Ceritasilat Novel Online

Sukma Pedang 1

Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 1


"Sukma Pedang Karya Gu Long (Khu Lung) Dengan Judul Asli : Huan Hua Xi Jian Lu
Atau Judul Baratnya : Sword Bathed in Flowers / Spirit of the Sword
NB : Ternyata cerita ini sama dengan cerita Misteri Kapal Layar
Panca Warna, tetapi lain penterjemahnya, jadi inti cerita keduaduanya
sama, tetapi beda gaya dan alur cerita.
Jilid 01 Adakah manusia di dunia ini yang belum pernah melihat laut"
Tetapi ada berapa gelintir manusia yang pernah melihat lautan
sedang mengganas, ombaknya menggulung tinggi, suaranya
menggetarkan jantung"
Kabut menebal... menghalangi pandanganku, ini adalah sebuah
pemandangan yang jarang terjadi, badai mengamuk,
menghembuskan angin yang bergulung-gulung.
Dalam cuaca yang begitu mengerikan, mungkinkah ada benda
yang dapat mengapung di atas lautan" Nyatanya... memang ada.
Ombak yang menerpa tinggi tidak sanggup merobohkannya, tubuh
orang yang satu ini berdiri tegak, seakan sebuah batu karang besar
yang disandarkan pada tembok yang kokoh.
Mungkinkah yang terlihat ini seorang manusia" Kadang-kadang
bila melihat kejanggalan seperti ini, kalau anda mengatakan bahwa
itu pasti hantu... orang yang percaya mungkin akan lebih banyak.
Apa yang terpampang di hadapan kita sekarang memang
demikian adanya. Orang ini berjalan selangkah demi selangkah
menuju tepi pantai. Ombak yang tinggi menghempas bagian
kepalanya dari belakang. Namun langkah kakinya masih tetap tegar!
Orang ini mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya yang
panjang meriap-riap menutupi sebagian wajah dan menjuntai di
bahunya, Di tangannya tergenggam sebatang pedang yang
berwarna hitam pekat. Awal bulan empat... angin laut selalu bertiup kencang, Dia tidak
memperdulikannya, tangannya menggenggam pedang itu erat-erat
Membuat siapa pun yakin, seandainya ombak dapat menggulungnya,
pedang itu akan tetap menempel di tangannya dan tangannya pun
tidak akan lepas dari pedang itu.
Di antara pasir yang menebar di pesisir pantai, terdapat banyak
jejak kaki. Dan jarak antara jejak kaki yang satu dengan yang
lainnya persis sama. Setelah menempuh pesisir pantai yang panjang, di ujung jalan
adalah sebuah pelabuhan, jejak kaki orang berbaju hitam yang
sangat teratur itu terus memanjang sampai pelabuhan tersebut,
jejak kaki itu terlihat samar-samar, tapi mengapa langkah kakinya
tidak mengeluarkan suara sedikit pun" Ada orang yang mengatakan
bahwa setan atau pun hantu tidak bisa meninggalkan jejak.
Tapi berjalan di atas pasir tanpa mengeluarkan suara sedikit pun,
apakah ada manusia yang sanggup melakukannya" Bila kita bertemu
dengan orang yang suka berdebat, entah persoalan ini akan
diributkan sampai berapa lama baru ada jawaban yang pasti....
Sebuah rumah di dekat pelabuhan telah menyalakan penerangan
Sebuah lampu yang terbuat dari kristal menghias di atas sebuah
meja pualam yang berbentuk aneh, membuat suasana dalam
ruangan itu terasa menyeramkan.
Di samping lampu terdapat setumpuk uang emas dan sekotak
mutiara, Hek I Jin duduk di meja itu. Orang ini tampaknya sangat
tegar, angin yang mengganas di tengah lautan saja tidak dapat
merubuhkannya. Bila orang itu berdiri, tubuhnya bagaikan sebatang tiang baja
yang ditanam dalam-dalam di bawah tanah. Apa pun tidak
menggerakkan tubuh itu....
Pada saat itu, ada seorang manusia yang mendatangi dari balik
pelabuhan, Kemunculannya yang tiba-tiba itu tetap tidak membuat
Hek I Jin bergeming, sepertinya kedatangan orang ini sudah dapat
diduga olehnya. Bagaimana manusia yang sedang melangkahkan kaki, bila kaki kiri
sudah diayunkan ke depan maka tidak dapat tidak, kaki yang kanan
harus menyusul dari belakang.
Manusia yang tiba-tiba muncul itu tampaknya lebih tinggi kurus
dari yang pertama. Di bawah cahaya lampu, wajah orang itu
sungguh tidak sedap dipandang, namun bibirnya justru sedang
mengembangkan sebuah senyuman.
Dan kalau diperhatikan dengan seksama, wajah yang
memperlihatkan senyuman yang kaku itu ternyata hanya sebuah
topeng. Suara ombak yang menggelegar terdengar jelas, menerpa batubatu
karang yang ada di pesisir pantai Cahaya lampu menari-nari,
Manusianyapun tidak berbeda dengan hantu. Pada saat seperti ini,
bila ada orang ketiga yang melihat mereka, siapa yang dapat
memastikan bahwa mereka adalah manusia atau hantu..."
Thi Bian Jin mengatupkan kedua telapak tangannya dan diangkat
ke atas serta menjura... "Apakah Toa Tek Siansing?" tanya Thi Bian Jin.
"Benar!" Wajah Toa Tek Siansing itu tetap kaku dan menjawab
dengan lantang. "Sepuluh tahun tidak berjumpa.... Badai kali ini begitu ganas,
Kapal-kapal yang berlayar dihancurkannya sampai berkeping-keping,
Saya mengira semua penumpang kapal telah mati tenggelam ke
dasar lautan, sepanjang perjalanan saya kemari, saya melihat tiangtiang
anjungan di pelabuhan patah dan ambruk. Para nelayan pun
tidak ada yang terlihat batang hidungnya. Tidak disangka Toa Tek
Siansing tetap bisa sampai di sini untuk memenuhi janji."
"Saya bukan manusia. Saya hanya sebuah sukma yang berkelana
antara dunia manusia dan alam kematian. Juga bukan sukma
manusia, tetapi sukma pedang!" katanya dengan suara dingin.
Suaranya begitu berat dan kaku. Benar-benar tidak mengesankan
setengah manusia pun. Thi Bian Jin memperhatikan Toa Tek dengan seksama, Dari atas
kepala dan terhenti di tangan yang menggenggam pedang hitam itu.
Tangan itu tidak berbeda dengan tangan-tangan biasa yang dapat
kita temui pada setiap orang.
Tapi tangan yang satu ini menggenggam pedang dengan begitu
kencang seakan pedang itu memang tumbuh di tangannya dan tak
bisa dilepaskan lagi. Terhadap apa yang disebut tangan, Thi Bian Jin
sangat memandang tinggi. Tangan yang dimiliki seorang ahli bisa berarti segalanya, Karena
alat untuk membunuh orang memang pedang, tapi kehebatan
tanganlah yang dapat menggerakkan pedang tersebut.
"Di tempat asalmu ada sebuah pepatah: "Sebatang pedang Toa
Tek, menyapu seluruh Fu Sang."
"Memang bukanlah nama kosong, Kedatangan saya kemari kali ini
adalah untuk menyewa pedang di tanganmu itu, Maksudnya agar
kau membasmi seluruh ahli dari Tionggoan." kata Thi Bian Jin,
Tangannya menunjuk ke arah tumpukan uang dan mutiara di atas
meja. "Semua benda-benda ini hanya sebagai rasa hormat saya kepada
Toa Tek Siansing, Setelah usaha kita berhasil kekayaan serta
kedudukan yang terhormat akan kita rasakan bersama." lanjutnya.
Toa Tek memperlihatkan sebuah senyuman yang aneh.
"Kau kira aku mau datang untuk semua ini?" tanyanya, Tangan
kirinya tiba-tiba mengibas, mutiara-mutiara yang ada di atas meja
beterbangan di udara, pedang di tangan kanannya berkelebat.
"Seeeeet! sett!"
Di bawah sinar lampu kristal itu, terlihat cahaya yang menyilaukan
mata. Mutiara-mutiara itu jatuh kembali ke atas meja, ternyata telah
menjadi dua seluruhnya dan yang mengagumkan adalah belahan
mutiara itu rapi sekali, seakan dipotong dengan cara mengukur jarak
satu per satu. Lagipula, mutiara itu baru terbelah setelah jatuh di
atas meja. Gemuruh suara ombak masih terdengar dengan jelas, seandainya
kita dapat menutup suara gemuruh itu, suasana di pelabuhan yang
telah hancur ini akan menjadi hening seketika.
Mata Thi Bian Jin bersinar sekilas. Sinar kagum.
"Jadi... apa maksudmu memenuhi undangan ini?"
"Hanya untuk.... Menang!" jawab Toa Tek.
"Menang?" Thi Bian Jin jadi heran dibuatnya.
"Tidak salah! Pedang adalah aku! Aku adalah pedang! Makna
sebatang pedang adalah kemenangan! Kelahiranku, kedatanganku,
justru untuk kemenangan itu! Menang hidup. Kalah, mati! Tidak ada
pilihan yang lain!" suaranya tegas sekaIi.
Thi Bian Jin tertawa senang.
"Saya percaya kedatangan Toa Tek Sian-sing kali ini dengan
perhitungan yang matang, Menyerang harus kena, bertarung harus
menang." "Siapa lawan saya yang pertama?" tanya Toa Tek tanpa
memperdulikan kata-kata Thi Bian Jin yang bernada pujian itu.
"Saya rasa Tuan sudah mengatur hari-harinya, Lawan pertama
anda adalah Chi Siong Kiam Khek dari biara Chi Siong di Lau San...."
kata Thi Bian Jin menjelaskan.
Sebetulnya bagi Toa Tek, segala macam biara, kuil atau pun
partai persilatan, tidak membawa arti khusus. Fu Sang, tempat
asalnya sendiri, semua yang disebutkan tadi dalam waktu sekejap
sudah hilang dari ingatannya.
Dia hanya mengharapkan kemenangan. Kecuali kemenangan,
wajah dan mimik orang-orang yang telah dibunuhnya selama ini pun
tidak pernah diingatnya. Hatinya hanya mengingat sepatah kata, kemenangan! Hal lainnya
tidak akan diperdulikannya. Kalau kita mau mengatakan dengan
melihat kenyataan pada dirinya, hidupnya bagaikan sebuah
perjudian. Dan orang yang berjudi tentu selalu mengharapkan
kemenangan bukan kekalahan.
Dalam bayangan Thi Bian Jin saat itu, terlihat sudah raut muka
Chi Siong Kiam Khek. Keangkerannya, penampilannya yang penuh
wibawa dan tentu saja pintu gerbang biara itu sendiri yang selalu
tertutup rapat dan kokoh.
Thi Bian Jin paling tidak suka melihat wajahnya yang selalu
ditampilkan sesombong mungkin, bahkan lonceng besar yang
berbunyi setiap ada bahaya pun dibencinya.
Oleh sebab itu, Thi Bian Jin sekali lagi menatap pedang hitam
yang tergenggam di tangan laki-laki yang ada di hadapannya,
tangan dan pedang itu akan membereskan biara Chi Siong dan
kewibawaannya, Termasuk lonceng yang menyebalkan itu.
Kebencian adalah sebuah perangkap yang aneh, tapi banyak
orang yang tidak menyadari bahwa yang paling sering terperangkap
justru diri sendiri bukan orang lain!
Gunung Thai San, tidak terlalu tinggi, pepatah yang mengatakan!
Mendaki puncak Thai San, maka dunia akan terlihat kecil sebetulnya
agak berlebihan. Tapi ketegarannya dan nama besar yang
disandangnya selama ini telah menutupi sebagian kekurangannya.
Biara Chi Siong terletak di dekat Go Toa Fu Siong, yang berarti
lima tempat terkenal di sekitar Thai San yang mempunyai nama Fu
Siong. Banyak perguruan besar ataupun biara di Bu Lim yang
mendengar namanya saja, orang sudah menggidik.
Tiga hurup besar "Biara Chi Siong" terpancang di atas pintu,
Dengan dasar hitam dan tulisan tinta emas.
Pintu besar itu seperti biasa, selalu tertutup rapat, Cahaya sinar
matahari membuat tulisan emas di atas pintu itu berkilauan. Pada
saat itu, sepasang mata yang mengandung sinar tajam
memperhatikan huruf di atas pintu itu.
Orang ini masuk dari pintu besar di depan yang bertiang pualam
Langkah kakinya begitu kuat dan jaraknya pun tetap. persis seperti
yang terlihat di pesisir pantai tempo hari.
Toa Tek To Hun tidak memandang sebelah mata terhadap pintu
besar yang ada di hadapannya, baginya yang tersirat di pelupuk
mata hanya kelebatan pedangnya dan darah yang akan mengalir.
Dia tidak pernah membayangkan bagaimana jalannya pertarungan
yang sudah di depan mata, dia mempunyai kepercayaan yang tidak
dapat diuraikan terhadap dirinya sendiri, paling-paling yang akan
didapatinya hanya "kematian".
Tentu saja kematian orang lain, bukan dirinya, Sudah banyak
sekali kejadian seperti ini yang dialaminya, Kelebatan pedang lalu
mengalir darah dari kening, lawannya rubuh ke tanah dan mati.
Meskipun hal seperti itu sudah dialaminya berulang-ulang, namun
dia tidak pernah memandang ringan seorang musuh, sebab dalam
hatinya dia tahu bahwa memandang rendah kepandaian seseorang
adalah peristiwa yang paling mudah membuat diri kita mengalami
kekalahan. Mungkin pengertian inilah yang membuat diri Toa Tek To
Hun belum pernah mengalami kekalahan selama ini.
"Tang... Tang... Tang..." Suara lonceng yang dibayangkan oleh
Thi Bian Jin pun berbunyi nyaring, Toa Tek To Hun bagaikan tidak
mendengar lonceng tanda bahaya itu. Dia tetap melangkah dengan
pasti dan yakin. Baginya hanya satu kata "menang" yang harus diperhatikan! Dia
melangkah lagi, Sampai di depan pintu besar itu, kakinya terhenti.
Tidak terlihat tanda-tanda bahwa dia akan mengetuk rantai bundar
berkepala singa di pintu itu. Bahkan terpikir pun tidak, Dengan cepat
dia menghantam pintu itu.
"Braakkk!!!" Dia sudah tiba di dalam pelataran. Di pintu yang tadi dilaluinya
terlihat cetakan sesosok tubuh manusia. Rapi seperti baru saja diukir
Dan yang menakjubkan adalah di bagian pinggir cetakan sosok
tubuh manusia itu tidak terlihat sedikit pun keretakan.
Hal ini bukan hanya dilakukan di biara Chi Siong saja, Di manapun
juga dia tidak mempunyai kebiasaan mengetuk pintu, dia bukan
sedang memamerkan kekuatannya, tapi sedang memupuk rasa
percaya diri di hatinya. Rasa percaya diri seorang manusia bukan selamanya menyala
begitu saja, terkadang seperti sebuah tungku api yang memerlukan
tambahan kayu dan minyak.
Tempat Toa Tek To Hun berdiri saat ini adalah ruang pertemuan
biara itu, matahari dengan terik menyoroti atap rumah, pohon
cemara dan juga tubuh manusianya sendiri, beberapa puluh orang
tosu berdiri dengan rapi berbentuk dua barisan.
Toa Tek To Hun dan Chi Siong Kiam Khek berdiri berhadapan Toa
Tek To Hun tidak pernah memperhatikan bagian lain dari tubuh
lawannya, yang menjadi pusat perhatiannya hanya mata, karena
sepasang mata manusia paling mudah membocorkan rahasia
hatinya. Walaupun seseorang pandai sekali menyembunyikan perasaan
hatinya, tetapi akan terlihat jelas oleh orang yang mempunyai
pengalaman dalam hal ini karena mata digerakkan oleh perasaan
hati. Perasaan tergerak, sinar mata pun berkelebat Kadang-kadang
untuk menunjukkan kepura-puraan pun tidak sempat lagi.
Pandangan mata Chi Siong Kiam Khek menelusuri sosok tubuh
yang ada di hadapannya, kemudian terhenti di tangan Toa Tek To
Hun yang menggenggam pedang hitam itu. Sebuah tangan yang
kokoh dan memancarkan kekuatan.
Seorang pembunuh bayaran bukan saja memerlukan hati yang
keji dan mantap, tapi juga memerlukan tangan yang bisa
mendukung kepandaian ilmunya.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selama ini, Chi Siong Kiam Khek belum pernah menemukan
kelemahan ilmu pedangnya, sayangnya bila seseorang harus
mencari kelemahan dirinya sendiri, sama seperti mencari sebatang
jarum di tumpukan jerami, selamanya manusia selalu menganggap
diri sendiri sudah cukup sempurna.
Dia hanya pernah kalah satu jurus selama hidupnya. Dan orang
itu adalah seorang tokoh besar yang selamanya hidup di lautan.
Ruangan yang begitu besar dan orang yang demikian banyak,
ternyata tidak menimbulkan suara sedikitpun. Sejak mengalami
kekalahan melawan jago dari lautan itu, Chi Siong Kiam Khek segera
pulang dan menutup diri. Dia mengira kalau dia bisa merubah sedikit lagi jurus yang
dimilikinya dan menunjukkan perubahan yang tidak disangka oleh
lawan, kelak tentu ada kesempatan untuk menebus kekalahan itu.
Satu hal yang tidak disadari olehnya, Bila dia dapat melatih diri
untuk mencapai kemajuan, apakah orang lain tidak dapat melakukan
hal yang sama" "Apakah anda yang disebut Lau San Chi Siong?" tanya Toa Tek To
Hun. "Betul!" jawabnya mantap.
"Kalau betul, kau harus mati!"
Perasaan Chi Siong Kiam Khek sulit dijelaskan. Dengan
pengalaman selama berpuluh tahun, hatinya sudah tidak mudah
dibuat terkejut lagi. Tapi bila kematiannya harus ditentukan oleh orang lain, mau tidak
mau Chi Siong Kiam Khek terkejut juga mendengar sesumbar orang
yang satu ini. "Aku harus mati?" Suaranya terasa dingin sekali.
Terdengar suara tertawa anak buahnya yang menganggap
perkataan Toa Tek To Hun tidak masuk akal dan lucu sekali. Dalam
hati mereka, menganggap laki-laki yang ada di dalam ruangan itu
sungguh tidak tahu diri. Padahal kematiannya sendiri sudah di depan mata. Anak buah Chi
Siong Kiam Khek hanya tahu bahwa Koan-cu mereka belum pernah
terkalahkan selama ini dan seorang laki-laki yang sama sekali tidak
terkenal, berani mengatakan bahwa guru atau pun majikan mereka
akan mati di bawah pedangnya.
"Betul sekali!" jawab Toa Tek To Hun dengan yakin.
Chi Siong Kiam Khek adalah seorang manusia yang mempunyai
banyak pergaulan, dia juga pernah melukai orang ataupun
membunuhnya. Dia mengerti sekali bagaimana penampilan seseorang sebelum
melukai atau membunuh musuhnya, Semakin tenang pembawaan
seseorang sebelum melakukan pembunuhan semakin banyak
kemungkinan menang yang akan diraihnya.
Apa yang terlihat pada diri Toa Tek To Hun persis seperti yang
digambarkan olehnya, memang ketenangan dan keyakinan
merupakan kunci keberhasilan seorang pembunuh bayaran.
"Mengapa kau ingin membunuh aku?" tanya Chi Siong Kiam Khek
dengan datar. "Hanya satu alasan, yaitu ingin menguji ketajaman pedang ini!"
jawab Toa Tek To Hun sambil mengacungkan pedangnya.
Melihat cara bicara lawan di hadapannya, Chi Siong Kiam Khek
dapat merasakan bahwa Toa Tek To Hun sama sekali tidak ragu
kalau-kalau ia akan mengalami kekalahan.
Anak murid Chi Siong Kiam Khek tidak senang mendengar nada
bicaranya yang congkak. Mereka segera mengambil posisi
mengurung, Chi Siong Kiam Khek melambaikan tangannya, memberi
tanda agar mereka tidak boleh bertindak apa-apa, meskipun dia tahu
bahwa lawan yang berani datang menemuinya tentu mempunyai
pegangan tapi siasat seperti itu sudah lama diketahuinya.
Siasat menggertak supaya lawannya ciut dulu nyalinya, tentang
hal ini tentu saja Chi Siong Kiam Khek jauh lebih memahami dari
anak muridnya. "Bersiap-siaplah!" kata Toa Tek To Hun.
Pedang digenggam dicabut dari sarungnya, lalu dihunus dan
akhirnya masuk kembali ke dalam sarung, Gerakan ini sudah biasa,
tetapi dapat menimbulkan kesan antara ada dan tiada. Sinar pedang
menyilaukan... Chi Siong Kiam Khek juga sudah menghunus
pedangnya. Tidak ada yang mengatakan bahwa gerakan pedang laki-laki itu
belum cukup cepat, paling tidak bagi anak muridnya, Tapi, meskipun
jarak antara kelambatan dan kecepatan hanya sedikit sekali, reaksi
yang ditimbulkan justru besar sekali perbedaannya.
Di antara kedua belah alis mata Chi Siong Kiam Khek ada garis
luka yang memanjang. Darah segar memercik dengan deras dan
tubuhnya pun jatuh ke tanah.
Bagi anak muridnya, Toa Tek To Hun malah belum terlihat
menghunuskan pedangnya, orang yang dapat melihat dia
menghunuskan pedangnya dan mengayunkan ke arah musuh dan
memasukkan kembali ke sarungnya, sudah terhitung memiliki
kemampuan luar biasa. Anak murid Chi Siong Kiam Khek gempar seketika. sepertinya
sekarang mereka baru sadar bahwa ketiga kata "Kau harus mati"
yang diucapkan Toa Tek To Hun bukan main-main. Juga baru sadar
bahwa Koan cu mereka benar-benar sudah mati.
Tapi sembilan dari sepuluh anak murid biara itu yakin kalau koan
cu mereka mati bukan karena ketinggian ilmu pedang Toa Tek To
Hun, tapi dengan semacam ilmu sihir.
Suara hunusan pedang dan golok memekakkan telinga. Mereka
segera mengurung Toa Tek To Hun dan bersiap-siap menyerangnya.
"Kalian masih belum pantas membuat aku menghunus pedang ini.
Mundur!" Bentakan itu sangat berwibawa.
Anak murid Chi Siong Kiam Khek selamanya tidak pernah
mendengar perintah orang lain. Tapi apa yang diucapkan oleh Toa
Tek To Hun bukanlah perintah, namun seperti semacam mantera
pengampunan. Mereka tidak bergerak, Hati mereka merasa malu. Pedang di
tangan guru mereka masih tergenggam erat-erat, tetapi manusianya
sendiri sudah mati, Dan dari matanya yang membelalak dapat
dipastikan bahwa sebelum kematian menjemputnya, dia terkejut
sekali. Chi Siong Kiam Khek adalah seorang yang mempunyai nama
besar di Bulim. Dalam satu jurus roboh bermandikan darah,
peristiwa ini kalau sampai tersebar di luaran, entah apa akibatnya"
Bila saja dia yang sudah memperhatikan keyakinan Toa Tek To Hun,
tidak terlalu menganggap dirinya sendiri tinggi, mungkin dia juga
tidak akan mengalami kekalahan yang begini mengenaskan.
"Ingat baik-baik.... Aku bernama Toa Tek To Hun!" Kata-kata itu
diucapkan sepatah demi sepatah seakan ingin orang-orang yang
mengelilinginya dapat mendengar dengan jelas, setelah itu dia
membalikkan tubuh dan melangkah keluar.
Perjalanannya kali ini telah menunaikan tugasnya dengan baik.
Segala kesedihan, kemarahan, kekesalan hatinya telah ditumpahkan
pada diri Chi Siong Kiam Khek.
Seorang pembunuh bayaran tidak pernah memikirkan bagaimana
dan apa yang terjadi setelah lawannya dibunuh, juga tidak
memikirkan bagaimana perasaan para keluarga yang
ditinggalkannya, pelajaran pertama yang harus diketahui oleh
seorang pembunuh bayaran ialah bagaimana menahan perasaan hati
dan mencapai kemenangan. Karena bila dirinya tidak berhasil memenangkan pertandingan
maka hanya matilah jalan keluar baginya, bukan hanya seorang
pembunuh bayaran saja yang harus mengetahui peraturan ini, juga
sebagian besar jago-jago Bulim harus memahaminya.
Langkah kaki Toa Tek To Hun di atas batuan hijau di sepanjang
jalan keluar gedung itu masih tercetak rapi. Butiran debu yang
dihasilkan pijakan kakinya ikut beterbangan menyertai kegelisahan di
hatinya. Apa yang membuat dia tertarik untuk melakukan tugas bagi Thi
Bian Jin, bukanlah imbalannya, Tapi sebuah kata "menang". Bukan
pula mutiara-mutiara yang telah dibuatnya menjadi dua bagian,
yang dikhawatirkan olehnya justru apabila tidak ada lagi lawan yang
sesuai untuk bertanding melawannya.
Tidak ada lagi kemenangan yang dapat memuaskan hatinya,
Karena kemenangan yang ingin diraihnya adalah kemenangan yang
cukup berarti, yaitu dengan lawan yang cukup pantas untuk mati di
bawah pedangnya. Bagaikan seorang pemain sandiwara di atas panggung, bila
mereka sudah terlalu banyak memainkan peranannya, yang
dibutuhkan bukan lagi imbalan yang akan diperoleh tapi tepuk
tangan yang gemuruh. Dia selalu percaya bahwa kepastian untuk dirinya sendiri jauh
lebih penting dari kepastian orang lain, Toa Tek To Hun memandang
lekat-lekat pedang yang tergenggam di tangannya, Pedang itu juga
mempunyai kepercayaan terhadap dirinya sendiri.
Pedang adalah dirinya. Dan dirinya adalah pedang itu. Mereka
telah lama menyatu. Pedang yang selalu menang dan tak pernah
mengenal kata "kalah", Bagaimana mungkin pedang seperti ini tidak
mempunyai kepercayaan diri yang besar"
Dari arah belakang, sayup-sayup terdengar tangisan yang pilu,
Dia selamanya tidak pernah terharu mendengar suara seperti itu. Dia
yakin bahwa pencipta alam semesta ini selalu demikian, dia
menghadapi orang yang tertawa dengan tertawa dan menghadapi
orang yang menangis dengan tangisan.
Dia tertawa dengan nada suara yang aneh ketika mengangkat
kepala untuk melihat tiga tulisan berhuruf emas di atas pintu itu.
Seorang pembunuh juga mempunyai rasa bangga. Apalagi dapat
membunuh lawannya di kandang orang itu sendiri.
-ooo0ooo- Lu Chi adalah nama daerah yang sekarang dikenal dengan nama
Shan Tiang, Di antara rimba pohon Su terdapat telaga Wei San. Hui
Sian Ceng terletak di tengah telaga ini. Pat Sian Kiam tinggal di
dalamnya, Hui Sian Ceng atau perkampungan Hui Sian dan
pemiliknya Pat Sian Kiam alias si Pedang Delapan Dewa sangat
terkenal di Bulim. Namanya masih di atas Chi Siong Kiam Khek,
tempat tinggalnya pun jauh lebih luas.
Hari ini cerah dan sejuk. Dalam udara seperti itu, orang-orang
yang tinggal di dalam Hui Sian Ceng tidak akan menduga akan
datangnya awan kelabu. Toa Tek To Hun selalu berjalan dengan penuh keyakinan dan
tenaga yang kuat, keyakinan dan tenaga kaki yang kuat bila
melangkah, akan menunjukkan bagaimana tingginya ilmu orang
yang mempunyainya. Pintu gerbang Hui Sian Ceng sudah terlihat olehnya, Bibir Toa Tek
To Hun mengulum senyum tipis, pikirannya melayang ke Thi Bian Jin
yang mengatakan bahwa lawannya yang kedua adalah Ceng Cu atau
pemilik perkampungan dari Hui Sian Ceng, Pat Sian Kiam Lie Ceng
Hong. Pintu gerbang yang satu ini juga tertutup rapat. Dalam hati Toa
Tek To Hun sadar, bila dirinya mengalami kekalahan pasti dia akan
menerima kematian, Tapi selamanya dia tidak mencemaskan dirinya
akan mengalami kekalahan dan otomatis kematian pun tidak pernah
terbayangkan olehnya. Yang pasti dia yakin, manusia tidak ada yang
dapat hidup setelah nyawa meninggalkannya.
Toa Tek To Hun percaya kalau saat ini Pat Sian Kiam masih belum
mendengar tentang kematian Chi Siong Kiam Khek, Andaikata dia
sudah mendengar pun, pasti tidak akan menyangka kalau orang itu
dapat mati dalam keadaan yang memalukan.
Orang-orang di Biara Chi Siong juga tidak mungkin menyebarkan
berita bahwa Koan Cu mereka mati dalam satu jurus saja. Manusia
hidup memerlukan nama baik, manusia yang sudah mati pun
mementingkan hal itu. Toa Tek To Hun melangkah mendekati pintu gerbang. Dan
sekejap kemudian pintu besar itu telah membuka cetakan sesosok
tubuh manusia. Bagi Lie Ceng Hong, orang yang datang ke
perkampungannya untuk mengadu ilmu ataupun memohon menjadi
anak muridnya adalah hal yang tidak mengherankan lagi.
Peristiwa ini sudah terjadi sebanyak tujuh kali dan semuanya
meninggalkan tempat ini dengan kepala ditundukkan. Usia orangorang
ini hampir sebaya dengan Toa Tek To Hun. Semuanya tidak
lebih dari tiga puluh lima tahun.
Lie Ceng Hong tidak memerlukan waktu yang lama untuk
mengalahkan orang-orang itu. Tidak lebih dari lima belas jurus. Oleh
sebab itu, Lie Ceng Hong tidak begitu mengambil hati tamu yang
datang tanpa diundang ini.
Mereka berdiri berhadapan. Dalam benaknya Lie Ceng Hong selalu
tidak habis mengerti. Apakah orang-orang ini kekurangan pekerjaan
sehingga nyawa dan nama baik pun tidak diperdulikan lagi"
"Siapa nama besar tuan ini?" tanya Lie Ceng Hong tanpa
memandang sebelah mata. "Toa Tek To Hun!" jawab yang ditanya.
Mendengar nada yang pasti dan yakin itu, kening Lie Ceng Hong
agak berkerut. "Ada urusan apa kau mencariku?" tanyanya.
"Aku menginginkan kematianmu!" jawab Toa Tek To Hun dengan
tegas. Lie Ceng Hong tertawa datar, Kata-kata ini sungguh asing di
telinganya. Bahkan seumur hidupnya, baru pertama kali inilah dia
mendengar ada orang yang mengucapkan kata-kata seperti itu
kepadanya. Tentu saja Lie Ceng Hong mengerti, dirinya tidak boleh
kalah gertak dengan laki-laki yang ada di hadapannya ini.
"Anak ingusan dari mana yang berani membuka mulut besar di
hadapanku?" "Lihat saja kenyataannya!" jawab Toa Tek To Hun dengan suara
yang tidak kalah kerasnya.
Sinar pedang membuat ruangan itu tiba-tiba menjadi dingin,
Belum lagi laki-laki itu sempat mencernakan jawaban yang diberikan
oleh Toa Tek To Hun, dirinya sudah limbung dan roboh ke tanah.
Di bagian dahinya terlihat garis memanjang. Darah mengucur
seperti air sungai, Kata "cepat" apa pun di dunia ini tidak dapat
melukiskan apa yang telah terjadi, "Kecepatan" merupakan pokok
terpenting dalam ilmu silat.
Bila tidak dapat melaksanakannya maka hal lain pun tidak perlu
diungkapkan lagi, Anak murid Lie Ceng Hong memandang dengan
terpana. Untuk sesaat mereka lupa menghunus pedang dan
membalaskan kematian Ceng Cu itu.
Bayangan hitam dengan rambut panjang yang terurai melintas di
hadapan orang-orang itu. Mereka tersadar seketika, Langkah Toa
Tek To Hun sudah mencapai pintu gerbang, Tidak ada orang yang
mencoba menghalanginya, Hanya terdengar suara panik dan ramai
membicarakan dirinya... "ltu pasti ilmu siluman, Bukan ilmu pedang sejati!" Kata-kata
itulah yang tertangkap oleh telinganya dan kata-kata itu juga yang
sering didengarnya ketika ia masih berada di tanah asalnya yaitu Fu
Sang alias Jepang. Dalam hatinya ia merasa kecewa, Rupanya para Ko Chiu di
Tionggoan hanya begini saja, Benar-benar nama yang menyesatkan
orang, Mungkin bila orang-orang ini tidak mempunyai nama
demikian besar, dia pun tidak akan menerima permintaan Thi Bian


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jin untuk membunuh mereka.
-ooo0ooo- Bagian Dua Hari ini berbeda dengan hari kemarin, Angin bertiup dengan
kencang, Hujan turun dengan deras. Hari yang sungguh tepat untuk
membunuh seseorang "Gelang Berantai" Chao Hui Peng adalah
seorang jago Bulim di Tionggoan. Namanya lebih tinggi setingkat
lagi di atas Chi Siong Kiam Khek maupun Pat Sian Kiam Lie Ceng
Hong. puluhan tahun belakangan ini, di Bulim ada sebuah nyanyian
yang mengatakan "Gelang Berantai dikeluarkan, enam iblis disapu
bersih." Nyanyian itu bermaknakan kejadian dua puluh tahun yang
silam. Ketika itu dia mencari enam orang iblis yang sangat jahat dan
menggemparkan dunia persilatan, meski pun dirinya mengalami luka
yang tidak ringan, namun enam orang iblis itu pun terbasmi di
bawah pedangnya. Sejak itulah Gelang Berantai Chao Hui Peng
menjadi terkenal Tidak ada orang yang berani mencari perkara
dengannya. Di telinga Toa Tek To Hun kembali terngiang kata-kata yang
diucapkan oleh Thi Bian Jin.
"Lawan ketiga adalah Gelang Berantai Chao Hui Peng.... Chao Hui
Peng... Chao Hui Peng...."
Di tempat kediaman Chao Hui Peng juga ada sebuah lonceng
besar, Bila terjadi suatu urusan besar, maka lonceng itu akan
berbunyi. Sekarang, semua anak murid, keluarga, maupun para
pelayan sedang berkumpul di ruang depan. Lonceng sudah
dibunyikan sebanyak dua belas kali sebagai tanda bahwa seluruh
anggota keluarga itu harus berkumpul.
Toa Tek To Hun dan Chao Hui Peng sudah berdiri berhadapan
Laki-laki itu berusia kira-kira lima puluh tahun. Banyaknya
pengalaman menghadapi pertempuran membuat laki-laki ini tidak
berani menganggap enteng semua lawannya.
Matanya memperhatikan Toa Tek To Hun dari atas kepala dan
berhenti di tangan yang menggenggam pedang itu. Tangan dan
pedang inikah yang telah membunuh Chi Siong Kiam Khek dan Pat
Siam Kiam Lie Ceng Hong"
Tangan yang istimewa dipadukan dengan pedang yang juga
istimewa barulah dapat menyebabkan peristiwa yang dalam sekejap
menggegerkan rimba persilatan itu. Manusia bagaimanakah yang
sedang berdiri di hadapannya sekarang" Mungkin pertanyaan ini
hanya dapat dijawab dengan selembar nyawa.
"Aku sudah mengetahui bahwa di dunia persilatan muncul
seorang sepertimu!" katanya memulai pembicaraan.
"Aku mengucapkan selamat bagi dirimu, karena yang lainnya mati
tanpa mendengar nama lawannya!" kata Toa Tek To Hun dengan
wajah kaku. "Oh ya?" tanya Chao Hui Peng, "Betul, Dengan demikian kau
dapat mati dengan mata meram"
"Sombong betul!" kata Chao Hui Peng tajam.
"Sombong itu perlu asal pada tempatnya, Dan aku memang
pantas menyandang kesombongan ini!"
"Apakah Chi Siong Kiam Khek dan Lie Ceng Hong berdua mati di
tanganmu?" "Benar." jawab Toa Tek To Hun tanpa menampilkan perasaan
apa-apa. "Berapa jurus yang kau perlukan untuk merobohkan mereka?"
tanya Chao Hui Peng penasaran
"Lebih baik tidak usah disebutkan karena kau tidak mungkin
percaya...." jawaban itu membuat Chao Hui Peng tambah penasaran
"Coba katakan" "Boleh dikatakan hanya setengah jurus...." jawabnya tenang.
"Kau mengoceh yang bukan-bukan!" bentaknya marah.
Chao Hui Peng telah membuat kesalahan besar. Dalam suatu
pertarungan besar. Hal yang paling utama adalah harus dapat
menahan emosi. Lagipula seorang yang tidak mempercayai bahwa
dengan hanya mempergunakan setengah jurus dapat membunuh
orang, belum pantas disebut Ko Chiu, menandakan ilmunya belum
cukup tinggi dan pengetahuannya dangkal seseorang yang belum
mengetahui bahwa dalam setengah jurus dapat membunuh,
bagaimana mungkin dapat menahan serangan setengah jurus itu"
Tangan Toa Tek To Hun menggenggam pedangnya erat-erat,
Chao Hui Peng belum memperhatikannya. otaknya masih dipenuhi
kata-kata setengah jurus tadi, sungguh mati dia tidak percaya jika
hanya dalam setengah jurus dapat merobohkan lawan.
Tentu yang dimaksudkan adalah seorang Ko Chiu melawan
seorang Ko Chiu juga. Mungkin jago yang berasal dari tengah lautan
itu pun tidak dapat melakukannya.
Toa Tek To Hun selamanya belum pernah menjelaskan hal ini
kepada lawannya, juga tidak memaksa mereka untuk percaya.
Kenyataan dapat membuktikannya sendiri....
Gerakan pedang yang tidak tampak telah menembus dahinya.
Begitu melihat sinar yang menyilaukan, Chao Hui Peng segera
bermaksud menghindar, belum sempat hal itu dilakukannya, rasa
dingin telah sampai di antara kedua alis matanya.
Pada saat itu, otaknya masih sempat mengingat dua patah kata
"setengah jurus". Orangnya rubuh ketanah, Gelang Berantai
bergelindingan jatuh. -ooo0ooo- Hujan tanpa angin Awal musim panas. Toa Tek To Hun menyusuri
gang kecil. Walau pun jalan besar atau gang sempit, langkah
kakinya tetap teratur jarak jejak yang ditinggalkannya tetap sama,
Kelihatanya mudah tapi untuk melaksanakannya tidak semudah
orang yang hanya melihat. Tanpa latihan yang tekun dan keras,
siapa pun jangan harap dapat melakukannya.
Air hujan membasahi rambutnya yang panjang, juga baju dan
seluruh tubuhnya. Dia merasakan kesejukan disertai rasa puas yang
dalam, otaknya sekali lagi mengingat ucapan Thi Bian Jin...
"Lawan keempat adalah Golok Emas Pheng Hou. Lawan kelima
adalah Telapak Besi Lim Peng. Lawan keenam adalah It Kuan Pit,
nama sejenis senjata yang bentuknya berupa pinsil yang terbuat dari
baja, Cung Tao. Lawan ketujuh adalah Peluru Pengejar Sukma Cin
Tiong...." Golok Emas Pheng Hou juga sudah dirubuhkan olehnya, tidak
mungkin terjadi hal yang tidak diinginkannya, Toa Tek To Hun selalu
penuh keyakinan, yang pasti pedang dihunuskan dan lalu
dikembalikan ke dalam sarungnya.
Dia tidak pernah mencoba menghapuskan sisa darah lawannya,
Karena kecepatannya, maka darah yang tersisa pun hampir tidak
ada. Wajah Thi Bian Jin terus melintas di benaknya, Sejumlah Ko
Chiu yang tergores oleh pedangnya juga melintas terus.
Dari Telapak Besi Lim Peng sampai Peluru pengejar Sukma Cin
tiong, Apa yang membuat dirinya kurang puas adalah waktu yang
diperlukannya untuk membunuh orang-orang itu terlalu singkat
justru waktu untuk merenungi diri sendiri terlalu panjang.
Satu persatu lawannya roboh. Di dalam Bulim pun tersiar katakata
"Manusia ombak dari Fu Sang, merobohkan lawan setengah
jurus" dan masih banyak lainnya lagi yang kurang meyakinkan.
Cin Thiong yang terakhir pun mengalami hal yang tidak berbeda.
Langkah kaki di tanah teratur dan bergetar. Beribu kali pertarungan
yang telah dialaminya, semua lawannya roboh dengan luka
memanjang di kening, tidak pernah di tempat yang lain.
Apakah dia tidak akan berhenti membunuh" Tentu saja tidak, Thi
Bian Jin tidak akan meminta Toa Tek To Hun membunuh orangorang
yang tidak berharga, Dan ada berapa orangkah manusia di
dunia ini yang pantas mati di bawah pedangnya"
Para pendekar di Bulim merasa diri mereka sedang terancam
bahaya besar, namun ternyata tidak ada yang mempunyai pikiran
untuk bergabung dan melawannya. Kalau dipikir-pikir memang nama
besar sering menyesatkan manusia. Para keluarga pendekar yang
mati di tangannya juga tidak mau mengumpulkan kekuatan untuk
membalas dendam kepadanya.
Sejak menjadi pembunuh bayaran, tidak ada manusia yang
bergaul ataupun bercakap-cakap dengannya, Dia selalu sendiri,
kesepian, kesal dan kadang-kadang benci terhadap dirinya sendiri.
Namun hidup ini terus dilaluinya, Toa Tek To Hun tidak pernah
berpikir untuk berganti profesi. Tentunya hendak mengganti profesi
pun tidak mungkin berhasil. Manusia dari segala macam kalangan,
bila hendak mengganti suatu pekerjaan yang telah ditekuninya
sekian lama, delapan di antara sepuluhnya tidak akan berhasil. Ratarata
mereka kembali menggeluti pekerjaan semula.
-ooo0ooo- Malam berkabut di sebuah kuburan umum, Angin bertiup
menggoyangkan ilalang yang tinggi. Suara jangkrik dan burung
hantu bersahutan laksana sebuah nyanyian yang memilukan.
Di tengah pekuburan itu terdapat sebuah tanah kosong, dengan
langkahnya yang teratur Toa Tek To Hun menyusuri tanah kosong
itu. Kecuali gemerisik langkah kakinya, suara jangkrik dan burung
hantu, kesunyian terasa mendirikan bulu roma.
Tiba-tiba di kuburan yang penuh dengan kabut dan kesepian yang
mencekam itu, muncul setitik sinar, Toa Tek To Hun seakan
mengenal sekali sinar terang itu. Kesunyian malam, kabut dan tanah
kosong, sungguh merupakan tempat yang tepat untuk pertemuan
para setan dan iblis. Tapi dia selamanya tidak pernah merasa takut terhadap keadaan
ini. Dia adalah seorang ahli perubahan manusia menjadi setan,
Mungkin bila setan yang bertemu dengannya, mereka juga akan
mundur tiga langkah. Masih lampu kristal yang sama. Toa Tek To Hun berjalan
mengikuti titik terang itu, Sampai di depannya, dia berhenti. Di
samping lampu kristal yang diletakkan dekat kuburan, terdapat
setumpuk uang kertas dan batangan emas. Dia berdiri di depan batu
nisan, Thi Bian Jin keluar dari balik kuburan tersebut.
Dia menjura dalam-dalam, seakan orang yang ada di hadapannya
adalah kaisar kerajaan besar, Toa Tek To Hun tidak menanggapinya,
Dia berdiri tegak tak bergeming.
"Dalam tiga bulan ini tuan sudah memenangkan tujuh belas kali
pertarungan. Dalam dunia Kangouw sudah ada tujuh belas orang Ko
chiu mati di bawah pedang Sian-sing dan nama Toa Tek To Hun
telah menggetarkan dunia persilatan. Benar-benar suatu berita yang
patut dirayakan...." kata Thi Bian Jin tertawa senang.
Toa Tek To Hun sama sekali tidak berminat untuk ikut tertawa,
Thi Bian Jin mengeluarkan sebuah guci emas dan cangkir yang
terbuat dari emas juga. Dia menuangkan arak ke dalam cangkir
tersebut. "Saya ingin menghormati tiga cawan arak untuk Siansing!"
katanya. "Saya tidak minum arak!" jawabnya dengan nada dingin.
"Sama sekali tidak pernah?" tanya Thi Bian Jin heran. Mungkinkah
ada laki-laki yang tidak minum arak di dunia ini"
"Pedang hanya minum darah, tidak minum arak, Aku adalah
pedang, pedang adalah aku!" ujarnya tegas.
Thi Bian Jin seakan sudah menduga akan mendapat jawaban ini.
Dia meneguk cawan di tangannya sampai kering, mungkin dia ingin
minum arak itu tidak terdapat apa-apa, atau hanya ingin
mengobarkan perasaan puas dalam hatinya.
Meskipun yang membunuh para pendekar itu bukan dirinya, tetapi
menang atau kalah mempunyai sangkutan yang dalam dan berarti
baginya. Dapat dikatakan bahwa dia sama sekali bukan mengkhawatirkan
mati hidup Toa Tek To Hun, melainkan usahanya sendiri apakah
dapat berjalan lancar sesuai rencana.
"Pertarungan Siansing besok adalah sebuah pertarungan yang
menentukan. Lawan Siansing merupakan seorang jago besar,
Namanya Tionggoan taihiap Fang Tiong Seng, jurus Telapak Bangau,
Pedang Sayap Bangau, serta tiga belas perubahan Bangau Terbang
disebut sebagai Bu Lim Sam Kiat atau Tiga jago dunia persilatan,
jurus-jurus itu bila dikeluarkan seperti tiga orang yang
memainkannya. Dalam dua puluh tahun terakhir ini, enam puluh lebih
pertandingan telah dilakukannya. Belum pernah sekalipun Tionggoan
taihiap atau Pendekar besar dari Tionggoan Fang Tiong Seng
mengalami kekalahan," kata Thi Bian Jin menjelaskan.
"Kali ini dia harus kalah!" ujar Toa Tek To Hun tanpa
memperlihatkan mimik yang berubah.
"Siansing lebih baik berhati-hati...." Thi Bian Jin menasehatinya.
"Tidak perduli siapa pun lawan saya, selamanya saya selalu
berhati-hati, Anda tidak perlu khawatir Karena saya hanya boleh
menang, tidak boleh kalah," ujar Toa Tek To Hun.
Thi Bian Jin menarik nafas panjang,
"Siapa pun yang dapat meyakinkan diri seperti Siansing, tidak
akan pernah mengalami kekalahan lagi."
Toa Tek To Hun tidak menanggapinya.
Kebanyakan para cukong yang menyewa akan mengucapkan
kata-kata itu. Paling tidak, dirinya harus mempertahankan hidup
baru dapat selalu mendengar ucapan ini. Andaikata dia mati, cukong
itu akan tetap hidup. Tanpa nyawa, waktu masih terus berputar Toa Tek To Hun
meraba pedangnya dengan penuh kasih sayang. Mungkin di dunia ini
hanya pedang itu yang mengerti perasaannya. Tidak perduli siang
hari atau pun tengah malam, di musim salju atau pun musim panas,
pedang itu tidak pernah berpisah dengan dirinya.
Hubungan batin antara Toa Tek To Hun dan pedangnya bukanlah
sesuatu yang dapat dijelaskan dengan kata-kata, hanya perasaan
yang dapat mengungkapkannya. Apalagi bila sedang menghadapi
sebuah pertarungan, hubungan dirinya dengan pedang itu bagaikan
seorang manusia dengan nyawanya. Pedang itu memberikan
kepercayaan diri yang besar sekali, dan juga memberikan kekuatan
yang tidak tertandingi. Meskipun selama ini dia terus mendapat tawaran dan pekerjaan
dari para cukong untuk membunuh seseorang, tapi di dunia ini orang
yang paling dipandang hina olehnya justru adalah para cukong ini.
Baginya, mereka adalah sebangsa manusia pengecut yang hanya
berani membunuh orang dengan kekuasaan dan uang, tidak pernah
berani menghadapi sendiri musuh-musuhnya.
Bahkan identitas merekapun ditutupi sedemikian rupa, sehingga
Toa Tek To Hun tidak pernah mengetahui siapa diri cukong-cukong
itu sebenarnya, namun dia memang tidak ingin mengetahuinya,
yang penting baginya adalah lawan yang pantas, dan kemenangan.
Thi Bian Jin menuangkan arak lagi dalam cangkir emas itu.
"Saya ingin menghormat Siansing dengan arak ini untuk
mengucapkan semoga sukses!" kata Thi Bian Jin.
"Kata-kata yang sudah penah diucapkan, tidak ingin saya ulangi
berkali-kali," ujarnya tanpa perasaan Toa Tek To Hun pun
meninggalkan Thi Bian Jin yang masih terlongong-longong dengan
cawan arak di tangan... -ooo0ooo- Musim kemarau mulai menjelang, malam terasa panas. Bintangbintang
memenuhi cakrawala, beberapa ekor kunang-kunang
menari-nari. Rumah keluarga Fang adalah sebuah bangunan besar
model kuno, tanahnya luas sekali.


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fang Tiong Seng sehari-harinya terkenal sangat ramah dan
mudah bergaul. Orangnya bijaksana, tidak segan menolong siapa
saja. Namanya bukan hanya berkumandang di dunia persilatan
bahkan di dusun-dusun kecil pun, banyak rakyat yang
menghormatinya. Manusia semacam ini juga dapat diincar bahaya
kekalahan" Berapakah manusia ini yang tidak takut akan kematian" Katakata:
"Melihat kematian seperti pulang ke rumah", hanyalah berlaku
untuk orang yang sudah ditakdirkan harus mati dan selama
hidupnya segala macam telah tercukupi.
Saat ini ruangan besar dalam rumah Fang Tiong Seng terang
sekali, lilin-Iilin yang besar dan lampu minyak bertebaran di seluruh
ruangan itu. Fang Tiong Seng berwajah persegi, Telinganya besar,
penampilannya berwibawa, Setiap orang yang meIihatnya dapat
merasakan kepercayaan dirinya yang tebal dan kehormatan yang
dimilikinya. Dia duduk tegak di sebuah bangku besar berbentuk singa dan
terbuat dari batu pualam, Tapi dari pakaiannya, ia membawa kesan
sederhana. Kata sederhana itu sama sekali tidak merendahkan
derajat dan kewibawaannya.
Usia empat puluh delapan tahun adalah masa paling gemilang
bagi seorang pendekar besar, juga masa di mana ilmunya sudah
terlatih dengan matang. Orang seperti ini, mestinya bahagia sekali,
Nyatanya dia memang bahagia, paling tidak dalam hati kecilnya,
karena masa depan dan usahanya menunjukkan kecerahan.
Namun saat ini, dia tidak terlihat bahagia, Murid-muridnya, Mo Put
Chi alias Mo yang tak kenal kalah dan Hu Put Chiu atau Hu yang tak
pernah sedih berdiri di sisi kiri kanannya.
Putra sahabat lainnya, Kwe Po Giok berdiri di sebelah kiri depan,
pemuda itu mengenakan pakaian berkabung, puluhan pengawal
berbaris di kedua sisi. Di dalam ruangan sunyi sekali sehingga percikan lilin pun dapat
terdengar dengan jelas. Tangan kiri Kang Tiong Seng menggeng"menjatuhkan para ko chiu" Mungkin ini merupakan peristiwa
yang paling menggetarkan, menggidikkan, menakutkan di dunia
persilatan selama ini! siapakah manusia ini" Pedang apa yang
digunakannya" Dari perguruan mana asalnya" Seorang manusia
tidak mungkin langsung menjadi seorang ahli pedang tanpa ada
yang mendidik" Selama bertahun-tahun, baru kali ini para murid dan anak
perguruannya melihat Fang Tiong Seng begitu bingung dan
tertekan,ingin rasanya mereka berbagi duka dengan sang guru,
meskipun tubuh harus hancur dan tulang belulang harus berantakan.
Wajah Fang Tiong Seng menoleh ke arah Hu Put Chiu.
"Kau sering bergerak di dunia Bulim. Kawan-kawanmu paling
banyak, Apakah dulu kau pernah mendengar nama orang ini?"
tanyanya. "Sampai saat ini, orang-orang di dunia kangouw tidak ada yang
tahu dari perguruan mana dia berasal. Bahkan jurus yang
digunakannya pun tidak di kenal. Hanya mereka tahu bahwa orang
ini berasal dari Fu sang. Dia ingin membunuh seluruh ko chiu di
Tionggoan!" jawab Hu Put Chiu.
"Bila demikian, cepat atau lambat dia pasti akan mencari aku!"
kata Fang Tiong Seng dengan nada dingin.
"Pada waktu itu, berarti kematiannya pun tiba!" tukas Mo Put Chi.
Orang yang satu ini sesuai sekali dengan namanya, Mo yang tidak
kenal kalah. Dia paling membanggakan gurunya, Tidak pernah menganggap
tinggi kekuatan luar, sifatnya tidak pernah mau mengalah, Dia tidak
percaya Toa Tek To Hun bisa mempunyai tiga kepala dan sembilan
nyawa. Fang Tiong Seng bergumam sendiri, Dia terlihat seperti
merenungkan sesuatu. "Put Ce belum kembali juga?" Tiba-tiba dia bertanya.
"Belum. Sam sute (adik seperguruan nomor tiga) kan sudah tidak
usah diherankan. Dalam mengerjakan urusan apa pun, selalu lebih
lambat setindak dari orang lain," sahut Hu Put Chiu tertawa.
Di dalam perguruan Fang Tiong Seng, Sun Put Ce terdaftar
sebagai murid ketiga, Selamanya selalu lamban, Andaikata
rumahnya sendiri sudah terbakar pun, belum tentu panik.
Dia menganggap waktu seperti orang yang makan kuaci, harus
dinikmati sungguh-sungguh. Sebelum memakannya harus dikupas
dulu kulitnya, tidak boleh ditelan begitu saja.
Sifat ini tentu berbeda jauh dengan kedua abang seperguruannya,
Mo Put Chi dan Hu Put Chiu. Manusia yang berkecimpung di dunia
persilatan sudah pasti tahu sifat dan julukan ketiga murid Fang
Tiong Seng ini. "Aku ingin beristirahat. Laporkan bila Sun Put Ce sudah kembali!"
kata Fang Tiong Seng. Malam sudah larut, jalanan diselimuti oleh kabut tipis. Sun Put Ce
berjalan sendirian tanpa tergesa-gesa. Waktu baginya tidak akan
pernah habis. Dia selalu menganggap pekerjaan di dunia tidak akan pernah
selesai. Cepat atau lambat bukan menjadi masalah, Hari ini tugas
yang satu beres, besok pasti ada tugas lain yang datang. Di jalanan
tidak ada seorang manusiapun.
Paling tidak dengan jalan selambat ini, dia tidak akan membentur
orang lain, Dan orang lain pun tidak bisa membenturnya, Adakah
manusia yang lebih lambat darinya di dunia ini"
Bukankah di hadapannya sekarang ada satu"
Orang itu menyongsong dari depan, Begitu lambatnya sampai
seperti sama sekali tidak bergerak, kalau diperhatikan sekali lagi
dengan seksama, bayangan samar-samar di depan itu memang tidak
bergerak, dia berdiri tegak di tengah jalan.
Sun Put Ce melangkah maju dengan perlahan sekarang dia dapat
melihat orang yang berdiri di bawah sebatang pohon besar itu.
Rambutnya panjang dan pakaiannya hitam semua, tangannya
menggenggam sebatang pedang berbentuk aneh.
Wajah orang itu kaku dan pucat, seperti seorang manusia yang
tidak mempunyai darah. Sun Put Ce merasa bulu kuduknya berdiri
Tetapi dia tetap tidak menganggap langkah kakinya yang lambat itu
membuatnya bertemu dengan orang tersebut. Bila jalannya cepat,
dia juga tetap akan bertemu dengannya.
"Apakah kau murid Fang Tiong Seng?" tanya laki-laki berpakaian
hitam itu. "Betul!" sahut Sun Put Ce sambil mengangguk lemah.
Kepalan tangan yang menggenggam pedang aneh itu
memperlihatkan otot hijau, Meskipun Sun Put Ce selalu lamban, tapi
bukan berarti dia tidak mempunyai naluri, Sejak tadi dia sudah
bersiap-siap. Sinar pedang berkelebat, dalam waktu beberapa detik masuk
kembali ke dalam sarung, Sun Put Ce terkesiap, Dia hanya tahu
bahwa pedang itu sudah masuk kembali ke dalam sarungnya,
terkejut pun sudah terlambat.
Dia mencoba merasakan keadaan dirinya sendiri, namun tidak
terasa kelainan pada tenggorokan, dada, ataupun keningnya,
Biasanya tempat-tempat yang disebutkan tadi merupakan sasaran
yang empuk bagi seorang ahli pedang.
Ternyata dirinya belum mengalami sesuatu, sungguh cepat!
Orang itu seperti belum menghunus pedangnya sama sekali
Dari atas pohon terdengar suara gemeretak. Sebatang ranting
jatuh ke atas tanah, Sekarang Sun Put Ce baru yakin orang itu telah
menghunuskan pedangnya barusan.
Andaikata pedang itu ditujukan ke arah tenggorokan, kening
ataupun dada, Sun Put Ce percaya dirinya sudah terkapar
bermandikan darah. "Pungut!" perintah manusia berpakaian hitam itu.
"Apa?" tanya Sun Put Ce kebingungan.
"Ranting pohon!" katanya dengan nada dingin.
Sun Put Ce terpana sejenak, kemudian dia menekuk pinggangnya
dan memungut ranting pohon tadi, ingin sekali rasanya dia tertawa,
orang ini benar-benar aneh, orang macam apa pun ada di dunia ini.
Dia sendiri sudah termasuk jenis yang langka, para suhengnya
suka menggodanya, "Orang macam apa pun ada di dunia ini, tidak
nyana masih ada lagi orang seperti dirinya."
Sun Put Ce tidak tahu harus menangis atau tertawa mendengar
ejekan itu. Paling tidak saat ini dia mempunyai seorang kenalan yang
sama-sama langka. Ranting pohon itu masih digenggam dalam tangannya, dia tidak
mengerti maksud manusia berpakaian hitam itu. Dia berdiri menatap
ke arahnya sambil menunggu.
"Bawa pulang dan tunjukkan pada Fang Tiong Seng, Besok
tengah hari aku akan menjumpainya!" Kata-kata yang diucapkan
oleh orang itu seperti sebuah perintah.
Sebetulnya Sun Put Ce tidak ingin menuruti perintah itu. Kalau
para suhengnya melihat dia membawa pulang ranting tersebut,
mereka pasti akan menggelengkan kepala dan mengatakan "Orang
macam apa pun ada di dunia ini!" Tapi nyatanya Sun Put Ce
menganggukkan kepalanya. Manusia berpakaian hitam itu meninggalkan tempat itu dengan
langkah limbung. "Orang macam apa pun ada di dunia ini." gumam
Sun Put Ce. Dia memperhatikan ranting pohon itu sejenak, kemudian
dibuangnya sembarangan. Langkah kakinya baru mencapai tujuh, delapan tindak, tiba-tiba
dia berhenti, meskipun di dunia ini orang macam pun ada, tapi yang
persis dengan orang itu tentunya tidak ada.
Mungkinkah orang ini yang namanya menggetarkan rimba
persilatan" Rasanya dia tidak salah menduga, Apalagi setelah Sun
Put Ce mengatakan nama gurunya, dia tetap akan datang besok
tengah hari, Apakah ranting pohon ini dijadikan sebagai kartu
namanya" Sun Put Ce membalikkan tubuhnya dan memungut kembali
ranting pohon tersebut. Dia menyimpan ranting itu hati-hati di balik
bajunya. Baru beberapa langkah kakinya berjalan, dia mendengar
suara jeritan seorang gadis.
Walaupun suara itu berkumandang dari arah depannya, dia tetap
melangkah dengan tenang dan penuh perasaan. Di balik kabut
terlihat bayangan samar tiga orang, Setelah jaraknya mendekat dia
melihat seorang laki-laki yang masih terhitung muda dan
mengenakan pakaian berwarna warni mencengkeram seorang gadis.
Dari bentuk tubuh dan wajah gadis itu, Sun Put Ce segera dapat
mengetahui bahwa usianya masih muda sekali, Sekali lihat saja,
orang akan mempunyai pikiran tentang kemungkinan yang paling
gampang terjadi antara seorang pria dan gadis.
Rupanya ketiga laki-laki itu adalah satu komplotan. Gadis itu
seorang diri, pakaiannya terbuat dari bahan yang mahal, Permata
berkilauan dari seluruh tubuhnya, Pasti anak gadis keluarga berada,
Demi kehormatan dan harta bendanya, gadis itu rupanya tidak mau
menyerah begitu saja. Gadis itu ternyata sudah tidak sadarkan diri
lagi. Sun Put Ce paling benci melihat kejadian seperti ini.
"Apa yang kalian perbuat?" teriaknya lantang.
Tentu saja kalau bukan bermaksud memperkosa gadis itu, harta
benda di seluruh tubuhnya yang menjadi sasaran mereka,
pertanyaan itu seakan menampilkan kebodohannya sendiri!
Pemuda yang memakai baju warna warni itu menatap orang yang
menghadang di depannya dengan pandangan meremehkan "Siapa
kau?" tanyanya sinis.
"Sun Put Ce!" "Dari perguruan mana?" tanya pemuda itu sekali lagi.
Sun Put Ce membalas tatapan pemuda itu dengan mata penuh
hawa amarah. Sudah terang sedang melakukan perbuatan buruk,
masih berani menanyakan perguruannya!
"Kau tidak berani menjawab bukan" Aku sudah mengira bahwa
kau bukan orang baik-baik," sambung pemuda itu.
Sun Put Ce terpana, mereka yang melakukan kejahatan malah
dirinya yang dikira bukan orang baik-baik!
"Apakah hubunganmu dengan gadis ini?" Dia balik bertanya.
Kedua rekan pemuda itu saling pandang dan tertawa, Sun Put Ce
merasa jengah, Apakah ia telah mengucapkan kata yang salah lagi?"
"Dia adalah isteri saya!" jawab pemuda itu dengan suara keras.
Sun Put Ce tidak bisa tidak berpikir, manusia macam apa pun ada
di dunia ini, Dia selalu turut campur urusan orang lain.
"lsteri" Kok begini?" katanya kikuk.
"Jangan turut campur urusan rumah tangga saya...." jawab
pemuda itu. "Kau mengatakan bahwa dia adalah isterimu.... Apa buktinya?"
kata Sun Put Ce untuk menutupi rasa malunya.
"Dari perguruan mana kau ini?" pemuda itu menanyakan sekali
lagi. "Murid ketiga Tionggoan taihiap!" jawabnya terus tenang.
Pemuda itu terpana sejenak, sekarang dia merasa orang yang ada
di hadapannya ini cukup pantas untuk turut campur dalam
urusannya. "0h... Sun Taihiap.... Kau tidak mengerti...."
"Tentu saja aku tidak mengerti!" tukas Sun Put Ce.
Pemuda itu menghela nafas panjang, "Aih.... Gadis ini sebetulnya
berasal dari keluarga miskin, Saya melihat wajahnya cukup cantik,
maka mengambilnya sebagai isteri, Siapa sangka setelah derajatnya
terangkat dia mencela saya segala macam...." kata pemuda itu
dengan menunjukkan wajah sendu.
"Mencela apa saja?" tanya Sun Put Ce penasaran.
"Pertama-tama dia mengatakan bahwa bekas luka di tubuhku
terlalu banyak," jawab pemuda itu semakin sendu.
"Apakah kau merupakan orang yang terjun di dunia Bulim?" tanya
Sun Put Ce. "Betul! Orang yang terjun dalam dunia Bulim pasti tidak dapat
menghindarkan diri dari perkelahian. Tentu saja bekas luka di
tubuhku banyak, Dia malah mengatakan sebal melihatnya," jawab
pemuda yang cerdik itu. Sekali pandang saja, dia sudah dapat
melihat kalau Sun Put Ce adalah seorang manusia yang polos.
"Apalagi yang dicelanya?" tanya Sun Put Ce dengan kepala
manggut-manggut. "Dia masih mencela badan saya mengeluarkan semacam hawa
yang tidak sedap," kata pemuda itu, Sun Put Ce tidak
memperhatikan kedua rekan pemuda tersebut yang sedang
menahan tawa. "Apakah kau jarang mandi?" tanyanya Iugu.
"Bukan... bukan! Hanya sedikit bau badan," jawabnya,
"Aih.... Dia juga tidak dapat disalahkan. Bau badan memang
menyebalkan," kata Sun Put Ce sambil menarik nafas.
"Tapi... karena hal ini, dia mencari seorang kekasih gelap yang
tubuhnya memancarkan keharuman." Pemuda tersebut seperti
menikmati tanya jawab ini.
"Di mana-mana juga hanya terdengar tubuh anak gadis yang
memancarkan keharuman, mana ada laki-laki yang tubuhnya
harum?" tanya Sun Put Ce heran.
"Aih... Sun Taihiap... kau tidak mengerti Pemuda itu kerjanya di
pemandian umum. Setiap hari menggosokkan badan dan kaki orang
dengan sabun wangi. Manusia seperti ini setiap hari berendam di


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam air. Coba Sun Taihiap bayangkan, orang yang setiap hari
terkena hawa sabun wangi seperti itu, masa tidak wangi. Bahkan
sedikit daki pun tidak ada. Oleh sebab itu perempuan jalang ini
langsung terpikat olehnya." kata pemuda itu dengan wajah
mengenaskan. "Hm.... Benar juga...." jawab Sun Put Ce setelah merenung
sejenak. "Andaikata dia minggat bersama laki-laki itu, saya sih tidak
keberatan. Toh tidak ada ruginya bagi kita orang laki, Tapi
setidaknya dia harus meninggalkan semua perhiasan hasil jerih
payah saya bertahun-tahun. Nilainya mencapai laksaan tail!" Pemuda
itu mengeluh. "Dari mana kau mempunyai uang sebanyak itu?" tanya Sun Put Ce
heran. "Kakek saya adalah bekas menteri kerajaan Ayah pun berdagang
kecil-kecilan, Namun kami sangat hemat, setiap sen kami kumpulkan
sehingga sekarang dapat hidup berkecukupan," sahut pemuda itu.
"Kalau begitu tadi kau mencengkeramnya demikian keras, untuk
mengambil kembali harta bendamu yang ada padanya?" tanya Sun
Put Ce polos. "Betul! Dia tidak mau mengembalikan!" kata pemuda itu
bersungut-sungut. "Barang adalah miiikmu. seharusnya dikembalikan kepadamu
lagi...." ujar Sun Put Ce manggut-manggut.
Pemuda berpakaian warna warni itu memerintahkan kedua
rekannya untuk melepaskan mutiara dan semua perhiasan yang
melekat di tubuh perempuan itu, mereka melakukannya dengan
cepat. "Sun Taihiap... perempuan ini akan saya bawa pulang.,." katanya.
"Apakah kau masih menganggapnya sebagai isteri?" tanya Sun
Put Ce serius. "Rasanya tidak lagi...." jawab pemuda itu setelah berpikir
beberapa detik. "Kalau tidak lagi, buat apa kau membawanya pulang" Benar-benar
manusia macam apa juga ada di dunia ini... biarkan saja dia
pergi...." kata Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Terimakasih, Sun taihiap..." Pemuda itu menjura dalam-dalam.
Dia segera mengajak kedua rekannya untuk meninggalkan tempat
itu. Namun mereka tidak pergi terlalu jauh. Dari balik sebuah dinding
rumah, mereka berhenti dan mengintip apa yang akan dilakukan
oleh orang itu. Kedua rekannya tersenyum terus.
Sun Put Ce tahu kalau gadis itu tertotok jalan darahnya, Dia
segera melepaskan totokan di bagian tengkuknya, tapi rupanya jadi
orang baik memang susah. Ketika baru sadar, gadis itu menatap ke arah Sun Put Ce, Dan
tanpa diduga-duga, dia melayangkan tangannya menampar pipi Sun
Put Ce dengan keras. "Kouwnio mengapa kau membalas air susu dengan air tuba?"
tanyanya heran. Jilid 02 Kalau melakukan pekerjaan lain dapat sambil bersantap tentu
tidak sama dengan menggerakkan tangan memukul orang, Gadis itu
cantik sekali, Dia memperhatikan Sun Put Ce dengan seksama.
Sekarang dia baru sadar bahwa laki-laki ini bukan orang-orang yang
menghadangnya tadi, Tangannya yang masih terangkat ke atas
segera diturunkan. Dia melihat ke arah dirinya sendiri, Seluruh
perhiasan di tubuhnya sudah lenyap, Kemarahan mulai naik ke
kepalanya lagi. "Ada hubungan apa kau dengan ketiga orang tadi?" tanya gadis
itu dengan mata mendelik.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Kenal pun tidak!" katanya.
"Lalu siapa kau?" tanya gadis cantik itu lagi,
"Hanya orang yang kebetulan lewat," jawabnya kalem.
"Omong kosong!" bentak gadis itu.
"Hei.... Mengapa kau mengatakan aku omong kosong?" tanya Sun
Put Ce penasaran. "Tentu kau yang melepaskan semua perhiasanku!" seru gadis itu
dengan wajah me-rah padam.
"Kouwnio jangan menuduh sembarangan. perhiasanmu itu
dilepaskan oleh suamimu sendiri, Bila kau memang sudah tidak
menyukainya dan jatuh cinta kepada pemuda yang bekerja
menggosok badan di permandian umum itu, ya sudah... Buat apa
meributkan perhiasan yang tidak seberapa itu?" kata Sun Put Ce
dengan nada menasehati. "Kentut!" bentak gadis itu marah. Watak Sun Put Ce sangat sopan
dan lagi pula polos. "Mana boleh seorang gadis mengucapkan kata-kata kotor seperti
itu?" tegurnya. "BoIeh saja kalau terhadap seorang kutu busuk seperti engkau!"
seru gadis itu lantang. "Apakah aku salah bicara lagi?" tanya Sun Put Ce sambil
mengerutkan keningnya. "Tentu salah! Aku masih suci, mana bisa punya suami" Bukankah
itu suatu bukti bahwa kau ngaco belo saja?" teriak gadis itu kesal.
Sun Put Ce terpana sejenak, Kemudian dia tertawa lebar.
"Kouwnio.... Sudah terang kau berbuat salah, mengakulah!"
katanya. Gadis itu merasa dirinya dipermainkan Dia makin percaya bahwa
laki laki di hadapannya ini sekelompotan dengan orang-orang yang
merampas perhiasannya. Sambil berteriak, dia melancarkan dua
buah serangan sekaligus. Sun Put Ce kalau melakukan pekerjaan memang lambat Tapi
kalau menghadapi serangan ternyata cepat sekali, Dia menggeser
dua langkah ke samping. serangan gadis itu pun luput.
"Hmmm, Pantas saja berani merampok di tengah jalan umum.
rupanya punya sedikit kepandaian...." ejek gadis itu. Dia
mengeluarkan sebuah pecut panjang dari lilitan pinggangnya,
Bersiap-siap untuk melancarkan serangan lagi.
Sun Put Ce memperhatikan gadis itu dengan seksama, Wajahnya
sungguh cantik, Cara berpakaiannya juga terlihat dari keluarga
berada dan berpendidikan, Mengapa bisa jatuh cinta dengan seorang
pemuda yang kerjanya menggosok badan orang" Benar-benar orang
macam apa pun ada di dunia ini. Hmmm.... Wanita yang cantik
belum tentu bijaksana dan baik hati, Tapi wanita yang bijaksana dan
baik hati sudah pasti akan tampak cantik, Gadis di hadapannya ini
entah termasuk yang depan atau yang belakang.,." pikirnya dalam
hati. "Tunggu dulu! Apakah pemuda yang berpakaian warna warni
berwajah putih dan cukup tampan itu bukan suami Kouwnio?" tanya
Sun Put Ce menegaskan sekali lagi.
Gadis ini merenung sejenak. sepertinya dia tidak ingat lagi
tampang orang-orang tadi.
"Tadi ketika saya lewat di jalan ini, saya mendengar suara
teriakan.." Sun Put Ce menceritakan kejadian yang ditemuinya
barusan. Gadis itu terperanjat,...
"Jadi dia?" "Siapa orang itu?" tanya Sun Put Ce.
"Kau tidak tahu?" Gadis itu berbalik tanya.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Tentu kau juga tidak tahu siapa aku?" tanyanya dengan alis
berkerut Sekali lagi Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Hal apa saja yang kau ketahui?" tanya gadis itu sambil
menatapnya dengan pandangan meremehkan.
"Apa yang aku ketahui memang tidak banyak, Tapi orang dan apa
saja yang aku ketahui, belum tentu kau juga tahu...." kata-katanya
membingungkan. Tapi tampaknya gadis itu mengerti apa yang dimaksudkan oleh
Sun Put Ce. "Saya tidak percaya...." sahutnya.
"Apakah kau tahu asal usul ranting pohon ini?" tanyanya sambil
mengeluarkan ranting yang disimpan di balik bajunya.
Gadis itu memperhatikan sekejap.
"Bukankah ranting itu diambil dari pohon yang besar itu?" tanya
gadis itu sambil menunjuk pohon besar yang ditebas oleh laki-laki
berpakaian hitam tadi. "Tahukah kau, mengapa saya membawa ranting ini?" tanya Sun
Put Ce kembali. "Segala macam manusia ada di,dunia ini. Aih.... Andaikaia kau
mau membawa batu besar pun, siapa yang perduli?" katanya sambil
menggelengkan kepala. Wajah Sun Put Ce menjadi cerah mendengar kata-kata itu.
"Apa yang dikatakan Kouwnio memang benar.. Dan tahukah
engkau dari perguruan mana saya berasal?"
"Kalau dilihat dari tingkah lakumu, pasti bukan berasal dari
perguruan yang terkemuka...." sahut gadis itu dengan nada
mengejek. "Suhu memang bukan manusia paling hebat di kolong langit Tapi
juga tidak dapat dikatakan bahwa namanya tidak terkenal sama
sekali...." kata Sun Put Ce tersenyum.
Gadis itu ikut tertawa, Orang ini tampaknya cantik juga...
"Lalu.. siapakah suhumu itu" Dan siapa pula namamu?" tanyanya.
"Nama saya... Sun Put Ce. Murid terbungsu dari Tionggoan taihiap
Pang Tiong Seng..." jawabnya menjelaskan.
Mata gadis itu membesar. Kalau bukan terkejut, mana mungkin
dia membelalakkan matanya sebesar itu.
"Nama saya Bwe Mei.,." katanya,
"0h... rupanya Bwe Kouwnio.... Apakah laki-laki tadi benar-benar
bukan suamimu?" kata Sun Put Ce setelah menjura dengan sopan.
"Tentu saja bukan! Kau terlalu jujur, Mau saja ditipu mereka!"
katanya. "Ditipu?" tanya Sun Put Ce terkesiap.
"Dengan susah payah kepergok olehnya. Melihat kedatanganmu
mereka sengaja mengarang sebuah cerita dan mengatakan bahwa
aku adalah isterinya," kata Bwe Mei kesal.
"Aih.... Segala macam manusia ada di dunia ini.... Orang-orang itu
sungguh licik, Mereka bisa saja mengarang sebuah cerita yang
begitu meyakinkan Bwe Kouwnio.... Saya masih ada urusan lain,
Maaf, saya ingin mohon diri...." katanya, Lalu dia membalikkan
tubuh untuk meninggalkan tempat itu.
"Tunggu dulu! Sun taihiap saya belum mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu tadi...." ucapnya sambil menjura dengan penuh
hormat. "Tidak apa-apa.... Tapi ada seorang gadis cantik seperti kau
mengucapkan terima kasih, membuat saya merasa bangga...." katakatanya
tidak beraturan lagi. Gadis itu tersenyum, jarang ada manusia sepolos ini di dunia....
"Sun Put Ce.... Saya ingin memberikan sebuah tanda mata...."
katanya sambil menyodorkan sesuatu ke tangan laki-laki itu.
Sun Put Ce menerimanya, Dia membuka telapak tangan dan
melihat apa yang diberikan gadis itu. Rupanya sebuah dompet kecil
yang memancarkan keharuman.
"Terima kasih atas hadiah Kwe Kouwnio.,." ujarnya.
-oooo0oooo- Bagian Tiga Malam baru hujan... Tidak besar juga tidak terlalu kecil Kalau hujan seperti ini turun
terus, orang-orang tentu akan kesal juga.
Di ruangan keluarga Fang, tetap terang seperti sebelumnya.
Meskipun ruangan itu terang benderang, wajah Fang Tiong Seng
justru diselimuti awan gelap, Dia duduk di kursi singa tersebut.
Mo Put Chi, Hu Put Chi, Sun Put Ce dan yang lainnya berdiri di
sebelah kiri Kwe Po Giok berdiri di sebelah dengan pakaian
berkabung, Ruangan besar itu sunyi senyap. hujan menerpa atap
rumah menimbulkan suara sendu.
Di tangan Fang Tiong Seng tergenggam sebatang ranting pohon,
Sun Put Ce kembali dan menyodorkan sebatang ranting pohon
kepadanya, Kedua suhengnya belum mengatakan "Manusia macam
apa pun ada di dunia ini", Sun Put Ce merasa keadaan itu berbeda
dengan biasanya. Sebatang ranting pohon, Setiap orang menatapnya dengan
seksama, seperti ranting itu bisa berubah menjadi emas setiap saat
Benar-benar tidak masuk akal! pikiran ini tentu saja hanya ada di
benak para pengawal yang ilmunya masih rendah. Bagi ketiga murid
Fang Tiong Seng, mereka tahu ranting menyiratkan sebuah makna
penting bagi suhunya. "Sam sute... bagaimana tampang orang yang memberikan ranting
pohon itu?" tanva Hu Put Chi.
"Orang yang aneh...." sahut Sun Put Ce.
"Bagaimana anehnya?" tanya Hu Put Chiu penasaran.
"Pokoknya aneh sekali...." Sun Put Ce mencoba menggambarkan
dengan gerakan tangan tapi tidak berhasil.
"Nada bicaramu selalu membuat orang kesal!" kata Hu Put Chiu.
"Put Chiu, jangan kau salahkan sute-mu...." kata Fang Tiong Seng
sambil menatap kedua muridnya bergantian.
"Suhu.... Pekerjaan apa yang dapat diselesaikan olehnya?" gerutu
Hu Put Chi, (Maksudnya "Manusia ada yang tinggi dan ada yang
pendek), Nilai seseorang tidak dapat dilihat dari ucapannya saja...."
kata sang guru. "Suhu... teecu tidak mengerti," kata Hu Put Chiu dengan wajah
tertunduk. "Tentu saja kau tidak mengerti, semua orang yang ada di ruangan
ini juga belum tentu ada sepuluh persen yang mengerti." kata Fang
Tiong Seng. Orang-orang yang ada dalam ruangan itu saling pandang,
Semuanya memancarkan sinar mata kebingungan.
"Nilai seorang manusia hanya dapat terlihat bila dia sudah
kehilangan segalanya," katanya kemudian.
Kalau sudah kehilangan segalanya, mana ada yang tersisa lagi"
Kwe Po Giok menganggukkan kepalanya berkali-kali. Tampaknva
hanya dia seorang yang mengerti. Sungguh-sungguh merupakan
seorang anak yang berotak cerdas!
Fang Tiong Seng menatap ranting pohon itu sekali lagi.
"Sungguh jurus yang hebat! Kecepatan pedangnya sulit diuraikan
dengan kata-kata! Pantas saja dalam waktu tiga bulan dia sanggup
membunuh tujuh belas jago dari Tionggoan!" ujarnya sambil
menghela nafas, wajah orang-orang di kiri kanannya berubah.
"Apakah dia adalah Toa Tek To Hun?" tanya beberapa orang
serentak. "Pasti!" jawab Fang Tiong Seng yakin.
"Kalau begitu besok tengah hari adalah waktu kematiannya!" seru
Mo Put Chi dengan suara lantang.
"Bukan waktu kematiannya, tapi waktu kematianmu!" sahut Fang
Tiong Seng. Mo Put Chi terpana, Sebagian besar orang yang ada di
sana ikut terkejut. "Aku?" tanya Mo Put Chi tidak mengerti.
"Kau sudah mengikuti aku sekian lama. Aku paling tahu sifatmu!"
kata Fang Tiong Seng menganggukkan kepalanya.
"Mo Put Chi mati pun tidak mau mengalah. Aku saja tahu...."


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambung Kwe Po Giok, Orang-orang yang ada di dalam ruangan itu
semua menoleh ke arahnya, Bocah ini selalu dapat berpikir melebihi
orang lainnya, Fang Tiong Seng juga menatap kepadanya.
"Aku ingin bertanya.... bila aku mati di bawah pedang seseorang,
apa yang akan dilakukan olehnya?" tanya laki-laki itu menunjuk ke
arah Mo Put Chi. "Dia pasti akan mengadu nyawa dengan orang tersebut. Tapi
kalau Fang lopek saja bukan tandingan orang itu, apalagi Mo toako...."
jawab Kwe Po Giok dengan suara berat Dia menarik nafas
panjang. Fang Tiong Seng menganggukkan kepalanya dengan puas,
Sungguh seorang bocah yang cerdas, wajahnya pun menjadi kelam
seketika. "Oleh sebab itu, besok adalah hari kematiannya!" kata laki-laki itu.
Mo Put Chi tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Se-akan apa yang
didengarnya tadi sama sekali tidak berarti.
"Hanya dengan melihat ranting pohon itu saja, Fang lopek sudah
dapat memastikan diri bukan tandingannya?" tanya Kwe Po Giok
penasaran. Fang Tiong Seng meraba ujung ranting itu.
"Jika kau melihat cara potong daging seorang juru masak, kau
akan segera tahu, apakah dia seorang koki yang hebat atau tidak,
iya kan?" sahutnya, Fang Tiong Seng mengulurkan tangan dan
membelai-belai kepala bocah itu, Tampak sekali dia sangat
menyayanginya. Anak buah Fang Tiong Seng tidak mengerti apa hubungan cara
potong daging seorang juru masak dengan ranting pohon yang
ditebas Toa Tek To Hun. "Saya mengerti, walaupun Toa Tek To Hun hanya menebas
sebatang ranting pohon, tapi dari cara dan bentuk ranting itu sendiri,
kau orang tua sudah dapat menafsirkan berapa hebatnya jurus yang
digunakan dan kecepatan gerakan pedangnya!" sahut Kwe Po Giok,
Pedang apakah yang demikian mengerikan" Benar-benar tidak
dapat dibayangkan! Fang Tiong Seng seakan terkejut mendengar
jawaban Kwe Po Giok. "Bagaimana kau bisa mengerti sedemikian dalam?" tanyanya
heran. Wajah Kwe Po Giok menampilkan rona merah. Dia tersipu-sipu.
"Sejak usia tiga tahun, saya mendapat sebutan Bocah Ajaib,"
ujarnya dengan kepala tertunduk, Kwe Po Giok segera menjatuhkan
diri dan berlutut di hadapan Fang Tiong Seng. ia membenturkan
kepalanya di atas lantai tanpa berhenti.
Langkahnya itu membuat orang-orang yang hadir disana terpana,
Hanya ada satu orang yang mempunyai pikiran! "Manusia macam
apa pun ada di dunia ini", Apakah orang yang disebut sebagai
manusia jenius, bocah ajaib adalah seperti siluman yang menjelma
menjadi manusia" "Kwe Po Giok! Kau...." Fang Tiong Seng ikut terkesiap.
"Saya tahu. Apa yang dikatakan Fang lopek tidak mungkin
bohong, Fang lopek mengakui bukan tandingan Toa Tek To Hun
juga pasti benar, seharusnya saya tetap tinggal disini dan mengadu
nyawa bersama lopek. Tapi dendam sedalam lautan masih belum
terbalas, Saya mohon lopek mengerti dan menyebutkan sebuah jalan
keluar yang baik untuk anak!" katanya sambil terus membenturkan
kepala ke lantai. Jidatnya sudah biru dan bahkan mulai mengeluarkan darah. Tapi
bocah yang keras kepala ini tetap tidak mau berhenti.
"Kau ingin aku mengatakan, siapa yang dapat mengalahkan Toa
Tek To Hun saat ini?" tanya Fang Tiong Seng sambil menarik nafas
dalam-dalam. Kwe Po Giok terus membenturkan kepalanya.
"Ayah mati dengan cara demikian mengenaskan. Saya harus
membalaskan dendam dia orang tua!" katanya dengan air mata
bercucuran. Setiap orang yang hadir dalam ruangan itu turut terharu.
Sebagian besar ikut menitikkan air mata. Fang Tiong Seng dengan
hati tertekan mengangkatnya bangun, Mo Put Chi memukul tinjunya
ke telapak tangan yang satunya, Suara keras memekakkan telinga
orang-orang yang ada dalam ruangan itu.
"Peristiwa ini bukan hanya mengakibatkan dendam pribadi saja.
juga menentukan kelanjutan nasib dunia persilatan, jika tidak ada
orang yang sanggup menghentikan, entah masih berapa banyak
korban yang akan jatuh," kata Fang Tiong Seng dengan suara berat.
"Mengapa kita tidak menghindarinya untuk sementara" Kita bisa
secara diam-diam mengumpulkan para pendekar untuk bersatu
menghadapinya!" kata Hu Put Chiu memberikan usul.
Mo Put Chi ingin sekali berteriak setuju. Sebagian besar orangorang
yang mendengarnya juga sependapat. Menghadapi orang
yang begitu lihai, tidak hanya dapat dilakukan dengan pedang saja.
Kadang-kadang perlu menggunakan akal juga!
"Toa Tek To Hun menghadapi musuh-musuhnya secara terang,
Dia menggunakan ilmu sejati. Memang tindakannya agak telengas,
namun tidak menyalahi peraturan Bulim. Bagaimana kita boleh
mengeroyoknya" Aku, Fang Tiong Seng tidak akan melakukan
perbuatan yang begitu memalukan!" katanya.
Kepala Hu Put Chiu tertunduk malu. Mo Put Chi juga menahan
ucapan yang akan keluar dari bibirnya tadi, orang-orang yang hadir
di sana juga ikut terdiam mendengar kata-kata tersebut.
Akhirnya Mo Put Chi tidak dapat menahan diri lagi. "Apakah di
dunia yang luas ini tidak ada seorang pun yang dapat
mengalahkannya?" teriaknya dengan suara tidak puas.
Pertanyaan ini memang sudah sejak tadi ditahan oleh setiap
orang. Fang Tiong Seng memandang sekali lagi pada ranting di
tangannya, Dia menarik nafas panjang, wajahnya berkerut-kerut,
seakan sedang mengertak. "Munkin ada satu orang.... Hanya satu orang itu...." jawabnya
terpatah-patah. Mata orang-orang yang hadir bersinar penuh harapan, Di dunia ini
masih ada manusia yang satu itu" Yang masih dapat membuat hati
setiap orang berdebar-debar"
Balas dendam memang perlu, Jago Fu sang itu sudah terlalu
merajalela. Paling tidak harus dibuktikan kepadanya bahwa
Tionggoan juga masih memiliki jago yang dapat diandalkan! Hal ini
mungkin lebih penting dari sekedar dendam pribadi.
"Siapakah orang ini" Di mana tinggalnya?" tanya Kwe Po Giok
beruntun. "Dia pernah berkelana sampai ke sembilan negara, tapi lebih suka
meninggalkan dunia ramai dan menjadi dewa!" sahut Fang Tiong
Seng. "Yang lopek katakan itu dewa atau manusia?" tanya Kwe Po Giok.
"Dia dapat disebut dewa manusia bagi dunia kita, Juga
merupakan dewa dari segala pedang!" kata Fang Tiong Seng
menjelaskan. "Apakah lopek tahu di mana tinggalnya?" tanya Kwe Po Giok
masih kurang puas. "Di atas Tang hay (Laut Timur) di tengah lautan luas, Ada sebuah
kapal dewa. Layar yang berkembang merupakan sehelai kain
pancawarna, Setiap tahun pada bulan Tiong chiu (Bulan delapan
tanggalan cina) dia selalu berada di sebuah perkampungan nelayan
dan beristirahat di sana," jawab Fang Tiong Seng, Dia berjalan
menuju jendela, Bintang-bintang memenuhi angkasa.
Malam yang indah. Orang-orang yang hadir tidak dapat menahan
diri untuk ikut melongok sekejap, Bulan segera akan membulat,
Mereka memikirkan manusia setengah dewa yang tinggal di atas
lautan, Mengembangkan layar dan berkeliling ke seluruh penjuru
dunia, Betapa menyenangkan hidup seperti itu!
"Tiong chiu sudah dekat. Orang itu pasti akan mengunjungi
perkampungan nelayan tersebut Sayangnya, meskipun kalian dapat
menemukan beliau, belum tentu dapat mengundangnya datang...."
kata Fang Tiong Seng sambil menarik nafas.
"Mengapa?" tanya Kwe Po Giok. "Sebab dia sudah dua puluh
tahun lebih mengasingkan diri dan tidak turut campur urusan
duniawi, Di Bulim sekarang sudah tidak ada jago yang pantas
menjadi lawannya lagi," kata Fang Tiong Seng.
"Masih ada satu... ya, paling tidak masih ada satu jago...." tukas
Kwe Po Giok. Anak murid dan para pengawal Fang Tiong Seng
terpana, Memang benar masih ada satu orang yang menjadi
lawannya saat ini. "Tidak salah! walaupun kalian tidak berhasil mengundangnya
datang, tapi ada semacam barang yang akan membuatnya terpaksa
datang..." ujar Fang Tiong Seng.
"Barang apa?" tanya Kwe Po Giok segera, "Ya! Barang apa yang
dapat mengundang dewa lautan itu" Setidaknya anak murid Fang
Tiong Seng sudah tahu bahwa yang disebut dewa tersebut adalah
seorang manusia juga! "Ranting pohon ini!" kata Fang Tiong Seng berwibawa.
Mata Mo Put Chi diam-diam menyimpan rasa kurang puas, Hu Put
Chiu kebingungan Sun Put Ce seperti biasa, berdiri acuh tak acuh.
Mungkin mereka sedang berpikir, mengapa begitu banyaknya jago di
Tionggoan ini masih tidak sebanding dengan sebatang ranting pohon
untuk mengundang dewa lautan itu"
Fang Tiong Seng memandang ke arah Sun Put Ce...
"Bawalah ranting pohon ini, ajak Po ji besertamu, Tunjukkan
kepada dewa itu, Dia pasti berada di lautan Timur, di sebuah
perkampungan nelayan pertengahan Tiong chiu ini!" perintahnya.
"Baik!" sahut Sun Put Ce.
"Kau harus berhasil menemukan kapal dengan layar pancawarna
tersebut. Ranting pohon ini harus kau serahkan langsung ke tangan
Dewa laut Timur," kata Fang Tiong Seng selanjutnya.
"Baik!" "Kalian berangkatlah sekarang juga!"
"Baik," sahut Sun Put Ce. Dia berlutut di hadapan Fang Tiong
Seng, Kepalanya ditundukkan dengan penuh hormat. Demikian juga
kepada Mo Put Chi dan Hu Put Chi. Tanpa mengucapkan sepatah
kata pun, dia menarik tangan Kwe Po Giok dan meninggalkan
tempat itu. Orang-orang yang hadir mengantarnya dengan pandangan mata,
Tidak ada yang mengucapkan kata-kata apa pun. sebetulnya pada
saat dan detik seperti ini, tidak ada lagi yang harus dikatakan.
Tidak berhasil menemukan Dewa laut Timur, kembali pun tidak
ada gunanya, sedangkan kesempatan untuk bisa bertemu dengan
dewa itu terlalu tipis! Dalam hati Mo Put Chi dan Hu Put Chiu merasa
tindakan gurunya memerintahkan Sun Put Ce mengundang tokoh
pendekar seperti itu, sungguh tidak masuk akal!
Manusia berotak kayu seperti Sun Put Ce, apakah mungkin bisa
mengundang datang Dewa laut Timur itu atau memintanya turun
tangan dalam membasmi Toa Tek To Hun" Tapi kedua orang itu
yakin, dengan berbuat demikian, gurunya pasti sudah mempunyai
pikiran yang matang. Bulan tidak lama purnama, Pang Tiong Seng menatap langit
sambil menarik nafas panjang.
"Malam panjang sebentar lagi berganti, orang yang sudah harus
meninggalkan tempat ini, sekarang juga sudah boleh pergi. Besok
tengah hari, ruangan ini akan menjadi sebuah tempat kematian!"
katanya. Kata-kata yang diucapkan oleh Pang Tiong Seng, pasti bukan
gurauan, tetapi Mo Put Chi masih penuh semangat. Hu Put Chiu
masih tetap riang seperti sediakala, bagi mereka keluarga Fang tetap
adalah keluarga Fang, tidak dapat disamakan dengan keluarga lain!
Embun menetes di dedaunan, pagi hari mulai menjelang. Di dalam
pandangan orang yang meninggalkan teman-teman dan
keluarganya, titik embun itu bagaikan air mata yang jatuh, Sun Put
Ce dan Kwe Po Giok sedang menempuh perjalanan. Gunung yang
mereka lalui tidak begitu terjal. Tetapi Sun Put Ce ketinggalan jauh
di belakang Kwe Po Giok, Kelambatannya memang sudah terkenal
Sama sekali bukan karena tidak mau berdekatan atau pun sengaja
menghindari Po Giok. Bocah itu terpaksa berhenti beberapa kali untuk menunggunya.
"Di dalam dunia kangouw sering orang mengatakan ketiga murid
Pang Tiong Seng, Mo Put Chi selamanya tidak pernah kenal katakata
kalah, Hu Put Chiu cerdas, setia lagi periang, Hanya Sun Put Ce
yang sungguh-sungguh Put Ce alias tak berakal dan tidak berguna,"
kata Kwe Po Giok dengan kepala menggeleng.
"Betul!" jawab Sun Put Ce. Wajahnya sama sekali tidak
menunjukkan perubahan apa-apa.
"Fang lopek pasti tahu. Mo Toako dan Hu jiko tentu tidak mau
kalau disuruh pergi, mereka memilih mati atau hidup bersama
dengannya," kata Kwe Po Giok lagi.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Dan mengapa kau mau disuruh melaksanakan tugas ini?" tanya
Kwe Po Giok. Wajah Sun Put Ce terlihat aneh, Dia tidak berkata apa-apa,
Apakah ada alasan yang tidak ingin dikemukakan olehnya atau tidak
ada jawaban yang pantas"
"Apakah cara jalanmu selamanya selambat ini?" tanya Kwe Po
Giok mengalihkan persoalan yang tadi.
"Betul!" sahutnya lagi.
"Apakah selain kata "betul" tidak ada yang dapat kau katakan
lagi?" tanya Kwe Po Giok kesal.
"Kadang-kadang bisa juga sepatah atau dua patah..,." jawabnya.
"Coba katakan! sembarangan kata apapun boleh!" ujar Kwe Po
Giok penasaran. "Jalan perlahan masih lebih baik daripada tidak dapat sampai
untuk selamanya, sejak dulu bahaya yang paling besar bagi manusia
adalah kematian, terkadang kehidupan malah lebih mengerikan dari
pada kematian!" Beberapa patah terlepas dari mulutnya juga. Kwe Po Giok
memperhatikan Sun Put Ce, kemudian dia menarik nafas panjang,
"Satu, dua patah perkataanmu benar juga. Memang masuk akal!"
katanya, Wajah Sun Put Ce tetap tidak menunjukkan perubahan
apa-apa. Mereka sudah sampai di atas pegunungan, padang rumput dan
hutan kecil di bawah terlihat jelas. Tampak bayangan orang-orang
yang sedang berkelahi di depan hutan pohon siong itu. Mungkin
juga, kelima atau enam orang itu sedang berlatih kungfu. Tidak ada
suara beradunya pedang atau pun teriakan-teriakan.
"Apakah kau melihat beberapa orang didepan hutan itu?" tanya
Kwe Po Giok. "lya!" sahut Sun Put Ce.
"Mana yang kau anggap lebih penting, melihat orang-orang itu
atau meneruskan perjalanan?" tanya Kwe Po Giok.
"Dua-duanya penting!" sahut Sun Put Ce.
"Ngaco!" teriak Kwe Po Giok kesal. Sun Put Ce tidak menyahut
Kwe Po Giok segera lari menuruni gunung, Hutan itu tidak terlalu
rimbun, jarak antara pohon yang satu dengan yang lainnya agak
berjauhan, Dari arah sini dapat menembus ujung sebelah sana,
Daun-daun pohon siong memenuhi tanah, Menebarkan semacam
bau yang menyegarkan. Keenam orang itu sedang saling gebrak, mereka terbagi dua
kelompok. Empat orang yang sebelah dalam berasal dari satu


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelompok dan yang sebelah luar merupakan seorang tua dan yang
satunya masih sangat muda.
Empat orang yang pertama bertubuh tinggi besar, kulitnya hitam
Tiga di antaranya beralis tebal dan berwajah garang, Sekali lihat
saja, sudah kentara bukan orang baik-baik. Yang terakhir lebih
sedap dipandang, yang tua berusia kira-kira enam puluhan ke atas.
Seluruh rambutnya berwarna putih, Waktu telah membuat wajahnya
menjadi keriput. Kepalanya besar, dadanya rata, punggungnya bungkuk, seperti
orang yang waktu kecilnya kekurangan vitamin D. Semacam
penyakit kelainan dalam kandungan, Tampangnya mengharukan
Setiap kali melancarkan serangan ataupun berkelit nafasnya
terengah-engah, Pakaiannya berwarna putih atas bawah. juga ada
duapuluh atau tigapuluh tambalan di seluruh pakaiannya itu.
Yang muda merupakan seorang anak gadis berusia kurang lebih
tujuh belas atau delapan belas tahun. Mungkin juga karena
rambutnya yang dikepang dua sehingga usianya terlalu lebih muda
dari sebenarnya. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan rona
merah jambu di kedua pipinya.
Dia mengenakan pakaian berwarna ungu yang sudah usang. Juga
penuh dengan tambalan, pakaiannya yang sudah rombeng dan soI
patunya yang telah ternganga di bagian depan, sedikit pun tidak
mengurangi keayuannya. Kedua orang yang satu tua dan satu muda
ini menghadapi empat laki-laki tinggi besar.
Benar-benar tidak seimbang! Dua kelompok manusia ini bertarung
dengan sengit Tampaknya bukan soal balas dendam. Tidak dapat
diterka alasan perkelahian tersebut Mungkin juga sedang mengadu
ilmu..,. "Keempat orang itu pasti bukan manusia baik-baik.,.." kata Kwe
Po Giok. "Delapan puluh bagian...." sahut Sun Put Ce.
"Tujuan mereka pasti bukan merampok," kata Kwe Po Giok
kembali. "Pasti untuk mendapatkan gadis itu," sahut Sun Put Ce.
"Maksudmu mereka mempunyai niat busuk terhadap gadis cilik
itu?" tanya Kwe Po Giok.
"Delapan puluh bagian," sahut Sun Put Ce. Kwe Po Giok
menatapnya sekejap. "Kau selalu mengatakan delapan puluh bagian, Mengapa tidak
tujuh puluh atau sembilan puluh?" tanyanya.
"Mungkin juga," sahut Sun Put Ce.
"lni terang-terangan yang kuat menindas yang lemah, Sebagai
murid perguruan Fang Tiong Seng, tentu kau tidak akan membiarkan
kejadian ini terlihat olehmu..." kata Kwe Po Giok.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa kau masih belum turun tangan?" desak Kwe Po Giok.
Sun Put Ce melihat ke medan pertarungan itu. Si orang tua
nafasnya makin tersengal, Suaranya sampai terdengar jelas, Kaki
dan tangannya sibuk menghindari serangan Sebentar lagi pasti akan
mengalami kekalahan. Gadis itu tidak berbeda jauh, Dia selalu menghindari lawan
dengan cara berkelit kesana kemari, Tidak berani keras lawan keras.
Rasanya dia juga hanya dapat mempertahankan diri tidak begitu
lama lagi. Laki-laki yang tingggi besar dan temannya yang berwajah hitam
pekat mempunyai ilmu yang jauh lebih tinggi dari kedua rekan yang
lainnya, Orang-orang ini badannya besar, tapi bukan besar-besar
goblok, Jurus-jurusnya kejam dan telengas, Cara bertarungnya juga
mantap, Pasti bukan kaum keroco.
"Kau tidak berani turun tangan?" tanya Kwe Po Giok tidak sabar.
"Bukan!" sahut Sun Put Ce.
"Kalau memang mau turun tangan, cepat sedikit, Bagaimana
kalau kedua orang itu terluka di tangan orang-orang kasar
tersebut?" desak Kwe Po Giok kesal.
"Kemungkinan tidak," sahut Sun Put Ce tenang.
"Kemungkinan tidak" Apa yang kau katakan cuma "mungkin" saja
kan?" kata Kwe Po Giok keki.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Sebetulnya kau mau mengurus atau tidak?" tanya Kwe Po Giok
tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Mau!" Dia berjalan maju beberapa langkah. Tangannya
diacungkan, Namun sikapnya santai saja.
"Hei! Bisakah kalian berhenti sejenak?" serunya.
Kedua orang yang disebut lebih lihai itu lebih dulu menghentikan
pertarungan. Yang lainnya ikut mundur tiga langkah, Orang tua dan
gadis muda itu memandang dengan curiga, mereka mengatur
nafasnya yang memburu. "Ada urusan apa?" tanya laki-laki berwajah hitam pekat.
"Mengapa kalian berenam berkelahi?" tanya Sun Put Ce.
Orang tua itu nafasnya tetap tersengaI-sengal, Si gadis
menatapnya tapi tidak mengatakan apa-apa. Laki-Iaki yang ilmunya
tinggi itu melihat baik orang tua maupun gadis itu tidak menyahut,
Dia maju ke depan . "Kami sedang berlatih, Orang tua itu adalah supek kami. Yang
gadis adalah sumoi kami. Mengapa kau harus turut campur urusan
kami?" katanya. Kwe Po Giok terpana, Sun Put Ce tetap tidak memperlihatkan
perasaan apa-apa. "Lopek.... Saya tidak percaya apa yang dikatakannya, Ceritakan
apa yang sebenarnya telah terjadi?" kata Kwe Po Giok dengan
sopan. Orang tua itu seperti sedang berpikir juga seperti sedang
mengatur nafasnya yang memburu, dia tidak mengatakan apa-apa.
"Cici ini, coba kau yang jelaskan, Apakah keempat perampok ini
menghina kalian?" tanya Kwe Po Giok tidak kenal menyerah.
Si gadis merenung sejenak, Laki-laki yang berwajah hitam itu
menatapnya dengan tajam, Seakan ingin mendengar apa jawaban
gadis itu. "Tidak ada apa-apa...." sahutnya lirih.
Orang yang tinggi besar itu tertawa lebar
"Aku lihat kalian berdua kasak-kusuk sejak tadi, Tentu kalian
sendiri yang tidak bermaksud baik," katanya sinis.
"Nama saya Sun Put Ce, murid ketiga dari Tionggoan taihiap Fang
Tiong Seng," kata Sun Put Ce memperkenalkan diri, Tentu saja
orang-orang itu pernah mendengar nama Tionggoan taihiap Fang
Tiong Seng, Mereka juga tahu nama murid-muridnya. sikapnya
berubah agak lunak. "Fang taihiap bukan orang luar, Kejadian ini hanyalah salah
paham. Benar-benar salah paham." kata orang itu.
"Dalam penglihatan saya sama sekali bukan salah paham!" kata
Kwe Po Giok ketus. "Bagaimana kau tahu bukan salah paham?" tanya orang itu.
"Saya melihat orang tua dan cici ini berada di bawah tekanan
kalian, Mereka tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya," kata
Kwe Po Giok. "Hal ini tidak benar Andaikata mereka benar-benar takut kepada
kami, sekarang di hadapan murid Fang taihiap seharusnya mereka
mengaku dengan jujur," jawab orang itu. Kwe Po Giok tetap merasa
ada sesuatu yang tidak pada tempatnya, namun dia tidak dapat
menjelaskan nya. ia memandang ke arah Sun Put Ce.
"Bagaimana menurut pendapatmu?" tanyanya.
"Tidak tahu!" sahut Sun Put Ce.
Lak-laki yang berwajah hitam menghampiri sang kakek.
"Supek, mari kita mulai Iagi...." katanya, Selesai berkata dia
sudah menyerang dengan jurus Sungai Bergelombang, Orang tua itu
membalas dengan jurus Burung Hong Menganggukkan Kepala,
Ketiga laki-laki yang lain mengerubuti gadis muda itu kembali.
"Apakah keadaan ini mirip dengan pertarungan antara supek dan
sutit?" tanya Kwe Po Giok.
"Tidak mirip!" sahut Sun Put Ce.
"Mirip apa?" desak Kwe Po Giok,
"Mungkin mirip...."
"Dapatkah kau tidak memakai kata "mungkin" lagi?" potong Kwe
Po Giok kesal. "Seperti peristiwa Couw yi dan ()oy Kai," kata Sun PutCe.
Otak Kwe Po Giok berputar sejenak.
"Maksudmu yang satu memang ingin memukul dan yang lainnya
rela dipukul?" kata bocah cerdas itu.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Kau tampaknya tidak bodoh, hanya agak kurang luwes sedikit,"
kata Kwe Po Giok setelah memperhatikannya dengan seksama.
Sun Put Ce tidak menjawab, Bibirnya menyunggingkan sebuah
senyum getir. "Menurutmu, apa yang harus kita Iaku-kan?" tanya Kwe Po Giok.
"Kau saja yang mengatakannya." sahut Sun Put Ce.
"Tampaknya, kau sama sekali tidak mempunyai pendapat?" kata
bocah itu kembali. "Kadang-kadang ada juga...." sahut Sun Put Ce kalem.
"Kau lihat, saya akan menghentikan mereka, Kemudian meminta
yang keempat orang pergi ke bagian kiri dan kakek serta gadis cilik
itu menuju sebelah kanan, Bagaimana pendapatmu?" tanya Kwe Po
Giok. "Bagus sekali," sahut Sun Put Ce.
"Dengan demikian, berarti kau mengerti apa yang saya
maksudkan?" tanyanya kembali.
"Mengerti sedikit," sahut Sun Put Ce tetap tanpa menunjukkan
perasaan apa-apa. Kwe Po Giok dengan gaya tidak sabar mengulapkan tangannya,
Dia tidak tahu harus tertawa atau menangis menghadapi sikap Sun
Put Ce. Tiba-tiba dia berteriak dengan suara lantang....
"Cuwi harap berhenti!"
Orang yang tinggi besar dan berwajah hitam pekat itu agaknya
kepala rombongan mereka, Dia yang pertama-tama menghentikan
pertarungan tersebut, Dipandangnya Kwe Po Giok dengan tatapan
tajam. "Apa yang saudara cilik ini inginkan?" tanyanya.
"Kalian tidak tampak seperti kenalan lama. Apalagi sedang berlatih
ilmu antara supek dan sutit," katanya.
Mata orang itu seperti hampir keluar.
"Saudara cilik, kami hanya menghormati Fang taihiap, Keseganan
kami tidak sama sekali bukan berarti kami takut pada kalian,"
katanya. "Jadi... apa lagi yang hendak kau lakukan?" lanjut rekannya yang
lain. "Saya tahu,., saya hanya bermaksud baik, Sama sekali tidak
berterima kasih, malah menyalahkan!" ujar Kwe-Po Giok.
"Maksud baik apa?" tanya laki-laki berwajah hitam itu.
"Sun toako itu nama aslinya Sun Put Ce, Kalian tentu tahu,
namanya itu: benar-benar sesuai dengan namanya. Arti Put Ce
adalah tidak berakal, atau dapat dikatakan tidak senang melihat
yang tidak adil. Dia paling benci melihat pertarungan. Apa pun
alasannya, Apalagi melihat kalian melihat dua orang kakek dan gadis
muda melawan empat orang laki-laki tinggi besar seperti kalian, Dia
pasti akan menghentikan pertarungan ini. Bila tidak, kalian terpaksa
harus berusaha mengalahkannya, baru dia merasa puas," kata Kwe
Po Giok sambil menunjuk ke arah Sun Put Ce yang berdiri di
kejauhan. Laki-laki berwajah hitam itu seperti merenung sejenak, Dia
meragukan kekuatan mereka berempat dapat melawan murid dari
Tionggoan taihiap yang termasyur, mukanya terlihat bingung.
"Lalu bagaimana pendapat saudara kecil?" Dia balik bertanya
kepada Kwe Po Giok. "Sikap Sun toako ini sudah menjadi adat-nya sejak kecil Urusan
apa pun yang ingin tangani, pasti harus selesai baru mau sudah.
Menurut pendapat saya, lebih baik kalian berpisah diri untuk
sementara. Kau dan rombonganmu mengambil jalan sebelah kiri dan
kedua orang kakek dan gadis itu mengambil arah sebelah kanan,
Bukankah ini jalan terbaik?" kata Kwe Po Giok memberikan
sarannya, "Baiklah, Memandang wajah Fang tai-hiap, looce mengalah untuk
kali ini. Supek! Sumoi! Sutit saat ini sudah terlalu sabar.,." kata lakilaki
itu. Kemudian dia menggapai tangan kepada ketiga rekannya
dan mengajak mereka meninggalkan tempat tersebut
Orang tua dan gadis itu juga tidak menengok ke arah Sun Put Ce
atau Kwe Po Giok barang sekejap, Mereka melangkah ke arah yang
berlawanan. Kwe Po Giok dan Sun Put Ce berdiri termangu.
"Tahukah kau apa yang sebetulnya terjadi di antara mereka?"
tanya si bocah. "Tidak jelas!" sahut yang lebih tua.
"Benarkah kedua orang tua dan muda tadi begitu miskin sampai
pakaian pun penuh dengan tambalan-tambaIan...?" kata Kwe Po
Giok. "Tidak!" sahut Sun Put Ce seperti biasanya.
"Bagaimana kau bisa mengatakan mereka tidak miskin" Baju
mereka begitu rombeng, di kantong yang tergantung di pundak ada
dua buah mangkok kotor, di dalamnya masih tersisa setengah butir
bakpao jagung!" tanya Kwe Po Giok dengan mata terbuka lebar.
Sun Put Ge tidak mengeluarkan suara.
"Tampang mereka tidak seperti orang miskin, Wajah orang tua itu
terang dan berwarna merah. Apalagi gadis itu. wajahnya cantik,
Tangannya halus, Mereka menyamar sebagai orang miskin tentu
mempunyai alasan tersendiri," kata Kwe Po Giok seperti
menerangkan kepada dirinya sendiri.
"Betul!" sahut Sun Put Ce tanpa diminta.
"Apakah kau dapat menduga alasan mereka menyamar menjadi
orang miskin?" tanya bocah itu.
"Tidak!" jawabnya.
Kwe Po Giok mendengus, Dengan kesal dia melangkahkan
kakinya. Sun Put Ce mengikuti dengan langkah perlahan-Iahan.
jarak mereka mulai berjauhan. Kwe Po Giok berhenti di depan
menunggunya. "Kedua belah pihak sama-sama tidak mau mengatakan sebab
musabab perkelahian tadi, Di dalam peristiwa ini pasti ada suatu
rahasia," katanya. "Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Ada sebuah cara untuk mengetahui rahasia tersebut...." kata Kwe
Po Giok setelah teman seperjalanannya sudah berendeng di sebelah.
"Betul!" sahut si manusia lambat itu. Mata Kwe Po Giok bersinar
terang, "Kau juga tahu caranya?"
"Tidak! Kau yang tahu," sahut Sun Put Ce.
Kwe Po Giok benar-benar kesal.
"Caranya ialah mengikuti kakek dan gadis tadi. Dengan demikian
kita bisa menyelidiki urusan ini," katanya menjelaskan.
"Betul!" sahut Sun Put Ce. Kwe Po Giok mendelikkan matanya.
"Bagaimana Fang lopek bisa menyerahkan urusan ini...." Katakatanya
terhenti Dia tidak tega menyakiti hati teman seperjalanannya
itu. Sun Put Ce tertawa getir.
"Saya rasa keempat orang kasar tadi pasti telah berputar arah dan


Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengejar mereka," kata Kwe Po Giok kembali pada pokok persoalan.
"Betul!" Tidak usah dikatakan lagi siapa yang mengucapkan katakata
itu. "Apakah kau dapat menduga arah mana yang diambil sang kakek
dan gadis muda itu?" tanya si bocah lagi.
"Arah Utara," jawaban Sun Put Ce kali ini benar-benar di luar
kebiasaannya. "Tentu saja, Saya menyuruh mereka berpencar Yang satu ke arah
Barat, yang satu lagi ke arah Timur. sedangkan kita datang dari arah
Utara. Pasti kita tidak akan kembali ke Utara dan tujuan kita adalah
ke Selatan, Orang tua dan gadis itu tidak mungkin mengikuti
keempat orang tadi mengambil arah Timur, arah mereka sudah pasti
Utara!" kata Kwe Po Giok.
"Kau benar-benar cerdas!" Kata-kata ini membuat Kwe Po Giok
terpana. "Dan kau juga sudah menampakkan kemajuan. Paling tidak, katakatamu
sudah lebih dari satu, dua patah," katanya. Sun Put Ce
tertawa getir sekali lagi.
Kedua orang itu segera berganti arah dan mengejar sejauh empat
li, ternyata dugaan Kwe Po Giok memang tidak salah, Keenam orang
itu telah berbaku hantam kembali. Orang yang berwajah hitam itu
sedang tertawa terbahak-bahak.
"Kedua manusia bego itu mengira dirinya pintar, Sekarang tentu
sudah berada sejauh sepuluh li dari sini. Kalau barang tidak juga
diserahkan, kalian akan mengalami akhir yang menggenaskan...!"
teriaknya. "Hek Houw! Untuk apa kalian yang menginginkan barang ini?"
tanya gadis muda itu. Laki-laki yang dipanggil Hek Houw alias si Macan hitam itu
menggeram, "Untuk apa" Sejak pembunuh bayaran itu datang ke Tionggoan,
tujuh belas pertarungan telah dimenangkan olehnya. Berarti tujuh
belas kochiu telah tewas di tangan-nya. Nama Hek Houw bukan
tidak terkenal Siapa tahu dalam daftarnya, namaku juga ikut
tercantum!" serunya.
"Kau hanya takut namamu tercantum dalam daftar orang yang
harus dibunuh olehnya, Apakah kau tidak memikirkan bahwa orang
lain juga mempunyai rasa takut yang sama?" Gadis ini tidak mau
kalah. "Pokoknya kalian sudah terpegok oleh loocu, Bagaimana pun
barang itu harus diserahkan!" kata Hek Houw.
"Serahkan barang apa?" tanya gadis itu seperti tidak mengerti.
"Barang apakah yang kalian kawal sekarang ini" Apakah kalian
benar-benar tidak tahu" Sungguh membuat orang tertawa geli!" Hek
Houw memperlihatkan tawanya yang lebih mirip seringai seekor
harimau, "Hek Houw! Kau jangan terkena siasat "sekali lempar batu,
dua ekor burung terkena"," kata orang tua itu.
"Maling tua! Kau jangan pura-pura Iagi, barang itu ada di saku
cucumu. Pepatah mengatakan "Nyawa lebih penting dari harta
benda sedangkan yang disimpan oleh cucumu itu hanya sebatang
jinsom berusia tiga ribu tahun, Ukurannya seperti sebatang lobak
besar, Sudah berbentuk!" kala Hek Houw.
Orang tua dan cucunya itu tidak dapat lagi berkata apa-apa.
Sun Put Ce dan Kwe Po Giok saling pandang sekejap. Rupanya
kedua orang kakek dan cucu itu mempunyai usaha pengawalan
barang rahasia. Mereka menyamar sebagai orang miskin untuk
menghindari perampokan, Di dunia ini ada jinsom sebesar itu. Kwe
Po Giok dan Sun Put Ce bahkan belum pernah mendengarnya.
"Chow Ceng si penyakitan! Barang itu tidak senilai dengan dua
lembar nyawa. Serahkanlah kepadaku!" bentak Hek Houw.
Peng Chow Ceng alias Chow Ceng si penyakitan adalah seorang
piauwsu terkenal. Untuk mengawal yang langka ini, dia rela
mengorbankan jenggotnya yang panjang, Tujuannya tentu saja agar
tak dikenali orang, penyamaran mereka sebagai pengemis ternyata
tidak dapat mengelabui Hek Houw.
"Bila jinsom ini sampai hilang, dua lembar nyawa pun tidak
sanggup menggantikan!" sahut Peng Chow Ceng.
"Paling tidak, kalian bisa bersembunyi di tempat yang aman, Bila
aku tidak lama lagi akan mengalami nasib yang sama dengan
ketujuh belas orang jago itu," kata Hek Houw.
"Kau kira setelah menerima hadiah ini, (Pembunuh bayaran dari
Fu sang) itu tidak akan membunuhmu lagi?" tanya Peng Chow Ceng
sambil tertawa dingin. "Tidak! Jinsom itu bukan untuk dihadiahkan kepadanya," jawab
Hek Houw. "Jadi kepada siapa hendak engkau hadiahkan barang yang begitu
berharga?" tanya si gadis muda.
"Urusan sudah jadi begini, Dibicarakan juga tidak apa, Tentu saja
akan aku hadiahkan kepada seorang yang sanggup melawan Toa
Tek To Hun!" jawabnya seraya menarik nafas.
"Siapa orang tersebut?" tanya Peng Chow Ceng.
"Aih.... Berat aku mengatakannya...." sahutnya kembali.
"Bila di dunia benar-benar ada seorang seperti yang kau katakan
dan orang itu adalah manusia yang matanya terbuka lebar melihat
barang berharga, aku dapat memastikan bahwa dia masih bukan
tandingan Toa Tek To Hun!" kata Peng Chow Ceng sinis.
"Tidak! Tidak! Bukan diberikan kepada orang tersebut, tapi
diberikan kepada orang yang berada di sampingnya, Maling tua!
sebetulnya kau sayang barang atau sayang nyawa?" tanya Hek
Houw menegaskan. Orang tua dan gadis itu tidak menyahut, wajah mereka diselimuti
hawa pembunuhan. Pada saat itu, Kwe Po Giok menoleh ke arah Sun
Put Ce. "Apakah kau pernah mendengar ada jinsom sebesar itu di dunia
ini?" tanya bocah cerdas itu.
"Tidak pernah!" sahut Sun Put Ce.
"Ternyata Hek Houw ingin merampas jinsom untuk
menyelamatkan nyawanya." kata Kwe Po Giok,
"Betul!" sahut Sun Put Ce seperti biasanya.
"Menurut pendapatmu, pihak mana yang harus kita bela?" tanya
Kwe Po Giok. "Terserah!" sahut rekannya.
"Urusan sebesar ini mana boleh terserah?" kata Kwe Po Giok.
Karena kedua-dua pihak sama-sama patut dikasihani." jawab Sun
Put Ce. "Coba kau jelaskan!" pinta si bocah.
"Kedua kakek dan cucu itu mencari makan dengan usaha
pengawalan, barang itu tidak boleh sampai hilang, mereka tidak
akan sanggup menggantinya. Demi menyelamatkan selembar
nyawanya, Hek Houw terpaksa harus mendapatkan jinsom itu.
Keadaan seperti ini sungguh mengenaskan!" jawab Sun Put Ce jauh
melebihi dua patah seperti biasanya.
Sun Put Ce, saya sungguh kagum kepadamu!" kata Kwe Po Giok
polos. "Apa yang kau kagumi?" tanya Sun Put Ce heran.
"Rasa adil dalam dirimu, Tidak pernah berat sebelah, Suatu ilmu
yang tidak sia-sia," kata Kwe Po Giok mengacungkan jempol nya.
Sun Put Ce menggelengkan kepala dan tertawa getir, Saat itu
keadaan si kakek dan cucunya sudah semakin berbahaya.
"Kita harus segera turun tangan," kata Kwe Po Giok.
Sun Put Ce tidak memberi tanggapan.
"Mengapa" Kau takut?" tanya Kwe Po Giok.
Sun Put Ce menganggukkan kepala, Hal ini di luar dugaan Kwe Po
Giok. Meskipun Sun Put Ce merupakan murid yang paling tidak
berguna di antara ketiga orang murid Fang Tiong Seng, namun
dalam hatinya, ia tidak menyangka laki-laki itu begitu pengecut.
"Apa yang kau takuti?" tanyanya tidak puas.
"Takut salah ikut campur," jawabnya.
"0h.... Begitu rupanya," ujar Kwe Po Giok lega.
"Betul!" "Kalau kita sudah terlanjur mengerjakan sesuatu, kita tidak boleh
setengah-setengah," kata Kwe Po Giok membesarkan hatinya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Apa lagi yang kau takuti?" desak Kwe Po Giok, Sun Put Ce malah
merenung. "Kita toh sudah terlanjur turut campur, jangan ada kepala tiada
buntut, Kakek dan cucunya itu kasihan sekali!" kata Kwe Po Giok
yang merasa simpati kepada kedua orang itu.
"Betul! Manusia yang patut dikasihani di dunia ini memang
banyak!" sahut Sun Put Ce.
"Berhenti!" teriak Kwe Po Giok setelah maju beberapa langkah.
"Lagi-lagi dua manusia yang tidak tahu mati hidup!" kata Hek
Houw geram setelah melihat siapa yang berteriak.
"Hek Houw! Toa Tek To Hun belum tentu akan membunuhmu.
Hal ini masih harus dilihat apakah kau pantas mati di bawah
pedangnya, Tapi bila kau tetap akan menyulitkan kakek dan cucunya
itu, Sun tai-hiap akan membunuhmu saat ini juga!"
kata Kwe Po Giok dengan maksud menciutkan nyali laki-laki itu.
Hek Houw malah tertawa terbahak-bahak.
"Dia?" Tangannya menunjuk ke arah Sun Put Ce.
"Kenapa" Kau tidak percaya?" tanya Kwe Po Giok.
"Tentu saja loocu tidak percaya, Aku beritahukan kepadamu...
Siapa yang turun tangan pun, aku tidak perduli, Walaupun Fang
taihiap sama juga...." serunya berang.
Kwe Po Giok menoleh kepada Sun Put Ce.
"Sun toako, cepat turun tangan!" katanya.
Sun Put Ce tidak bergerak, Kwe Po Giok mendekatinya dan
mendorong punggung-nya. Sun Put Ce menyurut mundur.
"Sun toako, nama baik Fang taihiap tidak boleh jatuh di
tanganmu!" katanya. Sekali lagi dia mendorong dengan keras, Kali
ini rekannya tidak maju atau pun mundur, Dia berdiri tidak
bergeming, Kwe Po Giok kesal sekali.
"Manusia macam apapun ada di dunia ini!" teriaknya sambil
menghentakkan kaki. Hek Houw memperhatikan keadaan mereka.
Murid Fang taihiap tidak mungkin sebodoh itu, diceritakan sampai
pagi pun dia tidak akan percaya, Secepat kilat dia mengangkat
telapak tangannya dan menghantam ke depan!
"Cepat balas serangannya!" teriak Kwe Po Giok gugup. Serangan
telapak tangan Hek Houw ini sangat telengas dan cepat, dan Sun
Put Ce seakan tidak bermaksud menghindarinya. Atau mungkin juga
hatinya sedang ragu. ingin menghindar tapi toh tidak sempat
menghindar Iagi. Hek Houw senang sekali, Benar-henar pantas dihajar, pikirnya
dalam hati. berani menyaru sebagai anak murid Fang Tiong Seng!
Hek Houw hanya pernah mendengar nama ketiga murid pendekar
besar itu, sedangkan bagaimana rupa dan tampangnya, dia sama
sekali tidak tahu. Tenaga di telapak tangan ditambah lagi sebanyak
dua bagian. Dengan sepenuh tenaga ia meng-hantamkan tangannya
ke depan "Bumm!" Suara yang menggelegar mengejutkan setiap orang, Pundak Suh
Put Ce terpukul telak! Bibir Hek Houw sudah siap-siap tersenyum
Tiba-tiba saja wajahnya berubah menjadi lebih jelek daripada orang
yang sedang menangis. Dia mana tahu ilmu Kim Ceng ka, semacam ilmu yang dapat
Memburu Iblis 2 Gelang Perasa Serial Tujuh Senjata (4) Karya Gu Long Pedang Bengis Sutra Merah 4

Cari Blog Ini