Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 10
tidak." Ketika orang itu melangkah maju, Paksi berkata, "Tunggu,
Ki Sanak. Kau tidak dapat masuk ke dalam rumah seseorang
begitu saja. Kita belum saling mengenal. Nah, katakan
siapakah kalian. Mungkin dengan mengenal kalian, aku akan
mempersilahkan kalian masuk ke dalam gubukku."
"Kami para murid utama dari sebuah perguruan yang
terbesar di negeri ini. Tidak ada orang yang dapat menahan
keinginan kami. Boleh atau tidak boleh, aku harus masuk ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam rumahmu untuk melihat, apakah kau menyembunyikan
cincin itu atau tidak."
"Ada banyak perguruan yang mengaku perguruan terbesar.
Sebutkan, apakah kau murid Sima Pracima atau Wira Bangga
atau Kebo Serut atau siapa" Tetapi aku kira kau bukan murid
Melaya Werdi atau Megar Permati."
Tetapi orang bermata merah itu tertawa. Katanya, "Kau
sebut nama para pemimpin dari perguruan-perguruan kerdil
itu" Jika mengenal nama-nama itu, seharusnya kau juga
mengenal nama yang lebih besar dari mereka."
"Apakah ada yang lebih besar dari mereka?" bertanya Paksi di luar sadarnya.
"Ternyata pengalamanmu masih terlalu picik. Apakah kau
belum pernah mengenal nama Ajag Pinunjung?"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tiba-tiba
saja berkata, "Jadi kau murid utama Ajag Pinunjung" Pantas kalian datang berempat."
"Kenapa?" bertanya orang bermata merah itu.
"Bukankah sejenis serigala itu selalu bergerombol?"
"Iblis kau. Sebut namamu dan perguruanmu. Jika kau
mengenal nama-nama pemimpin perguruan-perguruan kerdil
itu, maka kau tentu terlibat dalam pertemuan yang gagal itu."
"Namaku Sumirat. Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa
dengan perguruan-perguruan yang mengadakan pertemuan
itu." "Tikus-tikus itu menjadi seperti semut disiram air. Mereka berpencar tanpa tujuan. Bercerai-berai kalang-kabut ke segala
arah hanya karena kehadiran Harya Wisaka."
Tetapi tiba-tiba saja kawannya menyahut, "Harya Wisaka
itulah yang menyebarkan berita hilangnya seorang pangeran
dari istana." Orang bermata merah itu tertawa. Katanya, "Mereka
memang dungu. Mereka mencari pangeran yang hilang itu.
Sementara cincin itu tersembunyi disini."
Paksi memang menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang
mengaku dari perguruan yang dipimpin oleh Ajag Pinunjung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu mengetahui banyak hal tentang peristiwa yang terjadi di
kaki Gunung Merapi itu. Bahkan mereka sudah mengetahui
pula, bahwa seorang pangeran telah hilang dari istana.
Seorang pangeran yang hilang bersamaan dengan hilangnya
sebuah cincin yang sangat berarti bagi kerajaan Pajang.
Tetapi agaknya mereka mempunyai jalannya sendiri.
Perguruan ini tidak ikut dalam pertemuan yang gagal itu.
Wijang yang mendengarkan di belakang pintupun
kemudian meyakini bahwa mereka bukan orang-orang dari
istana yang sedang mencarinya atau para pengikut Harya
Wisaka yang mungkin sudah mengenalinya. Dari celah-celah
pintu yang sedikit terbuka Wijang dapat melihat pula ujud dari orang-orang yang sedang mencari cincin yang hilang dari
istana itu. Karena itu, maka sejenak kemudian, Wijangpun telah
keluar pula dari gubuk itu.
Keempat orang itu terkejut. Seorang lagi yang keluar dari
gubuk itu dengan wajah yang disamarkan. Dengan dahi yang
berkerut seorang di antara mereka berkata, "Ternyata kau
tidak sendiri." "Ini kakakku," berkata Paksi, "namanya Sumirat." Wijang tertawa. Katanya, "Sumirat adalah namamu."
"O," Paksi termangu-mangu sejenak. Katanya, "Ya, ya.
Namaku Sumirat. Ini kakakku."
Orang bermata merah itu tiba-tiba membentak, "Buat apa
kau menyebut sebuah nama. Jika kau sudah menyamarkan
wajahmu, maka kau tentu tidak akan menyebut yang
sebenarnya." "Itulah sebabnya aku tidak bertanya, siapakah namamu."
"Aku bukan pengecut," berkata orang yang bermata merah,
"namaku Kerta Ambal dari Perguruan Rajah Malang. Sebuah
perguruan yang besar yang dipimpin oleh Ki Ajag Pinunjung."
"Baik, baik," sahut Wijang, "justru karena kau bukan murid-murid dari perguruan yang berkumpul disini, maka kau telah
menelusuri lingkungan yang berbeda. Selama ini belum
pernah ada orang yang menyentuh halaman rumah kami ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Justru karena itu kau menganggap bahwa cincin itu masih
kalian sembunyikan disini."
"Sejak kecil kami tinggal disini. Sejak bapak dan biyungku meninggal, kami hidup berdua disini. Karena itu, maka kami
tidak tahu menahu tentang cincin yang kau sebut-sebut itu."
"Persetan," geram orang yang bertubuh tinggi besar yang nampaknya seorang pendiam. "Minggir. Aku akan melihat isi rumahmu. Atau aku akan mencabut rumah itu dan
melemparkannya ke dalam jurang sebelah."
"Jangan Ki Sanak," sahut Wijang. "Jika kau rusak rumahku, maka aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi."
"Karena itu, biarkan aku masuk."
"Tetapi dengan syarat."
"Syarat apa?" "Jangan memindahkan satu barang pun dari tempatnya.
Apalagi merusaknya."
"Aku akan melihat apa saja yang ingin aku lihat. Kami
sedang mencari cincin."
"Cincin itu tentu berharga sekali," berkata Wijang. "Tetapi dengan caramu itu, kalian tentu tidak akan dapat menemukan.
Kalian tidak dapat mencari cincin itu seperti mencari kecik di bawah pohon sawo. Cincin itu mungkin akan kalian dapatkan
dengan menjalani laku. Berpuasa tiga hari tiga malam. Atau
bertapa di atas gumuk kecil itu atau dengan tapa ngalong,
bergayut pada sebatang pohon dengan kepala di bawah atau
berendam di dalam air selama sepekan. Dengan demikian
maka kau akan mendapat pertanda jika cincin itu benar-benar
ada disini. Mungkin kau akan melihat cahaya atau getaran
atau teja atau apapun."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
Kerta Ambal menyahut, "Persetan dengan sesorahmu.
Sekarang, biarkan kami masuk ke dalam gubukmu. Apapun
yang akan kami lakukan, kalian tidak akan dapat
mencegahnya." "Jangan berkata begitu, Ki Sanak," jawab Paksi. "Kami dapat menerima kalian dengan baik jika sikap kalian baik."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang bertubuh tinggi besar itu agaknya tidak telaten
lagi. Karena itu, maka iapun segera melangkah mendekati
gubuk Paksi. Tetapi Paksi tidak membiarkannya. Iapun melangkah
menghadang orang yang bertubuh tinggi besar itu.
Namun orang itu tidak mau dihentikan. Dengan tangannya
ia mendorong Paksi menyamping.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu terkejut sekali ketika
tangannya seakan-akan telah menyentuh sebuah tugu batu
yang tidak bergetar oleh dorongan tangannya itu. Orang yang
bertubuh tinggi besar itu justru melangkah surut.
Dipandanginya Paksi dengan tajamnya.
"Kau jangan mencoba bermain api. Jika kau membuat aku
marah, maka kau akan menyesal."
"Aku tidak ingin membuat kalian marah. Tetapi kau pun
tidak dapat berbuat semaumu di rumahku."
Orang itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata Paksi.
Bahkan orang itu membentak, "Minggir, kau dengar."
Paksipun telah kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba iapun
membentak, "Jangan ganggu kami. Pergi atau kami harus
mengusir kalian?" Kata-kata Paksi itu membuat orang bertubuh tinggi besar
itu terkejut lagi. Orang itu telah berani mengusirnya.
"Kau ternyata terlalu sombong. Kau berani mengusir aku?"
"Rumah ini rumahku. Jika seseorang ingin melangkahi
hakku, maka aku akan mengusirnya, siapapun orang itu."
"Aku masih mencoba bersabar. Minggirlah."
"Kau yang harus pergi," jawab Paksi.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu tidak dapat menahan
diri lagi. Orang yang mencoreng-coreng wajahnya dengan
jelaga itu membuatnya marah. Karena itu, maka orang yang
bertubuh tinggi besar itu telah mengayunkan tangannya
menampar mulut Paksi. Tetapi Paksi tidak membiarkan mulutnya kesakitan. Karena
itu, maka Paksi telah bergeser sambil menarik wajahnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sehingga tangan orang bertubuh tinggi besar itu tidak
menyentuhnya. Ternyata orang yang bertubuh tinggi besar itu benar-benar
merasa tersinggung karena tangannya tidak menyentuh
sasarannya. Karena itu, maka orang itu telah mengayunkan
kakinya ke arah dada Paksi.
Tetapi Paksi sudah benar-benar siap menghadapinya.
Karena itu, maka ketika kaki itu terjulur, dengan sigapnya
Paksi meloncat surut. Sekali lagi orang itu tidak menyentuh sasaran. Karena itu,
maka ia tidak berniat lagi mengekang diri. Dengan serta-merta
orang bertubuh tinggi besar itu telah menyerang Paksi.
Tetapi Paksi yang telah menggenggam tongkatnya itu tidak
terlalu sulit untuk menghindar. Dengan tangkasnya ia
berloncatan menghindari serangan-serangan orang bertubuh
tinggi besar yang kemudian datang beruntun.
Kerta Ambalpun menggeram. Katanya, "Ternyata kalian
bukan orang kebanyakan. Justru karena itu, aku menjadi
semakin curiga, untuk apa kalian tinggal disini hanya berdua.
Tentu ada hubungannya dengan cincin yang telah jatuh di
tempat ini." Paksipun berloncatan semakin cepat. Orang bertubuh tinggi
besar itu menyerangnya semakin garang. Kemarahannya telah
menghentak-hentak di dadanya.
Dalam pada itu, Kerta Ambalpun berkata kepada Wijang,
"Sebaiknya kau tidak usah turut campur."
"Sumirat adalah adikku."
"Justru karena itu. Jika adikmu mati, kau dapat
menguburkannya. Tetapi jika kau juga mati, maka tidak akan
ada orang yang akan dapat menguburkan kalian, karena kami
tidak ingin membuang-buang waktu untuk melakukannya,"
berkata Kerta Ambal kemudian.
"Tentu saja kami tidak mau mati," jawab Wijang.
"Tidak ada pilihan lain. Jika kau melawan, maka kau akan
mati." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang termangu-mangu sejenak. Sesudah sekian lama
Wijang dan Paksi bertahan untuk tidak terlibat dalam benturan
kekerasan ternyata mereka disudutkan ke dalam satu keadaan
yang memaksa mereka harus bertempur.
"Apaboleh buat," berkata Wijang di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka Wijang dan Paksi itupun kemudian
telah terlibat dalam pertempuran. Sementara itu, dua orang di
antara keempat orang itupun justru telah melangkah menuju
ke pintu gubuk Paksi. "Jangan mencoba untuk memasuki rumahku," teriak Paksi.
Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Mereka
melangkah terus. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Paksi meloncat
meninggalkan lawannya langsung menyerang kedua orang
yang sudah menjadi semakin dekat dengan pintu rumahnya.
Serangan Paksi yang datang bagaikan sambaran seekor
burung alap-alap itu sangat mengejutkan kedua orang itu.
Tongkat Paksi menyambar dada seorang di antaranya
sehingga orang itu terhuyung-huyung surut beberapa langkah.
Kemudian serangan berikutnya telah menghantam punggung
yang seorang lagi, sehingga orang itu jatuh tertelungkup.
Kedua orang itu terkejut sekali. Orang yang bertubuh tinggi
besar, yang semula bertempur melawan Paksipun terkejut.
Bahkan Kerta Ambalpun telah meloncat surut untuk
mengambil jarak. Ia hampir tidak percaya, apa yang telah
dilihatnya. Dua orang saudara seperguruannya itu tidak
mampu menghindar atau menangkis serangan tongkat orang
yang telah menyamarkan wajahnya itu.
Namun dalam pada itu, Kerta Ambal tidak mempunyai
banyak kesempatan. Lawannya itupun telah menyerangnya
dengan cepat. Hampir saja tangannya menyambar wajah
Kerta Ambal. Untunglah bahwa Kerta Ambal masih sempat
mengelak. Kerta Ambal tidak mempunyai kesempatan sama
sekali untuk memperhatikan saudara seperguruannya lagi.
Serangan Wijangpun datang semakin cepat, sehingga Kerta
Ambal terdesak beberapa langkah surut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang bertubuh tinggi besar, yang semula bertempur
melawan Paksi menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi
ketika ia melihat Kerta Ambal terdesak, maka iapun segera
meloncat mendekatinya sambil berkata, "Marilah, kita habisi saja orang gila ini."
Tetapi belum lagi mulutnya terkatup rapat, Wijang telah
melenting menyongsongnya sambil menjulurkan kakinya.
Demikian cepatnya, sehingga orang yang bertubuh tinggi
besar itu tidak sempat mengelak.
Tetapi orang itu masih mencoba untuk menangkis serangan
itu. Disilangkannya kedua tangannya di dadanya. Namun
serangan Wijang demikian kuatnya, sehingga justru kedua
tangan yang bersilang itu telah menekan dadanya dengan
kuatnya, sehingga nafasnya terasa sesak. Bahkan orang yang
bertubuh tinggi besar itu telah terdorong beberapa langkah
surut. Tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, maka
orang itupun telah jatuh berguling.
Tetapi Wijang tidak dapat memburu orang itu. Kerta Ambal
telah meloncat menyerangnya. Karena itu, maka Wijang harus
bergeser menghindarinya. Dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi besar itupun
telah melenting berdiri. Meskipun nafasnya masih terengahengah, namun ia sudah mempersiapkan dirinya untuk
bertempur. Sementara itu, Paksi memang membiarkan kedua lawannya
berdiri. Namun demikian mereka tegak, maka merekapun
telah menarik senjata mereka. Masing-masing sebuah golok
yang panjang. Paksi harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kedua
orang lawannya yang bersenjata itu tentu akan bertempur
dengan garang. Mereka tentu menjadi sangat marah setelah
mereka bukan saja disakiti. Tetapi kedua-duanya telah
terjatuh pula.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebenarnyalah kedua orang lawan Paksi itu menjadi sangat
marah. Serangan yang tiba-tiba itu tidak diduganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka seorang di antara mereka sambil
menggeram berkata, "Kau akan menyesal. Aku hanya akan
melihat isi rumahmu dan mencari cincin itu. Tetapi kau telah
memaksaku untuk mengambil nyawamu pula."
Paksi tidak menjawab. Tetapi tongkatnyalah yang bergetar
di tangannya, sehingga kedua orang itu harus bergeser surut
sambil memutar goloknya. Dengan demikian, maka Paksipun segera terlibat dalam
pertempuran melawan kedua orang murid utama dari
Perguruan Rajah Malang itu.
Ternyata bahwa kedua orang murid utama Perguruan
Rajah Malang itu memang telah dibekali dengan ilmu yang
cukup. Ketika mereka tidak lagi meremehkan lawannya, maka
keduanya mulai mampu memberikan perlawanan.
Dengan golok di tangan, maka kedua orang itu bertempur
berpasangan. Mereka menyerang silih berganti. Namun
kadang-kadang mereka menyerang bersama-sama dari arah
yang berbeda. Paksi harus berhati-hati menghadapi keduanya. Murid
Perguruan Rajah Malang itu semakin lama menjadi semakin
garang. Mereka menyambar-nyambar sambil mengayunkan
goloknya. Dengan tangkasnya mereka melenting, berputar di
udara dan kemudian menjulurkan golok mereka.
Tetapi Paksi mampu bergerak lebih cepat dari kedua orang
lawannya, sehingga karena itu, maka serangan-serangan
mereka masih dapat dielakkan.
Semakin lama murid-murid dari Perguruan Rajah Malang itu
bukan saja menjadi semakin garang, tetapi juga menjadi
semakin kasar. Semakin meningkat ilmu mereka, maka
mereka semakin tidak mengekang diri.
Tetapi Paksi tidak menjadi kehilangan akal. Ia sudah
ditempa dengan menjalani laku yang sangat berat. Karena itu,
maka Paksi tidak mudah untuk dapat ditaklukkan.
Namun melawan dua orang murid utama dari Perguruan
Rajah Malang memang terasa sangat berat. Karena itu, maka
Paksipun harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun dengan tongkatnya, perlahan-lahan Paksi dapat
menguasai keadaan. Sementara itu, kedua lawannya telah
memeras seluruh tenaga dan kemampuan mereka, sehingga
dengan demikian, keringat merekapun telah membasahi
pakaian mereka. Dalam pada itu, kedua orang murid Rajah Malang yang lain
telah bertempur melawan Wijang. Seperti kedua orang lawan
Paksi, maka kedua orang itupun telah menggenggam golok
yang panjang pula. Untuk melawan mereka, Wijang telah mencabut kedua
bilah pisau belatinya, sementara penutup bagian atas
pergelangannya telah dipakainya pula.
Kedua orang lawan Wijang itu menjadi heran. Berdua
mereka tidak segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan
sekali-sekali kaki lawannya itu sempat singgah di tubuhnya.
Ketika lambung Kerta Ambal itu terkena serangan kaki Wijang
maka Kerta Ambal itu telah terdorong beberapa langkah surut.
Hampir saja ia terpelanting jatuh. Namun untunglah bahwa
orang itu masih sempat mempertahankan keseimbangan.
Tetapi seorang kawannya yang bertubuh tinggi besar itu,
harus berloncatan surut. Ujung pisau belati Wijang telah
menyentuh bahunya. Sambil mengumpat kasar orang itu meloncat mengambil
jarak. Sementara itu Wijang tidak sempat memburunya,
karena Kerta Ambal telah mampu memperbaiki kedudukannya
dan bahkan meloncat menyerang sambil menjulurkan
goloknya Wijang dengan cepat bergeser menyamping untuk
menghindari ujung golok lawannya.
Pada saat yang bersamaan, Kerta Ambal telah meloncat
menyerang pula. Goloknya terayun dengan deras sekali
mengarah ke lehernya. Wijang tidak sempat mengelak. Namun kemudian dengan
pelindung bagian atas pergelangan tangannya, Wijang
menangkis ayunan golok lawannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Satu benturan yang keras sudah terjadi. Wijang memang
tergetar, namun tangan lawannya bagaikan menyentuh bara.
Hampir saja goloknya terlepas. Namun sambil meloncat
mengambil jarak Kerta Ambal sempat memperbaiki
keadaannya. Sementara itu kawannyalah yang telah
menyerang Wijang, sehingga Wijang tidak sempat memburu
Kerta Ambal. Demikianlah, maka pertempuran di kaki Gunung Merapi itu
berlangsung semakin cepat. Murid utama dari Perguruan
Rajah Malang itu telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Sebagai murid utama dari sebuah perguruan yang
membanggakan dirinya, maka keempat orang itu merupakan
orang-orang yang berbahaya.
Meskipun demikian, baik Wijang maupun Paksi masih
mampu melindungi diri mereka dengan senjata-senjata
mereka yang khusus. Betapapun juga benturan-benturan
keras terjadi, tetapi golok murid-murid utama dari Perguruan
Rajah Malang itu tidak mampu mematahkan tongkat Paksi
yang ujudnya hanyalah sebuah tongkat kayu. Sementara itu,
lawan Wijangpun menjadi heran, bahwa lawannya itu
menangkis tajam goloknya, seakan-akan hanya
mempergunakan pergelangan tangannya.
Dalam pada itu, para murid dari Perguruan Rajah Malang
itu menjadi semakin heran bahwa di kaki Gunung Merapi itu
tinggal dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sayang
bahwa mereka tidak sempat melihat wajah-wajah mereka
dengan jelas, karena kedua orang itu telah menyamarkan
wajah mereka dengan jelaga.
Namun dengan demikian, keempat orang itu menjadi
semakin marah. Mereka yang merasa diri mereka bagian dari
orang-orang terpenting di perguruan, ternyata tidak mampu
menguasai dua orang penghuni lereng Merapi itu.
Namun betapapun juga mereka berusaha dengan
mengerahkan kemampuan mereka, namun mereka justru
menjadi semakin terdesak. Kedua orang lawan Paksi justru
menjadi mata gelap. Beberapa kali tongkat Paksi mengenai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tubuh mereka, sehingga tulang-tulang mereka serasa menjadi
retak. Meskipun demikian, sekali Paksi terlambat menghindar,
sehingga golok lawannya itu sempat menyentuh lengannya.
Paksi meloncat beberapa langkah surut menjauhi lawannya.
Dirabanya lengannya yang terluka. Darah yang hangat telah
mengalir dari lukanya itu.
Luka itu telah membakar jantung Paksi. Karena itu, maka
dalam pertempuran selanjutnya, Paksi benar-benar telah
menghentakkan kemampuannya. Sementara itu kedua orang
lawannya yang melihat bahwa Paksi sudah terluka, telah
berusaha untuk semakin menekannya. Mereka semakin
berpengharapan untuk dapat menghancurkan lawannya yang
bersenjata tongkat itu. Pertempuran selanjutnya memang menjadi semakin sengit.
Tongkat Paksi berputaran semakin cepat. Tetapi kedua orang
lawannya yang semakin berpengharapan itupun bertempur
semakin keras pula. Dengan demikian, maka pertempuran itupun semakin
meningkat. Kedua belah pihak agaknya tidak lagi
mengendalikan diri. Kedua orang yang bersenjata golok itu
benar-benar berusaha untuk mengakhiri perlawanan Paksi
dengan membunuhnya. Tetapi Paksipun tidak lagi membuat pertimbanganpertimbangan lain. Ia harus melindungi nyawanya dengan
segenap kemampuannya. Dalam pada itu, Wijang mulai menunjukkan
kemampuannya yang sangat tinggi. Ketika kedua orang
lawannya sampai pada puncak kemampuan mereka, maka
Wijangpun harus mengimbanginya. Kedua orang murid utama
Perguruan Rajah Malang itu bertempur dengan menghentak-hentakkan ilmu
mereka. Sekali-sekali Kerta Ambal meloncat sambil berteriak.
Namun kemudian kawannyalah yang menyerang dari sisi
yang berbeda. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi tidak banyak yang dapat mereka lakukan. Ketika
pisau belati Wijang menjadi semakin garang, maka keduanya
semakin mengalami kesulitan. Sementara itu mereka menjadi
semakin heran, bahwa lawannya itu mampu menangkis
serangan-serangan mereka dengan pergelangan tangannya.
Sekali-sekali jika lengan baju Wijang tersingkap, kedua
lawannya memang melihat pelindung yang menutupi bagian
atas pergelangan tangannya, sehingga mereka mengira bahwa
pelindung pergelangan tangan itu terbuat dari baja.
Tetapi keempat orang murid dari Perguruan Rajah Malang
itu benar-benar mengalami kesulitan. Seorang lawan Paksi
terpelanting jatuh ketika tongkat Paksi memukul
punggungnya. Dengan serta-merta ia berusaha untuk bangkit.
Namun terasa tulang punggungnya menjadi sangat nyeri.
Meskipun demikian ia telah memaksa diri untuk bertempur
terus. Ia tidak mempunyai waktu untuk mengeluh dan
mencoba untuk mengatasi rasa sakitnya.
Sementara itu, Paksi justru menjadi semakin garang.
Seorang lawannya yang berhasil melukai pundaknya,
membuat Paksi menjadi semakin marah. Sambil meloncat
Paksi telah menjulurkan tongkat kayunya. Demikian cepatnya
sehingga lawannya tidak dapat menghindar dan bahkan tidak
sempat menangkisnya pula.
Dengan derasnya tongkat Paksi yang menembus
pertahanan lawannya itu telah menghantam pundak salah
seorang lawannya. Akibatnya ternyata cukup parah. Orang itu terpelanting
jatuh. Kepalanya telah membentur sebongkah batu. Perasaan
sakit pada tulangnya yang pecah menyengatnya. Namun
kepalanya yang membentur batu itu telah menentukan segalagalanya. Darah telah memancar dari luka di kepalanya.
Paksi tertegun sejenak. Demikian pula lawannya yang lain,
yang membeku melihat kawannya berlumuran darah. Ia
melihat kawannya menggeliat. Namun kemudian terdiam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan hentakkan tongkat Paksi yang membunuhnya, tetapi
justru kepalanya yang membentur batu itu.
Lawan Paksi yang lain berdiri dengan tegang. Namun Paksi
tidak berbuat apa-apa. Ia berdiri saja di tempatnya. Bahkan
ketika lawannya yang seorang lagi melangkah dengan raguragu mendekati tubuh kawannya yang terbaring diam.
Ketika orang itu berjongkok di samping kawannya yang
terbunuh itu, Paksi sama sekali tidak mencegahnya. Bahkan
seakan-akan ia telah memberi waktu kepadanya untuk melihat
keadaan kawannya. Orang itu meraba leher kawannya yang terbaring diam.
Kemudian dadanya. Tidak ada detak. Tidak ada tarikan nafas. Orang itu benarbenar telah mati. Dalam pada itu, maka kedua orang lawan Wijangpun
merasa semakin tidak berdaya. Kedua-duanya telah terluka.
Seorang di antaranya lukanya cukup parah. Goresan ujung
pisau Wijang telah menyilang di dadanya.
Karena itu, maka mereka menganggap bahwa pertempuran
selanjutnya tidak akan menguntungkannya. Apalagi setelah
seorang kawannya terbunuh.
Dengan demikian, maka Kerta Ambalpun telah memberikan
isyarat kepada kawannya untuk mengambil jarak.
Wijang tidak memburunya. Dipandanginya kedua orang
lawannya itu berganti-ganti.
"Kami akui kekalahan kami," berkata Kerta Ambal. "Seorang kawanku telah terbunuh. Sekarang, jika kalian kehendaki,
kalian dapat membunuh kami, meskipun kami akan tetap
memberikan perlawanan sampai batas kemampuan kami."
"Apa yang sebenarnya kalian kehendaki" Menyerah" Atau
minta ampun" Atau justru menantang untuk bertempur
terus?" "Kami mengakui kekalahan kami," jawab Kerta Ambal,
"terserah kepadamu. Apakah kau akan membunuh kami
meskipun kami tidak akan begitu saja menyerahkan leher
kami, atau membiarkan kami pergi tetapi dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemungkinan buruk bagi kalian, karena pada suatu saat
kamilah yang akan membunuh kalian."
Wijang tertawa. Katanya, "Satu cara yang bagus sekali
untuk melepaskan diri. Kalian tetap menjaga harga diri kalian, karena kalian tidak minta ampun. Tetapi dengan mengancam,
kalian yakin bahwa kami akan melepaskan kalian. Kalian
mengira bahwa ancaman itu akan mengungkit harga diri kami,
sehingga kami justru akan melepaskan kalian."
Wajah Kerta Ambal menjadi semakin tegang. Ia melihat
Wijang melangkah mendekat sambil berkata, "Kalian telah
menitikkan darahnya dari luka-lukanya."
Kerta Ambal tidak menjawab. Tetapi jantungnya seakanakan telah berhenti berdetak. Nampaknya Kerta Ambal dan
saudara-saudara seperguruannya itu benar-benar telah
terjebak ke dalam jeratan maut.
Namun tiba-tiba saja Wijang berkata, "Baiklah. Ancaman
kalian berhasil membebaskan kalian. Tetapi sama sekali bukan
karena kami tersinggung harga diri kami dan melepaskan
kalian agar kami jangan dianggap ketakutan, tetapi yang kami
lakukan adalah karena kami merasa kasihan melihat kalian.
Kalian yang merasa murid-murid utama dari sebuah perguruan
yang kalian bangga-banggakan, harus mengalami kenyataan
pahit disini." "Aku tidak perlu dikasihani."
"Sudahlah. Jangan mencoba-coba. Jika kau salah ucap,
maka kau akan benar-benar mati. Karena itu, pergilah. Kami
membebaskan kalian. Tetapi bawa kawanmu yang mati itu.
Agaknya ia mati bukan karena senjata adikku. Tetapi karena
salahnya sendiri, bahwa ia telah membenturkan kepalanya
pada sebuah batu hitam."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kerta Ambal tidak menjawab. Tetapi sesuatu telah
menyelinap di dalam dasar hatinya. Orang-orang yang tinggal
di gubuk di lereng Gunung Merapi itu sudah membuatnya
heran karena kemampuannya. Kemudian mereka pun melihat
kenyataan, bahwa keduanya tidak membunuhnya serta tidak
membunuh saudara-saudara seperguruannya pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, maka Wijangpun telah berkata sekali lagi
dengan lantang, "Cepat. Tinggalkan tempat ini dan jangan
kembali lagi. Jangan ganggu ketenangan kami yang untuk
waktu yang sangat lama tidak terusik."
Ketiga orang murid utama dari Perguruan Rajah Malang
itupun kemudian telah mengangkat kawannya yang terbunuh
untuk membawanya pergi meninggalkan tempat tinggal Paksi
dan Wijang itu. Sepeninggal murid-murid utama Rajah Malang itu, maka
Wijangpun kemudian telah mendekati Paksi yang terluka.
Dibimbingnya anak muda itu sambil berkata, "Aku akan
merawat luka-lukamu."
"Lukaku tidak seberapa," berkata Paksi.
"Meskipun tidak seberapa, tetapi luka itu harus diobati."
Paksi tidak menolak. Iapun kemudian duduk di teritisan
gubuknya. Dibukanya bajunya yang terkoyak oleh senjata
lawannya. Dengan hati-hati Wijangpun kemudian mengobati luka di
tubuh Paksi itu. Sambil mengobati luka di tubuh Paksi, Wijangpun berkata,
"Kehadiran mereka telah mengganggu kedamaian tempat
tinggalmu, Paksi." "Ya," Paksi mengangguk. Namun katanya kemudian,
"Justru pada saat kita menjadi bimbang, apakah kita akan
meninggalkan gubuk ini atau tidak."
Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah menurut
pendapatmu, kedatangan beberapa orang murid utama dari
Perguruan Rajah Malang itu mempertegas niat kita untuk
meninggalkan tempat ini?"
"Ya," jawab Paksi, "aku tidak boleh menjadi cengeng, sehingga hidupku dan masa depanku akan terikat oleh
tanaman jagung, padi gaga dan kebun pisang itu. Sejak
semula aku memang sudah yakin, bahwa pada suatu saat aku
akan pergi." "Baiklah," berkata Wijang, "jika demikian, kita akan menetapkan niat kita untuk pergi. Kita harus merelakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segala-galanya yang pernah kau miliki disini. Perabot-perabot
yang pernah kau beli dan tanaman yang pernah kau pelihara.
Kelapa itu kelak akan mengeluarkan buahnya jika tidak
disadap legennya lagi. Sedangkan kebun pisang itu akan
menjadi liar." "Apaboleh buat," desis Paksi.
"Malam nanti kita akan bersiap-siap. Besok pagi pagi kita berangkat," berkata Wijang kemudian.
"Mudah-mudahan jika orang-orang Rajah Malang itu ingin
datang kembali, tidak datang malam nanti."
Wijang tertawa. Katanya, "Jika mereka kembali malam
nanti, kita akan menyambutnya dengan baik."
"Jika mereka datang, mereka tentu akan membawa kawan
lebih banyak. Bahkan mungkin guru merekapun akan datang
pula." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita harus berhatihati. Jika perlu malam nanti kita tidak tidur di dalam gubuk ini.
Kita akan mengamatinya untuk malam yang terakhir dari
gubuk kecil itu." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah
membulatkan tekad untuk meninggalkan gubuk kecilnya itu.
Di sisa hari itu, Paksi dan Wijang menyempatkan diri untuk
melihat-lihat tanaman yang akan mereka tinggalkan. Jagung
dan padi gaga. Di sekitarnya ketela pohon yang sudah
waktunya mencabut. Beberapa jenis sayuran. Kacang panjang
yang merambat pada lanjarannya. Lombok rawit yang
buahnya seakan akan lebih banyak dari daunnya. Hijau dan
merah. Ketika mereka berada di antara batang-batang pisang di
kebun pisang mereka, beberapa batang telah berbuah.
Bahkan ada yang dalam beberapa hari lagi, akan suluh,
sehingga tinggal menebang dan menyimpan buahnya sampai
benar-benar masak di gubuknya.
Tetapi semuanya harus ditinggalkannya.
Sebenarnyalah Paksi merasa sangat berat meninggalkan
gubuknya serta tanaman yang dipeliharanya dengan baik.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi setiap kali ia selalu digelitik oleh kegelisahan,
bagaimana dengan masa depannya. Apakah ia akan tetap saja
berada di kaki Gunung Merapi dan hidup dalam keterasingan" Apakah ia
akan membiarkan dirinya tenggelam dan tidak lagi timbul
dalam lingkungan yang lebih luas di Pajang"
Setiap kali Paksi harus memantapkan keputusannya,
meninggalkan gubuk kecilnya.
Bagi Paksi, usaha untuk menemukan cincin bermata tiga
butir batu akik itu sudah dipupusnya. Yang dicarinya itu sudah ada di depan hidungnya. Tetapi tidak mungkin baginya untuk
mengambilnya, karena Paksi tahu bahwa cincin itu berada di
tangan yang aman dan yang memang seharusnya.
Menjelang malam, seperti biasa Paksi telah menyalakan
dlupak minyak kelapanya dan menempatkannya di ajug-ajug
di sudut gubuknya. Kemudian ia masih menyempatkan diri
untuk membenahi barang-barangnya. Yang ada di luar gubuk
disimpannya di dalam. Sementara itu, ia masih juga menanak
nasi dan membuat sayur lembayung dan kacang panjang.
Sedikit lombok rawit dan santan.
Kemudian dibuatnya pula pepes ikan dengan kelapa muda.
Paksi dan Wijang itupun kemudian makan selagi nasi dan
sayurnya masih hangat. "Kita tidak sempat membuat gula," berkata Paksi.
"Biar sajalah. Kita simpan saja legen itu di dalam
bumbung." "Legen itu akan menjadi tuak kelak."
"Yang sempat minum akan menjadi mabuk."
Setelah mencuci dan mengatur mangkuk dan alat-alat
dapurnya, maka seperti yang dikatakan Wijang, merekapun
telah pergi ke gumuk kecil. Tidak jauh dari gubuk mereka.
Dari gumuk kecil itu mereka dapat melihat gubuk yang akan
mereka tinggalkan itu. Dari celah-celah dindingnya nampak
cahaya lampu minyak memancar keluar. Namun tidak akan
dapat dilihat dari jarak yang agak jauh, karena hutan lereng
pegunungan yang mengelilinginya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun malam terasa sangat dingin, namun keduanya
tidak beranjak dari tempat mereka. Bagaimanapun juga
mereka harus berhati-hati.
Lewat tengah malam, sebelum Paksi dan Wijang tertidur,
mereka telah dikejutkan oleh desir langkah kaki beberapa
orang. Meskipun dalam kegelapan, namun mereka dapat
melihat beberapa orang kemudian berdiri di depan gubuk kecil
itu, karena mereka memiliki penglihatan yang sangat tajam
dengan landasan ilmu mereka. Sapta Pandulu.
"Ternyata mereka benar-benar kembali," desis Wijang.
Paksi mengangguk-angguk. Dengan ketajaman ilmu Sapta
Pangrungu, maka mereka mencoba mendengarkan
pembicaraan di antara mereka yang berdiri di depan gubuk
itu. "Kita akan menemui mereka," seseorang berdesis, "aku tidak akan membiarkan salah seorang muridku dibunuh oleh
siapapun dengan alasan apapun."
"Guru," terdengar suara yang lain. Wijang dan Paksi saling berpandangan. Menurut pendengaran mereka, suara itu
adalah suara Kerta Ambal, "saudaraku itu meninggal karena kepalanya membentur batu. Bukan karena dibunuh oleh salah
seorang dari kedua penghuni gubuk ini."
"Tetapi bukankah itu terjadi karena ia bertempur melawan
salah seorang dari mereka berdua?"
"Tetapi mereka bukan pembunuh, Guru. Dalam keadaan
yang panas itu, mereka membiarkan kami bertiga pergi
meninggalkan medan."
"Sejak kapan hatimu menjadi serapuh kayu randu itu, he."
Kerta Ambal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Guru, aku menjadi bimbang, justru karena aku
belum pernah bertemu dengan orang-orang seperti itu. Jika
saja mereka seperti kebanyakan orang yang pernah aku
temui, maka aku tentu sudah menjadi mayat. Bahkan mungkin
tubuhku akan diseret dan diceburkan ke dalam jurang,
sehingga esok paginya, tubuh itu sudah hancur dikoyak-koyak
oleh binatang buas atau burung pemakan bangkai."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Diam," bentak orang yang disebutnya guru itu, "kau menjadi cengeng. Bersiaplah. Kita akan memasuki rumah ini
jika penghuninya tidak mau keluar."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika mereka
tidak menemukan kita berada di dalam rumah itu, maka
mereka tentu akan mencarinya. Mungkin akan sampai ke
tempat ini." Paksi mengangguk-angguk. Ia melihat Wijang telah
mengenakan penutup pergelangan tangannya. Nampaknya ia
sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Mereka datang bersama guru mereka," berkata Wijang
kemudian, "bahkan dengan jumlah orang yang lebih banyak
lagi." "Tetapi Kerta Ambal dan tentu juga kedua orang kawannya
agak ragu." "Tetapi jika pertempuran benar-benar sudah mulai, keraguraguan merekapun akan hilang."
"Tetapi apakah kita akan menunggu sampai mereka
menemukan kita disini?"
"Tidak. Jika mungkin kita akan menghindar. Kita jangan
membiarkan diri kita mati tanpa arti."
Paksi mengangguk-angguk. Meskipun demikian, mereka tidak segera meninggalkan
gumuk kecil itu. Mereka masih ingin melihat, apa yang akan
dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dari Perguruan
Rajah Malang itu. Jika mereka mengetahui bahwa penghuni
dari gubuk itu tidak ada di dalam.
"Mungkin gubuk itu akan dibakarnya," berkata Paksi di dalam hati. Alangkah sakit hatinya jika ia melihat gubuk itu
menjadi seonggok api yang menjilat-jilat langit.
Tetapi Paksi tidak boleh kehilangan perhitungan. Berdua
mereka tidak akan mampu melawan sekelompok orang dari
Perguruan Rajah Malang yang langsung dipimpin oleh seorang
yang disebutnya guru itu.
"Mungkin orang itulah yang disebut Ajag Pinunjung,"
berkata paksi di dalam hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu Wijangpun mengamati sekelompok orang itu
dengan tegang. Mereka mulai mengepung gubuk kecil itu.
Sementara orang yang disebut guru itu telah berdiri di muka
pintu. "Bersiaplah," desis Wijang, "jika kita harus menyingkir, kita akan menuruni tebing sungai itu. Kita akan menelusuri arus
dan naik beberapa ratus patok di sebelah selatan. Mudahmudahan kita dapat melepaskan diri dari mereka."
Paksi mengangguk-angguk. Tetapi seperti Wijang, ia tidak
terlalu cemas, karena berdua mereka telah menguasai medan
dengan baik. Karena itu, maka keduanya masih tetap berada di gumuk
kecil itu untuk melihat, apa yang akan terjadi kemudian.
Dalam pada itu, maka orang yang disebut guru itu mulai
mengetuk pintu dan berkata lantang, "He, penghuni gubuk ini, keluarlah. Aku ingin berbicara dengan kalian."
Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
Karena itu, maka orang itupun tidak lagi mengetuk pintu.
Tetapi dengan kasarnya, mereka mendorong pintu lereg itu ke
samping, sehingga pintu yang memang tidak diselarak itu
terbuka. Yang terjadi benar-benar sangat mengejutkan. Orang yang
disebut guru itu meloncat surut. Dari dalam gubuk itu,
seorang yang membawa tongkat dan mengenakan caping
yang besar melangkah keluar. Tongkat teracu ke arah perut
orang yang mendorong pintu gubuk itu.
"Gila," geram Wijang, "siapakah orang itu?"
Demikian terkejutnya, maka untuk sesaat Paksi justru diam
membeku. Ia seakan-akan melihat dirinya sendiri keluar dari
gubuk itu. Bahkan kemudian disusul oleh seorang lagi yang
juga mengenakan caping yang besar.
"Apakah mataku sudah kabur?" desis Wijang. Lalu
digamitnya Paksi sambil berdesis, "Kau lihat dua orang yang keluar dari gubuk itu" Sejak kapan mereka ada di dalamnya
dan bagaimana mereka masuk tanpa kita ketahui?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Aku melihat mereka. Seorang di antaranya bersenjata
tongkat. Keduanya mengenakan caping yang kita tinggalkan di
dalam gubuk itu. Tetapi kapan mereka masuk ke dalam?"
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Perhatian merekapun
kemudian tertuju kepada orang-orang yang berdiri di depan
gubuk kecil itu. Dalam pada itu, terdengar orang yang membawa tongkat
itu bertanya, "Apakah kau yang disebut Ajag Pinunjung?"
"Ya," jawab orang yang telah mendorong dan membuka
pintu gubuk itu. "Apa maumu datang kemari" Jika kau merusakkan pintu
gubukku, kau harus memperbaikinya."
"Bukan hanya pintunya. Aku akan merusak gubukmu."
"Kenapa" Apakah kau iri melihat gubukku dan bahkan
ketenangan hidupku disini?"
"Jangan berpura-pura. Kau sudah membunuh seorang di
antara murid utamaku."
"Bukan aku yang membunuh."
"Saudaramu itu?"
"Juga bukan. Kami bukan pembunuh. Tetapi murid
utamamu itu membunuh dirinya sendiri. Ia mengantukkan
kepalanya pada sebuah batu. Jika kau sempat melihat, batu
itu tentu masih diwarnai dengan darah kering."
"Persetan. Tetapi itu tidak terjadi jika muridku tidak
bertempur melawan salah seorang dari kalian."
"Mereka datang kemari. Mereka menyerang kami.
Bertanyalah kepada ketiga orang murid utamamu yang masih
hidup. Jika kami mau membunuh mereka, maka mereka tentu
sudah mati. Tetapi kami bukan pembunuh."
"Omong kosong," geram Ajag Pinunjung. "Kalian harus menebus kematian muridku dengan nyawa salah seorang dari
kalian." "Kau jangan mencari persoalan. Kami tidak bersalah."
"Aku tidak peduli," jawab Ajag Pinunjung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wijang yang berada di gumuk kecil itupun menggamit Paksi
sambil berkata, "Orang bertongkat itu mengetahui apa yang telah terjadi dengan keempat murid utama Ajag Pinunjung."
"Rasa-rasanya tidak masuk akal."
Wijang tidak menjawab. Keduanyapun semakin tegang
ketika mereka mendengar Ajag Pinunjung itu berkata, "Siapa yang bertanggung jawab atas kematian muridku?"
"Muridmu itu sendiri," jawab orang bertongkat itu.
Tetapi Ajag Pinunjung itu menggeram. Katanya, "Aku
menuntut salah seorang dari kalian harus menebus kematian
muridku dengan kematian pula. Bukankah lebih baik salah
seorang di antara kalian masih tetap hidup daripada aku harus
membunuh kalian berdua."
"Tidak," jawab orang bertongkat itu, "kami tidak mau mati.
Juga tidak salah seorang di antara kami."
"Jika demikian, maka kalian berdua justru akan mati."
"Jika kemudian benar-benar terjadi kematian lagi di antara murid-muridmu, itu bukan tanggung-jawab kami pula. Kalian
datang dengan sikap yang bermusuhan."
Ajag Pinunjung itu tidak banyak berbicara lagi. Iapun
segera memberi isyarat kepada murid-muridnya untuk bersiap.
"Apaboleh buat," berkata Ajag Pinunjung, "kita akan membunuh keduanya."
Murid-murid Ajag Pinunjung itupun segera mempersiapkan
diri. Sementara itu Kerta Ambal masih juga nampak ragu-ragu.
Demikian pula kedua orang saudara seperguruannya. Kecuali
mereka merasa bahwa nyawa mereka diselamatkan, tubuh
merekapun masih terasa sakit dan nyeri.
Tetapi mereka tidak berani melawan perintah gurunya.
Karena itu, maka ketika saudara-saudaranya seperguruannya
bersiap, Kerta Ambalpun bersiap pula.
Dalam pada itu, kedua orang yang berdiri di pintu gubuk
itupun telah bergeser merenggang. Merekapun telah bersiap
pula menghadapi segala kemungkinan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Ajag Pinunjung segera mengeluarkan
perintah kepada murid-muridnya, "Hancurkan mereka berdua
jika mereka tetap keras kepala."
Sejenak kemudian, maka murid-murid Ajag Pinunjung
itupun mulai bergerak untuk menghadapi orang yang
bersenjata tongkat, sedangkan yang lain bersiap menghadapi
yang seorang lagi. Dalam pada itu, Ajag Pinunjung sendiri justru mundur
beberapa langkah. Agaknya ia sendiri tidak ingin segera
memasuki arena pertempuran. Ajag Pinunjung itu ingin
melihat, seberapa jauh murid-muridnya menguasai ilmu yang
diajarkannya. Ketika Ajag Pinunjung itu memberikan isyarat, maka muridmuridnyapun segera mulai bergerak. Beberapa orang yang
bersenjata golokpun mulai memutar goloknya. Beberapa
orang di antara mereka mempergunakan senjata lain.
Semacam bindi yang panjang. Namun ada pula yang
bersenjata kapak bertangkai panjang.
Pertempuranpun segera terjadi dengan sengitnya. Kedua
orang yang keluar dari gubuk itu tidak dapat bertahan untuk
tetap menjaga pintu gubuknya. Lawannya terlalu banyak
untuk memaksakan kemauan mereka bertempur di depan
pintu. Karena itu, maka pertempuran itupun kemudian bergeser
semakin lama semakin menjauhi pintu gubuk kecil itu.
Sehingga dengan demikian, maka pintu yang terbuka itu
terbuka pula bagi Ajag Pinunjung untuk memasukinya.
Kedua orang yang keluar dari dalam gubuk itu tidak
mendapat kesempatan untuk mencegah ketika Ajag Pinunjung
melangkah memasuki gubuk kecil itu sementara pertempuran
berlangsung terus. Sementara itu, Wijang dan Paksi masih memperhatikan
pertempuran yang sedang terjadi. Baik orang yang bersenjata
tongkat maupun yang seorang lagi, bertempur menghadapi
beberapa orang yang garang murid-murid Ajag Pinunjung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun kedua orang yang memakai caping dan keluar dari
gubuk itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Wijang dan
Paksi seakan-akan mengenali ciri-ciri ilmu mereka. Seorang
memiliki ciri ilmu sebagaimana Paksi sedangkan yang lain
memiliki ciri ilmu sebagaimana Wijang. Meskipun ada
beberapa warna lain yang nampak, rasa-rasanya kedua orang
itu adalah saudara-saudara seperguruan Paksi dan Wijang.
Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi semakin
sengit. Meskipun harus bertempur melawan beberapa orang
sekaligus, namun kedua orang yang berada di gubuk itu masih
mampu mempertahankan diri mereka.
Wijang dan Paksi tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ajag
Pinunjung di dalam gubuk kecil itu. Namun agaknya ia sedang
sibuk mencari cincin yang diduga berada di lereng sebelah
selatan Gunung Merapi itu.
Sementara itu, pertempuran menjadi semakin sengit.
Setiap kali para murid dari Perguruan Rajah Malang yang
mengepung kedua orang yang mengenakan caping itu harus
berloncatan mundur. Mereka mengalami kesulitan untuk
mempersempit kepungan mereka. Bahkan kadang-kadang
kepungan mereka telah pecah dan orang yang berada di
dalam kepungan itu meloncat keluar dan berdiri di luar
kepungan. Tetapi kedua orang itu tidak meninggalkan medan.
Keduanya masih tetap bertempur dan orang-orang dari Rajah
Malang itu selalu berusaha untuk melingkari kedua orang itu.
Jika kepungan mereka pecah dan orang yang berada di dalam
kepungan itu sempat meloncat keluar, maka dengan sertamerta merekapun segera berlari-larian mengepung orang
bercaping itu lagi. Dari tempat persembunyiannya, dengan landasan Aji Sapta
Pandulu, Wijang dan Paksi mampu melihat, seorang yang
bercaping dan yang tidak membawa tongkat panjang itu juga
bersenjata sepasang pisau belati sebagaimana Wijang. Pisau
yang ujudnya sederhana saja. Tetapi keduanya tidak melihat,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apakah orang itu juga mempergunakan selapis pelindung pada
pergelangan tangannya. Dalam pada itu, pertempuran yang sengit masih saja
berlangsung. Orang-orang dari Perguruan Rajah Malang itu
bertempur semakin keras. Namun kedua orang yang keluar
dari dalam gubuk itu berloncatan semakin cepat. Tongkat di
tangan salah seorang dari mereka itupun menyambarnyambar dengan garangnya. Seorang yang mengepungnya
terpelanting jatuh ketika tongkat itu menyambar tengkuknya.
Seorang yang lain terdorong beberapa langkah surut. Namun
akhirnya orang itupun jatuh terduduk. Pangkal tongkat itu
terjulur mengenai perutnya, sehingga rasa-rasanya isi
perutnya itu akan tumpah.
Sedangkan seorang yang bertempur melawan orang yang
bersenjata pisau belati itu meloncat sambil mengaduh
tertahan. Pisau belati itu telah menyentuh bahunya, sehingga
lukapun telah menganga. Darah telah mengalir dari luka itu.
Tetapi sejenak kemudian seorang lagi telah berteriak
kesakitan sambil mengumpat kasar. Darah meleleh dari
lengannya yang tergores senjata lawannya.
Agaknya Ajag Pinunjung mendengar teriakan dan umpatan
murid-muridnya. Apalagi ia tidak menemukan apa-apa di
dalam gubuk itu. Karena itu, maka Ajag Pinunjung itupun
segera melangkah keluar. Di depan pintu ia berdiri beberapa saat. Diamatinya
pertempuran yang sedang terjadi itu. Namun tiba-tiba saja
terdengar ia berteriak, "Lepaskan orang yang memakai
tongkat itu. Aku akan menyelesaikannya."
Beberapa orang muridnyapun segera menyibak. Ajag
Pinunjung itupun dengan tangkasnya meloncat menghadapi
orang yang bersenjata tongkat, "Kau sudah membunuh
muridku. Sekarang aku akan membunuhmu."
Orang yang bersenjata tongkat itu tidak menjawab. Tetapi
beberapa langkah ia meloncat surut. Ia tidak menghiraukan
murid-murid Ajag Pinunjung yang mulai menjauhinya. Dengan
suara yang parau ia menjawab, "Aku tidak membunuh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
muridmu. Muridmu yang mati disini itu terjadi karena ulahnya
sendiri." "Aku akan mengampunimu jika kau dapat menyerahkan
cincin itu kepadaku."
"Cincin apa" Cincin istana itu" Sudah aku katakan, aku
tidak tahu-menahu tentang cincin yang kalian cari itu."
"Jangan berbohong," geram Ajag Pinunjung. "Satu-satunya cara untuk menebus nyawamu adalah cincin itu."
"Aku tidak perlu mengulang-ulang keteranganku."
"Bagus," geram orang yang disebut guru itu, "jika demikian kau memang harus mati. Saudaramu itu juga harus mati.
Cincin itu adalah satu-satunya syarat untuk membebaskan
nyawamu dan nyawa saudaramu."
"Kau tidak usah membebaskan nyawaku," jawab orang
bersenjata tongkat itu. Suaranya masih tetap parau. "Karena aku sendiri akan membebaskannya. Demikian pula
saudaraku." Ajag Pinunjung itu menjadi semakin marah. Karena itu,
maka iapun berteriak lebih keras lagi ditujukan kepada muridmuridnya, "Minggir. Selesaikan yang seorang lagi itu. Aku akan menyelesaikan yang ini. Aku sendiri yang akan
membunuhnya." Murid-muridnya yang masih termangu-mangu segera
berloncatan meninggalkan lingkaran di seputar orang
bertongkat itu. Mereka beramai-ramai menuju dan ikut dalam
kelompok yang bertempur melawan orang yang bersenjata
sepasang pisau belati itu.
Namun demikian mereka bergabung, dua orang telah
terlempar dari kepungan. Darah mengalir dari luka-luka
mereka di dada dan lambung.
"Marilah," berkata orang yang bersenjata sepasang pisau belati itu, "semakin banyak jumlah kalian, maka akan semakin banyak pula korban yang jatuh."
Yang menggeram adalah Ajag Pinunjung. Dengan suara
melengking ia berteriak, "Cepat, bunuh orang itu. Kalian harus dapat membunuhnya lebih cepat dari aku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya orang yang
bersenjata tongkat. "Membunuhmu dengan caraku," jawab Ajag Pinunjung.
"Kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk hidup, kecuali cincin itu."
"Kau tidak perlu mengulang-ulang ancamanmu. Jika kau
ingin bertempur, marilah kita bertempur."
Ajag Pinunjung itupun segera menarik pedangnya yang
panjang. Sambil menggeram orang itu berkata, "Kau telah
mempercepat kematianmu sendiri."
"Kau tidak akan mampu melakukannya."
Tetapi orang bersenjata tongkat itu tidak dapat berbicara
lebih panjang lagi. Ajag Pinunjung dengan serta-merta telah
meloncat menerkamnya. Dengan sigapnya orang bersenjata tongkat itu menghindar.
Namun sambil merendahkan diri, tongkatnya terjulur
mengarah lambung lawannya. Tetapi Ajag Pinunjung itu
dengan sikap menghindarinya pula.
Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin
meningkat. Ajag Pinunjung semakin mengerahkan ilmunya
untuk segera mengakhiri perlawanan orang bertongkat itu.
Tetapi orang bertongkat itu tidak segera menjadi silau
menghadapi ilmu Ajag Pinunjung yang garang itu.
Sebagaimana seorang yang sangat yakin akan
kemampuannya, maka Ajag Pinunjung itu langsung berusaha
untuk menghentikan perlawanan orang bertongkat itu.
Pedangnya berputaran, menyambar dan menikam dengan
garang. Tetapi ternyata orang yang bersenjata tongkat itu cukup
tangkas. Kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah. Dengan
tangkasnya ia meloncat, melenting dan bahkan berputar di
udara untuk menghindari ujung pedang Ajag Pinunjung itu.
Sementara putaran tongkatnya mampu menangkis, menepis
dan membentur serangan-serangan Ajag Pinunjung.
Ajag Pinunjung akhirnya harus menyadari, bahwa ia
berhadapan dengan orang yang berilmu tinggi, yang mampu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengimbangi ilmunya. Sementara itu di tangannya
tergenggam senjata yang sangat berbahaya. Meskipun
ujudnya tidak lebih dari sepotong kayu, namun tajamnya
pedang tidak mampu mematahkannya.
Dengan demikian, pertempuran antara Ajag Pinunjung
dengan orang yang bersenjata tongkat itu menjadi semakin
sengit. Ajag Pinunjung berloncatan menyambar-nyambar.
Sementara itu, orang bertongkat itu menghadapinya dengan
ketenangan seorang yang melandasi kemampuannya dengan
ilmu yang tinggi. Sementara itu, para murid Ajag Pinunjung masih bertempur
dengan seorang yang lain, yang keluar dari dalam gubuk itu
pula. Kedua tangannya memegang pisau belati. Meskipun
pisau itu tidak sepanjang senjata-senjata lawannya, tetapi
pisau itu ternyata menjadi sangat berbahaya di tangannya.
Beberapa kali pisau itu telah menyentuh tubuh lawanlawannya. Seorang yang berjambang tebal, terlempar dari
arena pertempuran. Dadanya terkoyak menyilang meskipun
tidak terlalu dalam, senjata kapak di tangannya telah
terlempar beberapa langkah
Orang itu masih berusaha menggapai senjatanya. Namun
darah terlalu banyak mengalir dari lukanya. Semakin banyak ia
bergerak, maka darah itupun menjadi semakin banyak
mengalir. Karena itu, maka iapun menyempatkan diri untuk
merangkak menjauhi arena. Sejenak kemudian, maka
diobatinya sendiri luka di dadanya itu dengan obat yang
dibawanya. Sebagaimana murid-murid dari Perguruan Rajah
Malang yang lain, maka orang berjambang lebat itu juga
membawa obat untuk memampatkan darah pada luka-luka
yang baru. Demikianlah darah orang itu mulai pampat, sehingga ia
mencoba untuk bangkit dan melangkah kembali ke arena
sambil menyeringai menahan pedih, seorang yang lain
terdorong dengan derasnya menimpa orang itu, sehingga
keduanya terpelanting jatuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang berjambang tebal itu berusaha untuk dengan
cepat bangkit. Didorongnya kawannya yang menimpanya
sehingga berguling di sisinya.
Namun demikian orang itu bangkit, maka ia sadar, bahwa
darahnya yang semula sudah pempat, telah mengalir lagi.
Karena itu, ia harus menaburkan obatnya sekali lagi.
Kawannya yang menimpanya itupun telah terluka pula.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, maka iapun harus mengobati luka-lukanya itu
Namun ternyata seorang yang lain lagi telah terluka pula.
Yang lain terdorong beberapa langkah surut sambil
memegangi perutnya yang telah dikenai tendangan orang
yang membawa sepasang pisau itu.
Ternyata sekelompok murid Ajag Pinunjung itu tidak segera
dapat mengalahkan lawannya. Bahkan setiap kali ada saja
yang terdorong keluar dari arena. Ada di antara mereka yang
dapat kembali memasuki arena pertempuran, tetapi ada yang
karena luka-lukanya tidak mampu lagi bertempur.
Dalam pada itu, Ajag Pinunjung sendiri ternyata tidak
dengan segera mampu mengalahkan orang bertongkat itu.
Pedangnya tidak mampu menembus pertahanannya. Tongkat
yang ujudnya seperti sepotong kayu itu ternyata menjadi
sangat berbahaya. Beberapa kali tongkat itu mematuk pundak, lengan dan
lambung Ajag Pinunjung. Meskipun bukan serangan-serangan
yang menentukan, tetapi rasa sakit dan nyeri telah
menyengatnya. Wijang dan Paksi mengamati pertempuran itu dengan
jantung yang berdebaran. Wajah mereka menjadi semakin
tegang. Mereka melihat sekelompok murid Ajag Pinunjung
yang mengeroyok orang yang bersenjata sepasang pisau itu.
Wijangpun kemudian menggamit Paksi sambil berdesis
perlahan, "Seandainya kita yang ada di dalam gubuk itu saat mereka datang, apakah kita mampu melawan mereka?"
Paksi menggeleng. Dengan jujur ia berkata, "Orang
bertongkat itu memiliki ilmu lebih tinggi dari ilmuku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi tidak berarti bahwa kau dapat dikalahkan oleh Ajag Pinunjung," jawab Wijang.
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya.
"Kau akan dapat melawan murid-murid Ajag Pinunjung
sebagaimana dilakukan oleh orang bersenjata sepasang pisau
itu." "Aku tidak yakin," desis Wijang.
Sementara itu, Ajag Pinunjung yang tidak segera dapat
mengalahkan orang bertongkat itu menjadi sangat marah.
Tiba-tiba saja terdengar isyarat dari mulutnya. Isyarat yang
tidak dimengerti oleh orang lain kecuali murid-muridnya.
Namun kedua orang yang sedang bertempur, bahkan
Wijang dan Paksipun segera mengetahuinya, bahwa isyarat itu
merupakan perintah kepada beberapa orang muridnya untuk
membantunya. Tiga orang murid terpilihnya telah berloncatan
mendekatinya. Mereka segera menempatkan dirinya untuk
ikut bertempur melawan orang bersenjata tongkat itu.
Dalam pada itu, Kerta Ambal yang bertempur bersama
saudara-saudara seperguruannya melawan orang yang
bersenjata sepasang pisau itu masih tetap ragu-ragu.
Meskipun demikian, ia tidak ingin mengalami kesulitan di
lingkungan perguruannya. Karena itu, maka iapun membenamkan diri dalam
pertempuran yang masih saja berlangsung itu.
Salah seorang murid di antara murid-murid terbaik telah
bertempur pula bersamanya. Murid itulah yang memimpin
kawan-kawannya melawan orang bersenjata sepasang pisau
itu. Tetapi usahanya untuk menguasai orang bersenjata
sepasang pisau itu nampaknya tidak segera berhasil. Bahkan
saudara-saudara seperguruannya satu-satu telah terluka dan
tidak mampu lagi kembali memasuki gelanggang.
Akhirnya Wijang dan Paksi harus mengakui, bahwa kedua
orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang bersenjata
tongkat itu sama sekali tidak mengalami kesulitan meskipun ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harus bertempur melawan Ajag Pinunjung itu sendiri serta tiga
orang murid terbaiknya. Demikianlah, maka pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin jelas, bahwa Ajag Pinunjung tidak akan
mampu mengalahkan kedua orang itu. Meskipun ia sudah
membawa sekelompok muridnya yang beberapa di antaranya
adalah murid-murid utamanya, namun kedua orang yang
berada di dalam gubuk itu adalah orang-orang yang berilmu
sangat tinggi. Karena itu, maka Ajag Pinunjung tidak mau mengalami
kesulitan yang semakin parah lagi. Beberapa orang muridnya
sudah terluka. Jika ia dan murid-muridnya memaksa diri untuk
bertempur terus, maka mereka akan mengalami kesulitan
yang paling parah. Demikianlah, maka sejenak kemudian, terdengar Ajag
Pinunjung itu memberikan isyarat lagi kepada murid-muridnya,
isyarat yang juga hanya diketahui oleh murid-muridnya saja.
Wijang dan Paksi yang menyaksikan pertempuran itu
melihat beberapa orang murid Ajag Pinunjung yang bertempur
melawan orang yang bersenjata sepasang pisau belati itu
telah menghentakkan serangan-serangan mereka. Namun
beberapa orang yang lain justru telah meninggalkan arena.
Mereka berusaha menolong saudara-saudara mereka yang
terluka dan membawanya menyingkir meninggalkan
gelanggang pertempuran. Mereka membawa kawan-kawan
mereka ke tempat yang terlindung. Menembus semak-semak
belukar dan kemudian memasuki hutan lereng pegunungan.
Wijang dan Paksipun kemudian dapat menerka apa yang
akan terjadi. Ketika kemudian Ajag Pinunjung itu memberikan
isyarat sekali lagi, maka dugaan merekapun benar. Ajag
Pinunjung telah membawa murid-muridnya meninggalkan
medan. Masih ada yang pantas dipuji pada Ajag Pinunjung. Ia tidak
begitu saja melarikan diri menyelamatkan jiwanya. Tetapi ia
masih tetap mengingat, bahwa ia sedang mengundurkan diri
bersama murid-muridnya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang bertongkat itu memang memburunya beberapa
puluh langkah. Tetapi demikian Ajag Pinunjung memasuki
celah-celah gerumbul dan semak-semak, maka orang
bertongkat itupun berhenti. Demikian pula kawannya yang
bersenjata sepasang pisau itu. Iapun tidak mengejar muridmurid Ajag Pinunjung itu. Bahkan ia tidak lagi berusaha untuk
menangkap satu atau dua orang di antara mereka, meskipun
hal itu tentu dapat dilakukannya jika ia menghendakinya.
Sesaat kedua orang itu berdiri termangu-mangu. Namun
kemudian Wijang dan Paksi melihat kedua orang itu
melangkah ke pintu gubuk mereka dan melangkah masuk ke
dalamnya. Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Dengan
nada ragu Wijangpun berkata, "Apakah kita akan menemui
mereka?" "Ya," desis Paksi, "rasa-rasanya ingin tahu, siapakah mereka berdua. Apakah mereka melihat apa yang telah kita
lakukan sebelumnya ketika Kerta Ambal dan ketiga orang
kawannya itu datang ke gubuk kita."
Wijang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Marilah, berhati-hatilah. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi. Lebih tinggi dari ilmu kita masing-masing."
"Lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi belum tentu lebih tinggi dari ilmumu yang tidak dapat dijajagi."
"Jangan mengigau," sahut Wijang.
Paksi mengerutkan dahinya. Namun ia tidak menjawab lagi.
Keduanyapun kemudian telah bangkit berdiri.
Dikibaskannya pakaiannya yang kotor dan basah oleh embun
yang lekat di dedaunan dan rumput alang-alang.
Sejenak kemudian Wijang dan Paksi itupun melangkah
meninggalkan gumuk kecil menuju ke gubuknya.
Pintu gubuk itu masih terbuka. Lampu minyak di dalamnya
masih menyala, meskipun nyalanya meliuk-liuk dihembus
angin perlahan-lahan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan hati-hati keduanya mendekati pintu yang terbuka
itu. Kemudian Wijangpun menyentuh dinding gubuk itu sambil
bertanya, "Siapa yang ada di dalam?"
Tidak terdengar jawaban. Paksi yang berdiri di belakangnya
melangkah dengan hati-hati untuk menengok ke dalam lewat
pintu yang terbuka. Wijang mengamatinya sambil memberi isyarat agar Paksi
berhati-hati. Tetapi Paksi tidak segera melihat seseorang. Karena itu,
maka iapun bergerak semakin maju. Bahkan Wijangpun telah
berdiri pula di depan pintu.
Namun mereka memang tidak melihat seorang pun.
Keduanya menjadi semakin berhati-hati. Ruangan
gubuknya tidak terlalu luas. Tidak ada dinding penyekat.
Karena itu, jika ada orang di dalamnya, maka satu-satunya
tempat untuk melindungi dirinya adalah justru melekat dinding
di sebelah menyebelah pintu.
Karena itu, maka keduanya tidak langsung meloncat
memasuki gubuk itu. Tetapi sekali lagi Wijang bertanya,
"Siapa yang ada di dalam?"
Masih tetap tidak ada jawaban. Karena itu, maka
Wijangpun kemudian memberi isyarat kepada Paksi untuk
berhati-hati. Namun Paksipun kemudian berkata, "Dinding ini tidak
terlalu rapat, jika ada orang yang bersembunyi di dalamnya
dan berada di sebelah-menyebelah pintu, maka bayangannya
akan nampak dari luar karena lampu minyak itu ada di sudut
sebelah dalam." "Ya. Aku juga sudah memikirkannya. Tetapi aku tidak
mengerti bahwa kedua orang itu begitu saja hilang."
"Memang aneh," desis Paksi.
Namun demikian, Wijang masih tetap berhati-hati. Ia masih
juga berkata, "Jika ada orang di dalam, kami ingin berbicara."
Tetapi masih tetap tidak ada jawaban. Karena itu, maka
Wijangpun memberi isyarat kepada Paksi untuk bersiap-siap.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang akan memasuki rumah itu. Sementara Paksi harus
tetap berada di luar. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Wijangpun telah
meloncat masuk. Dengan cepat ia berguling dan melenting
berdiri sambil mempersiapkan kedua pisaunya, sementara
Paksi melangkah berdiri di ambang pintu dengan tongkatnya
yang siap terayun. Tetapi ternyata rumah itu memang kosong. Tidak ada
seorang pun di dalamnya. Wijang dan Paksi yang kemudian melangkah masuk berdiri
termangu-mangu. Mereka melihat isi rumah itu berserakan.
Mereka memang sudah mengira bahwa Ajag Pinunjung akan
mencari cincin di dalam rumah itu. Namun bahwa kedua orang
itu tidak ada di dalamnya, benar-benar membuat keduanya
heran dan bahkan bingung.
"Apakah mereka penunggu Gunung Merapi," desis Paksi.
Wijang tidak menyahut Tetapi keningnya nampak berkerut.
Untuk beberapa saat keduanya termangu-mangu. Namun
agaknya keduanya tidak menyerah. Keduanya telah meneliti
dinding gubuk itu dari sudut sampai ke sudut. Tetapi seekor
kucing pun tidak akan dapat masuk dan keluar.
Namun ketika Wijang menyentuh dinding pada sudut gubuk
itu, iapun tertegun. Sambil menarik nafas dalam-dalam
Wijangpun berkata, "Ternyata kitalah yang terlalu bodoh."
Paksi tertegun sejenak. Namun kemudian iapun melangkah
mendekat. Sementara itu Wijang menunjuk dinding pada
sudut gubuknya itu. "Kenapa?" bertanya Paksi.
"Lihatlah sendiri," jawab Wijang.
Paksipun kemudian menyentuh dinding itu pula.
Paksi kemudian menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
dalam ia berkata, "Ya. Kitalah yang dungu."
Wijangpun kemudian mendorong dinding itu sehingga
terbuka lebar dan cukup untuk menyusup seseorang.
"Mereka keluar dan masuk lewat sudut dinding ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanyapun kemudian telah duduk di dalam gubuk itu.
Sambil memandangi barang-barangnya yang berserakan,
Paksi berkata, "Aku tidak akan mengaturnya lagi."
"Kenapa?" bertanya Wijang.
"Aku menjadi semakin mantap untuk meninggalkan tempat
ini. Bukannya karena aku menjadi ketakutan. Tetapi Pangeran
Benawa itu harus dijauhkan dari keadaan seperti ini."
"Kenapa dengan Pangeran Benawa?"
"Persoalannya akan dapat beralih. Jika gubuk ini kemudian menarik perhatian banyak orang, maka kita akan diributkan
oleh hal-hal yang tidak kita inginkan."
Wijang tertawa. Katanya, "Aku mengerti. Mungkin pada
suatu saat ada orang yang menduga bahwa Pangeran Benawa
itu ada disini. Bahkan mungkin paman Harya Wisaka. Paman
tentu juga menduga bahwa cincin itu ada di sekitar tempat ini, sementara disini ada orang yang diselubungi rahasia."
Paksi mengangguk-angguk kecil.
Namun Wijang itupun kemudian berkata, "Namun kitalah
sekarang yang dihadapkan pada sebuah teka-teki. Siapakah
kedua orang yang telah berada di dalam gubuk ini pada saat
kita meninggalkannya. Aku menjadi malu kepada mereka."
"Kenapa malu?" bertanya Paksi.
"Bukankah kita telah melarikan diri dan bersembunyi di
gumuk itu" Merekapun tentu melihat, bagaimana kita menjadi
ketakutan untuk memasuki gubuk ini. Bahkan sekarang pun
mereka tentu masih berada di sekitar kita."
Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya,
"Tidak. Kita tidak perlu malu. Bukankah seorang prajurit
sekalipun akan membuat perhitungan jika mereka akan maju
berperang" Dua orang prajurit tidak akan menyerang begitu
saja sebuah pasukan yang terdiri lebih dari sepuluh orang.
Apalagi dipimpin oleh seorang senapati yang mumpuni."
Wijang mengangguk-angguk. Sementara Paksi berkata
selanjutnya, "Dasar perhitungan itulah yang membuat
seseorang mengatasi kesulitan-kesulitannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau benar. Kau akan menjadi seorang senapati yang baik.
Lebih baik dari ayahmu."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba saja ia
berdesis, "Doakan saja. Mudah-mudahan ada seorang
pangeran yang mengangkat aku menjadi seorang senapati
kelak." Wijang tertawa berkepanjangan. Katanya, "Jika ada orang
yang bersedia menempatkan kau pada kedudukan itu, apakah
kau bersedia memberikan gajimu selama setahun
kepadanya?" "Jangankan setahun," berkata Paksi. Namun katanya
kemudian, "Orang-orang yang demikian tentu cepat menjadi
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaya." "Ya, meskipun menghisap darah sesamanya," sahut
Wijang. "Tetapi jangan terkejut jika kau pada suatu saat
menjumpai orang yang benar-benar berbuat demikian."
Paksi terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba Wijangpun bertanya,
"Menurut pendapatmu, siapakah mereka berdua?"
Paksi merenung sejenak. Katanya, "Aku hanya mengenal
dua orang yang pernah datang kemari."
"Ki Marta Brewok," desis Wijang.
"Ya. Dan seorang lagi yang pernah datang mencobaiku."
Wijang mengangguk. Katanya, "Aku setuju."
Namun tiba-tiba saja Paksi bertanya, "Siapakah sebenarnya mereka itu?"
"Bagaimana aku tahu?" jawab Wijang. Namun katanya
kemudian, "Tetapi pada saatnya kita akan mengetahuinya."
"Ya. Pada suatu saat."
Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
tertawa, "Jadi, aku harus menjawab bagaimana?" Paksi tidak menjawab.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Namun
kemudian Wijang itupun bertanya, "Apakah kita akan tidur di ujung malam" Kita masih mempunyai sedikit waktu tersisa
sebelum fajar menyingsing."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika kita mencoba tidur, maka kita hanya akan menjadi
pening, karena sesaat kemudian kita harus sudah bangun lagi.
Karena itu lebih baik kita tidak tidur. Aku akan mandi."
"Jangan berendam. Semalam kita tidak tidur. Jika kita
berendam terlalu lama, kita akan menjadi kedinginan."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Untuk terakhir
kalinya kita mandi disini."
Wijang menarik nafas. Katanya, "Ya. Untuk terakhir
kalinya." Demikianlah, maka keduanyapun telah mandi dan berbenah
diri. Ketika kemudian matahari terbit, maka keduanya telah siap
untuk meninggalkan gubuk yang telah dihuni oleh Paksi lebih
dari setahun itu. Namun ketika Paksi melihat barang-barangnya berserakan,
rasa-rasanya memang menjadi iba. Karena itu, maka katanya,
"Tunggu. Aku tidak dapat meninggalkan gubukku dalam
keadaan berserakan seperti ini."
Wijang tersenyum. Namun iapun kemudian ikut membantu
membenahi barang-barang yang berserakan itu.
Baru ketika matahari sepenggalah, mereka selesai. Namun
Paksi masih juga ingin melihat-lihat tanaman-tanamannya
yang tumbuh subur, yang memang harus ditinggalkannya.
Baru sejenak kemudian, maka kedua orang itu benar-benar
telah melangkah meninggalkan gubuk itu. Paksi membawa
tongkatnya. Tetapi karena tongkat itu adalah tongkat kayu,
maka tongkat itu tidak menarik perhatian.
Kedua orang itupun melangkah menuruni kaki Gunung
Merapi. Mereka mengikuti jalan setapak. Kemudian menelusuri
jalan yang lebih besar. Tetapi mereka tidak akan singgah di
pasar berdua. Hanya Paksi yang akan melihat keadaan di
pasar, sementara Wijang akan menunggu di tempat yang agak
terlindung. Namun Paksi tidak menjumpai orang-orang yang dikenal
atau dimengerti. Paksi itu berjalan seperti biasa. Tidak ada
hal-hal yang menarik perhatian. Kinong masih juga berlari-lari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan keranjang kecilnya. Agaknya ia sudah mendapat
beberapa keping uang sehingga ia dapat membeli makan
paginya. Wajahnya sudah nampak cerah ketika ia bertemu
dengan Paksi. "He, kau nampak gembira hari ini," sapa Paksi.
"Kami mendapat banyak rejeki pagi ini."
"Sukurlah. Mudah-mudahan tidak hanya hari ini."
"Kakang membawa tongkat," desis Kinong.
Paksi tertawa. Katanya, "Aku sering bertemu dengan anjing hutan yang berkeliaran sampai ke padukuhan-padukuhan. Aku
takut terhadap anjing. Jangankan anjing hutan. Kepada anjing
di padukuhan-padukuhan itupun aku takut."
"Tetapi biasanya Kakang tidak membawa tongkat," berkata Kinong.
"Aku akan pergi ke rumah pamanku. Rumahnya agak jauh,
sehingga aku harus berjalan melalui lorong sempit di pinggir
padang perdu. Di gerumbul-gerumbul dan semak-semak hidup
banyak anjing hutan."
"Bukankah anjing hutan itu sangat berbahaya, Kakang.
Menurut orang-orang tua, anjing hutan itu hidupnya
bergerombol-gerombol."
"Ya itulah sebabnya aku membawa tongkat."
Kinong tidak bertanya lagi. Namun Paksilah yang kemudian
berkata, "Karena aku akan pergi ke rumah paman, maka
mungkin untuk waktu yang agak lama aku tidak akan
mengunjungi pasar ini."
Kinong mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya,
"Tetapi bukankah kelak Kakang akan datang lagi ke pasar ini?"
"Ya. Jika aku sudah pulang dari rumah pamanku, maka aku
tentu akan sering datang ke pasar ini lagi."
Kinong mengangguk-angguk. Katanya, "Pasar ini semakin
menakutkan." "Kenapa?" "Kadang-kadang ada orang-orang yang berkeliaran dengan
membawa senjata. Kadang-kadang ada di antara mereka yang
mengambil barang-barang di pasar ini tanpa membayar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan kadang-kadang barang-barang yang berharga.
Sementara itu, Uwa Reja, orang yang diserahi tanggung-jawab
atas pasar ini, tidak berani mengambil tindakan apa-apa."
"Apakah hal seperti itu sering terjadi?"
"Sering, Kakang. Aku sendiri memang tidak penuh
dirugikan. Tetapi jika karena ketakutan pada suatu saat pasar
ini ditutup, maka aku tidak akan dapat mencari makan lagi
disini." "Ah," desah Paksi, "sumber pekerjaan tidak hanya di pasar ini. Dimana-mana ada kerja. Mungkin kau dapat membantu
bekerja di sawah atau pekerjaan-pekerjaan lain."
"Sawah siapa" Ayah sudah tidak mempunyai sawah lagi.
Semuanya sudah habis untuk judi. Yang tinggal hanyalah isteri
dan anak-anaknya. Aku benci kepada ayah."
"Jangan begitu, Kinong. Kau tidak boleh benci kepada
ayahmu. Kau harus menghormatinya. Tanpa ayahmu kau tidak
akan pernah ada di bumi ini."
"Ibu juga berkata begitu, Kang. Tetapi aku lebih baik tidak mempunyai seorang ayah daripada ayah yang satu itu."
"Kau tidak dapat memilih seorang ayah, Kinong. Baikbaiklah terhadap ayahmu, apapun yang dilakukannya.
Berdoalah agar pada suatu saat ayahmu dapat berubah."
Kinong terdiam. Sementara itu, Paksipun bertanya, "Tetapi bukankah hari
ini tidak ada orang-orang yang menakutkan itu?"
"Tidak, Kakang."
"Kemarin" Juga tidak?"
Kinong mengingat-ingat. Katanya, "Bukankah kemarin
Kakang juga ada di pasar ini?" "Ya."
"Ya. Kemarin juga tidak ada."
"Nah, mudah-mudahan orang-orang itu tidak datang lagi
kemari. Bukan hanya kemarin dan sekarang. Tetapi juga
besok, besok lusa dan seterusnya."
"Mudah-mudahan, Kakang," jawab Kinong.
Paksi mengusap kepala Kinong. Kemudian iapun mengambil
beberapa keping uang dan diberikannya kepada Kinong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kinong terkejut. Tetapi sebelum Kinong bertanya, Paksi
sudah mendahuluinya berkata, "Jangan bertanya apa-apa. Kau dapat menambah tabunganmu dengan uang itu. Bukankah
kau masih menabung?"
"Ya, Kakang," Kinong mengangguk.
"Baiklah. Aku minta diri. Katakan kepada biyungmu, bahwa
aku akan pergi untuk beberapa pekan."
Kinong mengangguk. Namun kemudian Paksipun berkata, "Nah, itu ada orang
memanggilmu. Mudah-mudahan rejeki banyak, Kinong."
"Terima-kasih, Kakang. Terima-kasih."
Kinongpun kemudian berlari meninggalkan Paksi yang
termangu-mangu. Dalam pada itu, Paksipun sempat singgah pada penjual
nasi tumpang, penjual dawet, pande besi dan orang-orang
yang dikenalnya yang lain. Penjual garam dan ikan yang
diasinkan sempat bertanya, "Kau akan pergi kemana, cah
bagus." "Menengok pamanku, Bibi. Agak jauh."
"Kau akan kembali, kan?"
"Ya, Bibi." "Aku sudah terlanjur berkata kepada anak gadisku, bahwa
kau akan aku ambil menantu."
"Ah, Bibi ini ada-ada saja. Aku kan tidak dapat berbuat apa-apa. Selain itu juga tidak punya apa-apa kecuali tongkat ini."
"Kau anak yang baik, Ngger. Kalau kau menjadi
menantuku, kau dapat membantu berjualan di pasar. Aku
tidak harus mencari tenaga untuk mengusung garam, ikan
asin dan barang-barang dagangan yang lain."
Paksi tertawa. Katanya, "Bibi dapat mengambil menantu
seorang anak muda yang lebih baik dari aku. Apalagi anak
gadis Bibi itu adalah gadis yang cantik. Bukankah gadis itu
yang sering ikut berjualan disini?"
"Ya. Anak gadisku sering ikut membantu aku berjualan
disini. Hampir setiap hari pasaran ia ada disini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sampaikan salamku kepadanya, Bibi. Tetapi aku tidak
pantas untuk menjadi jodohnya."
"Kau terlalu merendah," berkata penjual garam dan ikan asin itu.
Namun Paksipun kemudian telah mohon diri.
"Kau akan pergi ke mana, anak muda?" bertanya penjual empon-empon di sebelah penjual garam itu.
Seperti kepada yang lain, Paksipun minta diri pula kepada
penjual empon-empon dan reramuan jamu itu.
Namun perempuan penjual jamu itu kemudian berbisik,
"He, kau tahu gadis yang mana anak penjual garam itu?"
"Yang sering ikut berjualan disini itu, kan."
"Ada dua orang gadis yang sering membantu berjualan di
pasar ini." Paksi termangu-mangu. Sementara penjual empon-empon
itu berbisik, "Anaknya bukan yang langsing dan cantik itu. Itu adalah kemenakannya."
"Jadi?" "Yang seorang lagi."
"Ah." "Untung kau belum menyatakan kesediaanmu menjadi
menantunya. Ditambah lagi, gadis itu angkuhnya bukan main.
Manja dan tidak tahu diri. Ia memang merasa cantik sekali,
sebagaimana ibunya menilainya."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Untunglah aku
belum dengan serta-merta menyatakan kesediaanku."
Penjual empon-empon itu tertawa. Namun tiba-tiba saja
penjual garam itu berteriak, "Apa yang kau tertawakan?"
Penjual empon-empon itupun berteriak pula, "Anak ini tidak mau makan kencur. Padahal hampir semua orang suka beras
kencur." Penjual garam itu mengerutkan dahinya. Namun iapun
kemudian tidak menghiraukannya lagi.
Sejenak kemudian, maka Paksipun telah meninggalkan
pasar itu. Wijang tentu sudah mulai memberengut, karena ia
terlalu lama berada di dalam pasar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka Paksipun kemudian dengan tergesa-gesa
melangkah meninggalkan gerbang pasar.
Ketika Paksi keluar dari kesibukan orang-orang yang ada di
depan pasar itu, maka ia merasa seseorang sedang
mengikutinya. Tidak jauh di belakangnya. Jika ia berjalan
cepat, orang itu juga berjalan cepat. Jika ia memperlambat
langkahnya, maka orang itupun berjalan lambat.
Karena itu, Paksi tidak mau berteka-teki lebih lama. Tibatiba saja ia menepi, berhenti dan berbalik.
Paksi menarik napas dalam-dalam. Yang mengikuti
beberapa langkah di belakangnya adalah Wijang.
"Kau," desis Paksi.
Wijang berhenti selangkah di hadapan Paksi. Katanya, "Kau menghukum aku di bawah pohon duwet itu. Aku menunggu
sambil duduk membelakangi jalan agar wajahku tidak dilihat
orang lewat. Tetapi nampaknya kau tertidur di pasar."
Paksi tersenyum. Katanya, "Jangan marah. Aku melihatlihat seisi pasar itu. Aku tidak ingin ada yang terlampaui,
justru orang-orang yang seharusnya mendapat perhatian
kita. Selebihnya, aku bertemu dengan Kinong dan penjual nasi
tumpang." "Kau makan nasi tumpang?"
"Tidak. Aku hanya memberitahukan kepada Kinong bahwa
untuk beberapa pekan aku tidak akan datang ke pasar ini."
"Aku menunggu sampai tertidur."
"Nah, sekarang kita lanjutkan perjalanan."
"Kau harus singgah dan berhenti sebentar di bawah pohon
duwet itu." "Baiklah," jawab Paksi.
Keduanyapun kemudian melanjutkan langkah mereka.
Keduanya memang berhenti sejenak di bawah pohon duwet
itu. "Duduklah," berkata Wijang.
Paksipun kemudian telah duduk di bawah pohon duwet itu.
"Letakkan tongkatmu, agar tidak menarik perhatian orang
yang akan lewat." Paksipun meletakkan tongkatnya di sisinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijangpun kemudian menggamit Paksi sambil berkata,
"Aku menduga bahwa orang itu akan kembali melalui jalan
ini." "Orang yang mana?" bertanya Paksi.
Wijang tidak menyahut. Namun ketika Paksi memandang
ke arah pandangan Wijang, maka agak jauh dari tempat
mereka duduk, nampak kedai yang berada di ujung jajaran
kedai di depan pasar itu.
Dengan mempertajam penglihatannya, maka Paksi dapat
melihat dengan jelas kedai itu.
"Siapakah yang berada di kedai itu?"
"Dua orang yang tentu dari lingkungan perguruan yang
mengadakan pertemuan itu."
"Apakah kau tidak mengenal ciri-cirinya?" bertanya Paksi.
"Bukan hanya ciri-cirinya. Tetapi aku mengenali kedua
orang itu." "Siapa?" bertanya Paksi. "Kau tentu juga mengenalnya."
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak bertanya
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih jauh. Ia tinggal menunggu saja kedua orang itu keluar
dari kedai itu berjalan lewat jalan di depan mereka.
Namun keduanya terkejut ketika tiba-tiba saja mereka
melihat seseorang terlempar dari kedai itu. Kemudian seorang
lagi terbanting jatuh dan tidak segera dapat bangkit berdiri.
"Apa yang terjadi?" bertanya Paksi.
Beberapa orangpun segera berlari-larian. Beberapa orang di
antaranya berlari-lari di jalan di depan Paksi dan Wijang itu
duduk menunggu. "Suasana menjadi buruk," desis Wijang.
"Nampaknya memang demikian."
"Agaknya kitapun lebih baik menyingkir."
Demikianlah, maka Paksi dan Wijangpun ikut pula bersama
orang-orang yang melarikan diri dan bersembunyi di celahcelah tanaman pepohonan perdu di tanggul parit atau
meloncat memasuki halaman rumah sebelah-menyebelah
yang dinding halamannya tidak terlalu tinggi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi dan Wijangpun ikut meloncati dinding halaman dan
bersembunyi di balik tanaman yang ada di dalamnya.
Beberapa saat mereka menunggu. Suasananya dicengkam
oleh keheningan yang tegang.
Dalam pada itu, pendengaran Paksi dan Wijang yang
tajampun sudah mendengar langkah dua orang yang
menyelusuri jalan di sebelah dinding itu. Langkah dua orang
perempuan. Bahkan merekapun mendengar salah seorang di
antara kedua perempuan itu berkata, "Tangan yang usil itu seharusnya dipotong saja."
"Kenapa tidak kau lakukan?"
"Orang itu sudah mau memberi keterangan tentang Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung yang kemarin juga berada
di pasar ini. Aku hargai keterangannya, sehingga aku tidak
memotong tangannya."
"Ia salah mengerti. Pernyataan terima-kasihmu dikiranya
mempunyai ungkapan yang lebih dalam dari pernyataan
terima-kasih biasa."
"Orang itu memang gila. Seandainya ia tidak mau berbicara sebelumnya tentang sepasang suami isteri yang ciri-cirinya
seperti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
-ooo00dw00ooo- Jilid 10 "YA, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung dalam
ujudnya sebagai seorang ayah dan ibu yang baik."
"Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga gila."
Terdengar suara tertawa seorang perempuan. Namun
kemudian orang yang tertawa itu bertanya, "Nah, apakah kau yakin bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak
pergi ke Panjatan." "Aku yakin." "Jadi mereka akan pergi ke mana?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Darimana aku tahu. Kita tidak terikat untuk menemukan
mereka. Bukankah kita mencari Pangeran Benawa" Kita hanya
menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan pengikut
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
"Kita pergi ke Panjatan. Kita cari Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung. Jika keduanya tidak ada disana, kita akan
memaksa orang-orangnya untuk menunjukkan di mana
mereka menyimpan Pangeran Benawa."
"Jangan tergesa-gesa. Dalam keadaan seperti ini,
sebaiknya kita tidak membuka permusuhan. Kecuali dalam
keadaan terpaksa." "Jadi apa yang harus kita lakukan?"
"Jangan memaksa diri untuk menemukan jawabnya
sekarang juga. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk
berpikir." "Lalu kita kemana?"
"Ke Panjatan." Kemudian mereka terdiam. Langkah mereka sudah menjadi
semakin jauh. Ketika kemudian Paksi dan Wijang menjengukkan kepala
mereka, mereka tinggal melihat punggungnya saja. Dua orang
perempuan dengan mengenakan pakaian sebagaimana
kebanyakan perempuan justru pada saat-saat mereka pergi
mengunjungi sebuah perhelatan.
Namun, meskipun dari belakang, keduanya langsung dapat
menerka, bahwa keduanya adalah Nyi Melaya Werdi dan Nyi
Megar Permati. Dua orang perempuan yang cantik namun
yang sekaligus garang seperti serigala betina.
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jika kemarin
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengenakan
pakaian rapi sebagaimana seorang suami isteri dari keluarga
yang baik, maka sekarang Melaya Werdi dan Megar Permati
juga mengenakan pakaian sebagaimana perempuan yang
akan pergi ke perhelatan."
"Suasananya berubah," berkata Paksi. "Mereka nampaknya sudah bersiap-siap untuk meninggalkan lingkungan ini. Mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak lagi mencari cincin itu disini. Tetapi mereka akan mencari Pangeran Benawa yang dapat berkeliaran sampai kemana-mana."
"Satu permulaan dari sebuah malapetaka," desis Wijang
"Sebuah tantangan."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mereka akan
pergi ke Panjatan. Jika kau memperhitungkan bahwa Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung tidak kembali ke Panjatan,
maka kedua perempuan iblis itu akan dapat
menghancurkan padukuhan itu untuk mencari Pangeran
Benawa." "Bukankah mereka tidak ingin membuka permusuhan?"
desis Paksi. "Masih ada kecualinya. Kecuali jika tidak dalam keadaan
terpaksa." "Tetapi aku kira, dua orang itu tidak akan melakukan
kekerasan. Bukankah di Panjatan banyak sekali pengikut
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?"
Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, aku kira Nyi
Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati tidak sedang mabuk
sehingga mereka akan membuka benturan kekerasan. Menilik
cara mereka berpakaian, mereka memang tidak sedang
mencari perkara." Keduanyapun terdiam. Namun kemudian Wijang berkata,
"Marilah kita lihat orang-orang yang terpelanting itu."
Paksi dan Wijangpun kemudian telah pergi ke kedai di
ujung dari jajaran kedai di depan pasar. Mereka melihat dua
orang yang nampak kesakitan duduk di dalam kedai. Beberapa
orang masih berkerumun di luar kedai itu.
"Sudahlah, pergilah," teriak pemilik kedai itu. "Jika kedua perempuan itu kembali, maka kalian akan mengalami
sebagaimana dialami oleh kedua orang ini."
Beberapa orang memang segera pergi. Paksi dan
Wijangpun kemudian mencoba bertanya kepada mereka apa
yang telah terjadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Salah mereka sendiri," berkata seorang yang berkumis tipis. "Keduanya mencoba mengganggu kedua orang
perempuan itu. Bahkan mereka mencoba untuk
menyentuhnya." "Lalu, apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan
itu?" bertanya Wijang.
"Entahlah, apa yang dilakukan oleh kedua orang
perempuan itu. Yang aku lihat, keduanya telah terlempar dan
terbanting jatuh. Nampaknya yang seorang agak parah.
Mudah-mudahan punggungnya tidak patah."
Paksi dan Wijang mengangguk-angguk kecil. Namun
kemudian Wijang itupun berdesis, "Terima kasih. Aku lebih baik pergi saja. Lebih baik untuk selamanya tidak bertemu
dengan perempuan segarang itu."
Wijangpun kemudian telah mengajak Paksi meninggalkan
tempat itu. Sementara masih ada satu dua orang yang berdiri
di luar kedai itu. Di dalam kedai itu, dua orang masih saja
nampak kesakitan duduk sambil menyeringai.
"Kita kemana sekarang?" bertanya Paksi.
"Rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Panjatan," jawab Wijang.
"Sekarang?" "Tentu tidak. Kita akan dapat bertemu dengan Nyi Melaya
dan Nyi Megar Merpati. Sebaiknya kita masih harus
menghindari benturan kekerasan dengan mereka. Juga
dengan pemimpin-pemimpin perguruan yang lain."
"Jadi?" bertanya Paksi.
"Nanti siang kita pergi ke Panjatan."
"Jadi kemana kita selama menunggu siang?"
"Berkeliaran atau mencari tempat untuk berbaring sambil
merenungi nasib." Paksi menarik nafas panjang. Ia mengerti, bahwa Wijang
akan mengunjungi Panjatan, setelah Melaya Werdi dan Megar
Permati meninggalkan padukuhan itu. Dengan demikian, maka
keduanyapun telah pergi ke sebuah belik kecil di pinggir
sebuah sungai. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita sempat mencuci pakaian."
Di tempat yang nampaknya memang sepi itu, keduanya
menyempatkan diri untuk mencuci baju dan kain panjang
mereka. Kemudian menjemurnya di atas sebuah batu besar.
Sinar matahari yang panas telah menghisap air yang
melekat pada pakaian itu sehingga dengan cepat menjadi
kering. Baru lewat tengah hari keduanya bersiap untuk
melanjutkan perjalanan menuju ke Panjatan.
Keduanya berharap bahwa Melaya Werdi dan Megar
Merpati telah meninggalkan padukuhan itu.
"Kita tidak akan membuat keributan, kecuali jika terpaksa.
Mungkin kita bertemu dengan kedua perempuan itu, tetapi
mungkin para pengikut Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung. Atau bahkan Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung sendiri yang ada di padukuhan itu," berkata
Wijang. Paksi hanya mengangguk-angguk saja.
Demikianlah, maka keduanyapun melangkah terus menuju
ke Panjatan. Meskipun jantung mereka menjadi berdebardebar, tetapi mereka berketetapan hati untuk pergi ke
padukuhan itu. Debar di jantung mereka itu telah membuat mereka lebih
banyak diam. Apalagi ketika mereka sudah melihat pintu
gerbang padukuhan. Wijang memandang padukuhan itu dari
ujung sampai ke ujung sambil berdesis, "Hati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam padukuhan itu.
Mungkin Melaya Werdi dan Megar Permati. Mungkin Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung."
Paksi mengangguk-angguk, dipeganginya tongkatnya eraterat seakan-akan seorang akan merebut dari tangannya.
Ketika mereka sampai ke pintu gerbang padukuhan,
mereka berhenti sejenak untuk mengamati suasana. Tetapi
rasa-rasanya suasana di padukuhan itu tetap tenang. Tidak
terjadi pergolakan apapun yang dapat menggoncang
ketentraman padukuhan itu. Mereka masih mendengar suara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang menumbuk padi. Mereka masih mendengar teriak anakanak yang sedang bermain meskipun matahari mulai
melayang di belahan langit sebelah barat.
Ampat orang anak tengah bermain benthik di tengahtengah jalan padukuhan. Wijang dan Paksi memang merasa ragu. Namun kemudian
merekapun melangkah memasuki padukuhan itu.
Anak-anak yang bermain benthik itu terhenti sejenak,
merekapun menepi, memberi jalan kepada Wijang dan Paksi.
Demikian Wijang dan Paksi lewat, maka anak-anak itu
segera mulai bermain lagi. Tidak ada kesan apapun kepada
keempat anak itu terhadap orang-orang yang dianggap asing
di padukuhan itu Ketika mereka melangkah semakin dalam, maka mereka
berpapasan dengan laki-laki muda yang membawa
sekeranjang rumput di atas kepalanya. Tetapi laki-laki itupun
tidak menghiraukan Wijang dan Paksi yang termangu-mangu.
"Apa sebenarnya yang ada di padukuhan itu?" desis Paksi.
"Tanggapan orang-orang padukuhan ini terhadap orang
yang mereka anggap asing telah berubah sama sekali," sahut Wijang.
"Ya. Mereka tidak segarang saat kita memasuki padukuhan
ini untuk pertama kali."
"Apakah padukuhan ini memang berubah, atau kita yang
berubah," gumam Wijang kemudian.
Paksi mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menyahut.
Sebenarnyalah ketika keduanya berjalan di sepanjang jalan
padukuhan, maka orang-orang yang berpapasan sama sekali
tidak menghiraukan mereka. Sama seperti padukuhanpadukuhan yang lain. Tidak ada kecurigaan. Tidak ada sikap
permusuhan. "Aneh," desis Paksi.
Namun Wijangpun kemudian berdesis, "Aku dapat
menduga sebabnya. Hanya menduga. Aku tidak tahu, apakah
dugaanku ini benar atau salah."
"Apa?" bertanya Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Orang-orang padukuhan ini menjadi garang jika Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung ada disini. Tetapi jika
keduanya pergi, maka sikap merekapun kembali ke dalam
kewajaran sikap dan kepribadian mereka masing-masing.
Mungkin masih ada yang garang, tetapi pada umumnya
mereka akan melepaskan segala kecurigaan karena mereka
tidak sedang melindungi keselamatan dua orang yang mereka
anggap sangat penting," berkata Wijang dengan ragu.
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Agaknya
memang demikian. Kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak ada di
padukuhan ini sekarang."
Untuk beberapa lama keduanya berjalan di jalan di
sepanjang jalan padukuhan. Mereka memang tidak merasakan
suasana yang lain dari suasana di kebanyakan padukuhan.
Dengan demikian merekapun berkesimpulan bahwa kehadiran
Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati di padukuhan itu
juga tidak menimbulkan gejolak.
Ketika keduanya bertemu dengan tiga orang remaja yang
memanggul sebatang bambu, maka Wijangpun bertanya, "Adi,
apakah kau melihat kedua orang bibiku yang tadi berkunjung
kemari?" Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak,
sementara Wijang menjelaskan, "Bibiku merencanakan untuk
mengunjungi padukuhan ini. Apakah kalian melihatnya?"
"Dua orang perempuan dengan pakaian bagus," bertanya salah seorang dari ketiga orang remaja itu.
"Ya," Paksi menyahut dengan serta-merta.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku melihat mereka tadi."
"Dimana?" "Nampaknya mereka telah pergi." Wijang menganggukangguk. Katanya, "Terima kasih."
Ketiga orang remaja itu termangu-mangu sejenak.
Sementara Wijang mengusap kepala salah seorang dari
mereka sambil bertanya, "Untuk apa bambu itu?"
"Kami sedang membuat egrang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O, hati-hati bermain egrang. Jika ujung jari kakimu
terinjak, maka kukunya akan dapat terlepas."
"Ah, tidak pernah ada di antara kami yang menginjak kaki
kawannya," jawab seorang di antara mereka.
Wijang tertawa. Katanya, "Mudah-mudahan memang tidak
akan mudah terjadi."
Ketiga orang remaja itu termangu-mangu. Sementara
Wijangpun berkata, "Kami minta diri. Kami sedang mencari
bibi kami." Ketiganya mengangguk kecil. Tetapi mereka tidak
menjawab. Wijang dan Paksipun kemudian meninggalkan padukuhan
itu. Mereka berkesimpulan, bahwa Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung memang sedang tidak berada di padukuhan
itu. "Sekarang, kita akan pergi kemana?" bertanya Paksi.
"Bukankah kita tidak mempunyai tujuan" Kita berjalan saja ke selatan, menuruni kaki Gunung Merapi. Mungkin kita akan
sempat melihat-lihat keadaan Alas Mentaok. Satu daerah yang
luas yang dijanjikan akan diberikan kepada Ki Ageng
Pemanahan oleh ayahanda Sultan."
"Menarik sekali," Paksi mengangguk-angguk.
"Mendahului Ki Ageng Pemanahan, kita akan melihat-lihat
isi dari Alas Mentaok. Pada suatu saat, Ki Gede Pemanahan
dan barangkali juga Kakangmas Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar, akan membuka hutan yang masih gelap
itu." "Satu kerja yang sangat berat," desis Paksi.
"Ki Penjawi mendapat bagian yang lebih baik," desis
Wijang. Paksi mengangguk-angguk, sementara Wijang berkata,
"Pati sudah lebih dahulu menjadi ramai."
"Kapan kita melihat Pati?" bertanya Paksi.
Wijang menarik nafas panjang. Katanya, "Aku tidak ingin
pergi ke Pati. Ada beberapa orang Pajang yang ikut Ki Penjawi
ke Pati. Ada di antara mereka yang akan dengan mudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengenali aku, meskipun orang-orang itu tidak berniat buruk,
tetapi aku akan kehilangan sesuatu dengan pengenalan itu."
"Seperti Ki Rangga Suraniti yang akan dengan mudah
mengenalmu?" "Ya. Untunglah bahwa aku tidak dengan sengaja
menemuinya. Ternyata ada sesuatu yang perlu mendapat
perhatian khusus pada Ki Rangga Suraniti. Salah seorang
prajurit pilihan yang mendapat banyak kepercayaan itu."
"Wijang," berkata Paksi dengan tiba-tiba, "apakah kita dapat menemui panglima pasukan Pajang di Jati Anom dan
memberikan keterangan tentang Ki Rangga Suraniti?"
"Mereka tidak akan dengan mudah mempercayai kita.
Sementara itu, aku tidak akan dapat melanjutkan
pengembaraan ini. Aku akan ditangkap dan dikembalikan ke
istana." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung.
Namun kemudian iapun bertanya, "Apakah pernah kau pergi
ke Kembang Arum?" Wijang termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar
ceritera Paksi tentang seorang gadis, yang menjadi anak
angkat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.
Dengan nada rendah Wijang itu bertanya, "Apakah kau
berniat untuk menemui gadis itu sekaligus menemui Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung?"
Paksi tersenyum. Katanya, "Tidak. Aku tidak ingin menemui Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Ada kemungkinan
bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung telah pergi ke
Kembang Arum untuk menemui anak gadisnya itu?"
Wijang mengerutkan dahinya. Ia mengingat-ingat ceritera
Paksi tentang gadis yang pernah ditolongnya itu. Dengan ragu
ia bertanya, "Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
tahu bahwa anak gadisnya telah berada di Kembang Arum
bersama pemomongnya yang sebenarnya adalah ibunya
sendiri itu?" Paksipun mengingat-ingat pula. Katanya, "Mungkin Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung belum mengetahuinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis itu meninggalkan rumahnya setelah Repak Rembulung
dan Pupus Rembulung pergi."
"Apakah kau akan mencoba melihatnya" Jika keduanya ada
di Kembang Arum, niat kita akan kita batalkan."
"Bagaimana caranya kita dapat mengetahui bahwa Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung ada di Kembang Arum atau
tidak?" "Jika perlu kita akan mengintai rumah gadis itu sehari
semalam. Jika keduanya ada di rumah itu, maka mereka atau
salah seorang dari mereka tentu akan pernah keluar dan turun
ke halaman selama satu hari satu malam itu."
Paksi tertawa. Namun sebenarnya ia memang ingin pergi
ke Kembang Arum. Menurut perhitungannya, maka Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung akan pulang dahulu ke
rumahnya. Baru ketika ia mengetahui bahwa anaknya tidak
ada, maka ia akan mencarinya. Mungkin ke Kembang Arum.
"Nah, kita ambil saja keputusan. Kita pergi ke Kembang
Arum," berkata Wijang kemudian.
"Baiklah," sahut Paksi kemudian, "aku menurut saja."
Tiba-tiba saja langkah Wijang terhenti, sehingga Paksipun
harus berhenti pula. Dengan nada tinggi Wijang berkata, "Kau harus menjawab. Setuju atau tidak setuju. Bukan hanya
sekedar menurut. Kau harus ikut bertanggung jawab atas
keputusan ini." "Baik, baik, aku setuju sekali."
"Nah, dengan demikian, jika terjadi sesuatu atas diri kita, maka kau tidak dapat membebankan tanggung jawabnya
kepadaku sendiri." "Marilah," berkata Paksi, "tidak usah merajuk seperti itu."
"Bukan sekedar merajuk. Tetapi ada kemungkinan kau
ditangkap oleh Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.
Lebih pahit lagi jika kau ditangkap oleh Nyi Melaya Werdi dan Nyi
Megar Permati yang sedang berusaha mengikuti Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik. Baik. Kita akan mempertanggung-jawabkan
bersama." "Nah, kau tidak akan menyalahkan aku jika kau besok
berada di kerangkeng dalam sarang Nyi Melaya Werdi dan Nyi
Megar Permati." "Nama itu mirip dengan nama pemomong yang sebenarnya
adalah ibu Kemuning itu sendiri." "Siapa namanya?" "Nyi Permati."
"O," Wijang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ada ribuan orang yang mempunyai persamaan nama."
Paksi menarik nafas panjang. Namun kemudian ia berdesis,
"Untunglah bahwa Bahu Langlang tentu akan dilumatkannya
menjadi debu." Wijangpun berdesis, "Itu namanya nyawa Bahu Langlang
cukup liat." Paksipun kemudian terdiam. Merekapun kemudian
melangkah semakin cepat menelusuri jalan yang lengang.
Hanya ada satu dua orang sajalah yang berjalan cepat ke arah
yang berlawanan. Wijang dan Paksipun kemudian telah berketetapan hati
untuk pergi ke Kembang Arum. Mereka berjalan jauh lebih
cepat dibandingkan dengan perjalanan Paksi bersama
Kemuning dan ibunya. Terik matahari yang menyengat membuat mereka menjadi
haus. Meskipun di depan beberapa regol halaman rumah di
padukuhan yang mereka lewati terdapat gentong berisi air
bersih serta sebuah siwur yang tergantung di dinding
halaman, namun keduanya lebih senang untuk singgah barang
sebentar di sebuah kedai.
"Aku tidak saja haus," berkata Wijang, "tetapi aku juga lapar."
"Kita singgah di sebuah kedai di dekat sebuah pasar.
Mungkin pasar itu telah menjadi lengang. Tetapi mudahmudahan masih ada kedai yang membuka pintunya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnyalah keduanya masih menemukan kedai yang
membuka pintunya. Bahkan masih ada dua tiga kedai,
sehingga mereka dapat memilih tempat yang terbaik.
Sesaat kemudian, merekapun telah duduk di dalam kedai.
Ada dua tiga orang yang telah duduk di dalamnya.
"Kita dengarkan, apa yang mereka bicarakan," bisik Wijang.
Paksi mengangguk. Mereka kemudian memesan makanan dan minuman.
Sementara itu mereka berusaha untuk mendengarkan
pembicaraan orang-orang yang telah lebih dahulu berada di
kedai itu. Mungkin ada hal-hal yang menarik perhatian
mereka. Tetapi yang mereka bicarakan adalah persoalan mereka
sendiri. Barang dagangan mereka yang agak sulit untuk
dipisahkan pada saat-saat terakhir karena persaingan menjadi
semakin ketat. Karena itu, maka Wijang dan Paksipun tidak menghiraukan
pembicaraan mereka lagi. Apalagi ketika minuman dan
makanan yang mereka pesan telah dihidangkan.
Namun selagi mereka makan, perhatian mereka telah
tertarik pada seorang laki-laki muda yang berhenti di depan
kedai itu. Tiga orang laki-laki menyertainya. Nampaknya
ketiganya adalah para pengiringnya. Menilik sikapnya, maka
laki-laki muda itu adalah seorang yang mempunyai pengaruh
di lingkungannya. Apalagi ketika penilik kedai itu dengan tergesa-gesa
menyongsongnya. Sambil membungkuk hormat, pemilik kedai itu
mempersilahkan laki-laki muda itu untuk masuk ke dalam
kedainya. Tetapi laki-laki muda itu kemudian bertanya,
"Apakah kedua perempuan itu tidak ada di kedai ini?"
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Dengan dahi yang
berkerut ia bertanya, "Kedua perempuan yang manakah yang
anak muda maksudkan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laki-laki muda itu tidak menyahut. Tetapi diamatinya
bagian dalam kedai itu. Agaknya yang dicarinya memang tidak
ada disitu. "Lihat di kedai yang lain," berkata laki-laki muda itu kepada pengiringnya.
Dua di antara ketiga pengiringnya itupun segera melangkah
meninggalkan laki-laki muda itu, sementara seorang di
antaranya berdiri termangu-mangu di sisinya.
Pemilik kedai itu sekali lagi mempersilahkannya, "Marilah anak muda. Silahkan duduk."
"Diam," laki-laki itu tiba-tiba membentak.
Pemilik kedai itu terkejut. Wijang dan Paksipun terkejut
pula. Laki-laki itu menjadi marah tanpa sebab.
Ketika Wijang dan Paksi sempat berpaling, maka dilihatnya
orang-orang yang sudah lebih dulu di kedai itupun nampak
menjadi gelisah. "Kenapa mereka menjadi seperti melihat hantu?" desis Paksi.
"Sst," Wijang memberi isyarat agar Paksi tidak ribut.
Paksi terdiam. Tetapi ia juga menjadi gelisah, meskipun
alasannya berbeda dengan orang-orang yang sudah lebih
dahulu berada di kedai itu.
Beberapa saat kemudian kedua orang pengiringnya yang
melihat-lihat kedai yang lain itupun kembali. Seorang di antara mereka berkata, "Mereka ada di kedai sebelah."
Laki-laki muda itu tidak mengucapkan sepatah jawabpun.
Tetapi dengan serta-merta ia melangkah ke kedai sebelah.
Pemilik kedai itu menarik nafas dalam-dalam. Demikian
laki-laki muda pengiringnya itu pergi, maka iapun melangkah
kembali masuk ke dalam kedainya.
"Siapakah mereka itu?" tiba-tiba Paksipun bertanya.
Pemilik kedai itu mendekatinya sambil berdesis, "Ki Sanak orang asing disini?"
"Kami hanya kebetulan saja lewat disini," jawab Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Anak
muda itu adalah anak Ki Demang Sekar Turi. Pasar ini terletak
di lingkungan Kademangan Pasar Turi."
"O," Paksi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bergumam
seolah-olah ditujukan pada diri sendiri, "Nampaknya ia
seorang yang sangat dihormati disini."
"Ya. Ia memang sangat dihormati. Kecuali ayahnya seorang
demang yang sangat berpengaruh, anak muda itu sendiri
mempunyai kebiasaan yang membuat orang lain harus
menghormatinya." "Apakah anak muda itu telah berhasil membuat
kademangan ini besar dan sejahtera?" Paksi bertanya.
Wijang yang lebih tua dari Paksi sempat menggamitnya.
Tetapi pertanyaan itu sudah terlanjur dilontarkan.
Pemilik kedai itu sempat memandang orang-orang yang
sudah lebih dahulu berada di kedainya. Sambil menarik nafas
panjang ia berkata, "Ki Demang adalah seorang yang besar."
Pemilik kedai itupun melangkah meninggalkan Paksi yang
agaknya masih ingin bertanya. Tetapi Wijang menggamitnya
sambil berdesis, "Sudah."
Paksi memang berhenti bertanya meskipun gejolak
dadanya masih membayang di kerut keningnya.
Sejenak suasana di kedai itu menjadi lengang. Namun
seorang di antara orang-orang yang sudah lebih dahulu
berada di kedai itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati
Paksi dan kemudian bahwa duduk di sebelahnya.
"Laki-laki itu ditakuti disini," desis orang itu.
"Kenapa?" bertanya Paksi yang semakin tertarik pada laki-laki muda itu.
Wijang menarik nafas panjang. Ia tidak berniat mengetahui
lebih banyak tentang laki-laki muda itu untuk menjaga
perasaan Paksi yang masih muda itu. Tetapi orang itu justru
telah bicara lebih jauh tentang laki-laki itu.
"Justru karena ayahnya seorang demang yang mempunyai
wibawa yang besar, maka anak itu merasa dapat berbuat apa
saja. Yang mencemaskan penghuni kademangan ini adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kesenangannya terhadap gadis-gadis. Bahkan perempuanperempuan yang lebih tua dari laki-laki itu sendiri, sering
diganggunya. Ia tidak peduli apakah perempuan itu sudah
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersuami atau belum."
Dahi Paksi berkerut semakin dalam. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Selama itu tidak ada orang pernah menegurnya" Ki Jagabaya atau Ki Demang itu sendiri?"
"Anak itu manja. Aku sendiri bukan penghuni kademangan
ini. Karena itu, aku dapat berbicara lebih bebas tentang lakilaki muda itu. Tetapi sebenarnya pemilik kedai itupun ingin
berbicara sebagaimana aku katakan ini. Tetapi karena ia
penghuni kademangan ini, maka ia lebih senang berdiam diri."
Orang itu terdiam sejenak. Ketika pemilik kedai itu
memandang orang yang sedang berceritera kepada Paksi itu,
orang itupun tersenyum sambil bertanya, "Bukankah begitu?"
Pemilik kedai itu berpaling sambil berdesis, "Berceritera atau tidak, itu urusanmu."
Orang yang duduk di sebelah Paksi itupun berceritera lebih
lanjut, "Tadi ada dua orang perempuan yang masuk ke dalam kedai sebelah. Dua orang perempuan cantik dengan pakaian
yang rapi dan menarik. Aku tidak tahu, siapakah mereka,
karena agaknya baru kali ini ia singgah disini. Nah agaknya
anak Ki Demang ini atau pengiring-pengiringnya yang sering
mencari muka, melihatnya. Jika tidak ada orang yang
menyelamatkan, kedua perempuan itu akan bernasib malang.
Sementara itu orang sekademangan ini tidak ada yang berani
menentang kehendaknya."
Paksi dan Wijang terkejut mendengar ceritera itu, sehingga
dengan serta-merta di luar sadarnya Wijang bertanya, "Dua orang yang berpakaian rapi seperti orang yang hendak pergi
ke perhelatan perkawinan sahabatnya."
"Ya." Wijang memandang Paksi dengan tegang. Agaknya
Paksipun mengerti bahwa kedua orang perempuan itu adalah
Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika itu benar, maka nasib laki-laki muda itu sudah dapat diramalkan," berkata Wijang dalam hatinya.
Orang yang berceritera itulah kemudian yang kemudian
bertanya, "Kau mengenal kedua perempuan itu?"
Dengan cepat Wijang menjawab, "Tidak. Aku tidak
mengenalnya. Kami hanya melihat sepintas. Kami juga merasa
heran, bahwa dengan pakaian seperti itu, keduanya pergi ke
pasar." "Cara mereka berpakaian dan merias diri memang sangat
menarik perhatian. Ada beberapa kesan yang timbul. Bahkan
ada kesan yang agak buram. Agaknya keduanya sengaja
menarik perhatian." Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah Wijangpun berkata, "Mungkin keduanya memang
orang-orang dari lingkungan orang berada atau berkedudukan
sehingga mereka terbiasa mengenakan pakaian dan rias yang
demikian." "Jika hal itu benar, maka kasihan mereka. Mereka akan
mengalami perlakuan yang paling buruk dari anak Ki Demang
itu." "Tetapi apakah anak itu tidak memikirkan kemungkinan
yang dapat terjadi kemudian. Jika kedua perempuan itu
keluarga seorang senopati prajurit, bukankah itu berarti anak
Ki Demang itu membunuh dirinya betapapun besar pengaruh
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 36 Pedang Dan Kitab Suci Puteri Harum Dan Kaisar Karya Khu Lung Iblis Sungai Telaga 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama