Ceritasilat Novel Online

Raja Pedang 2

Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Sian Hwa setuju. "Kalau begitu, mari kita kembali ke Hoa san, suheng, aku pun tidak betah tinggal di rumah, ingin bertemu para suheng dan minta bantuan membalaskan sakit hatiku."
Kakak beradik seperguruan itu lalu meninggalkan tempat tadi dan langsung mereka berdua melakukan perjalanan ke Hoa san. Andaikata mereka itu bukan kakak beradik seperguruan, juga tidak sedang berada dalam keadaan berduka berhubung dengan urusan masing-masing, tentu mereka akan merasa sungkan juga melakukan perjalanan berdua saja. Seorang laki-laki dan seorang gadis, biarpun yang pria sudah berusia empat puluh tahun sedangkan yang wanita baru dua puluh tahun, namun si pria cukup tampan sehingga mereka merupakan pasangan yang cocok. Tentu saja bagi mereka sendiri tidak apa-apa karena memang semenjak Sian Hwa masih kecil, baru berusia sepuluh tahun, dia sudah menjadi adik seperguruan Kwa Tin Siong. Mereka melakukan perjalanan cepat karena ingin segera sampai di Hoa san.
"Aduh ". Aduh, berhenti ". ..berhenti aku tidak bisa bernapas ".Kui bo, berhenti
".!" Beng San berteriak teriak dengan napas sengal-sengal. Bukan main cepatnya tubuhnya dibawa pergi sampai angina menyesakkan pernapasannya dan tangannya yang terbelit ujung saputangan juga amat sakitnya.
Tiba-tiba Hek Hwa Kui bo berhenti dan begitu melepas saputangannya ia menangkap tangan kanan Beng San dan membentak. "Kau pernah belajar silat kepada siapa?"
Aneh sekali, kalau tadi ia bersikap manis dan genit di depan Beng San, kini dia berubah menjadi gala dan suara serta pandang matanya penuh ancaman.
Beng San seorang bocah tabah dan ndugal (nakal) mana ia kenal takut" Ia mengerahkan tenaga dan berusaha menarik tangannya, tetapi tak berhasil, malah cekalan wanita itu makin erat.
"Aku tak pernah belajar silat" jawab Beng San akhirnya karena tangannya yang dipegang terasa sakit.
"Bohong! Kalau tidak mengaku akan kupatahkan tanganmu!" ia memijat makin keras sehingga terdengar bunyi "Kretekk?" pada tangan Beng San. Anak itu meringis kesakitan. Baiknya wanita itu tidak sampai mematahkan tulang-tulang tangannya, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali. Anehnya wanita itu nampak terheran-heran dan memandang tajam.
"Iblis cilik, kalau tak pernah belajar silat, kau tentu sudah mampus. Di tubuhmu ada hawa panas darimana kau peroleh?"
diam-diam Beng San terheran-heran. Wanita ini aneh sekali, juga kepandaiannya seperti iblis. Mungkin betul-betul kuntilanak, bukan manusia. Kalau manusia, bagaimana agaknya bisa tahu segala"
"Aku pernah disiksa makan sebuah pil oleh seorang tosu bau bernama Siok Tin Cu
?" wanita itu melepaskan pegangannya dan dengan terheran-heran ia menatap wajah Beng San, lalu kembali ia memegang tangan yang tadi dicengkeram dan kini tangan itu diperiksanya baik-baik. "Aneh ".aneh"kau dipaksa makin pil oleh Siok Tin Cu"
Lalu bagaimana?" "Badanku terasa panas seperti dibakar, selanjutnya aku pingsan dan ketika sadar kembali, aku merasa tubuhku dingin sekali seperti direndam dalam es!"
"Bohong ".!" Hek Hwa Kui bo menampar dan Beng San terjungkal. Akan tetapi anak itu bangun lagi, membuat Hek hwa Kui bo makin heran. Kenapa anak ini memiliki daya tahan yang begini luar biasa" "Kau bilang badanmu panas sampai pingsan, bagaimana setelah sadar menjadidingin?"
kini Beng San marah-mrah. Perempuan atau siluman ini keterlaluan sekali. Dengan metenteng dia berdiri dan membentak, "Kau ini jahat benar! Mau bertanya atau mau tak percaya" Kalau tidak percaya, jangan bertanya. Pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, kenapa membuat cepai mulut, Tanya-tanya segala, kalau tidak percaya!"
Hek Hwa Kui bo makin terheran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang bocah seaneh ini. dia sendiri seorang tokoh besar yang sering kali diherani dan dikagumi orang, akan tetapi sekarang ia malah heran dan kagum kepada seorang bocah! Hal ini memang ada sebab-sebabnya. Hek Hwa Kui bo adalah seorang tokoh besar yang jarang mau berurusan dengan dunia ramai, apalagi memperdulikan seorang bocah seperti Beng San ini. hanya saja, ketika tadi ia melihat Beng San ia menyaksikan hawa kemerahan yang terang sekali terbit dari hawa Yang kang yang amat kuat dari tubuh bocah ini maka ia mengerti bahwa anak ini adalah seorang ahli Yang kang atau setidaknya di dalam tubuhnya terkandung sesuatu yang mengeluarkan hawa itu. Karena sudah menjadi wataknya tidak suka melihat orang-orang lihai di dunia ini di samping dia sendiri dan muridnya, maka timbul maksud hatinya untuk membunuh Beng San. Maka tadi ia sengaja membawa lari Beng San dengan cepat untuk membunuhnya, karena pegangannya tadi mengandung saluran tenaga mematikan. Alangkah herannya ketika melihat Beng San hanya tersengal-sengal saja dan tidak mati. Lebih-lebih lagi herannya ketika ia meremas tangan Beng San, ada daya tahan yang luar biasa yang mencegah tulang-tulang anak itu remuk. Inilah luar biasa! Dia sendiri seorang ahli Yang kang, masa tak dapat menguasai hawa di tubuh anak ini" demikianlah, maka Hek Hwa Kui bo jadi ingin sekali mengetahui keadaan Beng San.
Di samping ini, ada juga rasa sukanya kepada bocah ini. bocah aneh yang amat pemberani, bahkan yang suara cegahannya sudah membuat ia menurut, yaitu ketika ia hendak membunuh Kwa Tin Siong dan puterinya. Ada pengaruh yang amat ganjil dalam suara anak ini ketika mencegahnya tadi.
"Anak baik, mau bunuh kau apa sukarnya" Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu kau ini murid siapa?"
"Aku bukan murid siapa-siapa," jawab Beng San tak acuh.
"Siapa namamu?"
"Beng San." "Siapa orang tuamu?"
"Oang tuaku ?" Orang tuaku adalah "Huang ho (sungai Kuning)."
Kembali Hek Hwa Kui bo melengak. Siapa tak kan heran mendengar jawaban aneh ini. "jangan main-main! Di mana kedua orang tuamu" She apa?"
"Orang tuaku dimakan banjir Huang ho, siapa she-nya aku tak tahu. Eh, kuntilanak, mau apa kau main Tanya-tanya terus " pergilah!"
makin kagum Hek Hwa Kui bo. Ia melihat muka Beng San kotor sekali sehingga agak sukar baginya untuk melihat cahaya muka anak ini yang agak kehijauan dan agak kemerahan. "Kau kotor sekali. Pergilah mencuci muka."
"Tidak mau". Akan tetapi, kembali ujung saputangan panjang di tangan Hek Hwa Kui bo bergerak dan tahu-tahu tubuh Beng San terlempar jauh dan "jatuh ke dalam sebuah anak sungai tak jauh dari situ. Beng San gelagapan dan meronta-ronta. Akan tetapi kemudian dia mendapat kenyataan bahwa air anak sungai itu amat jernih, maka timbul kegembiraannya dan dia malah mandi tanpa membuka pakaian! Dia tidak memperdulikan lagi kepada Hek Hwa Kui bo. Tak lama kemudian ia merasa tubuhnya dingin bukan main. Beng San menjadi ketahutan, khawatir kalau-kalau penyakit kedinginan seperti kemarin menyerangnya lagi. Cepat-cepat dia merayap naik dari anak sungai itu. Ternyata Kui bo masih menunggu disitu sambil memandang kepadanya dengan mata tak berkedip.
Setelah muka dan tubuh Beng San bersih dari debu dan kotoran, apalagi akibat dinginnya air membuat hawa Im kang menyerangnya lagi dan kulit mukanya menjadi kehijauan, Hek Hwa Kui bo menjadi benging. Sama sekali itu bukan tanda bahwa di dalam tubuh anak ini terkandung hawa Yang, melainkan sebaliknya, kini penuh hawa Im yang aneh! Bukan main, luar biasa sekali ini! Hek Hwa Kui bo tanpa terasa lagi menggaruk-garuk rambut di kepalanya.
Beng San masih mendongkol. Tubuhnya dingin betul dan pakaiannya semua basah kuyup. Semua ini adalah karena perbuatan kuntilanak itu. Maka dia lalu menghampiri dan memaki.
"Kuntilanak galak, kau pun harus mandi!"
Merah muka Hek Hwa Kui bo, merah karena malu! Memang orang aneh, disuruh mandi begitu saja timbul pikiran bahwa alangkah memalukan kalau ia harus mandi di depan anak laki-laki ini.
"Kurang ajar, akau sudah cukup bersih. Tak perlu mandi."
Tiba-tiba Beng San tertawa bergelak. Ia mendapat kesempatan utnuk membalas menghina orang atau siluman ini. "Bersih katamu" Ha, ha, ha ! rambutmu penuh kutu busuk, masih berani bilang bersih?"
Merupakan pantangan bagi Hek Hwa Kui bo kalau ia dicela orang, apalagi tentang kebersihan atau kecantikannya. Entah sudah berapa banyaknya orang mati di tangannya hanya karena kesalahan mulut menyatakan bahwa ia sudah tua, tidak cantik dan lain celaan lagi. Sekarang ia pun amat marah, akan tetapi karena pribadi Beng San menimbulkan keheranan dan kekaguman, ia tidak segera turun tangan, hanya bertanya dengan suara dingin.
"Kau bilang rambutku penuh kutu busuk" Apa buktinya?"
Beng San masih tertawa-tawa. "Kau tadi menggaruk-garuk kepalamu, itulah tanda bahwa rambutmu banyak mengandung kutu busuk! Aku berani bertaruh bahwa disitu bersarang banyak kutu busuk dengan telur-telurnya ?"
Saputangan di tangan Hek Hwa Kui bo bergerak dan tahu-tahu ujungnya telah melibat leher Beng San! Baiknya wanita aneh ini hanya menakut-nakuti saja, kalau ia menggunakan tenaga, dalam sedetik leher itu akan putus! Namun Beng San maklum bahwa nyawanya terancam, maka cepat dia mengerahkan tenaga dan berseru.
"Membunuh anak kecil, huh, mana bisa dibilang gagah" Mengalahkan musuh tangguh baru bisa dibilang gagah, akan tetapi mengalahkan diri sendiri lebih gagah lagi!" saking takutnya dia mengeluarkan ujar-ujar khong Hu Cu yang dicampur dengan kata-katanya sendiri.
Ujung saputangan itu mengendur dan Hek Hwa Kui bo tertawa. "Siapa sudi mengambil nyawa tikusmu" Hayo buktikan omonganmu, kau carilah kutu busuk itu di rambutku. Kalau tidak ada seekor pun hidungmu akan kupotong, tak perlu kuambil nyawamu!"
Bukan main kagetnya hati Beng San. Dipotong hidungnya lebih celaka daripada diambil nyawanya. Apa nanti jadinya kalau dia seterusnya harus hidup tanpa hidung, menjadi manusia yang menakutkan dan menjijikkan" Dan biarpun dia masih kecil, dia tahu bahwa wanita kuntilanak ini pasti akan membuktikan omongannya.
"Hayo cepat!" Hek hwa Kui bo membentak sambil duduk di atas rumput. Terpaksa Beng San lalu berlutut di belakangnya dan mulai mencari kutu busuk diantara rambut yang hitam, halus dan bersih serta berbau harum kembang itu. Mana ada kutu busuk diantara rambut yang begitu terpelihara rapid an bersih"
"Enak saja," ia menggerutu, taruhan yang tidak adil. Kalau tidak ada kutu busuknya, kau memotong hidungku. Bagaimana kalau ada kutu busuknya" Aku tidak punya apa-apa, hidungku adalah barang yang paling kusayang, kalau itu kutaruhkan, habis apa taruhanmu" Apakah kau juga mempertaruhkan hidungmu?"
Hek hwa Kui bo tak terasa lagi meraba hidungnya yang mancung. Tak mungkin ia mengorbankan hidungnya. Ia berpikir-pikir lalu berkata sambil tertawa mengejek,
"Yang paling berharga padaku adalah kepandaianku. Aku pertaruhkan kepandaianku.
Setiap kali kau memperoleh kutu busuk, kuhadiahkan sebuah ilmu silat kepadamu."
"Hah, untuk apa ilmu silat?" Beng San berkata.
Perempuan aneh itu menengok dan matanya berapi. "Anak tolol! Kalau kau menerima satu macam saja ilmu silatku, apa kau kira orang-orang macam ayah anak Hoa san pai itu mampu mengganggu dan menghinamu?"
Beng San memutar otaknya. Betul juga. Wanita ini lihai bukan main. Alangkah baiknya kalau dia bisa memiliki kelihaian seperti wanita ini. Dia sebatang kara di dunia ini, sudah sering kali dihina orang. Jangan kata lagi orang-orang kota yang sering kali mengusirnya seperti anjing padahal dia tidak mengganggu mereka.
Buktinya saja yang baru saja terjadi, tosu bau Siok Tin Cu itu menghinanya, kemudian Kwa Hong "
"Baik," katanya, dan tak lama kemudian jari-jari tangannya mencabut sesuatu diantara rambut Hek hwa Kui bo.
"dapat seekor "!" katanya gembira setengah bersorak. Hek hwa Kui bo tersentak kaget, cepat memutar tubuh. Ia melihat di antara jari telunjuk dan ibu jari tangan Beng San terjepit seekor kutu hitam kemerahan yang menjijikan. Kakinya banyak dan jalannya miring-miring. Meremang bulu tengkuk Hek hwa Kui bo. Seorang perempuan seperti dia, yang semenjak kecil jangan kata mempunyai kutu rambut, melihat pun belum, mana bisa membedakan antara kutu rambut dan kutu baju" Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa ia kena ditipu oleh anak nakal ini. Beng San yang tadi merasa tak berdaya dan putus asa melihat rambut yang bersih itu, diam-diam mendapatkan akal. Pada bajunya banyak terdapat kutu, hal ini dia tahu betul, dan dia tahu pula di mana kutu-kutu itu paling senang bersembunyi. Karena bajunya memang hanya sebuah, tak pernah dicuci maka banyak kutunya dan karena kebiasaan, dengan amat mudahnya dia mengambil seekor kutu baju dan pura-pura mengambil itu dari rambut Hek hwa Kui bo. Biarpun perempuan ini seorang yang sakti dalam ilmu silatnya, karena dia duduk membelakangi Beng San dan tidak menduga sama sekali akan tipu muslihat ini, ia percaya penuh. Wajahnya agak pucat dan matanya melebar ketika ia melihat kutu kecil itu dijepit jari tangan Beng San.
"Celaka, darimana datangnya kutu busuk" Memalukan sekali. Hayo lekas bunuh dan cari lagi!"
Beng San tertawa dan memasukkan kutu busuk itu ke mulutnya. Ketika giginya menggigit terdengar suara "tesss!" dan dia meludahkan bangkai kutu busuk itu. Hek hwa Kui bo mengkirik penuh kengerian.
"Jahanam benar, darimana dia bisa datang ke rambutku?" tiba-tiba ia merasa kepalanya gatal-gatal sekali dan terpaksa ia menggaruk-garuk lagi, "Hayo cari terus, sampai bersih betul. Jahanam "."
"Eh, nanti dulu. jangan lupa taruhannya. Sudah dapat seekor."
Hek hwa Kui bo melotot. "Siapa lupa" Cerewet benar. Aku hutang sebuah ilmu silat kepadamu. Hayo teruskan sampai bersih rambutku. Nanti berapa dapatnya tinggal hitung berapa hutangku kepadamu."
Beng San mencari lagi dan seperti tadi, dia mengambil kutu baju dan berseru girang.
Hek hwa Kui bo makin mengkirik. "Bagaimana bisa begini banyak" Celaka, jangan-jangan sudah bertelur!"
Beng San tertawa. Anak cerdik ini cepat berkata. "Aku tidak melihat telurnya, mungkin sudah menetas semua.sudah dua ekor, Kui bo. Jangan lupa."
"Siapa lupa" Hayo lekas cari lagi!"
"Kui bo, aku tidak khawatir kau lupa hanya khawatir kau melanggar janji. Ada yang bilang bahwa mengikat kerbau adalah pada hidungnya, akan tetapi manusia diikat pada bicaranya. Sekali mengeluarkan ludah takkan dijilat kembali, sekali mengeluarkan sepatah kata, sampai mati takkan dipungkiri. Itulah manusia gagah dan
"!" "Cerewet! Bocah ingusan macammu mau memberi pelajaran padaku" Aku tak kan lupa, juga takkan melanggar janji. Hayo lekas habiskan kutu-kutu itu gatal semua kepalaku!" dan melihat kutu busuk kedua itu, terasa makin gatal kepala Hek hwa Kui bo.
Tadinya Beng San hendak mengeluarkan kutu sebanyak-banyaknya, akan tetapi ketika teringat bahwa belum tentu ilmu-ilmu silat yang akan diajarkan kepadanya itu menyenangkan, dia berbalik khawatir kalau-kalau malah akan menyusahkan saja.
Maka setelah mendapatkan tiga ekor kutu busuk, dia berhenti dan berkata.
"Sudah habis, sudah bersih. Sekarang aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa di rambutmu sama sekali tidak ada kutunya seekorpun."
Hek hwa Kui bo menarik napas lega, lalu membetulkan rambutnya yang tadi diawut-awut oleh anak itu. Kemudian ia memandang kepada Beng San dan tiba-tiba tertawa mengikik . Beng San sudah khawatir kalau-kalau perempuan kuntilanak ini hendak menipunya.
"Hi hi hi hi hi, aku berhutang tiga ilmu silat kepadamu" Bocah siapa namamu tadi?"
"Namaku Beng San."
"Bocah, aku akan mengajarkan tiga macam ilmu silat kepadamu dan andaikata kau dapat mewarisi tiga ilmu silat ini, sepuluh orang anak murid Hoa san pai takkan mampu menangkan kau. Eh, kau bilang kau dijejali obat oleh seorang tosu yang membuat tubuhmu panas semua" Apa betul kau belum pernah belajar silat?"
"Belum pernah selama hidupku."
"Coba kau pukul telapak tanganku ini, di waktu memukul meniupkan hawa dari mulut."
Beng San menurut karena mengira bahwa demikian memang caranya belajar silat. Ia memukul telapak tangan wanita itu dengan tangan kakannya sambil meniupkan hawa dari mulutnya.
"Plakkk! Hek hwa Kui bo merasa telapak tangannya dijalari hawa panas. Terang itulah tenaga Yang kang yang keluar dari kepalan Beng San.
"Hemmm, sekarang kau pukul lagi dengan tangan kiri sambil menahan napas."
Beng San menurut, memukulkan kepalan tangan kiri kearah telapak tangan itu sambil menahan napas. Hek hwa Kui bo merasa telapak tangannya menerima hawa dingin yang lebih kuat daripada hawa panas tadi. Diam-diam ia terheran-heran. Bagaimana di dalam tubuh anak ini terdapat dua macam hawa Yang kang dan Im kang tanpa diketahui oleh anakitu sendiri. Dan kenapa seorang anak yang tidak pernah belajar silat bisa mempunyai dua macam hawa ini dan tidak mati karenanya" Di dalam tubuh setiap orang manusia memang pada dasarnya sudah terdapat dua macam hawa yang bertentangan itu, akan tetapi tidak sehebat ini.
"Dengar baik-baik. Kau akan kuberi pelajaran tiga macam ilmu silat. Akan tetapi ada syarat-syaratnya. Pertama, kau tidak boleh mengaku Hek hwa Kui bo sebagai gurumu."
Beng San merenggut. "Siapa yang kepingin mengaku kau sebagai guru" Syarat ini cocok dengan pikiranku."
"Kedua, kau harus berdiam terus di dalam hutan ini sebelum kau hafal benar tiga macam ilmu silat itu. Tergantung kepada otakmu. Kalau kau berotak udang dan beku, sampai sepuluh tahun belum hafal, kau tidak boleh keluar. Begitu keluar akan kubunuh kalau kau belum hafal."
Beng San segera memprotes, "Aturan apa ini" aku tidak sudi. Kalau begitu, sudahlah, siapa yang kegilaan akan ilmu silat" Aku tidak usah belajar saja."
Hek hwa Kui bo tertawa mengejek dan saputangannya bergerak-gerak. "Kau boleh tidak belajar, akan tetapi nyawamu kucabut. Kau kira aku seorang yang suka menjilat ludah sendiri" Aku sudah berjanji, kau harus menerima tiga macam pelajaran ilmu silat dan kau harus pula memenuhi syarat-syarat itu atau ?""..kau boleh mampus."
Beng San memang bocah yang nakal dan berani, akan tetapi diapun amat cerdik.
Sekarang sedikit banyak dia sudah mengenal watak kuntilanak ini yang selalu membuktikan omongannya, maka dia lalu berkata, "Baiklah, mempelajari ilmu silatmu atau tidak adalah sama saja! Apa sih gunanya" Kukira ilmu silatmu itu pun tidak akan ada artinya bagiku!"
Hek hwa Kui bo kena dibakar perutnya. "Tarrr!!" saputangannya berkelebat menyambar mengeluarkan suara keras, ujungnya melewati kepala Beng San dan menghantam sebuah batu di dekatnya. Alangkah kagetnya anak itu ketika melihat betapa pingir batu itu gompal dan remuk seperti dihantam palu besar yang kuat dengan keras sekali.
"kau bilag tidak ada gunanya" Apa kepalamu lebih keras dari batu itu?" kata Hek hwa Kui bo mendelik.
Beng San kagum sekali dan mulailah timbul keinginan dalam hatinya untuk memiliki kepandaian seperti ini. akan tetapi ia memperlihatkan sikap acuh tak acuh menyaksikan kehebatan wanita itu. Dia malah menarik napas panjang dan berkata,
"Apa artinya kelihaian ilmu silat kalau toh aku takkan mungkin dapat mempelajarinya" Aku tidak pernah belajar silat, bagaimana sekarang bisa mempelajari ilmu silatmu kalau tidak kau pimpin sendiri?"
hek hwa Kui bo tertawa mengikik, "Kau tentu bisa, pasti bisa. Aku memiliki tiga macam ilmu silat yang mudah dipelajari, biarpun oleh seorang tolol seperti kau.
Pertama, adalah ilmu siulian (Samadhi) yang disebut Thai hwee (api besar) untuk mendatangkan kekuatan tenaga dalam berdasarkan Yang kang. Dalam menjalankan ilmu ini tubuhmu akan terasa panas sekali seperti terbakar, kau harus dapat menahan ini. kedua, adalah ilmu pernapasan yang disebut Siu hwee (memelihara api) untuk membikin hawa Yang kang di badanmu memasuki semua pembuluh darah dan membikin badanmu kebal."
"Apa artinya semua ini?" Beng San mencela. "Mana orang harus belajar supaya diri kuat dan tahan dipukul, apa selanjutnya aku hanya disuruh menjadi bahan pukulan"
Aku ini kau ajari cara memukul batu seperti tadi."
Hek hwa Kui bo tertawa, "Tolol kau. Dua macam pelajaran itu adalah pokok dari semua pelajaran silat. Yang ketiga, adalah ilmu pukulan yang kusebut Ci hwee (keluarkan api), terdiri dari tiga jurus pukulan yang mengandung hawa Yang kang.
Nah, kau perhatikanlah sekarang semua petunjukku dan pelajari baik-baik. Aku hanya sudi memberi kesempatan belajar sehari semalam saja, setelah itu kau harus belajar sendiri."
Demikianlah, wanita aneh ini sengaja menurunkan cara bersemedhi dan latihan pernapasan yang semata-mata hanya utnuk memperbesar daya Yang kang di tubuh Beng San. Perbuatan ini sebetulnya amat licik dan jahat. Bagi orang lain, mungkin sekali ilmu-ilmu ini akan mendatangkan tenaga dalam tubuh yang luar biasa. Akan tetapi seperti telah diketahui di dalam tubuh Beng San pada waktu itu sedang mengalir hawa panas yang luar biasa, yang tentu akan menghanguskan jantungnya akibat ditelannya tiga butir pil buatan tosu Siok Tin Cu. Kalau saja dia tidak terkena pukulan Jing tok ciang dan terkena racun hijau akibat serangan Koai Atong. Hekhwa Kui bo tidak tahu akan serangan Koai Atong ini, akan tetapi wanita sakti ini cukup maklum bahwa tiga butir pil Yang tan itu secara aneh sekali telah ditahan kekuatannya oleh semacam hawa Im yang berada di tubuh Beng San. Melahat ini, biarpun ia tidak mampu memaksa Beng San mengaku, wanita ini mempunyai dugaan bahwa tentulah Beng San ini murid seorang sakti lain. Hal ini amat tidak disukainya.
Sudah menjadi watak Hek hwa Kui bo untuk tidak mau mengalah terhadap orang lain.
Siok Tin Cu adalah cucu muridnya, karena guru tosu itu, ketua Ngo lian kauw, yaitu yang bernama Kim thouw Thian li (dewi kepala emas) adalah murid tunggalnya.
Ketika mendengar bahwa Yang Tan yang ditelan bocah ini tidak mematikannya, timbul perasaan di hati Hek hwa Kui bo maka ia sekarang sengaja mengajarkan dua macam ilmu itu untuk memperbesar dan memperkuat hawa Yang di tubuh anak ini agar pertahanan hawa Im di tubuhnya kalah.
Tentu saja Beng San yang tidak tahu apa-apa tidak mengandung hati curiga dan dengan penuh ketekunan dan ketelitian dia memperhatikan segala petunjuk wanita itu.
Dasar bocah ini berotak cerdas dan terang sekali, menjelang senja jadi baru saja setengah hari Hek hwa Kui bo memberi petunjuk, dia sudah mengerti baik bagaimana harus melakukan latihan Thai hwee, Siu hwee, dan Ci hwee.
Diam-diam hek hwa kui bo terkejut bukan main dan kagum sekali. Belum pernah ia melihat bocah secerdas ini otaknya. Akan tetapi memang Hek hwa Kui Bo yang aneh.
Hal ini bukan menimbulkan rasa sayang kepadanya,melainkan ia makin membenci dan iri hatinya. Dia sendiri dulu tidak memiliki kecerdasan seperti ini.
"Nah, kauboleh tekun melatih diri dengan tiga macam ilmu ini. jangan sekali-kali berani keluar dari hutan kalau belum memiliki ilmu yang kuajarkan. Kalau kau melanggar, kau kubunuh!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat wanita ini telah lenyap dari depan Beng San. Anak ini berhati lega. Mungkin ia akan menjaga di luar hutan, pikirnya. Akan tetapi kalau sampai dua tiga hari, apakah ia akan sabar menjaga terus" Pula hutan ini begini besar, kalau aku keluar dari lain jurusan, bagaimana mungkin dia bisa tahu"
Dengan pikiran ini, dia enak-enak saja tidak mau melatih diri, malah segera memilih tempat untuk tidur yang aman dan enak, yaitu di atas sebatang pohon yang amat besar.
Pada keesokan harinya, dia juga tidak melatih diri, melainkan berjalan-jalan di dalam hutan, memilih tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon berbuah agar tidak sukar lagi dia mencari kalau perutnya terasa lapar. Sampai dua hari Beng San hanya berkeliaran di dalam hutan tidak mau melatih diri. Dan pada malam ketiga, malam yang amat gelap, dia berjalan keluar dari hutan, mengambil jurusan yang berlawanan agar tidak diketahui oleh Hek hwa Kui bo. Hutan itu amat lebat sehingga menjelang fajar dia baru bisa keluar dari hutan.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba ia mendengar suar ketawa nyaring dan cekikikan, suara ketawa kuntilanak! Dan sebelum dia sempat melihat darimana datangnya suara itu, tiba-tiba orangnya sendiri telah berkelebat dan berdiri di depannya dengan saputangan panjang itu diputar-putar dengan sikap mengancam sekali.
Beng San takut bukan main, akan tetapi dia cerdik. Cepat-cepat dia berkata "Hek hwa Kui bo, perutku lapar sekali, semalam penuh putar-putar di dalam hutan mencari makanan tidak ada. Aku tersesat sampai sini ?"
Hek hwa Kui bo memandang tajam, "Kau bukannya hendak lari?"
"Tiga macam ilmu belum kuhafal sempurna, bagaimana aku berani mati meninggalkan tempat ini" seorang laki-laki sudah berjanji "." Ia tidak melanjutkan kata-katanya karena memang tadinya dia bermaksud hendak lari.
Hek hwa Kui bo tertawa ganjil, sepasang matanya bersinar-sinar. "Kau pelajari saja baik-baik, dalam beberapa hari tak kan sukar menangkap binatang hutan untuk dimakan."
Beng San memasuki hutan kembali dan dia mendengar dari jauh wanita itu menggerutu, "Anak tahan uji ?"
Sekarang yakinlah hati Beng San bahwa tak mungkin dia dapat pergi tanpa diketahui wanita sakti yang aneh itu. Nyawanya terancam bahaya maut kalau dia berani pergi.
Tidak ada lain pilihan lagi baginya, kecuali mulai mempelajari tiga macam ilmu itu.
Mula-mula dia melakukan Samadhi untuk meyakinkan ilmu Thai hwee seperti yang dia pelajari dari wanita itu. Dan benar saja, baru setengah malam dia duduk semadhi, dia merasa ada hawa panas sekali berkumpul di perutnya, makin lama makin panas sampai dia tidak dapat menahan lagi dan terguling pingsan! Ketika dia siuman kembali, dia menderita hawa dingin yang luar biasa, membuat tubuhnya seakan-akan menjadi beku.
Teringatlah dia semua pengalamannya di dalam hutan ketikaa dia bertemu dengan Kwa Hong. Begini pula penderitaannya. Kenapa setelah sekarang mulai melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Hek hwa Kui bo, agaknya penyakit aneh itu timbul kembali"
Beng San memiliki ketabahan dan kenekatan, daya tahannya, lahir batin amat kuat.
Biarpun dia menderita banyak siksaan dari latihan pertama ini, dia lanjutkan terus.
Tiga empat hari pertama setiap kali siulian paling lama satu malam dia tentu roboh pingsan. Akan tetapi pada hari kelima dia tidak pingsan lagi, ia tidak tahu bahwa akibatnya, mukanya makin lama menjadi makin merah dan akhirnya menjadi hitam seperti pantat kwali. Namun dia yang tak pernah melihat bayangan mukanya sendiri, tidak tahu akan hal ini!
Sebulan kemudian dia mulai dengan pelajaran kedua. Ketika dia mulai melatih pernapasan menurut ilmu Siu hwee (simpan api), dia merasa bahwa hawa panas yang dia dapat dari ilmu pertama itu berkumpul di pusarnya, lalu berpindah-pindah ke dadanya dan terasalah dada kirinya sakit seperti di tusuki jarum. Ia nekat terus dan akhirnya rasa sakit hebat itu menghilang dan sebulan kemudian, dia hanya merasa seakan-akan dalam dadanya tertekan sesuatu.
Bulan ketiga dia pergunakan untuk melatih diri dengan ilmu pukulan yang disebut Ci hwee (mengeluarkan api). Ilmu pukulan ini terdiri dari tiga jurus gerakan. Gerakan pertama menghantam kedua tangan dengan jari-jari terbuka kearah tanah di depan kakinya, kemudian gerakan kedua menghantam ke depan dan gerakan ketiga menghantam keatas. Gerakan-gerakan ini dilakukan dengan pemindahan kaki kanan kiri, yang satu di depan yang lain di belakang. Sederhana sekali akan tetapi ternyata amat sukar dilakukannya.
Baiknya Beng San sudah memperhatikan dengan teliti sekali dan akhirnya dia dapat melakukan gerakan-gerakan ini dengan baik pula setelah berlatih siang dan malam selama satu bulan. Tiap kali dia melakukan pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka, dia merasa dadanya tertekan agak enakan, seakan-akan agak berkurang tekanannya. Ia tidak tahu bahwa itu disebabkan karena ada hawa Yang kang keluar sehingga mengurangi tekanan hawa mujijat itu yang kini berkumpul di dadanya dan mengancam pekerjaan isi dadanya.
Empat bulan lewat ketika Beng San memberanikan diri keluar dari hutan. Dia tidak tahu di mana batas kesempurnaan mempelajari ilmu-ilmu itu, maka dia main-main untung-untungan saja. Kalau nanti ketemu Hek hwa Kui bo dan dia diuji dia akan mainkan sebaik-baiknya. Andaikata dinyatakan belum sempurna, bagaimana nanti sajalah. Selama empat bulan dia sudah merasa seperti terhukum. Tubuhnya tak pernah terasa enak lagi, selalu dia diserang hawa panas yang kadang-kadang membuatnya seperti gila. Dengan latihan-latihan itu, Hek hwa Kui bo telah menambah hawa Yang kang di badannya dan kalau dulu Tenaga Im kang akibat serangan Koai Atong lebih kuat, sekarang setelah dia berlatih tenaga Yang kang yang lebih kuat di tubuhnya maka tidak lagi dia terserang hawa dingin, melainkan selalu kepanasan. Ia seperti seorang yang selalu menderita demam panas, akan tetapi bukan panas biasa, melainkan panas yang takkan tertahankan orang biasa, dan dia tentu sudah mati dulu-dulu kalau di badannya tidak terkandung racun dari jeng tok yang mengandung hawa Im.
Agaknya memang nasib Beng San harus menderita hebat waktu kecilnya. Memang agak aneh apa yang dia alami semua ini. tiga butir pil buatan Siok Tin Cu itu sebetulnya cukup untuk membunuh nyawa tiga orang dan kekuatan hawa Yang kang dari tiga butir pil itu semua terkandung di dalam tubuh Beng San. Seharusnya dia mati karena ini, akan tetapi siapa kira secara kebetulan sekali dia diserang oleh Koai Atong yang berotak miring sehingga tubuhnya kemasukan hawa Im kang yang malah lebih kuat daripada hawa Yang kang itu. Dan sekarang, Hek hwa Kui bo yang tidak tahu tentang penyerangan Koai Atong dan bermaksud membunuhnya dengan memperkuat hawa Yang dengan latihan-latihan itu, ternyata hanya menambah hawa panas sehingga bisa mengimbangi hawa dingin dari racun hijau. Dan karenanya, biarpun mukanya menjadi gosong hitam dan dadanya seperti terbakar, biarpun keselamatan nyawanya tetap terancam, namun Beng San masih hidup dan dapat tahan sampai sekian lamanya!.
Alangkah girang hati Beng San ketika dia tidak melihat munculnya Hek hwa Kui bo.
Setelah keluar dari hutan itu berdebar hatinya saking girangnya. Benar-benar dia tidak melihat bayangan wanita itu. Di samping kegirangannya, dia pun merasa mendongkol sekali.
"Siluman kuntilanak jahat," gerutunya. "Aku telah ditipunya. Disuruh mempelajari ilmu siluman selama berbulan-bulan dan dia ternyata tidak menjaga di sini. Dasar bodoh, kalau tahu begini, siapa sudi menjadi monyet didalam hutan berbulan-bulan?"
sambil memaki-maki Hek hwa Kui bo di dalam hatinya, Beng San melanjutkan perjalanan. Karena dia berada di daerah pegunungan dan disitu tidak terlihat adanya dusun atau orang lewat, dia lalu berjalan kemana saja tanpa tujuan tertentu. Akan tetapi semua pengalamannya itu mendatangkan keinginan di dalam hatinya untuk mempelajari ilmu silat yang betul-betul dan yang tinggi agar dia dapat mencegah orang lain melakukan penghinaan atas dirinya. Kalau teringat kepada Kwa Hong, dia masih mendongkol sekali.
Pada hari ketiga, ketika dia merasa amat haus dan dia minum air, dia menjadi kaget setengah mati ketika melihat mukanya di dalam air. Aduh celaka, kenapa mukanya menjadi hitam seperti setan" Beng San tak percaya lalu pindah ke air yang lebih jernih untuk melihat mukanya sendiri. Akan tetapi tetap saja, mukanya jelas nampak hitam seperti pantat kwali.
"Celaka ".ah, mukaku jadi begini ?" tak terasa lagi anak ini menangis tanpa mengeluarkan suara, hanya air matanya mengucur deras.
Setelah memutar otak, dia mencela diri sendiri. "Ah, kenapa aku karus menangis"
Kenapa bersedih" Menilai orang bukan melihat warna mukanya, demikian kata para pujangga. Ada lagi yang bilang bahwa roman muka tidak mencerminkan keadaan hati dan watak. Aku boleh buruk, boleh hitam, mengapa pusing" Malu "." Malu kepada siapa" Huh, "..!" dan tiba-tiba dia mendengar suara cecowetan. Ketika dia memandang, dia melihat agak jauh, di atas pohon terdapat dua ekor lutung hitam, sepasang binatang itu duduk dan saling mencumbu, kelihatan akur dan saling mencinta.
Beng San tertawa, "Mukaku pun hitam seperti mukaa lutung. Siapa bilang muka jelek" Lihat itu, bagi mereka akan jeleklah andaikata muka kawannya itu putih tidak hitam. Hitam atau putih apakah perbedaannya" Baik dan buruk.,di mana garis pemisahnya?" Beng San tanpa disengaja sudah mengeluarkan ujar-ujar dan filsafat-filsafat kuno yang pernah dibacanya di dalam kelenteng Hok thian tong ketika dia masih menjadi kacung kelenteng. Akan tetapi, biarpun ujar-ujar itu tentu saja belum dapat dimengerti oleh anak yang baru berusia sepuluh tahun ini, sedikitnya pada saat itu menjadi hiburan baginya, melenyapkan rasa duka dan kecewanya melihat bayangan mukanya yang hitam seperti muka lutung. Setelah puas minum dan mencuci muka, dia melanjutkan perjalanan.
Pada suatu pagi dia tiba di lereng sebuah gunung yang hijau. Ketika dia sedang berjalan hai-hati sekali di jalan kecil yang amaat sunyi itu, tiba-tiba dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap jelas di sebelah depannya. Ia mengangkat muka akan tetapi tidak melihat ada orang. Ia berjalan cepat dan tibalah dia di sebuah jalan kecil.
Di kanan kiri jalan itu terdapat jurang yang panjang dan curam. Dan di tempat inilah dia mendengar suara dua orang bercakap-cakap dengan jelas sekali, akan tetapi tidak kelihatan orangnya! Biarpun hari sudah terang tanah,matahari sudah naik tinggi, namun bulu tengkuk Beng San berdiri juga saking seramnya. Bagaimana ada dua orang bercakap-cakap di depannya, seperti di kanan kirinya akan tetapi tidak melihat orangnya! Ia berdiri seperti patung dan mendengarkan dua suara orang yang saling jawab di kanan kirinya itu.
"Phoa Ti, kalau tidak keburu terjerumus di sini, sekali mengenal pukulanku ilmu silat Pat hong ciang (ilmu silat delapan penjuru angin), kau tentu mampus!" demikian terdengar suara dari sebelah kiri Beng San, suara yang terbawa angin dari kiri tanpa kelihatan orangnya.
Segera suara dari kanan menjawab "Ha..ha..ha, orang she The, dari sini pun tercium mulutmu yang bau. Kalau tadi aku berlaku hati-hati sedikit dan tidak sampai terjerumus ke sini, dengan ilmu silatku Khong ji ciang (ilmu silat hawa kosong) yang belum kukeluarkan, kau akan mampus lebih dulu."
Beng San bingung sekali. Suara dari kiri terdengar kecil melengking, sedangkan yang dari kanan besar dan parau. Suara apalagi kalau bukan suara setan atau iblis" Masa kalau ada orangnya, tidak kelihatan sedangkan suaranya begitu jelas terdengar olehnya. Atau jangan-jangan semacam kuntilanak yang kejam itu, cuma kali ini pria.
Beng San yang sudah mengalami hal-hal tidak enak dengan Hek hwa Kui bo, menjadi ketakutan dan segera dia berlari pergi.
Tiba-tiba dari sebelah kanan terdengar suara yang parau tadi, "eh siapa di atas?"
Beng San mempercepat larinya. Tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar semacam hawa yang amat kuat dan tak tertahankan lagi tubuh Beng San tergelincir ke dalam juarang di sebelah kiri jalan! Tubuh anak itu bergulingan ke bawah. Untung baginya tidak ada batu-batu disitu dan jurang itu ternyata merupakan tanah lembek sehingga biarpun tubuhnya sakit-sakit, dia tidak menderita luka parah.
"Ha, ha, ha!" terdengar suara melengking tinggi tadi tertawa, kini dekat sekali. "Kau benar lihai, Phoa Ti, dalam keadaan luka parah masih mampu memukul roboh orang.
Akan tetapi kau akan malu kalau melihat bahwa yang kau robohkan hanya seorang anak kecil berusia sepuluh tahunan. Ha..ha..ha..ha!"
Beng San cepat menengok dan terlihatlah olehnya seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka merah duduk bersimpuh di dasar jurang. Benar-benar menggelikan melihat seorang bertubuh begini besar akan tetapi suaranya luar biasa tinggi dan kecil seperti suara perempuan. Orang itu sudah tua sekali mukanya penuh keriput dan agaknya terluka hebat, buktinya sukar menggerakkan kedua kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara yang jelas, suara parau tadi tanpa kelihatan orangnya sehingga Beng San melupakan sakit "sakit pada tubuhnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Orang she The, tak perlu kau mengejek. Kalau betul kau masih mempunyai ilmu silat cakar bebek yang disebut Pat hong ciang itu, kau datanglah ke sini, biar aku melihatnya."
Orang tinggi besar itu menjawab lantang, "Kau saja yang turun ke sini kalau memang masih memiliki ilmu silat Khong ji ciang, siapa takut menghadapinya?"
Tidak terdengar jawabannya. Sampai lama tidak ada suara lagi dan Beng San hanya duduk sambil mengurut-urut kakinya yang terasa sakit ketika dia bergulingan tadi.
Kemudian si tinggi besar itu berkata lagi.
"He, Phoa Ti, di mana kau?"
"Di sini!" terdengar jawaban parau.
"Kenapa tidak turun ke sini" Kau takut padaku?"
"Muka merah, jangan jual omongan busuk. Kau saja yang ke sini, apakah kau tidak becus?"
kali ini si tinggi besar yang duduk bersimpuh di dalam jurang itu tidak menjawab, sampai lama juga. Tiba-tiba dia melambaikan tangannya kepada Beng San. Anak itu segera menghampiri. Alangkah kagetnya ketika tiba-tiba tangannya dicengkeram oleh orang itu yang berbisik, "Kaulihat keadaannya bagaimana?" sebelum Beng San meklum apa maksudnya, tiba-tiba orang itu menggerakkan kedua tangannya sambil berteriak, "He, Phoa Ti, kau terimalah anak yang kau pukul roboh tadi."
Hampir Beng San menjerit kaget ketika tiba-tiba tubuhnya melayang keatas seperti terbang cepatnya. Ternyata dia telah dilontarkan orang demikian kerasnya sehingga tubuhnya melewati jalan kecil di atas jurang tadi dan langsung tubuhnya melayang turun ke jurang sebelah kanan jalan tanpa dia dapat mencegahnya lagi. Beng San mengira bahwa tubuhnya tentu akan hancur, maka dia menutupkan kedua matanya, menerima nasib. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya berhenti melayang dan ketika dia membuka matanya, ternyata dia telah ditahan oleh sebuah tangan yang amat kuat. Ia diturunkan dan ketika dia memandang, ternyata bahwa yang menahan jatuhnya tadi adalah seorang laki-laki tua sekali yang bertubuh tinggi kurus.
Seperti kakek besar tadi, kakek ini pun terluka hebat, buktinya tidak dapat menggerakkan kedua kakinya pula, malah kakek ini hanya merebahkan diri saja di atas dasar jurang yang penuh rumput hijau. Sekarang mengertilah Beng San bahwa dua orang kakek aneh ini saling bicara dari tempat masing-masing, yaitu yang seorang di dasar jurang sebelah kiri jalan sedangkan yang kedua di dasar jurang sebelah kanan jalan.
Benar-benar aneh bukan main, bagaimana dari tempat sejauh ini bisa saling bercakap-cakap dengan seorang di seberang sana" Apalagi kalau mengingat akan pengalamannya tadi ketika dilempar dari jurang sebelah dan diterima di jurang ini, dia bergidik. Celaka, pikirnya, iblis-iblis ini kiranya tidak kalah aneh dan hebatnya daripada Hek hwa Kui bo.
Ketika kakek itu menggerakkan tangan kanannya yang menyangga tubuh Beng San, anak ini terguling keatas rumput. Beng San mulai memperhatikan kakek ini. Kakek yang amat tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, tubuhnya kurus seperti cecak kering, kedua kakinya tak dapat bergerak, malah tangan kirinya bunting.
Si tangan bunting ini segera berbisik "Eh, bocah sial. Bagaimana keadaan si tinggi besar itu?"
Diam-diam Beng San merasa mendongkol juga. Betapapun lihainya dua orang aneh ini dia merasa sudah dipermainkan seperti sebuah bola, dilempar ke sana kemari maka jawabnya merengut. "Tak lebih buruk daripada engkau. Duduk bersimpuh tak dapat berdiri."
Tiba-tiba si tinggi kurus yang tangan kirinya bunting ini tertawa meledak dengan suaranya yang parau dan keras sampai terngiang dalam telinga Beng San. "Ha, ha, ha, ha, The Bok Nam! Kiranya pukulanku tadi membuat kau tak berdaya di dalam jurang situ. Ha..ha..ha ha!"
Dari seberang sana terdengar jawaban, "Tak usah banyak cerewet kalau anak itu sudah mengobrol yang bukan-bukan. Kalau kau memang masih punya ilmu kepandaian datanglah ke sini, aku tidak takut!"
Mendengar ini, si tinggi kurus yang bernama Phoa Ti itu terdiam. Tiba-tiba matanya bersinar-sinar aneh ketika dia memandang Beng San. "Bagus," katanya perlahan, matanya tidak pernah lepas dari tubuh Beng San, "Tulang dan darahmu cukup baik.
Kau bisa menjadi penguji dan penentu kalah menang antara aku dan The Bok Nam."
Setelah berkata demikian dia berteriak lagi.
"He, orang she The. Seorang gagah tidak perlu berpura-pura. Kau terluka tak dapat keluar dari jurang, aku pun demikian. Akan tetapi kita masih seri, belum ada yang kalah atau menang. Sekarang ada saksi bocah tolol ini. Mari kita adu kepandaian melalui bocah ini!"
Dari sana sampai lama baru terdengar jawaban yang merupakan pertanyaan, "Apa maksudmu?"
"Ha, kau tolol seperti bocah ini. Aku akan ajarkan dia beberapa jurus Khong ji ciang, kemudian dia datang padamu, menyerangmu dengan jurus itu, hendak kulihat apakah kau mampu memecahkannya. Demikian pula kau boleh turunkan Pat hong ciang, ilmu cakar bebek itu kepadanya, hendak kupecahkan. Siapa tidak mampu memecahkan sejurus serangan, dia boleh mengaku kalah disaksikan setan-setan jurang.
Bagaimana?" Terdengar sorak gembira dari sebelah sana. "Bagus! Memang betul, burung yang mau mati suaranya paling indah. Kau pun yang sudah hampir mampu ternyata mampu mengeluarkan kata-kata bagus. Hayo lekas, kauturunkan ilmumu Khong ji ciang cakar ayam itu."
Beng San yang mendengar ini pula tentu saja dapat menangkap maksud mereka.
Sebetulnya di dalam hati, dia merasa girang juga karena hendak diajari dua macam ilmu yang pasti hebat ini, akan tetapi karena sebetulnya keinginannya belajar silat hanya karena marah kepada mereka yang sudah menghinanya, maka keinginan itu tidak berapa besar. Sekarang dalam keadaan marah kepada dua orang kakek yang mempermainkannya seperti bola dan sekarang hendak menggunakan dia untuk bertempur, dia menjadi makin dongkol lalu berkata keras.
"Aku tidak sudi mempelajari ilmu cakar bebek dan cakar ayam!" setelah berkata demikian, dia hendak keluar dari jurang itu, mendaki tebingnya yang licin oleh rumput basah. Akan tetapi baru setinggi semester lebih, dia merasa tubuhnya seperti ditarik orang dan tanpa dapat ditahan lagi terpelantinglah dia kebawah. Ia menoleh, tidak melihat ada orang di dekatnya kecuali kakek bunting yang masih rebah miring tapi jatuhnya empat lima meter dari tempatnya. Ia mendaki lagi, kembali terpelanting malah lebih keras dari tadi. Tiga empat kali dia terpelanting tanpa mengetahui sebabnya. Kakek itu tertawa mengejek dan makin panas hati Beng San. Sekarang dia mendaki lagi, akan tetapi mukanya menoleh memandang kearah kakek itu. Sampai hampir dua meter dia memanjat dan terlihatlah kakek itu menggerakkan tangan kanannya kearahnya dan ".dia tertarik lalu terpelanting ke bawah.
Bukan main marahnya. Dihampirinya kakek itu dan dibentaknya. "Kau orang tua menghina anak-anak, apa tidak malu. Punya kepandaian hanya untuk mengganggu anak-anak, apa ini bisa dibilang gagah?"
Tiba-tiba kakek itu mengulur tangannya dan tahu-tahu leher Beng San sudah dijepitnya. "Anak bodoh, anak setan. Kalau kau tidak mau membantu kami mengadu, kau boleh tinggal di sini menemani aku mampus."
Beng San anak yang cerdik akan tetapi dia pun bandel bukan main. Diancam mati anak ini tidak takut malah menantang, "Kakek bau, kau mau bikin mampus aku"
Hemmmm, mau bunuh boleh bunuh, kalau kalian ini dua orang kakek bau tidak takut mampus, apakah akupun takut mati" Kau sudah tua tidak mencari jalan terang, tua-tua mau memupuk dosa, rasakan saja nanti di neraka jahanam!"
Phoa Ti tercengang dan cengkeramannya pada leher anak itu mengendur. Matanya terbelalak kaget dan heran. "Apa" Kau anak masih begini kecil tidak takut mati"
Hemmmm, agaknya lebih banyak kesengsaraan kauderita daripada kesenangan."
"Senang apa" Hidup hanya menjadi permainan orang, malah sekarang menjadi korban kegilaan dua orang kakek yang sudah mau mati," jawab Beng San.
Tiba-tiba Phoa Ti tertawa bergelak suara ketawanya begitu keras sampai bergema di atas jurang.
"He, orang she Phoa. Kau tertawa-tawa dan tidak lekas kirim anak itu ke sini memamerkan ilmu cakar bebekmu apa sudah miring otakmu?"
"Ha, ha, ha, The Bok Nam. Anak ini sama sekali tidak tolol atau gila, malah dia lebih gila daripada yang gila. Anak yang aneh sekali, dan kau tidak ada sepersepuluh anak ini..he..he he..he!"
Beng San hanya melongo menyaksikan kelakuan yang aneh itu dan lebih lagi keherannya ketika dia melihat kakek buntung itu tiba-tiba menangis! Di dasar hati Beng San terpendam sifat welas asih yang besar, yang dulu dihidupkan oleh pelajaran-pelajaran di dalam kelenteng oleh para pendeta budha. Sekarang melihat kakek itu menangis, tak terasa lagi matanya menjadi merah dan dia menyentuh lengan yang tinggal sebelah itu.
"Orang tua, kenapa kau menangis sedih" Apa kau takut mati?"
"Sudah berani hidup kenapa takut mati" Yang kutakuti bukan matinya, akan tetapi
".ah, di seberang kematian yang penuh rahasia ?"
Anak sekecil Beng San, mana tahu akan segala perasaan seperti ini" Ia hanya dapat merasa bahwa kakek ini benar-benar amat gelisah dan berduka. Makin tebal rasa kasihan di hatinya.
"Kakek, apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu! Katakanlah barangkali aku dapat menolong ?"
Akan tetapi Phoa Ti masih menangis terus dan Beng San sudah berlutut sambil menghibur. Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya dan wajahnya menperlihatkan harapan besar.
"Anak baik, kau bisa menolongku! Yang membuat aku takut menghadapi kematian adalah The Bok Nam. Dia juga terluka dan mau mati. Aku tidak ada muka bertemu dengan dia di seberang kematian kalau aku belum bisa mengalahkannya. Maka kau tolanglah aku, Nak, tolonglah supaya aku bisa menang dalam pertarungan ini dan mendapat muka terang."
Beng San terheran-heran. Akan tetapi melihat sinar mata yang penuh permohonan itu dia tidak tega menolak, "Baiklah akan kucoba. Tapi bagaimana?"
Seketika itu kakek itu bangkit semangatnya. Biarpun dia sudah tidak dapat bangun lagi, namun tangan kanannya membuat gerakan-gerakan penuh gairah. "Kau perhatikan baik-baik. Aku akan menurunkan tiga jurus lihai dari ilmu silatku Khong ji ciang. Lihat ini, dua buah jariku ini adalah gerakan-gerakan kaki yang harus kau lakukan dalam jurus pertama." Kakek itu lalu menekuk tiga jari tangannya dan mendirikan jari telunjuk dan tengah seperti sepasang kaki. Kedua jari itu, seperti sepasang kaki bergerak-gerak maju mundur secara teratur sekali.
"Nah, kau lakukan dulu gerakan kaki ini, jurus pertama yang disebut jurus Khong ji khai bun (dengan hawa kosong membuka pintu)."
Karena bersungguh-sungguh hendak menolong kakek ini, Beng San memperhatikan dengan seksama, lalu dia berdiri dan meniru gerakan-gerakan itu. Mula-mula tentu saja kaku dan keliru, akan tetapi dengan tekun dia mempelajari dengan petunjuk kakek itu. Kemudian dia di beri tahu tentang gerakan tangan dan tubuhnya. Kakek itu nampak bersemangat sekali, berkali-kali memuji, "Tulang bersih, bakat-bakat baik
"." Pujian ini memperbesar semangat Beng San dan membuat kakek itu tak mengenal lelah. Setelah dapat melakukan jurus pertama dengan baik, dia mendapat petunjuk cara bernapas dalam melakukan jurus ini dan cara menyimpan hawa dalam tubuh. Kemudian dia diberi pelajaran jurus kedua yang disebut Khong ji twi san (hawa kosong mendorong bukit). Jurus ketiga disebut Khong ji lo hai (hawa kosong mengacau lautan). Untuk mempelajari tiga jurus ini dengan baik mereka telah berlatih sehari penuh.
"Phoa Ti, mana jago mudamu?" berkali-kali suara di seberang lain bertanya.
"Orang she Tek, ajalmu sudah dekat. Tunggulah sampai besok pagi, pasti kau beres oleh tiga jurusku dari Khong ji ciang."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Beng San sudah diberi makan oleh Phoa Ti.
Apa makannya" Hanya tiga helai daun muda! Akan tetapi anehnya, begitu makan daun-daun itu, Beng San merasa perutnya kenyang dan tenaganya penuh, membuat dia makin kagum. Ternyata kakek ini membawa bekal banyak daun semacam ini.
"Anak baik, sekarang kau pergilah ke seberang sana dan kau boleh perlihatkan tiga jurus penyerangan ini. kalau dia tidak mampu memecahkannya satu saja dari yang tiga jurus ini, berarti dia kalah." Beng San mengangguk dan hendak memanjat tebing akan tetapi tiba-tiba kakek itu memegang lengannya dan berkata.
"Terlalu lambat ?".terlalu lambat ".bersiaplah!" sekali tangannya mendorong tubuh Beng San melayang melewati jalan kecil dan meluncur ke dalam jurang di sebelah kiri.
"The Bok Nam, terimalah kedatangan penguji kita."
Ketika Beng San merasa betapa tubuhnya ditahan dua buah tangan, dia mulai merasakan tubuhnya ringan dan enak, rasa panas di tubuhnya yang selalu mengganggunya agak berkurang. Maka dia menjadi gembira dan begitu dia dilepaskan dan berdiri di depan kakek tinggi besar yang duduk bersimpuh itu, dia berkata.
"Kakek yang baik, apa betul kata kakek Phoa Ti itu bahwa kau sudah hampir tewas?"
kakek tinggi besar yang suaranya melengking itu mendelik matanya dan membentak,
"kalau betul begitu, bukan aku sendiri yang mati, dia pun sudah hampir mati!"
"Kau betul, karena itu aku hendak mengajukan sebuah usul padamu?"
"Hemmm, apa maksudmu?"
"Kalau kalian berdua sudah mendekati mati, kenapa tidak melakukan perbuatan baik yang terakhir" Kakek Phoa Ti itu menghendaki supaya kau mengaku kalah.
Lakukanlah itu, kau mengalah saja, mengaku kalah dan membiarkan aku keluar dan pergi dari sini. Bukankah dengan begitu sedikit banyak kau telah meringankan dosamu?" memang aneh mendengar seorang anak berusia sepuluh tahun bicara seperti ini, akan tetapi tidak aneh lagi kalau diketahui bahwa dia besar di dalam kelenteng, dari usia lima sampai sembilan tahun.
Tentu saja bagi kakek The Bok Nam yang tidak mengetahui asal usul anak ini, menjadi melongo mendengar ucapan ini. namun hanya sebentar dia tertegun, lalu dia tertawa melengking dan tahu-tahu dia telah mencengkeram baju Beng San di bagian dada.
"Apa katamu" Jangan mencoba untuk membujuk dan menipuku. Aku tidak mau mati sebelum menundukkan kakek tua bangka she Phoa itu! Hayo kau keluarkan tiga jurus ilmu cakar bebek itu, hendak kulihat bagaimana buruknya!"
Mendongkol juga hati Beng San. Karena kakek tinggi besar ini memperlihatkan sikap kasar, berbeda dengan Phoa Ti yang menangis minta bantuannya, sekaligus dia lalu berpihak kepada kakek Phoa Ti. Dengan penuh semangat dia lalu mengeluarkan jurus-jurus itu satu demi satu dengan gerakan sebaik mungkin. Anehnya, kali ini tiap kali bergerak dia merasa dadanya tidak begitu tertekan lagi oleh gangguan hawa panas di tubuhnya yang timbul setelah dahulu dia melatih diri selama tiga bulan dengan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek hwa Kui bo. Maka dia menjadi makin bersemangat dan melanjutkan tiga jurus itu sampai habis. Setelah selesai mainkan tiga jurus yang dia latih sehari semalam itu, dia lalu berkata dengan wajah puas karena melihat muka The Bok Nam nampak kaget dan kagum.
"Ha, mana bisa kau memecahkan tiga jurus serangan lihai ini dari kakek Phoa Ti.
Sudahlah, lebih baik mengaku kalah." Perlu diketahui bahwa gerakan tiga jurus ini memang hebat dan anehnya, ketika mainkan tiga jurus ilmu silat ini, Beng San hanya menggunakan sebelah tangan kanan saja sedangkan tangan kirinya dia selipkan di antara tali pinggangnya. Hal ini adalah karena yang mengajarkan hanya memiliki sebelah tangan kanan dan ketika kemarin melatih ilmu silat ini, Beng San selalu salah gerak dan cangkung karena tidak boleh menggunakan tangan kirinya.
Akan tetapi Phoa Ti yang memberi nasehat supaya dia menyelipkan tangan kirinya di ikat pinggangnya agar tidak menjadi pengganggu kesempurnaan gerakannya. Justru tidak adanya tangan kiri inilah yang menjadi inti kelihaian ilmu silat Phoa Ti, karena orang atau lawan dibikin bingung oleh tangan kanan yang bergerak seperti dua tangan, kadang-kadang seperti tangan kanan akan tetapi ada kalanya menggantikan kedudukan tangan kiri. Dan ini pula mengapa diberi nama Khong ji ciang (ilmu silat hawa kosong), karena memang di dalam "kekosongan" tangan kiri itulah terletak kelihaiannya.
Sampai beberapa lama The Bok Nam tidak berkata apa-apa, matanya mendelik tanpa berkedip tetapi otaknya diputar-putar, mencari kelemahan dalam tiga jurus tadi.
Akhirnya dia tertswa melengking.
"Ho, ho, ho, tua banga Phoa Ti. Segala ilmu cakar bebek ini mana bisa dipergunakan untuk menggertakku" Mudah cara memecahkannya. Nah, kau lihat baik-baik bocah tolol. Jurus pertama kuhancurkan dengan gerakan ini!" kakek itu tangannya, tepat menghadapi gerak serangan pertama dari Khong ji ciang, malah sambil membalas dengan gerak memunahkan dan mematikan.
"Kau mengerti?"
Tentu saja Beng San tidak mengerti! Ia menggeleng dan matanya yang lebar itu menjadi makin lebar.
"Ah, memang kau tolol. Hayo perhatikan baik-baik dan ikuti kedua tanganku."
"Mana bisa dengan duduk bersimpuh menghadapi serangan orang hanya dengan menggerak-gerakkan kedua tangan?" Beng San membantah.
"Tolol!" "Tolol, tolol, kau memaki siapa" Enak saja memaki anak orang!" Beng San marah-marah.
Tiba-tiba kakek itu mencengkeram pundaknya. Beng San merasa seakan-akan tulang pundaknya hendak remuk dan sakit menembus sampai ke jantungnya. Akan tetapi dia mempertahankan dan berkata mengejek.
"Sekali kau bunuh aku, berarti kau kalah oleh kakek Phoa Ti dan karena kalah maka kaubunuh aku."
Cengkeraman itu dilepas lagi. "Memang kau tolol. Tentu saja disertai gerakan kedua kaki. Nah, lihat garis-garis ini!" dengan telunjuknya The Bok Nam menggurat-gurat tanah sambil menerangkan letak kedua kaki dan gerakan-gerakannya dalam jurus itu.
"Jurus pertama untuk melawan jurus pertama dari ilmu silat cakar bebek ini namanya
"." "Jurus cakar ayam kurus!" sambung Beng San mengejek.
"Namanya jurus Nam hong jip te (angin selatan masuk bumi)," kata The Bok Nam tanpa menghiraukan ejekan itu. "Hayo kau pelajari baik-baik dan nanti perlihatkan kepada kakek mau mampu she Phoa, suruh dia memecahkannya kembali."
Demikianlah, terpaksa sekali dan dengan hati mendongkol Beng San mulai mempelajari jurus Nsm hong jip te itu. Setelah hafal betul, dia disuruh mempelajari dan melatih gerakan jurus kedua yang diberi nama Tung hong tong hwa (angin timur menggetarkan bunga) dan jurus ketiga See hong cam liong (angin barat membunuh naga).
Yang membuat Beng San merasa gembira dan bersemangat adalah betapa gerakan-gerakan inipun membuat rasa sakit di dadanya berkurang banyak dan kini dia mendapat kenyataan betapa makin lama serasa makin mudah melatih dengan jurus-jurus yang sukar ini. seperti halnya Phoa Ti, kakek tinggi besar ini pun kagum sekali melihat cara Beng San melatih diri.
"Bocah tolol, tulangmu bersih, bakatmu besar, sayang otakmu tolol!"
Tiga macam jurus yang memecahkan tiga jurus serangan Phoa Ti sekaligus membalas ini juga makan waktu sehari penuh ditambah setengah malam barulah Beng San dapat menggerakkan dengan baik.
"Aku lapar!" menjelang tengah malam dia berhenti dan merebahkan diri di atas tanah, perutnya perih dan lapar. Ia tidak minta makanan, seperti biasa dia tidak sudi minta-minta. Celakanya tidak seperti kakek Phoa Ti, kakek tinggi besar ini diam saja, juga Beng San tidak melihat kakek ini makan apa-apa, maka dia pun diam saja menahan lapar.
Pada keesokan harinya, hari ketiga kembali dia dilemparkan keluar oleh The Bok Nam dan diterima oleh kakek Phoa Ti.
"Bagaimana ".?" Kakek kurus itu bertanya penuh gairah. "Bisakah dia memecahkan tiga seranganku?"
Beng San hanya mengangguk, tubuhnya lemas.
"Kenapa kau?" "Lapar ?" jawab Beng San menelan ludahnya.
"Manusia tak berjantung si tua bangka itu! Phoa Ti memaki. "masa menyuruh anak berlatih silat tanpa diberi makan."
"Dia sendiri pun tidak makan," Beng San membela, lalu menerima beberapa helai daun dan memakannya. Setelah kenyang dia lalu berkata.
"Kakek The Bok Nam itu melawan tiga jurusmu dengan tiga jurus pula yang sekaligus memecahkan jurusmu dan berbalik menjadi serangan tiga kali."


Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Phoa Ti mengerutkan kening. "Begitu cepat?" ia menggeleng-geleng kepala tidak percaya. "Coba kau mainkan jurus-kurusnya."
Beng San lalu menggerakkan tiga jurus yang baru dia pelajari itu dengan gerakan-gerakan yang sudah cepat dan baik sekali, malah tiap kali dia melakukan gerakan-gerakan itu dia merasa tubuhnya ringan dan enak. Setelah dia selesai bersilat dan duduk di atas rumput dia melihat Phoa Ti berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. "Hebat ", hebat tua bangka itu "."
Sampai matahari sudah naik tinggi, Phoa Ti duduk termenung saja dan berkali-kali menarik napas panjang.
"Bagaimanakah" Apakah kau tidak bisa memecahkan tiga serangannya?" Beng San yang merasa kasihan bertanya. Melihat keadaan kakek ini seperti terdesak, timbul keinginannya hendak membantu, maka dia juga mencurahkan pikiran dan ingatannya, menghafal lagi enam macam jurus yang dia pelajari dari dua orang kakek itu. Namun, karena dia tidak memiliki kepandaian dasar, tentu saja dia tidak melihat bagaimana tiga jurus kakek Phoa Ti itu sampai dikalahkan oleh tiga jurus kakek The Bok Nam.
Menjelang senja, setelah berkali-kali terdengar pertanyaan penuh ejekan, barulah Phoa Ti sadar dari lamunannya dan nampak harapan bersinar pada mukanya. "Dapat
".! Dapat olehku sekarang ".!" Katanya girang dan cepat-cepat dia memberi pelajaran tiga jurus ilmu silat lagi kepada Beng San yang sudah siap menanti.
Bukan main girangnya hati Beng San dan kagumnya hati Phoa Ti ketika kali ini, hanya dalam waktu setengah malam saja Beng San sudah dapat mainkan tiga jurus ini dengan baik! Anak ini ternyata memang memiliki bakat luar biasa sehingga kaki tangannya lincah dan tepat sekali melakukan segala gerakan ilmu silat.
"Besok pagi-pagi kau sudah boleh mendatangi kakek The," kata Phoa Ti girang.
"Nanti dulu, kakek Phoa Ti yang baik. Aku sudah berjanji membantumu, dan aku sudah menurut segala kehendak kalian dua orang kekek tua. Akan tetapi, sudah sepatutnya kalau aku mendengar pula apa sebabnya maka kalian bermusuhan, bahkan di tepi lebang kubur masih bertanding ilmu?"
kakek itu bernapas panjang. "Lekas kau berlutut, hanya sebagai muridku kau boleh mendengar ini. lekas sebelum berubah lagi pendirianku."
Karena merasa suka kepada kakek ini Beng San tidak keberatan untuk menjadi murid, maka dia lalu memberi hormat. "Teecu Beng San, mulai saat ini menjadi murid suhu Phoa Ti," katanya. Agaknya kakek itu tidak begitu menaruh perhatian buktinya dia tidak heran mendengar anak ini tidak menyebutkan she (nama keturunan). Lalu dia menceritakan keadaannya dan keadaan The Bok Nam yang sampai mati tidak mau mengalah terhadapnya itu.
"Aku dan kakek The Bok Nam itu sebelumnya adahulu adalah dua sekawan yang amat karib dan kami berdua di dunia kang ouw pada dua puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Thian te Siang hiap (Sepasang Pendekar Langit adan Bumi),"
demikian kakek Phoa Ti mulai dengan ceritanya. Lalu ia melanjutkan ceritanya seperti berikut .
Dua orang sekawan ini memiliki kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat. The Bok Nam adalah seorang tokoh dari selatan, sudah mempelajari segala macam ilmu silat selatan, sebaliknya Phoa Ti adalah ahli silat dari utara yang juga sudah mempelajari seluruh ilmu silat utara. Setelah keduanya bertemu dan menjadi sahabat yang amat karib, keduanya lalu bertukar ilmu silat, saling mengajar sehingga keduanya akhirnya menjadi sepasang jago silat yang jarang tandingannya di dunia kang ouw. Karena kedua orang ini tukar menukar ilmu silat, maka dalam hal kepandaian mereka dapat dikatakan setingkat.
Pada masa mereka masih jaya, di dunia kang ouw tidak ada orang yang berani menentang Thian te Siang hiap, tentu saja ada kecualinya, yaitu tokoh-tokoh besar ilmu silat yang jarang muncul di dunia yang pada waktu itu sampai sekarang di kenal sebagai empat datuk persilatan dari barat, timur, utara dan selatan. Mereka ini adalah Hek hwa Kui bo sebagai siluman dari selatan. Dari utara adalah Siauw ong kwi (Setan Raja Kecil) yang amat jarang dilihat manusia lain. Jagoan nomor satu dari timur adalah Tai lek sin Swi Lek Hosiang, yang seperti julukannya Tai lek sin (Malaikat Geledek) merupakan tokoh yang ditakuti. Adapun orang keempat sebagai raja tokoh barat adalah Song bun kwi (Setan Berkabung) yang seperti juga yang lain kecuali Swi Lek Hosiang, tidak diketahui nama aslinya.
Empat orang ini semenjak puluhan tahun tidak pernah memasuki dunia ramai, namun harus diakui bahwa di antara tokoh-tokoh besar persilatan, belum pernah ada yang berani mengganggu mereka dan mereka selalu masih dianggap sebagai empat tokoh besar yang tak terlawan.
Barulah pada dua puluh tahun yang lalu, empat orang tokoh besar ini keluar dari tempat pertapaan atau tempat persembunyian mereka untuk memperebutkan sebuah kitab pelajaran ilmu pedang peninggalan dari guru besar Bu Pun Su (Tiada Kepandaian) Lu Kwan Cu si pendekar sakti pada jaman lima ratus tahun yang lalu.
Pendekar sakti Bu Pun Su ini adalah pewaris asli dari ilmu silat yang tiada bandingannya, yaitu kitab Im Yang Bu tek cin keng dan pada lima ratus tahun yang lalu, pendekar sakti ini, sebelum meninggal dunia meninggalkan sebuah kitab ilmu pedang yang bernama Im yang sin kiam sut. Kitab ini tak pernah terjatuh ke tangan orang lain karena disimpan di dalam sebuah gua dalam bukit yang tersembunyi.
Setelah bukit itu longsor pada dua puluhan tahun yang lalu, barulah batu-batu besar penutup gua itu ikut runtuh ke bawah dan tampak guanya. Seorang penggembala domba memasuki gua itu dan mendapatkan kitab Im yang bu tek cin keng tadi tanpa mengerti apa isi kitab dan apa gunanya.
Akhirnya secara kebetulan sekali seorang jago silat dari golongan penjahat mendapatkan kitab ini. kepandaiannya masih terlampau rendah untuk dapat mempelajari ilmu pedang sakti ini, akan tetapi Lui Kok, jago silat yang sombong ini, membual dan memamerkan penemuannya itu di dunia kang ouw. Hal ini sama dengan mencari penyakit sendiri bagi Lui Kok. Mulailah para jago silat memperebutkan kitab ini. hal ini tidak aneh. Siapakah diantara para jago silat yang tidak pernah mendengar nama besar pendekar sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu" Bahkan empat tokoh besar dari timur, barat utara dan selatan itu pun sampai keluar dari tempat persembunyian mereka ketika mereka mendengar bahwa telah ditemukan kitab pelajaran ilmu pedang dari Bu Pun Su. Padahal urusan besar apapun juga yang terjadi di dunia kang ouw tak mungkin akan menarik hati empat tokoh besar itu.
Akan tetapi kedatangan empat besar ini terlambat. Kitab di tangan Lui Kok telah dirampas orang lain dan Lui KOk telah terbunuh. Tak seorang pun tahu siapa pembunuh Lui Kok dan siapa yang merampas kitab itu. Dengan kecewa empat besar itu kembali ke tempat masing-masing, tentu saja selama itu mereka selalu mendengar-dengar kalau ada orang muncul dengan kitab yang mereka ingin miliki itu.
Siapakah pembunuh Lui Kok" Bukan lain orang adalah Thian te Siang hiap, dua sekawan itulah. Kitab itu mereka rampas dan Lui Kok mereka bunuh. Kebetulan sekali kitab itu terdiri dari dua jilid, yaitu bagian Im sin kiam dan bagian Yang sin kiam. Karena tahu bahwa empat besar yang amat mereka takuti itu juga mencari-cari kitab peninggalan Bu Pun Su, mereka lalu membagi duakitab itu, seorang memegang sejilid dan selama ini mereka diam saja, tak pernah mengeluarkan kitab-kitab itu.
Memang sudah menjadi watak setiap orang manusia di dunia ini, selalu merasa berat dan sayang kepada diri sendiri, tidak mau kalah dan mengharapkan bahwa dirinya akan menjadi orang yang paling pandai, paling mulia, dan sebagainya. Demikian pula watak ini dimiliki pula oleh The Bok Nam dan Phoa Ti. Diam diam mereka mempelajari isi kitab, The Bok Nam mempelajari bagian yang disimpannya yaitu bagian Yang sin kiam, sedangkan Phoa Ti mempelajari Im sin kiam.
Sampai bertahun-tahun mereka mempelajari kitab masing-masing aka tetapi alangkah kecewa mereka bahwa diantara dua kitab itu ada hubungannya yang amat dekat.
Hanya mengetahui Yang sin kiam saja tanpa mempelajari Im sin kiam, tak kan dapat mereka memperoleh inti sari dari pelajaran Im yang sin kiam sut yang hebat itu.
Memang betul bahwa dari kitab-kitab itu masing-masing telah memperoleh kemajuan pesa sekali dalam ilmu silat mereka, namun kepandaian Im yang sin kiam sut yang mereka inginkan itu tidak dapat mereka pelajari tanpa kitab yang satu lagi.
Demikian lah, mulai timbul persaingan diantara mereka yang tadinya menjadi sahabat karib. Dan hal ini pun sudah menjadi watak manusia. Banyak sudah peristiwa dalam hidup terjadi, di mana dua orang yang tadinya bersahabat karib, dapat menjadi retak persahabatan mereka oleh karena perebutan harta, kedudukan, kepandaian maupun cinta kasih. Padahal semua itu hanyalah akibat, akibat dari sifat ingin senang sendiri dan ingin menang sendiri, pendeknya sifat egoistis yang menempel pada diri tiap orang manusia.
Mula-mula Phoa Ti yang mendatangi sahabatnya dan minta pinjam kitab. Akan tetapi The Bok Nam tidak mau memberikan, hanya mau kalau kitab di tangan Phoa Ti itu diberikan dulu kepadanya untuk dipinjam, baru sesudah itu dia akan meminjamkan kitabnya.
Phoa Ti mengusulkan agar kitab itu ditukar saja agar keduanya dapat mempelajari bersama, akan tetapi The Bok Nam yang tidak ingin dikalahkan oleh sahabatnya tidak setuju. Akhirnya terjadilah pertengkaran dan malah timbul persetujuan diantara mereka bahwa siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang berhak membaca kedua kitab lebih dulu. mulai saat itulah mereka sering kali mengadu ilmu, sampai berhari-hari. Akan tetapi tingkat mereka memang sama. Biarpun Phoa Ti sudah mempelajari Im sin kiam, akan tetapi The Bok Nam juga sudah mempelajari Yang sin kiam sehingga kepandaian mereka sama-sama memperoleh kemajuan yang hebat.
Hal ini terjadi sampai dua puluh tahun, sampai mereka sudah menjadi kakek-kakek tetap saja tidak ada yang mau mengalah. Pada hari itu, mereka kembali mengadu kepandaian di atas jalan kecil yang diapit-apit oleh dua jurang. Akibatnya, saking hebatnya pertempuran mereka, keduanya terluka dan roboh terguling ke dalam jurang, seorang di kanan seorang di kiri sampai akhirnya Beng San datang dan anak ini mereka pergunakan untuk melanjutkan "adu kepandaian" itu.
"Demikianlah, Beng San, muridku," Phoa Ti menutup ceritanya kepada muridnya yang baru dia angkat, yaitu Beng San yang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Baru sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa sampai terjadi persaingan seperti ini. The Bok Nam adalah seorang sahabat yang baik. Sayang, dia membiarkan keinginan timbul di hatinya, keinginan untuk menjadi orang yang terpandai."
"Suhu (guru), apakah selama ini tokoh tokoh besar dari empat penjuru itu tidak pernah datang untuk merampas kitab?" Tanya Beng San.
"Tidak, kami amat rapat menyimpan rahasia ini, karena kami tahu betul bahwa kalau sampai empat tokoh besar itu muncul mengganggu kami, kami akan celaka. Hanya kalau kami atau seorang diantara kami sudah dapat mempelajari Im yang sin kiam sut, kiranya kami akan kuat menghadapi mereka."
Beng San teringat akan Hek hwa Kui bo, maka dia lalu berkata, "Suhu, belum lama ini teecu (murid) bertemu dengan Hek hwa Kui bo dan "."
Tiba-tiba pucatlah muka Phoa Ti mendengar ini. dengan tangannya yang hanya sebelah itu dia memegang pundak Beng San dengan erat, lalu katanya.
"Apa "." Dia ?" Celaka ?"tentu dia sudah mendengar akan hal kitab itu. Kalau tidak, tak mungkin dia muncul "..coba kau ceritakan tentang pertemuan itu."
Dengan singkat Beng San lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia berkerja di dalam kelenteng sampai bertemu dengan berbagai pengalaman pahit itu. Gurunya mendengarkan dengan geleng kepala. Kemudian dia berkata sambil menarik napas panjang.
"Tak salah lagi, tentulah setelah aku dan The Bok Nam mengeluarkan ilmu silat Im sin kian dan Yang sin kiam untuk mengadu kepandaian. Dia itu, kuntilanak itu, tentu telah mendengar dan menduga bahwa kami berdua yang menyimpan kitab Bu Pun Su thai sucouw. Lekas, hari sudah akan pagi. Kau harus usahakan betul supaya jurus-jurus yang kau pelajari itu dapat menangkan The Bok Nam agar dia suka memberikan kitab Yang sin kiam kepadaku. Lekas jangan sampai terlambat. Kalau seorang diantara empat setan itu muncul, celakalah ".."
Demikianlah, Beng San melanjutkan tugasnya sebagai penguji kedua orang kakek itu. The Bok Nam benar-benar hebat. Semua jurus yang dikeluarkan oleh Phoa Ti dia dapat memecahkannya, padahal jurus dari ilmu silat Khong ji ciang itu adalah jurus-jurus yang diciptakan oleh Phoa Ti berdasarkan kitab Im sin kiam. Sebaliknya, Phoa Ti juga dapat memecahkan semua jurus yang dikeluarkan The Bok Nam, jurus-jurus ilmu silat Pat hong ciang yang inti sarinya diambil oleh orang she The itu dari kitabnya, Yang sin kiam.
Beng San adalah seorang anak yang amat cerdik. Sampai sepuluh hari dia menjadi penguji dan selama sepuluh hari itu dia sudah melatih diri dengan lima belas jurus dari Khong ji ciang dan lima belas jurus dari Pat hong ciang! Ia melihat betapa makin hari kedua orang kakek itu makin lemah karena luka mereka dalam pertempuran itu memang hebat sekali. Apalagi sekarang dalam memberikan petunjuk kepada Beng San, mereka harus mengerahkan tenaga Iweekang. Yang senang hatinya adalah Beng San karena untuk menjalankan semua pelajaran jurus-jurus yang harus dia bawa ke sana kemari ini mengandung hawa-hawa murni dari Yang kang dan Im kang, maka tentu saja kedua macam hawa yang amat memenuhi dadanya itu makin kuat dan makin dapat diatur. Gerakan-gerakan dalam melakukan jurus-jurus ilmu silat itu membuka jalan darahnya sehingga makin lama dia merasa tubuhnya enak dan kuat, bahkan kekurangan tidur dan makan tidak mengganggunya sama sekali.
Pada hari kesebelas dia melihat suhunya sudah amat lemah sampai jatuh pingsan ketika memberi petunjuk kepadanya. Beng San bingung. Ia tidak suka kepada Phoa Ti seperti juga ketidaksukaannya kepada The Bok Nam. Akan tetapi dia merasa kasihan kepada Phoa Ti yang sudah mengangkat dia sebagai murid, karena memang sikap Phoa TI lebih baik dan lebih lemah lembut daripada sikap The Bok Nam. Di samping tubuh suhunya yang masih pingsan, Beng San duduk termenung, memutar otaknya.
Tanpa sengaja dia mengingat-ingat kembali semua jurus yang sudah pernah dia pelajari dari kedua pihak dan tiba-tiba dia melihat persamaan=perasamaan tersembunyi di dalam jurus-jurus kedua pihak itu, persamaan yang kalau dipandang sepintas lalu dan dimainkan jurus-jurus ilmu silat nampaknya seperti bertentangan, namun sebetulnya dapat disatukan dan dapat disesuaikan.
Phoa Ti siuman kembali menjelang fajar. Beng San segera mengemukakan pendapatnya. "Suhu, malam tadi teecu teringat akan persamaan-persamaan yang aneh antara beberapa jurus ilmu silat suhu dan kakek The itu. Contohnya jurus kemarin itu, betapa samanya gerakannya, hanya dibalik saja, kalau jurus suhu menggunakan tangan kiri, adalah jurus kakek itu menggunakan tangan kiri. Kalau di waktu memukul dalam jurus suhu harus menyedot napas, dalam jurus kakek itu sebaliknya, meniupkan napas. Bukankah ada persamaannya yang tepat, hanya terbalik saja?"
Sejenak kakek yang sudah payah keadaannya itu termenung. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara seperti jeritan dan ?".dia memuntahkan darah segar dari mulut! Beng San cepat-cepat mengurut-urut punggung kakek itu. Setelah agak reda napasnya, kakek itu berkata lemah, "Aduh ".kau hebat "..aduh, aku bodoh sekali, Beng San. Kau benar ".kau benar "..itulah sebabnya mengapa harus mempelajari kedua kitab itu, tidak boleh satu-satu. Bagus ?"! Sekarang kau pergilah ke sana, pergunakan jurus yang kau latih kemarin, hanya sejurus, tapi cukup ?"kau balikkan kedudukan tangan dan tubuh, tapi kakimu kau ubah seperti yang pernah kau pelajari dari Hek hwa Kui bo, atau kau bikin kacau sesukamu he heh he ?"hendak kulihat apakah dia masih bisa memecahkan penyerangan dari jurusnya sendiri yang dibikin rusak ".."
"Andaikata dia tidak dapat memecahkan jurus ini, lalu bagaimana suhu?"
"Dia ".uhhhh "..uuhh ".dia harus menyerahkan kitabnya ".." sukar sekali Phoa Ti mengeluarkan kata-kata karena napasnya amat sesak. "Lekaslah kau pergi "."
Kakek ini hendak melontarkan tubuh Beng San seperti yang sudah-sudah ke jurang sebelah sana, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya bisa memberi isyarat dengan tangannya supaya Beng San memanjat sendiri ke tempat kakek The Bok Nam.
Beng San lalu memanjat tebing jurang dan dengan girang dia mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya ringan dan mudah saja baginya memanjat tebing itu.
Ketika dia tiba di atas, di jalan kecil yang dulu dilaluinya, dia telah bebas. Apa sukarnya kalau dia melarikan diri dari situ" Baik kakek Phoa Ti maupun kakek The Bok Nam takkan dapat lagi menghalanginya. Kedua orang tua itu sudah terlampau lemah karena keparahan luka-luka mereka. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak ada keinginan di hari Beng San untuk melarikan diri. Malah dia ingin sekali melanjutkan tugasnya sebagai penguji karena dia mulai merasa tertarik oleh ilmu silat. Apalagi karena hasrat hatinya telah dibangkitkan oleh cerita suhunya tentang kitab Im yang sin kiam sut yang diperebutkan oleh semua ahli silat, termasuk empat besar itu.
Ketika dia menuruni jurang di mana The Bok Nam berada, dia melihat kakek ini keadaannya tidak lebih baik daripada kakek Phoa Ti. Ia menyambut kedatangan Beng San dengan mata terbelalak, lalu dia memaksa tertawa.
"Ha, ha, ha, tua bangka Phoa Ti sudah tak bertenaga lagi untuk melemparmu ke sini, Beng San?" biarpun mulutnya tertawa, namun diam-diam dia bersyukur juga.
Andaikata kakek Phoa Ti masih sanggup melemparkan Beng San, kiranya dia sendiri yang takkan kuat menerima tubuh itu. Kemarin saja ketika dia menerima Beng San, kedua tangannya merasa pegal dan sakit-sakit karena terlampau banyak dia menggunakan tenaganya yang sudah hampir habis.
"Bukan dia tak bertenaga," kata Beng San membela suhunya, "Hanya aku sendiri yang mau memanjat, tak suka aku dilempar-lemparkan ke sana kemari seperti bola."
Kembali The Bok Nam tertawa dan dari sikap ini saja Beng San mengetahui bahwa keadaan suhunya lebih buruk daripada kakek tinggi besar ini.
"Nah, ilmu cakar bebek apalagi yang kau bawa kali ini" lebih baik Phoa Ti mengaku kalah dan memberikan kitabnya kepadaku."
Pada saat itu terdengar suara Phoa Ti, suara yang parau sekali seperti babi mengorok,
"The Bok Nam, seorang gagah sejati takkan menarik kembali janjinya. Kalau engkau tidak bisa memecahkan jurusku, kau harus memberikan kitab itu "." Tiba-tiba suara itu berhenti seakan-akan yang bicara dicekik lehernya.
The Bok Nam menjadi pucat. "celaka," katanya. "Kakek Phoa Ti diserang "." Tiba-tiba dia mengeluh dan tubuhnya yang tadinya duduk bersimpuh terguling roboh. Beng San kaget sekali karena tadi samar-samar dia melihat cahaya putih berkelebat.
Sekarang tahu-tahu disitu telah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kecil kurus seperti tengkorak hidup. Orang ini usianya sudah enam puluhan tahun, mukanya pucat seperti mayat dan pakaiannya pun putih semua seperti orang sedang berkabung.
Orang itu tertawa-tawa seperti orang gendeng. Beng San benar-benar heran sekali karena dia tadi tidak melihat orang itu melayang masuk, bagaimana tahu-tahu bisa berdiri disitu" Ketika dia melirik kearah The Bok Nam, kakek tinggi besar ini memandang dengan mata terbelalak kepada mayat hidup itu.
"Song ?"bun kwi (Setan berkabung) ?".kau ?"kau curang ".., menyerang orang yang terluka ?" akan tetapi The Bok Nam tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba orang tinggi kurus yang bermuka mayat itu sekali bergerak sudah sampai didekatnya dan diguling-gulingkannya tubuh The Bok Nam, kedua tangannya mencari-cari. Sebentar saja tangannya mencari-cari. Sebentar saja dia sudah mendapatkan apa yang dicarinya dan mencabut keluar sebuah kitab kecil dari dalam saku baju orang she The yang sudah tak berdaya itu. Semua ini berjalan cepat sekali sehingga Beng San hampir tak dapat mengikuti dengan matanya. Melihat betapa secara kejam dan kurang ajar sekali si muka mayat itu mempermainkan The Bok Nam, timbul kemarahan dalam hati Beng San. Dengan mata berkilat dia melompat maju dan menudingkan telunjuknya ke hidung si muka mayat.
"Menyerang dan merampas barang orang yang sedang sakit, mana bisa disebut perbuatan gagah" Tak tahu malu sekali engkau, Song bun kwi! sikap dan kata-kata Beng San seperti sikap seorang tua memarahi orang muda, maka tampak lucu sekali.
Akan tetapi Song bun kwi terbelalak dan mengerikan sekali, matanya tiba-tiba hanya kelihatan putihnya saja seperti mata iblis! Beng San sampai bergidik ketakutan menyaksikan muka yang bukan seperti muka manusia lagi itu.
Tiba-tiba setan berkabung itu tertawa, disusul suara orang seperti orang menangis dan akhirnya dia benar-benar menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja tangisnya terhenti dan dia berkata kepada Beng San, "Dua puluh tahun lebih tidak mendengar orang memaki dan memarahiku, tidak mendengar orang mencelaku. Ha, anak baik.
Orang seperti kau inilah baru patut disebut orang." Setelah berkata demikian, dia menggerakkan kedua kakinya dan melesatlah sinar putih keluar dari jurang itu.
Beng San melongo. Gerakan yang demikian cepat sampai seperti menghilang ini mengingatkan dia akan Hek hwa Kui bo. Diam-diam dia bergidik. Kenapa ada orang-orang berkepandaian sehebat itu sampai seperti iblis-iblis saja" Ia mendengar The Bok Nam mengeluh dan ketika menengok, dia melihat orang tua itu napasnya empas-empis. Tersentuh perasaan welas asihnya. Beng San segera berlutut, mengeluarkan daun obat yang sering kali dia dapat dari suhunya, memeras daun itu dan memasukkannya ke dalam mulut The Bok Nam. Kakek itu nampak heran, akan tetapi makan daun itu dan warna merah menjalar ke pipinya yang sudah pucat. Kemudian dia menghela napas panjang.
"Dua puluh tahun berkukuh tidak mau memperlihatkan kepada sahabatku Phoa Ti, sekarang terampas Song bun kwi ".., hemmmmm, ini namanya hukuman bagi si orang yang tidak ingat kepada sahabat baiknya "." Ia terengah-engah dan dari kedua matanya bercucuran air mata. Baru kali ini Beng San melihat kakek yang keras hati ini menangis dan dia menjadi terharu.
Orang tua, dua puluh tahun kitab itu berada di tanganmu, tentu sudah kau pelajari semua isinya. Terampas orang lain apa ruginya?"
Tiba-tiba kakek itu tampak bersemangat, matanya bercahaya. "Kau betul ?"..eh, Beng San, kau betul "..bantu aku duduk ". "eh, pukulan Setan Berkabung itu hebat ".." Beng San membantu kakek itu duduk bersila seperti tadi sebelum dia roboh terguling oleh pukulan jarak jauh Song bun kwi.
"Lekas kau berlutut, kau sekarang menjadi muridku. Kau akan kuwarisi seluruh Yang sin kiam."
Karena merasa kasihan kepada kakek ini yang dia tahu dari perasaannya takkan dapat hidup lebih lama lagi, Beng San lalu berlutut dan menyebut.
"Suhu?"?" "Dengar baik-baik. Yang sin kiam hanya terdiri dari delapan belas pokok gerakan yang dapat dipecah menjadi ratusan jurus menurut bakat dan daya cipta orang yang telah mempelajarinya. Nah, kauhafalkan satu demi satu."
"Nanti dulu, The suhu. Teecu hendak melihat dulu keadaan Phoa Ti suhu di sana
?"." The Bok Nam tercengang. "Kau menjadi muridnya ".." ah, betul sekali sahabatku she Phoa itu. Kau harus pula mewarisi Im sin kiam, begitu baru lengkap sehingga kelak ada tandingannya si Setan Berkabung ".." setelah mendapatkan persetujuan kakek itu, Beng San lalu memanjat keatas untuk melihat kakek Phoa Ti.
Akan tetapi dia mendengar suara aneh yang melengking-lengking seperti suara orang menangis. Ketika dia tiba di atas dia melihat dua bayangan berkelebat di atas jalan kecil dan ternyata bahwa Song bun kwi sedang bertanding melawan Hek hwa Kui bo!
Song bun kwi bersenjata sebuah suling yang mengeluarkan suara mnangis itu, sedangkan Hek hwa Kui bo bersenjata saputangan suteranya. Pertempuran itu berjalan seru seperti dua ekor kupu-kupu beterbangan akan tetapi biarpun gerakan mereka begitu ringan seperti terbang saja, angin dari pukulan mereka menyambar-nyambar sehingga Beng San tak kuat menahan. Anak ini terguling dan dengan ketakutan dia bersembunyi di balik sebuah batu besar sambil mengintai.
Tidak lama kemudian pertandingan itu berlangsung karena keduanya sambil berkelahi sambil berlari-lari dan sebentar saja lenyaplah dari pandangan mata. Hanya suara tangis suling itu lapat-lapat masih terdengar dari jauh. Setelah suara suling itu pun lenyap, barulah Beng San berani muncul dan berlari-lari menuruni jurang.
Hatinya berdebar penuh kegelisahan ketika dia melihat Phoa Ti sudah menggeletak dengan napas senin kemis. Ia cepat menubruk dan menolong, dan ternyata keadaan kakek ini sama dengan keadaan The Bok Nam, terluka hebat oleh pukulan Hek Hwa Kui Bo.
"Bagaimana, suhu "..?" Beng San berbisik ketika melihat suhunya membuka mata.
"Ah, celaka ".. celaka ". Kitab Im sin kiam dirampas Hek hwa Kui bo ".." Phoa Ti berkata lemah sambil meramkan mata, mukanya berduka sekali, "Beng San, nyawaku takkan dapat tinggal lama lagi di tubuhku yang rusak dan terluka berat.
Lekas kau bersiap, hendak kuturunkan kepadamu isi Im sin kiam yang terdiri dari delapan belas pokok gerakan ".."
Beng San tak mau banyak membantah. Melihat bahwa keadaan Phoa Ti lebih payah, dia cepat-cepat mempelajari ilmu silat pedang yang diturunkan kakek itu kepadanya.
Tentu saja dia hanya dapat menghafalnya, tidak dapat melatih secara baik karena tidak ada waktu baginya. Namun dengan mudah dia dapat mempelajari inti sarinya.
Hal ini bukan hanya karena Beng San memang seorang anak yang cerdas akan tetapi terutama sekali karena dia pernah mempelajari jurus-jurus Khong ji ciang yang inti sarinya memang bersumber kepada Im sin kiam sehingga mudahlah baginya untuk menghafal pokok-pokok gerakan yang inti sarinya sudah dikenalnya itu.
Betapapun juga, untuk menghafal delapan belas pokok gerakan itu dengan baik, dia harus mempergunakan waktu setengah bulan. Setelah tamat, keadaan suhunya sudah payah sekali. Sebetulnya Beng San tidak tega meninggalkan suhunya ini, maka setelah tamat, biarpun hatinya ingin sekali pergi ke The Bok Nam untuk menerima warisan Yang sin kiam, namun dia tidak mau pergi, menjaga dan merawat suhunya.
"Ah, ". Puas hatiku " Im sin kiam sudah kau hafalkan semua "..sayang
?"alangkah baiknya kalau kaupun dapat menghafal Yang sin kiam."
"Suhu, sebetulnya suhu The Bok Nam juga sudah mengangkat teecu sebagai murid dan hendak menurunkan Yang sin kiam, akan tetapi ". Teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri ?""
"Bagus! Anak bodoh, kenapa tidak bilang dari kemarin" Hayo kau lekas pergi ke sana. Lekas "..! Beng San tak dapat membantah dan ketika dia dengan gerakan ringan memanjat tebing, dia mendengar di bawah suhunya itu tertawa-tawa gembira.
The Bok Nam menerima kedatangan Beng San dengan merengut. "Hemmmm, murid apa kau ini" kenapa begitu lama tidak muncul?"
Beng San menjatuhkan diri berlutut. "The suhu, harap ampunkan teecu yang lama tidak datang karena teecu harus menghafalkan Im sin kiam dari Phoa Ti suhu."
Wajah yang muram itu menjadi terang. "Aha, kiranya sahabatku Phoa Ti juga sudah sadar dan insyaf. Siapa yang merampas kitabnya?"
Diam-diam Beng San kagum juga. Tanpa melihat kakek ini sudah tahu bahwa Phoa Ti diserang orang dan dirampas kitabnya. "Hek hwa Kui bo yang merampasnya, suhu.
Lalu dia menceritakan secara singkat apa yang dilihatnya ketika dia keluar dari jurang ini setengah bulan yang lalu.
The Bok Nam menghela napas panjang. "Akan geger di dunia kang ouw dengan terampasnya kitab-kitab itu. Lekas, Beng San, kau pelajari Yang sin kiam "., aku sudah hampir tak kuat lagi."
Demikianlah, kali ini Beng San mempelajari Yang sin kiam dari gurunya yang kedua.
Mungkin karena dia sudah menghafal Im sin kiam, kali ini dia mempelajari ilmu itu secara mudah. Baru sepuluh hari dia sudah dapat menghafal delapan belas pokok gerakan Yang sin kiam.
Sementara itu pada hari kesebelasnya dia mendapati The Bok Nam sudah kaku dalam keadaan duduk bersila, sudah tak bernyawa lagi! Beng San kaget dan terharu sekali, menangis dengan sedihnya. Segera dia menggali lubang di jurang itu dengan kedua tangannya. Baiknya dia sudah melatih silat dan gerakan-gerakan itu menambah besar tenaga di tubuhnya, sudah dapat mempersatukan hawa Yang dan Im di tubuhnya maka tidak begitu sukarlah baginya untuk menggali lubang di tanah dasar jurang yang tidak keras itu. Setelah mengubur jenazah The Bok Nam dan berlutut beberapa lama, anak itu lalu meninggalkan jurang, menuruni jurang di seberang untuk menghadap gurunya yang seorang lagi.
Ia melihat orang tua itu rebah miring seperti biasa. "Phoa suhu, teecu sudah berhasil mempelajari ?" ia menghentikan kata-katanya karena melihat keadaan suhunya yang diam tak bergerak. Cepat dia melompat mendekatinya dan ". "Suhu ?" untuk kedua kalinya Beng San menangisi kematian seorang lagi yang amat disayang dan dihormatinya. Phoa Ti ternyata sudah meninggal dunia pula, agaknya belum lama dia mati karena tubuhnya masih baik.
Seperti yang dia lakukan kepada jenazah The Bok Nam, Beng San juga mengubur jenazah Phoa Ti di dasar jurang itu. Ia memberi hormat di depan makam suhunya, lalu dia memanjat jurang keluar dari situ. Diambilnya sebuah batu besar dan diletakkannya di pinggir jalan sebagai tanda pengenal. Tanpa tanda ini akan sukar sekali mencari di mana adanya jurang yang menjadi kuburan kedua orang tua itu, baru anak ini sadar bahwa dia tadi telah mengangkat sebuah batu yang amat besar dengan mudah saja! Ia kaget berbareng girang bukan main. Karena maklum bahwa pelajaran-pelajaran yang dia dapatkan dari kedua orang kakek itulah yang mendatangkan tenaga besar dalam tubuhnya, dia mengingat-ingat semua pelajaran itu dengan baik dan sambil berjalan meninggalkan tempat itu dia berjanji kepada diri sendiri untuk melatih diri dengan semua jurus itu setiap kali ada kesempatan baginya.
Seorang gadis cantik yang bepakaian sederhana duduk seorang diri pada malam hari terang bulan di belakang sebuah losmen. Taman bunga kecil milik losmen itu lumayan juga dan keadaan tentu akan amat menyenangkan dan indah apabila orang tidak mendengar isak tangis perlahan, isak tangis tertahan-tahan. Gadis yang menangis perlahan itu bukan lain adalah Liem Sian Hwa, orang termuda dari empat orang gagah dari Hoa san pai. Memang aneh kalau melihat gadis perkasa ini menangis. Sebagai seorang pendkar wanita yang amat terkenal namanya, biarpun seorang wanita, tangis merupakan sebuah hal yang dipantangnya, amat memalukan baginya.
Oleh karena itulah, semua kedukaan hatinya ditahan-tahan selama ia melakukan perjalanan bersama twa suhengnya, yaitu Kwa Tin Siong. Baru pada malam hari ini, ketika mereka bermalam di losmen kecil di kota Leng ki ini, ia mendapat kesempatan pada malam hari itu keluar losmen duduk di taman bunga yang sunyi meratapi nasibnya yang buruk. Siapakah orang takkan merasa berduka" Ayahnya dibunuh orang dan menurut bukti-bukti, pembunuhnya itu bukan lain orang adalah tunangannya sendiri, bersama seorang perempuan kekasih tunangannya itu!
Tunangannya itu adalah pilihan gurunya dan ayahnya, maka tentu saja ia sudah menganggapnya sebagai seorang yang akan menjadi pelindung atau kawan hidup selamanya. Siapa duga, orang itu pula yang membunuh ayahnya. Sekaligus ia kehilangan ayah dan calon suami, dan sebagai gantinya ia mendapatkan seorang musuh besar yang lihai, yaitu Kwee Sin jago muda dari Kun lun pai itu. Ia tidak gentar menghadapi Kwee Sin atau siapapun juga untuk membalas sakit hatinya, akan tetapi mengingat betapa justru tunangannya sendiri yang menjadi musuh besarnya, yang membubuh ayahnya, sekaligus berantakanlah mimpi muluk-muluk yang selama ini memenuhi tidurnya. Hancur hati gadis cantik itu dan di dalam taman yang sunyi ia dapat menuangkan semua kesedihannya melalui air matanya yang bercucuran deras seperti air sungai yang meluap-luap.
Sunyi disekeliling tempat itu. Sian hwa demikian terbenam dalam tangis dan kesedihannya sehingga ia tidak melihat atau mendengar datangnya Kwa Tin Siong ke dalam taman. Pendekar ini mendekati sumoinya dan menegur halus
"Sumoi, harap kau suka menenangkan pikiranmu. Tiada gunanya ditangisi dan disedihi, paling perlu kau harus dapat menjernihkan kekeruhan itu. Dan percayalah kau, sumoi. Aku senantiasa menyediakan tenaga dan nyawa untuk membantumu.
Pasti kita berdua akan dapat membongkar rahasia kematian ayahmu dan membalas dendam ini."
Sian Hwa terisak-isak, hatinya makin perih dan terharu dan dengan sedu-sedan ia menubruk kakak seperguruannya.
"Twa suheng "., ah "., alangkah buruk nasibku, suheng ?" Sian Hwa menangis sedih di dada Kwa Tin Siong yang memeluk pundaknya dan menghiburnya.
"Sudahlah sumoi, mari kita masuk ke dalam. Kalau terlihat orang lain kau menangis seorang diri di sini bisa menimbulkan dugaan yang bukan-bukan."
Tiba-tiba Kwa Tin Siong mendorong tubuh adik seperguruannya kesamping dan tangannya menyambar kedepan. "Keparat pengecut!" bentaknya sambil melompat ke depan. Sian Hwa yang tadi dikuasai kesedihannya kurang waspada dan tidak mendengar dan melihat menyambarnya benda itu, kini ia maklum bahwa ada orang jahat, cepat ia melompat mengejar suhengnya.
Akan tetapi Kwa Tin Siong sudah kembali lagi. "Dia menghilang dalam gelap,"
katanya "Mari kita masuk, sumoi. Entah benda apa yang dilemparkan kearah kita tadi."
Di dalam ruangan losmen, di bawah penerangan lampu, mereka berdua melihat benda itu. Sian Hwa mengeluarkan seruan kaget. Benda itu adalah sebuah sisir rambut dari perak. Sisir rambutnya sendiri yang dulu dipergunakan sebagai tanda pengikat perjodohannya dengan Kwee Sin! Sekarang sisir rambut itu dikembalikan dengan tambahan sedikit tulisan pada kertas yang membungkus sisir. Putus karena berlaku serong.
Wajah Sian Hwa menjadi merah sekali, merah karena jengah dan merah karena kemarahannya yang memuncak. Sudah jelas sekarang bahwa yang menyambit dengan sisir peraknya tadi adalah Kwee Sin, tunangannya yang melihat dia menangis dalam pelukan Kwa Tin Siong! Dan tunangannya itu, yang membunuh ayahnya, yang bermain gila dengan perempuan Pek lian kauw, sekarang malah menuduh dia bermain gila dengan suhengnya sendiri.
Dengan isak ditahan-tahan Sian Hwa lari masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Kwa Tin Siong yang berdiri terlongong dan ruangan itu. Pendekar ini menarik napas berulang kali, hatinya berdebar-debar tidak karuan, pikirannya kusut. Baru kali ini semenjak dia ditinggal mati istrinya, hati dan pikirannya digoda oleh persoalan wanita, dan wanita itu adalah sumoinya sendiri. Kemudian dia teringat akan puterinya, Kwa Hong. Diam-diam di dalam hati ayah ini pun timbul kekhawatiran besar, bukan hanya kekhawatiran memikirkan anaknya itu sekarang pergi bersama seorang aneh seperti Koai Atong, juga khawatir akan nasib anak perempuannya itu kelak. Sudah ada rencana dalam hatinya untuk mengikat tali perjodohan antara anak perempuannya itu dengan putera sulung sutenya, Thio Wan It. Akan tetapi setelah sekarang dia menghadapi kenyataan pahit dalam ikatan jodoh sumoinya, dia merasa berkhawatir. Khawatir kalau-kalau kelak anaknya juga menghadapi kekecewaan dalam pertunangan seperti sumoinya itu.
Semalam itu Kwa Tin Siong tak dapat tidur dan ketika pada keesokan harinya dia bertemu dengan Sian Hwa, dia melihat sumoinya itupun merah kedua matanya, tanda bahwa sumoinya inipun tidak tidur dan banyak menangis. Mereka tidak dapat mengeluarkan kata-kata karena peristiwa malam tadi masih menggores hati dan perasaan mereka. Dengan cepat setelah sarapan mereka melanjutkan perjalanan ke Hoa san yang tidak jauh lagi letaknya, hanya perjalanan setengah hari.
Lian Bu Tojin, ketua Hoa san pai yang sudah berusia enam puluh tahun ini, seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang bertongkat bamboo, duduk di atas bangku sambil mengusap-usap jenggotnya dan memandang murid bungsunya yang berlutut di depan kakinya. Beberapa lama dia membiarkan muridnya itu menangis tersedu-sedu.
Setelah melihat agak reda tangis Sian Hwa barulah dia berkata dengan suaranya yang halus dan sabar.
"Sian hwa,kau tenangkanlah hatimu dan pergunakanlah pikiranmu. Dalam menghadapi segala macam peristiwa, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan, kau harus dapat mempergunakan pikiranmu. Terlampau menuruti perasaan dapat menggelapkan pikiran. Hati boleh sepanas-panasnya akan tetapi kepala harus dingin sehingga pikiran tidak dikuasai hati dan dapat mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaiknya."
"Teecu menurut petuah suhu, akan tetapi, suhu ?"manusia she Kwee itu betul-betul keji. Hanya karena ayah teecu melihat perbuatannya yang tidak tahu malu itu, kenapa dia sampai hati membunuh ayah" Ah, "., teecu mohon perkenan suhu untuk mencarinya dan membalas dendam ini."
Lian Bu Tojin tersenyum dan mengangguk-angguk. "Darah muda ?", darah muda
"..! Sian Hwa, persoalanmu ini mengandung rahasia yang meragukan. Pula, tidak percuma kau menjadi muridku. Bukankah dahulu sudah sering kuajarkan kepadamu bahwa di balik segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, terdapat kekuasaan tertinggi yang mengatur segalanya" Apa yang terjadi pada diri ayahmu sekalipun adalah hal yang sudah semestinya begitu, tepat menurut kehendak kekuasaan itu, manusia yang melakukannya hanyalah menjadi lantaran belaka. Karena itu tugasmu memang harus memegang kebenaran, menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan penyelewengan, akan tetapi jangan sekali-kali dipengaruhi dan ditunggangi oleh nafsu kebencian, nafsu membalas dendam, karena kalau terjadi hal demikian, sudah bukan penegak keadilan dan pemberantas kejahatan lagi namanya, melainkan menjadi budak nafsu sendiri yang termasuk kejahatan pula."
"Teecu menyerahkan urusan ini kepada suhu "." Kata Sian Hwa lemah, terpukul oleh petuah suhunya yang tentu saja sudah dimengertinya baik-baik itu.
"Sekarang biarlah suhengmu yang menuturkan apa yang telah terjadi semua."
Kwa Tin Siong lalu menceritakan kepada suhunya tentang semua pengalamannya semenjak dia berniat membantu Pek lian pai untuk menentang pemerintah penjajah, betapa dia bertemu dengan Koai Atong yang membawa pergi anaknya dan tentang penyerangan orang-orang yang mengaku anggota Pek lian kauw terhadap dia dan Sian Hwa. Sebagai penutup dia kemukakan bahwa keadaan Kwee Sin memang mencurigakan sekali, dan sangat boleh jadi Kun lun Sam hengte, yaitu Bun Si Teng, Bun Sin Liong, dan Kwee Sin sudah pula mengadakan hubungan dengan kaum Pek lian pai.
"Hanya sebuah hal yang teecu tidak mengerti, yaitu tentang hubungan saudara Kwee Sin dengan wanita Pek lian pai yang amat mencurigakan itu, benar-benar teecu tidak mengerti "." Demikian Kwa Tin Siong menutup penuturannya. Dalam penuturannya tadi, dia sengaja tidak menceritakan tentang kejadian di taman bunga belakang losmen. Kwa Tin Siong adalah seorang gagah yang sudah banyak pengalaman, maka mendengar bahwa tadi sumoinya pun tidak bercerita tentang hal ini, dia tidak mau menyebut-nyebutnya pula karena dia tidak ingin menyinggung perasaan Sian Hwa.
Ketua Hoa san pai mengangguk-angguk lalu berkata. "Memang mencurigakan sekali keadaan Kwee Sin itu. Sekarang begini saja baiknya Kwa Tin Siong dan Sian Hwa.
Segala urusan yang menyangkut diri sahabat-sahabat, harus diselesaikan secara musyawarah, secara damai dan seadil-adilnya. Tunggulah sampai Wan It dan Kui Keng datang, dan kalian boleh pergi mengunjungi Kun lun Sam hengte untuk minta penjelasan langsung dari Kwee Sin. Dengan demikian, maka segala hal akan dapat diselesaikan." Setelah berkata demikian, ketua Hoa san pai ini bertanya lebih lanjut tentang Kwa Hong yang pergi bersama Koai Atong.
"Itulah Suhu, yang amat menggelisahkan hati teecu, Koai Atong adalah seorang yang amat aneh kelakuannya, seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya.
Teecu tidak tahu ke mana anak teecu itu dibawa pergi."
Lian Bu Tojin tersenyum. "Tak usah, khawatir. Kalau Koai Atong sudah berkeliaran di sini, berarti bahwa gurunya, Ban-tok-sian Giam Kong sudah meninggalkan Tibet pula dan berada di sini. Asal saja anakmu itu mengaku bahwa dia cucu murid. Hoasan-pai, kiranya dia takkan mendapat kesukaran karena Ban-tok-sim Giam Kong tentu memandang muka pinto."
Tidak lama Kwa Tin Siong dan Sian Hwa menanti di Hoa-san. Empat hari kemudian berturut-turut datanglah Bu-eng-kiam Thio Wan It bersama dua orang anaknya, yaitu yang sulung Thio Ki, anak laki-laki berusia dua belas tahun dan yang ke dua Thio Bwee, anak perempuan berusia sepuluh tahun dan Toat-beng-kiam Kui Keng yang juga datang bersama anaknya laki-laki bernama Kui Lok Si berusia sebelas tahun.
Dua orang pendekar Hoa-san ini sengaja datang bersama anak-anak mereka untuk menghadap Lian Bu Tojin sekalian memperkenalkan anak-anak itu dan memberi tambahan pengalaman kepada anak-anak mereka yang mereka harapkan kelak akan menjadi pendekar-pendekar Hoa san pengganti mereka.
Pertemuan antara empat Hoa-san Sie eng itu tentu akan menggembirakan sekali kalau saja yang baru datang tidak mendengar tentang peristiwa kemalangan yang menimpa diri Liem Sian Hwa dan Kwa Tin Siong. Sian Hwa kematian ayahnya dan Tin Siong kehilangan anak perempuannya. Dua orang pendekar Hoa-san itu, Thio Wan It dan Kui Keng, menyambut berita duka ini sesuai dengan watak masing-masing.
Thio Wan It dengan julukannya Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) ini berwatak pendiam dan berangasan mudah marah, akan tetapi jujur dan keras, berlawanan dengan perawakannya yang pendek dan gemuk muka bundar, bajunya selalu serba hitam. Dengan kedua tangan terkepal dia berkata.
"Mari kita pergi mencari Kwee Sin, ingin aku wenghajar bocah kejam kurang ajar itu!"
Kui Keng si Pedang Pencabut Nyawa, wajahnya tampan tubuhnya kecil, sikapnya selalu gembira dan pakaiannya serba putih. la menyambut berita itu sambil tertawa,
"Urusan Sumoi perlahan-lahan dapat diurus, kurasa yang lebih penting mencari puteri Twa-suheng, siapa tahu anak nakal gila itu akan mengganggu Hong-ji.. Urusan dengan Kwee Sin itu berbelit-belit, mungkin ada hubungannya dengan Pek-lian-pai, harus diselidiki dengan seksama
Sian Hwa yang mencoba untuk menghibur kesedihannya, menyerahkan perundingan itu kepada tiga orang suhengnya, dia sendiri lalu menggandeng Thio Bwee, Thio Ki, dan Kui Lok diajak ke lian-bu-thia (ruangan belajar silat) sambil berkata.
"Mari anak-anak, hendak Bibi lihat sampai di mana kemajuan kalian di bawah asuhan ayah-ayah kalian."
Memang terhibur juga hati Sian Hwa bertemu dengan keponakan-keponakannya yang menyenangkan itu. Thio Ki berwajah bundar seperti ayahnya, tampan dan sikapnya sudah membayangkan kegagahan biarpun dia baru berusia dua belas tahun, pendiam dan dadanya selalu terangkat.
Thio Bwee yang berusia sepuluh tahun itu mewarisi kecantikan ibunya, juga pendiam dan manis sekali, sepasang matanya tajam serius, dagu di bawah bibirnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Segera ia senang sekali dekat dengan bibinya yang sering kali dipuji-puji ayahnya sebagai seorang pendekar wanita Hoa-san-pai yang hebat iimu pedangnya.
Adapun Kui Lok, anak tunggal Kui Keng, berusia sebelas tahun, memiliki watak seperti ayahnya, gembira dan agak nakal, akan tetapi juga bersifat angkuh, hal ini mudah dilihat dari bentuk mulut dan niatanya. Ketiga orang anak Ini nampak gagah-gagah, cocok benar menjadi keturunan dari Hoa-san Sie-eng, empat orang gagah dari Hoa-san-pai.
"Sayang," katanya kepada tiga orang anak itu, "kalau Hong-ji- tidak dibawa pergi Koai Atong dan berada di sini bersama kalian, alangkah akan gembiranya.
"Bibi, sebagai anak Twa-supek, tentu kepandaian adik Hong hebat sekali, bukan?"
Thio Bwee bertanya kepada bibi gurunya.
Sian Hwa mengangguk. "Tentu saja, akan tetapi kau pun tentu sudah banyak mempelajari ilmu silat dari ayahmu. Coba, Bwee-ji, kauperlihatkan padaku."
Thio Ki amat sayang kepada adiknya dan pemuda pendiam ini dapat mengerti isi hati adiknya, maka dia lalu berkata kepada Sian Hwa sambil memandang ke arah Kui Lok,
"Sukouw, tentu adikku malu karena menurut sepatutnya, saudara Kui Lok yang harus memperlihatkan dulu kepandaiannya." Dengan kata-kata ini, Thio Ki yang baru berusia dua belas tahun itu telah memperlihatkan sikapnya yang sungguh-sungguh dan memegang aturan. Kui Lok adalah putera dari orang ketiga Hoa-san Sie-eng, maka kalau dihitung urutan atau tingkatnya, masih lebih rendah daripada mereka yang menjadi putera-puteri Thio Wan It orang kedua dari Hoa-san Sie-eng. Diam-diam Sian Hwa tidak senang menyaksikan sikap yang angkuh ini, akan tetapi karena iapun mengenal watak ji-suhengnya yang keras dan jujur, ia anggap saja bahwa sikap Thio Ki ini adalah warisan ayahnya.
"Betul juga, Lok-Ji. Hayo kau yang mendahului, kauperlihatkan apa yang sudah kaupelajari dari ayahmu," katanya sambil tersenyum.
Kui Lok tersenyum dan berkata merendah, akan tetapi suaranya mengandung kebanggaan, "Kepandaianku yang masih amat dangkal mana dapat disamakan dengan pewaris kepandaian ji-supek (Uwak Guru ke Dua)?" Akan tetapi biarpun berkata demikian, tangan kirinya sudah bergerak dan tahu-tahu dia telah, mencabut sebatang pedang pendek dari pinggangnya. Memang tiga orang anak pendekar Hoa-san-pai ini ke semuanya membawa pedang pada punggung masing-masing dan itulah kiranya yang membuat mereka nampak gagah sekali.
Melihat gerakan ini, Sian Hwa tersenyum dan bertanya heran. "Kau menggunakan tangan kiri untuk bermain pedang?"
Pedang Kayu Harum 13 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 6

Cari Blog Ini