Ceritasilat Novel Online

Jejak Di Balik Kabut 9

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 9


setiap perguruan mengirimkan orang-orangnya untuk melihat
suasana dan menjajagi kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi." "Tentu orang-orang bodoh yang sombong itu yang telah
menyalakan api perselisihan disini."
"Siapa?" Repak Rembulung menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu
yang mana, karena pada dasarnya mereka semuanya adalah
orang-orang sombong dan besar kepala."
Pupus Rembulung termangu-mangu sambil memandang
berkeliling. Tetapi penglihatannya membentur kesepian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Anginpun berhenti bertiup, sehingga dedaunanpun seakanakan sedang tertidur nyenyak.
Wijang dan Paksi harus bertahan untuk tidak bergerak.
Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sangat berhatihati. Mereka sadari bahwa jika mereka bergerak dan
menyentuh daun-daun perdu sehingga bergetar, maka gerak
daun-daun perdu itu akan dapat mengundang perhatian,
justru karena angin berhenti bertiup.
Namun kedua orang anak muda itu mampu bertahan.
Meskipun nyamuk dan semut merah menggigit kulit.
Untuk beberapa lama Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung mengamati tempat itu. Merekapun kemudian telah
berhenti di bawah pohon preh yang besar di sudut tempat
yang terbuka itu. Pupus Rembulung bahkan kemudian telah
duduk bersandar batangnya yang besar berlekuk-lekuk.
Tetapi Repak Rembulung kemudian berkata, "Marilah. Kita
tinggalkan tempat ini. Kita masih harus mendapat keterangan,
apakah pertemuan esok akan tetap berlangsung."
"Kepada siapa kita akan bertanya?"
"Kita akan mendapatkan keterangan itu esok."
Tetapi ketika Pupus Rembulung kemudian bangkit berdiri,
merekapun telah tertegun pula. Dari arah lain, seseorang
tengah melangkah ke lapangan rumput yang terbuka itu. Di
belakangnya, dua orang berjalan mengiringinya.
Demikian orang itu melihat Repak dan Pupus Rembulung,
mereka telah tertegun. "Kalian telah berada disini?" bertanya orang itu.
"Gedhag Panunggul."
Orang yang datang itu tertawa. Katanya, "Kaukah yang
mengirimkan orang untuk mengacaukan persiapan pertemuan
esok?" "Buat apa aku melakukannya?" jawab Repak Rembulung.
"Mungkin kau ingin terjadi sesuatu. Mungkin tanpa alasan.
Asal saja terjadi keributan. Namun lebih dari itu, dengan
keributan itu, kau dapat menjajagi kemampuan orang-orang
dari beberapa perguruan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Untuk apa aku menjajagi kemampuan tikus-tikus itu. Aku
sudah dapat mengetahui tataran kemampuan mereka. Mereka
baru dapat berteriak-teriak dan mewarisi kesombongan gurugurunya. Bahkan tataran kemampuan guru-guru merekapun
tidak perlu kami jajagi lagi."
"Repak Rembulung," berkata Gedhag Panunggul, "kaulah orang yang paling sombong yang pernah aku kenal. Di antara
orang-orang berilmu tinggi, maka kau akan dapat terjebak
oleh sikap dan kata-katamu sendiri."
"Aku bertanggung jawab atas segala sikap dan katakataku," jawab Repak Rembulung.
"Lidahmu akan dapat dipotong di hadapan banyak orang."
Repak Rembulung itu tertawa. Namun Pupus
Rembulungpun kemudian menyela, "Apa yang akan kau
lakukan disini malam ini, Gedhag Panunggul?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku telah
mendapat laporan bahwa disini telah terjadi pertempuran."
"Kami terlambat datang," sahut Pupus Rembulung. "Apakah orang-orangmu ada yang menyaksikan pertempuran itu?"
"Ya. Seorang di antara orang-orangku terluka."
"Lalu, apakah kau datang untuk mencari orang yang
melukai salah seorang pengikutmu itu?"
"Ya. Mungkin mereka sudah pergi. Tetapi mungkin pula
dengan sombong mereka masih tetap berada disini sambil
menunggu orang yang mungkin akan dapat mereka ajak
bermain dengan lebih baik."
Repak Rembulung mengangguk-angguk. Namun kemudian
iapun bertanya, "Bagaimana dengan rencana pertemuan esok
malam?" "Menurut pendapatku, pertemuan itu harus berlangsung.
Jika ada orang gila yang merunduk dan mencoba
mengacaukan pertemuan kita esok, maka itu akan berarti
orang itu akan menyurukkan kepalanya ke mulut seekor
buaya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus," berkata Repak Rembulung. "Orang itu harus ditangkap hidup-hidup. Kita harus tahu, siapakah mereka dan
untuk apa mereka mengamati kita."
Gedhag Panunggul itupun kemudian mengamati semaksemak yang berserakan. Darah yang berceceran dan
keterangan dari kedua orang pengikutnya yang menyaksikan
pertempuran itu. "Mereka hanya lima orang yang terdiri dari dua kelompok
yang berbeda. Bahkan tidak saling mengenal," desis Gedhag Panunggul.
"Gila," geram Pupus Rembulung. "Apa kerja orang-orang kalian jika menghadapi lima orang saja mereka tidak mampu"
Berapa banyak orang yang sedang berada disini ketika
pertempuran itu terjadi" Lima orang, enam orang atau
berapa?" Gedhag Panunggul tertawa. Katanya, "Buat apa kita harus
malu. Menurut laporan orang-orangku, disini berkumpul lebih
dari duapuluh lima orang saat pertempuran itu terjadi."
"Lebih dari duapuluh lima orang?" ulang Pupus Rembulung.
"Tentu bukan karena kelima orang itu berilmu sangat tinggi.
Tetapi orang-orangmu dan orang-orang dari perguruanperguruan kerdil itulah yang tidak mampu berbuat apa-apa
meskipun di antara mereka terdapat murid-murid utama dan
murid-murid tertua."
"Jangan berkata begitu. Bagaimana dengan muridmuridmu" Kenapa tidak seorang pun di antara mereka datang
untuk bersama-sama mempersiapkan tempat ini?"
"Tidak perlu bagiku," jawab Repak Rembulung. "Lebih dari itu kau tentu tahu bahwa susunan perguruanku tidak sama
dengan susunan perguruanmu dan perguruan-perguruan
lain pada umumnya." "Aku tahu. Tetapi apapun namanya, kenapa tidak seorang
pun kau kirim untuk datang dalam persiapan pertemuan tadi?"
"Kami ingin datang sendiri. Tetapi sayang, kami datang
terlambat." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gedhag Panunggul tidak bertanya lagi. Tetapi ia masih saja
mengamati keadaan di sekitar tempat itu.
Wijang dan Paksi menjadi berdebar-debar. Nampaknya
orang yang disebut Gedhag Panunggul itu cukup teliti. Ia
mengamati semak-semak sampai jarak beberapa langkah dari
lapangan rumput yang terbuka itu.
Tetapi keduanya memang tidak berada di tempat yang
terlalu dekat. Jarak yang terlalu jauh bagi kebanyakan orang.
Hanya karena keduanya memiliki kemampuan untuk melihat
dan mendengar dari jarak yang jauh dengan Aji Sapta Pandulu
dan Sapta Pangrungu, maka keduanya dapat mengerti apa
yang telah terjadi. Sebenarnyalah Gedhag Panunggul tidak menyibak semaksemak di sekitar tempat terbuka itu sampai ke tempat Wijang
dan Paksi bersembunyi. Seandainya orang itu sampai juga ke
tempat Wijang dan Paksi bersembunyi, maka keduanya masih
mempunyai kesempatan untuk menyingkir.
Namun kemudian Gedhag Panunggul itupun telah kembali
ke tengah-tengah tempat terbuka itu.
"Aku besok akan datang kemari," berkata Gedhag
Panunggul. "Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang tadi sempat mencerai-beraikan beberapa kelompok orang-orang
dari berbagai perguruan."
"Bagus," sahut Repak Rembulung, "kami besok juga akan datang."
"Kami berharap orang-orang yang tadi sempat
mengacaukan orang-orang dari beberapa perguruan itu
datang," sambung Pupus Rembulung.
Namun dalam pada itu, maka Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung itupun melangkah meninggalkan tempat itu.
"Kami akan pergi," berkata Repak Rembulung.
Gedhag Panunggul tidak menyahut. Dipandanginya saja
kedua orang itu melangkah meninggalkan tempat terbuka itu
memasuki semak-semak dan hilang di dalam kegelapan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang tinggal adalah Gedhag Panunggul dan para
pengikutnya. Namun merekapun kemudian telah bersiap untuk
pergi. Sementara Gedhag Panunggul masih berkata, "Hubungi
yang lain-lain. Besok aku akan datang ke tempat ini.
Pertemuan itu harus berlangsung. Bahkan aku berharap
orang-orang gila yang tadi mengacau disini itu bersedia
datang lagi." Sejenak kemudian maka lapangan rumput itu menjadi sepi
kembali. Malam yang gelap menukik semakin dalam. Angin
masih belum berhembus. Paksi sempat menggaruk lehernya yang gatal. Sementara
Wijang bangkit berdiri dan menggeliat.
"Besok akan ada tontonan yang menarik," berkata Wijang.
"Ya. Beberapa orang berilmu tinggi akan berkumpul.
Mereka akan berbicara tentang cincin yang kau bawa."
"Bukan hanya karena itu. Tetapi mereka tentu ingin
menjadi orang terpenting di antara mereka. Cincin itu dapat
menjadi alat untuk melakukan pendadaran."
"Ya," Paksi mengangguk-angguk, "perguruan yang
menemukan cincin itu adalah perguruan yang terbaik menurut
penilaian mereka, sehingga pantas untuk menjadi pimpinan di
antara mereka." "Tetapi perburuan itu belum akan berakhir. Setiap orang
ingin memilikinya sehingga akan terjadi perebutan di antara
mereka. Mereka akan menempuh segala cara, bahkan yang
paling kasar dan yang paling licik sekalipun, karena mereka
percaya bahwa siapa yang mengenakan cincin di jari-jari
tangannya, ia akan memiliki kekuasaan di masa depan. Anak
atau cucunya akan memegang kekuasaan tertinggi di tanah
ini." "Perburuan itu tentu akan menimbulkan keresahan.
Bagaimanapun juga benturan-benturan kekuatan di antara
mereka tentu akan menepis kehidupan di sekitarnya."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat
iapun berkata, "Paksi. Besok sebaiknya kau pergi ke pasar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mungkin Ki Rangga Suraniti ada di pasar itu pula. Jika saja kau dapat menangkap apa yang dikatakannya."
"Baiklah," jawab Paksi. "Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pasar."
Demikianlah, keduanyapun segera meninggalkan tempat
itu. Ketika mereka sampai di gubuk kecil mereka, maka
malampun telah mendekati ujungnya. Meskipun demikian,
keduanya masih sempat berbaring sejenak. Tetapi mereka
tidak dapat tidur sama sekali, karena sebelum fajar mereka
harus sudah bangun untuk melakukan kewajiban mereka
sehari-hari. Apalagi Paksi pagi itu akan pergi ke pasar.
Ketika matahari terbit, maka Paksipun telah meninggalkan
gubuk kecilnya. Wijanglah yang mencuci tempayan dan
kemudian melepas gula kelapa yang dicetak dengan
tempurung kelapa menjelang pagi. Legen yang sudah
ditampung sejak kemarin baru sempat dipanasi pagi itu.
Tetapi Paksi tidak akan kekurangan kayu bakar untuk
membuat gula kelapa. Paksi telah berada di pasar saat matahari mulai memanjat
naik. Kecuali melihat apakah Ki Rangga Suraniti ada di pasar,
Paksi juga membeli beberapa kebutuhan sehari-hari.
Terutama garam dan rempah-rempah. Bawang merah,
bawang putih dan seikat daun salam dan petai. Meskipun
Paksi tidak begitu senang makan petai, tetapi seperti ibunya,
Paksi memberi beberapa buah petai di masakannya.
Setelah keperluannya selesai, maka Paksi mulai mengelilingi
pasar itu. Tetapi ia tidak melihat Ki Rangga Suraniti. Bahkan ia melihat dua orang perempuan dari Perguruan Goa Lampin
juga sedang berbelanja. Namun seperti biasa, mereka
membayar sekehendak hati mereka tanpa menghiraukan
keluhan para penjualnya. Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka Paksipun
menganggap bahwa Ki Rangga Suraniti memang tidak pergi
ke pasar hari itu. Karena itu, maka Paksipun segera berniat
kembali ke gubuknya dan memberitahukannya kepada Wijang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi ketika ia berjalan di depan penjual dawet, maka
Paksi tertegun. Ia melihat dua orang yang pernah dijumpainya
membeli dawet, baru itu juga sudah duduk di depan penjual
dawet itu. Paksi berharap bahwa penjual dawet itu akan menyapanya,
sehingga kedua orang itu tidak mencurigainya bahwa ia
sengaja duduk bersama mereka.
Sebenarnyalah seperti yang diharapkan, maka penjual
dawet itu memang menyapanya seperti biasanya, "He,
singgah dahulu, anak muda."
Paksi berhenti melangkah. Dipandanginya kedua orang
yang sudah duduk lebih dahulu itu sambil tersenyum-senyum.
Katanya, "Tetapi aku jadi malu kepada kedua paman ini.
Bukankah Paman yang pernah membayar ketika aku minum
disini?" "Kenapa malu?" sahut orang yang dikenal Paksi bernama Ki Rangga Suraniti.
"Paman, kali ini Paman tidak usah membayar. Aku datang
untuk berbelanja. Ibu sedang berhalangan. Karena itu, aku
mendapat uang jajan dari Ibu."
"Kau berbelanja apa saja?" bertanya Ki Rangga Suraniti.
Paksipun kemudian duduk di dekat mereka sambil
menunjukkan beberapa bungkus kebutuhan dapur yang
dibelinya. "Ternyata kau pintar juga," berkata yang seorang lagi, yang menurut pengenalan Paksi adalah Ki Nukilan.
Paksi tertawa. Namun kemudian iapun berkata, "Dawetnya,
Paman." Ketika Paksi kemudian menghirup dawetnya, maka ia
mendengar Ki Rangga itu berkata, "Baiklah. Jika kau panggil kemenakan-kemenakanmu, silahkan datang."
"Tetapi apakah tontonan itu jadi dipergelarkan?" bertanya Ki Nukilan.
"Mudah-mudahan. Tetapi undangan itu telah aku terima
belum sepenginang ini."
"Sudah pasti?"

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya." Keduanya terdiam. Hampir bergumam Ki Nukilan berkata,
"Begitu cepat kau menerima undangan."
"Aku adalah sahabat terdekat."
Penjual dawet itu memandangi keduanya dengan terheranheran. Di luar sadarnya ia bertanya, "Ternyata kalian
mempunyai banyak sahabat. Ketika kalian singgah kalian juga
berbicara tentang undangan. Sekarang juga membicarakan
undangan dan tontonan."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki
Rangga menyahut, "Jangan mengatakan kepada isteriku. Aku
adalah jagoan. Dimana ada perhelatan, kami selalu ada."
"Jagoan apa?" bertanya penjual dawet itu.
Ki Rangga tertawa semakin panjang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kau pernah melihat orang bermain dadu?"
Penjual dawet itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Pantas kau selalu berbicara tentang undangan dan
perhelatan." "Ah, kau telah membuka rahasia," desis Ki Nukilan.
"Tetapi ia tidak akan mengatakan kepada isteri kita."
"Aku tidak mengenal isteri kalian," sahut penjual dawet itu.
Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan itupun tertawa.
Namun beberapa saat kemudian, Ki Rangga Suraniti itupun
berkata, "Marilah. Aku akan pulang. Kau akan pergi kemana?"
"Pulang," jawab Ki Nukilan.
"Marilah kita bersama-sama."
Ki Nukilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
sambil bangkit iapun berkata, "Sekarang aku yang
membayar." Ki Rangga Suraniti tertawa. Katanya, "Terima kasih."
Namun kemudian Ki Nukilan itupun berpaling kepada Paksi
sambil berkata pula, "Aku bayar dawetmu."
"Ah, aku sudah mendapat uang jajan hari ini."
"Kau dapat membelikannya makanan."
"Terima kasih," jawab Paksi sambil bangkit berdiri ketika kedua orang itu meninggalkan penjual dawet itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau beruntung," berkata penjual dawet itu sambil tertawa.
"Kapan lagi mereka akan datang?" bertanya Paksi.
"Bagaimana aku tahu," jawab penjual dawet itu.
Tertawanya telah mengguncang-guncang perutnya.
Namun Paksipun kemudian telah minta diri pula. Ia ingin
segera bertemu dengan Wijang untuk memberitahukan
pembicaraan yang baru saja didengar. Tetapi karena Paksi
sudah mengerti persoalan yang sedang dihadapi oleh Ki
Rangga Suraniti dan Ki Nukilan, maka Paksi dapat menduga,
apa yang sedang mereka bicarakan itu.
Demikian keluar dari pasar, maka Paksipun berjalan dengan
cepat pulang ke gubuk kecilnya. Berita yang dibawanya itu
tentu akan menarik bagi Wijang.
Ketika Paksi sampai di gubuk kecilnya, Wijang sedang
mengambil air, mengisi gentong kecil persediaan air bersih
yang diletakkan di teritisan gubuk kecil itu.
"Apakah kau melihat Ki Rangga Suraniti?" bertanya Wijang.
"Ya," jawab Paksi.
"Sendiri atau bersama satu dua orang?"
"Aku menjumpai Ki Rangga Suraniti sedang membeli dawet
bersama Ki Nukilan."
"Kau dengar sepatah dua patah kata pembicaraan
mereka?" Paksi mengangguk. Iapun kemudian mengatakan apa yang
dibicarakan oleh Ki Rangga Suraniti dan Ki Nukilan itu.
Wajah Wijang menjadi tegang. Katanya, "Jadi mereka akan
mengerahkan prajurit untuk menangkap atau menghancurkan
beberapa perguruan yang akan bertemu di tempat terbuka
itu?" "Apakah mereka akan melakukannya?"
"Menurut pembicaraan itu demikian, jika tidak ada
perubahan. Tetapi Ki Rangga Suraniti tentu sudah
memperhitungkan sebaik-baiknya."
"Ki Nukilan yang agaknya mengambil keputusan."
"Tetapi bukankah Ki Rangga sudah menyetujuinya?"
Paksi mengangguk-angguk. Sementara Wijang berkata,
"Satu tugas yang sangat berat dan berbahaya. Di lapangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
rumput itu akan berkumpul beberapa orang berilmu tinggi.
Para pengikut mereka tentu akan mengawasi dan melindungi
para pemimpin mereka, apalagi setelah terjadi peristiwa
semalam." "Tetapi begitu cepat, Ki Rangga mengetahui bahwa
pertemuan itu tidak tertunda dan tidak berpindah tempat."
"Petugas sandi Pajang termasuk petugas sandi yang baik.
Tentu ada satu atau dua orang di antara mereka yang berhasil
menyusup di antara perguruan-perguruan itu."
"Tetapi apakah Pajang menganggap perguruan-perguruan
itu berbahaya?" "Tentu," jawab Wijang. "Mereka sudah mengikuti
perkembangan setiap perguruan itu untuk waktu yang cukup."
Paksi menarik nafas panjang. Ia dapat membayangkan, jika
Pajang mengambil sikap keras, tentu akan terjadi
pertempuran yang sengit. Namun Paksipun kemudian
bertanya, "Apakah ada waktu bagi Ki Nukilan untuk
mengirimkan penghubung ke Pajang kemudian membawa
sepasukan prajurit Pajang sampai kemari di hari ini?"
"Ki Nukilan tentu tidak menunggu prajurit yang langsung
datang dari Pajang. Tetapi Ki Nukilan tentu mempersiapkan
prajurit Pajang yang berada di Jati Anom dan sudah
dipersiapkan di sebelah timur Prambanan, di pinggir Kali
Dengkeng." "Jadi sudah ada prajurit Pajang yang dipersiapkan di sekitar tempat ini?"
"Tidak terlalu dekat. Tetapi dengan penghubung berkuda
yang berangkat malam tadi, maka malam nanti prajurit Pajang
yang dipersiapkan di Jati Anom sudah akan mencapai tempat
ini. Tetapi aku tidak tahu, apakah jumlah prajurit Pajang itu
cukup memadai. Apakah para pemimpin mereka memiliki
kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan para
pemimpin perguruan-perguruan yang bakal berbicara di antara
mereka itu." "Tetapi para petugas sandi Pajang itu tentu sudah
membuat laporan terperinci."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Para pemimpin prajurit kadang-kadang kehilangan
kecermatan mereka jika mereka mulai dikuasai oleh hasrat
mereka menghancurkan kelompok-kelompok yang dianggap
melawan kekuasaan Pajang. Meskipun demikian, aku masih
berharap bahwa para prajurit itu akan dapat menyelesaikan
tugas mereka dengan baik."
Paksi termangu-mangu sejenak. Ia mulai membayangkan
pertempuran yang sengit antara para prajurit Pajang dengan
beberapa perguruan yang sedang berkumpul di lereng Gunung
Merapi ini. Namun Wijangpun kemudian berdesis, "Tetapi jika orangorang dari beberapa perguruan itu menyadari, bahwa yang
mengintai persiapan semalam adalah prajurit Pajang, maka
mereka tentu akan berpikir dua kali untuk melangsungkan
pertemuan sebagaimana mereka rencanakan."
"Agaknya mereka tidak menghubungkan kehadiran orangorang yang mengintainya semalam dengan prajurit Pajang."
"Nampaknya Ki Nukilan dengan sengaja mempergunakan
sepasang bindi sebagai senjatanya. Kehadiranmu dengan
tongkat juga menyesatkan orang-orang dari beberapa
perguruan itu, karena menurut perhitungan mereka, para
prajurit tidak akan mempergunakan senjata seperti itu. Para
prajurit tentu akan mempergunakan senjata yang umum
dipergunakan. Misalnya pedang atau tombak pendek."
Paksi mengangguk sambil berdesis, "Mudah-mudahan para
prajurit tidak justru terjebak."
Wijang menarik nafas panjang. Sambil duduk di atas
sebongkah batu padas ia memandang ke kejauhan. Hutan
lereng pegunungan yang lebat memagari satu lingkungan
yang terbuka di antara gumuk-gumuk kecil di kaki gunung,
nampak hijau kegelapan. Cahaya matahari yang semakin terik
terpantul di wajah daun-daun yang berdesakan.
Tiba-tiba saja Paksi bertanya, "Apakah Ki Nukilan benarbenar sudah siap?" "Mudah-mudahan, "desis Wijang. "Aku juga sedang memikirkannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jumlah orang yang akan berkumpul tentu akan cukup
banyak. Setiap pemimpin perguruan akan mempersiapkan
para pengikutnya di sekitar tempat itu. Seandainya mereka
tidak merasa terganggu, agaknya mereka juga akan
menyiapkan orang-orangnya. Apalagi setelah mereka
mempunyai alasan yang kuat."
"Ya. Mereka sebenarnya juga saling mencurigai," Wijang bergumam seakan ditujukan kepada diri sendiri.
"Tetapi apakah Ki Nukilan dan Ki Rangga Suraniti tidak
tinggal bersama-sama di satu tempat sehingga mereka perlu
bertemu dan berbicara di pasar?"
"Tentu tidak. Untuk tidak menarik perhatian. Banyak orangorang dari berbagai perguruan yang berkeliaran. Tetapi juga
pantas diperhatikan orang-orang padukuhan yang sudah
dipengaruhi oleh orang-orang dari berbagai perguruan yang
dibayangi oleh keinginan untuk menatap masa depan itu.
Menurut dugaanku, selain beberapa perguruan, tentu masih
ada orang yang berusaha untuk memiliki cincin itu yang
datang tidak dalam kelompok-kelompok yang besar. Tetapi
seorang-seorang atau dua orang yang juga merasa melihat
cahaya langit yang jatuh di sekitar tempat ini atau melihat
semacam teja yang bercahaya mencuat menusuk langit atau
melihat isyarat apapun."
Paksi mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia
bertanya, "Apa sebenarnya yang telah mereka lihat?"
"Aku tidak tahu. Tetapi aku percaya bahwa memang ada
benda langit yang pernah jatuh di bumi. Mungkin semacam
batu bintang atau apapun namanya."
"Jadi bukan cincin itu?"
"Bukankah cincin itu masih tetap ada padaku?"
Paksi mengangguk-angguk. Cincin itu memang masih tetap
berada di tangan Wijang. Demikianlah, keduanyapun kemudian duduk merenung.
Bagaimanapun juga mereka merasa cemas. Jika sekelompok
prajurit Pajang itu jumlahnya tidak memadai, maka mereka
justru akan mengalami kesulitan. Apalagi di tempat itu akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkumpul orang-orang berilmu tinggi. Para pemimpin dari
beberapa perguruan itu merupakan lawan yang sangat berat
bagi para pemimpin kelompok-kelompok prajurit yang akan
berusaha menguasai mereka.
Wijang yang kemudian bangkit sambil menggeliat berdesis,
"Aku percaya kepada para petugas sandi Pajang, sehingga
para prajurit itu tidak akan terjebak dalam kesulitan."
"Tetapi kita akan berada dimana" Jika para prajurit itu akan datang dan mengepung tempat itu, maka pertempuran akan
terjadi di luar tempat terbuka itu. Di semak-semak atau di
pinggir hutan atau di lembah di sebelah bukit kecil itu."
"Ya, pertempuran akan dapat terjadi dimana-mana. Tetapi
kita sebaiknya tetap berada di tempat yang sudah kita pilih.
Para prajurit itu tentu baru akan datang dan mengepung
tempat itu setelah pertemuan itu berlangsung. Lewat tengah
malam." Paksi mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Wijang.
Mereka berdua harus sudah berada di tempat persembunyian
mereka sebelum segalanya itu terjadi.
Meskipun demikian, Paksi itupun berkata, "Aku menduga
bahwa tempat itu tentu sudah diawasi oleh para murid dari
berbagai perguruan itu sejak malam turun."
"Ya. Aku juga memperkirakan demikian. Karena itu, kita
harus sudah berada disana. Kita tidak boleh terlalu dekat
dengan tempat terbuka itu. Kita akan berada di tempat pilihan
kedua. Menurut perhitungan, tempat itu cukup jauh. Tetapi
para prajurit yang mengepung tempat itu, akan berada pada
jarak yang lebih jauh lagi dari sasaran."
Paksi termangu-mangu sejenak. Ia membayangkan satu
lingkungan yang rumit, yang setiap jengkal mendapat
pengawasan yang teliti. Namun yang kemudian akan berada di
dalam lingkaran kepungan para prajurit Pajang.
Wijang seakan-akan dapat membaca perasaan Paksi.
Karena itu, maka iapun berkata, "Kita akan melakukan satu pekerjaan yang berat dan rumit. Tetapi bukankah tantangan
seperti itu yang membuat kita menjadi semakin dewasa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Dan kita ingin
menjadi dewasa." Namun Wijang tersenyum sambil berkata, "Kita akan
bertambah dewasa, atau kita tidak akan pernah menjadi
dewasa." Paksipun tertawa. Katanya, "Pajang tidak akan kehilangan
seorang pangeran." "Ah, kau," sahut Wijang. "Sejak beberapa waktu yang lalu, Pajang telah kehilangan seorang pangeran. Tetapi pangeran
yang tidak berarti apa-apa bagi Pajang."
"Kenapa tidak" Tentu sekarang istana Pajang menjadi
muram karena Pangeran Benawa tidak berada di istana dan
tidak diketahui kemana perginya."
"Bukan hanya seorang pangeran. Orang yang kehilangan
anaknya tentu akan mencarinya."
"Tetapi aku justru dihalau untuk meninggalkan rumahku."
"Sudahlah," potong Wijang. "Seandainya kau tidak pergi meninggalkan rumahmu apapun alasannya, maka kau tidak
akan menjadi seorang yang berilmu seperti sekarang ini."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Ternyata aku
telah menemukan sesuatu di dalam pengembaraan ini."
Wijang tidak mengatakan sesuatu lagi. Sementara itu,
Paksipun berkata, "Apakah kita akan makan sekarang?"
"Aku juga sudah lapar."
Demikianlah, maka keduanyapun telah duduk menghadapi
mangkuk mereka masing-masing. Nasi yang dingin dan sayur
serta lauk yang sudah dingin pula.
Hari itu keduanya telah memanfaatkan waktu untuk
beristirahat. Berbaring di bawah pepohonan yang rindang di
luar gubuk mereka. Menikmati silirnya angin lereng gunung
yang lembut, yang mengusap tubuh mereka. Baik Paksi
maupun Wijang membiarkan dada mereka terbuka.
Ketika matahari turun di sisi barat, maka keduanyapun
telah mempersiapkan diri. Mereka pergi ke gerojogan untuk
mandi. Mengenakan pakaian yang berwarna gelap dan
mempersiapkan nalar dan budi untuk melakukan satu kerja


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang penuh dengan bahaya. Bahkan kemungkinan yang
terburuk akan dapat terjadi atas mereka. Mereka akan dapat
berhadapan dengan orang-orang dari beberapa perguruan itu,
tetapi jika terjadi salah paham, maka merekapun akan dapat
berhadapan dengan para prajurit Pajang.
Demikian langit menjadi merah, maka kedua orang anak
muda itu sudah siap. Paksi telah mempersiapkan tongkatnya,
sementara Wijang telah mengamati pelindung pergelangan
tangannya serta sepasang pisaunya yang ujudnya sederhana.
Tetapi besi bajanya bukan besi yang sederhana. Pamornya
bagaikan berkeredipan di bawah cahaya senja.
Demikianlah, maka keduanyapun meninggalkan gubuk kecil
mereka untuk melakukan beban tugas yang mereka letakkan
di pundak mereka sendiri.
Ketika keduanya sampai di tempat yang akan menjadi
tempat pertemuan para pemimpin perguruan itu, langit sudah
menjadi hitam. Tempat itu masih sepi. Belum nampak
seorangpun yang berada di tempat itu.
Wijang dan Paksipun segera menempatkan diri. Seperti
seorang yang akan menonton wayang topeng yang datang
lebih awal untuk mendapatkan tempat terbaik sebelum
penonton yang lain berdatangan di tempat pertunjukan.
Namun seperti yang sudah mereka duga, beberapa saat
kemudian, maka kelompok-kelompok kecil orang-orang dari
berbagai perguruan telah berdatangan. Mereka mengamati
tempat itu sebaik-baiknya. Mereka menyibak gerumbulgerumbul perdu di sekitar tempat terbuka itu. Mereka
mengamati setiap tempat yang mereka curigai dapat
dipergunakan untuk bersembunyi.
Tetapi mereka menyibak semak-semak pada jarak tertentu.
Di luar jarak itu, mereka anggap sudah terlalu jauh untuk
mengintai pembicaraan orang-orang yang akan hadir di
tempat yang terbuka itu. Karena itu, maka tidak seorang pun di antara mereka yang
mengamati gerumbul perdu sampai ke tempat Wijang dan
Paksi bersembunyi. Jarak itu terlalu panjang. Namun dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aji Sapta Pangrungu dan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi
akan dapat menyaksikan dan mendengarkan dengan jelas apa
yang akan mereka bicarakan di lapangan rumput itu.
Namun Wijang dan Paksipun yakin, bahwa tempat itu tentu
sudah dilingkari kekuatan yang besar dari perguruanperguruan yang terlibat dalam pertemuan itu. Kecuali mereka
berusaha untuk mengamankan lingkungan, sebenarnyalah
bahwa mereka saling curiga, sehingga mereka tidak ingin
pemimpin mereka mengalami kesulitan dalam pertemuan itu.
Sedangkan di luar lingkaran pengamanan orang-orang dari
berbagai macam perguruan itu, prajurit Pajang akan datang
mengepung mereka dan berusaha menangkap para
pemimpinnya. Suasana di tempat itupun menjadi sangat mencengkam.
Orang-orang yang berkeliaran itu nampak tegang. Yang satu
mengawasi yang lain dengan penuh kecurigaan.
Wijang dan Paksipun menjadi tegang pula di tempat
persembunyiannya. Mereka menyadari bahwa sebentar lagi
akan terjadi pertempuran yang sengit jika Ki Rangga Suraniti
tidak merubah rencananya.
Tetapi keduanya tidak dapat berbuat apa-apa selain
berdiam diri di tempat mereka bersembunyi sambil menunggu.
Menjelang tengah malam, maka suasanapun telah berubah.
Orang-orang dari berbagai perguruan yang berkeliaran itupun
mulai menyibak. Tidak ada pertanda bunyi apapun. Namun
begitu saja Gedhag Panunggul telah berada di lapangan
rumput itu. Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah
mendekatinya sambil membungkuk hormat.
"Kau memang dungu," bentak Gedhag Panunggul. "Sudah aku katakan, jangan ada yang berkeliaran disini. Biarlah
orang-orang yang masih ingin mengintip pertemuan itu datang
dan bersembunyi di sekitar tempat ini. Aku memerlukan
mereka." Orang yang mengangguk hormat itu menjawab dengan
ragu, Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kawan-kawan dari perguruan lain menghendaki
tempat ini diamankan. Meskipun kami tidak berbuat apa-apa
disini, namun mereka telah menyibak gerumbul-gerumbul liar
serta semak-semak perdu."
"Mereka memang bodoh dan tidak berotak," geram Gedhag Panunggul.
"Kami tidak dapat mencegah mereka."
Gedhag Panunggul menggeram, tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Semuanya sudah terlanjur. Katanya, "Jika orang-orang itu datang lagi, mereka tidak akan berani
mendekat. Mereka akan bersembunyi di tempat yang jauh
sehingga kita tidak akan dapat menangkapnya."
Namun dalam pada itu, terdengar seseorang tertawa.
Sambil melangkah mendekat, orang itu berkata, "Sudahlah,
Gedhag Panunggul. Jangan disesali. Kita tidak memerlukan
orang-orang gila itu. Bahkan aku yakin mereka tidak akan
berani datang lagi. Jika mereka memang ingin datang, serta
mereka berilmu tinggi, maka mereka akan dapat menghindar
dari pengamatan murid-murid kita."
"Sima Pracima," geram Gedhag Panunggul, "ternyata kau juga sebodoh murid-muridmu."
"Jangan berkata begitu di hadapan murid-muridku. Aku
adalah orang yang mereka hormati. Akupun tidak akan
merendahkanmu di hadapan murid-muridmu meskipun aku
tahu, bahwa otakmu adalah otak yang tumpul."
"Setan kau," sahut Gedhag Panunggul.
Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, terdengar orang
lain berkata, "Sima Pracima memang gila. Ia tidak ingin
merendahkan Gedhag Panunggul di hadapan murid-muridnya.
Tetapi ia sudah menyebut bahwa otak Gedhag Panunggul
adalah otak yang tumpul."
"Kau juga iblis," geram Gedhag Panunggul.
Sementara itu Sima Pracimapun bergumam, "Wira Bangga."
"Sebenarnya aku ingin pertemuan ini diselenggarakan di
tempat lain. Aku curiga, bahwa orang-orang yang semalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang kemari adalah orang-orang Pajang. Orang-orangku
pernah melihat kesiagaan prajurit Pajang di Prambanan."
"Mereka terdiri dari dua kelompok yang berbeda dan tidak
saling mengenal," berkata Sima Pracima. "Orang-orangku mendengar mereka saling mempertanyakan diri masing-masing. Tetapi mereka tidak mau menyebutkannya. Senjata
merekapun tidak menunjukkan jenis senjata yang dipakai oleh
para prajurit. Ada di antara mereka yang mempergunakan
sepasang bindi ada yang mempergunakan tongkat dan pisaupisau belati." Gedhag Panunggul tertawa. Katanya, "Wira Bangga,
kenapa tiba-tiba kau menjadi penakut" Seandainya mereka
orang-orang Pajang, apa keberatanmu" Jika mereka datang
dengan sekelompok prajurit sekalipun, kita akan melumatkan
mereka. Permusuhan dengan Pajang memang sudah lama
dicanangkan. Perang terbuka tidak akan menggetarkan kita.
Kitapun tidak akan lama berada disini, sehingga jika datang
pasukan yang lebih besar, lingkungan ini sudah sepi. Cahaya
yang kita lihat turun dari langit memang belum tentu
mengisyaratkan, bahwa benda itulah yang kita cari."
"Tetapi apakah kita akan meyakinkannya lebih dahulu?"
bertanya Wira Bangga. "Setiap malam aku berada di tempat terbuka. Aku masih
belum melihat isyarat apapun yang dapat menunjukkan
tempat cincin bermata tiga itu."
"Jika demikian, malam ini kita akan bertahan," berkata Sima Pracima. "Tetapi untuk selanjutnya, terserah kepada kita masing-masing. Apakah kita masih akan tetap berada di
sekitar tempat yang semula kita yakini menjadi tempat
persemayaman cincin itu, atau ada di antara kita yang akan
mencari di tempat lain. Tetapi persetujuan yang nanti akan
kita capai akan tetap mengikat."
Tetapi seorang perempuan yang kemudian datang
menyahut dengan suara melengking, "Apakah pembicaraan
sudah dimulai sebelum aku datang?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nyi Melaya Werdi," ketiga orang itu hampir berbareng berdesis.
"Kenapa kalian tidak menunggu kita semua hadir?"
"Kau kira, kau dapat melarang kami berbicara" Apa hakmu
Nyi Melaya Werdi?" "Bukankah kita sepakat untuk berbicara dalam satu
pertemuan yang akan mengikat kita semuanya?"
"Apakah kami telah menghambat pertemuan itu?" bertanya Sima Pracima.
"Tetapi pembicaraan yang sudah memasuki persoalan
pokok dari permasalahan yang akan kita bicarakan, akan
membuat pembicaraan kita tidak wajar lagi. Tidak menarik
dan keputusan terakhir seakan-akan telah dipersiapkan lebih
dahulu oleh beberapa orang di antara mereka."
"Kau terlalu curiga," berkata Wira Bangga. "Jangan berprasangka seperti itu. Marilah, kemarilah."
Perempuan yang disebut Nyi Melaya Werdi itupun
melangkah mendekat. Ki Wira Bangga tersenyum sambil berdesis, "Kau masih
tetap cantik, Nyi. Sudah berapa lama kita tidak bertemu.
Mungkin aku sudah menjadi bertambah tua, tetapi kau tidak."
"Kau masih tetap buaya," geram Nyi Melaya Werdi.
"Kau masih tetap seekor burung gelatik liar."
"Sudah, sudah," potong Nyi Melaya Werdi. "Aku datang untuk berbicara tentang kedudukan dan hubungan kita agar
kita tidak saling membunuh."
Ki Sima Pracima tertawa. Katanya, "Kedatanganmu
membuat malam ini terasa segar, Nyi. Kegilaan Wira Bangga
akan menyurukkan dirinya ke dalam kerangkeng-kerangkeng
yang kau siapkan di padepokanmu."
"Cukup," teriak Nyi Melaya Werdi. "Kau tidak usah iri, Ki Sima Pracima. Aku tidak menyiapkan kerangkeng untuk
mengurung seekor harimau yang buas seperti kau."
Sima Pracima tertawa semakin keras. Katanya, "Kau tidak
usah menyiapkan kerangkeng itu. Aku akan membawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kerangkengku sendiri. Yang aku perlukan hanya tempat yang
khusus di dalam goamu itu."
"Apakah aku harus membungkam mulut kalian?" geram Nyi Melaya Werdi.
"Nyi," berkata Gedhag Panunggul, "mungkin aku akan berbicara lebih sopan. Di mana adikmu, Megar Permati?"
"Ia tidak mau aku ajak kemari. Ia tahu benar sifat kalian.
Tetapi malam ini ia ada disini."
Gedhag Panunggul tersenyum. Katanya, "Ia mengira bahwa
kami tidak tahu bahwa ia mempunyai kerangkeng khusus di
padepokanmu." "Justru karena itu, ia tidak memerlukan kalian."
Suara tertawapun meledak. Namun tiba-tiba terdengar
seorang perempuan membentak, "Cukup. Jangan sebut lagi
namaku." "Ternyata kau mendekat juga, Megar."
"Tidak. Aku lebih senang berada di luar lingkaran
pembicaraan ini." Megar Permati tidak menunggu jawaban. Iapun segera
melangkah pergi meninggalkan beberapa orang yang
memandanginya dengan kagum. Dua orang perempuan yang
lain dengan pedang di lambung menunggunya dan kemudian
bersama-sama menghilang di dalam gelap.
Namun tiba-tiba Melaya Werdipun bertanya, "Siapa yang
kita tunggu?" "Kerbau tua itu," jawab Wira Bangga.
"Masih ada lagi. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
"Apa yang akan dilakukan kedua orang yang sudah mulai
rapuh itu" Mereka menyangka bahwa mereka masih tetap
orang yang disegani di antara kita."
"Mungkin pikirannya masih berarti bagi kita," desis Gedhag Panunggul. "Tetapi jika keduanya menuntut yang bukan-bukan, kita akan melemparkannya keluar dari pembicaraan
ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sima Pracimapun menyahut, "Keduanya masih mampu
memamerkan ilmu mereka dengan menakut-nakuti anak-anak
beberapa hari yang lalu."
"Aku juga mendengarnya," desis Nyi Melaya Werdi.
"Sepasang iblis itu tentu merasa berhasil karena kita segera menyelenggarakan pertemuan ini."
"Biar saja apapun yang mereka rasakan. Mungkin mereka
merasa memiliki kelebihan dari kita semuanya," desis Wira Bangga.
Mereka berhenti sejenak ketika mereka melihat seorang
yang kumis dan janggutnya sudah memutih. Beberapa helai
rambutnya yang tergerai mencuat dari bawah ikat kepalanya
juga sudah nampak memutih.
"Ki Kebo Serut sudah datang," desis Gedhag Panunggul.
Ternyata bahwa para pemimpin perguruan yang
menyelenggarakan pertemuan itu masih juga menaruh hormat
kepada orang tua. Karena itu, merekapun serentak
menyambut kedatangannya. Nyi Melaya Werdilah yang
kemudian mempersilahkan, "Marilah, Paman. Kita menunggu
kedatangan Paman." "Terima kasih, terima kasih Melaya Werdi. Eh, kau masih
sama seperti beberapa tahun yang lalu. Bibirmu yang tipis itu
menjadi ciri keramahanmu."
"Giginya miji timun, Paman," desis Wira Bangga.
"Setan kau," geram Nyi Melaya Werdi.
Ki Kebo Serut itu tertawa. Meskipun rambutnya sudah putih
yang menjadi ciri ketuaannya, tetapi Kebo Serut tetap seorang
yang bertubuh kekar dan tegar.
"Aku dengar Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan
datang dalam pertemuan ini."
"Ya, Paman," jawab Nyi Melaya Werdi.
"Apakah mereka sudah datang?"
"Belum, Paman."
"Keduanya adalah orang-orang yang terlalu sombong dan
berbangga diri atas kelebihan mereka. Tetapi keduanya adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang yang baik. Mereka pernah menghadiahkan lima ekor
lembu kepadaku." "Hanya lima ekor lembu" Bukankah kita masing-masing
akan dapat mengambil lebih dari sepuluh ekor lembu semalam
jika kita kehendaki."
"Yang penting bukan lima ekor atau sepuluh ekor. Bahwa
mereka memberikan hadiah kepadaku itulah yang aku hargai.
Nampaknya mereka benar-benar ingin menghormati orang
tua." Kebo Serut itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Siapa di antara kalian yang pernah memberikan hadiah kepadaku,
dalam ujud apapun?" Orang-orang yang ada di sekitarnya saling berpandangan
sejenak. Namun Nyi Melaya Werdilah yang menjawab,
"Sebenarnya ada juga niat mengirimkan sejodang nasi gurih dengan sepuluh ingkung ayam jantan yang masih muda.
Tetapi aku tidak tahu dimana Paman berada. Paman jarang
sekali berada di perguruan Paman."


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Kebo Serut tertawa. Katanya, "Lain kali aku menunggu
kau mengirimkan sejodang makanan, Melaya Werdi. Kau tentu
masih tangkas memasak. Aku tidak akan takut bahwa kau
akan memberi guna-guna di dalam makananmu. Bahkan aku
tentu akan merasa beruntung." "Ah, Paman mengada-ada."
Kebo Serut tertawa. Tetapi sekali lagi ia bertanya, "Apakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung belum datang?"
Sebelum ada yang menjawab, maka mereka telah melihat
dua orang laki-laki dan perempuan memasuki lingkungan yang
terbuka itu. Gedhag Panunggulpun berdesis, "Itulah mereka."
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Repak Rembulung
dan Pupus Rembulung. Demikian mereka mendekat, maka
Repak Rembulungpun bertanya dengan nada berat, "Apakah
semua sudah berkumpul?"
Tidak seorang pun yang menjawab. Karena itu, maka
Repak Rembulungpun berkata, "Sudah tengah malam. Kita
akan mulai pertemuan ini. Kita harus segera mengambil
beberapa keputusan yang menguntungkan kita semua."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kebo Serutlah yang kemudian melangkah maju mendekati
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. "Kau ini mabuk tuak
atau mabuk kecubung. Kau datang terakhir. Tiba-tiba saja kau
seakan-akan berhak memerintah kami."
Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Kemudian sambil
mengangguk hormat ia berkata, "Maaf, Paman Kebo Serut.
Aku tidak memerintah. Aku hanya ingin menepati perjanjian.
Pertemuan ini akan diselenggarakan di tempat ini pada tengah
malam." "Lewat tengah malam," sahut Gedhag Panunggul.
"Bukankah itu tidak penting," berkata Kebo Serut. "Kenapa kita harus mulai dengan ketegangan hanya karena soal-soal
kecil saja?" Repak Rembulungpun tidak menyahut. Sementara yang
lainpun masih berdiam diri.
"Nah," berkata Kebo Serut, "jika semuanya sudah hadir, marilah kita mulai pertemuan kita ini. Tanpa ketegangan,
tanpa kebanggaan diri dan kesombongan yang tidak berguna
sama sekali. Kita tidak perlu mengangkat harga diri kita
dengan tingkah laku yang aneh-aneh. Bukankah kita sudah
saling mengenal" Sudah saling mengerti dan mengetahui
pribadi kita masing-masing. Karena itu, marilah kita bersikap
wajar saja." Para pemimpin perguruan yang berkumpul itu tidak ada
yang menjawab. Repak Rembulung dan Pupus Rembulungpun
hanya berdiam diri saja. Sementara Kebo serut itu berkata
selanjutnya, "Marilah, kita duduk di sebelah batu besar itu.
Tetapi aku harus mendapat tempat sehingga aku dapat
bersandar. Punggungku sudah mulai terasa pegal-pegal. Aku
memang sudah tua." Tiba-tiba saja Nyi Melaya Werdi menyela, "Sejak kapan
Paman merasa menjadi tua?"
Kebo Serut itu tertawa. Katanya, "Hanya kadang-kadang
saja aku merasa menjadi tua."
Nyi Melaya Werdipun tertawa pula. Namun Pupus
Rembulung tiba-tiba saja berdesis, "Kau tidak pantas hadir
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam pertemuan seperti ini, Melaya Werdi. Pikiranmu yang
kotor itu selalu saja kau bawa tanpa menghiraukan suasana."
Wajah Nyi Melaya Werdi menjadi merah. Dengan nada
tinggi iapun menjawab, "Apa pedulimu" Kau kira hatimu bersih seputih kapas" Atau kau merasa iri karena tingkah lakumu
selalu dibatasi oleh kehadiran suamimu?"
"Kenapa kau tidak mempunyai seorang suami?" sahut
Pupus Rembulung. Sebelum Nyi Melaya Werdi menjawab, terdengar Ki Kebo
Serut tertawa pula. Katanya, "Dalam segala keadaan, dalam segala suasana, dimanapun mereka berada, perempuan tentu
merasa saling bersaing. Sudahlah. Bukankah kita bertemu
sekarang untuk berbicara justru menghindari benturanbenturan yang tidak berarti?"
Nyi Melaya Werdipun berusaha menahan diri. Demikian
pula Nyi Pupus Rembulung.
"Marilah. Sudah lewat tengah malam."
Para pemimpin perguruan itupun kemudian telah
melangkah mendekati batu yang besar itu. Merekapun segera
duduk di atas rerumputan kering, membentuk sebuah
lingkaran. "Jangan terlalu tegang," berkata Kebo Serut. "Nah, sekarang siapakah yang akan memimpin pertemuan ini. Bukan
berarti bahwa untuk melanjutkan kita harus mengakuinya
sebagai pemimpin kita semuanya."
Semuanya terdiam. Nampaknya pengaruh ketuaan Ki Kebo
Serut masih mengikat mereka semuanya.
Wira Banggalah yang kemudian berkata, "Biarlah yang
tertua di antara kita untuk sementara kita akui sebagai
pemimpin kita, sehingga ia akan memimpin pertemuan ini."
"Agaknya itulah yang terbaik," sahut Gedhag Panunggul.
"Aku setuju. Siapa yang tidak?" berkata Repak Rembulung.
Ternyata tidak ada yang merasa berkeberatan. Merekapun
kemudian telah menetapkan, Ki Kebo Serut akan memimpin
pertemuan itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang dan Paksi mengikuti semua yang terjadi itu dengan
jantung yang berdebaran. Justru karena mereka
memperhitungkan bahwa sebentar lagi, pasukan prajurit dari
Pajang akan datang mengepung dan menyerang pertemuan
itu. Dalam pada itu, tempat yang terbuka itupun telah menjadi
hening. Para cantrik dari beberapa perguruan yang semula
berkeliaran di sekitar tempat itu sudah bergeser menjauh.
Mereka kemudian berada di luar lingkungan lapangan rumput
itu. Mereka tahu, bahwa mereka tidak boleh mengganggu
atau mendengarkan pembicaraan para pemimpin dan guru
mereka. Tetapi baru saja Ki Kebo Serut membuka pertemuan itu,
maka mereka telah dikejutkan sebuah anak panah sendaren
yang meluncur ke udara. Anak panah yang meluncur dari
semak-semak yang agak jauh dari tempat terbuka itu.
Wijang dan Paksipun terkejut pula. Begitu cepatnya isyarat
itu diberikan. "Siapakah yang telah melontarkan isyarat itu?" bertanya Paksi berbisik.
"Itulah kelebihan para petugas sandi Pajang. Tentu ada
diantara mereka yang sempat menyusup di antara perguruanperguruan yang sedang mengadakan pertemuan itu."
"Apakah panah sendaren itu memberikan isyarat agar para
prajurit itu menyerang?"
"Nampaknya begitu. Tetapi petugas sandi yang dengan
kelebihannya mampu menyusup di antara perguruan yang
terlibat dalam pertemuan ini, agaknya terlalu tergesa-gesa.
Kita belum mendengar persoalan apakah yang akan mereka
bicarakan." "Tentang cincin itu?"
"Mereka akan mencari jalan agar tidak terjadi benturanbenturan di antara mereka. Justru dalam pencarian. Mungkin
juga setelah cincin itu mereka ketemukan," desis Wijang.
Namun kemudian katanya, "Tetapi menilik sifat dan watak
para pemimpin mereka itu, mereka tidak akan pernah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemukan kesepakatan yang berumur panjang. Meskipun
demikian, sebenarnya aku ingin mendengar langkah apa yang
dalam waktu dekat akan mereka ambil."
Wijang berhenti berbicara. Mereka melihat para pemimpin
perguruan itu telah bangkit berdiri. Dua orang yang
nampaknya dari perguruan yang berbeda telah berlari-lari
menghampiri para pemimpin yang sedang termangu-mangu
itu. "Tempat ini telah dikepung oleh sekelompok prajurit dan
orang-orang yang tidak kita kenal."
"Setan," geram Wira Bangga. "Aku sudah menduga."
"Lalu kenapa?" bertanya Gedhag Panunggul. Katanya
kemudian, "Kita akan menghancurkan mereka."
"Aku sudah lama tidak berkelahi," berkata Sima Pracima.
"Biarlah mereka datang. Aku ingin tahu, apakah ada di antara mereka yang berilmu tinggi."
Kebo Serut tertawa. Katanya, "Prajurit-prajurit Pajang itu memang dungu. Ia telah meloncat ke dalam api yang akan
dapat membakar diri mereka sendiri. Apa yang pernah dilihat
oleh para cantrik Wira Bangga itu juga pernah dilihat oleh
orang-orangku pula. Tetapi prajurit Pajang di Prambanan itu
terlalu lemah untuk dapat menguasai kita malam ini."
"Aku akan berburu malam ini," desis Nyi Melaya Werdi.
"Kau memang perempuan gila yang tidak pantas berada di
lingkungan kami," geram Pupus Rembulung.
Nyi Melaya Werdi tertawa. Katanya, "Jangan menyesali
nasibmu karena kau telah mengikat diri dengan seorang
suami." "Iblis betina."
Yang terdengar kemudian adalah suara Nyi Melaya Werdi
yang melangkah ke dalam kegelapan, "Apakah kalian akan
menunggu disitu" Aku akan mencari Megar Permati."
Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi tidak seorang
pun di antara mereka yang beranjak pergi. Agaknya mereka
lebih senang menunggu laporan-laporan berikutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun tiba-tiba saja Repak Rembulungpun berkata,
"Marilah kita lihat, apa yang terjadi?"
Tetapi jawaban Pupus Rembulung mengurungkannya, "Kau
akan ikut perempuan gila itu?"
"Bukan maksudku," jawab Repak Rembulung dengan sertamerta.
Kebo Serut tertawa pula. Sambil menepuk bahu Pupus
Rembulung, orang tua itu berkata, "Jangan cepat menjadi
cemburu. Nyi Melaya Werdi memang cantik. Tetapi kau tidak
kalah cantiknya. Hanya bedanya, Melaya Werdi selalu berhias
diri seperti seorang pengantin. Kau tidak. Tetapi bukan berarti kewajaran ujud akan tenggelam dibandingkan dengan pulasan
yang berlebihan." "Ah, Paman," desis Pupus Rembulung, "aku tidak
cemburu." Orang-orang yang mendengarnya tertawa. Wira Banggapun
berkata, "Tidak seorang pun di antara kami yang berani
memuji kecantikan Nyi Pupus Rembulung, kecuali Paman Kebo
Serut. Kami tidak ingin Ki Repak Rembulung menjadi salah
paham." "Sudah. Kami bukan sekedar bahan kelakar disini," sahut Repak Rembulung.
"Marilah, kita sudah menghadapi bahaya. Tetapi kita ingin menunggu disini, apa yang akan terjadi."
Ternyata yang lain pun tetap berada di tempatnya. Dua
orang yang telah memberikan laporan itupun masih
menunggu pula. Wijang dan Paksi masih berada di tempatnya. Mereka
belum tahu apa yang akan terjadi. Tetapi ketajaman
pendengaran mereka yang dilandasi Aji Sapta Pangrungu telah
mendengar suara riuh. Bahkan kemudian terdengar sorak
gemuruh di beberapa tempat di sekitar lingkungan pertemuan
antara para pemimpin perguruan itu.
Para pemimpin perguruan yang berdiri tidak jauh dari batu
hitam yang ada di tengah-tengah tempat terbuka itupun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agaknya telah mendengar pula. Kepada dua orang yang masih
berdiri di tempatnya, Kebo Serutpun berkata, "Cari keterangan yang lebih terperinci."
Kedua orang itu mengangguk hormat. Sejenak kemudian,
maka kedua orang itupun telah meninggalkan para pemimpin
perguruan yang berdiri termangu-mangu itu.
Suara sorak dan teriakan-teriakan menjadi semakin jelas.
Pertempuran agaknya benar-benar telah pecah.
Sebenarnyalah panah sendaren yang dilepaskan oleh salah
seorang petugas sandi itu merupakan isyarat, bahwa saat
yang paling tepat sudah tiba bagi para prajurit Pajang untuk
menyerang orang-orang yang sedang berkumpul di kaki
Gunung Merapi itu. Beberapa saat kemudian, maka beberapa orang telah
berlari-lari pula mendapatkan para pemimpin perguruan yang
sedang mengadakan pembicaraan itu.
"Pertempuran terjadi di segala arah, Ki Wira Bangga," salah seorang murid Wira Bangga itupun memberikan laporan
dengan nafas yang terengah-engah.
"Jumlah mereka cukup banyak," berkata yang lain.
"Bukankah jumlah para prajurit Pajang di Prambanan tidak
begitu banyak?" "Yang sebagian bukan prajurit Pajang," sahut yang lain lagi. "Siapakah mereka itu?" bertanya Ki Gedhag Panunggul.
"Kami belum tahu, Ki Lurah," jawab salah seorang pengikut Gedhag Panunggul.
"Bagus," geram Ki Kebo Serut, "kita akan segera mengetahui, siapakah lawan kita yang sebenarnya."
"Kerahkan semua orang," berkata Sima Pracima. Lalu iapun bertanya kepada Repak Rembulung, "He, apakah kau bawa
para pengikutmu." "Mereka ada disini," jawab Repak Rembulung.
"Bagus. Kita akan melumatkan mereka. Aku tidak yakin,
bahwa para prajurit itu bertempur atas perintah Panglima
Prajurit Pajang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi untuk siapa mereka bertempur menurut
pendapatmu?" bertanya Pupus Rembulung.
"Mereka bertempur untuk kepentingan sekelompok orang
yang sebenarnya tidak beritikad lebih baik dari kita bagi
Pajang," jawab Ki Kebo Serut.
Dalam pada itu, Paksipun berdesis, "Bagaimana menurut
pendapatmu, Wijang?"
"Kita akan melihat, apa yang akan terjadi," jawab Wijang.
Paksi tidak bertanya lagi. Pertempuran itu agaknya telah
menjadi semakin sengit. Dimana-mana terdengar sorak
gemuruh serta teriakan-teriakan yang bagaikan mengguncang
Gunung Merapi. Sebenarnyalah bahwa pertempuran telah berlangsung di
sekitar tempat yang terbuka itu. Demikian anak panah
sendaren itu dilepaskan, maka Ki Rangga Suraniti dan Ki
Nukilan telah memerintahkan para prajurit untuk menyerang
dari segala arah. Untuk beberapa saat Wijang dan Paksi menunggu. Jika
pertempuran itu merambat sampai ke tempat mereka
bersembunyi, maka mereka harus dengan cepat menyingkir.
Tetapi yang mereka lihat kemudian, beberapa orang justru
telah menembus sampai ke lapangan rumput yang terbuka itu.
Para pemimpin dari beberapa perguruan yang sedang
berkumpul itupun segera mempersiapkan diri. Mereka mulai
berpencar. Para cantrik serta pengikut merekapun telah
mengikuti para pemimpin perguruan mereka. Sementara yang
lain berusaha untuk menahan orang-orang yang datang
menyerang itu memasuki lapangan rumput.
Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin
sengit. Dengan ketajaman penglihatannya yang dilandasi Aji
Sapta Pandulu, maka Wijangpun melihat bahwa sebagian dari


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang menyerang tempat itu bukanlah prajurit. Wijang
dapat mengenali mereka dari senjata mereka, cara mereka
bertempur dan sikap mereka dalam kebersamaan. Para
prajurit yang sudah terlatih dalam perang gelar, akan dapat
saling mengaitkan diri yang satu dengan yang lain dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebaik-baiknya. Mereka tidak saja mengandalkan kemampuan
pribadi, tetapi mereka mampu saling mengisi dan saling
mendukung dalam kesulitan yang timbul di medan.
Tetapi sekelompok orang di antara mereka bertempur
benar-benar atas dasar keyakinan kemampuan pribadi mereka
masing-masing. Meskipun bukan berarti tidak ada kerja sama
sama sekali, tetapi kadarnya hanya kecil sekali dibandingkan
dengan mengandalkan kemampuan pribadi mereka masingmasing. "Sebagian dari mereka memang bukan prajurit," desis
Wijang. Ia termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kita akan melihat apa yang akan terjadi
selanjutnya." Paksipun terdiam. Diperhatikannya pertempuran yang
terjadi di lapangan rumput itu, sementara di beberapa tempat
yang lain, pertempuranpun berlangsung dengan serunya pula.
Dentang senjata beradu berbaur dengan teriakan-teriakan
mereka yang bertempur. Hentakan kemarahan, aduh
kesakitan dan sorak kemenangan-kemenangan kecil di
berbagai sudut medan yang luas itu.
Gerumbul dan semak-semakpun tersibak. Ranting-ranting
berpatahan dan daun-daunpun berguguran runtuh di tanah.
Darah mulai mengalir membasahi lereng Gunung Merapi.
Ujung-ujung senjata mulai merah dan jantungpun
menjadi seakan-akan membara.
Wira Bangga tidak lagi dapat menahan diri. Tiba-tiba saja
iapun telah meloncat memasuki arena pertempuran. Goloknya
yang besar dengan cepat telah mematuk korbannya.
Tetapi seorang yang bertubuh tinggi tegap telah
menyongsongnya, sehingga keduanyapun telah terlibat dalam
pertempuran yang sengit. "Siapakah orang yang bertubuh raksasa itu, Wijang?"
bertanya Paksi. Wijang menggeleng. Katanya, "Aku belum mengenalnya.
Tetapi nampaknya ia juga berilmu tinggi, sehingga mampu
mengimbangi ilmu Wira Bangga."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi menjadi tegang. Ia melihat Ki Rangga Suraniti sudah
terlibat dalam pertempuran melawan Ki Kebo Serut.
Sementara Ki Nukilan bertempur melawan Sima Pracima.
Dua orang yang tidak dikenal oleh Wijang segera terlibat
dalam pertempuran melawan Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung. Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Pertempuran
itu benar-benar merupakan pertempuran yang sengit, keras
dan bahkan kemudian menjadi kasar. Orang-orang berilmu
tinggi itu telah meningkatkan ilmu mereka dengan cepat.
Namun kedua belah pihak memiliki orang-orang yang dapat
mereka andalkan. Dalam pada itu, di luar lapangan rumput itu pertempuran
menjadi semakin meluas. Namun Wijang dan Paksi tidak
beranjak dari tempat mereka bersembunyi. Nampaknya
pertempuran itu tidak akan merangkak sampai ke tempat
mereka. Meskipun pertempuran itu seakan-akan melingkar di
seputar lapangan rumput yang terbuka itu, namun tempat
persembunyian kedua orang itu tidak tersentuh.
Kebo Serut yang tua itu ternyata masih memiliki tenaga
yang sangat besar. Ki Rangga Suraniti yang berilmu tinggi
itupun beberapa kali harus berloncatan surut. Setiap kali
pedangnya membentur tongkat besi yang bercabang di
ujungnya, seperti tanduk seekor kerbau jantan, meskipun jauh
lebih kecil dari tanduk yang sebenarnya.
Pertempuran yang semakin sengit telah membakar
lapangan rumput yang terbuka itu. Bahkan di gerumbulgerumbul di sekitarnyapun terjadi pula pertempuran yang
berkobar dengan serunya. Benturan senjata telah melontarkan
bunga api yang memercik seperti ribuan kunang-kunang yang
berterbangan, namun kemudian runtuh, jatuh di tanah.
Wijang dan Paksi menjadi tegang. Beberapa orang berilmu
tinggi telah mendapat musuhnya masing-masing. Namun
Wijang dan Paksi tidak melihat lagi Nyi Melaya Werdi dan Nyi
Megar Permati. Tetapi keduanya yakin, bahwa kedua orang
perempuan itupun telah terlibat dalam pertempuran pula.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka para
cantrik dari setiap perguruan seakan-akan telah berkumpul di
sekitar guru mereka masing-masing sambil bertempur
melawan para prajurit dan orang-orang yang menyerang
tempat pertemuan itu. Para pemimpin dari beberapa
perguruan itupun kemudian telah memencar. Mereka tidak lagi
terikat untuk tetap berada di tempat yang terbuka itu.
Dalam pada itu, maka ternyata para prajurit Pajang yang
bertempur bersama kelompok-kelompok orang yang tidak
dikenal, mulai berhasil mendesak para cantrik dari
perguruanperguruan yang tengah menyelenggarakan
pertemuan itu. Jumlah prajurit Pajang yang berada di
Prambanan itu sendiri memang tidak mencukupi untuk
menguasai para cantrik dari beberapa perguruan itu. Namun
di samping para prajurit masih ada kelompok-kelompok yang
ikut bersama mereka. Sejenak kemudian, maka pertempuranpun telah menebar di
arena yang semakin luas. Seolah-olah akan memenuhi lereng
Gunung Merapi di sisi selatan.
Di arena yang luas itu, korban telah jatuh berserakan. Ada
yang terluka, tetapi ada pula yang terbunuh. Ki Kebo Serut
ternyata masih cukup perkasa menghadapi Ki Rangga Suraniti.
Betapapun Ki Rangga Suraniti mengerahkan ilmunya, namun
Ki Rangga tidak dapat menguasai dan apalagi menangkap
lawannya hidup atau mati. Bahkan sekali-sekali Ki Rangga
harus berloncatan mengambil jarak, memperbaiki
kedudukannya dan mencoba melawan lagi.
Dalam pertempuran itu kadang-kadang masih juga
terdengar teriakan Pupus Rembulung, melengking mengatasi
riuhnya pertempuran. Perempuan itu benar-benar memiliki
kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga lawannya
kadang-kadang terkejut karenanya.
Kemampuan Pupus Rembulung ternyata tidak kalah dengan
ketangkasan para pemimpin perguruan yang lain.
Meskipun para prajurit dan kelompok-kelompok orang yang
tidak dikenal itu berusaha mengepung tempat pertemuan itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
namun mereka tidak berhasil menguasai mereka sepenuhnya.
Ternyata para cantrik dari beberapa perguruan itu berhasil
menembus kepungan yang merapat. Bahkan yang terjadi
kemudian adalah perang brubuh yang tidak lagi dibatasi garis
pertempuran. Semakin lama, maka Wijangpun menjadi semakin jelas
melihat pertempuran yang memang menjadi semakin dekat
dari tempat mereka bersembunyi. Wijang melihat para prajurit
yang bertempur beberapa langkah di hadapannya memang
mengenakan ciri-ciri keprajuritan mereka dengan lengkap.
Pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian keprajuritan
pula. Namun semakin lama Wijang dan Paksi tidak lagi mampu
melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Mereka tidak
tahu lagi dimana Kebo Serut bergeser. Kemana Repak dan
Pupus Rembulung bersama para pengikutnya menyingkir dan
kemana pula Sima Pracima dan Wira Bangga. Gedhag
Panunggul masih nampak sekilas. Tetapi kemudian segalagalanya telah menjadi kacau.
"Satu usaha yang berhasil," desis Wijang.
"Maksudmu?" "Para pemimpin perguruan yang terlibat dalam pertemuan
ini dengan sengaja membuat medan menjadi kacau seperti
itu. Mereka akan mempunyai kesempatan yang baik untuk
menyingkir dari tempat ini."
Paksi mengangguk-angguk. Dalam pertempuran yang
kacau di daerah yang bersemak-semak dan dilingkungi oleh
pepohonan perdu, agaknya memang sulit untuk dapat
menguasai medan dengan baik.
Sebenarnyalah kepungan prajurit Pajang dan sekelompok
orang yang menyertai mereka tidak berhasil mengurung
orang-orang dari beberapa perguruan yang sedang
menyelenggarakan pertemuan itu. Para cantrik dari beberapa
perguruan yang mempunyai pengalaman dalam benturanbenturan ilmu yang keras dan kasar, memang tidak mudah
untuk dijinakkan. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun pertempuran itu menjadi semakin dekat dengan
persembunyian Wijang dan Paksi, namun mereka sama sekali
tidak beranjak dari tempat mereka.
"Sebaiknya kita tidak ikut campur," desis Wijang.
Paksi mengangguk. Tetapi iapun bertanya, "Nampaknya
kau melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya."
"Ya. Tetapi aku sendiri tidak tahu, apa sebenarnya yang
tidak wajar itu. Mungkin kehadiran orang-orang yang tidak
aku kenal di antara para prajurit itu."
Paksi tidak menyahut. Tetapi ia mulai bersiap-siap.
Pertempuran di lereng Gunung Merapi itu telah meluas sampai
kemana-mana. Tetapi ternyata yang terjadi kemudian telah
menyelamatkan persembunyian Paksi dan Wijang. Gelombang
yang bergejolak di lereng sebelah selatan Gunung Merapi itu
seakan-akan menjadi semakin mereda. Pertempuran yang
bagaikan air yang mendidih di tempat terbuka itu seakan-akan
menjadi semakin dingin. Dimana-mana terdengar isyarat-isyarat yang tidak
dimengerti. Berbagai bunyi yang berbeda-beda menandai
susutnya pertempuran yang kacau itu. Agaknya setiap
perguruan dengan isyaratnya masing-masing telah
memerintahkan orang-orangnya untuk menarik diri dari
medan. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin surut. Tidak lagi terdengar teriakan-teriakan
kemarahan dan keluhan kesakitan. Tidak pula terdengar
sorak-sorak kemenangan dan bentakan-bentakan serta
umpatan-umpatan kasar. Lengking teriakan Pupus
Rembulungpun sudah tidak terdengar lagi.
Yang kemudian dilihat oleh Wijang dan Paksi adalah
beberapa orang prajurit di tempat yang terbuka itu. Namun
seperti disengat lebah Wijang terkejut. Bahkan iapun telah
bergeser setapak maju. "Paman Harya Wisaka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi berpaling. Ia sempat melihat ketegangan
mencengkam perasaan Wijang. Di luar sadarnya Paksi
bertanya, "Siapakah yang kau maksud?"
"Yang berbicara dengan Ki Rangga Suraniti itu adalah
Paman Harya Wisaka."
"Siapakah Harya Wisaka itu?"
"Salah seorang bangsawan dari Demak."
"Dari Demak?" "Ya." "Jadi, apa salahnya" Bukankah mungkin saja seorang dari
Demak kini berada di Pajang dan menjadi salah seorang
pemimpin di Pajang" Bukankah ayahanda Pangeran juga
menantu Kangjeng Sultan Demak?"
"Tetapi yang satu ini agak lain. Ia mempunyai jalurnya
sendiri. Bahkan aku masih menghormati Paman Harya
Penangsang daripada Paman Harya Wisaka. Paman Harya
Penangsang masih mempunyai alasan yang masuk akal jika ia
ingin mewarisi Kerajaan Demak. Tetapi agaknya Paman Harya
Wisaka ingin menangkap masa depan dengan caranya."
"Cincin itu?" bertanya Paksi.
"Ya. Agaknya ia sudah bekerja bersama dengan beberapa
orang senapati Pajang. Antara lain adalah Ki Rangga Suraniti."
Paksi mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya,
"Jadi mereka juga menganggap bahwa cincin itu ada disini?"
"Aku tidak tahu. Tetapi agaknya mereka ingin
menghancurkan saingannya yang dirasanya semakin lama
akan menjadi semakin kuat. Sehingga akan menjadi sangat
berbahaya baginya." Paksi masih saja mengangguk-angguk. Namun keduanya
menjadi tegang ketika mereka melihat seseorang telah diseret
menghadap orang yang disebut Harya Wisaka itu.
Wijang dan Paksipun kemudian mengikuti perkembangan
keadaan dengan jantung yang berdebaran.
"Seorang perempuan," desis Paksi.
"Agaknya dari Perguruan Goa Lampin," sahut Wijang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi tidak menyahut. Perhatiannya sepenuhnya tertumpah
kepada seorang perempuan yang telah tertangkap oleh para
prajurit Pajang itu. "Dimana Melaya Werdi, he?" bertanya Harya Wisaka.
"Ia mengenal pemimpin Perguruan Goa Lampin itu," desis Paksi.
"Paman Harya Wisaka mengenali semua perguruan dan
kelompok-kelompok yang ada di Pajang dan bahkan Demak,
Jipang, Pati, dan daerah-daerah lain. Bahkan sampai ke
daerah sebelah timur."
Paksi terdiam. Yang kemudian tertangkap oleh
pendengarannya yang dialasi dengan Aji Sapta Pangrungu
adalah pertanyaan Harya Wisaka sekali lagi, "Dimana Melaya Werdi?"
"Aku tidak tahu," jawab perempuan itu.
"Megar Permati?" bentak Harya Wisaka.
"Aku juga tidak tahu. Kami melarikan diri untuk mencari
keselamatan kami masing-masing tanpa sempat
menghiraukan yang lain."
"Kau harus menunjukkan, dimana Melaya Werdi dan Megar
Permati, kau harus menunjukkan persembunyian mereka."
"Pekerjaan yang sia-sia. Guru tidak akan berada di
tempatnya. Mungkin guru akan langsung kembali ke
perguruan." Perempuan itu mengaduh tertahan. Tangan Harya Wisaka
telah menyambar dagu perempuan itu sehingga wajahnya


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpaling. "Kau jangan mempermainkan kami," teriak Harya Wisaka
"Jika kau memaksa aku menunjukkan perguruan kami, aku
akan menunjukkannya."
"Diam. Aku sudah tahu dimana letak perguruanmu. Yang
aku tanyakan dimana Melaya Werdi dan Megar Permati
bersembunyi di lingkungan ini."
"Keduanya selalu berpindah-pindah. Kau tidak akan
menemukannya." "Jaga mulutmu. Kau tahu dengan siapa kau berbicara?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perempuan itu menggeleng. Sementara itu dengan lantang
Harya Wisaka itu berkata, "Perempuan iblis. Kau sekarang
berhadapan dengan Harya Wisaka."
"Harya Wisaka," desis perempuan itu.
"Kau sudah dengar nama itu?"
Perempuan itu menggeleng sambil menjawab, "Belum. Aku
belum pernah mendengar nama Harya Wisaka."
Sekali lagi tangan Harya Wisaka menyambar mulut
perempuan itu. Sekali lagi perempuan itu mengaduh.
"Kau tentu sudah mendengar namaku. Orang di seluruh
tanah ini sudah mendengar namaku. Harya Wisaka."
Perempuan itu terdiam. "Katakan, bahwa kau pernah mendengar nama Harya
Wisaka. Seorang prajurit yang tidak ada duanya di seluruh
Demak, Kudus, Pati, Jipang dan bahkan Pajang."
Ketika perempuan itu diam saja, maka tiba-tiba saja Harya
Wisaka telah menggenggam rambut perempuan itu sambil
berteriak, "Kau harus sudah mengenal namaku."
Ketika kepala perempuan itu diguncang, maka perempuan
itupun segera berteriak pula, "Ya, ya. Sekarang aku ingat.
Harya Wisaka. Prajurit terbaik dari Pajang."
"Setan betina," geram Harya Wisaka sambil melepaskan rambut perempuan itu. "Jika kau belum mengenal namaku,
maka kau tidak pantas hidup di bumi Pajang."
Perempuan itu menundukkan kepalanya.
"Nah, sekarang katakan bahwa Melaya Werdi atau Megar
Permati telah menyembunyikan Pangeran Benawa. Mereka
menangkap Pangeran Benawa dan menyimpan di dalam
sarang mereka di dalam kerangkeng-kerangkeng besi itu."
Perempuan itu mengangkat wajahnya. Dengan serta-merta
ia menjawab, "Tidak. Kami tidak menangkap Pangeran
Benawa." "Jangan bohong. Aku dapat memenggal lehermu."
Perempuan itu termangu-mangu. Sementara Wijangpun
berdesis, "Sangat menarik."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ternyata Harya Wisaka itu berusaha membebaskan
Pangeran Benawa," gumam Paksi.
"Omong kosong. Paman Harya Wisaka tentu mengetahui,
setidak-tidaknya menduga bahwa cincin itu memang dibawa
oleh Pangeran Benawa. Yang penting bagi Paman Harya,
bukannya kebebasan Pangeran Benawa, tetapi cincin itulah
yang diburunya." Paksi terdiam. Sementara itu perempuan yang tertangkap
itupun berkata, "Apapun yang akan terjadi padaku, tidak akan merubah keteranganku. Kami tidak menangkap Pangeran
Benawa. Bahkan kami menganggap bahwa Pangeran Benawa
itu berada di istana Pajang."
"Tetapi orang dari perguruan lain mengatakan, bahwa
orang-orang Goa Lampin telah menangkap Pangeran Benawa
dan menyembunyikannya di dalam sarangnya atau di tempat
lain." "Meskipun kau penggal leherku, jawabku akan sama,
karena hal itu memang tidak terjadi," jawab perempuan itu, yang nampaknya tidak menjadi ketakutan.
Harya Wisaka itupun menjadi semakin marah. Tiba-tiba
saja ia berteriak, "Bawa orang itu kemari."
Sejenak kemudian, maka seorang prajurit telah mendorong
seorang yang bertubuh tinggi besar ke hadapan Harya
Wisaka. Dengan geramnya Harya Wisaka itu bertanya, "He,
bukankah kau mengatakan bahwa Pangeran Benawa sekarang
ada di tangan Melaya Werdi dan Megar Permati?"
Laki-laki itu memandang perempuan dari Goa Lampin itu
dengan ragu-ragu. Namun tiba-tiba iapun bertanya,
"Bukankah Pangeran Benawa ada di tangan gurumu?"
"Kau tidak perlu memfitnah."
"Tidak ada perguruan lain yang akan melakukannya. Ketika
Harya Wisaka mempertanyakan, dimana Pangeran Benawa
disembunyikan, maka aku memang mengatakan bahwa satusatunya kemungkinan Pangeran Benawa disimpan dalam
kerangkeng-kerangkeng besi oleh orang-orang Goa Lampin."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba saja Harya Wisaka menangkap baju orang itu dan
mengguncangnya, "Kau hanya sekedar menduga-duga atau
sudah pasti bahwa Pangeran Benawa berada di tangan orangorang Goa Lampin?" "Aku tidak tahu pasti. Aku hanya menduga-duga, karena
sepengetahuanku, hanya orang-orang Goa Lampin sajalah
yang sering menangkap dan menyimpan orang-orang tampan.
Menurut pengertianku, Pangeran Benawa itu tentu seorang
yang tampan." "Kau permainkan aku, he?"
"Bukan maksudku."
Tetapi orang itu seakan-akan tidak sempat menyelesaikan
kalimatnya, karena tiba-tiba saja Harya Wisaka itu telah
menarik pedangnya dan menghunjamkan langsung ke dada
orang itu. Orang itu tidak sempat mengaduh. Demikian Harya Wisaka
menarik pedangnya, maka orang itupun segera jatuh
terjerembab. -ooo00dw00ooo- Jilid 09 ORANG-ORANG yang ada di sekitarnya menjadi tegang.
Perempuan dari Goa Lampin itupun menjadi tegang pula.
"Siapapun yang mempermainkan aku akan mengalami
nasib yang sama dengan orang gila ini," geram Harya Wisaka.
"Aku rasa, belum ada kelompok yang dapat menangkap
Pangeran Benawa," berkata Ki Rangga Suraniti. "Tidak ada seorangpun yang tahu, dimana Pangeran Benawa itu sekarang
berada" "Aku memerlukan anak itu," geram Harya Wisaka. "Aku harus menemukannya. Aku tidak mau ada orang lain yang
mendahuluinya." "Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Aku
sudah mengeluarkan banyak beaya untuk keperluan ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi kami harus berhati-hati. Jika senapati Pajang di Jati Anom mengetahui apa yang kami lakukan, maka kami akan
mendapat kesulitan."
"Aku akan berbicara dengan senapati di Jati Anom. Ia bukannya orang yang tidak tahu nilai uang."
"Tetapi hatinya sekeras baja."
"Aku akan melunakkannya."
"Aku sudah memperingatkan, bahwa usaha untuk
menembusnya sangat sulit. Lebih baik kita bekerja di luar
pengetahuannya. Aku akan dapat membuat alasan-alasan
yang masuk akal tentang kegiatan yang kita lakukan, serta
korban yang jatuh karenanya."
Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, "Terserah
kepadamu. Tetapi aku memerlukan Pangeran Benawa."
Rangga Suraniti mengangguk sambil menjawab, "Pangeran
Benawa itu memang seperti demit. Ia hilang begitu saja
Namun tiba-tiba ia sudah berada di istana lagi."
"Bagaimana dengan Mas Ngabehi Loring Pasar?"
"Maksud Harya Wisaka, kita bekerja sama dengan Mas
Ngabehi Loring Pasar?"
"Mungkin?" "Mas Ngabehi Loring Pasar itu akan menjerit leher kita. Ia sangat sayang kepada adiknya."
"Apakah tidak ada persaingan di antara mereka?"
"Persaingan apa?"
"Tanpa Pangeran Benawa, Mas Ngabehi Loring Pasar akan
memiliki masa depan."
"Bukankah masa depan itulah yang ingin kita ambil?"
"Kau memang bodoh. Tetapi sudahlah. Bawa semua
tawanan ke Prambanan. Aku ingin berbicara dengan mereka
satu satu. Bawa perempuan ini juga ke Prambanan."
"Masih ada tiga ampat orang perempuan yang tertawan."
"Bawa semuanya. Laki-laki dan perempuan. Sayang, tidak
seorangpun dari pemimpin mereka yang tertangkap.
Sebenarnya aku ingin menangkap Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung lebih dari yang lain."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa?" bertanya Ki Rangga Suraniti.
"Mereka mempunyai landasan kekuatan di lingkungan ini.
Mungkin Pangeran Benawa tersesat di tangan para pengikut
Repak Rembulung dan Pupus Rembulung."
"Mereka memang mempunyai landasan kekuatan di daerah
ini. Tetapi sangat sulit untuk dilacak."
"Aku tahu," jawab Harya Wisaka. Lalu katanya, "Kita kembali ke perkemahan. Bukankah kau harus segera berada di
Prambanan bersama pasukanmu."
Ki Rangga Suraniti mengangguk. Katanya, "Marilah. Aku
harus mempertanggung-jawabkan prajurit-prajuritku yang
terbunuh." Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Rangga Suraniti
dan Ki Nukilanpun telah mengatur para prajuritnya. Sementara
itu seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan
mengumpulkan kelompoknya yang bertempur bersama para
prajurit itu. Agaknya orang itu diperintah langsung oleh Harya Wisaka.
Selain para tawanan, maka merekapun telah membawa
kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan mereka yang telah
terbunuh di peperangan. Tetapi mereka tidak menghiraukan
tubuh-tubuh yang lain yang terbaring diam di bekas arena
pertempuran itu. Beberapa orang dari beberapa perguruan
telah terbunuh pula. Demikian pula orang yang telah dibunuh
langsung oleh Harya Wisaka.
Beberapa saat kemudian, tempat itupun menjadi sepi.
Semua orang yang terlibat telah pergi.
Tetapi ketika Paksi bangkit berdiri, Wijangpun bertanya,
"Kau akan pergi ke mana?"
"Kita lihat, apa yang tertinggal di bekas arena itu."
"Jangan," sahut Wijang. "Masih akan ada orang yang datang. Orang-orang dari perguruan itu tidak akan
membiarkan saudara-saudara seperguruan mereka yang
terbunuh, berceceran di bekas arena pertempuran itu. Mereka
akan datang kembali untuk mengambil dan kemudian
menguburkan mereka. Mungkin di sekitar tempat ini pula."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengurungkan niatnya. Sementara itu, Wijangpun
berkata, "Marilah. Lebih baik kita pulang."
Paksi mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kita akan
pulang saja. Mudah-mudahan orang-orang yang berlari cerai
berai itu tidak ada yang tersesat ke gubuk kita."
"Tidak. Mereka tentu akan segera berkumpul di tempat
yang sudah diisyaratkan oleh masing-masing perguruan.
Merekapun akan segera mengirimkan orang untuk mencari
saudara-saudara mereka yang tertinggal."
Paksi tidak menyahut. Namun berdua merekapun segera
meninggalkan tempat itu. Sebenarnyalah, gubuk mereka masih tetap tidak disentuh
oleh orang lain. Pintunya masih tertutup dan perabotperabotnya pun masih tetap berada di tempatnya.
Malam itu, keduanya seakan-akan tidak sempat
memejamkan mata. Beberapa saat kemudian langitpun telah
dibayangi oleh cahaya fajar, sehingga merekapun harus
segera bangkit. Ketika kemudian matahari terbit, keduanya duduk di dalam
gubuk mereka. Setelah semalam mereka disibukkan bukan
saja wadag mereka, tetapi juga ketegangan yang
mencengkam jantung, maka merekapun merasa perut mereka
lapar. "Aku akan makan," desis Wijang.
Paksi tersenyum. Katanya, "Aku juga lapar."
Keduanyapun kemudian makan nasi dingin dengan sayur
yang sudah dingin pula. Tetapi mereka sudah terlalu biasa,
sehingga keduanya makan dengan lahapnya.
Namun sambil makan, Wijangpun sempat berkata,
"Peristiwa semalam masih merupakan satu teka-teki bagiku."
"Kenapa?" bertanya Paksi.
"Aku tidak yakin akan sikap Ki Rangga Suraniti. Ia adalah seorang prajurit yang baik. Demikian pula Ki Nukilan. Namun
tiba-tiba saja mereka sudah bekerja bersama dengan Paman
Harya Wisaka. Rasa-rasanya sulit untuk dipercaya."
"Tetapi bukankah itu sudah terjadi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Justru karena Ki Rangga Suraniti seorang prajurit sandi,"
berkata Wijang, "banyak kemungkinan dapat terjadi. Apakah Ki Rangga Suraniti telah dimanfaatkan oleh Paman Harya
Wisaka atau Ki Rangga justru sedang memanfaatkan orangorang Paman Harya Wisaka untuk menghancurkan perguruanperguruan yang dicurigai akan menentang kuasa Pajang,
sekaligus menjebak Paman Harya Wisaka justru dalam tugas
sandinya." "Jika demikian, maka Ki Rangga Suraniti akan mendapatkan
hasil ganda." "Tetapi Paman Harya Wisaka juga bukan orang yang
dungu. Iapun tentu mempunyai jaringan sandi sendiri."
Paksi mengangguk-angguk. katanya, "Alangkah rumitnya.
Tetapi yang jelas bahwa di dalam istana Pajang sendiri telah
timbul persoalan. Tetapi apakah Harya Wisaka juga sering
berada di istana Pajang?"
"Ya. Sampai saat-saat terakhir, Paman Harya Wisaka masih
leluasa untuk berada di istana Pajang."
"Apakah Kangjeng Sultan belum tahu, sifat dan watak
Harya Wisaka." "Mungkin Kangjeng Sultan sudah mendapat laporan serba
sedikit. Tetapi agaknya masih samar-samar dan belum ada
bukti-bukti yang pasti. Tetapi Kakangmas Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar sudah mengetahuinya.
Karena itu, setidak-tidaknya Kakangmas Sutawijaya dapat
membayanginya." Wijang itupun terdiam sejenak. Dahinya
berkerut. Agaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Namun
kemudian iapun berdesis, "Tetapi tidak lama lagi, Kakangmas Sutawijaya akan meninggalkan Pajang."
"Kenapa?" bertanya Paksi.
Wijang menarik nafas dalam-dalam. katanya, "Ki Gede
Pemanahan akan mendapatkan hak atas Alas Mentaok,
sebagaimana Ki Penjawi yang telah lebih dahulu menerima
tanah Pati setelah mereka berhasil menyingkirkan Paman
Harya Penangsang."

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paksi mengangguk-angguk pula. Namun iapun kemudian
bertanya, "Tetapi kenapa Pangeran Benawa justru
meninggalkan istana?"
"Sudah aku katakan, suasananya sama sekali tidak
menyenangkan. Di luar istana Pangeran Benawa akan dapat
mengamati keadaan yang sebenarnya dari rakyat Pajang."
"Tetapi kehadiran Harya Wisaka di istana Pajang?"
"Untuk sementara Kakangmas Sutawijaya masih ada di
istana." Paksi tidak bertanya lagi. Sementara Wijang telah
menyenduk nasi semangkuk lagi. Kemudian dituangkannya
pula seirus sayur di mangkuk itu pula. Sebungkus pepes ikan
yang masih tersisa. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Apakah di istana
Pangeran Benawa juga dapat makan sebanyak itu.
Agaknya Wijang dapat membaca perasaan Paksi, sehingga
karena itu, maka iapun berkata, "Aku merasa bebas disini. Aku dapat makan dengan cara ini. Tidak dikekang oleh adat dan
kebiasaan yang menjerat, sehingga rasa-rasanya menelan
nasipun harus mematuhi paugeran."
"Tetapi di istana bagi seorang pangeran tentu disediakan
makan dengan lauknya yang terpilih."
"Kau kira juru madaran di istana pandai memasak" Hanya
ujudnya sajalah yang menarik. Mungkin menimbulkan selera,
tetapi setelah mulut mulai disuapi, rasa-rasanya semuanya
hambar. Berbeda dengan masakan kita disini. Segala
sesuatunya dapat disesuaikan dengan selera kita disini. Mau
asin, manis, asam bahkan pahit sekalipun sebagaimana daun
kates. Tetapi dengan ikan asin, lombok abang dan tempe
nikmatnya bukan main."
Paksi tertawa. katanya, "Akulah yang mengajarimu,
Wijang." Wijangpun tertawa. Katanya, "Kau adalah juru madaran
yang paling pandai di seluruh Pajang."
Keduanyapun tertawa. Tetapi kemudian Wijangpun
berhenti tertawa karena ia masih harus menyuapi mulutnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun dalam pada itu, Paksi telah teringat kepada
ayahnya. Apakah ayahnya juga tersangkut dengan usaha
Harya Wisaka. Atau ayahnya telah memberitahukan beberapa
orang, bahkan termasuk dirinya, mencari cincin itu untuk
mengangkat derajatnya sehingga ia akan mendapat kenaikan
pangkat dan jabatan. Atau ayahnya sendiri memang
menginginkan cincin itu untuk dipakainya sendiri.
Tetapi Paksi tetap mendekap pertanyaan-pertanyaan itu di
dalam dadanya. Ia tidak ingin Wijang ikut
mempertanyakannya pula. Beberapa saat kemudian keduanya saling berdiam diri.
Nampaknya keduanya sedang berangan-angan sejalan dengan
persoalan mereka masing-masing.
Tiba-tiba saja Wijang berhenti mengunyah nasinya. Dengan
kerut di dahi iapun berdesis, "Paksi, kau tahu sekarang bahwa orang-orang itu akan mencariku. Jika Paman Harya Wisaka
sudah mulai menyatakan dengan terbuka mencari Pangeran
Benawa, maka semua orang tentu akan mencari Pangeran
Benawa itu." Wijangpun berhenti berbicara untuk menelan nasi yang
masih tersisa di mulutnya.
Paksi mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Dengan
demikian, maka kau harus berhati-hati."
"Paksi," berkata Wijang kemudian, "menurut pendapatku, maka akan segera tersebar ceritera bahwa Harya Wisaka
sedang mencari Pangeran Benawa yang diduga telah
membawa cincin itu keluar dari istana."
"Bukankah Harya Wisaka tidak menyebarkan ceritera itu"
Harya Wisaka tentu berusaha untuk tetap merahasiakannya
bagi kepentingannya sendiri. Jika ceritera itu diketahui oleh
banyak orang, bukankah itu berarti bahwa ia akan mempunyai
banyak saingan?" "Tentu. Tetapi aku yakin bahwa ceritera itu tentu akan
merembes keluar. Tidak semua pengikut Paman Harya Wisaka
dan tidak semua prajurit mampu menyimpan rahasia serapatrapatnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah menurut pendapatmu, kita harus meninggalkan
tempat ini?" "Maksudku bukan kita. Tetapi aku. Sebaiknya kita memang
berpisah. Jika akan terjadi sesuatu padaku, biarlah itu terjadi.
Tetapi aku tidak ingin kau ikut terperosok ke dalam kesulitan
karena aku." Paksi memandang Wijang dengan tajamnya. Dengan
mantap iapun berkata, "Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkeberatan."
"Jangan Paksi. Kau harus menempuh jalanmu sendiri,
Bukankah kau mengemban tugas?"
"Kau tahu, tugas apa yang harus aku lakukan?"
"Cincin itu?" bertanya Wijang.
"Ya." "Kau akan mengambil dari tanganku?"
"Kau tahu bahwa itu tidak akan dapat aku lakukan. Ilmumu
lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi bukan hanya karena itu, cincin itu sudah berada di tangan orang yang berhak."
"Aku tidak memerlukannya. Aku hanya ingin
mengamankannya." "Tetapi ijinkan aku pergi bersamamu. Bukankah aku juga
tidak akan tetap berada disini sampai rambutku ubanan"
Bukankah aku juga harus mempersiapkan sesuatu yang lebih
besar bagi masa depanku" Bukan sekedar gula kelapa dan
kebun pisang di pinggir kali itu?"
Wijang mengangguk-angguk. katanya, "Ya. Aku mengerti.
Tetapi jika kau pergi bersamaku, maka mungkin sekali masa
depanmu itu akan hilang sama sekali. Kita berdua tidak akan
pernah disebut-sebut lagi untuk selamanya."
"Sudah aku katakan, apa yang akan terjadi, aku tidak
berkeberatan." "Tetapi apakah kau yakin, bahwa sikap yang kau ambil ini
dapat diterima oleh ayahmu" Atau barangkali ayahmu justru
telah bekerja bersama dengan Harya Wisaka."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi aku berhak
menempuh jalanku sendiri. Umurku sudah delapan belas lebih
sekarang." Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau akan
meninggalkan tempat ini?"
"Aku harus meninggalkan tempat ini pada suatu saat. Jika
tidak besok atau lusa, tentu sebulan atau setahun lagi. Aku
masih membayangkan pada suatu saat aku akan kembali
kepada keluargaku. Betapa kerasnya ayahku, tetapi ia adalah
ayahku. Di rumah itu ada ibuku yang sangat mengasihiku
serta adik-adikku." "Jika kau pergi bersamaku, mungkin kau tidak akan pernah
sampai kepada mereka lagi."
"Jika itu yang harus terjadi, maka biarlah terjadi."
"Baiklah, Paksi. Jika kau benar-benar sudah mantap. Kau
sudah cukup dewasa untuk mengambil sikap."
"Aku bertanggung-jawab atas sikapku ini, Wijang."
"Baiklah. Kita harus merencanakan, kapan kita
meninggalkan tempat ini."
"Kapan saja kau kehendaki."
Wijang mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun
berkata, "Satu hal yang harus kita perhitungkan, Paksi. Para pemimpin perguruan yang gagal mengadakan pertemuan itu,
tentu akan berpencar. Mereka tidak akan merencanakan
pertemuan lagi disini. Apalagi setelah berita tentang kepergian Pangeran Benawa yang membawa cincin yang mereka cari itu
sampai ke telinga mereka. Maka tempat ini akan mereka
tinggalkan. Bagi para pemimpin perguruan itu merasa bahwa
kehadiran mereka disini sudah diketahui oleh petugas sandi
Pajang siapapun yang mengendalikan para petugas sandi itu.
Selanjutnya, karena cincin itu dibawa oleh seseorang, maka
orang itu dapat merayap dari satu tempat ke tempat lain.
Agak berbeda dari gambaran mereka, bahwa cincin itu jatuh
dari langit di antara bebatuan dan semak-semak, sehingga
mereka menunggu isyarat. Mungkin cahaya, mungkin lidah
api, mungkin semak-semak yang menjadi hangus tanpa sebab
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atau pertanda-pertanda lain. Tetapi jika cincin itu ada di
tangan seseorang, maka keberadaannya tergantung kepada
orang yang membawanya."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah
iapun berkata, "Yang akan terjadi kemudian adalah, para
pemimpin perguruan yang tamak itu akan sibuk mencari
Pangeran Benawa." "Ya." "Kenapa Pangeran Benawa itu tidak bersembunyi saja di
istana Pajang sehingga mendapat perlindungan yang rapat."
Wijang tersenyum. Katanya, "Sudah aku katakan, bahwa
Pangeran Benawa tidak merasa tenang berada di istana,
karena sikap beberapa orang di sekitar Kanjeng Sultan.
Selebihnya, salah sekali jika Pangeran Benawa itu aman
berada di istana. Setidak-tidaknya, Paman Harya Wisaka akan
mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mendapatkan apa
yang dicarinya dengan akal liciknya. Akal yang sebelumnya
tidak pernah dibayangkan oleh orang lain."
Paksi mendengarkan keterangan Wijang itu dengan
bersungguh-sungguh. Beberapa saat ia terdiam. Sementara
Wijang menghabiskan sisa nasi yang masih di mangkuknya.
Setelah Wijang selesai makan, maka Paksipun segera
mengumpulkan mangkuk-mangkuknya yang kotor, membawa
keluar dan mencucinya, sementara Wijang pergi ke belik
mengambil air. "Aku akan pergi ke pasar," berkata Paksi kemudian. "Aku ingin melihat, apakah ada sesuatu isyarat yang dapat
ditangkap di pasar atau di sepanjang jalan."
Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, "Baiklah, tetapi
berhati-hatilah. Mungkin sesuatu dapat terjadi. Tetapi
sebaiknya kau tetap tidak dikenal. Apalagi terlibat jika terjadi sesuatu di antara para cantrik dari berbagai perguruan atau
bahkan dengan prajurit Pajang."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak kemudian, maka Paksipun telah berjalan menyusuri
jalan setapak. Kemudian turun ke jalan yang langsung menuju
ke pasar. Matahari telah menjadi agak tinggi. Panasnya mulai terasa
menggatalkan kulit. Ketika Paksi sampai di pasar, maka penjual nasi tumpang di
dekat pintu gerbang sudah mulai membenahi sisa
dagangannya. Nasinya sudah hampir habis. Sayursayurnyapun tinggal sedikit. Sementara bumbu kelapanya
sudah habis sama sekali. Kinong masih duduk di sebelah penjual nasi tumpang itu.
Keranjang kecilnya diletakkannya tidak jauh dari tempat
duduknya. Sambil tersenyum Paksi mendekatinya. Dengan nada tinggi
Paksi bertanya, "Apakah kau sudah tidak kebagian nasi
tumpang?" "Baru saja aku makan. Aku adalah pembeli yang terakhir
pagi ini, sehingga aku mendapat dua kali lipat dari yang
seharusnya. Perutku menjadi kenyang sekali."
Penjual nasi tumpang itu tertawa. Katanya, "Ya. Ia
memang pembeli terakhir hari ini. Jika kau juga lapar anak
muda, sayang sekali, bumbu kelapanya sudah habis sama
sekali." "Bagaimana kalau nasi dengan sambal bubuk dele saja"
Atau barangkali masih ada besengek tempe?"
"Apakah kau lapar sekali?" bertanya penjual nasi tumpang itu.
Penjual nasi itu tertawa pula. katanya, "Masih ada kedai
yang buka." "Kalau aku makan di kedai itu, maka aku tidak jadi
berbelanja. Uangnya habis untuk semangkuk nasi rawon
dengan sebutir telur pindang."
Penjual nasi itu tertawa berkepanjangan. Katanya, "Kau
dapat beli pondoh jagung dengan tempe bacem."
"Atau ketela pohung yang direbus pakai legen."
"Beli, Kang. Manis sekali," tiba-tiba Kinong menyambung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau masih belum kenyang?" bertanya penjual nasi itu.
"Sudah, Bi. Tetapi ketela pohung yang direbus pakai legen itu manis sekali."
Paksi tertawa. Katanya, "Marilah kita cari kalau masih ada."
"Perutmu, Kinong," sahut penjual nasi itu di sela-sela tertawanya, "nampaknya hanya kecil saja, tetapi ternyata
isinya lebih dari dua pincuk."
Kinong bangkit sambil memegangi perutnya yang penuh.
Diraihnya keranjang kecil. Lalu ia mengikuti Paksi yang
melangkah meninggalkan penjual nasi tumpang yang sudah
siap untuk pulang. Seperti yang dikatakan, maka Paksipun telah mengajak
Kinong untuk membeli ketela pohung yang direbus di dalam
legen. Diberikannya sebungkus ketela itu kepada Kinong
sambil berkata, "Ambil."
"Semua untuk aku?" bertanya Kinong.
"Ya." "Aku sudah kenyang."
"Kau tidak perlu makan ketela itu sampai habis. Bawa saja.
Barangkali nanti setelah kau merasa lapar lagi."
Kinong mengerutkan dahinya. Namun Kinong itu berpaling
ketika ia mendengar namanya dipanggil.
"Tolong bantu aku," berkata seorang perempuan yang
membawa beberapa kreneng sayuran. Nampaknya ia
mendapat kesulitan untuk membawanya.
Kinong sudah mengenal orang itu dengan baik. Karena itu,
maka iapun segera berlari-lari setelah meletakkan sebungkus
ketela pohung yang direbus dengan legen itu ke dalam
keranjang kecilnya. "Dimana biyungmu?" bertanya perempuan itu. "Sedang membantu membawakan seperangkat alat dapur ke
padukuhan sebelah." "Siapa yang membeli seperangkat alat dapur?" bertanya perempuan itu.
"Yu Milah." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"O, pantas. Baru sepekan yang lalu ia menikah. Agaknya
Milah ingin berumah tangga sendiri terpisah dari orang tua
dan mertuanya." Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat Kinong
dengan cekatan menempatkan kreneng itu ke dalam
keranjang kecilnya. Namun perempuan itu berkata, "Dua saja, Kinong. Biarlah yang satu aku bawa sendiri. Terlalu berat
buatmu jika kau bawa ketiga kreneng itu sekaligus dalam
keranjang kecilmu." "Tetapi aku kuat," sahut Kinong.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan itu tertawa. Sambil menepuk bahu Kinong ia
berkata, "Jika membawa beban terlalu berat di atas kepalamu, maka kau tidak akan bertambah tinggi."
Kinong mengerutkan dahinya. Namun kemudian satu dari
ketiga kreneng itu diletakkan kembali di luar keranjang
kecilnya. Paksipun kemudian melangkah pergi. Ketika ia lewat di
depan penjual dawet itu, ia melihat beberapa orang sedang
meneguk dawetnya. Tetapi tidak ada di antara mereka Ki
Rangga Suraniti atau Ki Nukilan.
Seperti biasanya, penjual dawet itu menyapa Paksi dan
mempersilahkannya singgah.
Paksipun kemudian duduk di sebelah penjual dawet itu
sambil bertanya, "Apakah dua orang pembeli yang selalu
berbicara tentang undangan itu tidak datang?"
Penjual dawet itu tertawa. Katanya, "Jika mereka ada di
sini, kau tidak perlu membayar dawet yang kau minum."
Paksi tersenyum. Sementara penjual dawet itu berkata
selanjutnya, "Mereka belum nampak sejak pagi."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi itu berarti aku
harus membayar sendiri."
"Bagaimana kalau hari ini aku yang membayar?" bertanya penjual dawet itu.
Tertawa Paksipun meledak. Sementara penjual dawet
itupun tertawa pula sehingga orang-orang yang sedang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membeli dawet itu memandangi mereka dengan terheranheran. Ketika penjual dawet itu menyadari, maka iapun berkata
kepada para pembelinya, "Kemenakanku ini kerjanya hanya
berkelakar dan mengganggu orang saja."
Para pembeli dawet itu mengangguk-angguk. Ada di antara
mereka yang tersenyum. Tetapi ada yang justru merasa
terganggu. Dalam pada itu, menurut pengamatan Paksi, tidak ada
sesuatu yang terjadi di pasar itu. Mungkin di antara orangorang yang berjalan hilir mudik di pasar itu ada beberapa
orang dari perguruan yang tidak dikenali cirinya. Namun
mereka tidak berbuat apa-apa. Paksipun tidak melihat Ki
Rangga Suraniti dan Ki Nukilan. Ia juga tidak melihat prajurit yang masuk ke dalam pasar dalam tugas keprajuritan mereka.
Seandainya ada, maka mereka tentu prajurit dalam tugas
sandi. Namun agaknya prajurit Pajang yang datang ke kaki
Gunung Merapi itu mampu membatasi gerak mereka. Tidak
ada seorang pun di pasar itu yang berceritera tentang
kehadiran sepasukan prajurit Pajang. Tidak seorang pula yang
berbicara tentang pertempuran yang terjadi.
Menurut dugaan Paksi, setelah pertempuran itu terjadi,
maka orang-orang dari beberapa perguruan itu justru akan
menyebar. Seperti yang diperhitungkan oleh Wijang, maka
ceritera tentang Pangeran Benawa itupun akan menyebar
pula, sehingga mereka akan berebut dahulu menemukan
Pangeran Benawa. Jika mereka menemukan Pangeran
Benawa, maka mereka akan menemukan cincin yang mereka
cari itu. "Jika mereka pergi menyebar, bukankah Wijang justru akan
lebih aman berada disini," berkata Paksi di dalam hatinya.
Namun Paksi tertegun ketika ia melihat dua orang suami
istri yang sedang berbelanja di pasar itu. Menilik pakaiannya, keduanya bukan orang kebanyakan sebagaimana yang ada di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pasar itu. Sikap merekapun agak berbeda. Keduanya nampak
dan bersikap baik. Namun Paksi justru berusaha untuk menghindarinya.
Perempuan yang memakai baju hijau pupus dan kain hijau
selapis lebih tua dari bajunya pernah ditemuinya di Panjatan.
Perempuan itu adalah Pupus Rembulung dalam sikapnya
sebagai seorang perempuan yang lembut. Sedang suaminya,
Repak Rembulung pun sama sekali tidak menunjukkan sikap
garangnya. Sikapnya yang ramah tidak memberikan kesan
sebagaimana pernah dilihat Paksi di antara hiruk-pikuknya
pertempuran. Beberapa saat lamanya, keduanya berada di pasar. Namun
kemudian keduanyapun melangkah ke pintu gerbang dan
meninggalkan pasar itu. Paksi mencoba untuk melihat
keduanya berjalan menyusuri jalan menjauhi pasar itu. Tetapi
Paksi tidak tahu kemana keduanya akan pergi. Mungkin ke
Panjatan. Tetapi mungkin pula tidak.
Tetapi Paksipun kemudian melihat dua orang yang
mengawasi Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu.
Kedua orang yang tidak mengenal Paksi itu mulai
membicarakan kedua orang suami isteri yang berjalan
menjauh. "Siapa yang menduga bahwa kedua orang itu adalah
orang-orang yang paling garang di daerah ini."
"Orang-orang Pajang tidak berhasil menangkap mereka."
"Tidak seorang pun dari antara para pemimpin yang
tertangkap. Jika ada satu dua orang yang dibawa oleh para
prajurit, mereka adalah cantrik-cantrik kecil."
Paksi mencoba memperhatikan kedua orang itu. Tetapi
Paksi sama sekali tidak dapat mengenali ciri-cirinya. Namun
Paksi yakin, bahwa kedua orang itu tentu terlibat dalam
pertempuran antara beberapa perguruan yang sedang
berusaha untuk bertemu dan menyesuaikan sikap mereka itu
melawan para prajurit Pajang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkin keduanya murid dari perguruan-perguruan yang
mengadakan pertemuan itu. Namun mungkin pula mereka
petugas sandi dari Pajang atau pengikut Harya Wisaka."
Paksipun kemudian tidak terlalu lama lagi berada di pasar.
Iapun segera membeli keperluannya sehari-hari dan
sejenak kemudian Paksipun telah berada di luar pasar.
Matahari telah sampai ke puncak langit. Pasar itupun
menjadi semakin sepi. Orang-orang yang berjualan di pasar
itu telah membenahi sisa-sisa dagangan mereka.
Ketika Paksi sampai di gubuk kecilnya, Wijang sedang
berbaring di bawah sebatang pohon yang rindang di atas
ketepe yang baru saja dianyamnya.
"Kau membeli apa?" bertanya Wijang.
"Garam, terasi dan ikan asin. Bukankah kau sudah memetik
daun kates gerandel?"
"Makanan maksudku?"
Paksi tertawa. katanya, "Aku lupa membeli kelepon. Tetapi bukankah kita dapat membuat makanan sendiri" Ketela
pohung yang kita rebus dengan legen" Di pasar aku juga
membelinya. Tetapi aku berikan kepada Kinong."
"Kau lebih sayang kepada Kinong daripada kepadaku."
"Kita mempunyai pohon ketela pohung. Kita mempunyai
legen. Bukankah kita dapat membuat sendiri seberapa saja
kita mau?" "Tetapi kita harus menunggu nanti malam. Kau tidak mau
terlalu sering mengepulkan asap dari gubuk ini di siang hari."
Paksi tertawa. Sementara Wijang masih saja berbaring di
bawah pohon itu. katanya, "Ceriterakan, apa yang kau temui di pasar."
"Repak Rembulung dan Pupus Rembulung," jawab Paksi.
Wijangpun segera bangkit dan duduk di atas ketepenya.
Katanya, "Duduklah."
Paksipun kemudian duduk di sebelahnya. Diceriterakannya,
apa yang dilihatnya di pasar. Repak Rembulung dan Pupus
Rembulung dalam ujud dan sikapnya sebagai sepasang suamiisteri yang baik. Dengan pakaian dan sikap yang tertib
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keduanya berada di pasar. Nampaknya keduanya sedang
berbelanja. Sementara itu, dua orang memperhatikan Repak
Rembulung dan Pupus Rembulung itu.
"Tetapi aku tidak berhasil melihat ciri-ciri kedua orang itu,"
berkata Paksi kemudian. "Apa yang akan dilakukan oleh Repak Rembulung dan
Pupus Rembulung itu?" desis Wijang.
"Entahlah," sahut Paksi.
"Agaknya keduanya sudah siap meninggalkan daerah ini,"
desis Wijang. "Agaknya bukan hanya mereka berdua."
"Ya." "Jika demikian, bukankah kau justru akan merasa aman
disini daripada di tempat lain" Jika orang-orang yang
mencarimu itu menyebar, maka kau justru akan dapat dengan
leluasa tinggal disini tanpa diganggu orang lagi sampai
saatnya kau ingin kembali Pajang."
"Disini aku hanya sekedar bersembunyi. Tetapi aku tidak
dapat melihat kehidupan yang sebenarnya."
"Pasar adalah lingkungan kecil yang mencerminkan satu
lingkungan yang luas. Kita dapat melihat kehidupan itu di
pasar. Mendengarkan pembicaraan orang-orang dari berbagai
lapisan dan lingkungan."
"Tetapi banyak orang yang tidak sempat pergi ke pasar.
Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai uang sama
sekali. Mereka yang tidak mempunyai hasil sawah untuk dijual.
Mereka yang hanya dapat makan dengan mengais di kebun
mereka yang sempit."
"Tetapi pasar itu dapat memberikan kehidupan kepada
Kinong, kepada keluarganya, karena ibunya juga menjual
tenaganya di pasar itu."
"Mereka yang rumahnya jauh dari pasar tidak akan tahu,
bahwa pasar itu dapat memberinya makan."
Paksi terdiam. Namun kepalanya terangguk-angguk kecil.
Meskipun demikian, nampaknya Wijang tidak tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu. Agaknya tanaman ketela pohung,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jagung yang baru tumbuh setelah tanaman yang terdahulu
dipetik. Padi gaga, kebun pisang, beberapa batang pohon
kelapa dan rumpun-rumpun bambu tutul dan pering cendani,
sempat menghambatnya. Ada perasaan sayang untuk
meninggalkan itu semuanya.
Apalagi Paksi. Ia sudah lebih dari setahun berada di tempat
itu. Sudah dua kali ia memetik jagung. Sekali menuai padi
gaga. Tidak terhitung, berapa kali ia menebang batang pisang
dan mengambil buahnya. Ketela pohon yang ditanamnya sejak
lebih dari enam bulan yang lalu, yang dapat dicabut kapan
saja ia inginkan, sebatang dua batang atau berapa saja.
Keduanyapun terdiam untuk beberapa saat lamanya.
Nampaknya keduanya sedang merenungi apa yang sebaiknya
mereka lakukan. Namun tiba-tiba saja Wijang telah menggamit Paksi. Ketika
ia memandang Paksi, maka Paksi itupun mengangguk kecil.
Wajah mereka nampak menegang.
Namun Paksipun kemudian bangkit berdiri. Menggeliat.
Kemudian melangkah masuk ke dalam gubuk kecilnya.
Sejenak kemudian, maka Wijangpun telah menyusulnya. Ia
berhenti sejenak di depan pintu gubuknya. Namun kemudian
iapun telah masuk pula ke dalam.
Demikian Wijang berada di dalam gubuknya serta setelah
menutup pintunya, maka iapun segera mempersiapkan
dirinya. Dikenakannya pelindung bagian atas pergelangan
tangannya, menyelipkan senjatanya di bawah bajunya serta
mempersiapkan dirinya. Sementara itu, Paksipun telah
memungut tongkatnya pula.
"Agaknya karena orang-orang itu sekarang berkeliaran di
kaki gunung ini sebelum mereka pergi menjelajahi daerah
yang luas untuk menemukan Pangeran Benawa, maka ada
juga orang yang tersesat sampai ke tempat ini."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ternyata
rumah kita sudah tidak terlindung lagi."
"Kau dengar langkah mereka" Tidak hanya satu orang.
Tetapi beberapa orang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Aku masih berharap mereka tidak melihat gubuk kita
ini." "Mereka menjadi semakin dekat. Kau dengar desir kaki
mereka di sela-sela pepohonan itu?" Paksi mengangguk.
"Sebaiknya kita berada di luar saja," desis Paksi. Wijang mengangguk. Tetapi iapun berkata, "Mereka sudah ada di
depan hidung kita." Paksi termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian
telah mengikatkan tali kampilnya di atas ikat pinggangnya.
Jika ia terpaksa meninggalkan gubuknya saat itu juga, maka
bekal yang dibawanya dari rumah, serta perhiasan yang
diberikan ibunya kepadanya, tidak akan tertinggal di gubuknya
itu. Paksi belum tahu siapa yang datang. Karena itu, maka ia
harus sangat berhati-hati. Bahwa yang datang itu tidak
berusaha untuk menyerap bunyi sentuhan tubuhnya pada
dedaunan yang runtuh di tanah, bukan berarti bahwa mereka
tidak mampu melakukannya. Mungkin mereka menganggap
hal itu tidak perlu mereka lakukan.
Namun sebelum membuka pintu, Wijang nampak raguragu. Katanya hampir berbisik, "Jika mereka prajurit Pajang, dan bahkan Ki Rangga Suraniti sendiri, maka ia akan dapat
mengenali aku." "Baiklah. Aku akan keluar lebih dahulu. Jika aku tidak
memberi isyarat apa-apa, maka orang itu bukan Ki Rangga
Suraniti dan bukan pula Ki Nukilan. Tetapi aku tidak mengenal
prajurit Pajang yang lain yang akan dapat mengenalimu."
"Baiklah. Keluarlah. Aku akan mengintip dari belakang
pintu." Tetapi sebelum Paksi melangkah keluar, Wijang itupun
berkata, "Kau juga harus melindungi ujudmu."
"Mereka sudah ada di luar."
"Biar sajalah."
Paksi tidak membantah. Ketika kemudian Wijang membuat
garis-garis di wajahnya dengan jelaga yang dicoleknya dari
pantat kuali, Paksi tidak mengelak. Bahkan kemudian,
Wijangpun telah membuat garis-garis hitam pula di wajahnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri. Di kening, di dahi, di pipi dan di dagunya. Kemudian
keduanya telah mengenakan caping bambu yang lebar di
kepalanya. Keduanyapun kemudian telah mendengar orang yang
bercakap-cakap sambil melangkah mendekati gubuk itu.
Yang kemudian lebih dahulu keluar dari gubuk itu adalah
Paksi. Wajahnya nampak jauh lebih tua dari umurnya yang
sebenarnya. Caping bambu yang lebar membuat wajahnya
semakin tidak jelas. Di luar berdiri ampat orang yang berwajah garang. Mereka
tidak mengenakan ciri-ciri apapun, sehingga Paksi tidak dapat
mengenali, siapakah mereka dan dari perguruan yang mana.
Ketika mereka berempat melihat Paksi keluar dari


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gubuknya, maka orang-orang itupun tertegun. Namun tibatiba saja seorang di antara mereka bertanya, "He, apakah kau pemilik gubuk ini?"
"Ya, Ki Sanak," jawab Paksi. Suaranyapun bergetar
sehingga tidak seperti suara aslinya.
Keempat orang itu memperhatikan wajah Paksi dengan
seksama. Hampir serentak mereka tertawa.
"He, untuk apa sebenarnya kau samarkan wajahmu" Apa
kau kira bahwa kau orang yang penting, sehingga kau merasa
perlu menyamarkan wajahmu agar tidak mudah dikenali" Atau
kau kira bahwa kau adalah seorang putera raja yang
menghilang dari istana dan hidup menyendiri di kaki Gunung
Merapi" Atau justru karena kau seorang penjahat yang sedang
diburu, sehingga kau berusaha menghilangkan jejak dengan
menyamarkan wajahmu?" bertanya salah seorang dari
mereka. Paksi tidak menjawab. Tetapi dahinya yang tercoreng
jelaga itu berkerut. Orang itu telah menyebut seorang
pangeran yang hilang dari istana. Apakah itu hanya satu
kebetulan, atau ia memang sudah mendengar bahwa memang
ada seorang pangeran telah menghilang dari istana.
Karena itu, hampir di luar sadarnya ia menyahut, "Akulah
pangeran yang hilang dari istana itu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Seorang di
antara mereka berkata kepada kawan-kawannya, "Ternyata
kita menemui orang gila disini."
Seorang yang lain, menyahut, "Tetapi nampaknya ia bukan
orang gila yang berbahaya."
"Aku memang tidak berbahaya bagi orang yang tidak
menggangguku," berkata Paksi dengan suara yang masih
bergetar. "Baiklah, Ki Sanak," berkata seorang yang berkumis lebat, bermata kemerah-merahan. Nampaknya ia seorang yang lebih
senang berbicara langsung sebagaimana dipikirkannya. "Aku tidak akan mengganggumu. Aku akan segera pergi. Tetapi
katakan, apakah kau sudah menemukan cincin yang telah
berada di sekitar tempat ini. Apakah cincin itu jatuh dari langit, atau dibawa dan disimpan oleh seseorang atau apapun
sebabnya berada di tempat ini. Menilik ujud gubukmu, kau
tentu sudah cukup lama berada disini. Kami juga melihat
tanamanmu yang terpelihara serta beberapa jenis
kelengkapan yang lain."
Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun
bertanya," Cincin apa yang kau maksud?"
"Kau tidak usah berpura-pura. Kau berada disini tentu
karena cincin itu pula."
"Aku tidak tahu maksudmu."
"Jangan banyak bicara. Aku akan masuk ke dalam
rumahmu untuk melihat, apakah cincin itu ada disini atau
Petualang Asmara 24 Penelitian Rahasia 8 Jurus Lingkaran Dewa 1 Karya Pahlawan Pedang Keadilan 19

Cari Blog Ini