Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!" Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan "plak! Plak!" kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri. Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.
"Jangan, Tan-ji....! Mundurlah... betapapun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan keadilan!"
"Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ah, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu dengan marah lalu meninggalkan ruangan. Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada tanda lima jari merah bekas ditampar tadi.
Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.
"Huh, laki-laki macam apa dia" pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu Kun Hong dengan hati mengkal. Tan-taijin tersenyum ketika berkata,
"Kaumaafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja, Kwa-sicu, semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Tai-hiap?"
"Saya... anaknya...." jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali tidak mengira bahwa agaknya pembesar ini mengenal ayahnya.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu.
Hemm, tapi sebagai putra Ketua Hoa-san-pai, bagaimana kau tidak pandai ilmu silat" Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kaubilang mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu...." Pembesar itu mengingat-ingat, "apakah mereka itu keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!"
Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!
"Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu adalah puteri Paman Thio Ki," katanya tepat dan kini ia mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar bertubuh raksasa itu.
Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. "Ah, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong, ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu dan semua orang Hoa-san-pai, bahkan sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu." Kun Hong girang sekali akan tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.
"Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan sebagai tamuku!" Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.
Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat. Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat sekali.
Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai tentu takkan dapat menerimanya, bahkan dunia kang-ouw akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang mempunyai hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main, Paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dulu, baru pada keesokan harinya ia bo-leh bicara dengan Pangeran Mahkota. Kalau ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoa-san-pai, kiranya Pangeran takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu.
Andaikata Pangeran tetap menyesal, ia dapat mempergunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun. Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita!
bagian 59 Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil melarikan diri dan seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang perajurit pengawal yang tinggi juga kepandaiannya, semua telah tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat ber-gelimpangan!
Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah, bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai, juga ia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam" Cepat ia melakukan pemeriksaan dan sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi"
Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang kepandaian Ang-moko dan Bong-lokai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah. Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas untuk membujuk halus, lebih dulu mengikat tangan nona itu agar kalau nanti kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu. Pada malam hari itu, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang mendengarkan laporan para jagoannya bahwa dua orang dara remaja yang dirindukannya itu telah tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu. Sesosok bayangan berjalan lambat memasuki pekarangan istana itu. Orang ini sudah tua, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kekar, jalannya sempoyongan dan tenggorokannya mengeluarkan suara meringik-ringik atau merintih-rintih seperti orang menangis. Akan tetapi mulutnya terdengar menggerutu, "Anak murid Hoa-sanpai" Ha, anak murid Hoa-san-pai...."
Lima orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang di malam itu, terheran-heran melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih di situ. Mereka mengira bahwa tentulah seorang pengemis gila, maka seorang di antaranya segera membentak,
"Hee! Kakek gila, keluar kau"
Akan tetapi kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakannya, terus melanjutkan perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan. Tentu saja lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga curiga.
Dengan gerakan cepat mereka melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan kakek itu.
"He, Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?" tegur seorang di antara mereka dengan sikap mengancam.
Kakek itu tetap tidak mengacuhkan mereka, memandang pun tidak, hanya menggumam, "Anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang itu makin curiga dan mereka sudah meraba gagang golok dan pedang. Jangan-jangan orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak merampasnya, pikir mereka.
"Siapa kau" Jangan main-main di sini, orang gila. Keluar atau kau akan merasakan tajamnya golokku!" seru seorang di antara mereka sambil mencabut goloknya. empat orang yang lain juga sudah mencabut senjata masing-masing.
Namun kakek itu agaknya benar-benar gila. Ringik tangis di tenggorokannya masih terdengar terus dan bibirnya tiada hentinya berkata, "Serahkan padaku anak murid Hoa-san-pai...." Sementara itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya hendak memaksa memasuki istana itu.
"Orang gila sudah bosan hidup!" teriak para pengawal marah dan berbareng mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak, pendeknya mereka hendak merobohkan kakek itu tanpa membunuhnya. Akan tetapi semua bacokan itu mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali! Para pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah orang sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali renggut saja kakek itu telah mencabut sebatang pohon bunga di depan istana, tercabut berikut akar-akarnya pohon sebesar paha orang itu, kemudian tanpa banyak cakap lagi ia menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini! Lima orang pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat ke sana ke mari, namun sia-sia belaka, Tak sampai lima menit mereka semua telah roboh dengan kepala pecah dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi! Setelah merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon secara sembarangan, lalu berjalan terus dengan langkah lebar ke pintu. Pintu itu terpalang dari depan, namun sekali dorong daun pintu yang tebal itu terbuka, palangnya patah-patah dan sambil mengomel panjang pendek dan ringik tangis masih terdengar, kakek ini melangkah masuk.
Dua orang pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika melihat seorang kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah. Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka.
Tangannya bergerak ke arah mereka dan pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi. Lalu kakek ini melangkah terus.
"Anak murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?" demikian terdengar ia bicara perlahan. Semua pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke kamar di sebelah belakang.
Pada saat itu, dua orang selir Pangeran dengan lagak genit dan centil sekali tengah membujuk Li Eng dan Hui Cu yang terbelenggu di atas pembaringan.
Mereka membujuk-bujuk agar supaya dua orang gadis itu menurut saja menjadi selir Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak mengenal lagi kesusilaan ini menceritakan hal-hal yang tak patut didengar telinga sopan, memuji-muji Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa senangnya menjadi selirnya. Mula-mula Li Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan meramkan mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja tangan mereka tidak terbelenggu, pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan wanita juga berada di dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.
Tiba-tiba pintu kamar itu terdorong dari luar, terbuka dan masuklah Si Kakek tadi. Dua orang selir Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, mereka melompat dan menyambar pedang masing-masing.
"Siapa kau....?" Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar dan kepala mereka terbentur tembok, pecah dan tewaslah mereka.
Diam-diam kaget sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua tangannya, kakek ini melakukan pukulan jarak jauh yang mampu membinasakan dua orang selir itu. Adapun dua orang pelayan yang menjadi ketakutan segera menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup mereka. Sekaligus kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang di luar kamar dan lima orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu, memandang sejenak lalu terdengar ia berkata,
"Anak murid Hoa-san-pai....?" Li Eng dari Hui Cu tidak tahu siapa kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan perbuatannya yang mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi karena dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu mengenal baik Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab,
"Benar, Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai...." Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangan dan lain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu telah dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia berlari keluar dari istana yang penghuninya telah dibunuhnya semua itu!
Ketika kota raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras, kakek ini telah lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis itu. Ia berlari terus secepat angin menembus gelap malam dan menjelang tengah malam tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki hutan itu dan menuju ke sebuah kelenteng, kuno yang sudah kosong.
Ia masuk di ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam gelap ia dapat bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat ini. Sambil meringik-ringik terus ia melepaskan dua tubuh dara itu ke atas lantai secara kasar, mulutnya tiada hentinya berbisik.'"Anak murid Hoa-san-pai... hemm, anak murid Hoa-san-pai..."
Li Eng dan Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu yang mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki dan andaikata menghadapi seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara perkasa ini sanggup merobohkannya. Akan tetapi kini mereka menghadapi seorang kakek aneh yang saktl, tentu saja mereka tidak berani berlaku sembrono menyerang dengan kaki saja! Mereka mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka, tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda nyaring dan terjadilah api. Tak lama kemudian ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek itu di atas sebuah meja sembahyang yang sudah butut. Ngeri juga hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi tersinar cahaya lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka.
"Heh-heh-heh-heh! Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tapi semua anak murid Hoa-san-pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!"
"Kakek tua bangka gila!" Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar kata-kata yang amat menghina nama baik Hoa-san-pai ini. "Mulutmu kotor, kau manusia ataukah iblis" Kami orang-orang Hoa-san-pai selalu memegang tinggi kesopanan dan pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau menuduh!"
Kakek itu tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan tetapi hanya sebentar karena ia terkekeh kembali.
'"Heh-heh-heh! Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti pendekar-pendekar, akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul. Mempunyai anak di luar pernikahan, coba bilang, apakah itu tidak cabul dan tak tahu malu?"
"Keparat! tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela pendirian kita. Kau akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang menghina Hoa-san-pai!" kata pula Li Eng.
"Heh-heh-heh, hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tapi nanti, kau harus mengalami penghinaan lebih dulu. Semua wanita Hoa-san-pai harus mengalami penghinaan, sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hinal" Ucapan ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah tubuh Li Eng.
"Brettt!" Baju yang menempel di tubuh Li Eng bagian atas hancur berkeping-keping dan bertaburan seperti daun-daun kering tertiup angin, Li Eng menjerit dan cepat menggunakan kaki menggulingkan tubuh sehingga yang hancur hanya pakaian bagian pundak dan leher saja, akan tetapi cukup banyak sehingga membuat tubuh atasnya setengah telanjang. Mula-mula ia memaki-maki marah, akan tetapi makiannya berubah menjadi jerit mengerikan ketika ia melihat kakek itu mendekatinya dengan muka seperti iblis dan dari pandangan matanya jelas tampak nafsu untuk menghina, untuk membikin malu dan merendahkan dua orang gadis itu. Sementara itu, Hui Cu sudah bangkit berdiri dan memandang dengan muka pucat. Gadis ini belum diganggu, mungkin karena sejak tadi ia diam saja, tidak seperti Li Eng yang memaki-maki sehingga agaknya kemarahan kakek aneh itu ditumpahkan kepada Li Eng semua.
Melihat kakek itu seperti gila, Li Eng menjadi nekat. Ia maklum bahwa akan sia-sia membujuk kakek ini agar tidak melakukan hal-hal yang tidak patut.
Ketika kakek itu bergerak maju hendak mencengkeramnya, Li Eng secepat kilat mengangkat kaki kanan menendang. Tendangannya hebat dan cepat, yang diarah adalah pusar tempat yang paling berbahaya. Namun, sambil terkekeh-kekeh kakek itu menangkis ke bawah dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menjangkau ke depan.
Li Eng membuang dirinya ke belakang, bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan kakek itu. "Heh-heh-heh, anak murid Hoa-san-pai, kau hendak lari ke mana?" katanya sambil mengejar terus. Pada saat itu, dari belakangnya menyanbar angin tendangan Hui Cu yang tidak bisa berdiam diri saja melihat Li Eng terancam. Namun tubuh Hui Cu malah terpental dan gadis ini roboh terguling ketika tangan yang amat kuat menangkis kakinya.
"Enci Cu, lari....!" tiba-tiba lilin di atas meja padam, ternyata Li Eng telah mempergunakan kesempatan ketika Hui Cu menyerang kakek itu tadi untuk melompat ke dekat meja dan meniup padam lilin di atas meja, kemudian ia berteriak mengajak Hui Cu lari. Hui Cu maklum bahwa usaha itu tidak banyak harapannya, namun itulah jalan satu-satunya, yakni mencoba untuk melarikan dir ke dalam hutan yang lebat itu. Ia pun lalu meloncat berdiri dan secepat kilat ia lari menerobos pintu, keluar kelenteng. Dua orang gadis itu lari tersaruk-saruk, dan jatuh bangun di dalam gelap, akan tetapi akhirnya mereka sampai juga di luar kelenteng dan ternyata keadaan di situ tidak segelap di dalam karena bulan sudah muncul.
Namun, alangkah mendongkol, gelisah dan kecewanya mereka ketika mereka tiba di luar kelenteng, kakek tadi sudah berada di situ pula, berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh mengejek. Entah kapan kakek itu keluar, dan hal ini saja menambah bukti betapa saktinya kakek aneh yang seperti orang gila ini.
"Locianpwe, harap kau jangan menganggu kami," tiba-tiba Hui Cu yang sejak tadi diam saja kini mengeluarkan suara, menurutkan pikirannya yang mendapatkan sebuah akal. "Kami sedang dalam perjalanan menuju ke Thai-san untuk memberi hormat kepada paman kami Raja Pedang Tan Beng San.
Harap kau orang tua memandang muka Paman Tan Beng San dan suka membebaskan kami berdua!" Hui Cu mendapatkan akal ini untuk membawa nama Tan Beng San yang tentu saja dikenal semua tokoh persilatan, agar kakek itu menjadi sungkan dan mundur.
Siapa kira, mendengar kata-kata ini kakek itu menjadi makin menggila. Ia membanting-banting kakinya dan berteriak,
"Tan Beng San si keparat jahanam" Mana dia biar kuhancurkan kepalanya, seperti ini!" Ia menghantam ke kiri dan sebatang pohon sebesar paha orang segera tumbang dengan sekali pukul.
Kemudian ia terkekeh-kekeh lebih menyeramkan. "Kau keponakan Tan Beng San" Heh-heh-heh kebetulan sekali, kau harus merasai bagaimana dihina dan disakiti orang!" kalau tadi ia menumpahkan kemarahannya kepada Li Eng yang memaki-makinya kini ia mulai menubruk ke arah Hui Cu. Gadis ini terkejut dan mengelak ke kiri, akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu, ia terhuyyng-huyung, dan cengkeraman kakek itu mengenai tali rambutnya sehingga rambutnya terlepas, terurai ke atas pundaknya.
Sambil terkekeh-kekeh kakek itu menubruk lagi namun kini Li Eng maju menolong Hui Cu, mengirim tendangan berantai dari belakang. Betapapun lihainya gadis ini, dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang, keseimbangan tubuhnya sukar diatur maka tendangan berantai yang mestinya cepat dan dahsyat itu menjadi kurang daya serangan. Apalagi yang diserang adalah seorang kakek yang sakti. Dengan sedikit miringkan tubuhnya dan membabat dengan tangan kiri, tubuh Li Eng kena dibikin terpelanting dan untuk sekian kalinya gadis ini rebah mencium tanah!
Kakek itu kini melangkah perlahan mendekati Hui Cu yang sudah berdiri dengan tubuh gemetar saking lelah dan gelisahnya. Ia sudah mengambil keputusan nekat, kalau tidak dapat menghindarkan diri dari kakek gila ini, ia akan menyerang dengan kepalanya untuk membunuh atau terbunuh! Pada saat yang amat berbahaya bagi Hui Cu ini, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam disusul bentakan keras. "Kakek jahat, pergilah!" Bayangan itu menyambar ke arah kakek itu. "Dukk!" dua tangan bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang, disusul seruan kaget bayangan itu dan seruan heran Si Kakek tadi. Agaknya pertemuan kedua tangan itu membuat mereka kaget karena ternyata bahwa lawan amatlah tangguh. Kembali bayangan itu dengan gerakan yang cepat sekali menyambar, tangan kiri menghantam akan tetapi segera disusul tangan kanan yang memukul sedangkan tangan kanan kiri ditarik pulang.
"Plak! Plak!" Kembali keduanya terhuyung hampir roboh karena telah saling bertukar pukulan. Pukulan bayangan itu mengenai sasaran tetapi pada saat yang sama Si Kakek berhasil pula memukulnya! Bayangan itu di samping kekagetannya, marah. Terdengar ia mengeluarkan bunyi melengking keras lalu tubuhnya berkelebat menyerang kakek itu dengan dahsyat sekali. Kakek itu pun tidak tinggal diam, menggereng dan menyambut serangan ini, malah kemudian kakek ini mengeluarkan suara melengking juga seperti orang menangis. Dua lengkingan aneh bercampur menjadi satu dan Hui Cu cepat mengerahkan Iwee-kangnya untuk menahan guncangan pada jantungnya.
Demikian pula Li Eng segera maklum bahwa dua orang itu adalah ahli-ahli Iwee-keh yang amat tinggi kepandaiannya.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari jauh, lengking meninggi seperti tangisan, persis lengking yang keluar dari tenggorokan kakek itu.
"Ha, anak baik, lekas datang!" kakek itu berseru girang.
Bayangan yang melawan kakek itu tampak gelisah, lalu menyerang dahsyat lagi. Serangan yang amat aneh, kedua lengan memukul, tubuh menerjang seperti terbang dan kedua kakinya menendang di udara. Kakek itu berteriak keras dan menghadapi terjangan ini dengan keempat kaki tangannya pula.
Akibatnyar kakek ini terguling karena ia terkena sebuah pukulan dan sebuah tendangan, sebaliknya bayangan itu pun terhuyung karena pukulan keras Si Kakek. Namun bayangan itu tidak memberi kesempatan lagi, cepat ia menyambut Hui Cu. pada pinggangnya dan membawa pergi gadis ini seperti burung terbang cepatnya.
Kakek itu yang agaknya maklum pula akan kelihaian lawan yang telah menculik atau merampas seorang tawanannya, tidak mengejar, sebaliknya, ia lalu menangkap Li Eng dan menyeret gadis ini kembali ke dalam kelenteng.
Setelah melempar gadis itu ke atas lantai, ia menyalakan lilin yang tadi padam. Kemudian ia berbalik memandang Li Eng yang sudah bangkit berdiri kembali, sikapnya mengancam dan katanya dengan suara parau,
"Kau anak murid Hoa-san-pai sekarang kau akan merasai penghinaan sebesarnya, setelah itu kau mampus!" Ia melangkah mendekat, Li Eng melejit dan hendak lari namun sekali sambar tangan gadis itu telah dipegangnya, Li Eng mengangkat kaki menendang, namun tidak mengenai sasaran. Gadis ini tak dapat melepaskan diri lagi, menjerit dan meronta.
"Kong-kong (Kakek), apa yang kau lakukan ini?"" tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali dan tahu-tahu seorang pemuda gagah telah berdiri di dalam kamar itu. Kakek itu melepaskan tubuh Li Eng yang menjadi lemas dan terpelanting saking lelah dan ngerinya tadi, kemudian kakek itu tertawa dan berkata,
"Aku pun muak dan sebal karena terpaksa harus melakukan perbuatan ini.
Kalau saja dia bukan anak murid Hoa-san-pai, tentu sekali pukul kubikin remuk kepalanya, habis perkara. Tapi dia anak murid Hoa-san-pai. Ha-ha-ha, Kong Bu, kau tahu apa artinya itu. Anak murid Hoa-san-pai, terutama yang perempuan, semua adalah orang-orang hina. Pembunuh ibumu! Uh-uh, satu persatu harus dibasmi, dihina lebih dulu baru dibelek dadanya dikeluarkan jantungnya."
Pemuda itu melangkah maju, memandang kepada Li Eng lebih tajam penuh perhatian, kemudian ia mendengus penuh kebencian. "Hemm, Kong-kong, seperti dia inikah anak murid Hoa-san-pai pembunuh mendiang ibuku?"
"Ya ya, seperti ini. Cantik menarik, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kong Bu, kau sudah datang, kebetulan sekali.
Kuserahkan dia kepadamu, lakukanlah sesukamu terhadap dia, kau boleh hina dia, permainkan dia, kemudian bunuhlah. Aku akan mengejar yang seorang lagi, yang tadi dirampas orang lain. Nah, aku pergi... heh-heh, kebetulan kau datang, aku... aku muak dan sebal kalau harus menyentuh wanita... aku sudah tua." Sekali berkelebat kakek itu sudah meluncur lewat dan lenyap.
"Kong-kong di mana kita dapat bertemu kembali?"
Dari jauh terdengar jawaban sayup-sayup,"...di Thai-san...."
Siapakah kakek aneh dan sakti ini dan siapa pula pemuda yang menjadi cucunya bernama Kong Bu" Kiranya pembaca yang sudah dapat menduga siapa adanya kakek itu. Dia bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee Lun Si Setan Berkabung, tokoh nomor satu di dunia barat, seorang sakti yang berwatak aneh sekali dan kadang-kadang bisa bersikap kejam melebihi iblis.
Adapun pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi Goat dan Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bayi itu dibawa lari Song-bun-kwi dan dipeliharanya baik-baik, diajar ilmu silat sehingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya.
Tentu saja mudah diketahui sebabnya mengapa Song-bun-kwi bersikap sedemikian kejamnya terhadap Li Eng dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-bun-kwi sedang berada di kota raja dan ia mendengar dari para pengemis bahwa ada dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai diundang oleh Pangeran Mahkota. Di dalam hati Song-bun-kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat terhadap Hoa-san-pai. Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu anak murid Hoa-san-pai"
Oleh karena inilah, begltu mendengar tentang dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai di kota raja, ia menggunakan kesempatan ini untuk menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuh sebagai pembalasan dendamnya terhadap Hoa-san-pai!
Memang jalan pikiran seorang seperti Song-bun-kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas dari iblis sendiri.
bagian 60 Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-bun-kwi, tentu saja ia pun mempunyai watak aneh seperti kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak mempunyai watak kejam seperti Song-bun-kwi, malah agak pendiam seperti ibunya, keras hati pula. Semenjak kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya, diceritakan bahwa ibunya yang tercinta mati karena kekejian anak murid Hoa-san-pai. Diceritai pula bahwa ayahnya bernama Tan Beng San telah meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh siluman cantik murid Hoa-san-pai, sehingga ibunya "makan hati" dan meninggal dunia. Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau tidak mau membenci apa-apa yang "berbau" Hoa-san-pai, malah selalu ditekan oleh kong-kongnya, bahwa kelak ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan jalan membunuh ayahnya yang berdosa terhadap ibunya!
Demikianlah, kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis Hoa-san-pai. Di bawah penerangan api lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit berdiri dan balas memandangnya. Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah hebatnya daya tarik sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi. Kong Bu membuang muka dan merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang punggungnya.
Cantik jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kata-kata kakeknya ini berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong Bu bergidik. Sifat siluman betina, iblis dalam tubuh seorang wanita cantik. Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak kakeknya menyusup ke dalam istana untuk sekedar melihat-lihat atau mencuri makanan. Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama hidupnya ia berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini! Dan kakeknya sudah menahan gadis ini, sekarang memberikan kepada dia. Dia boleh membuat sesuka hatinya terhadap gadis ini dan kemudian membunuhnya. Dia boleh menghinanya, mempermainkannya, hemm, apakah maksud kakeknya"
Sungguhpun pikiran Kong Bu tidak sampat ke situ, namun perasaannya membuat ia dapat menduga, penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju yang koyak-koyak itu, yang memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus, jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang muka dan tidak berani lagi memandang kulit di balik baju koyak itu.
Di lain pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia terlepas dari ancaman yang lebih mengerikan daripada maut dl. tangan kakek gila tadi. Malah ia mendapatkan harapan untuk terlepas pula dari tangan pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini selihai kakek tadi. Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang matanya mengukur-ukur sementara kedua kakinya menegang, siap mengirim tendangan yang mematikan. Tapi bagaimana kalau tendangannya tak berhasil" Li Eng ragu-ragu. Kalau saja kedua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuknya agar suka membuka belenggunya" Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya takkan sukar membunuhnya! Tapi pikiran ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekalipun tak mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang laki-laki! Ia teringat kepada pamannya, Kwa Kun Hong. Biarpun lemah, pamannya itu cerdik. Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan begini" Apakah masih terus hendak mengalah saja"
Ah, bagaimana nasib pamannya" Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh seorang laki-laki yang luar biasa pula" Aku harus bebas dulu, baru dapat menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya.
Tiba-tiba Li Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda yang keras sekali, tapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin, terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh. Akan tetapi seperti karet saja, ia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia tidak apa-apa. Celaka, Li Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek tadi.
Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka sedikit pun tidak, malah kelihatannya tidak merasa sakit. Kini pemuda itu berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya yang tebal itu bergerak-gerak.
"Kenapa kau menendangku" Benar-benar kau berhati curang, kenapa kau menendangku?"
Li Eng tertegun. Biarpun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi, sungguhpun sama pula anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa menjawab" "Hemmm," katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat agar jangan kelihatan rasa takut dan gelisahnya,
"kenapa aku menendangmu" jawab dulu, kenapa kau menawanku?"
Kening pemuda itu makin berkerut "Karena kau anak murid Hoa-san-pai, yang cantik, muda belia, lihai, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-san-pai seperti kau. Maka sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu."
Terbelalak mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya.
Biarpun ia sendiri belum mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, namun seperti juga keadaan pemuda itu sendiri, gadis ini dengan perasaannya dapat menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.
"Kau... kau pengecut besar!" tiba-tlba Li Eng berteriak dalam kengerian dan kebingungannya. Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan pemuda itu. Mendengar makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan dapat menahan dimaki apa saja, akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang lebih rendah dari sifat pengecut!
"Apa kau bilang" Pengecut" Aku...pengecut?" Suaranya gemetar saking marahnya. "Buktikan... setan kau, hayo buktikan kalau aku... pengecut!"
Li Eng yang cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia sengaja menjebirkan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.
"Seorang laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau menghadapi lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh andaikata aku tidak terbelenggu, kiranya kau sudah lari jatuh bangun ketakutan. Apalagi namanya kalau bukan pengecut paling rendah!"
Kong Bu tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang membuat Li Eng kaget dan serem. Tiba-tiba pemuda ini mendekatinya, menggerakkan kedua tangan dan... belenggu yang mengikat Li Eng putus menjadi beberapa potong!
"Nah, putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang"
Setan betina, tarik kembali makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya" Hayo tarik kembali kata-kata pengecut tadi!"
Saking girangnya bebas, Li Eng untuk sejenak tak dapat menjawab, hanya menggosok-gosok pergelangan kedua tangan yang masih kaku-kaku untuk memulihkan jalan darahnya. Matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, timbul kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada diri sendiri.
"Sudah bebas kedua tanganku! Eh, kau belum juga lari jatuh bangun?"
"Tidak sudi! Mengapa harus lari" Aku bukan pengecut! Hayo katakan, aku bukan pengecut!" teriak Kong Bu makin marah.
Li Eng memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.
"Apa" Kau tidak mau lari" Larilah, aku takkan mengejarmu sebagai upahmu sudah membebaskan tanganku dari belenggu."
"Tidak sudi!!" "Ah, kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar nyawamu ke neraka!" Li Eng cepat sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul ke arah pelipis dan lambung.
Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan itu dan balas menyerang dengan sama keras dan dahsyatnya. Tadinya Li Eng memandang rendah dan mengejek sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan merendahkan lawan, lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan besar dan sedikit kekaguman. Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau hanya sedikit selisihnya! Kong Bu sama sekali tak pernah menyangka bahwa gadis ini demikian hebat ilmu silatnya, memiliki gerakan yang cepat bukan makin seperti burung walet saja sehingga kadang-kadang matanya berkunang. Di lain pihak, biarpun maklum bahwa pemuda itu bukan orang lemah, namun sama sekali di luar sangkaan Li Eng bahwa ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoa-san Kun-hoat, malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap kali mereka beradu tangan. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya ia takkan terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal.
Ketika terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya bergerak dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-tui (Tendangan Angin Puyuh), yang merupakan tendangan berantai dengan kedua kaki seperti kitiran angin.
Yang dijadikan sasaran adalah pusar lawan. Menghadapi tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat mundur.
Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat meja dan menendang meja itu terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya padam. Inilah yang dihendaki oleh Li Eng. Ia memiliki pendengaran tajam dan Iwee-kang yang sudah tinggi maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di dalam gelap!
Akan tetapi, sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras, "Kau hendak lari ke mana?" Dan dari angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya seakan-akan memiliki mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk menghadapi serbuan malam gelap ini. Kembali mereka bertempur, kini di dalam gelap dan ternyata malah makin seru dari tadi. Karena keadaan gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan kegesitan gerakan saja. Makin lama makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran bagaimana kakeknya dapat menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apalagi berdua dengan gadis lain yang tidak ia ketahui sampai di mana tinggi kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biarpun kakeknya sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.
Dengan penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia andalkan, yaitu Yang-sin-hoat. Ilmu ini adalah inti ilmu Yang-sin Kiam-sut yang dahulu didapatkan oleh Song-bun-kwi dan telah diturunkan kepada pemuda ini. Yang-sin-hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan Yang-sin-hoat, Li Eng menjadi kewalahan. Sebagai seorang wanita, oleh kedua orang tuanya Li Eng dilatih ilmu-ilmu yang berdasarkan kehalusan, disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita.
Maka ketika tadi lawannya menggunakan Iwee-kang, ia masih dapat melayani dengan baik. Sekarang, begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, di mana pertemuan tenaga, mungkin dapat mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu terdapat lowongan gadis ini melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.
"He, kau hendak lari ke mana?" Kong Bu mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li Eng. Dengan lompatan yang cepat sekali ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari belakang. Segera ia menggunakan kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas tanah. Namun Li Eng kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak berdaya dan Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi.
Kong Bu melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan lelah, juga tubuhnya sakit di sana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia betul-betul berkelahi melawan seorang yang amat tangguh, Sekali lagi ia memandang ke arah di mana Li Eng rebah miring tak bergerak, di bawah sinar bulan seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor harimau betina sedang mendekam"
"Gadis liar!" gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka oleh kuku-kuku tangan Li Eng ketika bergumul tadi. Ia lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, keluar lagi dan setelah menyambung-nyambung tali yang kuat itu, ia membelenggu lagi kedua tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan totokannya dan membentak,
"Hayo bangun berdiri!"
Begitu terbebas dari totokan, dengan marah, meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan langsung kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai!
Kong Bu kaget dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar kaki kiri Li Eng dan sekali dorong tubuh Li Eng roboh lagi.
"Gadis liar!" lagi-lagi ia memaki.
Li Eng sudah meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi digeget, marah memenuhi dadanya.
"Hayo jalan, ikut denganku!" kata Kong Bu lagi.
"Tidak sudi! Mau bunuh boleh bunuh!" balas Li Eng, tak kalah ketus.
"Kepala batu!" Kong Bu memaki lagi dan tiba-tiba sebelum Li Eng sampai menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk ke depan, langsung menangkap kedua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus dipanggul di atas pundaknya. Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya dipeluk keras-keras oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tidak berhasil melepaskan dirinya. Akan tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuhnya bagian atas, mulutnya berhasil mendekati pundak dan dengan gemas ia menggigit pundak pemuda itu.
"Aduh... perempuan liar!" Kong Bu terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini memegangi dan mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya robek tertembus gigi yang kecil-kecil putih akan tetapi kuat bukan main itu. Sakit sekali pundaknya, perih dan panas. Dengan marah ia maju lagi, mengangkat tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng, akan tetapi entah bagaimana, ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan darahnya, lemas dan tak dapat bergerak lagi.
"Hemmm, perempuan liar. Anak murid Hoa-san-pai, cantik jelita, muda belia, lihai tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati. Keparat, rasakan kau nanti!" Ia lalu mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya.
Tiba-tiba ia berseru, "Ihhhh!" dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian kalinya lagi-lagi terbanting di atas tanah. Apa yang membuat pemuda itu berseru kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu" Li Eng sendiri tidak mengerti. Sebetulnya adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang tak tertutup bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan leher Kong Bu, tepat di bagian baju yang robek oleh gigitan Li Eng tadi. Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang membuat Kong Bu kaget dan geli tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia menggigil dan seketika membanting tubuh Li Eng ke atas tanah. Pemuda itu kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan tetapi mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan pada tubuh atas Li Eng. Setelah melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat, barulah ia membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat itu, memasuki hutan.
bagian 61 "Kau boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakall oleh seorang gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-san-pai mana boleh dipercaya" Aku kurang hati-hati. Bunuhlah."
"Enak saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan penghinaan lebih dulu sebelum dibunuh!"
Kong Bu tak dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus meniru kata-katanya, ketika masih menjadi tawanannya.
"Sudahlah, kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila,"
katanya. Li Eng menjebirkan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu.
"Huh, kau mau akali aku, ya" Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?"
"Habis, apa yang hendak kaulakukan dengan diriku?"
Li Eng meloncat bangun. "Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!"
Kini tiba-tiba giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika menawannya. "Aku tidak sudi!" jawabnya dan baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya, senyum mengejek dan menggoda.
Wajah yang tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali bayangan watak keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.
"Kau tidak mau turut perintahku?"
Kong Bu menggeleng kepala. "Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau apa?"
Celaka, pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya bertemu dengan mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak melihat apakah dia juga akan memanggulnya!
"Awas, aku pun bisa menggigit pundakmu!" Kong Bu sengaja mengejek sambil tersenyum. Li Eng makin merah mukanya. Setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa mempermainkannya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, ia pun tiada sudahnya mengejek dan memaki pemuda itu.
"Kau kira aku akan sudi memanggulmu" Cih, tak punya malu!" Li Eng lalu menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu dan... ia menyeret pemuda itu pergi dari situ!
Kong Bu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diseret seperti itu ia enak-enak saja telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.
"Kau akan membawaku ke mana?" beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini karena pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab,
"Aku bukan seorang gila seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi Hoa-san-pai, aku akan membawamu sebagai tawanan ke Hoa-san-pai, biar Supek yang akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke jurang ataukah digantung di pohon pek!"
"Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku," kata Kong Bu yang masih diseret-seret. "Hoa-san-pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil arah yang bertentangan."
"Huh, aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-san lebih dulu, mungkin di Thai-san kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng San."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Ke... ke Thai-san....?"
"Sudahlah, jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku, kalau kakekmu atau teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kau pun takkan kulepaskan. Kalau kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!"
Kali ini Kong Bu benar-benar kelihataan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan siapa pula yang menawannya, menurut kakeknya, seorang gadis lain dirampas orang dan kakeknya sedang mengejar orang itu. Maka ia diam saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan.
Kita tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh dan berhati keras itu bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek, saling menawan dan marilah kita mengikuti kisah Hui Cu yang pada malam hari itu dirampas oleh seorang tak terkenal, sesosok bayangan yang amat lihai sehingga mampu merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-bun-kwi yang sakti.
Bayangan lihai yang sanggup menggempur Song-bun-kwi dan merampas Hui Cu itu ternyata adalah seorang pemuda tampan yang selalu tersenyum-senyum bibirnya, matanya lebar dan tajam pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan kejujuran dan kekerasan hati. Tubuhnya tinggi semampai, gerak-geriknya gagah membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia" Kita sudah mengenalnya. Dia ini bukan lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong!
Seperti kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-liang-san, turun gunung untuk melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh mencari musuh-musuh ibunya, disuruh membunuh mereka itu dan disuruh pula menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-liang-san, ke depan kaki ibunya. Dan di dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia berjanji untuk memenuhi permintaan ibunya dan menyeret Tang Beng San ke Lu-liang-san.
Dalam perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan kota raja selatan yang tersohor indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu, dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari secepat terbang sambil mengempit tubuh dua orang wanita muda. Kakek ini adalah Song-bun-kwi yang berhasil merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang. Diam-diam Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika melihat betapa larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah turun tangan karena selain maklum bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga ia tidak tahu urusan mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar. Oleh karena inilah maka ia terus secara diam-diam mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk ke dalam kelenteng. Ketika ia mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, Sin Lee makin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya, kong-kongnya kakeknya adalah ketua dari Hoa-san-pai! Jadi dua orang gadis ini adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan keberanian dua orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya.
Keheranan Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri keluar kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang hendak membujuk kakek itu agar jangan mengganggu mereka karena mereka adalah keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak pergi ke Thai-san! Mendengar ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis itu karena mereka adalah anak murid Hoa-san-pai, berarti anak murid kakeknya pula, dan selain itu, mereka itu bisa menjadi perantara agar ia dapat naik ke Thai-san tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan menangkapnya! Inikah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia tidak mempunyai maksud menolong dua orang gadis itu, ingin ia menguji kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas. Akan tetapi keinginannya ini buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan tahu bahwa kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu dan dibawa lari dari tempat itu. Daripada tidak menolong sama sekali, lumayan juga dapat menolong seorang di antara kedua murid Hoa-san-pai itu.
Hui Cu mengalami kekagetannya ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh seorang laki-laki yang tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, namun dalam pondongan orang ini ia sama sekali tak dapat bergerak. Sin Lee berlari terus cepat-cepat karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andaikata ia tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut, akan tetapi dengan adanya gadis yang ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan akhirnya gadis ini pun akan tertawan pula.
Sampai malam terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Ketika Hui Cu mendapat kesempatan memandang wajah pemondongnya di antara kesuraman cuaca fajar, gadis ini melihat wajah seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau ia teringat akan nasib Li Eng di tengah kakek yang menyeramkan itu.
"Kau siapakah. Kawan ataukah lawan" Ke mana kau membawaku pergi?"
akhirnya ia tak dapat menguasai hatinya, bertanya.
Sin Lee juga kaget. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia lakukan. Selama hidup baru kali ini ia memondong wanita, jangankan memondong, biasanya bercakap-cakap atau berdekatan pun belum pernah!
Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan jantungnya. Ia sampai kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali kepada kesadarannya. Segera ia, berhenti berlari dan menurunkan gadis itu dari pondongannya, lalu memandang dengan muka merah. Dadanya makin berdebar tidak karuan ketika ia menatap wajah yang cantik manis, penuh ketenangan dan keberanian, apalagi ketika ia bertemu pandang dengan sepasang mata bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu mampu menembus dada menjenguk isi hati.
"Eh... maaf... aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi... aku harus menyelamatkan Nona dari tangan kakek iblis itu," katanya agak gugup.
Hui Cu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Banyak terima kasih atas pertolongan Saudara, akan tetapi... ah, mengapa Saudara kepalang-tanggung menolong kami" Apa artinya aku dapat bebas kalau adikku masih di sana" Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal." Hui Cu lalu membalikkan tubuhnya dan lari kembali ke arah hutan.
"Eh, Nona... mau ke manakah kau?"
"Ke mana lagi kalau tidak kembali ke sana" Aku harus menolong adikku!"
jawab Hui Cu tanpa mengurangi kecepatannya berlari. Pemuda itu melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.
"Apa kau gila" Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali."
"Jangankan ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami berdua berangkat bersama, harus pulang bersama atau mati bersama."
Sinar mata pemuda itu membayangkan kekaguman besar. "Kau hebat, Nona.
Inilah namanya setia kawan. Dan ilmu lari cepatmu pun boleh juga."
Senang hati Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu amat tinggi kepandaiannya itu. "Ah, mana bisa dibandingkan dengan kau?" Ia melirik, justeru Sin Lee pun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua buah mulut tersenyum dan sekaligus dua buah muka para remaja itu menjadi merah, jantung mereka berdetak liar. Mereka berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.
"Eh, kemana jalannya" Aku bingung, tidak ingat lagi...." kata Hui Cu. Malam tadi ia dipondong, tentu saja tidak tahu jalan. Pemuda itu tersenyum lalu berkata singkat,
"Kau ikutilah aku!" lalu ia membelok dan memasuki hutan. Sin Lee sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau bertemu dengan para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa ini akan tertawan pula oleh lawan-lawan yang amat sakti itu. Namun ia mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan di mana terdapat kelenteng tua itu,
Ketika kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu. "Nona, kau bersembunyilah di sini. Biar aku pergi menyelidiki ke sana dan kalau ada kesempatan, akan kucoba rampas adikmu itu."
Hui Cu maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini melawan kakek yang sakti itu, maka ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee dengan mesra, penuh pernyataan syukur dan terima kasih. Jantung pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu, dan dengan hati senang sekali mulailah ia menyelinap dan menyusup ke dalam semak-semak, berloncatan di antara pohon-pohon mendekati kelenteng. Dari jauh Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali gesitnya, kadang-kadang pemuda itu melayang ke atas pohon seperti seekor burung garuda saja sikapnya.
Tak lama kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan kecewa dan suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata,
"Nona, aku tidak melihat seorang pun di antara mereka di sana. Kelenteng itu kosong sama sekali."
Wajah Hui Cu seketika menjadi pucat dan dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju kelenteng itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu menyerbu ke dalam kelenteng, mencari ke depan, ke belakang sambil memanggil-manggil nama Li Eng, namun sia-sia belaka, di situ sunyi tidak terdapat orang yang dicarinya, bahkan bekasnya pun tidak nampak.
"Eng-moi... aduh Eng-moi.... bagaimana nasibmu....?" Hui Cu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, namun dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang membasah tahulah Sin Lee bahwa gadis ini menangis sedih sekali. Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia bangun berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, memandang kepada Sin Lee dengan sedih lalu berkata sambil membanting kaki,
"Celaka sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi" Ah, kalau dia sampai kena celaka, bagaimana aku harus bicara dengan Paman dan Bibi?"
Sin Lee mengerutkan keningnya tanda bahwa ia ikut berpikir keras. Ia mengandung maksud hati hendak mempergunakan anak murid Hoa-san-pai yang mengaku sebagai keponakan Tan Beng San ini untuk memaksa musuh besar ibunya itu memenuhi permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya di Lu-liang-san. Diam-diam ia tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng San. Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini, entah bagaimana timbul perasaan kasihan dalam hatinya.
"Nona, menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak pamanmu" Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek siluman itu. Kalau kau bisa beritahukan kepadaku siapa adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik misanmu. Siapakah kakek itu?"
"Aku sendiri tidak tahu." Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya. "Ah... benar-benar nasib kami buruk Paman Hong masih belum kuketahui bagaimana nasibnya di tangan Pangeran jahat itu, sekarang Adik Eng terculik oleh kakek iblis pula...."
"Paman Hong siapakah?"
Karena Sin Lee, dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara, dengan singkat Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li Eng turun dari Hoa-san dengan tujuan pergi ke Thai-san menghadiri pesta upacara pendirian partai Thai-san-pai, mewakili Hoa-san-pai.
Kemudian di tengah jalan bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan melanjutkan perjalanan dengan singgah ke kota raja.
Diceritakannya pula undangan Pangeran Kian Bun Ti yang mengakibatkan mereka ditahan karena menolak pemberian anugerah.
"Aku dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong, kemudian pada malam hari itu kakek iblis merampas kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu membawa kami ke kelenteng ini. kemudian kau datang menolongku."
Sin Lee tertarik sekali, terutama mendengar tentang maksud gadis ini pergi ke Thai-san untuk memberi selamat kepada Tan Beng San. Ingin ia bertanya lebih jelas tentang ini, akan tetapi Sin Lee adalah seorang yang cerdik. Ia tidak mau mengutarakan rahasia hatinya dan ia berkata heran,
"Aneh sekali kakek iblis itu. Mengapa dia begitu benci kepada kau dan adik misanmu, Nona" Apakah di antara dia dan kalian ada permusuhan?"
Hui Cu menggeleng kepalanya, akan tetapi entah bagaimana, ia menaruh kepercayaan besar kepada pemuda yang telah menolongnya ini, maka ia berkata secara terus terang, "Melihat sikap dan mendengar bicaranya, dia amat membenci Hoa-san-pai, apalagi anak murid Hoa-san-pai yang wanita.
Agaknya kakek itu mengandung sakit hati yang hebat sekali terhadap seorang wanita anak murid Hoa-san-pai." Ia mengangguk-angguk untuk meyakinkan dugaannya.
Jantung Sin Lee berdebar. "Siapakah dia anak murid wanita Hoa-san-pai yang dapat membuat sakit hati seorang kakek begitu lihai?"
"Aku sendiri pun tidak tahu, akan tetapi aku dapat menduga... hemmm, tidak bisa lain, kalau ada tokoh kang-ouw seperti kakek itu bisa sakit hati terhadap murid wanita Hoa-san-pai, tentulah... dia siapa lagi?"
"Dia... siapakah, Nona" Atau... barangkali sebagai orang luar aku tidak berhak mengetahui?"
Mendengar suara pemuda itu mengandung kekecewaan, hati Hui Cu menjadi tak enak. Tidak apa diberi tahu, pikirnya. "Menurut dugaanku, murid wanita yang banyak musuhnya dari Hoa-san-pai adalah bibi guruku sendiri, namanya Hong, she Kwa, entah di mana sekarang...."
Sin Lee menjadi pucat sekali mukanya, cepat-cepat ia membungkuk dan pura-pura membersihkan sepatunya yang penuh lumpur. Ketika ia mengangkat lagi tubuhnya, mukanya menjadi merah sekali.
"Apakah... apakah bibi gurumu itu... dahulunya amat jahat maka banyak musuhnya?" ia bertanya, suaranya biasa akan tetapi perlahan sekali.
"Banyak orang bilang, begitu, tapi ibuku tidak! Kata Ibu, Bibi Kwa Hong itulah yang telah menyelamatkan nyawa Ibu dan aku ketika dalam kandungannya, dan kata Ibu, Bibi Kwa Hong jadi berubah perangainya karena patah hati, entah apa maksudnya Ibu tidak mau menceritakan kepadaku."
Sunyi sesaat, dan suara Sin Lee makin perlahan ketika ia bertanya, sambil lalu saja, "Jadi kau tidak membencinya?"
"Ah, tidak....! Malah aku kasihan kepada Bibi Kwa Hong dan ingin sekali aku bertemu dengannya. Kata Ibu, Bibi Kwa Hong orangnya lincah gembira seperti Adik Eng dan cantik sekali."
Gadis itu tidak tahu bahwa ucapannya ini membuat hati Sin Lee girang bukan main! Mana dia tahu bahwa orang yang dibicarakan itu, Kwa Hong, adalah ibu dari pemuda yang sekarang berada di depannya.
"Nona, percayalah, aku Sin Lee akan berusaha menemukan kembali adik misanmu Nona Li Eng itu dan aku... aku sekarang dapat menduga siapa adanya kakek iblis itu. Hemmm, kalau saja aku tahu sebelumnya bahwa dia adalah iblis itu, takkan kutinggalkan dia sebelum berhasil membunuhnya.
Kiranya ia benar-benar jahat sekali."
"Kau... kau tahu siapa kakek itu?"
"Aku dapat menduga, kalau tidak salah dialah yang berjuluk Song-bun-kwi."
"Ah, dia....?" Wajah Hui Cu menjadi pucat. "Pernah Ibu bercerita kepadaku tentang dia... dia tokoh besar puluhan tahun yang lalu. Benarkah dia itu Song-bun-kwi?"
"Kiraku tidak keliru dugaanku. Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"
Pandang mata Hui Cu menunduk. Pemuda ini benar-benar amat baik, sopan dan ramah, tapi juga agak aneh sikapnya. "Aku Hui Cu, she Thio. Kau sendiri she apakah?"
"Aku she Tiauw, Tiauw Sin Lee." Ia sengaja menggunakan she (nama keturunan) Tiauw yang berarti rajawali karena setelah gadis ini tahu soal ibunya, ia tidak berani memakai she Kwa atau she Tan agar gadis ini tidak mencurigainya.
"Sekarang apa yang hendak kaulakukan, Nona" Apakah kau hendak melanjutkan perjalananmu ke Thai-san?"
Hui Cu menggeleng kepala. "Mana bisa aku pergi ke sana kalau Paman Hong masih ditahan di kota raja" Aku harus berusaha membebaskan Paman Hong dari tahanan."
"Dalam ceritamu tadi kau bilang bahwa pamanmu Kwa Kun Hong itu adalah putera tunggal Ketua Hoa-san-pai, Kakek gurumu. Tentu ia lihai sekali, bagaimana ia bisa tertawan?"
Hui Cu menarik napas panjang. "Kau tidak tahu tentang Paman Hong. Dia itu orang aneh sekali, biarpun dia itu putera Ketua Hoa-san-pai, namun sedikit pun ia tidak pandai ilmu silat, malah tidak pernah belajar ilmu silat. Ia adalah ahli dalam ilmu kesusastraan, akan tetapi keberaniannya luar biasa melebihi jago silat yang manapun juga." Lalu ia menceritakan betapa Kun Hong berani menolak anugerah Pangeran, malah menceritakan betapa pemuda yang tidak pandai ilmu silat itu menggegerkan pemilihan ketua Hwa-i Kai-pang dan malah diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis yang berpengaruh itu!
Sin Lee mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman. "Hebat pamanmu itu, ingin sekali aku bertemu dan bercakap-cakap dengan dia.
Marilah kita tolong dia keluar dari tahanan, Nona. Akan tetapi karena kau sudah banyak dikenal, tentu munculmu di kota raja akan mendatangkan keributan dan kesukaran, maka kurasa lebih baik kau bersembunyi di luar tembok kota dan biarlah aku seorang diri pergi menyelidiki keadaan pamanmu itu. Kalau mungkin aku akan turun tangan, kalau sekiranya sukar, kita berdua bisa bergerak malam nanti.
bagian 62 Hui Cu girang sekali. "Saudara Tiauw, kau benar-benar telah melepas budi banyak kepadaku. Kau baik hati sekali dan ilmu silatmu amat lihai. Tidak tahu kau ini murid siapa dan dari golongan manakah?"
Sin Lee tersenyum. "Tak usah sungkan, Nona. Sudah semestisnya manusia saling menolong dalam kesukaran dan sudah menjadi kewajibanku untuk menentang yang jahat membela yang tertindas. Adapun ilmu silatku yang masih dangkal ini kupelajari dari ibuku sendiri, bukan dari golongan manapun juga. Harap kau jangan memuji terlalu tinggi."
Demikianlah keduanya lalu meninggalkan kelenteng rtu menuju ke kota raja.
Inilah sebabnya Song-bun-kwi tidak dapat mengejar mereka karena kakek itu tentu saja sama sekali tak pernah mengira bahwa dua orang itu malah kembali ke kelenteng mengambil jalan lain kemudian malah pergi kota raja!
Ditemani Sin Lee yang gagah perkasa sopan terhadap dirinya. Hui Cu menjadi besar hati dan ia hampir merasa yakin bahwa kalau pemuda ini mau membantunya, pasti pamannya akan dapat dibebaskannya dan agaknya soal Li Eng juga akan dapat dibereskan. Pada saat itu Hui Cu sedang diliputi kekuatiran hebat, kuatir memikirkan nasib Kun Hong. Oleh karena inilah maka ia tidak dapat merasa terlalu sungkan berduaan dengan Sin Lee pemuda kenalan baru itu. Andaikata ia tidak sedang menghadapi dua perkara yang menggerogoti hatinya ini, kiranya ia akan merasa sungkan dan malu mengadakan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda asing.
Setibanya di luar tembok kota raja, Hui Cu lalu bersembunyi di suatu tempat dan Sin Lee meninggalkannya, masuk seorang diri ke kota raja. Segera ia mencari keterangan dan kabar untuk mengetahui di mana ditahannya pemuda Hoa-san-pai bernama Kwa Kun Hong itu. Akan tetapi keterangan yang ia dapatkan membuat ia terkejut dan juga bingung.
Keterangan apakah yang ia dapat" Tidak hanya dari satu dua orang. Malah ia sengaja menangkap seorang pengawal istana dan dl tempat tersembunyi ia mengancam pengawal itu untuk mengaku dan memberi keterangan tentang Kwa Kun Hong. Dan keterangan pengawal ini sama dengan keterangan yang ia dapat di luaran, yaitu bahwa pemuda Hoa-san-pai yang ditahan karena berani membangkang terhadap perintah Pangeran Mahkota itu telah ditolong oleh...
setan dan lenyap tak berbekas!
"Hanya setan yang dapat menolong dia secara itu," demikian keterangan yang ia dapat. "Pemuda itu tahu-tahu lenyap dari dalam kamar tahananan dan sebagai gantinya Pangeran Mahkota sendiri yang berada di situ, yang marah-marah kepada penjaga minta dibebaskan. Setelah para penjaga membuka pintu, Pangeran Mahkota keluar dan memerintahkan semua penjaga masuk dalam kamar tahanan lalu dikunci dari luar. Nah, bukankah itu aneh" Padahal Pangeran Mahkota berada di dalam istananya, tak pernah keluar, apalagi ke kamar tahanan. Masa pemuda itu bisa berubah menjadi Pangeran" Hanya setan yang dapat menolongnya seperti itu."
Hui Cu juga bengong terlongong mendengar cerita Sin Lee atas hasil penyelidikahnya ini. "Heran sekali, mana bisa terjadi begitu" Paman Hong memang aneh dan berani, akan tetapi ia sama sekali tidak mempunyai kepandaian silat. Siapa gerangan yang telah menolongnya" Kalau memang ada seorang sakti menolongnya, mengapa caranya seaneh itu?"
Sin Lee tersenyum. "Berita ini tidak bohong, aku malah mendapatkan keterangan dari seorang pengawal istana yang kutangkap. Setan atau bukan, sudah terang pamanmu ditolong dan sudah tidak ditahan lagi. Sekarang, apa kehendakmu, Nona?"
"Semua ini aneh sekali. Adik Eng berada di tangan seorang sakti, juga Paman Hong kalau dibawa oleh penolongnya, berarti dia berada di tangan orang yang sakti dan aneh. Kupikir lebih baik aku ke Thai-san menjumpai Paman Tan Beng San yang oleh ayah ibuku dianggap orang terpandai di dunia ini. Kalau tidak Paman Tan Beng San yang menolong, siapa lagi?"
Ucapan gadis ini menimbulkan perasaan campur aduk di hati Sin Lee. Ia girang karena memang itulah kehendaknya, dapat pergi ke Thai-san bersama gadis ini yang hendak ia pergunakan sebagai alat untuk memaksa agar Tan Beng San mau menghadap ibunya. Akan tetapi ia juga tak senang mendengar betapa gadis ini memuji Tan Beng San musuh besar ibunya itu sebagai "orang terpandai di dunia". Huh, ingin ia membuktikan sendiri sampai di mana kelihaian Tan Beng San itu.
"Baiklah kalau begitu, Nona Thio. Mari kuantar kau ke Thai-san."
Merah wajah Hui Cu. Kalau begini sudah keterlaluan, pikirnya. "Ah, Saudara Tiauw, mana aku berani membikin kau repot" Budimu sudah terlalu besar bagiku, tak usah kau tambah lagi dengan mengantar aku ke Thai-san. Kau membikin aku menjadi malu saja."
Sin Lee tersenyum, diam-diam ia makin kagum akan sikap gadis ini.
Sederhana, tenang, tabah, dan bicaranya sungguh-sungguh tanpa dibuat-buat serta memiliki pandangan jauh.
"Nona, sama sekali bukan begitu. Mana kau merepotkan aku kalau aku sendiri pun hendak pergi ke sana" Aku memang hendak mengunjungi Thai-san, hendak melihat upacara dan hendak bertemu dengan Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San yang namanya malah lebih tinggi daripada puncak Gunung Thai-san itu." Dalam kata-kata terakhir ini terkandung ejekan.
"Betulkah begitu?" Hui Cu berkata girang, "Kalau memang begitu, tentu saja aku... senang sekali dapat melakukan perjalanan bersama denganmu, Saudar Tiauw."
Sin Lee menjura dan tersenyum "Syukur sekali kau sudi, Nona. inilah jawaban yang amat kuharapkan."
Demikianlah, dua orang muda itu melakukan perjalanan bersama menuju ke Thai-san. Mula-mula Hui Cu memang merasa agak tidak enak dan likat harus melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang bukan kerabatnya, akan tetapi berkat sikap Sin Lee yang sopan dan memang pemuda ini wataknya riang gembira, akhirnya lenyap ketidak enakan hati gadis itu dan mereka bergaul seperti sahabat-sahabat lama. Sekarang kita perlu menyelidiki tentang keadaan Kun Hong. Betulkah pemuda ini telah ditolong setan atau ditolong seorang sakti" Seperti telah kita ketahui, Kun Hong diperiksa oleh Tan-taijin yang dahulu adalah sahabat baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan karenanya merasa suka dan simpati kepada putera Ketua Hoa-san-pai ini. Karena Tan-taijin ingin sekali menolong, dua orang gadis murid Hoa-san-pai itu dari cengkeraman Pangeran Mahkota, maka ia menyuruh para pengawal menahan kembali Kun Hong dalam penjara dengan pesan agar Kun Hong diperlakukan sebagai tamu.
Betapapun juga, para pengawal yang tidak mau mengambil resiko terlalu besar tentu saja tidak membiarkan Kun Hong bebas. Pemuda ini tidak dibelenggu, akan tetapi dimasukkan kamar tahanan yang terkunci dari luar dan pemuda ini kelihatan dari luar melalui sebuah jendela yang dipalangi ruji-ruji besi.
Setelah dimasukkan lagi ke dalam kamar tahanan. Kun Hong merenung.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Celaka, pikirnya, sama sekali ia tidak sangka akan begini berlarut-larut urusan itu. Ia memikirkan nasib dua orang keponakannya. Bagaimana kalau pangeran mata keranjang itu mempergunakan kekuasaannya dan melakukan paksaan"
Ah, dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dua orang keponakannya. Bukankah mereka itu hanya dua orang gadis muda dan bukankah dia menjadi pamannya" Celaka, semua adalah salahku. Seandainya mereka tidak bertemu dengan aku, kiranya mereka takkan mengalami nasib seperti sekarang ini. Ah, bagaimanapun juga aku harus menolong mereka, menolong mereka bebas dari cengkeraman Pangeran Mahkota. Harus! Aku harus menolong mereka. Tapi, bagaimana caranya"
Ketika seorang pengawal membuka pintu kamarnya membawa satu baki penuh dengan hidangan yang lezat, teringatlah Kun Hong peristiwa dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang dahulu menyihirnya sehingga roti kering berubah menjadi roti lunak dan air tawar berubah menjadi arak! Mengapa tidak ia coba kepandaian ini" Sudah lama ia mempelajari ilmu menguasai semangat yang kitabnya ia terima dari kakek sakti itu. Belum pernah ia mencobanya, akan tetapi sekarang menghadapi malapetaka yang mengancam kedua orang keponakannya, terpaksa harus ia coba dalam usahanya menolong mereka.
"Orang muda, silakan makan. Masih baik nasibmu bahwa Tan-taijin memerintahkan supaya kau diperlakukan dengan baik, kalau tidak, hemm...
jangan harap bisa mendapat hidangan seperti ini," kata pengawal itu yang merasa mendongkol juga, karena biasanya kalau ada seorang tahanan, ia dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk memeras tahanan itu sehingga keluarga si tahanan mengeluarkan "uang arak" agar si tahanan diperlakukan baik-baik. Terhadap Kun Hong mereka tidak bisa memeras, karena takut kepada Tan-taijin.
Kun Hong tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya dan membentak sambil memandang tajam, "He, pengawal terhadap aku, Pangeran Mahkota, kau berani bersikap kurang ajar" Apa kau minta dihukum mati?"
Pengawal itu kaget, memandang dan... matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Yang berdiri di depannya bukanlah pemuda itu tadi, melainkan Pangeran Mahkota yang memandang marah. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut. "Ini... ah, bagaimana... hamba mohon beribu ampun...." katanya gagap dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan.
Girang sekali hati Kun Hong ketika melihat percobaan ilmunya itu berhasil. Ia telah berhasil menguasai semangat dan pikiran pengawal ini dengan pengaruh ilmunya. "Lekas panggil semua pengawal ke sini. Cepat!" bentaknya. Pengawal itu mengangguk-angguk lalu merangkak mundur, keluar dari kamar itu dan berlari-lari memanggil teman-temannya. Sementara itu Kun Hong mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk menguasai belasan orang pengawal yang memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di dalam kamar itu, seperti pengawal tadi mereka mohon ampun!
"Karena orang muda itu tidak bersalah, aku telah membebaskannya. Kalian ceroboh benar, sampai masukku dan keluarnya orang muda itu tidak melihat.
Hemm! kalian harus dihukum," bentaknya.
Belasan orang itu mengangguk-angguk minta ampun. Takut bukan main hati mereka karena Pangeran Mahkota terkenal bengis terhadap para pengawal.
"Sementara kalian tinggal di kamar ini, jangan keluar. Berikan kuncinya!"
Pengawal yang mengantar makanan tadi cepat merangkak maju dan menyerahkan kunci kamar itu. Kun Hong menyambarnya, terus berjalan keluar dengan tenangnya dan mengunci pintu kamar tahanan itu dari luar. Kemudian, seperti orang berjalan keluar dari rumahnya sendiri, dia keluar dari rumah tahanan itu tanpa ada yang merintanginya karena semua pengawal sudah ia keram dalam kamar tahanan. Ia berjalan terus di jalan besar, bercampur dengan orang banyak dan pergi menuju ke Istana Kembang. Akan tetapi alangkah susah hatinya ketika ia mendengar peristiwa hebat yang menjadi buah bibir penduduk kota raja, yaitu tentang seorang kakek yang menyerbu Istana Kembang, membunuhi para pengawal dan seisi istana, dan menculik pergi dua orang keponakannya. Ia bingung dan tidak tahu siapakah kakek itu, penolongkah atau penjahatkah" Kalau dilihat bahwa dua orang keponakannya dibebaskan dari istana, berarti menolong, akan tetapi kalau diingat bahwa kakek itu amat kejam, membunuhi semua pengawal dan pelayan, benar-benar mengerikan sekali, seperti bukan perbuatan manusia.
Ke mana aku harus mencari mereka" Ke mana gerangan kakek iblis itu membawa pergi Li Eng dan Hui Cu" Benar-benar gelisah hati Kun Hong memikirkan nasib dua orang keponakannya itu dan menyesallah ia mengapa ia mengajak mereka menerima undangan Pangeran Mahkota. Alangkah gembira tadinya mereka bertiga melakukan perjalanan, dan sekarang, gara-gara pangeran mata keranjang, mereka berpisah dan ia tidak tahu harus menyusul ke mana.
Ke mana lagi kalau tidak ke Thai-san, pikirnya, Li Eng dan Hui Cu bermaksud hendak pergi ke Thai-san. Bukan tidak mungkin setelah ditolong oleh kakek itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Thai-san. Hanya satu hal yang membuat ia ragu-ragu, kalau dua orang gadis itu selamat, mengapa mereka itu tidak berusaha menolongnya" Ia merasa yakin bahwa dua orang keponakannya itu pasti tidak akan meninggalkannya begitu saja. Tidak ada lain jalan lagi bagiku, pikirnya, selain melanjutkan perjalanan ke Thai-san.
Syukur kalau di sana aku dapat berjumpa dengan mereka, kalau tidak, aku akan minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menggunakan kekuatannya sebagai tokoh besar dunia persilatan, untuk mencari dan menolong Li Eng dan Li Cu.
Setelah mendapat keterangan tentang jurusan jalan menuju ke Thai-san, Kun Hong tidak mau membuang waktu lagi, langsung ia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Thai-san. Sekarang ia melakukan perjalanan seorang diri, maka ia melakukan perjalanan cepat. Keindahan pemandangan di tengah jalan tidak terasa indah lagi karena hatinya terganggu oleh persoalan hilangnya Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ia ketahui nasibnya. Tanpa ia sadari, Kun Hong sekarang telah memiliki tubuh yang amat kuat dan dapat melakukan perjalanan dengan cepat. Hatinya risau kalau ia teringat akan pengalaman-pengalamannya di kota raja. Menguatirkan keadaan Li Eng dan Hui Cu, juga kecewa dan mendongkol sekali kalau ia teringat akan pedang Ang-hong-kiam yang dirampas oleh pemuda pesolek yang kurang ajar di rumah Tan-taijin itu. Kalau saja ia tidak ingin cepat-cepat ke Thai-san untuk mencari kalau-kalau dua orang keponakannya selamat berada di sana, tentu ia akan mencari pemuda tampan yang menampar pipinya itu di rumah Tan-taijin untuk ia minta kembali pedangnya. Biarlah, sepulangnya dari Thai-san, kalau semua urusan ini sudah beres, dia pasti akan mencari pemuda itu di rumah Tan-taijin dan dengan baik ia akan minta kembali pedangnya, kalau tidak diberikan, terpaksa ia akan menggunakan kekerasan. Pedang itu adalah pemberian dari gurunya Bu Beng Cu, dan biarpun ia tidak suka membawa-bawa apalagi menggunakan pedang, ia tahu bahwa pedang itu benda pusaka dan akan ia berikan kepada ayahnya.
Ketika ia mulai memasuki sebuah hutan yang besar dan penuh ditumbuhi pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dari jauh ia melihat tiga bayangan orang berlari cepat sekali. Semenjak mengalami hal-hal yang pahit di kota raja, Kun Hong menjadi hati-hati. Cepat ia menyelinap ke belakang sebatang pohon besar dan mengintai. Tiga orang itu makin dekat dan berdebarlah hati Kun Hong ketika mengenal mereka sebagai tiga orang di antara tujuh jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota! Ia mengingat-ingat tujuh orang jagoan yang pernah diperkenalkan kepadanya dan tahu bahwa yang sekarang berlari cepat memasuki hutan itu adalah Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam bersama sepasang saudara kembar Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Ho-pak. Setelah mereka lewat, Kun Hong diam-diam mengikuti mereka dari belakang, menyelinap di antara pepohonan.
Mereka itu adalah kaki tangan Pangeran Mahkota, sangat boleh jadi kedatangannya ini ada hubungannya dengan dua orang keponakannya.
Heran hati Kun Hong ketika ia mengikuti tiga orang itu sampai di tengah hutan ia melihat sebuah sungai besar dan di pinggir sungai itu di antara pohon-pohon tampak bangunan tembok. Kiranya di tempat terpencil ini terdapat bangunan yang amat berbeda dengan dusun-dusun biasa, pikirnya. Ia mengikuti terus, ketika tiga orang itu berhenti di depan sebuah jembatan, ia pun berhenti, bersembunyi dan mengintai.
Ternyata bahwa bangunan-bangunan yang besar-besar berjumlah lima terkurung pagar tembok yang tlnggi dan di sekeliling pagar tembok itu terdapat anak sungai yang agaknya menjadi cabang sungai besar yang mengalir di sebelah utara dusun ini. Jalan dari darat menuju ke dalam dusun hanya dihubungkan oleh jembatan kecil itu, jembatan yang bentuknya seperti bunga teratai, terbuat dari kayu berukir indah dan di atas jembatan ini terdapat belasan orang penjaga yang berpakaian seperti pendeta Agama To.
Kun Hong memperhatikan dan menduga-duga. Apakah dusun itu merupakan sekumpulan kuil besar dari para tosu. Akan tetapi, biasanya tosu-tosu kuil pegangannya hanya kitab-kitab, tasbeh dan paling-paling kipas atau kebutan, kenapa belasan orang tosu yang menjaga di jembatan itu tubuhnya tegap-tegap dan semua membawa senjata pedang atau golok"
Tiga orang pengawal Pangeran itu berdiri di mulut jembatan dan agaknya mereka tidak diperkenarikan masuk. Kun Hong mendengar suara Tiat-jiu Souw Ki yang parau dan keras,
"He, para tosu Ngo-lian-kauw! Kalian menganggap kami orang apakah"
Bukalah mata dan telingamu baik-baik, aku adalah Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temanku lni adalah Ho-pak Siang-sai! Kami mana bisa bicarakan urusan dengan kalian" Hayo lekas kalian beritahukan kepada Ngo-lian-kauwcu (Ketua Perkumpulan Agama Lima Teratai), bahwa kami, bertiga adalah utusan-utusan Pangeran Mahkota, perlu ketemu dan bicara dengan Toat-beng Yok-mo!"
Jelas sekali kelihatan para tosu itu kaget dan gentar, juga Kun Hong ketika mendengar disebutnya nama Yok-mo, menjadi kaget dan heran. Apakah kakek itu berdua di tempat ini"
"Ah, kiranya para busu istana utusan Pangeran Mahkota yang datang. Harap Sam-wi (Tuan Bertiga) sudi menanti sebentar, kami hendak melaporkan kepada Kauwcu (Ketua Agama) tentang maksud kedatangan Sam-wi, kata para tosu itu dengan sikap berubah hormat sekali.
Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temannya kelihatan tidak puas dan uring-uringan, akan tetapi karena mengindahkan nama besar dari Ngo-lian-kauw, mereka menanti di ujung jembatan dengan tidak sabar. Tak lama kemudian terdengar bunyi seruling ditiup orang, banyak sekali sehingga suaranya amat nyaring dan meriah. Dari pintu di ujung jembatan sebelah dalam itu muncullah pasukan terdiri dari dua puluh orang wanita yang berpakaian lima warna dan di kepala masing-masing anggauta pasukan terhias bunga-bunga teratai. Rata-rata para wanita ini cantik dan usianya takkan lebih dari tiga puluh tahun.
Setiap anggauta pasukan memegang pedang telanjang yang melintang di depan dada, nampak gagah dan berpengaruh sekali. Di tengah pasukan ini berjalan seorang wanita tua. Umurnya takkan kurang dari lima puluh tahun, namun mukanya yang memang cantik itu masih dibedaki dan diberi merah-merah, pakaiannya mewah sekali, di punggungnya tergantung pedang dan pinggangnya diikat sehelai sabuk merah. Inilah Ketua Ngo-lian-kauw, Ngolian-kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala Emas) yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Di sebelahnya berjalan seorang kakek bongkok, umurnya sudah tua sekali, mulutnya yang selalu melongo itu sudah ompong semua.sedangkan matanya besar sebelah. Kakek ini memegang sebatang tongkat hitam yang bengkak-bengkok. Inilah dia Toat-beng Yok-mo yang beberapa tahun terakhir ini mempunyai hubungan erat dengan Ketua Ngo-lian-kauw.
bagian 63 "Sungguh merupakan penghormatan besar sekali tempat kami yang buruk ini mendapat kuhjungan Sam-wi Busu dari istana. Entah ada urusan apakah sampai Pangeran Mahkota mengutus Sam-wi datang ke sini?" terdengar Kim-thouw Thian-U bertanya, suaranya jelas menyatakan kebanggaan hatinya, Tiga orang jagoan Istana itu cukup mengenal siapa wanita di depan mereka itu. Bukan tergolong tokoh baik, malah dahulu terkenal pembela Kaisar Mongol dan dalam pemberontakan para pembesar belasan tahun yang lalu wanita ini pun ikut campur. Pendeknya dalam perkara yang buruk-buruk sudah terlalu sering wanita ini mengotorkan tangannya. Oleh karena itu dengan suara keras dan angkuh Souw Ki berkata,
"Kami bertiga memang utusan Pangeran Mahkota, akan tetapi Pangeran Mahkota sama sekali tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Ngo-lian-kauw dan tidak mengutus pi pergi ke sini, melainkan mengutus kami menyelidiki seorang kakek yang telah mengacau di Istana Kembang."
Kim-thouw Thian-li merasa juga akan keangkuhan pengawal istana itu yang tidak memandang mata kepada Ngo-lian-kauw, maka mukanya menjadi merah dan ia bertanya dengan nada mengejek, "Kalau memang tidak ada urusan dengan Ngo-lian-kauw, mengapa Sam-wi Busu mencapaikan diri datang ke sini" Urusan di istana sudah tentu saja kami tidak bisa membantumu."
Tiat-jiauw Souw Ki adalah seorang bekas bajak, wataknya keras dan kasar, tidak takut kepada siapapun juga karena ia mengandalkan kedudukan dan mengandalkan teman-temannya. "Kami pun tidak membutuhkan bantuan Ngolian-kauw. Akan tetapi kakek yang berani mengacau Istana Kembang, yang kami ketahui hanya seorang saja yang tinggal di Ngo-lian-kauw. Eh Toat-beng Yok-mo, mengaku sajalah, bukankah kau yang main-main di Istana Kembang"
Kalau betul, kau menyerahlah kami tangkap, dan kembalikan dua orang gadis yang kau culik."
Mata Yok-mo yang besar sebelah itu menjadi makin besar sebelah, yang besar jadi melotot" dan yang kecil sampai meram, mulutnya mengeluarkan bunyi,
"heh-heh-heh" tiada hentinya.
Bu Sek, yang pertama dari Ho-pak Sian-sai, tak sabar berkata, "Seorang laki-laki harus, berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Sudah berani mengacau Istana Kembang masa takut mengakui?"
Tiba-tiba Yok-mo tertawa bergelak, "He-he-he, lucunya! Di sini pun tidak kekurangan gadis-gadis yang cantik manis, kenapa harus menculik ke istana"
Harap kalian jangan main-main dengan seorang tua seperti aku!"
Souw Ki saling pandang dengan sepasang saudara kembar itu, lalu Si Tangan Besi berkata, "Bagaimana kami dapat meyakininya bahwa kau tidak melakukan perbuatan itu, Toat-beng Yok-mo?"
"Heh-heh-heh, urusan menculik tentu ada buktinya. Kalian bertiga boleh mencari, apakah benar dua orang gadis itu berada di sini, heh-heh-heh!"
Sebetulnya Yok-mo sudah marah sekali dan kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ia turun tangan memberi hajaran kepada tiga orang ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah utusan Pangeran Mahkota, tentu saja ia tidak berani bertindak sembrono, maklum akan hebatnya pengaruh pangeran itu yang tentu akan membuat hidupnya tidak aman lagi kalau ia sampai mengadakan permusuhan.
"Baiklah, kami akan melakukan penggeledahan di Ngo-lian-kauw. Kalau betul-betul tidak terdapat dua orang gadis yang kami cari, untuk sementara kami akan mencabut tuduhan kami," setelah berkata demikian Souw Ki lalu mengajak dua orang temannya untuk menyeberangi jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim-thouw Thian-li memberi tanda dan pasukan wanita yang mengawalnya tadi bergerak memenuhi jembatan, menghadang tiga orang busu ini.
"Hemm, apa artinya ini?" Souw Ki membentak sambil menoleh kepada Kim-thouw Thian-li. Wanita ini tertawa, masih genit suara ketawanya dan masih terbayang kecantikan wajah nenek yang sudah tua ini.
"Tiat-jiu Souw Ki dan Ho-pak Sian-sai! Sudah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai tiga di antara tujuh orang jagoan istana yang amat terkenal.
Sebaliknya kiraku kalian bertiga juga sudah mendengar nama, Ngo-lian-kauw yang selamanya tidak akan mengijinkan orang luar masuk tanpa persetujuanku. Andaikata kalian membawa surat perintah Pangeran Mahkota, sudah tentu saja kami sebagai rakyat tidak akan berani membangkang, karena bukan maksud kami akan rnemberontak terhadap pemerintah. Akan tetapi, kalian datang tanpa surat perintah, siapa tahu kalau kalian hanya mengandalkan kepandaian sendiri dan nama Pangeran untuk menghina kami"
Bicara tentang kepandaian, kaiian mengandalkan apakah hendak melanggar larangan Ngo-lian-kauw?"
Tiat-jiu Souw Ki adalah seorang tokoh yang terkenal dengan kekuatannya sehingga tangannya dianggap sebagai tangan besi. Juga permainan senjata ruyung bajanya amat terkenal, senjata yang sesuai dengan tenaganya yang besar. Mendengar ejekan Ketua Ngo-lian-kauw ini, mukanya yang hitam menjadi makin gelap. Ia menghampiri sebuah singa-singaan batu di sebelah kiri jembatan, lalu berkata, "Singa-singaan batu ini mengandalkan kekerasannya, akan tetapi aku mengandalkan apakah" Tidak lain mengandalkan tanganku ini!" Tangan kanannya bergerak memukul perlahan dan kepala singa batu itu remuk berhamburan. Sauw Ki tertawa bergelak, "Ha-ha, hanya kelihatannya saja keras singa batu ini, kiranya begini lunak!"
"Saudara Souw, setelah kami berdua datang, sepasang singa batu ini memang tidak berhak berdiri lagi. Tapi kenapa kau hanya melenyapkan kepalanya?"
kata Bu Sek, seorang di antara Ho-pak Siang-sai yang bermuka kuning dan karenanya berjuluk Ui-bin-sai (Singa Muka Kuning).
Adiknya, Bu Tai ,yang berjuluk Ang-bin-sai (Singa Muka Merah) juga tertawa dan berkata, "Sungguh tak enak melihat Souw-twako menghancurkan singa-singa batu. Bagi yang tidak tahu dikiranya Souw-twako menghina kami!"
Dua orang saudara kembar itu menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat, sebuah ke sebelah kiri jembatan, satu lagi ke sebelah kanannya dan tahu-tahu terdengar suara keras dan singa batu yang sudah pecah kepalanya tadi tahu-tahu terguling roboh, sedangkan yang berada di sebelah kanan jembatan juga roboh terbabat pedang. Gerakan pedang sepasang saudara kembar ini cepat dan hanya kelihatan sinar pedangnya saja, dapat diduga bahwa ilmu pedang mereka memang hebat.
"Bagus, bagus! Tiga orang busu dari Pangeran Mahkota benar-benar hebat dan gagah, sudah menang melawan dua ekor singa batu, heh-heh-heh!" Toat-beng Yok-mo tertawa, setengah mengejek.
Akan tetapi Kim-thouw Thian-li menjadi merah mukanya saking menahan marah. Kalau bukan utusan Pangeran yang melakukan pengrusakan terhadap hiasan jembatannya, tentu ia langsung sudah turun tangan sendiri memberi hajaran.
"Yok-mo, kalau kami belum menggeledah ke dalam, bagaimana kami bisa merasa yakin bahwa kau tidak bersalah?" Souw Ki berkata nyaring, namun Kakek Setan Obat itu hanya tertawa ha-ha he-he saja.
"Souw-busu, Toat-beng Yok-mo hanya tamuku dan yang bertanggung jawab tentang tempat ini adalah aku. Ketahuilah bahwa tidak sembarang orang boleh memasuki tempat kami, kecuali orang yang dianggap cukup berharga dan gagah. Kalau Sam-wi Busu sanggup melewati lapisan Ngo-lian-tin kami yang ada tiga buah, biarlah kami anggap Sam-wi cukup berharga dan gagah untuk memasuki tempat kami." Kim-thouw Thian-li memberi isyarat dengan tangannya dan para pengawalnya tadi segera bergerak.Lima belas orang di antara para pengawalnya dengan pedang di tangan lalu berpencaran menjadi tiga kelompok, masing-masing terdiri dari lima orang, sekelompok menjaga di kepala jembatan, sekelompok kanan kiri. Mereka berdiri berjajar, sekelompok lima orang. Souw Ki saling pandang dengan dua orang saudara kembar itu, lalu tertawa. "Kim-thou Thian-li, kau benar-benar memandang rendah kepada kami. Kalau kami tidak memperlihatkan kepandaian, tentu kau tidak dapat mengenal kelihaian kami!" kata Souw Ki sambil mengeluarkan ruyung bajanya yang berat.
"Bu-Siang-te, hayo kita gempur Ngo-lian-tin ini. tidak perlu kita sungkan-sungkan lagi!"
Bu Sek dan Bu Tai juga mencabut pedang mereka, lalu masing-masing melompat menghadapi sekelompok Ngo-lian-tin.
Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai) ini adalah ciptaan Kim-touw thian-li sendiri, sebuah barisan terdiri dari lima orang wanita yang gerak-geriknya diambil dasarnya dari Ngo-heng-tin, lima orang wanita yang cukup tinggi ilmu pedangnya dilatih untuk bergerak saling bantu dengan cara yang amat berbahaya bagi lawan.
Tiga orang busu ini cepat menggerakan senjata mereka dan masing-masing menyerbu sekelompok Ngo-lian-tin. Ruyung baja ditangan Souw Ki mengeluarkan angin ketika ia memutarnya dan menerjang lima orang wanita cantik yang cepat menggunakan pedang untuk menghadapinya dalam bentuk Ngo-lian-tin itu.
Kaget juga jagoan istana ini ketika seorang anggauta Ngo-lian-tin yang diserangnya sama sekali tidak mengelak, "hanya mengangkat pedang menangkis, akan tetapi empat batang pedang lain dari empat jurusan membarengi gerakannya menyerang empat bagian berbahaya dari tubuhnya.
Terpaksa ia menarik kembali senjatanya dan menangkis serangan-serangan itu dengan memutarkan ruyung sekuat tenaga. Empat orang wanita itu mengeluarkan seruan tertahan karena hampir saja pedang mereka terlempar dari tangan, begitu hebat tenaga Si Tangan Besi ini. Souw Ki maklum bahwa kalau ia menyerang seorang lawan, yang empat tentu akan membarengi serangannya sehingga dasar Ngo-lian-tin ini adalah mengorbankan seorang anggauta untuk mengalahkan lawan. Tentu saja ia tidak mau dan ia segera mengerahkan tenaganya memutar ruyungnya, mengambil keuntungan dari tenaganya yang besar untuk mengadu senjata dengan lima batang pedang itu.
Usahanya itu berhasil baik karena lima orang wanita yang menjadi lawannya terdesak mundur sampai ke tengah jembatan!
Juga sepasang saudara kembar she Bu itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan cepat sehingga kelompok Ngo-lian-tin yang mengeroyok mereka tak dapat Mengimbanginya. Terdengar jerit susul-menyusul ketika beberapa orang wanita, anggauta Ngo-lian-tin terluka oleh pedang mereka disusul Souw Ki yang berhasil menendang dua orang pengeroyoknya masuk ke dalam anak sungai! Tingkat kepandaian para busu yang menjadi tangan kanan Pangeran Mahkota ini benar-benar tak boleh dipandang rendah. Sampai pucat muka Kim-thouw Thian-li saking malu dan marahnya. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan" Ia sudah berjanji bahwa kalau tiga orang itu dapat mengalahkan Ngo-lian-tin, mereka diperbolehkan masuk ke dalam untuk melakukan penggeledahan, Sebagai Ketua Ngo-lian-kauw tentu saja ia tidak suka menjilat ludah sendiri. Ia memberi isyarat dengan tepukan tangan dan sisa barisan Ngo-lian-tin itu yang tahu bahwa mereka takkan dapat menang, cepat mengundurkan diri.
Souw Ki tertawa bergelak dan bersama kedua Saudara Bu ia lalu menyeberangi jembatan memasuki lima bangunan berbentuk bunga teratai itu. Mereka melakukan penggeledahan, memasuki semua kamar dan ruangan, akan tetapi tentu saja mereka tidak bisa mendapatkan dua orang gadis pilihan Pangeran yang terculik pada malam itu, karena memang bukan Yok-mo penculiknya. Tiga orang itu menjadi kecewa sekali karena tadinya mereka menduga keras bahwa satu-satunya kakek yang selihai itu, yang berani mengacau Istana Kembang siapa lagi kalau bukan kakek ini" Apalagi kalau dipikir bahwa Yok-mo menjadi "teman baik" Ketua Ngo-lian-kauw yang dahulu pernah memusuhi Kaisar.
Sementara itu, Kun Hong yang bersembunyi sambil mengintai, melihat betapa jagoan-jagoan istana itu mencurigai Yok-mo, diam-diam juga ikut menjadi curiga. Ia cukup mengenal Yok-mo yang berwatak palsu, bukan tidak mungkin kakek ini yang menculik Li Eng dan Hui Cu! Maka ia menanti hasil penyelidikan tiga orang jagoan itu dengan hati berdebar. Ia pun ikut kecewa ketika tiga orang itu keluar dengan tangan kosong, dan wajah muram, Yok-mo terkekeh-kekeh mentertawakan lalu berkata, "Heh-heh-heh, apakah kalian menemukan dua orang gadis itu?"
Souw Ki makin marah ketika ditertawakan. "Kakek jahat! Siapa tahu kalau kau sembunyikan dua orang gadis itu di tempat lain?"
"Heh-heh, kewajibanmulah untuk mencari dan menemukannya andaikata benar kusembunyikan." Souw Ki dan kedua orang Saudara Bu marah, akan tetapi karena tidak ada bukti, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hendak pergi, akan tetapi Kim-thouw Thian-li menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan tiga orang itu, menghadang. Mulut Ketua Ngo-lian-kauw ini tersenyum mengejek,
"Hemm, kalian sewenang-wenang datang merusak hiasan jembatan, lalu memasuki tempat tinggal kami dengan fitnah jahat. Setelah semua itu, apakah kalian hendak pergi begitu saja?"
"Kim-thouw Thian-li, setelah Ngo-lian-tin yang kau ajukan itu dapat kami hancurkan, apakah kau masih belum puas?" Souw Ki mengejek sambil melintangkan ruyungnya di depan dada.
"Justeru karena Sam-wi Busu telah memecahkan Ngo-lian-tin, aku yang bodoh ingin sekali berkenalan dengan kelihaian Sam-wi. Bukan sekali-kali Ngo-lian-kauw hendak memandang rendah kepada Pangeran Mahkota, akan tetapi ini adalah urusan mengenai pribadi kita, tidak tahu apakah Sam-wi Busu sudi memberi petunjuk?"
Biarpun kata-kata ini sifatnya halus, namun mengandung tantangan. Orang seperti Tiat-jiu Souw Ki yang semenjak mudanya mengumbar nafsu berkelahi, tidak mau. mengalah dan selalu menganggap diri sendiri paling jagoan, mana bisa menghadapi tantangan tanpa melayaninya" Ia tertawa bergelak lalu berkata,
"Kim-thow Thian-li! Sudah lama aku mendengar namamu yang amat tenar.Tentu saja aku pun ingin sekali merasai kelihaianmu dan urusan di antara kita ini tiada sangkut-pautnya dengan Pangeran. Setelah kami bertindak sebagai utusan, sekarang kami akan bertindak atas nama diri pribadi kami sendiri. Kalau kau ada kepandaian, boleh memberi petunjuk"
Kim-thouw Thian-li mendengus lalu tangannya bergerak, tahu-tahu tangan kanan sudah memegang pedang dan tangan kiri memegang sehelai sabuk berwarna merah. "Tiat-jiu Souw Ki, ingin aku berkenalan dengan ruyung bajamu yang ganas!" Sambli berkata demikian, pedangnya berubah menjadi sinar ketika bergerak menusuk ke arah dada Souw Ki. Orang tinggi besar ini tidak berani memandang remeh karena ia pun sudah mendengar bahwa Ketua Ngo-lian-kauw ini adalah seorang wanita yang ganas dan dahsyat sekali sepak-terjangnya. Cepat ia menggeser kaki ke kiri sambil menyabetkan ruyungnya ke arah sinar pedang untuk menangkis. Akan tetapi, sinar pedang itu ditahannya dan sebagai gantinya, tangan kiri wanita itu bergerak dan sinar merah melayang-layang menotok ke arah ulu hati Souw Ki. Jangan dipandang rendah sabuk merah ditangan kiri Kim-thouw Thian-li ini. Biarpun hanya sehelai kain halus, namun, ditangan wanita ini berubah menjadi senjata yang amat ampuh, yang ujungnya mampu, merobek jalan darah lawan dan karena lemasnya maka lebih berbahaya dan sukar dilawan dari sebatang pedang!
Souw Ki mengeluarkan, seruan panjang, ruyungnya diputar menjadi benteng baja melindungi dirinya sehingga totokan ujung sabuk sutera ini pun dapat ditangkisnya. Akan tetapi Kim-thouw Thian-li kembali mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan, lalu pedangnya bergerak menjadi gulungan sinar memanjang, menyambar-nyambar tubuh Souw Ki dari pelbagai jurusan sehingga jagoan istana ini menjadi kaget dan sibuk sekali. Kim-thouw Thian-li adalah murid tersayang dari tokoh besar Hek-hwa Kui-bo Si Iblis Betina, malah ilmu pedang Im-sin Kiam sut yang luar biasa hebatnya itu sebagian telah diajarkan kepada Kim-thouw Thian-li. Biarpun hanya sebagian saja Im-sin Kiam-sut dimiliki oleh Ketua Ngo-lian-kauw ini, namun cukup untuk menghadapi lawan yang sakti.
Souw Ki boleh menungulkan dirinya sebagai jagoan yang bertangan besi dan bersenjata ruyung yang dahsyat, namun menghadapi Kim-thouw Thian-li dia repot sekali. Andaikata Ketua Ngo-lian-kouw ini hanya bermain pedang saja, ia pun sudah repot dan takkan dapat melawannya dengan ruyungnya, apalagi sekarang Kim-thouw Thian-li membantu permainan pedangnya dengan sabuk merahnya, membuat jagoan yang galak itu menjadi makin kewalahan. Untung baginya bahwa Kim-thouw Thian-li masih jerih untuk mencelakai orangnya Pangeran Mahkota, kalau tidak, sekali Ketua Ngo-lian-kauw ini mengeluarkan senjata-senjata yang paling ampuh, yaitu senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya, kiranya dalam waktu tak lama Souw Ki tentu akan roboh.
Sepasang saudara Bu yang tadinya hanya menonton pertandingan ini, ketika melihat bahwa teman mereka terdesak hebat dan sekarang hanya main mundur dan berputaran untuk menyelamatkan diri dari serangan lawan yang amat gencar itu, menjadi marah. Tujuh orang jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota adalah jagoan-jagoan yang ditakuti, yang sudah dianggap sebagai sekelompok jagoan tanpa tanding. Kalau sekarang seorang di antara mereka dijatuhkan lawan, berarti nama tujuh orang jagoan ini akan tercemar.
Amanat Marga 11 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama