Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Bagian 13
atau si Sastrawan Berseruling Emas, ia bicara besar katanya
gelar jagoan pedang nomor wahid pasti akan berhasil ia rebut.
Hmmm! dia sedang bermimpi disiang hari bolong biar segera
pergi hajar ia turun dari panggung sehingga nanti engkoh
Beng tidak usah susah susah turun tangan."
JILID: 27 Melihat kepolosan serta kelincahan sang gadis, tak kuasa
lagi Si Huan tertawa geli.
"Pertandingan pedang ada urutannya, mana boleh turun
tangan semuanya, menurut penglihatanku jagoan muda ini
mempunyai dasar ilmu silat yang sangat bagus!"
"Aku kenal dengan pemuda ini, dia adalah Suto Liem dari
Heng-san pay, kami pernah bergebrak satu sama lainnya, ilmu
silat yang ia miliki tidak jelek...."
Sewaktu mereka berdua sedang bercakap-cakap itulah di
atas panggung sudah berlangsung suatu pertarungan yang
sengit bahkan boleh dikata saling berebut posisi.
"Aduuuh celaka!" tiba-tiba Si Huan berteriak sambil
depakkan kakinya ke atas tanah.
Jika bergerak menggunakan cara bagitu ia pasti menderita
kalah. Belum habis ia berkata, Fei Tie yang ada di atas
panggung sudah memperdengarkan suara dinginnya yang
sangat menusuk telinga mendadak serentetan cahaya keemas
emasan berkelebat menerjang kebalik hawa pedang lalu dalam
beberapa kali getaran suara gemerincingan memecahkan
kesunyian pedang ditangan Suto Liem sudah terbabat putus
jadi dua bagian dan mundur ke belakang dengan hati
terperanjat. Sang panitia penyelenggara yang ada di atas panggung
segera munculkan diri mengumumkan Fei Tie yang berhasil
merebut kemenangan. Waktu itu para pemenang dari pertandingan permulaan
berturut turut adalah Sak Ih dari Bu-tong-pay, "Tian Lam Kiam
Khek" dari Thian-cong pay, Sim Ing dari Siauw-lim-pay serta
lain lainnya pada berkumpul di depan panggung siap
melangsungkan pertandingan babak kedua.
Si Huan dari Khong tong pay karena lengannya terluka tidak
ikut serta dalam pertandingan kali ini, sedang Pek Ih Loo sat
karena ada Tan Kia-beng yang ikut serta iapun tidak ikut ambil
bagian sedang Leng Poo Sianci sendiri sama sekali tiada
bermaksud untuk berbuat demikian, dengan begitu banyak
mengurangi kesempatan buat jago-jago muda untuk merebut
gelar tersebut. Selesai pertandingan kedua, ternyata dengan andalkan
seruling emasnya Fei Tie berhasil mengalahkan Sak Ih dari Butong-pay, Tiam Lam Kiam Khek dari Thiam cong pay Sim Ing
dari Siauw-lim-pay serta beberapa puluh orang lainnya,
dengan cemerlang berhasil menggaet gelar jagoan pedang
nomor wahid dari kolong langit itu.
Waktu itu orang-orang punya hubungan dengan Tan Kiabeng rata-rata merasa gelisah sekali terutama Leng Poo
Sianci, hampir saja ia menangis dibuatnya.
Beberapa orang panitita penyelenggara pun pada merasa
sedih karena dalam pertandingan kali ini gelar tersebut
bukannya berhasil dicabut oleh para jago dari daerah
Tionggoan sebaliknya bakal terjatuh ketangan seorang
sastrawan berusia setengah baya yang tidak dikenal asal
usulnya. Bilamana sungguh sungguh gelar jagoan pedang nomor
wahid dari kolong langit ini kena direbut oleh seorang jagoan
dari sebuah partai yang tidak dikenal maka kejadian ini
merupakan suatu peristiwa yang sayang sangat memalukan
bagi partai partai didaratan Tionggoan.
Si sastrawan berusia setengah baya Fei Tie setelah berhasil
mengalahkan berpuluh puluh orang jago lihay, dengan bangga
segera dongakkan kepalanya tertawa seram.
"Meurut berita yang tersiar dalam dunia kangouw, katanya
kepandaian silat dari para jago didaratan Tionggoan sangat
luar biasa ternyata tidak disangka cuma begini saja"
Dengan langkah lebar ia berjalan kehadapan panggung
dimana duduk para panitita penyelenggara, setelah menjura
dengan sikap jumawa katanya, "Pertandingan sudah selesai
dan cayhe berhasil memenangkan semua pertandingan. harap
para panitia penyelenggara suka ambil keputusan."
Thian Liong Tootiang yang duduk disisi kanan Hay Thian Sin
Shu jelas mengetahui maksud kawannya ini mengadakan
pertemuan kali ini, terasa lagi ia menoleh ke arahnya.
Waktu itu air muka Hay Thian Sin Shu sudah berubah hijau
membesi, sepatah katapun tak diucapkan keluar. sedang Liok
lim Sin Ci serta Yen Yen Thaysu pun merasa hatinya sedih.
Pada waktu itu dari atas barak sebelah Timur mendadak
berkumandang datang suara bentakan nyaring, "Tunggu
sebentar, masih ada satu kali pertandingan yang belum
dipertandingkan" Pek Ih Loo sat bagaikan serentetan cahaya putih meluncur
masuk ke tengah kalangan.
Dengan pandangan menghina si Sastrawan Berseruling
Emas Fei Tie melirik sekejap ke arahnya.
"Siapakah kau?" tegurnya dingin.
"Pek Ih LOo sat, Hu Siauw-cian dari Teh Leng Kauw!"
"Haa.... haaa.... haaa.... bukankah dari Teh Leng Kauw
hanya diikuti oleh seorang manusia she Tan" bagaimana bisa
muncul pula seorang she Hu".... sungguh aneh sekali!"
"Karena ada urusan penting ia tak bisa hadir, nona wakili
dirinya apakah tidak boleh?"
Sejak semula Yen Yen Thaysu memang tidak senang
dengan Tan Kia-beng, mendadak ia meloncat bangun.
"Menurut peraturan, wakil yang ditunjuk oleh masingmasing partai tak boleh diwakilkan kepada orang lain. jika ia
tidak datang berarti mengundurkan diri dari pertandingan"
Karena Tan Kia-beng yang ditunggu tunggu tak kunjung
datang, dalam hati Hu Siauw-cian sudah dipenuhi oleh hawa
amarah, kini mendengar pula Yen Yen Thaysu yang secara
samar-samar agaknya melarang dia ikut serta dalam
perebutan ini tak kuasa lagi tertawa dingin tiada hentinya.
Baru saja ia bermaksud untuk buka suara mendadak dari
tempat kejauhan berkumandang datang pula suara bentakan
yang amat nyaring, "Ayahku sama sekali tidak mendirikan
partai perguruan, berhakkan siauw Ti untuk ikut serta dalam
pertandingan ini?" Bayangan merah berkelebat lewat, Leng Poo Sianci sudah
meloncat naik ke atas panggung.
"Omintohud, siapakah ayahmu?" puji Yen Yen thaysu
dengan suara rendah. "Hay Thian Sin Shu!"
Waktu itu Hay Thian Sin Shu pun sudah meloncat bangun
dari tempat duduknya. "Yong jie, jangan mengacau suasana" bentaknya dengan
nada berat. Leng Poo Sianci sama sekali tidak perduli urusan ini, pedang
pendeknya dicabut keluar dari sarung kemudian ditudingkan
ke arah Kiem Tie Suseng. "Kau berani adu kepandaian dengan nonamu?" tanyanya.
Si Sastrawan Berseruling Emas itu dongakkan kepalanya
tertawa terbahak-bahak. "Asalkan peraturan pertemuan ini mengijinkan, sudah tentu
aku orang she Fei akan melayani."
"Tunggu sebentar!" mendadak Pek Ih Loo sat kebaskan
goloknya memotong. "Persoalan nonamu belum mendapat
penyelesaian." Air muka Yen Yen Thaysu berubah menjadi adem,
bentaknya berat, "Kecuali Tan Kia-beng dari Teh-leng-bun
orang lain tidak dapat mewakili dirinya"
Leng Poo Sianci jadi semakin cemas.
"Ia tidak boleh ikut tapi aku boleh bukan?"
"Pada permulaan kau tidak dapatkan dari sudah tentu tidak
boleh" bentak Hay Thian Sin Shu keras.
Si Sastrawan Berseruling Emas yang mendengar ribut ribut
itu kembali dongakkan kepalanya tertawa tergelak.
"Haaa.... haaa.... haaa.... begitulah baru mirip tampang
seorang panitia penyelenggara, waktu tidak pagi lagi cepat
umumkan hasil pertandingan ini"
Mendadak.... "Haaa.... haaa.... haaa.... saudara jangan keburu merasa
bangga dulu, lawanmu sudah datang!" dari barak sebelah
Barat kedengaran seseorang tertawa tergelak.
Itulah suara ejekan dari si pengemis aneh, diikuti suasana
dalam kalangan dipecahkan oleh suara tepuk tangan riuh
rendah yang gegap gempita, kiranya pada waktu itulah Tan
Kia-beng sudah munculkan dirinya di depan panggung.
Si sastrawan berseruling emas sama sekali tidak kenal
dengan Tan Kia-beng tapi dari sikapnya ia berani memastikan
kalau orang ini tentulah manusia yang dimaksudkan.
Dengan cepat ia putar badan menghadap ke arah pemuda
tersebut. "Kedatangan saudara sudah terlambat satu langkah!"
serunya dingin. Waktu Tan Kia-beng sedang saling menyapa dengan Sak Ih
maupun Si Huan beberapa orang sahabat karibnya, melihat
sikap sang sastrawan setengah baya itu amat jumawa dan
mengucapkan pula kata-kata macam itu, dalam hatinya lantas
menduga dialah si Sastrawan Berseruling Emas Fei Tie yang
dimaksudnya. tak kuasa lagi ia mendongakkan kepalanya
tertawa panjang. "Sebenarnya cahyepun tiada berselera untuk ikut merebut
gelar jagoan pedang nomor wahid dari kolong langit,
terlambat atau tidak itupun tak jadi soal. hanya saja cayhe
kepingin sekali mencoba-coba kepandaian silat luar biasa
hebatnya yang kau miliki itu."
Sewaktu mereka berdua sedang bercakap-cakap, mendadak
terdengar Liok Lim Sin Ci berteriak keras, "Sebelum hasil
pertandingan diumumkan Tan Kia-beng sudah tiba, maka
menurut pendapatku ia berhak untuk mengikuti pertandingan
kali ini." Thian Liong Tootiang pun perlahan-lahan bangun berdiri
setelah berjalan keujung panggung serunya pula. "Aku
sebagai panitia penyelenggaraan pertemuan kali ini
memutuskan si Sastrawan Berseruling Emas Fei Tie harus
melawan Tan Kia-beng dahulu sebagai pertandingan final
dalam perebutan gelar sebagai jagoan nomor wahid dari
kolong langit jikalau kalah maka kedudukannya akan diurutkan
dalam urutan yang kedua."
Begitu pengumuman tersebut disiarkan, tepuk tangan riuh
rendah bergema memenuhi seluruh kalangan.
Sebaliknya si Sastrawan Berseruling Emas Fei Tie setelah
mendengar perkataan tersebut terlintaslah suatu senyuman
yang amat menyeramkan di atas wajahnya, ia mencabut
keluar seruling emasnya dari pinggang lalu kepada Tan Kiabeng ujarnya. "waktu sudah tidak pagi lagi, jikalau panitia penyelenggara
memutuskan demikian silahkan saudara mulai menggerakkan
senjatamu melancarkan serangan."
Tan Kia-beng yang melihat senjata yang ia gunakan adalah
seruling emas, pemuda inipun meloloskan seruling kumalanya
lalu disilangkan di depan dada.
Tangan kiri ditutupkan ke atas lubang lubang seruling,
sedang wajahnya berubah serius.
"Sialahkan!" serunya.
Si Sastrawan Berseruling Emas Fei Tie berasal dari daerah
Biauw Ciang, maksud kedatangannya kedaratan Tionggoan
adalah hendak mencari nama besar. ia menganggap asalkan
dirinya berhasil mengalahkan Tan Kia-beng seorang maka
namanya jauh lebih cemerlang semisalnya ia berhasil
mengalahkan seratus orang jago-jago lihay Bulim.
Oleh karena itu sejak permulaan ia sudah kumpulkan
seluruh tenaga yang dimilikinya baru saja Tan Kia-beng
mempersilahkan orang untuk melancarkan serangan, seruling
emasnya dengan membawa serentetan cahaya keemas
emasan sudah membabat datang mengancam dadanya.
Kecepatan gerakannya serta keanehan dari jurus
serangannya benar-benar sangat luar biasa, seruling emasnya
dengan membentuk beribu ribu desiran angin pukulan
mendesak ke depan. Dari mulut Si Huan, pemuda she Tan ini sudah mengetahui
bagaimanakah dahsyatnya kepandaian silat yang ia miliki,
seketika itu juga seruling kumalanya digetarkan, pertama tama
membentuk selapis bayangan seruling dahulu di depan dada
kemudian sang badan maju ke depan. dengan mengambil
jurus jurus serangan dari aliran Teh-leng-bun ia balas
mendesak pihak lawan. Seketika itu juga serentetan cahaya tajam menggulung
keluar. Cukup ditinjau dari cara berkelit serta balas melancarkan
serangan, Fei Tie sudah merasa bila pemuda yang dihadapinya
saat ini jauh berbeda keadaannya dengan jago-jago yang lain
dalam hati ia merasa sangat terperanjat.
Seruling emasnya buru-buru digetarkan jurus ilmu "Kiem
Coa Tie Cau" atau gerakan seruling ular emasnya pun
dilancarkan dengan gencar.
Sebatang seruling emasnya dengan membentuk selapis
cahaya tajam dengan sekuat tenaga balas melancarkan
serangan. Gerakan kedua orang itu makin lama semakin cepat, dalam
sekejap mata lima puluh jurus sudah berlalu.
Karena pihak lawan sekalipun menunujukkan sikap
menghina tapi tidak memperlihatkan maksud jahat, maka
selama ini Tan Kia-beng belum juga mengeluarkan ilmu
saktinya. Sebaliknya Pek Ih Loo sat benci orang ini terlalu pandang
hina kawan kawan Bulim dari daratan Tionggoan, tak terasa
lagi dari samping kalangan ia berteriak keras.
"Eeei.... kenapa kau sungkan sungkan untuk turun tangan"
ayoh serang dengan sungguh sungguh"
"Jikalau aku menggantikan dirimu, sejak semula aku sudah
keluarkan ilmu seruling Wu Yen Cing Hun Sam Si yang lihay
itu" timbrung pula Leng Poo Sianci dengan cibirkan bibirnya.
Kena digosok oleh sepatah demi sepatah kata akhirnya Tan
Kia-beng tergosok juga, ia bersuit nyaring, mendadak ilmu
seruling Wu Yen Cing Hun Sam Si dikeluarkan.
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jurus serangan ini merupakan ilmu andalan dari Teh Leng
Kauwcu tempo dulu dalam mencari nama di dalam Bulim,
kelihayannya bukan alang kepalang, apalagi tenaga dalam
yang dimiliki pemuda tersebut pada saat ini sudah
memperoleh kemajuan yang pesat begitu dikeluarkan deruan
angin sambaran geledek segera memecahkan kesunyian
dimana bayangan seruling berkelebat lewat sebuah tiang kayu
terbuat dari kayu besipun kena tersapu patah. Walaupun jurus
jurus serangan ilmu seruling Kiem Tan Tie Cau dari si
Sastrawan Berseruling Emas itu sangat ganas tapi ia tak bakal
bisa menahan kedahsyatan dari ilmu seruling Wu Yen Cing
Hun Sam Sih, seketika itu juga tubuhnya kena terdesak
mundur berulang kali. Melihat jagoan mereka berhasil merebut
posisi di atas angin para jago yang ada dibawah panggung
mulai bersorak sorai dengan gegap gempita.
Di tengah suara sorak sorai itulah mendadak Tan Kia-beng
membentak keras seruling kumalanya disekitarnya dan tahu2
seruling emas yang ada ditangan Kiem Tie suseng kena
tergetar lepas sehingga mencelat ke tengah udara.
Dengan perasaan terperanjat buru-buru Kiem Tie Suseng
mengundurkan diri ke belakang, siapa sangka waktu itulah
seruling kumala dari pihak lawan sudah menempel di atas
dadanya, kontan semangatnya jadi hilang sepasang matapun
dipejamkan rapat rapat. Terdengar Tan Kia-beng mendongakkan kepalanya tertawa
tergelak. "Tanpa sebab kau berani menghina aku orang she Tan soal
ini sih tidak penting, tapi kau berani pula melukai kawan
karibku, bagaimanapun juga hal ini tak bisa aku lepaskan
begitu saja aku harus kasi sedikit peringatan kepadamu...."
Seruling kumalanya sedikit digetarkan, ujung baju lengan
kanannya sudah terbabas putus, diikuti cahaya seruling
berkelebat lewat, tahu-tahu senjata itu sudah balik lagi
ketangannya. Sorak sorai kontan bergema memenuhi seluruh angkasa,
Leng Poo Sianci bagaimana seekor burung walet langsung
menerjang ke arahnya seraya berteriak gembira.
"Engkoh Beng, akhirnya kau berhasil juga!"
Badannya langsung menjatuhkan diri ke dalam pelukannya.
Si Huan sekalianpun sama-sama maju mengucapkan
selamat kepada sang pemuda tersebut.
Ia benar-benar menang, bahkan dengan sangat mudah
berhasil merebut gelar jagoan pedang nomor wahid dari
kolong langit.... Tapi pemuda she Tan ini sedikitpun tidak menunjukkan
kegirangan, ia berdiri termangu-mangu bagaikan patung di
tempat semula, terhadap pujian serta ucapan selamat dari
banyak orang ia sama sekali tidak mendengar maupun
melihat. bahkan pengumuman dari panitia penyelenggara di
atas panggungpun tak terdengar olehnya.
Perlahan-lahan dia menunduk dan memandang Leng Poo
Sianci yang bersandar dalam pelukannya, ia menghela napas
rendah perlahan-lahan didorongnya badan gadis itu lalu putar
badan berlalu dari sana. Melihat keadaan dari pemuda tersebut Leng Poo Sianci jadi
sangat terperanjat. "Engkoh Beng, kau...."
Dari arah belakang muncul pula beberapa puluh orang
pengejar, agaknya merekapun dibuat terperanjat oleh sikap
sang pemuda yang sangat aneh itu.
Mereka termasuk Si Penjagal Selaksa Li ayah beranak, Hay
Thian Sin Shu ayah beranak, si pengemis aneh, si Ciat Hun
Kiam Si Huan serta Sak Ih dari Bu-tong-pay.
Mendadak Si Penjagal Selaksa Li menarik tangan pemuda
seraya menegur dengan suara berat, "Sute! kau harus tahu
kejayaan serta kesuksesan dari Teh Leng Kauw kesemuanya
tergantung di atas pundakmu" sekalipun kau ada urusan
seberapa besarpun harus menyelesaikan dulu perintah terakhir
dari suhu kemudian baru pergi." Teringat akan perintah
terakhir dari suhunya Tan Kia-beng jadi sangat terperanjat
dengan cepat ia dongakkan kepalanya. "Nasehat dari suheng
sedikitpun tidak salah." Habis berkata kembali dia menghela
napas panjang. Bagaimanapun Si Penjagal Selaksa Li juga berpengalaman
sangat luas ia tahu pemuda ini tentu sedang risau karena soal
muda mudi kembali hiburnya. Maksud hati Hian ti sudah Ih
heng pahami beberapa bagian soal ini serahkan saja
ketanganku semua urusan kita bicarakan kembali setelah
perguruan kita dirikan". Sekali lagi Tan Kia-beng dongakkan
kepalanya memandang sekejap ke arahnya lalu menghela
napas panjang. "Ada pepatah mengatakan cinta selebar langit susah
ditembel, benci sedalam lautan susah dibendung. Suheng,
tahukah kau akan perasaan hatiku saat ini...."
Si Penjagal Selaksa Li ada maksud mendesak lebih lanjut,
mendadak.... Dari mulut gunung melayang datang empat orang wanita
setengah baya yang berwajah cantik sama-sama berjalan
kehadapan Tan Kia-beng. "Teh Leng Su Ci mengucapkan selamat atas keberhasilan
Kauwcu merebut gelar jagoan pedang nomor wahid dari
kolong langit" katanya menjura.
"Tapi apa gunanya nama kosong itu?" Tan Kia-beng tertawa
pahit. "Urusan sudah berubah jadi begini, harap Kauwcu suka
berangkat kedusun Tau Siang Cung dan segera membuka
perguruan kita secara resmi...." kata Teh Leng Su Ci serius.
Kedudukan Teh Leng Su Ci dalam perguruan Teh Leng
Kauw sangat tinggi bahkan mereka berempat sudah datang
sendiri, Tan Kia-beng merasa sungkan untuk menolak terpaksa
ia mengangguk. "Silahkan cianpwee berempat berangkat dahulu, boanpwee
segera akan menyusul."
Setelah Teh Leng Su Ci berlalu, kawan kawan karib lain pun
pada minta diri sehingga akhirnya tinggal si Penjagal Selaksa
Li ayah beranak serta Hay Thian Sin Shu ayah beranak.
Sebenarnya Hay Thian Sin Shu ada banyak perkataan yang
hendak disampaikan kepada Tan Kia-beng, tapi berhubung
ada banyak orang disamping mereka selama ini tak ada
kesempatan baginya untuk memenuhi maksud hatinya itu.
Saat ini melihat Tan Kia-beng berdiri dengan muka murung,
agaknya sang hati penuh dibebani dengan banyak urusan,
dalam hati lantas tahu jikalau saat ini tidak diucapkan maka
kesempatan tak bakal ada lagi.
Tapi orang-orang itupun hendak berangkat kedusun Tau
Siang Cung, ia merasa tidak enak untuk ikut serta dengan
mereka tanpa diundang. Akhirnya Si Penjagal Selaksa Li merasakan juga maksud
pihak lawan, buru-buru ia menjura seraya berkata, "Seluruh
keberhasilan suteku kali ini sedikit banyak karena usaha dari
Cha-heng, siauwte merasa sangat berterima kasih sekali,
jikalau kalian tak ada urusan bagaimana kalau ikut kami untuk
bermain main beberapa hari didusun Tau Siang Cung kami?"
"Mana mana, urusan sudah jadi begini buat apa saudara
berlaku sungkan sungkan lagi" sedang mengenai kedusun Tau
Siang Cung...." "Upacara sebesar ini sudah seharusnya kita ikut
menghadiri" sambung Leng Poo Sianci dengan cepat.
Mendengar perkataan tersebut Pek Ih Loo sat segera
tertawa dingin tiada hentinya. suara tawaan tersebut sangat
melengking menusuk telinga. hal ini membuat air muka Hay
Thian Sin Shu berubah hebat.
"Hmmm! apanya yang perlu ditertawakan?" seru Leng Poo
Sianci sambil cibirkan bibirnya.
Dengan gemas Si Penjagal Selaksa Li melotot Hu Siauw-cian
sekejap, lalu kepada Hay Thian Sin Shu seraya menjura
katanya, "Waktu tidak pagi lagi, mari kita segera melakukan
perjalanan" Kedua orang kakek tua itu bergerak dahulu di depan, tapi
Tan Kia-beng tetap berdiri di tempat semula
Hu Siauw-cian yang ada dibelakang dengan cepat
mendorong badannya. "Ayoh cepat berangkat. apa yang lamunkan lagi?" tegurnya.
Setelah ditegur dengan aras arasan Tan Kia-beng baru
kerahkan ilmu meringankan tubuhnya bergerak ke depan.
Sedikit membuang waktu itulah si Penjagal Selaksa Li
berdua sudah lenyap dari pandangan.
Karena dalam hati masing-masing ada urusan yang
dipikirkan maka selama dalam perjalanan tak seorangpun
diantara mereka bertiga yang buka suara maupun mendehem,
demikianlah setengah jam sudah lewat dengan cepatnya.
Tiba-tiba.... Serentetan suara tertawa aneh yang sangat menyeramkan
bergema memecahkan kesunyian, seorang nenek tua
berambut ubanan melayang keluar dari sebuah hutan lebat
dan menghadang jalan pergi ketiga orang itu.
"Bangsat cabul, kau larikan muridku ke mana?" bentak
nenek itu dengan nada gusar.
Dalam keadaan terkejut Tan Kia-beng segera menghentikan
langkahnya. "Siapa kau?" tanyanya tercengang. "Siapakah muridmu,
buat apa kau jatuhkan urusan yang tak ada ujung pangkalnya
ini ketangan aku orang she Tan?"
"Manusia jumawa, apakah terhadap aku Phu Liuw Popo pun
tidak kenal?" dengan gemas sambungnya, "Selamanya kedua
orang muridku berbudi baik, jikalau bukan kau yang pancing
mereka pergi kenapa sampai ini hari tidak juga kelihatan
batang hidungnya?" Tan Kia-beng dibuat kebingungan setengah mati ia tidak
mengerti apa sebabnya si nenek tua ini secara mendadak
mencari gara gara dengan dirinya, sepasang alis kontan
dikerutkan rapat rapat, sebelum ia buka suara menanyakan
urusan ini sampai jelas, Leng Poo Sianci sudah meloncat maju
sambil membentak keras, "Siapa yang perduli kau adalah Phu
Liuw atau Pay Liuw, aku cuma mau tanya padamu siapakah
murid mustikamu itu dan apa sebabnya mencari gara-gara
dengan engkoh Beng ku" Dari sepasang matanya Phu Liuw
Popo memancarkan cahaya hijau dengan gemas ia melotot
sekejap ke arahnya. Nama besar Biauw-leng Siang-ciauw sudah amat terkenal
dalam Bulim telinga kalianpun belum budak, apakah terhadap
nama merekapun tidak tahu"
Pada saat ini Tan Kia-beng baru tahu kiranya Phu Liuw
Popo ini adalah seorang yang saling bertukar satu pukulan
dengan majikan Isana Kelabang Emas digunung Ui san tempo
dulu dan menolong pergi Biauw-leng Siang-ciauw dari mara
bahaya. Dalam keadaan seperti ini ia tidak ingin cari banyak
urusan lagi dengan orang-orang itu badannya maju selangkah
ke depan lalu menjura dengan wajah serius. "Sejak cayhe
menolong muridmu meloloskan diri dari gunung Ui san hingga
ini hari balum pernah berjumpa lagi dengan dirinya lebih baik
kau orang tua mencari mereka di tempat lain saja"
"Omong kosong" bentak Phu Liuw Popo dengan penuh
kegusaran. "Sejak kembali dari gunung Ui san kedua orang
budak sampai itu merindukan terus dirimu, lenyapnya mereka
berdua kali ini jikalau bukan kau yang culik siapa lagi yang
berani berbuat tindakan macam ini?"
Walaupun Leng Poo Sianci mencintai Tan Kia-beng tapi
perkenalannya dengan pemuda ini tidak begitu lama, setelah
mendengar perkataan tersebut dengan perasaan setengah
percaya setengah tidak ia melototi pemuda itu tajam tajam.
agaknya ia ingin menembusi jantung kekasihnya ini.
Lain halnya dengan si Pek Ih Loo Sat Hu Siauw-cian, sudah
lama ia berkenalan dengan Tan Kia-beng dan mengetahui
bagaimana watak pemuda tersebut.
Mendengar perkataan itu dia tertawa dingin tiada hentinya.
"Heee.... heee.... heee.... kau sendiri tidak bisa mengurusi
anak muridmu, sebaliknya tanpa sebab cari gara gara dengan
orang lain Engkoh Beng ku adalah seorang lelaki sejati, mana
mungkin ia bisa jatuh hati terhadap kedua orang budak liar
dari daerah Biauw Ciang" jikalau kau tidak menyingkir lagi,
jangan salahkan aku tidak akan berlaku sungkan sungkan lagi
terhadap dirimu." Phu Liuw Popo si nenek tua ini walaupun mempunyai watak
dingin, sombong dan jumawa tapi dalam hatipun tahu jika
dalam persoalan ini tentu sudah terjadi kesalah pahaman,
melihat pula kedua orang nona cantik itu begitu membelai
sang perjaka hatinya semakin bimbang.
"Hmmm! kalau begitu urusan jadi sangat aneh sekali"...."
dengusnya dingin. Mendadak.... Serentetan cahaya emas berkelebat lewat si Sastrawan
Berseruling Emas Fei Tie sambil mencekal senjatanya
meluncur keluar dari balik hutan.
"Manusia she Tan, kau betul-betul bernyali besar."
bentaknya keras. Melihat kejadian itu Tan Kia-beng rada tertegun dibuatnya,
ia tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Fei Tie tertawa dingin tiada hentinya.
"Kau iblis gemar main perempuan, berani berani betul
mencari gara gara dengan murid perguruan Biauw Sau Bun,
Hmmm! ini hari aku orang she Fei akan suruh kau merasakan
siksaan yang paling hebat."
Melihat sang sastrawan berseruling emas berlagak tengik,
sejak permulaan Leng Poo Sianci sudah merasa tidak senang,
pedang pendeknya segera dicabut keluar dan menerjang maju
ke depan. "Apa yang hendak kau lakukan?"
Dengan terjadinya tidnakan ini hawa amarah dari Phu Liuw
Popo pun segera menuncak, seraya mendepakkan kakinya ke
atas tanah, bentaknya, "Manusia cabul, jikalau ini hari kau
tidak serahkan Biauw-leng Siang-ciauw aku akan segera cabut
nyawa anjingmu" Kena dimaki sebagai manusia cabul, Tan Kia-beng tak bisa
menahan rasa gusar dihatinya lagi, sepasang matanya
memancarkan cahaya tajam.
"Kalian sembarangan menuduh orang dengan semau hati
sendiri berani pula memaki aku orang she Tan dengan katakata kotor Hmmm! apa kau anggap aku bisa diejek sesuka
hati?"
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pek Ih Loo sat pun tak dapat menahan rasa gusar dihatinya
lagi, golok lengkung "Engkoh Beng tidak usah banyak bicara
dengan mereka lagi, terang terangan mereka ada maksud
mencari gara gara dengan kita, lebih baik kita sikat saja."
Semakin berbicara semakin ketus, suasana pun berubah
jadi tegang. Tan Kia-beng tetap berdiri dengan kepala didongakkan ke
atas wajahnya yang tampan sedikitpun tidak menunjukkan
sikap jeri, sedang Pek Ih Loo sat serta Leng Poo Sianci dengan
satu mencekal golok yang lain mencekal pedang pendek
berdiri dikiri kanan sang pemuda dengan wajah penuh
kegusaran. Waktu itu wajah Phu Liuw Popo pun setelah berubah
menghebat, rambutnya pada bangun berdiri ujung bajupun
mengembang sebesar tong, sepasang matanya memancarkan
cahaya kehijau-hijauan, seraya membentak lima jarinya
langsung melancarkan cengkeraman ke depan.
Saking gusarnya napsu membunuhpun melinatas wajah Tan
Kia-beng, ia membentak keras pula. dengan jurus "Jiet Ceng
Tiong Thian" disambutnya serangan dahsyat yang di depan
mata. "Bluuuk!" diiringi suara bentrokan yang memekikkan
telinga, tubuh Liuw Popo terpental balik sejauh delapan depa
lebih ke belakang. Sebaliknya Tan Kia-beng mendengus dingin, pundaknya
sedikit bergoyang kemudian berdiri tegak kembali.
Selama berkelana di daerah Biauw Ciang si nenek tua Phu
Liuw Popo belum pernah menemui tandingan, siapa sangka di
dalam satu jurus ia menderita kalah ditangan seorang pemuda
dari angkatan bawah, semakin gusarlah hatinya.
Sambil gertak gigi bentaknya gusar, "Jikalau ini hari ada kau
pasti tak ada aku" Sepasang lengan digetarkan sehingga berbunyi
gemeretukan, perlahan-lahan telapaknya disilangkan di depan
dada lalu selangkah demi selangkah mendesak maju ke
depan. agaknya ia sudah salurkan seluruh tenaga yang
dimilikinya untuk melakukan serangan adu jiwa.
Pada waktu itulah.... "Suhu, kau sudah salah menuduh orang" teriak seseorang
dari tempat kejauhan dengan nada pilu.
Sreet! Sreeet! dua sosok bayangan manusia melayang
turun ke tengah kalangan kemudian satu dari kiri yang lain
dari kanan memeluk lengan Phu Liuw Popo erat-erat.
"Suhu, hampir hampir saja tecu tak bisa berjumpa dengan
kau orang tua lagi" jeritnya sambil menangis.
Ketika melihat munculnya Yen Giok Kiauw serta Yen Giok
Fang dalam keadaan selamat Phu Liuw Popo pun segera
buyarkan tenaga lweekangnya, lalu menghela napas panjang
dengan wajah kesal. Sembari membelai rambut mereka
tanyanya halus, "Cepat katakan kepadaku, sebenarnya apa
yang telah terjadi?"
"Suheng dia.... bangsat berwajah manusia berhati binatang,
jikalau bukannya ada seorang cici baju merah yang telah turun
tangan menolong kami, mungkin saat ini...."
Tidak menanti mereka selesai bicara saking gusarnya
seluruh tubuh Phu Liuw Popo gemetar keras.
"Fei Tie! kau bangsat bagus betul perbuatanmu" bentaknya
gusar. Tapi, si Sastrawan Berseruling Emas Fei Tie sudah meloyor
pergi sewaktu melihat munculnya Siang Ciauw disana.
Hal ini semakin menambah kegusaran dihati Phu Liuw Popo,
sambil membentak gusar teriaknya, "Kalian berdua cepat ikut
diriku, ia tak bakal bisa lari jauh."
Guru bermurid tiga orang segera salurkan ilmu
meringankan tubuhnya berkelebat ke arah hutan, sebelum
pergi si Yen Giok Fang dari cicik itu masih sempat melirik
sekejap ke arah Tan Kia-beng dengan sinar mata penuh rasa
cinta. Dalam sekejap saja mereka sudah lenyap dari pandangan.
Setelah mengalami peristiwa macam ini Tan Kia-beng
semakin menganggap perempuan adalah bibit bencana yang
tak boleh diusik lagi, ia menghela napas panjang dan
melanjutkan kembali perjalanannya mengikuti dari belakang
kedua orang gadis tersebut
Setibanya didusun Tau Siang Cung, pemuda ini semakin
terkejut lagi dibuatnya. Ternyata rumah papan yang semula bobrok saat ini sudah
berubah jadi sebuah bangunan besar yang mentereng dan
sangat megah sekali, si pengemis aneh sambil tertawa
terbahak-bahak berjalan keluar dari ruangan besar.
"Loote, coba kau lihat bagaimana dengan urusan yang aku
si pengemis tua kerjakan?"
Tidak usah bertanya Tan Kia-beng pun tahu kesemuanya ini
hasil bantuan dari pihak Kay-pang, buru-buru ia menjura.
"Terima kasih, terima kasih"
"Haaa.... haaa haaa.... kau jangan mengucapkan terima
kasih kepadaku, seharusnya pergi mencari Mo Cuncu dan
sampaikan terima kasihmu itu kepadanya."
Waktu itu Teh Leng Su Ci, Si Penjagal Selaksa Li, si kakek
berbaju kuning Pek San sekalipun sudah berjalan keluar
menyambut kedatangannya, mereka bersama-sama
mengiringi Tan Kia-beng masuk ke dalam ruangan besar untuk
bercakap-cakap, persoalanpun sekitar peresmian berdirinya
kembali perguruan mereka yang telah ditetapkan pada tanggal
satu bulan empat, dihadapan para kawan kawan Bulim.
Seenak saja Tan Kia-beng mengiakan, setelah itu dengan
alasan hendak beristirahat ia bersembunyi di sebuah kamar
kecil. Padahal yang benar, pikirannya saat ini sangat kacau, lama
lama sekai akhirnya dari dalam saku diambilnya keluar secarik
saputangan dan pentangkan di atas meja lalu memandangnya
dengan terpesona. Tulisan di atas sapu tangan itu kira-kira berbunyi demikian,
"Engkoh Beng, aku sudah salah menganggap dirimu,
perbuatanmu memang benar mulia, tapi mana boleh aku
titipkan dendamku ini agar kau yang wakili aku membalaskan"
Liuw Lok Yen jadi dalang dari peristiwa pembubuhan ayahku.
Aku bersumpah pasti akan membinasakan dirinya, tapi kau
boleh berlega hati aku tak akan menempuh bahaya pergi ke
gurun pasir seorang diri. Aku pasti akan menunggu setelah
aku merasa kekuatanku sudah cukup.
Selamat berpisah engkoh Beng, harap kau jangan
menguatirkan diriku sendiri, sedangkan mengenai urusan
antara diri kita, aku sudah berpikir masak. Sebelum dendam
ayahku terbalas aku belum mempunyai kebebasan! bersamaan
itu pula aku tidak berharap karena urusanku membuat kau jadi
murung, jadi kesal. seluruh kejadian yang kita alami selama ini
anggap saja sebagai awan diangkasa.
Engkoh Beng! selamat berpisah. kenangan manis pasti
berlalu dan tak ada perjamuan yang tak pisah.
Tertanda: Mo Tan-hong."
Sapu tangan itu ia temukan disebuah rumah penginapan
sewaktu pemuda tersebut mengejar Mo Tan-hong, waktu itu
karena terburu-buru hendak berangkat ke gunung Ui-san
maka ia tak ada waktu untuk membacanya lebih teliti.
Ia merasa Mo Tan-hong bukan menaruh kesalah pahaman
terhadap dirinya, tapi karena dendam ayahnya belum selesai
terbalas! Teringat kenangan semasa dahulu dimana mereka berdua
bermesraan dengan begitu rapat, hatinya terasa amat sedih
sekali. Pada waktu itulah mendadak pintu kamar diketuk orang
disusul munculnya Pek Ih Loo sat muncul di depan pintu
bagaikan Kwan Im berwajah dingin.
"Bolehkah saya masuk ke dalam?" tanyanya sambil
memandang pemuda itu dengan pandangan dingin.
"Sudah tentu boleh, Oie Kiong Tootiang dari Bu-tong-pay
mengajukan diri sebagai Mak comblang untuk melamar Leng
Poo Sianci buat dirimu, aku dengar keempat Ih Nay Nay pun
sangat setuju dengan lamaran tersebut."
"Heee.... tapi aku sama sekali tak tertarik dengan persoalan
itu" kata Tan Kia-beng sambil menghela napas panjang.
"Kau sudah menerima jabatan sebagai Kauwcu sudah
seharusnya menjumpai pula seorang Kauw hujien apalagi
diapun merupakan kawanmu."
"Heee.... heee.... heee.... apakah kaupun tidak paham
perasaan hatiku?" seru sang pemuda sambil tertawa dingin.
"Tapi saat ini ia tak berada disini, sedang kitapun...."
Bicara sampai disini mendadak ia membungkam, dua titik
air mata jatuh berlinang membasahi pipi.
Melihat kejadian itu perasaan cinta dihati Tan Kia-beng
muncul kembali, kenyataan membuktikan bahwa perasaan
cintanya terhadap Hu Siauw-cian jauh lebih mendalam satu
tingkat dari pada cintanya kepada Mo Tan-hong, hanya saja
dikarenakan tingkatan kedudukan dalam perguruan
menciptakan sebuah jurang pemisah yang sangat dalam di
antara mereka berdua. Kini, setelah melihat gadis itu menunjukkan sikap seperti
itu, Tan Kia-beng tak dapat menahan diri, ia meloncat maju ke
depan seraya mencekal pergelangannya erat-erat.
"Usia kita sebaya, mengapa diantara kita tidak boleh saling
cinta mencintai dan membangun suatu rumah tangga sebagai
suami sitri yang rukun"
Perlahan-lahan Hu Siauw-cian melepaskan diri dari cekalan
pemuda tersebut lalu menghela napas panjang.
"Susiok! tenangkan hatimu soal ini tak mungkin terjadi"
Sejak pertemuan mereka dahulu kala hingga kini baru kali
ini Hu Siauw-cian memanggil dirinya dengan sebutan "Susiok", kontan saja seluruh tubuh pemuda itu gemetar sangat keras.
Akhirnya ia menghela napas panjang, dengan lemas
tubuhnya menjatuhkan diri bersandar di atas kursi.
Ketika itulah Hu Siauw-cian dengan kepala tertunduk
rendah dan mulut membungkam dalam seribu bahasa
mengundurkan diri dari dalam kamar.
Lama sekali Tan Kia-beng duduk termangu-mangu di atas
kursi, akhirinya ia meloncat bangun dicarinya secarik kertas
dan dibuatnya sepucuk surat lalu melepaskan seruling
kumalanya dari pinggang dan ditindihkan ke atas surat
tersebut. Kemudian ia mendorong jendela, meloncat ke luar, dan
dalam sekejap mata lenyap di tengah malam buta.
Ya memang! CINTA adalah sesuatu yang tak bisa
dipaksakan, kesemuanya ada ditangan THIAN yang
menentukan. TAMAT Pedang Medali Naga 8 Sepasang Golok Mustika Karya Chin Yung Kilas Balik Merah Salju 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama