Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 11
belum tentu dapat terlahir pada jaman yang sama. Apalagi keduanya harus mahir seni suara dan paham ilmu
Lwekang, keduanya harus mempunyai hobi yang sama dan
bersahabat karib untuk ber-sama2 menciptakan lagu ini,
kukira maha sukar untuk bisa terjadi. Sekarang lagu ini
akan tamat bersama dengan kepergian kami berdua, di alam bakapun kami akan merasa menyesal karena hasil ciptaan
kami harus ikut musnah."
Sampai disini dia lantas merogoh saku dan mengeluarkan sejilid buku kecil, lalu sambungnya pula:
"Inilah buku lagu Siau-go-yan-he yang kumaksudkan, Wi-hiante juga memegang satu buku. Kuharap adik cilik suka
mengingat jerih-payah kami dan sudi kiranya menyimpan
kitab lagu ini untuk dicarikan ahli-warisnya yang mau
mempelajari lagu ini."
Wi Kay-hou juga lantas mengeluarkan satu buku yang
serupa, katanya: "Bila lagu ini dapat tersebar didunia, matipun kami dapat tenteram di alam baka."
"Kedua Cianpwe jangan kuatir, sekuat tenaga Wanpwe
pasti akan melaksanakan pesan kalian." dengan hormat Peng-lam lantas menerima kedua jilid buku itu.
Ketika Kik Yang ingin minta bantuannya, semula Penglam menyangka pasti urusan yang sulit dan berbahaya,
tidak tahunya cuma menyuruhnya mencari dua orang
untuk belajar main kecapi dan meniup seruling, sudah tentu urusan ini terlalu mudah baginya.
Kik Yang menghela napas, katanya "Adik cilik, engkau adalah murid dari perguruan ternama, seharusnya tidak
pantas kuminta bantuanmu, tapi urusannya sudah sangat
mendesak, terpaksa mesti membikin susah padamu, harap
suka memberi maaf,"_ lalu ia berpaling kepada Wi Kay-hou dan berkata pula: "Saudaraku, sekarang bolehlah kita pergi dengan lega,"
Wi Kay-hou mengiyakan, ia menjulurkan ke dua
tangannya, kedua orang bergandeng tangan dan sama
terbahak, lalu memejamkan mata dan mangkat untuk
selamanya. Peng-lam terkejut, serunya: "He, Cianpwe, Wi-susiok!"
" Waktu ia periksa pernapasan kedua orang itu, ternyata sudah berhenti.
Melihat air muka Siu Pang-lam yang terkejut itu, Kik Fiyang menjadi sangsi, cepat ia berseru: "Yaya, Yaya!"
Peng-lam menggeleng dengan sedih.
"O, Yaya sudah meninggal?" seru Fifi dengan suara gemetar Dilihatnya Peng-lam tetap diam saja, maka
yakinlah dia sang kakek memang sudah mati, meledaklah
tangisnya. Gi-lim memeluk anak dara itu dan pelahan2 mengurut
tubuhnya yang tertutuk tadi. Tapi tutukan Hui Pin itu
cukup berat, kekuatan Gi-lim terbatas, seketika dia tidak sanggup membuka Hiat-to Fifi yang tertutuk itu.
Peng-lam cukup berpengalaman dan luas pengetahuannya, ia berkata: "Siausumoay, lekas kita menanam mayat ketiga orang ini agar tidak dilihat orang
sehingga menimbulkan perkara lain lagi. Tentang terbunuhnya Hui Pin oleh Bok-taysiansing hendaklah
jangan sampai tersiar sedikitpun."
Sampai disini. ia menahan suaranya dan mendesis:
"Apabila peristiwa ini sampai bocor dan tersiar, tentu Bok-taysiansing tahu kita bertiga inilah yang menyiarkannya dan pasti akan mendatangkan bencana bagi kita."
"Betul," kata Gi-lim. "Tapi kalau Suhu tanya padaku, lantas kukatakan atau tidak?"
"Siapapun tidak boleh kau katakan," ujar Peng-lam.
"Kalau kau katakan, bila Bok-taysiansing kemudian
mengajak bertanding pedang dengan gurumu, kan bisa
runyam?" Betapa lihay ilmu pedang Bok Jong-siong sudah
disaksikan Gi-lim sendiri, diam2 ia merasa ngeri, maka ia berkata pula: "Baiklah, takkan kukatakan."
Pelahan Pang-lam menjemput pedang Hui Pin yang
terjatuh tadi. segera ia menikam lagi belasan kali ditubuh Hui Pin yang sudah tidak bernyawa itu.
Gi-lim merasa tidak tega, katanya: "Toa ....Toako, dia sudah mati, untuk apa kau merusak. mayatnya?"
Peng-lam tertawa. jawabnya: "Pedang Bok-taysiansing tadi sangat sempit dan tipis, bagi seorang ahli tidaklah sulit untuk menarik kesimpulan siapa yang berbuat setelah
memeriksa luka Hui-susiok ini. Jadi tujuanku bukan untuk merusak mayatnya, tapi ingin kubuat jenazahnya terluka
sedemikian banyak dan sukar diketemukan sesuatu tanda
yang dapat dijadikan petunjuk pengusutan."
Gi-lim menghela napas, pikirnya: "Di dunia Kangouw
kiranya masih banyak liku2 begini, sungguh menjadi orang memang tidak mudah."
Ketika dilihatnya Peng-lam telah membuang pedangnya.
lalu mengangkat batu dan dilemparkan ke mayat Hui Pin,
cepat Gi-lim berseru: "Kau jangan banyak bergerak, silakan berduduk saja, biar aku yang melakukannya."
Dia lantas mengangkat potongan batu dan ditaruh
pelahan di atas jenazah Hui Pin, begitu hati2 se-akan2
mayat itu masih punya daya rasa dan kuatir membikin sakit padanya.
Peng-lam sendiri memang merasakan lukanya kesakitan
pula, terpaksa ia berduduk bersandar batu, ia coba membalik2 kitab ajaran main kecapi tinggalan Kik Yang tadi.
Dilihatnya pada belasan halaman pertama adalah
petunjuk cara bersemadi, lalu ada lagi berbagai lukisan
badan manusia yang penuh gsris2 tanda urat nadi, halaman selanjutnya adalah petunjuk2 ilmu menutuk dan ilmu
pukulan. setelah lebih 20 halaman barulah mulai pelajaran menabuh kecapi. Setengah buku bagian belakang hampir
seluruhnya terdiri dari huruf2 aneh yang tidak dipahaminya. Dalam hal tulis menulis, pengetahuan Peng-lam memang
sangat terbatas, ia tidak tahu bahwa tanda nada kecapi itu memang ditulis dengan hurup aneh, ia masih menyangka
tulisan itu adalah huruf Tiongkok kuno yang tidak
dikenalnya. Maka tanpa pikir ia masukkan kedua jilid buku itu dalam bajunya. Lalu berkata kepada Gi-lim: ' Siausumoay, setelah kau beristirahat, hendaklah kau kubur
sekalian jenazah Kik-tianglo dan Wi-susiok."
Gi-lim mengiakan.
Fifi kembali menangis demi mendengar jenazah sang
kakek akan dikubur.
Gi-lim ikut terharu melihat betapa sedih tangisan anak
dara itu, iapun mencucurkan air mata.
Peng-lam menghela napas panjang, pikirnya: "Demi
persahabatan, Wi-susiok rela mengorbankan segenap
anggota keluarganya. Meski sahabatnya adalah Tianglo dari Mo-kau, tapi keduanya sama2 berjiwa luhur dan setia
kawan, keduanya tidak malu disebut sebagai lelaki sejati, sungguh sangat mengagumkan dan pantas dihormati,"
Baru saja berpikir demikian, tiba2 dilihatnya di barat-laut sana cahaya hijau berkelebat, ia merasa cukup kenal cahaya hijau demikian, jelas ada tokoh terkemuka perguruan
sendiri sedang bertempur dengan orang
Terkesiap hati Peng-lam, cepat ia berkata: "Siausumoay, hendaklah kau temani Fifi dan menunggu sebentar disini,
kupergi sejenak dan segera akan kembali."
Gi-lim tidak melihat cahaya hijau tadi, disangkanya
Peng-lam hendak pergi buang air kecil, maka tanpa ragu ia mengangguk.
Dengan ranting kayu sebagai tongkat penyangga, Penglam terus melangkah ke depan, sebelumnya ia sempat
menjemput pedang tinggalan Hui Pin dan diselipkan
dipinggang, lalu menuju kearah datangnya sinar hijau tadi.
Tidak lama kemudian, sayup2 didengarnya suara
nyaring benturan senjata, jelas sedang terjadi pertarungan sengit. Diam2 ia membatin: "Siapakah tokoh angkatan tua perguruan sendiri yang sedang bergebrak dengan orang"
Agaknya cukup sengit pertempuran mereka, nyata pihak
lawannya juga tokoh kelas tinggi."
Dengan mendak tubuh pelahan2 ia menunduk kesana.
Didengarnya suara benturan senjata itu jaraknya sudah
dekat, ia sembunyi di balik pohon, lalu mengintip ke depan sana.
Di bawah sinar bulan dilihatnya seorang Susing (kaum
terpelajar) berpedang berdiri gagah di tengah kalangan,
siapa lagi kalau bukan ayah-angkatnya, yaitu Sau Cenghong. Lawannya adalah seorang lelaki pendek gemuk dan
sedang mengitar dengan cepat luar biasa, senjatanya
berbentuk golok melengkung, ia membacok dengan cepat
sembari berlari, setiap berlari satu lingkaran sedikitnya belasan kali dia membacok. Si pendek gemuk ini ternyata
Hong-hoa-wancu Ciam tay Cu-ih adanya.
Melihat ayah-angkatnya sedang bertempur dengan
orang, lawannya adalah satu di antara Su-ki atau empat
kosen, seketika Peng-lam ikut bersemangat.
Dilihatnya gerak-serik sang ayah angkat sangat tenang
dan mantap, setiap kali diserang Ciamtay Cu-ih selalu
ditangkisnya dengan seenaknya, meski Ciamtay Cu-ih
berputar kebelakangnya, dia tidak ikut berputar melainkan cuma berjaga dengan ketat.
Ciamtay Cu-ih masih terus menyerang tanpa berhenti,
gerak goloknya juga semakin cepat, namun Sau Ceng-hong
tetap bertahan saja tanpa balas menyerang.
Kagum sekali Peng-lam, pikirnya: Gihu (ayah angkat)
berjuluk Kun-cu-kiam. beliau memang sabar dan sopan,
sekalipun sedang bertempur juga tiada sikap garang
sedikitpun Sebabnys Gihu tidak perlu naik pitam adalah
karena ilmu pedangnya terlebih tinggi daripada ilmu golok lawan. ini bukan lantaran sengaja berlagak, tapi memang
Kungfunya yang teramat tinggi.
Sau Ceng-hong memang jarang bertarung dengan orang,
biasanya Peng-lam hanya melihat sang guru dan ibu-guru
bergebrak untuk memberi contoh kepada anak muridnya.
dengan sendirinya gebrakan begitu tidaklah sungguh2, jelas berbeda dengan pertarungan sengit yang mendebarkan ini.
Tertampak setiap kali Ciamtay Cu-ih menyerang,
goloknya selalu membawa deru angin yang keras, betapa
tenaga dalamnya sungguh sangat mengejutkan. Diam2
Peng-lam membatin: "Selama ini aku sok memandang
rendah ilmu silat Tang-wan, siapa tahu si gemuk buntak ini sedemikian lihaynya, andaikan aku tidak terluka juga pasti bukan tandingannya. Lain kali bila kebentrok dengan dia
perlu berlaku hati2 atau lebih baik menghindari saja."
Setelah menonton lagi sekian lama, dilihatnya Ciamtay
Cu-ih semakin cepat berputar sehingga berwujut satu
lingkaran putih mengintari Sau Ceng-hong, benturan
senjata yang nyaring itu, lantaran terlalu cepat dan
kerapnya sehingga bunyinya tidak lagi "trang-tring"
melainkan berubah menjadi rentetan suara berdering.
Diam2 Peng-lam terkesiap, ia pikir bila serangan secepat itu ditujukan kepadanya. mungkin satu kali saja ia tidak mampu menangkis dan tubuhnya bisa tercacah oleh golok
lawan. Dilihatnya sang guru tetap tidak melancarkan serangan
balasan mau-tak-mau ia menjadi kuatir padahal serangan si buntak sedemikian cepatnya, bila lengah sedikit saja bisa jadi sang guru akan dikalahkannya.
Mendadak terdengar suara "creng" yang sangat keras, secepat anak panah Ciamtay Cu-ih melayang mundur, lalu
berdiri tegak, entah sejak kapan goloknya yang melengkung itu sudah dimasukkan kesarungnya, ia berdiri tanpa bicara.
Peng-lam terkejut, cepat ia pandang sang guru, terlihat
pedang orang tua itupun sudah disimpan dan juga berdiri
tanpa bersuara.
Meski Peng-lam yakin pada pandangannya sendiri yang
cukup tajam, tapi ia merasa tidak dapat melihat pertarungan ini sesungguhnya dimenangkan oleh siapa. entah siapa pula yang terluka- Tiba2 terdengar Sau Ceng-hong berkata:
"Kalah-menang belum jelas, bagaimana kalau kita
bertempur seribu jurus lagi?"
Ciamtay Cu-ih menggeleng, jawabnya dengan tersenyum
getir: "Tidak, aku mengaku kalah saja."
"Sungguh tidak mudah untuk mendapatkan pengakuan
Anda ini," ujar Sau Ceng-hong dengan tersenyum.
Ciamtay Cu-ih menggreget, katanya pula: "Ku-kira
kaupun tidak perlu bangga. Selama berpuluh tahun untuk
pertama kali inilah aku mengaku kalah padamu, yang
kumaksudkan hanya tenaga dalam saja, soal permainan
golokku tetap tidak kalah sedikit pun daripada permainan pedangmu. Mengenai tenaga dalam, harus kau maklumi
bahwa selama belasan tahun aku menggeletak di tempat
tidur sehingga latihanku telantar, makanya sekarang aku
kalah kuat."
Kiranya suara "creng" yang keras tadi akibat benturan golok dan pedang, hampir saja golok sabit Ciamtay Cu-ih
terlepas dari cekalan, ia tahu bila pertarungan dilanjutkan mungkin tenaga untuk memegang golok saja akan habis.
Jelas tenaga dalam pihak lawan terlebih kuat daripada
dirinya, sesungguhnya sejak tadi goloknya sudah dapat
dibikin terpental, tapi pihak lawan sengaja mengalah
padanya, jika dirinya tidak bisa melihat gelagat, bukan
mustahil nanti akan jatuh sungguh2.
Sebab itulah, setelah suara mendering tadi cepat ia
menarik kembali senjatanya dan
melompat keluar gelanggang pertempuran.
Sudah tentu Sau Ceng-hong tahu tenaga dalam lawan
bukan tandingan dirinya, segera iapun menyimpan kembali
pedangnya dan membiarkan pihak lawan menyatakan kalah
sendiri. Dan sekarang Ciamtay Cu-ih benar2 menyerah
kalah, bahkan menyinggung sebab musabab kekalahannya.
Tentang apa sebabnya selama belasan tahun Ciamtay
Cu-ih menggeletak di tempat tidur sehingga Lwekangnya
telantar. Hal ini tidak menarik bagi Sau Ceng-hong, maka iapun tidak bertanya, hanya ditanyakan: "Dimana Sau Kim-leng?"
"Hm, kau Kira setelah aku mengaku kalah padamu, lalu akan kuserahkan dia padamu?" jengek Ciamtay Cu-ih
"Tiada gunanya kau menawan anak dara itu," ujar Ceng-hong. "Kutahu maksud tujuanmu, mungkin kau tidak tahu bahwa keluarga Sau kami, baik Sau dari Lam-han maupun
Sau dari Pak-cay, ilmu pedang yang tertinggi tidak
diajarkan kepada anak perempuan melainkan cuma
diturunkan kepada anak lelaki. Ini memang pesan khusus
tinggalan leluhur dan tidak mungkin dilanggar oleh saudara sepupuku si Cing-in. Tidak nanti ia mengajarkan Siang-liu-kiam-hoat kepada Kim-leng. Jadi kalau kau ingin
mendapatkan Siang-liu-kiam-hoat dari nona itu, jelas kau akan kecewa."
"Biarpun begitu tetap akan kubawa dia pulang ke Tang-hay (lautan timur)," kata Ciamtay Cu-ih tegas.
"Buat apa susah payah begitu?" ujar Ceng-hong pula
"Tentu kau tahu, dia adalah kemenakan perempuanku,
adalah kewajibanku untuk melindungi dia dan tidak nanti
kubiarkan dia dibawa ke Tang- hay, sungguh tidak
kuharapkan kita akan cekcok hanya karena urusan kecil
ini." Mendadak Ciamtay Cu-ih bergelak tertawa, begitu
berhenti tertawa ia lantas menggeleng dan berkata:
"Sungguh tidak nyana kau bisa memperhatikan anak
perempuan Sau Ceng in."
"Betapa pun dia kau kemenakanku," kata Ceng-hong.
"Apalagi kau hendak memaksa dia berjanda selama hidup, sekalipun puteri musuh juga pasti akan kubela dia bila kau perlakukan dengan tidak se-mena2."
"Hm, Pak-cay dan Lam-han selama tiga turunan selalu bermusuhan bukan?" jengek Ciamtay cu-ih.
"Ya, itu memang fakta," jawab Ceng-hong, "Tapi permusuhan yang sesungguhnya berawal dari kakekku dan
kakek Ceng-in. Selama dua turunan berikutnya permusuhan
ini sudah mulai luntur diantara kedua keluarga kami, meski kedua keluarga masih saling bermusuhan. tapi bukan
permusuhan mati2an lagi, apalagi sekalipun puteri musuh
besar, bila menghadapi keadaan begini juga pasti akan
kubela." "Keadaan apa maksudmu?" dengus Ciamtay Cu-ih.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau tuduh aku memaksa seorang anak perempuan berjanda selamanya bagi anak lelakiku?"
"Betul," jawab Ceng-hong tegas "Anakmu mcemaksa hendak mengawini dia, sedangkan kau paksa dia berjanda
selama hidup, jeias semua ini perbuatan tidak pantas.
Apabila sebelumnya diantara kalian ada ikatan jodoh masih dapat dimaklumi, tapi kalian hanya main paksa saja secara se-wenang2."
Ciamtay Cu-ih tidak menanggapi urusan itu lagi, tapi
bicara soal lain, katanya: "Kedatanganku ke Tionggoan ini memang juga tidak sia2, bcgitu mendarat segera kudengar
sesuatu berita menarik, entah betul entah tidak?"
"Berita apa?" tanya Ceng-hong dengan air muka rada berubah.
"Bahwa Sau Ceng-in telah muncul pula di dunia
Kangouw," kata Ciamtay Cu-ih.
"Hanya desas desus saja, belum dapat dibuktikan."
"Tanpa angin takkan timbul gelombang, Sau-heng,
kukira engkau perlu ber-jaga2."
"Ber-jaga2 apa" Apa yang perlu kutakuti" Jika dia betul2
masih hidup didunia ini. persoalan kita akhirnya toh harus diselesaikan, paling2 cuma. . . ."
"Bagus, Sau-heng memang hebat, semangat tak gentar
matimu inilah yang kukagumi," sela Ciamtay Cu-ih.
"Cuma, numpang tanya, bila betul Sau-heng tidak takut mati, mengapa engkau malah menolong puteri musuh"
Apakah untuk memikat hatinya atau akan kau gunakan
sebagai Hou-sin-hu (jimat penyelamat diri)?"
Ceng-hong tidak menjawabnya, air mukanya pelahan2
berubah pucat menghijau.
Ciamtay Cu-ih ter-gelak2, katanya pula: "Ah, di depan sahabat lama, hendaklah bersabar sedikit, janganlah dari malu menjadi marah."
Sau Ceng-hong memang benar seorang sabar, mendengar itu, air mukanya kembali tenang.
Merasa di atas angin, segera Ciamtay Cu-ih maju satu
langkah lagi, ia ter-bahak2 dan berkata: "Hahaha, tentang kejadian yang kau katakan, kukira perlu berubah sedikit.
Hehehe, membela kaum lemah apa segala, enak sekali
kedengarannya, tapi sayang. di depanku tidak nanti
maksudmu dapat tercapai."
"Terserah apa yang akan kau katakan, mencari muka
atau menjadikan dia jimat penyelamatku sendiri juga boleh, pendek kata sudah pasti aku akan membela arak dara itu
dan pendirianku ini tak dapat ditawar lagi." ucap Sau Ceng-hong dengan tegas.
Bahwa Ceng-hong bisa bersikap keras hal ini rada diluar
dugaan Ciamtay Cu-ih, ia melengak, katanya kemudian,
sambil menggeleng kepala: "Tidak tidak boleh jadi!"
"Jika begitu, terpaksa jangan menyalahkan aku bertindak kasar," kata Ceng-hong.
Cepat Ciamtay Cu-ih berkata: "Percuma kau mengaku
sebagai tokoh terkemuka kaum pendekar, mengapa kau
cuma memikirkan kepentinganmu sendiri" Padahal kau
harus tahu, andaikan Sau Ceng-in betul masih hidup
didunia, kan aku juga ingin mengunakan anak perempuannya sebagai jimat penyelamat diriku" Bila kuincar Siang-liu-kiam-boh dari anak dara itu, bukankah
tujuanku juga untuk menghadapi Siang-lui-kiam-hoat
musuh kita ber-sama2. Kalau Siang-liu-kiam-bob tidak
kuperoleh siapa pula yang dapat mematahkan ilmu
pedangnya yang maha hebat itu, makanya . . . ."
Mendadak Sau Ceng hong bergelak tertawa.
Selagi Peng-lam heran mengapa sang guru bisa tertawa,
apanya yang perlu dibuat gembira hanya memperebutkan
seorang sendera" Diam2 ia merasa sedih bagi kepribadian
sang guru dan juga ayah-angkatnya itu.
Tak tersangka Ceng-hong bahkan berkata pula: "Manusia yang tidak berbuat untuk kepentingan diri sendiri tentu
akan celaka sendiri, kukira Ciamtay-heng sependapat
bukan" Sayang kau bukan tandinganku, pasti akan kusikat
kau, jimat penyelamat diri itu pun pasti akan kuminta."
Diam2 Peng-lam menggeleng kepala. sungguh ia tidak
percaya sang ayah-angkat adalah manusia serendah ini"
-ooo0dw0ooo- Jilid 21 Terdengar Ceng-hong berkata lagi: "Tak tersangka Hong-hoa-wancu juga bisa ketakutan seperti sekarang ini?"
"Dan kau sendiri" Tidakkah sama juga?"
"Hehe, ya, anggaplah akupun takut, lalu kau mau apa"
Manusia kan tidak dapat gagah perkasa selamanya?"
"Aku bukan tandinganmu, terpaksa kuserahkan nona itu kepadamu."
"Hah, cepat juga keputusanmu. Dimana dia sekarang?"
kata Ceng-hong dengan tertawa.
"Akan kuceritakan suatu peristiwa kepadamu," tutur Ciamtay Cu-ih "Begini kejadiannya: '20 tahun yang lalu di pulauku kedatangan seorang nyonya cantik, dia kehilangan suami, maka ingin mencari keterangan padaku."
"Hah kau maksudkan iparku?" seru Ceng-hong dengan suara tertahan.
Tapi Ciamtay Cu-ih masih terus bicara sendiri: "Kukira nyonya cantik itu mungkin tahu kunci pelajaran ilmu
pedang suaminya yang maha hebat, maka ingin kupancing
dari pengakuan nyonya itu. sedapatnya kulayani dia dengan baik. kutahan dia di pulau itu dan kurayu dia dengan
segenap kemampuanku. Tahun berikutnya dia melahirkan
seorang anak perempuan bagiku. Anak perempuan itu
serupa bapaknya, tiada urat nadi Liok-im (bagian tangan) sejak dilahirkan."
"Ahhh, pantas Kim-leng tidak mahir ilmu silat," seru Ceng-hong.
"Setiap orang yang Liok-im-coat-meh (enam urat nadi bagian tangan), selain cuma dapat berlatih Lwekang aliran Tang-wan kami, Lwekang dari aliran lain, sama sekali tak dapat dilatihnya," demikian tutur Ciamtay Cu-ih lebih lanjut "Sudah te-ntu aku sangat girang bisa mendapatkan anak perempuan yang menuruni diriku, kupikir meski
satu2nya anak lelakiku juga pintar dan cerdik, tapi sayang dia tidak Liok-im-coat-meh, tidak dapat berlatih Kungfu
Ting-wan kami hingga puncaknya. Sekarang kudapatkan
anak perempuan yang serupa diriku. selaniutnya Tang-wan
tidak perlu kuatir tak ada ahliwaris lagi. Tak tersangka,
ibunva, betapa pun baik kuperlakukan dia, hatinya tetap
tidak mencondong padaku, pada suatu hari akhirnya dia
mendapat kesempatan, dia menyerang diriku dan minggat
pulang ke Tionggoan dengan menggondol puteri kesayanganku. Karena kehilangan anak perempuan, sudah
tentu aku sanpat gusar dan ingin menemukannya kembali,
tapi keadaanku sangat payah, hampir saja aku terbunuh,
mana kusanggup menyusulnya ke Tionggoan untuk
mencarinya" Selama belasan tahun kutelentang ditempat
tidur, baru beberapa tahun terakhir ini aku dapat
berbangkit, maka kusuruh anak lelakiku ke Tionggoan sini untuk mencari adik perempuannya. Tak terduga, anak
lelakiku itu terbunuh secara menyedihkan, dapat kau
bayangkan betapa sakit hatiku karena kehilangan puteraku satu2nya itu. Tapi sekarang kudapatkan kembali anak
perempuanku, tentu saja aku menjadi girang. Coba Sauheng ceritaku ini cukup menarik atau tidak?"
"Menarik sih cukup menarik, cuma busuk dan kotor."
ujar Ceng-hong.
Dengan tertawa tanpa kenal malu Ciamtay Cu-ih
berkata: "Apa alasannya. Silakan bicara?"
"Memperkosa perempuan baik2, inilah kebusukan
pertama." kata Ceng-hong. "Demi memaksa
anak perempuan sendiri agar menyerahkan kitab pelajaran ilmu
pedang tidak segan2 menggunakan cara kotor, inilah
kebusukan kedua."
"Apa buktinya?" tanya Ciamtay Cu-ih
"Urusannya terpampang di depan mata, siapa yang tidak tahu?"
"Betapapun kotor caraku, bahwa aku sayang kepada
puteriku kan tidak dapat dipungkiri siapa pun juga.
Tentunya kau tidak keberatan kubawa dia pulang ke Tanghay bukan?"
"Sudah tentu boleh," jawab Ceng-hong.
"Jika demikian, ingin kutanya padamu, siapa sesunggubnya yang penakut?"
"Kau!" kata Sau Ceng-hong.
"Betul, kau dan bukan aku," ujar Ciamtay Cu-ih. "Sebab kutahu Kim-leng bukan anak Si Ceng-in melainkan anakku,
tidak nanti kugunakan puteriku sendiri sebagai alat
pelindung, sebaliknya kau tidak tahu persoalan ini, jada jelas yang benar2 penakut ialah kau!"
"Kau sendirilah penakut." dengus Ceng-hong, "Apakah kau tahu siapa nona yang kau culik itu" Kau kira dia
puterimu?"
Ciamtay Cu-ih melengak, tanyanya; "Sudah tentu dia
anakku, memangnya siapa lagi dia kalau bukan anak
perempuan Sau-hujin yang dilahirkan ketika kusekap di
pulauku?" Sau Ceng-hong tertawa, kemudian ia lantas menceritakan apa yang didengarnya dari Soat Peng-say
tentang Cin Yak-leng yang disangkanya Sau Kim-leng oleh
Ciamtay Boh-ko itu.
"Apakah keteranganmu ini dapat dipercaya?" Ciamtay Cu-ih menegas dengan sangsi.
Jawab Ceng-hong dengan tidak senang. "Kita sudah
kenal cukup lama, masa kau tidak tahu bagaimana
kepribadianku" Jika kau anggap aku ini orang kecil yang
penakut dan pendusta, nyata kau terlalu memandang
rendah padaku."
Mendadak Ciamtay Cu-ih menghela napas, ia tanya
dengan lunak: "Kun-cu-kiam tidak menakutkan karena
pedangnya, tapi sebutan Kuo-cu memang sesuai dengan
jiwamu. Sau-heng, Kupercaya penuh apa yang kau
ceritakan."
"Jika kau percaya, jelas tiada gunanya nona Cin itu bagimu, tentunya sekarang boleh kau bebaskan dia bukan?"
tanya Ceng-hong.
"Dengan sendirinya akan kubebaskan dia," kata Ciamtay Cu-ih "Ai, jadi sia2 aku bergembira, sampai saat ini masih kuanggap dia sebagai puteri kandungku, siapa tahu . . . . ai.
. . ." Melihat orang menjadi berduka, timbul juga rasa sesal
Sau Ceng-hong, katanya pula: "Muridku minta bantuanku agar menolong Piaumoaynya, tak terduga dalam urusan ini
telah terjadi salah paham begini. Sesungguhnya sebelumnya akupun menyangka dia adalah puteri Ceng-in yang
bernama Sau Kim-leng."
Sebenarnya Ciamtay Cu-ih bermaksud memancing rasa
belas kasihan Sau Ceng-hong, agar mengatakan dimana
beradanya Sau Kim-leng sekarang, tapi dari nadanya
sekarang anaknya Ceng-hong juga tidak tahu jejak Sau
Kim-leng. Namun dia belum lagi putas asa, langsung ia
lantas bertanya: "Apakah Sau-heng mengetahui dimana beradanya. puteriku sekarang?"
"Entah, aku tidak tahu," jawab Ceng-hong sambil menggeleng kepala.
"Dan muridmu Itu?" tanya Ciamtay Cu-ih.
"Maksudmu muridku yang baru, si Soat Peng-say?"
"Ya," jawab Ciamtay Cu-ih. "Kalau Piau-moaynya menjaru sebagai Sau Kim-leng, tentunya karena puteriku
tidak berani pulang ke Tang-hay untuk menikah dengan
kakaknya, karena itulah dia mengatur penyamaran itu.
Kukira Soat Peng-say pasti tahu muslihat ini, dia tentu juga tahu dimana beradanya puteriku, bolehkah kuminta
keterangan padanya?"
"Baik!, boleh saja," jawab Ceng-hong
"Jika begitu akan kutunggu dia di kelenteng Toapekong kira2 sepuluh li diluar kota saja, asalkan berita mengenai puteriku sudah jelas. didepan muridmu itu juga akan
kulepaskan Cin Yak-leng," kata Ciamtay Cu-ih, lalu ia membalik tubuh dan melangkah pergi.
"Nanti dulu!" seru Ceng-hong.
Ciamtay Cu-ih berhenti dan berpaling, tanyanya: "Sau-heng ada petunjuk apalagi?"
Selagi Sau Ceng-hong hendak mendekatinya, mendadak
Ciamtay Cu-ih membentak: "Berhenti, jangan mendekat kemari!"
Ceng-hong tertawa, katanya: "Apakah kau takut
kuserang kau" Ah, kau terlalu banyak curiga, asalkan kau lepaskan Cin Yak-leng. kita akan pergi kejurusannya sendiri dan tidak ikut campur urusan masing2."
"Meskipun begitu, kau tetap jangan mendekat kesini,"
kata Ciamtay Cu-ih. "Hehe, sekali ini Sau-heng yang berada di bawah angin, asalkan kau melangkah maju lagi. segera
kukabur sejauh2nya dan urusan kitapun batal seluruhnya."
"Sungguh terlalu kau," ujar Ceng-hong dengan aseran.
"Dengan maksud baik kuterima permintaanmu untuk minta keterangan kepada muridku tapi kau lantas berlagak dan
menggunakan hal ini sebagai alat pemeras, apakah
maksudmu baru akan membebaskan Piaumoaynya bila
muridku itu telah memberitahukan di mana beradanya
Kim-leng?"
"Hahahaha! memang begitulah!" seru Ciamtay Cu-ih sambil tergelak.
"Dan kalau dia tidak tahu jejak Kim-leng?"
"Akupun tidak jadi membebaskan Cin Yak-leng!"
"Bukankah kita sudah berjanji barang siapa menang akan mendapatkan Cin Yak-leng, sekarang kau mengaku kalah
dan kau harus membebaskan nona itu. Muridku tidak
berkewajiban harus memberitahukan jejak puterimu."
"Bilakah kau pernah menjatuhkan diriku"'
tanya Ciamtay Cu-ih. "Hanya mengaku kalah secara lisan, itu kan kerendahan-hatiku saja dan kau anggap sungguh2?"
Dengan menahan rasa gusarnya Ceng-hong berkata:
"Baik, anggap kau tidak pernah kalah, marilah kita coba2
lagi," Ciamtay Cu-ih tertawa mengejek, katanya: "Sekarang
aku sudah tidak berminat bergebrak lagi dengan kau.
Silakan Sau-heng bicara kepada muridmu, katakan besok
pagi akan kutunggu dia dikelenteng Toapekong itu, jika dia tidak datang, maka berarti pula tamatlah Piaumoaynya."
"Memangnya akan kau apakan dia?" bentak Ceng-hong dengan gusar.
Diam2 Ciamtay Cu-ih memperhatikan setiap gerak-gerik
Ceng-hong, asalkan tubuh tokoh Lam-han itu bergerak,
segera ia akan angkat langkah seribu alias kabur. Tanpa
menghiraukan pertanyaannya ia lantas berkata pula: "Selain itu hanya dia sendiri yang boleh datang kekelenteng sana, bila ditemani Sau-heng. hehe, terpaksa kubertindak kejam
dan jangan menyalahkan aku bila kubinasakan nona Cin itu."
Sampai di sini tidak tahan lagi Ceng-hong, dengan
murka ia menubruk maju dan pedangnya terus menusuk.
"Maaf, tidak dapat kulayani," seru Ciamtay Cu-ih dengan tertawa.
Tampaknya tusukan Sau Ceng-hong itu sukar dihindarkan. tapi sedikit mendak tubuh secepat anak panah lepas dari busurnya tubuh Ciamtay Cu-ih yang gendut itu
terus melesat kesana, betapa cepat reaksinya sungguh tidak malu sebagai seorang guru besar suatu aliran tersendiri.
Sau Ceng-hong terus simpan pedangnya. langkahnya
tidak berhenti, segera ia mengudak kedepan.
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil berlari secepat terbang Ciamtay Cu-ih sempat
berseru: "Hayolah kita berlomba Ginkang siapa terlebih tinggi!"
Hanya dalam sekejap saja kedua tokoh besar itu sudah
menghilang. Peng-lam melangkah keluar dari tempat sembunyinya, ia
kuatir kalau2 Soat Peng-say akan memenuhi kehendak
Ciamtay Cu-ih dan hadir di kelenteng Toa-pekong itu.
padahal maksud tujuan tokoh Tang-wan itu sudah jelas,
yaitu menggunakan Cin Yak-ling sebagai umpan untuk
memancing Soat Peng-say.
Jangankan Peng-say sudah resmi diterima sebagai murid
Lam-ban dan sekarang sudah menjadi saudara seperguruannya, melalu kerelaan Peng-say yang tampil
kemuka untuk menolongnya tempo hari. betapapun Penglam wajib balas menolongnya.
Karena itulah ia lantas mencari kelenteng Toa-pekong
yang dimaksudkan Ciamtay Cu-ih itu.
Peng-lam memang cerdik. sedikit berpikir saja ia lantas ia tahu tipu muslihat keji Ciamtay Cu-ih. ia pura2 ingin tanya jejak anak perempuannya, pada hal yang benar ialah ingin menawan Soat Peng-say untuk dipaksa mengaku dimana
beradanya Siang-lui-kiam-boh. Ia kuatir gurunya tidak tahu, bila tidak berhasil menyusul Ciamtay Cu-ih!, kemudian
memberitahukan Soat Peng-say agar memenuhi janji
undangan Ciamtay Cu-ih sedangkan Soat Peng-say pasti
tanpa pikir akan pergi ke kelenteng Toa-pekong itu demi
menolong Piaumoaynya.
Untuk ini Peng-lam ingin mengadang di tengah jalan
sebelum Peng-say pergi ke kelenteng sana, akan diberitahu bahwa undangan Ciamtay Cu-ih itu cuma perangkap belaka
dan se-kali2 jangan sampai terjebak.
Tapi luka Peng-lam baru saja sembuh, mestinya tidak
boleh banyak bergerak, kalau tidak, bila lukanya kambuh
lagi tentu akan membahayakan jiwanya. Namun dasar
jiwanya memang luhur dan berhati mulia, demi orang lain
dia tidak menghiraukan keselamatan sendiri. Meski dengan bertongkat ranting pohon, dengan langkah terincang-incut ja tetap menuju kesana.
Ketika pagi tiba, akhirnya ditemukan juga kelenteng itu
tidak jauh di depan sana. dengan menggeh2 ia berduduk
ditanah. Ia ingin istirabat dulu. tapi kuatir berjarak terlalu jauh dan tidak sempat mencegat Peng-say. terpaksa ia
melangkah lagi mendekati kelenteng itu.
Belum sampai di depan pintu kelenteng, terdengar suara
seorang tua serak dan tandas bertanya di dalam: "Apakah kau puteri Sau Ceng-in dari Pak-cay?"
Ketika sembunyi di kamar rumah pelacuran Kun-giok-ih
tempo hari Peng-lam pernah mendengar suara orang tua ini yakni Say-pak-beng-to Soat Ko hong. Ia menjadi heran,
mengapa bukan Ciamtay Cu-ih, tapi si bungkuk ini yang
berada disini"
Ia tahu Kungfu si bungkuk ini tidak dibawah Ciamtay
Cu-ih. dengan hati2 ia menyelinap ke samping kelenteng,
sampai bernapas pun tidak berani keras2.
Lalu didengarnya suara seorang perempuan sedang
menangis ter-sendat2.
Terdengar Soat Ko-hong berkata pula: "Urusan sudah
kadung begini, apa gunanya bersedih. Sudahlah, jangan
menangis. Aku paling benci bila mendengar perempuan
menangis, kalau tidak berhenti menangis. sekali hantam
kumampuskan kau."
Agaknya perempuan itu terlalu sedih sehingga sedikitpun
dia tidak gentar akan ancaman si bungkuk, ia masih terus tersedu-sedan.
Soat Ko-hong tak berdaya, tiba2 suaranya berubah halus.
katanya: "Nona kenal Soat Peng-say tidak?"
"Dia . . . .dia berada .... berada di mana?" tanya perempuan yang menangis itu.
Soat Ko-hong tertawa. katanya: "Melihat cara bicaramu ini, baru mendengar namanya sudah lantas tanya dimana
dia. Hah, jelas, kau inilah adik Leng yang selalu disebutnya itu."
Mungkin anak perempuan itu membenarkannya dengan
mengangguk, sebab tidak terdengar suaranya.
Lalu Soat Ko-hong berkata pula: "Tidaklah sulit jika kau ingin menemui dia, asalkan kau katakan di mana beradanya Siang-liu-kiam-boh."
"Siang-liu-kiam-boh apa" Aku . . aku tidak tahu .. . ."
jawab perempuan itu.
"Ilmu pedang keluarga Sau kalian sudah berhasil
dipelajari orang luar dan kau mengaku tidak tahu, huh,
setanpun tidak percaya," kata Soat Ko-hong. "Hehe, kau sangka aku tidak tahu bahwa Siang-liu-kiam-hoat Soat
Peng-say itu dipelajarinya darimu" Hayo lekas katakan, di mana
Kiam-bo itu, kalau tidak, sekali hantam kumampuskan kau agar kau menemui Soat Peng-say di
akhirat." Habis berkata, pelahan ia angkat tangan kanannya dan
menabas dari jauh ke arah patung Toapekong, kontan
patung itu roboh dan hancur.
Perempuan itu menjadi gugup dan berseru. "Kenapa ....
apakah dia .... dia sudah mati?"
"Hahahaha! Mati sih belum, cuma dia sudah berada
dalam cengkeramanku, bila kuhendaki dia hidup tentu dia
akan hidup, kalau kuhendaki dia mati pasti dia akan mati, setiap saat ingin kubinasakan dia, sekali hantam saja pasti beres," sembari berkata, kembali ia ayun telapak tangannya sehingga
sebuah meja sembahyang di depannya dihantamnya remuk pula.
Perempuan itu memang betul Cin Yak-leng adanya, dia
rada sangsi demi mendengar Soat Peng-say berada dalam
cengkeraman si bungkuk, ia menggeleng dan berkata:
"Tidak, aku tidak percaya Jika Peng-say berada dalam cengkeramanmu, mengapa dia tidak berada disampingmu"
Tiada gunanya kau menggertak diriku, kalau kau bawa dia
ke sini barulah aku mau percaya."
Dengan gusar Soat Ko-hong berkata: "Apakah kau tidak kenal betapa lihaynya diriku si Say-pak- beng-to Soat Ko-hong ini" Apa sulitnya bagiku untuk membunuh seorang
anak ingusan macam Soat Peng-say, biarpun sekarang dia
tidak berada disini, kalau aku sudah bertekad akan
membunuhnya masa tak dapat kulaksanakan" Di dunia ini
di-mana2 terdapat sahabatku, banyak mata-telingaku, untuk mencari seorang Soat Peng-say adalah semudah merogoh
barang didalam saku bajuku."
"Krek", kembali sebuah meja dihantamnya hingga hancur.
Melihat tenaga pukulan si bungkuk memang sangai
hebat, Cin Yak-leng menjadi takut, jelas Kungfu si bungkuk terlebih tinggi lagi daripada Liok-ma, jangan2 nanti Soat Peng-say benar2 akan dibunuhnya.
Sambil menggeleng ia lantas menjawab: "Tiada gunakan kau paksa diriku, hakikatnya aku tidak tahu macam apakah Siang-liu-kiam-boh itu, dahulu akupun tidak pernah
mendengar, sekalipun Soat Peng-say kau bunuh juga kitab
itu takkan kau dapatkan."
Sudah tentu Soat Ko-hong tidak percaya, ia mengancam
pula: "Jika demikian, biarlah sekarang juga kupergi membinasakan bocah Soat Peng-say itu." "Habis berkata ia berlagak hendak melangkah pergi.
Keruan Yak-leng menjadi kuatir, cepat ia berseru:
"Tidak, jangan!"
"Jika begitu, hendaklah kau mengaku dimana kau
simpan Siang-liu-kiam-boh keluargamu itu?"
Yak-leng menghela napas, katanya: "Losiansing, biar kukatakan terus terang, sesungguhnya aku bukan puterinya Sau Ceng-in, aku she Cin ..."
Soat Ko-hong menjadi gusar, bentaknya: "Perempuan
busuk, berani sembarangan omong di depanku, kau kira
aku bisa kau tipu" Aku sudah tidak doyan perempuan
cantik seperti Ciamtay Cu-ih, bila perlu akan kusiksa kau hingga hidup sukar mati pun tidak."
Setelah mendengarkan sampai disini, Peng-lam tahu Soat
Ko-hong telah marah, kalau tidak lekas berusaha
memancingnya pergi, bukan mustahil jiwa nona she Cin itu bisa, terancam.
Karena itulah segera ia berseru: "Soat-cianpwe, murid Lam-han Sau
Peng-lam diperintahkan guru untuk
mengundang Soat-cianpwe agar sudi menemui beliau untuk
berunding sesuatu."
Mestinya Soat Ko-hong hendak turun tangan untuk
menyiksa Cin Yak-leng, ia terkejut ketika tiba2 mendengar suara Sau Peng-lam diluar kelenteng. Biasanya dia tidak
mau mengalah kepada siapapun, hanya terhadap Sau Cenghong, ketua Lam-han itu dia rada jeri terutama ia sudah
merasakan kelihayan "Cu-be-kang" Sau Ceng-hong waktu berada diluar rumah pelacuran Kun-giok-ih, ia tahu
Lwekang ketua Lam-han itu sudah mencapai tingkatan
yang sukar dijajaki.
Ia menduga caranya menggertak Cin Yak-leng tadi besar
kemungkinan sudah didengar oleh Sau Ceng-hong dan
muridnya, ia tahu perbuatannya ini jelas tidak disukai oleh golongan yang menamakan dirinya Beng-bun-ceng-pay,
maka ia pikir; "Sau Ceng-hong bilang ingin berunding sesuatu denganku, apalagi kalau bukan menasihati
perbuatanku ini atau mungkin juga akan ber-olok2 padaku
untuk membiKin malu padaku. Daripada kehilangan muka
lebih baik kutinggal pergi saja."
Karena itu ia lantas berseru: "Aku masih ada urusan lain dan tidak dapat memenuhi undangan Sau-hancu, harap
sampaikan kepada gurumu, katakan bilamana ada waktu
senggang, silakan dia suka mampir ke Sai-pak (Utara
perbatasan) di sanalah kutunggu kunjungannya."
Habis berkata, sekali melonjak. dari pendopo ia
melompat kehalaman tengah, sekali loncat lagi ia sudah
berada diatas rumah, segera ia melayang ke belakang
kelenteng se-akan2 kuatir kepergok Sau Ceng-hong dan
ditanya, hanya sekejap saja ia sudah menghilang.
Peng-lam sangat girang demi menyetahui si bungkuk
sudah pergi, pikirnya: "Kiranya si bungkuk ini sangat takut kepada guruku, jika dia tidak pergi dan main kekerasan
padaku tentu aku bisa celaka."
Dengan tongkat ranting kayu ia lantas masuk ke dalam
kelenteng. Ruangan pendopo kelenteng itu guram suram,
terlihat seorang perempuan muda berduduk setengah
bersandar pada pilar, dilantai depannya ada secomot darah, pakaian si nona tampak ter-koyak2, mukanya lesu dan
pucat, jelas belum lama berselang baru mengalami
kekerasan pisik.
Dia tidak tahu persis apakah nona ini adik misan Soat
Peng-say atau bukan, maka ia coba bertanya: "Apakah nona Cin Yak-leng adanya?"
Menghadapi murid Lam-han dan juga orang yang telah
menyelamatkannya, tetap Cin Yak-leng tak berani mengaku
asal-usulnya, dengan gugup ia menggeleng
"Nona she apa?" tanya Peng-lam pula.
"Aku. . . .aku she Sau ..." Yak-leng berdusta.
"Untuk apa nona mengaku sebagai Sau Kim-leng" Tadi
diluar kelenteng jelas kudengar kau mengaku she Cin dan
bukan puteri Sau Ceng-in."
Cepat Yak-leng berkata: "Ti. . . .tidak, aku benar2 she Sau. Sau Ceng-in ialah ayahku. . . ."
Melihat si nona tidak mau bicara sejujurnya, Peng-lam
menduga dibalik persoalan ini tentu ada sesuatu yang tidak beres, ia coba memancing pula: "Adakah orang yang
memaksa kau memalsukan Sau Kim-leng?"
"Ti. ....tidak?" Yak-leng menyangkal.
Karena dia menyangkal dengan ter-gegap2, Peng-lam
bertambah yakin pasti ada orang memaksa dia mengaku
sebagai Sau Kim-leng. Ia pikir orang itu pasti mengancam nona ini dengan keselamatan jiwanya, maka matipun nona
ini tidak berani mengaku nama aslinya.
Segera Peng-lam bertanya pula: "Hendaklah kau bicara terus terang padaku, siapa yang mengancammu agar
mengaku sebagai Sau Kim-leng" Jangan kuatir terhadap
orang yang mengancam dirimu itu, ketahuilah kakak
misanmu Soat Peng-say kini sudah menjadi murid Lam-han
kami, jika kau bicara terus terang, segala urusan pasti akan kami bela sebisanya."
Yak-leng tidak takut lagi demi mendengar Soat Peng-say
telah diterima menjadi murid Lam-han, segera ia
bermaksud berdiri untuk memberi hormat kepada Suhengnya kakak Peng, tapi berdiri saja tidak kuat, terpaksa ia miringkan tubuh dan berkata: "Terimalah hormatku, Sau-suheng."
"Jangan banyak adat." kata Peng-lam. "Kita sudah orang sendiri, ada persoalan apa hendaklah bicara saja terus
terang, betapapun besarnya persoalan pasti akan kami bela dan balaskan dendam bagimu."
Dibalik ucapannya itu tidak saja dia menyuruh si nona
memberitahukan siapa orang yang memaksanya mengaku
sebagai Sau Kim-leng, bahkan juga menganjurkan dia
menceritakan siapa orang yang telah memperkosanya.
Yak-leng mencucurkan air mata, katanya: " Urusan
sudah kadung begini, apapula yang kutakuti, semuanya
gara2 Liok-ma yang menghendaki kupalsukan Sau Kimleng sehingga. . . ."
"Kiranva Liok-ma yang mengancam kau," sela Peng-lam dengan gemas. "Nenek ini memang cukup keji, meski
tujuannya demi membela majikannya, tapi dia suka
membunuh orang yang tak berdosa, ia pantas dihukum
mati, sekarang ia mengancam kau pula, bila kupergoki dia pasti akan kuhajar adat padanya."
Tapi Yak-leng lantas menggeleng, katanya: "Apa artinya jiwaku ini, persoalan ini mungkin tak dapat dipahami Peng-say, bahwasanya Liok-ma mengancam diriku dengan
keselamatan jiwa Peng-say agar aku mau menyaru sebagai
Sau Kim-leng, akhirnya urusan menjadi begini sehingga aku malu untuk bertemu lagi dengan Peng-say, Ai, mohon
bantuan Suheng agar suka memberitahukan Peng-say
bahwa aku tiada muka buat bertemu dengan dia, biarlah
kami berjumpa pula pada penjelmaan yang akan datang.
Mengenai orang yang memperkosa diriku, dia. . . .dia. . . ."
Dari nadanya Peng-lam tahu si nona ada maksud
membunuh diri, cepat ia berkata: "Selekasnya Soat-sute akan datang kemari, ada urusan apa boleh kau katakan
langsung kepadanya dan jangan...."
Dengan girang dan kejut Yak-leng memotong: "Hah, jadi dia. ... dia akan kemari?"
"Ya, sebentar lagi pasti akan tiba," kata Peng-lam.
"Tapi . . . tapi mana boleh kutemui dia dengan begini ..."
ucap Yak-leng, "Kuharap Suheng suka berjaga dulu diluar, jangan . . . .jangan sampai ia masuk langsung, biar
kubetulkan bajuku dulu . . . ."
Melihat rasa gembira si nona, diam2 Peng-lam gegetun,
betapa cinta nona ini terhadap Soat Peng-say tertampak
dengan jelas, Dengan tertawa ia lantas berkata: "Baiklah, aku akan keluar, bila dia datang segera aku berdehem
sebagai tanda."
Habis berkata ia lantas membalik tubuh dan hendak
melangkah keluar. Mendadak terdengar suara "bres", seketika ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, cepat ia
memutar balik untuk mencegah, namun sudah terlambat,
tahu2 kepala Cin Yak-leng sudah berlumuran darah.
otaknya berceceran di lantai.
Tak tertahan lagi air mata Peng-lam ber-linang2 diam2 ia memaki dirinya sendiri yang terlalu ceroboh, kenapa tidak berpikir si nona akan memancingnva keluar.
Rupanya Cin Yak-leng merasa tiada muka lagi untuk
bertemu dengan Soat Peng-say, ia sudah bertekad akan
membunuh diri. Ketika diketahuinya sebentar lagi Soat
Peng-say akan datang, ia tahu badan sendiri yang kotor dan tidak suci lagi akan dilihat anak muda itu. maka ia sengaja berlagak kegirangan dan minta Peng-lam keluar, begitu
Peng-lam berpaling. segera ia membenturkan kepalanya
pada pilar batu.
Melihat keadaan Cin Yak-leng itu, Peng-lam tahu nona
itu tidak dapat ditolong lagi. dilihatnya mulut Yak-leng ber-gerak2 seperti hendak bicara sesuatu, cepat ia berjongkok untuk mendengarkan.
"Beritahukan padanya agar ....agar membalaskan sakit hatiku, yang ....yang berbuat adalah Ciamtay Cu-ih . . . ."
demikian ucap Yak-leng dengan suara yang hampir tak
terdengar. Peng-lam memang sudah menduga siapa kiranya orang
yang memperkosa si nona, maka ia manggut2 dan berkata:
"Baiklah, pasti akan kuberitahukan padanya. pergilah kau dengan tenang."
"Jangan ....jangan sampai dia melihat keadaan . .
.keadaanku yang buruk ini. . . ." sampai disini putuslah napas Cin Yak-leng.
Meski baru pertama kali ini bertemu Yak-leng, tapi apa
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang terpampang didepan matanya membuat Peng-lam
mencucurkan air mata kesedihan. Mestinya ia ingin
menuruti keinginan Yak-leng dan akan segera menguburnya agar Soat Peng-say tidak sempat melihat
kematian si nona yang mengenaskan itu. Tapi sesungguhnya ia sendiri terlalu lemah, tiada tenaga lebih untuk mengubur Cin Yak-leng, terpaksa ia berduduk di
lantai dan mengaso, ia berharap tenaganya dapat
dipulihkan. Selang agak lama, tiba2 dari luar kelenteng, terdengar
suara langkah orang, ia mengira Soat Peng-say datang
memenuhi janji Ciamtay Cu-ih, cepat ia melompat bangun,
tapi ia menjadi bingung dan entah apa yang harus
diperbuatnya. Diluar dugaan, terdengar suara ayah-angkatnya berkata
diluar: "Adakah Ciamtay-heng berada di dalam?"
Dengan girang Peng-lam menjawab: "Gihu, akulah
disini!" Pelahan Sau Ceng-hong melangkah masuk, melihat
jenazah Cin Yak-leng. ia berkerut kening dan bertanya:
"Sudah mati?"
Peng-lam mengiakan. Lalu ia menceritakan apa yang
dilihatnya waktu Soat Ko-hong mendesak Yak-leng
menyerahkan Siang-liu-kiam-boh, kemudian si bungkuk
digertak lari dengan menggunakan nama sang ayah-angkat
serta cara bagaimana Cin Yak-leng membunuh diri.
Sau Ceng-hong termenung sejenak, katanya kemudian:
"Jenazahnya se-kali2 tidak boleh dilihat Peng-say, boleh kau kubur dia saja."
Setelah istirahat sekian lama, semangat Peng-lam sudah
segar kembali, cepat ia bekerja menjelang lohor dapatlah ia kebumikan Cin Yak-leng ala kadarnya.
Waktu istirahat Peng-lam bertanya: "Gihu, bagaimana akhirnya si pendek itu berlomba Ginkang dengan Gihu?"
"O, jadi kau yang mencuri dengar semalam?"
Peng-lam mengangguk dan menjawab: "Ya, kukuatir
Sute akan datang kemari, maka begitu Gihu pergi segera
kudatang kesini untuk menghadangnya." "Lalu iapun
ceritakan maksud tujuan Ciamtay Cu-ih
"Aku tidak memikirkan hal ini," kata Sau Ceng-hong,
"hanya kuduga Ciamtay Cu-ih pasti tidak bermaksud baik, bisa jadi kalau Peng-say datang kesini akan dibunuhnya
untuk membalas sakit hati kematian anaknya, sebab itulah tidak kukatakan urusan ini kepada Peng-say. Lari Ciamtay Cu-ih semalam memang cepat luar biasa, hampir setengah
jam kukejar dia dan tak dapat menyusulnya, bahkan
jaraknya semakin jauh. maka tidak kukejar lagi, Nyata,
Ginkang Tang-wan memang lebih tinggi setingkat
dibandingkan Lam-han kita."
Sesuai julukannya sebagai Kun-cu-kiam atau si pedang
ksatria sejati, dia seorang yang jujur dan berjiwa besar, jika kalah ya mengaku kalah, kalau menang ya menang,
semuanya dikatakan secara blak2an.
Peng-lam bergelak tertawa, katanya: "Jurus Tang Wan lari dengan pantat jatuh lebih dulu ketanah memang jauh
lebih tinggi daripada aliran lain."
Seketika Sau Ceng-hong menarik muka, omelnya: "Anak Lam, mulutmu inilah yang sok mengoceh tak keruan, mana
bisa kau menjadi teladan bagi saudara2 seperguruan mu?"
Peng-lam mengiakan sambil melengos kearah lain dan
menjulur lidah.
"Jika sudah mengiakan, kenapa kau mesti menjulur lidah pula, itu berarti tidak tulus pengakuanmu," omel Ceng-hong pula.
Kembali Peng-lam mengiakan, sekali ini dia tidak berani
berlagak lain lagi.
Sejak kecil dia dibesarkan Sau Ceng-hong, meski bukan
ayah dan anak kandung, tapi jauh lebih kasih sayang
darpada ayah dan anak kandung sejati. Pribadi Sau Cenghong pada dasarnya memang halus budinya, terhadap anak
murid yang lain juga jarang bersikap keras. Biasanya Sau Peng-lam memang tidak begitu takut kepada ayah
angkatnya ini, maka dengan tertawa ia bertanya pula:
"Gihu, cara bagaimana kau tahu aku menjulurkan lidah?"
"Otot dagingmu dibawah telinga kelihatan berkerut,
kalau bukan menjulur lidah apalagi?" dengus Ceng-hong,
"Hm, kau memang bengal dan Deling, setelah banyak
mengalami cedera, sekarang tentunya kau tahu rasa."
Kembali Peng-lam hendak melelet lidah lagi, lapi cepat
ia menutupi mulutnya.
Sau Ceng-hong menggeleng menghadapi murid dan
anak-angkat kesayangan yang binal ini. Dia mengeluarkan
sebuah mercon roket, ia menuju halaman, dipasangnya
mercon loket ini sehingga meluncur ke udara dan meledak
diketinggian, bunga api mercon itu bertebaran membentuk
sebilah pedang warna perak, sampai sekian lamanya lukisan pedang itu menghiasi angkasa, kemudian bunga api
berhamburan ke bawah.
Kiranya cara demikianlah ketua Lam-han mengumpulkan anak muridnya, dengnn lukisan pedang
perak yang terbentuk dari bunga api sebagai tanda pengenal
"Kun-cu-kiam".
Lalu Peng-lam berkata pula. "Menurut dugaan anak,
setelah Ciamtay Cu-ih melepaskan diri dari kejaran Gihu
semalam, ia lantas membawa Cin Yak-leng kesini. Dasar
orang ini memang gila perempuan, setelah mengetahui Cin
Yak-leng bukan anak perempuan sendiri, seketika timbul
napsu binatangnya, rupanva perbuatan kotor itu kepergok
Soat Ko-hong, dengan sendirinya dia malu dan buru2
melarikan diri."
Ceng-hong menghela napas, katanya dengan menyesal:
"Sudah kusanggupi Peng-say akan menolong Piaumoaynya, tidak tersangka malah membikin susah padanya, jika tidak kuberitahu asal usul Cin Yak-leng, tentu nona ini tidak akan mengalami nasib malang begini."
Sampai disini, ber-ulang2 ia menghela napas gegetun
pula. Sejenak kemudian ia berkata lagi: "Semalam sudah kupikirkan, untuk minta Ciamtay Cu-ih membebaskan
nona ini secara kekerasan jelas sukar, terpaksa harus
memohonnya dengan halus, maka kuputuskan datang
kemari untuk minta Ciamtay Cu-ih suka melepaskan adik
misan Peng-say ini, bila dia mau membebaskannya, sebagai balas jasa akan kuajarkan Ci-he-kang kepadanya. Siapa
tahu, tokoh yang terkenal sebagai seorang guru-besar suatu aliran ternyata bernapsu binatang, lalu cara bagaimana
harus kukatakan kepada Peng-say?"
Diam2 Peng-lam terkesiap, bahwa sang guru sudi
memohon secara halus kepada Ciamtay Cu-ih saja sukar
dipercaya, apalagi bersedia mengajarkan Ci-he-kang sebagai imbalan pembebasan Cin Yak-leng. sungguh keputusan ini
sangat mengherankan dan juga mengejutkan.
Padahal ia cukup kenal pribadi sang guru, lahirnya Sau
Ceng-hong tampak halus, tapi hatinya sangat keras, kalau menyuruhnya tunduk dan memohon sesuatu kepada pihak
lawan, biarpun membunuhnya juga dia tidak sudi. Apalagi
Ci-he-kang adalah ilmu khas Bu-tong-pay yang tidak
sembarangan diajarkan kepada pihak luar, dengan susah
payah Sau Ceng-hong berhasil meyakinkannya, sampai
murid kesayangannya seperti Sau Peng-lam juga tidak
diajarkannya, tapi sekarang ia memutuskan akan mengajarkan kepada Ciamtay Cu-ih asalkan Cin Yak-leng
dibebaskan. hal ini sungguh sangat aneh.
Sedangkan Cin Yak-leng boleh dikatakan tiada sangkutpaut apapun dengan Sau Ceng-hong, satu2-nya sangkutpaut hanya nona itu adalah adik misan muridnya, jadi
usahanya menolong si nona adalah demi Soat peng-say.
Tapi sekarang sang guru bertekad menyelamatkan nona itu
tampa memikirkan
pengorbanan oesar yang harus
dipertaruhkannya, inipun menandakan betapa sayangnya
Sau Ceng-hong terhadap muridnya yang baru diterima itu.
Berpikir sampai disini, tanpa terasa timbul rasa iri dalam benak Sau Peng-lam, tapi perasaan ini hanya sekelebatan
saja lantas lenyap, setitikpun tidak tersisa di dalam hatinya.
Ia cuma merasa keheranan, tidak habis mengerti sebab apa sang Gihu sedemikian sayang terhadap Soat Peng-say"
Begitulah, setelah sekian lamanya mendadak dikejauhan
terdengar suara orang berlari menuju ke arah kelenteng sini.
"Itulah Kin-beng, langkahnya enteng, larinya cepat, diantara murid2ku hanya dia yang dapat berlari secepcat
ini, cuma sukar mencapai jarak jauh," kata Ceng-hong.
Benar juga, sejenak kemudian terdengar suara Swipoa
yang biasa dibawa Ko Kin-beng berbunyi "tik-tak-tik-tak"
diluar kelenteng, lalu suara teriakannya: "Suhu, apakah
engkau berada disini?"
Maklumlah, karena bunga api yang menjulang di
angkasa tadi hanya dapat dipandang dari jauh sehingga
tempatnya juga cuma di-kira2kan saja, tapi tidak tahu pasti di kelenteng inilah sang guru berada.
Maka Sau Ceng-hong lantas menjawab: "Ya, aku di
sini!" Cepat Ko Kin-beng berlari masuk kelenteng dan
memberi hormat sambil memanggil Suhu, Ketika melihat
Sau Peng-lam juga berada disitu, ia kegirangan dan
menyapa: "Toa-suko baik2kah engkau" Wah, kami sama
menguatirkan dirimu."
Melihat rasa girang Ko Kin-beng itu sangat tulus dan
sungguh2, hati Peng-lam
terharu, katanya
dengan tersenyum: "Untung nasibku baik, tidak sampai mati."
Tengah bicara, sayup2 terdengar pula suara orang berlari datang, sekali ini ada dua orang.
"Siapa itu yang datang?" tanya Ceng-hong.
Yang seorang enteng dan cepat, yang lain langkahnya
berat, itulah Jisute dan Laksute," ujar Peng-lam.
Ceng-hong mengangguk, katanya: "Kau memang pintar,
anak Lam, sekali diberitahu segera paham. Bila kau dapat
belajar setenang dan sesabar Lo-kiat, maka tidak perlu lagi kukuatiikan dirimu."
Belum lagi Kiau Lo-kiat dan Kang Ciau-lin yang
dimaksud Pang-lam itu masuk kelenteng, di kejauhan
bergema pula suara tindakan murid ke-tiga No Hoat dan
murid keempat Si Tay-cu.
Selang tidak lama, murid ketujuh To Kun dan murid
kedelapan Lo Eng-pek serta kemanakan perempuan Siu
Ceng-hong, yaitu Leng Hiang serta Soat Peng-say yang baru masuk perguruannya itu pun datang semua.
Melihat Sau Ceng-hong, setelah memberi hormat segera
Peng-say bertanya: "Suhu, apa yang dikatakan Ciamtay Cu-ih?"
Pagi tadi. waktu Sau Ceng-hong berpisah dengan anak
muridnya, dia bilang kepada Peng-say bahwa dia akan
datang ke kelenteng Toapekong ini untuk berunding dengan Ciamtay Cu-ih agar suka membebaskan Cin Yak-leng,
sebab itulah begitu bertemu Peng-say lantas bertanya.
Ceng-hong menggeleng dengan wajah sedih.
Peng-say gelisah, tanyanya cepat: "Apakah dia tidak mau membebaskan adik Leng?"
"Bukan," jawab Ceng-hong.
Segera Peng-say merasakan gelagat tidak enak, cepat ia
menoleh dan melihat disamping pendopo sana ada sebuah
kuburan baru, dengan terkejut ia tanya: "Siapa yang terkubur disitu?"
"Siausute, hendaklah kau jangan berduka," kata Peng-lam tiba2. "Biarlah kuceritakan apa yang terjadi semalam."
"Maksudmu Piaumoay telah. . . .telah meninggal"!"
tanya Peng-say dengan suara parau.
"Ya, disitulah makamnya," jawab Peng-lam.
Peng-say berlari ke depan kuburan dan berduduk disitu,
sampai sekian lamanya barulah air matanya berderai.
Semua orang ikut mendekati kuburan itu, sedangkan Sau
Peng-lam lantas bercerita pengalamannya semalam.
Selesai mendengar cerita itu, Kiau Lo-kiat dan lain2
sama mencaci maki Ciamtay Cu-ih yang kejam dan pantas
mampus itu. Peng-lam mengeluarkan sebuah seruling
kemala. katanya. kepada Peng-say: "Waktu kukubur Piaumoaymu, dari bajunya jatuh keluar seruling ini, mungkin inilah benda kesayangannya, boleh kau simpan saja."
Peng-say memegang seruling itu, teringat olehnya sejak
kecil Cin Yak-leng memang gemar meniup seruling, tanpa
terasa air matanya mengucur semakin deras, ia pandang
kuburan itu dengan duka tak terhingga.
Sau Ceng-hong memberi tanda agar para muridnya
masuk saja ke kelenteng dan membiarkan Peng-say
berziarah sendiri dimakam itu. habis itu barulah mereka
akan berangkat pulang ke Soh-hok-han
Sesudah semua orang masuk ke kelenteng baru
meledaklah tangis Soat Peng-say yang memilukan.
Diantara anak murid Sau Ceng-hong itu sebenarnya
Leng Hiang paling senang karena diketahui Sau Peng-lam
dalam keadaan sehat walafiat, tapi lantaran Soat Peng-say sedang menangisi kematian Piaumoaynya, ia tidak enak
untuk bertanya hal2 yang mengembirakan kepada Sau
Peng-lam. Ia tunggu setelah tangis Peng-say rada mereda
barulah mendekati Peng-lam, pelahan ia pegang lengan
sang Suheng dan bertanya dengan suara tertahan:"'Sssst, kau .... kau tidak apa2 bukan?"
"Ya, tidak apa2," jawab Peng-lam.
Selama beberapa hari ini Leng Hiang senantiasa
berkuatir bagi keselamatan Toasuheng ini, semula
didengarnya dia telah terbunuh oleh murid Tang-wan yang
bernama Lo Ci-kiat, ia malah sudah menangis bagi
kematian Peng-lam itu, cuma iapun cukup kenal Suhengnya
itu sangat pintar dan cerdiK, kepandaiannya tinggi, rasanya belum pasti akan terbunuh oleh murid Tang wan,
betapapun ia masih menaruh harapan.
Betul juga, kemudian ia mendapat tahu dari sang Paman
bahwa Toasuhengnya memang belum mati. Sekarang dapat
bertemu di kelenteng Toa-pekong ini, tekanan perasaannya selama beberapa hari ini sukar dibendung lagi, mendadak ia menarik lengan baju Peng-lam dan menangis.
Peng-lam tepuk2 pelahan bahu sang Sumoay cilik itu,
desisnya: "He, kenapa, Sumoay" Siapa yang nakal, katakan, biar kuhajar dia?"
Leng Hiang tidak menjawab melainkan terus menangis.
Sejenak kemudian, setelah tangisnya sudah kesampaian, ia gunakan lengan baju Peng-lam untuk mengusap air mata,
lalu berkata dengan tersendat: "Kau .... kau tidak mati!"
"Aku memang tidak mati, siapa bilang aku mati . . . ."
"Sumoay Siong-san-pay itu tidak berdusta, sungguh aku
....aku ketakutan dan kuatir setengah mati."
"Sumoay dari Siong-san-pay itu sengaja berdusta, semula dia memang menyangka aku benar2 telah mati," kata Peng-lam.
Leng Hiang menengadah dan memandangnya dengan
berlinang air mata, dilihatnya muka sang Suheng agak
kurus dan pucat, dengan penuh kasih sayang ia berkata:
"Toasuko, lukamu sekali ini sungguh tidak ringan, kau mesti pulang dulu untuk istirihat."
Sementara itu Peng-say sudah berhenti menangis.
Ceng-hong lantas berkata: "Anak Lam, coba kau
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beritahukan Peng-say, segera kita akan pulang ke Huiciu
melalui jalan air."
Peng-lam mengiakan dan menuju keluar kelenteng,
dilihatnya Peng-say masih duduk ter-mangu2 di depan
kuburan. "Sute," sapanya "marilah kita ikut Suhu pulang."
"Berangkatlah kalian, aku tidak ikut." jawab Peng-say sambil menggeleng.
"He, kau tidak ikut belajar kepada Suhuku?" tanya Peng-lam dengan heran. "Kau harus tahu, untuk menuntut balas bagi nona Cin perlu kau tekun belajar Kungfu dengan
Gihuku." "Aku tidak jadi belajar lagi dengan Gihumu,"
"Apa artinya ucapanmu ini?" tanya Peng-lam. "O.
jangan2 lantaran kematian nona Cin kau menjadi dendam
terhadap Gihuku"'
Peng-say diam saja. Nyata, dia memang menyesal
karena secara tidak langsung Sau Ceng-hong dianggapnya
mengakibatkan kematian Cin Yak-leng.
Segera Peng-lam berkata pula: "Tentang Gihu memberitahukan asal-usul nona Cin kepada Ciamtay Cu-ih,
itu hanya kesalahan yang tidak disengaja. kan kau sendiri tidak pernah menyatakan kepada Gihu agar jangan
membocorkan asal-usulnya?"
Peng-say menghela napas kalau dipikir, memang
sebelumnya soal ini tidak pernah diutarakannya, tentunya Sau Ceng-hong tidak dapat disalahkan.
"Dan tahukah kau sebelum datang ke kelenteng ini pagi tadi
betapa Gihu bertekad akan menyelamatkan Piaumoaymu?" kata Peng-lam pula.
Lalu ia menceritakan keputusan Sau Ceng-hong yang
rela mengajarkan Ci-he-kang kepada Ciamtay Cu-ih asalkan gembong Tang-wan itu mau membebaskan Cin Yak-leng.
Mau-tak-mau terharu juga Peng-say oleh cerita itu, ia
merasa tidak selayaknya uring2an pada keadaan begini.
Apalagi ia sudah berjanji akan mengangkat Sau Ceng-hong
sebagai guru, maka tidak seharusnya dia membangkang
perintah sang guru.
Berpikir demikian, ia lantas berdiri sambil mengusap air mata, katanya: "Baiklah, mari kita berangkat!"
=Oo odwo oO= Begitulah di bawah pimpinan Sau Ceng-hong, rombongan mereka menumpang sebuah kapal besar dan
berlayar menuju ke selatan.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di Huiciu.
Soh-bok-han adalah nama sebuah Tokoan, yakni kuil
agama To. nama Soh-hok-han hampir dikenal oleh setiap
orang di Huiciu. Belum tiba di tempat, Ko Kin-beng dan
Kang Ciau-lin sudah mendahului lari pulang untuk
memberi laporan, serentak likuran murid Lam-han berbondong2 lantas menyongsong keluar menyambut sang
guru. Peng-say coba mengamat-amati anak murid Lam-han
itu, yang tua usianya sudah lebih tiga puluhan, yang muda baru belasan tahun, di antaranya ada enam murid
perempuan. Begitu melihat Leng Hiang, anak2 perempuan
itu lantas tanya ini dan itu tanpa berhenti.
Kiau Lo-kiat lantas memperkenalkan Soat Peng-say
kepada para saudara seperguruan. Menurut peraturan Lamhan, urutan murid biasanya berdasarkan waktu masuk
perguruan, sebab itulah terkecil yang bernama Su Ki juga harus dipanggil Suheng oleh Soat Peng-say.
Tapi keadaan Peng-say sekarang lain daripada yang lain.
kalau berdasarkan waktu masuk perguan, padahal sebelum
lahir, selagi masih didalam kandungan ibunya, dia sudah
diterima sebagai murid Sau Ceng-hong, jadi kalau
diurutkan dia hanya dibawah Sau Peng-lam dan Kiau Lokiat, seharusnya terhitung murid Lam-han yang ketiga.
Namun kenyataan Peng-say baru masuk perguruan
sekarang, kalau dijadikan murid ketiga tentu murid2 lain akan penasaran, akhirnya diputuskan menurut usia. dengan demikian Peng-say terletak pada urutan nomor sebelas,
diatasnya ada delapan Suheng dan dua Suci.
Soh-hok-han itu dibangun dilereng gunung, pepohonan
rindang. Suasana teduh dan nyaman, burung berkicau
merdu, air mengalir gemercik, kuil itu diragari tembok yang mengikuti naik-turunnya pegunungan. Dari kejauhan
tampak seorang nyonya cantik setengab baya menyongsong
tiba. Segera Leng Hiang ber-lari2 kesana dan menubruk
kedalam pelukan nyonya cantik itu sambil berseru; "Bibi, aku bertambah lagi seorang Suko,"
Sembari bicara iapun menuding Soat Peng-say,
Sebelumnya Peng-say sudah mendengar cerita para
Suheng bahwa nyonya Sau, ibu gurunya, Leng Tiong-cik,
terkenal lihay ilmu pedangnya. Maka cepat2 ia memburu
maju dan menyembah, katanya: "Tecu Soat Peng-say
menyampaikan sembah hormat kepada Sunio (ibu guru)."
Leng Tiong-cik mengamatinya sekejap, lalu berkata:
"Tidak perlu banyak adat, berdirilah!" " Lalu katanya terhadap Sau Ceng-hong: "Setiap kali kau turun gunung tentu tidak puas kalau tidak membawa pulang beberapa
macam mestika. Perjalananmu ke Cujoan sekali ini kutaksir sedikitnya akan kau terima tiga-empat murid baru, mengapa sekarang cuma terima satu?"
"Bukankah kau sendiri sering bilang perajurit mengutamakan tangkasnya dan tidak perlu jumlahnya."
ujar Ceng-hong dengan tertawa "Coba, bagaimana
penilaianmu pada yang satu ini?"
Selama beberapa hari ini Soat Peng-say terlalu banyak
memikirkan kematian Cin Yak-leng, wajahnya masih
murung dan agak pucat. masih jalas kelihatan kasih
mesranya antara remaja dari pada sikap gigih seorang
ksatria. Sedangkan Leng Tiong-cik terkenal sebagai
pahlawannya kaum wanita. tentu saja ia kurang senang
melihat keadaan Peng-say itu, ia mendengus: "Mukanya tidak jelek, hanya bersifat perempuan, tidak mirip orang yang belajar silat, akan lebih baik jika ikut belajar baca- tulis dengan kau, kelak dapat ikut menempuh ujian negara dan
mencari pangkat."
Muka Peng-say menjadi merah, pikirnya: " Rupanya
Sunio melihat badanku lemah sehingga aku dipandang
rendah, selanjutnya aku harus giat belajar. harus kukebut dan melebihi para Suheng agar tidak dihina lagi."
Ceng-hong ter-bahak2, serunya: "Aha, itupun bagus! Jika satu hari kita dapat mengeluarkan Cong- goan (gelar sarjana kesusasteraan jaman feodal), kan bisa menjadi topik dunia persilatan"!"
Leng Tiong-cik lantas melototi Sau Peng-lam dan
berkata: "Gimana, berkelahi lagi dengan orang dan terluka lag! bukan" Mengapa mukamu begini pucat?"
Luka golok Peng-lam sudah sembuh selama dirawat
sepanjang jalan, hanya tenaganya saja belum pulih
seluruhnya, Sejak kecil dia diasuh dan dibesarkan Leng
Tiong-cik, nyonya Sau itu memandangnya seperti anak
kandung sendiri, meski nada ucapannya seperti mengomel,
tapi dalam hati sebenarnya sangat sayang.
Dengan tersenyum Peng-lam lantas menjawab: "Sudah
sembuh lukaku, jika nasib tidak lagi mujur, sekali ini
hampir saja tak dapat bertemu lagi dengan Gibo (ibu
angkat)." Kembali Leng Tiong-cik melototinya sekejap dan
berkata: "Ya, supaya kau tahu bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih
pandai. Bagaimana, kalah secara ikhlas atau tidak?"
"Wah, golok kilat si Thio Yan-coan itu memang luar
biasa, anak tidak sanggup melawannya, untuk itu anak
perlu minta petunjuk kepada Gibo," jawab Peng-lam.
"Kejahatan
Ban-li-tok-heng
Thio Yan-coan sudah termashur, setiap orang tahu dia adalah penjahat
perusak anak gadis."
Air muka Leng Tiong-cik berubah tenang demi
mendengar Perg-lam dikalahkan oleh bangsat cabul itu. Ia manggut2 dan berkata: "Bagus juga jika lawanmu ialah bangsat semacam Thio Yan-coan itu. Kukira kau bikin onar dan cari perkara lagi. Memangnyaya bagaimana golok
kilatnya" Boleh juga kita berbincang agar lain kali dapat kau hajar dia."
Meski perempuan, namun jiwa pahlawan Leng TioDgcik tidak dibawah kaum lelaki, demi mendengar berkelahi, seketika ia bersemangat.
Sau Ceng-hong hanya tersenyum saja tanpa ikut bicara.
Sepanjang jalan waktu pulang, sudah belasan kali Peng-lam bertanya kepada sang guru caranya mematahkan golok kilat Thio Yan-coan itu. namun Ceng-hong tidak mau memberi
komentar. ia sengaja memberi kesempatan kepada Penglam sepulangnya di Soh-hok-han untuk bertanya dan minta
petunjuk kepada sang isteri, tujuannya suah jelas, yakni ingin membikin senang hati isterinya.
Benar juga, ketika Peng-lam mohon petunjuk padanya,
Leng Tiong-cik menjadi senang dan bersemangat.
Begitulah semua orang lantas masuk ke Soh-hok-han dan
saling bercerita pengalaman masing2 selama berpisah.
Keenam murid perempuan mengerumuni Leng Hiang
dan mendengarkan ceritanya. Mereka belum pernah turun
gunung dan mengembara, sudah tentu ceritera Leng Hiang
sangat menarik bagi mereka.
Keng Ciau-lin juga tidak kalah asyiknya bercerita dan
sedang membual cara bagaimana sang Toasuko menempur
Thio Yan-coan dan membunuh Lo Ci-kiat. Sudah tentu dia
banyak menambahi bumbu disana sini, ditambah kecap dan
ditambahi cuka sehingga se-akan2 Thio Yan-coan yang
dikalahkan Tou-sukonya.
Sedangkan Leng Tiong-cik dan Sau Peng-lam berduduk
dipojok ruangan sana, keduanya lagi tukar pikiran cara
bagaimana mematahkan ilmu golok Thio Yan-coan yang
maha cepat itu. Obrolan orang lain se-olah2 tak didengar oleh mereka.
Di antara mereka hanya Soat Peng-say saja yang
berduduk terpencil sendirian dengan wajah murung, maka
anak murid yang lain juga tidak menghiraukan dia.
Sau Ceng-hong melihat kesedihan Peng-say itu diamz ia
ikut berduka, dipanggilnya Kiau Lo-kiat' katanya: "Sutemu yang Kesebelas itu baru datang dan belum terbiasa keadaan disini, boleh kau bawa dia pargi istirahat saja."
== odwodwo == Semalaman itu tidak terjadi apa2. Esok paginya. selagi
Peng-say bersemadi ditempat tidur, dilihatnya Kiau Lo-kiat datang dengan membawa satu tumpukan kitab lama.
Waktu diperiksanya. kiranya sebangsa Su-si-ngo-keng
(empat buku dan lima kitab, ajaran Khonghucu).
Dengan tertawa Kiau Lo-kiat berkata: "Sunio menyuruh kubawa kitab ini kesini. Kata Sunio, tempat kita ini sangat tenang dan sejuk. cocok untuk bersekolah, beliau pesan agar Sute suka giat membaca, kelak kalau berhasil lulus ujian negara tentu nama Soh-hok-han akan ikut gemilang dan
berjaya." Sungguh tak tersangka, ucapan sang ibu guru
disangkanya cuma bergurau itu ternyata benar2 dilaksanakannya. Tentu saja Peng-say sangat mendongkol,
ia bertanya: "Pikiran Suhu sendiri bagaimana"'
"Semalam Suhu sudah mulai Cekoan (bersemadi dan
berpuasa), sekali beliau mulai Cekoan, biasanya sampai
setengah bulan atau setahun baru lebaran." tutur Kiau Lo-kiat.
Peng-say tidak bertanya lagi. Ia pikir biarlah nanti Kalau Suhu sudah keluar baru dibicarakan. Jika pikiran Suhu
sama dengan Sunio, maka dirinya akan pergi saja dari sini, betapapun ia tidak dapat menuruti kehendak sang ibu guru,
hanya bersekolah dan mencari pangkat, lalu siapa yang
akan menuntut balas bagi Piaumoay"
Sebelum pergi Kuau Lo-kiat memberi pesan pula: "Oya, Sunio juga bilang, katanya kau pun tidak perlu menghadap beliau setiap hari untuk menyampaikan selamat, soal
makan pada waktunya akan diantar oleh kaum pelayan,
Sute diminta supaya giat sekolah saja."
Dari kata2 ini dapatlah Peng-say menarik kesimpulan
bahwa Leng Tiong-cik memang tidak suka padanya,
bertemu setiap hari saja tidak sudi. Diam2 Peng-say
penasaran, ia tidak tahu berbuat salah apa sehingga
menimbulkan diskriminasi sang ibu guru"
Saking gemasnya mestinya dia hendak bicara terus
terang kepada Kiau Lo-kiat dan akan tinggal pergi. Tapi
lantas teringat pesan ibunya yang menyuruhnya mengembalikan kitab, meski maksudnya tidak dijelaskan,
namun dapat diketahui harapan orang tua adalah agar
supaya dirinya dapat belajar ilmu silat kepada Sau Cenghong. Lalu teringat pula kebaikan hati Sau Ceng-hong
kepadanya, hal ini dapat diketahui dari tekadnya akan
menoiong Cin Yak-leng itu. Kalau sekarang dirinya pergi
tanpa pamit rasanya tidak pantas. Apalagi selama belajar silat kepadanya, kepada siapa pula dia dapat belajar?"
Setelah berpikir demikian, segera ia urungkan maksudnya, ia memberi hormat dan berkata: "Terima kasih, Ji-suheng maksud Sunio dapat kumaklumi, biarlah mulai
hari ini aku akan giat bersekolah,"
Kiau Lo-kiat mengangguk dengan arti yang mendalam,
ucapnya dengan tersenyuum: "Baik sekali jika kau dapat berbuat demikian, kutahu Suhu pasti takkan mengabaikan
kau." Sesudah Kiau Lo-kiat pergi, Peng-say berduduk
menyanding meja, ia memandang keluar jendela, tampak
pemandangan alam sekitarnya indah permai dan membangkitkan semangat. Ia coba membalik-balik halaman
kitab2 antaran Kiau Lo-kiat tadi, meski suasana sangat
menyenangkan, tapi apapun juga sukar baginya uatuk
membaca. Tanpa sengaja ia meraba bajunya, tersentuhlah seruling
tinggalan Cin Yak-leng itu. Teringat kesenangan waktu
masih kanak2 bersama nona itu, tanpa terasa ia menjadi
sedih pula dan hendak mencucur air mata.
Sejenak kemudian, mulailah ia meniup serulingnya.
membawakan lagu yang paling disukai Cin Yak-leng
semenjak kecil. Bolak-balik dia terus membawakan satu
lagu tanpa bosan2nya. Walaupun
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu, segenap
perasaannya se-olah2 dicurahkan kedalam suara seruling
sehingga tidak membosankan pendengarnya.
Sehari suntuk ia terus meniupkan lagu itu, mungkin
sudah berpuluh, bahkan seratus kali. Sampai malam tiba
suara seruling yang merdu menawan itu terus bergema dan
mengalun tak ter-putus2.
Selagi Peng-say tenggelam dalam suara serulingnya,
tiba2 diluar kamar ada orang menegurnya: "Sute, bolehkah kumasuk?"
Peng-say menurunkan serulingnya dan menjawab:
"Apakah Toasuko?"
"Betul, aku!" jawab Peng-lam.
Peng-say membuka pintu kamar, katanya: "Malam2
Toasuko berkunjung kemari, entah ada petunjuk apa?"
"Apakah Sute ahli dalam hal seni musik?" tanya Peng-lam sambil melangkah kedalam kamar.
"Ah, hanya tahu sekadarnya, mana dapat disebut sebagai ahli?"
"Sute tidak perlu rendah hati, para saudara seperguruan sama memuji tiupan serulingmu yang merdu, sekalipun ahli seruling juga tidak lebih dari pada ini?"
"Mana Siawte berani dibandingkan dengan kaum ahli"
Ah, Toasuko suka memuji, sungguh aku menjadi malu
sendiri." "Kita orang sendiri, tidak perlu omong secara sungkan2,"
Kata Peng-lam. "Terus terang, Sute, kedatanganku ini justeru ingin minta petunjuk padamu, jika kau sungkan lagi, aku menjadi tidak enak."
"Suko ingin memberi petunjuk apa boleh silakan bicara saja, asalkan kutahu pasti akan kukatakan." ujar Peng-say.
Peng-lam lantas mengeluarkan buku tanda nada seruling
karya Wi Kay-hou itu, dibaliknya halaman buku itu hingga bagian belakang, lalu ia bertanya: "Huruf aneh apakah ini"
Mengapa aku tidak pernah lihat selain buku ini?"
Peng-say menerima buku itu dan dibacanya, syukur dia
paham tulisan itu, katanya: "Ini bukan huruf aneh, tapi tanda nada."
"Tanda nada" Mengapa dilukis seperti cebong dan sukar dipahami orang?"
"Pantas Toasuko tidak tahu, tanda nada ini memang
berasal dari benua barat dan belum lama tersiar ke negeri kita, memang belum banyak orang yang paham, waktu
pertama kali kulihat tanda nada inipun merasa bingung,
untung kemudian Yak-leng memberi petunjuk padaku dan
akhirnya akupun paham."
Tanda rada mirip cebong atau berudu yang dimaksudkan
itu sebenarnya adalah not balok yang kita kenal sekarang.
Cin Yak-leng adalah puteri gubernur militer kota raja, sejak kecil gemar main alat musik, karena itulah ayahnya telah mengundung guru musik yang paling terkemuka di kotaraja
itu untuk mengajar Yak-leng bermain macam2 alat musik.
Guru musik itu ternyata mahir seni musik timur dan
barat, di mulai mengajari Yak-leng dengan dasar2 teori
musik barat, sebab itulah sejak kecil Yak-leng sudah dapat membaca not balok berasal dari barat itu.
Diantara berbagai alat musik, yang paling disukai Yakleng ialah seruling, setelah dia mahir meniup seruling
menurut not balok, sayangnya tiada teman pemain yang
dapat mengiringinya.
Kakaknya sendiri tidak suka musik. akhirnya dia paksa
Peng-say belajar agar nanti dia mempunyai teman main.
Sejak kecil Peng-say memang suka mengalah dan
menuruti kehendak Yak-leng, setelah di-desak2, terpaksa ia ikut belajar setiap hari, apa yang Yak-leng bisa, secara tidak langsung Peng-say juga mendapatkan pelajaran yang sama
dari guru musik itu. Karena itulah di istana gubernur waktu itu sering terdengar paduan musik yang dimainkan oleh
mereka berdua dan sering menarik perhatian orang yang
lalu dan banyak memberi pujian.
Bala terkenang kepada masa lalu itu, Peng-say menjadi
murung lagi. Peng-lam tahu sutenya terkenang lagi kepada Cin Yakleng. dengan menyesal ia berkata: "Kematian nona Cin memang teramat menyedihkan, kau harus membalaskan
sakit hatinya!"
"Cara bagaimana membalasnya?" ucap Peng-say dengan tersenyum getir. Ia tuding kitab2 diatas meja dan
menambahkan: "Dengan barang2 permainan ini?"
Peng-lam menghiburnya: "Kutahu Gihu membawa kau
kesini adalah untuk mengajarkan ilmu sakti kepadamu,
maka janganlah kau putus asa, setelah Gihu selesai
melakukan tirakatnya, beliau pasti tidak tinggal diam. Ai, kita jangan bicara lagi hal2 ini. Buku nada ini boleh kau ambil saja dan pelajarilah baik2, aku sendiri tidak paham, menyimpannya juga tak berguna."
-ooo0dw0ooo- Jilid 22 Habis berkata ia lantas mengangsurkan buku nada
seruling itu kepada Peng-say.
Tapi anak muda itu tidak mau menerima, katanya:
"Musik hanya digunakan untuk menghibur diri saja.
padahal disini masih menumpuk kitab2 ini yang tidak habis kubaca, jelas tiada tempo luang bagiku untuk bermain
musik segala."
Tapi Peng-lam mendesaknya agar menerima, katanya:
"Nanti kalau kau telah habis baca, bila iseng boleh coba kau pelajari not ini, kalau tidak tertarik baru nanti kau
kembalikan lagi padaku."
Peng-say jadi tidak enak untuk menolak lagi, ia terima
buku itu dan ditaruh diatas meja.
"Malam sudah larut, aku tidak menganggu lagi," kata Peng-lam. "Besok pagi2 aku harus belajar ilmu pedang pada Sunio untuk persiapan menghadapi Thio Yan-coan kelak."
Alangkah kagumnya Peng-say atas keberuntungan sang
Suheng, setelah digembleng oleh ibu-gurunya, tentu saja
Kungfu sang Suheng ini akan tambah maju. Diam2 ia
murung pula. ia tidak habis mengerti mengapa baru
bertemu sudah lantas dipandang rendah dan tidak disukai
oleh ibu-guru. Seperginya Peng-lam dengan kesal Peng-say mendekati
meja tulis tadi, ia coba ambil buku tanda nada yang
ditinggalkan Peng-lam itu, ia mem-balik2 halaman
belakang, tertampak not baloknya yang aneh itu, hatinya
tergerak, ia lantas mengangkat seruling dan mulai disebul menurut not yang dibacanya itu.
Baru satu bagian kecil meniup, mendadak suara seruling
terasa false, ia menjadi heran, padahal belum pernah terjadi salah nada begini sejak dia mahir meniup seruling, hanya pada waktu mula2 belajar memang pernah terjadi.
Ia penasaran, ia mulai meniup lagi mulai awal, tapi
sampai bagian tersebut nadanya kembali menyimpang dan
sukar disambung, sampai belasn kali ia ulangi dan tetap
begitu. Ia menjadi kesal, bagian yang sulit ini lantas dilompati, meniup bagian lain. Tak tersangka, hanya sebagian kecil
saja kembali nadanya menyimpang makin lanjut dia
meniup makin false, hakikatnya sukar terangkai menjadi
satu lagu yang enak didengar.
Begitulah ia terus meniup secara sebagian dan dipotong2, diulanginya hingga dua-tiga kali, betapa brengsek nadanya, sampai dia sendiripun tidak berani mendengarkan, apalagi orang lain.
Syukurlah Peng-say cukup tahu diri, ia tidak mau
mengganggu tidur orang lain, ia pikir di malam yang sunyi dan tenang ini tidak boleh menggangu ketenangan orang. Ia
ambil keputusan akan meniupnya lagi esok siang dan harus meniupnya hingga betul.
Ia coba mem-balik2 halaman depan kitab itu, terlihat
belasan halaman pertama hampir seluruhnya adalah
gambar serta keterangan cara bersemadi, setiap gambar itu melukiskan orang telanjang yang sedang meniup seruling,
pada gambar manusianya juga terlukis tanda2 urat nadi.
Setelah berpikir sejenak, mendadak Peng-say paham
duduknya perkara, pikirnya: "Pantas lagu ini tak dapat kutiup secara lengkap, kiranya lantaran Lwekangku belum
cukup kuat. Agaknva cara bersemadi menurut gambar ini
harus dilatih dahulu sehingga sempurna baru kemudian
dapat meniup lagunya dengan tepat."
Halaman demi halaman ia periksa pula buku itu,
tertampak tulisan mengenai cara meniup seruling, disitu
terdapat petunjuk pada posisi bersemadi mana harus
meniup bagian nada mana. untuk meniup lagu "Siau-goyan-he" secara lengkap ternyata harus menggunakan ke-18
macam cara semadi menurut gambar.
Ia coba mulai berlatih menurut halaman pertama, ia
duduk semadi dan menyalurkan tenaga dalam mengikuti
garis urat nadi dalam gambar.
Dasar Lwekang Peng-say memang tidak lemah tak
tahunya masih belum juga sanggup mengalirkan tenaga
menurut garis urat nadi dalam gambar, bahkan halaman
demi halaman semakin sulit. Melihat gelagatnya, untuk
berhasil meyakinkan ke-18 macam latihan itu diperlukan
waktu belasan tahun. lamanya.
Tak tersangka bahwa untuk meniup satu lagu Siau-goyan-he dengan baik diperlukan jarak waktu sebegitu lama
dan tenaga begitu besar. Peng-say jadi kesal, buku nada itu ditutupnya, diam2 iapun menyesali dirinya sendiri yang
tidak memiliki dasar Lwekang yang kuat, selain itu iapun gegetun atas keanehan lagu itu.
Esok paginya, sesudah bangun tidur. ia merasa
semangatnya sangat segar. sekujur badan terasa nyaman
sekali. tanpa terasa. timbul lagi hasratnya untuk meniup seruling, Ia membuka kitab nada itu dan dipelajari dengan lebih cermat cara bersemadi menurut gambar pada halamm
pertama. Sekarang ia tahu. untuk bisa membawakan lagu
itu harus berhasil melatih ke-18 macam posisi semadi itu, maka dia tidak mau buang tenaga percuma lagi untuk
meniup seruling.
Ia tahu untuk bisa berhasil dengan baik berlatih ke-18
macam semadi itu berdasarkan kemampuannya sekarang
jelas sukar dapat bila tidak berlatih lebih dari 18 tahun, jika orang lain tentu tiada mempunyai ketekunan dan kesabaran begitu, apalagi hasil dan latihan belasan tahun itu akhirnya hanya untuk meniup sebuah lagu Siau-go-yan-he saja.
Tapi justeru disinilah letak "ketololan" Soat Peng-say.
sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain justeru akan dilakukannya. Sudah tentu ada unsur2 yang mendorong
ketololannya itu, yakni, dia tiduk mau membaca Su-si-ngo-keng yang disediakan ibu-gurunya itu, dalam keadaan
iseng, sudah tentu berlatih semadi menurut gambar ini lebih mendingan daripada membaca kitab yang tidak disukainya.
Begitulah dia lantas mengingat baik2 garis2 urat nadi
pada gambar halaman pertama itu dan mulailah dia
mengerahkan tenaga.
Meski hari ini dia tetap belum mampu sekaligus
menyaluri seluruh urat nadi yang terlukis itu, namun
kemajuannya cukup pesat dan diluar dugaan. Ia belajar
terus dengan tekun, sampai malam tiba hampir seluruh
pelajaran cara semadi pertama itu selesai dilatihnya.
Ia merasa sangat lelah dan mengantuk, segera ia
berbaring dan tertidur.
Esoknya, begitu bangun tidur ber-gegas2 ia mulai
berduduk dan berlatih lagi se-olah2 kuatir hasil latihannya kemarin terlupakan.
Ada satu hal tidak diperhatikan olehnya. Yaitu semalam
makin ngantuknya ia terus tidur tanpa membuka pakaian
dan tidak berselimut. Tapi ketika bangun tidur pagi ini
bukan saja tubuhnya tertutup selimut, bahkan bajunya juga terlepas,
Secara ajaib dan bagus dia berhasil menyelesaikan
semadi pertama dengan sekali bernapas saja, hampir saja ia berjingkrak kegirangan, sungguh kejadian yang tidak pernah dibayangkannya, hanya selang semalam, bukan saja
latihannya kemarin tidak terlupa sedikitpun, sebaliknya
tanpa gangguan dia berhasil menyelesaikan ajaran pertama.
Tanpa banyak pikir, seperti orang keranjingan, segera ia membalik lagi halaman kedua, ia mengerahkan tenaga lagi
menurut garis urat nadi pada gambar kedua itu. Meski
sehari ini iapun belum berhasil menyelesaikan latihan
kedua. tapi esok paginya sesudah bangun tidur, secara ajaib pelajaran kedua itu berhasil diselesaikannya dengan baik.
Begitulah seterusnya, setiap hari ia berhasil meyakinkan semacam semadi menurut gambar yang terlukis di buku
nada itu. 18 hari kemudian, ke-18 macam semadi itu telah berhasil
dilatih seluruhnya tanpa kesulitan apapun. Asalkan dia
tidur satu malam, besoknya bangun tidur latihan
kemarinnya lantas dapat diselesaikannya dengan baik, seolah2 didalam tidurnya Lwekangnya mendadak bisa
bertambah kuat. Kenyataannya memang begitulah, maka di
dalam waktu singkat selama 18 hari dia dapat menamatkan
pelajaran ke 18 macam semadi itu.
Apa sebabnya" Seketika iapun tidak paham tak bisa lain
cuma dianggapnya ke 18 macam semadi itu kelihatannya
saja sukar dilatih, tapi sesungguhnya sangat mudah,
perkiraannya semula yang menyangka memerlukan latihan
belasan tahun ternyata keliru.
Setelah berhasil berlatih cara bersemadi, tentunya kini
bukan soal lagi untuk meniup seruling menurut not balok di dalam buku itu. Pagi ini, habls cuci muka dan berdandan
serta sarapan, segera Peng-say duduk bersila berpangku
kitab tanda nada seruling itu dan mulai meniup.
Benar juga, setiap suara dapat ditiupnya sesuai nada
yang tertulis dan tidak lagi false seperti beberapa hari yang lalu. hanya saja lagu yang dibawakan ini makin lanjut
makin sedih, makin memilukan, se-olah2 rintihan kera di
pegunungan sunyi, seperti kicau belibis yang tertinggag
induk barisannya, laksana tangis perempuan yang ditinggal kekasih.
Diseluruh puncak gunung. baik dekat maupun jauh
dapat mendengar dengan jelas suara seruling yang sendu
ini. Para anak murid Lam-han sama mengira si peniup
seruling berada di sampingnya sendiri, yang sedang
membaca segera menaruh bukunya, yang sedang berlatih
pedang lupa berlatih pula. sampai2 Leng Tiong-cik yang
sedang menyulam di kamarnya juga lupa pada tusukan
jarumnya sehingga jari sendiri hampir tertusuk.
Begitulah segenap anggota Lam-han sama terkesima oleh
suara seruling yang luar biasa itu, sampai suara seruling itu sudah berhenti saja belum lagi merasainya, banyak pula
diantaranya yang mencucurkan air mata.
Selesai memainkan satu lagu Peng-say menghela napas
dengan lesu, sedikitpun tiada perasaan senang. Kiranya ia sendiripun
terpengaruh oleh suara seruling yang mengharukan itu sehingga menimbulkan macam2 kenangan. Tiba2 dilihatnya Peng-lam masuk kamarnya, melihat
wajah Peng-say masih basah, ia lantas tanya- "Sute, mengapa kau memainkan lagu begini sedih, apakah kau
terkenang kepada nona Cin?"
Peng-say menggeleng, jawabnya: "Tidak!"
"Apakah terdapat sesuatu ganjalan dalam hatimu?" tanya Peng-lam pula,
"Juga tidak," jawab Peng-say. "Aku hanya meniupkan lagu Siau-go-yan-he menurut nada-nada di dalam buku."
"Apa katamu" Lagu Siau-go-yan-he?" Peng-lam menegas dengan terkejut, "Tapi, ah, kukira tidak betul, tidak betul!"
"Tidak betul apa, mohon Toasuko memberi petunjuk,"
tanya Peng-say.
"Cara bicaramu ini kau sengaja menyindir diriku yang bukan ahli ini" Kau tahu aku sama sekali tidak paham seni musik " kata Peng-lam dengan tertawa.
"Sama sekali bukan maksud Siaute hendak menyinggung perasaan Toasuko, mohon jangan marah," kata Peng-say gugup.
"Masa marah?" ujar Peng-lam. "Aku hanya merasa. . ."
tiba2 ia merandek dan ganti ucapan: "Dapatkah kau
memastikan lagu yang ka bawakan itu betul lagu Siau-goyan-he?" "Siaute meniup lagu itu menurut tanda nadanya, kukira tidak keliru," jawab Peng-say.
Kembali Peng-lam bersuara heran, gumamnya: "Kan
aneh kalau begitu" . ..."
Ia heran mengapa rasanya tidak sama lagu yang
dibawakan Peng-say ini dengan apa yang didengarnya
ketika Wi Kay-hou meniupkan lagu ini. Jelas ada sesuatu
yang tidak betul pada lagu yang dibawakan Peng-say ini,
cuma dimana letak kesalahannya ia tidak dapat mengatakannya. Selagi Peng-say ingin tanya dimana letak keanehannya,
tiba2 Peng-lam ber-olok2 lagi kepada dirinya sendiri: "Ah, dasar aku memang bukan ahli, masa berani memberi kritik
segala." "Ia tertawa, lalu berkata pula: "Sute, tampaknya Gibo rada kurang senang pada suara serulingmu, katanya
kau mengganggu keterangan Gihu, maka kau disuruh
jangan sering2 meniup seruling lagi."
Peng-say mengiakan.
Peng-lam berkata pula: "Tiada urusan lain lagi, biarlah kupergi saja, boleh kau baca pula."
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu, Toasuko," seru Peng-say.
"Ada urusan apa?" tanya Peng-lam.
Peng-say menyodorkan kitab tanda nada seruling itu dan
berkata: "Buku ini harap Toasuko menerimanya kembali."
Peng-lam menjadi kurang senang. katanya: "Apakah
lantaran Gibo menyuruh kau jangan meniup seruling lagi,
lantas kitab ini kau kembalikan kepadaku"'
"Bukan, bukan begitu," cepat Peng-lam menyangkal.
"Habis mengapa kau kembalikan kitab ini pada saat ini?"
tanya Peng-lam.
"Sekalipun Subo tidak menyuruh, selanjutnya Siaute juga takkan meniup lagi lagu Siau-go-yan-he ini. Bila toh tiada
gunanya lagi, kan seharusnya barang kembali kepada
pemilik asalnya?"
"Kurang beralasan," ujar Peng-lam sambil menggeleng.
Ia anggap sebabnya Peng-say mengembalikan kitab nada
seruling ini melulu dongkol karena dilarang meniup
seruling oleh sang ibu-guru.
Peng-say tahu Toasuhengnya salah paham, ia coba
memberi penjelasan: "Mana Siaute berani kurang sopan terhadap Sunio, soalnya lagu Siau-go-yan-he itu terlalu
menyedihkan, pada waktu aku meniupnya, rasanya seperti
kekurangan sesuatu, makin meniup makin tidak enak,
meski kupaksakan diri meniupnya hingga habis, tapi
akibatnya darah dalam dada terasa bergolak hebat, hampir saja jatuh pingsan, Coba, dalam keadaan demikian apakah
selanjutnya Siaute berani meniup lagi lagu ini?"
"Oo," baru sekarang Pang-lam seperti paham duduknya perkara, katanya: "Ya, jika betul demikian memang masuk di akal."
"Dan Toasuko dapat menerimanya kembali bukan?" kata Peng-say pula sambil menyodorkan buku nada seruling itu.
"Tidak, takkan kuterima kembali," jawab Peog-lam dengan tertawa.
Peng-say tidak paham maksudnya, ia memandangnya
dengan melenggong, ia heran barang yang memang milik
Toasuko itu kenapa tidak mau diterimanya kembali"
Dengan tertawa Peng-lam lantas berkata: "Jangan heran, justeru niatku kitab ini hendak kuberikan padamu, entah
kau suka menerimanya tidak?"
Peng-say jadi ragu2 dan tidak menjawab "Ya, kutahu, barang yang tiada berguna bagimu ini dengan sendirinya
kau tidak sudi menerimanya," ucap Peng-lam dengan
tertawa. Dipancing begitu, mau-tak-mau Peng-say menerima juga
kitab itu, katanya: "Jika demikian, terima kasihlah atas hadiah Toasuko "
"Tidak, bukan hadiah segala," Ucap Peng-lam dengan tertawa. "Hanya saja jangan sekali-kali kau buang kitab ini.
Kupercaya pada suatu hari akan kau rasakan kitab ini
sesungguhnya adalah sejilid kitab ajaib."
"0O0dw0O0"
Setelah meninggalkan kamar Peng-say, dia. Diam2 Penglam sudah memutuskan akan berbuat sesuatu. Ia teringat kepada lagu Siau-go-yan-he yang dibawakan
bersama oleh Kik Yang dan Wi Kay-hou, betapa menarik
suara kecapi dan seruling mereka itu se-olah2 sepasang
anak kembar yang tak dapat dipisahkan atau seperti
pasangan suami-isteri yang saling cinta mendalam dan tak mau berpisah.
Perubahan nada suaranya yang penuh perasaan suka,
duka, gembira dan gusar hingga mencapai puncaknya,
sedangkan tiupan seruling Peng-say justeru cuma menimbulkan rasa duka melulu dan tiada perubahan nada
lain. Tadinya ia sangka Peng-say salah meniup, tapi demi
mendengar Peng-say sendiri mengaku merasa kekurangan
sesuatu waktu membawakan lagu itu, seketika Peng-lam
merasa paham duduknya perkara.
Sembari berjalan ia berpikir: "Lagu ciptaan bersama Kik Yang dan Wi Kay-hou itu sangat dibanggakan kedua orang
itu. Menurut keadaan tempo hari waktu mereka berdua
membawakan lagu ciptaan mereka. nadanya memang
menenggelamkan jiwa-raga mereka ketengah alunan
lagunya, jelas lagu ajaib itu adalah seperti persahabatan mereka. Jadi dari persahabatan yang suci murni telah
menghasilkan lagu ajaib, kukira di sinilah letak kekurangan yang dirasakan Peng-say itu apabila dia membawakan lagu
itu sendirian, sebab lagu itu memang harus dibawakan dua orang yang bersahabat, hanya paduan suara kecapi dan
seruling yang dapat memuncakkan keasyikan lagu Siau-goyan-he itu. Bila lagu itu dibawakan seorang saja, tentu akan mendatangkan
hasil yang berbeda karena tidak mendapatkan paduan yang sesuai, sebaliknya hanya
menimbulkan nada duka nestapa melulu."
Ia meraba sakunya, disitu masih tersimpan satu jilid
tanda nada kecepi tinggalan Kik Yang, pikirnya pula:
"Asalkan ada orang dapat mempelajari tanda nada kecapi itu dan dimainkan bersama seruling, tentu Peng-Say takkan merasa kekurangan sesuatu lagi, bahkan perasaannya akan
seperti ikan mendapatkan air, semuanya berjalan dengan
baik." Sampai di sini, ia tertawa sendiri, tapi bukan tertawa
yang gembira, sebaliknya tertawa kecut, sebab ia
memutuskan akan memberikan kitab tanda nada kecapi itu
kepada Leng Hiang.
Sejak kecil Leng Hiang kumpul bersama dengan dia,
betapa sayang anak dara itu kepadanya tidak perlu
dijelaskan lagi, padahal dia sendiri masa tidak menyukai Siausumoay itu" Ia tidak berani bilang sukanya itu sama
dengan cinta, namun ia merasa bila kelak Siausumoay
menjadi isteri Soat Peng-say, betapapun hatinya akan
merasakan semacam kepedihan yang sukar dilukiskan.
Ia menyadari apabila Siausumoay sudah berhasil
mempelajari nada kecapi dengan baik. asalkan dia dan
Peng-say ber-sama2 membawakan lagu Siau-go-yan-he itu,
kedua muda-mudi itu pasti akan dipengaruhi melalui suara alat musik masing2 dan terjalin cinta yang mendalam
serupa persahabatan Kik Yang dan Wi Kay-hou yang kekal
dan sukar dipisahkan itu.
Ia menjadi serba salah. ia merasa berat untuk berbuat
demikian, sebab hal ini akan berarti kehilangan Siausumoay yang disukainya, tapi iapun tidak dapat mengubah niatnya ini, ia pikir penderitaan sendiri mungkin selama hidup tak dapat membalas budi kebaikan ayah angkat yang telah
mendidik dan membesarkannya, asalkan cita2 Gihu
terkabul, ia bersedia mengorbankan segalanya. Kiranya
tekad Sau Peng-lam ini bukannya tak beralasan.
Rupanya pada malam pulangnya Sau Ceng-hong itu, lalu
esoknya mendadak. dia memutuskan "Cekoan" atau menyepi, hal ini memang ada sebabnya.
Malam itu Sau Ceng-hong telah bertengkar dengan Leng
Tiong -cik, cukup gawat perselisihan mereka, hal ini boleh dikatakan tidak pernah terjadi bagi suami-isteri yang
biasanya tampak hormat menghormati itu, begitu keras
pertengkaran mereka sehingga hampir saja saling gebrak.
Peng-lam tahu pertengkaran antara ayah dan ibuangkatnya itu disebabkan Soat Peng-say. Ia mencuri dengar sang Gihu menyatakan hendak menjodohkan Leng Hiang
kepada Soat Peng-say, tapi ibu-gurunya tidak setuju.
Karena perselisihan paham itu, keduanya lantas ribut
mulut, agaknya Gihu kewalahan, saking gusarnya ia
memutuskan pergi Cekoan atau menyepi, tampaknya kalau
Gibo tidak menyetujui menjodohkan Leng Hiang kepada
Peng-say, selama itu pula Gibu takkan menqakhiri
tirakatnya itu.
Dari ribut2 itu didengarnya sang Gihu berkata dengan
tegas: "Pokoknya anak Hiang harus dijodohkan dengan Peng-say, bila tidak, aku akan menyesal selama hidup,"
Peng-lam merasa tidak boleh ayah-angkatnya itu
menyesal selama hidup, ia harus membantu agar cita2 sang Gihu terlaksana tanpa memikirkan pengorbanan apapun. Ia
pikir, apabila Siausumoay sudah mencintai Peng-say secara mendalam, maka percumalah biarpun ibu-angkatnya tetap
tidak setuju. Apalagi dalam pertengkaran itu Leng Tiong-cik juga
pernah menyatakan, asalkan anak dara itu sendiri menyukai Peng-say, maka dia bersedia mengalah. Sebab dia tahu
tidak nanti Leng Hiang menyukai Peng-say, Sau Ceng-hong
juga tahu, mereka sama tahu orang yang disuka Leng Hiang ialah Toasukonya, jika nona itu disuruh meninggalkan
Toasuko untuk menikah dengan pemuda lain. hal ini
hampir dapat dipastikan tak mungkin terjadi.
Akan tetapi Sau Peng-lam justeru hendak berusaha
menjadikan hal yang tidak mungkin itu terjadi benar2.
"o odwo o"
Saat itu Leng Hiang lagi belajar bersulam di kamarnya.
Muda-mudi kalangan persilatan umumnya tidak terlalu
kukuh pada adat istiadat kuno yang melarang anak
perempuan berdekatan dengan anak lelaki. Yang penting asalkan iman masing2 teguh, biarpun
berdiam disatu kamar bersama juga tidak kuatir di-olok2
orang. Begitulah Peng-lam lantas mendatangi kamar si nona, ia
ketuk pintu dan masuk. Dengan tertawa riang. Leng Hiang
menyambutnya, katanya: "Mengapa Toasuko tidak belajar ilmu pedang dengan bibi dan sempat kesini?"
"Gibo menyuruh kupergi ke tempat Sau-sute, sekalian kumampir kemari," jawab Peng-lam.
"Ai, bibi juga keterlaluan," ujar Lerg Hiang sambil menggeleng. "Masa tidak mengajarkan Cap-itsuko ilmu sakti, sebaliknya menyuruhnya membaca Su-si-ngo-keng
apa segala. entah apa gunanya" Memangnya dia betul2
akan disuruh ikut ujian negara untuk mencapai gelar
Conggoan?"
"Bersekolah kan juga baik, bukankah Gihu sendiripun kaum sekolahan?" ujar Peng-lam dengan tertawa. "Seperti diriku, hampir saja buta huruf, bicara tentang baca dan
menulis, diantara sesama saudara seperguruan hanya
akulah yang paling tak becus."
"Ah, kita kan keluarga persilatan, apa alangannya jika kurang mahir tulis dan baca, asalkan ilmu silatnya tinggi, jiwanya luhur. dalam hal2 ini kau terhitung nomor satu
diantara murid2 Lam-han"
"Ah, belum tentu, kukira Cap-itsute terlebih kuat
daripada ku mengenai hal2 ini."
"Tidak perlu kau rendah hati, kita tahu, ilmu silat Soat-capitsuko masih sangat rendah, aku saja lebih tinggi
daripada dia, dibandingkan kau. dengan satu jari saja
mungkin dapat kau robohkao dia."
"Wah. pujianmu terlalu berlebihan bagiku, Memang
betul, saat ini ilmu silat Capitsute masih jauh dibawahku, tapi dia mempunyai bakat yang baik. asalkan sudah
digembleng Gihu, kelak pasti bisa melebihi diriku."
"Aku tidak percaya," kata Leng Hiang. "Selama hidup tak nanti dia dapat melampaui dirimu. Sudahlah, jangan
kita mempersoalkan hal2 ini. Eh, untuk apakah bibi
menyuruh kau pergi ke kamar Cap-itsuko?"
"Gibo menyuruh dia jangan meniup seruling lagi," tutur Peng-lam.
"Sebab apa tidak boleh?"
"Katanya suara serulingnya sangat menusuk telinga dan mengganggu ketenangan."
"Kukira kecaman bibi itu agak kurang tepat." ujar Leng Hiang sambil menggeleng.
"Memangnya bagaimana pendapatmu mengenai suara
serulingnya?"
"Sangat menarik, sangat enak didengar, boleh dikatakan suatu kemahiran!"
"Akupun sependapat dengan kau," Peng-lam mengangguk setuju.
"Ai, alangkah
senangnya jika akupun memiliki kepandaian seperti dia!"
"Mengapa tidak kau minta belajar padanya?"
"Masa dia mau mengajari diriku?"
"Kita kan seperguruan, hanya minta belajar main musik saja masa tidak mau," ujar Peng-lam. "Cuma tidak tahu alat musik apa yang kau sukai?"
"Suara seruling tidak selincah suara kecapi, kukira lebih baik belajar memetik kecapi daripada meniup seruling."
Sungguh sangat kebetulan pernyataan Leng Hiang ini,
cocok sekali dengan rencana Peng-lam, Diam2 ia
mengangguk girang, segera ia berkata. "Jika demikian, boleh kau minta belajar main kecapi padanya."
"Apakan dia juga mahir main kecapi?"
"Satu macam mahir, yang lain2 pasti juga mahir.
Kuyakin dia pasti bisa."
"Tapi, cara bagaimaaa kubuka mulut minta belajar
padanya?" kata Leng Hiang dengan likat.
"Akan kubantu membicarakannya dengan dia," kata Peng-lam.
"Wah, nanti kalau sudah mahir memelik kecapi, setiap hari akan kumainkan untukmu, kau suka mendengarkan
tidak?"' tanya Leng Hiang dengan gembira.
Hati Peng-lam merasa sakit, tapi sedapatnya ia
memperlihatkan senyuman mesra, katanya: "Setiap hari dapat mendengarkan musik merdu. masa tidak suka?"
"Tapi kalau permainanku tidak bagus, jangan kau
salahkan diriku mengganggu ketenanganmu!"
== ooo OdwO ooo ==
Begitulah esoknya Peng-lam lantas ke kota dan
membelikan sebuah kecapi yang berukir indah, ia
membawa kecapi itu ke kamar Soat Peng-say dan minta
anak muda itu menilai baik jeleknya kecapi.
Hampir semua alat musik dapat dimainkan Soat Pengsay, inipun hasil dorongan Cin Yak-leng yang memaksanya
belajar. Dengan jari jemarinya Peng-say coba memetik senar
kecapi beberapa kali, katanya kemudian: "Boleh juga kwalitas kecapi ini, entah untuk apa Toasuko membelinya?"
"Minta belajar padamu," tutur Peng-lam dengan tertawa.
Peng-say terkejut, ia menegas. "Apa" Kau ingin belajar memetik kecapi?"
"Jangan kaget, bukan aku, tapi Leng-sumoay yang ingin belajar padamu," tutur Peng-lam dengan tertawa. "Aku sudah tua, kan sudah terlambat untuk belajar main kecapi?"
"Terlambat sih tidak, hanya tidak mudah mencapai
keahlian," kata Peng-say. "Tadinya kuheran mengapa mendadak Toasuko menaruh minat untuk belajar main
kecapi." "Mengapa kau bilang sukar bagiku untuk mencapai
keahlian," tanya Peng-lam.
"Usia Toasuko sudah lebih 30, gerakan jarimu tidak
mudah terlatih hingga lincah. Justeru main kecapi
memerlukan ketrampilan jari jemari. semakin muda usia
semakin mudah menguasainva degan baik "
"Dengan usia Siausumoay, untuk mencapai puncak
keahlian tentunya tidak sulit bukan?"
"Apakah sebelum ini dia pernah belajar?"
"Tidak pernah," jawab Peng-lam.
Peng-say termenung sejenak, katanya kemudian: "Usia Siausumoay sudah enambelasan, tulang jarinya sudah kaku.
untuk belajar sih tidak sulit, ingin mencapai tingkatan ahli kukira tidak mudah."
"Wah, runyam jika begitu!" seru Peng-lam.
Peng-say menjadi heran, tanyanya: "Apakah ada orang memaksa Siausumoay harus belajar main kecapi hingga
tingkatan ahli?"
"O, ti. . . . tidak," jawab Peng-lam.
"Runyam apa" Main musik hanya untuk hiburan saja,
andaikan kurang mahir juga tidak menjadi soal, kan tidak hendak menggunakannya untuk mencari makan?"
"Meski tidak akan menggunakannya untuk mencari
makan, kalau dapat melatihnya hingga tingkatan tinggi,
selain dapat menghibur diri kan juga dapat menghibur
orang lain, betul! tidak?"
Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Betul, betul, menghibur diri dan juga menghibur orang lain!" tukas Peng-say dengan tertawa.
Dari nada ucapan Peng-say dapatlah
Peng-lam menangkap arti ucapan "orang lain" itu ditujukan kepadanya, maklumlah, setiap anak murid Lam-han sama
tahu Siausumoay itu menyukai Toasukonya.
Peng-lam berdehem, katanya kemudian: "Adakah cara
lain untuk membantu Siausumoay agar dapat mencapai
tingkatan ahli?"
"Bila mendapat guru yang pandai dan Siausumoay juga mau belajar dengan tekun, kukira masih ada harapan untuk mencapai tingkatan yang tinggi. Hanya untuk mencari guru musik ternama itulah yang sulit."
"Guru baik hanya dapat bertemu secara kebetulan dan tidak dapat dicari, bilamana kita sengaja mencari malahan sukar didapatkan," setelah merandek sejenak, dengan tertawa Peng-lam menyambung pula: "Tapi di depan mata sekarang kan sudah ada guru pandai, kenapa mesti men-cari2 lagi?"
Peng-say tahu siapa yang dimaksudkan, cepat ia menggoyang2 tangan dan berkata: "Ah, manabisa, tidak bisa jadi
" "Kalau Cap-itsute tidak bisa jadi. lalu siapa lagi?" ujar Peng-lam dengan tertawa. "Padahal betapa kagumnya
Siausumoay terhadap tiupan serulingmu, menurut pendengaranku, akupun anggap kepandaianmu tiada
bandingannya."
"Ai, Toasuko terlalu memuji diriku," kata Peng-say.
"Malahan Siausumoay kuatir kau tidak sudi menerimanya sebagai murid, maka aku diminta membicarakannya
padamu, sesungguhnya kau
mau menerimanya atau tidak?"
"Mana berani kuanggap menerima murid" Katakanlah
saling belajar. Apa yang kuketahui pasti akan kuberithukan seluruhnya."
"Jika demikian, sekarang juga kupergi memanggil
Siamumoay kesini."
"Toasuko, bolehkah Siausumoay tidak belajar main
kecapi?" "Habis belajar main apa?"
"Sebaiknya seruling," kata Peng-say. "Terus terang, aku sendiri belum mahir main kecapi, cara bagaimana dapat
kudidik dia hingga mencapai tingkatan tinggi" Mengenai
seruling memang cukup lama kupelajari dan telah kekuasai dengan baik, jadi lebih gampang mengajarnya."
"Tapi Siausumoay suka pada kecapi, kenapa tidak
menuruti kegemarannya saja?" kata Peng-lam. "Kukira tidak menjadi soal, Siausumoay sangat cerdik, bukan
mustahil dia akan maju pesat, kan tidak jarang murid lebih berhasil daripada sang-guru?"
"Ya memang bisa terjadi begitu, tapi dalam hal bahan pelajaran ada kesukaran." kata Peng-say. "Saat ini padaku tiada terdapat buku nada kecapi yang dapat kugunakan
bahan pelajaran. paling baik kalau bisa mendapatkan satu
buku nada terkenal. Cuma untuk mendapatkan buku
pelajaran musik demikian terasa sangat sulit."
"Tidak sulit, tidak sulit!" seru Peng-lam dengan tertawa
"Buku nada begitu tidak sulit dicari."
"Ah, buku musiK ternama justeru sama sulitnya untuk dicari seperti mencari guru yang pandai," ujar Peng-say.
"Jangan kuatir, setelah kau ajarkan dasar memetik kecapi kepada Siausumoay, kujamin akan mencari sejilid buku
musik yang paling berharga untuk dijadikan bahan
pelajaranmu," kata Peng-lam dengan tertawa.
Melihat ucapan sang Suheng sedemikian yakin, dengan
tertawa Peng,-say berkata: "Wah, jangan2 sekarang juga Toasuko sudah punya?"
"Betul,"' jawab Peng-lam dengan tertawa.
"Bila buku nada kecapi itu sama nilainya seperti buku nada seruling yang kuterima dari Toa-suko itu, maka bagus sekali jadinya", kata Peng-say.
"Kau anggap buku nada seruliug itu memang bernilai?"
tanya Peng-lam.
"Ya, boleh dikatakan tiada
taranya dan tiada bandingannya."
"Jika demikian, buku nada kecapi yang kupegang inipun sama tiada bandingannya, sebab buku nada itu bernama
Siau-go-yan-he,"
"Siau-go yan-he" Namanya juga. . . .juga Siau-go-yan-he?" Peng-say menegas dengan rada melengak.
oOodowoOo Begitulah Leng Hiang lantas mulai belajar main kecapi
dengan Soat Peng-say, tapi hanya belajar dua hari, hari
ketiga dia tidak mau belajar lagi.
Apa sebabnya" Peng-say tidak tahu, Peng-lam juga tidak
tahu ketika ditanya.
Peng-say merasa sayang, katanya kepada sang Suheng:
"Bakat Siausumoay sebenarnya sangat tinggi ia tidak sulit untuk mencapai keahlian, entah sebab apa dia tidak mau
belajar lagi?"
Akan tetapi Peng-lam hanya menggeleng dan tak dapat
memberi penjelasan. Ia berjanji akan di- tanyakan kepada Leng Hiang.
Namun selang beberapa hari Peng-lam belum juga
memberitahukan Peng-say hasil pertanyaannya kepada
Leng Hiang. Terhadap persoalan ini betapa pun Peng-say
merasa sangat dan heran, tapi juga tidak terlalu dipikirnya.
Ia malahan ingin pinjam kepada Sau Peng-lam buku
nada kecapi yang bernama "Siau-go-yan-he" itu untuk dibacanya. Akan tetapi sudah beberapa hari dia tidak
berjumpa dengan sang Suheng Sepanjang hari, jadinya
Peng-say hanya mengeram iseng di kamarnya.
Suatu hari Peng-say keluar untuk ber-jalan2, kebetulan
dilihatnya Peng-lam sedang datang dari depan. Selagi ia
mengulum senyum dan hendak menyapa sang Suheng,
siapa tahu Peng-lam hanya memandangnya sekejap dengan
dingin, bahkan cepat2 membalik tubuh dan melangkah
pergi, tampaknya enggan tegur sapa dengan Peng-say.
Diperlakukan secara dingin tanpa sebab, Peng-say
menjadi kheki, tanpa sengaja ia menabas sebatang pohon
Siong cukup besar disebelahnya, pohon itu tetap tegak tak bergoyang. tapi setelah Peng-say berlalu dan angin meniup,
mendadak pohon itu tumbang, bagian yang patah itu tepat
adalah tempat yang ditabas telapak tangan Soat Peng-say.
Sejak itu, apabila Peng-say merasa kesal habis membaca,
ia lantas keluar jalan2 dan tidak berdiam melulu didalam kamar.
Tapi setiap kali ber-jalan2 keluar tentu sering bertemu
dengan para Suheng dan Sute. Anehnya, mereka se-olah2
tidak sudi menggubris Peng-say, murid lelaki hanya
mengangguk dingin padanya lalu menyingkir, murid
perempuan bahkan tidak mengangguk melainkan melengos
terus tinggal pergi.
Sudah tentu makin lama Peng-say makin risi, ia benar2
tidak tahan lagi. beberapa kali ia bermaksud ngunggsi saja, tapi Kiau Lo-kiat telah memberi nasihat dan menghiburnya sehingga dia mengurungkan niatnya untuk pergi.
Diantara anak murid Lam-han hanya Kiau Lo-kiat saja
yang masih mau bicara degan dia. tapi susah tidak banyak cakapnya, dari mulut Ji-suheng itupun Peng-say tak dapat mengorek
keterangan apa sebabnya para Saudara seperguruannya bersikap dingin dan membuang muka
padanya. Kiau Lo-kiat tahu besar hasrat Peng-say akan pergi, ia
pernah berkata padanya: "Cap-itsute, selekasnya Suhu akan lebaran dari tirakatnya, tunggulah sampai beliau keluar baru dibicarakan lebih lanjut."
Dia tidak langsung menunjuk maksud kepergian Soat
Peng-say, tapi dibalik ucapannya itu se-akan2 hendak
berkata agar Peng-say bersabar dulu, bila mau pergi
selayaknya tunggu sampai bertemu lagi dengan sang guru
dan pamit padanya.
Ucapan Kiau Lo-kiat itu cukup beralasan, Peng-say
merasa tidak enak kalau tinggal pergi begitu saja, orang tua itu memperlakukannya dengan baik, kalau mau pergi
haruslah permisi dulu kepadanya.
Pula, ia tahu Kiau Lo-kiat tidak suka memberitahukan
sebab musabab dirinya diperlakukan dingin oileh orang
lain, biarlah urusan ini ditanyakan langsung kepada
gurunya saja nanti.
0O0 ^dw^ 0O0 Sang waktu berlalu dengan cepat, hanya sekejap saja
sudah menginjak bulan kedua Soat Peng-say datang ke Sohhok-han. Jadi sudah genap sebulan telah berlalu.
Selama sebulan ini Peng-say kenyang mendapat
perlakuan dingin dari sang ibu-guru dan saudara
seperguruan, hampir se-hari2 tidak pernah bergembira,
sungguh ia kuatir dirinya bisa mati kaku oleh keadaan yang mengenaskan ini,
Tapi aneh juga, meski kesal pikirannya, tapi badannya
justeru makin hari makin sehat dan kuat, Wajahnya merah
cerah. Bila orang baru kenal, siapapun akan mengira dia
hidup senang bahagia selama sebulan di Soh-hok-han
walaupun kenyataannya sebenarnya adalah kebalikannya.
Terkadang ia sendiripun merasa heran, apakah karena
Durjana Dan Ksatria 12 Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Duel 2 Jago Pedang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama