Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri 4

Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok Bagian 4


"Sudah kenyang, mari berangkat," kata Ji-ping sambil berdiri,
"di luarIn-hiap-kipdidepan sanaadasebuahrumah perabuankeluarga ong yang besar sekali, kita istirahat di sana saja."
"Dari mana kau tahu?" tanya Ling Kun-gi.
"Aku sering lewat jalan ini, sudah tentu apal keadaan sekeliling sini."
Mereka menempuh perjalanan 20-an li lagi batu sampai di Inhiap-kip. Waktu itu sudah kentonganpertama, mereka langsung
menuju ke arah barat kota, di sana memang terdapat sebuah
rumah perabuan marga ong.
Mereka tambat kuda di ujung tembok sana, lalu melompat ke
dalam lewat pagar tembok, setelah menyusur pekarangan dan
sampai di ruang tengah. Biara marga ong ini agaknya dari keluarga besardanbangsawan, keadaandisini terawatbersihdanteratur.
Kun-gi memilih tempat sebelah kanan, duduk di lantai terus
mulai samadi, betapapun Pui Ji-ping adalah anak perempuan,
nyalinya radakecil, diadudukdekatKun-gi.
Karena iseng Pui Ji-ping ajak bicara terus untuk menghilangkan
lelah, sebaliknya Ling Kun-gi merasa sebal, katanya: "Adik jangan banyak bicara, lekaslah samadi mengembalikan semangat dan
tenaga dalam dua hari ini mungkin bisa menyusul si mata satu lagi, gerak-gerik mereka begini misterius, ingin kutahu barang apa yang mereka bawa itu?"
"Lho si mata satu kan sudah meninggal?"
"Tidak. yang mati itu picak mata kiri, yang sekarang ini picak mata kanannya."
Pui Ji-ping ketarik, katanya: "Kenapa mereka selalu menugaskan si mata satu untuk tugas pengantar barang ini" Kuduga pasti ada rahasiaapa2dibalikpersoalan ini."
Kun-gi tidak bersuara, selincah kucing tiba2 dia melompat
berdiri, desisnya lirih: "Ssst, ada orang datang, lekas sembunyi."
Hakikatnya Pui Ji-ping tidak dengar apa2, Baru dia akan tanya,
mendadak Kun-gi menghardik tertahan: " Lekas naik." Lengan Ji-pingdipegangterusdibawa lompatke atasdanhinggapdibelandar,
katanya lirih: "Lekas sembunyi di belakang pigura."
Lengan dipegang orang, terasa badan mumbul seringan asap.
tahu2 sudah menyelinap ke belakang pigura besar. Kejadian terlalu mendadak dan berlangsung amat cepat, jantung ji-ping sampai
berdetak keras. Belum lama mereka sembunyi di belakang pigura, betul juga di
luar pekarangan sudah terdengar suara percakapan orang dan
langkahnya yang mendatangi. Terdengar seorang berkata dengan
suara serak: "Silakan Siau-heng" Rupanya setiba di ruang tengah mereka saling mempersilakan masuk lebih dulu.
Maka terdengar pula suara tawa lantang, seorang lagi berkata:
"Un-jiko kenapa sungkan2 padaku." Lenyap suaranya, tampak muncul dua orang berjajar masuk ke dalam.
Betapapun tempat pigura sempit, terpaksa nona Pui harus
mendekam dan bersentuhan badan dengan Ling Kun-gi, baru
pertama kali ini dalam hidupnya berada dalam pelukan laki2. Kedua orang di bawah sudah dekat, maka dia tidak berani berseru
sedikitpun. Yang terang jantungnya berdebur seperti ombak
mengamuk. pikirannya melayang2 entah ke mana.
Walau mencium bau harum dan bau badan anak perawan yang
memabukkan, tapi perhatian Ling Kun-gi tumplek ke bawah pada
dua orang yang baru datang, maka pikirannya tidak menjadi
linglung. Malam gelap. tapi dia dapat melihat jelas kedua orang di bawah, yang di sebelah kiri kira2 berusia 50-an, mengenakan jubah
panjang warna hijau kebiru2an, mengenakan topi beludru warna
hitam, sepatunya berlapis kulit tebal, lima jaiur jenggot hitam menjuntai turun menghiasi dadanya. orang di sebelah kanan
berpakaian panjang warna kuning kelam, mengenakan ikat
pinggang sutera merah, wajahnya kereng cerah, tulang pipinya
menonjol, sudah cukup tua juga, perawakannya agak pendek.
orang kedua ini pernah dilihat oleh Ling Kun-gi, dia adalah paman kedua nona Un Hoankun, yaitu Un It-kiau dari Ling-lam.
Tiba2 didengarnya Un It-kiau bersuara heran, katanya dengan
suaraserak:"Tiadaorangdisini, kenapadiluaradaduaekorkuda?"
Lalu di sampingnya tertawa lebar, katanya: " Keluarga ong di Inhian-kip ini sebetulnya adalah keluarga bangsawan suku Bong,
rumah abu ini adalah tempat umum, menambat kuda di luar
adalah biasa, kenapa Un-jiko curiga segala?"
Un It kiau manggut2. Dari belakang kedua orang melangkah
masuk pula seorang pemuda berpakaian warna kuning, Ling Kun-gi
juga mengenalnya, dia adalah Kim-hoan-liok-long Siau Kijing,
melihat pemuda ini Ling Kun-gi lantas menduga bahwa orang tua,
yang mengiringi Un It-kiau pasti bapaknya, yaitu Kim-hoan-siang-coat Siau Hong-kang. Di belakang siau Ki jing ikut pula dua
pembantu rumah tangganya, saat mana lilin sudah dinyalakan di
dalam ruangan, keadaan semula gelap kini menjadi terang
benderang. . Kun-gi berdua yang mendekam di belakang pigura tidak berani
mengintip keluar pula. Terdengar laki2 wajah merah itu berkata, "Bukankah Un jiko juga mengundang Thong Thian-ong, kapan dia tiba?"
"Ya, sebelum Siaute kemari sudah kusuruh mengirim surat
kepada Tong Thian-ong, dia sudah setuju untuk membantu, dua
hari yang lalu ada orang pernah melihat dia muncul di sekitar Poh-yang."
"Aneh, kalau dua hari yang lalu dia sudah tiba di Poh-yang, sepantasnya dia sudah mengadakan kontak dengan kita," kata si muka merah.
Kun-gi membatin: "Thong Thian-ong yang mereka bicarakan ini mungkin adalah Thong-pi--thian-ong" "
"siaute juga merasa heran, sepanjang jalan ini kita sudah
memberikan tanda2 petunjuk. seharusnya dia sudah melihatnya."
Sambil mengelus jenggot, laki2 muka merah berkata pula:
"Watak Thong Thian-ong terlalu berangasan, mungkin terjadi apa2
di tengah jalan?" "Wataknya memang kasar, tapi bekal kepan-daiannya cukup
tinggi, jarang ada tandingannya di Bu-lim, mana mungkin terjadi apa2 atas dirinya?" kata Un It-kiau tertawa.
"Sukar dikatakan," kata laki2 muka merah, "Sepanjang jalan ini kutemukan Kim Ting Kim Kay-thay, itu ketua murid2 preman Siaulim-pay juga telah datang ke Thay-ho, demikian pula Lo-sam dan
Lo-citdari keluargaTong diSujwan jugaadadisekitarsini."
"Betul, kecuali itu ingin kuberitahukan kepada Siau-heng bahwa masih ada pula beberapa kelompok orang yang patut
diperhatikan-" "Siapakah yang Unjiko maksudkan?"
" Kelompok pertama adalah dua orang majikan dan
pembantunya, majikannya berusia 25-an berjubah biru, mirip anak orang berada, pembantunya memakai lengan besi, ilmu silatnya
tinggi, sejakdariKay-hong keduaorang initerus menguntitkemari."
Laki2 muka merah tampak prihatin, tanyanya: "Adakah orang
yang pernah menyaksikan kepandaian pembantunya itu"
"Anaksendiripernah menyaksikan,"timbrung Siau Ki-jing.
" Kiranya dia benar adalah Kiam-hoan-siang coat (ahli pedang dan gelang) Siau Hong-kang," demikian batin Ling Kun-gi.
"Kau sendiri melihat dia bergebrak?" tanya si muka merah.
SiauKi-jingmenerangkan:"Beberapahariyanglalu,anak melihat dia merobohkan murid preman Siau-lim hanya dalam sekali gebrak
saja." "Kepandaian murid2 Siau-lim ada yang kuat dan yang lemah,
kalau paderi agak lumayan, murid2 preman kebanyakan adalab
anak2 orang berada."
"Kelompok kedua adalah seorang muda berusia likuran tahun, bernama Ling Kun-gi, diapun menguntit sejak dari Kay-hong,
kadang muncul tiba2 lenyap. dia mengaku sebagai murid Hoan jiu
ji-lay, dari gerak-gerik dan kepandaiannya kelihatan memang tidak salah."
Terbelalak mata Siau Hong-kang, katanya., "Hoan jiu-ji-lay juga sudah terima murid."
"Kelompok ketiga muncul di sekitar Sha-cap--li-but, kelihatan seperti keluarga pejabat, kabarnya majikannya orang perempuan,
tapi pengikutnya semua berkepandaian tinggi, gerak-geriknya juga main sembunyi, sampai sekarang Siaute masih men-cari2 jejak
mereka, anak buah yang bertugas menyelidiki ternyata tiada yang kembali, semua lenyap tanpa keruan paran."
Siau Hong-kang berpikir sejenak, katanya: "Unjiko tidak tahu asalusul kelompokterakhir ini?"
"Laporan kudapat dari dua pembantuku di Sha-cap-li-but, hanya begitu saja laporan mereka," sahut Un It-kiau.
"Agaknya keramaian bakal terjadi, dari beberapa kelompok itu, kukira kita harus mengadakan kontak dengan pihak keluarga Tong
dari su-wan ......" sampai di sini dia termenung, lalu
menambahkan: "orang2 Siau -lim juga terjun ke dalam kancah keramaian ini" Mungkin ........."
"Trak." tiba2 terdengar suara seseorang melompati pagar tembok dan turun di tengah pekarangan
"Siapa?" bentakUn It-kiausambil angkat kepala.
"Wanpwe akan keluar melihatnya" ujar Kim--hoan-Liok-long Siau Ki-jing. Dengan langkah lebar dia berlari keluar. Kejap lain tampak dia sudah kembali, di belakangnya mengintil seorang laki2
baju abu2. "Un Lok." seru Un it-Kiau segera, "apa yang telah kau temukan"
Laki2 baju abu2 yang bernama Un Lok segera memberi hormat,
katanya: "Lapor Ji-cengcu, disekitar ma-thau-kip. hamba
menemukan tanda rahasia tinggalan Thong-thian-ong."
"Gambar apa yang dia tinggalkan?" tanya Un It-kiau.
"Tanda gambar itu diukir pada sebatang pohon di pinggir jalan, hamba pernah mendengar penjelasan Ji-cengcu, maka
mengenalnya, kini hamba telah mengupas kulit pohon itu dan
kubawa pulang," dengan hati2 lalu dia keluarkan sekeping kulit pohon-Menerima kulit pohon, hanya sekilas pandang air muka Un
it-kiau lantas berubah, katanya dengan terbelalak: "Di mana kau menemukan gambar ini?"
"Di sebuah persimpangan jalan di dekat Ma--thau-kip."
"Men jurus ke mana persimpangan jalan itu?"
"Simpang jalan itu menuju ke Sam-kak si."
"Keterangan apa yang dibubuhkan pada tanda gambar ini?"
tanya Siau Hong-kang. "Inilah tanda gawat bahwa dia mengikuti seseorang, mungkin seorang musuh tangguh, dia memberitahu kepadaku untuk segera
menyusulnya." "Siaute sependapat dengan Siau-heng," kata Un it-kiau, segera dia mengulap tangan kepada Un Lok. katanya: "Tunjukan jalannya"
Un Lok mengiakan, cepat dia berjalan pergi, -Un It-kiau dan
Siau Hong-kang lantas beranjak keluar. Cepat sekali rombongan
mereka sudah pergi jauh. "Mereka sudah pergi, mari turun," kata Pui Ji-ping. Setelah turun di bawah dia mengebut pakaian membersihkan kotoran yang
melekat di pakaiannya, katanya: "Toako, perlukah kita menguntit mereka?"
"Kita punya urusan sendiri, peduli dengan urusan mereka, lebih baik istirahat, besokpagi menempuh perjalanan lagi."
Pui Ji-ping tidak banyak bicara pula, mereka kembali ke tempat
semula, duduk samadi sampai pagi hari. Belum sinar surya
menongol keluar mereka sudah melanjutkan perjalanan-Jalan raya
ini langsung menuju ke Liok-an, di sepanjang jalan ini memang ada tanda peninggalan Kim Kay-thay, mereka terus bedal kuda sampai
hari menjelang lohor baru tiba di Liok-an.
Diluar kota Liok-an Kun-gi menemukan tanda peninggalan Kim
Kay-thay pula, arahnya seperti menuju ke sok-seng, maka mereka
makan ala kadarnya di luar kota terus menempuh perjalanan pula.
SoreharisampaidiTho-sip.disinimerekatidak menemukantanda2
peninggalan Kim Kay-thay.
Pui Ji-ping mengusulkan untuk langsung ke Sok-seng, mungkin
Kim Kay-thay sudah menunggu di sana. Tapi lain pendapat Ling
Kun-gi, kalau Kim Kay-thay pergi ke sok-seng pasti dia
meninggalkan tanda yang menjurus ke sana, di Tho-sip mereka
sudah tidak menemukan tanda2 lagi, itu berarti kemungkinan Kimloyacu menemukan apa2 di sini sehingga tidak sempat
meninggalkan tanda2 dan tak mungkin menuju ke sok-seng.
"Lalu bagaimana menurut pendapat Toako?" tanya Pui Ji-ping.
"Kau kenaljelaskeadaandisekitarsini?"
"Aku tahu, dari sini ke timur menuju ke Jau--ouw, ke selatan ke sok-seng, ke utara pergi ke Hoaji-kang, Thong-keh-kang, langsung ke Hap-pui."
Tengah mereka bicara, tiba2 didengarnya suara tapal kuda
berdetak. suaranya ringan dan cepat. Waktu mereka berpaling,
tampak dari arah utara sana membedal lari seekor keledai,
dipunggung keledai bercokol seorang tua berbaju hijau dan celana panjang kuning luntur, badan terbungkuk, mata terpejam, dia
biarkansaja keledainyalarisesukanya.
Sekilas Ling Kun-gi pandang orang tua itu tanpa memperhatikan
lebih lanjut. Tak terduga pada saat dia memandang orang, entah
sengaja atau tidak-orang tua itupun melirik sekejap ke arah
mereka. Betapa tajam pandangan mata Kun-gi, sekilas saja terasa olehnya kedua biji mata yang melirik itu hanya sebelah kiri yang bercahaya. Hanya mata kiri yang bercahaya, bukankah itu berarti mata kanannya picak"
Mendadak tergerak hati Ling Kun-gi, dilihatnya orang tua itu
menujukeSok-seng, makadiaberkatakepadaPuiJi-ping:"Dik,hari sudah petang, kita harus lekas masuk kota, kalau terlambat pintu kota mungkin ditutup." -Sembari bicara dia memberi kedipan mata kepada Pui Ji-ping.
Ji-ping merasa heran, tapi dia tahu diri, tanyanya lirih: "Memang benar." Kendali dia tarik ke kiri sehingga kudanya jalan merendeng lebih dekat dengan suara lebih lirih dia bertanya pula: "Siapakah dia" Toako mengenalnya?"
"Kukira dia adalah orang yang ingin kita cari, si mata satu. cuma betulatau tidakperlu dibuktikan-"
"Asal kita kuntit dia, nanti juga pasti ketahuan-" sembari bicara mereka jalankan kuda pelan2 dari kejauhan menguntit keledai itu masuk ke kota.
Hari sudah petang, banyak orang buru2 masuk kota, maka
suasana menjadi ramai. Berbeda dengan si mata satu kiri yang
telah ajal itu, sipicak kanan ini bergerak secara terang2an, dia berhenti di depan warung bakmi, ia melompat turun dan masuk
dengan terbungkuk2 Waktu itu memang tiba saatnya makan malam, setelah letih
menempuh perjalanan memang perlu istirahat dan mena ngsel
perut, terutama orang yang berdandan seperti orang desa, adalah jamak kalau makan di warung kecildengan tarip murah.
Melihat orang mampir di warung bakmi, Kun-gi berdua
memasuki warung arak di seberang jalan, letaknya kebetulan
berhadapanMereka memilih tempat duduk ditepi jendela, dari sini mereka dapat mengawasi gerak-gerik orang diseberang.
Kun-gi memesan makanan ala kadarnya, lalu dia berkata
setengah berbisik, "Dik, kau tunggu di sini dan amati gerak-geriknya, aku pergi sebentar."
"Toako mau ke mana?" tanya Ji-ping.
"Tugasmu menjaga di bagian luar sini, aku Keh-hoa akan putar ke belakang, kalau benar dia si picak kanan yang bertugas
mengantar barang, kemungkinan bisa merat lewat pintu belakang,
hal ini harus kita jaga sebelumnya. Kalau dia pergi lewat depan, kau harus menguntitnya dan perhatikan ke mana atau di tempat
mana dia menginap. Di sini pula kita nanti bertemu."
Mendengar dirinya di beri tugas, riang hati Pui Ji-ping, katanya tertawa: "Tugas seringan ini, Toako tak usah kuatir, pasti kulaksanakan dengan baik,"
"Baiklah sekarang aku pergi," bergegas Kun--gi keluar menuju ke pengkolan jalan sana, di belakang deretan rumah seberang
sana memang terdapat sebuah lorong sempit, cepat Kun-gi
menyelinap masuk dan menghitung rumah ke lima, itulah pintu
belakang warung bakmi di depan, setelah memperoleh tempat
yang gelap. dia berdiri mepet tembok, matanya memperhatikan
pintu belakang rumah ke lima itu.
Dengan sabar dia menunggu kira2 satu jam, betul juga
dilihatnya sesosok bayangan orang tiba2 menongol keluar dari
pintu belakang warung bak-mi itu, melihat tiada bayangan orang, dengan langkah buru2dia berlari kearah kirisana.
Mata Kun-gi yang tajam dapat melihat bahwa bayangan orang
itu adalah laki2 tua berbaju hijau, punggung yang tadi bungkuk
kini sudah tegak. langkahnya ringanDengan sigap seperti anjing pelacak Kun-gi terus menguntit ke
mana laki2 tua itu pergi. Ternyata laki2 tua ini juga cukup cerdik dan licin, agak lama dia ber-lari2, mendadak dia menghentikan
langkah sembari berpaling ke belakang, betapa tangkas gerakan
Kun-gi, mana mungkin jejaknya dilihat olehnya"
Melihat tiada orang yang menguntit di belakangnya, si tua baju
hijau kembali berlari ke depan, keluar dari jalan raya, dia
menyelinap ke jalan melintang di sebelah depan sana, langkahnya tidak pernah berhenti, kecepatan sedang, arahnya ke selatan-Lama kelamaan dia menuju ke daerah sepi.
Tak lama kemudian dia sampai di tempat pembarkaran genteng,
di sini dia berpaling pula, setelah longak-longok ke belakang,
dengan langkah cepat dia lewati tempat2 pembakaran genteng
yang tersebar luas itu terus memasuki sebuah pekarangan yang
dipagari tembok pendek. Di depan pintu terdapat sepucuk pohon,
dia berjongkok menghitung setumpukan batu yang ada di bawah
pohon lalu menghampiripintuserta mengetuknyatiga kali.
Maka terdengarlah ada orang bertanya: "Malam selarut ini,
siapakah yang menggedor pintu?"
Laki2 tua baju hijau unjuk tawa, sahutnya: "Belum malam,
belum malam, akulah Lo-to(bungkuk)yang mengetukpintu."
"Kaucarisiapa?"tanyaorangdi dalampintu.
"Mencari orang yang menumpuk batu di batu di bawah pohon-"
"Kau sudah menghitungnya?"
"Sudah, seluruhnya 18 biji, agaknya saudara kurang menumpuk satu biji."
orang di dalam tidak bersuara, pelan2 daun pintu terbuka.
Tampak seorang laki2 tua yang mengikat kuncir rambutnya di atas kepala, membawa pipa cangklong, menyambut keluar, katanya:
"silakan dudukdidalam."
Si tua baju hijau tidak segera masuk, katanya mengerut kening:
"Kenapakautidak menyalakanlampudidalam?"
Laki2 tua bergelak tawa, katanya: "Saudara tidak bisa melihat dengan jelas tidak menjadi soal, asal aku dapat menghitungnya
dengan baik saja." Melihat kata2 rahasia yang ditanyakan terjawab seluruhnya,
laki2 tua baju hijau tidak banyak bicara lagi. segera dia angkat langkah masuk ke rumah.
Laki2 bergelung kuncir cepat menutup pintu, katanya sambil
berpaling: "Mana barangnya, boleh kau keluarkan-"
Laki2 baju hijau merogoh kantong dan mengeluarkan sebuah
buntalan kain kasar terus diangsurkan, lalu katanya: "Saudara tentu sudah capai, ini-lah perintah dari atasan, malam ini saudara dilarang menginap di dalam kota, kau harus segera menempuh
perjalanan pula." Tertegun laki2 baju hijau, katanya, "Aku sudah menunaikan
tugas ......." "Pihak atas menghendaki kau segera berangkat, maaf aku tidak bisa menolongmu lagi," tiba2 tangan kanan dia ulur, tangannya sudah memegang sebuah bumbung hitam, "sret" segulung cahaya biru segera menyembur keluar dari dalam bumbung melesat ke
dada laki2 baju hijau. "Hah" terpentang mulut si laki2 baju hijau, tapi sebelum dia menyadari apa yang terjadi, cahaya biru itu sudah nancap ke
dalam dadanya, badannya seketika terjengkang roboh.
Laki2 bergelung kuncir menyimpan kembali bumbung jarumnya,
katanya menyeringai sambil mengawasi mayat laki2 baju hijau :
"Pihak ataslah yang memberi perintah, jangan kau salahkan aku
......" sampai di sini dia bicara, tampak kepala mayat laki2 baju hijau mengepulkan asap kuning, dengan cepat sekali jasadnya
berubah, ternyata yang disambitkan tadi adalah Hoa-hiat-sian-tong (bumbung jarum pengluluh darah). Bergidik juga laki2 bergelung
kuncir melihat hasil karyanya sendiri, tiba2 terasa punggungnya kesemutan
Pada saat itulah di belakangnya tahu2 sudah bertambah sesosok
bayangan orang, tangan merogoh kantongnya dan mengeluarkan


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buntalan kain biru tadi. orang ini adalah Ling Kun-gi yang menguntit laki2 tua baju
hijau. Setelah menutuk Hiat-to laki2 bergelung kuncir, segera dia buka buntalankainbiru itu, didalamnya
berisi kotak persegi. Setelah kotak dibuka, di dalamnya dilapisi kain saten warna kuning, di tengah2 terjahit sebutir mutiara
sebesar kacang dengan benang merah.
Walau gelap di dalam rumah, tapi Kun-gi dapat melihat jelas, di tengah2 mutiara terdapat ukiran huruf "Ling". Ternyata cin-cu-ling adanya. Mutiara ini mirip dengan yang pernah dilihatnya di tempat Kim Kay-thay itu, "Kemanakah mereka hendak mengantar cin-culing ini?" demikianLing Kun-giber-tanya2dalamhati.
Sejenak dia termenung, lalu menutup dan membungkus pula
cincu-ling itu seperti semula dan dikembalikan ke kantong baju
laki2 bergelung kuncir, sebelum berlalu dia membuka tutukan tadi dan cepatdia menyelinap sembunyiditempatgelap.
Laki2 tua bergelung kuncir menguap sekali lalu menggeliat
badan, sebentar dia kucek2 mata, lalu menjura ke arah tanah,
katanya dengan tertawa getir: "Saudara mati penasaran, Tapi aku bekerja menjalankan perintah, harap saudara tidak menyalahkan
aku." Dia sangka arwah laki2 baju hijau itu tidak menerima kematiannya, barusan dirinya telah ditenung sebentar, maka
setelah bicara bergegas dia berlari keluar sipat kuping.
Kun-gi menguntitnya dari kejauhan-Laki2 tua bergelung kuncir
di kepala itu berjalan cepat sekali, tak lama kemudian dia sampai pada sebuah tempat pemujaan di pinggir jalan yang dibangun
menyerupai gundukan tanah, tempat pemujaan ini bukan kuil
bukan biara, tapi hanyalah sebuah barak yang beratap rumput
alang2 kering, bentuknya kecil dan pendek. di dalamnya dipuja
dewi bumi suami-isteri, tanpa meja, hanya terdapat sebuah hiolo, setiap orang yang sembahyang menancapkan dupa di sana,
keadaannya amat sederhana.
Dengan langkah ter-gopoh2 laki2 itu memasuki barak
berdinding tanah liat itu, sejenak dia celingukan, melihat tiada orang lain, tiba2 dia mencincing lengan baju terus ulur tangan
meraba ke dalam hiolo, akhirnya dia meraba keluar sebuah
bumbung bambu. Setelah membersihkan abu di kedua tangannya,
dia membuka sumbat bumbung dan menuang keluar gulungan
secarik kertas. Pada saat itulah Kun-gi muncul di belakangnya pula, dengan
sekali kebas dia tutuk jalan darah penidur orang, lalu ambil
gulungan kertas itu serta merentangnya. Tampak di atas kertas
ada tulisan yang berbunyi: "Besok sebelum matahari terbenam, antarkan kepada seorang yang membeli lima blok kain katun di
toko kain Tek-bong di kota Thung-seng, tak usah bicara, segera
mengundurkan dirisaja."
Kun-gi menggulung pula kertas itu, lalu dikembalikan ke tangan
si orang tua, kembali ia mengebas, membuka Hiat-to orang. Laki2
tua bergelung kuncir bcrbangkis sekali, cepat dia masukkan
gulungan kertas itu ke dalam baju, seenaknya saja dia buang
bumbung bambu itu ke semak rumput di luar pintu, dengan
langkah cepat dia menempuh perjalanan lagi.
Kejadian ini kira2 makan waktu setengah jam, cepat2 Kun-gi
kembali ke warung arak. makanan yang dipesannya tadi sudah
dingin semua. Untung saat itu keadaan warung ramai dikunjungi
orang, yang hendak mengisi perut, orang mengira Pui Ji--ping
sedang menunggu seseorang, maka tiada yang memperhatikanMelihat Kun-gi kembali, Pui Ji-ping tertawa senang, cepat dia
menyongsongsambil bertanya:"Toako, kenapapergibegini lama?"
Melihat hidangan semeja penuh belum disentuh sedikitpun,
timbul rasa prihatin Ling Kun-gi, katanya: "Dik, kenapa kau tidak makan dulu?"
"Toako ada urusan, sudah tentu aku harus menunggumu untuk
makan bersama" Ji-ping menyuguh secangkir teh kepada Kun-gi, katanya:
"Bagaimana urusannya Toako" Kau pergi begini lama, aku tidak melihat dia keluar."
Kun-gi minum seteguk, katanya, "Sesuai dugaan, dia merat
daripintu belakang. Hasil yang kucapai amat memuaskan-" Lalu ia ceritakan pengalamannya secara ringkas. Heran dan kaget Pui Jiping, katanya lirih:
"orang yang membeli lima blok kain katun di toko Tek-hong, di kotaThung-seng"Jadi sudahsampaitempattujuanterakhir?"
"Belum bisa diraba, kalau tidak pindah tangan lagi, itu berarti memang sudah mencapaitempattujuanterakhir."
"Lalu bagaimana tindakan kita selanjutnya, Toako?" tanya Jiping.
"Sampai besok sore, waktunya masih cukup panjang, aku akan cariKim-loyacuuntukberunding duludengan dia."
"Tapi di Tho-sip kita tidak menemukan tanda2 yang dia
tinggalkan-" "Ya, tapi di San-lam-koan aku melihat tanda2 Kim-loyacu," alis Kun-gi berkerut, katanya mene-pekur: "Jelas masih ada tanda2
rahasia itu di San--lam-koan, tapi setiba di Tho-sip tanda2 itu lenyap, mungkinkah dia mengalami sesuatu di sekitar
Sam--lam-Koan.. Tengah mereka bicara, pelayan sudah antar kembali makanan
pesanan mereka. Mereka makan cepat2, setelah bayar rekening
terus keluar, dengan menuntun kuda mereka berjalan kaki cukup
jauh dijalan raya. Dalam hati Ling Kun-gi menimang2, semula
banyak orang menguntit si mata satu, tapi di Sok-seng tiada
seorangpun kaum persilatan yang kelihatan, sementara sipicak ini tahu2 muncul dari arah Hoa-ji-kang. datang dari utara, agaknya
komplotan cin-cu-ling tahu bahwa mereka dibuntuti, entah dengan cara apa, semua orang yang menguntit itu satu persatu dipancing ke arah lain, Demikian pula Kim-loyacu tiba2 putus hubungan,
kemungkinan juga terkena muslihat mereka. Maka besar tekad
Kununtukselekasnya menyusul ke Sam-LamKoan.
Tengah berjalan, seorang yang berdandan pelayan hotel
mengadang mereka sambil munduk2, katanya tertawa: "Kongcu
berdua apa cari penginapan, hotel kami serba bersih dan nyaman
teduh, service tanggung memuaskan, kuda kalian boleh serahkan
kepada hamba." Waktu Kun-gi angkat kepala, dilihatnya di depan sana memang
ada sebuah hotel sok-seng, maka dia berpaling, katanya: "Dik, biar kita menginap saja semalam di sini."
Panas muka Pui Ji-ping, dia mengiakan sambil manggut sekali.
Segera Kun-gi serahkan kudanya, lalu mendahului melangkah
masuk. Pelayan lain segera datang menyambut serta antar mereka
memilih kamar, akhirnya mereka memilih sebuah kamar besar
yang terdiri dua ruangan berdampingan, masing2 ada sebuah
ranjang, jadi merekatidurdidua kamarterpisah.
Menjelang kentongan kedua Kun-gi siuman dari semadi, dia
pasang kuping, tiada suara apa2 di kamar Pui Ji-ping kecuali deru pernapasannya yang teratur, terang si nona sudah tidur nyenyak.
Pelan2 dia berdiri membuka jendela terus melompat keluar, dia
tutup pula jendelanya dari luar, terus meloncat ke wuwungan
rumah. Dengan mengembangkan Ginkang dia meluncur dengan
kecepatan luar biasa, hanya setanakan nasi dia sudah tiba di
Tho-sip. dari sini ke San-lam-koan dia terus memeriksa dengan
teliti, namun tiada tanda2 apapun yang dia temukan, tapi pada
sudut sebuah tembok di San-lam-koan masih ada tanda
peninggalan Kimloyacu, jelas arahnya menuju ke Tho-sip. Ini
membuktikan bahwa Kim-loyacu sudah meninggalkan
San-lam-koan, tapi tujuannya bukan ke Tho-sip. Lalu kemana dia"
Tiba2 tergerak pikirannya: "Sipicak datang dari Hoaji-kang yang letaknya di sebelah utara Tho-sip. terang mereka sengaja
dipancing ke jurusan lain oleh kawan2 si picak."
Maka dia menuju ke utara, pada setiap persimpangan jalan dia
mengadakan penelitian-Tapi dari Kang-keh-tiam, Han-siau-tiam,
Hok-ma-tiam sampai Thong-keh-kang, sejauh puluhan li dia terus
mengadakan pemeriksaan tanpa menemukan apa2, se-olah2 Kimloyacu tak pernah datang ketempat2 ini.
Dia tahu Kim-loyacu sudah banyak pengalaman dan
berpengetahuan luas, kalau dia sudah me-ninggalkan tanda2 di
Sanlam-koan, umpama ter Jilid 6 Halaman 5/6 Hilang
Keluar dari hutan, mereka naik kuda menempuh perjalanan
pula. Lewat lohor baru mereka tiba di Thong-sengJi-ping apal
keadaan kota ini, maka dia menunjuk jalan, setelah membelok
kejalan raya sebelah timur sana dia menuding ke depan: "Toako, waktu masih pagi, marilah istirahatdirestoranitu?"
"Baik, rumah makan berloteng itu ternyata cukup besar
bangunannya." "Tempo hari bersama Piauci kami menyamar laki2 dan pernah
melancong kemari. Ketika itu In-congkoan juga naik ke loteng
minumteh, tapidiatidak mengenali kami lagi."
"Siapakah In-congkoan?"tanyaKun-gi.
"In-congkoan bernama In Thian-lok, kepala keluarga paman,
katanya berilmu silat tinggi."
Waktu itu mereka sudah tiba di depan restoran, pelayan
menyambut mereka ke loteng. ji-ping lantas menuding meja dekat
jendela:"Tempoharikamidudukdi mejaitu."
Setelah Kun-gi duduk. waktu dia angkat kepala, dilihatnya di
seberang jalan sana adalah sebuah toko kain "LEK HONG".
"Kebetulan kau mencaritempatdi sini,"katanyatertawa.
"Tempo hari kami berbelanja juga di toka kain di depan itu, malamnya kami jalan2 melihat keramaian kota," kata Ji-ping.
"Toako, jalanan di sini aku lebih apal, nanti biar aku yang menguntit orang yang beli lima blok kain itu. Kau tunggu saja di sini." Ling Kun-gi manggut2 menyetujui usulnya.
Pada saat itulah, muncul seorang dari anak tangga, dia
mengenakan topi kulit berbulu, memanggul sebuah kotak kayu
warna merah, kumisnya panjang, usianya belum 50, dandanannya
mirip pengembara, tapijugasepertipedagang perhiasan-.
Matanya menjelajah sekelilingnya terus menghampiri meja di
sebelah kanan Ling Kun-gi yang berdekatan dengan jendela, peti
kayu dia letakan di atas meja, sambil memelintir kumis dia duduk memandang ke arah toko kain di depan sana. Pelayan datang
melayani pesanannya. Sejak orang ini masuk Kun-gi sudah lantas memperhatikan,
maka dia berbisik kepada Pui Ji--ping, "Sejak kini jangan bicara soal itu pula."
Ji-ping melengak. dia berpaling, namun yang dilihat hanya
bayangan punggung orang, segera ia bertanya sambil
mendekatkan tubuh: "Siapa dia?"
Kun-gi menggeleng, lalu dengan ilmu mengirim belombang
suara dia berkata, "Nanti kujelaskan."
Selanjutnya mereka bergurau dan bicara panjang lebar
mengenai iniitusambil memperhatikanpriabertopidisebelah.
Menjelang sore, terdengar suara derap kaki kuda yang ramai
mendatang dari kejauhan, tampak lima ekor kuda berjalan ke arah sini. orang yang duduk di kuda paling depan berperawakan besar, alis tebal mata cekung, wajahnya kelabu, berpakaian jubah biru, iapun nengenakan topi kecil berbulu burung, kumis di atas bibirnya terawat baik dan rapi, wajahnya kereng berwibawa, betapa gagah
dia duduk di atas kudanya.
Di belakangnya adalah orang2 yang berpakaian serba ketat,
golok tergantung di pinggang masing2, kelihatan angker dan
bersemangat barisan lima kuda ini. orang2 yang berlalu lalang
sama minggir memberijalanMelihat laki2 muka kelabu yang bercokol di punggung kuda ini,
tak terasa ber-gerak2 bibir Pui Ji-ping, dilihatnya laki2 muka kelabu itu mendahului menghampiri toko kain Tek-heng dan berhenti.
Empat orang pengikutnya ter-sipu2 turun, seorang pegang kendali, seorang bantu dia melompat turun, dua orang yang lain melangkah ke dalam toko sebagai pembuka jalan-Jelas toko kain Tek-hang
hari ini kedatangan tamu yang akan memborong dagangannya.
Maka ributlah keadaan toko kain itu, pelayan sibuk melayani,
pemilik toko bersama tuan kasir keluar menyambut. Sudah tentu
Kun-gi dan Ji--ping menyaksikan semua ini dengan jelas dari
tempatnyayangtinggidiatas loteng.
Setelah laki2 muka kelabu duduk. seorang pelayan toko
menyuguhkan air teh. Tanpa sungkan2 si muka kelabu angkat
cangkir dan minum seteguk. lalu berbicara kepada tuan kasir, tuan kasir tampak munduk2 sambil tertawa lebar seperti mengiakan,
cepat dia berpesan apa2 kepada pelayan di sampingnya. Beberapa
pelayan toko segera bekerja penuh semangat dan sibuk sekali,
mereka membawa beberapa contoh kain sutera ke hadapan si
muka kelabu. Dengan seksama laki2 muka kelabu memilih, lalu menuding
beberapa di antaranya, barang yang terpilih itu segera di
kumpulkan di meja tersendiri. Kembali laki2 muka kelabu berkata kepada tuan kasir seperti ingin membeli kain corak lain-Tuan kasir munduk2 lagi, dia pimpin beberapa pelayan
membuka almari dan mengeluarkan lima blok kain katun warna
hijau pupus, pelayan toko langsung membawanya keluar dan
diserahkan anak buah laki2 muka kelabu, lalu diikat di punggung kuda.
Melihat lima blok kain katun hijau pupus ini, hampir saja Pui Jiping berteriak kaget.
Laki2 bertopi di meja sebelah segera merogoh saku membayar
uang teh terus berlari turun loteng sambil memanggul peti
kayunya. Melihat orang pergi ter-gesa2, Ji-ping bertanya, "Toako,
siapakah dia?" Kun-gi pandang sekelilingnya baru menerangkan dengan suara
rendah: "Dia adalah laki2 tua bergelung kuncir yang mengantar cincu-ling itu, baru hari ini dia memakai topi."
"dia turun ter-gesa2, jadi mau menyampaikan barang itu?"
"Lima blok kain katun hijau pupus sudah diikat di punggung kuda, itu tanda yang sudah jelas, sudah tentu dia harus lekas2
mengantarkan barangnya."
Sedang mereka bicara, tampak laki2 bertopi itu sudah
menyeberang jalan langsung menuju ke toko kain itu.
Seorang pelayan segera menyambutnya, maksudnya supaya dia
tidak serampangan masuk toko yang sedang sibuk melayani
pembeli besar. Laki2 bertopi manggut2 minta maaf, dia menuding
laki2 muka kelabu di dalam toko serta mengucapkan beberapa
patah kata, seperti mengatakan mau menyampaikan sesuatu
barang padanya. Pelayan manggut2 serta mempersilakan dia masuk. Menjinjing
peti kayunya laki2 bertopi beranjak ke dalam, langsung dia
mendekati laki2 muka kelabu dan memberi hormat. Si muka kelabu
hanya sedikit mengangguk dan mengajukan beberapa patah
pertanyaan-Laki2 bertopi unjuk tawa lebar sambil melangkah maju, peti kayu dia taruh di atas meja, ia mengeluarkan anak kunci dan membuka petinya itu, dari dalam kotak dia keluarkan serenceng
kalung mutiara, tusuk kundai, kembang berlian, gelang dan lain2
macam perhiasan, bersama dua buah kotak kecil berlapis kain,
sutera biru, satu persatu dia aturkan ke hadapan laki2 muka
kelabu, mulutnya tak berhenti menerangkan ini itu seperti penjual perhiasan layaknya yang memuji barang dagangannya.Jadi
Cin-cu-ling yang dibawanya itu berada di dalam kotak itu.
Seenaknya saja laki2 muka kelabu memilih delapan macam
perhiasan, sudah tentu kedua kotak itupun dipilihnya, lalu dari lengan bajunya dia keluarkan selembar uang kertas dan diserahkan kepada laki2 tua bertopi itu.
Berseri girang laki bertopi, setelah terima uang kertas (sebangsa cek) itu, dia bereskan dagangannya, sambil munduk2 dan berucap
terima kasih terus keluar.
Sementara itu pelayan sudah membuntal beberapa blok kain
suteralainnyadiatas kudayanglainpula.
"Toako, hayo lekas berangkat," tiba2 ji-ping berkata gugup,
"Mau kemana?" tanya Kun-gi heran
"Lekaslah, kalau terlambat, tidak ada kesempatan lagi," desak Jiping.
Cepat2 mereka turun terus larikan kuda keluar kota menuju ke
utara, diluarkotaji-ping melarikan kudanyaterlebihkencang.
Semula Kun-gi kira dia hendak menguntit si tua bergelung
kuncir yang menyaru pedagang perhiasan, dari uang kertas yang
dia terima dari laki muka kelabu itu pasti bisa diselidiki siapa sebetulnya laki2 muka kelabu itu. Tapi sekarang dia baru
menyadari bahwa dugaannya ternyata meleset jauh. Ji-ping bukan
mengejar atau menguntit orang, tapi dia membedal kudanya
seperti orang kesetanan sampai lima li jauhnya, lalu membelok ke sebuah jalan kecil yang berlapis batu.
Waktu itu sudah magrib, sang surya hampir terbenam, burung2
berkicau kembali ke sarangnya, jauh di antara gunung gemunung
di antara lebatnya pepohonan sana tampak asap mengepul di
angkasa. Betapapun sabar hati Kun-gi, setelah heran sekian lamanya, kini tak tahan lagi, dia bedal kudanya memburu ke depan serta
bertanya: "Dik, hendak ke mana kau sebetulnya?"
Ji-ping berpaling, sahutnya tertawa: " Kubawa kau menemui
seorang." "Siapa dia?" tanya Kun-gi.
"Setelah berhadapan pasti kuperkenalkan."
"Orang ini ada hubungannya dengan tujuan perjalanan kita?"
Sambil memecut kudanya Ji-ping menjawab: "Toako tak usah
banyaktanya, setelahtibasaatnyakauakantahusendiri."
Kuda mereka adalah milik keluarga Tong yang terpilih, maka
larinya kencang sekali, 20 li sudah mereka tempuh, pegunungan di sini berpanorama indah permai, pohon Siong dan hutan bambu
memagari jalanan, keindahan alamnya laksana dalam impian
Tiba2 tergeraklah hati Ling Kun-gi, dia ingat Kim Kay-thay
pernah menyinggung Liong-bin-san-ceng kepadanya, letaknya di
utara kota Thung-seng, mungkinkah Liong-bin san-ceng terletak
dipegunungan ini" Sementara itu Pui Ji-ping di sebelah depan sudah tiba di kaki
gunung, mendadak dia belokkan kudanya ke dalam hutan serta
memperlambat larinya, beberapa jauhnya, dia lompat turun
dengan menuntun kuda ia menyelinap semak2 pepohonan yang
lebih dalam. LingKun-giikutisinona,tanyanya:"Sudahsampaibelum?"
"Belum, kita sembunyikan dulu kuda2 ini."
"Apa kita mau pergi ke Liong-bin-san-ceng?" tanya Kun-gi.
"Darimana Toako tahu?"balastanyaJi-ping kagetdanheran.
"Aku hanya menduga, gunung ini adalah Liong-bin-san (gunung naga tidur) kecuali pergi ke Liong-bin-san-ceng, ke mana lagi?"
"Em," hanya itu suara yang keluar dari teng-gorokan Ji-ping, dia tetap menuntun kuda memasuki hutan. Akhirnya mereka


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menambat kuda di hutan yang agak gelap dengan pepohonan
lebat. Berkata Kun-gi dengan nada serius: "Dik, memang jarang
orang2 Liong-bin-san-ceng bergerak di kalangan Kangouw, tapi
kabarnya kepandaian sang cengcu, ciam-liong Cu Bun-hoa amat
tinggi, iapun pandai membangun berbagai alat perangkap.
demikian pula racun dansenjatarahasia, jangankausembarangan
main2disini." "Toakotidakusahkuatir, kitatidakakan mengusikmereka."
"Jadi siapa sebetulnya yang kau cari?"
"Toako ikutisajadiriku" Ji-pingtetaptidak mau menerangkan-Terpaksa Kun-gi mengikuti ke mana saja Ji-ping membawanya,
mereka mendaki bukit tandus di sebelah kiri, lalu menyusuri
selokan, lompat ke atas pematang dan tiba di sebuah tempat yang banyak pohon siong, tampak sebuah jalan besar yang dibangun
dari papan batu hijau menjurus lurus ke arah sebuah
perkampungan, agaknya letak perkampungan itu masih satu li
jauhnya... Hari sudah mulai gelap. dilihat dari kejauhan hanya
kelihatan bayang2 gelap yang bertutup genteng, itulah Liong-bin san-ceng adanya.
"Marilah kita turun," ajak Ji-ping, dia bawa Kun-gi menuruni jalanan kecil dan berputar ke belakang gunung, menembus hutan,
tak lama kemudian mereka sudah berada di kiri perkampungan
"naga tidur." Pagar tembok yang tebal dan tinggi dari Liong-bin-sanceng sudah tampak jelas.
Ji-ping berhenti, dia menggape ke arah Kun-gi menyuruhnya
mendekat. "Adaapadik ?" Kun-gitanya.
Ji-ping menuding dinding, katanya: "Masuk dari sini, di balik tembok ada sebuah jalan besar yang mengitari seluruh
perkampungan untuk masuk ke perkampungan harus melewati
jalan besar beralas batu hijau itu, maka penjagaan sepanjang jalan ini amat ketat dan keras, seluruhnya ada delapan pos penjagaan, setiap pos ada dua orang, ditambah seekor anjing pelacak yang
amat galak. kalau kita masuk dari sini harus melewati pos pertama
....." "Kita akan masuk?" tanya Kun-gi.
"Sudah tentu, buat apa sejauh ini kita kemari."
"Untuk apa kita masuk ke sana ?"
"Untuk apa kau tidak usah tahu," kata Ji-ping, "bila kita melompat naik ke atas tembok, kau harus menggunakan
kecepatan luar biasa untuk menutuk Hiat-to kedua orang yang
berjaga dipos pertama, kalau anjing datang, biar aku yang
menghadapi, cepat kau harus membebaskan pula tutukan Hiat-to
kedua orang itu, tapi jangan sampai mereka mengetahui jejakmu,
dengan kecepatan gerakanmu, sembunyilah di tempat gelap. di
antara deretan rumah di seberang."
"Bagaimana kau akan menghadapi anjing galak itu?" tanya Kungi.
"Aku punya caraku sendiri," sahut Ji-ping, "bekerjalah menurut petunjukku, urusan lain kau tidak usah turut campur."
Kun-gi bingung, ia termenung : "Kelihatannya dia apal sekali mengenai seluk-beluk Liong-bin-san-ceng ini."
Ji-ping meliriknya, katanya tertawa: "Toako, apa yang sedang kau pikir" Lekas masuk, kalau terlambat, nanti in-congkoan keburu pulang."
"Siapakah In-congkoan?" tanya Ling Kun-gi..
"In-congkoan adalah laki2 muka kelabu yang membeli lima blok kain di toko Tek-hong itu, dia bernama In Thian-lok, Congkoan dari Liong-bin-san-ceng ini."
"Kiranya kau kenal dia."
"Kalau tidak kenal, untuk apa kita kemari?"
Dari kejauhan mereka sudah dengar derap kuda yang lari
kencang. "Mereka sudah kembali," kata Ji-ping., ia tarik tangan Kun-gi serta menambahkan: "Pagar tembok ini ada tiga tombak tingginya, kalau aku melompat setinggi itu mungkin mengeluarkan suara, kau harus bantu menarikku."
Berdebur jantung Kun-gi menggandeng tangan yang halus ini.
Dengan tangan bergandeng tangan mereka keluar hutan terus
mengembangkan Ginkangberlarisecepatterbang.
Setiba di kaki tembok. Kun-gi berseru lirih: "Naik" badan tanpa jongkok, kaki tidak keli-hatan menekuk, hanya kedua lengan saja yang bergerak. sedikit ujung kaki menutul, dengan ringan dia
membawa Ji-ping melambung ke atas seringan kapas dan hinggap
di atas pagar tembok. Waktu dia melihat ke dalam, ada jalan lebarnya enam kaki. Tak
jauh di kaki tembok sana dua orang laki2 bersenjata golok
berseragam hijau tua sedang berdiri membelakangi mereka. Di
bawah mereka mendekam seekor anjing galak sebesar anak sapi,
kelihatan amat cerdas dan tangkas, agaknya lebih sukar dilayani daripada manusia.
Sebelum melompat naik tadi Kun-gi sudah menjemput dua butir
kerikil, baru saya tapak kaki hinggap di atas tembok. dua butir batu lantas meluncur ke arah kedua orang, sementara mulutnya berseru lirih: "Lekas turun"
Tanpa ayal Ji-ping melompat turun-Belum kakinya hinggap di
tanah, anjing pelacak itu sudah melompat bangun, bulunya berdiri, giginya menyeringai memburu maju.
Begitu berdiri tegak Ji-ping lantas membentak tertahan:.
"Jangan menyalak, aku" mendengar suara Ji-ping, anjing galak itu menurunkan ekor-nya, dengan langkah pelan dia menghampiri Jiping serta meng-endus2 tangan Ji-ping, sikapnya ramah dan
aleman-Pui Ji-ping juga ulur tangan menepuk kepalanya, cepat dia melangkahkedepan,anjingitu mengikutdibelakangnya.
Kun-gi melongo, pikirnya:. "Mungkin iapun salah seorang dari Liong-bin-san-ceng?"
Ji-ping membawa anjing itu ke tempat lain, Kun-gi lantas
melompat turun sembari membebas-kan tutukan Hiat-to kedua
orang tadi, segera bayangan berkelebat, tahu2 sudah lenyap di
balik kegelapan di deretan rumah sana.
Terdengar derap kaki kuda yang datang semakin dekat,
agaknya sudahsampaididepan perkampunganWaktu Kun-gi celingukan, dilihatnya Ji-ping sudah berkelebat
datang pula, katanya lirih: "Toako, mari ikuti aku"
Banyak tanda pertanyaan dalam hati Kun-gi, tapi tak sempat
bertanya, terpaksa dia ikuti setiap kehendak Pui Ji-ping, mereka sembunyi di antara bayang2 kegelapan, mereka menyelundup
masuklebih dalam. Agaknya Ji-ping apal benar mengenai keadaan Liong-bin-sanceng, melewati ber-lapis2 rumah, naik ke wuwungan, membelok
kian kemari, se-olah2 dia berada di rumah sendiri, cuma kali ini dia main sembunyi2.
Untung beberapa bangunan loteng sudah mereka lampaui tanpa
konangan seorangpun, akhirnya mereka mengitari sebuah serambi
panjang terus memasuki sebuah halaman berbunga, Jiping bawa
Kun-gi masuk melalui pintu kanan yang berbentuk bulan, sebelah
dalam adalah pekarangan kecil, sebuah empang dikelilingi tanaman bunga yang mekar semerbak.
Ada jembatan batu, di antara jalanan kecil yang berliku ke
belakangdipagaripot2 kembang dariberbagaijenisyang indah.
Di ujung kiri pekarangan terdapat undakan batu, di mana ada
tiga baris kamar tulis, jadi untuk masuk ke kamar tulis orang harus lewat ruangan bunga, maka pintu bulan di kanan kiri jarang
dibuka, namun enamjendela di tiap2 kamar itu semua terpentang
lebar. Pelan2 Ji-ping tarik lengan baju Kun-gi, mereka merunduk ke
dalam semak2 bunga terus berjongkok. Di dalam kamar tersulut
sebatang lilin. dari jauh terlihat kamar itu penuh rak buku yang berjajar rapi, lukisan memenuhi dinding, pada sebuah kursi di
ujung timur duduk seorang yang berpakaian ketat warna biru laut sedang membaca buku di bawah penerangan lilin besar itu. Karena dia duduk miring, yang kelihatan hanya setengah bayangannya,
tak jelas raut mukanya. Kun-gi berpaling hendak tanya Pui Ji-ping, tampak sikap sinona agak tegang, sebuah jarinya tegak di depan
bibir, maksudnya supaya dia jangan bersuara.
Pada saat itulah di luar pintu bulan sabit kedengaran langkah
ringan berhenti di depan kamar buku, lalu terdengar suara yang
serakrendahberkata:"Cengcu, hambasudah kembali."
Diam2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ternyata orang yang membaca buku itu adalah Liong-bin-san-ceng Cengcu Cu Bun-hoa adanya."
Terdengarsuaralantangberkatadidalam: "Masuklah?"
Lalu seorang membuka pintu, langkah ringan itu masuk ke
dalam kamar. Terdengar suara serak itu berkata pula: "Mengingat musim panas sudah menjelang, para saudara perkampungan perlu
berganti pakaian, maka dalam perjalanan ke kota kali ini hamba
sekalian membeli lima blok kain katun."
"Barang2 permintaan Hujin dan Siocia juga sudah kau belikan?"
tanya suara lantang tadi.
"Semuanya sudah hamba beli, seluruhnya habis tiga ratus tiga puluh dua tahil perak."
"Barang apa yang mereka minta, kenapa sampai keluar uang
begitu banyak?" Suara serak melapor: "Tujuh blok kain sutera dan empat blok kain satin, harganya cuma 24 tahil, di samping itu Siocia minta dibelikan kembang berlian dan kalung mutiara, harganya sebanyak seratus lima puluh tahil, sebelum pergi Hujin berpesan, kalau beli harus sepasang, kalau Slocoa dibelikan, Piau-siocia juga harus
dibelikan pula . . . ."
Mendengar sampai di sini, Kun-gi melirik ke-pada Pui Ji-ping
dibelakangnya. "o," suara lantang itu bertanya: "Kau sudah antar ke belakang"
Lalu kabar apa yang kau dengar di kota?"
"Hamba memang hendak lapor kepada Ceng-cu," suara serak itu berkata, "dari That-ho dan Ing-ciu diperoleh berita bahwa Lo-sam dan Lo-cit dari keluarga Tong, serta Loji dari keluarga Un, demikian pula Kim Ting Kim Kay-thay yang jarang keluar pintu
bersama Thong-pi-thian-ong yang berangasan itu sama muncul di
sekitar sana ...." "O," suara lantang itu berkata: "Tanpa berjanji mereka sama memasuki daerah ini, sudahkah menyelidiki apa tujuan mereka?"
"Hamba sudah utus beberapa saudara yang cekatan untuk
menyelidiki jejak mereka, sekarang memang belum berhasil
diketahui maksud mereka, tapi hamba sudah mendapat laporan
anak buah yang ditugaskan ke Thung-seng . . . ."
"Berita apa yag kau peroleh?"
"Kabarnya dari Poh-yang, Ing-ciu sampai ke Sek-song, secara beruntun beberapa kelompok orang itu mendadak lenyap tak
keruan paran-" Tergerak hati Ling Kun-gi, pikirnya "Masa orang2
itu lenyap seluruhnya"."
"Apa katamu?" suara lantang itu menegas.
"Mereka hilang semuanya?"
"Ya, kabarnya mereka bergerak secara sendiri2, tapi tujuan satu, tapi di sinilah letak aneh-nya, sebelum sampai di Sok-seng, orang2 itu seperti mendadak ambles ke bumi. Kini hamba sudah
utus orang untuk menyelidiki lebih lanjut."
"Bagus, sebelum jelas tujuan orang2 itu, penjagaan kita di sini harus diperketat," suara lantang berpesan-Suara serak mengiakan, lalu bertanya-"Cengcu ada pesan lain?"
"Tiada lagi." "Hamba mohon diri," kata suara serak terus keluar dari kamar buku.
Suara serak itu sudah tentu adalah laki2 muka kelabu yang
membeli kain di toko kain Tek-hong, yaitu Cong-koan Liong-bin
sonceng In Thian-lok adanya.
Setelah dia keluar dari kamar buku, laki2 jubah hijau itupun
berbangkit dari kursi malas, sambil menggendong tangan dia
berjalan ke jendela, mendongak menghirup hawa segar, katanya
menggumam: "orang sebanyak itu mendadak lenyap. ada kejadian aneh apa yang telah mereka alami?"
Begitu dia dekat jendela, Kun gi dapat melihat jelas wajahnya,
Liong-bin-sun-ceng cengcu yang kenamaan dikalangan Kangouw
ini kelihatannya berusia 45-an, wajahnya putih, jenggot hitam
menjuntai di dada, tingkah lakunya lemah lembut mirip seorang
sekolahan. cuma kedua alisnya tebal, kedua matanya berkilau
bagai bintang, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli Lwekang yang lihay.
Pui Ji-ping yang sembunyi di semak2 pohon begitu melihat laki2
jubah hijau berdiri di depan jendela, karena hati keder, tanpa
terasa dia menarik kencang lengan baju Ling Kun-gi, sedikit
gerakan ini menyebabkan daun pohon tersentuh sehingga
mengeluarkan suara kresek, walau hanya gerakan lirih sekali, tapi kedua mata laki2 jubah hijau yang mencorong itu sudah
memperhatikan ke arah sini, mulutpun membentak kereng.
"Siapa?"walausuarabyatidak keras, tapisangatberwibawa.
Terpaksa Ji-ping berdiri dan keluar dari semak2, sahutnya
pelahan: "Aku paman" jadi dia adalah keponakan laki2 jubah hijau itu.
Lalu dia membalik tubuh serta berkata: "Ling-toako, lekas ikut aku." -dari sebutan Toako men-dadak dia ubah menjadi "Ling-toako" dihadapan pamannya sehingga kedengaran lebih wajar.
Setelah Ji-ping keluar, terpaksa Kun-gi ikut keluar, satu persatu mereka melompati jendela masuk ke dalam dan berdiri di hadapan
laki2 jubah hijau. Dengan tajam orang mengawasi mereka, terutama melihat
dandanan Pui Ji-ping, seketika dia mengerut alis, katanya: "Kau ini Ji-ping?"
Si nona tertawa, katanya. "Sudan kupanggil paman, kalau bukan Ji-ping, siapa lagi?" lalu ia berpaling kepada Kun-gi, dan berkata:
"Ling-toako, inilah pamanku, Cengcu dari Liong-bin-san-ceng ini."
Lekas Kun-gi memberi hormat, katanya: "Cayhe Ling Kun-gi
memberisalamhormatkepa-daCu-cengcu "
"Paman, Ling-toako telah dua kali menolong jiwa keponakanmu, maka sengaja kubawa dia kemari untuk menemui paman,"
demikian tutur Ji-ping, Tajam dan lekat pandangan Cu Bun-hoa, sejenak dia awasi Kungi, katanya sedikit manggut2: "Silakan duduk saudara Ling, Ji-ping, suruhlah orang menyuguh teh." -dalam hati dia membatin, "Budak ini malam2 menemui aku, entah ada urusan apa." Sambil mengelus jenggot, dan tatap Ji-ping, tanyanya. " Kalian ada urusan apa?"
Ji-ping menekan suaranya: "Ada urusan penting yang amat
rahasia hendak kami laporkan kepada paman-"
Cu Bun-hoa melengak dan bertanya: "Urusan rahasia apa?"
Kata Ji-ping sungguh2: "Paman, urusan ini amat penting dan gawat, sekali2 tidak boleh bocor."
Melihat sikapnya yang prihatin, hati Cu Bun-hoa rada bimbang,
katanya: "Ji-ping, siapapun tanpa kupanggil tiada yang berani masuk ke kamar buku paman ini, maka boleh kau terangkan
sekarang." "Aku tahu," sahut Ji-ping, "tapi lebih baik kalau kututup jendela ini."
"Memangnya begitu penting?" tanya Cu Bun-hoa.
"Ya" sahut Ji-ping tertawa, "tadi kami sembunyi di luar jendela, bukankah percakapan paman dengan In-congkoan dapat kami
dengarsemua?"-laluiapun menutup jendelanya.
Cu Bun-hoa duduk di kursi sebelah atas, tanya-nya: "Ji-ping, apakahToaci (maksudnyaibuJi-ping)baik2sajadirumah?"
"Aku belumpulang," sahut Ji-ping menggeleng.
"Lalu ke mana saja kau selama ini?"
Merah muka Ji-ping, sekilas dia lirik Kun-gi, katanya: "Di tengah jalan kubertemu dengan Ling-toako, lalu bersama dia."
Pandangan Cu Bun-hoa beralih ke arah Kun-gi, katanya tertawa:
"Aku sudah tahu, walau usia Ling-lote masih muda, tapi sorot matanya gemilang, kepandaian silatnya tentu tidak rendah, entah siapakah gurunya?"
Belum Ling Kun-gi buka suara, Ji-ping sudah mendahului:
"pandanganmu memang tajam, Ling-toako adalah murid Hoan-jiu jilay."
Melengak Cu Bun-hoa, katanya serius: "Jadi Ling-lote adalah murid kesayangan paderi sakti Hoan-jiu-ji-lay, maaf aku kurang
hormat." "cengcuterlalurendahhati" Kun-giberkataramah.
Mendengar nada pembicaraan kedua orang Ji-ping tahu kalau
pamannya menaruh hormat dan pemuja Hoan-jiu-ji lay, maka
hatinya ikut senang, katanya dengan suara hampir berbisik: "Ling-toakokemariuntuk menyelidikiperistiwaCin-Cu-ling."
Cu Bun-hoa manggut2, katanya: "Aku pernah dengar berita dari Kangouw bahwa keluarga Un di Ling-lam dan Tong di Sujwan
masing2 kehilangan kepala keluarganya, sanak familinya
menemukan mutiara berukir huruf Ling di bawah bantal mereka.
Cin-Cu-ling memang pernah menggemparkan Kang-ouw beberapa
waktu yang lalu, tapi kejadian sudah berlarut, kini sudah mulai dilupakan orang, lalu bagaimana hasil penyelidikan Ling-lote?"
Ji-ping mendahului bicara pula: "Paman, karena tiga bulan yang lalu ibu Ling-toako juga mendadak lenyap, maka gurunya
menyuruh dia mengembara di Kangouw untuk menyelidiki
peristiwa Cin-Cu-ling itu, Langkah pertama Ling-toako pergi ke
Kay-hong menemui Kim Ting Kim Kay-thay, karena ketua
Yok-ong-tian, Loh-san Taysu dari Siau-lim-s juga telah lenyap tiga bulan yang lalu."
Tergetar hati Cu Bun-hoa, katanya: " Ketua Yok-ong-tian Siaulim-sijuga lenyap. kenapaakutidak mendengar?"
"Panjang kalau diceritakan, Ling-toako, kau saja yang
menjelaskan pada paman-"
Maka Kun-gi bercerita tentang pengalaman belakangan ini sejak
dia menemui Kim Kay-thay di Kayhong serta terima surat yang
serba rahasia dan misterius itu sampai sekarang.
"Ling-lote tahu, apa isi kotak sutera itu?" tanya Cu Bun-hoa.
"Paman," sela Ji-ping, "dengarkan saja dengan sabar, semuanya akan jelas "
Kun-gi lalu ceritakan pula penculikan Pui Ji-ping oleh orang2
keluarga Tong yang dipimpin Cit-ya dan terpaksa dirinya sampai
meluruk ke Pat-kong-san. Cu Bun-hoa mendengus sambi1 mengelus jenggot: " Keluarga
Tong juga berani main kayu terhadap keluargaku. Ji-ping, kapan2
paman juga ringkus Kwi-kianjiu itu, akan kugantung dia tiga hari tiga malam."
"Jangan," seru Ji-ping, "sekarang aku sudah angkat Tong-lohujin sebagai ibu angkatku."
"o, apa pula yang telah terjadi ?" tanya Cu Bun-hoa tak mengerti.
"Waktu Ling-toako meluruk ke Pat-kong san, dia pukul hancur Pat-kwa to tin keluarga Tong, Tong-hujin lalu menerimaku sebagai puteri angkat. Toako, untuk selanjutnya kau saja yang bercerita."
"Seperti apa yang telah cengcu terima beritanya tadi, sejak mula Wanpwepun terus menguntitnya sampai sini," demikian sambung Kun-gi setelah bercerita panjang lebar.
Berkerut alis Cu Bun-hoa, katanya: " Barang apakah sebenarnya yangdiantarsecaramarathondengan gantiberganti tangan, sampai
menimbulkan perhatian banyak orang."
Maka Ling Kun-gi bercerita pula akan pengalamannya sejak
turun dari Pat-kong-san, dan barang yang diantar itu sekarang
kemungkinan sudah mencapai tempat tujuan ya terakhir.
"Kemana mereka antar barang itu?" tanya Cu Bun-hoa
kemudian "Yang jelas barang itu cin cu-ling, Wanpwe sudah membuktikan sendiri."
"Lalu bagaimana selanjutnya menurut apa yang kau ketahui?"
"Menurut hasil penyelidikan Wanpwe, Cin-Cu-ling harus
diserahkan kepada seorang yang membeli lima blok kain katun di
toko kain Tek-hong di kota Thung-seng." '
Berubah air muka Cu Bun-hoa, tanyanya. "Kalian terus
menguntitnya tidak?"
"Sudah tentu," sela Ji-ping.
"Jadi kalian sudah melihat Cin-Cu-ling itu di-terimakan kepada orang yang beli lima blok kain katun itu?"
"Kami mengamati dari warung teh diseberang jalan toko Tekhong, semua kejadian kami saksikan dengan jelas," demikian Ji-ping bercerita, "cuma pengantar barang yang semula
menggelung kuncir di atas kepala hari itu menyamar sebagai
pedagang perhiasan, dengan caranya yang lihay dia simpan
Cin-Cu-ling di antara perhiasan terus dijual kepada pembeli kain itu, orang lain yang tidak tahu tentu menyangka dia membelikan
perhiasan untuk anak gadisnya ......"
"Jadidia?"desisCuBun-hoadengan mataterbeliak.
"Paman tidak percaya?" Ji-ping menegas.
Pelan2 mata Cu Bun-hoa tatap mereka berdua, suaranya kalem
dan rendah: "Sudah puluhan tahun In Thian-lok mengikuti aku, biasanya amat setia dan menyelesaikan tugasnya dengan baik,


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selamanya belum pernah melakukan kesalahan, kalau dikatakan
dia mempunyai maksud jahat, sungguh sukar dipercaya..... " dia pandang Ling Kun-gi, lalu menyambung pula: "Ling lote, di atas loteng itu kau menyaksikan dengan jelas, coba kau jelaskan pula lebih teliti."
Terpaksa Kun-gi menceritakannya pula lebih terperinci.
Lama Cu Bun-hoa menepekur, katanya kemudian: "Mereka
serahkan Cin-Cu-ling kepada In Thian-lok. jadi orang berikutnya yang hendakdi-culikadalah diriku."
"Kukira demikian adanya," kata Ji-ping.
" Waktu Cayhe meninggaikan Kayhong, Kim-loyacu juga pernah menyinggung diri Cu-cengcu kepada cayhe."
"Apa kata Kim Kay-thay?"
"Kim-loyacu bilang, orang2 yang diculik oleh komplotan cin-cu ling ini kebanyakan adalah ahli2 racun, obat bius dan obat2an,
dalam Bu-lim, kecuali keluarga Tong yang pandai menggunakan
racun dan senjata, keluarga Un ahli obat bius, katanya Cu-cengcu jugaseorangahlidalambidang ini....."
Hebat perubahan air muka Cu Bun-hoa kali ini, mulutnya
menggeram sekali. Terbelalak lebar mata Pui Ji-ping, tanyanya "kenapa tidak
pernah kudengar engkau -orang tua juga pandai main racun?"
Hanya sebentar perobahan air muka Cu Bun-hoa, tuturnya
sambil menghela napas: " Keluarga cu kita selamanya belum
pernah berkecimpung di Kangouw, mungkin itu hanya berita
kosong belaka diluaran, soalaya kakek luarmu dulu pernah
menolong seorang tua yang terluka parah dan hampir ajal di luar perkampungan, tiga bulan lamanya orang tua itu dirawat sampai
sembuh, sebelum pergi dia meninggalkan sesuatu resep obat.
Waktu itu keamanan sering terganggu, kawanan rampok
merajalela. main bunuh, rampok. memperkosa kaum wanita,
sehingga jaman itu keadaan kacau balau, orang tua itu pernah
berpesan kepada kakek luar-mu supaya membuat obat menurut
resep yang di tinggalkan serta ditaburkan di daerah tiga li di luar perkampungan secara melingkar, kemungkinan rampokitu tidak
akanberani mengusik kemari . . . ."
"Tentunyaobatituracun yangamatlihay?"tanyaJi-ping.
"Betul," Cu Bun-hoa mengangguk, "tak lama kemudian, sekawanan perampok memang meluruk datang, tapi tiga li di luar
perkampungan kita kawanan perampok ini sama terjungkal roboh
binasa sehingga Liong-bin-san-ceng tidak terusik sedikitpun, orang luar yang tidak tahu persoalannya menganggap keluarga Cu kita
juga ahli dalam bidang ini, begitulah sampai sekarang, berita ini makin tersiar luas di luaran-"
"Paman, resepobat itu masih ada?" tanyaPuiJi-ping.
Cu Bun-hoa tertawa tawar, ujarnya: " Kejadian ini sudah lima enam puluh, tahun yang lalu, kakek luarmu tidak mewariskan
resep itu padaku." "Sayang sekali," kata Ji-ping gegetun.
"Jadi komplotan ini menyogok In Thian-lok dan berusaha
menculik diriku, tujuannya tentu juga resep obat beracun itu," ujar Cu Bun-hoa sambil mengelus jeng got.
"Bagaimana sikap paman untuk menghadapi persoalan ini?"
tanya Ji-ping. Cu Bun-hoa naik pitam, katanya gusar: "Biar kupanggil In
Thianlok kemari, akan kutanya dia."
Cukup lama Kun-gi tidak bersuara, sekarang dia menyela: "Cucengcu, jangan kau menyingkap rumput mengejutkan ular malah."
"Secara berhadapan kutanya padanya, memangnya berani dia
mungkir?" ujar Cu Bun-hoa.
"Bahwa dalam perkampungan ini ada orang yang kena sogok
oleh komplotan itu, mungkin ada mata2 lain pula yang
diselundupkan kemari, jumlahnya tentu tidak satu dua orang saja, cara-paman benar In Thian-lok mengaku terus terang dihadapan
Cengcu, tapi beberapa mata2 itu tetap. menjadi rahasianya,
bagaimana Cengcu bisa membongkar komplotan jahat itu?"
"Betul ucapan Ling-lote," ujar Cu Bun-hoa, "Ai, sudah puluhan tahun In Thian-lok menjadi tangan kananku yang terperCaya,
ternyata dia berani menging kariku dan berkomplot dengan musuh, kalau dipikir sungguh amat mengerikan-"
"Sudah beberapa bulan ibu menghilang, menurut dugaan Suhu, kemungkinan diapun terculik oleh kawanan Cin-Cu-ling ini, kalau mereka sudah menyogok In Thian-lok untuk melaksanakan
perintah mutiara itu, terang tujuannya adalah menculik cengcu
secara diam2, cayhepunyapendapatbodoh,
entahbisatidakdilaksanakan?"
Bersinar mata Cu Bun-hoa, katanya. "coba jelaskan
pendapatmu." "Menurut pendapat cayhe, untuk sementara cengcu tetap
berlaku wajar, anggaptidaktahuapa2, kitabalas menipu mereka."
Tangan mengelus jenggot, dengan tajam Cu Bun-hoa tatap
muka Ling Kun-gi, lama diaberdiamdiri,
"cayhe sedikit menggunakan tata rias, biar cayhe menyaru Cucengcu dan diculik mereka, dengan cara ini sekaligus aku akan
berhasil menyelidiki sarang mereka, akupun akan berhadapan
dengan biang keladi dari peristiwa ini dan mengetahui apa
tujuannya?" "Baiksekali tipu ini", ujarCu Bun-hoa.
"Bagi cayhe dapat bekerja menurut keadaan untuk menolong
ibunda, bagi cengcu, secara diam2 dapat mengawasi gerak-gerik
In Thian-lok. supaya semua mata2 yang diselundupkan sini bisa
terjaring seluruhnya."
"Masuk akal," ujar Cu Bun-hoa manggut2, "baiklah kita bekerja menurut pendapat Ling-lote ini."
"Ling toako, kau menyamar paman masuk ke sarang musuh,
lalu aku?" tanya Ji-ping. "Tugas apa yang kau serahkan padaku?"
"Kau sudah berada di rumah pamanmu sendiri, boleh mencuci
samaranmu. tinggal saja beberapa hari di sini, keadaan Kangouw
sekarang sudah kacau balau, tidak baik kau keluyuran lagi di luar."
"Tidak keadaanku ini tidak ada yang memperhatikan, secara
diam2 aku bisa kuntit mereka dengan leluasa aku bisa mengirim
kabar kepada paman-"
"Ji-ping, jangan kau nakal, tepat ucapan Ling-lote, kau seorang perempuan, jangan keluyuran saja, tinggal saja beberapa hari di sini, akan kusuruh orang memberi kabar kepada ibumu."
Dihadapan pamannya, Ji-ping tidak berani merengek dan
banyak bicara lagi. "Malam ini kukira tidak akan ada kejadian, Ling-lote boleh menginap di kamar rahasiaku Ji-ping lekas kau cuci muka, ganti
pakaian dan kembali ke belakang.
"Tidak paman, Ling-toako besok mungkin pergi, dia sudah janji mengajarkan ilmu tata rias padaku, sebelum dia pergi malam ini
aku akan belajar padanya."
"Ilmu rias mana bisa dipelajari semalam saja" Belum terlambat untukbelajarsetelah Ling-lote kembali nanti."
Sudah tentu dia tidak tahu perhitungan Pui Ji-ping, kata nona
itu: "Tidak. malam ini juga aku akan belajar, meski hanya kulitnya saja. Ling-toako sekarang juga kau ajarkan padaku?"
Apa boleh buat terpaksa Kun gi manggut2, katanya: "Boleh saja, nantikuajarkan yangpalinggampang dulu."
Pui Ji-ping berjingkrak girang, katanya: "Ling-toako, ajarkan cara meriassepertikeadaanku sekarangini."
"Kalau belajar, ajaklah Ling-lote ke kamar rahasiaku saja," kata Cu Bun-hoa.
Dengan keheranan Ji-ping Celingukan, tanyanya: "Paman, di
mana letak kamarrahasiaitu"Aku koktidak tahu?"
"Kamar itu buat latihan kakek luarmu, bibipun tidak tahu. mana kau bisa tahu?"
"JadiPiaucijugatidak tahu"Paman, dikamar itu?"
Cu Bun-hoa tersenyum sambil menghampiri rak buku di sebelah
timur, tangan diulur dan sedikit ditekan, dua rak buku yang semula rapat berjajar tiba2 bergerak pelan2, lalu muncul sebuah pintu di belakangnya.
Pui Ji-ping menjerit senang sambil tepuk tangan dan segera dia
mendahului menerobos masuk.
"Ji-ping, berhenti" tiba2 Cu Bun-hoa membentak.
Baru tiga langkah Ji-ping bergerak lantas dengar seruan
pamannya, cepat ia berpaling, tanyanya: "Paman, untuk apa kau memanggilku?"
Cu Bun-hoa melangkah maju, tangannya menekan dua kali di
pinggir pintu, lalu berkata, "Sekarang boleh masuk."
Melihat kelakuan orang, diam2 Kun-gi Membatin: " Kabarnya Cu Bun-hoa pandai memasang alat2 perangkap. Liong-bin-san-ceng di
mana2 banyak jebakan, orang luar yang tidak tahu seluk-beluknya jangan harap bisa masuk kemari, tapi sepanjang jalan masuk
bersama Ji-ping tadi sedikitpun aku tidak melihat tanda apa2 di kamar ini, terang juga dipasang alat jebakan."
Dari meja di sebelah Cu Bun-hoa ambil sebuah lentera yang
terbuat dari tembaga dan diangsurkan kepada Ji-ping, katanya:
"Sulut apinya dan tunjukan jalan bagi Ling-toako."
Pui Ji-ping mengiakan terus menyulut api, katanya: "Mari Ling-toako" Lalu dia mendahului masuk.
Kun gi segera ikut masuk, pintu di belakang mereka lantas
menutup secara otomatis. Dengan seksama dia mengamati, kamar
ini tidak begitu besar, namun serba rapi dan teratur bersih, sebuah dipan kayu terukir indah mepet dinding sebelah kanan, kedua
sampingnya masing2 terdapat sebuah meja marmer yang
bergambar indah. Delapan lukisan menghias kedua dinding yang
luas itu, tepat di tengah kamar ada sebuah meja delapan segi
berukir di kelilingi empat buah kursi berpunggung. Sebuah almari buku ada di sebelah kiri, di atasnya berjajar berbagai barang2
antik, dilapisan tengah tertaroh botol2 obat, entah obat2 apa
karena tiada keterangan- Melihat gelagatnya, Ciam-Liong (naga terpendam) Cu Bun-hoa
sering meyakinkan ilmu dansamadidi kamariniseorangdiri.
Dasar nakal, begitu masuk Ji-ping lantas menghampiri dipan dan
berduduk. katanya tertawa:
"Mungkin Gwakong (kakek luar) sering latihan di atas dipan ini, ukirannya begini indah dan hidup,"
Entah kenapa, mungkin tanpa sengaja, tangannya yang usil
telah menyentuh alat rahasia, tanpa bersuara dipan itu bergeser ke kiri, di bawah segera tampak sebuah lubang dengan deretan
undakan menjurus ke bawah, kiranya itulah pintu masuk ke sebuah lorong di bawah tanah.
Karena duduk di atas dipan, Ji-ping ikut tergeser ke kiri, keruan kagetnya bukan main, lekas dia melompat turun. Mengawasi
lubang gelap di bawah, ia heran dan kaget, katanya: "Toako, mari kita turun melihatnya."
"Jangan, inilah kamar rahasia pamanmu, lekas kau betulkan ke tempat semula."
"cuma lihat2 saja, kenapa" Diakan pamanku."
"Setiap orang pasti punya rahasianya sendiri, bibipun tidak tahu adanya kamar rahasia ini, bahwa dia memberi ijin kita masuk
kemari, pertanda dia percaya pada kita, lalu jangan di luar tahunya kita mencuri lihat rahasianya" Lekas kau betulkan ketempat
asalnya." "Aku menyentuh tanpa sengaja, entah bagaimana aku harus
berbuat untuk membetulkan kembali,"
Baru berakhir percakapan mereka, terdengarlah suara Cu Bunhoa dengan tertawa, "Aku punya rahasia apa" Lorong itu
menembus ke belakang gunung2an palsu di tengah taman sana,
dulu waktu almarhum ayahku latihan suka ber-jalan2 di kamar, jadi tiada rahasia apa2."
Sebelum dia selesai bicara, dipan itupun bergerak kembali ke
tempat asalnya. Kun-gi cukup tahu diri, dia tahu banyak perangkap dan alat2
rahasia lainnya dalam kamar ini, terbukti percakapan mereka
didengar jelas oleh Cu Bun-hoa di kamar buku, secara tak langsung kata2nya telah memberi peringatan supaya mereka tidak
sembarang bergerakataumenyentuhapa2yangadadidalamkamar ini.
Maka ia lantas berkata: "Nona Pui, lekaslah kemari, sekarang juga mulai kuajarkan padamu," lalu dia tarik sebuah kursi serta berduduk. dari bajunya dia keluarkan kotak bahan2 rias dan
ditaruh di atas meja. Dengan riang Ji-ping lantas duduk di kursi sebelah kanan Kun-gi.
Kun-gi keluarkan obat cuci yang berwarna madu dan
menyuruhnya mengusap muka sendiri untuk membersihkan
wajahnya. Lalu dimulai ajaran menggambar alis, bagaimana
menebalkan lekuk bibir mata, bagaimana mencampur bahan2 serta
memoleskan ke muka, di sini tebal di sana tipis, sembari memberi penjelasan sebelah tangan memegang kaca kecil serta bergerak
menggoles2 muka sendiri, begitu jelas dan teliti sekali
penjelasannya. Otak Ji-ping memang cerdas, sudah tentu sekali dijelaskan dia
lantas tahu, cepat sekali dia sudah mahir juga menggunakan alat rias itu terus memperagakan diri, wajah sendiri dibuat percobaan dihadapan Ling Kun-gi, bila ada yang salah Kun-gi lalu memberi
petunjuk. muka dicuci, diulangi sekali lagi.
Mendekati kentongan kedua, pintu kamar di-ketuk orang dari
luar, suaranya lirih. Menurut kebiasaan, setiap malam sebelum
tidur Cengcu Cu Bun-hoa menyuruh pelayan pribadinya membikin
sop sarang burung, Kebiasaan ini sudah berlang-sung beberapa
tahun lamanya, pada hari2 biasa ketukan pintu demikian juga
sudah terlalu biasa, tapi lain dengan malam ini, mendengar suara ketukan pintu ini, jantung Cu Bun-hoa lantas berdetak tegang.
Sarapan pagi setiap harinya dia makan sendiri di kamar buku ini, dalam keadaan terang benderang, komplotan penjahat itu jelas
tidak takkan berani turun tangan. Sementara siang dan malam dia makan bersama isteri dan puterinya di belakang, ada pelayan yang melayani kebutuhan mereka, musuh terang tiada kesempatan
bekerja. Dan untuk makan malam menjelang tidur ini, selalu
diantar dari belakang, hari sudah larut malam, seorang diri dalam kamar buku lagi, inilah kesempatan paling baik untuk turun tangan bagi komplotan itu. Secepat kilat pikirannya bekerja, segera dia bersuara dengan rendah: "Siapa?"
Terdengar suara perempuan di luar pintu, sahutnya: " Hamba Kwi-hoa, mengantar bubur sarang burung untuk cengcu."
"Ya, bawa masuk" sera Cu Bun-hoa.
Pintu terbuka, tampak Kwi-hoa membawa nampan warna
merah, di mana tertaruh sebuah mangkok yang mengepulkan bau
sedap. Nampan diletakkan di atas meja, mangkok berisi bubur itu terus diserahkan kepada Cu Bun-hoa, mulutnya berkata manis:
"Silakan cengcu makan-" Duduk dikursi malas, dengan pandangan tajam Cu Bun-hoa menatap muka Kwi-hoa.
Kwi-hoa adalah nona yang berusia delapan atau sembilan belas
tahun, gadis ini amat cekatan dan cerdik, perasaannyapun tajam, terasa olehnya kedua biji mata sang cengcu tengah menatap
dirinya lekat2. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi, keruan hatinya kebatkebit, wajah seketika merah jengah, berdiri di samping dia menunduk tak berani bergerak.
Sambil mengelus jenggot yang terawat baik, dengan suara
tertekan Cu Bun-hoa bertanya: "Kwi-hoa, sudah berapa tahun kau bekerja disini?"
"Sudah tiga tahun," sahut Kwi-hoa lirih.
"Siapayang membawamu kerja disini?"
"In-congkoan." Geram hati Cu Bun-hoa, ternyata memang se-komplotan,
demikian batinnya, lalu tanyanya pula:
"Bagaimana kau kenaldengan In-congkoan?"
"Semula hamba tidak kenal In-congkoan, tiga tahun yang lalu setelah ayah bunda wafat, tiada orang yang kubuat sandaran,
terpaksa menjual diri sebagai pelayan, kebetulan In-congkoan
lewat, mendengar logat hamba, kiranya kami adalah kelahiran
sekampung, setelah tanya jelas riwayat hidup hamba, baru Incongkoan membawaku kemari."
Cu Bun-hoa manggut2, tangan membuka tutup mangkok lalu
mengangkatnya, pelan2 hendak menghirupnya .
Kwi-hoa yang berdiri di samping melirik secara diam2, wajahnya
menampilkan rasa senang. Sudah tentu perubahan mimiknya tidak
lepas dari pengawasan Cu Bun-boa, seperti merasa buburnya
terlalu panas, dia urung menghirupnya, lalu ditaruh kembali di atas meja pula, tanyanya: "Kau yang masak bubur ini?"
"Ya, atas petunjuk Hujin," sahut Kwi-hog.
"Waktu kau membawa bubur kemari, adakah ketemu
siapa?" Sedikit berubah air muka Kwi-hoa, sahutnya: "Ti .......
tiada." Cu Bun-hoa pura2 mendelik, suaranya kereng: " Waktu kau
membuat bubur, pernah kau tinggalkan sebentar?"
Kwi-hoa mulai kurang tenteram, sahutnya lirih: "Tidak."
Terpentang mata Cu Bun-hoa, katanya: " Kurasa bau bubur ini rada ganjil."
"Tidak mungkin," sahut Kwi-hoa, berubah air mukanya,
"bahan2nya pilihan khusus, mangkok ini-pun milik cengcu pribadi, waktu membuatnya hamba tidak lena, mungkin malam ini terlalu
banyak kuahnya, sehingga rasanya agak tawar."
Cu Bun-hoa tertawa aneh, katanya: " Kuahnya terlalu banyak"
Memangnya Lohu tidak bisa mem-bedakan bau bubur sarang
burung?" "Kalau begitu biar hamba buatkan lagi yang lain," kata Kwi-hoa takut2.
"Kalau memang kau sendiri yang membuatnya, coba kau saja
yang makan," ujar Cu Bun-hoa.
Kaget Kwi-hoa dibuatnya, ia menyurut mundur, katanya: "Bubur untukhidangancengcu, manahambaberani memakannya."
"Tidakapa, Lohu suruh kau makan-"
Pucat muka Kwi hoa, suaranya gelisah. "Hamba tidak berani
......." Cu Bun-hoa menukas dengan suara kereng.-"Berani kau
membangkang kehendak Lohu?"
Mendadak dia melompat bangun, sekali raih dia Cengkeiam
tengkuk Kwi-hoa, tangan kiri menekan dagu orang, mulut
dipepetnya sampai terbuka, semangkok bubuk itu terus dia tuang
ke mulutnya. Kejadian berlangsung teramat cepat, tidak sempat meronta atau
bersuara sedikitpun, sebagian besar bubur semangkok itu tertuang masuk perut Kwi-hoa, lekas sekali Hiat-topun tertutuk dan tak
mampu berkutik lagi. Pui Ji-ping memang cerdik, hanya sctengah jam, di bawah
petunjuk Ling Kun-gi pelajaran tata rias tingkat pertama sudah
berhasil dikuasainya dengan baik, Kini ia sudah berhasil mengubah bentuk mukanya menjadi apa saja yang ia kehendaki, sudah tentu
senang hatinya tak terkatakan, hanya suara-nya yang sukar dia
ubah dalam waktu singkat, tapi soal suara tidak begitu penting, asal jarang buka suara, orang tetap dapat diketahui.
Tanpa mengenal lelah serta sabar Kun-gi terus memberi
penjelasan segala seluk beluk tentang tata rias ini, pertanyaan Jiping ber-tumpuk2, ada saja persoalan yang dia ajukan.
Pada saat itulah, pintu rahasia yang tembus ke kamar buku
tiba2 terbuka, Cu Bun-hoa melangkah masuk sambil mengempit
seorang perempuan di bawah ketiaknya.
Lekas Ji-ping berdiri dan menyongsong maju, tanyanya: "orang ini ... he, kau kan Kwi-hoa?"
Cu Bun-hoa turunkan Kwi-hoa di atas lantai, wajahnya tampak
serius, katanya: "Tak tersangka komplotan penjahat itu bergerak begini cepat."
Ji-ping kaget, tanyanya: "Maksud paman Kwi-hoa sekomplotan dengan musuh?"
"Di dalam bubur dia campur obat bius, untung Lohu sudah
siaga, setelah kupancing lantas kelihatan belangnya, sebelum dia menyadari apa2 semangkok bubur itu sudah kucekok ke mulutnya,
betuljugadialantas kelenger."
"Lalu bagaimana paman?" tanya Ji-ping.
"Menurut dugaan Lohu, walau musuh sudah menyelundup di
sekitar kita, sebelum Kwi-hoa keluar, mereka takkan berani


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembarang bertindak, terpaksa kau harus menyaru Kwi-hoa,
bawalah mangkok kosong itu ke belakang, lalu Ling-lote menyaru
Lohu, sesuai dengan rencana kita."
Kun-gi manggut, katanya: "Mau bekerja janganlah membuang
waktu, nona Pui, lekas duduk biar kurias mukamu." Hanya
sepeminuman teh, Kun-gi sudah selesai merias Ji-ping, kini
wajahnya mirip benar dengan Kwi-hoa seperti pinang dibelah dua.
Cepat sekali Ji-ping lucuti pakaian Kwi-hoa terus dipakainya.
Sementara memegangi kaca Kun-gi merias wajah sendiri seperti Cu Bun-hoa, dengan cepat sekali dia sudah berubah jadi Cu Bun-hoa, lalu mereka saling bertukar pakaian-Tak lupa Kun-gi simpan Pi-tocu warisan keluarganya, kantong sulam pemberian Un Hoan-kun dan
pedang pan-dak di dalam bajunya. Cu Bun-hoa mendesak: "Jiping, kau harus lekas keluar."
Mengawasi Kun-gi, berat rasa hati Ji-ping untuk berpisah,
katanya: "Ling-toako, kau akan masuk ke sarang harimau,
hati2lah." "Nona Pui tak usah kuatir, belum setimpal komplotan jahat ini menjadi perhatianku."
"Lalu di mana kelak aku harus mencarimu?" tanya Ji-ping. Dia sudah memberanikan diri mengucapkan kata2 ini dihadapan
pamannya. Seorang gadis akan mencari laki2, kemana maksud
tujuannya iapapun sudah mengerti.
"Seorang diri jangan nona keluyuran di Kangouw, kelak setelah berhasil menolong ibu, pastiaku kemari menengokmu."
Dalam hati Ji-ping berjanji, "Tidak!! aku takkan tinggal di sini, ke ujung langitpun akan kucari dirimu." Sudah tentu kata2 ini tidak berani dia ucapkan.
Sudah tentu Cu Bun-hoa dapat meraba perasaan keponakannya
yang sedang kasmaran ini. soalnya waktu amat mendesak, lekas
dia mendesak lagi, "Ji-ping, sudah terlalu lama Kwi-hoa antar bubur ini, sekarang lekas kau keluar."
Kembali Ji-ping pandang Kun-gi lekat2, lalu dengan langkah
berat ia keluar. Sambil mengelus jenggot Cu Bun-hoa berpesan: "Ling-lote, kau cerdik pandai, tentu Lohu tidak perlu banyak pesan lagi, di sini Lohu menunggu kabar baikmu, semoga kau berhasil menolong
ibumu dengan leluasa, dan jangan lupa kemari lagi memberi kabar, jangan pulakau bikin telantar maksud baikJi-ping." Merah muka Kun-gi, katanya sambil menjura: "Terima kasih akan perhatian cengcu."
"Maaf, Ling-lote, Lohu tidak mengantar."
Tanpa bicara lagi Kun-gi beranjak keluar, rak buku di
belakangnya segera menutup sendiri. Waktu itu Pui Ji-ping sudah membawa nampan berisi mangkok kosong keluar kamar.
Pelan2 Kun-gi mendekati kursi malas lalu duduk bersandar,
pelan2 pula memejamkan mata, diam2 dia kerahkan hawa murni
menghimpun semangat. Entah berapa lama lagi, terdengar langkah gugup mendatangi
dari luar pintu, Lalu terdengar suara serak In Thian-lok
berkumandang di luar: "Lapor cengcu, ada urusan penting akan hambasampaikan-"Sudah tentuKun-gidiamsaja.
Sesaat kemudian, karena tidak mendengar suara cengcu, incongkoan berkata pula: "Apa ceng-cu sudah tidur?" Dia tahu bahwa Cu Bun-hoa sudah menghabiskan semangkok bubur, tentu
sekarang sudah terbius pulas, tapi dia tidak berani gegabah, mulut bicara, dia tetapberdiridan menunggudi luarpintu.
Begitulah sesaat lamanya lagi baru In Thian-lok pura2 bersuara
heran: "Aneh, Lwekang cengcu amat tinggi, kenapa tak terdengar suara apa2?"
Kata2nya ini hanya alasan belaka supaya dia dapat mendobrak
pintu masuk ke dalam. Kali ini dia keraskan suara: "cengcu, cengcu?"
Di sekeliling kamar buku ini sudah terpendam anak buahnya,
betapapun keras suaranya dia tidak takut mengejutkan orang lain yang tidak bersangkutan. Maka dengan leluasa dia dorong pintu
terus memburu masuk. Sekilas mata menjelajah, dilihatnya Cu
Bunhoa rebah telentang di atas kursi malas.
In Thian-lok pura2 kaget, dengan lagak gopoh ia mendekat ke
depan kursi dan tanya: "ceng-cu, kenapa" Lekas bangun" Lalu dia raba dahi Cu Bun-hoa, seketika wajahnya mengulum senyum sinis
girang, mendadak kedua tangan bekerja cepat, kesepuluh jarinya
naik turun, bagai kilat delapan Hiat-to penting didada Cu Bun-hoa telah ditutuknya.
Kun-gi sudah mempersiapkan diri, hawa murni sudah
melindungi badan, seluruh Hiat-to di badan-nya sudah terlindung, sudah tentu Hiat-tonya tidak mudah tertutuk.
Tapi Cu Bun-hoa yang sembunyi di kamar buku dapat
menyaksikan dengan jelas, sudah tentu dia tidak tahu kalau Kun-gi sudah meyakinkan hawa murni pelindung badan ini, karuan ia
kaget, pikirnya: "In Thian-lok berasal dari golongan hitam, bekal kepandaiannya sendiri tidak lemah, selama tahun2 terakhir ini
memperoleh banyak kemajuan lagi atas petunjukku, tingkat
kepandaiannya sekarang sudah mencapai kelas wahid, delapan
tutukan Hiat-to itu amat lihay, meski Ling-lote tidak terbius, setelah tertutuk Hiat-tonya, tetap dia tak dapat berkutik diantar masuk ke mulut harimau."
Sementara itu In Thian-lok mendekati jendela sebelah selatan,
kain gordin dia singkap. daun jendela dia buka, lalu mengambil lilin dandi-gerak2kantiga kalidi luarjendela.
Tidak lama kemudian terdengar suara kesiur angin, sesosok
bayangan orang menerobos masuk lewat jendela. Lekas In Thianlok menyongsong maju, katanya sambil menjura: "Silakan Houheng"
Orang yang baru menerobos masuk berpakaian hijau bertubuh
tinggi kurus, suaranya dingin: "in-heng menyerahkan orang tepat pada waktunya, tidak kecil pahalamu." Tergerak hati Kun-gi, batinnya. "Orang she Hou, mungkin Hou Thi-jiu adanya?"
In Thian-lok tertawa, katanya sambil menuding "Cu Bun-hoa"
yang rebah di kursi malas: "inilah Cu-cengcu, anak buahku sudah tersebar di sekeliling kamar ini, bagaimana mengangkutnya keluar, kami tunggu petunjuk Hou-heng."
"Soal ini in-heng tidak usah mencapaikan diri. cuma jalan keluar perkampungan ini, apakah in-heng sudah mengaturnya dengan
baik?" tanya laki2 baju hijau.
"Hou-heng tidak usah kuatir, semuanya sudah beres," sahut In Thian-lok.
"Baiklah," ujar laki2 kurus baju hijau, lalu dia membalik ke dekat jendela, ia bertepuk tiga kali. Tampak dua bayangan orang
melayang masuk. itulah dua laki2 baju abu2, salah seorang
memanggulsebuah karung besar.
Kepada kedua laki2 yang baru datang, si baju hijau berkata
sambil menuding Cu Bun-hoa: "Masukkan dia ke dalam karung."
Kedua laki2 mengiakan, seorang membuka karung dan yang lain
angkat tubuh Ling Kun-gi terus didorong masuk ke dalam karung,
lalu di ikat kencang mulut karung itu.
Kata si baju Hijau: "Kami harus segera pergi, bagaimana
keadaan disini selanjutnya, tidakperlu kujelaskanbukan?"
In Thian-lok manggut2, sahutnya: "Siaute sudah tahu,
Hou-heng boleh silakan-"
Sibaju hijau memberi tanda kepada kedua anak buahnya terus
mendahului melompat keluar. Gerak-gerik ketiga orang itu ringan dan gesit, dengan cepat sekali bayangan mereka sudah lenyap di
luar tembok. Percakapan mereka sudah tentu didengar jelas oleh Ling Kun-gi,
terasa karung dipanggul di atas pundak. dibawa melompat turun
naik, cepat sekali sudah meninggalkan Liong-bin-san-ceng.
Beberapa kejap kemudian, mendadak mereka berhenti. Terdengar
suara orang bertanya di sebelah depan: "Sudah berhasil?"
Maka terdengar penyahutan orang she Hou: "Lapor Kongcu,
sudah berhasil." Kun-gi membatin: "Hou Thi-jlu memanggilnya Kongcu, itulah
Dian-kongcu atau si baju biru yang berada di Kayhong tempo hari."
"Baiksekali,"ujar Dian-kongcu.
Agaknya sambil bicara Dian-kongcu terus melangkah pergi,
maka kedua orang yang memanggul Ling Kun-gi ikut ber-lari2
kencang. Dari derap langkah orang, Ling Kun-gi menghitung
semuanya ada empat orang. Hanya empat orang berani meluruk
ke Liong-bin-sanceng, menculik "naga terpendam" Cu Bun-hoa, walau mereka sudah tanam mata2 dan kaki tangan di
Liong-bin-san-ceng, tapi keberanian mereka sungguh luar biasa.
Mereka terus ber-lari2 satu jam lamanya, di-perhitungkan sudah
puluhan li meninggalkan Liong-bin-san-ceng, rombongan empat
orang ini lantas berhenti. Terdengar di pinggir jalan ada suara rendah menyapa maju: "Kongcu sudah kembali"
Dian-kongcu hanya mendengus, terdengar suara pintu terbuka
dan kerai tersingkap. Dian-kongcu lantas melangkah masuk, kedua laki2 yang memanggul karungpun menurunkannya ke tanah terus
membuka tutupnya, dua orang baju abu2 menyeret Kun-gi ke atas
kereta. Kun-gi tetap pejamkan mata, dia pura2 pingsan, biarkan saja
apa kehendak mereka atas dirinya, tapi terasa bahwa ruang kereta ini cukup lebar, dirinya diseret ke lantai kereta sebelah kanan setelah itubaru Hou Thi-jiu naik keretadandudukdisampingnya.
Kereta mulai berjalan-Kusir mengayun pecut, kudapun segera
berlari kencang menimbulkan su-ara gemeretak dari roda2 kereta
yang beradu dengan batu2 dijalanan.
Semakin cepat laju kereta, goncanganpun semakin besar, walau
tidak membuka mata, tapi Kun-gi merasakan bahwa bentuk kereta
ini tentu dibuat khusus dan amat mewah.
Kun-gi tahu kepandaian silat kedua orang majikan dan pelayan
ini amat tinggi, supaya tidak menunjukkan gejala2 yang
mencurigakan, meski kereta tergoncang semakin keras dia tetap
meringkal diam sambil menghimpun semangat. Langkah pertama
untuk menyelundup ke sarang musuh sudah tercapai, ke mana
dirinya akan dibawa, dia tidak usah peduli lagi, maka di tengah jalan ini, dia tidak perlu main intip. Dian-kongcu dan Hou Thi-jiu yang duduk di dalam keretapun duduk semadi, tiada yang buka
suara. Kuda penarik kereta ternyata berlari kencang sekali.
Tanpa terasa fajar telah mnyingsing, dalam keretapun mulai ada
cahaya, maka Ling Kun-gi lebih hati2 lagi, sedikitpun diatidakberani lena.
Lari kereta mulai lambat, akhirnya berhenti dipinggir hutan.
Agaknya sudah ada orang menunggu di situ, terdengar orang
mendekati kereta, katanya dengan laku hormat: "Hamba To Siong-kiu memberisalamhormatkepadaKongcu."
Kepalapun tidak bergerak. Dian-kongcu hanya mendengus saja.
Suara Hou Thi-jiu terdengar dingin:
"Mana sarapan pagi yang kau siapkan untuk Kongcu" Lekas
bawa kemari." Orang di luar mengiakan, pintu kereta dibuka, dengan laku
hormat dia masukkan seperangkat tenong susun dua. Hou Thi-jiu
menerimanya, orang itu menurunkan kerai terus mengundurkan
diri. Sementara itu, orang lain telah mengganti kuda, sampai pun kusirnyapun berganti orang, jadi orang dan kuda berganti secara bergiliran.
Keretamulaiberangkatlagipelan2. TerdengarsuaraToSiong-kiu di
belakang: "Hamba tidak mengantar Kongcu, semoga lekas tiba di tempat tujuan-" Sudah tentu dia tidak memperoleh penyahutan Diam2 Ling Kun-gi membatin: "cara kerja orang2 ini ternyata amat teliti, sampai di suatu tempat tertentu lantas ada orang yang ganti kusir dan kuda, dengan demikian kereta ini bisa menempuh
perjalanan siang malam tanpa berhenti, cuma entah di mana letak sarang komplotan ini?"
Hou Thi-jiu sudah membuka tenong berisi makanan, katanya
hormat, "Silakan Kongcu sarapan pagi."
Dian-kongcu buka tutup tenong terus makan minum seorang
diri tanpa bersuara. Kun-gi yang rebah meringkal sudah tentu juga mencium bau
makanan yang sedap. dari bau harum yang diendusnya, dia
menduga tenong itu berisi makanan daging dan semangkok kuah.
Melihat orang makan, biasanya orang bisa ngiler, apa lagi kalau perut memang sudah lapar. Walau Kun-gi tidak membuka mata,
namun hidungnya dapat mencium bau makanan, maka perutnya
terasa berontak. laparnya bukan main.
Setelah melayani Dian-kongcu makan selesai, Hou Thi-jiu baru
angkat susun tenong yang lain, diapun makan dengan lahap. habis makan dia lempar tenong keluar kereta, katanya: "Nanti siang apakah kita perlu menyediakan makanan untuk Cu-cengcu?"
Sambil duduk semedhi, Dian-kongcu berkata: "Dua belas jam
kemudian baru dia akan siuman."
"celaka,"demikiankeluh Kun-gidalamhati.
12 jam baru sadar, itu berarti dia harus kelaparan sehari
semalam. Kereta terus laju bagai terbang, tengah hari mereka tiba di
sebuah kota, kereta berhenti istirahat di pinggir jalan. Tanpa turun kereta sudah ada orang mengantar tenong berisi masakan yang
serba lezat, kali ini ada pula sebotol arak wangi.
Bagi kusir juga disediakan makanan tersendiri, dia duduk di
pinggir pohon sambil melalap makanannya, selesai makan mereka
melanjutkan perjalanan pula.
Untuk pura2 semaput orang cukup memejamkan mata dan
meringkal tanpa bergerak. semua ini adalah kerja yang mudah
sekali, siapapun bisa melakukannya. Tapi harus meringkal diam
tanpa bergerak selama sehari semalam dengan posisi sama, itulah yang tidak gampang. Bagi orang biasa setelah berselang sekian
lama, kaki tangan pasti merasa kesemutan dan pegal linu. Untuk
ini Kun-gi boleh tidak usah peduli.. Lwekangnya tinggi, dengan
memejamkan mata dan menghimpun semangat, darah tetap
berjalan lancar dan leluasa di dalam tubuh, sudah tentu dia takkan merasa kesemutan dan pegal. Yang paling menyiksa dirinya adalah perut lapar, sejak malam tadi perutnya tidak di isi barang sedikitpun, mengendus makanan dan bau wangi arak lagi, sudah tentu
hampir tak tahan dia. Setelah kenyang dan mabuk Dian-kongcu duduk mendongak
sambil semedhi lagi ditempat duduknya yang empuk dan silir.
Kedua ekor kuda menarik kereta segera angkat langkah pula
menempuh perjalanan- Hari itu berlalu dengan cepat, dari siang menjadi sore, magrib
berganti malam, dalam sehari semalaman ini, menurut perhitungan Kun-gi, keretainisudahmenempuhperjalanan300-anlijauhnya.
Sejak magrib tadi, jalan kereta sudah bergoncang amat
kerasnya, kereta bergunjing seperti kapal dipermainkan ombak di tengah lautan, begitu keras goncangannya, terang jalanan yang
ditempuh ini amat jelek dan banyak berbatu, tapi kusir kereta tidak peduli, cambuknya terus bermain membedal kudanya ke depan-Terasakan guncangan kereta sedemikian keras, itu menandakan
bahwa kereta sudah membelok memasuki jalan pegunungan dan
sedang menuju ke suatu puncak gunung. Kira2 satu jam lamanya
kereta melewati jalanan yang jelek ini. Kini jalan kereta mulai tenang dan angler, agaknya melalui jalan datar yang berpasir
karena roda kereta mengeluarkan suara mendesir yang rata.
Mendadak tak jauh di depan sana terdengar seorang
membentak: " Langit mencipta, bumi merencana"
Tergerak hati Kun-gi, pikirnya: "Mungkin sudah tiba di tempat tujuan, seruanituterangadalahkodepengenalsatusama lain."
Maka didengarnya Hou Thi-jiu melongok keluar kereta dan
membentak geram: "Keparat yang tidak punya mata, kau tidak lihat kereta siapa ini?"
Terdengar suara beberapa orang dari kanan kiri jalan: "Hamba menyambut kedatangan Coh-siancu."
"Bedebah, Kongcu yang ada di sini," bentak Hou Thi jiu gusar.
Orang2 itu kembali munduk2, serunya: "Hamba tidak tahu
kedatangan Kong-cuya, harap diberi ampun-"
Kereta sudah mulai jalan pula. Tak lama kemudian, lari kereta
mulai lambat, kusir kereta melompat turun dengan gesit terus
menyingkap kerai Dian-kongcu berpaling memberi pesan kepada Hou Thi-jiu:
"Suruh mereka bawa Cu-cengcu ke Hwi-pin-koan ( kamar tamu
agung ) di taman belakang, aku akan menemui Gihu." Sekali
lompat dia turun terus berkelebat pergi.
Hou Thi-jiu juga melompat turun, kepada dua orang laki2 baju
abu2 dia menggapai, katanya:
"Kalian gotong dia ke dalam."
Di saat Hou Thi-jiu melompat turun tadi, Kun-gi sempat
membuka mata sedikit mengawasi keadaan sekitarnya. Ternyata
kereta berhenti di depan sebuah pekarangan besar dari suatu
perkampungan. Perkampungan ini dibangun di antara lekuk
gunung, sekelilingnya dipagari bukit, jelas letaknya diperut
pegunungan yang jauh dari keramaianKedua laki2 itu sudah menghampiri, seorang melompat ke atas
kereta dan mengeluarkan secarik kain hitam, mata Kun-gi
ditutupnya. Tindakan ini sebetulnya berlebihan, karena orang2 yang diausur
kemari kebanyakan telah kena bius, dalam keadaan semaput, buat
apa harus ditutup matanya lagi" Mungkin inilah aturan mereka,
dengan sendirinya Kun-gi mandah saja apapun yang dilakukan atas dirinya, dia tetap tak bergerak.
Dengan setengah gendang dan setengah papah, kedua orang
itu menurunkan Kun-gi dari kereta, malah seorang laki2 itu
berjongkok, Kun-gi digendongnya. Mereka ikuti Hou Thi-jiu
berjalan ke dalam. Meski mata tertutup, tapi Kun-gi pasang kuping dengan
seksama, dia membedakan arah, jalan yang ditempuh Hou Thi-jiu
bertiga bukan pintu tengah, mereka mengitar ke kiri di mana ada sebuah pintu samping. Setiba di depan pintu, laki2 yang lain
memburu maju mendahuluiHouThijiu mengetuktigakalididaunpintu.
"Tek", terdengar suara pelahan, seorang membuka jendela kecil dipintu, suaraseraktua membentak: "Siapa?"
Lekas Hou Thi-jiu mendekat, katanya: "Lo-go, inilah aku Hou Thijiu."
"o", suara serak itu menjadi lunak. "mana tanda buktinya?"
Hou Thi jiu mengeluarkan sebentuk lencana, habis itu baru daun
pintudibuka, suaraserakitu mempersilakan mereka masuk.
Dengan langkah lebar Hou Thi jiu bertiga masuk ke dalam, pintu
tertutup pula. Mereka jalan beriring, langkahnya cepat, diam2 Kungi men-duga2 dari langkah mereka yang putar sana belok ini,
bahwa mereka melewati serambi lika-liku serta beberapa
pekarangan, waktu Hou Thi-jiu seperti sudah tiba di satu tempat, seorang segera tampil ke depan menggoncang dua gelang
tembaga, lalu mengundurkan diripulake belakang.
Waktu daun pintu terbuka, getaran keras terasa di bawah kaki
mereka, ini membuktikan bahwa daun pintu terbikin dari papan
baja yang berat dan tebal. Seorang telah menghadang di tengah
pintu, Hou Thi-jiu maju mengunjuk lencananya pula, baru dia
membalik badan dan katanya: "Serahkan dia padaku"
Laki2 yang menggendang Kun-gi mengiakan terus berjongkok,
dia baringkan Ling Kun-gi di lantai. Dengan kedua tangannya Hou Thi-jiumenjinjingtubuhKun-gi, katanya:"Kaliantunggudisini"
Ia sendiri masuk dengan langkah lebar. Pintu beratpun mulai
tertutup lagi pelan2. Diam2 Kun-gi membatin: "Begini keras dan ketat penjagaan di sini, entah di mana letak pusatnya?" Pada saat hati me-nimang2, terasa angin menghembus silir2, kupingnya lantas mendengar
gesekan dedaunan yang tertiup angin-Agaknya mereka telah
berada di sebuah kebon. Langkah Hou Thi-jiu amat cepat, jelas dia apal jalanan di sini, kira2 semasakan air kemudian, hidung Kun-gi mulai mencium bau
harum bunga, bau kembang mawar, seruni dan lain2. Pada saat
itulah baru Hou Thi-jiu menghentikan langkah dan mengetuk pintu pula. Sebelum daun pintu terbuka terdengar suara merdu bertanya daridalam: "Siapa?"
"Inilah cengcu dari Liong-bin-san-ceng, kau harus melayaninya baik2," kata Hou Thi jiu.


Pedang Kiri Cin Cu Ling Karya Tong Hong Giok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik, bawa dia ke dalam," sahut suara merdu itu. Lalu dia mendahului melangkah diikuti Hou Thi-jiu.
Kun-gi membatin pula: "Kiranya sudah sampai di Kwi-pin-koan."
seorang membuka daun jendela, suara merdu berkata pula:
"Taruh dia di atas dipan"
Hou-Thi-jiu lantas merebahkan Kun-gi di atas dipan yang
beralaskan kasur empuk. Suara merdu itu bertanya: "Kapan cengcu ini akan sadar"."
Pertanyaan inipun amat penting artinya bagi Ling Kun-gi.
Didengarnya Hou Thi-hou menjawab: "Kira2 kentongan kedua
nanti." "O," suara merdu berkata pula, "kini sudah kentongan pertama, jadi masih satu jam lagi."
Hou Thi-jiu lantas keluar, katanya: "Cayhe mohon diri."
Suara merdu ikut melangkah keluar dan menutup pintu,
sekembalinya dia langsung mendekati pembaringan, kain hitam
penutup mata Kun-gi dia copot, lalu ditariknya kemul untuk
menutupi badan Kun-gi, dari gerak-geriknya jelas gadis ini sudah terlatih baik menjalankan tugasnya.
Entah apa tujuan mereka menculik Cu Bun-hoa kemari dengan
jalan ber-liku2 sedemikian rupa" Demikian Kun-gi ber-tanya2
dalam hati, tapi dia tidak berani membuka mata, karena dengan
jelas dia merasakan hembusan napas si gadis tengah berdiri di
pinggir pembaringan, mungkin orang tengah mengamati dirinya,
atau mengamati "Ciam-liong Cu Bun-hoa Cengcu" dari
Liong-bin-sunceng. . Dengan telentang di atas pembaringan, kelopak matapun Kun-gi
tak berani bergerak, karena gerakan kelopak mata menandakan
bahwa dirinya sudah siuman-Untung hanya sejenak gadis bersuara
merdu ini mengamati dirinya, lalu mengundurkan diri diam2.
Setelah orang sampai di luar dan menurunkan kerai, dia tetap
tidak berani membuka mata. ia selalu ingat pesan gurunya
sebelum berangkat, beliau bilang "Muridku, dengan bekal
kepandaianmu sekarang, tiada suatu tempat di dunia Kangouw
yang pantang kau datangi, cuma berkelana di Kangouw, bekal
kepandaian hanya sebagai cangkingan belaka, yang penting adalah kecerdikan bertindak dan hati2, ada sepatah kata perlu gurumu
berpesan dan kau harus mengukirnya di lubuk hatimu, yaitu
semakin besar nyalimu, kau harus semakin hati2. Peduli persoalan atau kejadian apapun yang kau hadapi, kau harus tetep tenang
dan waspada." Sementara itu gadis bersuara merdu tadi sudah berada di luar,
tapi dia tetap rebah tak bergerak. dia sedang mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan seluruh perhatian mendengarkan keadaan
sekelilingnya. Umpama di dalam kamar masih ada orang lain, pasti suara napasnya bisa didengarnya.
Sepeminuman teh kemudian barulah Kun-gi yakin bahwa di
dalam kamar betul2 tiada orang lain kecuali dirinya, pelan2 dia membuka mata, walau hanya setengah mengintip saja, tapi dia
sudah melihat jelas keadaan di depannya.
Itulah sebuah kamar tidur yang amat besar, pajangannya serba
mewah, serba antik. Di bawah penerangan cahaya yang rada
redup, semua benda pajangan yang ada di dalam kamar kelihatan
indah menarik. letaknya juga diatur sedemikian dan serasi benar membuktikanhasildaritanganseorangahli pajangkenamaan-Sekilas pandang Kun-gi lantas pejamkan mata pula, dalam hati
ia me-nimang2 cara bagaimana dia harus menghadapi situasi
selanjutnya nanti" Akhirnya dia berkeputusan dirinya harus teguh iman, teguh pendirian, berani menghadapi segala
perubahan-Waktu berlalu dengan cepat, sejam telah berselang,
langkah lembut mendatang dari luar pintu, Kun-gi tahu waktunya
sudah tiba, ia tetap rebah di pembaringan, ia pura2 menarik napas panjang seperti baru siuman dari tidur, dengan suara kereng dia bertanya: "Siapa di luar" Apa Kwi-hoa" Tidak kupanggil, untuk apa kau kemari?"
Sembari bicara dia membuka mata. Begitu mata terpentang
segera dia berjingkrak berdiri, ke mana sorot matanya berpancar seketika dia berdiri tertegun. Dia sengaja berbuat demikian-Sorot matanya yang tajam menatap gadis baju hijau yang melangkah
masuk menyingkap kerai tanpa berkedip. lalu dengan suara kaget
dia bertanya: "Siapa kau, ini . . . . tempat apa ini" Bagaimana aku bisa rebah di sini?" sekaligus tiga pertanyaan keluar dari mulutnya, menandakan kegugupan hatinya yang kaget dan heran-Gadis baju hijau kira2 berumur 20-an, perawakannya tinggi
semampai, ramping menggiurkan, wajahnya manis dan molek.
buah dadanya menonjol besar, dadanya dihiasi sebuah mainan
kalung besar bentuk jantung hati, semuanya terbuat dari mas
murni, dua kuncir rambutnya yang besar legam menjuntai di kedua sisi pundaknya.
Gadis ini sudah tentu amat cantik, kecuali cantik juga
mempunyai daya tarik bagi setiap lelaki yang melihatnya.
Tangannya menjinjing sebuah nampan putih, baru saja dia
menyingkap kerai melangkah masuk lantas dijumpainya Ling
Kun-gi berjingkrak dengan rentetan pertanyaan tadi. Dia lantas
berhenti di ambang pintu, sepasang matanya yang jeli menatap
Kun-gi sambil tersenyum mekar, tertampak barisan giginya yang
putih rata bagai biji mentimun, begitu menggiurkan senyum
tawanya. Terdengar suaranya nan merdu mengandung rasa malu:
"Cu-cengcu sudah bangun, hamba Ingjun, ditugaskan
meladaniCu-cengcu di sini" Terasa oleh Kun-gi kakinya menginjak kabut tebal, ia tetap menatap pelayan yang bernama Ing-jun dan
bertanya: "Lekas nona beritahu, tempatapakahini" Bagaimanaaku bisasampaidisini?"
Melihat sorot mata Ling Kun-gi yang bersinar mengawasi dirinya
tanpa berkedip. Ing-jun menunduk malu, dia meletakkan nampan
di atasmejadisampingdipan, sahutnya:
"Inilah bubur yang hamba sengaja buatkan untuk Cengcu."
"Nona belum jawab pertanyaanku," desak Kun-gi sambil
mengelus jenggot. Ing jun tetap menunduk. sahutnya, "Tempat kami ini adalah
Coat Sin-san-ceng, Cu-cengcu adalah tamu agung yang diundang
Cengcu kami yang telah lama mengagumimu." Sebagai pelayan
yang ditugaskan melayanitamu, sudah tentudiapandaibicara.
Coat Sin-san-ceng" Diam2 Kun-gi membatin-"Belum pernah
kudangar nama perkampungan ini di kalangan Kangouw?" Segera ia tanya pula, "Entah siapa she dan nama besar Cengcu kalian-"
Sedikit angkat kepalanya, sikap Ing jun lebih hormat, sahutnya:
"Cengcu kami she Cek, tentang nama besar beliau, kami sebagai pelayan tiada yang mengetahui." Jelas dia tidak mau
menerangkan. Tak enak Kun-gi bertanya lebih lanjut, katanya "Lohu ingin bertemu dengan Cengcu kalian-"
"Betapa sukarnya Cengcu kami mengundang Cu-cengcu kemari
dan dilayani sebagai tamu luar biasa, sudah tentu nanti beliau akan menjenguk kemari, cuma ......"
"Cuma apa?" desak Kun-gi.
Sekilas bentrok sorot mata mereka, lekas Ing-jun tunduk kepala
pula, katanya lirih: "sekarang sudah kentongan kedua, Cengcu kami sudah tidur."
Kehadiran Kun-gi di sini mewakili Cu Bun-hoa, sebagai duplikat
orang, tak enak dia banyak omong, apalagi tujuannya menyelidiki jejak ibunva, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, terpaksa Lohu tunggusampaibesokpagibatu menemuiCek-cengcu kalian-"
Tiba2 sorot matanya menatap tajam, tanyanya: "Dapatkah nona jelaskan, cara bagaimana kalian membawa Lohu kemari?"
Lembut suara Ing-jun: "Hamba hanya tahu cengcu kami amat
mengagumi kemashuran Cu-cengcu, maka beliau mengundang Cucengcu kemari, tentang cara bagaimana mengundangnya, hamba
tidak tahu apa2." "Baiklah," ujar Kun-gi dengan tersenyum, "segala persoalan terpaksa kubicarakan besok kalau berhadapan dengan cengcu
kalian-" "Malam sudah larut, silakan Cu-cengcu dahar dulu sebelum
istirahat," kata Ing-jun.
Memangnya sudah sehari semalam kelaparan, Kun-gi tidak
menolak lagi, dengan lahapnya dia habiskan semangkok bubur
sarang burung itu, semangat seketika berbangkit, rasa lapar
tadipun lenyap. Dengan muka jengah Ing-jun mendekat, katanya: "Cu-cengcu
silakan istirahat, biar hamba bantu menanggalkan pakaian-"
Melihat wajah orang yang merah malu2 dan hendak membuka
pakaiannya, keruan Kun-gi menjadi kelabakan, katanya gugup:
"Tak usahlah, nona sendiri pergilah tidur."
Mendadak Ing-jun berkata dengan suara pelahan: "obat bius
yang diminum Cu-cengcu semalam tercampur obat racun yang
membuyarkan Lwekang, kekuatan sekarang hanya tersisa tiga
bagian, maka hamba harap cengcu hati2 dan jangan sembarangan
bergerak." Kun-gi melenggong, katanya sambil mengawasi Ing-jun
"Terima kasih atas kebaikan nona."
Merah pula wajah Ing-jun, katanya lebih lirih: "Hamba lihat cu cengcu seorang ksatria tulen, makanya berani memberi peringatan, kalau nasihatku tadi terdengar oleh Cengcu kami, hamba pasti
akan dihukum pancung."
Diam2 Kun-gi tertawa dingin, batinnya: "Yang terang Cengcu kalian sengaja suruh kau bertingkah demikian-" Tapi lahirnya dia tetap tersenyum, katanya mengangguk: "Terima kasih nona."
Ing-jun lantas mengambil mang kok serta memberi hormat
kepada Kun-gi, katanya: "Hamba mohon diri," lalu ia menyingkap kerai dan keluar. Waktu itu kentongan kedua baru saja lewat, saat paling tepat dan baik bagi setiap pejalan malam. tapi Kun-gi tahu perkampungan ini pasti terjaga keras, dengan susah payah dan
tersiksa sehari semalam dirinya baru berhasil menyelundup kemari, sudah tentu dia tidak berani bergerak secara semberono. Maka
setelah Ing-jun mengundurkan diri, iapun kembali rebah di
pembaringan, lampu dia padamkan, terus duduk semadi di atas
ranjang. oooodwoooo Karena menyamar sebagai Kwi-hoa, setelah meninggalkan
kamar buku, Pui Ji-ping langsung kembali ke kamar Kwi-hoa terus tutup pintu. Diam2 dia ambil keputusan dalam hati bila pamannya diketahui lenyap, seluruh perkampungan pasti akan geger, malam
ini baru saja dia mempelajari ilmu tata rias, maka tiba saatnya dia sekarang berdandan sebagai laki2, meninggalkan Liong-bin-sanceng secara diam2 dan secara diam2 pula ia hendak menguntit
musuh. Tapi pada saat dia siap2 hendak merias diri, di bawah jendela
mendadak seorang bersuara. "Ji-ping, lekas buka pintu"
Ji-ping tahu itulah suara pamannya, sekilas dia melengak,
bergegas dia bereskan bahan2 obat rias terus lari membuka pintu.
Sebat sekali Cu Bun-hoa menyelinap masuk, lalu menutup daun
pintu pula Ji-ping bertanya: "Paman, darimana kau bisa kemari?"
Cu Bun-hoa tersenyum, katanya: "Paman datang dari lorong
bawah tanah, Kwi-hoa sudah mengaku terus terang."
"Apa yang dia katakan" Ke mana mereka hendak membawa
paman?"Sudah tentuyangdiaperhatikanadalah Ling Kun-gi.
"Diapun tidak tahu, tugasnya hanya mendesak In Thian-lok
supaya membius diriku dan orang lain akan datang memberi
bantuan," tanpa menunggu Ji-ping bertanya dia melanjutkan pula:
"Waktu terlalu mendesak. paman tidak bisa bicara banyak lagi dengan kau, lekas kau kembali ke kamar buku, beritahu kepada In Thian-lok bahwa di dalam kamar buku ada ruangan rahasia, Lok-hun-san milik paman disimpan di kamar rahasia itu, kau boleh
bawa dia ke depan rak buku dan pura2 mencari tombolnya, lalu
bawa dia masukke dalam."
Terbelalak mata Ji-ping, tanyanya: "Apa yang dinamakan Lok-hun-san itu?"
"Jangan tanya, bekerjalah menurut pesanku, beritahukan pada In Thian-lok saja."
"Akutohtidaktahucara membuka alatrahasianya."
"Anak bodoh, cukup asal kau pura2 saja, paman akan bantu kau dari dalam," lalu dia mendesak. "hayolah cepat" Habis berkata dia tarikpintulalu menyelinap keluarpula.
Ji-ping tak berani ayal, sekali tiup dia padamkan lampu, dengan langkah enteng ia lari ke depan-Baru saja dia keluar dari serambi tengah, dilihat-nya In Thian-lok sedang menimang Cin-Cu-ling
mendatang dengan langkah gopoh. Begitu melihat "Kwi-hoa"
segera dia mengulap tangan, katanya lirih: "Sudah kubereskan semua, lekas kau kembali ke kamar, tiada urusan nona lagi di sini "
"Tunggu sebentar," kata Ji-ping dengan suara tertahan-In Tian-lok tertegun, tanyanya: "Nona masih ada urusan?"
Berputar biji mata Pui Ji-ping, katanya lirih: "Di sini bukan tempat bicara, ikutlah aku ke kamar buku." Sekarang dia tahu kedudukan Kwi-hoa lebih tinggi daripada In Thian-lok. maka sikap dan nada bicaranya kedengaran dingin dan ketus.
Pendekar Latah 18 Sebilah Pedang Mustika Karya Liang Ie Shen Pendekar Latah 25

Cari Blog Ini