Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 18
Perlahan pula kesadaran Praba menurun. Semua yang dilihat, didengar, dirasa menjadi samar. Antara disadari dan tidak. Antara terekam dalam ingatannya dan tidak.
Praba tak tahu berapa lama waktu berlalu. Tak ada bedanya siang dan malam. Tak ada bedanya emban atau Raja yang menyentuh dan mengelus rambutnya.
Sampai secara gaib, telinganya mendengar kidungan. Dirinya menjadi hanyut, dan pandangannya makin lama makin jelas ke arah sosok tubuh yang tinggi, perkasa, penuh dengan cahaya, naik ke angkasa, meniti asap dupa.
Tubuh Baginda. Yang jernih, bercahaya. Yang tertinggal di bawah hanyalah bayangan tubuhnya. Yang tidak jelas wajah, bentuk, maupun geraknya. Meninggalkan Keraton menuju Simping.
Sampai saat itu, Praba tak menyadari bahwa anggota tubuhnya mulai bisa digerakkan. Seolah bangun dari kelelapan yang panjang. Sesuatu yang membuatnya lupa akan penderitaan selama ini.
Begitu saja perubahan itu.
Praba mengetahui bahwa penderitaan yang berkepanjangan adalah akibat tindakan Halayudha. Meskipun dirinya tak mengerti ilmu silat, akan tetapi tahu bahwa nadi-nadi tubuhnya yang dibekukan Halayudha.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan tiba-tiba saja totokan itu terbebas dengan sendirinya.
Praba tak bisa menjelaskan, apakah membukanya totokan nadi itu terjadi dengan sendirinya, karena kekuatan Halayudha sudah meluntur, ataukah karena tarikan kidungan. Ataukah keduanya. Yang terjadi pada saat yang sama.
Akan tetapi itu bukan pertanyaan pokok dalam diri Praba.
Kepasrahannya menerima nasib dan menjalani, jauh lebih besar dan mendasar dari semua kegaiban yang dialami. Baginya, terpilih oleh Raja sebagai permaisuri, dicelakakan Halayudha, dan kini memperoleh kembali penyembuhan adalah takdir yang harus dijalani. Tanpa melontarkan pertanyaan mengusut.
Ini yang membedakan dengan Raja.
Bagi Raja, yang tidak mengetahui polah Halayudha, penderitaan yang disandang Praba Raga Karana menjadi tamparan yang keras. Seolah ada kekuatan yang luar biasa, yang mengerem dan menandingi tindakannya, yang rasanya tak ada yang mampu menunda.
Apalagi ketika semua tabib dan pendeta tak mampu mengobati.
Raja justru merasa disudutkan oleh cara berpikirnya sendiri untuk terus melawan.
Dan akhirnya terbukti dirinya menang.
Praba sembuh kembali. Yang mengganggu keakuannya adalah: apakah benar karena dirinya yang lebih besar, dan bisa mengatasi "kutukan" yang diderita Praba, ataukah karena kebesaran Baginda.
Bagi Raja ini konflik terbesar.
Perebutan kemenangan yang tak akan bisa dirasakan atau bahkan dimengerti orang lain. Yang hanya bisa dimengerti Baginda, yang ternyata juga menyimpan persaingan yang sama dengan Sri Baginda Raja.
Perasaan, pertarungan rasa yang hanya mungkin dirasakan oleh orang yang memegang puncak kekuasaan, yang memegang kodrat bagi orang lain.
Karena akar semua yang dilakukan sekarang ini adalah keinginannya untuk hadir. Untuk diakui sebagai raja.
Raja satu-satunya. Tak dihalangi, tak ditinggii siapa pun. Raja yang sesungguhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pengertian akan hal ini sejak awal tumbuh dalam diri Raja. Sejak masih bayi, sejak merangkak dengan panggilan Bagus Kala Gemet, ia mulai menyadari dirinya berbeda dari siapa pun. Dengan bimbingan para senopati utama, para empu, Bagus Kala Gemet tumbuh dengan segala keunggulan.
Apalagi ketika secara resmi dirinya menjadi raja muda. Dari wilayahnya di Daha, Raja Muda Bagus Kala Gemet menyiapkan dirinya.
Bukan sesuatu yang luar biasa dan terlalu dilebih-lebihkan jika saat itu laporan kepada Baginda menunjukkan kelebihan Raja Muda Bagus Kala Gemet.
Dalam usianya yang masih sangat muda, Raja Muda Bagus Kala Gemet telah menguasai berbagai kitab utama yang menjadi dasar ajaran Keraton. Bahkan lebih dari itu, Raja Muda juga menguasai ilmu silat.
Dalam suasana yang memberi keleluasaan dan kekuasaan yang tak terbatas, Raja Muda hanya melihat satu hal yang berada di atasnya.
Yaitu Baginda. Tak ada yang lain. Tidak juga Dewa. Tidak juga tata krama Keraton.
Para empu, para senopati yang selama ini mendampingi, melayani, tidak bisa melihat bahwa perasaan yang sesungguhnya Raja Muda Bagus Kala Gemet adalah melangkah ke puncak kekuasaan. Dorongan yang tak akan terbaca oleh siapa pun.
Kecuali dirinya sendiri. Dan Baginda. Lahir Sebagai Raja KESEMBUHAN Praba Raga Karana, yang mendadak tanpa sebab yang pasti, menggoyang alam pikiran Raja. Balik ke asal mula sejauh ingatannya bisa merekam.
Sekarang menyembul kembali.
Masa kanak-kanak yang diingat adalah ketika bisa mengenang dirinya yang berlari-lari di ruangan yang sangat luas, yang penuh dengan patung, porselen berwarna biru, cokelat, dan hijau, yang bila digoyangkan semua pengawal menjadi pucat ketakutan. Dan bila ia menjatuhkan hingga menjadi kepingan, ketakutan itu akan berubah menjadi menggelikan.
Ia melihat tubuh yang bersujud, menyembah, seakan menjilati kakinya. Ia bisa mengencingi mereka sambil tertawa, akan tetapi itu tak
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dilakukan. Karena kemudian sekali yang dirasa adalah rasa kesal. Para pengawal akan memaksanya untuk mencuci kemaluannya, mengganti kain yang dikenakan, menaburi dengan wewangian yang membuat napasnya sesak.
Ia bisa memenuhi kamarnya dengan ribuan cengkerik, tikus, ular yang digunting lidahnya, kucing, dan segala jenis burung. Tetapi yang paling menyenangkan ialah tidur di atas tumpukan buah mangga yang sudah dikupas.
Ada rasa aman, dingin, dan manis setiap kali bibirnya bergerak. Rasa manis yang tertinggal di tangan, jari-jarinya.
Satu-satunya yang membuatnya takut hanyalah seorang wanita yang harus ia panggil Ibunda Permaisuri Indreswari. Para pengawal yang begitu setia, begitu mau melakukan apa saja, tak berani menghalangi jika Ibunda Permaisuri Indreswari muncul, dan menanyakan soal makanan atau menyuruh tidur.
Setiap kali Ibunda Permaisuri Indreswari muncul, ia merasa takut, terkekang, dan ingin menangis.
Makanya sangat menyenangkan ketika ia mulai dipindahkan ke Dahanapura. Ia bisa bebas, berbuat apa saja, termasuk menetek pada dayang-dayang yang jumlahnya banyak sekali. Tak ada yang melarang, tak ada yang menghalangi. Ia bisa berendam di sungai buatan setiap hari, atau berada di atas pohon.
Satu-satunya yang kemudian sangat dikenal adalah seorang lelaki yang sudah berumur, yang datang menghadap kepadanya. Ia tak begitu peduli, karena setiap kali selalu ada yang menghadap dan menyembahnya.
Akan tetapi sekali ini lain.
Lelaki tua itu membawa bambu yang panjang, yang di dalamnya telah dihilangkan batas dan ruasnya. Sehingga ia bisa mengintip dan memandang buah-buahan, memandang dayang yang main di telaga.
Lelaki tua itu begitu sabar memberikan banyak permainan yang menyenangkan. Tangannya kalau didekatkan ke obor, bisa menimbulkan bayangan yang berbentuk kijang, harimau, gajah, buah manggis, ketela, kadang ayam.
Lelaki tua itu menyebabkannya melakukan hal yang sama. Ia mengikuti setiap gerakannya.
"Paman Sora pintar sekali."
"Putra Mahkota lebih pintar."
Ia senang karena bisa melakukan apa yang dilakukan Paman Sora.
Juga berlatih ilmu silat untuk meloncat ke dahan pohon. Berkelebat dan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
turun sudah membawa buah. Atau berada di sungai buatan dan melihat Paman Sora menahan arus dengan kedua tangannya. Menghentikan arus, bahkan membalik.
Paman Sora yang selalu mendongeng, berada di dekatnya bila malam, dan menjagai.
"Paman Sora, jangan pergi."
"Hamba akan selalu di samping Putra Mahkota bila dikehendaki."
Ia merasa senang. Karena apa yang dilakukan bisa mengundang sembah hormat dan pujian. Semua yang diajarkan Paman Sora membuatnya bahagia.
"Aku ini putra mahkota, Paman?"
"Ya, Paduka adalah putra mahkota, yang akan menjadi raja."
"Di Keraton, Paman?"
"Di Keraton." "Lebih besar, lebih indah dari yang ada di sini?"
"Ya. "Paduka putra mahkota yang akan menjadi raja, kelak kemudian hari.
Paduka telah menjadi raja ketika lahir ke jagat. Lahir sebagai raja.
Dengan lindungan Dewa dan pengabdian para hamba. Termasuk Paman Sora."
"Apakah tidak banyak yang lahir sebagai raja?"
"Hanya Paduka."
"Rama Baginda?"
"Rama Baginda tidak lahir sebagai putra mahkota."
"Hanya aku, Paman?"
Pertanyaan demi pertanyaan memperoleh jawaban. Semua rasa ingin tahunya bisa terpuaskan. Paman Sora bisa menjawab apa saja yang ingin diketahuinya.
"Para pendeta itu tak bisa disingkirkan. Paduka akan selalu dikelilingi."
"Aku tak suka. Mereka menakutkan."
"Tidak, Putra Mahkota.
"Para pendeta tidak untuk menakuti, melainkan untuk menjadikan Putra Mahkota suci. Adalah tugas para pendeta untuk menjaga kesucian, meneruskan ajaran kesucian dengan cara mengajar, belajar, mengajukan sajian, memanjatkan doa bagi Raja dan keluarganya, bagi dirinya sendiri, menerima dan memberikan derma.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Para pendeta adalah abdi Paduka.
"Seperti halnya para prajurit. Mereka abdi yang akan melayani, menjunjung tinggi perintah Paduka. Menjaga keunggulan Keraton dengan berperang, dengan menggunakan senjata, dengan bermain ilmu silat.
"Seperti halnya para saudagar, yang akan memberikan upeti sebagai tanda persembahan. Porselen, kaca, sutra, bau harum, emas, permata, manikam, semua pengabdian kepada Putra Mahkota."
Suara Paman Sora terngiang, lembut, melarutkan jiwanya.
"Semua ada tata kramanya, ada aturannya, ada tugasnya.
"Pendeta tak bisa menjadi saudagar, karena akan mengotori sesajinya.
Saudagar tak bisa menjadi pendeta, karena pujiannya tak sampai kepada Dewa.
"Semua ini disebut tata krama Keraton, yang menjadi angger-angger, menjadi undang-undang.
"Putra Mahkota tak perlu menjadi pendeta karena sudah ada yang akan melayani. Tak perlu menjadi prajurit. Tak perlu menjadi saudagar.
"Semua ada tata krama, ada aturannya. Kelak Putra Mahkota bisa membuat angger-angger kalau sudah memegang puncak kekuasaan seperti Baginda.
"Agar lebih cepat, Paduka bisa belajar membaca kitab."
Ia mulai sadar, mulai menyadari hubungan barang satu dengan yang lainnya. Mulai bisa membedakan manusia satu dengan yang lainnya.
Bisa mempelajari jurus-jurus yang diajarkan dasar-dasarnya oleh Paman Sora.
Baru kemudian ia mengetahui bahwa Paman Sora yang menjadi tempatnya bertanya, yang selalu berada di dekatnya, adalah salah seorang yang istimewa.
"Paman Sora dulu senopati utama di Keraton?"
"Kebetulan Paman memang pernah mengabdi di Keraton."
"Benarkah Paman pernah akan menjadi mahapatih?"
"Maaf, nanti Paduka Putra Mahkota akan menemukan kebenarannya yang sejati.
"Paman sendiri tidak merasa demikian. Mahapatih adalah tangan kanan Raja yang berkuasa. Tidak sembarang senopati bisa kuat dan kangkat menduduki jabatan tersebut.
"Kelak Paduka harus cermat memutuskan pilihan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Paman pastilah senopati yang hebat. Kalau tidak Rama Baginda tidak memilih Paman.
"Aku merasa senang bersama Paman."
"Sembah bekti hamba, Paduka berkenan menerima pengabdian hamba."
"Paman, kenapa aku menjadi putra mahkota dan bukan yang lainnya" Bukankah putra Baginda tidak hanya seorang?"
"Putra Baginda lebih banyak dari jumlah jari kaki dan jari tangan hamba maupun Paduka. Akan tetapi Paduka adalah putra mahkota karena lahir sebagai raja. Dewa telah menunjuk, telah menyerahkan kekuasaan di bumi kepada Paduka, untuk melindungi dan menjaga kebesaran Keraton beserta semua isinya.
"Karena Paduka yang menentukan kematian dan kehidupan, kepangkatan dan kehinaan, perintah, larangan, yang menyangkut semuanya. Paduka harus teguh hati, kuat jiwa dan raga dalam memutuskan segala sesuatu. Memegang tindak yang adil, mengayomi rakyat. Sebab itulah kebesaran dan kedigdayaan sebuah keraton."
"Apakah aku akan menjadi raja yang sakti mandraguna kelak atau sekarang ini?"
"Dengan kebijaksanaan dan keadilan, Dewa akan menyertai Paduka menjadi raja gung binatara, bukan sekadar sakti."
"Aku tak ada yang mengalahkan lagi."
"Ilmu silat itu seumpama bintang tingginya. Ada yang tinggi, masih ada yang lebih tinggi lagi. Paduka tak perlu bermain silat untuk mengalahkan lawan, karena sudah ada ksatria, sudah ada prajurit, sudah ada senopati, sudah ada mahapatih.
"Ilmu surat itu seumpama bintang tingginya. Ada yang tinggi pujasastranya, tetapi ada empu yang lebih tinggi lagi.
"Semua mendukung Paduka."
Ia menemukan kedamaian dan ketenteraman. Hanya kemudian ketika Paman Sora menahan keinginannya untuk membuat Keraton Dahanapura seperti Keraton Majapahit, ia memalingkan wajahnya. Ia merasa terganggu. Apalagi ketika keinginannya untuk mendapatkan Ratu Ayu Azeri Baijani tidak segera dijawab dengan menyembah, ia melupakan Paman Sora-nya.
Pertarungan Batin Raja KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
SEJAK itu Putra Mahkota Bagus Kala Gemet memilih pendamping yang lain. Yang selalu menyembah dan menjalankan perintahnya.
Ia mulai merasa bahwa berada di Keraton jauh lebih menyenangkan daripada di Dahanapura. Ibunda Permaisuri Indreswari sangat merestui niatan itu.
Sejak itu pula segala niatan dan keinginannya dilaksanakan. Bisa berbuat seperti Baginda. Dengan prajurit kawal khusus, dengan pakaian kebesaran dan payung emas, dengan mengangkat gelar yang berwangsa Syangka.
Ia menemukan jalan bagi pertarungan utama yang mengendap.
Bahwa dirinya akan segera menemukan kekuasaan dan kekuatan seperti yang telah dikodratkan. Ia memutuskan untuk tidak memakai para pendeta dari Hindu, melainkan dari Syangka.
Ia memilih para prajurit utama, dan memberi anugerah pangkat.
Hanya saja, selama ini dirinya belum merasa bisa menyamai atau menandingi Baginda. Selalu ada yang kurang memuaskan hatinya, dan selalu Baginda tampak lebih besar.
Juga Ibunda Permaisuri Indreswari.
Ia menentukan langkahnya sendiri. Memilih wanita pemijat untuk diangkat sebagai permaisuri, dan memberi gelar Permaisuri Praba Raga Karana.
Ia merasa bisa melakukan sesuatu yang berbeda.
Dan nyatanya merasa begitu, kalau tidak tiba-tiba saja Praba menyebutkan kebesaran Baginda.
Raja Jayanegara menghela napas.
"Permaisuriku, apakah kamu pun akan mengatakan bahwa Baginda mempunyai bayangan yang lebih besar dariku?"
"Hamba tak akan pernah menyebut itu, karena itu tak akan terjadi.
Hamba hanya merasakan Raja Sesembahan yang mengidungkan sehingga hamba pulih seperti sediakala."
Raja menggeleng. "Permaisuriku. "Kamu wanita yang luar biasa bagiku. Dalam segala hal. Ketika aku memilihmu, mengangkatmu sebagai permaisuri, kamu malah memalingkan wajah. Kamu malah mengatakan bahwa aku melakukan ini hanya untuk membuktikan bahwa aku yang berkuasa.
"Permaisuriku. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tanpa melakukan apa-apa, aku tetap Raja yang paling berkuasa.
Bisa melakukan apa saja. "Permaisuriku. "Dalam geringmu aku menunggui. Aku undang seribu tabib Keraton, aku lihat sendiri. Ketika ratusan putri menunggu dan berharap kulirik atau kupanggil menghiburku, aku memikirkanmu. Bahkan Ibunda Indreswari tak kupedulikan.
"Apakah kamu masih ragu?"
Praba terguguk. Menyembah dengan tangan dan tubuh gemetar.
"Raja Sesembahan. "Hamba..." "Permaisuriku. "Bagiku kamu adalah wanita yang luar biasa. Yang sulit kuselami, yang menghadang keinginanku, tetapi aku bahagia.
"Permaisuriku. "Aku hanya bisa bicara padamu. Hatiku merasa longgar, lega, dan penuh suka cita.
"Tidak kepada yang lain.
"Tidak." Raja berdiri. "Aku tahu kamu ingin mengatakan sesuatu. Aku sangat mengenalmu.
Katakan...." Praba menunduk. Tetap menunduk. "Katakan, Praba...."
"Raja Sesembahan. "Kalau hamba meminta, demi hamba sendiri dan demi kebesaran Raja Sesembahan...."
"Katakan, Permaisuriku.
"Aku lebih bahagia bila bisa memenuhi keinginanmu. Pesta besar empat puluh hari empat puluh malam bisa kuperpanjang menjadi pesta selamanya.
"Permaisuriku. "Mintalah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Katakan." Praba tetap menunduk. Wajahnya tertekuk ke arah lutut.
Bibirnya gemetar. Lirih. Samar. Antara terdengar dan tidak. Antara mengucapkan dan tidak.
Wajah Raja memerah. Giginya bersatu. Dengan satu gerakan, daun pintu ditendang keras, sebelum akhirnya menghilang.
Kejadian yang mendadak itu tak bisa diketahui secara persis oleh puluhan dayang dan prajurit kawal khusus yang menjadi pucat dan tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.
Betapa tidak bingung. Baru saja Raja memerintahkan untuk mengumumkan pesta empat puluh hari empat puluh malam, yang menjadi perintah resmi. Sebagai pertanda rasa suka cita. Lalu mendadak berubah.
Menendang pintu. Pertanda tidak ingin menutupi kegeramannya.
Inilah berbahaya. Karena seorang raja tidak perlu memperlihatkan perasaan yang wadak, yang lahiriah sifatnya. Meskipun selama ini Raja selalu menunjukkan perintah yang aneh, akan tetapi belum pernah seperti sekarang ini. Saat bersama Praba Raga Karana!
Padahal sesungguhnya guncangan dari gelombang pertama masih terasa gelegarnya.
Kabar sembuhnya Praba Raga Karana adalah petir dan badai dahsyat yang menyambar secara bersamaan bagi Halayudha. Mahapatih yang merasa semua berada dalam perhitungannya itu benar-benar tak menduga. Bahwa akhir geringnya Praba Raga Karana begitu sederhana.
Kemampuan dan daya pikirnya yang luar biasa tak bisa menangkap apa yang sesungguhnya terjadi.
Termasuk nasibnya! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini berarti hancur-hancuran. Tak ada yang tersisa lagi baginya untuk membela diri. Tak ada siasat yang bisa mengalihkan tanggung jawab dan perbuatan yang dilakukan.
Halayudha yang sering memuji dirinya, kini merasa benar-benar tak berharga. Tak bisa mengembangkan siasat sedikit pun.
Selama ini dalam berbagai kesempitan yang mengimpit, Halayudha mampu membebaskan dirinya. Selalu muncul kekuatan yang bisa menyelamatkan dirinya. Atau bahkan kadang berbalik menjadi keunggulan.
Tapi tidak sekarang ini. Segala ilmu yang dipelajari, segala pencerahan yang pernah merasuk dalam dirinya, mendadak menjadi macet.
Tak ada jalan keluar. Praga Raga Karana telah sembuh seperti sediakala.
Satu kata saja, selesailah dirinya. Habislah impiannya, yang sekarang justru telah digenggam dan merasuk ke dalam tubuhnya sebagai mahapatih.
Apa ada gunanya membela diri"
Tak ada lagi. Sehingga tak perlu meneliti siapa yang bisa menyembuhkan Praba.
Apa ada gunanya membuat perhitungan terakhir.
Karena kini sebagai mahapatih, dirinya bisa menggerakkan seluruh prajurit dan senopati yang setia kepadanya. Untuk menundukkan Keraton dan menawan Raja, bukan sesuatu yang tak mungkin.
Apakah ini jalan satu-satunya untuk membela diri"
Mendahului menggempur! Tapi, sekali lagi, Halayudha merasa tak menemukan gema dalam hatinya. Tak ada kekuatan yang mendukung naluri yang tajam, yang biasa melejit dengan cemerlang.
Kalau ada sisa penyesalan yang mengganjal, bagi Halayudha hanyalah rasa terhina, rasa kalah, dan tersungkur, hanya karena seorang juru pijat!
Jagatnya menggelepar. Bahkan kini Halayudha tak yakin lagi apa yang akan dilakukan jika ada senopati yang datang dan menawan. Tak yakin apakah ia akan melawan sepenuh tenaga untuk mempertahankan nyawanya, ataukah menyerah pasrah bongkokan, menyerah sepenuhnya, seutuhnya.
Menunggu nasib baik adanya pengampunan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kemungkinan kecil ini dilindasnya sendiri.
Tak ada lagi sisa itu. Sikap yang paling berpengharapan pun tak akan sampai kepada separuh dari kemungkinan itu.
Ataukah pada saat seperti ini akan ada gunung meletus, bumi terbelah, dan Keraton musnah"
Atau mendadak muncul lagi pasukan Tartar yang mengancam, sehingga untuk sementara Raja tidak memenggal kepalanya.
Halayudha tersenyum meringis.
Membayangkan dirinya tak bisa berpikir waras. Karena angan-angan yang diketahui paling mustahil pun, bisa menyeruak masuk dan memberi hiburan palsu padanya.
Justru di puncak kekuatannya, di ujung langit kekuasaannya, Halayudha merasa tak mempunyai tenaga. Kakinya, tangannya, tubuhnya, seperti tak mempunyai tenaga.
Halayudha berjalan perlahan, seperti merambat untuk bisa duduk dengan tenang. Tubuhnya, raganya, rasanya seperti melayang-layang, tak menginjak tanah.
Getaran Sukma Sejati SENOPATI BANGO TONTONG segera masuk ke kamar, membimbing Halayudha yang berjalan glayaran, sempoyongan dan limbung. Perasaan aneh menjalar dalam diri Bango Tontong ketika mengetahui tubuh yang dipegangnya sangat dingin.
"Mahapatih, Paduka..."
Halayudha hanya menggeleng.
Bango Tontong membimbing ke arah tempat istirahat. Tubuh Halayudha seperti mengikut saja. Bahkan kalau saat itu Bango Tontong melepaskan secara tiba-tiba, pastilah tubuhnya ambruk di lantai.
"Mahapatih terlalu letih...."
Napas Halayudha masih satu-satu. Tertahan-tahan, perlahan, dan berjarak antara menarik dan melepaskan kembali. Bango Tontong memerintahkan agar menggosok dengan jahe yang telah diramu untuk membuat panas.
"Panggil Eyang Puspamurti...."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bango Tontong menyembah dan segera menuju ke tempat penampungan Eyang Puspamurti yang berada dalam bagian kepatihan.
Tak terlalu sulit menemukan, karena Eyang Puspamurti sedang berada di luar, di bawah pohon beringin.
Berdiri dan tepekur. Mada serta Kwowogen bersila di depannya.
Menunduk. Tepekur. Langkah Bango Tontong terhenti karena kalimat Eyang Puspamurti seperti ditujukan kepada dirinya.
"Perhatikan baik-baik, Mada dan kamu Kwowogen.
"Apa yang kukatakan tak keliru satu patah pun.
"Orang ini datang kemari karena disuruh Mahapatih. Untuk memanggilku."
Bango Tontong adalah senopati yang cukup dianggap terhormat di Keraton. Telinganya menjadi panas disebut sebagai "orang ini" begitu saja. Akan tetapi perasaan tersinggung itu tak bergema dalam hatinya, karena ia cukup menyadari bahwa dalam dunia persilatan banyak tokoh yang sikapnya aneh.
"Apakah saya meleset?"
"Tidak sedikit pun. "Maka saya minta Eyang segera menghadap."
"Perhatikan baik-baik, Mada.
"Karena terlihat dengan jelas, bisa dilihat dengan mata telanjang.
Halayudha kehilangan tenaga dan menjadi risau. Padahal itu tak apa-apa. Biasa saja.
"Sebentar lagi akan pulih dengan sendirinya, kalau sukmanya telah tenteram, kalau bisa menguasai diri.
"Itu hal yang biasa.
"Wajar.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Perhatikan baik-baik, Mada.
"Bila seseorang mempelajari dan menyelami Kitab Paminggir, Kitab Para Raja, serta Kitab Pamungkas, ia akan berada pada batas di mana kekuatan sukmanya terpanggil.
"Hubungan antara sukma dan tenaga dalam, dan tenaga luar, dan tubuhnya, tak bisa dibatasi, tak bisa dipisahkan. Saling mengalir dan menyatu. Begitu sukma sejati merasakan ada sesuatu yang tidak beres, akibatnya bisa dilihat pada tubuhnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Di satu pihak saya suka karena mahapatih itu terpukul. Sekarang sedang keok.
"Tapi di lain pihak saya lebih suka lagi, karena itu bukti bahwa mahapatih yang pernah kita telanjangi itu sebenarnya telah mulai menguasai sukma sejati. Atau sekurangnya telah mengenali kekuatan itu.
"Perhatikan baik-baik, Mada."
Bango Tontong menahan diri dan memperhatikan dengan saksama.
Baginya, kalimat Eyang Puspamurti aneh bunyinya. Suka karena Mahapatih terpukul. Ini saja sudah ganjil. Mana ada senopati yang terang-terangan mengatakan hal itu"
Lebih ganjil lagi ketika mengatakan bahwa ia lebih suka lagi karena Mahapatih sudah menguasai sukma sejati.
Kenapa justru suka, kalau ia tidak setuju dengan apa yang dilakukan Mahapatih"
Lalu kalimat yang dengan enteng diucapkan bahwa Mahapatih pernah ditelanjangi!
Di telinga Bango Tontong memang ganjil.
Walau sebenarnya biasa-biasa saja.
Eyang Puspamurti mengatakan apa adanya. Ia merasa bersuka cita karena Mahapatih terluka. Tapi sebagai sesama ksatria yang mempelajari sifat mahamanusia, ia merasa bergembira karena menemukan tokoh yang sama alirannya.
Bahwa Mahapatih pernah ditelanjangi dalam artian sebenarnya, agak susah untuk diterangkan kepada Bango Tontong.
"Dari mana Eyang mengetahui?"
"Perhatikan baik-baik pertanyaan itu, Mada.
"Menurut kamu dari mana, Mada?"
Kwowogen yang segera menjawab,
"Dari getaran. Siapa yang sudah bisa mempelajari sukma sejati bisa menangkap getaran yang sama. Pada tingkat tinggi, sudah bisa merogoh sukma sejati, untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
"Titik penguasaan itu yang dikatakan Eyang Sepuh dengan sebutan Tepukan Satu Tangan. Dengan satu tangan bisa mengeluarkan suara lebih nyaring dari dua tangan. Pemusatan kekuatan sukma sejati, seperti yang ditunjukkan Mpu Raganata dengan jurus-jurus dalam Weruh Sadurunging Winarah, Mengetahui Sebelum Terjadi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Inti pengerahan tenaga itu sama dengan apa yang pada dasarnya berada dalam pupuh ketiga Kitab Bumi. Kidungan yang mengatakan bahwa kekuatan bumi bisa kita ambil dengan tenaga berputar, telapak menghadap ke bawah."
"Pupuh pertama," jawab Mada mantap. "Pada pupuh pertama Kitab Bumi yang masih bernama Dua Belas Nujum Bintang, hal itu telah disebutkan. Mengangkangkan kaki seperti mengendarai kuda. Tangan ditarik dari bawah ke atas, siku tertarik ke belakang. Saat tarikan udara dari hidung ke otak turun ke sumsum tulang belakang, adalah memakai kekuatan bumi."
"Saat tangan pertama bergerak, itu sebenarnya saat menarik kekuatan bumi."
"Pupuh pertama," sergap Kwowogen. "Pupuh pertama bisa dianggap demikian. Akan tetapi pemindahan tenaga bumi, penyerapan tenaga bumi yang intinya mencari kekuatan luar untuk diubah menjadi kekuatan sendiri, berawal dari pupuh ketiga."
"Pupuh pertama," suara Mada mengeras. "Karena sukma sejati berawal dari kekuatan sendiri. Berawal dari diri sendiri, dan bukan memakai tenaga pinjaman kekuatan luar."
"Pupuh ketiga..."
"Pertama." "Pertama," suara Eyang Puspamurti lirih. "Yang pertama telah mengisyaratkan itu. Perhatikan baik-baik, Kwowogen.
"Niatan itu, theg, berawal dari kekuatan sendiri. Kemampuan diri.
Sifat utama mahamanusia. Karena mahamanusia bisa menjadi mahamanusia bukan karena kekuatan alam, kekuatan di luar, kekuatan Dewa, kekuatan raja, melainkan kekuatan mahamanusia."
"Eyang..." "Kwowogen, perhatikan baik-baik.
"Dalam ajaran sukma sejati, tidak diterima dengan akal, tidak dengan nalar, tidak dengan pikiran."
"Eyang..." "Tidak juga dengan rasa.
"Bukan batin kita, bukan rasa, bukan lubuk hati.
"Dengan sukma sejati."
"Eyang, perhatikan baik-baik.
"Kalau tak bisa disamakan dengan kekuatan batin, kekuatan di dalam kekuatan hati..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Karena itu kekuatan sukma sejati.
"Tak ada istilah lain."
"Bukankah intinya sama, Eyang?"
"Tidak ada inti atau bukan inti.
"Tidak ada luar atau dalam.
"Tidak ada persamaan.
"Tidak ada perbandingan.
"Yang ada penerimaan. Yaitu sukma sejati. Jangan diganti, jangan disamakan dengan pengertian yang pernah ada, yang pernah kamu terima.
"Perhatikan baik-baik."
"Baik, Eyang." "Mada?" "Baik, Eyang." "Baik. "Jadi paham kalau Mahapatih menjadi gering seketika?"
"Karena penguasaan sukma sejati belum sempurna."
Eyang Puspamurti membanting kakinya keras. Hingga amblas ke rumput sampai sebatas separuh lutut.
Bango Tontong sampai melangkah mundur.
"Bodoh. "Kamu yang paling bodoh di seantero jagat ini, Mada. Saya kira kamu lebih pintar dari Kwowogen. Ternyata sama bodohnya. Sia-sialah saya mengajarimu selama ini.
"Bodoh." "Saya tidak bodoh, Eyang.
"Geringnya Mahapatih Halayudha bukan karena penguasaan kekuatan sukma sejati yang belum sempurna. Sampai kapan pun sukma sejati tetap tak akan bisa dikuasai. Karena sukma sejati adalah kekuatan yang mempunyai tata kramanya sendiri. Bisa dimunculkan, akan tetapi tak bisa dikuasai."
"Itu separuh bodoh. "Bagaimana mungkin saya mempunyai murid yang begini dungu"
Umur saya bergegas, tapi mereka masih sama seperti sebelum bertemu dengan saya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bergetar, Bukan Tergetar KWOWOGEN merangkapkan tangan.
Matanya tertutup. Bibirnya bergerak-gerak. "Bagaimana mungkin murid tidak bodoh kalau gurunya juga sama tololnya?"
Kali ini hati Bango Tontong yang mundur. Percakapan guru dengan murid seperti yang dilakukan Eyang Puspamurti dengan Mada dan Kwowogen, dilihat sekilas seperti kurang ajar. Kalau diperhatikan benar-benar menyinggung tata krama. Menjungkir-balikkan hubungan murid dengan guru.
Bagaimana bisa murid mengatai gurunya juga tolol"
Rasanya ajaran mana pun tak sekasar itu. Lebih menyakitkan telinga Bango Tontong karena selama ini dirinya juga mendalami ilmu surat serta ilmu silat. Memang dalam memperdalam ilmu surat, dirinya tak bisa dibandingkan dengan Jabung Krewes yang memang memperdalam secara lebih tekun. Akan tetapi Bango Tontong menyadari bahwa tata krama, aturan baku, menjadi terbiasa dengan kehidupannya sehari-hari. Tata krama dalam bahasa, dalam menulis, dalam membaca, telah ada patokan tertentu yang tak bisa dilanggar begitu saja, kalau tidak mau dikatakan salah.
Bango Tontong tak bisa menerima cara-cara yang dilihat di depan matanya.
"Saya memang separuh goblok. Tapi kalian berdua lebih goblok lagi.
Sampai tujuh turunan masih akan begitu."
"Di mana kekeliruan itu?"
"Di kepala kamu. "Di otak. "Di penalaran. "Di hati. "Di dalam sukma sejati.
"Perhatikan baik-baik, Mada dan kamu Kwowogen.
"Sukma sejati itu adanya bersama jagat. Lahir bersama roh suci kebaikan, kebajikan. Sukma sejati bisa dikuasai, karena ia bisa
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dipanggil, seperti memanggil dan mengerahkan tenaga dalam. Sukma sejati bisa dilatih.
"Itu jelas." "Eyang, saya mengatakan begitu."
"Itu salahmu, Kwowogen."
"Salahnya, karena untuk menguasai sukma sejati harusnya memakai tenaga sukma sejati itu sendiri," Mada menjawab cepat sekali. "Begitu sukma sejati keluar, mewujud, kita mengikuti kekuatannya, yang akan menuntun, menyeret, melarutkan kita."
"Hampir tepat. "Dalam contoh wadak, kenapa Halayudha bisa sakit?"
Keduanya tak menjawab. "Karena ada kekuatan lain yang tidak sepenuhnya rela. Sukma sejati sebagai unsur kekuatan terhambat oleh sesuatu yang ditolak Halayudha, yang tersembunyi. Suatu karep, kehendak, yang sebenarnya ditolak sukma sejatinya."
"Kehendak apa yang ditolak oleh Mahapatih"
"Kehendak apa yang disembunyikan Mahapatih?"
"Itulah ketololan yang paling tak bisa dimaafkan.
"Perhatikan baik-baik, Mada.
"Perhatikan, perhatikan. Saya selalu bilang perhatikan tapi kalian tidak menaruh perhatian sedikit pun.
"Itulah namanya cubluk, atau tolol, atau dungu, atau bodoh.
"Perhatikan baik-baik.
"Kamu tidak menanyakan itu kepada saya, atau kepada Mahapatih, atau kepada orang ini. Tidak ada gunanya. Itu masih lebih percaya kepada panca indria.
"Kamu bisa bertanya sendiri.
"Kalau mau. "Sebab kamu memiliki sukma sejati."
Bango Tontong menahan napas. Ia tertarik akan tetapi lebih banyak yang tak terpahami.
"Biarkan sukma sejati bergetar.
"Keluar. "Biarkan menjadi karep, menjadi niyatingsun, menjadi kehendak pribadi. Ikuti saja, apakah ia mau mencari tahu atau tidak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dengan membiarkan hadir, keluar, dengan theg, sukma sejati akan bergetar. Bergetar, ingat. Perhatikan baik-baik.
"Bergetar, bukan tergetar.
"Bergetar dengan sendirinya.
"Seperti ketika saya bisa mengetahui ada sesuatu yang tidak beres dengan Mahapatih. Saya tidak ingin mencari tahu. Karena tadi kita sedang membicarakan hal lain. Lalu tiba-tiba saya mengetahui, dan melihat, dan tepat.
"Kalian sebagai murid saya harus bisa memperhatikan dengan baik."
Sunyi sesaat. "Eyang..." "Kamu balik kembali ke dalam," tuding Eyang Puspamurti kepada Bango Tontong. "Tak perlu eyang-eyangan. Kalau mahapatih mu itu tahu, ia sudah tahu diri. Tak perlu berusaha mendatangkan saya atau yang lain.
"Sana, pergi sana."
Bango Tontong mengangguk.
"Saya akan mengatakan apa yang Eyang katakan."
"Mada, Perhatikan baik-baik.
"Orang ini bisa baik, bisa jahat.
"Bisa baik karena sebagai prajurit ia mengabdi, menjalankan perintah.
"Bisa jahat karena sebagai prajurit ia tidak menyelesaikan perkara. Ia diperintahkan memanggil, tapi tidak memaksa.
"Perhatikan baik-baik, Mada dan Kwowogen.
"Begitu kalian menjadi prajurit, kalian harus melaksanakan perintah.
Sampai tuntas semua tugas. Semua yang menghalangi harus ditebas.
Semua bendungan harus dikuras. Semua yang lunak harus dibuat keras. Semua bijian adalah beras. Untuk menjalankan perintah, karena kamu prajurit.
"Sukma sejati dalam dirimu akan hadir sebagaimana wujud kasarmu.
"Jelas?" Senopati Bango Tontong mendengar secara utuh. Kali ini telinganya benar-benar panas.
"Eyang Puspamurti jangan mencaci seenaknya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebagai pemimpin Barisan Kosala, saya bisa menahan siapa pun, bisa menghukum siapa pun. Termasuk Eyang, termasuk Mada dan Kwowogen."
"Perhatikan baik-baik, Mada," suara Kwowogen berubah nadanya.
Menjadi tinggi, senada dengan Eyang Puspamurti.
"Perhatikan, Mada dan Eyang.
"Pemimpin Barisan Kosala, Senopati Bango Tontong, sedang menunjukkan kekuasaan, bukan kekuatan. Itu cara terpendek untuk menciptakan tenaga. Jika kekuatan sebenarnya tidak berbunyi yang muncul adalah kekuasaan.
"Sebagai ini, sebagai itu.
"Padahal itu hanya dipakai sebagai jalan terakhir."
Senopati Bango Tontong bergerak cepat. Kedua tangannya membentuk lingkaran sebelum menjotos ke arah Kwowogen, yang meloncat menghindar sambil menyembah.
Ketika Bango Tontong bersiap dengan serangan berikutnya, Eyang Puspamurti menggerakkan tangannya. Mendorong ke depan, ke arah tubuh Bango Tontong.
Terhuyung. "Perhatikan baik-baik, Kwowogen," suara Mada menggeledek. "Kamu harus bisa menjaga mulutmu, tubuhmu, tanganmu, dan kakimu. Tak boleh bersikap kurang ajar kepada atasan. Apalagi Senopati Bango Tontong." Lalu suaranya berubah menghormat.
"Hamba menyesal melihat kelakuan teman hamba. Mohon Senopati Bango Tontong berkenan memaafkan, atau menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan kelancangannya."
Senopati Bango Tontong berusaha berdiri tegak. "Baik, aku terima permohonanmu.
"Prajurit Mada, kamu bisa menguasai diri, tapi juga sangat keras. Di belakang hari, kita pasti akan bertemu."
Dengan satu putaran, Bango Tontong kembali ke dalam dalem kepatihan. Banyak pertanyaan menggoda dalam benaknya. Siapa sebenarnya Eyang Puspamurti, Bango Tontong tak begitu mengetahui asal-usulnya, meskipun ia mengawasi semua kejadian di Keraton sejak masih mengabdi kepada Mahapatih Nambi. Namun satu hal sangat jelas, Eyang Puspamurti sangat sakti. Dan tak bisa ditarik ke pihaknya.
Akan tetapi Bango Tontong melihat kemungkinan Eyang Puspamurti akan menjadi bagian kekuatannya. Yaitu dengan cara memperalat Kwowogen serta Mada.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau diperhatikan bahwa Eyang Puspamurti begitu open, begitu teliti dan penuh kasih kepada Mada serta Kwowogen, rasanya peluang itu bukannya tidak ada.
Apalagi kalau Kwowogen tetap bersikap terbuka dan kasar, akan lebih banyak peluang untuk menekan.
Perlahan Bango Tontong menyusun kerangka langkah-langkah yang akan datang. Saat yang baik untuk mengatur strategi, kalau benar Mahapatih Halayudha masih memerlukan waktu untuk kembali seperti sediakala.
Dugaannya keliru. Halayudha sudah duduk di kursi, mengenakan kain putih melilit bagian bawah tubuhnya.
"Aku kalah. Tapi aku tak rela kekuasaan jatuh ke tanganmu, Bango Tontong."
Panggilan Permaisuri Praba
BANGO TONTONG tidak mengerti dan tak bisa menebak arah kata-kata Halayudha.
Memang tidak. Dan Halayudha tidak memberi kesempatan baginya untuk mengerti.
Ia lebih suka meninggalkannya sebagai teka-teki yang nantinya akan menggerogoti pikiran Bango Tontong.
Halayudha tak mempunyai pilihan lain ketika secara resmi menerima panggilan Permaisuri Praba Karana untuk menghadap. Ketika utusan resmi dan prajurit kawal khusus menghadap, Halayudha segera bangkit.
Merasa tubuhnya lebih sehat.
Mendengarkan perintah dengan bersila di lantai.
Dan kemudian mengganti kainnya dengan warna putih. Warna berkabung, warna pasrah, warna untuk melanjutkan perjalanan ke alam lain.
Sesuatu yang tak bisa ditawar.
Panggilan Permaisuri Praba Raga Karana hanya berarti kematian baginya. Perlawanan yang akan diberikan dengan membangkang, hanya memperpanjang dan memperdalam luka serta penderitaan. Meskipun merasa dirinya sakti, Halayudha tak akan bisa mengalahkan pengaruh Permaisuri Praba.
Keraton bukan Lumajang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Memang terbersit keinginan untuk menyergap Permaisuri pada saat-saat terakhir, akan tetapi keinginan itu menjadi keraguan. Taruh kata ia bisa menyerang, apakah artinya sesudah itu kalau seluruh Keraton mengeroyoknya"
Memang terbersit keinginan untuk melarikan diri saat sekarang ini.
Akan tetapi keinginan itu menjadi keraguan. Taruh kata ia bisa melarikan diri dan selamat, pencarian seluruh Keraton akan menyulitkan dirinya.
Keraton yang dihadapi sekarang ini.
Halayudha untuk pertama kali dalam hidupnya mengakui kekalahan.
Mengakui niatan terakhir untuk mempertahankan hidupnya tak ada lagi.
Meskipun demikian, Halayudha masih tidak rela jika jabatan mahapatih nantinya akan jatuh ke tangan Senopati Bango Tontong.
Meskipun pengangkatan mahapatih adalah penunjukan Raja secara mutlak, akan tetapi mengingat posisi Bango Tontong sebagai pemimpin Barisan Kosala sekarang ini, memberi kesempatan paling besar bagi Bango Tontong.
Masih ada semangat untuk mematahkan Bango Tontong.
Tapi tidak untuk melawan Permaisuri Praba.
Halayudha menyadari ada kekuatan batin yang bergeser. Akan tetapi tak bisa menerangkan dengan jelas untuk dirinya sendiri.
Kini dengan berjalan perlahan, Halayudha menuju Keraton.
Ke Keraton. Bukan ke kaputren. Karena Permaisuri Praba sekarang sudah berada dalam Keraton.
Halayudha melangkah dengan ringan. Kecamukan pikiran ia coba hilangkan dengan tarikan napas dalam. Dengan memandang sekitarnya, seolah pandangan yang terakhir.
Memasuki Keraton, Mahapatih Halayudha menerima penghormatan sembah dari para prajurit, para senopati. Halayudha membalas sekenanya, menyadari bahwa semua kekuatan sedang disiagakan.
Halayudha masuk ke dalam.
Berjalan jongkok menuju ke bagian utama.
Menyembah hormat. Di ruang tengah, duduk di kursi besar berukir rumit dengan kaki dari emas, ia bisa melihat Permaisuri Praba duduk dengan pandangan tajam.
Satu kursi di depan sedikit, kosong. Kursi dampar kencana yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
diduduki Raja. Halayudha bersila. Menyembah kembali dengan hormat.
"Sembah pangabekti, sembah sujud hamba, Mahapatih Halayudha, ke hadapan kaki Tuanku Permaisuri Praba Raga Karana.
"Izinkanlah hamba hari ini sowan ke hadapan Yang Mulia memenuhi panggilan."
Sejenak tak ada jawaban. Napas Halayudha menjadi sesak.
Sekilas tadi tampak jauh berbeda. Praba Raga Karana tampil sebagai permaisuri, dengan kain dan kemben kebesaran berwarna emas.
Mengenakan sumping di telinga yang dipenuhi permata mutu manikam.
Permaisuri Praba memberi aba dengan gerakan tangan lembut. Para prajurit kawal yang bersiaga seperti dikejutkan sebentar, lalu menyembah dan dengan berjalan jongkok melangkah ke luar. Demikian juga para dayang yang membawa wewangian, yang mengipasi kiri-kanan. Keluar dari ruangan. Tinggal Permaisuri Praba dan dirinya.
Hanya berdua saja. Ini benar-benar tak masuk akal Halayudha. Kalau tadi mengira dirinya berada dalam pengawalan dan pengawasan ketat, seperti suasana di luar, mendadak jadi terbalik.
Permaisuri Praba menemuinya seorang diri.
Bukankah ini sangat berbahaya"
"Kuterima sungkem pangabekti mu, Mahapatih Halayudha...."
"Beribu terima kasih hamba haturkan, Tuanku Permaisuri Praba Raga Karana."
Sewaktu menyembah lagi, Halayudha melihat Praba duduk bersandar di kursi dengan anggun.
"Kamu pasti bertanya-tanya dalam hati, Halayudha.
"Kenapa saat ini aku memanggilmu menghadap di Keraton seperti sekarang ini dan aku duduk di sini.
"Mengagumkan, kamu masih berani datang.
"Dengan kain putih seperti itu.
"Halayudha, kamu masih ingat semua yang pernah kamu lakukan padaku?"
Tubuh Halayudha menggigil.
Tangannya gemetar ketika menyembah.
"Masih" "Kamu tahu apa yang akan terjadi dengan dirimu?"
"Duh, Permaisuri Praba Raga Karana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hamba pasrahkan jiwa-raga, meskipun tak akan mampu menghapus dosa hamba sampai tujuh turunan."
"Apakah kamu akan memohon ampun, Halayudha?"
Halayudha menyembah. Tidak mengisyaratkan mengiyakan atau menolak.
Menggantung. "Kalau kamu menjadi aku, apa yang akan kamu lakukan, Halayudha?"
"Mohon ampun, Permaisuri Praba Raga Karana, permaisuri pilihan Raja.
"Yang akan hamba lakukan saat ini, menghukum mati dengan memoteng tubuh. Atau memberi ampunan dengan tujuan, hamba akan berbakti tanpa batas."
"Kalau aku memilih yang kedua, apakah ada jaminan manusia semacam kamu akan bisa baik mengabdi?"
"Sesungguh-sungguhnya tidak ada, Tuan Permaisuri.
"Hanya kepercayaan, bahwa manusia bisa berubah."
"Apa itu bisa berlaku bagimu?"
Halayudha tak menjawab. Ragu dengan kemampuannya sendiri.
Bayangannya adalah kekejian yang menistakan Praba Raga Karana.
"Mahapatih Halayudha.
"Banyak orang tertipu dengan sikapmu yang tersipu.
"Aku tak akan terpengaruh.
"Aku tahu betul siapa dirimu.
"Halayudha. "Hari ini aku, sebagai permaisuri Raja, memanggilmu, agar kamu tidak menjadi ketakutan. Aku memanggilmu, mengajak berbicara berdua, agar jiwamu lebih tenang.
"Bahwa aku tak akan melupakan kekejian yang kamu lakukan.
"Namun aku tak akan mengatakan hal itu kepada siapa pun."
Mulut Halayudha menganga.
Mengeluarkan suara mendesis.
"Hanya itu yang ingin kukatakan kepadamu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha bahkan lupa menyembah. Lupa menunduk.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bibirnya terbuka. "Aku permaisuri Raja.
"Kamu tidak bisa memandang seperti itu."
Halayudha menunduk. Menyembah hingga mencium lantai.
"Permaisuri Praba. "Semoga roh suci memberkati Permaisuri sepanjang jagat."
Praba Raga Karana menghela napas.
"Untuk apa kamu menyebut roh suci"
"Aku tidak memerlukan sebutan seperti itu."
Halayudha menyembah. "Permaisuri Raja. "Hamba siap menerima segala jenis hukuman. Akan tetapi hamba tak siap dengan pengampunan maha besar ini. Kekuatan sukma sejati yang rumangsuk, yang menitis dalam tubuh Permaisuri, sungguh mulia.
"Pencerahan yang tiada tara.
"Yang menjadikan Permaisuri maha bijak, sebijak-bijaknya, maha luhur seluhur-luhurnya, hanyalah sukma sejati, roh maha suci. Yang membebaskan belenggu kehinaan yang pernah hamba lakukan.
"Semoga setetes kecerahan sukma sejati itu juga akan sempat hamba lihat kilaunya."
"Kembalilah, Halayudha...."
Suara Praba Raga Karana sangat perlahan.
Halayudha menunduk lama, sebelum beringsut mundur.
Sentuhan Sukma Sejati ITULAH akhirnya! Halayudha beringsut mundur setapak demi setapak, dan jalan pikirannya melejit, melenyap, membersit, menusuk ke seluruh bagian pikirannya yang paling dalam.
Praba Raga Karana! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Betapa sangat dikenalnya wanita itu. Sebagai wanita yang bertubuh keras, yang tak mempunyai keahlian apa-apa selain sebagai juru pijat para prajurit. Wanita yang tak mengenal ilmu silat dan ilmu surat.
Betapa mengagumkan ketika Raja menjatuhkan pilihan padanya, serta mengangkatnya sebagai permaisuri.
Betapa lebih mengagumkan bahwa wanita yang tak pernah menunjukkan kehendaknya selain mengiya dengan bahagia, sepertinya malah menolak titah Raja.
Dan selama itu Halayudha tetap menganggapnya sebagai wanita yang sangat kebetulan saja nasibnya beruntung. Sangat beruntung. Dan karena menjadi ganjalan, Halayudha melindasnya dengan cara yang hina. Menotok semua nadi tubuhnya, terutama nadi kewanitaannya.
Menghabisi hingga benar-benar rata dengan tanah.
Akan tetapi dengan cara yang sangat luar biasa bisa kembali seperti sediakala.
Dengan sangat luar biasa pula membebaskan orang yang paling menyakiti hatinya!
Apa lagi jika itu bukan kekuatan sukma sejati"
Apa lagi jika itu bukan sentuhan sukma sejati, yang menitis ke dalam tubuh Praba Raga Karana"
Kemahamuliaan macam apa yang bisa menerangkan ini"
Halayudha kenyang dengan intrik, dendam, siasat, strategi, dan perhitungan yang paling kotor sekalipun. Dan satu-satunya yang secara terbuka tidak membalas dendam padanya adalah Upasara Wulung.
Akan tetapi bukan berarti memberi pengampunan.
Seperti yang baru saja dilakukan Permaisuri Praba. Yang dengan suara datar, lirih, mengungkapkan bahwa ia mengetahui semuanya, tapi tetap tidak menjatuhkan hukuman sebagai pembalasan dendam yang sangat pantas dilakukan.
Tidak, kata Halayudha dalam hati. Tidak ada kebetulan yang bisa terjadi secara berturut-turut. Keberuntungan yang terulang bukan sesuatu yang terjadi begitu saja.
Terpilihnya Praba sebagai permaisuri di antara ratusan wanita, penolakannya yang diam-diam, penghapusan dendam, menunjukkan titik-titik persamaan dalam kelebihan yang tak dimiliki manusia lain.
Halayudha menyebutnya sebagai sentuhan sukma sejati.
Karena secara nalar, apa yang terjadi pada Permaisuri Praba tak bisa diterima akal sehat. Tidak juga karena strategi tertentu, seperti yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
diucapkan Halayudha. Bahwa pengampunan yang diberikan dengan tujuan agar dirinya menjadi pengabdi tanpa batas.
Halayudha sangat mengenal Praba!
Yang justru jauh dari cara berpikir seperti itu. Yang penuh perhitungan dan masuk dalam liku-liku permainan.
Praba dengan polos, dengan tulus, menjalani hidupnya.
Inilah yang luar biasa. Bahwa sukma sejati bisa hadir pada wanita yang biasa-biasa. Yang tidak secara sadar mengejar ke arah itu.
Halayudha merasa gentar. Ia merasa sangat yakin Permaisuri Praba bahkan tidak sepenuhnya menyadari apa yang sekarang ini dilakukan, dalam artian memang merencanakan dengan saksama.
Bisikan hatinya yang menuntunnya.
Halayudha seperti melayang di atas tanah. Jiwanya mengembara, menabrak dinding kenyataan yang mengusik hatinya.
Tokoh luar biasa yang ditemui Halayudha yang menunjukkan adanya kekuatan sukma sejati adalah Dewa Maut. Yang memberikan petunjuk mengenai pengalihan kekuatan planangan, yang kemudian mengorbankan diri, karena itulah kekuatan katresnan, kekuatan kasih yang menggerakkan ombak, mendorong angin, membuat buah-buahan terbentuk.
Boleh dikatakan itulah pertama kalinya Halayudha mengenal kekuatan sukma sejati.
Dewa Maut lebih dari Eyang Puspamurti yang sepanjang hidupnya justru berupaya mendapatkan sukma sejati untuk menjadi mahamanusia. Eyang Puspamurti termasuk luar biasa, dan mampu menggali kekuatan dari sukma sejati sebagai sumber utama. Akan tetapi rasanya masih terombang-ambing.
Dan sekarang ini, Permaisuri Praba Raga Karana.
Jadi apa sesungguhnya sukma sejati itu"
Halayudha masih bertanya-tanya ketika melewati halaman luas di kepatihan, dan melihat dari kejauhan Eyang Puspamurti masih berdiri mengajar dua muridnya.
"Perhatikan baik-baik, Mada.
"Mahapatih itu menengok kemari. Wajahnya tolol, bingung, dan bertanya-tanya. Tapi wajah itu tetap saja wajah yang kotor, hina, dan berbekas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan mencoba mendengarkan getarannya.
"Mada, apa yang kamu rasakan?"
"Tidak ada, Eyang."
"Kwowogen, apa yang kamu rasakan?"
"Eyang, apakah betul saya melihat ksatria lelananging jagat, yang sangat gagah dan perkasa?"
Eyang Puspamurti bersila di samping Kwowogen. Kedua tangannya membuat gerakan lingkaran terbalik, yang menyatu di depan, terhenti, dan kemudian membentuk sembah.
"Yang mana?" "Yang gagah, Eyang."
"Tidak. "Kamu keliru mengikuti. Itu sudah terjadi. Bukankah yang ditemui Permaisuri Rajapatni?"
"Saya tak tahu, Eyang."
Kwowogen terbatuk. Tubuhnya mengeluarkan keringat.
Perjalanan sukma, latihan pengenalan tenaga yang merampas semua kemampuan Kwowogen.
Yang membuat Halayudha mengurut rambutnya.
Lagi-lagi pameran kekuatan yang lain. Kekuatan Merogoh Sukma Sejati yang bisa dimulai pada pemuda seusia Kwowogen dan Mada.
Bisa dibayangkan di kemudian hari akan menjadi tokoh yang kelewat sakti. Dan kalau pengabdiannya benar, prajurit seperti ini bisa menjadi senopati yang linuwih, yang mengungguli senopati yang terpilih sekalipun.
Tergerak hati Halayudha untuk mengikuti latihan mereka, akan tetapi pikirannya masih terombang-ambing oleh peristiwa yang baru saja dialami. Yang masih menggelombang dan memantulkan gema kuat.
"Kwowogen, sudahi...."
"Eyang, apa mungkin Permaisuri Rajapatni berkulit sangat putih?"
"Cukup." "Dan kenapa Ksatria Upasara Wulung berubah menjadi wanita, wanita yang dulu ada di perahu, Eyang?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tangan Eyang Puspamurti mencekal erat pundak Kwowogen yang tergetar. Ketika tangan kanannya mengusap wajah Kwowogen, yang terusap mengeluarkan suara tertahan.
Tubuhnya lemas. Terbaring di rumput. Mada bergegas mendekat. "Perhatikan baik-baik, Mada.
"Jangan terlalu memaksa kalau memanggil kekuatan sukma sejati.
Setiap pemaksaan hanya akan melahirkan kesesatan. Karena bertentangan dengan gerak yang lahir.
"Perhatikan, Mada."
"Eyang, siapa tokoh yang dijumpai Kwowogen?"
"Upasara Wulung. "Saya juga mengetahui."
"Wanita di perahu, bukankah itu Jagattri?"
"Itu yang namanya tersesat.
"Tak mampu meniti jalan, sehingga melesat tanpa tujuan. Bisa ke mana-mana, tapi tak bisa kembali."
"Kalau begitu Jagattri masih hidup, Eyang?"
"Mana saya tahu. "Bisa saja sudah mati.
"Mada, jangan coba-coba menembus sendiri."
Mada mengurungkan niatnya.
"Kamu suka Jagattri?"
"Ya, Eyang." "Ya, saya tahu. "Matamu terbelalak, jakunmu bergerak waktu melihatnya. Akan tetapi perhatikan baik-baik. Jangan kamu paksa.
"Latihan kalian masih jauh.
"Padahal usia saya kurang dari separuh. Mahapatih, untuk apa kamu berdiri di situ?"
Halayudha menggerakkan tangannya. Melangkah perlahan menuju kepatihan. Masih dengan busana putih, Halayudha menuju senthong, kamar yang selama ini hanya dipakai untuk menyimpan senjata dan bersemadi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Halayudha bersila. Berusaha melepaskan tindihan pikirannya.
Tapi yang kemudian dirasa adalah tubuhnya malah melemah kembali.
Sehingga dengan cepat ditariknya kembali kekuatannya. Tubuhnya kini terasa sangat pegal, letih.
Halayudha memejamkan mata. Mengikuti irama aturan napasnya tanpa mengumpulkan kekuatan tenaga dalamnya.
Panggilan Guritan SESUNGGUHNYA apa yang dilakukan Kwowogen menimbulkan kekaguman di hati Eyang Puspamurti. Kekuatan sukma sejati yang dijajal oleh Kwowogen menunjukkan keberhasilan.
Hal yang juga dilihat oleh Halayudha.
Yang masih belum bisa dikendalikan adalah penguasaan dengan mengendarai kekuatan itu. Itu yang terjadi ketika Kwowogen berusaha berlatih, yang membersit adalah bayangan tubuh Upasara Wulung dan Permaisuri Rajapatni. Eyang Puspamurti yang mencoba mengikuti lesatan sukma Kwowogen, bisa merunut dan melihat bahwa pertemuan itu sebenarnya sudah berlalu.
Ketika Kwowogen mengalihkan kepada hal lain, yang menyeruak adalah bayangan tubuh Jagattri, atau Gendhuk Tri. Hanya karena kemampuan tenaganya masih terbatas, Kwowogen kemudian menggelepar.
Bagi Eyang Puspamurti itu satu loncatan besar. Kwowogen lebih mudah mengerahkan tenaga dan kekuatan sukma sejati dibandingkan Mada. Tubuhnya lebih terbuka, dan pemanggilan tenaga sukma sejati lebih mengalir.
Kalau sekarang seperti kehabisan tenaga, itu hanya soal waktu untuk memulihkan kembali.
Dan berlatih kembali, dengan cara yang lebih baik.
Sesungguhnya, kalau saja Kwowogen bisa mengetahui apa yang terjadi dalam pengembaraan sukmanya, kejadian yang menimpa dirinya akan lain.
Karena Upasara Wulung memang bertemu dengan Permaisuri Rajapatni.
Dugaan yang dilemparkan oleh Bango Tontong serta Jabung Krewes sangat tepat. Yang berbeda hanyalah tempat pertemuan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan di Sanggar Pamujan Simping, melainkan di luar dinding Keraton!
Sesuatu yang tak diduga Upasara Wulung sendiri.
Ketika ia kembali ke wilayah Keraton dan mendengar rencana pernikahan Raja dengan Putri Tunggadewi serta Rajadewi sekaligus, hati Upasara memberontak.
Upasara tak akan membiarkan hal itu terjadi.
Hanya saja sekali ini ia tidak akan bertindak. Banyak pertimbangan yang menahan Upasara Wulung untuk langsung menuju ke dalam Keraton dan menggagalkan rencana. Tindakan itu terlalu memancing keributan, yang rasanya sekarang ini kurang cocok dilakukan.
Bagi Upasara yang lebih penting adalah melakukan apa yang dianggap baik, tanpa menimbulkan keonaran. Makin tidak diketahui orang, rasanya makin baik.
Yang lebih utama adalah keberhasilan mencapai tujuan, bukan memamerkan kegagahan.
Kadang Upasara merasa tindakannya yang hati-hati ini karena perkembangan usia yang memaksanya untuk membuat perhitungan dari pelbagai segi. Yang sangat mendesak adalah jangan sampai Raja menjadi murka, yang bisa berakibat luas. Yang akan mengubah persoalan pernikahan menjadi persoalan Keraton, antara masalah satu-dua orang menjadi masalah seluruh masyarakat luas yang justru akan menderita karenanya.
Dalam mencari jalan keluar yang tepat, Upasara Wulung sengaja
"mengikuti gerak mata dan langkah kaki". Artinya berjalan mengikuti mata dan kaki. Berbelok ke kanan atau ke kiri, masuk ke pasar atau melewati alun-alun.
Hingga akhirnya sampai di bagian luar benteng.
Berdiri di bawah tembok luar.
Kakinya membawa ke tempat itu tanpa disadari.
"Aku tahu, Adimas Upasara akan datang kemari."
Upasara merasa sedikit heran. Selama perjalanan ini ia merasa menyamar, dan melindungi kepalanya dengan caping yang lebar. Yang menenggelamkan seluruh kepalanya. Hingga tak akan mudah dikenali.
Makanya Upasara heran ketika ada yang mengenali. Lebih heran lagi karena suara itu sangat lembut, indah, dan seperti menimbulkan gema yang dikenal.
Sewaktu Upasara menoleh, rasa herannya bertambah.
"Mbakyu Ayu..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Suara Upasara menunjukkan rasa heran dan rasa hormat yang tinggi.
Betapa tidak heran kalau mengetahui bahwa yang datang mendekat padanya adalah Permaisuri Tribhuana!
Selama ini Upasara merasa kikuk terhadap Permaisuri Tribhuana.
Apalagi setelah pertemuan dengan Permaisuri Rajapatni di kapustakan, dan kemudian dibawa ke dalam kameswaren, tempat para permaisuri.
Betapa tidak kikuk, karena sesungguhnya dalam hatinya Upasara sangat menghormati Permaisuri Tribhuana, tetapi juga menyadari bahwa selama ini dirinya merepotkan hati Permaisuri Tribhuana.
Merepotkan karena Permaisuri Tribhuana adalah kakak kandung Permaisuri Rajapatni, yang sama-sama mengabdi kepada Baginda bersama dua saudara perempuan yang lainnya. Pengabdian yang total, yang utuh kepada suami, kepada Baginda. Akan tetapi pada saat yang sama, Permaisuri Tribhuana juga memberi kelonggaran pertemuan Permaisuri Rajapatni dengan dirinya.
Upasara menjadi makin kikuk dan merasa serbasalah.
"Aku tahu suatu hari Adimas Upasara akan berada di bawah benteng ini. Akan mendongak ke atas, mencari guritan di ujung benteng itu."
Ah! Guritan asmara. Puisi asmara.
Benarkah hatinya tergetar dan tertarik oleh guritan di benteng"
Ah! Kalau tidak, kenapa kakinya melangkah menuju benteng" Dan berdiri lebih lama dari biasanya"
Hmm, ho! Upasara tak bisa menguasai dadanya yang bergolak.
Guritan asmara yang disebutkan Permaisuri Tribhuana menoreh dan membukakan pengalaman manis. Sangat manis dan menyenangkan, menghangatkan perasaannya kala mengenang.
Kala itu Keraton Singasari dikuasai Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang. Benteng mendapat pengawasan yang luar biasa ketatnya.
Apalagi di saat itu Ugrawe berada dalam puncak kejayaannya yang memegang komando keamanan sepenuhnya.
Di luar perhitungan siapa pun, di dinding luar benteng utama tergores guritan, atau puisi yang ditulis secara terbalik. Pemahat guritan itu seperti melayang dari langit, dengan kepala menghadap ke bawah, untuk menuliskan di dinding yang keras.
Guritan itu sendiri tak akan terbaca dari bawah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Akan tetapi bisa jelas kalau dibaca dalam air yang menggenang di tanah. Bayangan terbalik itu memudahkan untuk dibaca, sehingga banyak penduduk yang berkumpul untuk mengetahui apa yang terjadi.
Di lautan asmara gelombang rindu menyapu pada batu karang kesetiaan
tersisa pasir penantian di pantai kemesraan membadai kenangan menjilati bersama pasang laut
mencumbu lumut berahi meniti buih saat purnama kau tiba karena begitulah aku garam putih tak mungkin pisah dari laut birumu.... Guritan itu tidak luar biasa. Susunan dan pilihan kata-kata yang digunakan sangat pendek, sedikit liar dalam menggambarkan kerinduan, asmara, serta berahi.
Akan tetapi guritan ini serentak menjadi sangat kondang, sangat terkenal. Beberapa pemuda berusaha mengidungkan, dengan bersungguh-sungguh atau setengah main-main. Beberapa istri cemberut dan bangkit kecemburuannya bila suaminya menembangkan.
Guritan yang membuka banyak persoalan. Karena dari sisi keamanan Keraton dianggap satu penghinaan dan sekaligus tantangan. Bahwa ketenteraman dan keamanan yang dikumandangkan ternyata omong kosong.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Apalagi ketika pintu gerbang, pintu Keraton, dinding, dan bahkan binatang kesayangan Raja dicoreti dengan guritan itu, sebaris atau dua baris.
Yang kemudian banyak dibicarakan adalah bahwa pahatan itu dibuat oleh Upasara untuk Permaisuri Rajapatni, yang ketika masih bernama Gayatri pernah diselamatkan Upasara di benteng tersebut. Ketika terjadi pertarungan mati-hidup, di mana sebelumnya Upasara Wulung diangkat sebagai senopati pamungkas, senopati terakhir yang menyelesaikan, dalam pertarungan yang disaksikan seluruh prajurit.
Upasara Wulung menjadi perhatian utama. Karena dia merupakan ksatria di luar jajaran para prajurit setia Raden Sanggrama Wijaya, yang diangkat sebagai senopati. Di samping itu, kisah kasih antara Upasara Wulung dengan Gayatri sudah banyak didengar. Apalagi ketika kemudian secara resmi Gayatri dipersunting Baginda menjadi Permaisuri Rajapatni, dongengan asmara yang berkembang lebih berwarna-warni.
Lebih banyak kembangan, yang dikembangkan oleh masing-masing pencerita.
Pamitan Asmara KISAH kasih, daya asmara Upasara-Gayatri makin kental dan menjadi dongengan utama para orangtua kepada anak gadis dan anak lelakinya.
Bahwa yang terkembang adalah yang serba manis dan sesuai dengan keinginan pencerita: Upasara adalah contoh ksatria sejati, yang buah hatinya pun rela dipersembahkan kepada Baginda, tak bisa dilacak mana yang lebih tepat.
Di satu pihak Upasara Wulung menjadi gambaran mulia seorang prajurit, senopati yang berbakti lahir-batin, jiwa-raga, kepada Keraton.
Di lain pihak juga bisa menjadi gambaran bahwa sesungguhnya daya asmara yang sejati tak pernah mati. Betapapun terpisahnya raga Upasara dengan Gayatri, akan tetapi sesungguhnya daya asmara mereka kekal abadi.
Yang terakhir ini menjadi dongengan yang lebih langgeng. Bisa jadi karena dalam masalah asmara ini banyak yang merasa menemukan gambaran mulia dari daya asmaranya sendiri yang sejati.
"Adimas Upasara..."
Upasara masih melamun. Guritan asmara yang disebutkan tadi sebenarnya terpahat di dinding Keraton Singasari. Dan sekarang berada di benteng Keraton Majapahit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Walau bentuk dan susunannya dibuat sangat mirip, akan tetapi tetap berbeda.
Toh itu yang membuatnya berdiri agak lama.
Toh itu juga yang membuat Permaisuri Tribhuana menunggu, entah sudah berapa lama.
Apa sebenarnya kenangan itu"
Kenapa menjadi begitu bermakna"
Dinding benteng pun bisa menjadi idiom dan simbol yang berbicara mengenai daya asmara.
"Adimas Upasara..."
"Maaf, Mbakyu Ayu Permaisuri..."
"Mari kita menuju ke tempat yang lebih tenang, tidak menjadi pusat tontonan."
"Maaf..." Upasara mengikuti langkah Permaisuri Tribhuana, menuju ke dalam gerobak pedati. Yang segera bergerak perlahan, seirama dengan langkah dua ekor sapi putih.
Pedati. Pedati ini pun bisa membuka kenangan Upasara pada seorang kusir yang sederhana. Seorang yang dipanggil Pak Toikromo. Sebuah nama yang tidak mengandung makna apa-apa. Bahkan tidak akan pernah berarti apa-apa bagi siapa pun, selain bagi Upasara.
Ketulusan Pak Toikromo untuk mengangkat Upasara sebagai menantu, tanpa mengetahui siapa sesungguhnya Upasara yang saat itu tengah terlibat dalam rencana pertarungan besar.
Kenangan itu menyenangkan, menggetarkan.
Akan tetapi hanya sekilas.
Berbeda dengan guritan yang terpahat!
"Adimas Upasara Wulung.
"Aku sengaja menemui Adimas. Ini semua adalah keinginanku sendiri, dosa-dosaku. Dewa mengetahui dan mencatat ini dosa yang akan kutanggung sendiri."
Permaisuri Tribhuana dikenal memiliki pengalaman yang paling luas, paling mengetahui seluk-beluk Keraton, dan mampu bertutur kata secara mengagumkan.
Akan tetapi sekali ini terdengar agak tersendat.
"Adimas Upasara Wulung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jagat telah berubah. Sang surya masih terbit dari timur dan tenggelam di barat. Sang purnama masih bersisa, kadang bersinar purnama.
"Jagat telah berubah. Tanpa terasa.
"Aku terlambat menyadari perubahan, terlambat menangkap suara alam.
"Adimas. "Sejak meninggalkan Keraton menuju desa pamujan di Simping, sejak itu sesungguhnya panggilan Dewa sudah sangat jelas memberi isyarat.
"Tetapi kami buta. "Tetapi kami tuli. "Kecuali Baginda, semuanya tidak mendengar apa-apa, selain menerima sebagai kepindahan tempat. Saat itu sesungguhnya Baginda telah menyatu dengan Dewa Yang Maha Pencipta.
"Adimas. "Kini panggilan itu kami dengar."
Upasara berdiam. Tepekur. "Adimas, kami berdua, aku dan adikku, ingin pamitan dengan Adimas Upasara.
"Pamit mungkur ing kadonyan, menjauhkan diri dari keduniawian dalam arti yang sesungguhnya. Betapapun tidak mungkinnya, kami akan mengikuti tapak kaki Baginda.
"Adimas Upasara Wulung.
"Itu sebabnya aku menemuimu. Aku akan memintamu, memohonmu, merelakan semuanya."
Geraham Upasara beradu. Tangannya kaku. Pandangannya beku. Permaisuri Tribhuana menghela napas. Dalam sekali.
"Aku selalu mengatakan kepada adik-adikku agar tidak terbiasa menghela napas. Itu seperti penyesalan.
"Tapi aku melakukan kali ini.
"Untuk yang terakhir kali.
"Adimas. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mudah-mudahan Adimas menerimanya."
Upasara mendongak. Pandangannya bersorot tajam.
"Mbakyu Ayu, apa kesalahan hamba selama ini?"
"Tidak ada," jawab Permaisuri Tribhuana cepat sekali.
"Adimas tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tidak berbuat yang bisa dikenai hukuman karena melanggar tata krama kasusilan, kesusilaan.
"Tidak, sama sekali tidak.
"Adimas jangan salah mengerti.
"Aku sengaja datang, sengaja menunggu di bawah benteng penjagaan, karena aku masih merasakan ada getaran yang masih menemukan gemanya dalam hati Adimas.
"Aku merasa getar itu juga bergema dalam hati adikku, Permaisuri Rajapatni.
"Adimas. "Selama ini tak sepatah kata pun namamu disebutkan. Tak sekelebat bayangan pun terbaca. Tidak sama sekali.
"Bahkan jauh dari itu.
"Akan tetapi sesungguhnya masih ada setitik debu dibagi sepuluh ribu yang masih membara. Masih meletik.
"Baik dalam diri Adimas.
"Maupun dalam diri adikku, Yayi Ayu.
"Itu yang kuminta, kumohon pada Adimas. Sebab kami berdua ingin mengikuti tapak kaki Baginda. Kami akan bertapa, kami akan melakukan perjalanan batin, menyatu kepada Dewa Yang Mahakuasa.
"Lapangkanlah perjalanan Yayi Ayu.
"Lepaskan yang memberati.
"Lupakan dari dasar hati.
"Adimas. "Aku tahu ini sangat berat. Rasanya hampir tak mungkin. Karena puluhan tahun telah berlalu, tapi gema guritan itu-yang sebenarnya tak ada hubungan apa-apa, masih bisa menggetarkan.
"Aku tahu ini mustahil.
"Tapi kerelaan adalah pemberian, pengorbanan yang pasrah, tulus, sedalam-dalamnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hanya dengan kerelaan dari Adimas, aku percaya adikku Yayi Ayu akan mencapai tujuannya yang mulia."
Upasara menegakkan punggungnya.
Matanya masih tajam. "Adimas Upasara Wulung.
"Kalau aku mengatakan tujuan yang mulia, tidak berarti yang sekarang ini tidak mulia. Sekarang, masa lalu, tidak ada cacat celanya.
"Akan tetapi jagat berubah. Panggilan Dewa yang bisa keliru tak bisa salah.
"Hanya kerelaan Adimas yang akan menyempurnakan tapa brata adikku Yayi Ayu"
"Maaf..." "Aku tahu, ini hal yang berat.
"Sangat berat. "Karena justru kenangan, sisa yang masih ada tanpa bekas, harus Adimas relakan.
"Aku tahu, Adimas merasa terampas seutuhnya.
"Tetapi aku tidak melihat jalan lain. Akan merasa sangat sayang, kalau dalam melakukan tapa brata, dalam bertapa, nantinya Yayi Ayu tidak bisa menemukan kesempurnaan, karena masih ada yang diberati.
Walau itu hanya setitik debu dibagi selaksa.
"Adimas bisa mengerti?"
Upasara tidak menjawab. "Adimas mau mengabulkan keinginanku?"
Upasara memalingkan wajahnya.
"Adimas. "Aku datang untuk pamit. Untuk memamitkan adikku Yayi Ayu. Juga meminta Adimas untuk pamit.
"Segala kebaikan, ketulusan, dan kerelaan Adimas..."
Upasara menelan ludahnya.
"Maaf...." Lila Legawa SUARA Upasara menjadi keras.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Satu kata, maaf, yang diucapkan terdengar bagai sebongkah batu yang dijatuhkan di atas papan kayu.
Permaisuri Tribhuana menindas dengan suara yang lembut, emosi yang terjaga.
"Adimas. "Aku tak ingin mengulang cerita lama. Akulah permaisuri utama Baginda, yang menyerahkan takhta keturunan kepada Permaisuri Indreswari. Aku yang mengangkat anak Bagus Kala Gemet, sehingga semua jalannya menuju takhta tak terganjal kerikil kecil.
"Aku permaisuri utama Baginda.
"Sampai saat ini masih Permaisuri Utama Baginda.
"Adimas, kalau aku menemui Adimas, menyempatkan diri, keraya-raya, memaksakan diri menemui Adimas, karena aku menghormati Adimas, karena aku rela melepaskan semua keunggulanku sebagai permaisuri utama.
"Adimas, kalau aku meminta Adimas, aku telah menjadikan diriku sebagai peminta-minta, sebagai pengemis yang menengadahkan tangannya meminta belas kasihan.
"Semua kulakukan demi Keraton.
"Demi Baginda. "Demi Raja. "Demi penduduk Majapahit.
"Bukan demi aku pribadi.
"Adimas Upasara Wulung.
"Adimas telah memberikan yang terbaik dan terbesar untuk Keraton, untuk Baginda, yang tidak bisa dilakukan yang lain. Segalanya serba sempurna dan serba luar biasa.
"Apalagi jika..."
"Maaf..." Dalam soal bertutur kata, Upasara Wulung bukan tandingan Permaisuri Tribhuana. Seujung kuku pun Upasara tak bisa menyamai.
Dalam percakapan seperti yang dilakukan mereka berdua ini, Upasara tak mempunyai peluang untuk mengutarakan pendapatnya.
Akan tetapi sekali ini berbeda.
Bukan karena keunggulan bertutur kata. Juga bukan karena keberanian menghentikan kalimat Permaisuri Tribhuana yang lembut
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
dan berirama. Melainkan karena desakan yang memukul-mukul debaran jantungnya.
"Hamba selalu kurang dalam tata krama.
"Perkenankan hamba menyampaikan, bahwa selama ini hamba tidak pernah mengganggu, tidak pernah berusaha mendekati Permaisuri Rajapatni Yang Mulia.
"Sejak perebutan benteng Singasari dalam perang besar, yang disambung pertarungan dengan pasukan Tartar, hamba berusaha tahu diri. Berusaha melihat diri hamba yang tak ada apa-apanya dibandingkan kebesaran Permaisuri...."
"Adimas..." "Saat itu..." Upasara menyambung dengan suara meninggi. "Hamba lebih suka berada di Perguruan Awan. Meninggalkan kegiatan Keraton, ingkar sebagai ksatria.
"Akan tetapi, bukankah Baginda sendiri yang kemudian mengutus Permaisuri Rajapatni"
"Akan tetapi, bukankah Permaisuri Tribhuana sebagai mahalalila, yang berpandangan luas, pandai, dan bijaksana, menyetujui atau memberi pertimbangan kepada Baginda"
"Akan tetapi, bukankah Permaisuri Tribhuana yang menerima hamba dan merestui pemberian pakaian kebesaran busana kanendran yang dirajut Permaisuri Rajapatni?"
"Itu semua benar, Adimas...."
"Bukankah sekarang Permaisuri Tribhuana yang datang untuk mencabut semua itu?"
"Adimas..." "Maaf..." "Adimas, aku ingin menyampaikan sesuatu sebelum nanti giliranmu.
"Adimas Upasara Wulung.
"Apa yang Adimas katakan benar. Bahkan Baginda juga memberikan restunya ketika Yayi berusaha mengajak Adimas ke Keraton dan menawarkan jabatan mahapatih.
"Semua benar. "Adimas tidak salah sedikit pun."
"Maaf..." "Dan tidak menyalahkan siapa pun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku merasa hina, malu, dan tak berharga di depan Adimas. Akan tetapi.... Adimas, Adimas...
"Jagat sudah berubah.
"Tujuan dan arah kehidupan sudah beralih.
"Adalah sangat meniadakan perasaan yang suci, yang murni, kalau aku mengatakan apa artinya melupakan rasa yang ada, setelah Adimas memberikan semuanya kepada Keraton"
"Tidak, aku tidak mengetahui sedalam-dalamnya kemurnian kasih sayang, letikan daya asmara yang sejati.
"Yang aku minta Adimas bisa bersikap lila legawa, lahir-batin rela, ikhlas, demi wanita yang mengasihi dan dikasihi, untuk mencapai kesempurnaan yang kekal abadi.
"Adimas. "Adimas Upasara Wulung.
"Kepada siapa aku meminta kalau tidak kepada Adimas"
"Dari siapa aku diberi kalau tidak dari keluhuran jiwa Adimas"
"Apakah di jagat ini ada yang bisa dimintai pertolongan seperti ini selain Adimas Upasara Wulung"
"Tidak juga Dewa, tanpa kerelaan Adimas."
Suaranya gemetar. Menggeletar. Samar tertimpa bunyi roda pedati.
Mata Upasara panas. Lubang hidungnya menjadi pedih.
Tanpa terasa jiwanya terseret oleh kalimat-kalimat Permaisuri Tribhuana, dan tercipta dalam suasana yang dimaksudkan pembicara.
Permaisuri Tribhuana memilih istilah lila legawa dan bukannya rila legawa.
Arti harfiahnya tak jauh berbeda. Apalagi dalam pengucapan seolah satu arti yang sama.
Kata terakhir berarti kerelaan seorang yang murah hati. Yang memberikan sesuatu yang sangat dibutuhkan dengan kerelaan dermawan.
Sedangkan lila bisa berarti indah, memesona, tenang, permai, menyenangkan, membahagiakan. Berarti kerelaan itu sesuatu yang indah, yang membahagiakan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi yang diberi. Maupun yang memberi. Ketulusan yang indah ketika memberikan!
Dalam tutur kata semacam ini, Permaisuri Tribhuana tak akan meleset sedikit pun. Baik pilihan kata, cara pengucapan, maupun tarikan napas untuk berhenti sejenak.
Pertanyaan seperti "kepada siapa lagi kalau bukan kepada Upasara"
membuat Upasara tak bisa menghindar lagi. Apalagi dalam hal ini Upasara memang satu-satunya pelaku.
Tidak ada yang lain. Tidak juga Dewa. Tidak juga Dewa, kalau Upasara tidak rela melepaskan Permaisuri Rajapatni dari getaran hatinya yang paling tersembunyi. Untuk melepaskan secara ikhlas.
Permaisuri Tribhuana termenung.
Menunggu. Memberi kesempatan Upasara menenteramkan pergolakan batinnya.
Agak lama. "Adimas..." Suaranya lembut, menggantung.
"Aku tak berhak meminta apa-apa dari Adimas.
"Aku hanya ingin menyampaikan hal ini kepada Adimas. Selebihnya, aku tak tahu harus berterima kasih seperti apa, dan meminta maaf secara bagaimana.
"Maaf, Adimas, aku tak mampu menatap Adimas lebih lama."
Tangan Upasara masih terkepal.
"Adimas, aku minta pamit."
Upasara masih terdiam. Baru kemudian sadar bahwa dirinya harus melangkah keluar dari pedati. Dengan hormat, Upasara menyembah ke arah Permaisuri Tribhuana.
"Maafkan semua kekasaran hamba, Permaisuri Tribhuana...."
"Dewa Maha Mengetahui, Adimas."
"Hamba mohon..."
Ada dua pilihan kata yang bisa diucapkan Upasara, yaitu pamit dan mohon diri. Pamit, bisa diartikan secara keseluruhan Upasara
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menyanggupi permintaan. Mohon diri lebih berkesan ia meminta diri, tanpa berarti adanya ikatan memenuhi permintaan Permaisuri Tribhuana.
Tapi kata yang dipilih tak terdengar.
Karena saat itu Permaisuri Tribhuana menubruk, merangkul Upasara. Dengan kasih seorang kakak, seorang yang mengucapkan kebahagiaan dan rasa terima kasih yang mendalam. Tinggal Upasara sendiri.
Termangu di pinggir jalan, seolah masih berada dalam mimpi. Serasa berada di antara awan.
Batinnya merintih, bertarung tanpa menindih, perih tanpa duka.
Tawar tanpa rasa. Luka tanpa warna. Asmara Pamungkas UPASARA mengalami berulang kali kekecewaan asmara.
Hubungannya dengan Permaisuri Rajapatni mengalami hilang dan bersemi lagi. Sejak pertama mengenalnya.
Akan tetapi sekali ini menyengat kesadarannya dan membantingnya pada kesadaran yang pahit.
Ketika Upasara melepaskan daya asmara dan Gayatri menjadi permaisuri, Upasara merasa masih memiliki sesuatu yang utuh, terjaga sempurna dalam dirinya. Sesuatu yang menemukan gemanya ketika Permaisuri Rajapatni mengirimkan cundhuk mentul. Tapi sebenarnya tanpa itu pun, Upasara merasa hubungan itu tetap ada.
Daya asmara yang dikatakan Permaisuri Tribhuana sebesar setitik debu dibagi selaksa masih tersisa. Masih tetap bermakna.
Tidak juga berkurang atau bergeser, meskipun secara resmi Upasara menjadi Raja Turkana mendampingi Ratu Ayu Bawah Langit Azeri Baijani.
Walau separuh dari usianya Upasara hanya bertemu, kadang saling melihat saja, beberapa kali saja dengan Permaisuri Rajapatni, itu tak mengurangi rasa yang bersemayam, yang masih menyemangati dan membuatnya tersenyum mesra dalam mimpi.
Justru sisa yang tak seberapa itu yang diminta oleh Permaisuri Tribhuana untuk direlakan.
Untuk diikhlaskan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau bukan Permaisuri Tribhuana, Upasara segera menentukan sikap. Tapi Permaisuri Tribhuana membuatnya ragu. Karena niatan itu tidak mengandung maksud jahat. Tidak ada untungnya Permaisuri Tribhuana melakukan pelepasan sisa asmara yang terakhir.
Bahkan sebaliknya. Tujuannya agar Permaisuri Rajapatni bisa mencapai kesempurnaan dalam bertapa, melepaskan segala keduniawian. Tak ada lagi yang nggondeli, tak ada yang memberati.
Kalau saja Permaisuri Rajapatni sendiri yang meminta!
Tidak, itu tak akan terjadi.
Itu yang sedikit menghibur tapi juga menyakitkan.
Menghibur, karena Upasara menjadi tambah yakin bahwa sesungguhnya gema asmara yang bagaimanapun tipisnya masih mempunyai hubungan. Bahwa Permaisuri Tribhuana sampai turun tangan sendiri menemuinya, menandakan bahwa ia masih melihat kekuatan itu dari sanubari adiknya.
Menyakitkan, karena Upasara tidak menemukan jawaban yang menenteramkan: Apakah harus merelakan asmara pungkasan yang dimiliki, atau menahan sebagai sisa terakhir yang bisa disimpan.
Ketertegunan inilah yang sebenarnya membuat Kwowogen tidak mampu menembus sikap yang sesungguhnya. Pada tingkat Dewa Maut, barangkali bukan sesuatu yang luar biasa untuk bisa menggerakkan terus kekuatan sukma sejati.
Atau Eyang Puspamurti. Akan tetapi Eyang Puspamurti tidak merunut lebih jauh, bahkan sebaliknya mencoba mengembalikan Kwowogen ketika mendadak berbalik "menangkap" bayangan Jagattri dengan wanita berkulit putih.
Saat itu Gendhuk Tri memang bersama Putri Koreyea.
Mereka sebenarnya belum berjalan terlalu jauh. Rakit yang mereka tumpangi tidak bisa dikendalikan dengan baik. Beberapa kali berputar-putar, menepi, kembali ke tengah.
Akan tetapi justru inilah yang menyelamatkan keduanya dari pencarian Upasara dan Pangeran Hiang.
Keduanya berada di pantai sebelah Lodaya, ketika Pangeran Hiang sudah melalui daerah itu.
Putri Koreyea tampak sangat lelah, sehingga ia berlindung di bawah pohon sambil menyeka keringat yang mengalir di lehernya.
"Adik Tri, terima kasih untuk semuanya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri mengangguk ringan.
"Saya tak akan merepotkan lebih jauh.
"Kita berpisah di sini, dan sekali lagi terima kasih untuk semuanya.
Saya tak akan pernah melupakan."
"Putri ingin meneruskan perjalanan sendiri"
"Dengan pakaian seperti mengundang keringat ini" Putri, masih ada perjalanan yang kita lakukan sama-sama, sebelum kita berpisah."
"Adik Tri, kenapa hatimu begitu baik?"
"Karena semua orang di tanah Jawa ini baik hatinya."
Putri Koreyea tersenyum. Sekejap kemudian berubah menjadi redup.
"Silakan berjalan, Adik Tri.
"Saya tidak mempunyai harapan lagi. Penyakit yang saya derita tak akan pernah bisa disembuhkan. Ini kutukan Dewa yang pantas saya derita.
"Kasihan Pangeran Hiang."
Gendhuk Tri menjauh. "Saya tidak akan memaksa Putri.
"Tetapi kalau saya menjadi Putri, saya akan berusaha sampai titik yang terakhir. Ini nasihat yang kuno dan paling mudah diucapkan. Akan tetapi apa salahnya kalau ternyata masih mempunyai arti."
Sampai sore hari, Putri Koreyea berada di bawah pohon. Untuk kemudian dibimbing Gendhuk Tri masuk ke pedesaan, dan mencari tempat bermalam.
Kedatangan mereka berdua serta-merta menarik perhatian penduduk.
Akan tetapi kemudian cukup bisa merahasiakan untuk tidak menceritakan kepada yang lain.
Ketika Gendhuk Tri menyodorkan kain, Putri Koreyea menggeleng.
"Saya ingin mati dengan pakaian negeri kami."
"Baiklah, kalau nanti Putri merasa mau mati, pakai kembali pakaian bersulam itu.
"Sekarang rasanya masih ada harapan."
Secara singkat Gendhuk Tri menceritakan bahwa ia baru mendengar akan adanya pesta besar di Keraton. Pesta yang merayakan kesembuhan Permaisuri Praba Raga Karana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri menceritakan bahwa Permaisuri Praba menurut cerita menderita penyakit yang kurang-lebih sama dengan Putri Koreyea.
Bahkan mungkin lebih lagi, karena sebelumnya tak bisa bergerak.
Bahkan tidak mampu menutupkan kelopak mata.
Sambutan Putri Koreyea dingin sekali.
"Tak ada gunanya. "Adik Tri, saya tahu bahwa satu atau dua hari lagi saya akan meninggal.
"Tak ada gunanya."
"Bagaimana Putri bisa begitu yakin"
"Apakah Putri menganggap tabib di sini sedemikian tololnya?"
Wajah Putri Koreyea tidak berubah.
Tetap dingin. "Adik Tri, saya tak akan pernah bisa bercerita.
"Penyakit yang saya derita sangat melumpuhkan dan sudah menghancurkan tubuh saya. Sebagai wanita saya tak bisa menceritakan kenapa sebabnya.
"Saya melarikan diri dari Pangeran Sang Hiang, karena saya tak ingin Pangeran Sang Hiang menderita penyakit yang sama."
Gendhuk Tri mundur dua tindak.
Hingga ke pintu gubuk. "Adik Tri tak perlu kuatir.
"Penyakit ini tak akan menular kepada Adik Tri, selama kita tidak melakukan daya asmara."
Leher Gendhuk Tri benar-benar terasa tercekik.
Baru sekarang dimengerti betapa berat beban yang harus disandang Putri Koreyea. Karena sebab yang bagi Gendhuk Tri belum jelas, Putri Koreyea menderita kelumpuhan yang bisa menular kepada siapa saja yang melakukan daya asmara dengannya.
Itu sebabnya Putri Koreyea menyingkir dari Pangeran Hiang. Hanya ini satu-satunya jalan, kalau ingin menyelamatkan Pangeran Hiang dari malapetaka yang tanpa harapan.
Secara samar Gendhuk Tri menebak-nebak sendiri bahwa Putri Koreyea mengetahui asal-usul penyakit yang dideritanya. Akan tetapi sebagai wanita, hatinya tak sampai untuk menceritakan.
Gendhuk Tri harus mengambil kesimpulan sendiri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri melangkah maju. Duduk di dipan bambu yang sama.
Sorot matanya akrab, penuh pengertian.
"Maaf, Putri..."
"Sudahlah, Adik Tri.
"Kita tak usah membicarakan itu lagi. Untuk mengurangi ingatan yang kurang baik. Saya sendiri selalu mengutuk dan tidak akan pernah memaafkan, tetapi semua tak ada gunanya.
"Lupakanlah, Adik Tri."
"Baik. "Kalau Putri Koreyea masih ingin berdiam di sini, saya tak bisa menemani. Tetapi rasanya penduduk di sini akan merasa senang melayani."
Putri Koreyea mengambil tusuk konde dan membuka ikatan bajunya.
Ia memperlihatkan beberapa permata dan meletakkannya di dipan.
"Saya merasa lebih hina kalau Adik Tri menolak tusuk konde mutiara ini.
"Selebihnya Adik Tri bisa memberikan kepada penduduk, untuk sekadar pengganti ruangan dan perawatan saya selama beberapa hari."
Gendhuk Tri ragu. "Adik Tri tak usah menunggui. Saya bisa mati lusa, bisa bulan depan.
Semua akan saya jalani dengan kekuatan yang ada.
"Kalau umur saya bisa panjang, sesuatu yang mustahil tapi tak apa kita bicarakan, barangkali kita akan berjumpa kembali.
"Kalau tidak sekarang, pada kehidupan yang akan datang.
"Adik Tri, saya putri Kaisar Koreyea sangat berterima kasih atas kebaikan dan kemuliaan Adik Tri."
Kidungan Bumi dan Air GENDHUK TRI merendahkan tubuhnya ketika Putri Koreyea berjongkok di tanah. Tangan kanannya menarik pundak Putri Koreyea.
"Cukup, Putri, cukup."
Ketika mendongak kembali, titik bening air mata menggenang di sudut. Menetes ke arah pipi yang penuh, berwarna sangat putih.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik Tri akan berangkat malam ini juga?"
"Putri ingin saya berangkat besok?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Putri Koreyea tersenyum malu-malu.
"Pertanyaan saya terasa sebagai permintaan"
"Ah. "Sesungguhnya rasa kewanitaan di mana saja tetap sama. Tak ada bedanya.
"Adik Tri, apakah saya boleh mengajukan pertanyaan pribadi?"
Bagi Gendhuk Tri sebenarnya masih terasa asing. Ada jarak tertentu.
Apalagi dengan wanita seberang, yang ditemui pertama kali sebagai musuh utama. Di samping itu, ia sendiri jarang membuka isi hatinya.
Barangkali selama ini hanya kepada Nyai Demang.
Ah, di mana Nyai Demang sekarang"
"Kalau tidak juga tak apa."
Namun Putri Koreyea berbeda. Nasib yang dideritanya menyebabkan Gendhuk Tri merasa dekat.
"Asal setiap pertanyaan saya juga dijawab."
"Itu baik. "Siapa yang mulai?"
Keduanya duduk di dipan bambu yang sudah berumur tua. Hanya dialasi daun kelapa kering yang tidak dianyam, tapi terasa menyenangkan.
"Silakan..." "Adik Tri, siapa nama Adik Tri yang lengkap?"
Gendhuk Tri menyembunyikan senyum geli. Tak disangka bahwa pertanyaan yang bersifat pribadi hanya sebegini.
"Nama saya, Jagattri. Jagat ketiga.
"Dalam pengertian negeri saya, biasanya ada dua jagat. Jagat pertama, atau jagat atas, yaitu langit, tempat bersemayam para Dewa.
Jagat kedua, atau jagat bawah, yaitu tanah tempat kediaman manusia.
"Jagat ketiga, adalah jagat yang diada-adakan untuk menyebutkan bawah tanah. Artinya dari warna yang tidak berarti, tidak masuk dalam hitungan."
"Warna?" "Warna, kasta, pembagian warga masyarakat dalam tata krama tanah Hindia.
"Dengan kata lain, asal-usul saya dari kelompok yang tidak diperhitungkan dalam masyarakat. Kalau saya menikah dengan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kelompok ksatria atau kelompok brahmana, anak saya masuk kelompok itu, sedangkan saya sendiri tidak."
"Apakah Pangeran Upasara Wulung mempertimbangkan itu?"
"Tunggu dulu, Putri.
"Putri telah bertanya dua kali.
"Giliran saya bertanya.
"Pertama, kenapa Putri mau menikah dengan Pangeran Hiang kalau Putri sudah tahu menderita penyakit"
"Kedua, kenapa Putri sekarang mau menjauhkan diri dan menunggu ajal tanpa berusaha?"
"Adik Jagattri, saya berasal dari Keraton Koreyea. Putri Keraton.
Keraton Koreyea adalah keraton yang besar, yang mempunyai timbunan kain sutra cukup untuk membalut seluruh manusia di jagat ini. Para ksatrianya gagah dan berani. Tanahnya subur makmur.
"Di jagat ini Keraton Koreyea satu-satunya yang mengibarkan panji tinggi-tinggi. Meskipun sejarah mengatakan bahwa Keraton Koreyea tak ubahnya Keraton Cina, yang kini dikuasai Tartar, maupun Keraton Jepun. Menurut sejarah, ketiga keraton ini mempunyai nenek moyang yang sama.
"Dari ketiga turunan Dewa Matahari, Koreyea yang dianggap paling bungsu. Menurut kami itu tidak betul. Kami bertekad membuktikan sebagai putra sulung.
"Perebutan saudara tua, siapa yang sulung, menjadi pertarungan resmi. Pangeran Hiang yang datang dan menang.
"Saya bersedia menjadi istrinya.
"Ketika lamaran itu datang, saya belum menderita penyakit.
"Kini saya menderita, dan saya menjauhkan diri karena tak ingin menulari."
"Jadi, Putri baru..."
"Itu pertanyaan baru."
"Baik, silakan Putri bertanya lebih dulu."
"Tidak, saya tidak akan bertanya.
"Dua pertanyaan sudah lebih dari cukup."
Gendhuk Tri mengangkat alisnya dalam gelap.
Cahaya kecil sanggup menerangi wajahnya.
"Baiklah, kalau Putri ingin membawa rahasia itu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hanya saya bisa menebak, bahwa Putri masih segar bugar ketika dilamar. Ada kesengajaan Putri untuk mencelakakan Pangeran Hiang.
Dengan menularkan penyakit, Putri akan bisa membunuh Pangeran Hiang.
"Saya tak bisa keliru dalam soal ini."
Tak ada jawaban. Malah pertanyaan. "Kenapa saya harus mendendam, Adik Jagattri?"
"Karena Putri adalah putri Keraton Koreyea. Yang mencintai keraton, bumi dan air Koreyea, seperti semua orang Koreyea, dan tidak mau menyerah kalah kepada keraton lain, apalagi kepada Keraton Cina.
"Kidungan mencintai bumi dan air, kidungan tak mau mengalah, bukan hanya milik orang Koreyea. Sri Baginda Raja Kertanegara juga tak mau menyerah.
"Putri, bukankah itu hal yang wajar dan biasa-biasa saja?" "Adik Jagattri akan melakukan hal yang sama?"
"Saya bukan putri keraton. Tapi saya akan membunuh diri jika tidak mau dipersunting sebagai tanda menyerah. Oleh Pangeran Hiang sekalipun jika ia merasa sebagai pemenangnya."
"Juga kalau misalnya Pangeran Upasara pemenangnya?"
Sejenak Gendhuk Tri ragu.
"Ya," jawabnya perlahan.
"Kenapa?" "Kidung bumi dan air selalu ditembangkan sejak nenek moyang."
"Adik Jagattri tidak suka kepada Pangeran Upasara?"
"Saya sangat menghormati. Saya mengenalnya sejak kanak-kanak.
"Tetapi maaf, saya sudah berjanji kepada ksatria lain."
"Ooo..." "Kenapa Putri Koreyea jadi ragu?"
"Apakah Pangeran Upasara mengetahui hal ini?"
"Ya, saya mengatakannya."
"O..." Gendhuk Tri baru mau mengulang ketika mendengar helaan napas berat.
"Saya tak tahu, Adik Jagattri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sebelumnya saya memang berniat membalas dendam kekalahan Koreyea. Menjadi pembela Keraton. Namun ketika saya melihat sorot matanya, melihat kecintaannya, melihat sikapnya yang luhur, saya merasa bersalah.
"Pangeran Hiang tidak bisa disalahkan.
"Tidak harus menanggung penderitaan yang saya tanggung.
"Pertarungan batin saya membuat saya letih.
"Karena tidak mampu menjalankan tugas membalas dendam, saya memilih mati sendiri."
"Pertarungan batin antara membela Keraton dan memenangkan asmara?"
"Antara kebenaran. "Apakah tindakan saya bisa dibenarkan jika mencelakai Pangeran?"
"Bukankah sebelumnya tak ada keraguan?"
"Tidak." "Bukankah Putri Koreyea sengaja meracuni tubuh?"
"Ya." "Racun macam apa?"
"Racun yang paling menjijikkan. Perbuatan yang paling hina."
"Saya tak bisa membayangkan apa itu."
"Tidak akan pernah bisa.
"Saya sendiri yang mengalami. Saya yang menjalani semua ini.
"Oooo... "O, betapa mengerikan.
"Perbuatan paling hina yang paling dikutuk Dewa. Itu yang saya pilih."
"Putri, bukankah Putri bisa membalas dendam dengan cara lain"
Dengan meracuni makanan, minuman, menikam, membunuh, mencekik, memenggal kepalanya?"
"Adik Jagattri tak akan mengetahui.
"Ada cara mati hina dan cara mati ksatria.
"Dibunuh atau terbunuh oleh lawan adalah cara mati ksatria.
"Saya ingin Pangeran Hiang mati dengan cara yang paling hina. Yang dikutuk Dewa. Mati dengan kehinaan yang tiada tara."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri merinding. Semua bulu tubuhnya seakan berdiri.
Keringatnya melembap. Sungguh tak dinyana tak diduga.
Pasangan yang kelihatan begitu bahagia, begitu saling memperhatikan, begitu saling membagi kasih dan sayang, saling membela diri, ternyata menyembunyikan niatan yang paling busuk.
Paling rendah. Paling hina. Dikutuk Dewa. Tersembunyi tindakan keji.
Kutukan Baginda Koryo GENDHUK TRI tak bisa membayangkan sama sekali, bahwa di balik kemesraan yang membuat iri itu tersembunyi dendam yang membakar, yang berakar sangat dalam. Menembus tanah yang paling bawah.
Sedemikian beringas dan mengenaskan, sehingga cara yang dilakukan benar-benar menjijikkan.
Bahkan bagi pelakunya sendiri.
Putri Koreyea memang tidak menjelaskan bagaimana dendam Keraton Koreyea tidak sesederhana hanya karena dianggap saudara bungsu.
Dendam seratus turunan itu telah berlangsung sejak Keraton Koreyea dikalahkan dan dikuasai Keraton Cina. Sehingga segala tata krama yang ada bersumber kepada Keraton Cina.
Mulai dari menulis, memilih huruf, memakai pakaian. Dan terutama perkembangan ilmu silat yang ada selalu bisa dikembalikan asalnya dari perguruan di Cina.
Perlawanan yang tak kunjung berhenti tidak menemukan hasilnya.
Puncak kekalahan itu justru ketika Pangeran Hiang datang dan menaklukkan secara resmi.
Kalau tadinya hanya perlu menghaturkan upeti, kini Keraton Koreyea benar-benar diinjak dengan telapak kaki. Dikalahkan. Dan salah seorang putri utamanya diboyong ke Keraton Tartar.
Api neraka pun tak akan sepanas keinginan untuk membalas dendam. Tugas dan kewajiban itu jatuh ke pundak Putri Koreyea!
Itu sebabnya ia memilih cara yang paling rendah dan kotor.
"Putri mencintai Pangeran Hiang?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Adik Jagattri, apakah kamu bisa menjawab jika menjadi saya sekarang ini"
"Apakah Adik Jagattri bisa membayangkan" Saya bukan terikat janji dengan seseorang seperti Adik, melainkan dengan nenek moyang seratus turunan!
"Bukan perbandingan yang gampang dimengerti. Padahal Adik sendiri bisa ragu, antara memilih Pangeran Upasara atau..."
"Maha Singanada...."
"Bisakah Adik bayangkan?"
"Tidak begitu tepat, tapi saya bisa mengerti."
"Di mana pujaanmu?"
Gendhuk Tri menceritakan secara singkat pertemuan terakhir dengan Maha Singanada. Juga tindakan yang terpaksa dilakukan bersama Pangeran Anom ketika memotong kaki Singanada.
"Adik Jagattri. "Kamulah wanita yang paling bahagia. Pastilah sukma yang menitis padamu sukma yang sepanjang jagat ini berbuat kebajikan."
"Bahagia?" "Tidakkah Adik merasakan?"
"Tidak," jawaban Gendhuk Tri benar-benar menunjukkan kepolosan.
"Adik bisa berjalan di luar dinding Keraton. Bisa menemukan, mencari, dan memilih ksatria yang hebat serta gagah. Bisa berbuat sesuatu untuk pujaan hati."
"Kalau dari sisi itu, ya."
"Adik memotong kaki demi kebaikan dan untuk menolong."
"Ya." "Saya" "Apa yang saya lakukan"
"Melakukan daya asmara untuk membunuh dengan melumurkan kotoran kehinaan!"
Terdengar pekik keras. Penduduk yang rumahnya didiami sampai beranjak masuk. Gendhuk Tri menyuruh kembali keluar dengan tulus.
Dan kembali lagi, membiarkan Putri Koreyea terguguk.
Tersedu. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Terisak. Tersengal. "Saya harus melaksanakan Kutukan Chopatu!"
Gendhuk Tri menggeleng. Kata chopatu sama sekali tak dimengerti.
Tetapi ia membayangkan sebagai kutukan Dewa Yang Mahabengis. Atau sejenis dengan itu.
Baru kemudian sadar bahwa dugaannya agak keliru.
Setelah Putri Koreyea menjelaskan secara tidak langsung.
"Chogori adalah yang saya kenakan ini, baju di bagian atas yang membungkus, yang Adik katakan membuat saya kepanasan. Paji adalah yang untuk menutup kaki sampai ke atas ini. Sedangkan turumagi, yang lebih membuat saya sangat kepanasan karena membungkus semuanya dari luar.
"Adik Tri jangan tersinggung kalau saya katakan bahwa tata krama susila Keraton kami sangat tinggi. Tubuh manusia, apalagi wanita, tidak seperti Adik ini, dibiarkan terbuka.
"Maaf, Adik Tri. "Tidak akan kuku saya dilihat oleh mata lain.
"Tidak juga telapak kaki atau tengkuk saya.
"Akan tetapi ketiganya ini saya lepaskan, saya buka, saya hinakan tubuh saya, untuk menjalani kutukan!
"Kalau ada yang jatuh paling dalam di api penyiksaan, itu adalah saya!
"Putri Koreyea yang melakukan daya asmara dengan turunan Baginda Koryo, ayah saya!"
Kepala Gendhuk Tri bagai disambar halilintar, tubuhnya bagai diguncang ombak Laut Selatan. Matanya membelalak, mulutnya menganga, dan isi tubuhnya berhamburan.
Keningnya berdenyut keras.
Tamparan kewanitaan yang membuatnya muntah beberapa kali.
Penduduk yang berjaga di pintu heran. Kalau sebelumnya Putri Koreyea yang merintih, dan Gendhuk Tri segar bugar, kini malah berganti.
Gendhuk Tri yang terhuyung-huyung, menekuk tubuh di tanah, sementara Putri Koreyea yang meminta mereka tidak masuk.
Ganjil. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi Gendhuk Tri merasakan lebih dari sekadar keganjilan. Isi perutnya masih bergolakan, mengeluarkan suara, buih dan mulutnya terasa pedih.
Perih. Adalah di luar semua kemampuannya untuk menerima kenyataan yang diakui Putri Koreyea. Bahwa ia sengaja melakukan hubungan daya asmara dengan ayahnya sendiri, agar bisa menderita kutukan yang mengerikan.
Yang pada kesempatan berikutnya nanti akan ditularkan ke Pangeran Hiang, dengan melakukan hubungan asmara juga.
Benarkah jagat telah hancur-hancuran"
Gendhuk Tri masih meneriakkan suara keras, karena kini hanya angin yang bisa dimuntahkan.
Dendam seratus turunan yang membakar, memapas, dan terus-menerus melukai perasaan. Turunan Raja Koryo!
Raja yang menguasai tlatah Koreyea hingga bisa disebutkan sebagai Keraton Koreyea sekarang ini. Raja Koryo ini pula yang berhasil mempersatukan seluruh tlatah dan mendirikan Keraton.
Sungguh biadab. Sungguh tak bisa dimengerti bahwa Putri Koreyea dapat melakukan hal semacam itu.
Kalau tadinya Gendhuk Tri masih membawa nama bumi dan air sebagai kidungan pembelaan, cara yang dilakukan Putri Koreyea tetap membuatnya terenyak keras.
Gendhuk Tri masih memegangi perutnya ketika mencoba berdiri.
Tangannya gemetar ketika mencoba menuding.
"Muntahan Adik Tri masih lebih mulia dari saya.
"Itukah yang ingin Adik katakan"
"Ya. "Ya, saya memang lebih rendah lagi dari itu semua. Pun di tanah Jawa ini, di mana rajanya berniat menikahi saudara seayah!
"Saya memang lebih baik mati dengan cara seperti ini.
"Saya gagal. "Saya telah menyebabkan ayah saya menjadi jahanam, tetapi saya tidak melakukan apa-apa kepada Pangeran Sang Hiang.
"Adakah di jagat ini yang lebih malang dari saya?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Suaranya berlanjut dalam bahasa yang tak dimengerti Gendhuk Tri.
Ini berlangsung lama. Sampai kelelahan sendiri.
Dan tertidur. Gendhuk Tri tak bisa berkata apa-apa lagi. Tangannya menimbuni muntahan dengan tanah secara tidak teratur. Pikirannya masih kacau.
Antara mengutuk dan membenarkan tindakan Putri Koreyea. Antara mendengar dan mempercayai apa yang diceritakan. Antara membayangkan cerita yang kembali memualkan perutnya.
Bagaimana mungkin Putri Koreyea bisa melakukan itu secara sadar"
Bagaimana mungkin ayahnya yang disebut keturunan Baginda Koryo mampu melakukan itu semua"
Bisa dimengerti kalau selama ini Putri Koreyea menyembunyikan.
Karena kalaupun diungkapkan, tak akan mudah dipercaya. Bahkan Pangeran Hiang sendiri belum tentu mau menerima cerita ini.
Yang lebih membuat Gendhuk Tri tak mampu menguasai keseimbangan pikiran adalah, bagaimana kemudian Putri Koreyea akhirnya bisa menceritakan hal ini.
Pada orang lain. Ketika sinar surya mulai terasakan semburatnya, barulah Gendhuk Tri menyadari bahwa tubuh Putri Koreyea telah dingin. Tak ada denyut kehidupan.
Barangkali ini jawabannya kenapa Putri Koreyea membuka diri.
Gendhuk Tri berlutut. Memohon kepada Dewa, agar nyawa Putri Koreyea mendapat pengampunan. Akan tetapi Gendhuk Tri sadar bahwa pemusatan pikirannya simpang siur tak menentu.
Pertemuan Turkana SETELAH berusaha menenangkan diri beberapa saat, Gendhuk Tri menunggu sampai fajar betul-betul merekah.
Ada semacam kepercayaan bahwa waktu menjelang fajar belum tentu rela untuk keberangkatan nyawa. Tapi Gendhuk Tri lebih menyandarkan pada kemungkinan bahwa Putri Koreyea memang belum meninggal. Sebab sebelumnya juga bisa dalam keadaan seperti tidur dan mati sekaligus.
Bahkan malam harinya pun Gendhuk Tri masih menunggui.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Selepas fajar berikutnya, barulah Gendhuk Tri yakin bahwa Putri Koreyea benar-benar sudah meninggal dunia. Ia merasa bingung sejenak, akan diapakan mayat Putri Koreyea. Dikubur atau dibakar.
Akhirnya yang terakhir yang dipilih.
Terutama setelah sehari-semalam, semua kulit di wajah Putri Koreyea mengelupas, mengeluarkan semacam bau anyir yang menusuk hidung.
Gendhuk Tri tak mau meninggalkan risiko bagi penduduk setempat.
Makanya kemudian dibakar, berikut dipan kayu dan daun kelapa yang digunakan untuk duduk. Ia menyarankan untuk melabuh abunya di laut, dan berdoa mudah-mudahan abu itu bisa kembali ke negerinya.
Abu kemenangan. Setidaknya bagi diri Putri Koreyea.
Kemenangan untuk pada akhirnya memilih mati tanpa menularkan penyakit kepada Pangeran Hiang. Sedikit-banyak perasaan ini menenteramkan Gendhuk Tri.
Yang merasa bahwa Putri Koreyea sengaja memilih jalan kematian.
Kalau tidak, mestinya ia masih bisa bertahan untuk beberapa hari, atau beberapa waktu.
Meskipun ada dugaan yang lain, bahwa ketika membuka penderitaan batinnya, Putri Koreyea tak kuat menanggungnya. Sehingga meninggal secara ngenes, secara menyedihkan.
Tapi Gendhuk Tri tak mau terbelenggu pikiran itu.
Ia memberikan permata kepada penduduk. Dengan pesan agar kelebihan uang yang diperoleh bisalah untuk memperbaiki kehidupan.
Jangan malah sebaliknya, karena tambahan harta seketika, seluruh kehidupan menjadi tidak keruan.
Setelah itu Gendhuk Tri menuju Keraton.
Sebenarnya tak ada tujuan yang pasti untuk ke Keraton. Makanya dalam perjalanan Gendhuk Tri tidak terburu-buru. Sengaja ia memasang telinga, kalau-kalau mendengar adanya seorang yang menderita sakit kaki.
Pikirannya masih belum lepas dari Maha Singanada. Ada semacam rasa penyesalan tak bisa merawat dengan baik.
Akan tetapi berita pertama yang didengar justru mengenai Ratu Ayu Bawah Langit, yang akan menghadiri puncak pesta kesembuhan Permaisuri Praba Raga Karana.
Gendhuk Tri tak begitu peduli, andai tidak ada sangkut-pautnya dengan Upasara Wulung. Karena sejauh yang didengar kini, kedatangan mereka berdua resmi sebagai Raja dan Ratu Turkana.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Raja menerima mereka berdua sebagai sesama penguasa tertinggi.
Gendhuk Tri setengah tidak percaya akan apa yang didengarnya.
Akan tetapi ketika bertemu dengan Nyai Demang di alun-alun Keraton yang kini kembali dihias luar biasa, Gendhuk Tri baru percaya bahwa apa yang didengarnya bukan cerita burung.
"Jagattri..." "Kenapa Mbakyu memanggil begitu?"
Nyai Demang tersenyum. "Rasanya sudah tidak pantas lagi memanggilmu Adik.
"Tubuhmu tumbuh luar biasa tinggi, mengalahkan siapa saja. Seolah ingin menjenguk gunung."
Gendhuk Tri menceritakan pengalamannya, sejak perahu Siung Naga Bermahkota diledakkan dan dirinya terdampar. Hanya mengenai Putri Koreyea Gendhuk Tri menceritakan secara samar.
Nyai Demang menceritakan pengalaman yang kurang-lebih sama.
Bahwa sejak menderita luka, ia tak tahu banyak perkembangan yang terjadi. Berkat pengobatan Tabib Tanca, ia bisa pulih kembali dan memutuskan kembali ke Perguruan Awan bersama Jaghana. Keduanya merasa itulah keputusan yang terbaik.
Jaghana menganggap bahwa apa yang dilakukan selama ini sudah cukup menjauhkan langkah-langkah yang dikehendaki Eyang Sepuh.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yaitu menelantarkan Perguruan Awan.
Maka ia memutuskan kembali.
Keinginannya tak tergoyahkan ketika menerima undangan Ratu Ayu.
"Paman Jaghana hanya menitipkan puja-puji dan pangestu, saling donga-dinonga, saling mendoakan dari jauh.
"Itu saja. "Saya merasa ada sesuatu yang kurang menenteramkan di hati Paman Jaghana, akan tetapi Paman tidak menerangkan apa-apa.
Bahkan Paman Jaghana tidak mau menemui Adimas Upasara lebih dulu."
Kalau dulu Gendhuk Tri merasa serr setiap kali Nyai Demang mengucapkan "adimas" yang namanya seperti berubah, sekarang meskipun masih ada getaran emosi tapi tak terlalu mengganggu.
"Apa yang dikatakan Kakang Upasara?"
Nyai Demang terdiam sesaat.
"Adimas Upasara tidak mengatakan apa-apa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ketika saya menanyakan apakah benar akan datang ke Keraton bersama Ratu Ayu, jawabannya hanya anggukan pendek. Saya merasa kurang enak dan juga salah menanyakan hal ini.
"Bukankah sangat wajar mereka datang berdua. Selama ini secara resmi mereka berdua adalah Raja dan Ratu Turkana. Kurang pada tempatnya saya menanyakan hal itu.
"Saya menyesal."
"Mbakyu sampaikan apa yang dikatakan Paman Jaghana?"
"Ya. "Adimas Upasara hanya mengangguk pendek."
Gendhuk Tri mengangguk pendek. Seperti mengikuti pikirannya yang membayangkan bagaimana kira-kira Upasara mengangguk.
"Ini agak aneh, Mbakyu.
"Bagaimanapun juga Kakang Upasara adalah pemimpin Perguruan Awan. Boleh saja Kakang itu Raja Turkana atau negeri mana saja. Boleh saja ia ksatria hebat, akan tetapi tetap pewaris utama Perguruan Awan, pilihan Eyang Sepuh. Tak seharusnya ia hanya mengangguk pendek saat pesan Paman Jaghana Mbakyu sampaikan."
"Saya tak bisa mengatakan apa-apa."
Keduanya terdiam. "Saya tak mau menduga yang tidak-tidak. Apakah ada kekuatan lain atau pengaruh tertentu. Adimas Upasara sudah dewasa. Sudah menguasai ilmu yang tinggi, sehingga sudah cukup bijaksana memutuskan apa yang akan dilakukan."
"Dari mana datangnya Ratu Ayu?"
"Saya tak sempat bertanya.
"Hanya selama ini ia berusaha memulihkan tenaga dalamnya, dan ketika mendengar kabar santer dirinya dituduh melarikan dua putri Permaisuri Rajapatni, Ratu Ayu datang ke Keraton untuk menjernihkan namanya."
"Saat itu ketemu Kakang?"
"Rasanya begitu."
"Bagaimana keadaan Kakang sekarang ini?"
Nyai Demang memandang haru.
"Jagattri, kamu ini bagaimana"
"Belum sebulan kamu selalu bersamanya. Apakah tiba-tiba berubah tangannya menjadi tiga atau telinganya tinggal satu"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jagattri, bukankah kamu yang bersama Adimas di saat terakhir"
Saya justru ingin tahu apa yang terjadi selama bersamamu."
Gendhuk Tri membuang jauh-jauh pikirannya.
Nyai Demang menggenggam tangan Gendhuk Tri.
"Ada sesuatu yang harus kita lepaskan.
"Masa lalu. "Betapapun manis atau menyakitkan.
"Ada sesuatu yang harus kita hadapi.
"Masa sekarang. "Betapapun manis atau menyakitkan.
"Ada sesuatu yang akan kita jalani.
"Masa depan. "Betapapun manis atau menyakitkan."
Gendhuk Tri tersenyum. "Mbakyu jadi bijaksana."
"Saya jadi tua," suaranya sedikit getir. "Menjadi tua berarti menerima kenyataan seperti apa adanya. Kita berdua tak perlu saling menyembunyikan perasaan yang kita sendiri masing-masing sudah tahu.
"Sejak kita mengadakan perjalanan bersama Ratu Ayu dan Permaisuri Rajapatni, saya menemukan jawaban yang selama ini sebenarnya sudah tersedia.
"Kasunyatan, kenyataan. Belajar dari awal untuk mengerti dan menerima kenyataan.
"Bagaimana dengan Pangeran Anom?"
"Kenapa Mbakyu tiba-tiba menanyakan hal itu kepada saya?"
"Saya tahu Pangeran Anom menunggumu, mencarimu."
Gendhuk Tri menghela napas.
Sesak. "Saya tak tahu harus bersikap bagaimana sebaiknya."
"Saya tahu kalau saya jadi kamu.
"Menemukan Maha Singanada."
Suara Nyai Demang lirih, seakan berbisik. "Saya pernah mengalami usia sepertimu."
Pendekar Kembar 7 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Harimau Kemala Putih 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama