Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 11

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


Kembali suasana menjadi ramai, akan tetapi dengan isyarat tangan dua orang ketua partai itu dapat menenteramkan suasana.
"Baik Kun-lun-pai maupun Hoa-san-pai adalah partai-partai yang terkena fitnah jahat dan yang menyebar fitnah ini memang sengaja melakukan hal ini untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mengapa demikian" Mudah sekali diduga. Orang-orang atau pihak tertentu tidak ingin melihat dua partai besar ini bersatu dan umumnya mereka tidak ingin melihat rakyat bersatu padu, lebih senang melihat perpecahan-perpecahan di mana-mana. Orang gagah yang menitipkan surat kepadaku berkata bahwa apabila Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai dapat membuang perasaan mau menang sendiri dan mau bersatu, maka dua partai itu akan merupakan kekuatan yanig maha hebat dan dapat dipergunakan untuk menolong negara dan rakyat. Ji-wi Locianpwe, sekarang rakyat sedang menderita, negara sedang kacau-balau, pergerakan patriotik bangkit di mana-mana, orang-orang gagah tidak ada yang ketinggalan untuk menanam sahamnya dalam perjuangan, untuk menyumbangkan setitik keringat, setetes darah, kalau perlu bahkan selembar nyawanya untuk tanah air.
Masa dalam waktu seperti ini, Ji-wi Locianpwe hendak membawa anak murid masing-masing untuk saling gempur dan saling bermusuhan" Di manakah letaknya jiwa ksatria Ji-wi Locianpwe" Di manakah letak jiwa patriotik jika Ji-wi (kalian) yang mengaku pendekar-pendekar bangsa tidak berusaha membela tanah air sebaliknya malah saling gempur dan saling bunuh" Semestinya Ji-wi malah bekerja sama membangun dan menghalau musuh, eh, siapa kita, Ji-wi malah bekerja sama tanpa disadari untuk merusak dan tanpa disadari pula malah membantu musuh rakyat dengan jalan mentaati kehendak mereka.
Ya, memang kehendak merekalah agar supaya kita saling hantam dan karenanya kita menjadi lemah sehingga mudah kelak mereka menguasai kita!"
Kini ramailah lagi para tamu. Giam Kin, Souw Kian Bi dan temannya yang sejak tadi memandang Beng San, bangkit berdiri, muka mereka sebentar merah sebentar pucat.
Inilah kata-kata berbahaya sekali, kata-kata seorang pemberontak terhadap pemerintah Mongol!
"Ketahuilah, Ji-wi Locianpwe," Beng San bicara terus tanpa pedulikan sikap para tamu. "Ji-wi telah kena dipermainkan oleh pihak Ngo-lian-kauw! Ngo-lian-kauw yang mengatur semua ini, yang menyamar sebagai Pek-lian-pai dan yang mendorong Kwee Sin ke dalam jurang lumpur. Ngo-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan sambil menyamar, jadi dalam hal ini, pihak Hoa-san-pai maupun Kun-lun-pai tidak salah. Seharusnya Ji-wi memusuhi Ngo-lian-kauw!"
Berubah air muka dua orang kakek itu. "Tapi...., tapi kenapa Kwee Sin tidak mau mengaku salah dan malah pergi dengan orang-orang Ngo-lian-kauw" Kenapa pula dia melakukan semua itu" Beng San, kalau kau berusaha membersihkan diri Kwee Sin, kau kurang berhasil," kata Lian Bu Tojin menggeleng kepala dengan sangsi.,"
"Toyu, memang bekas muridku Kwee Sin itu menyeleweng, akan tetapi sekarang dia tidak kuanggap muridku lagi. Andaikata kau suka mengulurkan tangan" kepada Kun-lun-pai dan mengajak kami bersama kalian menggempur Ngo-lian-kauw, percayalah, aku sendiri takkan ragu-ragu untuk menghancurkan kepala manusia durhaka bernama Kwee Sin! kata Pek Gan Siansu gemas.
"Bagus kalau begitu." Lian Bu Tojin berseru girang. "Pek Gan Siansu, mendengarkan kesanggupanmu, pinto nyatakan bahwa mulai sekarang Hoa-san-pai tidak menganggap Kun-lun-pai sebagai lawan, bahkan sebagai kawan untuk bersama membasmi Ngo-lian-kauw yang jahat dan menangkap Kwee Sin!"
Orang-orang yang menyetujui dilakukan perdamaian antara dua partai ini bersorak girang, tetapi mereka yang menghendaki perpecahan menjadi marah dan kecewa.
"Enak benar bocah ini!" Souw Kian Bi membentak marah. "Ji-wi ciangbunjin (dua ketua) dari Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai yang sudah tua-tua mengapa mudah saja ditipu dan dibohongi bocah seperti ini" Ji-wi harus ingat bahwa bocah ini bukanlah apa-apa, kenapa percaya begitu saja" Enak benar dia kalau kelak ternyata bahwa kata-katanya itu bohong semua, bukankah ji-wi akan ditertawai oleh seluruh kolong langit"
Dua orang ketua yang besar dan terkenal diingusi oleh seorang bocah tak bernama.
Apalagi mendengar kata-katanya bocah ini sudah sepatutnya kutangkap atau kubunuh mampus. Dia patut kucurigai sebagai pemberontak! Ji-wi Lo-cianpwe, saya tidak mau bertindak demikian di sini karena menghormatinya sebagai tamu Hoa-san-ciangbunjin. Akan tetapi, dia harus dapat membuktikan dulu omongannya. Dia harus dapat membuktikannya dengan membawa Kwee Sin ke sini agar semua kata-katanya itu dapat dicocokkan dengan pengakuan Kwee Sin. Bukankah ini adil namanya?"
Dalam kata-kata ini terkandung ancaman hebat. Memang, semua orang maklum bahwa Souw Kian Bi adalah orang Mongol, maka dia itu berhak mengecap siapa saja menjadi pemberontak. Dua orang kakek itu saling pandang, Pek Gan Siansu bertanya,
"Orang muda, kau tadi bicara tentang orang gagah yang menitipkan surat dan pesanan, siapakah dia itu?"
Beng San yang sudah merasa kepalang tanggung, tak dapat mundur kembali, menjawab dengan sejujurnya, beliau she Ciu."
Mendengar ini, dua orang kakek Itu menjadi pucat mukanya dan mereka cepat membungkuk tanda menghormat. Sebaliknya, Souw Kian Bi menyumpah-nyumpah dan berteriak, "Awaslah siapa saja yang merasa berdosa, aku Souw Kian Bi sudah mendengar dan melihat semua. Hayo, saudara Tan, kita pergi!"
Beng San dengan berani memandang ke arah mereka, terutama sekali ke arah orang she Tan yang dia yakini adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui itu. Akan tetapi, orang she Tan ini memandang kepadanya dengan mata melotot, lalu membuang ludah dengan sikap menghina, mengebutkan lengan baju dan pergi mengikuti Souw Kian Bi. Para tamu yang merasa tidak setuju dengan omongan Beng San dan yang selama ini bahkan membantu pemerintah Mongol menentang para pemberontak, memandang dengan sikap mengancam, malah ada yang ikut meniru perbuatan Souw Kian Bi meninggalkan tempat itu tanpa pamit.
Pek Gan Siansu menarik napas panjang. "Saudara muda ini ternyata lebih gagah dan berani daripada kita orang-orang tua..... ah, Lian Bu toyu, aku benar merasa menyesal kalau kedatanganku ini hanya menjadi pengganggu perayaan ulang tahunmu. Tentang usulku perjodohan tadi, biarlah sementara kutunda dulu, kelak kalau kau merasa setuju, kau boleh memberi kabar. Tentang Kwee Sin, aku orang tua akan merasa berterima kasih kalau saudara muda ini mampu membuktikan segala ucapannya dan mendatangkan Kwee Sin sebagai saksi utama. Lim Kwi, hayo kita pergi!"
Bu Lim Kwi, pemuda gagah itu, mengangguk. Tapi baru saja guru dan murid ini melangkah sejauh lima tindak, tiba-tiba melayang bayangan hijau yang disusul bentakan nyaring.
"Orang she Bun! Hutang nyawa bayar nyawa!"
Hebat sekali gerakan Bu Lim Kwi dan Beng San memandang kagum. Nampak pemuda ini seakan-akan tidak menghiraukan bayangan hijau yang menyambar ke arahnya akan tetapi tahu-tahu "traanggg.....!" bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang di tangan nona baju hijau terpental karena tangkisannya, menggunakan pedang yang tadinya tergantung di pinggang. Tangkisan ini dia lakukan dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya tetap memondong pedang pusaka Kun-lun-pai! Bentrokan pedang ini tidak berhenti sampai di situ saja karena wanita baju hijau itu, Thio Eng, sudah melanjutkan serangannya bertubi-tubi secara hebat dan dahsyat sampai lima kali. Terdengar bunyi pedang bertemu sampai lima kali dan pertemuan yang terakhir demikian kuatnya sehingga baik Thio Eng maupun Bun Lim Kwi terhuyung mundur! Semua ini berjalan dengan cepat sekali, hanya beberapa detik dan selama itu Pek Gan Siansu menoleh pun tidak!
Melihat dua orang pemuda ini sudah terhuyung mundur, Beng San mendapat kesempatan bertindak tanpa memperlihatkan kepandaiannya. la berlari-lari dan berdiri di tengah-tengah antara mereka.
"Eng-moi (adik Eng)..... tahan pedang."
"Tan-ko (kakak Tan), kau minggirlah dan jangan turut campur, ini urusan sakit hati yang terpendam bertahun-tahun lamanya!" Wajah Thio Eng masih beringas bibirnya digigit dan matanya bersinar-sinar mengandung api kemarahan.
"Tidak, Eng-moi. Apakah kau hendak merusak semua usahaku tadi" Eng-moi, ingatlah, kau menjadi tamu di sini, tidak selayaknya kalau kau melakukan apa saja sesukamu tanpa memandang muka tuan rumah."
Thio Eng terpukul oleh kata-kata ini. Semenjak kecil ia dididik orang sakti, tentu saja ia mengenal aturan kang-ouw dan benar sekali apa yang dikatakan Beng San. Tadi ketika mendengar bahwa pemuda murid Kun-lun-pai itu bernama Bun Lim Kwi putera mendiang Bun Si Teng, ia tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ayahnya, Thio San, dibunuh oleh dua orang saudara Bun dan inilah keturunan mereka, inilah musuh besarnya. Saking marahnya,ia tadi sampai lupa bahwa dia dan pemuda musuh besarnya itu sedang menjadi tamu Hoa-san-pai maka tidak selayaknya ia menyerangnya di tempat itu. Akan tetapi Thio Eng sudah terlalu marah, juga penasaran karena lima kali serangannya yang hebat tadi dapat ditangkis oleh lawannya. Kemarahannya sudah memuncak sehingga peringatan Beng Sen tidak berapa dipedulikannya.
"Maafkan aku, Tan-ko. Kali ini aku tidak mendengarkan siapa-siapa kecuali suara hatiku sendiri. He, orang she Bun. Kalau kau bukan pengecut, mari kita berkelahi sampai seorang di antara kita mati di sini!" tantangnya mendesak kembali.
Bun Lim Kwi menjawab duka, "Nona, aku tidak mengenalmu..... bagaimana kau bisa memusuhiku.....?" Suara pemuda ini tenang dan sabar sekali, dan sepasang matanya memandang wajah Thio Eng penuh penyesalan, penuh kedukaan sehingga untuk sedetik hati Thio Eng terpukul.
"Ayahmu membunuh ayahku" Thio Eng menyerang lagi
"Adik Eng, jangan berkelahi di sini. Kau tamu.....!" Beng San coba membujuk.
"Akan tetapi Thio Eng yang sudah marah sekali sudah mengirim tusukan kilat ke arah dada Bun Lim Kwi.
Tiba-tiba mata Beng San menjadi silau ketika sesosok bayangan merah menyambar dari luar. Gerakan bayangan marah ini luar biasa cepatnya, seperti seekor burung garuda saja. Sambil melayang bayangan merah ini mengeluarkan sepasang senjata yang berkilauan seperti mengeluarkan api, sekali sepasang pedang digerakan sekaligus sudah menangkis pedang Thio Eng yang ditusukkan ke arah dada Lim Kwi dan pedang Lim Kwi yang hendak menangkis.
"Trang..... tranggg.....!" Thio Eng dan Lim Kwi berseru kaget sambil melompat mundur. Ternyata pedang di tangan mereka itu ujungnya telah patah terkena tangkisan aneh dari bayangan merah ini. Sementara itu, dengan gerakan cepat hampir tak dapat diikuti pandang mata, bayangan merah itu sudah menyimpan sepasang pedangnya kembali ke dalam sarung pedang besar di punggungnya. Sepasang mata bersinar-sinar tajam sebuah mulut mungil berbibir merah segar, wajah cantik seperti bidadari akan tetapi juga amat angkuh dan mengandung kekerasan hati yang mengerikan, seorang gadis cantik jelita sebaya Kwa Hong, berpakaian serba merah indah dari sutera merah panjang melambai-lambai, sepatunya juga merah berkembang batu kemala dengan kedua ujung sepatu dipasangi baja. meruncing. Seorang nona berpakaian serba merah yang luar biasa cantik, akan tetapi juga nampak gagah perkasa!
"Benar ucapan dia itu. Tamu tidak boleh meremehkan tuan rumah dan berbuat seenaknya sendiri!" Suaranya merdu dan halus, akan tetapi mengandung keangkuhan tinggi seperti suara seorang puteri terhadap para abdinya! Kemudian dara jubah merah ini meloncat ringan, tahu-tahu sudah berada di depan Lian Bu Tojin, menjura dan berkata.
"Ayahku karena repot tidak dapat berkunjung ke Hoa-san. Oleh karena itu, aku mewakili keluarga Cia dari selatan sengaja berkunjung mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai. Selain itu, juga ayah menyuruh aku memberi tahu kepada semua orang gagah yang berkumpul ini hari di Hoa-san-pai, bahwa sebagai pemegang gelar Raja Pedang terakhir, ayah menetapkan hari perlombaan gelar Raja Pedang satu tahun kemudian dihitung mulai bulan ini, pada pertengahan bulan purnama, di puncak Thai-san. Nah, aku sudah berbicara, selamat tinggal, Lian Bu totiang!" Suara gadis jelita ini selain angkuh, juga amat nyaring dan jelas, membuat semua tamu melongo kagum.
"Ayaaa, kiranya anak Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tak Terlawan) Cia Hui Gan"
Bagiis, sudah lama pinto ingin berkenalan dengan ilmu pedangnya!" kata-kata ini disusul meloncatnya dua orang kakek berkepala gundul. Mereka ini adalah dua orang hwesio yang duduk di ruang tamu kehormatan dan yang semenjak tadi duduk diam saja. Seperti diceritakan di bagian depan, di dalam ruang tamu kehormatan ini selain duduk para pimpinan partai besar, juga duduk dua orang hwesio ini, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu. Sejak tadi tujuh orang kakek ini duduk diam dan menonton sambil mendengarkan saja, akan tetapi begitu muncul nona baju merah ini, mereka kelihatan memperhatikan sekali. Kini dua orang hwesio itu melompat dan tahu-tahu mereka telah berdiri di depan nona tadi sambil menggerak-gerakkan tongkat baja masing-masing yang panjang dan berat.
Nona itu menggerakkan alisnya yang kecil hitam, matanya menyambar-nyambar lalu ia tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi matanya mengerling tajam laksana pisau. la memperhatikan kedudukan kaki dan cara dua orang hwesio memegang tongkat, lalu berkata.
"Agaknya Hwesio Hitam dan Hwesio Putih yang menegurku. Kalian berdua pernah dirobohkan dalam lima jurus oleh ayah, apa hubungannya dengan aku" Siapa yang ingin menonton pameranmu tongkat hitam dan putih itu?" Suaranya masih nyaring tinggi, mengandung penuh ejekan dan tidak memandang mata sedikit pun juga.
Dua orang hwesio itu diam-diam terkejut. Lima tahun yang lalu mereka pernah dirobohkan dalam lima jurus saja oleh Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan. Ketika itu tentu dara ini masih kecil, kenapa sekarang sekali lihat saja sudah tahu" Mereka ini adalah hwesio-hwesio yang berilmu tinggi, tokoh pelarian dari Siauw-lim-pai yang memiliki ilmu tong-kat tingkat tinggi. Memang, karena kehebatan ilmu tongkatnya, maka keduanya dijuluki orang Hek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Hitam) dan Pek-tung Hwesio (Hwesio Tongkat Putih). Karena julukan ini pula maka sengaja Hek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja hitam sedangkan Pek-tung Hwesio membuat tongkat dari logam baja. putih. Mereka sudah kenal dengan Lian Bu Tojin yang menganggap mereka orang setingkat karena memang ilmu silat mereka sudah amat tinggi, maka mereka diberi tempaf di ruang tamu kehormatan.
"Ha..ha..ha, Nona. Kau sombong sekali. Agaknya kau mengandalkan kepandaian ayahmu untuk menjual lagak di sini. Pinceng (aku) berdua bukan hendak melawan anak kecil, akan tetapi mengingat bahwa kau puteri tunggal Raja Pedang tentu ilmu pedangmu hebat. Kami hendak mencoba untuk mengalahkan pedang?" pedangmu dalam lima jurus pula. Beranikah kau menghadapi kami?" kata Pek-tung Hwesio.
Terang bahwa hwesio ini hanya bermaksud menebus penghinaan dahulu dan hanya ingin mengalahkan nona itu dalam lima jurus sehingga kalau hal ini terjadi, sedikitnya dia dapat membersihkan mukanya.
Nona itu mencibirkan mulutnya. Kalian dua hwesio tua bangka hanya namanya saja menakutkan, tongkat-tongkat macam ini hanya untuk menakut-nakuti anjing dan maling kecil. Mengapa aku takut" Tapi kedatanganku ke sini bukan Untuk melayani segala macam hwesio tua bangka tak tahu malu." Benar-benar galak nona ini, pikir Beng San mengerutkan keningnya. Masa terhadap dua orang hwesio tua sama sekali tidak menaruh hormat" Galak dan kurang ajar!
Dua orang hwesio itu marah sekali, namun sebagai orang-orang tua mereka dapat menahan kemarahan, malu untuk mengumbar nafsu marah di tempat umum. Bagus, kalau begitu!" kata Pek-tung Hwesio. "Coba kaulayani kami selama lima jurus, Nona"
Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, dua batang tongkat panjang yang amat berat itu sudah melayang ke atas, menyambar-nyambar mengeluarkan suara mengaung.
Beng San terkejut dan ngeri juga. Semua tamu juga merasa ngeri bahkan Lian Bu Tojin berseru.
"Harap Ji-wi (saudara berdua) maafkan seorang muda!"
Tidak sangka sama sekali bahwa ucapan ini diterima dengan marah oleh nona itu.
Matanya berapi-api dan kedua tangannya bergerak. "Srattt." Semua orang menjadi silau ketika nona itu sekarang telah mencabut keluar sepasang pedang yang amat tajam sampai sinarnya berkilauan. Kemudian nona itu berkelebat, terdengar suaranya,
"Lian Bu totiang, jangan pandang rendah orang muda!" Kemudian ia menari! Ya, menari di antara sambaran-sambaran dua batang tongkat itu. Gerakannya indah bukan main, tidak seperti orang bersilat, melainkan seperti orang menari-nari. Pedangnya bermain menjadi dua gulung sinar seperti bunga, ikat pinggangnya yang merah itu bergulung-gulung pula seperti hidup, tubuhnya bergerak-gerak dengan indahnya.
Beng San sampai melongo. Baginya yang sudah memiliki pandang mata tajam sekali, maklum bahwa biarpun nona itu menitik beratkan gerakan untuk keindahan, namun justru di dalann keindahan inilah letaknya kehebatan dan kelihaian ilmu pedang itu.
Hanya dengan tekukan pinggang yang indah, sambaran tongkat putih ke arah tubuhnya dapat dihindarkan, dan hanya dengan mengembangkan pedang di kedua tangan dan meloncat lincah ke atas, serampangan tongkat hitam mengenai angin.
Untuk menambah keindahan yang tiada bandingnya ini, si nona baju merah masih menambah dengan senyum simpul yang manis menarik.
"Heee, mana ada aturan dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita?" Beng San berteriak-teriak tanpa menyatakan bahwa mereka sudah bertempur sampai sepuluh jurus lebih. la bersikap ketolol-tololan.
Nona baju merah itu tertawa. "Dua hwesio kerbau! Kalian mau merobohkan aku dalam lima jurus, sekarang sudah belasan jurus. Kiranya aku tidak segoblok kalian ketika roboh oleh ayah dalam lima jurus." Tiba-tiba sepasang pedangnya bergerak cepat sekali setelah saling bentur mengeluarkan api berpijar. Bunga api ini menyambar ke arah muka dua orang lawannya yang menjadi kaget dan lebih gugup ketika tahu-tahu sepasang pedang itu sudah meluncur mendekati leher mereka. Cepat mereka membuang diri ke belakang dan....."trang! tranggg!" Tongkat mereka ternyata telah terbabat putus ketika mereka dalam gugup tadi tidak mengerahkan tenaga.
Si nona baju merah menjura ke arah Lian Bu Tojin setelah tanpa dapat diikuti lagi dengan mata ta telah menyimpan kembali sepasang pedangnya, kemudian berkata keras, "Selamat tinggal!" Tubuhnya lenyap, yang nampak hanyalah bayangan merah melesat keluar dari tempat itu.
Dua orang hwesio itu menjadi pucat sekali mukanya. Mereka melempar sisa potongan tongkat ke atas tanah, lalu menjura kepada Lian Bu Tojin dan keluar dengan langkah lebar.
Sementara itu, setelah tadi berhenti sebentar menonton pertandingan ini, Pek Gan Siansu yang tadi sudah berpamit, lalu mengajak Bun Lim Kwi melanjutkan perjalanan, keluar dari tempat itu. Thio Eng dengan sinar mata marah segera mengejarnya, pergi tanpa pamit.
Lian Bu Tojin menarik napas panjang berulang-ulang, malah tidak peduli lagi ketika Giam Ki juga tertawa-tawa dan bertindak keluar dengan langkah panjang. Kwa Tin Siong berusaha keras untuk melanjutkan perayaan itu, dan semua hidangan dapat juga dibagi-bagikan biarpun keadaan pesta tidak semeriah tadi.
Kwa Hong dengan penuh keheranan melihat bahwa di situ tidak ada lagi bayangan Beng San yang tadi menimbulkan heboh. Pemuda ini sudah lenyap pula entah ke mana pula larinya. Kwa Hong yang menjadi penasaran segera mencari sampai ke belakang, sampai ke tempat di mana pemuda itu menginap, tapi alangkah herannya katika ia melihat bahwa bungkusan pakaian pemuda itu pun sudah lenyap pula!
"Ah dia aneh sekali...,." pikir dara ini kecewa, aneh dan gagah bukan main. Alangkah beraninya dia tadi..... hemmm, sayang tidak pandai ilmu silat....." la melamun membayangkan betapa akan mengagumkan kalau seorang pemuda dengan keberanian sebesar itu memiliki kepandaian ilmu silat pula. Ketika dengan kecewa ia hendak meninggalkan kamar Beng San, ia tertarik oleh sepotong keras di atas meja. Cepat diambilnya kertas itu dan ternyata ada tulisannya, tulisannya tangan yang jelas dan indah, tulisan tangan Beng San.
BENG-SAN BERJANJI MENCARl KWEE SIN.
Cepat Kwa Hong membawa surat itu kepada ayahnya dan memperlihatkannya.
Wajah Kwa Tin Siong berubah. "Anak itu aneh, sepak terjangnya tak dapat diduga semula. Bagaimana mungkin dia dapat membawa Kwee Sin ke sini?" Betapapun juga dia memperlihatkan surat itu kepada gurunya yang menarik napas panjang.
"Memang bocah luar biasa Beng San itu. Kita Hoa-san-pai hari ini berhutang budi kepadanya yang berhasil mencegah pertempuran. Kalau dia bisa membawa Kwee Sin ke sini, budinya bertumpuk. Tapi..... dapatkah kiranya dia berhasil?"
"Meragukan sekali, Suhu," kata Kwa Tin Siong, juga Liem Sian Hwa dan para murid Hoa-san-pai tidak percaya kalau Beng San akan berhasil membawa musuh besar itu ke Hoa-san. Akan tetapi tiba-tiba Kwa Hong berkata, suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar.
"Aku merasa yakin bahwa pada suatu hari dia akan datang bersama Kwee Sin ke sini!" Semua mata memandangnya, terutama mata Kwa Tin Siong yang seakan-akan hendak menembus dada anaknya. Kwa Hong menjadi merah mukanya dan pergi tanpa pamit lagi.
* * * Apa yang menyebabkan Beng San pergi dari Hoa-san-pai secara diam-diam, serentak tanpa pamit" Banyak hal yang menyebabkan dia terburu-buru itu. Ternyata selama di tempat pesta tadi dia telah mengalami hal-hal yang mengguncangkan hati dan membingungkan pikirannya. Mula-mula pertemuannya dengan teman Souw Kian Bi, pemuda tinggi tegap yang she Tan itu cukup hebat mengguncang perasaannya karena dia menduga keras bahwa orang itu adalah kakak kandungnya, Tan Beng Kui. Akan tetapi kenapa kalau benar pemuda itu kakak kandungnya, tidak mengenal dia dan malah tadi melihatnya lalu membuang ludah dengan amat menyolok dan menghina"
Hal ini perlu penyelidikannya.
Hal ke dua adalah Thio Eng dan Bun Lim Kwi. Dia sudah berjanji kepada mendiang Bun Si Teng untuk mengamat-amati pemuda itu, sekarang dia dapat menduga bahwa Thio Eng tentu akan berusaha membunuh Lim Kwi. la tidak boleh membiarkan Lim Kwi terbunuh tanpa berbuat sesuatu. Apalagi kalau yang hendak membunuh itu Thio Eng, gadis yang..... ah yang dia suka dan yang dia kasihani nasibnya. Soal ini pun memerlukan dia turun tangan dan mencarikan pemecahannya.
Hal ketiga yang mengguncangkan benar-benar hatinya adalah kemunculan nona baju merah she Cia tadi. Bukan, sama sekali bukan karena wajah yang cantik jelita melebihi semua wanita yang pernah dilihatnya, bukan karena bentuk tubuh dan tarian-tariannya. Sama sekali bukan! Akan tetapi ketika nona tadi mencabut sepasang pedang, pedang berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api, sebuah panjang sebuah pendek, yang membuat matanya silau, adalah..... Liong-cu Siang-kiam yang dicuri orang dari tangan Lo-tong Souw Lee! Jadi gadis jeiita inikah pencurinya" Berdebar tidak karuan hati Beng San kalau teringat akan hal ini. la harus merampas sepasang pedang itu dan..... kedua pipinya menjadi merah dan terasa mukanya panas kalau dia.
teringat akan pesan Lo-tong Souw Lee bahwa dia harus mencari pencuri pedang dan kalau pencuri itu seorang wanita, dia harus mengambilnya sebagai isteri! Dia mengambil istri nona Cia yang seperti bidadari tadi" "Hebat"
Hal ke empat yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan yang menyangkut diri Kwee Sin, jago termuda dari Kun-lun-pai itu. Memang harus diakui bahwa orang inilah yang menjadi biang keladi segala pertstiwa permusuhari itu. Dia merasa yakin bahwa jika dia dapat mengajak Kwee Sin ke Hoa-san-pai untuk mempertanggungjawabkan semua tuduhan yang dijatuhkan kepadanya, segala permusuhan akan menjadi beres. la masih cukup percaya, melihat sikap Kwee Sin ketika datang ke Hoa-san-pai, bahwa jago itu masih mempunyai cukup sifat ksatria untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya atau setidaknya perbuatan yang diperkirakan orang kepadanya.
Empat hal inilah, dan keempatnya sama pentingnya, membuat Beng San tidak mau lama-lama membuang waktu di Hoa-san, biarpun di lubuk hatinya dia merasa berat juga harus meninggalkan Hoa-san..... eh, sesungguhnya, meninggalkan Kwa Hong begitu saja! la sudah merasa cukup berbahagia bahwa sedikit jerih pay usahanya yang diharapkan oleh Ciu Goan Ciang dan Tan Hok serta semua pejuang, yakni mencegah Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai bertempur, untuk sementara ini mencapai hasil baik.
Kita mengikuti perjalanan Bun Lim Kwi yang pergi meninggalkan Hoa-san bersama gurunya, Pek Gan Siansu. Ketika mereka tiba di kaki gunung, tiba-tiba Lim Kwi menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya dan menangis! Pek Gan Siansu berhenti, memandang muridnya itu dan dengan wajah murung kakek tua ini menggeleng-geleng kepalanya, mengelus jenggotnya.
"Lim Kwi, aku tahu bahwa biarpun selama ini kau diam saja tak pernah membantah semua perintahku, namun sesungguhnya kau menyimpan ganjalan hati yang membuat kau banyak menderita batin. Muridku, sekarang di tempat sunyi ini kaukeluarkanlah isi hatimu, berlakulah jujur kepada gurumu. Seorang enghiong (ksatria) harus selalu dapat menjaga satunya pikiran, kata-kata dan perbuatan. Satu saja di antara ketiganya ini tidak cocok, tak patut dia disebut enghiong. Selama ini kata-kata dan perbuatanmu mentaati aku, akan tetapi aku khawatir sekali bahwa pikiranmu berbeda."
"Ampunkan teecu yang tidak berbakti, Suhu. Sesungguhnya telah susah payah teecu memaksa diri untuk berbakti kepada Suhu, akan tetapi apa daya, hati dan pikiran teecu selalu tergoda, selalu terbayang wajah ayah dan paman yang telah terbunuh orang. Setelah mendengar semua yang telah diucapkan orang di Hoa-san tadi, teecu berpendapat bahwa kalau ganjalan hati ini belum dilaksanakan, selalu teecu akan berbakti secara palsu, yaitu tidak terus ke dalam hati."
"Hemmm, lebih baik berterus terang begitu. Kau bukan kanak-kanak lagi, kau sudah dewasa dan tentu saja kau berhak untuk mempunyai pendapat sendiri. Sekarang
.katakanlah, apa yang hendak kaulakukan" Apakah kau akan menurutkan nafsu hatimu menyerbu ke Hoa-san-pai dan menantang orang-orang Hoa-san-pai?"
Kakek itu mengerutkan alisnya yang sudah putih semua.
"Tidak sekali-kali teecu berani melangar garis yang sudah diambil oleh Suhu. Teecu menyetujui garis perdamaian itu, bahkan teecu takkan membantah tentang soal usul perjodohan yang diajukan Suhu tadi. Akan tetapi..... Suhu, apakah kematian ayah dan paman harus didiamkan dan dibiarkan begitu saja" Apakah roh mereka akan dapat tenteram melihat teecu berpeluk tangan saja?"
"Hemmm, orang muda...... alangkah jauh perkiraanmu tentang roh! Kalau tidak keliru wawasanku, roh ayah dan pamanmu sampai sekarang masih merasa menyesal mengapa tadinya mereka terseret ke dalam nafsu bermusuhan dan bunuh-membunuh.
Agaknya mereka akan lebih menyesal lagi kalau dapat melihat kau melanjutkan kekeliruan mereka sewaktu hidup. Tapi, aku takkan berkeras mencegah dan merusak hatimu, muridku. Sekarang katakan sejujurnya, apa yang hendak kaulakukan?"
"Teecu tadi sudah banyak mendengar tentang Kwee-susiok (paman guru Kwee) dan teecu berpendapat bahwa hanya Kwee-susiok seoranglah yang akan dapat menerangkan ini semua. Kalau dari mulut Kwee-susiok sendiri....."
"Hemmmmm, jangan kau menyebut paman guru kepada Kwee Sin. Aku sudah tidak mengakui dia sebagai muridku lagi!" kata-kata Pek Gan Siansu terdengar keras.
"Baiklah, Suhu. Teecu ingin mendengar dari mulut Kwee Sin sendiri apa yang telah terjadi ketika mendiang ayah dan paman naik ke Hoa-san. Kalau memang benar bahwa ayah dan paman yang salah, yaitu membantu Kwee Sin yang memusuhi Hoasan-pai, maka sakit hati teecu akan teecu alihkan kepada diri Kwee Sin."
"Hemmm, kau hendak mengajak dia bertanding?"
"Kalau perlu, apa boleh buat, Suhu. Kalau dia mau, hendak teecu ajak dia itu ke Hoasan-pai agar segala persoalan menjadi beres dan dapat diketahui siapa salah siapa benar."
"Ha..ha..ha, kau hendak berlumba dengan bocah sastrawan yang luar biasa tadi" Heh, kau takkan menang, Lim Kwi!" Ketua Kun-lun-pai tertawa dan agaknya hatinya sudah gembira lagi mendengar keputusan yang diambil muridnya ini. Tadinya dia merasa amat gelisah, takut kalau-kalau Lim Kwi hendak memusuhi orang Hoa-sanpai secara langsung.
Bun Lim Kwi memandang gurunya, tak percaya.
"Lim Kwi, jangan kaupandang ringan bocah sastrawan tadi. Aku sudah tua, sudah banyak pengalaman. Orang seperti dia itu bukanlah orang sembarangan. Nyali dan sikapnya jelas menonjolkan keluarbiasaannya. Dia bukan manusia biasa dan percayalah kepadaku, apabila kau bertemu dengan dia, kau boleh mendengarkan semua nasihatnya. Aku menyetujui rencanamu, biar aku pulang ke Kun-lun dan menanti beritamu di sana,. Semoga kau takkan menyeleweng dari jalan kebenaran dan dapat bersikap selamanya sebagai seorang enghiong dari Kun-lun-pai yang harus kaujunjung tinggi nama besarnya." Setelah berkata demikian, Sekali berkelebat kakek ini lenyap dari situ, meninggalkan Lim Kwi yang tahu-tahu kehilangan pedang pusaka yang tadi masih dipegangnya. la segera berlutut dan diam-diam merasa amat kagum.
Gurunya itu biar tua akan tetapi masih luar biasa sekali kelihaian ilmunya sampai-sampai mengambil kembali pedang pusaka Kun-lu-pai dan pergi dari situ tanpa dia rasai dan tak dapat dia ikuti dengan pandang matanya. Setelah berlutut memberi hormat, pemuda ini bangun dan menarik napas panjang. Aku masih harus banyak belajar untuk dapat mencapai tingkat seperti suhu, pikirnya.
Kemudian dia teringat kepada Kwee Sin. Ke mana dia harus mencari orang itu" la banyak mendengar tentang Kwee Sin bekas paman gurunya itu. Kabarnya selalu muncul bersama Ngo-lian-pai, malah banyak hubungannya dengan tentara Mongol.
Ada kabar lagi bahwa Kwee sudah diangkat oleh kerajaan menjadi perwira tinggi tentara Kerajaan Mongol Ngo-lian-pai atau Ngo-lian-kauw adalah partai rahasia yang tidak mempunyai markas tertentu, maka takkan mudah mencari sarang partai ini.
Lebih baik kalau mencari berita atau keterangan tentang Kwee Sin di pusat tentara Mongol. Di mana lagi kalau tidak di kota raja" Bun Lim Kwi maklum akan bahayanya kalau berani memasuki kota raja, akan tetapi dia sudah bertekat bulat untuk mencari Kwee Sin, maka tanpa pedulikan segala ancaman bahaya, berangkatlah dia menuju ke kota raja.
Tapi baru saja dia keluar dari daerah berhutan di kaki Gunung Hoa-san itu, sesosok bayangan hijau berkelebat dibarengi bentakan, "Orang she Bun, bersiaplah menebus dosa ayahmu!" Dan di depannya sudah berdiri gadis cantik berbaju hijau yang tadi menyerangnya di puncak Hoa-san! Gadis itu kini dengan muka agak pucat telah berdiri menghadangnya dengan pedang tajam melintang di dada, pedang yang ujungnya sudah buntung sedikit oleh pedang nona baju merah tadi.
Bun Lim Kwi menarik napas panjang, wajahnya yang tampan menjadi muram,
"Nona," ia menjura sebagai tanda penghormatan dan suaranya mengandung kesedihan besar, kenapa Nona memusuhi saya" Apakah dosaku dan apa pula gerangan kesalahan mendiang ayahku yang sudah tidak ada di dunia ini?"
Thio Eng, gadis itu, menggigit bibirnya dengan gemas, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Dua saudara Bun dari Kun-lun-pai telah membunuh ayahku ketika aku masih kecil."
"Nona, kalau ayah dan pamanku yang membunuh ayahmu, mengapa kau memusuhi aku" Apa salahku dalam hal ini bantahnya.
"Aku hendak membalas kepada ayah dan pamanmu tapi mereka sudah mampus, kaulah anaknya yang harus mempertanggungjawabkan pembalasannya. Orang she Bun, tak usah banyak cakap. Aku sudah cukup bersabar, cabut pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran tadi!" la sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah gemetar.
Tiba-tiba Lim Kwi merasa tubuhnya lemas. Entah mengapa, melihat wajah nona ini, melihat sinar matanya yang redup dan sayu penuh kedukaan, kekerasan hatinya mencair seperti lilin dekat api. Timbul rasa kasihan di hatinya, bahkan ada rasa suka yang timbul karena persamaan penderitaan. la menganggap dara ini senasib, ayah dibunuh orang, hidup menderita dendam. la tersenyum pahit, merasa betapa sama nasibnya dengan nona ini akan tetapi dia menyalahkan sikap Thio Eng. Andaikata dia berpendapat seperti nona ini lalu memusuhi anak-anak dari musuh yang membunuh ayahnya, tentu dia tidak akan sudi dicalonkan sebagai jodoh seorang gadis yang masih keturunan musuh-musuh pembunuh ayahnya! Juga timbul ingatannya bahwa segala persoalan, seperti juga persoalannya sendiri, harus diselidiki secara teliti. Andaikata benar ayah dan pamannya membunuh ayah gadis itu, pasti ada sebab-sebabnya.
"Nona, kalau ayah dan pamanku benar-benar telah membunuh ayahmu, sudah dapat dipastikan bahwa ayahmu melakukan sesuatu yang tidak baik. Ayah dan pamanku adalah dua orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte yang bernama bersih tak ternoda."
Wajah yang agak pucat dari nona ini sekarang berubah merah sekali, matanya berkilat-kilat. "Apa kaukata" Tidak peduli mereka itu Kun-lun Sam-hengte atau pendekar-pendekar dari langit sekalipun, kalau sudah bermusuhan dengan ayahku sudah pasti kesalahan terletak di tangan ayah dan pamanmu! Ayah adalah seorang patriot besar, seorang pejuang. Siapa di antara para pejuang yang tak pernah mendengar nama besar Thio San" Kesalahannya tentu terletak pada ayah dan pamanmu. Kun-lun Sam-hengte" Huh, buktinya yang termuda juga bukan orang baik-baik!" Setelah berkata deinikian, pedangnya bergerak menyerang pemuda itu.
Serangan ini hebat, cepat dan kuat sekali. Akan tetapi Bun Lim Kwi dapat melompat ke samping dan menghindarkan diri. "Tahan dulu, Nona....." Namun nona yang sudah marah itu makin penasaran dan menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi maklum bahwa menghadapi" nona ini yang sudah dia kenal kepandaiannya bermain pedang yang hebat, akan berbahaya sekali kalau dia bertangan kosong. Terpaksa dia mencabut keluar pedangnya yang juga sudah buntung ujungnya dan menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang itu bertemu.
"Nona, aku..... aku maklum akan isi hatimu. Keadaanmu sama dengan keadaanku.
Aku maklum akan penderitaanmu, akan dendammu....."
Thio Eng menahan pedangnya, mendengarkan dengan pandang mata heran. "Nona, percayalah, aku tidak menyalahkan kau kalau kau mendendam sakit hati. Aku pun demikian. Ayahku terbunuh orang. Tapi, berilah kesempatan kepadaku untuk membereskan urusanku. Kau sudah mendengar semua di Hoa-san tadi. Biarkan aku mencari susiok..... eh, mencari Kwee Sin sampai dapat sehingga urusan pembunuhan terhadap orang tuaku bisa diselesaikan. Setelah itu, nah..... setelah itu kalau kau hendak membalas dendammu kepadaku, silakan. Aku akan memberikan kepalaku kepadamu."
"Cih, siapa sudi mendengar obrolanmu".
"Betul, Nona. Entahlah.... hatiku tidak mengijinkan aku marah kepadamu. Aku kasihan kepadamu yang bernasib buruk. Aku dapat merasakan penderitaanmu.
Andaikata sakit hatimu itu dapat dipuaskan karena kematianku sebagai penebus dosa ayahku, biarlah aku berkorban. Tapi tunggulah sampai aku selesai mengurus urusanku sendiri."
"Bohong! Kau hanya mencari alasan untuk melepaskan diri dariku. Hemmw, orang she Bun, jangan harap aku dapat kaubodohi. Atau kau pengecut..... tidak berani menghadapi pedangku!"
Betapapun juga, Lim Kwi adalah seorang pemuda. Dia memang penyabar sekali, dan memang sudah menjadi dasar wataknya yang jujur dan sabar, berani mengalah. Akan tetapi karena sekarang didesak sedemikian rupa oleh nona ini, apalagi karena dianggap pengecut, sifat jantannya menonjol. la cepat menggerakkan pedangnya menangkis dan berkata.
"Nona Thio, sungguh aku tidak ingin bertempur denganmu. Jangan kau memaksaku!" Namun Thio Eng terus terdesak dan sebentar saja dua orang muda itu sudah bermain pedang dengan hebatnya. Serangan-serangan Thio Eng benar-benar amat berbahaya, Sebagai murid Swi Lek Hosiang, tentu saja kepandaiannya amat tinggi, ilmu pedangnya sudah masak dan juga ilmu pedang yang berasal dari daerah pantai timur ini mempunyai gaya tersendiri, mempunyai keistimewaan sendiri.
Permainan pedangnya cepat, tangkas, lincah dan mengandung tenaga yang bergelombang, seperti gelombang samudera yang memecah di pantai timur!
Akan tetapi Bun Lim Kwi adalah murid termuda Kun-lun-pai yang amat disayang oleh gurunya. Hampir seluruh ilmu pedang yang dimiliki Pek Gan Sian-Su diturunkan kepada muridnya ini sehingga dalam permainan Kun-lun Kiam-hoat boleh dibilang dimasa itu Bun Lim Kwi menjadi orang ke dua di Kun-lun setelah gurunya sendiri.
Bahkan tingkat ilmu pedang yang dimiliki oleh paman dan ayahnya, juga yang dimiliki Kwee Sin, masih kalah setingkat olehnya. Tentu saja dia masih banyak membutuhkan pengalaman pertempuran untuk mematangkan ilmunya. Gaya permainannya tenang dan kuat seperti batu karang di pantai laut, akan tetapi juga kadang-kadang kalau dia mau dia bisa melancarkan serangan yang mematikan.
Betapapun juga, menghadapi Thio Eng dia tidak tega untuk melakukan serangan maut, hanya mempertahankan dan melindungi tubuhnya, kadang-kadang memancing dan menggertak untuk mengurangi daya tekanan lawan. la merasa sedih sekali dengan kenekatan gadis ini yang agaknya tak dapat ditahannya lagi. Bun Lim Kwi maklum bahwa percuma saja dia membujuk, maka dia mengambil keputusan untuk merobohkan gadis ini tanpa melukai berat atau kalau mungkin meninggalkannya lari.
Yang pertama tadi, yaitu merobohkan tanpa melukai agaknya lebih mudah dipikirkan daripada dilakukan. Tingkat kepandaian gadis ini boleh dibilang seimbang dengan tingkatnya sendiri, mana mungkin dia merobohkannya tanpa melukai" Setelah berpikir demikian, Lim Kwi mengambil keputusan untuk meninggalkannya lari saja.
Tidak peduli dia dicap pengecut atau takut, karena soalnya bukan dia takut, melainkan karena dia tidak mau bermusuhan dengan gadis yang sekaligus menarik cinta kasihnya dan juga menimbulkan kasihan di hatinya ini.
"Maaf, Nona Thio, aku tak dapat melayanimu lebih lama lagi!" Pedangnya berkelebat cepat dan pedang nona itu tertangkis dengan kerasnya sehingga terpental. Thio Eng kaget sekali karena merasa telapak tangannya sakit. Baiknya dia masih dapat menjaga sehingga pedangnya tidak terlepas dari pegangan. Ketika dia dapat menguasai keadaannya, pemuda itu sudah meloncat jauh lari cepat.
"Orang she Bun, kau hendak lari ke mana?" bentaknya marah dan cepat dia mengejar. Dari pertandingan pedang kedua orang muda ini sekarang melakukan perlumbaan lari cepat juga dalam ilmu ini keduanya memiliki tingkat seimbang. Thio Eng sukar sekali untuk dapat menyusul lawannya, juga amat sukar bagi Lim Kwi untuk memperjauh jarak antara dia dan pengejarnya. Gadis itu seakan-akan menjadi bayangannya, terus mengikuti, ke mana pun juga dia lari atau meloncat. Ada sejam mereka berkejaran. Lim Kwi mulai merasa gelisah. la memasuki hutan-hutan dan sengaja mengambil jalan pegunungan yang amat sukar dengan harapan agar gadis itu akhirnya membiarkan dia pergi. Akan tetapi, dengan penuh semangat Thio Eng mengejar terus.
Karena merasa tak sanggup lari pergi dari gadis itu, Bun Lim Kwi membalikkan tubuhnya dan kembali dia membujuk.
"Nona Thio, kenapa kau bertekat hendak membunuhku sekarang juga" Tidak kasihankah kau kepadaku yang juga mempunyai semacam sakit hati dan pena-saran seperti yang kauderita" Aku minta waktu tiga bulan, Nona. Berilah tiga bulan agar aku dapat menyelesaikan dulu urusanku sendiri, setelah itu, aku akan mencarimu dan terserah kalau kau hendak membalaskan sakit hati ayahmu."
Tertegun juga hati Thio Eng mendengar ini. Pemuda ini lihai, belum tentu ia akan dapat menang kalau mereka bertempur. Juga buktinya tadi, biarpun ia sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat, sampai sedemikian lamanya belum juga dia mampu menyusulnya. Kiranya pemuda ini merupakan tanding yang seimbang dan belum tentu kalah kalau melawan, mengapa tidak mau melawan dan bahkan memberi janji akan suka dibunuh tiga bulan kemudian" Bukankah ini aneh sekali" Akan tetapi pikiran ini hanya sebentar saja memenuhi kepalanya, segera terganti oleh rasa dendam yang sudah ditanggungnya semenjak ia kecil.
Kemarahannya datang lagi. Pedangnya bergerak menyerang disusul bentakan.
"Tak usah banyak cakap, seorang dt antara kita harus mati!"
Bun Lim Kwi merasa sedih sekali sehingga dia agak terlambat mengelak. Pedang yang menusuk lehernya itu kini menyerempet pundaknya. Baju Lim Kwi robek berikut kulit dan sedikit dagingnya. Darah mulai mengucur deras membasahi baju.
Kembali Thio Eng tertegun, akan tetapi segera ia menyerang lagi lebih hebat. Lim Kwi sudah bersiap dan pedangnya menangkis. Kembali dua orang ini bertempur hebat sampai lenyap tubuh mereka terbungkus gulungan dua sinar pedang.
Dua orang itu saking hebatnya mecurahkan perhatiannya di ujung senjata masing-masing, tidak tahu bahwa sesosok bayangan datang mendekat. Setelah melihat siapa yang sedang bertempur, bayangan ini mengeluarkan segenggam benda lalu dengan kecepatan kilat dia menyambitkan benda-benda kecil dalam genggaman itu ke arah Bun Lim Kwi.
Pemuda ini tidak dapat mempertahankan diri terhadap serangan gelap ini karena benda-benda itu ternyata adalah jarum-jarum halus sekali yang ketika melayang ke arah tubuhnya tidak mengeluarkan bunyi. Tahu-tahu dia merasa punggungnya panas dan gatal-gatal, tubuhnya kaku-kaku dari tak dapat ditahannya lagi dia terguling dan pedangnya terlepas dari pegangannya!
Thio Eng heran bukah main. Masih sempat ia menarik kembali pedangnya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa Bun Lim Kwi telah roboh telentang dalam keadaan mengerikan. Muka pemuda yang tampan itu menjadi biru menghitam, tubuhnya kaku tak bergerak lagi. Ketika gadis ini mengangkat muka, ia melihat seorang pemuda sudah berdiri tersenyum-senyum di depannya. Pemuda ini bukan lain adalah Giam Kin! Tahulah Thio Eng sekarang bahwa diam-diam Giam Kin membantunya dan menyerang Lim Kwi dengan senjata rahasia yang aneh.
"Nona Eng, puaskah kau sekarang melihat musuhmu menggeletak di depan kakimu"
Nah, jangan buahg waktu lagi, segera kaupenggal lehernya!" kata Giam Kin sambil tersenyum lebar. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat nona itu dengan mulut cemberut dan mata berapi membentak.
"Kenapa kau mencampuri urusanku" Kenapa kau membunuhnya?"
"Eh, Nona. Bukankah dia musuhmu" Tadi kulihat kau tidak kuat mengalahkannya, maka aku membantumu."
"Siapa sudi bantuanmu" Siapa butuh pertolonganmu" Laginya, kau menyerang secara pengecut!" Gadis itu dengan marah lalu meloncat dan lari pergi dari situ.
Giam Kin berdiri terpaku di tempatnya. la menyeringai, kemalu-maluan dan juga penasaran. Akhirnya dengan marah dia lalu menoleh ke arah tubuh Lim Kwi yang masih menggeletak di situ, meludahinya dan mengomel, "Sialan!" Dengan hati murung Giam Kin lalu pergi dari situ juga. la tertarik oleh kecantikan Thio Eng, akan tetapi berbeda dengan menghadapi gadis-gadis lain, terhadap Thio Eng dia tidak berani bersikap sembrono. Selain gadis ini memiliki kepandaian yang cukup lihai, juga dia harus mengingat guru gadis itu, Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang tak boleh dipandang ringan.
Belum lama Giam Kin pergi, tubuh Bun Lim Kwi bergerak-gerak dan terdengar dia merintih perlahan. Pada saat itu Beng San berlari-lari cepat dalam usahanya mengejar Thio Eng dan mencari Bun Lim Kwi.
"Celaka, terlambat.....!" katanya ketika dari jauh dia melihat tubuh murid Kun-lun itu menggeletak di situ. Cepat dia memeriksa dan alangkah kagetnya melihat betapa seluruh tubuh pemuda ini membiru, napasnya kempas-kempis. Beng San adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu yang hebat, akan tetapi dia bukanlah seorang ahli pengobatan. Betapapun juga, setelah mendapat kenyataan bahwa di punggung pemuda ini terdapat jarum-jarum halus yang menancap, dia dapat menduga bahwa tentu Bun Lim Kwi terkena racun yang amat berbahaya. Dicabutnya jarum-jarum halus berjumlah tujuh buah itu, dan dengan hati-hati dia bungkus jarum-jarum itu dimasukkan ke dalam saku bajunya.
"Terlalu sekali Thio Eng. Betulkah nona itu sampai hati menggunakan senjata rahasia begini ganas dan keji?" la merasa penasaran, lalu tanpa ragu-ragu lagi Beng San menempelkan bibirnya pada luka-luka di punggung Lim Kwi, kemudian mengecupnya kuat-kuat. Darah-darah menghitam dapat dia isap keluar dan diludahkan, akan tetapi hanya berhasil mengeluarkan darah beracun yang berada di sekitar luka. Segera Beng San menggunakan kepandaiannya. Dengan menempel kedua pundak Bun Lim Kwi dengan kedua telapak tangannya, dia menahan napas mengerahkan tenaga dalamnya, mempergunakan tenga Im Yang berganti-ganti untuk mendorong hawa beracun dari tubuh Bun Lim Kwi. Karena " dia tidak tahu tergolong apakah racun itu, Im atau Yang, dia tidak tahu harus mempergunakan tenaga apa untuk melawannya.
Baiknya hawa mujijat dalam tubuh Beng San memang hebat sekali. Ketika dia mempergunakan tenaga Im, darah hitam banyak mengucur keluar dari luka-luka di punggung Lim Kwi. Akhirnya muka pemuda ini tidak biru lagi dan napasnya agak lega. Akan tetapi dia masih kaku dan pingsan.
Beng San teringat akan ular pemberian Giam Kin kepada ketua Hoa-san-pai,
"Ah, kenapa aku begini bodoh" Hoa-san tidak terlalu jauh, kalau kubawa ke sana dan minta Lian Bu Tojin memberikan ular-ular itu untuk menolong, bukankah Lim Kwi akan dapat tertolong segera?" Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memondong tubuh Lim Kwi dan mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali naik ke puncak Hoa-san.
Setelah tiba di puncak, dia segera berjalan seperti biasa menuju ke tempat tinggal Lian Bu Tojin. la melihat bahwa masih ada sedikit tamu di tempat pesta. Untuk tidak menarik perhatian orang, Beng San menggunakan kepandaiannya meloncat dan menyelinap menuju ke belakang dan memasuki bangunan itu dari belakang. Beberapa orang tosu melihatnya dan menegur heran.
"Beng San, kau dari mana dan..... eh, Siapa itu...,.?" Para tosu terheran-heran, apalagi setelah mereka mendapat kenyataan bahwa orang yang dipondong Beng San itu bukan lain adalah Bun Lim Kwi, murid Kun-lun-pai yang tadi datang bersama Pek Gan Siansu.
"Harap para Totiang tenang-tenang saja dan tolonglah panggilkan Lian Bu totiang, katakan aku Beng San mohon bertemu, ada urusan amat penting."
Para tosu segera melaporkan kepada Lian Bu Tojin yang masih duduk diruangan depan menanti habisnya para tamu. Tosu tua ini begitu mendengar laporan, segera mengundurkan diri dan menuju ke belakang, membiarkan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa melayani para tamu. Akan tetapi Kwa Hong yang berada di dekatnya ketika ada tosu memberi laporan, segera mengikutinya. Hal ini terlihat oleh Thio Bwee, Kui Lok dan Thio Ki yang segera mengikuti pula dari belakang.
"Beng San, kenapakah dia itu.....?" I.ian Bu Tojin menegur dengan kaget setelah melihat Bun Lim Kwi menggeletak di atas sebuah dipan dalam keadaan amat payah.
"Totiang yang baik, saya mohon belas kasihan Totiang. Tolonglah Bun Lim Kwi yang teecu (saya) ketemukan sudah menggeletak dalam keadaan begini di lereng bukit. Melihat keadaannya, teetu rasa dia terkena senjata beracun dan..... teecu teringat uakan pemberian Giam Kin. Bukankah ular-ular kecil itu adalah ttlar penolak racun?"
Lian Bu Tojin tidak menjawab dan cepat dia memeriksa tubuh Bun Lim Kwi.
Sebagai seorang ketua partai persilatan besar tentu saja kakek ini mengerti tentang ilmu pengobatan. Wajahnya berubah ketika dia memeriksa pemuda itu.
"Dia telah terkena racun yang amat berbahaya," katanya. "Pinto sendiri tidak mempunyai penolak racun yang akan dapat melawan racun ini."
"Totiang, bukankah Giam Kin telah memberi hadiah ular-ular penolak racun itu?"
Kakek itu mengangguk-angguk akan tetapi nampak ragu-ragu. "Hemmm, pinto pernah mendengar kemanjuran Ngo-tok-coa, akan tetapi belum pernah membuktikannya sendiri. Memang kata orang Ngo-tok-coa dapat menyembuhkan segala macam penyakit akibat keracunan, akan tetapi pinto belum pernah melihat kenyataannya, bahkan ularnya pun baru sekarang pinto melihatnya. Pemuda ini benar-benar hebat dan amat berbahaya keadaannya, kalau tidak mendapatkan obat yang cocok, takkan kuat menahan sampai dua pekan." Tosu itu nampak ragu-ragu dan khawatir.
"Totiang, kalau begitu, tolonglah Totiang berikan Ngo-tok-coa kepada teecu untuk mengobati Lim Kwi," Beng San berkata gelisah.
"Baiklah...... memang seharusnya begitu ....." kata kakek itu.
Tiba-tiba Thio Ki berkata dengan suara tak senang, "Sukong, dia itu adalah anak murid Kun-lun-pai, seorangmusuh besar. Luka atau matinya bukanlah urusan kita dari Hoa-san-pai!"
Thio Bwee dan Kui Lok menyatakan persetujuannya, malah Kui Lok menyambung,
"Inilah tanda bahwa Thian akan selalu menghukum mereka yang jahat. Kun-lun-pai sudah terlalu amat jahat terhadap kita, maka dia ini murid Kun-lun-pai juga mengalami nasib seburuk ini. Sukong, dia ini musuh kita, tak ada perlunya kita menolongnya."
Akan tetapi Kwa Hong yang selama ini amat bersemangat dalam permusuhan golongan Hoa-san-pai terhadap Kun-lun-pai, agaknya berpikiran lain. Entah bagaimana, gadis ini sudah menaruh simpati besar terhadap Beng San dan berlawanan dengan suara hatinya kalau menentang pemuda ini.
"Teecu tidak setuju dengan kedua Suheng," katanya kepada kakek ketua Hoa-san-pai.
"Biarpun dia ini musuh besar kita, akan tetapi dia terluka di Hoa-san, tentu orang luar akan menyangka bahwa kita yang melukainya dengan cara yang begini keji."
"Peduli apa dengan segala fitnah" Pokoknya kita tidak melakukan penyerangan gelap habis perkara. Biarkan orang lain menuduh!" Thio Ki bersiteng dengan sikapnya.
"Apalagi Beng San ini selalu memperlihatkan sikapnya memihak golongan Kun-lun-pai. Dahulu, bertahun-tahun yang lalu juga dia sudah memperlihatkan sikap membela Kun-lun, sekarang pun dia mati-matian hendak menolong orang Kun-lun. Sukong, kita harus berhati-hati terhadap orang ini dan jangan mendengarkan omongannya!"
kata Kui Lok. Semua ucapan cucu-cucu muridnya ini berkesan juga dalam hati Lian Bu Tojin.
Dengan pandang mata tajam dia bertanya kepada Beng San, "Beng San, kenapa kau selalu berpihak kepada Kun-lun" Kenapa kau bersusah payah hendak menolong Lim Kwi murid Kun-lun ini?"
Beng San sudah marah sekali mendengar ucapan Thio Ki dan Kui Lok tadi. Makin marah dia setelah mendengar pertanyaan Lian Bu Tojin yang jelas terpengaruh oleh ucapan-ucapan itu.
"Lian Bu totiang, saya harap Totiang suka ingat akan beberapa hal ini. Pertama, seorang yang sudah menjunjung tinggi keadilan menilai baik buruk seseorang dari perbuatannya, bukanlah dari keturunannya! Biarpun Lim Kwi seorang murid Kun-lun, tapi kesalahan apakah yang pernah dia lakukan terhadap Hoa-san-pai" Kedua, seorang yang tahu akan Ketuhanan tahu pula bahwa soal keturunan adalah hasil pekerjaan Tuhan. Lim Kwi menjadi anak keluarga Bun bukanlah karena kehendaknya melainkan karena kehendak Tuhan, maka apabila ada orang menyalahkannya karena keturunannya, sama artinya dengan orang itu menyalahkan hasil pekerjaan Tuhan! Ke tiga, seorang kuncu (budiman) selama hidupnya takkan meninggalkan perikemanusiaan dan akan menolong siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Lian Bu totiang, saya menolong Lim Kwi karena dua hal, pertama karena saya selalu teringat akan hal-hal yang saya sebutkan tadi, kedua kalinya, kiranya Totiang ingat juga akan pesan terakhir Bun Si Teng kepada saya di dekat ajalnya. Pesan orang yang sudah meninggal dunia adalah pesan keramat yang harus dihargai, asal saja pesan itu demi kebaikan. Nah, hendaknya Totiang segera mengambil keputusan, Totiang suka menolongnya ataukah tidak?"
Wajah kakek itu menjadi merah. Ia merasa terpukul oleh ucapan-ucapan pemuda itu.
Sambil menoleh kepada cucu-cucu muridnya dia berkata lirih, "Ambilkan Ngo-tok-coa itu....."
Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok tidak bergerak dari tempatnya, malah memandang marah kepada Beng San. Akan tetapi Kwa Hong segera berlari dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa tabung-tabung bambu terisi dua ekor ular kecil. Lian Bu Tojin menerima dua tabung itu dan berkata kepada Beng San.
"Inilah dua ekor Ngo-tok-coa itu, beng San. Pinto hanya menggunakan cara yang biasa untuk mengambil racun ular ini kemudian meminumkannya sebagian dan sebagian lagi digosokkan pada luka-lukanya. Akan tetapi karena pinto belum menyatakan sendiri khasiat racun Ngo-tok-coa, maka hasilnya pinto tidak berani menanggung."
"Totiang," kata Beng San dengan hormat dan berterima kasih, "keadaan Lim Kwi sudah payah. Kalau Totiang suka berusaha mengobati, itu saja sudah merupakan budi besar, tentang riwayatnya hanya terserah kepada Thian."
Lian Bu Tojin lalu membuka tutup tabung, menangkap ular pada belakang lehernya.
"Buka mulutnya," katanya kepada Beng San yang cepat membuka mulut Lim Kwi.
Dengan menekan pada leher dan belakang kepala ular itu, keluarlah cairan menguning dari mulut dan gigi ular, menetes-netes ke dalam mulut Lim Kwi. Kwa Hong sudah datang membawa secangkir air yang segera dipergunakan oleh Lian Bu Tojin untuk diminumkan pula sehingga racun tadi dapat masuk ke dalam perut. Setelah racunnya habis dan dilepas, ular itu menjadi lemas dan tak dapat berkutik lagi. Ular ke dua dikeluarkan dan seperti tadi, racunnya dikeluarkan, ditadahi cangkir kemudiari dengan tangannya Lian Bu Tojin menggosok-gosokkan racun ini di punggung Lim Kwi. Pengerahan tenaga dalamnya dapat mendorong racun ini masuk tubuh melalui luka-luka kecil itu. Setelah selesai, Lian Bu Tojin dengan napas agak terengah-engah lalu mundur dan mencuci tangannya.
Beng San merasa berterima kasih sekali. Dari napas kakek itu dia maklum bahwa tadi Lian Bu Tojin telah mengerahkan seluruh Iweekangnya dan dia merasa kagum akan budi kakek ini. Ia tidak pedulikan lagi kepada tiga orang cucu murid Hoa-san yang memandang semua itu dengan mulut cemberut dan sinar mata penuh kemarahan kepadanya. Hanya Kwa Hong yang dengan setulus hati membantu pengobatan tadi dan diam-diam dia pun berterima kasih sekali kepada nona ini.
Tubuh Bun Lim Kwi bergerak dan mulutnya mengeluh. Semua orang memandang dengan penuh perhatian. Girang hati Beng San ketika melihat betapa tubuh yang kaku tadi kini mulai menjadi lemas, warna kehitaman lenyap dan makin lama muka itu menjadi makin pucat. Lalu tubuh itu berhenti bergerak dan Lim Kwi kelihatan seperti orang tidur nyenyak, hanya napasnya agak terengah-engah.
Lian Bu Tojin lalu mendekat dan memeriksa pergelangan tangan dan detak jantungnya.
"Celaka.....!" Tosu itu berteriak kaget, wajahnya berubah pucat. "Keparat betul Giam Kin!" Saking marahnya tosu ini mengeluarkan makian.
"Bagaimana, Totiang?" Beng San berseru heran dan kaget.
Kakek menggeleng-geleng kepala dan memandang sedih ke arah Bun Lim Kwi.
"Tidak baik, tidak baik..... racun ular itu bukannya menyembuhkan, malah menambah payah. Agaknya bukan Ngo-tok-coa....." tiba-tiba kakek itu menghentikan ucapannya, wajahnya makin pucat ketika dia berbisik, "..... ngo-tok (lima racun)....."
Ah, jangan-jangan ada hubungannya dengan Ngo-lian-kauw, bukan ular-ular obat yang diberikan malah ular beracun berbahaya."
Kalau Beng San menjadi kaget bukan main, adalah Thio Ki dan Kui Lok sekarang girang sekali. "Beng San, lekas bawa pergi dia dari sini, tidak ada tempat untuk mengubur mayat orang Kun-lun! kata Kui Lok.
Pada saat itu Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa muncul. Para tamu yang melihat, Lian Bu Tojin mengundurkan diri, lalu berpamit dan di puncak Hoa-san sudah menjadi sunyi.
"Bagaimana, Suhu?" tanya Kwa Tin Siong yang tadi sudah mendengar tentang peristiwa yang terjadi atas drin Bwi Lim Kwi.
"Kita ditipu Giam Kin," jawab kakek itu. "Dua ekor ular itu bukan ular obat setelah dipergunakan racunnya mudah membuat dia makin parah."
"Bagaimana baiknya sekarang" Totiang, Kwa lo-enghiong, tolonglah beri petunjuk kepadaku," kata Beng San, nampak gelisah sekali. Kwa Hong menjadi terharu melihat sikap Beng San, akan tetapi gadis ini diam saja hanya menahan air matanya yang hendak keluar dari matanya.
"Tidak ada obat di dunia ini dapat menolongnya..... kecuali Thian turun tangan sendiri....." kata Lian Bu Tojin.
"Hanya ada satu jalan....." tiba-tiba Kwa Tin Siong berkata. Semua mata ditujukan kepada jago Hoa-san-pai ini, tapi Kwa Tin Siong melihat dengan pandang mata jauh ke arah kaki gunung di sebelah utara.
"Ah, dia.....?" Kui Lok dan Thio Ki berkata dengan nada mentertawakan.
"Ayah, tak mungkin....." kata Kwa Hong penuh kekhawatiran memandang kepada Beng San. Adapun Lian Bu Tojin hanya menggeleng-geleng kepala saja. "Kwa-enghiong, siapakah dia itu" Siapa yang dapat menolong Lim Kwi dan apakah yang kau maksudkan dengan satu jalan tadi?" Beng San mendesak, akan tetapi Kwa Tin Siong hanya menggeleng kepala. Beng San segera mendesak Lian Bu Tojin.
"Totiang, harap berbelas kasihan dan beri petunjuk. Siapakah dia yang dimak-sudkan oleh Kwa-enghiong dan yang bisa menolong Lim Kwi?"
"Tidak ada, tidak ada..... tak mungkin ditolong lagi....." kata kakek ini pula.
Melihat bahwa Kwa Tin Siong dan ketua Hoa-san-pai agaknya hendak menyembunyikan nama orang yang kiranya dapat menolong Lim Kwi, Beng San lalu menoleh kepada Kwa Hong, "Adik Hong, maukah kau memberi penjelasan kepadaku?"
Bukan main panasnya hati Thio Ki dan Kui Lok mendengar pemuda itu menyebut adik kepada Kwa Hong. Menurut pendapat mereka, tak patut pemuda ini menyebut adik, seharusnya menyebut nona.
"Sebetulnya bukan karena Ayah dan Sukong tidak mau memberi tahu, San-ko. Akan tetapi memang tidak ada gunanya mendatangi orang itu, malah amat berbahaya.
Ketahuilah, di kaki gunung ini sebelah utara terdapat seorang sakti yang amat aneh, terkenal disebut Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nya-wa). Baru namanya saja sudah menerangkan bahwa dia itu adalah seorang ahli obat sampai disebut Setan Obat. Akan tetapi, sebutan Toat-beng sudah jelas pula bahwa dia mempunyai satu kesukaan, yaitu mencabut nyawa orang. Menurut kabar, segala macam penyakit dia dapat menyembuhkan, akan tetapi begitu orangnya sembuh, dia lalu turun tangan membunuhnya. Karena inilah maka Ayah dan Sukong tidak tidak mau menyebut namanya."
"Apa dia gila.....?" Beng San berseru marah dan heran.
Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum berkata."Sama sekali kami tidak tahu bagaimana keadaannya sebetulnya, Beng San, dan kami tidak mau mencoba-coba untuk menanam permusuhan dengan orang kang-ouw. Dia tidak mengganggu kami dan kami tidak pedulikan dia, akan tetapi tentang kepandaiannya mengobati sudah amat terkenal di dunia kang-ouw."
Lian Bu Tojin mengarigguk-angguk. "Dia sama terkenalnya dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan, keduanya adalah keturunan tokoh-tokoh hebat di jaman dahulu.
Kalau Ciu Hui Gan masih keturunan dari si dewi pedang Ang I Niocu, adalah dia itu masih keturunan dari Yok-ong (Raja Obat) sayangnya..... hemmm, dia mempunyai kebiasaan yang amat keji dan aneh itu."
Beng San tidak berkata apa-apa, lalu menghampiri dipan dan memondong tubuh Lim Kwi yang masih pingsan dan lemas.
"Beng San, kau hendak ke mana?" tanya Kwa Tin Siong dan semua orang memandang kepada pemuda ini.
"Ke mana lagi, Kwa-enghiong" Ke kaki gunung sebelah utara itu untuk minta pertolongan Toat-beng Yok-mo.
"San-ko! Kau akan dibunuhnya!" seru Kwa Hong, wajahnya pucat. Sikap gadis ini amat menarik perhatian sampai ayahnya sendiri menoleh dan memandang heran.
Beng San menoleh kepada Kwa Hong dan tersenyum pahit. "Apa boleh buat, tapi akan kuusahakan supaya dia tepat menyembuhkan Lim Kwi."
"Beng San, dia ini apamu dan ada hubungan apakah kau dengan Kun-lun-pai maka kau bertekad mengorbankan nyawa untuk menolongnya?" Lian Bu Tojin bertanya, mata kakek ini memandang kagum.
"Totiang, menolong orang lain dengaii pamrih untuk keuntungan bagi diri sendiri bukanlah pertolongan namanya. Manusia hidup harus saling tolong-menolong dan apakah artinya pertolongan tanpa disertai pengorbanan?" Setelah berkata demikian, dia berjalan pergi sambil memondong tubuh Lim Kwi, sengaja dia memberatkan langkahnya sehingga kelihatan keberatan memondong tubuh itu.
Semua mata mengikutinya, mata Kwa Hong basah air mata. Lian Bu Tojin menggeleng kepalanya, menarik napas panjang berkali-kali dan berkata penuh pujian.
"Siancai..... siancai..... selama hidupku baru kali ini pinto melihat orang dengan budi pekerti sebaik dia..... kalian semua lihatlah baik-baik dan ingat baik-baik, dialah orang yang patut dihormati, dialah patut disebut seorang gagah!" Setelah berkata demikian kakek ini terbongkok-bongkok memasuki pondoknya.
* * * Kaki gunung sebelah utara itu amat indah pemandangannya. Penuh pohon berkembang dan rumput menghijau, di situ mengalir sebuah sungai kecil yang amat jernih airnya, penuh batu-batu hitam yang beraneka macam bentuknya. Di pandang dari lereng, kelihatan betapa indah dan suburnya tanah kaki gunung ini, menggirangkan hati Beng San yang menuruni lereng dengan cepat sekali.
Akan tetapi, setelah dia tiba di kaki gunung, dia merasa bulu tengkuknya berdiri.
Keadaannya memang indah, namun amat menyeramkan. Begitu sunyi. Sunyi melengang melebihi sunyinya kuburan. Daun-daun pohon bergoyang-goyang tertiup angin, kembang-kembang memenuhi ranting, rumput-rumput hijau tak pernah terinjak kaki nampak subur menggemuk, suara air gemercik seperti dendang lagu yang tak kunjung henti. Akan tetapi, kesunyian yang mencekam amat menyeramkan. Tak seekor pun burung kelihatan terbang, tak seekor pun binatang kelihatan berlari, bahkan tidak ada seekor pun jengkerik berbunyi. Tempat indah, namun seakan-akan tempat yang mati, tempat yang terkutuk di mana hawa maut selalu mengancam yang hidup!
Hanya sebentar saja keseraman mencekam hati Beng San. Segera dia dapat menguasai dirinya dan melangkah maju dengan tenang dan cepat. Dari atas tadi dia sudah melihat sebuah pondok kayu diantara pohon-pohon dekat sungai dan sekarang dia tujukan langkahnya ke arah pondok itu. Makin dekat dengan pondok ia berjalan, makin banyaklah dia mendapatkan bukti yang menyebabkan keadaan daerah itu demikian sunyi. Di sepanjang jalan, banyak yang sudah tertutup oleh rumput-rumput hijau, dia melihat banyak sekali tulang-tulang berserakan, kerangka-kerangka bintang besar kecil seakan-akan semua penghuni hutan itu telah tewas karena bencana yang maha dahsyat. Makin dekat dengan pondok, dia mulai melihat kerangka-kerangka manusia yang sudah kering, sudah rusak dan ada pula yang masih baru. Beng San menekan debar jantungnya dan melangkah terus sampai ke depan pintu pondok.
Dilihatnya asap keluar dari jendela pondok itu dan bau yang amat aneh menusuk hidungnya, bau yang luar biasa, disebut wangi ada bau tak enaknya, seperti bau obat-obatan yang dimasak.
"Teecu Tan Beng San mohon bertemu dengan Locianpwe keturunan Yok-ong yang budiman, Beng San berseru tanpa mengerahkan khikangnya, dengan suara biasa saja.
Terdengar suara cekikikan di dalam pondok itu. "Hi..hi..hik! Tidak ada keturunan Yok-ong (Raja Obat) yang budiman di sini. Yang ada Setan Obat, sama sekali tidak budiman! Hi..hi..hik!"
Suara itu menyeramkan sekali dengar di tempat sesunyi itu.
"Teecu mohon pertolongan locianpwe Setan Obat untuk menolong nyawa sahabat teecu yang terluka dan terkena racun."
Kembali suara ketawa seperti tadi, disusui kata-kata yang parau, "Tidak ada Setan Obat penolong nyawa di sini, yang ada Setan Obat Pencabut Nyawa (Toat-beng Yok-mo)! Hi..hi..hik!"
Mendongkol hati Beng San, juga dia merasa gelisah. Terang bahwa orang di dalam itu adalah seorang yang mempunyai sifat suka mempermainkan nyawa orang pula.
"Kalau begitu, biarlah teecu mohon bertemu dengan Toat-beng Yok-mo untuk bicara."
Pintu pondok yang tertutup tiba-tiba terbuka mengeluarkan suara berderit dan seorang kakek bongkok berkepala botak keluar sambil membawa sebuah panci yang mengebulkan uap. Panci itu dari besi dan di bawahnya sampai merah membara, namun kakek itu memegang panci begitu saja, padahal dapat dibayangkan betapa panasnya. Dari sini saja sudah dapat diketahui betapa lihainya kakek buruk rupa ini.
Matanya yang besar sebelah, sebelah lagi sipit seperti meram, memandang kepada Beng San yang masih berdiri di depan pintu sambil memondong tubuh Bun Lim Kwi yang pingsan.
"Hi..hi..hi, orang muda nekat. Sudah tahu aku Setan Obat Pencabut Nyawa, masih nekat hendak bertemu. Apa kau mau menyerahkan jantungmu dan jantung temanmu yang hampir mati karena racun itu untuk kutambahkan ke dalam panci ini?"
la menggerak-gerakkan panci sehingga isinya berlompatan ke atas. Beng San bergidik ketika melihat isi panci itu adalah potongan-potongan daging berwarna merah kebiruan. Benarkah itu jantung-jantung manusia"
"Toat-beng Yok-mo locianpwe, aku datang untuk mohon pertolonganmu mengobati temanku yang sakit ini," kata Beng San.
"Goblok! Siapa mau mengobati" Aku hendak mengambii jantungmu dan jantung temanmu itu, mau lihat siapa berani menghalangi Setan Obat Pencabut Nyawa?"
Orang itu tertawa-tawa. Beng San memutar otaknya. Jelas baginya sudah bahwa orang ini kalau bukan orang yang luar biasa anehnya, tentulah seorang yang miring otaknya. Melihat sikap dan kata-katanya, tentu orang ini amat sombong dan mengandalkan kepandaiannya sendiri. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk memanaskan hatinya.
"Hemmm, kiranya aku salah alamat. Kau bukanlah Yok-mo seperti yang didengung-dengungkan orang kang-ouw. Kau hanyalah tukang membunuh, sama sekali tidak becus mengobati orang. jangan kau pura-pura menggunakan dan memalsu nama keturunan Yok-ong. Tak tahu malu.
Mata kanan yang lebar itu makin terbelalak sedangkan yang kiri makin sipit, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang tinggal tiga buah atas bawah itu.
"Orang muda, aku memang keturunan Yok-ong dan akulah Toat-beng Yok-mo Mengobati orang ini saja apa susahnya" Dia terkena racun kelabang yang dipergunakan orang di ujung senjata rahasia. Tentu dia terluka di punggungnya.
Kemudian...." la mengarahkan pandangnya kepada muka Bun Lim Kwi, kemudian ditambah lagi dengan racun Ular Merah, hebat sekali, tidak saja racun memasuki perutnya, juga memasuki tubuh melalui luka. Hih, tiga hari lagi dia bakal mampus!"
Sampai ternganga mulut Beng San mendengarkan kata-kata yang cocok ini. la mulai percaya bahwa orang di depannya ini benar-benar seorang ahli dalam pengobatan.
Sekali melihat saja dia sudah dapat membuka rahasia penyakit yang diderita Lim Kwi. Tapi pemuda yang cerdik ini sengaja memperlihatkan senyum mengejek.
"Ah, kau hanya ngawur saja. Semua orang juga bisa bicara sesukanya tentang penyakit orang. Tapi aku tetap tidak percaya kalau kau bisa mengobati penyakitnya.
Apalagi penyakit karena keracunan begini hebat, sedangkan orang masuk angin biasa saja aku sangsi apakah kau bisa mengobati sampai sembuh!"
Kakek bongkok ini membanting-banting kaki, marah sekali. "Anak setan! Jangankan baru sakit macam ini, orang mati pun aku bisa bikin hidup lagi!"
"Uhhh, siapa percaya omongan ini" Kalau kau bisa buktikan, bisa menyembuhkan temanku ini, aku mau berlutut padamu dan mengakui bahwa kau benar-benar keturunan Yok-ong yang pandai seperti dewa. Tapi kalau kau tidak becus, kau tidak lain hanyalah penjual lagak yang kosong melompong belaka.
"Bawa dia masuk, bawa dia masuk..... buka matamu dan lihat bagaimana dalam waktu singkat Toat-beng Yok-mo menyembuhkannya sama sekali!" bentak kakek itu sambil terbongkok-bongkok masuk ke dalam pondoknya membawa panci itu.


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Beng San tersenyum girang. Akalnya telah berhasil. Segera dia melangkah masuk ke dalam pondok tanpa ragu-ragu lagi. Pondok itu ternyata cukup lega dan terang karena bagian atapnya dapat dibuka sehingga sinar matahari dapat menyinar masuk. Akan tetapi kotor sekali, penuh dengan tulang-tulang, daun kering, akar-akaran yang bertumpuk di meja, di lantai dan di semua tempat. Di pojok terdapat sebuah dipan bambu.
"Letakkan di sini!" Beng San menurunkan tubuh Lim Kwi di atas dipan itu dan berdiri agak menjauhi untuk memberi kesempatan kepada orang aneh itu memeriksa.
Akan tetapi, kakek itu sama sekali tidak melakukan pemeriksaan langsung saja dia membuka pakaian atas pemuda itu dengan cara kasar yakni merobek baju yang dipakai Lim Kwi begitu saja seperti orang merobek kertas tipis. Dengan kasar juga kakek ini membalikkan tubuh Lim Kwi sehingga tubuh pemuda itu menelungkup.
Sebentar dia memeriksa luka-luka di punggung, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya yang lebar. Ternyata itu adalah bungkusan jarum-jarum panjang terbuat dari emas dan perak. Setelah memandang sejenak penuh perhatian, kakek ini lalu menusuk-nusukkan tujuh belas batang jarum di leher, kedua pundak sepanjang punggung dan di antara tulang iga.
Beng San memandang penuh perhatian dan kagum melihat cara kakek itu menusuk-nusukkan jarum yang demikian cepat, bertenaga dan tepat mengenai jalan-jalan darah tertentu.
Kemudian kakek bongkok itu melangkah tiga tindak ke belakang, kemudian dari situ dia melompat ke depan menggunakan jari telunjuknya menotok belakang kepala Lim Kwi, melangkah mundur lagi, melompat menotok lagi lain jalan darah berkali-kali.
Makin lama makin cepat dia bergerak sehingga dalam waktu beberapa menit saja dia sudah menotok hampir semua jalan darah yang tidak tertusuk jarum-jarum emas dan perak di bagian belakang tubuh Lim Kwi. Setelah melakukan totokan-totokan selama setengah jam dia terengah-engah dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap. Dengan lemas dia lalu mencabuti jarum-jarum itu, lalu membalikkan tubuh Lim Kwi telentang.
Beng San berdebar kagum. Muka Lim Kwi sudah mulai merah, napasnya tidak lemah seperti tadi.
Setelah beristirahat sejenak, kakek bongkok itu menggunakan jarum-jarumnya menusuk-nusuk dan menancap-nancapkan seperti tadi di tujuh belas tempat, kini dibagian depan badan Lim Kwi. Seperti tadi pula, dia menotok terus-menerus dengan gerakan cepat.
Setelah selesai dan mencabuti semua jarum, kakek itu terengah-engah menghadapi Beng San, lalu berkata parau, "Hi..hi..hik, kau lihat" Penyakitnya sudah sembuh, sebentar lagi semua racun di badannya keluar!"
Beng San, masih belum percaya, akan tetapi tiba-tiba terdengar Lim Kwi mengeluh dan muntah-muntah. Yang dimuntahkan hanyalah cairan racun dan seluruh tubuhnya seakan-akan mengebul panas. Anehnya, keringat yang keluar dari tubuhnya berwarna agak biru, itulah racun yang keluar bersama keringatnya!
Dengan tenang kakek itu lalu menjejalkan tiga buah butir pil hijau ke dalam mulut Lim Kwi, mendorongnya dengan jari telunjuknya sehingga tiga butir pil itu terus memasuki perut. Tak sampai sejam kemudian, Lim Kwi sudah tenang, mukanya merah dan membuka matanya! la nampak heran sekali, akan tetapi ketika hendak bangun duduk, dia pusing dan meramkan mata.
"Saudara Bun Lim Kwi, kau rebahlah saja dulu. Baru saja kau disembuhkan oleh tabib dewa Toat-beng Yok-mo keturunan Yok-ong!" seru Beng San girang bukan main. Akan tetapi kegirangannya lenyap seketika terganti kekagetan ketika melihat kakek itu sudah memegang sebatang pedang yang tajam dan runcing sambil tertawa-tawa,
"Eh, eh..... kau mau apa dengan pedang itu?" Beng San bertanya dan merasa seram.
"Hi..hi..hik! Toat-beng Yok-mo namaku. Setan Obat Pencabut Nyawa Aku mengobati untuk bertanding dengan penyakit, bukan untuk menyembuhkan or. Siapa yang sembuh oleh obatku, harus kucabut nyawanya dengan pedangku. Tadi aku mengobati, sekarang aku mencabut nyawa, hi..hi..hik, nyawamu dan nyawa dia."
"Kakek yang baik, kenapa begitu" Mengobati orang sakit memberi pertolongan dan ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia yang hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong! Adapun urusan mencabut nyawa, kurasa ini bukanlah urusan manusia. Hanya Thian yang menitahkan Giam-lo-ong (Raja Maut) berhak mencabut nyawa manusia. Kau sudah menolong temanku dari bahaya maut, kenapa hendak membunuhnya?"
"Hi..hi..hik, belum pernah ada orang kusembuhkan lalu kubiarkan hidup. Tidak terkecuali dia ini."
"Janganlah, Locianpwe. Biarlah aku yang menjadi penggantinya. Jangan kaubunuh dia."
"Hi..hi..hik! Aneh, aneh..... tapi kebetulan. Aku membutuhkan jantung orang, dan jantung dia ini kurang bersih setelah tadi terserang racun. Jantungmu lebih bersih dan baik, bagus! Boleh diganti, boleh ditukar. Dia boleh hidup, kau penggantinya dan harus kauberikan kepadaku. Eh, orang muda, selama hidupku belum pernah aku mendeorang mau menukar diri mewakili orang mati. Apakah betul-betul kau mau menggantikan orang ini untuk kuambil jantungnya?" Ujung pedang itu sudah menodong dada Beng San.
Beng San tenang-tenang saja, tersenyum berkata, "Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik kembali, Locian-pwe. Aku sudah bersusah payah berusaha menolong dia ini, maka takkan kulakukan Setengah-setengah. Kalau memang kau membutuhkan jantung, biarlah aku mewakilinya. Kau harus berjanji akan melepaskan dan tidak mengganggu orang ini dan kau boleh mengambil jantungku, yaitu kalau kau bisa."
Ucapan terakhir dari Beng San. Ini rupanya tidak diperhatikan oleh kakek yang sudah terheran-heran dan juga kegirangan itu. "Baik, boleh..... aku berjanji takkan mengganggu orang ini. Nah, bersiaplah kau menghadiahkan jantungmu yang segar kepadaku!"
"Kauambillah sendiri kalau dapat!" jawab Beng San, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang, siap untuk melawan kakek ini dengan seluruh tenaga dan kemampuannya.
"Hi..hi..hik, orang muda yang aneh, yang sinting....." Pedangnya diayun-ayun ke atas seperti orang menakut-nakuti. Tiba-tiba Bun Lim Kwi meloncat dari dipan itu dan menyerang kakek bongkok dengan pukulan-pukulan hebat.
"Siluman tua! Tak boleh kau membunuh penolongku!" Ternyata dari gerakan-gerakannya pemuda Kun-lun-pai ini sudah sembuh sama sekali. Serangannya hebat bukan main dan terpaksa kakek bongkok itu meloncat mundur sambil terkekeh-kekeh tertawa.
"Hi..hi..hik, bukankah manjur sekali pengobatanku?"
"Saudara Bun, jangan serang dia. Dia adalah penolongmu, sudah mengobatimu tadi,"
kata Beng San mencegah. "Aku tahu, tapi dia siluman jahat, hendak membunuhmu. Tidak bisa aku berpeluk tangan saja!"
"Hi..hi..hik, anak Kun-lun-pai, hi..hi..hik. Biarlah aku mencoba sampai di mana kehebatan latihan dari Pek Gan Sian-su si mata putih!" Sambil berkata demikian kakek ini menyimpan pedangnya dan melompat keluar. "Mari, mari sini orang muda Kun-lun-pai, boleh kau coba-coba, hi..hi..hik!"
Bun Lim Kwi yang tadi telah sadar dan melihat betapa kakek ini hendak membunuh Beng San, segera turun tangan menolong. Sekarang dia melompat keluar untuk melayani kakek aneh itu. Beng San berdebar dan ikut lari keluar.
"Siluman jahat, aku tidak rela diwakili oleh saudara ini. Kalau kau hendak membunuh dan mengambil jantungku, kaucobalah. Mati dalam pertempuran bukanlah apa-apa dan kau baru gagah kalau membunuh seorang yang dapat melawanmu.
Saudara ini tidak pandai silat, bagaimana kau punya muka untuk membunuhnya begitu saja?"
"Hi..hi..hik, orang muda. Kau seperti orok kemarin sore yang masih merah berani mencoba aku" Hi..hi..hik, kausambutlah ini." Biarpun bongkok dan gerak-geriknya seperti orang tua lemah, akan tetapi tiba-tiba kakek itu sudah mengirim serangan yang luar biasa cepatnya. Lim Kwi kaget, akan tetapi sebagai murid Kun-lun yang sudah matang kepandaiannya, dia cepat mengelak dan membalas dengan serangan yang tak kalah dasyatnya..
Beng San memandang cemas. la maklum bahwa biarpun Lim Kwi cukup pandai, namun kiranya takkan mungkn dapat menangkan kakek itu yang ternyata adalah seorang ahli Iweekeh dan ahli totok yang lihai sekali. la sendiri merasa sangsi dan ragu-ragu apakah dia harus membantu Lim Kwi ataukah tidak. Bingung dia menghadapi penstiwa ini dan tidak dapat cepat-cepat mengambil keputusan bagaimanakah dia harus bertindak. la memang harus menolong Lim Kwi seperti pernah dulu dipesankan oleh mendiang ayah pemuda itu, akan tetapi dengan melawan kakek bongkok ini, bukankah hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak bijaksana" Kakek itu betapapun juga sudah menolong Lim Kwi, tanpa ragu lagi dia mau mengakui bahwa kakek itu telah merenggut nyawa Lim Kwi dari cengkeraman maut. Kalau sekarang mereka melawan kakek itu, bukankah itu berarti seorang rendah budi yang tidak ingat akan budi kebaikan orang" Tapi sebaliknya kalau dipikirkan lagi, kakek itu hendak membunuhnya dan Lim Kwi melawan untuk menolongnya, apakah sekarang dia harus diam saja melihat Lim Kwi terdesak" Benar-benar Beng San menjadi bingung sekali dan pemuda ini mengambil keputusan untuk menolong Lim Kwi apabila keselamatan pemuda itu terancam.
Bun Lim Kwi benar-benar sudah bertekad bulat untuk membela Beng San dengan pertaruhan nyawanya. Tadi ketika dia sadar dari pingsan, dia mendengar semua pembelaan Beng San kepadanya dan dia pun segera dapat menarik kesimpulan bahwa setelah dia roboh dalam pertandingan dengan Thio Eng di dalam hutan, tentu telah ditolong oleh Beng San dan dibawa ke rumah tabib setan ini. la merasa amat terharu mendengar betapa Beng San rela mewakilinya untuk mati di tangan kakek setan itu dan diam-diam Lim Kwi kagum akan pandangan gurunya yang tepat tentang dir Beng San. Memang pemuda luar biasa. Biarpun tidak memiliki kepandaian silat, namun nyalinya besar dan budinya luhur Maka sekarang dia hendak membalas budi itu, kalau perlu dia rela berkorban, mati dalam tangan kakek bongkok untuk menolong Beng San. Lim Kwi maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main, memiliki tenaga Iweekang yang luar biasa besarnya scdangkan ilmu silatnya juga amat aneh.
Pertempuran berlangsung makin hebat. Kakek itu tertawa-tawa selalu dan seakan-akan mempermainkan Lim Kwi. Dengan penasaran pemuda ini lalu mengeluarkan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Kilat) yang dia warisi dari gurunya. Kedua tangannya menyambar-nyambar, tulangnya berkerotokan dan angin pukulannya terasa panas!
"Hi..hi..hik! Inikah Pek-Iek-ciang-hoat dari Kun-lun-pai?" Kakek itu tertawa mengejek dan memapaki pukulan kedua tangan Lim Kwi dengan tangan terbuka. Dua pasang tangan bertemu dan saling tempel, tak dapat dilepaskan lagi. Dua orang itu, seorang pemuda dan seprang kakek bongkok, kini mengadu tenaga Iweekang.
Sebentar saja Lim Kwi merasa betapa telapak tangannya tergetar dan makin lama makin dingin. Tenaga Pek-lek-ciang-hoat yang dia miliki makin lemah dan hampir buyar. Keadaannya amat berbahaya karena sebagai seorang ahli, pemuda ini maklum bahwa setelah tenaganya habis, dia akan terluka hebat di dalam tubuhnya, luka yang mungkin akan merenggut nyawanya. Akan tetap dia mengerahkan seluruh tenaganya dan berlaku nekat.
"Yok-mo, jangan bunuh dia.....!" Beng San menghampiri dua orang yang sedang adu tenaga secara mati-matian itu, kemudian menepuk pundak Lim Kwi dua kali sambil berkata, "Saudara Bun, dia penolongmu, jangan serang dia!"
Biarpun hanya merupakan dua tepukan perlahan, namun sebenarnya Beng San mengerahkan hawa tenaga Yang dari tubuhnya. Tenaga yang maha dahsyat ini tersalur melalui pundak Lim Kwi, terus ke arah kedua lengannya. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang le?ngan yang saling tempel itu terlepas seperti direnggutkan tenaga yang tak tampak. Lim Kwi tak dapat mempertahankan diri dan roboh terguling di atas lantai, pingsan! Tadi dia mengerahkan tenaga Iweekang seluruhnya dan setelah tiba-tiba tenaganya tidak mendapatkan sasaran, dia kehabisan tenaga dan pingsan.
Adapun kakek bongkok itu terdorong mundur terhuyung-huyung.
"Ayaaa.....!" seru kakek itu terheran-heran dan kaget bukan main. Pada saat itu terdengar bunyi lengking tinggi dan tiba-tiba berkelebat bayangan putih yang menyambar ke arah Toat-beng Yok-mo! Bayangan itu ternyata adalah bayangan seorang gadis remaja berpakaian serba putih yang menggunakan sebatang pedang mengkilap langsung menyerang kakek bongkok.
Toat-beng Yok-mo mengeiuarkan suara menggereng keras dan hanya dengan menggulingkan tubuh di atas tanah dia dapat menyelamatkan diri dari serangan yang luar biasa hebatnya dari gadis itu. Gadis itu melanjutkan serangannya yang membuat Beng San berdiri melongo karena gerakan-gerakan itu adalah Yang-sin Kiam-sut yang dimainkan dengan amat hebat dan mendekati kesempurnaannya!
Adapun Toat-beng Yok-mo yang tadi belum hilang kagetnya karena serangan tenaga yang luar biasa, sekarang makin kaget lagi menyaksikan ilmu pedang gadis ini. la memang mempunyai musuh yang amat dibencinya sejak dulu, yaitu Song-bun-kwi dan sekarang melihat gadis yang menyerangnya, dia maklum bahwa kalau Song-bun-kwi muncul dia bisa celaka. Sambil berseru keras seperti binatang liar, kakek ini meloncat jauh lalu pergi dengan amat cepatnya.
Gadis itu berdiri tegak, tidak mengejar, menyimpan pedangnya kembali lalu membalikkan tubuh memandang ke arah Beng San. Juga pemuda ini berdiri terpaku memandang gadis baju putih itu. Keduanya seperti terpesona. Tadi Beng San tidak mengenal gadis ini karena pakaiannya yang serba putih. Sekarang setelah mereka berhadapan, dengan jelas dia melihat sepasang mata itu, sepasang mata yang takkan pernah terlupa olehnya selama dia hidup. Hidung itu, mulut itu... Bi Goat, si bocah gagu!
"Bi Goat.....?"" Beng San setengah berlari menghampiri.
Gadis itu yang tadinya masih agak ragu-ragu setelah mendengar suara ini lalu lari pula menghampiri Beng San. Kini mereka berhadapan, Beng San yang merasa terharu dan bahagia memegang kedua pundak gadis itu.
"Bi Goat..... benar kau Bi Goat " katanya dengan napas memburu.
Gadis itu tersenyum, nampak giginya yang berderet rapi dan berkilauan, tapi kedua mata yang indah itu bercucuran air mata. Kemudian Bi Goat menubruk dan merangkul leher Beng San sambil menangis di atas dada pemuda itu!
"Bi Goat...... ah, tak dinyana kita bertemu di sini..... kenapa kau begini sedih"
Kenapa" Dan kau..... kau berkabung" Bi Goat, apa yang terjadi.....?" Beng San bertanya dengan suara gemetar. Inilah orang yang selama ini menjadi kembang mimpi, yang tak pernah lepas dari ingatannya, orang yang sejak kecilnya sudah mau berkorban untuknya. Melihat gadis ini menangis terisak-isak sehingga baju di bagian dadanya basah oleh air mata gadis itu, Beng San terharu sekali dan tak dapat menahan turunnya dua butir air mata.
"Bi Goat...... anak baik, sayang..... jangan menangis....." Beng San makin terharu ketika mengingat bahwa gadis ini tidak dapat bicara, maka dia lalu mengelus-elus rambut yang hitam panjang itu. Tidak karuan rasa hati Beng San. la menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat maka gadis ini memakai pakaian berkabung.
Seingatnya, Bi Goat paiing suka mengenakan pakaian berwarna merah, kenapa sekarang berpakaian serba putih" Apakah ayahnya, Song-bun-kwi telah mati"
Teringat akan ini, makin sedih dan terharu hatinya dan dipeluknya gadis itu penuh kasih sayang.
Bi Goat mereda tangisnya, lalu diambilnya sehelai saputangan putih dari saku baju sebelah dalam dan diberikanya saputangan sutera putih itu kepada Beng San. Di atas saputangan sutera putih ternyata ada tulisan, huruf-huruf memakai benang hitam yang disulam indah dan berbunyi :
Kau hanyut ....... sungai membawamu pergi jauh,
entah mati ataukah masih hidup.
Aku berkabung untukmu.....
sampai kita bertemu kembali,
entah di dunia ataukah di akherat.
Membaca tulisan ini, Beng San makin terharu. Dipeluknya Bi Goat, didekapnya kepala itu ke dadanya, dibisikkan mulutnya ke telinganya, "Bi Goat, alangkah muha hatimu..... alangkah suci cinta kasihmu....." Sampai lama dua orang muda ini diam, kediaman penuh bahagia, menikmati kebahagiaan yang bergelora di dalam hati masing-masing. Beng San seakan-akan lupa akan diri Bun Lim Kwi yang masih pingsan di atas tanah.
Tiba-tiba Bi Goat melepaskan diri dari pelukan, memegang kedua tangan Beng San, tertawa-tawa dengan mata masih basah air mata, dipandangnya Beng San dari atas sampai ke bawah, berkali-kali seperti masih belum percaya bahwa ia betul-betul telah bertemu dengan Beng San! Sikap kekanak-kanakan ini makin mengharukan hati Beng San, mengingatkan dia bahwa gadis ini tidak dapat bicara. Akan tetapi, juga telah membuyarkan cekaman rasa keharuan tadi, membuat dia teringat akan keadaannya.
Kemudian Bi Goat sambil tertawa-tawa memberi isyarat kepada Beng San supaya tinggal saja di situ dan dia sendiri segera lari memasuki pondok Toat-beng Yok-mo.
Entah apa yang dilakukan di dalam, akan tetapi ketika ia keluar kem-bali ternyata ia telah berganti pakaian! Buntalan kecil yang tadi menempel di punggungnya ternyata adalah pakaian berwarna merah berkembang-kembang indah sekali yang kini dipakainya sebagai pernyataan bahwa perkabungannya telah berakhir! Kedua orang itu kembali saling berpegang tangan dan saling berpandangan.
"Kau jelita, Bi Goat..... kau hebat....", hanya demikian Beng San dapat berkata lirih.
Bi Goat tidak bisa bicara, akan tetapi jari-jari tangan mereka yang saling remas itu cukup mewakili kata-kata, menyatakan perasaan hati yang hanya dimengerti dan dapat dirasakan oleh mereka berdua.
"Bi Goat, bagaimana kau bisa datang ke sini dan mengapa kau memusuhi Toat-beng Yok-mo?" Beng San bertanya.
Mendengar ini, Bi Goat seperti kaget seperti baru teringat akan hal penting. Ia menarik tangannya dan menggurat-gurat dengan jari telunjuk ke atas tanah. Ternyata ia menulis beberapa huruf sebagai pengganti kata-katanya.
"Kami tinggal di lereng Min-san. Aku harus mengejar Yok-mo. Kita pasti akan bertemu kembali. Selamat berpisah!" Demikianlah bunyi tulisan itu dan sebelum Beng San sempat berkata-kata, gadis itu merangkul lehernya sekali, tertawa lalu berlari cepat sekali pergi dari situ. Sekejap mata saja sudah tidak kelihatan lagi.
"Bi Goat.....!" Beng San hendak mengejar akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara orang mengeluh. Ketika dia menengok, ternyata Bun Lim Kwi telah sadar kembali dan bangkit berdiri.
"In-kong (Tuan Penolong), syukur bahwa Thian masih melindungi kita....." kata Bun Lim Kwi sambil menjura dengan hormat. "Tadi ada seorang gagah menolongku, di manakah dia sekarang dan siapakah dia gerangan?"
Melihat sikap pemuda itu demikian menghormatnya, dengan gugup Beng San membalas dan berkata, "Saudara Bun, kuharap dengan sangat jangan kau menyebutku tuan penolong. Sudah sepatutnya kalau manusia hidup di dunia ini saling tolong-menolong, maka apa artinya kita meributkan soal pertolongan" Kalau kita berbicara tentang pertolongan, takkan ada habisnya. Katakanlah aku menolongmu, kemudian Yok-mo menolongmu pula, lalu kau juga menolongku dari an-caman Yok-mo, yang kemudian sekali pendekar wanita murid Song-bun-kwi tadi menolong kita. Sebutlah saja aku Beng San..... eh, Tan Beng San."
Bun Lim Kwi nampak terheran-heran. "Murid Song-bun-kwi....." Sungguh aneh, bagaimana muridnya mau menolongku.... "
Beng San tidak suka banyak bicara tentang Bi Goat, maka dia segera membelokkan percakapan, "Saudara Bun, aku mendapatkan kau menggeletak di hutan dalam keadaan terluka hebat di punggungmu. Siapakah yang melukaimu"
Bun Lim Kwi menghela napas panjang, nampak berduka sekali. "Aku sendiri tidak tahu, tapi yang jelas bukan dia....."
"Dia siapakah?"
Kembali pemuda Kun-lun-pai itu menarik napas panjang. "Saudara Beng San yang budiman, aku benar-benar berterima kasih kepadamu dan aku tidak akan menyimpan rahasia terhadapmu. Setelah aku dan suhu pergi dari Hoa-san, suhu terus pulang ke Kun-lun dan aku..... hemmm, terus terang saja aku ingin mencari bekas susiokku Kwee Sin. Tiba-tiba muncul nona baju hijau yang menyerangku di puncak Hoa-san itu. Dia menuduh mendiang ayahku dan pamanku membunuh ayahnya dan berkeras hendak membalas kepadaku. Ahhh....." Lim Kwi menghela napas, kelihatan berduka sekali. "Aku tidak ingin bermusuhan dengannya, aku sudah mengalah..... dia mendesak terus, aku lari, dia mengejar. Terpaksa aku mempertahankan diri. Setelah itu ada orang menyerangku dari belakang secara menggelap, entah siapa karena aku roboh tak ingat lagi. Tahu-tahu sudah berada di sini."
Beng San mengerutkan keningnya dan hatinya diam-diam lega bahwa temyata sekarang bukan Thio Eng yang melakukan penyerangan menggelap mempergunakan senjata rahasia mengandung racun yang demikian keji. Ia sayang kepada Thio Eng, kasihan kepada nona itu, maka dia senang mendengar bahwa bukanlah gadis itu yang melakukan penyerangan curang dan keji.
"Tentu ada orang ke tiga yang berbuat curang," katanya. "Saudara Bun, aku melihat kau menggeletak di hutan itu. Kubawa kau kembali ke Hoa-san dan Lian Bu Tojin sudah berusaha keras menolongmu, menggunakan ular-ular pemberian Giam Kin.
Celaka sekali, ular-ular itu sama sekali bukanlah Ngo-tok-coa yang mengandung obat pemunah racun, malah sebaliknya setelah diobati dengan ular-ular itu, kau bertambah payah. Ternyata Giam Kin yang jahat itu telah menipu Hoa-san-pai."
Tercengang juga Bun Lim Kwi mendengar ini. "Ah, memang tepat sekali wawasan suhu..... sebenarnya Hoa-san-pai adalah tempat orang-orang baik. Aku yang dianggap musuh masih mereka usahakan untuk menolong..... hemmm, kenyataan ini makin menguatkan hasrat hatiku hendak mencari Kwee Sin sampai dapat. Dialah yang bertanggung jawab menerangkan segala keruwetan ini, termasuk urusanku dengan nona Thio Eng....."
"Tapi akulah yang sudah berjanji untuk mencari Kwee Sin....."
"Tidak, saudara Beng San. Kau sudah terlalu banyak melakukan kebaikan terhadap Kun-lun-pai dan kami berterima kasih sekali. Akan tetapi untuk mencari Kwee Sin adalah tanggung jawabku karena dia adalah bekas murid Kun-lun-pai juga. Aku hanya mohon petunjuK-petunjukmu."
Beng San tertegun. la tidak tahu bahwa Lim Kwi teringat akan pesan suhunya agar supaya mendengarkan nasihat Beng San. Dia sendiri menganggap Beng San hanya seorang sastrawan muda yang berhati mulia dan yang sudah memberi pertolongan kepadanya dengan taruhan nyawa. Tentu saja Beng San terheran mengapa seorang pemuda segagah Lim Kwi sampai tidak malu-malu minta petunjuknya.
"Saudara Bun, aku seorang lemah dan bodoh dapat memberi petunjuk apakah" Hanya kuharap saja kau berlaku hati-hati. Penyerangan gelap atas dirimu sudah membuktikan bahwa kau diincar oleh inusuh-musuh gelap. Kwee Sin menurut kabar telah memihak pemerintah penjajah yang sedang hendak digulingkan oleh para pejuang, maka mencari dia sama artinya dengan memasuki gua harimau dan lubang naga. Apalagi kalau diketahui bahwa kau anak murid Kun-lun-pai yang hendak menangkap Kwee Sin, tentu kau dikurung bahaya."
Bun Lim Kwi menjura dan memberi hormat. "Nasihat-nasihatmu akan kuingat selalu.
Semoga saja kelak Thian memberi kesempatan kepadaku untuk membalas semua budi kebaikanmu, saudara Beng San. Perkenankan sekarang aku melanjutkan perjalanan."
Beng San menjadi makin suka kepada pemuda Kun-lun-pai yang amat sopan dan merendah ini. Diam-diam dia membenarkan diri sendiri yang hendak memenuhi pesan terakhir dari ayah pemuda ini. Mereka berpisah dan Beng San tidak menahannya lebih lama lagi karena pemuda ini masih selalu gelisah kalau memikirkan perginya Bi Goat yang mengejar Toat-beng Yok-mo. la sendiri menghadapi banyak urusan penting. Di samping dia harus mencari Kwee Sin, juga dia berkewajiban merampas kembali Liong-cu Siang-kiam dan di sana masih ada orang yang dia duga adalah kakaknya dan yang sekarang agaknya menjadi kaki tangan Mongol pula. Apalagi sekarang muncul Bi Goat yang melakukan pengejaran terhadap seorang berbahaya seperti Toat-beng Yok-mo, dia harus membantu dan melindungi gadis gagu itu.
Dengan cepat Beng San lari mengejar untuk menyusul Bi Goat. Akan tetapi sampai berjam-jam dia tidak melihat bayangan gadis itu maupun bayangan Toat-beng Yok-mo. Tentu dua orang yang berkejaran itu telah mengambil jalan lain. Beng San kecewa. Rindu hatinya terhadap Bi Goat masih menebal, pertemuan yang hanya sebentar itu tldak mencukupi baginya. Aku harus ke sana pikirnya. Harus ke Min-san.
la teringat akan Song-bun-kwi dan menjadi ragu-ragu. Bukankah orang sakti itu selalu memusuhinya" Malah bermaksud membunuhnya kalau tidak dapat merampas Im-sin Kiam-sut" Akan tetapi, dia sekarang bukanlah dia dahulu. Dia tidak takut, kalau perlu dia akan melawan Song-bun-kwi, asal dia bisa dapat bertemu dengan Bi Goat!
"Ah, tugasku masih banyak. Kenapa aku selalu teringat dia" Setelah semua tugas selesai dikerjakan, baru aku akan mencari Bi Goat," Setelah mencela diri sendiri Beng San menghentikan usahanya mencari dan mengejar Bi Goat. Urusan merampas kembali Liong-cu Siang-Kiam bukanlah urusan yang terlalu mendesak, tidak perlu dia tergesa-gesa. Akan tetapi urusan mencari Kwee Sin adalah yang paling mendesak, kemudian urusan tentang kakakfiya, Tan Beng Kui. Dan dia maklum bahwa untuk mencari dua orang ini dia harus berani memasuki kota raja.
Kwee Sin kabarnya bekerja sama membantu Ngo-lian-kauw, yang menjadi kaki tangan Mongol, adapun orang yang dia duga kakaknya itu datang ke Hoa-san-pai bersama Pangeran Mongol Souw Kian Bi. Setelah menetapkan hatinya, Beng San lalu mulai melakukan penyelidikan untuk mencari Kwee Sin.
* * * Perjuangan rakyat yang berupa pemberontakan-pemberontakan di sana-sini terhadap pemerintah penjajah makin lama makin berkembang luas. Pemerintah Goan yang didirikan oleh bangsa Mongol mulai goyah kedudukannya. Di seluruh daerah pedalaman selalu terjadi perang gerilya yang dilakukan oleh para petani di bawah pimpinan orang-orang gagah. Pemberontakan-pemberontakan ini bagaikan api yang makin lama makin besar, makin lama makin menjalar dekat kota raja. Oleh karena ini maka keluarga Kerajaan Goan berkhawatir sekali dan tak dapat enak makan nyenyak tidur. Penjagaan di sekitar wilayah kota raja diperketat, mata-mata pun disebar di seluruh kota dan desa. Orang-orang dengan kepandaian tinggi yang dapat ditarik di pihak pemerintah Mongol dengan pancingan harta benda dan kedudukan tinggi, dikumpulkan di kota raja sebagai pelindung keselamatan keluarga Kerajaan Goan.
Sunyi malam itu di sebuah dusun yang letaknya di pinggir kota raja sebelah selatan.
Malam belum larut benar, belum pukul sembilan. Akan tetapi keadaan sudah amat sunyi dan ketegangan seperti biasanya menyelubungi semua tempat yang berada dekat kota raja. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semenjak terjadinya pemberontakan-pemberontakan, di sekitar kota raja selalu terjadi hal-hal yang hebat.
Seakan-akan terjadi pertentangan antara petugas-petugas keamanan dan para pejuang yang keduanya secara rahasia melakukan tugas masing-masing. Semacam perang rahasia antara para mata-mata pemerintah kontra para mata-mata pejuang. Para pejuang yang berahasia itu amat gagah berani dan entah sudah berapa banyaknya pembesar Mongol dan perwira yang tahu-tahu telah kedapatan mati di dalam kamar masing-masing. Akan tetapi tidak sedikit pula mata-mata pejuang itu tertangkap dan diseret ke depan pengadilan yang cepat memutuskan hukuman mati bagi mereka ini.
Dua bayangan manusia berkelebat cepat sekali dalam kegelapan malam itu. Dengan ginkang yang tinggi kedua orang ini berlompatan menuju ke sebuah rumah yang tua dan buruk, tapi cukup besar. Kiranya rumah ini adalah sebuah rumah penginapan merangkap warung nasi yang sederhana, sebagai tempat menginap para saudagar dan pelancong yang hendak memasuki kota raja. Dua bayangan itu memasuki rumah dengan jalan aneh, yaitu melalui belakang dengan melompati pagar tembok. Di luar sebuah jendela mereka berhenti dan mengetuk jendela itu perlahan tiga kali. Dari dalam ada jawaban ketukan dua kali lalu jendela terbuka. Dua orang itu sekali melompat sudah melayang masuk.
Kamar itu cukup luas. Di dalamnya sudah duduk tiga orang, yaitu orang berpakaian tentara berusia empat puluh tahun, seorang laki-laki pengemis yang berpakaian jembel bertubuh kurus dan pucat berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang seorang adalah seorang nenek tua bongkok berambut putih.
Adapun dua orang yang baru datang ini ternyata adalah dua orang kakek berpakaian seperti petani bercaping topi tani lebar. Yang hebat adalah baang yang dibawa oleh dua orang itu. Ternyata sekarang di bawah penerangan lampu bahwa dua orang kakek petani ini masing-masing menjambak rambut sebuah kepala manusia! Begitu masuk, keduanya tertawa dan melemparkan dua buah kepala orang di atas meja.
Tiga orang itu segera bangkit dah memandang ke arah dua buah kepal itu penuh perhatian. Mereka mengenal dua buah kepala itu sebagai kepala dua orang perwira pemerintah Mongol yang kuasa di kota tak jauh dan situ. segera nenek itu bangkit dan menyambar dua buah kepala tadi, dimasukkanlam keranjang lalu dia berkata, "Lebih dulu kusingkirkan kepala anjing ini." Setelah berkata demikian dia menyelinap ke belakang dan menghilang.
Tentara dan pengemis itu menjura kepada dua orang petani yang baru datang.
"Tentulah ji-wi (saudara berdua) ini dua saudara Phang dari Hun-lam, bukan?" tanya pengemis itu.
Dua orang kakek petani itu menjura dan yang tertua menjawab, "Benar, siauwte adalah Phang Khai dan ini adikku Phang Tui. Karena tergesa-gesa, kami tak dapat memilih tanda pengenal yang lebih berharga, harap maafkan."
Nenek yang tadi pergi ke belakang membawa dua buah kepala, kini sudah datang kembali ia mengomel, "Kepala perwira atau kepala pembesar sama saja, dapat mengurangi jumlah musuh cukup baik. Sayangnya ji-wi terlampau sembrono. Ji-wi adalah tokoh-tokoh terkenal di Hun Lam, mengapa datang ke sini tidak menyamar?"
Phang Khai tersenyum memandang nenek itu, lalu berkala, "Aku sudah lama mendengar bahwa orang kepercayaan Si-enghiong (pendekar ke empat) adalah seorang wanita muda yang gagah dan lihai. Kau menyamar sebagai nenek, bagus sekali, akan tetapi bagaimana seorang nenek dapat memiliki sepasang mata sejeli ini?"
Nenek itu kelihatan terkejut. "Ah, Phang-lohiap benar-benar bermata tajam sekali.
Apakah penyamaranku kurang sempurna?" Suara nenek itu yang tadinya parau dan gemetar seperti suara orang tua, sekarang berubah menjadi nyaring dan seperti suara wanita muda.
Phang Khai tertawa. "Ah, tidak, sama sekali tidak, Nona. Hanya aku mau menyatakan bahwa jika menyamar malah lebih berbahaya dan mencurigakan karena tidak sewajarnya. Bentuk dan suara dapat disamar, akan tetapi bagaimana dengan warna dan sinar mata" Sudahlah, andaikata anjing-anjing Mongol mengetahui kedatangan kami, apa sih yang kami takuti" Paling-paling kalau tidak bisa membasmi mereka, kita yang akan kehilangan nyawa! Bukankah sudah lama kita menyerahkan nyawa kita yang tak berharga ini kepada tanah air dan bangsa" Ha..ha..ha!"
Tentara itu yang sejak tadi diam saja sekarang mencela, "Ucapan Phang-twako tak dapat kuterima. Memang bagi seorang pejuang, mati hidupnya tidak berarti lagi asal demi perjuangan. Akan tetapi Phang-twako harus ingat bahwa tugas kita dalam perjuangan ini agak berbeda dengan tugas pejuang yang bertempur melawan musuh.
Kalau kita sedang bertugas di bidang itu, tentu saja aku yang bodoh takkan ragu-ragu untuk mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi dalam kedudukan kita sekarang yang bertugas sebagai mata-mata, mengumpulkan keterangan dan dalam hal ini, mengabdi kepada Si-enghiong, tentu saja segala hal harus kita lakukan dengan rahasia agar jangan sampai gerakan kita ini terbongkar. Seorang saja tertangkap bisa membahayakan seluruh anggota gerakan. Bukankah celaka kalau begini"
Phang Khai dan Phang Tui memandang tajam kepada "tentara Mongol" itu, lalu Phang Tui menjura. "Betul sekali ucapan ini," katanya kagum.
Phang Khai tiba-tiba berkata, "Saudara, maafkan aku!" Dan tahu-tahu dia telah mengirim serangan, tiga pukulan bertubi menyerang leher, dada dan perut . orang berpakaian tentara Mongol itu. Orang itu kaget juga karena dia maklum betapa lihainya petani tua ini, akan tetapi secepat kilat kedua tangannya diputar dalam lingkaran untuk menangkis, malah dia segera dapat mencengkeram pergelangan tangan kanan Phang Khai sambil berseru, "Phang-twako harap jangan main-main!"
Phang Khai menarik tangannya sambil tertawa bergelak. "Aha, kiranya Bouw-enghiong yang menyamar sebagai tentara. Aduh, penyamaranmu benar-benar hebat, tentu dapat mengelabuhi musuh!"
Orang itu tertawa. Memang dia ada tan Bouw Hin jago Bi-nam yang berjuluk Kang-jiu (Tangan Baja). Kiranya tadi Phang Khai menyerangnya untuk memancing ilmunya Kang-jiauw-ciang (Tangan Cakar Baja) tadi dikeluarkan, segera Phang Khai dapat mengenal siapa sebetulnya teman seperjuangan yang menyamar sebagai tentara musuh ini.
"Bagus, Phang-twako memang cerdik", kata Bouw Hin sambil tertawa. "Tapi Phang-twako tentu belum mengenal dia ini." Ia menuding kepada pengemis tadi. "Biarlah kuperkenalkan dia kepada ji-wi Phang-twako. Dia ini adalah she Lim."
"Aha, bukankah Lim Seng yang berjuluk Kim-mouw-sai (Singa Bulu Emas) dan Kwi-bun?" kata Phang Tui
Pengemis itu berdiri dan menjura. Ji-wi Phang-enghiong benar-benar bermata tajam."
Nona yang menyamar sebagai nenek itu berkata, "Maaf, aku sendiri tidak boleh memperkenalkan diri. Tidak tahu urusan penting apakah yang hendak ji-wi sampaikan kepada Si-enghiong?"
"Hemmm, urusan ini penting sekali. Kami harus berjump asendiri dengan Si-enghiong," kata Phang Khai.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 7 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Rahasia 180 Patung Mas 5

Cari Blog Ini