Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 11
Ki Demang di padukuhan ini. Anak Ki Demang itu akan dapat
ditangkap. Jika ia melawan atau ayahnya berusaha
melindunginya, maka para prajurit itu akan dapat
mempergunakan alat-alat kekuasaan mereka."
Orang yang berceritera itu menggeleng. Katanya, "Anak Ki
Demang itu tidak akan sempat berpikir sampai sekian. Tetapi
jika hal itu terjadi, agaknya ada baiknya juga untuk sedikit
memberi pelajaran kepada anak Ki Demang itu. Bahkan
ayahnya sekaligus." Namun di luar sadarnya Paksi berkata, "Sebentar lagi anak itu akan mendapat pelajaran pula."
"He?" orang yang berceritera itu bertanya. "Maksudmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi terkejut sendiri. Namun iapun kemudian menyahut,
"Maksudku, pada suatu saat orang yang demikian itu akan
mendapat hukumannya."
"Ya, pada suatu saat. Tetapi pada suatu saat itu kapan?"
desis orang yang berceritera itu.
Paksi tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi
berdebar-debar. "Jika keduanya itu benar Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar
Permati, maka sebentar lagi anak itu akan mendapat
pelajaran," berkata Paksi dalam hatinya.
Tetapi Paksi tidak berkata apa-apa lagi. Demikian pula
Wijang. Keduanyapun kemudian memusatkan perhatian mereka
terhadap minuman dan makanan mereka.
Orang yang berceritera itupun kemudian bangkit berdiri
demikian kawan-kawan mereka berdiri. Katanya, "Silahkan.
Aku sudah selesai. Kami akan pulang."
Setelah membayar harga makanan dan minumannya, maka
orang itu bersama-sama dengan kawan-kawannya melangkah
menuju ke pintu kedai itu.
Tetapi langkah mereka tertegun. Agaknya di kedai sebelah
telah terjadi keributan. Orang yang telah berceritera kepada Paksi itu berpaling
sambil berdesis, "Nah, perjalanan nasib buruk kedua
perempuan itu sudah dimulai."
Tetapi di luar sadarnya pula Paksi menyahut, "Atau yang
terjadi justru sebaliknya. Anak itu akan mendapat sedikit
pelajaran dari kedua orang perempuan itu."
Orang itu termangu-mangu. Namun kawan-kawannyapun
menggamitnya. Seorang di antara mereka berkata, "Aku tidak berurusan dengan peristiwa apapun yang terjadi disini."
Demikianlah, maka orang-orang itupun melangkah keluar
pintu kedai dan segera turun ke halaman.
Sementara itu, Wijangpun segera memberi isyarat kepada
Paksi untuk keluar pula dari kedai itu dan melihat apa yang
telah terjadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah membayar makanan dan minumannya, maka
Wijang dan Paksipun segera melangkah keluar pula. Demikian
mereka keluar dari pintu kedai, maka mereka melihat
perkelahian yang terjadi di depan kedai sebelah. Dua orang
perempuan melawan ampat orang laki-laki yang garang.
Seorang di antara mereka adalah anak Ki Demang itu.
Tetapi pertempuran itu nampak tidak seimbang. Ampat
laki-laki yang garang itu tidak berdaya menghadapi dua orang
perempuan yang berpakaian bagus sebagaimana perempuanperempuan dari lingkungan orang-orang berada.
Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Anak Ki
Demang itu memang mendapat pelajaran. Tetapi bukan
sekedar saja. Ia benar-benar berada dalam kesulitan. Bersama
dengan pengiringnya ia berusaha mempertahankan diri. Tetapi
perempuan yang dilawannya itu mampu berkelahi dengan
garangnya. Jauh berbeda dengan ujudnya.
Dalam pada itu, beberapa orang penghuni kademangan
yang melihat anak demangnya dihajar habis-habisan
menyaksikan dengan dengan dada yang tegang. Semula
mereka menganggap bahwa peristiwa itu akan sedikit
memberikan peringatan kepadanya. Tetapi lambat laun
mereka menjadi cemas, bahwa anak Ki Demang itu akan
benar-benar dihancurkan oleh perempuan-perempuan yang
asing bagi kademangan itu.
Karena itu, seorang di antara mereka telah berlari ke
serambi samping. Sejenak kemudian, maka terdengar bunyi
kentongan dengan irama titir.
Suasananyapun segera berubah menjadi kacau. Pasar di
depan kedai itu memang sudah menjadi sepi. Tetapi orangorang yang masih tersisa menjadi bingung. Mereka yang
sedang mengemasi barang-barang dagangan mereka yang
tersisa menjadi gelisah dan bahkan ketakutan. Tetapi mereka
yang memiliki keberanian justru mempercepat kerja mereka.
Ternyata dari sudut pasar, suara kentongan itu telah
disahut pula. Seorang petugas yang menjaga ketertiban pasar
telah ikut memukul kentongan dengan irama titir pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu dua orang petugas pasar yang lain, yang
ditunjuk oleh Ki Demang tidak dapat tinggal diam melihat
kesulitan yang dialami oleh anak muda itu, tetapi mereka tidak mau dianggap bersalah karena mereka tidak berbuat apa-apa
ketika terjadi perkelahian di depan pasar. Sedang yang
berkelahi dan kemudian mengalami kesulitan adalah anak Ki
Demang yang mengangkat mereka bekerja di pasar itu.
Dua orang petugas keamanan di pasar itupun segera
menggabungkan diri betapapun jantung mereka bergetar
sejak mereka mendekati arena.
Tetapi kedua orang di pasar itu tidak berarti apa-apa bagi
kedua orang perempuan yang garang itu. Seperti diduga oleh
Wijang dan Paksi, kedua orang perempuan itu adalah Nyi
Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati.
Anak Ki Demang itu benar-benar tidak berdaya. Darah
sudah mengalir dari sela-sela bibirnya. Matanya nampak
menjadi biru. Tulang-tulangnya terasa bagaikan berpatahan.
"Seorang yang telah menyentuh tubuhku dengan
tangannya tanpa aku kehendaki, maka tangan itu harus
dipotong," berkata Megar Permati.
Namun Melaya Werdi bertanya, "Apakah kau tidak
memerlukan anak itu?"
"Buat apa anak lerut seperti itu" Aku tidak hanya akan
memotong tangannya, tetapi aku juga akan memotong
lehernya. Ia terlalu berani menyentuh tubuhku di atas batas
leherku." Seorang pengawal anak Ki Demang yang bertempur
bersama anak Ki Demang itu melawan Megar Permati sama
sekali sudah tidak berdaya. Sementara itu, petugas pasar yang
datang membantunya itu telah terpelanting dan membentur
dinding kedai. Anak demang itu benar-benar menjadi ketakutan.
Namun dalam pada itu, suara kentongan dengan irama titir
itu telah memanggil beberapa orang padukuhan. Bahkan
beberapa orang bebahu. Mereka dengan serta-merta telah
mengepung Melaya Werdi dan Megar Permati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang bebahu dengan serta-merta berteriak, "Hentikan.
Anak muda itu adalah anak Ki Demang."
Anak muda itu terbaring tidak berdaya. Di dekatnya Megar
Permati berdiri sambil bertolak pinggang.
Dengan kakinya ia menyentuh tubuh anak Ki Demang itu
sambil berkata dalam nada tinggi, "O, jadi ini anak Ki Demang.
Dimana Ki Demang itu sekarang?"
Suasana menjadi semakin tegang. Nyi Melaya Werdipun
sudah tidak berkelahi pula. Dua orang pengawal anak Ki
Demang yang berkelahi melawannya ditambah dengan
seorang petugas pasar, telah terbaring diam. Agaknya mereka
menjadi pingsan. Nyi Melaya Werdipun melangkah mendekati adiknya sambil
berkata, "Marilah. Kita tinggalkan tempat ini."
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan anak ini mengganggu
perempuan lagi. Jika perempuan-perempuan itu tidak
berdaya, maka mereka akan menjadi korbannya."
Nyi Melaya Werdi memandang beberapa orang yang datang
berlari-lari dari padukuhan di sekitar pasar. Bahkan dari
padukuhan yang lain, suara kentongan telah merambat
dengan cepat. Namun seorang bebahu telah berkata lantang, "Jangan
ganggu lagi anak Ki Demang."
"Kau tidak melihat apa yang dilakukannya," bentak Megar Permati.
"Apapun yang dilakukannya, tetapi kau tidak boleh
memperlakukannya seperti itu."
"Jadi, karena ia anak demang, maka ia dapat berbuat
sekehendak hatinya terhadap perempuan" Apakah ia juga
memperlakukan perempuan-perempuan di kademangan ini
seperti itu?" Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Sebenarnya seperti
orang lain di kademangan itu, iapun menjadi muak terhadap
tingkah laku anak Ki Demang itu. Tetapi seperti orang lain,
bebahu itu tidak berani berbuat sesuatu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, selagi ketegangan menjadi semakin
memuncak, terdengar derap kaki beberapa ekor kuda. Ketika
orang-orang yang berkerumun itu berpaling, maka mereka
telah melihat Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang bebahu
mendatangi tempat itu. Orang-orangpun segera menyibak. Sejenak kemudian
keempat orang itupun telah berloncatan dari punggung
kudanya. "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Demang. Seorang yang bertubuh tinggi, tegap, berdada bidang dan berkumis lebat di
atas bibirnya yang tebal.
Ki Jagabaya dengan serta-merta telah melangkah
mendekati anak Ki Demang yang terbaring sambil mengerang
kesakitan. Tetapi semua orang yang berdiri di sekitarnya terkejut
bukan buatan. Di hadapan Ki Demang yang garang,
perempuan yang telah menghajar anak Ki Demang itu
berteriak sambil meletakkan kakinya di dada anak muda yang
sudah tidak berdaya itu. "Iblis betina," teriak Ki Demang, "siapa kau?"
"Kaukah demang itu?" bertanya Megar Permati.
"Nah, kau ternyata dapat mengenali aku. Anak itu anakku.
Sikapmu itu sangat menyakitkan hatiku."
"Kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan ayah dari
anak yang gila ini. Ia telah mencoba menggangguku.
Dikiranya aku perempuan jalanan yang dapat diperlakukan
sekehendak hatinya. Atau anakmu memang terbiasa
memperlakukan perempuan-perempuan seperti itu"
Memaksakan kehendaknya, sementara jantungnya dicengkam
oleh nafsu?" "Cukup. Apakah kau sadari bahwa tingkah lakumu itu akan
dapat membunuhmu?" "Kau mau apa, demang gila" Kau kira kau dapat menakutnakuti aku seperti menakut-nakuti rakyatmu?"
Ki Demang itupun kemudian memberikan isyarat kepada Ki
Jagabaya, para bebahu dan orang-orang padukuhan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
telah lebih dahulu datang ke tempat itu untuk mengepung
kedua orang perempuan itu.
Sementara itu Melaya Werdi menarik nafas dalam-dalam
sambil berkata, "Jadi kita harus membunuh?"
"Merekalah yang menentukan, apakah kita akan
membunuh atau tidak."
Ki Demang yang marah itu ternyata tidak sempat menilai
kedua orang perempuan itu. Karena itu, maka iapun berkata
lantang, "Tangkap perempuan itu. Mereka harus mendapat
hukuman atas penghinaan mereka terhadap kademangan ini."
"Bagus," teriak Megar Permati, "aku juga menunda niatku membunuh anakmu. Biarlah ia melihat bagaimana orangorang kademangannya mati karena tingkah lakunya."
Namun Melaya Werdilah yang kemudian berkata lantang,
"Ki Sanak. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian.
Siapa yang tidak ingin mati, jangan dekati kami berdua. Sekali kami meloncat, maka kematian-kematian akan datang
beruntun. Karena itu, aku minta kalian sempat membuat
pertimbangan demi keselamatan kalian masing-masing."
"Diam kau perempuan iblis," teriak Ki Demang. "Jangan mencoba dengan licik menyelamatkan dirimu."
"Jangan hanya berteriak-teriak. Ayo, siapa yang akan mati lebih dahulu."
Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahupun segera
berloncatan maju. Beberapa orang yang mengepung
merekapun telah bergerak pula. Meskipun ada kecemasan di
hati mereka, tetapi bersama banyak orang mereka menjadi
berani. Ketakutan mereka kepada Ki Demang lebih
mencengkam daripada kecemasan mereka menghadapi kedua
orang perempuan itu. "Apa yang dapat dilakukan oleh dua orang perempuan,"
berkata orang-orang itu di dalam hatinya.
Seperti yang dikatakan, Megar Permati tidak segera
membunuh anak Ki Demang itu. Didorongnya anak muda itu
dengan kakinya, sehingga berguling beberapa kali. Sementara
itu, Ki Demang telah menyerangnya dengan keris di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangannya. Sebilah keris yang ukurannya lebih besar dari keris kebanyakan. Pamornya nampak berkilat-kilat tertimpa sinar
matahari. Bersamaan dengan itu, seorang bebahu telah berlari
menolong anak Ki Demang. Diangkatnya anak muda itu, dan
dibawanya menepi. Sedangkan beberapa orang yang lain telah
membantu Ki Demang menyerang perempuan yang telah
menyakiti anak Ki Demang itu, bahkan dengan beraninya
menghina Ki Demang itu sendiri.
Sementara itu, Ki Jagabaya dengan beberapa orang yang
lain telah langsung mengepung dan menyerang Nyi Melaya
Werdi. Nyi Melaya Werdi sengaja mengambil jarak dari adik
perempuannya, agar mereka dapat bertempur lebih leluasa.
Nyi Melaya Werdi menghadapi lawan-lawannya dengan
tangkasnya. Disingkapkannya kain panjangnya. Di bawah kain
panjangnya Nyi Melaya Werdi mengenakan celana hitam
sampai di bawah lututnya sebagaimana Nyi Megar Permati.
Namun ternyata Nyi Megar Permati nampak lebih garang
dari kakak perempuannya. Kakinya berloncatan dengan
cepatnya sehingga seakan-akan tidak menyentuh tanah.
Sementara itu beberapa ujung senjata beruntun datang
menyerangnya. Betapapun tinggi ilmu Megar Permati, menghadapi banyak
orang tanpa senjata di tangan telah membuatnya terdesak
surut. Sementara itu kemarahannya telah menyala sampai ke
ubun-ubunnya.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Demang memang menjadi sangat heran melihat
perempuan cantik itu. Ternyata ia berilmu sangat tinggi.
Meskipun Ki Demang dan beberapa orang bebahu serta orangorang kademangan yang membantunya berhasil mendesak
perempuan itu surut, tetapi Ki Demang menyadari, bahwa
perempuan itu adalah perempuan yang sangat berbahaya.
Ketika kemarahan Megar Permati menjadi tidak terkendali,
maka perempuan itu telah mengibaskan selendangnya.
Selendangnya yang di kedua ujungnya dihiasi pernik-pernik
mas dan perak. Tetapi mas dan perak itu bukan sekedar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perhiasan yang membuat selendangnya menjadi sangat
mahal, tetapi mas dan perak itu menjadi sangat berbahaya
jika Megar Permati mempergunakan selendangnya itu sebagai
senjata. Sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian, selendang Megar
Permati telah mulai menyebarkan malapetaka. Seorang
bebahu yang bertempur bersama Ki Demang telah terlempar
dari arena, jatuh berguling di tanah. Sambil menggeliat
berputar-putar bebahu itu mengaduh kesakitan. Pundaknya
telah terkoyak oleh senjata Megar Permati. Lukanya yang
menganga telah mencucurkan darah yang hangat.
Dalam pada itu, terdengar suara Nyi Melaya Werdi yang
melengking menggetarkan jantung, "Ternyata kalian tidak
tahu apa yang dapat terjadi atas diri kalian. Jika kalian tidak menarik diri, maka kematian demi kematian akan
mencengkam kalian. Jika darah di dalam tubuh ini sudah
terlanjur mendidih, maka tidak akan ada jalan kembali. Hanya
nama kalian sajalah yang masih akan dikenang oleh orangorang kademangan ini."
Tetapi seorang bebahu telah berteriak marah,
"Menyerahlah. Kalian hanya berdua. Kalian telah dikepung
sehingga kalian tidak akan dapat melarikan diri."
"Kau akan menyesal dengan sikapmu. Tetapi aku masih
memberi kesempatan," berkata Melaya Werdi.
Tetapi Megar Permati justru berteriak, "Tidak ada belas
kasihan lagi, Kakangmbok."
"Beri mereka kesempatan sekali lagi jika mereka masih
ingin berumur panjang."
"Aku ingin menunjukkan kepada anak demang itu, bahwa
akibat dari perbuatannya adalah mengerikan."
Namun Nyi Melaya Werdi masih berkata lantang, "Nah, kau
dengar. Cepat, pergi dari sini."
Tetapi Ki Demang berteriak pula, "Kami akan menggantung
kalian di halaman banjar kademangan karena kalian telah
menghina kami dan seisi kademangan ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyi Melaya Werdi masih menyahut, "Jadi kau tetap akan
bertempur demi anakmu yang gila itu?"
"Persetan dengan igauanmu."
Ternyata jawaban Ki Demang itu merupakan aba-aba bagi
Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati. Kesempatan yang
diberikan oleh Melaya Werdi itu telah disia-siakan, sehingga
sejenak kemudian, maka darahpun menjadi semakin banyak
tertumpah. Seorang lagi di antara mereka yang bertempur melawan
Megar Permati telah terlempar keluar arena. Lambungnyalah
yang terkoyak. Ternyata ia tidak sempat mengaduh.
Ki Demang dan orang-orang yang bertempur bersamanya
tidak sempat memperhatikan orang itu. Selendang Megar
Permati telah mematuk seorang lagi. Seorang yang bertubuh
tinggi kekurus-kurusan. Orang itu terpelanting jatuh menimpa
bebatur kedai sehingga kepalanya retak selain dadanya
bagaikan meledak. Beberapa tulang iganya patah.
Demikian parah keadaannya, sehingga iapun telah
meninggal seketika. Ternyata Megar Permati benar-benar tidak mengekang diri
lagi. Sementara itu semakin banyak orang yang datang karena
kentongan masih saja meneriakkan irama titir. Beberapa orang
laki-laki yang berani telah ikut serta mengepung kedua orang
perempuan itu. Orang-orang yang semula membenci anak Ki
Demang itu, ternyata tersinggung juga melihat dua orang
perempuan yang telah mengacaukan kademangan mereka.
Namun orang-orang kademangan yang tidak mempunyai
pengalaman yang luas itu menjadi sangat gelisah melihat
kegarangan lawan. Nyi Melaya Werdi yang telah memberikan
kesempatan terakhir itupun menjadi marah pula. Seperti
adiknya, maka sejenak kemudian selendangnyapun telah
memungut korban. Satu-satu lawannya terlempar keluar
arena. Tidak sekedar terluka. Tetapi mereka telah terbunuh.
Dengan demikian, maka orang-orang yang mengepung
kedua orang perempuan itu mulai menjadi gentar. Hanya
orang-orang yang mempunyai keberanian yang tinggi sajalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang masih berani menyerang Nyi Melaya Werdi dan Nyi
Megar Permati. Sementara itu, keduanya benar-benar telah
menyebarkan maut. Akhirnya kepungan itupun menjadi semakin longgar.
Orang-orang mulai berpikir, bahwa sulit bagi mereka untuk
menundukkan kedua orang perempuan itu. Sementara itu,
senjata Melaya Werdi dan Megar Permati bagaikan ular yang
memburu dan mematuk lawannya tanpa ampun.
Sikap Ki Demangpun mulai goyah. Sementara itu Megar
Permatipun berteriak, "Terakhir, aku akan membunuh anak
Demang edan itu dengan caraku. Tetapi jika ayahnya ingin
ikut mati, aku sama sekali tidak berkeberatan. Kademangan ini
akan segera mendapat seorang demang baru yang lebih baik,
yang anaknya tidak gila seperti anak muda itu."
Ki Demang memang menjadi sangat cemas. Tetapi ia tidak
akan membiarkan anaknya dibunuh. Karena itu, selagi masih
banyak orang yang memiliki sisa-sisa keberanian, Ki Demang
itupun berteriak, "Bawa anak itu pergi."
Dua orang bebahu telah berusaha mengangkat anak Ki
Demang yang sudah tidak berdaya itu dibantu oleh beberapa
orang. Tetapi langkah mereka terhenti. Megar Permati telah
meloncat menembus kepungan dengan melemparkan dua
orang di antara mereka yang mencoba untuk menghalanginya.
"Jangan bawa pergi anak itu. Aku memerlukannya. Ia akan
mati seperti orang-orang yang mencoba membelanya,
termasuk ayahnya. Letakkan anak itu."
Orang-orang yang mengangkat anak Ki Demang itu
mencoba berlari. Tetapi selendang Megar Permati telah
mematuk dua orang di antara mereka di punggung, sehingga
tulang punggung mereka serasa berpatahan. Sementara itu,
orang-orang lain tidak mampu mencegahnya. Apalagi
kemudian, selendang itu telah berputaran melindungi tubuh
Megar Permati dari ujung senjata di seputarnya. Seorang yang
mencoba melemparkan tombaknya, ternyata runtuh oleh
sentuhan selendang itu sebelum sempat melukai kulitnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi memperhatikan
pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Semula ia
bergeser menjauh dan bahkan berusaha bersembunyi di balik
pepohonan. Tetapi ketika mereka melihat Melaya Werdi dan Megar
Permati menyebar kematian dengan semena-mena, jantung
merekapun berdentang semakin cepat. Meskipun mereka
sudah mengira bahwa malapetaka bakal terjadi atas anak Ki
Demang, tetapi yang terjadi itu ternyata jauh lebih
mengerikan lagi. Apalagi Megar Permati masih juga berniat
untuk membunuh anak Ki Demang itu dengan caranya.
"Pelajaran itu sudah lebih dari cukup," berkata Wijang di luar sadarnya.
Paksi yang berdiri di dekatnya berdesis, "Tingkah laku
mereka sudah keterlaluan."
"Kita harus menghentikannya. Keduanya akan
menyebarkan kematian jauh lebih banyak lagi. Justru mereka
yang tidak bersalah. Orang-orang itu berdiri di antara mulut
buaya dan mulut harimau. Jika mereka tidak mau membantu
Ki Demang, maka nasib merekapun akan dapat menjadi
sangat buruk, bahkan bersama keluarga mereka."
"Apa yang akan kita lakukan?"
"Apaboleh buat. Kita tidak dapat bersembunyi terus
sementara kedua orang perempuan itu membunuh tanpa
kendali." Paksi mengangguk. Meskipun masih ada sedikit keraguan,
apakah ia mampu menghadapi perempuan-perempuan garang
itu. Namun akhirnya ia telah membulatkan tekadnya. Ia tidak
dapat berdiam diri melihat pembunuhan yang semena-mena.
Sejenak kemudian, Wijangpun telah memberi isyarat,
sehingga keduanyapun telah melangkah dengan cepat,
mendekati arena pertempuran yang tidak seimbang itu.
"Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati," Wijangpun
menyebut nama mereka untuk menghentikan pembunuhanpembunuhan yang berlangsung itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnyalah Melaya Werdi dan Megar Permati terkejut
mendengar namanya disebut. Karena itu, maka merekapun
telah meloncat mengambil jarak dari orang-orang yang sedang
dibantainya. "Siapa kau?" bertanya Melaya Werdi ketika mereka melihat dua orang anak muda mendekatinya.
Wijanglah yang menjawab, "Beruntunglah aku dapat
bertemu dengan kalian disini. Kami adalah utusan khusus
Harya Wisaka untuk mencari kalian, karena kalian tidak ada di
sarang kalian. Kami mendapat tugas untuk membawa
Pangeran Benawa kembali ke istana."
Kedua orang perempuan itu termangu-mangu sejenak.
Sementara itu, orang-orang kademangan yang merasa tidak
berdaya itu berdiri bagaikan membeku di tempat mereka.
"Aku tidak mengerti maksudmu," desis Nyi Melaya Werdi.
"Harya Wisaka telah mendapat pengakuan dari muridmuridmu yang tertawan ketika terjadi pertempuran di kaki
Gunung Merapi itu. Kalian berdua telah menyimpan Pangeran
Benawa di dalam sarangmu. Tetapi ternyata kalian sampai
hari ini belum kembali ke sarangmu dan bahkan dengan
semena-mena telah membunuh orang-orang tidak berdaya
disini." "Persetan dengan Harya Wisaka," geram Melaya Werdi.
"Aku tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa."
"Jangan ingkar. Murid-muridmu yang tertawan di antara
beberapa orang tawanan yang lain telah mengaku, bahwa
Pangeran Benawa ada di tanganmu."
"Iblis kau. Kau telah mengganggu permainanku," geram Megar Permati. "Pergilah dan katakan kepada Harya Wisaka, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa."
"Megar Permati," sahut Wijang, "kau jangan ingkar.
Pasukan segelar sepapan telah siap untuk melumatkan
sarangmu di Goa Lampin yang dipimpin langsung oleh Harya
Wisaka. Karena itu, sebaiknya kalian berdua berterus-terang,
dimana Pangeran Benawa kalian sembunyikan. Jika kalian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mau menyerahkan Pangeran Benawa, maka sarangmu tidak
akan menjadi karang abang."
"Jangan mengigau kau anak ingusan," jawab Megar
Permati. "Sekarang pergilah. Biarlah aku mendapat kepuasan dengan permainanku ini."
"Aku tidak mempunyai banyak waktu. Jika kau tidak segera
kembali, maka aku akan mendapat hukuman dari Harya
Wisaka. Tetapi lebih buruk dari itu, Goa Lampin akan lenyap
untuk selama-lamanya."
"Cukup," bentak Melaya Werdi. "Sebenarnya sayang sekali untuk membunuh kalian berdua. Tetapi jika kalian berdua
tidak mau kami jinakkan, maka kalian akan kami bunuh
bersama dengan orang-orang kademangan ini."
Wijangpun sempat berdesis perlahan, "Hati-hatilah
terhadap matanya, Paksi."
"Ya," sahut Paksi singkat. Ia sadar sepenuhnya bahwa kedua perempuan itu memiliki kekuatan sihir yang dapat
mencengkam penalaran seseorang, sehingga seseorang akan
kehilangan kepribadiannya.
Dalam pada itu, Ki Demang, para bebahu dan orang orang
kademangan itu kembali berpengharapan. Kedua orang anak
muda itu nampaknya telah mengenal kedua orang perempuan
yang garang dan menakutkan itu. Jika mereka bukan orangorang berilmu, maka mereka tidak akan berani menentang
kedua orang perempuan itu.
Wijang dan Paksipun melangkah semakin dekat. Dengan
lantang Wijangpun berkata, "Melaya Werdi, kau tidak
mempunyai pilihan lain. Serahkan Pangeran Benawa kepada
kami." "Anak-anak setan. Apakah kalian sadari apa yang sedang
kalian lakukan" Mungkin Harya Wisaka memberikan perintah
itu kepadamu tanpa menjelaskan siapakah kami berdua."
"Kami mengetahui kalian berdua dengan sebaik-baiknya.
Kamipun sudah melihat apa yang kalian lakukan terhadap
orang-orang kademangan ini. Justru karena itu, maka kami
telah dengan tergesa-gesa menemui kalian."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika demikian, baiklah. Kami akan berurusan dahulu
dengan kalian berdua. Baru kemudian kami akan
menyelesaikan permainan kami," berkata Melaya Werdi.
Sedangkan Megar Permatipun kemudian berkata kepada Ki
Demang, "Ki Demang, jangan mencoba membawa anakmu
pergi selama aku mengurus kedua orang anak yang keras
kepala ini. Jika kau bawa anakmu pergi, maka nanti aku akan
mencarinya. Kademanganmu akan menjadi rusak. Aku akan
membakar banyak rumah dan membunuh banyak orang
termasuk perempuan dan kanak-kanak. Kaulah yang harus
bertanggung jawab terhadap kematian dan kerusakan atas
kademangan itu." Jantung Ki Demang berdetak semakin cepat. Ia tidak tahu
apa yang sebaiknya harus dilakukannya. Sementara itu,
orang-orang yang mengangkat anaknya telah meletakkannya
kembali di tanah sejak dua orang di antara mereka
terpelanting jatuh karena punggungnya telah dipatuk oleh
senjata Megar Permati. Sementara itu Wijang dan Paksipun telah mengambil jarak.
Meskipun Megar Permati lebih garang dari Melaya Werdi,
tetapi Wijang meyakini bahwa Melaya Werdi mempunyai ilmu
yang lebih matang. Karena itu, maka Wijangpun telah
menempatkan dirinya untuk menghadapi Melaya Werdi.
Ternyata Wijang telah memasang perisai di pergelangan
tangannya. Sementara itu, kedua tangannya telah
menggenggam pisau belatinya pula, justru karena yang
dihadapinya adalah Melaya Werdi yang telah mengurai
selendangnya. Sedangkan Paksipun telah bersiap pula
menghadapi Megar Permati yang garang. Namun Paksipun
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyadari, bahwa ilmu perempuan yang garang itu tidak
sematang ilmu kakak perempuannya.
Dengan hati-hati Paksi mempersiapkan diri. Ki Marta
Brewok telah banyak memberikan petunjuk kepadanya untuk
menghadapi segala macam senjata. Bahkan Paksipun sudah
bersiap untuk menghadapi tatapan mata pemimpin dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perguruan Goa Lampin itu. Tatapan mata yang dapat
mempengaruhi daya nalar dan budi seseorang.
Menghadapi orang-orang yang mengaku pengikut Harya
Wisaka itu, Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati nampak
lebih berhati-hati. Kedua orang pengikut Harya Wisaka itu
tentu tidak sekedar mampu berteriak-teriak sebagaimana
orang-orang kademangan itu.
Sejenak kemudian, maka selendang kedua orang
perempuan itupun mulai berayun. Wijang yang menggenggam
dua pisau belatinya serta mengenakan penutup pergelangan
tangannya yang juga merupakan perisai itu, bergeser
beberapa langkah. Wijangpun sadar, bahwa lawannya adalah
seorang perempuan berilmu tinggi.
Ketika kemudian Melaya Werdi mengibaskan selendangnya,
Wijangpun bergeser surut selangkah. Sambaran angin
menunjukkan kepada lawannya, betapa tinggi ilmunya
sehingga lawannya yang masih muda itu harus berpikir dua
tiga kali untuk bertempur melawannya.
"Apakah kau tetap ingin melaksanakan perintah Harya
Wisaka untuk memaksa kami menyerahkan Pangeran Benawa
yang memang tidak berada di tangan kami?"
"Kami tidak mempunyai pilihan lain," jawab Wijang.
"Bersiaplah. Kau tidak akan mampu bertahan
sepenginang." Wijang tidak menjawab. Tetapi iapun telah mempersiapkan
diri sebaik-baiknya. Senjata lawannya adalah senjata yang
sangat berbahaya. Apalagi di tangan Melaya Werdi yang
berilmu sangat tinggi itu.
Sejenak kemudian, maka selendang Melaya Werdi itu sudah
berputar. Semakin lama semakin cepat. Ayunannya yang
deras menyambar ke arah tubuh Wijang. Tetapi tubuh Wijang
itu telah melayang menghindarinya.
Serangan-serangan selanjutnyapun datang beruntun.
Namun kedua pisau belati Wijang itupun berputaran pula.
Benturan-benturan segera terjadi. Setiap kali ujung selendang
Melaya Werdi itu telah menyentuh pergelangan tangan Wijang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dilindungi oleh lembaran kulit yang lebar yang melingkari pergelangannya itu.
Setiap kali Melaya Werdi mengerutkan dahinya. Ujung
selendangnya itu terasa bagaikan menyentuh lapisan baja
yang tidak tertembus oleh senjatanya itu.
Dengan demikian, maka Nyi Melaya Werdipun telah
meningkatkan kemampuannya pula. Selendangnya berputaran
semakin cepat. Setiap kali ujung selendang itu telah
menyambar dengan derasnya. Namun kemudian mematuk
dengan garangnya. Tetapi setiap kali, lawannya mampu menghindar,
menangkis dan bahkan sekali-sekali terasa selendang itu
bagaikan terkait oleh ujung-ujung sepasang belati anak muda
itu. Nyi Melaya Werdi memang menjadi cemas. Belati itu
memang bukan belati kebanyakan. Ketajaman penglihatan
Melaya Werdi sempat melihat peletik-peletik pamor pada pisau
belati itu. "Nampaknya memang seperti sebilah keris," berkata Melaya Werdi di dalam hatinya, "tetapi hulunya sajalah yang sengaja dibuat sederhana seperti hulu pisau belati."
Dengan demikian, maka Melaya Werdi harus semakin
berhati-hati. Ia tidak ingin selendangnya menjadi cacat oleh
ujung belati lawannya yang mendebarkan itu.
Dalam pada itu, kecepatan gerak Wijang bukan saja
mampu menghindari serta menangkis setiap serangan Melaya
Werdi. Namun serangan-serangannya justru mampu
mengejutkan perempuan yang berilmu tinggi itu.
Dalam pada itu, Megar Permatipun telah bertempur dengan
garangnya. Namun setiap kali ujung selendangnya telah
membentur tongkat lawannya. Tongkat yang ujudnya tidak
lebih dari sepotong kayu yang seakan-akan begitu saja
dipatahkannya dari pagar di pinggir jalan. Namun ternyata
tongkat itu mampu menggetarkan tangannya jika
selendangnya membenturnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan demikian, maka Megar Permatipun menjadi
berdebar-debar. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu
ternyata memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya.
Paksi yang sejak semula sudah mengetahui bahwa Megar
Permati memiliki ilmu yang tinggi, bertempur dengan sangat
berhati-hati. Paksi sendiri menyadari, bahwa pengalamannya
masih terlalu sempit dibanding dengan pengalaman Megar
Permati. Namun keyakinannya tentang ilmu yang didasari oleh
gurunya dan yang kemudian ditingkatkan dan dimatangkan
oleh Ki Marta Brewok, membuat Paksi mampu bertempur
dengan mapan. Tongkatnya berputaran dengan cepat. Bukan
saja sekedar menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi
sekali-sekali Paksipun mampu menyerang pula. Bahkan sekalisekali Megar Permati terpaksa meloncat surut untuk
mengambil jarak dari ujung tongkat Paksi yang seakan-akan
memburunya itu. Dalam pada itu, Ki Demang dan orang-orangnya
menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdebaran. Mereka sama sekali tidak mengenal dua orang
anak muda yang tiba-tiba datang dan bahkan telah mengambil
alih pertempuran, melawan kedua orang perempuan yang
garang itu. Sementara itu pertempuranpun semakin lama menjadi
semakin sengit. Megar Permati tidak lagi mengekang diri.
Serangan-serangannya langsung mengarah ke tempat-tempat
yang paling berbahaya pada tubuh Paksi. Namun Paksipun
dengan tangkasnya mampu mengimbanginya. Bahkan
semakin lama Paksipun menjadi semakin percaya diri.
Betapapun tinggi kemampuan Megar Permati serta betapapun
luasnya pengalamannya, namun masih dalam jangkauan batas
kemampuan Paksi meskipun Paksi harus mengerahkan
segenap kemampuannya. Ki Demang dan orang-orang kademangan yang datang ke
tempat itu, tidak lagi mampu menilai pertempuran itu.
Pertempuran yang seakan-akan tidak lebih dari kelebat
bayangan yang berterbangan berputar-putar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, seorang bebahu yang menyadari keadaan
sempat berbisik di telinga Ki Demang, "Kita dapat
meninggalkan tempat ini. Biarlah mereka menyelesaikan
pertempuran itu." Ki Demang berpikir sejenak. Hampir saja ia menyetujui
pendapat itu. Namun ternyata ada sesuatu yang
menghambatnya. "Aku tidak dapat meninggalkan kedua orang anak muda itu
begitu saja," berkata Ki Demang. "Mereka telah memberikan harapan kepada kita untuk hidup. Dalam keadaan yang
memaksa, kita harus membantunya, apapun yang terjadi."
"Tetapi pertempuran itu benar-benar tidak dapat kita
mengerti." "Bagaimanapun juga, kita dapat mengganggu pemusatan
nalar budi kedua orang perempuan itu. Mungkin kita masih
harus memberikan korban lagi. Tetapi itu tentu lebih baik
daripada kita meninggalkan arena ini. Jika kedua perempuan
itu memenangkan pertempuran, maka mereka akan dapat
menghancurkan seluruh kademangan. Mereka dapat
membunuh lebih banyak lagi. Bahkan perempuan dan anakanak." Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Perasaannya yang
paling dalam merasakan perubahan sikap Ki Demang.
Ternyata Ki Demang itu tidak lagi memikirkan dirinya sendiri
atau keluarganya. Ia masih memikirkan kedua orang anak
muda yang telah membantunya meskipun keduanya
mempunyai alasan tersendiri.
Ki Demang memang tidak beranjak dari tempatnya. Orangorang kademangan itupun telah menahan diri pula untuk tidak
lari dari arena. Namun Ki Demang itupun kemudian berkata, "Cari air.
Usahakan menolong anakku. Tetapi kau tidak usah
membawanya pergi." Bebahu itupun kemudian telah memerintahkan seseorang
untuk mencari air bagi anak Ki Demang yang ada dalam
keadaan parah. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, Nyi Melaya Werdi dan Megar Permati masih
bertempur dengan sengitnya. Bahkan semakin lama menjadi
semakin sengit. Mereka telah berada pada puncak
kemampuan mereka masing-masing. Selendang Melaya Werdi
dan Megar Permati berputaran semakin cepat. Bahkan
kemudian selendang itu bagaikan kabut yang mengepul di
sekitar tubuh Melaya Werdi dan Megar Permati.
Namun Wijang dan Paksi sama sekali tidak menjadi gentar.
Tongkat Paksipun berputaran pula. Bahkan beberapa kali
Paksi sengaja membenturkan tongkatnya, menghantam kabut
yang menyelimuti tubuh Megar Permati.
Ternyata tenaga dalam Paksi setiap kali mampu
menggetarkan dada Megar Permati. Benturan yang terjadi,
rasa-rasanya telah menggetarkan bukan saja tangan Megar
Permati. Tetapi merambat menyusup di antara urat-uratnya
sampai ke jantung. Sementara itu Melaya Werdipun mulai gelisah. Sekali-sekali
masih terasa ujung-ujung pisau belati lawannya, seakan-akan
telah terkait pada anyaman selendangnya. Bahkan pada
perhiasan mas dan perak di ujung-ujung selendangnya. Dalam
puncak kekuatan dan kemampuan masing-masing, maka
ujung pisau itu akan dapat mengoyakkan selendang
pusakanya itu. "Anak ini memang gila," geram Melaya Werdi.
Wijang ternyata mendengar geram itu. Karena itu, maka
iapun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya Melaya Werdi
akan segera sampai pada ilmu puncaknya, yang hanya
dilepaskan dalam keadaan yang paling gawat.
Sementara itu, Megar Permatipun semakin lama semakin
mengalami kesulitan pula melawan Paksi. Tongkat Paksi
semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan Megar
Permati itu terkejut dan melompat mengambil jarak ketika
ujung tongkat Paksi itu sempat menyentuh lengan bajunya.
"Anak iblis," Megar Permati mengumpat marah ketika ia mengetahui bahwa lengan bajunya terkoyak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi tidak segera memburunya. Sejenak ia berdiri
termangu-mangu. Dalam pada itu, Melaya Werdi benar-benar telah
mengerahkan ilmu pamungkasnya. Selendangnya yang
berputar tidak saja seakan-akan merupakan lingkaran kabut
yang menyelubungi tubuhnya. Tetapi kabut itu semakin lama
menjadi semakin kemerah-merahan. Udara yang bergetar
karena putaran selendang itupun menjadi hangat dan bahkan
semakin lama semakin panas.
Kabut itu tidak lagi nampak karena putaran selendangnya,
tetapi selendang yang kemudian menjadi kemerah-merahan
itu benar-benar telah berasap.
Wijang menyadari keadaannya. Ilmu yang sangat
berbahaya itu akan dapat menelannya dan bahkan
membuatnya menjadi arang. Karena itu, maka Wijangpun
telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil
jarak. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Wijangpun
telah mengetrapkan ilmunya pula. Sambil menggenggam pisau
belatinya, Wijang menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
Tubuh Wijang itu tiba-tiba seakan-akan telah mengembun.
Asap yang dingin bagaikan mengepul dari lubang-lubang
kulitnya. Seperti tertiup angin yang lembut, maka asap yang
dingin itu mengalir perlahan-lahan, berputar mengelilingi
tubuhnya. Melaya Werdi terkejut. Ia sudah menjelajahi dunia olah
kanuragan yang penuh dengan belukar yang berduri runcing.
Namun ia masih juga terkejut dan berdebar-debar melihat
kemampuan anak muda itu. Udara panas yang dipancarkan dari putaran selendang Nyi
Melaya Werdi itu seakan-akan telah terhisap membeku ke
dalam asap yang mengelilingi tubuh Wijang. Bahkan Wijang
kemudian tidak hanya berdiri membeku sambil menyilangkan
tangannya. Beberapa saat kemudian, maka Wijangpun telah
berloncatan menyerang lawannya, sementara asap putih itu
masih saja selalu berada di seputarnya kemanapun ia
bergeser. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan demikian, maka ilmu Nyi Melaya Werdi tidak
mampu menghadapi asap yang dingin di seputar tubuh
Wijang. Pertahanan yang membuat benturan yang lunak
dengan ilmu Nyi Melaya Werdi itu benar-benar menyulitkan
kedudukannya. Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi itupun harus
berloncatan surut untuk menghindari serangan-serangan
sepasang pisau belati di tangan anak muda itu.
Sementara itu, Megar Permatipun menjadi semakin
terdesak oleh serangan-serangan Paksi. Beberapa kali Megar
Permati harus meloncat surut, sementara Paksi masih saja
terus mendesaknya. Namun tiba-tiba Megar Permati itu menghentikan putaran
selendangnya. Bahkan perempuan itupun kemudian berkata,
"Tunggu, anak muda. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi."
Paksi yang sudah siap menyerang itu memang tertegun
sejenak. Dipandanginya wajah Megar Permati sejenak. Wajah
yang berkerut dan menegang. Namun wajah itu perlahanlahan telah berubah. Namun Megar Permati itu justru mulai
tersenyum. Paksi menjadi heran melihat perubahan itu. Bahkan
jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat kedua
mata Megar Permati yang seakan-akan menjadi berkilat-kilat.
"Apakah kau benar-benar menjadi marah, anak muda,"
bertanya Megar Permati sambil tersenyum.
Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk Paksi meremang. Ia tidak
menjadi gentar melihat permainan selendang Megar Permati
yang garang. Namun ketika ia melihat Megar Permati
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tersenyum maka debar jantungnya serasa menjadi semakin
cepat. "Aku tidak bersungguh-sungguh, anak muda," berkata
Megar Permati dengan lembut.
Paksi masih berdiri membeku di tempatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, selagi Paksi dicengkam oleh kegelisahan,
terdengar Wijang yang masih bertempur dengan Melaya Werdi
berteriak, "Hati-hati dengan matanya."
Paksi seperti terbangun dari mimpinya. Ia sempat melihat
mata Megar Permati yang berkilat-kilat. Terasa getar tatapan
mata itu mulai menyentuh hatinya.
Namun peringatan Wijang itu sempat menggugah
kesadarannya, bahwa tatapan mata Megar Permati itu sangat
berbahaya. Ada kekuatan sihir yang memancar dari sepasang
mata itu. Karena itu, maka Paksipun harus meningkatkan daya
tahannya serta kemampuan mempertebal kesadaran dirinya.
Ia tidak boleh kehilangan kepribadiannya dan tunduk kepada
kehendak Megar Permati. Peringatan Wijang itu membuat jantung Megar Permati
bagaikan terbakar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia
masih ingin meyakinkan dirinya atas kemampuan daya tahan
lawannya yang masih muda itu.
Karena itu, maka Megar Permati itu masih saja tersenyum
sambil berkata, "Jangan takut, anak muda. Pandang mataku.
Kau akan melihat indahnya dunia ini. Kau akan melihat
betapa luasnya langit dan betapa cerahnya cahaya matahari.
Kau akan melihat dirimu sendiri yang mengambang dalam
kenikmatan hidup yang tidak akan sempat kau nikmati pada
kesempatan lain." Paksi menggeratakkan giginya. Meskipun ia memiliki
kemampuan daya tahan yang tinggi serta kesadaran akan
dirinya yang kuat, tetapi Paksi tidak mau memandang mata
Megar Permati. Terdengar suara Megar Permati yang ramah, "Kenapa kau
malu, anak muda. Kau akan melihat mataku. Kau akan
mendengar suaraku. Kau akan melakukan apa yang aku
katakan. Marilah. Jangan malu."
Paksi memang mengangkat wajahnya. Tetapi ia sudah
memagari jantungnya dengan kesadaran yang tinggi, bahwa
dirinya tidak akan terbenam ke dalam pengaruh sihirnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Megar Permati," berkata Paksi, "kau tidak usah mencoba mempergunakan sihirmu untuk menguasai kehendakmu atas
aku. Karena itu, kau tidak usah tersenyum-senyum seperti itu,
karena aku tetap menyadari, bahwa di balik senyummu itu
tersembunyi jantungmu yang berbulu setajam duri."
Senyum Megar Permatipun tiba-tiba lenyap dari bibirnya.
Bahkan perempuan itupun menggeram, "Anak iblis. Kau
benar-benar akan mati."
"Kematianku tidak berada di tanganmu," sahut Paksi. Lalu katanya, "Sekarang lebih baik kau serahkan Pangeran Benawa itu kepada kami. Kami akan pergi dan menyerahkannya
kepada Harya Wisaka. Kami berjanji tidak akan menyakitimu
dan tidak akan mengganggu perguruanmu."
Megar Permati tidak menjawab. Tetapi selendangnya
kembali berputar dengan cepatnya.
Namun pada saat yang bersamaan, Nyi Melaya Werdi
benar-benar telah terdesak. Panas apinya tidak mampu
mengatasi dinginnya embun lawannya. Bahkan udara yang
dingin itu mulai merambah mencengkam kulitnya.
Nafasnyapun menjadi terganggu karena udarapun seakanakan telah membeku di lubang hidungnya.
Sementara itu, serangan-serangan anak muda itu masih
saja memburunya. Ujung pisau belati itu seakan-akan mulai
berdesing di telinganya seperti seekor nyamuk yang
berterbangan di sekeliling kepalanya.
Karena itu, maka Nyi Melaya Werdi tidak mempunyai
pilihan lain. Iapun segera memberikan isyarat kepada Megar
Permati dengan siulan nyaring.
Sejenak kemudian, kedua orang perempuan itupun dengan
cepatnya meloncat surut. Kemudian dibentangkannya
selendangnya sepanjang kedua lengannya yang merentang.
Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati itu bagaikan
terbang meninggalkan arena.
Paksi sudah bersiap untuk memburunya. Namun Wijang
berdesis, "Biarkan mereka pergi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengurungkan niatnya. Sambil menarik nafas
panjang ia berkata, "Kenapa kita melepaskan mereka?"
"Apakah kau mempunyai kerangkeng untuk
mengurungnya?" Paksipun terdiam. Sementara Wijang itupun berkata,
"Mereka tidak akan pernah melupakan kekalahan ini. Tetapi itu bukan persoalan kita lagi. Itu persoalan mereka dengan
Harya Wisaka." Paksi tersenyum. Namun iapun kemudian berdesis
perlahan, "Mudah-mudahan mereka mempercayainya."
Sementara itu, Ki Demang dan orang-orangnya berdiri
termangu-mangu. Mereka telah terpukau oleh pertempuran
yang telah terjadi. "Bagaimana dengan anakmu?" bertanya Wijang kepada Ki Demang.
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dalam keadaan
biasa, ia tidak mau mendengar pertanyaan seperti itu. Ia
adalah demang yang berkuasa di kademangan itu.
Tetapi menghadapi kenyataan yang terjadi, maka Ki
Demang itu mengangguk hormat sambil menjawab,
"Keadaannya cukup parah, anak muda."
Wijangpun kemudian melangkah mendekati anak Ki
Demang yang terbaring sambil mengerang kesakitan.
Sebenarnyalah keadaan anak muda itu memang parah.
Namun agaknya masih berpengharapan jika ia ditangani oleh
seorang tabib yang baik. "Apakah di kademangan ini ada tabib yang baik?" bertanya Wijang kemudian.
"Ada, anak muda," jawab Ki Demang. "Seorang tua yang mempunyai pengalaman yang cukup luas."
"Baik. Hubungi tabib itu. Serahkan anakmu dalam
perawatannya agar keadaannya dapat membaik. Berdoalah
untuk anakmu. Kau tahu artinya?"
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun mengangguk, "Aku mengerti, anak muda."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Selanjutnya, kau harus menemukan arti dari keseluruhan
peristiwa ini. Kau harus berani melihat ke belakang. Kau harus mengenali anakmu lebih baik lagi. Apa yang pernah
dilakukannya dan apa yang tadi dilakukan, sehingga ia
mendapat malapetaka. Kaupun harus mengenali dirimu
sendiri. Apa yang pernah kau lakukan dan apa yang pernah
kau lakukan buat anakmu" Bukan memanjakannya, tetapi
berbuat sesuatu yang membuat hidup anakmu itu berarti bagi
banyak orang." Ki Demang tidak menjawab. Kepalanya menunduk. Sekalisekali ia sempat melihat anaknya yang dalam keadaan parah,
mengerang kesakitan. "Bawa anakmu pulang. Ingat apa yang terjadi hari ini. Jika tidak terjadi perubahan atas dirimu dan tingkah laku anakmu,
maka yang akan membunuh anakmu bukan kedua orang
perempuan itu. Tetapi aku. Meskipun demikian kau boleh
mengetahui, bahwa kedua orang perempuan itu adalah
pemimpin tertinggi Perguruan Goa Lampin. Jika kau belum
pernah mendengar, maka aku akan memberitahukan, bahwa
Goa Lampin adalah ajang pembantaian bukan saja atas wadag
seseorang, tetapi terutama jiwanya."
Jantung Ki Demang terasa berdebar semakin cepat. Ia
memang belum pernah mendengar Perguruan Goa Lampin.
Tetapi keterangan anak muda itu membuatnya menjadi resah.
"Pulanglah," berkata Wijang kemudian.
"Apakah kalian tidak singgah di rumahku?" bertanya Ki Demang.
Wijang menggeleng. Katanya, "Terima kasih. Kami akan
meneruskan perjalanan. Tetapi pada suatu saat kami akan
singgah. Kami akan melihat apakah anakmu sudah berubah
atau belum. Jika belum, maka aku akan membawanya,
mengajarinya dengan caraku agar ia sedikit menghargai orang
lain, terutama perempuan-perempuan."
"Ya, ya, anak muda. Aku akan mengajarinya."
"Kamipun ingin melihat caramu menjalankan tugasmu
sebagai demang pada kesempatan lain. Kami adalah utusan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Wisaka yang mempunyai pengaruh yang besar di
istana. Harya Wisaka akan dapat memerintahkan sekelompok
prajurit untuk menangkapmu dan membawamu ke Pajang."
"Ya, ya, anak muda," Ki Demang itu mengangguk-angguk.
Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, "Tetapi
apakah kedua orang perempuan itu tidak akan mendendam
kami?" "Mereka akan melupakan kalian. Mereka mempunyai
persoalan yang jauh lebih penting dari mengurus anakmu.
Tetapi yang terjadi ada juga gunanya bagi anakmu."
Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, "Kami mohon
ampun." "Sudahlah. Aku akan pergi," berkata Wijang kemudian.
Namun ia masih sempat berkata sambil melangkah pergi,
"Rakyatmu menjadi saksi apa yang telah terjadi disini."
Ki Demang terdiam. Tetapi di luar sadarnya ia memandang
ke sekelilingnya. Beberapa orang bebahu serta orang-orang
kademangannya, terutama di padukuhan itu, berdiri
termangu-mangu. Sementara itu, anak Ki Demang masih saja
mengerang kesakitan. Sedangkan beberapa orang terbaring
diam. Ada di antara mereka yang terluka parah sehingga
pingsan. Tetapi ada yang benar-benar telah terbunuh.
Wijang dan Paksipun tidak berpaling lagi. Mereka
melangkah semakin jauh. Demikian keduanya hilang di tikungan, maka perhatian Ki
Demangpun segera beralih kepada anaknya yang terluka
parah. Kemudian dipandanginya beberapa orang yang juga
telah menjadi korban karena kelakuan anak laki-lakinya.
Ki Demang memang sangat menyesali perbuatan anaknya.
Tetapi iapun menyesali dirinya sendiri pula. Ia terlalu
memanjakan anaknya itu. Apa yang dikehendakinya selalu
dipenuhinya. Bahkan jika anaknya tertarik pada seorang
perempuan tanpa memperdulikan keadaannya. Anak Ki
Demang itu sudah memberikan beberapa orang gadis yang
terlanjur mengandung kepada beberapa orang laki-laki dan
memaksa mereka untuk menikahinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa orang bebahu dan orang-orang kademangan
yang sudah merasakan aman itu, mulai menilai lagi peristiwa
itu. Mereka bersukur bahwa akhirnya ada juga orang yang
dapat memaksa anak Ki Demang itu untuk menyadari tingkah
lakunya. Bahkan Ki Demang pun telah dipaksa untuk menilai
sikapnya pula. Sementara itu, Wijang dan Paksipun telah berjalan semakin
jauh. Dengan nada berat Wijangpun berkata, "Kita terpaksa harus memperlihatkan diri di antara para pemimpin perguruan
yang sedang mencari Pangeran Benawa itu."
Paksi mengangguk kecil sambil menjawab, "Ya. Yang
terjadi adalah di luar kehendak kita."
"Anak demang itu memang gila. Seandainya tidak ada
korban lagi, kita dapat meninggalkannya pergi. Tetapi kita
tidak akan dapat membiarkan kedua orang perempuan itu
membantai orang-orang padukuhan yang tidak bersalah itu.
Orang-orang yang demikian takutnya kepada Ki Demang,
sehingga mereka tidak mempunyai pertimbangan lagi untuk
melakukan perbuatan yang bodoh itu."
"Tetapi kenapa ketakutan mereka kepada maut yang
ditebarkan oleh kedua orang perempuan itu tidak dapat
mengalahkan ketakutan mereka kepada Ki Demang."
"Ketakutan mereka kepada Ki Demang sudah berlangsung
bertahun-tahun. Ketakutan itu seakan-akan telah melapisi
dinding jantung mereka. Semakin lama menjadi semakin tebal,
sehingga dapat mengalahkan perasaan-perasaan yang lain."
Paksi mengangguk-angguk. Orang-orang kademangan itu
telah dicekam oleh kekuasaan Ki Demang yang sewenangwenang itu sejak bertahun-tahun sehingga mereka tidak dapat
melepaskan diri lagi daripadanya.
Namun Paksipun kemudian berdesis, "Kemana Melaya
Werdi dan Megar Permati itu melarikan diri?"
"Entahlah. Mungkin merekapun mengurungkan niatnya
untuk mencari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.
Tetapi mungkin pula mereka justru ingin melepaskan
dendamnya kepada suami istri itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi mereka akan berpikir ulang jika mereka akan
bersikap keras terhadap Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung yang nampaknya cukup meyakinkan itu."
Wijang mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengatakan
sesuatu. Beberapa saat mereka saling berdiam diri. Di telinga
Paksi terngiang kembali kata-kata Ki Pananggungan, bahwa
meskipun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu berilmu
tinggi, namun mereka masing-masing tidak akan melampaui
kemampuan Paksi. "Mudah-mudahan," berkata Paksi di dalam hatinya. Ia
semakin yakin akan dirinya, setelah ia mampu mengalahkan
Megar Permati. Bahkan iapun mampu menangkal ilmu sihirnya
pula. Wijang dan Paksi itupun melangkah terus menyusuri jalan
berbatu-batu. Sentuhan kaki mereka telah menebarkan debu
yang kelabu. Beberapa orang yang lainpun berjalan dengan
cepatnya pula menyusuri bayang-bayang dedaunan dari
pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Di luar sadarnya, Wijang dan Paksi berjalan mengikuti jalan
menuju ke Kembang Arum. Tetapi Kembang Arum masih
cukup jauh. Ketika keduanya melewati sebuah padukuhan yang pernah
terjadi tempat tinggal seorang yang menyebut dirinya Bahu
Langlang, mereka sempat berhenti sejenak di depan regol
halaman. "Rumah Bahu Langlang," desis Paksi. "Nampaknya rumah ini sudah kosong," sahut Wijang. Paksi mengangguk-angguk.
Rumah Bahu Langlang itu memang kosong. Agaknya sejak
Bahu Langlang meninggalkan rumah itu, maka semua
penghuninyapun telah pergi pula. Kecuali tidak ada lagi ikatan, mereka juga takut menanggung beban, karena Bahu Langlang
ternyata mempunyai banyak musuh.
Wijang dan Paksi itupun kemudian melanjutkan perjalanan
mereka menuju ke Kembang Arum.
Meskipun keduanya dapat berjalan lebih cepat, tetapi
keduanya tidak merasa tergesa-gesa. Karena itu, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka berjalan seenaknya. Menyusuri bulak-bulak panjang
dan kemudian mereka memilih jalan singkat lewat lorong
sempit di pinggir hutan yang jarang sekali dilalui orang.
Mereka memang tidak menemukan jejak apapun. Agaknya
Melaya Werdi dan Megar Permati tidak menuju ke Kembang
Arum atau setidak-tidaknya mereka tidak melalui lorong di
pinggir hutan itu. Ketika malam turun, Paksi dan Wijang baru saja
meninggalkan lorong di pinggir hutan itu. Ternyata keduanya
tidak berniat untuk melanjutkan perjalanan. Mereka ingin
berhenti dan beristirahat.
Karena itu, maka merekapun telah mencari tempat untuk
beristirahat dan bermalam.
Bergantian mereka tidur malam itu di atas rerumputan
kering di padang perdu. Binatang-binatang malam terdengar
saling bersahutan. Ketika dari hutan itu terdengar aum seekor
harimau lapar, Wijang yang mendapat giliran untuk berjagajaga tidak menghiraukannya. Tetapi ketika kemudian ia
mendengar anjing hutan menyalak bersahutan, maka Wijang
menarik nafas dalam-dalam.
"Mudah-mudahan anjing itu tidak berkeliaran di padang
perdu ini," berkata Wijang dalam hatinya. Wijang lebih senang menghadapi seekor harimau loreng yang besar dari pada
sekelompok anjing hutan yang licik.
Tetapi ketika Wijang melihat beberapa batang pohon yang
cukup besar, hatinya menjadi tenang. Ia dapat memanjat
pohon itu, sehingga anjing-anjing liar itu tidak dapat
memburunya. Ketika kemudian giliran Paksi untuk berjaga-jaga, maka
Wijangpun berpesan, "Hati-hati dengan anjing-anjing yang
licik itu. Mereka datang dalam kelompok yang besar."
Paksi mengangguk sambil mengusap matanya yang merah.
"Hati-hati. Kau tidak boleh tidur lagi sampai menjelang
fajar." Paksi mengangguk. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijangpun kemudian telah membaringkan dirinya di atas
rerumputan kering. Sekali ia menguap. Namun kemudian
Wijang itupun telah tidur. Seakan-akan sama sekali tidak ada
beban di kepalanya, sehingga dengan cepat ia menjadi lelap.
Paksilah yang setiap kali mengusap matanya. Embun terasa
mulai menitik dari dedaunan.
Namun tidak ada persoalan yang timbul malam itu.
Menjelang fajar Wijangpun sudah terbangun. Berbenah diri
dan kemudian melanjutkan perjalanan.
Kembang Arum bagi keduanya sudah tidak jauh lagi.
Sebelum panas matahari terasa menggigit kulit menjelang
tengah hari, mereka sudah akan berada Padukuhan Kembang
Arum. Tetapi pagi itu keduanya menyempatkan diri untuk singgah
di sebuah kedai kecil. Penjual nasi yang sudah tua itu
melayani mereka dengan lamban, sehingga rasa-rasanya
untuk menunggu minuman dan makanan mereka harus duduk
sampai punggungnya menjadi penat.
Karena itu, maka perjalanan mereka terlambat beberapa
saat. "Aku tidak telaten," desis Paksi.
Wijang tertawa pendek. Katanya, "Kenapa tergesa-gesa.
Bukankah kita tidak dibatasi oleh waktu?"
Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
tersenyum pula. Panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit. Semakin
lama semakin terasa. Keringatpun mulai mengembun di
kening. "Padukuhan itu sudah tidak terlalu jauh lagi."
"Masih berapa lama kita berjalan?"
"Jika kita tidak terhambat di kedai itu, kita sudah tinggal sebulak lagi."
"Sudahlah." Paksi menarik nafas dalam-dalam.
Ketika mereka mendekati Padukuhan Kembang Arum, maka
mataharipun hampir sampai ke puncak langit. Panasnya sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi semakin terasa menggigit kulit. Beberapa orang yang
bekerja di sawah telah meletakkan cangkul mereka, yang
sedang membajak pun telah menyandarkan bajak mereka di
pematang. Beberapa orang perempuan dengan menggendong
bakul berjalan di bulak-bulak panjang membawa kiriman
makan dan minuman bagi mereka yang bekerja di sawah.
Wijang dan Paksi melangkah terus menyusuri jalan bulak
yang panjang. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka, seorang
perempuan berjalan seorang diri ke arah yang berlawanan.
Namun kemudian perempuan itu telah berbelok melalui
jalan sempit yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon jarak
dan gerumbul-gerumbul perdu. Perempuan itupun
menggendong bakul dan membawa gendi. Nampaknya ia
membawa kiriman bagi mereka yang bekerja di sawah yang
letaknya tidak di pinggir jalan panjang itu.
Wijang dan Paksipun tidak menghiraukan lagi. Mereka
berjalan terus di panasnya sinar matahari.
Ketika mereka sampai di simpangan, di luar sadarnya
mereka berpaling memandang ke arah perempuan yang
membawa kiriman itu berbelok.
Namun keduanya terkejut. Wijang dengan cepat
mendorong Paksi surut sehingga terlindung gerumbul perdu
yang tumbuh di pinggir jalan itu.
"Apa yang terjadi?" desis Paksi.
"Marilah kita lihat," sahut Wijang.
Dengan hati-hati dilambari kemampuan mereka yang
tinggi, Paksi dan Wijang bergerak di balik gerumbul-gerumbul
perdu yang tumbuh di kiri kanan jalan kecil itu mendekati
perempuan yang membawa kiriman itu.
Perempuan itu berdiri termangu-mangu. Tiga orang laki-laki
muda berdiri di hadapannya.
Paksi semakin terkejut ketika seorang di antara laki-laki itu
berkata, "Kau Kemuning, kan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi kemudian bergeser semakin mendekat. Dari sela-sela
pohon perdu Paksi sempat melihat perempuan yang
membawa bakul itu. Perempuan itu memang Kemuning.
Wijangpun telah bersungut pula. Dengan isyarat Paksi
memberitahukan, bahwa perempuan itu adalah Kemuning.
Wijang mengangguk-angguk. Tetapi keduanya masih tetap
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang tumbuh di
sebelah-menyebelah jalan sempit itu.
"Siapakah kalian?" bertanya Kemuning.
"Kau orang baru di Padukuhan Kembang Arum?" Kemuning mengangguk.
"Nah, karena itu, aku memerlukan datang menemuimu?"
berkata salah seorang dari mereka.
"Kau bukan anak Kembang Arum," berkata Kemuning.
"Memang. Kami memang bukan anak muda dari Kembang
Arum. Kami tinggal di Sawahan."
"Sawahan" Bukankah Padukuhan Sawahan itu agak jauh
dari sini?" "Ya." "Jadi untuk apa kalian menemuiku?"
"Aku ingin memperkenalkan diri."
"Ah," Kemuning termangu-mangu sejenak. "Kau datang jauh-jauh hanya untuk memperkenalkan diri?"
"Ya. Selain itu, kami memang mempunyai sedikit
keperluan." "Apa?" "Seorang gadis dari Sawahan telah dilarikan oleh anak
muda dari Kembang Arum."
"O. Apa hubungannya dengan aku?"
"Aku ingin minta kau pergi ke Sawahan. Kau segera akan
kami antar pulang setelah gadis Sawahan itu pulang."
"Kenapa aku?" bertanya Kemuning.
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Aku memilih gadis yang
paling cantik dari Kembang Arum."
"Tetapi aku orang baru disini. Aku tidak tahu-menahu
tentang gadis Sawahan yang dilarikan itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudahlah. Nanti kau akan mengetahui persoalannya.
Sekarang aku minta dengan baik-baik kau ikut kami ke
Sawahan." Kemuning tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia
meletakkan gendinya di tepi jalan. Kemudian bakul yang
digendongnya itupun diletakannya pula.
Ketiga orang laki-laki muda yang menghentikan Kemuning
itu menjadi heran. Bahkan Paksi dan Wijangpun menjadi
tegang pula. "Ki Sanak," berkata Kemuning, "aku mengatakan bahwa aku tidak tahu-menahu tentang gadis yang dilarikan itu.
Karena itu, pergilah."
Ketiga orang itu menjadi heran, bahwa Kemuning
nampaknya tetap tenang. Bahkan kemudian dengan nada
berat ia berkata, "Pergilah. Jangan mengganggu aku."
Seorang di antara ketiga orang yang menghentikan itu
berkata, "Jangan banyak bicara. Sekarang ikut kami ke
Sawahan atau kami akan memaksamu."
"Sudah aku katakan, pergilah."
"Kami akan memaksamu," geram salah seorang dari ketiga orang itu.
Kemuning memandang ketiga orang itu berganti-ganti,
seorang berwajah persegi. Giginya yang besar-besar
tersembul dari sela-sela bibirnya yang tebal. Alisnya yang
tebal hampir bertemu di atas hidungnya. Seorang lagi
berwajah licin. Senyumnya selalu nampak di sela-sela bibirnya.
Namun dari pandangan matanya yang liar. Kemuning menjadi
ngeri. Sedangkan kawannya berwajah kasar. Sebuah bekas
luka menggores di keningnya. Rambutnya tergerai dari bawah
ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja.
Orang yang berwajah licin dengan senyum di bibirnya
itupun berkata, "Jangan takut, Kemuning. Kau tidak akan
disakiti. Kau hanya akan disimpan di Sawahan sampai gadis
yang dilarikan itu pulang. Aku akan menjagamu jika ada orang
yang ingin mengganggumu. Percayalah kepadaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan ganggu aku," berkata Kemuning lantang.
"Sekarang pergilah. Atau aku akan memaksa kalian pergi."
Ketiga orang laki-laki muda itu saling berpandangan
sejenak. Yang berwajah kasar itulah yang bertanya, "Kau mau apa?"
Tetapi Kemuning tidak menjawab. Tangannyalah yang
menyambar mulut orang itu.
Orang yang berwajah kasar itu benar-benar terkejut.
Selangkah ia bergerak mundur.
"Kaulah yang telah menyakiti aku," geram orang itu.
"Sekali lagi aku minta, pergilah."
"Anak ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik,"
berkata orang yang berwajah persegi. "Karena itu, maka kita harus memaksanya."
Senyum bibir orang yang berwajah licin itu tiba-tiba telah
lenyap. Dengan nada tinggi ia berkata, "Lakukan apa yang
kami katakan." Tetapi Kemuning menjawab, "Kau yang harus melakukan
apa yang aku katakan."
Ketiga laki-laki itu telah kehilangan kesabaran.
Ketiganyapun segera meloncat mengepung Kemuning.
Paksi hampir saja meloncat dari persembunyiannya. Namun
Wijang telah menggamitnya, iapun memberi isyarat agar Paksi
menunggu. Yang terjadi memang mendebarkan jantung Paksi. Ketika
ketiga orang itu berusaha menangkap Kemuning, maka tibatiba saja gadis itu melenting. Tangannya yang cepat
menyambar dada seorang di antara mereka sehingga orang
itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Kemuning tiba-tiba saja telah menyingsingkan kain
panjangnya. Di bawah kain panjangnya, ternyata Kemuning
mengenakan pakaian khusus. Celana berwarna gelap sampai
sedikit di bawah lutut. Paksi memang menjadi berdebar-debar. Ternyata
Kemuning adalah seorang gadis yang juga memiliki
kemampuan olah kanuragan. Tetapi Paksi tidak tahu, apakah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gadis itu memiliki kemampuan olah kanuragan sebelum ia
berada di tangan Bahu Langlang atau sesudahnya. Apakah Ki
Pananggungan yang kemudian telah melatih Kemuning dalam
olah kanuragan. Jika demikian, maka Kemuning itu tentu
masih berada pada tataran pemula.
Dengan tegang Paksi ingin menyaksikan apa yang telah
terjadi. Apakah Kemuning mampu melindungi dirinya atau
tidak. Sementara itu, lorong kecil itu memang terkesan sepi.
Sejenak kemudian Paksi menahan nafasnya. Ketiga orang
laki-laki itu mulai mencoba menangkap Kemuning.
Namun Kemuning itupun segera meloncat dengan
tangkasnya. Sambil memutar tubuhnya, kakinya terayun
dengan cepat, mendatar menyambar dada salah seorang dari
anak muda itu. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Ia tidak
mengira bahwa Kemuning mampu bergerak setangkas itu.
Namun kemudian orang itupun telah menggeretakkan giginya.
Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Sambil
menggeram ia meloncat menerkam Kemuning dengan jari-jari
tangannya yang mengembang.
Tetapi Kemuning cukup tangkas. Ia bergeser ke samping.
Ketika seorang yang lain mengayunkan tinjunya ke arah
wajahnya, Kemuning merendahkan dirinya.
Tangannya terjulur lurus, justru menyongsong tubuh
lawannya. Dengan derasnya tangannya telah mengenai dada
lawannya. Terdengar keluhan tertahan. Sementara Kemuningpun
berkata, "Jika kalian tidak mau pergi, aku akan berteriak.
Orang-orang yang bekerja di sawah dan mendengar
teriakanku, akan segera berdatangan."
"Kau tidak akan sempat berteriak," geram orang yang
berwajah licin. "Kenapa tidak" Bukankah aku sempat berbicara panjang
sekarang?" Ketika orang yang berwajah persegi menyerang dengan
ayunan kakinya yang mendatar, Kemuning sempat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menangkisnya. Dikibaskannya kaki itu menyamping, sehingga
sama sekali tidak menyentuh tubuhnya.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ternyata ancaman Kemuning itu membuat orang berwajah
kasar menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengira bahwa kemuning
sempat memberi perlawanan. Karena itu maka ia tidak
menyerang lagi. "Aku memberi kesempatan pada kalian untuk yang terakhir
kalinya. Kalian akan pergi atau tidak?"
Orang yang berwajah kasar itu menggeram. Namun iapun
kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya
untuk meninggalkan tempat itu.
Perhitungan orang-orang itu ternyata keliru. Kemuning
sempat memberikan perlawanan. Ancamannya untuk berteriak
memang membuat ketiga orang itu menjadi cemas. Mereka
menduga, bahwa dengan serta-merta mereka dapat
menangkap Kemuning sebelum ada orang yang
mengetahuinya. Menyeretnya ke dalam semak-semak dan
kemudian dengan ancaman membawanya pergi tanpa banyak
kesulitan. Tetapi yang terjadi ternyata lain.
Ketika ketiga orang itu kemudian bergeser menjauh,
seorang di antara mereka sempat berkata, "Pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi, Kemuning."
Kemuning tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga
orang itu dengan tajamnya.
Sejenak Kemuning berdiri termangu-mangu. Kemudian
iapun segera membenahi pakaiannya. Namun sebelum
Kemuning memungut gendi dan bakulnya, ia mendengar
semak-semak yang tersibak. Dua orang muncul dari balik
gerumbul perdu di pinggir jalan.
Dengan cepat Kemuning memutar tubuhnya dan bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Namun Kemuning itupun mengerutkan dahinya. Diamatinya
kedua orang itu dengan seksama. Dari sela-sela bibirnya
kemudian terdengar Kemuning itu berdesis, "Kakang Paksi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi tersenyum. Katanya, "Kau masih mengenal aku
Kemuning." "Tentu, Kakang."
"Aku lihat bagaimana kau menakut-nakuti ketiga orang laki-laki itu."
"Ah." "Ternyata kau memiliki kemampuan dalam olah
kanuragan." "Aku hanya mengancam mereka untuk berteriak jika
mereka tidak mau pergi."
"Tetapi kau sudah mempunyai bekal untuk melindungi
dirimu sekarang." "Paman Pananggungan mengajari aku bagaimana aku
harus membela diri."
"Bagus," desis Paksi, "ternyata kemampuan itu berarti juga bagimu."
"Baru itu yang dapat aku lakukan. Sedikit meloncat dan
bergeser." "Tetapi peningkatan kemampuanmu terhitung cepat,
Kemuning." "Ah," Kemuning tertunduk.
Namun Paksipun kemudian telah memperkenalkan Wijang.
Dengan ragu Paksi itupun berkata, "Aku datang kali ini
bersama kakakku, Kemuning."
Kemuning mengangkat wajahnya.
"Namanya Wijang."
Kemuning itupun mengangguk hormat, sementara
Wijangpun berkata, "Mudah-mudahan aku tidak terlalu
menjemukan." "Ah," Kemuning justru tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Paksilah yang kemudian bertanya, "Apakah kau akan pergi
ke sawah?" "Ya, Kakang." "Jika demikian, marilah. Kami ikut pergi ke sawah untuk
menemui Paman Pananggungan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah, Paksi dan Wijang menemui Kemuning yang
berjalan cepat ke kotak-kotak sawah yang terletak di pinggir
parit induk, sehingga sawah itu tidak pernah kekurangan air di segala musim.
"Paman tentu akan senang sekali," berkata Kemuning
sambil berjalan di depan.
Di sepanjang jalan, Paksi ternyata lebih banyak berbicara
dengan Kemuning, sehingga Wijang lebih banyak berdiam diri
sambil berjalan di belakang.
Sambil berjalan Paksipun kemudian bertanya, "Apakah ayah
dan ibumu sudah menyusulmu kemari?"
"Ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku ada disini."
"Tetapi jika mereka pulang dan mengetahui bahwa kau
tidak ada di rumah, mereka tentu akan menyusul kemari."
"Belum tentu. Mungkin ayah dan ibu mencariku di tempat
sanak kadang yang lain."
"O," Paksi mengangguk-angguk, "kau masih mempunyai sanak kadang yang lain kecuali Paman Pananggungan."
"Menurut ayah dan ibu, masih ada beberapa orang sanak
saudara kami. Ayah dan ibu pernah mengajak aku
mengunjungi mereka. Pada umumnya mereka baik padaku."
"Tetapi kenapa kau justru datang kemari?"
"Nampaknya Bibi merasa lebih dekat dengan Paman
Pananggungan dari sanak kadang kami yang lain."
"Jika demikian, bukankah pada saat nanti ayah dan ibumu
akan mencarimu kemari?"
"Ya. Ayah dan ibu pada suatu saat tentu akan kemari."
Paksi mengangguk-angguk. Namun bahwa keduanya masih
belum datang ke Kembang Arum adalah satu kebetulan bagi
mereka berdua. Sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang didirikan di tepi
parit induk di bawah sepasang pohon turi yang sedang
berbunga, Kemuning berkata, "Di gubuk itu biasanya Paman
beristirahat." "Apakah Paman Pananggungan bekerja sendiri di sawah?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Paman bekerja bersama dua orang pembantunya. Paman
sendiri jarang pergi ke sawah ini. Paman justru lebih sering
pergi ke pategalan."
"Kenapa?" "Bukankah di pategalan udaranya lebih sejuk. Terik
matahari pun banyak yang tertahan oleh pepohonan yang
tumbuh semakin besar. Paman menanam beberapa batang
pohon buah-buahan di pategalan."
Paksi mengangguk-angguk. Namun iapun berpaling ketika
ia mendengar Wijang terbatuk-batuk.
"Marilah. Kenapa kau berjalan lambat sekali?"
Wijangpun mempercepat langkahnya. Katanya, "Seekor
binatang kecil masuk ke kerongkongan."
"Apakah kau tidak dapat mengatupkan mulutmu?"
"Aku sedang menguap."
"Marilah, jangan berjalan di belakang."
Wijang tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah mengambil jalan
pintas meniti pematang langsung menuju ke gubuk kecil di
bawah sepasang pohon turi itu.
Ki Pananggungan memang sudah menunggu di dalam
gubuknya bersama dua orang yang membantunya bekerja di
sawah. Ketika ia melihat Kemuning berjalan bersama dua
orang laki-laki, dahinya telah berkerut.
Namun semakin dekat, Ki Pananggungan pun mulai
mengenali salah seorang dari kedua orang laki-laki itu. Karena itu, maka iapun segera meloncat turun dari gubuknya,
menyongsong Kemuning bersama kedua orang yang datang
bersamanya. "Kau, Ngger," sapa Ki Pananggungan.
"Ya, Paman." "Marilah, duduk berdesakan di dalam gubuk kecil ini."
Kedua orang yang membantu Ki Pananggungan itulah yang
mengalah. Mereka turun dari gubuk itu dan melangkah
beberapa langkah menjauh. Merekapun kemudian duduk di
bawah pohon turi yang berdaun rimbun itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Paksi dan Wijangpun telah duduk di gubuk
itu pula. Ketika Kemuning meletakkan bakulnya, maka
pamannya itupun berkata, "Biarlah kedua orang itu minum
dan makan lebih dahulu. Matahari telah sampai ke puncak.
Agaknya mereka telah merasa haus dan lapar. Mereka sudah
bekerja sejak matahari terbit."
Kemuningpun kemudian beringsut turun. Tetapi ia masih
berceritera tentang tiga orang yang mencoba mengganggunya
di jalan. "Siapakah mereka itu?" bertanya Ki Pananggungan.
"Apakah kau belum pernah melihat mereka" Agaknya mereka
bukan anak muda dari Kembang Arum."
"Memang bukan, Paman. Menurut keterangan mereka
sendiri, mereka adalah orang Sawahan."
"Tentu juga bukan orang Sawahan. Mereka hanya ingin
menyembunyikan jejak mereka."
"Aku juga menduga begitu, Paman."
"Untunglah bahwa Angger Paksi telah menolongmu lagi."
Paksilah yang menyahut, "Bukan aku, Paman. Kali ini
Kemuning telah membebaskan dirinya sendiri. Ternyata ia
sudah memiliki kemampuan untuk menghadapi anak-anak
muda yang tidak bertanggung jawab itu."
"Ah, apa yang dapat ia lakukan?"
"Aku mengancam mereka untuk berteriak jika mereka tidak
pergi," berkata Kemuning.
Ki Pananggungan tertawa. Katanya, "Satu jenis ilmu yang
ternyata mampu mengusir anak-anak muda itu."
Yang lainpun tertawa pula. Kemuning juga tersenyum
sambil melangkah mendekati kedua orang yang duduk di
bawah pohon turi itu. "Biarlah aku menunggu, Ki Pananggungan," berkata salah seorang dari mereka.
"Makanlah dahulu," sahut Ki Pananggungan. "Aku baru menemui tamu-tamuku."
Kedua orang itu tidak menjawab. Bahkan Kemuning telah
meletakkan bakulnya di atas pematang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, Paksipun telah memperkenalkan Wijang
kepada Ki Pananggungan. Dengan nada rendah Paksi berkata,
"Kakakku ini bernama Wijang, Paman."
Tetapi baik Paksi maupun Wijang terkejut bukan buatan. Ki
Pananggungan itupun membungkuk hormat sambil berdesis,
"Ampun, Pangeran. Aku tidak dapat menyambut kedatangan
Pangeran dengan sepantasnya."
Paksi dan Wijang itu menjadi tegang. Lebih-lebih lagi Paksi
merasa bertanggung-jawab. Ialah yang mengajak Wijang
pergi ke Padukuhan Kembang Arum. Tetapi ia tidak menduga
sama sekali, bahwa Ki Pananggungan itu dapat mengenali
Pangeran Benawa. "Paman," berkata Paksi dengan gagap, "dari mana Paman mengenali bahwa yang datang bersamaku ini adalah seorang
pangeran?" "Aku pernah berada di istana Pajang, Ngger," jawab Ki Pananggungan. "Aku pernah melihat Pangeran beberapa kali.
Dan siapakah yang belum pernah mengenal Pangeran
Benawa?" "Baiklah, Paman," berkata Pangeran Benawa kemudian.
"Aku tidak akan ingkar. Tetapi sebaiknya aku mohon Paman
melindungi keberadaanku di tempat ini."
"Aku mengerti, Pangeran. Itulah sebabnya aku minta
Kemuning membawa kirimannya kepada kedua orang yang
membantuku bekerja di sawah ini. Aku berharap bahwa
mereka tidak mendengar pembicaraan kita disini."
Paksipun kemudian berkata, "Paman. Sebaiknya kami
berterus-terang. Pangeran Benawa sedang berada dalam
penyamaran. Ia ingin mengembara untuk dapat menyaksikan
kehidupan yang nyata dari rakyatnya. Bukan sekedar laporan
dari para pemegang pemerintahan di segala tataran, bahwa
semuanya berjalan dengan baik."
"Aku berjanji untuk tidak membuka rahasia ini."
"Apalagi para pemimpin dari beberapa perguruan sedang
memburunya. Bahkan mungkin juga termasuk Ki Repak
Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau sudah bertemu dengan mereka?" bertanya Ki
Pananggungan. "Tidak secara langsung, Paman."
Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Kau belum mengatakan
kepada Kemuning?" "Tidak, Paman. Kami tidak mengatakannya."
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Paksipun berceritera tentang kedua orang tua angkat
Kemuning itu, namun yang dianggapnya sebagai orang tuanya
sendiri. "Nyi Melaya Werdi dan Nyi Megar Permati sedang mencari
Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung. Mereka
menduga bahwa Pangeran Benawa ada di tangan Ki Repak
Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung."
Ki Pananggungan itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada rendah ia berkata, "Siapa yang dapat menahan Pangeran Benawa yang memiliki ilmu tidak terbatas itu."
"Ah, Paman terlalu berlebihan."
"Aku berkata sebenarnya, Pangeran. Hanya Kangjeng
Sultan dan Raden Sutawijaya sajalah yang dapat menyamai
tataran ilmunya. Mungkin Ki Gede Pemanahan dan Ki
Panjawi." "Tentu tidak, Paman. Ilmuku belum seberapa. Masih belum
lebih tinggi dari ilmu Paksi."
"Pangeran tentu merendah. Maksudku, hanya beberapa
orang sajalah yang mampu mengimbangi kemampuan
Pangeran. Memang mungkin ada orang-orang berilmu tinggi
yang tersembunyi. Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Pangeran
Benawa hampir tidak bercela."
"Paman akan kecewa jika Paman melihat kenyataanku yang
tidak lebih baik dari Paksi. Tetapi sudahlah, kita akan
berbicara tentang sawah Paman yang subur ini," berkata
Pangeran Benawa kemudian.
"Ya, Pangeran. Namun satu hal yang ingin aku katakan,
bahwa keberadaan Pangeran di luar istana, serta kabar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentang hilangnya cincin kerajaan yang bermata tiga butir itu, menjadi jelas bagiku sekarang. Sebenarnyalah Pangeran harus
berhati-hati membawakan diri. Apalagi beberapa orang telah
mencari Pangeran, yang tentu dihubungkan dengan cincin
yang tidak ada di bangsal pusaka itu."
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, "Agaknya
memang begitu, Paman. Terima kasih atas peringatan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Paman." Sementara itu, Paksipun berkata, "Dalam pengembaraan
ini, silahkan Paman memanggilnya Wijang."
"Wijang." Ki Pananggungan mengangguk-angguk. "Baiklah.
Aku akan memanggil Pangeran, Angger Wijang."
Pembicaraan merekapun terhenti sejenak. Kemuning telah
membenahi mangkuk yang dipergunakan oleh kedua orang
yang membantu Ki Pananggungan bekerja di sawah.
Kemuning itupun kemudian bangkit berdiri dan melangkah
mendekati gubuk itu sambil bertanya, "Bagaimana dengan
Paman?" "Aku akan pulang saja Kemuning. Aku akan makan di
rumah bersama Angger Wijang dan Angger Paksi."
Dengan demikian, maka Kemuningpun segera memasukkan
isi bakulnya kembali. Tetapi salah seorang dari kedua orang
yang membantu bekerja di sawah pamannya itu berkata,
"Tinggalkan saja gendinya, Nduk."
"Baik, Paman," jawab Kemuning, "tetapi jangan lupa, nanti bawa gendinya pulang."
Kedua orang itu tersenyum. Salah seorang dari mereka
menjawab, "Jika aku lupa, besok kau tidak usah mengirim
minuman kemari." "Jika bukan aku yang pergi ke sawah?"
"Siapapun yang pergi."
"Tanpa gendi dan tanpa bakul?"
"Ah. Nanti kami tidak kuat mengangkat cangkul setelah
matahari sampai di puncak."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemuningpun tertawa pula. Namun kemudian ia minta diri,
"Sudah, Paman. Aku akan pulang bersama Paman
Pananggungan serta kedua orang tamu itu."
"He, siapakah tamunya, Nduk" Tamu Ki Pananggungan
atau tamumu?" Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
menjawab, "Tentu tamu Paman Pananggungan."
Kedua orang itu tertawa. Tetapi mereka tidak bertanya lagi.
Demikianlah, maka Ki Pananggungan bersama Kemuning
dan kedua orang tamunya telah meninggalkan gubuk kecil itu
menuju ke Padukuhan Kembang Arum.
Ketika mereka sampai di rumah Ki Pananggungan, maka
Paksipun telah disambut dengan gembira oleh Nyi
Pananggungan dan Nyi Permati. Bersama Wijang, maka
Paksipun telah dipersilahkan untuk duduk di pringgitan.
Namun kepada Nyi Pananggungan, suaminya menyebut
tamunya yang seorang lagi sebagai kakak Paksi yang bernama
Wijang. Kemuning yang kemudian pergi ke dapur telah
memberitahukan kepada Nyi Pananggungan bahwa Ki
Pananggungan masih belum makan di sawah. Pamannya itu
ingin makan di rumah bersama kedua orang tamunya.
Nyi Pananggunganpun kemudian menjadi sibuk
mempersiapkan makan bagi suaminya dan kedua orang
tamunya dibantu oleh Kemuning. Sementara itu Nyi
Pananggungan minta agar Nyi Permati ikut menemui tamunya
di pringgitan. "Aku menyempatkan diri untuk singgah," berkata Paksi kepada Nyi Permati yang menemuinya bersama Ki
Pananggungan. "Kami senang sekali menerima kunjungan Angger berdua,"
berkata Nyi Permati. "Aku kira, Bibi sudah tidak ada disini."
"Kemana?" "Aku kira ayah dan ibu Kemuning sudah menyusul kemari."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka tidak tahu bahwa aku dan Kemuning berada
disini." "Tetapi jika mereka mencari, pada suatu hari tentu akan
datang kemari." Nyi Permati mengangguk. Namun kemudian ia berdesis,
"Aku berdoa, mudah-mudahan keduanya tidak mencari
Kemuning. Aku berharap agar keduanya mengembara saja
tanpa pernah pulang."
"Tetapi bukankah mereka mencintai Kemuning?"
Paksi tidak bertanya lagi. Sementara minumanpun telah
dihidangkan. Minuman yang masih mengepulkan asap putih
yang tipis. "Marilah, Ngger. Silahkan minum mumpung masih hangat,"
Ki Pananggunganpun mempersilahkan.
Paksi dan Wijangpun telah mengangkat mangkuknya dan
menghirup minumannya yang membuat keringat mereka
semakin banyak membasahi pakaian mereka.
Sementara itu, maka Kemuningpun telah menghidangkan
nasi dan lauk-pauknya pula. Meskipun mereka mempersiapkan
makan siang itu dengan sedikit tergesa-gesa, namun bagi
Paksi dan Wijang, hidangan itu sudah lebih dari cukup.
Nyi Permatipun kemudian mempersilahkan mereka makan,
sementara Nyi Permati telah meninggalkan mereka masuk ke
ruang dalam. Sambil makan Ki Pananggunganpun berkata, "Nyi Permati
berharap bahwa kedua orang tua angkat Kemuning itu tidak
datang untuk mengambil Kemuning."
"Tetapi bukankah mereka bersikap baik di rumah" Mereka
mengajari Kemuning melakukan hal-hal yang baik dan
berarti?" "Tetapi pada suatu saat, akhirnya Kemuning akan
mengetahui juga." "Mengetahui bahwa ia bukan anak kandung kedua orang
yang dianggap orang tua sendiri itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan itu. Akhirnya Kemuning akan tahu, apa yang sering
dikerjakan oleh kedua orang tua angkatnya. Dengan demikian,
maka hati gadis itu pada suatu saat akan hancur."
Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Tetapi agaknya
sulit bagi Kemuning melepaskan diri dari kedua orang yang
sudah dianggap orang tuanya sendiri itu. Nyi Permati agak
terlambat menyadari keadaan Kemuning serta hari depannya.
"Bagaimana dengan Ki Pananggungan sendiri?" bertanya Paksi.
"Bagiku, aku sama sekali tidak berkeberatan jika Kemuning tetap berada disini. Tetapi agaknya keberadaannya disini juga
menimbulkan persoalan seperti yang baru saja terjadi tadi
ketika Kemuning pergi ke sawah."
"Apakah itu akan menjadi persoalan yang
berkepanjangan?" "Mudah-mudahan tidak. Tetapi jarang gadis-gadis
padukuhan mempunyai keberanian seperti Kemuning."
"Apa salahnya," desis Paksi.
"Ia akan dapat menarik perhatian banyak orang. Tetapi aku tidak akan berhenti. Aku ingin Kemuning memiliki kemampuan
yang akan dapat menjadi pelindung bagi dirinya sendiri."
Paksi mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Wijang,
maka Wijang masih sibuk menyuapi mulutnya. Sekali-sekali ia
berdesis kepedasan. Tetapi ia masih saja mengambil sambal
terasi. Paksi tersenyum melihat bibir Wijang yang merah. Tetapi
Wijang memang senang sekali makan sambal.
Sementara itu Ki Pananggunganpun berkata, "Aku berharap
kau tidak tergesa-gesa meninggalkan tempat ini. Juga kepada
Pangeran Benawa aku mohon untuk bersedia tinggal disini
untuk beberapa hari."
Wijang mengusap bibirnya yang terasa agak panas. Sekilas
ia memandang Paksi yang sedang mengunyah makanannya.
Paksi sengaja membiarkan Wijang menjawab lebih dahulu.
Setelah meneguk minumannya, maka Wijang itupun
berkata, "Sebenarnya aku tidak berkeberatan, Paman. Kami
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdua memang pengembara yang tidak mempunyai tujuan
tertentu, sehingga karena itu, kami sama sekali tidak terikat
oleh waktu. Tetapi jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus
Rembulung datang ke tempat ini, maka suasananya akan
dapat berubah." "Tetapi bukankah keduanya belum mengenal kalian?"
"Memang belum, Paman. Tetapi jika mereka mulai
memperhatikan kami, maka kemungkinan buruk dapat
terjadi." Ki Pananggungan menarik nafas panjang. Katanya, "Tetapi
bukankah keduanya belum pasti akan datang kemari"
Seandainya mereka datang kemari, maka demikian mereka
datang, kalian berdua dapat meninggalkan tempat ini sebelum
terjadi benturan-benturan yang tidak kita kehendaki."
Wijang memandang Paksi sejenak. Katanya, "Terserah
kepada Paksi." Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
berkata, "Bagaimana pendapatmu, jika kita tinggal disini
barang dua tiga hari?"
Wijang tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku tidak
berkeberatan. Tetapi aku harap kau selalu ingat, bahwa
banyak orang yang kemudian memburu Pangeran Benawa.
Agaknya sikap Harya Wisaka itu menimbulkan gejolak baru
bagi para pemimpin perguruan yang terlalu bernafsu untuk
memiliki masa depan yang terbaik itu."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Maksudmu, tentu
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung juga sudah
mendengar bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran
Benawa." "Ya," jawab Wijang.
"Baiklah. Aku tidak akan pernah melupakannya." "Mudah-mudahan penyamaran Pangeran tidak akan dapat dikenal
orang." "Beberapa orang yang mengenal aku dengan baik berada di
pihak Paman Harya Wisaka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan mengangguk-angguk kecil. Sekilas
Wijang telah menceriterakan sikap Harya Wisaka yang sedang
memburu Pangeran Benawa. "Tetapi apa artinya Harya Wisaka bagi Pangeran Benawa."
"Paman Harya Wisaka tidak sendiri. Ia agaknya telah
menguasai sekelompok prajurit pilihan serta prajurit sandi."
"Siapakah yang telah membantu Harya Wisaka itu,
Pangeran?" Wijang memang menjadi ragu ragu. Namun kemudian
iapun berdesis, "Yang aku ketahui langsung adalah Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan."
Ki Pananggungan terkejut mendengar nama itu. Di luar
sadarnya iapun bertanya, "Apakah Pangeran tidak keliru?"
"Tidak, Paman. Aku dan Paksi melihat langsung. Tidak
hanya sekali. Tetapi beberapa kali. Bahkan Paksi pernah
dibelikan dawet cendol di pasar."
Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku mengenal Ki Rangga Suraniti. Sebenarnyalah Pangeran, aku pernah menjadi seorang prajurit di Pajang. Tetapi justru
setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar itu bersama ayahandanya, Ki Gede Pemanahan serta Ki
Penjawi, menewaskan Harya Penangsang, aku mengundurkan
diri. Meskipun demikian, aku masih sering pergi ke istana. Aku masih akrab dengan beberapa orang prajurit, termasuk Ki
Rangga Suraniti. Meskipun aku sudah bukan prajurit, tetapi
aku masih sering membantu tugas-tugas sandi. Baru pada
saat-saat terakhir ini aku benar-benar ingin beristirahat dan
berada di lingkungan keluargaku." Ki Pananggungan berhenti sejenak. Namun kemudian iapun melanjutkannya, "Menurut
pendapatku, Ki Rangga Suraniti adalah seorang prajurit yang
baik. Ia sudah menunjukkan pengabdian yang besar bagi
Pajang." "Sikap seseorang dapat saja berubah, Paman. Tetapi
semula aku juga tidak percaya, bahwa Ki Rangga Suraniti
bekerja bersama dengan Paman Harya Wisaka memburu
Pangeran Benawa." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa Pangeran tidak kembali saja ke istana" Bukankah
pengembaraan Pangeran dapat dilanjutkan pada kesempatan
lain, setelah Pangeran membuat penyelesaian dengan Harya
Wisaka?" "Aku tidak tahu, apakah jika hal itu aku sampaikan kepada ayahanda dan para pemimpin di Pajang, mereka dapat
mempercayainya. Sementara itu, aku tahu benar, bahwa
Paman Harya Wisaka adalah seorang yang licik."
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Katanya,
"Apakah Ki Rangga Suraniti tidak dapat mengenali Pangeran?"
"Aku selalu menghindar, Paman. Ki Rangga Suraniti belum
pernah melihat aku berkeliaran di sisi selatan kaki Gunung
Merapi ini." "Satu keterangan yang sangat menarik, bahwa Ki Rangga
Suraniti terlibat dalam usaha Harya Wisaka. Aku sendiri belum
mengenal Harya Wisaka dengan baik. Tetapi aku mengerti,
bahwa Harya Wisaka memang seorang yang keras hati. Jika
pada tempatnya, keras hati dapat berarti sikap yang baik.
Tetapi jika mengetrapkannya keliru, akibatnya seperti tingkahlaku Harya Wisaka itu."
-ooo00dw00ooo- Jilid 11 WIJANG mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Pananggunganpun berkata, "Baiklah, Ngger. Sekarang biarlah aku tidak mengganggu Angger berdua."
Wijang tertawa. Tetapi perutnya sudah mulai terasa
kenyang, justru karena ia makan sambil berbincang, maka
rasa-rasanya Wijang dan Paksi tidak sempat lagi
memperhatikan seberapa banyak nasi sudah masuk ke dalam
perut mereka. Ketika mereka sudah selesai makan, maka Kemuningpun
segera membenahi mangkuk-mangkuknya dan kemudian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membawanya ke dapur untuk dicuci. Sementara itu minuman
yang hangatpun telah dihidangkan lagi.
Seperti yang dikatakan Paksi, maka mereka berdua akan
berada di rumah itu untuk dua tiga hari. Kecuali jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke rumah itu
untuk menemui Kemuning. Setelah makan dan beristirahat sambil berbincang tentang
keadaan Padukuhan Kembang Arum beberapa saat, maka Ki
Pananggunganpun telah mempersilahkan kedua orang
tamunya untuk beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi mereka, di gandok sebelah kanan.
"Kemuning telah membersihkan gandok itu," berkata Ki Pananggungan
Ketika keduanya sudah berada di gandok, maka Wijangpun
berdesis, "Kau tentu kerasan tinggal disini."
"Kenapa?" bertanya Paksi.
"Gadis itu memang cantik."
"Aku tidak berada disini karena gadis itu."
Wijang tertawa. Katanya, "Jadi karena apa kau betah
tinggal disini kalau tidak karena gadis itu?"
Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
menjawab, "Ki Pananggungan adalah seorang yang sangat
menarik. Ia banyak memberikan petunjuk kepadaku."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wijang tertawa berkepanjangan.
"Kau tidak percaya?"
"Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak percaya?"
Paksi terdiam. Wijangpun kemudian berbaring di pembaringan sambil
berkata, "Tiba-tiba aku jadi mengantuk."
"Kau makan terlalu banyak," sahut Paksi sambil melangkah ke luar bilik di gandok itu.
"He, kau pergi kemana?" bertanya Wijang.
"Aku ingin duduk di serambi. Jika kau ingin tidur, tidurlah."
Tetapi Wijang justru bangkit dan mengikuti Paksi
melangkah keluar bilik yang udaranya terasa agak panas itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keduanyapun kemudian duduk di sebuah lincak panjang di
serambi gandok. Angin sore berhembus menggoyang pepohonan. Daundaunnya yang kuning terlepas dari tangkainya yang melayang
jatuh di plataran. Paksi tiba-tiba saja bangkit ketika ia melihat Kemuning
keluar dari pintu seketeng sambil membawa sapu lidi.
Sambil melangkah mendekat, maka Paksi itupun berkata,
"Biarlah aku saja yang menyapunya."
Kemuning termangu-mangu. Tetapi Paksi telah mengambil
sapu lidi itu dari tangan Kemuning.
"Biarlah aku saja menyapunya," berkata Kemuning.
Tetapi Paksipun menjawab, "Kau dapat membantu
Nyi Pananggungan di dapur."
"Apakah kau terbiasa menyapu halaman dengan sapu lidi?"
bertanya Kemuning. "Ya. Aku sudah terbiasa melakukannya."
Kemuning menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun
berdesis, "Baiklah. Tetapi jika kau merasa letih, tinggalkan saja. Nanti aku akan menyelesaikannya."
"Aku sudah terbiasa menyapu halaman yang lebih luas dari
halaman ini," jawab Paksi.
Kemuning memandang Paksi sekilas. Namun kemudian
iapun segera menunduk sambil berkata, "Baiklah. Aku akan
membantu Bibi di dapur."
Sepeninggal Kemuning, maka Wijangpun datang
mendekatinya. Katanya, "Biarlah aku saja yang menyapunya.
Kau dapat membantu Kemuning di dapur."
Tetapi jawaban Paksi tidak diduga oleh Wijang. Katanya,
"Marilah, silahkan. Nanti, biarlah aku yang mengaku telah menyapu halaman ini."
"Tidak mau," berkata Wijang kemudian. "Jika kau yang menyapu, biarlah aku yang mendapat pujian."
"Seharusnya kau memang belajar menyapu. Halaman
dalam istana Pajang setiap pagi dan sore harus disapu pula."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dengan satu lambaian tangan, halaman itu sudah akan
bersih," berkata Wijang.
"Tentu, karena dengan lambaian tanganmu, empat lima
orang abdi istana akan berlari-larian mendatangimu. Jika kau
perintahkan mereka semua menyapu halaman, maka
pekerjaan itu akan segera selesai."
Wijang tertawa. Katanya, "Kau memang seorang yang
pandai menyusun dongeng-dongeng ajaib. Tetapi katakan,
apa yang dapat aku kerjakan sekarang."
"Jika kau ingin membantu aku, ambil air. Sirami halaman ini agar debunya tidak berterbangan jika aku nanti menyapunya."
"Agaknya, biasanya juga tidak disiram. Biar saja debunya
berhamburan." "Bukankah kau yang bertanya, apa yang dapat kau lakukan
sekarang?" Wijang menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun
pergi ke halaman samping. Diambilnya sebuah kelenting.
Kemudian ditariknya senggot timba.
Dengan kelenting Wijang membawa air ke halaman. Namun
demikian ia menjinjing kelenting itu, kemudian berlari-lari
mendekati Paksi, maka Paksipun berkata, "Jangan dijinjing begitu. Kelenting itu akan patah lehernya."
"Jadi bagaimana?" bertanya Wijang.
"Memang biasanya perempuan yang mengambil air dengan
kelenting. Kelenting itu diletakkan di lambung."
Ketika kemudian Kemuning memberi contoh cara
membawa kelenting, maka Wijang menjadi canggung. Yang
kemudian dilakukan adalah mengangkat kelenting itu dan
ditaruhnya di atas kepalanya.
Kemuning tertawa. Tetapi dengan cara itu, kelenting itu
memang tidak akan pecah. Beberapa kali Wijang hilir mudik ke sumur untuk
mengambil air. Disiraminya halaman depan rumah Ki
Pananggungan itu sehingga ketika Paksi menyapunya, tidak
sebutir debupun yang terbang di udara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan yang melihat Pangeran Benawa
membawa kelenting di kepalanya itupun tergopoh-gopoh
mendekatinya sambil berdesis, "Jangan lakukan itu,
Pangeran." "Sst. Nanti kemenakan Paman itu mendengarnya."
"Ia berada di belakang. Tetapi aku mohon."
Wijang tertawa. Katanya, "Tidak apa-apa. Aku senang
melakukannya, Paman."
Ki Pananggungan tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika
kemudian Kemuningpun telah berdiri di halaman itu pula.
Dalam pada itu, seorang anak muda yang memasuki regol
halaman rumah Ki Pananggungan terkejut ketika ia melihat
Paksi dan Wijang berada di halaman itu. Seorang menyiram
halaman yang lain menyapu.
Ki Pananggungan yang melihat anak muda itupun
menyapanya, "Gangsar, marilah. Masuklah."
Gangsar termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Paksi
dan Wijang berganti-ganti.
"Marilah," berkata Ki Pananggungan, "aku perkenalkan kau dengan kedua orang kemenakanku. Yang menyapu itu
namanya Paksi sedang yang menyirami itu namanya Wijang."
Anak muda yang disebut Gangsar itu mengangguk-angguk
hormat. Dengan ragu-ragu iapun kemudian berkata, "Aku
ingin minta kesediaan Kemuning untuk membantu ibuku,
Paman." "Membantu apa?" bertanya Ki Pananggungan.
"Menjelang senja, ibuku akan mengadakan upacara wiwit.
Ibu akan minta Kemuning bersedia menggendong padi
pengantinnya." "O, kenapa harus Kemuning?" bertanya Ki Pananggungan.
Gangsar menjadi bingung. Tetapi kemudian iapun berkata,
"Aku tidak tahu. Tetapi pilihan ibu memang jatuh pada
Kemuning." Ki Pananggungan tersenyum. Ia tahu, bahwa tentu
Gangsar yang telah mengusulkan, agar Kemuning sajalah
yang akan menggendong padi pengantin dalam upacara wiwit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu. Meskipun upacara wiwit biasanya hanya diselenggarakan
secara sederhana dan kecil-kecilan, tetapi pilihan itu akan
sangat berarti bagi Gangsar sendiri.
Karena Kemuning ada juga di halaman, maka Ki
Pananggunganpun kemudian bertanya kepada Kemuning,
"Kau dengar sendiri permintaan Gangsar atas nama ibunya,
Kemuning." "Tetapi aku belum mandi, Paman."
"Kau dapat mandi dahulu, Kemuning," sahut Gangsar.
"Senja sudah hampir turun. Jika aku mandi dahulu, nanti
terlambat." Gangsar memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki
Pananggunganlah yang menengahi, "Kalau begitu kau tidak
usah mandi dahulu. Sebaiknya kau pergi saja ke upacara itu."
"Dengan pakaian seperti ini?"
"Kau dapat berganti pakaian dan berbenah diri sebentar.
Jangan membuat orang lain kecewa jika kau dapat
membantunya." Kemuningpun segera berlari ke dalam. Dengan cepat ia
berganti pakaian dan membenahi rambutnya. Kemudian
dengan tergesa-gesa iapun minta diri kepada bibinya dan
pemomongnya. Tetapi di halaman Kemuning itupun bertanya kepada
Gangsar, "Apakah kedua orang saudaraku boleh ikut serta?"
Gangsar termangu-mangu. Namun akhirnya ia
mengangguk. "Boleh saja. Tetapi upacara wiwit biasanya
diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja."
"Kedua saudaraku masih juga remaja," berkata Kemuning sambil tersenyum.
Wijang dan Paksipun tertawa. Tetapi Gangsar justru
mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata,
"Baiklah. Biarlah mereka ikut ke sawah."
Wijang dan Paksi berlari-larian mencuci kaki dan tangannya
di pakiwan. Namun ketika mereka berlari-lari menyusul Kemuning,
Paksi akan singgah sebentar di biliknya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau mau apa?" bertanya Wijang.
"Tongkatku?" "Kau akan ikut upacara wiwit atau mau menemui Melaya
Werdi dan Megar Permati?"
"Bukan itu. Tetapi kalau tongkat itu dikira barang yang
tidak berarti." "Bukankah tongkat itu ada di dalam bilik?"
"Ya." "Sudahlah. Kalau hilang aku carikan gantinya. Pohon jambu keluthuk di belakang rumah itu mempunyai beberapa cabang
yang mirip dengan tongkatmu."
Paksi memang tidak jadi singgah di dalam biliknya. Namun
keduanyapun segera menyusul Kemuning.
Di luar regol, Gangsarpun bertanya kepada Kemuning,
"Kenapa kedua saudaramu itu kau ajak" Bukankah mereka
sudah dewasa, sehingga tidak pantas untuk ikut upacara wiwit
di sawah?" "Upacara wiwit itu sebenarnya tidak hanya untuk anakanak dan remaja. Tetapi karena biasanya anak-anak muda
dan gadis-gadis yang sudah dewasa segan pergi ke sawah
hanya untuk mendapatkan sepincuk nasi gudangan dengan
telur yang hanya seperdelapan itu, maka yang datang
biasanya memang hanya anak-anak," jawab Kemuning.
Namun katanya kemudian, "Kedua saudaraku itu tentu hanya
ingin melihat saja."
Gangsar tidak menjawab. Sebenarnya Gangsar tidak
mempunyai keberatan apa-apa tentang sepincuk nasi
gudangan jika hanya ditambah dua orang peserta. Bahkan
sepuluh sekalipun, karena ibunya membuat cukup banyak.
Tetapi justru karena keduanya adalah anak-anak muda.
Tetapi Gangsar tidak dapat mencegahnya.
Beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan
keluarga Gangsar telah menuju ke sawah. Matahari sudah
terlalu rendah. Karena itu, maka mereka menjadi agak
tergesa-gesa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekelompok anak-anak dan remaja telah mengikuti pula.
Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh Gangsar, bahwa
tidak ada anak-anak muda dan gadis-gadis dewasa yang ikut.
Kecuali mereka yang akan terlibat dalam upacara.
Kemuning ikut berjalan di antara keluarga Gangsar.
Kemuning membawa selendang, yang nantinya akan
dipergunakan untuk menggendong padi penganten setelah
dipetik, sebelum nasi gudangan dibagikan.
Agak jauh di belakang iring-iringan itu, Wijang dan Paksi
melangkah mengikutinya. Ternyata upacara wiwit itu cukup meriah. Ibu Gangsar
telah memetik sepasang padi yang kemudian diikat menjadi
satu. Kemuninglah yang kemudian menggendong padi
penganten itu. Setelah dibacakan doa, maka nasi gudangan yang dibawa
dari rumah Gangsar itupun segera dibagikan.
Namun yang tidak mereka sadari, bahwa seseorang yang
melihat Kemuning ikut dalam iring-iringan keluarga Gangsar
itu telah dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada
kawan-kawannya. "Kemuning ikut dalam upacara wiwit di bulak itu?" bertanya seorang anak muda yang berwajah licin dan setiap saat selalu
tersenyum. "Ya," jawab anak muda yang melihat Kemuning dalam
iring-iringan itu. Kemudian seorang yang berwajah persegi dengan gigi yang
besar-besar dan tersembul di sela-sela bibirnya berdesis, "Kita pernah dibuatnya menjadi malu."
"Satu kesempatan. Kita akan tetap mengaku anak-anak
dari Sawahan. Pada saat seperti ini tentu sudah tidak banyak
orang berada di sawahnya. Jika ia mengancam akan berteriak
kita akan menertawakannya."
"Tetapi orang-orang yang ikut upacara wiwit itu?"
"Mereka hanya anak-anak. Mereka akan menjadi
ketakutan," jawab orang yang berwajah licin.
"Yang ikut dalam penyelenggaraan upacara itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hanya satu dua orang. Mereka tidak akan berani berbuat
apa-apa. Mereka pun tidak mengenal kita."
Sementara seorang yang berwajah kasarpun berkata, "Kita
tidak hanya bertiga. Kita akan pergi menjemput Kemuning
bersama sepuluh orang."
Orang yang berwajah licin itu mengerutkan dahinya.
Katanya, "Jangan terlalu banyak."
"Apa bedanya" Bukankah kita akan membawanya pulang?"
Beberapa orang di antara mereka menjadi ragu-ragu.
Namun akhirnya orang yang berwajah persegi itu berkata,
"Marilah. Kita akan menjemput Kemuning dan membawanya
pulang. Tetapi kita tidak akan membunuhnya. Kita akan
menyekapnya sampai kita menjadi jemu. Meskipun gadis itu
sangat cantik, tetapi pada suatu saat kita tidak akan
membutuhkannya lagi."
"Lalu apa yang kita lakukan terhadap gadis itu kemudian?"
"Kita akan menilainya kembali setelah sebulan atau lebih."
"Marilah," berkata orang yang berwajah kasar, "kita nanti terlambat. Upacara wiwit adalah upacara kecil, sehingga tidak
akan berlangsung terlalu lama. Jika senja turun, maka upacara
itu tentu sudah selesai."
Beberapa orang anak muda yang kasar itupun kemudian
berlari-lari pergi ke bulak.
Dalam pada itu, maka upacara wiwit itu memang sudah
selesai setelah senja turun. Anak-anak serta remaja yang ikut
dalam upacara itupun segera berlari-larian pulang sambil
membawa pincuk nasi gudangan. Sepotong kecil telur itik
yang direbus, pisang raja yang dibagi dua, terdapat dalam
pincuk itu pula. Sementara itu, Kemuning yang diminta ikut dalam upacara
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, menggendong sepasang padi pengantin untuk dibawa
pulang dan akan diletakkan di dalam lumbung.
Tetapi kelompok orang yang menyelenggarakan upacara
wiwit, yang sebagian besar terdiri dari perempuan itu terkejut.
Beberapa orang anak muda yang kasar berlari-lari mendekati
mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah nasi dan gudangannya masih cukup?" bertanya ibu Gangsar.
"Masih, Bibi," jawab perempuan yang membawa bakul nasi.
Bahkan katanya kemudian, "Telurnya juga masih ada."
Meskipun demikian perempuan-perempuan itu menjadi
tegang. Gangsarpun menjadi tegang pula.
Tidak terbiasa anak-anak muda berlari-larian untuk ikut
dalam upacara wiwit. Bahkan dua orang anak muda yang
diaku sebagai saudara oleh Kemuning yang ikut pergi ke
sawah itupun tidak mau mendekati upacara. Mereka hanya
melihat dari kejauhan saja.
Sejenak kemudian, sekelompok anak muda yang berlarilarian itu telah menjadi semakin dekat. Mereka tidak
menghiraukan batang-batang padi di sawah. Dengan
menginjak-injak batang padi yang sudah saatnya dituai itu,
mereka mengepung orang-orang yang baru saja selesai
menyelenggarakan wiwit. Gangsar menjadi bingung. Sekelompok laki-laki yang kasar
berdiri di sekitarnya. "Apakah kalian ingin mengikuti upacara wiwit?" bertanya ibu Gangsar dengan jantung yang berdegupan. "Masih ada
nasi, telur dan pisang."
Gadis yang menggendong bakul nasi itupun menunjukkan
kepada anak-anak muda itu, bahwa masih tersisa nasi cukup
bagi mereka. Tetapi gadis itu terkejut. Dengan kasar seorang di antara
anak-anak muda itu telah menendang bakul itu sehingga
terlempar dan tumpah di pematang.
Kemuningpun terkejut sekali melihat orang itu. Iapun
segera dapat mengenali anak muda yang berwajah licin tetapi
bermata liar menakutkan. Apalagi ketika anak muda itu
tersenyum. "Aku tidak butuh nasi, telur dan pisang," geram anak muda itu. "Aku datang untuk mengambil Kemuning."
"Siapakah kalian itu?" bertanya ibu Gangsar itu pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami anak-anak muda dari Sawahan. Kami akan
mengambil Kemuning. Kemuning baru akan kami kembalikan
jika seorang gadis Sawahan yang diambil oleh anak-anak
muda Kembang Arum sudah dikembalikan."
"Anak-anak muda Kembang Arum tidak mengambil gadis
dari Sawahan," sahut Gangsar.
Tetapi seorang yang berwajah kasar telah mendekati
Gangsar sambil bertanya, "Apa katamu?"
Gangsar menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian
menjawab, "Tidak ada yang mengambil gadis dari Sawahan."
Gangsar terkejut ketika tiba-tiba tangan orang berwajah
kasar itu menampar mulutnya.
"Katakan sekali lagi," bentak orang yang berwajah kasar itu. "Katakan."
Gangsar justru terdiam. "Kenapa kau diam" Kenapa?" Orang yang berwajah kasar itu tiba-tiba menarik rambut Gangsar. Gangsar menjadi
ketakutan. "Sekarang katakan, bahwa anak-anak muda Kembang
Arum telah mengambil seorang gadis dari Sawahan yang
sampai hari ini belum dikembalikan."
Gangsar itu masih tetap diam.
"Katakan, cepat," bentak orang itu yang mengguncang
rambut Gangsar sambil menginjak ikat kepalanya yang
dibenamkannya ke dalam tanah yang basah dengan kakinya.
Gangsar masih tetap diam. Namun sekali lagi tangan orang
berwajah kasar itu yang lain, telah menampar mulut Gangsar
sehingga berdarah. "Katakan bahwa anak-anak muda Kembang Arum telah
membawa gadis Sawahan hingga sekarang."
Tubuh Gangsar menjadi gemetar. Ketika orang itu
mengguncang lagi rambut Gangsar, maka Gangsarpun berkata
gagap, "Ya, ya. Kau benar."
"Kau yang harus mengatakannya," teriak orang berwajah kasar itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan-perempuan yang ikut dalam upacara wiwit itu
menjadi ketakutan sekali. Seorang laki-laki yang sudah separo
baya yang ikut dalam upacara itu sama sekali tidak berani
berbuat sesuatu. Sementara itu, orang berwajah kasar itu membentak keras,
"Cepat katakan, sebelum gigimu rontok semuanya."
"Ya, ya. Anak-anak Kembang Arum telah mengambil gadis
Sawahan." "Nah," orang berwajah kasar itu melepaskan rambut
Gangsar. Kepada perempuan-perempuan yang ikut dalam upacara
kecil itu, ia berkata, "Kalian dengar. Anak-anak muda
Kembang Arum telah mengambil seorang gadis dari Sawahan.
Itu adalah pengakuan salah seorang anak muda Kembang
Arum. Sekarang, aku akan membawa Kemuning ke Sawahan.
Kemuning akan dikembalikan setelah gadis Sawahan itu
pulang." Orang-orang kasar itu tidak membuang waktu lagi.
Beberapa orang telah meloncat maju untuk menangkap
Kemuning. Tetapi menangkap Kemuning tidak semudah menangkap
Gangsar. Seorang anak muda yang menyentuhnya, tiba-tiba
Pedang Ular Mas 13 Kisah Flarion Putera Sang Naga Langit Karya Junaidi Halim Harpa Iblis Jari Sakti 33
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama