Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 7
menteri-menteri kerajaan atau para pahlawan, puragabaya
atau laksamana. Engkau anggota wangsa Banyak Citra.
Engkau harus merencanakan bagaimana membaktikan dirimu
pada kerajaan. Karena Kakanda Jaluwuyung telah menjadi
puragabaya, puragabaya yang baik pula, kupilihkan engkau
pendidikan negarawan. Sejak malam ini, pelajarilah lontar
yang ada dalam kotak-kotak itu. Kalau ada kesukaran,
bertanyalah kepadaku. Kita akan banyak berbincang-bincang
tentang isi kotak-kotak itu."
"Baik, Ayahanda," ujar Banyak Sumba.
"Sekarang, mulailah pelajari kotak yang sebelah kiri.
Ayahanda akan berada di sini mengerjakan tulisan-tulisan ini,"
kata Ayahanda pula sambil kembali menunduk, menghadapi
tumpukan lontar yang ada di hadapan beliau.
Dengan berhati-hati, Banyak Sumba membuka kotak lontar
yang sebelah kiri. Begitu kotak itu terbuka, bau kayu cendana
yang lebih semerbak tersebar ke seluruh kamar. Dari lontar
pertama, yang terbaca oleh Banyak Sumba adalah dua patah
kata yang ditulis dengan bagus sekali "Sang Negarawan".
Akan tetapi, baru saja ia membuka lontar yang pertama dan
mulai membaca lembar lontar yang kedua, dari luar benteng
terdengar suara hiruk pikuk disusul dengan langkah gulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
gulang yang berisik di atas lantai batu benteng menuju
ruangan. Banyak Sumba mengangkat mukanya, tampak olehnya
ayahanda pun mengangkat muka. Dalam sekilat, Banyak
Sumba ingat kepada rombongan penunggang kuda yang
datang ke arah Kota Medang. Firasat buruk menyentuh
hatinya kembali. Adakah kampung-kampung di wilayah
Medang yang diserang gerombolan perampok" Atau adakah
harimau menerkam orang" Atau naga yang keluar dari Hutan
Larangan dan memangsa berpuluh-puluh penduduk kampung,
seperti pernah terjadi di zaman Nenckanda Banyak Citra yang
ketiga" Barangkali ada kebakaran hutan, malapetaka yang
paling ditakuti oleh binatang dan manusia" Segala pikiran
buruk membayang dalam hati Banyak Sumba, tetapi tidak
lama, karena gulang-gulang sudah tiba di pintu dan
menyembah. "Para tamu dari Kutabarang dba dan menunggu di ruang
tengah," kata gulang-gulang itu. Wajah Ayahanda yang
angker bertambah kelam, mungkin segala pikiran buruk
membayang pula dalam hati beliau. Ayahanda bangkit, lalu
meninggalkan ruangan diiring oleh gulang-gulang menuju
istana. Setelah termenung sebentar, dan dengan hati yang masih
gelisah, Banyak Sumba mulai membuka lontar halaman kedua.
Demikianlah sabda Sang Maha Budiman bahwa
sesungguhnya tiada yang kuasa selain Sang Hiang Tunggal,
yang mencurahkan restu-Nya kepada anak negeri untuk
mengurus diri mereka, bersaudara dalam kasih sayang. Para
petani pergilah ke bukit, nelayan ke lautan. Pedagangpedagang
gelarkan tikar kalian di pasar-pasar, perwiraperwira,
berdirilah di perbatasan kerajaan. Sedangkan dari
mereka Sang Hiang Tunggal akan menetapkan seorang raja,
ia yang paling budiman, ia yang tidak membutuhkan apa-apa
selain kesempatan untuk mencintai rakyatnya. Yang tidak
takut apa-apa, selain takut rakyatnya akan menderita....
Belum habis Banyak Sumba membaca, tiba-tiba
didengarnya sayup-sayup suara jeritan. Banyak Sumba
menajamkan pendengarannya. Suara itu terdengar dari arah
istana. "Apakah yang terjadi?" tanya Banyak Sumba dalam
hati, jantungnya berdetak dengan cepat. Kemudian, suara
jeritan panjang mengikuti, diiringi suara tangisan lainnya.
Suara yang makin lama makin keras itu membangkitkan
Banyak Sumba dari tempat duduknya. Ia kemudian berjalan
ke luar. Ketika suara tangis makin nyaring, ia berlari di atas
dinding benteng.
Di atas dinding benteng, gulang-gulang berkumpul,
bercakap-cakap dalam bisikan. Banyak Sumba berlari melewati
mereka. Karena asyik bercakap-cakap, tak ada seorang pun di
antara gulang-gulang itu yang melihat dia lewat.
"Sudah seminggu ia meninggal, kalau begitu," kata seorang
gulang-gulang. Mendengar itu, Banyak Sumba lari. Siapakah
yang meninggal" Siapakah yang ditangisi wanita-wanita itu"
Banyak Sumba makin mempercepat larinya. Beberapa tangga
yang gelap dituruninya, tapi ia tidak terpeleset karena tempattempat
itu sudah dikenalnya dengan baik. Kemudian, ia berlari
di lorong-lorong istana. Di lorong-lorong istana pun ia bertemu
dengan para gulang-gulang yang juga bercakap-cakap dengan
berbisik. Jelas bahwa suatu malapetaka telah menimpa isi
Istana Banyak Citra. Dengan pikiran itu, tibalah ia di ruangan
tengah. Ayahanda duduk seperti patung pada kursi kebesaran
beliau. Para tamu yang ternyata ipar-ipar dan keponakan
Ayahanda yang datang dari Kutabarang, duduk dengan kepala
tertunduk. Sementara itu, di samping Ayahanda, Ibunda
dikerumuni para emban. Semua menangis, melolong-lolong.
Ternyata Ibunda tidak sadarkan diri, demikian pula Ayunda
Yuta Inten yang terbaring di ruangan lain tidak jauh dari
ruangan tengah. Melihat pemandangan yang mengibakan hati
itu, air mata Banyak Sumba tidak dapat ditahan lagi. Ia berdiri
di samping pintu ke ruangan tengah, di bawah bayang-bayang
lampu yang bergerak-gerak. Ia tidak dapat menggerakkan
kakinya. Ia berdiri di sana seperti patung.
Setelah semua wanita diperintahkan mengundurkan diri
sambil membawa Ibunda ke ruangan dalam, berkatalah
Ayahanda. "Kita harus mengetahui ke mana abu jenazahnya dibawa."
"Ya, tapi abu jenazah disembunyikan oleh pemerintahan
kerajaan karena anggota-anggota wangsa Wiratanu
bermaksud mengambil dan menghinakannya. Bahkan, waktu
jenazah hendak dibakar dengan segala upacara yang pantas
bagi puragabaya, orang-orang Wiratanu menyerang upacara
itu untuk mengambil jenazah. Kabarnya, mereka bersumpah
untuk memberikan jenazah Jaluwuyung kepada anjing
mereka," demikian Pamanda Galih Wangi memberi penjelasan.
Kata 'Jaluwuyung" tiba-tiba seperu geledek di siang bolong
bagi Banyak Sumba. Betulkah apa yang didengarnya, Kakanda
Jaluwuyung telah gugur dan abu jenazahnya diperebutkan
orang" Betulkah ia sudah kehilangan kakak laki-laki yang
menjadi kebanggaannya"
"Kita harus membuat perhitungan dengan wangsa
Wiratanu," kata Ayahanda, "kalau tidak, kita ini bukan anggota
wangsa Banyak Citra."
"Kita perlu menyelidikinya lebih lanjut, mengapa
Jaluwuyung membunuh Raden Bagus Wiratanu," kata
Pamanda Galih Wangi.
"Raden Bagus Wiratanu hanyalah dalih, percayalah
kepadaku. Jantejante anakku berulang-ulang menceritakan
bahwa ia mencurigai pengkhianatan. Ia menduga, para pelatih
berusaha membunuhnya sejak ia di padepokan. Demikian pula
calon-calon puragabaya lainnya. Dan dalam menghadapi
musuh, Jante sering merasa hendak dikorbankan. Itulah yang
berulang-ulang dikatakan kepadaku," kata Ayahanda.
"Kalau begitu, segala kejadian dapat diterangkan. Akan
tetapi, bukan berarti masalah pokok dapat dijawab. Mulamula,
Kutabarang kedatangan sepasukan orang-orang dari
Kuta Kiara yang hendak menuntut balas kematian Raden
Bagus Wiratanu. Kemudian, datang rombongan puragabaya
ini, katanya untuk mencegah perbuatan-perbuatan onar dari
pihak wangsa Wiratanu. Akan tetapi, nyatanya mereka datang
untuk membunuh Jante, sejalan dan setujuan dengan maksud
wangsa Wiratanu. Hanya ada satu soal, mengapa mereka
sejak awal hendak membunuh Jante?"
"Karena ia puragabaya yang terlalu hebat, ia puragabaya
keturunan Banyak Citra. Ia dianggap berbahaya dan karena itu
harus dibunuh oleh calon iparnya sendiri, Anggadipati.
Sungguh orang ini telah menipuku dan menipu anakku, Yuta
Inten. Kalian tahu ia telah bertunangan dengan Yuta Inten,"
sambung Ayahanda sambil menundukkan kepala. Ketika beliau
mengangkat kepala, kembali tampak oleh Banyak Sumba,
betapa dalam sekejap beliau berubah seperti bertambah tua
beberapa tahun.
"Ya, setiap orang mengatakan, hanya Puragabaya Anggadipatilah tandingan Jante. Oleh karena itu, ia yang
ditugaskan untuk menghadapinya."
"Kalau tidak dibantu puragabaya lain, Anggadipati tidak
akan mampu menghadapi Jante," ujar Ayahanda perlahanlahan.
Setelah menarik napas panjang, ia menyambung.
"Kita harus membuat perhitungan dengan setiap orang
yang terlibat dalam peristiwa keji ini. Akan tetapi, pertamatama
kita harus berurusan dengan mereka yang meremehkan
tangan atau senjatanya dengan darah Jante. Keturunan
Banyak Citra tidak boleh gugur tanpa diikuti oleh kematian pengecutpengecut itu."
"Peristiwanya belum jelas bagi saya," kata Pamanda Angke.
"Semuanya jelas bagiku," tukas Ayahanda, "ada pihakpihak
yang tidak suka kepada Jante. Pihak-pihak ini
mempergunakan tangan-tangan wangsa Wiratanu untuk
memancing Jante. Jante terpancing, lalu diturunkanlah
Anggadipati dengan pengeroyok lainnya."
"Akan tetapi, sepanjang pengetahuan saya, tidak semudah
itu para puragabaya dapat dipergunakan oleh pihak-pihak
yang tidak suka kepada Jante. Apalagi mengingat Anggadipati
mencintai Yuta Inten. Banyak hal yang belum jelas," sambung
Pamanda Angke. "Angke!" seru Ayahanda Banyak Citra, "engkau tidak
mengalami sendiri bagaimana bangsawan tertentu dapat
berhati busuk. Aku mengalaminya dengan mata kepalaku
sendiri. Ketika aku hampir diangkat menjadi penguasa Kota
Medang, bukankah nyawaku diancam pula" Sudah lupakah
engkau bagaimana aku dihadang perampok yang hampir
berhasil membunuhku" Apakah kaukira perampok itu bukan
suruhan sainganku sebagai calon penguasa Kota Medang ini?"
"Kalau begitu, entahlah. Akan tetapi, bagiku masih banyak
hal yang gelap. Ada orang-orang di Kutabarang yang
menyatakan bahwa Jante kehilangan pikiran sehatnya. Ada
yang menyatakan bahwa dia ketakutan setelah membunuh
Bagus Wiratanu dalam perkelahian itu, ya, dan banyak lagi"
kata Pamanda Angke. Akan tetapi, sebelum Pamanda Angke
menyelesaikan kata-katanya, Ayahanda menyela.
'Jante berulang-ulang mengatakan kepadaku bahwa
nyawanya terancam. Pihak-pihak tertentu tidak menyukainya
dan berulang-ulang para pelatih di padepokan serta kawankawan
seperguruannya mencoba mencelakakannya."
"Kalau Kakanda yakin, terserahlah. Akan tetapi, saya ...
saya ragu-ragu apakah ...," ujar Paman Angke.
"Soalnya jelas, Jante dibunuh oleh Anggadipati setelah
diumpani oleh Bagus Wiratanu. Kita anggota wangsa Banyak
Citra harus menegakkan kehormatan kita sepantasnya. Yang
setengah hati, dipersilakan menyimpan senjatanya," sambil
berkata demikian, mata Ayahanda berkeliling mengawasi
wajah bangsawan-bangsawan Kota Medang yang hadir satu
per satu. "Biarkanlah darah kita menjadi dingin lebih dahulu, baru
kita mempersoalkan apa yang akan kita perbuat," kata
Pamanda Galih Wangi setelah lama menundukkan kepala.
Tampak banyak bangsawan yang setuju dengan pendapat itu.
Akan tetapi, Ayahanda menggeram dan marah.
"Seorang anggota keluarga terbunuh tidak pantas disambut
dengan perundingan-perundingan. Kita anggota wangsa
Banyak Citra yang punya harga diri dan aku anggota sulung
wangsa Banyak Citra. Aku bersedia menegakkan kehormatan
keluargaku seorang diri."
Tak ada bangsawan yang berani angkat suara. Itu berarti
pula kehendak Ayahanda menjadi perintah.
WALAUPUN tidak seluruh bangsawan Kota Medang
sependapat dan setuju dengan Ayahanda, pada malam
berikutnya, "Upacara Sumpah Pembalasan Dendam" dilakukan
di tengah-tengah lapangan depan istana. Para bangsawan
pembantu terdekat Ayahanda dalam memerintah Kota
Medang, bangsawan-bangsawan muda sahabat Kakanda Jante
Jaluwuyung, dengan pakaian perang yang gemerlapan dan
senjata lengkap, berkumpul mengelilingi api unggun besar di
tengah lapangan itu. Api unggun itu demikian besar sehingga
suaranya yang gemuruh menyeramkan, sedangkan panasnya
menyengat. Banyak Sumba sudah siap dengan pakaian
kebesarannya. Walaupun semula hati Banyak Sumba kosong
dari segala perasaan karena terkejut mendengar berita yang
tidak disangka-sangka, malam itu"di depan api unggun
raksasa"tiba-tiba ia mengalami sesuatu.
Api unggun yang besar, berkobar-kobar, dan panas adalah
lambang dendam wangsa Banyak Citra terhadap Pangeran
Anggadipati. Sadar akan hal itu, meremanglah bulu roma
Banyak Sumba. Ia meramalkan banyak darah akan mengalir,
banyak nyawa akan melayang karena kematian putra sulung
Ayahanda, Kakanda Jante Jaluwuyung. Kesadaran dan rasa
seram itu bertambah pula ketika ia menyadari bahwa
Ayahanda Banyak Citra yang keras dan pantang menyerah,
orang yang disakiti dalam peristiwa yang menyedihkan itu.
Dendam seorang laki-laki yang keras dan pantang menyerah
akan mengguncangkan Kerajaan Pajajaran sehingga mereka
yang bersalah terhukum dan mereka yang khilaf meminta
maaf. Sebelum itu, Pajajaran akan bergelimang darah, besi,
dan api! Sekali lagi, meremang bulu roma Banyak Sumba.
Sementara Banyak Sumba termenung, ternyata persiapan
upacara sudah selesai. Hampir seluruh penduduk Kota
Medang, para pedagang, petani, tukang-tukang, dan para
bangsawan hadir di tengah lapangan itu. Di babancong
seluruh keluarga Banyak Citra berkumpul, berpakaian gelap
tanda dukacita. Kaum pria berpakaian perang, kaum wanita
berpakaian perkabungan. Di samping kanan Ayahanda yang
duduk di kursi kencana yang ditutupi kain hitam, duduk
Ibunda. Di sebelah kiri, Ayunda Yuta Inten yang tidak dapat
duduk tegak dan harus dipegang para emban karena tak
tahan mengusung beban dukacita. Suara tangis dari arah
kaum wanita kadang-kadang mengeras, kadang-kadang
melemah di antara gemuruh bunyi api unggun.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah beberapa lama orang berhenti berdatangan ke
lapangan itu dan suasana menjadi hening di antara gemuruh
api, berdirilah Ayahanda Banyak Citra. Beliau mengenakan
pakaian kebesaran dan bersenjata lengkap seakan-akan beliau
akan pergi ke medan perang. Beliau berjalan ke depan
babanconghmgga tampak dengan jelas dari semua arah di
dalam terang api unggun itu. Setelah beberapa lama beliau
berdiri di sana, suasana semakin hening. Akhirnya, suara
orang berbicara pun lenyap. Tinggal suara api yang gemuruh
dan gemeletup, seolah-olah suara raksasa atau binatang buas
yang menggeram-geram karena marah.
Dalam keheningan itu, berserulah Ayahanda dengan suara
berat tapi lantang, 'Jante Jaluwuyung, anakku, anak kita
semua. Jante Jaluwuyung, sahabatmu, saudaramu. Jantejaluwuyung
yang mencintai kalian semua, yang akan bersedia
setiap waktu memberikan darahnya seandainya kalian
terancam, seandainya kawan-kawan kalian dan saudarasaudara
kalian dalam bahaya. Jante Jaluwuyung yang
mencintai kota kelahirannya, Kota Medang yang sama-sama
kita bangun dan kita cintai ini, telah tiada.
"Ia telah meninggal.... Dan kita tidak bisa lain, kecuali
mengikhlaskannya kalau itu kehendak Sang Hiang Tunggal.
Jante Jaluwuyung meninggal, tapi ia meninggal tidak secara
wajar. Ia meninggal karena dibunuh.
"Baiklah, kita akan menerima kalau ia dibunuh karena
kesalahannya. Akan tetapi, ia terlalu baik untuk berbuat
kesalahan tanpa minta maaf hingga orang harus
membunuhnya. Dan bagaimana ia dibunuh" Pembunuhnya
bertindak secara pengecut. Ia dibunuh setelah dipancing oleh
seseorang yang bernama Bagus Wiratanu, kemudian
dikeroyok oleh para pengecut. Bukan saja oleh puragabayapuragabaya,
tapi juga oleh pelatihnya. Dalam perkelahian itu,
seseorang yang tak mau kusebut namanya mencabut
nyawanya dengan mendorongnya ke jurang."
Suara menggeram datang dari hadirin, terutama rakyat
biasa yang berdiri di belakang. Mereka para petani, pedagang,
dan tukang-tukang yang sangat kenal dan sangat sayang
kepada para putra Ayahanda Banyak Citra. Mereka
menggeram karena mendengar Jante dibunuh para pengecut.
Ya, Jante yang biasa mereka sebut Den Ageung, yang pada
masa kanak-kanaknya biasa bermain-main di antara mereka,
sekarang sudah dibunuh orang. Mereka menggeram karena
dendam mulai bangkit dalam hati mereka. Mendengar
geraman itu, Ayahanda Banyak Citra berhenti bicara. Setelah
suasana hening kembali, beliau melanjutkan kata-katanya,
"Hanya itulah yang akan kusampaikan kepada kalian, anak
sulungku telah tiada. Kuserahkan pada kasih sayang kalian
agar rohnya diterima di Buana Padang dengan baik. Semoga
anakku, anak kalian, Jante Jaluwuyung dapat tidur dengan
nyenyak. Kuminta doa kalian untuk kepergiannya."
Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Banyak Sumba
mendengar betapa suara Ayahanda gemetar karena
kesedihan. Suara laki-laki yang keras itu baru kali ini gemetar
dan tidak disadarinya, dada Banyak Sumba pun mulai
berguncang. Banyak Sumba menangis selama dua hari sejak
ia mengetahui bahwa Jante Jaluwuyung dibunuh orang.
Tiba-tiba, terdengar teriakan dari hadirin, teriakan-teriakan
yang mula-mula tidak jelas terdengar, tetapi akhirnya dapat
ditangkap dengan terang. Teriakan-teriakan itu adalah
teriakan tuntutan balas dendam. Bangsawan-bangsawan
muda dengan pakaian perang dan sikap yang gagali perkasa
maju ke depan. Mereka mengucapkan sumpah balas dendam
dan berjanji untuk menyerahkan nyawanya demi terbunuhnya
para pembunuh Jante Jaluwuyung. Kemudian, rakyat biasa
pun berbuat demikian, ingar-bingarlah lapangan, seolah-olah
seluruh hadirin mabuk atau menjadi gila karena marah.
Dalam ingar-bingar itu, Banyak Sumba maju, melemparkan
badik hadiah dari Pangeran Anggadipati. Demikian juga
Ayunda Yuta Inten, melemparkan segala perhiasan yang
diterima dari tunangannya. Kemudian, Ayunda pingsan untuk
ketiga kalinya dan terpaksa dipapah menjauh dari api yang
berkobar-kobar buas itu. Sementara itu, tangisan menjadi
keras kembali, teriakan-teriakan menggetarkan langit malam
itu. Bendera-bendera merah dan hitam dikibarkan, demikian
juga umbul-umbul tua yang telah sobek-sobek, umbul-umbul
keramat yang telah mengalami beberapa kali peperangan.
Banyak Sumba yang mula-mula tidak mengerti, akhirnya
hanyut juga dalam arus perasaan yang menguasai hadirin.
Kesedihan, kemarahan, kebencian, dan tekad membalas
dendam bergalau dalam dadanya.
UPACARA selesai setelah malam sangat larut. Bangsawanbangsawan
kebanyakan tidak terus pulang, tetapi masuk
istana menemani Ayahanda. Banyak Sumba masuk ke
ruangannya, lalu membaringkan badannya yang lelah. Akan
tetapi, sampai kokok ayam jantan terdengar untuk pertama
kali, matanya tidak juga hendak terpejam. Peristiwa yang
berturut-turut dialaminya mengisi kesadarannya. Di samping
itu, dari arah ruangan tengah terdengar percakapan atau
perundingan orang-orang tua. Sedangkan dari kaputren
kadang-kadang terdengar 6ayup-sayup suara tangis. Di
lorong, para gulang-gulang yang juga tidak hendak tidur, terus
berbincang-bincang. Tentu saja tentang kematian Kakanda
Jante Jaluwuyung. Ketika hari hampir pagi, barulah Banyak
Sumba tertidur. Akan tetapi, tidurnya gelisah oleh berbagai
impian buruk. Suatu kali, impian buruk itu begitu
mendebarkan jiwanya sehingga ia terbangun, lalu duduk di
atas balai-balainya.
Ia membukakan tingkap, melihat kabut yang masih
menyelimuti pepohonan di taman kaputren dan dinding
benteng yang membayang dari jauh. Menara pengintai
benteng pun masih belum tampak. Udara dingin masuk
ruangannya, menyegarkan badan yang sangat lelah. Ia pun
bangkit dari duduknya, lalu berjalan ke luar ruangan yang
masih sangat sepi. Ia berjalan di lorong istana, mengikuti
ujung jari kakinya.
Suatu ketika, dikenangnya Pangeran Anggadipati, tunangan
Ayunda Yuta Inten yang ternyata telah membunuh Kakanda
Jante Jaluwuyung. Alangkah lemah lembut dan manis tingkah
laku dan tutur kata puragabaya, tapi alangkah jahatnya
perangai yang ada di belakang tingkah laku dan keramahtamahan
itu. Dan alangkah pandainya pula puragabaya itu
menyembunyikan kebusukan hatinya. Ketika pertama kali
mendengar bahwa pembunuh Kakanda Jaluwuyung adalah
Pangeran Anggadipati, sukar baginya untuk percaya. Tidak
mungkin, seribu kali tidak mungkin, pikirnya. Akan tetapi, para
bangsawan yang datang dari Kutabarang berulang-ulang
menyatakan begitu. Di samping itu, ada satu hal yang
menyebabkan ia percaya akan berita itu, yaitu penjelasan
Ayahanda Banyak Citra kepada para tamu.
Ayahanda menyatakan, Kakanda Jaluwuyung pernah
mengatakan baHwa puragabaya-puragabaya lain dan bahkan
para pelatih mencari kesempatan untuk membunuhnya. Hal
itu dapat dimengerti karena Kakanda Jaluwuyung seorang
puragabaya yang sangat pandai dan hebat. Memang, dalam
segala hal, Kakanda Jaluwuyung selalu menjadi yang terhebat.
Banyak Sumba ingat ketika dalam perlombaan memanah,
naik kuda, dan bergumul dengan putra-putra bangsawan,
Kakanda Jaluwuyung selalu unggul. Ia sangat kagum kepada
Kakanda Jaluwuyung, ia memuja Kakanda Jaluwuyung. Masuk
akal kalau banyak orang iri kepadanya. Kakandajaluwuyung
dipancing untuk marah, kemudian membunuh Raden Bagus
Wiratanu. Setelah kematian Raden Bagus Wiratanu inilah, para
puragabaya yang iri hati menyerangnya secara pengecut.
Seperti anjing-anjing pengecut menyerang babi hutan jantan
yang perwira. Alangkah pengecutnya! pikir Banyak Sumba,
dan hadnya pun mulai panas. Tanpa disadarinya, ia berjalan
bertambah cepat karena hatinya panas, walaupun arah
langkahnya tidak pasti.
Tiba-tiba, ia sudah berada di ruangan tengah, tempat
semalam Ayahanda mengadakan pembicaraan dengan para
tamu dan para bangsawan Kota Medang. Ternyata, beberapa
orang gulang-gulang masih tetap berjaga di setiap pintu
ruangan. Dan ketika Banyak Sumba berpaling ke arah kursi
besar ayahandanya, ternyata beliau masih duduk di sana.
Dari kelopak matanya yang cekung dan dari biji mata beliau
yang kemerah-merahan, Banyak Sumba sudah dapat mengira
bahwa Ayahanda tidak tidur sepanjang malam. Ia memandang
orangtuanya yang duduk dengan kedua belah tangan
bertelekan pada meja panjang di ruangan itu. Ia melihat
betapa punggung Ayahanda yang agak bungkuk itu memberi
kesan seolah-olah Ayahanda seekor elang tua, ya, seekor
elang yang sedang termenung karena marah dan sedih.
Banyak Sumba tidak bergerak dari ambang pintu. Ia
memandang Ayahanda dengan kebingungan, tidak tahu yang
akan diperbuatnya.
Ayahanda Banyak Citra berpaling, lalu memberi isyarat
kepadanya supaya mendekat. Banyak Sumba melangkah raguragu
karena sebelumnya ia tidak pernah dipanggil menghadap
di ruangan tengah itu. Ayahanda memberinya isyarat kembali,
seolah-olah menyatakan bahwa ia tidak usah ragu-ragu.
Banyak Sumba pun segera datang dan berdiri di sebelah kiri
meja panjang dekat ujung tempat Ayahanda duduk.
"Duduklah," ujar Ayahanda. Banyak Sumba duduk di
bangku yang sebelumnya tidak pernah disentuhnya karena
hanya dipergunakan oleh orang tua dan bangsawan. Ia duduk
dengan kaku sekali. Ayahanda melihat hal itu, kemudian
berkata, "Engkau sekarang anak laki-laki terbesar dalam
keluarga Banyak Citra. Oleh karena itu, kau berhak duduk di
sana. Kakakmu sudah dada, engkau gantinya," kata
Ayahanda. Terdengar oleh Banyak Sumba, suara Ayahanda
bergetar seperti malam sebelumnya. Banyak Sumba
menundukkan kepala.
"Sumba, Anakku, aku meramalkan, kehidupan kita akan
berubah. Mungkin kita harus menderita, tetapi bukan anggota
wangsa Banyak Citra kalau tidak berani menderita dan
berkorban untuk kehormatannya. Aku tahu, engkau seorang
yang benar-benar berdarah wangsa Banyak Citra. Oleh karena
itu, segala perubahan yang akan kita alami tidak akan
memenga-ruhimu. Justru karena penderitaan, engkau akan
menjadi anggota wangsa Banyak Citra yang sebenarnya.
Anakku, Sumba, Sang Hiang Tunggal menasibkan
keturunan wangsa Banyak Citra menderita. Akan tetapi, aku
yakin, itu karena Sang Hiang Tunggal mengetahui bahwa
keturunan Banyak Citra adalah orang-orang yang jujur, tabah,
dan berani. Wangsa Banyak Citra adalah orang-orang yang
menempuh jalan lurus dalam hidupnya, walaupun jalan itu
sukar. Engkau seorang keturunan Banyak Citra. Engkau sekarang
putra sulungku."
Sambil berkata demikian, Ayahanda bangkit dari tempat
duduknya, lalu memegang pundak Banyak Sumba. Banyak
Sumba bangkit dan mereka pun berjalan ke ruangan khusus
Ayahanda yang ada di dekat dinding benteng, tempat
sebelumnya mereka duduk bersama. Sepanjang lorong,
tangan Ayahanda tidak lepas dari pundak Banyak Sumba. Baru
pertama kali itulah, Ayahanda berlaku demikian. Biasanya,
tidak pernah Ayahanda memperlihatkan kasih sayang dan
kemesraan seperti itu, bahkan kepada anak-anak yang masih
kecil atau putri-putrinya. Ayahanda juga jauh dari anakanaknya.
Akan tetapi, hari itu sangat terasa oleh Banyak
Sumba bahwa Ayahanda berubah. Dukacita yang merupakan
pukulan bagi orangtua karena kehilangan putra sulungnya
telah memengaruhi tingkah laku Ayahanda.
Ketika mereka di ruangan khusus, kotak lontar yang dua
buah dan yang kemarin malam diletakkan Banyak Sumba,
masih terletak di sana. Setiba di sana, Ayahanda menunduk,
lalu mengambil kedua buah kotak itu. Tidak disangka-sangka,
Ayahanda mengambil lampu minyak kelapa yang masih
menyala di sudut ruangan, lalu membakar isi kedua kotak itu.
Banyak Sumba melihat kejadian itu dengan keheranan, tetapi
tak sepatah kata pun diucapkannya.
Setelah lontar yang bertuliskan pelajaran-pelajaran tentang
kenegarawanan itu habis terbakar, Ayahanda mengambil
kotak lain yang berwarna hitam dan buruk rupanya. Kotak itu
dibukanya dengan susah payah, kemudian diletakkannya di
hadapan meja Banyak Sumba, "KakandaJaluwuyung telah
hafal isi semua lontar dalam kotak ini. Itulah sebabnya
ia.dapat belajar dengan cepat di Padepokan Tajimalela
sehingga menjadi puragabaya paling hebat dan paling
perkasa. Pelajarilah isi kotak ini walaupun ilmu yang ada di
dalamnya barangkali hanya seperseribu dari ilmu
kepuragabayaan. Semua yang tertulis di sana akan berguna
bagimu. Ilmu yang tertulis dalam lontar itu kudapatkan dari
orang yang pernah tersesat dalam hutan, kemudian masuk ke
Padepokan Tajimalela yang dirahasiakan. Ia ditangkap, lalu
dilepaskan kembali karena dianggap terlalu bodoh untuk dapat
membocorkan rahasia perguruan. Akan tetapi, orang ini dapat
menulis. Semua hal yang dilihatnya ditulis, lalu dijual kepada
seorang perwira jagabaya. Perwira jagabaya ini menukarkan
keterangan-keterangan itu dengan sebuah badik bermata
gading dari kakekmu. Begitulah, ia sekarang tiba di
hadapanmu. Pelajarilah, karena kehormatan keluarga
menuntutmu menjadi seorang laki-laki yang perkasa."
Setelah berkata demikian, Ayahanda meninggalkan
ruangan. Banyak Sumba membuka-buka lontar yang ada di
hadapannya. Lontar itu tidak diberi nomor urut dan ditulis
dengan tulisan yang sangat buruk pula. Sukar sekali bagi
Banyak Sumba untuk mengerti ujung pangkal pikiran
penulisnya. Hanya beberapa istilah aneh yang tertangkap,
misalnya jurus, jurus susun, leway, sorong dayung, dan lainlain
yang sedikit pun tidak dimengertinya. Di samping itu,
karena tidak ddur semalaman, mata dan perhatiannya tidak
dapat dipusatkan pada bacaannya. Dan karena kantuknya
tidak tertahan lagi, ia tersungkur dengan posisi kepala di atas
kotak tempat menyimpan peti-peti lontar itu.
Ia terbangun karena cahaya matahari siang yang panas
menembus celah ijuk dan dengan tajam menyorod pipinya. Ia
segera bangkit, takut kalau Ayahanda melihatnya. Ternyata,
Ayahanda tidak ada dalam ruangan itu. Ia pun bangkit.
Karena pusing, ia berjalan sempoyongan ke arah pintu. Saya
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
harus mandi, pikirnya. Ia berjalan melewati lorong menuju
jamban istana. Akan tetapi, terpikir olehnya, mandi di telaga
akan lebih menyenangkan. Di samping itu, untuk pergi ke
telaga, ia tidak usah lewat kaputren. Ia tidak mau melewati
kaputren untuk menyaksikan dukacita yang dialami Ibunda
dan Ayunda Yuta Inten. Itulah sebabnya, ia membelokkan
langkahnya, lalu berjalan menuju luar istana, terus ke gerbang
luar kota. Di samping gerbang utara kota, terletak kandang kuda
istana. Banyak Sumba berjalan ke kandang si Dawuk, kudanya
yang berbulu keabu-abuan. Mang Iba segera membuka
kandang dan menyodorkan kendali kepada Banyak Sumba.
Mereka tidak berkata-kata, suasana dukacita masih menekan
seluruh, kota. Tak lama kemudian, Banyak Sumba sudah
berada di luar benteng, melarikan kudanya perlahan-lahan
antara semak-semak atau hutan-hutan kecil, menuju telaga.
Setiba di sana, tanpa mengikatkan si Dawuk, ia membuka
pakaian, lalu menceburkan diri ke dalam telaga yang berair
jernih dan sejuk. Si Dawuk makan rumput-rumputan di pinggir
telaga. Kuda yang cerdik dan terlatih itu tidak mau pergi jauh
dari tuannya. Demikianlah Banyak Sumba berenang ke sana kemari,
menyeberangi telaga yang luas itu berulang-ulang hingga
segala rasa penat dan pusing hilang meninggalkan tubuhnya.
Setelah puas, Banyak Sumba keluar dari telaga, berpakaian
kembali, lalu duduk di atas sebatang pohon tumbang. Ia tidak
hendak pulang dulu karena suasana dukacita di puri Ayahanda
sangat menekan hatinya. Ia akan beristirahat di sana hingga
langit teduh dan dapat pulang dengan tidak melarikan
kudanya. Akan tetapi, rasa lapar menggeliat dalam perutnya.
Ia segera turun ke tepi telaga, lalu minum air yang jernih itu.
Setelah minum, ia melihat sekeliling, mencari buah-buahan
hutan yang mungkin ada di sana. Di sebatang pohon, tampak
buah samolo. Banyak Sumba pun berjalan ke sana, lalu
memanjatnya dengan sigap.
Ketika didapatnya buah samolo yang besar dan matang,
dicabutnya belati yang terselip di pinggang. Tanpa turun
dahulu, ia mengupas buah itu, kemudian mengeratnya dan
sepotong demi sepotong dimasukkan ke mulutnya. Sementara
itu, dari "atas pohon yang tinggi itu, ia melihat ke segala arah,
ke bukit-bukit dengan ladang yang mulai menghijau, ke
kelompok pohon tempat kampung-kampung petani, ke
kandang-kandang jaga yang terletak di samping gerbang
kampung-kampung itu. Kemudian, ke gunung-gunung yang
samar-samar di sebelah barat.
Di sanalah, di balik gunungku terletak Pakuan Pajajaran,
kota yang paling besar dan paling ramai di seluruh Buana
Pancatengah, pikirnya. Dan di salah satu puncak gunung itu
terletak Padepokan Tajimalela yang dirahasiakan, hanya
diketahui para puragabaya. Demikian Kakanda Jaluwuyung
pernah bercerita kepadanya. Ke sebelah utara adalah
Kutabarang, pelabuhan Kerajaan Pajajaran yang kaya. Agak
ke timur, antara Pakuan Pajajaran dan Medang, terletak Kuta
Kiara atau Kutawaringin. Ke sebelah selatan Kota Galuh yang
tua, bekas ibu kota kerajaan. Dan ini ... mata Banyak Sumba
tiba-tiba melihat serombongan penunggang kuda, timbul
tenggelam sepanjang jalan besar yang meliku-liku di antara
kampung-kampung dan hutan-hutan kecil di tengah-tengah
ladang yang luas.
Banyak Sumba melindungkan tangannya dari cahaya
matahari, mengawasi penunggang kuda yang besar jumlahnya
itu. Tentu tamu-tamu Ayahanda, pikirnya, karenajumlah
penunggang kuda itu cukup besar walaupun tanpa kereta,
seperti yang biasa terlihat pada rombongan para saudagar. Di
samping itu, panji-panji yang berkibar menyatakan bahwa
para penunggang itu bukan pedagang, melainkan para tamu
resmi atau para jagabaya. Apakah ada berita baru lagi"
Apakah kesedihan keluarga mereka akan menjadi lebih
mendalam atau menjadi tawar" Jantung Banyak Sumba
berdegup keras karena penasaran. Ia segera turun dari pohon
samolo, memanggil-manggil si Dawuk yang tak lama
kemudian muncul dari semak-semak.
Banyak Sumba melompat ke atas kuda, lalu melarikannya
ke arah jalan besar yang menuju gerbang kota sebelah barat.
Ia berharap dapat bertemu dengan rombongan penunggang
kuda itu. Akan tetapi, ternyata untuk menuju jalan besar itu
banyak sekali hambatannya. Ladang rakyat antara telaga dan
jalan besar tidak rata sehingga si Dawuk terpaksa berkelilingkeliling.
Jika melompati tebing-tebing yang tinggi,
dikhawatirkan kaki si Dawuk akan keseleo. Di samping itu,
beberapa orang petani melindungi ladang mereka dengan
tumbuhan berduri untuk menghindarkan babi hutan. Itulah
sebabnya untuk beberapa lama, Banyak Sumba tersesat
berkeliling-keliling sehingga sangat terlambat tiba di tepi jalan
besar yang menuju gerbang kota bagian barat.
Ternyata, rombongan penunggang kuda sudah lewat
terlebih dahulu. Banyak Sumba hanya melihat bekas-bekas
ladam mereka di jalan* besar itu. Ia pun melarikan si Dawuk
menuju kota dengan penuh rasa ingin tahu. Di
sepanjangjalan, ia berpapasan atau mendahului penduduk
yang pulang ke kampung mereka di luar kota atau kembali ke
dalam kota. Setiba di dalam kota, segera ia menyadari bahwa
dugaannya tidak salah. Serombongan tamu penting telah tiba.
Mungkin mereka membawa berita dan perkembangan baru
dari peristiwa yang telah terjadi. Sambil menuntun kudanya di
antara orang-orang yang lalu-lalang atau para pedagang yang
sedang membereskan dagangannya dan bersiap-siap untuk
pulang, ia mendengar percakapan orang-orang yang
bergumam atau setengah berbisik. Tentu percakapan itu
sekitar peristiwa terakhir yang menyedihkan dan tentang
kedatangan rombongan tamu yang baru.
-oo00dw00oo- Bab 2 Huru hara Benar, rombongan itu para tamu dari ibu kota Pakuan
Pajajaran. Mereka dipimpin oleh Pamanda Kunten, adik
Ayahanda Banyak Citra yang tinggal di ibu kota Pakuan
Pajajaran. Beliau menjadi pembantu menteri di sana. Pamanda
Kunten datang dengan berlinang air mata. Kedatangannya itu
tidak saja disambut para keluarga Banyak Citra, tetapi juga
oleh hampir seluruh bangsawan Kota Medang. Malam itu,
mereka berkumpul kembali di ruangan tengah istana. Banyak
Sumba, sebagai anak laki-laki terbesar, diperbolehkan hadir di
ruangan tengah itu. Ia tidak duduk di depan, tetapi di sudut,
di tempat yang agak gelap.
Ketika ruangan mulai hening, dengan isyarat, Ayahanda
memerintahkan Pamanda Kunten untuk menyampaikan berita
yang dibawanya, tidak saja kepada Ayahanda, tapi juga
kepada hadirin yang terkumpul. Pamanda Kunten mulai
berbicara, "Kakanda Banyak Citra, bagi para bangsawan Kota
Medang, saat ini saat yang paling menyedihkan dalam hidup
saya. Saya harus menyampaikan berita yang paling
menyedihkan yang dapat didengar oleh Kakanda Banyak Citra
dan para bangsawan Kota Medang. Ternyata, berita sedih itu
sudah tiba sebelum kami datang. Oleh karena itu, kami hanya
akan menjelaskan jalan ceritanya hingga peristiwa itu terjadi.
Penjelasan tentang jalannya peristiwa ini kami terima dari
pihak-pihak yang dekat hubungannya dengan istana dan juga
dengan Lembaga Kepuragabayaan.
"Menurut penjelasan itu, sudah beberapa
lamajanteJaluwuyung memperlihatkan tingkah laku yang
aneh. Ia seolah-olah memendam suatu persoalan yang tidak
mau dikemuka-kannya kepada orang lain, juga kepada
sahabat karibnya, yaitu Pangeran Anggadipati. Kemudian,
Jante, seperti kita ketahui, ditempatkan di Kutabarang sebagai
pengawal penguasa Kutabarang. Di situlah, Jante terlibat
perselisihan dan perkelahian dengan Raden Bagus Wiratanu
serta para pengiringnya. Raden Bagus Wiratanu ini putra
sulung penguasa Kutawari-ngin. Ia mencintai Putri Mayang
Cinde yang berasal dari kota yang sama, tetapi kemudian
pindah ke Kutabarang. Rupanya antara Mayang Cinde dan
Jante ada hubungan. Itulah sebabnya, Raden Bagus Wiratanu
pada suatu hari menyergap Jante. Dalam perkelahian itu,
Jante membunuh Raden Bagus Wiratanu dan melukai
beberapa orang pengiringnya.
"Setelah peristiwa itu, Jante menghilang dari Kutabarang.
Tumenggung Wiratanu dari Kutawaringin mengadu kepada
sang Prabu di Pakuan. Semua anggota keluarga wangsa
Wiratanu berikrar untuk membalas dendam. Sang Prabu
mengirimkan beberapa orang puragabaya untuk menyelidiki.
Lalu terjadi pula peristiwa yang menggemparkan. Beberapa
orang bangsawan yang sedang berburu diserang dan dibunuh
oleh Jante. Para puragabaya dikerahkan ke tempat kejadian
itu untuk menangkap Jante, tetapi dalam usaha itu, Jante
terjatuh ke jurang dan berita selanjutnya sudah kita ketahui.
"Sebagai tambahan, saya menyampaikan kepada Kakanda
Banyak Citra dan para bangsawan Kota Medang bahwa dua
hari sesudah kami berangkat, dari ibu kota diberangkatkan
pula serombongan utusan sang Prabu untuk menyampaikan
berita dan tanda belasungkawa kepada kita semua.
Demikianlah seluruh berita yang ingin kami sampaikan!"
Selesai penyampaian berita itu, Ayahanda mendengus.
Beberapa orang bangsawan Kota Medang tetap menunduk,
tetapi beberapa lagi, yaitu ipar-ipar atau keponakankeponakan
terdekat, memperlihatkan sikap percaya. Ruangan
hening, tapi dari sudut mata beberapa orang bangsawan
tampak cahaya mata menyelidiki. Mereka seperti saling
mencurigai, tapi tak seorang pun berani membuka hatinya
untuk mengetahui isi hati pihak lain. Akhirnya, karena tekanan
keheningan itu semakin berat, beberapa orang bangsawan
bergerak-gerak dari tempat duduknya. Ayahanda mendeham,
kemudian berkata dengan berat tetapi lantang, "Kunten,
Adikku, terima kasih atas jerih payahmu dan sahabat kalian,
yang telah melakukan perjalanan begitu jauh dari ibu kota
Pakuan Pajajaran. Tanpa mengurangi rasa terima kasih kami,
ingin kusampaikan kepada kalian dan para bangsawan Kota
Medang bahwa kisah tentang peristiwa itu terlalu bagus dan
terlalu mudah membebaskan pihak-pihak yang terlibat dari
kesalahan-kesalahan yang mungkin telah diperbuat, hubungan
dengan kematian anakku itu. Oleh karena itu, kisah itu masih
terbuka untuk penelitian dan pembahasan kami di Kota
Medang. Di samping itu, kami pun memiliki kisah lain yang
berbeda dengan kisah yang kalian bawa. Baiknya kisah ini
kuceritakan ....
"Sebenarnya, sejak lama Jante sudah membaui rencana
busuk yang diarahkan kepadanya. Ia menceritakan kepadaku
bahwa dalam setiap latihan, para pelatih dan kawan-kawan
seperguruannya berulang-ulang mencoba membunuhnya.
Demikian juga di medan pertempuran, Jante sering merasa
dijadikan umpan untuk memancing serangan lawan. Untung,
ia cukup sigap dan waspada. Demikian Jante berulang-ulang
mengatakannya kepadaku. Ia sudah curiga, lama sebelum
peristiwa itu terjadi. Bahkan, begitu curiganya ia akan
pengkhianatan itu, sering ia berjaga-jaga di malam hari hingga
kurang tidur. Di samping itu, ia pun sering termenung
memikirkan alasan orang-orang yang bermaksud
membunuhnya. "Pada suatu hari, ketika kumasuki biliknya, begitu curiganya
Jante sehingga ia tiba-tiba menyerangku. Untung aku segera
berteriak dan berseru kalau aku ayahnya. Ketika itulah,
kutanya mengapa ia berbuat demikian. Ia menjawab bahwa
sudah lama orang-orang di Padepokan Tajimalela mencoba
membunuhnya. Ia begitu berterus terang kepadaku, padahal
biasanya ia sangat tertutup. Barangkali karena menyadari
betapa besarnya bahaya yang mengancamnya, akhirnya ia
mencurahkan isi hatinya kepadaku, yaitu orang-orang yang
bermaksud membunuhnya. Alasannya hanya satu, ia terlalu
hebat sebagai seorang puragabaya."
Hadirin diam, tapi jelas bagi Banyak Sumba, tidak semua
setuju dengan apa yang dikatakan Ayahanda. Sebagian
bangsawan saling melirik lewat sudut mata seolah-olah
mereka berbincang-bincang melalui cahaya mata mereka.
Akan tetapi, tidak ada di antara mereka yang berani
membantah apa yang dikatakan Ayahanda. Karena hadirin
diam, Ayahanda pun mulai berkata lagi, "Mula-mula, mereka
mencoba membunuh anakku selagi latihan dan seandainya ia
meninggal ketika itu, dengan mudah mereka akan
mengatakan bahwa Jante meninggal karena kecelakaan. Jante
lolos dari tipu muslihat itu, maka dibawalah ia ke beberapa
medan perang; ternyata ia selamat juga. Akhirnya, Bagus
Wiratanu dijadikan umpan dan didapatlah alasan untuk
memburu dan mengeroyok Jante secara pengecut. Semua itu
dilakukan orang karena Jante terlalu hebat, orang-orang iri
kepadanya dan karena ia salah seorang anggota wangsa
Banyak Citra, yang dalam sejarah telah menurunkan orangorang
besar dan orang-orang perkasa bagi kerajaan.
'Aku bertanya kepada kalian, bukankah tidak mustahil kalau
ada keluarga bangsawan lain yang iri karena tempatnya dalam
kehormatan direbut Jante" Bukankah tidak mustahil kalau
wangsa Anggadipati, wangsa Gagak Pernala, atau wangsa Perbangkara
menginginkan kehormatan yang dicapai oleh salah
seorang wangsa Banyak Citra?" Setelah berkata demikian,
mata Ayahanda mengawasi wajah para bangsawan yang
hadir. Mendengar panjelasan terakhir itu, sebagian bangsawan
tersadar dari impian. Mereka bangkit dan dengan menggeram
menyatakan kemarahan mereka. Mereka bergerak-gerak dari
tempat duduk seraya berpaling ke kiri dan ke kanan. Tampak
bahwa akhirnya mereka melihat kebenaran yang dibukakan
melalui kisah yang disampaikan Ayahanda. Akan tetapi,
sebagian bangsawan itu diam saja. Di mata Banyak Sumba,
mereka tampak ragu:ragu. Bahkan, Banyak Sumba menduga
bahwa ada di antara mereka yang tidak percaya pada kisah
Ayahanda. Di antara mereka ini ada yang secara berani
memperlihatkan sikap tidak acuh, yaitu Raden Pembayun
Jakasunu, salah seorang bangsawan tertinggi yang terkaya di
Kota Medang Ketika mengakhiri kisahnya, Ayahanda mengarahkan
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pandangannya ke wajah Raden Pembayun Jakasunu ini. Akan
tetapi, Raden Pembayun Jakasunu dengan tak acuh melihat ke
kiri dan ke kanan dengan ujung matanya. Bangsawan yang
lain, yang tampak tak percaya, seolah-olah saling memberi
isyarat dengan Raden Pembayun Jakasunu. Bahkan, Banyak
Sumba melihat dalam remang, salah seorang bangsawan ini
ada yang tersenyum mengejek. Banyak Sumba memandang
hal itu dengan hati panas, tetapi ia tidak dapat berbuat apaTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
apa. Ia hanya berjanji dalam hati bahwa hal itu akan
dilaporkan kepada Ayahanda selelah selesai pertemuan.
"Baiklah," ujar Pamanda Kunten memecah keheningan,
"Marilah kita tunggu saja bagaimana kisah yang akan
disampaikan kepada kita oleh para utusan resmi sang Prabu
yang dalam waktu dekat akan tiba di Kota Medang ini. Setelah
itu, kita akan mengambil sikap."
"Aku mengambil sikap, seluruh Kota Medang sudah
mengambil sikap, yaitu akan membalas dendam. Para pemuda
Kota Medang malam tadi telah berikrar bahwa mereka akan
membunuh para pembunuh Jante. Mereka akan meminum
darahnya dan memakan hatinya, dan akan melemparkan
bangkainya kepada anjing. Sumpah ini diucapkan dengan
saksi Sang Hiang Tunggal dan tidak akan dicabut lagi. Para
pemuda Kota Medang bukan orang-orang yang suka menjilat
ludahnya kembali," kata Ayahanda.
Mendengar perkataan itu, bergumamlah sebagian
bangsawan, tetapi sebagian orang diam-diam saja. Tampak
oleh Banyak Sumba bahwa Ayahanda pun menyadari apa-apa
yang dilihatnya.
Ketika pertemuan itu diakhiri, hari sudah larut malam.
Tidak ada keputusan baru yang diambil, tidak ada ikrar baru
yang diucapkan. Akan tetapi, jelas bahwa keadaan sudah
berubah dibandingkan dengan malam sebelumnya; ketika para
bangsawan sama-sama terbakar oleh amarah. Setelah kisah
baru disampaikan, sebagian mcrekajadi ragu-ragu, sedangkan
sebagian kecil, yaitu Raden Pembayun Jakasunu dan sahabatsahabatnya,
tampak tak acuh.
Keesokan harinya dan hari-hari berikutnya, orang-orang di
Kota Medang tidak mempercakapkan hal lain, kecuali tentang
kisah-kisah kematian Kakanda Jante Jaluwuyung. Di pasarpasar,
di pandai-pandai besi, di tempat tukang menganyam
tikar, di ladang, dan di huma-huma orang-orang terdekat. Ada
yang setuju dengan kisah yang pertama dan ada pula yang
percaya pada kisah yang kedua. Bahkan, ada orang yang
mulai bertengkar karena adanya dua kisah itu. Lebih dari itu,
Banyak Sumba pernah melihat bagaimana dua orang tukang
kuda berbaku hantam karena yang satu percaya pada kisah
yang pertama, yang lain pada kisah yang kedua.
Pendeknya, perbedaan pendapat telah terjadi dan membagi
penduduk kota menjadi beberapa golongan. Bukan saja di
kalangan rakyat biasa, di kalangan bangsawan lebih-lebih lagi.
Di kalangan ini, perbedaan pendapat tidak terbuka, tetapi
tidak berarti lebih lunak. Sebaliknya, walaupun dibisikkan
dalam ruangan-ruangan tertutup, perbedaan pendapat tidak
lebih kecil, jurang perpecahan tidak lebih sempit. Oleh karena
itu, Banyak Sumba merasa tidak betah, bahkan gelisah dan
cemas kalau ia harus berjalan-jalan di dalam kota. Sering
sekali orang berhenti bicara kalau dia lewat, bahkan orangorang
yang biasanya ramah, kini sering menghindarkan diri
kalau berpapasan di lorong-lorong. Itulah sebabnya, dalam
beberapa hari belakangan, ia lebih suka pergi ke luar benteng
seraya melarikan si Dawuk p'erlahan-lahan menyusuri humahuma,
semak-semak, dan hutan-hutan kecil di sekitar Kota
Medang yang menjadi panas itu.
PADA suatu pagi, lima hari setelah pertemuan para
bangsawan di istana, barulah Banyak Sumba punya
kesempatan bertemu dengan Ayahanda. Ketika itulah, Banyak
Sumba menceritakan apa yang dilihatnya dalam pertemuan
itu. Ia menceritakan bagaimana Raden Jakasunu beserta
sahabat-sahabatnya seperti menganggap sepele setiap
perkataan Ayahanda.
Mendengar keterangan itu, berkerutlah kening Ayahanda,
lalu beliau bertanya dengan sungguh-sungguh, "Apakah
mereka tersenyum mengejek?"
"Tampaknya kepada hamba demikian, Ayahanda." "Apakah
mereka sering memberi isyarat atau sering memandang penuh
pengertian?" tanya beliau pula.
"Hamba tidak melihat hal itu, Ayahanda. Hamba hanya
melihat seolah-olah mereka bosan mendengar kata-kata
Ayahanda, kemudian mereka tak acuh. Kalau Ayahanda
berbicara dengan penuh... penuh semangat, mereka
tersenyum masam."
"Kalau begitu, benar dugaanku," ujar Ayahanda setelah
termenung beberapa lama. Banyak Sumba tertegun karena
penasaran. Bahkan, Jakasunu dan kawan-kawannya akan
mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan mereka.
Mereka akan menjatuhkanku dengan cara yang curang.
"Banyak Sumba, untung kauberitahukan hal ini kepadaku.
Kalau tidak, Ayahanda akan mereka pukul selagi lengah.
Banyak Sumba, ketahuilah bahwa Jakasunu sangat mengingini
kedudukanku sebagai penguasa Kota Medang ini. Betapa
tidak, ia sangat kaya, juga keturunan bangsawan. Kurangnya
dariku hanyalah karena leluhurnya belum pernah ada yang
jadi menteri. Nah, bukankah orang seperti dia harus kucurigai
dari dulu"
"Banyak Sumba, sebelum aku diangkat menjadi penguasa
Kota Medang ini, pada suatu malam, di tengah jalan
segerombolan penyamun menyerangku. Untung gulanggulang
kita sigap-sigap. Sekarang, makin jelas bahwa
perampok-perampok itu mungkin suruhan Jakasunu. Karena
kalau aku mati sang Prabu akan menempatkan dia sebagai
penguasa Kota Medang ini. Mengertikah kau sekarang, Banyak
Sumba?" "Tapi, Ayahanda, hamba hanya melihat ia tak acuh." "Tak
acuh, ya, tak acuh sudah cukup, Banyak Sumba. Untung kau
memberitahukannya kepadaku. Untung. Dalam tiga hari
belakangan ini, aku sedang menulis surat untuk sang Prabu di
Pakuan Pajajaran. Ayah memohon kepada beliau agar para
pembunuh Jante diserahkan supaya keadilan dijalankan. Ayah
harus waspada dan melindungi hingga surat itu dapat diterima
dengan baik oleh sang Prabu. Siapa tahu Jakasunu akan
mengerahkan orang-orangnya lagi dalam rangka merebut
kedudukan Ayah."
Walaupun tidak tahu apa yang harus dipercaya dan harus
tidak dipercaya dan pikirannya menjadi bingung oleh masalahmasalah
ruwet yang hidup di antara orang-orang tua, Banyak
Sumba tidak bertanya apa-apa lagi kepada Ayahanda. Di
samping itu, tampak Ayahanda sangat terguncang oleh
keterangannya. Banyak Sumba bahkan merasa menyesal telah
menyampaikan apa yang dilihatnya dalam pertemuan. Akan
tetapi, ia pun merasa lega sebab kalau dugaan Ayahanda
benar, yaitu Raden Pembayun Jakasunu akan
mempergunakan kesempatan itu untuk tujuan-tujuannya
sendiri, Banyak Sumba telah membantu menghindarkan hal
yang tidak diingini itu. Bagaimanapun, ia tetap bingung. Ia
tidak dapat membedakan yang benar dari yang salah, yang
nyata dari yang dikhayalkan, yang baik dari yang buruk. Itu
pula sebabnya, ia lebih suka pergi meninggalkan istana dan
kota. SETELAH percakapan itu, Banyak Sumba meninggalkan
istana. Melalui gerbang kota bagian barat, ia menuju telaga
tempat ia bermain-main seorang diri atau berenang kalau hari
panas. Di atas si Dawuk yang telah tahu tujuan tuannya,
Banyak Sumba termenung.
Dalam renungannya itu, ia tidak mau mengingat-ingat
percakapan dengan Ayahanda Banyak Citra ataupun kejadiankejadian
yang bertalian dengan pertemuan beliau dengan para
bangsawan. Ia teringat kepada Kakanda Jante Jaluwuyung.
Tiba-tiba saja ia sadar bahwa Kakanda Jante telah tiada untuk
selama-lamanya. Memang, Kakanda Jante bukanlah seorang
kakak yang lemah lembut. Ia kakak yang tidak suka bergaul
dengan adik-adiknya, ia kakak yang keras, yang tidak raguragu
mempergunakan tangannya kalau ada hal-hal yang tidak
disetujui dari tutur kata atau tingkah laku adik-adiknya. Akan
tetapi, bagaimanapun, Kakanda Jante Jaluwuyung kakaknya.
Di samping itu, Kakanda Jante kebanggaan keluarga, seorang
putra bangsawan yang karena tingkah lakunya yang baik telah
terpilih menjadi puragabaya. Lalu, bukankah sebenarnya
Kakandajaluwuyung sayang kepadanya dengan caranya
sendiri" Bukankah Kandajaluwuyung yang mengajarinya naik
kuda, memanah, mempergunakan tombak, walaupun dalam
memberi pelajaran sangat murah dengan caci maki dan
bahkan tempeleng" Dan bukankah kalau sekarang ia mahir
dengan kepandaian seorang kesatria, hal itu berkat pendidikan
Kanda Jante yang keras"
Kesadarannya itu tiba-tiba menyebabkan hati Banyak
Sumba terhenyak. Tiba-tiba, matanya basah dan ketika ia
menyibakkan rambut yang ditiup angin ke pipinya, telapak
tangannya menjadi basah oleh air mata. Perlahan-lahan,
kesedihan itu menjadi lebih dalam ketika ia menyadari bahwa
sebenarnya kesedihan itu tidak ia sendiri yang merasakannya.
Ayahanda kelihatan lebih tua beberapa tahun setelah
mendengar berita kematian KakandaJantejaluwuyung. Ibunda
tidak pernah meninggalkan tempat peraduan dalam beberapa
hari setelah peristiwa itu. Demikian juga Ayunda Yuta Inten,
yang walaupun dapat mengerjakan tugasnya sehari-hari,
selalu berurai air mata. Kesadaran itu menyebabkan Banyak
Sumba menyadari apa artinya ikatan keluarga, kesetiaan, dan
perasaan senasib orang-orang yang sekeluarga. Kesadaran itu
menyebabkan ia mengerti apa yang disebut kehormatan
keluarga itu. Ia tiba-tiba mengerti dan menghayati apa yang dikatakan
Ayahanda ketika upacara di lapangan istana, ketika
pertemuan-pertemuan dengan bangsawan-bangsawan dan
adik-adik beliau yang datang dari Kutabarang maupun dari
Pakuan Pajajaran. Tiba-tiba, berkobarlah kemarahan dan
semangat balas dendam dalam diri Banyak Sumba. Perlahanlahan,
bibirnya membisikkan sumpah yang diucapkan oleh
bangsawan-bangsawan muda di dalam upacara itu. "Minum
darahnya, makan hatinya, lempar bangkainya ke tengahtengah
anjing kampung!" bisiknya. Bisikan ini keluar dari
semangat yang menyala dalam hadnya, kemudian membantu
memperbesar nyala itu. "Minum darahnya! Makan hadnya!
Lempar bangkainya pada anjing!" tiba-tiba Banyak Sumba
berteriak. Si Dawuk meringkik, lalu melompat dan berlari bagai anak
panah. Si Dawuk melonjak-lonjak melalui ladang, huma,
semak-semak, dan hutan-hutan kecil sebelah barat Kota
Medang. Banyak Sumba memacunya, menuju telaga
tempatnya menyepikan diri. Tidak berapa lama, langkah si
Dawuk menjadi perlahan dan tibalah mereka di tepi telaga itu.
Si Dawuk minum, sementara Banyak Sumba mencelupkan
kakinya. Air yang sejuk itu seolah-olah merayap,
mendinginkan kaki juga hatinya. Detak jantungnya melambat
dan duduklah Banyak Sumba di atas sebatang kayu yang
melintang di sana.
Tiba-tiba, didengarnya bunyi berpuluh-puluh kaki kuda dari
balik hutan kecil. Banyak Sumba bangkit, lalu menyelinap ke
semak-semak menuju arah datangnya bunyi kaki kuda itu.
Berulang-ulang ia melompati semak duri, berulang-ulang ia
merunduk di bawah dahan-dahan yang melintang berulangulang
pula ia membetulkan tali alas kaki kulit yang dipakainya.
Akhirnya, tampak di hadapannya suatu bagian hutan yang
terbuka. Ia berhenti, menahan napasnya. Suara dengus kuda
terdengar, demikian juga suara orang bercakap. Ia
menjatuhkan diri dan bergerak mendekati suara itu dengan
merangkak. Maka, tampaklah apa yang ingin dilihatnya.
Dua orang bangsawan tinggi berpakaian kebesaran
kerajaan, duduk di atas kuda mereka yang didandani rapi. Di
belakang kedua orang bangsawan ini, sekurang-kurangnya
lima belas orang jagabaya bersenjata lengkap dengan pakaian
perang. Rombongan ini berhadapan dengan enam orang
penduduk Kota Medang, yaitu bangsawan-bangsawan yang
dipimpin Raden Pembayun Jakasunu. Mereka bersalaman,
kemudian berhadapan kembali dan mulailah bangsawan asing
itu bertanya: 'Jadi, kemungkinan pemberontakan itu ada?"
"Segalanyr. mungkin, Pangeran, tetapi hamba tidak melihat
kemungkinan seburuk itu," jawab Raden Jakasunu.
"Bagaimanapun, kita harus memikirkan yang buruk lebih
dahulu," kata bangsawan yang seorang lagi.
"Bangsawan-bangsawan muda setempat sudah berikrar
untuk membalas dendam," sambung Raden Jakasunu.
"Banyak Citra ini memang keras kepala. Sayang, padahal ia
seorang penguasa yang baik. Yang jadi soal, ia keras kepala,
sempit, perasa, dan angkuh," kata bangsawan yang satu lagi
kepada kawannya.
"Tugas kita dari sang Prabu hanya menyampaikan
keterangan dan belasungkawa. Kukira tidak perlu kita berpikir
hingga ke soal kemungkinan pemberontakan."
"Soalnya, kita perlu berhati-hati. Siapa tahu kita ditangkap,
lalu dijadikan sandera untuk tujuan-tujuan Banyak Citra yang
tidak kita ketahui. Bukankah katamu tadi, ia akan menuntut
kepada sang Prabu agar Anggadipati diserahkan kepadanya?"
tanya bangsawan itu kepada Raden Jakasunu.
"Demikian menurut pendengaran hamba dari salah seorang
teman hamba yang dekat dengan Raden Banyak Citra,
Pangeran," jawab Raden Jakasunu.
Banyak Sumba tidak sabar lagi untuk memberitahukan apa
yang dilihat dan didengarnya kepada Ayahanda. Ia merangkak
kembali ke tempatnya semula. Pakaiannya sobek-sobek dan
kulitnya luka-luka oleh duri semak-semak, tetapi itu tidak
dipedulikannya. Ia merangkak menuju si Dawuk yang sedang
asyik makan daun-daunan di tepi telaga.
Setiba di tempat si Dawuk, Banyak Sumba tidak langsung
menunggangi kuda itu, tetapi menuntunnya, berjalan menjauh
dari tempat orang-orang mengadakan pertemuan rahasia itu.
Baru setelah yakin bahwa suara kaki kudanya tidak akan
terdengar dari tempat orang-orang yang sedang berunding
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, Banyak Sumba melompat ke punggung si Dawuk, lalu
memacunya ke gerbang kota. Ia memacu kuda itu begitu
cepatnya hingga tidak berapa lama kemudian, ia sudah lewat
di gerbangnya. Tidak seperti biasa, ia tetap menunggangi kudanya dan
memacunya di antara orang-orang yang sibuk. Ini perbuatan
yang sangat tercela, apalagi kalau dilakukan seorang anak
bangsawan. Akan tetapi, karena pentingnya berita yang harus
disampaikannya kepada Ayahanda, ia terpaksa berlaku seperti
orang yang tidak tahu sopan santun.
Setibanya di istana, ia melemparkan kekang si Dawuk
kepada gulang-gulang yang sedang menjaga. Ini pun bukan
perbuatan yang sopan, la beriari dan menabrak seorang
emban hingga berguling di lantai lorong. Ia menaiki tangga
dengan bunyi alas kaki yang berisik. Akhirnya, ia tiba di depan
pintu ruangan khusus Ayahanda. Ia membuka pintu perlahanlahan.
Ayahanda mendeham dan ia masuk tanpa meminta izin
terlebih dahulu.
Walaupun dalam keadaan biasa Ayahanda akan murka
melihat kelakuannya seperti itu, ketika itu Ayahanda tidak
berkata apa-apa. Bahkan, dengan penasaran beliau
memandang ke muka Banyak Sumba. Rupanya beliau
menduga bahwa ada hal penting yang hendak disampaikan
putranya. Beliau bertanya, "Ada apa, Anakku?"
Banyak Sumba menceritakan segala yang dilihat dan
didengarnya. Ayahanda mengerutkan keningnya dan tertegun
untuk beberapa lama, kemudian dengan suara gemetar
bertanya kembali kepada Banyak Sumba, "Sumba, bukankah
Jakasunu mengatakan Ayah akan berontak?"
"Tidak, Ayahanda. Raden Jakasunu mengatakan segala
kemungkinan ada."
"Bedebah!" tiba-tiba Ayahanda mendengus. "Ia telah
menyindir-nyindirkan pemberontakan. Jelas ia ingin
menjatuhkan aku sebagai penguasa Kota Medang."
"Tapi, Ayahanda, Raden Jakasunu beranggapan bahwa
kemungkinan pemberontakan terlalu buruk dan ia tidak
menyngka pemberontakan akan terjadi. Katanya, ia tidak
melihat kemungkinan seburuk itu," Banyak Sumba menyela,
ingin memberikan kesan yang benar kepada ayahandanya
tentang apa yang dilihat dan didengarnya.
Akan tetapi, Ayahanda segera berkata pula, "Sumba,
engkau masih terlalu muda untuk mengenal kebusukan
manusia. Banyak orang yang mengejar kehormatan melalui
jalan yang tidak diridhai oleh Sang Hiang Tunggal. Keturunan
Banyak Citra mencapai kedudukan dan kehormatan melalui
kerja keras. Akan tetapi, orang-orang yang hina mencapai
kedudukan dan kehormatan dengan menjilat, menipu, bahkan
membunuh! Ketahuilah Anakku, di hadapan setiap keturunan
Banyak Citra selalu ada batu penarung dan keturunan Banyak
Citra tidak pernah menyerah."
Setelah berkata demikian, Ayahanda termenung, kemudian
berkata, "Panggil kepala jagabaya, kemudian larilah engkau
kepada Ibunda, katakan bahwa keadaan mulai darurat."
Banyak Sumba berlari ke ruangan para jagabaya dan sesuai
dengan perintah, meminta kepada kepala jagabaya untuk
menghadap Ayahanda. Kemudian, ia menuju kaputren,
menyampaikan berita Ayahanda. Mendengar itu, Ibunda,
Ayunda, dan para emban mulai berkemas-kemas
membereskan barang-barang berharga. Ayunda berkata
kepada Banyak Sumba.
"Sumba, masukkan barang-barang yang paling berharga
yang kaumiliki ke kotak-kotak besar, siapkan untuk diangkat."
Banyak Sumba menuruti perintah itu. Ia pun untuk
beberapa lama sibuk mengurus barang-barangnya dibantu
beberapa gulang-gulang dan para panakawan.
LAMA sekali Banyak Sumba mengemasi barang-barangnya.
Ketika ia keluar dari ruangannya, hari sudah hampir senja.
Dan ketika ia melihat ke arah benteng, tampaklah
pemandangan yang menggetarkan hatinya.
Di atas benteng itu, para jagabaya dengan pakaian perang
berjaga-jaga, demikian juga berpuluh-puluh bangsawan muda
dengan para pembantu mereka. Bangsawan-bangsawan muda
ini kawan-kawan Kakanda Jante. Rupanya, Ayahanda sudah
memerintahkan supaya mereka berjaga-jaga.
Melihat segala persiapan itu, terbitlah hasrat Banyak Sumba
untuk menjadi orang dewasa. Kalau sudah besar, tentu saat
itu ia sudah berpakaian perang dan menyandang senjata
dengan gagahnya. Dengan perasaan itulah, ia melangkah mer
naiki tangga menuju menara penjagaan. Di sana, ternyata
Ayahanda sedang duduk di hadapan kepala jagabaya. Ketika
itu, Ayahanda berkata, "Kita harus memberi kesan kepada
para tamu dari ibu kota bahwa Kota Medang bersedia
memberikan petaruh macam apa pun untuk keadilan dan
kehormatan. Di samping itu, kita tidak akan memberi ampun
kepada mereka yang berkhianat."
Setelah berkata demikian, beliau diam kembali. Parajagabaya
dengan sigap berjaga-jaga, memandang ke barat, ke
jalan yang datang dari arah Pakuan Pajajaran. Ketika matahari
terbenam, tampaklah rombongan kecil penunggang kuda.
Ayahanda berdiri. Tampak kemudian bahwa yang datang
bukanlah utusan dari ibu kota Pakuan Pajajaran, tetapi
rombongan bangsawan yang dipimpin Raden Pembayun
Jakasunu. "Tutup pintu gerbang, mereka tidak diizinkan masuk." Pintu
gerbang pun ditutup. Ketika keenam orang bangsawan di
bawah pimpinan Raden Jakasunu tiba, mereka kebingungan.
"Buka pintu!" seru salah seorang dari mereka. "Tidak!" seru
Ayahanda, "Bukankah kalian melaporkan kepada para utusan
dari ibu kota bahwa Kota Medang akan berontak?"
Mendengar perkataan Ayahanda, Radenjakasunu dengan
kawan-kawannya tampak tidak mengerti dan kebingungan.
"Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan," seru Raden
Jakasunu dari bawah.
"Jangan pura-pura!" sambut Ayahanda, "kalian akan
mempergunakan tinju pasukan jagabaya kerajaan untuk
mengambil kedudukanku!"
"Banyak Citra, kecurigaanmu tidak beralasan. Kalau kauyakin
kami akan berkhianat, mengapa kami tidak kautangkap
dan kauadili?"
"Tidak perlu diadili, membuang-buang waktu!
Pengkhianatanmu sudah jelas. Sekarang, pergilah dari Kota
Medang kalau sayang dengan nyawa kalian."
"Kami tidak sayang pada nyawa kami, asal keadilan
ditegakkan. Kami perlu bukti dulu tentang kesalahan kami seru
Jakasunu. Ayahanda akan menjawab lagi, tetapi dari arah istana
datanglah beberapa orang bangsawan, di antaranya beberapa
orang wanita yang sambil menangis berjalan ke arah
Ayahanda. Ternyata, mereka sanak saudara dan istri, serta
anak-anak Raden Jakasunu. Rupanya mereka diberi tahu
tentang apa yang terjadi di gerbang kota. Dan mereka datang
untuk memohon keadilan kepada Ayahanda.
"Kakanda Jakasunu bermaksud baik. Ia pergi menemui
utusan sang Prabu untuk memberi tahu suasana di Kota
Medang agar perundingan dapat berjalan dengan lancar.
Sekali-kali, ia tidak ada maksud untuk berkhianat," kata
seorang saudara Jakasunu. Akan tetapi, Ayahanda berkeras
tidak akan mengizinkan Jakasunu masuk. Akhirnya, dengan
wanita-wanita yang menangis, mereka mengundurkan diri.
Kemudian, rombongan Raden Jakasunu pun meninggalkan
gerbang kota. Mereka melarikan kuda ke arah barat. Hari pun
malam. MALAM itu tidak terjadi apa-apa, tetapi suasana sangat
tegang. Bisik-bisik terdengar antara gulang-gulang, rakyat
biasa, para emban, bahkan para bangsawan. Ayahanda tidak
tidur malam itu. Beliau terus tinggal di menara penjagaan, di
atas gerbang kota bagian barat. Malam itu sunyi sekali.
Banyak Sumba juga tidak dapat memejamkan mata. Ia pergi
ke menara penjagaan, tempat Ayahanda memimpin para
jagabaya. Ketika ia sampai di sana, Ayahanda tidak
menyuruhnya pulang. Mungkin, hal itu karena Ayahanda
beranggapan bahwa Banyak Sumba sekarang anak laki-laki
terbesar dalam keluarga. Oleh karena itu, tidak ada salahnya
mulai ikut menghayati masalah-masalah yang dihadapi beliau.
"Sumba, duduklah di sini," kata Ayahanda. Banyak Sumba
pun duduk di atas bangku panjang yang biasa dijadikan
tempat istirahat jagabaya. Sepanjang malam, secara bergiliran
mereka mengelilingi seluruh kota dari atas dinding benteng
itu. Setelah berbicara demikian, Ayahanda memberi isyarat
kepada jagabaya yang menjaga di menara untuk pergi. Maka,
tinggallah ayah dengan anak berdua dalam ruangan menara
penjagaan. "Sumba, jadilah mata dan telinga Ayah," kata Ayahanda
setelah mereka berdua, "lihat dan dengarlah tingkah laku dan
tutur kata orang-orang. Seperti kauketahui, para bangsawan
di Kota Medang ini tidak semua berpihak kepada Ayah.
Demikian juga para jagabaya, terutama setelah datang
saudara-saudara Ayah dari Pakuan Pajajaran dengan kisah
bohongnya. Jadi, dengarlah dengan baik agar kita dapat
waspada dan bertindak cepat kalau ada hal-hal yang tidak
diingini terjadi."
"Baik, Ayahanda," jawab Banyak Sumba, lalu ia
melanjutkan menjelaskan apa-apa yang dilihat dan
didengarnya, walaupun belum jelas benar baginya. Pertama
dikisahkannya tentang orang-orang yang berdebat dan
bertengkar tentang kedua kisah itu. Kemudian, setelah Raden
Pembayunjakasunu dilarang masuk Kota Medang, peristiwa itu
menyebabkan pula perbedaan pendapat. Dengan sedih,
Banyak Sumba melihat kenyataan, dengan dibuangnya Raden
Pembayun Jakasunu dari Kota Medang lebih banyak lagi orang
yang tidak setuju dengan Ayahanda. Banyak Sumba sendiri
tidak melihat alasan mengapa Ayahanda harus menolak
kedatangan Raden Pembayun Jakasunu itu.
"Ayahanda, apakah Raden Pembayun Jakasunu benarbenar
akan berkhianat?"
"Anakku, Banyak Sumba, sejak dulu Ayah sudah curiga
terhadapnya. Kemudian, dalam perundingan-perundingan, ia
tidak acuh terhadap masalah yang dihadapi keluarga kita,
keluarga yang sebenarnya harus dianggap majikannya.
Bukankah kita ini keluarga penguasa yang sah, yang diangkat
dengan segala upacara oleh sang Prabu"Jelas bagimu
bahwajakasunu kurang menghargai Ayah sebagai penguasa
Kota Medang ini.
Keduanya, Jakasunu mencegat utusan Pajajaran. Apakah
maksud pertemuan yang diadakannya itu" Scburuk-buruknya,
ia akan mempergunakan pasukan pemerintah kerajaan untuk
merebut kedudukan Ayah; sebaik-baiknya, ia akan mengambil
muka, seolah-olah dialah yang paling bijaksana dan paling
banyak membantu menyelesaikan masalah sekitar kematian
kakakmu Jante. Nah, sekarang kau mengerti mengapa Ayah
bertindak keras terhadapnya. Banyak Sumba, menurut
pengalaman Ayah, kita jangan terlalu percaya kepada orangorang
sekeliling kita. Untuk kesenangan, untuk kedudukan,
untuk kemasyhuran, kadang-kadang orang berani berbuat
yang scburuk-buruknya kalau kebetulan ada peluang.
Kecurigaan kita bukanlah kekejaman, tetapi justru kebaikan
karena kecurigaan kita mencegah mereka dari perbuatan yang
lebih buruk, yang akan dikutuk selama-lamanya oleh Sang
Hiang Tunggal dan Sunan Ambu."
Banyak Sumba tidak berkata apa-apa lagi. Ia tidak yakin
benar akan penjelasan Ayahanda. Akan tetapi, ia mengetahui
bahwa Ayahanda orang tua yang sudah banyak makan garam
di dunia ini. Pengetahuan ayahnya tentang kehidupan tidak
mungkin dibandingkan dengan pengetahuannya. Oleh karena
itu, tidak ada jalan lain baginya, kecuali percaya kepadanya.
Untuk beberapa lama, mereka berdiam diri. Banyak Sumba
memandang ke sekeliling, ke arah padang-padang, hutanhutan
kecil di kampung-kampung yang samar-samar di gelap
malam itu. Kadang-kadang, terlihat olehnya penunggang kuda
membawa obor di jalan-jalan besar. Itu adalah jagabaya yang
melakukan perondaan ke kampung-kampung. Kadang-kadang,
dari jauh tampak pula kelap-kelip api unggun yang dinyalakan
oleh gembala di tengah lapangan yang dikelilingi pagar tempat
menyimpan ternak. Di langit, bintang-bintang pun berkelipkelip,
seolah-olah berbisik-bisik satu sama lain, bukan dengan
suara tapi dengan cahaya.
Selagi termenung demikian, sayup-sayup dari arah tempat
minum tuak, Banyak Sumba mendengar teriakan. Ayahanda
bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan ke luar menara
penjagaan itu, melihat ke arah warung-warung tuak itu.
Banyak Sumba mengikuti dari belakang. Ketika mereka sudah
berada di luar menara penjagaan, teriakan-teriakan terdengar
makin keras. Scorangjagabaya datang, lalu menyembah
kepada Ayahanda, "Di tempat minum, terjadi perkelahian,
Gusti." "Suruh dua orang melihat, mengapa jagabaya yang ada di
sana tidak berbuat apa-apa."
"Baik, Gusti," setelah menyembah, pergilah jagabaya itu ke
dalam gelap. Sementara itu, keributan makin menjadi-jadi dan tampaklah
nyala api yang makin lama makin besar dari arah warungwarung
tuak itu. Ayahanda segera memanggil kepala
jagabaya, memerintahkan supaya dikerahkan lima belas orang
jagabaya ke tempat keributan itu. Di samping itu, mereka pun
ditugaskan untuk mengerahkan rakyat memadamkan api.
Walaupun Ayahanda berbicara tenang Banyak Sumba
menyadari bahwa beliau cemas akan kejadian itu. Apalagi
keributan makin lama makin hiruk pikuk, sedangkan api makin
lama makin berkobar-kobar. Akhirnya, Ayahanda memutuskan
untuk pergi sendiri ke tempat itu.
Diiringi lima orang jagabaya dan gulang-gulang, Ayahanda
menuruni benteng, menyusuri lorong-lorong di dalam kota. Di
suatu belokan, datanglah kepala jagabaya dan dengan
terengah-engah melapor.
"Perkelahian besar-besaran terjadi karena dua kelompok
besar yang minum-minum di warung tuak berselisih paham
tentang tindakan pembuangan Raden Pembayun Jakasunu.
Ketika mereka berkelahi, lentera tersinggung dan terjadilah
kebakaran. Jagabaya terbagi dua, mereka bertempur satu
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sama lain. "Siapkan tiga puluh orang pasukan!" seru Ayahanda,
"Sumba, pulanglah, kabarkan kepada isi istana tentang apa
yang terjadi." Setelah berkata demikian, Ayahanda mencabut
pedangnya. Banyak Sumba berlari ke istana. Di belokan, ia
berpaling, melihat Ayahanda yang tergesa-gesa dan dengan
pedang terhunus menuju cahaya api yang berkobar-kobar.
TERNYATA, setiap orang di istana berada dalam suasana
kecemasan dan ketegangan. Berpeti-peti barang milik
keluarga Banyak Citra sudah disiapkan di tengah-tengah
ruangan belakang, untuk setiap waktu diangkut kalau keadaan
darurat tiba. Ibunda dan Ayunda Yuta Inten dikelilingi para emban,
duduk di sudut sambil berdoa dan berderai air mata. Beberapa
orang gulang-gulang yang setia dan yang tua-tua, berkumpul
pula di sana. Di antara mereka terdapat Kakek Misja, gulanggulang
tertua yang pernah menjadi pengasuh Ayahanda.
Ketika mereka melihat Banyak Sumba datang, Ibunda berdiri
dan segera menyambutnya. Sambil terengah-engah, Banyak
Sumba berkata kepada Ibunda.
"Dua kelompok besar orang berkelahi di dalam dan di
lapangan tempat minum-minum. Ayahanda sedang
menyelidikinya dengan para jagabaya."
Ibunda termenung sebentar, lalu berpaling kepada Kakek
Misja dan memberi isyarat. Kakek Misja memberi isyarat
kepada gulang-gulang lain, anak buahnya, kemudian kepada
Banyak Sumba supaya mengikuti.
Banyak Sumba berjalan mengikuti Kakek Misja menuju
ruangan kaputren yang jarang dimasuki, yaitu ruangan tempat
menyimpan senjata serta barang-barang tua. Setiba di sana,
Kakek Misja memberi tahu Banyak Sumba bahwa lemari besar
tempat menyimpan barang-barang tua itu sebenarnya pintu
rahasia yang dipergunakan sewaktu-waktu, kalau keadaan
darurat. Ibunda telah menganggap keadaan telah darurat.
Oleh karena itu, keluarga Banyak Citra harus bersiap-siap
menyelamatkan diri.
Setelah memberi penjelasan demikian, Kakek Misja
memerintahkan kepada enam orang gulang-gulang
kepercayaannya untuk membuka lemari besar itu. Ternyata,
salah satu papan lemari itu dapat dicabut, yaitu papan yang
berada di samping kiri yang melekat pada dinding batu.
Seandainya orang mengangkat atau menggeser lemari itu
secara kepalang tanggung dalam mencari pintu rahasia,
mungkin orang akan menyangka bahwa lemari berat itu tidak
memiliki terowongan di sampingnya. Hanya orang yang
berhasil memindahkan lemari berat itu jauh dari tempatnya
yang dapat melihat terowongan sempit itu. Orang yang hanya
sedikit menggesernya, tidak mungkin dapat melihat
terowongan yang berada di samping lemari itu. Pengetahuan
tentang adanya jalan rahasia itu menimbulkan kekaguman
Banyak Sumba terhadap Ayahanda.
"Sekarang, mulai angkut peti-peti itu," kata Kakek Misja
kepada enam orang gulang-gulang kepercayaan itu. Mereka
pun pergi, kembali ke ruangan tengah kaputren.
"Mungkinkah mereka akan membocorkan rahasia tentang
adanya terowongan ini?" tanya Banyak Sumba kepada Kakek
Misja. "Tidak mungkin, mereka semua berutang budi secara
turun-temurun kepada keluarga Banyak Citra. Mereka telah
bersumpah dengan saksi Sang Hiang Tunggal," jawab Kakek
Misja. Banyak Sumba tenteram oleh jawaban orang tua itu.
Kemudian, ia melihat lubang kelam yang berupa terowongan.
Selagi ia melihat-lihat, kembalilah para gulang-gulang itu.
mengangkat peti-peti barang keluarga Banyak Citra. Peti-peti
itu dibawa masuk terowongan, kemudian mereka kembali.
Sekarang, tinggallah Kakek Misja dan Banyak Sumba.
"Di manakah berakhirnya terowongan ini?" tanya Banyak
Sumba. "Di tepi sungai," jawab Kakek Misja.
"Jauh?"
"Lumayan jauhnya."
Sambil berkata demikian, Kakek Misja melangkah menuju
ruangan belakang kaputren, tempat Ibunda dan Ayunda serta
para emban berkumpul. Banyak Sumba duduk di sudut
ruangan dengan adik-adiknya yang masih kecil-kecil. Tampak
semua adiknya itu ketakutan. Sedangkan orang-orang tua,
laki-laki dan perempuan, semuanya membisu belaka,
mendengarkan suara-suara dari luar.
Kadang-kadang terdengar teriakan, walaupun ddak jelas,
yang memberi isyarat bahwa di luar istana sedang
berlangsung kejadian-kejadian yang tidak wajar. Kadangkadang
terdengar bunyi kaki orang berlari di lorong-lorong
istana. Demikianlah, di kaputren orang berkumpul sambil
mendengarkan setiap suara dengan kecemasan. Akhirnya,
ketika malam sangat larut, datanglah gulang-gulang utusan
Ayahanda membawa perintah agar seluruh keluarga melarikan
diri. Berjalanlah Ibunda dan Ayunda Yuta Inten bersama Banyak
Sumba dan adik-adiknya, menuju ruangan tempat pintu
rahasia itu berada. Kakek Misja mengiringi mereka bersama
para emban yang tidak banyak jumlahnya. Sementara keenam
orang gulang-gulang menyalakan lampu-lampu minyak untuk
penerangan dalam terowongan itu. Tak berapa lama,
rombongan pun sudah di dalam terowongan, gua kelam yang
berudara lembap.
Sukar ditetapkan untuk berapa lama rombongan kecil itu
berjalan di dalam terowongan yang sempit itu, tetapi tiba-tiba
Kakek Misja yang berjalan paling dulu berhenti. Seluruh
rombongan pun berhenti. Banyak Sumba yang berjalan di
dekat Kakek Misja menyadari bahwa tempat mereka berhenti
itu buntu. Setelah mata Banyak Sumba terbiasa pada keremangremangan itu, tampaklah olehnya bahwa sebenarnya
terowongan itu tidak buntu, tetapi batu yang sangat besar
menutupnya dengan rapat. Melihat itu, mula-mula Banyak
Sumba bingung. Kemudian, mengertilah dia, apa yang terjadi.
Batu besar itu tidak mungkin dapat didorong, walaupun
misalnya seluruh rombongan melakukannya. Kakek Misja
kemudian menyerahkan obornya kepada seorang gulanggulang
yang paling dekat dengannya. Orang tua itu
menggelundungkan sebuah batu yang ada tidak jauh dari
tempatnya berdiri, kira-kira sebesar kepala kerbau. Oleh Kakek
Misja, batu itu diletakkan di depan batu besar yang menutupi
lubang gua. Kemudian, Kakek Misja mengambil sebatang besi
panjang yang terletak dalam kegelapan. Salah satu ujungnya
diletakkan di antara batu kecil dan batu besar penutup mulut
gua. Ternyata, di atas batu kecil itu sudah ada suatu lekuk
yang tampak diperuntukkan bagi besi panjang itu. Mengertilah
Banyak Sumba bahwa asas yang dipergunakan umrk
menggeser batu besar itu adalah asas pengungkit yang
pernah dipelajarinya dari Ayahanda. Mengerti pulalah Banyak
Sumba, mengapa Ayahanda mengajarkan asas tersebut
kepadanya. Ayahanda telah menyiapkan dirinya kalau-kalau
pada suatu waktu Banyak Sumba harus memimpin
keluarganya melalui gua itu.
Setelah batang besi yang besar dan panjang itu terletak
miring di atas batu yang kecil, Kakek Misja memerintah enam
orang gulang-gulang untuk membantunya mendorong batu
itu. Banyak Sumba yang mengerti asas pengungkit
mendahului para gulang-gulang yang kelihatan tidak mengerti.
Banyak Sumba memegang batang besi itu, tidak bergerak,
demikian juga batu besar itu.
"Engkau rupanya telah mengerti, Raden," kata Kakek Misja.
"Saya mengerti," kata Banyak Sumba. Hatinya bangga
karena ia benar-banar merasa sebagai anggota wangsa
Banyak Citra, yang dengan sendirinya harus mengerti apa
yang harus diperbuat di hadapan mulut gua yang tertutup itu.
"Nah, Gulang-gulang, bantu Raden Banyak Sumba,"
perintah Kakek Misja, mengulang. Maka, para gulang-gulang
pun mulai membantu menarik batang besi itu ke bawah.
Mereka keheranan ketika batu besar itu mula-mula sedikit
bergerak, kemudian bergerak dengan mudah diiringi suara
gemuruh dan debu serta pasir yang berjatuhan deras dari atas
atap gua. "Pejam!" seru Banyak Sumba kepada adik-adiknya supaya
mata mereka tidak kemasukan pasir. Ketika Banyak Sumba
berseru demikian, diliriknya adik-adik dan wanita-wanita.
Tampak olehnya, betapa Ibunda dan Ayunda bangga melihat
Banyak Sumba sudah dapat menggabungkan diri dan bekerja
dengan gulang-gulang.
Sebagai anggota Banyak Citra, Banyak Sumba pun merasa
bangga. Hanya sedikit orang di seluruh Pajajaran yang
mengetahui cara menggerakkan benda besar. Dan, hanya
wangsa Banyak Citra yang sangat ahli dalam soal menggeser
benda-benda besar. Ilmu ini adalah salah satu rahasia para
bangsawan yang pada saat-saat darurat dapat dipergunakan,
seperti pada saat itu.
Tak lama kemudian, masuklah cahaya dari luar gua itu.
Para gulang-gulang pun makin giat menarik batang besi itu.
Akhirnya, bergeserlah batu besar itu ke samping, sesuai
dengan arah yang dikehendaki oleh celah yang ada di atas
batu kecil. Kakek Misja pun berjalan melalui celah antara
dinding gua dan batu besar itu sambil mempersilakan Ibunda,
Ayunda, dan adik-adik Banyak Sumba untuk mengikuti.
Banyak Sumba sendiri tidak segera keluar gua. Ia sudah
menjadi seorang laki-laki dewasa setelah ikut menggerakkan
batu besar itu. Baru setelah seluruh rombongan wanita keluar,
ia melangkah diikuti para gulang-gulang yang mulai
memadamkan obor mereka.
Begitu tiba di luar, terdengar Ibunda dan Ayunda
menangis. Demikian juga para emban. Banyak Sumba
terkejut. Kemudian, dia sadar bahwa cahaya yang masuk gua
bukanlah cahaya bintang-bintang, melainkan cahaya api
kebakaran besar yang datang dari kota. Kota terbakar, kalau
tidak seluruhnya mungkin sebagian besar. Dan di antara
gemuruh api, dentum ledakan bambu, terdengar pula
teriakan-teriakan perang.
Teringatlah Banyak Sumba kepada Ayahanda. Apakah yang
terjadi pada beliau" Masih selamatkah beliau atau ..." Teringat
akan hal itu, gemetarlah sendi Banyak Sumba. Akan tetapi, ia
segera sadar bahwa ia anak laki-laki terbesar. Hadnya
diteguhkan, lalu berjalanlah ia ke depan, memegang tangan
Ibunda dan menuntunnya, mengikuti Kakek Misja. Ibunda
rupanya terhibur oleh sikap Banyak Sumba. Sambil beliau
mengusap rambut Banyak Sumba yang tergerai di kening,
beliau mengikuti tuntunan itu.
Mereka berjalan untuk beberapa lama di dalam semaksemak,
kemudian sampailah mereka di tepi sungai. Ternyata,
di tepi sungai itu sudah menunggu dua orang gulang-gulang
dengan sebuah perahu besar. Seluruh rombongan wanita
masuk perahu, sementara para gulang-gulang diperintahkan
oleh Kakek Misja untuk kembali ke gua. Banyak Sumba mulamula
ragu, apakah ia akan masuk perahu atau kembali. Kalau
ia segera masuk perahu, ia akan kembali menganggap dirinya
sebagai anak kecil. Kalau ia mengikuti para gulang-gulang
kembali ke mulut gua, ia harus melepaskan keluarga tanpa
pengawalannya. Untung Kakek Misja berkata, "Kita harus
menutup pintu gua dulu, Raden."
Dengan tegas, Banyak Sumba melangkah, mendahului
yang lain ke mulut gua. Ternyata, di depan mulut gua pun
sudah terdapat batu kecil, tersembunyi di dalam semak. Batu
kecil itu sama besar dan bentuknya dengan yang di dalam.
Demikian juga penggunaannya karena ternyata di luar pun
ada sebatang besi yang tersembunyi. Setelah pekerjaan yang
sama dilakukan kembali, dengan menggeser batu besar ke
arah gua, tertutuplah gua itu. Dalam remang-remang, yang
tampak hanyalah sebuah batu yang sangat besar. Sukar bagi
siapa pun untuk menduga bahwa di balik batu itu terdapat
terowongan besar menuju salah satu ruangan Istana Banyak
Citra. Dan, mereka yang mengetahui pun belum tentu dapat
menggeser batu besar itu, kecuali anggota keluarga Banyak
Citra atau gulang-gulang yang paling setia.
Setelah selesai, mereka kembali ke tepi sungai. Perahu itu
sudah tidak ada. Akan tetapi, tak lama kemudian, muncullah ia
dari dalam gelap, dari tengah sungai. Para gulang-gulang dan
Kakek Misja dengan didahului oleh Banyak Sumba masuk
perahu, lalu mereka menyeberang. Ternyata, di seberang
telah tersedia kereta, kuda, dan beberapa orang gulanggulang.
Rombongan wanita masuk kereta. Banyak Sumba
menaiki salah seekor kuda. Gulang-gulang sebagian ikut di
atas kereta, sebagian naik kuda. Maka, rombongan pun
berangkat dalam lindungan gelap malam.
Sebelum berangkat, Banyak Sumba berpaling ke arah Kota
Medang. Air mata menitik. Ia melihat kota itu sebagai api
unggun yang menjulang tinggi. Ia pun teringat akan
Ayahanda. Perjalanan yang dipimpin oleh Kakek Misja itu dilakukan
melalui jalan-jalan yang tidak dikenal Banyak Sumba.
Walaupun gelap, Banyak Sumba menyadari bahwa jalan-jalan
yang dilewati bukanlah jalan-jalan biasa, tapi celah-celah di
antara semak-semak atau jalan-jalan tua yang tidak biasa
dipergunakan lagi. Perjalanan itu dilakukan dalam jangka
waktu yang sangat lama. Banyak Sumba menyadari hal itu
karena selalu berpaling ke bintang-bintang, yang gerakannya
ia ikuti sambil melihat Bintang Luku untuk mengetahui arah.
Ketika ia mulai lelah dan surai kuda basah, rombongan pun
berhenti. Kakek Misja turun dari kudanya dan berkata kepada Banyak
Sumba bahwa perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki.
Maka, turunlah Banyak Sumba. Bersama Kakek Misja, ia
berjalan ke arah kereta. Banyak Sumba menurunkan adikadiknya
yang belum tidur atau membantu para emban yang
turun sambil menggendong adik-adik Banyak Sumba yang
masih kecil. Setelah barang-barang diturunkan dan gulanggulang
siap mengangkatnya, Kakek Misja memberi aba-aba.
Maka, rombongan pun berjalan, kecuali kusir kereta dan
beberapa orang gulang-gulang yang harus kembali ke Kota
Medang. Rombongan berjalan di bawah bintang-bintang,
didahului oleh Kakek Misja yang membawa obor. Di kanan dan
di kiri rombongan, dikawal gulang-gulang yang berpakaian
perang dan bersenjata lengkap.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paling depan berjalan dua orang gulang-gulang yang
pedangnya kadang-kadang harus dipakai menebas semaksemak
yang menghalangi langkah rombongan. Di samping
Kakek Misja berjalanlah Banyak Sumba. Pikirannya melayang
ke sana kemari. Kadang-kadang, air matanya hendak keluar
kalau ingat kepada Ayahanda. Kadang-kadang, hatinya
menjadi panas kalau ingat kepada Jakasunu yang berkhianat
dan menyebabkan huru-hara dalam kota. Akan tetapi, sakit
hati dan kemarahan yang meluap-luap itu bergalau hebat
dalam hatinya ketika ia ingat kepada Pangeran Anggadipati.
Sungguh, tidak serambut pun ia menyangka bahwa
seorang yang sangat disenangi dan dimuliakan oleh seluruh
keluarga Ayahanda akan berkhianat demikian keji. Pangeran
Anggadipati telah membunuh Jante Jaluwuyung. Itu sudah
luar biasa kejam dan kejinya. Akan tetapi, akibat
perbuatannya tidak hanya sampai di sana. Segala kejadian
yang mengikuti dan menyebabkan Kota Medang terbakar,
keluarga Banyak Citra mengungsi, dan mungkin nasib
Ayahanda terancam, pada hakikatnya akibat perbuatan
Pangeran Anggadipati. Sambil berjalan, Banyak Sumba
meraba hulu badiknya. Ia berbisik tidak akan membiarkan
orang keji itu hidup tenteram di dunia. Kalau Sang Hiang
Tunggal berkenan, ia bertekad minta bayaran nyawa Kakanda
Jaluwuyung dan segala kesengsaraan yang diderita keluarga
Banyak Citra dengan nyawa Pangeran Anggadipati dan seluruh
keluarganya. Sementara ia termenung demikian, mulai dirasakan betapa
penat kakinya. Tak lama kemudian, terdengarlah kokok ayam
hutan. Banyak Sumba melihat ke langit sebelah timur, tempat
Bintang Kejora mulai pucat.
Subuh itu, tibalah rombongan di sebuah tempat, di tengahtengah
hutan belantara. Rombongan mendaki dengan bantuan
seutas tambang ijuk yang besar. Alangkah sukarnya
pendakian itu, apalagi bagi kaum wanita. Anak-anak kecil
terpaksa digendong oleh para gulang-gulang. Karena sukarnya
pendakian itu, lama sekali rombongan bisa berkumpul di
sekitar tebing pendakian. Ketika matahari terbit, tibalah
mereka semua di tepi tebing. Dan di bawah cahaya matahari
itu, jelaslah bagi Banyak Sumba bahwa mereka berada di
puncak gunung kecil yang bertebing curam dan berhutan
lebat. Dari puncak gunung dapat dilihat wilayah-wilayah
kekuasaan Kota Medang. Bahkan, Kota Medang walaupun
samar-samar dapat pula dikira-kira letaknya. Sadarlah Banyak
Sumba bahwa gunung pengungsian itu tidaklah jauh benar
dari Kota Medang, tetapi akan sukar sekali dicari karena
letaknya tidak disangkasangka dan sukar dicapai. Sadar pula
ia bahwa rombongannya telah melakukan perjalanan yang luar
biasa beratnya.
SETELAH seluruh rombongan berhasil melewati tebing yang
curam, Kakek Misja menjadi petunjuk jalan kembali.
Rombongan menuju hutan yang sangat lebat yang berada di
puncak gunung kecil itu. Perjalanan yang singkat ini bukanlah
perjalanan yang mudah karena tumbuh-tumbuhan di hutan itu
banyak sekali yang termasuk jenis tumbuh-tumbuhan berduri
dan merambat. Karena Kakek Misja telah hafal, perjalanan
yang sukar itu bukan siksaan bagi rombongan.
Suatu hal sangat berkesan pada hati Banyak Sumba dalam
perjalanan malam yang berat itu. Ternyata, adik-adiknya,
walaupun masih kecil, tidak ada yang menangis. Bahkan, yang
merengek pun tidak ada. Mereka diam. Ini sangat
mengharukan Banyak Sumba. Bersama keharuannya itu,
timbullah pula rasa hormat yang mendalam terhadap
Ayahanda Banyak Citra. Bagaimanapun, keluarga Banyak Citra
adalah keluarga bangsawan, dan sebagai keluarga
bangsawan, setiap anggotanya harus memiliki watak yang
lebih baik daripada orang kebanyakan. Anggota wangsa
Banyak Citra harus lebih cerdas, berilmu, be- " rani, tabah,
dan kuat. Itulah yang biasa ditanamkan oleh Ayahanda
kepadanya dan kepada semua saudaranya Begitu pandai
Ayahanda sebagai pendidik sehingga adik-adiknya yang masih
kecil-kecil pun sudah memiliki watak yang baik ini.
Sambil termenung demikian, Banyak Sumba terus
melangkah mengikuti Kakek Misja, sementara sisa rombongan
berjalan agak jauh di belakang. Para gulang-gulang
mengangkat peti-peti, para emban mengangkat benda-benda
kecil atau menggendong adik-adik Banyak Sumba. Ibunda dan
Ayunda Yuta Inten berjalan di tengah-tengah mereka.
Rombongan itu makin lama makin masuk hutan di puncak
gunung kecil itu.
Pada suatu saat, Banyak Sumba melihat bagian hutan yang
pohon-pohonnya mulai jarang. Kemudian, tampak pula di
tengah-tengah hutan yangjarang itu sebuah lapangan. Dengan
terheran-heran, Banyak Sumba melihat bahwa yang mereka
tuju sebuah kampung kecil, demikian kecilnya sehingga sukar
disebut kampung. Kampung yang terdiri dari empat atau lima
buah bangunan itu hanya cocok untuk padepokan, tempat
pertapa dengan beberapa orang cantriknya dapat
memperdalam ilmu dengan tenang. Akan tetapi, untuk
dikatakan padepokan pun tidak cocok pula karena selain
bangunan-bangunan yang terdapat di sana dibuat dari bahanbahan
yang baik, pagar yang mengelilinginya pun lebih cocok
sebagai pagar sebuah rumah bangsawan.
"Kita sampai, Raden," ujar Kakek Misja sambil berhenti,
kemudian berpaling pada rombongan yang mendekat. Setelah
itu, dipersilakan Ibunda, Ayunda, serta para emban untuk
berjalan lebih dahulu memasuki halaman rumah-rumah itu.
Banyak Sumba berdiri di pinggir jalan setapak, tidak jauh
dari gerbang pagar yang mengelilingi kampung kecil itu. Ia
berdiri di samping Kakek Misja yang sedang menyampaikan
perintah-perintahnya kepada gulang-gulang yang membawa
barang-barang. Setelah Kakek Misja selesai memberikan
perintah-perintah, bertanyalah Banyak Sumba kepada orang
tua itu, "Kakek, sudah lamakah kampung ini didirikan?"
"Raden, kampung ini bernama Panyingkiran, didirikan
paling sedikit seratus tahun yang lalu oleh eyangmu," kata
orang tua itu, kemudian ia termenung. Lalu, seperti bicara
kepada dirinya sendiri, Kakek Misja berkata, "Wangsa Banyak
Citra sungguh-sungguh suatu wangsa yang banyak menderita.
Selalu, ya, selalu terjadi bentrokan-bentrokan dengan wangsa
lain. Bahkan, eyangmu pernah berselisih dengan Prabu Siliwangi
karena salah pengertian." Kemudian, setelah tampak ia
menyadari bahwa di sampingnya ada Banyak Sumba, salah
seorang dari wangsa Banyak Citra, berkatalah Kakek Misja,
"Dan keluargaku, Raden, turun-temurun menjadi hamba
wangsa Banyak Citra yang luar biasa ini. Engkau pun, dari
cahaya matamu, potongan badanmu, apa-apa yang telah
terjadi kepadamu selagi berumur begini muda, mungkin akan
mengalami nasib yang luar biasa pula. Mudah-mudahan
tidak," kata Kakek Misja seraya menarik napas panjang, lalu
memberi isyarat agar Banyak Sumba mengikutinya masuk
halaman kampung yang dilingkungi pagar yang kuat itu.
-ooo00dw00oooTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
Bab 3 Meniup Bara Kampung Panyingkiran yang berada di tengah hutan lebat
di puncak gunung kecil itu terdiri dari lima buah rumah. Dua
rumah berukuran kecil berdiri berhadapan, disekat oleh
halaman yang berupa lapangan kecil. Sedangkan bangunan
yang besar, yang menghadap ke utara dan diapit dari kirikanan
oleh empat buah bangunan lain, memiliki pendapa
sebagai serambinya. Di rumah yang besar ini, Ibunda,
Ayunda, anak-anak, dan para emban tua, tinggal. Sedangkan
di rumah-rumah yang empat buah lagi, tinggal para emban
lain dengan suami masing-masing, yang ternyata kelompok
gulang-gulang yang mengangkut barang-barang istana ketika
mereka melarikan diri. Setiap rumah kecil itu diisi dua keluarga
gulang-gulang, sementara Kakek Misja tinggal di rumah yang
besar dengan keluarga Banyak Sumba.
Hari pertama, para pengungsi menyibukkan diri dengan
jalan membersihkan dan mengatur letak perabotan. Kesibukan
ini bukan saja perlu, tetapi sangat penting bagi Ibunda,
Ayunda, dan Banyak Sumba. Kesibukan itu melipur pikiran
mereka dari kesedihan yang disebabkan oleh perisdwa
kemalangan yang bertubi-tubi dan kecemasan akan nasib
Ayahanda yang belum pasti. Akhirnya, pekerjaan itu selesai
juga dan tibalah waktunya bagi para pengungsi untuk
istirahat. Ketika beristirahat inilah, segala kesedihan dan
kecemasan kembali menyerbu hati mereka. Kesedihan dan
kecemasan ini diperdalam pula oleh suasana yang berbeda
dengan suasana di Kota Medang. Kini, mereka berada di hutan
belantara. Burung-burung bernyanyi di dahan-dahan. Monyet,
lutung, dan surili berlompatan sambil berteriak-teriak. Dari
jauh, suara binatang yang asing sayup-sayup melengkingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lcngking sedih. Semuanya itu mendorong para pengungsi
untuk lebih menyadari nasib mereka.
Untuk memperingan beban yang memberati hatinya,
Banyak Sumba berjalan menjauhi keluarganya yang
berkumpul di ruangan tengah. Mula-mula, ia berjalan ke
belakang rumah besar, ke dapur tempat para emban
memasak dan menyediakan makan siang, kemudian ke arah
gulang-gulang yang sedang bekerja. Mereka sedang
memperbaiki pagar, memperkuat bagian-bagian gerbang, dan
membersihkan semak-semak yang mulai merambat ke
lapangan. Sambil berjalan mengikuti ibu jari kakinya, Banyak Sumba
mulai berkenalan dengan para gulang-gulang itu. Ia sering
melihat mereka di istana, tetapi karena banyaknya gulanggulang
dan karena kesibukannya sebagai putra bangsawan
yang harus belajar berbagai ilmu, ia jarang mendapat
kesempatan bercakap-cakap dengan mereka. Ketika itulah, ia
baru dapat berdiri lama memerhatikan mereka bekerja.
"Yang manakah Aji, Iba, Arba, Mirta, Waski, ... lain-lain
lagi?" tanya Banyak Sumba.
Gulang-gulang itu menyebut nama mereka masing-masing
dengan hormat. "Kalian sudah datang ke sini sebelumnya?" tanya Banyak
Sumba pula. "Belum Raden, tapi ayah-ayah kami sudah, dulu ketika
eyang Raden terpaksa mengungsi kemari."
Dari jawaban itu, tahulah Banyak Sumba bahwa para
gulang-gulang itu dipilih dengan sebaik-baiknya oleh
Ayahanda. Mereka orang-orang yang telah memperlihatkan
kesetiaan turun-temurun kepada wangsa Banyak Citra.
Kesadaran ini mengharukan hati Banyak Sumba dan
meluapkan rasa terima kasih dan rasa sayangnya kepada
mereka. "Bekerjalah, jangan terganggu," kata Banyak Sumba, lalu ia
melanjutkan,"... seandainya di masa yang akan datang
mendapat kemuliaan, saya tidak akan melupakan kebaikan
dan kesetiaan kalian."
"Kami tidak mengutangkan budi kepada keluarga Raden.
Sejak leluhur kami, hidup kami sudah tidak dapat dipisahkan
dengan keluarga Raden. Ke bukit sama mendaki ke lembah
sama menurun, itulah gambaran kami dengan keluarga
Raden," kata yang tertua di antara mereka.
Banyak Sumba tersenyum memandang wajah mereka.
Pengertian yang mendalam, rasa persahabatan yang tulus,
berkembang dari hati mereka.
HARI makin sore juga dan akhirnya segala pekerjaan
selesai. Kampung kecil yang mula-mula tidak keruan itu,
akhirnya menjadi tempat yang menyenangkan untuk didiami
dan ketika seluruh pengungsi beristirahat sambil menikmati
buah-buahan yang sempat dikumpulkan dari hutan pada siang
hari, kembalilah kecemasan dalam hati Banyak Sumba.
Dari Kakek Misja didapat keterangan, kalau ddak ada aral
melintang, Ayahanda akan menyusul hari itu. Sekarang sudah
sore, kabar tentang nasib Ayahanda belum juga dba. Maka,
berjalanlah Banyak Sumba ke pintu gerbang, lalu naik ke atas
kandang jaga yang merupakan menara kecil di atas pintu
gerbang itu. Ternyata, di sana sudah ada Kakek Misja ditemani
Aji dan Iba yang masing-masing bersenjatakan panah.
"Sudahkah beliau tampak?" tanya Banyak Sumba kepada
gulang-gulang itu.
"Belum," ujar Kakek Misja mengetahui siapa yang
ditanyakan Banyak Sumba. Banyak Sumba lalu duduk di atas
sebatang bambu melintang di dalam gubuk penjagaan itu.
"Tidak usah cemas benar, Raden," ujar Kakek Misja, lalu
melanjutkan, "Kalau tidak datang, belum tentu nasib buruk
menimpa beliau. Mungkin saja pasukan beliau berhasil
menghalau pasukan musuh ke luar kota dan beliau tidak
merasa perlu untuk mengungsi. Siapa tahu malah kita akan
dipanggil beliau pulang kembali ke kota."
"Tapi dengan memukul pasukan yang mengacau di kota,
belum berarti persoalan selesai, Kakek," kata Banyak Sumba.
"Ayahanda masih harus menyelesaikan persoalan dengan sang
Prabu atau sekurang-kurangnya dengan utusan dari Pakuan
Pajajaran."
"Ya, tapi segalanya jelas bahwa Ayahanda tidak bersalah.
Pihak pemerintah kerajaanlah yang harus menjelaskan kepada
beliau mengapa Kakanda Jante dibunuh," kata Kakek Misja.
Dari nada bicaranya, terdengar rasa gemas. Teringatlah
Banyak Sumba bahwa Kakek Misja sangat sayang kepada
Kakanda Jante Jaluwuyung.
"Soalnya tidak semudah itu, Kakek," kata Banyak Sumba.
Orang tua itu memandang Banyak Sumba seolah-olah
meminta penjelasan lebih lanjut. Sebenarnya, Banyak Sumba
tidak punya penjelasan yang lebih banyak, tetapi tidak sukar
baginya untuk menduga bahwa masalah yang timbul tidak
saja melibatkan Ayahanda dengan pemerintah kerajaan.
Masalah itu melibatkan juga berbagai pihak yang menangguk
di air keruh. Di antaranya Raden Pembayun Jakasunu dengan
semua bangsawan pengikutnya. Mereka akan
mempergunakan kesempatan perselisihan Ayahanda dengan
pemerintah kerajaan dengan sebaik-baiknya untuk tujuantujuan
yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Bukankah Jakasunu sangat menginginkan kedudukan
Ayahanda sebagai penguasa Kota Medang" Dan bukankah
usaha pembunuhan terhadap Ayahanda pernah dicobanya,
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
walaupun gagal" Bukankah ia telah mencari muka dengan
menjemput utusan dari Pakuan Pajajaran dan menyarankan
hal-hal yang licik kepada para utusan itu" Ya, demikianlah
keterangan dari Ayahanda dan Ayahanda orang bijaksana
yang telah banyak makan garam kehidupan ini.
"Pendeknya, antara Ayahanda dengan sang Prabu terdapat
bangsawan-bangsawan lain yang berkasak-kusuk untuk
kepentingan mereka sendiri. Bukankah tidak mustahil Raden
Pembayun Jakasunu bergerak, juga saudara-saudara
Anggadipati, pembunuh Kakanda Jante itu, untuk
menghindarkan diri dari hukum keadilan?" demikian ujar
Banyak Sumba. Kakek Misja termenung, lalu mengangguk. Demikian juga
Aji dan Iba, keduanya berpandangan. Tampak, di samping
mereka mengerti, mereka pun merasa hormat kepada Banyak
Sumba, walaupun muda sudah dapat menjelaskan hal-hal
yang sangat penting itu kepada mereka.
Banyak Sumba mendengar celoteh burung kutilang. Itu
berarti hari sudah senja. Awan pun lembayung. Angkasa
muram, bersamaan dengan makin memberatnya hati Banyak
Sumba. Pikirannya mulai kembali pada nasib Ayahanda.
"Lihat!" tiba-tiba Aji berseru. Suaranya terdengar gembira.
Mereka berpaling dan dengan mengikuti telunjuk Aji
memandang ke arah bagian hutan yang pohon-pohonnya agak
jarang. Samar-samar dalam keremangan itu tampaklah lima
orang berjalan. Yang paling depan jelas sekali Ayahanda.
Banyak Sumba mengucapkan syukur kepada Sang Hiang
Tunggal, lalu turun dan berlari ke pendapa. Di sana, Ibunda
dan Ayunda duduk, sementara adik-adiknya bermain-main
dengan para emban.
"Ayahanda tiba," katanya terengah-engah. Ibunda dan
Ayunda berdiri, sedangkan anak-anak berlari ke gerbang.
Tak lama kemudian, muncullah Ayahanda. Semuanya
memandang ke wajah beliau karena dari wajahnya orang akan
membaca bagaimana nasib Kota Medang dan keluarga Banyak
Citra. Dan wajahnya itu kelam semata. Beliau berjalan,
mengusap adik-adik, lalu memangku si bungsu. Beliau
berjalan ke pendapa, diikuti para pengawalnya yang lima
orang, yang seorang di antaranya masih anak-anak dan
sebaya dengan Banyak Sumba. Sementara itu, penghuni
Panyingkiran pun berlari ke pendapa.
Setiba di pendapa, beliau duduk menghadap ke seluruh
penghuni Kampung Panyingkiran yang berdiri di lapangan
depan pendapa. Setelah semua menyembah, berkatalah
beliau, "Pembayun Jakasunu dengan bantuan pasukan pemerintah
kerajaan telah berhasil menduduki seluruh kota. Kita harus
tinggal di sini sambil menunggu keadilan Sang Hiang Tunggal
yang pada suatu waktu akan terlaksana juga, lama atau
segera." Kemudian, Ayahanda diam sambil tangan beliau mengusapusap
si bungsu. Hadirin menundukkan muka. Ayahanda
kemudian berkata, "Sekarang, sejak hari ini, marilah kita
anggap kampung ini sebagai padepokan. Kita semua akan
berdoa di sini agar keadilan segera tiba. Sekarang,
beristirahatlah kalian."
Hadirin berjalan terpencar-pencar; mereka kembali ke
rumah-rumah di samping kiri-kanan, yang segera menjadi
terang oleh lampu-lampu minyak kelapa. Sementara itu, di
pendapa tinggallah Ayahanda, Kakek Misja, Ibunda, Ayunda,
Banyak Sumba, dan gulang-gulang Wasis dengan anak yang
sebaya Banyak Sumba itu.
"Lakukanlah segala yang telah direncanakan, Misja," ujar
Ayahanda. "Baik, Gusti," ujar Kakek Misja.
"Dan engkau, Sumba, Paman Wasis membawa putranya
untuk menemanimu sehari-hari dan juga untuk menjadi
kawanmu berlatih. Siapa namamu, Nak?" tanya Ayahanda.
'Jasik, Gusti," kata anak itu seraya memandang kepada
Banyak Sumba sambil tersenyum. Banyak Sumba
mengangguk. "Paman Wasis akan melatih kalian, hingga segala ilmunya
diturunkan kepada kalian berdua."
"Baik, Gusti," Paman Wasis menjawab walaupun Ayahanda
tidak menegurnya.
Banyak Sumba menyangka bahwa kedua orang tua itu
telah merundingkan dengan matang berbagai rencana
sebelumnya. Ternyata, Ayahanda orang yang biasa
memikirkan segala-galanya. Mula-mula pembuatan
terowongan untuk meloloskan diri, kemudian pembuatan
kampung yang sangat sukar dicari tetapi tidak jauh dari kota,
dan akhirnya penyediaan tempat berlatih Banyak Sumba. Dari
kesimpulan itu, makin tumbuhlah kekaguman dan rasa hormat
Banyak Sumba terhadap Ayahanda Banyak Citra serta kepada
leluhurnya. KEESOKAN paginya, rencana baru Ayahanda bagi masa
depan Banyak Sumba mulai dijalankan.
"Lupakan segala ilmu kenegaraan yang pernah kaupelajari,
Sumba. Pusatkan perhatianmu pada ilmu dan seni berkelahi,
yang sejak hari ini harus menjadi bagian utama hidupmu
sebagai putra tertua keturunan Banyak Citra."
Wejangan Ayahanda itu diucapkan di hadapan Paman
Wasis danjasik, anak Paman Wasis yang akan menjadi teman
berlatih Banyak Sumba. Mendengar wejangan itu, Banyak
Sumba tidak berkata apa-apa. Soalnya sudah jelas bahwa
hidupnya sudah ditetapkan tujuannya, yaitu untuk
membalaskan dendam keluarganya. Banyak Sumba bukan
saja menerima tujuan hidup itu, tetapi menyetujuinya dan
bahkan meng-hasratkannya sepenuh hati.
Bukankah orang-orang tertentu telah menyebabkan
kemalangan terhadap keluarganya" Bukankah ada orangorang
yang telah mengambil nyawa Kakanda Jaluwuyung dan
menyebabkan keluarganya harus hidup bersembunyi di
hutan"Jadi, Banyak Sumba diam saja sambil memandangi
pakaian latihannya, yaitu celana pangsi hitam yang terbuat
dari sutra tebal, licin, dan lembut, serta baju salontreng yang
terbuat dari kain yang sama. Ia pun memerhatikan pakaian
Paman Wasis dan pakaian Jasik, yang potongannya sama
tetapi terbuat dari kain biasa berwarna nila. Selagi Banyak
Sumba memerhatikan pakaian mereka, berkatalah Ayahanda,
"Wasis, mulailah, hari belum terlalu panas."
"Baiklah, Gusti. Raden, kukuhkan alas kakimu, kita akan
berjalan di hutan," kata Paman Wasis. Setelah mereka
menyembah kepada Ayahanda, guru dan murid itu pun
berjalanlah ke lawang kori, setelah itu keluar dari lingkaran
pagar dan masuk hutan.
"Kita akan ke lereng timur gunung ini, Raden," kata Paman
Wasis. "Mengapa kita ke barat?" tanya Banyak Sumba.
"Kita sedang latihan. Karena itu, yang penting bukan
sampai ke lereng timur, tetapi cara mencapainya," jawab
Paman Wasis. Maka, guru dan murid itu pun berjalan. Paman
Wasis di muka, diikuti Banyak Sumba dan paling belakang
Jasik. Mereka berjalan biasa saja, seperti para petani yang akan
pergi ke huma. Akan tetapi, tak lama kemudian, Paman Wasis
membelok dari jalan setapak dan masuk ke semak-semak.
Kedua orang murid itu pun mengikutinya. Mereka masuk ke
semak-semak, melompati dahan-dahan, menyibakkan rantingranting
dan daun-daun. Kemudian, Paman Wasis berjalan
cepat, melompat-lompat, menyelinap, kadang-kadang naik
pohon, lalu menuruni dahan besar, loncat ke bawah, berlari....
Kedua orang murid itu mengejarnya sekuat tenaga,
melompat, jatuh, tersesat, terluka oleh duri-duri dan ranting.
Tapi terus mengejar guru mereka karena kalau tidak, mereka
akan ketinggalan di hutan yang mulai lebat itu. Banyak Sumba
berlari di belakang Jasik yang ternyata sudah sangat tangkas,
hampir sama tangkas dengan ayahnya. Makin lama, Banyak
Sumba makin jauh tertinggal. Bukan saja karena kurang
tangkas, tetapi napasnya pun mulai memburu, keringat
membasahi seluruh tubuhnya, bahkan masuk ke matanya,
sedangkan pandangannya mulai berkunang-kunang, ulu
hatinya mual. Ia tidak mau berhenti, ia terus berlari walaupun
dalam pandangan matanya, langit berputar-putar, bumi naik
turun di bawah telapak kakinya. Ia berlari terus karena tahu,
ia salah seorang wangsa Banyak Citra, wangsa yang tidak
pernah menyerah. Ia berlari dan... sebuah dahan melintang di
hadapannya. Matanya yang kemasukan keringat dan sudah
berkunang-kunang tidak melihatnya. Kakinya tersangkut...
blug! Tubuh Banyak Sumba terhempas antara ranting-ranting
dan daun-daunan.
Ia segera bangun, tetapi pemandangannya tiba-tiba gelap.
Ia berpegang pada sebatang cabang yang dapat
dijangkaunya, lalu berusaha berdiri, tetapi ulu hatinya
menggeliat, dan muntahlah ia. Sementara ia masih tersuruksuruk
dalam muntahnya itu, datanglah Paman Wasis danjasik.
Ketika Banyak Sumba sudah dapat bernapas kembali,
tampaklah olehnya bahwa kedua orang panakawannya itu
tidak memperlihatkan kelelahan seperti yang dialaminya.
"Bagus, Raden. Sekarang, jelas bahwa seni berkelahi tidak
lebih mudah daripada ilmu kenegaraan, bukan?" ujar Paman
Wasis. Perkataannya itu akan merupakan ejekan seandainya
Paman Wasis tidak mengeluarkan sehelai kain yang diusapkannya
ke kening dan leher Banyak Sumba.
"Barangkali, Raden sekarang menyadari bahwa berlari itu
tidak dapat dilakukan sembarangan. Berlari harus dilakukan
dengan tidak usah menyebabkan kita lelah, apalagi sampai
harus muntah."
Banyak Sumba ingin sekali bertanya, bagaimana cara
berlari tanpa melelahkan. Akan tetapi, karena napasnya masih
tersengal-sengal, ia tidak berkata apa-apa.
"Sudah dapat berdiri?" tanya Paman Wasis. Banyak Sumba
mencoba berdiri, tetapi lututnya gemetar. Ia memaksakan diri
dan dengan pandangan mata berkunang-kunang, tegaklah ia.
"Betul-betul Raden ini anggota keluarga Banyak Citra,"
katanya sambil menepuk bahu Banyak Sumba. "Barang siapa
berani mengganggu keluarga Banyak Citra tidak akan dapat
tidur nyenyak," katanya pula sambil tersenyum.
Kemudian, guru dan murid berjalan di dalam hutan itu.
Setelah berjalan beberapa lama, ribalah mereka di bagian
hutan yang pohon-pohonnya sudah ditebang, hingga
merupakan lapangan kecil. Di lapangan kecil itu, berhentilah
mereka, lalu duduk di atas batang kayu yang melintang.
"Tiap pagi, kita akan datang ke sini dengan berlari. Kita
akan berlomba dan berusaha mendahului yang lain.
Kemudian, di tempat ini kita akan berlatih. Hari ini untuk
pertama kali kita akan mencoba melakukan jurus pertama.
Nah, berdirilah Raden. Jasik, kau pun ikut. Nah, Raden, coba
bagaimana caranya kalau Raden meninju ulu hati orang," kata
Paman Wasis. Banyak Sumba meninju udara yang ada di hadapannya.
"Coba dengan tangan kiri."
Banyak Sumba mengulang dengan tangan kiri, kemudian
dengan tangan kanan lagi.
"Coba perlihatkan caranya, Jasik," kata Paman Wasis.
Jasik berdiri dengan tegak, kedua kakinya sejajar. Banyak
Sumba memerhatikan baik-baik. Ternyata, perbuatan meninju
yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan yang
sederhana itu, setelah dilakukan merupakan perbuatan yang
tidak mudah. Banyak Sumba menyadari betapa kaku ototototnya.
Ia pun yakin, seandainya harus menghadapi lawan,
tinju-tinju yang dihantamkannya tadi tidaklah akan banyak
artinya. "Mulai!" kata Paman Wasis kepada Jasik, anaknya. Jasik
melangkahkan kaki kiri ke depan, disusul dengan gerakan
tangan kanannya ke muka, dengan tinju. Begitu wajar
gerakannya itu, begitu mudah tampaknya ketika dilakukan
oleh Jasik, dan begitu keras kepalan itu menghambur ke
depan. Makin sadar Banyak Sumba, betapa rendah
kemampuannya dalam melakukan pekerjaan yang sederhana
itu. Terbayang olehnya, betapa menggelikan perbuatannya
bagi kedua orang kawannya itu. Kalau mereka tidak
menertawakannya, hal itu disebabkan Banyak Sumba majikan
mereka. "Nah, Raden, marilah kita bicarakan jurus pertama ini,"
kata Paman Wasis. Lalu, Paman Wasis menjelaskan bahwa
sedap gerakan harus dilakukan dengan wajar.
"Bagaimana mengetahui bahwa suatu gerakan itu wajar
atau tidak, Paman?" tanya Banyak Sumba.
"Gerakan yang wajar itu kita lakukan dengan enak, tidak
melelahkan atau menyebabkan pegal, tetapi membawa hasil
yang besar. Coba lihat kembali Jasik. Sik, coba perlihatkan lagi
kepada Den Sumba," sambung Paman Wasis.
Jasik mengulangi gerakan itu, mula-mula mempergunakan
tangan kanan, lalu tangan kiri, sementara kakinya melangkah
maju seirama dengan gerakan-gerakan tangannya. Banyak
Sumba memerhatikan gerakan-gerakan kawannya itu dengan
kening berkerut. Ia melihat bahwa gerakan-gerakan Jasik itu
bukan saja dilakukan dengan enak, tetapi menyenangkan juga
untuk ditonton. Timbullah pertanyaan dalam hatinya,
Apakah yang menyebabkan gerakan-gerakan itu begitu
wajar dan indah untuk dilihat" Ia bertanya kepada Paman
Wasis, tetapi keterangan Paman Wasis tidak memuaskannya.
Oleh karena itu, ia mulai saja meniru gerakan Jasik. Mula-mula
tidak menggunakan tenaga. Setelah gerakan-gerakannya
mulai enak, Banyak Sumba mulai mempergunakan tenaganya.
Paman Wasis memerhatikannya, memperbaikinya, dan
memberikan penjelasan-penjelasan. Ketika matahari mulai
hangat, ia menyuruh Jasik membuka perbekalan yang mereka
bawa dari Panyingkiran. Di tengah-tengah lapangan kecil itu,
mereka duduk bersila mengelilingi santapan pagi yang
sederhana. Kemudian, mereka minum dari kulit buah labu
yang kering. Setelah beristirahat sambil memperbincangkan
hal-hal mengenai jurus pertama itu, latihan dimulai kembali.
Baru setelah hari panas sekali, ketika matahari tergelincir dari
puncaknya ke barat, mereka pulang ke Panyingkiran.
SORE itu, ketika ia sedang beristirahat, Banyak Sumba
tidaklah bermalas-malasan. Walaupun ia duduk bersila
seorang diri dalam ruangan yang disediakan baginya,
pikirannya sangat giat merenungkan latihan yang baru saja
Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilaksanakan pagi itu. Banyak Sumba menyadari bahwa
sebagai anak laki-laki yang mengemban tugas untuk
menegakkan kehormatan keluarga, ia belum memiliki syarat
Han Bu Kong 11 Angrek Tengah Malam Seri Pendekar Harum Karya Khu Lung Tusuk Kondai Pusaka 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama