Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 12
telah terlempar jatuh menimpa kawannya.
Tetapi perlawanan Kemuning yang masih baru mulai
menyadap ilmu kanuragan itu tidak berlangsung lama.
Sepuluh orang laki-laki yang garang mengeroyoknya, sehingga
akhirnya, Kemuning itupun telah dapat ditangkap meskipun
gadis itu meronta-ronta. "Nah. Katakan kepada anak-anak muda Kembang Arum.
Kemuning akan dikembalikan, jika gadis Sawahan itu sudah
kembali." Tiga orang kemudian telah menyeret Kemuning. Namun
dua orang anak muda yang lain tiba-tiba berkata, "Aku akan membawa dua orang gadis yang lain. Semakin banyak, gadis
Sawahan itu tentu akan semakin cepat kembali."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak ada jawaban. Kemuning telah dibawa pergi dengan
cepat oleh ketiga orang yang pernah mencegatnya. Sementara
itu dua orang gadis yang lain berteriak-teriak ketika anak-anak muda itu menyeretnya.
Gangsar serta laki-laki separo baya yang ikut dalam
upacara kecil itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya
dapat memandangi dengan jantung yang hampir berhenti
berdetak, Kemuning dengan dua orang gadis yang lain dibawa
dengan paksa oleh orang-orang kasar itu.
"Kita harus segera pulang. Kita lapor kepada Ki Bekel,"
berkata laki-laki yang sudah separo baya itu.
"Paman Kemuning tentu akan sangat marah," desis
Gangsar yang mulutnya berdarah.
Namun merekapun dengan tergesa-gesa pulang ke
padukuhan. Bahkan Gangsarpun berlari-lari kecil mendahului
tanpa ingat lagi bahwa ikat kepalanya tertinggal di sawah.
Ketika hal itu kemudian didengar oleh orang-orang
Padukuhan Kembang Arum, maka padukuhan itupun menjadi
gempar. Ki Pananggungan pun terkejut. Kepada Gangsar Ki
Pananggungan itupun bertanya, "Dimana kedua orang
kemenakanku yang ikut pergi ke sawah itu?"
Gangsar termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Aku tidak melihat mereka. Sejak upacara dimulai, mereka tidak kelihatan lagi."
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Adalah aneh
jika Paksi dan Wijang tidak membantu membebaskan
Kemuning dari orang-orang liar itu.
"Mungkin mereka meninggalkan upacara itu karena mereka
tertarik untuk melihat sesuatu, sehingga mereka tidak tahu
apa yang telah terjadi."
Nyi Permati dan Nyi Pananggungan pun menjadi sangat
gelisah. "Aku akan mencarinya," berkata Ki Pananggungan.
"Kakang akan pergi ke Sawahan?" bertanya istrinya.
"Mereka tentu bukan anak-anak Sawahan."
"Jadi kemana Kakang akan mencarinya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku harus melihat jejak kepergian mereka. Memang agak
sulit di malam hari. Tetapi mudah-mudahan aku dapat
menemukan mereka. Aku juga ingin tahu, dimana Angger
Paksi dan Angger Wijang ketika peristiwa itu terjadi."
Ki Pananggungan ternyata telah mengambil jalan sendiri. Ia
tidak pergi dengan Ki Bekel dan bersama-sama dengan
beberapa orang laki-laki yang bersedia ikut mencari Kemuning
dan kedua orang gadis yang lain.
Tetapi Ki Pananggungan sempat memperingatkan, bahwa
mereka tentu bukan anak-anak muda Sawahan.
"Aku memang sudah pernah mendengar, bahwa ada
sekelompok anak-anak gila yang melakukan perbuatan
terkutuk itu." "Sebaiknya Ki Bekel menghubungi Ki Bekel di Sawahan
untuk memberitahukan persoalan ini, agar anak-anak muda
Sawahan menjadi lebih berhati-hati."
"Baiklah Ki Pananggungan."
"Sekarang aku minta ijin Ki Bekel, untuk mencari Kemuning dan kedua orang kawannya itu dengan caraku. Tetapi bukan
maksudku untuk menghambat usaha Ki Bekel dan saudarasaudaraku yang lain."
"Apakah mereka kawan-kawan kedua orang Ki
Pananggungan itu sendiri?" tiba-tiba Gangsar menyela.
Ki Pananggungan memandang mata anak itu dengan
tajamnya sehingga anak muda itu memalingkan wajahnya.
Dengan nada berat Ki Pananggungan berkata, "Tentu tidak.
Hanya jika keduanya sudah gila, maka hal seperti itu akan
dilakukannya." Demikianlah, maka Ki Pananggungan pun telah pergi
seorang diri ke sawah, ke tempat upacara itu dilangsungkan.
Dari tempat upacara itu Ki Pananggungan berusaha
menelusuri jejak sekelompok orang yang telah mengambil
Kemuning dan dua orang gadis yang lain.
Dalam pada itu, sekelompok orang-orang kasar itu telah
menyeret Kemuning dan dua orang gadis yang lain menyusuri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pematang, tanggul parit dan kemudian lorong kecil menuju ke
pinggir hutan. Ternyata anak muda yang liar ini mempunyai gubuk-gubuk
yang mereka buat di pinggir sebuah hutan di samping tempat
tinggal mereka bersama-sama dengan orang tua mereka di
padukuhan. Dengan kasar Kemuning dan kedua orang gadis yang lain
itu telah mereka dorong masuk ke dalam gubuk yang terbesar
di antara gubuk-gubuk yang ada.
Ketiga orang gadis itu terhenyak di atas sebuah amben
bambu yang besar. Sementara itu lampu minyak yang redup
menerangi ruangan yang agak luas itu. Ternyata gubuk itu
sama sekali tidak mempunyai sekat-sekat di dalamnya.
"Kalian bukan anak-anak muda Sawahan," Berkata
Kemuning dengan lantang, sementara kedua orang gadis yang
lain hanya dapat menangis ketakutan.
Orang yang berwajah licin itu tersenyum sambil menjawab,
"Apa bedanya. Apakah kami anak-anak muda dari Sawahan
atau bukan. Bagi kami yang penting kau sudah berada di
dalam sarang kami." "Kalian pengecut," bentak Kemuning. "Aku tantang orang yang kalian anggap terkuat di antara kalian untuk berkelahi."
Orang yang berwajah licin itu menyahut sambil tertawa,
"Aku senang menghadapi gadis-gadis garang seperti kau."
"Kaulah yang aku tantang."
"Baik. Aku memang orang yang pertama yang akan
melawanmu. Biarlah kedua orang kawanku yang terdekat ini
mengikat tanganmu. Jika tanganmu tidak diikat, maka kukumu
akan dapat melukai wajah tampanku."
Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Kemuning telah
menyerang. Tangannya dengan cepat telah terjulur
menghantam dada orang yang berwajah licin itu.
Orang itu tidak mengira bahwa hal itu bakal terjadi. Karena
itu, ia tidak sempat menangkis atau mengelak. Serangan
Kemuning itu telah mendorongnya beberapa langkah surut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan orang itu telah kehilangan keseimbangannya,
sehingga jatuh terlentang.
Dengan cepat orang itu bangkit berdiri. Beberapa orang
serentak maju menangkap Kemuning. Tidak hanya dua orang.
Tetapi empat orang. Meskipun Kemuning sempat memukul
mereka sehingga seorang di antara mereka mengaduh
kesakitan, namun akhirnya Kemuning dapat ditangkap.
Orang yang berwajah licin itu tidak tersenyum lagi.
Matanya yang memandangi tubuh Kemuning bagaikan
membara. Gejolak di dalam dadanya terasa berdentangan.
"Ikat tangan gadis yang liar ini. Kemudian bawa gadis yang lain pergi."
Beberapa orang mulai sibuk. Ketika seorang di antara
mereka melangkah ke arah pintu, orang yang berwajah licin
itu bertanya, "Kau akan pergi kemana?"
"Mencari tali," jawab orang itu.
"Pakai ikat kepalamu," bentak orang berwajah licin itu.
Orang itu melangkah kembali. Dilepasnya ikat kepalanya
untuk mengikat tangan Kemuning.
Tetapi sebelum tangan itu diikat, tiba-tiba saja pintu gubuk
itu terbuka. Derak suaranya mengejutkan orang-orang yang
ada di dalam gubuk itu. Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat dua orang
berdiri di pintu yang sudah terbuka itu.
Nyala lampu yang redup menggapai wajah kedua orang itu.
Hampir di luar sadarnya Kemuning berdiri, "Kakang Paksi."
Paksi dan Wijang itu melangkah masuk. Dengan nada datar
Paksi berkata, "Kami sengaja tidak mencegah kalian di tempat upacara wiwit itu, karena kami ingin mengikuti kalian sampai
ke sarang kalian." "Siapa kau?" bertanya orang yang berwajah licin itu.
"Kami berdua adalah kakak Kemuning."
"O," orang yang berwajah licin itu melangkah mendekati keduanya diikuti oleh beberapa orang kawannya, "kebetulan sekali kau datang ke rumahku. Aku minta relamu, bahwa aku
menginginkan adikmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi Paksi justru tertawa. Katanya, "Nampaknya kau
sudah sering melakukan hal seperti ini. Jika kau mengaku
anak muda dari Sawahan dan mengatakan ada gadis Sawahan yang
hilang, maka tentu kalian juga yang mengambilnya."
"Persetan. Kalian akan menyesal, bahwa kalian telah
memasuki sarang kami."
"Jika kami menyesal, maka kami tentu akan segera pergi."
"Kau tidak akan pernah dapat pergi meninggalkan tempat
ini. Sebentar lagi tubuhmu akan berkubur di hutan itu."
Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih
saja tertawa sambil berkata, "Jangan main-main. Kau akan
dapat terjerat sendiri oleh lidahmu."
"Cukup," bentak orang berwajah licin itu. Lalu iapun berkata
kepada kawan-kawannya, "Jangan beri kesempatan kedua
orang ini lolos. Mulut mereka akan sangat berbahaya bagi kita
semua disini." Tetapi tanpa menghiraukan kata-kata itu, Wijang justru
melangkah ke tengah-tengah gubuk itu. Dipandanginya
keadaan sekelilingnya sambil berkata, "Aku kira, tempat ini cukup luas untuk membantai orang-orang liar yang buas ini.
Kita akan membaringkan mayat-mayat mereka di amben itu.
Tetapi kemudian kita akan sedikit bingung, apakah kita akan
membakar gubuk ini atau membiarkan mayat-mayat itu
dikoyak-koyak oleh binatang buas."
Paksi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
berkata, "Kemuning, bersiaplah. Aku akan membunuh orangorang yang telah menyeretmu ke tempat terkutuk ini."
Orang berwajah licin itupun segera mempersiapkan diri.
Selangkah ia bergeser surut, sementara kawan-kawannya pun
telah bersiap pula. Dalam pada itu, ketika semua perhatian tertuju kepada
Wijang dan Paksi, maka Kemuning telah mempergunakan
kesempatan itu. Dengan tangkasnya ia menghentakkan
tangannya yang sudah hampir diikat itu. Satu pukulan yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keras menghantam dada salah seorang yang berdiri di
dekatnya. Orang yang dikenai dadanya itu terkejut. Dadanya terasa
sesak. Sambil mengumpat ia berkata, "Jangan lepaskan gadis itu."
Pada saat yang bersamaan, maka Wijang dan Paksipun
telah meloncat menyerang orang-orang yang berdiri paling
dekat dengan mereka, sehingga sejenak kemudian,
pertempuranpun telah terjadi.
Orang-orang yang ada di dalam barak itu bukan orangorang yang memiliki bekal ilmu yang cukup. Karena itu, ketika
Paksi dan Wijang berloncatan, maka beberapa orang telah
terlempar jatuh. Meskipun mereka berusaha untuk segera bangkit, tetapi
mereka tidak banyak mendapat kesempatan. Dalam waktu
yang dekat, maka orang-orang liar itu sudah mengalami
banyak kesulitan. Ternyata yang kemudian melibatkan diri bukan hanya
orang-orang yang berada di dalam gubuk itu. Dari gubuk yang
lain beberapa orang telah berdatangan pula. Tetapi mereka
tidak banyak mempunyai arti bagi Paksi dan Wijang.
Karena itu, dalam waktu dekat, orang-orang itu sudah
terkapar bertimbun di dalam gubuk itu.
Bahkan Kemuning pun sempat membuat seorang laki-laki
yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menjadi tidak berdaya.
Orang yang berwajah licin itu masih mencoba bertahan.
Tetapi Paksi memang bukan lawannya.
Meskipun demikian, Paksi dengan sengaja tidak segera
menghancurkannya. Ketika beberapa orang sudah tidak
berdaya, maka Paksi membiarkan orang berwajah licin itu
masih dapat memberikan perlawanan.
"Nah. Cobalah sekarang kau berkata, bahwa tidak ada
kesempatan bagi kami untuk meninggalkan tempat ini."
Wajah orang yang licin itu tampak menjadi tegang. Sekalisekali ia memandang berkeliling. Tidak ada lagi seorang pun di antara kawan-kawannya yang masih mampu bertahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa orang yang menggeliat terdengar mengerang
kesakitan. Seorang yang merangkak berusaha bersandar di
dinding. Yang lain mencoba untuk menguak dua orang yang
menindihnya sehingga nafasnya menjadi semakin sesak.
Sedangkan beberapa orang yang lain menjadi pingsan,
terkapar di lantai gubuk itu.
Kedua gadis kawan Kemuning itu tidak mengerti apa yang
telah terjadi. Namun yang kemudian mereka saksikan,
beberapa orang sudah terkapar dan tidak berdaya untuk
bangkit berdiri. Lampu minyak di ruang itu masih tetap menyala. Untunglah
bahwa tidak seorang pun yang terjatuh menimpa kaki ajugajug, sehingga lampu minyak itu tidak terjatuh dan tumpah.
Jika lampu itu terjatuh dan tumpah, maka kemungkinan yang
lebih buruk akan dapat terjadi, gubuk itu akan dapat terbakar.
Apinya akan dapat menjilat gubuk yang lain atau yang paling
buruk adalah, kebakaran hutan.
Orang berwajah licin itu sudah kehilangan harapan. Dengan
lantang Paksipun berkata, "Nah, siapa di antara kita yang tidak akan pernah dapat pergi dari tempat ini."
Orang berwajah licin itu sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu Paksipun berkata, "Kemuning, ajak kedua
orang kawanmu itu keluar dari gubuk ini. Kau tidak akan dapat
melihat apa yang akan aku lakukan terhadap orang ini. Orang
yang telah memerintahkan mengikat tanganmu dan berniat
untuk menghancurkan hidup dan masa depanmu."
"Apa yang akan kau lakukan?" di luar sadarnya orang
berwajah licin itu bertanya dengan suara gemetar.
"Kau bagiku tidak lebih dari barang mainan yang dapat aku perlakukan sekehendak hatiku."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu menjadi semakin gemetar. Namun ia masih
berusaha untuk menggertak, "Ki Sanak. Jangan perlakukan
aku dengan semena-mena. Jika pemimpinku mengetahuinya,
maka nasibmu akan menjadi sangat buruk."
Kata-kata itu ternyata sangat menarik perhatian. Dengan
nada berat Paksi bertanya, "Siapa pemimpinmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami mulai bergabung dengan sebuah kelompok yang
besar yang akan dapat bukan saja menghancurkan kalian,
tetapi menghancurkan seluruh Padukuhan Kembang Arum."
"Kau bergabung dengan kelompok siapa?"
Orang berwajah licin itu melihat kerut di dahi Paksi. Tibatiba saja timbul harapannya, bahwa nama yang akan
disebutnya dapat menakut-nakuti anak muda yang berilmu
tinggi itu. Karena itu, maka orang berwajah licin itupun
berkata, "Kami sudah menyatakan diri untuk bergabung
dengan perguruan yang dipimpin oleh Ki Wira Bangga."
"He," Paksi dan Wijang memang tertarik. Dengan sertamerta
Wijangpun bertanya. "Apakah kau sedang mengigau?"
"Aku berkata sebenarnya."
"Kau kira orang-orang seperti kalian ini akan dapat
menyatukan diri dalam kelompok Wira Bangga. Orang-orang
yang bergabung dalam perguruannya adalah orang-orang
yang mempunyai bekal ilmu kanuragan."
"Itu bukan soal."
"Tentu saja itu merupakan soal yang sangat berarti bagi Ki Wira Bangga."
"He, kau kenal dengan Ki Wira Bangga?" bertanya orang yang berwajah licin itu.
"Justru aku mengenalnya, maka aku tidak percaya akan
ceritamu itu." "Kami telah menyatakan diri untuk bergabung dalam
gerombolannya. Bagi Ki Wira Bangga, kemampuan bukan
merupakan sarat utama. Tetapi yang penting adalah kemauan
kami. Niat kami. Ki Wira Bangga akan membentuk kami
menjadi orang-orang berilmu."
"Jika demikian, kalian benar-benar harus dimusnahkan,"
geram Wijang. Orang berwajah licin itu terkejut. Ia mengira bahwa kedua
orang anak muda itu akan menjadi ketakutan. Tetapi
akibatnya justru sebaliknya. Bahkan Wijang itupun bertanya,
"Dimana Wira Bangga sekarang?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ia sudah berada disini sejak kemarin. Ki Wira Bangga
ternyata dapat menerima kami dengan senang hati."
"Sekarang, dimana orang itu?" bentak Wijang. "Sebentar lagi ia akan datang kemari."
"Omong kosong," bentak Wijang.
"Ya. Tadi Ki Wira Bangga mengatakan, bahwa ia hanya
akan pergi sebentar. Sebelum malam menjadi semakin dalam,
ia tentu sudah akan tiba kemari."
Ternyata pernyataan Wijang itu mengejutkan orang itu lagi,
"Kita akan menunggu Wira Bangga."
Paksi termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Kita
singkirkan dulu Kemuning dan kedua orang kawannya."
Namun terdengar suara di pintu, "Biarlah aku membawa
mereka pulang." Orang-orang yang berada di dalam gubuk itupun berpaling.
Di pintu gubuk yang terhitung besar itu berdiri seorang lakilaki sambil tersenyum. "Ki Pananggungan," desis Paksi dan Wijang hampir
berbareng. "Mataku terasa panas mengikuti jejak anak-anak yang
disebut oleh orang-orang yang liar itu di dalam gelap. Aku
harus mengamati setiap lembar rumput dan dedaunan.
Ranting-ranting, gerumbul dan tanah yang lembab. Untunglah,
orang-orang liar itu demikian dungunya sehingga mereka tidak
memperhitungkan jejak. Bahwa jejak itu akan dapat ditelusuri
sampai ke sarang mereka. Beberapa orang yang menyeret tiga
orang gadis yang meronta-ronta sepanjang jalan akan dapat
membawa pencari jejak sampai kepada mereka. Apalagi
Kemuning agaknya sengaja melepas selendang yang
dipergunakan untuk menggendong sepasang padi penganten.
Karena aku tahu bahwa Kemuninglah yang menggendong padi
penganten, maka aku yakin, bahwa jejak yang aku ikuti itu
benar." Wijang dan Paksi mengangguk-angguk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sejak semula aku sudah yakin, bahwa kalian berdua tidak
akan membiarkan Kemuning dan kawan-kawannya dijadikan
tumbal kegilaan anak-anak liar itu."
"Mereka adalah anak buah Wira Bangga."
"Wira Bangga," dahi Ki Pananggungan berkerut.
"Salah seorang pemimpin perguruan yang memburu benda
istana yang hilang itu."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Sementara
Wijangpun berkata, "Kami akan menunggu."
"Apakah ia akan datang malam ini?"
"Menurut tikus kecil ini, ia akan datang tidak lama lagi,"
jawab Paksi. Ki Pananggunganpun tersenyum. Katanya, "Satu cara untuk
menakut-nakutimu. Marilah, kita tinggalkan saja mereka.
Orang yang disebutnya Wira Bangga itu tidak akan datang."
"Silahkan Paman dahulu bersama Kemuning dan dua orang
kawannya," berkata Paksi. "Aku akan menunggu orang yang bernama Wira Bangga itu."
Ki Pananggunganpun mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Kemuning. Marilah kita pulang."
Tubuh Kemuning masih gemetar. Lebih-lebih lagi kedua
orang kawannya. Namun mereka berhasil bangkit dan
melangkah ke pintu. "Marilah. Jangan takut," berkata Ki Pananggungan.
Sejenak kemudian, maka Ki Pananggungan itupun telah
membawa Kemuning dan kedua orang gadis yang lain
meninggalkan lingkungan itu. Namun Ki Pananggungan juga
memperhitungkan kemungkinan kedatangan orang yang
disebut Wira Bangga itu sebagaimana dikatakan oleh Wijang
dan Paksi. Karena itu, maka Ki Pananggungan telah mengajak
Kemuning dan kedua orang kawannya berjalan melalui jalan
pintas yang memang lebih rumit dilalui. Kemuning yang serba
sedikit sudah berlatih menguasai tubuhnya, tidak terlalu
banyak mengalami kesulitan. Tetapi kedua orang kawannya
setiap kali harus ditolong jika mereka meniti jalan sempit di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
antara lekuk tanah yang lembab dan agak licin. Bahkan kaki
mereka terasa menjadi luka oleh ujung batu-batu kerikil yang
tajam. Apalagi berjalan di dalam gelapnya malam.
Namun dorongan ketakutan dan kecemasan di hati mereka,
telah memaksa mereka untuk berjalan terus menjauhi neraka
yang hampir saja membakar tubuh mereka itu.
Di dalam gubuk yang besar dan bahkan yang terbesar di
antara gubuk-gubuk yang lain, Wijang dan Paksi memang
menunggu kedatangan Wira Bangga. Ketika keduanya
kemudian duduk di amben, maka orang yang berwajah licin
itu masih berdiri termangu-mangu. Sementara itu, beberapa
orang kawannya masih berserakan di lantai. Beberapa orang
telah bergerak dan menggapai-gapai. Yang lain merangkak
mencari tempat untuk bersandar.
Ketika Wijang melihat gendi yang diletakkan di atas
geledeg kecil, maka iapun berkata kepada orang berwajah licin
itu, "Ambil gendi itu. Biar kawan-kawanmu itu minum.
Dahulukan mereka yang masih pingsan agar sempat
terbangun sebelum aku membantai kalian semuanya. Jika
Wira Bangga tidak datang, maka kalian semua akan aku pukuli
sampai pingsan. Kemudian gubuk bambu beratap ilalang ini
akan aku bakar. Aku harap kalian semuanya mati sebagai
pengganti Wira Bangga. Karena menurut pendapatku, harga
Wira Bangga itu sama dengan harga kalian semuanya. Bahkan
agaknya Wira Bangga masih lebih mahal."
Orang berwajah licin itu menjadi semakin berdebar-debar.
Ia terkejut ketika Paksi membentak, "Cepat, ambil gendi itu."
Orang itupun kemudian bergerak mengambil gendi di atas
geledeg kecil di sudut ruang.
"Bukankah isinya air minum?" Wijang sempat bertanya.
Orang itu mengangguk. "Jika isinya racun dan semua kawanmu mati, kaulah yang
bertanggung jawab. Aku tidak mau mereka mati, karena aku
ingin membunuh mereka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jantung orang berwajah licin itu menjadi berdentangan.
Tetapi iapun kemudian beranjak dari tempatnya mengambil
gendi di atas geledeg itu.
Sejenak orang berwajah licin itu termangu-mangu. Namun
Wijangpun membentaknya lagi, "Cepat. Lakukan."
Orang berwajah licin itupun segera melakukannya.
Dituangnya air gendi itu di mulut kawan-kawannya yang
pingsan. Satu dua di antara mereka segera mulai membuka
matanya dan menggerakkan tangannya. Namun yang lain
masih tetap terbaring diam.
Wijang dan Paksipun memandangi mereka dengan jantung
yang berdebaran. Mereka sama sekali tidak ingin membunuh
orang-orang yang telah membawa Kemuning itu. Ia hanya
ingin membuat mereka menjadi jera.
"Tetapi jika mereka pengikut Wira Bangga, apakah mereka
dapat menjadi jera?" pertanyaan itu timbul di dada Wijang dan Paksi.
Namun keduanya memang bukan pembunuh, sehingga
mereka memang tidak ingin benar-benar membantai mereka
sebagaimana dikatakannya. Namun keduanya berniat untuk
dapat langsung berhadapan dengan Wira Bangga sendiri.
Beberapa saat lamanya Wijang dan Paksi menunggu.
Tetapi Wira Bangga masih belum datang. Karena itu, maka
keduanyapun akhirnya juga berpendapat, bahwa Wira Bangga
tidak akan datang malam itu. Orang berwajah licin itu tentu
hanya sekedar menakut-nakuti mereka agar mereka segera
pergi. Semakin lama orang berwajah licin itu menjadi semakin
gelisah. Ia benar-benar mengharap Wira Bangga itu segera
datang. Orang itu yakin bahwa Wira Bangga benar-benar akan
dapat membunuh kedua orang anak muda itu.
Akhirnya Wijang dan Paksi menjadi tidak telaten. Dengan
garangnya Paksipun membentak, "Dimana Wira Bangga, he"
Kenapa ia tidak segera datang?"
Orang berwajah licin itu menjadi gemetar. Ia masih saja
berdiri di antara kawan-kawannya yang terbaring kesakitan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa di antara mereka mengerang dan mengaduh. Ada
yang punggungnya bagaikan patah. Ada yang lehernya tidak
dapat bergerak, ada yang perutnya menjadi sangat mual,
sementara ada yang tidak dapat bernafas dengan baik.
Yang bersandar pada dinding dan melihat kedua orang
anak muda itu masih berada di dalam gubuknya, justru purapura memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.
Akhirnya Paksi tidak sabar menunggu. Tiba-tiba saja ia
berkata sambil melangkah mendekati orang berwajah licin itu,
"Aku sudah jenuh menunggu. Aku akan membunuh kalian
semua." "Jangan, jangan."
"Ayo, suruh kawan-kawanmu bangkit. Lawan aku. Biarlah
kalian mati sebagai laki-laki."
"Kami mohon ampun," berkata orang berwajah licin itu.
"Pantaskah orang seperti kau ini diampuni?" geram Paksi.
"Kami berjanji untuk tidak melakukannya lagi," berkata orang itu sambil berjongkok di hadapan Paksi.
"Bangkit," bentak Paksi. "Melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu."
Tiba-tiba saja Paksi itu berteriak, "Dimana gadis Sawahan itu?"
"Maksudmu?" "Jika kau tahu bahwa gadis Sawahan itu hilang, maka tentu kau pulalah yang telah mengambilnya."
"Tidak. Sungguh. Bukan aku."
"Siapa?" "Kakang Sato." "Dimana ia sekarang?"
"Pergi. Bersama Ki Wira Bangga."
"Bohong. Kau sebut orang yang sekarang tidak ada di
sarangmu. Tentu kau sendiri yang mengambilnya."
"Aku bersumpah. Karena aku melihat Kakang Sato
melakukannya, maka aku mencoba menirunya. Tetapi kalian
tiba-tiba telah datang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi memandang Wijang sejenak. Dengan ragu ia
bertanya, "Apakah kita masih akan menunggu?"
"Kita akan pulang," berkata Wijang. Namun kemudian
iapun berkata kepada orang berwajah licin itu, "Katakan
kepada Sato dan kepada Wira Bangga, jika mereka memang
laki-laki, kami menunggu mereka."
"Dimana?" bertanya orang berwajah licin itu.
Tiba-tiba saja Wijang menampar pipinya, sehingga mulut
orang itu berdarah. "Kau berani menanyakan dimana kami
akan menunggu, he?" "Tetapi, tetapi....," orang itu menjadi bingung.
Wijangpun kemudian memberi isyarat kepada Paksi untuk
meninggalkan tempat itu tanpa menjawab pertanyaan orang
berwajah licin itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua anak muda
itupun telah meninggalkan sarang orang-orang yang mengaku
para pengikut Wira Bangga itu. Dengan tergesa-gesa mereka
menuju ke Padukuhan Kembang Arum.
Keduanya menjadi gelisah ketika mereka sampai di
padukuhan, ternyata Ki Pananggungan yang membawa
Kemuning dan kedua orang gadis yang lain masih belum
kembali. Sementara itu, Ki Bekel dan sekelompok laki-laki
termasuk anak-anak muda dari Kembang Arum itupun telah
berkumpul di rumah Ki Pananggungan.
Demikian Wijang dan Paksi datang, maka Nyi Permati dan
Nyi Pananggunganpun segera berlari mendapatkan mereka.
Dengan suara yang bergetar Nyi Permatipun bertanya,
"Bagaimana dengan Kemuning dan kedua orang gadis yang
lain itu?" "Jadi mereka belum pulang, Bibi."
"Belum, Ngger," jawab Nyi Permati. Sementara Nyi
Pananggungan berkata, "Pamanmu telah mencarinya."
Ki Bekel yang berdiri di dekat merekapun berkata,
"Beberapa orang anak muda juga sudah mencari mereka.
Tetapi anak-anak muda itu agaknya belum menemukannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami sudah menemukan Kemuning dan kedua kawannya,"
berkata Paksi kemudian. "Jadi, dimana mereka sekarang?" bertanya Nyi Permati.
"Kamipun telah bertemu dengan Ki Pananggungan.
Kemuning dan kedua orang kawannya telah dibawa pulang
lebih dahulu oleh Paman Pananggungan."
"Tetapi mereka belum sampai di padukuhan," sahut Ki
Bekel. Paksi dan Wijang saling berpandangan sejenak. Dengan
nada rendah Wijangpun berkata, "Marilah. Kita mencarinya."
Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempatnya, terdengar
beberapa orang anak muda berteriak, "Kemuning sudah
kembali bersama Ki Pananggungan." Sementara orang lain
berteriak pula, "Bersama kedua orang kawannya."
Sejenak kemudian, merekapun melihat Ki Pananggungan
berjalan bersama Kemuning dan dua orang gadis yang lain.
Agaknya perjalanan mereka menjadi lambat sekali. Kemuning
harus membantu seorang kawannya, sedangkan Ki
Pananggungan mendukung gadis yang lain pada kedua
tangannya. "Kemuning," Nyi Permatipun berlari memeluk gadis itu.
Sementara itu, seorang perempuan berlari-lari
mendapatkan Ki Pananggungan sambil bertanya dengan
cemas, "Bagaimana dengan anakku?"
"Tidak apa-apa, Nyi. Ia hanya terlalu letih lahir dan
batinnya. Ketakutan yang sangat membuatnya tidak berdaya
lagi untuk melangkahkan kakinya. Sementara itu, jalan pun
licin dan berbatu-batu padas. Agaknya ia tidak dapat menahan
sakit karena luka-luka di telapak kakinya."
Ki Pananggungan kemudian meletakkan gadis itu di amben
panjang di serambi gandok. Demikian gadis itu melihat ibunya,
maka iapun segera menangis.
Dalam pada itu, Nyi Permati telah menggandeng Kemuning
naik ke pendapa, sementara kawannya yang dibantunya
berjalan telah dipapah oleh ayahnya naik ke pendapa pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan yang masih berada di serambi gandok
berkata kepada orang-orang yang berkerumun, "Tolong,
jangan berdesakan di sekitar anak ini. Biarlah ia dapat
bernafas dengan leluasa. Udaranya pun tidak menjadi panas
karenanya." Merekapun kemudian telah bergerak mundur dan turun
kembali ke halaman. Sementara itu, kepada ayah gadis itu Ki
Pananggungan berkata, "Tunggui anakmu. Jaga agar udara
tetap segar." "Baik, Ki Pananggungan."
"Sudahlah, jangan tangisi anakmu," berkata Ki
Pananggungan kepada ibu gadis yang masih sangat lemah itu.
"Anakmu tidak apa-apa. Ia hanya merasa takut dan letih lahir dan batinnya. Biarlah ia beristirahat. Ia sudah aman disini."
Perempuan itu mengusap matanya yang basah. Tetapi ia
masih terisak. Dalam pada itu, Ki Pananggunganpun kemudian telah pergi
ke pendapa. Kepada Ki Bekel, Ki Pananggungan itupun
bertanya, "Apakah Ki Bekel sudah menghubungi orang-orang
Sawahan?" "Sudah, Ki Pananggungan. Seorang bebahu dan dua orang
anak muda telah pergi ke Sawahan berkuda."
"Apakah mereka sudah kembali?"
"Sudah. Menurut mereka, seorang gadis Sawahan beberapa
hari yang lalu memang hilang. Sampai hari ini gadis itu belum
diketemukan." "Apakah bebahu itu sudah memberitahukan apa yang
terjadi dan bahwa orang-orang yang mengambil Kemuning itu
mengaku anak-anak muda dari Sawahan dengan alasan
bahwa seorang gadis Sawahan telah hilang diambil oleh anakanak muda Kembang Arum" Besok kita harus menghubungi
mereka kembali. Kita harus memberikan keterangan tentang
semua yang telah terjadi atas Kemuning dan kedua orang
kawannya itu." "Baik, Ki Pananggungan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun dalam pada itu Paksipun kemudian berkata, "Ki
Pananggungan. Ternyata Ki Wira Bangga masih belum datang.
Aku menjadi jemu menunggu. Kamipun kemudian
meninggalkan sarang mereka. Namun kami telah mencoba
memancing, agar Ki Wira Bangga datang kemari."
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun bertanya, "Jadi, kau libatkan padukuhan ini?"
"Bahwa kami membebaskan Kemuning itu sudah
merupakan keterlibatan padukuhan ini menentang kuasa Wira
Bangga," jawab Paksi.
"Kau benar, Ngger. Bagaimanapun juga, memang kita
harus berurusan dengan orang-orang yang ada di sarang itu
siapapun mereka. Jika akhirnya nama itu adalah Wira Bangga,
maka kita memang harus berurusan dengan orang itu."
"Dengan demikian, maka kita harus bersiap, Paman.
Mungkin Wira Bangga akan datang dengan orang-orangnya.
Sebenarnya itulah yang kami harapkan."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Namun Wijang
kemudian berdesis, "Tetapi apakah Ki Bekel dan orang-orang padukuhan ini benar-benar bersiap menghadapi mereka"
Meskipun seandainya kitalah yang akan menghadapi para
pemimpinnya, tetapi jika mereka datang dengan beberapa
pengikutnya, maka kita harus bersiap-siap."
Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Kemudian katanya
kepada Ki Bekel, "Sebaiknya Ki Bekel mengumpulkan para
bebahu, orang-orang yang memiliki bekal kemampuan untuk
menghadapi orang-orang yang telah menculik Kemuning dan
kedua kawannya itu. Mereka harus menjadi inti kekuatan
padukuhan ini. Kemudian anak-anak muda dan laki-laki yang
lain akan membantu. Meskipun mereka bukan orang-orang
yang memiliki pengalaman berkelahi, tetapi jika jumlah
mereka cukup banyak, maka mereka akan mampu
mempertahankan diri meskipun mereka harus berkelahi
berpasangan atau bahkan dalam kelompok-kelompok yang
lebih besar." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "para bebahu pada umumnya memang orang pilihan di padukuhan ini yang memiliki serba
sedikit bekal olah kanuragan. Aku harap anak-anak muda juga
mempunyai keberanian untuk itu. Gadis-gadis kita
adalah lambang dari milik kita yang paling berharga. Karena
itu, kita harus mempertahankannya dengan kemampuan yang
ada." Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih, Ki Bekel. Mudah-mudahan kita berhasil."
Ki Bekelpun kemudian telah memanggil para bebahu,
orangorang yang berpengaruh di padukuhan itu termasuk
beberapa anak muda. Dengan jelas Ki Bekel menguraikan
kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi Kembang Arum tidak
mempunyai pilihan lain. "Kita harus mempertahankan milik kita. Jangankan gadisgadis kita, sedangkan harta benda dan hasil bumi kitapun
akan kita pertahankan pula," berkata Ki Jagabaya.
Sejenak kemudian, maka hampir setiap laki-laki di
padukuhan itupun telah mempersiapkan diri dengan senjata
seadanya. Ada yang membawa tombak, ada yang membawa
pedang, keris, parang atau golok yang panjang. Bahkan ada
yang membawa potongan-potongan besi, linggis dan bahkan
slumbat kelapa. Dalam pada itu, Paksipun telah menggenggam tongkatnya
pula, sementara di pergelangan tangan Wijang telah melingkar
gelang kulitnya yang lebar, yang dapat dipergunakan sebagai
perisai. Sementara itu, malampun menjadi semakin malam. Paksi
dan Wijang telah memberitahukan kepada Ki Pananggungan,
bahwa mereka akan mengamati jalan yang menuju ke
gerbang padukuhan. "Kami membawa kentongan kecil. Jika kami melihat mereka
benar-benar datang, maka kami akan memukul kentongan
kecil ini," berkata Paksi.
Demikianlah, kedua orang anak muda itu telah pergi keluar
padukuhan. Mereka duduk di dalam sebuah gubuk kecil yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipergunakan untuk menunggui burung yang sering
mengganggu padi yang sudah siap dipetik. Wijang duduk
memeluk lututnya, sementara Paksi menjulurkan kakinya
sambil memeluk kentongan kecil.
Orang-orang yang berada di padukuhan menunggu dengan
jantung yang berdebaran. Bahkan sebagian dari mereka sudah
menjadi gelisah. Sedangkan yang lain mulai mengantuk.
Beberapa orang yang ada di serambi sudah ada yang tertidur
sambil bersandar di dinding.
Namun iapun kemudian dikejutkan oleh suara kentongan.
Ternyata yang mereka tunggu-tunggu itu telah datang.
Beberapa orang beriring-iringan menuju ke pintu gerbang
Padukuhan Kembang Arum. Seorang di antara mereka adalah
Ki Wira Bangga. Ki Wira Bangga benar-benar merasa terhina. Sebenarnya ia
tidak menginginkan orang-orangnya mengambil gadis dari
padukuhan, karena itu akan dapat mengacaukan sarang
mereka, meskipun bagi Wira Bangga, sarang itu hanyalah
sarang untuk sementara. Di tempat yang lain, Wira Bangga
mempunyai sebuah padepokan yang sudah mapan, meskipun
dengan watak yang kusam. Sarang yang dihuni untuk sementara itu dipergunakannya
untuk menjaring pengikut lebih banyak lagi. Beberapa orang
pengikutnya telah terbunuh dan bahkan ada yang tertangkap
ketika terjadi perang di kaki Gunung Merapi melawan prajurit
yang berpihak kepada Harya Wisaka. Karena itu, maka ia
memerlukan orang-orang baru. Justru orang-orang yang
masih mudah dibentuk menurut selera Wira Bangga. Namun
selagi mereka masih berada di sarang yang masih sementara
itu, mereka sudah membuat persoalan.
Namun bagaimanapun juga Wira Bangga merasa
tersinggung bahwa dua anak muda telah memporakporandakan sarangnya. Ketika terdengar suara kentongan di gubuk kecil tempat
para petani menunggui burung yang sering mengganggu
tanamannya, Wira Bangga memang berhenti. Demikian pula
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa orang yang mengikutinya. Namun kemudian
katanya, "Jangan hiraukan suara kentongan itu. Kita memang datang dengan dada tengadah. Tidak dengan sembunyi-sembunyi. Karena itu, kita tidak berkeberatan jika orang-orang Kembang Arum mengetahui kedatangan kita saat ini."
Dengan demikian, maka Wira Bangga dan orang-orangnya
itupun segera meneruskan langkah mereka menuju ke pintu
gerbang Padukuhan Kembang Arum.
Sementara itu, Paksi dan Wijangpun telah turun dari gubuk
kecil itu setelah mereka yakin bahwa isyarat yang mereka
berikan itu sudah didengar oleh orang-orang yang berada di
padukuhan. Tetapi mereka tidak memasuki padukuhan lewat
pintu gerbang. Keduanyapun telah meloncati dinding dan
langsung berlari-lari ke rumah Ki Pananggungan.
Ternyata isyarat benar-benar sudah diterima. Orang-orang
yang ada di halaman rumah Ki Pananggungan dan sekitarnya
sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
"Menyebarlah," berkata Ki Pananggungan. "Aku dan kedua kemenakanku, Ki Bekel dan beberapa orang bebahu akan
menyongsong mereka ke gerbang."
Kepada Ki Jagabaya, Ki Pananggungan berpesan,
"Sebaiknya Ki Jagabaya tinggal bersama mereka. Harus ada yang
memimpin mereka, memberi aba-aba dan memperhitungkan
saat-saat yang tepat."
"Baiklah," jawab Ki Jagabaya, "aku akan berada di antara mereka yang akan menunggu perkembangan keadaan."
Demikianlah, Ki Pananggungan, Wijang dan Paksi bersama
Ki Bekel dan para bebahu telah menyongsong orang-orang
yang datang ke Padukuhan Kembang Arum itu.
Ki Wira Bangga langkahnya berhenti di luar pintu gerbang.
Sementara itu, beberapa orang telah muncul dari pintu
gerbang itu. Ki Pananggungan yang berdiri paling depan memberi
isyarat, agar orang-orang yang bersamanya keluar dari pintu
gerbang itu juga berhenti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah kalian dan apakah maksud kalian datang ke
padukuhan ini?" bertanya Ki Pananggungan.
Ki Wira Bangga mengerutkan dahinya. Dalam keremangan
malam, Ki Wira Bangga tidak melihat dengan jelas orang yang
dihadapinya. Meskipun penglihatannya cukup tajam,
tetapi karena Ki Pananggungan dan orang-orang Padukuhan
Kembang Arum yang datang kepadanya membelakangi cahaya
oncor di regol, sedangkan Ki Wira Bangga menjadi silau
karenanya, maka sulit bagi Ki Wira Bangga untuk dapat
langsung mengenali wajah-wajah orang-orang yang berdiri di
regol menghalangi jalannya itu.
Namun demikian, Ki Wira Bangga itupun menjawab,
"Akulah orang yang disebut Wira Bangga."
"O, jadi kaulah yang bernama Wira Bangga itu" Lalu apa
maksudmu datang kemari?"
"Jangan berpura-pura, Ki Sanak. Kalianlah yang telah
mengundang aku kemari. Ada dua orang dari Kembang Arum
yang dengan sombong telah mengganggu ketenangan orangorangku." "O, jadi orang-orang yang telah menculik tiga orang gadis dari Kembang Arum itu adalah orang-orangmu."
"Persetan dengan gadis-gadis Kembang Arum. Adalah salah
mereka, bahwa mereka tertarik kepada orang-orangku dan
bersedia datang memenuhi ajakan mereka. Jika kemudian
terjadi sesuatu atas mereka, adalah kesalahan mereka
sendiri." "Gila," geram Ki Pananggungan, "siapakah yang
mengatakan bahwa gadis-gadis kami dengan suka rela
memenuhi ajakan orang-orangmu?"
"Bertanyalah kepada mereka?" jawab Ki Wira Bangga.
"Ya," seorang dari orang-orang yang mengikuti Ki Wira Bangga menyahut, "mereka dengan senang hati mengikuti
ajakan kami. Bahkan mereka tidak menolak untuk berada di
barak kami barang satu malam."
"Kau percaya kepada mereka, Wira Bangga?" bertanya Ki Pananggungan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku percaya kepada orang-orangku. Mereka tidak pernah
berbohong. Mereka selalu berkata jujur kepadaku."
"Juga gadis dari Sawahan itu?"
"Ya," jawab orang yang bertubuh tinggi kekar.
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau yang bernama Sato" Jadi kau yang mencuri gadis
Sawahan itu?" "Sudah aku katakan, ia sengaja mengikuti aku, karena aku
berjanji untuk memberikan tusuk konde emas bermata
berlian." "Dan kau benar-benar memberinya?"
"Kepada siapa aku memberikannya, jika gadis itu kemudian
mati." "Mati kenapa?" "Aku tidak tahu. Ia mati begitu saja. Nafasnya berhenti."
"Itulah orang-orangmu, Ki Wira Bangga."
"Sudah aku katakan, jangan salahkan mereka. Salahkan
gadis-gadismu sendiri. Kenapa mereka demikian cepat percaya
kepada orang-orang yang yang belum dikenalnya" Akibat itu
terjadi karena ketamakan gadis-gadis itu sendiri."
Wijanglah yang kemudian menggamit Paksi dan berkata,
"Bukankah kau memang menunggu orang yang bernama Wira
Bangga itu?" "Ya," Paksi mengangguk. Sambil melangkah maju iapun
berkata kepada Ki Pananggungan, "Sudah lama aku tadi
menunggu orang ini di gubuk itu, Ki Pananggungan. Sekarang
orang itulah yang datang ke padukuhan. Karena itu, biarlah
aku yang menyambutnya."
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun mengangguk dan bergeser selangkah. Ia
sudah mengetahui tataran kemampuan Paksi. Agaknya Paksi
memang ingin membuat perbandingan ilmu setelah ia
membenturkan ilmunya melawan Melaya Werdi dan Megar
Permati. Agaknya untuk selanjutnya Paksi tidak ingin lagi
untuk menyembunyikan diri. Mau tidak mau ia akan banyak
terlibat dalam benturan-benturan kekerasan jika ia ingin
mengamalkan ilmunya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Setan kecil," geram Wira Bangga, "kau mau apa?"
"Wira Bangga, aku sudah terlalu lama menunggumu di
gubukmu. Jika tidak percaya bertanyalah kepada orangorangmu. Karena itu, sekarang akulah yang akan melawanmu.
Bersiaplah. Kita tidak akan berbicara saja tanpa berbuat
sesuatu." "Apakah kau memang sedang membunuh diri?"
Paksi tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap untuk
menyerang. Tongkatnya mulai bergetar di tangannya.
"Serahkan kelinci itu kepadaku," geram orang yang
bertubuh raksasa sambil melangkah maju.
Tetapi langkahnya terhalang oleh Wijang yang bergeser
sambil berkata, "Aku akan menyelesaikanmu atas nama
orang-orang Sawahan. Ternyata gadis Sawahan itu sudah kau
bunuh. Kau harus menebusnya dengan nyawamu."
Sato tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil
mengayunkan tangannya ke arah kening Wijang.
Namun Wijang dengan cepat merendahkan tubuhnya.
Sambil sedikit berputar, kakinyapun terjulur lurus mengenai
lambung orang bertubuh raksasa itu.
Serangan Wijang cukup keras, sehingga orang bertubuh
raksasa itu telah terguncang. Bahkan kemudian ia telah
kehilangan keseimbangannya sehingga orang itu terhuyunghuyung dan jatuh pada lututnya.
Jantungnya bagaikan meledak oleh kemarahan yang
menghentak di dadanya. Ia tidak mengira bahwa lawannya
mampu bergerak demikian cepatnya, sehingga mampu
menjatuhkannya. Sambil bangkit berdiri orang itu mengumpat. Namun
Wijang telah bergeser menjauh, mencari tempat yang lebih
lapang untuk bertempur. Wira Bangga sendiri merasa terhina oleh sikap Paksi.
Karena itu, maka ia ingin dengan cepat menyelesaikan anak
itu. Kemudian menghukum orang-orang Kembang Arum yang
sudah berani merusak tempat tinggalnya meskipun hanya
sementara. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi menurut laporan orang-orang yang akan
memperkuat perguruan itu, dua orang anak mudalah yang
dengan sombongnya telah memporak-porandakan orangorangnya. Seorang di antara kedua anak muda itu tentu anak muda
yang menempatkan diri untuk melawannya itu, yang mengaku
telah menunggunya di gubuk itu. Karena itu, maka kemarahan
Wira Bangga seakan-akan tidak terkekang lagi. Demikian ia
mulai meloncat menyerang, maka serangan-serangannya
datang seperti badai. Tetapi Paksi benar-benar telah bersiap untuk
menghadapinya. Karena itu, maka Paksi tidak menjadi berkecil
hati. Semakin sengit serangan-serangan Wira Bangga, maka
Paksipun nampak menjadi semakin perkasa pula. Tongkatnya
berputaran semakin cepat. Sekali-sekali terayun dengan
derasnya. Namun kemudian mematuk seperti seekor ular
bandotan. Wira Bangga yang mengalami kesulitan karena tongkat
Paksi itupun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah
pedang yang besar dan panjang.
Dengan demikian, maka pertempuran itupun menjadi
semakin sengit. Wira Bangga menjadi semakin garang,
sementara Paksipun bergerak semakin cepat pula.
Dalam pada itu, Sato, kepercayaan Wira Bangga itu masih
bertempur dengan serunya. Di tangannya telah tergenggam
sebuah kapak yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan
cahaya bintang. Demikian tajamnya, setiap sentuhan akan
dapat mengoyak kulit daging sampai ke tulang.
Sementara itu, senjata Wijang tidak lebih dari sepasang
pisau belati serta perisai dengan pergelangan tangannya.
Namun Wijang tidak berani dengan serta-merta menangkis
ayunan kapak Sato yang mendebarkan itu. Mula-mula Wijang
telah menjajagi ketajaman kapak lawannya dengan sentuhansentuhan pada perisainya. Namun akhirnya Wijangpun yakin,
bahwa perisai di pergelangan tangannya, yang bukan sekedar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kulit kebanyakan itu, mampu menahan ayunan kapak
lawannya langsung dalam benturan yang keras.
Ketika benturan itu terjadi, maka kapak Sato ternyata tidak
dapat melukai perisai di pergelangan tangan Wijang itu,
sehingga Satopun menjadi heran. Ia tidak tahu, apa yang
telah membentur kapaknya. Mungkin kepingan baja yang
melingkar di pergelangan tangan lawannya. Tetapi seandainya
benar sekeping baja melingkar di pergelangan tangan, maka
benturan kepingan baja dengan kapaknya itu akan
mengelupas kulit pergelangan tangannya.
Tetapi tampaknya tidak terjadi apa-apa dengan
pergelangan tangan lawannya itu.
Dalam pada itu, para pengikut Wira Banggapun segera
bergerak pula. Namun Ki Bekel dan para bebahupun telah
bersiap menghadapi mereka. Sementara itu, orang yang diamdiam menyusup ke padukuhan, harus berhadapan dengan
anak-anak muda yang telah siap dipimpin oleh Ki Jagabaya.
Orang berwajah licin itu memang benar-benar licin.
Ternyata orang itu mengetahui dimana rumah Kemuning.
Karena itu, maka ia telah menyelinap menghindari setiap
orang yang berjaga-jaga, mengendap-endap di belakang
gerumbul-gerumbul perdu, meloncati dinding-dinding
halaman, sehingga akhirnya ia berhasil memasuki kebun
belakang rumah Ki Pananggungan.
"Ini tentu rumah Kemuning," berkata orang berwajah licin itu di dalam hatinya. Sebelum ia berusaha mengambil
Kemuning, agaknya ia sudah mengamati gadis itu beberapa
lama, sehingga orang itu mengetahui rumah paman
Kemuning. Ternyata bagian belakang rumah itu memang sepi.
Beberapa orang semula berkumpul di halaman depan. Tetapi
ketika pertempuran terjadi, maka orang-orang itu seakan-akan
telah tumpah di medan. Hanya satu dua orang saja yang
masih berada di halaman depan rumah Ki Pananggungan itu.
Menurut pendapat orang berwajah licin itu, jika ia berhasil
menangkap Kemuning, maka Kemuning akan dapat menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
perisai sehingga orang-orang padukuhan itu akan berhenti
melakukan perlawanan. Dalam pada itu, pertempuran di luar pintu gerbang
padukuhan itu berlangsung semakin sengit. Wira Bangga yang
marah dan merasa terhina itu berusaha untuk dengan cepat
mengakhiri pertempuran dengan memenggal kepala anak
muda yang sombong itu. Tetapi ternyata Wira Bangga tidak mampu melakukannya.
Orang yang bersenjata tongkat itu mampu bergerak dengan
cepat. Tubuhnya seakan-akan tidak lebih berat dari selembar
kapas kering. Pedang Wira Bangga yang besar dan berat itu di
setiap ayunan, bagaikan menebas bayang-bayang.
Tidak terlalu jauh dari Wira Bangga, Sato yang bertempur
melawan Wijang segera mengalami kesulitan. Sato, pembantu
terpercaya Wira Bangga itu tidak mampu menahan seranganserangan Wijang. Kapaknya yang besar berputaran dengan
cepat di seputar tubuhnya. Tetapi ujung-ujung belati yang
tangkainya jauh lebih pendek dari tangkai kapak Sato itu
justru mampu menembus pertahanannya.
Sato mengumpat kasar ketika segores luka mengoyak
lengannya. Darah yang merah segar mengalir dari luka yang
menganga itu. "Aku lumatkan kepalamu," teriak Sato.
Wijang tertawa sambil melompat menjulurkan pisau
belatinya. Ternyata ujung pisau itu berhasil mematuk lambung
Sato yang terbuka saat ia mengangkat kapaknya.
Sato meloncat surut. Namun Wijang tidak
memberi kesempatan. Dengan cepat ia memburunya.
Sebelum Sato berhasil memperbaiki keadaannya, satu tebasan
menyilang telah menggores dada orang bertubuh raksasa itu.
Goresan tipis. Namun darah telah mengalir dari luka di dada
itu pula. Sato terhuyung surut. Matanya bagaikan menyala. Dari
mulutnya tersembur ungkapan-ungkapan kasar dan kotor.
Namun tenaga justru mulai menyusut. Darah mengalir dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa luka di tubuhnya. Semakin banyak ia bergerak dan
berteriak, maka semakin banyak pula darah terperas.
Ki Pananggungan sendiri kemudian berada di antara para
bebahu Kembang Arum. Sentuhan-sentuhan tangannya telah
melemparkan lawan-lawannya dari arena. Namun Ki
Pananggungan masih sempat mengekang diri. Yang dilakukan
kemudian adalah lebih banyak melindungi para bebahu jika
salah seorang di antara mereka mendapatkan lawan yang
berbahaya. Dalam pada itu, orang-orang yang menyelinap masuk ke
padukuhan telah terdesak keluar pula. Mereka tidak mengira
bahwa di belakang dinding padukuhan itu, anak-anak muda
dan sekelompok laki-laki yang sudah lebih tua sudah
menunggu mereka dengan marah. Karena itu, maka di bawah
pimpinan Ki Jagabaya, merekapun segera menyerang
orang-orang yang memasuki padukuhan itu dengan
garangnya. Namun Ki Jagabaya sudah berpesan kepada mereka, agar
mereka tetap berhati-hati. Jangan coba melawan para
penyerang itu seorang melawan seorang.
"Kalian harus bertempur berpasangan. Sedikitnya dua
orang." Tetapi orang-orang baru Wira Bangga itu ternyata masih
belum berbahaya. Sedangkan orang-orangnya yang lama
harus berhadapan dengan para bebahu di pintu gerbang.
Wira Bangga memang tidak mengira bahwa di Padukuhan
Kembang Arum ia akan menjumpai orang-orang berilmu
tinggi. Ia tidak mengira bahwa seorang anak muda memiliki
kemampuan yang dapat mengimbanginya. Bahkan ketika Wira
Bangga itu sampai ke puncak ilmunya.
Paksi memang terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar
suara gemerasak seperti suara angin pusaran yang menerjang
sebuah rumpun bambu yang lebat. Namun iapun segera
menyadari bahwa suara itu bersumber dari dalam diri Wira
Bangga. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada saat-saat Wira Bangga mulai terdesak oleh tongkat
Paksi yang ternyata mampu menembus pertahanan, maka
darah Wira Bangga bagaikan mendidih.
Ketika pundaknya mulai merasa sakit oleh hentakan
tongkat lawannya, bahkan kemudian perutnya, lambungnya
dan dadanya, maka ia tidak mengekang diri lagi. Rasarasanya memang tidak mungkin untuk mengalahkan lawannya
tanpa ilmu pamungkasnya. Karena itu, maka Wira Bangga itupun berusaha memancing
lawannya beberapa langkah dari pintu gerbang. Wira Bangga
ingin menunjukkan, bagaimana ia menghancurkan anak muda
yang sombong itu. Pada saat yang bersamaan, maka orang yang berwajah
licin itu berhasil mencapai pintu belakang rumah Ki
Pananggungan. Orang itu mengira bahwa Kemuning tentu sudah berada di
dalam rumah, sehingga ia akan dapat menangkapnya dan
membawanya ke pintu gerbang.
Sebenarnyalah Kemuning memang masuk ke ruang dalam
untuk mengambil minuman bagi kawannya yang masih lemah
yang berada di pendapa. Sementara kawannya yang seorang
lagi, yang semula berbaring di serambi gandokpun telah
dibawa ke pendapa pula. Ayah gadis itu bersama dua orang
anak muda berjaga-jaga di pendapa rumah itu. Di luar pintu
regol halaman, beberapa orang anak muda bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu, Nyi Pananggungan dan Nyi Permati juga
masih berada di pendapa untuk ikut merawat dua orang gadis
yang masih saja merasa ketakutan itu.
Orang yang berwajah licin itu berhasil masuk ke ruang
dalam tanpa diketahui oleh pembantu di rumah Ki
Pananggungan itu. Dengan sangat berhati-hati orang itu
mengendap-endap dan menunggu kesempatan.
Ketika ia melihat Kemuning mengambil mangkuk minuman
di dapur, maka orang berwajah licin itu tersenyum. Katanya di
dalam hati, "Aku akan dapat membalas dendam penghinaan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang aku alami. Dengan perisai gadis itu, maka anak-anak
muda yang gila itu tidak dapat menggertak aku lagi."
Karena itu, maka dengan hati-hati orang itu mengikuti
Kemuning ke dapur. Kemudian dengan serta-merta ia
meloncat memeluk Kemuning dari belakang sambil
mengancam. "Jangan mencoba melawan."
Kemuning bagaikan membeku. Sebilah pisau yang tajam
melekat di lehernya. "Berjalanlah seperti biasa. Tetapi kau harus tetap tunduk kepada perintahku."
Kemuning melangkah ke pintu pringgitan. Ia masih
membawa semangkuk minuman yang akan diberikannya
kepada kawannya. Ketika Kemuning membuka pintu
pringgitan, orang-orang yang berada di pendapa terkejut.
Mereka melihat Kemuning telah dikuasai oleh seorang yang
tidak mereka kenal. "Jangan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan
nyawa Kemuning," berkata orang itu.
Orang-orang yang berada di pendapa itu bangkit berdiri.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka melihat
sebilah pisau belati yang melekat di leher Kemuning. Setiap
saat pisau itu akan dapat menggores lehernya dan mencabut
nyawanya. Karena itu, maka merekapun berdiri tegak seperti
patung. "Mundur. Semua mundur," perintah orang itu.
Orang-orang yang berada di pendapa itupun melangkah
mundur. Bahkan dua orang gadis kawan Kemuning yang
masih lemah itupun harus melangkah mundur pula.
Kepada seorang laki-laki yang berdiri di pendapa, orang
berwajah licin itu berkata, "Berjalanlah di depan. Kau harus meneriakkan kepada orang-orang yang sedang bertempur
untuk mengakhiri pertempuran. Orang-orang Kembang Arum
harus meletakkan senjata mereka. Jika tidak, maka Kemuning
akan menjadi bangkai."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu nampak ragu-ragu. Tetapi orang berwajah licin
itu menekankan pisaunya sambil menggeram, "Lakukan
perintahku." Laki-laki itu tidak dapat membantah.
Iapun kemudian melangkah menuruni pendapa.
Namun sebelum Kemuning turun dari pendapa, iapun
berkata, "Aku akan menyerahkan minuman ini kepada kedua
orang kawanku. Aku memang mengambil minuman ini bagi
mereka." "Tidak perlu," geram orang itu. "Kau tidak usah memberikan minuman itu. Mereka akan dapat mengambil
sendiri nanti." "Lalu, buat apa minuman di dalam mangkuk ini?" "Letakkan saja disitu," geram orang itu.
Kemuningpun kemudian telah membongkok untuk
meletakkan mangkuk minuman itu di lantai.
Pada saat itulah ia merasa mendapat kesempatan. Pisau itu
tidak terlalu rapat dengan lehernya. Karena itu, tiba-tiba saja Kemuning menjatuhkan dirinya dan berguling ke samping,
sementara kakinya sempat menyapu kaki orang berwajah licin
itu. Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Kemuning
mampu mempergunakan kesempatan yang kecil itu. Karena
itu, maka sapuan kaki Kemuning mampu menggoyahkan
keseimbangannya, sehingga orang itu terjatuh pula.
Namun dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit.
Dalam waktu sekejap ia sudah berdiri tegak sambil
menggenggam pisau belatinya.
Tetapi dalam waktu yang sama Kemuning pun telah berdiri
tegak pula serta bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Iblis betina," geram orang yang berwajah licin itu.
Ternyata memang ia agak lengah. Seharusnya ia sudah
memperhitungkan kemungkinan seperti itu, karena sejak awal
ia bertemu dengan Kemuning, gadis itu sudah menunjukkan
keberaniannya untuk melawan.
"Menyerahlah," ancam Kemuning kemudian, "kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan kami."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang
ke sekelilingnya, maka ia melihat tiga orang laki-laki berdiri tegak mematung. Sementara Kemuning justru melangkah
mendekatinya. "Pisaumu tidak akan berarti apa-apa," berkata Kemuning.
Ketika orang itu mengacukan pisaunya, maka Kemuningpun
tertawa. Sementara itu, ketiga orang yang semula bagaikan
kehilangan akal itu telah mengacukan senjata-senjata mereka
pula. Dengan tenang Kemuning melangkah mendekati seorang
yang membawa sebatang tombak pendek. Katanya, "Maaf
Paman, aku pinjam tombakmu sebentar."
Orang itu seakan-akan telah terbius oleh sikap Kemuning.
Karena itu, seakan-akan di luar sadarnya, orang itu telah
menyerahkan tombaknya. Ternyata orang berwajah licin itu melihat satu kesempatan.
Selagi Kemuning menerima tombak itu, maka orang yang
berwajah licin itupun telah meloncat menyerang.
Kemuning memang agak terkejut juga. Tetapi ia sempat
meloncat menghindar sambil mendorong orang yang
memberikan tombak kepadanya. Demikian cepat Kemuning
bergerak, sehingga ujung tombak itu teracu kepada orang
berwajah licin itu, demikian ia memutar tubuhnya dan siap
meloncat menyerang Kemuning yang telah berhasil
menghindar itu. Orang itu tertegun. Ketika Kemuning dengan tombak teracu
melangkah maju, orang itu justru telah melangkah surut.
"Kau harus menyerah, karena kau tidak mempunyai
kesempatan lain," berkata Kemuning.
"Jangan sombong. Kau kira tombakmu dapat
menggetarkan jantungku?"
Kemuning tersenyum. Katanya, "Apa yang dapat aku
lakukan?" Orang itu tidak menjawab. Tetapi dari pandangan matanya
Kemuning mengetahui, bahwa orang itu akan berusaha
melarikan diri. Karena itu, maka iapun berkata kepada orangTiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang yang ada di pendapa, "Jangan beri kesempatan orang
itu melarikan diri."
Namun orang-orang yang di pendapa itu terlambat
bergerak. Sebelum mereka sempat bergerak, orang yang
berwajah licin itu telah meloncat berlari meninggalkan
Kemuning dan orang-orang yang berada di pendapa.
Kemuning yang terkejut, tidak mau kehilangan orang itu.
Orang itulah yang telah berusaha menghinakannya bersama
beberapa orang kawannya. Tetapi orang yang berwajah licin
itulah agaknya yang telah memimpin kawan-kawannya itu.
Karena itu, dalam kesempatan yang sangat pendek,
Kemuning tidak dapat berbuat lain. Yang dilakukannya
kemudian adalah melemparkan tombak pendek yang ada di
tangannya. Pada saat orang yang berwajah licin itu menuruni tangga,
maka terdengar ia menjerit. Ujung tombak yang memburunya
itu telah hinggap di punggungnya.
Orang berwajah licin itu terdorong beberapa langkah.
Namun kemudian iapun jatuh terjerembab. Sekali ia
menggeliat. Namun kemudian orang yang berwajah licin
itupun terdiam untuk selama-lamanya.
Kemuning sendiri terkejut melihat ujung tombaknya itu
menghujam di punggung orang yang berwajah licin yang
kemudian jatuh terjerembab itu.
Tetapi itu sudah terjadi. Orang berwajah licin itu terbunuh
di depan pendapa. Sejenak kemudian, Kemuning telah berdiri termangumangu di sebelah tubuh yang berlumur darah itu.
Nyi Permatipun kemudian telah memeluknya.
Kemudian membimbingnya naik ke pendapa.
"Bukan salahmu, Kemuning. Kau memang tidak mempunyai
kesempatan untuk memperhitungkan apa yang sebaiknya kau
lakukan." Kemuning tidak menolak. Iapun melangkah naik ke
pendapa dibimbing oleh Nyi Permati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Wijang sudah mulai jemu bertempur
melawan Sato. Menurut pendapat Wijang, Sato adalah orang
yang sangat bengis, yang menculik gadis Sawahan dan
bahkan kemudian membunuhnya. Karena itu, maka
Wijang tidak dapat memaafkannya.
Karena itu, maka Wijangpun berniat untuk mengakhiri,
bukan saja perlawanan Sato, tetapi juga mengakhiri
kesempatan untuk berbuat serupa.
Karena itu, maka serangan Wijangpun semakin lama
menjadi semakin deras. Luka-luka di tubuh Sato menjadi
semakin banyak. Darahpun mengalir bersama dengan
keringatnya. Ketika dengan garangnya Sato mengerahkan sisa-sisa
tenaganya mengayunkan kapaknya yang besar, Wijang
sempat mengelak. Demikian kapak itu terayun di samping
tubuhnya, maka Wijangpun meloncat menyerang. Sebilah
pisaunya terayun menghujam ke perut lawannya.
Sato berteriak keras sekali. Kemarahan, kebencian dan
segala macam sifatnya yang liar, seakan-akan telah meledak.
Ia tidak mau mengakui kenyataannya yang terjadi atas
dirinya, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang anak muda
yang tidak dikenal itu. Namun Sejenak kemudian, Sato tidak lagi dapat bertahan
berdiri di atas kedua kakinya. Perlahan-lahan ia terjatuh pada lututnya. Namun kemudian Sato itupun terguling di tanah.
Sato masih sempat mengumpat kasar. Namun kemudian
keadaannya dengan cepat memburuk. Darah terlalu banyak
mengalir dari luka-lukanya. Terutama luka di perutnya itu.
Wira Banggapun mengumpat pula. Ia sempat meloncat
mengambil jarak di saat Sato itu berteriak. Wira Bangga
sempat melihat Sato itu terjatuh pada lututnya, kemudian
berguling di tanah. Namun hati Wira Banggapun merasa disakiti pula ketika ia
mendengar lawannya itu bertanya, "Apakah kau sudah siap?"
"Anak iblis, kau."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada saat yang demikian itulah, Wira Bangga telah
memusatkan nalar budinya. Terdengar suara gemerasak
seperti suara angin pusaran yang memutar rumpun-rumpun
bambu di hutan. Paksi termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa lawannya
telah mengetrapkan ilmu pamungkasnya. Karena itu, maka
Paksipun segera mempersiapkan diri pula.
Pada saat bersamaan, Wijangpun telah mempersiapkan diri
pula jika Paksi terdesak oleh kemampuan ilmu Wira Bangga,
maka Wijang tidak dapat berdiam diri saja.
Selain Wijang, ternyata Ki Pananggunganpun telah bersiap
pula. Suara yang gemerasak itu telah menarik perhatiannya.
Seperti Wijang, maka iapun telah bersiap untuk membantu
Paksi jika keadaannya mendesak.
Dalam pada itu, maka Paksipun mulai melihat bayangan
pusaran angin di seputar tubuh Wira Bangga. Semakin lama
semakin cepat, sehingga kemudian benar-benar telah timbul
angin pusaran yang sangat deras. Sejenak kemudian angin
pusaran itu seakan-akan telah lepas dari tubuh Wira Bangga
dan menjalar ke arah Paksi berdiri.
Paksipun telah memusatkan nalar budinya. Dikerahkannya
puncak ilmunya dan disalurkannya pada tangannya yang
menggenggam tongkatnya. Demikian angin pusaran itu mendekatinya, maka Paksipun
telah mengerahkan kemampuannya. Dilambari dengan tenaga
dalamnya serta puncak ilmunya, maka Paksipun telah
mengayunkan tongkatnya, menghantam angin pusaran yang
datang untuk menghisapnya dan melontarkannya ke udara.
Akibat hentakan tongkat Paksi itu sangat mengejutkan.
Benturan ilmu itu telah memancarkan cahaya api yang
menyilaukan. Disusul oleh ledakan yang keras sehingga
menggetarkan udara. Paksi yang berdiri dekat dengan pusaran
ledakan itu, telah terdorong beberapa langkah surut. Namun
Paksi tidak dapat mempertahankan keseimbangannya,
sehingga iapun kemudian jatuh terguling di tanah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika Paksi bangkit berdiri bersandar pada tongkatnya,
maka dadanya terasa sakit. Seakan-akan kekuatan yang besar
telah menghimpitnya. Namun Paksi tidak ingin jadi sasaran yang tidak berdaya
menghadapi Wira Bangga. Karena itu, maka iapun telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Asap yang kelabu mengepul semakin tinggi. Cahaya oncor
di pintu regol itupun tiba-tiba telah padam oleh getaran udara di saat benturan terjadi.
Ki Pananggungan dan Wijang segera meloncat mendekati
Paksi. Mereka belum tahu akibat benturan kekuatan itu pada
Wira Bangga. Jika Wira Bangga itu tidak mengalami akibat
apapun, maka kedudukan Paksi menjadi berbahaya.
Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak melihat Wira
Bangga. Bahkan pertempuran di depan pintu gerbang
padukuhan itupun seakan-akan telah berhenti.
Sepeninggal Sato, maka orang-orang Wira Bangga mulai
menjadi gelisah. Karena itu, maka ketika terjadi benturan ilmu yang dahsyat itu, para pengikut Wira Bangga telah
mempergunakan saat yang terbaik itu. Getar udara
yang menggetarkan tempat itu seakan-akan telah
menghentikan pertempuran. Oncor yang tiba-tiba padam dan
isyarat yang hanya dimengerti oleh para pengikut Wira
Bangga. Baru sejenak kemudian, orang-orang Padukuhan Kembang
Arum itu menyadari, bahwa Wira Bangga dan orang-orangnya
sudah tidak ada di arena pertempuran itu lagi. Yang tertinggal hanyalah orang-orang baru yang mendapat kesempatan untuk
bergabung dengan perguruan Wira Bangga. Orang-orang yang
tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk melawan orangorang Padukuhan Kembang Arum.
Karena itu, beberapa orang di antara mereka juga berusaha
untuk melarikan diri. Tetapi yang lain tidak mempunyai
kesempatan, sehingga mereka harus menyerahkan tangan
dan kaki mereka diikat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian pula orang-orang yang mencoba menyusup
masuk ke dalam padukuhan. Ledakan yang terdengar di pintu
gerbang merupakan isyarat kegagalan ilmu Wira Bangga. Jika
Wira Bangga berhasil dengan ilmunya maka tidak pernah
terdengar ledakan itu. Tetapi gemerasak angin pusaran akan melontarkan
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawannya ke udara dan membantingnya ke tanah sampai
lumat. Demikianlah, maka pertempuran itupun benar-benar sudah
selesai. Namun ketika orang-orang itu kembali ke rumah Ki
Pananggungan sambil membawa beberapa orang yang terikat,
mereka terkejut melihat sesosok tubuh yang tubuhnya
dilubangi ujung tombak. Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Ternyata
bahwa Kemuning sendiri telah mengakhiri hidup orang yang
berwajah licin itu. Dari orang yang menyaksikan, mereka
mendengar bahwa Kemuninglah yang telah melemparkan
tombak ke punggung orang yang terbunuh itu.
Dalam pada itu, maka orang-orang padukuhan itu telah
membawa kawan-kawan mereka yang terluka ke rumah Ki
Bekel untuk mendapat perawatan yang sebaik-baiknya.
Beruntunglah orang-orang Kembang Arum. Tidak ada seorang
pun di antara mereka yang gugur. Namun tiga orang terluka
cukup berat. Lebih dari sepuluh orang tergores senjata lawan.
Sedangkan Ki Jagabaya yang memimpin anak-anak muda yang bertahan
di dalam padukuhan itupun telah terluka pula di samping tiga
orang bebahu yang bertempur bersama Ki Bekel di luar pintu
gerbang. Tetapi luka mereka tidak membahayakan jiwa
mereka. Sementara itu, kedua orang gadis kawan Kemuning yang
masih lemah dan dibayangi oleh ketakutan, malam itu
bermalam di rumah Ki Pananggungan. Kecuali gadis-gadis itu
sendiri masih selalu ketakutan, orang tua mereka pun merasa
aman jika anak-anaknya berada di rumah Ki Pananggungan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena di rumah itu masih terdapat beberapa orang yang
berjaga-jaga. Malam itu, bukan hanya rumah Ki Pananggungan saja yang
dijaga oleh anak-anak muda, tetapi setiap mulut jalan dan
lorong yang memasuki padukuhan itu juga dijaga. Bahkan
kelompok-kelompok anak muda selalu meronda berkeliling
sambil membawa kentongan kecil yang dapat mereka
pergunakan untuk mengirimkan isyarat jika diperlukan.
Tetapi Wira Bangga dan orang-orangnya sudah pergi jauh.
Sebenarnyalah Wira Bangga sendiri merasakan betapa
dadanya diguncang oleh benturan ilmu yang terjadi.
Jantungnya merasa sangat nyeri sementara nafasnya menjadi
sesak. "Kakang Sato terbunuh, Ki Wira Bangga," desis seseorang.
"Aku tahu," jawab Wira Bangga. "Biar saja ia mampus.
Ialah yang baru saja mencuri gadis-gadis padukuhan.
Ternyata ada orang yang berilmu tinggi di Kembang Arum."
"Kita harus mengetahui, siapakah orang-orang yang ada di
Kembang Arum itu," berkata seorang pengikutnya.
"Hanya membuang-buang waktu saja. Aku tidak berurusan
dengan mereka. Sementara orang lain sudah berhasil
menemukan Pangeran Benawa, kita masih saja diganggu oleh
persoalan-persoalan yang tidak ada artinya itu."
"Jadi kita membiarkan saja beberapa kematian di Kembang
Arum?" "Persoalannya tidak mendukung kerja besar kita. Aku tidak mau terlibat lebih parah lagi dalam persoalan yang gila itu.
Jika terjadi lagi seseorang menculik gadis-gadis padukuhan,
aku sendiri yang akan membunuhnya."
Pengikutnya itu tidak bertanya lagi. Ia dapat mengerti,
bahwa Wira Bangga menjadi sangat marah. Karena
persoalannya tidak mendukung kerja besarnya, Wira Bangga
telah membentur kekuatan yang tidak dapat ditembusnya.
Dalam pada itu, maka keadaan Kembang Arum mulai
terasa terang menjelang fajar. Korban yang terbunuh di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
antara para pengikut Wira Bangga sudah disiapkan untuk
dikubur setelah matahari terbit.
Tetapi ketika matahari terbit, maka Padukuhan Kembang
Arum memang harus berkabung. Seorang di antara mereka
yang terluka berat, tidak dapat tertolong lagi jiwanya.
Betapapun tabib yang menanganinya berusaha, namun orang
itu meninggal saat sebelum matahari muncul di timur.
"Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia," berkata Ki Bekel di hadapan orang-orang padukuhan yang datang untuk
mengantarkan tubuh orang itu ke makam.
Berbeda dengan para pengikut Wira Bangga yang
terbunuh, maka pemakaman orang Kembang Arum itu
dilakukan dengan upacara penuh. Hampir semua orang
penghuni Padukuhan Kembang Arum datang untuk
memberikan penghormatan terakhir.
"Untuk selanjutnya, maka beban itu akan tetap kita pikul
bersama," berkata Ki Bekel. "Kita tidak akan pernah merelakan seorang pun di antara gadis-gadis kita mengalami nasib yang
buruk seperti gadis Sawahan itu. Kasihan orang tuanya.
Kasihan keluarganya. Kasihan penghuni Padukuhan Sawahan.
Tetapi orang yang melakukannya sudah terbunuh disini. Kita
akan memperhitungkan hal itu kepada saudara-saudara kita di
Sawahan." Orang-orang Kembang Arum melepas salah seorang
keluarganya dengan titik-titik air mata. Kemuning sendiri
sempat hadir pada upacara pemberangkatannya ke makam.
Sementara itu, para tabib berusaha untuk mengobati
orang-orang yang terluka dengan sungguh-sungguh. Mereka
tidak mau kehilangan lagi. Satu orang sudah cukup mereka
berikan sebagai korban untuk menyelamatkan gadis-gadis
mereka. Di hari-hari berikutnya, orang-orang Kembang Arum tetap
berhati-hati terhadap kemungkinan buruk yang dapat terjadi.
Bahkan yang pergi ke sawahpun orang-orang Kembang Arum
tetap membawa senjata dan tidak seorang diri. Di pagi hari
beberapa orang pergi ke sawah bersama-sama. Di sore hari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka telah pulang bersama-sama pula. Sementara itu, di
tengah hari, mereka yang membawa kiriman ke sawah pun
tidak hanya seorang diri.
Namun ternyata Wira Bangga dan orang-orangnya tidak
pernah kembali lagi. Wijang dan Paksipun tinggal beberapa hari pula di rumah Ki
Pananggungan. Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung ternyata tidak segera datang untuk mencari
Kemuning. Jika saja mereka tahu, bahwa para pengikut Wira
Bangga telah menculik anaknya, maka akan dapat terjadi
benturan kekerasan antara kedua kelompok kekuatan yang
cukup besar itu, karena Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung akan merasa sangat terhina oleh perbuatan itu.
Tetapi agaknya Ki Pananggungan dan Nyi Permati tidak
ingin mengadu kedua kelompok itu, sehingga Ki
Pananggunganpun berkata, "Sebaiknya kita tidak usah
mengatakan kepada kedua orang tua Kemuning jika ia datang
kemari." "Bagaimana dengan Kemuning sendiri?" Bertanya Nyi
Permati. "Kemuning harus diberi peringatan bahwa ia tidak perlu
mengadukan hal ini kepada ayah dan ibunya, supaya ayah dan
ibunya tidak terlibat dalam permusuhan dengan Wira Bangga."
"Tetapi bukankah Kemuning tahu bahwa ayah dan ibunya
termasuk orang yang berilmu tinggi?" bertanya Wijang.
Nyi Permati menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kedua
orang tua angkat Kemuning itu tidak pernah menunjukkan
kemampuannya itu kepada Kemuning di rumah. Meskipun
mungkin karena kebanggaan Kemuning terhadap orang
tuanya memberikan kesan bahwa orang tuanya, setidaktidaknya ayahnya juga berilmu."
Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada
dalam Paksi berkata, "Jika demikian, memang sebaiknya
Kemuning diberi pesan saja agar tidak usah mengatakan
kepada ayah dan ibunya jika mereka datang mencarinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Permusuhan dengan Wira Bangga akan dapat mendatangkan
kesulitan yang berkepanjangan."
"Aku akan berbicara dengan Kemuning," berkata Ki
Pananggungan. "Ia mengakui aku bukan saja sebagai
pamannya, tetapi juga sebagai gurunya. Nampaknya
Kemuning bersungguh-sungguh ingin menguasai ilmu
kanuragan, apalagi setelah terjadi penculikan atas dirinya itu."
Namun ternyata Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
tidak juga segera datang. Menurut Ki Pananggungan dan Nyi
Permati, agaknya Repak Rembulung dan Pupus Rembulung
justru belum pulang ke rumahnya sehingga belum tahu bahwa
anaknya telah pergi meninggalkan rumahnya dan bahkan
hampir terperosok ke dalam mulut buaya yang buas.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi ternyata tidak hanya dua
atau tiga hari saja berada di rumah Ki Pananggungan. Karena
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih belum datang
menyusul Kemuning, maka mereka merasa tenang berada di
rumah itu. Sementara itu, hubungan antara Paksi dengan Kemuning
nampaknya menjadi semakin akrab. Ki Pananggungan, Nyi
Pananggungan dan Nyi Permati agaknya telah mengetahuinya
pula. Namun mereka belum tahu pasti, alur keturunannya
serta latar belakang kehidupannya yang sebenarnya, namun
menilik sifatnya ia termasuk anak muda yang baik. Apalagi
bahwa Paksi itu ternyata bersahabat dengan anak muda yang
bernama Wijang, yang dikenal oleh Ki Pananggungan sebagai
Pangeran Benawa, maka Ki Pananggungan semakin yakin,
bahwa Paksipun bukan orang kebanyakan.
Meskipun demikian, Ki Pananggungan itupun kadangkadang merasa gelisah, bahwa pada suatu saat, hubungan itu
akan mengalami kesulitan jika Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung datang mencari dan bahkan mengambil anak
gadisnya itu. Padahal Paksi tahu benar, siapakah Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung.
Namun Ki Pananggungan merasa bersukur bahwa ia pernah
mengatakan siapakah sebenarnya Kemuning itu. Sehingga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sejak semula Paksi telah mengetahui serba sedikit tentang
gadis itu. Jika hal itu dikatakan kemudian, maka Paksi akan dapat
mengira bahwa hal itu sekedar dibuat-buat untuk melindungi
nama baik Kemuning. Wijang yang juga melihat hubungan yang semakin akrab
antara Paksi dan Kemuning, hanya tersenyum-senyum saja.
Sekali-sekali justru ia sempat menggoda Paksi. Namun
kemudian Wijangpun berpura-pura tidak menghiraukannya.
Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, maka Paksipun
tidak berkeberatan untuk menemani Kemuning berlatih.
Bahkan Paksi kadang-kadang merasa kagum akan kesungguhan
gadis itu berlatih. Agaknya karena gadis itu terbiasa bekerja
keras, maka daya tahan tubuhnyapun secara alamiah sudah
cukup tinggi. Kemuning dapat berlatih untuk waktu yang panjang tanpa
beristirahat. Karena itu, maka kemajuan yang dicapai Kemuning
agaknya menjadi semakin cepat.
Namun yang terjadi itu ternyata sangat menggelisahkan
anak muda yang bernama Gangsar, anak muda yang
sebelumnya sering menemui Kemuning. Jika Kemuning
menyapu halaman, Gangsar sering berhenti di regol. Berbicara
tentang pepohonan di halaman. Tentang angin dan daun
kuning yang berguguran. Tentang kuncup yang mekar dan
yang kemudian layu runtuh di tanah.
Jika pagi-pagi Kemuning pergi ke pasar, Gangsar
menemuinya di simpang tiga. Menyapanya dan sekedar
berjalan bersama beberapa langkah sampai ke regol
padukuhan. Tetapi sejak kedua orang kemenakan laki-laki Ki
Pananggungan ada di rumah itu pula, maka Gangsar jarang
sekali bertemu dengan Kemuning. Yang sering menyapu
halaman bukan lagi Kemuning. Tetapi kemenakan laki-laki Ki
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pananggungan itu. Yang seorang lagi mengambil air di sumur
untuk menyiram agar halaman yang disapu itu tidak berdebu.
Jika Kemuning pergi ke pasar, maka langkahnya nampak
tergesa-gesa. Gadis itu tidak sempat lagi berhenti sejenak.
Berbicara sambil tersenyum. Kemudian berjalan bersama
beberapa puluh langkah sampai ke regol padukuhan.
Gangsar memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu
bahwa kemenakan Ki Pananggungan itu adalah anak-anak
muda yang berilmu tinggi, sehingga jika terjadi perselisihan,
maka Gangsar tidak akan lebih dari mentimun yang harus
melawan durian. Karena itu, maka dari hari ke hari, Gangsar semakin sering
merenung. Ia masih sering menemui Kemuning di simpang
tiga. Tetapi menurut pendapatnya, senyum Kemuning telah
menjadi hambar. Senyumnya tidak lepas seperti dahulu.
Senyumnya kini rasa-rasanya hanya sekedar dibuat-buat.
Karena itu, Gangsar tidak lagi berusaha menemuinya dan
berbincang tentang jalur pedati yang semakin dalam di jalan
yang menuju ke pasar. Tetapi Gangsar lebih senang
memandang wajah Kemuning dari kejauhan.
Kemuning yang sejak semula tidak mempunyai perasaan
apapun terhadap Gangsar, selain sebagai kawan seperti juga
kawan-kawan yang lain, sama sekali tidak mengerti apa yang
bergejolak di hati Gangsar. Sehari dua hari Kemuning memang
merasa ada perubahan pada sikap anak muda itu. Tetapi
Kemuning tidak tahu, kenapa Gangsar berubah.
Paksi terlebih-lebih tidak tahu sama sekali gejolak di dada
Gangsar. Karena itu, maka Paksi tidak pernah menghiraukan
perasaan anak muda itu. Dengan demikian, maka sikapnya terhadap Kemuning tidak
berubah. Bahkan perasaan merekapun rasa-rasanya menjadi
semakin dekat meskipun keduanya masih dibatasi oleh jarak
yang pantas dalam pergaulan anak muda dengan seorang
gadis. Namun yang terjadi di luar pengetahuan mereka,
kekecewaan di hati Gangsar itu telah mendorongnya untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melakukan perbuatan yang tidak seharusnya. Gangsar yang
merasa tidak akan mampu merebut perhatian Kemuning
dengan cara apapun selagi kemenakan Ki Pananggungan
masih ada di rumah, telah berusaha meminjam tangan orang
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.
Gangsar tidak pernah merencanakan untuk melakukannya.
Tetapi ketika kesempatan itu datang, maka Gangsarpun
mencoba untuk memanfaatkannya.
Ketika Gangsar sedang berada di sawahnya, maka telah
lewat di jalan bulak dua orang yang menarik perhatian. Dua
orang yang nampak garang. Wajahnya yang gelap,
langkahnya yang berat dan pakaian yang dipakainya,
menunjukkan bahwa keduanya bukan petani sebagaimana
dikenalnya. Keduanya tidak nampak seperti tetanggatetangganya. Tidak pula seperti seorang saudagar kaya. Di
Kembang Arum ada dua tiga orang saudagar yang berhasil.
Kedua orang itu tidak pula sebagai blantik sapi dan kerbau
yang kadang-kadang memang nampak agak kasar. Tetapi
mereka tidak nampak segarang kedua orang itu.
Gangsar menjadi gemetar ketika kedua orang itu berhenti
sambil memandanginya. Kemudian melambaikan tangan
memanggilnya. Rasa-rasanya dunia akan menjadi kiamat. Tetapi ia tidak
dapat ingkar. Meskipun dengan kaki gemetar, Gangsar
melangkah menyusur pematang mendekati kedua orang yang
berdiri di tanggul parit di pinggir jalan.
Demikian Gangsar mendekat, maka seorang di antara
keduanya itu bertanya. Kata-kata yang terlontar ternyata tidak sekasar dan sekeras ujud kedua orang itu. Bahkan seorang di
antara mereka mencoba untuk tersenyum.
"He, apakah kau tinggal di padukuhan itu?"
"Ya, Paman," jawab Gangsar.
"Apakah nama padukuhan itu?" bertanya yang lan.
"Kembang Arum, Paman."
"Nama yang bagus. Apakah kau memang tinggal
di padukuhan itu?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ya, Paman." Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara
mereka bertanya pula, "Siapa namamu anak muda?"
"Namaku Gangsar."
"Nama yang bagus. Mudah-mudahan semua usahamu juga
menjadi gangsar seperti namamu."
"Ya, Paman." Orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara
mereka masih bertanya lagi, "Gangsar. Bukankah kau sejak
bayi tinggal di Kembang Arum?"
"Ya, Paman." "Nah, katakan, apakah akhir-akhir ini ada orang baru yang tinggal di padukuhanmu. Maksudku anak muda yang sebaya
dengan kau atau sedikit lebih tua" Wajahnya nampak bersih.
Kulitnya kuning dan matanya bersinar."
Gangsar termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia
teringat dua orang anak muda yang tinggal di rumah Ki
Pananggungan. Anak muda yang menurut pendapatnya sesuai
dengan keterangan orang itu.
Gangsar memang menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, apakah
maksud sebenarnya kedua orang itu. Apakah mereka
bermaksud buruk atau baik. Namun akhirnya Gangsar itu
berkata di dalam dirinya, "Mungkin keduanya ingin menjemput kedua orang kemenakan Ki Pananggungan untuk diajak
pulang. Mungkin keduanya bermaksud baik. Tetapi kalau
mereka bermaksud buruk?"
Gangsar menjadi ragu-ragu.
Namun akhirnya wajah Kemuninglah yang mulai melayang.
Apapun maksud kedua orang itu, asal mereka membawa
kedua kemenakan Ki Pananggungan itu untuk pergi.
Karena Gangsar nampak ragu-ragu, orang itu mencoba
untuk menjelaskan, "Gangsar, anak muda yang aku cari tentu ujudnya agak lain dengan anak-anak muda dari
padukuhanmu. Anak muda yang aku cari itu adalah anak
muda yang bukan berasal dari tataran pedesaan. Mungkin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dapat saja ia berpakaian seperti anak-anak petani. Tetapi
ujudnya yang sebenarnya agak berbeda."
Hampir di luar sadarnya Gangsar mengangguk. Di sela-sela
bibirnya meluncur jawaban, "Ya, Paman. Memang ada dua
orang anak muda yang baru-baru ini tinggal di rumah
pamannya di Padukuhan Kembang Arum."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di
antara mereka itu berdesis, "Dua orang anak muda?"
"Ya, Paman." Orang itu berpaling kepada kawannya. Katanya, "Kenapa
dua?" "Mungkin yang seorang itu kawannya atau pengiringnya
atau pengawalnya." "Anak muda itu tidak terbiasa membawa pengiring atau
pengawal dalam pengembaraan yang bukan hanya sekali ini
saja dilakukan menurut keterangan orang-orang yang pernah
mengenalnya." "Itu hanya kata orang. Dari mulut ke mulut keterangan
seperti itu dapat saja berubah. Mungkin yang dimaksud, ia
tidak pernah membawa banyak pengawal."
"Siapapun mereka, kita dapat mencoba melihatnya,"
berkata yang seorang. "Tetapi kita bersama-sama belum pernah mengenal anak
muda itu." "Kita dapat berbicara. Memancing keterangan dari
mulutnya." Kawannya mengangguk-angguk.
Kepada Gangsar keduanyapun kemudian telah menanyakan
dimana kedua orang anak muda itu tinggal.
Dengan ancar-ancar yang diberikan oleh Gangsar, maka
keduanyapun memasuki Padukuhan Kembang Arum.
Rumah Ki Pananggungan memang tidak sulit untuk dicari.
Karenanya maka keduanyapun segera menemukan rumah
itu. Dengan agak ragu keduanya memasuki halaman rumah Ki
Pananggungan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Adalah kebetulan bahwa Wijang sedang berada di halaman
rumah Ki Pananggungan. Ketika kedua orang itu melangkah
memasuki halaman, Wijangpun menyongsongnya.
"Marilah, Ki Sanak," jantung Wijang berdebaran.
Kedua orang itu memandang Wijang dengan kerut di dahi.
Seorang di antara merekapun bertanya, "Apakah rumah ini
rumah Ki Pananggungan?"
"Ya, Ki Sanak. Rumah ini rumah Paman Ki Pananggungan."
"Apakah kau kemenakannya?"
"Ya, Ki Sanak."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara
Wijangpun bertanya, "Apakah Ki Sanak mencari Paman?"
"Ya. Jika Ki Pananggungan ada, biarlah aku menemuinya."
Wijang mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah. Aku akan
menyampaikannya. Silahkan Ki Sanak berdua untuk naik."
Kedua orang itupun telah naik dan duduk di pendapa,
sementara Wijang telah pergi ke belakang lewat pintu
seketeng. Sebenarnyalah Wijang menjadi gelisah melihat ujud kedua
orang itu. Meskipun keduanya berusaha untuk bersikap wajar,
tetapi Wijang segera mengenalinya, bahwa keduanya adalah
orang-orang kasar dan keras. Sementara itu, keduanya sama
sekali tidak menunjukkan ciri dan pertanda, siapakah kedua
orang itu. Sejenak kemudian Wijangpun telah menemui Paksi yang
sedang sibuk membelah kayu bakar. Diajaknya Paksi menemui
Ki Pananggungan untuk memberitahukan kehadiran dua orang
tamu yang agak mencurigakan.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Pananggungan, maka
Ki Pananggungan itupun mengangguk-angguk sambil berkata,
"Baiklah. Aku akan menemui mereka."
Sejenak kemudian, maka Ki Pananggunganpun telah duduk
bersama kedua orang tamunya. Ia sependapat dengan
Wijang, bahwa sebaiknya ia berhati-hati menghadapi kedua
orang tamu itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggunganpun kemudian telah memperkenalkan
dirinya. Kemudian iapun bertanya, "Siapakah Ki Sanak berdua ini?"
"Kami adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan
dari Harya Wisaka untuk menjemput Pangeran Benawa."
Ki Pananggungan terkejut. Tetapi dengan serta-merta ia
berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari
wajahnya. Dengan dahi yang berkerut iapun bertanya, "Maaf, Ki Sanak. Apakah Ki Sanak menyebut nama Pangeran
Benawa?" "Ya. Bukankah Pangeran Benawa ada disini?"
Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Ketika kedua
orang itu datang, yang menerima adalah Wijang, seandainya
benar mereka adalah utusan Harya Wisaka, agaknya kedua
orang itu tentu belum pernah melihat orang yang bernama
Pangeran Benawa itu. Dengan nada tinggi Ki Pananggungan itupun berkata, "Ki
Sanak. Semalam aku tidak bermimpi melihat rembulan."
"Apa maksudmu, Ki Pananggungan?"
"Alangkah bahagianya aku jika seorang pangeran berkenan
mengunjungi rumahku dan apalagi tinggal di rumahku ini. Aku
seorang petani yang tidak pernah meninggalkan padukuhan ini
sejak kanak-kanak, tiba-tiba saja mendengar bahwa seorang
pangeran berada di rumahku. Ki Sanak, bukankah pangeran
itu anak seorang raja?"
"Ya. Pangeran adalah anak seorang raja. Anak raja itu
melarikan diri dari istana. Ia telah mencuri benda yang paling berharga milik ayahandanya. Karena itu, maka pangeran
itupun mengembara sampai kemana-mana. Nah, dalam
pengembaraan itulah, agaknya ia sampai ke rumah ini."
"Tolong, Ki Sanak. Jangan membuat aku bingung."
"Ki Pananggungan, menurut pendengaranku, ada dua
orang anak muda di rumah ini. Anak muda yang baru
beberapa hari berada disini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggungan memang menjadi berdebar-debar. Tetapi
ia menjawab, "Ya. Kedua orang kemenakanku memang ada
disini." "Nah. Aku ingin berbicara dengan mereka."
"O, jadi Ki Sanak curiga, bahwa salah seorang dari kedua
orang kemenakanku itu seorang pangeran?"
"Kami memang mencurigai semua orang. Termasuk kau, Ki
Pananggungan." "Baiklah, Ki Sanak. Aku akan memanggil mereka. Tetapi Ki
Sanak belum menjawab pertanyaanku, siapakah Ki Sanak
berdua ini. Apakah Ki Sanak berdua juga keluarga istana
sebagaimana Pangeran Benawa?"
"Kami bukan keluarga istana, Ki Pananggungan. Kami
berdua adalah dua orang saudara seperguruan yang
ditugaskan oleh Harya Wisaka untuk menjemput Pangeran Benawa. Harya
Wisaka itulah yang masih terhitung keluarga istana Pajang."
"Nama Ki Sanak berdua?" Bertanya Ki Pananggungan yang sengaja mengulur waktu. Ia yakin bahwa Wijang dan Paksi
berusaha mendengarkan pembicaraan mereka di pendapa itu.
Ki Pananggungan berharap agar Paksi dan Wijang sempat
bersiap-siap untuk menemui kedua orang itu.
"Namaku Ki Sanggakaya dan ini adik seperguruanku,
namanya Ki Suratapa."
"Baiklah Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa, aku akan
memanggil kedua orang kemenakanku. Tetapi seperti aku
katakan, mereka adalah kemenakanku. Aku tahu benar sejak
mereka dilahirkan dan dibesarkan. Jangankan seorang
pangeran, melihat Pajang pun mereka belum pernah."
"Sudahlah," sikap orang yang bernama Ki Sanggakaya itu mulai menjadi kasar, "bawa keduanya kemari."
Ki Pananggunganpun kemudian telah bergeser justru turun
ke samping pendapa. Ia masuk ke dalam tidak lewat pintu
pringgitan tetapi lewat pintu seketeng.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang anak muda itu
mendengarkan pembicaraan Ki Pananggungan di pendapa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka keduanya sempat menyusun jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh
kedua orang itu. "Jawaban kita harus sama," berkata Wijang.
Sejenak kemudian, Wijang dan Paksi itupun telah duduk
pula di pendapa. Ki Pananggungan itulah yang justru bertanya
lebih dahulu, "Nah, jika salah seorang kemenakanku ini
seorang pangeran, yang manakah yang bernama Pangeran
Benawa. Karena keduanya adalah saudara kandung, maka jika
salah seorang di antara mereka pangeran, maka yang lainpun
tentu pangeran pula."
Kedua orang itu memang menjadi bimbang, justru karena
ada dua orang anak muda yang dihadapkan kepadanya.
Namun rasa-rasanya kedua orang anak muda itu memang
tidak pantas jika mereka anak-anak petani kebanyakan.
Ujudnya berbeda. Dan sikapnya pun berbeda.
Dalam pada itu, Wijangpun bertanya, "Apakah maksudmu,
Paman?" "Kedua tamu kita ini mencari seorang pangeran yang
meninggalkan istana. Mereka menduga bahwa pangeran yang
mereka cari itu berada di rumah ini. Karena mereka
mendengar bahwa di rumah ini telah tinggal dua orang anak
muda yang belum lama berada di Kembang Arum. Karena itu,
maka aku bawa kalian berdua menemui mereka agar mereka
menunjuk, siapakah di antara mereka yang bernama Pangeran
Benawa." "Pangeran?" desis Wijang. "Bukankah pangeran itu anak seorang raja?"
"Itulah sebabnya, maka biarlah mereka memilih di antara
kalian berdua." Wijang dan Paksi memandang kedua orang itu bergantiganti. Sambil tersenyum Paksipun berkata, "Alangkah
senangnya menjadi anak seorang raja."
"Cukup," bentak salah seorang dari kedua orang itu.
Agaknya orang itu benar-benar kebingungan untuk memilih.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah tentu bahwa bukan kedua-duanya adalah Pangeran
Benawa. Sementara itu, Ki Pananggungan berkata, "Ki Sanggakaya,
keduanya adalah kemenakanku yang lahir dari adik
kandungku. Bagaimana aku dapat menunjukkan bahwa salah
seorang dari mereka adalah seorang pangeran."
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Seorang di antara
mereka tiba-tiba berkata, "Kita bawa kedua-duanya. Kita
tunjukkan kepada Ki Rangga Sumawerdi, apakah salah
seorang dari keduanya adalah Pangeran Benawa."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Sanak," berkata Ki Pananggungan, "bukankah itu sia-sia?"
"Ki Rangga Sumawerdi akan dapat mengenali Pangeran
Benawa. Di Istana Pajang, Ki Rangga Sumawerdi bukan saja
pernah melihat Pangeran Benawa, tetapi ia dapat mengenal
dengan baik pangeran itu, bahkan pernah melayaninya di
saat-saat tertentu."
Jantung Wijang memang berdebaran. Iapun mengenal
orang yang bernama Sumawerdi. Seorang yang mengenal
benar watak dan sifat seekor kuda. Sejak muda Ki Rangga
Sumawerdi sudah bergelut dengan kuda. Di istana Pajang,
sekali-sekali Pangeran Benawa memang berhubungan dengan
Ki Rangga Sumawerdi khususnya dalam hubungannya dengan
kuda, karena Pangeran Benawa juga seorang penggemar
kuda. Namun dalam pada itu, Ki Pananggunganpun bertanya,
"Dimanakah Ki Rangga Sumawerdi itu sekarang?"
"Untuk apa kau bertanya?"
"Bukan untuk apa-apa. Tetapi jika kalian membawa
kemenakanku kepadanya, maka sebaiknya aku tahu,
dimanakah Ki Rangga itu tinggal."
"Aku minta kau diam, Ki Pananggungan," geram Ki
Suratapa yang mulai menunjukkan wataknya yang
sebenarnya. "Apapun yang akan kami lakukan, biarlah kami
lakukan." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi jika hal itu menyangkut kedua orang kemenakanku,
bukankah wajar jika aku ingin mengetahuinya."
"Aku minta kau diam, kau dengar" Aku akan membawa
kedua orang kemenakanmu."
"Ayah dan ibunya tentu akan menjadi bingung. Mereka
akan menuntut tanggung jawabku, karena kedua anaknya
sedang berada di rumahku."
"Aku tidak peduli," Ki Sanggakaya berteriak. "Aku akan membawa kedua kemenakanmu. Biarlah Ki Rangga
Sumawerdi memilihnya."
"Jika ternyata kedua-duanya bukan yang dimaksud?"
bertanya Ki Pananggungan.
"Kau terlalu banyak bertanya," bentak Ki Suratapa.
Ki Pananggungan memandang Wijang dan Paksi sekilas.
Wijanglah yang kemudian menjawab, "Baiklah. Biarlah kami
berdua dibawa oleh keduanya. Setelah orang yang bernama Ki
Rangga Sumawerdi itu melihat kami, maka kami akan segera
dilepaskan, Paman. Kami akan segera pulang."
"Belum tentu," teriak Sanggakaya.
"Kenapa belum tentu?" bertanya Wijang.
"Jika Ki Rangga Sumawerdi memerlukan budak seperti
kalian berdua, maka kalian berdua akan dijadikan budaknya."
"Tetapi kami tidak ingin menjadi budak," sahut Wijang.
"Kami tidak peduli. Ingin atau tidak ingin, jika kalian
dibutuhkan, maka kalian harus melakukannya. Mungkin Ki
Rangga Sumawerdi membutuhkan kalian. Tetapi mungkin juga
Harya Wisaka sendiri."
"Kami tidak berkeberatan untuk menghadap Ki Rangga jika
itu sekedar untuk melihat apakah salah seorang dari kami
seorang anak raja." Lalu katanya selanjutnya, "Tetapi kami tidak ingin menjadi budak."
"Jika kau sekali lagi mengatakannya, aku akan menampar
mulutmu," geram Ki Sanggakaya. "Sekarang kita akan pergi."
"Tetapi aku minta, setelah Ki Rangga Sumawerdi
melihatnya, keduanya akan pulang dengan selamat."
"Tutup mulutmu, atau aku yang akan menutupnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Pananggunganpun terdiam. Sementara Ki Sanggakaya
itupun berkata, "Kita akan pergi sekarang."
"Biarlah mereka berganti pakaian dahulu, Ki Sanak,"
berkata Ki Pananggungan. "Tidak pantas untuk menghadap Ki Rangga Sumawerdi dengan pakaian seperti itu."
Ki Sanggakaya itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Cepat. Aku tidak mempunyai banyak
waktu. Tetapi jika kalian melarikan diri, pamanmu akan aku
bunuh disini." "Ah, jangan menakut-nakuti, Ki Sanak," desis Ki
Pananggungan. "Aku tidak menakut-nakuti. Aku benar-benar akan
melakukannya." "Maksudku, kau membuat aku menjadi ngeri. Membunuh
adalah memisahkan nyawa dari tubuhnya, sehingga untuk
selama-lamanya tidak akan dapat menyatu kembali. Bukankah
itu mengerikan sekali."
"Tetapi jika kemenakanmu atau salah seorang daripadanya
melarikan diri, maka aku benar-benar akan membunuhmu."
"Kemenakanku tidak akan lari, Ki Sanak."
"Jangan hanya berbicara saja. Biarlah kedua kemenakanmu
itu cepat berganti pakaian."
Wijang dan Paksipun kemudian beringsut meninggalkan
kedua orang tamu yang mendebarkan itu. Di gandok Wijang
berdesis, "Jika aku benar-benar bertemu dengan Ki Rangga
Sumawerdi, maka petualangan ini akan segera berakhir. Atau
kita harus menjadi orang-orang buruan."
"Kita sudah menjadi orang buruan sekarang," sahut Paksi.
"Jika aku bertemu dengan Ki Rangga, maka hanya ada dua
kemungkinan, membunuh atau dibunuh."
"Kecuali jika kita menyerah."
"Ya. Bukankah sudah aku katakan, menyerah adalah salah
satu kemungkinan. Tetapi dengan demikian, kita akan jatuh ke
tangan Harya Wisaka. Nah, kau tahu akibatnya. Cincin yang
aku bawa itu akan diambilnya."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku belum tahu apa yang akan terjadi. Tetapi sebaiknya
kau minta diri kepada Kemuning. Mungkin kita pergi untuk
beberapa lama. Atau seandainya kita dapat lepas dari tangan
mereka, kita sudah harus meninggalkan tempat ini. Benturan
kekuatan dengan Wira Bangga juga akan dapat mengundang
perhatian lingkungan mereka."
"Tetapi apakah kita tidak meninggalkan persoalan bagi Ki
Pananggungan?" "Itu juga harus kita pikirkan. Jangan terjadi, sepeninggal kita, Ki Pananggungan akan mengalami kesulitan. Apalagi Ki
Pananggungan tinggal bersama keluarganya."
Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang. Tibatiba saja terdengar Ki Suratapa berteriak, "He, cepat. Jangan main-main."
Ki Pananggungan beringsut sambil berdesis, "Biarlah aku
memanggilnya." "Jangan pergi. Jika mereka lari, kaulah yang akan dibantai disini."
Ki Pananggungan mengurungkan niatnya. Sambil menarik
nafas panjang, ia duduk kembali.
Sebenarnyalah, Paksi memang menemui Kemuning di
belakang. Seperti yang dikatakan oleh Wijang, maka Paksipun
telah menyampaikan persoalan yang dihadapinya bersama
Wijang. "Kedua orang itu akan membawa kami."
"Kenapa?" "Persoalannya tidak jelas. Tetapi kami akan pergi. Mudahmudahan kami akan segera kembali. Tetapi jika persoalannya
berkembang, mungkin kami akan pergi untuk beberapa lama."
"Tetapi bukankah Kakang akan kembali, kapanpun?"
"Aku akan kembali, Kemuning. Kita akan berdoa."
"Kakang akan minta diri kepada Bibi?"
"Tolong, kau sajalah yang menyampaikannya. Kedua orang
itu agaknya sudah tidak sabar. Mereka mulai berteriak-teriak.
Nanti jika Paman Pananggungan kehabisan kesabaran,
persoalannya akan menjadi lain."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kemuning tidak dapat menahannya. Dilepaskannya Paksi
pergi. Tetapi Kemuning tidak kehilangan harapan. Ia tahu,
Paksi berilmu tinggi. Demikian pula Wijang, sehingga
keduanya akan dapat menjaga diri.
Sejenak kemudian, Paksi dan Wijang telah berada di
pendapa. Paksi tidak lupa membawa tongkatnya. Sementara
itu, Wijang telah mengenakan perisainya di bawah lengan
bajunya. "Kami bawa kemenakanmu berdua," berkata Ki
Sanggakaya. "Aku harap agar mereka segera kembali," desis Ki
Pananggungan. "Kau tidak dapat menuntut apa-apa, kau dengar?" bentak Ki Suratapa.
Ki Pananggungan tidak menjawab. Tetapi iapun berpesan
kepada Wijang dan Paksi, "Berhati-hatilah."
Tetapi pesan itupun membuat Sanggakaya membentak,
"Untuk apa kau pesan hal itu kepada kemenakanmu" Hatihati atau tidak hati-hati akibatnya akan sama saja bagi
keduanya. Jika mereka memang pantas kembali, mereka akan
kembali. Jika tidak, kau mau apa?"
"Tolong, Ki Sanak. Kedua orang tuanya akan sangat
bersedih." "Apa peduliku. Jika orang tuanya mau bunuh diri, biarlah
mereka melakukannya. Aku tidak akan kehilangan apa-apa."
"Tetapi bukankah kita dapat sedikit bertenggang rasa."
"Hanya orang yang cengeng sajalah yang harus
bertenggang rasa." Telinga Ki Pananggungan menjadi semakin panas. Tetapi ia
tidak ingin kehilangan kendali penalarannya. Karena itu, maka
Ki Pananggungan itu masih menahan diri.
Demikianlah, maka kedua orang itupun meninggalkan
rumah Ki Pananggungan dengan membawa Wijang dan Paksi.
Di regol halaman, Ki Suratapa sempat membentak, "Buat apa kau membawa tongkat seperti seorang kakek-kakek?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tongkat ini pemberian kakekku, Ki Suratapa. Aku sangat
mengasihi kakekku." "Kau contoh seorang yang cengeng itu," geram Ki
Suratapa. Tetapi Ki Suratapa itu membiarkan Paksi membawa
tongkatnya. Sejenak kemudian, maka merekapun telah menyusuri jalan
padukuhan. Sejenak kemudian, mereka telah keluar dari mulut
jalan, memasuki bulak yang panjang.
Gangsar melihat mereka berempat dari kejauhan.
Kepergian kedua kemenakan Ki Pananggungan itu sedikit
lapang dadanya, meskipun ia tahu, bahwa untuk mulai
kembali hubungannya dengan Kemuning ia memerlukan
waktu. "Aku harap mereka tidak akan pernah kembali," berkata Gangsar dalam hatinya.
Dalam pada itu, Wijang dan Paksi berjalan di depan,
sementara itu Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa berjalan
beberapa langkah di belakangnya. Namun Ki Suratapa itu
sudah memberi peringatan, "Jangan berbuat aneh-aneh.
Ingat, kami dapat membunuhmu tanpa sebab dan tanpa
akibat apapun bagi kami."
"Jika kalian membunuh kami, sementara salah seorang dari
kami benar-benar Pangeran Benawa, maka kalian akan
digantung oleh Ki Rangga Sumawerdi."
"Iblis kau," geram Suratapa. "Meskipun salah seorang di antara kalian adalah Pangeran Benawa, jika kalian sudah mati,
maka tidak ada seorang pun yang menjadi saksi."
"Kalian akan dapat saling menjadi saksi."
"Gila. Itu berarti kami menjerat leher kami sendiri."
"Sekarang kalian dapat berkata seperti itu. Tetapi jika pada suatu saat kalian berebut kepentingan, maka kalian akan
saling mengkhianati."
"Diam kau, monyet kecil," bentak Ki Suratapa. Wijang memang terdiam. Sementara itu Paksipun tidak menyahut
sama sekali. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
-ooo00dw00ooo- Jilid 12 BEREMPAT mereka berjalan semakin jauh. Ketika mereka
berada di sebuah bulak yang luas, maka Ki Sanggakaya itupun
berbisik kepada Ki Suratapa, "Kenapa kedua kelinci ini harus dibawa menghadap Ki Rangga Sumawerdi?"
"Maksudmu" Bukankah ini datang dari Ki Rangga
Sumawerdi?" "Aku tahu. Tetapi kita pun tahu, apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh Ki Rangga Sumawerdi."
"Ya. Kita tahu. Pangeran Benawa itu akan diserahkan
kepada Harya Wisaka."
"Kau jangan terlalu dungu. Aku yakin, seandainya kita
serahkan Pangeran Benawa, maka Pangeran Benawa itu tidak
akan diserahkan kepada Harya Wisaka."
"Belum tentu cincin itu ada pada orang itu."
"Dugaan ini bersumber dari istana. Dari Harya Wisaka dan
orang-orangnya yang kemudian mulut-mulut yang tidak dapat
menyimpan rahasia itu telah menebarkan dugaan ini."
"Kalau dugaan ini salah?"
"Biarlah Harya Wisaka menanggung dosanya."
Ki Suratapa termangu-mangu sejenak. Sementara Ki
Sanggakaya berdesis, "Daripada cincin itu jatuh ke tangan Ki Sumawerdi, kenapa tidak kita ambil saja dari Pangeran
Benawa itu?" "Mana Pangeran Benawa?"
"Salah seorang dari kedua anak muda itu."
"Aku tidak yakin bahwa salah seorang dari mereka adalah
Pangeran Benawa." "Seandainya bukan, kitapun tidak dirugikan. Mereka bukan
anak cucu kita. Bukan sanak kadang."
"Jadi?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita minta cincin itu. Jika mereka tidak memberikan, kita akan membunuhnya dan mengambil cincin itu."
"Jika mereka benar-benar tidak membawa cincin itu?"
"Tidak apa-apa. Kita cari yang lain."
"Tetapi kita sudah terlanjur membunuh mereka."
"Apa salahnya. Sudah aku katakan, anak itu bukan sanak
kadang kita." Ki Suratapa termangu-mangu sejenak. Dipandangi kedua
orang anak muda yang berjalan di hadapan mereka.
Sejenak kemudian Ki Suratapa itupun mengangguk-angguk
sambil berkata, "Baik. Kita akan memaksa mereka
menyerahkan cincin itu, atau kita akan membunuh mereka
dan mengambil cincin itu dari mereka."
Namun kedua orang itu tidak tahu sama sekali, bahwa
kedua anak muda yang berilmu tinggi itu telah mengetrapkan
ilmu Sapta Pangrungu, sehingga mereka dapat mendengar
percakapan kedua orang itu meskipun lamat-lamat. Tetapi
keduanya mengerti, apa yang akan dilakukan kedua orang itu
kepada mereka. Karena itu, maka Wijangpun telah bergeser mendekati
Paksi sambil berkata, "Kau mendengar pembicaraan mereka?"
"Ya." "Ternyata mereka adalah orang-orang yang sangat licik."
Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya. Mereka telah mengkhianati pemimpinnya."
"Tetapi menurut mereka, Ki Rangga Sumawerdi itu juga
seorang yang sangat licik."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat
menjawab, karena Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa telah
menyusul mereka, dan berjalan di sebelah-menyebelah Wijang
dan Paksi. "Kita berhenti sebentar," berkata Ki Sanggakaya.
"Kenapa?" Bertanya Wijang.
"Berhenti, kau dengar. Kau tidak usah bertanya untuk apa."
Wijang dan Paksipun berhenti. Sementara Ki Sanggakaya
dan Ki Suratapa berdiri pada jarak beberapa langkah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku masih ingin bertanya kepada kalian, siapakah di
antara kalian yang bernama Benawa?"
"Tidak ada," jawab Wijang. "Namaku Wijang. Adikku namanya Paksi."
"Cukup," bentak Ki Sanggakaya. "Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan igauanmu. Sekali lagi aku
bertanya, siapakah di antara kalian yang bernama Benawa?"
Wijangpun menjawab, "Sekali lagi aku jelaskan, tidak ada
di antara kami yang bernama Benawa."
"Jangan ingkar. Kalian sekarang berada di bulak yang luas.
Tidak ada orang yang kebetulan berada di sawahnya. Tidak
ada orang yang lewat di jalan yang sepi ini. Karena itu, kalian tidak akan dapat mencari pertolongan kepada siapapun juga."
"Pertolongan apa?"
"Jika kalian tidak mau mengaku bahwa salah seorang dari
kalian adalah Pangeran Benawa, maka kami akan membunuh
kalian." "Kalian tidak dapat berbuat demikian. Kami tidak bersalah."
"Karena itu mengakulah. Kemudian serahkan cincin
permata tiga butir batu akik itu kepadaku."
"Kami tidak mengerti, apa yang kau maksudkan," desis Wijang.
"Cukup. Permainan kalian tidak menarik lagi. Cepat
serahkan cincin itu."
"Sudah aku katakan, aku tidak mengerti apa yang kalian
maksudkan. Kami tidak mengerti tentang Pangeran Benawa.
Kami tidak mengerti tentang cincin bermata tiga."
"Cukup. Aku tidak ingin mendengar jawabanmu lagi. Aku
ingin kau mengambil cincin itu dan serahkan padaku. Tidak
ada gunanya kau ingkar, karena aku akan membunuhmu dan
mengambil cincin itu dari kantong ikat pinggangmu atau
kantong bajumu." Wijangpun akhirnya menjadi jemu. Karena itu, maka iapun
berpaling kepada Paksi sambil berkata, "Apakah kau masih
sanggup melanjutkan permainan ini?"
"Kata mereka, permainan kita sudah tidak menarik lagi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi, kita akan mengakhiri permainan ini" Baiklah,"
Wijangpun mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Ki
Sanggakaya, "Ki Sanak. Akupun sudah jemu dengan
permainan ini. Sekarang, dengarkan. Aku tidak mau berbicara
lagi tentang cincin itu dan tentang Pangeran Benawa. Tidak
ada gunanya berbicara dengan orang-orang licik seperti
kalian. Seandainya, seandainya kau berhadapan dengan
Pangeran Benawa dan Pangeran Benawa itu bersedia
menyerahkan cincin yang kau maksud, maka akhirnya kau
akan berusaha membunuhnya juga. Karena itu, seandainya
Pangeran Benawa itu ada, ia tentu tidak akan menyerahkan
cincin yang kau maksudkan."
"Tentu kami tidak akan membunuhnya. Jika Pangeran
Benawa itu bersedia menyerahkan cincinnya, aku akan
membebaskannya." "Kau sangat licik, tetapi bodoh. Kau kira orang lain apalagi Pangeran Benawa dapat mempercayaimu" Jika kau ambil
cincinnya dan Pangeran Benawa itu kau lepaskan, bukankah
mulut Pangeran Benawa itu dapat berceritera kepada Harya
Wisaka atau kepada Ki Rangga Sumawerdi bahwa cincin itu
sudah kau ambil?" "Kami sudah tidak akan mendekati mereka lagi. Kami sudah
berada jauh dari Pajang."
"Kau berkata sebenarnya?"
"Aku berkata sebenarnya. Aku bersumpah disaksikan oleh
bumi dan langit. Jika aku ingkar, maka biarlah aku
pertaruhkan nyawaku dan nyawa saudaraku. Benawa akan
aku bebaskan." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan
menyerahkan cincin itu. Tetapi biarlah kami tetap hidup.
Pedang Penakluk Iblis 2 Prabarini Karya Putu Praba Darana Jala Pedang Jaring Sutra 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama