Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 10

Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


terbenam dan semua harta benda musnah diamuk air bah.
Penduduk berbondong-bondong mengungs i dan sekarang
tujuan mereka adalah dusun Tungkan di sana terdapat
makan dan hiburan. Di dusun inilah pusat pertolongan bagi
mereka karena di sana Huang-ho Sian-jin dan orang-orang
lainnya menggulung le ngan baju dan bekerja keras matimatian untuk mendapatkan batuan makanan dan
pertolongan bagi para korban Sungai Kuning yang
mendahsyat itu. Kedatangan Ce ng Ceng, Pek Lian dan Ang-Lian yang
membawa empat kantung barang-barang berharga dari kota
raja mendapat sambutan meriah dan gembira sekali akan
tetapi mereka segera memandang dengan mata penuh curiga
dan me mandang kepada Tiang Bu.
"Ayah, orang ini agaknya menjadi pelindung Pangeran
Wanyen Ci Lun. Dia sengaja datang hendak menyaksikan
apakah betul-betul kita he ndak menggunakan harta ini
untuk menolong korban banjir," begitu tiba di situ Ceng
Ceng melapor kepada ayahnya.
Tiang Bu memandang dan melihat suami isteri yang
gagah perkasa, seorang pendekar tenar Pek-thouw-tiauw-ong
Lie Kong dan isterinya, Souw Cui Eng, sikap mereka angker
dan mengingatkan Tiang Bu akan pasangan suami isieri
Wan Sin Hong dan Hui-eng-niocu Siok Li Hwa. Dua ekor
burung rajawali kepala putih yang berdiri tak jauh dari
sepasang suami isteri ini meningatkan Tiang Bu akan dua
ekor burung yang dulu menyerangnya di puncak Ome i-san.
Juga di dekat sepasang suami isteri pendekar ini, Tiang
Bu melihat seorang kakek tinggi besar yang be rwajah angker
seperti Kwan Kong. Melihat Pek Lian dan Ang Lian
menghampiri kakek ini, Tiang Bu dapat menduga bahwa
tentu kakek gagah ini Huang-ho Sian-jin adanya. Diam-diam
ia merasa kagum melihat orang-orang gagah yang bekerja
18 untuk menolong para korban banjir ini. Setelah mereka,
masih ada beberapa orang lagi yang yang rata-rata
menunjukkan sikap gagah. Tiang Bu mengangkat tangan ke de pan dada memberi
hormat kepada semua orang, lalu berkata, "Harap cuwi
maafkan aku datang mengganggu. Memang tidak salah
bahwa aku yang datang untuk melihat-lihat setelah aku
mendengar akan usaha cuwi yang mulia. Dan kiranya
memang betul bahwa cuwi adalah orang-orang gagah yang
patut dikagumi. Aku bukan pelindung Pangeran W anyen Ci
Lun, hanya pernah mendengar bahwa pangeran itu adalah
seorang yang berbudi mulia, maka melihat barangbarangnya ada yang merampas, tentu saja tadinya aku
bermaksud mengembalikan barang-barang itu.
Akan tetapi, melihat bahwa barang-barang itu ternyata
dipergunakan untuk menolong orang-orang tentu Pangeran
Wanyen Ci Lun sendiri apabila mengetahui takkan me naruh
keberat an. Cuma, kuharap supaya benda-benda yang tidak
dapat dipergunakan menolong para korban, dikembalikan
kepada pemiliknya." Kalimat terakhir ini diucapkan Tiang Bu
mengingat adanya benda-benda ajaib seperti katak yang
didengar suaranya di kamar hotel dua orang gadis itu.
Semua orang yang tadinya melihat seorang pemuda
tanggung mengikuti tiga orang gadis itu datang dengan
maksud menyaksikan apakah betul barang-barang
rampasan dipergunakan untuk menolong korban banjir,
sudah menjadi gemas dan mendongkol. Kini mendengar
ucapan Tiang Bu, mereka makin marah menganggap
pemuda ini lancang dan basar mulut sekali. Namun Pekthouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya hanya mengerutkan
kening dan tak senang, sedangkan Huang-ho Sian jin yang
sudah me ndapat bisikan dari Pek Lian bahwa pemuda ini
seorang pandai, memandang penuh perhat ian.
Seorang diantara yang hadir, seorang laki-laki tinggi
tegap berkepala botak bermata lebar, melompat maju. Orang
19 ini bukan orang sembarangan, ia bernama Tan Boan It
berjuluk Huang-ho Kim-go (Buaya Emas dari Huang-ho) dan
menjadi jagoan terkenal di sepanjang Sungai Kuning.
Selamanya Tan Boan It ini tidak pernah mengancingkan
bajunya yang terbuka terus memperlihatkan dada bidang
penuh bulu hitam. Dia seorang kasar dan jujur, akan tetapi tak pernah
ketinggalan untuk turun tangan, apabila orang-orang
membutuhkan pert olongannya. Melihat lagak dan kata-kata
Tiang Bu, Buaya Emas ini tak dapat menahan lagi perutnya
yang menjadi panas hendak meledak. Kepalan tangannya
yang sebesar kepala orang menyambar ke arah hidung Tiang
Bu, dibarengi bentakannya, "Bocah lancang dan sombong,
menggelindinglah pergi !"
Akan tetapi kenyataannya benar-benar berlawanan
dengan bentakannya, karena bukan Tiang Bu yang
menggelinding, melainkan dia se ndiri, betul-betul
"menggelinding," seperti roda. Ketika tadi pukulan keras dari kepalan besar itu mendekati hidungnya, dengan tenang
Tiang Bu menangkap pergelangan tangan it u mengerahkan
te naga dan Si Buaya Emas merasa seakan-akan tubuhnya
dimasuki api. Tak tertahan lagi ia membungkuk dan sekali
Tiang Bu mengerakkan kaki mendorong sambil me mutar
tangan orang disentakkan ke pinggir tubuh si tinggi tegap itu terguling dan terus bergulingan sampai jauh karena tak
dapat ditahan lagi! Huang-ho Sian-jin maklum bahwa si Tan Boan It
memang "mencari penyakit" sendiri . Akan tetapi betapapun
juga, Buaya Emas ini adalah pembantunya dan seorang
tamunya tidak seharusnya dihina orang di dalam rumahnya.
Ia melangkah maju dan menghadapi Tiang Bu.
"Orang muda, kau datang-datang memamerkan
kepandaian. Aku adalah tuan rumah di sini, kalau kau mau
mencoba kepandaian jangan mencari orang lain, mari kita
be rmain main. Kau datang di sini, akulah tuan rumahnya
20 yang harus menyambut." Sebetulnya ucapan ini hanya
untuk alas an s aja, sebenarnya Huang-ho Sian-jin ketika
mendengar dari Pek Lian bahwa kepandaian pemuda itu luar
biasa sekali, sudah gatal-gat al tangan hendak mencoba.
Akan tetapi, Tiang Bu tidak mau melayani kakek ini.
Memang ia datang bukan hendak mencari perkara, pertamatama untuk menyaksikan apakah betul-betul harta benda
Pangeran Wanyen Ci Lun dipergunakan untuk maksud baik
dan terutama sekali hendak bertemu dengan Pek-thouwtiauw-ong Lie Kong. Maka ia menjura kepada Huang ho
Sian-jin sambil berkata, "Harap lo-e nghiong maafkan aku, karena tidak ingin
bertempur. Twako yang kasar ini kurang hati-hati hingga ia
mewakili aku menggelinding, harap jangan salahkan aku.
Maaf, lo-enghiong, kalau disuruh bertanding dengan kau,
aku terima kalah." Merah wajah Huang-ho Sian-jin. Biarpun pemuda itu
menolak dan menyatakan takut, namun cara
mengatakannya jelas memperoloknya dan tidak
memperlihatkan rasa takut sama sekali. Dengan menahan
marah ia lalu mengambii sebuah cawan dari atas meja.
"Be tapapun juga kau sudah datang ke sini berarti kau
tamuku. Nah, aku tuan rumah menghormatimu dengan
secawan arak penuh. Terimalah!" Sambil berkata demikian
Huang-ho Sian jin menuangkan arak dari guci ke dalam
cawan itu sampai penuh sekali, hampir meluber akan tetapi
anehnya arak yang tingginya melampaui mulut cawan itu
tidak mau meluber ! Dengan cawan penuh sekali ini ia
menghampiri Tiang Bu dan menyodorkan cawan itu.
Tiang Bu kaget sekal i, ia kurang pengalaman dan belum
pernah melihat pert unjukan macam ini. Main sulapkah
kakek ani" Juga tidak biasa minum arak. Akan tetapi ia
tahu bahwa penghormatan orang kalau ia tolak, berarti
penghinaan dan agaknya kakek ini sengaja mencari cari
jalan supaya bisa mengadu kepandaian dengannya.
21 Terpaksa ia mengangkat tangan menerima cawan itu. akan
tetapi lebih dulu mengerahkan lweekangnya dengan
penggunaan tenaga "menyedot".
Karena kurang pengalaman, ia terlalu banyak
mempergunakan tenaganya. tidak ingat akan kehe batan
tenaga sinkangnya. Begitu cawan tersentuh olehnya. cawan
itu bagaikan tertarik lalu terbetot dari genggaman Huang-ho
Sian-jin. membuat kakek itu berubah air mukanya. Kini
cawan berada di dalam genggaman Tiang Bu dan dengan
hati girang pemuda melihat bahwa tenaga "menyedot" dari lwee-kangnya benar-benar dapat menahan arak tumpah.
Bahkan dengan tenaganya yang besar ia dapat "main-main"
dengan arak itu, dapat ia membuat kelebihan arak di atas
mulut " doyong" ke kanan atau ke kini. Semua orang melihat dengan kagum dan heran. Pemuda bisa memegang cawan
dan araknya tidak tumpah atau luber, ini sudah
menandakan betapa hebat t enaga Iweekang pemuda cilik itu.
Adapun Tiang Bu sendiri yang tidak tahu bahwa dirinya
dikagumi orang, lalu tersenyum dan me mbungkuk ke pada
Huang-ho Sian-jin. "Lo-enghiong, kau orang tua baik sekali. Tentu aku tidak
berani menolak, cuma masalahnya. selamanya aku belum
pernah minum arak keras. Biarlah aku mencobanya!" Ia lalu mengangkat cawan itu ke atas dan menggulingkannya ke
arah mulutnya yang sudah dibuka lebar-lebar.
Dan sekarang semua orang ce langap! Bahkan Huang ho
Kim-go Tan Boan It yang sudah merayap bangun, melongo
dan mendekati Tiang Bu untuk menonton permainan "sulap"
ini dari dekat. Ternyata bahwa biarpun cawan itu sudah
dituangkan terbalik, arak di dalamnya tetap tidak mau
keluar, hanya "nontot" keluar seperti benda keras atau air yang sudah membeku! Setelah menjungkirkan cawan ini
agak lama bahkan mengayun-ayunnya supaya araknya
keluar namun s ia-sia, Tiang Bu menghela napas dan
membalikkan cawan kembali.
22 "Apa kataku, lo-enghiong" Bukan saja aku tidak biasa
minum arak, bahkan araknya sendiri agaknya segan
diminum orang seperti aku. Biarlah aku mewakilkannya
kepada sahabat ini." Ia menggerakkan cawannya dan kini di
dalam cawan itu muncrat keluar semua arak secara tepat
sekali memasuki mulut Tan Boan It yang masih melongo.
Orang tinggi besar ini gelagapan dan tanpa dapat dice gah
lagi arak ditelannya! Biarpun tadinya semua orang
tercengang menyaksikan kelihaian pemuda itu, melihat
adegan terakhir tak tertahan lagi mereka tertawa, bahkan
Ang Lian dan Ceng Ceng cekikikan. Yang paling terkejut
adalah Huang-ho Sian-jin se ndiri.Tadi ketika tangan pemuda
itu menyentuh cawan dalam menerima tawarannya, ia
rasakan tangannya panas dan menggigil. Tadinya ia masih
sangsi, akan tetapi melihat betapa selanjutnya pemuda itu
mendemonstrasikan tenaga lweekang yang jauh melebihinya,
ia jadi kesima dan baru percaya akan keterangan Pek Lian
bahwa pemuda ini memang sakti.
Akan tetapi Pek thouw tiauw-ong Lie-Kong tidak puas.
Dia adalah seorang yang menganggap paling tinggi di antara
semua orang yang berada di situ, dianggap yang paling
pandai dan menduduki tempat paling terhormat. Sekarang
bocah ini mendemonstrasikan ke pandaian, sedikit banyak
membuat pamornya nyuram. Ia melangkah maju, wajahnya
yang tampan gagah itu berkerut tak senang dan suaranya
ketus. "Bocah lancang, kau siapakah dan apa maksudmu
bertingkah di sini !"
Tiang Bu cepal menjura kepadanya dan berkata, "Sudah
kukatakan tadi bahwa aku pertama-tama ingin menyaksikan
apakah betul-betul barang barang rampasan itu
dipergunakan untuk menolong rakyat yang sengsara. Kedua
kalinya aku sengaja datang untuk mencari Pek-thauw.tiauwong Lie Kong untuk urusan penting!"
23 Jawaban ini benar-be nar tak disangka, bukan saja Lie
Kong, isterinya dan puterinya yang tercengang
mendengarnya, bahkan se mua orang menjadi tertarik. Sikap
pemuda yang lihai ini amat menarik perhatian dan aneh.
Biarpun sikapnya sederhana dan seperti orang bodoh,
namun di dalam kesederhanaannya terbayang kegagahan
dan keberanian yang tiada taranya.
"Akulah Lie Kong, kau mau apa?"
Tiang Su tidak kaget karena memang ia sudah tahu.
Suaranya tetap ramah ketika ia menjawab. "Lie lo-enghiong, namaku Tiang Bu, aku datang diri Omei-san dan memenuhi
pesan suhuku aku harus minta kembali kitab yang kau ......
pinjam dari Omei-san." Karena di situ terdapat banyak
orang, maka Tiang Bu sengaja menggant i ucapan "curi" jadi
"pinjam" karena ia tidak berniat membikin malu ......orang tua Ceng Ceng! Sesungguhnya, pertemuannya dengan Ceng
Ceng banyak mempengaruhi sikapnya ini, kalau ia tidak
berte mu dengan Ceng Ceng, kiranya sikapnya terhadap para
pencuri kilab Omni-san akon sangat keras.
Baru sekarang Lie Kong terkejut dalam hatinya. Tidak
tahunya bocah ini adulah murid dua orang kakek sakti
Omei-san, pantas saja kepandaiannya demikian hebat. Dan
kedatangannya hendak minta kembali kitab yang telah
dicurinja !I Tentu saja Lie Kong tahu akan sikap Tiang Bu
yang hendak menolong mukanya. Ia ingin turun tangan
sendiri mempertahankan kitabnya sekalian mencoba sampai
mana kepandaian mrrid Omei-san ini, akan tetapi sebagai
seorang tokoh besar, ia merasa malu untuk bertanding
melawan bocah di depan begitu banyak sahabat.
Sedangkan Huang ho Sian-jin sendiri yang tadi merasa
"berbahaya" kalau bertanding me lawan bocah ini lalu mundur, apalagi dia. P ula., diam-diam Lie Kong kagum
melihat Tiang Bu, yang biarpun tak dapat dibilang seorang
pemuda tampan, namun sudah jelas me miliki kepandaian
tinggi dan juga pribadi yang halus tidak suka menyinggung
24 orang. Satu-satunya orang yang dipermainkannya tadi
hanyalah Huang-ho Kim-go Tan Boan It, inipun karena
kesalahan Buaya Emas itu sendiri yang mulai lebih dulu.
"Jadi kau muri d 0mei-san" Me mang benar ada sebuah
kitab 0me i san pada kami , akan tetapi kitab itu sudah
kuserahkan kepada anaku untuk dipelajari ....... Terserah
kcpadanya apakah mau mengembal ikannya sekarang
kepadamu atau tidak," kata Lie Kong sambil melirik ke arah Ceng Ceng.
Kaget sekali Ceng Ceng mendengar ucapan ayahnya ini


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan seketika mukanya menjadi merah. Ia masih belum
mengerti mengapa ayahnya begitu "pengecut" untuk
menjatuhkan tanggung jawab ke pundaknya biarpun
memang betul kitab itu ayahnya tetah diserahkan
ke padanya. Mengapa ayahnya tidak menghadapi sendiri
pcmuda itu " Saking bingungnya dan tidak mau ribut mulut
dengan Tiang Bu yang pandai bicara itu di depan orang
banyak, ia lalu lari sambil berkata, "Aku tidak mau
mengembalikan!" Melihat Ceng Ceng lari, Tiang Bu tak banyak cakap lagi
lalu mengejar. "Harus dikembalikan kepadaku!" katanya.
Demikianlah, baru saja sampai dua orang muda ini kembali
sudah berkejar-kejaran! Lie Kong hanya tersenyum, lalu dengan tenang ia
be rsama isterinya mengajak Huang-ho Sian-jin memeriksa
isi empat kantong itu. Semua orang kagum dan gembira melihat demikian
banyaknya barang berharga yang kalau dijual akan
menghasilkan cukup bahan makanan bagi para pengungsi
untuk be berpa bulan lamanya. Lie Kong membagi-bagi
empat permata itu kepada para pembantu dengan tugas
supayat benda-benda itu ditukarkan bahan makanan,
selebihnya diserahkan kepada Huang-ho Sian j in untuk
disimpan sebagai cadangan. Semua benda itu adalah benda
berharga terdiri dari emas permata hanya sebuah cepuk
25 atau kotak kecil yang ternyata berisi seekor katak hi jau
disimpan oleh Lie Kong ke dalam sakunya.
"Benda macam int tidak dapat ditukar makanan,katanya perlahan. Biarpun ia seorang tokoh kang-ouw yang
ulung, namun binatang macam ini merupakan teka-tcki
baginya. tidak tahu binatang apa itu dan apa pula
khasiatnya, hanya yakin bahwa binatang itu tentu
mempunyai khasiat yang luar biasa maka ia simpan dalam
saku. Setelah beres membagi-bagi tugas, Lie Kong mengajak
isterinya untuk menyusul Ceng Ceng, Karena merasa
khawatir juga. Lie Kong berlari cepat, berendeng dengan isterinya.
Ketika tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan
isterinya, tiba-tiba ia berhenti berlari, meme gang lengan
isterinya dan ".. dipel uknya isterinya itu penuh kasih
sayang. Souw Cui Eng mangipatkan tangan suaminya yang
memeluknya e rat dan mendorong muka suaminya itu yang
mendekat mukanya. "Eh, apa kau tiba-tiba kemasukan
setan" Maka di tengah jalan bersikap seperti ini " Cih,
memalukan sekali !" Akan tetapi suaminya memandangnya dengan mata
aneh. "Cui Eng....... sekarang aku mengerti khasiat kodok hijau ini .......! Coba kau yang membawanya." Dengan
terheran-heran Souw Cut Eng menerima ce puk itu dan
memasukkannya ke dalam saku bujunya. Tidak ada akibat
apa-apa. "Mungkin belum, harus agak lama." kata suaminya. "Mari kita berlari terus dan lihat akibatnya nanti."
Akan tetapi sampai lama mereka berlari, tidak ada reaksi
apa-apa pada diri Souw Cui Eng. "Hemm, sekarang aku
dapat menduga. Katak macam ini pernah aku
mendengarnya, namanya katak pembangkit asmara. Ada
sepasang. yang jantan kalau berdekatan dengan seorang
26 wanita dapat membangkitkan nafsu asmara, sebaliknya yang
betina merangsang seorang laki laki. Tentu ini yang betina
maka padamu tidak berakibat apa-apa." Selanjutnya dalam
mengejar Ceng Ceng, katak itu terus disimpan oleh Souw
Cut Eng biarpun nyonya ini kadang-kadang me rasa jijik
harus mengantongi seekor katak.
Kita kembali kepada Ceng Ceng dan Tiang Bu. Gadis itu
berlari cepat sekali di sepanjang lembah Huang-ho. Tiang Bu
mengejar terus di belakangnya, tidak segera menyusul
karena ia memang sengaja hendak melihat sampai ke mana
nona itu akan lari dan berapa lama kekuatan gadis itu.
Ternyata Ceng Ceng memiliki daya tahan yang besar dan
gadis ini biarpun baru saja datang dan sudah lama berlarilari dengan Tiang Bu, ternyata sekarang masih kuat berlarilari sampai setengah hari. Me njelang senja mereka sudah
melalui jarak ratusan li jauhnya dan belum juga Ceng Ceng
berhenti. Tiba-tiba gadis itu mempercepat larinya, Tiang Bu
juga mengerahkan tenaga. Mereka tiba di lembah sungai yang indah, Di bagian ini
sungai itu lebar sehingga air tidak begitu hebat meluapnya.
Di luar sebuah hutan cemara kelihatan sebuah kelenteng
tua dan Ceng Ceng berlari memasuki pekarangan kelenteng
ini. *He. jangan injak ularku !" tiba-tiba terdengar bentakan dan tahu- tahu tangan Ceng Ceng sudah dipegang dan
dibetot orang. Ceng Ceng kaget bukan main karena betotan
ini kuat sekali. Apalagi ketika ia menoleh ternyata bahwa
yang menariknya juga seorang dara cantik jelita sekali.
Usianya sebaya dengan dia sendiri. Gadis muda ini tadinya
duduk di balik semak-semak dan kini tangan kirinya
memegang seekor ular hitam yang kecil dan liar ! Ceng Ceng
sampai berdiri bulu tengkuknya saking merasa jijik dan
ngeri. "Kenapa kau berlari dan seperti dikej ar setan?" tanya gadis cantik jelita itu. suaranya merdu dan senyumnya
27 manis. Dalam kaget dan herannya karena di tempat sunyi ini
muncul wanita cantik, apalagi pakaiannya serba indah, Ceng
Ceng mengira bahwa i a tentu berhadapan dengan siluman
atau bidadari. Buktinya ketika membetot tangannya tadi
tenaganya besar bukan main dan memegang ular berbisa
pula. "Memang aku dikejar ...... dikejar orang jahat ....... "
jawabnya gagap. "Kau sembunyi di sana. biar aku menghajarnya!" jawab
gadis cantik itu. Ceng Ceng melompat dan lenyap di dalam
kelenteng. Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya buat
Tiang Bu ketika tiba di pekarangan kelenteng, ia tidak
melihat Ceng Ceng, sebaliknya melihat seorang gadis lain
yang sebaya dengan Ceng Ceng akan tetapi yang memiliki
ke cantikan luar biasa. Lebih cantik malah dari pada Ceng
Ceng, atau kalau tidak lebih cantik, memiliki sifat
kecantikan berbeda namun tidak kalah menari k dan
menggairahkan. Bagi Tiang Bu, gadis ini benar-benar hebat
dan sampai berdiri bengong bagaikan patung. Pe muda ini
berdiri tegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja
yang bergerak-gerak memandangi mahluk indah di
depannya. Akan tetapi ketika ia melihat ular hit am kecil yang
melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat di tangan kiri gadis
itu, ia jadi kaget setengah mati. Gadis itu menggerakgerakka bibirnya mengarah senyum dan sepasang matanya
yang lebih indah dari pada mata burun Hong itu mengikuti
pandangan mata kaget dari Tiang Bu yang mengarah tangan
kirinya. De ngan halus ia lalu melepaskan ular kecil itu ke
dalam semak-semak. kemudian ia bertanya, suaranya tetap
merdu namun mengandung kekerasan.
"Kau ini orang apakah. mengejar-ngejar seorang gadis di
tempat sunyi. Kalau saja yang dikejar dan yang mengejar itu
orang orang biasa, tentu gadis ini akan menjatuhkann
28 tangan besi tanpa bertanya lagi. Akan tetapi ketika membetot
tangan Ceng Ceng tadi, dapat merasai tenaga lweekang yang
tinggi dari gadis itu. Bagaimana scoring gadis kosen seperti
itu lari ketakutan menghadapi seorang pemuda petani atau
nelayan yang sederhana ini"
"Jangan salah sangka," Tiang Bu cepat -cepat menjawab karena ia takut kalau-kalau si jelita ini menyangka ia akan
berbuat jahat terhadap Ceng Ce ng, "gadis tadi mencuri
kitabku dan aku mengejarnya untuk minta kembali kitab
itu." Mendengar ini, sikap gadis cantik it u berubah, keningnya
yang halus putih berkerut dan alis yang hitam lentik itu
berdiri. "Begitukah, mari kita cari dan tanya dia. Aku tidak sudi menolong seorang maling!" Setelah berkata demikian, gadis itu berjalan memasuki kelenteng. Gerakan kaki yang
ringan bertenaga dan gerakannya maju yang amat cepat itu
kembali membuat Tiang Bu maklum bahwa gadis jelita itu
memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, mungkin tidak kalah
oleh Ceng Ceng! Begitu memasuki kelenteng, Tiang Bu menahan napas
saking kagum dan heran. Kelenteng itu sudah tua dan di
luarnya buruk sekali. Akan tetapi ketika ia masuk ke
ruangan dalam, ternyata di situ amat indah penuh dengan
hiasan tembok yang serba mabal dan indah. Lukisan-lukisan
yang bagus dan hidup, pot -pot bunga telukir naga di atas
meja-meja yang indah pula. Benar-benar mengagumkan.
Akan tetapi ia tidak sempat untuk niemikirkan semua ini
kerena gadis itu telah membawanya ke ruang belakang di
mana terdapat se orang muda gagah. Melihat pemuda ini,
Tiang Bu tiba-tiba merasa sungkan karena mengingat akan
keadaan sendiri. Pemuda itu berpakaian indah, wajahnya
yang berkulit putih itu tanpan dan gagah sekali, dengan
rambut hitam panjang digelung ke atas dan diikat dengan
sutera kuning. Tubuhnya tegap dan matanya tajam,
potongan seorang "pendekar muda" kalangan bangsawan!
29 Dibanding dengan pemuda itu, Tiang Bu harus mengaku
bahwa ia kalah dalam segala-galanya ! Tidak nempil, seperti
gagak dengan garuda ! Apal agi ketika mereka berdua
memasuki ruangan belakang itu, pemuda tampan gagah ini
sedang berdiri meme gang batang pedang dengan sarungnya
yang indah pula. "Moi-moi, kukira kau sudah mengusir pergi pemuda
kurang ajar itu. Kenapa dia juga masuk ?"
"Koko, mana gadis tadi" Dia membohongi aku. Dia itu
seorang maling yang dikejar saudara ini."
"Maling?" Pemuda tampan itu mengerutkan alisnya yang
tebal. "Moi- moi, jangan menuduh sembarangan. Dia itu
adalah puteri dari Pek thouw tiauw-ong Lie Kong seorang
pendekar besar dari pentai timur, Mana bisa seorang maling
" Orang ini yang jahat .maksudnya, jangan kita kena tipunya
...... ." Sambil berkata demikian, pemuda itu melompat dan tangan kirinya mencengke ram pundak Tiang Bu.
"Kau siapakah dan apa niatmu mengejar seorang gadis
baik-baik ?" Tiang Bu tidak mengelak, akan tetapi ketika pundaknya
kena dicengkeram, ia terkejut merasakan tenaga dahsyat
pemuda itu yang tentu saja akan membuat tulang
pundaknya hancur. Cepat ia mengerahkan tenaga
lweekangnya dan kini pemuda itu yang berteriak kaget
sambil melompat ke belakang dan menarik tangannya yang
terasa papas din lumpuh ! Tiang Bu mempergunakan
kosempatan itu melompat sambil berkata. "Maaf, urusanku
bukan urusan kalian, lain kali aku datang belajar kenal !"
Dan di lain saat tububnya s udah be rkelebat keluar mengejar
Ceng Ceng yang ternyata sudah lari kembali.
Pemuda dan pemudi mewah itu mengejar, namun ketika
tiba di depan kelenteng mereka tidak melihat Tiang Bu.
"Hebat ...... pemuda dusun itu lihai sekali?"." terdengar pemuda itu menggerutu.
30 "Koko, kau harus ingat akan nasihat nio-nio. Mengukur
ke pandaian orang jangan didasarkan keadaan muka atau
pakaiannya. Begitu bertemu aku sudah menduga dia itu
bukan sembarangan." Sementara itu, Tiang Bu terus mengejar Ceng Ceng yang
kini berlari ke arah tempat semula. Akan tetapi karena hari
sudah mulai malam dan kesabaran Tiang Bu sudah menipis,
pemuda ini mengerahkan ginkangnya akhirnya ia dapat
menyusul Ceng Ceng. "Bocah kepala batu, kau berhentilah," Tiang Bu
membentak, tangan kanannya digearakkan untuk
menangkap lengan Ceng Ceng. Tiba-tiba Ceng Ceng
memutar tubuhnya dan secepat kilat menyambar ke arab
dada Tiang Bu. Tanpa peringatan lebih dulu tahu-tahu Ceng
Ceng sudah menyerang Tiang Bu dengan pedang.
"Bagus. kini kita dapat mengadu kepandaian!" kata Tiang Bu yang cepat mengelak dan menggunakan dua jari tangan
untuk mengetuk pergelangan tengan gadis itu. Namun Ceng
Ceng juga lihai sekali dan dapat bergerak cepat, ringan kaki
tangannya serta lincah ge rakannya. Lebih hebat pula, ilmu
pedang dia ini luar biasa sekali. Seperti pernah dili hat oleh Tiang Bu, gerak langkah kaki gadis itu menyerupai Ilmu
Silat Pat kwa-kun-hoat yang pernah ia pelajari, akan tetapi
pecahan-pecahannya lain lagi.
Sungguhpun berdasarkan langkah segi delapan, namun
daya serangannya bermacam-macam, ada yang lembek ada
yang keras dan sukar sekali diduga perubahanperubahannya. Dalam beberapa belas jurus saja, tubuh
Tiang Bu sudah terkurung oleh pedang yang sinarnya
bercabang delapan, menyambar nyambar laksana kilat di
musim hujan! "Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!" Tiang Bu memuji
dan pe muda ini harus mempergunakan semua
kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman
sinar pedang. Baiknya ia telah mewarisi sinkang dari dua
31 orang kakek sakti di Omei-san se hingga kadang-kadang ia
dapat mempergunakan kuku jarinya untuk menyentil
pedang lawan. Di lain fihak, Ceng Ce ng merasa kagum dan
heran bukan main. Memang ia sudah menduga bahwa
pemuda ini lihai sekali. Hal ini sudah ia buktikan ketika mereka beradu
kekuatan lari. Akan tetapi melawannya dengan tangan
kosong dan menghadapi pedang dengan sentilan kuku jari"
Inilah hampir tak dapat dipercaya! Ia telah memainkan Ilmi
Silat Pat-sian-jut-bun dari kitab yang dibawa oleh ayahnya
dari Omei-san dan ayahnya sendiri ketika melihat ia
mainkan ilmu pedang ini sudah mengaku bahwa ilmu
pedang ini hebat sekali. Ayahnya sendiri tidak mungkin
dapat menghadapinya hanya dengan sentilan kuku j ari
seperti yang dilakukan oleh pemuda dusun ini !
Akan tetapi, betapapun tinggi kepandaian Tiang Bu dan
betapapun mudah baginya menyelamatkan diri dari
ancaman pedang gadis itu, namun harus ia akui bahwa
untuk mengalahkan Ceng Ceng tanpa melukai bukanlah hal
yang mudah. Gadis itu nekat sekali dan sama sekali tak mau
menyerah biar pun beberapa kali tangannya tergetar ketika


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang disentil oleh jari tangan Tiang Bu. Akan te tapi makin lama Ce ng Ceng menjadi makin lemas dan ia sudah lelah
sekali. Malam mulai menyelimuti bumi dan keadaan menjadi
remang-remang. Baiknya sore-sore bulan sudah keluar dan
melihat langit yang cerah, dapat dibayangkan datangnya
malam yang terang dan indah, Ceng Ceng mulai marah dan
memaki-maki. "Pemuda sombong, tak tahu malu ! Meminta kitab" Boleh
bunuh dulu aku !" "Gadis kepala batu ! Mengapa mau mengukuhi kitab
orang?" Tiang Bu membentak dan pada saat pedang gadis
itu menusuk ulu hatinya, ia cepat miringkan tubuh se hingga
pedang itu meleset di dekat dada, di bawah ketiak. Secepat
kilat Tiang Bu menurunkan lengan. Sedangkan tangan
32 kirinya ditotokkan ke arah pundak kanan Ceng Ceng.
Totokan itu mengarah Kian-keng-kiat dan kalau mengenai
sasaran tentu gadis itu akan roboh lemas. Ceng Ceng tidak
sudi memberikan pundaknya ditotok, terpaksa ia melompat
mundur dan melepaskan pedangnya,
Di lain saat Tiang Bu sudah mengejar dengan pedang
rampasan di tangan. Pedang it u ditodonglan ke arah
tenggorokan Ceng Ceng dan ia berkata keren.
"Hayo kaukembalikan kitab itu kepadaku !"
Akan tetapi Ceng Ceng malah bertolak pinggang dan
mengedikkan mukanya, mambusungkan dadanya
menantang. "Tusuklah ...... ! Tusuklah?"! Apa kaukira aku takut mati?""
"Ce ng Ceng, siapa mau membunuhrpu" Aku hanya ingin
minta kembali kitab dari Omei-san itu. Kalau kau sudah
mempelajarinya, me ngapa kau masih mengukuhi kitabnya"
Untuk apa bagimu?" kata Tiang Bu sambil merunkan
pedangnya. "Habis bagimu sendiri untuk apakah" Kau sudah
memiliki kepandaian kau sendiri sudah mempelajari banyak
ilmu dari Ome i-san. Mengapa aku mempe lajari sebuah saja
kau sudah iri hati " Apa kau mau kangkangi semua
kepandaian di dunia ini?"
"Tidak demikian, jangan salah mengerti. aku minta
kembali semua kitab yang diambil orang dari Omei-san, ini
untuk mematuhi perintah suhuku. Bahayanya, kalau kitab
terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah kepandaian dari
ilmu itu akan dipakai untuk kejahatan dan kareranya suhusuhuku ikut berdosa?"
Gadis itu tersenyum mengejek, maksudnya menyakitkan
hati Tiang Bu, tidak tahu bahwa senyumnya itu dalam
pandangan Tiang Bu manis sekali dan sama sekali tidak
menyakiti hati bahkan me nyenangkan! "Bodoh! K itab sudah kupelajari, kauambil kembali ada gunanya apakah" Biarpun
33 kitabnya tidak ada, tetap saja aku dapat mempergunakan
ilmunya." "Akan tetapi aku percaya kau bukan orang jahat," kata Tiang Bu.
"Kalau benar kau percaya begitu, mengapa kau tetap
hendak minta kembali kitab itu. Mengapa tidak
kaupercayakan ke tanganku. Kau memang sombong dan
murka !" Sambil berkata demikian, Ceng Ceng tiba-tiba
menyerang dengan pukulan keras. Tian Bu mengangkat
tangan dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, sekali
mengerahkan tenaga "menyedot" gadis itu tidak dapat meronta pula! Ia berusaha untuk memberontak melepaskan
tangannya namun sia-sia. Dengan marah gadis itu
menggerakkan tangannya menampar muka Tiang Bu, akan
tetapi bagaikan seorang dewasa menghadapi seorang anak
kecil yang rewel, Tiang Bu ke mhali dapat menangkap
sebelah lengan ini ke dalam tangan yang sudah memegang
tangan kanan jadi kini dua lengan gadis itu menjadi satu
dipegang oleh Tiang Bu. "Kau mas ih belum kapok " Hayo katakan di mana kitab
itu ?" kata Tiang Bu.
"Di dalam saku baju dalamku ! Kalau kau berani ambil.
kau laki-laki ceriwis , kurang ajar dan cabul !" Ce ng Ceng menantang. Pada saat itu berkele bat dua bayangan datang.
Mereka ini adalah Lie Kong dan isterinya. Melihat
kedatangan mereka, Tiang Bu cepat melepaskan tangan
Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah sekali. Ceng Ceng
berlari menubruk ibunya sambil menangis.
"Maaf," kata Tiang Bu menjura, "aku tidak bermaksud menghina puterimu, Lie loenghiong. Akan tetapi dia
bandel".." Lie Kong tersenyum. Tadi ia sudah menyaksikan sambil
bersembunyi dan melihat betapa hebat kepandaian Tiang Bu
ketika menghadapi ilmu pedang anaknya. Tanpa ragu lagi
34 pe ndekar ini maklum bahwa dia sendiri masih belum te ntu
dapat menangkan Tiang Bu. Saking kagumnya, timbul
maksudnya mengambil mantu pemuda ini!
"Tiang Bu, apakah kau murid tunggal O mei-san?"
"Betul, lo enghiong."
"Kau bernama keturunan apakah?"
Tiang Bu bingung. Kalau ditanya tentang shenya, ia
paling sukar menjawab dan hatinya tertusuk, teringat ia
akan keadaannya masih belum pasti siapa ayah bundanya.
Mengaku she Coa, ia tidak suka membohong mengaku she
Liok, ia malu berayah Liok Kong Ji.
"Aku ....... aku sendiri belum tahu, lo-enghiong. Namaku cukup dengan Tiang Bu saja.
Lie Kong tersenyum. Jawaban begini saja tidak
mengherankan hatinya. Memang orang-orang yang
berkepandaian selalu berwatak aneh, maka tidak
mengherankan kalau pemuda ini juga berwatak aneh,
agaknya tidak mau mengaku siapa orang tuanya.
"Tiang Bu, tentang kitab itu, kiranya apa yang diucapkan
oleb Ceng Ceng tadi tidak terlalu salah. Kitab itu aman ada
padanya, dialah yang bertanggung jawab bahwa ilmu itu
takkan dipergunakan untuk kejahatan. Pula ....... kalau kau
setuju, kami akan merasa girang sekali kalau kau suka
memberikan kitab itu kepadanya sebagai ............ sebagai
tanda mata!" "Apa maksudmu, lo-enghiong?" tanya Tiang Bu heran.
Lie Kong memang biasa berkata te rus terang, Sambil
tersenyum akan tetapi matanya memandang sungguhsungguh ia berkata, "Aku tadi sudah bersepakat dengan
isteriku bahwa kalau kau tidak keberatan, kami bermaksud
menjodohkan anak tunggal kami yang bodoh itu dengan
kau, Tiang Bu. Bagaimana jawabmu ?"
35 Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, kiranya
Tiang Bu takkan be gitu terkejut seperti ketika mendengar
"pinangan" ini. Seujung rambut dibagi tujuh ia tak pernah mengharapkan hal langka ini terjadi. Bagaimana sampai
begitu "berharga tinggi" dipinang oleh seorang pendekar
besar seperti Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong untuk
dijodohkan dengan seorang dara jelita seperti Ceng Ceng"
Bagaimana ia harus menjawab" Ceng Ceng cantik seperti
bidadari, wataknya menggatalkan hati, gerak geriknya
menggairahkan dan terus terang saja, hat i Tiang Bu tertarik
dan suka sekali. Kalau ia menolak be rarti ia sudah berotak
miring! Akan tetapi sebelum i a dapat menjawab, Ceng Ceng
mendahuluinya dengan teriakan marah. "Tidak....... !" Aku
tidak sudi dijodohkan dengan pemuda berwajah monyet it u !
Hidungnya pesek, bibirnya tebal, aku tidak suka !"
Kalau saja Tiang Bu lebih tua usianya dan sudah
mendalam pengertiannya tentang hubungan laki-laki dan
wanita, tentu ia akan merasa terhina sekali mendengar akan
ponolakan Ceng Ceng. Akan tetapi, kini mendengar bahwa
Ceng Ceng menolaknya karena hiduungnya pesek dan
bibirnya tebal, ia makin tertawa!
"Terima kasih, lo-enghiong. Aku tidak mau kawin, apalagi dengan seorang bocah kepala batu dan galak seperti dia itu.
Aku hanya minta kembali kitab suhu. Aku yakin lo-enghiong
yang ternama tidak akan sudi mengangkangi kitab orang
lain." Saking jengkelnya Tiang Bu mengeluarkan sindiran ini.
Merah wajah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong mendengar ini,
wajahnya yang tampano menjadi berkerut dan ia membentak
puterinya. "Ceng Ceng, bocah lancang! Hayo kau kembalikan kitab
itu kepada murid 0mei- san ini !"
Ceng Ceng yang masib memeluk ibunya itu kini berkata
dengan suara sedih dan takut. "Tak mungkin, ayah. Kitab
itu....... telah dirampas orang setengah bulan yang lalu".."
36 Kagetlah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya.
akan tetapi dengan gemas Tiang Bu mencela, "Bohong! Tadi kaubilang berada di dalam saku baju dalammu ...... !" Ia menghentikan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.
Ceng Ceog melerok. "Siapa bicara denganmu " Aku bicara
dengan ayahku, dan kau tidak boleh turut campur !"
"Ceng Ceng, jangan kau main-main ! Dimana kitab itu?"
Ayahnya mendesak. Dengan suara mengandung kekece waan, kedukaan, dan
takut kepada ayahnya, dara itu lalu bercerita,
"Ketika itu aku sedang berlatih bagian terakhir dari
Pat.sian-jut-bun yang paling sukar. Karena ingin supaya
ge rakanku dalam bagian terakhir ini sempurna, aku
keluarkan kitab itu dan membentangkannya di atas tanah.
Setelah mempelajari aku lalu berlatih. Kitab itu masih
terhentang di atas tanah. Kupikir keadaan di sana aman
karena di tengah hutan yang sunyi. Sama sekali tak terduga,
tiba- tiba muncul dua orang gedis yang cantik geni t. Tadinya kukira dua orang gadis yang datang itu enci Pek Lian dan
enci Ang Lian maka aku tidak begitu khawatir. Siapa kira
begitu datang dan begitu aku melihat bahwa mereka itu
sama sekali asing bagiku, belum aku sempat mengambil
kitab Pat- s iant -bun, seorang di antaranya telah menyambar
dan merampas kitab." Demikian Ceng Ceng memulai dengan
penuturannya, didengarkan dengan penuh perhatian dan
dengan keni ng berkerut oleh ayah bundanya dan Tiang Bu.
Gadis ini melanjutkan ceritanya. Melihat kitabnya
dirampas orang, tentu saja ia menjadi marah bukan main,
akan tetapi juga heran dan ingin tahu siapa adanya mereka
itu. "Eb, maling-maling cilik, kau berani mengambil kitabku"
Hayo kembalikan!" bentaknya untuk sejenak tidak
menyerang segera karena terlalu heran ada orang berani
merampas kitabnya. Sebaliknya, dua orang gadis itu
37 agaknya juga tidak memandang sebelah mata kepada Ceng
Ceng, bahkan kurang memperhatikan, bukti nya mereka
berdua bicara sendiri tanpa memperdulikan makian Ceng
Ceng. "Adik Kim, tak salah lagi, inilah kit ab Omei-san itu yang dicuri oleh keluarga dari timur." kata gadis pertama yang manis dan di dagunya terdapat tahi lalat kecil yang
menambah manisnya. "Benar, cici, dan budak parempuan ini agaknya
anaknya." jawab gadis ke dua yang miliki sepasang mata
yang indah dan sepenuhnya membayangkan watak genit
baik dipandang dari alisnya yang panjang kecil dengan ujung
menjungat ke atas, bulu matanya yang bitam panjang
melengkung mendatangkan bayang-bayang pada pelupuk
matanya dan kerling mata yang meruncing ke sudut.
Sementara itu Ceng Ceng sudah kehabisan
kesabarannya. Cepat pedangnya bergerak me nerjang gadis
pertama yang tadi mengambil kitab sambil be rseru.
"Maling kecil, kau mencari mampus !" Akan tetapi, sinar
pedang yang kemerahan menangkis pedangnya itu dan
ternyata gadis ke dua yang bermata genit itu telah
menangkis dengan sebatang pedang pendek yang merah.
Melihat cara lawan ini menangkis, diam-diam Ceng Ceng
terkejut dan maklum babwa ia menghadapi lawan yang tidak
rendah kepandaiannya. Ia mengeluarkan seruan keras dan
kini ia menyerarg makin hebat, mendesak gadis berpedang
merah sambil mainkan Ilmu silat yang baru ia pelajari dari
kitab Omei-san itu. Gadis berpedang merah itu ternyata
hebat pula ilmu pedangnya, cepat dan kuat gerakan pedang
dan tenaganyapun tidak kalah oleh Ceng Ceng. Namun
menghadapi de sakan pureri Pek-thouw tiauw-ong ini yang
marah sekali, ia terpaksa main mundur.
"Enci Lin. budak ini kepandaiannya boleh juga. Bantu
aku !" teriak gadis berpedang me rah. Tak lama kemudian
sinar putih menyambar cepat dan Ceng Ceng terpaksa
38 melompat mundur sambil menangkis datangnya serangan
sinar putih yang ternyata lebih cepat dan kuat dari pada
sinar pedang marah. Ternyata bahwa ilmu pedang gadis
bertahi lalat di dagunya itu malah lebih tinggi dari pada !
Namun dalam menangkis serangan ini, Ce ng Ceng merasa
yakin bahwa ia masih dapat me ngimbangi kepandaian gadis
berpedang putih ini, kalau saja ia tidak dikeroyok. Kini
mereka maju bersama dan sepasang s inar marah dan putih
itu menyambar-nyambar seperti kilat, membuat ia sibuk
juga dan akhirnya terpaksa main mundur !
Dua orang gadis kakak beradik itu lalu tertawa dan si
tahi lalat di dagu berkata, "A Kim, budak ini manis sekali, jangan bunuh dia. Biarkan dia hidup dan kelak datang
menyusul kita agar ada ke gembiraan." Setelah berkata
demikian. gadis itu bersama adiknya melompat dan berlari
cepat. "Demikianlah, ayah. Kitab itu mereka bawa pergi. Aku
tidak berani memberitahukan ayah atau ibu, selain takut
mendapat marah juga ".. malu. Tadinya anak pikir akan
diam-diam me nyusul mereka dan menumpas kembali, akan
tetapi ayah mengajakku ke sini untuk me mbantu Huang-ho
Sian-jin, terpaksa maksud itu tertunda."
Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong membanting-banting
kakinya. "Bocah bodoh ! Selain kena dikalahkan orang, kau masih berkepala batu tidak segera memberi tahu kepadaku.
Mereka itu benar-benar berani menghina kita. Apa kau tidak
ada ingatan untuk bertanya siapa mereka itu pada waktu
mereka pergi?" "Ada kutanya nama mereka, ayah. Mereka mengaku
bernama Liok Cui Lin dan adiknya Liok Cui Kim, bahkan
sebelum pergi mereka menyatakan bahwa mereka tinggal di
dalam Hutan Ui tiok-lim (Hutan Bambo Kuning) di lembah
Sungai Luan-ho di luar tembok besar dekat Kota Raja Kin."
"Ui-tio-lim....... ?" Pek thouw- tiauw-ong Lie Kong terkejut mendengar disebutnya tempat ini dan ia saling pandang
39 dengan isterinya. Tempat itu sudah mereka kenal, sebuah
tempat yang amat berbahaya, yang ratusan tahun yang lalu
dibangun oleh seorang tokoh jahat dari utara. Tempat ini
penuh rahasia dan tangan-tangan maut menjangkau dari
tempat-tempat tersembunyi sehingga sudah sejak lama
sekali tak seorangpun berani mendatangi tempat yang
dianggap sebagai sarang iblis itu. Dan sekarang ditinggali
oleh dua orang gadis yang sanggup merampas kitab dari


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan Ce ng Ceng ! "Eh, mana dia....... ?" Tiba-tiba Lie Kong bertanya kaget ketika menengok tidak melihat Tiang Bu di situ.
"Entah. dia tadi melangkah ke sini dan agaknya ada
bayangan berkelebat di dekatku." kata Souw Cui Eng,
isterinya, kemudian nyonya itu menjadi pucat. "Katak itu
lelah hilang berikut tempatnya"
Lie Kong makin kagum. "Hebat sekali !" Bocah itu, tentu
dia yang mengambilnya, Ceng Ceng, apa kau tadi malihat
Tiang Bu pergi?" Gadis itu memang sejak tadi mempe rhatikan Tiang Bu,
akan tetapi iapun hanya melihat pemuda itu berkelebat dan
lenyap, maka ia menggeleng kepala.
Lie Kong nenarik napas panjang. " "Ceng Ceng, aku
masih tetap ingin sekali menjodohkan kau dengan dia. Di
dunia ini kiranya tidak mudah bagimu mencari jodoh seperti
orang muda tadi. Sekarang kita bersiap-siap setelah selesai
urusan di sini kita mengejar dua orang gadis Liok itu ke
utara." -oo(mch)oo- Tiang Bu memang telah mencuri katak dalam peti yarg
disimpan oleh Souw Cui Eng. Tadinya Tiang Bu merasa
curiga karena nyonya ini beberapa kali meraba saku baju
seakan-akan takut kalau ada barang penting lenyap dari
40 saku itu. Ia tadinya me ngira bahwa mungkin sekali kitab itu
diam-diam disimpan nyonya ini. Maka mendengar
penuturan Ceng Ceng bahwa kitab dari Omei san itu telah
dirampas oleh dua orang anak perempuan Liok, ia menjadi
kaget sekali. Karena tidak ada harapan lagi untuk
mendapatkan kitab dari keluarga ini ,. Tiang Bu lalu cepat
pergi setelah lebih dulu ia menggunakan kepandaian dan
kecepatannya untuk menyambar isi saku nyonya itu yang
ternyat a adalah peti ke cil dengan katak ajaib yang pernah
dilihatnya. Kebetulan, pikirnya. Harta benda itu memang sudah
sepatutnya kalau dipergunakan untuk menolong para
korban banjir. Akan tetapi katak wasiat ini siapa tahu kalaukalau menj adi benda simpanan Pangeran Wanyen Ci Lun,
biar kuambil dan kuke mbalikan kepadanya.
Setelah pergi dari lembah Sungai Huang-ho itu, Tiang Bu
teringat akan pemuda dan dia gadis yang lihai dan yang
tinggal di dalam kelenteng itu. Ia ingin tahu mereka itu
siapa, terutama gadis itu benar-be nar amat menarik hatinya.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Tiang Bu
menyusul ke kuil yang pernah dilihatnya ketika ia mengejar
Ceng Ceng. Ia ingin cepat bertemu dengan pemuda dan gadis
yang aneh itu, ingin berkenalan, terutama sekali dengan
gadisnya. Wajah gadis itu serasa tidak asing baginya, serasa
pernah dilihatnya, entah di mana dan bilamana ia sudah
lupa lagi. Ketika ia tiba di dekat kelenteng tua, ia melihat banyak
orang se dang hilir mudik mengangkuti barang-barang dari
dalam kelenteng. Terayata yang diangkuti itu adalah barangbarang perabot rumah tangga yang indah yang tadinya
menghias isi kelenteng! Apakah mereka hendak pindah" Tiang Bu benar-benar menjadi terheran-he ran ketika
mendapat kenyataan bahwa yang mengangkut adalah orangorang be rpakaian seperti tentara seragam. Dan mereka
bekerja nampak tergesa-gesa sekali. Selagi Tiang Bu bingung
41 tak tahu harus berbuat apa, ia mendengar suara senjata
be radu di tempat jauh, arah dekat sungai. Terdengar suara
lain lagi yang mendesak supaya para se rdadu itu bekerja
lebih cepat. (Bersambung jilid ke XV.)
42 (PEK LUI ENG) Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo Scan djvu : syauqy_arr Convert & edit : MCH Jilid XV KARENA tertarik, Tiang Bu cepat menye linap di antara
pepohonan dan menuju tempat pertempuran. Dan di dekat
sungat ia melihat pemuda tampan dan gadis jelita itu benarbenar tengah bertempur melawan seorang pemuda tampan
yang lain yang hebat sekali kepandaiannya. Pemuda itu
tampan, bertubuh jangkung kurus, dahinya lebar seperti
botak, mulutnya tersenyum-senyum mengejek dan mata
yang bersinar-sinar aneh! Yang hebat, ia mainkan senjata
yang luar biasa sekali, yaitu sebatang huncwe (pipa
tembakau) yang panjangnya dua kaki, terbuat dari pada
bambu badan batangnya dan tempat apinya dari tanah.
Akan tetapi ia mainkan huncwe itu secara l uar biasa sekaIi.
Jelas kelihatan oleh Tiang bu bahwa pemuda tampan ini
mainkan senjata huncwenya seperti orang mainkan pedang
dan ilmu pedangnya inilah yang hebat.
"Eh, seperti Soan-hong-kiams ut (llmu Pedang Angin
Puyuh) ?" eh, me ngapa begitu" Itu seperti Soan-lian
kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Saju') ....." Tiang Bu berkata
seorang diri ketika matanya mengikuti permainan pedang
yang dilakukan dengan huncwe itu. Apal agi ketika tiba- tiba
1 ia merasa sambaran huncwe itu mendatangkan hawa dingin,
ia tidak ragu lagi bahwa tentu pemuda ini mengerah tenaga
dalam Ilmu Pedang Teratai Salju, semacam ilmu pedang
disertai lweekang tinggi yang asalnyn dari Omei -san!
"Siapa dia yang begini lihai .....?" Tiang Bu dalam hati, membuat ia ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan
tapi kakak beradik itupun ternyata memiliki kepandaian
yang tidak rengah. Hebat se kali adalah dara jelita itu, karena ia menghadapi lawannya dengan senjata yang lebih luar
biasa lagi, yaitu dua ekor ular belang di kedua tangan kanan
kiri. Melihat senjata aneh di tangan dara cantik ini, Tiang
Bu, melengong dan seperti dibuka matanya. Teringatlah
akan peristiwa di puncak Gunung Omei-san ketika ia
melihat dua orang gadis kecil bertempur, yang se orang
adalah Lee Goat adiknya dan gadis kedua bukan lain adalah
gadis ini. Tak salah lagi! Dan pemuda itu ...... pemuda yang
sekarang mempergunakan pedang dengan amat indahnya
mengeroyok pemuda be rhuncwe itupun bukan lain adalah
pemuda yang kemudian datang melerai adiknya yang
berkelahi. Akan tetapi, pendapat ini tetap saja tidak
mendatangkan keyakinan di hati Tiang Bu apakah ia harus
membantu mereka. Ia tidak mengenal mereka, juga tidak
mengenal pemuda lihai berhuncwe itu, kalau tanpa
mengetahui urusannya ia membantu sefihak, itu tidak adil
sekali. Akan tetapi kalau didiamkanya saja. juga tidak betul
karena ia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis
itu. Selagi i a ragu ragu, terdengar pemuda berhuncwe itu
tertawa, suara ketawanya sungguh-sungguh berlawanan
dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang halus.
Suara ketawanya parau, kasar dan kurang ajar. Apalagi
ucapannya yang menyus ul ketawanya itu, "Ha, ha ha,
menurut patut aku harus membikin mampus kalian ini,
budak-budak bangsa Kin! Akan tetapi ...... aduh sayang
sekali kau, gadis manis. Mari ikut dengan aku mengejar
2 kebagiaan, dan aku akan mengampuni jiwa budak yang
menjadi kakakmu ini."
Kata-kata ini saja cukup bagi Tiang Bu untuk mengambil
keputusan membantu gadis itu. Bukan karena ia kini tahu
bahwa gadis dan kakaknya itu bangsa Kin, ia tidak
mempunyai hubungan dengan bangsa Kin, akan tapi
kenyataan bahwa pemuda berhuncwe itu ternyata cabul dan
jahat cukup membuat ia menganggapnya bersalah.
"Se tan pe madatan jangan kau menjual lagak," bentak
Tiang Bu dan begitu ia menyerbu, pemuda berhuncwe itu
terkejut setengah mati . Tadinya ia sudah melihat datangnya
pemuda sederhana ini, akan tetapi tidak memperhatikannya
dan tidak memandang sebelah mata, mengira bahwa
pemuda itu bukan lain adalah seorang di antara "kuli-kuli"
pemuda dan gadis itu. Kiranya sekarang begitu membentak
dan me nyerbu dengan tangan kosong angin dorongan
tangannya menyambar hebat dan hampir saja huncwenya
terlepas dari pegangan dan hampir terampas kalau saja
tidak cepat-cepat melompat mundur.
Dara jelita dan pemuda itu seperti pembaca sudah dapat
menduga adalah Wan Bi Li dan kakaknya, Wan Sun, melihat
datangnya benturan, dapat bernapas lega. Tentu saja
mereka mengenal Tiang Bu sebagai pemuda yang kemarin
mengejar-ngejar Ceng Ceng, akan tetapi karena sekarang
pemuda ini membantu mereka melawan si pemegang
huncwe yang lihai, mereka segera bersiap untuk mangeroyok
pemegang huncwe itu. Pada saat semua barang dari dalam kuil sudah diangkut
ke sebelah perahu besar yang sejak tadi berada di tepi pantai sungai dan muncullah seorang pangli ma gundul dari dalam
perahu itu. "Bi Li dan kongcu, mari kita berangkat!" seru panglima
ini dengan suara keras. Dua orang pemuda itu biarpun raguragu tak berani membantah perintah ini dan segera me reka
melompat keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan
3 Tiang Bu seorang diri menghadapi si pemegang huncwe,
te rus mereka berlompatan lari ke atas perahu.
"Gadis manis tunggulah aku!" Si pemegang huncwe
berseru dan tubuhnya berkelebat mengejar. Bukan main
cepatnya gerakannya ini kare na tahu- tahu ia sudah berada
di dekat Bi Li yang melarikan diri dan begitu mulutnya
ditiupkan segulung asap ungu menyambar ke arah muka Bi
Li dan gadis itu terguling ! Akan tetapi, Tiang Bu yang
tadinya bengong dan heran mengenai panglima gundul di
perahu besar itu adalah Kwan Kok Sun atau orang gundul
yang dahulu membunuh suhunya, Bu Hok Lokai kini
menjadi sadar melihat tergulingnya Bi Li. Ia berseru keras
dan pemuda berhuncwe yang sudah membungkuk untuk
menyambar tubuh Bi Li, tiba-tiba terpental dan bergulingan
sampai beberapa tombak jauhnya. Ternyat a ia telah kena
didorong oleh Tiang Bu yang marah sekali.
Hebatnya, dorongan yang dilakukan dengan tenaga
lweekang besar itu agaknya tidak melukai pemuda
berhuncwe ini. Ia telah bangkit kembali dan telah melompat
ke dekat Tiang Bu dengan muka bengong terheran, bahkan
saking herannya meli hat kelihaian Tiang Bu tadi, ia sampai
tidak memperhatikan dan tidak perduli lagi melihat Bi Li
dipondong oleh kakaknya dan dibawa lari ke atas perahu.
Kemudian perahu dengan cepat berlayar ke tengah s ungai
yang sedang banjir ! "Bagus, jadi kau mempunyai sedikit kepandaian" Setan
belang, kau ini siapakah berani sekali mencampuri
urusanku!" Tiang Bu tersenyum, lega melihat gadis manis itu sudah
pergi dengan aman. Kini ia mendapat banyak ke sempatan
untuk melihat dan memperhatikan pemuda itu. Pemuda itu
paling banyak berusia dua puluh satu tahun dan biarpun
wajah dan gerak-geriknya serta pakai annya menandakan
bahwa dia itu seorang sopan terpelajar namun sepasang
matanya membuat orang berdebar ngeri. Sepasang mata
4 mempunyai sinar yang aneh menyambar-nyambar dan
seperti bukan mata manusia. Di dalam matanya inilah letak
keistimewaan dan mungkin kejahatan pemuda ini, pikir
Tiang Bu, kagum melihat seorang masih begini muda sudah
memiliki kepandaian tinggi. Ia amat tertarik kare na tadi ia
mengenal dua ilmu pedang terbayang dalam ilmu pedang
yang dimainkan dengan huncwe oleh pemuda ini, dan dua
ilmu pedang yang berasal dari Omei -san.
"Sobat, ilmu silatmu hebat sekali. Sayang kau berlaku
kurang sopan kepada seorang gadis terhormat. Setelah gadis
itu pergi, perlukah kita meneruskan permusuhan "
Bukankah lebih baik kita berkenalan " Namaku Tiang Bu
dan aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan
kau, hanya tadi aku ingin menolong nona itu...... "
Akan tetapi ia melongo ketika tiba-tiba pemuda
berhuncwe itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya
dan kadang-kadang menatap wajahnya. Tiang Bu merasa
seakan-akan mukanya ada coretan arang, ia menjadi gemas
sekali akan tetapi diam-diam ia meraba-raba mukanya kalau
kalau muka itu kotor dan kelihatan lucu membuat orang
tertawa seperti tadi. "Ha-ha ha-ha, kau ...... " Kau yang bernama Tiang Bu
...... !" Ha-ha ha ha. kok begini saja macamnya " Lucu......
lucu...... !" Pada saat itu, dari jauh terdengar suara wanita bertanya.
"Twako kau tertawa- tawa gembira ada apakah ?"
Mendengar pertanyaan ini, pemuda Itu makin keras
ketawanya dan Tiang Bu diam-diam terkejut. Suara
pertanyaan Itu dikeluarkan orang dari tempat jauh dengan
pengerahan ilmu Coan im-jip-bit (Mengirimi Suara dari
Jauh) yang cukup li hai, tanda bahwa wanita yang bicara
tadipun memiliki kepandaian tidak boleh dipandang ringan.
"Moi.moi, kalian lekas datang ke sini. Ada hal yang amat menyenangkan dan menggelikan hati . Lekas!" Pemuda
5 berhuncwe menjawab, juga dengan pengerahan Ilmu Coan
lm-jip-bit ke arah barat dari mana suara datang.
Baru saja gema suara ini lenyap, dari barat berlari datang
dua orang gadis berpakaian serba merah dan ketika dua
orang gadis itu datang dekat, Tiang Bu mendapat kenyataan
bahwa mereka ini masih muda belia, paling banyak usia
mereka sembilan belas dan delapan belas tahun, keduanya
cantik-cantik dan manis-manis menggairahkan. Apalagi cara
mereka berpakaian amat ketat dan ringkas, mencetak
be ntuk tubuh mereka yang bagaikan kembang baru mekarmekarnya sehingga muka Tiang Bu menjadi merah padam
melihat lekuk-lekuk tubuh yang ke ncang menantang dan
dicetak oleh pakaian tipis, padahal biasanya disembunyikan
rapat-rapat oleh setiap orang gadis sopan. Gadis pertama
yang mempunyai tahi lalat merah kecil di dagunya berusia
paling banyak sembilan belas tahun, matanya galak kejam
akan tetapi bibirnya yang indah bentuknya itu tersenyum
manis sekali. Gadis kedua yang lebih muda sedikit amat


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menarik karena memiliki sepasang mata yang bening dan
indah bentuknya, bergerak- gerak dengan amat genit,
ke rlingnya tajam menyambar-nyambar dari ujung mata.
"Apa yang menyenangkan hati twako tanya gadis bertahi
lalat sambil memandang kearah Tiang Bu. "Apakah pemuda
seperti ini kau bi lang menyenangkan ?"
"Biarpun tidak menyenangkan, memang betul dia
menggelikan," kata gadis ke dua dan kerlingnya menyambar ke arah muka Tiang Bu yang menjadi makin merah, semerah
warna pakaian dua orang dara lincah ini. "Enci Lin, kaul ihat, matanya lapar betul."
Memang sepasang mata Tiang Bu menyapu mereka
berdua dan nampaknya "lapar" sekali, padahal pemuda ini memperhatikan mereka karena amat tertarik melihat
keadaan mereka ini seperti yang digambarkan oleh Ceng
Ceng! Tahi lalat di dagu itu! Dan sikap dua orang gadis ini,
tak salah lagi inilah dua orang gadis she Liok yang telah
6 merampas *kItab Omei-san dari tangan Ceng Ceng. Sebelum
ia sempat menegur atau bertanya, pemuda yang memegang
huncwe itu sudah berkata,
"Kalian tidak tahu, beliau ini bukan orang lain, akan
tetapi inilah dia yang be rnama Tiang Bu !"
Disebutnya nama ini benar-benar mendatangkan
perubuhan besar pada dua orang dara manis itu. Lcnyap
muka yang tadinya geli mentertawakan itu, terganti oleh
perasaan heran, kagum, dan bahkan ..... mencari-cari muka.
"Memang namaku Tiang Bu apakah anehnya dengan itu
" Kalian ini siapa?"
Pemuda be rhuncwe itu membusungkan dada, berdiri
dengan sikap menantang di depan Tiang Bu, lalu menjawab
dengau suaranya yang kasar dan se rak,
"Mau tahu namaku" Aku...... Cui Kong namaku tidah
kalah baiknya dengan namamu, juga aku lebi h tampan.
Adapun tentang kepandaian, aku tidak kalah kalau belum
mencoba. Sambut ini !" Begitu kata-kata ini dike luarkan
huncwe itu meluncur cepat menusuk tenggorokan Tiang Bu,
disusul oleh tangan kiri yang masuk ke perut dengan telapak
miring seperti pedang membacok. Inilah serangan maut yang
luar biasa lihai dan berbahayanya.
"Bagus !" seru Tiang Bu yang cepat sekali reaksinya
menghadapi serangan dahsyat yang dilancarkan secara tibatiba ini. Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tidak
main-main dan menyerangnya dengan mati-matian, begitu
pula bahwa pemuda yang mengaku bernama Cui Kong ini
memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng
Ceng, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li dan
kakaknya. Cepat ia mengerahkan ginkangnya, berkelebat
mengelak tusukan huncwe ke tenggorokan sedangkan
tangan kiri lawan yang "membacok" perutnya itu ia sambut dengan tangan kanan untuk dicengkeram.
7 Akan tetapi Cui Kong ternyata cerdik dan gesit sekali.
Rupanya pemuda tampan inipun sudah dapat menduga
akan ke lihaian Tiang Bu dan karenanya merasa jerih untuk
mangadu tangan. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya
yang seperti see kor ular tahu-tahu telah menyusup ke dalam
saku bajunya dan keluar lagi, kemudian dibarengi bentakan
aneh, dari mulut pemuda itu menyambar asap ungu dan
dari tangan kirinya menyambar jarum-jarum hitam,
sedangkan huncwenya meluncur lagi ke arah ulu hati Tiang
Bu. Sekaligus tiga macam serangan yang dapat merenggut
nyawa telah mengurung Tiang Bu.
"Ganas dan keji...... !" seru Tiang Bu kaget. Ia cepat
melompat sambil mengumpulkan sinkangnya menggerakkan
tangan berulang-ulang untuk memukul runtuh jarum-jarum
hitam yang menyambar ke arahnya itu dengan hawa
pukulannya, sedangkan dengan tenaga khikang yang
mengagumkan, ia meniup arah asap ungu itu sehingga
buyar dan terbang tetbawa angin.
"'Hebat....... !" demikian dua orang gadis menonton
pertempuran itu memuji kepandaian Tiang Bu. Juga Cui
Kong diam-diam merasa kagum dan kaget sekali melihat
cara Tiang Bu menghadapi semua se rangan dengan
demikian aneh dan mudah. Namun masih merasa penasaran
dan dengan marah kembali menyerang dengan empat cara,
yaitu dengan huncwe, dengan asap ungu, dengan jarumjarum hitam atau dengan tangan kirinya. Setiap gerakan
dalam serangan ini merupak tangan maut menjangkau ke
arah nyawa Tiang Bu, karena serangan huncwe selalu
ditujukan kepada bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan
asap ungu dan jarum hitam itu semuanya mengandung
racun yang amat jahat, juga pukulan-pukulan tangan kiri
selalu mengarah jalan darah kematian. Menghadapi
serangan-serangan lawan yang amat ganas ini, Tiang Bu
marah sekali. Akan tetapi dia tidak sekeji Cui Kong dan tidak mau dia menewaskan orang tanpa se bab. Kalau Tiang Bu
menghendaki, dengan ilmunya yang jauh masih berada di
8 atas tingkat Cui Kong kiranya mudah saja ia mengeluarkan
serangan maut sebagai balasan yang takkan mungkin dapat
dihindari oleh lawannya. Akan tetapi Tiang Bu tidak berniat
membunuh orang. Ia hanya ingin mengukur sampai di mana
kepandaian pemuda ini dan ingin mengalahkannya tanpa
membunuh atau melukai berat. Inilah yang sukar karena
pemuda inipun bukan orang lemah dan memiliki kepandaian
tinggi sekali, maka mengalahkan dia tanpa melukai berat
atau membunuh, hanya mudah dibicarakan akan tetapi
pelaksanaannya sukar sekali.
"Aha, kau benar lihai, dan hatimu lemah sekali. Ha haha!" berteriak-teriak Cui Kong memuji dibarengi ejekanejekan yang memanaskan hati. "Lihat , alangkah manisnya
Cui Lin dan Cui Kim itu, alangkah bagusnya bentuk
badannya. Eh, Tiang Bu, kalau kau bisa me nangkan aku,
akan kuberikan mereka kepadamu untuk menyenangkan
hatimu!" Tiang Bu marah sekali dan berusaha sekerasnya untuk
merobohkan lawan yang lihai tangan lihai mulut ini. Seratus
lima puluh jurus sudah lewat dan selama itu Tiang Bu tetap
menghadapinya dengan tangan kosong. Makin lama Tiang
Bu makin terkejut oleh karena ilmu silat dari pemuda di
depannya itu selain lihai sekali juga banyak macamnya dan
diantaranya terdapat ilmu pedang yang sifat nya tak salah
lagi bers umbe r pada ilmu-ilmu Omei-san Di lain pihak,
biarpun mulutnya mengome l namun Cui Kong diam-diam
merasa panas bukan main. Belum pernah selama hidupnya
menghadapi lawan sehebat ini yang melayani huncwe dan
senjata-senjata rahasianya hanya dengan dua tangan kosong
untuk selama seratus lima puluh jutus, sedikitpun tak
pernah terdesak bahkan mendesaknya dengan hebat. Saking
ge mas dan penasaran, ia melompat mundur dan melakukan
pelanggaran apa yang dilarang oleh ayahnya, yaitu
melakukan pukulan dahsyat ajaran ayahnya. Pukulan Tinsan-kang (Pukulan Mendorong Gunung). Tubuhnya agak
merendah setengah berjongkok selagi Tiang Bu mengejar
9 maju, Cui Kong dorong dengan kedua tangan kosong ke
depan mulutnya membentak, "Roboh ...... !!"
Hebat tekali pukulan Tin-san-kang ini. Pukulan ini
asalnya ciptaan seorang tosu kenamaan, ketua lm-yang bu
pai dan bernama Giok Seng Cu. Tosu rambut panjang ini
adalah murid Pak Hong Siansu. Oleh Giok Seng Cu ilmu ini
diturunkan kepada Liok Kong Ji dan dari Liok Kong Ji
menurun kepada Cui Kong. Dalam me nggunakan ilmu ini,
te rnyata Cui Kong tidak kalah lihainya oleh Liok Kong Ji.
Tiang Bu meras a seperti terbawa tiupan angin ke ras, dan
ia tidak kuasa menahan lagi. Biarpun ia sudah mengerahkan
te naga sehingga pukulan ini sama sekal i tidat dapat
melukainya, namun dorongan hawa pukulan dahsyat ini
membuatnya terlempar ke belakang dan roboh terlentang!
Saking kaget dan kagumnya ia tidak cepat-cepat berdiri dan
ini dipergunakan oleh Cui Kong yang berwatak licik. Melihat
betapa Tiang Bu hanya roboh saja dan pada mukanya tidak
terlihat tanda kesakitan melainkan ke heranan, Cui Kong
masih belum puas akan kemenangannya, cepat ia melompat
mendekati dan kini dari jarak dekat ia melancarkan pukulan
Tin-san-kang pada perut Tiang Bu. Pukulan maut !
Kali ini Tiang Bu tidak mau mengalah lagi karena
menghadapi bahaya sebesar itu, mengalah berarti mati.
Dengan tubuh masih telentang di atas tanah, ia
menggerakkan kedua tangannya dipukulkan ke atas, ke
arah dua tangan Cui Kong yang menghantamnya.
Biarpun tidak kelihatan dua pasang tangan bertemu,
namun pertemuan dua tenaga raksasa di te ngah udara itu
akibatnya hebat sekali. Tubuh Tiang Bu yang terlentang itu
melesak ke dalam tanah sampai sejengkal lebih, sedangkan
tubuh Cui Kong bagaikan tertendang dari bawah, terpental
ke atas kemudian roboh lemas dan muntah-muntah darah !
"Saudaraku Tiang Bu, aku mengaku kalah ".. kau patut
menjadi putera sejati dari ayah....." kata Cui Kong dan dua
orang gadis itu maju dan merangkul pundak Tiang Bu.
10 "Koko, kau be nar-benar lihai sekali"." kata Cui Lin
sambil meremas remas tangan Tiang Bu.
*Koko, kau nanti harus ajarkan pukulan hebat itu
kepada adikmu ini, biar upah. kuberi dulu ...... " kata Cui Kin dan cepat me raih kepala Tiang Bu untuk ditarik dan
diciumnya pipi pemuda itu dengan bibir dan hidungnya.
Hal ini sama sekali di luar dugaan Tiang Bu. Karuan saja
ia menjadi gelagapan hampir saja ia mendorong dua orang
gadis itu kalau saja t idat terjadi hal yang aneh di dalam
dirinya. Entah mengapa, begitu dua orang gadis itu
merangkulnya dan bersikap manja dan manis, begitu kulit
lengan yang halus putih bersentuhan dengan kulit leher dan
lengannya, begitu keharuman bunga- bunga yang keluar
dari pakaian mereka menyentuh hidungnya, tiba-tiba saja
Tiang Bu menjadi panas seluruh tubuhnya. Dadanya
berdebar tidak karuan, kepalanya seperti berdenyut-denyut,
pandang matanya berkunang dan pikirannya menjadi tidak
karuan. Tiba-tiba saja timbul sesuatu yang mendorongnya
untuk merasa senang, merasa gembira berse ntuh kulit
dengan dua orang gadis ini, bahkan membuatnya ingin
membalas dan menyambut tangan dan belaian mereka.
Pe ndeknya dalam waktu singkat dan secara aneh sekali,
nafsu binatang telah menguasai hati dan pikiran Tiang-Bu,
sukar untuk dilawan lagi.
Sementara itu, Cui Kong sudah bangun berdiri dan
menghapus darah yang me lumuri bibirnya, lalu
menghampiri Tiang Bu sambil menjura dan berkata,
'Benar-benar siauwie takluk sekali, kepandaian Tiang Bu
koko patut dikagumi dan tentu akan membanggakan hati
ayah kita." Tiang Bu agak tersadar dari pada buaian pengaruh aneh
yang memabokkannya melihat kedatangan Cui Kong, akan
tetapi i a menjadi terheran- heran. "Kalian ini s iapakah " Dan apa maksud kata-kata yang ganjil itu"'
11 "'Saudara tua Tiang Bu harap maklum bahwa aku adalah
putera angkat dari ayahmu Liok Kong Ji, jadi kita masih
terhitung saudara, dan mereka ini, Cui Lin dan Cui Kim
adalah ?"" "Kami juga saudara-saudara angkat, akan tetapi seperti
telah dijanjikan oleh Cui Kong toako tadi, setelah dia kalah
maka kami menjadi...... ' setelah berkata demikian, dengan
stkap genit sekali Cui Lin menggandeng t angan kanan Tiang
Bu sedangkan tangan kiri pemuda itu digandeng oleh Cui
Kim ! Adapun Cut Kong memandang dengan tersenyum
girang, lalu katanya. "Tiang Bu koko, mari silakan mengaso di tempat di mana
kita dapat bercakap- cakap dengan senang."
"Kita bukan saudara...... " bantah Tiang Bu lemah karena hatinya makin tidak karuan ketika dua tangannya digandeng
dan dibelai oleh dua orang dara cantik itu, "Aku ...... aku bukan anak Liok Kong Ji".."
Akan tetapi sambil tertawa-tawa Cui Kim berkata, "Aah,
koko jangan kau main-main dicubitnya lengan pemuda itu
dan ditarik-tariknya maju. Sambil tcrtawa-tawa dua orang
gadis itu membetot Tiang Bu yang terpaksa berjalan bersama
mereka, singguhpun mukanya masih memperlihatkan
keraguan Cui Kong di sepanjang jalan terus menerus
'bernyanyi" memuji kegagahan, kelihaian Tiang Bu. Bahkan
kini dua orang gadis itu mulai memuji-muji ketampanan
Tiang Bu, pada hal tadi mereka mencela. Anehnya. Tiang Bu
yang biasanya be rwatak gagah dan bersemangat, kini
seakan-akan pikirannya diselubungi sesuatu yang membuat
daya pikirannya tumpul, membuat ia seperti kehilangan
semangat dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu, kotor.
Tentu saja ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal ini
adalah akibat pengeruh katak ajaib yang ada di dalam saku
bajunya! Katak hijau itu memang betul semacam katak yang
beracun aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh Pekthouw tiauw-ong Lie Kong bahwa katak hijau itu adlah katak
12 pembangkit asmara. Racun yang keluar dari tubuh katak itu
menjalar kepada orang yang membawanya dan
mendatangkan pengaruh yang luar biasa kuatnya sehingga
orang yang membawanya akan diserang nafsu berahi yang
tidak sewajarnya, membuat orang itu gelap mata dan
kehilangan semangatnya. Kalau si pembawa tidak
bersentuhan kulit dengan wanita, maka pengaruh katak itu
tidak terasa. Akan tetapi sekali orang bersentuhan kulit
dengan seorang wanita, ia akan terpenguruh hebat sekali,
apa lagi jika yang terpengaruh itu orang yang memang pada
dasarnya mempunyai watak romantis. Adapun Tiang Bu,
sebagai putera Liok Kong Ji yang aseli, ternyata sedikit
banyak ada "darah" ayahnya mengalir di tubuhnya yang
membawa watak "gila perempuan' dari ayahnya itu
kepadanya. Oleh sebab inilah maka mudah sekali dibinggapi
penyakit dari racun katak itu.
Bagaikan orang mabuk, Tiang Bu menurut saja
digandeng dan ditarik oleh Cui Lin dan Cui Kim, se perti
see kor kerbau ditarik hidungnya. Mereka menuju ke sebuah
pondok kecil yang berada di sebuah hutan, be las an li dari
pantai sungai tadi di mana perahu besar ng membawa Bi Li
dan W an Sun menghilang. Seperti kelenteng tua yang ditinggali Bi Li dan Wan Sun
tadi, pondok inipun dalamnya serba indah dan mewah,
bahkan di sini terdapat tiga orang pelayan laki-laki. Cui
Kong segera memberi perintah kepada para pelayan untuk


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan hidangan arak wangi dan Tiang Bu dijamu
dengan segala kehormatan.
Dengan ramah-tamah Cui Kong menuangkan arak wangi
dalam cawan besar penuh dan memberikan cawan itu
kepada Tiang Bu. "Tiang Bu koko, silakan menerima ucapan selamat bertemu dari si auwte dengan se gelas arak
"'Aku...... aku tidak biasa minum arak," kata Tiang Bu
menolak. 13 Akan tetapi Cui Kim merangkul lehernya dan menerima
cawan arak itu lalu menempelkannya pada bibir Tiang Bu
sambil berkata "Koko, apakah kau tidak suka kepada kami.
Terimalah. biar ucapan selamat itu ditambahi oleh
penghormatanku." Dihadapi bujuk rayu oleh si jelita dalam
keadaan dia sedang terpengaruh oleh racun katak hijau,
mana Tiang Bu dapat menolaknya" Sambil tersenyumsenyum bingung ia akhirnya menerima juga minum arak itu.
Akan tetapi begitu arak itu mrmasuki mulutnya, hawa
sinkang di dalam tubuhnya otomatis nai k den menahan arak
itu sehingga tidak sampai masuk ke tenggorokan. Tiang Bu
merasa sesuatu yang panas, pedas dan nenusuk-nusuk dari
arak itu maka di dalam setengah sadarnya ia bercuriga.
Cepat ia memutar kepala ke samping dan menyemburkan
arak itu ke t anah. "Racun...... !" katanya. Sebenarnya seruan itu hanya
karena kagetnya s aja merasa sesuaru yang amat tidak cocok
di dalam mulutnya, akan tetapi tanpa disengaja ia telah
mengeluarkan seruan yang amat tepat. Kalau saja Tiang Bu
memperhatikan, tentu ia melihat betapa wajah Cui Kong dan
dua orang gadis itu me njadi pucat. Bahkan Cui Kong sudah
menarik huncwenya, bersiap kalau-kalau Tiang Bu akan
menyerang. Akan tetapi karena melihat Ti ang Bu tidak
menyerangnya, Cui Kong lalu menyambar cawan arak di
tangan Tiang Bu yang masih ada sisa araknya.
"Kurang ajar, kau berani mencoba meracuni kakakku?"
bentaknya kepada pelayan yang tadi menge luarkan
hidangan. "Tidak ...... siauwya...... bukankah siuwya menyuruh
hamba ......" Kata-kat a pelayan yang menjadi ket akutan itu dipotong
cepat oleh Cui Kong. "Aku menyuruhmu mengeluarkan arak
te rbaik dan yang paling wangi, akan tetapi apa yang
kauhidangkan" Arak obat luka, arak yang mengandung
racun. Hayo kauminum ini!" Ia mengulurksn tangan
14 memberikan cawan itu, akan tetapi pelayan itu dengan
muka pucat dan tubuh gemetar mundur tidak mau
menerimanya. 'Tidak...... tidak...... ampun siauwya?"
Akan tetapi sebuah totokan dengan ujung huncwe
membuat pelayan itu berdiri kaku dengan mul ut ternganga,
kemudian sekali menggerakkan cawan, isi cawan itu
tertuang ke dalam mulut terus memasuki perut si pelayan
yang bernasib malang. Setelah itu Cui Kong menotok pula
jalan darah pelayan itu membebaskannya. Akan tetapi racun
sudah bekerja dan seke tika itu juga pelayan itu terjungkal,
berkelojotan dan ...... mati.
"Akh, mengapa dia dibunuh?" Tiang Bu mencela, kaget
dan ngeri. "Dia tentu pesuruh musuh-musuhmu, twako. Dia itu
pelayan yang baru saja tiga hari bekerja pada kami. Kalau
tidak dibunuh, dia bisa berbahaya," jawab Cui Kong yang
segera me nyuruh dua orang pelayan lain untuk mcngurus
mayat pelayan sial itu. Kemudian ia mengundurkan diri dan
mempersilakan Tiang Bu bersenang-senang dengan dua
orang gadis itu. Tiang Bu benar-benar seperti orang lemah. Tak kuasa ia
mengusir pengaruh racun katak pembangkit asmara itu dan
akibatnya membawa ia seperti buta, tidak dapat ia menolak
cumbu rayu kedua orang gadis yang sikapnya amat manis ,
mesra dan penuh cinta kasih kepadanya. Tiang Bu menjadi
lupa akan segala ilmu batin yang pernah dipelajarinya, ia
tidak berdaya dan menurut saja dirinya dibawa dan diseret
ke jurang kehinaan oleh dua orang gadis yang biarpun pada
lahirnya cantik-cantik, namun di lubuk hatinya sebetulnya
adalah siluman-siluman bermuka manusia ini.
Pada keesokan harinya, seperti orang yang baru sadar
dari maboknya, Tiang Bu mendapatkan dirinya terlentang di
atas pembaring, di dalam kamar yang indah dan harum. Ia
15 tak melihat Cui Lin dan Cui Kim dan tubuhnya terasa kaku
dan sakit-sakit ketika ia hendak bangun. Pada saat itu,
perasaannya yang sudah terlatih, juga berkat sinkangnya
yang tinggi. ia tahu akan adanya senjata-senjata rahasia
yang menyambar. Cepat sekali reaksinya dan di lain saat ia
telah mengge lundungkan tubuh ke bawah ranjang dan cepat
melompat berdiri pada saat ujung huncwe di tangan Cui
Kong menusuk ke arah matanya.
Tiang Bu kaget bukan main. Se rangan ini luar biasa
cepatnya dan pula sedang dalam keadaan limbung.
pikirannya masih belum sadar benar, baiknya ilmu silat
yang dilatih be rtahun tahun oleh Tiang Bu adalah ilmu silat
tinggi yang jarang bandingannya di dunia. Kedua kakinya
secara otomatis sudah bergerak menurutkan Ilmu Kelit Samhoan-sam-bu. Kedua kaki ini ketika bergerak dalam I lmu
Kelit Sam-hoan-sam-bu, seakan-akan dua ekor ular saja
lemasnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melejit ke samping
dan bebaslah ia dari tusukan yang mengarah matanya.
Sebelum ia dapat mengatur kembali posisinya. Cui Kong
telah menerjangnya lagi dengan ilmu silatnya yang cepat dan
lihai, dengan serangan-serangan bertubi-tubi yang amat
ganas dan dahsyat. Kamar itu cukup lebar, tetapi karena di
situ terdapat meja kursi, sukar juga bagi Tiang Bu untuk
menghindar diri dari serangan-serangan yang bertubi -tubi
dan amat lihai itu, sehingga dua kali ia terkena juga tusukan ujung bambu huncwe, sekali pada pahanya, dan kedua
kalinya pada pundaknya. Baiknya tubuh pemuda ini sudah
luar biasa kuatnya, kebal dan tidak mudah terl uka sehiogga
tusukan-tusukan yang de mikian cepat dan kerasnya itu
hanya merobek pakaian dan sedikit daging di bawah kulit
saja, sama sekali tidak mendatangkan luka yang
membayakan. Marahlah Tiang Bu. Tadinya ia belum membalas karena
tidak tahu apa sebabnya ia diserang mati-matian oleh
pemuda yang mengaku sebagai saudararya itu. Akan tetapi,
16 luka-luka di pundak dan pahanya membuat ia maklum
bahwa tanpa perlawanan, ia akan menghadapi malapetiaka.
Sambil berseru keras yang merupakan bentakan dahsyat,
Tiang Bu mementang kedua tangannya dan sepuluh jari
tangannya didorongkan ke depan. Inilah pukulan dahsyat
sekali dari Ilmu Pukulan Pek-lo (Jari-jari Geledek). Masih
balk bagi Cui Kong bahwa Tiang Bu tidak bermaksud
membunuhnya maka pukulan dahsyat ini ditujukan ke
bawah. Cui Kong menjerit keras dan terlempar keluar
kamar, kedua tulang pahanya remuk.
Tiang Bu hendak melompat keluar pula, te tapi tiba-tiba
Cui Lin dan Cui Kim lari masuk dan memeluknya.
"Koko yang baik, jangan bunuh dia"." Cui Lin me mbujuk
sedangkan Cui Kim memeluknya erat-erat. Begitu dua orang
gadis itu berada di dekatnya, lemaslah seluruh tubuh Tiang
Bu, lenyap kemarahannya. "Akan te tapi...... kenapa dia...... hendak membunuhku ?"
tanyanya, keningnya berkarut matanya bersinar penasaran.
"Duduklah ...... biar kuterangkan kepadamu ...... " kata Cui Lin dan bersama adiknya ia menyeret Tiang Bu untuk
duduk di atas ranjang. "Sesungguhnya, te rus terang s aja, dia mempunyai hati
kepadaku, akan tetapi aku tidak membalas cintanya dan
...... dan cinta padamu. Ini agaknya membuat iri dan
cemburu dan tanpa tanya lagi dia me nyerangmu. Akan
tetapi dia sudah mendapat bagiannya dan tentu kapok. Biar
dia pergi dari sini, jangan kita perdulikan dia."
'Koko, kau ...... kau gagah parkasa hebat ...... !I" Cui Kim memuji dan nampak bangga sekali.
Untuk kedua kalinya Tiang Bu roboh. Racun katak sudah
menjalar memasuki darahya membuat ia lupa daratan dan
tidak tahu bahwa dua orang wanita cantik ini mengatur
siasat untuk mencelakakannya. Namun, Cui Kim dan Cui
Lin agaknya jerih menghadapi kelihaian ilmu silat Tiang Bu,
17 sehingga sampai sebulan lebih mereka mengajak Tiang Bu
bersenang-senang di tempat itu. Segala keperluan
disediakan oleh dua orang pelayan itu dan anehnya, di
tempat sesunyi itu apa saja yang dikehendaki mereka akan
tersedia, makanan-makanan yang mahal atau minumanminuman yang lezat. Dalam maboknya, hal inipun tidak
menarik perhatian Tiang Bu, apalagi menimbulkan
kecurigaannya. Di luar pengetahuannya, makin lama tubuh Tiang Bu
makin le mas. Racun katak itu memang hebat. Kalau yang
dirangsang tidak melayaninya, racun itu takkan ada
gunanya dan akan mati sendiri. Sebaliknya, apabila orang
yang dirangsang menuruti dorongan nafsu yang timbul dari
rangsangan racun ini, racun itu akan bekerja makin hebat,
mengeram dalam jalan-jalan darah dan menyerang jantung.
Kalau bukan Tiang Bu. dalam waktu dua pekan saja orang
yang menuruti nafsu akibat rangsangan racun ini akan
kehabisan semua tenaganya dan darahnya akan keracunan
sedemikian hebat yang akan merenggut nyawa. Baiknya
Tiang Bu memang memiliki sinkang luar biasa, juga ia
pernah mempelijari kitab Seng-thian-to dan melatih
semacam yoga yang tertinggi, maka pengaruh racun itu
dalam waktu sebulan lebih hanya membuat ia lemas saja
dan tenaga sinkangnya banyak yang lolos ke -luar !
Empat puluh hari sudah lamanya Tiang Bu
dipermainkan oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim dan
masih tetap saja dua orang gadis ini jerih dan tidak berani
sembarangan turun tangan terhadap Tiang Bu. Pada suatu
pagi, Tiang Bu yang makin lemas tubuhnya dan masih
belum bangun dari tidurnya, akan tetapi dua orang wanita
itu sudah berhias dan se dang mengatur hidangan pagi di
atas meja. Tiba-tiba terdengar suara. "kok kok kok kok !"
yang nyaring. Cui Lin dan Cui Kim sampai tersentak
mendengar suara ini di dalam kamar. Mereka melihat Tiang
Bu masih tidur dan ketika mereka mercari-cari, terlihatlah
kotak hitam berukir di bawah bantal Tiang Bu. Dengan hati18 hati Cui Kim mengamhil kotak ini dan kembali terdengar
suara nyaring seperti tadi. Cui Kim membuka perlahan
tutupnya dan"... seekor katak hijau melompat keluar, terus
ia menycrbu ke atas meja dan ...... makan makanan buah
yang berada di situ. Agaknya katak ini paling doyan manisan
atau makanan yang manis- manis maka tadi ketika
mencium bau manis-manis yang baru dihidangkan pagi ini,
ia memberontak dan berbunyi di dalam kotaknya. Katak
aneh itu memang luar biasa biarpun tidak diberi makan
sampai berbulan-bulan ia tidak apa-apa.
"Aneh sekali!" kata Cui Kim. 'Untuk apakah dia
menyimpan seekor katak"'
"Hush, jangan keras keras. Kukira katak ini se macam
katak ajaib yang besar kasiatnya. Biar kupegang dia," Cepat sekali tangan Cui Lin menyambar, namun sekali
menggerakkan ping gul saja katak itu sudah dapat mengelak.
Tiga kali Cui Lin menubruk, selalu katak itu dapat mengelak
di atas meja, mengelili ngi piring berisi manisan itu.
"Pancing dengan manisan." kata Cui Kim yang segera
mengambil semua manisan, disukkan ke dalam kotak. Benar
saja, katak segera melompat dan sekali melompat tahu-tahu
ia telah berada di dalam kotak. Demikian cepat
lompatannya. Cui Kim cepat menutup kot ak itu dan
memasukkannya ke dalam sakunya.
Suara ribut-ribut ini me mbuat Tiang Bu bangun dari
tidurnya. Dengan lemah dan ogah-ogahan ia membuka mata
lalu bangkit duduk, memutar pinggang ke kanan kiri lalu
bersila untuk bersamalhi seperti yang ia lakukan tiap malam
dan pagi. Begitu panca indranya terkumpul dan
pernapasannya jalan dengan sempurna, mendadak ia
merasa sesuatu yaig aneh sekali. Ia tidak rindu dan mencaricari Cui Lin dan Cui Kim seperti biasa ia rasakan setiap saat kalau ia tidak tidur dan semangat nya perlahan-lahan datang
kembali. Tiba-tiba saja pikirannya seperti dibuka dari
selubungan tirai hitam gelap, membuat ia teringat segala
19 kehinaan yang ia lakukan selama puluhan hari ini. Dan ia
tiba-tiba menjadi malu dan terkejut sekali. Cepat ia
membuka matanya dan melihat dua orang wanita cantik itu
tengah memandangnya sambil tersenyum-senyum. Senyum
mereka yang biasanya mendatangkan rasa nikmat pada
perasaan Tiang Bu, kini me rupakan ejekan yang menikam
kalbu, seperti mentertawakan kelemahan dan
kedunguannya. Tak tertahan lagi Tiang Bu menutupi
mukanya dengan kedua tangan untuk mengusir bayang
wajah dua orang suhunya yang seakan-akan
memandangnya dengan bengis. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya keras-keras untuk mengusir kata kata Tiong Sin
Hwesio yang bergema di telinganya pada saat ia "sadar" itu.
"Tiang Bu muridku, syarat untuk menjadi seorang gagah
adalah sama dengan syarat untuk me njadi seorang kuncu
(budiman), karena seorang gagah itulah seorang budiman
dan demikian sebaliknya. Kalau kau dapat mengalahkan
seratus orang musuh, itu masih belum gagah. Sebaliknya
kalau kau dapat mengalahkan iblis yang selalu datang dan
hendak menguasai hati dan pikiran setiap orang, dapat
mengalahkan iblis yang mengeram dalam dirimu sendiri,
barulah kau patut mengaku sebagai murid Ome i-san! Hatihati bahwa iblis menguasai batinmu adalah kalau kau
menghindari menyakiti hati, atau mencelakai lain orang yang
tidak berdosa hanya untuk memuaskan nafsu dan benci,
kau merugikan lain orang hanya untuk kepentingan dan
keuntunganmu sendiri, kalau kau melakukan perbuatan
hina dan kotor untuk memuaskan nafsu, terutama sekali
kalau kau berjina?"."
Kata-kata ini semua berdengung di telinga Tiang Bu dan
akhirnya tak dapat tertahan lagi Tiang Bu menangis.
"Ampun suhu ...... ampunkan teecu?" katanya, masih


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menutup muka dan air matanya jatuh be rderai.
"Melakukan perbuatan salah itu sebuah kesesatan, akan
tetapi tidak menghentikan perbuatan yang salah itu sebuah
20 kesesatan lain yang lebih besar." suara Tiong Jin Hwesio bergema di telinganya, membuat semangat Tiang Bu bangkit
dan ia menurunkan kedua tangannya, membuka matanya
yang menjadi merah dan basah.
"Koko, kau kenapakah ?" kata Cui Lin.
"Agaknya kau mimpi buruk...... " kata Cui Kim sambil
tertawa dan bersama encinya ia maju menghampiri Tiang
Bu. Akan tetapi Tiang Bu mengebutkan selimut ke arah
mereka. 'Pergi kalian!" bentaknya keras. Selimut itu
menyambar ke arah dua gadis ini yang tidak mampu
mengelak. Akan te tapi sambaran selimut itu hanya
mendatangkan rasa pedas sedikit pada kulit. Makl umlah
dua orang gadis ini bahwa Tiang Bu tel ah kehilangan banyak
tenaganya sehingga pukulannya tidak berbahaya lagi.
"Twako ...... bantu kami........,!" tiba-tiba Cui Lin be rteriak sambil mencabut pedang diturut oleh Cui Kim. Me reka
serentak nyerang Tiang Bu !
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Tiang Bu atas
serangan yang sama sekali tak pernah disangkanya ini. Ia
melompat dari atas perbaringan sambil mengel ak dan
dengan kecewa ia mendapat kenyat aan betapa gerakannya
tidak begitu gesit lagi. Namun berkat ilmunya yang tinggi,
masih dapat ia menghindar sambaran-sambaran pedang dua
orang kakak beradik yang mal am tadi masih menjadi
kekasih-kekasihnya yang kelihatannya mencintainya.
"Kerbau itu sudah cukup gemuk untuk disembelih?"
Terdengar suara orang dan muncullah Cui Kong dengan
huncwenya di tangan. Selama puluhan hari ini, Cui Kong bersembunyi tak jauh
dari situ, sambi l mengobati luka-lukanya dan menyambung
tulang-tul ang pahanya yang remuk oleh pukulan Tiang Bu,
sementara dua orang wanita itu me rayu dan menyeret Tiang
Bu ke lembah kehinaan mempergunakan kecantikan mereka
21 dan di luar tahu semua orang, mereka mendapat bantuan
dari katak pembangkit asmara!
Melihat pemuda ini muncul, pikiran Ti ang Bu yang
selama ini gelap dia tidak ingat apa-apa seperti dibuka.
Dapatlah ia menduga bahwa selama ini ia memang sengaja
dibikin mabok oleh dua orang.gadis itu dengan rayuan dan
cumbuan mereka. Karena tidak dapat menangkan dia
dengan ilmu silat, mereka telah menggunakan
kecantikannya dan agaknya s emua ini diatur oleh Cui Kong
yang menjadi dalang di belakang layar! Marahl ah Tiang Bu
melihat pemuda itu dan cepat ia menubruk mengirim
pukulan ke arah dada Cui Kong. Akan tetapi, dua orang
"kekasihnya" yang selama puluhan hari dari malam berlaku amat manis kepadanya, kini merupakan lawan yang haus
darah dan pedang mere ka menyambar dari kanan kiri secara
kilat. Terpaksa Tiang Bu menarik kembali serangannya
terhadap Cui Kong untuk menge!ak dan menggunakan jari
tangannya menyentil pedang dua nona itu. Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika hampir saja jari-jari tangannya
tcrbabat putus ketika bertemu dengan pedang! Mas ih baik ia
cepat me lompat ke samping sambil menarik tanganya.
Ternyata bahwa tenaga sentilannyapun hilang kekuatannya.
Pada saat itu, ujung huncwe di tangan Cui Kong sudah
menyambar. Tiang Bu mencoba untuk mengelak, akan tetapi
kedua kakinya lemas dan ia hanya se mpat miringkan tubuh.
Namun ujung huncwe terus mengejar dan lrhrr belakangnya
ditotok ! Tian Bu mengeluh. Kalau biasanya, totokan seperti itu
saja takkan mengakibatkan apa- apa karena hawa sinkangnya tentu akan me lawannya, akan tetapi sekarang ia
tidak kuat menolak sehingga jalan darahnya terkena totokan
lihai, membuat ia lemas dan roboh terpelanting ketika Cui
Kong menendang lututnya. Di lain saat, ujung dua pedang
dan sebuah huncwe telah menodong jalan jalan darah
kematian, membuat ia tak berdaya sama sekali.
22 "Ha ha ha tikus buruk. Kau mau apa sekarang?" bentak Cui Kong, menusuk- nusuk kulit dada Tiang Bu memancing
pemuda itu mengaduh. Akan tetapi biarpun kesakitan, Tiang
Bu diam saja, sama sekali tidak mengeluh. Ia lebih banyak
merasa hanteur hatinya mengingat akan kesesatannya dari
pada merasa takut. Dua orang nona itupun tertawa cekikikan. "Twako, kalau
tidak ada kami dua orang wanita lemah, tak mungkin hari
ini berhasil membekuknya," kata Cui Kim.
"Memang kalian anak anak baik dan pintar sekali, telah
menjalankan s iasatku secara sempurna. Tunggulah, kelak
aku akan menyatakan terima kasihku kepada kalian," jawab Cui Kong sambil tertawa-tawa.
Mendengar ini, hati Tiang Bu makin hancur dan ia ingin
memukuli diri sendiri karena kebodohannya. Mataku telah
buta, pikiranku penuh penyesalan.
"Cui Kong, hayo kau bunuh saja aku. Orang macam aku
memang layak dibunuh, tidak ada gunanya hidup!' kata
Tiang Bu sambil memandang kepada Cui Kong dengan mata
mendelik. "Ha-ha ha ha, .Tiang Bu. Kau merengek-rengek ingin
minta kas ihan" Apa kau mau mengingatkan aku bahwa kita
masih saudara angkat?"
"Tidak, kaubunuhlah aku. Siapa sudi punya saudara
angkat macammu" Juga aku bukan anak ayah angkatmu.
Lebih baik mati !" jawab Tiang Bu gemas.
"Twako, tusuk saja jantungnya biar lekas beres . Se bal
hatiku melihat monyet ini," kata Cui Kim sambtl menekan
ujung pedangnya sehingga ujung pedang itu masuk ke
dalam daging di pundak Tiang Bu sampai mengenai tulang
pundaknya. Dapat dibayangkan betapa nyerinya, namun
Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan rasa sakit.
Jangankan mengeluh berkedippun tidak !
23 "Biarkan aku yang memenggal lehernya, dia sudah
terlalu banyak mempermainkan diriku. Aku ingin membalas
sakit hati dan penghinaan itu!" kata Cui Lan dan nona ini mengayun pedangnya ke arah leher Tiang Bu yang menanti
datangnya pedang dengan mata menantang berani.
"Traaangeg....,...... !. Pedang itu te rpental oleh tangkisan huncwe di tangan Cui Kong.
"Eh, twako...... apa kau tiba-tiba menjadi lemah hati dan
penyayang ?" "Lin-moi. jangan lupa akan pesan ayah" D ia boleh
ditawan, boleh dibikin tak berdaya dan dihilangkan
kepandaiannya, akan tetapi tidak boleh dibunuh. Dia
berbahaya dan aku masih meninggalkan hutang kepadanya,
biar sekarang kusurun dia membayarnya." Setelah berkata
demikian huncwenya bcrgcrak cepat sekali dan, .....
"krak...... krak.....!" tulang-tulang kaki Tiang Bu patah-patah oleh pukulan huncwe.
Rasa nyeri menyusup ke tulang-tul ang seluruh tubuh
Tiang Bu, membuat wajah menjadi pucat seperti mayat dan
bibirnya tang tebal itu mengeluarkan darah karena
digigitnya sendiri dalam menahan rasa s akit akan tetapi
berkat kekerasan hatinya, ia masih sadar ketika ia diseret
oleh Cui Kong dan dua orang nona itu, diseret keluar dari
dalam pondok kemudian dilempar ke dalam jurang yang
dalam di pantai sungai! Dalam keadaan setengah sadar setengah pingsan, Tiang
Bu mempergunakan kesempatan terakhir me nolong nyawa
dari maut dengan cara membentangkan kedua lengannya
mencari pegangan sesuatu penahan t ubuhnya yang
meluncur ke bawah, bergulingan di atas batu-batu yang
tajam. Akhirnya ia tertolong, tangan kanannya dapat
memeluk sebatang pohoa yang tumbuh di lereng jurang.
Mempergunakan sisa te naganya Tiang Bu memeluk batang
pohon itu dan ia bcrhenti bergulingan. Agaknya Thian masih
menghendaki supaya ia hidup.
24 Setelah dapat menempatkan diri, duduk di atas batu di
dekat pobon sambil memeluk batang pohon yang menjadi
penolongnya itu, Tiang Bu pingsan. Tubuhnya
menggelantung di pohon, matanya me ram dan napasnya
lemah sekali. -oo(mch)oo- Biar kita tinggalkan dulu Tiang Bu yang berada dalam
keadaan mati tidak hiduppun payah itu dan mari kita
mene ngok keadaan dunia luar jurang itu di mana terjadi halhal yang tidak kalah he batnja.
Pemimpin bangsa Mongol, Temu Cin yang pandai
meminpin itu, makin lama makin terkenal di antara para
suku bangsa yang tinggal di daerah utara. Suku bingsa demi
suku bangsa ia taklukkan, bahkan suku bangsa Kerait yang
amat kuat dan yang tadinya selalu mengalahkan orang orang Mangol, dapat ia tundukkan. Oleh karena semua
orang menganggap Te mu Cin sebagai pemimpin besar yang
amat boleh diandalkan, pada tahun l206 semua suku
bangsa mengadakan rapat besar di hulu Sungai Onon dan
dalam kesempatan inilah Temu Cin diangkat menjadi raja
besar dari seluruh Mongolia dan diberi gelar Jengis Khan
yang kemudian menjadi tokoh besar yang amat termasyhur
di dalam sejarah. Nama besar Jengis Khan ditakuti oleh semua suku
bangsa dan banyak sekali suku bangsa yang takluk tanpa
diserang, Sepak terjang barisan Jengis Khan yang gagah
berani dan ganas kejam terkenal di mana-mana. Memang di
dalam barisan Jengis Khan terdapat banyak sekali orangorang pandai, bahkan banyak pula orang Han dan orang
orang se latan, ahli- ahli silat yang pandai, terkena
bujukannya dan masuk menjadi pembantu.
Di antara suku-suku bangsa di daerah perbatasan di
utara, hanya suku bangsa Han Hsia yang masih belum mau
25 tunduk. Jengis Khan mulai memimpin tentaranya ke sana
dan dalam waktu dua tiga tahun saja berturut-turut
diserangnya suku bangsa ini hancurlah balatentara HsiHsia. Setelah itu Jengis Khan mulailah dengan rencananya
yang besar, rencana yang sudah lama ia idam-idamkan dan
sudah lama ia mengatur siasat untuk rencana ini, yaitu
menyerbu ke selatan. Di se rangnya Kerajaan Kin. Pada
tahun l2ll ia mulai menyerbu Shensi dais Hopei, mambakar
rumah-rumah rakyat, merampok, membinasakan,
mengganas dan menghancurkan segala apa yang
menghalangi tentaranya. Rakyat di daerah utara melakukan
perlawanan mati matian. Di mana-mana Jengis Khan
menemui perlawanan. Namun bala tentara Mongol
terlampau kuat. Biarpun dengan adanya perlawanan rakyat
ini pergerakan bala tentara Mongol agak terhal ang, namun
dalam waktu dua tahun saja bala tentaranya sudah berhasil
menyerbu Yenking atnu Peking, kota raja Kerajaan Kin!
Hebat sekali pertempuran-pertempuran yang terjadi
sebelum bala tentara musuh berhasil menyerbu ibukota ini.
Pihak Kerajaan Kin melakukan perlawanan gagah perkasa
dan mati-matian. P angeran Wanyen Ci Lun yang berhasil
mengumpulkan banyak orang gagah, apa lagi akhir-akhir ini
setelah ia mengutus Kwan Kok Sun untuk mercari bantuan
ke selatan, melakukan perlawanan mati-matian. Oleh usaha
Pangeran Wanyen Ci Lun yang melakukan segala daya upaya
untuk menghalau musuh inilah maka tidak mudah bagi
balatentara Mongol untuk memasuki atau membobolkan
kota raja. Juga bukan sedikit t entara dan perwira Mongol
yang tewas dalam perrempuran ini.
Beberapa kali pertempuran terpaksa ditunda karena
kedua fihak sudah banyak me ngalami kerusakan. Mereka
menunda pertempuran untuk memberi nafas kepada
balatentera masing-masing. di fihak Mongol untuk dapat
berunding guna mengatur slaw peoyerbuao baru, saw nye di
fibak Kin untuk dapat berunding guna mengatur siasat
pertahanan yang kokoh kuat.
26 Sudah untuk kedua belas kalinya kedua pihak menunda
perang. Kembali masing-masing fihak mengatur siasat. Di
fihak istana kaisar, Pangeran Wanyen Ci Lun mengadakan
perundingan de ngan para panglima perang. Pangeran ini
nampak jauh lebih tua dari pada usianya yang sebenarnya,
hal ini karena ia terlalu banyak menderira selama negaranya
diserang oleh orang Mongol. Keningnya berkerut
cambangnya panjang, menambah keangkeran wajahnya
yang tampan. Di dalam ruangan sidang itu. selain sepuluh
orang panglima besar Kerajaan Kin, juga di sampingnya
duduk berapa orang tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah
datang untuk membantu Kerajaan menghadapi serbuan
bala-tentara Mongol. Nampak di situ Tee-tok Kwan Kok Sun
yang berpakaian panglima dan be rkepala gundul, Hwa Thian
Hwesio tukang dapur Kele nteng Kwan twe bio di selatan kota
raja, hwesio gemuk bundar yang amat lucu akan tetapi
kepandaiannya tinggi , dan banyak lagi tokoh kangouw yang
datang ke situ karena tertarik oleh hadiah-hadiah besar !
Bahkan disitu hadir pula Coa Hong Kin dan Go Hui Lian,
sepasang suami isteri pendekar yang gagah perkasa, yang
baru datang dari Kim-bun-to beberapa hari yang lalu.
Kedatangan sepasang suami-isteri ini bersama puteri
mereka Coa Lee Goat yang sudah remaja puteri dan selain
cantik jelita juga gagah perkasa murid Wan Sin Hong.
Mereka ini datang untuk menjemput Gak Soan Li dan anakanak mereka karena dahulu Pangeran Wanyen Ci Lun sudah
minta pertolongan mereka agar supaya memboyong anak
isterinya ke Kim-bun-to apabila perang dengan orang-orang
Mongol pecah. Akan tetapi, Gak Soan Li juga dua orang anaknya, Wan
Sun dan Wan Bi Li, be rkeras idak mau mengungsi pergi
meninggalkan Pangeran Wanyen Ci Lun. 0leh karena itu,
biar pun tidak tertarik oleh perang, se pasang suami isteri ini menjadi tidak enak hati kalau buru-buru pergi seakan-akan
mereka takut menghadapi perang. Terpaksa mere ka
memutuskan untuk tinggal beberapa lama, selain
27 mengawani Gak Soan Li, juga melihat-lihat apakah mereka
dapat membantu sahabat mere ka, Pangeran Wanyen Ci Lun
yang sedang berjuang membela negaranya. Pangeran
Wanyen Ci Lun merasa kecewa dan berduka karena Wan Sin
Hong tisak datang membantunya.
"Wan-taihiap tak mungkin mau datang," kata Coa Hung


Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kin yang sudah tahu akan pendirian pendekar besar itu.
"Tentu siauw ongya dapat menyelami perasaannya. Dia
adalah seorang patriot Han tulen dan terus terang saja dia
tidak mau mencampuri urusan dua kerajaan bukan
bangsanya." Me mang Hong Kin suka berterus terang dan
hubungannya dengan Pangeran Wanyen Ci Lun sudah amat
erat, tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Dan pendirianmu sendiri bagaimana, kawan?" tanya
Wanyen Ci Lun, memandang tajam dan penuh harap kepada
suami isteri itu. Coa Hang Kin tersenyum pahit dan menarik napas
panjang. 'Tentu saja kami berdua siap sedia membantumu
dan akan re la mengorbankan nyawa untuk menolongmu.
Akan tetapi ini hanya keseti aan seorang terhadap sahabat
baiknya, bukan kesetiaan seorang warga negara terhadap
negaranya." Wanyen Ci Len menarik napas panjang. "Sayang aku
bukan orang Han. Aku akan senang sekali berjuang
membela tanah air bahu membahu dengan kalian dan
dengan orang-orang seperti Wan Sin Hong. Tidak, sobatsobatku yang baik, aku takkan minta pengorban jiwa
sahabat-sahabat baik untuk kepentinganku semata. Aku
hanya minta apabila keadaan terlalu mendesak dan anakanak serta isteriku terancam bahaya kalian suka
membawanya mengungsi dan menyelamatkan diri ke
selatan." Demikianlah percakapan antara mereka sebelum rapat
penundaan perang itu diadakan. Dengan kagum Hong Kin
dan Hui Lian mendengar sahabatnya itu mengatur siasat,
28 akan tetapi mereka juga berduka mendengar be tapa keadaan
sahabatnya itu sudah terdesak hebat seperti terbukti dalam
ucapan Pangeran Wanyen Ci Lun kepada orang-orang gagah
dan para panglima yang hadir di situ.
"Barisan musuh menggunakan siasat meme cah belah
pusat kekuatan kita. Maka mereka menyerang dari empat
penjuru secara berganti an agar payah kita memusatkan
tcnaga pertahanan secara berpindah-pindah. Memang
pertahanan kita cukup kuat, benteng cukup tebal dan
terjaga kuat. Akan tetapi tentara kita jauh kalah banyak
jumlahnya. bahkan kini makin lama makin kecil karena
jatuhnya korban tanpa dapat ditampung tenaga baru karena
kota raja sudah terkurung. Makin berkurangnya anggauta
barisan, berarti makin lemahnya pertahanan kita. Memang
dengan cara baihok (barisan bersembunyi) kita dapat
melakukan pertempuran gerilya dan mendatangkan
kerugian lebih besar pada mereka. Namun, biarpun kita
andaikata dapat merobohkan s eratus orang musuh hanya
dengan mengorbankan sepuluh orang, yang sepuluh ini bagi
kita amat besar artinya, karena tidak ada penggantinya
sedangkan musuh mudah saja mendatangkan bala bantuan
atau mengganti tentaranya yang luka- luka dan lelah. Juga,
amat sukar bagi kita untuk mendatangkan rangsum dari
luar tanpa menghadapi bahaya besar dirampas musuh." Ia
be rhenti sebentar untuk melihat reaksi pada muka para
pendengarnya. "Celakanya, semua hal yang tidak menguntungkan kita
itu diketahui belaka dengan baiknya oleh pihak musuh !"
kata Tee-tok Kwan Kok Sun dengan muka muram.
"Akan tetapi keadaan kita sebetulnya tidak amat buruk,"
kata Pangeran Wanyen Ci Lun cepat-cepat untuk mengusir
kelemahan semangat para pembantunya, "memang harus
diakui bahwa pihak musuh amat kuat. Akan tetapi selama
semangat orang-orang kita berkobar seperti sekarang,
jangan harap mereka dapat membobolkan pertahanan. Di
29 samping pertahanan kita yang kuat juga aku sudah
mengirim permintaan bala bantuan dari saudara saudara
bangsa Hsi-Hsia yang menaruh dendam terhadap orangorang Mongol. Kepala barisan mereka yang masih
bersembunyi di hutan, Tiku Tami telah berjanji untuk
memperkuat pertahanan kita dan memukul dari luar.
Berita ini menggirangkan semua orang. Kwan Kok Sun
mangangguk-angguk dan berkata, "Memang baik sekali, dan
pula, dapat diharapkan kehadiran scorang tokoh besar yang
kepandaiannya amat tinggi. Tokoh besar inilah yang dapat
diharapkan untuk merobohkan pentolan-pentolan Mongol
seperti Thian-te Base k-Tai-hiap Liok Kong Ji. Bu-tek Sin
ciang Bouw Gan dan yang lain-lain."
Kaget semua orang mendengar ini. Siapakah yang dapat
mengalahkan pentolan Mongol yang disebutkan tadi" Kwan
Kok Sun tertawa cara ketawanya masih menyeramksn
biarpun sudah memakai pakaian panglima besar.
"Dia itu adalah Toat beng Kui-bo dari Banmo-tong !"
Baru saja nama ini disebut, tiba-tiba dari luar ruangan
terdeagar suara ketawa cekikikan terbawa angin yang
bertiup masuk, kemudian terdengar suara, "Hi-hi -hi -hi.
Pangeran Wan-yen, aku datang membawa hadiah!"
Dua buah benda melayang masuk, jatuh berdebuk di
atas meja yang dike lilingi mereka yang sedang berunding.
Ketika dua benda itu berhe nti menggelinding dan semua
orang memandang, ternyata bahwa dua benda itu adalah
dua buah kepala manusia yang agaknya baru saja dipenggal
lehernya karena darah segar masih menetes netes dari leher!
Melihat bahwa dua kepala itu memakai topi panglima
Mongol, Kwan Kok Sun tertawa senang dan berkata ramah.
"Locianpwe Toat -be ng Toanio, silahkan masuk!"
Akan tetapi belum habis kata-kata ini, orang yang
diundang itu telah berdiri di dekat meja sambil tertawa
cekikikan. Mereka yang belum pernah melihat rupa Toat
30 be ng Kui-bo, menjadi pucat dan bergidik penuh kengerian
hati. Apalagi ketika melihat bahwa nenek itu memondong
seorang anak perempuan kecil yang usianya baru dua tiga
tahun, anak yang mungil sekali, pipinya kemerahan dan
bibirnya merah tersenyum-senyum. Akan tetapi , baju dan
jidat anak ini bernoda darah, agaknya darah dari dua buah
kepala yang dipenggal oleh nenek mengerikan itu!
"Pangeran Wanyen, aku memenuhi janji datang untuk
memberi hajaran kepala anjing-anjiug Mongol yang
melampaui perbatasan dan mengacau di bumi Tiongkok!
Ke tika hendak masuk kota raja tadi, aku dihadang oleh
pasukan tentara Mongol Ketika mengamuk aku teringat
bahwa seorang tamu harus bawa oleh-oleh, maka kusambar
kepala dua orang panglima pemimpin pasukan itu dan
kubawa ke mari untuk dipersembahkan ke padamu. Hi-hi hi
!" Tadi Pangeran Wanyen Ci Lun bengong dengan kagum
dan ngeri. Sekarang ia cepat berdiri memberi hormat dan
berkata. "Kedatangan locianpwe bagi kami adalah seperti
datangnya air hujan di musim kening! Terima kasih atas
pe mberian hadiah locianpwe. Dalam masa seperti ini tidak
ada hadiah yang lebih be rharga dari pada kepala musuh !"
Pangeran itu me mpersilakan nenek buruk rupa itu duduk
dan memberi perintah kepada pelayan untuk membawa
pergi dua buah kepala dan membersihkan bekas darah.
Kemudian ia sendiri menuangkan arak ke dalam cawan
emas untuk Toat-beng Kui-bo. Nenek itu menerima sambil
tertawa-tawa senang. Kwan Kok Sun mengatur siasatnya. Orang se perti nenek
ini sukar diurus dan kalau tidak me makai akal, biarpun
nenek ini kepandaiannya tinggi sekali, takkan ada gunanya
karena tentu takkan mau mentaati perintah.
"Locianpwe, tadinya kami sudah kegiranaan sekali
karena mengira bahwa dua buah kepala itu adalah kepala
dari Liok Kong Ji dan Bouw Gun. Eh, tidak tahunya hanya
31 kepala dua perwi ra-perwira yang tidak ada nilainya. Akan
tetapi aku tidak berani menyalahkan locianpwe oleh karena
siapakah orangnya bisa memenggal kepala Thian.te Bu-tek
Taihiap Liok kong Ji dan Bu.tek Sin-ciang Bouw Gun yang
lihai sekali. Apalagi mereka berada di markas tentara
musuh. Sukar...... sukar?".!"
Kwan Kok Sun terpaksa berhenti bicara karena arak dari
cawan Toat-beng Kui.bo menyiram mukanya dan terasa
pe das, bukan main sampai -sampai ia tidak bisa membuka
matanya. "Gundul pacul! Kau terlalu memandang rendah padaku.
Kaukira aku tidak becus mencabut kepala tikus-tikus
macam mereka"' Kwan Kok Sun cepat memberi hormat pada nene k galak
itu dan berkata sambil memaksa tersenyum di mulut
padahal hatinya me maki marah. "Harap locianpwe tidak
marah, tentu saja aku percaya penuh akan kemampuan
locianpwe. Soalnya, kami sudah terlalu awat dibikin pusing
oleh orang orang seperti Thian-te Bu-tek Taihiap dan Bu-te k
Sin ciang, tanpa mampu berbuat apa-apa. Kalau kiranya
locianpwe sanggup mencabut kepala mereka dan dibawa ke
sini. benar benar kami akan berterima kasih besar sekali
kepada locianpwe." Semua orang, termasuk Pangeran Wanyen Ci Lun, diamdiam memuji kecerdikan Kwa Kok Sun yang mula-mula
"membakar" hati nenek sakti itu untuk kemudian didorong
kearah perbuatan yang akan banyak membantu pergerakan
mereka melawan musuh. Hanya Toat-be ng Kui-bo seorang
yang tidak tahu, buta oleh kesombongannya. Toat beng Kuibo menoleh kepada Wanyen Ci Lun, lalu tiba- tiba
melontarkan anak kecil yang dipondongnya itu ke arah
Pangeran Wanyen. "Pangeran, aku titip bocah ini kepadamu. Nanti kalau
sudah kubawa datang dua kepala tikus itu, aku ambil
kembali anak itu !" 32 Wanyen Ci Lun sudah menangkap bocah perempuan
yang menjadi kaget karena dilemparkan dan menangis itu.
Sebelum ia sempat menjawab, angin mendesir dan nenek
yang seperti siluman itu sudah lenyap dari ruangan itu.
Semua orang menjadi bengong. Bahkan Hong Kin dan Hui
Lian sendiri yang sudah banyak bertemu dengan orangorang pandai, harus mengaku bahwa nenek itu memiliki
kepandaian yang hebat sekali. Yang paling gembira adalah
Pangeran Wanyen Ci Lun oleh karena kalau benar-benar
nenek itu bisa membunuh dua orang yang disebutkan tadi
berarti pihak musuh akan kehilangan dua orang panglima
yang kuat dan pandai. Toat-beng Kui-bo me mang luar biasa sekali. Ketika ia
berlari seperti terbang keluar dari kota raja, sukar bagi orang biasa untuk dapat melihatnya. Yang nampak hanya
bayangan hitam berkelebat cepat, atau kalau orang me lihat
ke atas akan terlihat tiga titik hitam terbang cepat ke utara dan tiga titik hitam ini kalau diperhatikan adalah tiga ekor
kelelawar besar. Ketika Toat-beng Kui -bo memasuki kota-raja, ia sudah
dihadang dan bertempur, maka para pasukan Mongol yang
bertugas mengurung kota raja, tahu bahwa kini nenek itu
sudah keluar lagi dari kota raja. Akan tetapi pengalaman
tadi masih membuat mereka gentar, pengalaman hebat di
mana sepasukan Mongol habis dibunuh oleh nenek itu dan
dua orang panglimanya lenyap kepalanya dibawanya pergi.
Kini me lihat kelelawar dan bayangan hitam, me reka
sebagian besar hanya pura-pura tidak melihat! Bahkan
perwira yang memimpin pasukan kecil cepat-cepat
menyimpangkan pasukannya ke arah lain agar jangan
bertemu dengan nenek itu. '
Toat-beng Kui bo juga tidak memperdulikan mereka.
Tujuannya kini hanya mendatangi kemah para panglima
Mongol dan berusaha mencari Liok Kong Ji dan Bouw Gun
untuk dipenggal batang lehernya dan dibawa kepalanya ke
33 istana Pangeran Wanyen Ci Lun sebagai bukti bahwa ia
bukan hanya omong kosong. Kelelawar-kelelawar yang
terbang di atas selalu mengikuti ke mana nenek itu menuju.
Pada saat itn kaisar Jangis Khan juga sedang
mengadakan perundingan dengan para panglimanya,
merundingkan s iasat untuk mcmbobolkan benteng
pertahanan Kora Raja Kin yang kokoh kuat itu. Di antara
para pangliwa besar, nampak pula di situl Liok Kong Ji,
Bouw Gun, Pak-kek Sam kui. Dan orang-orang akan merasa
terkejut, heran dan juga malu kalau saja mereka melihat
siapa-siapa yang hadir pula dalam ruangan kemah Raja
Mongol itu. Tokoh-tokoh besar dari selatan, orang-orang
yang menamakan dirinya orang gagah di dunia kang.ouw
banyak yang hadir di situ, menjadi pengkhianat-penghianat
penjual negara, menjadi kaki tangan orang Mongol! Di antara
mereka rampak Le Thong Hosiang ketua Tatyun-pai, Nam
Kong Hosiang dan Nam-Siang Hosiang dua orang tokoh
Kaolikung-pai, He ng-tuan Lojin, hwesio pe rantau dari
Hengtuan-s an dan masih banyak lagi.
"Jalan terbaik menurut pendapat hamba, Kota Raja Kin
itu harus dikurung rapat. Jalan ke selatan harus dipotong,
dan pembantu-pembantu yang berada di dalam kota raja
dan mendapat kedudukan penting supaya mulai dengan
gerakan mereka pada sast kita mengadakan penyerbuan
besar-besaran, bukan dari satu pintu melainkan dari empat
jurusan,' demikian usul Liok Kong Ji kepada Jengis Khan.
Kaisar yang sekarang bertubuh kekar menganggukangguk. "Taihiap berkata benar, cocok dengan rencanaku.
Memang kita tidak ada banyak waktu untuk di buang-buang
di sini, hanya untuk mengepung sebuah kota saja. Aku
sudah mendatangkan bala bantuan dari utara, tiga puluh
laksa banyaknya, begitu mereka datang setelah diberi waktu
mengaso sehari, malamnya kita serbu kota Kin dari empat
penjuru. Kita habiskan dan ratakan kota itu dengan bumi.
34 Setelah memberi keputusan terakhir dalam pertemuan itu,
Jengis Khan memberi tanda bahwa persidangan ditutup dan
ia masuk ruangan dalam. Pada saat kaisar sudah masuk ke dalam dan para
panglitna mulai berjalan keluar, tiba-tiba terjadi ribut-ribut yang datangnya dari arah kiri. Nampak para penjaga berlari-larian.
Pedang Kayu Harum 20 Pedang 3 Dimensi Lanjutan Pendekar Rambut Emas Karya Batara Kilas Balik Merah Salju 9

Cari Blog Ini