Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 1

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Raja Pedang by Kho Ping Hoo "Lima warna membutakan mata".!" Terdengar suara
berat dan parau membaca doa.
"Lima warna membutakan mata?".!" Menyusul suara
nyaring tinggi, suara kanak-kanak yang berusaha keras
menirukan nada suara pertama.
"Lima bunyi menulikan telinga?""!" Kembali suara
anak kecil tadi mengulang kata-kata itu.
Suara ini saling susul dan selengkapnya diucapkan oleh
suara parau ditiru suara anak kecil itu ujar-ujar lengkap dari kitab To-tek-keng seperti berikut :
Lima warna membutakan mata,
Lima bunyi menulikan telinga
Lima rasa merusak mulut Mengejar kesenangan merusak pikiran,
Barang berharga membuat kelakuan menjadi curang
Inilah sebabnya orang budiman,
Mengutamakan urusan perut,
Tidak mempedulikan urusan mata,
Ia pandai memilih ini membuang itu.
Kalau suara-suara ini terdengar dari sebuah klenteng Agama To, hal itu tak perlu diperhatikan lagi karena memang lumrah kalau seorang tosu memberi pelajaran-pelajaran dari kitab To-tek-keng kepada anak muridnya. Atau seorang kepadaguru sastra mengajarkan ayat-ayat kitab itu kepada muridnya. Akan tetapi anehnya, dua suara yang saling susul itu terdengar dari dalam sebuah hutan yang lebat, hutan yang jarang didatangi manisia dan menjadi sarang dari harimau-harimau, ular-ular besar dan lain binatang buas. Kalau pun ada manusianya tentulah sebangsa manusia perampok.
Apabila kita melihat ke dalam hutan itu untuk mengetahui siapa orangnya yang mengajarkan ayat-ayat kitab To-tek-keng kepada anak kecil tadi, kita akan merasa heran sekali. Ternyata bahwa yang membaca ayat-ayat kitab itu adalah seorang tosu berbaju kuning, di pungungnya tergantung sebatang pedang. Tosu ini tinggi kurus berkumis tipis, berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya digelung ke atas dan ia menunggang seekor kuda kurus yang berjalan seenaknya dan nampaknya sudah amat lelah. Di belakang kuda ini berjalan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, rambutnya diikat ke belakang, mukanya putih agak pucat dan matanya besar. Anak ini amat miskin pakaiannya sampai-sampai bersepatu pun tidak. Di dekat mata kaki kiri ada boroknya sebesar ibu jari kakinya sehingga agak terpincang pincang jalannya. Akan tetapi, biarpun keadaannya begini, miskin, anak itu tampaknya gembira terus. Mulutnya menyinarkan cahaya gembira dan nakal.
Ayat-ayat yang dibacakan oleh Tosu di atas tai adalah ayat ke dua belas. Kalau dihitung tosu itu membaca dari ayat pertama dengan suara keras, tetapi lambat-lambat, sudah lama jugalah anak itu menirunya.
Pada ayat keduabelas di mana terdapat kata-kata tentang orang budiman mengutamakan urusan perut, anak laki-laki itu setelah selesai meniru ayat ini sampai habis, segera berkata. Suaranya lantang, nyaring dan tinggi.
"Totiang, benar sekali orang budiman itu. Aku pun mau menjadi orang budiman, mengutamakan urusan perutku yang sudah amat lapar ini. Maka harap Totiang lekas-lekas memberi roti kering atau uang, aku tidak mau pedulikan urusan lain lagi"
Sambil berkata demikian, anak itu tidak lagi berjalan di belakang kuda, melainkan berlari mendampingi dan menarik-narik kaki kanan tosu itu.
Akan tetapi tosu itu seperti tidak melihat bocah tadi, juga seperti tidak merasa kakinya dibetot-betot. Ia membuka mulutnya lagi dan berteriak dengan suara keras.
"Ayat ke tiga belas berbunyi?"?"?"
"Aku tidak peduli apa bunyi ayat ketiga belas atau ke tiga ribu!" Anak itu berteriak.
"Perutku lapar dan Totiang sudah berjanji akan memberi roti kering dan uang kepadaku!"
Tosu itu nampak tertegun, seakan"akan baru sekarang ia tahu bahwa suara yang tadinya menirunya telah meneluarkan suara lain. Ia menunda menbaca kitabnya dan memandang kepada anak itu dengan mata bersinar-sinar. Tadi ia bertemu dengan anak itu di luar sebuah kampung dekat hutan ini. Pada waktu itu ia sedang beristirahat dan makan roti kering. Lalu datang anak yang dikenalnya ini mendekat, nampaknya ingin sekali akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
"Kau mau roti kering?" Anak itu hanya mengangguk.
"Heh..heh..heh, roti keringku sudah habis di warung sana?"Ia bertanya lagi, Kembali anak itu mengganguk,Tosu itu menjadi gemas juga.
"Gagukah engkau?"
"Tidak, Totiang, hanya sedang malas bicara,"
Jawaban ini membuat si tosu menjadi terheran-heran. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak kecil yang bicara seenaknya sendiri saja seperti ini.
"Engkau mau roti kering dan uang?" Kembali ia bertanya sambil menunggangi lagi kudanya yang kurus. Anak laki-laki itu kembali mengangguk.
"Baik, akan tetapi kau harus menirukan membaca isi kitab To-tek-keng sambil berjalan di belakang kudaku."
Demikianlah, tosu itu mulai membaca kitab itu dari ayat pertama sampai ayat ke dua belas. Tadinya anak ini tertarik sekali karena anak ini sebetulnya adalah seorang anak luar biasa yang pernah membaca kitab-kitab kuno bahkan hampir hafal banyak kitab dari agama budha, yaitu ketika ia bekerja sebagai pelayan dari kelenteng Hok-thian-tong, Akan tetapi setelah mendengar tentang "mengutamakan perut", sehingga anak itu teringat akan perutnya yang lapar dan menagih janji.
Siapakah anak yang bersikap aneh dan terlantar itu" Namanya Beng San, Demikian menurut pengakuannya snediri, tentang siapa nama keturunannya, ia sendiri tidak tahu, Anak ini adalah korban bencana alam, yaitu benjir besar sungai Huang"ho yang menghabiskan seluruh isi kampungnya. Hampir seluruh kampung habis oleh banjir itu, rumah-rumah lenyap, sawah-sawah rusak, manusia dan binatang hampir tewas dan hanyutsemua. Anak ini pun hanyut akan tetapi agaknya tuhan masih melindunginya maka ia dapat tersangkut pada reruntuhan rumah dan terbawa ke pinggir dalam kedaan pingsan. Hal ini terjadi ketika ia berusia lima enam tahun.
Ketika siuman kembali, anak ini telah berada di pinggir sebuah hutan di tepi sungai Huang-ho, ia hanya ingat bahwa namanya Beng San, bahwa ayah bundanya hanyut terbawa air bah, tetapi tidak ingat lagi apa nama dusun tempat tinggalnya dan di mana letaknya.
Beng San terlunta-lunta dan nasib membawanya sampai ke depan kelenteng Hok-thian-tong di kota shan-si, ia amat tertarik melihat kelenteng itu, amat suka melihat-lihat lukisan dan patung-patung yang dipahat indah, kemudian ketua kelenteng, seorang hwesio yang beribadah, merasa kasihan dan suka kepadanya dan mulai saat itulah Beng San diterima sebagai seorang kacung atau pelayan. Para hwesio di kelenteng itu rata-rata memiliki pribudi yang tinggi dan hampir semua tekun mempelajari ayat-ayat suci hwesio mendapat kenyataan bahwa anak yang menjadi pelayan di kelenteng itu selain rajin juga amat cerdas, mereka memberi pelajaran menabaca menulis dan demikianlah selama tiga tahun lebih Beng San di "jejali"
filsafat-filsafat dan ayat-ayat suci yang amat tinggi.Tentu saja ia hanya menghafal semua inti sarinya. Jangankan seorang anak kecil seprti dia, menusia dewasa sekalipun kalau mempelajari agama, jarang yang betul-betul dapat menangkap inti sarinya sehingga mampu mengamalkan perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat suci itu.
Setelah berusia sembilan tahun lebih, Beng San mulai tidak betah tinggal di kelenteng. Beberapa kali ia minta berhenti akan tetapi semua hwesio melarang nya dan mereka ini hendak menarik Beng San menjdi seorang calon hwesio. Beng San tidak suka dan pada suatu malam anak ini lari minggat dan kelenteng itu. Ia hidup terlunta-lunta, terlantar. Hanya bisa makan kalau ada yang menaruh kasihan dan memberi makanan atau memberi sekedar pekerjaan kemudian diberi upah uang atau makan. Yang amat aneh pada anak ini, ia tidak pernah mau mengeluarkan perkataan minta-minta! Mungkin ia terpengaruh oleh pelajaran para hwesio yang mengharapkan sedekah dari para dermawan, akan tetapi sekali-kali bukan mengemis. Demikian mengapa Beng San juga sama sekali tidak mau minta ketika melihat tosu itu makan roti kering, padahal perutnya lapar bukan main.
Dan siapa adanya tosu itu" Bukan sembarang orang, melainkan seorang bernama Siok Tin Cu. Dia adalah tokohdari perkumpulan Agama Ngo-lian To kauw (Agama To Lima Teratai ) yang berpusat di Ki-lok. Sebagai tosu tingkat tiga tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Dan sebagai seorang tokoh Ngo-lian To-kuaw tyang mementingkan pelajaran mistik (hoatsut), tentu saja ia terkenal seorang yang amat berbahaya.
Siok Tin Cu bukan mengajak atau memancing Beng San ke dalam hutan itu tanpa maksud tertentu. Begitu melihat anak tadi, ia dapat menduga bahwa anak ini adalah seorang anak yatim piatu, lagi bertulang baik maka tepat sekali kalau hendak dijadikan bahan percobaaan ilmunya. Kalau sampai anak ini tewas sekalipun, tidak ada orang tua kehilangan anaknya, tidak ada orang yang dirugikan maka ia takkan menanggung dosa, demikian jalan pikiran pedeta sesat ini, mari kita kembali ke dalam hutan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di depan telah diceritakan betapa Beng San tidak lagi meniru teriakan Siok Tin Cu yang membaca ayat-ayat To-Tek-keng, malah berteriak-teriak menagih janji tosu itu untuk memberi roti kering atau uang pembeli roti kepadanya. Mereka sudah tiba di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Siok Tin Cu tersenyum dan melompat turun dari atas kudanya. Gerakannya demikian ringan seakan-akan tubuhnya seringan bulu saja .
"bocah, sejak kapan kau belum makan?" Pertanyaan ini diucapkan dengan halus seakan-akan orang tua ini merasa kasihan dan hendak menolong.
"Sejak dua hari yang lalu,"jawab Beng San singkat, tanpa mengundang suara minta dikasihani.
Tosu itu mengangkat alisnya, lalu tertawa bergelak nampak girang sekali!"Bagus,bagus,kalau begitu perutmu kosong sama sekali. Hal ini berarti membersihkan hawa didalam tubuhmu dan memperkuat daya tahanmu seperti seorang yang memiliki latihan siaulian. Bagus, anak yang baik, nah, kaumakanlah ini, hendaklah kulihat sampai di mana kemanjurannya!" Tosu itu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning dan berbau busuk, "Bukalah mulutmu."
Tentu saja Beng San tidak sudi mentaati perintah ini. Ia mundur selangkah memandang marah dan berkata. "Totiang, kau berjanji hendak memberi roti kering atau uang, kenapa sekarang menyuruh aku makan obat" Aku tidak sakit dan tidak butuh obat!"
"Heh..heh..heh, kalau sudah makan tidak ada artinya lagi, Eh, bocah, aku Siok Tin Cu bukan seorang bodoh. Ketahuilah, pil ini adalah buatanku atau petunjuk kauwcu (ketua agama). Belasan tahun kubuat dari sari segala kebusukan yang mengundang hawa thai-yang dan khasiatnya hebat bukan main. Aku telah membuatnya tiga buah akan tetapi sampai sekarang tidak berani menelannya, Harus lebih dalu kucobakan orang, kau dengan perutmu kosong baik sekali untuk dijadikan kelinci percobaan!
Kalau kau mati, tidak ada orang yang kehilangan, kalau kau hidup?" nah, akan kuberi hadiah roti kering atau uang, Heh..heh..heh!
Sepasang mata anak itu yang lebar menjadi makin lebar, bukan karena takut melainkan karena marahnya. "Tosu bau apa kau lupa akan ujar-ujar suci bahwa, siapa yang belum membersihkan diri dari perbuatan jahat, dan siapa tidak mempedulikan kebajikan dan kebenaran, dia itu tidak patut memakai pakaian kuning?"
Siok Tin Cu mula-mula terkejut dan heran karena ujar-ujar ini adalah kata-kata suci dalam agama budha (dalam kitab Dhammapada), akan tetapi ia segera tertawa. "Mau tidak mau kau harus menelan obat ini!"
"Tidak sudi?"..! Kau tosu bau!" Beng San mengambil dua buah batu kecil dari atas tanah dan menimpukkan dua buah batu itu kepada Siok Tin Cu. Akan tetapi Siok Tin Cu hanya tertawa dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, ujung lengan bajunya
"meniup" pergi dua buah batu itu, membuat Beng San tak dapat bergerak lagi. Yang
"mati" ini adalah kedua pasang kakitangan anak itu, akan tetapi dari leher ke atas masih "hidup" anak itu masih dapat menggerakkan leher dan semua anggota muka.
"Tosu jahat,tosu bau, kau mau apakan aku?" teriakannya berkali-kali.
"Tidak apa-apa, hanya ingin kau menelan obat ini" Pil kuning yang baunya busuk itu didekatkan pada hidung Beng San, membuat anak ini ingin muntah.
"Baunya busuk seperti engkau, aku tak sudi!" ia menggeleng kepala ke kanan kiri menjauhi obat itu.
"Heh..heh..heh, anak bandel. Terpaksa harus kubuka mulutmu," Tangan kiri tosu itu memegang dagu Beng San dan anak ini merasa betapa tenaga yang amat kuat memaksa mulutnya terbuka. Ia pura-pura menurut, tetapi ketika tosu ini lengah hendak memasukkan obat ke dalam mulut yang terbuka, Beng San menggerakkan kepala ke bawah dan menggigit tangan kiri tosu itu.
"Aduh?"..!" karena tidak menyangka sama sekali, jari kelingking tosu itu kena tergigit keras sampai mengeluarkan darah.
"Plakkk!" ia menampar pipi Beng San. Demikian keras tamparan ini, demikian nyerinya sampai Beng San tanpa sengaja membuka mulutnya melepaskan gigitnanya.
" Plak! Plak! Plak! Plak! Plak!" berkali-kali tosu itu menampar muka Beng San dari kanan kiri, dan sungguh-sungguh Beng San tidak mengeluh. Akan tetapi rasa sakit membuat matanya berair. Setelah anak itu hampir pingsan karena sakit dan pening, barulah tosu itu menghentikan tamparannya. Muka Beng San menjadi bengkak-bengkak dan kedua pipinya menjadi biru, anehnya, dari hal ini tidak terasa oleh tosu yang sedang marah itu, tak sepatah kata pun anak itu mengaduh atau mengeluh, benar-benar menunjukkan watak bandel yang luar biasa, membayangkan nyali dan ketabahan yang mengagumkan.
"Hayo telan ini!" Siok Tin Cu memaksakan Beng San yang setengah pingsan itu membuka mulut lalu menjejalkan pil berbau busuk itu ke dalam mulut Beng San.
Anak ini dalam kenekatannya, biarpun sudah pening dan setengah pingsan, hendak meludahkan keluar pil itu akan tetapi Siok Tin Cu menutup mulutnya dan mendorong pil itu dengan telunjuknya sampai ke tenggorokan Beng San. Akhirnya obat itu masuk ke dalam perut Beng San tanpa dapat dicegah lagi!.
"Heh..heh..heh, hendak kulihat akibatnya?"." Siok Tin Cu menggerakkan tangan membebaskan totokannya dan Beng San roboh terduduk di atas tanah, menundukkan muka terduduk di atas tanah, menundukkan muka karena merasa masih pening dan nanar kepalanya. Ia meramkan matanya yang menjadi sempit karena pipinya membengkak besar di kanan kiri. Kasihan sekali anak ini, mukanya sampai menjadi seperti buah labu matang.
Tiba-tiba Beng San menggerak-gerakkan kaki tangannya, kulit badannya mungkin lama makin merah sampai seperti udang rebus. Makin merah kulitnya makin tidak karuan tingkahnya, berkelojotan seperti ular disiram air panas.
"Panas?"" panas?""..!" akhirnya tak tertahankan juga. Namun mulutnya yang tak pernah mengaduh itu hanya bilang "panas?" panas". berkali-kali. Kulit badannya menjadi merah tua hampir hitam dan dari tubuhnya tampak uap tipis seakan-akan seluruh air di tubuhnya sudah mendidih. Tubuh Beng San melompat ke sana ke mari seperti orang gila, menabrak pohon terjungkal, berdiri lagi, terhuyung-huyung, dan merangkak-rangkak sampai menabrak pohon lagi. Kemudian dia melompat berdiri dan lari.
"Heh..heh..heh, hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan." Siok Tin Cu juga berlari mengikuti anak yang sedang gila kepanasan itu, meninggalkan kudanya yang diikat pada sebatang pohon. Tidak jauh Beng San berlari karena belum juga dua li, ia menabrak pohon lagi dan terguling, tak dapat bangun lagi hanya berkelojotan dan bergulingan.
Siok Tin Cu berlutut dan memeriksa dengan teliti. Diurut dan diperiksanya seluruh bagian tubuh Beng San yang sudah tak berdaya lagi itu, mulutnya tiada hentinya memuji.
"Hemmm, tubuhnya berisi penuh hawa panas mujijat. Inilah inti sari hawa yang kalau dapat dipelihara dan disalurkandengan kekuatan Iweekang akan menjadi semacam yang-kang istimewa, kuat dan panas, Bagus sekali! Hendak kulihat apa yang dirusaknya." Ia memeriksa perut dan dada Beng San.
"Hemmm, hemmmmm ?" berbahaya sekali, isi perut melepuh semua, paru-paru penuh hawa panas menguap, jantung mengeriput?" kalau anak ini tidak kosong perutnya, tidak penuh hawa murni tubuhnya dan tidak bersih tulang-tulangnya, ia sudah akan mampus dari tadi. Dengan Iweekang di tubuhku, apakah aku akan dapat menahan hawa panas seperti ini?"" Hemmm, berbahaya sekali?"" Tosu ini saking asyiknya memeriksa sampai tidak tahu dan tidak terasa bahwa kantong terlepas dan terjatuh. Ketika tubuh Beng San bergerak-gerak, tanpa disengaja kantong obat itu tertindih oleh tubuh anak itu dan tidak kelihatan dari atas.
"Hemmm?".., berbahaya sekali akibatnya, Apa kiranya aku akan kuat?" Tosu itu berdiri dan termenung. Ia ngeriakan akibatnya kalau sampai dirinya kemasukan obat kuat itu dan akhirnya ia tidak dapat menahan. Tanpa terasa digerayangnya pinggangnya dan ia kaget karena tidak mendapatkan kantongobat disitu. Bingung ia mencari, tetapi sia " sia saja. Ia mengingat-ngingat, tak salah lagi, tadi ia mengambil sebuah pil dari kantong obat yang segera dikantongkan kembali ke pinggangnya.
Jangan- janganketinggalan di atas pelana kuda, pikirnya. Cepat ia berlari meninggalkan Beng San dan berlari ke tempat di mana dia tadi meninggalkan kudanya. Di sini mencari-cari ke sana kemari, membuka-buka rumput dan alang-alang disekitarnya, membongkar semua bekal dari atas sela kuda.
Sementara itu, Beng San masih juga berkelojotan. "Panas " "., lapar ", panas".., lapar?".,"katanya. Tangannya menggerayang-gerayang, ia mencoba membuka matanya, tetapi begitu dibuka air matanya bercucuran saking panas dan perihnya.
Tiba-tiba tangannya yang menggerayang itu dapat menangkap sebuah kantong kecil.
Kedua tangan itu menarik dan sekali tarik saja kantong itu hancur dan dua butir pil dipegangnya. Karena pikiran Beng San sudah hampir tak dapat dipergunakan lagi saking hebatnya penderitaannya, dua butir pil itu segera dimasukkan ke mulutnya terus ditelan habis!
Pada saat itu, terdengar orang bernyanyi-nyanyi kecil, nyanyian kanak-kanak. Ketika tiba di tempat itu, ternyata bahwa yang bernyanyi adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, tetapi mukanya yang hitam itu sama sekali tidak berkumis atau berjenggot, licin seperti muka kanak-kanak. Matanya juga bersinar bodoh dan jujur seperti mata kanak-kanak pula biarpun usianya sudah empatpuluh tahun. Yang lucu adalah pakaiannya, berkembang-kembang dan malahan sepatunya juga sepatu berkembang seperti yang biasa dipakai wanita. Pendeknya, seorang aneh yang mempunyai sifat kanak-kanak berpakaian seperti perempuan dan pantasnya hanya orang edan saja yang berkeadaan seperti dia ini. Ia berhenti menyanyi dan berdiri memandang Beng San yang masih bergulingan.
Setelah Beng San menelan pil yang dua butir itu ia seperti cacing terkena abu panas.
Berguling ke sana, menggelundung ke sini, berkelojotan dan mulutnya berbusa.
"Ha..ha..ho..ho..hoh, kau main menjadi trenggiling?" Orang yang baru datang itu dengan muka girang lalu rebah pula dan bergulingan, berkelojotan seperti Beng San sambil tertawa-tawa senang sekali.
"Hayo kita balapan, siapa lebih cepat menggelinding!" katanya mengajak Beng San main balapan. Tentu saja Beng San yang tidak sadar itu semua sekali tidak memperdulikan.
"Eh, kau tidak mau balapan" Kurang ajar kau, diajak bicara diam saja!" Orang itu melompat bangun dan mendekati Beng San. Ia melihat kedua mata Beng San yang sipit karena mukanya berbusa.
"Eh..eh..eh, setan, kau malah mengejek?" orang itu marah-marah, mengira bahwa Beng San yang tengah sekarat itu mengejeknya. " Kutendang kau" orang tua itu menendang perlahan. Tanpa disengaja ia menendang jalan darah thi-thait-to dipunggung Beng San. Bocah yang sedang menderita ini, yang tubuhnya seakan-akan hendak meletus karena penuh hawa Yang, seakan-akan terbuka jalan darahnya akibat terkena tendangan itu. Tiba-tiba ia melompat ke atas, tinggi sekali dan tanpa disadarinya pula tangan kanannya menampar kepala orang itu.
"Plak!" sehabis menampar ia bergulingan pula. Yang hebat adalah orang aneh itu yang kena tampar. Tubuhnya terlempar dan roboh berguling-guling sambil mengaduh-ngaduh. Ternyata orang itu lihai bukan main. Tamparan yang dilakukan oleh anak tadi, biarpun tidak disengaja namun penuh dengan dengan tenaga Yang dan kiranya akan menghancurkan kepala seorang biasa. Namun orang aneh itu hanya terguling-guling dan cepat bangun lagi. Ia marah sekali.
"Eh, Setan, Eh Iblis, kau mengajak berkelahi" Datang-datang mengirim pukulan maut, ya" Berani kau main-main dengan Koai Atong!" Cepat seperti orang main sulap, tahu-tahu di tangan kanan ini sudah terdapat sebuah panah berwarna hijau. Ia maju menubruk Beng San yang sedang bergulingan, tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, sedangkan tangan kanan menggunakan anak panah tadi untuk menusuk.
Dengan tepat tangan kiri Koai Atong memukul dada Beng San sedangkan ujung anak panah itu menancap di pundaknya. Melihat lawannya sama sekali tidak mengelak lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Koai Atong kaget sekali dan cepat sekali kembali anak panahnya. Hebat! Beng San yang terkena pukulan dan terluka anak panah, seketika berhenti bergerak hanya dari mulutnya terdengar bunyi mendesis seperti seekor ular mengamuk, mukanya yang tadi merah menghitam berlahan-lahan berubah menjadi hijau, juga seluruh tubuhnya berubah menjdi kehijauan! Desis pada mulutnya tidak lama, segera terhenti seperti bola kempis kehabisan angin.
"Mati".., celaka?".. aku bunuh orang yang tak melawan dengan pukulan Jing-tok-ciang (tangan racun hijau)!" setelah berkata demikian, orang aneh itu cepat berlari meninggalkan tempat itu, larinya bukan main cepatnya seperti terbang saja.
Orang aneh yang bernama Koai Atong ini sesungguhnya bukan orang biasa. Biarpun seperti kanak-kanak dan pakaiannya seperti orang gila, namun justru keanehannya itu maka ia disebut Koai Atong (anak setan). Dia ini adalah murid tunggal dari Ban-tok-sim Giam Kong (hati selaksa Racun), seorang hwesio dari barat yang berasal dari Tibet. Nama besar Giam Kong ini terkenal diseluruh dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang amat ditakuti orang. Juga nama murid tunggalnya ini cukup membikin mengkeret nyali banyak ahli silat karena kehebatannya. Yang paling ditakuti dari dua orang tokoh guru dan murid ini adalah ilmu pukulan mereka yang berdasarkan tenaga Im yang disebut Jing-tok-ciang. Ilmu pukulan racun hijau ini amat dasyat, mengandung sari tenaga Im yang paling dalam sehingga jangankan pukulannya, baru hawa pukulannya saja sudah cukup mendatangkan racun yang akan mematikan orang yang tersambar.
Sebagai seorang tokoh besar yang tinggi ilmu silatnya. Giam kong berpesan kepada muridnya yang ketolol-tololan itu agar tidak sembarangan mempergunakan Jing-Tok-ciang, apalagi mempergunakan senjata anak panah yang ujungnya sudah dimasak dalam racun hijau, kalau tidak amat terpaksa atau menghadapi musuh berat. Oleh karena itulah maka Koai Atong tadi ketakutan melihat akibat pukulannya. Tusukan anak panah terhadap diri Beng San dan serangannya tadi hanya terdorong oleh kemarahan karena ia dipukul secara hebat. Disangkanya bahwa Beng San anak kecil itu memiliki kepandaian tinggi, maka begitu menyerang ia mempergunakan pukulan maut dan anak panahnya. Maklum, jalan pikiran Koai Atong memang masih seperti kanak-kanak maka ia tidak berpikir panjang.
Siok Tin Cu bingung sekali ketika dia mencari-cari di tempat dia meninggalkan kudanya tetap tak dapat menemukan kantong obatnya. Dia menuntun kudanya kembali ke tempat Beng San. Alangkah kagetnya ketika dia melihat anak itu sudah tidak bergerak-gerak, terlentang di atas tanah dengan muka dan tubuhnya berwarna hijau! Dia terheran-heran, melepaskan kudanya dan didekatinya anak itu, setelahmemeriksa sejenak ia mengeluarkan seruan keget!
"Ayaaaaa"..! kenapa anak ini bisa mati seperti itu?"" ia benar-benar kaget sekali dan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya. Pengaruh obatnya adalah tenaga Yang (panas), andaikata anak ini mati karena obat itu tentu tubuhnya hangus, kenapa sekarang tubuh anak ini seperti orang mati kedinginan"
Siok Tin Cu berbidik ngeri. Untung ia mencobakan obatnya itu kepada anak tak terkenal ini. Kalau ia sendiri yang menelannya, alangkah ngerinya.
"Aku telah keliru membuatnya?"" pikirnya," harus segera kulaporkan kepada kauwcu?"" Karena melihat akibat obatnya begini mengerikan ia tidak begitu kecewa lagi kehilangan dua butir pilnya. Kalau yang sebuah begini berbahaya, dua yang lain juga tidak akan ada gunanya dipusingkan. Biarlah kalau ditemukan orang lain dan ditelan, paling-paling orang yang menelannya akan mati seperti bocah ini.
Agak ngeri oleh akibat perbuatannya sendiri, tergesa-gesa tosu itu menaiki kudanya dan membalapkan kuda kurus itu pergi dari situ, meninggalkan tubuh Beng San yang menggeletak di tengah hutan.
"Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya.
Jawabannya hanya suara ketawa nyaring seorang anak perempuan berusia delapan sembilan tahun yang amat lincah berlari-lari cepat memasuki hutan lebat. Yang menegur juga tersenyum, senyum kecil yang untuk sejenak menerangi wajahnya yang muram. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, tetapi wajahnya suram, tidak ada cahaya kegembiraan hidup.
Wajah tampan ini menjadi gelap dan muram semenjak ia ditinggal mati isterinya yang tercinta tiga tahun yang lalu, meninggalkan dia hidup berdua saja dengan anak tunggalnya yang bernama Hong.
Kwa Tin Siong adalah seorang jago pedang murid tertua dari Hoa-san-ciang-bunjin (ketua Hoa-san-pai) Lian Bu Tojin. Namanya di dunia kang ouw cukup terkenal sebagai seorang paling tua dari Hoa-san Sie-eng (empat pendekar Hoa-san). Tidak hanya terkenal karena memang empat orang pendekar Hoa-san ini berkepandaian tinggi, namun lebih terkenal karena perbuatan mereka yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan. Terkenal sebagai pelindung rakyat dari penjahat-penjahat keji.
Lian Bu Tojin, tosu ketua Hoa-san pai sudah berusia enam puluh tahun lebih. Tosu ini biarpun memiliki banyak anak murid, namun kepandaian istimewanya, yakin pedang Hoa-san Kiam-hoat, hanya diturunkan seluruhnya kepada empat orang muridnya yang terkenal sebagai Hoa-san ini. Yang tertua adalah Kwa Tin Siong bergelar Hoa-san-it-kian (pedang tunggal Hoa-san). Orang ke dua adalah Thio Wan It berjuluk Bu-eng-kiam (pedang tanpa bayangan), orang ketiga bernama Kui Keng berjuluk Toat-beng kiam (pedang pencabut nyawa), sedangkan orang keempat adalah seorang gadis berusia duapuluh tahun bernama Liam sian Hwa dengan julukan Kiam-eng-cu (bayangan pedang).
Kwa Tin Siong sudah berusia empat puluh tahun dan sudah menjadi duda, dua orang sutenya, yaitu Thio Wan it berusia tiga puluh lima, sedangkan Kui Keng berusia tiga puluh tahun, keduanya sudah berkeluarga pula. Hanya orang keempat dari Hoa-san Sie-eng, yaitu Liem Sian Hwa yang belum berkeluarga. Ia masih gadis berusia dua puluh tahun akan tetapi telah menjadi tunangan Kwee Sin, orang termuda dari tiga pendekar Kun-lun.
Kwa Tin Siong amat dihormati dan disegani adik-adik seperguruannya karena pandangannya yang luas serta sikapnya yang serius. Ia gagah, jujur, dan menjadi pengikut ajaran filsafat Khong-cu yang setia. Anak perempuannya, Kwa Hong, merupakan matahari hidupnya dan hanya anak inilah yang kadang-kadang dapat memancing senyum di wajahnya yang selalu muram dan sungguh-sungguh.
Kwa Tin Siong terpaksa mengeprak kudanya untuk berjalan lebih cepat memasuki hutan lebat itu. Tadinya Kwa Hong membonceng di depannya, tetapi anak itu tiap kali merasa bosan naik kuda, pasti meloncat turun dan berlari-larian cepat. Kwa Tin Siong tidak merasa khawatir akan diri anaknya karena sungguhpun baru berusia delapan-sembilan tahun, Kwa Hong telah memiliki kepandaian silat yang lumayan. Semenjak anak itu bisa berjalan, ia sudah mendidiknya sehingga sekarang Kwa Hong memiliki gerakan yang cepat dan lincah, juga mempunyai ilmu bela diri yang cukup kuat.
"Hong-ji (anak Hong), jangan terlalu cepat, kau nanti sesat jalan!" Kembali anaknya berkelebat memasuki bagian yang gelap dari hutan besar itu. Ia memajukan kudanya dan tiba-tiba kudanya mengeluarkan bunyi ringkik keras lalu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, hidungnya mendesis-desis nampak ketakutan sekali.
Kwa Tin Siong berlaku waspada, maklum bahwa ada binatang buas di tempat itu.
Karena sukar untuk menenangkan kudanya, ia cepat meloncat turun dan mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon. Tiba-tiba kudanya meronta keras, kendalinya putus dan kudanya lari tunggang langgang. Hampir bersamaan pada saat itu terdengar bunyi berkeresekan dari atas dan seekor ular besar yang melilitkan ekornya pada batang pohon di atas, menyambarkan kepalanya ke arah Tin Siong.
Tidak percuma Kwa Tin Siong menjadi orang tertua dari hoa-san sie-eng. Biarpun matanya belum melihat, telinganya telah menangkap sambaran angin dari atas. Cepat sekali kakinya bergerak dan ia sudah menggelak sambil mencabut pedangnya. Di lain saat pedangnya sudah berkelebat membacok ke atas.
Tin Siong ular itu terluka pedang, darah menetes.ular itu kesakitan dan marah, cepat ia menyambar lagi bagaikan menubruk ke arah calon mangsanya.
Tin Siong terkesiap kagum menyaksikan ular yang besar sekali dengan sisiknya yang nampak kuning kehijauan berkembang indah. Hampir ia merasa sayang untuk membunuh ular ini, tetapi karena ia berada dalam bahaya, terpaksa ia memapaki datangnya ular dengan sebuah tusukan ke arah leher sambil miringkan tubuh.
"Cesss"! Pedang yang ditusukkan dengan tenaga lweekang itu dapat menembus leher ular yang dilindungi kulit keras. Sebelum ular itu sempat menyerang, pedang sudah dicabut kembali dan sebuah tebasan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya membuat leher itu putus! Kepalanya terlempar ke bawah sedangkan ekor yang melilit dahan pohon perlahan-lahan terlepas sehingga akhirnya tubuh ular yang panjang dan besar itu jatuh berdebuk di atas tanah pula.
Tin Siong menarik napas panjang merasa sayang bahwa ualar yang seindah itu kulitnya terpaksa harus ia bunuh, Ular kembang macam ini enak dagingnya dan kulitnya akan laku mahal kalau dijual di kota, pikirnya. Ia ingat akan anaknya, dan teringat akan kudanya yang sudah melarikan diri. Anaknya harus dicari lebih dahulu dan dengan pikiran ini pendekar itu lalu lari mengejar ke arah bayangan Kwa Hong tadi berkelebat.
Sementara itu, Kwa Hong yang berlari-larian gembira telah berada dibagian yang paling gelap di hutan itu.memang anak ini semenjak kecil paling senang kalau bermain-main didalam hutan.Semenjak kecil berdiam bersama ayahnya di hoa-san dan hutan besar boleh dibilang adalah tempat ia bermain-main. Akhir-akhir ini ketika ayahnya mengajak ia turun gunung,ia seringkali rindu kepada hutan-hutan besar,rindu kepada binatang-binatang hutan yang amat disanyanginya,maka sekarang melihat hutan, tentusaja ia seperti seekor burung,tentu saja ia pohon besar,gembira sekali hatinya.
Saking gembiranya ia sampai lupa diri dan lupa bahwa jauh meninggalkan ayahnya dan baru terasa lelah kedua kakinya ketika dia duduk di bawah sebatang pohon besar.sepanjang matanya bersei-seri dan bersinar-sinar,mulutnya yang kecil tertawa-tawa ketika Kwa hong memtik dua tangkaibunga merah dipasangnya di atas kepala di kanan kiri,menhias rambutnya yang hitam panjang.
Tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat meloncat kesamping dan dilain saat tangan kanannya sudah menghunus pedang pendek, inilah gerakan sin-coa-hiat-bwe (ular sakti mengulur ekornya) sebuah gerakan ilmu pedang sebagai [pembukanankalau menghadapi lawan berat. Gerakannya cepat sekali dan tanganya yang mencabut pedang hampir tidakterlihat, tahu-tahu pedang pendek yang tadinya tergantung dipunggungnya telah berada ditangan kanan,dipegang erat-erat gagangnya,sedangkan pedangnya melintang di depan dada. Apa yang menyebabkan gadis cilik ini kaget"
Mukanya pucat dan ia berdiri seperti patung,lenyap semua seri gembira diwajahnya.
Bukan hanya dia,andaikan disitu ada orang lain orang sgagah ayahnya sekalipun,tentu akan kaget setengah mati melihat apa yang dilihat oleh Kwa hong ini.Mana didunia bukan mimpi,memang nyata-nyata terlihat olehnya hal ituterjadi.mula-mula ia tadi berseru kaget karena melihat ada seekor ular besar di bawah pohon,kurang lebih dua puluh meter jauhnya disebelah sana.dan sekarang".tahu-tahu ular itu "bangun" berdiri dan berlomcat-loncatan menghampirinya.
Hampir saja Kwa Hong lari tunggang langgang saking takut dan ngerinya kalau saja ia tidak mendengar suara orang tertawa, akan tetapi ketika ia mendengar bahwa yang tertawa adalah "ular berdiri" itu. Kemudian timbul jiwa ksatria yang diturunkan ayahnya kepadanya dengan pedang dipegang erat-erat di tangan ia membentak.
"Siluman dari mana berani menggangguku".
"Ha..ha..ha, lagaknya. Kakimu menggigil seperti orang sakit demam kok masih berlagak gagah. Ha..ha..ha!" ternyata ular itu setelah dekat tidak berkepala lagi dan ..
dari leher ular itu tersemburlah kepala seorang anak laki-laki, anak yang bermata lebar dan bermuka putih kehijauan. Anak ini bukan lain adalah Beng San.
Seperti talah kita ketahui Beng San menggeletak di bawah pohon dalam keadaan yang dianggap sudah tak bernyawa lagi oleh Siok Tin Cu. Memang waktu itu anak ini sudah seperti mati, mukanya hijau kebiruan, tidak ada napasnya lagi dan tidak ada detak jantungnya lagi. Akan tetapi, ternyata Siok Tin Cu salah kira. Terjadi hal-hal yang mujijat dalam diri anak yang bernasib malang ini. atau lebih tepat kita katakana bukan bernasib malang karena secara kebetulan sekali ia terhindar dari malapetaka yang akan mencabut nyawanya akibat dari ditelannya tiga butir pil obat beracun dari Siok Tin CU, tiga butir pil beracun yang mengandung hawa panas yang mujijat, sari dari pada hawa thai yang. Pada saat Beng San ditemukan oleh Koai Atong, memang nyawanya sudah di bibir kematian. Kemudian secara kebetulan sekali Koai Atong yang berotak tidak beres itu memukulnya dengan tenaga Jing tok ciang, malah melukainya dengan anak panah yang ujungnya sudah dilumuri racun hijau. Hawa pukulan dan racun ini cepat sekali menjalar diseluruh tubuh melalui jalan darahnya dan terjadilah perang tanding yang hebat antara hawa thai yang dari tiga butir oil itu dengan tenaga Im kang dari pukulan Jing tok ciang dan racun hijau. Dalam keadaan kedua hawa yang bertentangan dan bergulat itulah Siok Tin Cu melihat Beng San seperti sudah mati.
Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Tuhan bahwa nyawa anak itu belum tiba saatnya kembali ke alam baka. Semalam suntuk kedua hawa mujijat itu bertempur di dalam tubuhnya dan seperti biasanya kalau racun bertemu dengan racun yang berlawanan, menjadi punah. Bahkan sebaliknya, bukannya terancam nyawanya, tanpa disadarinya tubuh Beng San di bagian dalam mengandung kedua hawa ini yang sudah dibikin normal oleh percampuran itu, mendatangkan kekuatan yang luar biasa.
Demikianlah, pada keesokan hrinya Beng San sadar, seakan-akan baru bangun dari kematian. Ia merasa tubuhnya dingin bukan main sampai giginya berketrukan. Ia teringat akan pengalamannya, ketika ia dijejali pil oleh tosu yang mengaku bernama Siok Tin Cu. Teringat akan ini ia menjadi marah dan meloncat bangun. Alangkah kagetnya dia, ketika tubuhnya mumbul sampai satu meter lebih. Rasanya tubuhnya begitu ringan seperti bulu ayam! Akan tetapi hal ini tidak diperhatikannya lagi karena segera ia terserang rasa dingin yang bukan main hebatnya. Ia teringat bahwa ketika habis dijejali pil oleh tosu itu ia merasa tubuhnya seperti dibakar, kenapa sekarang sebaliknya begini dingin" Beng San menggigil dan lari ke sana kemari mencari tempat berlindung. Disangkanya bahwa hawa udara di hutan itu yang luar biasa dinginnya.
Kebetulan sekali ia melihat kulit ular atau selongsong kulit ular bergantungan di sebuah pohon besar. Tadinya ia kaget, mengira bahwa itu adalah binatang ular. Akan tetapi setelah dilihat bahwa itu hanyalah selongsong daja, ia segera memanjat pohon dan mengambil selongsong itu. Kiranya seekor ular besar sekali telah berganti kulit disitu dan selongsongnya yang kering tergantung disitu. Beng San seorang anak cerdik. Ia membutuhkan selimut dan selongsong kulit ular ini kiranya boleh dipergunakan sebagai selimut darurat. Segera ia membungkus dirinya dengan selongsong kulit ular yang panjang dan lebar itu. Benar saja, ia merasa agak hangat badannya dan perasaan ini demikian nyamannya membuat ia melupakan perut laparnya dan tertidur lagi terbungkus kulit ular. Tentu saja ia tidak tahu bahwa kehangatan yang datang kepadanya itu adalah wajar. Pertama, karena hawa pukulan Jing tok ciang itu mulai menghilang, bercampur dengan hawa thai yang, kedua kalinya secara kebetulan sekali pada kulit ular itu terdapat hawa beracun dari ular yang berganti kulit, dan hawa beracun ini mengandung hawa panas pula.
Itulah sebabnya mengapa Beng San bukan saja terhindar dari bahaya maut, malah sebaliknya ia mendpatkan keuntungan yang luar biasa, yaitu tubuhnya terkandung hawa mujijat akibat percampuran hawa Yang dan Im yang kuat sekali. Satu-satunya hal yang sampai pada saat itu masih sering kali ganti berganti menyerangnya, namun hal itu sudah tidak begitu mengganggunya lagi karena tubuhnya menjadi biasa dan seperti kebal. Hanya kulitnya yang masih belum dapat menahan sehingga tiap kali hawa panas menyerang, kulit tubuh, terutama kulit mukanya menjadi merah seperti udaang direbus, akan tetapi tiap kali hawa dingin yang menyerang, mukanya berubah menjadi hijau.
Kit kembali kepada pertemuan Beng San dan Kwa Hong. Lenyap kengerian dan ketakutan hati Kwa Hong setelah mendapat kenataan bahwa apa yang disangkanya siluman ular itu ternyata adalah seorang anak laki-laki yang hanya lebih besar sedikit daripada dirinya sendiri. Tadinya ia hendak tertawa saking geli hatinya, akan tetapi mana bisa dia tertawa kalau begitu bicara anak laki-laki itu menghinanya " ia dikatakan menggigil kakinya seperti orang sakit, tapi masih berlagak gagah. Yang menggemaskan kata-kata itu memang .. betul. Memang tadi kedua kakinya menggigil dan tubuhnya gemetaran. Siapa orangnya tidak akan takut kalau mengira bertemu dengan siluman"
"Setan cilik, kenapa kau main-main dan menakut-nakuti orang" Kalau tidak mengira kau siluman, mana aku takut kepada orang semacam engkau?" Kwa Hong membentak, cemberut. Dengan sikap menunjukkan bahwa kini ia sama sekali tidak takut lagi Kwa Hong menyimpan kembali pedangnya di belakang punggung lalu menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang panjang itu berjuntai ke belakang.
Melihat sikap gagah-gagahan dan galak dari nona cilik ini, Ben San tertawa cekikikan dan tampaklah deretan giginya yang kuat dan putih.
"Eh, kenapa kau tertawa-tawa?" Kwa Hong penasaran dan marah, kedua tangan dikepal, matanya bersinar-sinar karena mengira bahwa dia telah ditertawakan.
Beng San tidak menjawab, malah hatinya makin geli dan tertawanya makin keras.
Biasanya ia melihat anak perempuan sebagai makhluk-makhluk yang lemah-lembut, sekarang melihat lagak Kwa Hong yang membawa-bawa pedang ia merasa lucu sekali.
"Hei, kepala keledai, kenapa kau cekikikan?" Kwa Hong membentak lagi, kini melangkah maju.
Dengan mulut masih terenyum lebar Beng San balas bertanya, "Aku tertawa atau menangis menggunakan mulut sendiri, kenapa kau rebut-ribut?" dan ia tertawa lagi, malah sengaja ketawa keras-keras.
Kwa Hong terpukul dan makin mendongkol. "Kau kira mukamu kebagusan, ya"
Tertawa-tawa seperti monyet. Mukamu jelek sekali, tahu?"
Beng San makin geli, matanya bersinar-sinar biarpun masih nampak sipit karena kedua pipinya memnag masih bengkak-bengkak membuat mukanya mirip muka kodok. Pada saat itu, hawa dingin sudah mulai meninggalkannya, terganti hawa panas membuat mukanya yang tadi kehijauan sekarang berubah menjadi merah.
Melihat perubahan ini Kwa Hong tertawa geli, ketawanya bebas lepas dan ia nampak makin cantik kalau tertawa karena dari kedua pipinya tiba-tiba muncul lesung pipit yang manis. "Hi hi hi, kau buruk sekali, mukamu berubag-ubah warnanya, hihi hi seperti bunglon ..!"
Panas juga perut Beng San ditertawai seperti ini, ia membalas dengan suara ketawa yang keras, mengalahkan suara ketawa Kwa Hong. "Ha..ha..ha, mukamu pun buruk bukan main seperti " seperti kuntilanak."
Kwa Hong berhenti tertawa. "Kuntilanak" Apa itu?"
Seketika Beng San juga berhenti tertawa karena dia sendiri juga tidak pernah tahu apa macamnya kuntilanak! "Kuntilanak ya kuntilanak " "
"Seperti apa?" "Seperti .. ah, sudahlah, buruk sekali, seperti engkau inilah!"
"Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya.
"Bohong!" Kwa Hong membentak. "Aku cantik manis, semua orang bilang begitu, ayah bilang begitu."
Beng San tersenyum mengejek, "Cantik manis" Puuhhhh! Mungkin sekarang, akan tetapi dulu ketika baru lahir kau ompong dan kisut, buruk sekali dah!"
Kwa Hong membanting-banting kakinya, ia memang manja dan setiap orang yang melihatnya tentu memuji kecantikan dan kemanisannya, masa sekarang ada orang yang memburuk-burukkannya seperti ini. mana dia mau menerimanya"
"Mulutmu berbau busuk! Aku cantik manis sekarang, dulu maupun kelak, tatap cantik."
"Cantik manis juga kalau galak dan berlagak sombongm, siapa suka" Galak dan sombong seperti " seperti "."
"Seperti apa?" Kwa Hong menantang.
"Seperti .. Jui bo (untilanak) ?"
"Kuntilanak lagi. Seperti apa sih kuntilanak itu ?"
"Seperti kau inilah" Beng San menjawab mengkal karena dia sendiri pun belum pernah melihat seperti apa adanya setan betina yang sering kali orang sebut-sebut.
Kwa Hong marah. "Kau seperti bunglon!"
"Kau seperti Kui bo!" Beng San membalas.
"Bunglon". "Kui Bo!" "Bunglon, bunglon, "Bunglon".
"Kui Bo, Kui Bo, Kui Bo!"
dua orang anak-anak itu, seperti lazimnya semua anak-anak di dunia ini kalau cekcok, balas membalas dengan poyokan. Kwa Hong kalah keras suaranya dan melihat Beng San memoyokinya sambil tertawa-tawa, menjadi makin marah.
"Bunglon, katak, monyet! Kau bilang aku seperti kuntilanak, apa sih sebabnya?"
"Kau berlagak dan sombong sekali. Anak perempuan bernyali kecil masih pura-pura membawa pedang ke mana-mana. Kurasa dengan pedang itu kau tidak mampu menyembelih seekor katak sekalipun ! Huh, sombong."
"Sraatt" tahu-tahu pedang sudah berada di tangan Kwa Hong yang memuncak kemarahannya. "Menyembelih katak" Menyembelih bunglon macammu pun aku sanggup!"
pedang digerakkan. "Syeettt " syeeettt!" dua kali pedang berkelebat dan "
selongsong kulit ular yang membungkus tubuh Beng San terbelah dari atas kebawah dan jatuh ke bawah, dalam sekejap mata saja Beng San berdiri .. telanjang bulat di depan Kwa Hong! Memang ketika mempergunakan selimut istimewa itu, Beng San menanggalkan pakaiannya yang basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada batang pohon. Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup besar untuk membuat Kwa Hong menjerit dan membalikkan tubuh dan membelakangi Beng San, mulutnya memaki-maki.
"Kadal! Bunglon! Monyet .. tak tahu malu kau ?"
Beng San juga kaget dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa sehingga ujung pedang taf\di hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.
"Kau yang tak tahu malu, kau yang kurang ajar!" Beng San marah marah. "Main-main dengan pedang,. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?"
"Mampus juga slahmu sendiri," Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh.
Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaina yang kotor butut dan tambal-tambalan.
"Huh," ia menjebi, "kiranya hanya pengemis."
"Kuntilanak! Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu."
Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia mendengar percekcokan terakhir ini dan datang-datang ia menegur puterinya.
"Hong ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita." Datang-datang jago Hoa san pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkap berbunyi : "Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara."
Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan. "Bagus, bagus! Puas, puas! Maka harus ingat selalu bahwa kalau tidak mau dihina orang lain janganlah menghina orang lain."
Seperti sudah diceritakan dibagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok thian tong, di antaranya juga kitab-kitab Su si Ngo keng yang sudah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi : "Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu."
Melihat sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apalagi melihat pakaina Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular disitu, ia mengira bahwa beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.
"Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan."
Kwa Hong tak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi dn mulut cemberut. Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh kearah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dank arena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mujijat yagn memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang ouw.
Mendengar orang bicara tentang "daging" dan tentang "makan", seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh. Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang amat wangi dan gurih. Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan dagingular. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya. Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.
"Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi." Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring.
Dengan perut panaas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.
Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San, "Anak baik, apakah kau lapar?"
Beng San berwatak angkuh tapi jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.
"Kau mau mengemis daging ular?" Kwa Hong mengejek.
"Tidak!" Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.
Kwa Tin Siong diam-diam kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Ituah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apalagi anak jembel.
Dengan halus ia bertanya.
"Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?"
Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab, halus tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi.
"Tidak, lopek (paman tua), aku tidak minta."
Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, biarpun hampir kelaparan tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.
"Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?"
"Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa."
Sekaligus ia menjawab kaarena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya.
Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya semenjak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.
"Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hpng. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?" orang tua itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng San.
Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.
"Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela," katanya singkat.
"Hong ji" Kwa Tin Siong membentak anaknya. "Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang dapat, bukan kau!" ia membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tidak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi.
Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging ular itu.
Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, anak itu akan tersinggung kehormatannya, maka karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.
"Hong ji, mari kita lanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan diri." Kemudian kepada Beng San ia berkata.
"Beng San, karena kami sudah tidak memerlukan lagi daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik."
Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. "Kwa Tin Siong lopek, kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak kan mudah melupakan kau dan mudah-mudahan saja kelak aku mendpatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini."
Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, memiliki pribudi pula. Ia mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya.
Dan sebelum mereka berpisah antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi "adu sinar mata" keduanya berapi dan gemas.!
Setelah ayah dan anak itu pergi, Beng San berpesta pora. Ia memegang daging ular sebanyaknya dan masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.
"Kui bo " " makinya keras-keras. "Kuntilanak ". Cantik manis, genit dan galak.
Kui bo, Kui Bo, Kui boo! Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang Kui bo!"
tiba-tiba dari atas puncak pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik, "Hi hi hi hi!"
Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.
"Kuntilanak kau! Kui bo, perlu apa datang menggangguku?"
kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat di atas kepala BengSan. Anak itu cepat mendongak, memandang ke pohon di atasnya, diantara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Namun, seekor burungpun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar disitu. Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung, "Hi hi hi hi!"
beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya ia pernah tinggal di kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremeng. Betapapun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan" Kata seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam!.
"Hi hi hi hi hi!" dan kini Beng San betul-betul tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertwa-tawa, kelihatan giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang, mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak"
Wanita itu tertawa-tawa lagi lalu bertanya. "Anak bagus, kau suka kepada Kui bo (kuntilanak)" Betulkah katamu tadi bahwa Kui bo cantik manis, genit dan galak"
Suara wanita itu halus tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan . anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.
"Kau " kau sipakah ..?"
"He he he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui bo. Akulah Kui bo dan namaku ini" wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai bunga hitam di tangannya.
"Namamu " kembang hitam itu ?""
Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Kaerna bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.
"Ya, akulah Hek hwa Kui bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cailik yang mungil itu seperti aku " Hi hi hi hi, kau baik sekali, anak bagus ?"
wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang. Sebaliknya Beng San terkejut.
Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong"
"Aku tidak percaya," katanya. "Menurut kata orang, kuntilanak itu biarpun cantik suka makan .." sampai di sini Beng San menjadi pucat. Mengapa ia mengini goblok menyebut-nyebut tentang itu" Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan"
"Tepat sekali, memang aku suka makan dagingmentah, erutama daging ular ?"
saputangan sutera yang panjang itu dikebutkan dan " ujung saputangan itu telah menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, lalu dikunyahnya dengan enak dan dimakan! Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging ular yang masih mentah, masih ada darahnya.
"Kau percaya sekarang" Aku Hek hwa Kui bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan " sama baiknya ?"
Beng San teringat akan Kwa Hong dan cemberut. Anak perempuan itu telah menghinanya. "Kalau sama dengan dia aku tak suka," katanya setengah melamun,
"Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku."
Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apalagi berkata kasar kepadanya, selalu bermuka-nuka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya! Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.
"Kau dihina oleh anak itu" Biar kubawa dia ke sini agar kau boleh membalasnya!"
tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San . ia makin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang ia baru mau percaya yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.
"Aduh, celaka " jangan-jangan dia kembali .. " demkian ia berkata seorang diri dan rasa ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi kemana ia harus pergi menyembunyikan diri" Hutan itu besar sekali, di mana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu kemana jalan keluar
Tak lama kemudian selagi berlari-lari, ia mendengar suara ketawa yang tadi, "Hi hi hi hi hi!".
Beng San menelusup ke dalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak berkata,
"Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa ke sini."
Beng San merangkak keluar dan ".ia melihat Kwa Hong sudah berada disitu. Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, "Ba
"bagaimana kau bisa membawaku ke sini?"
Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan. "Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu ?"
Kh marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik dengan Beng San. Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong memperlihatkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk kearah dada wanita itu! Anehnya yang ditusuk tidak bergerak sedikitpun juga hanya memandang sambil tersenyum-senyum.
Krakkk!" tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia melihat betul bahwa pedangnya tadi belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, karena tiba-tiba bisa patah sendiri"
"Kuntilanak dia, jangan lawan, kau takkan menang melawan Kui bo!" kata Beng San.
Kh marah sekali. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai kuntilanak lagi.
"Anak jembel! Kau mendatangkan siluman untuk membalas!" bentaknya.
Pada saat itu terdengar angina bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini memegang pedang telanjang di tangannya, wajahnya yang muram nampak makin muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat disitu, lalu ia memandang sekilas kearah Beng San, baru kemudian ia memperhatikan wanita itu. Ia melihat seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kiri bermain-main dengan sehelai saputangan sutera beraneka warna, indah dan panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut sekali. Bukan mata orang biasa. Ia berlaku hati-hati, sekali lagi melirik kearah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya. Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut, ia lalu menjuru kepada perempuan itu.
"Toanio (nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon Tanya ada maksud Toanio membawa anakku sampai ke sini?" Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali.


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wanita itu tersenyum mengejek, memandang tak acuh, menjawab lalu berkata kepada Beng San. "Kau tadi dihina hayo balas!"
Akan tetapi mana Beng San mau membalas" Ia memang tidak merasa sakit hati kepada ayah dan anak itu. Apalagi Kwa Tin Siong amat baik kepadanya sedangkan Kwa Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata sesuatu.
Kwa Tin Siong mendongkol, juga melihat lagak wanita ini yang sama sekali tidak memperdulikannya, jelas amat memandang rendah, maka ia lalu berkata lagi dengan hormat, "Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga Hoa san pai tidak mempunyai permusuhan." Ia sengaja menyebut nama Hoa san pai agar perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan bersikap selayaknya orang kang ouw berurusan dengan sesame orang kang ouw.
"Tosu bau Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya."
Wanita itu bicara seperti pada diri sendiri. Akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong bangkit kemarahannya. Lian Bu Tojin adalah gurunya, juga adalah ketua Hoa san pai, seorang ciangbunjin (ketua partai) yang amat dihormati orang seluruh kang ouw. Maka perempuan ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan tosu bau segala" Pedang di tangannya gemetar. Tiba-tiba Kwa Hong yang mengenal sikap ayahnya yang marah ini memperingatkan.
"Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya!"
Kwa Tin Siong kaget. Tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh pandai takkan ada artinya. Ia kaget karena mendengar pengakuan anaknya yang sudah menyerang wanita ini.
"Hong ji, jangan kurang ajar kau. Mari sini!" ia menyuruh anaknya mendekatinya agar lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran. Akan tetapi selagi Kwa Hong hendak bergerak mendekati ayahnya, tampak wanita itu menggerakkan saputangan suteranya kearah Kwa Hong yang segera berdiri diam seperti patung.
Hampir Kwa Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung saputangan yang halus itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, namun "nyatanya anaknya telah kena ditotok jalan darahnya!
"Hi hi hi hi hi ".. Hoa san pai "." Wanita itu tertawa mengejek.
Sesabar-sabarnya manusia, kalau anaknya diganggu dan nama partainya diejek seperti itu, takkan dapat menahan juga, Kwa Tin Siong berseru.
"Manusia sombong, bersiaplah kau menghadapi pedangku!" sebagai seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang seorang wanita yang hanya memegang sehelai saputangan. Akan tetapi wanita itu menjawab halus.
"Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa san pai yang rendah mau bisa apakah terhadapku?"
"Hemmmm, sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku!" Kwa Tin Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai dari Hoa san Kiam hoat, yaitu gerakan Tian mo po in (payung kilat sapu awan). Pedangnya berputar sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan menyambar kearah wanita itu.
"Hi hi hi hi hi, kiam hoat (imlu pedang) buruk!" wanita itu dengan mudahnya miringkan tubuh menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang. Akan tetapi Kwa Tin Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa san pai. Gerakan-gerakannya amat mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya takkan berhasil ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya. Kini pedangnya itu meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan kong sia ciok (Kwan kong memanah batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk kearah ulu hati lawan.
Kwa Tin Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tak mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang maka gerakannya ia tahan dan perlambat sedapatnya. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya menyentuh lawan, tepat seperti dikatakan Kwa Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari saputangan itu menyambar kearah pedang dan tangan. "Krakkk!"
Semacam tenaga mujijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Orang she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, tidak mau melepaskan pedangnya yang bunting. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah segar.
"Hi hi hi hi hi ", Hoa san pai ?" belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa. Sekarang terimalah seranganku!" wanita itu melangkah maju dan menggerakkan saputangannya Kwa Tin Siong merasa bahwa ia berhadapan dengan orang sakti luar biasa atau sebangsa siluman maka dia menerima nasib, tak kuat melawan.
"Hek hwa Kui bo, jangan ganggu mereka!" tiba-tiba Beng San melompat dan menarik pakaian belakang wanita itu.
Hek hwa Kui bo menoleh, tersenyum dan mengejek, "mereka itu apamu sih, kau bela mati-matian."
"Jangan bunuh, jangan ganggu " kalau tidak aku takkan suka lagi kepadamu!"
ancaman ini agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan saputangannya. Yang kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama Hek hwa Kui bo oleh Beng San tadi. Hek hwa Kui bo adalah nama seorang diantara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan!
Menurut cerita gurunya, yang bernama Hek hwa Kui bo ini adalah serang wanita yang cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini
"melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya takkan lebih dari tiga puluh tahun! Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai bunga hitam yang tadi tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu!
"Jangan bunuh, jangan bunuh ".." Hek hwa Kui bo mengulang. "Ah, anak bagus, lain kali mereka mungkin yang akan memnggangu dan membunuhmu. Hayo ikut!"
tiba-tiba wanita itu menggerakkan saputangannya yang meluncur kearah Beng San.
Tahu-tahu ujung saputangan telah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan mata dan mendengar angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat perempuan itu berkelebat pergi membawa Beng San, lalu ia menyalurkan pernapasannya untuk memulihkan kekuatannya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya, kalau dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia telah menggeletak dengan jantung putus! Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan, baru dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.
"Ayah, siapkah perempuan siluman itu?"
"Hushhh, jangan kau sombong, Hong ji. Dia adalah seorang tokoh kang ouw yang malah lebih tinggi kedudukannya daripada sukongmu (kakek gurumu). Hayo kita melanjutkan perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi." Pendekar yang amat gagah dan jarang menemui tandingannya ini segera mengajak anaknya pergi nampaknya gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh. Kenapa seorang tokoh seperti Hek hwa Kui bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah muncul di dunia kang ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya" Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa san pai dan menceritakan hal ini kepada suhunya.
Pada masa itu, keadaan pemerintahan yan dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol. Di mana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun tenaga-tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap pemerinah penjajah. Diantara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa sanpai juga termasuk anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek lian pai (perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan pemerintah Mongol. Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, pada waktu itu sedang pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoinya yang berpencaran di mana-mana, malah ia sedang mencari untuk mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa san Sie eng (Empat Pendekar Hoa san) harus mengadakan pertemuan di Hoa san untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini. ketika tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi nam hu bertemu dengan sutenya, Thio Wan t, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa san bulan dpan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan Toat beng kiam Kui Teng sutenya yang ketiga dan sudah mendapat janji pula. Sekarang ia sedang menuju kearah dusun Lam bi chung tempat tinggal orang tua sumoinya (adik seperguruan) yaitu Kiam eng cu Liem Sian Hwa. Setelah mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong mempercepat perjalanannya untuk segera kembali ke Hoa san setelah memberi tahu sumoinya tentang pertemuan Hoa san Sie eng di Hoa san.
Dalam waktu tiga hari saja Kwa Tin Siong dan anak perempuannya telah tiba di dusun Lam bi chung. Tapi apa yang mereka dapati di dusun tempat tingal jago keempat dari Hoa san Sie eng ini" mereka dapati Liem Sian Hwa sedang bergabung atas kematian ayahnya yang dibunuh orangseminggu yang lalu. Begitu melihat kedatangan Kwa Tin Siong, gadis itu segera menubruk dan berlutut di depan twa suheng (kakak seperguruan tertua) ini dan menangis tersedu-sedu Seperti telah disebutkan di bagian depan, Kwa Tin Siong merupakan jago pertama dari keempat Hoa san Sie eng yang selama ini mengharumkan nama Hoa san pai sebagai pendekar-pendekar budiman. Liem Sian Hwa adalah tokoh keempat dan yang termuda. Akan tetapi biarpun ia termuda, baru dua puluh tahun usianya dan satu-satu wanita di antara empat pendekar Hoa san pai itu, kepandaiannya hanya kalah setingkat oleh twa suhengnya ini. dia seorang gadis yang cantik, manis, dan sederhana sekali, maklum karena Sian Hwa adalah anak seorang miskin. Ayahnya, Liem Ta, juga seorang guru silat yang semenjak mudanya menjadi penjual obat keliling sambil mendemontrasikan ilmu silatnya hanya untuk menarik perhatian pembeli. Ilmu silatnya adalah warisan dari ilmu silat Siauw lim, akan tetapi tidak begitu tinggi, hanya sekedar untuk ilmu pembela diri belaka.
Bertahun-tahun Sian Hwa tinggal di Hoa san setelah ia diantar o;eh ayahnya dan diterima menjadi murid oleh ketua Hoa san pai, Lian Bu Tojin yang melihat bahwa anak perempuan itu bertulang baik sekali, bersemangat dan cerdik. Ayahnya tetap berkeliling obat karena sudah menjadi kebiasaan seorang yang suka merantau, tentu takkan senang kalau harus berdiam di suatu tempat. Memangg benar bahwa Liem Ta sudah mempunyai sebuah rumah kecil di dusun Lam bi chung tempat kelahiran Sian Hwa, namun karena istri Liem Ta sudah lama meninggal, ia tidak tahan hidup seorang diri dan seringkali melakukan perjalaanan merantau.
Ketika Sian Hwa berusia lima belas tahun, datanglah ketua Kun lun pai, yaitu Pek Gan Siansu, berkunjung ke Hoa san bersama muridnya yang bernama Kwa Sin dan yang berusia tujuh belas tahun pada waktu itu. Pertemuan antara dua orang ketua ini menghasilkan ikatan jodoh antara Sian Hwa dan Kwee Sin yang sudah yatim piatu.
Tentu saja Liem Ta diberi tahu dan duda perantau ini setelah melihat Kwee Sin yang tampan dan gagah, apalagi anak murid Kun lun pai, segera memberi persetujuannya.
Lima tahun kemudian mereka telah tamat belajar. Sian Hwa menjadi seorang pendekar gagah, menjadi seorang termuda dari Hoa san Sie eng yang terkenal di seluruh dunia kang ouw. Adapun Kwee Sin juga menjadi seorang jago muda Kun lun pai yang tak kalah tersohornya. Dia adalah seorang termuda pula dari Kun lun Sam hengte (Tiga saudara dari Kun lun), yaitu bersama dua orang suheng yang bernama Bun Si Teng dan Bu Si Liong.
Demikianlah keadaan Sian Hwa sepintas lalu, dan sebagai pendekar-pendekar gagah, baik Sian Hwa maupun Kwee Sin tidak tergesa-gesa melangsungkan pernikahan, malah bertemu muka pun jarangsekali kedua tunangan ini. betapun juga tiap kali keduanya bertemu muka mungkin setengah tahun sekali, jalinan cinta kasih diantara mereka makin erat. Dan pada waktu cerita ini terjadi, Liem SianHwa sudah kembali ke rumahnya di Lam bi chung, sedangkan Kwee Sin seperti biasanya pergi merantau sebagai seorang pendekar muda yang bercita-cita melepaskan tanah air dan bangsa dari penindasan penjajah Mongol.
Pada suatu hari Liem Ta pulang dari merantaunya. Kali ini dia tidak pergi terlalu jauh makadalam waktu setengah bulan dia sudah pulang. Begitu datang ke rumah, dia sudah marah-marah dan memanggil Sian Hwa. Gadis ini segera menghampiri ayahnya yang nampak tak senang dan marah-marah itu, penuh keheranan karena biasanya ayahnya amat sayang kepadanya dan tidak pernah marah.
"Sian Hwa mulai sekarang hubunganmu dengan manusia she Kwee itu putus sampai di sini saja! Biar besok aku pergi naik ke Hoa san untuk memberi tahu gurumu.
Pertunanganmu dengan manusia she Kwee itu harus putus!"
Kalau ada halilintar menyambarnya di saat itu, kiranya Sian Hwa takkan sekaget ketika mendengar perkataan ayahnya ini. kedua pipinya yang biasanya kemerahan itu kini menjadi pucat. Akan tetapi sebagai seorang pendekar wanita yang gagah ia bersikap tenang ketika bertanya,
"Apakah sebabnya ayah menjadi marah-marah seperti ini" tentu telah terjadi sesuatu yang membuat ayah menjadi marah."
"Terjadi sesuatu?" Liem Ta membentak. "Sudah terlalu lama terjadinya, sudah terlalu lama orang itu menipu kita, menipumu! Pantas saja sampai sekarang belum juga ada ketentuan tentang hari baikmu. Huh, kiranya manusia itu bermain gila!"
mulai khawatir hati Sian Hwa, sepasang alisnya yang hitam bergerak-gerak.
"Ayah, apakah sebenarnya yang telah terjadi?" hatinya benar-benar mulai merasa tidak enak karena ia sudah menduga bahwa pasti terjadi sesuatu dengan diri tunangannya, Kwee Sin.
"Manusia she Kwee itu ternyata bukan orang baik-baik, Sian hwa. Biarpun dia itu murid Kun lun pai, biarpun dia seorang diantara Kun lun Sam hengte namun sekarang ia telah tersesat. Dia gulung-gulung dengan seorang wanita jahat, kalau tidak salah wanita itu seorang dari perkumpulan Ngo lian kauw yang terpimpin iblis. Mataku sendiri melihat dia bermain gila secara tak tahu malu dengan wanita genit dan cabul itu. Sudahlah, pendeknya aku tidak rela anakku menjadi istri seorang laki-laki yang bergulung-gulung dengan wanita cabul!"
dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Sian Hwa. Akan tetapi ia masih menahan-nahan perasaan dan bertanya sambil lalu, "Aneh sekali kenapa orang bisa begitu tak tahu malu, ayah" Di manakah ayah melihatnya " eh mereka itu?"
"Di mana lagi kalau tidak di Telaga Pok yang! Bermain perahu, bernyanyi-nyanyi, minum-minum, uh ........" pendeknya, terlalu!" ayah ini menyumpah-nyumpah dan kembali menyatakan besok akan berangkat ke Hoa san untuk minta ketua Hoa san membatalkan perjodohan Sian Hwa dengan Kwee Sin.
Akan tetapi pada keesokan harinya, Liem Ta membatalkan kepergiannya ke Hoa san karena melihat bahwa anak gadisnya telah pergi secara diam-diam malam hari itu.
"Ah", pikirnya dengan hati duka, "kasihan kau, Sian Hwa, kau tentu pergi menyusul ke Pok yang untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Lebih baik lagi, lebih baik kau menyaksikan sendiri agar tidak penasaran hatimu ?"
Dugaan Liem ta memang benar. Karena tak dapat menahan panasnya hati, gadis itu malam-malam pergi dari rumahnya menuju ke telaga Pok yang yang tidak berapa jauh letaknya dari dusunnya, hanya perjalanan tiga hari. Akan tetapi ketika ia tiba di telaga itu, tidak terdapat tunangannya itu diantara sekian banyaknya para pelancong. Ia bertanya ke sana kemari dan selagi ia mencari keterangan, tiba-tiba seorang tukang perahu yang berkumis panjang mendekatinya.
"Nona hendak mencari siapakah?"
Sian Hwa berterus terang. "Aku mencari seorang teman, wanita cantik yang berpesiar di sini bersama seorang pemuda yang ?" ia tak sudi menyebut tampan dan menambahkan, yang mukanya putih ?"
Tiba-tiba tukang perahu itu nampak sungguh-sungguh dan berkata perlahan-lahan
"Apakah wanitanya itu seorang anggota Pek lian pai (partai Teratai putih) ?""
Sian Hwa terkejut. Pada masa itu, di mana Negara sedang kacau dan banyak perkumpulan " perkumpulan rahasia bertujan merobohkan pemerintah, nama Pek lian pai amat terkenal sebagai perkumpulan besar yang berpengaruh. Sebagai seorang pendekar tentu saja Sian Hwa bersimpati terhadap perkumpulan Pek lian pai ini maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar pertanyaan si tukang perahu.
"Hemmmmm ".." ia meragu, "mungkin demikian. Apakah kau melihat mereka?"
"yang laki-laki muda tampan bermuka putih, menggantung pedang di punggung seperti Nona sekarang ini, bukan?"
"Ya ".ya "."
Tukang perahu itu tertawa. "Ah, pengantin baru seperti mereka itu kemana lagi kalau tidak berpesiar ke tempat-tempat indah" Kebetulan sekali ketika mereka berrpesiar di sini, mereka selalu mempergunakan perahuku, Nona. Aahhh, benat-benar pasangan yang cocok, mesra dan saling mencinta "."
"Ngaco!" Sian Hwa membentak marah sehingga tukang perahu itu nampak ketakutan. "Katakan saja, di mana mereka berada?"
"Nona yang pakai teratai putih di rambutnya itu ?".dan pemuda tampan itu
"..kemarin sudah pergi dari sini. Menurut yang kudengar dari percakapan mereka, si pemuda hendak mengajak nona itu pergi ke dusun Lam bi chung ". ..dan ?"
Sian hwa tidak melanjutkan pendengarannya, ia berkelebat pergidan lari cepat menyusul, kembali ke Lam bi chung. Ia tidak melihat betapa seperginya, tukang perahu berkumis panjang itu tertawa mengejek.
Alangkah mengkalnya hati Sian Hwa ketika ia tidak dapat menyusul dua orang itu, buktinya sampai di dusun Lam bi chung, ia tidak melihat dua orang itu dan dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketika ia melihat ayahnya sudah rebah dengan luka-luka parah pada tubuhnya! Ia datang tepat di pagi hari dan ternyata ayahnya malam tadi diserang orang.
"Siapakah yang menyerangnya, sumoi" Dan apakah ". Apakah ayahmu meninggal akibat penyerangan itu?" Tanya Kwa Tin Siong yang sejak tadi mendengarkan penuturan adik seperguruannya itu dengan sabar. Kwa Hong dia suruh main di luar rumah karena dia rasa kurang baik anak-anak mendengarkan urusan besar.
Liem Sian hwa menyusut air matanya. "Ayah hanya dapat bertahan sehari saja, twa suheng. Luka-lukanya berat dan ".dan itulah yang membuat hatiku amat sakit. Ayah menderita tiga macam luka, yang pertama adalah tusukan pedaang dekat leher, kedua adalah luka karena sebatang paku berkepala bunga teratai putih ".."
"Hemmmm, pek lian ting (paku teratai putih) ?" diam-diam Kwa Tin Siong terheran-heran karena itulah paku tanda rahasia anggota perkumpulan pek lian pai!
"Dan luka yang ketiga?"
tiba-tiba wajah Sian Hwa pucat sekali. "Yang ketiga adalah akibat pukulan Pek lek jiu " dari Kun lun pai ?"
Kwa Tin Siong hampir melompat saking kagetnya. "Apa ..?"
Sian Hwa berkata dengan sungguh-sungguh. "Aku sudah memeriksa dengan teliti sekali, suheng. Tentu kau masih ingat dahulu suhu pernah menuturkan secara jelas sekali tentang Pek lek jiu Kun lun pai itu ermasuk tanda-tanda bekas oukulannya. Aku merasa yakin bahwa dada ayah telah dipukul orang dengan ilmu pukulan Pek lek jiu (Pukulan Geledek) dari Kun lun pai ?"
"Dan murid Kun lun pai yang terpandai menggunakan Pek lek jiu adalah ". Kwee Sin "!" kata jago pertama dari Hoa san Sieeng ini sambil merenung.
"Betul, twa suheng." Liem Sian Hwa menangis lagi. "Aku harus membalas dendam
".! Si keparat she Kwee, kalau belum membalas kekejamanmu, aku Liem Sian Hwa takkan mau sudah "."
"Husshhh, nanti dulu, sumoi. Kau tenanglah. Tak baik menjatuhkan dakwaan kepada seseorang tanpa bukti. Apalagi saudara Kwee Sin sepanjang pendengaranku adalah seorang gagah. Sebagai seorang termuda dari Kun lun Sam hengte, agaknya tak masuk akal kalau dia melakukan pembunuhan ini. andaikata buktinya kuat, habis apa alasannya dia mau melakukan hal ini?"
"Twa suheng masa tidak dapat menduganya" Dia ".manusia she Kwee keparat itu, setelah terlihat oleh ayah di Telaga Pok yang, agaknya merasa malu dan takut kalau-kalau rahasianya disiar-siarkan oleh ayah. Dia dan "siluman dari Pek lian pai itu
".tentu mengerjar ke sini dan membunuh ayah ?"
"Kenapa begitu yakin?"
"Ayah sendiri yang mengatakan demikian, twa suheng. Ayah masih dapat menceritakan hal ini, biarpun amat sukar dia bicara." Sian Hwa menghapus air matanya yang bercucuran deras ketika ia bicara tantang ayahnya. "menurut ayah, malam itu ayah terkejut dan terbangun dari tidur karena suara keras pada jendela.
Begitu ayah melompat turun, dia roboh karena tusukan pedang yang mengarah leher, dan masih menyerempet ketika dielakkan oleh ayah. Kemudian ia terpukul pada dadanya, keras sekali membuat ayah hampir pingsan. Sebelum pingsan ayah mendengar suara ketawa seorang wanita dari luar jendela, kemudian terasa sakit pada pinggangnya karena tertusuk paku itu. Yah masih mendengar kata-kata seorang laki-laki yang mengatakan bahwa ayah tak boleh sekali-sekali menghina seorang jagoan Kun lun! Malah ayah mendengar pula ejekan wanita itu yang menyatakan bahwa partai Pek lian pai tidak mau mengampuni orang-orang yang sombong."
Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Bagaimana mungkin Kwee Sin melakukan hal securing itu" Apalagi dia, wanita yang katanya anggota Pek lian pai yang tersohor sebagai perkumpulan orang-orang gagah, patriot-patriot bangsa! Malah dia sendiri sekarang mencari tiga orang adik seperguruannya untuk diajak berunding tentang memasuki partai itu dan membantu perjuangan.
"Apakah ayahmu melihat pula laki-laki dan wanita itu?" desaknya.
"Tidak, twa suheng. Kamar ayah gelap sekali, tidak ada penerangan. Hal ini pun menunjukkan bahwa dua orang yang datang menyerang ayah itu berkepandaian tinggi, dapat menyerang di tempat gelap secara tepat."
"Apakah ayahmu mengenal suara saudara Kwee Sin?"
"Tentu tidak, suheng. Jarang sekali ayah bertemu dengan dia. Ah, twa suheng, kenapa kau masih ragu-ragu" Tak bisa salah lagi anjing Kwee Sin itulah yang membunuh ayah dibantu seorang siluman dari Pek lian pai. Twa suheng, hanya para suhenglah yan kiranya dapat membantu Siauw moi menuntut balas atas kematian ayah secara penasaran ini "."
"Siapakah orangnya yang tak kan ragu-ragu, sumoi. Dua hal yang amat berlawanan dengan dugaan dan pendengaran. Jago muda Kun lun " dan seorang anggota Pek lian pai ?".ah, kalau bukan kau yang tertimpa hal ini, agaknya sukar untuk percaya "."
Tiba-tiba mereka dikejutkan suara jeritan di luar rumah. "Tidak "! Pergi "..! itulah suara Kwa Hong ! Kwa Tin Siong mencelat dari kursinya keluar pintu, diikuti Sian Hwa yang juga meloncat dengan amat lincahnya. Bagaikan terbang melayang keduanya meloncat keluar dan melihat sebuah Pek lian ting (paku teratai putih) seperti yang dipergunakan orang melukai ayah Sian Hwa tertancap pada daun pintu depan!
Dan Kwa Hong sudah tidak tampak lagi, hanya terdengar derap kaki kuda lari cepat menjauhi tempat itu.
"Cepat, twa suheng, kejar ".!" Kwa Tin Siong melompat keatas kudanya dan Sian Hwa berlari-lari menuju ke halaman belakang rumahnya untuk mengambil kudanya pula. Di lain saat kakak beradik seperguruan ini sudah melakukan pengejaran.
Sebentar saja Kwa Tin Siong tersusul oleh kuda tunggangan Sian Hwa seekor kuda tunggang yang amat baik dan pilihan.
Dua orang pendekar ini adalah jago tertua dan termuda dari Hoa san Sie eng. Selain ilmu silat mereka yang tinggi, juga dalam hal menunggang kuda mereka adalah ahli-ahli yang jarang bandingannya. Apalagi Sian Hwa yang memang sejak kecilnya diajak merantau ayahnya dan semenjak kecilnya gadis ini sudah suka sekali menunggang kuda. Setelah melalui kurang lebih lima li, akhirnya suara derap kuda yang mereka kejar itu makin jelas terdengar, tanda bahwa kuda itu tak jauh lagi terpisah.
"Sumoi, kau kejar terus, aku hendak mendahuluinya memotong jalan."
Biarpun masih amat muda, baru dua puluh tahun, namun pengalaman Sian Hwa di dunia kang ouw sudah cukup luas. Maka sedikit kata-kata twa suhengnya ini cukup ia ketahui maksudnya. Ia tahu bahwa untuk menangkap seorang penculik anak-anak lebih aman dipergunakan siasat, yaitu disergap dari belakang. Kalau secara berterang, mungkin akan gagal karena si penculik dapat mempergunakan anak yang diculik untuk mengancam. Ia hanya mengangguk dan Kwa Tin Siong lalu membedal kudanya, mengambil jalan memutar hendak memotong jalan.baiknya ia sudah menganl btul jalan di daerah tempat tinggal sumoinya ini, maka tanpa ragu-ragu, dia tahu kemana arah jalan yang diambil oleh si penjahat di depan itu. Jalan itu menikung kekanan dan agak memutar, maka kalau dia memotongnya melalui kebun dan hutang kecil, dia akan dapat mendahului si penjahat.
Tak lama kemudian Sian Hwa sudah dapat melihat penculik itu. Kuda yang ditunggangi penculik itu bukan kuda baik, nampak sudah lelah sekali, apalagi ditunggangi dua orang seperti Kwa Hong. Anak perempuan itu tampak lemas dan tidak bergerak atau bersuara lagi.
"Bangsat rendah, hendak lari kemana kau!" Sian Hwa mencabut siang kiam (sepasang pedang) tipis dan mempercepat larinya kuda.
Penculik itu, seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun bertubuh kecil bermata lebar ketika mendengar suara wanita lalu menoleh, ia tercengang melihat bahwa yang mengejarnya hanya seorang gadis cantik yang masih amat muda, lalu tiba-tiba ia menahan kudanya dan tertawa sambil mencabut goloknya.
"Aha kiranya ada nona manis ingin main-main dengan aku," katanya dengan senyum mengejek. Suaranya menunjukkan bahwa dia seorang dari utara. Dengan gerakan yang gesit sekali orang itu meloncat turun dari kuda setelah menurunkan Kwa Hong yang dia gulingkan keatas tanah. Gadis cilik itu agaknya tertotok jalan darahnya, lemas seperti orang pingsan. Dengan tenang orang itu lalu berdiri menghadang Sian Hwa yang datang membalapkan kudanya.
"Penculik hina, hari ini pedang nonamu akan mengantar nyawamu ke neraka." Sian Hwa berseru dan tiba-tiba tubuhnya melayang meninggalkan punggung kudanya yang masih berlari. Bagaikan seekor burung walet nona ini sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang penculik itu dengan gerakan sepasang pedang yang menyambar-nyambar! Hebat benar sepak terjang nona Liem Sian Hwa yang berjuluk Kiam eng cu (Bayangan pedang) ini dan tidak mengecewakan ia berjuluk demikian karena betul-betul sepasang pedangnya merupakan segunduk sinar yang menutupi tubuhnya ketika ia melompat sambil menyerang.
"Bagus ".!" Laki-laki itu mau tak mau memuji melihat ketangkasangerakan gadis ini. cepat dia menangkis dengan golok yang diputar seperti payung di depan tubuhnya.
"Trang " "tarang "!" bunga api muncrat ke sana kemari ketika sepasang pedang itu bertemu dengan golok. Dari getaran pada tangannya maklumlah Sian Hwa bahwa lawannya ini biarpun bertubuh kecil namun bertenaga besar juga. Begitu kedua kakinya berada di tanah, nona ini lalu menggenjot tanah dan tubuhnya berkelebet kesebelah kiri orang itu, pedangnya kembali berkelebat. Ia sudah sengaja mempergunakan ginkangnya untuk mengalahkan lawan dengan kecepatan gerakannya. Siapa kira, orang ini pun ternyata cepat sekali dapat memutar tubuh sambil membabatkan golok ke pinggang Sian Hwa. Terpaksa Sian Hwa menangkis dengan pedang kirinya, pedang kanan menusuk kearah dada dengan gerak tipu Kwan kong sia ciok (Kwan kong memanah batu).
Sekarang kagetlah orang itu, tidak berani lagi dia tertawa-tawa. Ternyata nona muda ini hebat ilmu pedangnya, cepat, gesit dan tak terduga serangannya. Ia cepat menjengkangkan diri ke belakang berjungkir balik lalu menghadapi lawannya dengan hati-hati.
Pertempuran seru segera terjadi dan pada saat itu meuncullah Kwa Tin Siong dari belakang pohon-pohon. Girang hati pendekar ini melihat bahwa anaknya hanya tertotok dan tidak mengalami kecelakaan, maka dia cepat meloncat dan membebaskan totokan pada tubuh anaknya lebih dulu karena dia melihat bahwa sepasang pedang sumoinya ternyata mampu menahan gerakan golok yang aneh dan lihai dari penculik.
Setelah Kwa Hong sembuh kembali dan ia menyuruh anaknya ini duduk bersila dan mengatur napas membereskan kembali jalan darahnya, Kwa Tin Siong melompat ke medan pertempuran sambil berseru,
"Sumoi serahkan penjahat ini kepadaku!"
sebetulnya Sian Hwa tidak pernah terdesak oleh lawannya, akan tetapi maklum betapa twa suhengnya marah karena orang ini telah menculik puterinya, ia meloncat keluar dan membiarkan twa suhengnya menghadapi penculik out.
"Tahan, sobat!" Kwa Tin Siong mengulurkan pedang menahan golok lawan. Ia mengerahkan tenaganya sehingga golok lawannya itu tertahan dan tak dapat bergerak lagi. Lawannya kaget sekali dan menatap tajam.
"Kau ini siapakah dan seingatku, diantara aku Kwa Tin Siong dank au tidak pernah ada permusuhan apa-apa. Kenapa kau datang dan menculik anakku?" Tanya pendekar itu yang tidak mau menurunkan nafsu amarah.
Orang itu tertawa mengejek. "Aku "..aku hanya ingin menguji sampai di mana nama besar Hoa san Sie eng!"
Kwa Tin Siong mengeryitkan keningnya. "Kau sudah mengenal nama kami tentulah seorang kang ouw. Kulihat kau menggunakan Pek loan ting, apa hubunganmu dengan Pek lian pai" Sobat, harap kau jangan main-main dan mengakulah terus terang apa sebetulnya kehendakmu dan siapa namamu yang besar."
Tiba-tiba terdengar orang itu bersuit keras sekali dan goloknya berkelebat menyerang Kwa Tin Siong. Tentu saja pedekar ini marah sekali. Tak pernah diduganya bahwa orang akan berlaku begini rendah, padahal dia sudah cukup bersikap jujur dan menghormat.
"Bagus, kiranya kau hanya sebangsa pengecut curang!" serunya dan sekali tangkisan ia dapat membikin golok orang itu terpental kemudian desakan pedangnya yang sekaligus menyerang bertubi-tubi sampai empat lima jurus membuat orang itu mundur-mundur tak mampu balas menyerang. Memang hebat ilmu pedang Kwa Tin Siong dan tidak percuma dia menjadi orang pertama dari Hoa san Sie eng. Gerakan-gerakannya mantap dan matang, tenaga iweekangnya juga sudah tinggi sehingga baru belasan jurus saja si penculik itu sudah harus meloncat ke sana kemari dan menangkis sedapatnya. Kembali ia bersuit keras dan kali ini tiba-tiba dari arah timur hutan terdengar suitan-suitan semacam yang agaknya menjawab suitan si penculik tadi.
Mendengar ini Kwa Tin Siong berseru, "Awas, sumoi, kawanan penculik datang!"
Liem Sian Hwa memang sudah siap. Ia menyuruh Kwa Hong bersembunyi di balik sebatang pohon besar, sedangkan ia sendiri lalu menjaga disitu dengan sepasang pedang di kedua tangan.
Terdengar seruan kesakitan dan penculik itu terhuyung ke belakang dengan pundak berdarah. Ternyata pundaknya kena disambar pedang sehingga terbabat kulit dan dagingnya. Namun ia masih sanggup melawan sehingga Kwa Tin Siong masih belum juga dapat merobohkannya. Pada saat itu terdengar suara banyak kuda penunggang kuda. Mereka adalah empat orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, gerakan mereka tangkas dan begitu sampai disitu, keempatnya lalu melompat turun dan mencabut golok.
Tanpa banyak cakap lagi Sian Hwa menyambut mereka. Dua orang mengeroyoknya dan yang dua pula kini sudah membantu si penculi ktadi, mengeroyok Kwa Tin Siong. Diam-diam dua orang anak murid Hoa san pai ini terkejut sekali. Ternyata empat orang yang baru datang ini malah memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada penculik. Ilmu golok mereka adalah ilmu golok utara, keras dan bertenaga, gerak-geriknya juga cepat.
Sian Hwa dan tin Siong memang, mewarisi Ilmu Pedang Hoa san kiam hoat yang ampuh. Keduanya patut diberi julukan pendekar pedang Hoa san dan mereka dalam pertempuran keroyokan ini telah memperlihatkan ketangkasan. Akan tetapi, lawan-lawan mereka yang mengeroyok juga bukan sembarangan orang, memiliki kelihaian yang tingkatnya dengan mereka hanya kalah sedikit, namun dengan pertempuran secara pengeroyokan itu tentu saja mereka lebih unggul dan mulai mendesak. Lima puluh jurus telah lewat, Kwa Tin Siong masih dapat bertahan dan membalas serangan, akan tetapi Sian Hwa mulai lelah, mulai berkurang daya serangnya dan lebih banyak menangkis dan meloncat ke sana-kemari. Gadis itu hebat sekali. Kali ini benar-benar tepat julukannya Kiam eng cu karena tubuhnya lenyap terbungkus sinar kedua pedangnya dan dua batang golok lawan yang menyambar-nyambar mengitari dirinya.
Kwa Tin Siong mengeluh dalam hatinya, celaka, pikirnya. Kali ini aku dan sumoi menghadapi bencana. Hal ini masih belum hebat, celakanya, anaknya pun menghadapi bencana yang hebat pula. Siapa akan melindunginya" Berpikir sampai di sini dia mencoba untuk menggunakan daya lain. Tiba-tiba ia berseru keras.
"Bukankah cuwi (tuan-tuan sekalian) ini anggota-anggota Pek lian pai" Ketahuilah siauwte Kwa Tin Siong dari Hoa san pai tidak ada permusuhan dengan Pek lian pai, malah tadinya hendak menggabungkan diri?"
Akan tetapi tiga orang lawannya tertawa dan seorang diantara mereka berkata mengejek, "Anak murid Hoa san pai mana ada harga masuk Pek lian pai" Kalau mau mengaku kalah barulah kami melepaskan dan boleh belajar lagi. Lihat kelak, kalau sudah pandai baru boleh masuk Pek lian pai!" tiga orang itu tertawa-tawa dan menyerang.
Kwa Tin Siong adalah seorang pendekar sejati, mana dia sudi menurut kehendak tiga orang lawannya itu" Pendirian seorang pendekar, lebih baik mati daripada bertekuk lutut menerima hinaan. Dengan gemas dia mempercepat gerakan-gerakan pedangnya sehingga lawan-lawannya terpaksa berlaku hati-hati dan mundur, lalu dia berkata.
"Melihat sikap cuwi, tak patut menjadi patriot-patriot yang anti penjajah bangsa mongol!"
tiga orang itu hanya tertawa lagi, dan si penculik yang sudah dilukai pundaknya berkata, "Jangan banyak cerewet tentang urusan perjuangan. Hoa san Sie eng bernama besar, perlihatkan kebesaran itu. Ha..ha..ha!"
sekarang Kwa Tin Siong betul-betul terdesak. Apalagi setelah mendengar sumaoinya berseru marah karena pedang kirinya terlepas dan terlempar, dia makin gelisah.
Sumoinya kini hanya melawan dengan sebatang pedang, sedangkan dua orang lawannya itu makin mendesak sambil mengeluarkan ucapan-ucapan kotor. Memang Sian Hwa terdesak hebat dan lebih lagi gadis ini merasa marah bukan main karena selain pedangnya yang kiri terlepas, juga dua orang pengeroyoknya itu menggodanya dengan kata-kata yang tidak sopan. Ia berlaku nekat dan mati-matian dan hal ini mendatangkan celaka baginya. Karena terlalu bernafsu menyerang, ia menjadi lengah dan pada suatu saat, lutut kanannya kena ditendang seorang lawan. Sian Hwa menjerit dan roboh terduduk, namun ia masih memutar-mutar pedangnya sambil duduk bersimpuh sehingga dua orang lawannya tidak mampu mendekatinya.
Kwa Tin Siong yang kaget mendengar jerit sumoinya, juga menjadi lengah dan sebuah babatan golok kearah pinggangnya hampir saja membuat tubuhnya putus maenjadi dua. Baiknya dia telah mengelak dan meloncat sehingga hanya paha kirinya saja yang terluka, cukup parah namun tidak cukup untuk merobohkannya. Betapapun juga, keadaan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa sudah amat terancam dan sewaktu-waktu dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan menjadi korban keganasan musuh-musuh mereka ini.
Pada saat itu terdengar orang tertawa dan bernyanyi-nyanyi. "Ha, ha, ha, ho, ho,"
orang itu tertawa-tawa ketika tiba di dekat tempat pertempuran, "ada anjing-anjing berebut tulang! Anjing-anjing penjilat Mongol mengeroyok " heh he heh, aku tak dapat tinggal diam saja. He iiii! Biarkan aku ikut main-main, waah, gembira benar nih!" muncullah seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya tidak karuan, berkembang-kembang seperti pakaian wanita dengan potongan pakaian bocah.
Sikapnya juga seperti seorang anak kecil padahal wajahnya menunjukkan bahwa usianya tentu empat puluhan. Koai Atong, memang tokoh yang sudah kita kenal inilah yang muncul. Dengan anak panah di tangannya dia menyerbu pertempuran. Pertama-tama dia menyerbu dua orang yang mengeroyok Sian Hwa. Begitu anak panah di tangannya ditangkis dua golok orang yang mencoba untuk membabat patah pedang Sian Hwa, dua orang itu mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja golok mereka terlepas.
"Heh, heh, heh, teimalah pukulanku, kau dua hidung kerbau!" tangan kirinya lalu diputar-putar secara aneh dan mendorong ke depan. Dua orang itu merasa ada angina menyambar yang berbau seperti daun busuk. Mereka adalah orang-orang yang sudah banyak pengalaman, maka cepat mereka menghindar, namun tetap saja angina pukulan orang aneh itu membuat mereka terhuyung ke belakang sampai empat lima langkah! Akan tetapi Koai Atong tidak mendesak terus. Melihat dua orang lawannya itu mundur-mundur ketakutan, sambil bernyanyi-nyanyi dia melangkah lebar menghampiri medan pertempuran Kwa Tin Siong. Juga di sini dia memutar anak panahnya, beberapa kali menangkis golok tiga orang itu, lalu tangan kirinya mendorong-dorong dan robohlah seorang diantara mereka, yaitu si penculik tadi.
Yang dua terhuyung-huyung ke belakang dengan muka pucat karena merasa isi perut hendak muntah keluar. Melihat gelagat buruk, empat orang itu lalu menceplak kuda dan kabur dari situ sambil membawa tubuh si penculik yang pinsan dengan mata mendelik dan muka kehijauan,. Terdengar suara mereka dari jauh, "Koai Atong ".
Koai Atong".!" Kwa Tin Siong menarik napas lega. Luka di pahanya tidak dipedulikannya. Ia terlampau tegang mendengar nama "Koai Atong" tadi. Nama ini sudah tentu saja pernah didengarnya sebagai nama seorang diantara iblis dunia persilatan. Ia segera menjuru dengan hormat kepada orang aneh itu dan berkata,
"Nama besar .. Koai .. enghiong " sudah lama siauwte mendengarnya. Hari ini enghiong menolong nyawa siauwte berdua dengan sumoi dan anakku, sungguh budi besar sekali .." Kwa Tin Siong tidak berani menyebut orang itu Koai Atong yang berarti anak setan, maka diubahnya menjadi Koai enghiong (orang gagah Koai). Akan tetapi Koai Atong yang diberi hormat itu longang-longong, memandang ke kanan kiri dan berbalik dia bertanya.
"Eh, kau ini bicara kepada siapa?"
Kwa Tin Siong melengak. "Kepadamu Koai enghiong .."
"namaku Koai Atong, mana ada enghiong-enghiong segala, enghiong itu apa sih"
Syang, main-main sedang ramai-ramainya, mereka pergi. Licik benar. Eh, dia apamu"
Anakmu?" ia menuding kearah Sian Hwa yang msih duduk bersimpuh dan sedang berusaha membetulkan sambungan lututnya yang kena tending tadi.
"Bukan, dia sumoiku, dan anakku .." tiba-tiba muncul Kwa Hong berlari-lari. Anak ini gembira sekali nampaknya.
"Aku anaknya! Orang aneh, kau jempol sekali!" Kwa Hong memandang kagum dan mengacungkan jempol tangannya keatas. "Hanya dengan memutar tangan kiri dan menggertak sudah bisa mengusir anjing-anjing itu. Jempol!" ia lalu meniru-niru gerakan tangan kiri Koai Atong tadi yang diputar-putar dan dipakai mendorong-dorong.
"Ha, ha, ha, ha,!" Koai Atong tertawa terpingkal-pingkal "kau pintar menari, ya"
Bagus, ya?" ia pun lalu menari-nari dan memutar-mutar tangannya sambil melirik-lirik dan tersenyum-senyum hingga seperti seorang yang sedang pandai melagak dan manja. Tentu saja ini hanya sikapnya dan melihat keadaannya dia lebih pantas disebut orang gila yang segila-gilanya.
Melihat orang itu menari-nari lucu, Kwa Hong tertawa mengikik sambil menutupi mulutnya. Sian Hwa dan Kwa Tin Siong tidak berani tertawa karena mereka maklum akan kelihaian dan keanehan orang kang ouw ini. Koai Atong juga berhenti menari.
"Orang aneh, kau benar-benar hebat. Kau telah menolong Bibiku dan ayahku. Terima kasih, ya ?" kata Kwa Hong.
"Aku tidak senang kepada mereka," kata Koai Atong merengut. "Mereka itu anjing-anjing Mongol."
"Koai enghiong .." bantah Kwa Tin Siong. "mereka itu adalah orang Pek lian pai, apa betul penjilat Mongol?"
"Tak peduli Pek lian pai atau Hek lian pai penjilat-penjilat Mongol aku tak suka."
"Koai Atong, kau betul!" Kwa Hong berseru girang. "Aku pun tidak suka kepada mereka
Koai Atong kelihatan girang sekali, seperti seorang anak-anak yang bertemu dengan kawan baik. "Bagus, kita cocok. Mari ikut aku pergi main-main. Aku banyak mengenal tempat yang bagus-bagus!" Koai Atong menyambar tangan Kwa Hong dan sebelum Kwa Tin Siong dan Sian Hwa sempat mencegah, orang aneh itu sudah berlari cepat sekali dengan langkah-langkah yang lebar sambil menggandeng Kwa Hong.
"Koai enghiong tunggu " ! jangan bawa pergi anakku!" Kwa Tin Siong berseru sambil mengejar. Juga Sian Hwa ikut mengejar, akan tetapi karena paha Kwa Tin Siong sudah terluka sedangkan lutut Sian Hwa masih membengkak, keduanya tak dapat berlari cepat dan sebentar saja sudah tidak kelihatan lagi bayangan orang tinggi besar itu bersama Kwa Hong.
"Celaka "!" Kwa Tin Siong membanting-banting kakinya dan nampak berduka sekali.
"Jangan berduka, twa suheng. Biarpun amat aneh, kurasa orang itu takkan mengganggu Hong ji. Dia seperti seorang anak-anak mendaptkan teman dan mengajak Hong ji bermain-main. Dia lihai sekali, pasti mampu menjaga Hongji baik-baik."
Kwa Tin Siong menarik napas panjang. "Aku tidak mengKwa Hongawatirkan dia mengganggu Hong ji, juga tentang penjagaan, kiranya dia akan lebih baik dari padaku karena kepandaiannya lebih tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Ban tok sim Giam Kong dan muridnya itu, Koai Atong. Siapa yang tidak ngeri mendengar nama mereka" Mereka itu benar bukan tergolong orang-orang jahat akan tetapi mereka aneh sekali dan kadang-kadang melakukan perbuatan yang tak terduga-duga. Bagaimana hatiku tidak akan Kwa Hongawatir" Kapan aku dapat bertemu kembali dengan anakku" Ketika mengucapkan kalimat teraKwa Hongir ini, wajah Kwa Tin Siong nampak berduka sekali, membuat sumoinya terharu.
"Suheng, kalau begitu, mari kutemani kau mengejarnya. Mustahil takkan tersusul, dia kan sering kali berhenti untuk bermain-main. Kalau kita membujuknya tak berhasil, kita bisa menggunakan kekerasan."
Ktas menggeleng kepala. "Percuma sumoi. Kita masih menderita luka. Pula agaknya Hong ji juga senang bermain-main dengan orang itu. Buktinya ketika dibawa pergi tadi diam saja. Sudahlah biar hitung-hitung menambah pengalaman anak itu. Kita mempunyai persoalan yang amat penting sekarang. Aku merasa ragu-ragu dan kecewa sekali menyaksikan sepak terjang orang-orang Pek lian pai."
Sian Hwa yang tadi pikirannya penuh oleh keadaan Kwa Tin Siong, sekarang teringat akan urusannya sendiri. Ia mengertak gigi.
"Memang betul, suheng. Hampir saja kita sendiri pun menjadi korban keganasan Pek lian pai. Sudah jelas sekarang bahwa Pek lian pai sengaja memusuhi aku dan suheng, pendeknya memusuhi Hoa san pai."
Kwa Tin Siong mengangguk-angguk. "Kupikir juga begitu. Tak mungkin secara kebetulan saja mereka mengganggu kau dan aku. Hemmmm, anehnya, mereka itu beranggota banyak sekali, mempunyai banyak mata-mata, apakah tidak tahu bahwa murid Hoa san pai tadinya bersimpati kepada mereka dan berniat membantu" Sumoi, kita tidak boleh berlaku secara sembrono. Lebih baik kita berunding dua orang suhengmu, kemudian kita minta nasehat suhu."
Pedang Kiri Pedang Kanan 11 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Harpa Iblis Jari Sakti 6

Cari Blog Ini