Ceritasilat Novel Online

Bende Mataram 6

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 6


"Kami berdua tak mempunyai murid lain, kecuali Sangaji," sahut Wirapati.
Mendengar keterangan Wirapati, Ki Tunjungbiru ternganga-nganga keheranan. Tak mau ia
percaya kepada keterangan itu. Pikirnya, kalau mereka tak mempunyai murid lain, mengapa
membanting tulang berlebihan terhadap si bocah" Apa mereka berdua mendapat bayaran tinggi"
Wirapati agaknya dapat menebak kata hatinya.
"Kami berdua datang dari Jawa Tengah. Aku Wirapati dan temanku itu Jaga Saradenta. Secara kebetulan kami bertemu dan berkenalan. Secara kebetulan kami hidup bersama dan merantau
seperti orang gila di daerah barat. Secara kebetulan pula kami mempunyai seorang murid yang sama. Secara kebetulan pula, kami mempunyai panggilan hidup yang sama."
Mendengar keterangan Wirapati, keheranan Ki Tunjungbiru kian menjadi-jadi sampai mulutnya terlongoh-longoh. Jaga Saradenta kemudian mengisahkan riwayat perjalanan ke daerah barat sambil mendekap kepala Sangaji. Teringat akan perjalanan itu, ia jadi menyesali wataknya yang terburu nafsu dan semberono. Hampir-hampir saja ia menewaskan nyawa si bocah yang suci
bersih dan patuh-setia kepada guru. Sekarang rasa kasih-sayangnya kepada si bocah begitu besar, sampai-sampai ia merasa susah berbicara.
"Horah! Orang itu masih saja edan-edanan," sela Ki Tunjungbiru.
"Apa kau kenal Ki Hajar Karangpandan?" Jaga Saradenta dan Wirapati berkata berbareng.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa tidak" Aku kenal dia dalam Perang Giyanti. Dia utusan dari Raden Mas Said.
Bukankah perawakannya agak pendek tapi kekar" Tampangnya seperti orang edan. la orang yang mau menang sendiri. Seringkali kami bertengkar, tetapi dia seorang kesatria yang jujur meskipun lagak-lagunya kasar. Apa yang telah dikatakan, tak mau ia mengingkari. Seumpama dia
mempunyai piutang, celakalah orang yang berutang padanya. Dia bersedia menguber-uber orang itu meskipun bersembunyi di ujung langit, sampai tercapai keinginannya."
Habis berkata begitu, Ki Tunjungbiru tertawa berkakakkan. Suara tertawanya menggelegar,
sampai meja yang penuh panganan terguncang-guncang. Diam-diam, Wirapati dan Jaga
Saradenta mengagumi tenaga gunturnya.
"Aku pernah bertempur melawan dia selama lima hari lima malam," kata Ki Tunjungbiru lagi.
"Perkaranya cuma sepele. Waktu itu kami masih sama-sama muda. Kehormatan diri merupakan
suatu hal yang terpenting di atas segalanya. Pada suatu sore sehabis bertempur di sekitar Pekalongan, kami beromong-omong di tepi pantai membicarakan tetek bengek di luar perjuangan untuk melepas lelah. Pembicaraan tanpa dasar pegangan itu, seringkah melantur tak karuan juntrungnya. Nah"sampailah pembicaraan pada soal kecantikan perempuan. Sebagai seseorang yang dilahirkan di atas tanah Pasundan, sudah barang tentu aku membanggakan gadis-gadis
Sunda. Tetapi dia mengatakan kalau gadis Sunda kurang cantik dan menarik. Karena perawakan tubuhnya terlalu kekar dan pantatnya terlalu besar. Aku mendengar celaannya, hatiku jadi panas.
Serentak aku mempertahankan gadis-gadis kami. Aku jelaskan kalau tidak semua gadis Sunda berpantat besar dan berperawakan kekar. Ada juga yang lemah gemulai, menggairahkan hati.
Tapi ia tak mau menerima keteranganku seperti adatnya yang mau menang sendiri. Aku jadi
tambah penasaran. Lantas saja aku katakan kalau gadis Jawa Tengah-pun banyak juga yang
bertubuh kekar dan berpantat yang terlalu besar. Karena celaanku itu, ia merasa sakit hati. Kami lantas bertengkar. Akhirnya kami bertempur lima hari lima malam. Di antara kami berdua tidak ada yang kalah atau menang. Pada hari ke-enam kami berhenti berkelahi karena kecapaian. Ke: mudian kami bersumpah tak akan kawin seumur hidup. Siapa yang kawin, dialah yang kalah.
Begitulah, maka sampai sekarang aku tetap membujang. Aku percaya juga, jika dia tetap
membujang. Nah, bukankah ini suatu pertengkaran edan-edanan" Coba bayangkan bertempur
lima hari lima malam dan menyiksa diri seumur hidup, semata-mata karena perkara pantat."
Mendengar perkataan Ki Tunjuangbiru, mau tak mau mereka tertawa berkakakkan. Sangaji tak terkecuali. Ia mendapat kesan luar biasa terhadap pribadi Ki Tunjungbiru dan kedua gurunya.
Mereka semua adalah laki-laki sejati yang mengutamakan kebajikan dan budi pekerti luhur di atas segala-galanya. Meskipun pembicaraan mereka kedengarannya ugal-ugalan, tetapi mengandung sari-sari kejantanan yang pantas dikagumi.
Mendadak di Liar terdengar derap kuda berderapan. Aba-aba dan gemerincing pedang
berkesan sangat sibuk. Ki Tunjungbiru menegakkan kepala. Dahinya berkerenyit, alisnya meninggi dan wajahnya nampak angker. Kemudian berkata tegang, "Sangaji, sebenarnya aku datang ke
mari untuk memberi kabar padamu. Semalam secara kebetulan aku mendengar gerombolan
kompeni sedang berunding. Nampaknya mereka akan berontak. Pemimpinnya seorang mayor
yang buntung lengannya. Karena aku mendengar mereka menyebut-nyebut nama Willem Erbefeld teringatlah aku kepadamu tentang kakak angkatmu yang sering kauceritakan. Mereka
merencanakan akan menyerbu tangsi dan mau menangkap kakakmu hidup atau mati. Agaknya
telah lama terjadi suatu persaingan dan rasa dendam antara kakak angkatmu dan mayor yang buntung lengannya itu."
Mendengar berita itu, Sangaji terkejut bukan kepalang. Opsir yang buntung lengannya itu, siapa lagi kalau bukan Mayor De Groote. Mayor De Groote memang bermusuhan dengan Willem
Erbefeld. Ia berdendam besar, karena jabatannya kena geser.
Willem Erbefeld berada di bawah komando Kapten De Hoop, ayah Sonny. Jika Mayor De Groote hendak memusuhi Willem Erbefeld, dengan sendirinya akan berlawanan pula dengan Kapten De Hoop. Teringat akan hal itu, serentak ia hendak bangkit. Tetapi Jaga Saradenta mendekapnya.
"Guru, perkenankan aku pergi sebentar," kata Sangaji memohon.
"Jangan! Tak usah kamu pergi. Biarkan mereka menyelesaikan urusannya sendiri," sahut Jaga Saradenta. "Kau tetap berada di sampingku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaga Saradenta merasa menyesal atas perbuatannya yang sembrono. Tak mau ia berpisah
dengan muridnya lagi, sebagai penebus kesem-bronoannya. la ingin agar Sangaji tetap berada di sampingnya. Karena itu, Sangaji menjadi bingung. Ingin dia menjelaskan, betapa penting berita itu bagi Willem Erbefeld dan Kapten De Hoop yang sama sekali tak berprasangka buruk pada Mayor De Groote. Tapi pada waktu itu kedua gurunya telah sibuk mendengarkan keterangan Ki
Tunjungbiru tentang diri mereka.
"Semenjak aku kenal Sangaji, kuikuti dia dari jauh. Diam-diam aku menyelidiki keadaan dirinya dan kalian berdua. Maafkan perbuatanku itu. Maklumlah, aku seorang buruan. Aku harus tahu dengan pasti, kalau di belakang kejadian ini terjadi suatu permainan yang bersih jujur."
"Apa kamu berprasangka buruk padaku?" potong Jaga Saradenta yang mudah tersinggung.
Ki Tunjungbiru tertawa melalui hidung. "Tiap orang berhak menjaga keselamatan diri.
Bukankah kalian mencurigaiku pula seolah-olah aku ini Pringgasakti" Karena penyelidikanku itu, tahulah aku kalau kalian adalah guru-guru yang kukagumi. Kalian sangat jujur menurunkan semua ilmu kepada si bocah. Aku tahu pula tentang kakak-angkat si bocah, rumahnya"ibunya dan
rumah kalian. Aku tahu juga, kalau kalian sedang berjaga-jaga diri terhadap balas dendam si siluman Pringgasakti."
Menyinggung tentang balas-dendam Pringgasakti, Wirapati dan Jaga Saradenta terkejut sampai berjingkrak. Serentak mereka bertanya, "Bagaimana kamu tahu tentang permusuhan ini?"
Belum lagi Ki Tunjungbiru menjawab pertanyaan mereka berdua, terdengarlah sebuah kereta
berhenti di tepi jalan. Sebentar kemudian, muncullah si Sonny di pekarangan rumah. Ia
memanggil Sangaji dan tatkala melihat dia, segera ia melambaikan tangannya.
Sangaji segan kepada gurunya. Tak berani ia menghampiri. Ia hanya melambaikan tangannya
dan memberi isyarat agar gadis Indo itu datang memasuki rumah.
Sonny lantas saja memasuki rumah. Kedua matanya nampak merah, rupanya dia habis
menangis panjang. "Sangaji... ayahku... ayahku menghendaki, agar aku kawin dengan Yan De Groote..." Sehabis berkata begitu, air matanya meleleh bercucuran.
Sangaji tidak mendengarkan ucapan si Sonny. Ia berkata keras, "Sonny! Cepatlah kamu pulang!
Laporkan kepada ayahmu, kalau Mayor De Groote akan berontak. Seandainya kamu bertemu
dengan kakakku Willem sampaikan kepadanya, kalau dia harus berhati-hati dan waspada jika berangkat beronda. Kemungkinan besar, Mayor De Groote akan menyerang pasukannya dan
pasukan ayahmu di luar kota."
Sonny De Hoop kaget. Bertanya gap-gap, "Benarkah itu?"
'Tentu saja benar!" sahut Sangaji meyakinkan. "Kami mengetahui persekutuan Mayor De
Groote. Cepat, ceritakan hal itu kepada ayahmu!"
Sonny tegak seperti tugu. Hatinya tegang, tetapi ia tertawa. Matanya berseri-seri. "Baik! Akan kusampaikan hal itu kepada Ayah." Setelah berkata begitu, dengan langkah ringan ia kembali ke jalan. Tak lama kemudian terdengarlah kereta berkuda mulai bergerak dan lari dengan cepat.
Sangaji heran. Pikirnya"ayahnya mungkin dalam bahaya, mengapa dia begitu girang" Ia
mencoba menebak lubuk hati Sonny. Akhirnya ia terkejut, "Ah! Jika ayahnya sampai bentrok dengan Mayor De Groote, bukankah dia tak bakal kawin dengan Yan De Groote?" Mendapat
pikiran demikian, dia pun ikut bersyukur. Ia sayang kepada Sonny dan kepada Yan De Groote kesannya bermusuhan semenjak masih menjadi anak tanggung.
Kedua gurunya dan Ki Tunjungbiru tak begitu memperhatikan kesibukan hatinya. Mereka
bertiga lagi tegang. Terdengar Ki Tunjungbiru berkata, "Banten, Tangerang, Serang, Rangkasbitung dan Pandeglang adalah daerah pengembaraanku. Sudah barang tentu, aku tahu peristiwa pertempuran itu. Ateng, Memet, Kosim dan Acep bisa diselamatkan, meskipun dua di antara
mereka menjadi cacat seumur hidup. Sayang, Hasan bisa ditewaskan iblis itu. Mereka bercerita tentang kalian. Walaupun mereka tak dapat menerangkan tentang dirimu, tapi mereka cukup
mengagumi. Dengan begitu mereka berusaha dengan sekuat tenaga menggambarkan gerak-gerik
kalian." "Ah, si sembrono!" Jaga Saradenta meledak sambil menggempur meja. "Kalau bualnya sampai
kedengaran Pringgasakti..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memang iblis itu telah mengetahui belaka tentang diri kalian berdua," potong Ki Tunjungbiru.
"Hanya saja dia belum bertindak."
"Bagaimana kamu tahu, kalau dia telah mengetahui keadaan kami?" Jaga Saradenta terkejut.
"Suatu kali, di dekat Gunung Puteri kulihat sebelas panji-panji segitiga tertancap teratur di atas tanah. Panji-panji itu bergambar tengkorak dengan tulang bersilang. Siapa lagi, kalau bukan panjipanji iblis Abu."
"Setiap laki-laki di seluruh Jawa Barat yang biasa berkelana mendaki gunung dan menuruni jurang, kenal akan panji-panji itu. Kalian pasti belum tahu dengan pasti, kalau mereka berdua berasal dari Sulawesi dan berdiam semenjak menjadi pemuda tanggung di sebuah Dusun Cibesi.
Mula-mula mereka berdua adalah anak murid Kyai Hasan Bafagih. Mereka melanggar tata-tertib perguruan dan menghilang tak keruan rimbanya. Semenjak itu, mereka terkenal sebagai dua iblis yang amat liar. Mereka mengembara dari daerah ke daerah dan membuat kekacauan dan hura-hara di mana saja mereka berada."
"Dan panji-panji itu, apa artinya?" sela Wirapati.
"Suatu tanda, kalau mereka sedang berlatih diri untuk melampiaskan dendam tertentu. Bila mereka sedang berlatih, mereka menjauhi pergaulan. Dicarilah tempat yang sunyi. Kemudian membuat garis arena sesuka hatinya dengan tanda panji-panji. Barang siapa berani menghampiri apalagi memasuki daerah arena latihannya, tak usah mengharapkan hidupnya lagi. Orang itu akan ditangkap dan dijadikan boneka latihannya. Kalian pasti tahu tingkah-lakunya."
"Ya, tak usahlah itu diceritakan lagi. Iblis itu akan menghisap darahnya atau menjadikan si korban itu sasaran latihannya."
"Benar," sahut Ki Tunjungbiru. Ia mendongak ke atap, kemudian meneruskan. "Tertarik akan gerak-geriknya, berhari-hari aku mencoba mengintipnya. Kulihat dia berdiri tegak di atas gundukan tanah mengarah ke kota Jakarta. Tahulah aku dengan segera, kalau dia mau
melampiaskan dendamnya ke Jakarta. Hanya saja, dia nampak berbincang-bincang."
"Bagaimana kamu tahu?" Jaga Saradenta tak sabar lagi.
"Dia menggeram dan menggerung-gerung sepanjang malam dan sekali-kali dia berteriak
seakan-akan berbicara dengan roh si Abas. Katanya, Kalau musuh yang membunuh dirinya pasti bukan orang sembarangan. 'Beritahukan siapa dia', katanya, berulang kali."
Mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, Jaga Saradenta dan Wirapati menggeridik bulu kuduknya.
Sangaji nampak menjadi gelisah, karena dialah yang terutama merasa menjadi si pembunuh
Pringga Aguna. Meskipun tidak disengaja, tapi mana bisa si Iblis Abu diberi penjelasan.
"Sejak itu aku sering melihat dia berkasak-kusuk mengaduk kota Jakarta. Pernah juga dia
mengintip kalian berdua ketika sedang melatih Sangaji."
"Ah!"Jaga Saradenta dan Wirapati berteriak berbareng.
'Tapi percayalah kalau dia belum mendapat keyakinan tentang kesanggupan kalian membunuh
adiknya," kata Ki Tunjungbiru seakan-akan menghibur. Mendadak ia menyambar per-gelangan
Sangaji sambil berkata meneruskan, " Ya, siapa mengira kalau iblis Abas yang sakti mati ditangan si bocah begini lemah. Sekiranya aku tak mendapat keterangan dari Ateng, Me-med, Kosim dan Acep mana bisa aku percaya.
Mereka semua jadi tegang sendiri. Jaga Saradenta mengelus-elus jenggotnya yang sudah
menjadi putih susu. Pandangannya gelisah merenungi atap. Kemudian berkata perlahan-lahan, menahan diri.
"Semuanya ini, akulah yang menyebabkan timbulnya gara-gara. Seandainya aku tidak mencari perkara, tak bakal Wirapati dan Sangaji terperosok ke dalam persoalan yang rumit."
"Janganlah berkata begitu. Dalam hal ini tidak ada seorangpun yang bisa disalahkan. Iblis itu memang pantas dibasmi. Selama dia masih bebas berkeliaran di dunia ini, mana bisa orang-orang semacam kamu tidur nyenyak. Hanya saja, hendaknya dendam kesumat yang ber-lebih-lebihan
dirubah dan diperlunak menjadi semacam kebajikan dan tugas utama bagi tiap laki-laki sejati seperti dirimu," tungkas Ki Tunjungbiru. Kemudian meneruskan, "Aku pun tak akan tinggal diam.
Hanya saja aku harus berhati-hati. Aku percaya, kalau si iblis itu takkan membiarkan dirinya tersiksa dalam suatu teka-teki. Suatu kali dia akan mencari suatu kepastian untuk melampiaskan dendam. Beberapa hari yang lalu. Kulihat panji-panji telah berada di sekitar kota Jakarta. Ini suatu tanda, kalau dia bakal bertindak."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jaga Saradenta dan Wirapati terkejut sampai berjingkrak. Tapi belum lagi mereka membuka
mulut, Ki Tunjungbiru telah berkata lagi, "Baiklah, kukatakan dengan terus terang. Bukan maksudku mau merendahkan kemampuan diri sendiri atau kemampuan kalian berdua, tetapi
dengan sebenarnya kukabarkan kepada kalian berdua, kalau menilik latihannya"Pringgasakti maju dengan pesat. Empat puluh tahun yang lalu, dia tidak sehebat ini. Gerak geriknya sangat aneh dan sebat luar biasa. Rupanya dia hampir berhasil mewarisi kepandaian gurunya yang
kedua." "Siapa gurunya?" Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.
"Sehabis Perang Giyanti, ia memperdalam ilmunya kepada Adipati Karimun Jawa Sureng-,
gelarnya Jangkrik Bongol. Surengpati adalah orang yang luar biasa. Umurnya sekarang belum melebihi 45 tahun. Tetapi mempunyai ilmu malaikat yang tak terkalahkan. Dia adalah guru
Pringgasakti dan Pringga Aguna. Mungkin juga Patih Pringgalaya adalah muridnya juga. la
termasuk salah seorang tujuh tokoh pendekar sakti pada saat ini. Pertama, Kyai Kasan Kesambi.
Kedua, Pangeran Mangkubumi 1. Ketiga, Surengpati. Keempat, Kyai Haji Lukman Hakim. Kelima, Gagak Seta. Keenam, Kebo Bongah dan ketujuh, Raden Mas Said. Diantara ketujuh pendekar sakti itu, tiga orang telah meninggal dunia. Kini tinggal empat orang. Yakni, Kyai Kasan Kesambi, Surengpati, Gagak Seta dan Kebo Bongah. Kalau Pringgosakti benar-benar telah dapat mewarisi kepandaian Adipati Surengpati, bisa dibayangkan kehebatannya. Ia seperti harimau bersayap."
Jaga Saradenta dan Wirapati terhenyak. Mereka mengakui kebenarannya pertimbangan Ki
Tunjungbiru. "Bagaimana mula-mula si iblis itu bisa berguru pada Adipati Surengpati." Wirapati minta
penjelasan. "Menurut kisah yang kudengar begini," sahut Ki Tunjungbiru. "Suatu kali Pringga Aguna dan Pringgasakti pernah bertempur dengan Surengpati. Mereka berdua bisa dikalahkan. Dasar mereka licin dan pandai mengambil hati, mendadak saja mereka bisa berguru kepada Adipati yang sakti itu. Mereka berdua dibawa ke Karimun Jawa. Di kepulauan itu, mereka diasuh dan dididik. Tak lama kemudian terdengarlah berita, kalau mereka minggat dari Karimun Jawa dengan mencuri kitab pusaka Adipati Surengpati."
"Jika demikian, Adipati Surengpati takkan membiarkan dia hidup tanpa membayar utangnya."
"Itu pasti. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah muridnya. Urusan muridnya adalah urusan
dalam rumah tangga. Apabila kita yang menyingkirkan dia, mana bisa Adipati Surengpati tinggal diam. Dan jika Adipati Surengpati sampai memasuki persoalan ini, mana bisa kita tidur dengan aman tenteram. Urusan bisa jadi runyam dan berbahaya...."
Wirapati dan Jaga Saradenta terdiam kembali untuk kesekian kalinya. Mereka pernah
mendengar kepandaian Adipati Surengpati yang mendapat gelar Jangkrik Bongol karena
keangkeran-nya. Tapi mereka belum mau percaya. Bahkan mereka menuduh dalam hati, kalau Ki Tunjungbiru berbicara terlalu berlebihan dengan maksud untuk meredakan nyala dendam
kesumat. Tetapi aneh, nampaknya Ki Tunjungbiru takut kepada majikan kepulauan Karimun Jawa itu. "Habisnya, apa kita menyerah tanpa perlawanan?" dengus Jaga Saradenta.
"Semenjak aku kesompok gerak-gerik iblis itu, aku telah mencari jalan keluar sebaik-baiknya.
Itupun, sekiranya kalian berdua setuju."
"Silakan berbicara," kata Jaga Saradenta.
"Harap kalian tidak mentertawakan. Ini adalah ucapan seorang pengecut."
"Janganlah berkata begitu. Otong Damarwijaya bukan seorang yang licik."
"Terima kasih, kalau nama Otong Damarwijaya termasuk pula deretan orang yang sedikit
mempunyai nama," kata Ki Tunjungbiru merendahkan diri. "Cuma saja, kali ini bunyinya tidaklah setegar orang sangka."
"Bicaralah!" "Urusan pertama yang harus kita kikis habis ialah, agar si iblis tidak lagi menaruh curiga.
Kedua, mencari akal muslihat supaya dia kabur dari Jakarta," setelah itu Ki Tunjungbiru
menguraikan tipu-muslihatnya. Dia akan bermain sandiwara sebagai Gagak Seta, seorang
pendekar sakti yang hidup mengembara di seluruh pelosok tanah air. Mereka berdua tetap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bermain sebagai Wirapati dan Jaga Saradenta. Hanya saja mereka wajib bedaku hormat
kepadanya sebagai seorang tokoh yang jauh lebih tinggi tingkatannya.
Sebenarnya Wirapati dan Jaga Saradenta tak sudi mengalah terhadap Pringgasakti maupun Ki Tunjungbiru, tetapi mereka terpaksa menurut agar tak menyinggung kehormatan tetamunya.
Demikianlah"pada malam hari itu setelah bersantap, mereka berangkat menuju ke jurusan
Cibinong. Ki Tunjungbiru dan Sangaji berjalan di depan. Wirapati dan Jaga Saradenta berjalan di belakang. Pada masa itu, dusun sekitar Cibinong masih merupakan tanah pegunungan berdinding tegak tinggi. Jurang yang berada di seberang jalan sangat curam dan penuh dengan batu-batu padas.
Wirapati dan Jaga Saradenta menyaksikan, cara Ki Tunjungbiru dan Sangaji mendaki bukit.
Diam-diam mereka gembira menyaksikan kemampuan muridnya. Dengan tangkas Sangaji
melompat dari batu ke batu. Kadang-kadang dengan sebat menyambar akar pohon liar untuk
dibuatnya tangga merangkaki tebing. Ki Tunjungbiru dapat bergerak dengan sebat dan mudah.
Maka tahulah mereka, kalau tenaganya tidak bisa menyamai kesanggupan Ki Hajar Karangpandan.
Pantas dia dapat melawan Ki Hajar Karangpandan selama lima hari lima malam.
Wirapati dapat merangkaki tebing itu dengan mudah. Hanya Jaga Saradenta yang sudah
berusia lanjut nampak mengangsur napasnya. Ki Tunjungbiru dan Sangaji segera mengulurkan tangannya hendak membantu mengangkat tubuhnya. Tetapi Jaga Saradenta seorang laki-laki
yang bertabiat angkuh. Tak sudi ia menerima bantuan itu. Meskipun tenaganya jauh berkurang daripada dulu, ia memaksa diri juga. Akhirnya berhasil juga. Tetapi keringatnya nampak
membasahi seluruh punggungnya, meskipun demikian ia bersikap tak pedulian.
Tiba di atas bukit, mereka melihat suatu lapangan agak luas dengan tanda panji-panji
tengkorak tertancap seperti garis. Sekarang mereka percaya benar, kalau Ki Tunjungbiru bicara jujur. Jika dia bersikap agak segan pada Pringgasakti, pasti juga ada alasannya.
Mereka berempat kemudian duduk di atas batu dan merundingkan jalannya tipu muslihat
semasak-masaknya. Mereka memikirkan pula, andaikata tipu-mus-lihat itu ternyata nanti gagal. Setelah mendapat persetujuan, mereka segera mempersiapkan diri. Tetapi sampai hampir tengah malam, yang
ditunggu tak kunjung datang.
"Eh, mengapa dia belum juga datang?" dengus Jaga Saradenta uring-uringan. "Apa dia sudah mampus di tengah jalan?"
"Sst... lihat di jauh sana!" bisik Wirapati. Waktu itu langit cerah. Sekalipun bukan waktu bulan purnama, tapi kecerahan langit cukup menerangi sekitar lapangan. Jaga Saradenta mengarahkan pandang ke dataran tanah di seberang bukit. Ia melihat setitik gumpalan hitam. Itulah tubuh Pringgasakti yang bergerak sangat cepat dan gesit. Di bawah sinarnya bulan yang remang-remang, iblis itu melesat seperti anak panah. Dalam waktu beberapa detik, ia telah tiba di kaki bukit. Lantas saja dia mendaki dengan tangkas dan ringan. Ia tak mempergunakan tenaga kaki, tapi cukup dengan mengayunkan kedua lengannya bagai seekor burung mengibaskan sayapnya.
Jaga Saradenta tercengang-cengang menyaksikan ketangkasannya. Diam-diam ia menoleh ke
Wirapati dan Ki Tunjungbiru yang nampak tegang. Mestinya wajahnyapun tegang pula.
Setibanya di atas lapangan, Pringgasakti berdiri tegak sambil mendongakkan kepala. Di
punggungnya ternyata ada sesosok tubuh yang diikat erat pada pinggangnya. Orang itu entah sudah menjadi mayat atau masih hidup.
Tiba-tiba saja, Sangaji hampir memekik. Dengan cepat ia mengenal siapakah orang yang
berada di punggung Pringgasakti. Pakaian orang itu berkibaran di udara. Dia seorang perempuan.
Itulah Sonny De Hoop. Cepat Ki Tunjungbiru mendekap mulutnya, kemudian berkata nyaring.
"Eh bocah! Aku si tua Gagak Seta biasa berkelana menuruti kata hatiku sendiri, kali ini terpaksa aku mendengarkan ocehanmu. Benar-benar iblis Abu masih saja berkeliaran di sini. Kalau malam ini aku bisa beruntung bertemu dengan tampangnya, biarlah kusuruhnya menyusul adiknya ke neraka. Apa dia belum sadar, kalau akulah yang menyodok perut Abas sampai kecoblos?"
Pringgasakti kaget mendengar suara Ki Tunjungbiru dan suara bocah. Ia memasang kuping.
Ketika mendengar kata-kata Ki Tunjungbiru, ia semakin kaget. Cepat ia meloncat ke samping dan bersembunyi di belakang batu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wirapati dan Jaga Saradenta melihat gerak-gerik Pringgasakti yang bersikap jeri tatkala
mendengar disebutnya nama Gagak Seta. Dalam hati, mereka tertawa. Hanya Sangaji seorang
yang hatinya goncang tak karuan. Maklumlah, ia memikirkan keadaan Sonny temannya yang
disayangi. "Bocah! Kapan kamu melihat panji-panji iblis ini?" kata Ki Tanjungbiru yang bermain sandiwara sebagai Gagak Seta.
Sangaji lantas saja teringat akan peranannya. Dengan mengatasi hatinya yang berkebat-kebit dia menjawab, "Tiga empat hari yang lalu, sewaktu aku berburu dengan keluarga Kapten De
Hoop." "Cuh!" Ki Tanjungbiru meludah ke tanah. "Mari kita tunggu sampai dia datang. Mana kedua
gurumu" Kalau aku nanti menghajar iblis itu jangan ikut campur seperti dulu."
Pringgasakti diam tak berani berkutik. Sebagai
murid Adipati Surengpati, ia kenal akan nama itu.
Gurunya sering mengatakan, kalau pada jaman itu
Gagak Seta termasuk seorang tokoh sakti yang
kelima. Orang itu berkelana seperti angin. Dalam
masa lima tahun, belum tentu dapat diketemukan di
mana dia berada. Dia adalah musuh penjahatpenjahat dan pembasmi musuh-musuh rakyat.
Tangannya ampuh seperti guntur dan gerakan
tubuhnya gesit secepat kilat.
"Paman!" sahut Wirapati. "Apa dulu aku
mengganggu Paman" Aku hanya melihat Paman
dalam jarak sepuluh langkah, ketika Paman
membekuk iblis Pringga Aguna."
"Ha. Justru kamu melihat perkelahian itu, aku
berkhawatir pada keselamatanmu. Kalau Abu
menaruh curiga padamu, kau bisa celaka."
Wirapati tertawa panjang. "Paman! Pringgasakti
kabarnya memang seorang penjahat. Tapi dengan
aku, tidak ada utang-piutang. Dengan kehilangan adik
seperguruannya, cukuplah sudah menindih gelora
hatinya. Dia pasti berduka. Apa itu bukan suatu
hukuman?" Ki Tunjungbiru tertawa riuh sambil melepaskan ilmu gunturnya. Pringgasakti terkejut. Pikirnya, benar-benar Gagak Seta bukan nama kosong. Suaranya begini bergemuruh seolah-olah guntur
menyibakkan mega hitam. Hatinya kian ciut.
"Wirapati!" kata Ki Tunjungbiru dengan suara berwibawa. "Pantes gurumu Kyai Kasan Kesambi memuji kesabaranmu. Bagaimana keadaan gurumu?"
"Dia baik-baik saja, Paman. Aku justru dikirimkan ke Jakarta untuk mengurus pendidikan si bocah. Inilah gara-gara Hajar Karangpandan yang mengajak mempertandingkan anak didiknya
dengan kepandaian si bocah."
Demikian mereka bermain sandiwara. Hanya Jaga Saradenta yang masih membungkam, takut
dikenal suaranya. Maklumlah, pada masa mudanya, dia pernah bertempur melawan iblis itu
memperebutkan Jumirah anak gadis almarhum Kyai Haji Lukman Hakim.
Permainan sandiwara itu menggetarkan hati Pringgasakti, sampai dia sibuk menduga-duga,
Gagak Seta ada di sini. Celaka. Terang-terangan dialah yang mengaku membunuh Abas,
bagaimana aku bisa menuntut balas. Kalau aku sampai terlihat, mana bisa aku hidup lebih lama lagi"
"Paman!" Tiba-tiba ia mendengar Wirapati berbicara. "Keadaan begini sunyi senyap. Tandatanda dia tidak akan datang. Apa Paman yakin, kalau dia bakal datang?"
Ki Tunjungbiru sengaja tidak meladeni. Ia berdiam diri menunggu kesan. Benar juga,
mendengar kata-kata Wirapati, Pringgasakti bergembira. Katanya dalam hati, Syukur, mereka tak melihatku. Mudah-mudahan bulan itu melindungi selembar nyawaku.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji sendiri kala itu sedang memusatkan perhatiannya kepada Sonny dan perawakan si iblis.
Perawakan Pringgasakti memang hampir tak berbeda dengan perawakan tubuh Ki Tunjungbiru.
Kepalanya gede, tubuhnya kekar, rambutnya panjang dan gerak-geriknya gesit luar biasa.
Mendadak ia melihat si Sonny menggerakkan kepalanya, la bersyukur dalam hati. Gerakan itu membuktikan, kalau dia masih hidup. Ia lantas memberi isyarat dengan gerakan tangan, agar jangan bicara atau menunjukkan tanda-tanda telah melihat padanya. Tetapi Sonny yang berhati polos tidak mengerti isyarat itu. Begitu ia melihat isyarat Sangaji, lantas saja berteriak : "Sangaji!
Tolong aku!" Mendengar teriakan Sonny, Sangaji jadi bingung. Gugup ia ingin mencegah, "Ssst! Diam!" Tapi tanpa disadari sendiri, ia telah berbicara.
Terkejutnya Pringgasakti tak kalah dengan si bocah. Cepat ia menotok urat nadi si gadis sampai jatuh pingsan. Kemudian ia bersiaga menghadapi kemungkinan.
"Sangaji! Kamu bicara dengan siapa?" tegur Wirapati.
Sangaji agak gugup. Cepat ia berpikir. Kemudian menjawab mengada-ada, "Aku mendengar
pekik seorang perempuan. Paman Jaga Saradenta mau meloncat dan aku mencegahnya."
Mendengar jawaban Sangaji, mau tak mau Jaga Saradenta terpaksa menyahut.
"Aku si orang tua memang sangat benci kepada iblis itu. Mendengar pekik perempuan,
teringatlah aku pada Jumirah."
"Ah, mengapa soal lama diungkat-ungkit kembali. Berilah kesempatan kepada si iblis. Pabila dia mau memperbaiki kelakuannya, biarkanlah dia bisa menikmati sisa hidupnya pada hari tua," kata Wirapati yang bermain sebagai seseorang yang berwatak brahmana. Kemudian dengan suara
memohon dia berkata kepada Ki Tunjungbiru: "Paman Gagak Seta, apakah Paman mau
mengampuni si jahanam itu?"
Pringgasakti bukanlah seorang yang goblok. Begitu ia mendengar percakapan itu, segera ia sadar. Pikirnya, Gagak Seta bukan orang sembarangan. Jangan lagi sudah mendengar suara
orang"baru mendengar geser gerakan, sudahlah cukup baginya untuk mengambil keputusan.
Mengapa dia diam" Apa ini bukan suatu permainan belaka untuk menghina diriku"
Mendapat pikiran demikian, segera ia menggerakkan tubuhnya mau menyerang. Ki Tunjungbiru melihat gerakan itu. Sadarlah dia, kalau Pringgasakti telah menaruh curiga. Ia menjadi cemas.
Bukan mengkhawatirkan keselamatan pihaknya, tapi nyawa si gadis mungkin takkan tertolong.
Wirapati yang bermata tajam, segera mem-persiagakan diri. Ia masih berusaha berkata


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengada-ada, "Jaga Saradenta, apa benar kamu telah mewarisi seluruh kepandaian almarhum
Kyai Haji Lukman Hakim?"
Maksud Wirapati mau menggerakkan Pringgasakti. Tak tahunya, kata-kata itu justru
menyinggung kehormatan si penaik darah Jaga Saradenta. Dengan menggeram, Jaga Saradenta
menyahut, "Ilmu guruku kalau diukur setinggi langit. Mana bisa aku mewarisi seluruhnya.
Barangkali aku hanya kebagian sepersepuluh-nya ..."
Sampai di situ mendadak ia ingat sesuatu. Mau ia percaya, kalau Wirapati tidak bermaksud menghina dirinya. Dia hanya ingin menyarankan padanya agar memperlihatkan kepandaiannya.
Mendapat bintik cahaya terang ini, pikirannya jadi jernih kembali. Kemudian ia menghampiri sebuah bengkahan batu sebesar perut kerbau. Batu itu telah dipecah menjadi enam bagian oleh Ki Tunjungbiru dalam melakukan perang tipu-muslihat sebaik-baiknya. Dasar ia seorang penaik darah yang susah menghapuskan kesan kata-kata yang menusuk. Segera ia mendepak batu itu
berhamburan dengan uring-uringan. Tapi gerakan itu justru kebetulan sekali.
Pringgasakti yang mulai curiga, kaget menyaksikan gerakan Jaga Saradenta yang ber-sungguhsungguh. Batu sebesar perut kerbau kena dihamburkan dan pecah menjadi enam potong. Inilah suatu tenaga gempuran yang luar biasa, pikirnya. Mau tak mau hatinya gentar juga. Perlahan-lahan ia surut kembali dan bersembunyi di belakang bongkahan batu.
"Paman!" kata Wirapati kepada Ki Tunjungbiru. "Paman telah mengenali ilmu macam apa yang dimiliki almarhum Kyai Haji Lukman Hakim. Apakah gempuran Jaga Saradenta tadi sudah mirip dengan gempuran gurunya?"
Ki Tunjungbiru tertawa riuh.
"Iblis yang kamu cari sudah berada di sekitar sini, mengapa kalian masih bergurau?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ah! Pringgasakti terkejut bukan kepalang. Terang-terangan dia telah melihatku, tapi bersikap berpura-pura. Inilah bahaya! Jangan-jangan dia benar-benar Gagak Seta yang hendak memberi kesempatan hidup padaku. Kalau kesempatan ini tidak kupergunakan, kapan lagi aku bisa lolos dari pengejarannya. Berpikir demikian, lantas saja ia muncul dari balik batu dan berkata dengan tenang, "Terima kasih atas kemurahan hati pendekar sakti Gagak Seta. Akulah si jahanam
Pringgasakti. Apakah Tuan yang membunuh adik seperguruanku empat tahun yang lalu, biarlah perkara itu kuhabisi sampai di sini saja ..."
Semua yang mendengar ucapan Pringgasakti terperanjat saking herannya. Sama sekali mereka tak mengira, kalau Pringgasakti berani muncul dengan terang-terangan. Tadinya mereka
menduga, kalau dia akan kabur dengan diam-diam.
Pringgasakti berkata lagi, "Aku adalah seorang yang tidak ada gunanya, karena tak memiliki kepandaian sedikitpun. Cuma melihat kemajuan anak murid Haji Lukman Hakim, hatiku jadi
tertarik. Benar-benar dia telah mewarisi ilmu Haji Lukman Hakim yang dahsyat. Karena antara kami ada suatu ganjelan, biarlah malam ini kucoba-coba menebus kesalahanku dahulu. Tuan
pendekar Gagak Seta, izinkanlah aku mencoba-coba mengadu tenaga dengan bakal suami anak
gadis Haji Lukman Hakirn."
Diingatkan kepada peristiwa yang menggarit hati, Jaga Saradenta menggeram. Tak tahan lagi ia mempertahankan kesabarannya. Pada saat itu ia sudah mengambil keputusan hendak mengadu nyawa. Tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa di luar dugaan mereka semua.
Sangaji melihat Sonny rebah di atas tanah. Tubuhnya tak berkutik. Menyaksikan keadaan si gadis, ia menjadi khawatir. Sesungguhnya tali perhubungan persahabatannya dengan Sonny
sudah menjadi erat semenjak bergaul kurang lebih empat tahun lamanya. Terasa dalam dirinya, kalau Sonny merupakan bagian dari tubuhnya sendiri. Melihat Sonny sengsara, hatinya memukul.
Maka tanpa mempedulikan keperkasaan Pringgasakti, ia melompat maju menyambar lawannya itu.
Sudah barang tentu Pringgasakti tak tinggal diam. Dengan cepat sekali, ia menangkap
pergelangan tangan si bocah.
Sangaji pernah minum getah pohon sakti Dewadaru. Tanpa disadari sendiri, daging yang kena sentuh lantas saja bekerja. Tangkapan tangan Pringgasakti kena dihisap, sehingga pada saat itu juga lenyaplah tenaga cengkeramannya. Pringgasakti terkejut bukan kepalang, la mau mengulangi lagi, mendadak saja Sangaji telah berhasil melemparkan Sonny ke arah gurunya, la penasaran.
Segera ia menambah tenaga dan meloncat menerkam. Kali ini dia tak menangkap pergelangan
tetapi tulang sikunya. Dan Sangaji jadi mati kutu.
"Siapa kau?" bentaknya.
Ki Tunjungbiru segera memberi tanda isyarat sambil menunjuk ke arah Jaga Saradenta dan
Wirapati. Karena isyarat itu, Sangaji segera menjawab, "Aku Sangaji, murid Wirapati dan Jaga Saradenta."
Pringgasaksi berpikir bolak-balik, muridnya begini masih muda sudah dapat meloloskan diri dari tangkapanku. Dagingnya bisa menghisap tenaga. Macam ilmu apa ini" Baiklah aku menyingkir dari mereka ... Setelah itu ia mendengus: "Hm! Terima kasih atas kemurahan hati kalian." Ia
melepaskan cengkeramannya dan kabur menuruni bukit.
Sangaji lantas lari menjauhkan diri. Ia memeriksa tangan dan sikunya. Dibawah cahaya bulan, ia melihat bekas lima jari menyayat kulitnya. Andaikata Pringgasakti tidak segan terhadap kesahnya sendiri, pastilah dagingnya bisa dicengkeraman melesak ke dalam. Berpikir demikian bulu romanya menggeridik. Mereka semua jadi berlega hati setelah melihat si iblis kabur tanpa mengadakan periawanan. Ki Tunjungbiru segera menolong menyadarkan si gadis. Kemudian
dipapah dan ditidurkan di atas batu.
"Iblis itu bukan main hebatnya," Wirapati memuji, "la bisa bergerak dengan gesit.
Tangkapannya lengket dan berbahaya. Seumpama sampai bertempur, belum tentu di antara kita bisa selamat tanpa menderita luka parah. Pantas, guruku memuji kesaktiannya. Ha... untung Ki Tunjungbiru mendapat akal bagus."
"Janganlah berkata begitu," tegur Ki Tunjungbiru. Ia nampak berduka.
Wirapati heran melihat Ki Tunjungbiru berduka.
"Apakah iblis itu melukaimu dengan diam-diam?" Tanya Wirapati minta penjelasan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tidak. Tapi ada lagi yang kupikirkan," jawab Ki Tunjungbiru. "Aku melupakan dua hal. Yang pertama, tanpa kupikir akibatnya, aku memalsukan nama pendekar sakti Gagak Seta. Inilah
bahaya. Kedua, dia terang-terangan muncul di antara kita. Sudah barang tentu dia mengenal kita semua dengan penciumannya yang tajam. Di kemudian hari, apabila dia mendapat keyakinan
kalau Gagak Seta tidak tahu menahu perkara ini, pasti akan kembali membalas dendam. Sekiranya kita secara kebetulan bisa berkumpul, itulah untung. Apabila tidak, dia bisa melampiaskan dendamnya seorang demi seorang. Bagi kita yang tua-tua, nggak jadi soal. Selain nyawa kita yang sudah tua tidak berharga, setidaknya kita mampu berjaga-jaga diri. Tapi bagi Sangaji akan lain halnya. Mulai malam ini, ia justru akan mendapat ancaman langsung. Ah, siapa mengira kalau akal tipu-muslihat untuk mengikis habis kecurigaannya, justru jatuh sebaliknya."
Mendengar keterangan Ki Tunjungbiru, semuanya jadi terdiam. Tiba-tiba Jaga Saradenta yang masih uring-uringan, berkata nyaring, "Otong Damarwijaya, apa kerjamu di sini" Mengapa tidak mempersatukan diri dengan kami" Wirapati dan aku dulu belum saling mengenal. Kami masingmasing berasal dari suatu perguruan yang berbeda. Tapi karena suatu panggilan yang sama, akhirnya kami berdua bisa bersatu. Sekarang kita bertiga mempunyai pula kebajikan yang sama, apa celanya mulai malam ini kita mempersatukan diri?"
Wirapati tercengang-cengang mendengar ucapan Jaga Saradenta. Sekalipun terdengar kasar,
tapi mengandung kejujuran dan bersih. Dengan begitu tak pernah diduganya, kalau kadangkadang si penaik darah itu bisa mempunyai pikiran yang patut dipuji. Lantas saja dia ikut menyetujui. Sangaji yang mendengar pembicaraan itu ikut-ikut memuji dalam hati, mudah-mudahan Ki Tunjungbiru menyetujui. Sebagai seorang anak yang tingkatannya lebih rendah, tak berani dia mencampuri urusan mereka.
Ki Tunjungbiru nampak berbimbang-bimbang sebentar. Ia menyiratkan pandang kepada Jaga
Saradenta, Wirapati dan Sangaji kemudian mendongakkan kepalanya ke udara. Lama ia terpekur.
"Saran itu adalah buah pikiran yang bagus. Tapi Otong Damarwijaya sudah empat puluh tahun lebih mengembara ke seluruh Jawa Barat. Otong Damarwijaya bukan lagi kepunyaan Ki
Tunjungbiru. Dia sudah menjadi bagian dari milik rakyat Jawa Barat. Selama daerah Jawa Barat masih ada manusia jahat yang hidup, Otong Damarwijaya takkan pergi meninggalkan. Karena itu maafkan. Terpaksa aku menolak tawaran yang bagus dan jujur itu."
Semua yang mendengar jadi kecewa, tetapi tak dapat membantah. Apa yang dikatakan Ki
Tunjungbiru memang benar belaka. Suatu pangucapan yang membersit dari hati nurani yang suci.
Wirapati dan Jaga Saradenta tak berani memaksa lagi. Sebagai tokoh-tokoh pejuang, mereka memaklumi arti pengucapan Ki Tunjungbiru.
"Jika begitu, maafkan kelancanganku tadi," kata Jaga Saradenta merendahkan diri. "Aku lupa, kalau Otong Damarwijaya adalah seorang pejuang yang bersedia mati untuk rakyat dan tanah air.
Kalau tidak memiliki hati jantan, masakan perkara pantat besar bersedia tidak kawin untuk seumur hidup."
Mendengar ujar si penaik darah, semua jadi tertawa berkakakkan. Ingatlah mereka kisah
perkelahian antara Otong Damarwijaya dan Hajar Karangpandan pada masa mudanya selama lima hari lima malam. Itu adalah kisah ugal-ugalan, tapi penuh kejantanan.
"Baiklah sekarang begini saja," kata Ki Tunjungbiru sejurus kemudian. "Perkara perhubungan kita bisa diatur. Berilah tanda-tanda tertentu sebagai suatu berita, apabila pada suatu hari kalian pergi dari Jakarta. Aku akan berusaha mengikuti kalian. Siapa tahu selama itu aku bisa mendapat jalan lain untuk menghabisi si iblis."
"Sebenarnya apa kita bakal kalah melawan jahanam itu?" potong Jaga Saradenta.
'Terus terang kuakui, melihat gerak-gerik Pringgasakti yang luar biasa itu, tingkatan
kepandaiannya berada di atas kita. Sekiranya tadi terpaksa bertempur, belum tentu kita bertiga dapat memenangkannya. Agaknya Kitab Pusaka Adipati Surengpati yang dibawanya lari itu cukup berharga untuk dibeli dengan nyawa. Hanya saja aku yakin, kalau dia belum mencapai tingkatan yang sempurna. Andaikata dia merasa diri sudah sempurna, masakan dia begitu ragu ketika
mendengar gertakan kita. Tapi sebentar atau lama, tingkatan itu pasti akan dapat dicapainya. Ini bahaya! Si iblis pasti tak gampang ditaklukan..."
"Hm... mudah-mudahan dia mampus sebelum mencapai tingkatan itu," Jaga Saradenta
mengutuk. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian pergi dari Jakarta. Aku akan berusaha mengikuti kalian. Siapa tahu selama itu aku bisa mendapat jalan lain untuk menghabisi si iblis." 0oo0
10 MASA PERTANDINGAN SELAGI Ki Tunjungbiru berbicara, Sonny nampak menggeliat. Perlahan-lahan gadis itu mulai sadar kembali. Pendengarannya telah pula dapat menangkap suara orang berbicara. Segera ia bangkit dan duduk dengan terpekur di atas batu. Tak lama kemudian dia sudah sadar benarbenar. Ia mencari Sangaji. Saat bertemu pandang, "Sangaji, ayahku sama sekali tak mempercayai omonganku. Dia malah pergi beronda dengan Mayor De Groote. Mereka menuju ke Bogor..."
Sangaji terkejut. "Kenapa ayatimu tidak percaya kepadamu?"
"Waktu kukabarkan, kalau Mayor De Groote telah mengadakan perserikatan hendak mengambil
alih kedudukan ayah dan kakak angkatmu, dia tertawa terbahak-bahak. Ayah bilang karena aku tak sudi kawin dengan anak Mayor De Groote lantas aku dituduh mengada-ada. Sudah kukatakan padanya, kalau berita ini berasal darimu, tapi ayah bahkan tak percaya. Dia bilang, kalau kamu tukang ngomong. Kau nanti akan diadukan kepada kakak-angkatmu Kapten Willem agar mendapat dampratan darinya. Karena kesal, aku berusaha mencarimu. Tapi di tengah jalan aku dibekuk oleh seorang laki-laki entah siapa. Aku digendongnya dan dia bilang mau membawaku pergi
menemuimu. Ai, benar juga omongannya. Kukira, dia laki-laki biadab."
Sonny belum sadar akan bahaya yang mengancam nyawanya. Jaga Saradenta lantas saja
mengomel dalam hati, huuu ... coba kita tak berada di sini, kamu sudah jadi bangkai....
"Kapan ayahmu berangkat beronda dengan Mayor De Groote?" Sangaji menegas.
"Sejak senja hari tadi. Ayah membawa sepasukan kuda pilihan. Mayor De Groote hanya
seorang diri." "Kau salah omong tadi," Sangaji menyesali.
"Salah omong" Bukankah aku hanya menyampaikan berita apa yang kaukatakan?" Sonny
menggugat. "Kau menambahi berita, kalau Mayor De Groote hendak mengambil alih kedudukan ayahmu
dan kakak-angkatku. Sebenarnya kamu harus bilang, kalau Mayor De Groote mungkin akan
berontak. Mungkin ayahmu akan waspada kalau pergi beronda. Kemungkinan besar, Mayor De
Groote akan menyergap pasukan ayahmu."
"Eh, mengapa berpura-pura tak tahu masalahnya?" Sonny tak mau disalahkan. "Ayah dan
kakak-angkatmu bulan depan akan naik pangkat menjadi Mayor. Kenaikan pangkat itu sudahlah cukup membakar hati Mayor De Groote. Kalau Mayor De Groote berhasil merebut kembali
jabatannya yang dahulu, ... mana bisa ayah dan kakak-angkatmu naik pangkat?" sehabis berkata demikian, Sonny lantas menangis. Dan Sangaji jadi kebingungan. Inilah yang pertama kali ia menghadapi soal rumit.
Memang semenjak tahun 1789 Kompeni menghadapi suatu kesulitan luar biasa. Pada tahun itu, rugi 74 miliun rupiah. Dalam tahun 1791 rugi lagi 96 miliun rupiah. Willem V" Pengurus Agung Kompeni di negeri Belanda" segera mengadakan perbaikan-perbaikan. Sampai tahun 1800 dia
mengangkat Willem Arnold Alting sebagai Gubernur Jendral dan ditugaskan membentuk komisaris-komisaris Jendral dan perbaikan-perbaikan menyeliiruh. Gubernur Jendral itu gagal. Willem V
kemudian memecat Willem Arnold Alting dan mengangkat Pieter Ger V Overstraten sebagai
gantinya. Setelah itu P Vuyst. VOC lantas dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799. Semua milik dan utang VOC diambil alih oleh negara berdasarkan Gndang-undang Dasar Bataafse
Republiek. Tetapi keadaan organisasi kompeni korat-karit. Fitnahan-fitnahan, korupsi, main sogok dan indisipliner dalam kalangan militer merajalela seolah-olah tak teratasi lagi. Pemimpin-pemimpin militer berani bertindak demi ambisinya masing-masing. Karena itu kerapkali terjadi peletusan senjata yang banyak membawa korban jiwa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sangaji!" tiba-tiba Wirapati berkata menengahi. "Pulanglah dahulu! Beritahukan hal itu kepada kakakmu Willem. Kalau perlu susullah ayah Sonny dengan menunggang kudamu Willem. Kuda itu dapat berlari cepat dan kuat. Kalau Tuhan merestui, kamu bisa menyusul dan menyelamatkan ayah Sonny!"
Tak perlu diulangi lagi, Sangaji lantas saja lari menuruni bukit. Ia berlari sekuat tenaga. Itulah pula pengalamannya yang pertama kali berlari-larian cepat dalam jarak jauh. Sekarang dia merasa heran. Getah pohon sakti Dewadaru banyak menolong dirinya. Ia tak merasa capai, bahkan
seluruh tubuhnya terasa segar-bugar.
Sesampainya di tangsi, ia minta keterangan kepada penjaga tentang kakak-angkatnya. Penjaga memberi tahu, kalau Willem Erbefeld membawa satu peleton pasukan berkuda pergi berpatroli.
"Ke mana?" tanyanya gugup.
"Mungkin ke Tangerang. Mungkin pula ke Bogor. Mungkin ke Krawang. Apa pedulimu?"
"Ada pemberontakan."
"Pemberontakan?" ulang Kepala Penjaga keheranan. Ia merenungi si bocah. Kemudian tertawa terbahak-bahak. Ia menganggap lucu berita pemberontakan itu. Teman-temannya dalam
penjagaan ikut tertawa pula.
Terpaksalah Sangaji membungkam mulut dengan tersipu-sipu. Segera ia mengambil kudanya
dan terus melesat keluar tangsi. Penjaga-penjaga tertawa riuh bergegaran dan menyoraki dari belakang. Tapi Sangaji tak mempedulikan.
Willem ternyata seekor kuda jempolan. Ia lari kencang tak takut kecapaian. Selang dua jam, ia baru memperlambat larinya. Setelah beristirahat sebentar, kaburlah dia kembali seperti anak panah yang terlepas dari gandewa.
Satu jam kemudian, Sangaji telah memasuki wilayah Bogor. Matahari telah melongok di ufuk timur. Udara segar bugar dan suasana pagi riang ria. Ia mendengar suara terompet serdadu. Tak lama kemudian, nampaklah beberapa tenda perkemahan dengan tenda panji-panji pasukan.
Sepintas lintas tahulah Sangaji, kalau dalam tenda-tenda perkemahan itu, adalah serdadu-serdadu pasukan Mayor De Groote yang jumlahnya hampir satu batalyon. Mereka nampak bersiaga.
Sangaji lantas saja mengeluh dalam hati terang sekali pasukan Kapten De Hoop telah melewati perkemahan itu, jauh sebelum mereka berkemah. Ini berarti bahwa pasukan itu akan menghadang pasukan Kapten De Hoop. Berpikir demikian ia keprak kudanya dan melesat secepat-cepatnya.
Dua orang serdadu berusaha menghadangnya. Ia tak perduli. Terus saja ia menerjang dan kabur tanpa menoleh.
Kira-kira menjelang jam delapan, nampaklah sepasukan tentara berkuda datang dari arah
selatan. Tak lama lagi tersembullah pasukan tentara berkuda dari arah barat. Masing-masing pasukan itu membawa panji-panji pasukan. Dengan segera Sangaji mengenal siapa pemimpinnya.
Yang datang dari arah selatan adalah pasukan Kapten De Hoop. Yang datang dari arah barat adalah pasukan Kapten Willem Erbefeld.
Kedua pasukan itu bertemu di suatu lapangan, kemudian saling bergabung. Sangaji dengan
cepat menghampiri sambil berteriak sekuat-kuatnya.
"Kapten De Hoop! Kapten Willem Erbefeld! Ambilah jalan lain! Mayor De Groote menghadang
kalian di seberang sana!"
Kapten De Hoop dan Kapten Willem Erbefeld yang sedang saling memberi hormat menoleh
bersamaan kemudian berkata berbareng minta penjelasan.
"Ada apa?" "Ada bahaya," sahut Sangaji terengah-engah sambil meloncat dari punggung kudanya.
Kemudian ia mengabarkan berita yang telah di dengar Ki Tunjungbiru kemarin lusa.
Dengan sangsi Kapten De Hoop merenungi tutur kata bocah tanggung ini. Pikirnya, antara aku dan Groote, memang seringkali berselisih paham. Tapi beberapa minggu yang lalu ia telah
membicarakan perangkapan jodoh antara Sonny dan Jan De Groote. Masakan dia mempunyai niat jahat" Atau mempunyai tujuan lain" Ah! Dia memang bermusuhan dengan Willem. Apakah
perangkap jodoh dengan anaknya dan anakku dimaksudkan untuk mencari bantuan" ... Tapi tak mungkin ia sejahat itu" Bukankah kemarin sore dia berangkat berpatroli bersama-sama" Sama sekali tiada tanda-tanda dia hendak berontak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji mendapat firasat, kalau Kapten De Hoop menyangsikan keterangannya. Ia mencoba
meyakinkan sebisa-bisanya. Dikatakan, kalau dia tadi melihat batalyon Mayor De Groote.
"Apa katamu?" Kapten De Hoop menegas. Ia mulai berpikir keras. Lalu berkata kepada Willem Erbefeld, "Apa kamu tahu dengan pasti, kalau batalyonnya ada di Krawang?"
Kapten Willem Erbefeld berbimbang-bimbang. Ia tak menjawab pertanyaan Kapten De Hoop,
tapi minta ketegasan kepada Sangaji.
"Adik yang baik, apa kamu mendengar dan melihat sendiri rencana pemberontakan Mayor De
Groote?" "Tidak. Rencana pemberontakan itu hanya kudengar dari salah seorang guruku seperti yang
kukatakan tadi. Tapi tadi aku melihat pasukannya berada di sekitar sana. Kalau kakak sangsi, cobalah kirim beberapa orang penyelidik untuk membuktikan kebenarannya.
Kapten De Hoop dan Kapten Willem Erbefeld tahu dengan pasti kalau batalion Mayor De Groote berada di Krawang. Kalau sekarang tiba-tiba berada di sekitar Bogor ada dua kemungkinan.
Pertama, mungkin sedang mengadakan latihan berperang. Kedua, sedang bertugas
beronda."Kapten Willem," akhirnya Kapten De Hoop memutuskan. "Meskipun aku belum yakin,
rasanya apa salahnya mengirimkan beberapa orang untuk menyelidiki."
"Bersikap hati-hati lebih baik," sahut Kapten Willem Erbefeld. "Aku kenal perangai adikangkatku. Dia takkan bakal berjalan semalam suntuk kalau tidak ada alasan yang kuat. Lagi pula, kenapa Mayor De Groote kemarin sore berangkat ke Bogor bersama kita?"
"Ah!" Kapten De Hoop terkejut, ia berangkat ke Bogor dengan dalih hendak memberi laporan dinas. Tapi rasanya ..."
Kapten De Hoop adalah seorang perwira yang bersikap hati-hati. Segera ia mengirimkan dua orang penyelidik. Kemudian memberi perintah kepada pasukannya agar bersiaga. Kapten Willem Erbefeld sendiri dengan cepat mengirimkan dua orang utusan untuk memanggil Pasukan
Keamanan Kota dengan mengambil jalan menyeberang hutan. Ia menaruh kepercayaan besar
kepada Sangaji. Lagi pula ia merasa bermusuhan langsung terhadap Mayor De Groote.
"Sangaji!" katanya berwibawa. "Hendaklah kamu selalu ingat dalam lubuk hatimu. Bahwasanya, kedudukan, pangkat, harta dan perempuan cantik bisa membutakan kewarasan otak. Siapa
mengira, kalau peristiwa pengangkatanku menjadi Komandan Keamanan Kota jadi begini berlarut-larut" Tapi baik aku dan kamu adalah laki-laki. Kalau kamu terpaksa berkelahi atau dipaksa keadaan untuk berkelahi, berkelahilah secara jantan. Sekiranya mati, biarlah mati seperti laki-laki."
Hebat kata-kata Kapten Willem Erbefeld itu bagi hati si bocah tanggung. Selama itu, belum pernah kakak-angkatnya berkata seperti sekarang. Si bocah tanggung menundukkan kepala dan kata-kata bernapas keperwiraan itu merasuk dalam tubuhnya. Kata-kata ini pulalah yang
menentukan sejarah hidupnya Sangaji di kemudian hari.
Dua orang penyelidik yang dikirim Kapten De Hoop, tak lama kemudian melapor kepada Kapten De Hoop.
"Mereka sedang menuju ke mari."
Mendengar laporan itu, Kapten De Hoop tidak sangsi lagi. Garang ia berkata kepada Letnan Van Vuuren yang berada di sampingnya, "Jelas, ini gerakkan yang mencurigakan. Daerah Bogor adalah daerah perondaan kita. Mengapa memasuki daerah perondaan kita tanpa memberi tahu. Siapkan!
Sampaikan perintah kepada Kapten Willem Erbefeld: pasukannya kuperintahkan bersiaga di atas tebing bukit."
Kapten De Hoop nampak garang benar. Perintahnya tegas tiada ragu-ragu lagi. Ia merasa,
gerak pasukan Mayor De Groote tidaklah wajar. Segera ia memerintahkan seluruh pasukan
gabungan mendaki bukit. Setelah itu, satu peleton tentara penyerbu diperintahkan meneruskan perjalanan.
Seluruh pasukan bekerja dengan cepat. Yang berada di atas bukit segera menggali lubanglubang perlindungan. Batu-batu ditumpuk dan disusun menjadi benteng pertahanan. Sedangkan pasukan yang harus berjalan mencari keyakinan, terus saja bergerak dengan aba-aba tertentu.
Kapten Willem Erbefeld berjalan di belakang peleton itu seolah-olah pengawalnya. Sangaji berada di sampingnya dan selalu diawasi; bersiaga hendak diperlindunginya sebaik-baiknya apabila keadaan dalam bahaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tak lama kemudian dari arah utara nampaklah debu mengepul ke udara. Tiga kelompok
pasukan berseragam muncul di balik debu dengan suara berisik dan berderapan. Kapten Willem Erbefeld adalah seorang militer dalam darah dagingnya. Segera ia dapat menebak gerak-gerik pasukan yang datang itu. la memberi aba-aba kepada peletonnya agar mem-percepat jalannya.
Diperintahkan agar bersikap menyambut kedatangan mereka. Apabila benar-benar mereka
bermaksud menghadang, panji-panji pasukan hendaklah dibawa lari.
Belum lagi peletonnya bertemu dengan pasukan pendatang itu, terdengarlah sudah letusan
senjata berulang kali. Kemudian sorak-sorai mengguntur di udara. Mereka benar-benar bermaksud menyerang.
Peleton Kapten Willem Erbefeld terpaksa balik kembali. Tapi mereka kena terkurung rapat, sehingga susah membebaskan diri. Dan tiga orang di antara mereka jatuh terkulai dari atas kudanya.
"Adik yang baik, yuk, kita sambut mereka!" Willem Erbefeld berteriak. Kudanya dikeprak dan melesat maju. Sangaji segera mengejar. Cepat larinya kuda Sangaji. Ia mendahului Willem
Erbefeld sepuluh lompatan di depan.
"Adik yang baik! Terimalah senapanku!" teriak Willem Erbefeld dan terus melontarkan
senapannya. Begitu senapannya dapat diterima Sangaji, ia lalu menyambar senapan salah seorang serdadu yang datang berpapasan.
Sangaji terus saja menembak tiga kali berturut-turut. Tiga orang pengejar peleton Willem Erbefeld jatuh terjungkal dari atas kudanya. Dalam hal menembak mahir, Willem Erbefeld jauh lebih pandai daripada Sangaji. Memang dia guru Sangaji dalam tata menembak senapan. Sambil memberi aba-aba kepada peletonnya yang lari berserabutan, ia melepaskan tembakan lima kali berturut-turut. Tembakannya tepat mengenai sasaran dan sekaligus tergulinglah lima orang lawannya.
Kepala peleton yang telah mendapat perlindungan, dengan cepat mengatur anak-buah-nya dan balik kembali mengadakan serangan balasan. Tetapi mereka kalah jumlah. Segera mereka kena desak dan terpaksa lari mengundurkan diri ke bukit-bukit.
Di atas bukit ini, berdirilah Kapten De Hoop dengan dua pembantunya Letnan Van Vuuren dan Letnan Van de Bosch. Melihat peleton garis depan kena didesak lawan, lantas saja dia memberi aba-aba menembak salvo. Segera terjadilah suatu tembakan berondongan. Oleh tembakan
berondongan itu tertahanlah pihak pengejar. Gugup mereka menahan lis kudanya masing-masing dan debu tanah berhamburan ke udara menyekat penglihatan.
Kapten De Hoop lari mendaki gundukan yang teratas agar mendapatkan penglihatan yang luas.
Ia menjelajahkan pandangannya di jauh sana pada setiap penjuru. Dari atas gundukan itu ia melihat batalyon Mayor De Groote sedang bergerak mendatangi.
Yang berada di depan adalah Mayor De Groote dengan diapit oleh empat perwira. Dia
menggunakan pakaian kebesarannya. Berjaket tutup dengan kain leher putih. Pedangnya
tergantung di pinggang dan memantulkan cahaya matahari di waktu pagi hari. Dia menunggang kuda gagah perkasa berwarna putih kecoklat-coklatan.
Kapten De Hoop menunggu sampai Mayor De Groote berada seratus langkah di depan-nya.
Kemudian berseru, "Mayor De Groote, naiklah ke bukit! Mari kita bicara!"
Dengan dikawal oleh empat orang perwira dan satu peleton serdadu, Mayor De Groote
menghampiri bukit. Serdadu-serdadu itu berada di depannya bersiaga melindungi. Ia bersikap angkuh dan pandangannya memancarkan kesan kemenangan.
"Kapten De Hoop, lekaslah menyerah dan serahkan anjing Willem Erbefeld!" ia berteriak
garang. Kapten De Hoop tidak meladeni. Ia membalas dengan suatu pertanyaannya.
"Apakah kamu membawa batalyonmu memasuki daerah perondaan Bogor?"
Mayor De Groote tak mau kalah dalam beradu lidah. Mendengar Kapten De Hoop menghindari
ucapannya dengan suatu pertanyaan, ia membalas bertanya pula. Ujarnya, "Semasa aku masih berpangkat Kapten dan menjabat sebagai komandan kompi, kamu berpangkat dan menjabat apa
Kapten De Hoop" Jawablah pertanyaanku ini, jika kau laki-laki."
Kapten De Hoop diam menimbang-nimbang. Kemudian menjawab, "Letnan dan Komandan
Peleton." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagus!" Mayor De Groote bergembira. Dan ia menyapukan pandangannya untuk menebarkan
kesan kepada seluruh serdadu yang hadir di situ. "Siapakah Komandan Keamanan Kota dan
Komandan Pengawal Istana" Jawab jika kau laki-laki."
"Mayor De Groote."
"Bagus!" seru Mayor De Groote. Dan kembali ia menyapukan pandangannya.
Memang Mayor De Groote adalah Komandan Keamanan Kota merangkap Komandan Pengawal
Istana semenjak Raja Willem V membentuk komisaris-komisaris Jendral untuk memperbaiki
keadaan keuangan VOC yang terus-menerus tekor semenjak tahun 1789. Pada tahun 1795, Raja Willem V diusir oleh kaum Patriot Perancis. Dia melarikan diri ke Inggris. Takut kalau-kalau Perancis akan menduduki Kepulauan Indonesia, maka ia menulis surat permohonan bantuan
kepada pemerintahan Inggris dari kediamannya di Kew. Ia memandang perlu untuk membentuk
batalion-batalion Keamanan Kota guna pertahanan kota-kota pendudukan.
Mayor de Groote bertanya lagi, "Sudah berapa kali Komandan Kota menyelamatkan harta milik dan kewibawaan kompeni dalam menumpas pemberontakan-pemberontakan?"
"Berapa kali yang tepat, tak dapat aku menyebutkan di sini," jawab Kapten De Hoop
mendongkol. "Kau adalah seorang Kapten. Semua kejadian mestinya harus senantiasa berkelebat dalam
otak." "Jika demikian, kau teringat pula semua peristiwa itu. Apa perlu kautanyakan" Jawablah
pertanyaanmu sendiri!"
"Aku bertanya! Karena itu kamu wajib menjawab! Bukankah kamu bawahanku" Sekiranya kamu
sekarang mengingkari, toh pangkatku lebih berharga daripada Kapten."
Kapten De Hoop terdiam. Kemudian menjawab perlahan-lahan, "Baiklah aku jawab, tetapi
apakah upah-upah ekstra dan sogokan-sogokan buat bekal berangkat bertempur perlu
disebutkan?" Pada masa itu, masalah sogokan sangat populer dalam percaturan masyarakat. Tak heran,
begitu mendengar Kapten De Hoop menyebutkan istilah sogokan, lantas saja terdengar suara tertawa serdadu-serdadu yang merasa diri miskin dan tak mempunyai kekuasaan atau kedudukan yang memungkinkan memperoleh uang sogokan. Muka Mayor De Groote lantas saja merah
padam. Membentak kalang-kabut, "Ini urusan dinas! Bukan sedang bergurau! Bukan pula sedang membicarakan perangkapan jodoh! Insyaflah Kapten De Hoop, bahwasanya dengan sepatah kata aba-abaku, aku akan menghancurkan seluruh pasukanmu."
Mendengar kata-kata perangkapan jodoh, dada Kapten De Hoop serasa hampir meledak sampai
sekujur badannya menggigil. Tapi ia masih bisa menguasai diri dan dapat pula berlaku tenang.
Sebaliknya, Mayor De Groote senang bukan kepalang melihat Kapaten De Hoop keripuhan.
Mayor De Groote adalah seorang perwira yang licik. Semenjak dia dikalahkan oleh Kapten
Willem Erbefeld di depan Gubernur Jendral P Vuyst, bintangnya lantas saja mulai merosot. Ia kena geser kedudukannya sebagai Komandan Keamanan ke Staf Batalyon yang berkedudukan di
Krawang. Itulah sebabnya dendam kepada Kapten Willem Erbefeld yang dianggapnya sebagai
lawan utamanya. Cuma saja dia tak berani bermusuhan secara terang-terangan. Dalam segala hal ia merasa kalah.
Dasar ia licik dan licin, maka ia mencoba bekerja dari belakang punggung. Diam-diam ia
berusaha mempengaruhi bekas anak buah Komando Keamanan Kota. Tapi usaha ini gagal,
sehingga mau tak mau ia memaksa diri untuk prihatin selama tiga tahun lebih.
Mendengar kabar tentang perkelahian antara anaknya dan adik-angkat Willem Erbefeld, di
mana anaknya kena dihajar Willem Erbefeld sampai babak belur di depan gadis Sonny anak
Kapten De Hoop, lantas saja terbesitlah suatu pikiran dalam benaknya. Sejak saat itu ia mendekati Kapten De Hoop dan menempel para penguasa-penguasa militer. Ia berhasil mengambil hati
dengan sikap merendahkan diri, meskipun bertentangan dengan wataknya yang angkuh dan tinggi hati. Seperti diketahui Kapten De Hoop adalah Komandan Keamanan Kota, sedangkan Kapten
Willem Erbefeld menjabat wakil komandan. Beberapa hari yang lalu terjadilah suatu pembicaraan perangkapan jodoh antara Jan De Groote dan Sonny De Hoop. Mayor De Groote memperoleh
bintang terang dalam hal ini. Ia tinggal menunggu waktu belaka untuk membicarakan suatu
persekutuan mengenai nasib Kapten Willem Erbefeld.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendadak terjadilah suatu peristiwa di luar dugaan semuanya. Mayor Kuol yang memimpin
batalyon di Krawang mendapat cuti tahunan. Kali ini dia hendak menjenguk kampung halamannya di negeri Belanda. Dengari sendirinya, Mayor De Groote menjadi pejabat Komandan Batalyon.
Tepat pada waktu itu terdengarlah suatu berita, kalau Kapten Willem Erbefeld akan naik pangkat menjadi Mayor dan akan dilantik pula sebagai Komandan Keamanan Kota. Sedangkan Kapten De Hoop akan ditetapkan sebagai Komandan Pengawal Istana dengan pangkat Mayor pula.
Bergegas-gegas Mayor De Groote datang berkunjung ke rumah Kapten De Hoop untuk mencari
kepastian tentang berita itu. Hatinya terlalu panas mendengar bintang Kapten Willem Erbefeld menjadi begitu terang. Di sini ia menemui kekecewaan terhadap Kapten De Hoop. Ternyata
Kapten De Hoop nampak bergembira oleh berita itu. Ia memuji kecakapan Kapten Willem Erbefeld, kejujurannya dan keberaniannya sehingga sudah sepantasnya diangkat menjadi Komandan
Keamanan Kota.

Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika itu juga, Mayor De Groote mendapat kesan buruk terhadap Kapten De Hoop. Menurut gejolak hatinya, lantas saja ia menyalahgunakan kedudukannya. Dan terjadilah peristiwa
pertempuran di pagi hari yang terang -benderang.
"Kapten De Hoop!" katanya menggertak. "Kamu adalah seorang perwira lama. Dengan saksimu
pula, aku adalah seorang Komandan Keamanan Kota yang seringkali menumpas pemberontakanpemberontakan demi menertibkan tata-tertib militer. Lima tahun yang lalu aku pernah menumpas suatu pemberontakan di samping Gubernur Jendral P Vuyst. Siapakah anjing pemberontak itu?"
Kapten De Hoop mengerenyitkan dahi. Ia heran atas kata-kata Mayor De Groote yang begitu
terlepas tanpa pertimbangan. Memang Mayor De Groote tak mengindahkan segala, dan bersikap tak mempedulikan macam perhubungannya dengan Kapten De Hoop. Dasar Kapten De Hoop
seorang perwira yang cerdas dan pandai melihat gelagat, begitu memperoleh kesan buruk lantas saja dapat menentukan sikap. Jawabnya lantang, "Kalau yang kaumaksudkan anjing itu adalah pemimpin pemberontak, maka dia bernama Willem Erbefeld."
"Bagus!" sahut Mayor De Groote girang. "Sekarang aku minta keterangan yang benar. Anjing pemberontak Willem Erbefeld akan dilantik menjadi Komandan Keamanan Kota dan naik pangkat jadi Mayor, benarkah itu?"
"Betul." "Kapten De Hoop! Komandan Keamanan Kota selamanya dipegang oleh seorang per-wira yang
berkewajiban menumpas pemberontak. Kini akan dijabat oleh seorang bekas pemberontak.
Bagaimana menurut pendapat-mu?"
"Aku seorang militer. Urusan penetapan, pengesyahan atau kenaikan pangkat adalah urusan
pemerintah. Kau tahu, bukan?"
"Kapten De Hoop bukan anak kemarin sore. Kapten De Hoop berhak memberi pertim-bangan
atas pengangkatan dan pasti akan didengar pemerintah. Terang-terangan anjing Willem adalah bekas seorang pemimpin pemberontak, mengapa Kapten De Hoop membungkam" Apakah sudah
menerima sogokan?" Tak peduli siapa yang mengucapkan istilah sogokan itu, lantas saja seluruh serdadu ter-tawa koor. Kapten De Hoop mendongkol.
Akhirnya kehilangan kesabarannya. Lalu membentak:
"Mayor De Groote! Grusan pengangkatan, penetapan dan pengesyahan Kapten Willem Erbefeld
sebagai Komandan Keamanan Kota adalah urusan pemerintah. Kalau kau mau menentang mulut,
bicaralah langsung kepada pemerintah. Kalau kau mempunyai ganjelan hati terhadap Kapten
Willem Erbefeld selesaikanlah secara jantan. Jangan membawa-bawa urusan ganjelan hati ke dalam tata-dinas. Memang siapa yang tak mengetahui, peristiwa perang tanding antara Mayor De Groote dan Kapten Willem Erbefeld lima tahun yang lalu di depan mata Gubernur Jendral P Vuyst"
Siapa pula yang mengetahui akhir perang tanding itu. Jawablah Mayor De Groote, siapakah dia yang buntung lengannya kena sabetan pedang Kapten Willem Erbefeld?"
Sangaji bergelisah dan cemas mendengar nama kakak-angkatnya dibuat bulan-bulanan.
Keadaan menjadi tegang dan menyesakkan. Kalau sampai terjadi pertempuran, kedua belah pihak pasti menderita korban. Ia kenal pula watak kakak-angkatnya Willem Erbefeld. Kakak-angkatnya yang berwatak jantan, takkan membiarkan Kapten De Hoop diejek demikian rupa oleh Mayor De Groote perkara dirinya. Tanpa mempedulikan akibatnya, dia tentu akan tampil ke depan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyelesaikan urusan pribadinya dengan seorang diri pula. Ini bahaya, karena Mayor De Groote kini membawa jumlah serdadu hampir satu batalyon penuh.
Selagi ia gelisah, nampaklah di kaki bukit seorang pemuda menunggang kuda dengan lagak
angkuh. Pemuda itu mengenakan pakaian preman yang cukup mentereng. Ia mengenakan topi
model Meksiko. Tangannya menyengkelit pedang dan sepucuk pistol tergantung pula di
pinggangnya. Dialah Yan De Groote calon suami Sonny De Hoop.
Melihat Yan De Groote, hati Sangaji lantas saja menjadi panas. Dasar dia bermusuhan dengan pemuda Belanda itu, lagi pula mendapat kabar hendak mengawini Sonny De Hoop. Meskipun
belum mempunyai sebutir angan-angan hendak menjadi suami Sonny, tapi hatinya tak rela
kawannya yang disayangi itu jatuh ke dalam pelukan Yan De Groote. Oleh gelora hati, Willem lalu dikeprak dan lari melesat mengarah ke pemuda Belanda itu. Sangaji mengenakan pakaian
preman, maka serdadu-serdadu Mayor De Groote tak memikir jauh. Mereka mengira, kalau anak Bumiputera itu hendak melakukan sesuatu di luar urusan ketegangan militer.
Hebat larinya si Willem. Beberapa detik saja, ia telah menghampiri sasarannya. Yan De Groote kaget. Segera ia mengenal penunggangnya. Tanpa bilang suatu apa ia menyambut kuda serbuan Sangaji dengan sabetan pedang. Sangaji cukup berwaspada. Cepat ia mengendapkan kepala dan sabetan pedang Yan De Groote berkesiur lewat atas kepalanya. Dengan tangkas ia mengulur
tangan kanannya dan menangkap pergelangan kiri Yan De Groote sambil memijit urat-nadinya. Ia menggunakan tipu tangkapan Wirapati dan Yan De Groote lantas saja mati kutu.
Pemuda Belanda itu masih berusaha berontak dengan mengandalkan kekekaran tu-buhnya.
Sangaji tak sudi mengadu tenaga jasmani. Ia menarik tubuh lawannya kencang-kencang. Karena tarikan tenaga kuda, Yan De Groote kena terangkat dari pelananya dan terkatung-katung di sisi perut. Ia mencoba berontak dengan muka pringisan. Tapi terkaman ta-ngan Sangaji kuat bagaikan tanggam besi.
Sangaji bertindak cepat. Ia mendengar gerakan tentara dan aba-aba parau dari kaki bukit.
Itulah suara aba-aba Mayor De Groote yang memberi perintah, "Tembak!"
Cepat ia bentur perut kudanya dan lari balik ke bukit dengan menggondol Yan De Groote.
Tiba-tiba terdengarlah peluru berdesingan di sekitar kepalanya. Karena ingin cepat-cepat berlindung, tanpa berpikir lagi ia mengangkat tubuh Yan De Groote untuk dibuatnya perisai. Dan celakalah nasib pemuda Belanda itu. Ia kena berondong tembakan serdadu-serdadu ayahnya
sendiri. Tanpa bersuara lagi, napasnya terbang entah ke mana dengan darah berlumuran
membasahi tubuhnya. Sangaji melemparkan tubuhnya ke tanah dan ia kabur secepat-cepatnya. Dalam pada itu
Kapten Willem Erbefeld tak tinggal diam. Begitu mendengar aba-aba Mayor De Groote, segera ia beraksi. Dengan keahliannya ia menembak berturut-turut untuk melindungi Sangaji. Anak-buahnyapun tak tinggal diam. Mereka mulai menembak. Dan pertempuran segera terjadi dari
tempat ke tempat. Kapten De Hoop menghampiri Sangaji dan memuji keberaniannya. Katanya, "Dengan
tertembaknya Yan De Groote, ayahnya akan berkelahi dengan setengah mati atau dengan pikiran gelap."
Ucapan Kapten De Hoop sedikitpun tak salah. Begitu Mayor De Groote melihat anaknya kena
berondongan tembakan, ia menjadi kalap. Lantas saja ia menghampiri mayat anaknya dan diciumi seperti orang gila.
Kapten De Hoop segera memberi perintah berhenti menembak. Dia menjadi iba-hati melihat
nasib Mayor De Groote yang buruk. Tetapi tentara Mayor De Groote tak mengindahkan
perintahnya. Mereka terus memberondong tembakan, maka terpaksalah pertempuran dilanjutkan.
Menjelang tengah hari bala-bantuan dari kota tiba. Mereka memasuki pertempuran dan
sebentar saja dapat mengatasi. Maklumlah, batalyon Mayor De Groote kehilangan tujuan dan pimpinan lagi. Mereka hanya menembak berserabutan karena wajib menembak semata-mata.
Mayor De Groote kena tangkap dan hendak diajukan ke depan pengadilan militer dengan
ancaman hukuman mati. Dia menjadi sangat menderita. Matinya si Yan di luar perhitungan dan dugaannya, sudahlah merupakan pukulan hebat baginya. Kini ditambah dengan kesengsaraan diri pribadi. Ia yang biasa hidup mewah dan berangan-angan tinggi, tak kuasa menanggung derita.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam tahanan ia sakit keras. Sebelum hukuman dijatuhkan, malaikat keburu datang. Ia mati kena tekanan darah tinggi.
Semenjak peristiwa itu, Sangaji naik derajat. Omongannya kini sudah bukan dianggap omongan bocah. Orang-orang tangsi sudah memasukkan dirinya ke dalam kelas dewasa. Memang ia sudah nampak dewasa. Umurnya kini hampir mencapai 19 tahun. Kapten Willem Erbefeld yang kini
sudah naik pangkat menjadi Mayor dan memangku jabatan Komandan Keamanan Kota makin
sayang padanya. Ia seolah-olah bersiaga untuk memanjakan. Dengan Kapten De Hoop yang naik pangkat menjadi Mayor pula, bersahabat erat. Seringkali mereka membicarakan urusan pribadi, untuk membuktikan telah terjalinnya suatu persahabatan sejati. Dan kalau Mayor De Hoop
menggoda kepadanya, mengapa tidak kawin-kawin, ia selalu menjawab: "Nanti setelah adikku menemukan jodohnya."
Pada bulan Juni 1804, Mayor De Hoop mengadakan pesta ulang tahun. Banyak ia mengundang
teman-teman sekerja. Mayor Willem Erbefeld dan Sangaji tak ketinggalan. Semua yang datang mengenakan pakaian sebagus-bagusnya, karena tuan rumah akan mengharap demikian. Bagi
tata-santun pergaulan, itulah suatu lambang turut memanjatkan pujian pada Tuhan agar Mayor De Hoop selalu menemukan kesenangan-kesenangan baru, semangat baru dan kebahagiaan baru.
Sonny De Hoop si gadis jelita, genit dan menggairahkan mengenakan pakaian seindahindahnya. Ia bahkan bersolek sehingga kehadirannya dalam pesta itu menambah semarak belaka.
Dengan pandang berseri-seri ia menyambut kedatangan Sangaji dan terus saja dibawa menyendiri serta diajak berbicara. Sangaji seorang pemuda yang tak dapat berbicara banyak, maka dia hanya bersikap mengamini dan menambah bumbu-bumbu pembicaraan sekuasa-kuasanya.
Pesta dimulai pada jam tujuh malam. Musik mulai asyik dengan lagu-lagu Barat dan mars
militer. Kadang kala diseling lagu irama keroncong peninggalan serdadu-serdadu bangsa Portugis pada abad XVI. Pada jam sepuluh malam, suasana pesta lebih meresapkan dan longgar. Mereka yang hadir merasa diperkenankan bergerak sesuka hatinya.
Mayor De Hoop mulai bisa meninggalkan tetamu-tetamunya. Ia berjalan menikmati alam
didampingi Mayor Willem Erbefeld. Dua orang itu berbicara begitu asyik dan berahasia.
Nampaknya mendapat suatu persesuaian pendapat dan persetujuan. Mereka tertawa dengan
wajah berseri-seri. Mendadak saja Mayor De Hoop menghampiri Sangaji, "Sangaji! Sekiranya kakak-angkatmu kawin apakah kamu merasa dirugikan?"
Pertanyaan itu sama sekali tak terduga-duga sampai Sangaji bergemetaran. Melihat pandang Mayor De Hoop penuh keseriusan, hatinya menjadi agak lapang. Kemudian menjawab,
"Mengapa aku merasa dirugikan?"
"Bagus. Jika demikian kamu akan senang kalau kakak-angkatmu kawin."
"Tentu." "Bagus!" Mayor De Hoop menaikkan suaranya. "Jika demikian kamu mengharapkan kakakangkatmu mendapat jodoh."
"Tentu, Mayor. Dan calon isterinya harus yang secantik-cantiknya. Berbudi agung dan menurut pilihan hati kakak angkatku."
"Itu sudah pasti. Hanya saja, kakak angkatmu ini belum bersedia kawin, karena memikirkan kamu."
"Mengapa karena aku?" Sangaji ternganga-nganga.
Mayor De Hoop tidak memberi penjelasan. Dia hanya tertawa terbahak-bahak sambil
mengerling kepada Mayor Willem Erbefeld. Sangaji jadi sibuk. Ia memandang kepada Mayor
Willem Erbefeld pula dengan pandang menebak-nebak. Mayor Willem Erbefeld kelihatan
tersenyum lebar sampai giginya yang putih membuat garis panjang.
"Mari anakku," tiba-tiba Mayor De Hoop menggandeng tangan Sangaji. "Untuk kebahagiaannya kamu bersedia melakukan segalanya, bukan?"
Sangaji mengangguk dengan kepala penuh teka-teki.
"Kakakmupun bersedia melakukan segalanya demi kebahagiaanmu pula," Mayor De Hoop
meneruskan. "Mari, sekarang kita berbuat sesuatu yang menggembirakan semua. Bagi kakakmu, bagiku, bagi Sonny dan bagimu."
Sehabis berkata begitu, Mayor De Hoop menggandeng tangan Sangaji dan tangan Sonny.
Mereka berdua diajaknya berderap memasuki serambi depan. Para tetamu kemudian dipersilakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendengarkan suatu pengumuman. Lalu berkatalah Mayor De Hoop, "Tuan-tuan dan nyonyanyonya sekalian juga sekalian teman-teman anakku Sonny. Malam ini selain untuk memperingati hari ulang tahunku yang ke-47, aku akan membuat pesta ini menjadi pesta yang meriah. Malam ini aku membuat suatu pengumuman. Lihatlah tuan-tuan sekalian. Di sini kanan-kiriku berdirilah seorang gadis dan seorang pemuda, masing-masing bernama Sonny De Hoop dan Sangaji Willem Erbefeld. Dengan persetujuan dan wali si pemuda, aku akan membuat mereka berbahagia
sehingga di kemudian hari tidak bakal menyesali aku si orangtua. Malam ini, Sonny De Hoop kuserahkan dengan seluruh kelapangan dadaku kepada pemuda Sangaji. Jadi pesta ulang tahunku ini, mulai jam sepuluh malam berubah menjadi pesta pertunangan antara Sonny De Hoop dan
Sangaji Willem Erbefeld. Apa kata tuan-tuan sekalian?"
Semua hadirin bersorak riuh dan berebutan memberi selamat kepada Sangaji. Mereka berseru-seru gembira dan ada pula yang berlompat-lompatan menyatakan persetujuannya. "Huraaa! Ini baru cocok, sama-sama keluarga Mayor ..."
Sonny De Hoop yang berhati polos dan memang beradat darah Belanda, menyatakan
kegembiraannya secara terus-terang. Lantas saja dia memeluk si anak muda. Sebaliknya, si anak muda tak berkutik. Tubuhnya seperti terpaku dan mulutnya terkunci.
Ia memang senang dan sayang pada Sonny. Tapi bukan karena dia mempunyai hati. Dalam
perasaannya Sonny adalah teman sepermainan. Meskipun umurnya terpaut dua tahun (Sonny
malam itu berumur 21 tahun) ia merasa dirinya lebih cenderung sebagai pelindung. Maklumlah, itulah pengucapan hati laki-laki sebenarnya. Sama sekali ia belum pernah memikirkan perkara cinta-kasih atau permainan asmara. Mendadak saja, saat itu ia seakanakan seekor ikan tertungkap dalam tempurung. Keruan saja, hatinya menjadi kaget. Darahnya serasa nyaris berhenti. Apa lagi mendengar pembicaraan orang-orang yang sibuk membicarakan jodohnya dengan si genit Sonny.
Orang-orang tak mempedulikan gejolak hatinya. Mereka bahkan tertawa bergegaran melihat
dia berdiri terlongoh-longoh. Mereka mengira, hati Sangaji terlalu terharu kejatuhan wahyu.
Maklumlah, pada masa itu tak gampang-gampang seorang keturunan Bumiputera bisa
dipertunangkan dengan anak seorang Belanda. Apa lagi begitu resmi dan membersit dari hati nurani orangtua penuh keikhlasan.
Setelah pesta bubar, Sangaji tidak pulang ke tangsi, tetapi pergi menemui ibunya. Segera ia menuturkan pengalamannya di rumah Mayor De Hoop. Ia membawa pulang pula hadiah-hadiah
dari para tetamu, hadiah dari Mayor Willem Erbefeld, Mayor De Hoop dan cincin bermata berlian dari Sonny.
Rukmini terdiam, diapun bingung mendengar peristiwa itu. Otaknya yang sederhana tak dapat mencari keputusan yang baik.
"Coba, carilah kedua gurumu. Undanglah mereka ke mari," akhirnya dia berkata kepada
anaknya. Wirapati dan Jaga Saradenta lalu datang. Tatkala mendengar berita tentang pertunangan
Sangaji dengan Sonny, mereka mengucapkan selamat dan nampaknya bergembira. Bukankah hal
itu berarti, muridnya mendapat penghargaan dari keluarga bangsa Belanda"
Rukmini tak dapat berkata banyak, la merenung-renung seolah-olah ada yang menyesakkan
dada. Beberapa waktu kemudian, barulah ia berkata, "Tuan Wirapati dan Tuan Jaga Saradenta.
Bolehkan aku berbicara barang sepatah dua patah kata?"
Wirapati dan Jaga Saradenta terkejut. Buru-buru mereka berseru berbareng, "Eh"mengapa
pakai peradatan segala" Apa yang akan kaukatakan?"
"Aku sangat berterima kasih dan berutang budi pada tuan sekalian. Karena jasa tuan berdua, anakku menjadi seorang anak yang ada gunanya. Sampai-sampai kini dia dihargai oleh keluarga bangsa Belanda. Budi itu tak dapat kubalas, meskipun aku bersedia menebus dengan seluruh jiwaku. Hanya sekarang ada masalah sulit yang tak dapat kupecahkan. Otakku begini sederhana dan begini tumpul. Tolong, tuan-tuan pecahkan masalah ini!"
Rukmini kemudian menuturkan kembali riwayat perjalanannya yang sengsara. Ditekankan
betapa hatinya merasa hancur, apa bila teringat akan sejarah keretakan kebahagiaan rumah tangganya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bapaknya mati terbunuh oleh si tangan kejam pemuda yang datang menyerbu. Apakah hal itu dibiarkan saja tanpa balas" Kini dia di-pertunangkan dengan anak gadis seorang bangsa Belanda, apakah tidak berarti hancurnya kewajiban menuntut dendam bapaknya?"
Wirapati kemudian menjawab,-"Mbakyu, perkara pembunuhan ayah Sangaji mana bisa
dibiarkan tanpa balas" Sekarang telah kami ketahui dengan terang, siapakah si pembunuh
ayahnya. Hanya tinggal menunggu waktu. Tentang pertunangan Sangaji dengan Sonny bukan
halangannya. Bahkan, jika kami sewaktu-waktu meninggalkan Jakarta, kehidupan Mbakyu akan terjamin."
"Dia sudah dipertunangkan. Apakah bisa pergi meninggalkan Jakarta?" potong Rukmini.
"Pertunangan bukanlah pernikahan atau gantung nikah," sahut Wirapati tersenyum. Rukmini
belum mengetahui tata-cara orang Barat perihal pertunangan. Maklumlah, pada masa itu masalah pertunangan tak dikenal bangsa Bumiputera.
Rukmini heran mendengar ujar Wirapati. Akhirnya setelah diberi penjelasan, legalah hatinya.
Baru dia bisa tertawa. "Tahun ini adalah tahun penghabisan. Masa pertandingan telah tiba seperti yang telah kita janjikan dua belas tahun yang lalu," kata Wirapati lagi. "Bulan ini kami berdua bermaksud membawa Sangaji ke Jawa Tengah."
Maksud kedua guru Sangaji itu, menggirangkan hati Rukmini. Sekaligus teringatlah dia kepada kampung halamannya, keadaan rumah-tangganya dahulu dan kebahagiaannya. Tak terasa air
matanya menetesi kedua belah pipinya. Melihat Rukmini meneteskan air mata, Wirapati dan Jaga Saradenta diam terharu. Sedang Sangaji terus saja memeluk ibunya.
Keesokan harinya, Rukmini"Wirapati dan Jaga Saradenta datang menemui Mayor Willem
Erbefeld. Mereka menyampaikan maksudnya. Diterangkan dan diyakinkan betapa penting dan
perlunya Sangaji pergi ke Jawa Tengah untuk membereskan persoalan keluarga. Sehabis
menyelesaikan soal itu, barulah dia menikah dengan Sonny.
Mayor Willem Erbefeld bersedia membicarakan soal itu. Keluarga Mayor De Hoop tidak
berkeberatan. Apabila lamanya kepergiannya Sangaji dari Jakarta ditaksir hanya satu tahun.
"Pergilah!" kata Mayor De Hoop kepada Sangaji. "Bawalah sekalian kepala pembunuh ayahmu!
Untuk melaksanakan pekerjaan itu, berapa orang kaubutuhkan sebagai pengiring dan pengawal?"
"Aku hanya pergi dengan kedua guruku. Tak usah membawa-bawa teman berjalan yang lain,"
jawab Sangaji. Mayor De Hoop menyetujui dan ia menyediakan perbekalan cukup. Sangaji diberi sekantung
uang berisi seribu ringgit, suatu jumlah yang jarang dimiliki seorang pedagang kaya.
Pada hari ketiga, Sangaji berpamit dari kakak-angkatnya Mayor Willem Erbefeld. Kakakangkatnya selain menyertakan kuda si Willem memberinya pula bekal sekantung uang dan
sepasang pakaian tebal dan mahal. Kemudian mengantarkan dia berpamitan ke ibunya yang
segera memeluk dengan tangis tersekat-sekat.
Kira-kira pukul sembilan pagi, Sangaji berangkat dengan kedua gurunya. Mereka menunggang kuda. Ternyata Mayor Willem Erbefeld membelikan dua ekor kuda bagi kedua guru Sangaji. Selain itu menyediakan pula bekal perjalanan.
Belum lagi mereka berada lima kilometer dari batas kota, tiba-tiba terlihatlah dua ekor lutung berkalung emas. Itulah kedua ekor lutung kepunyaan Sonny hadiah dari Ki Tunjungbiru. Dan tak lama kemudian muncullah si gadis, dengan menunggang kuda.
Sonny datang menghadang bakal suaminya, tetapi ia tiba-tiba tak pandai berbicara seperti biasanya. Wajahnya memerah dadu.
"Adik yang baik," kata Mayor Willem Erbefeld kepada Sangaji. "Berbicaralah dengan bakal
isterimu. Aku takkan mendengarkan barang sepatah katapun." Terang maksud Mayor Erbefeld
hendak bergurau. Tapi begitu Sangaji mendengar kata-kata bakal isterinya, darahnya tersirap dan hatinya
menjadi ciut. Sonny mendengar gurau Mayor Willem Erbefeld, tetapi masih saja dia belum dapat berbicara.
Seorang perempuan memang makhluk perasa. Dulu dia begitu bebas, karena belum ada suatu
ikatan rasa tertentu. Tetapi begitu sudah terjalin suatu rasa yang lain daripada yang dulu, lekas saja menjadi canggung dan merasa diri menjadi manusia lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mayor Willem Erbefeld benar-benar bersikap tak mau mendengarkan pembicaraan mereka, la
berjalan terus menjajari kedua guru Sangaji.
Karena sikapnya, Sonny agak bisa bernapas. Timbullah keberaniannya.
"Sangaji... kau harus cepat-cepat pulang ..."
Sangaji tertegun. Jantungnya berdegupan menyesakkan rongga dadanya. Karena itu ia hanya
mengangguk. "Kau tak mau berbicara?" tanya si gadis memaksa.
Terpaksa Sangaji membuka mulut. Ujarnya sesak, "Apakah kamu mempunyai kesan lagi?"
Sonny menggelengkan kepala. Melihat Sonny tiada hendak berkata lagi, Sangaji datang mendekat.
Ia menekam pergelangan tangan Sonny, kemudian mengeprak kudanya yang segera lari menyusul kedua gurunya. Sonny jadi terlongoh-longoh. Tadinya ia mengira akan mendapat ciuman hangat seperti adat Barat, tak tahunya Sangaji begitu dingin tidak memberi kesan apa-apa. Sikapnya biasa saja seperti teman. Sama sekali tidak ada perubahan. Ia mendongkol, kecewa dan bingung.
Saking tak tahunya apa yang harus dilakukan, ia mencari jalan pelepasan gejolak hatinya dengan menghajar kudanya kalang kabut. Keruan saja, kudanya yang kena hajar tanpa mengerti
perkaranya, kaget bercampur kesakitan sampai lari berjingkrakan.
Sangaji sendiri telah dapat menyusul gurunya. Mereka meneruskan perjalanan mengarah ke
Timur. Sampai di dekat Krawang, Mayor Willem Erbefeld mengucapkan selamat berpisah dan balik ke Jakarta.
Sebentar saja perjalanan mereka telah mencapai padang belantara yang penuh semak-belukar.
Wirapati dan Jaga Saradenta nampak bergembira. Maklumlah, setelah merantau se-lama dua belas tahun, mereka kini bakal kembali ke kampung halamannya. Masing-masing mempunyai kenang-kenangan dan kerinduannya, jabatan dan isterinya. Suaranya berkobar-kobar. Sedangkan Wirapati terkenang kepada guru dan saudara-seperguruannya. Setelah itu, mereka membicarakan riwayat perjalanan dan perasaannya masing-masing, tatkala harus berangkat mencari Rukmini dan
Sangaji. Alangkah pahit! Sangaji mempunyai perhatian lain. Sambil mendengarkan pembicaraan gurunya, dilepaskan
penglihatannya seluas-luas mungkin dan sekali-kali minta keterangan tentang semua yang
menarik perhatiannya. Kadang-kadang ia menjepit perut si Willem, sehingga kuda itu kabur mendahului kedua
gurunya. Kemudian berhenti di jauh sana sambil memperhatikan kesan alam yang telah dilalui.
Alangkah tegar hatinya. 11 Si Pemuda Kumal Tujuh hari lamanya mereka berjalan. Pada malam hari mereka menginap di losmen-los-men.
Sekiranya tidak ada, mereka bertiduran di alam terbuka. Inipun merupakan suatu pengalaman baru yang menyenangkan hati Sangaji. Rasa petualangannya lantas saja membersit dari hati. Pada hari kedelapan sampailah mereka di perbatasan kesultanan Cirebon. Waktu itu tengah hari telah terlampaui. Sangaji mengkaburkan kudanya terus-menerus. Kedua gurunya mengawaskan dari
belakang. "Di luar dugaanku, kuda itu benar-benar kuda jempolan," dengus Jaga Saradenta.
Wirapati tertawa senang mendengar Jaga Saradenta memuji kuda Sangaji.
"Aku lantas ingat kepada cerita-cerita kuno tentang primbon kuda," ujarnya lagi. "Bahwasanya kuda-kuda itu mempunyai ciri-ciri yang baik dan tidak. Diapun akan menyeret pula nasib
majikannya. Kautahu tentang itu?"
"Tak pernah aku mempunyai kuda," sahut Wirapati.
"Ah! Itulah kekuranganmu."
Jaga Saradenta merasa menang. "Kalau begitu kau tak pernah mendengar cerita tentang kuda.
Pada jaman dahulu raja akan memperebutkan kuda jempolan. Dia berani mengorbankan
semuanya, kalau perlu. Kadang kala pecahlah suatu perang besar hanya perkara kuda bagus."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Masa begitu goblok?" potong Wirapati. "Apakah harga nyawa seekor kuda lebih berharga
daripada nyawa manusia?"
"Hm, dengarkan. Aku pernah mendengar cerita perkara kuda dari seorang sahabatku bangsa
Tionghoa. Dia Lotya di Banyumas. Dia bisa mendongeng dan menunjukkan bukunya tentang
perang besar memperebutkan kuda-kuda jempolan di negeri Tiongkok. Buku itu, kalau tak salah namanya Hikayat Jaman Han. Diceritakan tentang seorang kaisar bernama Han Bu Tee yang pada suatu kali mengirimkan Jendral Besarnya bernama Lie Kong untuk memperebutkan kuda raja
negeri Ferghana. Jendral itu membawa pasukan puluhan ribu orang banyaknya. Mereka bisa
dihancurkan dan dibinasakan. Baru setelah mendapat bala-bantuan, maka tercapailah anganangan Kaisar Han Bu Tee untuk memiliki kuda Ferghana yang jem-polan."
"Itu gila! Kalau memang cerita itu benar-benar kejadian, maka Kaisar Han Bu Tee akan
bersedia tidur bersama kuda."
"Hooo...! Nanti dulu! Soalnya lantas saja berubah menjadi masalah kehormatan bangsa."
"Itulah yang benar. Jadi bukannya berperang perkara merebut kuda."
"Tapi mula-mula perkara kuda," Jaga Saradenta mengotot.
"Menurut buku itu, Kaisar Han Bu Tee mengirimkan utusan kepada raja Ferghana untuk minta seekor kuda. Permintaannya ditolak, lantas saja timbullah suatu peperangan besar yang
membinasakan puluhan ribu manusia."
"Apakah kira-kira masalah permintaan kuda itu, bukan suatu dalih belaka untuk suatu alasan berperang?"
Didebat begitu Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Kemudian mencoba mengatasi.
"Tapi memang sejarah dunia ini banyak mengisahkan hal-hal yang tak masuk akal. Kuda jempolan kurasa patut direbut dengan perang. Kalau dipikir, banyak cerita-cerita yang mengisahkan tentang hancurnya suatu kerajaan hanya karena gara-gara seorang perempuan. Haaa ... seseorang yang tahu apa arti kuda, kerapkali menilai seekor kuda jauh lebih berharga daripada seorang
perempuan. Kau percaya tidak?"
Selagi Wirapati hendak menyahut, tiba-tiba terlihatlah serombongan penunggang kuda yang
mengenakan pakaian serba putih. Rombongan itu terdiri dari enam orang pemuda tampan.
Pakaiannya bersih dan gerak-geriknya tangkas. Mereka datang dari arah Selatan, terus memotong jalan dan mengarah ke Timur.
Sangaji yang berada jauh di depan memberhentikan kudanya. Kelihatan ia sedang
mengawaskan mereka dengan penuh perhatian. Sampai mereka melewatinya, masih saja dia
berdiam diri. Ia menunggu kedatangan kedua gurunya. Lalu berteriak, "Guru! Mereka mengenakan pakaian putih. Kulit mereka kuning lembut. Mereka mengerling padaku dan memperhatikan
kudaku." "Buat apa mereka memperhatikan kudamu" Yang diawasi itu kantung uangmu!" sahut Wirapati
tajam. "Belum tentu!" Jaga Saradenta menungkas. "Kalau mereka ahli kuda, bukan mustahil mereka
ngiler melihat kuda Sangaji. Siapa tak kenal kehebatan kuda pahlawan Arabia Hamzah" Sekiranya kuda Amir Hamzah masih hidup sampai kini, kurasa dunia akan berperang terus-menerus untuk memiliki kuda itu."
Wirapati melengos. Ia menjepit perut kudanya dan mengkaburkan sekencang-ken-cangnya.
Sangaji heran melihat kelakuan gurunya. Segera ia mengejar dengan diikuti Jaga Saradenta.
Mereka bertiga jadinya seperti lagi beriomba dalam pacuan kuda. Debu berhamburan di udara menutupi alam sekitarnya. Meskipun demikian, mereka seakan-akan tak mempedulikan. Mereka terus melarikan kudanya hingga hampir matahari tenggelam.
Tatkala senja rembang tiba, mereka berhenti di dalam sebuah rumah makan yang lumayan
besarnya. Segera mereka memilih tempat dan memesan makanan. Mereka minta tolong pada
salah seorang pembantu rumah makan untuk mencarikan rumput dan serbuk kasar. Tak lama
kemudian, terdengarlah kuda berderapan. Enam orang pemuda berpakaian putih datang ke rumah makan itu. Mereka bukan rombongan yang pertama tadi, tapi merupakan rombongan kedua.
Sangaji heran melihat mereka begitu tampan dan bergerak sangat lincah. Mereka mengenakan ikat kepala berwarna ungu dan duduk bersama di pojok sebelah kanan. Pikir Sangaji, Mereka merupakan rombongan yang teratur. Apa ada pemimpinnya" Tatkala hendak minta keterangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentang siapa mereka, terdengar Wirapati berkata kepada Jaga Saradenta dengan suara lantang menyegarkan pendengaran, "Kau tadi bilang perkara kuda Amir Hamzah. Kenapa kauanggap kuda jempolan?"
"Ah! Kamu mau berdebat lagi perkara kuda?" Jaga Saradenta tertawa berkakakkan. Sambil


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunjuk kuda Sangaji ia berkata meyakinkan. "Lihat Willem! Apakah kuda itu bukan kuda bagus"
Delapan hari dia dilarikan si bocah edan-edanan, tapi masih nampak segar-bugar seolah-olah tidak mengenal lelah. Coba, kalau aku bukan orang tua si bocah, pasti akan kurampas. Begitu pula, kuda Amir Hamzah terkenal sebagai kuda jempolan. Kuda itu bernama Kalisahak. Menurut cerita, dia dahulu milik Nabi Iskak. Dengan cara gaib, Amir Hamzah dan Gmar bisa mendapatkan selagi mereka berdua bermain-main memanjat pohon di tengah hutan. Kuda Kalisahak bisa berlari
secepat kilat. Dia tak takut hujan, guntur, sungai, rawa-rawa, hujan panah dan api. Selain itu, dia bisa melindungi majikannya. Di kala Amir Hamzah menderita luka parah sewaktu perang dengan Raja Kaos, Kalisahak membawa dia lari ke luar gelanggang. Dia terus lari dan lari, siang dan malam tiada hentinya sampai mencapai sebuah dusun yang aman tenteram. Di dusun itulah
Kalisahak menyerahkan majikannya kepada seorang penduduk agar mendapat rawatan. Dia
sendiri tetap berdiri di samping majikannya sampai majikannya sembuh. Apakah itu bukan kuda jempolan?"
Sangaji tertarik pada cerita gurunya. Sewaktu mengerlingkan mata kepada enam pemuda
berpakaian putih, dilihatnya mereka menaruh perhatian pula.
"Kalisahak mati karena usia tua," Jaga Saradenta meneruskan. "Bukan mati karena senjata
lawan seperti dikabarkan."
"Bagaimana cerita itu?" Wirapati minta penjelasan.
"Itu terjadi dalam suatu peperangan yang dahsyat. Kalisahak kena bidikan panah lawan dan kena sabetan pedang. Dia jatuh terjengkang. Amir Hamzah melindungi mayatnya sambil menangis meraung-raung. Kemudian Kalisahak dikubur dengan upacara kerajaan."
"Eh, kedengarannya cerita ini yang lebih mengasyikkan daripada mati tua. Matinya lebih
terhormat dan patut menjadi kenangan orang."
Jaga Saradenta diam seperti lagi mempertimbangkan. Ia menyenak napas seraya menjawab,
"Sesukalah." "Sesukalah bagaimana?"
"Kalau kau suka mendengar cerita itu, ada baiknya. Tak ada orang yang bakal membantah.
Akupun tidak. Tapi aku lebih suka, dia mati karena usia tua. Artinya, dia mati dengan tentram.
Bukan mati karena penasaran."
"Mati tua artinya mati pensiun," Wirapati menggoda.
"Baik, baik. Mati pensiun artinya dia pensiun jadi kuda. Kemudian naik ke langit menjadi dewa.
Mungkin menjadi dewa. Mungkin jadi malaikat, karena sudah pensiun jadi kuda," Jaga Saradenta jadi uring-uringan.
Wirapati tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan rekannya yang cepat mendongkol. Sangaji
sendiri sekalipun tak berani terang-terangan, ia tertawa peringisan.
"Lantas" Apa Amir Hamzah tak punya kuda lagi?" Wirapati mengalihkan kesan.
"Mana bisa seorang pahlawan tanpa kuda," Jaga Saradenta menyahut cepat. "Setelah Kalisahak mati, mula-mula memang dia tidak mau naik kuda lagi. Karena di dunia ini mana ada kuda seperti Kalisahak. Tapi akhirnya Tuhan kasihan padanya. Pada suatu hari, isteri tukang perawat Kalisahak melahirkan seekor kuda setengah raksasa setengah binatang."
"Eh, mana bisa manusia mampunyai anak seekor kuda" Manusia kan bukan kuda?" Wirapati
membantah. "Ini kan cerita," Jaga Saradenta mendongkol. "Mungkin maksudnya untuk mengesankan mutu
kuda Amir Hamzah yang kedua itu."
Mendengar jawaban Jaga Saradenta yang masuk akal, Wirapati mau mengalah.
"Kuda itu diberi nama Sekardiyu," Jaga Saradenta meneruskan. "Sekar artinya kembang atau anak. Diyu artinya raksasa. Jadi maksudnya, anak raksasa. Dan kuda itu sendiri, memang kuda yang perkasa dan kuat seperti raksasa. Dia seekor kuda jempolan yang pantas dibeli dengan darah. Mengapa" Dalam tiap-tiap pertempuran, Sekardiyu ikut berjuang. Ia menerjang lawan, mendepak dan menggigit. Setiap barisan lawan pasti bubar-berderai apabila kena diterjang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekardiyu. Teringat akan kuda seperti Sekardiyu, tertariklah perhatianku kepada si Willem kuda Sangaji. Menyaksikan gerak-gerik dan tenaganya, diapun bagaikan anak raksasa ..."
Sangaji mendengar kudanya dipuji gurunya yang sok uring-uringan itu. Diam-diam ia melirik kepada enam tetamu yang duduk bersama di sudut kanan. Mereka mengarahkan pandangnya
kepada si Willem pula. Jaga Saradenta sendiri lantas berhenti bercerita, karena waktu itu masakan yang telah dipesan tiba. Mereka kemudian menikmati masakan sambil membicarakan mutunya.
Wirapati nampaknya mengamini, tapi sebenarnya ia memasang kuping. Dia adalah murid Kyai
Hasan Kesambi yang keempat. Pendengarannya tajam luar biasa dan bertabiat usilan. Melihat rombongan mengenakan pakaian serba putih dan mempunyai gerak-gerik yang serba aneh, lekas saja hatinya tertarik. Diam-diam ia menyelidiki. Dia seorang pendekar kelana yang sudah
berpengalaman, karena itu sikapnya tak kentara dan berlaku cermat.
Enam orang pemuda itu nampak duduk dengan merapat dan berbicara kasak-kusuk, tapi
pendengaran Wirapati dapat menangkap tiap patah kata mereka. Lalu ia menggeser tempat
duduknya mengungkurkan mereka agar tak menerbitkan kecurigaan. Sambil menggerumuti
makanan, ia mendengar mereka berbicara.
"Rombongan Kartawirya tadi melepaskan tanda udara. Apakah mereka ini yang dimaksudkan"
Melihat kudanya dan orangnya, memang pantas untuk diawasi," berkata yang duduk di sudut kiri.
"Buat apa kuda" Pasti kakak telah melihat sesuatu yang lebih berharga dari pada kuda itu."
"Belum tentu. Apa kau tak mendengar tutur-kata orang tua bongkotan itu" Dia memuji kuda itu setinggi langit."
"Ha, aku tahu maksudmu. Kalau kau dapat menghadiahkan kuda itu kepada Kartawirya,
Setidak-tidaknya kau dapat keleluasaan menaksir adiknya."
Lalu mereka tertawa berkikikan. Pemuda yang kena sindiran, tak senang hati. Tapi ia tak
berdaya. Terpaksa ia menerima sindiran itu dengan hati mendongkol.
Wirapati mulai berpikir. Ia mencoba mengingat-ingat nama Kartawirya. Mendengar bunyi
namanya, segera ia mengetahui kalau Kartawirya orang Jawa Barat. Paling tidak wilayah Cirebon bagian barat daya.
Tapi siapa orang itu" Karena belum mendapat kepastian, dia mempertajam pendengar-annya.
Pemuda yang menyindir berkata lagi, "Memang Kartawirya tahun ini sedang terang bintangnya.
Bisa kejadian sang Dewaresi mengambilnya ipar. Dasar ia perkasa, pribadi agung dan otaknya cerdas. Cuma saja doyan perempuan."
Kembali lagi mereka tertawa berkikikan. Pemuda yang kena sindiran mencoba membela diri
sebisa-bisanya. Katanya, "Biar dia doyan perempuan, apa sih hubungannya dengan diriku.
Beberapa hari ini, sang Dewaresi lagi sibuk mengatur persiapan untuk suatu persekutuan besar.
Pangeran Bumi Gede, sedang mengundang beberapa orang gagah di seluruh pelosok Pulau Jawa.
Sang Dewaresi sadar, kalau yang diundang pasti bukan orang-orang sembarangan. Masing-masing tentu akan memperlihatkan perbawa dan kewibawaannya. Sekiranya, sang Dewaresi memiliki kuda itu, dia bisa memiliki muka. Dengan sendirinya akan menaikkan derajat kita sekalian. Apa masalah kuda itu, bukan pula kepentingan kita bersama?"
Wirapati terkejut. Dia pernah mendengar nama sang Dewaresi yang disebut-sebut mereka.
Hanya saja, dia belum ingat di mana dan kapan nama sang Dewaresi itu pernah didengarnya.
"Aku tetap kurang yakin, kalau tanda udara Kartawirya cuma perkara kuda. Kuda Banyumas
pun tak kalah jempolan. Coba, pikir lagi yang lebih teliti. Mungkin, Kartawirya melihat
penunggangnya mempunyai sesuatu yang jauh lebih berharga daripada kuda," ujar pemuda yang menyindir.
Selama mereka berbicara, suaranya ditekan benar-benar sehingga hanya setengah berbisik.
Jika seseorang tak mempunyai pendengaran tajam, tidak bakal dapat menangkap kata-kata
mereka sejauh lima langkah saja. Tapi Wirapati dapat mendengar percakapan mereka dengan
jelas dalam jarak kurang lebih sepuluh-lima belas langkah. Hal itu membuktikan betapa tajam pendengarannya. Begitu ia mendengar kata-kata Banyumas, lantas saja terbuka ingatannya.
Katanya dalam hati, Ah! Apa sejarah akan berulang kembali" Bukankah sang Dewaresi pemimpin rombongan penari aneh, dua belas tahun yang lalu" Celaka! Dulu aku kenal nama sang Dewaresi lewat mulut si bangsat Kodrat. Kini lewat mulut pemuda itu. Siapa dia"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mengingat pengalamannya yang mengerikan, sehingga terpaksa dia hidup berlarut-larut sampai dua belas tahun di rantau orang, bulu kuduknya lantas saja menggeridik. Kalau ia berusil lagi, siapa tahu bakal mengalami peristiwa serupa. Tapi dasar dia usilan dan berjiwa kesatria luhur, sebentar saja ia melupakan kepentingan diri. Dia sudah mendapat kesan buruk terhadap
rombongan penari aneh begundal-begundal sang Dewaresi. Karena itu, terhadap mereka pun ia menduga tidak ada bedanya. Orang itu pasti mempunyai tujuan setali tiga uang seperti dulu.
Mendadak saja ia merasa wajib untuk mengikuti persoalannya.
"Baiklah," sahut pemuda yang kena sindir tadi. "Mari kita berlaku hati-hati dan menyelidiki maksud tanda-udara secermat-cermatnya. Tapi ingat, kita harus menjaga nama kita baik-baik. Kali ini kita bekerja demi keharuman nama. Kita akan bertanding melawan orang-orang bukan
sembarangan yang bakal datang dari seluruh penjuru Pulau Jawa. Sekiranya melaksanakan tanda-udara saja tak becus, mana bisa kita punya muka."
Sehabis itu, mereka tidak berkata-kata lagi. Masakan dan minuman yang mereka pesan, mulai datang. Lalu mereka sibuk menikmati makanan dan menghirup minuman.
Wirapati mulai berpikir keras. Jelas sekali, mereka hendak datang memenuhi undangan
Pangeran Bumi Gede. Kalau dihubungkan dengan kedatangan Pangeran Bumi Gede empat tahun
lalu di Jakarta, bukanlah mustahil kalau undangan kepada orang-orang gagah di seluruh Pulau Jawa, merupakan langkah kelanjutan dari suatu rencana tertentu. Tapi rencana apa itu, Wirapati tak dapat menebak, meskipun memeras otak. Maklumlah, dua belas tahun lamanya dia
meninggalkan daerah Jawa Tengah. Dengan sendirinya tak mengetahui sama sekali tentang
perkembangan sejarah. Ia bagaikan orang buta yang ingin mengetahui segalanya dengan meraba-raba belaka.
"O ya, apa kalian sudah mendengar kabar?" mendadak salah seorang dari mereka berbicara.
Orang itu duduk tepat di bawah jendela. Orangnya nampak pendiam. Raut mukanya bersungguhsungguh. Mendengar dia membuka mulut, yang lain segera menaruh perhatian. Terang, ia
dihormati dan disegani oleh kawan-kawannya. Kata orang itu, "Ada kabar tentang seorang
pemuda gagah. Pemuda itu mengenakan pakaian mentereng. Lagak dan sikapnya keningratningratan. Tapi dia memiliki bermacam-macam ilmu yang sukar diduga orang. Beberapa kali ia menjatuhkan orang-orang gagah."
"Siapa dia?" mereka bertanya hampir berbareng.
"Namanya kurang terang. Tapi dia sering muncul di sekitar Cirebon atau perbatasan Tegal.
Rupanya dia seperti diwajibkan untuk menghadang orang-orang gagah yang diundang Pangeran Bumi Gede sebelum memasuki Pekalongan. Dengan begitu Pangeran Bumi Gede dapat
memperoleh kepastian, kalau mereka yang bisa datang ke Pekalongan adalah orang-orang pilihan!
Menurut kabar hanya satu di antara sepuluh orang yang dapat masuk Pekalongan. Karena itu, hendaklah kalian cukup berwaspada dan hati-hati."
Sekali lagi, Wirapati mencoba menebak tentang keperwiraan pemuda keningrat-ningratan yang dibicarakan. Juga kali ini, dia tak berhasil. Sebab kecuali nama pemuda itu belum dikenal mereka, mestinya umurnya jauh lebih muda dari umurnya sendiri. Tentang perkembangan anak-anak muda angkatan mendatang tak dapat dikenalnya. Dan cacat itu semata-mata disebabkan
keberangkatannya ke Jakarta dengan tak sekehendaknya sendiri. Walaupun begitu, tidak ada tanda-tanda ia menyesali nasibnya yang buruk.
Sehabis makan dan minum, enam orang pemuda berpakaian putih itu segera berangkat.
Wirapati menunggu sampai mereka meninggalkan rumah makan jauh-jauh, lalu ia minta
pertimbangan kepada Jaga Saradenta, "Bagaimana pendapatmu, apa meraka lebih bahaya
daripada rombongan penari yang aneh dahulu?"
"Rombongan penari yang mana?" Jaga Saradenta minta penjelasan.
"Rombongan penari yang dibinasakan Hajar Karangpandan."
"Apa hubungannya dengan mereka?" Jaga Saradenta heran.
"Mereka termasuk bawahan sang Dewaresi," sahut Wirapati. Kemudian ia mulai mene-rangkan
keadaan mereka dan bagaimana dia dapat mendengarkan percakapan mereka. "Yang penting
bukan perkara kuda atau kantong uang Sangaji. Tapi maksud mereka hendak menghadiri
undangan Pangeran Bumi Gede di Pekalongan. Mereka bersikap rahasia dan berhati-hati. Agaknya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keadaan negara ada suatu perkembangan yang kurang menyenangkan. Kupikir, kita harus
berangkat ke sana. Hal itu tidak boleh dibiarkan saja tanpa sepengetahuan kita."
"Tetapi masa pertandingan sudah hampir tiba." Kata Jaga Saradenta memperingatkan,
Pendekar Guntur 11 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pedang Tanpa Perasaan 11

Cari Blog Ini