Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 18
katanya pula, "Inilah surat rahasia Tong-cin-cu kepadaku, kau juga
boleh membacanya." Karena surat pribadi maka Beng Hoa berkata, "Mohon ciangbun
menjelaskan isinya saja kepadaku."
"Apa yang tertulis di sini kau boleh tahu seluruhnya. Tapi surat ini
memang panjang lebar, biarlah kujelaskan saja lebih singkat untuk
menyingkat waktu." "Tong-cin-cu menetapkan pada permulaan bulan tiga nanti akan
mengadakan pertemuan besar anggota Kong-tong-pay, usianya
sudah tujuhpuluh tahun, dalam pertemuan besar itu dia akan
memilih ahli warisnya. Maka dia mengundangku untuk menjadi
saksi." Pemilihan ciangbunjin dari suatu aliran di Bulim menurut aturan
memang harus mengundang para sesepuh atau pimpinan aliran lain
untuk menyaksikan jalannya upacara. Tapi bagi aliran yang
bersangkutan kejadian merupakan peristiwa penting, namun bagi
orang luar tiada sangkut paumya, undangan itu pun tak perlu dibuat
heran. Beng Hoa melengak, tanyanya, "Apakah hanya soal itu saja?"
"Jangan gelisah, hal itu hanya sebagai alasan belaka," ujar Teng
King-thian. "Pertemuan besar itu bukan saja akan memilih ahli waris
ciangbun-jin, sekaligus akan digunakan untuk mencuci bersih nama
besar perguruan. Dalam suratnya Tong-cin-cu menjelaskan, kedua
hal ini akan sekaligus dia bereskan, namun kedua hal ini mungkin
akan menimbulkan pcrgolakan, maka di samping mengundangku
sebagai saksi dia pun mohon aku membantu dia menegakkan
keadilan." "Mencuci bersih nama perguruan," Beng Hoa terkejut,
"maksudnya hendak menghadapi sam-suhu-ku?"
"Betul. Justru hal inilah yang membuatku serba susah, maka
setelah kupikir-pikir, kurasa lebih baik kau saja yang mewakili aku."
"Sam-suhu-ku sejak lama sudah dipecat dan diusir dari
perguruan, kenapa masih harus mencuci bersih nama baik
perguruan segala?" "Kenapa bakal timbul pcrgolakan di saat memilih ahli waris
ciang-bunjin, Tong-cin-cu tidak memberi penjelasan, tapi tentang
soal kedua dia ada memberi keterangan. Memang sejak tigapuluh
tahun yang lalu gurumu sudah diusir dari perguruan. Tapi peristiwa
itu sendiri sejauh ini belum pemah beres."
"Suhu sudah terima dihina dan dinista, mengasingkan diri dalam
Ciok-lin, sengaja menghindari bentrokan dengan mereka. Sungguh
aku tidak mengerti, kenapa bilang belum beres" Kenapa mereka
masih tega menghina guruku, memaksanya hingga tiada tempat
berpijak?" "Menurut keterangan Tong-cin-cu, keburukan keluarga pantang
tersiar di luar, maka di waktu mengadili perkara gurumu dulu dia
hanya menjatuhkan hukuman diusir dari perguruan, apa alasannya
sejauh ini tak pemah diumumkan. Tapi konon setelah sam-suhu-mu
keluar dari Kong-tong-pay dia masih tetap berbuat tak senonoh.
Maaf aku hanya meneruskan apa yang tertulis dalam surat itu,
jangan kau kecil hati. Di samping itu para tianglo Kong-tong-pay
menuntut secara bulat, di saat memiiih ahli waris ciangbunjin,
persoalan lama ini diungkit kembali dan dibereskan secara tuntas.
Maka formalitasnya menggunakan istilah mencuci bersih nama baik
perguruan untuk menjatuhkan hukuman setimpal kepada gurumu."
Gusar Beng Hoa dibuatnya, katanya, "Itu berarti mereka hendak
merenggut jiwa guruku."
"Ya, kukira demikian."
"Sebetulnya dosa apakah yang pernah dilakukan oleh suhu?"
"Peristiwa itu sendiri sampai sekarang masih terselubung, belum
jelas, terus terang saat ini aku belum berani memberikan
pandanganku." Sikapnya seperti berat untuk memberikan
penjelasan. Beng Hoa teringat apa yang dilontarkan Tong-cin-cu
dalam suratnya, keburukan keluarga pantang tersiar di luar, maka
dia berbatin, "Apakah suhu pernah melakukan perbuatan yang
memalukan. Tidak, tidak mungkin, sam-suhu pasti bukan manusia
seperti yang mereka tuturkan. Walau aku tidak tahu liku-liku
persoalan-nya tapi aku percaya suhu pasti difitnah."
Tapi karena terbayang oleh istilah keburukan keluarga, sebagai
seorang murid tak berani Beng Hoa mencari tahu keburukan apa
yang pemah dilakukan gurunya.
Agaknya Teng King-thian juga serba susah, susah memutuskan,
apakah peristiwa itu harus dia jelaskan kepada Beng Hoa, tapi
akhirnya dia berkata, "Kalau kau ingin tahu biar nanti kujelaskan.
Sekarang kubicarakan dulu persoalan lain."
"Persoalan apa?"
"Menurut Tong-cin-cu, dia sudah mendapat kabar bahwa Kim
tayhiap sudah siap menjadi penengah untuk membela gurumu."
Beng Hoa terbeliak girang, seru-nya, "Kalau Kim tayhiap mau
turun tangan, urusan pasti dapat diselesaikan secara adil."
Tiba-tiba Teng King-thian menghela napas, katanya, "Jangan
keburu senang, kukira urusan bakal berke-panjangan."
"Kenapa?" "Setelah tahu akan berita ini, pihak Kong-tong-pay amat marah,
mereka tidak senang karena Kim tayhiap melindungi murid murtad
mereka. Maka Tong-cin-cu menarikku untuk ikut campur dalam
per-soalan ini." Beng Hoa menyeringai dingin, katanya, "Apa tidak terlalu muluk
pikiran mereka, bukankah maksudnya supaya kau berhadapan
dengan Kim tayhiap" Maaf, usiaku masih muda pengalaman cetek,
entah guruku melanggar aturan apa" Tapi menurut pendapatku,
kalau Kim tayhiap mau menampilkan diri membela guruku, pasti
beliau sudah tahu bahwa dalam peristiwa ini guruku di pihak yang
dirugikan." "Ya, dengan gurumu aku memang tidak kenal, namun aku tahu
jelas watak dan sepak terjang Kim tayhiap. Kalau Kim tayhiap
percaya kepada gurumu, kenapa aku harus mencurigainya, tapi"
tapi?"" "Tapi apa?" "Aku tak boleh percaya tuduhan Kong-tong saja, dan membantu
mereka menghadapi Kim tayhiap. Sebelum duduk persoalannya
terbongkar, aku tak boleh berat sebelah, membantu Kim tayhiap
dan gurumu menggempur mereka. Sebetulnya aku tidak ingin ikut
campur, tapi perkembangan situasi menyudutkan aku sehingga
terpaksa turun tangan. Pertama, karena aku tidak suka melihat
timbulnya pergolakan di Bu-lim, bila pihak Kong-tong-pay tidak mau
mengalah situasi pasti akan tegang dan sukar dilerai. Kedua, Tongcincu sudi membeber keburukan keluarganya kepadaku, percaya
bahwa aku akan menegakkan keadilan untuk mereka, bisakah aku
berpeluk tangan" Tapi sebagai ciangbunjin Thian-san-pay, aku jadi
serba salah, maka setelah kupikir-pikir, terpaksa mohon bantuanmu
untuk mewakili aku."
"Bagi wanpwe tugas ini ada dua tujuan, urusan dinas juga urusan
pribadi. Tapi sebagai murid sam-suhu kalau aku menjadi penengah
kukira tidak leluasa. Walau aku tampil sebagai murid angkat Thiansanpay mewakili dirimu, tapi siapa pun sudah tahu pihak lawan
mereka adalah guruku. Dalam Bulim mungkin belum pemah ada
seorang murid menjadi penengah dari perkara gurunya."
"Apa yang kau khawatirkan ini juga sudah kupikirkan, akan
kuajarkan kepadamu bagaimana kau harus bertindak. Tapi sekarang
belum kupikirkan langkah bagaimana yang harus kau lakukan.
Untung masih ada waktu sebulan, biar kujelaskan menjelang kau
berangkat saja." Dalam sebulan itu Beng Hoa membuat catatan pelajaran Bubengkiam-hoat dan diserahkan kepada Teng King-thian. Teng Kingthian
juga menyerahkan terjemahan ajaran silat Persia itu kepada
Beng Hoa serta mendiskusikan bersama. Karena seluruh perhatian
ditujukan mendalami pelajaran silat tinggi, maka banyak persoalan
yang merisaukan dilupakan olehnya.
Selama sebulan ini Teng King-thian tidak pernah menyinggung
persoalan sam-suhu-nya, tapi persoalan ini masih menjadi bayangan
gelap dalam sanubarinya. Waktu berlatih memang bisa dia
melupakan hal-hal lain yang merisaukan, namun di luar itu, tak bisa
tidak dia tidak mencari jalan pemecahannya.
Sang waktu berjalan amat cepat, tahu-tahu sebulan sudah lewat,
luka-luka Leng Ping-ji dan Santala sudah sembuh. Selama sebulan
ini, Santala malah belajar silat dengan rajin.
Mereka sudah siap pulang bersama Beng Hoa, tujuan Beng Hoa
ke Kong-tong-san, harus melewati dari arah sewaktu datang,
sekalian dia bisa mengantar mereka sampai di rumah. Walau bukan
perjalanan dekat, namun waktu masih tiga bulan, Beng Hoa masih
sempat hadir dalam pertemuan besar Kong-tong-pay.
Sebelum berangkat Teng King-thian menyerahkan kotak sutera
itu kepada Beng Hoa, katanya, "Aku tahu kau tidak suka mendengar
caci maki kotor orang lain terhadap guru-mu. Tapi kali ini kau harus
mewakili aku menjadi tamu pihak Kong-tong-pay, hadir dalam
pertemuan untuk mencuci bersih perguruan mereka, jikalau kau
sendiri tidak tahu seluk. beluk persoalannya, pasti sukar kau
menghadapi mereka, hati dan perasaanmu juga takkan tenteram.
Maka setelah kupertimbangkan, kuputuskan biarlah kau tahu
bagaimana komentar orang lain tentang gurumu."
"Dalam kotak ini ada sural Tong-cin-cu untukku, dia amat jelas
menceritakan persoalan yang menyangkut gurumu, kecuali itu
kucantumkan pula pemyataanku sebagai bahan tambahan. Boleh
kau melihatnya, setelah itu baru akan kurundingkan langkah
selanjutnya dengan kau."
Lipatan kertas surat itu cukup tebal, ada puluhan lembar.
Sepenuh perhatian Beng Hoa membaca dan membacanya hingga
fajar menyingsing baru dia selesai membaca, makin dibaca makin
mengejutkan. Kejadian sudah 18 tahun yang lalu.
Ciangbunjin Kong-tong-pay waktu itu bukan Tong-cin-cu tapi
suheng Tong-cin-cu yaitu guru Tan Khu-seng yang bergelar Tongbiau
Cinjin. Kong-tong-pay memeluk aliran Taoisme, tapi tidak sedikit murid
preman dalam perguruan besar ini. Tong-biau Cinjin masih punya
tiga sute, urutannya yaitu Tong-cin-cu, Tong-hian-cu dan Tongbingcu. Kecuali Tong-bing-cu yang sejak kecil memang sudah
menjadi tosu, Tong-hian-cu dan Tong-cin-cu pernah kawin dan
punya keluarga, setelah setengah baya baru mereka menjadi tosu.
Sam-suhu Beng Hoa yaitu Tan Khu-seng adalah bayi buangan
yang tidak diketahui ayah bundanya, sejak kecil dia diasuh dan
dibesarkan oleh gurunya, Tong-biau Cinjin.
Tan Khu-seng memang punya bakat belajar silat, di bawah
petunjuk cermat Tong-biau Cinjin, meski usianya masih muda,
namun kungfu perguruannya sudah berhasil dikuasai dengan baik,
malah patah tumbuh hilang bergantt, di samping ilmu silat dia
kembangkan dengan baik, tidak sedikit pula hasil ciptaannya sendiri.
Sesama saudara perguruan jelas tidak sedikit yang mengaku kalah
kepadanya, malah para susiok yang lebih unggul setingkat secara
diam-diam juga mengakui keunggulan anak muda ini. Bukan saja
kalangan perguruan sendiri mengakuinya secara mutlak sebagai
tunas harapan Kong-tong-pay, sesepuh aliran lain pun memujinya
sebagai tunas muda yang jarang ditemukan selama ratusan tahun
belakangan ini. Punya murid sepandai sebaik ini, tentu saja Tongbiau
Cinjin amat sayang kepadanya, sayangnya melebihi anak
kandung sendiri. Dalam Kong-tong-pay ada pula seorang tunas harapan, yaitu
putera Tong-hian-cu. Waktu preman dulu Tong-hian-cu she Ho
bemama tunggal Goan, puteranya bemama Ho Lok.
Usia Ho Lok lebih tua dari Tan Khu-seng, walau kungfunya bukan
tandingan Tan Khu-seng tapi dia pun pemuda terampil yang pandai
bekerja, seorang pembantu ciang-bunjin yang diandalkan. Sering
para saudara seperguan mereka kasak-kusuk, ahli waris ciangbunjin
kelak, kalau bukan Tan Khu-seng pasti Ho Lok. Atau paling tidak
mereka sebagai salah seorang calon ciang-bunjin karena sute Tongbiau
Cinjin masih boleh juga mencalonkan diri mengingat usia
mereka belum tua. Tapi siapa pun tak pemah menduga, temyata terjadi suatu
peristiwa yang amat mengejutkan, peristiwa yang sampai sekarang
belum tersingkap rahasianya.
Usia Tan Khu-seng sudah dua-puluh, tapi belum menikah, usia
Ho Lok lebih tua, namun dia sudah punya calon istri. Calon istrinya
adalah pateri tunggal Boh It-hang yang bergelar Tiong-ciu Tayhiap
yang menetap di Bi-ci daerah Siamsay Utara.
Nama besar Boh It-hang amat disegani di lima propinsi utara,
dermawan dan suka menolong pihak lemah. Puterinya yang tunggal
berparas cantik jelita, kungfunya tinggi, entah berapa banyak jagojago
muda dalam Bulim yang pernah meminangnya, namun pilihan
Boh It-hang jatuh kepada Ho Lok. Soalnya dia harus memberi muka
kepada Tong-biau Cinjin. Pada waktu Boh It-hang merayakan ulang tahunnya yang kelimapuluh
tahun, sengaja Tong-biau Cinjin datang ke Bi-ci dan langsung
bicara soal jodoh murid keponakannya. Belakangan ada orang
membocorkan rahasia, katanya maksud Tong-biau Cinjin semula
hendak menjadi wali untuk meminang puteri Boh It-hang untuk
murid kesayangannya, tapi sutenya Tong-hian cu justru minta
bantuan sang suheng untuk meminang puteri orang untuk putera
tunggalnya. Karena mengingat hubungan sesama saudara
seperguruan, juga supaya hubungan Ho Lok dengan Tan Khu-seng
tidak renggang, terpaksa dia menerima permintaan sang sute.
Apakah Tong-biau Cinjin pemah menyatakan maksud hatinya
semula kepada orang lain, siapa pun tidak tahu.
Sayang dalam usia limapuluh tiga Boh It-hang jatuh sakit lantas
meninggal dunia, padahal kungfu-nya tinggi sepantasnya tak
mungkin dia mati dalam usia semuda itu. Maka timbul banyak
dugaan setelah kematiannya, ada yang bilang dia terserang
penyakit jantung, ada pula yang bilang dia Cau-hwe-jip-mo waktu
latihan, tapi ada juga yang bilang dia terbunuh oleh racun jahat
musuhnya. Tapi tiada bukti, maka sanak familinya menganggap
memang sudah takdir dia meninggal.
Setelah Boh It-hang meninggal, Boh-hujin menjual seluruh harta
benda peninggalan suaminya, siap pulang ke kampung halaman
bersama puterinya. Nasib manusia memang di tangan Tuhan, entah
karena terlampau sedih ditinggalkan suami atau sebelumnya
memang dia sudah punya penyakit, setelah menjual habis harta
benda suaminya, sebelum menempuh perjalanan, dia pun mengikuti
jejak suaminya berangkat ke alam baka. Suami istri mati susul
menyusul, maka keluarga Boh ting-gal puteri tunggalnya saja yang
masih hidup. Mendapat kabar besannya meninggal maka Tong-hian-cu
menyu-ruh puteranya Ho Lok pergi ke Bi-ci menjemput calon
istrinya pulang, setelah masa duka citanya berakhir, baru akan
menikahkan mereka. Di antara sesama perguruan, hubungan Ho Lok paling intim
dengan Tan Khu-seng, walau dalam pandangan orang banyak
mereka dianggap calon saingan sebagai pewaris ciangbunjin, namun
kedua pemuda ini tetap rukun tak pemah bersengketa dan tiada
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rasa sirik satu dengan yang lain, mereka bergaul seperti saudara
kandung layaknya. Karena perjalanan jauh jaman itu tidak aman lagi
untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan, apalagi
nona Boh baru calon istrinya dan belum resmi menjadi istrinya,
untuk menghindari omongan iseng maka Ho Lok mengajak Tan
Khu-seng. Sudah dua bulan mereka berangkat, dihitung jarak dan
perjalanan, pantasnya mereka sudah pulang, tapi bukan saja tidak
kelihatan bayangan mereka, juga tidak ada kabar berita. Karena
nicnguat irkan keselamatan puteranya, Tong-hian-cu su-dah siap
turun gunung menyusul ke Bi-ci, tapi berita buruk telah sampai. Di
sebuah biara bobrok di pegunungan ditemukan mayat puteranya
bersama tiga orang kacung keluarga Boh. Tan Khu-seng dan nona
Boh menghilang tak karuan jejaknya.
Tempat kejadian musibah terletak tiga hari perjalanan dari Bi-ci,
kebetulan opas setempat kenal ketiga kacung keluarga Boh, maka
keempat mayat itu dibawa pulang ke kota Bi-ci. Keluarga Boh tiada
sanak famili lagi di kota Bi-ci, tapi banyak teman Boh It-hang
semasa hidup-nya, merekalah yang bergotong royong
mengebumikan para korban dan mengirim berita kilat ke Kong-tongsan.
Setiba Tong-hian-cu di kota Bi-ci, di bawah pengawasan
penguasa setempat dan beberapa tokoh silat di kota itu, dia
membongkar kuburan merheriksa tulang para korban. Ketiga
kacung itu sama mati tertusuk lehernya oleh pedang runcing.Tapi
tubuh puteranya terdapat banyak luka-luka, jelas sebelum ajal dia
mati-matian bertarung dengan pembunuhnya.
Setelah selesai memeriksa luka-luka yang menyebabkan
kematian puteranya, berubah buruk muka Tong-hian-cu. Di Bi-ci dia
tidak banyak bicara, hari itu juga jenazah puteranya dibawa pulang,
sebelum berangkat para penguasa yang berwenang mengurus
pembunuhan ini disogok setumpuk uang, mohon supaya peristiwa
ini tidak diperpanjang. Tentang pembalasan kematian putera dan
menyelidiki siapa pembunuhnya, pihak Kong-tong-san akan
berusaha sendiri, penegak hukum kota itu dapat terhindar dari
segala kesulitan, sudah tentu merasa mujur malah apalagi mereka
sudah mendapat uang sogokan.
Dari hasil pemeriksaan luka-luka di jenazah puteranya, Tonghiancu mendapatkan puteranya tewas oleh jurus Jit-sing-poangwat,
ilmu pedang yang sekaligus meninggalkan tujuh jalur luka di
tubuh korbannya. Padahal Jit-sing-poan-gwat paling sukar
diyakinkan. Di antara tiga generasi murid-murid Kong-tong, dari yang paling
tua sampai yang termuda hanya dua orang yang berhasil
meyakinkan jurus Jit-sing-poan-gwat Orang pertama adalah Tongbingcu yang diakui sebagai jago kosen nomor satu dalam
permainan ilmu pedang, seorang lain adalah murid keponakannya,
yaitu Tan Khu-seng Tong-hian-cu sendiri hanya mampu menusuk
enam hiatto lawan dalam satu jurus serangan, jelas dia masih kalah
dibandingkan murid keponakannya.
Tan Khu-seng adalah murid toa-suheng-nya yang paling dimanja
dan di sayang, karena itu waktu di Bi-ci, di hadapan orang luar dia
tidak urarakan rasa curiganya. Menurut aturan Bulim bila dalam
perguruan terjadi sesuatu keburukan harus diselesaikan dengan
hukum perguruan, orang luar tidak boleh turut campur.
Layon anaknya langsung dia bawa pulang ke atas gunung serta
melaporkan peristiwa tragisini kepada ciangbun. Semula Tong-biau
Cinjin tak mau percaya bahwa murid kesayangannya tega
melakukan perbuatan terkutuk membunuh saudara seperguruan
sendiri, tapi bukti nyata, mau tak mau dia harus percaya akan
kenyataan ini. Kalau ciangbunjin juga curiga, adalah wajar kalau murid-murid
Kong-tong yang lain seirama menuduh Tan Khu-seng sebagai
pembunuh Ho Lok. Kecurigaan mereka memang beralasan, kecuali jurus Jit-singpoangwat yang patut dicurigai itu, mereka juga menemukan apa
sebab Tan Khu-seng tega membunuh suheng-nya. Pertama, nona
Boh caniik jelita dan menggiurkan. Kedua, nona Boh membawa
seluruh miliknya pulang bersama calon suaminya, dan masih ada
alasan ketiga yang lebih penting, Ho Lok adalah saingan pertama
Tan Khu-seng sebagai ahli waris ciang-bunjin.
Di dalam surat Tong-cin-cu ada dijelaskan beberapa kecurigaan
mereka pada waktu itu. Beng Hoa amat gusar melihat tuduhantuduhan
jtu. "Maknya, orang-orang Kong-tong-pay temyata berjiwa
sempit dan pikiran picik suhu dituduh sebagai bajingan perampas
istri orang dan perampok harta benda."
Tapi kejadian yang lebih membuatnya kaget dan marah, ada di
belakang. Setelah pihak Kong-tong-pay bersuara bulat menuduh Tan Khuseng
sebagai pembunuh, sudah tentu mereka berusaha mencari dan
menangkapnya. Kira-kira dua bulan kemudian jejak Tan Khu-seng
masih tak diketahui, demikian pula tiada kabar berita Boh-siocia.
Mereka mengira Tan Khu-seng ketakutan setelah berbuat jahat,
setelah memperoleh harta menculik gadis cantik lagi, tentu sudah
lari ke tempat jauh dan menyembunyikan diri. Mana berani pulang
menyerahkan diri. Kali ini mereka tidak menduga, bulan ketiga temyata Tan Khuseng
pulang. Yang mengejutkan Beng Hoa adalah Tan Khu-seng tidak mau
berdebat atau membela diri atas segala tuduhan dan caci maki para
susiok dan para saudara seperguruan yang lain, hanya satu
permintaannya, mohon menghadap gurunya. Setelah menghadap
gurunya, temyata dia rela diusir dan dipecat sebagai murid Kongtongpay. Malah dia menulis sebuah pengakuan.
Beng Hoa boleh tidak percaya kisah yang ditulis oleh Tong-biau
Cinjin, tapi surat pengakuan itu jelas dikenali sebagai gaya tulisan
gurunya. Tapi surat pengakuan itu juga samar-samar, dikatakan mengaku
dosa boleh, bilang bukan pengakuan dosa juga tepat. Dalam
pengakuan itu dia menulis, Tecu tidak becus menyelesaikan lugas
sehingga suheng berkorban, rela mendapat hukuman apa pun
sesuai aturan perguruan. Di bagian atas kanan surat pengakuan ini ada tulisan Tong-biau
Cin-jin yang menjatuhkan hukumannya, Dipecat dan diusir dari
perguruan. Mengawasi surat pengakuan gurunya, Beng Hoa duduk
melenggong. Setumpuk kertas itu penuh tulisan dan merupakan kumpulan
bahan penyelidikan, seolah-olah seluk beluk peristiwa ini sudah
tercakup di dalamnya, namun Beng Hoa sendiri masih merasakan
adanya tabir rahasia lain di balik peristiwa misterius ini.
Bahan-bahan penyelidikan itu ada yang terperinci, tapi ada juga
yang hanya keterangan sederhana belaka, dari penelitian Beng Hoa,
terdapat beberapa soal yang patut dicurigai. Terutama surat
pengakuan gurunya itu, paling mencurigakan.
Tiba-tiba didengarnya sebuah suara lembut berkata, "Tak usah
sedih, baik buruk persoalan masih dapat diselidiki, pembunuhan ini
pasti terbongkar." Ternyata hari sudah terang tanah, Teng Kingthian
sudah kembali lagi. "Berkas berkas ini sudah kau baca seluruhnya?" tanya Teng Kingthian.
"Sudah kuperiksa seluruhnya, tapi aku tak percaya pengakuan
mereka," bantah Beng Hoa.
"Surat pengakuan itu, apa betul tulisan gurumu?"
"Aku kenal tulisan suhu. Tapi paling kuherankan justru surat
pengakuan ini." "Kenapa?" "Kalau benar guruku membuat dosa sebesar itu, tidak mungkin
tidak Tong-hian-cu pasti menuntut balas kematian puteranya,
kenapa dia diam saja setelah ciangbun su-heng-nya hanya
memutuskan pengusiran dan pemecatan sebagai hukumannya?"
"Bukankah dalam surat Tong-cin-cu sudah dijelaskan" Perkara itu
terbongkar duduk persoalan yang sebenamya setelah ciangbun
suheng mereka meninggal. Kalau dia menggunakan istilah
terbongkar persoalannya, namun aku berpendapat soal ini belum
beres," demikian ucap Teng King-thian.
"Penjelasan tentang persoalan akhir itu sementara kita
kesampingkan dulu, yang ingin kuketahui adalah, di saat guruku
menulis surat pengakuan hari itu, mereka sudah menuduh bahwa
guruku adalah pembunuhnya. Kenapa beliau tetap dibebaskan
pergi" Apalagi surat pengakuan ini juga tidak tegas maksudnya,
guruku hanya mengaku tidak becus menunaikan tugas saja. Kenapa
Tong-biau Cinjin tidak mengusut perkara ini lebih lanjut?"
"Peristiwa ini merupakan kejadian ganjil dalam Bulim. Walau
pihak Kong-tong-pay pantang keburukan keluarga diketahui orang
luar, tapi setiap mulut murid mereka tak mungkin rapat seperti
botol, akhirnya ada juga yang membocorkan kejadian hari itu.
Penjelasan persoalan ini yang kudengar ternyata bermacam-macam
Tapi meski yang kutahu lebih banyak, sampai sekarang aku pun
tidak habis mengerti."
"Teng-ciangbun sudilah kau memberi tahu kepadaku apa yang
kau tahu mengenai kejadian hari itu" Aku hanya ingin tahu
kenyataannya." "Aku sendiri bimbang apakah berita yang kudengar itu betul, tapi
kabarnya begini". "Hari itu di luar dugaan mendadak Tan Khu-seng pulang, segala
pertanyaan sang susiok tiada yang dijawab, dia hanya berjanji
memberi laporan pengalamannya kepada sang guru. Semalam
suntuk dia berbicara dengan sang guru, sudah tentu tiada orang
berani mencuri dengar, jadi tiada yang tahu apa sebetulnya yang
dibicarakan." Teng King-thian melanjutkan, "Tiada seorang pun yang tahu apa
yang dibicarakan Tan Khu-seng dan gurunya malam itu, tapi hari
kedua Tong-biau Cinjin ternyata membelanya."
"Bagaimana nada bicara Tong-biau Cinjin waktu itu?" tanya Beng
Hoa. "Kabarnya Ho Lok terbunuh oleh seorang berkedok hitam.
Menurut dugaan adalah musuh besar keluarga Boh, tujuannya
hendak menculik Boh-siocia. Kungfu penjahat itu amat tinggi, Tan
Khu-seng juga dilukainya, karena parah lukanya maka Tan Khu-seng
bersembunyi di pegunungan selama beberapa bulan untuk
menyembuhkan luka-lukanya.
"Tapi ini hanya penjelasan Tong-biau Cinjin Kepada Tong-hiancu,
belakangan dibocorkan oleh salah seorang murid Tong-hian-cu.
Padahal murid itu tidak secara langsung mendengar penjelasan
Tong-biau Cinjin." Senang hati Beng Hoa, katanya, "Kalau begitu, kejadian jelas
tiada sangkut pautnya dengan guruku. Walau murid Tong-hian-cu
tidak mendengar langsung penjelasan Tong-biau Cinjin terhadap
Tong-hian-cu, tentu dia mendengar cerita suhu-nya. Kalau tidak
mana mungkin dia berani mengarang cerita bohong."
"Yang jelas urusan tidak mungkin dibereskan semudah itu,
penjelasan ini pun banyak segi kelemahan yang patut dicurigai."
"Apakah luka-luka yang diakibatkan oleh jurus Jit-sing-poan-gwat
itu" Kalau kepandaian perampok itu amat tinggi, bukan mustahil
kejadian itu memang sudah direncanakan lebih dulu dan sekongkol
dengan orang yang mencuri belajar kiam-hoat Kong-tong-pay,
celaka adalah sam-suhu yang dijadikan kambing hitam, Apalagi
suhu-ku sendiri juga terluka?"
"Tapi orang bisa mendebat Ho Lok juga berhasil melukai gurumu
waktu dia me!awan." "Aku percaya bahwa guruku takkan memfitnah orang atau
membual." Teng King-thian menghela na-pas, katanya, "Aku pun percaya
kepada gurumu. Tapi orang Kong-tong-pay bersuara bulat menuduh
gurumu, mau tak mau harus percaya pada kenyataan."
"Konon kecurigaan tentang jurus Jit-sing-poan-gwat itu,
penjelasan yang dikemukakan Tong-biau Cin-jin untuk membela
muridnya seperti juga apa yang kau bilang barusan, tapi kalau jurus
itu memang sukar dipelajari, betapapun sukar membuat orang lain
percaya." Beng Hoa gemas dan mengertak gigi, katanya, "Orang-orang
Kong-tong-pay memangnya berani tidak mempercayai penjelasan
ciangbun-jin mereka?"
"Meski ada orang curiga belum tentu Tong-biau Cinjin memberi
penjelasan demikian kepada Tong-hian-cu."
"Kenapa Tong-hian-cu harus mengarang keterangan palsu ini,
padahal dia menuduh dan yakin bahwa guruku membersihkan diri?"
"Hal ini pun sukar kuselami. Tapi ada juga alasan lain, yaitu
Tong-hian-cu harus memberi muka kepada suheng-nya, kalau
suheng hendak membela murid kesayangannya, terpaksa dia
biarkan sang suheng membersihkan dosa Tan Khu-seng. Penjelasan
itu mungkin diucapkan oleh Tong-biau Cinjin, mungkin juga bukan.
Tapi Tong-hian-cu bisa menggunakan alasan penjelasan itu untuk
menghindari orang banyak kenapa hari itu dia mau membebaskan
Tan Khu-seng. Jadi mereka harus menunggu setelah toa-suheng
mereka meninggal baru mencari bukti dan menyelidik ulang kasus
lama untuk menuntut balas sakit hati puteranya."
Teng King-thian meneruskan rekaannya, "Dan lagi, kalau Tongbiau
Cinjin bersuara membela gurumu, sebaliknya gurumu tak
pernah bersuara demi diri sendiri. Walau. tidak mengaku bahwa
dirinya pembunuh, tapi juga tidak mungkir. Bila saudara
seperguruan tanya dia, dia hanya bilang apa yang harus kujelaskan
sudah kulaporkan kepada suhu, bagaimana kalian akan mencurigai
diriku, terserah saja."
Tergerak hati Beng Hoa, pikir-nya, "Tong-hian-cu berjiwa sempit,
sakit hati pasti dituntut. Kalau dia mempertahankan gengsi dan
memberi muka kepada sang suheng lantas menunda pembalasan
sakit hati puteranya, walau kenyataan sudah tertunda beberapa
tahun, hal ini jelas sukar dipercaya. Kenyataan guruku tak mau
membela diri, apakah per-soalan ini tidak terbalik, yaitu guru-ku tak
mau membongkar persoalan sebenarnya justru untuk
mempertahankan gengsi dan nama baik Tong-hian-cu?"
Segera dia bertanya, "Bagaimana karakter Ho Lok?"
"Sedikit yang kuketahui, aku hanya tahu dia salah satu tunas
harapan Kong-tong-pay yang sejajar dengan gurumu, seorang
pemuda yang serba trampil dan cekatan. Kau menanyakan hal ini
apakah kau curiga kematian Ho Lok adalah karena kesalahan
sendiri" Atau karena dia pernah melakukan perbuatan kotor yang
malu diketahui orang banyak, sementara gurumu menutupi
perbuatan kotornya?"
"Orang macam apa Ho Lok, aku sendiri tidak tahu, sekarang tak
berani aku menaruh curiga kepadanya. Tapi yang sukar kuterima
adalah kesalahan bukan karena perbuatan suhu, kenapa suhu-ku
rela diusir dan dipecat dari perguruan?"
"Konon sebab dari gurumu mau menulis surat pengakuan itu
lantaran Tong-biau Cinjin membelanya, belakangan Tong-hian-cu
mengajukan permintaan, kalau pembunuhnya orang lain, maka kau
harus bertanggungjawab untuk membekuk pembunuh itu dan
diserahkan kepada ciangbun, murid-murid Kong-tong-pay bebas dia
minta untuk membantu usahanya. Kecuali itu, dia pun bertanggung
jawab mencari dan membawa pulang Boh-siocia yang hilang itu."
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kedua tuntutan ini boleh dikata cukup beralasan, tapi gurumu
telah menolak tuntutan ini. Maka dalam keadaan terdesak dan
orang banyak sukar diberi pengertian, Tong-biau Cinjin terpaksa
memecat dan mengusirnya dari perguruan, temyata dia rela
menerima hukuman ini. "Tidak lama setelah peristiwa ini, Tong-biau Cinjin lantas
menyerahkan jabatan ciangbunjin ini kepada ji-sute-nya, Tong-cincu.
Belum ada setahun Tong-cin-cu menjadi ciang-bun, temyata
Tong-biau Cinjin meninggal dunia. Ada orang bilang dia
menyerahkan jabatan karena untuk mempcrtahankan jiwa
muridnya, namun ada pula orang bilang dia mati karena gusar
dalam perdebatan." Beng Hoa menunduk tanpa bersuara, periahan dia
mengembalikan surat pengakuan gurunya ke dalam kotak sutera
itu. Teng King-thian melanjutkan, "Tapi masih ada yang tidak
menguntungkan gurumu yaitu bukti-bukti yang ditemukan setelah
Tong-biau Cinjin meninggal. Apa kau sudah membaca pengakuan
dua kacung keluarga Boh yang masih hidup itu?"
"Ya, sudah kubaca, tapi aku tetap mencurigainya:"
Perlu diketahui, keluarga Boh merupakan salah satu hartawan
besar yang terkena] di Koan-tiong, setelah rumah gedung dan
seluruh perabot dan kekayaan tak bergerak lainnya dijual, uang
kontan yang mereka terima disimpan dalam beberapa peti besar,
kecuali itu masih ada beberapa peti besar benda berharga seperti
perabotan antik, perhiasan dan lain sebagainya. Maka untuk
membawa semua miliknya itu Boh-siocia harus membawa lima
kacung keluarganya menempuh perjalanan bersama Ho Lok. Kelima
kacung ini juga pandai main silat, di jalanan kecuali membantu
membongkar muat peti-peti besar itu, mereka juga berani melawan
kawanan perampok. Pembunuhan terjadi dalam biara bobrok di pegunungan liar. Ho
Lok dan tiga kacung menjadi korban, Boh-siocia dengan dua kacung
yang lain lenyap. Setelah tiga tahun berselang, dengan susah payah
Tong-hian-cu mencari ke mana-mana jejak calon menantunya tidak
ketemu tapi kedua kacung yang hilang itu malah dia temukan.
Menurut pengakuan kedua kacung itu dengan mata kepala
mereka sendiri menyaksikan Tan Khu-seng mengganas, mereka
melarikan diri di waktu Tan Khu-seng mulai bergebrak dengan Ho
Lok, tiga kawan mereka karena mencegah Tan Khu-seng berbuat
jahat malah amblas jiwanya, maka mereka tidak melihat sendiri
kematian Ho Lok di tangan Tan Khu-seng namun kematian Ho Lok
pasti karena Tan Khu-seng.
Mereka ada bilang, waktu Tan Khu-seng mengganas Boh-siocia
hanya berpeluk tangan menonton dari pinggir. Mereka juga bilang
sepanjang jalan nona mereka sudah main mata dengan Tan Khuseng,
kelihatannya kedua laki perempuan sebelumnya sudah pat
gulipat. Tong Hian-cu sendiri yang membuat surat pengakuan kedua
kacung ini, dibuat arsip sebagai salah satu berkas tuduhan. Tongcincu juga mengirimkan kepada Teng King-thian.
Dalam surat Tong-cin-cu ada menjelaskan pula, setelah Tonghiancu menemukan kedua kacung itu, sesuai pengakuan mereka
dia terus rnenyelidiki. Konon sebulan setelah peristiwa itu terjadi,
ada orang pemah melihat Tan Khu-seng muncul di jalan raya
menuju ke perbatasan Siamsay dan Kamsiok ber-sama nona Boh,
tapi tidak diketahui ke mana arah tujuannya. Hingga tiga tahun
kemudian, baru dia tahu Tan Khu-seng bersembunyi di dalam Cioklin,
tapi jejak nona Boh sampai sekarang belum juga diketahui.
Beng Hoa membalik-balik surat Tong-hian-cu itu, katanya,
"Kenapa kedua kacung ini baru memberi pengakuannya kepada
Tong-hian-cu setelah peristiwa itu terjadi" Sebagai kacung keluarga
Boh, pantasnya mereka setia kepada keluarga majikannya.
bukankah majikan mereka punya banyak kenalan di kota Bi-ci, kalau
mereka tidak pergi ke Kong-tong-san, kan harus pulang ke Bi-ci.
Kenapa harus tiga tahun kemudian duduk perkaranya dibikin jelas?"
"Mungkin mereka takut pembalasan Tan Khu-seng, mungkin juga
tidak suka menyiarkan keburukan keluarga, maka tidak berani
menceritakan kepada kenalan majikannya" Tapi inilah pandangan
pihak Kong-tong-pay," demikian ujar Teng King-thian.
"Tapi mereka memberi tahu kepada Tong-hian-cu, apakah tidak
memburukkan nama baik nona majikannya" Tong-hian-cu adalah
mertua nona majikan mereka, setelah tahu duduknya persoalan,
bukankah urusan bcrtambah parah?"
"Kecurigaanmu memang beralasan. Tapi menumt pendapatku,
yang patut kita curigai justru bukan hal ini."
"Lalu apa" "Dua kacung yang katanya masih hidup, hanya Tong-hian-cu saja
yang pemah melihat."
"Betul, aku memang ingin bertanya, apa diketahui di mana
tempat tinggal kedua kacung ini, kalau bisa menemukan mereka
kurasa urusan bisa dibikin terang."
"Sudah tidak bisa ditemukan lagi, mereka sudah mati."
Beng Hoa berjingkrak kaget, katanya, "Tong-hian-cu membunuh
mereka" Atau mati lantaran sebab lain?"
"Tahun kedua, Tong-cin-cu yang sudah menjabat ciangbunjin
Kong-tong-pay mengajak seorang kenalan baik Boh It-hang di masa
masih hidup, mencari kedua kacung itu. Orang itu bernama Hong Ithwi
cong-piauthau dari So-hong Piau-kiok di Say-an. Hong It-hwi
adalah kenalan kental Boh It-hang di masa hidupnya, dia paling
prihatin akan musibah yang menimpa keluarga Boh, maka Tong-cincu
merasa perlu memberi tahu penemuan sute-nya Tong-hian-cu
kepadanya. Kali ini tiga orang berangkat bersama, Tong-hian-cu
sebagai penunjuk jalan. "Kedua orang itu tinggal di atas pegunungan, kecuali mereka
berdua di atas gunung tiada penduduk lain-nya, hanya jauh di
bawah gunung ada sekeluarga pemburu. Mereka menemukan
tempat tinggal kedua kacung yang dituturkan Tong-hian-cu, sebuah
gubuk bambu beratap alang-alang, tapi kedua kacung itu tidak
kelihatan. "Akhirnya mereka turun gunung dan bertanya kepada keluarga
pemburu itu. Mereka bilang tidak tahu kalau di atas gunung ada
penduduk lain, puncak gunung itu tinggi, biasanya kalau berburu dia
hanya di samping gunung, tapi musim dingin tahun lalu waktu dia
berburu di atas gunung pemah menemukan setum-puk tulangtulang
yang ditinggalkan kawanan binatang buas. Menurut
pengakuan mereka, tumpukan tulang itu adalah tulang manusia.
Maka Tong-hian-cu menduga, waktu keluar mencari makan mungkin
kedua kacung itu ketemu hari mau atau binatang buas lainnya,
hingga menjadi korban kebuasan binatang liar."
Beng Hoa jadi lemas, katanya, "Kalau begitu tiada saksi lagi, tapi
apakah betul ada dua kacung yang masih hidup itu, aku masih
curiga. Bukan mustahil Tong-hian-cu yang mengarang cerita
bohong." Teng King-thian menghela napas, katanya, "Yang paling celaka
adalah, belakangan gurumu membunuh pula Tong-hian-cu dan
melukai Tong-bing-cu. Untung Tong-bing-cu hanya terluka, tapi
kematian Tong-hian-cu justru mcmbuat urusan ini makin ruwet dan
susah diselesaikan. Walau kalau Tong-hian-cu masih hidup
merupakan ancaman bagi gurumu, tapi kematiannya justru lebih
menyudutkan gurumu, jelas lebih tidak menguntungkan. Kalau
masih hidup soal itu masih bisa didebatkan, karena dia sudah mati,
orang lain pasti lebih percaya akan keterangannya. Apalagi walau
gurumu sudah dipecat dan diusir dari perguruan, bagaimanapun
Tong-hian-cu dan Tong-bing-cu pernah menjadi paman gurunya.
Bagi pandangan umum, gurumu membunuh susiok, jelas
merupakan perbuatan kurang ajar dan tak boleh diampuni."
"Tidak, guruku tidak membunuh Tong-hian-cu, demikian pula
bukan guruku yang melukai Tong-bing-cu"
Teng King-thian melenggong, katanya, "Itu yang dikatakan Tongcincu dalam suratnya kepadaku, apakah dia bohong tentang kedua
kejadian ini?" "Teng-ciangbun, kedua kejadian itu aku tahu paling jelas. Tonghiancu terbunuh oleh ji-suhu-ku Toan Siu-si. Setahun kemudian
waktu Tong-bing-cu mcluruk datang lagi, akulah yang melukainya.
Hakekat-nya sam-suhu-ku tak pemah bergebrak dengan mereka."
Lalu Beng Hoa menceritakan kedua kejadian di dalam Ciok-lin
dulu kepada Teng King-thian, "Pertama kali Tong-hian-cu datang
bersama Yang Kek-beng dan Auwyang Ya dan sesumbar mau
meringkus guruku pulang ke Kong-tong-san, kebetulan hari itu jisuhuku juga tiba di Ciok-lin, akhirnya sam-suhu berhasil melukai
Yang Kek-beng dan Auwyang Ya, sedang ji-suhu membunuh Tonghiancu, namun dia sendiri hampir mati."
Teng King-thian menghela na-pas, katanya, "Di balik kejadian ini
temyata masih banyak persoalan yang rumit ini. Auwyang Ya adalah
wakil komandan Gi-lim-kun, Yang Kek-beng adalah gembong iblis
besar yang namanya sudah terkenal jahat dan buruk, dia membawa
kedua iblis jahat ini jelas sudah tidak pantas. Tapi menurut yang
kuketahui, meski Tong-cin-cu seorang yang lemah telinga (gampang
dihasut), wataknya masih terhitung baik. Entah dia tahu tidak sutenya
bersekongkol dengan orang jahat?"
Beng Hoa menjelaskan lebih lanjut, "Setelah kejadian itu, kedua
guruku sudah meninggalkan Ciok-lin, setahun kemudian baru Tongbingcu datang ke sana. Kali ini dia datang bersama seorang murid
Yang Kek-beng. Teng-ciangbun, coba kau terka, apa tujuan mereka
datang ke Ciok-lin?"
Teng King-thian heran, katanya, "Apa bukan mencari gurumu
menuntut balas" Menurut surat Tong-cin-cu, karena sudah setahun
Tong-hian-cu tidak pulang, untuk mencari jejak sang suheng, di
samping untuk membuktikan juga apakah betul sam-suhu-mu
sembunyi di Ciok-lin. Setelah dia dilukai sam-suhu-mu, dia tahu
bahwa Tong-hian-cu sudah mati di Ciok-lin. Karena itu Tong-cin-cu
beranggapan bahwa gurumu yang membunuh Tong-hian-cu."
Beng Hoa berkata, "Aku tidak tahu apakah Tong-cin-cu tahu
wajah asli sute-nya (maksudnya perbuatannya) tapi kukira dia
sudah tahu tapi tak mau memberi tahu kepada kau, maka dalam
suratnya itu tidak dijelaskan seluk beluk ini."
"Mencari jejak suheng-nya dan mencari guruku tidak lain hanya
alasan belaka. Dia datang bersama murid Yang Kek-beng, jelas
bahwa dia sudah tahu kematian suheng-nya. Memang mati hidup
guruku belum dia ketahui, tapi guruku sudah tidak tinggal di Ciok-lin
pasti juga sudah dia ketahui. Karena kedatangannya dengan Ban
Ciok-sing ke Ciok-lin adalah untuk mencari bu-kang pit-kip
peninggalan Thio-cosu."
"Lho dari mana mereka tahu?"
"Yang Kek-beng guru dan murid semula sudah tinggal di Ciok-lin
sebelum guruku menetap di sana, Yang Kek-beng sengaja memilih
Ciok-lin sebagai sarangnya karena dia tahu akan rahasia ini. Tapi
mereka sudah sekian tahun menetap di Ciok-lin, tapi tak pemah
menemukan. Secara tidak sengaja malah berhasil kutemukan."
Teng King-thian tertawa, kata-nya, "Untung kau yang
menemukan, jikalau jatuh ke tangan mereka, wah bencana akan
dialami kaum persilatan."
Beng Hoa menutur lebih lanjut, "Waktu itu kebetulan aku baru
berhasil meyakinkan Bu-beng-kiam-hoat, sungguh tak pemah
kupikirkan sebelumnya bahwa aku mampu mengalahkan Tong-bingcu,
jago pedang nomor satu Kong-tong-pay, yang secara resmi
terhitung thay-susiok-ku."
" Ya, sekarang aku paham, sebagai jago pedang nomor satu dari
Kong-tong-pay, untuk mempertahankan gengsi dan nama baik,
sudah tentu dia malu bilang kalah di tanganmu, untuk memberatkan
dosa-dosa gurumu, maka dosa membunuh Tong-hian-cu dia
jatuhkan di pundak gurumu."
"Berdasarkan kedua hal ini, tuduhan yang memberatkan guruku
patut ditinjau kembali."
Teng King-thian terpekur sesaat lamanya, katanya sambil
menggelengkan kepala, "Dari ceritamu memang dapat membongkar
kebohongan Tong-bing-cu dalam kesaksian tuduhan kepada
gurumu, sekaligus mencuci bersih dosa gurumu yang dituduh
membunuh angkatan tua perguruan sendiri, hal ini memang cukup
penting, namun untuk keseluruhan persoalan ini, kedua peristiwa ini
hanya merupakan kejadian sampingan belaka. Yang penting bagi
kita kini adalah musibah sebenarnya yang menimpa keluarga Boh.
Celaka kalau mereka membeber peristiwa ini di depan umum,
sembilan di antara sepuluh orang luar pasti juga akan mencurigai
guru-mu." Beng Hoa berpikir, apa yang dikatakan Teng King-thian memang
betul, jikalau bukan gurunya yang terlibat dalam tuduhan pihak
Kong-tong-pay, dia sendiri juga mungkin menaruh curiga. Katanya
rawan, "Perkara ini terselubung dalam kabut yang tcbal berlapislapis,
susah dicari bukti dan saksi hidup. Untuk membongkar rahasia
di batik kabut tebal itu, kurasa amat sukar."
"Ya, sukar memang sukar, namun dikata mudah juga mudah."
Bercahaya mata Beng Hoa, sa-hutnya, "Mohon ciangbun
memberi petunjuk." "Memang persoalan serba pelik, lima orang yang bersangkutan
yaitu Ho Lok dan kelima kacung keluarga Boh sudah mati semua.
Sementara nona Boh hilang, sampai pun Tong-hian-cu yang
berkepentingan dan bertanggung jawab menyelidiki perkara ini juga
sudah mati. Tapi masih ada seorang yang masih hidup yaitu samsuhumu." Beng Hoa kira Teng King-thian punya akal bagus, tak nyana saksi
hidup yang diajukan temyata guru-nya, seketika dia kecewa,
"Guruku adalah terdakwa, orang lain mung-kin tiada yang mau
percaya kepadanya. Apalagi sejak permulaan guru ku tidak mau
membela dirinya atau memberikan kesaksian yang sebenarnya. Aku
tahu wataknya, kalau dia sudah beranggapan keburukan keluarga
pantang diketahui orang luar, meski menghadapi kematian juga
pasti dia tidak mau membcrikan keterangan."
Teng King-thian tersenyum, katanya, "Terhadap orang lain dia
tidak mau bilang, tapi kau adalah murid kesayangannya, ambil kotak
sutera ini dan temui dia, mohonlah kepadanya supaya memberi
keterangan kepadamu, kukira dia akan bicara dengan kau."
"Apa gunanya beri tahu kepadaku?"
"Kalau dugaan kita tidak keliru, peristiwa itu pasti menyangkut
keburukan dalam Kong-tong-pay mereka, keburukan keluarga yang
kumaksud tentu bukan keburukan seperti yang dituduhkan sebagai
perampok dan berzinah, tapi persoalan lain dalam perguruan
mereka yang maiu kalau diketahui orang luar. Bukan mustahil
kematian Ho Lok memang setimpal dengan perbuatannya. Maka
setelah kau tahu duduk persoalan yang sebenamya, boleh langsung
kau temui ciangbunjin Kong-tong-pay Tong-cin-cu, kata-kan kau
mewakili diriku mohon pengampunan kepadanya, supaya dia tidak
menarik panjang kasus lama. Kuduga Tong-cin-cu juga sudah tahu
duduk perkaranya, setelah dia tahu hal ini pasti dia akan
menghentikan usaha membongkar kasus lama ini."
Mendapat petunjuknya, Beng Hoa amat senang, katanya, "Cara
ini membcrikan muka kepada kedua pihak, memang cara bagus
yang boleh kulaksanakan. Tapi memang baik, tapi ada satu hal"."
"Ada satu hal yang kurang baik," Teng King-thian melanjutkan
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan tertawa. "Terlalu merendahkan gurumu, benar tidak?"
Beng Hoa manggut, katanya, "Mungkin hanya kekhawatiranku
saja, tapi kupikir kalau kasus ini dapat diselesaikan secara pribadi
dan kekeluargaan, orang lain pasti mengira ciangbunjin Kong-tongpay
memberi muka kepada kau orang tua dan Kim tayhiap, maka
perkara tidak diusut lebih lanjut Bukankah guru-ku tetap tak dapat
mencuci bersih namanya?"
"Kekhawatiranmu ini memang beralasan, tapi tak perlu kau
merisaukan hal ini bagi Tong-cin-cu."
Beng Hoa tidak mengerti apa maksud ucapan orang, sesaat dia
tertegun, katanya, "Aku hanya menguatirkan guruku."
"Maksudku ialah hanya orang yang membuat perkara saja yang
dapat menyelesaikan perkara itu, kau paham tidak" Tentang
bagaimana menyelesaikan, itu terserah kepada Tong-cin-cu. Setelah
dia menyelesaikan perkara ini, perlu apa kau menguatirkan
gurumu?" Beng Hoa mengerti katanya tertawa, "Betul, kalau tidak keliru
dugaan kita, setelah Tong-cin-cu tahu duduk pcrsoalannya,
kesalahan ada di pihaknya, maka dia harus mengarang cerita
bohong, membela dan membebaskan guruku dari semua tuduhan.
Aku dan guruku takkan sudi bohong, membual justru modal utama
mereka, maka aku tak perlu menguatirkan mereka.*"
Teng King-thian tertawa, katanya, "Jangan kau menilai Tong-cincu
seburuk itu, umpama dugaan kita meleset, entah bagaimana
kasus ini akan dibereskan?"
Berat suara Beng Hoa, katanya, "Jikalau duduk persoalannya
sudah dibikin jelas, dan kesalahan memang di pihak guruku,
wanpwe jelas tidak mementingkan pribadi membela guruku."
"Bukan itu maksudku, perkara amat ruwet dan di luar dugaan
banyak orang. Dalam kasus ini, umpama gurumu tidak bersalah,
tapi baik buruk persoalannya kan jelas susah diraba."
"Bagaimana bisa terjadi hal demikian?" tanya Beng Hoa.
"Itu hanya perumpaan saja, semoga hanya prasangka saja, kau
tak usah berkecil hati, tapi ada pula per-soalan lain yang perlu kau
perhatikan." "Persoalan apa?" tanya Beng Hoa.
"Sebelum kau berhadapan de-ngan Tong-bing-cu, kau sudah
menghadap gurumu. Ketepatan waktu cukup penting artinya, kalau
terlambat usahamu bisa gagal urusan pun bisa runyam, terlalu pagi
juga bisa mengaburkan persoalan. Apalagi Tong-bing-cu punya sakit
hati terhadapmu, bila kau tiba terlalu cepat, meski kau membawa
dwi-fungsi dalam menyelesaikan persoalan ini, demi memandang
mukaku, dia tak-kan berani bert indak kepadamu, namun dia akan
selalu mengawasi gerak-gerikmu. Demikian pula gurumu, datang
lebih dini atau terlambat juga serba salah. Lebih baik sehari sebelum
pertemuan itu kalian sudah bertemu, tapi kecuali tergantung
kecerdikanmu bertindak, juga tergantung pada nasib."
Hal ini memang tidak terpikir oleh Beng Hoa, katanya dengan
tawa getir, "Kalau bisa adu nasib kan merupakan kesempatan juga,
daripada putus asa."
Sementara itu sudah terang tanah.
Teng King-thian berkata, "Baiklah, kau boleh berangkat. Biar
kusuruh Yan-ji mengantar engkau."
"Ciangbun tak perlu repot, biar aku yang mencarinya saja. Aku
kan harus pamitan kepada Miao tayhiap, Leng-cici, dan lain-lain"
Karena Nyo Yah pemah melukai Leng Ping-ji meski tidak sengaja,
maka sekarang hubungannya dengan Leng Ping-ji luar biasa baik,
selama sebulan ini dia sering menunggu di pinggir ranjang Leng
Ping-ji, ikut melayaninya dengan tekun. Kini luka-lukanya sudah
sembuh tapi hubungannya memang sudah kelewat erat, seperti
kakak adik saja. Selanjutnya Leng Ping-ji yang menggantikan Toan
Kiam-ceng, mengajar menulis dan membaca, bila bocah ini sudah
tidur baru dia kembali ke tempat Miao Tiang-hong, yang sudah
mengangkat seba-gai anak pungut.
Tiba-tiba Teng King-thian tertawa, katanya, Tak usah kau
mencari mereka kukira anak Yan tengah mendatangi."
Di luar pintu memang terdengar seseorang berkata, "Ya, aku
bersama nona Leng juga kemari, apakah Beng-hiante sudah mau
berangkat?" Temyata Miao Tiang-hong dan Leng Ping-ji yang
membawa Nyo Yan kemari, sebelum memasuki Istana Es, dari jauh
Teng King-thian sudah mendengar suara mereka.
Beng Hoa amat kagum pada lwekang orang yang tinggi. Jarak
sejauh itu kalau Teng King-thian mendengar langkah mereka
temyata Miao Tiang-hong juga mendengar percakapan mereka.
Lwekang setaraf ini, Beng Hoa mengira lima tahun latihan berat
juga belum tentu dirinya bisa menjajari mereka.
Begitu masuk Leng Ping-ji berkata tertawa, "Semalam suntuk
mungkin adik Yan tidak, tidur, dia khawatir besok pagi terlambat
mengantar kau, maka semalam berpesan supaya pagi-pagi sudah
membangunkan dia. Di luar dugaan, malah dia yang pagi tadi
membangunkan aku." Miao Tiang-hong berkata, "Beng-hiante, adikmu di bawah asuhan
nona Leng, kau boleh pergi dengan lega hati."
Beng Hoa berkata, "Ya, budi luhur paman Miao yang
membesarkan adik Yan, siautit juga berterima kasih tak terhingga."
Miao Tiang-hong tergelak-gelak, katanya, "Hubunganku dengan
ayahmu melebihi saudara kandung, kenapa kau malah sungkan
kepadaku, kalau kau tidak ingin lekas berangkat, aku akan memberi
petuah kepadamu." "Lomana dan Santala sudah menunggu di depan gunung,"
demikian ujar Leng Ping-ji, "hayolah kau berangkat."
Di tengah jalan Miao Tiang-hong berkata kepada Beng Hoa,
"Hiantit, bukan sengaja aku ingin memuji kau, kau memang pemuda
cakap serba bisa, kungfumu juga paling menonjol di antara generasi
muda, sepuluh tahun lagi mungkin Teng tayhiap juga harus
mengalah kepadamu. Aku amat iri terhadap ayahmu yang punya
putera sebaik engkau."
Dengan tertawa Leng Ping-ji segera menggoda, "Paman Miao,
kalau kau merasa iri, kenapa tidak lekas menikah saja." .
Miao Tiang-hong goyang tangan, katanya, "Dalam usia setua aku
ini kenapa harus mencari kesukaran, harapanku hanya mendidik
anak Yan menjadi tunas harapan, semoga kelak dapat menandingi
engkoh-nya. Sebagai anak angkatku, kalau dia menonjol aku
mendapat muka juga. Nona Leng aku justru berdoa supaya kau
lekas mendapat jodoh."
Merah muka Leng Ping-ji, katanya dengan muka muram, "Paman
aku akan mencontoh dirimu seorang diri bisa hidup bebas."
"Kau boleh mencontoh diriku, tapi belajar hidup sebatang kara
seperti diriku justru tidak benar dan jelek. Soalnya usiaku sudah
lewat untuk berumah tangga, sebaliknya kau masih muda."
Beng Hoa paling jelas hubungan Leng Ping-ji dengan Toan Kiamceng,
supaya tidak melukai perasaannya, dengan tertawa dia
menim-brung, "Paman usiamu baru empat-puluhan, sepantaran
ayah, kenapa bilang tua" Waktu aku hendak berangkat kemari ayah
juga berpesan supaya aku membujuk paman."
"Ha, dia ingin kau membujuk soal apa?"
"Beliau mengharap kau mem-bangkitkan semangat juangmu,
terjun kembali ke dunia Kangouw,"
"Sudah sepuluh tahun aku hidup di Thian-san, ya, memang
sudah terlalu lama mengeram diri. Sekarang ayahmu di mana?"
"Aku berpisah di Lhasa dengan ayah, waktu itu dia hendak
berangkat ke Jik-tat-bok, sekarang mungkin sudah berada di sana."
"Sebetulnya aku punya keinginan melihat keramaian di Kongtongsan, tapi aku tahu pertemuan itu tiada yang menarik perhatian
diriku, Tong-cin-cu juga tidak mengundang aku, maka aku batalkan
niatku. Mungkin beberapa waktu lagi aku akan berangkat ke Jik-tatbok
mene-mui ayahmu." Beng Hoa bertepuk kegirangan. serunya, "Syukurlah, pihak laskar
gerilya di Jik-tat-bok memang memerlukan bantuan jago kosen
setaraf paman Miao."
"Baiklah, sekarang ingin aku bicara urusan pribadi dengan kau."
"Urusan pribadi apa?" tanya Beng Hoa melenggong.
Sengaja Miao Tiang-hong memperlambat langkah serta menarik
Beng Hoa ke pinggir, katanya perlahan, "Bagaimana menurut
pendapatmu tentang nona Leng?"
"Nona Leng termasuk orang baik, kungfunya juga lihay."
"Dia begitu baik terhadap adikmu, kalau bukan pertolongannya,
kali ini mungkin anak Yan sukar lolos dari cengkeraman iblis."
"Betul, bukan saja pemah menolong jiwa adikku, dia pun pemah
menolong jiwaku, aku amat berterima kasih kepadanya. Semoga dia
lekas sembuh, seperti yang kau katakan selekasnya bisa mendapat
jodoh yang setimpal."
Maksud Miao Tiang-hong adalah hendak merangkap jodoh
mereka, tapi mendengar jawaban Beng Hoa yang mengandung arti,
secara tidak langsung sudah menolak anjurannya, sebagai orang
yang kenyang asam garam seketika dia sadar, katanya tersenyum,
"Beng-hiantit, apakah kau sudah punya kekasih?"
Merah muka Beng Hoa katanya perlahan, "Ayah sudah bertemu
dengan Kim tayhiap di Lhasa, gelagatnya mereka punya maksud"
punya maksud"."
Tanpa dijelaskan Miao Tiang-hong juga sudah maklum, katanya
tertawa, "Aku tahu Kim Tiok-liu memang punya seorang puteri,
selamat, selamat, ternyata teman karibku akan berbesanan dengan
Kim Tiok-liu tayhiap."
Mendengar gelak tawa mereka Leng Ping-ji menoleh dan
berhenti, tanyanya, "Paman Miao, apa yang kalian bicarakan,
kelihatannya begitu gembira?"
"Tidak apa-apa, aku hanya ikut gembira mendengar berita
sahabat lama. Hm, sekarang giliran kalian bicara."
Beng Hoa menyusul maju, kata-nya sambil menggandeng tangan
adiknya, "Yan-te, koko hendak berangkat, sejauh ini kau mengantar,
pulanglah. Selanjutnya kau harus patuh akan nasihat dan ajaran
suhu, ayah dan Leng-cici."
"Aku tahu," sahut Nyo Yan. "Kali ini aku banyak berbuat salah,
tapi kalian masih sayang kepadaku, aku sungguh menyesal. Ada
suhu, ayah dan Leng-cici, selanjutnya aku mesti tekun belajar dan
patuh." Beng Hoa berseri girang, kata-nya, "Betul, kau memang anak
baik." "Koko," tanya Nyo Yan tiba-tiba, "ada satu hal ingin aku tanyakan
kepadamu." "Hal apa?" "Koko, kenapa kau she Beng sedangkan aku she Nyo?"
Beng Hoa sudah menduga dia akan mengajukan hal ini, namun
dia kebingungan sesaat lamanya tak tahu bagaimana harus
menjawab. Katanya sambil menggaruk kepala, "Apakah ayahmu
(maksudnya Miao Tiang-hong, ayah angkatnya) belum memberi
tahu kepadamu?" "Ayah bilang akan memberi tahu bila aku sudah besar."
"Ya, memang tunggulah dua tahun lagi, kau sudah bcrjanji akan
patuh kepada omongannya."
"Baiklah, aku percaya omongan kalian. Aku tahu ayah, koko dan
cici semua sayang kepadaku, hatiku amat puas."
"Makanya, kalau ayah (maksudnya Beng Goan-cau) tidak sayang
kepadamu, beliau tidak akan menyuruh aku kemari menjengukmu."
Nyo Yan berkata pula, "Dahulu aku mcngira ayah sudah
meninggal, baru sekarang aku tahu beliau masih hidup, sungguh
aku amat senang. Walau belum pemah aku melihat ayah, tapi aku
amat merindukannya Ayah (Miao Tiang-hong) memberi tahu
padaku, ayah (Beng Goan-cau) adalah enghiong yang amat
dikagumi dan dihormati banyak orang, menyuruh aku kelak harus
belajar mencontoh ayah. Sayang sekarang aku belum bisa
menemaninya." Supaya bocah ini tidak tahu siapa ayah kandungnya, maka sejak
kecil Miao Tiang-hong membohonginya, dikatakan ayahnya sudah
meninggal. Setelah Beng Hoa datang, baru dia menjelaskan berita
kematian ayahnya dulu hanya berita angin saja. Sudah tentu ayah
yang dimaksud Miao Tiang-hong adalah Beng Goan-cau. Supaya
Nyo Yan tidak terlalu pagi tahu tentang riwayat hidupnya, hal itu
akan melukai sanubari bocah cilflc ini. Bagaimana riwayat hidupnya,
sejauh ini Miao Tiang-hong masih merahasiakan.
"Adik Yan, kau harus giat belajar kungfu. Beberapa tahun lagi,
setelah kau tamat belajar, pasti boleh turun gunung, suatu ketika
kau akan bertemu dengan ayahmu maka tak usah tergesa-gesa."
"Baiklah, koko, kau masih ada petunjuk apa?" tanya Nyo Yan.
Sejenak Beng Hoa bcrpikir, lalu berkata, "Adik Yan, kau amat
pintar, jangan khawatir takkan dapat belajar kepandaian,
khawatirkan saja bagaimana kelak kau harus mencari teman.
Kejadian kali ini harus kau jadikan pelajaran, supaya kelak kau tidak
tertipu orang jahat."
Dasar bocah, Nyo Yan segera melontarkan rasa dongkolnya,
"Sayang orang jahat tidak memberi tanda di jidatnya, sehingga
sekali pandang orang akan tahu kalau dia orang jahat. Keparat she
Toan itu kelihatannya amat sayang kepadaku, siapa tahu munafik,
jiwaku akan direnggutnya malah."
"Manusia mana yang tak pemah berbuat salah, tapi setiap
pengalaman harus dijadikan pelajaran dan cambuk bagi kehidupan
kita selanjutnya, lambat laun kau akan me-ngerti dan pandai
membedakan orang baik atau orang jahat"
Leng Pittg-ji seperti tahu maksud Beng Hoa, katanya,
"Kepandaian memilih ini juga perlu kupelajari. Tapi Beng-toako, kau
tak usah ikut bersedih hati lantaran aku. Memang semula aku amat
sedih malah pemah ingin mencari jalan pendek. Tapi sekarang aku
sudah sadar, anggaplah peristiwa itu seperti digigit ular berbisa,
setelah diobati pasti sembuh, kenapa harus berkorban hanya
ka-rena gigitan ular."
Beng Hoa girang, katanya, "Leng-cici kau punya pandangan
sejauh ini, legalah hatiku, semoga luka-luka hatimu lekas sembuh."
"Ya, aku pasti dapat menyembuhkan luka-iukaku sendiri. Tapi
sementara aku tidak ingin pulang ke Jik-tat-bok, bila bertemu
pamanku tolong beri tahu tentang diriku, supaya beliau tidak
khawatir tentang diriku."
"Di Thian-san kau bisa belajar kungfu, setelah tamat baru
pulang. Kalau pamanmu tahu keadaanmu di sini tentu amat
senang." Tanpa terasa sudah jauh mereka mengantar Beng Hoa. "Jangan
terlalu jauh kalian mengantar aku, silakan pulang saja."
Santala dan Lomana memang sudah menunggu di tempat
kejadian tempo hari, setelah berpamitan, Lomana berkata, "Lengcici,
kebaikanmu pasti takkan kulupakan selamanya. Kapan kau
datang ke rumah kami, pasti kusambut dengan senang hati."
"Pesta pernikahan kalian mung-kin aku tak bisa hadir. Tapi kelak
pasti aku akan menengok kalian, bila aku datang boleh kalian
menjamu aku." Setelah berpamitan dan bersalaman mereka pun berpisah. Bila
Beng Hoa menoleh, bayangan mere-ka masih kelihatan di atas
gunung, sayup-sayup terdengar senandung Miao Tiang-hong yang
membawakan syair yang mcmilukan.
Di perjalanan Santala berkata, "Meski terancam bahaya, aku
malah memperoleh rejeki. Baru sekarang aku percaya, orang jahat
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di antara orang-orang Han kalian hanya sedikit saja, orang baik
justru amat banyak."
Beng Hoa tertawa, katanya, "Memangnya orang baik lebih
banyak dari orang jahat dalam dunia ini. Peduli orang Han, suku
Boan, suku Uigior atau suku Tibet, semua sama."
Perawakan Santala memang kekar, setelah luka-lukanya sembuh,
kondisinya jauh lebih bagus dari sebelumnya. Selama sebulan di
Thian-san, Lomana juga sudah belajar semadi, sudah tahu
bagaimana mengerahkan hawa murni untuk mcnolak hawa dingin,
kini langkahnya enteng dan cepat dibanding ketika datang tempo
hari. Delapan hari mereka menempuh perjalanan baru tiba di padang
rumput, dua hari lagi bam mereka mulai bertemu penduduk. Pada
suatu pe-temakan kecil, Santala membeli tiga ekor kuda untuk
melanjutkan perjalanan. Setelah ada tunggangan, tentu beberapa
hari lebih cepat tiba di rumah, sudah tentu perasaan mereka lega
dan gembira. Selama belasan hari perjalanan itu, cuaca selalu baik. Musim
semi di. daerah utara memang datang terlambat, kini bunga-bunga
liar tampak mulai tumbuh di padang rumput.
Hari itu cuaca cerah. Selama belasan hari perjalanan, ransum
yang mereka bawa sudah habis. Kebetulan seekor babi hutan
muncul dari semak belukar di pinggir sebuah batu besar, Santala
segera mengeprak kudanya hingga lari kencang, agaknya dia
hendak pamer kepandaiannya memanah di atas kuda. Dia pasang
busur sambil membidik, "seerrr" bidikan panahnya cepat dan tepat
laksana kilat menyambar, dari jarak ratusan langkah namun Santala
yakin bidikan panahnya pasti mengenai sasaran, tak nyana dari
lereng bukit sebelah pinggir sana seseorang juga membidikkan
sepasang panah. Dua panah beradu di tengah udara dan jatuh
bersama. Tapi sebelum babi hutan itu sempat menyelinap ke dalam
semak belukar, bidikan panah susulan telah membuatnya roboh
terkapar. Santala kaget dan berseru memuji, "Panah bagusf"
Mendadak suara seorang yang sudah dikenalnya bergelak tawa
serta berseru, "Apakah Santala di sana?" Maka muncul lah sebarisan
orang dari balik lereng sana Yang memimpin barisan berkuda ini
seorang laki-laki bangsa Uigior bertubuh kekar gagah berusia
limapu-luhan. Begitu melihat orang ini seketika Lomana berjingkrak sambil
berteriak, "Ayah, kenapa kau berburu sampai sejauh ini?" Temyata
pemimpin rombongan pemburu ini adalah ayahnya, Lohay.
Mendadak melihat puterinya, Lohay juga kegirangan, serunya,
"Kalian sudah kembali, seorang lagi"."
"Seorang tamu agung yang amat kau rindukan," seru Lomana.
Kejap lain Beng Hoa juga sudah melarikan kudanya menghampiri
mereka. Lohay kegirangan, katanya, "Aku khawatir kalian tidak berhasil
menemukan Beng-siauhiap, sebelum tiba di Thian-san sudah
kesamplok orang jahat Sungguh tak nyana kalian malah pulang
bersama, legalah hatiku."
"Biar ayah senang, siluman rambut merah sudah mati di Thiansan,
hanya keparat she Toan itu yang lolos, tapi yakin takkan berani
mcngganggu kita lagi." Setelah menceritakan pengalaman mereka,
lalu tanyanya kepada sang ayah, "Ayah, untuk apa kalian berada di
sini" Ku-kira bukan lantaran berburu bukan?" Belasan pengiring
ayahnya adalah orang-orang penting dalam suku Wana mereka.
Seorang tianglo berkata dengan tertawa, "Sudah tentu bukan
untuk berburu, ayahmu hendak menghadiri upacara jabatan."
Lomana melenggong, tanyanya, "Upacara jabatan apa?"
Tianglo itu tertawa; katanya, "Jabatan sebagai pemimpin umum
para kepala suku Uigior kita. Hayolah lekas memberi selamat kepada
ayahmu." Pemimpin umum kepala suku Uigior sudah berusia lanjut. sejak
lama sudah mohon mengundurkan diri, dua bulan yang lalu,
menurut peraturan adat suku mereka, seluruh kepala suku Uigior
telah diundang untuk rapat memilih calon penggantinya, ternyata
hasil rapat besar itu secara mutlak memilih kepala suku Wana yaitu
Lohay sebagai pemimpin umum mereka.
Suku Uigior adalah salah satu suku bangsa yang pandai
berperang, bila seluruh suku minoritas di Sin-kiang bisa bersatu
padu, mereka akan merupakan barisan besar yang kuat untuk
membendung serbuan pasukan kerajaan. Sudah tentu Beng Hoa
gembira mendengar berita baik dan bahagia ini, bersama Lomana
dan Santala segera dia memberi selamat.
Lohay berkata, "Sebetulnya tak berani aku memikul tugas bcrat
ini, tapi setelah kupikir secara mendalam, jika aku sudah menjadi
pemim-pin umum dari seluruh suku bangsa kita, aku bisa bekerja
sama dengan laskar gerilya kalian yang berpang-kalan di Jik-tat-bok,
mclawan serbuan pasukan besar kerajaan Ceng, satu sama lain bisa
saling bantu, karena ingat akan kepentingan kerja sama inilah maka
aku terima jabatan ini."
Apa yang diutarakan Lohay me-mang isi hati Beng Hoa juga,
namun Lohay telah melontarkan isihatinya lebih dulu, karuan Beng
Hoa kegirangan, katanya, "Berita ini akan kubawa pulang ke Jik-tatbok,
akan kuminta kepada Leng-thauling mengirim seorang duta
kemari membuat perjanjian damai dan kerja sama demi
kepentingan dua pihak. Sekarang biar kuhaturkan selamat dan
terima kasih." Lohay bergelak tawa, katanya, "Kita bakal saling bantu, kenapa
terima kasih segala" Dan lagi hubungan kita sudah amat dekat dan
akrab, jadi tidak perlu formalitas mengirim duta segala, kan sudah
cukup aku berbicara dengan kau. Tapi kalau pihak kalian ingin kerja
sama ini ditingkatkan dengan cara resmi, juga boleh saja. Karena itu
kumohon kehadiranmu di Su-kek-cau-beng untuk hadir dalam
upacara jabatan ini, setelah upacara selesai dilanjutkan janji setia
minum arak darah dengan kau."
"Sepatutnya aku menghadiri upacara besar dan langsung
membe-ri selamat dan mengadakan ikatan janji pada hari itu juga.
Tapi kebetulan aku punya tugas penting lainnya di tempat lain,
terpaksa aku mohon maaf karena tak bisa memenuhi undanganmu."
"Kalau kau punya urusan penting, aku tak bisa memaksamu.
Tapi hari sudah petang, berapa jauh perjalanan yang bisa kau
tempuh, lebih baik kau bermalam saja di sini bersama kami, ada
berita baik yang perlu kusampaikan kepadamu."
Beng Hoa setuju, lalu tanyanya, "Berita baik apa?"
"Menurut adat kami, ada berita baik harus dirayakan sambil
minum arak. Nanti setelah kita mulai perjamuan baru akan
kusampaikan." Maka mereka sibuk mendirikan perkemahan, ada yang sibuk
mengumpulkan ranting dan membuat api unggun, memanggang
daging babi hutan. Mereka membawa beberapa kantong arak susu kambing, sambil
makan daging panggang, mereka duduk bcrkeliling di atas rumput,
mulai mengiris daging dan minum arak.
Setengah kantong arak telah masuk perut Lohay, hatinya
memang gembira, dengan bergelak tawa dia berkata, "Sebelum
bicara tentang berita baik itu, terlebih dulu aku harus mengucap
terima kasih kepadamu."
Beng Hoa melenggong, tanya-nya, "Apa sangkut pautnya berita
baik ini denganku?" "Ada tiga sebab kenapa siluman rambut merah bersama keparat
she Toan itu mengasingkan diri di daerah kami sekian lamanya.
Rahasia yang mereka bicarakan berhasil kau curi dengar,
belakangan kau beritahukan pula kepada nona Leng, akhirnya nona
Leng memberi tahuku. Apa kau masih ingat tentang soal apa?"
"Ya, ingat," sent Beng Hoa ber-tcpuk tangan.
"Coba kau katakan sekali lagi."
"Sebab pertama adalah mereka sudah mengira kau akan terpilih
sebagai pemimpin umum kepala suku bangsamu, bocah she Toan
itu berusaha memikat puterimu, supaya kelak mereka bisa menjadi
raja daerah Sinkiang ini setelah menjatuhkan kedudukanmu. Kedua
bertujuan merebut Bu-kang-pit-kip berbahasa Persia ini dari
tanganmu. Ketiga mereka tahu di daerah kalian ini ada tambang
batu jade yang belum pernah ditemukan orang."
Lohay menyeringai, katanya, "Mereka bertujuan jahat hendak
mencelakai kita, di luar dugaan reje-ki justru menjadi milik kita
malah. Puteriku sekarang sudah punya sua-mi, Bu-kang-pit-kip itu
kini sudah di tanganmu, tambang bam jade yang selama ini belum
ditemukan orang itu, sebelum aku berangkat juga sudah ditemukan.
Coba kata-kan, bukankah pantas aku mengucapkan terima kasih
kepadamu yang telah memberi tahu rahasia ini?"
Beng Hoa tertawa katanya, "Betul, tapi aku juga harus berterima
kasih kepada mereka. Kelo (pang-gilan kepada pemimpin besar),
kalian sudah menemukan tambang batu jade itu, kchidupan rakyat
kalian selanjutnya bakal lebih baik, sejahtera dan sentosa, mereka
harus dibimbing supaya taraf hidup me-reka lebih tinggi. Sungguh
berita gembira yang patut dirayakan dan diberi selamat."
Lohay menjelaskan lebih lanjut, "Setelah pulang dari penobatan
jabatan besarku ini, tambang batu jade itu sudah akan mulai kugali.
Bila penggalian itu berhasil baik, kelak harus kuminta bantuan para
sahabat dari Jik-tat-bok untuk men-jual ke luar daerah. Bukan saja
taraf kehidupan rakyat kami bisa ditingkatkan, ransum dan
perbekalan laskar rakyat kalian juga kurasa tidak perlu khawatir
lagi." "Bagus, rencana kerja kelo yang baik ini akan kusampaikan
kepada Leng-thauling."
"Baik, semoga sukses kerja sama kita," Lalu mereka
menghabiskan tiga cawan bersama, kata Lohay lebih lanjut,
"Kuharapkan kedatanganmu secepatnya ke daerah kami, beberapa
bulan lagi suku bangsa kami akan mengadakan perayaan Jagal
Kambing lagi. Kali ini kuharap kau hadir dengan nona kesayangan".
Lomana tertawa, timbrungnya, "Ayah, aku sudah mewakili kau
mengundangnya. Tapi apa kau tahu siapa nona kesayangannya?"
"Kau berkata demikian, berarti dia sudah memberi tahu
kepadamu. Lekas beritahukan kepada ayah."
"Setelah kau kuberi tahu pasti kau amat senang. Kekasih Bengtoako
adalah puteri Kim tayhiap."
"Ha, Kim Tiok-liu Kim tayhiap maksudmu?" teriak Lohay terbeliak
girang. "Kecuali Kim Tiok-liu Kim tay-hiap rasanya tiada orang lain she
Kim di dunia ini yang patut disebut tayhiap."
"Wah, bagus sekali. Kim tayhiap seperti ayahmu, pahlawan
bangsa Han kalian yang kami kagumi." Seperti ingat sesuatu, Lohay
segera menyambung dengan tertawa, "Syukur kau menyinggung
Kim tayhiap, hampir saja kulupakan satu hal yang harus
kuberitahukan kepada kalian."
"Ada kejadian apa ayah?" tanya Lomana.
"Seorang murid Kim tayhiap setengah bulan yang lalu pernah
lewat daerah kita, dia mencari tahu jejak suheng-nya yaitu putera
Kim tayhiap. Padahal kapan putera Kim tayhiap berada di daerah
Sinkiang, aku justru tidak pernah tahu."
"Apakah pemuda itu bemama Kang Siang-hun, murid kedua Kim
tayhiap?" "Betul, dia mencari tahu berita dirimu dan Utti tayhiap.
Kukatakan kau sudah pergi ke Thian-san. Apa kau tidak bersua
dengan dia?" "Tidak, tapi aku ketemu dengan suheng-nya." Laju Beng Hoa
men-ceritakan pengalamannya waktu
menolong Kim Bik-hong yang terkepung kawanan lembu liar, lalu
tambahnya, "Bercerita tentang pe-ngalaman aneh itu aku harus
mohon maaf kepadamu."
Lohay melenggong, katanya, "Lho, kau menolong putera Kim
tayhiap, usaha baik, kenapa mohon maaf kepadaku malah?"
"Bukan soal pertolongan itu, tapi tentang kuda yang kupinjam
dari kau itu. Kedua hal ini ada sangkut pautnya."
"Oh, memang aku ingin tanya, kenapa kau berganti kuda?"
"Dengan kuda tunggangan ini aku sudah berganti tiga ekor
kuda. Pertama adalah kuda pinjaman itu, di tengah jalan aku
dicegat dan terperangkap, kudamu itu mati terpanah. Belakang di
Thian-long-ce aku mendapat seekor kuda milik Kang Poh, semula
kuda itu akan kukembalikan kepadamu."
"Nanti dulu," seru Lohay me-lengak. "Kang Poh adalah buaya
darat kejam terkenal di Tibet, kenapa kau punya hubungan dengan
dia?" "Bukan dia yang memberi kuda itu kepadaku, tapi berhasil
kurebut dari tangannya. Bajingan besar itu juga musuhku."
Lalu dia ceritakan bagaimana Kang Poh melarikan diri ke Wikiang,
bersekongkol dengan jago-jago kerajaan pergi ke Thian-longce
minta perlindungan dan hendak menghasut kepala suku Thianlongce supaya menjadi antek kerajaan, mungkin mimpi pun tak
pernah terpikir olehnya, di sana dia bakal bertemu dengan Beng
Hoa dan Utti Keng. Antek-antek kerajaan memang berhasil lolos,
tapi Kang Poh berhasil dibekuk. Pemimpin suku Thian-long-ce akan
menggusumya pulang ke Tibet diserahkan kepada musuhnya yang
dulu pemah ditindas dan disiksanya. Maka kuda kesayangannya itu
menjadi milik Beng Hoa. Orang banyak bertepuk girang setelah mendengar nasib Kang
Poh yang jahat. Beng Hoa bicara lebih jauh, "Kuda Kang Poh itu sebetulnya akan
kukembalikan kepadamu, tapi karena Kim Bik-hong terkilir tulang
pahanya, maka kuberikan kepada-nya,"
"Tindakanmu baik sekali, kudaku itu memang sudah kuberikan
kepadamu, kenapa harus dikembalikan segala" Kalau bicara soal
pinjam meminjam lagi, berarti kau anggap aku ini orang luar."
Fajar baru saja menyingsing, Beng Hoa lantas mohon diri kepada
Lohay dan rombongannya, Lomana dan Santala mengantarnya
sampai beberapa li, mereka berat berpisah.
Karena tak usah mengantar Lomana pulang ke rumahnya, maka
waktu Beng Hoa lebih panjang. Saat itu pertengahan bulan
pertama, masih limapuluhan hari dari pertemuan besar di Kongtongsan, maka tidak perlu tergesa-gesa menempuh perjalanan.
Tapi setelah dia mendengar berita tentang Kang Siang-hun,
perasaan hatinya menjadi timbul tenggelam. Kim Bik-hong engkoh
Kim Bik-ki sudah memahami pribadinya, apakah Kang Siang-hun
yang angkuh dan sombong itu masih menaruh permusuhan
terhadap dirinya" Hari itu dia tiba di Lo-poh-pe, daerah yang sudah dekat dengan
propinsi Kamsiok, sepuluh hari perjalanan lagi dia sudah akan tiba di
Giok-bun-koan. Perjalanan sepuluh hari ini justru lebih sukar
ditempuh karena daerah ini sudah termasuk padang pasir.
Waktu itu menjelang lohor. Beng Hoa sedang mencongklang
kuda tunggangannya di padang pasir, mendadak dia bertemu angin
badai yang mengamuk. Mentari terik, pasir terasa panas menyengat
kulit. Alam semesta seperti berhenti bernapas, kehidupan ini seolaholah
berhenti. Yang bergerak hanyalah pasir yang mengalir.
Tapi begitu badai tiba, dunia seolah-olah berontak dan berubah
bentuknya. Aliran pasir yang berge-rak tertiup angin mendadak
seperti mengamuk oleh permainan badai. Gelombangnya tidak kalah
dahsyat dari amukan ombak di tengah samudera raya
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untung Santala pemah memberi pelajaran bagaimana seseorang
harus menghadapi amukan pasir di tengah badai. Lekas Beng Hoa
me-lompat turun serta bcrjalan melawan arah badai, akhirnya
ditemukannya sebuah gundukan tanah di mana tanahnya terasa
agak kcras, terus mendekam berdampingan dengan kudanya.
Untung badai yang mengamuk ini bukan Liong-kian-hong (Naga
menggulung angin). Kalau bertemu dengan amukan badai Naga
Meng-gulung Angin, serombongan pedagang, kuda dan unta pun
bisa terpendam mati di bawah pasir.
Kelihatannya memang mudah, tapi ternyata sukar menghindar
dari timbunan pasir, terasa oleh Beng Hoa badannya tertindih makin
berat, napasnya juga makin berat Untung Iwekangnya tangguh,
karena teruruk pasir, dia harus menahan napas, bila sudah susah
ditahan bam perlahan dia tarik dan ganti napas. Syukurdia tidak
mati karena pengap. Akan tetapi keadaannya sudah mendckati
terkubur hidup-hidup. Untunglah di saat Beng Hoa hampir pingsan karena sesak napas,
badai telah bcrlalu. Perlahan Beng Hoa menggerakkan badan hingga
pasir yang menguruk badannya berguguran, lalu.menarik napas
segar, semangatnya sudah berangsur pulih. Cepat dia menarik
kudanya dari timbunan pasir, sayang sekali kudanya sudah mati.
Sebelum memasuki padang pasir Beng Hoa sudah mcmbawa
banyak perbekalan ransum dan kantong air yang disimpan dalam
kantong kulit yang lebih besar, syukur kantong makanannya masih
utuh, setelah minum dan makan ala kadamya, Beng Hoa beristirahat
memulihkan tenaga. Di saat dia berdiri dan siap melanjutkan perjalanan, tiba-tiba
didengarnya suara lemah seseorang yang minta tolong. Lekas Beng
Hoa memburu ke arah datangnya suara. Hanya kepala orang yang
kelihatan, ternyata orang ini terbenam di dalam aliran pasir, sekejap
lagi nyawanya bakal amblas bersama raganya tersedot ke dalam
pasir. Badai sudah berhenti tapi pasir masih terus mengalir, berpusar
seperti air. Dari buku Beng Hoa pernah membaca pengalaman
seorang pengelana yang ikut rombongan kafilah, dalam buku itu dia
membaca banyak pengalaman dan cara bagaimana menghadapi
berbagai bahaya di padang pasir.
Untuk menolong orang ini sebetulnya dia harus menunggu
beberapa saat lagi, setelah pusaran pasir agak lambat baru memberi
pertolongan. Tapi jiwa orang terancam, mana boleh membuang
waktu. Beng Hoa tidak tahu apakah orang ini pandai silat, umpama
pandai silat entah mahir menggunakan ilmu pernapasan, jadi meski
terpendam dibawah pasir, dia masih kuat bertahan sctengah jam.
Menolong jiwa orang lebih besar jasanya daripada membangun
menara tujuh tingkat. Beng Hoa tahu dalam keadaan sekarang amat
berbahaya memberi pertolongan, namun dia nekad. Segera dia
mengembangkan ginkang, dengan Dak-soat-bu-heng (Menginjak
salju tanpa bekas) langsung memburu ke tengah.
Di luar tahunya aliran pasir jauh lebih sukar dipijak danpada
permukaan salju, meski dia mahir Dak-soat-bu-heng. namun tak
mungkin bisa berpijak di pasir mengalir. Baru saja dua kali
lompatan, baru kakinya menyentuh pasir, tubuhnya lantas terbenam
sedalam setengah lutut. Untung pusaran pasir tidak keras, lekas
Beng Hoa melompat sambil menarik kaki, dengan seluruh
kekuatannya dia melambungkan tubuh ke udara, lalu berjumpalitan,
lepas dari pusat pusaran pasir. Tanpa terasa keringal dingin sudah
membasahi jidatnya. Kedua mata orang Hu tak bisa dibuka, namum dia tahu ada
orang berusaha menolong dirinya. Di saat dia berteriak, "Tolong,
tolong!", mendadak pasir bergerak dan tubuhnya tersedot
terbenam, tinggal kepalanya yang pelontos saja kelihatan di
permukaan pasir. Berapa saat kemudian, terlihat orang itu mulai mengangkat
kedua tangannya, malah bisa bergerak seperti orang menari. Lega
hati Beng Hoa, dia duga orang ini pasti punya bekal lwekang yang
tangguh. Tiga tombak dari aliran pasir terdapat sebuah batu, untuk
mencapai batu itu Beng Hoa harus melompati selokan pasir yang
terus bergerak. Beng Hoa menggunakan pedang sebagai tongkat,
dia incar sebuah batu di tengah selokan pasir, sekali lompat dia gun
akan ujung pedang menutul batu kecil itu, meminjam daya pantul,
dia berhasil hinggap di atas batu pasir, kini jarak-nya lebih dekat
dengan orang itu. Tapi dalam jarak tiga tombak jelas tak mungkin
menolong orang, karena di sekeliling orang itu tiada tempat
berpijak. Berkerut alis Beng Hoa, sekilas berpikir, timbul akalnya. Segera
ditanggalkan jaket kulit kambing yang dipakainya, jaket kulit ini dia
sobek-sobek dijadikan tali lalu disambung sebagai tambang terus
dilempar. "Tangkap" serunya. Beberapa kali baru orang itu berhasil
meraihnya dan memegang kencang dengan kedua tangan. Periahan
tapi pasti Beng Hoa menarik sekuat tenaga, syukur orang itu tertarik
keluar akhirnya berhasil diangkatnya ke atas batu. Sungguh kasihan,
keadaannya sudah mirip orang mati, kembang kempis kchabisan
tenaga, kalau terlambat sekejap lagi jiwanya pasti melayang.
Lekas Beng Hoa memberi minum beberapa teguk. Beberapa kejap
lagi baru orang itu mulai bergerak dan siurnan, katanya lemah,
"Terima kasih atas pertolonganmu. Mohon tanya entah siapa nama
mulia tuan penolong?"
Seperti juga keadaan Beng Hoa, sekujur badan orang ini pun
kotor berpasir, masing-masing sukar mengenali wajah asli. Tapi
Beng Hoa sudah tahu kalau orang yang ditolongnya adalah seorang
hwesio, karena kepalanya yang gundul ada tanda selomotan hio
warna hitam. Mendengar suara orang tergerak hati Beng Hoa, tanpa menjawab
dia keluarkan sapu tangan, setelah dibasahi air dia membersihkan
muka orang, setelah melihat jelas wajah orang seketika dia
terperanjat, ben-taknya, "He, jadi kau ini Pek-san Hwesio."
Pek-san Hwesio adalah begundal Kiat Hong, murid murtad Siaulimsi. Setelah lepas dari Siau-lim-si, dia banyak melakukan
kejahatan di Kangouw. Piaukiok ayah Teng Bing-cu menjadi
bangkrut karena perbuatan Kiat Hong. Kebetulan tempo hari Kiat
Hong dan Pek-san Hwesio kepergok Beng Hoa waktu mengejar
Teng Bing-cu di luarkota Cau-hoat. Beng Hoa berhasil mengusir
mereka. Kiat Hong suka berbuat sewenang-wenang, hal ini jelas diketahui
oleh Beng Hoa. Tapi Pek-san Hwesio belum banyak melakukan
perbuatan tercela, hal ini Beng Hoa jelas. Tapi hari ini dia menolong
seorang jahat Sungguh tak nyana orang yang ditolongnya dengan
susah payah dan penuh bahaya adalah musuh besar Teng Bing-cu,
dapatlah dibayangkan betapa kaget, heran dan kesal hatinya.
Kesadaran Pek-san Hwesio baru saja pulih, mendengar orang
menyebut gelamya, dia tampak bingung, katanya gemetar, "Siapa
kau, dari mana kau tahu gelaranku."
"Masa kau tidak mengenalku lagi" Pentang matamu dan lihat
jelas," sembari bicara Beng Hoa membersihkan mukanya.
"Haya!" Pek-san Hwesio menjerit kaget sambil berjingkrak
bangun, tapi tenaganya masih lemah, kontan dia terbanting jatuh
lagi. Insyaf tak mampu melawan, akhirnya Pek-san Hwesio
merangkak duduk, katanya getir, "Beng-sauhiap, bunuhlah aku."
Sudah tentu Beng Hoa tidak membunuh orang yang lemah,
katanya dengan tawa getir, "Aku sudah susah payah menolongmu,
jelas tidak akan membunuhmu. Hayo bangun, aku hanya ingin kau
bicara jujur kepadaku."
Pek-san Hwesio mengira jatuh di tangan Beng Hoa dirinya pasti
mati, tak nyana anak muda ini bermurah hati, tcrsipu-sipu dia
mengucapkan terima kasih, katanya, "Beng-siau-hiap, tanpa kau
tanya aku juga ingin berterus terang kepadamu." Tanpa bertanya
soal apa yang ingin diketahui Beng Hoa, dia sudah melanjutkan,
"Beng-siauhiap, dosaku hari itu memang patut dihukum mati, aku
menjadi begundal Kiat Hong, membantu dia membuat kejahatan
hendak menangkap nona kesayanganmu. Legakanlah hatimu karena
nona itu sekarang sudah selamat sampai di rumahnya. Piaukiok
ayahnya juga sudah dibuka lagi."
Beng Hoa tahu orang salah paham, katanya, "Nona Teng adalah
temanku, jangan kau menduga-duga yang tidak betul. Tapi aku
memang ingin tahu keadaannya, teruskan."
Pek-san Hwesio mengira Beng Hoa rikuh dan malu, maka dia
berkata lebih lanjut, "Beng-siauhiap, biar kuberi tahu berita baik
lagi. Dari sini kau menempuh perjalanan pulang, kemungkinan kau
bisa bertemu dengan nona Teng."
"Lho, bukankah tadi kau bilang dia sudah pulang ke rumah?"
"Dia bersama susiok-nya she Ting itu, setelah piaukiok ayahnya
dibuka, dia pergi lagi. Beng-siau-hiap, mohon maaf akan
kelancanganku mohon banruanmu."
"Membantu apa?"
"Dulu Kiat Hong mengejar dan hendak menangkap nona Teng,
sekarang justru sebaliknya nona Teng bersama sang susiok
mengejar dan hendak membekuk Kiat Hong. Memang salahku
kenapa mau dihasut dan ditipu menjadi kawan Kiat Hong melakukan
kejahatan, aku khawatir mereka menganggap aku juga kawanan
penjahat yang harus diberantas. Bila kau bertemu dengan nona
Teng, mohon kau memberi penjelasan kepadanya, aku betul-betul
sudah bertobat." "Asa! kau bicara setulus hati, betul-betul bertobat dan
menginsyafi kesalahanmu, aku sih boleh memberi penjelasan
kepada mereka, supaya mereka tidak mencari perkara kepadamu."
Lega hati Pek-san Hwesio. Lalu dia menceritakan apa yang
diketahuinya. Setelah Teng Bing-cu pulang bersama sang susiok, sang susiok
sengaja disembunyikan supaya orang luar tidak tahu. Di saat
ayahnya membuka lagi usaha piaukiok-nya, Kiat Hong temyata
meluruk datang mencari permusuhan, akibatnya dia dikalahkan oleh
ilmu pedang Ting Tiau-bing.
"Terus terang karena tamak harta dan kedudukan saja hingga
aku terhasut dan diajak Kiat Hong melakukan kejahatan. Apalagi
ilmu silat Siau-lim-si terkenal di seluruh jagat, aku ingin minta
pelajaran silat Siau-lim-si, sehingga tanpa sadar telah diperalat
olehnya, banyak membantu dia melakukan kejahatan. Tapi setelah
kejadian di rumah nona Teng, aku insyaf dia sengaja mencari
perkara kepada orang yang tidak berdosa, waktu dia mencari
perkara dengan piaukiok keluarga Teng, untung aku tidak ikut serta.
Tapi setelah dia gagal dia mengancam aku untuk membantunya
menempur Ting Tiau-bing."
"Dan kau ikut dia tidak?"
"Sudah tentu aku tidak mau, tapi di bawah hasutan dan
ancamannya, bagaimana aku bisa meloloskan diri."
"Jadi kau tunduk juga di bawah ancamannya?"
"Untunglah di saat aku terpojok oleh desakannya, dia sendiri
sudah sibuk menyelamatkan diri."
"Kiat Hong keparat itu menarikmu sebagai pembantu untuk
menghadapi Ting Tiau-bing, pasti dia sudah punya keyakinan tentu
menang, kenapa malah melarikan diri?"
"Soalnya Kiat Hong kelewat takaran berbuat jahat, yang hendak
membekuk dia bukan hanya Ting Tiau-bing atau keluarga Teng dan
para piausunya saja."
"Jadi masih ada siapa lagi?"
"Dia melarikan diri dari Siau-lim-si secara diam-diam, coba pikir
Siau-lim-pay adalah aliran murni yang diakui kaum persilatan, mana
boleh melahirkan seorang murid murtad yang jahat" Apalagi selama
ini perbuatan jahatnya di Kangouw sudah terlampau ganas."
"O, jadi pihak Siau-lim mengutus orang untuk menangkap dan
menghukum dirinya?" " Ya, Siau-lim-pay sudah berniat membekuknya untuk mencuci
bersih nama baik perguruan. Sebelum ini mereka tidak bertindak
karena tidak tahu di mana jejaknya, begitu dia membuat onar di
keluarga Teng, empat murid tertua Siau-lim-si segera datang. Kiat
Hong sering merampok barang kawalan beberapa piaukiok sehingga
menimbulkan kemarahan masal, ada puluhan piausu yang ikut
menggerebek dia Piaukiok keluarga Teng baru dibuka lagi, maka
beliau hanya menyuruh sute dan puterinya yang tampil ke muka."
Lega dan gembira hati Beng Hoa, katanya tertawa, "Kejahatan
Kiat Hong memang kelewat batas, pantas kalau dia memperoleh
ganjaran setimpal. Tapi kau ikut terlibat urusan itu."
Pek-san Hwesio menghela napas, katanya, "Ya, salahku sendiri
kenapa berkawan dengan orang jahat Untung aku bisa melihat
gelagat, di tengah jalan aku berusaha melepaskan diri. Sekarang
aku akan pulang dan siap menerima hukuman dari guruku. Umpama
guru menghukum mati diriku juga lebih baik daripada dibekuk dan
disiksa orang lain, memalukan perguruan. Tapi para pengejarku
sudah terbagi dalam beberapa rombongan, aku khawatir sebelum
tiba di Jian-hud-si, para pendekar itu sudah membekukku lebih
dulu." "Kaum pendekar pandai membedakan salah dan benar, tidak
akan membunuh orang secara serampangan. Bila kau kepergok
mereka, asal kau ulangi pengakuan dosamu yang kau ucapkan
kepadaku di ha-dapan mereka, aku percaya mereka akan bermurah
hati memberi kebe-basan kepadamu. Bila aku bertemu mereka, aku
akan membantu menjelaskan kepada mereka." Lalu dia memberi
setengah ransum dan air minumnya. "Aku masih harus menempuh
perjalanan, setelah tenagamu pulih, lekas kau pulang ke Jian-hud-si
semoga kau betul-betul insyaf dan bertobat, selanjutnya rnembina
diri menjadi manusia baik-baik."
Karena kudanya sudah mati, ter-paksa Beng Hoa berjalan kaki.
Untunglah beberapa hari cuaca cerah, meski terik mentari masih
menyengat badan, tapi sepanjang jalan ini aman hingga dia keluar
dari padang pasir mulai memasuki wilayah Kam-siok.
Tanpa sengaja dia memperoleh berita Teng Bing-cu hatinya lega
dan senang. Di luar dugaan, sebelum dia bersua dengan Teng Bingcu
dan pamannya, dia malah bertemu dengan dua orang hwesio
Siau-lim-si, mereka adalah Cun-seng Siansu dan To-hian Siansu, dua
dari empat murid besar Siau-lim-si.
Sebetulnya Beng Hoa tidak kenal mereka namun Beng Hoa tahu
bahwa Siau-lim-si juga bergerak menangkap Kiat Hong. Melihat
kedua hwesio ini dalam hati ia sudah menduga siapa mereka,
sengaja dia memperlambat langkah sambil memperhatikan reaksi
mereka. Setelah dekat ternyata kedua hwesio itu menegur lebih dulu,
"Kisu, di tengah jalan apakah kau bertemu dengan dua orang" Satu
di antaranya seorang hwesio?"
Beng Hoa tertawa, katanya, "Aku tahu siapa yang hendak kalian
cari. Seorang bernama Kiat Hong, satu lagi adalah Pek-san Hwesio
betul tidak?" Kedua hwesio itu melengak, katanya, "Dari mana kau tahu?"
"Toa-suhu berdua datang dari Siau-lim-si bukan?" tanya Beng
Hoa Sebagai murid besar Siau-lim-si sudah tentu Cun-seng dan Tohian
memiliki kungfu tinggi, sekilas pandang mereka tahu Beng Hoa
pandai silat juga, namun yakin kepandaian sendiri cukup tangguh,
tak takut meski Beng Hoa begundal Kiat Hong. Setelah
memperkenalkan diri, sengaja mereka bertanya, "Dari mana kau
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu" Kenapa kami berada di sini kau juga tahu?"
"Kiat Hong adalah murid preman Siau-lim-pay kalian, kabarnya
mengkhianati perguruan. Lo-siansu berdua hendak membekuknya
pulang bukan?" "Betul. Kau belum menjawab pertanyaan kami, dari mana kau
tahu persoalan sebanyak itu?"
"Aku pemah bertemu dengan Pek-san Hwesio, dia memberi tahu
kepadaku. Tapi aku tidak bertemu dengan Kiat Hong yang ingin
kalian bekuk." Berubah air muka Cun-seng Siansu, katanya, "O, sebanyak itu
Pek-san memberi tahu kepadamu, mungkin kau punya hubungan
baik dengan dia?" "Punya hubungan sih tidak, tapi aku memang ingin mohon
pengampunan bagi dia"
Agaknya To-hian Siansu lebih berangasan, hampir saja dia
mengumbar adat, untung Cun-seng segera memberi kedipan mata
mencegah sang sute, katanya, "Kisu, kau mohon pengampunan bagi
dia?" "Pek-san Hwesio memang membantu kejahatan, tapi sekarang
dia sudah insyaf dan bertobat, mohon siansu berdua bermurah hati
biarlah dia pulang ke Jian-hud-si di Tun-hong."
---ooo0dw0ooo--- (bersambung jilid III) Sumber : djvu Manise Dimhader & Top Md Website
Trim"s yee Edited & Ebook: Dewi KZ
Tiraikasih website http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info/
http://dewikz.byethost22.com/ http://ebook-dewikz.com/
http://tiraikasih.co.cc/ http://cerita-silat.co.cc/
Cun-seng Siansu melenggong, katanya, "O, jadi dia hwesio dari
Jian-hud-si di Tun-hong, hal ini belum kuketahui, jadi gurunya ada"
lah...." "Gurunya adalah Ko-gwat Siansu, kepala Jian-hud-si di Tun-hong,
semoga kalian ingat sesama murid Budha, biarlah dia pulang
menyesali perbuatannya dan menerima hukuman perguruan."
Cun-seng Siansu terlongong sejenak, katanya, "Ko-gwat Siansu
amat keras menjaga peraturan, yakin dia akan menghukum
muridnya yang bersalah, syukurlah kami tak perlu banyak
mencampuri urusannya."
To-hian menimbrung, "Mulut orang belum tentu dapat dipercaya.
Suheng, kenapa kau percaya omongan orang yang tidak kau kenal,
membatalkan pengejaran terhadap komplotan penjahat?" Lalu dia
menoleh serta membentak Beng Hoa, "Siapa kau, perkenalkan
dirimu!" Dengan kalem Beng Hoa berkata, "Wanpwe she Beng bernama
Hoa." Cun-seng Siansu seperti pernah mendengar nama ini, dia
berjingkrak kaget, katanya, "Kau inikah Beng Hoa" Pernah apa kau
dengan Beng Goan-cau Beng tayhiap?"
"Beliau ayahku," sahut Beng Hoa.
Tiba-tiba To-hian menyela,
"Ilmu golok keluarga Beng tiada tandingan di kolong langit. Kalau
ayahmu betul Beng tayhiap, tentunya kau sudah mewarisi ajaran
keluarga?" "Wanpwe jarang berkumpul dengan ayah, meski mendapat warisannya tapi juga hanya menguasai kulitnya saja."
"Tak usah sungkan," ujar To-hian. "Aku tahu ilmu golok keluarga
Beng ada sejurus yang dinamakan Hun-mo-sam-but, demikian pula
ilmu golok Siau-lim-pay kami juga ada, entah di mana
persamaannya" Sejak lama ingin aku mohon petunjuk kepada Beng
tayhiap sayang belum ada kesempatan. Mohon kau sudi
mendemonstrasikan supaya terbuka mata kami, terlebih dulu biar
kutunjukkan kemahiranku."
Sembari bicara dia mencabut golok, tubuhnya melambung golok
terayun, sebatang pohon di pinggir jalan tahu-tahu roboh terpapas
kutung menjadi tiga, tapi arah jatuhnya berlawanan arah.
Permainan golok selihay dan secepat ini kecuali harus cepat dan
telak, penggunaan tenaga dalamnya juga harus diperhitungkan. Apa
yang dimainkan To-hian Siansu memang permainan golok kilat
tingkat atas. Seperti diketahui, Siau-lim-pay memiliki tujuhpuluh dua
jenis kepandaian, To-hian justru menggembleng diri dalam ilmu
golok. "Ilmu golok bagus," puji Beng
Hoa. "Wanpwe akan bermain golok di depan ahli, mohon
petunjuk." Di tengah suaranya, tampak cahaya hijau berkelebat,
tiga potongan dahan pohon yang terbang ke tiga arah itu tahu-tahu
sudah terpapas putus lagi masing-masing menjadi tiga, jadi tiga kali
tiga sembilan potong, anehnya, sembilan potong kayu ini jatuh
berjajar di depan To-hian Siansu, habis berkata potongan kayu itu
pun sudah tergeletak di tanah.
To-hian membungkuk memungut dahan-dahan kayu itu, satu
sama lain ternyata besar dan ukuran sama. Meski To-hian seorang
ahli golok terbaik Siau-lim-pay, mau tidak mau dia berdiri kaget dan
melongo. Maklum golok kilat memapas kutung dahan pohon menjadi tiga
potong, padahal dahan pohon itu tegak diam tak bergerak. Kini
dalam sejurus yang sama Beng Hoa mampu memotong putus tiga
dahan kayu yang mencelat berpencar menjadi tiga pula. Melulu
bicara kecepatan gerak goloknya, jelas tiga kali lipat lebih cepat dari
permainan golok To-hian. Lebih hebat lagi adalah Beng Hoa
menggunakan pedang memainkan ilmu golok, jelas permainannya
jauh lebih sukar. To-hian Siansu menjublek sekian lama, akhirnya menghela
napas, katanya, "Ilmu golok keluarga Beng memang tidak bernama
kosong. Sepatutnya akulah yang dikatakan main golok di depan
seorang ahli golok." Sekarang dia tidak curiga lagi siapa sebenarnya
Beng Hoa. Maka Beng Hoa bertanya, "Boanpwe pernah bertemu sekali
dengan Ting tayhiap Ting Tiau-bing. Kabarnya dia pun datang
bersama nona Teng, entah di mana mereka?"
"Semula kami memang seperjalanan, lima hari yang lalu terpaksa
berpencar di Ki-lian-san, mereka mengejar ke arah timur kamimenuju
ke barat. Beng-siauhiap hendak ke mana?"
"Aku akan pergi ke Kong-tong-san."
"Oh, ya, sepuluh hari lagi Kong-tong-pay mengadakan pertemuan
besar memilih clangbun baru. Sebetulnya aku juga menerima
undangan Tong-cin-cu ciangbun Kong-tong-pay, tapi aku tak punya
waktu ke sana. Beng-siauhiap, apa kau diundang untuk hadir?"
"Aku mana setimpal mendapat undangan. Tapi kudengar Kim
tayhiap akan hadir dalam pertemuan besar itu, aku ingin menemui
Kim tayhiap saja." Setelah berpisah dengan kedua paderi kosen Siau-lim-payy Beng
Hoa meneruskan perjalanan. Ternyata dia empat hari lebih dini tiba
di tempat tujuan, sayang selama enam hari perjalanan ini dia tidak
ketemu dengan Ting Tiau-bing dan Bing-cu. Beng Hoa memutuskan,
selama empat hari ini dia akan bersembunyi saja di atas gunung.
Tanpa terasa hari sudah petang. Beng Hoa menemukan sebuah
gua, ransum cukup untuk makan empat hari. Dia tidak berani tidur
terlalu nyenyak, maka hanya duduk semadi saja di dalam gua.
Setelah berdiskusi dengan Si-lo Hoatsu tiga bulan yang lalu, ajaran
lwekang Thio Tan-hong semakin dipahaminya, hingga latihan
lwekang-nya sekarang jauh lebih maju. Setelah menempuh
perjalanan sehari, badan memang cepat lelah, namun setelah
semadi bukan saja rasa kantuk hilang, pendengarannya malah lebih
tajam. Entah berapa lama kemudian, dari kejauhan samar-samar seperti
didengarnya percakapan orang, malah suaranya mirip perempuan,
sayang terlalu jauh, apa yang dibicarakan tidak jelas. Beng Hoa
heran, Kong-tong-pay tidak punya murid perempuan, kalau tamu
mana mungkin di tengah malam begini naik gunung" Segera Beng'
Hoa memusatkan perhatian, kini dia mulai jelas mendengar
percakapan. Suara perempuan itu berkata, "Paman Ting aku khawatir satu
hal." "Bing-cu," kali ini suara laki-laki, "apa yang kau khawatirkan?"
Itulah suara Ting Tiau-bing yang bicara dengan Teng Bing-cu.
Saking girang hampir saja Beng Hoa berteriak memburu keluar.
Untung dia masih kuat mengendalikan perasaan.
Sayang langkah kedua orang ini mendadak berhenti,
percakapannya juga makin lirih, seperti khawatir didengar orang
lain. "Cun-seng Siansu bilang, pertemuan besar Kong-tong-pay akan
diadakan beberapa hari ini?" tanya Teng Bing-cu.
"BetuI, tepatnya tanggal tiga bulan tiga, jadi masih ada empat
hari." "Kita tidak diundang, kalau ketemu orang mereka, apa tidak
menimbulkan kecurigaan mereka?"
"Kan masih empat hari. Gunung ini bukan milik pribadi mereka,
kita mengurus persoalan kita, asal tidak mengganggu mereka saja.
Jangan khawatir, kalau bertemu dengan mereka, aku bisa melayani
mereka." "Lebih baik kita bisa membekuk keparat itu sebelum pertemuan
besar itu dibuka. Kiat Hong keparat itu entah kenapa datang ke
Kong-tong-san" Susiok, apa kita tidak salah kuntit?"
"Tidak mungkin, aku tahu jelas dia lari ke Kong-tong-san."
"Pantasnya dia menyembunyikan diri di tempat sepi. Kong-tongpay
akan mengadakan pertemuan besar, tamu yang datang banyak,
jago-jago Bulim lagi, apa dia tidak takut jejaknya ketahuan?"
"Aku juga heran, tapi kalau dia hendak naik ke Ke-thay-hong
(Puncak kepala ayam) pasti akan lewat jalan ini."
"Kenapa, apa tidak bisa naik dari arah lain?"
"Bukan tidak bisa, tapi untuk mengelabui mata telinga orang
banyak jelas tidak mungkin."
"Maksudmu kemungkinan dia ada sekongkol dengan pihak Kongtongpay?" "Terserah bagaimana kau menduga. Gunung sebesar ini sukar
mencari jejak seseorang, biarlah kita bersembunyi di sini mengadu
nasib, daripada berputar-putar di hutan pegunungan."
Beng Hoa tahu mereka bersembunyi di tempat yang tak mungkin
dilihat orang, dalam hati menerawang bagaimana untuk bertemu
dengan mereka. Mendadak didengarnya gelak tawa lantang. Beng
Hoa melenggong, gelak tawa ini seperti sudah dikenalnya.
Didengarnya orang itu berkata, "Kiat Hong, bagaimana akalku
itu" Lega bukan hatimu" Setelah melewati Toan-hun-gay akan
langsung menuju ke Jing-hi-koan, siapa menduga kau bersembunyi
di biara mereka sebelum pertemuan besar Kong-tong-pay dimulai."
Kini menjadi jelas oleh Beng Hoa, yang bicara ini adalah wakil
komandan Gi-lim-kun yang pemah bentrok dengan dirinya di Cioklin,
waktu itu orang ke sana bersama Tong-hian-cu.
Dugaan Ting Tiau-bing memang tepat, Kiat Hong lari ke Kongtongsan, hanya di luar dugaan dia datang bersama Auwyang Ya.
Kong-tong-pay bukan aliran yang patuh kepada kerajaan, tapi
juga bukan golongan yang menentang kerajaan Ceng. Auwyang Ya
sudah mempunyai pangkat tinggi, meski keluarganya terpandang
juga dalam kalangan persilatan. Kalau Kong-tong-pay juga
mengundang dia, orang lain tidak boleh turut campur, namun orang
luar jelas akan menaruh curiga.
Beng Hoa menunggu, sebelum Ting Tiau-bing bertindak, dia tidak
akan keluar dan akan membantu bilamana perlu saja.
"Auwyang-tayjin, berkat pertolonganmu hingga aku terhindar dari
bencana, kelak kalau kau memerlukan tenaga, orang she Kiat
takkan menolak." "Ah, orang sendiri kenapa begini sungkan?"
"Terus terang aku sudah kehabisan akal dan tiada tempat
berpijak, sekarang legalah hatiku. Tapi bagaimana pihak Kong-tong,
apakah Tong-cin-cu mau menerima aku?"
"Jangan peduli kepada Tong-cin-cu. Persoalanmu sudah
kubicarakan dengan Tong-bing-cu, sekarang Tong-bing-cu yang
berkuasa di Kong-tong. Suheng-nya itu hanya ciangbunjin boneka."
"Tong-bing-cu sudah lama aku kenal, tapi keadaanku sekarang
apakah tidak menimbulkan kekhawatirannya" Sayang Tong-hian-cu
sudah mati, hubunganku lebih erat dengan dia."
"Kiat-heng," ucap Auwyang Ya. "Kau hanya tahu satu tidak tahu
yang kedua." "Yang kedua apa?"
"Aku tahu ada kelemahan Tong-hian-cu yang kau pegang, tapi
kau tidak tahu bahwa Tong-bing-cu juga punya andil dalam gerakan
rahasia itu bersama suheng-nya waktu masih hidup. Mereka suheng
dan sute sekongkol dalam menunaikan tugas itu, tapi di luar tahu
ciangbun suheng mereka."
Kiat Hong kegirangan, katanya,-"Jadi orang sendiri, kenapa aku
tidak tahu?" "Aneh," mendadak Auwyang Ya berseru keheranan.
"Apa yang aneh?"
"Kenapa Tong-bing-cu tidak kelihatan?"
"Apa kau sudah berjanji dengan Tong-bing-cu di sini" Kenapa
tidak kau beritahukan kepadaku tadi?"
"Akan kubuat kau kaget dan girang. Dia berjanji akan
menyambut kita di sini, kenapa belum juga tampak?"
"Kapan waktu yang dijanjikan?"
"Tengah malam. Sekarang sudah hampir lewat tengah malam."
"Kita naik saja sendiri."
"Jangan. Aku tamu undangan, kau sebaliknya bisa menimbulkan
curiga murid Kong-tong-pay, jangan sampai terjadi sesuatu yang
tidak diinginkan." "Ya, baiklah, tunggu saja."
"Nah itu, sudah datang." Lalu dia bersiul tiga kali, panjang
pendek panjang, lalu tarik suara berseru lantang, "Apakah Tongbing
toheng" Aku di sini."
Orang itu segera bersuara, "Auwyang-sianseng, atas perintah
suhu, tecu disuruh menyambut kedatanganmu bersama temanmu."
Bahwa dirinya bakal selamat tiba di atas gunung, Kiat Hong
menjadi lupa daratan, sambil menyongsong maju mulutnya
menggumam sendiri, "Ting Tiau-bing, mimpi pun kau takkan
mengira bahwa aku mendapat tempat yang aman dan sukar
ditemukan. Hehehe, setelah malam ini aku bisa tidur nyenyak
makan kenyang." Belum habis dia bicara, mendadak sesosok bayangan meluncur
turun dari udara hinggap di depannya.
"Hehe, justru kau yang tidak menduga bahwa aku sudah berada
di sini bukan?" Yang muncul ini bukan lain adalah Ting Tiau-bing.
Karuan kaget Kiat Hong bukan kepalang. "Sret" kontan Ting Tiaubing
menusuk dengan pedangnya. "Tang" kembang api berpijar,
walau sudah kembali preman senjata Kiat Hong tetap tongkat besar
yang berat dan kuat, yang dimainkan adalah Hong-mo-tio-hoat
ajaran murni Siau-lim-si, sungguh hebat dan kuat sekali.
Perlahan Beng Hoa keluar dari gua lalu mendekati tempat
pertempuran serta bersembunyi di belakang batu besar. Dia tahu
kepandaian Ting Tiau-bing di atas Kiat Hong, namun melihat orang
nekad, senjatanya berat lagi, dia khawatir pedangnya terketuk
Anak Pendekar Mu Ye Liu Xing Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lepas. Di tengah pijaran kembang api, Kiat Hong sempoyongan mundur.
Tongkat masih terpegang di tangannya, tapi dia sudah terdesak di
bawah angin. Pedang Ting Tiau-bing seperti lengket di tongkat besi
lawan, bukan tongkat Kiat Hong yang bermain tapi malah bergerak
mengikuti pelintiran pedang lawan. Pedang Ting Tiau-bing makin
menurun dan siap memapas jari-jari lawan.
Sekarang pandangan Beng Hoa sudah cukup tinggi, sekilas
menyaksikan permainan pedang Ting Tiau-bing dia sudah yakin
kepandaiannya berlipat dibandingkan Kiat Hong, tak perlu dirinya
khawatir keselamatannya. Mendadak Kiat Hong menggerung keras, tongkatnya bergerak
dengan Ki-hwe-liau-thian, jurus yang ganas dari Hong-mo-tio-hoat.
Sebagai salah satu ilmu dari Siau-lim-si, sudah tentu permainan
tongkat Kiat Hong tidak boleh dipandang enteng, pedang Ting Tiaubing
berhasil didesaknya pergi. Tapi bukan soal gampang untuk
merebut posisi, apalagi berbalik mengalahkan lawan.
Begitu tongkatnya berubah, pedang Ting Tiau-bing juga berubah.
Tenang seperti air, bergerak selincah kelinci. Di saat tongkat Kiat
Hong bergetar, mendadak tubuhnya melejit ke atas, kaki terangkat
menginjak ujung tongkat. Meminjam tenaga injakan, tubuhnya
lantas berbalik seperti burung terbang melampaui kepala Kiat Hong.
Sinar pedang laksana sambaran kilat, berputar satu lingkaran di
udara dengan jurus Beng-pok-kiu-siau, ubun-ubun kepala Kiat Hong
dijadikan sasaran tusukan pedangnya.
Hanya sekejap kedua pihak saling serang dengan beberapa jurus
yang ganas. Jelas Ting Tiau-bing di atas angin, betapapun kencang
amukan tongkat Kiat Hong, tetap dia terdesak di bawah angin,
setiap gerak tipu permainannya selalu dipatahkan oleh permainan
pedang lawan. Bukan lantaran Hong-mo-tio-hoat bukan tandingan
Thian-san-kiam-hoat, tapi Ting Tiau-bing lebih lincah, pedangnya
bergerak lebih cepat sehingga permainan tongkat Kiat Hong selalu
kandas di tengah jalan. Sejak bertanding pedang dengan Beng
Goan-cau tempto hari, tidak sedikit manfaat yang didapatnya hingga
golok kilat Beng Goan-cau tidak sedikit yang dikombinasikan dalam
permainan pedangnya. Setelah Tay-ciok Tojin murid Tong-bing-cu tiba, baru Auwyang
Ya akan memutuskan apakah dirinya perlu turun tangan. Tak nyana
hanya beberapa gebrak, Kiat Hong sudah terdesak, sementara Tayciok
Tojin masih jauh. Seolah-olah apa yang terjadi di sini tidak
dilihat atau diketahui, maka langkahnya santai sambil berlenggang,
terpaksa Auwyang Ya bertindak lebih dulu.
Ilmu sesat yang diyakinkan adalah Lui-sin-ciang. Lwekang-nya
belum setangguh Auwyang Tiong namun latihannya sudah
mencapai tingkat keenam. Begitu dia melontarkan pukulan, hawa
panas laksana angin tungku. Karena harus mengerahkan lwekang
menahan hawa panas, rangsakan Ting Tiau-bing menjadi agak
kendor. "Paman, biar kuhadapi pembesar anjing ini," sambil memutar
sepasang golok Teng Bing-cu melabrak maju.
"Budak busuk," maki Auwyang Ya "besarnya nyalimu, berani kau
memaki pembesar kerajaan, memangnya piaukiok ayahmu tidak
ingin buka lagi?" "Jangan kira aku gentar kau gertak, jangan jual lagak." Golok
pendek melindungi badan, golok panjang dibuat menyerang musuh
dengan jurus Jay-hong-kui-wu, sinar golok berkilauan, beruntun
menyerang tiga tempat mematikan di tubuh Auwyang Ya.
Sudah tentu Auwyang Ya mencak-mencak gusar, bentaknya,
"Biar kubunuh dulu budak busuk ini."
Di saat Teng Bing-cu merasa kepayahan, permainan goloknya
menjadi kacau dan ngawur, mendadak Ting Tiau-bing membentak,
"Berani kau melukai keponakanku, biar kubunuh kau lebih dulu."
Pedang panjang bergetar dengan jurus Liong-bun-sam-tiap-long
(Tiga gelombang di pintu naga) sekaligus menyerang dua musuh
yang berada di dua tempat. Sejurus tiga gerakan merupakan
permainan pedang yang hebat laksana pusaran deras di tengah
amukan gelombang. Dua pertiga tenaga sejurus tiga gerakan ini
untuk menghadapi Auwyang Ya, sepertiga untuk mendesak Kiat
Hong. Sudah tentu Auwyang Ya tak kuasa membendung kelihayan
pedangnya, lekas dia berjumpalitan mundur "Cret" lengan baju
kirinya tertabas secuil oleh pedang Ting Tiau-bing.
Kaget dan gugup Auwyang Ya dibuatnya, padahal dia menunggu
bantuan Tay-ciok Tojin. Bukan saja Auwyang Ya heran kenapa
orang yang ditunggu bantuannya tidak kunjung tiba, Beng Hoa
sendiri juga keheranan. Setelah selamat dari tusukan pedang lawan yang menusuk dada,
Auwyang Ya membentak, "Kalian tahu aturan Bulim tidak?"
Ting Tiau-bing mengejek, "Sampah persilatan seperti kalian juga
berani bicara tentang aturan Bulim."
Auwyang Ya berteriak, "Kami tamu Kong-tong-pay, kalian
mengganas di daerahnya, memangnya kalian pandang sebelah mata
orang-orang Kong-tong-pay" Jangan kau kira kematianku takkan
diketahui orang, sekarang aku menjalankan tugas bila aku tidak
pulang ke kota raja, Hay-tayjin pasti akan mencari diriku." Haytayjin
yang dimaksud adalah komandan Gi-lim-kun Hay Lan-ja.
Ting Tiau-bing keheranan, je-ngeknya, "Auwyang-tayjin, pangkat
dan tugasmu tiada sangkut paut dengan aku, salahmu sendiri
mentang-mentang sebagai pembesar melindungi durjana ini"
Syukur kalau kau tidak turut campur, jangan kau kira jabatanmu
dapat menggertak aku, Hay-tayjin sendiri juga tidak perlu kutakuti."
Sudah tentu Ting Tiau-bing tidak tahu perkataan Auwyang Ya
tadi dilontarkan kepada Tay-ciok Tojin, bukan saja mengancam Tayciok
untuk menolong dirinya, secara tidak langsung dia bilang
menjalankan tugas, berarti mengancam kedudukan dan jiwa Tongbingcu yang punya intrik dengan dirinya. Hal ini sudah diketahui
oleh Hay Lan-ja. Seruannya memang membawa hasil, terdengar Tay-ciok Tojin
menerobos keluar dari semak-semak seraya berteriak, "Ting
tayhiap, berilah muka kepada Kong-tong-pay kami, Auwyang-tayjin
memang tamu undangan kami."
"Dan orang ini?" tanya Ting
Tiau-bing menuding Kiat Hong, "dia juga tamu undangan?"
Tay-ciok bimbang, katanya, "Dia teman baik Auwyang-tayjin,
maka boleh dihitung tamu kami juga."
"Ah, memangnya kau tidak tahu siapa dia. Baiklah, biar
kujelaskan. Inilah murid murtad Siau-lim-pay yang banyak
melakukan kejahatan di Kangouw, bukan saja kaum pendekar tidak
akan memberi ampun kepadanya, Siau-lim-si juga akan mencuci
Pedang Hati Suci 6 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pahlawan Dan Kaisar 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama