Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 17
ke Sinkiang. Seperti diketahui, adik Auwyang Tiong yang bernama
Auwyang Ya adalah wakil komandan Gi-lim-kun, sejak lama pihak
Thian-san-pay memusuhi kerajaan Ceng, hal ini diketahui jelas
olehnya. Kam Kian-khong tengah bertarung penuh semangat, mendadak
dirasakannya segulung angin panas menerpa mukanya, kulitnya
seperti tersengat api. Meski kaget, Kam Kian-khong memutar
pedang dengan jurus Pek-hong-koan-jit, tusukannya mengincar Laukionghiat di telapak tangan lawan. Walau lawan berhasil
didesaknya mundur, tapi pernapasannya juga terasa sesak.
Temyata siluman rambut merah Auwyang Tiong datang
membantu kawannya. Bergabung dengan Lau Cau-pek, sudah tentu
Kam Kian-khong terdesak di bawah angin.
Sementara itu Pek Ing-ki sudah berdiri, setelah menentramkan
hati dan mengatur napas, di samping kaget hatinya pun menyesal.
Baru sekarang dia tahu apa yang diceritakan Beng Hoa tadi
memang benar, suso atau istri Teng Ka-gwan memang terbunuh
oleh Lau Cau-pek. Namun keadaan cukup genting, tak sempat dia
menyesali diri sendiri, sambil mengempos semangat segera dia
terjun ke dalam arena pertempuran. Kecuali Teng Ka-gwan, boleh
dikata kepandaiannya paling tinggi di antara murid-murid Thian-sanpay.
Bergabung dengan sang susiok, sepasang pedang mereka
bersatu padu, keadaan sementara seimbang.
Ho Ing-yang sudah terpukul oleh Auwyang Tiong, untung lukalukanya
tidak parah, melihat musuh tengah bertanding dengan
susiok dan suheng-nya, lekas dia memungut pedangnya, sambil
tertatih-tatih dia menyerbu.
Pek Ing-ki berteriak, "Mana Han-sute?"
Yang dimaksud adalah Han Ing-hoa, maksudnya supaya Ho Ingyang
mencari musuh yang berke-pandaian lebih rendah sementara
Han Ing-hoa biar mewakili dia. Tak nyana Ho Ing-yang berkata,
"Han-sure, dia" dia terkena timpukan senjata rahasia beracun."
Beng Hoa sedang membantu dua murid Thian-san-pay yang
terdesak oleh serangan musuh, mendengar Ho Ing-yang bilang
senjata rahasia beracun, tergerak hatinya, pedang-nya bergerak
secara kilat, dengan jurus Hian-niau-hoat-soa tulang pundak musuh
berhasil ditusuknya tembus, seorang kawannya lagi melihat
temannya roboh segera melompat jauh terns lari menyingkir.
Se-gera Beng Hoa mendekati Ho Ing-yang dan bertanya, "Senjata
rahasia jenis apa yang melukai Han Ing-hoa?"
"Luka-lukanya seperti Jik Kian-sin, terkena jarum beracun," sahut
Ho Ing-yang. "Mana penyambit senjata rahasia itu?" tanya Beng Hoa.
Ho Ing-yang celingukan, kata-nya, "He, barusan masih di sini,
entah ke mana dia pergi."
"Mari kau cari bersamaku," ajak Beng Hoa.
Melihat susiok dan suheng-nya mampu mengatasi kedua
gembong iblis itu, Ho Ing-yang berpikir, "Musuh yang paling
berbahaya sebetulnya adalah penyambit gelap itu. Li-susiok berada
di dalam Siang-hoa-kiong, tenaga yang dapat diandalkan di pihak
kita hanya dia saja. Soal sakit hatiku bisa kutuntut kelak."
Setelah tahu Beng Hoa bukan mata-mata musuh, dia mengharap
bantuan Beng Hoa di saat segenting ini.
Pertarungan makin seru dan melebar ke pelbagai pelosok, korban
berjatuhan di kedua pihak, mereka yang terluka menyingkir dari
arena pertempuran, yang terluka parah digotong keluar gelanggang
oleh kawan-kawannya. Kepandaian Ho Ing-yang tidak setaraf Beng Hoa, dalam
pertarungan yang kalut itu, dia terpisah dari Beng Hoa. Untung dia
cepat sadar, segera ia berteriak, "Tak usah kau membantu aku, aku
mampu membela diri. Pergilah kau cari orang itu, wajah orang itu
tidak menunjukan ekspresi, kemungkinan mengenakan kedok."
Tapi dalam pertempuran besar hampir seratus orang yang kacau
balau ini, mana mungkin Beng Hoa bisa meneliti satu per satu muka
musuh yang tidak berekspresi" Sebe-lum dia menemukan orang
yang dicari, dia sudah bersua dengan Teng Tiong-ai malah.
Sepasang potlot baja Teng Tiong-ai memang amat lihay, sudah tiga
murid Thian-san-pay yang terluka oleh potlotnya.
"Ha, kebetulan!"seru Beng Hoa. "Kali ini akan kubuat kau
merasakan kelihayan ilmu totokanku."
Teng Tiong-ai juga tertawa, kata-nya, "Ha, kiranya kau bocah
keparat yang suka turut campur urusan orang lain ini. Boleh saja,
tapi aku khawatir kali ini kau tidak akan mendapat keuntungan lagi
dari aku. Sejak kapan kau belajar ilmu totok, biar aku belajar kenal."
Sebetulnya dia sudah jeri berhadapan dengan Beng Hoa, namun
di sekitarnya kawan-kawannya ba-nyak, mendengar Beng Hoa
hendak melawan dirinya dengan ilmu totok kebanggaannya, sudah
tentu nyalinya bertambah besar.
"Ilmuku ini memang baru saja kupelajari, mumpung panas akan
kupamerkan di hadapanmu," bentak Beng Hoa.
Teng Tiong-ai mengira orang mengoceh saja, sengaja
mempermainkan dirinya, sudah tentu dia tidak percaya omongan
Beng Hoa. Tak nyana, "Sreet" mendadak Beng Hoa menusuk
dengan pedang, tusukan yang betul-betul membuatnya berj ingkrak
kaget. Beng Hoa menotok jalan darah dengan pedang sebagai
potlot baja, yang dikembangkan memang betul ilmu totok lihay.
Teng Tiong-ai memang sudah jeri dan takut pada bayangannya
sendiri, makin terasa betapa menakjubkan permainan ilmu totok
orang, sebagai seorang ahli totok, dia tidak dapat meraba hiatto
mana di tubuhnya yang dijadikan sasaran totokan pedang Beng Hoa
Potlot di tangan kiri melindungi dada, potlot di tangan kanan
men-dadak balas menotok Ih-khi-hiat di bawah ketiak Beng Hoa. Ihkhihiat merupakan perpaduan urat nadi Tiong-toh dengan Jin-meh
dari Ki-king-pat-meh, jurus serangan ini memang memaksa lawan
menyelamatkan diri lebih dulu sebelum me-lukai musuh.
"Serangan bagus," puji Beng Hoa, sekali melompat terus
berkelebat, pedangnya miring, kembali dia menyerang dengan
totokan ujung pedang sebagai potlot. Kali ini Teng Tiong-ai melihat
jelas sasaran totokan lawan adalah Koan-goan-hiat dan Coan-coanhiat
di bagian atas pusarnya, kalau tadi dia gugup dan gelisah
sekarang hatinya lebih tenteram, maka dia pun mem-bentak,
"Serangan bagus!" Sepasang potlotnya segera balas menyerang.
Bicara tentang ilmu totok, dalam seluruh aliran silat yang ada di
daerah tengah, keluarga Lian di San-say paling lihay, dengan Su-pittiampat-meh. Su-pit-tiam-pat-meh (Empat potlot menotok delapan
jalan darah) harus dilancarkan dua orang, sejak Lian-keh-siang-kiat
Lian Seng-pit dan Lian Seng-giok meninggal tigapuluh tahun yang
lalu sepasang saudara kembar ini tidak punya ahli waris yang dapat
diandalkan sehingga ilmu kebanggaan keluarga Lian ini boleh dikata
sudah putus turunan. Ilmu totok yang dibekal Teng Tiong-ai adalah
Keng sin-pit-hoat yang berhasil dipelajari-nya dari keluarga Ciok di
Siam-say sebelah utara. Belakangan dia berkenalan dengan orangorang
keluar-ga Lian, setelah saling coba dan belajar bersama, taraf
kepandaian-ya malah lebih maju dari orang-orang keluarga Lian,
walau belum mampu melancarkan Su-pit-tiam-pat-meh namun
berdasar kecerdikannya dia berhasil mencipta Siang-pit-tiam-si-meh
(Sepasang potlot menotok empat jalan darah). Dengan kemahiran
Siang-pit-tiam-si-meh inilah hingga dia diakui kaum persilatan
sebagai jago totok nomor satu di seluruh Bulim.
Sekarang dengan jurus Siang-hong-jak-hun (Sepasang puncak
menusuk mega), merupakan salah satu tipu lihay dari Siang-pittiamsi-meh, potlot kiri menotok Yang-pek-hiat dan Kok-hi-hiat,
potlot kanan menotok Giok-cu-hiat dari Tay men dan Kim-kiat-hiat
di Eng-meh. Empat hiatto yang diincar ini merupakan hiatto
mematikan di tubuh manusia, apalagi letak dan arahnya terpencar
dan berlawanan, sukar dijaga lagi.
Teng Tiong-ai lebih dulu sudah tahu sasaran serangan Beng Hoa,
maka dia yakin Beng Hoa belum tentu pah am jurus Siang-pit-tiamsimeh yang dilancarkan ini, tahu kckuatan sendiri untuk
menggempur kelemahan musuh, setiap kali perang pasti menang.
Teng Tiong-ai mengira inisiatifnya menyerang ini pasti akan
merugikan Beng Hoa. Salah satu dari empat hiatto Beng Hoa bila kena totokannya,
kalau tidak mati seketika Beng Hoa pasti luka parah.
Tak nyana pikirannya ini justru meleset, terlalu pagi dia merasa
girang, kenyataan justru terbalik dari apa yang diharapkan, yang
rugi temyata dia sendiri malah.
Di saat gawat itu mendadak permainan pedang Beng Hoa
berubah, sambil mendesak maju selangkah, pedangnya menusuk
dari posisi yang tak terduga oleh Teng Tiong-ai. Sebelum ujung
potlot Teng Tiong-ai menyentuh baju Beng Hoa, Hoan-tiau-hiat di
lututnya sudah tertotok lebih dulu, karuan dia tersungkur ke depan
dan ambruk berlutut. Perlu dijelaskan, jurus Beng Hoa yang berhasil menotok hiatto di
lutut lawan adalah hasil ciptaannya sendiri, setelah dia menyaksikan
permainan Si-lo melawan Ciong Jan tadi. Ilmu totok yang
dikembangkan Si-lo berbeda dengan ilmu totok yang berkembang di
Tiongkok. Sudah tentu hal ini tidak dimengerti oleh Teng Tiong-ai.
Tapi karena ilmu itu boleh dikata hasil curian, Beng Hoa sendiri juga
belum mahir, kalau dinilai secara keseluruhannya, dalam ilmu totok
dia tetap bukan tandingan Teng Tiong-ai. Bahwa dia berhasil
mengalahkan lawan karena dia menggunakan gerakan kilat
pedangnya, sehingga hiatto lawan ditotoknya dengan gerakan yang
jauh lebih cepat dari serangan Teng Tiong-ai, sehingga Teng Tiongai
kecundang. Hoan-tiau-hiat merupakan sentral urat nadi yang menembus ke
Sau-yang-king-meh, karena tertotok teiak oleh Beng Hoa, seketika
Teng Tiong-ai bertekuk lutut di hadapan-nya.
Beng Hoa bergelak tawa, kata-nya, "Kau punya pangkat tinggi,
kenapa menghormat besar begini kepadaku, sebagai orang awam
sungguh tak berani aku menerimanya."
Baru saja dia hendak membekuk Teng Tiong-ai, mendadak terasa
angin kencang berkesiur di belakang menyerang punggungnya.
Beng Hoa kaget karena terasa pukulan orang ini amat dahsyat, tak
sempat menghiraukan Teng Tiong-ai, Beng Hoa dipaksa melayani
sergapan lawan tangguh yang membokong ini, "Sret" kontan
pedangnya menu-suk balik, seperti belakang kepalanya tumbuh
mata, ujung pedangnya mengincar Lau-kiong-hiat di telapak tangan
orang. Lekas penyergap ini miringkan telapak tangan kiri
menyelinap masuk menolak pedang Beng hoa, sementara serangan
tangan kanan tetap diteruskan. Sigap sekali Beng Hoa sudah
berputar arah, temyata penyergapnya ini adalah Wi To-ping, salah
satu jago kosen dari istana raja.
Maka seorang wisu yang lain berkesempatan memapah bangun
Teng Tiong-ai, Teng Tiong-ai mengerahkan tenaga murni hendak
menjebol totokan hiatto di lututnya, celakanya rasa linu di lututnya
justru makin menjalar turun, kaki kanan-nya temyata sudah tak
mampu bergerak lagi. Baru sekarang dia tersirap kaget dan ngeri.
Maklum sebagai ahli ilmu totok, dalam hal membebaskan totokan
juga lihay. Begitu dia menyalurkan tenaga temyata bukan totokan
jebol, malah makin buntu dan darah tak bisa mengalir, karuan
kagetnya bukan kepalang. Saking kaget dan ngeri seketika dia
mencaci maki kalang kabut.
"Nah, bagaimana rasanya kepandaianku yang masih baru itu?"
Beng Hoa mengolok. "Kalau tidak terima boleh diulang, akan
kutunggu kau membebaskan totokan hiatto di lutut"
Melihat orang sudah ditotok hiat-to-nya namun bisa berdiri
dengan sebelah kaki dan pentang bacot mencaci dirinya, mau tidak
mau Beng Hoa merasa kagum juga, orang memang tidak malu
dijuluki jago totok nomor satu di Bulim.
Dalam susana gaduh dan di tengah pertempuran begun, mana
mungkin leng Tiong-ai bisa tenang dan leluasa membebaskan
totokan di kaki sendiri, terpaksa dia minta bantuan temannya untuk
memapah-nya masuk ke hutan mencari tempat sunyi, beristirahat
sambil menolong diri sendiri.
Pihak Thian-san kcdatangan dua jago kosen, sebaliknya pihak
lawan berkurang seorang Teng Tiong-ai, keadaan menjadi sama
kuat alias setanding. "Bocah keparat!" bentak Wi To-ping, "waktu di istana Putala
tempo hari, kau sempat melarikan diri, hari ini jangan harap kau
dapat lolos dari tanganku."
"Bagus!" seru Beng Hoa, "ingin aku bertanding dengan kau,
me-nentukan siapa jantan atau betina, aku justru khawatir kau
melarikan diri." Beruntun Wi To-ping sudah menyerang dengan lima jurus
pedang. Wi To-ping menjengek dingin, "Orang lain takut menghadapi
pedang kilatmu, aku justru tidak gentar, kau masih punya
kemampuan apa?" Tergerak hati Beng Hoa mendengar omongan orang, katanya
tertawa, "Bagus, biarlah aku menggunakan kepandaian yang baru
kupelajari, biar kau merasakan betapa lihaynya" Belum habis bicara,
gerak pedangnya sudah berubah dari cepat menjadi lambat,
demikian pula gaya permainannya berubah sederhana tanpa variasi.
Agaknya Beng Hoa mulai mempraktekkan intisari ilmu pedang
tingkat tinggi yang baru saja diserapnyatadi.
Kenyataan memang aneh, begitu gerak pedangnya berubah
lambat, Wi To-ping merasa kepayahan malah. Setiap pukulan kedua
telapak tangannya selalu seperti terbentur dinding baja. Pukulan
dahsyatnya tak mampu membendung gerak pe-dang Beng Hoa,
namun pedang Beng Hoa dalam waktu singkat juga tidak mampu
menerobos pertahanan lawan.
Keduanya memang unggul dalam bidangnya sendiri-sendiri; ilmu
pedang Beng Hoa lebih tinggi, menghadapi jago kosen yang
memiliki tenaga hebat, perbawa ilmu pedang Beng Hoa sukar
dikembangkan. Kini dia melawan dengan berat dan sederhana,
permainan tidak mendesak namun sudah menyerang musuh,
sekaligus pertahanan pun ketat. Kalau lawan tidak mampu
mematahkan permainan pedangnya, maka permainan pedangnya
yang sederhana itu justru berkembang makin leluasa.
Dalam pertarungan itu, Wi To-ping agak gugup melancarkan
serangan, mendadak Beng Hoa balas menyerang dengan pedang
kilat, "Kenal" mendadak dia menghardik. "Cret" lengan baju Wi Toping
tergores sobek oleh ujung pedang, lengan kiri juga tergores
luka. Wi To-ping menggerung sekali, kedua tangan menyerang
bersama, namun kedua kaki justru tak kuasa menahan diri hingga
menyurut mundur. Terdesak oleh angin pukulan lawan, Beng Hoa juga tertolak
mundur selangkah, sayang serangannya tidak berhasil merobobkan
lawan, karena keburu ingin lekas menang, gerak pedangnya
sebetul-nya tidak perlu bergerak secepat itu, jikalau dia tetap
menggunakan daya berat dengan jurus Hian-ciau-hoat-soa, lengan
kiri Wi To-ping pasti tertabas buntung.
Beng Hoa siap merangsak lebih jauh, pada saat itulah
didengarnya di pinggir arena pertempuran sana, beberapa murid
Thian-san-pay menjerit kaget, "Celaka, hayo lekas tolong Toansute."
Mendengar "Toan-sute" tergerak hati Beng Hoa, waktu dia
melongok ke sana dilihatnya Toan Kiam-ceng sudah lari pontangpanting
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikejar satu orang, maka Beng Hoa tidak sempat
menghiraukan Wi To-ping pula
Kejar mengejar dalam suatu arena pertarungan besar yang acakacakan
seperti ini sebetulnya juga biasa, tak perlu dibuat heran dan
kaget. Soalnya pengejar Toan Kiam-ceng berkepandaian tinggi,
maka para saudara seperguruan menguatirkan keselamatannya.
Apalagi mereka tahu Toan Kiam-ceng amat disayang oleh ciangbun,
tak heran murid-murid Thian-san itu berteriak-teriak minta bantuan.
Beberapa murid Thian-san segera menyerbu sambil membentak,
mereka siap mencegat musuh. Tak nyana begitu musuh melompat
ke atas tembok, tangannya lantas menimpuk ke belakang, kontan
tiga murid Thian-san roboh terkapar. Se-orang murid Thian-san
yang selamat tak berani mengejar lagi, teriaknya "Lekas bawa Biklingtan kemari, tiga suheng kita terkena senjata rahasia beracun!"
Bik-ling-tan adalah obat mujarab buatan Thian-san-pay yang
khusus untuk menawarkan racun, nilainya tinggi, tidak setiap murid
Thian-san memiliki obat mahal ini.
Cepat sekali penimpuk senjata rahasia itu sudah melompat ke
balik tembok mengejar Toan Kiam-ceng yang lari keluar.
Beng Hoa menduga urusan tidak beres, karena curiga dia
membalik dan membentak kepada Wi To-ping, "Bagus, kau berani
membual, setelah kalah mau lari ya" Kalau berani kemari lah
dilanjutkan sampai ajal."
"Kalau berani kau yang kemari," bentak Wi To-ping seraya lari ke
arah Auwyang Tiong, dia akan bergabung dengan temannya
Kebetulan Ho Ing-yang dan Cu Kian-bing lari ke arah Beng Hoa
Ho Ing-yang lantas berbisik, "Orang tadi itulah Beng-siauhiap, lekas
kau bantu Toan-sute kami." Habis bicara dia tarik Cu Kian-bing
mencegat Wi To-ping, "Menggorok ayam kenapa pakai golok
kerbau, kau bukan tandingan Beng-siuhiap, hayolah lawan kami
berdua saja" Wi To-ping membentak, "Kalian murid kecil Thian-san-pay juga
berani menghina aku?" Lahirnya saja dia gusar dan mencaci maki,
padahal dalam hati amat lega karena Beng Hoa tidak melawan
dirinya lagi. Kalau dalam keadaan biasa, meski Ho Ing-yang bergabung
dengan Cu Kian-bing tetap bukan tandingan Wi To-ping, namun
lengan kiri Wi To-ping terluka, sebagai salah satu Sam-ing dari
murid generasi kesatu lagi, kepandaian Ho Ing-yang ter-hitung
tinggi juga, dengan gabungan ilmu pedang mereka berdua, temyata
Wi To-ping tak mampu mengalahkan mereka dalam waktu singkat.
Melihat kedua orang ini mampu melawan sama kuat, kini situasi
lebih menguntungkan pihak Thian-san-pay, dengan rasa lega Beng
Hoa melompat ke atas tembok terus mengejar ke arah Toan Kiamceng
pergi dibuntuti musuh. Di dalam hutan beruntun Beng Hoa bersua dengan beberapa
murid Thian-san yang sedang mengobati luka-luka mereka, mereka
bilang tidak pernah melihat bayangan Toan Kiam-ceng, maka Beng
Hoa menduga kedua orang itu pasti sembunyi di tempat sepi yang
jarang diinjak orang, maka dia tidak mencari tahu lagi, langsung
menyelinap lebih jauh ke dalam hutan. Supaya pengejarannya tidak
ketahuan, dia bertin-dak amat hati-hati.
Dalam hutan semacam ini, men-cari dua orang tak ubahnya
mencari jarum di dasar laut, di samping pasang mata Beng Hoa
harus pasang telinga. "Entah ke arah mana mereka ber-sembunyi" Kalau tahu begini,
tadi kubekuk dulu laki-laki bertopeng itu. Tapi apakah Toan Kiamceng
ada intrik dengan orang itu jadi sulit terbongkar. Biar aku
mencari dengan sabar."
Beberapa tombak lagi dia sudah menyelinap di antara dahan
pohon, di saat hatinya risau itu sayup-sayup dia menangkap suara
Toan Kiam-ceng, "Jangan kau mendesakku begini rupa, bila aku
menghadapi jalan buntu, terpaksa aku adu jiwa dengan kau." Arah
suaranya dari sebelah kanan, jaraknya kira-kira seratus langkah dari
Beng Hoa berada. Beng Hoa melenggong, pikirnva, "Aku belum melihat dia,
mungkinkah dia sudah tahu jejakku?" Tengah dia berpikir, dilihatnya
laki-laki yang menimpuk senjata rahasia beracun itu tiba-tiba
muncul di kejauhan. Maka Beng Hoa paham persoalannya "O, jadi bukan melihat
diriku, tapi sengaja bersuara supaya pengejar ini tahu di mana dia
bersembunyi." Betul juga segera dia mendengar orang itu tertawa, katanya,
"Siau-toan, sudah tak perlu bersandiwara lagi, di sini tidak ada
orang lagi." Tempat di mana Beng Hoa bersembunyi bentuknya mirip bulan
sabit, dengan jelas dia bisa melihat, orang di luar tidak bisa melihat
dirinya, Agaknya mimpi pun orang itu tidak mengira bahwa ada
orang sembunyi di atas ngarai dia hanya tahu di luar tiada orang
menguntit dirinya, maka dia berlenggang dengan langkah santai
lewat di depan Beng Hoa menghampiri Toan Kiam-ceng.
Beng Hoa mendekam di tanah mendengarkan percakapan
mereka, didengarnya Toan Kiam-ceng berkata, "Tong-siansing, aku
ingin membantu kau, tapi aku pun ingin mohon sesuatu kepadamu."
Mendengar orang ini she Tong, bercekat hati Beng Hoa. Seperti
diketahui keluarga Tong dijuluki keluarga nomor satu dalam senjata
rahasia, terutama senjata rahasia yang dilumuri racun, begitu kena
darah menyumbat tenggorokan, lihay dan jahat sekali. Mau tidak
mau Beng Hoa harus meningkatkan kewaspadaan.
"Kau mohon bantuan apa?" tanya orang she Tong.
"Aku punya seorang musuh, aku mohon bantuanmu untuk
membunuhnya," kata Toan Kiam-ceng"
"Siapa dia?" "Bocah yang tadi bergebrak dengan Wi To-ping, dia bernama
Beng Hoa, putera tunggal Beng Goan-cau."
Orang she Tong berkata, "Kiranya bocah itu, ilmu pedang bocah
itu memang lihay." "Ya, guruku pun bukan tandingannya, maka aku mohon
bantuanmu. Entah dia mengejar kemari atau tidak."
"Waktu aku keluar dia masih bertanding dengan Wi To-ping,
kurasa Wi To-ping juga bukan tandingan-nya."
"Kiamhoat bocah itu memang amat lihay. Tong-siansing, apa kau
sudi membantu aku, kalau keberatan, aku juga tidak memaksa,"
demikian ucap Toan Kiam-ceng, dia agulkan kepandaian Beng Hoa
untuk membakar amarah orang she Tong ini.
Orang she Tong tertawa bergelak, katanya, "Gururnu takut tapi
aku tidak takut, betapapun lihay kiam-hoat-nya juga jangan harap
bisa melukai aku. Sebelum dia mencabut pedang aku pasti sudah
membunuh-nya." Toan Kiam-ceng lantas mengumpak, "Betul, siapa tidak tahu
senjata rahasia keluarga Tong kalian tiada bandingan di kolong
langit ini, betapapun cepat kiamhoat bocah itu, memangnya lebih
cepat dari senjata rahasiamu."
"Membunuh bocah itu persoalan kecil, kerja yang akan kita
laksanakan sekarang justru urusan besar. Lekas kau antar aku,
pulangnya baru kubantu kau membunuh bocah itu."
Curiga dan khawatir hati Beng Hoa, entah kerja besar apa yang
akan dilakukan kedua orang ini, tapi dia yakin pasti bukan
perbuatan baik. Saat mana, seluruh murid-murid Thian-san boleh
dikata berkumpul di sekitar Siang-hoa-kiong, jadi Istana Es jelas tak
terjaga lagi. Setelah tahu Toan Kiam-ceng berintrik dengan orang
she Tong ini hendak melakukan kejahatan sudah tentu Beng Hoa
tidak boleh berpeluk tangan, maka dia memutuskan untuk
menguntit dan mengawasi gerak-gerik kedua orang ini.
Semenjak di Ciok-lin Beng Hoa sudah meyakinkan ginkang tinggi,
selama dua bulan ini kepandaiannya maju berlipat ganda, bila dia
mengembangkan ginkang, menginjak salju juga tidak meninggalkan
bekas, en teng laksana angin lalu. Dalam jarak seratus langkah
Beng Hoa merunduk maju terns, syukur orang she Tong tidak tahu
bahwa mereka dikuntit Anehnya Toan Kiam-ceng tidak membawa orang she Tong pergi
ke Istana Es, tapi menuju ke belakang gunung, makin jauh makin
belukar. Mendadak tanah di sebelah depan datar dan terbentang
luas, temyata mereka sudah keluar dari hutan. Kini mereka
dihadang sebuah guguran salju setinggi puluhan tombak yang
berbentuk seperti pintu angin.
Kelihatannya Toan Kiam-ceng kepayahan setelah berlari sekian
jauh, segera dia berhenti dan berkata lirih, "Itulah Su-tui-gay.
Tonggak Penyesalan, di bawah tonggak di balik sana terdapat
sebuah gua batu, Teng King-thian sedang tetirah di dalam gua batu
itu." "Ada orang menjaga di luar?" tanya orang she Tong.
"Yang kutahu, setiap tiga hari ada orang datang mengantar
makanan, hantaran terakhir dikirim kemarin malam. Kecuali
mengantar makanan, siapa pun dilarang datang kemari
mengganggu ketenangan." Temyata setiap tiga hari menjelang
magrib baru dia keluar sekali, kebanyakan waktunya dalam keadaan
semadi, apa yang terjadi di luar tidak diketahui sama sekali.
"Sekarang aku berani bertaruh, gua itu pasti tidak dijaga seorang
pun," demikian ujar Toan Kiam-ceng.
Orang she Tong tampak senang, katanya, "Sebetulnya bukan aku
takut menghadapi penjagaan, aku hanya khawatir Teng King-thian
dibangunkan dari semadinya, kalau demikian halnya urusan bisa
berabe." Toan Kiam-ceng tertawa, kata-nya, "Agaknya kau tidak tahu,
latihan semadi Thian-san-pay bila belum tiba waktunya sadar, kau
panggil dan kau guncang tubuhnya juga dia tidak akan sadar.
Tempat ini amat rahasia, murid-murid generasi kedua juga jarang
yang tahu." Lega orang she Tong, katanya tertawa, "Agaknya kau memang
serba bisa, tempat ini amat rahasia, murid tingkat kedua mereka
pun jarang yang tahu, kau sebaliknya hafal seluk beluk di sini."
"Ya, berkat bantuan Nyo Yan bocah cilik itu," demikian ucap Toan
Kiam-ceng. "Bocah itu paling disayang oleh ciangbunjin, tempo hari
pernah Ciong Jan menyuruh dia kemari mengantar makanan, hal itu
kuketahui maka aku mohon dia membawaku. Dia baik sekali dengan
aku, pasti tidak bercerita kepada orang lain."
"Hahaha, kiranya kau pandai juga membohongi bocah cilik.
Baiklah setelah kubunuh Teng King-thian, boleh kau tipu bocah itu
supaya ikut kita, bila bocah itu di tanganku dengan gampang aku
akan menghadapi Miao Tiang-hong dan Beng Goan-cau."
Setelah mendengar percakapan mereka baru Beng Hoa sadar,
urusan besar yang mereka bicarakan ini ternyata bukan lain hendak
membunuh ciangbunjin Thian-san-pay Teng King-thian secara
menggelap. Agaknya orang she Tong itu belum lega hati, tanyanya,
"Kabarnya jangka waktu tetirah Teng King-thian adalah empatpuluh
sembilan hari, sekarang masih ada berapa hari lagi?"
Toan Kiam-ceng tertawa, kata-nya, "Kedatangan kita tepat pada
waktunya, hari ini adalah hari ke-empatpuluh delapan, sehari
sebelum terirahnya usai."
Orang she Tong ini juga seorang ahli silat, maka dia juga tahu
bahwa menjelang berakhirnya tetirah, saat-saat itu merupakan
keadaan yang paling genting, orang yang semadi dalam keadaan
hampa, lupa diri lupa kehidupan, seorang anak kecil pun mampu
mencelakai jiwanya "Agaknya memang sudah ditakdirkan jiwa Teng King-thian bakal
mampus di tanganku," demikian ucap orang she Tong sambil
bergelak tawa, "dia kira orang luar takkan berani menyelundup ke
tempatnya tetirah, tidak ada penjagaan di sini. Siapa tahu bahwa
aku bakal memperoleh kesempatan sebaik ini. Para tianglo Thiansan
terhambat oleh pertarungan dua paderi sakti Thian-tiok, anak
muridnya juga sibuk menghalau serbuan musuh, jelas tiada orang
mampu menolongnya lagi."
"Memang," Toan Kiam-ceng mengumpak, "siapa yang tidak kenal
kebesaran nama keluarga Tong. Setelah kau membunuh ciangbunjin
Thian-san-pay, kebesaran namamu akan lebih menggetarkan empat
lautan." "Tapi semua ini juga berkat jasa baikmu," orang she Tong juga
pan-dai merangkul, "jangan khawatir, aku takkan melupakan
kebaikanmu." Kecuali gusar Beng Hoa kaget dan ngeri mendengar rencana
jahat kedua orang ini, dalam hati dia bersumpah, "Meski. harus
berkorban jiwa, aku harus menggagalkan rencana jahat mereka."
Kedua orang tidak sadar bahwa jejak mereka sudah ketahuan,
maksud jahat mereka juga sudah diketahui Beng Hoa, sambil
bercakap-cakap mereka mempercepat langkah lalu memutar ke
balik ngarai sebelah sana.
Beng Hoa yang seratus langkah di belakang mereka kini sudah
tidak perlu menyembunyikan diri lagi. Saking gelisah dia
mengembangkan Pat-pou-kan-sian (Delapan langkah mengejar
tonggeret), laksana terbang dia mengejar ke depan, sambil lari dia
mengerahkan tenaga dalam lalu berteriak dengan ilmu mengirim
gelombang panjang, "Teng-ciang-bun, awas ada orang
membokong." Dia tabu dalam keadaan tetirah belum tentu Teng
King-thian mendengar peringatannya, tapi bagaimanapun dia ingin
mencobanya untuk menolong jiwa orang, dengan harapan
peringatannya itu dapat membangunkan Teng King-thian sekaligus
mengejutkan musuh, yang harus direbutnya adalah waktu yang
singkat ini. Sayang dia terlambat selangkah, di kala dia berteriak orang she
Tong itu sudah mulai melangkah masuk gua sementara dia baru tiba
di mulut gua Toan Kiam-ceng berjaga di mulut gua, mendadak melihat Beng
Hoa muncul, karuan kagetnya setengah mati, lekas dia melompat
minggir seraya berteriak, "Bukan urusanku. Beng-heng, mohon kau
pandang muka pamanku"."
Beng Hoa harus menolong jiwa Teng King-thian, tak sempat
meng-hiraukan keparat ini, maka dia membentak, "Enyah kau!"
Pedang dicabut terus menerjang ke dalam.
Mendengar bentakan Beng Hoa, orang she Tong itu juga
berjingkat kaget, namun dia cukup sigap bertindak, segera dia turun
tangan lebih dulu. Di dalam gua Teng King-thian duduk bersimpuh memejamkan
mata seperti paderi bersemadi tanpa bergerak, begitu mengayun
tangan orang she Tong menyambitkan tiga jenis senjata rahasia
beracun. Cepat sekali Beng Hoa sudah menerjang ke dalam gua. Menyusul
orang she Tong mengayun tangannya ke belakang, dengan gaya
Sian-Ii-sam-hoa (Dewi menyambar kem-bang), segenggam bwehoaciam (Jarum bunga sakura) dia taburkan ke arah Beng Hoa.
Dengan jurus Sam-coan-hoat-lun (Tiga kali memutar roda) Beng
Hoa putar pedang kilatnya hingga menimbulkan gulungan sinar
dingin dengan deru anginnya yang deras, gua yang semula remangremang
mendadak menjadi terang bercahaya. Suara gemerincing
amat ramai, segenggam bwe-hoa-ciam musuh temyata hancur luluh
berhamburan di tanah tergilas oleh putaran pedang Beng Hoa.
Jarak begitu dekat, orang she Tong yakin dengan segenggam
bwe-hoa-ciam Beng Hoa pasti berhasil dirobohkan. Di luar tahunya
kiam-hoat Beng Hoa hebat luar biasa, suara gemerincing hancumya
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jarum-jarum itu hakekatnya tidak diperhatikan oleh Beng Hoa yang
tegang dan khawatir, namun bagi pendengaran orang she Tong,
justru menambah terkejut dan takutnya. Maklum bobot bwe-hoaciam
amat ringan, tak mungkin mengeluarkan suara sekeras itu
meski dirontokkan dengan pedang lawan.
Tapi dalam keadaan jiwa terancam serangan lawan, orang she
Tong tidak sempat memperhatikan apa sebab bunyi gemerincing
yang aneh itu. Yang penting dia harus membunuh Beng Hoa lebih
dulu. Cepat dia mundur beberapa langkah lalu menimpukkan
senjata rahasianya lagi. Kali ini kecuali menimpukkan bwe-hoa-ciam, sekaligus dia selingi
juga dengan toh-kut-ting (paku penembus tulang) dan thi-cit-le
(bola besi berduri) serta beberapa jenis amgi lain yang beracun
semua. Meski cepat permainan pedang Beng Hoa, dia yakin takkan
mampu merontokkan seluruhnya.
Beng Hoa sedang membelakangi dinding untuk meringankan
pertahanan, seluruh perhatian dia tujukan untuk menghadapi
serbuan amgi lawan. Mendadak terasa kesiur angin tajam dari tusukan senjata tajam
menyerang dari belakang, temyata melihat ada kesempatan, diamdiam
Toan Kiam-ceng merunduk mepet dinding terus menusuk
punggung Beng Hoa dengan pedang.
Perhatian Beng Hoa sedang ditu-jukan kepada amgi musuh di
depan, hakekatnya di sebelah belakang tanpa penjagaan sedikit
pun, mendadak merasakan tusukan pedang Toan Kiam-ceng,
membalik badan untuk menangkis sudah tidak keburu, karuan
mencelos hati Beng Hoa. Tak nyana di saat gawat itulah mendadak terjadi suatu
keajaiban. Di saat ujung pedang Kiam-ceng hampir menusuk
punggung Beng Hoa itu, entah dari mana, terbang datang sebuah
benda, entah benda apa. "Ting", kontan pedang panjang di tangan
Toan Kiam-ceng terpukul jatuh. Pada saat itulah Teng King-thian
yang duduk semadi mendadak membuka mata terus berdiri, pundak
orang she Tong ditepuknya sekali serta berkata perlahan, "Kau
istirahat saja, maaf, sekarang aku tidak sempat melayanimu."
Kecuali ahli senjata rahasia, kungfu lain orang she Tong
sebetulnya cukup lihay juga tapi saat itu kebetulan dia menyurut
mundur ke pinggir, tepukan Teng King-thian temyata tak mampu
dihindari, kontan dia tcrsungkur roboh.
Serasa terbang arwah Toan Kiam-ceng, memutar tubuh segera
dia lari sipat kuping. Beng Hoa girang bukan main, sudah tentu dia
tidak sempat menghiraukan keparat yang lari itu.
Teng King-thian malah yang berteriak, "Kiam-ceng, apa yang
terjadi" Orang ini hendak mencelakai aku, kenapa kau malah
membokong orang yang menolong diriku?"
Sudah tentu Toan Kiam-ceng tak berani menoleh, larinya lebih
cepat, dalam sekejap sudah menghilang.
Beng Hoa menghela napas lega, katanya girang, "Teng tayhiap,
kiranya kau tidak apa-apa. Persoalan Toan Kiam-ceng biar nanti
kujelaskan. Ada persoalan penting lain yang perlu kulaporkan."
"Ada kejadian apa?" tanya Teng King-thian.
"Ada musuh tangguh menyerbu Istana Es."
Teng King-thian terperanjat, ta-nyanya, "Ada Ciong-suheng
menggantikan aku di sana, apakah dia tidak kuat membendung
serbuan orang luar?"
"Ciong-tianglo sekarang sedang mengadu lwekang dengan paderi
sakti dari Thian-tiok dalam Siang-hoa-kiong."
"Yang datang tentu dua paderi sakti dari Thian-tiok itu, kukira
tidak perlu dibuat khawatir."
"Kecuali itu ada serombongan musuh dari antek kerajaan.
Sekarang sedang bertarung sengit dengan murid-murid Thian-sanpay
kalian." "Bagaimana keadaannya sekarang?"
"Waktu wanpwe meninggalkan tempat itu keadaan masih sama
kuat." Sedikit lega hati Teng King-thian, katanya, "Biar kubereskan dulu
orang ini, nanti kau ke sana bersama aku." Lalu dia jinjing orang she
Tong serta menjengek dingin, "Kau murid keluarga Tong dari
Sujwan bukan?" Lalu dia meraih ke muka orang menanggalkan
kedoknya. Kedok itu terbuat dari kulit tipis yang lemas, Beng Hoa
maju memeriksa temyata itulah kedok yang terbuat dari kulit
manusia asli. "Tong Si-kiat, kiranya kau," bentak Teng King-thian. "Lepas dari
hukum keluarga Tong kalian, hubungan ayahmu dengan aku juga
amat erat, kenapa kau datang kemari hendak mencelakai jiwaku?"
Tampak malu dan menyesal wajah Tong Si-kiat, katanya, "Siautit
dihasut dan diancam oleh Wi To-ping, dosaku memang tidak
berampun. Mohon Teng-ciangbun mengingat hubungan lama
dengan ayah almarhum"."
"O, jadi ayahmu sudah meninggal, tak heran kau berani
sewenang-wenang berbuat jahat lagi. Bagaimana dengan engkohmu?"
"Engkoh-ku tidak tahu menahu persoalanku ini," sahut Tong Sikiat
"Baiklah, kupandang muka ayahmu yang sudah meninggal, aku
tidak akan membunuhmu, kau boleh pulang. Tapi sebagai sahabat
baik ayahmu, perlu aku wakilkan dia memberi hukuman sekedarnya
ke-pada puteranya yang tidak berbakti ini." Perlahan dia menjentik
pundak Tong Si-kiat. "Tiga tahun lagi baru kungfumu bisa pulih lagi,
selama tiga tahun ini kuharap kau bisa bertobat, menyesali
perbuatan jahatmu selama ini."
Tong Si-kiat mengira Teng king-thian pasti akan memunahkan
ilmu silatnya, kini setelah dirinya hanya terhukum tiga tahun
kehilangan kungfu, meski hukuman ini cukup menyiksa, namun
hatinya girang bukan main, lekas dia berlutut dan menyembah serta
menyatakan terima kasih atas pengampunan Teng King-thian.
Teng King-thian tidak menghiraukan orang lagi, bersama Beng
Hoa dia beranjak keluar, katanya tertawa, "Marilah sambil berjalan
kita ngobrol, kau menolong aku, siapa namamu aku belum sempat
tanya." Setelah Beng Hoa memperkenalkan diri, Teng King-thian bicara
lebih lanjut, "Pernah apa kau dengan Beng Goan-cau tayhiap?"
"Beliau adalah ayah kandungku."
"Kungfumu kurasa tidak mewarisi ajaran keluarga, Kim tayhiap.
Kim Tiok-liu juga pernah memberi petunjuk kepadamu bukan?"
"Ya. Kim tayhiap memang per-nah memberi petunjuk ilmu
pedang kepada wanpwe."
Teng King-thian seperti memikirkan sesuatu, katanya kemudian,
"Ya, tak perlu dibuat heran. Ilmu pedangmu dilandasi permainan
golok, belum pernah selama hidup aku menyaksikan ilmu kombinasi
semacam ini. Tapi ada satu hal yang belum kumengerti, sudikah kau
menjelaskan kepadaku?"
"Soal apa yang ingin Teng tay-hiap ketahui?"
"Bicara soal ilmu pedang saja, perubahan dan variasi ilmu
pedang-mu amat menakjubkan, kurasa masih lebih unggul dari ilmu
pedang yang pernah diciptakan oleh Kim Tiok-liu sendiri. Hasil
ciptaanmu sendiri atau kau memperoleh ajaran orang kosen?"
Bahwa generasi muda lebih unggul dari angkatan tua memang
sering terjadi, namun usia Beng Hoa masih terlalu muda, tak
mungkin dia mencapai taraf setinggi ini, maka Teng King-thian tak
tahan mengajukan pertanyaan.
Dalam gua tadi Teng King-thian masih duduk semadi sambil
memejamkan mata dan menundukkan kepala, Beng Hoa tak habis
pikir bahwa orang seperti menyaksikan permainan pedangnya tadi,
rasa kagumnya semakin besar.
Maka Beng Hoa menjelaskan, "Wanpwe memang pernah
mendapat rejeki besar, bagaimana kalau hal ini kujelaskan setelah
cianpwe menggebah para penyatron itu?"
Teng King-thian tersentak sadar, katanya, "Ya, benar, waktu
sudah mendesak. Boleh kau jelaskan persoalan yang penting saja"
Setelah mendengar penjelasan Beng Hoa, Teng King-thian
tertawa, katanya, "Mereka sedang sial, kalau datang sehari lebih
dulu mungkin Thian-san-pay akan kalah habis-habisan, jiwaku pun
takkan tertolong lagi."
Seperti diketahui, tetirah Teng King-thian sebetulnya memerlukan
empatpuluh sembilan hari, namun karena dasar lwekang-nya cukup
tangguh, kemajuan yang dicapainya temyata lebih cepat dari
perhitungan semula, dalam empatpuluh delapan hari dia sudah
berhasil menyelesaikan tetirahnya. Waktu Tong Si-kiat menerobos
ke dalam gua membokong dirinya, kebetulan dia sedang
membuyarkan tenaga intinya Tapi berkat peringatan Beng Hoa pula
baru dia berjaga dari mara bahaya
Beng Hoa bercerita secara ringkas, saat mana mereka sudah
kem-bali ke Siang-hoa-kiong, pertarungan besar kedua pihak yang
campur aduk masih berlangsung dengan seru. Kedatangan Teng
King-thian yang mendadak di luar dugaan ini karuan membuat
girang murid-murid Thian-san-pay, sebaliknya para musuh pecah
nyalinya. Pertarungan yang paling seru saat itu adalah antara Kam Kiankhong
yang dibantu Pek Ing-ki dan Cu Kian-bing dari pihak Thiansanpay melawan Auwyang Tiong, Lau Cau-pek dan Wi To-ping.
Pihak Auwyang Tiong sudah unggul di atas angin, tapi Auwyang
Tiong dan Lau Cau-pek kenal baik dengan Teng King-thian, melihat
orang mendadak muncul, kagetnya bukan main. "Sret" tusukan
pedang Ho Ing-yang berhasil menusuk luka lengan Auwyang Tiong,
"Bluk" telapak tangan Kam Kian-khong juga memukul telak
punggung Lau Cau pek. Karena terluka rambut merah di kepala Auwyang Tiong tegak
berdiri, seperti binatang buas terluka dia menggerung sambil
mengamuk. Beruntun dia melancarkan pukulan dengan kedua
tangannya, seperti ingin adu jiwa saja dia berusaha menjebol
kepungan. Lui-sin-ciang yang diyakinkan adalah salah satu dari dua sinkang
aliran sesat, karena gugup dan terdesak dia bertempur nekad dan
mengadu jiwa maka pukulannya mengeluarkan deru angin yang
ber-suhu tinggi. Cu Kian-bing adalah orang pertama yang tidak kuat
menahan suhu panas pukulan lawan, lekas dia melompat ke luar
kalangan. Kam Kian-khong yang memiliki lwekang paling tinggi juga
harus berkelit Cepat sekali dari samping Wi To-ping juga membarengi dengan
sebuah pukulan dahsyat membantu Lau Cau-pek menyampuk pergi
sepasang pedang Pek Ing-ki dan Ho Ing-yang. Kedua orang ini
mengun-tit di belakang Auwyang Tiong ikut menjebol kepungan.
Beng Hoa segera berteriak, "Jangan lepaskan orang she Lau dan
siluman berambut merah itu."
Saat itu Teng King-thian baru saja memasuki lapangan, jaraknya
dengan arena pertempuran di sana masih amat jauh, Orang-orang
Wi To-ping yang sedang berhantam di tengah lapangan juga mulai
bubar dan mundur. Betapapun tinggi gin-kang Beng Hoa dalam
gerombolan sekian banyak orang yang berdesakan, sukar dia
menyelinap ke sana memburu musuh.
Siluman rambut merah Auwyang Tiong adalah guru Toan Kiamceng,
sementara Lau Cau-pek berintrik dengan Toan Kiam-ceng
membokong Teng-hujin. Untuk membongkar kedok Toan Kiamceng,
Beng Hoa merasa perlu membekuk kedua orang saksi ini. Dia
tahu dengan bekal kepandaian Kam Kian-khong dan Iain-lain jelas
tidak mampu membekuk Wi To-ping juga, maka dia memilih musuh
yang lebih pen-ting. Teng King-thian tersenyum, ka-tanya, "Mereka takkan bisa lolos."
Sembari bicara dia membungkuk meraih dua butir batu, dengan
Tam-ci-sin-thong dia sentil batu kerikil itu.
Jarak Teng King-thian dengan kedua orang musuh ini sedikitnya
ada serarus langkah, dua butir batu kerikil itu melesat di udara dan
dengan telak mengenai Thian-cu-hiat di punggung Lau Cau-pek dan
Auwyang Tiong, jago lihay di pihak musuh hanya Wi To-ping
seorang yang berhasil melarikan dot
Teng King-thian menguatirkan pertandingan yang tengah
berlang-sung di dalam Siang-hoa-kiong, maka dia berkata
"Pemimpinnya sudah tertangkap, biarkan anak buahnya pergi saja"
Agaknya dia tidak tahu, jago terlihay di pihak musuh meski bukan
Wi To-ping, tapi rombongan musuh ini justru di bawah pimpinannya
Hanya sekejap musuh yang masih hidup sudah lari semuanya,
anak murid Yu-tan berkumpul di undak-an, tinggal murid-murid
Thian-san yang masih berada di tengah lapangan menolong para
saudara yang menjadi korban. Ada beberapa mu-suh binasa,
Auwyang Tiong dan Lau Cau-pek menggeletak tak bergerak Kam
Kian-khong tahu Lau Cau-pek adalah musuh pembunuh istri Teng
Ka-gwan, segera dia menghampiri hendak menyiksa dan
mengompes keterangannya. Tak nyana begitu dia menyentuh
badan orang, temyata panas sepcrti habis di panggang, waktu dia
meraba pernapasannya ternyata sudah berhenti. Karuan Kam Kiankhong
tcrkejut, teriak-nya, "He, bangsat she Lau ini sudah mati."
Teng King-thian bersuara heran, tanyanya, "Apa sebab kematiannya?"
Tadi dia menggunakan dua kerikil kecil menotok hiatto-nya,
dia yakin tenaga sentilannya sudah diperhihingkan, jiwa orang pasti
takkan melayang, Pada saat itu, Pek Ing-ki juga berteriak, "Siluman rambut merah
ini juga sudah mati." Kematian Auwyang Tiong seperti keadaan Lau
Cau-pek, badannya tidak terluka se-dikit pun, namun keduanya
meringkuk di tanah seperti setumpuk daging.
Teng King-thian datang memeriksa, lalu menghela napas,
katanya, "Kelalaianku juga tidak bersiaga sebelumnya, sungguh tak
nyana antara orang sendiri mereka juga saling bunuh."
Sebelum Teng King-thian menjentik kerikil menyerang dirinya,
khawatir dirinya tak mampu lolos dari tangan Teng King-thian dia
takut Lau Cau-pek membeber rahasia kepada musuh, dengan Luisinciang dia memukulnya mampus Jebih dulu. Tak tahunya Wi Toping
juga punya maksud yang sama, dengan Jong-jiu-hoat dari
belakang punggungnya pun dipukulnya sekali sehingga jantungnya
pecah. Tadi ketiga orang ini lari bersama seperti bergandengan
tangan, orang lain menyangka mereka saling bantu, ternyata malah
saling bunuh. "Sungguh sayang," Beng Hoa amat menyesal. Tapi setelah
kejadian yang dialami Teng King-thian dalam gua tadi, dia yakin
orang sudah percaya kepada dirinya, bila perlu dia berani adu muka
di hadapan orang banyak dengan Toan Kiam-ceng. Maka dia
memberi ingat kepada Teng King-thian, "Ciong-tianglo sedang
bertanding babak kedua dengan paderi Thian-tiok, entah bagaimana
kesudahannya" Teng-ciang-bun, kau"."
Sudah tentu Teng King-thian tahu adu tenaga dalam amat
berbahaya, segera dia mengangguk dan berkata, "Baiklah, mari kita
lihat ke dalam. Ing-ki pimpin para sute dan bereskan tempat ini,
hati-hati sergapan musuh."
Waktu mereka masuk ke Siang-hoa-kiong, keadaan sudah amat
genting. Ciong Jan masih duduk berhadapan dengan Si-lo Hoatsu, telapak
tangan mereka lengket. Uap putih sudah mengepui di atas kepaia
mereka. Lwekang Ciong Jan memang le-bih tinggi, meski tidak
sedikit tenaganya terkuras waktu bertanding senjata tadi, maka
keadaan sekarang masih setanding alias sama kuat. Sekarang adu
tenaga dalam sudah mencapai puncaknya, mencapai taraf antara
mati dan hidup. Kungfu Yu-tan Hoatsu memang lebih tinggi, melihat
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelagat dia tahu bahwa sute-nya agak lemah sedikit dibanding
lawan, kalau pertandingan lwekang diteruskan, jiwa sute-nya jelas
sukar diselamatkan. Umpama Ciong Jan berhasil mempertahankan
jiwanya, juga akan mengalami luka parah. Sudah tentu Yu-tan tidak
ingin akhir pertandingan ini kedua pihak gugur bersama.
Akan tetapi dengan bekal kepandaiannya sekarang, meski lebih
tinggi dari kedua orang ini, namun dia tidak yakin mampu memisah
kedua orang ini. Melihat Teng King-thian beranjak masuk, terkejut
dan girang hatinya. Tak sempat basa-basi, sambil mengerutkan alis
segera dia berseru, Teng tayhiap, syukur-lah kau telah datang,
mereka mungkin, mungkin gugur bersama, kuharap kau" kau?"
Tanpa dijelaskan Teng King-thian sudah tahu. Suheng-nya pasti
menang dalam adu tenaga, tapi dia tidak mengharapkan Ciong Jan
luka parah setelah mengalahkan musuh-nya.
"Biarlah akan kucoba," ucap Teng King-thian perlahan, sambil
bicara dia sudah menghampiri dan berdiri di samping kedua orang.
Tangan yang terselubung di dalam lengan baju lantas mengebas ke
tengah kedua orang yang sedang berhadapan ini. Lengan baju
lemas, namun dilandasi tenaga dalamnya, lengan bajunya itu seperti
tameng yang punya daya pantul, tampak Ciong Jan dan Si-lo Hoatsu
terpisah mundur. Di tengah suara "Bret" yang keras, lengan baju Teng King-thian
ternyata koyak-koyak, Si-lo terjengkang ke belakang hingga siku
menyangga badan, namun sigap sekali dia sudah melompat berdiri.
Sementara Ciong Jan hanya terdorong mundur sambil menarik
napas panjang perlahan dia pun berdiri. Ternyata kekuatan lwekang
dua orang yang sedang berkutat itu berhasil dipisah hanya dengan
kebasan lengan baju Teng King-thian.
Yu-tan Hoatsu menghela napas lega, timbul rasa kagumnya
kepada Teng King-thian karena dia tahu kalau dirinya jelas tidak
mampu memisah kedua orang itu dengan cara semudah itu. Kalau
dipaksakan memang bisa, tapi dia sendiri pasti juga terluka dalam
Dari cara memisah ini dia sudah tahu bahwa lwekang Teng Kingthian
masih setingkat di atas dirinya.
Dasar suka menang dan senang berkelahi, begitu melompat
berdiri Si-lo lantas bertanya, "Siapa yang menang babak kedua ini"*"
Teng King-thian tersenyum ramah, katanya, "Kalian belum ada
yang kalah atau menang, keburu aku sudah memisah kalian. Kalau
kau tidak menganggap aku turut campur, bagaimana kalau
pertandingan ini diakhiri saja,"
Si-lo tertawa lebar, katanya senang, Teng-ciangbun, kau
memang orang baik, mana berani aku menya-lahkan kau. Kalau
babak kedua dianggap seri, apakah kau hendak bertanding babak
ketiga dengan su-heng-ku?"
Teng King-thian berkata, "Selama ini aku mengagumi kungfu
aliran kalian, pertandingan ini kurasa tidak perlu dilanjutkan."
"Ah, tidak, mana boleh," seru Si-lo, "muridku sudah kalah satu
babak, kalau tidak dilanjutkan jelas pihak kami yang dirugikan."
"Sudah kukatakan aku takkan mampu menandingi kungfu kalian,
biarlah aku mengaku kalah saja"
"Menyerah juga tidak bisa kuterima Kami datang dari jauh,
maksudnya untuk mencoba kepandaianmu, sekarang kau sudi
keluar menghadapi kami, tapi kau tidak mau bertanding, bukankah
sia-sia kedatangan kami?"
Yu-tan Hoatsu mengerut kening, katanya, "Teng-ciangbun belum
habis bicara kenapa kau mengoceh tidak karuan."
"Oh, ya," seru Si-lo sadar, "per-tandingan kungfu terbagi
beberapa cara agaknya kau tidak mau bertanding dengan
kekerasan, baiklah dengan cara lunak saja, hayolah pertandingan
segera dilanjutkan."
Teng King-thian tertawa, kata-nya "Cara keras atau lunak tetap
tak usah dilanjutkan. Kemampuanku jelas tidak lebih dari
kemampuan suheng-mu."
"Teng-ciangbun," seru Yu-tan, "kau terlalu sungkan."
"Keras lunak tidak mau bertanding, memangnya kau ini mau
bertanding apa?" tanya Si-lo.
"Mana berani aku bertanding, kalian sebagai paderi sakti dari
Thian-tiok, kupikir biarlah aku mohon petunjuk ajaran agama saja"
Si-lo meienggong, katanya, "Aku tidak pandai membaca mantra,
suhu pernah mengajar, tapi setiap kali membaca mantra kepalaku
lantas pusing. Suhu sudah mangkat, belasan tahun ajarannya sudah
lama kulupakan, maka untuk mohon pe-tunjuk ajaran agama boleh
kau minta kepada suheng. Tapi aku harap kalian suka bertanding
kungfu saja" "Kecuali latihan kungfu, sute-ku ini tak bisa apa pun," demikian
ucap Yu-tan Hoatsu. "Teng-ciangbun, harap kau tidak
menertawakan dia" "He, Teng-ciangbun, apakah mo-hon petunjuk ajaran agama
yang kau maksud juga bisa digunakan dalam permainan silat Wan,
aku bisa linglung karenanya."
"Yu-tan Hoatsu," ucap Teng King-thian, "marilah aku mohon
petunjuk ajaran semadi."
"Ho, jadi Teng-sicu juga pernah belajar semadi sesuai ajaran
agama Budha?" Maka Teng King-thian dan Yu-tan Hoatsu bersimpuh di atas
lantai, jarak mereka tiga tombak, begitu duduk lantas menundukkan
kepala memejamkan mata Dari samping dengan cermat Si-lo Hoatsu mengamati, dia tahu
dalam semadi kali ini Teng King-thian tidak mengerahkan lwekang,
agaknya kedua orang ini memang sedang bertanding semadi.
Lcgalah hatinya Dasar tidak sabaran, setelah menonton sekian lama, mendadak
dia mendekati Beng Hoa, katanya perlahan, "Lote, mereka
bersemadi tiada yang perlu di tonton, maukah kau ngobrol tentang
ilmu silat dengan aku" Ada sebuah hal yang belum kumengerti,
ingin mohon petunjukmu. Jikalau kau juga mohon petunjuk
kepadaku, pasti aku akan menjelas-kan apa yang kuketahui."
Setelah bergaul beberapa kali, Beng Hoa tahu bahwa watak
orang jujur dan jenaka maka timbul simpatinya katanya "Hoatsu,
sikapku terlalu kasar kepadamu, harap kau tidak kecil hati, kau ingin
tanya apa?" Merah muka Si-lo, katanya "Sebetulnya aku lebih kasar dan
congkak, bicara terus terang, dengan bekal kepandaianmu sekarang
meski belum tentu dapat mengalahkan aku, tapi teori silat yang kau
pahami justru lebih banyak. Aku pernah memaksa kau menjadi
muridku, jikalau kau masih marah, boleh kau mencaci aku. Kalau
tidak biar aku memanggil kau suhu juga boleh, anggaplah sebagai
pemyataan maafku." Beng Hoa geli terhadap kepolosannya, katanya "Urusan lama tak
perlu dibicarakan lagi. Terus terang, bicara kungfu, aku masih
mohon petunjukmu." "Baiklah, kau tak usah sungkan, anggaplah saling berdiskusi. Ada
satu hal belum kupahami, mohon kau suka menjelaskan."
"Soal apa?" "Dahulu waktu kau bergebrak dengan aku, kau belum mampu
menundukkan permainan tempurung emasku. Tapi waktu kau
bertanding dengan muridku, dalam batoknya dipasang besi
sembrani, dengan mudah kau dapat mengalahkan dia Aku tahu
taraf lwekangmu sudah maju dibanding dulu. Padahal berpisah baru
setengah bulan, namun kau memperoleh kemajuan sepesat itu,
apakah kau mendapat petunjuk guru kosen?"
"Petunjuk gum kosen apa Aku hanya mengulang pelajaran Hiankangpwe-coat yang dulu pernah kuyakinkan. Terasa olehku teori
ilmu yang kupelajari itu sedikit banyak ada mirip dengan aliran
kalian, maka dengan ketekunanku berhasil kuselami dengan baik."
"Hian-kang-pwe-coat itu hasil karya guru besar siapa?"
"Hian-kang-pwe-coat adalah buah karya mahaguru silat Thio
Tan-hong yang hidup tigaratus tahun yang lalu."
"Nama besar Thio tayhiap memang sejak lama sudah kukagumi,
sayang aku terlambat beberapa ratus tahun dilahirkan. Kau
mewarisi ilmunya, sudikah kau menjelaskan beberapa ajarannya
yang penting kepadaku" Sudah tentu nanti akan kuajarkan juga
lwekang sim-hoat yang kupelajari dari guruku."
Taraf kepandaian silat mereka sudah termasuk kelas tinggi,
setelah berdiskusi sekian lamanya, tidak sedikit manfaat yang
mereka peroleh. Terutama Si-lo seperti orang ling-lung saja dia
kecanduan penjelasan Beng Hoa, hingga tak peduli lagi suheng-nya
yang masih adu semadi dengan Teng King-thian. Padahal Beng Hoa
masih punya urusan lain yang perlu segera dibereskan, namun
karena Teng King-thian masih semadi, gugup juga tiada gunanya.
Tanpa sadar dia tenggelam lagi dengan diskusi yang lebih
mendalam tentang teori ilmu silat dari Thian-tiok seperti yang
diuraikan Si-lo Hoatsu. Kalau Si-lo Hoatsu tenggelam dalam diskusi ilmu silatnya dengan
Beng Hoa, adalah Yu-tan Hoatsu juga mulai mendalami manfaat dari
kemumian bersemadi. Yu-tan Hoat-su adalah orang pertama yang
mendalami kungfu tingkat tinggi, ajaran agama mungkin dia belum
mencapai puncak tertinggi, namun dia me-mang punya bakat dan
berjodoh dengan ajaran ini. Kalau tidak, tak mungkin bisa menjadi
pemimpin Lan-to-si, mewarisi jabatan dan kepandaian Liong-yap
Siangjin. Kini setelah pikiran jernih hati bersih, otaknya bertambah
cemerlang, keinginan menang sendiri seperti yang dibawanya waktu
datang sudah lenyap tak berbekas.
Di samping semadi dia pun pasang telinga mendengar
perundingan Beng Hoa dengan sute-nya, tidak sedikit di antaranya
teori yang selama ini tak terpecahkan dalam benaknya, kini berhasil
dijemihkan. Tanpa merasa Beng Hoa sudah habis menjelaskan seluruh ajaran
Hian-kang-pwe-coat, waktu dia angkat kepala, ternyata mentari
sudah doyong ke barat, seketika dia tersentak kaget. "Leng Ping-ji
dan Lomana bertiga pasti tak sabar me-nu ngguku. Entah Tenghujin
sudah ditemukan belum" Entah sampai kapan adu semadi ini
akan usai?" Syukurlah pada saat hatinya gundah, didengarnya Teng Kingthian
dan Yu-tan Hoatsu bergelak tawa lalu berdiri. Yu-tan Hoatsu
langsung menjura, katanya, "Banyak terima kasih akan bantuan
Teng-sicu, khotbahmu menyadarkan hatiku, tak sedikit yang
kuperoleh." Lalu dia mohon diri dan mengajak sute-nya keluar dari
Siang-hoa-kiong. Sudah tentu para muridnya keheranan.
Setelah rombongan Yu-tan Hoat-su pergi, tiga tianglo Tbian-sanpay
dan para murid yang tidak terluka beramai memberi hormat
kepada ciangbunjin serta menghaturkan selamat atas
keberhasilannya tetirah. Teng King-thian berkata, "Beng-siauhiap hari ini banyak
membantu aku biarlah dia bicara lebih dulu."
"Teng-ciangbun," ucap Beng Hoa, "banyak persoalan yang akan
kubicarakan, tapi biar kupilih dulu tiga persoalan yang penting. Tapi
ketiga persoalan ini juga tak sempat kujelaskan secara terperinci,
biar kulaporkan secara garis besarnya saja."
"Baik, coba katakan." "Pertama, puteramu ada titip sebuah kotak
sutera kiriman ciang-bunjin Kong-tong-pay yang hams diserahkan
kepadamu." Teng King-thian menerima kotak sutera itu, sikapnya kelihatan
agak heran. Tapi dia tahu persoalan yang lebih penting masih ada di
belakang, maka sementara dia tidak membuka kotak sutera itu,
katanya, "Terima kasih, soal kedua?"
Perlahan tapi keras Beng Hoa berkata, "Murid kalian yang
bernama Toan Kiam-ceng adalah mata-mata musuh, jelasnya dia
murid murtad." Karuan murid-murid Thian-san-pay gempar. Belum genap tiga
bulan Toan Kiam-ceng masuk perguruan, dasar supel dan pandai
menjilat, atas bawah dia bergaul. Kalau hari ini Beng Hoa tidak
banyak membantu kesulitan yang dihadapi Thian-san-pay, pasti
banyak orang akan marah dan melabraknya, namun demikian
banyak di antaranya yang tidak percaya.
Karena persoalan Toan Kiam-ceng yang dituduh mata-mata oleh
Beng Hoa, Pek Ing-ki pemah melabraknya. Tadi Beng Hoa pernah
menolong jiwanya, namun dia tetap tidak mau menerima tuduhan
ini, "Kau bilang Toan-sute mata-mata, kau punya bukti apa?"
Sebelum Beng Hoa menjawab, Teng King-thian sudah buka
suara, "Betul, aku pun sudah curiga bahwa dia memang mata-mata
musuh. Tadi seorang murid keluarga Tong meluruk ke belakang
gunung menerobos ke gua di mana aku tetirah dan hendak
membunuhku. Toan Kiam-ceng-lah yang membawa orang she Tong
itu ke sana." Ciangbunjin sendiri sudah memberikan pernyataan, sudah tentu
seluruh murid-murid Thian-san-pay kaget bukan main, yang tidak
percaya juga terpaksa percaya. Terutama Pek Ing-ki keiihatannya
gusar dan penasaran, serunya, "Siapa mengira Toan Kiam-ceng
keparat itu berani berbuat kotor dan jahat. Tecu kurang cermat dan
hati-hati, dosaku setimpal dihukum mati."
"Dosa kelalaian ini akulah yang harus memikulnya," tukas Teng
King-thian, "kalian tak perlu memperdebatkan persoalan ini,
sekarang yang penting lekas bekuk Toan Kiam-ceng dan gusur ke
hadapanku." "Mohon ciangbun serahkan tugas ini kepadaku," seru Pek Ing-ki.
Setelah mendapat persetujuan Teng King-thian, Pek Ing-ki memilih
belasan pembantu terus berpencar mencari jejaknya.
"Apa pula soal yang ketiga?" tanya Teng King-thian.
Maka Beng Hoa menceritakan intrik Toan Kiam-ceng dengan Lau
Cau-pek sehingga menantu Teng King-thian atau istri Teng Ka-gwan
terpukul luka parah. Karuan makin berkobar amarah murid-murid
Thian-san. Tapi Lan Cau-pek sudah mati, mati hidup Teng-hujin
belum diketahui. Maka mereka lekas mencarinya.
Setelah rombongan kedua berangkat, Beng Hoa berkata pula,
"Masih ada urusan pribadiku, mohon ciangbunjin maklum."
"Soal pribadi apa, coba katakan."
"Teng tayhiap, muridmu yang terkecil, Nyo Yan, adalah saudara
tiriku, aku datang untuk melihatnya dari dekat."
Teng King-thian kegirangan, serunya, "Bagus sekali, kalian
bersaudara sudah bertemu belum?"
"Dia tidak percaya kalau aku adalah engkoh-nya."
"Lekas panggil Nyo Yan kemari."
Peristiwa yang dikhawatirkan Beng Hoa temyata terjadi, orangorang
Thian-san-pay tidak menemukan Nyo Yan. Dapat diduga
bahwa Toan Kiam-ceng membawanya pergi dijadikan sandera.
Maka Teng King-thian mengeluarkan perintahnya, seluruh muridmurid
Thian-san-pay dikerahkan untuk mencarinya kembali.
Beng Hoa berkata, "Ada beberapa teman yang juga sedang
menunggu aku, satu di antaranya adalah keponakan perempuan
Leng Thiat-jiau, belakangan dia sudah diangkat sebagai murid oleh
Teng-hujin, biar aku menemui mereka, apa boleh aku bawa mereka
ke Istana Es?" "Sudah tentu boleh," ucap Teng King-thian. "Boleh kau suruh
mereka datang menemui aku sendiri. Kau boleh ikut mencari
adikmu." Lekas sekali Beng Hoa sudah tiba di tempat persembunyian Leng
Ping-ji bertiga, namun bayangan mereka sudah tidak kelihatan.
Beng Hoa kaget, namun dia tidak kehabisan akal, perlahan dia
menghimpun tenaga, dengan lwekang tinggi dia berteriak dengan
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu mengirim gelombang panjang,. "Leng-cici, Lomana, Santala, di
mana kalian?" Ditunggu beberapa kejap lama-nya, kebetulan angin
menghembus lalu, Beng Hoa menangkap suara lemah berkata,
"Apakah Beng-toako" Lekas kemari, lekas." Itulah suara Lomana.
Lomana tidak pernah meyakinkan lwekang, maka suara-nya tak
terdengar jauh. Beng Hoa mendekam di tanah menentukan arah
suara, baru mendengar seruan-nya. Dengan jantung berdebar
se-gera dia berlari ke arah timur, dengan seksama dia mencari,
akhirnya dia temukan Lomana di belakang sebuah bongkahan salju
raksasa. "Apa yang terjadi" Mana Leng-cici?" tanya Beng Hoa sambil lari
menghampiri, dilihatnya di samping Lomana menggeletak satu
orang, temyata Santala. Pakaiannya berlepotan darah, rebah lunglai
tak berge-rak, kelihatannya luka-lukanya tidak ringan.
Seperti melihat saudara sendiri seketika pecah tangis Lomana,
kata-nya, "Leng-cici mengejar bangsat keparat itu. Santala
dipukulnya luka parah, entah mati atau hidup."
Beng Hoa tak sempat bertanya duduk persoalannya, lekas
dipapah-nya Santala lalu menempelkan te-linga di dada orang,
segera.dia menghembuskan napas lega, kata-nya, "Syukur
jantungnya masih bekerja." Lekas dia keluarkan sebutir Siau-hoantan
dijejalkan ke mulut Santala, lalu dia unit dada orang, sesaat
kemudian Santala siurnan dan "huuaah" memuntahkan sekumur
darah segar, badannya pun mulai bergerak.
"Apakah" apakah dia masih bisa ditolong?" dengan was-was
Lomana bertanya. Beng Hoa segera menghibumya, katanya, "Aku sudah
memberinya obat mustajab, darah kental sudah dia tumpahkan,
jiwanya takkan ter-ancam. Tak lama lagi orang-orang Thian-san-pay
akan datang kemari, kau boleh minta bantuan mereka untuk
menggotong San-toako kembali ke Istana Es."
Kini Santala sudah siuman betul-betul, melihat Beng Hoa,
rupanya mengunjuk rasa kaget dan senang, bibimya gemetar
namun belum bisa bicara. Lomana berbisik di pinggir teli-nganya, "Beng-toako telah
menolong jiwamu, jangan kau banyak pikiran, istirahatlah dengan
tenang. Setelah Beng-toako datang, segala urusan pasti dapat
dibereskan." "Beng-toako, kau" kau?" bibir Santala gemetar, suaranya lirih
dan lemah namun Beng Hoa mendengar suaranya, "Lekas kau kejar
keparat itu mungkin norm Leng bukan tan-dingannya. Ai, lekas kau
susul mereka, biar Lomana menjaga aku di sini."
"Jangan kau banyak bicara, biar Lomana yang menjelaskan.
Murid-murid Thian-san-pay akan kemari, bila mereka tiba baru aku
akan pergi." . "Jangan" jangan"." Santala masih ingin bicara, namun Beng
Hoa segera menotok hiatto-nya. Totokan yang digunakan Beng Hoa
untuk mencegah menjalarnya luka dan menghentikan tumpahnya
darah, sekaligus membuat Santala pulas, untuk membantu
mempercepat ke-sehatannya pulih, jelas amat ber-manfaat buat
tubuh Santala. Setelah memberikan pertolongan sekedar-nya
kepada Santala, baru Beng Hoa sempat bicara dengan Lomana.
"Keparat yang kau maksud apakah bukan Toan Kiam-ceng?"
"Kecuali dia siapa lagi?" desis Lomana mengertak gigi, "karena
melihat dia maka Leng-cici tak tahan mengejarnya keluar, Santala
ikut keluar membantu, ternyata malah kena pukulannya. Waktu aku
juga memburu keluar, Santala sudah rebah empas-empis di tanah,
bayangan Leng-cici dan bangsat itu sudah tidak kelihatan."
"Apakah bangsat itu membawa seorang bocah?" tanya Beng
Hoa. "Ya, betul dia menyeret seorang bocah, usianya mungkin belum
ge-nap duabeias tahun, berlari bersama dia"
"Mereka lari ke mana?"
Setelah tahu arahnya, kebetulan ada dua murid Thian-san-pay
berlari datang, Beng Hoa tak sempat mem-beri penjelasan,
langsung dia me-nyerahkan Santala dan Lomana kepada mereka
lalu berlari ke arah yang ditunjukkan Lomana.
Sekaligus dia mengembangkan ginkang melalui dua puncak
gunung, entah berapa lama dan jauh dia berlari, sayup-sayup
didengar-nya suara benturan senjata tajam. Dari tempatnya berdiri,
Beng Hoa memandang ke bawah, tampak di samping celah-celah
retakan din-ding salju, tampak gadis yang berhasil mencegat Toan
Kiam-ceng melarikan diri, memang betul Leng Ping-ji. Adiknya Nyo
Yan menonton di samping, kelihatannya dia amat senang, sambil
bertepuk tangan sering dia menggumam, "He, gadis jahat ini kok
pandai main kiamhoat lata. Ha, jurus ini aku tahu cara
mematahkannya. Engkoh Kiam-ceng, bolehkah aku membantu
kau?" "Jangan, gadis jahat itu amat buas, jangan kau sampai dibekuknya.
Tapi dia bukan tandinganku, kau menyingkir agak jauh saja
saksikan bagaimana aku menghajar-nya."
"Jangan percaya obrolannya," teriak Leng Ping-ji, "aku bukan
orang jahat, keparat inilah yang jahat. Anak bagus, mumpung ada
kesempatan lekas kau lari pulang ke Istana Es."
"Siapa mau percaya omongan setanmu," seru Nyo Yan sambil
mengacungkan kedua tinjunya. "Eng-koh Kiam-ceng begitu baik
terhadapku, kau berani menista dia, kau sendiri orang jahat."
Bangga dan senang hati Toan Kiam-ceng, serunya sambil tertawa
besar, "Ping-ji, anak ini takkan dengar ocehanmu. Kalau tahu diri,
jangan kau berbuat gara-gara kepadaku, kalau membuatku jengkel
aku takkan mengingat hubungan kita dahulu."
Leng Ping-ji makin gusar, seru-nya, "Tak jadi soal kau sudah
menipu aku, ternyata bocah cilik yang belum tahu apa-apa ini juga
kau tipu. Hm, sudah kenyang kau menganiaya aku, biarlah aku adu
jiwa dengan kau." Sebetulnya kungrunya masih lebih tinggi dari
Toan Kiam-ceng, sayang dia belum sembuh seratus persen, setelah
bertanding se-kian lama, akhirnya dia tidak tahan lagi, namun dia
mengertak gigi, berniat gugur bersama, mendadak dia melancarkan
serangan mematikan. Memang dia sudah nekat, dalam keadaan terjepit mendadak
balas menyerang, walau serangan pedang-nya cukup ganas, namun
pertahanannya sendiri juga terbuka. Ber-tempur secara demikian
boleh dikata sudah mempertanihkan jiwa raga sendiri.
Waktu itu Beng Hoa tiba di rem-pat itu, kebetulan dilihatnya Leng
Ping-ji melancarkan serangan adu jiwa ini. Jaraknya masih seratus
langkah, karuan kagetnya bukan kepalang. Maklum serangan ganas
mematikan harus dilandasi tenaga dalam yang kuat, kalau
sebaliknya, umpama permainan pedang cukup ampuh juga takkan
bermanfaat sedikit pun. Luka dalam Leng Ping-ji belum sembuh,
sebelum berhasil melukai musuh mungkin jiwa sendiri sudah
berkorban dengan percuma. Dalam jarak seratus langkah, kalau
Beng Hoa ingin menolong juga tak sempat.
Tapi serangan Leng Ping-ji juga di luar dugaan Toan Kiam-ceng,
agaknya dia tidak mengira Leng Ping-ji yang sudah kelihatan loyo
kehabisan tenaga mendadak dapat melontarkan serangan sekeji ini.
Saking kaget secara reflek dia melintangkan pedang di depan dada,
lebih mengutamakan menyelamatkan diri daripada menyerang
musuh. "Trang", sesuai dugaan Beng Hoa, tenaga Leng Ping-ji sudah
lemah, begitu pedang beradu, pedang panjang di tangan Leng Pingji
tergetar jatuh. Untung Toan Kiam-ceng jeri menghadapi serangan
pedang-nya yang keji, dia hanya berani menangkis, tidak segera
balas menyerang. Kalau dia mau balas menusuk, jiwa Leng Ping-ji
pasti sudah me-layang. Setelah melihat pedang orang jatuh baru Toan Kiam-ceng sadar
bahwa lawan sudah kehabisan tenaga, setelah lenyap rasa
kagetnya, dia menyeringai dingin, jengeknya, "Baiklah, kau hendak
adu jiwa, biar aku kabulkan keinginanmu." Sambil mengangkat
pedang dia maju mendekat siap melancarkan serangan mematikan.
Mendadak Beng Hoa membentak, "Lempar pedangmu.?" Jaraknya
sudah tinggal separo, kontan dia timpukkan sekeping mata
uang tembaga, dengan telak dia bentur pedang Toan Kiam-ceng,
telapak ta-ngan kesemutan, "klontang" pedang panjangnya jatuh di
atas salju. "Lekas, lekas tolong bocah itu," teriak Beng Hoa dari kejauhan.
Leng Ping-ji melonjak sadar, entah dari mana datangnya tenaga,
mendadak dia melompat ke pinggir, sekali raih dia tangkap dan
seret Nyo Yan ke belakang.
Mhnpi juga tak terkira oleh Toan Kiam-ceng, dalam detik yang
menentukan ini mendadak Beng Hoa muncul, belum lagi rasa
terkejutnya hilang, kembali dia bertambah kaget bila dia ingat
menangkap Nyo Yan dijadikan sandera, temyata dia kalah cepat.
Melihat adiknya lolos dari cengkeraman tangan iblis, lega hati
Beng Hoa, bentaknya, "Toan Kiam-ceng, ke mana kau akan lari?"
Dia mempercepat langkahnya, pikimya hendak membekuk Toan
Kiam-ceng, temyata peristiwa yang tak terduga telah terjadi pula.
Satu hal yang tak pernah terpikir oleh Beng Hoa, bahwa Nyo Yan
sudah tunduk lahir batin kepada Toan Kiam-ceng, mana mau
percaya kalau Leng Ping-ji sedang berusaha menolong dia" Begitu
Leng Ping-ji menangkap dan menariknya mundur, Nyo Yan mengira
gadis jahat ini hendak mencelakai dirinya, tanpa pikir, mendadak dia
mengirim tinjunya ke perut orang.
Walau usianya masih kecil, sejak kecil Nyo Yan sudah dididik oleh
Teng King-thian, tenaganya cukup besar juga. Karena tidak
menduga, Leng Ping-ji kena dipukulnya hing-ga roboh, sudah
terluka tambah terluka lagi, darah langsung menyem-bur dari
mulutnya. Karuan kaget bercampur gusar Beng Hoa dibuatnya, bentaknya,
"Adik Yan, ceroboh betul kau!" Se-perti kilat dia memburu datang.
Kejadian ini di luardugaan Beng Hoa, tapi dalam dugaan Toan
Kiam-ceng, maka kedua pihak kini sama-sama menubruk dan
mengincar Nyo Yan. Jarak Beng Hoa lebih jauh, betapapun cepat
gerak langkahnya, temyata Toan Kiam-ceng selangkah lebih dulu,
sekali raih dia cengkeram adiknya lalu mengancam bengis, "Berani
maju selangkah lagi, biar kucekik mampus bocah ini."
Sebelah tangan Nyo Yan diteli-kung ke belakang melingkari
leher-nya sehingga sukar bernapas, di samping kaget dia pun heran
dan tak habis mengerti, serunya dengan suara serak, "Engkoh Kiamceng,
kenapa kau" Lekas lepaskan aku, lepaskan."
Beng Hoa menghentikan langkah, saking murka badannya
sampai gemetar. Toan Kiam-ceng membentak, "Mundur tigapuluh langkah, baru
boleh kau bicara dengan aku!"
Apa boleh buat, terpaksa Beng Hoa mundur sesuai tuntutan
orang. Begitu menoleh, dilihatnya wajah Leng Ping-ji pucat pias,
dengan lengan baju dia sedang menyeka noda darah di ujung
mulutnya, dengan pedang sebagai tongkat dia meronta berdiri
dengan tubuh menggigil. Lekas Beng Hoa maju mema-pahnya,
katanya, "Bagaimana keadaanmu nona Leng?" Siau-hoan-tan
terakhir yang dimilikinya sudah dia berikan kepada Lomana,
menghadapi Leng Ping-ji yang terluka parah ini, dia hanya garuk
kepala yang tidak gatal, kehabisan akal.
Setelah menenteramkan napas, perlahan Leng Ping-ji berkata,
"Anak itu masih kecil tak tahu urusan, jangan kau salahkan adikmu."
Rasa gusar Beng Hoa masih membakar hati, mendadak dia putar
badan seraya membentak, "Toan Kiam-ceng, jikalau nona Leng
sampai cedera, akan kurenggut jiwamu."
Toan Kiam-ceng tertawa, seru-nya, "Kau menuntut jiwaku, tidak
jadi soal. Tapi jiwa adikmu di tanganku, kau mau dia mati atau
hidup?" Karena Nyo Yan disandera maka dia berani berbantah
dengan Beng Hoa. "Apa?" teriak Nyo Yan, "apakah orang itu betul engkoh-ku?"
"Betul," jengek Toan Kiam-ceng, "kalau bukan lantaran kau
adiknya, buat apa aku harus mengumpak kau seperti kakek
moyangku sendiri?" Hehehe, soalnya aku ini pandai meramal, aku
sudah mempersiapkan rencana untuk mengha-dapi kejadian seperti
hari ini." "Kau keparat hina dina tidak tahu malu," damprat Beng Hoa,
"Bocah cilik kau tipu, masih berani kau. menepuk dada."
"Apa" Engkoh Kiam-ceng, jadi kau menipu aku?" teriak Nyo Yan.
"Bukankah kau bilang mereka yang membual?"
"Kenapa kalau aku menipu kau?" sentak Toan Kianvceag.
"Dengarlah pedomanku, manusia siapa yang tidak memikirkan
kepentingan sendiri, dia akan mampus terhukum Yang Maha Kuasa.
Pelajaran ini selamanya takkan kau pelajari dari Teng King-thian." "Beng-toako," kata Leng Ping-ji, "jangan kau khawatir, aku
takkan mati. Umpama mati juga tak usah kau menuntut balas sakit
hatiku. Asal dia mau membebaskan adik-mu, bebaskan jiwanya."
"Baiklah. Toan Kiam-ceng," seru Beng Hoa mengertak gigi,
"mengingat pamanmu, bebaskan adikku, kau boleh pergi."
Toan Kiam-ceng tertawa, seru-nya, "Kuserahkan kepadamu"
Memangnya begini gampang?"
"Aku sudah berjanji tak akan membunuhmu, apa pula
tuntutanmu?" "Kau tidak membunuhku, tapi orang lain tetap akan
membunuhku." "Memangnya aku harus menjadi pengawalmu?"
"Siapa sudi kau menjadi penga-walku" Ucapanmu aku tidak
per-caya, siapa butuh pengawalanmu."
"Memangnya apa kehendakmu, lekas katakan."
"Ada genta tidak ditabuh malah mencari gembreng, apakah dia
orang sebodoh itu?" "Jadi kau tetap hendak menyan-dera adikku?"
"Ya, itu hanya tuntutanku yang pertama."
"Ha, masih ada yang kedua?"
"Ya, untuk keselamatan adikmu, kau harus berjanji satu hal
kepadaku." "Janji soal apa?"
"Kau hams menahan para pengejarku, bila murid-murid Thiansanpay mengejar datang, kau harus menipu mereka ke lain
tempat." "Tak bisa kuterima. Hm, kau tidak percaya kepadaku, kenapa
aku harus percaya kepadamu" Aku tidak akan berpeluk tangan
melihat kau membawa pergi adikku, apalagi mencegah mereka
mengejar kau." "Baiklah, kau tolak kehendakku, agaknya kau tidak memikirkan
jiwa adikmu." Mendadak dia mengerahkan sedikit tenaganya,
seketika Nyo Yan menjerit kesakitan. "Lekas lepaskan, ulangi
pembicaraanmu." "Hehe mau berunding ya" Tapi tuntutanku harga pas, jangan
kau menawar lagi." Dengan suara serak mendadak Nyo Yan berteriak, "Engkoh Kiamceng,
aku mau ikut kau saja."
Karuan Beng Hoa terperanjat, teriaknya, "Jangan kau ikut dia,
apakah kau tidak tahu dia hendak mencelakai jiwamu?"
"Yang jelas engkoh Kiam-ceng amat baik kepadaku selama ini,
soal-nya dia bukan tandinganmu, karena terdesak terpaksa dia
menggertak aku. Walau kau mengaku sebagai engkoh-ku, tapi aku
belum pernah melihatmu, memangnya aku harus percaya
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
omonganmu?" Toan Kiam-ceng terbahak-bahak, serunya, "Kau dengar bukan,
adikmu sendiri yang mau ikut aku." Lalu dia mulai beranjak pergi.
Betapa gusar dan pedih hati Beng Hoa, bentaknya, "Baik, coba
saja kau pergi, aku akan melabrak dan membunuhmu."
Ternyata Toan Kiam-ceng jeri mendengar ancamannya, terpaksa
dia berhenti dan tertawa getir, kata-nya, "Kau tidak mempercayai
aku, aku pun tak percaya padamu, lalu bagaimana?"
Mendadak Leng Ping-ji menim-brung, "Kau bebaskan anak itu,
biar aku menjadi sanderamu."
Karuan Beng Hoa berjingkrak kaget, teriaknya, "He, mana boleh
begitu." "Sudah kupikirkan, hanya cara inilah yang sempuma untuk
menyelesaikan kejadian ini."
"Untuk menolong adikku aku tak sudi mengorbankan orang lain.
Apalagi luka-lukamu perlu segera mendapat pertolongan. Nona
Leng, jangan kau khawatir akan persoalanku, legakan hatimu dan
sembuhkan dulu luka-lukamu."
"Jangan khawatir, luka-lukaku ini takkan merenggut jiwaku. Tapi
mungkin aku memang takkan hidup lama lagi. Tapi setahun atau
sete-ngah tahun yakin aku masih kuat bertahan. Dengan jiwaku
yang su-dah terbatas ini untuk barter dengan adikmu, bukankah
lebih setimpal" Dalam jangka setahun ini, Kiam-ceng, bukankah
dapat lari ke tempat jauh yang tak diketahui orang lain. Kalau aku
jadi sanderamu, masih ada manfaat lain bagi dirimu, kau tak perlu
khawatir anak buah pamanku membuat perkara kepada-mu."
Mendengar Leng Ping-ji bilang takkan hidup lama, seperti diiris
perasaan Beng Hoa, teriaknya, "Tidak, aku tak setuju. Bocah ini
menganggap bangsat itu sebagai engkoh-nya, apa setimpal kau
berkorban bagi dia."
Leng Ping-ji tersenyum, katanya, "Bocah cilik belum tahu apaapa,
jangan kau salahkan dia."
Toan Kiam-ceng menunduk memikirkan usul Leng Ping-ji, tapi
akhirnya dia berkata, Tidak mau." Dia khawatir jiwa Leng Ping-ji
mungkin takkan bertahan lama, bila sebelum lari dan selamat dia
sudah mati, lalu bagaimana" Bukankah sanderanya lenyap" Apa pun
Nyo Yan jadi sanderanya yang paling baik.
"Kau kira diriku menjadi sanderamu juga belum melegakan
bukan" Baiklah, aku masih punya akal lain."
"Akal apa?" tanya Toan Kiam-ceng
"Kau dan Beng-toako saling tidak mempercayai, biarlah aku
temani kau turun gunung. Setiba di bawah gunung bila kau anggap
dirimu sudah selamat, baru kau lepas kami pulang."
Cara ini justru menambah seorang sandera bagi Toan Kiam-ceng,
karuan dia kegirangan, katanya, "Ya, akal ini memang baik, baiklah
kuterima." "Tidak baik," teriak Beng Hoa. "Leng-cici, kenapa kau, justru kau
antar dirimu ke mulut harimau?"
"Persoalan harus dibereskan dengan suatu cara, kalau cara ini
tidak kau setujui, biar kurundingkan pula dengan cara yang lain
dengan Kiam-ceng." Dengan pedang sebagai tong-kat, dia tertatihtatih
menghampiri Toan Kiam-ceng.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Toan Kiam-ceng.
Dengan napas tersengal, Leng Ping-ji menjawab, "Ada omongan
pribadi yang ingin kubicarakan dengan kau. Berdiri dalam jarak
sejauh ini terlalu ngotot aku bicara." Semula dia berdiri dekat Beng
Hoa, de-ngan Toan Kiam-ceng jaraknya ada tigapuluhan langkah.
"Jangan," teriak Beng Hoa sambil memburu seraya mengulur
tangan hendak menarik Leng Ping-ji.
Leng Ping-ji berkelit seraya berkata, "Beng-toako, ada kau di sini
memangnya kau takut dia bakal mencaplok diriku. Urusan kan harus
dibereskan, biar aku berunding dengan dia."
"Cara baik sudah sama disetujui, kau justru menentang. Lekas
kau mundur, kalau tidak jangan menyesal kalau aku mencekik leher
adik-mu." Apa boleh buat, terpaksa Beng Hoa mundur ke tempat semula,
katanya menghela napas, "Nona Leng, apa belum kenyang kau
diakali dan dianiaya olehnya, sekarang kau mau ditipunya pula."
Toan Kiam-ceng cengar-cengir, katanya, "Beng Hoa, memangnya
kau tuli, dia ingin bicara urusan pribadi dengan aku, memangnya
kau ingin mencuri dengar" Urusan pri-badi kami tak usah kau turut
campur, kenapa marah-marah seperti keba-karan jenggot. Haha,
Ping-ji, betapapun kita pernah menjadi sepasang kekasih, ada
urusan apa bolehlah dibicarakan baik-baik."
Leng Ping-ji anggap tak dengar ocehannya, dengan pedang
sebagai tongkat dia terus maju, tanpa terasa dia tiba tak jauh di
samping Toan Kiam-ceng. Melihat keadaan Leng Ping-ji, Toan Kiam-ceng malah khawatir
jiwanya takkan hidup beberapa hari lagi, tak bisa dijadikan sandera,
sudah tentu sedikit pun dia tidak menaruh perhatian dan bersiaga.
Setelah dekat, mendadak Leng Ping-ji menjerit tertahan seperti
tidak tahan lagi, kenyataan memang dia ambruk sambil memeluk
pedangnya. Karuan terkejut Beng Hoa bukan main, tak terpikir lagi akan
larangan Toan Kiam-ceng sambil berteriak, "Nona Leng, kenapa
kau?" segera dia memburu maju.
Di saat Beng Hoa berteriak kaget memburu maju itulah
mendadak Toan Kiam-ceng juga berteriak kesakitan. Rasa kagetnya
agaknya jauh melebihi Beng Hoa.
Suatu kejadian yang tak terduga mendadak berlangsung dalam
waktu yang sama. Sebetulnya sebelah lengannya melingkar di depan leher Nyo Yan,
melihat Leng Ping-ji mendadak roboh, tanpa terasa dia berjingkat
kaget sehingga perhatian terpecah, melihat ada kesempatan,
mendadak Nyo Yan buka mulut terus menggigit. Tadi Nyo Yan
bilang mau ikut Toan Kiam-ceng, padahal hanya tipuan belaka,
supaya Toan Kiam-ceng tidak waspada kepada dirinya.
Meski masih bocah tapi gigitan Nyo Yan cukup keras sehingga
secomot kulit daging di tangan Toan Kiam-ceng tergigit copot.
Begitu tangan Kiam-ceng mengendor, kontan Nyo Yan menambah
sodokan lagi dengan siku kiri ke dada Toan Kiam-ceng.
Dalam waktu yang sama Leng Ping-ji berguling di tanah, pedang
yang masih berserangka langsung mengetuk lutut Toan Kiam-ceng
Luka-luka Leng Ping-ji memang cukup parah, namun dia pura-pura
lebih parah lagi supaya orang tidak curiga. Maksudnya sama dengan
Nyo Yan, sengaja dia bersandiwara untuk memecah perhatian Toan
Kiam-ceng. Leng Ping-ji tahu Nyo Yan adalah sandera berharga, sebelum
yakin dirinya sudah selamat, bocah itu tidak akan dibunuhnya. Maka
dia bertekad menempuh bahaya, sebelum Toan Kiam-ceng
menyadari apa yang terjadi dia sudah menyergap dan berhasil,
secara kebetulan dalam waktu yang sama Nyo Yan juga bertindak
sehingga langkah mereka cukup rapi seperti kerja sama yang sudah
direncanakan saja. Dengan telak siku Nyo Yan menyodok ulu hati Toan Kiam-ceng,
sayang usianya masih kecil tenaganya lemah, kalau tidak, pasti
Toan Kiam-ceng sudah roboh terkapar luka parah oleh sodokan
sikunya. Walau Toan Kiam-ceng tidak diso-doknya pingsan, namun
Nyo Yan sudah terlepas dari cengkeraman-nya.
Saking kesakitan Toan Kiam-ceng berteriak-teriak, "Wuf"
mendadak kakinya menendang. Kejadian amat cepat, begitu
pedangnya berhasil mengetuk lutut Toan Kiam-ceng, sekali
berguling lagi Leng Ping-ji menarik Nyo Yan terus dipeluknya
kencang. Lutut Toan Kiam-ceng memang terketuk oleh pedang Leng Pingji,
namun kakinya yang lain keburu menendang hingga serangannya
ini pun telak mengenai Leng Ping-ji, untung yang ditendang sudah
memeluk Nyo Yan serta membalik badan, hingga tendangannya
mengenai punggung dan tidak melukai Nyo Yan.
Tendangan dilancarkan di saat Toan Kiam-ceng gusar, boleh
dikata menggunakan seluruh tenaganya, untung lutut sebelah
terketuk hingga tenaganya hilang separo, namun luka Leng Ping-ji
bertambah parah, "Bluk" sambil memeluk Nyo Yan mereka
bergulingan sampai jauh dan jatuh di celah retakan dinding salju.
Kejadian beruntun ini sungguh menegangkan dan amat
mengejutkan, Beng Hoa tak sempat membekuk musuh.
Karena kehilangan sandera, melihat Beng Hoa memburu datang,
serasa terbang arwah Toan Kiam-ceng, tanpa menghiraukan rasa
sakit di lututnya segera dia mengambil langkah seribu.
Untung celah dinding salju tidak begitu dalam, lekas Beng Hoa
me-lompat turun serta menariknya keluar, temyata wajah Leng
Ping-ji pucat pasi, napasnya juga empas-empis, mulutnya
berlepotan darah. Adiknya malah tidak terluka, mendekam di
samping dia menjublek saking kaget dan takut Cepat Beng Hoa
menggendong Leng Ping-ji serta mengempit adiknya, dengan
beberapa kali lompat dia menemukan tempat yang datar dan aman.
Periahan Beng Hoa menurunkan Leng-Ping-ji, telapak tangannya
menempel di punggung menyalurkan tenaga murai ke tubuh orang.
Leng Ping-ji yang kedinginan mulai siuman serta membuka mata,
katanya perlahan, "Syukurlah adikmu tertolong. Beng-toako, aku
mohon sesuatu kepadamu."
Berlinang airmata Beng Hoa, katanya, "Leng-cici, apa
kehendakmu pasti kululuskan."
"Jangan kau menghiraukan aku, lekas tunrut balas sakit hatiku.
Jangan biarkan keparat itu lolos."
Setelah tenang perasaannya, pecah tangis Nyo Yan, serunya,
"Leng-cici, akulah yang membuatmu celaka. Koko, kau hajarlah aku
saja." Mekar secercah senyum lega di wajah Leng Ping-ji, katanya,
"Syukurlah, kalian kakak adik akhirnya bertemu, aku amat
senang. Kau jangan salahkan dirimu, aku tidak menyalahkan kau."
"Adik Yan, syukurlah kalau kau tahu salah. Menangis tidak
berguna, lekas kau cari orang kemari."
"Tidak, tak usah kau mengurus aku. Beng-toako, kau sudah
berjanji untuk menuntutkan balas sakit hati-ku."
Beng Hoa serba sulit, tiba-tiba Nyo Yan berkata, "Koko, lekas kau
kejar keparat itu dan bekuk dia Aku bisa lari cepat, Leng-cici akan
kubawa pulang." Tanpa menunggu jawaban Beng Hoa dia tarik Leng
Ping-ji terus digendongnya dan berlari pergi.
Beng Hoa yakin, dalam perjalanan pulang mereka pasti bertemu
dengan murid-murid Thian-san-pay, maka dengan lega hati dia
memburu ke arah Toan Kiam-ceng kabur.
Tanpa terasa hari sudah gelap, rembulan sudah terbit di ufuk
timur. Beng Hoa mengembangkan gin-kang, entah berapa jauh
sudah dia tempuh. Mendadak didengarnya sebuah suitan panjang,
nadanya laksana pekik naga mengalun tinggi dan keras, sekilas
memandang tak terlihat ada bayangan orang.
Beng Hoa kaget, lwekang orang ini amat tinggi, di antara empat
tianglo Thian-san-pay Beng Hoa menduga hanya Ciong Jan saja
yang mampu menandingi. Padahal Teng-ciangbun dan Ciong Jan
masih berada di Istana Es, lalu siapa dia" Tengah dia mendugaduga
menyusul didengarnya sebuah gerungan keras hingga telinga
Beng Hoa pekak, tapi bayangan orang masih belum kelihatan.
Walau keras dan mengguncangkan bumi, gerungan itu tak mampu
menindih suitan panjang yang jemih itu.
Beng Hoa tahu dalam aliran Hud ada sejenis ilmu yang
dinamakan Say-cu-hong. "Gerungan keras tadi kalau bukan Si-lo
pasti Yu-tan Hoat-su yang melancarkan," demikian batin Beng Hoa,
"memangnya dia sedang adu kekuatan dengan siapa?"
Tujuan Beng Hoa mengejar Toan Kiam-ceng, sebetulnya dia tidak
suka ikut campur urusan orang lain, namun karena tidak
menemukan Toan Kiam-ceng, timbul rasa ingin tahu, tanpa sadar
langkahnya menuju ke arah datangnya suara.
Begitu gerungan dan suitan ber-henti bersama, terdengar oleh
Beng Hoa sebuah suara orang seperti sudah dikenalnya berkata
lantang, "Bagaimana pendapat siansu" Kenapa buru-buru pulang?"
Kaget dan girang Beng Hoa, "Kiranya Miao tayhiap."
Menyusul terdengar suara Yu-tan Hoatsu berkata, "Mega buyar
air mengalir, mayapada hening hampa."
Beng Hoa mempercepat langkah, setelah jarak lebih dekat
samar-samar sudah terlihat bayangan orang di kcjauhan sana.
Waktu dia menegas, dua orang yang berdiri di atas gunung sana
memang Yu-tan Hoat-su dengan Miao Tiang-hong. Di belakang Yutan
Hoatsu masih ada bayangan beberapa orang yang sudah
dikenalnya, jelas terdengar Miao Tiang-hong dan Yu-tan Hoatsu
tertawa saling berhadapan. Menyusul suara Si-lo berkata, "Miaokisu,
Say-cu-hong-mu memang lebih unggul, aku tunduk lahir batin.
Ai, baru sekarang aku sadar betapa besar negeri ini, memang tidak
sedikit jago-jago kosen di sini."
Temyata Miao Tiang-hong dalam perjalanan pulang dari Thiantiok
Bahwa kedua paderi sakti Thian-tiok ingin mencoba kungfu
dengan Teng King-thian, rencana mi sudah didengarnya sejak
setahun yang lalu, Teng King-thian juga sudah tahu akan maksud
mereka. Soalnya mereka pernah titip pesan kepada seorang paderi
kelana untuk disampaikan kepada Teng King-thian ten tang keinginan
mereka ini. Maksud semula hendak mengundang Teng Kingthian
bertamu di Lan-to-si, kalau Teng King-thian tidak sempat, baru
mereka yang akan berkunjung ke Thian-san.
Teng King-thian tiada minat merebut kemenangan, namun dalam
waktu dekat tiada orang yang cocok dimintai bantuan untuk
menyampaikan kabar, terpaksa persoalan ini tertunda sekian lama
tanpa jawaban. Menurut dugaan Teng King-thian, setelah pihaknya
memberi kabar bahwa dirinya tak sempat ke Lan-to-si bam mereka
akan datang ke Thian-san, maka soal ini tidak dianggapnya penting.
Saat Teng King-thian mempersiapkan tetirahnya, baru dia mulai
khawatir bila mereka datang tanpa diundang. Tapi siapa utusan
yang cocok sejauh ini masih belum terpilih.
Belakangan Miao Tiang-hong tahu tentang hal ini, timbul
keinginannya berkelana, maka dia mengajukan diri untuk mewakili
Teng King-thian memberi kabar ke Thian-tiok. Apalagi dia sendiri
juga ada maksud mencoba sampai di mana sebetulnya taraf
kepandaian kedua paderi Thian-tiok yang sakti ini.
Setiba di Lan-to-si baru dia tahu, kebetulan kedua paderi sakti itu
sudah berangkat ke Thian-san. Mereka sudah lima hari yang lalu
berangkat. Apa yang dikhawatirkan Teng King-thian menjadi kenyataan.
Maka Miao Tiang-hong merasa perlu segera bertolak balik.
Di tengah jalan dia bertemu kedua paderi yang turun gunung,
melihat tampang hoatsu yang keren dan berwibawa, sikapnya
ramah dan alim, maka dia mereka-reka dalam hati, umpama
pertandingan sudah berlangsung, akhir dari pertandingan itu pasti
tetap rukun dan damai, tidak terjadi bentrokan yang tidak
diharapkan. Tapi Miao Tiang-hong sendiri punya tujuan pribadi,
maka dia ajak Si-lo Hoatsu bertanding Say-cu-hong. Lebih lanjut
dengan gelak tawa dia coba taraf lwekang Yu-tan Hoatsu, ternyata
memang tidak lebih rendah dari kemampuan-nya.
Setelah basa-basi sekedarnya, Yu-tan Hoatsu memimpin
rombongannya turun gunung. Melihat para tamu sudah pergi, Beng
Hoa mempercepat langkahnya mengunjukkan diri.
DUA TAHUN yang lalu dia pernah bertanding pedang dengan
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Miao Tiang-hong, meski tahu salah paham Miao Tiang-hong
terhadap dirinya susah dijelaskan. Dalam waktu sing-kat ini susah
dia memberi penjelasan, apalagi dia tidak tahu dari mana dia harus
mulai bicara. Tengah dia menimang-nimang bagaimana nanti dia
harus buka suara, sebelum Beng Hoa sempat berteriak, "Miao
tayhiap", seorang lain ternyata sudah mendahului berteriak, "Miao
tayhiap". Orang ini adalah Toan Kiam-ceng.
Ternyata Toan Kiam-ceng bersembunyi di belakang batu raksasa
yang bentuknya seperti jamur, tingginya ada beberapa tombak. Dia
sudah melihat kedatangan Beng Hoa sebaliknya Beng Hoa tidak
melihat dia. Tempat di mana dia bersembunyi jaraknya masih ada
ratusan langkah dengan Miao Tiang-hong.
Mendadak Toan Kiam-ceng melompat turun serta berlari
menghampiri seraya berteriak, "Miao tayhiap, lekas tolong aku."
Miao Tiang-hong kaget, tanya-nya, "Ada apa?"
Saat mana Beng Hoa sudah men-dekatkan diri dan berlari
kencang ke arah Miao Tiang-hong. Miao Tiang-hong juga sudah
melihatnya. Toan Kiam-ceng menuding Beng Hoa yang lari datang,
katanya, "Bangsat cilik itu hendak membunuh aku, dia adalah
putera Nyo Bok." "Aku tahu, kau menyingkir," ujar Miao Tiang-hong.
Sambil lari Beng Hoa berteriak, "Miao tayhiap jangan percaya
omongannya, dia itulah mata-mata musuh." Khawatir Toan Kiamceng
angkat langkah seribu, segera dia mengembangkan ginkang
Pat-pou-kan-sian, beberapa kali lompatan, dia sudah di belakang
Toan Kiam-ceng, maksudnya hendak menotok hiatto-nya dulu.
"Anak bagus, di hadapanku berani kau bertingkah," demikian
bentak Miao Tiang-hong. "Lepaskan pedangmu!"
Toan Kiam-ceng memang licin, sengaja dia pura-pura gugup dan
ketakutan, maka tidak langsung lari ke arah Miao Tiang-hong, tapi
melompat ke pinggir, sengaja dia memancing Beng Hoa mengejar
dirinya sekaligus juga menarik Miao Tiang-hong mengejar
membunuh Beng Hoa. Sepantasnya Beng Hoa berhenti lalu memberi
penjelasan kepada Miao Tiang-hong. Walau Miao Tiang-hong belum
tentu mau percaya penjelasannya, namun urusan tidak akan lebih
parah. Kini dia justru tertipu oleh pancingan Toan Kiam-ceng, maka
Miao Tiang-hong lebih percaya apa yang dikatakan Toan Kiam-ceng.
Lenyap suaranya orang pun tiba, pedang Miao Tiang-hong
bergerak laksana kilat, tenaga dikerahkan di ujung pedang, jaraknya
masih beberapa kaki, tapi Beng Hoa sudah merasakan tekanan
tenaga yang berat. Di saat jiwa terancam bahaya, terpaksa Beng
Hoa mengembangkan kemahirannya melawan. Dua pedang beradu,
Beng Hoa mundur tiga tindak, darah seperti hendak menyembur ke
atas, hampir saja napasnya sesak. Tapi pedangnya tidak sampai
terlepas, malah pedang Miao Tiang-hong juga berhasil disampuknya
minggir. Miao Tiang-hong mengerahkan dclapan bagian tenaganya,
semula dia mengira pasti dapat mengetuk jatuh pedang Beng Hoa,
kenyataan ini sungguh di luar dugaannya. Pikirnya, "Hanya dua
tahun, kemajuan yang dicapai bocah ini sudah sehebat ini.
Kiamhoat-nya juga lebih maju. Tak heran mumpung pihak Thian-san
menghadapi urusan, sengaja dia datang membuat onar."
Baru saja Beng Hoa menghembuskan napas, baru buka mulut
mau bicara, Miao Tiang-hong sudah menyerang, "Sret, sret, sret"
beruntun tiga kali. Beng Hoamemusatkan perhatian melayani dengan hati-hati,
dengan santai setiap serangan Miao Tiang-hong berhasil dihalaunya.
Tanpa sadar Miao Tiang-hong memuji, "Bagus." Kau sudah
menyelami inti ilmu pedang yang utama. Sayang, walau ilmu
pedangmu maju pesat dan kau pelajari dengan baik tingkah lakumu
tidak baik." Mulut bicara, pedang Miao Tiang-hong tidak berhenti. Ingin
menjelaskan tapi Beng Hoa tidak punya kesempatan karena
serangan lawan amat gencar. Kiamhoat dan lwekang Miao Tianghong
hampir mencapai taraf puncak kesempurnaan, setaraf lebih
maju mendalami inti ilmu pedang sejati.
Di bawah rangsakan Miao Tiang-hong yang serba lihay dan berat
ini Mana sempat Beng Hoa memecah perhatian untuk buka suara"
Tanpa terasa mereka sudah bertempur seratus jurus lebih.
Melihat permainan lawan yang menakjubkan tak habis-habis, Miao
Tiang-hong makin heran dan bingung, pikirnya, "Biar aku buktikan
berapa lihay kepandaian simpanan bocah ini?"
Tiga ratus jurus kemudian, berulang kali Beng Hoa sudah
menghadapi bahaya. Tengah dia bertahan mati-matian dan susah
payah, mendadak tekanan pedang lawan mengendur, baru dia kuat
melanjutkan perlawanan. Tapi rangsakan Miao Tiang-hong tetap
menggebu, sedikit lena Beng Hoa celaka di tangannya. Keadaan
mendesak ini justru memusatkan pikiran Beng Hoa, dengan tekun
dia layani permainan Miao Tiang-hong. Lama kelamaan seperti juga
Miao Tiang-hong, apa yang terlihat di matanya hanyalah gerakan
ujung pedang lawan, badan masih bergerak lincah namun
pikirannya sudah bebas dari segala persoalan.
Sebetulnya Miao Tiang-hong sudah menaruh curiga akan asalusul
Beng Hoa sejak dia bertempur dengan Beng Hoa dan berpisah
di pusara Hun Ci-Io di Siau-kim-jwan dulu. Waktu itu Beng Hoa
melindungi Nyo Bok hingga orang ini melarikan diri, tapi waktu
teman-teman Nyo Bok mengeroyok Miao Tiang-hong, temyata dia
menggebah mereka lari kocar-kacir. Karuan Miao Tiang-hong heran
dan tak habis mengerti. Lantaran itulah waktu Miao Tiang-hong
tidak melukainya ketika bertanding, malah memberi petunjuk inti
permainan pedang tingkat tinggi.
Kali ini dia memang patut lebih percaya obrolan Toan Kiam-ceng,
namun masih juga dia merasa kasihan dan sayang akan latihan
pedangnya yang sudah selihay ini, maksudnya hanya akan
membekuknya hidup-hidup dan tanya persoalannya. Tapi setelah
bertarung tigaratusan jurus belum juga ada kesudahan, bila
dilanjutkan kalau tidak mati pemuda tanggung ini pasti akan jatuh
sakit yang cukup parah. Maka dia membentak, "Anak bagus, masih
tidak mau menyerah?" Pedangnya bergerak dengan jurus Samcoanhoat-lun, maksudnya hendak memelintir pedang Beng Hoa
supaya terlepas. Beng Hoa su-dah posing tujuh keliling, hakekatnya
dia tidak pikirkan tujuan Miao Tiang-hong, melihat lawan
melancarkan jurus Sam-coan-hoat-lun, padahal jurus ini juga sudah
berhasil dia ciptakan setelah mempelajari dua aliran ilmu Thian-tiok
dan ajaran Thio Tan-hong, diubah pula dengan variasi sesuai daya
ciptanya. Melihat Miao Tiang-hong melancarkan jurus ini, secara
retlek dia pun melawan dengan jurus Sam-coan-hoat-lun.
Begitu sepasang pedang beradu, kontan Miao Tiang-hong
merasakan tenaga lawan seperti menuntun secara tepat dan pas,
pedang sendiri malah tertuntun miring keluar lingkaran, karena
kaget lekas dia mengerahkan tenaga menekan dengan tenaga
berat, baru saja dia hendak memukul jatuh pedang lawan,
mendadak didengarnya seseorang berteriak, "Miao tayhiap,
berhenti." Yang datang adalah Pek Ing-ki. Miao Tiang-hong memunahkan
daya pelintir pedang Beng Hoa dan membiarkan Beng Hoa mundur,
sambil menoleh dia bertanya bingung, "Ing-ki, apa yang terjadi?"
Pek Ing-ki hanya menjelaskan secara singkat, "Beng-siauhiap
adalah penolong besar Thian-san-pay kami, dia membantu kami
menangkap mata-mata."
Miao Tiang-hong kaget, tanya-nya, "Siapa mata-mata?"
"Sungguh menyesal dan memalukan, siapa lagi kalau bukan Toan
Kiam-ceng. Ciangbunjin dan guruku telah ditipunya mentahmentah."
Sesaat Miao Tiang-hong melongo, katanya kemudian, "Sungguh
tak terduga, aku pun ditipunya. Bukankah Toan Shi-si adalah
pamannya?" "Ya betul. Sayang pamannya orang baik keponakannya justru
bejat Semula aku juga tidak percaya kalau dia mata-mata, sekarang
sudah terbukti. Miao tayhiap apakah kau melihatnya" Kenapa kau
berkelahi dengan Beng-siauhiap?"
Miao Tiang-hong mengheJa na-pas rawan, katanya, "Aku tertipu
oleh keparat itu, dia maling berteriak maling, aku malah
melindunginya melarikan diri."
Temyata Toan Kiam-ceng sudah tidak kelihatan lagi
bayangannya. "Beng-siauhiap,"ujar Pek Ing-ki, "sudah sehari kau bercapai lelah,
marilah pulang biar aku yang membekuk keparat itu."
Beng Hoa bertanya, "Apakah adik Yan dan nona Leng sudah
kembali ke Istana Es?"
"Di tengah jalan aku bertemu mereka, setelah kuantar mereka
kembali kelstana Es baru aku keluar lagi mencarimu."
Lega hati Beng Hoa. Waktu mengangkat kepala melihat cuaca,
rembulan sudah doyong ke barat tanpa terasa dia sudah bertempur
tiga jam lamanya. "Mungkin sudah lari jauh. Pek-suheng aku mohon
pengampunanmu, biarlah dia pergi."
Pek Ing-ki heran, katanya, "Dia mencelakai kau, kenapa kau
minta ampun bagi dia?"
"Ya, seluruhnya aku punya tiga guru. Toa-suhu Pok Thian-tiau
sudah meninggal, sam-suhu adalah Tan Khu-seng, paman Kiamceng
adalah ji-suhu-ku." Tiba-tiba Miao Tiang-hong bertanya, "Kau she Beng, bukan she
Nyo?" "Sebelum ini memang aku mengira she Nyo, tahun lalu waktu
aku bertemu dengan ayah kandung sendiri di Lhasa bam aku tahu
bahwa aku she Beng."
Baru sekarang Miao Tiang-hong sadar dan jelas teriaknya
terbeliak, "O, jadi ayahmu adalah Beng Goan-cau Beng tayhiap?"
"Siautit juga amat menyesal, setelah hidup delapan belas tahun
baru tahu siapa ayah kandung sendiri. Tahun lalu siautit kurang ajar
terhadap paman di Siau-kim-jwan, mohon dimaafkan."
Baru sekarang Miao Tiang-hong paham duduk persoalannya,
saking girang dia berjingkrak serta memegang pundak Beng Hoa
dengan kencang, katanya, "Kuhaturkan selamat atas pertemuan
kalian ayah dan anak, memang aku terlalu gegabah, kenapa tidak
sejak dulu kupikir akan dirimu. Apakah ayahmu baik?"
"Baik, bericat asuhan dan bimbingan paman, adik Yan dapat
belajar dengan baik di sini. Atas perintah ayah siautit disuruh kemari
menengok keadaannya sekaligus menghadap paman dan Tengciangbun."
"Jadi kalian kakak adik sudah bertemu?"
"Semula dia tidak sudi anggap aku sebagai engkoh-nya," tutur
Beng Hoa tertawa. Setelah mendengar cerita pertemuan Beng Hoa dengan adiknya,
Miao Tiang-hong menghela napas, katanya penuh sesal, "Aku yang
harus disalahkan, kenapa terlambat sehari."
"Syukur sekarang urusan sudah jelas," demikian timbrung Pek
Ing-ki "Ciangbunjin sedang menunggu kabar Beng-heng, silakan
Miao tay-hiap dan Beng-heng kembali saja ke istana."
Di tengah jalan Beng Hoa bertanya, "Apakah Teng-hujin sudah
ditemukan?" "Sudah ketemu. Bukan saja Teng-suso terluka oleh pukulan Lau
Cau-pek, dia pun terkena jarum beracun orang she Tong, untung
keburu ketemu dan diberi pertolongan, kalau terlambat satu jam
lagi, jiwa-nya susah ditolong."
Beng Hoa tahu khasiat Bik-ling-tan buatan Thian-san-pay, dia
yakin jiwa Teng-hujin tidak perlu dikha-watirkan lagi, katanya,
"Teng-hujin dan nona Leng sudah berada di Istana Es, maka legalah
hatiku." "Kali ini Beng-siauhiap bukan saja mempertahankan gengsi dan
kebesaran nama kami dalam adu kepandaian, kau pun menolong
jiwa Teng-hujin, kami amat berterima kasih kepadamu."
"Aku pernah mendapat petunjuk dari Teng tayhiap, Pek-heng
tidak perlu begini sungkan."
Setiba di Istana Es, Teng King-thian dan banyak murid-muridnya
belum tidur, menunggu dirinya pulang. Mendengar Toan Kiam-ceng
lolos, para murid Thian-san amat marah dan kesal.
"Ucapan Beng-siauhiap memang betul, berilah kesempatan
terakhir supaya dia bertobat. Beng-siauhiap, persoalan yang ingin
kau jelaskan hampir semua sudah kuketahui. Kau sudah bersusah
payah sehari penuh, pergilah istirahat saja." Ternyata Lomana, Leng
Ping-ji dan istri Teng Ka-gwan banyak bercerita tentang pengalaman
mereka selama ini. Beng Hoa tidur amat nyenyak, menjelang magrib esok harinya
baru dia bangun. Malam telah larut, dalam Siang-hoa-kiong sunyi senyap, hanya
ada dua orang sedang duduk bersimpuh saling berhadapan sambil
berbincang panjang lebar. Mereka adalah ciangbunjin Thian-san-pay
Teng King-thian, seorang lagi adalah Beng Hoa.
Beng Hoa sudah cukup tidur, semangatnya menyala, wajah
kelihatan cerah, rona muka Teng King-thian justru kelihatan masgul.
Di depan mereka ada sebuah kotak sutera, kotak itu berada di
atas meja pendek. Itulah kotak sutera titipan Teng Ka-gwan yang
harus diserahkan kepada ayahnya, kotak milik Tong-cin-cu
ciangbunjin Kong-tong-pay.
Melihat kotak sutera ini ditaruh di atas meja, tergerak hati Beng
Hoa, barinnya, "Mungkin Teng tayhiap hendak membicarakan
persoalan sam-suhu. Dalam perjalananku kemari, tidak sedikit
manfaat yang kuperoleh, namun bencana tetap mengancam samsuhu,
hanya Teng tayhiap yang bisa, menolong, kenapa hal ini
kulupakan." Tan Khu-seng guru ketiga Beng Hoa semula murid Kong-tongpay,
entah mengapa dia dipecat dan diusir dari perguruan. Kini
pihak Kong-tong-pay masih ingin membuat perhitungan kepadanya.
Beng Hoa menduga kotak sutera yang dikirim ciangbunjin Kongtongpay untuk Teng King-thian ini ada sangkut pautnya dengan
gurunya. Teng King-thian seperti tahu isi hatinya, maka dia memancing
pembicaraan, "Kabarnya Tan Khu-seng juga salah seorang gurumu,
sepuluh tahun kau di bawah didikannya di dalam Ciok-lin" Ciok-lin
sudah terkenal di seluruh jagat sebagai tempat yang mempesona."
"Sayang sam-suhu dipaksa untuk meninggalkan Ciok-lin."
"Ya, aku tahu. Aku memang ingin bicara soal ini dengan kau, tapi
sebelum hal ini dibicarakan, ingin aku tanya dulu satu hal. Yaitu tentang
asal-usul pelajaran silatmu, sudikah kau menjelaskan
kepadaku?" "Tanpa Teng-ciangbun tanya, wanpwe sudah siap melaporkan
hal ini. Teng-ciangbun tentu curiga pada permainan pedangku
bukan?" "Ya, kiamhoat-mu terlampau hebat, Tong-bing-cu dari Kong-tong
yang tergolong paling hebat ilmu pedangnya mungkin juga bukan
tandinganmu. Umpama kiamhoat-mu sudah memperoleh intisari
ajaran Kong-tong pay, namun lebih mirip dengan kiamhoat Thiansanpay kami. Aku tahu kau pasti pernah mendapat petunjuk Kim
tayhiap, tapi apa yang sudah kau capai sekarang kukira bukan
lantaran hasil dari petunjuk Kim tayhiap saja. Benar tidak?"
"Pandangan Teng-ciangbun memang tepat dan tajam. Memang
di Ciok-lin tecu pernah menemukan rejeki besar. Di atas Kiam-hong
aku menemukan Bu-beng-kiam-hoat ciptaan pendekar besar Thio
Tan-hong yang hidup ratusan tahun yang lampau."
Teng King-thian tertawa, kata-nya, "Makanya, hal ini tak perlu
dibuat heran lagi. Tahukah kau Thio tayhiap adalah cosu atau cikal
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal Thian-san-pay kami?"
Perlu diketahui Thian-san-pay didirikan oleh murid tertua Thio
Tan-hong yang bernama Ho Thian-tok, untuk menyempurnakan
kedudukan dan wibawa muridnya, Thio Tan-hong sendiri tidak mau
diagul-kan sebagai guru besar, tapi pihak Thian-san-pay tetap
mengangkatnya sebagai cosu.
"Lantaran hal inilah maka tecu datang kemari, dengan maksud
mengembalikan kiamhoat peninggalan Thio tayhiap kepada Thiansanpay, mohon pula Teng-ciangbun mengampuni dosaku yang
telah mempelajarinya tanpa izin, serta mohon tecu diterima sebagai
murid angkat." "Itu kan rejekimu, merupakan kejadian yang patut membuat kita
girang. Pula karena penemuanmu, ilmu pedang ciptaan Thio-cosu di
masa tuanya tidak jadi hilang, harusnya malah aku yang berterima
kasih kepadamu. Bicara ingin menjadi murid angkatku, mana berani
aku menerima. Kau sebagai pewaris langsung dari Thio-cosu meski
berselang ratusan tahun kemudian, bukankah tingkatanmu puluhan
kali lebih tinggi dari aku?"
Beng Hoa gelisah, katanya, "Kenapa Teng-ciangbun bilang
demikian, batin tecu sungguh tersiksa. Tanpa sengaja aku
menemukan pit-kip peninggalan Thio-cosu, mana berani
menganggap diri sendiri sebagai muridnya" Mohon ciangbun sudi
menerima aku sebagai murid angkat saja, hal ini sudah merupakan
kehormatan besar bagi tecu."
Kelihatannya Teng King-thian mempertimbangkan hal ini secara
serius, beberapa kejap kemudian baru bersuara, "Aku tidak setimpal
menjadi gurumu, apalagi adikmu sudah menjadi murid penutupku.
Tapi persoalan yang kuhadapi ini akan kuminta bantuanmu untuk
mewakili aku, pilihanku atas dirimu memang tepat, sebagai wakilku
adalah patut kalau kau juga mempunyai status yang resmi. Begini
saja, biarlah aku membuka lembaran baru dalam Bulim ini, akan
kulaporkan kepada cosu untuk menerima kau sebagai murid Thiansanpay. Ingat kau adalah murid angkat Thian-san-pay, bukan
murid angkatku, kedua hal ini berbeda artinya. Murid angkat Thiansanpay tidak dibatasi oleh angkatan dan kedudukan, boleh
bersahabat secara bebas secara pribadi. Aku boleh terhitung satu
angkatan dengan kau"."
"Mana boleh?" Beng Hoa ter-sipu-sipu.
"Kenapa tidak boleh?" ujar Teng King-thian tertawa. "Kukira cara
ini paling baik. Kalau kau mau merendahkan diri, boleh kau anggap
dirimu seangkatan dengan Ing-ki dan lain-lain. Sebetulnya kalau
memikirkan soal angkatan, segala gerak langkahmu akan selalu
dibatasi oleh aturan, kenapa pula kau dan aku harus terikat segala
adat?" Terpaksa Beng Hoa berkata, "Penghargaan ciangbun sangat
besar, sungguh berat tecu menerimanya. Baiklah, hal ini anggap
saja selesai sampai di sini."
"Barusan sudah kubilang kau seangkatan dengan aku, kenapa
menggunakan istilah tecu lagi" Hayolah ubah panggilanmu."
Beng Hoa teringat suatu hal, katanya, "Mohon ciangbun maklum
Bicara soal Bu-kang pit-kip, ada sebuah hal perlu kujelaskan. Nona
Lomana itu, entah ciangbun sudah bertemu dengan dia?"
"Bersama Ping-ji dia sudah menghadapku. Apakah maksudmu
Bu-kang pit-kip berbahasa Persia itu?"
"Ya, betul. Aku tak bisa membaca bahasa Persia, maksudku akan
kuserahkan buku itu kepada ciang-bun."
"Orang iain sukar kejatuhan rejeki nomplok, kau justru sekaligus
kejatuhan dua kali. Seluk beluk pit-kip dari Persia ini sudah
diketahui. Tapi tak tahu kalau dia terjatuh di tangan Lohay,
pemimpin suku Wa-na. Buku ini sama nilainya dengan Hian-kangpwecoat peninggalan Thio-cosu, karena berjodoh dengan kau,
pantasnya kau yang memilikinya. Tentang belajar bahasa Persia
kurasa tidak terlalu sukar."
"Mohon ciangbun memberi petunjuk." Lalu dia serahkan buku
tulisan bahasa Persia itu.
Teng King-thian membalik halaman pertama, katanya, "Waktu
muda pemah aku belajar bahasa Per-sia, sayang sudah sekian tahun
tak pernah digunakan, mungkin banyak yang sudah lupa. Tapi isi
buku ini delapanpuluh persen masih dapat kupelajari. Kurasa
pelajaran silat entah dari negeri asing atau pelajaran leluhur kita
sama saja, selanjutnya kita boleh menyelaminya bersama."
"Belajar kungfu tidak perlu ter-gesa-gesa, buku ini boleh
ciangbun simpan dan pelajari lebih dulu, kelak kalau ada
kesempatan aku datang biar aku mohon petunjukmu."
Teng King-thian tahu maksud orang, katanya, "Urusan yang
menyangkut sam-suhu-mu memang cukup penting, namun tak perlu
buru-buru kau meninggalkan Thian-san."
Selanjutnya Beng Hoa mengira akan, langsung membicarakan
persoalan Kong-tong-pay, ternyata Teng King-thian bertanya soal
lain, "Kecuali itu, aku ingin bicara tentang urusan kalian kakak
beradik. Menurut pendapatku, karena pelajaran adikmu baru dasar,
bagaimana kalau beberapa tahun lagi baru kau membawanya
pulang" Ayahmu juga tidak ingin supaya dia lekas pulang bukan?"
"Ayah menyuruh aku menengok adik, kini kami sudah bertemu,
aku akan melaporkan hal ini kepada beliau, yakin hatinya akan
tenteram juga. Adik Yan memperoleh didikan langsung dari
ciangbun, sungguh melegakan hati."
"Baiklah, kau boleh menetap se-bulan di sini, dari sini boleh
langsung kau pergi ke Kong-tong-san."
Bangkit semangat Beng Hoa, dia mendapat firasat seperti ada
kejadian apa, lekas dia bertanya, "Ciang-bun menyuruh aku pergi ke
Kong-tong, apakah lantaran persoalan sam-suhu?"
"Betul, sekarang akan kujelaskan arti dari pemberian kotak sutera
ciangbunjin Kong-tong-pay kepada-ku." Perlahan Teng King-thian
membuka tutup kotak sutera itu, lalu mengambil sepucuk surat,
Pendekar Sadis 7 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Bende Mataram 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama