menyambung, "Bila tuanku kalah, cukup tuanku berjumpalitan beberapa kali di hadapanku saja."
Hian-ko-sin-kun berjingkrak gusar, katanya, "Baik, kau setan cilik ini membuat aku marah .... Baiklah, kalau aku kalah, boleh terserah apa kehendakmu, tapi kalau kau yang kalah, aku tetap menginginkan kepalamu."
"Kau kudu pegang janji," kata Siau-hi-ji.
"Kentut juga kuakui," jawab si kera tegas.
"Pokoknya bila aku berhasil menolong kalian keluar dari sini, kau harus menurut padaku."
"Baik, akan kuturuti semua kehendak makmu," kata si kera.
"Bagus, tiga bulan, terhitung mulai sekarang," seru Siau-hi-ji, mendadak ia comot sepotong jamrud yang paling besar terus dilemparkan keluar gua.
Jamrud yang hijau kemilau biarpun dalam kegelapan juga cukup menyolok mata. Sejak tadi Sim Gin-hong hanya memandangi Siau-hi-ji dengan mengulum senyum, kini ia pun terkejut demi melihat perbuatan anak muda itu.
Sudah tentu yang paling kelabakan adalah Hian-ko-sin-kun alias si kera, cepat saja ia cengkeram Siau-hi-ji dan membentak, "He, anak gila, tahukah apa yang kau lakukan itu?"
"Sudah tentu kutahu," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.
"Tahukah kau dengan melemparkan sepotong jamrud sebesar itu berarti sama nilainya dengan membuang sebuah gedung baru besar tiga tingkat ...
sama nilainya dengan membuang tiga ratus ekor sapi gemuk ditambah seribu ekor kuda dan ...."
"Sudah tentu aku pun tahu."
"Nah, jika begitu mengapa ... mengapa ...."
"Kau mengakui kentutmu tidak" Baru saja kau menyatakan akan menuruti semua kehendak makmu, apakah sekarang kau sudah lupa?"
"Memangnya caramu ini juga ... juga termasuk upaya menolong kami" Huh, lebih tepat dikatakan kau sengaja membikin bangkrut diriku."
"Ya, sudahlah, jika kau lebih suka harta daripada nyawa," ucap Siau-hi-ji gegetun.
"Tapi ... tapi caramu membuang-buang benda mestika begitu apa pula artinya?"
"Artinya" Ya, kutahu kau pasti tidak paham .... Tapi apakah kau pun tidak paham?" ucapan Siau-hi-ji yang terakhir ini ditujukan kepada Sim Gin-hong.
Air muka Sim Gin-hong mengunjuk rasa girang, jawabnya, "Walaupun Cayhe rada paham, tapi belum jelas seluruhnya."
"Begini," tutur Siau-hi-ji, "Setelah kulemparkan benda mestika ini tentu kawanan kera itu akan saling berebut, mereka pasti sama dengan saudara kera kita ini, betapa pun ingin memilikinya."
"Ehm, betul," ucap Sim Gin-hong.
"Nah, bila ada seratus potong benda mestika yang kulemparkan, sedikitnya ada lima puluh potong terjatuh di tangan kawanan kera itu. Setelah memegang benda mestika, tentu mereka akan membawanya dan dipamerkan ke mana-mana."
"Hehe, memang sifat sok pamer kawanan kera tidak kalah daripada manusia," ujar Sim Gin-hong dengan tertawa.
"Dan di antara lima puluh potong batu mestika itu, asalkan satu potong saja dilihat orang, tentu orang itu akan menyelidiki dan mencari tahu dari mana datangnya benda mestika itu."
"Betul, umpama diriku juga pasti akan bertindak begitu," kata Sim Gin-hong.
"Agar usaha pencariannya lebih berhasil, orang itu tentu akan mengajak kawan. Sedangkan urusan rezeki, sekali orang kedua sudah diberitahu, dengan cepat tentu akan diketahui pula oleh orang ketiga, kalau sudah orang ketiga, akhirnya pasti akan diketahui orang ketigaratus."
"Ya, tepat," Sim Gin-hong tertawa.
"Dan bila berita ini sudah tersiar, tidak perlu khawatir lagi orang-orang takkan mencari ke sini," kata Siau-hi-ji.
"Betul," seru Sim Gin-hong pula sambil keplok, "Seumpama orang yang paling tidak becus, jika persoalannya mengenai cari harta karun, tidak becus pun berubah jadi becus. Apalagi bila berita ini sudah tersiar, seketika berbagai tokoh terkemuka juga pasti akan memburu ke sini."
"Nah, sekarang kau sudah paham bukan?" kata Siau-hi-ji. "Bila ada orang datang ke sini, maka kita pun pasti dapat keluar dari sini. Akal sederhana begini ternyata tidak kalian ketemukan selama belasan tahun, sungguh aku sangat heran."
Sikap gusar Hian-ko-sin-kun tadi kini sudah buyar, ia malah terus merangkul Siau-hi-ji dan diangkat tinggi-tinggi sambil bergelak tertawa dan berteriak seperti orang gila, "Aha, kau benar-benar manusia paling pintar di dunia ini!"
Tapi Siau-hi-ji lantas menarik muka, katanya, "Memangnya sebelum ini ada orang yang lebih pintar daripadaku?"
Begitulah, maka harta benda mestika yang tak ternilai, bahkan ada manusia yang selama hidupnya tak pernah melihat barang sepotong pun benda mestika itu, kini satu per satu dibuang begitu saja oleh Siau-hi-ji seperti orang melempar tomat busuk atau kulit pisang. Setiap kali dia melemparkan sepotong, setiap kali pula wajah Hian-ko-sin-kun tampak meringis laksana kena dibacok orang satu kali, entah lagi tertawa senang atau menangis sedih.
Hari pertama saja Siau-hi-ji sudah melemparkan sepotong jamrud besar, satu kalung bertatahkan intan, satu biji batu mata kucing, sepasang gelang kemala putih. Besoknya yang dibuang Siau-hi-ji naik satu kali lipat.
Selanjutnya benda-benda mestika yang dibuangnya itu setiap hari bertambah banyak, yang paling kesal adalah Hian-ko-sin-kun alias si kera, air mukanya gelap, matanya merah, mulutnya tiada hentinya mengomel, "O, orang pintar, tahukah kau bahwa benda yang telah kau lempar itu berapa nilainya" Jika benda-benda itu dijadikan uang, mungkin cukup untuk membiayai menguruk rata jurang neraka ini."
Namun Siau-hi-ji tidak pedulikan dia, sampai hari ketujuh, Hian-ko-sin-kun merasa seperti disayat-sayat menyaksikan caranya Siau-hi-ji membuang-buang harta benda, butiran keringat memenuhi dahinya. Dengan menggereget ia mengomel dan berkata dengan geram, "O, orang pintar, apabila akal bagus yang kau laksanakan ini tidak berhasil, maka tahulah cara bagaimana kau akan kubunuh?"
Dengan tak acuh Siau-hi-ji menjawab, "Setelah harta benda ini kulempar habis dan masih tiada orang datang, maka boleh terserah cara bagaimana kau akan membunuh aku." Padahal ia sendiri pun sudah mulai lemas, benda mestika itu sudah amblas separo, tapi bayangan setan belum nampak satu pun.
Akhirnya Hian-ko-sin-kun merampas kembali peti besi itu, ia duduk di atas peti dan berteriak, "Sudah cukup, jangan menjamahnya lagi, siapa pun tidak boleh menyentuhnya!"
"Apa kau betul-betul ingin harta dan tidak ingin nyawa lagi?" tanya Siau-hi-ji.
Dengan menggereget Hian-ko-sin-kun menjawab, "Demi harta benda ini aku telah menderita selama lima belas tahun, kalau sekarang dibikin ludes oleh kau setan cilik ini, andaikan nanti aku dapat keluar dengan hidup, lalu apa artinya bagiku?"
Mata Siau-hi-ji berkedip, katanya, "Betul juga ucapanmu. Tapi harus kau pertimbangkan, bukan mustahil kalau kulemparkan lagi satu biji mutiara dan mendadak ada orang datang, usaha terakhir ini kalau tidak dilaksanakan, bukankah sia-sia dan sayang?"
Si kera garuk-garuk kepala, katanya ragu-ragu, "Ini ... ini ...."
"Bisa jadi hanya perlu satu biji mutiara lagi, satu biji saja ...." demikian Siau-hi-ji berkata sambil memandang si kera.
Akhirnya Hian-ko-sin-kun menggerung keras sambil melonjak bangun, katanya, "Baiklah, anggap mulut si setan cilik ini lihai, hatiku jadi tergerak oleh ocehanmu."
"Supaya kau tahu, dengan mulutku ini orang hidup dapat kukatakan mati dan orang mati dapat kuhidupkan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, segera ia mencomot satu biji mutiara sebesar anggur terus diselentik keluar gua dengan perlahan.
Ada satu dengan sendirinya ada dua, ada dua tentu ada tiga dan ... beberapa hari telah lalu pula, dan bayangan setan sekali pun tetap tak tertampak.
"Apalagi yang dapat kau katakan, setan cilik?" teriak Hian-ko-sin-kun dengan geregetan sambil mencengkeram dada baju Siau-hi-ji.
"Bisa jadi dengan ...."
"Bisa jadi dengan satu biji mutiara lagi, begitu bukan?" potong si kera sebelum lanjut ucapan Siau-hi-ji.
"Hehe, betul," jawab anak muda itu dengan menyeringai.
"Kentut makmu busuk!" damprat si kera. "Sudah cukup kau bikin susah diriku dan masih ... masih ...." kedua cakar kera segera hendak mencekik Siau-hi-ji.
Syukur pada saat itu juga tiba-tiba terdengar Sim Gin-hong mendesis dan berseru tertahan, "Sssst! Itu dia datang!"
Waktu mereka berpaling, di tepi gua sana tampak menongol setengah buah kepala. Benar-benar kepala, kepala manusia.
Rambut orang itu terikal di atas kepala, topinya sudah hilang, mungkin jatuh tertiup angin. Alisnya hitam panjang, ekor alis rada melengkung ke atas, tampaknya bengis. Tapi pangkal alis berkerut, agaknya banyak menanggung pikiran.
Seumpama orang itu memang banyak menanggung pikiran, jelas sukar diketahui dari matanya, sebab matanya melotot besar seperti mata ikan emas, biji matanya kaku tak bergerak, bagian putih matanya penuh urat merah.
Jelas itulah mata manusia, tapi tampaknya seperti juga bukan mata manusia, mata sebesar itu ternyata tiada nampak gaya hidup sedikit pun.
Sudah tentu Siau-hi-ji, Sim Gin-hong dan Hian-ko-sin-kun juga sedang melototi mata kepala itu, jadinya saling melotot, entah mengapa timbul juga rasa ngeri dalam hati mereka. Biji mata yang kaku itu seakan-akan membawa semacam hawa yang menyeramkan.
"Kau ini ...." belum lanjut Hian-ko-sin-kun, mendadak kepala itu mengapung ke atas dan melayang masuk gua.
Kepala itu tidak bertangan, tidak berkaki, tidak bertubuh, tidak ada apa pun, hanya kepala belaka, kepala melulu.
Kepala itu menumbuk dinding gua, darah berbau amis lantas muncrat.
Kerongkongan Hian-ko-sin-kun seakan-akan tersumbat, ia urung membentak lebih lanjut dan hanya berdiri melenggong. Sebaliknya di luar gua terdengar suara tertawa aneh kaum kera, tampak menongol pula beberapa wajah kera yang menyeringai lucu.
Baru sekarang. Siau-hi-ji menghela napas lega, omelnya dengan tertawa,
"Kurang ajar, kiranya kawanan kera brengsek itu yang main gila!"
Tapi kepala manusia itu sekali-kali pasti bukan dipenggal oleh kawanan kera.
Sim Gin-hong angkat kepala itu dan diteliti, katanya kemudian, "Mungkin inilah orang pertama yang ingin mencari harta karun."
"Ya, tapi kepalanya telah dipenggal orang," sambung Hian-ko-sin-kun.
"Entah siapa yang memenggalnya," kata Sim Gin-hong.
Sambil memandangi matahari yang sudah hampir terbenam di luar gua sana Siau-hi-ji berkata dengan perlahan, "Orang yang memenggal kepala itu mungkin segera akan datang?"
Akan tetapi tunggu punya tunggu, "Orang yang memenggal kepala itu" belum lagi datang. Malam sudah larut, subuh sudah hampir tiba, Hian-ko-sin-kun menjadi tidak tenteram lagi.
Cahaya fajar yang remang-remang mulai menembus ke dalam gua yang gelap itu, mendadak di mulut gua menjulur masuk sebuah tangan.
Kelima jari tangan itu mencengkeram kaku, di tengah remang-remang fajar tangan ini kelihatan menjadi rada misterius.
Tanpa bicara Hian-ko-sin-kun terus melompat maju dan menarik tangan itu, tidak banyak tenaga yang digunakannya dan tangan itu kena dibetotnya.
Ternyata tangan itu pun sebuah tangan melulu, tertabas sebatas sikut, bagian yang putus itu masih ada darah beku yang sudah menghitam. Di bagian punggung tangan ada bekas luka panjang, agaknya di waktu yang lalu tangan ini pun hampir putus dibacok orang.
"Kepala sudah datang, tangan pun menyusul, selanjutnya mungkin adalah sebuah kaki busuk," kata Hian-ko-sin-kun dengan suara serak.
"Tapi kepala dan tangan ini bukan berasal dari satu orang yang sama," ujar Siau-hi-ji .
"Memangnya kau tahu dari mana" Kau tanya dia?" jengek si kera.
"Kulit kepala itu halus, sedang kulit tangan ini kasap seperti amplas, masakah kau tak dapat melihatnya atau merabanya?"
Si kera mendengus dan terdiam sejenak, lalu berkata pula, "Jadi tangan ini adalah orang kedua ...."
"Betul, tangan inilah yang memenggal kepala itu," kata Siau-hi-ji.
"Sok tahu, memangnya kau menyaksikannya?" jengek Hian-ko-sin-kun.
"Lihat saja tangan ini, kalau bukan tangan yang kuat ini, mana bisa sekali tebas memenggal kepala orang?"
"Hmk!" kembali si kera menjengek.
"Dari bentuk telapak tangan ini seharusnya kau tahu pada detik sebelum tangan ini ditabas kutung tentunya sedang memegang erat sebatang golok,"
tutur Siau-hi-ji pula. "Bukan saja golok, bahkan golok pusaka. Makanya begitu tangan terbatas putus segera pula goloknya direbut orang. Sebuah tangan yang kuat memegang sebatang golok pusaka, dengan sendirinya mudah sekali digunakan memenggal kepala orang. Yang sukar dimengerti adalah entah mengapa tangan ini bisa juga dibuntungi orang."
Tiba-tiba terdengar Sim Gin-hong menghela napas dan menukas, "Betul, tangan ini memang sebuah tangan yang kuat, golok yang dipegangnya juga sebatang golok pusaka."
Sinar mata Hian-ko-sin-kun tampak gemerdep, jengeknya, "Hm, kau tahu juga"!"
"Sudah tentu tahu," jawab Sim Gong-hong, ia menghela napas pula, lalu menyambung, "Meski kepala itu tak kukenal, tapi tangan ini cukup kukenal."
Alis Siau-hi-ji tampak berjengkit, katanya, "Jangan-jangan dari bekas luka ini?"
"Betul, bekas luka di tangan itu adalah hasil karyaku," tutur Sim Gin-hong, tapi aku pun membubuhkan obat pada lukanya hingga merapat, semua itu tidak ...
tidak dapat kulupakan." Dari nadanya terasa peristiwa itu banyak mengandung kisah sedih yang mengharukan.
Namun Hian-ko-sin-kun lantas menjengek, "Hm, kau melukai dia dan memberi obat pula, barangkali otakmu rada miring."
"Kukira bacokan itu tentunya salah paham, kau menyesal setelah melukai dia, makanya kau memberi obat padanya, begitu bukan?" ujar Siau hi-ji.
"Ya, memang begitulah," kata Sim Gin-hong.
"Jika begitu, tentunya orang itu adalah kawanmu sendiri?" tanya Siau-hi-ji.
"Ya, orang ini adalah Kim-to (si golok emas) Thi Ju-liong," jawab Sim Gin-hong. "Sebenarnya dia adalah sahabat karibku, cuma lantaran berebut kedudukan Congpiauthau, aku ... aku telah membacoknya satu kali, sesudah kejadian itu aku menjadi sangat menyesal, tapi dia lantas pergi tanpa pamit.
Peristiwa itu sudah 20 tahun yang lalu, tak tersangka dia ... dia ...." sampai di sini, ia berpaling ke sana dan terbatuk-batuk.
"Kim-to Thi Ju-liong, nama ini pernah kudengar juga, konon ilmu silatnya cukup tangguh," kata Hian-ko-sin-kun. "Tapi meski ilmu silatnya lebih tinggi daripadamu, namun otaknya tidak lebih tajam, makanya dia kena kau bacok.
Tapi selama 20 tahun ini kuyakin dia tekun berlatih dengan tujuan membalas dendam, maka ilmu silatnya pasti sudah jauh lebih maju, akan tetapi tangannya toh kena dikutungi orang, maka dapat dibayangkan orang yang memotong tangannya itu pasti tokoh yang lihai dan kita harus waspada."
Pendekar Wanita Penyebar Bunga 3 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bentrok Rimba Persilatan 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama