Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri 17

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 17


Pancaran sinar mutiara di tangan Kun-gi hanya mencapai tiga
tombak jauhnya, tapi dengan bantuan pancaran sinar yang redup
ini Kun-gi dapat melihat keadaan sekelilingnya yang lebih jauh lagi, kiranya pendopo ini dikelilingi dinding2 batu yang tinggi dan licin, tiada kelihatan bekas2 pintu rahasia disekelilingnya.
Jelas Ci Hwi-bing dari anak buahnya tadi masuk ke tempat ini,
tapi jejak mereka menghilang di sini, maka Kun-gi menduga pasti adapinturahasiadidalamruang pendopo ini.
Kongsun Siang ikut masuk dan berhenti di belakang Kun-gi,
katanya keheranan: "Tiada pintu dalam pendopo ini, pasti dipasang alat2 rahasia. Ting-heng, mari kita periksa bersama, supaya tidak terjebakoleh muslihat mereka."
Ting Kiau merogoh ketikan api dan menyalakan obor kecil yang
selalu dibawa oleh setiap insan persilatan, katanya: "Ya, mari kita periksa bersama."
Kongsun Siang juga mengeluarkan obor kecilnya. Dengan
menyalanya kedua obor kecil ini, maka keadaan pendopo
bertambah terang. Tampak dinding, lantai dan meja kursi semuanya terbuat dari
batu hijau yang digosok licin meng-kilap laksana kaca, dengan
seksama kedua orang berpencar memeriksa tiga arah dinding batu
yang kemilau oleh sinar obor mereka, setiap sudut, setiap jengkal lantai yang berlapis batu hijau itu dan tetap tak berhasil mereka temukan apa2.
Obor di taugan Ting Kiau akhirnya menjadi guram karena makin
pendek, dengan kecewa dia buang obornya sambil berkata
gegetun: "Setelah menghadapi kenyataan baru terasa kekurangan, sampai hari ini baru aku betul2 menyadari kenapa dulu tidak
belajar lebih rajin dan tekun kepada guru, kini menyesalpun telah kasip."
Menyusul obor Kongsun Siang juga padam, katanya pula:
"Agaknya alat2 rahasia di sini diciptakan oleh seorang yang betul2
ahli, dengan pengetahuan kita yang cetek ini tak mungkin bisa
menyelami letak kuncinya."
Kedua obor sudah padam, tinggal cahaya mutiara di tangan
Kungi saja, maka keadaan pendopo kembali menjadi remang2.
Kata Kun-gi: "Kalautak ketemu, takperlu kitasusahpayah
mencarinya." "Tapi jalan mundur sudah buntu, memangnya kita harus diam
saja terkurung di sini," kata Ting Kiau.
"Mereka mundur sebelum kalah, jelas musuh punya rencana
keji, mumpung ada waktu, sebaiknya kita istirahat mengumpulkan
tenaga dulu," ujar Kun gi, pelan2 dia menghampiri kursi batu dan duduk di sana.
"Sikap tenang Ling-heng ini sungguh mengagumkan, betapapun aku bukan tandinganmu," pujiKongsun Siang.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Sejak kecil guruku sudah
mendidikku, setiap kali menghadapi kesukaran, kepala harus dingin dan pikiran tetap jernih, supaya kita sendiri tidak kelabakan
kehabisan tenaga '' Sampai di sini tiba2 dia pakai ilmu gelombang suara: "Setiap saat kemungkinan musuh akan menyerang kita, harus selalu waspada, Kongsun-heng, Ting-heng, kalian boleh
ambil posisisendiri2, tanpaisyaratkujangansembarangan bertindak."
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiakan.
Kun-gi keluarkan kantong sulam pemberian Un Hoankun, dia
keluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang dua butir Jingsin wan dan dibagikan kepada kedua orang, lalu menambahkan
dengan ilmu suara: "Inilah Jing-sinwan bikinan Ling-lam, khusus untuk menawarkan segala macam obat bius dan dupa wangi yang
memabukkan, kulumlah dalam mulut kalian." '
Setelah terima pil itu dan dikulum dalam mu-lut, Kongsun Siang
dan Ting Kiau lantas mundur berpencar menempati posisi di
kirikanan, mereka berjongkok di belakang kursi.
Kejap lain Kun-gi masukkan mutiara ke dalam sakunya sehingga
ruang pendopo itu menjadi gelap gulita, kelima jari sendiripun tidak kelihatan, begitulah mereka berdiam diri kira2 setanakan nasi,
keadaantetapsunyi,tiadasesuatureaksiapa2daripihak musuh.
Akhirnya Ting Kiau buka.suara: "Cong-coh, agaknya musuh
sengaja hendak kurung kita di sini, selama tiga hari saja cukup membikin kita kelaparan dan kehabisan tenaga, betapa kita kuat
melawan mereka?" "Tidak mungkin," kata Kun-gi, "tempat ini sudah merupakan daerah penting Hwi-liong-tong, bahwa selama ini mereka tidak
bergerak mungkin karena tengah menghadapi pertempuran
terbuka di depan sana dan tenaga tidak mencukupi untuk
mengurus kita, dan terpaksa kita dikurung di sini untuk sementara, tapi peduli mereka kalah atau menang, kukira waktunya tidak akan terlalu lama lagi."
"Menurut pendapatku," demikian Kongsun Siang ikut bersuara,
"bahwa selama ini mereka belum bertindak, pasti ada sangkut pautnya dengan Ling-heng."
"Berdasarkan apa pendapat Kongsun-heng ini?" tanya Kun-gi. .
"Apa yang pernah diucapkan Nao Sam-jun di Gu-cu-ki tempo
hari tentunya Ling-heng masih ingat, dia pernah bilang asal
Ling-heng sudi menyerah atau mau bekerja demi kepentingan
Hek-liong-hwe, kalau Pek-hoa-pang bisa memberi kedudukan
Cong-su-cia, maka Hek-liong-hwe juga sanggup memberi jabatan
Cong-houhoat kepadamu."
"Soal ini sudah tentu masih kuingat," ucap Kun-gi.
"Baru saja kita tiba di Ui-lionggiam, musuh lantas meluruk dari tiga arah mengepung kita, dalam keadaan yang buruk itu Ci Hwibing masih membujuk Ling-heng supaya bekerja untuk Hek-lionghwe, akhirnya terjadilah pertempuran sengit, Cap ji-sing-siok Hekliong-hwe berhasil kita tum-pas habis, Lansat-sin Dian Yu-hok,
Ping-sin Tok-ko Siu juga melayang jiwanya, malah
Ui-liong-tongpun telah kita ledakkan, hanya Ci Hwi-bing seorang saja yang lolos dari renggutan elmaut, peristiwa besar ini
sebetulnya merupakan pukulan berat baginya, terhadap Ling-heng
mestinya dia amat benci dandendam. . . . "
"Ya, betul, adalah layak kalau dia membenciku," ujar Kun-gi.
"Tapi tadi waktu Ling-heng membobol jaring kawat baja dan Ci Hwi-bing muncul, sikapnya tak nampak bermusuhan terhadap Lingheng, malah dia tetap membujuk Ling-heng bekerja sama dan mau
membawamu menemui Hek-liong-hwecu. Dari sini dapatlah
disimpulkan bahwa Hek-liong-hwe Hwecu memandangmu terlalu
penting, kukirapastiadapesannyakepadaanakbuahnya."
Kun-gi tertawa, katanya: "Dalam hal apa diriku ini sampai
dipandang begitu penting oleh mereka?" Dalam hati dia membatin:
"Pasti lantaran aku bisa menawarkan getah beracun itu."
"Menurut rekaanku;" dernikian ucap Kongsun Siang lebih lanjut,
"Hek-liong-hwe mungkin merasa segan dan tak berani berbuat salah terbadap guru Ling-heng, atau mungkin ada sebab lainnya.
Tapi Hek-liong-hwecu ingin secepatnya merangkul dan menarik
hati Lingheng, hal ini kukira tidak perlu disangsikan lagi." Ia merandek sebentar, lalu melanjutkan lagi: "setelah Ling heng masuk kemari, jaring baja mereka tak berguna, Tun Thian khi
sendiri juga sadar dirinya bukan tandinganmu, maka lekas dia
mengundurkan diri, kini kitadikurung di tempatini. . . . "
"Analisa Kongsun-heng cukup jelas," timbrung Ting Kiau, "tapi apa pula tujuan mereka mengurung kita di sini?"
"Ruang pendopo ini pasti ada dipasang perangkap yang amat
lihay, walau mereka telah mengurung Ling-heng, agaknya Ci Hwibing dan Tun Thiankhi tak berani bertindak sendiri, maka mereka merasa perlu untuk menghadap Hwecu mereka dan minta
petunjuknya, jika perintah Hwecu mereka belum sampai di sini,
pasti merekatakkan beranisembarang bertindak."
Ting Kiau menepuk paha, serunya tertawa: "Betul, marilah kita tunggu perintah Hek-liong-hwecu, mau perang atau akan damai,
sebentar akan kita ketahui."
Di kala mereka bicara itulah, mendadak Kun-gi merasakan
adanya serangkum bau aneh yang merangsang hidungnya, kepala
seketika terasa pening dan berat, tergerak hatinya: "Tepat dugaanku, mereka mau menggunakan dupa bius untuk
merobohkan kami bertiga."
Kejadian memang aneh, baru saja hidungnya mengendus bau
wangi yang memabukkan dan bikin kepalanya pening, kantong
sulam yang tergantung di depan dadanya seketika juga
menguarkan bau wangi yang semerbak sehingga kapalanya yang
pening seketika sirna, pikiran jernih dan badan segar.
Diam2 Kun-gi merasa kagum dan membatin: "Keluarga Un dari
Ling-lammemangtidak malusebagaicakalbakalahliobatbiusyang
telah turun temurun sejak kakek moyang mereka, botol porselen
yang hanya tertutup gabus berlubang biasanya tidak pernah
menguarkan bau apa2, tapi begitu dupa bius merangsang, obat
penawaryangterisidalambotolseketikapulaunjuk khasiatnya."
Karena mutiara sudah tersimpan dalam kantongnya, maka
ruang pendopo itu gelap gulita, keadaan sekelilingnya menjadi
tidak jelas, tapi Kun-gi yakin bahwa dupa bius itu sudah memenuhi seluruh ruang pendopo, karena terasa juga olehnya bau harum
segar dari kantong sulamnya itu terus merangsang keluar.
Kongsun Siang dan Ting Kiau berpencar di kanan-kiri, masing2
duduk di bawah kursi, jadi tiga orang berposisi segi tiga, kini merekapun sudah mengendus bau dupa memabukkan itu, maka
terdengar Ting Kiau bersuara heran, katanya: "Cong-coh, kau sudah menciumbukan" Bau dupa ini agakganjil?"
Dengan menahan suara Kun-gi berkata: "Musuh tengah
melepaskan asap dupa wangi yang memabukkan, Ting-heng
jangan bersuara, nanti kalau ada orang masuk kalian harus pura2
rebah terbius, jangan turun tangan secara serampangan,
dengarkan tanda tertawaku "
Kongsun Siang berdua mengiakan. Kira2 setanakan nasi lagi,
bau dupa dalam pendopo semakin tipis dan akhirnya sirna. Maka
dari arah dinding sebelah timur berkumandang suara gemuruh,
mendadak dinding yang rapat itu merekah buka, tapi hanya segaris sempit saja.
Dikala suara gemuruh mulai berkumandang, Kongsun Siang dan
Ting Kiau lekas2 merebahkan diri, mereka mendekam di bawah
kursi dengan waspada. Kejadian berlangsung hanya sekejap saja, setelah suara
gemuruh berhenti dan dinding sedikit terbuka itu, keadaan menjadi hening pula, tak kelihatan ada orang masuk. Agaknya musuh tahu
diri, karena belum jelas keadaan di dalam mereka tak berani
masuk. Beberapa kejap lagi, mendadak sinar lampu yang terang
menyilaukan rata menyorot masuk dari sela2 dinding yang terbelah itu, pendopoyangsemulagelapgulita menjaditerangbenderang.
Kun-gi duduk bersandar kursi, diam tak bergerak seperti lemas
lunglai. Maka terdengar suara Ci Hwi-bing dari belakang dinding:
"Bagaimana keadaan di dalam?"
Seorang menjawab: "Lapor Tongcu, hanya kelihatan orang she Ling duduklemas di kursi, agaknyasudahterbiussemaput."
"Dua yang lain bagaimana"' tanya Ci hwi-bing.
"Tidak kelihatan, mungkin sudah rubuh di lantai, teraling oleh kursi," sahut orang itu.
"Baiklah, coba kalian masuk memeriksa" perintah Ci Hwi-bing.
Ternyata sela2 dinding itulah pintunya, pintu terbuka agak
lebar, dua sosok orang berkelebat masuk dari balik dinding
langsung mendekati mereka..
Melihat pintu sudah terbuka, sementara dua orang musuh sudah
melangkah masuk, maka Kun-gi tidak tinggal diam lagi, mendadak
dia tertawa ngakak sambil melompat bangun terus menerjang ke
arah pintu. Ilmu silat kedua orang yang masuk ternyata cukup tinggi, begitu Kun-gi menerjang maju merekapun segera siap siaga, keduanya
mundur setengah langkah. "Sret, sret", dua batang pedang hitam mereka membabat bersilang berusaha menahan lawan.
Kun-gi ayun tangan kanan secepat kilat dia menepuk sekali,
segulung tenaga pukulan seketika menahan gerakan pedang lawan
sebelah kanan, berbareng tangan kiri mencengkeram lengan orang
di sebelah kiri terus ditarik, sebat luar biasa ia terus meluncur ke depan memberesot lewat di tengah kedua musuh dan memburu ke
arah pintu. Kongsun Siang dan Ting Kiau mendengar gelak tawa Ling
Kun-gi, berbareng merekapun melompat berdiri. Sekali tubruk
Kongsun Siang menerjang orang di sebelah kiri, berbareng
pedangnya menusuk. Ting Kiau juga tidak kalah cepat dan tangkasnya. belum lagi dia menerjang tiba, kipas lempitnya sudah bekerja menggaris
melintang dengan membawa deru angin mengincar muka orang di
sebelah kanan. Sebetulnya kepandaian silat kedua orang yang masuk ini cukup
lumayan, walau tidak mampu menghalangi Ling Kun-gi, tapi dikala Kongsun Siang dan Ting Kiau menubruk, tiba merekapun sudah
bersiap menyambut serangan mereka.
Bahwasanya gerakan Ling Kun-gi tadi memang cepat luar biasa
dan secara mendadak maka dalam segebrak dia dapat bikin kedua
lawannya menyingkir serta menerjang lewat, sayang sekali ketika dia hampir mencapai pintu batu mendadak dilihatnya bayangan
seorang tinggi besar mengadang di depan pintu. Sebelum lawan
turun tangan menyerang Kun-gi sudah mendahului melontarkan
pukulan kilat menghantam dada lawan.
"Blang", dengan telak telapak tangannya memukul dada lawan.
Tapi Kun-gi sendiri merasa telapak tangannya tergetar pedas
kesakitan, ternyata pukulannya seperti memukul pada batu yang
keras, keruan kejutnya tidak kepalang.
Waktu dia mendongak dan melihat lebih jeias, kiranya bayangan
orang yang muncul di depan dan mengadang jalannyu adalah
patung batu yang tinggi besar. .Karena sedikit teralang ini, pintu batu yang hanya terbuka sedikit itu cepat sekali sudah menutup
lagi, sorot lampupun padam sehingga keadaan di ruang pendopo
kembali menjadi gelap gulita. Begitu keadaan menjadi gelap, kedua orang yang lagi bertempur dengan Kongsun Siang dan Ting Kiau
segera pura2 menyerang, habis itu terus melompat mundur. Pada
hal pintu batu sudah tertutup, jelas tiada jalan lain untuk melarikan diri. Maka Kongiun Siang menghardik: "Mau lari ke mana kalian?"
Pedang berpindah ke tangan kiri terus menyalakan api, lalu cepat2
dia pindahkan pula pedang di tangan kanan, tangan kiri
mengacungkan tinggi kertas yang terbakar di atas kepala.
Pada saat yang sama Ting Kiau juga telah menyalakan api,
serempak mereka lantas mengudak ke pojokan sana, tampak
kedua orang berbaju hijau itu telah melambung ke sebuah lubang
besar dipojok atap sana, sekali berkelebat bayangan merekapun
lenyap, cepat sekali lubang besar itupun tertutup kembali dan tidak kelihatan adanya bekas apa2. Barulah sekarang mereka maklum
bahwa asap dupa tadi kiranya dilepas dari lubang besar di atas
atap ini. Ting Kiau mencak2 gusar: "Kunyuk itu berhasil lolos lagi."
Kongsun Siang menghela napas, katanya: "Alat rahasia yang
mengendalikanpendopo ini, kiranyatidak hanyabeginisaja:"
"Persetan dengan alat rahasia perangkap segala, memangnya
kita gentar menghadapinya," seru Ting Kiau marah2 .
Terdengar suara Ci Hwi-bing berkumandang: "Ling Kun-gi, tadi kulepas asap dupa juga demi kebaikanmu, karena hanya jalan
itulah satu2nya, sehingga kau lemas tak mampu melawan dan
terima dibelenggu dan selanjutnya kau pasti akan bekerja bagi
kami, tak terkira perhitungan Lohu meleset, agaknya aku
menilaimu terlalu rendah."
Gusar tapi Kun-gi masih bisa tertawa, katanya: 'Ci Hwi-bing,
sia2 kau menjadi Tongcu dari Hek-liong-hwe, yang kau andalkan
hanya alat rahasia dengan segala perangkap ini, kau bisa
mengurungku di sini, memangnya ulah apa pula yang bisa kau
lakukan?". . "Ling Kun gi," terdengar kereng suara Ci Hwi bing, "kau harus tahu diri, kalian bertiga seumpama kura2 yang berada dalam
belanga, kalau Lohu betul2 mau merenggut nyawamu, segampang
membalik telapak tangan, cuma Lohu masih ingin memberi
kesempatan padamu, pikirkanlah dua kali lagi, menyerahlah saja
dan bekerja untuk Hek-liong-hwe kita, kutanggung masa depanmu
akan lebih cemerlang, tapi kalau kau tetap bandel, jangan kau
menyesal kalau Lohu tidak kenal kasihan "
Lantang tawa Kun-gi, katanya: "Ci-tongcu, kau mampu berbuat apa, silakan lakukan saja, Cayhe tidak pernah mengerut kening
menghadapi kelicikanmu."
"Orang she Ling," hardik Ci Hwi-bing beringas, "dengan baik hati Lohu memberi nasihat, tampaknya kau tidak bisa diinsafkan, sejak kini Lohu memberi waktu semasakan air mendidih, pikirlah lagi
dengan baik, asal kau mau tunduk dan bekerja untuk Hek-lionghwe, Lohu berani tanggung selama hidup kau tidak akan
kekurangan. .. . . ."
"Bangsat keladi," bentak Ting Kiau, "tutup bacotmu yang kotor, kalau berani hayo buka pintu, tandangilah kami dengan
kepandaian aslimu." Terdengar Ci Hwi-bing mendangus sekali, mendadak terdengar
suara keretekan, dari atap terjadi hujan anak panah yang tak
terhitung banyaknya, semuanya jatuh di lantai depan Ting Kiau,
ujung panah yang menyentuh lantai mengeluarkan suara ramai
dan memercikkan lelatu api.
Keruan Ting Kiau kaget, cepat dia melompat mundur. Panah
ternyata hanya berhamburan sekali, tapi jumlahnya ada puluhan
batang, kalau mengenai tubuhnya tentu dirinya sudah menjadi
landak. Agaknya musuh sengaja mau mendemonstrasikan
kelihayan alatrahasianya, buktinyaCiHwi-bingpuntidakbanyakucap
lagi. Kongsun Siang mengerut kening, dia menghampiri Kun-gi,
katanya lirih: "Ling-heng, dari hujan panah barusan dapat ditebak kalau alat2 rahasia semacam busur di atas sana tentu dikendalikan orang sehingga panah bisa dibidikan ke segala jurusan, ke
manupun kita sembunyi tetap akan terbidik oleh panah musuh,
berabe juga bagi kita." Kun-gi tertawa tawar, katanya: ?capanmu memang betul Kongsun-heng, tapi soal ini gampang diatasi,
pertama, asal kalian tidak menyalakan api, dalam keadaan gelap
gulita, mereka akan kehilangan sasaran bidik. Kedua meja dan
kursi yang terbuat dari batu ini amat kuat dan tebal, bisa kita gunakan untuk berlindang, persoalan yang lain biar kuhadapi
sendiri" 'Tapi hujan panah itu sedemikian lebat dan rapat, bukan saja
daya bidiknya amat kuat dan kencang, mungkin dilumuri getah
beracun pula. Cong-coh . . . . '
"Tidak apa," Kun-gi menukas ucapan Ting Kiau, "aku punya akal untuk menghadapinya, nanti kalau musuh menyerang, kalian harus
bisa mencari tempat berlindang dengan baik, soal diriku tak usah kalian kuatir."
Dikala mereka bicara terdengar suara Ci Hwi-bing bergema
pula: "Ling kun gi, sudah kau pikirkan belum?"
Kun-gi memberi tanda kepada Kongsun Siang dan Ting Kiau,


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyala api segera dipadamkan, bergegas mereka menyelinap ke
bawah meja batu. Dengan tertawa angkuh Kun-gi berkata: "Cayhe tidak perlu pikir lagi."
Kereng dingin suara Ci Hwi-bing: "Kalian berada dalam
kurungan, inilah kesempatan terakhir, kalian tetap tidak mau
menyerah, sekali Lohu mem-beri aba2, kalian akan segera mampus
tertembus ratusan anak panah."
Kun-gi ter-gelak2, serunya: "Hanya panah memangnya dapat
menggertak dan menakuti aku" Ha-yolah lekas kau perintahkan
anak buahmu lepaskan panah untuk menggaruk badanku yang
sedang gatal ini." Pada saat itulah kumandang suara seorang perempuan berkata:
"Ci tongcu, Hwecu ada perintah."
"Hamba terima petunjuk," terdengar Ci Hwi-bing menyahut hormat.
Suara perempuan nyaring itu berkumandang pula: "Pengkhianat Ling Kun-gi dari Pek-hoa-pang yang terkurung di dalam Bansiang-thing, kalau masih tetap melawan dan tidak mau menyerah, maka
Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing diberi kekuasaan penuh untuk
menjatuhkan hukuman mati."
"Hambaterima perintah!"seruCi Hwi-bingpula.
Agaknya mereka bicara di lapia atas dari ru-angan di mana Ling
Kun-gi dikurung, mereka sengaja bicara keras. supaya didengar
oleh Kun-gi. maka pembicaraan mereka terdengar jelas dari
sebelah atas. Kejap lain terdengarlah suara Ci Hwi-bing yang ketus dingin:
"Ling Kun-gi, kau sudah dengar bukan?" Nadanya mengancam, maksudnya menekan Ling Kun-gi supaya menyerah saja.
"Memangnya kenapa kalau Cayhe sudah dengar?" jengek
Kun-gi. "Inilah kesempatan terakhir untukmu menolong jiwa sendiri, Lohu akan menghitung sampai tiga, kalau kau tetap keras kepala, Lohu akan perintahkan membidikmu."
Ting Kiau tertawa besar, serunbya: "Umpama kaud menghitung sampai tiga ratus atau tiga ribu, jangan harap kami sudi
menyerah." Ci Hwi-bing tidak hiraukan ocehan Ting Kiau, mulutnya mulai
menghitung: "Satu . . . . dua . . . . tiga . . . . " seiring dengan hitungan ketiga, dari pojok atap sana melorot turun selarik sinar lam-pu yang terang benderang, langsung menyoroti tubuh Ling
Kun-gi diusul suara bunyi jepretan, sebaria anak panah dibidikkan tigakakididepan Ling Kun-gi.
Jelas ini bersifat mengancam, umpama betul2 mau merenggut
jiwa orang, tentu sudah langsung dibidikkan ke tubuhnya.
Sambil menggendang tangan Kun-gi mendongak tertawa
lantang, katanya: "Barisan panah Ci-tongcu ini paling manjur untuk membidik sebangsa rusa, kalau untuk main kayu dihadapanku,
kukira terlalu menggelikan." Lenyap suaranya mendadak kedua tangannya terangkat, lengan bajunya yang lebar tahu2 mengebut
ke depan. Yang digunakan ini adalah gerakan Kiankunci (lengan baju sapu
jagat) ciptaan Hoanjiu-ji-lay. nampak kedua lengan bajunya yang lebar itu mengembang bagai layar, barisan panah musuh yang
dibidikkan dengan daya keras dan kencang itu belum lagi
menyentuh lantai tahu2 sama terpental berserakan seperti daun
pohon kering yang digulung angin lesus, langsung terbang keluar pekarangan.
Jelas Ling Kun-gi juga sengaja mau pamer kepandaiannya
dihadapan Ci Hwi-bing. Sekali jari tengah tangan kiri menjentik, sebuah duri bengkok
seketika melesat dengan suara deru kencang menerjang lampu
kaca yang menyorot turun dari atas atap. Maka terdengar suara
"prang" yang keras, kaca pecah apipun seketika padam, ruang pendopo kembali menjadi gelap gulita.
Sembunyi di atap sana sudah tentu Ci Hwi-bing melihat jelas
keadaan dalam ruang pendopo, tanpa terasa giginya gemeratak
gemas, desianya: "Kalau orang ini tidak dilenyapkan, kelak pasti menjadi bibit bencana bagi kita semua, hayo siapkan panah, bunuh dia."iabetul2 memberiperintah.
Satu lampu kaca sudah pecah dirusak oleh Kun-gi, tapi
mendadak menyorot lagi tiga lampu yang lain, ketiganya sama2
menyorotkan sinar yang terang menyilaukan mata, secara
bersilang dari tiga jurusan menyoroti pendopo. Maka suara
jepretan panah menjadi ramai, hujan panah sama berjatuhan dari
tiga arah yang berlawanan, lebih hebat lagi di antara samberan
anak panah itu tercampur pula berbagai macam senjata rahasia,
seperti paku berbentuk duri cemara, jarum2 terbang yang lembut
semuanya berwarna hitam, terang berlumuran getah beracun yang
jahat dan mematikan. Hujan panah dan senjata rahasia sungguh lebat dan
berseliweran dengan suaranya yang mendenging, Sementara
Kongsun Siang dan Ting Kiau yang sembunyi di bawah meja batu
masih tetap memegang senjata untuk menyampuk panah dan
senjata rahasia yang mengincar mereka.
Dari desiran angin yang berseliweran itu Kun-gi dapat
membedakan sedikitnya ada lima macam senjata rahasia yang
bentuknya kecil dan ringan bobotnya, karena diseling di tengah
samberan panah yang berdaya kencang, orang tidak akan berjaga
dan menyangka untuk menyampuk dan merontokkannya, diam2 ia
kaget juga. Ruang pendopo ini memang dipasang segala macam perangkap
yang serba lengkap, kalau orang lain tentu sejak tadi jiwa
melayang dan tubuh hancur luluh. Walau Kun-gi meyakinkan ilmu
pelindung badan, betapapun ia tak berani pandang enteng senjata rahasia yangberbobotringan, apalagiada kalanyadia harus
memperhatikan keselamatan Kongsun Siang dan Ting Kiau.
Kejadian sebetulnya teramat cepat, baru saja panah dan senjata
rahasia musuh berhamburan, tangan kanan Kun-gi sudah melolos
pedang pendek dan dipindah ke tangan kiri, begitu tangan kanan
terangkat, Ih thiankiam juga dikeluarkannya. Begitu dua pedang
pusaka panjang-pendek keluar dari sarungnya, cahaya yang
kemilau menjadikan pendopo ini bertambah terang, hawa
dinginpun terasa menyayat badan.
Tanpa ayal Kun-gi ayun tangan kirinya, cahaya pedangnya yang
gemilapan segera membungkus sekujur badannya, sementara Ihthiankiam ditangan kanan menggaris lurus miring mengeluarkan
sinar perak ber-lapis2 membantu Kongsun Siang dan Ting Kiau
merontokan senjata rahasia.
Suara jepretan masih terus berlangsung, maka kedua pedang
pusaka di tangan Lingkun-gi pun bekerja semakin cepat dan
tangkas, sinar pedang hijau kemilau dilingkari sinar perak tampak indah mempesona, dengan menarikan kedua pedangnya,
betapapun lebat hujan anak panah dan senjata rahasia dapat
dirontokkan. Padahal sorot lampu sedemikian terang benderang, tapi
bayangan Kun-gi sendiri seakan telah lenyap, hanya cahaya
pedang dan kesiur anginnya yang menderu, hawa pedang seolah2
sudah memenuhi seluruh ruang pendopo, panah dan senjata
rahasia yang tersentuh oleh cahaya kemilau itu kontan terpental terbang dan tersampukrontokberserakandi lantai.
Begitu bernafsu Ling Kun-gi menarikan kedua pedangnya,
mendadak mulutnya berpekik keras mengalun tinggi bagai pekik
naga dan seperti singa mengaum, tiba2 badannya melejit ke atas, bagai bianglala Ih-thiankiam memantulkan tiga bintik sinar dingin melesat ke atas atap, ke arah lubang2 di mana anak panah dan
senjata rahasia dihamburkan.
Panah dan senjata rahasia itu semua dibidikkan dengan
berbagai alat rahasia yang serba lengkap, Ih-thiankiam merupakan pedang pusaka yang dapat memotong besi seperti mengiris tahu,
sekali Ihthian khiam bekerja, bukan saja segala alat rahasia yang menjadi sasaran dapat dirusakkan, di tengah keramaian
gemeretaknya alat2 yang berantakan itu diseling pula jerit kaget orang2 yang mengendalikan alat2 rahasia itu. Jelas bahwa para
pengendali alat rahasia itupun banyak yang terluka.
Begitu melayang turun pula ke lantai langsung Kun-gi pindah
pedang pandak ke tangan kanan, sekali jongkok dia raih tiga
batang patahan panah terus diayun ke atas, tiga bintik hitam
seketika meluncur ketiga sasaran. "Prang", Iampu2 kaca di atas atap seketika tertimpuk padam.
Semua kejadian berlangsung amat cepat. setelah alat rahasia
musuh berhasil dirusak dengan sendirinya hujan panah dan senjata rahasiapun berhenti, begitu lampu kaca padam pula, kembali
kegelapan meliputi ruang pendopo.
Menyaksikan betapa gagah dan perkasa Ling Kun-gi barusan,
Ting Kiau sampai melelet lidah, katanya kejut2 girang: "Cong-coh, pertunjukanmu sungguh amat mengagumkan."
Kongsun Siang merangkak keluar serta berdiri, katanya sambil
menghela napas: "Setelah kejadian malam ini baru aku sadar bahwa apa yang kupelajari selama ini dibanding Ling-heng
sungguh seperti kunang2dibandingrembulan, bagai langitdan
bumiperbedaannya." Kun-gi simpan kedua pedangnya. katanya tawar:
"Kongsun-heng terlalu mengumpak, aku hanya mengandal
ketajaman kedua pedang pusaka ini, secara untung2an menerjang
bahaya" Ting Kiau ber-kaok2: "Tua bangka she Ci, kau masih punya ulah apa lagi, hayo tunjukkan kepada tuan2 besarmu.?"
Suasana di atas hening lelap tak terdengar suara orang,
agaknya Ci Hwi-bing sudah tiada di sana. Dua kali musuh tidak
berhasil menumpas perlawanan mereka meski sudah terkurung di
dalam kamar, sudah tentu timbul rasa jera dan waspada Ci
Hwi-bing, maka dalam waktu dekat ini terang dia tidak akan
beraksi lagi. Maka keadaan sama bertahan pada sikap masing2,
Ling Kun-gi bertiga pantangmenyerahwalau terkurung di
dalampendopo. Kini pendopo itupun diliputi ketenangan, akhirnya kesunyian
terasa mencekam Ling Kun-gi, Kong-sun Siang dan Ting Kiau
maklum, keadaan tenang ini merupakan permulaan dari suatu
gempuran musuh yang akan lebih hebat lagi, entah rencana apa
pula yang tengah dirancang.
Setelah sekian lama menunggu sambil berdiam diri, akhirnya
Kongsun Siang melompat berdiri, katanya lirih: "Bukan cara baik kalau cuma berpeluk tangan terima dikurung begini saja, kita harus berdaya untuk menerjang keluar."
"Memangnya perlu dikatakan lagi?" timbrung Ting Kiau.
"Soalnya pintu batu tadi sudah tertutup, kau mampu
membukanya?" Mendadak tergerak hati Kongsun Siang, pikirnya: "Pintu batu memang sudah tertutup, tapi patung batu berbentuk manusia
besar itu masih berada di tempatnya tak pernah bergerak lagi,
bukankah di situ letak kunci rahasianya?" Karena pikirannya ini, cepat dia keluarkan ketikan dan manyalakan api, katanya lirih:
"Ling-heng, coba pinjam Ih-thiankiam-mu sebentar."
"Kongsun heng mendapat akal apa?" tamya Kun-gi, dan
serahkan Ih-thiankiam. Menerima pedang pusaka itu, Kongsun Sang berkata dengan
suara tertahan: "Kupikir kalau pintu batu itu dikendalikan alat rahasia, asal kita dapat menemukan letak atau bekasnya, alat
rahasia yang mengendalikan itu kita rusak pula, dengan kesaktian kekuatanLing-heng pastidapat membukanya."
"Kongsun-heng dapat menemukan letak pintu batu itu?" tanya Ting Kiau.
Kongsun Siang tertawa, katanya: "Orang2an batu itu keluar dari balik pintu, kini masih tetap di tempatnya tak pernah bergeser, cara bagaimana patung batu ini bisa masuk kemari" Tentu
dikendalikan alat rahasia pula, dan alat kendalinya tentu berada di bawah kakinya, asal kita bisa merobohkan patung ini, rasanya akan menemukan alat rahasianya pula?"
Ting Kiau keplok kegirangan, serunya: "Akal Kongsun-heng
memang bagus, Hayolah, kita coba"'
Kongsun Siang menyalakan api, bersama Ting Kiau mereka
memeriksa patung batu itu dengan teliti. Kongsun Siang tubleskan Ih-thiankiam kelantai, lalu memberi tanda gerakan tangan kepada Ting Kiau, mereka mengerahkan tenaga mendorong bersama dari
kanan-kiri. Betapa besar kekuatan gabungan kedua orang
sebetulnya bukan soal sulit untuk merobohkan patung batu itu.
Tapi mengingat di bawah patung batu ini ada dikendalikan alat
rahasia, maka untuk menggesernya terang tidak mudah.
Tak nyana setelah keduanya kerahkan tenaga mendorong
berulang kali, meski mulut ber-kaok2 dan napas ter-sengal2,
patung batu itu tetap tidak bergeming. Tapi Kongsun Siang dan
Ting Kiau masih tidak putus asa, mereka masih terus berusaha
mendorong patung itu. Sampai muka merah padam, akhirnya mereka sendiri yang
kehabisan tenaga, tapi patung itu tetap tak tergeser sedikitpun.
"Kalian berhenti saja," akhirnya Kun-gi bersuara, "biar aku mencobanya."Laludia menyingsing lenganbaju dan menghampiri.
Setelah menarik napas Ting Kiau mundur dua langkah dan
mengamati patung di depannya, tiba2 timbul sesuatur pikirannya, dia goyang tangan dan berkata: "Cong-coh, aku ingat akan suatu hal."
"Kau ingat apa, Ting-heng?" tanya Kun-gi.
"Patung ini baru menerjang masuk dikala Cong-coh menubruk
ke arah pintu tadi sehingga Cong-coh teralang karenanya, pintupun segera menutup pula, begitu bukan?"
"Ya, memang begitu," jawab Kun-gi.
Kata Ting Kiau lebih lanjut: "Itu berati alat rahasia mendorong patung ini masuk kemari, maka pintupun tertutup, sebaliknya kalau pintu terbuka lagi, maka patung akan mundur keluar, maka kalau
kita ganti cara merobohkanya menjadi mendorongnya mundur,
pintupastiakanterbukadengan sendirinya."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ya, masuk akal alat rahasia yang mengendalikan pintu dan patung batu ini tentu berkaitan, kalau
patung ini kita dorong keluar, pintu akan terbuka. Nah, marilah kita coba" kedua tangannya menahan perut patung batu. Dari samping Kongsun Siang dan Ting Kiau ikut membantu, di bawah aba2 Ling
Kun-gi mereka bertiga mulai mendorong.
Kun-gi kerahkan Kim-kong-sinhoat, ditambah lagi kekuatan
Kongsun Siang dan Ting Kiau, maka dapatlah dibayangkan betapa
hebat kekuatan dorongan ini"
Betul juga dari kaki patung batu segera terdengar suara
kretekan, demikian pula dari bawah dinding di pojok sana juga
berbunyi gemeratak. Walau patung ini terkendali oleh alat rahasia, toh tak kuat menahan daya dorongan yang hebat ini dan lambat
laun mulai tergeser mundur. Begitu patung terdorong mundur,
betul juga dinding di depan sana juga tergeser mundur sehingga
terbuka sedikit celah2. Melihat akal dan usaha mereka berhasil, tambah semangat Kun-gi bertiga mendorongnya.
Semakin patung terdorong mundur, semakin lebar pula celah2
dinding yang terbuka, kini mereka tidak perlu banyak membuang
tenaga lagi untuk mendorong patung, karena tahu2 patung itu
sudah mundur sendiri ke balik pintu serta menyingkir ke samping.
Melihat pintu sudah terbuka lebar, baru saja Kun-gi hendak
melangkah keluar, mendadak dirasakannya segulung tenaga
menyongsong dirinya, yang diincar adalah dadanya.
Untung sejak tadi Kun-gi sudah siaga akan sergapan musuh dari
tempat gelap. Karena bagi seorang yang membekal Lwekang
tinggi, umpama matanya dapat melihat di kegelapan, tapi toh dia perlu sedikit sinar bintang di langit baru bisa melihat sesuatu benda dalam jarak tertentu, kalau di dalam perut gunung yang gelap
gulita ini kemampuan matapun takkan berguna juga.
Di waktu mendorong patung, api sudah mereka padamkan, kini
pintu sudah terbuka, kedua belah pihak sama2 tidak melihat
bayangan lawan. Lwekang Kun-gi amat tinggi, cepat sekali dia bisa membedakan arahbahwasipenyerangtepatberdiri di tengahpintu,
serta merta iapun angkat tangan kirinya. "Plak", begitu serangan balasan dia lancarkan mendadak terasa pukulan lawan sedemikian
kuat, dalam hati Kun-gi membatin: "Jago silat Hwi-liong-tong memang banyakdan lihay."
Begitu dua jalur pukulan saling berhantam seketika
menimbulkan pusaran angin kencang yang menderu keras, tanpa
kuasa Kun-gi tergetar mundur setapak.
Pada saat itu pula, didengarnya seorang menjengek, sejalur
angin pukulan yang tidak kalah hebatnya mendadak menerjang
masuk pula dari luar pintu.
Keruan Kun-gi naik pitam, serunya sambil tertawa lantang:
"Seranganbagus!" Kinidiabalas mendorongdengan tangankanan.
Terasa pukulan musuh ini ternyata tidak lebih lemah dari
pukulan pertama, tapi Kun-gi kali ini sudah mengerahkan 10
bagian tenaganya, sehinggatidaktergentak mundur,
Dua kali saling hantam dengan musuh, tapi Kun-gi belum juga
tahu dan bisa melihat jelas siapa sebetulnya kedua lawannya, baru saja dia hendak merogoh keluar mutiaranya, mendadak api
berpijar, ternyata Ting Kiau sudah menyalakan sebatang obor yang terbuat dari rotan, dari luar pintu berbareng juga menyala dua
lampu kaca yang menyorot masuk ke pendopo. Tampak dua orang
tua berbaju hijau tengah beranjak masuk..
Kedua orang tua berbaju hijau sudah sama2 ubanan rambutnya,
usianya sudah di atas setengah abad. Yang di depan berbadan
tinggi kurus, matanya tajam mengawasi Ling Kun-gi sambil mengulum senyum sinis, katanya: "Kau dapat menyambut pukulan kami berdua, kau memang tidak malu sebagai murid Hoanjiu-ji-lay".
Kakek berperawakan sedang di belakangnya segera
menyambung: "Di luar sini terlalu sempit, kalau mau bergebrak hayolah masuk saja, bila kau mau keluar dari sini, kau harus dapat mengalahkan kami tua bangka ini."
Bahwa orang sudah melangkah masuk, maka Kun-gi mundur
beberapa langkah, katanya dingin: "Kalian ingin bergebrak dengan Cayhe, boleh silakan saja."
Ternyata hanya dua kakek ini saja yang masuk, bayangan orang
lain tidak kelihatan, tapi di tempat gelap di luar sana jelas ada orang sembunyi yang siap menyergap.
Kakek tinggi kurus angkat sebelah tangan di depan dada, ia
menoleh kepada kakek berperawakan sedang, agaknya dia
memberi tanda bahwa mereka harus bersiap untuk turun tangan
bersama, sekali serang bunuh Ling Kun-gi dan habis perkara,
selanjutnya membereskan Ting Kiau dan Kongsun Siang.
Dengan gagah dan tabah Kun-gi tetap berdiri di tempatnya,
katanya sambil berpaling: "Kongsun-heng, Ting-heng, silakan mundur agak jauh."
Kakek kurus tertawa ter-kekeh2, katanya: "Ya, kalian harus menyingkir yang jauh supaya tidak tersapu roboh oleh angin
pukulan Lohu " "Wut", mendadaktangandidepandadanyaterusmenyodok.
Agaknya tenaga sudah terkerahkan sejak tadi, maka tenaga
pukulannya ini sungguh amat keras karena dilandasi kekuatan
Lwekang hasil latihan selama puluhan tahun. Kakek berperawakan
sedang tanpa bersuara berbareng iapun angkat sebelah tangannya


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengggempur punggung Kun-gi.
Kongsun Siang melompat maju sambil mencabut Ih thian kiam
yang tertancap di lantai, ejeknya: "Sudah sekian tahun lamanya Losunsiang-koay angkat namanya, tak nyana cara bertempurnya
juga main keroyokdancurang."
Begitu melancarkan pukulannya, si kakek berperawakan sedang
segera menoleh ke arah Kongsun Siang, serunya: "Kalau begitu marilah kau maju sekalian." Dengan jurus Hing-lanjianli (pagar melintang ribuan li ), tangan kirinya segera menepuk lurus ke arah Kongsun Siang.
Kun-gi tidak tahu siapa kedua lawannya ini. Tapi setelah
mengadu pukulan, dia tahu bahwa Lwekang kedua kakek amat
tinggi, melihat lawan menggempurnya bersama, serta merta dia
tergelak2, dua tangan bekerja sekaligus, ke depan dia menangkis kakek kurus ke belakang dia menolak gempuran si kakek sedang,
katanya: "Kongsun-heng mundurlah kau, aku sendiri cukup
menandingi mereka." Sebetulnya Kongsun Siang sudah kerahkan Lwekang untuk
menyambut pukulan kakek sedang, dengan kekerasan serta
mendengar seruan Ling Kun-gi, terpaksa dia bergerak menubruk
miringsepertiserigalamengegosdan menyingkirkesamping.
Lo-sanji-koay mengira betapapun tangguhnya Ling Kun-gi,
karena usianya masih terlalu muda, pasti takkan kuat menandingi gempuran mereka berdua.
Tak terduga dua jalur kekuatan hebat lantas menggencet dari
depan dan belakang. Mendadak segulung kekuatan lunak yang
tidak kelihatan timbul dari badan Ling Kun-gi, sekaligus gempuran dahsyat mereka sirna, malah sisa tenaga sendiri berbalik
menggempurdirisendiri. Keruantersirapdarahkeduakakekini.
Kata si kurus tinggi sanbil menatap Kun-gi: "Pada jaman ini, tokoh2 kosen yang mampu menandingi gempuran gabungan kami
berdua bisa dihitung dengan jari, engkoh kecil ini barusan
menggunakan ilmu apa, ternyata tetap segar bugar menghadapi
gempuran kami?" Sejak mendengar nama kedua orang tua adalah Lo-sanji-koay,
maka Kun-gi tahu bahwa kedua orang ini memang merupakan
pentolan lihay di kalangan hitam, kalau malam ini jika dia tidak kalahkan kedua musuh ini, dirinya bertiga pasti takkan bisa
menerjang keluar. Maka dengan sikap sinis diar balas tatap si
kakek kurus, katanya: "Ilmu silat di kolong langit ini masing2
mempunyai keistimewaan dan keunggulannya sendiri2, umpama
Cayhe menjelaskan, memangnya kalian berdua mengetahui"."
Kakek kurus menarik muka, hardiknya bengis: "Anak ingusan
yang masih berbau pupuk, bicaramu begini takabur!" Tangan
kanan terulur, kelima jari tangan bagai cakar baja tahu2
mencengkeram ke dada. Jurus Kim-hau-tam-jiau ( harimau
kumbang mencakar ) dilancarkan secepat kilat, kelima jari masing2
mengincar lima Hiat-to di tubuh Ling Kun-gi.
Sejak tadi Kun-gi sudah waspada dan ber-siap2, sekali tubuhnya
berkisar berbareng tangan ka-nan menabas miring, di tengah jalan dia balas menyerang, kelima jarinya setengah tertekuk terus
menangkap pergelangan tangan lawan yang menyerang dadanya.
Kim-liong-jiu yang dilancarkan inipun tak kalah cepat dan lihaynya, dengan badan berputar ini, disamping berkelit sekaligus dia balas menyerang.
Kakek sedang mengira dirinya memperoleh peluang, sekali
berkelebat dia menyelinap ke depan kiri Ling Kun-gi, telapak
tangannya terus menabas miring membelah pinggang Ling Kun-gi.
Begitu tangan mencengkeram dada lawan, si kakek kurus
merasakan juga Kun-gi melancarkan serangan yang sama dengan
memegang pergelangan tangannya, malah serangan lawan pakai
mengunci gerakannya, keruan ia kaget, lekas dia tarik tangan
kanan, berbareng tangan kiri mendorong keluar.
Dengan sendirinya cengkeraman balasan Kun-gi juga lantas
mengenai tempat kosong, tahu2 dirasakan si kakek sedang
membelah piggangnya, ia jadi gusar karena lawan main licik,
dengan tertawa ejek dia ayun tangan kiri menepuk ke arah lawan, Pada saat itu si kurus tinggi juga mendorong telapak tangan kiri, tanpa pikir tangan kanan Kun-gi bergerak juga menyongsong ke
depan. "Plak, plok," dua pukulan dari depan dan belakang sekaligus dia sambut dengan tepat, suaranya keras seperti ledakan, sampai
telinga Kongsun Siang berdua serasa pekak dan jantung berdetak.
Sebagai murid didik Hoanjiu-ji-lay si kidal, maka Ling Kun-gi pun sudah biasa menggunakan tangan kiri, apalagi dia menjadi gusar
menghadapi dua kali pembokongan kakek sedang, maka serangannya justeru dia titik beratkan pada telapak tangan kiri. Hoan jiu hud-hun (mengebut mega dengan terbalik) yang dilancarkan ini
semula tidak menimbulkan gelombang angin pukulan, tapi begitu
kedua pukulan masing2 saling gempur, baru timbul segulung
tenaga dahsyat dari telapak tangannya.
Setelah si kakek sedang menyadari betapa dahsyat tenaga
pukulan lawan , yang bisa menggetar hancur urat nadi sekujur
badannya, untuk mundur sudah tidak mungkin lagi, terpaksa dia
menyambut secara kekerasan, seketika dia rasakan isi perutnya
jungkir balik, darah bergolak di rongga dada. Lahirnya memang
tidak kelihatan perubahan dirinya, tapi urat nadi tergetar, darah mengalir balik, tersipu2 dia melompat mundur, mencari peluang
untuk mengerahkan hawa murni menenteramkan gejolak
darahnya. Melihat Ling Kun gi sanggup sama kuat menandingi pukulan
kerasnya, si kakek kurus semakin murka, sambil menggertak dia
mendesak maju terus menggenjot dan menjotos secara berantai.
Karena rangsakan sengit dan gencar ini, yang kelihatan hanya
bayangan pukulan tangan, dalam sekejap beruntun dia telah
lancarkan12 kalipukulan. Bukansajaserangannyasecepatkilatdan
sederas hujan badai, malah kekuatan pukulannyapun rasanya
dapat menghancurkan tembok besi, deru angin yang kencang
sungguh mengejutkan sekali.
Seluruh tubuh Ling Kun-gi terbungkus dalam bayangan pukulan
lawan, sehingga dia terdesak mundur dua langkah, kedua tangan
bergerak menyilang, menangkis dan menyampuk, dalam 12
pukulan gencar lawan, dia menyambut empat kali dengan keras,
sehingga rangsakan gencar lawan dapat ditandingi.
Dengan Cap-ji-lianhoanciang (atau ilmu pukulan berantai
duabelas kali) yang lihay ini, menurut dugaan si kakek kurus
semula Ling Kun-gipasti dapatdipukulnyarobohbinasaatauterlukaparah.
Tak tahunya Ling Kun-gi juga gunakan kedua tangannya secara
kekerasan dia sambut serangannya, beruntun adu empat kali
pukulan, delapan pukulan yang lain kena ditangkis dan
dipunahkan. Keruan semakin besar rasa kagetnya, batinnya: "Dia masih begini muda, bagaimana mungkin membekal Kungfu
setinggi ini." Dalam dua belas pukulan tadi Kun-gi mengadu empat kali
pukulan secara keras, mendadak bayangan kedua orang berpisah,
keduanya sama2 tersurut mundur dua langkah.
Mata si kakek sedang mendelik, bentaknya. "Bocah ini tidak boleh diampuni." Mendadak dia menerjang maju, kedua tangan bergerak mencecar Kun-gi dengan telapak tangan, kepalan dan
tendangan yang lihay. Karena dicecar bergantian oleh kedua lawannya, sudah tentu
Kun-gi gemas, serunya tertawa: "Kalian maju bersama, orang she Ling tetap dapat mengalahkan kalian." Di tengah kumandang
suaranya, permainan pukulannya mendadak berubah gencar keras
dan ganas, telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanan
menyerang secara bersilang. Lo-sansiang-koay termasuk jago
kosen kelas wahid dari golongan hitam, setelah beberapa gebrak
menghadapi perlawanan Ling Kungi, dalam hati mereka maklum
kalau cuma mengandal kekuatan seorang diri untuk merobohkan
Ling Kun-gi, jelas tidak mungkin, apalagi sebelum masuk tadi
mereka memang berniat menamatkan jiwa Kun-gi dengan
mengeroyoknya, maka setelah mendengar seruan saudarannya
tadi, si kakek kurus tinggi segera ter-bahak2, katanya: "Anak muda, syukurlah kau mampu menandingi kami." Sekali berkelebat, tahu2 ia sudah menubruk maju. "Wut, wut", dua kali puku-lan langsung dia menghantam dengan dahsyat.
Pukulan telapakan dan kepalan Ling Kun-gi dimainkan dengan
berbagai variasi sehingga kakek perawakan sedang kena di
desaknya mundur, sigap sekali dia membalik badan, kedua telapak tangan terangkap lalu didorong lurus menggempur dada si kakek
tinggi kurus, pukulan dengan kedua tangan ini sungguh bagai
gugur gunung dahsyatnya, angin pukulannya menggulung ke
depan menerjang si kakek kurus tinggi.
Entah betapa banyak jago2 kosen yang pernah dihadapi si
kakek kurus, tapi belum pernah dia saksikan apalagi menghadapi
pukulan sedahsyat yang dilancarkan Ling Kun-gi ini, Dia sudah
maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memang
ber-kepandaian tinggi, tapi tak terbayang olehnya bahwa Kungfu
Ling Kun-gi ternyata jauh diluar perhitungannya. Kalau dirinya baru melawan secara keras gempuran Lwekang yang dahsyat ini, maka
yang kuat akan menang dan yang lemah pasti binasa seketika.
sudah tentu si kakek kurus tidak mau mempertaruhkan jiwanya,
cepat dia menarik napas mengerahkan hawa murni, mendadak ia
melejit ke udara menghindari sambaran angin pukulan Ling Kun-gi.
Dalam pada itu si kakek perawakan sedang yang didesak
mundur oleh Kun-gi, melihat anak muda itu mendorong lurus
dengan kedua tangannya, tenaga pukulannya ternyata sedemikian
dahsyat dan jiwa saudaranya terancam. Tanpa peduli saudaranya
itu akan berkelit atau melawan dengan keras, dalam sekejap ini
jelas Ling Kun-gi tak sempat menghadapi serangan dirinya. Maka
hatinya senang sekali, tanpa bersuara segera dia menerjang maju, telapak tangannya kembali menggempur punggung Kun-gi.
Tak tahunya si kakek kurus tinggi ternyata tidak berani melawan secara keras dan melambungkan tubuhnya ke udara, karena
serangannya luput, dengan cepat tubuh Ling Kun-gi mendadak
berputar balik, tenaga pukulan kedua tangannya ikut dia tarik terus menghantam kesamping.
Tindakan Ling Kun-gi ini sungguh di luar dugaan si kakek
berperawakan sedang, malah tenaga pukulan yang menyapu tiba
cepatnya luar biasa, untuk berkelit jelas tidak sempat lagi, terpaksa dla kerahkan setaker Lwekangnya dengan kedua telapak tangan
melindungi dada, secara keras dia sambut serangan lawan.
"Bluk", di tengah benturan keras itu badan si kakek perawakan sedang tampak terpental jauh tersapu oleh pukulan Ling Kun-gi,
setelah terbanting jatuh badannya masih ter-guling2 pula, sesaat lamanya tak mampu berdiri, agaknya lukanya tak ringan. Kejadian berlangsung secepat percikan api, sementara itu si kakek kurus
yang melambung ke udara berhasil lolos dari gempuran Ling
Kun-gi, dari atas dengan jelas dia saksikan saudaranya tersapu
jatuh oleh Kun-gi. Padahal dirinyar sedang melambutng tinggi,
makaq dia kembangkanr kedua lengan baju dan melayang turun
kira2 setombak jauhnya, nafsu membunuhnya segera berkobar, ia
menubruk maju pula, dengan jurus Thay-san-ting (gunung
Thay-san menindihkepala), segeraiakeprukbatok kepala Ling Kungi.
Kun-gi tahu Lo-sanji-koay yang dihadapinya ini memiliki Kungfu
tinggi, ia menjadi tidak sabar lagi, segera ia melancarkan Mo-ni-in yang sakti. Ia pikir kalau musuh tidak dirobohkan, malam ini sukar bagi mereka bertiga untuk meloloskan diri dari sarang musuh,
maka Kun-gi tidak kepalang tanggung melancarkan ilmu sakti
simpanannya ini. Mo-ni-in tidak menimbulkan damparan angin kencang, tidak
menimbulkan gelombang kekuatan besar, gerakannya seperti
orang bergaya saja meluruskan telapak tangan ke atas, tapi justeru di sinilah letak intisari ilmu sakti aliran Hud yang tiada taranya, yaitu Tat-mo-ciang-hoat.
Si Kakek kurus mendadak merasakan telapak tangan Ling
Kun-gi yang menyanggah ke atas menimbulkan tekanan yang kuat
sehingga pukulan dirinya kena disanggah dan ditolak pula ke atas, ba-dannya yang menubruk maju tahu2 seperti terapung ke udara.
Kejap lain terasa pula tenaga pukulan yang dia kerahkan tahu sirna tak keruan paran oleh getaran membalik dari kekuatan lunak di
bawah, hawa murni tubuhnya serta merta ikut buyar pula, sampai
bernapaspun terasa sesak. "Bluk", kejap lain badannya telah terbanting di lantai, malahan sebelum badannya jatuh nyawapun
telah melayang. Dalam pada itu kakek berperawakan sedang juga sudah terluka
parah, melihat saudaranya jatuh tak mampu bangun berdiri,
kagetnya bukan kepalang, lekas dia merangkak bangun dan
berteriak kaget: "Lotoa, kau . . . . . " setelah memburu ke samping saudaranya baru dilihatnya kedua tangan saudaranya menekan
dada, biji matanya melotot, darah hitam meleleh dari ujung
mulutnya. Kiranya sudah mati karena urat nadi tergetar pecah.
Luluh perasaan kakek berperawakan sedang, air mata
bercucuran, tiba2 dia membalik dan melotot pada Ling Kun-gi,
desisnya sambil menggertak gigi: "Bocah keparat, keji amat kau membunuhnya."
Kun-gi menyeringai dingin, jengeknya: "Kenapa kau
menyalahkan aku, kalau tadi aku yang terpukul kalian, bukankah
aku yang binasa sekarang?"
Tanpa bersuara lagi, kakek berperawakan sedang memanggul
jenazah saudaranya terus melangkah keluar tanpa berpaling lagi.
Lampu kacapun seketika padam, pendopo kembali menjadi sunyi
dan gelap gulita, Pada kegelapan itulah dinding sebelah barat terdengar berbunyi
kertekan, agaknya terbuka sebuah pintu. Sementara Kongsun
Siang telah serahkan Ih-thian kiam kepada Kun-gi, katanya lirih: "Biar kulihat ke sana."
"Hadapilahsegala kemungkinan denganhati2,"pesan Kun-gi.
Seperti lazimnya serigala yang menubruk mangsanya,
mendadak Kongsun Siang menubruk masuk dengan lompatan dua
kali, dikala badannya hampir mencapai dinding sebelah barat,
mendadak "sretstet" dua kali jalur samberan angin. seperti ada dua orang menerjang masuk, Kongsun Siang mahir mendengarkan
suara, "cret" kontan pedangnya menusuk.
Dua orang yang melompat masuk kedalam ruang pendopo
ternyata memiliki kepandaian tinggi, dalam kegelapan iapun
ayunkan pedangnya. "Trang", sekali gerak ia sampuk pedang Kongsun Siang. Malah temannya yang lain tidak ayal pula,
pedangnya menderu menggaris ke tubuh Kongsun Siang.
Tatkala musuh yang pertama menyampuk pedangnya,
sementara tubuh Kongsun Siang sudah melangkah ke samping
depan sehingga babatanpedangorangkedua
mengenaitempatkosong. Bergebrak di tempat gelap hanya mengutama-makan ketajaman
pendengaran dan kelincahan, karena kedua musuh sama2
melancarkan serangan pedang, walau Kun-gi masih dalam jarak
enam tombak jauhnya, tapi segala gerak gerik musuh dapat
diikutinya dengan jelas. Waktu terjaring oleh jala berduri tadi lengan baju dan pundak
Kun-gi masih ketinggalan puluhan duri bergantol, selamanya dia
tidak pernah menggunakan senjata rahasia, tapi mengingat tujuan kali ini masuk ke sarang harimau, kalau hanya dengan bersenjata pedang saja lawan yang berjarak jauh takkan mampu dicapainya,
maka dia sengaja membiarkan saja duri2 itu tetap bergantung di
badannya, siapa tahu nanti berguna pada saat genting. Kini setelah dia mendengar posisi kedua lawan Kongsun Siang, segera dia
jemput duaduridan beruntundia menyentikduakali.
Muka terdengarlah suara jeritan kaget, agaknya seorang tidak
siaga dan kena jentikan duri itu tapi seorang yang lain cukup
cerdik, "tring", dengansigapdiapukul jatuhduriyang menyerangnya.
Diam2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ilmu pedang orang ini ternyata amat lihay."
Di kala dia berpikir inilah dari arah timur kembali terdengar
suara deru angin, ada orang melompat masuk pula. Ting Kiau yang berjagadisampingsana lantas menghardik:"Kena!"
Kipasnya seketika bergerak mengetuk pundak kanan pendatang
itu. Tapi orang itu sempat angkat pedangnya menangkis kipas
lempit Ting Kiau. "Bagus," seru Ting Kiau, beruntun kipasnya menyerang pula empat jurus.
Lawan tetap tidak bersuara, di bawah rangsangan gencar Ting
Kiau dia hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya, pedang
panjangnya menyampuk pergi datang memunahkan seluruh
serangan kipas lawan. Maka berulang kali terdengar suara
berdering benturan kedua senjata, empat jurus serangan Ting Kiau dapat dipatahkan seluruhnya oleh orang itu.
Dikala pertempuran berlangsung semakin sengit, terdengar
kesiur angin pula, beruntun masuk lagi dua orang menduduki
posisi di sebelah timur. Sementara dari pintu sebelah barat
melompat masuk empat orang lalu berpencar. Tapi orang2 yang
belakangan ini hanya berpeluk tangan belaka, tidak ikut terjun ke arena.
Dari suara napas mereka Kun-gi dapat mengikuti gerak gerik
mereka yang sudah berpencar ini menempati posisi tertentu
sehingga dirinya bertiga terkepung, diam2 ia membatin: "Agaknya secara diam2 mereka mengatur semacam barisan di tempat gelap."
Lalu dia kerahkan ilmu gelombang suara berkata kepada Kongsun
Siang: "Kongsun-heng, lekas mundur ke sampingku saja." Dengan cara yang sama dia panggil Ting Kiau pula.
Cepat sekali Kongsun Siang dan Ting Kiau sudah mundur ke
kanan-kirinya, Kongsun Siang bersuara lirih: "Ada petunjuk apa Ling-heng?"
"Mereka sudah membentuk semacam barisan, mungkin
sebentar akan mulai bergerak, kita hanya bertiga, maka jarak satu sama lain jangan terlalu jauh, kalau kekuatan terpencar menjadi lemah, maka kalian kusuruhkumpuldisini.
"Cong-coh, mereka membentuk barisan apa?" tanya Ting Kiau.
"Entahlah, orang mereka yang masuk berjumlah sepuluh
orang," kata Kun-gi.
Tengah bicara, mendadak dari pintu timur dan barat melangkah
masuk empat laki2 yang masing2 mengacungkan sebuah lentera,
mereka berpencar di empat penjuru pendopo. Maka ruang
pendopo menjadi terang pula seperti siang hari. Sesuai dugaan
Kun-gi, ke 10 laki2 maju mengelilingi arena.
Kesepuluh orang ini terdiri tua muda campur aduk, yang tua
sudah beruban rambut dan jenggotnya, yang masih muda berusia
sekitar 25-26 tahun, semua mengenakan seragam hijau dengan


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

potongan yang sama pula, di depan dada mereka tersulam naga
terbang. Di tangan masing2 menyoreng pedang panjang hitam
guram. Hanya ada seorang perempuan di antara ke sepuluh orang ini,
kain hijau membungkus rambut kepalanya, usianya sekitar 40-an,
wajah dan dandanannya mirip seorang inang yang kejam dan
kaku, kulit mukanya yang sudah keriput dibubuhi pupur tebal,
sebuah anting2 gelang sebesar buah kelengkeng tergantung di
kuping kirinya. Sepuluh orang berdiri berkeliling menjadi sebuah lingkaran, seorang tepat berada ditengah, agaknya pimpinan dari barisan ini. Dan orang yang berdiri ditengah ini adalah wakil
Tongcu Hwi-liongtong yaitu Tun Thiankhi. pedang lebar terhunus
ditangannya, dia berdiri di depan sambil bertolak pinggang.
Adiknya Tun Thianlay, termasuk satu di antara sembilan orang
yang lain, Agaknya Hwiliong-tong kali ini telah memboyong seluruh jago2 lihaynya, besar tekad mereka untuk membereskan Ling
Kun-gi bertiga. Anehnya Hwi-liong-tongcu sendiri yaitu Kim-kau-cian Nao Sam
jun tidak kelihatan batang hidungnya, bayangan Ui-liong tongcu Ci Hwi-bing juga tidak kelihatan.
Sebelum lampu menyala tadi Ling Kun-gi su-dah menarik
mundur Kongsun Siang dan Ting Kiau, kini mereka berdiri dalam
posisi segi tiga. Kebetulan Ling Kun-gi berhadapan dengan Tun
Thianki, sekilas sorot matanya menyapu, dengan angkuh dia
berkata: "Kukira kalian mau pamer barisan apa, ternyata saudara Tun pula yang unjuk gigi."
"Orang she Ling," seru Tun Thiankhi, "kau tahu barisan apakah ini?"
"Cayhe tidak perlu tahu barisan apa segala, yang penting aku
bisa mengobrak abriknya."
"Keparat sombong," teriak Tun Thiankhi, "kau mampu mengobrak-abrik Cap coat kiam-tin" Bila barisan betul2 sudah
kugerakkan, tanggung kepalamu akan terpenggal seketika, bukan
saja jiwa melayang, tubuhpun mungkin akan tercacah luluh"
Tanpa diminta dia sudah terpancing menyebutkan nama barisan
ini, yaitu Cap-coat-kiam-tin (barisan pedang top sepuluh). Mungkin ancamannya terlalu membual, tapi dari pernyataannya ini dapat
pula dinilai bahwa barisan pedang ini pasti memiliki kehebatannya yang tidak boleh di pandang enteng. Apalagi kesepuluh orang
pelaku2 barisan ini semua memiliki Lwekang yang sukar diukur
tingkatannya sorot matanya tajam, pedang terpeluk di depan dada, mereka berdiri tegak sekukuh gunung, sekilas pandang orang
sudah akan maklum bahwa mereka adalah ahli2 pedang yang
berkepandaian tinggi. Terutama Tun Thianlay, sebagaikomandanrondaHwi-liong-tong,
kedudukannya saja tidak rendah, tapi dia toh merupakan satu saja di antara ke 10 orang ini, bukan karena jabatannya sebagai
komandan ronda lantas dia harus lebih di agulkan. Dari sini dapat pula disimpulkan bahwa sembilan orang yang lain mempunyai
jabatan yang sejajar dengan komandan ronda. Bagi setiap insan
persilatan kalau dia ingin angkat nama maka dia harus memiliki
kepandaian sejati. Bahwa 10 orang ini terpilih dan ikut dalam Cap coat kiam-tin, maka tak perlu disangsikan bahwa mereka memang
jago2 kosen kelas wahid dari Hwi-liong-tong. "Orang she Ling,"
bentak Tun Thianlay, "kalau sekarang kau buang pedang dan
menyerah masih sempat menyelamatkan jiwamu." Dia tetap
menghendaki Ling Kun-gi menyerah.
"Agaknya kau yang menjadi pemimpin Cap-coat-kiam-tin,"
demikian kata Kun-gi sambil menatap Tun Thiankhi, kukira tak
perlu banyakbicaralagi, silakan mulai gerakkan barisanmu."
"Kalau barisan bergerak, umpama kau tumbuh sayap juga
jangan harap bisa lolos," jengek Tun Thiankhi.
Kun gi tertawa, katanya: "Kalau aku ingin lari, buat apa harus kuluruk ke Hwi-liong-tong sini."
Tun Thiankhi mendengus, pedang lebarnya terayun ke atas
terus membelah lurus ke arah Ling Kun-gi. Bacokan pedangnya ini ternyata merupakan aba2 pula bagi barisan pedangnya. maka
barisanpun segera bergerak, sepuluh batang pedang hitam
serentak menyerang ketengah dari arah posisi masing2. Hawa
pedang segera menimbulkan kesiur angin dingin.
"Awas, hadapi musuh dengan hati2," bentak Kun-gi.
Gerakannya sebat luar biasa, Ih-thiankiam dia pindah ke tangan
kiri, bayangannya tiba2 menyerobot ke sebelah kiri dengan jurus Tianghong-toh-yam, dari kanan menyapu ke kiri. Sedang tangan
kanan mengeluarkan pula Seng-ka-kiam yang pandak, dengan tipu
Yantiau thian ka, ujung pedangnya menutul ke arah pedang lebar
Tun Thiankhi. Serempak pedang Kongsun Siang dan kipas Ting Kiaupun sudah
bergerak, tapi sapuan pedang Kun-gi ke arah kiri laksana mata
rantai yang kuat paling tidak lima batang pedang musuh di sebelah kiri telah kena dibendungnya.
Agaknya Tun Thian khi tidak ingin berhantam secara keras
dengan Ling Kun-gi, di tengah jalan gerak pedang lebarnya
berubah, sekali mundur lalu dilancarkan pula, kali ini menusuk iga kiri Kun-gi.
Sekaligus Kun-gi menangkis, serangan lima orang musuh,
cahaya Ih-thiankhiam mencorong terang, pedang bergerak dari
atas ke bawah dengan tipu Sinliong-wi-thau (naga sakti berpaling kepala). "Trang", kembali dia tangkis pedang lebar Tunthiankhi.
Tak berhenti sampai di sini, badannya ikut bergerak dari kiri ke kanan, pedang pandak di tangan kanan menyerang dengan jurus
Liong jiau-hoathun (cakar naga menyingkap mega), cahaya hijau
kemilau sekaligus mendesak tiga orang di sebelah kanan,
pedangnya itu memancarkan cahaya menyilaukan, di bawah
landasan Lwekangnya yang tinggi lagi, maka perbawanya hebat
luar biasa, tiga orang di sebelah kanan dipaksa melompat mundur.
Sekali gebrak, delapan musuh dari Cap coat-kiam tin telah
dibikin kerepotan. Seorang kakek ubanan di sebelah kanan tam-pak membentak
gusar: "Cepat juga bocah ini ber-gerak."
Di tengah suara bentakannya, mendadak dia melompat ke atas,
sinar pedang berkelebat, beruntun dua jurus dia mencecar Ling
Kun-gi. Seorang lagi membarengi menerjang maju, pedangnya
menusuk perut. Pedang pandak Kun-gi cepat menyampuk ke kanan, sedikit
menggetar pedang, hawa pedang di sertai kemilau cahayanya
mengelilingi badan, sekaligus dua serangan lawannya kena
dibendungnya di luar lingkaran.
Melihat betapa tangkasnya Ling Kun gi, bertambah murka Tun
Thiankhi, sembari menggerung, lengan kanan terangkat, pedang
lebarpun menggaris sebuah lingkaran di tengah udara, berbareng
dia menubruk maju, sejalur bayangan hitam tahu2 membelah ke
batok kepala Ling Kun-gi.
Karena gerak lingkaran pedang lebarnya ini maka ke10 pelaku
Cap-coat-tinmendadak bergerak saling pindah tempat, setiap kali melangkah pindah tempat pasti menusuk sekali. Begitulah secara
bergantian 10 orang terus saling berganti posisi disertai pula
tusukan pedang mereka. Hal ini menimbulkan perubahan yang amat gawat bagi Kun-gi
bertiga. Karena setiap berubah posisi, ke10 orang itu pasti
menusuk sekali, malish setiap tusukan pedang mengincar Hiat-to
mematikan yang harus di selamatkan sebelum sempat balas
menyerang, tapi begitu kau menangkis dan balas menyerang,
lawan sudah melompat pergi ke tempat lain, sementara pedang
orang lain segera ganti mengancam Hiat-tomu. Lebih hebat lagi
ka-rena ke10 orang ini semua adalah ahli pedang yang memiliki
kepandaian tingkat tinggi, setiap ju-rus ilmu pedang yang mereka lancarkan memiliki keistimewaannya sendiri2, ada yang lincah, ada yang bertenaga kuat, ada pula yang menyerang secara enteng dan
ganas, seperti main sulap saja, gerakkannya sukar diikuti mata.
Baik serangan lincah, berat, ganas atau serba membingungkan,
yang jelas setiap jurus serangan mereka ini semuanya lihay
mematikan. Barisan pedang ini terus bergerak secara serempak berganti
kedudukan, cara kerja sama dalam menyerangpun amat serasi,
sungguh menakjubkan dan amat mengagumkan.
Lawan yang terjatuh ke dalam lingkaran barisan, betapapun
tinggi kepandaian silatnya, dalam situasi seperti ini pasti kerepotan setengah mati, tangkis sana tak sempat membendung serangan
yang lain, serba terdesak. Empat lentera yang menerangi pendopo cukup benderang, bayangan orang melulu yang tampak
berseliweran di tengah desir angin pedang, hakikatnya sukar
membedakan wajah orang lagi.
Deru samberan angin pedang begitu kencang, tapi tak pernah
terdengar suara dering pedang sa-ling beradu. Maka dapatlah
dibayangkan betapa hebat dan berbahaya keadaan Ling Kun-gi
bertiga. Tun Thian khi merupakan kunci atau poros dari barisan ke
sepuluh jago pedang ini, dia pun mengikuti gerak barisan, bersama dengan sepuluh orang yang lain bergerak berpindah posisi, lompat sana menyelinap kemari, cuma gerak-geriknya lebih leluasa dan
bebas tidak terikat oleh gerakan serempet kawannya. Sehingga
setiap gerakannya bukan saja tidak menjadi penghalang dan
rintangan para teman2nya, malah selalu memberi peluang dan
memudahkan sepuluh orang ahli pedang itu melancarkan
serangannya. Apalagi setiap perkembangan perlawanan musuh
selalu berada dalam pengawasannya, kemanapun bergerak yang
diperhatikan hanya Ling Kun-gi saja, gaya permainan pedang lebar ditangannya kelihatan amat sederhana, tapi yang benar setiap
jurus pedangnya selalu dapat kerja sama dengan ke sepuluh
pedang temannya. Thiansan kiam-hoat memang amat sederhana, setiap tusukan
tampaknya hanya serangan yang sepele, lugu dan tidak main
gertak, tapi Ling Kun-gi justeru harus tumplek perhatiannya lebih banyak untuk melayani serangannya daripada memecah sisa
perhatiannya untuk menghadapi rangsakan pedang ke10
musuhnya. Sungguh pertempuran yang cukup sengit, hebat dan dahsyat,
pertempuran yang adu tenaga, dan pikiran tapi juga pertempuran
adu kecerdikan. Selama Kun-gi mengembara, baru pertama kali ini dia menghadapi pertempuran sengit dan amat memeras
keringatnya seperti sekarang ini. .
Sebelas pedang hitam yang dilumuri racun jahat berkelebat kian
kemari menimbulkan lapisan angin kencang yang selalu menerjang
ke tengah lingkaran. Terpaksa Kun-gi peras segala
ketangkasannya, dengan pedang panjang-pendek ditangan, dia
menggaris dua lintang membujur miring, cahaya pedangnya
tampak kemilau terang menyilaukan, sekuat tenaga dia bendung
seluruh rangsakan musuh. Bukan saja ia harus perhatikan
perubahan permainan barisan lawan, langkah kakinya harus selalu berkisar dan pindah kedudukan, serangan setiap pedang dari
segala arah yang beraneka tipu dan jurusnya, malah iapun harus
pusatkan pikirannya untuk menghadapi Tun Thiankhi.
Tun Thian khi bersikap dingin kereng dan juga kejam, terutama
ilmu pedangnya yang kelihatan sederhana dan tumpul, tapi
hakikatnya mengandung tipu daya yang amat keji, gerakan
pedangnya mantap dan berat, tapi mengandung variasi perubahan
yang lincah dan enteng, agaknya dia betul2 sudah mem-peroleh
intisariajaran Thiansankiam-hoat.
Sudah tentu yang membuat Kun-gi kuatir adalah keselamatan
Kongsun Siang dan Ting Kiau. Kalau bertanding satu lawan satu,
dengan bekal kepandaian silat kedua rekannya ini, kiranya cukup untuk menandingi setiap musuh, tapi di tengah kepungan la-wan
yang selalu berkisar dan hanya kelihatan ba-yangan yang
berlompatan kian kemari, maka Kun-gi harus membantunya pula
membendung serangan musuh untuk menyelamatkan mereka.
Pertempuran berjalan sedemikian rupa dahsyatnya sehingga
terasa bagai langit mendung dan bumi gelap, sinar pedang dan
deru angin bergolak laksana gempa bumi.
Keempat laki2 yang membawa lampu sebagai penerangan
dalam pendopo ini terdesak mundur mepet dinding.
Kun-gi kembangkan ilmu pedangnya dengan seluruh
kemampuannya, setelah puluhan jurus, dia lantas merasakan
gejala yang tidak menguntungkan pihaknya.
Perlu diketahui bahwa dari gurunya dia memiliki bekal berbagai
macam ilmu sakti, ilmu simpanannya itu sebetulnya bisa
dikembangkan dengan kombinasi ilmu pedangnya, tapi sekarang
kedua tangan harus pegang pedang serta menghadapi rangsakan
musuh, hakikatnya tiada kesempatan bagi dia untuk mengembangkan ilmu saktinya. Umpama Hwi-liong-sam-kiam dengan
jurusnya yang bernama Liong-jan in (naga bertempur di tegalan), ilmu pedang yang khu-sus untuk menghadapi keroyokan musuh
banyak tapi karena Kongsun Siang dan Ting Kiau ada di
sampingnya, sulit baginya untuk mengembangkannya, Dia yakin
asal sebelah tangannya dapat bekerja secara semestinya, dua atau tiga musuh pasti dapat dia robohkan, tapi keadaan sekarang amat mendesak, tak mungkin dia melepaskan salah satu dari kedua
pedang pusakanya. maka sekarang pedang, di tangan kiri digunakan melindungi
badan, sementara pedang di tangan kanan bantu Ting Kiau
bertahan, lalu bergantian dengan pedang ditangan kanan
melindungi badan sendiri, pedang di tangan kiri menyampuk
pedang musuh untuk menolong Kongsun Siang.
Sejauh ini pertempuran berlangsung, keadaan Kongsun Siang
dan Ting Kiau betul2 sudah payah, mereka benar2 mengharapkan
bantuan, untung Kun-gi telah bantu membendung sebagian besar
serangan musuh, kalau tidak sejak tadi pasti mereka sudah
terkapar tak bernyawa lagi.
Barisan pedang musuh memang lihay, tapi kipas lempit Ting
Kiau masih bergerak dengan tangkas juga, tangkis kiri sampuk
kanan, keadaannya sudah terdesak dan hanya mampu
mempertahankan diri belaka, sudah tentu hatinyapun gugup dan
gelisah. Maklumlah di dalam rangka kipas besinya itu ada tersimpan
jarum2 berbisa, bila dia memperoleh sedetik peluang membuka
lebar kipasnya, jarum2 berbisa akan segera memberondong keluar, paling tidak beberapa musuh pasti akan dilukai, sayang selama ini keadaannya amat gawat, tak pernah dia memperoleh kesempatan,
kalau situasi begini ber-langsung lebih lama tentu jiwa mereka
akan terancam. Kun-gi cukup paham, Kongsun Siang dan Ting Kiau juga
maklum, tapi cara bagaimana mereka harus mengubah posisi dan
merebut situasi" Sukar untuk mengatakannya. Beberapa gebrak
telah berlangsung pula, Kun-gi betul2 sudah kerahkan segala daya kemampuannya, tapi barisan pedang musuh justeru semakin rapat
dan ketat, serangannya terang makin berat dan gencar.
Semula Kun-gi bertiga berdiri dalam formasi segi tiga dalam
jarak cukup rapat, karena tekanan barisan pedang musuh terasa
semakin berat, mereka semakin mundur dan jarak mereka tinggal dua tiga
kaki. Apalagi seorang harus bertahan untuk melindungi jiwa tiga orang, sedikit lena satu di antara mereka bertiga akan roboh
binasa. Jelas keadaan gawat ini tidak boleh berlangsung terlalu lama.
Di tengah pertempuran sengit itu, mendadak Ting Kiau
berteriak: "Cong-coh, tolong kau bantu aku menahan musuh."
Sembari berkaokkaki Ting Kiau lantas menyurut mundur.
Sudah tentu Kun-gi kaget, Seng-ka-kiam di tangan kanannya
segera menyapu dengan tipu Hing-lanjianli (pagar membentang
ribuan li), selarik cahaya hijau segera menggulung ke depan,
berbareng dia bertanya: "Ting-heng apakah kau terluka?"
Daya-pedangnya yang menyapu ini sungguh hebat sekali,
sedikitnya empat batang pedang musuh yang mengancam tubuh
Ting Kiau telah dipatahkannya di tengah jalan.
Mendengar teriakan Ting Kiau, Tun Tiankhi mengira
memperoleh kesempatan baik, begitu Ling Kun gi menyapukan
pedang tangan kanan, segera ia berkelebat maju tepat berhadapan dengan Kun-gi, pedang lebarnya dengan deru angin yang keras
menusuk ke dada, seranganterjadisecepatkilat menyambar.
Sementara itu pedang Kun-gi berhasil mematahkan empat
pedang musuh, iapun mendapat jawaban Ting Kiau yang lagi
beringas: "Hamba baik2 saja' Belum lenyap teriakannya, kipasnya tiba2, menjeplak terbuka dibarengi suara menjepret, serumpun
jarum2 halus bagai bulu kerbau segera menyambar ke depan
mengarah orang2 yang berada di depannya.
Kun-gi tidak kira bahwa Tun Thiankhi dapat menyelinap maju
sedemikian cepat dan tangkas, untuk memutar pedang membela
diri jelas tak keburu, sementara pedang lebar lawan sudah satu
kaki di depan dadanya, jangankan Ih-thiankiam panjangnya empat
kaki, sementara Seng-ka-kiam yang pendek juga ada dua kaki
panjangnya, untuk di-tarik balik menangkis jelas tidak mungkin.
Sekilas darahnya tersirap, menghadapi bahaya timbut hasrat nekat menyerempet bahaya, jari2 tangan kanan yang menggenggam
pedang tiba2 sedikit mengendur, jari tengah mendadak menjentik
ke bawah pedang panjang musuh. Yang dilancarkan ini adalah Itcay-siankang (selentikan jari sakti), sejalur angin selentikan yang keras seketika menerjang ke depan "Creng", tepat pedang lebar lawan kena diselentiknya sehingga mental ke samping. Pada saat
yang sama di tengah gelak tawa Ting Kiau yang beringas,
terdengar pula gerungan gusar dan jeritan yang menyayat hati.
Yang tertawa beringas adalah Ting Kiau yang berhasil
menyambit serumpun jarum2 berbisa. Yang menggerung gusar
dan menjerit kesakitan adalah empat orang baju hijau yang
keempat pedang mereka kena disampuk pergi oleh pedang Ling
Kun-gi. Dua orang sempat melihat bahaya, sembari menggerung


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gusar mereka putar pedang bagai kitiran sambil melompat mundur, celakalah dua temannya yang melompat maju belakangan, baru
sa-ja mereka menempati posisi, tahu2 jarum Ting Kiau sudah
memapak mereka, untuk menangkis tidak mungkin, berkelitpun
tidak bisa, kontan mereka menjeritngeridanrobohbinasa.
Mendengar gerungan gusar dan jeritan ngeri apalagi pedangnya
terjentik miring lagi, keruan Tun Thiankhi kaget setengah mati, hampir saja dia tak kuasa memegang pedangnya lagi.
Bahwa jentikannrya berhasil mematahkan serangan musuh,
Kungi segera kerjakan kedua tangannya, dengan mengembangkan
Taybeng-jance (burung galak mengembang sayap), dua larik sinar
pedangnya, tiba2 bercerai ke kanan-kiri menyapu dan dibarengi
tendangan kaki menggeledek ke arah depan dengan tipu To-sing
to, Ling Kun-gi menendang sambil mengapungkan badan ke udara.
Karena pedang tersampuk miring sehingga dada Tun Thiankhi
terbuka, sementara jarak mereka sedemikian dekat, untuk berkelit sudah tidak mungkin lagi. "Blang", dengan telak tendangan Kun-gi tepat mengenai dadanya, mulut menguak keras, badan seketika
mencelat melampaui kepala orang banyak sambil menyemburkan
darah dan ter-banting keras di luar arena, napasnya putus
seketika. Dua orang roboh binasa terkena jarum berbisa, Tun Thiankhi
yang pegang kendali dan menjadi pimpinan barisan Cap-coat-kiamtin ini juga binasa ditendang Ling Kun-gi, pelaku2 barisan yang lain tidak tahu kalau Tun Thiankhi sudah putus napas, dikala
pertempuran memuncak begini sengit dan seru mendadak terjadi
perubahan fatal, keruan barisan pedang menjadi kalang-kabut
Sejak mulai gebrak Kongsun Siang selalu terdesak di bawah
angin, betapa gusar dan penasarnya sungguh tak terkatakan, kini melihat ada peluang, mendadak dia menggertak keras, segera ia
menubruk maju, pedangpun bekerja. "Creet", seorang baju hijau kena ditusuk iga kirinya, agaknya amarahnya betul2 memuncak,
begitu ujung pedang ambles ke iga lawan, menyusul teras dipuntir, seketika orang itu menjerit ngeri, dadanya berlobang besar dengan tulang iganya terpapas kutung seluruhnya.
Berhasil menendang roboh Tun Thiankhi, su-dah tentu
semangat tempur Ling Kun-gi bertambah besar, sekali ayun tangan kiri, Ihthiankiam memancarkan cahaya kemilau menggulung
kedepan, empat orang baju hijau tepat berada di depannya. Baru
saja tangan kiri Kun-gi bergerak, tangan kanan dengan pedang
pandak bergerak pula, ditengah kemilau cahaya pedangnya
memancarkan bintik2 sinar yang dingin. Kiranya Ling Kun-gi telah kembangkan jurus Hingho-liu-sa dari Tat-mo-kiam hoat yang
hebat. Empat orang berbaju hijau di depannya itu menjadi mati kutu
menghadapi gerakan kedua pedang Ling Kun-gi, untuk
menangkispun tak mampu lagi, terpaksa mereka mundur tiga
langkah. Bahwa kedudukan barisan sudah goyah, para pelakunya
juga sama berguguran lagi, maka Cap-coat-kiam-tin itu semakin
kacau, kini keempat orang inipun terdesak mundur, maka pecahlah barisan pedang kesepuluh orang yang amat dibanggakan
kedahsyatannya oleh Hek-liong-hwe itu.
Beruntun dua kali gerakan pedang Ling Kun-gi menahan
keempat orang, Ting Kiau dengan kipas lempitnya juga mencegat
seorang lawan dengan permainan kipasnya yang lihay. Di sebelah
kiri Kong-sun Siang dengan gerungan mirip serigala kelaparan
mengembangkan Thianlong-kiam-hoat, seluruh kekuatan dia
kerahkan, badan bergerak setangkas 'serigala mencari mangsa di
tengah gerombolan kambing", sinar pedangnya timbul selulup, dua orang musuh kontan dirobohkan. Cap-coat-kiam-tin yang dibentuk
dengan mengutamakan saling bantu, ber-pindah2 posisi serta
saling isi dari para pelakunya yang memiliki kepandaian ilmu silat beragam itu, kini sudah tercerai-berai menjadi tiga kelompok
pertempuran yang berjalan sendiri2, terpaksa mereka kini harus
mengandal kekuatan sendiri untuk mengadu jiwa.
Melihat Cap-coat-tin sudah pecah, semakin berkobar semangat
tempur Kun-gi, segera ia berteriak lantang: "Kongsun-heng, Tingheng, tahan dan kurung mereka, jangan lepaskan satupun di
antara mereka." "Sret", beruntun tiga kali gerakan pedang Ling Kun-gi memancarkan cahaya pedang kemilau membendang empat orang
berbaju hijau yang mencoba berpencar, tiba2 pedang pandak di
tangan ka-nannya dia tusukan ke bawah tanah sehingga tangan
kanannya sekarang tidak bersenjata.
Terdengar seorang kakek diantara musuh itu menggerung
gusar, bentaknya: "Bocah keparat she Ling, kau kira kalian sudah pasti menang?"
Mendadak ia menerobos maju, pedang menu-suk lurus ke
depan. Pedang itu berwarna hitam gelap menimbulkan deru angin
yang keras. Kun-gi tahu kakek ubanan ini berkepandaian paling tinggi di
antara empat lawan yang ditahannya, karena dia pikir harus
secepatnya mengakhiri pertempuran di sini, maka timbul niatnya
melenyapkan orang ini lebih dulu, segera ia membentak:
"Sebutkan namamu agar dapat kunilai apakah setimpal aku
merenggut jiwamu?". Berbareng tangan kanan bergerak menepuk sekali, segulung
tenaga lunak tak kelihatan menyong-song tusukan pedang lawan,
tusukan pedang si kakek ternyata kena di tahannya dan membelok
ke samping. Terkesiap si kakek, dia tarik tangannya, pedang dia tarik
mundur, tapi secepat kilat dia tusukkan pula lebih keras, mulutpun menghardik:" "Lohu He Ho-bong adanya!"
"O, kiranya kau inilah Jit-poh-tui-hun (tujuh langkah mengejar sukma)", jengek Ling Kun-gi dingin."iblis laknat dari kalangan jahat yang membunuh mangsanya tak pernah berkedip. Bagus sekali,
kedua tanganmu sudah berlumuran darah, dosamu keliwat
takaran, hariinitak dapatkuampuni jiwamu."
Sambil bicara dia luruskan lengan kanan ke depan, pelan2
telapak tangannya menepuk.
He Ho-hong menjadi gusar, damperatnya: "Bocah keparat,
jangan kau . . . . " sebetulnya dia hendak bilang "jangan kau takabur", tapi kata2 yang terakhir belum sempat dia ucapkan, mendadak rona mukanya berubah hebat. Duk duk duk, tiba2 ia
tergentak mundur beberapa tindak, mulut terbuka darahpun
menyembur, pelan2 badannya roboh tersungkur.
Sudah tentu kaget dan ngeri ketiga temannya menyaksikan
kawannya gugur, satu di antaranya tiba2 menghardik kalap:
"Hayolah kita adu jiwa dengannya!" Tiga batang pedang segera menyambar ke depan dengan berbagai tipu ilmu pedang masing2.
Tangan kiri Kun-gi berayun beberapa kali, Ih-thiankiam
memancarkan sinar terang, bukan saja serangan lawan dapat
dipunahkan, malah badan ketiga lawan seolah terbungkus dalam
sinar pedangnya, Kun-gi lantas membentak: "Kali-an bertiga satu persatu sebutkan nama sendiri2, ingin kutahu apakah kalian
penjahat yang pantas dihukum mati atau tidak?" Tangan kirinya mengembangkan Tat-mo-kiam-hoat, inilah ilmu pedang pelindung
Siau-lim-si, setelah digubah oleh Hoan jiu ji-lay, kini
dikbembangkan Ling dKun-gi dengan taangan kiri, terbnyata
perbawanya jauh lebih meyakinkan.
Dalam sekejap saja ketiga musuh sudah terbungkus oleh cahaya
pedang yang menyilaukan, lama2 mereka menjadi pusing tujuh
keliling, mata berkunang2, meski sudah terdesak dan terancam
jiwanya, tapi ketiga orang tetap bandel, mereka tetap putar
pedang melawan dengan nekat.
Akhirnya Kun-gi menjadi tidak sabar, katanya sambil
mendengus: "Kalian tidak mau mengenalkan diri, jelas durjana kejam kelewat takaran dosanya dan pantas dihukum mati." Belum habis ucapannya, pedang panjang ditangan kanan sudah
melancarkan tiga kali serangan, dia tahan serbuan bersama ketiga musuh, berbareng sebelah kakinya menyurut mundur, tangan
kanan terangkat, kembali dia menepuk sekali, yang diincar adalah laki2 yang bermuka jelek dengan daging besar menonjol di
mukanya. Sudah tentu laki2 muka buruk ini kaget dan ketakutan,
sekuatnya dia putar pedang melindungi badan, tapi Mo-ni-in yang dilancarkan Ling Kun-gi mana bisa ditahan oleh daya putaran
sebatang pedang. Ia menggerung tertahan, pedangnya terlempar,
badan terhuyung dan akhirnya roboh tersungkur.
Dalam beberapa gebrak saja dua orang di antara empat lawan
telah digasak binasa, sudah tentu dua orang yang masih sisa hidup menjadi kaget dan ketakutan, serempak mereka menyerang
beberapa kali, begitu menyurut mundur, sigap sekali mereka putar badansambil melompatberpencarkeduaarahdanlarikeluar.
Kun-gi melotot gusar, serunya: "Kalian ingin lolos dari tangan orang she Ling, memangnya begini mudah?" Tangan kanan
mencabut Seng-ka-kiam yang menancap di tanah, sekali timpuk
dia sambitkan pedang pandak itu ke arah punggung orang baju
hijau yang tengah berlari ke arah pintu batu.
Begitu pedang pandak terlepas dari tangan, segera iapun melejit tinggi mengudak ke arah orang berbaju hijau yang lain.
Mimpipun orang yang lari ke arah kanan tidak pernah menduga
bahwa Ling Kun-gi akan menimpuknya dengan pedang pandak
seperti lembing, ketika dia mendengar samberan angin kencang,
untuk berkelit sudah tidak keburu lagi. Di tengah teriakan kejutnya, tahu2 Seng-ka-kiam telah menusuk punggung dan tembus keluar
dada, orang itu masih lari beberapa langkah baru kemudian
tersungkur mampus. Seorang lagi lari ke arah berlawanan, ia
sedang girang karena dirinya hampir mencapai pintu, mendadak
pandangannya menjadi silau oleh berkelebatnya cahaya kemilau,
Kun-gi ternyata sudah menukikturun mengadangdidepannya.
Sekilas kaget segera orang itu mengayun tangan kirinya,
segulung asap tebal tiba2 menyembur keluar, sementara pedang di tangan kanan menyerang dengan jurus "mendorong perahu
mengikutiarusair", dada
Kun-gi ditusuknya, malah sambil menyeringai seram dia
mendamperat: "Anak bagus, kau terlalu pandang rendah diriku, si
"pedang dalam kabut" ini."
Bu-tiong-kiam atau "pedang dalam kabut" cukup menyeramkan juga julukannya ini, dapat pula kita bayangkan betapa kejamnya
orang ini, pastilah dia gembong penjahat yang sudah kelewat
takaran kejahatannya. Asap itu kalau bukan mengandung obat bius tentu mengandung
racun, tapi Kun-gi tidak takut racun tidak gentar obat bius, dengan tegap dia tetap berdiri di tengah pintu, tangan kanan terangkat, dengan jari telunjuk dan jari tengah dia jepit ujung pedang lawan yang menusuk dadanya itu.
Bahwa pedangnya kena dijepit jari2 Ling Kun-gi, tapi Bu-tiongkiamtidak kelihatankagetdangugup, dia hanyamenyurutsetengah
tindak, sebelah tangan terangkat serta mengulap, katanya tiba2
sambil menyeringaisaja: "Anak muda, robohlah, robohlah!'
Kun-gi tetap berdiri, tak bergeming, jengeknya: "Kau kira asap racunmu dapat merobohkan aku orang she Ling" Nah pergilah
kau!" Pedang yang dia jepit dengan kedua jarinya mendadak dia dorong ke depan.
Melihat Kun-gi tidak roboh seperti yang dia harapkan, Bu-tiongkiam sudah mulai jera, belum lagi dia lepas pedang dan hendak
melompat mundur, tahu2 gagang pedang sendiri yang
dipegangnya telah tergentak mundur oleh dorongan Kun-gi dan
"duk" dengan telak menyodok dadanya, tanpa mengeluarkan, suara pelan2 dia sendiri yang roboh terjiengkang malah.
Sementara itu musuh yang dihadapi Ting Kiau adalah Tun
Thianlay, komandan ronda Hwi-liong-tong.
Senjata yang dipakainya adalah pedang panjang dan lebar,
Thiansankiam-hoat yang dia mainkan tampak begitu mahir, meski
dia tidak memiliki Lwekang sekuat engkohnya, Tun Thianki, tapi
dalam gerakan yang amat sederhana itu, mengandang banyak
perubahan yang tidak kalah lihaynya, malah setiap gerak tipu
serangannya tidak tanggung2 dan cukup keji.
Sementara kipas Ting Kiau kadang2 terbentang dan tahu2
mengatup, kalau terbentang laksana kampak besar, membelah
tegak atau membabat miring, deru anginnya cukup keras mengiria
kulit. Kalau kipas dilempit merupakan tongkat besi sepanjang satu kaki peranti menutuk dan menyodok, di samping untuk mengincar
Hiat-todapatpulauntuk melukaisetiapanggotabadan lawan.
Di antara babak pertempuran yang terus berlangsung sengit ini
adalah Kongsun Siang yang mengalami tekanan paling berat.
lawannya dua orang, seorang berusia 40-an, berjambang pendek,
permainan ilmu pedangnya lebih mirip ilmu golok, pedangnya yang berat itu lebih sering membacok dan membabat.
Seorang lagi adalah satu2nya perempuan di dalam barisan Cap
coat kiam-tin, usianya sudah lebih 40, tapi mukanya masih
mengenakan pupur tebal dan gincu yang berwarna menyala,
kupingnya dihiasi sepasang anting2 gelang sebesar telur ayam,
anting2 besar ini gondal gandul mengikuti gerak permainan senjata di tangannya, kecuali pupur, gincu dan anting2 dikupingnya itu
orang sukar menemukan ciri2 perempuan pada badannya yang
kekar besar ini. Tapi ilmu pedangnya ternyata lincah, cekatan,
ganas dan keji, segala sifat buas yang ada pada binatang seolah2
tercakup seluruhnyadi dalampermainanpedangnya.
Cukup payah dan memeras keringat juga Kongsun Siang
menghadapi kedua lawannya ini, tiga orang dalam formasi segi tiga sedang seorang menyerang dengan sengit selama puluhan gebrak,
meski belum tampak kalah, tapi juga belum ada tanda2 Akan dapat mengungguli kedua lawannya.
Si baju hijau yang berpedang dengan gaya permainan ilmu
golok agaknya tidak sabar lagi, dengan menggerung gusar tiba2
pedangnya berputar kencang, tampak bayangan gelap ber-lapis2,
laksana gelombang menggulung tiba.
Sejak tadi Kongsun Siang sudah berusaha menghindari benturan
senjata dengan lawan, dalam keadaan kepepet seperti sekarang
ini, umpama dia berusaha untuk menghindar lagi juga sudah tidak keburu lagi. Maka terdengarlah dering nyaring memekak telinga
dari benturan dua senjata yang bentrok secara keras, Kongsun
Siang merasa telapak tangan sendiri tergetar pegal dan pati rasa, beruntung dia mundur dua langkah, tiba2 sebuah hardikan
mengguntur di pinggir telinganya, perempuan baju hijau di
sebelahnya telah menubruk maju sambil memutar pedangnya
laksana angin lesus menggulung mangsanya.
Sigap sekali Kongsun Siang menubruk ke depan, sementara
pedangnya membalik kebelakang menusuk perempuan itu, tapi
baru saja gerakan mengegos sambil menyerang ini dia lancarkan,
jalur hitam dari bayangan pedang lain tahu2 sudah menyapu tiba
pula dan mengincar bagian bawah badannya. Keruan tidak
kepalang kaget Kongsun Siang, cepat2 dia berkelit pula, tapi tak urung pahanya tergores luka juga, darah segera meleleh
membasahi celananya. Untunglah pada saat itu Ling Kun-gi telah menyimpan pedang
pandaknya dan segera membentak: "Kongsun-heng, mundurlah
kau.". Kongsun Siang tidak hiraukan seruan ini, sambil menggerung
dia tinggalkan perempuan baju hijau lawannya, mendadak dia
menubruk ke arah laki2 berewok bersenjata pedang, Sret, sret,
sret, sret secepat kilat dia lontarkan tujuh serangan ganas dan lihay dari Thianlong-kiam.
Bahwa Cap-coat-tin sudah pecah, kini Kongsun Siang
meninggalkan dia, sudah tentu sangat kebetulan bagi perempuan
baju itu, tanpa peduli mati hidup temannya, segera dia melejit
mundur terus berkelebat ke arah pintu sebelah kiri.
Tak terduga Ling Kun-gi ternyata bergerak lebih cepat lagi,
tahu2 dia sudah mencegat di depannya, hardiknya: "Nona
sebutkan dulu julukanmu."
Melihat orang sudah menyimpan pedang, dengan bertangan
kosong berani mencegat dirinya lagi, seketika perempuan baju
hijau yang berpupur tebal menjengek: "Siapa nona besarmu ini, setelah kau melihat ini pasti akan tahu" Mendadak tangan kirinya terayun, entah cara bagaimana cepat sekali dia sudah kenakan
sarung tangan, segenggam pasir beracun segera dia sebarkan ke
arah Ling Kun-gi. Menegak alis Kun-gi, wajahnya tampak bercahaya dan penuh
wibawa, serunya sambil tertawa lantang: "Toanhuntok-sa" (pasir beracun perenggut nyawa), memang kau tidak perlu sebutkan
namamu lagi." Sambil bicara dengan enteng dia angkat lengan bajunya terus
mengebut, taburan pasir beracun la-wan tahu2 tergulung
seluruhnya, malah terus dihambur balik menyerang tuannya.
Sudah tentu mimpipun perempuan baju hijau tidak pernah
menyangka bahwa Ling Kun-gi akan berbuat seperti itu, sembari
menjerit kaget, belum lagi dia sempat menyingkir, pasir beracun miliknya sendiri tahu2 sudah mengenai badan sendiri, asap hitam segera mengepul dari seluruh badannya, pelan2 iapun roboh
terkulai dan binasa. Dalam ruang pendopo yang cukup luas ini kini tinggal empat
orang lagi yang masih terus berhantam dengan sengit. Ting Kiau
dengan kipas lempitnya masih saling serang dengan Tun Thian lay yang bersenjata pedang lebar, keduanya berebut kesempatan dan
mengejar kemenangan. Sayang sekali jarum beracun yang
tersimpan dalam kerangka kipasnya sudah habis terpakai, dalam
keadaan mendesak ini terang tak sempat lagi dia memasang dan
mengisi jarum2nya, terpaksa dia andalkan kemahiran ilmu kipasnya menghadapi ilmu pedang musuh.
Setelah perempuan baju hijau tewas, Kongsun Siang kini hanya
menghadapi satu lawan, seluruh perhatian dapatr dia tumplek
ketpada lawan yangq satu ini, makar Thianlong-kiam dapat dia
kembangkan dengan lancar dan gencar, ia melompat kian kemari
setangkas serigala, tiba2 terjang ke kiri, tahu2 menubruk ke kanan, sinar pedangnyapun ikut bergaya laksana kilat,
Sebetulnya cukup keras dan ganas juga -permainan ilmu
pedang bergaya golok si laki2 berewok, tapi Thianlong-kiam
Kongsun Siang sangat lihay dengan gerakan2 aneh dan
membingungkan sehingga lawan dibuat pusing mengikuti
gerakkannya, akhirnya hanya bertahan saja dan tidak segarang
tadi. Karena paha tergores luka pedang lawan, betapa geram hati
Kongsun Siang, dendam rasanya tidak terlampias sebelum
lawannya roboh termakan pedangnya, padahal pahanya masih
terus melelehkan darah berwarna hitam hingga membasahi lantai.
Yang terkejut adalah Ling Kun-gi, melihat darah hitam di paha
Kongsun Siang, baru dia ingat bahwa pedang lawan dilumuri getah beracun, segera dia berseru: "Kongsun-heng, lekas mundur."
Tangan terayun, dia membelah ketengah antara kedua lawan yang
lagi berhantamseru.

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pedang Kongsun Siang terayun kencang, serangannya gencar
seperti orang kalap, pikirannya sudah mulai kabur, cuma dia terlalu apal dan mahir menggunakan ilmu pedangnya, maka kaki bergerak
tanganpun bekerja secara otomatis. mendadak dia tersentak
mendengar seruan Ling Kun-gi, serta merta gerakannya sedikit
merandek, badan bagian ataspun tampak bergontai lemah,
akhirnya sempoyongandan jatuhterduduk denganlunglaidi lantai.
Pukulan telapak tangan ke tengah2 kedua lawan yang lagi
berhantam oleh Ling Kun-gi itu ternyata tepat pada waktunya,
gerakan telapak tangannya menimbulkan sejalur angin lunak
menahan luncuran pedang laki2 berewok berilmu golok aneh itu,
sigap sekali dia melejit maju ke samping Kongsun Siang.
Bersamaan waktunya laki2 berewok itupun melompat mundur,
begitu membalik terus lari keluar pintu.
Tak sempat lagi Ling Kun-gi menghiraukan musuh, keselamatan
Kongsun Siang lebih utama, lekas dia keluarkan Leliong-pi-tok-cu, celana Kong-sun Siang yang sudah basah dan lengket dikulit dia
sobek, mutiara itu segera dia gosok dan digelindingkan beberapa balipulang pergidipermukaankulit dagingnyayangterluka.
Dalam pada itu Tun Thianlay masih melabrak Ting Kiau mati2an,
bahwa teman-temannya sudah binasa dan ada yang melarikan diri,
tinggal dia seorang yang masih berhantam mempertahankan jiwa,
sudah tentu semakin luluh semangat tempurnya, suatu ketika dia
pergencar gerak pedang lebarnya, dengan sengit dia menyerang
tiga kali, setelah Ting Kiau dapat diaesaknya mundur, lekas dia melompat ke belakang, gerakannya masih tangkas meski sudah
kehabisan tenaga setelah bertempur sekian lamanya, tahu2
bayangannya sudah berkelebat keluar pintu.
Sudah tentu Ting Kiau tidak berpeluk tangan, segera ia
menghardik: "Orang she Tun, ke mana kau mau lari" Tanpa pikir segera ia mengejar ke sana.
Kun-gi sendiri tengah mengerahkan Lwekang membantu
menyembuhkan luka Kongsun Siang, mendengar hardikan Ting
Kiau, lekas dia berpaling seraya berteriak: "Ting heng, musuh sudah kalah, takusahdikejar."'
Sementara itu empat laki2 yang berdiri di empat pojok
membawa lampion tadi secara diam2pun telah memadamkan api
serta menghilang entah lari ke mana. Kini tinggal Ling Kun-gi dan Kongsun Siang dua orang saja yang berada di dalam pedopo yang
gelap itu. Hati Kun-gi amat gelisah, tapi Kongsun Siang pingsan
keracunan, terpaksa dia harus menolongnya lebih dulu. Untung
Pi-tok-cu adalah obat mujarab untuk menawarkan bisa getah
beracun, tak seberapa lama kadar racun yang mengeram di luka
Kongsun Siang sudah meleleh keluar bersama darah hitam, setelah luka dipaha rasanya tidak membahayakan lagi, segera dia
menyobek jubah sendiri untuk pembalut luka orang.
Kongsun Siang menarik napas panjang dan pelan2 membuka
mata, teriaknya: "Ling-Leng. . . . ." Belum habis dia bicara mendadak suara gemuruh sayup2 mulai timbul seperti datang dari
bawah tanah. Tergerak hati Kun-gi, katanya: "Mungkin mereka sudah mulai mengerjakan alat perangkap, lekas kita tinggalkan tempat ini."
Sambil memapah Kongsun Siang segera ia berdiri.
"Ling-heng," ujar Kongsun Siang sambil meronta., "biar Siaute berjalan sendiri."
Sementara suara gemuruh yang bergema semakin keras dari
bawahbumi, semakin dekatdan keras. WaktuKun-giangkatkepala,
dilihatnya pintu batu sebelah timur dan barat mulai bergerak
menutup, lekas dia berkata: "Luka Kongsun-heng belum sembuh, marilah kupapah saja."
Dengan tangan kiri setengah mengempit pinggang orang,
dengan beberapa kali gerakan mereka sudah meluncur ke arah
pintu timur yang jaraknya lebih dekat. Ternyata di luar pintu
adalah sebuah lorong panjang yang beralaskan batu2 hijau, tidak cukup untuk jalan dua orang berjajar, tampak patung batu tadi kini sudah menggeser mundur kedindingdan bergeraklagi.
Baru beberapa langkah Kun-gi berjalan sambil setengah
menyeret Kongsun Siang, terdengar suara gedubrakan keras, pintu batu dibelakangnya sudah tertutup rapat dengan mengeluarkan
suara gemuruh. Kongsun Siang menegakkan badannya, dengan kuatir ia tanya:
"Ling-heng, manaTing-heng"Diatidakkeluar?"
"Dia mengejar seorang musuh yang lari ke pintu barat tadi,"
tutur Kun-gi. Pintu batu sudah tertutup tapi suara gemuruh di bawah tanah
masih terus bergema, Diam2 Kun-gi merasa heran, akhirnya dia
kerahkan Lwekang dengan ketajaman matanya dia periksa
keadaan sekelilingnya. Nyata dinding sekelilingnya tetap utuh tak nampak perubahan apa2, tanpa sengaja ia mendongak melihat ke
atap. Seketika ia melonjak kaget, ternyata batu besar yang tepat di atas lorong tengah menindih turun pelan2. Betapapun tabah hati
Ling Kun-gi, meski tidak sedikit musuh2 tangguh yang pernah dia kalahkan, tapi belum pernah dia menghadapi keadaan gawat
seperti ini, tanpa banyak pikir tekas dia kempit Kongsun Sing terus kabur ke depan secepatnya.
Lorong sempit ini ternyata sepuluhan tambak panjangnya,
sepanjang itu batu yang berada di atas lorong sama2 ambles ke
bawah, ke manapun berlari dan betapapun cepat ingin menyingkir
tetap akan sia2 belaka, karena batu atap di bagian depan lorong yangbakaldilaluijugatelahmulai menggeserkebawah,
Tiba2 di ujung lorong Kun-gi diadang oleh dinding batu pula,
jelas tiada jalan keluar untuk menyelamatkan diri, sementara batu atap masih terus menindih turun semakin rendah dan sudah
hampir menyentuh kepala, saking bingungnya akhirnya dia
menghela napas putus asa, katanya: "Kongsun-heng, agaknya
malam ini kita bakal terkubur di tempat ini."
Luka paha Kongsun Siang belum sembuh, tapi sekuatnya dia
berdiri sambil bertopang di badan Ling Kun-gi, keadaan sudah
amat mendesak, tapi mereka tetap berlaku tenang, dengan
ketajaman matanyadiaberusaha memeriksadindingdisekitarnya.
Mendadak kaki kirinya yang tidak terluka dia ulur dan
menendang sekuatnya ke dinding sebelah kiri bawah, lalu
menginjak pula sekeras2nya lantai di depan kakinya. Terasa lantai yang terpijak kakinya anjlok turun, ternyata lantai yang diinjaknya itu dapat bergerak, waktu dia angkat kakinya, lantai itu terangkat naik pula ke tempat asalnya, kalau tidak diperhatikan orang takkan tahu kalau di situ ada rahasianya Dalam pada itu batu di atas
kepala sudah merosot semakin rendah, mereka sudah tak bisa
berdiri tegak lagi, dengan setengah berjongkok mereka mundur
mepet dinding, tapi pada detik2 yang menentukan itulah, mungkin karena menginjak lantai yang melesat turun oleh injakan Kongsun Siang tadi, tahu2 dinding di sebelah kiri mereka tanpa suara telah bergerak dan terbukalah celah2 yang cukup lebar.
Kongsun Siang menghela napas lega, katanya:
"Syukurlah jalan keluarnya kena kutebak dengan jitu. Ling-heng, lekas keluar" Lalu dia mendahului menerobos keluar.
Setelah berada di luar, Kun-gi berkata lega sambil tertawa:
"Untung Kongsun-heng paham juga akan permainan peralatan
rahasia itu, kalau tidak kita sudah tertindih hancur lebur,"
"Blum!" selagi mereka bicara itulah batu besar di lorong itu sudah anjlok, besarnya tepat memenuhi sepanjang lorong, tiada
yang sedikitpun yang tersisa.
Diam2 Kun-gi berkeringat dingin, batinnya: "Entah bagaimana keadaan Ting Kiau, mungkinkah iapun kejatuhan batu, semoga dia
lolos darielmaut." Di luar lorong ternyata masih ada lorong lagi yang di pagari
dinding tinggi, cuma lorong di sini sedikit lebih lebar. Dengan mengacungkan Leliong cu di atas kepala, Kun-gi membuka jalan di sebelah depan, sementara luka di paha Kongsun Siang sudah
dibalut, maka dia bisa bergerak lebih leluasa, dengan ketat dia mengikuti langkah Ling Kun-gi.
Lorong panjang ini amat gelap, bayangan setanpun tidak
kelihatan, tapi dengan hati2 dan waspada mereka terus
menggeremet maju. Kira2 puluhan tom-bak kemudian, dari
kegelapan dibelokan sebelah depan sana berkelebat sinar pedang
yang menyamber laksana kilat, begitu cepat dan lihay samberan
sinar pedang ini, tahu2 sudah membabat miring mengincar
pinggang Ling Kun-gi. Untunglah Kun-gi sela!u pasang kuping dan pasang mata
lebar2, serangan terjadi mendadak dan sukar dijaga, lawan yang
sembunyi agaknya memang lihay, sampai dengus napaspun tidak
terdengar, sehingga tak tersangka, kalau musuh tiba2 melancarkan serangan gelap selihay ini..
Secara otomatis begitu melihat sinar pedang menyamber tiba,
Kun-gi ayun tangannya menepuk ke batang pedang lawan, padahal
ujung pedang lawan sudah dekat pinggangnya, untunglah tepukan
tangannya yang bertenaga kuat mampu menggetar pergi pedang
lawan. Si pembokong ternyata berkepandaian tinggi, tahu2 pedangnya
ditarik balik, dalam kegelapan yang menguntungkannya, dia
lompat ke belakang, berbareng dua bintik sinar dingin tahu2
meluncur ke arah Ling Kun-gi.
Kun-gi mendengus, sekali lengan bajunya mengebut, kedua
bintik sinar itu seketika tergulung ke dalam gerakan Kian kut siu, sekalisendal lagi keduabintik kemilau itupun jatuh ketanah.
Gebrak ini berlangsung dalam sekejap, dengan cepat Kun-gi
mengudak maju seraya membentak, sekali berkelebat dia sudah
menerobos ke tempat belokan, dilihatnya sesosok bayangan orang
tengah menyurut ke tempat gelap di lorong sebelah depan sana.
Segera dia menghardik: "Masih mau lari ke mana kau?"
"Wut"kontantangankanannya memukul kedepan.
Di dalam lorong yang sempit dan memanjang ini kecuali
berkelahi secara kekerasan, tak mungkin berkelit lagi, apalagi
pukulan Kun-gi ini dilancarkan sambil mengudak maju dengan
kencang tenaga pukulannya laksana badai menerjang ke punggung
orang itu. Padahal orang itu tengah mengayun langkah sekuatnya lari ke
depan, tiba2 terasa kesiur angin kencang di belakangnya, sebagai orang yang telah berpengalaman, dia tahu bahwa Ling Kun-gi
tengah menyerang dirinya dengan pukulan dahsyat, kalau melawan
secara keras, mungkin dirinya mampu mematahkan sebagian
kekuatan pukulan lawan, itu berarti jiwa masih mungkin tertolong.
Pikiran bekerja secara cepat pula badannya membalik, iapun
menghardik tak kalah kerasnya: "Biar aku adu jiwa dengan kau!"
Kedua tangan terulur lurus menyongsoug ke depan.
Setelah dia membalik tubuh, baru terlihat jelas wajah orang itu, kiranya dia adalah laki2 berewok yang tadi berhasil lolos dari ruang pendopo, sorot matanya yang buas dan liar jelalatan memancarkan rasa takut dan kalap, mukanya tampak beringas, pukulan Kun gi ini menggunakan Mo-ni-in, meski laki2 berewok cukup cekatan dan
bertindak tepat, toh dia tidak kuasa menghadapi pukulan sakti ini.
Kontan dia rasakan dada seperti dipukul godam, darah bergolak,
kepala pusing, pandangan berkunang2, mulut terpentang megap2,
napaspun ter-sengal2. Dengan sinis Kun-gi tatap muka orang, katanya dingin: "O,
kiranya kau!" Sorot mata laki2 berewok kini tambah liar, dengan melotot dia
awasi mutiara di tangan Ling Kun-gi rona mukanya akhirnya
mbenampilkan rasa heran dan jera, bentaknya: "Berdiri, tahan dulu, ada omongan ingin kutanya kau." Pedang siap di depan dadanya, ujung pedang teracung ke depan mengincar dada Ling
Kun-gi, agaknya dia kuatir kalau Kun-gi menyergapnya.
Kun-gi berdiri lima kaki di depan orang, tanyanya: "Masih ingin omong apalagi?"
"Apakah yang berada di tanganmu itu CinCu-ling?" tanya laki2
berewok. "Betul,"ucap Ling Kun-gisinis, "inilahCinCu-ling."
Mendadak berubah hebat air muka laki2 berewok, bibirnya
tampakrada gemetar, suaranyaserak:"Kau. . . . sheLing."
Heran Kun-gi, katanya: "Betul, aku she Ling."
Mendadak laki2 berewok putar tubuh, dengan langkah tergopoh
dia berkelebat ke ujung kanan dinding sana.
Pertanyaan orang menimbulkan rasa ingin tahu Ling Kun-gi,
hardiknya: "Berhenti!" Lengan kanannya terayun, dia lontarkan segulung angin pukulan yang keras dan kuat, sasarannya bukan
badan laki2 berewok, tapi mengincar dinding batu di depan orang, jadidia berusaha mencegatorang melarikan diri.
Kepandaian si berewok ternyata harus dipuji juga, merasakan
tekanan berat dari depan, sebelum dirinya menumbuk tenaga kuat
itu, cepat dia meng-hentikan gerak badannya, teriaknya beringas:
"Apa maumu?" Kun-gi ulur telapak tangannya yang memegang Leliong-cu,
tanyanya: "Kau kenal mutiaraku ini?"
"Siapapun kenal akan CinCu-ling," sahut laki2 berewok.
"Kau salah satu dari tiga pnluh enam panglima itu bukan?"
tanya Kun-gi. Melihat Kun-gi berdiri menatap dirinya lekat2, seperti menunggu jawabannya, seketika timbul amarahnya, katanya dengan ketus:
"Betul!" Mendadak dua jari tangan kirinya mencolok ke dua mata Ling
Kun-gi, berbareng pedang di tangan kanan menusuk ke lambung.
Serangannya itu amat keji dan secara mendadak, pikirnya
betapapun tinggi kepandaian Ling Kun-gi pasti akan kecundang di bawah pedangnya.
Tak terduga tangan Ling Kun-gi mendadak menangkap
pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang.
Tahu2 laki2 berewok merasakan pergelangan tangan kesakitan,
keruan ia kaget, belum lagi dia meronta, jari2 orang sekeras
tanggam telah pencet urat nadinya sehingga badannya lemas
lunglai, tapi dia tetap beringas, teriaknya: "Jangan kau
memaksaku." "Cayhe hanya ingin bertanya . . . . . . . " belum Ling Kun-gi bicara, laki2 berewok sudah berteriak lagi: 'Tak usah banyak tanya, biar tuan besarmu serahkan nyawa padamu."
"Agaknya kau punya kesulitan sehingga tak mau bicara . . . . . .
" timbul rasa heran Kun-gi melihat laki2 berewok berdiri mematung diam, tapi kejap lain dilihatnya wajah orang sudah berubah gelap, tiba2 darah hitam meleleh dari ujung mulutnya, pelan2 ia roboh
terkulai. "Ling-heng," Kongsun Siang bersuara di samping Kun-gi, "dia bunuh diri dengan minum racun."
Ling Kun-gi lepaskan pegangannya, katanya sambil mengerut
alis: "Kalau dia berani bunuh diri menelan racun, kenapa tidak berani bicara terus terang?"
"Kukira dia amat mematuhi peraturan Hek-liong-hwe sehingga tidak berani membocorkan rahasia perkumpulannya, dari nada
bicaranya bahwa dia tetap pegang rahasia karena persoalan ada
sangkutpautnyadenganCinCu-lingditangan Ling-heng."
"Akupun merasa begitu, waktu melihat mutiaraku ini, kulihat rona mukanyamenampilkan mimikyanganeh."
"Kudengar dia tanya apakah kau She Ling, kalau tanpa sebab, tak mungkin pada saat2 gawat begini dia mengajukan pertanyaan
ini." "Analisamu memang tepat, sayang dia sudah meninggal,
sepatah katapun tak berhasil kutanya kepadanya."
"Tapi dia juga bilang mau serahkan nyawanya padamu, lalu
kenapadiaharusbunuhdiridengan menelanracunpula?"
"Ya, kalau diselami kata2nya tadi memang aneh dan patut
dicurigai." "Oleh karena itulah aku berpendapat bahwa soal ini ada sangkut pautnya dengan mutiara di tangan Ling-heng ini," merandek
sebentar Kongsun Sianp lalu bertanya: "Entah dari mana pula Lingheng memperoleh Cincu-ling ini?"
"Mutiara ini adalah warisan leluhurku, nama aslinya Leliong-pi-tok-cu, khasiatnya dapat menawarkan segala macam racun, jadi
bukan bernama CinCu-ling."
"Aneh kalau begitu, bagaimana pula mutiara ini bisa mirip
dengan tanda kepercayaan Hek-liong-hwe?"
"Hal ini aku sendiri juga tidak tahu, atas perintah guru aku mengembara ke Kangouw, tujuannya adalah untuk menyelidiki
CinCu-ling ...." Sembari bicara mereka berjalan terus kedepan, tanpa terasa
Jodoh Rajawali 8 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Jodoh Rajawali 26

Cari Blog Ini