Ceritasilat Novel Online

Setan Harpa 1

Setan Harpa Karya Khu Lung Bagian 1


"Setan Harpa Karya : Khu Lung Saduran : Tjan ID Jilid 1 BAB 1 SALJU, membuat seluruh permukaan bumi berubah
menjadi dunia yang berwarna putih keperak-perakan,
membuat yang jauh dari keramaian manusia ini semakin
terpisah dari keramaian, Tiada manusia berlalu lalang disana, tiada binatang buas
hilir mudik mencari mangsa, tiada pula burung-burung yang
terbang mencari makan. Keheningan dan kesepian yang mencekam sekeliling
bukit membuat tempat tersebut lebih mirip dengan sebuah
neraka. Sebuah rumah gubuk diatas tebing Kui-ong-gay dilapisi
pula oleh salju yang tebal.....
Irama harpa itu memperdengarkan permainan musik
yang penuh kepedihan kesedihan dan kesengsaraan.
Seolah-olah seorang yang patah hati sedang
mengkumandangkan jeritan hatinya, seperti juga ada orang
ingin melampiaskan seluruh kemurungan dan kedukaannya
lewat permainan harpa tersebut.
Sinar rembulan yang kelabu menyinari rumah gubuk itu
dan menembusi jendela, seorang pemuda tampan yang
berwajah sedih sedang duduk ditepi jendela sambil
memandang salju diluar sana, tangannya menari-nari
diantara senar harpa dan memainkan lagu yang perih....
Bunga salju melayang-layang di udara, seakan-akan
tetesan air mata karena kesedihan yang meluap.
Siapakah dia" Mengapa berdiam di tebing Kui ong gay
yang tiada tanda kehidupan ini"
Akhirnya irama harpa itu berhenti, menyusul
berhentinya permainan musik itu, suasana disekeliling sana
kembali tercekam dalam keheningan yang mencekam.
Ia menghela napas berat, dengan pandangan mata yang
termangu-mangu ditatapnya lapisan salju putih di depan
rumah. "Lima belas tahun sudah lewat.... oh. betapa panjangnya
hari-hari penuh kesepian ini." ia berguman.
Yaa, lima belas tahun memang suatu jangka waktu yang
panjang, apalagi hidup dalam kesepian dan keheningan, ia
harus melewatkan jangka waktu lima belas tahun dalam
suasana penuh kedukan kecuali menghela napas dan
berkeluh kesah, sepanjang hidupnya belum pernah secercah
senyuman pernah menghiasi bibirnya.
Kadangkala, bahkan ia mencurigai kehidupannya di
dunia ini, ia sering kali merasa apa arti kehidupan baginya
selama ini, yaa, ia hidup hanya dengan sesosok kerangka
tubuh yang kosong, sebuah roh, sebuah sukma yang penuh
sayatan luka! Ia merasa seakan-akan hubungannya dengan dunia
kehidupan ini sudah terpisah, tiada suatu keinginan yang
terserap dalam benaknya, tiada sesuatu benda yang
diinginkan dari dunia ini.
Semenjak ia tahu urusan, sepanjang masa kehidupannya
dilewatkan bersama gurunya, dalam suasana begini apa lagi
yang dapat diinginkan"
Kembali ia menghela napas berat, lalu berdiri.
Tapi ia tidak beranjak dari tempat semula, ia masih
berdiri tercenung disitu, berdiri sambil melamun...
Dari sisi telinganya seakan-akan ia mendengar kembali
suara bisikan dari gurunya:
"muridku, seandainya lima tahun kemudian aku belum
juga kembali kau boleh tinggalkan tempat ini, robek sampul
surat yang kutinggalkan dan bacalah isinya."
Kini lima tahun sudah lewat, tapi gurunya yang
berlengan tunggal itu tak pernah menampakkan kembali
batang hidungnya. Ia sangat menguatirkan keselamatan serta mati hidup
gurunya, sebab lima tahun berselang ia berlalu dengan
wajah yang murung dan hati yang sedih, sepanjang waktu
selama lima tahun ini, hampir tiada khabar tentang dirinya.
Suhu menitahkannya pergi, tapi kemanakah dia harus
pergi" Tempat manakah yang seharusnya ia kunjungi"
Yaa, kecuali gurunya hampir boleh dibilang ia tiada
sanak tiada keluarga lagi.
Sepucuk surat diambil keluar sakunya, inilah surat yang
ditinggalkan gurunya sebelum berangkat dengan tangan
yang gemetar ia memegang sampul tersebut, seakan-akan
dalam surat inilah ia bakal menjumpai suatu tragedi yang
memikul hati. Akhirnya surat itu telah dirobek, din terbacalah isi surat
itu berbunyi begini: "Murid kesayanganku Si-liat:
Dikala kau membaca surat ini, mungkin aku masih
hidup mungkin juga aku telah mati, kau boleh turun
gunung dan berangkatlah ke benteng Tui-hong po dibukit
Wu-liong san dan temuilah pocunya Tui-hong-kian!
Tertanda gurumu" Ketika selesai membaca surat tadi, Ong Si-liat-pemuda
bermuka tampan itu berdiri termenung di situ, ia tidak
mengerti apa maksud dari surat tersebut" Mungkinkah
gurunya telah tiada"
"Tidak.... tidak.... ia tak mungkin mati" demikian
pekiknya dalam hati, ia tak akan mati, aku harus
mencarinya " Sekalipun suara hatinya sedang berpekik, wajahnya tetap
dingin tanpa emosi, seakan-akan antara batin dan wajahnya
sama sekali tiada berhubungan.
Siapakah pocu dari benteng Tui-hong-po itu" Mengapa ia
disuruh menjumpainya" Mungkinkah gurunya telah tewas
ditangan Tui-hong-kian (Si maut pengejar angin)"
Ketika ingatan tersebut melintas datam benaknya, tibatiba
bawa napsu membunuh memancar diwajab Ong Si liat,
disambarnya khim besi itu dan ia bersumpah dihati.
"Tui-hong-kiam. harus kutemukan.... Tui-hong-kiam
harus kutemukan...."
Ia tidak mempedulikan lagi apakah bunga salju masih
melayang di angkasa, iapun tidak ambil perduli apakah
udara dingin serasa mencekam tulang belulangnya, ia
melangkah keluar dari rumah gubuk itu dan bertekad ingin
menemukan kembali gurunya.
Salju turun dengan derasnya, beberapa langkah
kemudian ia berhenti sejenak dan berpaling, ketika
memandang rumah gubuk reot tersebut, mukanya tampak
lebih murung, lebih kesal dan pedih.
Yaa, sebelum meninggalkan tempat ini, ia tak dapat
menghilangkan rasa sayang dan rasa berat hatinya untuk
meninggalkan rumah gubuk yang telah dihuninya selama
lima belas tahun. Akhirnya dia menggertak gigi lalu putar badan dan
berlalu dari sana dengan langkah cepat...
Bayangan tubuhnya makin lama makin mengecil, makin
lama semakin terbungkus oleh derasnya salju yang
menyapu seluruh jagat... akhirnya ia lenyap dari pandangan
mata... Ong Si-liat telah meninggalkan tebing Kui-ong-gay,
tebing raja setan yang telah dihuninya selama lima belas
tahun. Dikala ia tiba dibawah bukit Ong-wusan, fajar telah
menyingsing. Tiba-tiba dari kejauhan sana berkumandang suara jeritan
ngeri yang menyayatkan hati, jeritan itu berasal dari atas
sebuah tebing tak jauh letaknya dan sana.
Begitu mengerikannya jeritan tersebut membuat bulu
kuduk siapapun yang mendengar menjadi berdiri semua.
Ong Si-liat tercekat, tanpa sadar ia hentikan langkah
kakinya dia memasang telinga untuk memperhatikan dari
manakah asal suara tersebut.
Selama ini, anak mada tersebut hidup di sebuah puncak
bukit yaug jauh dari kehidupan manusia, kapankah ia
pernah dengar suara jeritan menyayatkan hati seperti ini"
Sementara ia masih termenung, suara jeritan ngeri
kembali berkumandang datang lalu menyusul pula suara
tertawa dingin yang mengerikan hati mendesis diudara.
Agaknya Ong Si-liat telah dibuat terperanjat oleh suarasuara
tersebut, untuk sesaat ia termenung dan berdiri bodoh
disana. "Aduuuh ! Aduuuh ! Aduuuh !" secara beruntun empat
jeritan lagi mengelegar memecahkan keheningan.
Ong Si liat merinding, hatinya sungguh bergidik
mendengar suara-suara seram semacam itu, suara perasaan
mual tiba-tiba saja tersirap dalam benaknya.
Cepat dia menutulkan ujung kakinya ditanah, lalu
meluncur ke arah puncak tebing dengan kecepatan tinggi.
Lincah dan gesit gerakan tubuhnya, dalam satu lompatan
ia berhasil melampaui jarak sejauh beberapa tombak.
Ditinjau dari gerakan tubuhnya, dapat diketahui bahwa
ilmu silat yang dimilikinya sudah mencapai taraf
kesempurnaan. Dikala tubuhnya sedang melayang ke atas dengan
kecepatan tinggi itulah, dari atas tebing kebetulan melayang
pula sesosok bayangan manusia dengan kecepatan yang tak
kalah cepatnya, nyaris mereka! saling bertumbukan
ditengah jalan. Dengan gerakan yang sama-sama gesitnya, baik Ong Siliat
maupun orang itu cepat berkelit ke samping.
Dengan jantung yang berdebar pemuda she Ong
mendongakkan kepala, tapi hatinya kembali dibuat terkejut,
sebab seorang manusia berbaju serba hitam telah berdiri
kurang lebih tiga kaki dihadapannya.
Sekali lagi Ong Si-liat bergidik.
Mereka tidak saling menyapa pun tidak saling, menegur
setelah saling berpandangan sekejap bayangan hitam itu
kembali melesat ke udara dan ibaratnya sesosok sukma
gentayangan, dalam waktu singkat ia sudah lenyap dari
pandangan mata. Untuk sekian kalinya Ong Si-liat mengkirik karena ngeri
bulu kuduknya kembali pada bangun berdiri:
Karena lama sekali ia berdiri termangu disitu, akhirnya
baru menggerakkan badan melompat naik ke puncak tebing.
Puncak tebing itu merupakan sebuah tanah lapang kecil
pada sebuah batu cadas yang amat besar terpancang tiga
huruf yang amat besar tulisan itu berbunyi:
"JIT GWAT-HONG" (Puncak matahari dan rembulan).
Sebuah gardu kecil berdiri angker dipuncak itu pada
papan nama yang terpancang dimuka gardu tersebut pula
tiga huruf besar yang terbuat dari emas murni:
"JIT-GWAT-TENG" (Gardu matahari dan rembulan).
Memandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba OngSi-liat berpekik kaget. "Aduh mak....!"
Apa yang ditemuinya" Enam sosok mayat terkapar
dimuka gardu kecil itu, mereka terdiri dari golongan
pendeta, golongan imam dan golongan preman, tapi
usianya rata-rata berada diatas lima puluh tahunan:
Mayat-mayat itu tewas dengan wajah menampilkan
perasaan terkejut dan ketakutan seakan-akan sesaat
menjelang kematiannya telah mengalami sesuatu peristiwa
yang sungguh menakutkan. Ong Si-liat kembali merinding menyaksikan adegan
brutal didepan matanya, memang sejak kapankah ia pernah
menyaksikan peristiwa pembunuhan sekejam ini" Mana
enam orang lagi terkapar bersama dalam keadaan
menggidikkan hati. Tapi sikapnya mereka Kenapa terbunuh" Sudah pasti
alasannya bukan alasan yang sederhana....tapi mungkinkah
bayangan hitam yarig dijumpainya barusan adalah
pembunuh dari orang-orang ini"
Ketika terbayang sampai kesitu, timbul kecurigaan dalam
hati Ong Si-liat, ia tak menyangka dalam perjalanan turun
gunungnya untuk pertama kali, harus bertemu dengan
peristiwa menggidikkan hati yang penuhi diliputi tanda
tanya semacam ini. Lama... lama sekali... tiba-tiba salah satu diantara
keenam orang itu, seorang kakek berbaju emas
menggerakkan tubuhnya sambil merintih kesakitan.
Ong Si liat merasa jantungnya berdebar keras, rintihan
tersebut membuktikan kalau satu di-antara keenam orang
tersebut masih berada dalam keadaan hidup...
Dengan suatu gerakan yang cepat ia memburu
kehadapan kakek berbaju emas itu, noda darah masih
mengotori ujung bibir dan pakaiannya.
Dengan jantung yang berdetak keras pemuda itu
menggerakkan tangan kanannya untuk menotok jalan darah
orang itu, diiringi dengusan lirih berbaringlah kakek tadi
dengan keadaan yang jauh lebih tenangan.
Ong Si-liat tklak berhenti sampai disitu saja, hawa murni
yang dimilikinya pelan-pelan disalurkan kedalam telapak
tangan, lalu melalui jalan darah di tubuh kakek tadi
segulung hawa murni yang beraliran panas disalurkan
menembusi kebekuan yang sudah mencekam separuh dada
orang itu. Tak lama kemudian, kakek berbaju emas itu siuman
kembali dari pingsannya. Dengan lemas tak bertenaga sikakek berbaju emas itu,
menggerakkan kelopak matanya dan memandang Ong Si
liat sekejap bibirnya terpentang seperti ingin mengucapkan
sesuatu namun tak sepotong katapun yang sanggup
diutarakan keluar. "Kee..kenapa..kalian"... Sii... siapa yang melakukan
pembunuhan kejam ini.....?" tanya ong Si-liat dengan
perasaan cemas. "Eng engkoh cilik, si siapakah kau?" tanya kakek baju
emas itu kepayahan. "Aku berama Ong Si-liat, sia.... siapakah kalian" Sia
siapa yang melakukan pembunuhan ini?"
"Kami kami adalah Kiam Kiam-hay-lak yu (enam


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangkai dari lautan pedang) " ia berhenti sebentar untuk
berganti napas, lalu terus-nya, "engkoh cilik berse
bersediakah kau untuk mem membantu aku?"
"Katakanlah, bantuan apa yaag kau butuh kan?"
"Tolong pergi pergilah ke rumahku beri... beritahu
kepada putri putriku bahwa aku telah mati... mau bukan
bukan?" "Tentu saja mau, tapi siapa siapakah kau" Dimana
rumahmu" Kau harus menerangkan dulu kepadaku!"
"Aku aku adalah Lui-tian jiu (tangan sakti kilat
geledek)...aku- tinggal di perkampungan Thian-lui-teng
diluar kota Kay- tiong asal... asal kau bertanya ke... kepada
sekitar penduduk sana... mereka,... mereka tentu akan
menunjukkan kepadamu..."
"Tak usah kuatir, aku pasti akan melaksanakan pesanmu
itu dengan sebaik-baiknya...."
Lui-tian-jiu mengulur tangannya yang lemas tak
bertenaga itu seperti hendak melakukan sesuatu, mayang
ada keraauan tiada tenaga, sampai di tengah jalan tangan
itu terkulai kembali ke tanah.
"Apa yang kau kehendaki?" tanya Ong Si-liat cepat.
"Tolong,.... tolong lee..., lepaskan sepatu...... sepatu
sebelah kiriku...?" Ong Si-liat tertegun, ia tidak mengerti kenapa orang itu
menghendaki sepatu kirinya dilepas, padahal keadaannya
sudah separah itu. Tapi pemuda Itu tidak membantah,
dilepasnya sepatu sebelah kiri itu kemudian diangsurkan
kehadapan kakek itu. Sepatunya sudah berada disini katanya kemudian.
Lui-tian-jiu menerima sepatunya dan membalik ke
bawah ..... "Trangg..!" tiba-tiba dari dalam sepatu itu
terjatuh sebuah benda. Ong Si-liat coba memperhatikan benda apakah itu
ternyata hanya sebuah mata uang yang terbuat dari emas
murni. Tentu saja anak muda itu keheranan, ia tidak habis
mengerti kenapa mata uang emas itu disimpan didalam
sepatu kirinya oleh Liu-tian-jiu tersebut mungkinkah ada
sesuatu rahasia dibalik mata uang itu?"
Dengan lemah dan tak bertenaga Lui-tian-jiu kembali
berkata: "Sudah sudah kau saksikan mata uang emas-ini?"
"Sudah!" "Kami...kami mati karena uang emas ini...."
"Karena mati karena uang emas itu.... ?" Ong Si-liat
mengulangi perkataan itu dengan tubuh bergidik.
"Benar....sebab....sebab itu simpankah benda ini baikbaik
..." "Sesungguhnya siapa yang telah membinasakan kalian ?"
tanya Ong Si-liat cemas. "Dia ....dia adalah-Sam..."
Sam apa" Kakek berbaju emas itu tak sempat
melanjutkan kata-katanya, mendadak kepalanya terkulai
dan tubuhnya mengejang keras menyusul suatu jejakan kaki
yang keras melayanglah jiwanya kembali ke alam baka...
"Sam apa " Sam apa ?" teriak Ong Si-liat penuh
kecemasan dan gelisah. Tapi selembar nyawa Lui-tian jiu sudah keburu
berpulang ke alam baka, selamanya ia tak sanggup lagi
untuk meneruskan perkataannya yaag terhenti ditengah
jalan. "Sam" atau tiga melambangkan apa" Tiga orangkah"
Atau tiga perguruankah" Atau mungkin Sam.... julukan
seorang jago" Ong Si-liat memungut mata uang emas itu dan bangkit
berdiri, sekarang sorot matanya tertuju pada mata uang
emas tersebut. Mata uang emas itu lebarnya satu inci dan di buat sangat
indah, pada permukaan sebelah terukir raut wajah
seseorang, sedangkan pada permukaan yang lain terukir
sebuah huruf "Hong" (Kaisar).
Sudah barang tentu Ong Si-liat tak akan mengetahui
huruf "Hong" tersebut melambangkan apa, karenanya mata
uang itu disimpan ke dalam saku. Kemudian setelah
memperhatikan lagi mayat Lui tian jiu serta kelima sosok
mayat lainnya akhirnya ia menutulkan kakinya ke atas
permukaan tanah dan melayang turun dari puncak Jit-gwathong.
Ketika sampai di tengah jalan, tiba-tiba Ong Si-liat
menyaksikan sesosok bayangan manusia sedang meluncur
naik keatas bukit dalam waktu singkat orang itu sudah
berada dihadapannya. Pendatang itu adalah seorang kakek yang mengenakan
topi lebar terbuat dari anyaman bambu dengan membawa
sebuah alat pengail, ia memang ke arah Ong Si-liat sekejap
kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke
puncak Jit-gwat hong. Ong Si-liat tertegun memandang kepergian orang itu,
namun ia tidak menegur apapun mengucapkan sesuatu,
setelah terhenti sejenak kembali perjalanan dilanjutkan
untuk menuruni bukti itu.
Sekian lama ia melakukan perjalanan tanpa berhenti,
entah berapa saat kemudian Ong Si liat baru menghentikan
perjalanannya sambil bergumam kebingungan.
Haruskah aku berangkat ke perkampungan Thian luiceng
lebih dulu" Ataukah mengunjungi benteng Tui-hongpo"
Ah....lebih baik aku berangkat dulu ke benteng Tuihongpo untuk menyelidiki jejak suhuku!"
Setelah mengambil keputusan, berangkatlah pemuda itu
menuju ke arah bukit Wu-liong san.
Ia cukup mengerti kepergian gurunya mencari Tui-hong
pocu bukannya tanpa sebab-sebab tertentu benarkah Tuihong
pocu yang telah membinasakan gurunya"
Mengapa sampai terjadi peristiwa itu" Tentu saja mati
hidup gurunya mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan Tui-hong pocu seperti yang dicantumkan dalam
surat peninggalannya. Hari itu Ong Si-liat telah tiba di bukit Wu-liong-san, ia
menyaksikan berkelompok-kelompok manusia persilatan
berdatangan ke perkampungan Tui-hong-po, suasana yang
begitu ramai dan meriah ini sangat mencengangkan hati
Ong Si liat. Sementara ia masih kebingungan sambil menyaksikan
keramaian itu, tiba-tiba dari arah belakang berkumandang
suara teguran: "Hei ! Saudara, jangan pergi dulu!"
Tanpa terasa Ong Si-liat menghentikan perjalanannya
sambil berpaling, dengan cepat mencorong sinar terang dari
matanya, seorang nona cantik yang masih muda belia dan
mengenakan baju berwarna hijau berdiri tepat di
belakangnya. Ong Si liat tercenung, ia merasa tak pernah kenal dengan
gadis cantik yang masih muda belia itu.
Sementara ia masih melamun, nona itu sudah menyapa
sambil tersenyum manis: "Kalau kulihat dari harpa besi yang kau gembol,
tampaknya saudara adalah seniman yang pandai menikmati
suasana?" "Aaah nona terlaiu memuji" kata Ong Si-liat sambil
tertawa ewa, "aku bukan seniman, aku membawa harpa
tersebut hanya karena kesenangan belaka."
"Apakah kau juga datang untuk ikut serta dalam
perayaan dua puluh sejak berdirinya benteng Tui-hong-po?"
Setelah mendengar perkataan itu, Ong Si-liat baru tahu
kalau hari ini adalah hari ulang tahun yang kedua puluh
dari benteng Tui-hong-po tak heran kalau begitu banyak
jago yang berdatangan kesana, ini mustinya menunjukkan
kalau benteng Tui hong po mempunyai kedudukan yang
cukup tinggi dalam kancah dunia persilatan.
Maka diapun menganggukkan kepalanya. Nona berbaju
hijau itu tertawa ewa, kembali ia bertanya.
"Boleh aku tanya saudara berasal dari perguruan mana?"
"Aku tidak tahu!"
"Kenapa?" "Boleh aku tabu ada urusan apa nona mengajukan
pertanyaan semacam ini....?"
"Oooh tidak, tidak... aku cuma bertanya lantaran
keheranan dan ingin tahu!"
Ong Si-liat tertawa, sekarang ia balik bertanya- -"Ada
suatu urusan ingin kutanyakan kepada nona.."
"Urusan apakah itu?"
"Bagaimanakah watak serta perangai Tui-hong poocu
ini?" "Masa kau tidak tahu?" tanya nona berbaju hijau itu
sambil tertawa hambar. "Kalau aku sudah tahu buat apa mengajukan pertanyaan
itu kepadamu?" "Kau ingin mengetahui soal itu" Boleh saja, tapi ada
syaratnya!" "Apa syaratnya?"
Nona berbaju hijau itu tersenyum.
"Bila kebetulan kau ada waktu luang, petikkan sebuah
lagu untukku, mau bukan?"
"Apakah nona beranggapan bahwa aku pandai memetik
khim?" Ong Si-liat balik bertanya sambil tertawa ewa.
"Apa" Jadi kau tidak pandai memetik khim?" tampaknya
ucapan tersebut mendatangkan perasaan tertegun dihati
nona berbaju hijau itu. "Aku tak pernah mengatakan kalau tak bisa bermain
khim, aku hanya ingin tahu dari mana kau bisa tahu bila
aku dapat memetik khim?"
"Bukankah kau mengakui bahwa memetik khim
merupakan suatu kesenangan belaka."
"Benar!" "Itu berarti kau pandai memetik khim!" sambung si nona
baju hijau itu sambil tertawa.
Ong Si-liat ikat tertawa katanya kemudian.
"Bila kau tidak keberatan, mengapa aku tak sudi untuk
memetikkan sebuah lagu untukmu?"
Nona berbaju hijau itu tertawa.
"Kalau memang begitu, akupun tak keberatan untuk
memberitahukan kepadamu, Si pocu dari Tui hong-po
adalah seorang kakek yang murah dan baik hati, ia
merupakan seorang cianpwe dunia persilatan yang
dihormati setiap orang. Dengan sepasang senjata girnya ia
sudah malang melintang dalam dunia persilatan, setiap ada
perselisihan bila ia sudah ikut campur maka urusan akan
menjadi beres. bukan saja mendatangkan berkah untuk
umat persilatan, setiap orang pun menaruh hormat dan
kagum kepadanya!" Mendengar penjelasan tersebut, Ong Si-liat berkerut
kening, untuk sesaat ia hanya membungkam diri.
Demikianlah sambil bercakap-cakap sambil melanjutkan
perjalanan, tanpa terasa ia bersama nona berbaju hijau itu
sudah tiba didepan pintu gerbang benteng.
Seorang kakek berpakaian ringkas yang terdiri dimuka
pintu segera memberi hormat sambil tersenyum, sapanya.
"Apakah kalian berdua datang untuk menghadiri
perayaan dalam benteng kami..."
"Benar, kami datang untuk ikut menghadiri perayaan
ulang tahun kedua puluh dari benteng Tui hong po!" sahut
nona berbaju hijau itu. "Tolong tanya siapa nama nona..."
"Aku bernama Lan Siok-ling."
"Ayah nona adalah Thian-lam kiam kek (jago pedang
dari langit selatan) ...?"
"Benar!" Sorot mata kakek berpakaian ringkas itu segera beralih ke
wajah Ong Si-liat, lalu tegurnya.
"Saudara adalah...."
"Aku bernama Ong Si liat!"
Boleh aku tahu saudara berasal dari perguruan mana?"
"Soal ini..." Untuk sesaat pertanyaan tersebut
membuatnya tertegun. Dia adalah kakak misanku!" dengan cepat Lan Siok-ling
menerangkan. Kakek berpakaian ringkas itu tertegun, kemudian sambil
manggut-manggut katanya: "Kalau begitu silahkan kalian masuk ke dalam!"
ooo0dw0ooo BAB 2 ENAM SERANGKAI DAKI KIAMHAY
LAN SIOK LING memandang Ong Si-liat sekejap
kemudian masuk lebih dulu, serta meria Ong Si-liat
beranjak pula mengikuti dibelakangnya. Ditengah jalan
katanya kepada nona tersebut. "Terima kasih banyak nona
atas bantuanmu, terimalah rasa terima kasih dari aku orang
she Ong!" "Hei, buat apa kau musti menirukan cara tengik dari
pelajar-pelajar rudin" kata Lan Siok-ling sam bil menutupi
mulutnya tertawa cekikikan, "Jika tak enak hati, lain kali
mainkan saja sebuah lagu lagi untukku, setuju bukan?"
Ong Si-liat tertawa jengah "Bila nona tidak beranggapan
bahwa permainanku terlalu jelek dan tak sedap didengar,
tentu akan kumainkan satu lagu lagi untukmu!"
"Bagus sekali! Jangan lupa dengan janjimu lho. Pandai
bersilat kau?" "Cuma mengerti kulit dan bulu luarnya saja!" Tiba tiba
Lan Siok-ling seperti teringat akan sesuatu, sepasang alis
matanya segera berkenyit lalu bertanya.
"Ada urusan apa kau menanyakan karakter dari Tui
hong pocu" Ada yang tidak beres!"
"Ooh tidak, aku hanya mengajakan pertanyaan
sekenanya saja, silahkan nona pergi!"
"Kenapa kau?" Antara laki laki dan perempuan ada batas-batasnya,
mana kita boleh melakukan perjalanan bersama" Lebih baik
nona Lan berangkat dulu!"
Selintas perasaan berat hati menghiasi air muka Lan
Siok-ling sedang dalam hati kecilnya diam-diam ia
menyumpah:

Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pelajar rudin kutu buku goblok."
Apa boleh buat" Tentu saja sebagai seorang nona Lan
Siok ling tak bisa bersikeras untuk menentang pendapat
rekannya maka setelah melotot sekejap ke arah pemuda itu,
pergilah si nona dengan perasaan mendongkol...
Ong Si-liat sendiri merasakan pula sesuatu yang tak
enak, tanpa terasa ia menghela napas panjang, seakan-akan
ada sesuatu yang diharapkan, tapi agaknya ia teringat pula
persoalan lain. Sekilas pandangan, dia mirip dengan seorang sastrawan
yang lembut dan ramah, padahal sesungguhnya ia adalah
seorang pemuda yang kesepian, ia tidak membutuhkan apaapa,
diapun tak pernah mengharapkan untuk mendapatkan
apa-apa. Kesepian dan ketersendirian yang dialaminya selama
banyak tahun, telah menciptakan watak suka menyendiri
dalam hatinya. Pelan-pelan ia beranjak masuk ke dalam benteng melalui
pintu gerbang, didepan benteng berdiri dua orang laki laki
berpakaian ringkas, ketika Ong Si liat menghampiri mereka,
salah seorang diantaranya segera menegur:
"Harap melapor nama anda agar dapat diberi
pelayanan!" "Aku bernama Ong Si liat!" kata pemuda itu.
"Silahkan mengikuti kami!"
Mengikuti dibelakang laki-laki berpakaian ringkas itu
Ong Si-liat masuk ke dalam benteng, sedang otaknya
berputar terus memikirkan bagaimana caranya mengajukan
pertanyaan kepada Tui-hong pocu untuk menanyakan
persoalan tentang gurunya.
Pikir punya pikir akhirnya ia memutuskan untuk
mengambil tindakan menurut keadaan setelah bertemu
dengan Tui-hong poocu nanti.
"Ong sauhiap!" tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara
panggilan nyaring. Ong Si-liat menengadah, ia saksikan ruangan itu penuh
dengan lautan manusia, semua perhatian orang ketika itu
sedang tertuju ke arahnya.
Seorang kakek berambut perak duduk di ruang tengah,
empat orang laki laki berbaju hijau ber diri dibelakangnya.
Ketika pemuda itu berpaling, kakek tadi sudah bangkit
berdiri sambil memberi hormat kepada Ong Si-liat, katanya:
"Jauh-jauh Ong sauhiap datang kemari, maaf jika aku
orang she Si tak bisa menyambut kedatangan anda sejak di
depan!" Dalam sekilas pandangan, Ong Si-liat telah dapat
melihat bahwa Tui hong kian memang seorang kakek yang
berwajah ramah, ia segera balas memberi hormat sambil
berkata: "Kuucapkan semoga Si pocu sehat walafiat dan segala
usaha dalam benteng dapat berjalan dengan lancar!"
"Terima kasih, silahkan duduk!"
Ong Si liat manggut-manggut dan ambil tempat duduk di
ruang depan sedangkan otaknya masih berputar terus
mencari akal bagaimana caranya uutuk menanyakan kabar
tentang gurunya. Di saat Ong Si liat memutar badan tadi, sinar mata Tui
hong-kiam Si Tiok gi terbentur dengan khim besi yang
menggembol dipunggung pemuda itu, paras mukanya
kontan berubah hebat, hampir saja ia menjerit kaget.
Tapi untung dia adalah seorang jago tua yang pandai
membawa diri, rasa kaget dan tercekatnya hanya melintas
sekejap diatas wajahnya, menyusul kemudian senyuman
cerah kembali menghiasi ujung bibirnya.
Sekalipun perubahan itu hanya berlangsung dalam waktu
sekejap, toh diketahui juga oleh sekalian jago persiIatan
cuma mereka tak habis mengerti kenapa Bu-lim cianpwe itu
menunjukan perubahan semacam ini
Semua kejadian tersebut hanya berlangsung dalam waktu
singkat, pada saat itulah kembali berkumandang suara
bentakan amat nyaring: "Ngo-ou-tiau kek (si pengail sakti dari lima telaga) tiba!"
Ketika nama Ngo Ou-tiau-kek disinggung paras muka
sebagaian besar jago yang hadir disitu mengalami
perubahan hebat, sebab orang ini mempunyai nama yang
cukup besar dan jejak yang sukar ditapaki dalam dunia
persilatan hanya terdapat namanya tapi jarang menjumpai
orang tersebut, tak heran kalau kemunculannya disana
sangat diluar dugaan semua orang...
Ong Si liat ikut mengalihkan perhatiannya ke depan, tapi
begitu mengetahui siapa yang datang, hatinya seketika
bergetar keras sebab jago yang di namakan Si pengail sakti
dari lima telaga itu tak lain adalah kakek bertopi lebar yang
pernah dijumpai dibawah tebing Jit gwat hong tempo hari.
"Dibelakang kakek pengail itu mengikuti pula seorang
gadis berbaju perlente yang berwajah murung.
Ketika pengait sakti dari lima telaga melangkah masuk
ke dalam ruangan, serta merta Tui-hong pocu bangkit
berdiri seraya memberi hormat, sapanya dengan penuh rasa
hormat: "Boanpwe tidak tahu kalau cianpwe akan ber-kunjung
kemari, maafkan diriku bila tidak menyambut selayaknya!"
"Kunjunganku yang secara mendadak ini harap tak
sampai membuat Si pocu tak senang hati, disamping itu
kuucapkan pula semoga benteng anda selalu lancar dan
sukses!" "Silahkan duduk cianpwe !"
Si pengail sakti dari lima telaga tidak langsung duduk,
melainkan dengan sorot mata sedingin es ia menatap
sekejap wajah Ong Si-liat.
"locianpwe, dimana orang itu?" kedengaran si nona
berbaju indah itu bertanya dengan sedih.
Pengail sakti dari lima telaga tidak menjawab. Sementara
ini Tui-hong pocu Si Tiok-gi telah bertanya pula:
"Bolehkah aku tahu siapa nona ini?"
"Dia adalah putri kesayangan Lui tian jiu, ia bernama
Kang Peng!" Ketika mendengar nama itu, paras muka Ong Si-liat
berubah hebat, mimpipun tidak disangka olehnya kalau
nona itu bukan lain adalah putri Lui tian-jiu yang harus
dijumpainya. "Oooh kiranya nona Kang, apakah ayahmu juga akan
datang kemari" kedengaran Tui-hong po cu bertanya lagi.
"Mungkin selama hidup dia tak akan datang lagi!" sela si
pengail sakti dengan suara ketus.
"Kenapa?" Sorot, mata pengail sakti dari lima telaga kembali
dialihkan ke atas wajah Ong Si-liat, ia temukan pemuda
tersebut masih duduk disita dengan sikap tersebut dan
wajah agak terkejut. Tui hong pocu bukan anak kemaren sore, sudah barang
tentu diapun merasakan ketidak beresan dari sikap pengail
sakti tersebut, maka buru-buru dia bertanya.
"Apakah kedatangan cianpwe lantaran ada suatu
urusan?" "Benar !" "Dapatkah diterangkan dengan lebih jelas lagi?"
"Aku datang demi kematiandari Kiam hay-lak-yu!"
"Apa?" Hampir setengah jago lihay dalam ruangan menjerit
tertahan... tentu saja termasuk juga Tui-hong poocu sendiri.
Sebab peristiwa ini sungguh merupakan suatu kejadian yang
mengejutkan hati setiap orang.
Enam serangkai dari lautan pidang merupakan enam
jago lihay dalam dunia persilatan dewasa ini, kematian
mereka secara tiba-tiba tentu saja merupakan peristiwa yang
cukup menggetarkan seluruh dunia, tak heran kalau
kawanan jago itu ikut menjerit tertahan.
Paras muka Tui-hong poocu berubin hebat, dengan suara
agak gemetar bisiknya: "Kau kau bilang Kiam hay lak-yu telah telah tewas
semua?" "Benar!" "Kenapa bisa mati?"
"Heeehhh... heeeh.... heeehh.... hal ini musti ditanyakan
kepada seseorang!" jawab Pengail sakti dari lima telaga
sambil tertawa dingin. "Siapa?" Sebelum pengait sakti sempat menjawab, Kang Peng
dengan sedih bercampur gelisah telah menyela pula:
"Locianpwe, sebenarnya dia berada dimana?"
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Tui-hong poocu
dengan perasaan gelisah pula.
"Pembunuh ayahku!"
"Orang itu berada didalam benteng ini?"
"Mungkin..." Betapa terperanjatnya Ong Si-liat sesudah mendengar
perkataan itu, cuma perasaan kaget itu tak sampai
diperlihatkan diatas wajahnya, sebab waktu menyendiri
yang telah terpelihara sejak kecil membuat pemuda itu tak
gampang memperlihatkan rasa sedih, gembira kaget atau
marahnya. Ia masih berdiri tenang disana, seakan-akan sedang
mempertimbangkan suatu persoalan yang maha penting:
Tiba-tiba pengail sakti dari lima tenaga memutar
badannya lalu menerjang ke hadapan Ong Si-liat,
sebaliknya si anak muda itu masih tetap duduk di tempat
semula tanpa emosi. Dalam waktu singkat hawa pembunuhan menyelimuti
seluruh ruangan itu, segenap perhatian jago yang berada
disana sama-sama ditujukan ke wajah Pengail Sakti
tersebut. Sementara itu, pengail sakti dari lima telaga telah tiba
dihadapan Ong Si-liat, setelah tertawa ewa ia menyapa:
"Selamat bertemu saudara!"
Ong Si-liat mendongakkan kepalanya, memandang
pengail sakti itu sekejap, paras mukanya masih tetap dingin
dan hambar, tak seorangpun dapat menebak apa gerangan
yang sedang dipikirkan olehnya.
"Ada urusan apa?" ia bertanya sesudah menarik napas
pajang. "Masih kenal dengan aku?" Ong Si liat mengangguk.
Kang Peng yang bersama pengail sakti itu segera
menerjang maju ke depan bentaknya nyaring:
"Locianpwe, diakah orangnya?"
Pengail sakti dari lima telaga tidak menjawab dia hanya
mengernyitkan alis matanya yang telah memutih,
sedangkan Ong Si liat tanpa disadari telah bangkit berdiri.
Sorot mata pengail sakti dari lima telaga telah berhasil
melihat ke arah khim baja di punggung Ong Si Hat paras
mukanya mendadak berubah, rasa kaget dan tercekat
sempat melintas diatas wajahnya meski sekejap kemudian
telah lenyap kembali tak berbekas.
"Bolehkah aku meminjam sebentar khim baja yang kau
gembol itu..?" katanya kemudian.
"Untuk apa?" "Oooh.... aku cuma ingin tahu"
Ong Si-liat tidak menjawab, khim besi itu dilepaskan dari
punggungnya lalu diangsurkan kehadapan Pengail sakti.
Dengan seksama pengail sakti diri lima telaga memeriksa
sekejap khim besi tersebut, kemudian teriaknya tanpa sadar:
"Aaaah harpa setan..."
"Apa?" Separuh jumlah jago persilatan yang hadir dalam
ruangan menjerit penuh rasa kaget.
Ong Si liat ikut terperanjat, ditatapnya pengail sakti dari
lima telaga dengan wajah tercenung.
"Saudara, apakah engkau adalah ahli waris dari Kui jin
suseng (sastrawan setan harpa) ?" tegur Pengail sakti dan
lima telaga kemudian dengan wajah yang jauh lebih lembut.
Nama "Kui jin suseng" masih terlalu asing bagi
pendengaran Ong Si-liat, dengan wajah termangu ia
gelengkan kepalanya. "Bukan?" kata pengail sakti keheranan.
"Tidak tahu!" "Masak kau tidak tahu apakah gurumu adalah Kui-jin
suseng atau tidak..?"
Dengan sinis Ong Si-liat mengangguk.
Pengail sakti dari lima telaga segera tertawa dingin.
"Heeehh.... heeehh... heeehhh.... nama besar Setan harpa
sudah menggetarkan seluruh dunia, sungguh tak disangka
dua puluh tahun kemudian bisa muncul kembali disini, kau
memang cukup kejam dan brutal."
"Hei, apa maksud dengan perkataan semacam itu?" tegur
Ong Si liat dingin.. Kang peng tak bisa mengendalikan diri lagi, segera
bentaknya: "Pernahkah kau berkunjung kebukit Jit gwat-hong?"
"Pernah !" "Kalau begitu kaulah yang telah membunuh Kiam hayIak-yu karena ingin mendapatkan enam biji mata uang
Kematian?" Ong Si liat segera tertawa dingin akhirnya ia baru
mengerti kenapa si pengail sakti dari lima telaga dan Kang
peng datang dengan sikap yang begitu garang ternyata ia
telah dituduh sebagai pembunuh Kiam hay-lak-yu.
"Nona keliru besar." kata Ong Si liat sambil tertawa
hambar. "Kiam hay-lak-yu bukan mati ditanganku. Justru
setelah pembunuhan tersebut aku baru datang di puncak Jit
gwat hong, aku menjumpai pula ayahmu yang hampir mati,
ia minta aku memberi kabar kepadamu kalau ia sudah
mati..." "Omong kosong!"
"Omong kosong" Dalam ha! mana aku sedang
berbohong?" "Selelah mereka kaubunuh, kini kau tak berani
mengakuinya?" Ong Si liat masih tetap bersikap tenang, ia tidak dibikin
marah oleh sikap lawannya.
"Aku sama sekali tidak membinasakan mereka..."


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya hambar. Kang Peng membentak gusar, sambil menggeram penuh
kebencian ia lancarkan sebuah pukulan dahsyat ke tubuh
anak muda itu. Padahal selisih jarak kedua orang itu dekat
sekali, ditambah pula Kang Peng melancarkan serangan
dalam keadaan marah, pukulan boleh di bilang menyambar
lewat secepat sambaran kilat.
Tapi Ong Si liat masih tetap berdiri tak berkutik di situ,
seakan-akan ia tak tahu kalau ada sebuah pukulan
mematikan sedang tertuju ke tubuhnya.
Disaat yang kritis, tiba-tiba berkelebat lewat sesosok
bayangan hijau, seketika itu juga tenaga pukulan yang
dilancarkan Kang Peng terhadap Ong Si-liat terpental balik,
bahkan saking kerasnya pukulan tersebut Kang Peng tak
bisa berdiri tegak, dan tergetar mundur sejauh tiga empat
tangkah. Tahu-tahu nona berbaju hijau atau Lan Siok ting telah
berdiri tetap dihadapan mereka.
Paras muka Kang peng Siok-ling ikut berubah katanya
ketus: "Siapa kau" Sudah bosan hidup?"
"Kau tak usah tahu siapakah aku, ada satu persoalan aku
ingin bertanya kepadamu dan aku minta kau bersedia
menjawab sejujurnya"
"Apa yang hendak kau tanyakan?"
"Kalian menuduh dia sebagai pembunuh enam serangkai
dari Kiam hay, apakah tuduhan tersebut berdasarkan dari
cerita orang ataukan kalian menyaksikan dengan mata
kepala sendiri?" Kang peng tertegun, untuk sesaat menjadi kebingungan,
tapi sejenak kemudian jawabannya dengan dingin:
"Pengail sakti dari lima telaga loo-cianpwe yabg
melihatnya!" Lan Siok-ling segera berpaling ke arah pengail Sakti,
tanyanya: "Apakah kau melihat sendiri?"
"Tidak..." "Kalau tidak, dengan dasar apa kau menuduhnya sebagai
pembunuh dari Kiam-hay lak yu?"
Pertanyaan tersebut dengan cepat membuat ke dua orang
itu tertegun, sedang Ong Si-liat memandang sekejap kearah
mereka dengan pandangan jengkel, seakan-akan kejadian
tersebut hakikatnya tak dipandang sebelah mata olehnya.
"Kembalikan khim itu kepadaku!" bentaknya ketus.
Tanpa sadar Pengail sakti dari lima telaga
mengembalikan khim itu ketangannya, entah mengapa tibatiba
saja timbul suatu perasaan seram yang menggidikan
hati terhadap pemuda pemurung yang suka menyendiri itu.
"Cianpwe, sesungguhnya apa yang telah terjadi?" tibatiba
Tui hong pocu bertanya. "Kau tahu tentang mata uang kematian?" tanya Pengail
sakti dari lima telaga. "Boanpwe pernah mendengar secara sepintas lalu!
Konon mata uang kematian merupakan petunjuk dari
tempat terpendamnya sejilid kitab pusaka, benarkah berita
tersebut belum ada yang membuktikan kebenarannya
karena hal itu hanya merupakan kabar angin belaka tapi
yang pasti keenam buah mata uang yang terbuat dari emas
murni itu telah menjadi benda berebutan dari umat
persilatan selama dua puluh tahun terakhir ini."
"Tiga tahun berselang ke enam biji mata uang emas itu
didapatkan oleh Kiam-hay-lak yu, untuk menyelidiki apa
kegunaan serta sampai dimanakah teka teki yang
menyelimuti keenam biji mata uang itu, enam serangkai
dari Kim hay telah berjanji untuk mengadakan sesuatu
pertemuan dipuncak Jit-gwat-hong pada bulan dua tanggal
dua." "Dan kemudian mereka ditemukan telah terbunuh?"
sambung Tui-hong-pocu dari samping.
"Benar, bahkan bersama tewasnya keenam orang itu,
keenam biji mata uang kematian itupun ikut lenyap tak
berbekas!" "Jadi locianpwe telah menangkap basah saudara ini
berada diatas puncak Jit-gwat-hong?"
"Tidak, ketika aku hendak naik kepuncak Jit-gwat-hong
secara kebetulan kujumpai saudara ini sedang turun dari
puncak Jit-gwat-hong tersebut..."
"Atas dasar itu, kau lantas menuduh aku yang
membunuh Kiam hay lak yu?" ejek Ong Si liat ketus.
"Sekalipun aku tidak berani memastikan secara 100 %,
tapi kau tak dapat melepaskan diri dari kecurigaan!" kata
pengail sakti itu. Setelah berhenti sejenak kembali katanya dengan dingin.
"Aku mempunyai suatu cara untuk membuktikan apakah
Kiam hay-lak-yu mati ditanganmu atau bukan ?"
"Apa caramu itu?"
"Akan kucoba sampai dimana taraf ilmu silat yang kau
miliki!" Kembali Ong Si-liat tertawa dingin tiada hentinya.
"Untuk sekian kalinya aku hendak berkata bahwa Kiamhay
lak-yu bukan mati ditanganku, tapi kuakui sebelum
ajalnya Lui tin jiu telah menyerahkan sebiji mata uang
kematiannya kepadaku!"
"Dimana sekarang benda itu?" seru pangail sakti dari
lima telaga dengan paras berubah.
"Dalam sakuku!"
"Bawa kemari!" ooooOdwOoooo BAB 3 PENGAlL SAKTI DARI LIMA TELAGA
Hmm.... dengan dasar apa benda itu harus kuserahkan
kepadamu ?" ejek Ong Si-liat.
"Benda itu milik Lui-tian-jiu!"
"Tapi sayang ia telah menghadiahkan kepadaku!"
Kontan saja Pengail sakti dari lima telaga tertawa dingin.
"Heeeh... heeehh heehhh... kau memang tak malu
menjadi ahli warisnya Sastrawan setan harpa, keadaan dan
sikapmu tak berbeda jauh dari keadaan gurumu"
Setelah berhenti sejenak, kembali sambungnya;
"Sekarang aku hendak membuktikan apakah Kiam-hay-lakyu
mati ditanganmu atau bukan!"
"Kau bersikeras memaksa aku untuk turun tangan?"
"Benar !" Tampaknya Ong Si-liat telah dibuat marah oleh desakan
pengail sakti dari lima telaga, dengan paras muka hebat
pelan pelan ia maju ketengah gelanggang.
Sampai dimanakah taraf ilmu silat yang dimiliki Ong Si
liat sendiri tak pernah tahu, hakekatnya ia tak terlalu
tertarik untuk mempelajari ilmu silat, yaa ia tak suka untuk
bunuh membunuh, seandainya ia tidak dipaksa oleh
gurunya untuk berlatih ilnu silat kemungkinan besar ia tak
akan pandai bersilat. Kecuali kemurungan dan kesedihan sukar untuk
menemukan perasaan lain dari wajahnya, dikala tubuhnya
maju ke tengah arena serta merta orang yang berada
disekitarnya sama sama menyingkir kesamping.
Dalam waktu, singkat ketegangan dan keheningan
mencekam seluruh gelanggang, ini membuat semua orang
yang berada disekitarnya merasakan jantungnya berdetak
keras. Pengail sakti dari lima telaga tampil pula kedepan,
mereka saling berhadapan pada jarak lima depa
Dengan pandangan tajam Ong Si liat mengamati
musuhnya, lalu sambil tertawa dingin ia berkata:
"Pengail sakti lima telaga, aku tak ingin menyaksikan
kau mati dalam keadaan mengerikan, baik yang mampus
aku atau kau, aku ingin mengusulkan satu cara lain."
"Cara apa?" "Sebelum pertarungan dilaksanakan, silahkan kau
nikmati dahulu sebuah lagu kematianku!"
Paras muka pengail sakti dari lima telaga berubah hebat,
Yu Ci-toan bisa dijuluki sebagai Kui-jin suseng lantaran
sudah cukup banyak jago yang mampus oleh irama
harpanya, apakah ia sanggup mendengarkan permainan
khimnya sampai selesai hal itu masih merupakan suatu
tanda tanya besar baginya.
Lagipula, andaikata tantangan tersebut ia terima dan
Ong Si-liat benar-benar memainkan "irama kematian" nya,
sekalipun ia tak terpengaruh toh paling sedikit ada separuh
bagian-jago persilatan yang hadir dalam ruangan itu bakal
mati atau terluka parah. Membayangkan kesemuanya itu, tanpa terasa tubuhnya
bergidik, cepat katanya: "Aku pikir tidak perlu, aku hanya ingin mencoba taraf
ilmu silatmu belaka!"
Jadi kau bersikeras ingin menantang aku untuk
berkelahi?" bentak Ong Si-liat gusar.
"Benar!" Ong Si-liat segera menggertak giginya menahan emosi,
katanya dengan dingin; "Kalau begitu, silahkan turun tangan!"
"Sambutlah seranganku ini!" bentak Pengail sakti dari
lima telaga. Berbareng dengan bentakan itu, alat pengailnya yang
panjang segera menyapu ke muka dengan sebuah jurus Hesan
sau-cian-kun (menyapu rata seribu prajurit), yang
diarah adalah pinggang si pemuda.
Jangan dilihat serangannya begitu sederhana dan tiada
suatu perubahan yang menarik, padahal justru dibalik
kesederhanaannya terselip perubahan yang tak terhitung
banyaknya. Ong Si-liat tidak bertindak gegabah, khim besinya
diputar ke atas untuk menangkis datangnya ancaman itu.
Bayangan manusia berputar kencang, dengan suatu
gerakan cepat karena kaget pengail sakti dari lima telaga
menyurut mundur sejauh belasan langkah, tapi wajahnya
sudah memucat, ia cuma berdiri termangu seperti orang
bodoh. Kejadian ini mencengangkan bati semua orang, siapapun
tak sempat menyaksikan siapa gerangan yang berhasil
memenangkan pertarungan itu.
Walau begitu, dengan jelas Pengail sakti dari lima telaga
mengetahui bahwa dalam tiga gebrakan tadi ia sudah kalah
ditangan Ong Si liat, coba kalau pemuda itu tidak sengaja
mengampuni jiwarya kalau tidak mampus paling sedikit ia
subah terluka parah sekarang.
Kata Ong Si liat kemudian dengan suara dingin:
"Sekarang, apakah kau telah membuktikan bahwa Kiamhaylak-yu memang mati ditanganku?"
"Haaahhh..,. haaahh.... haaaah aku sudah
membuktikannya." kata Pengail sakti dari lima telaga
sambil tertawa seram. "Apa yang kau buktikan?"
"Telah kubuktikan kalau mereka memang mati
ditanganmu!" "Apa..?" Jerit kaget seruan tercengang berkumandang dari segala
penjuru ruangan itu. "Kau kau..... apa kau bilang?" bentak Ong Si-liat marah.
"Telah kubuktikan kalau mereka memang mati
ditanganmu, dan akupun telah membuktikan pula bahwa
Kui-jin suseng adalah gurumu "
"Ngaco belo?" protes Ong Si-liat.
Pengail sakti dari lima telaga tertawa dingin.
"Saudara kau tak perlu menyangka lagi dalam ti ga
gebrakan yang barusan berlangsung, kau telah
menggunakan ilmu pukulan Humocian dari partai Siau-lim,
ilmu pedang Tay-ik-kiam-si dari Bu-tong pay dan ilmu
pukulan Kiam-kong-ciang dari Go-bi-pay, dan justru Kiamhay
lak yu tewas oleh keenam macam ilmu pukulan itu!"
Sewaktu gurunya mewariskan jurus pukulan itu
kepadanya, belum pernah ia menerangkan nama dan
julukan dari gerakan-gerakannya sungguh tak dinyana
sekarang ia telah dituduh orang sebagai pembunuh Kiamhaylak yu. Pengail sakti dari lima telaga kembali tertawa dingin,
katanya lebih jauh. "Kecuali Kuy jin suseng yang pandai menggunakan
keenam macam ilmu pukulan dari enam partai ini, sulit
rasanya untuk menemukan orang kedua. Apa lagi pada
puluhan berselang enam partai besar telah kecurian enam
jilid kitab pusakanya, dan orang yang mencuri kitab itu
bukan lain adalah Kiu jin suseng..."
Dengan penuh perasaan terkejut Ong Si-liat berdiri
tertegun ditempat, peristiwa ini sungguh membuat hatinya
amat terperanjat, sebab bila kenyataan berbicara demikian
maka sulitlah dibayangkan bagaimanakah akibatnya...
Dengan paras muka berubah katanya dingin:
"Aku tidak tahu siapakah guruku, tapi aku berani
bersumpah bahwa Kiam hay lak yu bukan mati di
tanganku!" Belum habis ia berkata Kang peng sudah membentak
keras. "Iblis berhati keji, kembalikan nyawa ayahku!"
Seperti harimau terluka ia menerkam ketubuh Ong Si liat
sebuah pukulan yang disertai tenaga dahsyat segera
dilontarkan ke atas dada anak muda itu.
"Tahan!" bentak Ong Si liat.
Tapi keadaan Kang peng pada saat ini sudah hampir
mirip dengan orang kesurupan, bentakan Ong Si liat bukan
saja tidak digubrisnya malah secara beruntun ia lancarkan
tiga buah pukulan berantai yang luar biasa cepatnya.
"Kau ingin mampus?" bentak Ong Si liat.
"Yaa, kalau kau punya kepandaian bunuhlah aku!"
Ong Si-liat membentak keras, dengan suatu gerakan yang
tak kalah cepatnya ia melancarkan sebuah pukulan dengan
tangan kirinya. Sedemikian dahsyat tenaga pukulan yang disertakan
dalam serangan itu, sehingga Kang peng seketika terdesak
mundur sejauh tujuh-delapan langkah lebih.


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hawa amarah telah menghiasi wajah Ong Si-liat,
teriaknya penuh kemarahan:
"Nona, bila kan masih juga tak tahu diri, mungkin aku
benar-benar akan membinasakan dirimu!"
"Kalau mampu, hayo bunuhlah diriku!" tantang Kang
Peng seperti orang histeris.
Nona ini betul-betul setengah gila, bukan saja kalap,
kesadarannya juga pun terpengaruh, begitu bentakan
dilontarkan, ia ikut menerjang lagi ke depan.
"Cari mati!" bentak Ong Si liat.
Sebuah pukulan yang disertai tenaga dahsyat segera
dilontarkan ketubuh lawan.
"Blaaang !" Tak sempat lagi buat Kang Peng untuk
menghindarkan diri dari ancaman tersebut, pukulan Ong Siliat
bersarang telak diatas tubuhnya.
Tak ampun darah segar muntah keluar dari bibirnya
yang kecil, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan lalu terkapar di
tanah. Pengail sakti dari lima telaga cepat memburu ke depan
dan memayang bangun tubuh Kang Peng.
"Bawa dia pergi dari sini!" bentak Ong Si-liat ketus.
Pengail sakti dari lima telaga tertawa dingin.
"Heeehh... heeehhh... heeehhh.. .. bagus sekali" katanya,
"meskipun ilmu silatmu terhitung li-hay dan menggetarkan
hati orang, tapi camkanlah, enam partai besar tak akan
melepaskan dirimu dengan begitu saja."
"Kau tak usih kuatir, aku masih belum pikirkan
persoalan itu didalam hati!"
"Bagus, aku akan mohon diri lebih dulu!" Sambil
membimbing tubuh Kan Peng yang terluka ia putar badan
dan pelan-pelan berlalu dari sana.
"Berhenti!" tiba-tiba Ong-Si-liat membentak keras.
"Ada apa?" "Ada satu persoalan hendak kutanyakan kepada mu!"
"katakan!" "Apakah dalam dunia persilatan dewasa ini ada
seseorang yang menggunakan julukan dengan huruf "Sam"
sebagai huruf pertamanya?"
Mula mula Pengail sakti dari lima telaga agak tegun,
menyusul kemudian sahutnya ketus:
"Tidak ada !" "Tidak ada?" "Yaa, tidak ada! Akupun ingin mengajukan satu
pertanyaan kepadamu, bolehkah aku tahu siapa namamu?"
"Soal ini tak perlu kau tanyakan, tapi aku akan memberi
jaminan kepadamu pembunuh Kiam-hay lak-yu yang
sebenarnya pasti akan berhasil kutemukan."
Pengail sakti dari telaga cuma tertawa dingin tanpa
mengucapkan sekata patah katapun ia putar badan dan
berlalu dari sana. Sepeninggal pengail sakti berdua, dengan wajah berubah
Ong Si liat berjalan menghampiri ke hadapan Tui-hong
pocu, langkahnya lambat sekali tapi menggetarkan perasaan
setiap orang. Sorot mata semua orang hampir terkejut ke atas
tubuhnya seakan akau mereka saksikan seorang pembunuh
kejam muncul secara tiba-tiba dihadapan mereka.
Empat orang pelindung hukum yang berada di belakang
Tui-hong pocu serentak maju ke depan dan menghalangi
jalan perginya. "Mau apa kau?" bentak mereka hampir berbareng.
"Siapa kalian berempat?"
Sebelum ke empat orang itu memberikan jawabannya,
tiba-tiba Tui hong pocu Si Tiok-gi bangkit berdiri seraya
membentak: "Mundur!" Rupanya bentakan tersebut mencengangkan keempat
orang pelindung hukum itu tapi mereka tak berani
membantah, pelan-pelan mereka mengundurkan diri ke
belakang. Sesudah ke empat orang pelindungnya mundur Tui-hong
pocu Si Tiok gi baru lenyap sambil tertawa:
"Ada urusan apa engkau kemari?"
"Mencari kau!" Tui hong pocu Si Tiok gi tertawa paksa kembali
tanyanya: "Bolehkah aku tahu ada urusan apakah mencari aku"."
"Untuk menanyakan kabar tentang berita guruku."
"Kabar berita tentang gurumu Kui jin suseng" Aku mana
tahu kalau dia berada dimana?"
Ong Si liat tertawa dingin, kembali katanya:
"Tapi guruku meninggalkan pesan agar aku da tang ke
benteng Tui-hong po untuk mencarimu!"
"Omong kosong !" bentak Tui-hong dengan paras muka
berubah hebat. "Tidak, sedikitpun tidak omong kosong, guru ku
memang suruh aku datang mencarimu!"
"Kau beranggapan bahwa akulah yang telah mencelakai
gurumu?" "Sebelum duduknya persoalan dapat kuketahui dengan
jelas, tak bisa tidak aku akan mencurigaimu."
Dengan mendongkol Tui hong pocu tertawa tergelakgelak,
katanya: "Kendatipun benteng Tui hong po cuma sebuah
perguruan kecil yang tak ada artinya tapi belum pernah
kami dicemooh atau dihina orang dengan cara seperti ini,
baiklah kalau toh kau tak pandang sebelah matapun
terhadap benteng kami terpaksa harus kuterima petunjuk
ilmu silatmu. Nah, sebut kan dulu namamu!"
"Aku bernama Ong Si liat!"
"Apa Ong Si liat?" teriak Tui-hong pocu dengan perasaan
terperanjat, kau....kau bernama Ong Si liat?"
"Benar !" "Bedebah! Latah, amat kau..." tiba-tiba Tui hong poocu
membentak penuh kemarahan.
"Apa" Kau,... kau bilang apa?"
"Engkau tahu, siapakah Ong Si-liat itu?"
"Siapa?" "Su hay-bong-kek (si latah dari empat samudra)!"
"Siapa siapakah dia?"
"Seorang tokoh sakti dari dunia persilatan!"
"Kecuali dia, apakah aku tak boleh menggunakan nama
Ong Si-liat yang sama?"
Sekalipun anak muda itu berkata demikian, toh timbul
juga perasaan curiga dan tidak habis mengerti dalam hati
kecilnya, sebab kejadian ini memang cukup
mencengangkan hati. Sebaliknya Tui-hong poocu sendiripun dibuat tertegun
oleh pertanyaan balik dari Ong Si-liat.
Tiba-tiba Tui-hong pocu seperti teringat akan sesuatu,
kembali ditatapnya Ong Si-liat lekat-lekat, sementara
pelbagai perubahan menyelimuti wajahnya, perubahan
tersebut meliputi rasa kaget, tercengang, sedih dan ngeri.
Sesaat kemudian, semua perubahan tersebut dapat
dikendalikan, kepada kawanan jago lihay yang berada
dalam ruangan, katanya dengan lantang.
"Saudara-saudara sekalian, terima kasih banyak
kuucapkan atas kesediaan saudara sekalian jauh-jauh
berkunjung kemari untuk ikut menghadiri perayaan lima
belas tahun berdirinya benteng kami, Meja perjamuan telah
disiapkan diruangan timur, silahkan saudara semua masuk
ke ruangan perjamuan..."
Sesudah berhenti, sebentar, ia membentak. "Ji-te?"
"Siap!" seorang kakek berbaju kuning melompat keluar
dari belakang tubuhnya. "Ajaklah kawan-kawan semua menuju ke ruangan
perjamuan!" Demikianlah, dipimpin oleh kakek berbaju kuning itu
berlalulah sekalian jago persilatan itu dari ruangan, sesaat
kemudian ruang tengah yang lebar kembali tercekam dalam
keheningan, ia termenung tidak berbicara, seakan akan
sedang mempertimbangkan suatu masalah yang amat
penting ... Ong Si liat sendiripun masih berdiri ditempas semula dia
ingin tahu permainan setan apakah yang hendak
dipertunjukan Tui hong pocu itu dihadapannya.
Lama, lama sekali tiba tika Tui-hong pocu Si-Tiok-gi
bertanya: "Boleh aku tahu siapa nama ayah ibumu?"
ooooOdwOoooo BAB 4 PERISTIWA BERDARAH 20 TH BERSELANG
"SUHU bilang aku adalah seorang anak yatim piatu"
sahut anak muda itu dingin.
"Kenapa gurumu bisa lenyap tak ada kabar beritanya?"
"Lima tahun berselang ia pergi meninggalkan diriku,
sejak itu tiada kabar beritanya lagi tentang dia, sebelum
pergi ia meninggalkan sepucuk surat kepadaku, katanya jika
lima tahun kemudian ia belum pulang juga, surat itu
diminta untuk dibaca."
"Maka kau membuka surat itu dan ia minta kau datang
mencariku?" sela Tui-hong pocu.
"Benar!" "Peristiwa ini memang bukan suatu peristiwa yang
sederhana!" "Kenapa?" tanya Ong Si liat dengan jantung berdebar
keras. Tui-hong pocu tidak menjawab, ia hanya termenung
dengan kening berkerut kencang.
Sikap semacam ini makin membingungkan Ong Si-liat,
sekali lagi ia bertanya: "Persoalan apakah yang bukan peristiwa sederhana?"
"Tentu saja bukan persoalan yang sederhana" kata Tuihong
pocu dengan suara berat, "sebab Kui-jin suseng justru
adalah pembunuh dari Su-bong kiamkek Ong Si-liat!"
"Aaah..." Ong Si-liat berteriak kaget.
Kejadian ini memang benar-benar suatu peristiwa yang
aneh, suatu kejadian yang membingungkan pikirannya.
Si latah dari empat samudra terbukti mati di tangan Kui
jin suseng, sedang dirinya ternyata mempunyai nama yang
sama dengan si Latah dari empat samudra.
Ditengah keheningan yang mencekam seluruh raungan,
tiba-tiba Tui-hong pocu Si Tiok gi tertawa lebar, katanya.
"Haaahh haaahh... haaahh.... mengerti aku sekarang!
Yaa, mengerti sudah aku sekarang!"
"Persoalan apa yang kau mengerti?"
"Bukankah tahun ini kau berusia delapan belas tahun?"
"Benar, kau... darimana kau bisa tahu?"
Tui hong pocu segera tertawa dingin tiada henti nya.
"Heeehhh heeehhh hesehhh.... tidak salah, tidak salah
lagi, suhu Kui-jin suseng memang pantas suruh kau datang
mencariku, karena ia tak berani memberitahukan suatu
peristiwa pembunuhan yang brutal kepadamu!".
"Peristiwa pembunuhan yang brutal?"
"Siapa yang memberitahukan kepadamu kalau kau
bernama Ong Si-liat?" bentak Tui-hong pocu kemudian.
"Guruku!" "Sekarang tidak bakal salah lagi, nah jawablah
sejujurnya, bukankah ditubuhmu mengembol sebuah Liongbe
(mainan yang berukir naga)?"
"Betul, darimana darimana kau bisa tahu?" teriak Ong Si
liat dengan wajah berubah.
Sekarang, anak muda itu ikut merasa bahwa kejadian
tersebut memang bukan kejadian umum, sebab bukan saja
Tui-hong pocu mengetahui usianya tahun ini, bahkan
diapun tahu kalau ia mengenakan sebuah liong-bei dialas
dada nya. "Pinjamkan Liong-bei tersebut kepadaku, berilah
kesempatan bagiku untuk memahami satu persoalan!"
bentak Tui hong pocu lagi dengan suara dingin.
Tanpa disadari Ong Si liat melepaskan kalung Liong-bei
yang dikenakan di dadanya itu.
Tui hong pocu segera menerima benda tersebut dan
diperiksa dengan teliti, maka tampaklah lapisan atas dari
Liong bei itu, terukir seekor naga terbang yang sedang
mementangkan cakarnya, ukiran itu hidup dan indah.
Tiba-tiba sepasang tangan Tui hong pocu gemetar keras,
bisiknya dengan suara yang bergetar:
"Yaa.... tak salah lagi, inilah benda yang dimiliki In-jin
(tuan penolong)." Ketika mendengar perkataan itu, secara tiba-tiba saja
Ong Si liat merasa seakan-akan mendapat firasat jelek,
seakan-akan suatu peristiwa yang mengerikan segera akan
menimpa dirinya, tapi ia berdiri tak berkutik ia berdiri
membungkam sambil mengawasi gerak-gerik Tui hong
pocu tanpa berkelip. Lama, lama sekali... akhirnya Tui-hong pocu berkata
juga: "Kau bukan seorang anak yang yatim piatu, kau adalah
putra dari Si Latah Su-hay-beng-kek..."
"Apa?" Ketika mendengar pertanyaan tersebut, Ong Si-liat
merasa dadanya seolah-olah dihantam dengan martil berat,
dadanya seketika menjadi sesak dan pandangan matanya
menjadi gelap, nyaris ia jatuh tak sadarkan diri....
Yaa, ucapan dari Tui-hong pocu itu sangat melukai
perasaannya, sangat menggetarkan hatinya, ia merasa
seperti mendapat pukulan batin yang amat berat.
"Kau adalah putranya Si Latah dari empat samudara"
kembali Tui-hong pocu menerangkan, "kau tidak bernama
Ong Si-liat, namamu yang sebenarnya adalah Ong Bunkim,
dan ayahmu telah tewas ditangan gurumu."
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Apa yang ingin kau ketahui sekarang, tidak lain adalah
maksud yang sebenarnya dari Kui-jin suseng
memerintahkan kau kemari, ia suruh kau kesini tak lebih
untuk menerangkan kepadamu asal-usulmu yang
sesungguhnya, Aaaai.. sungguh tak ku sangka kalau Kui-jin
Suseng adalah seorang yang mempunyai maksud yang
mendalam, sengaja ia memberi nama Ong Si liat kepadamu


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar aku segera mengetahui siapa gerangan kau yang
sesungguhnya..." "Beritahu kepadaku, sesungguhnya apa yang telah
terjadi?" pinta Ong Bun kim kemudian.
"Yaa. bagaimanapun juga aku harus memberitahukan
persoalan ini kepadamu, karena sudah delapan belas tahun
peristiwa ini kupendam dalam hatiku, bila In-jin tahu kalau
kau belum mati, sukmanya di alam baka tentu bisa
tersenyum lega" Ia menghela napas sedih, lalu pelan-pelan bercerita:
Untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya, kita
harus bercerita kembali kejadian empat puluh tahun
berselang. Ayahmu Ong Si-liat merupakan putra tunggal dari Ong
Yong-liong, Buncu (ketua) dari perguruan Liong-bun.
Ketika ini perguruan Liong bun (naga) dan Hau kwan
(harimau) merupakan dua perguruan yang paling besar
dalam dunia persilatan. Tapi justru Liong-bun dan Hau-kwan merupakan musuh
bebuyutan yang sudah berlangsung turun temurun, konon
kakekmu Ong Yong-liong tewas ditangan kwancu dari Haukwan,
sedang ayahmu setelah berhasil lolos dari mulut
harimau, jejaknya tak diketahui orang.
Enam-tujuh tahun kemudian, akhirnya ayahmu muncul
kembali dalam dunia persilatan, ilmu silat yang dimilikinya
waktu itu sangat menggetarkan seluruh dunia. Ketika itulah
ayahmu telah menyelamatkan jiwaku dari mara bahaya,
dari dialah baru kuketahui kalau ayahmu hendak mencari
Hau-kwan kwancu untuk membalas dendam.
Tapi kemudian aku dengar Hau kwan kwancu sudah
mati, sedang ayahmu telah jatuh cinta kepada putri Kwancu
tersebut yang bernama Coa Siok-ah...
"Yaa ampun, bukankah peristiwa itu merupakan suatu
tragedi yang amat tragis?" sela Ong Bun-kim.
"Tentu saja, kejadian ini memang merupakan suatu
kejadian yang tragis...." sahut Tui-hong pocu. "semenjak
itulah, ayahmu membawa Coa Siok-oh menghilang dari
keramaian dunia persilatan.."
"Kemana ia telah pergi?"
"Setelah ayahmu menghilang dari keramaian dunia
persilatan, timbul pelbagai penafsiran dalam dunia
persilatan ada orang mengatakan ayahmu telah tewas
ditangan Coa Siok-oh karena Kwancu dari perguruan Haukwan
telah menipuan dengan siasat Bi-jin-ki (siasat
perempuan cantik) kata orang ia telah mempergunakan
tubuh putrinya sebagai siasat kejinya untuk mencelakai jiwa
ayahmu,tapi nyatanya kabar berita itu cuma isapan jempol
belaka." "Kurang lebih dua tahun kemudian, aku telah berjumpa
kembali dengan ayahmu, dia bilang kecuali Coa Si-ih masih
mempunyai seorang istri lagi yang bernama Toan kiam giok
jiu (manusia cantik pedang buntung) Siau Hui-un, mereka
bertiga tinggal dibukit Ku liong-san lembah Lip jin kok
bahkan telah mempunyai seorang putra yang bernama OngBun-kim. "Pada saat itulah tiba-tiba tersiar kabar dalam dunia
persilatan bahwa kitab pusaka dari enam partai besar telah
dicuri oleh Kat-jin suseng (Sastrawan setan harpa).
-oo0dw0oo- Jilid 2 SASTRAWAN setan harpa merupakan seorang tokoh
persilatan yang memecahkan nyali siapapun yang
menjumpainya, bukan saja ilmu silat yang dimilikinya
sangat lihay, terutama Pek-mo ki (irama selaksa iblis) yang
merupakan senjata utamanya, entah sudah berapa banyak
orang yang tewas oleh irama khim mautnya itu.
"Suasana dalam dunia persilatan waktu itu sangat kalut,
jago-jago lihay dari enam partai tersebar dimana-mana
untuk menyelidiki jejak dari Kui jin suseng, tapi sastrawan
setan harpa yang dicari-cari ini ternyata lenyap begitu saja
dari keramaian dunia persilatan."
"Tahun itu, tiba-tiba datang seseoraag yang
menyampaikan kabar bahwa Si Latah dari empat samudera
Ong Si liat terbunuh ditangan Kui jin su seng, diketahui
tewas sewaktu terjadi pertarungan melawan setan harpa
mungkin karena lukanya yang terlampau parah, akhirnya ia
tewas dalam keadaan mengerikan."
Kendatipun demikian, sebuah lengan Kui jin suseng
berhasil pula dikutungi oleh Su-hay bong kek, menanti aku
menyusul ke lembah Lip jit kok, kedua orang bininya sudah
lenyap tak berbekas..."
"Yaa, tidak salah lengan guruku tidak bakal salah lagi...."
"Lantas siapakah yang menyampaikan berita buruk itu
kepadamu?" "Pihak sana hanya mengakui sebagai Ya Pian-kok
ataukah Siau Hui un ?" tanya Ong Bun kim lagi.
"Lantas ibuku sesungguhnya aku juga tak tahu!"
"Ayahmu belum pernah menyinggung tentang soal ini,
kecuali Siau Hui un dan Coa Siok oh sendiri mungkin tak
ada orang ketiga dalam dunia persilatan yang mengetahui
tentang persoalan ini. Sebab ketika ayahmu memberi kabar
kalau dia punya anak aku sudah lupa menanyakan
perempuan manakah yang telah melahirkan kau. Si
Kelawar malam pun sempat memberi kabar, katanya Ong
Bun kim putra Su-hay bong kek telah dibawa telah dibawa
oleh Sastrawan setan harpa."
"Mengapa sastrawan setan harpa membinasakan
ayahku" Kenapa aku tidak sekalian ia bunuh?" pekik Ong
Bun-kim sambil menggertak gigi menahan emosi.
"Disinilah letak keanehan yang membuat orang tidak
habis mengerti, tapi peristiwa aneh justru telab terjadi
setelah Su-hay-bong-kek mati terbunuh."
"Peristiwa aneh apa yang telah terjadi?"
"Ternyata Kwancu dari perguruan Hau-kwan tidak
mati...." "Apa" la belum mati?" Ong Bun kim berpekik nyaring, ia
sunguh dibuat tercengang oleh kenyataan tersebut.
"Yaa, Kwancu dari Hau-kwan tersebut tidak mati
bahkan masih hidup segar bugar dalam dunia ini. Setelah
Su-hay-bong-kek mati, ia muncul kembali di dalam dunia
persilatan, bahkan semenjak itu nama besar Hau-kwan
makin lama semakin tersohor di dunia..."
"Jadi kalau begitu, memang Kwancu dari Hau-kwan
yang telah mencelakai ayahku dengan siasat Bi-jin-ki (siasat
perempuan cantik)?" "Benar, kemungkinan besar memang selalu ada, karena
berbicara menurut ilmu silat yang dimiliki Si Latah dari
empat samudra, bila ia tidak dicelakai lebih dulu secara
diam-diam meninjau dari ilmu silat yang dimiliki Kui jin
suseng tak mungkin ia bisa menandingi kelihayannya si
Latah." "Apakah orang yang mencelakai ayahku lebih dulu
secara diam diam adalah Coa Siok-ih?"
"Kemungkinan besar memang dia?"
"Menurut dugaanmu, siapa yang telah melahirkan aku?"
"Bila ditinjau dari keadaan pada umumnya, bila Coa
Siok oh yang melahirkan kau, tidak mungkin ia akan
mencelakai ayahmu." "Yaa benar! Jadi kalau begitu kemungkinan besar aku
dilahirkan oleh Siau Hui un."
"Jika kita kumpulkan semua data yang ada, kemudian
diambil suatu kesimpulan maka akan ditemukan lagi suatu
kemungkinan lain yakni Kui jin suseng pasti adalah sahabat
atau anggota perguruan dari Hau-kwan, kalau tidak
mustahil ia akan membinasakan ayahmu!"
Ong Bun kim menggertak gigi menahan emosi yang
meluap-luap, hawa napsu membunuh memancar keluar
dari balik matanya ia berkata.
"Aku akan pergi membunuh Hau-kwan kwancu, akan
kutemukan juga jejak dari Kui-jin su-seng."
Kemudian dengan pancaran hawa napsu membunuh
yang menyala-nyala ia menatap wajah Tui-hong poocu
tanpa berkedip, lalu bentaknya.
"Hau kwan berada dimana?"
"Kau hendak mengunjungi perguruan Hau-kwan?" tanya
Tui-hongpocu dengan paras berubah.
"Benar!" "Aku harap kau suka berpikir tiga kali sebelum berbuat,
sebab jago lihay yang barkumpul di dalam Hau-kwan
beribu-ribu orang banyaknya..."
"Kau tak usah menguatirkan tentang persoalan ini, aku
yakin masih mempunyai kemampuan untuk mengatasinya!"
"Baiklah! Kalau engkau berkeyakinan demikian, akupun
tidak akan bersikeras untuk merahasiakan tempat itu cuma
masih ada satu persoalan yang lebih penting hendak kuberi
tahukan dulu kepadamu."
"Persoalan apakah itu?"
"Sejak tujuh-delapan tahun berselang, diatas bukit Soatimsan telah muncul suatu perguruan yang misterius dan
mengerikan hati, banyak jago persilatan yang tewas
ditangan pemimpin perguruan itu, ada orang menduga
orang tersebut adalah salah seorang dari kedua bini
ayahmu..." "Sungguhkah perkataan ini?" bisik Ong Bun-kim lagi
dengan perasaan bergetar ksras.
"Sungguh!" "Aku pasti akan berkunjung ke situ untuk menyelidiki
keadaan yang sesungguhnya, sekarang beritahu kepadaku
Hau-kwan terletak dimana?"
"Di bukit Cing-liong-san (bukit naga hijau)"
"Kalau begitu, aku hendak mohon diri lebih dahulu!"
"Sekarang juga Ong sauhiap hendak berangkat?"
"Benar!" "Benarkah Kiam-hay-Iak-yu mati ditanganmu?"
"Tidak benar!" Sambil berkata ia lantas beranjak dan menuju ke pintu
luar... Kini bukan saja kemurungan dan kesedihan menyelimuti
wajahnya, suatu kekesalan dan rasa bingung memenuhi
pula beban pikirannya. Yaa, kalau dulu ia tidak mengejar apa-apa tapi sekarang
banyak persoalan yang dia kejar yakni menuntut kebenaran
serta pembalasan dendam atas kematian orang tuanya.
Ia harus membalas dendam dia akan mencari Kui jin
Suseng sampai ketemu, dia pun hendak mencari Kwancu
dari Hau-kwan untuk menuntup balas.
Kalau di masa masa dahulu ia masih meragukan
kegunaannya hidup didunia ini, maka sekarang ia mulai
menyadari betapa pentingnya suatu kehidupan baginya.
Ia merasa dirinya harus melakukan suatu perjuangan,
menciptakan suatu usaha besar yang menggetarkan seluruh
dunia seperti apa yang pernah dilakukan ayahnya, apa yang
ingin diperoleh umat manusia dia ingin mendapatkannya
juga termasuk nama besar, kedudukan serta cinta kasih.
Diantara kemurungan dan kesedihan yang menyelimuti
wajahnya kini tampil pula suatu perubahaa yang aneh,
itulah keangkuhan keketusan serta ambisi yang membara.
Ketika tubuhnya sudah keluar dari benteng Tui-hong-po,
tiba-tiba seseorang menegur dari belakang dengan suara
merdu: "Ong sauhiap!" Serta merta Ong Bun-kim menghentikan langkahnya
seraya berpaling, ia saksikan Lan Siok-ling sedang
menghampirinya dengan senyuman menghiasi ujung bibir.
Akan tetapi dikala sorot mata Lan Siok-ling membentur
diatas wajah Ong Bun-kim, tiba-tiba paras mukanya agak
berubah. "Kau kau tidak apa-apa bukan" Tiada sesuatu yang tak
beres?" tegurnya penuh perhatian.
Ong Bun-kim tertawa ewa. "Terima kasih banyak atas perhatian nona, aku tidak
apa-apa, boleh aku tahu ada urusan apa nona menemuiku?"
"Bukankah kau masih berhutang dua bait permainan
khim kepadaku" Aku ingin menuntut janji!"
"Oooh kiranya tentang soal itu, bila kita berjumpa bagi
dikemudian hati, pasti akan kupersembahkan sebuah
permainan lagu yang indah untuk nona"
"Apa salahnya kalau sekarang saja?"
"Sekarang?" "Yaa, benar, sekarang?" Ong Bun kim tertawa getir.
"Sekalipun aku berhutang satu lagu kepada nona"
"Kau keliru" tukas Lan Siok-ling, "bukan cuma satu tapi
dua satu karena kau hutang dan yang lain setelah hadiahmu
kepadaku" Ong Bun-kim amat suka dengan kepolosan serta
kelincahan Lan Siok ling, perkataan itu membuatnya
tertawa lebar. "Baik, baik jangan merecoki aku terus mari berangkat,
kumainkan dua lagu untukmu?"
Ong Bun kim dan Lan Siok-liang melanjutkan perjalanan
keluar dari benteng Tui hong po, tak lama kemudian
mereka sudah tiba disuatu tempat yang sepi,.
"Bagaimana kalau disini saja?" kata Lan Siok-liang
kemudian sambil tertawa. Ong Bun kim tertawa ewa, ia manggut-manggut. Ketika
memandang daun kering yang berguguran dalam hutan,
timbul rasa sedih dalam hati kecilnya. Setelah duduk
bersila, ia meletakkan khim besi itu dalam pangkuannya
Lan Siok liang ikut duduk, diawasinya anak muda itu
dengan sebuah senyuman dikulum....
Ong-Bun-kim mencoba dulu senar khimnya, lalu
memetikkan sebuah lagu sedih yang menyayat hati.
Dentingan tali senar seolah-olah berubah menjadi
linangan air mata kekasih... seperti seorang gadis yang
menangis karena ditinggalkan pergi oleh kekasihnya seperti
pula seorang istri yang ditinggal mati suaminya... irama
yang begitu memedihkan hati membuat orang berduka dan
ingin menangis. Memang lagu ini amat memedihkan hati, dahulu ia
selalu memetikkan lagu tersebut untuk diri sendiri, kini


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekalipun ia mainkan lagu untuk membayar hutangnya
kepada Lan Siok-liang hakekatnya lagu itu dipetik demi
melampiaskan rasa sedih yang menyelimuti hatinya.
Dibalik permainan musik itu tertera semua kesedihan
dan kepedihan yang dialaminya tempo dulu, lagu itu
kedengaran lebih meresap dihati, membuat orang makin
berduka. Belum habis sebuah Iagu dimainkan Lan Siok-liang telah
menutup mukanya sambil menangis tersedu-sedu,
pekiknya. "Jangan kau teruskan... jangan kau teruskan..."
Permainan khim telah berhenti. Suasana pulih kembali
dalam keheningan yang mencekam.
Lan Siok-ling telah dibuat sedih oleh permainan lagu itu,
ia sedang menangis tersedu-sedu.
oooo0OdwO0ooo Bab 5 IRAMA PEMBETOT SUKMA DIBALIK kelopak mata Ong Bun-kim terhias pula
tetesan air mata, ditatapnya Lan Siok ling sekejap dengan
pandangan berkaca-kaca, lalu diambilnya khim besi itu dan
pelan-pelan berlalu dari sana.
Ia tidak berpamitan dengan Lan Siok-ling, sebab ia tak
ingin mendapatkan kasih sayang dan hiburan dari umat
manusia di dunia ini, yang dibutuhkan olehnya sekarang
adalah ketenangan untuk sementara waktu serta kenangan
dimasa lalu. Pelan-pelan ia berjalan ke depan, pergi tanpa tujuan,
tiada pikiran yang melintas dalam benaknya, iapun tak tahu
ke arah mana ia harus pergi.
Malam telah kelam, kesunyian mencekam seluruh
permukaan jagad. Dari balik hutan sebelah sana, lamat-lamat masih
kedengaran suara teriakan dari Lan Siok liang.
"Ong sauhiap.... Ong sauhiap..."
Teriaknya penuh kedukaan mempunyai daya pikat sekali
demi sekali berkumandang masuk ke dalam telinganya,
kesemuanya itu membuat ia makin bergolak, perasaan
sedihnya makin menebal.. Ia tidak menjawab langkahnya masih dilanjutkan
meneruskan jalan setapak menuju ke muka tanpa tujuan.
Tiba tiba suara tertawa dingin yang menyeramkan
menyadarkan Ong Bun kim dari kesedihan ia
mendongakkan kepalanya dengan kaget.
Sesosok bayangan hitam entah sendiri kapan telah
berdiri kurang lebih lima depa dihadapannya.
Tak terkirakan rasa kage Ong Bum kim atas kemunculan
bayangan tersebut, ditunggunya sekian lama tanpa
bersuara, namun bayangan hitam itu belum juga
menggerakkan tubuhnya. "Siapa kau?" akhirnya Ong Bun-kim membentak.
"Kaulah yang memainkan irama laga yang bernada sedih
itu?" tegur orang tadi dengan suara yang dingin
menyeramkan. "Benar!" "Sungguh tak kusangka kalau seni bermain khim yang
kau miliki sudah mencapai taraf yang luar biasa, hal ini
sungguh berada diluar dugaan orang."
"Engkau terlalu memuji!"
"Apakah kau muridnya Kui-jin Su-seng?"
"Betul!" "Waah."...kalau begitu repot.
Berbareng dengan selesainya perkataan si bayangan
hitam itu, tiba-tiba terdengar suara pekikan nyaring
berkumandang memecahkan kesunyian, dengan suatu
gerakan yang amat cepat, beberapa sosok bayangan
meluncur masuk ke dalam gelanggang dan menghadang
jalan pergi si anak muda itu.
Ong Bun-kim menengadah dan memperhatikan
pendatang pendatang itu, ternyata mereka adalah lima
orang pendeta tua. Menyusul kemudian berkelebat kembali bayanganbayangan
manusia, puluhan sosok manusia bermunculan
dari empat penjuru dan segera mengepung Ong Bun-kim.
Mereka terdiri dari golongan paderi, golongan iman serta
golongan preman jumlahnya mencapai tiga puluhan orang
lebih. Kembali Ong Bun-kim memperhatikan orang-orang itu,
jantungnya tiba-tiba berdetak lebih keras, sebab dari
dandanan orang-orang itu dapat di ketahui bahwa mereka
terdiri dari kawanan jago lihay yang tergabung dalam enam
partai besar. Tak pernah disangka olehnya kalau berita tentang
terbunuhnya Kui-jin suseng sedemikian cepat nya sudah
tersiar luas dalam dunia persilatan, itu berati kedatangan
dari orang-orang itu jelas mengandung maksud tak baik.
Sedikitpun tak salah, adapun kedatangan dari kawanan
jngo yang tergabung dalam enam partai besar itu memang
untuk menyelidiki kasus kematian yang menimpa Kiamhaylak-yu, sebab menurut keterangan yang diperoleh,
kematian keempat serangkai itu justru terkena oleh enam
macam ilmu pukulan. Seorang pendeta tua yang rupanya sebagai pemimpin
rombongan dengan sombong memandang Ong Bu-kim
sekejap, lalu setelah maju tiga langkah ke depan dan
memberi hormat katanya. "Selamat berjumpa sicu, ditengah jalan tadi kami dengar
dari Ngo-ou tiau-kek (pengait sakti dari lima telaga) yang
mengatakan bahwa sicu kemungkinan besar adalah ahli
waris dari Kui-jin suseng?"
"Benar!" "Tolong tanya gurumu sekarang berada dimana?"
"Tidak tahu!" Jawaban ini membuat para jago dari enam partai besar
tertegun. Pendeta tua itu kembili berkata dengan dingin.
"Apakah sicu tahu kalau antara gurumu dengan enam
partai bssar mempunyai sedikit persoalan?"
"Aku pernah mendengar tentang soal ini, boleh aku tahu
apa kehendak kalian?"
Seorang imam yang menggembol pedang segera tampil
ke depan katanya dingin: "Puluhan tahun berselang gurumu telah mencuri enam
jilid kitab pusaka dari enam partai persilatan, kau tahu
buku-buku-itu telah disembunyikan dimana?"
"Sayang Kui jin Suseng tak pernah membicarakan
persoalan itu denganku !" sahut Ong Bun-kim dengan hati
berkerut. "Aaah ...... tak mungkin" Masa persoalan yang dilakukan
gurunya tak pernah dikatakan kepada muridnya?"
"Mau percaya boleh, tak mau percaya juga tidak
mengapa, terserah pada kalian sendiri!"
"Anak muda, ketahuilah! Apabila kau tidak mengatakan
dimanakah gurumu berada, hari ini jangan harap bisa
meninggalkan tempat ini dengan begitu saja"
"Hmm... Apa yang hendak kalian lakukan?" ejek Ong
Bun-kim sambil tertawa sinis.
Imam segera tertawa dingin.
"Heeehhh..,. heeehnhh,.., heeehh... Bila kau kami bekuk,
masa gurumu tak akan munculkan diri untuk menolong
jiwamu?" ejeknya. Ong Bun-kim tertawa tergelak, gelak tertawanya begitu
angkuh dan tinggi hati, sama sekali tak dipandang sebelah
matapun orang-orang yang berada dihadapannya... jelas
perbuatan imam tersebut telah membangkitkah hawa napsu
membunuhnya. Senyuman yang semula menghiasi wajahnya, kini lenyap
tak berbekas, sebagai gantinya sambil menyengir sinis
katanya. "Aku anjurkan kepada kalian, janganlah sekali-kali
mencari gara-gara denganku, sebab sampai waktunya aku
bisa berbuat tidak sungkan-sungkan kepada kamu semua.
Hmm, aku tak ingin setelah terjadi sesuatu kalian baru
menegur aku karena kelewat kejam!"
"Bajingan keparat, kau terlalu latah, lihat pedangku?"
bentak imam tersebut penuh kegusaran.
"Criiing...!" cahaya tajam yang menyilaukan mata
memancar ke angkasa, tahu-tahu ia sudah meloloskan
pedangnya dan menyerang Ong Bun kim dengan serangan
kilat. Dahsyat dan tajam ancaman tersebut, ini menunjukkan
kalau imam itu pun merupakan seorang tokoh persilatan
yang berilmu tinggi, Ong Ban-kim tidak gentar, ancaman tersebut masih
belum cukup untuk melukai tubuhnya, hanya sedikit
mengelit ke samping tahu-tahu ancaman tersebut sudah
dihindari. "Hei. tua bangka hidung kerbau, kau sungguh kepingin
mampus?" bentaknya dengan marah.
Bentakan itu bukan saja penuh keramahan bahkan
disertai pula dengan hawa napsu membunuh yang menyalanyala,
kesemuanya itu membuat setiap pendengarnya
merasa bergidik hatinya. Imam yang melakukan serangan itu ikut terkejut paras
mukanya berubah hebat, setelah memandang sekejap wajah
Ong Bun-kim dengan perasaan terkesiap, ia berkata:
"Betul, bila kau tidak mengatakan jelek gurumu serta
memberitahukan dimanakah ke enam jilid kitab pusaka itu
disembunyikan, hari ini kalau bukan kau yang kami tawan,
darah kamilah yang akan berceceran diatas tanah
perbukitan ini!" Paras muka Ong Bun-kim berubah hebat, ia membentak
keras: "Apa yang ingin kukatakan telah kuutarakan, bila kalian
masih ngotot ingin mampus, kenapa tidak maju kemari
untuk mencobanya?" Seraya berkata khim besi itu disiapkan lalu di tatapnya
sekeliling tempat itu dengan pandangan mata yang
mengerikan, hawa napsu membunuh dengan cepat
menyelimuti seluruh gelanggang.
Rupanya imam tadi sudah tak dapat mengendalikan
emosinya lagi, kembali ia menerjang ke muka dengan
garang. Sambil membentak keras, cahaya pedang berkilauan,
dengan suatu ancaman yang cepat menggetarkan hati ia
menusuk dada Ong Bun kim.
Bersama waktunya ketika imam tersebut melancarkan
serangan, bentakan nyaring berkumandang, memecahkan
kesunyian lima sosok bayangan manusia termasuk jago-jago
dari golongan paderi, imam dan preman secara beruntun
melepaskan serangan kilat.
Enam orang jago lihay dari enam perguruan besar
melancarkan serangan dengan kecepatan yang luar biasa,
bisa dibayangkan sampai dimanakah kehebatannya.
Tapi merekapun cukup mengerti, sebagai ahli waris dari
Kui jin Suseng sudah dapat dipastikan Ong Bun-kim
mempunyai dasar kepandaian silat yang cukup tangguh.
Apalagi dalam ganggamannya sekarang masih siap
sebuah Khim besi, mereka harus bekerja sama untuk
membereskan musuhnya secepat mungkin, dengan begitu
Ong Bun-kim tiada kesempatan untuk melancarkan
serangan dengan Irama Selaksa iblisnya.
Enam sosok bayangan manusia berkelebat kesana
kemari, masing-masing melancarkaan sebuah serangan
dengan gencar. Ong Bun-kim tidak mandah diserang dengan begitu saja,
sambil membentak nyaring Ong Bun-kim mengayunkan
tangan kirinya, sementara Khim besi di tangan kanannya
melancarkan pula sebuah serangan dahsyat.
Serangan ini dilaocirkart dengan kecepatan yang luar
biasa, tampak bayangan manusia berputar ke sana kemari
lalu jerit kesakitan menggelegar di-angkasa seorang imam
terkena serangan dan roboh tewas.
Dengan jatuhnya korban, jago-jago lihay dari enam
perguruan lainnya menjadi amat terperanjat.
"Ketahuilah hei manusia-manusia tekebur!" bentak Ong
Bun-kim, bila kalian ngotot untuk melancarkan serangan
terus, yang mampus bukan hanya seorang saja."
Paras muka jago-jago dari enam partai besar berubah
hebat, napsu membunuh berkobar dalam dada mereka
belasan sosok bayangan manusia disertai suara bentakan
yang memekikkan telinga serentak menyerbu ke arah Ong
Bun-kim. Bayangan manusia berlapis-lapis bagaikan jaring labalaba,
bayangan telapak tangan, cahaya pedang membiaskan
sinar tajam yang menyilaukan mata.
Dengan rasa geram Ong Bun-kim membentak:
"Baik, jika kalian memang ingin mampus jangan
salahkan kalau aku akan melakukan pembunuhan secara
besar-besaran!" Bayangan khim, pukulan telapak tangan serentak
memenuhi angkasa. Jerit-jerit kesakitan kembali berkumandang memenuhi
angkasa, puluhan orang jago dari enam partai besar yang
sedang maju menyerang, seketika terdesak mundur sejauh
tujuh delapan langkah oleh pukulan yang tak terwujud dari
anak muda itu. Tiba-tiba. dikala kawanan jago enam perguruan samasama
terpukul ke belakang, tiga kali suara dentingan khim
berkumandang memecahkan kesunyian, ketika dentingan
suara khim tersebut ibaratnya pedang pedang tajam yang
menembusi ulu hati mereka.
Ong Bun kim rupanya sudah dibuat marah, dengan
tangan kiri membopong khim, tangan kanan nya memetik
senar-senar alat musik itu,maka terdengarlah suara irama
musik yang tinggi melengking dan membetot sukma.
Pucat pias paras muka jago jago dari enam partai,
mendadak terdengar seorang diantaranya berteriak:
"Hati-hati itulah irama pembetot nyawa."
Sedikitpun tidak salah, irama musik yang dipetik Ong


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bun-kim waktu itu memang irama pembetot nyawa, salah
satu diantara irama maut yang tercantum dalam Pek-mo-ki
(irama setaksa iblis). Ong Bun-kim sudah tak dapat menahan amarahnya
hawa pembunuh yang menggidikkan hati telah menyelimuti
wajah anak muda itu, sambil menyeringai seram, ia
memetik irama pembetot nyawa itu.
Sekarang tak ada yang bergerak lagi, puluhan orang jago
dari enam partai besar itu telah berdiri sekaku patung,
mereka sedang memusatkan seluruh perhatiannya untuk
mengerahkan tenaga murni irama pembetot nyawa hanya
bisa dilawan dengan kekuatan Iwekang saja.
Irama khim masih mengalun bagaikan sayatan pisau,
sayatan yang membelah hati mereka...
"Aduuh........aduuh."
Jeritan demi jeritan berkumandang memecahkan
kesunyian, sudah ada lima orang yang muntah darah dan
roboh terjengkang ditanah.
Akan tetapi pembotot sukma dari Ong Bun kim masih
berlangsung terus tanpa adanya tanda-tanda berhenti, bila
permainan khimnya sampai dilanjutkan hingga selesai,
sudah dapat dipastikan belasan orang jago dari enam partai
besar itu mungkin akan tewas semui secara mengerikan.
Jeritan-jeritan yang menyayat hati kembali
berkumandang memecahkan kesunyian, ada delapan orang
yang roboh kembali sesudah muntah muntah darah segar.
Pembunuhan brutal yaa, pembunuhan ini memang suatu
pembunuhan yang brutal, untuk melampiaskan semua rasa
dendam dan bencinya, pemuda yang sedang dicekam
perasaan kebencian ini tak segan-segan menciptakan suatu
badai pembunuhan yang kejam.
Tampaknya sebentar lagi semua jago dari enam
perguruan besar akan tewas dalam mengerikan.
Di saat-saat yang amat kritis itulah, tiba-tiba
berkumandang suara tiupan seruling yang merdu merayu
bagaikan irama dewa. Begitu irama seruling tadi berkumandang, seketika itu
juga daya pengaruh dari Khim pembetot sukma lenyap tak
berbekas. Kawanan jago dari enam partai besar yang sedang
mengerahkan tenaga dalam untuk melakukan perlawanan
itu segera terbebas dari tekanan, bagaikan memperoleh
pengampunan, mereka menghembuskan napas lega.
Dengan demikian, Ong Bun-kim menghentikan pula
permainan Khim mautnya. Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa serta tiba-tiba
ia menerjang ke arah mana berasalnya irama seruling tadi.
Tapi sebelum anak muda itu sempat berlalu dari situ,
sesosok bayangan manusia telah menerjang lebih dulu ke
hadapan Ong Bun-kim. Terpaksa pemuda Ong menarik kembali gerakan
tubuhnya sambil menyurut mundur, seorang kakek kurus
yang bertubuh pendek tahu-tahu sudah muncul di hadapan
dengan wajah menyeringai seram.
"Kembalikan nyawa kakakku..." demikian ia
membentak. Berbareng dengan suara bentakan itu, dia melepaskan
sebuah pukulan dahsyat ke dada Ong Bun-kim.
Sungguh cepat serangan yang dilancarkan kakek kurus
pendek itu, dalam keadaan tidak bersiap siaga nyaris Ong
Bun kim tersapu oleh pukulan tersebut.
Sesungguhnya Ong Bun-kim sedang marah dan
mendendam lantaran permainan irama Khimnya di kacau
oleh irama seruling orang, dan kini kakek pendek tersebut
menyergapnya secara gencar tanpa mengucapkah sepatah
katapun, keadaan ini ibarat nya minyak bertemu api,
kontan saja semakin membangkitkan.kemarahan di hatinya.
"Bangsat! Mau apa kau?" hardiknya dengan napsu
membunuh meluap. "Mau apa" Bajingan cilik... tentu saja menggorok
lehermu." "Kenapa?" "Yang-ciang (pukulan hawa pinas) salah seorang
diantara Kiam hay lak yu yang kau bunuh adalah kakakku,
sekarang serahkan nyawa anjingmu." Sambil membentak ia
menerjang lagi ke depan segulung angin pukulan yang amat
dingin cepat menerpa ke depan.
"Cari mampus." teriak Ong Bun-kim semakin marah.
Telapak tangan kanannya segera diayun melepaskan sebuah
pukulan maut. Dengan cepat ancaman diri Im-ciang (pukulan hawa
dingin) terbendung, tapi sebelum anak muda itu sempat
berbuat sesuatu, bentakan dingin tiba-tiba berkumandang
lagi dari empat penjuru, menyusul kemudian puluhan titik
cahaya berkilauan mengancam tubuh Ong Bun kim dari
mana-mana. Serangan dahsyat dari taburan senjata rahasia itu
membuat Ong Bun kim hampir saja tak dapat
menghindarkan diri, cepat dia menyurut mundur ke
belakang. Tapi pada saat itulah kembali ada puluhan titik cahaya
tajam yang menerjang tiba dari mana-mana. Karena terlalu
gegabah menghadapi ancaman lawan untuk kesekian
kalinya Ong Bun-kim terdesak lagi sejauh tujuh delapan
langkah ke belakang Tiba-tiba suara hentakan nyaring menggelegar di udara,
menyusul kemudian sesosok bayangan hitam menerjang
kearan Im ciang. Dengusan tertahan berkumandang diudara, menyusul
tubuh si pukulan hawa dingin roboh terjengkang ketanah.
Semua adegan yang berlangsung dihadapannya ini
segera membuat Ong Bun kim tertegun.
Ia mencoba untuk memperhatikan sekeliling tempat itu,
maka tampaklah bayangan itu sudah berdiri tiga kaki
dihadapannya orang itu adalah seorang manusia
berkerudung hitam, dalam genggamannya menenteng
seseorang dia adalah Im ciang.
Betapa cepatnya gerakan tubuh orang itu bisa terlihat
dari semua tindakan yang ia lakukan, Ong-Bun-kim
menjadi amat terperanjat.
Sementara itu, si bayangan berkerundung mengempit
tubuh Im-ciang dengan tangan tangan kirinya, sedang
tangan kanannya digunakan untuk menepuk bebas jalan
darah ditubuhnya. Pelan-pelan si pukulan hawa dingin siuman kembali dari
pingsannya. Manusia berkerudung hitam itu tertawa dingin, lalubentaknya:
"Pukulan hawa panas dari Kiam-hay-lak-yu apakah
merupakan kakakmu...?"
"Benar, tapi si... siapa kau?"
"Kau tidak berhak untuk mengetahui siapakah aku, tapi
yang jelas mata uang kematian yang dimiliki kakakmu tidak
dibawa serta ke bukit Jin-gwat-hong, apakah
disembunyikan di tempatmu?"
Ketika Ong Bun-kim mendengar ucapan tersebut,
jantungnya berdetak lebih keras, napsu membunuh pun
seketika menyelimuti seluruh wajahnya..
Kalau didengar dari pembicaraan yang berlangsung, bisa
disimpulkan bahwa manusia berkrudung itu adalah
pembunuh sesungguhnya yang telah membinasakan Kiamhaylak-yu, tak heran kalau napsu membunuh seketika
menyelimuti wajah pemuda itu.
"Mau apa kau?" kedengaran si pukulan berhawa dingin
bertanya dengan suara dingin.
"Aku menghendaki mata uang kematian itu!"
"Jangan bermimpi disiang hari bolong!"
"Oooh jadi kau ingin mampus?"
"Kalau benar kenapa kau tidak cepat turun tangan?"
Manusia berbaju hitam itu tertawa dingin, suara
tertawanya mengerikan sekali, tiba-tiba tangan kanannya
melancarkan suatu sodokan kedepan dan tahu-tahu jalan
darahnya sudah tertotok. Termakan oleh totokan tersebut, orang itu terlongo
kesakitan, mukanya mengejang keras, otot-otot hijaunya
pada moncol keluar keadaannya sungguh amat tersiksa.
Ong Bum-kim selama ini hanya berdiri tak berkutik
ditempat, rupanya ia sedang menikmati cara si manusia
berkerudung menyiksa musuhnya...
"Mau menjawab tidak?" ejek manusia berkerudung itu
dengan suara dingin. "Aku... aku..."
"Jika kau tak mau berbicara lagi, jangan salahkan kalau
sebelum ajalmu tiba akan mengalami suatu penyiksaan
yang luar biasa hebatnya..."
"Baik... baik aku berbicara!"
Manusia berkerudung hitam itu tertawa bangga ia
membebaskan orang itu dari pengaruh totokan. lalu
bentaknya: "Cepat jawab! Kau simpan dimana benda tersebut?"
Si pukulan berhawa dingin menarik napas berulang kali
untuk melegakan dadanya, setelah itu baru merogoh
sakunya dan nengeluarkan sebuah mata uang yang perak
seperti apa yang pernah di peroleh Ong Bun kim.
Manusia berkerundung hitam tertawa dingin, setelah
mendapat mata uang kematian itu katanya:
"Kau sangat jujur, baiklah! Kuampuni selembar jiwamu!"
Tubuh si pukulan berhawa dingin dilemparkan ke muka
dan..."Bruuk! sambil muntah darah segera ia terbanting ke
tanah, mungkin lantaran isi perutnya mengalami
kegoncangan, orang tersebut jatuh tidak sadarkan diri
Manusia berkerudung hitam itu tertawa seram tanpa
menggubris lagi keadaan musuhnya dia melompat pergi
dari situ. "Berhenti!" Ong Bun-kim segera membentaknya.
Dengan suatu gerakan kilat ia melompat kemuka dan
menerjang kehadapan manusia berkerudung hitam itu.
Karena bentakan tadi, serta merta manusia berkerudung
itu menghentikan gerakan tubuhnya, saat itulah dengan
suatu lompatan kilat Ong Bun-kim telah menghadang jalan
perginya. "Mau apa kau?" tegur manusia berkerudung itu sambil
tertawa dingin. "Mau apa" Heee heeehhh heeehh... aku ingin
mengajukan satu pertanyaan kepadamu!" kata Ong Bunkim
sambil tertawa dingin tiada hentinya.
"Kalau ingin berkentut. kenapa tidak cepat kau lepaskan
bau busukmu itu ?" "Aku pikir Kiam hay-lak-yu yang ditemukan tewas diatas
puncak Jit-gwat-hong tentu telah mati ditanganmu bukan?"
"Ada apa?" "Jika benar demikian, maka ada sesuatu bagian dari
perbuatan saudara yang membuat seorang tak senang!"
-oooOdwOooo- BAB 6 SILUMAN BUNGA PENGHISAP DARAH
"MEMBUAT orang tidak senang?" tanya orang itu
keheranan. "Yaa, bila kau bunuh orang mustinya
cantumkan dulu namamu, jadi perhitungannya tidak
sampai ditagihkan kepada orang lain. Coba bayangkan,
kalau sampai terjadi begini orang akan bersenang hati
tidak?" "Apakah orang-orang pada mencarimu?"
"Tentu saja, bahkan ada satu persoalan hendak
kusampaikan padamu..."
Sesudah berhenti sebentar, ia bertanya lagi: "Apakah kau
pandai juga menggunakan ilmu pukulan dari enam partai
besar?" "Kalau benar kenapa?"
"Sebetulnya siapa kau?"
"Aku rasa tak ada kepentingan untuk memberitahukan
hal ini kepadamu." Paras muka Ong Bun kim masih tetap tenang bahkan
sekulum senyuman masih mengatasi ujung bibir nya,
siapapun tidak akan tahu kalau hawa pembunuhan telah
berkobar dalam dadanya. Kembali pemuda itu tertawa, katanya.
"Saudara, kenapa kau tak berani menyebutkan
namamu?" "Sebab apa aku harus mengatakannya kepadamu?"
"Lepaskan kain kerudungmu itu, akan kulihat siapa
gerangan manusia pengecut macam kau !"
"Hmm... kau masih belum pantas untuk
mengetahuinya!" "Lantas siapa yang pantas?".
"Tidak tentu...."
Ong Bun kim tertawa seram, kembali katanya.
"Jadi kedatangamu untuk mendapatkan mata uang
kematian tersebut...?"
"Tepat sekali !"
"Akupun mempunyai sebuah."
"Apa?" mungkin lantaran kaget, manusia berkerudung
hitam itu menjerit tertahan.
Kembali Ong Bun-kim tertawa hambar. "Kenapa" Kau
tidak percaya?" "Dimana kau simpan benda tersebut?" Ong Bun-kim
segera merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan mata
uang kematian, sambil di letakkan pada telapak tandannya
ia berkata. "Benda ini bukan yang kaucari?" Sorot mata manusia
berkerudung yang tajam itu menatap mata uang kematian
dalam telapak tangan Ong Bun-kim tanpa berkedip,
kemudian tertawa seram. "Heeehhh... heeehhh.... heeehhh.,.. betul, mata uang
kematian yang berada di tanganmu memang benda yang
asli!" "Tentu saja asli, memangnya aku sengaja membohongi
kau"." "Bawa kemari!" bentak manusia berkerudung hitam itu
dengan suara sedingin es.
"Kau menginginkannya?"


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar, hayo bawa kemari!"
"Seperti yang kau lihat, benda ini berada dalam telapak
tanganku, kenapa tidak kau ambil sendiri?"
"Baik..." Diiringi bentakan tersebut manusia berkerudung biiam
itu menerjang ke hadapan Ong Bun-kim dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat, tangannya langsung menyambar
mata uang tadi. Cengkeraman yang dilancarkan manusia berkerudung
hitam itu terhitung cepat sekali bagaikan sambaran kilat,
dimana ujung jarinya berkelebat lewat ia sudah mencoba
mata uang tersebut. Disaat ujung jari manusia berkerudung hitam itu hampir
menempel diujung mata uang tersebut tiba-tiba Ong Bunkim
membentak nyaring, khim besi yang telah disiapkan
ditangan kirinya langsung menyodok ke muka.
Kedua belah pihak sama-sama melancarkan serangan
dengan kecepatan yang luar biasa.
Bayangan manusia kembali berkelebat, dari serangan
manusia berkerubung hitam itu merubahnya menjadi
serangan membacok, kendatipun ancaman dari Ong Bunkim
dihindari, tak urung peluh dingin membasahi juga
tubuhnya lantaran kaget. Ong Bun-kim tak kalah kegetnya oleh keadaan tersebut.
Selisih jarak antara kedua belah pihak amat pendek,
biasanya bila ia serang musuh dengan jurus Hong-kian-jianim
(gulungan angin membuyarkan sisa awan), pukulan
tersebut pasti akan bersarang telak.
Tapi kenyataannya musuh dapat menghindarkan diri, ini
menunjukkan kalau ilmu silat yang dimiliki lawan tidak
berada dibawah kepandaian sendiri.
Manusia berkerudung itu menengadah dan tertawa
seram, katanya: "Bocah keparat, hampir saja aku tertipu oleh siasatmu!"
"Betul !" kata Ong Bun-kim pula sambil tertawa panjang,
"seandainya kau tak dapat menghindarkan diri dari
seranganku ini, nyaris nyawamu lenyap oleh khim bajaku."
"Untung aku cukup cekatan dan pandai menghindarkan
diri dengan seranganmu, kalau tidak bukankah aku bakal
celaka?" "Betul, kalau engkau pandai mempergunakan ilmu
pukulan dari enam partai besar, sudah tentu kenal dengan
guruku bukan?" "Betul..." "Sekarang dia berada dimana?"
"Darimana aku tahu?"
"Kau segan mengatakannya?"
"Tidak sulit kalau kau ingin mengetahui dimanakah ia
berada, cuma ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" tanya Ong Bun-kim dengan perasaan
hati bergetar keras. "Serahkan mata uang kematian itu kepadaku!"
Paras muka Ong Bun-kim berubah hebat, untuk sesaat ia
menjadi tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Seandainya syarat lain yang diajukan, mungkin ia akan
menyutujuinya dengan segera tapi hanya soal ini tak bisa
dia penuhi. Terpaksa dari apa kegunaan mata uang kematian
tersebut benda itu merupakan benda yang diberikan Lui-tin
jiu menjelang kematiannya, tentu saja ia tak dapat
menyerahkannya kembali kepada orang lain.
"Bagaimana" Merasa keberatan?" ejek manusia
berkerudung hitam itu sambil tertawa dingin.
Ong Bun-kim mengerutkan dahinya, lalu menjawab
dengan ketus: "Benar, aku tak bisa memenuhi keinginanmu itu, tapi
kaupun harus tahu bila tidak kau katakan dimanakah ia
berada, maka jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini!"
Manusia berkerudung hitam itu tak mau kalah dengan
cepat ia berkata pula: "Bila kaupun tidak menyerahkan mata uang kematian
kepadaku, jangan harap bisa tinggalkan pula tempat ini
dengan selamat!" "Kalau begitu, rupanya kita harus berkelahi dulu untuk
menentukan siapa lebih unggul dari kita?"
"Memang begitu seharusnya!"
"Kenapa tidak dicoba sekarang juga?"
Ong Bun-kim masukkan "mata uang kematian" itu
kedalam sakunya, lalu memegang khim baja tersebut
dengan tangan kanannya, sinar pembunuhan ymg
menggidikkan hati memancar keluar dari balik matanya,
selangkah demi selangkah ia maju mendekati musuhnya.
Manusia berkerudung hitam itu ikut maju pula ke depan.
Suasana menjadi tegang, setiap saat pertarungan dapat
berkobar... Ditengah keheningan, tiba-tiba manusia berkerudung itu
berteriak keras, bagaikan sosok sukma gentayangan ia
menerjang maju ke depan dan menghantam batok kepala
Ong Bun-kim dengan gaya bukit tay-san menindih kepala.
Bukan saja serangan itu dilakukan amat cepat, tenaga
pukulan yang disertakan pun amat berat.
Ong Bun-kim berkelit kesamping, begitu terhindar dari
serangan maut manusia berkerudung itu, Khim bajanya
seperti sambaran kilat menyerang kemuka dengan jurus
Liok-hoa-tiu-su (bunga berguguran air mengalir)...
Kedua belah pihak sama-sama melancarkan serangan
dengan kecepatan tinggi, bayangan manusia saling
menyambar dan masing-masing pihak sudah melepaskan
tiga buah serangan berantai.
Walaupun hanya tiga jurus yang singkat, namun sudah
cukup bagi kedua belah pihak untuk menilai sampai
dimanakah taraf kepandaian yang dimiliki musuhnya,
mereka sadar bahwa kekuatan mereka seimbang, berarti
bukan pekerjaan yang gampang bagi mereka untuk
merobohkan lawannya. Tiba-tiba Ong Bum-kim membentak keras, dengan
menggunakan tangan kirinya ia melancarkan sebuah
serangan memakai jurus Sin-liong kian-jiao (naga sakti
unjuk cakar). Manusia berkerudung hitam itu memutar tangan
kanannya satu lingkaran, lolos dari serobotan Ong Bua-kim,
ia mencoba untuk melakukan balasan tapi dalam sekejap
itulah Ong Bun-kim telah menyapu tubuh lawan dengan
senjata kim bajanya. Manusia berkerudung hitam itu jadi gugup, dalam
keadaan yang terdesak, ia tangkis ancaman itu dengan
tangan kirinya. "Cari mampus." bentak Ong Bun-kim.
Tenaga serangannya tiga kali lipat diperhebat dan
pukulan itu bersarang telak diatas lengan kiri nya.
"Traaak." diiringi benturan nyaring, manusia
berkerudung hitam itu tergetar mundur sejauh tujuh
delapan langkah dengan sempoyongan
Ong Bun-kim menengadah dan memperhatikan keadaan
lawannya, tapi dengan perasaan kaget ia segera menjerit.
Menurut perkiraannya semula, sampai dimana pun
sempurnanya tenaga dalam yaag dimilikinya lawan, setelah
termakan oleh pukulan tersebut niscaya akan kutung, siapa
tahu kenyataannya lengan itu masih utuh dan sehat seperti
sedia kala. Tidaklah heran kalau kejadian itu membuat Ong Bun
kim merasa amat terperanjat.
Manusia berkerudung hitam itu tertawa hambar katanya.
"Bocah keparat, kau memang tidak malu menjadi ahli
warisnya Kui-jin-su seng tapi menurut pendapatku, rupanya
ilmu silatmu sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi
dari Kui-jin suseng sendiri....
"Engkau terlampau memuji!"
"Eeeh bocah muda, bagaimana kalau kau sambut
kembali sebuah seranganku ini?"
Sambil membentak nyaring sekali lagi manusia
berkerudung hitam itu menerjang ke depan, telapak tangan
kanannya diayunkan kemuka melepaskan sebuah pukulan
dahsyat. "Kurangajar!" pemuda itu berpekik nyaring, "sebelum
salah seorang diantara kita mampus, hari ini kita tak boleh
berhenti!" Dengan mempergunakan senjata khim bajanya ia
melepaskan juga sebuah serangan yang gencar.
"Tahan!" tiba tiba bentakan keras berkumandang dari
luar gelanggang, bentakan tersebut nyaring dan penuh
kekuatan. Menyusul suara bentakan itu muncul beberapa sosok
bayangan manusia dari empat penjuru.
Karena kehadiran manusia-manusia yang tak di-undang
itu, terpaksa manusia berkerudung itu mau pun Ong Bunkim
menarik kembali serangannya dan mengundurkan diri
ke belakang. Sorot mata mereka sama-sama dialihkan ke arah mana
berasalnya suara bentakan tadi, tampak seorang perempuan
gemuk berbaju metab menyala diiringi empat orang gadis
berbaju merah pula muncul ditepi gelanggang...
Dengan senyuman dikulum perempuan gemuk berbaju
merah itu menyapu sekejap sekeliling gelanggang, lalu sinar
matanya berhenti diatas wajah Ong Bun-kim.
"Heeeh heeeh.... hehh. Jadi kau yang menjadi ahli
warisnya Kui-jin Suseng?" ia menegur sambil tertawa
dingin. "Kalau benar kenapa?"
"Kau pernah berkunjung ke bukit Jit-gwat-hong?"
"Benar!" "Apa yang kau temukan diatas puncak Jin-gwat-hong
tersebut?" "Mayat dari Kiam-hay lak-yu!"
"Dan kau pula orang yang telah membinasakan Samjie
hekhou (rase hitam berlengan tiga)?" perempuan itu kembali
bertanya. Mendengar nama -orang itu Ong Bun-kim merasakan
hatinya bergetar keras, karena nama "Sam-Jinhek-hou" baru
pertama kali di dengarnya, meski demikian nama orang itu
amat menggetarkan perasannya, sebab sebelum ajalnya Luitian
jiu telah mengatakan bahwa pembunuh mereka adalah
seseorang yang menggunakan huruf, Sam" sebagai
permukaan namanya. Maka ia tertawa dingin, dengan sengaja tak sengaja
diliriknya manusia berkerudung itu sekejap, lalu ejeknya:
"Sam-jiu-hek-hou?"
"Benar!" Sepasang alis mata Ong Bun-kim berkerut kencang,
suatu perubahan mimik wajah yang sukar di lukiskan
dengan kata kata melintas diatas wajah nya, setelah
termenung sebentar dengan kecerdasan serta
kemampuannya, ia dapat menduga perempuan macam
apakah manusia yang bernama Sam-jiu-hek-hou tersebut.
Ia tersenyum lebar, kemudian tanyanya: "Kau
maksudkan perempuan berbaju hitam yang membinasakan
Kiam-hay-lak yu itu"
"Benar! Memang dialah yang kumaksudkan, itu berarti
kau benar-benar telah berjumpa dengannya, apakah ia
sudah tewas ditanganmu?"
Setelah Ong Bun-kim berhasil membuktikan persoalan
ini dia mulai merasa bingung oleh masalah lain, tak bisa
disangsikan lagi kalau Kiam hay-lak yu memang tewas
ditangan Sam jiu-hek hou, tapi siapa pula yang telah
membinasakan Rase hitam berlengan tiga itu"
Siapa pula manusia berkerudung hitam yang
sesungguhnya" Pelbagai tanda tanya dan kecurigaan menyelimuti
seluruh benak Ong Bun-kim, hingga kini jangankan
memahaminya, untuk mengetahui apa gerangan yaag telah
terjadipun ia tak bisa. Kendatipun demikian, anak muda itu tertawa seram juga
dengan suara yang amat sinis..
"Kenapa kau menuduh aku yang telah
membinasakannya?" "Yaa, sebab kau ingin mendapatkan mata uang kematian
tersebut?" Ong Bun-kim tertawa lebar, pelan-pelan sinar matanya
dialihkan ke wajah manusia berkerudung Hitam itu.
sekarang ia dapat menduga bahwa Sam jiu-hek-hou
kemungkinan besar telah tewas ditangan manusia
berkerudung hitam yang berada di hadapannya sekarang.
Maka ia tertawa lebar, katanya.
"Sayang seribu kali Sayang tuduhanmu itu tak beralasan,
sebab aku tak pernah membinasakan Sam jiu-hek-hou
tersebut!" "Lantas ia telah binasa ditangan siapa?"
"Aku tak berani menuduh seenaknya sendiri, karena aku
tidak menyaksikan peristiwa pembunuhan itu dengan mata
kepala sendiri" "Bukankah engkau mempunyai mata uang kematian?"
"Betul! Dan memang begitu kenyataannya"
"Kalau begitu, cepat serahkan kepadaku!"
Sambil membentak perempuan gemuk berbaju merah itu
memburu ke depan dan langsung menerjang ke arab si anak
muda itu dengan hawa napsu membunuh menyelimuti
wajahnya dan sorot mata seperti salju, ditatapnya wajah
Ong Bun-kim tanpa berkedip
"Bila aku keberatan untuk menyerahkannya kepadanya?"
ejek Ong Bun-kim sambil tertawa sinis.
"Keberatan untuk menyerahkannya kepadaku"
Hmm kalau engkau berani berbuat demikian, darah dari
tubuhmu akan segera berceceran dihadapanmu!"
Manusia berkerudung hitam yang selama ini hanya
membungkam terus, tiba-tiba tertawa dingin lalu katanya:
"Bukankah kau adalah Sip hiat-yau-hoa (Siluman bunga
penghisap darah), anak buah dari Sin-li kokcu?"
Mendengar disebutkannya nama itu, paras muka
perempuan gemuk berbaju merah itu berubah hebat.
"Benar, akulah orang yang kau maksudkan, siapa kau?"


Setan Harpa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegurnya. "Siapakah aku lebih baik tak usah kau tanyakan, yang
perlu kau ketahui adalah akupun mempunyai sebiji mata
uang kematian" "Apa" Kaupun memiliki satu biji mata uang kematian"
Hal ini mana mungkin terjadi!"
"Mau percaya atau tidak terserah kepadamu, pokoknya
aku memang memiliki juga sebiji mata uang kematian!"
Kontan saja Siluman bunga penghisap darah tertawa
dingin. "Bagus sekali, jikalau kaupun memeliki sebiji mata uang
kematian, maka sebelum kau serahkan pula kepadaku hari
ini, jangan harap bisa tinggal kan tempat ini dalam keadaan
selamat" "Kalau memang begitu, apa salahnya kalau kita saling
mencoba sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang
kau miliki?" Siluman bunga penghisap darah tidak banyak berbicara,
ketika manusia berkerudung hitam itu menyelesaikan katakatanya,
dengan sekali lompat tahu-tahu perempuan gemuk
itu sudah berada dihadapan musuhnya.
Jangan dilihat badannya yang segede gentong, ternyata
kelincahan tubuhnya tidak kalah dengan perawan.
"Siapakah diantara kalian berdua yang hendak maju
lebih dahulu." bentaknya.
Manusia berkerudung hitam itu tertawa dingin, baru saja
dia akan menjawab, Ong Bun-kim telah keburu tertawa
dingin. "Aku!" jawabnya singkat.
"Bagus sekali, kalau memang begitu cobalah dahulu
sebuah pukulanku ini !"
Ditengah bentakan keras, secepat kilat tubuhnya
menerjang ke hadapan Ong Bun-kim, lalu dengan suatu
gerakan yang aneh dia hantam wajah anak muda itu.
Sungguh cepat dan dahsyat serangan yang dilepaskan
oleh Siluman bunga penghisap darah.
Ong Bun-kim sama sekali tidak gentar, sambil tertawa
dingin telapak tangan kirinya diayun pula ke depan
melepaskan sebuah serangan balasan yang tak kalah
hebatnya. Kedua belah pihak sama-sama melancarkan serangan
dengan kecepatan paling tinggi, baru saja serangan dari Ong
Bun-kim dilancarkan. Siluman bunga pengisap darah telah
merubah gerakan serangannya, dari suatu serangan
membacok tiba-tiba ia menyodok jalan darah Ciang tay-hiat
ditubuh lawan. Ketepatan dalam serangan, kedahsyatan dalam
penggunaan tenaga sungguh membuat orang merasa
kagum. Ong Bun-kim tak sudi menunjukkan kelemahannya
dihadapan orang, sambil membentak keras khim besi
ditangannya diayunkan pula ke depan langsung menyambar
dada Siluman bunga pengisap darah.
Agak terperanjat perempuan gemuk berbaju merah itu
menghadapi serangan kilat lawan, tanpa sadar dia
menyurut mundur tiga langkah.
Tapi Ong Bun-kim tak mau memberi kesempatan bagi
musuhnya untuk berganti napas, menggunakan kesempatan
tersebut, sekali lagi dia melancarkan tiga buah serangan
berantai. Kali ini, si anak muda menyerang dengan gerakan yang
lebih garang, lebih keji dan telengas.
Siluman bunga pengisap darah membentak nyaring
dengan gaya beradu jiwa ia menerjang kemuka.
Ong Bun-kim membentak pula keras-keras, dengan khim
bajanya ia melancarkan sebuah serangan balasan.
Dalam waktu singkat lima jurus sudah lewat tanpa
terasa. Mendadak Ong Bun-kim membentak keras:
"Roboh kau !" "Blaaang !" sebuah pukulan dengan khim bajanya
bersarang telak ditubuh perempuan gemuk berbaju merah
itu, tak ampun ia mencelat ke belakang dan roboh terkapar
darah kental muncrat keluar membasahi sekeliling bibirnya.
Apa yang terjadi sekarang hanya berlangsung dalam
sekejap mata, tak sampai sepuluh gerakan Ong Bun-kim
telah berhasil melukai siluman bunga penghisap darah yang
lihay ini menunjukkan bahwa ilmu silat yang dimilikinya
benar-benar sudah mencapai taraf yang amat tinggi.
Disaat Siluman bunga penghisap darah roboh terkapar
sambil membentak Ong Bun-kim menerjang ke muka tapi
empat orang gadis berbaju meraa yang berada dibelakang
serentak membentak, lalu sambil menerjang ke depan
mereka hadang jalan pergi anak muda itu.
0000OdwO0000 BAB 7 KELELAWAR MALAM "CARI mampus." bentak Ong Bun kim marah.
Sambil membentak keras, serentak kedua belah
tangannya diayunkan untuk melancarkan serangan tangan
kiri menyerang dengan menggunakan senjata khim baja.
Manusia berkerudung yang misterius tadi hanya berdiri
disamping gelanggang sambil berpeluk tangan, ia tidak
bergerak ataupun mengucapkan sesua tu seakan-akan ia
kelewat senang menikmati cara Ong Bun kim membunuh
orang secara keji. . Betul juga, jerit kesakitan menyayatkan hati seketika
Kisah Sepasang Rajawali 9 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Pertarungan Dikota Chang An 1

Cari Blog Ini