Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong Bagian 1
" 1 Pisau Terbang Li Judul Asli: Du Cing Jian Ke Wu Cing Jian atau Xiao Li Fei Dao
(Sentimental Swordsman, Ruthless Sword atau Dagger Lee)
Karya: Gu Liong Dahulu judulnya PENDEKAR BUDIMAN
saduran Gan KL Bab 1. Pisau Terbang Lawan Pedang Kilat
Angin dingin laksana pisau, menggunakan bumi sebagai alasnya, dan mengiris manusia seperti daging ikan. Badai salju memanjang beribu-ribu mil, membuat segala sesuatu seakanakan
berkilauan bagai perak. Dalam badai musim dingin ini, sebuah kereta datang dari
arah utara. Roda-rodanya memecahkan es di tanah, tapi
tidak sanggup memecahkan kesepian di muka bumi ini.
Li Sun-Hoan menguap, memanjangkan kakinya. Di dalam
kereta cukuplah nyaman, tapi perjalanan ini sungguh
terlalu panjang, dan terlalu sepi. Ia tidak hanya merasa
2 sangat lelah, tapi juga kesal. Ia merasa kesepian adalah
hal yang paling menyebalkan dalam hidupnya, namun
sayangnya kesepianlah yang begitu sering menemaninya.
Hidup seseorang memang penuh kontradiksi. Dan tidak
seorang pun bisa berbuat apa-apa.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan mengambil botol
araknya. Sambil minum arak, ia mulai batuk-batuk. Ia
terus terbatuk-batuk sampai wajahnya memucat, seolaholah
api neraka sedang membakar tubuh dan jiwanya.
Kini botol araknya sudah kosong. Ia meraih pisau
kecilnya dan mulai mengukir sebentuk manusia pada
sepotong kayu. Pisaunya tipis dan tajam, jari-jarinya
panjang dan kuat. Figur yang diukirnya adalah seorang wanita. Wanita yang
sangat cantik dan hangat. Dengan kepiawaiannya
mengukir, figur wanita itu tampak sungguh-sungguh
hidup. Ia tidak hanya memberi wajah yang memikat, ia juga
memberi figur wanita itu hidup dan jiwa, karena hidup
dan jiwanya sendiri telah tertuang seutuhnya di ujung
pisau kecil itu. Usianya tidak lagi muda. Kerut-kerut kecil tampak di sekitar matanya. Tiap kerutan
menyimpan semua kegembiraan dan kesedihan dalam
hidupnya. Matanya sajalah yang tetap muda belia.
3 Ia memiliki sepasang mata yang menarik, bersemu hijau,
seperti angin musim semi bertiup menggoyangkan daun
pinus, hangat dan lentur. Seperti air laut yang
bermandikan sinar mentari, penuh vitalitas.
Mungkin karena sepasang matanya inilah, ia bisa hidup
hingga hari ini. Akhirnya, ukirannya pun selesai. Ia menatap figur itu
sambil termenung. Entah berapa lama. Lalu tiba-tiba
didorongnya pintu kereta dan meloncat keluar.
Sang kusir langsung menarik tali kekang kuda.
Kusir ini memiliki sepasang mata yang tajam bagai elang,
namun sewaktu menatap pada Li Sun-Hoan, tatapannya
berubah hangat, penuh simpati dan kesetiaan. Seperti
seekor anjing menatap tuannya.
Li Sun-Hoan menggali lubang di tanah untuk mengubur
hasil ukirannya. Lalu ia termenung sambil menatap
gundukan salju, tempat ia menguburkan figur wanita itu.
Jari-jarinya dingin membeku, wajahnya merah karena
dingin yang menusuk, dan butiran-butiran salju menutupi
sekujur tubuhnya. Tapi ia tidak merasa dingin. Benda
yang ia kuburkan seakan-akan adalah orang yang
terpenting dalam hidupnya. Bersamaan dengan
dikuburnya "wanita" itu, hidupnya pun menjadi penuh
dengan kehampaan. Orang lain akan merasa janggal melihat ini, namun sang
kusir telah terbiasa. Ia hanya berkata, "Sudah hampir
4 gelap dan perjalanan masih jauh. Mari naik ke atas
kereta, Siauya." Li Sun-Hoan menoleh, dan melihat di atas salju di
sebelah keretanya tampak sepasang jejak kaki. Sendirian
berjalan, datang dari arah utara.
Jejak kaki itu cukup dalam, menandakan bahwa orang itu
telah berjalan jauh, sangat lelah, namun menolak untuk
beristirahat. Li Sun-Hoan menarik nafas panjang dan berkata, "Sulit
dipercaya, seseorang mau bepergian dalam cuaca
semacam ini. Kurasa ia pasti seseorang yang sangat
kesepian, yang sangat menderita."
Sang kusir tidak menjawabnya, hanya mengeluh dalam
hati, "Bukankah kau juga sangat kesepian dan
menderita" Mengapa kau hanya bisa bersimpati akan
keadaan orang lain, tapi melupakan dirimu sendiri?"
Ada banyak batang pohon pinus di bawah kursi
keretanya, dan Li Sun-Hoan pun mulai mengukir lagi.
Tekniknya telah sempurna dengan begitu banyak latihan,
karena yang pernah dan yang akan pernah diukirnya
hanyalah wanita itu. Wanita ini tidak hanya mengisi relung-relung hatinya,
tapi juga seluruh tubuhnya.
Badai salju akhirnya berhenti, tapi rasa dingin makin
menusuk dan rasa sepi makin tebal. Suara angin yang
menderu membawa juga suara langkah-langkah kaki.
5 Walaupun suara ini lebih halus daripada derap langkah
kuda, suara inilah yang dinanti-nantikan Li Sun-Hoan.
Jadi walaupun sangat halus, suara ini tak akan luput dari
pendengarannya. Disingkapnya tirai kereta, dan terlihatlah bayangan
seseorang berjalan di depan.
Orang ini berjalan perlahan-lahan, tapi tidak pernah
berhenti. Walaupun ia mendengar derap langkah kuda, ia
tidak menoleh sama sekali. Ia tidak memakai topi
ataupun payung. Salju yang mencair turun dari wajah ke
lehernya. Pakaiannya pun hanya selembar baju yang
tipis. Namun kepalanya tegak, seakan-akan ia terbuat dari
baja. Salju, hawa dingin, rasa lelah, lapar, tidak dapat
menaklukkannya. Tidak ada satu hal pun yang dapat menaklukkannya.
Sewaktu kereta melewatinya, barulah Li Sun-Hoan
melihat wajahnya. Alisnya tebal, matanya besar, bibirnya yang tipis terkatup
rapat membentuk garis, hidungnya lurus, membuat
wajahnya tampak lebih kurus.
Wajah ini mengingatkan orang pada batu dalam pot
bunga. Kuat, kokoh, dingin, seakan-akan tidak ada hal
yang cukup berarti baginya, bahkan dirinya sendiri.
6 Namun bagi Li Sun-Hoan, wajah ini adalah wajah yang
paling gagah yang pernah dilihatnya seumur hidup.
Walaupun agak sedikit muda, sedikit kurang dewasa,
wajah ini memiliki kepribadian yang magnetis.
Dalam mata Li Sun-Hoan terbayang sebentuk senyum. Ia
membuka pintu keretanya dan berkata, "Mari masuk. Aku
bisa memberimu tumpangan."
Kata-katanya pendek dan singkat, penuh tenaga. Dalam
hamparan salju tidak berujung ini, tak seorang pun akan
menolak ajakannya. Siapa sangka anak muda ini bahkan tak mau menoleh
padanya! Ia bahkan tidak memperlambat langkahnya,
seakan-akan tidak mendengar orang berbicara padanya.
Tanya Li Sun-Hoan, "Apakah kau tuli?"
Tangan anak muda itu tiba-tiba menyentuh pedang di
pingganggnya. Walaupun jari-jarinya telah membeku,
gerakannya tetap cepat dan tangkas.
Li Sun-Hoan tertawa, katanya, "Kurasa kau tidak tuli.
Masuklah, dan mari minum. Seteguk arak tak akan
menyakiti siapa pun."
Anak muda itu menjawab cepat, "Aku tidak sanggup
beli." Bisa-bisanya anak muda ini bicara demikian! Bahkan
kerut-kerut di sudut mata Li Sun-Hoan pun ingin
tersenyum, tapi ia sendiri malah tidak tersenyum.
7 Sebaliknya ia berkata, "Aku mengundangmu minum
bersamaku, bukan menjual arak padamu."
Anak muda itu menjawab, "Aku tidak akan mengambil
barang yang tidak kubeli dengan uangku sendiri. Jika
arak itu tidak kubeli dengan uangku, aku tak akan
meminumnya. Apakah penjelasanku cukup jelas?"
Kata Li Sun-Hoan, "Cukup jelas."
Dan anak muda itu berkata, "Bagus. Kau bisa pergi
sekarang." Li Sun-Hoan berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil
tersenyum, "Baiklah. Aku pergi sekarang, tapi waktu kau
sudah punya uang untuk membeli arak, maukah kau
mengundangku minum?"
Anak muda itu menatapnya, lalu berkata, "Baik, aku akan
mengundangmu." Li Sun-Hoan tertawa dan keretanya mulai melaju, sampai
ia tidak dapat lagi melihat anak muda itu. Li Sun-Hoan
bertanya dengan geli, "Pernahkah kau bertemu anak
seaneh itu" Aku pikir ia adalah seorang yang bijaksana,
nyatanya kata-katanya sangat lugu, sangat jujur."
Jawab sang kusir, "Ia adalah anak yang berkemauan
kuat, itu saja." Li Sun-Hoan bertanya lagi, "Kau lihatkah pedang di
pinggangnya?" 8 Senyum simpul terbayang di bibir sang kusir. "Dapatkah
itu dikatakan sebagai pedang?"
Dalam definisi baku, tentulah benda itu tidak dapat
dianggap pedang, cuma sebilah logam yang panjangnya
satu meter. Tidak ada ujung yang lancip, tidak ada
sarung, hanya ada dua potong kayu yang dipakukan
pada pangkal bilah logam itu, yang mungkin bisa
dianggap sebagai pegangannya.
Sang kusir melanjutkan, "Menurut aku, itu hanya mainan
anak-anak belaka." Kali ini Li Sun-Hoan tidak tersenyum, ia bahkan
menghela nafas dan berkata, "Menurut aku, mainan itu
sangatlah berbahaya. Lebih baik tidak dimainkan."
Penginapan di kota kecil ini tidak besar, namun penuh
sesak dengan orang-orang yang terperangkap badai
salju. Di halaman ada banyak kereta kosong milik jasa
ekspedisi. Di sebelah timur tampak umbul-umbul milik
jasa ekspedisi tersebut, yang berkibar keras sejalan
dengan deru angin. Tak bisa dibedakan lagi apakah
gambar yang tertera pada umbul-umbul itu harimau
ataukah singa. Di rumah makan penginapan itu, seorang bertubuh besar
dengan mantel bulu domba berjalan keluar masuk.
Setelah minum beberapa kali, ia buka mantelnya,
menunjukkan pada orang-orang bahwa ia tahan hawa
dingin. 9 Waktu Li Sun-Hoan tiba, tidak ada lagi meja kosong. Tapi
ia tidak kuatir sama sekali, karena ia tahu bahwa tidak
banyak barang di dunia ini yang tidak dapat dibeli
dengan uang. Oleh sebab itu, sebentar saja ia sudah
mendapatkan meja di sudut rumah makan. Ia segera
memesan arak dan mulai minum perlahan-lahan.
Ia tidak pernah minum dengan cepat, tapi ia sanggup
minum terus-menerus untuk beberapa hari tanpa
berhenti. Ia terus minum, terus terbatuk-batuk, dan hari
pun mulai senja. Sang kusir masuk, berdiri di belakangnya dan berkata,
"Kamar di sebelah selatan sudah kosong, dan mereka
telah membersihkannya. Tuan dapat beristirahat kapan
saja." Li Sun-Hoan hanya mengangguk. Setelah beberapa saat,
sang kusir menambahkan, "Ada beberapa orang dari
Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa Emas).
Tampaknya mereka sedang mengirim barang dari
perbatasan." Tanya Li Sun-Hoan, "O ya" Siapakah kepala
rombongannya?" Jawab sang kusir, "Cukat Liu, si Pedang Angin Kejut."
Li Sun-Hoan menaikkan alisnya, dan berkata dengan
tertawa, "Orang ini bisa hidup sampai sekarang" Hebat
betul." 10 Walaupun ia sedang berbicara tentang orang di
belakangnya, matanya terus menatap ke depan, seakanakan
sedang menantikan seseorang.
Sang kusir berkata, "Anak itu tidak berjalan cepat.
Mungkin Anda harus menunggu kedatangannya sampai
tengah malam." Li Sun-Hoan tertawa, katanya, "Aku rasa ia tidak berjalan
lambat, tapi ia ingin menghemat tenaganya. Pernahkah
kau melihat seekor serigala berjalan dalam padang salju"
Jikalau tidak ada mangsa di depan dan musuh di
belakang, pastilah ia tidak akan berjalan cepat. Karena
menghabiskan tenaga dalam perjalanan adalah suatu
pemborosan."
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sang kusir tertawa juga, dan berkata, "Tapi anak itu kan
bukan serigala." Li Sun-Hoan tidak menjawab, karena saat ini ia mulai
batuk-batuk lagi. Kemudian dilihatnya tiga orang masuk dari pintu
belakang, sambil berbicara keras-keras mengenai kisahkisah
dalam dunia persilatan. Seakan-akan mereka takut
orang-orang tidak tahu bahwa mereka adalah orangorang
penting dalam Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi
Singa Emas). Li Sun-Hoan mengenali orang gendut berwajah merah itu
adalah Si Pedang Angin Kejut, tapi ia tidak ingin orang itu
mengenalinya, sehingga ditundukkannya kepalanya
untuk mengukir figur kayu lagi.
11 Untunglah Cukat Liu tidak pernah menanggap penting
orang-orang di kota kecil. Mereka segera memesan
makanan dan arak, dan langsung mulai makan.
Sialnya, makanan dan minuman tidak menutup mulut
mereka. Setelah minum beberapa kali, Cukat Liu menjadi
makin sombong dan tertawa keras-keras. "Loji
(Jisuheng), ingatkah kau saat di kaki gunung Thay-hengsan
waktu kita bertemu "Empat Harimau Thay-hengsan?""
Orang yang ditanya itu tersenyum. "Bagaimana aku bisa
lupa" Waktu itu "Empat Harimau Thay-heng-san" beraniberaninya
mengambil barang kiriman, bahkan berkata
"Cukat Liu, kalau kau merangkak, kami bebaskan kau.
Kalau tidak, kami akan ambil bukan saja barang-barang
kiriman, tapi kepalamu juga sekalian."
Orang yang ketiga pun tertawa keras-keras. "Siapa
sangka belum habis mereka mengayunkan golok, Toako
(kakak tertua) telah habis memenggal kepala mereka."
Orang yang kedua berkata, "Bukannya mau sombong.
Kalau soal kekuatan telapak tangan, yang paling hebat
adalah ketua jasa ekspedisi kami, "Si Telapak Singa
Emas". Tapi kalau soal keahlian pedang, tak ada yang
mengalahkan Toako (kakak tertua) kami ini."
Cukat Liu terbahak-bahak sambil mengangkat cawannya,
namun tiba-tiba terdiam, sewaktu penutup barang di
sampingnya tiba-tiba tertiup angin.
Dua bayangan manusia muncul.
12 Kedua orang ini mengenakan jubah merah darah dan
topeng aneh yang biasa dipakai orang-orang di luar
perbatasan. Kedua orang ini tampaknya memiliki bentuk
tubuh yang sama, dan tinggi badan yang sama pula.
Orang awam mungkin tidak melihat muka mereka, tapi
dari kelihaian kung fu dan pakaian mereka, secara tidak
sadar pandangan mereka terarah pada kedua orang ini.
Hanya mata Li Sun-Hoan yang tetap menatap pintu,
karena sewaktu angin mulai menghempas pintu itu lagi,
ia melihat anak muda itu.
Anak muda itu berdiri tegak di luar pintu, dan sepertinya
ia sudah ada di sana sejak lama. Seperti seekor binatang
buas. Walaupun ia ingin sekali merasakan kehangatan
dalam penginapan dan tidak ingin pergi, ia takut untuk
masuk ke dalam dunia manusia.
Li Sun-Hoan kembali menghela nafas, dan barulah
sekarang ia mengalihkan perhatiannya pada kedua orang
itu. Mereka telah menanggalkan topeng, memperlihatkan
wajah mereka yang buruk. Telinga mereka kecil, hidung mereka besar, mungkin
menutupi sepertiga wajah, membuat mata dan telinga
mereka seolah-olah terpisah sangat jauh.
Namun mata mereka menunjukkan kejahatan, seperti
mata ular. Lalu mereka pun menanggalkan jubah mereka, dan
terlihatlah baju mereka yang hitam. Tubuh mereka pun
13 mirip ular, kurus panjang, dan dapat menyerang kapan
saja. Membuat orang-orang merasa takut, dan juga jijik
melihat mereka. Kedua orang ini sangat mirip, hanya saja yang satu
wajahnya putih, dan yang lain wajahnya hitam. Gerakan
mereka sangat lambat, membuka jubah, melipatnya, dan
berjalan perlahan ke arah meja. Kemudian mereka
berjalan lewat depan Cukat Liu.
Suasana di rumah makan sangat hening, sampai-sampai
suara Li Sun-Hoan mengukir pun dapat terdengar.
Cukat Liu, berpura-pura tidak melihat kedua orang ini,
namun gagal. Kedua orang ini pun menatapnya. Mata mereka bagaikan
kuas, yang menyapu Cukat Liu dari atas sampai ke
bawah. Cukat Liu hanya dapat berdiri dan bertanya, "Bolehkah
saya bertanya nama dari Tuan-Tuan yang terhormat"
Maafkan kalau saya tidak mengenali."
Orang berwajah putih itu tiba-tiba berkata, "Jadi kaulah
Si Pedang Angin Kejut Cukat Liu?"
Suaranya tajam dan berdesis, seperti suara ular. Nyawa
Cukat Liu seakan terbang mendengar suara ini. "Y...ya."
Orang berwajah hitam pun tertawa dingin. "Pantaskah
kau disebut Si Pedang Angin Kejut?"
14 Tangannya bergetar. Sebilah pedang tipis panjang tibatiba
muncul di tangannya. Pedangnya diarahkan pada Cukat Liu, dan katanya,
"Tinggalkan apa yang kau bawa, dan aku akan
mengampuni nyawamu."
Orang kedua yang duduk di situ berdiri tiba-tiba. Dengan
tersenyum ia berkata, "Tuan-tuan pasti salah sangka.
Dalam ekspedisi ini, barang-barang kami antar ke
perbatasan, bukan sebaliknya. Kereta-kereta kami sudah
kosong." Sebelum ia dapat menyelesaikan kalimatnya, pedang
orang berwajah hitam itu sudah melubangi batang
lehernya. Dengan sentakan ringan, kepalanya copot dan
berguling jatuh. Semua orang terbelalak. Kaki mereka menggigil di bawah
meja. Cukat Liu bisa hidup sampai hari itu, pastilah karena ia
memiliki keahlian. Ia mengambil barang dari kepitan
tangannya, dan diletakkannya di atas meja. "Informasi
kalian betul sekali. Kami memang membawa sesuatu dari
perbatasan. Tapi sayangnya, kalian berdua tidak punya
cukup keahlian untuk mengambilnya."
Orang berwajah hitam itu tergelak. "Apa yang akan kau
lakukan?" Jawab Cukat Liu, "Tuan-tuan sepantasnya meninggalkan
jejak keahlian silat Anda di sini, supaya waktu saya
15 pulang, saya dapat memberikan alasan." Sambil
berbicara, ia mundur tujuh langkah. Pedang telah
terhunus. Semua orang tahu ia akan bertarung sampai
mati. Tak disangka-sangka ia malah menjungkirbalikkan meja
di sampingnya. Mangkok di meja itu penuh dengan bakso
udang yang langsung melayang ke udara.
Terdengar bunyi "si si" dari pedangnya, dan terlihat
cahaya terang pedang itu berkelebat. Lebih dari sepuluh
bakso udang telah terbelah menjadi dua.
Kata Cukat Liu, "Kalau Anda bisa membuat hal yang
sama, saya akan segera memberikan barang ini pada
Anda. Jika tidak, silakan berlalu."
Ilmu pedangnya cukup tinggi, dan kata-katanya pun
cukup indah, tapi Li Sun-Hoan tertawa diam-diam.
Dengan cara ini, musuh-musuhnya hanya akan menebas
bakso udang, bukan kepalanya. Menang atau kalah, ia
akan tetap hidup. Orang berwajah hitam itu tertawa. "Ini adalah keahlian
juru masak. Kau pikir ini adalah ilmu silat?"
Sambil berbicara, ia menarik nafas panjang dan
membuat potongan bakso udang di lantai mendal
kembali ke udara. Lalu, hanya dengan selarik sinar hitam,
seluruh potongan bakso udang itu tiba-tiba lenyap.
Ternyata, semuanya tertusuk oleh pedangnya. Bahkan
orang yang tidak tahu silat pun tahu bahwa mengiris
bakso udang di udara sangatlah sulit, namun lebih sulit
16 lagi untuk mengumpulkannya dengan satu tusukan
pedang. Wajah Cukat Liu pucat pasi melihat ilmu pedang orang
itu, dan undur lagi beberapa langkah. Katanya, "Saya
rasa Tuan-Tuan adalah "Pek-hiat-siang-coa (dua ular
berdarah hijau)?""
Waktu mendengar ini, orang ketiga yang masih duduk di
meja gemetar ketakutan dan berusaha merangkak pergi
diam-diam. Bahkan sang kusir di samping Li Sun-Hoan pun
mengangkat alisnya, karena ia tahu bahwa beberapa
tahun belakangan ini, sedikit sekali perampok di daerah
Huang-ho (sungai kuning) yang dapat menandingi kedua
orang ini. Baik dari segi keahlian, maupun kekejian.
Kabarnya, jubah merah mereka adalah noda darah
korban-korban mereka. Namun sebenarnya ia pun tidak tahu banyak. Karena
orang-orang yang mengetahui apa yang sebenarnya
telah dilakukan oleh "Pek-hiat-siang-coa (dua ular
berdarah hijau)", 9 dari 10 telah kehilangan kepalanya.
Si Ular Hitam tertawa dan berkata, "Ternyata bisa juga
kau mengenali kami. Setidaknya matamu tidak buta."
Cukat Liu menggeretakkan giginya dan berkata, "Karena
Anda berdua menginginkan barang ini, saya rasa saya
tidak bisa berbuat apa-apa. Ambil saja dan pergilah."
17 Si Ular Putih lalu berkata, "Kalau kau mau merangkak di
lantai, akan kubiarkan kau hidup. Kalau tidak, kau bukan
hanya harus meninggalkan barangmu, tapi juga
kepalamu." Ini tidak lain adalah kata-kata Cukat Liu sendiri sewaktu
ia sedang menyombongkan diri. Kali ini, kata-kata itu
diucapkan Si Ular Putih, dan tiap kata terasa mengiris
kulitnya seperti pisau. Wajah Cukat Liu berubah hijau, lalu menjadi pucat. Tibatiba
tubuhnya jatuh ke tanah, dan merangkak
mengelilingi meja sekali.
Di saat inilah Li Sun-Hoan menghela nafas dalam-dalam,
berkata pada dirinya sendiri, "Aku melihat kepribadian
orang ini telah berubah. Tidak heran ia bisa hidup begini
lama." Walaupun ia berbicara dengan lirih, kedua Ular Kembar
dapat mendengarnya dan berpaling. Tetapi Li Sun-Hoan
seakan-akan tidak menyadarinya, dan terus
berkonsentrasi pada ukirannya.
Si Ular Putih tertawa, "Sepertinya di sini ada jago kungfu
kelas satu. Sayang aku dan Toako tidak melihatnya." Si
Ular Hitam berkata, "Barang ini diberikan kepada kami
dengan sukarela. Kalau ada orang yang pedangnya lebih
cepat daripada kita, kita pun akan secara sukarela
memberikan barang ini kepadanya."
Tangan Si Ular Putih bergetar dan sebuah pedang lain
muncul. Kali ini warnanya putih. Katanya, "Jika ada orang
18 yang pedangnya lebih cepat daripada kami, kami akan
menyerahkan barang ini dan juga kepala kami
kepadanya." Mata mereka mengarah pada Li Sun-Hoan saat berbicara.
Namun Li Sun-Hoan tetap berkonsentrasi pada
ukirannya. Seakan-akan tidak mendengar apa-apa.
Seseorang di luar tiba-tiba berteriak, "Berapa harga
kepalamu?" Waktu mendengar ini, Li Sun-Hoan terkejut, tapi juga
gembira. Diangkatnya kepalanya, dan akhirnya terlihat
olehnya anak muda itu masuk.
Bajunya belum kering betul. Di beberapa tempat bahkan
tampak membeku. Namun ia berdiri tegak sepert
tombak. Matanya juga masih terlihat kesepian, terlihat keras.
Matanya mengandung suatu kebuasan yang tidak dapat
dijinakkan. Dapat bertempur kapan saja. Membuat sulit
bagi orang untuk dekat padanya.
Perhatian semua orang terarah pada pedang di
pinggangnya. Waktu melihat pedang ini, Si Ular Putih
tertawa geli, "Apakah kau yang bertanya?"
Anak muda itu menjawab, "Ya."
Si Ular Putih bertanya, "Kau hendak membeli kepalaku?"
19 Jawab si anak muda, "Aku hanya ingin tahu harganya,
karena aku ingin menjualnya kepadamu."
Si Ular Putih berusaha tenang dan bertanya lagi,
"Menjual kepalaku kepadaku?"
Anak muda itu berkata, "Betul sekali. Karena aku tidak
berminat akan barang itu dan juga akan kepalamu."
Si Ular Putih pun berkata, "Sepertinya kau hanya ingin
menantangku." "Ya." Si Ular Putih menatap anak muda itu lekat-lekat, lalu
memandang ke arah pedangnya, dan tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak. Baru kali ini ia melihat hal selucu ini
dalam hidupnya. Anak muda itu hanya berdiri diam-diam, ia tidak
mengerti apa yang sedang ditertawakan orang. Rasanya
tidak ada satupun yang lucu yang ia katakan.
Sang kusir juga menghela nafas. Anak ini sudah gila,
pikirnya. Cukat Liu pun berpikir anak muda ini sudah
hilang akal. Tiba-tiba terdengar Si Ular Putih berkata, "1000 tail emas
pun belum dapat membeli kepalaku."
Jawab si anak muda, "1000 tail emas terlalu banyak. Aku
hanya perlu 50 tail."
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
20 Si Ular Putih berhenti tertawa, karena ia sadar anak
muda ini tidak gila, dan tidak juga bercanda. Tapi
kemudian ia melihat pedang itu lagi, dan kembali
tergelak-gelak. "Baiklah, jika kau mau mengikuti
perintahku, kuberi kau 50 tail."
Sambil terus tertawa, ia tiba-tiba mengebaskan
pedangnya ke arah lilin di atas meja. Tak ada sesuatu
pun yang terjadi. Semua orang tercekat, tidak mengerti
apa yang sedang terjadi. Si Ular Putih pun meniup lilin itu
perlahan, dan pecahlah lilin itu menjadi tujuh bagian.
Pedangnya dikebaskan lagi dan lagi dan lagi. Ketujuh
bagian itu terkumpul di pedangnya. Ajaibnya, api di
bagian yang teratas masih terus menyala!
Si Ular Putih berkata dengan sombongnya, "Pedangku
cepat tidak?" Wajah anak muda itu tidak bergeming, jawabnya,
"Sangat cepat."
Si Ular Putih tertawa, "Bagaimana dengan kau?"
Jawab si anak muda, "Pedangku bukan untuk memotong
lilin." "Lalu untuk apakah besi tua itu?"
Tangan anak muda itu memegang pedangnya, dan
berkata sekata demi sekata, "Pedangku- Adalah-UntukMembunuh-Orang." 21 Si Ular Putih tersenyum. "Membunuh orang" Siapakah
yang bisa kau bunuh?"
Kata anak muda itu, "KAU!"
Bersamaan dengan kata "kau" diucapkannya, ditusukkan
pula pedangnya! Pedang itu berasal dari pinggangnya. Semua orang juga
melihatnya. Namun hanya dalam sekejap, pedang itu telah menusuk
leher Si Ular Putih. Semua orang juga melihat bahwa
pedang satu meter ini telah menembus tenggorokan Si
Ular Putih! Tidak ada darah, sebab darah belum sempat keluar.
Anak muda itu menatap Si Ular Putih dan berkata, "Jadi
pedangmu, atau pedangkukah yang lebih cepat?"
Si Ular Putih hanya bersuara "ge ge". Otot-otot wajahnya
gemetar. Tiba-tiba mulutnya terbuka dan lidahnya
terjulur ke luar. Darah keluar dari mulutnya.
Si Ular Hitam mengangkat pedangnya, tapi tidak berani
bertindak. Butir-butir keringat bergulir dari dahinya.
Tangannya gemetar. 22 Anak muda itu lalu menarik pedangnya dan darah pun
mengalir dari tenggorokan Si Ular Putih. Ia berteriak
keras, "Kau..."
Lalu ia jatuh ke lantai. Anak muda itu menoleh ke arah Si Ular Hitam, "Ia sudah
kalah. Mana 50 tailku?"
Mukanya sangat serius. Serius seperti seorang anak yang
lugu. Namun kali ini tidak ada seorang pun yang berani
menertawakannya. Dengan gemetaran, Si Ular Hitam bertanya, "Jadi kau
benar-benar membunuhnya untuk 50 tail perak?"
"Betul sekali."
Si Ular Hitam tidak tahu apakah ia seharusnya tertawa
atau menangis. Tiba-tiba direnggutnya rambutnya dan
disobek-sobeknya bajunya, sehingga uang perak
berhamburan. Dilemparkannya seluruh uang perak itu ke
arah anak muda itu. "Ini, ambillah. Ambil semuanya!"
Lalu ia berlari keluar seperti orang kesurupan.
Anak muda itu tidak mengejarnya. Ia bahkan tidak
marah. Sebaliknya, ia berjongkok memunguti uang
perak. Dibawanya uang perak itu kepada pemilik
penginapan, dan bertanya, "Kau pikir ini ada 50 tail?"
23 Pemilik penginapan sudah merangkak ke bawah meja.
Tak sanggup berkata-kata. Hanya menganggukanggukkan
kepalanya. Li Sun-Hoan menoleh pada sang kusir, dan tertawa, "Aku
benar, kan?" Sang kusir menghela nafas. "Kau sangat tepat. Mainan
itu sangat berbahaya."
Ia melihat anak muda itu berjalan ke arah mereka,
namun ia tidak bisa melihat Cukat Liu. Cukat Liu masih
ada di koLiong meja. Baru saat inilah ia berani muncul, dan ia membokong
anak muda itu! Pedangnya tidak lambat. Anak muda itu pun tidak
menyangka Cukat Liu akan membunuhnya. Ia sudah
membunuh Si Ular Putih. Seharusnya Cukat Liu berterima
kasih kepadanya. Mengapa mau membunuhnya"
Ketika semua orang berpikir pedangnya akan menembus
jantung si anak muda, Cukat Liu tiba-tiba berteriak keras.
Pedangnya mencelat dan tertancap di langit-langit.
Pedangnya masih berayun-ayun di langit-langit,
sementara tangan Cukat Liu kini memegang
tenggorokannya. Matanya terarah pada Li Sun-Hoan, dan
bola matanya hampir melompat keluar.
24 Li Sun-Hoan tidak lagi mengukir, sebab pisau yang
digunakannya untuk mengukir tidak ada lagi di
tangannya. Darah mengalir ke punggung Cukat Liu.
Ia menatap Li Sun-Hoan, dan dari tenggorokannya keluar
suara "ge ge". Saat itulah orang-orang sadar bahwa pisau
ukir Li Sun-Hoan telah berada di tenggorokan Cukat Liu.
Hanya saja, tidak seorang pun melihat bagaimana pisau
ini berpindah. Keringat membasahi wajah Cukat Liu yang kesakitan.
Tiba-tiba dikatupkannya mulutnya dan dicabutnya pisau
itu dari lehernya. Ia memandang Li Sun-Hoan sambil
berteriak, "Seharusnya sudah kukenali engkau!"
Li Sun-Hoan mengeluh. "Sayangnya, baru sekarang kau
menyadarinya. Kalau kau tahu, kau tidak akan mencoba
melakukan hal yang memalukan itu."
Cukat Liu tidak mendengar kata-kata ini. Ia tidak akan
pernah mendengar apa-apa lagi.
Anak muda itu pun menoleh, wajahnya terkejut. Ia tidak
mengerti mengapa orang ini ingin membunuhnya.
Tapi hanya sebentar ia memandang, lalu berjalan
kembali ke arah Li Sun-Hoan. Di balik penampilannya
yang liar dan tidak beraturan, tersembunyi secercah
kehangatan dan senyuman. 25 Ia berkata singkat, "Aku ingin mengundangmu minum."
Bab 2. Teman Akrab Tersimpan dalam Lautan
Kereta kuda kini penuh dengan botol-botol arak. Arak ini
dibeli oleh si anak muda, jadi ia minum sebotol demi
sebotol, menikmati kelezatannya.
Li Sun-Hoan memandangnya dengan gembira. Jarang
sekali ia bertemu seseorang yang menarik perhatiannya,
tapi anak muda ini sungguh-sungguh menarik.
Tiba-tiba si anak muda meletakkan botol araknya dan
menatap Li Sun-Hoan. "Mengapa kau mengundangku ke
dalam keretamu untuk minum?"
Li Sun-Hoan tertawa. "Karena penginapan itu bukan
tempat yang baik untuk kita duduk lama-lama."
"Kenapa?" Jawab Li Sun-Hoan, "Siapa pun juga yang membunuh
orang, ia akan terlibat dalam persoalan. Aku tidak takut
membunuh, tapi aku benci persoalan."
Anak muda ini berpikir sejenak, lalu mulai minum lagi. Li
Sun-Hoan tersenyum sambil memadang si anak muda,
mengagumi wajahnya saat ia minum.
Tak selang berapa lama, anak muda ini pun mengeluh.
"Membunuh memang bukan pekerjaan yang
26 menyenangkan. Tapi ada beberapa orang di dunia ini
yang harus dibunug. Jadi aku harus membunuh mereka!"
Li Sun-Hoan tertawa. "Benarkah kau membunuhnya
untuk 50 tail perak?"
Anak muda itu menjawab, "Walaupun tanpa uang, aku
pasti membunuhnya. Tapi mendapatkan 50 tail kan lebih
baik lagi." Li Sun-Hoan bertanya, "Mengapa 50 tail?"
Jawabnya, "Karena harganya memang sebegitu."
Li Sun-Hoan tersenyum. "Banyak orang di kalangan
persilatan yang sepantasnya mati. Dan beberapa
berharga lebih dari 50 tail perak. Kau mungkin bisa jadi
kaya raya nantinya."
Kata anak muda itu, "Sayangnya aku sangat miskin.
Kalau tidak, seharusnya kuberikan kepadamu 50 tail itu."
"Kenapa?" "Karena kau bantu aku membunuh orang itu."
Li Sun-Hoan tertawa senang "Kau salah. Orang itu tidak
berharga 50 tail. Sebenarnya ia tidak berharga
sepeserpun." Tiba-tiba ia bertanya, "Taukah kau mengapa ia ingin
membunuhmu?" 27 "Tidak." "Karena walaupun Si Ular Putih tidak membunuhnya, ia
telah membuat Cukat Liu kehilangan muka di dunia
persilatan. Kau membunuh Si Ular Putih. Hanya dengan
membunuhmu, ia bisa mendapatkan kembali
kehormatannya. Itulah mengapa ia harus membunuhmu.
Orang-orang kalangan persilatan sangat licik, jauh di luar
bayanganmu." Anak muda itu tenggelam dalam pikirannya. Lalu
berkata, "Kadang-kadang hati manusia lebih kejam
daripada hati harimau. Setidaknya, jika harimau itu ingin
memakanmu, ia akan memberitahukan kepadamu lebih
dulu." Ia meneguk araknya, lalu melanjutkan. "Tapi yang
kudengar hanyalah manusia mengatakan harimau itu
kejam. Tidak pernah harimau berkata bahwa manusia
kejam. Kenyataannya, harimau membunuh untuk
bertahan hidup. Tapi manusia membunuh untuk alasanalasan
lain. Dan sejauh pengetahuanku, jauh lebih sering
manusia mati dibunuh sesamanya, daripada dibunuh
harimau." Li Sun-Hoan menatapnya. "Itukah sebabnya kau lebih
suka bergaul dengan harimau?"
Anak muda itu berpikir lagi, dan tiba-tiba tertawa.
"Masalahnya cuma satu, mereka tidak minum arak."
28 Inilah kali pertama Li Sun-Hoan melihat senyumannya.
Sebelumnya ia tidak sadar bahwa senyum dapat
mengubah seseorang begitu rupa.
Wajah anak muda itu selalu kesepian, selalu keras,
membuat Li Sun-Hoan berpikir ia seperti serigala di
tengah salju. Namun waktu ia tersenyum, kepribadiannya berubah
total. Ia menjadi sangat hangat, sangat akrab, sangat
manis. Li Sun-Hoan belum pernah melihat seorang pun yang
dapat tersenyum begitu memikat.
Tiba-tiba anak muda ini bertanya, "Apakah kau sungguhsungguh
orang terkenal?" Li Sun-Hoan tersenyum. "Kadang-kadang jadi orang
terkenal tidak menguntungkan."
"Tapi aku ingin sekali jadi orang terkenal. Aku ingin jadi
orang yang paling terkenal di seluruh dunia."
Dia mengucapkannya dengan sangat lugu.
Li Sun-Hoan tertawa lagi. "Setiap orang ingin terkenal.
Hanya saja kau lebih jujur dari kebanyakan orang."
Kata anak muda itu, "Aku berbeda dari kebanyakan
orang. Aku HARUS terkenal. Jika aku tidak terkenal, aku
harus mati." 29 Li Sun-Hoan terbelalak mendengar kata-katanya.
"Mengapa?" Anak muda itu diam saja. Tapi dapat terlihat kepedihan
yang dalam di matanya. Li Sun-Hoan baru menyadari bocah lugu ini ternyata
menyimpan banyak rahasia. Masa kecilnya pastilah
penuh dengan kesedihan dan kesengsaraan.
Maka Li Sun-Hoan berkata dengan hangat, "Jika kau
ingin terkenal, paling tidak beri tahu aku namamu."
Anak muda itu terdiam cukup lama, lalu menjawab,
"Orang-orang biasa memanggilku A Fei."
"A Fei?" Li Sun-Hoan tertawa. "Jadi shemu adalah "Ah?" Tidak ada
orang di dunia ini yang bershe itu."
Anak muda itu menjawab keras, "Aku TIDAK punya she!"
Kobaran api muncul di matanya. Li Sun-Hoan menyadari
bahwa air mata pun takkan sanggup memadamkan api
ini. Tapi ia tidak sanggup untuk bertanya lagi. Tidak
disangkanya bahwa anak muda itulah yang melanjutkan,
"Waktu aku benar-benar terkenal, mungkin akan
kuberitahukan sheku. Tapi sekarang..."
Li Sun-Hoan berkata dengan suara lembut. "Sekarang
aku panggil kau A Fei." Anak muda itu girang, "Baiklah,
sekarang kau panggil aku A Fei. Sejujurnya, kau boleh
memanggilku apa saja."
30 Kata Li Sun-Hoan, "A Fei, mari bersulang."
Baru habis setengah cawan, Li Sun-Hoan mulai batukbatuk
lagi. Wajahnya yang pucat menandakan ia punya
penyakit berat. Namun tetap dihabiskannya cawan itu.
Ah Fe menatapnya bingung, bagaimana orang seterkenal
itu sangat buruk kesehatannya. Tapi ia tidak berkata
sepatah kata pun. Dihabiskannya cawannya sendiri.
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Sun-Hoan tersenyum. "Tahukah kau mengapa aku
suka kau menjadi sahabatku."
A Fei diam saja, maka Li Sun-Hoan melanjutkan. "Karena
dari semua teman-temanku, hanya engkaulah yang
melihatku terbatuk-batuk tapi tidak menyuruhku berhenti
minum." Kata A Fei, "Apakah tidak boleh minum kalau sedang
batuk?" "Sebenarnya menyentuh alkohol pun tak boleh."
Maka tanya A Fei, "Lalu mengapa kau minum terus"
Apakah kau punya masa lalu yang menyedihkan?"
Mata Li Sun-Hoan langsung meredup, dan memandang A
Fei. "Apakah aku bertanya sesuatu yang tidak ingin kau
jawab" Apakah aku bertanya di mana orang tuamu"
Siapa gurumu" Dari mana asalmu" Hendak pergi ke
mana?" "Tidak." 31 "Lalu mengapa kau tanyakan itu padaku?"
A Fei duduk terdiam. Lalu tersenyum. "Takkan
kutanyakan lagi." Li Sun-Hoan juga tersenyum. Tampaknya ia ingin
bersulang lagi, namun waktu diangkatnya cawannya, ia
mulai batuk-batuk lagi. A Fei membuka jendela kereta, tapi tiba-tiba kereta
berhenti. "Apa yang terjadi?" tanya Li Sun-Hoan.
Sang kusir menjawab, "Seseorang menghalangi jalan."
"Siapa?" "Orang-orangan salju."
Mereka turun dari kereta. Li Sun-Hoan bernafas pelan,
tapi A Fei menatap orang-orangan salju seperti baru
pertama kali melihat dalam hidupnya.
Li Sun-Hoan berpaling padanya dan bertanya, "Kau
belum pernah melihat orang-orangan salju?"
Jawab A Fei, "Aku hanya tahu bahwa salju sangat
menjengkelkan.Ia tidak hanya membawa hawa dingin,
tapi juga membuat tanaman mati, binatang bersembunyi,
orang-orang kesepian dan kelaparan."
32 Ia membuat bola salju dan melemparkannya. Bola salju
itu jatuh di tempat yang cukup jauh, pecah, dan
kemudian hancur. Matanya pun menerawang jauh. "Bagi
mereka yang cuku makan dan cukup pakaian, mungkin
salju adalah hal yang indah. Bukan hanya mereka dapat
membuat orang-orangan salju, mereka pun dapat
menikmati pemandangan indah padang salju seperti ini.
Tapi bagi orang seperti aku....."
Tiba-tiba ditatapnya Li Sun-Hoan. "Apakah kau tahu
bahwa bagi seseorang yang tumbuh di alam bebas
seperti aku, angin, salju, es, dan hujan adalah musuh
terbesar?" Li Sun-Hoan juga membuat sebuah bola salju dan
berkata, "Aku tidak benci salju, tapi aku benci orang
yang menghalangi jalanku."
Dilemparnya bola salju itu ke arah orang-orangan salju.
Anehnya, orang-orangan itu tidak jatuh. Hanya saljunya
menjadi retak, sehingga terlihat sesuatu di dalamnya.
Ada manusia asli dalam salju!
Tapi sudah mati. Wajah orang mati tidak pernah rupawan, tapi wajah ini
sungguh mengerikan. "Si Ular Hitam!" jerit A Fei.
Mengapa Si Ular Hitam mati di sini"
33 Mengapa pembunuhnya membuatnya sebagai orangorangan
salju" Sang kusir menarik mayat itu dari salju dan
memeriksanya dengan teliti. Mencoba menemukan
penyebab kematiannya. Li Sun-Hoan bertanya, "Kau tahu siapa pembunuhnya?"
Jawab A Fei, "Aku tidak tahu."
Kata Li Sun-Hoan, "Barang itu."
"Barang apa?" Li Sun-Hoan melanjutkan, "Barang itu berada di atas
meja, sehingga aku tidak memperhatikannya. Tapi
sewaktu Si Ular Hitam pergi, barang itupun lenyap. Oleh
sebab itu kupikir ia berlagak gila untuk mengalihkan
perhatian orang banyak, dan kabur dengan barang itu."
"Oh, begitu." sahut A Fei.
"Namun takkan pernah disangkanya bahwa barang itu
akan mengakibatkan kematiannya. Pembunuhnya juga
menginginkan barang itu."
Tidak ada seorang pun yang tahu kapan pisau itu
kembali ada di tangannya. "Benda apakah itu" Mengapa
begitu banyak orang menginginkannya" Mungkin
seharusnya aku mencuri lihat."
34 A Fei mendengarkan dengan seksama, tapi tiba-tiba ia
memotong, "Jikalau pembunuh itu menginginkan barang
itu, mengapa harus membuat dia sebagai orang-orangan
salju dan menghalangi jalan kita?" Li Sun-Hoan terkejut.
Walaupun anak muda ini tidak berpengalaman dalam
hidup, sangat lugu, namun pikirannya sangat pandai. Tak
bisa dibandingkan bahkan dengan orang-ornag
berpengalaman di dunia persilatan.
A Fei melanjutkan, "Orang itu pasti telah
memperhitungkan bahwa tidak ada orang lain yang
melewati jalan ini. Hanya engkau. Maka orang-orangan
salju itu ditaruhnya untuk menghalangi jalanmu."
Li Sun-Hoan tidak menjawab, hanya bertanya, "Apakah
kau temukan lukanya yang mematikan?"
Namun sebelum sang kusir sempat menjawab, Li SunHoan menyambung, "Tak usahlah."
A Fei menambahkan, "Betul sekali. Orang-orang itu
sudah ada di sini, kenapa harus dicari lagi."
Ketajaman pendengaran dan penglihatan Li Sun-Hoan
dianggap paling hebat di dunia. Dia tidak percaya, anak
muda pendengaran anak muda ini pun sama baiknya.
Anak muda ini memiliki kemampuan alami binatang buas,
dapat menangkap hal-hal yang tidak bisa ditangkap
orang biasa. Li Sun-Hoan memberinya tawa puas,
"Karena kalian semua sudah tiba, mengapa tidak keluar
dan minum bersama?" 35 Salju di atas pohon di tepi jalan tiba-tiba luruh.
Seseorang tertawa senang, "Sudah sepuluh tahun tidak
berjumpa. Tak disangka Li-tamhoa masih tetap muda.
Harus diberi selamat."
Saat itu seseorang berlengan satu dengan pandangan
bagai elang muncul dari dalam hutan.
Seseorang yang lain muncul juga dari sisi lain jalan.
Orang ini kurus kecil. Tubuhnya seperti tulang belulang
dengan sedikit gumpalah daging di sana-sini. Mungkin
angin sepoi-sepoi pun dapat meniupnya pergi.
A Fei langsung menyadari bahwa orang ini tidak
meninggalkan jejak secuil pun di atas salju.
Untuk seseorang dapat tidak meninggalkan jejak,
walaupun ia beruntung memiliki badan yang ringan, ia
tetap harus memiliki tenaga dalam yang hebat.
Li Sun-Hoan tersenyum. "Aku baru saja kembali dari
perbatasan setengah bulan. Namun Cah-congpiauthau
(ketua) Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa Emas)
dan Sin-heng-bu-eng (Si Pengelana Tanpa Bayangan) Kijisiansing,
berdua datang menemui aku. Reputasiku pasti
cukup baik." Orang tua yang kecil itu tersenyum licik. "Tampaknya
ketenaran Li-tamhoa bukan bualan saja. Ingatanmu baik
sekali. Kita bertemu hanya satu kali tiga belas tahun
yang lalu, namun kau masih ingat aku, orang tua yang
tidak berguna ini." 36 ['Tamhoa' adalah gelar dalam kerajaan Cina kuno, yang
diberikan kepada orang yang menempati urutan ke-3
dalam ujian kerajaan. Ujian ini adalah untuk menyaring
pejabat negara.] Baru sekarang A Fei menyadari bahwa kaki orang tua itu
pincang. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana
seorang pincang dapat menjadi ahli kungfu meringankan
tubuh. Ia tidak tahu bahwa karena cacad sejak lahir, ia melatih
kungfunya lebih giat untuk menutupi kekurangannya.
A Fei tidak bisa tidak menghormati orang ini.
Li Sun-Hoan terkekeh. "Kau sudah susah-payah
mengundang teman-teman lain. Apakah tidak akan kau
perkenalkan mereka pada kami?"
Ki-jisiansing menjawab dingin. "Benar. Mereka juga
mendengar ketenaranmu dan ingin bertemu."
Saat ia berbicara, muncullah empat orang dari dalam
hutan. Walaupun hari masih siang, Li Sun-Hoan bergidik
melihat keempat orang ini.
Empat orang ini tampak dewasa, tapi berpakaian seperti
anak-anak. Mengenakan pakaian warna cerah dengan
motif bunga-bunga. Sepatu mereka pun sepatu anakanak
dengan gambar harimau di depan. Tatakan liur pun
terikat di pinggang. Sorot mata mereka menggambarkan
kedewasaan, namun tingkah laku mereka seperti bocah.
Orang yang melihat pasti merasa muak, ingin muntah.
37 Yang paling menarik adalah gelang yang mereka
kenakan di tangan dan kaki ada kerincingannya,
sehingga ribut sekali waktu mereka berjalan.
Waktu sang kusir melihat empat orang ini, ia langsung
berkata, "Si Ular Hitam tidak dibunuh oleh seseorang."
Li Sun-Hoan mendengus, "Heh?"
Kata sang kusir, "Ia terbunuh oleh racun kalajengking."
Roman wajah Li Sun-Hoan berubah. "Kalau begitu,
empat orang ini pastilah murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak
5 Racun)." "Anak" berbaju kuning tertawa. "Kau menghancurkan
orang-orangan salju yang kami buat susah-payah. Kau
harus membayarnya." Sambil mengatakan
"membayarnya", ia meloncat ke arah Li Sun-Hoan, namun
kerincingannya tidak berbunyi.
Li Sun-Hoan hanya tersenyum padanya, tidak bergerak
sama sekali. Tapi Ki-jisiansing juga meloncat, menghalangi "anak"
berpakaian kuning itu. Menariknya ke samping.
"Singa Emas" berdiri tiba-tiba dan tertawa keras. "LiTamhoa ini kaya raya. Jangankan orang-orangan salju,
orang-orangan emas pun sanggup dibayarnya. Kalian
berempat jangan gegabah. Aku akan
memperkenalkannya pada kalian."
38 "Anak" berpakaian merah menambahkan. "Aku tahu ia
juga ahli makan, minum, wanita, dan judi. Maka aku
selalu berharap ia dapat membantu kami mencari
kesenangan." "Anak" berpakaian hijau berkata, "Aku juga tahu dia
cukup berpendidikan, bahkan mendapat gelar Tamhoa
dalam ujian kerajaan. Kudengar ayahnya dan kakeknya
pun semua bergelar Tamhoa."
"Anak" berpakaian merah itu terkikik, "Sayangnya Li kecil
yang satu ini tidak ingin jadi pejabat pemerintah, malah
lebih senang jadi maLing."
Walaupun yang lain tampak tidak peduli akan apa yang
sedang dibicarakan, A Fei melongo mendengar informasi
ini. Tidak disangkanya bahwa sahabat barunya memiliki
hidup yang sangat menakjubkan.
Ia tidak tahu bahwa orang-orang ini hanya memilih cerita
yang spektakuler dari kehidupan Li Sun-Hoan. Kisah
hidup Li Sun-Hoan yang lengkap, tak akan selesai dalam
waktu tiga hari tiga malam.
A Fei juga tidak melihat bahwa walaupun tersenyum,
mata Li Sun-Hoan menggambarkan kepedihan yang
mendalam. Seakan-akan hatinya akan terkoyak
mendengar orang membicarakan masa lalunya.
Tiba-tiba Ki-jisiansing berkata dengan wajah serius,
"Kalian memang tahu banyak tentang Li Tamhoa. Tapi
pernahkah kalian dengar Siau Li Sin To (Pisau Kilat si Li
39 Ajaib), Tak ada bandingannya di koLiong langit, sekali
lempar, TIDAK PERNAH luput!"
"Anak" berpakaian kuning pun tertawa. "Sekali pisau itu
dilempar, tidak pernah luput. Pantas saja kau takut aku
mati oleh pisaunya, dan kau tak bisa menjelaskannya
pada Tuanku. Itu sebabnya kau menghalangiku."
Li Sun-Hoan berkata sambil tersenyum, "Tapi semua
orang boleh tenang. Pisauku yang kedua tidak sehebat
itu. Dan pisauku yang pertama tak akan mampu
membunuh enam orang sekaligus."
"Jika semua mau menuntut balas untuk Cukat Liu,
silakan maju." "Singa Emas" tertawa dua kali. "Cukat Liu tidak pantas
hidup. Mengapa harus merepotkan Li-heng ?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Jika tidak ada yang mau menuntut
balas, apakah kalian memang datang untuk menemaniku
minum?" Ki-jisiansing menjawab dingin, "Kami hanya ingin barang
itu." Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. "Barang?"
"Ya, barang itu harus dikirim oleh jasa ekspedisi. Kalau
tidak, reputasi Kim-say-piaukiok (jasa ekspedisi Singa
Emas) akan hancur." 40 Li Sun-Hoan menoleh pada mayat Si Ular Hitam.
"Maksudmu barang itu tidak ada padanya?"
Jawab "Singa Emas", "Li-heng memang pandai
berkelakar. Dengan adanya Li-heng di tempat itu,
bagaiman Si Ular Hitam dapat mengambil barang itu?"
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Sun-Hoan menghela nafas. "Aku paling benci
persoalan dalam hidup. Mengapa persoalan selalu
berhasil menemukanku?"
"Singa Emas" seolah-olah tidak mendengarnya. Ia terus
bicara, "Li-heng hanya perlu menyerahkan barang itu
dan aku akan segera pergi dan akan kuberikan arak juga
pada Li-heng ." Li Sun-Hoan memainkan pisau di tangannya. Tiba-tiba ia
tersenyum. "Kau benar. Barang itu ada padaku. Tapi aku
tidak tahu apakah aku harus menyerahkannya padamu
atau tidak. Beri aku waktu untuk berpikir."
Ki-jisiansing bertanya, "Berapa lama?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Dua jam saja. Setelah dua jam, kita
bertemu lagi di sini."
Ki-jisiansing tidak ragu-ragu menjawab, "Jadi!"
Ia tidak berkata apa-apa lagi sebelum pergi.
"Anak" berbaju kuning itu terkikik. "Dalam waktu satu jam
saja kau sudah bisa menghilang. Mengapa perlu dua
jam?" 41 Kata Ki-jisiansing, "Sejak Li Tamhoa masuk dunia
persilatan dan sebelum ia mundur, ia telah bertanding
lebih dari 300 kali. Tidak pernah sekali pun ia
menghindar." Mereka datang dengan cepat dan pergi dengan lebih
cepat. Sekejap saja, mereka telah menghilang ke dalam
hutan. A Fei memecahkan keheningan, "Kau tidak mempunyai
barang itu." "Betul." "Lalu mengapa kau berbohong?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Walaupun aku tidak
mengambilnya, mereka tidak akan percaya. Pertarungan
tak bisa dielakkan lagi. Lebih baik mengaku saja,
daripada berdebat panjang."
"Jika pertarungan pasti terjadi, mengapa harus
menunda?" Jawab Li Sun-Hoan, "Kita harus menemukan seseorang
dalam dua jam ini." "Siapa?" "Orang yang mencuri barang itu."
Lalu sambung Li Sun-Hoan, "Malam itu, ada tiga orang di
meja itu. Dua sudah mati. Kita harus menemukan orang
yang ketiga." 42 A Fei berpikir dalam-dalam. "Kau maksud orang yang
mengenakan mantel warna ungu, dengan cambuk di
pinggangnya, dan bulu di telinganya?"
Li Sun-Hoan tersenyum. "Kau hanya melihatnya sekejap
saja, tapi kau bisa mengingat begitu detil!"
"Aku memang melihatnya untuk sekejap. Sekejap saja
sudah cukup." "Kau benar. Dialah orangnya. Dari semua orang di rumah
makan malam itu, hanya dia seorang yang tahu betapa
berharganya barang itu. Ia berdiri di samping agar tidak
ada orang yang memperhatikan. Maka ia punya
kesempatan untuk membawanya pergi. Dan karena
barang itu sangat berharga, ia ingin memilikinya. Tapi ia
takut ketahuan, maka dilaporkannya bahwa akulah
pencurinya." Sambil tersenyum simpul ia lanjutkan. "Untung bukan
baru kali ini aku difitnah."
Kata A Fei, "Itulah sebabnya mereka bisa tahu di mana
engkau berada." "Betul sekali."
"Tapi supaya "Singa Emas" tidak mencurigainya, ia pasti
masih ada di sekitar sini."
"Betul lagi." 43 "Oleh sebab itu, pastilah ia bersama-sama dengan orangorang
"Singa Emas". Jadi kita hanya perlu menemukan
mereka, untuk menemukan pencuri itu!"
Li Sun-Hoan menepuk bahunya. "Kau hanya perlu
berkelana di dunia persilatan 3-5 tahun, dan semua
orang jahat pasti akan sulit hidup. Kuharap waktu kita
bertemu lagi, kita masih bersahabat."
Ia tertawa keras sambil melanjutkan, "Karena aku
sungguh tidak ingin menjadi musuhmu."
A Fei terdiam memandangnya. Lalu katanya, "Kau ingin
aku pergi sekarang?"
Kata Li Sun-Hoan, "Ini urusanku sendiri. Tak ada
sangkut-pautnya dengan kau. Mereka tidak mencari
engkau" Jadi buat apa kau terus di sini?"
A Fei bertanya lagi, "Kau tidak ingin aku terlibat
persoalan yang ruwet ini" Atau kau hanya tidak ingin
bepergian denganku?"
Li Sun-Hoan memandangnya sedih, walaupun senyum
tetap tersungging di bibirnya. "Di dunia ini, tidak ada
pesta yang tidak selesai. Akhirnya kita tetap harus
berpisah. Mengapa harus kita permasalahkan sekarang
atau nanti." Wajah A Fei menjadi suram. Lalu diambilnya dua cawan
arak dari dalam kereta. "Mari kita bersulang sekali lagi."
44 Li Sun-Hoan minum cawan itu sekali teguk. Ia ingin
tersenyum, tapi malah jadi terbatuk-batuk.
A Fei memandangnya tanpa berkata-kata, lalu dengan
cepat berbalik dan pergi.
Saat itulah, mulai lagi turun salju. Suasana begitu sunyi,
sampai terdengar bunyi butiran salju menyentuh tanah.
Li Sun-Hoan menatap punggung A Fei yang menghilang
di antara salju dan angin. Pandangannya beralih ke tanah
yang mulai tertutup salju, pada sepasang jejak yang
kesepian. Segera dituangnya lagi secawan arak. Katanya, "Anak
muda. Aku bersulang untukmu sekali lagi."
"Aku yakin kau tahu, sebenarnya aku tak ingin kau pergi.
Hanya saja masa depanmu sangat cerah. Bersamaku,
hanya kesulitan yang akan kau dapatkan. Aku adalah
seseorang yang sudah berkawan erat dengan persoalan,
kesialan, mara bahaya, dan kesedihan. Aku tak
mampu.... punya kawan lagi."
Namun A Fei tidak dapat mendengar perkataan ini.
Sang kusir masih berdiri mematung di situ. Ia tidak
berkata-kata, dan walaupun tubuhnya penuh salju, ia
tidak bergerak. Li Sun-Hoan minum lagi. Lalu berpaling padanya.
"Tunggu aku di sini. Lebih baik kau kuburkan tubuh Si
Ular. Aku akan kembali dua jam lagi."
45 Sang kusir menundukkan kepalanya. "Aku tahu telapak
Singa Emas sangat terkenal, tapi itu dilebih-lebihkan
saja. Kau hanya perlu 40 jurus untuk mengalahkannya."
Sahut Li Sun-Hoan, "Mungkin tak lebih dari 10 langkah."
"Bagaimana dengan Ki-jisiansing?"
"Ilmu meringankan tubuhnya cukup baik, dan ia pun ahli
senjata rahasia. Tapi aku rasa, tak akan ada kesulitan
menghadapinya." Kata sang kusir, "Kudengar murid-murid Ngo-tok-tongcu
(Si Anak 5 Racun) memiliki kungfu yang sangat aneh.
Dari yang aku lihat, kungfu mereka memang berbeda
dari kebanyakan orang."
Li Sun-Hoan memotong ucapannya dengan tawa.
"Jangan kuatir. Aku tidak takut pada orang-orang ini.
Mereka sama sekali bukan masalah."
Sang kusir masih tegang. "Kau tak perlu berbohong. Aku
tahu perjalanan kita kali ini sangat berbahaya. Siauya,
tak seharusnya engkau membiarkan Fei-siauya (tuan Fei)
pergi." Li Sun-Hoan menjadi sedikit berang. "Sejak kapan kau
mulai omong kosong?" semburnya.
Mulut sang kusir langsung terkatup, dan menunduk
semakin dalam. Selang beberapa saat, diangkatnya
wajahnya. Li Sun-Hoan telah pergi, suara batuknya
sayup-sayup terdengar. 46 Siapa pun yang mendengar suara batuk yang terusmenerus
di tengah padang salju, tak bisa tidak merasa
iba. Sampai akhirnya, deru angin menutupi suara batuk
itu. Setetes air mata jatuh di pipi sang kusir. Ia berkata pada
dirinya sendiri, "Siauya, kita hidup dengan tentram di
perbatasan. Mengapa kau ingin pulang ke tempat yang
penuh kesedihan dan duka ini" Tak dapatkah kau
melupakannya setelah 10 tahun" Masihkah kau ingin
berjumpa dengannya" Namun setelah kau berjumpa
dengannya pun, kau tak ingin berbicara padanya.
Mengapa kau timpakan penderitaan ini pada dirimu
sendiri?" Ketika masuk ke dalam hutan, wajah Li Sun-Hoan yang
riang dan cakap tiba-tiba berubah, berubah menjadi
seorang pemangsa. Telinganya, hidungnya, tiap lajur
otot dalam tubuhnya menyisir setiap inci hutan, tak
meluputkan apa pun juga. Selama 20 tahun ini, belum
pernah ada seorang pun yang lolos dari kejarannya.
Walaupun gerakannya gesit seperti seekor kelinci, ia
tidak terburu-buru. Seperti penari yang hebat, dalam
situasi apa pun ia tetap dapat mempertahankan
keanggunan dan kemantapannya.
Sepuluh tahun yang lalu, waktu ia menyerahkan segala
miliknya dan pergi ke perbatasan, ia pun lewat jalan ini.
Waktu itu, bunga musim semi mulai bermekaran.
Ia ingat, ada warung arak kecil di sekitar sini. Ia selalu
mampir ke situ untuk minum. Walaupun araknya
47 mungkin bukan yang terbaik, pemandangannya tak
disangkal lagi. Gunung di sebelah sananya, dan air
terjun. Waktu itu banyak pelancong. Ia mengawasi
pasangan-pasangan pelancong itu sambil minum araknya
yang terasa pahit, secawan demi secawan. Berpikir ia
akan pergi untuk selamanya. Kenangan ini tak akan
pernah dilupakannya. Tapi kini, tak disangkanya ia datang kembali. Sepuluh
tahun. Pastilah semuanya orang-orang baru. Pelayan
kecil itu telah menikah. Pasangan yang saling mencintai
itu telah tiada. Bahkan pohon persik itu, kini terbenam
dalam salju. Oh, betapa dirindukannya, bahwa warung kecil itu masih
ada. Ia berpikir demikian bukan karena kenangan lama, tapi
karena ia rasa orang yang dicarinya ada di sana.
Walaupun dunia dalam salju sungguh berbeda dengan
dunia angin musim semi, pemandangan itu masih
menusuk hatinya. Uang, kekuasaan, ketenaran, status sosial, itu semua
mudah dilepaskan. Namun kenangan indah, kenangan
yang manis itu. Bagai jerat yang membelenggunya,
sehingga ia tidak bisa lepas. Tak pernah merasa bebas.
Li Sun-Hoan mengambil sebotol arak dan minum
seluruhnya. Ia baru mulai berjalan lagi setelah selesai
batuk-batuk yang panjang.
48 Ia benar-benar menemukan warung kecil itu.
Ia teringat, di musim semi bunga-bunga liar tak bernama
mekar di mana-mana. Ia biasa minum arak di situ sambil
menikmati indahnya bunga-bunga liar.
Kini semua telah berubah.
Ia melihat sebuah kereta kuda, dan mendengar suara
kuda di belakang. Li Sun-Hoan tahu tebakannya benar. Mereka memang
ada di sini! Karena dalam cuaca seperti ini, di daerah
seperti ini, tak mungkin ada tamu lain.
Ia mempercepat langkahnya, menjadi lebih waspada,
dan memicingkan telinga sejenak. Tak ada suara apa pun
dari dalam warung. Segera ia melesat ke arah warung
itu. Waktu ia sudah sangat dekat, ia tak dapat percaya.
Selain suara kuda dari belakang, tak ada suara lain.
Li Sun-Hoan menuju ke arah pintu dan lantai kayu
menderik. Ia terkejut dan mundur selangkah.
Tetap sunyi senyap. Li Sun-Hoan mengindap-indap ke belakang, berpikir,
"Mungkin mereka tidak di sini."
49 Namun kemudian terlihat olehnya "Singa Emas", yang
sedang menatapnya lekat-lekat. Tidak bergerak, seperti
patung. Li Sun-Hoan menghela nafas. "Sungguh tak kusangka."
Hanya tiga kata itu yang terucap.
Karena kemudian ia menyadari bahwa "Singa Emas" tak
akan pernah lagi mendengar suara apa pun.
Bab 3. Mustika yang Menggoyahkan Hati Manusia
Li Sun-Hoan memandang sekali lagi. Leher "Singa Emas"
telah ditusuk! Namun badannya masih berdiri tegak! Artinya, siapa pun
pembunuhnya, ia memiliki keahlian pedang yang tinggi.
Ketepatannya! Kecepatannya!
Setelah pedang si pembunuh menembus leher "Singa
Emas", ia segera menariknya kembali, tanpa sedikit pun
tenaga tambahan. "Singa Emas" terlihat sedang siaga, bahkan sampai
setelah pedang itu menembus lehernya, ia tidak bergerak
sama sekali. Tubuhnya terkesan santai.
Bukan main cepatnya pedang itu!
50 Li Sun-Hoan sungguh terkejut. Ia tahu, "Singa Emas"
sudah terkenal lebih dari 20 tahun, dan tidak pernah
terlibat persoalan besar. Jasa ekspedisinya pun sangat
terkenal. Ini menandakan bahwa ia patut dikagumi. Akan
tetapi, tanpa bisa memberi perlawanan, seseorang
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berhasil menusukkan pedang ke lehernya.
Menusukkan pedang pada boneka kayu, menariknya
kembali, dan menjaga boneka kayu itu tetap berdiri saja
adalah sangat sulit. Li Sun-Hoan berputar dan masuk ke dalam warung.
Hanya ada satu meja yang berisi mangkuk-mangkuk
makanan. Tapi makanan itu belum disentuh sama sekali.
Demikian juga araknya. Keempat murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak 5 Racun) juga
telah menjadi mayat! Kepala mereka mengarah ke luar, dan kaki ke arah
dalam. Wajah mereka penuh keceriaan. Mereka pun mati
dengan tusukan sebilah pedang di tenggorokan!
Lalu dilihatnya Ki-jisiansing di sudut ruangan. Tangannya
memegang erat sebuah senjata rahasia.
Namun sebelum ia sempat menyambitkannya, ia pun
mati dengan tusukan pedang di lehernya.
Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus merasa kaget
atau senang. Ia hanya bisa menggumam, "Pedang yang
sangat, sangat cepat."
51 Jika ini terjadi dua hari yang lalu, ia tidak akan tahu
siapakah orang yang memilki keahlian pedang semacam
ini. Dulu memang ada ahli pedang dengan julukan Soatengcu (Si Elang Salju). Ia dianggap nomor satu di dunia
persilatan. Memang ia memliki ketepatan dan kecepatan,
tapi yang jelas ia tidak telengas seperti ini. Di samping
itu, ia sudah lama mengundurkan diri dan tidak mungkin
datang ke tempat ini hari ini.
Jago-jago silat masa lalu, seperti Sim Long, Him Mau-ji,
Ong Lian-hoa, mereka semua dikabarkan sudah mati
atau telah mengundurkan diri. Dan lagi, tak ada di antara
mereka yang jago pedang! Selain orang-orang ini, Li Sun-Hoan tidak tahu siapa lagi
yang memiliki keahlian semacam ini, sampai hari ini. Hari
ini ia tahu. Orang itu tak lain adalah anak muda yang misterius dan
penyendiri, A Fei! Li Sun-Hoan memejamkan matanya, membayangkan
bagaimana A Fei masuk ke ruangan ini. Keempat "anak"
itu pasti mengerubunginya. Namun sebelum mereka bisa
bergerak, pedang A Fei " cepat bagai kilat dan
mematikan bagai ular " telah menembus leher mereka.
Ki-jisiansing masih berdiri di samping, menunggu saat
yang tepat untuk menyambitkan senjata rahasianya. Ia
memang terkenal ahli meringankan tubuh dan senjata
rahasia. 52 Li Sun-Hoan menghela nafas. "Mainan. Seseorang
berkata pedangnya adalah mainan."
Tiba-tiba matanya tertuju ke dinding. Ia melihat ada
huruf-huruf terukir di sana.
"Kau membunuh Cukat Liu untukku. Aku membunuh
mereka untukmu. Aku tidak lagi berhutang padamu. Aku
tahu tidak baik untuk berhutang!"
"Aku hanya membunuh satu orang untukmu. Namun kau
bunuh enam untukku. Kau tahu seseorang tak boleh
berhutang. Lalu mengapa kau buat aku berhutang
padamu?" gumam Li Sun-Hoan. Lalu ia terus membaca.
"Walaupun kubunuh lebih banyak orang untukmu,
situasinya berbeda. Satu orang yang kau bunuh, sama
dengan enam yang kubunuh. Jadi kau tidak berhutang
padaku." Mau tidak mau, Li Sun-Hoan tergelak. "Caramu
menghitung memang tidak pandai. Jangan sampai kau
punya usaha dagang di kemudian hari."
Di dinding juga ada tanda panah menunjuk ke ruang
dalam. Li Sun-Hoan bergerak ke arah anak panah itu.
Waktu ia masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba sebilah
pedang menyambutnya! Sebilah pedang yang mengkilat,
dengan ujung pedang mengarah ke dadanya!
Orang yang memegang pedang adalah seorang tua.
Jenggotnya tidak panjang, namun kerut-merut terlukis di
seluruh wajahnya. 53 Ia menudingkan pedangnya dan berseru, "Siapa kau?"
Ia ingin membentak lebih keras, namun tidak bisa karena
ia gemetaran. Li Sun-Hoan segera mengenalinya. Ia tersenyum. "Tak
ingatkah kau padaku?"
Orang tua itu menggelengkan kepalanya.
Kata Li Sun-Hoan, "Tapi aku ingat engkau. Kau pemilik
warung ini kan" Sepuluh tahun yang lalu aku datang
beberapa kali untuk minum arak."
Mata orang tua itu tidak lagi menyelidik, tapi pedangnya
masih menuding ke dada Li Sun-Hoan. "Siapa namamu?"
"Sheku Li." Orang tua itu lalu menghembuskan nafas lega.
Pedangnya jatuh berdentang ke lantai. "Jadi kau adalah
Li" Li Tamhoa. Aku sedang menunggumu."
"Menungguku?" Sahut orang tua itu, "Seorang anak muda yang gagah
datang ke sini dan membunuhi orang-orang jahat. Ia
membiarkan aku hidup. Ia mengatakan kau akan
berkunjung. Ia ingin aku menyerahkan seseorang
kepadamu. Kalau tidak, ia akan membunuhku."
"Di mana orang itu?"
54 "Di dapur." Dapur itu cukup luas. Dan sangat bersih. Ada seseorang
di sana, terikat pada sebuah kursi. Orang itu kecil kurus,
dan tampak bulu-bulu keluar dari telinganya."
Li Sun-Hoan sudah tahu bahwa A Fei pasti membiarkan
orang itu hidup untuk diinterogasi. Namun orang ini
sungguh terkejut melihat Li Sun-Hoan. Mukanya
langsung memucat, tapi tak bisa bicara. Memang A Fei
telah mengikatnya kuat-kuat dan menyumpal mulutnya
dengan kain. Ia takut orang ini berusaha menakut-nakuti atau
berusaha menyuap si orang tua. Saat itu Li Sun-Hoan
baru menyadari bahwa A Fei sangat teliti.
Namun mengapa tak ditotoknya saja orang itu"
Pisau Li Sun-Hoan berkilat, dan sekejap saja kain yang
menyumpal mulut orang itu telah lepas. Orang itu hampir
pingsan. Ia ingin memohon belas kasihan, namun mulutnya
sangat kering, ia tidak bisa bicara.
Li Sun-Hoan pun tidak memaksanya. Ia duduk, dan
meminta orang tua itu membawakan araknya yang
terbaik. "Namamu?" 55 Wajah orang itu kini tampak kuning. Ia berusaha
membasahi bibirnya dengan lidahnya, dan menjawab
dengan tergagap, "Cayhe Ang Han-bin."
Kata Li Sun-Hoan, "Aku tahu kau bisa minum. Ini
minumlah secawan." Ia memutuskan tali belenggu orang itu, dan
menyorongkan cawan arak padanya. Orang itu sungguh
tercengang. Ia takut untuk menerimanya, tapi takut juga
untuk menolaknya. Li Sun-Hoan tertawa. "Jika ada orang menawariku arak,
takkan pernah kutolak."
Ang Han-bin menerima cawan itu. Tangannya masih
gemetaran. Akhirnya diminumnya cawan itu.
Setengahnya tumpah membasahi bajunya.
Li Sun-Hoan mengeluh. "Sayang sekali. Jikalau kau
meniru aku, berlatih mengukir dengan pisau, tanganmu
tak akan gemetar. Mengukir kayu membuat seseorang
menjadi tenang dan stabil. Ini rahasia kecilku."
Lalu dituangnya lagi arak ke dua cawan, dan sambil
tertawa berkata, "Ingatlah, jangan menyia-nyiakan arak
yang lezat." Kali ini Ang Han-bin menyambut cawan itu dengan kedua
tangannya. Takut menumpahkannya lagi, ia minum
seluruhnya sekali teguk."
56 Kata Li Sun-Hoan, "Bagus sekali. Aku tidak tahu banyak
hal dalam hidup ini, tapi aku telah memberitahukan
kepadamu dua pelajaran yang berharga. Bagaimana kau
akan berterima kasih padaku?"
Jawab Ang Han-bin, "A..aku?"
Lalu kata Li Sun-Hoan, "Kau tak perlu berbuat apa-apa.
Berikan saja barang itu padaku dan aku akan merasa
puas." Ang Han-bin menarik nafas, "Barang apa?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Kau tidak tahu?"
Ang Han-bin memaksakan untuk tersenyum, "Aku
sungguh-sungguh tidak tahu."
Li Sun-Hoan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kupikir
orang menjadi lebih jujur setelah mereka minum. Kau
sungguh-sungguh mengecewakanku."
Ang Han-bin hanya bisa tersenyum kecut, "Tuan L"Li,
pastilah ada kesalahpahaman. Saya benar-benar tidak
tahu." Wajah Li Sun-Hoan menegang. "Kau minum arakku, lalu
kau tipu aku" Kembalikan arakku sekarang juga."
Jawab Ang Han-bin, "Baiklah. Aku akan pergi membeli
arak." 57 Li Sun-Hoan berkata, "Aku ingin dua cawan yang sudah
kau minum, bukan arak yang kau beli."
Ang Han-bin berusaha tenang, ia menyeka keringat
dengan lengan bajunya, lalu berkata terputus-putus,
"Ta..tapi, arak itu sudah ada dalam perutku. Bagaimana
aku mengembalikannya?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Gampang saja."
Pisau itu berkilat lagi, dan tiba-tiba ujungnya telah
sampai di depan perut Ang Han-bin.
Tambahnya dengan dingin, "Karena arak itu sudah ada
dalam perutmu, tinggal kubuka saja untuk mengambilnya
kembali." Wajah Ang Han-bin menjadi putih seperti kertas, tapi ia
masih memaksakan diri untuk tersenyum. "Li-tayhiap,
mengapa kau berkelakar?"
Li Sun-Hoan menjawab tajam, "Apakah aku kelihatan
sedang bercanda?" Ditekannya pisau itu sedikit ke perut Ang Han-bin, dan
darah keluar sedikit. Karena hanya pengecut yang biasa berbohong, dan
waktu pengecut melihat darahnya sendiri ia akan
berkata-kata dengan jujur. Wajah Ang Han-bin masih
tersenyum, seakan-akan ia tidak merasa sakit sedikitpun.
58 Mata Li Sun-Hoan berkedip, dan tangannya berhenti
menekan. Pengecut ini ternyata tidak bisa diancam
dengan pisau, namun Li Sun-Hoan tidak memperlihatkan
kekagetannya. Sebaliknya ia tersenyum dan berkata, "Kau telah masuk
dalam dunia persilatan cukup lama, bukan?"
Ang Han-bin tidak menyangka akan pertanyaan itu. Ia
meneguhkan hatinya dan menjawab dengan senyum, "20
tahun sudah." Lalu kata Li Sun-Hoan, "Jadi kau pasti tahu ada beberapa
mustika di dunia ini yang diketahui banyak orang, tapi
hanya sedikit yang pernah melihatnya. Salah satunya"."
Ditatapnya Ang Han-bin lekat-lekat, dan dilanjutkan
kalimatnya perlahan-lahan, "ialah Kim-si-kah . Katanya
baju ini tidak tembus senjata, dan tak dapat terbakar.
Karena kau sudah berkecimpung selama 20 tahun,
pastilah kau pernah mendengarnya."
Wajah Ang Han-bin kini tampak seperti kain pel. Ia
segera melompat, hendak melarikan diri.
Gerakannya sangat gesit, dalam sekejap saja ia telah
sampai di pintu. Hanya saja, waktu ia hendak keluar, Li
Sun-Hoan menghadangnya. Ang Han-bin mengertakkan giginya, berbalik dan
menghunus tombak rantai peraknya. Bagai ular, tombak
itu menyerang ke arah Li Sun-Hoan.
59 Mungkin sudah 20-30 tahun ia melatih ilmu tombak ini.
Waktu ia memainkan jurus ini, rantai peraknya menjadi
lurus, menggulung angin dan menyambar ke arah
tenggorokan Li Sun-Hoan. Terdengar bunyi "Tang". Li Sun-Hoan hanya mengangkat
tangannya yang masih memegang cawan arak, dan
menggunakan cawan itu untuk menangkis ujung tombak.
Tombak itu tidak memecahkan cawan.
Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, "Jika ada seseorang
yang berusaha membujukku untuk berhenti minum, akan
kutunjukkan padanya keuntungan minum arak. Dan
bahwa cawan arak pernah menyelamatkan jiwaku."
Ang Han-bin berdiri mematung. Keringat bertetesan di
wajahnya bagai air hujan.
Kata Li Sun-Hoan, "Jika kau tidak ingin bertempur lagi,
tanggalkan Kim-si-kah itu. Anggaplah itu pembayaran
atas dua cawan arak."
Ang Han-bin bertanya, "Kau sungguh-sungguh
menginginkannya?" Sahut Li Sun-Hoan, "Aku bukannya menginginkan barang
itu. Kau telah mencurinya di depan hidungku. Ini berarti
kau memang punya keahlian. Tapi tak seharusnya kau
membual dan mengatakan pada orang lain bahwa akulah
pencurinya. Aku tidak suka difitnah."
60 "Kau benar. Aku memang mengambil barang itu. Dan
barang itu memang Kim-si-kah . Tapi, tapi?"
Ia sangat gelisah, sampai-sampai air matanya pun
mengalir. Li Sun-Hoan berkata, "Kim-si-kah adalah mustika yang
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memberi perLindungan. Apa kegunaannya bagimu" Aku
dapat membunuhmu dengan satu sambitan. Mengapa
kau menghabiskan tenagamu untuk
mempertahankannya?" Lanjutnya lagi, "Ini bukanlah barang yang seharusnya
kau miliki. Jikalau kau berikan barang ini padaku,
mungkin kau dapat hidup beberapa tahun lagi."
Jawab Ang Han-bin, "Aku pun tahu aku tidak cukup
berharga untuk mustika itu. Namun aku tidak
mengambilnya untuk diriku sendiri."
Li Sun-Hoan terkejut, "Jadi kau mencurinya untuk orang
lain" Siapakah dia?"
Ang Han-bin menggigit bibirnya. Saking kerasnya, sampai
darah keluar. Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, "Aku punya macammacam
cara untuk memaksa orang berbicara, namun aku
tak suka cara-cara itu. Jadi aku sungguh berharap kau
tidak memaksaku untuk menggunakannya."
Akhirnya Ang Han-bin menghembuskan nafas. "Baik. Aku
akan bicara." 61 Kata Li Sun-Hoan, "Lebih baik kau mulai dari awal."
Ang Han-bin mulai bicara. "Pernahkah kau dengar Sinthau
(MaLing Sakti) Te Ngo" Ia bukan siapa-siapa, jadi
mungkin Li-tayhiap tidak tahu."
Li Sun-Hoan tertawa. "Aku tahu dia, bahkan
mengenalnya cukup akrab. Ilmu meringankan tubuh dan
jurus-jurus kungfunya cukup hebat. Lagian dia juga suka
minum." Lanjut Ang Han-bin, "Kim-si-kah (Rompi Benang Emas)
ini dicurinya dari suatu tempat."
"O ya" Lalu bagaimana bisa sampai padamu?"
Jawab Ang Han-bin, "Ia dan Cukat Liu adalah sahabat
karib. Kami berjumpa dengan dia beberapa waktu lalu
dan minum bersama. Waktu dia mabuk berat, ia
keluarkan rompi itu untuk pamer. Cukat Liu sungguh iri
hati, dan"." Wajah Li Sun-Hoan mengeras. "Kalian bisa melakukan
hal serendah itu, tapi mengapa tak berani
mengakuinya?" Ang Han-bin menundukkan kepala. "Te Ngo tahu bahwa
semua orang di dunia persilatan menginginkan Kim-sikah
ini. Seharusnya ia tidak mabuk."
Li Sun-Hoan menyahut dingin, "Bukannya dia tidak
seharusnya mabuk. Seharusnya dia tidak berkawan
dengan orang yang salah."
62 Wajah Ang Han-bin yang pucat bersemu merah.
Kata Li Sun-Hoan, "Kim-si-kah ini dikabarkan sebagai
satu dari "Tiga Mustika Dunia Persilatan". Tapi sebenarnya
fungsinya tidak banyak. Mungkin hanya berguna sewaktu
dua jago silat bertempur. Orang biasa yang memilikinya,
lebih mungkin mati karena barang ini. Jadi, aku tak bisa
mengerti mengapa orang sangat menginginkannya. Pasti
ada alasan lain, bukan?"
Jawab Ang Han-bin. "Ya, ada satu rahasia. Namun
rahasia ini bukan rahasia lagi, karena"."
Sampai di situ, pemilik warung membawa masuk dua
botol arak. Katanya sambil tersenyum, "Ini adalah arak
yang istimewa. Pembesar Tamhoa sebaiknya minum
secawan sebelum melanjutkan."
Li Sun-Hoan tersenyum pahit. "Jika kau ingin aku sering
datang ke sini, jangan kau panggil aku seperti itu. Tiap
kali aku mendengarnya, aku kehilangan selera minum."
Cawan arak masih ada di tangannya. Ia tuang arak itu
secawan penuh. Tercium bau harum arak, dan suasana
hatinya pun membaik. Pujinya, "Sungguh arak istimewa."
Ia minum arak, dan mulai batuk-batuk.
Orang tua itu menarik kursi untuk Li Sun-Hoan duduk.
Katanya, "Batuk itu buruk untuk kesehatan. Hati-hatilah."
Orang tua itu tersenyum dan melanjutkan bicaranya,
"Akan tetapi, arak ini cocok sekali untuk menyembuhkan
63 batuk. Jika kau meminumnya, kujamin kau tak akan
batuk lagi." Li Sun-Hoan tertawa, "Jika arak dapat menyembuhkan
batuk, itu baik sekali. Mengapa kau tak minum secawan
juga?" Kata orang tua itu, "Aku tidak minum arak."
Li Sun-Hoan bertanya, "Kenapa" Penjual pangsit lebih
suka makan bakpao. Jadi penjual arak lebih suka minum
air putih?" Jawab orang tua itu, "Biasanya aku minum satu dua
cawan. Tapi aku tidak bisa minum arak ini."
Tiba-tiba matanya bersinar licik.
Li Sun-Hoan pura-pura tidak melihat. Ia terus tersenyum
dan bertanya, "Mengapa?"
Mata orang tua itu terpaku pada pisau di tangannya, dan
berkata, "Karena jika aku minum arak itu dan
menggunakan sedikit tenaga, aku akan mati keracunan."
Lidah Li Sun-Hoan kelu. Namun Ang Han-bin menjadi gembira, "Tak kusangka
kau mau menolongku. Akan kuberi kau hadiah yang
besar nanti." Orang tua itu menjawabnya dingin, "Tak usah kau
berterima kasih padaku."
64 Perangai Ang Han-bin berubah, walaupun senyumannya
tidak hilang. "Cianpwe, kau sungguh pandai
menyembunyikan jati dirimu. Kurasa kau juga
menginginkan"."
Saat berbicara, dihunusnya tombak rantai peraknya.
Tubuh kecil orang tua itu tiba-tiba bertambah tinggi satu
kaki. Diputarnya tangan kirinya dan ditangkapnya ujung
tombak itu. Bentaknya, "Kau pikir kau cukup hebat untuk
bertarung denganku?"
Orang tua penakut ini dalam sekedipan mata telah
berubah menjadi orang lain. Wajahnya pun menjadi
bercahaya. Ang Han-bin melihat wajahnya yang aneh, dan teringat
pada seseorang. Ia langsung mulai memelas. "Cianpwe,
jangan ambil nyawaku. Aku tidak mengenali Cianpwe
sebagai?" Tapi ia terlambat. Kepalan kanan si orang tua telah
tertuju padanya. Setelah terdengar suara "Bang", tubuh
Ang Han-bin mencelat ke atas, dan rantai di tangannya
putus menjadi dua. Darah langsung mengalir waktu
tubuhnya menghantam tembok.
Kekuatan pukulan ini sungguh luar biasa.
Li Sun-Hoan menghela nafas dan menggelengkan
kepalanya. "Sudah kukatakan. Dengan memilki Kim-sikah
ini, kau akan mati lebih cepat."
65 Orang tua itu melempar tombak yang tinggal separuh itu
ke lantai, lalu memandangi tubuh Ang Han-bing. Kerutmerutnya
muncul lagi. Kata Li Sun-Hoan, "Kau sudah tidak membunuh selama
20 tahun, bukan?" Orang itu memandangnya dan berkata, "Tapi aku belum
lupa caranya." Li Sun-Hoan bertanya, "Apakah harus membunuh untuk
hal semacam ini?" Jawab orang tua itu, "Dua puluh tahun yang lalu, aku
tidak butuh alasan untuk membunuh."
Sahut Li Sun-Hoan, "Namun dua puluh tahun telah lewat.
Bersembunyi selama dua puluh tahun tidaklah mudah.
Mengumbar identitasmu hanya untuk ini, sungguh
disayangkan." Orang tua itu bertanya, "Jadi kau tahu siapa aku?"
Li Sun-Hoan tertawa. "Kau seharusnya tidak lupa. Dua
puluh tahun yang lalu Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe sangatlah
terkenal. Namun ia berani membawa lari istri kepala
Perserikatan 72 Pelabuhan Daerah Selatan (Kanglam).
Keberanian semacam ini patut dikagumi."
Kata orang tua itu, "Bahkan dalam keadaanmu seperti
ini, kau masih sanggup bicara semacam itu."
66 Sahut Li Sun-Hoan lagi, "Jangan berpikir aku sok pintar.
Seorang laki-laki yang berani mempertaruhkan nyawa
demi wanita yang dicintainya patut dianggap laki-laki
sejati. Selama ini aku sangat menghormati engkau. Tapi
sekarang"." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "sekarang aku
sangat kecewa, karena kupikir kau bukanlah orang yang
licik. Kau hanya berani meracuniku. Tak berani
menantangku bertarung."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memandang padanya sesaat.
Sebelum ia berbicara, terdengar tawa seorang yang lain,
katanya, "Kau tak boleh menyalahkan dia. Mengenai ilmu
racun, ia tidak tahu apa-apa."
Suara ini milik seorang wanita. Merdu sekali.
Li Sun-Hoan tertawa. "Kau benar. Aku harusnya sudah
tahu bahwa ini adalah buah karya Jiang-wi Hujin. Li SunHoan sungguh merasa puas dapat mati di tangan
seorang ratu kecantikan dari dua puluh tahun silam."
Suara itu terkikik saat berkata, "Dasar perayu. Jika aku
bertemu engkau dua puluh tahun yang lalu, mungkin aku
takkan melarikan diri dengan dia."
Sambil tertawa ia keluar.
Setelah dua puluh tahun, ia tidak tampak terlalu tua.
Matanya masih tetap memikat, giginya putih bersih,
namun pinggangnya". 67 Sebenarnya, tak bisa dikatakan bahwa ia punya
pinggang. Bentuk tubuhnya seperti gentong.
Reaksi Li Sun-Hoan seperti baru saja menelan sebutir
telur bulat-bulat. Jadi inikah Jiang-wi Hujin" Ia tak bisa mempercayai
penglihatannya. Jiang-wi Hujin mengenakan mantel warna merah.
Parfumnya dapat tercium dari jarak satu kilometer.
Ia memandang Li Sun-Hoan sambil tertawa manis dan
berkata, "Betapa gagahnya Li-Tamhoa. Tak heran kau
begitu terkenal. Aku belum pernah bertemu dengan
orang segagah engkau dalam dua puluh tahun
belakangan. Namun dua puluh tahun yang lalu?"
Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, "dua puluh
tahun yang lalu aku hidup bergelimang harta. Orangorang
muda yang gagah memohon-mohon untuk
berkencan denganku. Jika mereka dapat memandangku
dan bercakap-cakap semenit saja, mereka merasa
bagaikan di awang-awang. Kalau kau tidak percaya,
tanya saja dia." Wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terlihat muram, ia tidak
ingin bicara. Li Sun-Hoan memandang leher Jiang-wi Hujin dan lemak
yang menggelambir, lalu menoleh pada Ci-bin-ji-Liong
Sun Gwe dan merasa sedikit kasihan.
68 Ia baru tahu bahwa hidup laki-laki ini dalam dua puluh
tahun terakhir tidaklah bahagia.
Jiang-wi Hujin mengeluh lagi. "Namun dua puluh tahun
ini sangat berat bagiku. Aku harus terus bersembunyi
dalam kamar yang sumpek, karena takut keluar. Aku
sangat menyesal lari dengan si tolol ini."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe juga mengeluh. "Siapa di sini
yang tidak menyesal?"
Jiang-wi Hujin membanting kakinya dan berteriak, "Apa
katamu" Ulangi lagi kalau berani! Wanita terhormat
seperti aku merelakan kedudukannya yang nyaman
untuk tinggal di gubug reyot denganmu. Seorang ratu
kecantikan, telah kau rusak sampai seperti ini. Dan kau
masih berani bilang kau menyesal?"
Hidung Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe seakan-akan keluar asap,
namun ia diam saja. Jiang-wi Hujin kemudian berkata lagi, "Li-Tamhoa,
katakan padaku apakah laki-laki ini punya hati" Kalau aku
tahu akan jadi begini, aku lebih baik sudah bunuh diri."
Ia mengejap-ngejapkan matanya, tapi sayang air mata
tak bisa keluar. Li Sun-Hoan tersenyum, "Tapi untungnya nyonya tidak
mati. Kalau tidak, aku pasti menyesal telah hidup."
Jiang-wi Hujin tersenyum bangga, "Kau begitu ingin
bertemu denganku?" 69 Sahut Li Sun-Hoan, "Tentu saja. Di mana dapat
kutemukan kecantikan yang begini gemuk?"
Wajah Jiang-wi Hujin memucat, namun Ci-bin-ji-Liong
Sun Gwe tak bisa menahan gelak tawanya.
Kata Li Sun-Hoan lagi, "Sesungguhnya nyonya pun tak
memerlukan Kim-si-kah . Karena sekali pun kau dipotong
menjadi dua, rompi itu tak akan muat."
Jiang-wi Hujin menggertakkan giginya dan berkata, "Aku
sebaiknya tidak membuatmu mati perlahan-lahan."
Ia mencabut sebatang jarum yang amat tipis dari selasela
rambutnya dan berjalan ke arah Li Sun-Hoan. Li
Sun-Hoan tetap duduk, tidak bergerak.
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lalu berkata, "Kita kan sudah
mendapatkan rompi itu, mari kita pergi saja. Kenapa kita
harus mengurusi dia?"
Jiang-wi Hujin membentak, "Kau tidak usah mencampuri
urusanku!" Li Sun-Hoan benar-benar tak sanggup bergerak, ia hanya
bisa menatap si nyonya. Siapa sangka, pada saat jarum itu hendak menembus
mata Li Sun-Hoan, tiba-tiba Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe
menendang dari belakang. Begitu keras, sampai si
nyonya terpental ke langit-langit.
Waktu ia jatuh lagi ke tanah, ia sudah hampir mati.
70
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Li Sun-Hoan sungguh terperanjat. Ia tak bisa tidak
bertanya, "Kau membunuhnya demi aku?"
Dengan marah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menjawab, "Dua
puluh tahun sudah aku harus menahan diri mendengar
ocehannya. Aku hampir gila. Kalau aku tidak
membunuhnya sekarang, mungkin setengah tahun lagi,
akulah yang akan mati."
Kata Li Sun-Hoan, "Bukankah ini yang kau inginkan" Tak
ingatkah kau dua puluh tahun silam"."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memotongnya, "Kau kira akulah
yang merayunya?" "Jadi bukan kau?"
"Waktu aku bertemu dengannya, aku sungguh tidak tahu
bahwa ia adalah istri Nyo si jenggot. Makanya aku
mau"." Dua kali ia menghela nafas panjang, lalu melanjutkan,
"Siapa yang menyangka bahwa sebetulnya dialah yang
memaksa aku membawanya pergi. Saat itu, Nyo si
jenggot telah mengutus 20 jago-jago silat ke tempatku.
Aku harus pergi." Sahut Li Sun-Hoan, "Setidaknya ia mencintaimu. Kalau
tidak mengapa ia melakukannya?"
"Cinta padaku" Hei, hei."
71 Dikertakkan giginya sambil tertawa sumbang. "Sesudah
itu, baru aku tahu bahwa ia memanfaatkan aku.
Ternyata, waktu suaminya pergi untuk urusan bisnis, ia
mempunyai kekasih gelap, dan melahirkan anaknya. Ia
tidak tahu bagaimana harus mengaku pada suaminya,
jadi ia mengambil uang dan melarikan diri dengan
kekasihnya." Li Sun-Hoan terkejut, "Masa iya" Sepertinya masih ada
lagi lanjutannya." Sambung Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, "Lalu siapa sangka
kekasihnya itu mencuri perhiasan yang dibawa si nyonya,
lalu kabur begitu saja" Ia tidak mendapatkan lelaki itu,
tidak juga mendapatkan uangnya. Tapi untunglah ia
bertemu denganku." "Jika kau sudah tahu, mengapa kau tidak
membeberkannya?" Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tertawa getir, "Waktu aku tahu,
semua sudah terlambat. Diucapkannya waktu ia mabuk
berat. Aku tak bisa lagi mengatakan apa-apa, sekalipun
aku mau." "Bagaimana dengan anak itu?"
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terdiam.
Li Sun-Hoan bertanya lagi, "Setelah kau tahu, kau
seharusnya langsung membunuhnya. Apa yang kau
tunggu?" 72 Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tetap diam.
Kata Li Sun-Hoan, "Aku kan hampir mati. Mengapa tak
kau beritahu padaku?"
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe berpikir agak lama, lalu
menjawab, "Ada untungnya membuka warung arak. Aku
bisa mendengar macam-macam berita. Tahukah kau apa
berita yang sedang hangat saat ini?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tidak punya warung."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menengok ke kiri kanan, seakanakan
takut ada orang yang ikut mendengarkan. Lalu ia
berbicara dengan suara kecil, "Tidakkah kau dengar" Dari
tiga puluh tahun yang lalu, yang tiada tandingannya
Bwe-hoa-cat beraksi kembali!"
Rasa tertarik Li Sun-Hoan langsung muncul ketika nama
Bwe-hoa-cat diucapkan. Kata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lagi, "Waktu Bwe-hoa-cat
merajai dunia persilatan dulu, kau masih sangat kecil.
Mungkin kau tidak tahu kehebatannya. Tapi kuberitahu
kau sekarang, tidak seorang pun tahu siapa sebenarnya
orang ini. Bahkan Pangcu Tiam-jong-pay, si jago pedang
nomor wahid saat itu, Go Bun-thian, mati di tangannya.
Orang ini berpindah sangat cepat secara misterius. Go
Bun-thian baru saja menurunkan titah untuk
membunuhnya, keesokan harinya Go Bun-thian sudah
mati. Hanya saja"."
73 Kembali ia menengok kanan kiri. Seakan takut jika Bwehoacat muncul dari balik punggungnya.
Tapi tak ada seorang pun yang muncul. Bahkan suara
salju yang turun ke atas atap dapat terdengar. Barulah
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lega dan melanjutkan lagi, "di
dadanya ada 50 lubang dengan bentuk bunga Bwe. Tiap
lubang sangat kecil, seperti lubang jarum. Semua orang
tahu ini adalah lambang Bwe-hoa-cat . Tapi tak seorang
pun tahu senjata rahasia macam apakah ini, karena tidak
seorang pun yang bertempur dengannya masih hidup.
Satu hal yang pasti, ia adalah seorang laki-laki."
"O ya?" Jawab Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, "Karena selain menyukai
harta benda, ia juga suka memperkosa gadis-gadis.
Semua orang dalam dunia persilatan, golongan putih dan
hitam, semua benci padanya, tapi tidak ada seorang pun
sanggup mengalahkannya. Setiap kali seseorang berkata
ia akan turun tangan, orang itu pasti mati dalam tiga
hari. Semuanya dengan tanda itu di dadanya."
Li Sun-Hoan menegaskan, "Jadi semua orang yang mati
di tangannya mendapat tanda itu di dadanya?"
"Ya. Dada adalah perLindungan utama tubuh manusia,
namun Bwe-hoa-cat selalu menyerang ke sana, tanpa
kecuali. Seolah-olah jika tidak dilakukannya, orang
takkan tahu betapa hebatnya dia."
Maka tertawalah Li Sun-Hoan. "Itulah sebabnya kau pikir
dengan memakai rompi itu kau dapat menghadapi BweKANG
ZUSI at http://cerita-silat.co.cc/
74 hoa-cat . Dan dengan menangkapnya, kau bisa kembali
terkenal. Semua orang akan berterima kasih padamu.
Dan tidak ada seorang pun yang akan mengungkit masa
lalumu." Mata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe bercahaya dan ia berkata,
"Katanya, kalau kau dapat menghindar dari serangan
pertamanya, kau akan menang."
Wajahnya penuh kegembiraan dan ia pun melanjutkan,
"Karena serangan pertamanya TIDAK PERNAH gagal, ia
tidak pernah memikirkan serangan berikutnya. Ia
menjadi terbuka untuk diserang balik."
Sahut Li Sun-Hoan, "Sangat masuk akal."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tertawa senang, "Kalau tidak
masuk akal, buat apa orang berlomba-lomba
mendapatkan rompi ini."
Kata Li Sun-Hoan lagi, "Tapi kau sudah menjalani
kehidupan yang tenang dua puluh tahun ini. Buat apa
terjun lagi ke dunia persilatan?"
Bab 4. Kecantikan yang Menyentuh Sanubari
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menjawab, "Kau tahu apa" Jika
aku berhasil membunuh Bwe-hoa-cat , tidak saja akan
kudapatkan ketenaran, tapi juga banyak keuntungan
yang lain." 75 "Apa?" Jawab Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, "Setelah Bwe-hoa-cat
menghilang tiga puluh tahun yang lalu, orang
menyangka dia pergi untuk selama-lamanya. Siapa
sangka ia akan kembali lagi" Dalam waktu 8 bulan, ia
telah membuat lebih dari 80 kasus, bahkan memperkosa
anak perempuan Pangcu Hua San."
Li Sun-Hoan berkata, "Orang ini kan sudah berumur 70
tahunan sekarang. Mana mungkin ia masih tertarik pada
gadis-gadis?" Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe hanya melanjutkan, "Setelah ia
muncul kembali, setiap orang yang mempunyai benda
berharga, atau anak gadis yang cantik, menjadi gelisah.
Maka lebih dari 90 keluarga telah mengumumkan bahwa
siapa yang dapat membunuh Bwe-hoa-cat akan
mendapatkan sebagian kekayaan mereka. Bisa kau
bayangkan betapa banyak uang yang terlibat di sini."
Tanya Li Sun-Hoan lagi, "Jadi ini bukan rahasia lagi."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe mengangguk. "Dan satu lagi.
Wanita tercantik di dunia persilatan sudah berjanji akan
menikahi siapa pun yang dapat membunuh Bwe-hoa-cat
." Li Sun-Hoan mengeluh. "Uang dan wanita memang bisa
menggerakkan hati manusia. Tak heran kau rela
mengorbankan nyawamu demi urusan macam ini.
Bahkan membunuh istrimu sendiri. Sepertinya, sudah
giliranku untuk mati sekarang."
76 Kata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, "Sebenarnya di hati
kecilku, aku tidak ingin kau mati. Tapi aku harus
membunuhmu." Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa keras, "Sebenarnya di hati
kecilmu, benarkah kau yakin kau sanggup
membunuhku?" Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe sudah mulai bergerak, namun
segera berhenti waktu mendengar ucapan ini. Ditatapnya
Li Sun-Hoan, lalu bibirnya mengembangkan senyum,
katanya, "Orang seperti engkau bisa hidup sampai hari
ini. Sepertinya kau adalah orang yang sukar mati. Namun
sekarang"." Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
Seseorang tertawa nyaring. "Sebenarnya di hati kecilmu,
apakah betul ia tampak keracunan?"
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terperanjat. Ia tidak tahu kapan
orang berpakaian hijau ini muncul di pintu depan.
Wajahnya tampak pucat dan kaku. Mungkin ia memakai
topeng, mungkin juga tidak.
Ia menyembunyikan tangannya di balik punggung, dan
berjalan masuk sambil berkata, "Jika seseorang menaruh
racun dalam arak seorang peminum, bukankah orang itu
sangat tolol" Betul tidak?"
Kalimat terakhir ditujukannya pada Li Sun-Hoan. Li SunHoan melihat mata orang ini sangat memikat, jauh
berbeda dari wajahnya. 77 Bagaikan sepasang mutiara di muka seekor babi mati.
Li Sun-Hoan menatap sepasang mata itu, lalu tersenyum.
"Menipu saat berjudi dengan penjudi. Meracuni arak
seorang peminum. Memuji kecantikan wanita lain di
depan istrimu. Siapa pun yang melakukan ini akan hidup
dengan penyesalan." Laki-laki berpakaian hijau ini pun berkata dingin, "Waktu
orang-orang ini menyesali keputusan mereka, itu sudah
terlambat." Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memandang mereka berdua, lalu
segera memeriksa botol arak tadi.
Li Sun-Hoan tersenyum, "Jangan kuatir. Racunnya ada di
situ." "Jadi kau".."
Kata Li Sun-Hoan, "Mungkin orang lain tak akan tahu
bahwa di dalam arak itu ada racunnya. Tapi seorang
peminum macam aku, dapat mencium perbedaan
aromanya." "Tapi aku lihat kau meminumnya!"
Jawab Li Sun-Hoan, "Aku memang meminumnya. Tapi
kumuntahkan lagi saat aku batuk-batuk."
Tubuh Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menggigil, botol arak di
tangannya jatuh ke lantai.
78 Laki-laki berbaju hijau pun berkata, "Sepertinya ia sudah
menyesali perbuatannya, tapi sayang sudah terlambat."
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe meraung dan segera menyerang
laki-laki itu. Tiga kali dengan kepalannya yang kuat.
Dalam waktu dua puluh tahun, ilmu silatnya tidak
menurun, bahkan bertambah baik. Kepalannya sungguh
bertenaga dan sangat cepat.
Bisa dibayangkan, pukulan ini dapat meremukkan kepala
orang. Kelihatannya laki-laki berbaju hijau ini tak punya waktu
untuk mempertahankan diri, bahkan untuk menghindari
pukulan itu. Siapa sangka, ia tidak menangkis dan tidak menghindar.
Ia hanya mengibaskan tangannya.
Ia memang bergerak sesudah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe,
tapi kepalan Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tidak berhasil
menyentuh bajunya, malah telapak tangannyalah yang
menghantam wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe.
Tampaknya tangan itu digerakkan dengan ringan, namun
Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe langsung menjerit-jerit kesakitan,
sambil berguling-guling di lantai.
Waktu ia bangkit berdiri, wajahnya sudah tidak keruan.
Sebagian ungu bercampur merah, sebagian ungu
setengah transparan. Satu mata telah tersodok ke
samping. 79 Laki-laki itu berkata lagi, "Sebenarnya di hati kecilku, aku
tidak ingin kau mati. Aku tidak bermaksud
membunuhmu, tapi tanganku"."
Separuh wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe yang tidak
terkena pukulan terlihat sangat biasa. Namun setengah
lagi kelihatan seperti daging busuk. Sangat menjijikkan.
Mata yang masih dapat melihat penuh rasa kaget melihat
tangan orang yang hijau. "Tanganmu" tanganmu?"
Tangan laki-laki berbaju hijau itu terbungkus sepasang
sarung tangan besi berwarna hijau. Sangat jelek
kelihatannya. Wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menggambarkan putus
sudah harapannya. Dengan suaranya lirih ia berkata,
"Mengapa ini terjadi padaku" Mengapa aku harus
bertemu Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau). Li" Li
Tamhoa. Kau adalah orang baik. Kumohon kau bunuh
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku sekarang." Li Sun-Hoan tetap duduk tak bergeming, memandangi
laki-laki itu dan tangan hijaunya. Lalu ditendangnya
tombak patah yang tergeletak di lantai ke arah Ci-bin-jiLiong Sun Gwe. Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memungut tombak itu, katanya,
"Terima kasih. Terima kasih. Aku takkan melupakan belas
kasihanmu, bahkan dalam kematian."
80 Lalu digunakannya sisa kekuatannya yang terakhir untuk
menusukkan tombak itu ke lehernya. Darah hitam
mengalir ke luar seiring dengan kematiannya.
Li Sun-Hoan menengadah ke atas. "Ada Jit-tok (7 racun)
utama dalam dunia persilatan. Yang paling mematikan
adalah Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau). Sepertinya itu
bukan bualan." Laki-laki berbaju hijau ini pun memandangi tangannya
sambil berkata, "Semua orang juga bilang bahwa siapa
pun yang kena pukulan tangan ini lebih memilih mati
daripada merasakan sakitnya. Sepertinya mereka tidak
melebih-lebihkan." Mata Li Sun-Hoan bergerak memandang ke wajahnya.
"Namun kau bukan Si Setan Hijau, In Gok."
Laki-laki itu menjawab, "Bagaimana kau tahu" Kenalkah
kau padanya?" "Ya." Laki-laki ini hampir tertawa. "Aku tidak bermaksud
berpura-pura jadi dia. Aku hanyalah"."
Potong Li Sun-Hoan, "In Gok tidak punya murid."
Laki-laki berbaju hijau pun menjawab, "Siapa bilang aku
muridnya" Ia bahkan tidak cukup berharga menjadi
muridKU." "O ya?" 81 "Kau pikir aku bercanda?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku tidak tertarik pada asalusulmu."
Mata laki-lakinya tiba-tiba membara, menatap Li SunHoan. "Lalu apa yang ingin kau ketahui" Kim-si-kah ?"
Li Sun-Hoan diam saja. Ia hanya memutar-mutar pisau
kecil di tangannya. Pandangan laki-laki berbaju hijau itu juga terarah pada
pisau. Katanya, "Orang bilang sekali sambit pisaumu tak
pernah luput. Apakah mereka mengada-ada?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Dulu banyak orang yang tidak
percaya." "Sekarang?" Di wajah Li Sun-Hoan tersirat secercah kebanggaan, dan
katanya, "Sekarang mereka sudah mati."
Laki-laki berbaju hijau itu berpikir sejenak lalu tertawa
terbahak-bahak. Tawanya sangat aneh, seperti dipaksakan. Walaupun ia
tertawa keras, ekspresi wajahnya tidak berubah.
"Sesungguhnya, aku ingin sekali mecobanya."
Kata Li Sun-Hoan, "Lebih baik jangan."
82 Laki-laki itu berhenti tertawa. Katanya, "Rompi itu dipakai
orang mati ini kan?"
"Ya." Laki-laki itu bertanya lagi, "Kalau aku memindahkan
orang mati ini, maka"."
Li Sun-Hoan memotong cepat. "Maka kau pun akan jadi
orang mati!" Laki-laki itu tertawa lagi. "Aku tidak takut padamu. Tapi
aku tidak terbiasa berjudi. Aku pun tidak suka
menyerempet bahaya."
Jawab Li Sun-Hoan, "Kebiasaan yang sangat baik."
Laki-laki itu pun berkata lagi, "Tapi aku punya cara untuk
membuatmu menyerahkan rompi itu padaku."
"Oh?" Kata laki-laki itu lagi, "Kau seharusnya tahu bahwa Jingmojiu (Tangan Setan Hijau) ini dibuat dari logam langka,
dicampur dengan ratusan jenis racun. Diperlukan 7 tahun
untuk membuatnya. Bisa dikatakan ini adalah senjata
terampuh dalam dunia persilatan."
Sahut Li Sun-Hoan, "Dalam daftar senjata Pek-hiau-sing,
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) ada di urutan ke-9. Aku
yakin itu barang yang sangat berharga."
83 Kata laki-laki berpakaian hijau itu lagi, "Jadi jika
kuserahkan sarung tangan ini padamu, kau berikan rompi
itu padaku?" Li Sun-Hoan berpikir sedetik. Lalu jawabnya, "Pisauku
dibuat oleh pandai besi biasa dalam waktu 6 jam. Namun
menurut daftar senjata Pek-hiau-sing, pisauku
menempati urutan ke-3!"
Laki-laki itu mengeluh. "Maksudmu senjata tidaklah
penting. Yang penting adalah manusia pemegang
senjata. Begitu kan?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Kau sangat tanggap."
Kata laki-laki itu lagi, "Jadi kau tidak mau barter?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Kalau aku mau, barang itu sudah
ada di tanganmu sekarang."
Laki-laki berbaju hijau itu berpikir lagi, lalu mengeluarkan
sebuah kotak. Dibukanya kotak itu, dan dikeluarkannya
sebilah pedang pendek yang berkilauan.
Lalu ia berkata, "Pedang mustika pantas untuk pahlawan.
"Hi-jong-kiam (Pedang Usus Ikan)" ini tak ada
tandingannya di dunia. Ini cukup berharga untukmu,
bukan?" Li Sun-Hoan mengernyitkan kening dan bertanya,
"Apakah kau ini murid Cianpwe Cong-liong (Naga
Rahasia) dari Cong-kiam-san-ceng (Istana Pedang
Rahasia)" 84 "Bukan." "Lalu dari mana pedang ini kau dapatkan?"
Laki-laki itu menjawab, "Tua bangka itu sudah mati.
Anaknya, Yu Liong-sing menghadiahkan pedang ini
padaku." Kata Li Sun-Hoan, "Pedang ini sungguh berharga. Congkiamsan-ceng (Istana Pedang Rahasia) jadi terkenal
karena pedang ini. Waktu pedang ini dicuri beberapa
tahun silam, mereka mengerahkan segala daya upaya
untuk mendapatkannya kembali. Mana mungkin Yu
Liong-sing memberikan pedang ini dengan cuma-cuma?"
Kata laki-laki itu, "Bukan saja pedang itu. Kalau kuminta
kepalanya pun, dia akan mempersembahkannya padaku
di atas nampan perak. Kau tidak percaya?"
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu menjawab, "Nilai
pedang ini jauh di atas rompi itu. Kenapa kau ingin
barter?" Jawab laki-laki itu, "Aku punya tabiat yang aneh.
Semakin sulit kudapatkan, semakin ingin aku
mendapatkannya." Balas Li Sun-Hoan, "Aku pun punya tabiat yang sama."
Laki-laki itu bertanya penuh harap, "Jadi kau mau
barter?" "Tidak." 85 Laki-laki itu bertanya, "Mengapa kau begitu
menginginkan rompi itu?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Bukan urusanmu."
Lalu laki-laki berbaju hijau itu terkekeh, "Yang kudengar,
Li Tamhoa tidak peduli akan ketenaran dan harta benda.
Sepuluh tahun yang lalu dilepaskannya ketenarannya,
harta bendanya, dan mengasingkan diri. Aku tidak
menyangka orang semacam ini tertarik pada sepotong
rompi." Jawab Li Sun-Hoan, "Alasanku mungkin sama dengan
alasanmu." Laki-laki itu menatapnya, "Maksudmu kau menginginkan
wanita tercantik di dunia itu?"
Li Sun-Hoan tersenyum, "Mungkin."
Laki-laki itu pun tersenyum, "Sudah lama kudengar, kau
tak bisa melewatkan wanita cantik dan arak lezat."
Sahut Li Sun-Hoan, "Sayangnya kau bukan wanita
cantik." Laki-laki berbaju hijau itu tertawa. "Bagaimana kau
tahu?" Tawanya tiba-tiba berubah. Berubah menjadi tawa yang
mengundang. 86 Selagi tertawa, dilepasnya sarung tangannya,
memperlihatkan tangannya.
Li Sun-Hoan belum pernah melihat tangan yang secantik
itu. Ia telah mengenal banyak wanita cantik dalam hidupnya.
Bahkan sebelum memegang pisau dan cawan arak, telah
dipegangnya begitu banyak tangan wanita cantik.
Akan tetapi, setiap tangan memiliki kekurangannya
masing-masing. Bahkan wanita yang diimpikannya,
wanita yang lekat di hatinya, punya kekurangan pada
tangannya. Namun tangan yang dipertunjukkan di hadapannya ini
sungguh sempurna. Orang itu bertanya, "Menurutmu apakah tanganku lebih
indah daripada Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)?"
Suaranya menjadi sungguh memikat.
Li Sun-Hoan mengeluh, katanya, "Jika kau menggunakan
tangan ini untuk membunuh orang, mereka akan merasa
bahagia mati di tanganmu. Mengapa harus kau gunakan
Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)?"
Orang itu tersenyum lembut, "Apakah tawaranku jadi
lebih menarik sekarang?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Masih belum cukup."
87 Orang ini terkikik, katanya, "Laki-laki selalu saja rakus,
terutama mereka yang gagah. Semakin gagah, semakin
rakus jadinya." Tubuhnya meliuk sedikit dan tanggallah baju luarnya.
Li Sun-Hoan menuangkan arak yang tidak beracun, lalu
berkata, "Perlu arak untuk menemani pertunjukan yang
menarik." Orang ini bertanya lagi, "Belum cukupkah?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Laki-laki memang rakus."
Tubuhnya memang sangat menggiurkan, bahkan dapat
membuat laki-laki merasa tak pantas mendapatkannya.
Ia tersenyum manis dan membuka sepatunya.
Kakinya pun luar biasa indah, membuat jantung
berdebar-debar. Kalau dikatakan banyak laki-laki rela
mati diinjak kaki ini, rasanya tidak berlebihan.
Lalu ditunjukkannya kakinya yang panjang.
Li Sun-Hoan hampir berhenti bernafas.
Tanyanya lagi, "Sudah cukupkah?"
Sambil meneguk araknya ia menjawab, "Kalau aku bilang
cukup, aku adalah orang paling tolol."
Lalu ditanggalkan seluruh pakaiannya.
88 Tak terkatakan kemolekan tubuhnya. Dan ia bersedia
memperlihatkan segalanya untuk Li Sun-Hoan.
Yang tertinggal hanya topengnya.
Ditatapnya Li Sun-Hoan sambil berkata, "Nah, sekarang
sudah cukup, bukan?"
Jawab Li Sun-Hoan lagi, "Belum. Sedikit lagi."
Katanya, "Kau harus tahu waktunya merasa puas."
Sahut Li Sun-Hoan, "Mereka yang cepat puas, biasanya
kehilangan banyak kesempatan."
Ia bertanya, "Mengapa harus kau lihat wajahku"
Mengapa tak kau biarkan imajinasimu bekerja sedikit"
Mungkin itu akan membuat jadi lebih menarik."
Li Sun-Hoan menjawab, "Karena aku tahu banyak wanita
yang bertubuh indah, berwajah buruk."
"Kau pikir wajahku buruk?"
"Mungkin." Wanita itu menghela nafas, "Tampaknya kau memang
tak mau kalah. Tapi aku tetap berpendapat sebaiknya
kau tidak melihat wajahku."
"Mengapa?" 89 Sahutnya, "Setelah kudapatkan Kim-si-kah itu, aku akan
segera pergi. Kita tidak akan pernah bertemu lagi. Telah
kuberikan padamu kepuasan yang terbesar dalam
hidupmu, jadi barter kita adil. Lebih baik kita tidak usah
bertemu lagi." "Sangat logis kedengarannya."
"Namun jika kau melihat wajahku, kau takkan mungkin
melupakan aku. Dan mungkin aku tidak bisa bersikap
manis lagi padamu. Lalu kau hanya bisa memimpikan
aku. Hanya membuatmu putus asa."
Li Sun-Hoan tersenyum, "Kau sangat percaya diri."
Sahutnya, "Mengapa tidak?"
Jawab Li Sun-Hoan, "Mungkin aku tidak ingin barter."
"Apa?" Akhirnya wanita itu melepaskan topengnya.
Wajahnya sempurna. Ditambah dengan kemolekan
tubuhnya, siapakah laki-laki di dunia yang dapat
menampiknya. Li Sun-Hoan menghela nafas, "Tak heran In Gok
memberikan Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau)nya, dan
You Liong Shen menghadiahkan mustika keluarganya
padamu. Sekarang aku percaya."
Dewi cantik ini hanya tersenyum.
90 Ia tidak perlu berkata-kata.
Karena matanya bisa bicara, senyumnya bisa bicara,
tangannya, dadanya, kakinya, semua bisa bicara.
Ia tahu ini sudah cukup. Kalau seorang laki-laki tidak
mengerti perasaannya, ia seorang yang luar biasa bodoh.
Sang dewi hanya menunggu.
Namun Li Sun-Hoan tetap duduk. Ia malah menuang
Pisau Terbang Li Du Cing Jian Pendekar Budiman Karya Gu Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secawan lagi arak, dan berkata, "Terima kasih. Mataku
sudah begitu lama tidak dipuaskan begitu rupa."
Ia menggigit bibirnya. "Tak kusangka laki-laki seperti
engkau masih perlu arak untuk menambah keberanian."
Sahut Li Sun-Hoan, "Karena wanita cantik sulit merasa
puas." Lalu wanita itu tiba-tiba menghambur ke dalam dekapan
Li Sun-Hoan. Cawan arak pecah pun berkeping-keping.
Satu tangannya mulai membelai punggung wanita itu.
Tangan yang satu masih memegang pisau, pisau yang
kecil dan tajam. Kata wanita itu dengan lembut, "Ketika seorang laki-laki
ada dalam situasi seperti ini, tak sepantasnya ia
memegang pisau." 91 Li Sun-Hoan pun berbisik dengan lembut, "Ketika
seorang laki-laki memegang pisau, tak seharusnya kau
berada dalam pelukannya."
Wanita muda itu tertawa, "Maksudmu, kau tega
membunuhku?" Li Sun-Hoan juga tertawa, "Seorang wanita muda tidak
seharusnya sombong, dan tidak seharusnya
menanggalkan pakaiannya untuk merayu laki-laki. Ia
seharusnya mengenakan pakaiannya baik-baik dan
menunggu laki-laki itu merayunya. Kalau tidak,
bagaimana laki-laki itu bisa merasa puas?"
Sekarang tangannya mengangkat pisau itu. Ujungnya
menyentuh leher wanita itu. Setetes darah keluar,
mengalir ke dadanya yang putih bersih, bagai bunga Bwe
di tengah padang salju. Kini wanita itu sangat terkejut. Tubuhnya pun
mengejang. Li Sun-Hoan tertawa, "Apakah kau masih percaya diri
sekarang" Masihkah kau sangka aku tak tega
membunuhmu?" Ujung pisau itu masih menyentuh kulit lehernya.
Bibirnya gemetar, tak sanggup bicara.
Li Sun-Hoan menghela nafas lagi, dan berkata, "Kuharap
kini kau menyadari dua hal. Satu, laki-laki tidak suka jadi
pihak yang pasif. Dua, kau tidak secantik yang kau kira."
92 Wanita muda itu menggigit bibirnya erat-erat. Katanya,
"Aku mengaku kalah. Kumohon simpanlah pisaumu
sekarang." Li Sun-Hoan berkata lagi, "Aku ada satu pertanyaan lagi."
"Katakanlah." Kata Li Sun-Hoan, "Banyak laki-laki akan memberikan
apa pun yang kau minta. Oleh sebab itu kau pasti tidak
tertarik akan harta benda. Mengapa kau begitu
menginginkan rompi itu?"
Sahutnya, "Sudah kukatakan tadi. Semakin sulit didapat,
semakin aku menginginkannya."
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu berkata lagi, "Jika aku
tidak mengangkat pisau ini dari lehermu, kau pikir kau
akan dapat menyingkir dari pisauku?"
Wanita muda itu segera pergi dari pelukannya, seperti
seekor kucing yang terluka.
Setelah beberapa saat, ia tersenyum lagi, "Sudah
kukatakan, kau tak akan tega membunuhku."
"Benarkah" Kenapa?"
Pisau itu masih ada di tangannya, dan katanya lagi, "Jika
kau masih ada di sini waktu kalimat ini selesai, akan
kubunuh kau, sehingga kau percaya."
Wanita itu seketika berhenti bicara.
93 Dikumpulkannya pakaiannya dan melesat keluar.
Ia menjerit keras-keras dengan rasa benci yang
mendalam, "Li Sun-Hoan, kau bukan laki-laki. Kau
bahkan bukan manusia! Kau sungguh tak berguna. Tak
heran tunanganmu direbut oleh sobat karibmu. Kini aku
tahu apa sebabnya!" Salju menutupi seluruh permukaan tanah. Di bawah
cahaya bulan bersalju, pemandangan di luar sangat
indah. Namun dapur ini terasa bagaikan kuburan,
membuat orang segera ingin pergi.
Tapi Li Sun-Hoan duduk di sana termenung sendirian.
Matanya penuh kesesakan dan kesedihan. Kata-kata
wanita itu, bagaikan jarum yang menusuk relung hatinya
yang terdalam. Tunanganku".. Sahabatku?"
Bab 5. Pengejaran di Malam Bersalju
Li Sun-Hoan mengambil botol arak dan menghabiskan
seluruh arak di dalamnya. Lalu ia terbatuk-batuk dan
terus terbatuk-batuk, sampai wajahnya yang pucat
menjadi merah darah. Tangannya memegang dadanya
dan berkata pada dirinya sendiri, "Siau-hun, Si-im. Aku
tak pernah menyalahkan kalian berdua. Apa pun yang
dikatakan orang, aku tak akan menyalahkan kalian,
94 sebab kalian memang tidak berbuat salah. Semua
kesalahan, akulah yang melakukannya."
Tiba-tiba pintu kayu itu terpentang lebar.
Seseorang merangkak masuk. Ia terlihat seperti bakso
raksasa, penuh lemak di sekujur tubuhnya. Rambut dan
kumisnya acak-acakan, seperti tidak pernah mandi
bertahun-tahun. Bau busuknya dapat tercium dari lebih
dari satu kilometer. Ia merangkak, karena kedua belah kakinya buntung.
Li Sun-Hoan mengangkat alisnya dan berkata, "Jika kau
ingin mengemis makanan, kau datang pada saat yang
salah." Orang ini tidak menghiraukannya. Ia memang cacad, tapi
gerakannya sangat gesit. Dengan satu gulingan, ia telah
tiba di depan perapian. Tanya Li Sun-Hoan, "Apakah kau juga datang untuk Kimsikah ?" Tangan orang ini mendorong badannya ke depan dan
sampailah dia pada mayat di dekatnya. Tentu saja rompi
itu ada pada mayat itu. Kata Li Sun-Hoan dingin, "Pisau di tanganku ini sanggup
membunuh orang. Jika kau tidak berhenti, aku kuatir
jumlah mayat di ruangan ini akan bertambah satu."
95 Orang itu tetap tidak menghiraukan, dan terus melucuti
Kim-si-kah dari mayat itu. Rompi itu hanya serupa rompi
biasa yang berwarna keemasan, tanpa aura misterius
sama sekali. Orang itu memegang rompi itu erat-erat, dan tertawa
keras-keras, "Waktu kepiting dan kerang bertempur,
nelayanlah yang menikmati hasilnya. Aku masih tak
dapat percaya, mustika ini akhirnya ada dalam
genggamanku." Sahut Li Sun-Hoan dingin, "Pisauku masih di sini. Kurasa
kata-katamu keluar terlalu dini."
Orang ini membal dengan tangannya, seperti katak, ke
arah Li Sun-Hoan, dan tersenyum sambil
memandangnya. Gigi-giginya kuning semua.
Ia terkekeh sambil berkata, "Kalau kau punya pisau,
mengapa kau tak membunuhku" Li si pisau terbang tak
pernah luput. Kau hanya perlu menggunakan pisaumu,
dan tidak mungkin aku, seorang cacad, dapat
menghindarinya." Li Sun-Hoan jadi tersenyum, katanya, "Kau adalah
seorang yang menarik, aku jadi tak tega membunuhmu."
Orang aneh ini tertawa beberapa saat, dan berkata, "Jika
kau tidak mau mengakuinya, biarlah aku yang
mengatakannya." Lanjutnya sambil terus tertawa, "Semua orang mungkin
mengira kau tidak keracunan, tapi aku tahu bahwa kau
96 memang keracunan. Namun kau memang sangat tenang,
jadi kau bisa mengelabui orang-orang itu."
Ekspresi Li Sun-Hoan tidak berubah. "Begitukah
sangkamu?" Orang aneh ini berkata, "Kau takkan mungkin bisa
mengelabui aku, karena aku tahu pasti, racun dalam arak
itu tidak berasa dan tidak berwarna. Bahkan jika
hidungmu bisa mencium lebih baik daripada anjing, kau
tidak akan mungkin bisa menciumnya."
Li Sun-Hoan menatap orang ini lekat-lekat, lalu
tersenyum kecil, "Benar-benar yakinkah kau akan hal
ini?" Orang aneh ini terkekeh lagi. "Yakin sekali, karena akulah
yang meracuni arak itu. Aku tahu pasti apakah kau
keracunan atau tidak. Kau bisa mengelabui semua orang,
kecuali aku." Ekspresi Li Sun-Hoan tetap tidak berubah, namun otototot
di sekitar matanya mulai bergerak-gerak. Setelah
diam beberapa saat, ia menghela nafas dan berkata,
"Belum lagi habis satu hari, namun enam, tujuh peristiwa
besar telah terjadi. Kurasa peruntunganku cukup baik."
Kata orang aneh ini, "Kau tidak ingin tahu, tangan
siapakah yang membunuhmu?"
Sahut Li Sun-Hoan, "Aku baru saja hendak bertanya."
97 Orang aneh ini menjawab, "Kau berpengetahuan luas,
jadi kau pasti tahu bahwa ada 7 orang licik dalam dunia
persilatan." Dengan terkejut Li Sun-Hoan menjawab, "Jit-biau-jin
(tujuh manusia ajaib)."
Orang aneh ini berkata lagi, "Tepat. Ketujuh orang ini
sangatlah licik tak terbayangkan. Ilmu silat mereka
memang tidak hebat, tapi kalau soal racun, mencuri,
menipu, dan bedusta, kelihaian mereka tak ada
bandingannya." Mata Li Sun-Hoan bersinar, "Apakah kau salah satu dari
Jit-biau-jin (tujuh manusia ajaib)?"
Orang aneh ini menjawab, "Yang paling licik dari Jit-biaujin
(tujuh manusia ajaib) adalah"."
Jawab Li Sun-Hoan, "Biau-Liong-kun Hoa Hong (Tuan
Saktu Lebah madu)." Kata orang aneh ini, "Hampir betul. Nama lengkapnya
adalah "Hek-sim-biau-Liong-kun (si perjaka ajaib berhati
hitam)". Kemampuan orang ini sangat terbatas. Ia sangat
pengecut, bahkan takut untuk mencuri dan merayu
wanita. Namun dalam hal racun, Ngo-tok-tongcu (Si
Anak 5 Racun) yang terkenal itupun kadang-kadang
harus memanggilnya Kakek."
Kata Li Sun-Hoan, "Kelihatannya kau tahu banyak
tentang orang ini." 98 Jawab orang aneh itu, "Tentu saja. Karena akulah dia,
dan dialah aku." Li Sun-Hoan menghela nafas dan terdiam.
Hoa Hong tertawa, "Apakah kau terkejut bahwa BiauLiong-kun (si perjaka ajaib) telah berubah menjadi
segumpal bakso?" Sahut Li Sun-Hoan, "Jika kau dapat merayu wanita,
wanita itu pastilah buta."
Hoa Hong menjawab, "Lagi-lagi salah. Mata mereka
tidaklah buta, bahkan sangat cantik. Namun jika
seseorang telah disekap, dipatahkan kakinya dan
dicekoki makanan berlemak setiap hari selama bertahuntahun,
ia akan berubah menjadi bakso."
Kata Li Sun-Hoan, "Kutebak ini adalah perbuatan
pasangan Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe."
Hoa Hong berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Ci-bin-jiLiong Sun Gwe telah bercerita padamu sebelumnya. Aku
akan menceritakan padamu kisah yang lain. Kisahku jauh
lebih menarik." "O ya?" Hoa Hong melanjutkan, "Tahun itu peruntunganku
kurang baik. Pada saat itu, aku tergila-gila wanita dan
kurayu istri si Jenggot Besar, Jiang-wi Hujin. Kami
bahkan sampai punya anak. Jadi ia harus lari
bersamaku." 99 Li Sun-Hoan terperangah. "Jadi orang yang
diceritakannya itu adalah kau" Ialah yang harus
membayar akibat kesalahanmu?"
Kata Hoa Hong, "Ia bohong sedikit. Aku tidak mencuri
harta bendanya. Walaupun aku mau, aku tidak mungkin
bisa. Ia jauh lebih licik daripada aku. Akan tetapi,
memang benar, kami dikejar oleh orang-orang suruhan
Si Jenggot Besar. Aku memang seorang pengecut, jadi
kubujuk dia untuk menemukan seseorang sebagai
penggantiku untuk sementara waktu. Mulanya ia raguragu,
katanya wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe kurang
gagah. Namun akhirnya ia setuju."
Pedang Medali Naga 24 Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Pendekar Bodoh 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama