Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 2
Nada suara Gendhuk Tri menyayat hati. Tapi juga mengisyaratkan keikhlasan yang tulus.
Perasaan yang sesungguhnya terwakili dari ucapannya.
Bagi Gendhuk Tri, Upasara Wulung adalah segalanya. Seorang kakak, seorang bapak, seorang teman, seorang sahabat yang lebih tua, seorang yang dipuja. Semua perasaan, semua naluri hubungan perempuan-lelaki berkumpul menjadi satu.
Dalam keadaan seperti itu, perasaan Gendhuk Tri tumbuh dan berkembang.
Salah satu bentuk perkembangannya ialah merasa rela jika Upasara Wulung bersanding dengan Gayatri.
Karena hati wanita Gendhuk Tri mengatakan itu semua akan membuat Upasara Wulung bahagia.
Yang berarti, biar bagaimanapun, dirinya juga bahagia.
Perasaan itu berubah jika Upasara berdampingan dengan wanita lain.
Termasuk Ratu Ayu Bawah Langit yang kesohor kecantikannya.
Termasuk Nyai Demang. Bahkan untuk yang terakhir ini, melihat Upasara menggandeng sewaktu meloncati dinding Keraton pun, membuat Gendhuk Tri murka.
"Adik kecil, bagaimana keadaanmu"
"Apakah kamu masih mengenali Eyang Putri Pulangsih yang mulia?"
Eyang Putri Pulangsih menggeleng-geleng.
Dalam hatinya menjadi bingung sendiri oleh ulah Upasara Wulung. Di saat yang gawat, di saat yang menentukan, ia justru bicara kepada Gendhuk Tri.
Lalu apa maunya lelaki ini"
Kenapa Bejujag juga begitu" Selalu begitu"
Sayembara Mahapatih YANG paling murka adalah Baginda.
Bisa diduga. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi siapa pun, yang mengenal sedikit tata krama, apa yang dilakukan Upasara sangat kurang ajar. Boleh dikatakan biadab. Di saat diajak bercakap oleh Baginda, malah beralih kepada pembicara lain.
Ini sama dengan menganggap Baginda tak ada.
Ini sama dengan ngilani dada Baginda. Atau mengukur dengan telapak tangan berapa lebar dada Baginda. Suatu perlambang menantang dengan cara yang kurang ajar. Seakan menghitung berapa lebar dada Baginda untuk dipukul.
Tak boleh terjadi. Raja adalah raja. Pusat sesembahan yang paling dihormati. Puncak kesucian seluruh Keraton.
Perbuatan Upasara tak akan terampuni. Apalagi dilakukan secara terang-terangan.
Padahal Upasara sendiri tak bermaksud demikian. Sama sekali tak terbersit dalam angannya untuk bersikap kurang ajar. Suatu yang tak mungkin terjadi karena ia sendiri dibesarkan dalam tata krama Keraton.
Apa yang dilakukan lebih dikarenakan merasa bingung. Merasa nggragap, tak tahu persis harus berbuat bagaimana. Karena kikuknya menghadapi situasi, menghadapi Gayatri.
Gendhuk Tri sendiri juga tak peduli bahwa sikapnya merupakan tantangan terbuka.
Menghadapi sikap tak peduli, Baginda makin terbakar murkanya.
"Hari ini Ingsun perintahkan untuk menangkap Upasara Wulung.
Dalam keadaan hidup atau mati!
"Sayembara ini terbuka untuk siapa saja.
"Yang bisa mengalahkan Upasara, saat itu juga akan kuangkat menjadi mahapatih Keraton." Sabda Raja tak bisa ditarik kembali.
Halayudha menelan napasnya yang mendadak memburu. Ini kesempatan terbuka yang paling bagus untuk tampil.
Bukan pekerjaan yang gampang untuk mengalahkan Upasara, akan tetapi Halayudha mampu meringkus. Dengan satu dan lain cara.
"Kakang, Kakang dengar Sayembara Mahapatih yang baru diucapkan Baginda?"
"Ya...." "Bagaimana kalau Kakang menyerah di tanganku. Agar aku menjadi mahapatih Keraton?"
Kalaupun merasa geli tak ada yang berani tersenyum!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalimat Gendhuk Tri lebih kurang ajar dari yang paling kurang ajar.
Mana mungkin di saat begini gawat, ia malah bermain-main" Meskipun yang diucapkan tidak keliru, akan tetapi jadinya seperti mempermainkan Baginda.
"Kalau itu baik, silakan...."
Gendhuk Tri baru akan bergerak, ketika mendadak kakinya seperti menginjak tanah longsor. Tubuhnya terseret ke depan tanpa bisa ditahan lagi. Halayudha mendengus sambil menyentakkan tangannya dan tubuh Gendhuk Tri melayang ke atas.
"Jangan bersikap kurang ajar.
"Masih ada aku yang tua."
Eyang Putri Pulangsih mengeluarkan suara dingin.
"Siapa dia ini?"
Jelas sekali bahwa cara mengerahkan tenaga jarak jauhnya cukup kuat, sehingga menarik perhatian Eyang Putri Pulangsih. Karena sejak Mahapatih Nambi bergerak, Halayudha boleh dikatakan tak bergerak sedikit pun.
"Eyang Putri, yang ada di depan Eyang Putri adalah Senopati Halayudha...."
"Itu aku tak peduli.
"Tapi dari mana ia mempelajari ilmunya?"
Halayudha mendongak. "Cukup untuk meringkus Upasara, Eyang?"
"Itu aku tak peduli.
"Tapi rasa-rasanya kamu masih saudara. Atau kamu mencuri ilmu siapa?"
"Eyang Putri, saya pernah mengatakan, kita pernah bertemu.
Bagaimana mungkin Eyang Putri melupakan?"
Terdengar dari nada dan caranya berbicara, Halayudha seperti merendah. Dengan perhitungan kalau terjadi sesuatu, ia tak ingin menempatkan Eyang Putri Pulangsih pada sudut sebagai lawan.
Karena secara terang-terangan, Halayudha merasa jeri akan kemampuan Eyang Putri.
"Kalau ini dianggap perselisihan sesama saudara, biarlah saya minta restu Eyang Putri untuk mengamankan ksatria yang sombong dan besar kepala."
"Itu bukan urusanku.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tugasku hanya membawa Upasara dan mempertemukan kepada kekasihnya. Selebihnya urusannya sendiri.
"Aku tak peduli."
Halayudha menyembah hormat.
Rasanya dalam kalimat pertama, ia bisa menyingkirkan penghalang terbesar.
"Sungguh, saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya."
"Sudah kubilang, itu bukan urusanku."
Selama pembicaraan berlangsung, Mahapatih Nambi sudah menempatkan posisi melindungi Baginda. Bersama para senopati, ia menempatkan diri sebagai perisai, jika sewaktu-waktu terjadi pertarungan.
"Berdirilah, Upasara! Aku yang tua ini ingin menjajalmu.
"Atas nama Baginda, sebagai prajurit aku menjalankan tugasku sebisanya."
Upasara menggelengkan kepalanya.
Gendhuk Tri mengentakkan kakinya.
"Jangan biarkan ia menghina Kakang.
"Bukankah Kakang tidak suka padanya?"
"Ya, akan tetapi... akan tetapi... saya tidak memusuhi karena soal ini.
Lagi pula itu sudah lama berlalu.
"Kalau Senopati Halayudha sudah menyadari kekeliruannya, kenapa dibiarkan mengulangi?"
"Kakang seperti aki tua saja.
"Musuh besar diampuni. Itu masih tak apa.
"Tapi kalau kekasih menunggu juga dibiarkan saja, itu namanya keterlaluan."
Upasara menggeleng. "Tidak." "Kakang ini bagaimana"
"Apa Kakang berharap Mbakyu Ayu Permaisuri berkata bahwa Kakang Upasara ditunggu" Kan tidak mungkin. Masa hal semacam ini harus saya katakan"
"Kakang, Kakang... Kapan Kakang menjadi dewasa?"
"Itulah soalnya," potong Eyang Putri Pulangsih. "Selama dunia isinya hanya lelaki bimbang, ya tak akan pernah beres.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ini sudah bagus. "Persis seperti dulu.
"Bejujag menghadapi Baginda Raja dalam soal asmara.
"Bejujag pengecut, takut.
"Sekarang ini malah diulangi."
Mahapatih Nambi menggerung keras.
"Upasara, mari ke medan yang lebih luas. Agar lebih leluasa melemaskan otot."
Pertimbangan Mahapatih Nambi hanyalah semakin jauh dari Baginda, semakin besar keselamatan Baginda. Cara yang bijaksana, karena tak mungkin menyarankan agar Baginda masuk ke dalam.
Upasara mengangguk. "Mbakyu Ayu Permaisuri, mari ikut kami...."
Gendhuk Tri mengulurkan tangan setelah menyembah. Kembali angin panas menyambar dan membuat tubuhnya terputar. Kali ini Gendhuk Tri sudah bersiap, sehingga dengan cepat tangannya ditarik kembali, dan kuda-kudanya diperkuat.
Akan tetapi sambaran tenaga Halayudha tetap membuat tubuhnya terputar dua kali.
Ulu hatinya terasa panas.
Upasara mengangkat sebelah tangannya, dan impitan tenaga yang memutar tubuh Gendhuk Tri menjadi buyar. Sehingga bisa berdiri tegak kembali.
Halayudha menyembah sekali ke arah Baginda, lalu meloncat ke tengah, dan tangannya menyambar. Sebelum tenaga pukulan mendekat, Upasara menarik mundur Gendhuk Tri dengan cara mengangkat tenaga ke arah kaki Gendhuk Tri.
Sehingga seolah-olah Gendhuk Tri sengaja meloncat mundur.
Berdiri di samping Upasara.
Pemandangan yang aneh. Upasara tetap bersila di tanah, dengan Eyang Putri Pulangsih di sebelah, sambil tetap menyilangkan kedua tangan di depan dada. Sementara di sebelahnya lagi Gendhuk Tri.
Halayudha menggerakkan kedua tangannya. Berputar pada persendian di pangkal bahu. Kedua tangannya melengkung bagai busur.
Pandangannya menyorot tajam.
Pertarungan tak bisa dihindari lagi.
Seribu satu alasan menyatu untuk saling bertarung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pertarungan Mantra HALAYUDHA menggerakkan kedua tangan bersumbu pada kedua lengan bukannya tanpa arti. Karena dengan cara pengerahan tenaga dalam ini, Halayudha seketika menutup ruang serang Upasara.
Sesuatu yang lebih halus caranya dibandingkan apa yang dilakukan Mahapatih Nambi. Yang secara terang-terangan meminta mengalihkan medan pertarungan untuk melindungi Baginda.
Halayudha siap bertarung.
Selama ini menampilkan diri sebagai senopati yang kebawah keprentah, atau senopati bawahan yang selalu diperintah. Yang menurut perhitungannya akan menempatkan diri pada posisi yang aman dan tidak dicurigai.
Nyatanya begitu. Hanya saja dorongan untuk tampil ke depan terasa kini sudah saatnya. Halayudha ingin muncul, ingin menunjukkan siapa sesungguhnya dirinya. Yang dalam ilmu silat menduduki peringkat utama.
Ini juga bukan sesuatu yang mengada-ada. Halayudha adalah murid langsung Paman Sepuh, salah satu tokoh utama yang sakti mandraguna, bahkan yang menciptakan Kitab Bumi. Ditambah dengan kemauan yang keras, ambisinya yang membakar, Halayudha mampu mempelajari hampir semua cabang dan aliran persilatan yang nomor satu.
Merasa bekalnya sempurna, Halayudha memperlihatkan dadanya. Itu sebabnya ia mendobrak ke permukaan dan memamerkan ilmunya ketika menaklukkan Pendeta Syangka.
Selama ini bayangan akan kehebatan ksatria lain adalah Upasara Wulung yang memegang gelar lelananging jagat. Adalah hal yang wajar jika Halayudha ingin menjajal. Seperti semua ksatria ingin menguji ilmunya dengan yang paling unggul.
Bagi Upasara, saat ini merupakan cara yang paling baik untuk mengalihkan kekikukannya bertemu dengan Gayatri. Lebih dari itu, Halayudha adalah satu-satunya manusia di bumi ini yang pernah menimbulkan murka. Yang membuatnya tak bisa memusnahkan dendam yang ada.
Kalau sekarang Upasara berniat menghadapi, karena merasa inilah kesempatan yang tepat.
Suasana sepi. Lengang. Tak ada yang bergerak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Keinginan yang sama, sebenarnya diam-diam juga bersemi dalam hati yang hadir. Termasuk Baginda.
Biar bagaimanapun, nama besar Upasara selama ini selalu tergema.
Namun bagaimana sesungguhnya tingkat penguasaan ilmunya tak banyak diketahui. Kini saatnya menguji dengan mata kepala sendiri.
Menghadapi Halayudha yang dengan tenang bisa mempermainkan Pendeta Syangka seperti mempermainkan anak yang baru belajar silat.
Suasana sepi. Lengang. Tapi Upasara seperti mendengar kidungan yang terulang-ulang membisik.
Ingsun menutup rasa rasa lindungilah ingsun rasa makan cahaya abadi dalam cipta tetap mantap tak berubah ?ni semacam kidungan pambuka yang setiap kali diucapkan jika seseorang mulai berlatih ilmu silat. Untuk memusatkan pikiran, dengan kidungan yang diucapkan dalam batin.
Seperti apa yang dikenal dengan mantra.
Upasara Wulung makin menyadari bahwa satu tingkat kesadaran baru merasuk dalam dirinya.
Yaitu bisa merasakan bisikan lirih mantra yang tidak diucapkan.
Sesuatu yang pernah diperlihatkan Eyang Putri Pulangsih dengan sempurna ketika bisa membawa udara pernapasan Upasara!
Mantra yang berada dalam kalbuningsun
ada tempat berisi apa saja
tetaplah di situ, di tempatnya
tidak goyah, tidak berpindah
di situ ada Ingsun di situ ada sinar sinar kalbuningsun bercahaya karena diriku yang bercahaya gilang-gemilang KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bersinar karena rasaku " Eyang Putri Pulangsih membuat gerakan lirih di bibir. Seakan memendam perasaan bahwa ia mengetahui pertarungan mantra yang terjadi. Pertarungan kekuatan batin untuk mencari pijakan.
Kejadiannya hanya sepersekian kejap. Akan tetapi justru pada saat-saat seperti itulah ucapan niyatingsun, kehendak batin, itu tertancap.
Yang bisa mempengaruhi kekuatannya sendiri atau kekuatan lawan.
Karena menanamkan kepercayaan diri adalah bagian yang penting sebelum menggerakkan tenaga dalam. Atau bahkan sebelum bernapas.
Hanya sekejap. Mendadak tanah seperti menjadi goyang. Getaran terasa menggigilkan tiang-tiang utama. Bersamaan dengan gerakan tangan Halayudha yang makin lama makin kencang. Anginnya memaksa untuk mundur satu-dua tangan.
Upasara membiarkan tangan kirinya bergerak leluasa, mencari dan menemukan sumber tenaga; Matanya tertutup, sementara tangan kanan terkulai di lutut.
Seluruh kepekaan Upasara hanya berawal dari getaran tenaga yang terasakan lewat udara.
Tubuh Halayudha menekuk sedikit, sebelum dengan satu gerakan sangat cepat bagai berkelebatnya pedang tubuhnya melayang.
Menusuk ke arah Upasara. Dengan kedua tangan terkembang ke depan.
Tidak memukul, tidak menjotos, tidak menusuk. Lurus terbuka telapak tangannya. Upasara mengangkat tangannya perlahan, menyongsong datangnya serangan.
Tubuh Halayudha mendesing di atas kepala Upasara.
Plak! Terdengar suara lirih. Benturan dua telapak tangan Halayudha dengan satu telapak tangan kiri Upasara.
Tubuh yang tengah meluncur bagai tombak dilontarkan dengan sepenuh tenaga terbalik. Memutar di tengah udara, lurus ke arah dinding!
Akan tetapi kaki Halayudha bisa menyentuh dinding, atau malah belum menyentuh sama sekali, tubuhnya telah berbalik lagi, menyerang dengan cara yang sama.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Lagi-lagi terdengar "plak" lirih.
Tubuh Halayudha meluncur ke tempat semula.
Dan mendadak berbalik sebelum kakinya menyentuh tiang Keraton.
Berbalik lebih cepat sehingga mengeluarkan desingan suara yang menyobek udara.
Sungguh luar biasa! Jarak antara tubuh Upasara dan dinding Keraton cukup jauh.
Demikian juga dari tempat di mana Halayudha meluncur. Namun semua itu hanya dilewati dalam sekejap. Benar-benar seperti kecepatan anak panah yang dilepaskan dari busur yang terentang penuh.
Bolak-balik. Dan setiap kali hanya terdengar suara "plak" lirih.
Mahapatih Nambi merasa menyaksikan pertarungan yang belum pernah dibayangkan. Tubuh Halayudha bisa meluncur begitu cepat dan berputar balik, tidak terlalu istimewa. Andaikata tidak meluncur tepat di tengah dua tubuh yang berdiri di tempatnya sejak tadi.
Di antara tubuh Eyang Putri Pulangsih dan Gendhuk Tri.
Yang seakan menjadi tiang, di mana Halayudha menerobos dengan leluasa.
Yang tidak diperhitungkan Mahapatih Nambi ialah bahwa setiap kali tubuh Halayudha meluncur ke dekatnya, Gendhuk Tri merasa tertekan tenaga yang berat sekali. Mengimpit dadanya.
Kesiuran angin Halayudha memaksa untuk minggir dua langkah ke samping.
Sementara Eyang Putri Pulangsih masih menyilangkan kedua tangan di depan dada.
Halayudha sendiri merasa getaran yang terpancar keras dari tenaga dalamnya, tiap kali seperti membentur permukaan yang licin. Sehingga benturan tenaga itu membuat tubuhnya melesat.
Upasara tidak meladeni keras lawan keras.
Juga tidak mengisap tenaga lawan.
Telapak tangannya seperti membiaskan tenaga yang datang.
Lima kali berputar balik, Halayudha menyimpan tenaga benturan yang keras. Ia pusatkan tenaga di pundak. Dengan demikian ia ingin memaksa beradu tangan, dan pada saat yang sama akan menyusul dengan serangan keras.
Akan tetapi Halayudha rada kecele.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kembalinya Timinggila Kurda
Tenaga dalam Upasara sama saja.
Tak terdesak tak membalik.
Yang terjadi justru sebaliknya. Tubuhnya sendiri yang terlontar lebih keras dari semula. Di saat meluncur, tenaga dalam Halayudha bereaksi sendiri dengan keras. Sehingga luncuran tubuhnya makin kencang.
Dengan mengeluarkan suara keras, Halayudha mendadak membalik tubuhnya. Bagai geliatan yang liat, tubuhnya berbalik seketika, dan kedua tangannya memagut tubuh Upasara!
Inilah jurus-jurus Timinggila Kurda atau Ikan Gajah Murka. Jurus-jurus maut andalan Paman Sepuh!
Gendhuk Tri sudah tersingkir makin jauh tanpa terasa. Lingkaran yang mengepung juga membuka makin lebar.
Dengan jurus ini, Halayudha memaksa pertarungan jarak pendek.
Menggelut Upasara, yang mendadak memutar tubuhnya ke arah yang berlawanan dengan putaran Halayudha.
Masih bersila, tubuh Upasara berputar makin lama makin kencang.
Makin lebar putarannya, sehingga kini mengelilingi tubuh Eyang Putri Pulangsih yang masih berdiri tegak sejak tadi.
Apa yang dilakukan Upasara sebenarnya membuka ruang pertarungan yang lebih longgar. Karena merasa bahwa jurus-jurus Timinggila Kurda akan lebih menemukan bentuknya dalam ruang pertarungan yang lebar.
Seekor ikan paus yang murka membuat gelombang lebih besar.
Halayudha tidak merasa bahwa Upasara terpancing atau terdesak oleh serangannya. Nalurinya yang tajam justru mengatakan sebaliknya.
Upasara sedang memberi kesempatan. Untuk menjajal ilmu yang sejati.
Halayudha tak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Belitan tubuhnya makin menggila. Menerjang bolak-balik dari segala penjuru dengan tangan dan kaki terentang. Seolah seorang anak yang kesetanan, yang menyerang dengan gerakan apa saja.
Inti Timinggila Kurda memang demikian halnya. Tak berbeda dari yang dikuasai Upasara ketika masih memainkan Banteng Ketaton. Inti pengerahan tenaga sama caranya.
Hanya latihan dan penguasaan tenaga yang jauh berbeda yang juga membedakan kekuatan serangan yang ada.
Tangan kiri Upasara mendadak mengeras.
Kepalannya terbentuk. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ke arah mana serangan Halayudha datang, ke arah itu pula tangannya bergerak. Menyambut.
Tiga gempuran berlalu. Sebelum kemudian tangan itu bergerak menangkap gerakan Halayudha. Memotong gerakan dengan paksa.
"Hiyah!!" Halayudha berteriak nyaring.
Dua tenaga kuat beradu. Tubuh Halayudha melesat jauh ke dinding Keraton di mana ia memanggang Pendeta Syangka!
Sementara Upasara berdiri gagah.
Beberapa kejap tubuh Halayudha seperti tertahan di dinding.
Akan tetapi beberapa pasang mata yang awas mengetahui, bahwa justru sekarang Halayudha menunjukkan kesaktiannya. Ia terlempar sampai dinding, akan tetapi sekarang ini tubuhnya tidak menempel dinding, dan kakinya tidak menginjak tanah.
Seolah mengapung. "Hebat!" Upasara tak menjawab pujian Halayudha.
Telapak tangannya terdorong ke depan.
Tubuh Halayudha bergoyang-goyang sebelum turun ke tanah.
"Hebat! "Itukah jurus Penolak Bumi yang kondang tanpa tanding itu?"
"Kondang atau tidak, apa bedanya"
"Tanpa tanding, apa mungkin?"
Halayudha maju setindak. "Upasara, katakan jurus mana yang kamu mainkan?"
"Tak ada jurus. "Saya tak memainkan apa-apa."
Kalau ada yang menggelengkan kepalanya perlahan, itu hanyalah Eyang Putri Pulangsih. Dalam hatinya seperti terbersit umpatan yang mengatakan bahwa Upasara Wulung sangat tolol.
Mengatakan apa adanya. Itulah ketololan yang juga dimiliki Bejujag.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Coba ini!" Halayudha menggertak maju. Kedua tangannya terayun ke depan, akan tetapi sapuan kakinya lebih cepat. Jauh sebelum mengenai tubuh Upasara, kakinya telah berputar balik. Pada saat yang sama tangannya mendorong tubuh Upasara.
Walaupun kelihatan tetap tenang, Upasara merasa bahwa tekanan tenaga dalam Halayudha makin lama makin berat. Dengan mengosongkan tenaga di bagian kaki dan mendorong di bagian atas, Upasara menyadari bahwa bagian jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat sedang dimainkan.
Dengan tenaga dalam dan penguasaan yang lebih sempurna dari Ugrawe!
Saat Ugrawe menguasai jurus itu, ia bisa malang-melintang tanpa lawan. Semua lawan bisa disikat dan dilumpuhkan. Karena tenaga dalam diisap habis, untuk dipindahkan ke dalam dirinya. Memakai perimbangan banjir besar di tubuh sendiri, akan tetapi kering kerontang di laut.
Pemindahan tenaga dalam yang sangat berbahaya.
Karena ini berarti pertarungan akhir.
Pada saat tenaga dalam Ugrawe kalah kuat, yang terjadi adalah sebaliknya. Tenaga dalamnya yang terisap ke luar.
Yang berarti habis! Akan menjadi cacat seumur hidup.
Upasara terkesiap. Sama sekali tak menyangka bahwa Halayudha akan memainkan jurus yang paling berbahaya. Kalau berani mengeluarkan Banjir Bandang Segara Asat, berarti sudah menakar kekuatan tenaga dalam lawan.
Dan yakin akan memperoleh kemenangan.
Sepersekian kejap Upasara ragu, Halayudha mendesakkan tenaganya.
Upasara memutar tubuhnya dengan kencang. Tangan kanannya bergerak ke bawah, memotong arus tenaga isap dan tenaga dorong.
Halayudha memutar tubuhnya ke samping.
Dua tangannya berada di sebelah atas pundak. Sedikit miring. Siap melancarkan serangan berikutnya.
"Hebat!" Kali ini Upasara yang memuji.
"Tak percuma menjadi lelananging jagat!" teriak Halayudha dengan napas sedikit tersengal.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pujian Upasara bukan basa-basi.
Untuk pertama kalinya ia menyaksikan bahwa Halayudha mampu menguasai pernapasan dan pengerahan tenaga dalam yang sempurna.
Yang sulit dicari tandingannya.
Selama ini Upasara hanya mengetahui bahwa jurus maut memindahkan tenaga dalam hanya bisa dimainkan untuk meraih kemenangan atau kalah.
Dan bukannya bisa ditarik kembali.
Itulah sebabnya ia memuji tulus.
Sebaliknya, Halayudha juga merasakan kekuatan yang sesungguhnya. Sejak melancarkan Banjir Bandang, ia tidak melakukan sepenuh hati.
Karena masih menjadi tanda tanya apakah keunggulan penguasaan tenaga dalamnya lebih atau masih kalah.
Makanya di tengah perjalanan ia menarik kembali.
Pujian Halayudha terutama karena Upasara mampu bergerak memotong gerakannya.
Dan bukan sekadar menerima.
Ini juga untuk pertama kali Halayudha mengetahui bahwa gerakan lawan bukan hanya sekadar menerima, akan tetapi juga mementahkan.
Meskipun belum tentu Upasara mampu mementahkan serangan kalau dirinya menyerang sepenuh tenaga, Halayudha merasakan keunggulan Upasara menangkap arah dan mengukur serangan.
Mahapatih Nambi yang mencoba mengikuti jalannya pertarungan dengan saksama, memperhitungkan bahwa dalam gebrakan ini Halayudha lebih unggul. Sekurangnya mampu memaksa Upasara berdiri, dan menggunakan tangan kanan.
Padahal dalam prinsip-prinsip dasar, jurus-jurus Tumbal Bumi yang disebut Tepukan Satu Tangan, tetap dengan satu tangan. Mahapatih Nambi tidak menganggap dirinya sok tahu. Akan tetapi seperti dimaklumi, Kitab Bumi" lengkap dengan bagian Tumbal Bumi atau Penolak Bumi"boleh dikatakan dipelajari oleh semua senopati utama.
Halayudha mengibaskan tangannya.
Tangan kanannya bergerak melengkung seperti menyampok air di sungai, dan dengan satu gerakan yang sama tubuhnya mengikuti tarikan tenaga sampokannya.
Hanyut menuju Upasara. "Pencuri dungu!"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kali ini Gendhuk Tri yang bersuara keras. Ia mengetahui bahwa Halayudha memainkan ilmu silat yang selama ini dimainkannya!
Itu sebabnya Gendhuk Tri menganggap Halayudha sebagai pencuri ilmu orang.
Nyatanya memang begitu. Tirta Karkata INI yang membuat para senopati menahan napas.
Tadinya mereka berharap melihat pertarungan yang seru, yang mengucurkan darah dengan gerakan-gerakan ajaib. Akan tetapi nyatanya yang terjadi hanya gebrakan-gebrakan lirih.
Sesekali saja. Perhitungan seperti itu bisa saja keliru.
Harapan menyaksikan pertarungan kelas satu pernah diangankan juga oleh Gendhuk Tri. Ketika secara tidak langsung mengetahui pertarungan di Trowulan.
Akan tetapi jangan kata melihat tontonan yang menarik, untuk bisa mengikuti gerakan saja susah.
Tidak persis sama, akan tetapi inilah yang tengah terjadi.
Halayudha meliuk seolah sedang memamerkan tarian, tubuhnya hanyut secara lembut. Menggelinding ke arah tubuh Upasara. Akan tetapi ketika mendekat, mendadak kedua tangan terulur ke depan.
Menjepit tenggorokan Upasara.
"Hhh!" Terdengar tarikan napas pendek.
Upasara seakan mendengar tarikan napas pendek itu. Berarti Eyang Putri Pulangsih pun mau tak mau akhirnya bereaksi.
Berarti ada apa-apanya. Dugaan Upasara tak sepenuhnya meleset. Telinganya mendengar desahan napas Eyang Putri Pulangsih. Hanya saja makna yang ditangkap terlalu jauh.
Eyang Putri Pulangsih mendengus bukan karena Halayudha memperlihatkan jurusnya secara bagus, akan tetapi melihat bahwa apa yang selama ini diajarkan, bisa menjadi lain.
Sebagai pencipta ilmu silat yang bersumber dari Kitab Air yang ditulis oleh tangannya sendiri, Eyang Putri Pulangsih mengetahui persis apa yang terjadi. Akan tetapi tidak menyangka bahwa di tangan Halayudha gerakan itu bisa diubah menjadi gerakan panas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak pernah terbayangkan ketika menciptakan dulu.
Gendhuk Tri yang tadinya mengenali ilmu silatnya yang ditiru Halayudha, jadi sangsi. Tapi sekaligus juga kuatir. Karena Halayudha memainkan secara telengas.
Memang di tangan Halayudha, segala ilmu silat bercampur aduk menjadi satu. Dengan kemampuan mengendalikan napas dan kemampuan menimba serta menyaring, Halayudha boleh dikata tanpa tandingan dalam soal ini.
Ilmu murni yang dipelajari sudah bercampur dengan ilmu yang lain.
Yang kebetulan sama-sama ilmu kelas satu.
"Air apa" Air kotor macam begitu dipamerkan?"
Suara Gendhuk Tri lebih merupakan gambaran kecemasan yang ada.
Upasara mengertakkan giginya. Jepitan di tenggorokan ditangkis keras, dan dengan gerakan yang sama sikunya amblas ke dada lawan.
Trak! Traak! Traaaak! Trak! Empat kali terdengar suara benturan keras, seakan tulang-tulang patah. Upasara mengimbangi kekerasan dengan kekerasan. Jepitan yang masuk ditolak dengan menerobos ke dalam dan dengan tenaga keras coba dipatahkan.
Tangan Halayudha yang menjepit menjadi renggang. Seolah jepitan yang menemukan barang lebih keras. Dua kali usaha dilakukan dengan hasil yang sama.
Halayudha mendesis perlahan, mengubah gerakannya menjadi lembut, dan seakan membelai leher Upasara, atau mengili-ngili.
Dibarengi gerak tubuhnya yang hanyut oleh irama tangan, sangat kontras dengan apa yang dimainkan sebelumnya.
Upasara segera menyadari bahwa Halayudha memperlihatkan kelebihannya dalam mengatur tenaga dalam. Sebelum menggila dengan Timinggila Kurda yang dahsyat serta Banjir Bandang, dalam sekejap sudah mengganti dengan jurus keras yang lembut, lalu berubah lagi dengan jurus lembut yang keras.
"Amati baik-baik. Inilah Tirta Kartaka!"
Gendhuk Tri memang tidak mengenal nama jurus-jurus yang dimainkan. Ia tahu persis arah gerakan dan perubahan-perubahan yang terjadi, akan tetapi secara langsung tidak mengerti istilah atau penamaan jurus-jurus tersebut.
Bisa dimengerti karena dulu Eyang Raganata yang menurunkan ilmunya, baik kepada Jagaddhita maupun kepadanya secara langsung,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tak pernah memberitahu. Karena memang itu bukan hak Eyang Raganata. Eyang Putri Pulangsih yang lebih berhak.
"Aku sengaja memberikan pelajaran."
Gendhuk Tri gondok sekali.
Dongkol hingga ke pangkal leher.
Akan tetapi diam-diam tetap mengagumi kehebatan Halayudha.
Bukan hanya lidahnya yang culas dan otaknya yang licin, akan tetapi ilmu silatnya juga serba tak terduga.
"Ia benar sekali, Gendhuk.
"Kamu perhatikan baik-baik." Gendhuk Tri mendengar bisikan di telinganya. Pasti Eyang Putri yang berdiri di kejauhan, yang seperti tak bergerak itu, yang memberitahu.
"Dasar-dasar yang digerakkan adalah dasar yang sama dengan yang kamu pelajari. Sumber gerakan yang ada adalah sumber tenaga air.
Akan tetapi ia menggabungkan dengan kemampuannya sendiri untuk mengembangkan.
"Kembangan atau variasi yang dimunculkan sekarang adalah gabungan tenaga menjepit yang keras-lembut dan lembut-keras, yang tak ada dalam tenaga air.
"Tenaga air adalah tenaga mengalir.
"Halayudha ini menghimpun dan memainkannya.
"Ia menyebutnya sebagai Tirta Kartaka atau bisa berarti Air Udang atau Air Ketam. Udang mempergunakan tenaga lembut-keras, sedangkan ketam mempergunakan tenaga keras-keras dalam menjepit lawan.
"Boleh juga orang ini!
"Kartaka yang bisa berarti ketam dan atau udang, sengaja tidak dipisahkan, melainkan digabungkan. Mana ketam dan mana udang tak dipersoalkan lagi.
"Boleh. Orang ini ilmunya boleh juga."
Menghadapi benturan yang keras atau elusan, Upasara menggeser kedua kakinya. Miring ke samping, sambil kedua tangannya menarik udara sekitar. Dengan demikian Halayudha menjadi sedikit sempoyongan.
Kalau tadinya Halayudha sedikit lebih unggul, kini nampak justru keteter. Gerakannya tak lagi bisa perkasa. Beberapa kali terseret maju, dan dengan membuang tubuhnya, Halayudha berusaha tampil dengan perkasa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kakang bisa mengatasi!"
"Jangan tolol," bisik suara Eyang Putri Pulangsih agak menyakitkan telinga. "Bukan kakangmu yang hebat. Tapi Bejujag. Apa yang dimainkan sekarang adalah jurus Penolak Bumi.
"Kembangan yang diperlihatkan Upasara menunjukkan ia sedang mengisap dan membuang habis tenaga sekitar. Tenaga air yang dipakai Halayudha sedang ditawu. Sedang dikuras habis.
"Bejujag menciptakan Kitab Penolak Bumi secara sempurna. Ilmu yang kuciptakan sekian tahun bisa dimentahkan.
"Apa artinya udang atau ketam dalam soal menyerang kalau tak ada air"
"Sayang sekali kalau segera habis.
"Gendhuk, kamu katakan agar Halayudha segera memainkan Kidungan Lwah Gangga Gahan"
Gendhuk Tri jadi bingung sendiri.
Ia menggigit bibirnya. "Jangan tolol. "Ini pelajaran penting bagimu. Kalau pertarungan berjalan lama, kamu bisa mendapatkan banyak kesempatan melihat. Sekalian aku melihat seberapa jauh Bejujag menghadapi ilmuku."
Dengan napas terengah-engah Gendhuk Tri berteriak,
"Halayudha, kamu jangan menjadi tolol.
"Sudah terang tenaga air kamu menjadi musnah, masih saja nekat.
Jangan membuat aku yang mewarisi ilmu itu menjadi malu. Kenapa tidak memainkan Kidungan Lwah. Bukankah Sungai Gangga sangat masyhur?"
Eyang Putri Pulangsih tersenyum dalam hati.
Sama sekali tak disangka bahwa "cucu-muridnya" mempunyai lidah yang tajam.
"Aku coba...." Gendhuk Tri kaget sendiri.
Karena Halayudha bisa menangkap dengan baik. Gerakan tangannya ditarik kembali, dan kini tubuhnya mengambang ke atas, bagai gelombang. Begitu saja menyerang ke arah Upasara dengan suara kesiuran angin yang keras.
Halayudha bisa menangkap pengertian Lwah, yaitu tenaga sungai atau tenaga bengawan. Dengan mengambil perumpamaan Sungai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gangga, Halayudha bisa mengubah serangannya yang mulai kering, dengan awalan. Seolah menghapus pertarungan yang tengah berlangsung dan memulai dari awal.
"Lyap-Lyus yang menjadi lanjutannya. Bukankah begitu?"
Gendhuk Tri tertegun. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana.
Pertanyaan itu tak bisa dimengerti. Karena kidungan yang utuh tak diketahui.
Tapi Gendhuk Tri tak mau kehilangan akal.
"Untuk hal kecil begitu saja pakai tanya segala...."
Prathiwibhara UPASARA yang merasakan akibatnya. Tubuh Halayudha seakan menyeret dan melontarkan, mengaduk-aduk dirinya. Mau tak mau Upasara mengimbangi dengan meloncat ke atas, membalik, dan membiarkan Halayudha menguasai medan pertarungan.
Pukulan kanan-kiri yang menyambar, membuat Upasara bertahan.
Kembali jantung Gendhuk Tri terguncang keras.
Lyap-Lyus yang hanya sepatah dan sekali diucapkan, membawa perubahan yang besar. Lyap artinya meluap atau penuh. Kini tenaga bengawan itu diluapkan. Lyus artinya binasa atau meninggal, atau meninggalkan gelanggang. Kemungkinan ketiga inilah yang terjadi pada diri Upasara.
Medan pertarungan dikuasai sepenuhnya oleh Halayudha. Yang secara perlahan tapi keras dan pasti mengurung Upasara.
"Katigalyus..."
Seruan di telinga Gendhuk Tri segera tergema tanpa bisa dikuasai sendiri.
Padahal Gendhuk Tri mengetahui bahwa ucapan itu berarti petunjuk bagi Halayudha. Mungkin yang menentukan. Karena kini Halayudha meningkatkan serangan menjadi tiga kali lipat. Katigalyus berarti ketiga-tiganya sekaligus!
Yang bisa berarti tiga kali lipat.
Tiga lawan bisa diringkus dalam saat yang sama.
Brett! Upasara meloncat mundur dengan sebat hingga ke dinding, dan Halayudha menyambar datang. Bentrokan kecil, membuat Upasara meninggalkan dinding, meloncat ke atas, dan sekejap kemudian gelombang bengawan sudah merangseknya.
Dengan menggerung keras, Upasara menyelinap masuk.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ketika Halayudha menerjang ke arahnya, Upasara menyelinap di antara dua kaki Halayudha. Lolos di balik tubuh Halayudha.
Luar biasa! Akan tetapi sebelum bisa melancarkan serangan, tubuh Halayudha sudah berbalik dan tangannya terayun, seakan merogoh isi perut Upasara.
Diiringi desisan kecil Upasara berusaha menangkis.
Plak! Terdengar suara kecil, lirih.
Tubuh Upasara menjadi bergoyang karenanya.
Halayudha tersenyum penuh kemenangan ketika untuk kedua kalinya tangannya terayun. Lompatan Upasara hanya membuat tubuhnya makin jauh saja.
Pukulan Halayudha tidak ditarik.
Tangannya meluncur terus menembus dinding Keraton.
Amblas ke dalam. Baru ketika ditarik kembali, dinding itu menjadi bolong dan debu beterbangan tertiup angin.
Di dinding, membekas dua tangan Halayudha, sebatas siku!
Leher Gendhuk Tri menjadi beku.
Bisa dibayangkan jika dada atau isi perut Upasara tersambar pukulan ini! Dinding saja amblas. Dan bekasnya hanya sebatas kepalan tangan.
Sekitarnya masih utuh. Ludah pun tak bisa ditelan.
Sungguh tak masuk akal jika Upasara Wulung dikalahkan oleh Halayudha karena petunjuk Gendhuk Tri. Sampai mati pun ia akan terus menyesali.
Tapi Gendhuk Tri tak bisa berbuat lain.
Karena yang membisiki adalah eyang gurunya.
Yang membuatnya pusing dan tak mengerti ialah, bahwa tadi Eyang Putri Pulangsih datang bersama Upasara Wulung. Dan berdiam diri pada saat permulaan pertarungan.
Tapi kini justru berbalik.
Membantu Halayudha. Walaupun sebenarnya telah diberitahu, Gendhuk Tri tak bisa menangkap keinginan Eyang Putri Pulangsih. Baginya tidak masuk akal
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kalau ini semua hanya dikarenakan Eyang Putri Pulangsih ingin menjajal ilmunya dengan apa yang diajarkan Eyang Sepuh. Tak masuk akal karena risikonya begitu tinggi.
Sedikit saja salah, tubuh. bisa hancur.
Atau setidaknya, cacat seumur hidup.
"Jangan tolol. "Semua mempunyai risiko. Kalau tidak mau menjadi ksatria, jangan terjun ke dunia silat. Menenun kain mungkin lebih tepat. Atau menjadi waranggana."
Eyang Putri Pulangsih mengetahui jalan pikiran Gendhuk Tri dan mencegat dengan pernyataan, bahwa itu sudah biasa. Kalau mau aman ya menjadi pesinden atau penyanyi kidungan diiringi gamelan.
Bahwa Gendhuk Tri bisa menolak mengatakan apa yang terbisikkan di telinganya, bukan hal yang sulit. Ia bisa melakukan hal itu.
Namun ia juga sadar, bahwa Eyang Putri Pulangsih jauh lebih bisa membisikkan itu secara langsung kepada Halayudha.
"Aku mau tahu, apakah Bejujag bisa menandingiku.
"Kitab Bumi macam mana yang tidak hanyut oleh air?"
"Tapi sungguh tidak adil," kata Gendhuk Tri.
"Apanya yang tidak adil?"
"Kakang Upasara tak ada yang membisiki."
"Biar saja sampai Bejujag muncul."
"Kalau tidak?" "Berarti Bejujag mengakui kekalahannya."
"Belum tentu, belum tentu...."
"Gendhuk geblek, jadi kamu lebih mengakui keunggulan Bejujag?"
Gendhuk Tri tersenyum tawar.
Sunggingan senyuman menjadi gambaran kesakitan.
"Tidak adil, karena Halayudha tinggal memainkan saja. Padahal yang sangat menentukan justru pada jurus keberapa ilmu ini dimainkan.
"Menentukan itu yang lebih wigati, bukan sekadar memainkannya.
Kalau cuma itu, saya juga bisa melakukannya."
"Belum tentu. "Apa yang dimainkan Halayudha mempunyai dasar Kitab Bumi juga.
Sekurangnya ketika masih diciptakan Dodot Bintulu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Padahal dengan ucapan tadi, Gendhuk Tri mengisyaratkan dirinya yang maju menggantikan Halayudha. Kalau ini bisa terjadi, bukankah adu ilmu antara para tokoh sakti masa lalu tak perlu meninggalkan korban"
"Keampuhan ilmu silat berbeda dengan bunyi kidungan.
"Ilmu silat harus dilatih, harus ditemukan lawan. Tanpa itu latihan yang ada lebih untuk kesegaran dan olah tubuh. Dan seorang ksatria harus terjun ke medan pertempuran. Dengan menjadi prajurit atau apa saja.
"Sri Baginda Raja berpesan begitu.
"Apa gunanya punya ilmu silat tinggi kalau tak bisa membunuh lawan" Itu belum ilmu silat!"
Gendhuk Tri makin merasa jengkel dinasihati seperti itu.
"Kamu masih perlu mendengar lebih banyak.
"Kalau mengaku pewaris Kitab Air."
Gendhuk Tri memejamkan matanya.
"Sekarang saatnya...
"Gendhuk Tri, katakan sekarang saatnya lwa, lwang, lwar"
Gendhuk Tri mengulangi. Halayudha mendadak mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
Tubuhnya berputar dengan satu kaki sebagai sumbu.
Makin kencang, dan bergeser ke arah lwar atau utara. Sementara lwa atau keluasan, kelapangan Lwang atau ruang yang ada, menjadi kekuasaan pengaruh Halayudha.
Bagai terseret arus, Upasara tak bisa menghindar ke arah lain.
Tubuhnya terseret, menghadap ke arah utara, di mana Halayudha makin gencar melancarkan serangan.
"Bagus! "Ikuti aku...."
Halayudha menggeser ke arah timur, dan Upasara mengikuti. Bahkan ketika Halayudha berputar, tubuh Upasara ikutan berputar.
"Bagus! "Kumakan kamu...."
Gendhuk Tri menjerit lemas.
Bukan hanya dirinya yang mengetahui bahwa permainan Halayudha sudah mencapai puncak yang menentukan kemenangan. Karena kini Halayudha sepenuhnya mendikte pertarungan. Ke arah permainan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
keras, lembut, keras-lembut, lembut-keras, Halayudha-lah yang menentukan.
Upasara hanya bisa melayani.
Tanpa bisa menentukan gerakan atau cara bertarung.
Sekuat apa pun bertahan, akan tetapi jika pertarungan mulai dikuasai seseorang, yang terpaksa mengikuti akan kedodoran. Karena tak bisa seperti apa yang diharapkan. Hanya bisa mengimbangi.
Kedua tangan Halayudha terangkat tinggi.
Upasara mengikuti, seakan siap menahan serangan.
Tapi mendadak sekali, tangan itu terulur turun dengan tubuh terbalik ke atas. Sedemikian cepatnya, sehingga sebelum kedua tangan Upasara mengikuti, tubuhnya kena jamah.
Terpegang erat. Tinggal membanting atau meremukkan.
"Prathiwibhara!"
Prathiwitala GENDHUK TRI merasa pertarungan berakhir.
Teriakan itu seperti mengakhiri pertarungan yang sesungguhnya.
Karena dengan meneriakkan serangan terakhir, Halayudha yakin dan pasti apa yang dilakukan!
Dalam keadaan terdesak, Upasara tak mempunyai pilihan lain.
Gendhuk Tri tak berani membuka matanya.
Akan tetapi telinganya seperti mendengar desahan napas yang ditarik dengan berat.
Barulah kini sadar, bahwa teriakan itu bukan diucapkan oleh Halayudha. Melainkan oleh Upasara Wulung.
Ah, bagaimana mungkin ia bisa melupakan nada suara Upasara"
Desahan napas berat itu pasti dari Eyang Putri Pulangsih yang merasa kecewa.
Berarti... Gendhuk Tri membuka matanya.
Pemandangan yang terlihat masih seperti semula.
Upasara Wulung berdiri tegap. Dadanya dipegang kencang oleh Halayudha yang menangkap dari atas. Kini siap membanting atau menghancurkan. Tampak sekali tenaga yang tengah dikerahkan Halayudha, sehingga udara sekitar seperti dipenuhi dengus keras.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tapi anehnya, Upasara bergeming.
Tetap berdiri tegak. Kalau pukulan Halayudha bisa membuat lubang di dinding Keraton menganga, kenapa sekarang tak berarti"
Tak kurang kagetnya, Halayudha sendiri. Dengan pengalaman bertarung yang boleh dikatakan lebih dari mengenyangkan, Halayudha sangat yakin bahwa ia sepenuhnya menguasai pertarungan. Bisa memaksa Upasara bertahan.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat yang menentukan tenaga air bah yang ada disalurkan, dan bisa menangkap Upasara.
Tanpa sempat melawan. Akan tetapi seperti ada keajaiban.
Tubuh Upasara menjadi kelewat berat. Tak bisa digerakkan, apalagi diangkat. Semakin keras ia mengeluarkan tenaga, semakin yakin bahwa usahanya sia-sia.
Bahkan ketika berusaha menyalurkan tenaga dalam untuk menggempur, Upasara tetap bergeming. Seakan tenaga dalamnya demikian kuat mewadahi air bah yang menyerang.
Baginda yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan yakin bahwa kini kemenangan di tangan Halayudha, salah seorang senopatinya.
Setidaknya sampai saat bisa menangkap tubuh Upasara. Maka cukup mengherankan, kalau sekarang Halayudha berkutetan sendiri hingga tubuhnya mengepulkan asap tebal berwarna cokelat. Tanda pengerahan tenaga yang berlebihan.
Sebaliknya, Upasara tetap gagah.
Bahkan kedua tangan yang tadi mengikuti gerakan Halayudha, masih tetap terbuka telapak tangannya ke arah langit.
Bukankah... "Kemplang saja ubun-ubunnya... atau Kakang pilih pencet hidungnya!"
Perhitungan Gendhuk Tri yang memberi komentar sederhana alasannya. Melihat Halayudha terpaku, Upasara bisa melakukan apa aja sesuka hatinya. Telapak tangan yang menengadah ke langit bisa diturunkan ke ubun-ubun lawan.
Andai tahu nasihatnya bisa menghancurkan Upasara, Gendhuk Tri tak punya sisa umur untuk menyesali.
Hal ini baru jelas, ketika bisikan Eyang Putri Pulangsih yang geram terdengar lirih.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan tolol, jangan sembrono.
"Upasara tak akan mengubah tubuhnya sekarang ini. Ia sedang melakukan pernapasan dan sekaligus juga gerakan Prathiwibhara, atau Memberat Seperti Bumi.
"Inilah jurus yang paling curang yang diciptakan Bejujag.
"Gendhuk, kamu tahu air yang bergerak. Bukan oleh tenaganya sendiri, melainkan tenaga lain yang ada. Tanpa memaksa.
"Bejujag curang. Ia menyandarkan kekuatannya pada bumi, pada tanah. Kekuatan tanah yang diambil untuk intinya. Seperti sekarang ini.
"Tak apa, hampir semua ilmu begitu.
"Tapi lihatlah. "Telapak tangan Upasara Wulung yang menengadah ke atas. Lihat baik-baik, bukankah itu curang?"
"Curang?" "Ya. "Bejujag curang. "Masa kamu pura-pura tak melihat?"
Mata Gendhuk Tri sampai berkejap-kejap karenanya.
"Curang?" "Jangan kamu ulang seperti keheranan.
"Itulah kecurangan Bejujag. Dalam ilmu pernapasan yang mengambil kekuatan bumi, telapak tangan selalu menghadap ke bawah, berputar gerakannya. Menghadap tanah sebagai tanda hormat.
"Tapi Bejujag menciptakan itu dengan menghadapkan telapak tangan ke atas. Ke langit.
"Berarti ia memakai tenaga bumi, tapi juga main mata dengan tenaga langit. Apa itu tidak curang"
"Kalau Bejujag ada, sekarang ini pasti sudah terkencing-kencing karena malu.".
"Kenapa, Eyang?"
"Kenapa" Kamu tanya kenapa"
"Sudah jelas ia mengabdi bumi. Memuliakan bumi. Kenapa memunggungi bumi?"
"Menghormati tidak berarti hanya menyembah.
"Mencintai tidak berarti hanya memiliki."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri terbelalak. Upasara bersuara dengan keras.
Apakah itu suara Bejujag, ah maaf, Eyang Sepuh"
"Bagaimana kamu bisa bilang begitu, Upasara?"
Suara Eyang Putri Pulangsih memecah kesunyian.
Kini Eyang Putri Pulangsih tidak melalui bisikan, melainkan langsung menanyakan kepada Upasara yang masih berdiri gagah dengan kedua tangan Halayudha memegangi erat-erat.
"Mencintai adalah menjadi diri sendiri.
"Dalam diri, tak ada perasaan iri kepada tubuh sendiri."
"Siapa mengajarimu itu?"
"Maaf, Eyang Putri, dalam kidungan Penolak Bumi, semua diajarkan.
Hamba hanya menghafal belaka."
"Kenapa telapak tanganmu tidak menutup ke bawah?"
"Tak perlu, Eyang. "Bumi adalah diri kita sendiri. Disembah atau tidak, tak mengubah arah."
"Kalau begitu, kenapa kamu tak berani bergerak?"
"Tenaga berat bumi, menunjukkan penghormatan yang besar kepada bumi. Tenaga yang menyerahkan sepenuhnya kepada bumi."
"Kenapa tanganmu tak berani bergerak, itu pertanyaanku."
"Prathiwitala."
Itu berarti Upasara sedang melakukan gerakan Permukaan Bumi.
Prathiwitala artinya adalah Permukaan Bumi. Dengan demikian, Upasara telah menjawab pertanyaan Eyang Putri Pulangsih.
Bahwa sebagai permukaan bumi, tangan tengadah juga merupakan bagian dari bumi.
Tak peduli ke mana pun tengadahnya.
Atau tengkurapnya. Sekilas seperti tanya-jawab yang mengada-ada.
Akan tetapi sesungguhnya Eyang Putri Pulangsih sedang menakar sejauh mana kekuatan utama Bejujag yang dikenalnya, yang akan dijajal ilmu silatnya setelah berpisah lima puluh tahun. Setelah saling membicarakan tidak langsung.
Dan Bejujag bisa menjawab.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bejujag-nya bisa menjelaskan bagaimana tenaga bumi yang dipergunakan dengan leluasa, tanpa harus tergantung pada gerakan yang formal. Dengan kata lain, gerakan-gerakan tertentu tak lagi harus mencerminkan pengerahan tenaga tertentu.
Gerakan tangan memukul, tidak berarti mengerahkan tenaga ke telapak tangan.
Ini pula sebabnya pukulan yang paling berarti diberi nama Tepukan Satu Tangan.
Yang sulit diterima akal, bagaimana mungkin bertepuk dengan sebelah tangan, dan menghasilkan suara lebih nyaring.
Tapi justru penguasaan inilah yang tertulis dalam Tumbal Bantala Parma.
"Bukankah pengerahan tenaga dalam seperti itu justru aku yang memulai" Tenaga bisa mengalir dari arah mana saja?"
"Hamba tidak tahu, Eyang."
"Ya, kamu tidak tahu.
"Bejujag juga akan menjawab begitu. Karena malu mengakui, akulah sumbernya."
Gendhuk Tri menggeleng. "Eyang Putri Pulangsih, kenapa meributkan soal itu"
"Baru saja Eyang Putri mengatakan, tanpa pertarungan tak bisa ditentukan siapa yang mempunyai ilmu lebih tinggi. Bukankah sekarang sudah terbukti?"
Mendadak terdengar suara nyaring.
Nadanya tinggi sekali. Sehingga Baginda sempoyongan dan ditopang oleh Mahapatih Nambi.
Dan Permaisuri Rajapatni jatuh telentang.
Suara Eyang Putri Pulangsih!
Tangisan Manastapa ROBOHNYA Baginda bukan karena pengaruh tenaga dalam.
Seperti juga terjengkangnya Permaisuri Rajapatni.
Suara mendesis yang keluar dari tarikan napas berat Eyang Putri Pulangsih adalah apa yang dikenal dengan Tangisan Manastapa, Tangisan Dukacita yang Menyayat.
"Bejujag, kuakui keunggulanmu.
"Hari ini aku kera wanita yang tak bodoh, sepenuhnya mengakui keunggulanmu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Lima puluh tahun waktu yang lama bagiku untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Akan tetapi kenakalanmu lebih disayang Dewa."
Selesai berkata, Eyang Putri Pulangsih menunduk.
Ganti kini yang bergoyang keras adalah tubuh Upasara Wulung.
Halayudha yang sejak tadi berkutetan merasa aneh. Kalau tadi tubuh Upasara Wulung bagai tertanam dalam bumi, kini ada saat-saat luang yang bisa dipakai untuk membedol tubuhnya. Dan seperti rencana semula. Bisa dibanting atau diremukkan.
Kesempatan yang baik. Kesempatan yang baik untuk merenggut kemenangan.
Dengan mahapatih sebagai jabatan imbalan. Dan gelar ksatria lelananging jagat.
Hanya saja Halayudha ragu. Apakah kondisi Upasara terpengaruh teriakan Eyang Putri Pulangsih atau sedang mencoba sesuatu yang lain.
Karena rasanya tak masuk akal jika Upasara bisa tergetarkan hatinya dan terpengaruh tenaga dalamnya.
Karena meskipun tenaga dalam yang terpancarkan sangat kuat, akan tetapi Upasara masih bisa mengungguli.
Yang tak pernah terpikirkan oleh Halayudha yang cerdik dan banyak akalnya ialah adanya liku-liku di balik penciptaan segala ilmu yang kini dipertarungkan.
Upasara terpengaruh bukan karena tenaga dalamnya terbetot.
Melainkan karena duka hati Eyang Putri Pulangsih tergema dalam dirinya.
Itu memang keunikan Tangisan Manastapa.
Bagi mereka yang tengah dilanda duka, perasaan akan terseret keras.
Begitu juga halnya dengan Baginda.
Yang sedang berduka karena satu dan lain hal. Berbeda dari Eyang Putri Pulangsih, Baginda berduka karena merasa caranya mengendalikan kekuasaan gagal.
Sementara Permaisuri Rajapatni, mudah diduga.
Kemunculan Upasara Wulung membuyarkan semua angan-angannya.
Mencampuradukkan perasaannya. Ia menjadi kikuk dan serbasalah.
Tak jauh berbeda dari Upasara Wulung yang menjadi salah tingkah.
Hanya karena sejak tadi duduk bersila tanpa bergerak dan tak begitu diperhatikan, jadi tidak begitu kelihatan.
Sebaliknya, Gendhuk Tri tidak terpengaruh selain telinganya sedikit sakit.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bukan karena tak menyimpan duka, melainkan karena dukacita yang dialami Gendhuk Tri bukanlah dukacita yang mengendap ke dalam bawah sadar. Ke lubuk hati yang dalam dan tak tersingkirkan, tak hilang oleh perhatian yang lain.
"Lima puluh tahun aku menunggu. Untuk melihatmu mengakui bahwa aku mempunyai harga yang dibanggakan. Kukeduk semua isi Kitab Bumi, kusempurnakan dalam Kitab Air.
"Ternyata kamu memang lelaki perkasa.
"Bejujag, hari ini aku rela menerima kekalahan itu."
Tangan Eyang Putri Pulangsih mengibas.
Untuk pertama kalinya bergerak sejak datang tadi.
"Tugasku yang terakhir, mempertemukan Upasara dengan Gayatri, telah selesai. Tugasku menemukan dirimu dengan diriku telah selesai.
"Bejujag, aku tak bisa iri dengan kabegjan, dengan keberuntungan yang kamu peroleh.
"Kudengar Raganata pergi, Dodot Bintulu pergi, dan kamu bisa moksa. Aku yang masih hidup ternyata tetap tak bisa membuktikan keunggulanku.
"Bejujag, kamulah lelaki sejati.
"Baginda Raja akan menerimamu di sampingnya."
Halayudha bersiap menggempur Upasara.
Sekali dicoba dengan menyalurkan tenaga dalamnya. Dan membuat heran, karena Upasara seperti merasakan kesakitan yang luar biasa.
Daya balik tenaga dalamnya seperti tak terarah.
Ini saatnya! Upasara sendiri merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan kemampuannya mengerahkan tenaga dalam. Sesuatu yang memang kadang masih dirasakan tanpa bisa dikuasai.
Hanya saja kalau terjadi di saat segenting ini, bisa berbahaya. Apalagi yang dihadapi adalah Halayudha.
Tetapi tak bisa lain. Tak bisa mengubah gerakannya menancap bumi dan menengadah langit. Sedikit saja perubahan, Halayudha bisa merasakan. Dan dengan segera akan menyerbu masuk.
Satu kali cukup untuk melukai Upasara.
Atau bahkan melumpuhkan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Itu yang akan terjadi, kalau tidak terdengar teriakan dalam nada yang sama tingginya.
"Raganata telah mati, Dodot Bintulu sudah mati. Bejujag sudah sembunyi, sampai mati kering.
"Tapi masih ada aku.
"Pulangsih, Pulangsih-ku, masih ingatkah kau padaku?"
Siapa pun yang mendengarkan merasa ganjil. Suara yang sember dengan nada masih remaja.
Lebih aneh lagi begitu memperhatikan siapa yang mengatakan itu.
Yaitu Nyai Demang yang menggendong tubuh kaku Kebo Berune.
Kehadirannya saja aneh. Apalagi suaranya, dan isi ucapan yang menggambarkan kerinduan mendalam.
"Pulangsih, ini aku."
Eyang Putri Pulangsih menghela napas.
"Kebo tolol, kamu mau apa lagi"
"Semua sudah terlambat. Kamu sendiri sudah terlambat."
"Sama sekali tidak. "Aku masih segar bugar. Lima puluh tahun lalu, seperti yang kujanjikan, aku akan datang merebut kemenangan dan menempatkan kamu di sisiku.
"Selamanya. "Aku mau tahu siapa yang bisa berdiri menghalangi. Raganata" Aha, mayatnya pun sudah jadi tanah. Dodot Bintulu" Cacing yang makan tulangnya sudah berdebu. Bejujag" Apa anehnya lelaki kurang ajar yang beraninya bersembunyi sepanjang hidupnya" Yang kerjanya mencuri dan mengatakan tak bisa apa-apa"
"Pulangsih, aku Kebo tolol.
"Tapi akulah yang mendapatkanmu."
Halayudha tak tahu persis. Apakah ia bergembira atau sedih dengan membawa Nyai Demang ke Keraton. Kalau semula ingin mempelajari ilmunya kini menjadi lain akhirnya.
"Kamu sudah modar. "Jangan memaksa diri."
"Pulangsih, siapa bilang aku mati"
"Tidakkah kamu lihat diriku sekarang ini?"
Gendhuk Tri menggigil. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini benar-benar tak masuk akal. Pertarungan lima puluh tahun lalu masih terus berlanjut sampai kini.
Eyang Kebo Berune masih merasa hidup. Walau hanya memakai pinjaman tubuh Nyai Demang.
"Nyai..." Teriakan Gendhuk Tri membuat tubuh Nyai Demang miring ke arahnya.
"Itu Kakang Upasara.
"Tidakkah kamu perlu menanyakan kabar keselamatannya?"
Inilah cara Gendhuk Tri untuk memotong hubungan batin antara Eyang Kebo Berune dan Nyai Demang. Karena kalau kesadaran Nyai Demang muncul, pengaruh pada dirinya surut.
Dengan menyebutkan nama Upasara, Gendhuk Tri berharap Nyai Demang akan muncul kesadarannya.
Perhitungan yang bagus! Tapi tidak berarti tepat pada sasaran.
Karena kini pengaruh Eyang Kebo Berune sangat kuat. Niatan dan keinginan yang selalu mendesak untuk bertemu dengan Eyang Putri Pulangsih, jauh menindih keinginan Nyai Demang untuk menyapa Upasara.
"Nyai..." "Percuma..." Kalimat Eyang Putri Pulangsih seperti tertuju ke arah Gendhuk Tri dan Nyai Demang sekaligus. "Tak ada gunanya lagi."
Halayudha mencelos. Kini tubuh Upasara menjadi kokoh lagi.
Tak bisa digasak lewat tenaga dalam.
"Nenek tua, kenapa tidak kamu tolong orang itu?"
Kali ini Gendhuk Tri jadi pencilakan. Matanya berputar, mencari-cari suara yang seperti dikenalnya.
Benar saja, itu suara Cebol Jinalaya!
Yang makin membuat Gendhuk Tri gelisah tak menentu. Bagaimana mungkin si Cebol itu berlaku kurang ajar" Menyebut dengan panggilan nenek tua"
Bukankah tadi masih di depan" Masih menyaksikan pertarungan antara Singanada dan Senopati Agung"
Di mana mereka kini, dan apa yang terjadi"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Keraton Tanpa Tata Krama BARU Gendhuk Tri sadar. Bahwa Singanada juga berada di halaman dalam. Bersama dengan Senopati Agung dan para pengiringnya.
Halaman dalam Keraton benar-benar penuh sesak.
Sesuatu yang untuk pertama kalinya terjadi. Orang-orang luar bisa masuk seenaknya. Bisa leluasa berdiri seperti juga yang dilakukan Cebol Jinalaya.
Semua terjadi di depan Raja.
Gendhuk Tri bersyukur bahwa Singanada tidak melanjutkan pertarungan mati-hidup dengan Senopati Agung. Ia hanya bisa menduga-duga bahwa pertarungan mereka berdua terhenti.
Terhenti sementara. Dugaan Gendhuk Tri tak jauh meleset.
Di saat keduanya bertarung makin ketat, makin menuju penentuan, terlihat dua bayangan berkelebat. Yang muncul dan lenyap kembali.
Sebagai sesama jago silat, Singanada maupun Senopati Agung sudah terbiasa dengan kejadian itu. Tak bakal terpengaruh. Akan tetapi sekali ini lain.
Desiran bayangan yang muncul dan pergi bukan sekadar bayangan jago silat. Melainkan juga membersitkan sesuatu yang begitu hebat dan dekat dengan mereka.
Bisa dimengerti karena keduanya mempunyai akar yang sama. Yaitu sama-sama bersumber dari Kitab Bumi. Dan yang sedang dimainkan oleh Upasara maupun Halayudha saat itu tak jauh berbeda.
Tanpa sungkan-sungkan, Singanada meloncat mundur.
"Aku tetap akan membunuhmu.
"Tapi rasanya sayang sekali kalau tidak melihat apa yang terjadi di dalam."
Senopati Agung mengusap janggutnya perlahan.
Walau dirinya sangat ingin tahu, hatinya tak bisa mengatakan seperti apa yang diinginkan. Ada perasaan yang tak ingin merendah"meminta kesediaan lawan, hanya untuk melihat pertarungan yang lain.
Rasa sungkan itu yang justru tak ada dalam diri Singanada.
Melihat Senopati Agung berdiam diri, Singanada menggertak.
"Kalau mau bilang mau."
"Kalau tidak?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku mau lihat dulu."
"Hmmm..." "Apa hmmm" Aku sudah berjanji membunuh siapa pun yang menanyakan dan mengungkapkan asal-usulku.
"Itu pasti kutepati.
"Tapi di dalam ada tontonan yang lebih bagus."
Sikap terbuka. Dada yang lapang, mengakui keunggulan orang lain.
"Baik kalau itu keinginanmu."
"Tunggu saja!" Tanpa peduli diserang dari bokong, Singanada segera masuk ke dalam. Dan menjadi bagian penonton yang larut dalam pertarungan.
Begitu juga halnya Senopati Agung.
Hanya perbedaannya, perasaan Senopati Agung seperti ditusuk dengan ujung sapu lidi yang kotor. Merobek wajahnya, meninggalkan luka yang memalukan.
Biar bagaimanapun, Senopati Agung adalah kakak ipar Raja. Yang justru lebih ketat memegang tata krama dan aturan Keraton.
Sama sekali tidak menduga bahwa halaman dalem, yang biasanya dilewati orang-orang tertentu sambil berjongkok dan menyembah, kini tak bisa dibedakan dengan alun-alun.
Diam-diam, Senopati Agung melirik Raja.
Untuk menangkap perasaan yang terpendam. Karena rasanya sangat ganjil bagian utama Keraton diinjak-injak orang luar secara kasar.
Ini bisa berarti penghinaan yang memalukan.
Tak bisa dibiarkan. Karena membiarkan hal ini berlalu, seperti juga tidak lagi menghormati kebesaran Raja yang tak tertandingi.
Salah satu bentuk penilaian kejayaan Keraton bisa dilihat dari seberapa jauh penduduk menghormati tata krama ini.
Ini yang membuatnya sangat sedih.
Apa artinya sebuah Keraton megah tanpa tata krama" Apa artinya seorang raja kalau tidak diperhatikan dan tak dihormati"
Kerisauan Senopati Agung juga dirasakan oleh para senopati yang lain, termasuk Mahapatih Nambi. Bahkan sejak semula ia mengalihkan pembicaraan agar medan pertarungan tidak terjadi di dalam.
Semua menjadi serbasalah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Menyarankan Raja masuk ke dalam juga salah.
Membiarkan pertarungan terus berlangsung juga keliru.
Mahapatih Nambi tetap tak bisa menerima, meskipun yang memerintahkan penangkapan Upasara Wulung adalah Raja sendiri.
Singanada mengangguk ke arah Gendhuk Tri, begitu sorot mata gadis itu tertuju ke arahnya.
Gendhuk Tri menunduk tersipu.
Tiba-tiba saja ia merasa sangat kikuk. Melihat Singanada dan sekaligus melihat Upasara.
Entah kenapa. "Nenek tua, apa kamu dengar yang kukatakan"
"Kamu bisa mengucapkan dengan enak, tokoh pujaan yang sakti seperti Eyang Raganata. Berarti mereka temanmu sendiri. Kenapa orang yang sudah mati tak kamu tolong"
"Bukankah menolong orang yang mau mati termasuk kebajikan yang direstui Baginda Raja yang bijaksana, yang kamu sebut-sebut namanya?"
Eyang Putri Pulangsih menutup matanya sambil menggeleng.
"Itu bukan urusanku."
"Kalau bukan urusan Nenek, urusan siapa"
"Apa semua menjadi urusan Baginda Raja yang mulia?"
Mahapatih Nambi menggertak keras. Tombaknya terlepas. Dua tombak meluncur.
Tepat di antara dua kaki Cebol Jinalaya.
Kemurkaan Mahapatih adalah kemurkaan untuk menghormati Baginda. Bagaimana mungkin seorang yang cebol, berkulit hitam, begitu memuja-muja Baginda Raja Sri Kertanegara di depan Baginda"
Hal seperti itu tak bisa dibiarkan.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hanya yang membuatnya sedikit kaget ialah bahwa arahan tombaknya menjadi meleset beberapa jari.
Mahapatih tidak melanjutkan lagi. Hanya berharap Cebol Jinalaya tahu diri.
Tak berani mencoba karena tidak mengetahui siapa yang telah menolong Cebol Jinalaya. Begitu banyak tokoh yang sakti di sekelilingnya.
Hanya berharap tahu diri, karena sesungguhnya Mahapatih tak bisa terjun langsung ke gelanggang. Tapi juga tak bisa berdiam diri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pulangsih, putri asmaraku.
"Kamu masih tak percaya aku masih hidup?"
"Terlambat. "Tangisan yang paling duka, tak bersisa air mata.
"Kebo tolol, untuk apa mencari lebih derita.
"Bahkan selama ini harapanmu sia-sia."
Eyang Putri Pulangsih mengucapkan dengan datar. Tak ada lagi kata.
Tidak seperti orang yang berbicara. Seperti mengeja, dan terbata-bata.
"Apakah itu berarti selama ini kamu tak pernah memperhitungkan diriku"
"Apakah selama ini kamu tak mempunyai daya asmara setitik pun padaku"
"Pulangsih, katakanlah!"
Cebol Jinalaya menepuk jidatnya sendiri.
"Mayat hidup alias Kebo tolol, kenapa sudah bisa mati malah bicara soal daya asmara?"
Tangan Nyai Demang terangkat. Telunjuknya menuding ke arah Cebol Jinalaya. Pada saat yang bersamaan Singanada dan Gendhuk Tri meloncat masuk ke dalam gelanggang.
Bersatu dengan gerakan sama, di angkasa, keduanya mengeluarkan tenaga dalam, menghalang arah tudingan.
Dengan terpaksa, dua tenaga gabungan mencoba mematahkan serangan berjarak Nyai Demang.
Singanada terpental kembali.
Hingga perlu berjumpalitan untuk menenangkan dirinya. Demikian juga Gendhuk Tri yang merasa ujung selendangnya menjadi beku dan terasa dingin serta perih.
Cebol Jinalaya terdorong ke samping, merintih.
Tapi senyumnya tersungging.
"Mudah-mudahan ini jalan kematian yang kurindukan itu."
Perlahan Halayudha mulai mengendurkan tenaganya. Merasa sia-sia.
Kalau ia bisa segera melepaskan, ia bisa leluasa dan bertarung dari awal lagi.
Sungguh tidak enak berada di tengah lapangan sambil memegangi Upasara yang berdiri mematung.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Baru menghadapi sebutir air dan secuil bumi kamu sudah tak bisa apa-apa.
"Kebo tolol, sungguh aneh, kenapa kamu tak tahu diri?"
"Karena aku memang tolol, seperti yang kaukatakan, Pulangsih."
Mati dalam Hidup "Tolol. "Sangat menyedihkan.
"Kebo, Kebooo... Kenapa Dewa begitu sampai hati menciptakan manusia sejenis kamu?"
"Apa salahnya jika aku tolol dalam pandanganmu?"
Eyang Putri Pulangsih memalingkan wajah.
Sambil meludah. "Kamu membuat kesalahan sejak lahir ke dunia.
"Juga ketika merasa dirimu ksatria utama, sejajar dengan Raganata, Bejujag, atau Dodot Bintulu. Kamu terlalu memaksa diri dalam segala hal.
"Juga dalam mengharapkan asmara dariku.
"Kebo tolol, seujung kuku pun aku tak pernah memperhitungkanmu."
Suaranya terdengar sangat dingin.
Ada nada putus asa. "Untuk apa kamu memaksa diri"
"Kamu tak pernah masuk hitungan sejak dulu kala. Akan tetapi kamu merasa sebagai ksatria utama. Ketika Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang diciptakan, tak ada sebaris kidungan pun yang berasal dari sumbanganmu.
"Ketika beramai-ramai memikirkan tumbal Kitab Bumi, kamu mengeluarkan Pukulan Pu-Ni. Sesat. Pemikiran yang sesat.
"Sekali lihat aku sudah tahu kamu masuk aliran sesat.
"Dodot Bintulu yang rakus dan jahat, tidak sesesat dan sehitam apa yang kamu lakukan.
"Dengarkan baik-baik.
"Akan kutunjukkan semua kekeliruanmu.
"Dalam melatih pernapasan, kamu memulai dari titik henti. Bahwa semua tenaga berasal justru dari napas yang tertahan. Bahwa umur menjadi panjang, tenaga menjadi berlipat saat tidak bernapas.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Barangkali itu pemikiran yang luhur, terobosan yang mencuat. Akan tetapi sesungguhnya itu pemikiran yang keliru. Asal lain daripada yang lain.
"Mau aneh saja. "Kamu tidak tahu bahwa dasar-dasar ilmu silat adalah kasunyatan, yaitu bumi yang sebenarnya. Mempunyai akar, yaitu bumi yang dipakai Bejujag, air yang kupakai, dan bintang yang dipergunakan Dodot Bintulu kemudian.
"Yang begini saja kamu belum mengerti.
"Tapi dasar tolol, kamu justru berlatih makin keras. Tenaga dalam dari napas tertahan kamu latih terus, sehingga seluruh tubuhmu hancur, seluruh tenaga dalammu sungsang-sumbel tak keruan.
"Kamu jauh memasuki daerah hitam.
"Kamu kira kami tak mengetahui perkembangan ilmu yang kamu latih sehingga Bejujag pernah mengatakan bahwa ilmu kamu berkembang ke arah mati jroning urip, kematian di dalam kehidupan. Kamu merasa masih hidup, tetapi sebenarnya sudah mati. Kamu merasa melatih tenaga dalam, padahal sebenarnya membunuh tenaga dalam yang murni.
"Bejujag mengatakan padamu, bahwa kumpuling kawula Gusti, bersatunya manusia dengan Dewa Pencipta, adalah mengagungkan kemanusiaan sebagai ciptaan Dewa.
"Tidak cukup jelaskah ketika dikatakan bahwa kamu keliru dengan menentang kematian"
"Pada tahap kamu mampu mematikan darah, daging, kulit, sumsum, jerohan, kamu mulai memutarbalikkan apa yang diwarisi dari ibu...."
Sampai di sini Baginda tertegun.
Apa yang dikatakan Eyang Putri Pulangsih bisa dimengerti. Bahwa memang ada aliran hitam yang mampu membunuh rasa dari darah, daging, kulit, sumsum, yang berada di tengah tulang, serta jerohan yaitu segala jenis anggota dalam tubuh seperti paru-paru, hati, limpa, dan lain sebagainya. Ilmu yang begini menjadikan pemiliknya orang yang kebal. Tidak mempan terkena pukulan atau senjata di bagian-bagian yang disebutkan.
Karena cara-cara melatihnya dengan menggunakan mayat, atau kalau perlu orang hidup yang dimayatkan, aliran ini dianggap sesat. Pemikiran kekebalan dengan mematikan rasa bagian-bagian itu disebut sebagai pengkhianatan, atau mbalela, atau menentang kodrat seorang ibu.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ini memang istilah yang dipergunakan. Akan tetapi di balik istilah
"menolak kodrat seorang ibu" tersembunyi kutukan yang luar biasa bagi mereka yang melatih ilmu tersebut.
Eyang Putri Pulangsih bisa bercerita dengan jelas, karena mengalami sendiri. Di saat Baginda Raja Sri Kertanegara ingin memasyarakatkan ilmu silat, ingin membuat babon semua kitab silat, banyak yang mengusulkan aliran-aliran sesat semacam ini. Yang memang selintas seperti lebih tangguh dan gampang dipamerkan.
Namun Sri Baginda Raja sejak awal memutuskan bahwa ajaran semacam itu dilarang keras. Bahkan harus dihapuskan. Karena pada akhirnya tidak mendidik akal budi yang baik. Padahal justru ini yang menjadi tujuan utama.
"Pada latihan kedua, ketika kamu mematikan barang keras seperti kuku, bulu, otot, urat, gigi, kamu makin jauh melenceng dan tak bisa kembali setelah langkah berikutnya kamu berusaha mematikan otak."
Tanpa terasa Baginda menggaruk rambutnya.
Karena menyadari bahwa untuk melatih setiap tingkatan, seseorang harus mengumpulkan sekian banyak bagian tubuh mayat. Sekian banyak urat, sekian banyak nadi, sekian banyak tulang, sekian banyak gigi, dan sekian banyak otak.
Dilihat dari cara berlatih ini saja, pastilah sudah memerlukan sekian ratus mayat, yang terpaksa digali dari kubur.
Atau seperti dugaan semula, kalau tak begitu banyak mayat ditemukan, yang hidup dibunuh lebih dulu.
Ilmu mati jroning urip, untuk bisa mencapai tingkat Kakek Kebo Berune yang dipanggil sebagai Kebo tolol ini, pastilah melalui latihan yang memerlukan korban ratusan jiwa.
Bisa berarti seluruh pengikut ke tanah Berune dimusnahkan, di samping ksatria setempat.
Benar-benar mengerikan! "Jadi kamu pun menganggap aku tersesat?"
"Cacing pun akan bilang yang sama.
"Kebo tolol, lihatlah! Apa dan siapa dirimu sekarang" Bejujag bisa moksa sebagai jiwa yang suci. Raganata pergi sebagai ksatria dan prajurit utama. Dodot Bintulu menghadap Dewa Pencipta dengan ikhlas.
"Kamu, apa yang kamu lakukan sekarang ini"
"Membonceng seorang yang tak berdosa.
"Untuk apa memaksa diri seperti itu"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Keabadian, kelanggengan, bukanlah dalam mati jroning urip atau sebaliknya, urip jroning mati. Bukan mati di dalam hidup, atau hidup di dalam mati.
"Mati adalah mati. "Hidup adalah hidup.
"Tak bisa dicampur adukkan.
"Itu pengertian yang salah. Yang sampai sekarang ini pun tak bisa kamu pahami.
"Tidakkah itu tolol"
"Tidakkah itu perlu dikasihani"
"Ah, apakah aku perlu berkomentar panjang-lebar?"
Cebol Jinalaya mengangguk-angguk, seakan bisa mengerti.
"Aku mencari kematian.
"Bukan mempertahankan. Nenek tua, kata-katamu ada benarnya."
Eyang Putri Pulangsih melirik Cebol Jinalaya.
"Manusia yang tingginya hanya separo, otaknya lebih berguna dari kamu. Rasa yang dimiliki lebih peka."
Gendongan Nyai Demang bergoyang-goyang.
"Apa pun yang kamu katakan, itu tandanya ada daya asmara dalam dirimu yang tersambung dariku."
"Tidak. "Aku sebenarnya tidak bicara denganmu. Tak ada maknanya.
"Aku bicara dengan diriku sendiri, bahwa sejak semula aku tidak salah menolakmu. Tidak keliru aku tidak memperhitungkanmu."
"Nenek tua, kalau begitu tolonglah. Biar Nyai Demang atau siapa pun namanya, terbebas dari Kebo tolol itu."
"Itu bukan urusanku."
"Kalau kamu tidak mau, jangan halangi aku bertindak."
Cebol Jinalaya bersiap-siap dan maju mendekat.
"Tunggu!" teriak Gendhuk Tri keras. "Cebol, kamu tak tahu angin di atas tubuhmu. Lebih baik kamu berdiri di pinggir dan menyaksikan."
"Kalau yang tahu tak mau menolong, biar saja yang tak tahu yang menolong."
Gendhuk Tri tak bisa membalas dengan kata-kata.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Walau tak keruan ujung-pangkalnya, kata-kata yang diucapkan Cebol Jinalaya ada benarnya. Setidaknya tak bisa dibantah.
Saat itu justru Halayudha yang memanfaatkan keadaan!
Merasa bahwa Upasara tak bisa dikalahkan dengan jurusnya, Halayudha mencari kesempatan lain. Genggaman pada tubuh Upasara diperlonggar, dan pada kejapan yang sama meloncat jauh. Meraih Permaisuri Rajapatni yang menggeletak.
Sekali raup tubuh itu berada dalam gendongannya.
"Lepaskan!" Pasangan Asmara APA yang dilakukan Halayudha memang serba tak terduga.
Di saat semua perhatian tercurah dalam bantah kawruh, atau adu ilmu, antara Eyang Putri Pulangsih dan Kebo Berune mengenai ilmu sesat, di saat itu pula Halayudha menggasak Permaisuri Rajapatni yang tak sepenuhnya terjaga oleh para prajurit yang kikuk.
Kikuk karena tak bisa segera menolong.
Maka dengan satu gerakan, Halayudha mampu meraih Permaisuri Rajapatni dan bisa menggendong.
Merasa bahwa gempuran dalam tubuhnya berkurang, Upasara awas akan adanya perubahan dari Halayudha. Maka begitu Halayudha memindahkan serangan ke arah Permaisuri Rajapatni, saat itu pula Upasara meluncurkan telapak tangannya ke depan.
Telapak tangan yang tadinya terbuka ke atas, menyodok ke depan.
Ganti meraih Permaisuri Rajapatni.
Justru ini yang diperhitungkan Halayudha.
Karena sangatlah mudah menebak bahwa Upasara akan bereaksi cepat mengetahui Permaisuri Rajapatni berada dalam bahaya.
Maka Halayudha menunggu sampai telapak tangan Upasara menyentuh tubuh Permaisuri Rajapatni dan berteriak "lepas". Saat itu beban di pundaknya dilepaskan, dan sebagai gantinya dua tangan menjotos dada Upasara.
Dengan jotosan yang mampu melubangi dinding Keraton.
Maha Singanada mencelos. Dialah yang pertama-tama mengeluarkan seruan tertahan. Karena melihat bahwa gerakan Halayudha sangat tepat sekali.
"Celaka!" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bersamaan dengan itu, Gendhuk Tri melapis dan menyerang. Sedikit-banyak akan membuat Halayudha terganggu pemusatan pikirannya.
Kalaupun mengenai Upasara tak akan fatal.
Akan tetapi Upasara memang tidak memperhitungkan serangan Halayudha.
Begitu Permaisuri Rajapatni diambil dan disampirkan di pundaknya, pukulan Halayudha tak diperhitungkan lagi.
Akibatnya tubuhnya terbanting ke belakang.
Darah segar menyembur. Membasahi dadanya. Membasahi Permaisuri Rajapatni.
Yang menjadi sadar. "Kakangmas..." Suara Permaisuri Rajapatni, yang di telinga Upasara tetap seorang Gayatri, menyusup ke sukma. Membuat ubun-ubunnya berdenyut keras.
Untuk pertama kalinya kerinduan asmara yang meluap dan terbendung selama ini berhasil diwujudkan. Menggendong kekasihnya.
Bibir Upasara tersenyum. Darah segar masih menetes.
"Kakangmas Upasara..."
"Yayimas..." Suara Upasara sama lembut.
Mengusap, meniup rasa di sekujur kulit Permaisuri Rajapatni.
"Kakangmas terluka...."
Upasara menggeleng. "Yayi tidak apa-apa?"
Permaisuri Rajapatni menggeleng.
Sementara itu dengan dua gerakan pendek, Halayudha bisa mengusir serangan Gendhuk Tri. Gerakan ketiga, Halayudha meluncurkan tubuhnya. Satu tangan memapak tenaga Gendhuk Tri, yang justru dipakai sebagai loncatan untuk menggempur dada Upasara.
Dengan kakinya. Pada saat tubuhnya meluncur, kakinya menjadi keras bagai logam.
Di-tambah dengan gerakan meluncur cepat, dada Upasara adalah sasaran empuk. Karena tak sempat menghindar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dan tak mungkin menggunakan tubuh Permaisuri Rajapatni sebagai perisai.
Baginda bersorak dalam hati.
Kini saatnya Upasara terkalahkan. Bagaimanapun caranya, itu soal nanti.
"Awas, Kakang...."
Teriakan Gendhuk Tri pastilah sudah terlambat.
Karena ujung kaki Halayudha sudah menyentuh dada Upasara.
Upasara tersenyum ringan. Pandangan matanya masih menatap Permaisuri Rajapatni. Begitu juga sebaliknya. Saling pandang dalam jarak yang begitu dekat.
Tidak memedulikan bahwa mereka berdua disaksikan seluruh isi halaman Keraton. Yang sekarang memang penuh sesak.
Sejak para senopati berkumpul, sejak itu pula senopati yang lain siap gegaman, atau dalam keadaan siaga. Tanpa diperintah, kalau Keraton diperkirakan dalam bahaya semua akan berkumpul. Apalagi kini jelas-jelas, bahwa Baginda berada di tengah kerumunan.
Maka jadinya suatu pemandangan yang ganjil.
Sangat ganjil. Di satu bagian seorang nenek tua yang bicara keras dan mengajari seorang wanita yang menggendong mayat hidup, di bagian lain ada Gendhuk Tri, yang berdampingan dengan Singanada, serta Halayudha yang perkasa dikepung seluruh prajurit Keraton.
Puncak keganjilan itu adalah Upasara yang mengeluarkan darah segar, membopong Permaisuri dan tetap saling pandang.
Bahkan kali ini pun, Eyang Putri Pulangsih memandang ke arah Upasara Wulung. Seakan menyetujui teriakan peringatan Gendhuk Tri.
Tubuh Halayudha terus meluncur.
Gendhuk Tri tak bisa melihat jelas. Apakah menembus dada Upasara atau setidaknya melukai. Yang jelas tubuh itu terus meluncur, sementara Upasara seperti bergeming.
Tetap membopong Permaisuri Rajapatni dengan kedua tangannya.
Rambut Permaisuri terlepas dari sanggulnya, terurai menyentuh tanah.
Tubuh Halayudha meluncur terus, dan begitu menginjak tanah, berbalik seperti tombak dilepas. Seperti anak panah meluncur dari busur. Kembali berusaha menggunting Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kali ini benar-benar menggunting.
Karena kedua kakinya bergerak sangat cepat sekali.
Kalau Upasara tak berkelit, bisa dilipat habis.
Upasara memang tak berkelit.
Saat itu Gendhuk Tri sudah berseru keras, membebaskan semua selendang dari tubuhnya. Matanya mengisyaratkan Singanada yang juga sudah menggerung sambil memasang kuda-kuda.
Baik Gendhuk Tri maupun Singanada sama-sama menyadari bahwa gabungan kedua ilmu silat mereka mempunyai kelebihan dibandingkan hanya dua kekuatan yang dijumlahkan.
Tapi mereka tidak bergerak sendiri.
Mahapatih Nambi sudah mengibaskan tangannya. Semua senopati dan para prajurit pilihan juga sudah meloncat ke tengah pertarungan.
Sehingga mau tidak mau Gendhuk Tri dan Singanada terkurung pagar betis dengan tombak, keris, pedang, dan anak panah.
Bagi Mahapatih Nambi tak ada pilihan lain.
Sejak Baginda menitahkan bahwa Upasara musuh Keraton, penjabarannya ialah menangkap Upasara. Dalam keadaan hidup atau mati atau terluka. Dengan sendiri-sendiri seperti yang dilakukan Halayudha atau dengan mengeroyok.
Alasan keamanan Baginda bisa membenarkan kenapa dirinya mengeroyok Upasara.
Dan berbeda dari saat-saat sebelumnya, kini tidak ada lagi kesangsian sedikit pun untuk menangkap Upasara.
Bahkan Senopati Agung yang sejak tadi hanya bersila di pinggir, ikut terjun ke gelanggang.
Yang tidak ikut terlibat hanya Eyang Putri Pulangsih.
Dan Cebol Jinalaya yang kebingungan.
Guntingan kaki Halayudha seperti berhasil merontokkan iga Upasara Wulung. Terdengar suara tulang beradu keras.
Hanya saja, Upasara masih tetap berdiri tegak.
Tetap membopong. Sementara Halayudha terpincang-pincang.
Tak masuk akal. Sepersekian kedipan mata, Mahapatih Nambi menduga bahwa Halayudha berpura-pura. Menduga Halayudha memainkan tipu muslihat yang lain, yang belum diketahui apa rencana sebenarnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bisa dimengerti. Karena Halayudha sendiri seakan tidak percaya. Jelas-jelas guntingan kakinya tak bisa dihindari oleh Upasara. Akan tetapi yang ngilu justru kaki-nya sendiri.
Sangat ngilu hingga terpincang-pincang.
Inilah yang ajaib. Seorang jago utama, tokoh silat setingkat Halayudha bisa menjadi terpincang-pincang. Patah tangan atau kaki, tubuh hancur, adalah sesuatu yang bisa dimengerti kalau terlibat dalam pertarungan. Akan tetapi pasti bukan terpincang-pincang.
Ini hanya dilakukan seorang pemula. Karena salah urat atau salah melakukan gerakan.
Yang mustahil dilakukan Halayudha.
"Kakangmas..." Tangan Permaisuri Rajapatni mengusap lembut tepi bibir Upasara, sementara sorot matanya tetap tertuju ke mata Upasara.
Satebah Lemah, Sanyari Bumi
MENGAGUMKAN! Itulah satu kata yang tepat menggambarkan keberadaan Upasara saat ini.
Bahkan Baginda pun mengeluarkan pujian itu.
Di dalam hati. Wajah dan sikap tubuhnya tetap dingin, tidak memancarkan perasaan apa-apa. Seakan mampu mengatasi gelombang keirian.
Seakan justru memperlihatkan bahwa sikap Permaisuri Rajapatni yang mengelap darah di sudut bibir Upasara sama sekali tidak menjadi persoalan baginya.
Apa yang dilakukan permaisurinya tak cukup membuatnya melirik.
Tindakan permaisurinya tak cukup berharga untuk diperhatikan.
Sesungguhnya memang begitu.
Bagi Baginda kehadiran Permaisuri Rajapatni hanyalah satu dari sekian banyak permaisuri yang tak resmi. Salah satu dari sedikitnya permaisuri yang resmi. Masih ada puluhan, bahkan ratusan wanita lain yang akan merasa bahagia bisa melayaninya. Dari sisi ini, Baginda tak bisa disalahkan.
Kalau ada sesuatu yang mengganggu kehormatannya dan menimbulkan rasa iri ialah kenyataan bahwa Permaisuri Rajapatni yang telah bersanding dengannya, masih menyimpan ksatria lain. Sesuatu yang seharusnya tak bisa terjadi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Tak boleh terjadi! Bisa bersanding dan melayani Baginda adalah kehormatan yang tinggi bagi semua wanita Keraton dan wilayah yang dikuasai Majapahit.
Kelelakian Baginda tak menghendaki ada lelaki lain yang mendekati atau menyamai.
Akan tetapi kenyataan bahwa permaisurinya, bahwa prameswari dalem, permaisuri raja, menunjukkan perhatian kepada orang lain, lebih dari tamparan terompah kotor ke wajah Baginda.
Padahal Permaisuri Rajapatni tidak secara sengaja menantang. Tidak secara sengaja memamerkan perasaannya.
Bahkan secara diam-diam, keinginan dan impian membayangkan Upasara ditenggelamkan ke dalam bawah sadarnya.
Apa yang dilakukan sekarang ini lebih merupakan juluran naluri seorang wanita. Yang ditolong oleh seorang lelaki, dan penolong itu menjadi terluka parah karenanya.
Usapan kemesraan itu adalah ungkapan perhatian, tanda terima kasih.
Akan tetapi karena sebelumnya ada perasaan asmara, jadinya bermakna lain.
Gendhuk Tri yang berdiri berjajar dengan Maha Singanada menyaksikan pemandangan yang menggetarkan hati.
Upasara Wulung membopong kekasihnya, di tengah kepungan para prajurit dan senopati yang kikuk. Mau menyerang takut keliru mengenai Permaisuri. Tidak menyerang, merasa tidak melakukan kewajiban.
Yang sedikit di luar perhitungan adalah Halayudha. Ternyata ia tidak sekadar terpincang-pincang dan minggir dari gelanggang pertarungan.
Lebih dari itu, kakinya seakan tidak kuat menyangga tubuhnya.
Sehingga mau tak mau terpaksa duduk!
Sambil mengurut kedua kakinya.
Tepatnya di keempat mata kaki.
Baginda mengembuskan napas ringan.
"Ada apa Halayudha itu?"
Pertanyaan Baginda tak tertuju kepada siapa-siapa. Tak perlu mengetahui siapa yang diajak bicara. Mahapatih Nambi menyembah dengan penuh hormat.
"Menurut dugaan hamba, keempat mata kakinya terluka."
"Kenapa bisa begitu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Hamba kurang tahu, Baginda.
"Barangkali saja sewaktu berusaha menebas tubuh Upasara secara bersamaan, terjadi sesuatu yang keliru. Sehingga saling beradu sendiri."
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Baginda berdehem. "Apa itu bisa terjadi pada seorang semacam Halayudha?"
Tak ada jawaban. Mahapatih Nambi sendiri tak begitu yakin. Tak begitu pasti apa yang sesungguhnya terjadi. Seperti juga para senopati yang lain.
Namun dalam satu hal, hati mereka sepakat mengakui keunggulan Upasara. Dalam pertarungan yang mengesankan, Upasara memantapkan dirinya sebagai ksatria yang tiada tandingannya. Dengan sebelah tangan mengungguli Halayudha sehingga pontang-panting.
Dengan bantuan Gendhuk Tri, Halayudha bisa mendesak Upasara.
Namun justru ketika sampai pada jurus yang menentukan, tubuh Upasara tak bisa digerakkan.
Sewaktu Halayudha mengubah taktiknya, berhasil keras. Akan tetapi segera disusul dengan terjongkok sendiri.
Berhasil keras karena membuat Upasara muntah darah.
Anehnya, justru setelah itu keempat mata kakinya perlu dipijat-pijat untuk mematikan rasa yang menyebabkan sakit. Berarti untuk sementara, Halayudha tak akan bisa bertarung.
Ini berarti rasa sakitnya kelewat batas.
Di luar kemampuan Halayudha untuk mengatasi, untuk menahan.
Halayudha sendiri merasa tak sanggup mengalihkan rasa sakit.
Berbagai pertarungan telah dijalani. Baik yang membuat jari-jarinya putus, atau yang dijalani sendiri dengan menusukkan keris ke arah lambungnya.
Semua rasa sakit masih bisa ditahan.
Masih bisa dikuasai. Akan tetapi sekarang ini tidak.
Rasanya keempat mata kakinya hancur. Menjadi serpihan kecil-kecil, atau malah menjadi abu. Yang setiap ada aliran darah menuju tempat itu, membuatnya sangat ngilu.
Halayudha setengah menyalahkan dirinya sendiri.
Seharusnya, sewaktu serangan pertama dengan menendang lurus meleset, dirinya mulai memperhitungkan bahwa ada sesuatu yang luar biasa dari Upasara. Tapi ternyata itu tak membuatnya waspada, justru karena ia merasa hampir berhasil.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Malah mengulangi dan hasilnya luar biasa sakitnya.
Kalau tidak malu, mau rasanya Halayudha menjerit!
"Kakang tidak apa-apa?"
Permaisuri Rajapatni mengulangi pertanyaannya, dengan nada lembut yang sarat oleh rasa kuatir.
Upasara menggeleng. "Benar, Kakang?"
"Benar, Yayi Permaisuri...."
"Bibirmu berdarah, Kakang...."
"Karena dada Kakang terkena tendangan Halayudha."
"Sakit?" "Sedikit." "Darahnya banyak, Kakang...."
"Tak apa. "Darah memang ada di mana-mana, Yayi. Kalau kaki terantuk, juga mengeluarkan darah. Sakit sedikit. Tapi tak apa, karena tak mengganggu tenaga dalam.
"Tak apa, Yayi...."
"Betul, Kakang?"
Upasara mengangguk lagi. Meskipun diucapkan perlahan, karena suasana sangat sepi, percakapan itu terdengar jelas.
Angin pun berhenti, seakan sungkan mengganggu pertemuan sepasang kekasih yang menyimpan segunung kerinduan.
"Tapi Halayudha menendang lagi."
"Ya, tapi tidak mengenai."
"Tidak." "Rasanya seperti mengenai."
Upasara menggeleng lembut.
"Yayi Ratu tak apa-apa?"
"Tidak. Kakang jangan mencemaskan saya.
"Hanya ketika Eyang Putri berteriak tadi, saya merasa sangat sedih tak bisa menguasai diri.
"Sedih sekali."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Permaisuri Rajapatni menghela napas.
"Bagaimana dengan putri-putri Yayi Ratu?"
"Baik-baik semuanya... Kakang.
"Dewa memberkati mereka."
Sunyi sesaat. "Kakang, benar Kakang tidak terluka parah" Atau Kakang menyembunyikan sesuatu" Atau Kakang sudah mati seperti Kebo Berune, Eyang yang membonceng Nyai Demang?"
Upasara merasa sudut matanya panas.
Kekuatiran Permaisuri Rajapatni bagai mencabut sukmanya.
Keprihatinan kasih sayang yang mengalahkan semua bentuk perhatian.
"Tendangan Halayudha sangat sakti, memang.
"Tenaga yang dipakai adalah Suduk Gunting Tatu Loro, sekali menendang dengan dua luka seperti dua mata pisau.
"Kalau mengenai bisa menghancurkan.
"Tapi tidak mengenai tubuh saya."
"Ilmu apa yang Kakang pergunakan?"
"Yang pernah kita baca bersama, Kidungan Satebah Lemah, Sanyari Bumi. Apakah Yayi Ratu masih ingat?"
Setebah Tanah, Sejari Bumi
PERMAISURI RAJAPATNI bagai ditarik ke masa lalu.
Ketika masih Gayatri, yang diajak menemani Upasara menyusup ke Keraton Singasari, di mana Raja Muda Jayakatwang berkuasa setelah menyingkirkan Baginda Raja Sri Kertanegara.
Dalam perjalanan sebagai duta Keraton, bibit-bibit asmara tumbuh di antara keduanya. Bersemi dan mekar dengan indah. Bagi Upasara Wulung dan Dyah Gayatri, itulah kenangan yang paling indah dalam hidup mereka berdua. Karena memang itu satu-satunya kesempatan bisa berdua, dalam waktu yang cukup lama.
Kalau saat itu masih ada ganjalan antara mereka berdua, itu semata-mata karena Upasara Wulung merasa dirinya sebagai orang kebanyakan, sebagai hamba, sementara Gayatri adalah putri Sri Baginda Raja yang agung binatara, raja besar yang dihormati. Kekakuan itu mencair, setelah Gayatri mengisyaratkan bahwa ia tak berkeberatan menerima Upasara.
Betapa indah. Betapa gagah. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Betapa agung. Betapa mekar semerbak, segalanya memancarkan bau harum.
Saat itu keduanya belum menduga, bahwa kemudian para pendeta Keraton mempunyai ramalan bahwa Gayatri dan Raden Sanggrama Wijaya harus dipersandingkan, harus menurunkan raja yang kelak kemudian hari akan membawa Keraton ke puncak kejayaan yang belum pernah dialami oleh seluruh raja di tanah Jawa.
Saat itu mereka berdua berbicara mengenai apa saja.
Mengenai langit, mengenai mata angin, mengenai kuda, laut, bunga-bunga yang tak dimengerti Upasara, mengenai jurus-jurus ilmu silat yang tak dimengerti oleh Gayatri.
"Kalau saya bisa silat, saya tak akan merepotkan dirimu, Kakang...."
"Hamba tidak merasa direpoti...."
"Kenapa Kakang masih selalu menghamba" Tidakkah menyebut dengan Kakang lebih mudah tanpa harus menghamba"
"Apakah menyebut begitu lebih sulit, Kakang?"
"Entahlah. "Suatu hari nanti, hamba bisa menyebut diri secara kurang ajar. Akan tetapi memang hamba tak bisa dengan cepat menguasai kidungan dalam Kitab Bumi."
"Kalau yang lainnya bisa, kenapa Kakang tidak?"
"Sangat sulit. "Ada bagian yang tak bisa ditafsirkan dengan baik. Kidungan tentang Satebah Lemah, Sanyari Bumi... Rasanya setiap kali saya kidungkan, setiap kali hamba berusaha memahami..."
"Coba lagi, Kakang. "Saya tak mengerti banyak tentang pengaturan napas atau menggerakkan jari. Tapi rasanya, para empu yang menuliskannya bukannya sekadar mengarang kata-kata...."
"Jangan ditertawakan, Putri...."
Upasara mencoba menembangkan kidungan itu.
Mencintai bumi, ialah mencintai diri sendiri
sebab bumi adalah tubuh bumi adalah kehormatan bumi adalah kehidupan ksatria
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bumi adalah roh bumi adalah jiwa pertahankan tanah walau setebah hingga rebah pertahankan bumi walau sejari hingga mati bumi adalah ibu pertiwi di pusar menjalar ke semua akar tanah itu bumi bumi itu tanah tanah bumi bumi bumi" Gayatri tertawa mengikik.
Untuk pertama kalinya berada di luar tata kesopanan Keraton, Gayatri bisa tertawa bebas.
Wajah Upasara menjadi merah padam.
"Hamba tak bisa menembang. Maaf."
"Aku tertawa karena matamu melirik kian-kemari."
Wajah Upasara makin merah-hitam.
"Kakang, bukankah segalanya telah jelas"
"Bumi adalah kehormatan yang tak bisa dikotori. Selama masih ada yang bisa dipertahankan, harus dipertahankan. Biarpun hanya satebah, hanya selebar tangan dengan jari yang rapat. Biarpun hanya sanyari, atau satu jari.
"Harus tetap dipertahankan.
"Bukankah semua prajurit, semua ksatria, harus mempertahankan bumi kelahirannya, hingga sejengkal sekalipun?"
"Yang begitu saya... hamba... saya tidak sangsi.
"Tapi rasanya bukan hanya itu."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tenaga pusar?"
"Saya tahu, Putri... Tenaga yang dipergunakan adalah tenaga yang berasal dari pusar. Yang kita kumpulkan di bagian pusar, bukan di bagian lain." "Tapi saya merasa tak bisa leluasa.
"Justru seperti tertahan."
"Kakang mau mencoba lagi?"
"Percuma, Yayi... eh, Tuan Putri...."
Memang bagian-bagian itulah yang lebih teringat oleh Permaisuri Rajapatni. Bagian-bagian yang mendekatkan dirinya dengan Upasara.
Dan bukan pergulatan Upasara menemukan inti kekuatan lirik Kidungan Satebah Lemah, Sanyari Bumi.
"Yang bagi Halayudha kini mempunyai makna yang bisa ditelusuri.
Seperti para senopati lain yang mempelajari Kitab Bumi.
Satebah adalah ukuran besar, yang sama dengan telapak tangan dari ibu jari ke kelingking dalam keadaan rapat.
Ini yang dirasakan Halayudha.
Samar-samar ia mengetahui bahwa tendangannya, guntingan kakinya, hampir menyentuh tubuh Upasara. Mungkin jaraknya tinggal satebah atau malah sanyari.
Tetapi tetap belum mengenai!
Inilah hebatnya! "Apa itu semacam kidungan ilmu hitam?" Baginda bertanya lirih, karena tak bisa menahan diri untuk mengetahui. Sebagai bekas ksatria yang mempelajari ilmu silat, perhatian Baginda pada perkembangan ilmu silat tak terusir begitu saja. Apalagi dengan menyaksikan sendiri kehebatan ilmu Upasara.
Mahapatih Nambi menggeleng setelah menyembah.
"Hamba kira bukan, atau hamba belum pernah mendengar ada ilmu hitam seperti itu.
"Memang tadi hamba dengar, kalau tak salah, Putri Pulangsih dan Kebo Berune menyebut tentang ilmu sesat yang bisa mematikan rasa pada kulit, daging, darah, ataupun kuku.
"Mohon ampun, Baginda sesembahan seluruh Keraton, hamba tak mengetahui...." "Aku tahu.
"Aku tahu ada latihan mengelak dan menangkis yang bisa disebut ilmu Sekilan. Seperti Sardula Sekilan atau juga Lembu Sekilan. Apakah ilmu Upasara bagian dari itu?"
"Baginda sungguh bijak dan mengetahui segalanya."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pujian Mahapatih Nambi bukan pujian kosong.
Jauh dalam hatinya, begitu Upasara mengatakan Satebah Lemah, Sanyari Bumi, sudah terbayang akan ilmu yang jauh lebih kondang, yaitu Sardula Sekilan ataupun Lembu Sekilan.
Sekilan adalah ukuran lebar jika jari tangan direntangkan, antara ibu jari dengan kelingking. Jarak itulah yang diusahakan selalu terjaga pada serangan musuh.
Tambahan sebutan sardula yang artinya harimau, lebih menunjukkan penghormatan kepada Sri Baginda Raja yang memakai simbol harimau.
Kembangan jurus itu disebut dengan Lembu Sekilan, atau Gerakan Seekor Lembu.
Meskipun diakui kelebihannya, jurus itu tidak terlalu digemari dan tidak menonjol. Karena jurus Sekilan lebih bersifat mempertahankan diri, dan bukan menyerang.
Jurus yang mematahkan pertahanan.
Kurang cocok dalam suatu pertarungan.
Makanya, sungguh luar biasa Upasara mampu memainkan dengan hebat. Justru ketika kedua tangannya tak bisa menyerang atau menangkis karena sedang membopong seseorang! Pas sekali.
Yang lebih menganggumkan ialah Upasara mampu mengembangkan jarak serangan dari sekilan menjadi satebah. Atau bahkan hanya sanyari. Sejarak satu jari!
Menakjubkan. Gugatan Sejarah SATU jari! Siapa pun yang pernah melatih jurus Sekilan, menyadari betapa gawat dan rumitnya. Sebab harus disertai ketenangan yang sempurna.
Membiarkan lawan memukul, menusuk, melukai, dan baru ketika jaraknya sekilan, tenaga lawan dimusnahkan.
Meleset sedikit saja, bisa ambruk.
Keliru perhitungan saat yang diambil, bisa hancur.
Dan Upasara ternyata mampu mendekatkan lagi jarak serangan lawan menjadi satebah dan akhirnya sanyari.
Baru sekarang Halayudha sadar sepenuhnya bahwa memang kedua kakinya yang saling beradu dengan keras. Karena merasa mengenai tubuh lawan, tenaganya ditumpahkan.
Tak tahunya mengenai kakinya sendiri.
Saling gempur. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bisa dimengerti kalau mata kakinya hancur luluh!
"Tugasku selesai. "Selamat tinggal, jagat dan isinya, aku yang tua tak ada gunanya lagi."
Eyang Putri Pulangsih melebarkan kedua tangannya.
"Tugasku belum selesai!" teriak Cebol Jinalaya.
"Itu bukan urusanku."
Nyai Demang yang sejak tadi tertegun kini bergerak-gerak.
"Mau ke mana, Pulangsih"
"Aku akan mengikutimu selalu. Perjalanan asmara ini akan selalu bersama. Getaran asmaramu akan selalu menuntunku."
Eyang Putri Pulangsih justru memalingkan wajahnya.
Menatap ke arah Upasara. Lalu ke arah Gendhuk Tri dan Maha Singanada.
"Tergantung kalian yang muda, yang masih pantas menempati jagat yang ruwet ini."
Dengan satu kibasan, tubuh Eyang Putri Pulangsih lenyap.
Seketika. Tak ada bekas. Tak ada jejak yang ditinggalkan.
Nyai Demang celingukan. "Pulangsih... Pulangsih... Tunggu aku...."
Gendhuk Tri mengentakkan kakinya.
"Kakang Upasara. "Hentikan Mbakyu Demang!"
Tapi perhatian Upasara tertuju penuh pada Permaisuri Rajapatni yang berada dalam rangkulannya.
Sementara itu seluruh prajurit dan para senopati sudah sepenuhnya bersiaga total.
Mahapatih Nambi menggenggam dua senjata di kanan dan di kiri. Di bagian luar benteng, prajurit siap meluncurkan semua anak panah yang tersedia.
Untuk seletikan api, Baginda ragu.
Apakah memerintahkan penyerangan, atau menunda.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Memerintahkan penyerangan, berarti nyawa Permaisuri Rajapatni bisa cedera. Ratusan anak panah dan tusukan serta bacokan senjata tajam, tak mungkin hanya mengenai tubuh Upasara. Karena Permaisuri Rajapatni berada dalam dekapan.
Menunda serangan, berarti membiarkan Upasara pergi dengan leluasa. Sambil membawa permaisurinya.
Ini dilakukan secara terang-terangan.
Di depan hidungnya. Di hadapan semua kawula Keraton.
Gendhuk Tri seakan bisa menebak ke arah mana jalan pikiran Baginda.
"Kakang, aku di depanmu.
"Jangan ragu. "Dulu Kakang menyelamatkan diri menyabung nyawa untuk membebaskanku, ketika pasukan Kediri menawanku.
"Sekarang bisa terulang lagi.
"Jangan kuatir, Kakang.
"Singanada, ayo kemari. Kita rapatkan barisan."
Tanpa segan-segan, Gendhuk Tri menarik tangan Maha Singanada ke dekatnya.
"Apa kata kamu, Kanyasukla."
Singanada mengambil sikap bersiaga, memasang kuda-kuda.
Tinggal satu perintah. Satu kedipan mata. Dari Baginda. Tapi masih tertahan. Hanya beberapa senopati utama yang mengetahui bahwa kata-kata Gendhuk Tri mempunyai bisa yang dalam. Yang menggugat kembali ke jantung hati Baginda.
Karena kata-kata Gendhuk Tri merobek luka lama, mengingatkan bahwa pada suatu ketika dulu terjadi sesuatu.
Saat di mana prajurit Tarik menyerbu masuk ke Keraton yang diduduki Raja Muda Jayakatwang. Ketika itu Gendhuk Tri dan Gayatri ditawan. Diikat pada tiang di ujung benteng Keraton.
Dalam keadaan yang gawat dan menentukan, Baginda yang saat itu masih Raden Sanggrama Wijaya memilih untuk meneruskan
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
pertempuran. Dengan mengabaikan keselamatan Gayatri dan Gendhuk Tri.
Hanya dengan kenekatan yang luar biasa, Upasara Wulung meloncat naik dan bertarung mengadu jiwa.
Kejadian yang begitu mengenaskan dan nyaris mengantar Gendhuk Tri ke Hang kubur karena tindakan Baginda, tak akan terlupakan seumur hidup.
Bahwa kemudian Gendhuk Tri tak mempersoalkan dan tidak menggugat, karena merasa tak ada urusan. Apalagi sejarah Keraton yang kemudian didengar lewat berbagai kidung pemujaan, justru menokohkan Baginda.
Bahwa serangan dan aba-aba yang diberikan dahulu, karena Baginda lebih mengutamakan kebenaran, lebih mendahulukan kepentingan Keraton, dibandingkan kepentingan pribadinya.
Bahwa kalau perlu keluarga atau dirinya sendiri dikorbankan demi kemenangan kebenaran, daripada surut karena memikirkan keselamatan satu orang keluarganya.
Dari peristiwa yang sama, bisa berbagai kidungan yang muncul. Yang menguasai Keraton dan diajarkan adalah kidungan perjuangan Baginda.
Keluhuran serta kebesaran jiwanya.
Gendhuk Tri memang tak merasa mempunyai kepentingan. Apakah pemujaan itu dituliskan dengan jujur atau dibuat untuk menokohkan Baginda. Juga tak ada senopati dan pendeta yang meragukan. Bahkan sebaliknya saling menyokong memberikan alasan yang membenarkan.
Gendhuk Tri tak peduli. Sampai merasa bahwa kini posisinya terulang kembali.
Sadar bahwa keadaannya yang sekarang ini lebih gawat. Karena menghadapi serbuan begitu banyak. Sakti seperti Dewa sekalipun, belum tentu Upasara bisa lolos dari kepungan. Apalagi tanpa membuat Permaisuri Rajapatni terluka atau cacat.
Kalau ini terjadi dalam pelukan Upasara Wulung, pertarungan habis-habisan bakal terjadi.
Tak bersisa lagi. Maka Gendhuk Tri menyentakkan kembali ingatan Baginda.
Satu-satunya harapan kecil yang membersit ialah, jika Baginda merasa yakin apa yang diputuskan dahulu murni untuk mendahulukan kepentingan Keraton, pasti tetap memerintahkan penyerangan.
Dan berarti ia bersiap diri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau tidak, Baginda akan tergugat.
Dan ragu. Itu yang lebih diharapkan.
Dan nyatanya begitu. Baginda masih termangu. Tapi hanya sebentar. Karena kemudian terdengar kumandang nyaring suara seseorang.
"Kalau semua durjana dibiarkan keluar-masuk seenaknya, apa bedanya Keraton dengan pasar"
"Di mana kalian semua memuja Dewa yang menginjak tanah" Di mana darma bakti kalian ke hadapan duli Raja?"
Itu suara wanita. Yang berada dalam joli, yang dikawal ketat sekali.
Suara Permaisuri Indreswari.
"Kalau tak ada yang berani maju, biarlah hamba yang tak berarti ini maju pertama kali.
Senopati Pamungkas 2 Karya Arswendo Atmowiloto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Membersihkan dan menjaga kesucian wanita adalah tugas utama kaum putri Keraton."
Gendhuk Tri melihat gelagat yang buruk.
Karena Permaisuri Indreswari mengaitkan dengan Keraton, kesucian, dan membersihkan wanita yang tidak suci, yang mengotori. Pastilah yang dimaksudkan Permaisuri Rajapatni, yang dianggap tidak pantas berada dalam bopongan Upasara Wulung.
Cara menyulut kebencian yang sangat tepat.
Mahapatih Nambi mengangkat kedua tangannya.
Seluruh prajurit dan senopati merentang busur, menyiagakan pedang, keris, tombak, dan semua persenjataannya.
Begitu tangannya turun, atau aba-aba terdengar, tak ada kecualinya.
Hujan senjata akan terjadi.
Pertarungan habis-habisan dimulai.
Upasara Wulung seakan melayang ke dunianya sendiri. Tak peduli sama sekali. Pandangan tertuju langsung ke Permaisuri Rajapatni.
Pabaratan Asmara PERMAISURI INDRESWARI menyibakkan joli.
Wajahnya masih geram ketika menyembah ke hadapan Baginda, lalu jarinya yang lentik menuding ke arah Upasara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Manusia tak berbudi, jangan kotori bumi pusaka ini."
Tudingannya menurun. Serentak dengan itu dari arah dalam muncul rombongan baru.
Gendhuk Tri menghela napas.
Rombongan yang baru masuk juga menggunakan songsong atau payung kebesaran. Benar dugaannya, bahwa Putra Mahkota Bagus Kala Gemet yang datang. Diiringi oleh senopati yang siap siaga.
Secara bersamaan menyembah ke hadapan Baginda.
Putra Mahkota menyembah sampai menyentuh tanah.
"Maaf, Yang Mulia Baginda, sesembahan Keraton.
"Izinkanlah hamba yang muda usia menyelesaikan bencana.
"Adalah kehinaan yang sempuma.
"Mengubah halaman suci.
"Menjadi pabaratan asmara....
"Mohon izin Baginda...."
Sejenak wajah Baginda menoleh perlahan.
Dipandangnya Putra Mahkota yang masih menunduk.
Adalah sangat tepat sekali kemunculan Putra Mahkota sekarang ini.
Pada saat yang menentukan, Putra Mahkota muncul untuk menyelesaikan. Cara penampilan yang sempuma.
Karena saat itu Baginda sedang kikuk untuk memutuskan. Apakah melepaskan atau menahan Upasara.
Sabda seorang raja tak bisa ditarik kembali.
Lain masalahnya jika komando dipegang oleh Putra Mahkota. Bisa ditarik atau diubah kembali. Jika Baginda tidak menghendaki.
Akan tetapi sekarang ini masalahnya tidak segampang itu. Dalam soal menyerahkan kepemimpinan sehari-hari, Baginda merasa sejak awal telah menunjuk Bagus Kala Gemet sebagai putra mahkota. Bahkan merestui, secara tidak langsung, ketika Putra Mahkota mengangkat diri dan memakai gelar raja.
Baginda berpikir seperti itu karena tidak menginginkan adanya pertarungan di kelak kemudian hari. Siapa yang berhak atas takhta"
Maka sejak dini hari sudah digariskan suatu keputusan. Diakui betapa akan ruwet andai tidak sejak dini disabdakan kehendaknya. Karena soal pengangkatan mahapatih saja boleh dikatakan selesai sepenuhnya dengan enak.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang membuat Baginda sedikit bimbang ialah kenyataan Putra Mahkota telah menyiapkan diri secara terencana.
Kemunculannya, caranya memaksa dengan halus dan menyebutkan pabaratan asmara, menunjukkan cara pemikiran yang sepenuhnya dipompakan oleh Permaisuri Indreswari.
Pabaratan bisa berarti medan perang atau peperangan. Apa yang terjadi sekarang ini boleh dikatakan mengubah halaman Keraton menjadi medan perang. Akan tetapi Putra Mahkota menekankan adanya pabaratan asmara, seakan menekankan masalah dasarnya hanyalah soal asmara. Hubungan antara Baginda dan Permaisuri Rajapatni hanya semata-mata urusan asmara. Yang dengan demikian menjadi lebih gampang mengatasinya. Di lain pihak dengan menyebutkan sebagai pabaratan asmara, Putra Mahkota menyodok pengertian bahwa urusan Permaisuri Rajapatni dan Upasara Wulung pun semata-mata urusan asmara. Asmara yang kotor.
Kalau sekarang ini Baginda memberi izin Putra Mahkota untuk memegang komando, berarti menyetujui sepenuhnya kekuasaan di tangan Putra Mahkota. Berarti melepaskan kekuasaannya.
Halayudha melihat gelagat.
Tangannya meraih seorang senopati, dan ia meloncat ke atas pundaknya. Bagian kakinya, terutama lutut ke bawah, memang dimatikan sehingga seperti lumpuh. Akan tetapi, bagian atas tetap sempurna.
Dengan begitu Halayudha bisa ikut ambil bagian dalam peristiwa yang menentukan.
Gelagat yang ditangkap Halayudha terutama sekali bukan dari kemungkinan Baginda mengiya atau tidak, melainkan bahwa pengiring Putra Mahkota boleh dikatakan lengkap.
Sekilas saja bisa terlihat adanya Maha Singa Marutma dan Pangeran Jenang dengan semua pengikutnya. Serta adanya beberapa tokoh yang sekilas bisa berjalan sangat ringan.
Lebih dari itu, Halayudha bisa mencium bahwa Permaisuri Indreswari pasti sudah membuat rencana yang matang.
Sejak ada huru-hara, Permaisuri Indreswari sudah menyusun kekuatan, dan masuk tepat pada saat yang menguntungkan.
Sekarang ini. Kalau dirinya hanya duduk sebagai penonton, di kelak kemudian hari tak bisa memainkan perannya.
Maka Halayudha naik ke punggung seorang senopati.
"Susun Saharsa Bala!"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Teriakan Halayudha segera diikuti oleh semua prajurit. Dari semua prajurit yang ada di halaman hingga di luar Keraton segera bersiap, membentuk barisan yang mengepung.
Rapat sesak di bagian depan.
Sakti seperti Dewa sekalipun, Upasara belum tentu lolos dari kepungan. Karena Halayudha sudah menyiapkan Barisan Saharsa Bala.
Yaitu strategi perang dalam keadaan mendesak.
Saharsa berarti seribu. Akan tetapi juga bisa berarti dilakukan dengan paksa. Jadi Saharsa Bala berbeda dari Bala Sewu atau Bala Srewu, walau secara harfiah artinya sama. Seribu Prajurit.
Bedanya dari Bala Srewu ialah dalam taktik serangan Saharsa Bala, prajurit yang berada di depan tak akan minggir atau mundur, apa pun yang terjadi!
Mau atau tidak, harus tetap berada di depan.
Inilah maka kata saharsa mempunyai makna ganda. Makna terpaksa.
Dengan strategi ini Halayudha mengisyaratkan bahwa apa pun yang terjadi tak nanti Upasara dan Permaisuri ataupun Gendhuk Tri dan Singanada serta Cebol Jinalaya bisa lolos.
Kecuali melalui seribu mayat.
Siasat Halayudha bersifat mengancam lawan, tetapi juga mendesakkan keinginan secara tersamar agar Baginda memilih jalan untuk tetap menahan Upasara.
Baginda mendongak ke langit.
"Putraku... "Usahakan jalan terbaik. Ini saat kamu tampil dengan baik."
Putra Mahkota mendongak, masih dengan sikap menyembah.
"Segala kehormatan untuk kebesaran Baginda...."
Lalu dengan cepat berbalik.
Berdiri gagah. "Singanada, ini Putra Mahkota Bagus Kala Gemet, dengan nama gelaran resmi Sri Sundarapandya Adiswara, mengeluarkan sabdanya.
"Dengar baik-baik! "Jika kamu mengundurkan diri secara baik-baik, aku akan mengampuni semua kesalahanmu. Untuk kebesaranku, siapa yang mengikuti langkahmu akan mendapatkan pengampunan yang sama denganmu.
"Kamu dengar, Singanada?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pahlawan Dan Kaisar 8 Perjodohan Busur Kumala Karya Liang Ie Shen Pendekar Lembah Naga 32
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama