Ceritasilat Novel Online

Serba Hijau 3

Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Bagian 3


A Poan mengawasi tegang, mendengar sampai di situ, ia menghela napas lega.
"Dari luar itu aku mutar ke kanan gedung," In Hong menutur pula. "Di sini aku sempat melihat seorang yang menunggang kuda, yang membawa bersamanya seorang lain.
Dia mengaburkan kudanya itu. Aku lantas menduga kepada Thia Hong Hoan dan Ie Siauw Hong. Aku tidak menyusul mereka itu sebab aku tahu, tak dapat aku menyusulnya..."
"Kau bisa tidak menyusul, nona," kata A Poan. "Coba Nona Kat Po di tempatmu itu, tentu dia sudah mengejarnya.
Nona, kau jadinya tidak mendengar apa-apa hal Nona-nona Kat Po dan Hiang Kat" "
"Tidak. Mereka tentu terkurung di atas gunung..."
"Apakah nona sudah tahu gunung itu ada di mana" "
"Belum." "Thia Hong Hoan liehay dengan huitoo hijaunya itu," kata A Poan kemudian, "ada kemungkinan dialah yang
124 menyerang Nie Tiong Siang di dalam kamar hijau yang aneh itu. Tentunya tiada lain orang yang mampu melakukan itu selainnya dia..."
In Hong terus menyender, ia tidak menjawab atau mengatakan sesuatu, matanya mengawasi gili-gili Souw Tee dan pek Tee di dalam telaga. Hanya benar ketika itu pikirannya melayang ke rumah Keluarga Nie, di kamar hijau yang aneh itu.
Ketenangan mereka itu diganggu oleh ketukan pintu yang keras dan cepat, menyusul mana tampak Detektip To dan Pit Seng bertindak masuk secara tergesah-gesah.
"Oh, Nona In!," kata orang she Tjie itu separuh berseru, "kau sudah pulang!"
"Eh!" Detektip To pun berseru tertahan, rupanya dia kecele atau menyesal yang nona itu belum mati terbakar. Akan tetapi dia cerdik sekali. Dengan lekas dia menukar sikap.
Katanya, "Selamat, Nona In, selamat! Syukur tidak benar bahwa kau telah mati terbakar!"
"Benar, Tuan To, atas itu aku menyesal sekali," sahut si Burung Kenari, bersenyum. "Aku menyesal yang aku tidak sampai kena terbakar, kau..."
"Tak tahu aku, bagaimana aku bersyukur, Nona In!" kata Pit Seng, hingga ia jadi menyela bicara nona itu. "Tetapi, nona...," dan ia nampak masgul, "Di dalam kamar aneh Keluarga Nie itu kembali sudah terbinasakan satu orang..."
"Dialah Yo Pek Giok, bukan" " In Hong tanya.
Pit Seng heran. "Benar, nona! Bagaimana kau ketahui itu" "
125 "Menurut duduknya kejadian, kali ini memang giliran dia," In Hong jawab. "Dia juga menjadi salah seorang yang mau mencari rahasianya kamar aneh itu, untuk mencari harta karun yang disimpan di dalamnya. Siapa memikir dan mencoba masuk ke dalam kamar itu, dialah bagian mati!"
"Warta kematiannya nona itu aku peroleh dari orang polisi setempat," Pit Seng menambahkan. "Kembali Sun Ma yang melihatnya dengan mengintai dari liang kunci. Kematian Yo Pek Giok sama dengan kematiannya Nie Tiong Siang. Mari kita pergi lihat!"
In Hong menerima baik ajakan itu. Ketika mereka sampai di gedung Keluarga Nie, di muka pintu sudah ada orang polisi yang menjaga.
Dengan bergantian Pit Seng bersama Tjie An dan A Poan mengintai di liang kunci. In Hong sebaliknya memperdatakan pintunya kamar aneh itu.
Mula pertama, untuk membuka pintu, polisi sampai menggunai kapak. Sekarang kekerasan serupa itu diperlukan pula. Sekarang pintu ialah pintu baru. Maka itu si nona memperhatikannya. Ia mendapatkan pintu kuat dan kokoh, tak ada yang mencurigainya.
"Sun Ma," ia tanya si pegawai wanita, yang berdiri di samping, "pintu ini pintu baru, bukan" "
"Benar, nona," sahut Sun Ma. "Kemarin lohor sebelum Nona Yo Pek Giok pergi ke kamar mayat untuk menjenguk dan mengurus jenazah, dia telah memesan aku memberitahukan kepada kuasa rumah agar pintu yang rusak itu dibongkar dan digantikan dengan yang baru, yang segalanya sama dengan pintu yang lama. Di waktu tengah hari, aku melihat Tjin A Hok sadar, aku lantas menyampaikan pesan nyonya itu. A Hok Iantas perintah Tiang Kin memanggil tukang kayu, yang diperintah
126 membuat pintu baru ini. Di rumah kita tersedia segala macam bahan pintu, maka itu perbaikan ini dapat dilakukan dengan cepat."
"Ketika kemarin malam, A Hok mabuk atau tidak" "
"Dia mabuk seperti biasa."
"Tadi malam" "
"Juga dia mabuk."
"Kemarin lohor" "
"Kemarin lohor dia tidak minum arak maka dapat dia menyuruh orang membetulkan pintu ini dan melakukan tugasnya seperti biasa. Dia menyuruh aku pergi berbelanja ke kota dan menyuruh juga Tiang Kin pergi ke desa buat menagih hutang yang sudah bertahun-tahun. Tempo aku pulang di waktu magrib, dia sedang minum arak?"
" Apakah dia mabuk pula" "
"Ya, dia mabuk hingga lupa daratan!"
"Jam berapa Nona Yo Pek Giok kembali" Jam berapa dia masuk ke dalam kamar ini" "
"Dia kembali sesudah cuaca gelap. Begitu sampai dia memberitahukan aku bahwa dia mau pergi ke kamar ini, maka dia menyuruh aku pergi kepada A Hok meminta anak kuncinya sekalian menyiapkan lampu minyak tanah. Aku turut perintah itu. Dari A Hok aku mendapat anak kunci. Aku pun menyiapkan lampunya. Dia membuka pintu kamar, anak kuncinya dimasuki ke dalam sakunya. Ketika ia bertindak masuk, sebelah tangan memegang lampu, sebelah yang lain mencekal."
"Dia mencekal apa" " A roan menyela.
127 "Dia mencekal sebuah revolver. Setelah masuk, dia menutup pintu. Aku mendengar suaranya dia memasang palangan. Aku heran hingga aku mengintai di liang kunci. Aku melihat dia berdiri di sisi meja dia memeriksa sebuah barang mirip kotak yang hijau gelap. Habis itu, dia lemparkan kotak itu ke lantai, terus dia duduk di atas kursi membalik-balik empat jilid tebal kitab Mahayana itu. Lama dia memeriksanya, baru aku mendengar dia membaca dengan perlahan. Untuk membaca habis empat jilid kitab itu diperlukan tempo beberapa hari. Tentu saja aku tidak memiliki kesabaran untuk menantikan terus. Maka aku meninggalkannya, aku balik ke kamarku, untuk beristirahat."
" Ah, mengapa kau tidak mengintainya terus" " A Poan menyesalkan. "Kalau tidak, kau tentu akan dapat menyaksikan bagaimana si penjahat muncul dan membinasakannya..."
"Siapa tahu dia membekal senjata api tetapi dia justeru yang dibunuh orang," kata Sun Ma.
"Senjata apinya itu dari mana dia dapatnya" "
"Dua saudara Nie memiliki masing-masing senjata api," kata Pit Seng.
"Mereka memilikinya secara sah dan telah didaftar kepada polisi, yang mengijinkannya. Aku kira senjatanya Yo pek Giok itu senjatanya Tiong Siang. Nona In, mari kita masuk ke dalam untuk melihatnya."
"Baik," sahut In Hong. "Silahkan!"
"Eh, bagaimana kita masuknya" " kata Pit Seng. "Pintu dipalang dari dalam..."
"Yang pertama kali, bagaimana caramu itu" "
128 "Oh!" seru si terokmok, tertahan. Ia lantas menyuruh seorang polisi mengambil kapak.
Hanya sebentar, pintu sudah terusak dan terbuka.
Begitu masuk, A Poan menggeledah seluruh kamar tak ada si pembunuh di situ.
Yo Pek Giok ditikam punggungnya, bagian yang kanan, dan alat perampas jiwanya ialah pisau belati hijau dengan pita hijau juga. Pisau itu serupa dengan yang dipakai merampas jiwanya Tiong Siang. Cara menikamnya pun sama, yaitu dari bawah ke atas, bukan dari tengah atau dari atas ke bawah. Pisau juga nancap dalam.
Jadi yang beda dengan kematian Tiong Siang yaitu cuma luka di kiri dan kanan. Segala perabotan lengkap semua, hanya pendupaan tidak dinyalakan dan sebuah pit terletak di lantai. Yang hilang cuma sebuah kotak kertas hijau. Sebaliknya di lantai menggeletak sebuah kotak kayu bundar wama hijau juga.
In Hong menjemput kotak itu, untuk diperiksa. Isinya ialah kertas berwarna serta beberapa biji kembang gula.
Sedangkan di atas meja melainkan tambah sebuah Browning dengan enam biji pelurunya, jadi senjata api itu belum pernah dipakai sama sekali.
Pek Giok membekal Browning toh ia tak luput dari kematiannya.
Tiong Siang mati selagi menyalin kitab, Pek Giok sebaliknya lagi membaca, lagi membaca jilid pertama. Dia pun baru membaca habis sebagian kecil saja.
"Sun Ma," kata In Hong, "Tolong kau panggilkan si tukang kayu."
Nyonya itu mengangguk dan mengundurkan diri.
129 Tjie An semua heran. Apa perlunya si nona memanggil tukang kayu.
"Yang duluan," kata A Po an, "kotak kertas hijau termuatkan beberapa potong bak, sekarang kotak kayu ini bermuatkan kembang gula. Sungguh aku tidak mengerti!"
'Dua-dua kotak itu, kertas atau kayu, tidak ada pentingnya," kata Pit Seng, alisnya mengkerut. "Hanya dua pembunuhan ini, yang saling-susul, apakah perlunya" Kenapa si mati menyalin atau membaca kitab" Bagaimana si pembunuh dapat menyingkirkan palang pintu untuk melakukan pembunuhannya" "
Pembesar polisi ini bingung dan berkuatir. Timbul pula kekuatirannya karena kedudukannya terang sudah dalam keadaan bahaya...
Detektip To berdiam saja. Ia mencoba menenangkan diri. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Pit Seng itu tetapi juga ia tidak mengharap In Hong nanti memperoleh pemecahannya.
Ia cuma ingin menghina si nona...
"Tuan Tjie," berkata A Poan kemudian, "mengenai soal masuknya si penjahat ke dalam kamar ini, aku telah memperoleh jawabannya yang masuk di akal, dan tentang si pembunuh, aku juga telah ketahui siapa dia..."
In Hong pun berdiam saja. Melainkan matanya terus berputaran, memperhatikan seluruh kamar.
"A Poan, benarkah kata-katamu ini" " tanya Pit Seng, yang jauh terlebih terokmok daripada si detektip muda. Dia sangat berduka tetapi suara sebawahannya Tjie An ini mendatangkan harapan baginya.
130 " A Poan, kau hebat!" Tjie An pun berkata, agaknya dia bersemangat. "Kau berhasil menindih nona In Hong! Kau bilang, kau bilanglah! Siapa itu si pembunuh" Bagaimana caranya dia masuk ke sini" "
"Si penjahat ialah Thia Hong Hoan..." sahut A Poan.
"Thia Hong Hoan" " Pit Seng menegaskan. Dia penuh pengharapan tetapi ragu-ragu.
"Benar, Thia Hong Hoan!" A Poan memberi kepastian.
"Dia juga ingin mengangkangi harta karun dalam kamar aneh ini, maka dua kali dia menggunai pisau belatinya yang hijau merampas jiwa orang! Dia masuki tangannya ke dalam lubang angin itu, dia menimpuk ke arah orang yang duduk di kursi lagi menulis atau membaca kitab. Dia sangat kesohor buat kepandaiannya menggunai pisau terbang, belum pernah dia gagal. Buat dia, membinasakan Tiong Siang atau Nona Pek Giok, mudah bagaikan dia membaliki telapakan tangannya..."
"Benar!" kata si orang polisi, yang mendampingi mereka. "Thia Hong Hoan memang kesohor pandai menggunai huitoo dan senjatanya itu selain dicat hijau juga diikatkan pita hijau juga. Pernah beberapa kali aku menyaksikan sendiri waktu dia menggunai huitoonya itu. Sayang aku tidak ingat dia mungkinlah si orang yang melakukan pembunuhan di sini..."
"Kecuali ini, apakah ada lain cara pemecahan yang terlebih masuk di akal" " kata A Poan.
"Sayang kita tidak mempunyai kenyataannya," kata Pit Seng, masgul.
Buat ia, mendengar saja nama Hong Hoan, kepalanya sudah dirasai nyeri.
131 "Dialah seorang tuan tanah yang kaya raya dan sangat besar pengaruhnya, yang tidak dapat dibuat permainan..."
"Tidak ada kenyataannya" " tanya A Poan. " Apakah pisau belati hijau ini bukan buktinya" "
Sampai disitu, barulah Tjie An turut bicara.
"Kenyataan ini memang rada lemah," kata ia. "Akan tetapi sebawahanku ini, dengan menuruti petunjukku, sudah membuat kesimpulannya. Jikalau seorang tidak pandai menggunai huitoo, mana dapat dia menyerang orang dari antara lubang angin itu" Jikalau lubang angin itu tidak digunakan, mana bisa Tiong Siang dan Nona Pek Giok menerima kebinasaannya dengan tertikam punggungnya" Begitulah sebawahanku ini, A Poan, telah berhasil membuat kesimpulannya itu!"
Dengan kata-katanya itu, dengan sendirinya, To Tjie An telah merampas daya pikir A Poan. Ia toh telah mengatakan bahwa sebawahannya itu berpikir menurut petunjuknya.
"Nona In," ia lantas menambahkan, "Kecewa kau menjadi seorang detektip yang sangat kesohor, di dalam perkara ini kau mati jalan, kau merapa-repe tidak keruan. Meski begitu, nona, suka aku memberi nasihat padamu, karena berkecil hati dan malu, nanti kau membunuh dirimu. ntukmu paling baik ialah mencari sebuah tempat yang sunyi untuk beristirahat..."
A Poan berdiri menjublek. Bukan main ia mendongkolnya. Enak saja sep itu merampas jasanya, sedang ia telah memikirkan pemecahan itu sampai kepalanya terasakan mau pecah!
Pit Seng sementara itu heran sekali.
"Eh, Tuan To," katanya, "Jadinya pemecahannya A Poan ini karena mengikuti petunjukmu" "
132 "Memang!" sahut si detektip yang ditanya itu. "Sengaja aku menyuruh A Poan mewakilkan aku mengutarakannya!"
Dengan kata-katanya ini, terang sudah, detektip inilah yang berjasa.
"Maka itu," detektip ini menambahkan pula, "orang yang mendapat malu dan harus mengundurkan diri ke tempat sepi bukannya Nona In hanyalah kau..."
Meski begitu, ia berpaling pada In Hong, untuk mengatakan, "Nona In, kapan kau bersedia untuk..." ia mau menyebut "membunuh diri" tetapi segera ia mengubahnya, ".....mengundurkan diri" "
"Selamat, Tuan To! Selamat, Tuan To!" In Hong memberi selamat, menelad lagak si detektip tadi di dalam hotel.
"Selamat padamu karena kau, sudah berhasil memecahkan ini perkara yang sangat aneh dani sulit! Hanya....." dan suaranya mendadak menjadi tawar, "tak terpikirkan olehku untuk membunuh atau mengundurkan diri cuma disebabkan cara pemecahanmu yang ngawur ini!"
" Apa" Aku ngawur" " detektip itu tanya heran, matanya membelalak.
"Hendak aku tanya kau, si terbunuh itu duduk di mana" " In Hong tanya.
"Tentu saja dia duduk di kursi dan mendekam pada meja ini!"
"Kursi dan meja letaknya di mana" "
"Tentu saja di situ, nempel pada tembok selatan itu!"
"Dan lubang angin, di manakah adanya" "
133 "Lubang angin itu ialah di tembok selatan dekat pada lelangit. Meja itu jadi berada di bawahnya, terpisahnya cuma delapan atau sembilan kaki."
Dan ia menunjuk dengan jari tangannya.
"Nona lihat saja sendiri di sana!"
"Seandainya meja berada di tembok utara," kata In Hong, "Tiong Siang dan Nona Pek Giok jadi duduk membelakangi lubang angin, dengan begitu, mungkin huitoo menancap di punggung mereka. Meski begitu, incarannya senjata mesti nyamping sedikit. Sekarang meja tulis itu berada di bawah lelangit, mereka pun duduk menghadapi lubang angin itu..."
"Meski begitu, sama saja!" Tjie An menyela si nona. "Meja di tembok selatan, orang duduk menghadapinya, itu toh dapat, bukan" "
"Memang mungkin" sahut In Hong. "Hanyalah, kalau begitu, huitoo mesti mengenakan kepala atau pundak si korban, sama sekali bukan mengenai punggung! Pula, golok pun tak dapat berputar..."
"Ah...," si detektip kata tertahan. "A Poan sebawahanku rupanya belum dapat memikir sampai di situ..."
"Laginya," kata pula In Hong, tanpa menghiraukan orang kecele dan jengah, "kalau penyerangan dilakukan dari atas ke bawah, maka senjatanya mesti dari atas turun ke bawah juga. Tiong Siang dan Pek Giok terserang tubuhnya bagian bawah, dekat pinggang bagian belakang, sedangkan huitoo yang menyerangnya, datangnya dari bawah ke atas. Maka teranglah sudah, penyerangan bukan dilakukan dari lubang angin! Mereka justeru diserang dari belakang, bukan dari atas!"
134 "Jadi, nona," Pit Seng turut bicara, "menurut kau, ada orang yang menyelundup dan menyerang mereka berdua dari belakangnya. Tapi, kembali kepada soalnya, bagaimana caranya dia memasuki kamar ini" "
"Eh, A Poan!," Tjie An menegur sebawahannya, "mengapa kau tidak memikir dahulu sampai disini baru kau menarik kesimpulanmu" "
Mudah saja, detektip ini menyerahkan tanggung jawabnya kepada sebawahannya itu, seperti sama mudahnya barusan ia merampas jasa orang...
Ketika itu Sun Ma muncu1 bersama si tukang kayu.
In Hong menyuruh si tukang kayu membongkar pintu yang sudah rusak itu, untuk ditukar dengan yang baru, yang segalanya mirip satu pada lain. Ia juga minta Pit Seng menyuruh orang mengangkat pergi mayat Yo Pek Giok.
"Nona In, mau apa kau dengan sebuah pintu baru" " tanya Pit Seng, tak mengerti.
"Mengenai perkara ini, aku telah memperoleh pemecahannya," sahut In Hong, "hanya itu baru teori, belum dapat aku mempraktekkannya menjadi kenyataan. Maka aku perlu, pintu yang sempurna untuk membuktikannya."
'Syukur, Nona In, syukur!" kata Pit Seng, girang bukan main. " Akhir-akhirnya kau berhasil juga!"
Tjie An sebaliknya menjadi masgul dan mendongkol, ia jelus sekali.
Begitulah mayat dibawa pergi dan pintu diperbaiki.
"Sekarang, Tuan Tjie," kata In Hong, "aku mau berdiam seorang diri di dalam kamar ini dan dengan pintunya dikunci. Sebentar, selang sepuluh menit, kamu semua baru
135 datang pula kemari, kamu boleh membuka pintu dengan merusaknya, buat melihat aku masih ada di sini atau tidak."
Pit Seng bingung hingga ia menegaskan, "Artinya, Nona In, kau mau berdiam seorang diri di dalam kamar ini dan pintunya kau kunci dari dalam, lalu selewatnya sepuluh menit, haru kami datang melihatmu. Benar begitu" "
In Hong mengangguk. "Nona In," kata A Poan, hatinya tak tenang, "kau berdiam sendirian di dalam kamar ini, tidakkah itu berbahaya" Apa nanti tidak datang pula pisau belati menikam punggungmu" "
Si nona bersenyum. "Aku hendak mempraktekkan dan membuktikan teoriku," sahut ia, "tidak dapat tidak, aku mesti mencoba menempuh bencana. Sekarang silahkan kamu keluar."
Dengan terpaksa, Pit Seng dan A Poan bertindak keluar. Tjie An turut bersama Sun Ma dan si tukang kayu, yang membawa pergi gerobak alat-alatnya. Mereka tidak pergi jauh hanya mengawasi si nona menutup pintu dan mendengar dia memasang palangnya dari dalam.
Selekasnya itu, Pit Seng mengawasi arlojinya, untuk menghitung lewatnya sang detik.
Tjie An penasaran, ia mengintai di pintu. Ia melihat In Hong jalan memutarkan kamar, hanya karena keletakan lubang kunci, ia cuma melihat tegas sewaktu si nona berada di tembok selatan atau melewati daun pintu. Lain dari itu ia cuma mendengar suara berkeresekan.
"Tuan," kata A Po an pada sep-nya, "bolehkah aku juga turut mengintai" "
"Tak usah, tak usah kau melihatnya!" Tjie An menolak.
136 Dia mau melihat sendiri. "Aku mau lihat dia di dalam lagi main sandiwara apa!"
"Kalau begitu, tolong kau beritahu, sekarang ini Nona In lagi melakukan apa" "
"Dia mirip orang gila lagi mengitarkan kamar!"
Tjie An tidak melihat si nona, ia mendapat dengar suara tadi.
"Tuan, sekarang dia lagi bikin apa" " A Poan tanya pula.
"Sekarang aku tidak dapat melihat dia!"
Selanjutnya Tjie An tidak melihat si nona dan tidak mendengar juga suara apa-apa seperti tadi.
"Tuan Tjie, sampaikah sudah sepuluh menit" " A Poan tanya Pit Seng.
"Tinggal lagi dua," sahut pembesar polisi itu.
Tempo dua menit itu lewat bagaikan sekejab.
Segera Pit Seng mendekati pintu, untuk mengetuk, untuk memanggil, "Nona In! Buka pintu! Nona In, buka pintu!"
Dari dalam tidak ada suara jawaban.
"Ah!" seru A Poan, tertahan. "Jangan terjadi sesuatu atas dirinya..."
"Nona In! Nona In!" Pit Seng memanggil pula. "Nona In, buka pintu!"
"Mungkin kau benar!" kata Tjie An pada sebawahannya. "Mungkin Nona In Hong sudah tertikam pisau belati hijau dan terbinasa karenanya!"
Kata-kata itu bernada menyumpahi.
137 "Tidak!" kata Pit Seng. "Nona In tidak ada di dalam kamar, dia sudah pergi...!."
Seperti pesan In Hong, pintu segera dikapak, dibuka dengan paksa. Untuk berannya semua orang, In Hong tidak menghilang dari kamar itu, dia tengah berduduk menyender di atas dipan, seperti baru saja dia tidur pulas...
"Nona In, bagaimana ini" " tanya Pit Seng, heran. "Kau berada di dalam kamar, aku mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil-manggil tetapi kau tidak menyahuti...! Kenapa kau tidak membukai pintu" "
"Teoriku gagal," sahut si nona lesu. "Aku memikir dapat berlalu dari kamar ini tanpa melalui pintu, siapa tahu, aku tidak berhasil, bahkan aku jadi rebah pingsan di atas dipan. Aku menyesal, harap maaf, kamu mengetuk pintu dan memanggil, aku tidak dengar..."
"Habis, dengan cara apa si pembunuh dapat masuk kemari dan kemudian meninggalkannya" " tanya Pit Seng, penasaran dan berduka.
"Cuma Tuhan yang tahu!" kata Tjie An. "Atau mungkin Tuhan juga tidak tahu...! Nona In, inilah bukan kegagalanmu yang pertama, mungkin masih akan menyusul yang lain-lainnya lagi!"
"Tidak!" sahut si nona. "Sebaiknya kita pergi dahulu ke rumahnya Nona Yo Pek Giok, akan mencari surat wasiat yang disembunyikan dan tak diumumkan itu, setelah kita dapatkan itu, rahasia ini tentu akan pecah sendirinya."
"Benar," kata Pit Seng. "Perlu kita cari surat wasiat itu."
Semua orang lantas berjalan keluar. Selagi lewat di serambi, In Hong menaruh serupa barang dalam gerobaknya si tukang kayu, dan tempo mereka mau naik oto, untuk berangkat pergi, ia membisiki A Poan.
138 Atas itu si detektip muda kembali ke dalam rumah.
"Nona In, kau menyuruh A Poan kembali untuk apa" " tan ya Pit Seng heran.
" Aku menyuruh A Poan menantikan seorang sahabat," sahut si nona.
Di rumahnya Yo Pek Giok, Pit Seng dan Tjie An mencari surat wasiat dengan sia-sia meski mereka sudah memeriksa dengan sungguh-sungguh dan membongkar ini dan membongkar itu. Akan tetapi In Hong menemukannya dengan mudah di dalam sebuah kotak tua bekas pupur yang diletaki di dalam laci meja rias.
Pit Seng heran. "Nona, kenapa kau tahu dia menyimpan surat wasiat ini di dalam laci" " ia tanya. "Tadi aku pun memeriksa meja berias itu!"
" Alasannya mudah saja, Tuan Tjie," sahut si nona. "Di sini ada banyak pupur dan lainnya yang berharga, semua itu diletaki sembarangan saja di atas meja, akan tetapi kotak pupur tua ini disimpan di dalam laci, mungkin di dalamnya ada bendanya yang pemiliknya tak sudi orang lain melihatnya.
Bukankah kamu tidak memeriksa kotak pupur" "
Berkata begitu In Hong menyerahkan surat wasiat itu pada detektip itu.
Pit Seng membeber, hendak ia membacakan isinya, atau Tjie An melirik padanya, memberi isyarat buat mencegahnya, akan tetapi ia tidak menghiraukan itu, ia membaca,
"Dengan menggunai sebagian uangku, aku telah membeli sebuah intan permata yang
139 berharga mahal sekali. Permata itu aku simpan di dalam sebuah kotak batu hijau yang berukuran tinggi tiga dim. Kotak itu aku taruh di dalam kamar hijau, ialah kamar peranti aku bersujut, di satu bagiannya yang terrahasia tetapi bukannya sangat terahasiakan."
"Intan itu harus menjadi miliknya seorang anak yang berbakti benar-benar, tak peduli dia Pek Siang yang sulung atau Tiong Siang yang muda. Untuk mendapatkannya, dia mesti membersihkan diri dan berpantang selama enam puluh hari, supaya hatinya bersih, mulutnya bersih. Selama itu dia mesti menutup diri di dalam kamar hijau dan membakar dupa, dengan segala ketekunan dia mesti menyalin habis seluruh kitab Mahayana, setelah mana salinan itu dibakar di depan kuburanku, supaya aku siang-siang meninggakan akherat dan pergi ke Langit Barat. Berbareng dengan itu, karena dia sujud, dia akan lantas mendapat tahu dimana intan itu disimpan."
"Akan tetapi, jikalau kamu berlagak pintar, lalu kamu mengambi jalan pendek, yaitu kitab tidak disalin seluruhnya, bukan melainkan kamu tidak berbakti, kamu juga tak nanti mendapati intan itu buat selama-lamanya."
"Kamu berdua saudara, atau Yo Pek Giok menantuku, siapa saja yang berhasil mendapatkan intan, dua yang lain tidak dapat menggugatnya."
"Pek Siang menjadi anak sulung, dia berhak terlebih dulu buat menyalin kitab itu.
140 Kalau Pek Siang gagal, Tiong Siang menggantikannya. Begitu juga Pek Giok, dia dapat meneruskannya."
"Tjin A Hok menjadi kuasa rumah yang setia selama dua puluh tahun lebih, kamu dua saudara harus memperakukannya dengan baik. Biar bagaimana, tak dapat dia dipecat."
"Rumah besarku mesti diurus bertiga oleh Pek Siang, Tiong Siang dan A Hok. Didalam tempo dua tahun, rumah itu tidak dapat dijual. Sisa uangku mesti diurus oleh A Hok, guna ongkos pemeliharaan rumah."
"Surat wasiat ini terbikin dengan tiga helai, masing-masing disimpan oeh Pek Siang, Tiong Siang dan A Hok. Mereka bertiga harus saling menliik, supaya jangan ada yang menentang pesanku ini."
Tanda-tangan surat wasiat ialah tanda tangannya Nie Lin Kie.
"Hm!" Pit Seng mengasi dengar suaranya. "Pesan ini sama anehnya dengan kamar hijau itu sendiri. Pek Giok tidak mau mengumumkan ini tentu disebabkan dia tak sudi orang mengetahui rahasia intan mahal itu! Hanya aneh, kalau Lin Kie mau mewariskan bandanya, kenapa dia tidak mau menyerahkan langsung kepada dua anaknya dengan dibagi rata" Kenapa dia mengambil jalan tidak langsung itu dan menyimpannya intan itu di kamar rahasia hingga anak-anaknya mesti mencarinya dahulu" "
"Tuan Tjie," kata In Hong, "apakah kau ketahui harta besarnya Nie Lin Kie didapat dari hasil perbuatan yang merusak peri-kemanusiaan" Disebelah itu, dialah seorang sangat bertakhayul, karena semasa hidupnya dia berdosa. Di waktu mati dia takut nanti masuk ke dalam delapan
141 belas tingkat neraka, hingga untuk selamanya dia nanti tak dapat menitis pula. Maka dia mewajibkan anak-anaknya bersujut dan menyalin kitab suci itu untuk dibakar, dibekali kepadanya. Rupanya dengan itu dia mau menyogok iblis petugas di dalam neraka, supaya dia dibebaskan siksaan. Terang dia tahu kedua anaknya tidak terlalu percaya takhayul, dia menduga kalau dia sudah mati, anak-anaknya tidak bakal mengundang pendeta atau imam buat membikin sembahyang besar untuknya, maka itu, dia menggunai akalnya ini. Dia simpan intannya di dalam kamar hijau itu, supaya intan itu tak mudah dicarinya, kecuali orang melaksanakan pesannya itu."
"Benar!" kata Pit Seng. "Rupanya kedua anak itu telah mengambil jalan yang tidak lurus, setelah gagal mencari, baru mereka menuruti pesan menyalin kitab suci itu. Pek Siang tidak sabaran, dia gagal baru beberapa hari sedang Tiong Seng, baru saja dua puluh dua hari, dia telah orang binasakan."
"Yo Pek Giok," kata In Hong. "Dia rupanya menduga di dalam kitab itu ada petunjuknya Nie Lin Kie di mana intan disimpan, dia tidak menyalin hanya membaca. Dia rupanya pikir, membaca berarti lebih mudah dan menghemat tempo, hasilnya toh sama."
"Hanya, biar dia pintar, tetapi sebelum dia membaca habis, orang juga membunuh padanya," kata Pit Seng lagi.
"Sahabat Tjie, hendak aku menyarankan," Tjie An campur bicara setelah sekian lama dia berdiam saja. "Mulai hari ini, kau mesti jaga kamar hijau itu. Kau boleh menugaskan belasan orang polisi yang bersenjata lengkap. Tanpa ijin kau, siapa juga terlarang masuk ke sana, kecuali kita berdua, kita terkecualikan. Kita berdua merdeka."
142 "Kau... kau maksudkan...," kata Pit Seng, "Nona In juga terlarang masuk" "
"Inilah larangan yang membawa kebaikan." Tjie An memutar jalan. "Inilah larangan buat mencegah ada lagi lain orang yang menjadi korban, supaya orang tak usah mati konyol!
Tugas kita melindungi keselamatan siapa juga, terutama keselamatan Nona In Hong. Inilah untuk keselamatannya si nona!"
"Terima kasih atas kebaikan budi kau ini, Tuan To," mengucap In Hong. "Sejak hari ini maka terjaminlah keselamatanku!"
In Hong tidak bergusar atau mendongkol, dia bahkan bersenyum.
"Tetapi," kata Pit Seng, "bagaimana kalau buat keperluan penyelidikan terlebih jauh Nona In perlu masuk ke dalam kamar ini" Bagaimana" "
"Sahabatku, kau tolol sekali!" kata Tjie An, tidak sabaran. "Kalau toh Nona In mau masuk kemari, kita berdua dapat menemani dia!"
"O!" bersuara si detektip gemuk.
"Sekarang mari kita lekas kembali ke rumah Keluarga Nie!" Tjie An mengajak. "Pula itu kitab Mahayana, kecuali kita berdua, lain orang tidak dapat membacanya!"
Meski orang berkata demikian, In Hong tanya Pit Seng, "Tuan Tjie, dapatkah kau mengijinkan aku melihat kitab itu barang serintasan" "
Pit Seng mengasi dengar suara bersangsi, dia tunduk.
"Tidak, tidak!" kata Tjie An cepat, tangannya digoyang-goyang.
143 "Barang satu atau dua pun tidak boleh" " In Hong mendesak.
"Sedikit pun tak dapat!" sahut Tjie An, pasti. "Siapa tidak bertugas, dia tak berhak melihat kitab itu!"
-ooo0dw0oo- X Kat Po dan Hiang Kat telah terkurung di dalam rumah batu buat dua hari dan dua malam. Di hari ketiga pagi, mereka sudah tidak punya biskuit dan air lagi. Tapi kesehatan nona yang pertama itu sudah pulih, maka dia berniat melakukan penyerbuan guna menerobos kurungan.
"Kat Po," kata Hiang Kat, " peluru kita tinggal sebuah, sedang kepunyaan mereka itu masih banyak. Mana dapat kita menyerbu mereka" "
"Tetapi keadaan kita berbahaya," Kat Po bilang.
"Dengan menyerbu, kita mungkin mati dan mungkin tidak, sebaliknya jikalau kita terus berdiam di sini, kita bakal mati kelaparan dan berdahaga."
"Untuk menyerbu, kita harus memikir caranya."
"Cara apa itu" "
Kat Po tidak sabaran. "Kita menanti lewatnya sang siang," kata Hiang Kat.
"Kita tunggu sampai hari sudah jadi gelap. Aku ingat korban kita yang satu, dia mempunyai revolver, kita pergi ambil senjata apinya itu. Disini, kita menggantungi dulu
144 pelurunya. Dengan mendapati revolver itu, kita jadi mempunyai senjata untuk melawan."
" Ah, Hiang Kat!" Kat Po menyesali. "Kenapa tadi malam kau tidak menyatakan pikiranmu ini" Tadi malam dapat aku pergi mengambil revolver itu!"
"Kemarin lain, Kat Po. Kemarin belum pulih kesehatanmu dan aku tidak ingat korban kita itu."
"Aku tidak sabar menunggu sampai sebentar sore! Aku mau maju sekarang juga!"
"Tak dapatkah kau bersabar" "
"Menanti sampai malam, mungkin aku pingsan lagi karena berdahaga!"
"Baiklah kalau begitu. Kau tunggu sebentar, ingin aku memikiri siasatnya..."
" Ah, siasat apa lagi!" kata Kat Po, yang terus mengisi sakunya dengan peluru revolver. "Kau siap atau belum" Aku mau mulai keluar!"
"Ah, Kat Po!" Hiang Kat menyesal. "Tak dapatkah tabiat sembronomu ini diubah" Kau beri ketika untukku berpikir dulu"."
"Baik, aku beri tempo sepuluh menit!"
Si sembrono ini menjadi sengit.
Di pihak sana, kawanan penjahat pun sudah letih dan tidak sabaran, meskipun mereka menjaga dengan bergiliran.
Mereka menjadi bosan sendirinya.
"Kita berhadapan begini saja, sampai kapan habis?" kata yang satu. Dia memegang revolver. Dia mewakilkan kawan-kawannya bicara pada Tiat Hoei Poan.
145 "Kita tunggu lagi satu atau dua hari," kata si pemimpin, wakilnya Thia Hong Hoan.
Dia licin sekali. Hong Hoan ada bersama. Dia telah datang pula. Dia pun tidak sabaran.
"Lao Tiat," katanya, "apakah pasti mereka bakal mati karena lapar dan haus" "
"Di rumah itu tidak ada barang makanan dan air, kalau mereka tidak mau mampus, mau apa lagi" " wakil itu menjawab, suaranya pasti.
"Lao Tiat," kata Hong Hoan kemudian, "memang kedua wanita itu tidak dapat tidak dibinasakan. Matinya mereka itu seumpama mengutungkan kedua tangannya In Hong, atau ibarat tungku kaki tiga yang dibuntungi kakinya yang dua! Mereka itu telah melukai dan membinasakan beberapa orang kita, sedang tadi malam In Hong telah meludaskan gedungku, coba aku tidak lekas lari menyingkir, mungkin aku turut terbinasa! Mereka bertiga musuh kita hidup dan mati!"
"Lao Thia," kata Tiat Hoei Poan, "jikalau aku menjadi kau, tidak nanti selagi menyingkir itu aku membawa-bawa Ie Siauw Hong. Kau lihat buktinya sekarang, meski kau melarikannya, selagi kau lengah, dia toh membuang dirinya ke lembah!"


Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak sangka dia berhati demikian keras," Hong I loan kata.
"Tapi dia mau mati, biarlah dia mati! Sebangsa dia itu, mati seratus juga seumpama matinya seratus ekor semut!"
146 "Sekarang, Lao Tiat, aku menguatirkan In Hong mendapat tahu sarang kita ini. Asal dia tahu, dia bisa datang menyerbu! Itulah berbahaya..."
"Belum tentu dia dapat mengetahui tempat kita ini," kata Tiat Hoei Poan. "Taruh kata dia datang, kita juga tidak takut! Kalau dia tidak datang, itu untung bagusnya, kalau dia toh datang, akan aku bunuh dia dengan cakramku ini!"
"In Hong begitu cantik dan manis, tubuhnya demikian lemah gemulai, siapa sangka dia demikian liehay," kata si anak muda dengan alis buntung. "Kita harus waspada menghadapinya. Umpama pengalamanku di dalam kereta api. Aku percaya aku sudah berhasil, aku percaya kepandaianku tanpa lawan, siapa tahu aku kena dipermainkan dia! Tadinya aku menyangka saku celananya Kat Po berisikan uang tidak habisnya..."
Tengah mereka bicara asik ini, tiba-tiba terlihat Kat Po, yang mengenakan baju putih, lari keluar dari rumah batu.
"Hai, mereka tidak mati kelaparan, mereka tidak mati haus!" seorang penjahat berseru, kaget dan heran. "Lihat, mereka kabur!"
"Semua tenang!" seru Tiat Hoei Poan. "Masing-masing berdiam di tempat jaga! Tidak nanti mereka dapat menyerbu naik kemari!"
Memang, jalan molos ialah jalan naik ke atas.
Kat Po lari ke bawah, kepada mayat yang memiliki revolver itu, untuk menjemput senjata apinya itu, hanya apa lacur, peluru di sakunya ialah peluru untuk Browning yang ukurannya terlebih kecil!. Akan tetapi meski begitu, ia toh maju ke atas.
Dua kali ia menembak sembarangan.
147 Melihat demikian tiga orang penjahat, yang membekal Browning, lantas menyambut dengan tembakan mereka masing-masing.
Kat Po maju terus. Ia terserempet peluru tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia menembak pula dengan sisa pelurunya, hingga revolvernya menjadi kosong.
Kawanan penjahat melihat si nona sudah maju dua di antara tiga bahagian, mereka menyambut pula, kali ini dengan batu, dengan huitoo dan huipoan.
Mereka gagal merobohkan si nona, yang selalu dapat berkelit, hanya dengan begitu, latinya Kat Po terhambat juga.
"Jangan menembak!" Tiat Hoei Poan melarang. "Peluru belum dapat tiba dengan tepat kepadanya!"
"Dia mulai menembak, maka kita membalasnya," sahut seorang penjahat.
Tiat Hoei Poan menyuruh tujuh kawannya mengangkat sebuah batu besar, untuk menggulingkan itu turun. Melihat demikian, Kat Po jadi jeri. Tak dapat ia maju terus atau berkelit ke kiri atau ke kanan, terpaksa ia lari balik.
Hiang Kat menyusul sesudah Kat Po mulai naik, ia kaget melihat penjahat menggunai batu besar itu. Pasti Kat Po bakal kecandak batu itu, yang bergelindingan pesat dan menyusul semakin dekat.
"Lekas, Kat Po!" teriak si nona, kaget. "Batu hampir menyandak kau...!"
Hiang Kat berteriak sambil lari balik juga.
Kat Po tahu ia bakal kecandak, terpaksa ia lompat nyamping, turun terus ke bawah. Tapi ia lompat terlalu tinggi, waktu ia tiba di bawah, kaki kirinya terasakan sakit.
148 Batu besar itu jatuh secara hebat, setelah bergelitukan sebentar, lantas berdiam bagaikan terpaku.
Hiang Kat bemapas lega, juga Kat Po. Ia ini, dengan memegangi kakinya, memandang ke atas. Ia menyesal dan mendongkol.
"Wanita itu betul-betul hebat!" kata si pemuda alis buntung. "Dia dapat lompat turun di tempat demikian tinggi dengan selamat!"
"Jangan puji dia!" berkata Tiat Hoei Poan. "Kau lihat, kaki kirinya telah terluka! Nanti aku rampas jiwanya dengan cakramku!"
Berkata begitu, jago ini mengeluarkan senjatanya, yang terus ia timpukkan kepada Kat Po.
Biar bagaimana, si nona kaget sekali. Dengan kaki sakit, tak dapat ia lompat berkelit. Saking terpaksa, ia berkelit sambil membuang diri. Tempo lain-lain cakram menyusul, ia paksa bergulingan, baru ia selamat.
"Kakimu terluka, mari lekas kembali ke rumah batu," kata Hiang Kat, masgul dan berkuatir. "Mari aku gendongmu!"
"Tidak!" kata Kat Po. "Belum tiba waktunya kau menggendong aku!"
Demikian keras hatinya si nona, dengan dingkluk dia kembali ke dalam rumah batu.
"Lihat, apa kataku!" kata Tiat Hoei Poan pada kawannya. " Aku sudah bilang, tidak nanti mereka dapat menyerbu naik!"
"Kat Po sudah terluka," kata Hong Hoan, "apa bukannya baik untuk menyerbunya" Aku sangat ingin mereka itu lantas mampus!"
149 "Buat apa kesusu" " kata Tiat Hoei Hoan.
Thia Hong Hoan tidak mau mengerti.
"Maju!" ia menitahkan.
Dengan terpaksa, kawanan gundal itu maju.
"Der!" demikian satu suara tembakan, dan penjahat yang maju paling depan roboh terguling! Semua penjahat merandak! Tak berani mereka maju terus.
"Ah, peluru mereka belum habis...," kata Hong Hoan, alisnya mengkerut.
"Sudah, jangan menyerbu terus!" kata Tiat Hoei Poan.
"Kita tunggu saja, mereka tentu bakal binasa karena lapar dan haus!"
Untuk sementara, hati Hiang Kat dan Kat Po menjadi lega. Mereka melihat kawanan penjahat kembali ke posnya.
Hanya peluru mereka yang satu-satunya sudah dipakai menembak, walaupun dengan hasil memuaskan...
Dengan mendongkol Kat Po melemparkan revolver dan peluru isi sakunya.
"Bagaimana dengan kakimu" " Hiang Kat tanya.
"Rupanya aku cuma keseleo, mungkin tidak berbahaya," sahut orang yang ditanya. "Celakanya, karena penyerbuan ini, kumat pula dahagaku. Setengah hari saja kita berdiam terus di sini, habis sudah kita berdua... Aku akan sangat penasaran dan menyesal sebelum dengan tanganku sendiri membinasakan kawanan penjahat itu!"
Hiang Kat berdiam. Tak ada tempat kemana mereka bisa mengambil air. Tak ada kata-kata yang ia bisa ucapkan.
-oo0dw0oo- 150 XI Tjie Pit Seng sigemuk-terokmok, To Tjie An yang licik dan jelus, dan In Hong cerdas tetapi tenang, dari rumahnya Yo Pek Giok telah kembali ke rumah Keluarga Nie.
Di tengah jalan, In Hong minta Pit Seng memberi ijin buat ia memeriksa kitab Mahayana sekali pun untuk sebentaran saja. Permintaan ini membikin pembesar polisi Hangchow itu menjadi sulit sekali. Tjie An mengawasi ia dengan tajam. Rekan ini menolak dengan getas.
Tempo rombongan ini bertindak memasuki ruang tetamu, Tjie An dan Pit Seng menjadi heran. Di dalam ruangan itu terlihat Tjin A Hok, si kuasa rumah, lagi duduk di sebuah kursi malas dengan tangannya diborgol, sedangkan A Poan si detektip muda yang gemuk duduk di atas dipan di depannya dengan revolver dinasnya, dan diancamnya, siap untuk menembak apabila perlu.
Hanya beberapa kali, A Poan melempar-lemparkan tinggi senjatanya itu, untuk saban-saban ditanggapi. Dia lagi berjaga tetapi dia bersikap tenang. Nyata dia pandai dalam ilmu melempar revolvernya itu, sebab setiap kalinya tepat dia mencekal pula gagangnya.
"Hm!" menggerutu Tjie An, si sep. "Kapannya kau pelajarkan kepandaianmu ini"
"Lapor, tuan!" kata A Poan. "Sudah lama aku mempelajari ini! Setiap saat hatiku puas, aku suka main-main cara begini!"
Sebawahannya in main "Lapor, tuan!" itulah kebiasaannya. Itulah aturan.
151 "Siapa lancang memerintahmu menangkap Tjin A Hok" " Tjie An menegur tanpa pedulikan lagak orang. "Kenapa kau memborgolnya" "
"Lapor, tuan...!"
"Angin busuk dengan lapormu! Bilang, siapa menitah kau menangkap kuasa Tjin A Hok ini" "
"Nona In Hong yang menitahkan aku menangkap," sahut A Poan, tenang. "Nona In Hong yang memerintahkan aku memborgol kedua tangannya"
"Inilah perbuatan melanggar undang-undang!" kata A Hok. "Jikalau kau tidak segera memerdekakan aku, akan aku mengajukan pengaduan kepada pengadilan!"
"Hm, A Poan!" kata Tjie An. "Sekarang ini kau seperti juga bukan sebawahanku lagi! Kau mirip dengan sebawahannya Nona In Hong! Alasan apa kau punyai untuk menangkap Tjin A Hok" "
Dalam mendongkolnya, Tjie An memperluapnya terhadap bawahan itu.
"Tanya saja sendiri kepapa Nona In," sahut A Poan.
Kembali ia melemparkan revolvernya tinggi dan jumpalitan, untuk ditanggapi dengan gapah!
Sep itu kewalahan. "Nona In," ia tanya In Hong, "mengapa kau memerintahkan A Poan menawan Tjin A Hok" "
Nona itu mengawasi. "Kamu mengundang aku datang kemari, untuk apakah itu" " ia balik menanya.
"Oh, tentu saja untuk perkara jiwa hebat dan aneh di dalam kamar rahasia hijau yang aneh itu!"
152 "Hm! Aku kira kamu sudah lupa sebabnya kenapa kamu mengundang aku!" kata si nona, suaranya tawar.
"Oh, Nona In, adakah kau maksudkan, perkara ini sudah ada kesimpulannya" Apakah Tjin A Hok ini si pembunuh dari Nie Tiong Siang dan Yo Pek Giok" "
In Hong mengangguk "Berterima kasih kepada Tuhan, kedudukanku selamat!" Pit Seng memuji.
Lantas saja dia bernapas lega. Hanya dia bukan mengucapkan terima kasih kepada si Burung Kenari hanya kepada Tuhan...
Detektip To tidak mau mengerti. Ia penasaran dan mendongkol.
"Koankee Tjin A Hok ini sudah bekerja dua puluh tahun lebih pada Keluarga Nie!" kata ia, keras. "Dia sudah terkenal rajin dan setia, semua orang tahu dia dapat diandalkan, cara bagaimana dia bolehnya membunuh majikannya sendiri" Laginya kamar hijau itu dipalang dari dalam, Nona In, dan kau sendiri telah membuktikannya, orang tidak dapat memasukinya, atau tak dapat keluar dengan pintunya masih tetap terpalang itu! Hendak aku tanya, dengan cara bagaimana Tjin A Hok dapat masuk ke dalam kamar itu untuk membinasakan Tiong Siang, Pek Siang dan Yo Pek Giok" "
"Benar!" Pit Seng turut bicara, herannya tak kepalang.
"Bagaimana Tjin A Hok dapat masuk dan keluar lagi dengan merdeka" "
"Tuan Detektip To, pertanyaanmu beralasan sekali," sahut In Hong. dingin. "Memang koankee Tjin A Hok itu sudah bekerja dua puluh tahun lebih, dia sangat jujur dan setia, dia pandai bekerja, tidak ada alasan kenapa dia mesti
153 membunuh majikannya. Itu pula soal yang tak dapat disangsikan pula..."
"Habis," Tjie An menyela, "kenapa kau menangkap koankee yang demikian setia itu" Bukankah perbuatanmu jadi bertentangan sendirinya" Coba jelaskan, jelaskan!"
Tjie An menyerang setelah dia dapat "memegang" kata si nona.
In Hong terus bersikap tenang. Tapi ketika ia menjawab, suaranya dingin.
"Aku ulangi, aku pastikan, Tjin A Hok kuasa yang jujur dan setia, tak dapat dia membunuh majikannya!" sahutnya.
"Hanya orang ini.," ia menunjuk pada si orang tawanan, " orang yang ditangkap dan diborgol Detektip muda A Poan, dia bukannya Tjin A Hok!"
"Apa" " seru Tjie An, matanya membelalak.
"Apa" " tanya Pit Seng jnga.
Bahkan A Poan sendiri turut melengak.
"Oh, Nona In...," kata Pit Seng, tangannya diangkat ke dahinya, untuk dipakai mengusap-usap, untuk mengetahui kepalanya panas atau tidak, atau si nona yang kalap sebab suhunya naik turun, "aku mohon sukalah kau bicara sedikit lebih terang, lebih jelas..."
"Nona In, lagi mimpikah kau" " Tjie An pun menanya.
"Ini orang yang diborgol, dia bukannya Tjin A Hok si koankee!" kata In Hong, tegas dan terang setiap kata katanya, suaranya keras dan satu demi satu.
"Habis, siapakah dia" " Pit Seng menegas.
"Dialah Nie Pek Siang! Dia kakaknya Nie Tiong Siang!"
154 "Oh...!" Pit Seng mengusap pula dahinya. Kembali ia mau percaya, ia yang suhunya naik atau Oey Eng...
"Nona In," kata Tjie An, " apakah hawa panasmu lagi meningkat" Apakah pikiranmu lagi kacau" Kenapa kau ngaco-belo begini" "
"Benarkah itu" " sahut In Hong. Ia pun mengusap dahinya seperti Pit Seng. "Benarkah hawa panasku naik lagi" " ia nampak bingung.
"Nie Pek Siang sudah mati dua bulan yang lalu!" kata detektip To keras. "Dia mati jatuh dari atas gunung tengah dia berburu! Dia sudah mati dua bulan terdahulu itu, cara hagaimana dia dapat membunuh adik dan iparnya" Apakah dia hidup pula" "
"Untuk itu dia tak usah hidup pula!" kata si nona. "Dia sebenarnya tidak mati!"
"Apa" " seru Tjie An, mengawasi tajam.
Pit Seng dan A Poan mengawasi juga.
"Pada dua bulan lalu itu," kata In Hong, "Nie Pek Siang tidak jatuh mati dari atas gunung, hanya dia menunggu sampai sang sore tiba, diam-diam dia pulang ke rumahnya, untuk memanggil atau membujuk Tjin A Hok turut dia pergi ke gunung itu, lalu entah gagang senapan atau lainnya senjata, dia menghajar membikin koankeenya itu roboh pingsan. Setelah itu dia membukai pakaian orang, untuk dia yang pakai, di lain pihak, pakaiannya sendiri dipakaikan pada Tjin A Hok. Setelah itu dengan sebuah batu besar dia menghajar rusak mukanya Tjin A Hok, supaya orang tak dapat mengenalinya lagi. Diakhirnya, dia menjoroki tubuh Tjin A Hok, membuatnya jatuh dari atas gunung, buat membikin orang menjadi Nie Pek Siang yang mendapat kecelakaan dalam pemburuan sampai jiwanya melayang.
155 Selesai itu, dengan berdandan sebagai Tjin A Hok itu, diam-diam dia pulang pula, untuk selanjutnya menyamar menjadi Tjin A Hok si koankee..."
" Alasanmu kurang tepat!" kata Detektip To. "Nie Pek Siang majikan yang kaya, Tjin A Hok cuma pegawai yang miskin! Kenapa Nie Pek Siang tidak mau jadi majikan tapi justeru sudi menjadi bujang" "
"Nie Pek Siang kalah dalam persaingan dalam urusan jodoh," kata In Hong, "karena itu dia membenci Nie Tiong Siang, dia pun membenci Yo Pek Giok. Justeru itu Nie Lin Kie menutup mata dengan meninggalkan pesannya yang aneh itu. Sia-sia belaka Pek Siang menggeledah kamar hijau. Dia pun tidak sabaran untuk menyalin kitab. Di lain pihak, dia tahu betul ketekunan Tiong Siang. Tentu sekali, tak sudi dia Tiong Siang atau Pek Giok yang mendapatkan intan mahal itu, maka hendak dia mencegahnya. Di satu pihak lagi, dia tahu baik A Hok dan Tiong Siang bergaul erat sekali. Dengan dia sebaliknya, dia baik dengan A Hok diluar, didalam jemu. Maka teranglah sudah, di dalam urusan surat wasiat, A Hok pasti bakal berpihak pada Tiong Siang. Maka itu, dia merasa dia sendiri saja bakal kalah tenaga. Dia panas hati kalau dia ingat warisan besar itu bakal terjatuh ke dalam tangan Tiong Siang. Maka lantas timbullah pikirannya untuk menyingkirkan semua saingannya itu."
Tjie An heran, dia mendengari dengan diam saja. Pit Seng dan A Poan turut bungkam juga.
"Kebetulan sekali ada kamar hijau itu, kamar itu lalu digunai Nie Pek Siang," In Hong melanjuti keterangannya. "Dia lantas mengatur rencananya. Tindakan pertama ialah membunuh koankee Tjin A Hok. Menyusul itu, dia menyingkirkan Tiong Siang dan Pek Giok. Dengan matinya Tiong Siang dan A Hok, tiada lain orang lagi yang
156 mengetahui rahasianya kamar hijau itu, dia jadi merdeka untuk menggeledah kamar dan mencarinya lebih jauh. Kalau perlu, dia dapat menggempur kamar, hingga dia berhasil mendapatkan intan itu. Siapa akan menentang atau menggugatnya pula" Rencananya lebih jauh pastilah, dia bakal membawa pergi harta besar itu. Dengan menukar she dan nama, dia dapat pergi kemana dia suka, untuk hidup senang dan aman. A Hok kesohor setia, tak nanti ada yang mencurigai atau mau menduga saja A Hok membunuh majikannya, maka itu, buat sementara, tak keberatan dia menyamar jadi koankeenya itu yang dia ikhlas membunuhnya."
"Kau kata dia bukan Tjin A Hok, apakah dia yang memberitahukan itu" " tanya Tjie An pula.
Dia tetap penasaran. "Ada banyak hal yang dapat diduga bagian dalamnya dengan hanya melihat bagian luarnya saja," sahut In Hong.
"Demikian dengan surat wasiatnya Nie Lin Kie itu. Sebelumnya aku melihat, aku sudah dapat menerka kira-kiranya. Maka itu, mengenai soal Tjin A Hok palsu ini, tak usah aku menunggu sampai dia yang menceritakan sendiri. Memang muka A Hok dengan muka Pek Siang sedikit mirip tetapi itu bukannya berarti sangat mirip atau sama sekali. Karena ini, buat menjaga dirinya, dia memecat semua bujang lama. Dia lakukan itu sebelum dia bekerja. Sesudah menyamar menjadi A Hok, baru dia pekerjakan Sun Ma dan Tiang Kin. Mereka ini tak dapat membedakan A Hok dan Pek Siang, yang mereka tidak kenal.
Tinggal Tiong Siang dan Pek Giok, yang mengenalnya, begitu juga tetangga-tetangganya. Apa akal sekarang" Tidak bisa lain, dia lantas menggunai akal minum arak sampai mabuk. Tentu saja, dia mabuk berpura-pura.
157 Dengan begitu dia jadi mendapat alasan buat selalu menyekap diri di dalam rumah, bahkan di kamar tidurnya. Kalau sang malam sudah datang, sesudah gelap, baru dia bekerja, melakukan tugas seperti A Hok. Lihat saja, sampaikan Tiong Siang dan Pek Giok, untuk berurusan dengannya mesti memakai perantaraan Sun Ma. Kenapa dia memecat semua bujang lama dan memakai yang baru" Dia baik dengan Tiong Siang dan Pek Giok, kenapa dia tidak mau menemuinya" Heran bukan" Katanya A Hok tidak kuat minum, minum sedikit saja, dia sudah mabuk. Pek Siang sebaliknya, ia minumnya kuat. Kemarin Sun Ma membilangi A Hok ini sangat kuat minum. Dia menenggak arak dengan mangkuk besar. Siapa tidak kuat minum, tidak nanti dia minum habis tiga atau empat kati. Mangkuk besar itu berisi tiga sampai empat kati banyaknya. Tidakkah itu aneh" Kalau orang jatuh dari gunung, dia mestinya patah tangan atau kakinya, atau terluka juga kepalanya, akan tetapi tidak nanti mukanya hancur-luluh sampai tak dapat dikenali lagi. Apa itu tidak aneh" Dan masih ada lagi..."
" Apakah itu, nona" " Tjie An memotong.
"Orang tua she Pwee itu bersahabat karib dengan Tjin A Hok. Menurut ia, A Hok sabar dan manis-budi. Tapi kenapa, waktu Empee Pwee datang padanya, lantas saja dia disiram dengan arak" Orang yang sabar dan manis-budi tidak nanti ia berbuat demikian terhadap sahabat kentalnya, tak peduli dia lagi sinting. Empee Pwee pulang dengan keheran-heranan. Ia pasti mencurigai A Hok, hanya saja ia tidak dapat memikir atau berbuat apa-apa. Kenapa A Hok palsu menyiram Empee Pwee" Tak lain tak bukan, itu cuma untuk membikin Empee Pwee tidak mengenali kepalsuannya. Kalau mereka bertemu atau bicar, apalagi sampai lama, pasti Empee Pwee lantas ketahui penyamarannya A Hok palsu itu. Lantas malam itu Empee
158 Pwee didatangi orang jahat, yang pertama kali seorang, yang kedua kalinya beberapa orang. Yang pertama itu bukan penjahat tulen. Dialah si A Hok palsu! Dia takut Empee Pwee telah mengetahui kepalsuannya, maka untuk keselamatan dirinya, menyingkirkan jiwa Empee Pwee ialah jalan paling selamat. Maka, dia datang membunuh dengan pisau belati hijau itu. Yang kedua kali itu, merekalah penjahat-penjahat tulen. Mereka membinasakan Pwee Seng Kong. Pasti kejadian itu ada hubungannya dengan Thia Hong Hoan yang menculik Ie Siauw Hong. Tak mungkin penjahat bekerja dua kali. Lebih dulu datang yang satu membunuh empee Pwee, lalu datang yang beberapa orang membinasakan Seng Kong. Terang mereka terdiri dari dua rombongan dan dengan maksudnya masing-masing. Maka itu, melihat semua itu, pasti sudah Tjin A Hok ini Tjin A Hok palsu dan dialah Nie Pek Siang yang menyamar menjadi Tjin A Hok!"
Orang yang diborgol itu, mulanya dia mengasi dengar suaranya, akan tetapi setelah mendengar penjelasan si nona, lantas dia bungkam.
"Nona In," kata Pit Seng, "keterangan kau ini masih merupakan terkaan saja, belum ada buktinya."
"Kau menghendaki bukti" " tanya In Hong. "Itulah mudah! Dibanding dengan Tjin A Hok, Pek Siang berusia lebih muda, dari itu, untuk menyamar jadi A Hok, Pek Siang mesti mengubah kulit mukanya supaya jadi sedikit terlebih tua.
Sekarang kau mau bukti, baik kau cuci mukanya, kemudian kau kumpulkan beberapa tetangganya, untuk minta mereka itu melihat dan mengenalinya, dia A Hok atau Pek Siang!"
Saran si nona diterima baik.
159 Di dalam tempo setengah jam, kumpullah sudah dua puluh lebih penduduk sekitar gedung Keluarga Nie. Mereka semua terhitung tetangga-tetangga dekat dari keluarga itu.
Muka A Hok pun sudah lantas dicuci.
Segera saja semua tetangga memberi keterangan bahwa orang tawanan itu bukan A Hok hanya Nie Pek Siang, tuan muda dari mendiang hartawan Nie.
"Nona In," Pit Seng berkata pula, "bagus kau telah berhasil membuktikan A Hok ini A Hok palsu, hanya bagaimana sekarang mengenai urusan dia telah masuk dan keluar dari kamar hijau itu dimana dia telah membinasakan dua jiwa" Tanpa pemecahannya soal rumit itu, perkara pun belum dapat ditutup."
In Hong mengangguk. "Mari kita pergi ke kamar itu," katanya. "Nanti aku pecahkan soal ini."
Semua orang menurut. Mereka meninggalkan ruang tetamu, pergi ke kamar hijau, kamar yang aneh itu. Semuanya masuk terus ke dalamnya, kecuali In Hong yang berdiri di muka pintu.
"Eh, Nona In," tegur Pit Seng, heran. "Mau apa kau berdiri saja diambang pintu?"
"Aku masih belum tahu Tuan Detektip To setuju atau tidak aku masuk ke dalam kamar ini..." sahut si nona, tenang.
" Ah!" mengeluh Pit Seng, "Silahkan masuk, nona!"
"Tuan To, aku menyesal sekali," kata si nona kepada detektip dari Shanghai itu. "Aku menyesal mesti menentangmu...," dan ia bertindak masuk.
160 Detektip To tidak membilang apa-apa, akan tetapi dengan kedua tangannya dia memeluki empat jilid kitab Mahayana itu. Dia memeluk erat-erat sebab dia tidak mau mengasi In Hong meraba dan melihatnya.
"Nona In," Pit Seng tanya, "bagaimana caranya Nie Pek Siang masuk ke dalam kamar ini dimana dia membunuh orang"
Bukankah tadi kau telah mencoba teorimu tetapi kau nampak kegagalan" "
"Benar, benar!" sahut si nona. "Tadi aku bilang tidak bisa orang masuk dan keluar dari sini dalam keadaan pintu tetap terpalang, sekarang aku hendak menetapkan, itu memang tidak bisa! Bahkan kelak dibelakang hari pun tidak mungkin..."
Pit Seng heran bukan main, sampai dia tercengang.
"Ah, nona In, adakah kau lagi bergurau" " tanyanya.
"Jikalau benar seperti katamu, tak dapat orang masuk atau keluar, bukankah terang Nie Pek Siang pun tidak dapat masuk ke dalam kamar ini membunuh orang dan lalu keluar pula" "
"Untuk membunuh orang, dia tak usah masuk ke dalam kamar ini," jawab In Hong. "Dia dapat melakukan pembunuhan dari luar saja..."
"Oh!" Pit Seng mengelu h, pusing kepalanya karena soal yang sangat rumit itu. Ia merogo ke sakunya, mengasi keluar garam penyedot hawa, untuk membauinya, guna membikin otaknya terang dan bersih!
Habis itu, baru ia kata pula, "Nona In, kau jadinya mau bilang, Nie Pek Siang berdiri di luar kamar, dia mencekal pisau belati, lalu dengan menembusi tembok, dia
161 menimpuk, menyerang ke dalam kamar, membunuh orang! Benarkah" "
Detektip To tetap berdiam, tetap dia memeluki keempat jilid kitab. Cuma dengan matanya yang tajam, yang bersinar jelus atau dengki, dia mengawasi si Burung Kenari.
"Kata-katamu khayalan belaka!" menjawab In Hong, sambil tertawa. "Itulah tak mungkin, tak beralasan sama sekali! Sebenarnya aku mau maksudkan, dari siang-siang dia sudah mengatur dan memasang suatu alat persediaan, tiba pada saatnya, dia menggeraki alatnya itu. Demikian maka dapatlah dia membunuh mangsanya!"
"Akan tetapi kami, nona...," kata Pit Seng, "bahkan kau berhitung juga di dalamnya, kami sudah memeriksa, di dalam kamar ini tidak ada semacam alat seperti yang kau maksudkan itu..."
"Itulah sebab, habis membunuh orang, dia membawa pergi alatnya itu," kata In Hong, singkat.
"Oh!" kembali si terokmok mengeluh.
Kembali dia menyedot garamnya.
"Kalau begitu itu berarti, Nie Pek Siang toh masuk juga ke dalam kamar untuk mengambil alat pembunuhnya itu! Dia masuk, lantas dia pergi! Bagaimana sebenarnya ini" "
"Tuan Tjie, aku belum menjelaskan semua," berkata Oey Eng, tersenyum sabar. "Sebentar, setelah aku menjelaskan, perkara aneh dan sangat berahasia ini sebenarnya sederhana sekali, tawar dan tak menarik hati. Tuan Tjie, coba kau dongak dan lihat! Lihat itu bagian lelangit yang tengah! Bukankah di situ ada beberapa bekas paku sekerup" "
Pit Seng mengangkat kepalanya.
162 "Aku tidak dapat melihat," katanya.
In Hong menyuruh Sun Ma mengambil beberapa buah bangku, untuk disusun, setelah itu ia minta si detektip naik ke atas bangku.
"Cobalah periksa biar teliti!" pesannya.
"Ya, sekarang aku dapat melihat bekasnya paku sekerup," kata Pit Seng setelah ia turun.
"Alatnya Pek Siang untuk membunuh itu sangat sederhana tetapi luar biasa bekerjanya," kata In Hong. "Dia membuat sepotong besi tapak jalak, yang empat ujungnya melengkung. Bagian tengahnya tapak jalak itu dia pasangi paku sekerup, untuk dipasang pada lelangit itu. Dengan hanya beberapa putaran, besi tapak jalak itu dapat dipasang dan dicopoti. Mestinya dia mencoba dulu beberapa kali, baru dia berhasil memasangnya tepat. Buktinya lihat bekas paku itu, bukannya satu tapi beberapa buah. Besi itu ada untuk menggantung tali. Tali itu panjang, diulur dari lubang angin sampai ke pintu, lalu disediaan lebihnya untuk tiba di kursi.
Ujung tali itu diikatkan sepotong besi berat mirip gandulan timbangan, yang tengahnya diberi berlubang seukuran gagang pisau belati. Di situ pisau belati diterapkan. Tali dipasang tergantung demikian rupa hingga nempel dengan lelangit. Tentu saja, tali, gandulan dan tapak jalak itu mesti berwarna hijau semuanya, supaya saru dengan wama lelangit, tembok dan semua benda lainnya di dalam kamar ini, hingga sukar orang melihatnya. Kalau tali ditarik kaget dan keras dari lubang angin, gantungannya di pintu terlepas, lantas gandulannya jatuh berayun keras juga sebab dia tergantung di besi tapak jalak itu.. Demikianlah terpasangnya alat peranti merampas jiwa orang itu. Lalu diwaktu malam yang sunyi, selagi kedua bujang tidur pulas,
163 di dalam kamar ini tinggal Tiong Siang seorang, sebab dia mesti duduk menyalin kitab Mahayana itu. Dia duduk dengan membelakangi pintu. Pada saat itu, muncullah Nie Pek Siang. Dia datang dengan diam-diam dengan mengambil jalan dari taman, dia naik ke tembok dengan memakai tangga bambu, menghampirkan lubang angin itu, untuk menarik talinya. Begitu ditarik, gandulan terlepas dan terayun, menyamber korbannya. Karena terayun itu, pisau belati jadi menikam dari bawah keatas, tepat mengenai punggung. Semua itu sudah diukur dan dipertimbangkan masak-masak. Bisa dimengerti, karena beratnya gandulan dan kerasnya tarikan, pisau itu dapat menancap dengan hebat, lepas dari gandulan. Setelah itu, dengan ditarik, gandulan itu tanpa pisaunya, terayun kembali, sampai beberapa kali, baru dia berhenti. Untuk mengambil pulang alatnya itu, Pek Siang menggunai dua potong gaetan bambu atau lainnya barang berupa serupa itu. Dengan menarik dan menolak berulangkali, ia membikin paku sekerup terputar sampai copot-terlepas. Yang dia tarik dan tolak itu ialah keempat ujung segi tapak jalak yang melengkung itu. Setelah terlepas, besi tapak jalak itu jatuh ke bawah, ke lantai. Diakhirnya, dia menarik mengangkat alatnya itu, untuk dikeluarkan dengan jalan lubang angin itu. Maka itu, kecuali itu bekas liang paku, di dalam kamar ini tidak ada barang atau bekas-bekas lainnya, kecuali itu bungbung langit yang rupanya kena terbentur waktu dia menarik alatnya."
"Tetapi, nona, dapatkah gandulan itu terayun tepat mengenai punggung orang" " Pit Seng tanya.
"Tentu saja. Itulah disebabkan beratnya gandulan. Pula dia memakai dua lembar tali, hingga arahnya tak bergeser."
164 "Habis, bagaimana dia mendapat tahu Tiong Siang atau Pek Giok tidak akan duduk menggeser kursinya" pembesar polisi kota Hangchow itu menanya pula.
"Tuan lihat macamnya meja tulis ini," kata In Hong.
"Bukankah meja ini dengan dua buah laci di kiri dan kanan dengan tengahnya kosong" Beda daripada meja tulis lainnya, di sini tak dapat orang menggeser kursi sesukanya. Bagian yang kosong itu tempat menaruh kedua kaki. Cuma, kalau toh ada perbedaannya, yaitu beda sedikit cara duduknya Tiong Siang dan Pek Giok Inilah sebabnya maka pisau menancap di punggung mereka kiri dan kanan masing-masing."
"Nona In, cara bagaimana kau bisa ketahui Nie Pek Siang justeru menggunai alat semacam itu" " masih Pit Seng menanya.
"Itulah sebab aku tahu pasti orang tidak dapat masuk keluar dari sini. Maka aku memikirkannya. Mulanya, bekas lubang sekerup itu juga tidak mencurigai aku. Aku baru menyangsikan setelah aku pikir, tak mestinya di situ ada semacam bekas. Buat apakah itu tadinya, atau bekas dipakai apakah itu" Juga aneh lukanya Tiong Siang berdua. Apakah orang menikamnya sambil berjongkok" Itulah tak mungkin.
Perlahan aku memikirkannya, lalu tibalah aku kepada kesimpulanku itu."
"Mungkinkah Tiong Siang atau Pek Giok tidak melihat pisau belati itu disaat mereka memasuki kamar" "
"Bukan cuma mungkin bahkan itu memang demikian adanya. Seluruh kamar serba hijau, penerangan guram pula.
Tak dapat mereka melihat nyata, apapula barang di atas lelangit. Mereka pun tidak curiga apa-apa. Sedangkan,
165 semasuknya mereka ke dalam kamar, segera perhatian tertarik kitab yang mesti disalin itu, mereka cuma memikirkan intan permata itu."
"Nona In, aku tetap masih menyangsikan bahwa pemikiranmu ini hanya khayalan belaka," kata Pit Seng, yang masih tetap heran. "Aku masih menghendaki kenyataan..."
"Kenyataan apakah itu" "
"Besi segi empat dan gandulan itu tak dapat orang buat sendiri," kata si detektip gemuk.
"Memang kedua benda itu tak dapat dibuat sendiri," kata In Hong. "Itu mesti dibuat oleh seorang tukang, oleh sebuah bengkel. Aku pun telah pikir itu. Maka tadi pagi-pagi aku pergi ke setiap bengkel besi, untuk mencari keterangan. Di sebuah bengkel, orang mengasi tahu aku halnya ada seorang berewokan yang memesan besi tapak jalak itu serta gandulannya. Tukang besi ialah seorang saksi. Sekarang tinggal bukti barangnya. Mengenai ini, silahkan kau geledah gedung ini. "
Pit Seng menurut, ia mengajak orangnya menggeledah.
Satu jam tempo ia gunakan, akhirnya ia berhasil menemui dua rupa barang itu disembunyikan di tempat yang tidak disangka-sangka.
"Nona In," kata Pit Seng, sesudah hatinya lega sebab ia berhasil dengan penggeledahannya, "sekarang aku mau tanya pikiranmu, Tiang Kin itu kau curigai atau tidak" Menurut aku, gerak-geriknya menandakan dialah seorang buruk. Juga bagaimana dengan pisau belati hijau itu" Kenapa pisau itu mirip diantara miliknya Thia Hong Hoan dan Nie Pek Siang ini" "
166 " Akan aku jelaskan," sahut In Hong. "Ketika Nie Pek Siang, atau Tjin A Hok palsu itu waktu, ketahui Yo Pek Giok memerintah menukar pintu kamar yang bekas dikapak itu, dia tahu pasti Pek Giok malam itu bakal berdiam di dalam kamar. Maka itu disaat Sun Ma pergi berbelanja dan Tiang Kin diperintah menagih hutang, dia lantas bekerja memasang alat pembunuhannya itu. Oleh karenanya, Tiang Kin tidak dapat dicurigai. Perihal pisau belati itu, itu melainkan hal yang kebetulan saja."
Sementara itu, Tjie An terus berdiam. Inilah dia lagi asyik membaca kitab Mahayana itu...
"Tuan Tjie," kata In Hong, selesai penjelasannya itu, "perkara pembunuhan yang gelap ini telah berakhir, dengan begitu kau dapat melindungi kedudukanmu dan aku tak usah menderita malu! Sekarang aku mau pergi membekuk perampok!"
"Apakah kau sudah ketahui siapa perampok itu, nona" "
Pit Seng tanya. "Tolong beritahu padaku, nanti aku mengirim sejumlah orang polisi untuk membantumu menangkap dia dan konco-konconya."
"Dialah Thia Hong Hoan!"
"Thia Hong Hoan" " Pit Seng mengulangi, heran. "Tak mungkin! Dialah tuan tanah besar! Tak mungkin dia kepala penjahat!"
"Jadi kau tidak bersedia menyuruh orang polisimu membantu aku bukan" "
Pit Seng berdiam, dia likat sekali.
"Nah, Tuan Tjie, sampai ketemu pula!" kata In Hong, yang terus ngeloyor pergi.
-oo0dw0ooo- 167 XII Kat Po berdua Hiang Kat tetap berdiam di rumah batu di dalam lembah Hu Lu itu, lembah yang macamnya mirip buli-buli.
Dengan segala ketekunan, Hiang Kat menolongi kawannya, yang ia uruti kakinya yang keseleo itu. Syukur tiada tulang yang patah. Jadi itulah kecelakaan ringan.
"Kat Po, bagaimana kau rasa sekarang" " Hiang Kat tanya.
"Kakiku baik," sahut Kat Po. "Tapi kita tidak mempunyai air minum, inilah berbahaya..."
"Mungkin akan turun hujan," kata Hiang Kat. "Kalau hujan turun, nanti aku mengambilkan air untukmu..."
"Di langit tidak ada awan gelap sepotong juga, cuaca begini cerah, dari mana datangnya hujan!" kata si nona yang tabiatnya keras itu.
"Kalau nanti nyerimu sudah lenyap, mungkin dapat kita menyerbu pula," kata Hiang Kat, mengalihkan perhatian.
"Atau mungkin, karena tahu peluru kita sudah habis, penjahatlah yang nanti datang menyerbu kita. Kalau mereka benar menyerbu, kau dapat melawannya, supaya kita jangan terbekuk konyolL.." Suaranya si nona belum berhenti, atau benar-benar ia telah melihat beberapa orang jahat lagi berlari-lari mendatangi.
Itulah perintahnya Thia Hong Hoan untuk sekalian gundalnya maju. Sebab dia sangat ingin membekuk dan
168 membinasakan Kat Po dan Hiang Kat berdua, untuk juga merampas pulang rumah batunya itu. Tiat Hoei Poan tidak sanggup mencegahnya!
Beberapa bandit itu berlari-lari keras, mereka sudah lantas mendekati rumah.
Kat Po memasang mata. Ia sudah lantas bersiap. Di tangannya telah sedia enam batang huitoo. Ia menanti sesudah orang berada di jarak yang dapat dicapai timpukkannya, lantas ia menyerang.
"Aduh, aduh!" demikian beberapa penjahat menjerit-jerit, terus tubuhnya roboh, karena tepat mereka kena diserang, atas mana yang lain-lainnya segera memutar tubuh, buat lari balik!
"Lao Tiat, kembali beberapa saudara terluka..." kata Hong Hoan, menyesal.
"Tapi sekarang terbukti mereka sudah tidak punya peluru, seperti kita pun telah kehabisan. Sekarang aku kuatir In Hong keburu datang kemari. Huitoo-ku dan huipoan-mu cuma bisa merampas jiwa lain orang, tetapi tidak jiwa dia, maka itu, perlu kita dapat menyerbu, guna membinasakan Kat Po dan Hiang Kat, supaya sekalian kita dapat mengambil peluru. Begitu lekas kita sudah berhasil merampas pulang rumah kita itu, biarnya In Hong tiba, kita tak usah jeri lagi, peluru kita sudah siap banyak..."
Tiat Hoei Poan berpikir. Tak berani ia menduga pasti Kat Po sudah kehabisan peluru. Ia malah mau percaya orang masih menyimpan satu atau dua butir lagi...
Maka tentu sekali, tak bersedia ia untuk membikin dirinya menjadi mangsa. Karena itu, ia lantas bekerja dengan menggunai siasat. Ia menyuruh sepuluh orang maju di muka, lalu yang delapan, ia perintah jalan mutar dari
169 belakang, untuk masuk dari jendela belakang, buat mengambil dua peti peluru.
Kat Po melihat musuh datang pula, ia menyambut mereka itu dengan huitoo. Lagi jatuh beberapa korban. Hanya setelah itu, mereka pun bingung. Huitoo habis dan Hiang Kat tidak berhasil mendapatkan pula di dalam rumah itu.
Melihat tidak ada lagi serangan dari dalam, kawanan bandit maju terus. Mereka menghampirkan jendela dari mana mereka lompat masuk ke dalam.
Kat Po menjaga sebuah jendela, tak dapat ia menjaga beberapa jendela lainnya. Kakinya juga baru mulai sembuh sukar ia berkelahi. Maka terpaksa ia menyender di tembok, melayani kepungan. Syukur ia dapat memegang senapan kosong, yang ia gunakan sebagai toya.
Hiang Kat bersenjatakan sepasang pisau belati, tetapi ia repot dikepung banyak lawan. Lalu ia pun melihat ada musuh yang muncul dari belakang, yang mencoba lari membawa lari dua peti peluru.
Melihat demikian, ia tahu musuh juga kehabisan pelurunya. Tentu saja, perbuatan mereka itu dicegah. Mendadak ia lompat mundur, terus ia lari mengejar perampas peti peluru itu.
Mereka itu tidak dapat lari keras, mereka tercandak.
Dengan tikaman dan tendangan, ia membikin musuh-musuh itu roboh, sampai dua peti jatuh dan pecah, isinya belarakan!
Tiat Hoei Poan tidak mendengar suara tembakan ia tahu nona-nona itu benar sudah kehabisan peluru, hatinya menjadi besar.
170 "Mari!" ia mengajak sisa orangnya, tinggal dua puluh lebih.
Hong Hoan juga turut maju bersama.
Disaat Kat Po dan Hiang Kat sangat terancam bahaya itu, mendadak ada seorang penjahat yang lari mendatangi dengan roman ketakutan: "In Hong datang! In Hong datang!" dia berteriak berulang-ulang. "Dia sudah sampai di It Sian Thian!"
It Sian Thian itu salah satu pos penjagaan mereka.
Tiat Hoei Poan dan Thia Hong Hoan kaget sekali.
Dalam bingungnya, tak sempat mereka menggunai otak mereka.
Justeru itu, benar-benar si Burung Kenari sudah lantas tiba, bahkan dia terus lompat melewati jendela, untuk masuk ke dalam.
Hong Hoan bukan jeri main-main. Tanpa membilang apa-apa, dia lari melompati mereka, untuk kabur.
Tiat Hoei Poan kaget, dia kena terpengaruh, maka dia pun turut lompat kabur!


Serba Hijau Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hiang Kat dan Kat Po lantas menjadi lega hatinya, dengan tibanya In Hong, mereka menjadi dapat semangat.
Sebaliknya, dengan kawanan bandit itu.
In Hong pun maju melabraknya. In Hong menganggap menolongi kawan paling perlu. Kalau tidak, Hiang Kat dan Kat Po bisa celaka, lantaran keduanya sudah sangat terdesak.
Kawanan bandit itu lantas berebut mengangkat kaki.
Mereka pun melihat pemimpin mereka sudah tidak ada.
171 Di dalam tempo yang singkat, berhenti sudah pertempuran dahsyat itu. Tidak ada lagi penjahat kecuali yang terbinasa, sekalipun yang luka, sudah memaksa diri turut sipat kuping.
Cuma yang terluka parah kena ditawan dan In Hong mengurungnya dalam sebuah kamar.
"In Hong, bagaimana kau dapat datang kemari" " tanya Kat Po sesudah ia dapat bemapas lagi. Tadinya ia tersengal-sengal.
"Sebenarnya aku telah mesti sampai di sini kemarin," sahut In Hong. "Sayang, tanda-tanda yang dibuat Oey Tay Lek banyak yang hilang hingga sulit aku menyusul kemari, sulit aku mengusutnya..."
"Siapa itu Oey Tay Lek" "
"DiaIah suaminya Enso Oey," sahut In Hong, yang terus menuturkan halnya Tay Lek menguntit kawanan bandit itu.
"Baru tadi aku datang pula kemari, aku mencari tanda-tandanya itu serta memahamkan tanda-tanda yang masih kedapatan. Aku mesti menggunai banyak tempo untuk mendapatkan petunjuk yang tepat. Di mulut lembah aku bekuk seorang bandit. Dialah si anak muda dengan alis buntung yang kita ketemukan di dalam kereta api. Dari mulutnya dapat aku mengorek keterangan. Dia membilangi aku bahwa kamu terkurung di sini, bahwa Hong Hoan kepala bandit dan Tiat Hoei Poan pembantunya. Kata dia, Ie Siauw Hong sudah mati karena membuang diri dari atas gunung..."
"Tetapi, In Hong," kata Kat Po kemudian, "benar kau bisa menyerbu kemari akan tetapi kita tetap akan terkurung di sini. Mereka bisa melakukan penjagaan di It Sian Thian..."
172 In Hong berdiam, otaknya bekerja.
"Aku tidak melihat mereka menggunai sejata api. Apakah mereka tidak mempunyai itu" "
"Senjata ada tetapi pelurunya tidak," sahut Kat Po.
"Tadi pun mereka menyerbu untuk merampas peluru, syukur percobaan mereka itu keburu digagalkan."
"Kalau begitu, kamu jaga disini," kata In Hong kemudian.
"Nanti aku sendiri pergi keluar..."
Meski ia berkata begitu, nona ini tidak lantas pergi. Ia memeriksa dulu seluruh rumah. Di dapur, ia mendapatkan serupa barang yang ia anggap penting untuknya. Itulah sebuah tutup kwali dari kayu yang lebar.
Melihat benda itu, Kat Po tertawa.
"In Hong, aku mengakui kau benar lebih cerdik daripada aku!" katanya.
"Tadi ketika kami berdua mencoba menyerbu, aku tidak ingat tutup kwali ini untuk dijadikan tameng!"
In Hong cuma bersenyum. "Kamu awasi aku," pesannya, "setelah aku berhasil, kamu harus menyusul!"
Habis berkata, nona ini mengisikan sakunya dengan macam-macam peluru, terus dengan membawa tutup kwali itu, ia pergi keluar dengan cepat.
Di atas bukit dimana mereka berkumpul pula, Hong Hoan dan Hoei Poan lagi menanya orang-orangnya mereka itu berhasil mendapatkan peluru atau tidak.
173 "Tidak! Beberapa orang dirobohkan Hiang Kat, lantas kita tidak keburu mengambilnya. Kedua peti jatuh pecah dan isinya belarakan."
"Kamu toh dapat punguti itu untuk dikantungi" "
"Sudah tidak keburu. Kami pun tak ingat untuk mengambilnya sedikit saja..."
"Tolo!! Mau mampus!" Hong Hoan mencaci. Atau dia kaget, matanya membelalak. "Lihat di sana, Lao Tiat! In Hong lagi mendatangi! Dia hendak menyerbu kita!"
Kepala bandit ini kembali disergap ketakutannya.
"Lekas sediakan batu!" Tiat Hoei Poan memerintahkan.
Pemimpin yang kedua ini masih lebih tabah.
"Batu kecil masih ada banyak juga, yang besar tinggal satu...".
"Tunggu sampai dia sudah datang dekat, baru pakai batu yang besar!"
In Hong sudah mendekati, Hoei Poan menyerang dengan cakramnya berulang-ulang. Dia ditelad Hong Hoan, yang menggunai pisau belati hijaunya. Hebat sambutan itu.
In Hong maju terus. Dengan tutup kwalinya, ia melindungi diri.
Kawanan bandit ketakutan, diwaktu mereka menolak batu besar, untuk digelindingkan, mereka bekerja secara kesusu.
In Hong melihat ada batu besar jatuh, lekas-lekas ia menyingkir ke samping. Selewatnya batu itu, dia melanjuti mendaki, untuk maju terus.
174 Huitoo Hong Hoan merupakan satu hadiah untuk In Hong. Pisau belati terbang itu nancap di tameng. In Hong lantas mengambilnya, untuk dipakai membalas menyerang.
Ia liehay, lantas saja ada penjahat yang roboh. Bahkan seorang, yang biasa menggunai senapan, roboh juga. Kejadian itu menggempur semangat pihak bandit.
Hong Hoan dan Hoei Poan bingung. Tahu mereka, sukar mereka mempertahankan diri lebih jauh. Dengan lantas mereka kabur. Contoh ini ditelad oleh konco-konco mereka, yang terus turut sipat kuping!
Melihat orang lari, In Hong lompat pada mayatnya seorang jahat. Ia menyamber sepucuk rifle, dengan sebat ia mengisinya dengan peluru yang ia bekal, lantas ia lari pula, mengejar. Ia mendapatkan Hong Hoan dan Tiat Hoei Poan lagi lari turun. Tidak ayal lagi, ia mengincar dan membidik!
"Dar!" "Dar!" Demikian dua tembakan saling susul dan saling susul juga Hong Hoan dan pembantunya itu roboh terguling.
Dengan sebat In Hong mengisi pula, untuk mengejar lagi.
"Diam semua!" ia berteriak.
"Diam semua! Jangan lari!"
Berpengaruh sekali suara nona ini, sisa penjahat ketakutan, semua lantas menghentikan larinya dengan melemparkan senjatanya masing-masing, mereka berdiri berkumpul.
Kat Po dan Hiang Kat menyusul. Mereka pun lantas mengambil senapan dan revolver, untuk mengisikannya,
175 buat dipakai mengancam rombongan kurcaci itu, hingga semua penjahat jadi mati kutunya.
Di lain saat, berkumpullah orang di dalam kuil di mana Kat Po menjadi orang yang paling bergembira, sebab di sini tak usah dia kelaparan atau kehausan lagi! Di sini dapat dia segera berpestakan perutnya yang kosong dan kerongkongannya yang kering!
Hiang Kat pun dahar dan minum. Karena di situ tersedia cukup air dan roti serta barang makanan lainnya.
Oey Eng sendiri kabur ke dusun dengan menunggang kuda, buat mengabarkan pada Enso Oey dan orang-orang kampung halnya kawanan penjahat sudah ditawan, supaya mereka itu pergi ke kuil untuk melihat kawanan manusia busuk itu sekalian masing-masing mengenali barang-barangnya yang dirampok.
Dari dusun, sinona terus kembali ke rumah Keluarga Nie. Di sini ia membawa sikapnya tenang dan sabar, dengan sabar juga ia menyerahkan daftar nama penjahat pada Tjie Pit Seng seraya berkata singkat, "Semua penjahat sudah dapat ditawan, sekarang mereka semua berada di kuil di lembah Hu Lu, cukup asal kau mengirim sebawahanmu untuk menggiring mereka ke kantormu..."
Pit Seng tercengang. "Oh!" serunya tertahan. "Diantaranya ada juga Thia Hong Hoan" "
"Ya, juga Thia Hong Hoan yang sudah menjadi mayat!"
Sementara itu Detektip To sudah selesai membaca kitab Mahayana itu, di situ ia menemukan catatan dengan air bak, huruf-hurufnya halus sekali, semua itu ia catat diatas sehelai kertas, terus ia membacanya berulang-ulang, untuk dipahamkan artinya.
176 Sebenarnya catatan itu terdapat pada setiap jilid kitab, maka juga ia menyalinnya dengan beruntun. Karena ini, susunan kata-katanya tidak rapih, ada yang terbalik, hingga ia mesti mengasah otak dengan keras, hingga ia seperti bermandikan keringat.
"Aku berhasil mendapatkan intannya Nie Lin Kie!" akhirnya ia berseru. "Kotak intan itu disembunyikan di dalam tembok di sisi sakelar listrik di tembok utara, asal lapisan kuningannya dibuka, permata itu akan didapatkan!"
"Selamat! Selamat!" In Hong kontan memberi selamat.
"Dapatkah kau membagi sedikit padaku" "
"Tidak! Tidak dapat!" kontan si detektip menolak. "Tak dapat kau sekalipun menyentuhnya! Inilah buah hasil susah payaku!"
Karena kuatir dirampas si nona, ia mengeluarkan revolvernya. Kata ia, "Lao Tjie, lekas ambil obeng!"
Pit Seng menurut. Ia mencari obeng dengan apa ia terus membuka sakelar lampu listrik itu. Ketika pelat kuningannya sudah disingkirkan, di situ ada sebuah lubang hanya lubang itu berisikan beberapa helai kabel halus, kotak intannya tidak nampak. Ia jadi mengawasi dengan tercengang, lalu romannya menjadi lesu.
"Kosong!" katanya. "Lao To, di sini tidak ada kotak intan..."
"Tidak ada" " si detektip mengulangi, melengak. "Mesti ada! Mesti ada! Coba raba!"
Pit Seng menurut, ia mengulur tangannya.
"Ya, ada sebuah kotak!" katanya.
"Lekas ambil!" seru Tjie An.
177 Pit Seng kembali menurut, tangannya bekerja.
"Kotak intan! Kotak intan!" ia berseri-seri setelah ia membuka kotak itu di dalam mana ada sebuah kotak lain, kotak kecil terbuat dari batu hijau. , Seumurnya, belum pernah Detektip To bergirang sebagai hari ini, ia sampai merangkul si terokmok untuk diajak berjingkrakan menari di lantai itu!
"Sudah, sudah, Lao To!" Pit Seng berseru-seru. "Mari kita buka kotak ini, untuk melihat isinya, intan yang berharga besar itu!"
Tjie An menurut, ia berhenti berjingkrakan, ia melepaskan pelukannya. Kotak diletaki, di atas meja, tutupnya kotak terus dibuka. Lalu empat mata mereka mengawasinya dengan mendelong!
Kotak yang dikatakan bermuatan intan permata itu kosong belaka, yang menjadi isinya hanya sepotong kertas kecil yang ada sebaris tulisannya berikut lukisan seekor burung yang mungil.
Tjie An menjemput kertas itu, ia membaca:
Warisan ini, yang semuanya dikumpukan dari pemerasan atas orang-orang miskin, siapa pun tak berhak untuk memilikinya!
"Oey Eng! Oey Eng telah mengambilnya!" seru Tjie An tertahan, lidahnya terus seperti menjadi kaku mendadak. Tapi segera dia berpaling kepada In Hong, mengawasi dengan mata mendelong, kata dia, "Kau... kau..."
"Selamat, Tuan To!" kata si nona, tersenyum.
"Selamat angin busuk!" detektip itu berseru, matanya berputar.
178 "Tuan Tjie," kata si nona pada si terokmok, "lekas keluarkan garam penyedotmu, lekas, dia mau pingsan tuh!"
-oo0dw0oo- Penutup In Hong, Kat Po dan Hiang Kat masih berpesiar lagi beberapa hari dikota Hangchow yang indah itu. Kakinya Kat Po sudah sembuh seluruhnya. Mereka gembira sekali. Mereka bergembira bukan karena pesiarnya itu saja, hanya juga disebabkan mereka melihat penduduk melarat dari kampung Sze Tsi terhibur hatinya.
Semua bergirang! Selain bebas dari Hong Hoan, mereka pun memperoleh uang terkejut hingga mereka dapat membeli barang-barang dan memiliki simpanan. Karena In Hong menjual intannya Lin Kie dan mengamalkan uangnya kepada semua penduduk itu!
Diharian mau pulang ke Shanghai, In Hong bertiga lewat di depan kantor polisi Hangchow, di muka pintu mereka melihat dua orang agen polisi yang berdiri bertugas. Satu diantaranya ialah Tjie Pit Seng, sebagaimana dia mudah dikenali dari tubuhnya yang mirip babi bengkak!
"Tuan Tjie, kau baik!"
"Tidak baik, Nona In! Kau baik!" sahut orang polisi itu, romannya kucal. "Kau tahu, aku telah turun pangkat...!"
"Eh, bagaimana itu" "tanya si nona. "Perkara toh beres, kenapa kau turun pangkat" "
"Sebab harta warisannya Lin Kie lenyap Dan seatasanku gusar sekali..."
179 TAMAT Daftar kata dan kalimat bahasa daerah
Terokmok = gemuk Menyongket = merajut Kasip = terlanjur Sep = atasan Boto = montok Sebat = cepat Susu macan = minuman beralkohol
Polo = isi kepala Tercekuk = tertangkap Setan tangan-tangan = pencopet
Mendelong = terpana Jelus = cemburu / iri hati
Mendeluh = bersedih / susah hati
Pepat = bingung / kacau 4 dim = 4 inci (+10 cm) 1 bau = 1 tumbak persegi (+14 meter persegi)
Meleng = tanpa melihat arah
Bengap = bengkak Menjoroki = mendorong Empas-empis = habis napas
Melara = menjalin 180 Abui = bohongi Tahang nasi = orang tak berguna
Okpa = orang jahat Huitoo = pisau terbang Berkoseran = menggeliat-geliat
Buli-buli = tempat arak berbentuk buah labu
Toosu = pendeta agama Tao
Kwan-gwa = daerah di luar tembok besar
Tiga tombak = + 11 meter Peles = botol kaca Jengah = malu Mempetahkan = mengikuti gerakan
Kempolan = perut Mudun = turun Perkisong = peluru tabur / peluru mimis
Rifle = senapan Browning = merek pistol Duduk meloneng = termenung (maybe ?")
Koankee = pengurus rumah Tumpang siur = serabutan Kecandak = tersusul Tapak jalak = simbol berbentuk huruf "x" atau tanda "+"
Gili-gili = saluran air 181 182 Rapah-repeh = menebak-nebak / tidak ada petunjuk
Menjublek = terdiam tanpa bisa berkata-kata
Saru = tersamar Lari sipat kuping = lari terbirit-birit
Menelad = mencontoh Banda = harta Dingkluk-dingkluk = terpincang-pincang
Pedang Medali Naga 17 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Pendekar Latah 1

Cari Blog Ini