Ceritasilat Novel Online

Si Rase Kumala 7

Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong Bagian 7


becus, namun ingin juga mencobanya. Wanpwe suka
menerima syarat yang kedua itu."
Melihat sikap meremehkan dari anak muda itu, Ko-shiasiancu
terkesiap dan suruh dia menimbang lagi masak-masak.
Masih Siau Ih tertawa getir, sahutnya dengan tegas:
"Dengan mengesampingkan soal mati-hidup, barulah wanpwe
berani berkunjung kemari. Jadi apa yang wanpwe pilih tadi,
sudah terpikir masak-masak. Hanya wanpwe mohon, sukalah
cianpwe mengampuni jiwa adik Yan. Sekalipun tubuh wanpwe
nanti mati tercincang, wanpwe takkan penasaran lagi."
"Baik, kalau memang niatmu sudah tetap, akupun tak mau
banyak omong lagi," kata Ko-shia-siancu, lalu memanggil
salah seorang dari rombongan delapan gadis kiu-hong.
Begitu gadis itu datang menghadap, Ko-shia-siancu
memberi perintah supaya membawa Hui-yan kekamar tahanan
Hui-lo lebih dahulu, baru kelak akan diputuskan hukumannya.
Nona itu mengiakan dan Ko-shia-siancu memesannya supaya
ia lekas-lekas datang kembali ke ruangan itu.
Begitu gadis itu menghampiri, Hui-yan sudah cepat
berbangkit. Dengan air mata bercucuran, kembali dia
memohon kepada suhunya: "Suhu, tecu rela menerima
hukuman perguruan. Hanya saja sekali lagi tecu mohon suhu
suka bermurah hati kepada giheng Siau Ih."
Ko-shia-siancu bersikap dingin saja atas permintaan
muridnya itu. Hui-yan menjadi putus asa, dengan air mata
bercucuran dia memandang sejenak ke arah Siau Ih.
Kemudian dengan menahan isak tangis, ia segera berjalan
masuk ke pintu samping. Leng-ji cepat-cepat mengikutinya.
Menampak pemandangan yang memilukan itu, semangat
Siau Ih menyala-nyala. Biar bagaimana ia hendak tumplak
seluruh kepandaiannya untuk menghadapi ujian malam itu.
Tak berapa lama, Leng-ji muncul pula. Ko-shia-siancu
menatap tajam-tajam ke arah Siau Ih, kemudian memberi
isyarat dengan tepukan pelahan. Rombongan gadis pemusik
yang ternyata menjadi murid angkatan ketiga dari Peh-hoakiong,
segera bubar masuk ke dalam pintu samping.
Sementara ke delapan dara kiu-hong yang termasuk murid
angkatan kedua, dengan dipimpin oleh Leng-ji segera melolos
pedang dan mengatur diri dalam formasi barisan. Segala
sesuatu berlangsung dengan rapi dan cepat.
Melihat itu, Siau Ih tersenyum, ujarnya: "Sesuai dengan
namanya, kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin seharusnya dilakukan oleh
sembilan orang, mengapa kini hanya delapan orang. Adakah
cianpwe memang tak ber?sungguh-sungguh hendak memberi
ajaran pada wanpwe?"
Ko-shia-siancu mendengus dengan wajah murka, serunya:
"Aku bertiga saudara, tak sudi bertempur dengan kaum hopwe
(angkatan muda). Itu berarti kemurahan besar bagimu.
Apakah kau masih kurang puas?"
"Wanpwe tak berani kurang hormat dan menghaturkan
terima kasih," sahut Siau Ih. Kemudian sebat sekali dia sudah
melolos pedang Thian-coat-kiam yang bentuknya seperti ekor
burung seriti itu. "Maafkan atas kekurang ajaran wanpwe ini," serunya
sembari enjot sang kaki melambung sampai setombak lebih
tingginya. Dengan gerak ui-liong-coan-sin (naga kuning
membalik badan), dia melayang turun ditengah-tengah
barisan. Gerakannya yang indah, telah membuat ketiga Sam-sian
mengangguk-angguk memuji. Siau Ih sendiri tegang hatinya,
tapi dia coba berlaku tenang dengan menghias senyum.
Saat itu, Leng-ji pun sudah pindahkan pedang ke tangan
kanan, lalu melintangkan ke muka dada, sedang dua buah jari
tangannya kiri menjepit ujung pedang. Itulah cara memberi
hormat dengan pedang. "Sik Leng-ji menjalankan titah suhu, harap Siau-siaohiap
siap sedia," serunya.
Siau Ih cepat membalas hormat dan menyilahkan pona itu
memulai lebih dulu. Leng-ji pun tak mau banyak bicara. Begitu
ia gerakkan pedang, maka ketujuh dara dari Lo-hu-san segera
mulai bergerak bergantian tempat untuk mengepung Siau Ih.
Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin dari Peh-hoa-kiong dan ngohengpat-kwa-kiam-tin dari biara Sing-ceng-kiong, merupakan
dua buah barisan pedang yang sangat dimalui dunia
persilatan. Hanya saja menurut penilaian, kiu-kiu-kui-goankiamtin lebih unggul setingkat.
Gerakan itu terdiri dari sembilan perobahan dari satu
sampai sembilan kemudian balik kembali ke satu, maka
dinamakan kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin (sembilan kali lalu
kembali pada permulaan). Tapi oleh karena Hui-yan tak ikut, jadi barisan itu hanya
bergerak sampai pada perobahan ke delapan saja.
Siau Ih dengan tenang, menunggu dengan penuh
perhatian. Ke delapan dara itu masing-masing menjulurkan
pedangnya sedikit ke muka, diimbangi oleh tangan kiri yang
diangkat hingga sampai ke alis, lalu bergerak-gerak pindah
tempat dengan rapi. Sebelumnya Siau Ih sudah terisi oleh rasa jeri terhadap
kebesaran nama Hun-si-sam-sian, namun beratnya hendak
membela orang yang dicintai, dia bersedia bertempur matimatian
juga. Kala itu sudah hampir jam tiga malam, bintang-bintang
hampir memudar. Cepat dia ambil keputusan untuk lekas
turun tangan. Leng-ji adalah kepala dari barisan itu.
Untuk menghancurkan barisan itu, haruslah pokoknya yang
digempur. Justeru pada saat itu, Leng-ji sedang berputaran
dihadapannya. Kesempatan itu tak boleh disia-siakan. Dengan
bersuit nyaring, dia segera maju menyerangnya.
Siau Ih gunakan tujuh bagian tenaganya, dan serangannya
dengan jurus hui-poh-liu-cwan (air terjun mencurahkan
sumber) mengandung perobahannya sukar diduga. Rasanya
Leng-ji tentu sukar menghindar.
Tapi pada detik itu, Leng-ji sudah bergerak beralih tempat.
Siau Ih tertawa, memutar tubuh dia robah hantaman menjadi
tutukan ke arah jalan darah dipundak si nona. Dia yakin,
betapapun lihay dan tangkasnya nona itu, tentu tak mampu
mengelak. Tapi selagi dia diam-diam bergirang, tahu-tahu dua dara
yang berada disamping kanan dan kiri, saat itu sama berputar
datang. Tahu-tahu Siau Ih rasakan dua buah benda dingin
menusuk dari kedua sampingnya.
Terpaksa Siau Ih tak dapat mengejar Leng-ji. Begitu kedua
pedang kedua nona itu tiba, dia ajukan tubuh ke muka.
Pada saat itu, dilihatnya Leng-ji sudah maju mengganti lain
tempat rekannya, selagi tempat Leng-ji itu masih luang, Siau
Ih terus menyelonong maju. Pikirnya hendak menerobos
keluar barisan. Biarpun tidak menang, asal bisa menerobos
keluar, berarti diapun tak kalah.
Tapi ternyata lain teori lain kenyataannya. Baru Siau ih tiba
dilubang barisan itu, sekonyong-konyong Leng-ji berputar
tubuh terus, membabatkan pedangnya kepinggang Siau Ih.
Menurut teori seharusnya Leng-ji bergerak maju kedepan
mengganti tempat yang ditinggalkan rekannya, tapi
kenyataannya dia berputar balik untuk menghantam. Inilah
yang menyebabkan Siau Ih kaget setengah mati. Oleh karena
tubuhnya dienjot ke atas, jadi dia tak sempat untuk
menghindar lagi. Syukur dia masih dapat memikirkan sebuah jalan lolos.
Dengan mengertak gigi kegeraman, dia injakkan kaki kanan ke
punggung kaki kiri, berbareng itu tangannya kiripun
menghantam kebawah. Dua buah tenaga pinjaman itu cukup membuat tubuhnya
melambung sampai setombak tingginya, dari itu dia
berjumpalitan ke belakang untuk kembali melayang ?" ke
dalam barisan! Sudah maksudnya lolos menjadi gagal, dia kalang kabut
jungkir balik dan tak urungpun bajunya sebelah bawah robek
tergurat ujung pedang si nona.
Barisan pedang kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin, tetap bergerak
dengan Leng-ji sebagai porosnya. Sejak turun gunung dan
mengalami pertempuran beberapa kali, baru pertama kali itu
Siau Ih pontang panting begitu macam. Sudah tentu dia
menjadi naik darah. Saking marahnya, matanya menjadi
merah seperti banteng buas.
Tiba-tiba dia bersuit nyaring, kini dia gunakan pedang
pusakanya untuk membuka serangan. Dara yang kebetulan
bergilir di depan Siau Ih, jeri melihat sinar pedang si anak
muda yang berkilat luar biasa itu. Ia tak berani menangkis,
melainkan menghindar ke samping. Siau Ih tertawa dingin, dia
membayangi dan memburu dengan tiga buah serangan
berturut-turut. Dara yang diincarnya itu, seketika menjadi
terkurung dalam hujan sinar pedang.
Dari sekian ratus jago persilatan, hanya terpilih sepuluh
yang digolongkan sebagai sepuluh Datuk. Dan Hun-si-samsian,
termasuk dalam daftar ke sepuluh datuk itu. Jadi sampai
dimana kepandaian dari pemimpin Peh-hoa-kiong itu, dapat
dimaklumi. Kesembilan dara kiu-hong itu, sejak kecil dilatih sendiri oleh
Hun-si-sam-sian. Dengan Siau Ih, kesembilan nona itu
seimbang kepandaiannya. Jadi barisan yang dimainkan
menjadi pat-kwa-kiam-tin oleh kedelapan dara itu, mana
dapat ditembus dengan mudah.
Waktu salah seorang rekannya terancam, Leng-ji berteriak
memberi komando. Ketujuh dara kiu-hong itu serempak
memutar pedangnya terus menusuk punggung, pinggang,
bahu dan lain-lain bagian fatal (mematikan) dari tubuh Siau
Ih. Anak muda itu bersuit keras, pedang dibalikkan menabas
dalam jurus to-sia-sing-bo atau mencurahkan terbalik bintang
bima sakti, berbareng itu tangan kiri menjotos lurus ke muka.
Serangkum hawa panas, tetap menyerang nona yang terlolos
dari serangannya pedang tadi. Sekaligus, dia menyerang dua
lawan. Sinar berkilat, logam bergemerincing dan jeritan seram
terdengar. Siau Ih terkejut karena tak tahu apa yang telah
terjadi. Begitu dia sempat memperhatikan keadaan lawan,
ternyata barisan pat-kwa-kiam-tin itu sudah berobah. Delapan
dara dari kawanan kiu-hong, ternyata tinggal enam orang dan
barisan pat-kwa pun berobah bentuknya menjadi liok-hap. Apa
yang terjadi" Beberapa meter dari tempatnya, Siau Ih melihat dua orang
dara berhenti bergerak. Yang satu kesima melihati pedangnya
kutung separoh, yang satu terkapar di tanah dengan wajah
pucat. Siau Ih sendiri menjadi terperanjat. Pada lain saat dara
yang pedangnya kutung itu segera menghampiri ke tempat
rekannya yang rubuh lalu mengangkatnya terus dibawa masuk
ke belakang ruangan. "Seorang pedangnya kutung, seorang lagi terluka berat,
rasanya urusan malam ini akan menjadi berlarut-larut hebat.
Tapi biar bagaimana, aku tetap akan berjuang
mempertaruhkan nasib kita berdua," diam-diam Siau Ih
berkata dalam hati. Malah setelah mempunyai ketetapan itu,
hatinya makin tenang. Selagi dia siap hendak menggempur barisan liok-hap-kiamtin,
tiba-tiba disebelah tangga atas sana kedengaran Ko-shiasiancu
Hun Yak-lun berseru: "Siau Ih, tadi kau mengaku
putera Siau Hong, tapi ternyata permainanmu pedang itu
adalah ajaran Siau-sian-ong Bok Tong, mengapa?"
Berhenti sejenak, Sam-sian itu melanjutkan pula: "Jika kau
mengira Peh-hoa-kiong gampang dipermainkan, itu berarti
hari kematianmu sudah tiba!"
Dengan adanya kesudahan pertempuran tadi, Sam-sian
menuduh Siau Ih bohong dan hendak menghina kaum Pehhoakiong, maka dia tinjau lagi keputusannya tadi. Sebaliknya
diberi keringanan, kini Siau Ih hendak diperberat
hukumannya. Tapi sebaliknya Siau Ih merasa tersinggung dengan ucapan
Sam-sian itu. Sahutnya dengan rawan-rawan mendongkol:
"Apa yang cianpwe tanyakan itu memang benar. Kepandaian
wanpwe ini memang berasal ajaran dari ayahku angkat Bok
Tong. Hal itu disebabkan karena nasib wanpwe yang malang,
tapi maaf, wanpwe tak dapat menuturkan soalnya. Hanya
saja, sekalipun berumur muda wanpwe tak pernah menghina
orang, lebih-lebih terhadap kaum cianpwe."
Ko-shia-siancu memperhatikan wajah pemuda itu. Katanya:
"Baik Siau-sian-ong Bok Tong maupun si Rase Kumala Shintok
Kek keduanya adalah tokoh-tokoh istimewa. Kau sebagai
muridnya, seharusnya berlaku jujur ".."
Kembali Ko-shia-siancu melirik ke arah Siau Ih. Oleh karena
tadi telah berlaku kurang hati-hati, Siau Ih menjadi makin tak
tenteram hatinya. Serta merta dia memberi hormat
menghaturkan maaf atas kesembronoannya tadi.
"Dalam pertempuran, memang sukar terhindar dari terluka
atau terbunuh. Asal sebelum besok pagi kau dapat
membobolkan barisan itu, aku tak nanti mengingkari janji,"
kata Ko-shia-Siancu. Kala itu hari hampir menjelang fajar. Nasib Hui-yan dan dia
sendiri, tergantung dari apa yang akan terjadi dalam satu dua
jam saja. Maka secepat menghaturkan terima kasih, Siau Ih
terus berputar tubuh menghadapi keenam dara dan
mempersilahkan mereka memulai.
Leng-ji pun tak mau banyak cakap. Cepat dia memberi
isyarat agar kawan-kawannya mulai bergerak dalam barisan
liok-hap-kiam-tin. Pertempuran kali ini berbeda dengan yang
tadi. Melihat keganasan si anak muda, keenam dara itu
hendak melakukan pembalasan.
Siau Ih sendiripun sudah merasa keterlaluan, dia menyesal
dan tak mau berbuat ganas lagi. Dengan demikian, Siau Ih
sudah kalah moril. Sewaktu memperhatikan gerak gerik keenam dara itu, Siau
Ih dapatkan apa yang disebut liok-hap-kiam-tin itu terdiri dari
dua lapisan. Lapisan dalam terdiri dari tiga orang, lapisan
luarpun tiga orang. Mereka merupakan sebuah lingkaran yang
mengepung anak muda itu rapat-rapat, ibarat air hujanpun tak
nanti dapat menerobos masuk ke dalam barisan itu.
Diam-diam dia mengeluh dan putus asa. Namun karena dia
masih berdarah panas dan berwatak congkak, jadi tetap tak
mau menyerah. Setelah sekian saat memperhatikan dan mempelajari


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barisan itu, diam-diam dia membatin: "Mereka terus menerus
mengitari aku saja tapi tak mau menyerang. Jangan-jangan
barisan ini serupa dengan barisan ngo-heng-pat-kwa-tin dari
Siang-ceng-kiong. Musuh diam, merekapun diam, tapi begitu
musuh mulai bergerak, mereka terus mendahului bergerak
dulu untuk menindas ?".."
Berpikir begitu, dia teringat sewaktu dahulu engkongnya
luar (si Rase Kumala) menghancurkan barisan ngo-heng-patkwakiam-tin. Akhirnya dia ambil putusan lebih baik
mencobanya saja. Kaki kanan agak dipijakkan keras-keras ke tanah, diantar
oleh gerakan tangan kiri, tubuhnya condong ke muka
menutukkan pedangnya ke arah Leng-ji yang saat itu
kebetulan bergerak dihadapannya. Bagaimana reaksinya"
Ternyata apa yang diduga Siau Ih tadi, memang benar.
Begitu ujung Siau Ih hampir kena, Leng-ji cepat menghindar
ke samping, sedang dalam pada itu dua orang dara lainnya
sudah lantas menusuk ke arah Siau Ih.
Serangan Siau Ih tadi hanyalah hendak memancing saja,
jadi posisinya tetap tak berobah. Cukup dengan turunkan
sedikit pundaknya, dia kelit pedang yang menyerang atas,
sementara untuk pedang yang menyerang bawah, cepat-cepat
dia balikkan pedangnya untuk menangkis. Gerakan berkelit
sembari menangkis itu teramat sebatnya. Dia percaya lawan
tentu akan kocar-kacir. Tapi ternyata kedua dara penyerangnya itu sudah
menyelinap keluar. Leng-ji dan kedua dara itu termasuk
lingkaran dalam, begitu mereka bergeser keluar, maka ketiga
dara dari lingkaran luar, cepat masuk menggantikan tempat
Leng-ji bertiga. Jadi antara barisan dalam dan barisan luar itu, ternyata
bergantian tempat. Malah begitu mengganti ke dalam, ketiga
dara itu berbareng menyerangkan pedangnya.
Lain engkong lain cucunya. Dahulu si Rase Kumala dengan
kepandaiannya yang tinggi dan kegesitannya yang luar biasa,
dapat menerobos dan mengocar-ngacirkan barisan ngo-hengpatkwa-tin, tapi Siau Ih tidak mampu. Hal ini disebabkan
karena anak muda itu masih kalah jauh dengan engkongnya.
Pergantian tempat yang berlangsung cepat dan tepat itu,
telah membuat Siau Ih kelabakan. Kalau tak mengandalkan
gerakan kaki ceng-hoan-kiu-kiong-leng-liong-poh, dia tentu
sudah terluka. Kebagusan barisan liok-hap-kiam-tin terletak disitu. Begitu
diserang, barisan itu akan memberi reaksi yang cepat. Makin
diserang, barisan itu makin hidup dan makin hebat
perbawanya. Bagaikan kupu-kupu menyusup diantara pohon bunga,
keenam dara itu berkeliaran terbang berputar-putar
mengepung Siau Ih. Bertubi-tubi bacokan pedang menghujani
anak muda itu. Bermula Siau Ih masih dapat membela diri dengan
permainan pedang yang disaluri dengan lwekang kian-goansinkong. Tapi dengan berjalannya sang waktu, dia menjadi
keripuhan juga. Keringat mulai membasahi tubuh, napas
tersengal-sengal dan kaki tangan mulai lambat gerakannya.
Kini dia sudah menyadari keadaannya. Harapan menang
sudah ludas, yang ada hanyalah kekalahan yang akan
menyebabkan engkong luarnya turut dapat malu juga. Dalam
keputusan asanya, dia menjadi kalap.
Hong-lui-kiau-ki (angin geledek saling berhantam), honggansoh-i (burung meliwis pentang sayap), ban-hwat-kui-cong
(seribu ilmu kembali ke asal), tiga buah serangan pedang
sekali gus dilancarkan, dibarengi dengan tiga kali pukulan
tangan kiri. Hujan sinar pedang dan samberan angin lwekang,
menderu-deru dengan dahsyatnya.
Sebenarnya dua dara yang kebetulan berada di belakang
Siau Ih, sudah menusuk punggungnya. Tapi demi dilihatnya
anak muda itu tak mau menghiraukan jiwanya lagi karena
sudah kalap, kedua dara itupun menjadi terkesiap sendiri.
Memang cara Siau Ih bertempur itu, sudah mata gelap.
Kalau punggungnya tertusuk, tiga dara yang diserangnya
itupun tentu terancam jiwanya.
Melihat sang tikus sudah masuk keperangkap, Leng-ji
bersuit. Kelima kawannya cepat hentikan serangan dan
mundur setombak jauhnya. Sudah tentu Siau Ih menjadi
kaget. "Mengapa mereka ?"?""
Belum habis dia menimang dalam hati, atau keenam kiuhong
itu dengan tiba-tiba maju menyerang lagi. Siau Ih
menjadi kelabakan lagi. Dia diserang dari enam jurusan.
Betapa dia hendak menanggulangi, namun tenaganya tak
mengizinkan. Setelah dikocok selama hampir sejam itu, tenaganya seperti
diperas habis-habisan. Baru tiga jurus saja, dia sudah rasakan
lengannya kanan linu. "Trang," tanpa dikuasainya lagi, Thian-coat-kiam terpukul
jatuh ke tanah. Bagaikan kumbang mengerumuni bunga,
pedang keenam dara itu sudah lantas menempel di dada, kaki,
lambung kanan kiri, kepala dan punggung Siau Ih. Dalam
keadaan demikian, Siau Ih benar-benar mati kutunya.
Untuk pertama kali sejak turun gunung, baru inilah dia
mengalami kekalahan yang getir. Dan kekalahan itu telah
membuyarkan seluruh harapannya. Dia menghela napas,
sedih dan kecewa. Melihat keenam kiu-hong itu masih tetap memagarinya
dengan ujung pedang, meluaplah kemarahannya.
"Kesatria boleh dibunuh, tak boleh dihina. Karena
berkepandaian rendah, aku menyerah kalah, tapi mengapa
nona sekalian tetap menghina begitu macam?"
Leng-ji merah mukanya. Dipungutnya pedang Thian-coatkiam
di tanah, kemudian memberi isyarat kepada kawankawannya
supaya menyingkir ke samping.
Siau Ih tertawa getir. Setelah membersihkan pakaiannya
dari debu dia memberi hormat kepada Sam-sian: "Wanpwe
Siau Ih siap menerima hukuman."
Atas sikap jujur dari anak muda itu, ketiga Sam-sian itu
diam-diam memuji. Kata Ko-shia-siancu: "Menang atau kalah,
adalah lumrah. Bahwa semuda itu usiamu, kau dapat bertahan
sampai lama dalam kepungan barisan kiu-kiu-kui-goan-kiamcu,
itu sudah cukup baik. Asal kau dapat memelihara, kelak
tentu berhasil." Sian-cu itu berhenti sejenak, lalu menyambung lagi: "Kini
akan kusuruh Leng-ji membawamu ke pondok yang-thaysuan.
Setelah engkongmu datang dan sehabis kuberi hukuman
pada muridku murtad itu, baru kuserahkan kau pada
engkongmu. Leng-ji, antarkan Siau-siaohiap ini ke belakang
gunung sana!" Rasa hati Siau Ih seperti ditusuk-tusuk jarum, namun
sebagai jago yang keok, dia tak dapat berbuat apa-apa.
Setelah memberi hormat kepada ketiga siancu, dia lalu ikut
Leng-ji. Kala itu hari mulai terang tanah. Bunga-bunga bwe dihutan
Hiang-swat-hay mulai bangun menghias diri. Burung berkicau
menyambut datangnya sang pagi. Seluruh penghuni gunung
Lo-hu-san kembali bersuka ria, kecuali dua buah hati dari
sepasang kekasih tengah dilanda kesedihan ?"..
?"?"" Gunung Tiam-jong-san tengah bermandikan cahaya
keemasan dari matahari yang mulai silam ke dalam laut. Di
jalan besar kota Tay-li-seng, tampak mencongklang seorang
penunggang kuda. Begitu berada ditengah kota, kuda itu dihentikan. Kudanya
tinggi besar berbulu hijau gelap, tapi penunggangnya seorang
pemuda yang bertubuh kecil langsing. Serasi dengan warna
bulu pemuda itu mengenakan serba hijau, baju, celana, ikat
kepala sampai sepatunya. Sehelai kain yang menutup hidung sampai kemulutnya.
juga berwarna hijau. Sepasang matanya bening, dinaungi oleh
sepasang alis rembulan tanggal muda. Pedang yang terselip
dipinggangnya, diikat oleh sepotong sabuk warna hijau pula.
Kuda dan penunggangnya yang serba hijau itu, mudah
menarik perhatian orang. Dari pakaian si penunggang yang
penuh debu dan keringat yang membasahi tubuh kuda,
menyatakan bahwa mereka habis datang dari perjalanan jauh.
Penunggang kuda asing itu cepat menjadi sasaran
perhatian orang-orang dijalan itu. Namun penunggang kuda
itu rupanya tak mengacuhkan. Kudanya dijalankan pelahanlahan,
sembari memandang kesana-sini.
Tak berapa lama, pemuda berkuda tiba di muka sebuah
hotel. Dia turun dari tunggangannya terus menghampiri
masuk. "Mari, tuan, hotel ini terawat bersih, pasti Tuan puas," seru
kawanan jongos yang tersipu-sipu menyambut.
Pemuda baju hijau itu segera serahkan kudanya pada
jongos, kemudian melangkah masuk. Tiba di ruangan tengah,
pemuda itu dapatkan keadaan disitu amat ramai. Tetamutetamu
tengah mengepung hidangan malam yang disiapkan
sampai beberapa belas meja.
"Tuan, di ruangan belakang masih tersedia kamar kosong.
Kalau tuan merasa keberisikan, silahkan pakai yang disana.
Sebentar segera kami siapkan hidangan malam untuk Tuan"
cepat-cepat jongos itu menawari demi melihat si pemuda
kerutkan alis. 28. Ujian Terhadap Pendekar Wanita
Pemuda itu mengangguk. Begitulah setelah melalui
beberapa serambi, tibalah mereka disebuah pintu bundar.
Sekali dorong, pintu itu terbuka.
Di belakang pintu itu, ternyata terdapat sebuah kebun.
Walaupun tidak teratur indah, namun cukup menyenangkan,
ada beberapa pohon bunga. Diujung kiri kebun itu, terdapat
tiga buah kamar yang bersih.
"Bung, malam ini aku nginap disini!" setelah memeriksa
salah sebuah kamar, pemuda itu menyatakan setujunya. Nada
suaranya melengking nyaring.
Siao-ji (jongos) terkesiap heran, justeru saat itu si pemuda
sudah menyingkap kain kerudung mulutnya. Sebuah wajah
yang cakap berseri-seri, dihias dengan mata dan alis yang
indah. Kembali jongos itu tertegun, pikirnya: "Ditilik dari wajah
dan nada suaranya, jangan-jangan tetamu ini seorang nona
yang menyaru jadi lelaki ?"."
Gerak gerik Siao-ji diketahui juga oleh pemuda itu. Buruburu
dia menyuruh jongos itu pergi ambilkan air dan hidangan
malam. Malah untuk menggertaknya, pemuda itu merabah
tangkai pedangnya. Keruan saja jongos itu menjadi ketakutan
dan buru-buru memberi hormat hendak menyediakan
permintaannya itu. Tak berapa lama, jongos kembali dengan sebaskom air
panas dan seperangkat hidangan. Setelah selesai cuci muka
dan makan, pemuda itu padamkan lampu lalu duduk
bersemadhi di atas tempat tidur.
Ketika kentongan terdengar dipukul empat kali, tiba-tiba
pemuda itu berbangkit. Memanggul pedang dibahu,
meletakkan sepotong perak di atas meja, lalu mendorong
pintu terus loncat ke atas wuwungan rumah.
Dari itu dia lari keluar hotel. Dengan gunakan ilmu ginkang,
dia keluar kota dan berlarian dijalan yang menuju ke gunung
Tiam-jong-san. ?"?"" Begitu tiba dikaki gunung, pemuda itu berhenti sejenak
memandang kebesaran gunung Tiam-jong-san yang
membujur sampai ratusan li luasnya itu. Puas merenung,
pemuda itu tancap gas pula lari masuk ke daerah gunung.
Karena waktu itu masih dinihari, jadi jalanan di gunung itu
masih sepi orang, dengan begitu dapatlah dia gunakan ilmu
berlari cepat dengan leluasa.
Sekalipun begitu karena tak paham akan jalanan disitu, jadi
hampir tengah hari barulah sampai dibalik gunung. Tempat
tujuannya masih belum tercapai. Pemuda itu menjadi gelisah
tampaknya. Sekilas mendapat pikiran, dia terus mendaki sebuah puncak
dan memandang ke sekeliling penjuru. Tiam-jong-san dengan
puncak-puncaknya yang hijau meluas, seolah-olah tiada
bertepi. Bingung dia dibuatnya, hendak bertanya orang,
terang tak mungkin. Kecuali siur angin membuai pohon, tiada
lain makhluk yang tampak.
"Di daerah gunung yang begini luasnya, kalau aku
membabi buta saja, mungkin sepuluh hari juga tak dapat
mencari tempat itu ?".."
Sesaat berpikir begitu, tiba-tiba dia teringat sesuatu:
"Karena bernama kiap (selat), tentu ada gunung dan air. Dan
konon kabarnya Lan-chui-suan itu indah seperti lukisan.
Mengapa aku tak mencari tempat semacam itu ?".."
Kini dia berganti haluan, tak mau cari jalan besar, tetapi
jalanan gunung yang kecil sempit. Lebih dari sejam dia
menyusur masuk ke daerah pedalaman, namun bayangan Liuhunkiap tetap belum tampak. Kala itu dia sudah berada di ujung puncak karang buntu.
Disebelah belakang karang itu, terbentang jurang yang curam
sekali. Sambil menghapus keringat, pemuda itu memandang
ke bawah jurang dengan rasa putus asa.
"Jalanan ini putus sampai disini. Tiam-jong-san mempunyai
berpuluh puncak, tapi Liu-hun-hiap tiada jejaknya sama sekali.
Kalau sampai tak berhasil, bagaimana harus mengatakan pada
suhu ?". dan pula ?". bagaimana menyelesaikan persoalan
itu ?".?" Pemuda itu makin resah. Tiba-tiba dari karang sebelah
muka yang terputus oleh jurang itu, terdengar suara
nyanyian: Bilakah bulan purnama tiba, hendak kupersembahkan arak,
Adakah istana dilangit, masih tetap senantiasa semarak"
Ingin kunaik angin pulang
Tapi kukuatir tangga langit terlampau tinggi
Wahai rembulan, sinarmu mengarungi
Istana maupun gubuk tanpa diskriminasi
Mengapa dikau selalu tak berwajah penuh"
Nada nyanyian itu melengking tinggi, bernapaskan gagah
perwira. Pemuda baju hijau itu terpikat pikirannya.
Suara nyanyian itu makin lama makin dekat dan muncullah
seseorang dari semak belukar. Usianya lebih kurang duapuluh


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tujuh tahun, bertubuh kekar dada lebar, alis tebal mata
bundar. Dia mengenakan baju dan celana pendek dari kain kasar,
hingga potongan tubuhnya makin tegas. Mencekal sebatang
bambu, pemuda itu berjalan pelahan-lahan sembari membuka
suara. Tampak ada orang untuk bertanya, pemuda baju hijau itu
cepat enjot tubuhnya maju ketepi karang, lalu angkat
tangannya tinggi-tinggi sembari berteriak keras: "Hai, saudara!
Harap berhenti dulu, aku hendak mohon tanya."
Pemuda baju pendek itu berhenti, lalu balas berseru dari
tempatnya yang jauh: "Apakah saudara kesasar?"
"Bukan, aku memang sengaja datang dari jauh. Saudara
tentu tinggal disini, bolehkah aku bertanya satu dua hal?"
Rupanya pemuda pakaian pendek itu menjadi curiga.
Bagaimana pun juga, nada suara pemuda baju hijau itu tetap
kecil, sikapnya bukan seperti orang lelaki. Dan yang paling
menarik perhatian, dia menyanggul pedang. Namun pemuda
baju pendek itu tak mau mengentarakan keheranannya.
"Benar, aku memang orang sini. Saudara hendak
menanyakan apa?" serunya dengan tersenyum.
Pemuda baju hijau itu girang sekali, teriaknya: "Yang
hendak kucari ialah Liu-hun-hiap. Kalau saudara suka
menunjukkan, akan kuberi hadiah besar."
Walaupun keduanya terpisah oleh sebuah jurang selebar
belasan tombak, tapi dapat tukar pembicaraan dengan jelas.
"Liu-hun-hiap adalah tempat pertapaan Shin-tok lo-sin-sian.
Menilik saudara membekal pedang, tentulah seorang pendekar
silat," kata pemuda baju pendek.
Pemuda baju hijau itu kemerah-merahan mukanya. Buruburu
dia merendah: "Gelar pendekar silat itu, terlampau tinggi
bagiku. Aku hanyalah murid Peh-hoa-kiong di Lo-hu-san yang
mendapat perintah suhu untuk menghadap Shin-tok sianseng.
Karena tak paham jalanan, jadi hampir setengah harian aku
tak dapat menemukan tempat tinggalnya. Sukalah saudara
memberi bantuan!" Memang pemuda baju hijau itu bukan lain adalah Sik Lengji,
pemimpin dara kiu-hong dari Peh-hoa-kiong. Dia
diperintahkan suhunya untuk membawa surat kepada Shin-tok
Kek. Kebetulan pula pemuda baju pendek itu, adalah Shin-tok
Hou, coba tidak, pasti Leng-ji akan pulang dengan tangan
kosong. Shin-tok Hou tahu bagaimana hubungan antara Siau Ih
dengan Lo Hui-yan. Dia sudah kuatir akan kepergian Siau Ih
ke Peh-hoa-kiong yang merupakan daerah terlarang bagi
kaum laki-laki itu. Bahwa kini ada seorang anak murid Pehhoakiong datang ke Tiam-jong-san, tentulah membawa berita
tentang Siau Ih. "Kalau kau membawa berita buruk tentang Ih-te (adik Ih),
biar nanti aku digegeri suhu, lebih dulu hendak kusuruh kau
minum pil pahit," demikian dia mengambil putusan, terus
menyambut: "Dapat membantu orang lain, adalah suatu
kebahagiaan. Apalagi hanya menunjukkan jalan ?"."
Berkata sampai disitu, tahu-tahu dia sudah melambung
tinggi sampai dua tombak, terus meluncur miring ke bawah
jurang. Sudah tentu kejut Leng-ji tak terhingga. Pertama ternyata
pemuda baju pendek itu mempunyai kepandaian hebat dan
kedua karena jurang itu tiada tempat berpijak. Sekali jatuh,
pasti akan remuk binasa. Namun matanya yang tajam segera melihat bahwa
sepuluhan tombak jauhnya ternyata terdapat seutas rantai
besi yang menghubungkan kedua tepi karang.
Tepat pada saat itu, Shin-tok Hou melayang turun ke atas
rantai. Begitu sang kaki diinjakkan, kembali dia melambung
lagi ke udara. Sebelum Leng-ji hilang kejutnya, tahu-tahu
Shin-tok Hou sudah tiba dihadapannya.
"Nona adalah tetamu dari jauh, aku mewajibkan diri
sebagai tuan rumah," kata Shin-tok Hou sembari tersenyum
menampak kekagetan wajah Leng-ji.
"Siapa kau ini?"
"Lebih baik nona jangan menanyakan," sahut Shin-tok Hou
Leng-ji marah. Maju beberapa tindak, dia cabut pedangnya
dan membentak keras: "Bilang, siapa kau ini" Kalau tetap
membandel, jangan salahkan nonamu tak tahu adat!"
Kini Shin-tok Hou tampak bersungguh, jawabnya: "Karena
nona memaksa, baiklah, aku adalah Shin-tok Hou salah
seorang siang-thong (sepasang kacung) dari pemilik Lan-chuisuan!"
Kejut Leng-ji lebih hebat dari tadi, hingga ia sampai tak
dapat berkata-kata. "Dari tempat ribuan li nona datang kemari, apakah karena
perihal Siau Ih?" kini Shin-tok Hou yang ganti bertanya.
Leng-ji terkejut gelagapan. Namun melihat sikap dingin dari
anak muda itu, ya amat mendongkol. Tak kurang dinginnya
menyahut: "Benar, Sik Leng-ji datang kemari karena untuk hal
itu. Tolong saudara sampalkan pada Shin-tok sianseng bahwa
Sik Leng-ji hendak mohon menghadap."
Dugaannya benar, Shin-tok Hou menjadi terperanjat.
Pikirnya: "Jadi nyata Ih-te sudah pergi ke Lo-hu-san. Dari
nada ucapan nona ini, terang Ih-te menemui kesulitan,
rasanya dia tentu ditawan di Lo-hu-san."
Memikir begitu, amarahnya meluap. Menatap lekat-lekat ke
arah Leng-ji, dia tertawa dingin, ujarnya: "Liu-hun-hiap sudah
berada di depan mata. Hanya saja pertapaan Lan-chui-suan
juga mengadakan pantangan keras seperti halnya dengan
biara Peh-hoa-kiong, yakni setiap kaum wanita yang hendak
datang ke Liu-hun-hiap harus lebih dahulu diuji dengan
tigaratus jurus, kalau gagal, boleh pulang saja ?"?""
Dia berhenti sejenak untuk mengawasi wajah si nona yang
merah padam dirangsang kemarahannya itu. Habis itu, dia
tertawa meneruskan pula: "Karena nona mendapat perintah
suhu, tentu tak suka pulang tangan hampa. Apalagi ilmu
kepandatan Lo-hu-san, menggetarkan dunia persilatan.
Nonapun sudah melolos pedang jadi jangan pelit memberi
pelajaran." Habis berkata, kontan saja Shin-tok Hou putar batang
bambunya dalam gerak han-tong-hud-liu ke arah kepala Lengji.
Serangan kilat itu, membuat Leng-ji terkejut, terus
menyurut mundur. Namun Shin-tok Hou teruskan menutuk bahu kiri si nona
dengan gerak han-hoa-tho-lui.
Belum lagi kaki Leng-ji berdiri jejak, ujung bambu sudah
tiba, keruan saja ia menjadi geregetan. Pundak agak
diegoskan, ia barengi menabas bambu lawan.
Untuk itu, Shin-tok Hou turunkan bambunya ke bawah
untuk diteruskan menyapu pinggang.
Leng-ji keripuhan. Setiap serangannya, selalu dapat
ditindas malah mendapat serangan balasan secara cepat.
Terpaksa dengan mendongkol, ia main mundur. Cepat sekali,
mereka sudah bertempur belasan jurus.
Timbul keangkuhan Leng-ji, kalau ia tak mampu mengatasi
pemuda itu, keharuman nama Peh-hoa-kiong, pasti akan
jatuh. Saat itu kebetulan ujung bambu si anak muda menusuk
ke arah tenggorokannya. Dia menunggunya dengan tenang. Begitu hampir tiba,
secepat kilat dia miringkan kepala sembari ayunkan pedang
membacok lengan kanan Shin-tok Hou.
Kini gilirannya Shin-tok Hou yang kelabakan. Dia tak
menyangka si nona akan gunakan gerakan yang amat
berbahaya begitu. Terpaksa dia enjot tubuhnya loncat
mundur. Tapi Leng-ji tak mau memberi hati. Serangan pertama
berhasil dia mencecernya lagi dengan lima buah serangan
berturut-turut. Keadan berganti, sekarang Shin-tok Hou yang
main mundur. Memang sebagai kepala dari kiu-hong, Leng-ji telah
menerima warisan kepandaian dari Hun-si-sam-sian. Untuk
memberantas kesombongan lawan dan demi menjaga pamor
perguruannya, Leng-ji keluarkan ilmu pedang it-goan-kiamhwat,
yakni ilmu kebanggaan Peh-hoa-kiong yang termasyhur.
Memang lihay sekali ilmu pedang itu. Sesaat tubuh Shin-tok
Hou seperti dilibat oleh sinar pedang.
Walaupun hanya menjadi kacung pelayan dari Si Rase
Kumala, namun sejak kecil Shin-tok Hou mendapat
gemblengan ilmu silat dari tokoh lihay itu. Dibanding dengan
Siau Ih, sebenarnya dia lebih lihay. Sekalipun hanya mencekal
sepotong bambu, tapi kehebatannya tak berkurang.
Ditepi karang jurang yang curam, terjadilah pertempuran
dari dua jago muda yang lihay. Kepandaian mereka terpaut
tak seberapa. Gesit lawan cepat, tangkas tanding lincah.
Hanya dalam beberapa kejap saja, keduanya sudah bertempur
sampai seratusan jurus lebih.
Terbatas oleh keadaan jasmaniah, dalam hal ilmu lwekang
wanita agak kalah dengan kaum pria. Apalagi dasar
kepandaian Leng-ji memang setingkat lebih rendah dari Shintok
Hou. Makin lama dara dari Peh-hoa-kiong itu makin lelah,
keringat mengalir deras, napas terengah-engah. Namun
sekalipun kekalahan sudah terbayang di depan mata, Leng-ji
tak mau menyerah mentah-mentah. Ia robah taktik, dari
menyerang menjadi bertahan.
Sebaliknya Shin-tok Hou makin gagah. Sejak kecil
mendapat gemblengan dari si Rase Kumala, dia memiliki
pancaindera yang tajam sekali. Tahu si nona sudah hampir
menyerah, dia segera, keluarkan ilmu pukulan ji-i-san-chiu.
Sebuah ilmu pukulan terdiri dari seratusdelapan jurus yang
menggetar dunia persilatan. Seketika itu, Leng-ji terkurung
oleh hujan jari. Kekalahan Leng-ji makin jelas.
"Dari pada membikin jatuh pamor perguruan, lebih baik aku
gugur bersama dia," demikian Leng-ji membulatkan tekadnya.
Kini ia menjadi tenang. Saat itu ujung bambu menusuk
tiba, sedang tangan kiri Shin-tok Hou pun bergerak
menghantam pundaknya. Ia cepat laksanakan rencananya.
Untuk tutukan bambu, ia goyangkan pundaknya
menghindar. Tapi untuk hantaman tangan si anak muda, ia
malah memapaki maju sembari membacokkan pedangnya.
Biar ia menerima pukulan, tapi dada lawanpun tentu akan
pecah. Shin-tok Hou terkejut sekali. Buru-buru dia tarik pulang
tangan kiri, tubuhnya cepat dimiringkan ke samping.
"Siut," pedang Leng-ji hanya terpisah satu dim menyambar
di atas pundaknya. Karena tabasannya luput, Leng-ji menjorok
ke muka. Dalam posisi miring tadi, secepat kilat Shin-tok Hou
gunakan jurus oh-yang-kiau-hun atau telentang memandang
awan, ujung bambu cepat dibalikkan untuk menghantam
pedang. Seketika itu Leng-ji rasakan pedangnya seperti ditekuk oleh
suatu tenaga kuat. Baru ia mengeluh celaka, tahu-tahu
telinganya dipekakkan oleh suara benda yang mengiang
nyaring, "tring ?"."
Pedang Leng-ji yang terbuat dari baja murni, telah putus
menjadi dua! Saking kagetnya, Leng-ji sampai loncat ke
belakang. Shin-tok Hou tak mau mengejar, melainkan berseru dengan
senyum tawa: "Maafkanlah, nona. Biar kulaporkan pada suhu
kedatangan nona ini."
Wajah pemimpin kiu-hong itu pucat lesi, matanya memerah
darah. Ucapan pemuda itu, amat menusuk sekali. Serentak
pedang dibanting ke tanah, ia berteriak geram: "Aku akan
mengadu jiwa padamu!"
Teriakan itu ditutup dengan loncatan menghantam.
"Kalau nona belum puas, Sin-tok Hou terpaksa melayani,"
seru Shin-tok Hou sambil tertawa dan menghindar ke
samping. Karena sudah kalap, Leng-ji gunakan ilmu pukulan istimewa
ciptaan Hun-si-sam-sian, yakni can-hoa-chiu. Setiap pukulan
dan hantaman selalu dipusatkan ke arah bagian yang fatal
(mematikan) dari tubuh si anak muda.
Sampai tigapuluh jurus, ia merangsang dengan hebat
seolah-olah seperti hendak menelan lawan.
Namun walaupun terkurung, Shin-tok Hou tetap dapat
menghadapi dengan tepat. Hanya saja kini, anak muda itu tak
berani bersikap sombong lagi. Dia bertempur dengan hati-hati.
Pertempuran sengit itu berlangsung dari tengah hari
sampai lohor. Dua-duanya tampak mulai tele-tele. Wajah Shintok
Hou merah padam, dahinya berketesan keringat.
Leng-ji pucat lesi, napasnya senin kemis. Pelahan-lahan ia
mulai terdesak mundur hingga sampai ke tepi jurang.
Sekonyong-konyong Shin-tok Hou menggerung keras.
Dengan gerak ngo-ting-gui-san, dia dorongkan kedua
tangannya ke arah lawan. Leng-ji ibarat sebuah pelita yang kehabisan minyak, iapun
buru-buru mendorongkan sepasang tangannya ke muka. Ia
sudah nekad, sehingga lupa pada kenyataan. Kalau kedua
hantaman itu saling berbentur, akibatnya sudah dapat
diperhitungkan. Kalau tidak terluka parah, nona itu pasti akan
terlempar jatuh dalam jurang ?"..
Dalam saat yang tegang meruncing itu, tiba-tiba dari arah
karang diseberang sana, terdengar seorang berseru nyaring:
"Hou-te, tahan!"
Shin-tok Hou memberi reaksi cepat. Tangan kiri ditarik,
tangan kanan dibuat melindungi dada lalu loncat mundur.
Selagi Leng-ji kesima, sesosok tubuh melayang ke arah
karang itu. Ia hanya melihat yang datang itu baik potongan
pakaian, maupun perawakan dan usianya, hampir sama
dengan Shin-tok Hou. Tapi siapa dianya itu, Leng-ji tak
sempat memperhatikan lebih lanjut karena ia merasa
tubuhnya seperti melayang-layang hendak rubuh.
Diperas habis tenaganya, geram pedih memikirkan
tugasnya yang belum selesai itu, telah membuatnya ngenas
lahir dan batin. Sedikit saja tubuhnya yang lemah gemelai itu
terhuyung, tak ampun lagi ia tentu terlempar jatuh ke dalam
jurang ?".. "Aku Shin-tok Liong, menghaturkan maaf atas
kesembronoan adikku tadi. Kedatangan nona kemari, aku
sudah mengetahui. Liu-hun-hiap berada disebelah karang itu.
Tapi karena nona lelah, lebih baik beristirahat dulu, nanti
kuantarkan kesana." kata pemuda yang baru datang itu.
Leng-ji tersadar. Waktu membuka mata, dilihatnya Shin-tok


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Liong dan Shin-tok Hou loncat menghampiri. Betapa malu dan
geramnya, sukar dilukis. Hanya mengingat tugas yang
diberikan suhunya belum selesai, terpaksa ia menekan
perasaannya. Untuk menghadapi tokoh dari selat Liu-hun-hiap yang
tersohor aneh sifatnya itu, ia harus mengumpulkan tenaga.
Demikianlah segera ia duduk bersila menyalurkan napas.
Ketika membuka mata, ternyata matahari sudah condong
kebarat. Dengan semangat segar, ia berbangkit. Dikala memberesi
pakaiannya yang kucal, matanya tertumbuk akan kutungan
pedangnya yang berserakan di tanah.
Seketika ia tertawa pilu, namun pada lain saat ia keraskan
hati, terus ayunkan langkah menuju ke jembatan rantai.
Setelah agak meragu sebentar, ia segera enjot tubuhnya ke
muka. Dengan gunakan ginkang yan-cu-sam-jo-cui atau
burung seriti tiga kali menyentuh air, ia berloncatan di atas
rantai besi dan loncat ke tepi karang diseberang.
Begitulah setelah melalui jalanan kecil, kira-kira sepeminum
teh lamanya, tibalah ia disebuah pintu batu yang atasnya
terdapat plakat nama Liu-hun-hiap dan Shin-tok Liong sudah
menunggu disitu. "Tuanku mempersilahkan nona masuk," katanya sembari
tersenyum. Sekali mendorong pelahan-lahan, pintu itu
terbuka. Dia persilahkan si nona masuk.
Begitu masuk, Leng-ji rasakan matanya amat sedap
menampak pemandangan alam disitu. Indah bagai lukisan,
demikian satu-satunya komentar dalam hatinya. Diantara
rindangnya pohon-pohon bunga, tampak sebuah pondok.
"Tuanku tengah menunggu. Harap nona ikut," kata Shintok
Liong sembari cepatkan langkahnya.
Leng-ji pun mengikutinya. Setelah melintasi padang bunga,
tibalah mereka di muka sebuah pondok. Pemandangan
pertama yang mengejutkan hati Leng-ji ialah Shin-tok Hou
saat itu tampak sedang berlutut menghadap tembok.
"Karena melanggar peraturan, adikku telah dihukum," buruburu
Shin-tok Liong memberi penjelasan.
Diam-diam Leng-ji memuji kebijaksanaan Shin-tok Kek
yang disohorkan sebagai orang yang berwatak aneh kaku itu.
Otomatis, amarahnya tadi banyak berkurang, sebagai gantinya
kini timbul rasa menghormat pada tuan rumah.
Tiba-tiba tirai bambu yang menutupi pintu pondok itu
tersingkap. Seorang pemuda bertubuh kokoh kekar, muncul
keluar. Dia mempersilahkan Leng-ji masuk.
Bahwa dalam beberapa detik lagi bakal berhadapan dengan
seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi, mau tak mau
hati Leng-ji berdebar keras. Debar hatinya itu berobah
menjadi semacam kecemasan demi membayangkan
bagaimana nanti sikap tuan rumah apabila menerima surat
dari suhunya. Melangkah masuk, ia dapatkan ternyata pondok itu tak
seberapa besar, namun dirawat resik sekali. Disebuah dipan
pendek yang bertutupkan tikar sulaman lukisan kepala naga,
duduk dua orang. Yang kiri usianya antara empatpuluhan tahun. Wajahnya
agung, mengenakan kain kepala dan pakaian sebagai orang
pelajar. Yang sebelah kanan, adalah seorang tua gemuk
pendek. berwajah merah. Rambut dan jenggotnya sudah
sama putih, seri wajahnya riang tertawa.
Leng-ji agak tertegun, lalu menjurah memberi hormat
kepada orang pelajar itu, ujarnya: "Wanpwe Sik Leng-ji anak
murid Hun-si-sam-sian dari biara Peh-hoa-kiong. mohon
menghadap pada Shin-tok sianseng."
Memang tokoh pertengahan umur yang dandanannya
seperti orang pelajar itu, bukan lain ialah si Rase Kumala Shintok
Kek. Tenang-tenang saja dia sapukan mata ke arah Lengji.
Sejenak bersenyum, berkatalah dia dengan nada ramah:
"Lohu sudah keliwat lama mengasingkan diri, tentang
peradatan tak terlalu mempersoalkan, harap nona duduk."
29. Taruhan Tokoh Sepuluh Datuk
Leng-ji menghaturkan terima kasih, tapi bukannya duduk,
ia mengisar kekanan dan memberi hormat kepada orang tua
gemuk pendek, ujarnya: "Kalau wanpwe tak salah, bukankah
lo-jin-ke ini Siau-sian-ong Bok locianpwe yang termasyhur
suka berkelana menyebarkan kebajikan?"
Si tua gemuk itu mendongak tertawa, sahutnya: "Dara,
caramu berlaku begitu menghormat itu, telah membuat lohu
tak enak dihati sendiri. Lekaslah duduk, biar enak yang
bicara." Tahu bahwa kaum cianpwe yang berilmu tinggi biasanya
memang tak suka banyak peradatan, Leng-ji pun tak mau
sungkan lagi, lalu duduk di sebuah dingklik.
Ia merogoh keluar sepucuk sampul besar lalu
menghaturkannya dengan kedua tangan kepada si Rase
Kumala. "Suhu menitahkan wanpwe supaya menghaturkan
surat ini kepada locianpwe."
Setelah menerima dan membukanya, wajah si Rase Kumala
tampak berobah, tapi pada lain jenak kembali sudah tenang
lagi. Sehabis membaca, lalu diberikan kepada Siau-sian-ong (si
Dewa Tertawa). Berpaling kembali kepada Leng-ji dia berkata: "Karena lama
tak campur urusan dunia, adat lohu menjadi malas, jadi tak
usah membuat surat balasan. Cukup nona sampaikan pada
gurumu bahwa dua bulan lagi pada malam purnama, lohu
akan berkunjung ke Lo-hu-san guna menyelesaikan urusan
cucuku yang kurang ajar itu."
"Atas nama suhu, wanpwe menghaturkan terima kasih dan
mohon diri," sahut Leng-ji sembari berbangkit memberi
hormat. Si Rase Kumala mengangguk sambil tertawa. Tiba di muka
pintu. tiba-tiba Leng-ji teringat sesuatu. Kembali dia berputar
tubuh dan memberi hormat kepada si Rase Kumala.
"Wanpwe hendak mengajukan sedikit permohonan, entah
apakah locianpwe sudi meluluskan?"
Si Rase Kumala tercengang, kemudian tertawa: "Asal lohu
mampu melakukan, tentu dengan segala senang hati akan
nerimanya." Memandang keluar pintu, Leng-ji berkata: "Dalam
bentrokan dengan Shin-tok siaohiap tadi, wanpwe pun juga
bersalah, apalagi Shin-tok siaohiap cukup mengalah. Wanpwe
mohon locianpwe suka memberi keringanan pada Shin-tok
siaohiap itu." Shin-tok Kek tertawa, ujarnya: ,,Nona cukup berbudi,
terima kasih. Tapi karena hal itu menyangkut peraturan
pondok pertapaanku, jadi terpaksa tak dapat meluluskan.''
Dalam keramahannya itu, nada si Rase Kuinala
mengandung kewibawaan yang mengesankan. Leng-ji tak
berani banyak omong lagi, terus memberi hormat dan pergi.
Secepat bayangan nona itu hilang dari pemandangan,
wajah si Rase Kumala pun berganti menjadi keren.
"Lo-koay, bagaimana kau hendak mengurus soal ini," seru
si Dewa Tertawa. Dingin-dingin saja si Rase Kumala menyahut: "Bok loji,
jangan membakar hatiku. Kalau Ih-ji sampai kesalahan,
kaupun tak terlepas dari pertanggungan jawab. Sekalipun
anak itu berbuat salah, juga kita berdua yang berhak
mengajar, bukan lain orang."
Berhenti sejenak, tokoh itu melanjutkan kata-katanya:
"Soal percintaan dalam kalangan muda-mudi, adalah sudah
jamak. Kali ini lohu hendak campur tangan membuat suatu
penyelesaian yang memuaskan bagi mereka."
Sudah puluhan tahun si Dewa Tertawa galang-gulung
dengan Shin-tok Kek, jadi sudah cukup paham isi hatinya.
"Apa yang peribahasa mengatakan itu memang benar,
'sungai dan gunung mudah dipindah, tapi watak orang sukar
dirobah'. Menilik naga-naganya, Peh-hoa-kiong tentu akan
kocar-kacir ?".." diam-diam si Dewa Tertawa itu membatin.
?"?"" Tempo berjalan laksana anak panah cepatnya. Tahu-tahu
kini sudah masuk bulan ketiga. Tiga hari yang lalu, si Dewa
Tertawa sudah tinggalkan Tiam-jong-san. Dia berjanji akan
bertemu lagi di Lo-hu-san untuk mendampingi si Rase Kumala
menghadapi Hun-si-sam-sian.
Batas janjinya dengan Peh-hoa-kiong sudah tiba, Shin-tok
Kek pun segera berkemas. Tan Wan disuruh jaga rumah,
sedang dia lalu naik tandu yang digotong oleh Shin-tok Liong
dan Shin-tok Hou berdua. Memang apa yang diramalkan si Dewa Tertawa itu tepat.
Kepergian si Rase Kumala ke Lo-hu-san itu berarti datangnya
bencana bagi Peh-hoa-kiong.
Malam purnama pada permulaan musim panas. Di muka
hutan pohon bwe Hiang-swat-hay yang terletak disebelah
dalam dari gunung Lo-hu-san, tampak ada sebuah tandu yang
dipanggul oleh dua pemuda gagah.
Begitu berhenti, keluarlah seorang pelajar setengah umur.
Wajahnya putih beseri, sepasang matanya berkilat-kilat tajam
amat berpengaruh. Kain kepala yang berhias batu kumala
cemerlang dan pakaian sutera berwarna kelabu perak, serasi
sekali dengan potongan tubuhnya yang tinggi langsing.
Sikapnya agung berwibawa.
Dia memberi isyarat supaya kedua pemuda tadi
mengundurkan diri, lalu melangkah masuk ke dalam daerah
hutan bwe. Dia berkeliaran memandang kian kemari, seolaholah
mencari sesuatu. Tapi sekeliling itu tetap sunyi senyap
saja. Suatu hal yang membuatnya mengerut dahi keheranan.
"Klik ?"." tiba-tiba terdengar angin berkesiur meniup jatuh
sekelompok bunga bwe. Bunga itu bertebaran jatuh ke bawah,
Tiba-tiba orang pelajar itu berputar tubuh, menyusul dengan
gerak hong-kek-hong-hui, dia enjot tubuhnya ke atas sebuah
pohon besar yang tumbuh disebelah kiri.
Baru tubuhnya melambung di udara, dari semak daun
pohon itu terdengar gelak tertawa macam naga meringkik.
"Brak," semak daun menyingkap dan sesosok tubuh melayang
turun ke bawah. Si orang pelajar yang tengah melayang naik tadi, terpaksa
ditengah jalan berhenti berjumpalitan, lalu meluncur turun ke
arah orang tadi, serunya: "Bok loji, kalau main sembunyi
jangan salahkan Shin-tok Kek tak kenal ampun."
Begitu menginjak tanah, bayangan tadi terus melesat ke
samping dan tertawa gelak-gelak: "Lo-koay, kau benar-benar
lihay!" Setelah saling berhadapan, kedua orang itu sama bergelakgelak.
Kini jelaslah siapa-apa mereka itu. Yang bersembunyi
dibalik daun pohon tadi, ternyata ialah si Dewa Tertawa Bok
Tong, tokoh Sepuluh Datuk yang selalu bersikap riang.
Sementara si orang pelajar yang naik tandu tadi, bukan lain
ialah si Rase Kumala Shin-tok Kek.
Kuatir akan keselamatan Siau Ih, maka si Dewa Tertawa
minta diri pada Shin-tok Kek lebih dulu dan berjanji akan
berjumpa di Hiang-swat-hay. Sebagai tokoh kenamaan, si
Dewa Tertawa sungkan untuk datang ke Peh-hoa-kiong
sebelum tiba waktunya perjanjian.
Namun secara diam-diam, dia dapat menyelundup ke
dalam tahanan yang-thay-suan untuk menjenguk Siau Ih dan
menghiburinya. Begitulah setelah malam purnama tiba, si Dewa Tertawa
bersembunyi dihutan bwe menunggu kedatangan si Rase
Kumala. Tapi dasarnya suka berolok-olok, waktu sang sahabat
datang, diapun sengaja main sembunyi.
Kedua tokoh itu lain wataknya, yang satu bersungguhsungguh
dan yang lain suka berolok-olok. Namun dalam
menghadapi musuh, keduanya mempunyai persamaan sikap
yakni bersungguh-sungguh. Begitulah sembari masuk ke
dalam hutan, si Dewa Tertawa menceritakan pengalamannya
kepada sang sahabat. "Malam-malam masuk ke Peh-hoa-kiong, memang tidak
pantas. Tapi Hun Yak-lun kakak beradik itupun tidak
seharusnya memperlakukan seorang anak begitu rupa,
membekuk dulu baru memberitahukan orang tuanya. Cara
membunuh orang masih pula hendak membeset kulitnya
macam itu, tidak sesuai dengan jalan yang harus ditempuh
oleh kaum tiangcia (angkatan tua)." habis mendengar
penuturan, si Rase Kumala menyatakan pikirannya.
Sebaliknya si Dewa Tertawa mempunyai pendapat sendiri,
kata nya: "Ih-ji sejak kecil kuasuh dan kudidik seperti anakku
sendiri. Memang aku merasa sedih atas terjadinya hal itu,
namun kalau dipandang dari sudut peraturan, aku tak berani
terlalu memihak padanya."
Shin-tok Kek terkesiap berpaling menatap tajam-tajam ke
arah si Dewa Tertawa. "Bok loji, apa artinya perkataanmu
itu?" tanyanya. Kembali sepasang alis si Dewa Tertawa menjungkat ke
atas. ujarnya: "Negara mempunyai undang-undang, rumah
tangga mempunyai peraturan. Sudah sejak berpuluh-puluh
tahun Peh-hoa-kiong merupakan daerah terlarang bagi kaum
lelaki dan melarang anak muridnya menikah. Peraturan itu
dipegang teguh. Ih-ji berani mati melanggar peraturan itu.
Kalau dia tak mempunyai hubungan apa-apa dengan kau,
mungkin jiwanya sudah melayang."
Si Rase Kumala tertawa dingin.
"Setiap memecahkan persoalan, Shin-tok Kek selalu tak
mengabaikan perasaan dan nalar (cengli). Soal perkawinan
adalah sudah menjadi kodrat alam. Peraturan Peh-hoa-kiong
itu, berjiwa melanggar hukum alam. Dan kalau mengingat
peristiwa dulu, perlakuan Hun-si-sam-sian terhadap Ih-ji itu,
juga melupakan budi perasaan," kata Shin-tok Kek.
Sejenak berhenti lalu melanjutkan pula: "Bok loji, aku tak
suka dengan segala peraturan mati. Aku hanya menjunjung
logika (nalar) yang nyata. Lepas dari persoalan Ih-ji, aku akan
menggunakan kesempatan kali ini untuk mencicipi ilmu
kesaktian dari Peh-hoa-kiong yang termasyhur itu."
Lepas bebas si Rase Kumala menyatakan perasaan hatinya,
hingga dalam suasana yang sunyi senyap itu, kedengaran
makin nyaring. Si Dewa Tertawa menjadi tegang juga perasaannya.
Sebenarnya dia mengharap urusan itu dapat diselesaikan
secara damai. Tetapi mengingat akan perangai sahabatnya itu, dia kuatir
kalau mencegah malah akan menambah minyak dalam api.
Membayangkan akibatnya nanti, wajah si Dewa Tertawa yang


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biasanya berseri girang itu, menjadi lesu muram.
Kini mereka berdua sudah melintasi hutan bwe dan
melangkah kedataran luas dimana biara Peh-hoa-kiong berdiri
dengan tegaknya. Suasana biara itu sunyi senyap, pintunya
tertutup rapat-rapat. "Perjanjian sudah tiba saatnya, mengapa tak tampak suatu
apa?" Si Rase Kumala tertawa dingin sembari menghampiri ke
pintu, "apa boleh buat, terpaksa harus mengetuk pintu."
Sampai ditangga yang menjurus kepintu, tetap tak ada
perobahan. Si Rase Kumala hentikan langkah dan berseru
lantang-lantang: "Apakah benar-benar tuan rumah tak mau
menyambut kedatangan Shin-tok Kek ini?"
Sembari berkata begitu, sepasang tangannya didorongkan
kemuka. Pintu yang letaknya masih jauh itu kedengaran
berbunyi keretekan dan terpentang lebar.
Ruangan biara itu ternyata terang-benderang, tapi tiada
seorangpun yang kelihatan. Si Rase Kumala tertegun tapi
lantas tertawa dan berpaling ke arah Bok Tong: "Rupanya kita
berdua terpaksa masuk sendiri!''
Si Dewa Tertawa mengerut kening, pikirnya: "Biarpun Hunsisam-sian berwatak aneh, tapi terhadap kita berdua, tak
seharusnya dia berbuat begini. Entah apa maksudnya!''
Dalam pada itu, Shin-tok Kek sudah naik ke atas tangga
dan masuk ke dalam pintu. Terpaksa si Dewa Tertawa
mengikuti. Di belakang pintu terdapat sebuah halaman luas
yang lantainya terbuat dari batu marmar hijau mengkilap.
Sebuah ruangan besar yang megah, berdiri ditengah
halaman itu. Sepintas pandang, ruangan itu seolah-olah
bermandikan cahaya lampu.
Dengan langkah tenang, si Rase Kumala masuk pelahanlahan
sembari sapukan matanya ke sekeliling penjuru. Seri
wajahnya setitik pun tak menampilkan perasaan marahnya.
Suatu hal yang membuat kagum si Dewa Tertawa, disamping
cemas akan nasib Peh-hoa-kiong.
"Dari tempat jauh Shin-tok Kek datang kemari, apakah tuan
rumah baik-baik saja?" ke arah ruang besar si Rase Kumala
berseru nyaring. Sesosok tubuh muncul dari ruangan dalam. Itulah Sik Lengji.
"Suhu mempersilahkan dan menyuruh wanpwe mengantar
sianseng," kata nona itu dengan menghaturkan hormat
kepada kedua tetamunya. Si Rase hanya mengulum senyum seraya memberi isyarat
tangan. Tapi begitu Leng-ji dan kedua tetamunya tiba di muka
ruangan besar, Hun-si-sam-sian dengan rombongan anak
muridnya sudah keluar menyongsong.
Setelah memberi hormat, Ko-shia-siancu Hun Yak-lun
berkata: "Sianseng adalah tetamu-tetamu terhormat, tapi
karena Peh-hoa-kiong tak pernah menerima kunjungan kaum
lelaki, jadi tadi telah tak menyambut sebagaimana mestinya,
harap sianseng memaafkan!"
Si Rase Kumala balas memberi hormat, kemudian sambil
tertawa panjang dan menyahut: "Pun sebaliknya kami berdua
minta maaf atas kelancangan masuk ke dalam biara suci ini."
Wajah Ko-shia-siancu Hun Yak-lun agak merah.
"Adalah kesalahan kami bertiga saudara yang kurang
sopan, bukan pihak sianseng, yang perlu minta maaf. Apalagi
tempo dahulu ibu kami pernah menerima budi kebaikan
siangseng ?"." "Sudahlah, urusan lama jangan diungkat lagi. Shin-tok Kek
sudah lama melupakannya. Hanya sampai disini mata si Rase
Kumala menyapu kesekeliling ruangan, lalu melanjutkan
berkata: "Cucuku yang tak tahu adat itu, berada dimana?"
Sikap si Rase Kumala yang sombong angkuh itu,
sebenarnya sudah membangkitkan amarah Hun-si-sam-sian.
Namun dengan penuh toleransi, Hun Yak-lun menjawab
dengan tenangnya: "Kini Siau saohiap tengah beristirahat
dipondok Yang-thay-suan."
"Yang-thay-suan adalah sebuah tempat yang suci. Sungguh
aneh, mengapa seorang anak yang melanggar peraturan,
diberi tempat disitu?" habis berkata begitu, Shin-tok Kek
berpaling dan menanyakan pendapat si Dewa Tertawa.
Belum si Dewa Tertawa menyahut, Ko-shia-siancu sudah
mendahului berkata dengan nada bersungguh: "Dikatakan
bahwa kalau hanya dipelihara tanpa dididik, itulah kesalahan
orang tua. Tapi kalau mendidik tak keras, itulah kelalaian
guru. Terhadap kaum angkatan muda, asal tak berbuat
kejahatan, Peh-hoa-kiong takkan menghukum keterlaluan
?".." "Dengan begitu, tanggung jawab seluruhnya terletak
dibahu orang tua, bukan?" tukas si Rase Kumala tertawa
dingin. "Benar!" sahut Ko-shia-siancu tak kurang tawar.
Si Rase Kumala kembali tertawa dingin, ujarnya pula:
"Apakah hal itu cukup adil?"
Betapapun berkobarnya amarah Ko-shia-siaucu kala itu,
namun mengingat mendiang ibunya pernah menerima budi
kebaikan dari si Rase Kumala, terpaksa ia kendalikan diri.
Hanya wajahnya segera tampak membeku dingin dan
menyahut tegas: "Bagi yang memegang teguh aturan, tentu
tak merasa diperlakukan tak adil."
Tertawalah si Rase Kumala, sanggahnya: "Sepanjang
melakukan perbuatan, Shin-tok Kek selalu bertindak secara
terang. Entah dalam hal apa dianggap menyalahi peraturan
itu" Aku dan Bok Lo-ji sengaja datang memenuhi undangan
siancu untuk menerima koreksi."
Sikap dan nada si Rase Kumala yang makin jumawa itu,
membuat Ko-shia-siancu makin mendidih hatinya. Dengan
wajah geram, ia berkata: "Karena sianseng menanyakan,
kamipun harus menjawab. Untuk urusan malam ini, kami
bertiga saudara hanya akan mengutarakan tiga buah
permintaan. Tentang memberi koreksi, kami sungguh tak
berani." "Ah, untung hanya tiga buah permintaan. Biarlah Shin-tok
Kek menunggu dengan hormat," tertawa si Rase Kumala
dengan angkuh. Sejenak melirik dengan gusar kepada sang tetamu,
berkatalah Ko-shia-siancu: "Pertama, mengeluarkan murid
murtad itu dari perguruan."
"Itukan urusan siancu sendiri, Shin-tok Kek tak berhak
campur tangan," cepat-cepat si Rase Kumala memberi ulasan.
Ko-shia-siancu tak mau menghiraukan. Katanya pula: "yang
kedua, kami serahkan Siau Ih pada sianseng supaya diberi
didikan. Si Rase Kumala mendengus dingin.
Sejenak sapukan mata ke arah Shin-tok Kek dan si Dewa
Tertawa, berkata pula Ko-shia-siancu dengan nada yang
lemah lembut mengandung tantangan: "Dan yang ketiga,
karena Siau Ih berani tengah malam memasuki daerah
terlarang seluas sepuluh li, dengan begitu melanggar
peraturan Peh-hoa-kiong yang sudah beratus tahun itu, kami
akan minta peradilan dari sianseng berdua!"
Si Dewa Tertawa yang mengharapkan perdamaian, sudah
tentu menjadi kaget. Tapi tidak demikian dengan si Rase
Kumala. "Mengapa daerah Hiang-swat-hay seluas sepuluh li,
menjadi daerah terlarang" Hal apakah yang menjadi larangan
Peh-hoa-kiong selama seratusan tahun itu" Ingin sekali ShinTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tok Kek mendengar penjelasan!" tenang dan tegas si Rase
Kumala memberi reaksi. "Peh-hoa-kiong menjadi daerah terlarang bagi kaum lelaki,
anak murid Peh-hoa-kiong dilarang kawin, setiap kaum
persilatan tentu sudah mengetahui. Mana bisa seorang tokoh
macam si Rase Kumala tak tahu! Jadi terang kalau tokoh itu
"sudah bersuluh menjemput api' atau sudah tahu masih
bertanya pula." "Siau Ih mengadakan hubungan rahasia dengan muridku
yang murtad. menjadi bukti bahwa dia telah melanggar
peraturan yang sudah menjadi tradisi ratusan tahun dari Pehhoakiong!" sahut Ko-shia-siancu dengan suara tajam.
Pecah mulut si Rase Kumala tertawa gelak-gelak. "Oh,
kiranya begitu ?"?" katanya lalu serentak mengganti wajah
tertawa menjadi kereng angkuh: "Sudah sembilanpuluh tahun
Shin-tok Kek melihat matahari, selama itu tak mau bertindak
dalam hal bertentangan de-ngan hukum alam. Perkawinan
antara pemuda dan pemudi, asal tidak melanggar garis-garis
kesopanan, adalah sesuai dengan kodrat alam. Mengapa harus
mengadakan larangan terhadap sesuatu yang menjadi kodrat
manusia ?".." Berkata sampai disini kembali Shin-tok Kek tertawa nyaring
pula dan berkata: "Lohu memang gemar mengurus segala
macam urusan, apalagi mengenai urusan cucu sendiri. Oleh
karena hal itu bukannya suatu kejahatan, mengapa tak mau
bantu menyelesaikan" Lohu hendak mewakili cucu lohu itu,
untuk mengajukan permohonan kepada siancu agar sudi
menjadikan pernikahan itu."
Saking murkanya, sepasang alis Ko-shia-siancu menjungkat
naik, wajahnya pucat seperti kertas.
"Pemilik pertapaan Lan-chui-suan meskipun amat
dimuliakan dunia persilatan, tapi Peh-hoa-kiong pun bukan
sebuah tempat yang mudah dihina. Atas budi yang sianseng
limpahkan kepada mendiang ibu kami, biarlah lebih dahulu
kami bertiga saudara memberi hormat selaku terima kasih
kami. Setelah itu, barulah kita bereskan persoalan ini."
Diikuti oleh kedua saudaranya, Ko-shia-siancu segera
mundur tiga langkah, lalu memberi hormat setinggi-tingginya
kepada Shin-tok Kek. Pun Shin-tok Kek menarik pulang keangkuhannya dan
membalas hormat, ujarnya: "Bunga merah maupun teratai
putih, semua berdaun hijau. Kaum persilatan pun semuanya
sekeluarga. Bahwa dahulu telah memberi bantuan, itulah
sudah menjadi kewajiban kita, bagaimana lohu berani
menerima pernyataan terima kasih siancu" Tapi untuk rasa
berbakti yang siancu bertiga unjukkan itu, Shin-tok Kek amat
memuji." Sehabis memberi hormat, tiba-tiba wajah Ko-shia-siancu
berobah muram lagi, katanya: "Sudah lama kami mengagumi
akan kesaktian Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap yang
menggetarkan dunia persilatan. Bahwa hari ini dapat bertemu
muka, sungguh suatu keberuntungan besar. Rasanya tiada
lain jalan yang dapat ditempuh lagi untuk menyelesaikan
urusan ini, selain dengan cara kaum persilatan. Berdua pihak
mengeluarkan kepandaiannya untuk menemukan kebenaran!"
Kembali keangkuhan si Rase Kumala bangkit yang
diutarakan dengan tertawanya. "Siancu serba tangkas dalam
perkataan dan perbuatan. Shin-tok Kek sungguh kagum.
Urusan malam ini, lohu hanya mengiringkan saja kehendak
siancu itu." "Pertempuran malam ini, cukup dilakukan dalam tiga
babak. Tentang bagaimana caranya, karena sianseng sebagai
tetamu, Hun Yak-lun dengan segala senang hati akan menurut
saja." Si Rase Kumala berhamburan gelak, serunya: "Seumur
hidup lohu tak mau minta murah (menindas) orang. Terhadap
pihak Siang Ceng Kiong dan Goan Goan Cu, pun tak
terkecuali. Bok loji pun bukan bangsa tikus yang temaha
menang secara murah. Karenanya kami kembalikan saja acara
pertandingan ini kepada pilihan siancu saja."
Tiba-tiba si Dewa Tertawa yang sejak tadi diam saja kini
buka suara: "Kalian dan aku, bukan bangsa anak kecil lagi
yang mudah dipengaruhi oleh luapan perasaan. Dahulu aku si
Dewa Tertawa memang terkenal sebagai orang yang
berangasan, tapi dengan bertambahnya usia, sifat
keberangasanku itu hilang ditelan masa. Kini aku lebih
mengutamakan cara damai. Meskipun aku tersangkut juga,
tapi masih kuharapkan penyelesaian secara damai ini, bukan
berarti, bahwa aku Bok Tong takut perkara. Kalau sudah
terlanjur, sekalipun tubuh hancur lebur, aku tetap pantang
mundur!" Ko-shia-siancu mengangguk, serunya: "Sungguh pantas
dipuji bahwa Bok tayhiap mempunyai pandangan yang begitu
bijak. Kami bertiga berpuluh tahun menyekap diri di Lo-husan.
Anak murid kamipun jarang turun gunung. Dengan
sendirinya kami tak suka setori dengan orang. Bahwa kali ini
Shin-tok sianseng sudi berkunjung kemari, sudah tentu kami
akan menyambut dengan hormat dan pula kami jamin Siau Ih
tentu tak kurang suatu apa."
Baru si Dewa Tertawa hendak menjawab, si Rase Kumala
sudah memberi isyarat tangan dan mendahului: "Apa yang
Shin-tok Kek ucapkan, belum pernah ditarik kembali. Hanya
dengan ngukur kepandaian, kita putuskan soal ini dengan adil.
Ketetapan ini tak perlu dirobah lagi. Dengan tak menghiraukan
kerendahan diri, Shin-tok Kek tetap akan mengajukan
peminangan itu kepada siancu guna cucuku itu."
Sampai disini, si Dewa Tertawa menjadi putus asa. Urusan
tak kena didamaikan lagi.
"Dahulu sam-coat (tiga datuk) bertemu di Siang Ceng Kiong
dan kini ngo-coat (lima datuk) berjumpa di Peh-hoa-kiong.
Sungguh dunia persilatan akan tambah kaya dengan cerita
yang menarik," demikian Ko-shia-siancu tertawa tawar.
Duapuluh tahun berselang, untuk menolong Goan Goan Cu,
Bing King Siangjin rela menerima sebuah pukulan dari si Rase
Kumala. Peristiwa itu masih tetap mengganjel dihati si Rase
Kumala. Bahwa Ko-shia-siancu mengungkat hal itu, perasaan
si Rase Kumala menjadi tertusuk. Dari malu, dia menjadi
murka. "Memang bayangan masa yang lampau tetap memancar
sampai sekarang. Sayang Bing King Hweshio tak ketahuan
rimbanya, kalau tidak, dapatlah Shin-tok Kek menyelesaikan
urusan itu sama sekali, agar tidak selalu mengganjel dihati,"
Shin-tok Kek tertawa angkuh.
"Ah, sudahlah, waktu amat berharga. Silahkan menyebut
acaranya, Shin-tok Kek akan menyambut dengan patuh,"
katanya pula. Betapapun kemarahan Ko-shia-siancu atas permintaan
yang kurang ajar dan sikap yang sombong dari Shin-tok Kek
itu, namun ia tak berani terlalu mengumbar perasaan. Ia tahu
siapa si Rase Kumala itu.
Akhirnya setelah merenung sebentar, Ko-shia-siancu
berkata: "Kita berdua bukan bangsa anak kecil, jadi harus bisa


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertindak secara tepat ringkas. Acara pertama, kita adu ginkang
dan ilmu pukulan di hutan bwe sana. Kemudian, adu
ilmu pedang sebagai acara nomor dua, selanjutnya yang
penghabisan ialah memecah sebuah barisan Peh-hoa-kiong.
Entah apakah Shin-tok sianseng dan Bok tayhiap setuju
dengan acara sederhana itu?"
Si Rase Kumala yang cerdas segera dapat menangkap
kemana tujuan tuan rumah. Tetap mengunjuk senyum
keangkuhan, dia menyatakan persetujuannya: "Baik, memang
tak perlu kita tawar menawar. Hanya konon kabarnya selain
barisan kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin, Peh-hoa-kiong masih
memiliki sebuah barisan sakti it-sam-goan-kiam-tin yang amat
dirahasiakan Shin-tok Kek hendak memakai sebatang pit untuk
menerimanya, entah apakah Sam-sian sudi memberi
pelajaran." "Karena siangseng menghendakinya, kami bertiga pasti
suka menghaturkan ?".." kata Ko-shia-siancu sambil berhenti
sebentar untuk melonggarkan kesesakan napasnya. Kemudian
katanya pula: "Apabila Peh-hoa-kiong beruntung
memenangkan dua dari tiga pertandingan itu, harap Shin-tok
sianseng dan Bok tayhiap sudi membawa pulang Siau Ih dan
diberi didikan yang lebih keras. Selangkahpun dia dilarang
menginjak daerah Lo-hu-san lagi!"
Shin-tok Kek tertawa lebar, sahutnya dengan serentak:
"Kalau Shin-tok Kek kalah, bukan saja cucuku yang kurang
adat itu akan kuserahkan bagaimana siancu hendak
menghukumnya, pun aku dan Bok loji akan meninggalkan
dunia persilatan untuk selama-lamanya. Tapi ?"?" - dia
berhenti sesaat. Sepasang matanya berkilat-kilat menatap
Hun-si-sam-sian. Lalu meneruskan berkata: "Tapi kalau Pehhoakiong tak dapat mengalahkan kami berdua,
bagaimanakah putusannya!"
"Tradisi larangan Pek-hoa-kiong yang sudah beratus tahun
itu, akan hapus sejak itu!" sahut Ko-shia-siancu dengan tak
kurang tegasnya. "Baik, kita sudah sama-sama sepakat, silahkan!" kata si
Rase Kumala sembari terus menarik si Dewa Tertawa diajak
keluar. Hun-si-sam-sian dengan diiringkan oleh anak murid
angkatan kedua dan ketiga, segera mengikuti. Mereka kini
saling berhadapan di tanah lapang.
"Dalam acara pertama, pihak siancu hendak mengajukan
siapa?" tanya si Rase Kumala.
Sebagai penyahutan, Leng-boh-siancu Hun Yak-hwa tampil
ke muka. Setelah memberi hormat kepada Shin-tok Kek, tanpa
melakukan gerakan apa-apa, tahu-tahu tubuhnya melambung
ke udara melayang ke puncak sebatang pohon bwe.
Gerakannya sedemikian halus, hingga setitik debu pun tak
tergoyang. Sejak dalam pertukaran bicara tadi, Leng-boh-siancu Hun
Yak-hoa tak mengambil bagian. Begitu pertandingan dimulai,
tahu-tahu dia sudah tampil yang pertama. Mau tak mau si
Rase Kumala dan si Dewa Tertawa terkejut juga.
"Menilik kenyataannya, Hun-si-sam-sian memang pantas
termasuk golongan sepuluh Datuk," diam-diam si Rase Kumala
membatin. Tapi sebagai seorang yang berhati tinggi, sudah
tentu dia tak mau unjuk kelemahan.
30. Akhirnya ........ Segera dia hendak melangkah, tapi sudah didahului oleh si
Dewa Tertawa yang maju sembari tertawa gelak-gelak:
"Biasanya acara yang menarik tentu berada dibelakang. Lokoay,
biarlah aku yang maju pertama."
Si Rase Kumala tahu kalau sahabatnya memandang ringan
lawan. Hun-si-sam-sian bukan musuh yang empuk. Acara yang
belakangan tentu lebih dahsyat, karena itu dia (si Dewa
Tertawa) suka menyediakan diri lebih dulu supaya si Rase
Kumala dapat memelihara tenaga.
"Bok loji, mengingat persahabatan kita yang begitu lama,
baiklah, kau boleh jual tingkah," sahut si Rase Kumala dengan
tersenyum. Bok Tong tertawa keras, sekali mengibaskan lengan baju,
dia melayang ke atas dahan pohon. Leng-boh-siancu tenang
menantinya. Begitu kaki lawan menginjak dahan, segera ia
kebutkan kedua lengan bajunya. Serangkum hawa yang
mengandung tenaga negatif lunak, menyambar dada si Dewa
Tertawa. Menurut peraturan dunia persilatan, dalam setiap
pertempuran, kecuali berhadapan dengan musuh besar atau
memang memandang rendah lawan, orang tentu akan saling
memberi salam. Jadi nyata Leng-boh-siancu tadi sudah
melanggar peraturan itu. Namun si Dewa Tertawa tak mengacuhkan. Berbareng
tertawa keras, dia luruskan kedua tangannya ke muka dada
lalu dibalikkan untuk menangkis.
Sama sekali Leng-boh-siancu tak mau adu lwekang dalam
gebrak pertama, maka ia hanya gunakan seperempat bagian
tenaganya untuk menjajaki lawan. Tapi si Dewa Tertawapun
sudah mengetahui hal itu, jadi diapun tak sungguh-sungguh
menangkis. Maka begitu kedua tenaga itu saling berbentur,
kedua tokoh itu sama-sama mundur.
Pertempuran di atas pohon yang besarnya hanya
menyamai jari tangan, jauh bedanya dengan di atas tanah. Di
atas ranting, memerlukan kepandaian gin-kang yang tinggi.
Demikian kedua tokoh itu saling berlincahan dengan
gesitnya, tukar menukar pukulan lwekang dan baku hantam
yang dahsyat. Leng-boh-siancu Hun Yak-hoa gunakan ilmu
pusaka Peh-hoa-kiong yang termasyhur, yakni can-hoa-chiu.
Sementara si Dewa Tertawa keluarkan ilmu tun-yang sip-patciat
yang sakti. Yang tampak di bawah cahaya rembulan, hanyalah dua
bayangan hijau dan kuning saling bersilang rapat-rapat. Dalam
sekejap saja, mereka sudah bertempur lebih dari limapuluh
jurus. Hebatnya pertempuran itu telah membuat Shin-tok Kek dan
kedua siancu menjadi ketar-ketir. Sedikit berayal saja, salah
seorang yang bertempur itu tentu akan terjungkal luka parah.
Pertempuran kini sudah menginjak seratus jurus.
Berhadapan dengan musuh berat, Leng-boh-siancu keluarkan
seluruh kebiasaannya. Tapi ternyata sampai sekian lama
masih belum berhasil, hingga membuatnya gelisah.
Kebetulan saat itu, si Dewa Tertawa maju merapat sembari
dorongkan tangan kanannya kemuka. Untuk itu ia tak mau
menghindar. Begitu tangan si Dewa Tertawa hampir
mengenai, ia cepat mendongak ke belakang sembari tabaskan
tangan kiri kesiku tangan lawan. Menyusul ia berputar
menggeliat sambil kerjakan dua buah jari tangannya kanan
untuk menutuk pundak si Dewa Tertawa.
Kejut Bok Tong bukan kepalang. Tak kira dia bahwa dalam
saat-saat menghadapi kekalahan, Leng-boh-siancu sudah
gunakan jurus-jurus yang sedemikian berbahayanya. Jarak
mereka begitu rapat, untuk menghindar terang tak mungkin.
Dalam gugupnya, si Dewa Tertawa buru-buru kerahkan
lwekang ke arah pundaknya untuk menerima tutukan. Tapi
dalam pada itu, dia menggerung keras dan menjotos dada
lawan, huk ?"?"
Oleh karena sebagian besar lwekangnya dipusatkan ke
pundak, jotosan si Dewa Tertawa tadi tak begitu dahsyat.
Sekalipun begitu, hasilnya tetap mengerikan.
Dalam teriakan kejut dari orang-orang yang menyaksikan
dibawah, Leng-boh-siancu dan si Dewa Tertawa sama-sama
terpelanting jatuh. Si Rase Kumala dan Hu-yong-siancu
serempak sama loncat menyanggapi.
Si Dewa Tertawa tampak meramkan mata, wajahnya
menampil kesakitan. Setelah didudukkan di tanah, si Rase
Kumala lalu memeriksa pundaknya. Disitu terdapat tanda
matang biru, lengannya kiri kaku tak dapat digerakkan, tapi
hanya luka luar saja. Suatu hal yang membuat si Rase Kumala menjadi lega, lalu
menutuk jalan darah dilengan itu dan memberinya minum
sebutir pil. Setelah itu disuruhnya si Dewa Tertawa beristirahat
memulangkan napas. Bagaimana dengan Leng-boh-siancu" Ternyata Hun Yakhoa
itu terluka berat, wajahnya pucat seperti kertas dan
orangnya pun tak sadarkan diri lagi. Ko-shia-siancu cepat
menutup jalan darahnya, lalu suruh muridnya menggotong ke
dalam Peh-hoa-kiong. Kini dengan wajah merah padam, Hu-yong-siancu Hun Yakciau
menghadapi si Rase Kumla, ujarnya. "Dalam babak
pertama, kedua belah pihak sama-sama menderita luka, jadi
seri. Konon lama sekali sebatang cui-giok-ji-i dari Shin-tok
sianseng itu amat termasyhur kesaktiannya. Hun Yak-ciau
yang bodoh ini, senang sekali menerima pelajaran dari
sianseng!" Si Rase Kumala tertawa ewa, sahutnya: "Ah, siancu keliwat
me rendah. Ilmu pedang it-goan-kiam-hwat dari Peh-hoakiong,
juga teramat saktinya. Sebaiknya jangan membuang
waktu lagi, silahkan siancu menghunus pedang!"
Hanya dengan sebuah tertawa dingin, Hu-yong-siancu
sudah lantas siapkan pedang dan si Rase Kumala pun juga
sudah mencabut senjatanya cui-giok-ji-i yang termasyhur. Huyongsiancu berlaku sangat hati-hati. Ia membuka
serangannya dengan jurus kiau-li-jin-ciam, dari samping
menusuk dada lawan. Bermula heran juga si Rase Kumala mengapa siancu itu tak
gunakan ilmu pedang it-goan-kiam-hwat. Tapi sekilas
pikirannya yang cerdas segera dapat menangkap maksud
orang. Dia tegak berdiri diam saja, tak menangkis atau
menghindar. Hu-yong-siancu menjadi kelabakan sendiri. Adanya dia tadi
gunakan jurus biasa, ialah karena hendak memancing. Begitu
lawan bergerak menyerang, ia segera akan keluarkan ilmu
pedang it-goan-kiam-hwat. Tapi nyatanya, si Rase Kumala
telah mengetahui siasat itu.
Dalam malunya, Hu-yong-siancu teruskan serangannya itu
menjadi sebuah tusukan yang sesungguhnya. Begitu ujung
pedang hampir tiba, kedengaran si Rase Kumala tertawa
mengejek: "Karena siancu berlaku pelit, Shin-tok Kek terpaksa
meminta." Tubuh agak dimiringkan, cui-giok-ji-i dibalikkan untuk
menangkis pedang. Hu-yong-sian-cu mundur lalu maju pula
menyerang. It-goan-kiam-hwat mulai dikembangkan.
Tubuhnya seperti menjadi satu dengan pedang, baik
menyerang maupun menjaga diri selalu dalam gerakan yang
indah dahsyat. Lebih-lebih ia salurkan lwekang ke batang
pedang. Si Rase Kumala tak berani berayal. Diapun keluarkan ilmu
ji-i-san-chiu. Ilmu itu terdiri dari seratusdelapan jurus, khusus
mendasarkan delapan pokok kegunaan, yakni menggempur,
membentur, menutuk, memukul, melibat, mengunci,
mengacip dan membetot. Dalam beberapa kejap saja, mereka sudah saling serang
menyerang sampai duaratusan jurus lebih. Saat itu Hu-yongsiancu
mencecer lawan dengan tiga buah serangan keras
berturut-turut. Udara penuh dengan hamburan sinar pedang
yang menyilaukan. Tokoh angkuh si Rase Kumala mendongak tertawa
panjang, lalu berseru lantang-lantang: "Peristiwa lampau di
Siong Ceng Kiong itu. Shin-tok Kek tetap tak melupakan, kini
terpaksa kucobanya!"
Sekonyong-konyong tubuh tokoh itu melambung ke udara.
Bagaikan sinar pelangi, cui-giok-ji-i melayang ke dalam
gulungan sinar pedang. "Tring, tring," dua sosok tubuh samasama
loncat kejurusan yang berlawanan.
Begitu mereka menginjak tanah, dapatlah diketahui
keadaannya. Si Rase Kumala tetap tegak berdiri mengulum
senyum. Hu-yong-siancu termangu-mangu berdiri dengan
wajah pucat. Pedangnya tinggal separoh bagian saja!
"Shin-tok Kek meminta maaf dan ingin menerima
pengajaran pula untuk kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin dan samgoankiam-tin!" kata si Rase Kumala.
Benar Ko-shia-siancu sudah mendengar kesohoran nama si
Rase Kumala, tapi sedikitpun tak terbayang dalam pikirannya
bahwa kepandaian orang itu sedemikian saktinya. Namun
sebagai pemimpin dari sebuah biara termasyhur, tak mau
kentarakan goncangan hatinya.
Dengan wajah membeku, ia berkata kepada sang tetamu:
"Kalau dalam babak terakhir ini, Peh-hoa-kiong kalah pula,
kami akan mentaati perjanjian tadi!"
Segera ia pelahan-lahan lambaikan tangan. Kedelapan Lohupat-hong yang berdiri di belakangnya, segera tampil ke
muka. Dengan menghunus pedang, mereka pencar diri dalam
delapan jurusan mengepung si Rase Kumala. Ko-shia-siancu
sendiri yang memegang ko?mando.
Wajah si Rase Kumala tetap tenang, tapi diam-diam dia
merasa tegang juga dalam hatinya. Demi dilihatnya barisan
sudah tersusun selesai, dia segera mempersilahkan. Ko-shiasiancu tak mau menyahut. Dengan wajah membesi ia
kebutkan pedang dan mulailah barisan kiu-kiu-kui-goan-kiamtin
itu bergerak. Si Rase Kumala memperhatikan bagaimana Ko-shia-siancu
dan kedelapan muridnya itu bergerak-gerak dalam formasi
kiu-kiong, saling bergantian mengisi setiap pos yang
ditinggalkan. "Menilik keadaan barisan itu, kalau tak menyerang secara
kilat, tentu sukar membobolkan," pikirnya.
Secepat kilat dia ambil putusan untuk menggunakan cara
seperti ketika membobolkan ngo-heng-pat-kwa-kiam-tin dari
Siang Ceng Kiong dahulu. Begitulah dia segera bertindak.
Lengan baju kiri di kebutkan untuk melancarkan angin konggi,
menyusul cui-giok-ji-i menutuk salah seorang kiu-hong
yang berada disebelah mukanya.
Memang kiu-kiu-kui-goan-tin bukan olah-olah indahnya.
Begitu ujung cui-giok-ji-i hampir mengenai, kiu-hong itu
melejit ke muka, sedang kiu-hong yang di belakangnya
serentak sudah maju menggantikan posnya seraya menusuk si
Rase Kumala. Si Rase Kumala tertawa. Tangannya kanan yang hendak
ditusuk pedang itu diturunkan, tubuh mundur pundak berputar
menyongsongkan jarinya untuk mengejar kiu-hong yang


Si Rase Kumala Giok Hou Ko Kiam Karya S D Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah berpindah tempat tadi. Seketika nona itu terjungkal.
Dalam kejutnya, Ko-shia-siancu cepat lambaikan
pedangnya dan barisan berobah seketika. Tapi perobahan itu
kalah cepat dengan si Rase Kumala yang mendapat angin
lebih dulu. Menurutkan gerakan perobahan dari barisan itu, si
Rase Kumala berlincahan kekanan kiri untuk bolang-balingkan
cui-giok-ji-i dan tutukan jarinya.
Barisan menjadi kacau balau. Dari formasi kiu-kiong
(sembilan istana) menjadi pat-kwa, dari pat-kwa menjadi chitsiu,
chit-siu menjadi liok-hap, lalu ngo-heng dan su-chiu ?"..
Setiap barisan itu berobah tentu jatuh korban seorang kiuhong.
Kiu-kiu-kui-goan-kiam-tin yang bermula terdiri dari
sembilan dara kiu-hong, dalam sekejap mata saja sudah
tinggal dua. Pada lain saat ketika si Rase Kumala bersuit
keras, tubuhnya melambung ke udara lalu melayang turun
sembari kembangkan "payung" sinar hijau kemilau dari cuigiokji-i. Hanya dengusan tertahan yang terdengar dan kedua
anggauta kiu-hong yang menjadi sisa barisan itupun rubuh ke
tanah tertutuk pingsan. Si Rase Kumala melayang turun
setombak jauhnya. "It-goan-kiam-hwat telah kuterima. Apabila tak keberatan,
Shin-tok Kek sedia menerima lagi pelajaran sam-goan-kiamtin,"
ujarnya dengan tersenyum.
Ko-shia-siancu menghela napas panjang. Tiba-tiba pedang
komandonya dibanting ke tanah, serunya: "Sudahlah,
kemasyhuran nama Shin-tok sianseng memang bukan pujian
kosong. Sejak ini Peh-hoa-kiong akan menghapuskan
larangannya dan terserah bagalmana kau akan
menghukumnya!" Mendengar itu si Rase Kumala menganggukkan kepala.
Keangkuhan wajahnya tadi tiba-tiba lenyap. Dengan wajah
bersungguh, dia berkata: "Shin-tok Kek tiada lain permintaan
kecuali urusan peminangan tadi."
Ko-shia-siancu hanya menyeringai, sahutnya: "Jenderal
yang kalah perang, tak boleh menyombongkan kegagahan.
Karena urusan sudah sampai disini, tiada berguna untuk
bersitegang leher lagi, hanya saja ?".." - pemimpin Peh-hoakiong
itu tertegun sebentar, kemudian dia panggil dua orang
anak muridnya dan perintahkan mereka untuk mengambil Siau
Ih dan Lo Hui-yan. Tak berapa lama, kembalilah mereka bersama
"tawanannya". Demi melihat kedelapan dara kiu-hong malang
melintang di tanah, Siau Ih sudah terkejut. Kemudian waktu
melihat wajah engkongnya luar membesi, dia makin bercekat.
Akhirnya ketika mengetahui ayah angkatnya duduk bersila
memulangkan napas, tahulah dia bahwa si Dewa Tertawa
tentu terluka. Inilah yang paling mengoyak perasaannya.
Kecintaannya terhadap sang ayah angkat yang telah
merawatnya sejak kecil telah membuat matanya mengucurkan
air mata. Si Rase Kumala menghela napas, ujarnya: "Gihu-mu hanya
terluka luar saja, tidak membahayakan!"
Mendengar itu, Siau Ih seperti tersadar dari mimpinya.
Serta merta dia menubruk kaki sang engkong. Berbareng saat
itu, Lo Hui-yan pun berlutut dihadapan Ko-shia-siancu.
Kedengaran si Rase Kumala mendamprat Siau Ih: "Secara
diam-diam minggat dari Chui-hun-lou, sudah seharusnya
dihajar, apalagi kau berani mati datang kemari. Nanti setelah
pulang kerumah, tentu akan kuhukum seberat-beratnya!"
"Engkong, Ih-ji mengaku salah," sahut Siau Ih.
Si Rase Kumala mendengus, lalu berkata pula:
"Persoalanmu dengan Lo Hui-yan, kini telah mendapat
perkenan siancu, mengapa kau tak lekas-lekas menghaturkan
terima kasih pada siancu!"
Mendengar hal itu, hati Siau Ih bergoncang keras. Dengan
berdebar-debar dia menghampiri kehadapan Ko-shia-siancu
lalu memberi hormat dengan khidmat.
"Wanpwe menghaturkan beribu terima kasih atas
kemurahan hati tiang-cia!"
Ko-shia-siancu kerutkan kening, ujarnya dengan nada
berat: "Siau Ih, apakah benar-benar kau mencintai Yan-ji?"
Siau Ih terbeliak kaget. Heran dia mengapa Ko-sia-siancu
masih menyangsikan dirinya. Bukankah kedatangannya
didaerah terlarang Peh-hoa-kiong itu, cukup menjadi bukti
yang berbicara" Ah, mungkin Ko-shia-siancu amat menyintai
muridnya itu dan memikirkan ke-pentingannya, demikian
rabahan Siau Ih. "Demi kehormatan wanpwe," sahutnya dengan tegas.
"Betapapun asal-usulnya Yan-ji?"
Siau Ih memberikan janjinya.
Ko-shia-siancu mendengus, lalu mengelah napas panjang.
Habis itu ia mengeluarkan sebuah sampul kecil warna kuning.
"Shin-tok sianseng, memang urusan di dunia ini seringkali
berlaku aneh. Kita manusia tak boleh mengingkari kuasa alam.
Patahnya tradisi Peh-hoa-kiong pada malam ini, dirayakan
dengan suatu kejadian aneh ?".." Ko-shia-siancu seraya
berhenti meramkan mata. Kemudian ia melanjutkan pula:
"Permintaan sianseng telah terlaksana. Siau Ih pun sudah
memberikan janjinya. Sejak kini Yan-ji menjadi miliknya. Aku
tak dapat berbuat apa-apa, karena hal itu sudah kemauan
nasib. Surat ini merupakan sumber daripada permainan nasib
yang kukatakan itu. Si Rase Kumala menyambuti surat itu dan membukanya.
Wajahnya tampak berobah merah, lalu pucat dan kemudian
menjadi tenang lagi. Dia menghela napas, matanya jauh
memandang kepuncak Lo-hu-san yang tertutup awan ?"..
Ko-shia-siancu meramkan mata merenung, Siau Ih
terlongong-?longong heran memandang sikap sang engkong
yang aneh namun dia tak berani menanyakan. Suasana
menjadi hening senyap. Akhirnya, berkatalah si Rase Kumala: "Shin-tok Kek merasa
berhutang terima kasih atas ucapan siancu tadi. Memang
manusia, lebih-lebih orang persilatan, selalu dirundung dengan
budi dendam, balas membalas, kejar mengejar kemasyhuran
nama kosong. Seperti Shin-tok Kek yang berwatak aneh dan
angkuh ini, akhirnya mendapat pengajaran pahit juga. Anak
perempuan mati mereras, cucu diasuh orang akhirnya harus
menghadapi kenyataan yang menusuk ?""."
Sampai disini si Rase Kumala berhenti sejenak. Setelah
mengatur napasnya yang agak getar itu, dia menatap Siau Ih,
ujarnya: "Ih-ji, memang segala sesuatu sudah tergaris oleh nasib.
Janji sudah kau ikrarkan, sebagai laki-laki kau harus
menepatinya. Ujian ini memang berat, tapi kau harus
menghadapi kenyataan itu dengan hati terbuka ?"."
Siau Ih seperti orang yang mendaki gunung kabut, tak tahu
dia kemana jatuhnya perkataan sang engkong itu. Apakah
gerangan isi surat itu, mengapa sang engkong menyebutnyebut
tentang janji, kenyataan dan nasib" Tak tahu dia
bagaimana harus menyahut ucapan engkongnya itu.
"Ih-ji, bacalah surat ini!" tiba-tiba si Rase Kumala berseru
seraya mengangsurkan surat itu.
Siau Ih tersipu-sipu menyambutnya. Demi membacanya,
kepalanya serasa pening, bumi yang dipijaknya seperti
amblong ?". Hui-yan puteriku, Bila kau membuka surat ini, mungkin sudah belasan tahun
aku menyusul ayahmu di alam baka. Jangan kau sesali kedua
ayah bundamu yang telah tinggalkan kau sebatang kara.
Lebih-lebih jangan kau kutuk perbuatan ayahmu yang berbuat
salah karena dipaksa oleh keadaan kita. Setelah kau jelas akan
duduk perkaranya, lakukan dua macam tugas yang berat:
membalas dendam dan budi! Beginilah kisahnya :
Ayahmu dan aku bermula hidup sebagai petani yang
sederhana tapi berbahagia. Sampai akhirnya sewaktu kau
lahir, barulah terjadi perobahan besar. Desa kita terserang
paceklik dan terpaksa ayahmu ajak aku pindah ke kota
mengadu nasib. Disitu kita berjualan kecil-kecilan dan hasilnya
pun lumayan. Selama di kota, ayahmu mempunyai banyak
kawan, sampai akhirnya dia terjerumus dalam kalangan
perjudian. Dagangan kita makin habis, ayahmu pun makin
kelelap, galang-gulung dengan orang jahat, menjadi
gundalnya seorang kongcu kaya bernama Teng Hiong.
Pada suatu hari kongcu yang bermata keranjang itu, telah
melihat sepasang muda mudi yang menginap dihotel. Dia
amat penuju sekali dengan nona yang cantik itu. Hanya saja
karena nona dan pemuda itu berkepandaian tinggi, jadi dia
jeri. Namun dia tak mau melepaskan nafsunya yang keji.
Dengan menjanjikan upah besar, dia suruh ayahmu
mencelakai mereka. Dengan menyogok jongos, berhasillah
ayahmu menyaru jadi jongos hotel itu. Sewaktu kedua anak
muda itu berada dikamarnya, ayahmu telah berhasil
meniupkan asap yang mengandung bius. Tapi dikarenakan
ayahmu takut kepergok, baru sedikit dia lantas buru-buru
pergi keluar. Keesokan harinya, ayahmu dipanggil oleh orang she Teng
itu, tapi bukannya diberi upah uang melainkan diperseni
pukulan yang menyebabkan ayahmu muntah darah dan
meninggal beberapa hari kemudian.
Ayahmu menceritakan padaku bahwa si Teng Hiong begitu
marah karena maksudnya tak tercapai. Waktu malamnya Teng
Hiong datang ke hotel, ternyata didapatinya kedua anak muda
itu tidak pingsan melainkan tengah menangis. Si nona yang
ternyata bernama Shin-tok Lan menangis sesenggukan, si
pemuda yang bernama Siau Hong pun menghela napas
panjang lebar menyesali dirinya. Obat itu karena kurang
banyak, tidak dapat membuat mereka pingsan tapi
merangsang nafsu birahi mereka. Buah yang diinginkan telah
kedahuluan orang, menyebabkan si Teng Hiong marah besar.
Kematian ayahmu telah mengundang bermacam
malapetaka. Begundal-begundalnya Teng Hiong berani
mempermainkan diriku. Malu dan gusar, akhirnya aku
mengambil putusan pendek, bunuh diri. Kudengar biara Pehhoakiong adalah biara suci dari kaum nikoh (rahib) yang
berilmu tinggi. Kesana kubawamu. Setelah kuletakkan kau di
depan pintu biara, aku lantas menggantung diri. Semoga
siancu sudi menerima perhambaanmu itu. Kau masih
mempunyai seorang paman di gunung Hong-hong-san. Kelak
kalau Tuhan melindungimu, sambangilah dia.
Yan-ji, begitulah nasib sedih yang menimpah ayah
bundamu. Ingat betul, nama musuh besarmu itu. Lakukahlah
pembalasan. Dari alam baka aku dan ayahmu akan
memohonkan restu kepadamu! Sedapat mungkin, berusahalah
keras mencari anak keturunan pemuda Siau itu untuk
menghaturkan maaf. Yan-ji, puteri kesayanganku. Jangan menangis, kuatkan
hatimu dan teguhkan imanmu.
Bundamu yang bemasib malang,
Liu-si. Tanpa terasa, surat di tangan Siau Ih itu terlepas dibawa
angin. Hui-yan cepat memungutnya. Demi membacanya,
iapun rubuh tak ingat diri. Siau Ih tersadar dari limbungnya.
Tanpa likat-likat lagi, dia segera menolongnya.
"Ih-ji, Yan-ji!" mendadak si Dewa Tertawa kedengaran
berseru demi tahu persoalannya, kesemua-semuanya adalah
sudah suratan takdir. Tinggi rendahnya martabat manusia,
dinilai dari kebesaran hatinya. Dendam orang tua, sang anak
tak ikut memikul dosa. Orang tua Hui-yan sudah mengakui
kesalahannya, seharusnya kau dapat berlapang hati
memaafkan, apalagi mereka sudah menutup mata, lebih-lebih
kau bakal menjadi menantunya. Lupakan persoalan lama dan
mulailah hidup baru. Tugas kalian masih banyak dan berat.
Lihat itu, selama rakyat masih selalu ditindas oleh hartawanhartawan
jahat, selama keadilan dan kebenaran masih
dikuasai oleh kaum persilatan ganas, selama itu dharma tugas
kita kaum persilatan, pantang berhenti. Kita dari angkatan tua
akan lekas undurkan diri dan menyerahkan beban suci itu
kepada kalian semua."
Siau Ih terbuka pikirannya. Dia melirik ke arah Hui-yan
dengan pandangan penuh seri harapan hari depan yang
gemilang. Hui-yan tersipu-sipu tundukkan kepala. Si Rase
Kumala kedengaran menghela napas. Tapi bahwasanya dia
tak membuat sanggahan (protes) suatu apa, berarti secara
diam-diam dia dapat menerima pandangan si Dewa Tertawa
tadi. Wajah dingin dari Ko-shia-siancu mengulas senyum.
Entah senyum simpati entah mengejek. Keadaan menjadi
hening sejenak. "Siancu telah banyak memberi bantuan, terimalah hormat
dan terima kasih Shin-tok Kek!" akhirnya Shin-tok Kek
menghadap ke arah Ko-shia-siancu seraya menjura.
Tanpa menunggu penyahutan orang, dia segera bersuit
keras memanggil Shin-tok Liong dan Shin-tok Hou. Disuruhnya
mereka membawa si Dewa Tertawa ke dalam tandu.
Demikianlah dengan membawa Siau Ih dan Hui-yan,
rombongan si Rase Kumala segera tinggalkan Lo-hu-san.
Dalam sebuah kesempatan di tengah perjalanan, Siau Ih
menanyakan kepada sang engkong tentang surat kaleng yang
diterima Goan Goan Cu itu.
"Kemungkinan bukan Teng Hiong atau Li Hun-liong yang
membuat. Mungkin dalam keadaan yang tak diinsyafi. Teng
Hiong telah membocorkan hal itu kepada lain orang. Menilik
bahwa banyak anak-anak muda yang mengiri atas
keberuntungan ayahmu yang berhasil menawan hati
mamamu, maka kemungkinan besar tentu ada yang
melakukan fitnah keji itu," menerangkan si Rase Kumala.
Begitulah bertahun-tahun sepasang suami isteri Siau Ih Hui-yan itu mendapat gemblengan lahir batin oleh si Rase
Kumala dan si Dewa Tertawa. Dengan Tan Wan, Shin-tok
Liong dan Shin-tok Hou, Siau Ih, Hui-yan merupakan
pendekar-pendekar Tiam-jong-san yang banyak melakukan
kebaikan dan membasmi kejahatan. Akhirnya Thiat-sian-pang
dapat diobrak-abrik, termasuk si Manusia Iblis Kiau Hoan pun
dilenyapkan. - TAMAT - Trims yee Andu Renjana Pendekar 8 Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Istana Kumala Putih 3

Cari Blog Ini