Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Bagian 4
berada di atas lima, enam puluh orang dan dengan diiringi
suara tertawa aneh yang menggidikkan hati segera
mengepung mereka bertiga rapat-rapat.
Di tengah malam buta, di tengah padang berbatu yang
sunyi secara mendadak muncul manusia aneh serta peristiwa
aneh, kendati Tan Kia-beng bertiga memiliki kepandaian silat
yang amat tinggipun tidak urung merasa bergidik juga
sehingga bulu roma pada berdiri semua.
Si "Ciat Hun Kiam" Si Huan akhirnya tak dapat menahan
sabar lagi, ia segera meloloskan pedangnya dari sarung.
"Kawan!" bentaknya keras. "Kalian tidak perlu menyaru seperti malaikat, jika kamu semua betul-betul ada nyali ayoh
cepat maju menyerang, biar Siauw ya mu layani beberapa
jurus" Baru saja suara bentakan tersebut diucapkan keluar, suara
tiupan seruling mendadak bergema dari empat penjuru
membawakan sebuah lagi yang bernadakan aneh tetapi sedih,
membuat setiap orang merasa bergidik.
Ketika itu Sak Ih pun sudah mencabut keluar pedangnya
dari dalam sarungnya. "Tan heng bagaimana kalau kita terjang keluar!" tanyanya
sambil menoleh ke arah Tan Kia-beng.
"Tunggu sebentar!" pemuda tersebut buru-buru
menggeleng. "Orang-orang ini tidak lebih cuma kurcaci kurcaci
yang tiada berguna, pentolan mereka masih belum unjukkan
muka" "Tetapi apakah kita semua harus menanti disini dengan
berpeluk tangan?" Mendadak Tan Kia-beng tertawa tergelak
"Haaa.... haa.... haa.... lebih banyak permainan setan
bukankah sama saja dengan menambah pengetahuan kita?"
serunya. Ketika itu manusia-manusia aneh yang memancarkan
cahaya kehijau-hijauan tersebut sudah pada meloloskan
sebilah golok melengkung yang berwarna biru.
Walaupun suara jeritan aneh terus menerus bergema
memenuhi angkasa tetapi tak seorangpun diantara mereka
yang maju kedapan melancarkan serangan. Agaknya manusia
manusia aneh ini sedang menantikan sesuatu.
Suara tiupan seruling yang berkumandang datang dari
tempat kejauhan berbunyi semakin gencar lagi bahkan ada
kalanya diiringi suara suitan aneh yang menusuk telinga.
Suara suitan melengking tadi mirip sebilah pedang yang
meluncur ke tengah angkasa membuat setiap orang
merasakan hatinya bergetar keras dan tidak tenang.
Tan Kia-beng yang mendengar suitan tersebut tak terasa
hatinya rada bergerak, pikirnya diam-diam dengan perasaan
terperanjat. "Tenaga dalam orang ini sudah mencapai taraf
kesempurnaan, ia memang betul-betul seorang musuh
tangguh yang menakutkan!"
Setelah berpikir akan persoalan tersebut, ia lantas berseru
memberi peringatan, "Rencana keji pihak musuh tidak sampai
disini saja, kita tidak boleh berada di sini terlalu lama, biarlah
siauw-te coba-coba menerjang dulu barisan ini."
Sembari berkata tubuhnya segera meloncat ke depan
menerjang ke arah gerombolan manusia aneh itu.
Jarak antara pemuda itu dengan manusia aneh itu tidak
lebih hanya terpaut lima, enam kaki saja, apalagi loncatannya
ini dilakukan sangat cepat bagaikan sambaran kilat, begitu
ujung kakinya menjejak permukaan tanah sepasang
telapaknya kontan saja mengirim sebuah babatan dahsyat.
Di dalam anggapannya pukulan yang ia lancarkan ini tentu
akan berhasil melukai pihak musuh dan dengan paksa
menerjang sebuah lubang kelemahan.
Siapa tahu baru saja angin pukulan menyambar lewat,
serentetan cahaya berapi berkelebat lewat tahu-tahu
bayangan manusia itu sudah lenyap tak berbekas.
Dalam keadaan terperanjat, tubuhnya segera berputar,
sepadang telapak bersama-sama didorong ke depan.
Segulung angin pukulan yang keras tiada taranya dengan
dicampuri pasir serta batu kerikil bagaikan amukan ombak
samudra menggulung kesebelah kanan.
Kembali bayangan manusia berkelebat menyilaukan mata,
baru saja angin pukulan tersebut didorong ke depan dari
empat penjuru sudah berkumandang keluar suara tertawa
aneh yang menyeramkan. Buru-buru pemuda itu memusatkan perhatiannya menyapu
sekejap kesekeliling tempat itu, tetapi hatinya sudah terasa
berdebar sangat keras. Karena apa yang dilihat saja benarbenar berada diluar dugaan.
Situasi kalangan yang dihadapinya saat ini sama sekali
sudah berubah, manusia manusia aneh yang dijumpainya tadi
pada saat ini sudah lenyap tak berbekas.
Yang terlihat olehnya pada saat ini cuma kelipan cahaya api
yang bertumpuk tumpuk mengaburkan pandangan, bahkan
sampai Sak Ih serta Si Huan pun sudah lenyap tak berbekas.
"Sungguh mengherankan!" diam-diam pikirnya dengan
amat terperanjat. "Apakah mereka sudah menggunakan suatu
barisan yang lihay?"
Ketika diperhatikan lebih jauh arah perputaran barisan
tersebut, ia merasa barusan ini mirip sekali dengan sebangsa
barisan Pat Kwa, tak terasa lagi hatinya rada bergerak
"Sak heng, Si heng kau berada dimana"...." teriaknya keras.
Mendadak suara tiupan seruling kembali bergema
memenuhi angkasa, suara tersebut tinggi melengking
menembusi awan ternyata suara teriakannya tadi kena
terkubur lenyap dibalik suara seruling tersebut.
Dalam keadaan gusar pemuda itu segera melancarkan ilmu
telapaknya yang sangat lihay, dengan gerakan cepat laksana
sambaran kilat ia mengirim sembilan buah pukulan sekaligus,
sedang tubuhnyapun ikut menerjang maju ke depan.
Siapa tahu angin pukulan yang maha dahsyat itu ternyata
lenyap sama sekali daya kekuatannya dibawah cahaya api
yang berkedip kedip itu sedang tubuhnya yang menerjang ke
depanpun terasa terhadang oleh suatu kekuatan tak berwujud
yang maha dahsyat. Pada waktu itulah serentetan suara yang tinggi melengking
dan sangat menyeramkan berkumandang datang memekikkan
telinga. "Heee.... heee.... heee.... Kalian bertiga terjebak dalam
barisan 'Pek Kui Liem Tin' atau barisan seratus setan. Jangan
harap kamu semua bisa meloloskan diri dalam keadaan hiduphidup, bila semisalnya kalian sayang dengan selembar
nyawamu itu cepat-cepatlah menyerah dan menggabungkan
diri dengan pihak Isana Kelabang Emas kami. Kalau tidak,
asalkan barusan ini aku gerakkan, maka jangan kalian merasa
menyesal dikemudian hari!"
"Kentut!" bentak Tan Kia-beng keras. Seruling pualam
putihnya kontan saja dicabut keluar, diantara berkelebatnya
cahaya yang menyilaukan mata laksana sambaran kilat ia
melancarkan tiga buah serangan sekaligus, ketiga buah
serangan ini kesemuanya merupakan jurus-jurus yang paling
sempurna, paling ganas diantara jurus jurus serangan aliran
Teh-leng-bun. Terlihatlah diantara berkelebatnya cahaya api yang kacau
dengan paksa ia berhasil menerjang sebuah lubang
kelemahan, siapa sangka di dalam waktu yang amat singkat
itu pula, mendadak suara tiupan seruling berubah hebat,
barisan tersebut mulai berputar semakin gencar....
Terlihatlah api setan beterbangan memenuhi angkasa,
bagaikan tebaran bintang bintang dilangit selapis demi selapis
menerjang ke depan dan menekan seluruh tubuhnya dari
empat penjuru. Diantara lapisan cahaya berapi serta tekanan yang maha
berat, secara samar-samar terselip pula bintik cahaya perak
serasa hujan anak panah menghujam datang.
Pertama, cuaca amat gelap sehingga sukar dibedakan
dengan pandangan mata, kedua, suara suitan tajam serta
kelebatan cahaya berapi mengacaukan pendengaran serta
penglihatan setiap manusia. Kendati Tan Kia-beng memiliki
kepandaian silat yang amat dahsyatpun tak urung dipaksa
kebingungan juga. Keistimewaan dari barisan ini adalah meleburnya kekuatan
berpuluh-puluh orang jadi suatu kekuatan dahsyat, Tan Kiabeng yang kena terkurung di tengah kalangan segera
merasakan tekanan yang mengancam datang semakin lama
semakin besar, serangan golok perak yang menghujam
datangpun semakin lama semakin santar.
Seketika itu juga pemuda tersebut dipaksa mencak kesana
kemari dengan repotnya untuk beberapa saat lamanya ia jadi
kepayahan. Ketika itulah suara jeritan tinggi melengking kembali
berkumandang datang. "Hey bangsat cilik, cepat-cepatlah menyerah kalua tidak kau
akan terlambat!" Saking gemas dan khekinya Tan Kia-beng bersuit panjang,
pedang pusaka Kiem Ceng Giok Hun Kiamnya segera dicabut
keluar dari dalam sarung.
Dimana serentetan cahaya kebiru biruan berkelebat
memenuhi angkasa kemudian menggulung lewat, suara
gemerincingan benda-benda besi bergema memekikkan
telinga, seketika itu juga berpuluh puluh bilah golok perak
berhasil dibabat putus menjadi dua bagian.
Suara jeritan kaget segera bermunculan di tengah angkasa
tetapi sebelum sampai terjadi suatu peristiwa mendadak suatu
tiupan seruling berbunyi lagi semakin gencar, sedang kekuatan
kepungan itupun semakin menghebat.
Tetapi, setelah Tan Kia-beng mencekal sebilah pedang
pusaka, kedahsyatan serta semangatpun semakin berlipat
ganda, dimana tangannya menggetar, jurus pedang yang baru
saja dipelajari segera dikeluarkan dengan hebat.
Seketika itu juga hawa pedang menyesakkan pernapasan,
dimana cahaya biru meluncur lewat segera meninggalkan
suara desiran yang menggidikkan hati.
Ilmu pedang kuno yang digunakan Tan Kia-beng ini benarbenar sangat luar biasa tampak cahaya berapi bagaikan
pecahan ombak menumbuk tepian, di dalam waktu yang amat
singkat terbukalah suatu lingkaran kosong seluas tiga kaki
persegi. Pada saat ini pemuda tersebut sudah merasakan tenaga
lweekangnya mendesak keluar laksana aliran sungai Huang
Hoo, diam-diam ia mulai memusatkan seluruh perhatiannya.
Tiba-tiba cahaya biru yang memancar keluar dari pedang
pusaka Kiem Ceng Giok Hun Kiam meluncur sejauh tiga,
empat depa. Diiringi suara bentakan keras badannya segera
berputar. Dimana cahaya yang menyilaukan mata meluncur keluar,
pedang Giok Hun Kiam sudah terlepas dari cekalan bagaikan
seekor naga sakti menggulung keluar.
Serentetan suara jeritan ngeri bergema memenuhi angkasa,
darah segar bermuncratan membasahi permukaan tanah.
Bagaikan buah yang sudah masak saja beberapa orang yang
berada di barisan paling depan pada menggelinding di atas
tanah dengan badan terlepas putus menjadi dua bagian.
Jurus serangan yang baru saja ia gunakan ini adalah jurus
terakhir dari ilmu pedang Sian Yan Chiet Can, yang bernama
Sie Kui Cing Sin atau Setan menangis Malaikat kaget.
Walaupun manusia manusia aneh yang memancarkan
cahaya api dari mulut serta hidungnya ini sudah mendapatkan
pendidikan serta latihan yang keras lagi disiplin, tetapi
selamanya belum pernah menemui peristiwa aneh dimana
pedang dapat terbang membunuh orang, tak terasa lagi
saking kagetnya mereka pada berdiri melongo longo.
Sedang Tan Kia-beng sendiri menggunakan waktu yang
amat singkat inilah menangkap kembali pedang pusakanya,
sang tubuh segera menerjang ke depan sambil melancarkan
serangan gencar. Terlihatlah diantara seretan cahaya berapi yang berkedip
kedip, serentetan cahaya tajam bagaikan seekor naga sakti
menyambar kesana kemari dengan kecepatan yang luar biasa.
Dimana cahaya tajam tersebut lewat, darah segar
berceceran memenuhi angkasa, suara jeritan ngeri saling susul
menyusul memecahkan kesunyian.
Dalam waktu yang amat singkat barisan tersebut jadi kacau
balau tidak karuan, Tan Kia-beng yang untuk pertama kalinya
mencoba kedahsyatan dari ilmu pedang "Sian Yan Chiet Can"
semakin bergebrak merasakan, permainannya semakin lancar.
Iapun merasakan bahwa jurus-jurus serangan ilmu pedang
itu bersambung satu sama lain tiada hentinya, begitu
dilancarkan keluar serasa anak panah yang berada di atas
busur, mau tak mau harus dilancarkan juga
Disamping itu iapun menaruh rasa benci terhadap manusiamanusia ganas itu, kendati barisan tersebut sudah dipukul
kocar kacir tetapi serangan yang dilancarkan keluar masih
tetap meluncur keluar tiada hentinya.
Dengan demikian suatu penjagalan manusia secara besarbesaran segera berlangsung dengan seramnya di tengah
gurun pasir yang sunyi....
Suara raungan kesakitan, jeritan ngeri serta teriakan
menjelang sekarat bergema memenuhi angkasa bercampur
dengan suara tiupan seruling yang amat santar, suara tersebut
lama kelamaan membuat setiap orang merasa hatinya
semakin bergidik. Ketika itulah dari antara kepungan barusan seratus setan itu
mendadak berkumandang datang dua kali suara bentakan
yang amat keras diiringi dua rentetan cahaya hijau berkelebar
lewat, dari antara kepungan yang sangat rapat mendadak
muncul dua sosok bayangan manusia melayang mendekat.
"Apakah Si serta Sak heng berdua?" teriak Tan Kia-beng
dengan cepat. Hawa murninya segera ditarik panjang panjang dari pusar,
bersama-sama dengan pedangnya yang membentuk cahaya
tajam, laksana kilat menyambar ia meluncur ke depan.
Keuda sosok bayangan manusia yang meluncur datang
bersama barusan itu memang tak lain adalah Sak Ih serta Si
Huan berdua. Tadi, sewaktu mereka terperosok ke dalam kepungan
barusan musuh yang begitu kuar dan rapat sehingga angin
hujan tak bertembus hampir hampir saja mereka dibuat
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesesakan napas, siapa tahu pada saat yang amat kritis itulah
mendadak tekanan pada tubuh mereka terasa agak ringan,
dengan sekuat tenaga kedua orang pemuda tersebut lantas
mengirim serangan dahsyat balas mendesak musuhnya.
Bersamaan itu pula mereka menemukan Tan Kia-beng
bagai rentetan pelangi sedang meluncur datang, dalam
keadaan sangat girang tak kuasa lagi mereka berteriak hampir
berbareng, "Benar siauw-te berdua, Tan heng kau tidak
mengapa bukan?" Dengan dahsyatnya Tan Kia-beng menggerakkan pedang
Kiem Ceng Giok Hun Kiam yang berada ditangannya, dimana
sambaran pedang berkelebat lewat bagaikan ombak yang
memecah ditepian pantai potongan lengan ptahan kaki
beterbangan memenuhi empat penjuru, ketika mendengar
suara jawaban dari kedua orang itu ia lantas menggerakkan
badannya berkelebat kesisi Sak Ih sekalian.
"Haaa.... haaa.... haaa.... kalau cuma mengandalkan
kekuatan beberapa orang manusia manusia busuk semacam
kalian masihbelum untuk mengapa-apakan diriku, aku hanya
merasa ikut malu mengapa pentolan yang memimpin barisan
ini tidak berani munculkan dirinya secara terus terang
sebaliknya bersembunyi terus bagaikan cucu kura kura".
Belum habis ia tertawa, mendadak terdengarlah suara
seseorang sangat dingin bagai es sudah menyambung
"Bangsat cilik, kau jangan merasa bangga dulu, walaupun
kau dengan mengandalkan pedang pusaka Kiem Ceng Giok
Hun Kiam berhasil mempertahankan diri untuk sementara
waktu, Hmmm! tetapi untuk meloloskan diri dari gurun pasir
ini dalam keadaan selamat jangan harap!"
Si "Ciat Hun Kiam" Si Huan yang sudah terkurung sangat
lama di dalam barisan seratus setan tersebut, pada saat ini
hatinya lagi kheki. Kini sesudah mendengar perkataan tersebut
ia tak dapat menahan hawa amarah yang sedang bergelora di
dalam hatinya lagi. "Siapakah saudara?" bentaknya keras. "Jikalau kau betul-betul bernyali ayoh cepat unjukkan diri bergebrak beberapa
jurus, dengan Si-ya, bicara besar terus tiada gunanya!"
"Heee.... heee.... heee.... Untuk bergebrak melawan diriku
tidak sulit, cuma saja selama ini aku si Im Liem Kui Bo belum
pernah melepaskan mangsanya dalam keadaan hidup hidup"
Entah sejak kapan bagaikan bayangan setan saja tahu-tahu
dihadapan mereka sudah muncul seorang nenek tua yang
berambut merah sepanjang pundak dengan wajah yang
meringis buas dan seluruh tubuh berwarna hitam pekat. Ia
melototi ketiga orang itu.
Begitu munculkan dirinya, nenek bengis itu segera tertawa
dingin tiada hentinya. Si Huan segera menggetarkan pedangnya kencang kencang
kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Haaa.... haa.... haaa.... haaa.... justru aku Si Huan paling
tidak percaya dengan segala permainan setan, ayoh cepat
keluarkan seluruh kepandaian silatmu!"
Mendadak "Im Liem Kui Bo" mendongakkan kepalanya
tertawa tergelak, suaranya seperti kuntilanak yang sedang
menjerit membuat setiap orang yang mendengar merasakan
bulu kuduknya pada berdiri.
Begitu suara tertawa sirap dari angkasa sepasang
tangannya yang kurus kering bagaikan cakar burung garuda
diangkat tinggi2. Sinar mata Tan Kia-beng dengan cepat berkelebat, ia dapat
menemukan di atas kesepuluh jari tangannya yang panjang
secara samar-samar memancarkan cahaya kebiru-biruan yang
menyilaukan mata, tak tertahan lagi hatinya merasa sangat
terperanjat, buru-buru jeritnya memberi peringatan.
"Si-heng, perhatikan kesepuluh kuku jari tangannya!"
Baru saja ia selesai berteriak, masing-masing pihak sudah
mulai saling menyerang. Pedang Si Huan bagaikan pelangi yang terbang diangkasa
dengan menimbulkan suara desiran tajam menusuk medada
musuh. Im Liem Kui Bo tertawa seram, mendadak cakar setannya
dipentang lebar-lebar kemudian sambil putar badan ia
mengamcam pedang pihak lawan.
Si Huan yang tidak mengetahui seberapa hebatnya tenaga
dalam pihak lawan, buru-buur menekan pergelangan
tangannya ke bawah dengan sikap mendatar dari gerakan
menusuk kini berubah menjadi gerakan membabat
menggulung ke arah pinggang lawan.
Seketika itu juga suara desiran tajam bercampur dengan
hawa pedang yang menyesakkan napas bermunculan
memenuhi seluruh angkasa.
Agaknya Im Liem Kui Bo sama sekali tidak menduga kalau
pemuda yang berada dihadapannya bisa memiliki kepandaian
ilmu pedang segitu sempurna, dalam keadaan terperanjat
tubuhnya dengan mengikuti gerakan sang pedang segera
muncur lima depa ke arah belakang.
Tetapi sebentar kemudian dengan diiringi suara suitan
keras, tubuhnya kembali menerjang masuk ke dalam lingkaran
cahaya pedang, sepasang tangannya yang kurus bagaikan
cakar setan menyusut mendorong tiada hentinya, hanya di
dalam waktu yang amat singkat berturut-turut ia sudah
mengirim delapan belas buah serangan.
Terasalah angin dingin menderu deru dan menyebar lewat
dengan sangat tajam, kuku kuku jarinya yang panjang serta
memencarkan wakna kebiru-biruan bagaikan sepuluh bilah
pedang panjang menyebar kesana kemari dengan amat
gencar. Tenaga dalam yang dimiliki Si Huan dasarnya memang
kalah satu tingkat dari perempuan tersebut, apalagi di dalam
kepungan manusia-manusia aneh berapi tadi inipun harus
banyak mengorbankan hawa murninya, oleh karena itu
berturut turut kena terdesak mundur terus ke arah belakang.
Tetapi dasar sifatnya memang sombong, congkak dan tinggi
hati pemuda tersebut mana mau memperlihatkan
kelemahannya" Pedang panjang ditangannya segera diperkencang, sambil
membentak keras dengan sekuat tenaga ia mengirim tiga
buah serangan berantai dengan paksa menyetop serangan
musuh. Mengambil kesempatan inilah ilmu pedang Ciat Hun Kiam
Hoat nya dikeluarkan, dalam waktu yang amat singkat cahaya
hijau menyembur keempat penjuru kemudian menyebar
keseluruh angkasa. Kontan saja tubuh Im Liem Kui Bo kena
terseret ke dalam lautan pedang yang amat dahsyat itu.
Melihat keadaan semacam ini di dalam sekali pandang saja
Tan Kia-beng segera mengetahui bila pemuda tersebut untuk
beberapa saat lamanya tak bakal menderita kalah, oleh sebab
itu diam-diam ia mulai memperhatikan keadaan sekitar tempat
itu. Suara tiupan seruling itu sudah berhenti berbunyi, sedang
manusia manusia aneh yang menyemburkan sinar berapi dari
mulut dan hidungnya itupun mulai berkelompok menjadi satu.
Kini yang tersisa di dalam kalangan tinggal tumpukan
lengan serta potongan-potongan kaki yang tersebar dimanamana bercampur dengan ceceran darah segar.
Manusia-manusia yang kena terbunuh, walaupun sudah
mati tetapi dari mulut maupun hidungnya masih tetap
memancarkan cahaya yang menyilaukan mata.
Setelah diamati lebih teliti lagi, baru mereka ketahui kiranya
permainan tersebut hanya suatu permainan yang sangat
mudah, di atas hidung maupun mulut manusia-manusia aneh
tersebut telah dipolesi dengan sebangsa bubuk phospor dalam
jumlah yang banyak. Tan Kia-beng tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia
tertawa terbahak-bahak. "Haaa.... haaa.... haaa.... haaa.... kiranya kepandaian dari
pihak Isana Kelabang Emas cuma begini saja"
"Aku rasa tidak begitu gampang kawan" mendadak dari
tempat kejauhan berkumandang datang suara seseorang yang
menyambung perkataan tersebut.
Begitu suara itu sirap, tahu-tahu di tengah kalangan sudah
bertambah lagi dengan tiga orang manusia. Salah satu
diantaranya adalah Sang Si Ong yang pernah bergebrak
melawan Sak Ih sewaktu berada di dalam Isana Kelabang
Emas. Sedang dua orang lainnya adalah seorang lelaki dan
seorang wanita. Yang lelaki memiliki alis tebal mata besar sepasang lengan
kekar berotot. Usianya kurang lebih berada di atas lima puluh
tahun sedang pakaiannya model suku Biauw.
Sebaliknya yang perempuan berperawakan menggiurkan, ia
berdandan dengan pakaian keratun berwarna hijau yang
sangat mentereng dan mewah, sikap serta gerak geriknya pun
secara samar-samar sebagai seorang perempuan bangsawan.
Melihat munculnya perempuan itu Tan Kia-beng rada
melengak dibuatnya, mendadak hatinya terasa rada bergerak.
"Yang datang apakah majikan Isana Kelabang Emas?" buruburu sapanya sembari menjura.
"Akh kau sudah salah menduga!" perempuan muda
berdandan wanita keraton itu tersenyum. "Majikan Isana
Kelabang Emas adalah enciku, aku adalah Sak Cing Hujien."
"Haaa.... haaa.... haaa.... sampah Bulim pun mengaku
sebagai Hujien. Sungguh menggelikan sekali!!"
Air muka Sak Cing Hujien kontan saja berubah hebat, tetapi
sebentar kemudian ia sudah jadi tenang kembali.
"Heeei....! Sebutan Hujien ini memang cukup menggelikan
buat orang lain." katanya sambil menghela napas panjang.
"tetapi di balik kesemuanya ini masih ada rahasia rahasia yang
tak boleh diketahui siapapun. Sebetulnya akupun tak ingin
melihat peristiwa pembunuhan pembunuhan kejam yang
mengerikan itu, tetapi berhubung keadaan yang memaksa
mau tak mau aku harus berbuat demikian, Siauw ko dengan
pihak Isana Kelabang Emas kami tiada dendam sakit hati buat
apa kau begitu ngotot untuk terjunkan diri ke dalam kolam
berisikan air pahit getir ini?"
"Apa" Tiada ikatan dendam sakit hati?" teriak Tan Kia-beng gusar, dari sepasang matanya memancarkan cahaya yang
amat tajam "Kematian ayahku Cu Swie Tiang Cing di dalam
gua bawah tanah apakah tidak termasuk dendam sakit hati"
Apalagi tindakan kalian orang-orang Isana Kelabang Emas
sangat kejam dan telengas terhadap orang-orang Bulim di
daerah Tionggoan, aku orang she Tan sebagai seorang kawan
Bulim sudah sewajarnya memikul tanggung jawab ini untuk
membasmi kalian." "Heeei....! Apa kau kira orang-orang Isana Kelabang Emas
pun kebanyakan gemar membunuh orang" Semua tindakan ini
kami lakukan karena keadaan terpaksa...."
Tan Kia-beng yang melihat di atas wajah perempuan itu
secara mendadak terlintas suatu perasaan sedih, sepertinya
ada sesuatu hal yang menekan di dalam hatinya, diam-diam
merasa sangat keheranan sehingga tanpa terasa pemuda
tersebut sudah merasa kurang enak untuk mengejek
perempuan tadi dengan kata-kata kotor.
Pembicaraan yang dilakukan mereka berdua dengan halus
dan pakai aturan itu agaknya terasa sangat tidak cocok bagi
sifat lelaki kasar berdandan suku Biauw itu.
Mendadak ia menerjang maju ke depan sambil membentak
keras, "Kiranya kau adalah putra dari 'Cu Swie Tiang Cing' Tan
Cu Liang kalau begitu kau bangsat cilik jangan harap bisa
pergi lagi dari sini!"
Dengan pandangan menghina Tan Kia-beng melirik sekejap
ke arahnya, mendadak ia mendongakkan kepalanya tertawa
tergelak. "Haaa.... haaa.... haaa.... hanya mengandalkan kekuatan
kalian beberapa orang"
Ketika itulah mendadak Sak Cing Hujien dengan ringan
melayang ke depan. "Kepandaian silatmu kau dapatkan dengan tidak gampang"
nasehatnya dengan suara lembut. "Isana Kelabang Emas tidak
mungkin bisa kau lawan hanya mengandalkan kekuatan kau
seorang diri. Aku nasehati dirimu lebih baik menyingkirlah dari
urusan ini!" "Ooouw begitu"...." dengus Tan Kia-beng dingin.
Mendadak di dalam benaknya terlintas suatu persoalan,
gerakan tubuh dari si perempuan yang sangat ringan dan
lincah itu rasanya sangat dikenal olehnya, cuma saja untuk
beberapa saat pemuda kita tak teringat kembali dimanakah ia
pernah melihat gerakan ini
Agaknya Sak Cing Hujien pun kena dibuat gusar oleh sikap
yang dingin dan congkak dari pemuda tersebut. Ia mendengus
berat. "Hmmm! Jika kau memang ingin cari mat akupun tak ada
perkataan lain yang bisa diucapkan lagi" serunya.
Begitu selesai berkata tubuhnya dengan ringan melayang
mundur ke belakang, dan tepat pada saat yang bersamaan,
lelaki kekar berdandan suku Biauw itu sudah menerjang maju
kehadapan Tan Kia-beng. Di tengah suara bentakan yang amat keras kepalannya
segera dihantamkan ke arah depan dimana angin pukulan
menyambar lewat serasa ambruknya gunung thaysan dan
merekahnya permukaan tanah.
Tadi, sewaktu Tan Kia-beng dapat melihat sepasang lengan
dari lelaki itu amat kekar, dalam hatinya sudah menduga bila
orang ini memiliki tenaga dalam yang sangat luar biasa.
Kini setelah melihat datangnya angin pukulan itu, dalam
hati semakin mengerti lagi bila apa yang diduga semula sama
sekali tidak meleset. Walaupun begitu, justru ia sengaja hendak mngukur
kekuatan dari musuhnya, melihat angin pukulan yang
menderu-deru menyambar datang, dengan cepat iapun
menyalurkan hawa khiekang "Sian Im Kong Sah Mo Kang"nya
kesepasang telapak tangan.
Dimana sang tangan mengebut perlahan, terasalah
segulung hawa tekanan yang berhawa dingin mengeluar
memaksa angin pukulan yang menyambar datang tadi tersapu
lenyap. Sebaliknya Tan Kia-beng yang berdiri di tempat semula
tetap tenang-tenang saja bahkan ujung bajunya sama sekali
tidak goyang. Pada hari-hari biasa lelaki kekar berdandan suku Biauw itu
selalu membanggakan kekuatan sendiri, tetapi setelah melihat
kejadian itu dalam hati tak terasa lagi tadi dibuat terperanjat
juga.
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah tertawa dingin kepalannya kembali menyambar ke
depan mengirim tuga buah pukulan berantai ke arah
musuhnya. Hanya di dalam sekejap mata angin kencang menderu deru
bayangan kepalan laksana gunung, kedahsyatannya benarbenar amat mengerikan. Tan Kia-beng yang melihat jalannya permainan lelaki kekar
itu rada mirip dengan ilmu kepalan sakti "Pek Poh Sin Ciau"
dari partai Siauw-lim-pay tetapi kehebatannya jauh berada di
atas ilmu tersebut dalam hatinya lantas ada maksud hendak
melihat jelas permainan kepalan musuhnya.
Selama ini ternyata pemuda itu tidak balas melancarkan
serangan lagi, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh
"Mao Hoo Sin Lie" ia berkelebat kekanan berkelit kekiri
mengikuti jalannya gerakan pukulan pihak musuh.
Hal ini kontan saja membuat silelaki kekar tersebut jadi
gemas, gusar dan mendongkol
"Bangsat cilik! kalau betul-betul bernyali ayoh terimalah
beberapa jurus pukulan yayamu, Hmm! bersembunyi terus
bukankah mirip dengan cucu kura kura?"
Mendengar perkataan itu kontan saja Tan Kia-beng
mengerutkan alisnya, baru saja ia bersiap hendak
melancarkan serangan balasan mendadak telinganya dapat
menangkap bisikan seseorang yang sangat lembut bagaikan
suara nyamuk. Perempuan ini adalah enci dari majikan Isana Kelabang
Emas, jadi orang rada jujur dan gagah, kalian tidak perlu
beribut lagi dengan dirinya, lebih baik cepat-cepatlah
tinggalkan tempat ini! bilamana sebelum tanggal lima belas
bulan depan kalian tidak berhasil mendatangi gunung Ui San,
kemungkinan sekali jago-jago pilihan dari seluruh partai
Tionggoan bakal habis terkubur ditangan pihak Isana
Kelabang Emas, jika sampai hal ini terjadi maka dosamu akan
sangat besar! "Dari sini kalian boleh bergerak menuju ke arah Tenggara
kemudian berbelok ke arah Selatan, dengan demikian maka
kamu semua akan lolos dari lingkungan pengaruh Isana
Kelabang Emas. Di tengah jalanan sebelah depan Loolap
sudah sediakan tiga ekor kuda buat kalian. cepat pergi! cepat
pergi! jangan sampai terlambat...."
Dalam keadaan rada melengak hampir-hampir saja Tan Kiabeng kena tersapu oleh angin pukulan pihak lawan, saking
khekinya mendadak ia membentak keras. Sepasang telapak
tangannya bersama-sama diayun ke arah depan berulang kali.
JILID: 8 Hanya di dalam sekejap mata ia sudah mengirim tujuh buah
pukulan sekaligus, setiap serangan semuanya menggunakan
jurus-jurus aneh dari ilmu telapak "Siauw Siang Chiet Ciang".
Seketika itu juga hawa khiekang menggulung laksana
ombak dahsyat, membuat semua orang di sekeliling tempat itu
merasa napasnya jadi sesak.
Di tengah suara ledakan yang amat keras, kuda-kuda
silelaki kekar itu kena tergempur sehingga mundur tujuh,
delapan langkah ke belakang dengan sempoyongan.
Saat ini Tan Kia-beng tiada bernapsu untuk bergebrak lagi
mendadak tubuhnya berkelebat ke arah depan.
"Sak-heng, Si-heng kita pergi dari sini!" teriaknya keras.
"Kalau tidak kita orang bakal terlambat!"
Selama ini Sak Ih memang belum bergebrak melawan
orang lain, mendengar perkataan tersebut ia segera mengejar
datang. Hanya saja si "Cian Hun Kiam" Si Huan masih bertempur
melawan Im Liem Kui Bo kelihatannya pemuda tersebut sudah
mulai keteter. Pada waktu itulah kembali Tan Kia-beng mendengar suara
bisikan dari orang tersebut.
"Nenek setan itu sangat berbahaya, buas dan telengas, ia
bukan seorang manusia baik-baik terutama sekali barisan Pek
Kuei Im Liem Tin nya. Cepat suruh bocah itu menyingkir, hatihati dengan panah Im Liem Pek Kut Cian nya!"
"Terima kasih atas perhatianmu" tak terasa lagi Tan Kiabeng berseru. "Sejak malam ini aku akan suruh dia untuk
selamanya tak dapat menggunakan anak panah Im Liem Kut
Pek Cian nya lagi." Sreet! dengan cepat ia menerjang ke sisi tubuh Im Liem Kui
Bo, lalu bentaknya keras, "Si-heng! harap kau beristirahat
sebentara, biarlah aku yang bereskan dia."
Belum sempat Si Huan menyingkir kesamping, mendadak....
Sesosok bayangan hijau bagaikan segulung asap sudah
melayang mendatang diikuti suara teguran yang amat merdu
bergema memenuhi angkasa, "Jikalau malam ini kau tidak
tinggalkan beberapa jurus serangan, jangan harap bisa berlalu
dengan mudah." Dengan cepatnya segulung angin pukulan yang sangat
halus membabat datang. Tan Kia-beng yang masih berada di tengah udara
mendadak menerima serangan bokongan, dalam hati merasa
sangat mendongkol bercampur gusar.
"Hee.... hee.... hee.... aku rasa belum tentu!" serunya pula sambil tertawa dingin.
Telapak tangannya segera membalik lalu didorong ke
depan, diiringi suara bentrokan yang amat nyaring tampaklah
ujung baju orang itu berkibar tiada hentinya lalu melayang
turun ke atas permukaan tanah.
Dengan cepat Tan Kia-beng pun ikut melayang ke arah
bawah, sewaktu ia mengamati lebih teliti lagi maka tampak
olehnya orang yang mencegat perjalanannya bukan lain
adalah Sak Cing Hujien, tak kuasa lagi dalam hati merasa rada
terperanjat. "Haa.... kelihatannya tenaga dalam yang ia miliki jauh lebih
hebat daripada Ci Lan Pak!" pikirnya dihati.
Dengan cepat ia menyedot hawa murninya panjangpanjang, lalu Sak Ih serunya dengan menggunakan ilmu untuk
menyampaikan suara, "Harap saudara berdua suka berlalu ke
arah Tenggara, biar siauw-te hadapi mereka dahulu kemudian
setelah akan menyusul kalian."
Walaupun di dalam hati secara diam-diam Sak Ih ada
maksud hendak merebut gelar jagoan pedang nomor wahid
dari seluruh kolong langit, tetapi menghadapi keadaan yang
berbahaya semacam ini sudah tentu iapun tidak ingin
meninggalkan kawan untuk mencari keuntungan diri sendiri.
Mendengar perkataan tersebut di atas wajahnya segera
terlintaslah perasaan serba salah, sambil mencekal pedangnya
kencang-kencang ia masih tetap berdiri tak bergerak
Tan Kia-beng yang melihat kejadian itu hatinya terasa amat
cemas, kembali kepada Si Huan ujarnya dengan ilmu untuk
menyampaikan suara, "Disebelah Tenggara sudah ada orang
yang menyediakan kuda buat kita, harap Si heng suka
meloloskan diri dari kepungan Kui Bo tersebut kemudian
menunggu aku disebelah sana".
Tetapi pada saat ini Si Huan sedang terdesak oleh sepasang
cakar setan dari Im Liem Kui Bo dan berada dalam keadaan
sangat kritis, mana berani dia pecahkan perhatian untuk
mendengar ucapan tersebut" Oleh karenanya ia tetap
bungkam diri. Sak Cing Hujien yang melihat bibir pemuda tersebut
bergerak terus dan wajahnya kelihatan begitu kuatir, tak
terasa lagi sudah tertawa ringan.
"Kami sama sekali tiada maksud untuk mencelakai saudara
sekalian, buat apa kau bersikap begitu tegang dan kuatir?"
Beberapa patah perkataan itu benar-benar sudah
menyinggung perasaan halusnya, dengan alis yang dikerutkan
sepasang mata memancarkan cahaya tajam ia tertawa
panjang. "Jikalau bukannya aku orang she Tan masih ada persoalan
yang penting, kenapa harus takuti beberapa orang semacam
kalian?" Sekarang tidak ada banyak perkataan yang bisa dibicarakan
lagi, jika kau punya kepandaian ayoh cepat keluarkan semua!"
"Heeei.... urusan sudah menjadi begini, bagaimanapun
memang hanya satu jalan ini saja yang bisa kita tempuh."
Tan Kia-beng yang secara diam-diam sudah mendengar
penjelasan melalui ilmu menyampaikan suara bayangan
terhadap perempuan ini boleh dikata sudah rada baikan,
melihat sikapnya tersebut iapun tidak ingin banyak bicara lagi
sehingga melukai hatinya.
"Walaupun pertempuran kita malam ini adalah suatu
pertempuran antara mati dan hidup tetapi cayhe sama sekali
tiada maksud untuk melukai saudara, bagaimana kalau kita
batasi saja sampai tiga jurus?"
Dengan wajah murung Sak Cing Hujien mengangguk,
segulung tenaga murni berwarna hijau bagaikan selapis
horden tipis dengan cepat menyelubungi seluruh tubuhnya.
"Aaakh.... iapun berhasil mempelajari ilmu sakti Hong Mong
Cie Khie?" pikir Tan Kia-beng dengan perasaan sangat
terperanjat. Jikalau ia suka memperhatikan lebih teliti lagi, maka ia akan
menemukan bila warna hijau yang terpancar keluar dari tubuh
Sak Cing Hujien jauh lebih tebal daripada hawa murni yang
terpancar dari tubuh Ci Lan Pak atau dengan perkataan lain
tenaga lweekang perempuan ini jauh lebih tinggi satu tingkat
daripada Ci Lan Pak. Cuma saja menghadapi kejadian semacam ini pemuda
tersebut sama sekali tiada waktu lagi untuk melakukan
penelititan, diam-diam iapun mulai mengumpulkan seluruh
hawa murni "Jie Khek Kun Yen Cin Khie"nya secara samarsamar dari atas ubun ubunnya mulai muncul dua gulung uap
putih serta uap hijau yang kemudian menyebar dan
membungkus seluruh badannya.
Kejadian sudah berlangsung menjadi begini, agaknya
mereka berdua telah menggunakan seluruh kepandaian silat
yang dimiliki selama ini untuk bergebrak mati matian di dalam
tiga juru mendatang, oleh karenanya masing-masing pihak
saling mengawasi pihak lawan dengan perasaan tegang. Siapa
pun tak ada yang berani melancarkan serangan terlebih
dahulu. Sak Ih yang melihat keadaan di tengah kalangan semakin
lama berubah semakin menegang, tanpa terasa lagi sambil
mencekal pedangnya erat-erat ia mulai bergeser ke depan.
Melihat kejadian tersebut dengan perasaan kaget Tan Kiabeng segera berteriak keras, "Sak heng cepat pergi bantu Si
heng, di sebelah sini siauwte percaya masih sanggup untuk
menghadapi dirinya."
Ketika itulah Sak Ih baru tersadar kembali, dengan cepat
tubuhnya berputar lalu melayang ke arah Si Huan.
Siapa sangka baru saja tubuhnya bergerak maju mendadak
terdengarlah suara dengusan berat bergema memenuhi
angkasa. dengan sempoyongan Si Huan mundur lima, enam
depa ke belakang, hampir-hampir saja ia jatuh terjengkang.
"Heee.... heee.... heee.... Bangsat cilik! ayoh serahkan
nyawamu!" teriak Im Liem Kowi Bo sambil tertawa aneh.
suaranya mirip dengan jeritan kuntilanak.
Tubuhnya laksana bayangan setan segera menubruk
mendekat, kesepuluh jarinya dengan dahsyatnya
mencengkeram dada lawan Dalam keadaan cemas Sak Ih segera membentak keras,
"Kau berani!" Sreet! tubuh bersama-sama pedangnya dengan membentuk
serangkaian pelangi merah menubruk dari tengah udara
menuju ke arah bawah. Gerakannya ini sudah menggunakan hampir seluruh tenaga
dalam yang dimilikinya selama ini sudah tentu kedahsyatannya
tiada tara. Jikalau Im Liem Kui Bo sungguh sungguh berani turun
tangan melukai Si Huan maka terlebih dahulu ia akan
menemui bencana, di dalam keadaan terperanjat laksana
sambaran kilat cepatnya ia segera menyingkir lima depa
kesebelah kiri. Sak Ih yang melihat serangannya berhasil memukul mundur
Kui Bo, tanpa memperhatikan keadaan luka dari Si Huan lagi
pedang panjangnya segera digetarkan membentuk
berkuntum-kuntum bunga pedang kemudian dengan gerakan
ketat mengirimkan tiga buah serangan berantai mendesak si
nenek setan itu. Cahaya pedang berkelebat menyilaukan mata, hawa dingin
menggidikkan setiap orang, di dalam sekejap mata Kui Bo
sudah tergulung di dalam lautan pedang yang amat hebat itu.
Sewaktu Sak Ih turun tangan memberi pertolongan kepada
Si Huan itulah, antara Tan Kia-beng serta Sak Cing Hujien pun
sudah berlangsung suatu pertempuran yang sangat
mengerikan. Kiranya Sak Cing Hujien sudah mengirimkan satu pukulan
dahsyat ke depan menggunakan kesempatan sewaktu pemuda
tersebut berbicara dengan kawannya.
Dimana ujung jubahnya dikebut ke depan, segulung kabut
warna hijau yang tebal dengan lembut tapi dahsyat
menggulung ke depan tanpa menimbulkan sedikit suarapun.
Jikalau ilmu Hong Mong Ci Khie ini berhasil dilatih hingga
mencapai pada taraf kesempurnaan maka seseorang dapat
melukai musuhnya tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Kendati ilmu sakti dari Sak Cing Hujien belum berhasil
mencapai pada taraf kesempurnaan tetapi gerakannya ini tidak
boleh dipandang remeh. Walaupun diluaran Tan Kia-beng bicara besar padahal
secara diam-diam ia sudah mengadakan persiapan.
Sewaktu dilihatnya segulung kabut hijau dengan begitu
dahsyat menerjang datang bahkan disamping itu secara diamdiam terselip pula suatu kekuatan yang sangat besar, dalam
hati lantas tahu bila pihak lawan sudah mulai melancarkan
gerakannya. Buru-buru iapun menyedot napas panjang panjang, hawa
murni Jie Khek Kun Yen Cin Khie nya segera disalurkan keluar
badan sepasang telapaknya dengan kecepatan laksana kilat
membentuk gerakan lingkaran Thay Khek kemudian
dikebutkan keluar. Sreet! dua gulung hawa putih serta hijau dengan
membentuk satu garis laksana anak panah yang terlepas dari
busur meluncur ke arah depan dengan amat hebat Sak Cing
Hujien sama sekali tidak menyangka bila pihak lawannya telah
berhasil melatih tenaga khiekang "Jie Khek SIan Thian Cin
Khie" di dalam anggapannya cukup dengan ilmu sakti "Hong
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mong Ci Khie" ini maka ilmu pukulan biasa tidak mungkin bisa
menahannya. Siapa sangka begitu kabut berwarna putih serta hijau itu
terbentur dengan kabut warna hijau tadi, ternyata kekuatan
tersebut langsung menembusi benteng pertahanannya
kemudian menerjang masuk ke dalam jalan darah "Cie Cian
Hiat". Kejadian yang sangat aneh dan ada diluar dugaan ini
seketika itu juga membuat dia jadi sangat terperanjat, ujung
bajunya buru-buru dikebutkan ke depan, tangannya bagaikan
gangsingan diputar kencang sedemikian rupa sehingga kabut
hijau ilmu pukulan "Hong Mong Cie Khie"nya membentuk
angin pukulan santar yang segera menyambar datangnya
hawa khiekang warna putih serta hijau tersebut.
Plaak! Plaak! Diiringi suara bentrokan lemah, tubuh Sak
Cing Hujien kena terdesak mundur dua langkah lebar
sedangkan Tan Kia-beng tergetar miring tiga depa oleh
bentrokan tersebut. Dengan terperanjatnya bentrokan ini maka masing-masing
pihak lantas mengerti bila pihak lawannya merupakan seorang
musuh yang tidak gampang dilawan. Dengan demikian
masing-masing pihakpun segera pusatkan seluruh perhatian
dan tidak berani bergerak lagi secara gegabah.
Di dalam benaknya secara kilat Tan Kia-beng berpikir keras,
ia merasa waktu yang dihadapinya saat ini sangat berharga
sekali dan tak boleh diundur lebih jauh.
Tetapi musuh tangguh ada di depan mata, bila ia tidak
memukul mundur musuhnya terlebih dahulu ia sendiripun tak
bakal berhasil meloloskan diri.
Untung saja sebelum pertempuran ini berlangsung ia sudah
menjadikan batas tiga jurus, oleh karena itu secara mendadak
tubuhnya kembali bergerak maju ke depan, dengan gencar ia
melancarkan dua belas buah serangan sekaligus.
Kedua belas pukulannya ini dilancarkan dengan gencar,
yang digunakanpun merupakan jurus-jurus sakti dari ilmu
telapak "Siauw Siang Chiet Ciang," laksana angin topan yang melanda lewat tanpa menimbulkan sedikit suarapun
menerjang ke depan. Walaupun Sak Cing Hujien memiliki kepandaian silat yang
sangat lihay, menghadapi kejadian semacam ini tidak urung
kena terdesak juga sehingga mundur terus ke belakang.
Menggunakan kesempatan sewaktu perempuan itu dibuat
melengak itulah Tan Kia-beng segera mengundurkan diri dari
tengah kalangan. "Tiga jurus sudah berlalu, memang kalau belum berhasil
ditentukan maaf aku orang she Tan tak dapat melayani lebih
lanjut," teriaknya keras.
Menanti Sak Cing Hujien tersadar kembali dari kagetnya,
pemuda tersebut sudah berada dihadapan Si Huan.
"Si-heng, bagaimana dengan lukamu" apakah perlu siauwte bantu?" tanyanya lirih.
"Haa.... haaa.... haaa.... hanya sedikit luka ini tidak sampai
melenyapkan nyawa siauwte."
Selesai berkata dengan langkah gontai Si Huan lantas
berlari menuju ke arah Tenggara.
"Heee.... hee.... hee.... hee.... bangsat cilik, kau masih ingin melarikan diri?" ketika itulah Sang Si Ong sudah berteriak
sambil tertawa dingin. Tubuhnya dengan cepat menubruk ke depan menghadang
jalan pergi dari Si Huan "Kau berani!" bentak Tan Kia-beng keras.
Telapak tangannya dengan cepat didorong ke depan,
segulung angin pukulan yang amat dahsyat dengan diselingi
suara guntur yang membelah bumi menggulung lewat dari
samping. Hal ini kontan saja memaksa Sang Si Ong terdesak mundur
dan melayang kembali ke tempat semula. Menggunakan
kesempatan itulah Tan Kia-beng segera menubruk ke arah
Liem Kui Bo. Sewaktu melawan Si Huan tadi, boleh dikata Im Liem Kui
Bo sudah kehilangan tenaga murninya hampir separuh bagian,
kemudian harus menerima pula serangan gencar dari Sak Ih,
semakin lama ia sudah kena terdesak dibawah angin.
Pada saat ini sewaktu dilihatnya Tan Kia-beng menubruk
datang, dalam hati ia sudah merasa rada gugup tetapi dengan
paksakan diri perempuan tersebut tertawa seram juga,
"Heee.... heee.... heee.... seorang bangsat yang tidak tahu diri
lagi ingin menghantar kematian saudara!"
Tan Kia-beng sama sekali tidak ingin menggunakan tenaga
dua orang pergi mengerubuti seseorang, mendadak ia menarik
kembali gerakannya. "Sak-heng! saat ini Si-heng sudah meloloskan diri dari
kepungan?" Teriaknya keras, "Kau cepat pergilah menjaga
keselamatannya, si Kui Bo ini serahkan saja kepada siauw-te
untuk membereskannya."
Tidak menanti Sak Ih berbicara lagi, tubuhnya segera
menerjang masuk ke dalam bayangan telapak dan menerjang
Kui Bo dengan gencar. Sak Ih terpaksa menarik kembali pedangnya, melihat
bayangan punggung Si Huan sudah hampir lenyap dari
pandangan ia pun terpaksa buru-buru bergerak menuju ke
arah Tenggara. Saat ini di dalam kalangan tinggal Tan Kia-beng seorang
diri, dan sebaliknya iapun merasa hatinya semakin tenang.
Sinar matanya perlahan-lahan menyapu sekejap keseluruh
kalangan. Tampaklah silelaki kekar berdandan suku Biauw itu duduk
mengatur pernapasan, Cing Hujien dengan wajah yang dingin
dan tenang berdiri disamping kalangan. paras mukanya sama
sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, sedangkan Sang Si
Ong dengan wajah dingin kaku dan sepasang mata
memancarkan cahaya tajam sedang memperhatikan dirinya.
Agaknya ia sama sekali tidak mengambil perhatian terhadap
kepergian dari Sak serta Si kedua orang pemuda itu.
Kini tinggal Im Liem Kui Bo yang sedang bergebrak
melawan dirinya saja yang memandang ke arah dirinya
dengan wajah penuh napsu membunuh, setiap serangannya
tentu diarahkan kejalan darah mematikan, sedangkan
kesepuluh kuku jari yang panjang dan memancarkan cahaya
kebiruan digerakkan ke depan ke samping laksana sepuluh
bilah pedang tajam. Dalam hati Tan Kia-beng memang ada maksud hendak
memberi sedikit hajaran kepadanya, oleh karena itu ia sama
sekali tak menghindarkan diri dari datangnya serangan
tersebut. Secara diam-diam hawa murni Jie Khek Kun Yen Ceng Khie
nya disalurkan mengelilingi seluruh tubuh, selama ini ia selalu
memunahkan datangnya setiap serangan cengkeram yang
mengancam dirinya dengan seenaknya.
Im Liem Kui Bo dasarnya memang bersifat ganas, kejam
dan buas, setiap kali bergerak melawan orang lain belum
pernah meninggalkan mangsanya dalam keadaan hidup hidup.
Lolosnya Si Huan serta Sak Ih tadi sudah cukup membuat
sifat buasnya muncul kembali, ia berniat untuk melukai Tan
Kia-beng dibawah serangan cengkeramannya.
Kini melihat serangan serangan yang dilancarkan Tan Kiabeng tidak sehebat apa yang dipikirkan semula, di dalam
anggapannya mungkin pemuda tersebut sudah terlalu lemah
karena harus menghadapi pertempuran yang amat sengit baru
saja ini. Tidak terasa lagi ia sudah tertawa aneh dengan amat
seramnya. "Hee.... heee heee.... bangsat cilik! Waktumu sudah tiba,
ayoh cepat pergilah melaporkan diri kepada Raja Akhirat!"
Mendadak kesepuluh jarinya dipentangkan lebar-lebar,
tubuhnya dengan cepat menubruk ke depan mengancam "Cie
Bun" serta "Cang Bun" dua buah jalan darah ini merupakan salah satu jalan darah kematian dari antara ketiga puluh enam
jalan darah kematian lainnya, setiap orang-orang yang kena
tertotok tentu akan menemui ajalnya.
Kini melihat kesepuluh jarinya dengan dahsyat sudah
menyambar datang, sebaliknya Tan Kia-beng sama sekali tiada
maksud untuk menghindar maupun berkelit tak terasa lagi
diam-diam makinya dalam hati.
"Bangsat cilik, kau memang cari mati!"
Baru saja pikiran tersebut berkelebat lewat dari benaknya,
sang jari tangan tahu-tahu sudah menempel di atas sebuah
tubuh pihak lawannya. Tiba-tiba.... Dari tengah kalangan berkumandang keluar suara jeritan
ngeri yang menyayatkan hati, suara teriakan tersebut mirip
sekali dengan teriakan setan atau kuntilanak di tengah malam
buta. Tubuh Im Liem Kui Bo bagaikan layang layang putus
mencelat dua kaki ke tengah udara kemudian rubuh ke atas
tanah dengan menimbulkan suara yang amat keras.
Tetapi sebentar kemudian ia sudah meloncat bangun lagi,
dari mulutnya tak kuasa lagi muntahkan darah segar yang
sangat kental. Buru-buru Sang Si Ong berlari maju membimbing
badannya, terlihatlah olehnya kesepuluh jari cakar setannya
sudah kena tergetar putus sedang isi perutnyapun kena
terluka oleh pukulan Jie Khek Koan Yen Kan Kun So.
Keadaan dari Kui Bo saat ini benar-benar sangat
mengenaskan sekali, masih untung Tan Kia-beng tiada
maksud untuk melukai dirinya sehingga tidak sampai
nyawanya pun kena tercabut.
Ketika memandang lagi ke arah pemuda tersebut,
tampaklah dia masih berdiri di tempat semula dengan tenang
seperti belum pernah terjadi sesuatupun atas dirinya.
"Haa.... haa.... haa.... malam ini aku putuskan dulu
kesepuluh jari cakar setanmu sebagai peringatan, dikemudian
hari bila ada kesempatan lagi aku tentu akan coba-coba
mengenali anak panah Pek Kut Im Liem Cian mu" ketika itulah
terdengar Tan Kia-beng tertawa tergelak.
Selesai berseru tubuhnya bagaikan segulung asap ringan
dengan cepatnya melayang ke arah Tenggara dan hanya di
dalam sekejap matanya sudah lenyap dari pandangan.
Perlahan-lahan Sak Cing Hujien menghela nafas panjang.
"Heei.... kepandaian silat orang ini benar-benar luar biasa
sekali, ia memang satu-satunya musuh yang paling tangguh
dari Isana Kelabang Emas serunya.
"Apakah kita biarkan saja mereka berlalu dengan begitu
gampang?" sambung Sang Si Ong yang ada disamping dengan
gusar. "Hmm! apakah kau tidak melihat jelas arah yang mereka
tuju?" Seketika itu juga Sang Si Ong dengan kening yang
dikerutkan bungkam dalam seribu bahasa, akhirnya dengan
perasaan apa boleh buat menghela nafas perlahan.
Mendadak Im Liem Kui Bo meronta bangun dari bimbingan
Sang Si Ong, dengan suara yang seram bagaikan jeritan
kuntilanak ia tertawa terkekeh kekeh.
"perduli pihak istana hendak mengambil sikap apa terhadap
dirinya, aku Im Liem Kui Bo tetap akan menuntut balas
terhadap dendam terputusnya jari-jari tanganku.
Selesai berkata dengan memimpin manusia-manusia aneh
yang menyemburkan api ia segera berangkat menuju ke arah
Utara. Dari balik kegelapan hanya terlihatnya kerdipan-kerdipan
api setan tersebut dalam waktu sekejap mata sudah lenyap
dibalik kegelapan.... Kita balik pada Tan Kia-beng setelah meloloskan diri dari
cengkeraman Isana Kelabang Emas segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya berlari ke depan.
Hanya di dalam sekejap saja ia sudah berhasil menyandak
Sak Ih serta Si Huan Melihat munculnya Tan Kia-beng disana dengan perasaan
terperanjat Sak Ih segera berseru, "Aaah.... mengapa Tanheng bisa begitu cepat telah tiba disini?"
"Haaa.... haaa.... haaa.... haaa.... Im Liem Kui Bo ada
rencana hendak melukai diriku," ujar Tan Kia-beng sambil
tertawa, "Siapa sangka ia kena aku pukul putus kesepuluh
jarinya dengan tenaga Jie Khek Kun Yen Kan Kun So, aku rasa
di dalam waktu yang singkat ia tak bakal bisa berbuat jahat
lagi" Si HUan yang mendengar perkataan tersebut dari samping,
tidak kuasa lagi sudah menghela napas panjang.
"Heeei.... pada mulanya Siauwte bersemangat untuk
merebut gelar jagoan pedang nomor wahid dari seluruh
kolong langit, tetapi setelah melihat keadaan pada malam ini
aku baru merasa bila pikiranku ini sebenarnya sangat
menggelikan sekali, dengan kepandaian silat yang siauw-te
miliki saat ini sebenarnya untuk berkelana di dalam dunia
kangouwpun masih kurang!"
Selesai berkata dengan wajah yang amat sedih kembali ia
menghela napas panjang. Buru-buru Tan Kia-beng menghibur dengan kata-kata yang
halus, "Mengapa Si-heng harus berbicara demikian,
kekalahanmu di tangan Im Liem Kui Bo pada malam ini tidak
lain disebabkan kau baru saja mengalami suatu pertempuran
yang amat sengit sehingga tenaga murnimu terganggu.
Siauwte pun apabila bukannya berhasil memiliki tenaga
khiekang Jie khek Kun Yen Cia Khie, belum tentu dalam waktu
yang singkat berhasil mengalahkan pihak lawan" dari samping
Sak Ih pun buru-buru menyambung, "Si heng tidak perlu
merasa sedih, terus terang saja aku katakan untuk mencari
seorang jagoan Bulim yang berbakat seperti Tan-heng adalah
amat sukar di dalam seratus tahun ini sudah tentu kita belum
dapat dibandingkan dengan dirinya, tetapi jikalau kau katakan
dengan mengandalkan kepandaian silat yang kita miliki sampai
saat ini masih belum cukup untuk berkelana di dalam dunia
kangouw, aku orang she Sak merasa sangat tidak setuju
dengan pendapatmu itu"
Mereka bertiga sembari berbicara kembali melanjutkan
perjalanan cepat menuju ke daerah Tionggoan.
Mendadak terdengarlah suara ringkikan kuda
berkumandang datang mengikuti tiupan angin ia lantas tahu
bila orang yang menyampaikan suara tadi benar-benar sudah
mengirim kuda untuk mereka.
Dengan cepat ia mengajak kawan-kawannya untuk
bergerak lebih cepat lagi, sedikitpun tidak salah dibawah
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebuah pohon tertambatlah tiga ekor kuda yang komplit
dengan pelananya bahkan kuda-kuda itu merupakan jenis
jenis kuda jempolan. Setelah masing-masing menaiki kuda tunggangan tersebut
dengan cepat mereka melakukan perjalanan siang malam, tiga
hari kemudian sampailah sudah ketiga orang pemuda itu
diperbatasan. Si Huan pertama-tama yang mohon pamit dulu untuk
kembali ke gunung Khong-tong san kemudian disusul Sak Ih
pun berpisah. Kini tinggal Tan Kia-beng seorang diri yang melanjutkan
perjalanan ke depan di dalam hati ia terus menerus berpikir
dan bikin perhitungan. Kini waktu diadakannya pertemuan puncak para jago
digunung Ui San sudah tinggal beberapa hari lagi dengan cara
apakah ia harus mengabarkan berita seluruh partai yang ada"
Jikalau ia berangkat ke atas gunung Siong San, kuil siauwlim si untuk menemui Yen Yen Taysu, yaa kalau ada!
semisalnya ia tak ada digunung bukankah perjalanannya
hanya sia-sia belaka" bahkan sudah membuang banyak
waktu" Setelah berpikir bolak balik akhirnya ia merasa langsung
berangkat ke gunung Ui San jauh lebih baik, setelah tiba
digunung Ui San puncak si Sim Hong baru melihat bagaimana
keadaan selanjutnya kemudian baru mengambil keputusan.
Demikianlah tanpa ragu-ragu lagi pemuda tersebut segera
melarikan kudanya menuju ke arah Selatan.
Tan Kia-beng setelah meninggalkan gurun pasir dan
memasuki daerah perbatasan, hatinya secara mendadak jadi
tenang kembali. Diam-diam pikirnya dihati, "Perjalananku kali ini ke gurun
pasir walaupun sudah bertemu dengan ayahku tapi akupun
sudah kehilangan hubungan dengan suhu, masih ada lagi si
Penjagal Selaksa Li, Hu Hong ayah beranak serta Hay Thian
Sin Shu ayah beranak. Jikalau mereka sampai terjatuh ke
tangan pihak Isana Kelabang Emas maka keadaannya akan
menjadi celaka." Karena persoalan ini ia mulai merasa bahwa
terselenggaranya pertemuan puncak para jago digunung Ui
San tepat pada waktunya mungkin sekali merupakan suatu
tiupan terhadap dirinya, karena sekarang Hay Thian Sin Shu
masih berada di gurun pasir kabar berita Cu Swie Tiang pun
belum diketahui hanya berdasarkan keputusan tiga orang
penyelenggara saja mana mungkin bisa diadakan?"
Tetapi setelah ia memasuki daerah Wan Cing dan melihat
keadaan disepanjang jalan dengan cepat pendapat yang
semula tersapu lenyap dari benaknya.
Kiranya selama beberapa hari ini disepanjang jalan
kelihatan orang-orang Bulim dengan berkelompok maupun
berjalan sendirian menuju ke arah gunung Ui San.
Walaupun ia tidak begitu kenal dengan orang itu tetapi dari
pembicaraan mereka sepanjang jalan membuktikan bila apa
yang didengarnya selama ini sedikitpun tidak salah. dengan
demikian hatinyapun merasa rada lega.
Karena jaraknya dengan waktu pertemuan masih ada
sepuluh hari perduli bagaimanapun sebelum pertemuan
tersebut dibuka ia pasti sudah tiba disana, maka walau pihak
Isana Kelabang Emas ada rencana busuk terhadap orangorang Bulim, tetapi ia masih ada waktu buat memberitahukan
berita ini kepada semua partai agar mereka bisa melakukan
persiapan terlebih dahulu.
Hari itu ia sudah tiba di kota Swan Jan, kalau dihitung
hitung dengan jari maka masih ada lima hari lamanya
menjelang pembukaan pertemuan puncak para jago. Kerana
waktu masih terlalu pagi dan selama ini disebabkan terlalu
sibuk sehingga waktu untuk mandipun tak ada, maka ketika
tiba di kota besar tersebut ia lantas mencari sebuah
penginapan yang rada besar untuk mandi sepuasnya.
kemudian setelah berganti dengan pakaian yang bersih sambil
goyang goyang kipas berjalan keluar dari kamar menuju ke
rumah makan. Pada waktu itu tepat menjelang malam hari dan merupakan
saat saat yang paling ramai di dalam rumah makan tersebut,
baik di atas loteng maupun dibawah loteng sudah penuh
dengan manusia. Sang pelayan setelah ubek ubekan setengah harian
lamanya terakhir ia berhasil mendapatkan sebuah tempat yang
semeja dengan orang lain.
Mungkin dikarenakan pelayan tersebut melihat dandanan
Tan Kia-beng seorang Siucay maka iapun dicarikan semeja
dengan seorang sastrawan yang memakai pakaian sangat
perlente. Ketika sastrawan itu melihat ia berjalan mendekat, dengan
kening yang dikerutkan segera menunduk sambil minum air
tehnya. Boleh dikata orang itu sama sekali tidak ambil gubris
terhadap dirinya. Tan Kia-beng yang melihat orang itu bersikap amat
sombong, iapun malas untuk menggubris, setelah memesan
santapan, sinar matanya mulai menyapu sekeliling tempat itu
dengan harapan bisa menemukan orang yang dikenal olehnya.
Tetapi akhirnya ia dibuat kecewa, walaupun di atas loteng
banyak orang tetapi tak seorangpun yang dikenal.
Ketika itulah sang pelayan sudah menghidangkan sayur
serta arak, akhirnya dengan kepala ditundukkan ia mulai
bersantap tanpa mencari-cari lagi.
Mendadak.... "Toako! kau sudah berkelana kemana-mana dan
mempunyai pengalaman yang sangat luas, coba kau terka
siapakah yang kemungkinan besar bakal berhasil merebut
gelar jago pedang nomor wahid diseluruh kolong langit untuk
kali ini?" dari tetangga meja berkumandang keluar suara
seseorang yang amat kasar.
Kembali terdengar suara seseorang yang serak dan nyaring
tertawa terbahak-bahak. "Haaa.... haaa.... haaa.... Jie-te, kau terlalu memandang
tinggi Toako mu, manusia manusia kasar semacam kami ini
mana berhak untuk membicarakan perebutan gelar para
enghiong dari seluruh kolong langit?"
Ia merandek sejenak, kemudian dengan suara setengah
berbisik tambahnya, "Keadaan dari Bulim pada saat ini sudah
berubah sangat hebat, manusia-manusia angkatan muda yang
munculkan diripun sangat banyak sehingga sukar dihitung,
peristiwa kereta maut yang tempo dulu sudah cukup membuat
seluruh dunia kangouw jadi tidak tenang, setelah itu Liok-lim
Sin Cie serta Sam Kuang Sin Nie memecahkan teka teki ini
dengan membongkar kedok Thay Gak Cungcu sebagai biang
keladi dari semua eprbuatan ini Siapa tahu pada hari itu juga
Liok-lim Sin Cie kena dilukai oleh seseorang di tengah
kalangan itu juga, coba kau pikir seberapa lihaynya ilmu silat
dari orang itu?" "Orang ini dapat melukai Liok-lim Sin ci memang bolek
dikata sangat luar biasa sekali" potong seseorang dengan
suara yang serak dan keras "Tahukah kau berasal dari aliran
perguruan manakah orang itu"
"Katanya.... eei.... Kelabang Emas, kelabang emas.... nama
yang sesungguhnya aku kurang jelas."
"Kalau Kelabang Emas tersebut tentu akan berhasil merebut
gelar jagoan pedang nomor wahid dari seluruh kolong langit?"
"Belum tentu, belum tentu! orang yang lihay masih sangat
banyak jumlahnya semisalnya saja jagoan yang bergelar "It
Kiam Siauw Mo Cay" atau sijago pedang pedang yang
membasmi bibit, kepandaian silatnya benar-benar sangat
mengerikan. Sewaktu ada di gunung Thay-san dengan
seorang diri ia bergebrak melawan tujuh orang ciangbunjin, di
atas kuil Kun Ten Koan digunung Go-bie mengalahkan sepuluh
orang iblis lihay, bahkan seorang diri menyapu habis
perkampungan Thay Gak Cung, setiap perbuatan yang ia
lakukan tentu merupakan suatu peristiwa yang menggetarkan
dunia kangouw apakah kau tidak tahu akan peristiwa ini?"
Tan Kia-beng yang mendengar perkataan tersebut dalam
hati diam-diam merasa keheranan, pikirnya, "Yang
dimaksudkan Kelabang Emas mungkin sekali orang-orang dari
Isana Kelabang Emas, tetapi siapakah yang dinamakan "It
Kiam Siauw Mo Cay" atau sijago pedang yang membasmi bibit
iblis itu" Mendadak terdengaralh manusia yang bersuara kasar itu
berseru kembali, "Siauw-te adalah seorang yang goblok dan
berpengalaman picik, sudah tentu tak akan mengetahui
persoalan tersebut, sebetulnya siapakah si It Kiam Siauw Mo
Cay itu?" "Menurut berita yang tersiar, katanya orang ini adalah ahli
waris dari Teh Leng Kauwcu yang pernah menggetarkan
seluruh dunia persilatan pada limapuluh tahun yang lalu. Ia
memiliki sebilah pedang pusaka yang dapat menabas putus
barang apa saja bahkan katanya pedang tersebut bisa terbang
untuk membunuh orang!"
"Jika ditinjau menurut perkataanmu, kemungkinan sekali ia
bisa bergebrak amat seru dengan pihak orang-orang Isana
Kelabang Emas!" "Soal ini sulit diduga! Tapi menurut penglihatanku, pihak
Isana Kelabang Emas pasti bukan tandingannya."
Pada saat inilah Tan Kia-beng baru sadar kembali bahwa
orang lain sedang membicarakan dirinya. Teringat gelar "It
Kiam Siauw Mo Cay" atau si Jagoan pedang yang membasmi
bibit iblis, hampir hampir saja nasi yang sudah dimakan akan
muntah keluar lagi Pada masa yang lalu orang-orang dunia kangouw
kebanyakan memaki dirinya dengan sebutan sianakan iblis, tak
disangka menurut berita yang tersiar pada saat ini ia sudah
memperoleh gelar yang demikian bagus didengar.
Selagi ia merasa kegelian dalam hatinya, tiba-tiba
terdengarlah si sastrawan yang duduk dihadapannya tertawa
dingin tiada hentinya, sedang sepasang matanya dengan
memancarkan cahaya dingin menyapu sekejap ke arah kedua
orang itu. Tindak tanduknya yang sangat aneh dan diluar dugaan ini
tidak mendatangnkan perhatian dari kedua orang yang sedang
berbicara, tetapi Tan Kia-beng yang duduk dihadapannya
dapat melihat seluruh kejadian ini dengan nyata.
Ia merasa sastrawan ini mempunyai wajah yang tampan
dengan bibir yang berwarna merah, gigi rata lagi putih,
wajahnya sangat menarik hati.
Cuma sayang diantara kerutan alisnya secara samar-samar
tersembunyi suatu hawa dingin yang dapat membuat setiap
orang bergidik. Tenaga dalam yang dimiliki pemuda tersebut pada saat ini
telah berhasil mencapai taraf kesempurnaan, dengan
ketajaman matanya ia dapat merasakan bila si sastrawan yang
berada dihadapannya tak lain adalah seorang jagoan lihay
yang sedang menyembunyikan asal usulnya.
Kebanyakan orang-orang yang berkelana di dalam dunia
kangoue, sebagian besar suka mengikat tali persahabatan
dengan orang lain, sudah tentu Tan Kia-beng sendiripun tidak
terkecuali. Ketika dilihatnya pihak lawan memiliki beberapa hal yang
mencurigakan dan terasa sangat aneh, dalam hatinya lantas
ada maksud untuk mengikat tali persahabatan dengan orang
itu. Siapa sangka, belum sampai ia mengucapkan sepatah kata
mendadak terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat
lewat. Seorang siucay yang mencekal sebuah kipas terbuat dari
emas dengan langkah yang gagak sudah berjalan kehadapan.
"Eeei.... anakan iblis!" tegurnya sambil menuding wajah
pemuda tersebut dengan menggunakan kipasnya. "Kau masih
teringat dengan aku si "Pek Lok Susang" Si Ci Peng?"
Semula Tan Kia-beng rada melengak, tetapi sebentar
kemudian keningnya sudah dikerutkan.
"Hmmm! kalau berbicara harap sedikit tahu kesopanan!"
serunya rada dongkol. "Haaa.... haaa.... haaa.... haaa.... ayoh jalan! rasa dendam
yang terkandung di dalam hati aku orang she Si sudah tak bisa
ditahan lagi!" "Tapi.... bukankah diantara kita tak ada kaitan permusuhan
apapun" mengapa kau membenci diriku?" Tan Kia-beng rada
kebingungan juga dibuatnya.
"Hmmm! Aku orang she Si ada ikatan permusuhan sedalam
lautan dengan pihak Teh-leng-bun kalian, seharusnya kau
masih ingat dengan Heng-san It-hok bukan?"
Pada saat inilah Tan Kia-beng baru teringat jika Pek Lok
Suseng bukan lain adalah anak murid dari Heng-san It-hok,
tak terasa lagi alisnya dikerutkan.
"Suhumu punya maksud jelek untuk merebut pedang
pusakaku lalu memukul jatuh pula diriku ke dalam jurang,
tindakan kasar dan buas semacam ini kendati dibunuh mati
pun sesuai, kenapa kau harus mengungkap kembali persoalan
ini?" "Hmmm! sungguh enak sekali perkataanmu" bentak Pek
Lok Suseng dengan gusar. "Dendam kematian guru berat tak
bisa dibendung malam ini juga aku orang she Si akan cabut
nyawa anjingmu!" Belum sempat Tan Kia-beng mengucapkan sesuatu, si
sastrawan yang duduk dihadapannya sudah bangun berdiri.
"Menghadapi manusia sombong semacam ini kenapa Tan
heng harus banyak cingcong gebah saja dia dari sini!"
teriaknya. Mendengar si sastrawan itupun ikut ikutan Tan Kia-beng
dibuat semakin melengah, diam-diam ia merasa keheranan.
"Eeei.... bagaimana mungkin iapun tahu akan namaku?"
pikirnya dalam hati. Ketika itu dari sakunya si sastrawan tersebut sudah
mengambil keluar setahil perak dan dilemparkan ke atas meja,
kemudian kepada Pek Lok Suseng katanya dingin, "Ayoh jalan!
kalau mau adu jiwa lebih baik diluar kota saja, rumah makan
bukan disediakan untuk berkelahi...." Di dalam anggapan Pek
Lok Suseng ia sudah salah menduga si sastrawan tersebut
adalah kawan dari Tan Kia-beng, sudah tentu dalam hatinya
sama sekali tidak menaruh rasa nyeri terhadap dirinya.
"Haaa.... haaa.... haaa.... kau berebut hendak jual nyawa
demi kawan, dalam hati aku orang she Si merasa amat kagum
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika kau punya kepandaiakn ayoh ikutilah diriku!" serunya
sambil dongakkan kepalanya tertawa seram.
Sreeet! di dalam sekali kelebatan saja ia sudah melayang
keluar melalui jendela disusul oleh si sastrawan tersebut tanpa
banyak ragu ragu lagi. Menghadapi keadaan semacam ini sudah tentu Tan Kiabeng tak dapat mengundurkan diri dengan demikian saja,
terpaksa ia pun harus ikut juga meluncur keluar lewat jendela.
Tiga sosok bayangan manusia dengan menyampok angin
laksana sambaran petir meluncur ke arah depan, hanya di
dalam sekejap mata telah tiba disebuah pohon Siong diluar
kota. "Hey bangsat cilik!" teriak si Pek Lok Suseng sambil putar badan dan tertawa tergelak. "Tempat yang aku pilihkan untuk
mengubur mayatmu masih dihitung tak jelek kan?"
"Hmm....! Kau anggap malam ini dirimu pasti memperoleh
kemenangan?" dengus Tan Kia-beng dingin. "Tetapi menurut
penglihatanku, aku rasa pemandangan ini bakal menjadi
tempat kediamanmu untuk selamanya!"
Di atas paras muak Pek Lok Suseng perlahan-lahan terlintas
suatu napsu membunuh yang amat tebal, kipasnya kontan
dipentangkan lebar-lebar.
"Heee.... heee heee.... lebih baik kau tidak usah banyak
cerewet lagi." teriaknya dingin "Kita lihat saja siapa yang bakal menetap disini untuk selamanya!"
Si sastrawan yang berpakaian perlente yang duduk semeja
dengan Tan Kia-beng tadi mendadak mendongakkan
kepalanya ke atas lalu tertawa dingin tiada hentinya.
"Heee heee heee.... Kau berani sombong tidak lebih karena
mengandalkan kekuatan dari kedua orang setan tua yang kau
sembunyikan di dalam hutan.... eeei.... kenapa tidak suruh
mereka cepat-cepat menggelinding keluar!" ejeknya ketus.
Baru saja perkataan tersebut diucapkan keluar, mendadak
dari dalam hutan berkumandang keluar suara bentakan yang
amat nyaring dari seseorang, "Bocah! Kau sungguh kurang
ajar. Usiamu masih kecil tapi berani benar memaki orang
sesukanya. Tentunya kau sudah kurang mendapat pengajaran
dari orang tuamu!" Dari balik hutan segera berkumandang keluar suara langkah
manusia disusul munculnya dua orang Taotiang tua yang
rambutnya serta jenggot sudah memutih semua. Di atas
punggung masing-masing tersorenlah sebilah pedang yang
antik dan kuno. Sikapnya amat gagah, keren dan amat
wibawa. Setelah mengalami berbagai peristiwa selama ini, maka sifat
dari Tan Kia-beng pada saat ini tidak seberangasan seperti
tempo dulu lagi, buru-buru ia merangkap tangannya menjura.
"Tolong tanya Tootiang berdua berasal dari aliran mana?"
sapanya. "Mereka adalah Ci Siong, Ku Siong kedua orang supekku"
teriak si Pek Lok Suseng dengan suara yang keras. "Bangsat
cilik! malam ini kau serahkan saja nyawamu!"
"Ooouw.... begitu?" Air muka Tan Kia-beng berubah sifat
sombongnya. Tiba-tiba si sastrawan berpakaian perlente itu tertawa
terkekeh-kekeh. "Hee.... hee.... hee.... orang yang berjalan dipaling depan
kurang lebih mempunyai enam puluh tahun hasil latihan,
sedang yang belakang masih terpaut jauh. Tenaga murninya
paling banter cuma ada empat puluh tiga tahun hasil latihan
saja" katanya lantang. "Eeei! Tan-heng, jika kau tidak ingin bergebrak, bagaimana kalau siauw-te yang turun tangan
mewakili dirimu?" Begitu perkataan tersebut diucapkan, seluruh hadirin yang
ada di tengah kalangan rata-rata dibuat tergetar dan
terperanjat, sekalipun Tan Kia-beng sendiri juga tidak
terkecuali. Bagi seorang jago lweekang yang sudah berpengalaman,
untuk melihat apakah tenaga lweekang seseorang telah
mencapai kesempurnaan atau belum memang suatu pekerjaan
yang sulit, tetapi ia dapat pula ada berapa tahun hasil latihan
tenaga lweekan lawan, kejadian ini jarang dijumpai.
Dalam keadaan terperanjat, Ci Siong lantas tertawa
terbahak-bahak. "Ha ha ha.... untuk beberapa saat hampir saja pinto kena
kau gertak, teringat nama kosong dari aku Ci Siong tidak
pernah kedengaran disebut orang, bagaimana mungkin orangorang dari kalangan dunia kangouw bisa mengetahui sudah
ada berapa tahunkah hasil latihan tenaga lweekangku?"
"Kalau kau tidak percaya bagaimana kalau aku hantar kau
untuk berangkat ke akherat?" jengek sang sastrawan berbaju
perlente sambil tertawa manis.
Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, mendadak
dari sisi hutan berkumandang keluar suara jeritan kesakitan
dari seseorang yang menyayat hati....
"Pleeetak....!" Ci Siong belum sempat mencabut keluar
pedangnya sang tubuh tahu-tahu sudah mencelat sejauh satu
kaki lebih dan rubuh ke atas tanah dengan sangat keras,
darah segar muncrat keluar bagaikan air pancuran dari
ketujuh buah lubangnya, jelas nyawanya sukar dipertahankan
lagi. Tindakan dari si sastrawan berbaju perlente ini benar-benar
berada diluar dugaan Tan Kia-beng, ia mimpipun tidak pernah
menyangka kalau orang ini memiliki kecepatan gerak yang
benar-benar luar biasa dan kejam, ganas, telengas.
Walaupun pada waktu itu di dalam terburu-buru ia tak
dapat melihat jelas bagaimanakah dia turun tangan, tetapi
menurut kesimpulan berdasarkan pengalamannya selama ini,
Ci Siong Ci tentu terpukul mati karena suatu serangan tenaga
lweekang tingkat tinggi. "Sungguh amat dahsuat tenaga lweekang yang dimiliki
orang ini!" diam-diam pikirnya dalam hati. "Sekalipun aku
sendiri harus menggunakan tenaga murni Jie Khek Koan Yen
Cin Khie untuk melancarkan serangan pun, belum tentu bisa
membinasakan Toosu tua ini hanya dalam satu jurus!"
Pikirannya mendadak berkelebat, bagaikan sambaran kilat
ia berkelebat menuju kesisi tubuh Ci Siong Ci lalu bongkokkan
badan siap-siap hendak memeriksa dimana letak lukanya.
Belum sempat ia turun tangan, mendadak terdengarlah
suara bentakan keras berkumandang memenuhi angkasa, Ku
Siong Ci beserta Pek Lok Suseng bersama-sama sudah turun
tangan melancarkan serangan.
Serentetan cahaya tajam yang menyilaukan mata, satu
sebelah kiri yang lain dari sebelah kanan menggencet datang.
Melihat tindakan mereka itu saking mendongkolnya,
pemuda kita kerutkan alisnya kencang kencang.
"Manusia ini bukannya aku yang bunuh, kenapa mereka
jatuhkan rasa khekinya ke badanku?" diam-diam pikirnya
dalam hati. Tetapi perkataan semacam ini sudah tentu tak mungkin bisa
diutarakan dari mulutnya. Melihat datangnya hawa pedang
yang berdesir dan segulung demi segulung melanda datang,
badannya segera bergeser satu langkah ke samping setelah
itu melayang mundur sejauh lima depa ke arah belakang.
"Tahan! jangan keburu turun tangan!" bentaknya keras.
"Biar aku periksa dulu luka dari Toatiang ini!
"Bangsat" teriak Ku Siong Ci dengan penuh kegusaran,
sepasang matanya berubah jadi merah membara. "Apa kau
masih tidak puas dengan tindakanmu yang sangat kejam ini"
Sreet! Sreet! cahaya pedang berkelebat mengurung seluruh
tubuh pemuda tersebut, datangnya serangan amat ganas dan
mengandalkan unsur-unsur kekalapan.
Pek Lok Suseng sendiripun dengan senjata kipas ditangan
kiri pedang ditangan kanan melancarkan serangan bagaikan
curahan air hujan, setiap gerakannya tentu ditujukan ke arah
bagian tubuh yang membahayakan.
Tindakan mereka yang serabutan ini sudah tentu membuat
Tan Kia-beng amat kegusaran, ia tertawa terbahak-bahak.
"Jadi kalian sudah bulatkan tekad untuk mencari gara gara
dengan diriku?" teriaknya keras.
"Tan-heng, menghadapi manusia manusia yang tidak tahu
diri semacam mereka kenapa harus banyak bicara" lebih baik
cepat-cepat hantam mereka sehingga kedua orang itu bisa
segera melakukan perjalanan jauh!"
Perkataan itu tidak lain diucapkan oleh si sastrawan
berpakaian perlente itu, sikapnya pada saat ini seperti juga
dengan seorang yang tiada urusan, sambil bergendong tangan
berdiri disisi kalangan dengan tenang.
Dalam hati setiap orang memang tidak luput memiliki sifat
ingin menang, apalagi manusia semacam Tan Kia-beng yang
memiliki kepandaian ilmu silat yang sangat tinggi.
Perkataan Ku Siong Ci yang tidak pakai aturan ditambah
lagi demonstrasi dari si sastrawan berpakaian perlente tadi
memaksa dia mau tak mau harus turun tangan juga.
Tetapi, sekalipun begitu sebelum turun tangan ia sudah
memberi peringatan terlebih dahulu, "Sekali lagi aku orang she
Tan memberi peringatan, jikalau kalian tidak mau tahu
keadaan dan mengundurkan diri teratur, Ci Siong Ci adalah
satu contoh yang paling jelas!"
Tetapi jawaban yang didapat tidak lebih adalah
meningkatnya serangan yang jauh lebih ganas, seketika itu
juga ia kena tergulung masuk ke dalam cahaya tajam yang
menyilaukan mata. Sampai detik itu Tan Kia-beng tidak buka suara lagi,
sedangkan Ku Siong Ci berdua yang menganggap musuhnya
telah masuk jebakan mendesak lebih ganas lagi.
Tetapi, dibalik kesemuanya ini mereka sama sekali tidak
merasa bahwa elmaut sudah menanti mereka, dari atas kepala
sang jagoan cilik yang mereka kurung, secara tiba-tiba
mengepul keluar hawa murni yang berwarna hijau serta putih.
Tiba-tiba.... Dari tengah kalangan berkumandang suara tertawa dingin
yang sangat menyeramkan tubuh Ku Siong Ci bersama-sama
dengan pedangnya terpental ke tengah udara diiringi jeritan
kesakitan yang mendirikan bulu roma.
Badannya kontan kena terlempar jatuh ke tengah
rerumputan, darah segar muncrat ke empat penjuru bagaikan
curahan hujan hingga tanah di sekeliling tempat itu sudah
berubah jadi merah. Pertempuran segera berhenti. Pek Lok Suseng saking
terperanjatnya berdiri mematung bagaikan arca, bahkan untuk
bergeser selangkahpun tidak berani.
Melihat kejadian ini Tan Kia-beng lantas dongakkan
kepalanya tertawa tergelak.
"Ha ha ha.... ayo cepat pergi dari sini!" bentaknya keras.
"Kalau ingin menuntut balas berlatihlah beberapa tahun lagi.
Sekarang aku orang she Tan tiada maksud melukai dirimu!"
Pek Lok Suseng tidak berani banyak cakap lagi, setelah
melirik sekejap ke arah pemuda tersebut dengan sinar mata
penuh kebencian, ia berkelebat masuk ke dalam hutan dan di
dalam beberapa kali loncatan sudah lenyap dari pandangan.
Pada waktu itulah, dengan ringan si sastrawan berbaju
perlente melayang datang menyongsong dirinya.
"Waah.... kepandaian silat yang baru saja Tan-heng
gunakan benar-benar luar biasa!" serunya sambil tertawa
keras. Tan Kia-beng tersenyum. "Aah! cuma suatu permainan cakar ayam. mana mungkin
bisa dibandingkan dengan kepandaian heng-tay!"
"Hmm! manusia yang betul-betul licik." diam-diam maki si
sastrawan berpakaian perlente itu dalam hatinya. "Hanya
sedikit urusan ini saja tidak suka diutarakan. Hm, kurang
ajar...." Tetapi diluaran ia tetap tersenyum.
"Heng thay terlalu meninggi-ninggikan diri siauw-te!"
serunya. "Oooh.... yaa! entah siapakah nama Heng-thay" berkat
pertolongan dari Heng-thay tadi, siauw-te tadi sangat
berterima kasih!" "Siauwte shi Kiam bernama Soat Lang, telah lama
mengagumi kepandaian dari Tan heng. Tidak disangka secara
tidak sengaja akhirnya kita bisa bertemu juga. hal ini benarbenar patut digirangkan!" Ia merandek sejenak, lalu
tambahnya, "Kedatangan Tan heng kemari, apakah ingin ikut
di dalam perebutan gelar jagoan pedang yang bakal
dilangsungkan digunung Ui San?"
"Benar, cuma saja aku tiada maksud untuk merebut gelar
jagoan pedang nomor wahid dari kolong langit, aku cuma
ingin menonton saja!" mereka berdua sambil bercakap-cakap
melanjutkan kembali perjalanannya menuju kekota swan Jan.
Agaknya Kiem Soat Leng ini ada maksud hendak mengikat
tali perahabatan yang lebih erat lagi dengan pemuda kita,
ternyata iapun sudah berdiam disebuah kamar dalam rumah
penginapan yang sama, dengan demikian hubungan mereka
berduapun semakin erat lagi.
Pada mulanya dalam hati Tan Kia-beng memang ada
maksud untuk beristirahat selama dua hari di dalam kota Swan
Jan tersebut, kini setelah memperoleh seorang kawan baru,
hatinya semakin gembira lagi.
Melihat berdua mulailah membicarakan persoalan-persoalan
besar yang terjadi dikolong langit.
Usia dari Kiem Soat Leng kelihatannya tidak seberapa
besar, tetapi terhadap keadaan situasi dalam Bulim
mengetahui sangat jelas bagaikan melihatan jari tangan
sendiri, terutama sekali terhadap ilmu silat dari aliran-aliran
serta partai-partai yang ada pada saat ini.
Akhirnya pembicaraan mereka beralih lagi ke dalam soal
kepandaian silat yang dimiliki Tan Kia-beng sendiri, sedang
Kiem Soat Lang pun mengulangi kembali pertanyaan tempo
dulu, "Menurut penglihatanku kepandaian yang digunakan
Tan-heng tadi mirip sekali dengan sebangsa Sian Thian Khiekang, entah berasal dari aliran manakah kepandaian
tersebut?" Tan Kia-beng yang melihat dua kali ia orang mengajukan
pertanyaan tersebut, dalam hatinya tanpa terasa sudah jauh
lebih waspada. "Ehmm.... kepandaian tersebut memang sebagsa Sian
Thian Khie kang...." jawab sekenanya. "Sedang beradal dari manakan kepandaian tersebut, siauwte sendiripun tidak tahu!"
Kiem Soat Lang tertawa terbahak-bahak, ia tidak
melanjutkan lagi pertanyaannya, bahan pembicaraanpun
segera berubah. "Tan heng!" ujarnya kemudian. "Menurut apa yang aku
dengar, katanya kau memiliki sebilah pedang Kiem Ceng Giok
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hun Kiam. Entah bolehkah siauwte pinjam sebentar untuk
dilihat?" "Haaa haaa haaa.... kenapa tidak boleh?" Tan Kia-beng pun
tertawa lantang. Ia segera mencabut keluar pedangnya lalu diangsurkan
ketangannya. Kiem Soat Lang segera menerimanya, setelah dipermainkan
sebentar tiba-tiba selintas perubahan yang sangat aneh
berkelebat di atas wajahnya. sejenak kemudian ia baru
angsurkan kembali pedang tersebut ketangan pemuda kita.
"Kepandaian silat Tan-heng sangat sempurna, mendapat
bantuan pula senjata tajam semacam ini, Di dalam pertemuan
digunung Ui san kali ini, aku pastikan gelar jagoan pedang
nomor wahid dari kolong langit pasti akan terjatuh
ketanganmu" katanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Tan Kia-beng sendiripun tertawa keras, "Kim-heng kau
terlalu memuji. Selamanya siauw-te tidak punya pikiran
semacam ini" Kiem Soat Lang tertawa dingin, ia lantas bangun berdiri
mohon pamit. "Malam sudah jauh kelam! Tan heng kau baik-baiklah
beristirahat!" Setelah masing-masing mengucapkan selamat malam,
kedua orang itupun segera berpisah untuk beristirahat di
dalam kamarnya sendiri-sendiri.
Setelah Kiem Soat Lang berlalu, mendadak Tan Kia-beng
merasakan pikirannya tidak tenang, kepala terasa pening
seluruh badan amat dingin. Disamping itu di atas jalan darah
"Siauw Siang Hiat"nya timbul perasaan kaku dan linu,
kemudian mengikuti aliran urat Thay Im langsung menerjang
ke dalam "Tiong Hu".
Tak terasa lagi ia merasa sangat terperanjat, pikirnya,
"Aaach....! jelas tanda ini menunjukkan kalau aku sudah
terkena racun!" Begitu merasakan dirinya tidak beres, buru-buru seluruh
jalan darahnya ditutup tetapi keadaan pada saat ini sudah
rada terlambat. Racun ganas itu sudah merembes keseluruh badan,
tubuhpun mulai gontai....
Dengan cepat ia meronta untuk merangkak naik ke atas
pembaringan, ia bersiap-siap mau menggunakan tenaga
lweekangnya untuk desak keluar racun tersebut, siapa sangka
sedikit haw murnipun tak dapat digunakan lagi.
Berturut-turut ia menggunakan tenaga murni Sian Im Kong
Sah, Pek Tiap Sin Kang bahkan Jie Khek Kun Yen Cin Khie,
hanya sayang ketiga macam hawa murni tersebut tak satupun
yang bisa terkumpul kembali.
Akhirnya ia putus asa dan menghela napas panjang, dalam
hati ia mengambil kesimpulan bahwa orang yang turun tangan
jahat terhadap dirinya kalau bukan Kiem Soat Lang tentu Bek
Lok SUseng adanya. Sedang bagian dari Kiem Soat Lang jauh lebih besar, hanya
saja ia tak tahu sejak kapan si sastrawan tersebut sudah turun
tangan terhadap dirinya dan mereka menggunakan cara apa ia
melepaskan racun tersebut ke dalam badannya.
JILID: 9 Pada saat ia sedang berpikir dengan hati itulah, mendadak
telinganya dapat menangkap suara lirih yang memecahkan
kesunyian. Sebetulnya ia ada maksud hendak meloncat ke
atas tetapi sayang ada kemauan tenaga kurang, setelah
meloncat setinggi setengah depa badannya terjatuh kembali
ke atas tanah. "Habis sudah aku!...." diam-diam pikirnya di dalam hati
Telinganya yang tajam dengan jelas dapat menangkap bila
diluar jendela telah kedatangan seorang tamu tak dihundang,
dan agaknya orang itu menaruh rasa jeri terhadap dirinya,
terbukti ia tidak berani langsung masuk ke dalam kamar dan ia
sendiripun tidak berani berteriak.
Selagi hatinya merasa amat cemas itulah mendadak....
"Eeei.... si pencuri tua, kau sudah melihat jelas belum"
Disinipun ternyata ada murid serta cucu muridmu!" seru
seseorang di atas wuwungan rumah dengan suara yang serak
serak basah. Baru saja perkataan tersebut selesai diucapkan, suara
tertawa mendadak sirap diikuti suara bentrokan bentrokan
yang sangat keras. Jelas orang itu sudah menemui musuh yang amat tangguh.
Sebentar kemudian terdengar kembali suara seseorang
yang tua serak membentak keras, "Hey! Tempat ini bukan
tempat yang baik untuk turun tangan. Lebih baik kita mencari
tempat lain saja untuk mengadu kepandaian, sejak tadi aku si
pencuri tua sudah menduga kalau kau bukan berasal dari
aliran yang genah!" Suara ujung baju tersampok angin kembali bergema lewat
lalu suasana jadi sunyi senyap.
Seluruh kejadian ini dapat didengar Tan Kia-beng dengan
sangat jelas, hanya saja ia merasa pahit karena badannya tak
dapat bangun berdiri. Kiranya racun yang bersarang di dalam badannya adalah
semacam obat racun yang punya daya kerja sangat keras
perduli tenaga dalam yang dimilikinya sangat sempurna, pada
saat ini tak berhasil juga dirinya untuk menahan daya bekerja
dari racun tersebut. Menanti hawa murninya sama sekali sudah buyar,
kesadaranpun telah hampir punah....
Tetapi sewaktu kesadarannya sudah mulai punah dan ia
berada dalam keadaan setengah sadar setengah tidak itulah,
mendadak dari pusarnya mengalir keluar segulung hawa
panas yang luar biasa membaranya dengan urat urat yang
kacau langsung menyusup kesana menyusup kemari.
Setiap tempat yang dilalui oleh aliran hawa panas seperti
api itu, terasalah amat sakitnya luar biasa suara rintihan mulai
bertaburan diseluruh kamar. Tetapi dengan sekuat tenaga ia
berusaha mempertahankan diri.
Agaknya aliran hawa panas tersebut khusus mengalir keluar
untuk melawan datangnya serangan racun dalam tubuhnya,
hanya sayang disebabkan Tan Kia-beng tiada bertenaga lagi
untuk mengatur aliran tersebut maka dari itu di dalam
badannya segera terjadilah suatu pertarungan total.
Dimana aliran panas mengalir datang, rasa kaku dan linu
segera lenyap tak berbekas. Menanti hawa panas tersebut
menyusup ke dalam sebuah urat nadi. tahu-tahu urat
tersebutpun sudah hilang rasanya.
Siksaan semacam ini benar-benar tak dapat ditahan oleh
orang sembarangan, Tan Kia-beng menggertak giginya
kencang kencang untuk memepertahankan diri.
Entah lewat berapa saat lamanya mendadak terasalah
olehnya segulung angin menyambar lewat. Di dalam kamarnya
tahu-tahu sudah kemasukan seseorang yang secara samarsamar terlihat orang itu mempunyai kepala yang gundul
kelimis. Belum sempat dia melihat lebih cermat lagi, mendadak jalan
darahnya sudah tertotok dan iapun telah jatuh tidak sadarkan
diri. Kembali entah lewat berapa saat lamanya tiba-tiba otaknya
terasa jadi terang dan orang pun sadar kembali dari
pingsannya. Dengan cepat ia meloncat bangun sedang dalam hati diamdiam pikirnya, "Sungguh aneh sekali! setelah aku terkena
racun tadi jelas jalan darahku sudah tertotok tetapi mengapa
pada saat ini badanku sudah sehat kembali seperti sedia kala"
apakah orang itu telah menolong diriku?"
Selagi hatinya diliputi oleh keragu-raguan itulah, mendadak
dari samping telinganya terdengar suara seseorang sedang
berbicara. "Tadi, sewaktu Loo-ceng menemukan kalau badanmu
terkena racun maka buru-buru aku turun tangan menolong
dengan memancing hawa murnimu kembali kepusat lalu
mendesak keluar racun yang mengeram dalam tubuh.
"Heeei! Sungguh tak **(hilang)** tenaga lweekangmu
benar-benar amat sempurna, tenaga murni yang pinceng latih
selama seratus dua puluh tahun hampir hampir saja sukar
untuk menguasai diri. Semakin aneh lagi ternyata di dalam
badanmu masih ada segulung tenaga yang sangat aneh
agaknya sedang bertempur dengan hawa beracun tersebut.
"Sekarang Pinceng masih ada urusan penting lain yang
harus segera diselesaikan Urusan ini tidak boleh terlambat
lagi! Kau baik-baiklah mengatur pernapasan sendiri sejenak
kemudian kesehatanmu bakal pulih kembali seperti sedia
kala." Selesai mengucapkan kata-kata tersebut suasanapun jadi
sunyi senyap, jelas orang yang mengirim suara tersebut telah
pergi. Demikianlah, dengan hati tenang ia mulai duduk bersilat
dan perlahan-lahan menyalurkan hawa murninya mengelilingi
seluruh tubuh. Tapi sebentar kemudian kembali ia merasa sangat terkejut,
terasalah hawa murni yang berada di dalam tubuhnya amat
kuat dan dahsyat bagaikan gulungan ombak samudra dan
seperti tak bakal habis-habisnya digunakan.
Tanpa pikir panjang lagi ia segera menyalurkan hawa
lweekangnya mengelilingi seluruh badan satu kali. Sebentar
kemudian kesegaran sudah pulih kembali seperti sedia kala.
badanpun jauh lebih enteng serasa hendak melayang ke
tengah udara. Dalam hati Tan Kia-beng mulai mengerti bila tenaga
lweekangnya sudah memperoleh kemajuan yang jauh lebih
pesat. Pada mulanya karena sang badan terkena racun ganas, ia
tak ada waktu untuk memikirkan persoalan lain. Kini secara
mendadak kembali teringat olehnya ketika ia terkena racun
tadi. Agaknya ada orang yang hendak menggunakan
kesempatan itu mencelakai dirinya, tetapi usaha ini berhasil
dicegah oleh kedua orang lainnya.
Jika didengar dari suara yang serak serta panggilannya
kepada seseorang dengan sebutan Si pencuri tua" bukankah
jelas orang itu adalah si Rasul Selaksa Racun" mengapa
sampai sekarang belum juga kelihatan mereka baik" apakah
sudah bertemu dengan musuh tangguh"
Teringat akan urusan ini, badannya dengan cepat melayang
keluar dan berkelebat ke atas atap.
Saat ini hawa murninya sudah memperoleh kemajuan
pesat, seluruh urat-urat pentingpun telah tertembus,
gerakannya boleh dikata ringan bagaikan angin hanya di
dalam sekejap saja ia sudah mengitari tembok kota satu kali
Sekonyong-konyong disebelah ujung Barat ia menemukan
ada bayangan manusia bergerak mendekat, dengan cepat ia
berkelebat datangnya bayangan tersebut.
Menanti hampir dekat mereka, Tan Kia-beng baru dapat
melihat jelas bila orang itu bukan lain adalah "Pek-tok Cuncu"
atau si Rasul Selaksa Racun beserta "Sun Hay Sin Tou" si
pencuri sakti Mereka berdua pada saat ini sedang duduk bersilat di atas
tanah dengan saling berhadap hadapan, sekali melihat
pemandangan tersebut pemuda kita lantas dapat menduga
bila kedua orang itu pasti telah mendapatkan kerugian
ditangan orang lain. Iapun tidak berani mengganggu ketenangan mereka,
perlahan-lahan badannya mulai bergeser ke arah depan
semakin mendekat mereka berdua.
Tetapi, kedua orang itupun sejak semula sudah
menemukan kedatangan seseorang di sana. Mendadak Si
Rasul Selaksa Racun membuka sepasang matanya.
"Siapa?" bentaknya keras.
Tetapi ketika menemukan kalau orang yang datang bukan
lain adalah Tan Kia-beng dengan cepat mereka meloncat
bangun "Sssh....! Toako kau?"
Selesai berkata selintas perasaan terkejut berkelebat di atas
wajahnya. Sambil tersenyum perlahan-lahan Tan Kia-beng
mengangguk. "Baru saja kalian bergebrak dengan siapa?" tegurnya.
"Heeei.... kali ini kami dua orang situa bangka yang tidak
mati mati boleh dikata sudah jatuh kecundang ditangan orang
lain...." Mendadak si Rasul Selaksa Racun menghela napas
panjang. Ia lanatas memberitakan seluruh kejadian yang sebenarnya.
Ternyata mereka berdua yang mendengar orang berkata
bahwa pertemuan puncak para jago digunung Ui-san jadi
diadakan pada waktu seperti semula, dalam hati lantas
menduga Tan Kia-beng pasti ikut menghadiri pertemuan
tersebut. Karenanya mereka ada maksud untuk memberi bantuan
dan segera melakukan perjalanan.
Setibanya di kota Swan Jan, kebetulan sekali mereka
menemukan Tan Kia-beng sedang jalan bersama-sama
dengan seorang sastrawan berpakaian perlente.
Dengan sepasang mata mereka yang lihay ditambah pula
pengalaman yang luas, secara diam-diam terasalah oleh
mereka berdua bahwa tindak tanduk dari sastrawan tersebut
sangat mencurigakan sekali, karenanya secara diam-diam
mereka lantas menguntit. Karena tidak ingin bertemu muka dengan Tan Kia-beng
sebelum urusan ini dibikin beres, mereka berdua lantas
berdiam disebuah rumah penginapan dekat dengan
penginapan yang didiami Tan Kia-beng.
Malam ini, mereka berdua pada mulanya ada maksud
memeriksa keadaan di sekeliling sana, siapa sangka mendadak
di atas wuwungan rumah mereka menemukan si sastrawan
tersebut sedang bersembunyi dan mengintip diluar jendela
Tan Kia-beng. Si Rasul Selaksa Racun segera membentak keras
memecahkan tempat persembunyiannya.
Ternyata gerakan dari si sastrawan tersebut benar-benar
sangat cepat, baru saja si Rasul Selaksa Racun selesai
membentak ia sudah kena dihantam olehnya.
Dalam keadaan gusar si Rasul Selaksa Racun lantas
menantang dirinya untuk bergebrak
Akhirnya mereka bertiga lantas bertempur di dalam sebuah
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hutan diluar kota. Berbicara sampai disini kembali si rasul selaksa racun
menghela napas panjang. "Heeei.... bila dibicarakan sungguh memalukan sekali...."
katanya. "Aku bekerja sama dengan si pencuri tua untuk
mengerubuti dirinya, siapa sangka dalam dua ratus jurus kami
tak berhasil juga mendesak mundur pihak musuh. Menanti ia
berubah dari kedudukan bertahan jadi kedudukan menyerang,
kami berdua situa bangka dalam satu jurus saja sudah tak
tahan. Heeei...." "Aku si pencuri tua benar-benar tidak percaya kalau
dikolong langit bisa ada orang yang memiliki tenaga lweekang
sesempurna itu" mendadak si pencuri sakti menyambung
dengan sepasang mata melotot lebar-lebar "Masih beruntung
sewaktu aku dengan siular beracun siap-siap hendak menahan
datangnya serangan dengan tenaga gabungan, mendadak dari
balik hutan menyambar datang segulung hawa lunak yang
menghadang angin pukulan orang itu. Kalau tidak.... mungkin
sekali kami berdua pada saat ini sedang melakukan perjalanan
menuju keakherat....!"
Sekali lagi Pek-tok Cuncu menghela nafas panjang.
"Kendati begitu isi perut kami berdua tetap tergetar juga
sehingga terluka, mungkin beberapa hari lagi tenaga murni
kami baru bisa pulih seperti sedia kala" katanya kembali.
Sinar mata Tan Kia-beng perlahan-lahan dialihkan ke arah
hutan lalu ke tempat mereka berada, menurut perhitungan
jarak dari sini kesana kurang lebih ada dua kaki lima enam
depa jauhnya, dari tempat yang demikian jauhnya ternyata
orang itu bisa menahan datangnya angin Sian Thian Cin Khie
dari si sastrawan berpakaian perlente tersebut, jelas tenaga
dalam orang itu benar-benar sangat luar biasa.
"Apakah orang itu adalah orang yang mengirim suara
kepadaku....?" diam-diam pikirinya.
Ketika itulah, mengikuti arah tertiupnya angin mendadak
Pek-tok Cuncu menarik napas panjang-panjang lalu berteriak
tertahan. "Iiih"!!!"
Tan Kia-beng tidak mengerti apa sebabnya ia menjerit,
buru-buru badannya maju dua langkah ke depan.
"Jie-ko, kau sudah menemukan apa?" tanyanya cemas.
Sekali lagi Pek-tok Cuncu menciumi daerah sekitarnya sama
dengan keras keras akhirnya dengan wajah penuh ketegangan
serunya, "Toako, kau jangan bergerak sembarangan cepat
angkat tanganmu tinggi tinggi cepat!"
Tan Kia-beng yang melihat kejadian ini benar-benar dibuat
kebingungan setengah mati, tetapi melihat sikap serta gerakgerik si Rasul Selaksa Racun menunjukkan ketegangan
terpaksa ia menurut dan angkat tangannya tinggi-tinggi.
Dengan wajah serius Pek-tok Cuncu memeriksa seluruh
badan pemuda tersebut dari atas hingga ke bawah, mendadak
sinar matanya berhenti di atas gagang pedang Giok Hun Kiam
tersebut. Dengan gerakan yang cepat ia masukkan tangannya ke
dalam saku merogoh keluar sepasang sarung tangan yang
terbuat dari kulit menjangan, kemudian dicabutnya pedang
tersebut. "Sungguh berbahaya! sungguh berbahaya! teriaknya
berulang kali. "Kurang sedikit saja kita kena terjebak di dalam siasat busuk orang lain...."
Tan Kia-beng menurunkan kembali tangannya ke bawah,
lalu dengan kebingungan ia melototi si Rasul Selaksa Racun
tersebut. "Sungguh suatu peristiwa yang amat aneh pedang ini selalu
berada dibadan toako dan tak pernah terpisah barang
setengah cun pun, bagaimana mungkin bisa dipolesi orang
dengan racun ganas?" seru si Rasull tersebut lagi sambil
menuding pedang itu. "Masih untung pedang ini tidak sampai
digunakan kalau tidak.... entah bagaimana jadinya!"
Melihat pedangnya dituding Tan Kia-beng lantas teringat
dengan peristiwa sewaktu sastrawan berpakaian perlente itu
meminjam pedangnya, ia lantas menceritakan seluruh
kisahnya kepada kedua orang tua itu dengan jelas.
Menanti kisah selesai diceritakan, si Rasul Selaksa Racun
segera berjalan mendekati tubuhnya dan sekali lagi memeriksa
pemuda tersebut dengan sangat teliti.
Tampaklah wajah pemuda itu cerah bercahaya, sedikitpun
tidak menunjukkan tanda-tanda keracunan, tak terasa lagi ia
berseru keheranan. Pada waktu itu si Su Hay Sin Tou pun telah berjalan
kehadapannya. "Eeeo siular beracun, sebenarnya apa yang telah terjadi?"
tanyanya terhadap diri si Pek-tok Cuncu.
"Pedang ini sudah kena dipolesi racun ganas oleh orang
lain, siapa saja yang pegang tentu akan menemui ajalnya"
kata si Rasul sambil menuding kembali pedang pusaka
tersebut. "Coba kau lihat cahaya tajam dari pedang tersebut
sudah lenyap sama sekali sekali pandang rasanya tentu kau
dapat menduga seberapa dahsyatnya racun tersebut. Sedang
Toako setelah terkena racun itu ternyata masih bisa bertahan
hingga saat ini, bukankah hal ini merupakan suatu peristiwa
yang maha aneh" apalagi racun ganas semacam ini bila tidak
dimakani obat pemunahnya, sekalipun memiliki tenaga
lweekang yang maha sempurna jangan harap bisa dipaksa
racun tersebut terdesak keluar!"
Perlahan-lahan Su Hay Sin Tou menoleh kembali ke arah
Tan Kia-beng lalu tanyanya, "Apakah tempo dulu toako perbah
makan semacam barang mustika yang mendatangkan khasiat
amat besar?" "Apakah mungkin nyali ular raksasa seribu tahun yang
pernah aku telah telah memperlihatkan khasiatnya?"
mendadak teringat akan sesuatu.
"Haaa.... haaa.... haaa.... Toako! sungguh besar
rejekimu...." teriak Pek-tok Cuncu sambil bertepuk tangan
kegirangan. "Orang yang turun tangan meracuni dirimu bukan
saja tidak berhasil mencelakai dirimu bahkan sudah membantu
dirimu sangat besar, nyali ular raksasa tersebut merupakan
tempat terkumpulnya seluruh hawa murni sang ular selama
ini. Bila tak ada waktu selama enam puluh tahun tak akan
leleh seluruhnya. Kini dengan adanya kejadian penyerangan
sebangsa racun ganas ke dalam badanmu, bukan saja
nyalinya bakal leleh bahkan seluruh kekuatannya akan
bercampur dengan hawa murni yang ada di dalam tubuhmu.
Lain kali jika kau bergebrak dengan orang lain maka kau akan
tahu bila apa yang diucapkan si ular beracun bukan kata-kata
kosong belaka. Setelah mendengar perkataannya dan merasa pula kalau
semangatnya berkobar kobar sama sekali berbeda dengan
keadaan tempo dulu, pemuda itu lantas mengangguk.
"Ada kemungkinan memang benar," katanya. "Tempat ini
bukan tempat yang baik untuk bercakap-cakap."
"Toako!" seru si Rasul Selaksa Racun setelah ragu-ragu
sejenak. "Coba serahkan sekalian sarung pedang itu
kepadaku, pedang inipun tak dapat digunakan kembali, biarlah
aku si ular beracun menghilangkan dulu racun yang tertempel
di atas pedang tersebut kemudian baru dikembalikan
kepadamu." Tan Kia-beng tidak banyak cakap lagi, ia lantas melepaskan
sarung pedangnya dan diserahkan kepada Pek-tok Cuncu
untuk disimpan. Setelah itu bersama-sama dengan mereka
berdua balik ke dalam kamarnya.
Sekembalinya di dalam kamar rumah penginapan,
mendadak Tan Kia-beng menemukan wajah kedua orang tua
itu memperlihatkan kelelahan yang kelewat batas, ia tahu luka
dalam kedua orang tersebut belum sempat disembuhkan
benar-benar. karenanya sambil tersenyum lantas ujarnya, "Jieko, Sam-ko, bagaimana dengan luka kalian" apakah perlu
mendapatkan bantuanku?"
Si "Su Hay Sin Tou" yang tadi mendengar si "Pek-tok
Cuncu" berkata bahwa pemuda tersebut telah berhasil
melelehkan seluruh hawa murni yang berasal dari nyali ular
raksasa, dalam hati ada maksud untuk menguji sampai
dimanakah kelihayan dari tenaga dalamnya.
"Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih buat
Toako...." katanya kegirangan.
Ia segera naik ke atas ranjang duduk bersila, pejam mata
dan mulai pusatkan pikiran.
Tan Kia-beng pun segera memadamkan lampu lentera,
kepada si Rasul Selaksa Racun diam-diam bisiknya lirih,
"Tolong Jie-ko suka melindungi diriku!"
Hawa murninya perlahan-lahan disalurkan kesepasang
telapak tangan lalu ia angkat tangannya dan ditempelkan ke
atas jalan darah "Ming Bun Hiat" di atas punggung Sun Hay
Sin Tou. Karena ia sendirinyapun tidak tahu tenaga lweekang sendiri
telah mendapatkan kemajuan sampai dimana, maka begitu
kerahkan tenaga ia sudah menggunakan seluruh tenaga yang
dimilikinya. Laksana menggulungnya ombak di tengah samudra, dengan
tiada hentinya serentetan hawa murni masuk ke dalam tubuh
Su Hay Sin Tou dan menembusi urat nadi menuju kejalan
darah, lewat Khie Hay, naik keloteng tingkat duabelas dan
mencapai pada titik urat yang paling puncak.
Selama hidup Su Hay Sin Tou paling kesemsem dengan
ilmu silat, tenaga lweekangnya boleh dikata amat sempurna.
Hanya sayang urat yang terpenting dalam tubuhnya belum
berhasil ditembusi. Kini sewaktu dirasakan segulung aliran hawa panas yang
dahsyat bagaikan meletusnya gunung berapi menerjang
masuk ke dalam tubuh, tak terasa lagi diam-diam merasa
terperanjat atas kedahsyatan dari tenaga lweekang
"Toako"nya ini.
Buru-buru ia salurkan hawa murninya untuk mengiringi
aliran tersebut mengelilingi ke seluruh badan.
Tidak sampai seperminum teh kemudian bukan saja seluruh
luka dalamnya berhasil disembuhkan bahkan kunci terakhir
yang selama puluhan tahun diimpikanpun telah tertembus
pula.... Tan Kia-beng karena takut tenaga dalamnya sendiri tidak
cukup berpengaruh maka dengan cepat ia kerahkan pula
tenaga Jie Khek Sian Thian Khiekangnya untuk mengitari satu
kali di dalam tubuhnya setelah itu baru menarik kembali sang
telapak dari atas punggung si pencuri sakti.
Dengan cepat Su Hay Sin Tou meloncat bangun, dengan
wajah penuh kegirangan buru-buru ia menjura.
"Toako terima kasih atas pemberianmu!" serunya.
Diam-diam Tan Kia-beng menyalurkan hawa murninya
mengelilingi satu kali seluruh tubuhnya, setelah dirasakan
penat di badan hilang ia melanjutkan kembali pengobatannya
terhadap Pek-tok Cuncu. Menanti si Rasul Selaksa Racunpun telah sembuh, hari
sudah terang tanah, karena itu mereka bertiga tidak jadi tidur
sebaliknya mulai membicarakan soal pertemuan puncak para
jago yang akan datang digunung Ui-san.
"Pada saat ini perhatian pihak Isana Kelabang Emas sedang
dicurahkan kebadan Toako seorang." usul Pek-tok Cuncu.
"Lebih baik Toako berangkat naik gunung pada tanggal lima
belas, bulan delapan itu juga. Sedangkan untuk mencegah
perbuatan perbuatan jahat mereka, aku percaya dengan
adanya aku serta si pencuri tua, tentu berhasil mendapatkan
sedikit keterangan!"
"Haaa haaa haaa.... perkataan dari si ular beracun
sedikitpun tak salah." sambung si Su Hay Sin Tou sambil
tertawa terbahak-bahak. "Bukannya aku si pencuri tua
takebur, perduli siasat licik macam apapun jangan harap bisa
mengelabuhi sepasang mata serta telingaku!"
Diam-diam Tan Kia-beng mulai memperhitungkan keadaan
pada saat ini, setelah dirasakan inipun merupakan suatu cara
yang amat bagus, apa lagi dengan pengalaman dari kedua
orang itu yang jelas jauh lebih luas dari dirinya sendiri,
ditambah pula dengan jalan ini dirinya bisa lolos dari perhatian
orang-orang Isana Kelabang Emas kepalanya lantas
mengangguk. "Kalau begitu.... merepotkan jie ko serta Sam ko harus
bekerja keras...." serunya perlahan. "Biarlah selama beberapa hari ini aku tetap tinggal disini sambil putar putar kota
kemungkinan sekali di tempat ini aku bakal bertemu dengan
beberapa orang teman."
"Haaa haaa haaa.... urusan ini sudah seharusnya kami yang
kerjakan, kenapa toako harus bersikap demikian sungkan
sungkan terhadap kami?" seru si Su Hay Sin Tou sambil
tertawa terbahak-bahak. Menanti kedua orang siluman tua itu sudah berlalu, Tan
Kia-beng pun keluar dari kamar dan jalan di dalam kota.
Tindakannya ini disamping sengaja hendak memperlihatkan
jejaknya sehingga memecahkan perhatian dari orang-orang
pihak Isana Kelabang Emas, iapun ingin meminjam
kesempatan ini untuk menemui beberapa orang yang ia kenal.
Karena kepergiannya ke gurun pasir selama beberapa
bulan, boleh dikata terhadap berita yang menyangkut soal
Bulim di daerah Tionggoan sama sekali terputus, ia sama
sekali tidak mengira kalau keadaan Bulim pada saat ini penuh
diliputi oleh suasana tegang dan dimana-mana terancam
bahaya maut. Ketika ia sedang berjalan dengan langkah lebar di tengah
jalan itulah, mendadak tampaklah seorang pengemis cilik
berlari lewat dari sisi tubuhnya, bersamaan itu pula tangannya
menyusupkan segumpal kertas ke dalam genggamannya.
Hatinya merasa rada bergerak, dengan cepat ia menoleh
kerah belakang tetapi jejak si pengemis cilik tersebut sudah
lenyap tak berbekas.... Antara Tan Kia-beng dengan pihak perkumpulan Kay-pang
memang ada hubungan sejah dahulu, apalagi dengan Hong
Jen Sam Yu boleh dikata sudah amat lama tak pernah bertemu
muka. Ia tahu pengemis cilik tersebut tentu utusan dari Hong Jen
Sam Yu, hanya saja gerak gerik dari pengemis tersebut begitu
terburu dan sangat mencurigakan"
Walaupun menemui soal aneh tetapi air mukanya sama
sekali tidak berubah, diam-diam ia memasukkan gumpalan
kertas tersebut ke dalam saku. Menanti setelah berada di
dalam sebuah lorong yang kecil buru-buru dibukanya kertas
tersebut lalu membaca isinya.
Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sedikitpun tidak salah, surat tersebut memang ditulis oleh si
pengemis aneh yang garis besarnya mengatakan bahwa pada
nanti malam pihak perkumpulan Kay-pang hendak
mengadakan rapat rahasia yang amat penting di dalam kebun
bekas bangunan Cau-si diluar kota, si pengemis aneh tersebut
mengharapkan ia bisa menghadiri pertemuan tersebut karena
ada urusan penting yang hendak dirundingkan.
Selesai membaca surat tersebut, hawa murninya lantas
disalurkan untuk menghancurkan kertas surat tersebut.
Kemudian ia putar jalan balik ke dalam rumah
penginapannya! setelah bersantap kenyang ia tertidur pulas.
Waktu menunjukkan hampir kentongan ketiga, Tan Kiabeng buru-buru meloncat bangun dari atas pembaringan,
setelah membereskan pakaiannya ia lantas meloncat keluar
melalui jendela berlari menuju kekebun bekas dalam
bangunan Cau Si yang sudah lama tak terpakai itu.
Saat ini tenaga lweekangnya sudah memperoleh kemajuan
pesat, gerakanpun ringan dan cepat bagaikan bayangan setan.
Hanya di dalam sekejap mata ia sudah tiba di tempat tujuan.
Tempat itu adalah sebuah kebun bunga yang amat luas dan
besar sekali, di dalam kebun tersebut diloteng, pagoda, kolam
teratai serta bunga bunga yang beraneka warna
Hanya saja benda tersebut kebanyakan sudah tidak terurus,
banyak yang sudah hancur dan tertutup debu tebal.
Disebabkan malam ini pihak Kay-pang hendak
menggunakan tempat ini untuk mengadakan perundingan
rahasia, maka di sekeliling tempat tersebut sudah dipenuhi
dengan pos-pos penjagaan.
Baru saja Tan Kia-beng melewati tembok pekarangan,
mendadak dari balik kegelapan sudah berkumandang keluar
suara bentakan yang berat dari seseorang, "Kawan dari mana
yang sudah datang" harap berhenti!"
"Cayhe Tan Kia-beng dari Teh-leng-bun!"
"Ooouw! kiranya Tan Sauw hiap sudah berkunjung datang,
Pangcu kami sedang menunggu di dalam kebun!"
Selagi mereka berdua sedang bertanya jawab itulah, dari
dalam kebun mendadak berkelebat dari tiga sosok bayangan
manusia. Dari tempat kejauhan mereka sudah tertawa terbahakbahak.... "Hey! Loo te, kami sudah menduga seharusnya kau sudah
tiba pada saat ini!"
Mendengar suara tersebut tak usah dilihat lagi Tan Kia-beng
sudah mengerti kalau mereka pasti adalah Hong Jen Sam Yu.
Buru-buru ia merangkap tangannya menjura
"Kedatangannya siauw-te apakah sudah rada terlambat?"
katanya tersenyum. "Tidak.... tidak terlambat! tepat pada waktunya, mari kita
berbicara saja didalam!"
Mereka bertiga dengan mengiringi Tan Kia-beng segera
melayang kembali ke dalam kebun.
Ketika itu disebuah tanah lapang yang rada luas duduklah
beberapa gerombolan pengemis-pengemis, agaknya
pertemuan rahasia belum dimulai!
Si pengemis aneh langsung membawa pemuda tersebut
menuju ke dalam sebuah gardu dimana sudah duduk dua
orang. Yang seorang adalah Pangcu dari perkumpulan Kay-pang
saat ini. "Leng Lam Coa Sin" atau simalaikat ular dari daerah Leng Lam beserta "Gien Tiang Shu" atau si kakek tongkat
perak Thio Liok. Tidak menanti Tan Kia-beng berjalan menghampiri, mereka
berdua sudah tertawa terbahak-bahak dan bersama-sama
maju menyongsong. Karena semua orang sudah kenal satu sama lainnya maka
tidak perlu diperkenalkan lagi oleh si pengemis aneh tersebut,
setelah saling mengucapkan beberapa patah kata merendah
masing-masing lantas masuk ke dalam gardu tersebut.
Sifat si pengemis aneh langsung berangasan diantara
beberapa orang itu, dengan cepat ia berseru, "Loo te!
kegembiraanmu benar-benar luar biasa, kenapa sampai waktu
inipun masih ada waktu untuk jalan jalan di kota Swan Jan"
"Jarak diadakannya pertemuan puncak para jago digunung
Ui san hingga hari ini masih terpaut lima, enam hari lamanya.
kenapa aku buru-buru melakukan perjalanan."
"Haaayaaa....! apakah kau sama sekali tidak tahu dengan
peristiwa yang baru saja terjadi dalam Bulim beberapa waktu
ini" "Siauwte baru saja kembali dari gurun pasir, mana mungkin
bisa tahu seluruh persoalan ini?"
Perlahan-lahan si pengemis aneh menghela nafas panjang.
"Heeei.... kalau begitu tak bisa salahkan dirimu!"
Tan Kia-beng yang melihat keadaan ini dalam hati lantas
merasa kalau di dalam dunia kangouw pada beberapa waktu
ini pasti sudah terjadi sesuatu persoalan yang amat besar, tak
terasa lagi ia agak cemas juga.
"Eeei.... pengemis, bagaimana kalau kau jangan jual mahal
Golok Sakti 3 Perang Ilmu Gaib Karya Mpu Wesi Geni Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama