Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long Bagian 5
"Rupanya Siau Mei! Mengapa harus lari?"
Hampir saja Bwe Mei tertipu oleh suara yang lembut itu. Untung
saja, pikirannya bergerak cepat. Dia sudah mendengar percakapan
kedua orang di dalam kamar, tentu saja dia juga tahu apa yang
mereka lakukan. Cao hue jit mo! Sungguh sebuah tipuan yang berhasil! Dirinya
dibohongi begitu lama tanpa sadar. Pernah juga Bwe Mei merasakan
tatapan laki-laki itu yang seperti ingin menelan dirinya. Namun
dahulu dia sering berpikir bahwa semua itu hanya karena kekasihnya
ingin cepat-cepat memiliki dirinya. Sekarang dia merasa bersyukur
dirinya tetap dapat mempertahankan kesucian .
Dengan membawa bermacam pikiran, Bwe Mei lari semakin cepat,
namun jarak keduanya tetap semakin dekat. Rasanya tidak lama lagi
dirinya pasti akan tersusul.
Dia sadar sepenuhnya, bila ia sampai terkejar bukan saja
nyawanya akan melayang, kesuciannya juga akan ternoda, Ketika
jarak antara keduanya kira-kira tinggal lima depa, sekonyongkonyong
Bwe Mei berubah haluan. Dia membelok ke dalam hutan. Di antara pohon-pohon yang lebat
dia menyelinap ke kanan dan ke kiri. Dia melihat ada sesosok mayat
yang tergeletak, namun Bwe Mei tidak terlalu mengambil perhatian,
Tentu saja dia tidak tahu bahwa tadinya malah ada dua sosok mayat
yang tergeletak, Yang satunya adalah jenazah Bok lang kun yang
telah diambil oleh Sun Put Ce.
Jarak antara keduanya semakin lama semakin menjauh. Mengejar
orang dalam hutan tentu yang mendapat kesulitan bagi pihak
pengejar, Dengan cerdik Bwe Mei berlari serampangan, Dia
berbelok-belok tak tentu arah, Tubuhnya telah basah oleh keringat
Nafasnya tersengal-sengal.
Banyak orang mengatakan bahwa manusia lebih baik tidak kenal
huruf daripada tidak mengenal manusia itu sendiri. Bwe Mei hampir
kehilangan kesucian dan nyawa karena tidak mengenal jiwa laki-laki
itu secara mendalam. Wajahnya sudah pucat pasi, matanya terasa berkunang-kunang,
Belum lagi perasaan takut yang mencekam, hanya untuk sementara
dia dapat bertahan dari kejaran laki-laki itu, sebentar lagi dia pasti
akan tersusul Bwe Mei tidak berani membayangkan akibatnya.
Hari ini, dia sudah menyadari sepenuhnya jiwa orang itu. Tentu
dia tidak akan melepaskan dirinya begitu saja setelah rahasianya
terbongkar. Tiba-tiba Bwe Mei melihat seseorang yang sedang melangkah di
jalan setapak dalam hutan itu, sendirian berjalan di dalam hutan,
lagipula langkah kakinya begitu cepat, namun tidak
memperdengarkan sedikit suara pun.
Dia berlari kencang melewati orang itu. Matanya sempat melihat
bentuk sepatunya yang aneh, dan jejak kakinya yang teratur
Memangnya apa yang harus diherankan kalau jejak kakinya teratur"
Hatinya tergetar, pikirannya melintas. Berapa orang di dunia ini
yang sanggup bertanding dengan orang yang langkah kakinya
teratur ini" "Berhenti!" teriak orang itu.
Bwe Mei memang sudah hampir kehabisan nafas, Dia tidak tahu
siapa yang dimaksudkan oleh laki-laki ini, Kalau dia bukan orang
yang diduganya dan ternyata orang lain yang juga bermaksud jahat,
sudah dapat dipastikan nyawanya akan melayang malam ini. Dia
berlari lagi beberapa puluh langkah baru berhenti.
Tubuhnva sempoyongan, Dia hanya dapat menerima nasib saja.
Yang tidak disangka olehnya adalah kejadian berikutnya. Ternyata
bukan dirinya yang disuruh berhenti, tetapi pengejarnya, sekarang
dia baru dapat melihat dengan jelas.
Laki-laki itu memang mengenakan sepasang sepatu yang aneh, Di
tangannya tergenggam sebatang pedang yang tinggal separuh,
Meskipun pedang itu telah buntung, panjangnya masih ada kira-kira
ukuran dua buah penggaris.
Mata Bwe Mei bersinar terang, Bukankah ini Toa Tek To Hun"
Belum pernah dia begitu senang melihat laki-laki yang selama ini
dibencinya itu. Memang hanya Toa Tek To Hun yang dapat berjalan
dengan langkah yang begitu teratur, Dan memang hanya orang
negara Fu sang yang memakai sepatu yang begitu aneh. Hatinya
semakin tenang. Laki-laki bertopeng itu rupanya dalam sekali pandang saja sudah
dapat menebak siapa orang yang menyuruhnya berhenti tadi. Dia
terkejut sekali, pembunuhan yang beruntun oleh orang ini telah
menggetarkan seluruh Tionggoan.
Meskipun manusia bertopeng ini menyamar sebagai Toa Tek To
Hun, tapi tujuannya bukanlah dia. Meski-pun orang yang dituju
olehnya lebih tinggi kedudukannya, namun dia sama sekali tidak
berani memandang rendah Toa Tek To Hun.
Penjelasannya sangat gamblang. Sampai saat ini, hanya dirinya
yang pernah menyaksikan pertarungan antara Toa Tek To Hun
dengan Tang hay sin sian dengan mata kepala sendiri. Dia tentu
mengerti bahwa dirinya masih bukan tandingan manusia Fu sang itu.
Hanya dirinya pula yang tahu bahwa Tang hay sin sian bukan
takut atau ilmunya kalah tinggi dengan Toa Tek To Hun, hanya
karena dirinya telah cacat serta mengalami Cao hue jit mo.
Dia sendirilah yang takut kepada Toa Tek To Hun. Kalau tidak,
buat apa dia menyebarkan berita bohong bahwa dirinya telah
lumpuh karena penyakit yang sama, Dia pernah bersembunyi di balik
pohon dekat tempat itu dan menyaksikan bagaimana Toa Tek To
Hun menghunuskan pedangnya.
Kecepatannya melebihi makhluk hidup apapun yang pernah
dikenalnya, gerakannya itu malah sulit disamai oleh ko chiu dari
daerah mana pun. Pokoknya si manusia bertopeng itu masih belum
berani bertarung dengan Toa Tek To Hun saat ini.
Manusia bertopeng itu mempunyai pendapatnya sendiri, Asalkan
dia mendapat kesempatan untuk bersama-sama perempuan tadi
melakukan suatu hal tujuh atau delapan kali lagi, dia pasti sudah
berhasil menyamakan dirinya dengan Toa Tek To Hun. Pada saat itu,
meskipun Toa Tek To Hun tidak ingin bertarung dengannya, dia juga
tidak akan melepaskan orang itu begitu saja.
"Siapa kau?" tanya Toa Tek To Hun dengan suara berat.
"Aku hanya seorang Bu beng siau cut (prajurit tak ternama)!"
sahut manusia bertopeng cengar cengir.
Toa Tek To Hun tertawa dingin, "Mengapa pedangmu bisa sama
dengan milikku?" tanyanya sedikit heran.
"Kalau aku bukan Bu beng siau cut, buat apa aku meniru
pedangmu?" sahutnya.
Toa Tek To Hun menganggap alasannya cukup tepat Hanya
seorang manusia berjiwa kerdil yang mau meniru orang lain untuk
memuaskan dirinya sendiri
"Mengapa kau harus mengenakan topeng?" tanyanya kembali
"Karena aku tidak mirip denganmu. Aku juga tidak mempunyai
sepatu yang aneh seperti punyamu. Lagipula aku juga tidak sanggup
meniru langkah kakimu yang teratur Oleh karena itulah, aku
memakai to-peng," sahutnya.
Toa Tek To Hun tersenyum tipis. ini merupakan senyumnya yang
pertama sejak menginjakkan kaki di tanah Tionggoan.
Sebetulnya manusia bertopeng itu sedang menjalankan siasat
untuk menyelamatkan dirinya saja, Tapi anggapan Toa Tek To Hun,
meskipun orang itu menyamar sebagai dirinya, namun ada lucunya
juga. Manusia yang tidak suka dirinya dipuji memang terlalu sedikit
Bwe Mei tahu kalau manusia bertopeng itu sedang berdusta.
"Tidak! Toa Tek To Hun! Dia sengaja memuji-muji dirimu,
sebetulnya dia sedang menyamar buat mencelakakan engkau!"
teriaknya dengan suara keras.
Toa Tek To Hun menoleh ke arah gadis itu.
"Mengapa dia harus mencelakakan diriku?" tanyanya.
"Karena... karena...." Dia benar-benar tidak dapat mengatakan
alasannya. Manusia bertopeng itu mundur sebanyak lima depa, ketika Toa
Tek To Hun menolehkan kepala kepadanya, dia sudah berada dalam
jarak belasan depa. Karena merasa sudah kepalang tanggung, dia
malah berlari terbirit-birit Bila Toa Tek To Hun merasa perlu
mengejarnya, apakah akan berhasil"
Hanya dirinya sendiri yang tahu. Di pegunungan sebelah Barat
tempo hari, dia sudah berjanji kepada Tanghay sin sian bahwa ia
tidak akan membunuhi para jago di Tionggoan lagi, Dia adalah
seorang laki-laki sejati janjinya lebih berat daripada segala hal di
dunia, Hanya manusia bertopeng itu saja yang melupakan hal ini.
Apa bila dia belum berjanji kepada Tang hay sin sian, apakah
manusia bertopeng itu sanggup meloloskan diri"
Toa Tek To Hun mengibaskan tangannya .
"Pulanglah! Manusia itu belum terhitung seberapa jahat!" katanya.
Bwe Mei ingin membantah, tapi Toa Tek To Hun telah pergi
dengan langkah lebar. Dia hanya dapat memandangnya sampai
jauh. Mayat Bok lang kun diletakkan di atas lantai, Sun Put Ce baru saja
melaporkan semua pengalamannya, tetapi dia tidak mengatakan
apa-apa tentang rumah kayu kecil. Air mata Fang Tiong Seng
mengalir bagai anak sungai.
"Meskipun Bok lang kun tadinya adalah seorang Bulim bengcu
aliran Hek to, tapi sejak kedatangan Toa Tek To Hun, tanpa
mengenal lelah dan rasa rendah dia mencari segenap bantuan. Dan
sekarang biar pun tahu dirinya bukan tandingan orang itu, dia tetap
melawannya. Sungguh harus disanjung dan dihormati!" katanya
dengan nada pilu. Dayang Cui thian memperlihatkan wajah kesal.
"Entah Toa Tek To Hun kapan baru meu berhenti membunuh?"
serunya. "Bok lang kun bukan mati di bawah pedang Toa Tek To Hun!"
kata Sun Put Ce. ucapannya mengejutkan setiap orang yang hadir.
"Sam sute, kau tidak boleh sembarangan mengoceh di hadapan
suhu!" seru Ho Put Chi dengan suara teguran.
"Saya mana berani...."
"Pada zaman ini, siapa yang sanggup membunuh Bok lang kun
dalam satu jurus, Apalagi tepat di keningnya," kata Mo Put Chi
kembali. "Perkataan saya belum selesai...." sahut Sun Put Ce.
"Sam sute, kalau aku adalah dirimu, maka aku akan
mengatakannya sekaligus," ujar Hu Put Chiu menyarankan.
"lya, Ji suheng!" sahut Sun Put Ce dengan nada hormat.
"Mengapa kau masih tidak mau cepat-cepat mengatakannya"
Kalau Bok lang kun bukan mati di bawah pedang Toa Tek To Hun,
siapa yang sanggup membunuhnya?" tanya Fang Tiong Seng.
"Seorang manusia yang mengenakan topeng!" sahut Sun Put Ce
menjelaskan. "Manusia bertopeng?" tanya Pang Tiong Seng seakan salah
dengar. "Betul! Dia juga menggunakan sebatang pedang panjang yang
aneh. Rasanya ingin meniru Toa Tek To Hun!" kata Sun Put Ce
selanjutnya. "Omong kosong! Kalau dilihat dari bekas luka di kening Bok lang
kun, ilmu silatnya masih ketinggalan jauh, Bok lang kun pasti mati
dalam lima jurus lebih," Fang Tiong Seng mengemukakan
pendapatnya. "Benar!" sahut Sun Put Ce.
"Berapa jurus?" tanya Fang Tiong Seng kembali.
"Delapan jurus!" sahut Sun Put Ce.
"Dengan delapan jurus membunuh Bok lang kun memang belum
termasuk hebat." kata Hu Put Chiu.
Fang Tiong Seng mendengus mendengarnya.
"Kau kira siapa Bok lang kun ini" Bisa dengan delapan jurus
membunuhnya sudah jarang ada orang yang dapat melakukannya"
katanya ketus. "Apa yang dikatakan oleh Fang Taihiap memang benar, Tapi kalau
digantikan dengan Toa Tek To Hun, entah berapa jurus yang akan
digunakannya?" tanya dayang Cui thian.
Fang Tiong Seng menggelengkan kepala.
"Kalau Fang taihiap saja tidak bisa menduganya, maka di dunia ini
tidak mungkin ada yang tahu lagi," kata dayang Cui thian sambil
menarik nafas. "Bagaimana bentuk badan orang itu" Suaranya kira-kira berasal
dari daerah mana?" tanya Fang Tiong Seng pada anak muridnya.
"Badannya tinggi Nada suaranya yang sulit ditebak," kata Sun Put
Ce setelah mengingat-ingat sejenak.
"Apakah orang itu tidak mempunyai keistimewaan sama sekali?"
tanya Fang Tiong Seng mendongkol.
"Ada!" sahut Sun Put Ce.
"Aiya! Mengapa kau harus selalu menunggu orang bertanya dulu
baru menjawab?" tegur Hu Put Chiu.
"Orang itu menggunakan tangan kiri ketika menghunus pedang,"
kata Sun Put Ce menerangkan. Tidak ada satu orang pun yang tidak
tersentak. "Fang Cianpwe pasti tahu siapa yang menggunakan tangan kiri
untuk menghunus pedang di dunia Bulim?" tanya dayang Gui thian.
Fang Tiong Seng mengerutkan alisnya dan berpikir sekian lama,
Tubuhnya yang kurus semakin ciut kelihatannya.
"Kurang ajar! Aku juga tidak terpikir ada orang seperti itu!"
serunya. "Mungkinkah Toa Tek To Hun sendiri?" tanya Hu Put Chiu.
"Toa Tek To Hun sudah membunuh tiga puluh orang sejak
kedatangannya di tanah Tionggoan, Selama ini dia tidak pernah
mengenakan topeng penutup muka, Mengapa sampai sekarang dia
baru mengenakannya" Dasar kau ini tidak tahu arti susah!" bentak
Mo Put Chi. "Tentu!" sahut Hu Put Chiu.
"Apalagi orang ini menggunakan tangan kiri untuk menghunus
pedang, sedangkan Toa Tek To Hun menggunakan tangan kanan,"
lanjut Mo Put Chi. Ruangan itu hening beberapa saat.
"Siapkan semua keperluan untuk pemakaman Bok lang kun!" kata
Fang Tiong Seng memecahkan kesunyian. Semua anak murid dan
para pelayan segera menurut perintah tersebut.
-oooo0oooo- Ucapan "rumah kayu kecil" hanya diketahui oleh Sun Put Ce dan
Bok lang kun. Waktu itu mereka sedang beristirahat di bawah
sebatang pohon, Kedua orang itu bercakap-cakap sambil bercanda.
Bok lang kun mengatakan siapa pun pada suatu hari akan
terbaring dalam sebuah rumah kayu kecil, Rumah itu begitu kecilnya
sehingga untuk membalikkan tubuh saja sulit, Tentu saja
keadaannya tidak menyenangkan. Namun saatnya untuk berbaring
di dalam rumah kayu kecil, rasanya tidak berapa lama lagi. Rumah
kayu kecil yang dimaksudkannya adalah sebuah peti mati.
Sekarang Bok lang kun benar-benar sudah meninggal, tetapi di
dalam hati Sun Put Ce, dia seperti masih hidup saja. Kata-kata yang
diucapkan Bok lang kun menjelang kematiannya, tak akan pernah
dilupakan oleh Sun Put Ce.
Dia menganggap perkataannya ketika itu hanya supaya dirinya
mau terpancing meninggalkan tempat tersebut Agar nyawanya tidak
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hilang percuma. Setelah dipikirkan dengan seksama, dia merasa
kata-kata itu mengandung arti yang dalam, Benar-benar ada rahasia
yang terkandung di dalamnya.
Saat ini di rumah keluarga Fang ada dua rumah kayu kecil, Di
dalamnya terbaring dua sosok mayat. Yang satu adalah tubuh
Tanghay sin sian, Yang satunya lagi tentunya tubuh Bok lang kun. Di
dalam kedua peti mati itu pasti tidak ada rahasia apa-apa.
Karena dia sendiri turun tangan membantu memandikan tubuh
Tang hay sin sian dan Bok lang kun. Dia juga melihat ketika kedua
mayat itu dimasukkan ke dalam peti mati tersebut. Dia tidak
meninggalkan kedua peti mati itu sampai semuanya selesai Sun Put
Ce terus memikirkan perkataan Bok lang kun.
Mungkinkah dia hanya menipunya" Rasanya tidak mungkin! Tibatiba
ingatan Sun Put Ce melayang ke rumah kayu kecil yang satu
lagi. Peti mati suhu-nya, Setiap keluarga berada pasti dari jauh
sebelumnya sudah mempersiapkan segala sesuatu supaya ketika
kematiannya tiba tidak perlu repot-repot lagi.
Begitu pula Fang Tiong Seng, Waktu usianya menginjak empat
puluh tahun, dia telah menyuruh anggota keluarganya membeli
sebuah peti mati dari bahan yang paling bagus. Peti mati itu
disimpan di dalam gudang. Setiap sebulan sekali, pasti ada salah
satu pelayannya yang membersihkan dan merawatnya agar tetap
dalam keadaan baik. Dia berpikir berulang kali. Ketika malam hari mendapat giliran
tugas jaga, dia mencari kesempatan selagi semua orang sibuk dan
menyelinap ke dalam gudang penyimpanan peti mati tersebut Bok
lang kun mengatakan bahwa di dalam rumah kayu kecil ada rahasia
besar. Sun Put Ce menjadi penasaran Lebih baik dia mengintip
sekejap. Bila tidak, dia pasti tidak akan bisa pulas sepanjang malam.
Peti mati itu mengeluarkan suara deritan ketika dibuka oleh Sun
Put Ce. Untung saja tidak ada satu orangpun yang memperhatikannya,
Di dalamnya terdapat secarik kertas. Di atasnya terdapat
tulisan-tulisan. Sun Put Ce mengambil kertas itu dan membacanya, Dia tidak
terlalu terkejut, sebab setiap hal yang ditulis di atas kertas itu
memang sebagian besar telah diduganya, Apakah ini berarti ada
kaitan dengan kecacatannya selama ini"
Tiba-tiba ada langkah kaki halus terdengar olehnya, Sun Put Ce
bergerak cepat, dia meremas kertas di tangannya dan ditelannya ke
dalam perut. Pintu gudang itu terbuka, Di dalamnya tidak ada
penerangan. Hanya terlihat bayangan yang samar-samar dan peti
mati yang telah terbuka. Tidak ada waktu untuk menutupnya
kembali. "Siapa yang berani main gila di Jin gi sancung?" bentak orang
yang baru masuk itu, ucapannya selesai, pedangnya menyerang.
Begitu cepat dan telengas, Tadinya Sun Put Ce masih belum
mengenali suaranya, tapi begitu melihat serangan yang dikeluarkan
dia langsung mengetahui siapa orang yang masuk ini. Dia melompat
mundur dua langkah. "Saya!" sahutnya.
"Apakah Sam sute?" tanya orang itu sambil menarik kembali
serangannya yang kedua. "Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Mengapa Sam sute bisa berada di gudang ini?" tanya Hu Put
Chiu. "Ketika meronda di depan gudang ini, rasanya terdengar suara
yang mencurigakan Seperti suara peti mati dibuka oleh seseorang,"
kata Sun Put Ce mengemukakan alasannya, Hu Put Chiu menyalakan
sebatang korek api. Dia menyinari peti mati milik Fang Tiong Seng.
"Sam sute! Siapa orangnya yang berani memegang peti mati
suhu?" tanya Hu Put Chiu dengan nada heran.
"Saya juga tidak tahu" sahut Sun Put Ce.
"Apakah ketika kau masuk tadi, peti mati ini sudah terbuka?"
tanyanya kembali. "Betul!" sahut adik seperguruannya.
"Giliran kau bertugas, justru terjadi peristiwa ini," gerutu Hu Put
Chiu. "Siauwte memang kurang teliti," sahut Sun Put Ce dengan wajah
tertunduk. "Apakah kita perlu melaporkan hal ini kepada suhu?" tanya Hu Put
Chiu. "Saya rasa lebih baik tidak usah," Sun Put Ce menyarankan.
"Mengapa?" tanya Hu Put Chiu kembali.
"Toh peti mati tidak mengalami kerusakan apa-apa. Buat apa
banyak urusan?" sahut Sun Put Ce.
-oooo0ooooKANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Sun Put Ce sudah selesai bertugas, Dia digantikan oleh orang lain,
Begitu masuk kamar dan mengganti pakaian, dia langsung
merebahkan diri di tempat tidur, Musim semi belum berlalu, Hatinya
masih tetap tertekan. Seluruh tubuhnya berkeringat Setiap tulisan di
atas kertas menari-nari dalam otaknya, tubuhnya pasti akan basah
oleh keringat dingin. Seumur hidupnya, Sun Put Ce tidak pernah setakut ini. Dia bisa
menghapal seluruh tulisan dalam kertas tersebut Setiap hurufnya
bagaikan sebilah bambu runcing, yang dengan tepat menghunjam
jantungnya. Tetapi dia tetap tidak dapat menerima nasehat yang diberikan
oleh Bok lang kun karena orang itu belum sepenuhnya mengerti
jiwanya, Dia tidak mengingkari bahwa maksud Bok lang kun baik,
Terkadang maksud baik pun sulit di laksanakan Air mata Sun Put Ce
bercucuran bagai hujan deras.
-oooo0oooo- Entah berapa lama telah berlalu, Tiba-tiba dia mendengar suara
halus dari ruangan luar, Tadinya Sun Put Ce mengira tentu salah
satu suhengnya sedang meronda, tetapi sekejap kemudian, suara itu
sudah berada di depan kamarnya. Sun Put Ce terperanjat. Dia tahu
suara itu pasti bukan langkah kaki suhengnya tetapi orang luar
"Siapa yang berada di luar?" bisik Sun Put Ce
"Apakah Sun toako?" Orang yang di luar balik bertanya dengan
suara lirih, Sun Put Ce terpana.
"Kau adalah Bwe kouwnio?" tanyanya.
Orang itu melangkah ke dalam kamarnya. Tubuhnya
memancarkan keharuman, Sun Put Ce duduk di atas tempat tidur.
Dia memandang dengan wajah termangu-mangu. Kemudian dia
bangun dengan maksud ingin menyalakan lilin. Tapi gadis itu
menghalanginya. "Jangan!" "Kalau sampai ada yang lihat, mereka akan menganggap kita..."
kata Sun Put Ce. "Asal hati kita lurus, tidak usah takut diejek orang." sahut Bwe
Mei. "Betul!" kata Sun Put Ce sependapat.
"Dulu aku bersalah terhadapmu," Bwe Mei benar-benar merasa
menyesal. "Kau selalu baik terhadapku...." kata Sun Put Ce polos, Dia adalah
seorang manusia yang tidak banyak mengenal kelicikan dari
manusia. "Kau tidak tahu...." sahut Bwe Mei.
"Saya tahu.. Saya sangat berterima kasih kepadamu," kata Sun
Put Ce. Bwe Mei menarik nafas panjang.
"Kalau kau berkata demikian, perasaanku semakin tak enak,"
katanya. Tiba-tiba Sun Put Ce menggenggam tangan gadis itu. Sampai saat
ini, asalkan dia dapat sering-sering memegang tangan yang halus
ini, dia rela mengorbankan jiwanya, Seorang yang selalu menghargai
apa yang dicintainya, maka rasa ego dalam dirinya makin berkurang.
"Kalau perlu, aku rela mati untukmu," katanya dengan wajah
sendu. Bwe Mei makin terharu, dia percaya penuh dengan setiap kata
atau kalimat yang diucapkan laki-laki ini. Sayangnya, cinta kasih
sucinya justru dipersembahkan kepada seorang penipu. Kalau saja
cintanya yang sejati dipersembahkan kepada Iaki-laki yang satu ini,
bukankah akan baik sekali" Dengan lembut Bwe Mei menggeser
tubuhnya. "Aku tidak pantas bagimu," katanya lirih.
"Tidak!" sahut Sun Put Ce.
"Dulu aku mempunyai seorang teman," Bwe Mei bermaksud
menjelaskan. "Aku juga pernah berkenalan dengan seorang nona bernama
Chow Ai Giok," sahut Sun Put Ce tidak mau kalah.
"Aku tahu.... Dia juga memberimu sebuah dompet," kata Bwe Mei.
"Saya tidak tahu dompet mana yang mengisyaratkan cinta sejati?"
tanya Sun Put Ce. "Mungkin yang diberikan Chow Ai Giok," kata Bwe Mei dengan
wajah tertunduk. Sun Put Ce agak terpana. "Mengapa bukan milikmu?" tanyanya heran.
"Karena aku hanya bermaksud memperalat dirimu," kata Bwe Mei
terus terang. Sun Put Ce tidak bersuara.
"Andaikata kau membenci aku, kau tetap tidak akan kusalahkan,"
kata gadis itu selanjutnya.
"Mengapa saya harus membencimu?" tanya Sun Put Ce.
"Bukankah aku sudah katakan barusan bahwa aku memberikan
dompet kepadamu hanya untuk memperalat dirimu?" sahut Bwe Mei.
"Memperalat saya" Apa gunanya?" tanya Sun Put Ce.
"Pertama, kau adalah murid Fang Tiong Seng. Kedua, ketika itu
kalian hendak pergi mencari Tang hay sin sian, tentu ada
manfaatnya, Kau tentu tahu, setiap orang Bulim yang mempunyai
nama pasti akan mencari seorang pelindung yang kuat untuk
melindungi dirinya dari ancaman Toa Tek To Hun!" kata Bwe Mei
menjelaskan. "Apa salahnya berbuat begitu?" tanya Sun Put Ce dengan nada
wajar. "Kau tidak membenci diriku?" Bwe Mei balik bertanya kepadanya.
"Mengapa harus benci karena suatu persoalan kecil?" kata Sun
Put Ce. "Karena waktu itu aku tidak sungguh-sungguh menyukaimu, aku
hanya ingin menarik keuntungan saja," sahut Bwe Mei dengan
perasaan malu. "Seseorang jika masih bisa diperalat oleh orang lain, berarti
dirinya termasuk cukup berharga," kata Sun Put Ce.
Bwe Mei menyandarkan dirinya di bahu Sun Put Ce.
"Kau memang seorang manusia yang berbudi," katanya.
Sun Put Ce merasa hatinya berdebar, karena tindakan Bwe Mei
itu. "Jangan cepat mengambil dugaan tentang seseorang, mungkin
saya sering menjengkelkan dirimu," sahutnya kemudian
"Apa yang kau maksud dengan menjengkelkan?" tanya Bwe Mei,.
"Saya tidak pandai berbicara, saudara seperguruanku sendiri
sering mengejek saya. Mereka mengatakan rasanya aneh mengapa
di dunia ini ada makhluk seperti saya ini," kata Sun Put Ce.
Bwe Mei mengibaskan rambutnya harum yang terpancar membuat
tubuh Sun Put Ce menggigil.
"Orang yang tidak bisa bicara malah kalau mengeluarkan
mengeluarkan ucapan selalu yang bermutu," sahut Bwe Mei lembut
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya mendengar hal itu.
"Mengapa kau menggelengkan kepala?" tanya Bwe mei.
"Benar atau tidaknya kata-katamu saya tidak tahu, namun
kenyataannya kedua suheng saya sering mengatakan bahwa di
dunia ini rupanya masih ada seorang manusia seperti dirimu," sahut
Sun Put Ce sambil menarik nafas berkali-kali.
"Apakah mereka sering mengejekmu seperti itu?" tanya Bwe Mei
dengan perhatian besar.. "lya!" sahut Sun Put Ce.
"Merekalah yang pantas disebut orang buta!" kata Bwe Mei. keras.
"Tadi kau mengatakan bahwa kau hanya memperalat diri saya?"
tanya Sun Put Ce mengalihkan pembicaraan.
"lya! Aku melakukannya demi seorang bajingan. Akibatnya, aku
sendiri yang hampir celaka," kata Bwe Mei.
"Orang yang bisa membuatmu begitu setia, tentunya adalah
seorang laki-laki sejati." sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei malah tertawa tergelak-gelak, nadanya mengandung
ejekan. "Dia adalah seekor anjing budukan yang tidak berharga!" katanya.
"Biarpun turunan anjing, tapi masih bisa mendapatkan
perhatianmu yang begitu besar, dia masih terhitung hebat," sahut
Sun Put Ce. Bwe Mei tidak suka mendengar perkataan itu, ucapan demikian
kebanyakan keluar dari mulut kaum laki-laki. Oleh karena itu, Bwe
Mei merasa, bahwa setiap laki-laki pasti akan membela kaumnya
sendiri, meskipun orang itu adalah manusia terjahat di dunia.
Dia memang sedang bersandar di bahu Sun Put Ce. Tiba-tiba
tangannya terulur dengan cepat. Nadi Mei fu dan Thian cong laki-laki
itu sudah tertotok, Nadi Thian cong terletak di sebelah bawah ketiak
sedangkan nadi Mei fu terletak di bagian atas pusar.
Bila kedua nadi ini tertotok, maka bagian tubuh sebelah bawah
akan lumpuh seketika: Tubuh akan terasa lemas. Tangan saja sulit
digerakkan. Bagian kepala masih bisa menoleh atau bicara, Meskipun
Bwe Mei telah menotok kedua nadi pentingnya, dia masih
tidak bersuara. "Kau sungguh menakutkan!" kata gadis itu.
"Saya?" tanya Sun Put Ce dengan suara tenang.
"Ketenanganmu agak mengerikan," sahut Bwe Mei sambil tertawa
dingin, Sun Put Ce hanya menghela nafas.
"Mengapa kau malah menarik nafas?" tanya gadis itu kembali Sun
Put Ce menggelengkan kepalanya lagi.
"Selamanya kau tidak akan mengerti perasaan saya," sahut lakilaki
tersebut. "Apakah karena nadimu tertotok sehingga kau tidak dapat
menggerakkan tubuh selama setengah hari maka kau menarik
nafas?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce tetap menggelengkan kepala.
Bwe Mei bangkit dari tempat tidur, Dia menatap Sun Put Ce
dengan pandangan dingin. "Tampaknya kau lebih menakutkan dari orang itu!" katanya.
"Siapa?" tanya Sun Put Ce.
"Cap sa tai po Kiau Bu Suang!" sahut Bwe Mei.
"Nama orang itu sangat terkenal, kalau saja dia mau menampilkan
diri, kemungkinan besar dia sanggup melawan Toa Tek To Hun,"
kata Sun Put Ce. Bwe Mei tertawa terbahak-bahak Sun Put Ce terpana.
"Saya sudah mengatakan bahwa saya memang tidak pandai
berbicara," katanya.
"Orang yang penampilannya tidak pandai bicara, justru biasanya
merupakan orang yang cerdas," sahut Bwe Mei.
"Aku tidak mengerti...." kata Sun Put Ce.
"Banyak bicara, otak berkurang," sahut Bwe Mei.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akh.... Baru pertama kali saya mendengar kata-kata yang
demikian dalam maknanya, Akan saya ingat selamanya," kata Sun
Put Ce sambil mendesah. Bwe Mei memperhatikannya sampai lama
sekali. "Kalau kau bukan orang yang paling baik di dunia ini, pasti kau
orang yang paling jahat," katanya.
"Orang seperti saya ini, mana berani mengaku diri sendiri orang
baik?" Sun Put Ce menggelengkan kepala.
Bwe Mei tersenyum tipis mendengarkan ucapan itu.
"Sekarang kau terancam bahaya akan terbunuh olehku, mengapa
sedikit pun kau tidak tampak khawatir?" tanyanya.
Sun Put Ce memejamkan matanya, Dia, menarik nafas berkalikali.
"Kau tidak mengerti...." sahutnya.
"Aku memang tidak mengerti, kalau bukan otakku ada masalah,
tentunya dirimu itu yang patut dianggap makhluk aneh," kata gadis
itu. Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bwe kouwnio, setiap orang pasti harus mati, bila waktunya sudah
tiba, ditolak pun tidak mungkin." Sahutnya.
"Kau anggap sekarang adalah waktu kematianmu?" tanya Bwe
Mei. Sun Put Ce menganggukkan kepalanya..
"Mengapa?" Tanya Bwe Mei heran.
"Sejak duIu, dalam mimpi pun tidak pernah saya bayangkan kalau
saya akan mati di tangan gadis yang paling saya kagumi," sahut lakilaki
itu. Bwe Mei tampak kurang percaya mendengar kata-kata
tersebut. "Kau sudah tahu bahwa demi Cap sa tai po, aku telah memperalat
dirimu. Apakah kau masih mengagumi diriku?" tanyanya.
Sun Put Ce menganggukkan kepala dengan yakin.
"Apakah maksudmu, kau telah menyukaiku sejak pertemuan
pertama?" tanya Bwe Mei kembali Dia seakan ingin meminta
penegasan dari Sun Put Ce. Dia hampir tidak percaya kalau di dunia
ini ada laki-laki sebaik orang ini. Dan ternyata Sun Put Ce tetap
menganggukkan kepala. "Harap jangan memakai kata "suka" jawabnya.
"Mengapa?" tanya Bwe Mei semakin tidak mengerti.
"Meskipun saya mengagumimu, tapi selama ini saya selalu merasa
tidak cukup berharga untuk menyukaimu," sahut Sun Put Ce dengan
mata tetap terpejam. Bwe Mei merasa terharu sekali mendengar perkataan Sun Put Ce
itu. "Mengapa kau selalu merendahkan dirimu sendiri?" tanyanya.
"Saya mengagumimu karena kebaikanmu melebihi apa yang
kupikirkan, oleh sebab itu saya tidak berani menggunakan kata
"suka", Tentang rasa rendah diri, sulit dijelaskan dalam waktu yang
singkat," kata Sun Put Ce.
"Apakah kau tetap menyukaiku?" tanya Bwe Mei dengan
pandangan mata menyelidik.
"Apa yang kau maksud dengan kata "tetap?"" Sun Put Ce
tampaknya tidak mengerti.
"Seorang gadis yang pernah dipermainkan oleh seorang laki-laki,
meskipun belum sempat ternoda, sering dianggap rendah oleh lakilaki
lain," sahutnya dengan suara sendu.
"Saya bukan laki-laki seperti itu," kata Sun Put Ce.
"Apakah kau termasuk laki-laki yang merasa sayang
mencampakkan seorang gadis hanya karena dia masih sedap
dipandang?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana caranya membuktikan bahwa kau bukan laki-laki
seperti yang aku katakan?" tanya Bwe Mei penasaran.
"Apa yang harus dibuktikan?" Sun Put Ce membuka matanya dan
menarik nafas panjang, Benar kata kedua suhengnya, bahwa
makhluk yang paling sulit dimengerti di dunia ini adalah perempuan.
"Bukankah kau memandang tinggi setiap gadis yang mendekati
dirimu?" tanya Bwe Mei.
"Saya hanya memandang tinggi gadis yang saya kagumi," sahut
Sun Put Ce. "Bagaimana kalau yang mendekatimu, seorang gadis yang tidak
kau sukai?" tanya-nya.
"Setiap gadis pasti mempunyai sikap pembawaan masing-masing,
mengapa saya harus merasa suka atau tidak?" sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei merogoh dua buah-dompet dari saku bajunya, Yang satu
adalah miliknya, Yang satunya lagi merupakan pemberian orang lain.
Dompet itu masih rapi dan memancarkan keharuman. Berbeda
dengan pemberiannya yang sudah tampak lusuh dan tidak harum
lagi. Hanya dua macam perempuan di dunia ini. Putih dan belang,
Yang dimaksud putih, tentu saja adalah seorang gadis yang bijaksana,
tidak cepat cemburu buta, Dan yang belang, pasti marah dulu
baru mencari kebenarannya. Sun Put Ce sendiri belum berani
memastikan Bwe Mei termasuk jenis yang mana"
Tiba-tiba Bwe Mei merasa benci melihat dompet itu. Dia
meremasnya berulang-ulang sehingga lusuh, Masih kurang puas dia
rasanya, dilemparkannya dompet tersebut ke lantai dan diinjakinjaknya
sampai kotor dan bau. "Siapa yang memberikan dompet ini untukmu?" Sebuah
pertanyaan yang sebetulnya sudah diketahuinya sejak lama. Namun
Sun Put Ce merasa sedih melihat kemarahannya, Dia tetap
menjawab dengan sopan. "Chow Ai Giok, cucu perempuan Pang Chow Ceng."
"Kau menyukainya?" tanya Bwe Mei dengan mata mendelik, Sun
Put Ce menganggukkan kepalanya, dengan sikap seperti biasa.
"Mungkin dia ada di sekitar tempat ini." sahutnya. Akibat ucapan
ini memang tak diduganya, Mata Bwe mengeluarkan sinar
pembunuhan. "Coba kau katakan sekali lagi!" ancamnya.
"Kalau kau belum mendengar jelas, saya akan mengulanginya
sekali lagi," sahut Sun Put Ce tenang.
"Apakah kau hanya menyukainya dan tidak menyukai diriku?"
tanya Bwe Mei dengan pandangan mata membara, Sun Put Ce
hanyalah tertawa getir, Mengapa perempuan selalu tidak henti
bertanya?" "Saya menyukainya, tapi saya mengagumi dirimu," sahut Sun Put
Ce. "Aku tidak perlu segala macam rasa kagum. Mengapa kau tidak
pernah bisa mengerti perasaan seorang gadis?" tanya Bwe Mei
dengan nada kesal. "Saya juga tidak tahu," sahut laki-laki.
"Kalau kau masih berani menyukainya, aku akan membunuhmu!"
kata Bwe Mei dengan suara ketus.
"Saya rasa hanya ada dua macam orang yang paling menakutkan
di dunia ini," sahut Sun Put Ce sambil menarik nafas.
"Dua macam orang yang bagaimana?" tanya Bwe Mei.
"Yang pertama adalah orang yang membunuh tanpa berkedip,
seperti Toa Tek To Hun. Yang kedua, adalah perempuan," sahut Sun
Put Ce dengan suara sendu, Bwe Mei sampai termangu-mangu
dibuatnya. "Benarkah perempuan demikian menakutkan?" tanyanya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
"Coba jelaskan dengan terperinci," kata gadis itu.
"Dompet yang kau berikan untukku tidak harum lagi karena
terjatuh dalam air, bukan?"
"Tidak salah! Hal ini membuktikan kalau kau menyimpan
pemberiannya dengan baik. Sedang pemberianku justru kau abaikan,"
kata Bwe Mei sedih. Sun Put Ce menggelengkan kepalanya.
"Bukan begitu.... Dompet pemberianmu, dilemparkan oleh Chow
Ai Giok ke laut. Untuk mengambilnya, hampir saja..." kata-katanya
tidak dapat dilanjutkan lagi.
"Mengapa tidak mengatakan sampai selesai?" tanya gadis itu
penasaran. "Lebih baik tidak usah diteruskan, belum tentu kau akan percaya,"
sahut Sun Put Ce. "Kalau kau belum mengatakan, bagaimana bisa yakin aku tidak
akan percaya?" tanya Bwe Mei.
Sun Put Ce kembali menarik nafas, Dia bukan jenis orang yang
suka membanggakan diri. "Saya terjun ke laut untuk mengambilnya. Karena saya tidak
dapat berenang, hampir saja mati tenggelam," Akhirnya terpaksa dia
menerangkan. "Siapa yang menolong dirimu?" tanya Bwe Mei mulai serius.
"Teman seperjalanan saya, Kwe Po Giok," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei tampak tercengang, Dia tidak menyangka akhir cerita itu
demikian adanya. "Mengapa bukan gadis Chow Ai Giok itu?" tanyanya.
"Setelah melempar dompetmu ke laut, dia pergi tanpa menoleh
lagi," sahut Sun Put Ce.
Bwe Mei meraba pipi Sun Put Ce dengan telapak tangannya yang
halus, Sun Put Ce merasa gadis itu tadi seperti sekuntum mawar
yang penuh berduri, sekarang malah berubah menjadi sekuntum
melati yang lembut dan harum.
Bwe Mei mengelus-ngelus Sun Put Ce dengan penuh perasaan,
Sinar matanya yang sendu seakan ingin menembus hati Sun Put Ce.
Laki-laki itu tidak tahu harus tertawa atau menangis, Perempuan
juga merupakan makluk yang paling mudah berubah, Tiba-tiba saja
totokannya sudah terlepas.
Seorang yang sama sekali tidak pandai berenang, tetapi berani
terjun ke laut demi sebuah dompet, dari sini sudah dapat
dibayangkan betapa dalam cinta kasihnya terhadap pemilik dompet
tersebut. Bwe Mei jatuh dalam pelukan Sun Put Ce. Dia sadar bila kejadian
tadi dialami oleh Cap sa taipo Kiau Bu Suang, pasti ceritanya akan
jauh berbeda, Laki-laki itu pasti tidak akan mengorbankan diri demi
seorang gadis. Dia lebih menyayangi jiwanya sendiri.
Bila seorang gadis menunjukkan kelembutannya yang paling
dalam, berarti seluruh perhatiannya teIah diserahkan kepada lakilaki
itu. Namun manusia seperti Sun Put Ce tidak mengerti perasaan
ini. "Saya berjanji akan mengubah perasaan kagum turun menjadi
perasaan suka," katanya.
"Kau salah! Membuat perasaan kagum bertambah menjadi
perasaan suka", sahut Bwe Mei sambil tersenyum manis, Mendengar
perkataan nona itu, hati Sun Put Ce jadi berdebar-debar, tanpa
sadar ia bergerak dan memeluk gadis itu erat-erat.
"Mengapa Kiau Bu Suang tidak mencari " Toa Tek To Hun?" tanya
laki-laki itu mengalihkan pembicaraan
"Karena dia mengalami Cao hue jit mo," sahut Bwe Mei.
"Sayang sekali...." kata Sun Put Ce dengan nada mengeluh.
Bwe Mei memperdengarkan tertawa dingin.
"Apa yang harus disayangkan" Dia adalah seorang laki-laki tidak
bertulang, Tidak berbeda dengan para ko chiu yang
menyembunyikan diri karena takut dicari oleh Toa Tek To Hun, juga
hampir sama dengan si tua Peng Chow Ceng," sahut Bwe Mei.
"Tapi dia kan terkena Cao hue jit mo, seharusnya bisa
dimaafkan," kata Sun Put Ce.
"Apakah laki-laki yang terkena Cao hue jit mo, bisa berhubungan
dengan seorang perempuan di tempat tidur?" tanya Bwe Mei ketus,
Sun Put Ce termangu-mangu sejenak dibuatnya.
"Rasanya tidak mungkin...." sahutnya.
"Dari hal ini saja sudah terbukti bahwa kau adalah laki-laki yang
masih polos sekali," kata Bwe Mei tersenyum manis.
"Apakah Cap sa tai po menghianati dirimu?" tanya Sun Put Ce.
"Dia bersama seorang perempuan di dalam rumahnya, Dari suarasuara
yang terdengar aku bisa mengambil kesimpulan apa yang
sedang mereka lakukan ini bukan didengar dari mulut orang lain.
Aku sendiri yang memergoki perbuatannya," kata Bwe Mei kesal.
"Apakah di dunia ini ada perempuan lain yang lebih menarik
darimu?" tanya Sun Put Ce seperti kurang percaya.
"Menarik atau tidak, hanya pandangan manusianya masingmasing,".
kata Bwe Mei. "Siapa perempuan itu?" tanya Sun Put Ce.
"Aku juga tidak tahu. Aku hanya mendengar suara pembicaraan
mereka," Bwe Mei menjelaskan.
"Apa saja yang mereka bicarakan?" tanya Sun Put Ce kembali.
"Mereka membicarakan seorang laki-laki yang rasanya sudah
cukup berumur Laki-laki itu adalah gendak perempuan itu. Dia
menggambarkan keadaan orang tua itu yang katanya seperti papan
gilasan, Dia juga mengatakan bahwa gendaknya itu sangat
menakutkan Terlalu dibuat-buat lagaknya. Dia juga berjanji akan
merubah Cap sa tai po menjadi seorang yang paling berkuasa di
dunia persilatan," kata Bwe Mei setelah berpikir sejenak.
"Bagaimana merubahnya?" tanya Sun Put Ce semakin tertarik.
"Dari delapan jurus yang digunakannya untuk membunuh Bok
lang kun menjadi satu jurus, Dengan demikian dia baru dapat
menandingi Toa Tek To Hun," kata gadis itu.
Hati Sun Put Ce bergetar.
"Dia adalah manusia bertopeng," katanya dengan nada terkejut.
"Manusia bertopeng yang mana?" tanya Bwe Mei tidak mengerti.
"Manusia bertopeng yang membunuh Raja tinju Hong Be dari luar
perbatasan di hutan tempo hari," sahut Sun Put Ce menerangkan.
"Apakah seorang laki-laki berambut pirang, berjenggot dan bentuk
wajahnya panjang" Aku melihatnya ketika melarikan diri lewat
hutan," kata Bwe Mei.
"Tepat! Dia juga membunuh Bok lang kun di tempat itu. Mayat
Bok lang kun sudah saya bawa pulang untuk diurus!" sahut Sun Put
Ce. Dia tidak menyangka kalau manusia bertopeng itu adalah Cap sa
tai po Kiau Bu Suang yang termasyhur.
"Rupanya dia yang mengenakan topeng untuk membunuh para
jago kaum Bulim, Aku malah kena ditipu oleh kepura-puraannya
terkena Cau hue jit mo. Entah maksud apa yang terkandung di balik
semua ini?" Suara Bwe Mei terdengar sinis sekali.
Jilid 9 "Pertama, dia ingin kaum Bulim semua mendengar tentang
musibah yang menimpa dirinya, Dengan demikian Toa Tek To Hun
akan menganggap diri orang itu tidak pantas mati di tangannya.
Kedua, secara diam-diam dia menyamar dengan mengenakan
topeng, dengan maksud menguji ilmu silatnya sendiri. Pasti tidak
akan ada orang yang menduga manusia bertopeng itu adalah Kiau
Bu Suang," kata Sun Put Ce mengeluarkan pendapatnya.
"Kau sama sekali tidak bodoh!" Bwe Mei memandangnya dengan
seksama. "Kau merupakan orang kedua yang mengatakan saya tidak
bodoh," sahut Sun Put Ce. Bwe Mei segan menanyakan siapa orang
yang pertama. "Kalau menurutmu.... Siapa yang lebih menakutkan" Kiau Bu
Suang atau perempuan itu?" tanya Bwe Mei.
"Perempuan yang mana?" Sun Put Ce kadang-kadang memang
mirip orang tolol. "Perempuan yang berhubungan dengan Kiau Bu Suang!" Bwe Mei
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menerangkan. "0h... tentu perempuan itu," sahut Sun Put Ce.
"Aku kemari karena dikejar oleh Kiau Bu Suang," kata Bwe Mei.
"Kiau Bu Suang tidak berhasil mengejar dirimu?" tanya Sun Put Ce
kurang percaya. "Kalau bukan karena seorang dewa penolong yang muncul tibatiba.
Mungkin aku sudah mati saat ini," kata Bwe Mei.
"Siapa dewa penolong itu?" tanya Sun Put Ce penasaran.
"Kau tentu tidak akan menyangka siapa orangnya.... Dia adalah
Toa Tek To Hun!" kata Bwe Mei sambil tersenyum-senyum. Benar
saja dugaan gadis itu, Mata Sun Put Ce sampai membelalak!
"Toa Tek To Hun masih ada di sekitar tempat ini?" tanyanya.
"Tidak salah! Begitu melihat Toa Tek To Hun, tulang Kiau Bu
Suang menjadi lemas seketika," sahut Bwe Mei.
"Manusia sepertinya tentu tidak mengherankan lagi, Dia pasti
ketakutan bukan?" tanya Sun Put Ce.
Bwe Mei menceritakan semua kejadiannya dari awal hingga akhir,
Sun Put Ce mendengarkan dengan seksama, Sampai cerita itu
selesai, dia masih termangu-mangu.
"Aku harus bagaimana" Kiau Bu Suang ingin membunuhku
perempuan itu juga pasti tidak akan melepaskan diriku, Aku yakin
perempuan itu tinggal di tempat yang tidak terlalu jauh," kata Bwe
Mei selanjutnya. "Saya juga percaya. Begini saja, untuk sementara kau boleh
tinggal di penginapan kecil di ujung jalan, Saya akan
mengunjungimu kapan saja. Bila tidak penting se-kali, lebih baik
jangan keluar," kata Sun Put Ce menyarankan sebuah jalan keluar
untuknya. -ooo0ooo- Di meja perabuan, terdapat bermacam-macam kue dan buahbuahan.
Juga ada dua pot bunga sedap malam di kiri dan kanan
ujung meja. Asap hio mengepul tinggi.
Fang Tiong Seng menyalakan hio dan berlutut di depan meja
perabuan Tang hay sin sian, Anak murid mengikuti jejaknya di
belakang. Tidak ada satu pun yang bersuara. Suasana hening
mencekam, Hati setiap orang bagai tersayat sembilu, Setelah selesai
bersembahyang, Pang Tiong Seng menuangkan tiga cawan arak di
atas meja. Dia bangkit dan berdiri di samping peti jenasah.
Kepalanya tertunduk. "Tionggoan kembali kehilangan seorang pendekar besar...."
Kemudian dia menuju ke peti mati sebelahnya yang berisi mayat Bok
Lang kun. "Juga kekurangan seorang laki-laki sejati," Suaranya
sendu. "Tapi masih ada suhu...." tukas Mo Put Chi yang sangat memuja
sang guru. "Meskipun aku berhasil luput dari kematian, dan tetap akan
berusaha membalaskan dendam bagi para jago kita, namun
dibandingkan dengan Tang hay sin sian dan Bok lang kun, aku masih
tidak pantas disebut pendekar," sahutnya dengan mata basah.
"Suhu tidak boleh menyesali diri, Asal suhu bisa selamat dari
kematian, tentu bisa mengumpulkan para sahabat supaya ber-samasama
mengusir Toa Tek To Hun atau membasminya!" kata Hu Put
Chiu membesarkan hati Fang Tiong Seng.
Laki-laki itu menghela nafas berkali-kali.
"Memang saya berhasil selamat, tapi saya tetap akan mencoba
melawan Toa Tek To Hun. Kalau sampai kalah lagi untuk kedua
kalinya, aku sudah tidak mempunyai keberanian untuk
mengunjukkan muka di Bulim," sahut Fang Tiong Seng.
"Tayhiap tidak boleh putus asa. Pepatah mengatakan, asal hayat
masih dikandung badan, untuk membalas dendam duapuluh tahun
juga belum terlambat," kata dayang Cui thian dengan air mata
berlinang. Fang Tiong Seng tidak menyahut lagi. Bagi seorang pendekar,
kadang-kadang kehidupan malah lebih menyedihkan daripada
kematian. "Suhu! Orang yang membunuh It Cheng Hong, Kao Kie, Hong Be,
Bok lang kun pasti Toa Tek To Hun!" ujar Mo Put Chi.
Fang Tiong Seng menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan!" "Saat ini siapa yang bisa membunuh beberapa orang ini, terutama
Hong Be dan Bok lang kun?" tanya Hu Put Chiu.
"Tentu saja ada manusia demikian. Tapi apa maksudnya itulah
yang sulit ditebak!" kata Fang Tiong Seng.
Malam musim semi. Hujan turun rintik-rintik, Cuaca demikian
paling cocok untuk orang yang bercinta, Tentunya sang kekasih pun
akan menyambut gembira. Tempat ini berada di luar kota, Di daerah yang agak terpencil ada
sebuah bangunan indah. Majikan pemilik gedung ini merupakan
seorang yang suka kemewahan, dapat dibuktikan dari bentuk
bangunan dan isinya. Dia tidak sayang mengeluarkan uang banyak untuk mendirikan
gedung yang mempunyai ciri tersendiri ini. Di dalamnya terdapat
sebuah ruang bawah tanah, Ada dua buah kamar besar yang isinya
kebanyakan barang-barang langka.
Gedung ini dibangun untuk seorang perempuan simpanannya,
Tentunya ruang bawah tanah itu hanya diketahui oleh orang
tersebut, Mereka mengadakan pertemuan di tempat yang tidak
diketahui oleh orang lain.
Dari luar yang tertampak adalah sebuah gedung milik seorang
hartawan, Ada beberapa pelayan yang bekerja di rumah itu. Mereka
juga sudah diperintahkan oleh sang majikan untuk menutup mulut.
Siapa pun yang masuk ke dalam gedung itu, pasti akan terpesona,
warna dinding dan permadani yang terhampar didominasi oleh
semaraknya merah jambu dan hijau muda membuat orang yang
berada dalam ruang besar tersebut serasa sejuk dan damai. Laksana
sehelai selimut di musim salju. Siapa saja yang sudah masuk di
dalamnya, tentu enggan keluar.
Di atas kamar dalam ruangan bawah tanah, terdapat dua buah
gelas kristal, isinya berupa anggur merah, Ada dua orang manusia
yang sedang duduk di masing-masing sisi meja tersebut.
Yang seorang adalah laki-laki berusia kurang lebih limapuluh
tahun. Tubuh bagian atas telanjang, Tulang-tulangnya bertonjolan,
Dadanya rata seperti sebuah papan gilasan.
Seorang laki-laki setengah baya lagipula berbadan kurus
kerempeng ternyata ditemani seorang perempuan berusia kira-kira
duapuluh enam tahun. Cantik, menawan, dan dewasa. Laki-laki ini
pasti bukan orang biasa. Apakah kekayaannya yang menarik bagi
perempuan tersebut" Perempuan itu hampir telanjang, Selain selembar kain penutup
bagian bawah, bagian atasnya hanya terdapat selembar selendang
yang hanya dikaitkan di 1eher. Warna selendang itu juga merah
jambu dengan sulaman emas di sudutnya.
Tubuh yang halus dan putih itu membuat sang laki-laki terpesona.
Tangannya yang berjari lentik mengangkat gelas kristal dengan gaya
memikat. "Loya.... Mari kuhaturkan segelas anggur merah untukmu."
Suaranya pun begitu merdu.
Minum anggur adalah soal kedua, sinar mata yang penuh gairah
malah merupakan hal pertama dan pasti bisa membuat laki-laki itu
mabuk, anggur belum masuk lewat tenggorokan namun dada sudah
mulai terbakar. Tangannya yang kasar dan berkeriput mengangkat
gelasnya dan meminum seteguk, jarinya bergetar mengiringi anggur
merah dalam gelas yang menari-nari. Deburannya bagaikan darah
yang muncrat dari sebuah luka besar.
"Semestinya aku yang menghaturkan segelas anggur untukmu,"
kata laki-laki bertubuh papan gilasan itu.
"Mengapa?" tanya yang perempuan.
"Bila urusan besar ini bisa berhasil, jasamu tidak boleh dianggap
kecil," kata orang tua itu.
Yang perempuan mengerlingkan matanya dengan gaya genit.
"Loya.... Mengapa harus demikian sungkan terhadapku?" katanya.
"Bukan begitu, Kau memang orangku, Tapi bila digantikan dengan
orang lain, belum tentu dapat menutup rahasia serapat ini. Jasamu
memang cukup besar bagiku," sahut si papan gilasan.
"Loya... aku belum berani terlalu yakin. Karena Toa Tek To Hun
masih ada di Tiong-goan," kata yang perempuan.
Orang tua itu tersenyum tipis.
"Kekalahannya tinggal menunggu waktu saja," sahutnya.
" Loya,... Apakah kau yakin sepenuhnya?" tanya perempuan itu.
Orang tua bertubuh kerempeng tertawa terbahak-bahak, dia suka
menggunakan tawanya yang menyeringai ataupun terbahak-bahak
sebagai ungkapan hati bila yakin akan sesuatu, sayang sekali,
banyak orang yang tidak terlalu memperhatikannya. Banyak orang
yang merendahkan kehebatan dirinya, sampai Toa Tek To Hun pun
tidak memandang sebelah mata kepadanya.
Manusia yang menganggap dirinya rendah terlalu banyak, Bahkan
termasuk orang-orang kepercayaannya. Benarkah demikian" Atau
mungkin hanya perasaannya sendiri yang terlalu banyak curiga..."
Namun bukan semua orang menganggapnya rendah, Paling tidak
ada dua orang yang menjunjungnya setinggi langit.
Dan ada beberapa orang lagi yang tahu kehebatannya, sedangkan
jumlah yang tidak banyak ini, justru merupakan manusia bermata
tajam. Gelas kedua orang itu telah kosong, Empat buah bola mata saling
memandang. "Kedua gelas kristal ini hanya boleh mengisi anggur hari ini.
sedangkan anggur besok dan waktu tidak boleh diisi di dalam gelas
ini bukan?" tanya si orang tua.
"Betul, Loya!" sahut yang perempuan
"Anggur kelak harus diisi di gelas lain!" kata laki-laki itu kembali.
Ucapan mereka membingungkan, mungkin hanya kedua orang itu
yang mengerti artinya yang dalam. tiba-tiba gelas di tangan laki-laki
itu diremas hingga pecah berantakan. Pecahan kacanya berserakan
di lantai. Setelah itu, dia mengambil gelas di tangan perempuannya,
dia melakukan hal yang sama.
Mungkin dalam hatinya dia ingin membuktikan bahwa
kekayaannya sekarang bukan apa-apa. Mereka masih bisa
menguasai dunia yang luas ini. Oleh sebab itu, setiap pekerjaan
harus mereka lakukan dengan penuh perasaan, termasuk hubungan
antara laki-laki dan perempuan.
"Malam ini kita harus menggunakan gerakan untuk mengeluarkan
apa yang terkandung dalam hati kita, Seperti pepatah yang
mengatakan "malam panjang harus dinikmati selagi mungkin." kata
laki-laki tersebut Dia mengulurkan tangan dan mengajak perempuan
tersebut naik ke atas tempat tidur
Mata perempuan itu mengerling kenes, Gairahnya terlihat meluap.
"Siau moi hanya menuruti apa kata Loya," sahutnya manja.
Dia rebah di atas tempat tidur dengan sprei warna merah jambu,
Dia membiarkan laki-laki itu melucuti seluruh pakaiannya yang
tersisa, Keduanya saling berdekapan, Mata perempuan itu terpejam.
sekarang yang laki-laki tidak dapat melihat apa yang tersirat di
dalamnya. Dia hanya tahu bahwa perempuan itu tetap mengikuti gerakan
tubuhnya, Saling berirama. Akhirnya kedua tubuh telanjang itu
bersatu, dalam segala kecabulan dan kemaksiatan!
-oooo0oooo- Hujan musim semi turun rintik-rintik. Hawa dingin mulai
menyelinap. Di sebuah jalan panjang di ujung kota terlihat dua
orang mendatangi dari arah yang berlawanan. Di sebelah Utara
adalah seorang laki-laki yang masih muda, sedangkan dari arah
Selatan, adalah seorang perempuan.
Suara hujan menggigiikan perasaan yang sudah terasa
mencekam. Tiupan angin membawa segumpalan kabut
pembunuhan. Ketika kedua orang itu sudah agak dekat, laki-laki
muda itu mengangkat tangannya untuk menyapa. Namun, dalam
sekejap saja dia sudah merasa ada yang tidak beres, Sinar mata
perempuan itu buas sekali, Seakan ingin melumatkan seluruh
tubuhnya. Bagi Hu Put Chiu, tidak ada yang perlu disusahkan di
dunia ini. Dia tidak percaya kalau perempuan itu bersungguhsungguh.
Mengapa perempuan ini ingin membunuhnya" Mereka
tidak pernah terlibat dendam pribadi atau sebagainya.
"Tampaknya kau ingin membunuhku?" tanya Hu Put Cbm.
Perempuan itu menganggukkan kepalanya.
"Betul!" "Mengapa?" tanya Hu Put Chiu dengan senyum mengembang.
"Kau tidak usah tahu alasannya!" sahut perempuan tersebut
dengan ketus. Hu Put Chiu melebarkan bibir dan tertawa bebas, Meskipun besok
langit akan runtuh, dia tetap akan mati dengan membawa senyum.
Biarpun ada orang yang berkata kepadanya bahwa besok adalah hari
kematiannya, dia tetap akan makan dan minum sepuasnya.
Tampaknya ia tidak memperdulikan meskipun perempuan itu terlalu
serius. "Kau merupakan tamu dalam keluarga Fang, Suhu juga amat baik
terhadapmu, malah membantu pemakaman Tang hay sin sian besok,
Dia bahkan telah mengundang Siau kiong cu kemari. Apalagi yang
kurang?" tanya Hu Put Chiu.
"Segala sesuatunya sudah cukup, Tidak ada yang kurang!" sahut
perempuan itu. "Harus ada alasannya bukan?" tanya Hu Put Chiu.
"Tidak selalu harus!" sahut perempuan itu kembali.
Hu Put Chiu tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha.,.! Benar-benar mengherankan" katanya.
Perempuan itu bergerak cepat, Hu Put Chiu baru merasa ada titik
hujan yang membasahi wajahnya ketika tendangan perempuan itu
telah tepat mengenai ulu hatinya.
Gerakan apa yang begitu cepat" Selain tiga belas jurus sayap
bangau dari perguruan Fang Tiong Seng, Hu Put Chiu tidak percaya
ada ilmu lain yang lebih cepat, memang para murid Fang Tiong Seng
sangat yakin bahwa ilmu sayap bangau yang berjumlah tiga belas
jurus itu adalah ilmu tersakti di dunia.
Oleh sebab itu, Hu Put Chiu yang bisa bertahan sebanyak lima
jurus, malah sudah terkena dua kali tendangan lagi dalam satu
setengah jurus saja. Tubuhnya mencelat ke udara, Namun bibirnya
masih mengembangkan senyum.
"Ternyata kau benar-benar ingin membunuhku!" teriaknya riang.
Tendangan ketiga dari perempuan itu seakan merupakan jawaban
bagi pertanyaan Hu Put Chiu. Punggg!!! Sekali lagi Hu Put Chiu
terlempar. Tenggorokannya mengeluarkan suara "krok-krok" dua
kali. Mungkin dia masih ingin mengucapkan sesuatu, namun
tenaganya untuk berbicara saja sudah tidak ada. Dari hal itu terbukti
bahwa Hu Put Chiu telah terluka dalam dengan parah. Darah
mengalir dari sudut bibirnya, Laki-laki itu bagaikan bermimpi meski
ajal sudah di depan mata.
Tidak berapa lama kemudian, kepalanya terkulai, nyawanya pun
melayang, tampaknya mirip seekor ayam yang baru disembelih.
Tanpa menoleh ke arah korbannya sekalipun, perempuan itu
membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat tersebut.
Lantai ruangan besar keluarga Fang ada sesosok mayat, sejak
mengalami kekalahan dan berhasil selamat melawan Toa Tek To
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hun tempo hari, ruangan ini telah kedatangan tiga mayat.
Tubuh Hu Put Chiu terbujur kaku, mulai saat ini dia benar-benar
tidak usah mengenal kata kesedihan lagi. Fang Tiong Seng menatap
dengan airmata berlinang.
"Sejak kedatangan Toa Tek To Hun di tanah Tionggoan, ada
orang yang menggunakan kesempatan ini untuk memancing di air
keruh, Kita harus membalaskan dendam Ji sute!" kata Mo Put Chi
sambil mengepalkan tinju. Suaranya berkumandang di seluruh
ruangan, Wajah setiap orang terlihat kelam.
"lni bukan saja memancing di air keruh. Tapi sudah menghina
sampai di pintu rumah!" kata dayang Cui thian dengan mata
membara. "Sam sute!" teriak Mo Put Chi.
"Siaute di sini!" sahut Sun Put Ce dari arah samping.
"Mari kita cari pembunuh itu!" serunya gusar.
"Pembunuh tidak akan menanti di tempat semula setelah
tujuannya berhasil," jawab Sun Put Ce dengan wajah tak kalah
sedih. "Apakah kita harus menunggu sampai dia datang untuk mengaku
dosa?" tanya Mo Put Chi dengan wajah merah padam.
"Tidak!" sahut sam sutenya.
"Apanya yang tidak" Kalau bicara harus lebih jelas!" bentak Mo
Put Chi dengan nada dingin.
"Siaute rasa, meskipun pembunuh itu sudah pergi, tapi dia tetap
tidak akan bersembunyi untuk selamanya," kata Sun Put Ce.
"Omong kosong!" Teriak Mo Put Chi marah.
"Betul!" sahut Sun Put Ce dengan kepala tertunduk.
"Mengapa di dunia ini masih ada manusia macam dirimu?" kata
Mo Put Chi mengulangi kebiasaannya.
"Betul!" sahut Sun Put Ce.
Mo Put Chi kesal sekali, Tubuhnya gemetar Dia membalikkan
tubuh dan meninggalkan tempat itu.
"Put Chi, mau ke mana kau?" tanya Fang Tiong Seng.
"Teecu harus mencari pembunuh itu sampai ketemu!" sahut Mo
Put Chi. Fang Tiong Seng menarik nafas panjang.
"Orang yang membunuh Put Chiu, mungkin merupakan orang
yang membunuh Hong Be dan Bok lang kun juga. Kalau kau tidak
dapat menemukannya, berarti nasibmu masih baik. Bila kau berhasil
bertemu dengannya, sama saja dengan membuang nyawa secara
percuma, Bok lang kun dan Hong Be saja bukan tandingannya,
apakah ilmumu lebih tinggi dari kedua orang itu?" kata Fang Tiong
Seng dengan suara kereng.
"Teecu rela mati!" sahut Mo Put Chi se-dih.
"Ada pepatah yang mengatakan "ilmu silat harus dipelajari seiring
dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan mengajarkan kita
untuk berakal budi. Berbuat sesuatu tidak boleh hanya berdasarkan
keinginan hati. Harus menimbang untung rugi! Put Chi, kau benarbenar
lebih tidak berakal dari Put Ce," kata Fang Tiong Seng. Dia
menoleh kepada murid terakhirnya itu, "Kau bahkan harus banyak
belajar darinya!" Fang Tiong Seng melanjutkan kata-katanya,
Mo Put Chi hampir menganggap perkataan gurunya bermaksud
menyakiti hatinya. Belajar dengan siapa pun tidak akan menjadi
persoalan, Hanya belajar dengan Sun Put Ce yang tidak boleh, Dia
ikut menatap adik seperguruannya itu.
Sun Put Ce menundukkan kepalanya, Dia seakan dapat
merasakan tatapan Mo Put Chi yang tajam itu, Oleh karena itu, Mo
Put Chi merasakan kesedihan yang tidak terucapkan, Mengapa suhu
menganjurkan agar dia belajar pada Sun Put Ce" Apakah rentetan
pembunuhan yang dilakukan Toa Tek To Hun telah membuat para
jago di Tionggoan mengalami kegoncangan" sehingga pikiran
mereka menjadi kacau dan mengoceh yang bukan-bukan.
Bila tidak, bagaimana suhu bisa menjadikan Sun Put Ce sebagai
teladan" Manusia yang ketolol-tololan seperti Sun Put Ce apakah
dapat menjadi panutan dalam dunia Bulim saat ini"
Tiba-tiba Mo Put Chi berlutut di depan Fang Tiong Seng dan
menyembah sekali, Kemudian dia menghambur ke depan pintu.
"Mo Sau hiap! Apa yang akan kau lakukan?" tanya dayang Cui
thian dengan suara lembut.
"Tikus saja meski kecil berani mengendap-endap mencari
makanan, Semut rela tinggal di tempat gelap, Aku, Mo Put Chi,
biarpun tidak berguna, tetap tidak dapat berdiam diri melihat nasib
Bulim yang semakin tenggelam!" katanya sepatah-patah.
"Dunia Bulim memang sedang berada dalam ambang
kemerosotan. Orang asing merajalela di tanah kita. Kita sebagai
orang yang mempelajari ilmu silat, mana mungkin mendiamkannya
begitu saja" Namun semua persoalan harus diselesaikan dengan
kepala dingin, jangan terpengaruh emosi sesaat." sahut dayang Cui
thian memberi nasehat. Mo Put Chi memandang Fang Tiong Seng, Dia tahu dirinya telah
berbuat kurang sopan di depan suhunya, Dia langsung menjatuhkan
diri berlutut. "Tidak boleh keras kepala dan tidak boleh mengambil keputusan
sendiri, Tadi aku mengatakan bahwa kau masih belum bisa
menandingi Put Ce. Apakah kau sudah memikirkannya dengan
matang?" kata Fang Tiong Seng dengan nada penuh wibawa.
"Teecu masih belum paham...." sahut Mo Put Chi dengan kepala
tertunduk. "Kalau sudah paham baru temui aku lagi!" kata Fang Tiong Seng
dengan suara dingin. "Teecu sangat bodoh, Mungkin untuk selamanya juga tidak akan
mengerti," sahut Mo Put Chi.
"Kalau hal ini saja kau tidak dapat paham, berarti kau tidak pantas
menjadi muridku!" kata Fang Tiong Seng.
Mo Put Chi benar-benar tidak dapat mengakui keunggulan Sun
Put Ce. Dia tidak percaya manusia yang hanya bisa mengatakan
betul dan tidak itu, dapat menjadi teladan baginya.
"Mati adalah hal yang mudah, Namun bila kita ingin mati dengan
membawa kecemerlangan bagi nama kita sendiri, hal itu lebih sulit
daripada apa pun di dunia, Yang kumaksud dengan mati dengan
kecemerlangan adalah kematian yang patut dihargai. Bukan asal
mati saja. Siapa pun sanggup melakukannya!" kata Fang Tiong Seng
tetap dengan wajah kaku dan dingin.
"Teecu memang bebal!" sahut Mo Put Chi.
"Bebal tidak menjadi persoalan, Yang disayangkan mengapa
sampai saat ini kau baru merasa dirimu bebal?" kata Fang Tiong
Seng kembali. "Mohon Insu (guru yang berjasa) memberi pelajaran untuk
teecu," sahut Mo Put Chi dengan suara pilu.
"Pergilah berlutut di depan jenazah Tanghay sin sian dan Bok lang
kun. Mungkin pikiranmu akan terbuka!" perintah sang guru.
"Baik!" sahut Mo Put Chi seraya meninggalkan ruangan itu.
Sampai saat ini, Mo Put Chi tetap tidak dapat menerima perkataan
suhunya yang satu ini: "Kau harus belajar dari Sun Put Ce!" Manusia
yang dalam keadaan emosi dan kehilangan akal sehatnya mau
menerima keunggulan orang lain, Bagi Mo Put Chi, bukan saja Sun
Put Ce tidak pantas dijadikan teladan, namun orang itu merupakan
manusia terbodoh yang pernah dijumpainya. sedangkan gurunya
malah menganjurkan agar dia banyak belajar dari orang itu.
Dia tidak akan mengalah terhadap adik seperguruannya, Kalau
tidak, namanya harus dirubah dan tidak patut disebut Put Chi (tidak
kenal kalah) lagi. Baru saja dia masuk ke dalam kamar tempat mayat Tanghay sin
sian disemayamkan dia menjatuhkan diri dan berlutut. Di
sampingnya terlihat bayangan seseorang. Dia menolehkan
kepalanya, Wajahnya merah padam melihat adik seperguruannya
ikut berlutut di sisi kirinya,
Api kemarahan serasa memenuhi dadanya. Sun Put Ce
menyongsongkan tubuh ke dekat nya.
"Toa suheng.... Ada orang yang membunuh habis kita saudara
seperguruan" bisik Sun Put Ce.
Mo Put Chi ingin sekali tahu siapa orangnya yang ingin membunuh
habis saudara seperguruan mereka, Namun sebagai Toa suheng,
apalagi selama ini dia selalu menganggap rendah Sun Put Ce,
merasa malu untuk menanyakannya.
Paling tidak, hal ini akan membuktikan bahwa pengetahuan adik
seperguruannya memang lebih tinggi daripadanya, Kewibawaannya
sebagai Toa suheng lenyap seketika di dalam ruangan besar tadi.
Dia menatap Sun Put Ce dengan penuh kebencian Kadang-kadang
peluapan hati dengan pukulan bisa meredakan hawa amarah.
Tangannya sudah terangkat ke atas, ketika dia mendengar suara
lirih orang melangkah, rupanya pelayan tua Fang Yen. Kebetulan itu
membuat Sun Put Ce terlepas dari umbaran hawa amarah Mo Put
Chi. Bila saja pelayan itu tidak datang tepat pada waktunya, dapat
dibayangkan penderitaan yang akan diterima oleh Sun Put Ce.
Fang Tiong Seng yang berada dalam ruangan besar telah
memerintahkan anak buahnya untuk membawa mayat Hu Put Chiu
ke kamar lain untuk dibersihkan Dia menoleh kepada dayang Cui
thian.... "Siapa yang membakar api menyiram minyak?" tanyanya.
Dayang Cui thian merenung sejenak.
"Saat ini, para jago Bulim sudah pada menyembunyikan kepala,
Siapa yang bisa melakukannya?" Dia berbalik bertanya.
"Siapa yang bisa membunuh Bok lang kun dan Hong Be?" Fang
Tiong Seng tidak habis pikir.
"lt to hun (segumpal awan), Seeto Kiang dan It ki bwe (Sekuntum
bunga bwe). Lian lian, dua-duanya mempunyai kemungkinan Tentu
saja, Cap sa tai po Kiau Bu Suang juga mempunyai kemungkinan
kalau dia belum terserang Cao hue jit mo," kata dayang Cui thian
mengeluarkan pendapatnya.
Wajah Fang Tiong Seng berubah hebat.
"Apakah Lian lian masih hidup dalam dunia ini?" tanyanya,
"Apakah pernah terdengar berita kalau dia sudah tiada?" Kembali
perempuan itu membalikkan pertanyaannya.
Fang Tiong Seng menggelengkan kepalanya. Kedua orang ini
memang mempunyai ilmu yang cukup tinggi untuk membunuh Hong
Be dan Bok lang kun. Namun kedua orang ini rasanya tidak mungkin
sengaja datang ke Tionggoan untuk membunuh orang. Tadinya
hanya ada satu Toa Tek To Hun yang datang ke Tionggoan untuk
membunuh para ko chiu. persoalannya gamblang sekali. Sekarang
tiba-tiba terdapat banyak perubahan yang membuat kepalanya
semakin pusing dan seakan hampir pecah berantakan.
Di tempat ini ada lagi sebuah rumah kayu yang lain.
Kiau Bu Suang sedang menikmati araknya sendirian Karena rumah
kecilnya dulu sudah konangan, dia tidak dapat tidak harus berganti
tempat, Setidaknya, Bwe Mei sudah mengetahui rumah itu. Dan dia
juga sudah tahu bahwa Kiau Bu Suang yang menyandang gelar Cap
sa tai po sama sekali tidak menderita Cao hue jit mo.
Oleh karena itu, dia harus menemukan Bwe Mei dan
membunuhnya. Dia menyesal sekali mengapa tidak sejak dulu dia
mencari akal untuk mendapatkan kesucian gadis itu" padahal dia
yakin, dengan cinta kasih Bwe Mei yang dalam terhadapnya, gadis
itu rela berbuat apa pun asalkan hatinya senang. Sekarang,., bahkan
bayangannya pun dia tidak menemukan.
Sekumpulan burung di hutan, tentu jauh lebih baik seekor burung
pilihan, apalagi kecantikannya melebihi yang satu itu. Meskipun dia
hanya bermaksud memperalatnya untuk sementara, Sekarang Bwe
Mei sudah mengetahui penghianatannya, Kalau dinilai dari adatnya
yang keras kepala, dia tidak akan memaafkan Kiau Bu Suang, Dia
yakin sekali jalan yang terbaik memang hanya dengan
membunuhnya, Tapi di mana dia sekarang"
Arak hangat dalam cawan telah kering, Rembulan menutupi
wajahnya sebagian dengan tersipu-sipu. Sebuah bayangan berdiri
tegak di depan pintu, Kiau Bu Suang sama sekali belum mabuk, Dua
cawan arak tidak mungkin membuatnya mabuk, Namun orang itu
sudah berdiri di depan pintunya,, dirinya masih belum sadar juga.
Hatinya bergetar. Hal ini membuktikan bahwa dirinya masih sering
terpengaruh oleh suasana hati dan pikiran kacau, bila orang yang
dihadapinya kelak adalah Toa Tek To Hun atau orang lain yang
ilmunya lebih tinggi, panca indera keenamnya belum cukup cepat
tanggap, Kiau Bu Suang meraba pedang panjang di atas meja.
"Siapa?" bentaknya.
"lt ki bwe!" sahut bayangan luar tadi.
Pertama-tama Kiau Bu Suang terpana mendengar nama itu,
kemudian reaksinya adalah terkejut. Apakah bayangan itu tidak
berdusta" It ki bwe sudah terkenal sejak lima belas tahun yang
silam. Dia adalah seorang pendekar wanita yang bernama besar dan
cukup kejam di dunia Bulim.
Dia juga mendapat sebutan Raja tinju wanita, Dalam kalangan
para pendekar wanita saat ini, tiada satu pun yang ilmu silatnya
dapat menandingi yang satu ini.
"Sudah lama aku mendengar nama besar Lian toa moicu, Selama
ini tidak ada jodoh untuk bertemu, Kalau hari ini sudah ber-kunjung,
mengapa tidak masuk dan menemani Kiau Bu Suang mabuk
bersama?" undang Cap sa tai po.
"Kiau Bu Suang! Setahu saya, meskipun kau menyembunyikan diri
berpura-pura terserang penyakit, namun secara diam-diam kau
sering keluyuran di luar untuk mengadu ilmu dengan para jago,
Tentunya kau mempunyai maksud tertentu!" kata Lian lian.
Hati Kiau Bu Suang kembali bergetar, Di dunia ini benar-benar
tidak ada rahasia yang tertutup rapat.
"Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk ternama. Apa
salahnya?" jawab Kiau Bu Suang menyembunyikan perasaan
hatinya. "Betul!" Kata-katanya selesai, orangnya pun masuk.
Kiau Bu Suang hanya pernah mendengar nama besar It ki bwe.
orangnya bagaimana, dia sama sekali belum tahu. Tidak pernah
terbayangkan olehnya bahwa wanita yang sudah berusia di atas tiga
puluh tahun ini masih begitu menawan dan menarik.
Seorang perempuan bila ingin mengangkat nama besar dalam
dunia Bulim, selain ilmu silat yang tinggi, penampilan luar juga
teramat penting. Cara berpakaiannya seperti seorang gadis desa.
Dia mengenakan stelan celana panjang berwarna ungu. sepatunya
bersulam indah, warnanya sesuai dengan pakaiannya. Di
pinggangnya yang ramping terikat sehelai selendang warna putih, Di
dalamnya terselip sebatang pedang panjang.
Setiap bergerak, bentuk tubuhnya melenggok dengan lemah
gemulai, Mempesonakan siapa saja yang memandangnya, Bila dia
tidak menyebut nama besarnya, pasti orang akan menduga dia
masih seorang gadis remaja.
Ditambah lagi dengan bentuk payudaranya yang seakan
menantang dan sepasang kaki yang panjang serta padat. Semua
syarat untuk disebut wanita cantik sudah terpenuhi olehnya, Dia
melangkah masuk dengan gaya yang memikat.
"Bagaimana kau memanggilku tadi?" tanyanya dengan suara
merdu merayu. Kiau Bu Suang segera bangkit dan menjura dengan hormat,
"Lian toa moicu!" panggilnya sekali lagi.
"Berapa usiamu sekarang?" tanya Lian lian.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiau Bu Suang mengira-ngira dalam hati. Usia perempuan ini pasti
hampir sebaya dengan dirinya, Malah mungkin lebih tua satu atau
dua tahun, Dia sangat memahami perasaan seorang wanita.
Bila di depan seorang perempuan ia mengaku usianya lebih tua
sedikit, bukan saja akan mendapat penghormatan, namun sudah
pasti dapat meraih simpati.
"Cayhe baru saja melewati ulang tahun ketigapuluh lima, Saya
rasa Lian toa moicu tidak mungkin lebih dari tiga puluh usianya,"
jawab Kiau Bu Suang. Dia menambah usianya sendiri tiga tahun
lebih tua. Lian lian tersenyum-senyum, Dia tidak menjawab pertanyaan itu.
Kiau Bu Suang mengajaknya duduk, Dituangkannya secawan arak
dan disodorkannya ke hadapan It ki bwe.
"Malam panjang, lingkungan sepi, sungguh sulit menahan
keinginan hati untuk menenggak secawan arak, Terima kasih untuk
kunjungan Lian toa moicu," katanya seramah mungkin.
"Jangan sungkan!" sahut Lian lian.
"Aku memberikan hormat dengan secawan arak," kata Kiau Bu
Suang. "Aku sudah berhenti minum," sahut Lian lian.
"Apakah ada alasan tertentu?" tanya Kiau Bu Suang dengan nada
penuh perhatian. "Hanya karena arak sering membuat orang salah tindak," sahut
Lian lian sambil tersenyum manis.
"Kalau Lian toa moicu kurang percaya pada cayhe, lebih baik
jangan memaksakan diri," kata Kiau Bu Suang dengan mimik agak
kecewa. "Kalau tidak percaya, aku tidak akan datang malam ini!" sahut
Lian lian. "Betul! Aku ingin mendengar maksud kunjungan Lian toa moicu
malam ini," kata Kiau Bu Suang menimpali.
"Aku ingin memperingatkan satu hal kepadamu, Namun kau
belum tentu akan percaya!" sahut Lian lian.
"Jika aku belum tentu akan percaya, buat apa Lian toa moicu
mengatakannya!" kata Kiau Bu Suang dengan nada sewajar
mungkin. Lian lian tersenyum manis sekali, Membuat siapa pun yang
memandangnya akan yakin bahwa hatinya juga begitu manis dan
baik seperti senyumannya. Bila seseorang tidak dapat berbuat
demikian, sekali bertemu dengan orang yang berpengalaman
tawanya akan menjadi menakutkan.
"Bila memikirkan kepentingan kaum Bu-lim, menerima sedikit
hinaan toh tidak menjadi persoalan," kata Lian lian.
"Terima kasih, Cayhe mengerti sekali perasaan Lian toa moicu,"
sahut Kiau Bu Suang. "Lebih baik kita saling berterus terang," kata Lian lian selanjutnya.
"Dengar-dengar kekasihmu mempunyai hubungan dengan sebilah
papan gilasan.,,." kata Lian lian.
Kiau Bu Suang merasa susah untuk tidak mengakui, karena lawan
telah yakin baru berani bertanya, dia pasti sudah menyelidiki
persoalan dirinya dengan seksama.
Kata-kata sebilah papan gilasan sungguh tidak sedap didengar.
Apalagi bila mengatakan kekasih Kiau Bu Suang bermesraan dengan
orang yang jauh lebih tua dan bertubuh seperti papan gilasan,
Sungguh merendahkan derajatnya saja!
Namun, bila kekasihnya bergendakan dengan seorang kantong
nasi, yang hidupnya hanya bergendakan dengan perempuan saja,
apakah perasaannya akan lebih nyaman"
"Kau tidak berani mengakuinya?" desak Lian lian setelah sekian
lama tidak mendapat jawaban.
"Aku belum mengatakan apa-apa bukan?" Kiau Bu Suang
membalikkan perkataan dengan cerdik.
"Kalau begitu... berarti kau telah mengakuinya?" kata Lian lian.
"Bolehkah aku tahu maksud Lian toa moicu menaruh perhatian
pada persoalan ini?" tanya Kiau Bu Suang. Dia mengisi cawan
araknya sampai penuh, Dengan sekali teguk dikeringkannya
sekaligus. "Demi rencana besar keselamatan Bu-lim," jawab Lian lian.
"Seekor ular berkepala dua dan menclok di sana sini bisa ada
hubungannya dengan keselamatan Bulim?" Tanya Kiau Bu Suang
kurang percaya. Sikap kenes Lian lian lenyap seketika, Dia memandang laki-laki itu
dengan tatapan menusuk, "Tentu bisa! Kau toh tahu dari mana
asalnya, juga kau pasti tahu perintah apa yang harus dituruti
olehnya dengan berada di samping papan gilasan itu," kata Lian lian.
Kiau Bu Suang tidak bersuara. Keadaan mereka seperti dua orang
buta. Sebelum melihat jelas tujuan lawannya, mereka merasa lebih
baik banyak mendengar, kurang bicara.
"Toa Tek To Hun pasti akan kembali ke Fu sang. Badai yang
ditimbulkan olehnya telah berlalu," kata Lian lian selanjutnya.
"Apakah maksud Lian toa moicu bahwa akan datang lagi badai
yang lebih dahsyat dari yang ditimbulkan oleh Toa Tek To Hun?"
tanya Kiau Bu Suang dengan pandangan menyelidik.
Lian lian menganggukkan kepalanya.
Untuk sesaat rumah kecil itu menjadi sunyi. Kiau Bu Suang tidak
mengucapkan apa-apa. Lian lian juga tidak bersuara, Keduanya
beranggapan lebih baik mendengarkan pihak lainnya lebih dulu,
Akhirnya Kiau Bu Suang terpaksa mengalah.
"Siapa pemegang peran utama dalam badai dahsyat yang akan
timbul kali ini?" tanyanya.
"Bagaimana kalau kukatakan pemegang peran utama adalah
kekasihmu dan papan gilasannya?" tanya Lian lian ingin melihat
reaksi Kiau Bu Suang. Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak.
"Tidak mungkin!" katanya.
"Apa yang kau maksud dengan tidak mungkin" Apakah gabungan
kedua orang itu tidak bisa menerbitkan badai dahsyat bagi Bulim"
Atau mereka sama sekali tidak mungkin bekerja sama?" tanya Lian
lian. "Aku tahu jelas keadaan kedua orang itu. Mereka tidak mungkin
bekerja sama," sahut Kiau Bu Suang yakin.
Lian lian mengangkat bahunya.
"Tapi aku ingin memberitahukan bahwa kedua orang ini terlibat
dalam asmara yang membara," ejek perempuan itu.
"Maksudmu mereka berkasihan?" tanya Kiau Bu Suang dengan
perasaan tidak tenang. "Justru karena kau menganggap dia seperti sebilah papan gilasan
dan umurnya sudah tua, maka kau tidak percaya kalau dia masih
sanggup membuat seorang perempuan bergairah!"
Kiau Bu Suang seperti disadarkan kembali, hubungan antara lakiIaki dan perempuan tidak dapat dinilai dari usia keduanya, juga tidak
boleh diukur dari bentuk tubuhnya.
Keperkasaan seorang tua malah kadang-kadang lebih
menakjubkan, tentu mereka tidak akan mengatakannya kepada
orang lain dengan terus terang, apalagi hubungan mereka tidak
resmi. Kiau Bu Suang hanya tidak tahu bagian mana dari orang tua itu
yang melebihinya" pikirannya segera terpusat pada kekayaan,
karena harta memang merupakan senjata yang paling ampuh untuk
menarik perhatian seorang perempuan.
"Lian toamoicu.... Mengapa tidak mengatakan secara terus terang
maksud kedatangan kau kali ini?" desak Kiau Bu Suang yang
pikirannya mulai kacau. Lian lian menganggukkan kepalanya, Dia mengerling penuh arti.
"Kalau kau dan aku bekerja sama, tentu akan meredakan badai
dahsyat yang akan mereka timbulkan," katanya.
Kiau Bu Suang sama sekali tidak menyangka kedatangannya
untuk bekerja sama, Kalau dinilai dari daya tarik, Lian lian penuh
pesona, Jauh melebihi kekasihnya itu, Hanya usianya yang lebih tua
sedikit tapi bagi Kiau Bu Suang, hal itu sama sekali bukan persoalan.
Dalam ilmu silat, dia merasa kekasihnya juga tidak mungkin lebih
unggul dari Lian lian. Namun selama ini, kekasihnya terus berada di samping seorang
pendekar besar. Apakah ilmunya telah maju pesat" Kiau Bu Suang
belum dapat menerkanya, Oleh sebab itu, dia menatap langit luas
dengan perasaan meluap. Paling tidak, bertambah seorang kekasih
adalah hal yang menyenangkan.
Lian lian seperti dapat menduga isi hati-nya.
"Kalau kau memang berniat bekerja sama, kau harus
melakukannya dengan tulus. Sepasang kaki tidak boleh menginjak
dua buah perahu, seorang laki-laki tidak boleh mempunyai dua
orang kekasih!" katanya.
"Lian toa moicu.... Dari jauh kau datang untuk bekerja sama
denganku. Hal ini membuktikan pandanganmu tentu menganggapku
istimewa. Bagaimana mungkin aku berani melakukan hal yang tidaktidak?"
sahut Kiau Bu Suang dengan nada merayu.
"Meskipun kekasihmu menipu si tua bangka dengan cinta palsu,
namun biar bagaimana pun perasaanmu terhadapnya akan
terganggu pula..." kata Lian lian.
Kiau Bu Suang terpaksa menganggukkan kepalanya. Dia merasa
tidak boleh terlalu banyak berdusta dengan perempuan yang satu
ini, Dia adalah orang yang sangat cerdik, kebohongannya pasti akan
terlihat. "Aku beritahukan kepadamu, Dalam hati kekasihmu itu ada
harapan bahwa hanya bekerja sama dengan si papan gilasan baru
bisa menggetarkan dunia persilatan Bila usahanya telah berhasil, dia
akan mencari akal mengenyahkan si tua. Setelah itu, dia akan
mencari jalan lain lagi untuk membasmi dirimu, Dia akan menikmati
segala kesenangan dan kekuasaan seorang diri!" kata Lian lian
menjelaskan. "Bagaimana kau begitu yakin?" tanya Kiau Bu Suang kurang
percaya. "Karena rahasiamu sudah bocor. Caramu mengadu ilmu juga
terlalu kasar. Kau bisa memukul rumput mengejutkan ular," kata
Lian lian. Kiau Bu Suang merasa dirinya ditelanjangi oleh Lian lian, setiap
gerak-geriknya selama ini dapat diketahui dengan jelas. Hal ini
makin membuktikan dugaannya bahwa perempuan itu telah
mengadakan penyelidikan sejak lama.
Bukan hanya persoalannya saja yang dapat diketahui oleh
perempuan itu, bahkan urusan kekasihnya pun sama juga. Rasanya
pendapat Lian lian tentang kekasihnya memang tidak berlebihan
Setelah usahanya berhasil, dia pasti akan dicampakkan.
"Lian toa moicu.... Cayhe tidak tahu bagaimana mengucapkan
terima kasih atas pemberitahuanmu," kata Kiau Bu Suang, Dia
berdiri dan menjura dalam-dalam kepada perempuan itu.
"Sebagai rekan kerja sama, kau tidak perlu mengucapkan terima
kasih. Aku mengatakannya, juga untuk kebaikan kita ber-dua.
Namun ada satu hal yang harus kau ingat, bila kau bertemu dengan
kekasihmu itu, kau tidak boleh menunjukkan kecurigaanmu, Malah
kau harus pandai bersandiwara agar rahasianya dapat kau ketahui.
Tentu termasuk rahasia si papan gilasan itu", kata Lian lian
menasehati. "Aku akan melakukannya dengan baik," sahut Kiau Bu Suang.
Lian lian mengangguk dan tersenyum manis.
"Bu Suang! Tuangkan secawan arak lagi," katanya sambil
mengeringkan cawan yang berada di hadapannya.
Laki-laki itu cepat-cepat memenuhi cawannya kembali Lian lian
mengangkat cawan tersebut dan dibenturkannya ke cawan di tangan
Kiau Bu Suang, Mereka seperti menggunakan arak itu sebagai tanda
untuk bekerja sama. Desiran angin di musim semi menyemarakkan suasana dalam
rumah itu. Kiau Bu Suang sering menganggap bahwa penyelesaian sebuah
persoalan besar sangat berhubungan dengan seorang yang sedang
menjalin kasih. Kedua-duanya ingin penyelesaian yang tuntas, dan
tentunya tidak boleh diabaikan setengah jalan. Karena ingin
memperalat perempuan yang satunya lagi, maka dia rela
mencampakkan Bwe Mei. Tiba-tiba dia menggenggam tangan Lian lian, Dia hampir tidak
percaya bahwa pada suatu hari dia bisa menggenggam tangan ini.
Padahal tangan ini merupakan tangan yang paling indah, paling
halus dan otomatis paling lihai. Dia percaya, kecuali dirinya, mungkin
tidak ada laki-laki kedua yang bisa menggenggam tangan itu tanpa
penolakan dari pemiliknya.
Kiau Bu Suang merasakan kedudukannya yang menjadi lebih
tinggi setingkat Atau selama ini memang dia sendiri terlalu
merendahkan kemampuannya" Bila tidak, mana mungkin
perempuan sehebat It ki bwe akan membiarkan tangannya
disentuh..." Dan terhadap pemilik tangan yang sudah mengangkat derajatnya,
dia merasa berhutang budi, Tentu saja untuk mendapatkan bagian
yang lainnya tidak akan menjadi masalah.
Kalau membandingkan Lian lian dengan kekasihnya yang lama,
rasanya perbedaan mereka terlalu banyak, Sudah pasti perempuan
ini yang akan meraih kemenangan bila dibandingkan satu persatu.
Dan dia yakin Lian lian tidak akan berhubungan dengan dua orang
laki-laki sekaligus, meskipun kekasihnya yang lama melakukan
semua demi rencana mereka, sedangkan bagi laki-laki seperti Kiau
Bu Suang, rencana yang telah diatur adalah persoalan yang lain, biar
bagaimana pun, mendengar perempuan milik sendiri menjalin
asmara dengan laki-laki lain bahkan sampai pada tahap tempat tidur,
tentu tidak menyenangkan sebetulnya Kiau Bu Suang bukan tidak
tahu adanya kemungkinan itu. Namun cara Lian lian
memberitahukannya tadi membuat perasaannya sedikit marah.
Dari nada suara perempuan itu ia seakan ingin menekankan
bahwa kekasih lamanya menikmati apa yang terjadi di tempat tidur
bersama sebilah papan gilasan tersebut.
Lian lian menggeser tubuhnya sedikit Tangan laki-laki itu
dipindahkannya. Dia berdiri dan menatap dengan pandangan tajam.
"Jangan lupa!" katanya.
"Aku mana berani lupa" Kapan kau akan datang lagi?" tanya Kiau
Bu Suang.. "Bila ada keperluan di mana aku harus datang, aku pasti sudah
berada di sini," sahut Lian lian datar.
Tanpa mengatakan apa-apa, Kiau Bu Suang memandangi
kepergiannya.... Bayangannya sudah berlalu, selama ini dia tidak pernah merasa
pesimis, Sejak mendengar perkataan Lian lian tadi, perasaan yang
belum pernah timbul menjadi ada seketika.
Derajatnya memang terasa agak tinggi dari sebelumnya, namun
apakah dengan derajat yang lebih tinggi saja, semuanya akan
tercapai" Dia tidak tahu. Matanya menerawang menembus kegelapan
malam, Apakah perasaan menggenggam tangan perempuan itu dan
memeluk bagian lainnya sama" Kiau Bu Suang tersenyum samarsamar.
Jauh dari keramaian... ditemani lampu yang redup, dalam sebuah
kedai kecil terlihat dua orang manusia... seorang tua, seorang lagi
muda. Yang tua terlihat sudah renta. sedangkan yang muda, di
bawah cahaya lampu yang redup terlihat masih remaja.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mata orang tua itu agak terpicing, seperti silau terhadap sinar
lampu. Tapi kalau mata itu terbuka, ternyata lebih berbahaya dari
sinar lampunya sendiri, Mereka adalah Peng Chow Ceng dan Chow
Ai Giok, kakek serta cucu.
"Yaya.... Tampaknya rentetan pembunuhan Toa Tek To Hun telah
berhenti," kata cucunya.
"Hong Be dan adik seperguruanmu, Bok lang kun telah mati.
Mereka menjadi setan penasaran, Dan yang membunuh ternyata
bukan Toa Tek To Hun. Apa bedanya antara berhenti atau tidak?"
sahut Peng Chow Ceng. "Siapakah orang itu?" tanya Chow Ai Giok.
Peng Chow Ceng tertawa-tawa. Tampangnya bahkan lebih jelek
dari anak kecil yang sedang merengek, Chow Ai Giok tentu tidak
akan bertanya lagi. Setiap sang kakek memperdengarkan tawa semacam ini, pasti dia
tidak akan banyak bicara lagi, Suasana dalam rumah sunyi sekali
Peng Chow Ceng berjalan mondar mandir. Kemudian dia menuju ke
pintu. "Aku pergi sebentar. Kau jangan meninggalkan rumah ini," kata
orang tua itu memecahkan keheningan.
Chow Ai Giok tidak menjawab, bila kakeknya memerintahkan agar
dirinya jangan keluar, dia pasti tidak berani kemana-mana. Tetapi
meskipun dia tidak keluar dari kedai itu, dia dapat hilir mudik di
dalamnya. Dia melangkah menuju sebuah rumah kecil di belakang kedai
tersebut. Belum lagi tangannya mendorong pintu tersebut, suara di
dalam sudah terdengar. "Siapa?" "Aku," sahutnya.
Dia mendorong pintu dan masuk ke dalang, ternyata kedai itu
merupakan sebuah penginapan kecil Di dalamnya terdapat beberapa
buah kamar yang dibagi dalam beberapa bagian, Chow Ai Giok dan
kakeknya menempati bagian depan. Dan tempat yang ditujunya
sekarang merupakan bagian belakang.
Lampu penerangan dalam kamar itu juga redup. Lampu itu dipadu
dengan kamar yang kecil sungguh serasi Bagi orang yang tidak
mempunyai uang banyak, segera dapat mengetahui bahwa hanya
dengan satu buah uang perakan, kita sudah dapat menginap
semalaman. Di atas tempat tidur duduk seorang nona, wajahnya lebih cantik
dari Chow Ai Giok, Dia memperhatikan nona tersebut dengan
seksama, Bila seorang yang berotak cerdas, bertemu dengan
seorang pintar lainnya, pasti masih ada perasaan saling kagum.
Namun bila seorang gadis bertemu dengan gadis lainnya yang juga
sangat cantik, perasaan yang ada adalah iri, tetapi bila dua orang
gadis berwajah buruk bertemu, mereka segera akan menjadi
sahabat karib. "Rupanya engkau, bangsa siluman!" kata gadis di atas tempat
tidur. Chow Ai Giok tertawa dingin.
"Bwe Mei, tampaknya dewa keberuntungan makin enggan
mendekatimu!" katanya.
"Aku?" tanya Bwe Mei tidak mengerti.
"Ternyata engkau juga memilih penginapan kecil ini," kata Chow
Ai Giok ketus. "Kalau memang keberuntunganku makin jauh, lalu apa
urusanmu?" tanya Bwe Mei dengan nada ketus pula.
"Dua orang perempuan boleh berusaha bersama, boleh membuka
toko bersama, Tapi belum pernah aku dengar kalau dua orang
perempuan mempunyai seorang suami yang sama," kata Chow Ai
Giok kembali. "Memang kenyataan ini jarang ada," sahut Bwe Mei yang kini
justru tersenyum-senyum. "Oleh sebab itu, aku ingin membunuhmu!" kata Chow Ai Giok,
"Bila kau benar-benar ingin membunuhku... tetap akan kuucapkan
terima kasih kepadamu!" sahut Bwe Mei tenang.
Chow Ai Giok agak terpana, Sekejap kemudian dia tertawa dingin.
"Meskipun kau mengatakannya tanpa menunjukkan kekhawatiran,
tekadku untuk membunuhmu tetap tidak akan berubah!" kata Chow
Ai Giok dengan nada yang lebih tajam.
Bwe Mei menghela nafas. "Semakin kau ingin membunuhku, hati ini juga semakin senang.
Mana mungkin kau bisa mengerti persoalan ini?" sahutnya.
"Aku memang tidak mengerti, Tapi aku tahu kau pasti mendapat
pukulan batin sehingga segan untuk hidup lebih lama lagi." kata
Chow Ai Giok dengan nada sinis.
"Memang hidupku sedang terancam bahaya, namun ada seorang
laki-laki yang baik sekali terhadapku. Kalau kau mengatakan hidupku
sudah membosankan, maka kau salah besar," sahut Bwe Mei.
Chow Ai Giok mendengus. "Siapa laki-laki itu?" tanyanya dengan nada penasaran sekali.
"Siapa lagi kalau bukan dia!" sahut Bwe Mei datar.
Rasa terkejut tersirat di wajah Chow Ai Giok, Dia boleh
mengingkari bahwa perempuan mana pun tidak akan lebih cantik
daripada dirinya, Namun di hadapan Bwe Mei dia tidak dapat tidak
harus mengakui kecantikan perempuan ini.
"Kalau kau tidak melempar dompet pemberianku ke dalam laut,
mana aku tahu dia begitu setia?" kata Bwe Mei seperti kepada
dirinya sendiri. Biasanya kaum perempuan tidak menganggap perkataan seperti
itu lebih tajam dari sebilah pisau.
"Aku tidak percaya kalau dompet itu masih bisa memancarkan
keharuman setelah terjatuh ke dalam laut!" kata Chow Ai Giok
dengan bibir mencibir. "Ada semacam keharuman yang tidak dapat tercium oleh hidung,
Harus menciumnya dengan hati yang paling dalam," sahut Bwe Mei
tenang tapi terasa menusuk pendengaran Chow Ai Giok.
"Jangan bangga dulu! Biar mati pun aku tetap tidak akan
mempercayai kata-kata-mu!" kata Chow Ai Giok ketus.
"Membuat orang semacam kau mengerti persoalan ini, rasanya
lebih sulit dari pada meminta seekor unta menusukkan benang ke
lubang jarum, Coba kau tebak bagaimana kelanjutannya?" tanya
Bwe Mei. "Tidak usah ditebak lagi. Dompetmu pasti sudah tenggelam ke
dasar lautan," sahut Chow Ai Giok dingin, Dia mengira Bwe Mei
hanya ingin memanaskan hatinya.
Bwe Mei tertawa terkekeh-kekeh.
"Bila dia tidak terjun ke dalam laut, apalagi dia memang tidak bisa
berenang dan hampir mati tenggelam, Bagaimana aku bisa tahu
perasaan hatinya kepadaku?" katanya.
Mata Chow A Giok membelalak.
"Dia benar-benar terjun ke laut hanya untuk mengambil
dompetmu?" tanyanya dengan nada kurang percaya.
"Tentu benar! Bila tidak, mana mungkin dia hampir mati
tenggelam?" sahut Bwe Mei dengan sebuah senyuman manis.
"Lebih baik dia mati tenggelam saja!" kata Chow Ai Giok kesal.
"Tapi Kwe Po Giok malah menolongnya," sahut Bwe Mei.
"Jangan senang dulu, Dia mati aku tetap ingin menikammu sekali
Dia hidup, juga sama." kata Chow Ai Giok dengan mata membara.
Begitu kata-katanya selesai, pedangnya benar-benar menikam ke
depan. Bwe Mei meloncat bangun dari tempat tidur, pedangnya
belum dihunus, serangan Chow Ai Giok telah luput dari sasaran.
Mereka seakan tidak sadar bahwa selama ini mereka sama-sama
menyembunyikan kepandaian masing-masing. Saat ini mereka
merasa tidak merasa perlu menyembunyikan kepandaian lagi, semua
ilmu yang telah dipelajari segera dikeluarkan.
Mereka saling menyerang dengan telengas, pertarungan mereka
bahkan lebih hebat daripada membalaskan dendam bagi kematian
seorang ayah. Chow Ai Giok merubah gerakannya menyerang dua kali, Bwe Mei
tidak kalah, Dia juga mengganti jurus yang lain untuk mengelak dari
dua serangan gadis tersebut, kemudian dia memutar badannya dan
menghantam ke depan, serangan itu juga luput Chow Ai Giok
tampak terkejut. "Ternyata kau bukan seorang Bubeng siau cut!" katanya.
"Sama! Sama!" sahut Bwe Mei sambil menghindar dari serangan
lawannya. "Sayangnya kau tidak pernah mengetahui asal usulku, kecuali aku
mengatakannya kepadamu!" teriak Chow Ai Giok menyombongkan
diri. Bwe Mei tertawa terkekeh-kekeh, Dia tidak mau kalah dalam
berdebat. "Kalau kau bisa mengetahui asal usulku, kau baru terhitung
hebat!" katanya. "Biarpun aku mengatakannya kepadamu aku tidak takut Kau toh
tidak dapat meninggalkan tempat ini hidup-hidup!" bentak Chow Ai
Giok. "Mungkin!" jawab Bwe Mei. "Dengarkan baik-baik. Kakekku adalah
susiok dari Bok lang kun. Orang itu saja ilmunya sudah jarang ada
tandingannya. Dapatkah kau bayangkan sampai di mana tingkat
kepandaian yaya?" kata Chow Ai Giok.
Ucapan ini rupanya cukup menimbulkan guntur dalam hati Bwe
Mei. Bukan hanya dia yang tidak menyangka, bahkan semua para
jago Pek To di Bulim juga tidak akan mengira kalau Peng Chow Ceng
adalah Elang salju Chow Sek ki.
Nama Elang salju sangat terkenal di luar perbatasan, malahan
sampai ke wilayah Barat. Tetapi belum pernah terdengar kabar
bahwa orang ini datang ke daerah Tionggoan.
Rasa terkejut Bwe Mei ditahan sebisa mungkin, Dia berlagak
wajar. "Nama Elang salju memang cukup terkenal, tapi toh hanya nama
kosong saja!" katanya.
"Apa maksudmu?" tanya Chow Ai Giok dengan suara dingin.
"Kemungkinan besar dia sudah terlalu tua untuk menjadi seorang
pendekar. Buktinya kematian keponakannya, Bok lang kun, di
tangan manusia bertopeng yang menyamar sebagai Toa Tek To Hun
didiamkannya saja, Mengapa dia tidak berani menunjukkan diri dan
membalaskan dendam Bok lang kun?" kata Bwe Mei sambil mencibir
bibir. "Apa yang kau katakan" Bok lang kun mati di tangan orang yang
menyamar sebagai Toa Tek To Hun?" tanya Chow Ai Giok terkesiap.
Bwe Mei baru sadar bahwa dirinya telah kelepasan bicara, Hal
seperti ini lebih baik jangan cepat-cepat disebarluaskan, Orang itu
akan semakin tidak mengampuni dirinya. Namun setelah direnungi
kembali, mungkin dia dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk
mengadu domba kedua pihak. Bukankah dirinya yang akan
mendapat keuntungan..."
Chow Ai Giok bertanya kepada Bwe Mei. Namun tangannya tidak
berhenti menyerang. pedangnya berkelebat ke kiri dan kanan, Dalam
gerakannya banyak terdapat perubahan-perubahan yang aneh. Bwe
Mei tidak pernah melihat serangan seperti itu sebelumnya
penerangan sudah padam. Kamar itu kecil pula. Ruang gerak
semakin sempit. "Katakan dengan jelas! Siapa yang menyamar sebagai Toa Tek To
Hun lalu membunuh Bok lang kun?" bentak Chow Ai Giok.
Bwe Mei menggeser tubuh untuk menghindari serangan
lawannya. "Cap sa tai po Kiau Bu Suang!" jawabnya.
Chow Ai Giok terkejut. Nama orang ini memang sangat terkenal
Tetapi mengapa Kiau Bu Suang ingin membunuh Bok lang kun" Dia
tahu bahwa orang ini memang mungkin bisa membunuh adik
seperguruannya itu. Umur Bok lang kun memang jauh lebih tinggi dari Chow Ai Giok,
Namun kakeknya adalah susiok Bok lang kun, sedangkan dirinya
sendiri adalah murid sang kakek, jadi kalau ditilik dari silsilah
tersebut Kedudukannya lebih tinggi setingkat dari Bok lang kun. Dia
menyebutnya Sute. Dia tidak berhenti menyerang, namun otaknya juga terus berpikir
Apakah Kiau Bu Suang mempunyai niat tertentu dengan membunuh
Bok lang kun" Apakah dia ingin merebut kedudukan Hek to Bulim
bengcu" Lalu mengapa sampai saat ini belum terdengar orang itu
memproklamirkan diri"
Persoalan tentu tidak semudah itu. Para jago golongan Hek to
yang ilmunya lebih tinggi dari Kiau Bu Suang masih banyak, mereka
semua cukup pantas diangkat jadi Hek to Bulim bengcu, Lagipula
bila Kiau Bu Suang benar-benar berani mengangkat dirinya sendiri,
tentu dia harus memikirkan akibat yang akan ditimbulkan oleh
perbuatannya itu! Satu hal lagi yang penting adalah mereka semua
sedang merasa takut karena adanya Toa Tek To Hun...
Kiau Bu Suang juga rasanya tidak akan setolol itu merebut
kedudukan Bulim beng-cu pada saat ini"
Chow Ai Giok makin mendesak Bwe Mei.
"Katakan! Mengapa Kiau Bu Suang harus membunuh Bok lang
kun?" tanyanya. "Mengadu ilmu!" jawab Bwe Mei sambil menghindarkan diri. Dia
sudah hampir tidak mampu mengembalikan serangan, Dia terlihat
kelabakan. "Aku tidak percaya!" bentak Chow Ai Giok.
"Aku memang tidak mengharapkan kau akan percaya!" sahut Bwe
Mei tak mau kalah. "Mengapa dia harus mencari Bok lang kun untuk mengadu ilmu"
Bukankah orang lain masih banyak?" tanya Chow Ai Giok makin
penasaran. "Tanya saja kepada Kiau Bu Suang," sahut Bwe Mei. Dia sendiri
juga tidak tahu kejadian yang sebenarnya, Bagaimana dia dapat
mengatakan maksud orang itu"
"Kau pasti tahu tempat tinggal Kiau Bu Suang!" kata Chow Ai
Giok. "Tahu sedikit.... Tapi aku lebih suka menjawab pertanyaan orang
yang sopan," sahut Bwe Mei.
"Orang she Bwe. Hari ini saat apesmu tiba. Sebentar nanti aku
akdn menyeretmu ke hadapan Yaya, aku tidak takut kalau kau
berkeras tidak mau mengatakannya." kata Chow Ai Giok dengan
suara dingin. Dia menggunakan gerakan yang aneh dan cepat. Bwe Mei
percaya bahwa gadis ini benar-benar adalah cucu Elang salju, Cara
turun tangannya cukup membuktikan hal tersebut. Bila keadaannya
begini terus, rasanya belum sampai tigapuluh jurus dia akan rubuh
di tangan gadis itu. Bwe Mei tertawa dingin. "Sebagai jago yang ilmunya sangat tinggi manusia seperti Elang
salju rasanya sudah tidak banyak, sementara bangsa kita di bunuh
habis-habisan oleh pembunuh bayaran dari Fu sang, ternyata dia
tidak berbeda dengan para pengecut lainnya. Malah mengganti
nama menjadi Peng Chow Ceng.... He he he.... Aku yakin dia juga
tidak berani mengadapi Toa Tek To Hun gadungan!" katanya dengan
maksud menyindir. Chow Ai Giok tidak menjawab. Tampaknya dia ingin merubuhkan
Bwe Mei dalam lima jurus lagi, Bwe Mei memandang sekitar kamar
itu. Dia berusaha mencari jalan untuk keluar ke ruangan depan.
Sukma Pedang Huan Hua Xi Jian Lu Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Chow Ai Giok menghalanginya. Menghadang di depan pintu agar dia
tidak dapat meloloskan diri.
Akhirnya Chow Ai Giok mengganti gaya serangannya, jurus yang
dikeluarkan malah lebih dahsyat dan aneh dari yang sebelumnya,
Dia menikam secara kilat ke arah dada Bwe Mei.
"Sayang sekali laki-laki yang mau mengorbankan nyawa untuk
dompetmu itu tidak datang untuk menolongmu!" teriaknya sinis.
"Kalau kau bisa membunuhku, bibir ini tetap akan tersenyum
menjelang kematian, Betapa manis membayangkan biar harus mati,
tapi ada seorang laki-laki yang akan mengenang kita untuk
selamanya," sindir Bwe Mei kembali.
"Dan kalau kau sudah mati, aku akan tertawa tergelak-gelak
sebagai pengganti buah-buahan dan hio wangi!" sahut Chow Ai Giok
tak mau kalah. Saat itu dia berdiri membelakangi pintu kamar. Tiba-tiba ada
sebuah bayangan hitam membuka pintu dan berdiri tegak. Kalau
saja reaksi Chow Ai Giok agak lambat, pasti dia sudah mengalami
kerugian besar. Begitu tahu orang itu menyerangnya, dia segera
menggeser tubuh dan membiarkan Bwe Mei.
Sebetulnya gadis itu pula yang lebih dulu melihat bayangan
manusia di belakang Chow Ai Giok, Ketika tubuh lawannya
menggeser dan perhatiannya terbagi, Dia segera menerobos ke arah
ruangan depan dan meloncat sejauh tiga depa.
Tepat pada saat itu, Chow Ai Giok berdiri berhadapan dengan
manusia bertopeng itu. Bwe Mei tidak mau kehilangan kesempatan
"Chow Ai Giok.... Dia adalah Cap sa tai po Kiau Bu Suang!"
teriaknya memberitahukan, secepat kilat tubuhnya melesat dan lari
meninggalkan tempat tersebut.
Kiau Bu Suang sengaja keluar untuk mencari Bwe Mei. Dia tahu
gadis itu tidak akan dapat dibujuknya, jalan terbaik adalah
membunuhnya. Ketika dia lewat di penginapan tersebut, dia
mendengar suara pertengkaran dua orang gadis.
Dia segera mengenali suara salah satu gadis itu adalah Bwe Mei.
Dia menganggap dirinya sedang dikejar keberuntungan Pertama
tanpa diduga, It ki bwe mengajaknya kerja sama. Kedua, tidak perlu
terlalu susah, dia berhasil menemukan Bwe Mei.
Dia yakin kesempatan yang diusahakan oleh manusia cerdas lebih
banyak daripada kebetulan saja. Dia harus berhasil menangkap Bwe
Mei. Yang tidak tersangka justru gadis itu juga sangat cerdik, Dia
berteriak dan gadis yang lain segera menghalanginya. Kesempatan
baik itu lalu digunakan Bwe Mei untuk kabur.
Jilid : 10 Chow Ai Giok menyerang satu kali, Dari cara manusia bertopeng
itu mengelakkan diri, dia langsung dapat mengetahui kebenaran
kata-kata Bwe Mei. Orang ini memang mempunyai kesanggupan
untuk membunuh Bok lang kun.
Tadinya Kiau Bu Suang menganggap, meskipun Bwe Mei sudah
berteriak, dia pasti masih sanggup membunuh dulu gadis yang satu
ini baru mengejar Bwe Mei. Tidak tahunya dia mendapat kesulitan
untuk menghadapi satu saja.
Kiau Bu Suang merasa terkejut sekaligus marah, Siapa orangnya
yang dapat menggembleng gadis kecil ini sampai begini lihai"
Namun Kiau Bu Suang dapat membunuh Bok lang kun dalam
delapan jurus saja. ilmunya juga bukan sembarangan. Meskipun
kakek gadis itu menggembleng lebih dalam lagi, dia tetap masih
bukan tandingan Kiau Bu Suang.
Dia ingin sekali mengetahui asal usul gadis ini. Apalagi dia ingin
cepat-cepat mengejar Bwe Mei. Akhirnya Kiau Bu Suang merasa
yang terakhir lebih penting, pedangnya yang aneh berkelebat dua
kali, Chow Ai Giok sibuk menghindari diri, secepat kilat manusia
bertopeng itu meloncat ke atas tembok dan menghilang.
Kedua orang ini memang belum sempat mengucapkan sepatah
kata pun, Namun Chow Ai Giok percaya kalau dia memang benar
Cap sa tai po Kiau Bu Suang. Malam yang mencekam. Angin bertiup
kencang, Ombak bergulung tinggi, Titik air memercik, Di atas atau
pun di tepi laut terlihat air bergelombang.
Di jalanan setapak pesisir pantai ada manusia yang sedang
berjalan. Bekas tapak kakinya terlihat jelas, begitu teratur dan rapi.
Tidak ada selisih sedikit pun pada setiap jaraknya, Orang yang tidak
berlatih dengan keras, mana mungkin akan menghasilkan jejak
seperti itu" Tepat pada saat itu, di kegelapan muncul sebuah titik terang,
cahayanya menari-nari karena hembusan angin, lagi-lagi sebuah
lampu kristal yang indah....
Di samping lampu kristal tersebut ada sebuah kendi emas, dua
buah cawan yang juga terbuat dari emas dan serenceng mutiara.
Toa Tek To Hun berjalan ke arah batu karang.
Thi Bian Jin juga menyambut dari balik bebatuan itu. Topeng besi
yang dikenakannya masih memperlihatkan sekulum senyum. Toa
Tek To Hun berdiri di hadapannya dan memperhatikan dengan mata
tajam. Mata Thi Bian Jin juga menelusuri seluruh tubuh Toa Tek To
Hun. Dari atas kepala sampai pada pedangnya yang telah kutung
lalu kembali memandang wajahnya yang kaku tanpa perasaan.
"Siansing sudah mau pergi?" tanya Thi Bian Jin.
"Aku sebetulnya tidak boleh datang." sahut Toa Tek To Hun
dingin. Waktu datang angin kencang, laut menghempas. Waktu
berangkat pun tidak berbeda. Namun perasaan hati waktu datang
dan berangkat justru berbeda jauh.
"Kalau tidak semestinya datang, semestinya tidak boleh pergi
juga!" kata Thi Bian Jin dengan nada yang tak kalah dingin.
Angin bergemuruh Ombak mengamuk.
"Apakah kau ingin menahan aku?" tanya Toa Tek To Hun dengan
suara datar. Thi Bian Jin memperdengarkan suara seringai yang
menyeramkan. "Di kolong langit, hanya kau yang tahu siapa aku. Hanya kau yang
tahu siapa yang mengundang kedatanganmu di tanah Tionggoan,
Apakah aku harus meninggalkan sebuah mulut hidup untuk
menyiarkan berita ini?" tanyanya.
Tiba-tiba Toa Tek To Hun tertawa tergelak-gelak. Suara tawanya
sangat menusuk telinga, Suara angin dan ombak terhapus oleh
suara tawanya. Dalam ingatannya, tidak ada orang yang pernah
berkata begitu terhadapnya, Pasti tidak ada yang berani.
"Kau berani menahanku?" tanya Toa Tek To Hun.
"Aku sudah menduga bahwa kau akan mengira aku tidak berani.
Hal ini disebabkan oleh karena kau menganggap rendah diriku,
Setiap orang di dunia ini juga menganggap rendah derajatku!" kata
manusia bertopeng besi itu. Siapa pun tidak ingin dirinya dianggap
rendah. Namun kadang kala penghinaan yang kita harapkan justru
tidak mudah didapat, Dihina orang sebetulnya merupakan cambuk
untuk meraih kemajuan. Bila kesempatan sudah tiba, pedang akan
terhunus dan mengejutkan seisi dunia.
"Sebetulnya kau ingin mengadu domba antara diriku dan Tang
hay sin sian, agar kami sama terluka, Dengan demikian kau tinggal
meraih hasilnya. Sayangnya...", kata Toa Tek To Hun dengan nada
mengejek. "Siapa sangka dia sudah Cao hue jit mo sehingga dirimu tidak
mendapat kerugian apa-apa," lanjut Thi Bian Jin.
Tiba-tiba manusia bertopeng besi itu mengeluarkan kutungan
pedang Toa Tek To Hun. Dia mengibas-ngibaskannya ke udara.
selamanya ada pepatah yang mengatakan, "bila pedang ada,
orangnya pun ada. Pedang putus, orangnya pun mati", Kata-kata ini
terasa kebenarannya oleh Thi Bian Jin. Paling tidak begitulah
tanggapannya tentang keadaan Toa Tek To Hun sekarang.
"Semua ini sudah dalam dugaanku sebelumnya." kata Toa Tek To
Hun sepatah demi sepatah.
"Sayangnya, meskipun kau tidak mengalami apa-apa tapi
pedangmu toh sudah putus!" sahut Thi Bian Jin.
Dia mengambil cawan yang terbuat dari emas dan diisi dengan
arak, warnanya yang merah tampak seperti darah di bawah cahaya
lampu kristal. Semakin menggidikkan siapa pun yang
memandangnya, Disodorkannya secawan ke arah Toa Tek To Hun.
"Apa pun yang akan terjadi, aku tetap ingin memberi hormat
dengan secawan arak," katanya.
Toa Tek To Hun tertawa dingin.
"Aku pernah mengatakan bahwa aku tidak minum arak.
Tionggoan Bulim tak akan habis begitu saja. Masih banyak jago yang
tersisa, Apakah kau sudah memikirkan resikonya kelak?" tanya lakilaki
berpakaian hitam itu sinis.
Thi Bian Jin tidak menyahut Dia mengeringkan arak di tangannya.
"Apalagi di Tionggoan ada pendekar besar seperti Tang hay sin
sian!" lanjut Toa TekToHun.
"Sayangnya dia sudah mati. Orang mati kan tidak mungkin hidup
kembali!" kata Thi Bian Jin dengan perasaan bangga.
"Daerah Tionggoan luas sekali, Penduduknya pun banyak, Orang
seperti Tang hay sin sian pasti mempunyai ahli waris yang dapat
diandalkan. Mungkin hanya saatnya yang belum tepat untuk
mengunjukkan diri," sahut Toa Tek To Hun yakin.
Sekali lagi Thi Bian Jin tertawa tergelak-gelak, karena dia sudah
memperhitungkan dengan matang, Begitu Tang hay sin sian mati,
maka di dunia Bulim tidak ada orang yang dapat menandinginya lagi,
Biar pun orang sakti itu mempunyai murid namun menunggu sampai
muridnya berhasil melatih diri sampai taraf cukup tinggi,
kepandaiannya sendiri sudah mencapai kesempurnaan.
Yang diharapkan justru keadaan seperti ini, Zaman yang sudah
lewat boleh ada seribu pendekar kelas satu, namun zaman yang
akan datang dunia hanya berada di bawah kuasanya seorang,
Sekarang dia sudah mendapatkannya, maka dia harus menjaganya
dengan baik. Toa Tek To Hun sudah mencabut pedang kutung yang terselip di
pinggangnya, Urat berwarna kehijauan mulai bertonjolan di tangan,
Angin masih bertiup kencang, ombak menggulung semakin tinggi.
"Dengan kutungan pedang ini, aku masih sanggup
membunuhmu!" katanya dengan suara berat.
"Kau salah! Kau menganggap diriku terlalu rendah. Sama halnya
dengan orang-orang di Bulim yang menganggapku tiada, Kalian akan
menyesal!" sahutnya.
Thi Bian Jin keluar dari balik batu karang. Tiba-tiba Toa Tek To
Hun menyerang dengan pedangnya, sinarnya yang berkilauan bagai
cahaya bintang di langit. Pada saat yang bersamaan Thi Bian Jin
juga menghunus pedangnya. Gerakan pedang bagaikan seekor ular
yang mengamuk. Gerakannya cepat dan aneh, perubahannya tidak tersangka,
Dalam dua kali gerakan saja, Toa Tek To Hun sudah tertusuk oleh
pedang itu tepat di jantung, Kenyataannya, memang orang-orang
sudah menganggap rendah dirinya, Namun sabetan pedang Toa Tek
To Hun juga sudah sampai di topeng manusia keji tersebut.
Tubuh Toa Tek To Hun limbung. Sebelah tangan memegang
pedang, sebelahnya lagi mendekap dada. Dia memperhatikan
manusia bertopeng besi itu. Topeng itu terbelah tepat di tengahtengah.
Persis seperti buah semangka yang dibacok pisau,
Rekahannya membuka, Sebuah wajah tersembul dari balik topeng
tersebut. Wajah ini telah menerima entah berapa banyak pujian dan
sanjungan dari kaum Bulim. Wajah yang selalu terlihat berwibawa
dan bijaksana. Wajah Fang Tiong Seng! Kelak wajah ini akan
membawa banyak kemalangan bagi dunia persilatan khususnya
daerah Tionggoan. Toa Tek To Hun terhuyung-huyung. Dia masih mencoba bertahan
sekuat tenaga, Darah menyembur dari lukanya di dada. Tubuhnya
pun rubuh ke tanah, Angin masih bertiup, Ombak menghantam batu
karang, Suasana hening seketika.
-ooo0ooo- Bagian Empat Belas Malam musim semi, hujan masih turun rintik-rintik, Di jalan kecil
yang sama, tidak terlihat seorang pun. Tidak berapa lama kemudian,
terlihat bayangan seorang laki-laki sedang berjalan menuju arah
Mestika Golok Naga 5 Pendekar Misterius Karya Gan K L Tongkat Rantai Kumala 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama