Ceritasilat Novel Online

Bergelut Dalam Kemelut Takhta 3

Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 3


Senopati Gajah Enggon yang didampingi Gagak Bongol datang mendekat.
"Kakang Gajah memanggilku?" bertanya Gajah Enggon dengan sigap.
Gajah Mada tak menjawab pertanyaan itu karena tatapan matanya lekat tertuju pada arah yang semula menjadi arah telunjuk Wraha Kunjana yang menunjuk ke arah itulah pembunuh Panji Wiradapa melarikan diri.
Perlahan Gajah Mada berbalik dengan tatapan nyaris tidak berkedip tertuju pada Gajah Enggon dan Gagak Bongol, yang masing-masing merupakan pimpinan pasukan Bhayangkara dan wakilnya.
Oleh latihan kanuragan sebagai bekal prajurit, Gagak Bongol yang memegang pedang khusus bercirikan Bhayangkara terlihat gagah dengan tubuh kekar dan bagus. Akan tetapi, Gajah Enggon juga tak kalah. Meski sedikit lebih langsing dari teman yang sekaligus pesaingnya, Gajah Enggon atau Gajah Pradamba tampak beribawa dan tidak kalah sangar.
Pedang khusus Bhayangkara yang selalu melekat di tangan kirinya menyebabkan siapa pun akan berpikir dua kali bila berniat berurusan dengan prajurit yang selalu berbicara dengan nada amat tegas itu.
Akan tetapi, dibanding Gajah Enggon dan Gagak Bongol,
penampilan Gajah Mada benar-benar tak tertandingi. Kakinya adalah kaki yang kukuh, tangannya adalah tangan yang kekar, dan otot-ototnya paling melingkar. Gabungan kekuatan dari Gagak Bongol dan Gajah Enggon tidak akan mampu menggoyahkan kaki Gajah Mada dalam adu dorong, hal yang pernah dilakukan dalam sebuah latihan keprajuritan pada sebuah hari di masa lalu yang disaksikan secara langsung oleh 92
Gajah Mada mendiang Kalagemet. Melengkapi tubuhnya yang demikian gagah dan kekar, Gajah Mada memiliki otak yang cerdas, pendapat dan cara pandangnya adakalanya bahkan jauh tembus ke masa depan dan sering mengagetkan yang menyimaknya. Jayanegara termasuk orang yang sering terkaget-kaget mendengar gagasan yang keluar dari benak Gajah Mada.
Demikian kekar dan kuat tangan Patih Daha Gajah Mada sampai-sampai ia mampu menghantam bende Kiai Samudra dengan genggaman tangannya. Menggelegar suara bende terdengar sampai ke batas dinding kotaraja meski gong besar itu dipukul tidak menggunakan pemukul semestinya.
"Kamu masih bisa mengenali prajurit yang mati itu?"
Gajah Enggon dan Gagak Bongol bersamaan mendekat dan
memerhatikan tubuh yang gosong itu.
"Siapa orang ini, Kakang Gajah?" tanya Bongol.
"Kamu tidak bisa mengenali?" balas Gajah Mada.
Gajah Pradamba dan Gagak Bongol memerhatikan mayat dalam keadaan gosong itu dengan saksama. Dua orang pimpinan prajurit Bhayangkara itu berusaha mengenali lebih cermat, namun keadaan mayat itu sangat rusak untuk bisa ditandai jati dirinya. Gajah Enggon menggeleng tanda tak tahu, Gagak Bongol menyerah dengan
membalikkan wajah ke arah Gajah Mada.
"Pernah mendengar nama Panji Wiradapa?" tanya Gajah Mada.
Gagak Bongol dan Gajah Enggon terbelalak.
"Ini mayat Ki Panji Wiradapa?" tanya Gajah Enggon dengan raut muka sulit untuk percaya.
Sebagaimana Gajah Mada yang terkejut mengetahui orang yang terbunuh itu adalah Panji Wiradapa, demikian pula dengan Gagak Bongol dan Gajah Enggon. Ki Panji Wiradapa bukanlah nama yang terkenal, bahkan tidak banyak prajurit di Majapahit yang mengenal nama itu.
Namun, kalangan telik sandi Bhayangkara tidak mungkin menganggap nama Panji Wiradapa sebagai nama yang boleh diremehkan, lebih-lebih Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 93
setelah menyimak jejak sepak terjangnya dalam sebulan terakhir. Akan berbeda bila waktu ditarik mundur ke belakang, nama Panji Wiradapa sangat lekat dengan sosok Mahapati atau Ramapati yang petualangannya menyebabkan perang amat berdarah terjadi ketika Majapahit menggebuk Lumajang. Ketika itu, Panji Wiradapa tidak menggunakan namanya sekarang. Panji Wiradapa menggunakan nama aslinya. Panji Wiradapa yang sekarang justru merupakan nama palsu.
"Apa artinya ini?" tanya Gagak Bongol dengan raut muka tegang.
Gajah Mada tidak menjawab, tetapi menyerahkan pencarian
jawabnya kepada Gagak Bongol sendiri, juga Gajah Mada tidak berbicara apa pun pada Enggon. Raut muka Gajah Enggon menegang, matanya setengah mendelik, demikianlah kebiasaan Gajah Enggon ketika dilibas rasa penasaran.
"Siapa yang melakukan pembunuhan ini?" tanya Senopati Gajah Enggon.
"Aku serahkan penelusurannya kepadamu," jawab Gajah Mada.
"Berpikirlah dengan segenap rasa penasaran, Gajah Enggon. Bahwa malam ini Tuanku Baginda Jayanegara tewas terbunuh, ternyata pada malam yang sama, di dalam lingkungan istana, terjadi sebuah pembunuhan yang lain. Seseorang mati melalui pembunuhan pula.
Masalahnya yang mati adalah Ki Panji Wiradapa yang jejak jati dirinya baru kita temukan belum sebulan yang lalu. Kesamaan hari kematian itu, adakah hanya sebuah kebetulan atau ada kaitannya, apalagi bila kecurigaan itu bisa mengganggu para Tuan Putri Ratu dalam sidang menentukan siapa yang bakal ditunjuk menjadi raja menggantikan Tuanku Baginda. Jangan sampai para Tuan Putri Ratu mengambil pilihan yang salah. Sekali lagi, bukan anak-anaknya yang layak dipersoalkan, namun para calon suami mereka yang harus dipelototi dengan teliti."
Gagak Bongol terdiam dan berpikir keras, matanya terarah ke satu titik.
"Atau...bisa pula ada kaitannya dengan kematian Ra Tanca?"
"Mungkin!" jawab Gajah Mada tangkas. "Bisa juga berkaitan dengan Rakrian Tanca. Sebulan yang lalu kita memperoleh keterangan atas 94
Gajah Mada gerakan orang-orang yang berniat merebut kekuasaan. Mereka bicara soal bagaimana menguasai dampar andai Baginda Jayanegara tidak lagi berkuasa. Tiba-tiba sebulan kemudian Tuanku Baginda Jayanegara benar-benar kehilangan kekuasaan, bahkan nyawanya. Bisa jadi Ra Tanca berada di belakang permainan yang terjadi sebagaimana aku bilang, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Oleh karena itu, gunakan saluran sandi yang kita miliki untuk menemukan jawab dari pertanyaan yang terasa aneh ini."
Senopati Gajah Enggon menatap Gajah Mada dan tak berkedip.
"Kakang Gajah Mada tadi menyebut mengganggu para Tuan Putri Ratu dalam menentukan siapa pengganti Baginda?" tanya prajurit pilihan itu.
Gajah Mada seperti merasa enggan menjawab pertanyaan itu.
Pertanyaan yang terasa bodoh ketika persoalannya sudah demikian jelas.
"Tentu sangat mengganggu. Gerakan orang-orang tak tahu diri ini akan membuat suasana menjadi keruh. Pendapatku, seyogianya para Tuan Putri Ratu jangan sampai menyerahkan kedudukan yang menyangkut hidup dan mati serta masa depan negara kepada orang yang salah. Aku sangat yakin, kematian Panji Wiradapa ada kaitannya dengan hal itu,"
Gajah Mada menjawab. Wajah Gagak Bongol dan Gajah Enggon menegang. Apabila Gajah Mada sampai mengeluarkan pendapat macam itu, tentulah karena berasal dari pemikiran dan hitungan-hitungan yang mendalam. Dalam banyak hal Gajah Mada bahkan sering mengemukakan pendapat-pendapat yang tidak terduga dan membuat siapa pun yang mendengar akan terperangah, apalagi bila Gajah Mada berada di tempat berseberangan yang melawan arus atau pendapat umum dan ternyata Gajah Mada terbukti berada di pihak yang benar. Akan tetapi, apa yang diucapkan Gajah Mada itu masih belum sepenuhnya bisa dipahami. Enggon meletupkan rasa penasarannya itu.
"Sepeninggal Tuanku Jayanegara, tinggal memilih salah satu dari dua orang keturunan Baginda Wijaya, yaitu Sekar Kedaton Sri Gitarja Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 95
dan Sekar Kedaton Dyah Wiyat. Apa sulitnya memilih satu di antara mereka, masing-masing tidak memiliki cacat dan kekurangan."
Akan tetapi, dengan segera Bongol menemukan cara berpikir Gajah Mada.
"Masalahnya bukan pada para Sekar Kedaton," kata Bongol.
"Masalahnya ada pada para calon suami mereka dan orang-orang yang berada di belakang mereka. Termasuk orang yang sekarang hangus terbakar, bukankah demikian, Kakang Gajah?"
Gajah Mada tidak menjawab. Sosok berselubung teka-teki, Ki Panji Wiradapa itulah yang kini amat menyita perhatiannya. Sesungguhnyalah keberadaan orang bernama Panji Wiradapa itu pernah memberikan kecemasan tersendiri. Dalam sebulan terakhir telik sandi khusus telah dikirim untuk mengamati sepak terjangnya, tetapi manakala Panji Wiradapa itu mati, kecemasan itu segera membias dan berubah bentuk menjadi biang penasaran karena jawaban yang dibutuhkan belum tampil ke permukaan. Siapa pun pembunuh Panji Wiradapa agaknya mempunyai kepentingan yang sama meski berada di tempat yang berbeda.
"Kuberikan kewenangan sepenuhnya kepadamu, Gajah Enggon,"
Gajah Mada kembali menegaskan perintahnya. "Telusuri kematian aneh ini, cari latar belakangnya, temukan siapa pelakunya. Kamu boleh memecah tugas penyelanggaran pembakaran layon dengan pasukan dari kesatuan yang lain. Gunakan kekuatan telik sandi sepenuhnya."
"Baik, Kakang," Gajah Enggon menjawab dengan sigap dan tegas.
"Akan aku terjemahkan perintah Kakang Gajah dengan sebaik-baiknya."
Gajah Mada mengalihkan perhatiannya kepada Gagak Bongol.
"Sementara apa yang harus aku kerjakan, Kakang Gajah?" tanya Bongol.
"Ada sebuah pekerjaan besar yang harus dikerjakan dan aku menginginkan pekerjaan besar itu bisa dikerjakan dengan sempurna tanpa cacat. Walaupun belum ada perintah secara langsung dari para Tuan Putri Ratu, tetapi jelas bakal ada pencandian dan pendarmaan.
Kuserahkan pengendalian pekerjaan besar ini kepadamu."
96 Gajah Mada Mendadak meluap dada Gagak Bongol mendapat pekerjaan yang bukan jenis pekerjaan sembarangan itu. Memimpin pembuatan candi yang melibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang tentulah merupakan sebuah kehormatan. Gagak Bongol merasa, inilah saatnya ia kembali tampil setelah rasa bersalah berkepanjangan akibat tindakan yang keliru yang pernah dilakukannya, yang menyebabkan seorang prajurit tak bersalah mati tertebas kepalanya sebagai akibat tuduhan yang salah alamat.
Ketika itu Bango Lumayang, seorang prajurit Bhayangkara
pengkhianat yang menggunakan nama sandi Singa Parepen, yang ternyata kaki tangan Rakrian Kuti telah menebar fitnah yang keji. Akibat permainan licik Singa Parepen itu, seorang prajurit Bhayangkara lain harus kehilangan nyawa karena tertebas lehernya dari bilah pedang di tangannya. Kematian Mahisa Kingkin yang semula diduga kaki tangan Ra Kuti itu harus ditebus dan menjelma menjadi mimpi buruk berkepanjangan. Seorang prajurit lain bernama Pradhabasu yang membela Mahisa Kingkin menjadi demikian dendam kepadanya, bahkan permintaan maaf tidak meluruhkan hati Bhayangkara Pradhabasu.
Pradhabasu yang merasa sangat kehilangan teman mengambil pilihan mengundurkan diri, tidak lagi menjadi bagian pasukan Bhayangkara. Di sebuah desa yang tak jauh dari luar dinding kotaraja, Bhayangkara Pradhabasu menekuni pekerjaan bertani. Akibat peristiwa yang terjadi mendekati Bedander saat itu, Bhayangkara Gagak Bongol tidak lagi mendapat kepercayaan untuk pekerjaan-pekerjaan yang besar.
Justru Gajah Enggon yang melejit pangkatnya. Dengan pangkat senopati ia memegang kendali sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara, sementara Gagak Bongol hanya ditunjuk sebagai pendampingnya.
Setelah sekian lama, baru kali inilah Gagak Bongol diserahi pekerjaan yang amat terhormat itu. Untuk mendapat kepercayaan lagi, Gagak Bongol harus menunggu sembilan tahun lamanya.
"Akan aku selesaikan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya, Kakang Gajah," kata Bhayangkara Gagak Bongol.
"Sejak sekarang kau sudah boleh membuat rancangan yang harus kaulakukan, Gagak Bongol. Sementara itu, di mana pencandian akan dilakukan, aku usahakan malam ini sudah diketahui jawabnya."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 97
Banyak hal yang kemudian dibicarakan antara Gajah Mada, Gagak Bongol, dan Gajah Enggon. Ketika sang waktu menukik sedikit lebih tajam, mayat yang terbakar hangus itu akhirnya dipindahkan dari tempat itu. Langit tidak lagi tampak karena kabut yang turun merata membenamkan lembah dan ngarai di kaki Gunung Arjuno dan
Anjasmoro, menyebar membenamkan Kotaraja Majapahit ke dalam suasana yang temaram dan serba tidak jelas. Nun jauh di selatan, di wilayah Singasari, tempat leluhur para Raja Majapahit, tempat itu tersapu habis oleh gelombang kabut tebal yang berderap bagai barisan lampor 135
berburu bayi yang terlahir dari perselingkuhan.
8 Segenap sesaji untuk rangkaian upacara perkawinan telah disiapkan. Dengan disaksikan oleh jasad raja yang meninggal, direstui Ibu Ratu Tribhuaneswari, Ibu Ratu Narendraduhita, Ibu Ratu Pradnya Paramita dan dipimpin langsung oleh Ratu Biksuni Gayatri, perkawinan yang dilakukan dengan mendadak tanpa direncanakan itu dilaksanakan.
Perkawinan kali ini dilakukan lebih banyak diselubungi duka, jauh dari niat untuk bergembira. Itu sebabnya, pakaian yang dikenakan mempelai putri harus disesuaikan dengan keadaan. Pakaian yang dikenakan Raden Cakradara dan Kudamerta juga menyesuaikan dengan keadaan yang sedang berkabung. Di dalam perkawinan yang bakal mereka jalani, bangsawan dari Singasari dan Pamotan itu mengenakan jubah panjang berwarna putih dengan rambut di- gelung keling. Ikut menyaksikan perkawinan itu Arya Tadah mengenakan pakaian cara brahmana.
135 Lampor, Jawa, barisan hantu yang berbaris dengan membawa obor 98
Gajah Mada Tidak seorang pun yang hadir di ruangan itu yang berbicara. Para emban dan abdi dalem yang memperoleh kesempatan untuk
menyaksikan secara langsung menyimak dan memerhatikan dengan cermat dan saksama. Di antara yang hadir tak seorang pun tampak keluarga Raden Cakradara maupun Raden Kudamerta karena tak mungkin menghadirkan mereka malam itu juga. Setidaknya diperlukan waktu lebih dari sehari untuk pergi ke Pamotan mengundang sanak keluarga Raden Kudamerta, juga butuh waktu lebih dari sehari pulang dan pergi untuk menghadirkan sanak kadang Raden Cakradara dari Singasari.
Berdiri tak jauh dari Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, Mahapatih Arya Tadah terlihat sangat bahagia. Mahapatih Arya Tadah yang tua itu merasa bahkan mati pun ia ikhlas manakala melihat momongannya telah memasuki gerbang rumah tangganya. Bagi Mapatih Amangkubumi Arya Tadah, para Sekar Kedaton telah menyita banyak ruang kasih sayangnya.
Dalam menyayangi Sri Gitarja dan Dyah Wiyat memang tak ubahnya terhadap anak sendiri. Arya Tadah sendiri adalah orang yang tidak punya siapa-siapa. Istrinya telah meninggalkannya lebih dari sepuluh tahun lampau dan tidak meninggalkan keturunan. Arya Tadah tidak berniat untuk berumah tangga lagi. Kesetiaannya kepada mendiang istrinya harus ditebus dengan menduda sampai tua, bahkan telah diniati sampai mati.
Terhadap keadaan itu Sri Gitarja pernah menjodoh-jodohkan, misalnya dengan seorang emban abdi dalem istana, namun Mahapatih Arya Tadah menolak. Arya Tadah pilih menebus kesetiannya dengan tetap hidup sendiri dengan harapan, kelak manakala pintu gerbang kematian dibukakan untuknya, ia akan bertemu kembali dan hidup bersama di alam abadi dengan istri yang sangat dicintai. Pertemuan di wilayah pangrantunan 136 itu sangat diyakini akan terjadi, menyebabkan Arya Tadah adakalanya amat merindukan datangnya kematian.
Berbeda dengan wajah Cakradara dan Sri Gitarja yang berseri tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya menjalani perkawinan itu, Kudamerta tak bisa memusatkan perhatiannya pada acara yang sedang dan harus dijalaninya. Kematian Ki Panji Wiradapa mulai memunculkan 136 Pangrantunan, Jawa, penantian, alam lain setelah kematian Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 99
prasangka yang tumbuh dan mekar dengan cepat bagaikan jamur di tumpukan jerami yang membusuk. Kematian Panji Wiradapa sangat mengganggu pemusatan pikiran, membuat Raden Kudamerta seperti melayang, tidak menghayati rangkaian acara perkawinannya. Siapa pembunuh pamannya, pertanyaan itu sangat menggangu benaknya.
Demikian juga dengan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Ia merasa dua kakinya melayang tidak berpijak di atas tanah. Dyah Wiyat merasa apa yang harus dijalaninya kali ini benar-benar menjadi peristiwa amat penting dalam perjalanan hidupnya, yang celakanya ia tidak punya kemampuan untuk menghindar. Menatap calon suaminya, Dyah Wiyat sungguh merasa gamang karena sama sekali tidak menyimpan gumpalan asmara sebagaimana layaknya diperlukan oleh seorang gadis terhadap jejaka. Asmara yang demikian Dyah Wiyat tidak memiliki, kecuali kepada Ra Tanca justru ia pernah memilikinya. Kepada Kudamerta meskipun ia merasa akrab, meskipun telah berulang kali ia ditunjuk mengalungkan rangkaian bunga di lehernya ketika menjadi juara dalam lomba keterampilan berkuda, tetapi hubungan yang terjalin lebih dirasakan sebagai hubungan kakak dan adik, atau sahabat karib. Kepada lelaki itu, Dyah Wiyat tidak memiliki gelegak jiwa sebagaimana ia pernah memiliki terhadap Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca.
Ra Tanca yang banyak memiliki masalah itu tidak bisa dijangkau.
Ra Tanca telah mengambil perempuan lain sebagai istrinya. Lebih dari itu, Ra Tanca membunuh kakaknya. Harusnya kepada Ra Tanca ia menyimpan dendam sundul langit. Ra Tanca telah mati, apakah yang bisa diharap dari orang yang telah mati" Asmara pahit yang dipendamnya harus segera dilupakan. Ra Tanca telah menjadi bagian dari masa lalu.
"Ada apa denganku?" gumam Dyah Wiyat dengan isi dada
membuncah dan menggelegak, isinya penuh dan bergumpal-gumpal.
Ketika Dyah Wiyat melirik calon suaminya, adalah sebuah kebetulan Raden Kudamerta juga mengarahkan pandangan matanya. Dyah Wiyat tak melihat senyum di permukaan wajah Raden Kudamerta. Kudamerta juga sama sekali tidak melihat senyum di permukaan wajah Sekar Kedaton yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.
100 Gajah Mada Menjelang upacara utama yang akan dilaksanakan beberapa saat lagi, kedua calon temanten putri dituntun oleh seorang emban tua yang sangat paham dengan apa yang harus dilakukan. Emban tua itu menggandeng tangan Sri Gitarja mendekat Ibu Ratu Tribhuaneswari.
Sri Gitarja segera bersimpuh sujud mencium kaki Ibu Ratu Tribhuaneswari, yang belum apa-apa sudah berlinang air mata. Sri Gitarja segera diraih dan dipeluknya, diciuminya pipi dan kening gadis itu, rambutnya yang legam dan menebarkan wangi cem-ceman bunga kenanga dibusai beberapa kali.
"Mohon restu, Ibu Ratu Tribhuaneswari," bisik Sri Gitarja yang terdengar jelas di telinga Ibu Ratu Tribhuaneswari.
"Aku iringi dengan doa dan puja setiap saat dan waktu, semoga kautemukan kebahagiaan yang sejati. Meski kelak kau seorang ratu sekalipun, berbaktilah kepada suamimu," jawab Tribhuaneswari.
Ketika Sri Gitarja berlinang air mata, dengan ujung selendang sewarna tanah dibasuh air mata itu yang diakhiri dengan anugerah pelukan.
"Berbahagialah," bisik Tribhuaneswari.
Berbinar mata Ibu Ratu Narendraduhita yang bersebelahan dampar dengan kakak kandungnya ketika menerima sungkem dari Sri Gitarja.
Dengan ketulusan hati tanpa sisa, Ibu Ratu Narendraduhita memeluk dan memberikan restunya. Sebagai sama-sama istri mendiang Raden Wijaya, tak secuil pun Ratu Narendraduhita menganggap Sri Gitarja bukan anaknya karena tidak terlahir dari kandungannya.
Menyimak apa yang terjadi, Gajah Mada menyendiri ke sudut ruang.
Prajurit muda usia yang memiliki pengaruh demikian besar di dunia keprajuritan itu dengan saksama memerhatikan raut muka Raden Kudamerta seolah menggerataki semua pori-pori kulitnya. Rona wajah Raden Cakradara tidak luput pula dari perhatiannya.
Sri Gitarja masih melanjutkan meminta restu dari para Ibu Ratu.
Tangis Sri Gitarja tidak bisa dibendung ketika Ibu Ratu Pradnya Paramita melumurinya dengan pelukan berbasah air mata bahagia. Isi dada Sri Gitarja makin menggelegak meluap. Seorang emban bergegas Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 101
mendekatinya untuk menyerahkan selembar kain kacu.137 Namun ternyata, Sri Gitarja membutuhkan bantuannya untuk mengusap air matanya, dengan berjongkok sambil menyembah, emban muda itu memenuhi permintaan bantuan itu.
"Meskipun derajatmu lebih tinggi dari suamimu," berbisik Ibu Ratu Pradnya, "berbaktilah kepada suamimu dengan penuh kesetiaan dan pengabdian."
Sri Gitarja mengangguk. Emban tua yang bertugas mengendalikan acara sujud sungkem itu selanjutnya membawa Sri Gitarja ke Ratu Biksuni Gayatri, ibu kandung yang melahirkannya. Ibu Ratu Gayatri menampakkan wajah yang bersih, jauh dari keruh duniawi. Senyuman yang ditebar anak kelima Sri Kertanegara itu menjanjikan ketenangan dan kedamaian kepada siapa pun yang datang kepadanya. Bahwa Ibu Ratu Biksuni Gayatri telah terbebas dari mata rantai karma, mata rantai sebab dan akibat, terlihat dari warna hatinya yang tidak meluap melihat buah hati yang dilahirkannya memasuki gerbang rumah tangga. Ratu Biksuni Gayatri meyakini bahwa bahagia yang terlalu bahagia adalah hal yang menyesatkan seperti orang yang terjerat duka sampai amat berduka lupa segala, juga menyesatkan.
Di depan Ratu Biksuni Gayatri yang berdiri, Sri Gitarja duduk bersimpuh. Emban tua itu melanjutkan tugasnya, kali ini untuk Sekar Kedaton Dyah Wiyat yang terlihat lebih tegar dari kakaknya, atau boleh jadi merupakan penampakan dari isi hatinya yang tidak bisa menerima dengan tulus pernikahan itu. Ketika para Ibu Ratu menangis yang menulari siapa pun untuk menangis, Dyah Wiyat sama sekali tidak menitikkan air mata. Manakala menatap segenap wajah yang hadir di ruangan itu, yang hadir dan melekat di benaknya justru wajah Rakrian Tanca. Ayunan tangan Gajah Mada yang menggenggam keris ke dada prajurit tampan itu masih terbayang melekat di kelopak matanya. Sri Jayanegara yang sudah berbentuk jasad tanpa jiwa di matanya bagai masih menggeliat meronta-ronta kesakitan karena racun mematikan yang diminumnya, rangkaian peristiwa itu membayang dan susah dienyahkan.
137 Kacu, Jawa, sapu tangan
102 Gajah Mada Dyah Wiyat kaget ketika tangan emban tua itu menyentuh
lengannya. Seketika lenyap terampas segenap lamunannya. Dyah Wiyat merasa kakinya sangat ringan dan melayang ketika emban tua itu membawanya melangkah. Bayangan wajah Raden Kudamerta dan Raden Cakradara bergoyang ketika Dyah Wiyat melintasinya, tanah tempat kakinya berpijak bergelombang tidak rata. Emban tua itu terkejut ketika Dyah Wiyat sedikit terhuyung, tetapi dengan segera menguasai diri.
Apa yang terjadi itu tidak luput dari pandangan para Ibu Ratu dan memaksa Ratu Biksuni Gayatri mencuatkan sebelah alisnya, bahkan Gajah Mada dan Mahapatih Arya Tadah mampu menangkap kejadian itu dan memerhatikan lebih cermat. Raden Cakradara yang juga melihat tidak berusaha menelusuri lebih jauh, sementara Raden Kudamerta kebetulan sedang menunduk sehingga tidak melihat apa yang terjadi.
Para Ratu memerhatikan sikap Dyah Wiyat dengan lebih cermat dan memang terlihat perbedaan yang tegas antara kakak dan adiknya itu. Sri Gitarja menampakkan rasa gembiranya dengan jelas, rasa bahagianya terbaca dengan sangat lugas. Sebaliknya, Dyah Wiyat berbalikan dengan sikap kakaknya.
Manakala sungkem itu dilakukan di hadapan Ibu Ratu Tribhuaneswari, Dyah Wiyat tidak mengeluarkan secuil pun kata-kata, juga tak ada basah air mata. Gadis itu hanya menunduk dan dengan sangat santun merapatkan dua telapak tangannya dalam sikap menyembah. Ibu Tribhuaneswari meraih dan memeluknya, diciumnya kening Sekar Kedaton itu.
"Jalanilah hidupmu," kata Ibu Ratu tertua. "Jadilah seorang ratu yang baik untuk rumah tanggamu, semoga Hyang Widdi memberimu keturunan yang berbakti dan berguna untuk negeri ini."
Dyah Wiyat nyaris tidak mengangguk.
"Terima kasih, Ibu Ratu," jawabnya amat lirih, nyaris tanpa tenaga.
Emban tua yang bertugas menuntun Dyah Wiyat menjalani acara itu merasa heran. Namun, disimpannya rasa penasaran itu dalam hati.
Bahwa dalam dada Dyah Wiyat sedang ada gumpalan sesak yang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 103
membuncah menggelegak makin terbaca dari sikap Dyah Wiyat yang hanya diam tak berbicara apa-apa manakala melakukan sungkem di hadapan Ibu Ratu Narendraduhita dan Ibu Ratu Pradnya Paramita. Dari raut mukanya terbaca jelas, Dyah Wiyat sangat tidak senang menjalani perkawinan itu.
Raut muka Dyah Wiyat itu juga tidak luput dari perhatian Ibu Ratu Biksuni Rajapatni Gayatri. Bagaimanapun juga ratu termuda janda mendiang Raden Wijaya itu adalah perempuan yang melahirkannya, memberikan air susu, melengkapi rasa kasih sayang yang dilimpahkannya, yang merasa cemas ketika anak itu sakit dan selalu berharap semoga ketika dewasa kelak akan menemukan kebahagiaannya. Sebagai ibu, dengan sendirinya Ratu Gayatri amat mengenali bahasa wajah ataupun bahasa sikap anaknya. Raut muka Dyah Wiyat yang pucat dan terbebani merupakan isyarat anaknya sedang menyimpan gumpalan masalah, hal yang tidak akan luput dari perhatiannya.
Namun, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memang tidak punya pilihan lain dan sebagian di antaranya memang merupakan kesalahannya sendiri. Mestinya Dyah Wiyat menolak ketika ikatan perjodohan itu dulu dirancang. Buah dari sikapnya yang demikian itu kini harus dipetik, perkawinan itu harus dijalani sampai tuntas. Walau kakinya bagai kehilangan tenaga untuk menopang tegak tubuhnya, walau mulutnya terkunci kehilangan kekuatan untuk bicara mengucapkan ikrarnya, Dyah Wiyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menerima apa yang disodorkan itu.
Maka demikianlah, melalui rangkaian adiupacara perkawinan itu, Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani telah menjadi seorang istri bersuami Cakreswara Sri Kertawardhana Prabu Singhasari, sementara Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa merasa dirinya terjebak dalam perkawinan yang tidak bisa dihindarinya dengan bersuamikan Kudamerta, Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun.
104 Gajah Mada 9 Malam menukik tajam bersamaan waktu dengan rangkaian
perkawinan agung di Istana Wilwatikta. Sebenarnya tempat itu tidak jauh dari kotaraja, namun berada di luar dinding batas kotaraja. Dari tempat itu pada siang hari Candi Brahu kelihatan puncaknya. Di dalam sebuah rumah, seseorang terlihat amat gembira. Orang itu tertawa amat lepas tergelak-gelak, sangat aneh karena ia lakukan itu bersebelahan dengan seorang perempuan muda yang berlumur air mata.
"Hanya tinggal beberapa langkah lagi, apa yang aku cita-citakan akan jadi kenyataan. Siapa bilang mimpi tidak bisa diubah menjadi sesuatu yang nyata" Kelak aku akan menjadi mahapatih dan siapa tahu malah bisa menjadi raja."
Benar-benar berbalikan dengan sikap laki-laki tua itu yang demikian gembira, meringkuk di sudut pembaringan perempuan itu menangis sesenggukan. Meski tidak terdengar sedu sedan, air matanya yang membanjir melunturkan pupur yang dilaburkan di permukaan wajahnya.
Tangisnya benar-benar mewakili harga kesedihan yang dialaminya. Berita yang baru diterimanya menyebabkan perempuan itu sangat berduka, hatinya robek retak menjadi serpihan-serpihan.
"Jangan kamu menangis, Dyah Menur," ucap lelaki tua itu.
"Mestinya kamu gembira, akan terangkat derajatmu manakala kelak hari yang aku angankan itu tiba."
Berbeda dengan lelaki tua itu, perempuan yang disebut Menur itu sama sekali tidak gembira. Berita yang baru diterimanya bukanlah jenis berita yang membuat hatinya gembira. Apalagi, pada dasarnya Dyah Menur bukan jenis wanita serakah. Dyah Menur hanya wanita biasa, wanita sederhana dan bukan jenis pemimpi menggapai langit. Cita-cita dan keinginannya hanya sederhana, tidak terlalu muluk terbang ke awang-awang, tidak ingin berderajat tinggi yang oleh karenanya harus disembah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 105
dan dilayani. Tuntutan kebahagiaannya sederhana saja. Perempuan itu, Dyah Menur Hardiningsih nama lengkapnya, merasa kebahagiaannya dirampok.
Dalam pelukannya, bayi laki-laki yang masih berusia setahun itu menangis kuat. Bayi itu sangat peka. Kesedihan dan tangis ibunya menyebabkan isi dadanya menjadi sesak dan butuh penyaluran. Tangisnya yang meledak terkial-kial bagai mewakili tangis ibunya yang tidak mungkin tertumpahkan.
"Kita harus segera meninggalkan tempat ini," ucap laki-laki tua itu.
Dyah Menur terperanjat. "Kenapa?" "Keberadaanmu di tempat ini akan mengganggu rencana yang kususun. Jika kamu tetap berada di sini, akan sangat mengganggu dan bahkan bisa menggagalkan cita-citaku. Kita harus pergi. Segera berkemaslah sekarang juga."
Betapa remuk hati Menur yang merasa harus melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kata hatinya. Namun, melawan kehendak orang itu akan berakibat buruk bagi dirinya. Laki-laki itu sangat kejam. Ancaman akan menyakiti dirinya bukan ancaman paling kejam, ancaman terhadap anaknyalah yang justru sangat mengerikan. Apabila tidak dituruti apa yang menjadi kehendaknya, nyawa anaknya menjadi taruhan. Setiap kali ia melawan, ancaman terhadap anaknya yang akan dihadapi. Laki-laki tua itu tak segan-segan membuktikan ancamannya.
"Ayo, berkemaslah," laki-laki tua itu menghardik.
"Kita ke mana?" balas Dyah Menur Hardiningsih.
"Jangan banyak bertanya kita akan ke mana, berkemaslah. Kita harus pergi sejauh-jauhnya meninggalkan tempat ini," kata laki-laki tua itu.
Dyah Menur Hardiningsih merasa tak ada gunanya bertanya. Yang ia lakukan hanya menjalankan perintah itu tanpa hak mempersoalkan.
Dengan separuh hatinya hilang entah ke mana, Dyah Menur berkemas.
Tangis anaknya makin keras dan makin menguat, menyebabkan lelaki 106
Gajah Mada tua itu merasa terganggu dan tidak senang. Teriakan lelaki tua itu bukannya membuat bayi itu terdiam ketakutan, namun tangisnya malah makin menjadi.
"Kamu bisa membungkam mulut anakmu tidak" Kalau tidak bisa akan aku bantu mencekik lehernya, bagaimana?" ancam laki-laki tua itu.
Dyah Menur menjadi gugup. Menenangkan anaknya bukanlah
pekerjaan yang gampang. Tangis bayinya bermula dari ketidaktenangan hatinya. Dyah Menur segera berdamai dengan diri sendiri, menenangkan diri sendiri. Dengan berusaha berdamai dengan diri sendiri, tidak gugup, akan membuat bayinya ikut tenang.
Tengah malam terlewati dengan udara dingin yang menggigit tulang, udara dikemuli kabut yang makin menebal dengan jarak pandang yang sangat terbatas. Dalam keadaan yang demikian itulah Dyah Menur harus menuruti kehendak laki-laki tua itu, seolah harus berebut dulu dengan waktu, takut bila kedahuluan matahari yang akan terbit, secepat-cepatnya harus segera minggat meninggalkan tempat itu. Bahkan menunda hanya sehari pun tidak boleh, harus sekarang juga. Hal yang amat bertentangan dengan kehendak perempuan itu.
Beberapa langkah kaki setelah meninggalkan regol rumah, Dyah Menur membalikkan tubuh dalam upayanya untuk melihat terakhir kali rumah yang dalam beberapa bulan ditempatinya. Namun, laki-laki tua itu tidak senang dan dengan segera menggelandang tangannya.
Disentakkan dengan kasar menyebabkan Dyah Menur nyaris jatuh dan bayinya nyaris terpelanting. Dan tangis bayi itu memecah malam.
"Bungkam mulut anakmu supaya jangan menimbulkan tanda tanya orang yang mendengar. Tangis bayimu nanti bisa dikira hantu."
Sebenarnyalah memang ada yang mengira tangis bayi itu berasal dari mulut hantu. Seorang istri yang sedang berada dalam pelukan suaminya mendadak mencuat matanya, diperhatikan suara itu dengan saksama. Bergegas ia mengguncang pundak suaminya.
"Ada apa?" tanya sang suami.
"Kaudengar suara itu?"
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 107
"Suara yang mana?"
"Yang itu," jawab istrinya. "Itu suara bayi menangis bukan?"
"Itu suara hantu, tidurlah," jawab suaminya sekenanya.
Istrinya yang justru kebingungan karena menganggap suara bayi menangis itu benar-benar suara hantu.
"Kang, aku takut. Apa itu benar-benar suara hantu?" tanya sang istri.
"Ya," jawabnya seperti sekenanya. "Suara itu memang suara hantu."
Jawaban itu sontak menyebabkan perempuan muda itu gelisah ketakutan. Dengan segenap rasa cemas ia menyusup ke pelukan suaminya. Rasa kantuk segera terusir dari benak lelaki itu. Kali ini ia benar-benar terbangun sempurna, terusir entah ke mana rasa kantuknya.
Justru karena itu laki-laki itu terbelalak.
"Hah?" ia terkejut.
"Kaudengar suara itu?" bisik istrinya di telinganya.
"Suara bayi betul?"
"Apa aku bilang?" jawab sang istri lebih tegas.
Laki-laki itu tiba-tiba terbangun dan bergegas.
"Kang, mau ke mana?" tanya istrinya sangat ketakutan, cemas ditinggalkan suaminya.
"Mengunci pintu, pintunya lupa diselarak."
Nun jauh di luar sana, suara menakutkan itu makin menjauh, namun suara gemerasak pohon bambu yang bergesekan diterjang angin deras bagai barisan hantu yang memburu bayi malang itu.
108 Gajah Mada 10 Gajah Mada melangkah dari pendapa membawa hatinya yang
gelisah. Udara dingin menggigit dan terasa tidak wajar benar-benar membungkus lingkungan Istana Majapahit. Kabut yang melayang demikian tebal mengurangi jarak pandang. Semula Gajah Mada tidak begitu memerhatikan, namun kabut yang jarang-jarang turun itu mendadak mengingatkannya pada kejadian sembilan tahun silam.
Kabut turun tebal pula saat itu yang dirasa menguntungkan Ra Kuti dalam menggelar makar. Ketika jarak pandang menjadi amat terbatas karena ampak-ampak pedhut 138 turun dari Gunung Arjuno dan Gunung Anjasmoro mengepung kotaraja, pada saat yang demikian itulah gelar perang besar dirancang oleh Ra Kuti. Untunglah rencana pemberontakan itu berhasil diendus sehingga bisa dilakukan persiapan penyelamatan Jayanegara. Boleh jadi karena ayunan bende Kiai Samudra, bende perang pemberi semangat yang bergetar sangat keras mampu menggoyang udara dan mengenyahkan kabut tebal itu membelejeti wajah para pemberontak menjadi kamanungsan.139 Kabut tebal diyakini muncul bersamaan dengan kejadian-kejadian besar yang lain.
Adakah kemunculan kabut itu karena kejadian besar itu, atau hanya sebuah kebetulan belaka" Gajah Mada teringat tuturan tetangganya, laki-laki paling tua dan paling uzur yang memiliki banyak kisah serta mengaku sebagai pembaca pertanda alam paling ulung. Malam kematian Ken Dedes dianggap sebagai peristiwa paling sulit dilupakan. Kabut yang turun malam itu bahkan menyulitkan dalam memandang meski jemari tangan di depan mata sekalipun. Di balik kabut yang tebal itulah konon arwah Ken Arok menjemput istrinya. Dari balik kabut tebal itu pula arwah Empu Purwa dari Panawijen juga berniat menjemput anaknya sehingga terjadilah perselisihan di antara Ken Arok dan Empu Purwa.
138 Ampak-ampak pedhut, Jawa, barisan kabut tebal 139 Kamanungsan, Jawa, ketahuan jati dirinya Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 109
Cerita macam itu berkembang ke arah salah kaprah. Entah siapakah yang bercerita, kabut tebal itu memang disengaja oleh para dewa di kahyangan agar wajah cantik para bidadari yang turun dari kahyangan melalui pelangi jangan sampai dipergoki manusia. Para bidadari itu turun untuk memberikan penghormatan kepada satu-satunya wanita di dunia yang terpilih sebagai Sang Ardhanareswari, yang berarti wanita utama yang menurunkan raja-raja besar di tanah Jawa ini. Maklum sebagai Sang Ardhanareswari, Ken Dedes adalah titisan dari Pradnya Paramita, dewi ilmu pengetahuan. Apa benar kabut tebal itu turun karena para bidadari turun dari langit" Gajah Mada tidak bisa menyembunyikan senyumnya dari kenangan kakek tua, yang menuturkan cerita itu dan mengaku memergoki para bidadari itu, lalu mengambil salah seorang di antara mereka menjadi istrinya. Gajah Mada ingat, anak kakek tua itu perempuan semua dan jelek semua, sama sekali tidak ada pertanda titisan bidadari.
"Mirip cerita Jaka Tarup saja," gumam Gajah Mada sekali lagi untuk diri sendiri. "Lagi pula, setahuku tidak pernah ada pelangi di malam hari.
Pelangi itu munculnya selalu siang dan ketika sedang turun hujan."
Lebih jauh soal kabut tebal pula, konon ketika Calon Arang, si perempuan penyihir dari Ghirah marah dan menebar tenung, kabut amat tebal membawa penyakit turun tak hanya di wilayah tertentu. Namun, merata di seluruh negara, menyebabkan Prabu Airlangga dan Patih Narottama kebingungan dan terpaksa minta bantuan kepada Empu Barada untuk meredam sepak terjang wanita menakutkan itu. Empu Barada benar-benar sakti. Empu itu menebas pelepah daun keluwih yang melayang terbang ketika dibacakan japa mantra. Beralaskan pelepah daun itulah Empu Barada terbang membubung ke langit dan memerhatikan seberapa luas kabut pembawa tenung dan penyakit. Empu Barada melihat, ampak-ampak pedhut itu memang sangat luas dan menelan luas negara dari ujung ke ujung. Untunglah cahaya Hyang Bagaskara 140 yang datang di pagi harinya mampu mengusir kabut itu menjauh tanpa tersisa jejaknya sedikit pun.
"Hanya sebuah dongeng," gumam Gajah Mada untuk diri sendiri.
Kabut tebal itu memang mengurangi jarak pandang dan meng-140 Hyang Bagaskara, Jawa, matahari
110 Gajah Mada ganggu siapa pun untuk mengetahui keadaan di sekitarnya. Ketika sebelumnya siapa pun tak sempat memikirkan, itulah saatnya siapa pun mendadak merasakan bagaimana menjadi orang buta yang tidak bisa melihat apa-apa. Pada wilayah yang kabutnya benar-benar tebal, untuk mengenali benda-benda di sekitarnya harus dengan meraba-raba.
Akan tetapi, tidak demikian dengan anjing yang menggonggong sahut-sahutan ramai sekali. Apa yang dilakukan anjing itu laporannya akhirnya sampai ke telinga Gajah Mada. Gajah Enggon yang meminta izin untuk bertemu segera melepas warastra 141 sanderan dengan ciri-ciri khusus yang dibalas Gajah Mada dengan anak panah yang sama melalui isyarat khusus pula. Dari jawaban anak panah itu Gajah Enggon dan Gagak Bongol mengetahui di mana Gajah Mada berada. Gagak Bongol dan Enggon segera melaporkan temuannya.
"Ditemukan mayat lagi, Kakang Gajah," Gajah Enggon
melaporkan. Gajah Mada memandangi wajah samar-samar di depannya.
"Mayat siapa?" "Prajurit bernama Klabang Gendis mati dengan anak panah
menancap tepat di tenggorokannya. Tak ada jejak perkelahian apa pun, sasaran menjadi korban tanpa menyadari arah bidikan anak panah tertuju kepadanya."
Gajah Mada merasa tak nyaman memperoleh laporan itu. Orang yang mampu melepas anak panah dengan sasaran sulit pastilah orang yang sangat mengusai sifat gendewa dan anak panahnya. Orang yang mampu melakukan hal khusus macam itu amat terbatas dan umumnya ada di barisan pasukan Bhayangkara. Adakah prajurit Bhayangkara yang terlibat"
"Dan kami temukan mayat kedua," Gagak Bongol menambahkan.
"Pelaku pembunuhan menggunakan anak panah itu mati dipatuk ular.
Mayatnya dicabik-cabik beberapa ekor anjing. Pembunuh yang terbunuh ini, menyisakan jejak rasa kecewa di hati kita, Kakang. Aku tahu, Kakang Gajah pasti kecewa mengetahui siapa dia?"
141 Warastra, anak panah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 111
Gajah Mada menengadah memandang langit. Namun, tak ada apa pun yang tampak kecuali warna pedhut yang makin menghitam legam.
"Bhayangkara?" "Ya," jawab Gagak Bongol.
"Siapa?" lanjut Gajah Mada.
Gagak Bongol dan Senopati Gajah Enggon tidak segera menjawab dan memberikan kesempatan kepada Patih Daha Gajah Mada untuk menemukan sendiri jawabnya. Nama pembunuh yang mati dipatuk ular itu tentu berada di barisan yang tersisa dari nama-nama prajurit Bhayangkara yang pernah dipimpinnya. Nama-nama itu adalah Bhayangkara Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya, Pradhabasu, Lembang Laut, Riung Samudra, Gajah Geneng, Gajah Enggon, Macan Liwung, dan Gagak Bongol. Panji Saprang yang berkhianat dan menjadi kaki tangan Rakrian Kuti mati dibunuh Gajah Mada di terowongan bawah tanah ketika pontang-panting
menyelamatkan Sri Jayanegara. Bhayangkara Risang Panjer Lawang gugur di Mojoagung, dibunuh dengan cara licik oleh pengkhianat kaki tangan Ra Kuti. Selanjutnya, Mahisa Kingkin terbunuh oleh Gagak Bongol sebagai korban fitnah di Hangawiyat. Terakhir, Singa Parepen atau Bango Lumayang yang berkhianat mati dibunuhnya di Bedander ketika kamanungsan sebagai pengkhianat.
Dalam perkembangannya, Bhayangkara yang menjadi kebanggaannya dan kebanggaan Majapahit itu telah mengalami pemekaran dengan kekuatan besar dan daya pukul yang mematikan. Akan tetapi, secara pribadi belum ada yang mampu menandingi kemampuan para bekas anak buahnya itu. Apalagi, bila yang dipersoalkan adalah kemampuan mengatur siasat dan kemampuan sandiyudha.
Dalam olah ngembat watang nama-nama itu memiliki kemampuan yang tidak bisa diremehkan lagi. Nyaris semuanya mampu melepas lima anak panah sekaligus dengan arah bidik yang berbeda-beda. Panji Saprang yang memihak Ra Kuti bahkan mampu membidik sasaran amat jauh, padahal gerakan angin sedang tidak bersahabat.
112 Gajah Mada "Katakan siapa?" tanya Gajah Mada yang merasa tidak sabar.
"Lembang Laut."
Terperanjat Gajah Mada mendengar jawaban itu. Disengat kelabang dengan racun paling mematikan masih belum apa-apa, bahkan disengat ular bandotan masih belum mengagetkan dibanding mendengar kematian Lembang Laut.
Wajah Gajah Mada dengan segera berubah menjadi bersungguh-sungguh.
"Di mana ditemukan mayat itu?" tanya Gajah Mada.
"Mari, silakan, Kakang Gajah."
Gagak Bongol dan Senopati Gajah Enggon segera membalikkan tubuh dan bergegas melangkah. Patih Daha Gajah Mada melangkah dengan ayunan kaki sama lebarnya. Suara burung bence yang melengking tinggi di langit rupanya sedang kebingungan mencari arah pulang karena demikian tebalnya kabut yang membungkus wilayah terbangnya.
Dengan bantuan cahaya obor, Gajah Mada memang bisa mengenali sahabat karibnya yang telah terbujur menjadi mayat itu. Tiada habisnya Gajah Mada menyesali kematian itu. Cara mati yang agaknya melalui pilihan yang salah. Amat disayangkan, Lembang Laut terlibat dalam permainan aneh dengan sasaran jangka panjang akan menggusur kekuasaan Majapahit. Tetapi, benarkah Lembang Laut terlibat dalam permainan itu"
Senopati Gajah Enggon menyerahkan anak panah yang dipegangnya kepada Gajah Mada, yang dengan segera membandingkan anak panah itu dengan tumpukan anak panah dalam endong 142 di punggung mayat Lembang Laut. Meski bentuk anak panah itu bukan jenis anak panah yang biasa dipakai oleh pasukan Bhayangkara, masih terlihat ciri-ciri tertentu terutama jenis bilah bambu yang digunakan.
Dengan segera Gajah Mada menemukan hubungan antara dua
kematian itu. Mayat pertama memang dibunuh menggunakan anak panah 142 Endong, Jawa, wadah anak panah yang digendong dipunggung Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 113
berjenis sama dengan anak panah di gendongan Lembang Laut. Namun, kematian Lembang Laut jauh lebih mengerikan karena digigit ular tepat di telapak tangannya.
"Kematian karena ular menggigit tangan amat tak wajar," kata Gajah Mada. "Dalam keadaan wajar tentu bagian kaki yang digigit. Ular itu menggigit tangan tentu karena ada yang menyerahkan."
"Aku juga berpendapat demikian, Kakang Gajah," jawab Senopati Gajah Enggon.
Gajah Mada mengangguk. Pandangan matanya beralih kepada
Bhayangkara Gagak Bongol, namun dengan segera beralih lagi ke muka Gajah Enggon.
"Telusuri kematian Lembang Laut. Telusuri pula siapa orang yang dibunuhnya. Aku ingin kamu sudah mendapatkan jawabnya ketika besok pagi menemuiku," kata Gajah Mada tegas.
"Baik, Kakang," jawab Gajah Enggon sigap.
Gajah Mada mengalihkan pandangan matanya kepada Gagak
Bongol. "Telah aku peroleh perintah dari para Tuan Putri Ratu. Tuanku Baginda Jayanegara akan diperabukan dan dicandikan di dalam pura, di Silapetak, dan di Bubat. Menurut kehendak para Ibu Ratu, di ketiga tempat tersebut supaya ditandai dengan arca Dewa Wisnu sebagai perwujudannya, sementara di Sukhalila dengan arca Amoghasidhi."143
Gagak Bongol menerima perintah itu dengan cermat, saksama, dan amat jelas. Gajah Mada tak perlu mengulangi lagi kata-katanya. Dalam benaknya, Gagak Bongol telah memiliki rancangan langkah apa saja yang akan diambil untuk menerjemahkan perintah itu dengan sebaik-baiknya.
"Kau boleh meninggalkan tempat ini, Gagak Bongol. Aku akan bicara hanya berdua dengan Gajah Enggon."
143 Di Sukhalila dengan arca Amoghasidhi, menurut Pararaton, Raja Jayanegara didarmakan di Kapopongan, di candi Srnggapura, dan diarcakan di Antawulan.
114 Gajah Mada Gagak Bongol segera memberikan penghormatannya dan bergegas menjauh, pergi meninggalkan tempat itu.
Perhatian Gajah Mada segera tertuju pada tubuh Lembang Laut yang telah membeku menjadi mayat. Dengan segera Gajah Mada teringat pada peran apa saja yang dilakukan Bhayangkara Lembang Laut, yang tanpa pamrih rela memberikan sumbangan jiwa dan raganya untuk kejayaan Majapahit. Dalam berperang bela negara, Lembang Laut tidak pernah berada di belakang. Ia selalu menempatkan diri di depan.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak percaya Lembang Laut mati dengan peran serendah itu," berkata Gajah Mada dengan suara datar dan serak. "Telusuri peristiwa ini sampai kautemukan jawaban yang sebenar-benarnya. Aku tidak percaya tindakan Rakrian Tanca semata-mata karena dendam lama di hatinya. Aku menduga Ra Tanca hanyalah golek 144 yang berada di bawah kendali pihak lain. Sementara ini aku menduga Lembang Laut hanya bernasib sial sedang berada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Untuk mencari jawabnya mungkin kauperlu memerintahkan seseorang untuk membayang-bayangi ke mana pun atau apa pun yang dilakukan Raden Cakradara. Selanjutnya, aku berikan kewenangan seluas-luasnya kepadamu untuk menggunakan saluran sandi yang ada seberapa pun kaubutuhkan."
Senopati Gajah Enggon terkejut meski sebenarnya tak perlu terkejut.
"Raden Cakradara?" tanya Gajah Enggon.
"Ya," balas Gajah Mada dengan tegas. "Kau memulai dari Raden Cakradara. Bisa jadi orang-orang di belakang Raden Cakradara yang punya ulah, bisa pula dari pihak lain."
"Baik, Kakang Gajah. Aku akan laksanakan perintah itu dengan baik," jawab Gajah Enggon sigap.
"Kamu harus bekerja dengan lebih keras lagi, Gajah Enggon.
Karena menurut dugaanku, pembunuhan-pembunuhan ini masih akan 144 Golek, Jawa, boneka
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 115
berkelanjutan. Besok, sebagaimana petunjuk Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni, sebelum diperabukan layon Sang Prabu dibawa lebih dulu ke Balai Prajurit untuk mendapatkan penghormatan sebagaimana layaknya seorang prajurit. Baginda layak mendapatkan penghormatan itu karena ia adalah bagian dari pasukan Bhayangkara, lebih-lebih karena beliau sekaligus juga panglima perang. Terkait dengan hal itu, juga berhubungan dengan hal-hal dan keterangan aneh yang kita temukan, sebar telik sandi sebanyak-banyaknya, amankan jangan sampai ada gangguan yang mengusik adiupacara itu. Aku yakin besok di pekatnya lautan manusia yang akan berdatangan memberikan penghormatan terakhir kepada Sang Prabu, akan ada orang-orang yang memancing di air keruh. Bisa jadi kerabat istana akan ada yang menjadi sasaran bidik anak panah atau pisau yang dilempar melayang, siagakan pengamanan berlapis."
"Baik, Kakang," jawab Gajah Enggon amat sigap.
"Selanjutnya, malam ini pula kamu adakan pertemuan untuk mengolah semua keterangan yang kaumiliki. Setidaknya untuk mendapat gambaran siapa sebenarnya pihak yang membuat ulah aneh ini. Buatlah dugaan dan perkiraan, apa yang akan mereka lakukan besok. Siagakan pasukan secukupnya untuk menghadapi mereka."
Masih banyak petunjuk yang diberikan Gajah Mada kepada prajurit yang sebenarnya bukan lagi anak buahnya itu. Dalam melaksanakan tugas, Gajah Mada selalu mampu menyelesaikan dengan baik. Oleh karena itu, Jayanegara bahkan telah mempersiapkannya sebagai pengganti Patih Amangkubumi Arya Tadah. Mapatih Arya Tadah sendiri yang merasa dikejar umur mulai melirik siapa yang pantas mewarisi jabatannya. Arya Tadah melihat hanya Gajah Madalah orangnya. Meski kini bukan lagi pimpinan pasukan Bhayangkara, Gajah Mada masih tetap punya wewenang menyalurkan perintah kepada pasukan itu.
"Aku akan mengumpulkan pasukan. Kakang Gajah akan
memberikan arahan kepada mereka?"
Gajah Mada menggeleng. "Ada pekerjaan yang masih harus aku kerjakan. Mungkin besok pagi ketika benar-benar diperlukan, siapkan saja," jawab Gajah Mada.
116 Gajah Mada Sepeninggal Gajah Mada, Senopati Gajah Enggon hanya sendirian.
Setelah menimbang beberapa jenak, Gajah Enggon mengambil beberapa batang anak panah dari endong-nya. Bukan anak panah sebagaimana umumnya, namun jenis anak panah sanderan berapi. Anak panah yang telah dinyalakan itu diarahkan ke langit dan segera dilepasnya dari bilah busur yang direntang. Anak panah sanderan itu melesat meninggalkan suara yang amat khas, disusul dengan anak panah berikutnya dengan nada melengking tinggi. Pelepasan warastra itu bukannya tanpa maksud karena itulah isyarat perintah yang ditujukan kepada para prajurit Bhayangkara untuk berkumpul.
Anak panah sanderan itu berbalas jawaban yang terdengar
melengking dari berbagai arah. Dari beberapa tempat, terdengar orang berlarian. Mereka adalah para prajurit Bhayangkara yang telah terlatih menghadapi keadaan macam apa pun. Kabut tebal yang menutupi pandangan mata adalah santapan mereka sehari-hari sehingga hanya dengan menggunakan ketajaman panggrahita 145 mereka mampu mengatasi keadaan tak ubahnya menggunakan mata telanjang dalam melihat apa pun.
Kepada anak buahnya, Gajah Enggon menyalurkan tugas.
11 Malam menukik tajam dan bergerak mendekati datangnya pagi yang tinggal beberapa jengkal lagi. Di sebuah tempat bernama Padas Payung, yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang kota bagian barat yang dijaga oleh puluhan prajurit, sebuah perapian nyaris mati setelah semalaman menyala melibas kayu-kayu kering yang dikumpulkan oleh 145 Panggrahita, Jawa, ketajaman mata hati, indra keenam Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 117
dua orang laki-laki yang duduk mencakung di dekatnya. Mustahil mempertahankan perapian, yang dibuat tidak ada hubungannya dengan kematian Sri Jayanegara sebagaimana pahoman yang menyala di mana-mana. Perapian itu dibuat hanya untuk mengusir udara dingin menggigit dan membakar ubi pengganjal perut.
Dua orang laki-laki itu ditemani oleh dua ekor kuda yang juga berbaring. Suara kentongan yang dipukul di kejauhan menandai malam akan segera berakhir dan akan digantikan datangnya pagi. Surya dan kehangatan yang memancar diyakini akan mampu mengusir kabut yang jarang-jarang turun amat pekat macam itu.
"Tadi kamu bermimpi apa?" tanya salah seorang dari dua orang itu.
"Kenapa?" orang kedua balas bertanya.
"Tadi kamu mengigau," jawab orang pertama sambil mengurai cambuk panjang di tangannya.
Apabila dicermati, cambuk itu bergerigi dilengkapi dengan semacam gelang-gelang besi. Cambuk berjuntai panjang itu rupanya tidak lagi menempati tugas hanya sebagai sebuah cemeti, namun berubah menjadi sebuah senjata.
"Aku tidak ingat, apakah aku benar-benar bermimpi," jawab orang kedua itu.
"Kamu berteriak-teriak seperti orang tercekik. Coba ingat lagi, aku ingin tahu mimpi macam apa yang membuatmu seperti kesurupan itu."
Orang kedua itu mengerutkan kening untuk mengenang mimpi apa yang baru saja diperolehnya. Wajah orang itu berkerut, tetapi tidak cukup jelas raut mukanya meski berada pada jarak cukup dekat dengan perapian yang memangsa kayu terakhir.
"Aku bermimpi ada hantu memburuku. Aku berhasil digapai hantu itu dan ia mencekik leherku. Apa arti mimpi macam itu?" tanya laki-laki kedua.
118 Gajah Mada "Mungkin mimpi daradasih 146 karena mimpi itu datangnya masih di wilayah tengah malam. Kalau sudah mendekati siang, apalagi kalau sudah siang hari, tidak ada makna apa pun di balik sebuah mimpi, meski mimpi seindah dan seseru apa pun."
Orang kedua yang menyimak jawaban itu termangu.
"Kalau mimpi itu daradasih, artinya nanti akan ada orang yang mencekikku?"
"Ya," jawab orang pertama dengan tawa terkekeh.
"Biar saja," jawabnya. "Sebelum ia mencekik leherku, aku akan mendahului mencekik lehernya."
Dua orang itu, yang agaknya dua orang sahabat segera tertawa berderai. Apa yang mereka bicarakan dirasa lucu dan memancing tawa mereka.
Waktu terus bergerak menapaki kodratnya, merayap ke depan dan tak pernah akan kembali. Waktu membawa dua orang itu mendekati datangnya pagi. Bersamaan dengan api yang akhirnya padam, mereka mendongak menelengkan kepala.
"Itu mereka datang," kata orang kedua.
"Ya," jawab orang yang pertama.
Masih jauh suara itu, namun sudah bisa ditandai. Dari arah barat menuju kota terdengar derap kuda. Siapa pun penunggang kuda yang datang itu, ia pasti bingung tak bisa melihat jalanan karena tebalnya kabut. Namun, tidak demikian dengan kuda-kuda yang mereka tunggangi. Meski kabut membutakan mata nyatanya kuda-kuda itu bisa berderap tanpa kesulitan. Bahwa berulang kali kuda-kuda itu melewati jalanan itu, menjadikan binatang tanpa pusar itu hafal dan tak harus menabrak-nabrak.
Rupanya kedatangan kuda-kuda itu merupakan sebuah isyarat bagi seorang dari dua orang di dekat perapian itu untuk bertindak melakukan 146 Daradasih, Jawa, salah satu jenis mimpi menurut primbon Jawa yang berarti mimpi menjadi kenyataan.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 119
sesuatu. Dengan mendadak dan benar-benar mengagetkan, menggunakan cemeti yang dipegangnya, dijeratnya leher temannya dan langsung dikuncinya dalam cekikan kuat. Lelaki kedua berusaha melawan, namun ia kalah dulu dan seketika merasakan sakit luar biasa. Sakit karena lehernya yang terimpit sekaligus sakit oleh pasokan napas yang terhambat.
Akhirnya, lelaki kedua itu terkulai lunglai setelah beberapa saat tubuhnya berkelejotan.
"Maafkan aku," bisik lelaki pertama. "Aku hanya bertugas mewujudkan mimpi dicekik hantu itu menjadi kenyataan. Akulah hantunya."
Untuk beberapa saat lelaki pertama yang melakukan pembunuhan itu masih mempertahankan jeratan talinya sampai ia merasa yakin korbannya benar-benar telah tidak bernapas, mati dengan membawa kebingungan di hatinya, untuk alasan yang tak pernah dimengerti, mengapa ia dibunuh, apa kesalahan yang diperbuatnya sehingga harus dibunuh"
Lelaki pelaku pembunuhan itu mengendorkan jerat cematinya setelah merasa yakin orang itu benar-benar sudah mati. Dari meraba dadanya, ia merasa yakin tidak ada tarikan napas yang mengayun lagi dari paru-paru korbannya. Setelah benar-benar merasa yakin, diangkatnya tubuh lunglai itu ke atas salah satu kuda. Digiringnya kuda itu memutar menuju arah kotaraja. Lalu dengan sentakan sendal pancing pada cematinya, ia menghajar pantat kuda itu, menyebabkan kuda itu berlari kencang membawa gema derapnya memasuki pintu gerbang kotaraja, juga mengarah ke Purawaktra yang akan dicapai kuda itu sebentar saja karena jarak menuju kotaraja tidaklah seberapa jauh.
Derap kuda membawa beban mayat itu makin menjauh, sementara sejengkal waktu kemudian derap kuda yang datang dari arah barat telah tiba di tempat itu. Dua orang penunggangnya melompat turun. Dua orang itu rupanya telah menyiapkan obor yang segera dinyalakan menerangi tempat itu.
"Bagaimana dengan Kinasten?" tanya salah seorang dari dua orang yang baru datang itu.
120 Gajah Mada "Sudah kukirim ke dua tempat," jawab orang yang melakukan pembunuhan. "Pertama, nyawanya kukirim ke alam kematian, sementara jasad Kinasten sekarang menuju kotaraja. Prajurit penjaga gerbang kotaraja atau bahkan penjaga Purawaktra akan terkejut mendapatkan kiriman mayat itu. Tugas yang Kakang Rangsang Kumuda berikan telah kulaksanakan dengan baik. Sekarang aku siap menerima hak yang harus aku terima."
Lalu hening, tidak ada suara apa pun. Lelaki bernama Rangsang Kumuda yang membungkus tubuh dengan pakaian berlapis untuk menahan dingin itu tidak segera menjawab, misalnya dengan mengeluarkan sejumlah uang yang dibungkus kampil sebagai upah orang itu, yang telah melaksanakan perintahnya melakukan pembunuhan dengan baik.
"Aku ingin memperkenalkanmu dengan teman yang sedang
bersamaku ini," kata Rangsang Kumuda. "Rubaya, ini orang yang tadi aku ceritakan telah aku pilih melaksanakan tugas khusus itu. Namanya cukup sangar, Arya Surapati."
Hening kembali menggeratak. Lelaki yang oleh Rangsang Kumuda disebut Rubaya tak berkata apa pun, juga tidak mendekat untuk mengulurkan tangan. Rubaya pilih tetap berdiri di sebelah kudanya sambil tangannya tetap memegang tali kendali. Demikian pula dengan pembunuh Kinasten yang bernama Arya Surapati itu, memilih tetap berdiri dalam kesiagaan tertinggi. Ia tidak datang mendekati orang yang diperkenalkan kepadanya. Ia menatapnya dengan tatapan mata curiga.
"Jadi, sudah kamu laksanakan tugasmu?" tanya Rangsang Kumuda.
"Sudah," jawab Arya Surapati amat tegas. "Kubunuh Kinasten dengan cemeti yang kujeratkan ke lehernya. Kupilih cara itu untuk menyesuaikan diri dengan mimpi yang dialaminya. Kinasten bermimpi dicekik hantu, supaya mimpi itu benar-benar sesuai dengan jenis daradasih maka kuberi Kinasten cara kematian seperti itu."
Rangsang Kumuda terdiam. Lelaki yang sebenarnya berusia lebih dari lima puluh tahun itu tak perlu berpikir ulang ketika memutuskan mengeluarkan kampil berisi uang dari pinggangnya. Kampil dengan suara Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 121
bergemerincing menjadi tanda betapa besar jumlah uang dalam bung-kusan itu.
"Bunuh dia," tiba-tiba Rangsang Kumuda berkata tegas.
Arya Surapati yang semula meluap isi dadanya ketika akan menerima jumlah uang yang lumayan banyak, yang sangat cukup untuk membiayai kegemaran foya-foyanya, terkejut mendengar perintah yang keluar dari mulut Rangsang Kumuda. Amat gugup Arya Surapati mempersiapkan diri dengan mencabut senjatanya, pedang berbilah panjang sedikit melengkung dan diasah sangat tajam. Pedang itu di pegang di tangan kiri dan tangan kanan memegang gagang cambuk. Akan tetapi, yang dihadapi Arya Surapati adalah orang dengan kemampuan khusus.
Perintah itu segera diterjemahkan dengan baik oleh Rubaya. Secepat kilat Rubaya mengayunkan pisau yang turun dari lengan baju ke genggaman tangan, dengan arah bidik yang benar-benar terukur. Pisau dengan bentuk tak lazim karena dibuat dengan pertimbangan ketepatan bidik itu melesat cepat menerobos mulut Arya Surapati yang terbuka.
Arya Surapati ambruk tidak bisa memperdengarkan jeritan, tenggelam pisau itu menyobek tenggorokannya. Sejenak kemudian, Arya Surapati pergi ke dua tempat sebagaimana diucapkannya sendiri. Nyawanya melayang menyusul Kinasten ke alam kematian dan mayatnya yang dinaikkan ke atas kuda diarahkan ke kotaraja untuk menggegerkan pagi yang datang. Derap kuda yang membawa mayat itu makin menjauh dan makin lamat-lamat, wujudnya tidak tampak karena ditelan tebalnya kabut.
"Dengan cara bagaimana kamu bisa melakukan itu?" tanya Kumuda.
"Melakukan apa?" balas Rubaya.
"Bisa membidik tepat mulutnya?"
Rubaya tertawa pendek dan tidak memberikan jawaban. Rangsang Kumuda menjadi penasaran.
"Tentu butuh latihan yang sangat panjang untuk bisa mencapai kemampuan bidik macam itu," Rangsang Kumuda mengejar.
"Sebenarnya tidak," jawab Rubaya, "yang aku bidik bagian dadanya, namun meleset sejengkal menerobos mulutnya yang terbuka. Hanya kebetulan."
122 Gajah Mada Jawaban itu tidak membuat Rangsang Kumuda tertawa. Telah berulang kali ia menyaksikan kemampuan Rubaya, dan selalu saja perbuatan Rubaya itu mengagetkan dan membuatnya terheran-heran.
"Aku berharap tugasmu bisa kaulaksanakan pagi ini dengan sebaik-baiknya," kata Rangsang Kumuda. "Sasaranmu Raden Kudamerta. Bidik dadanya dengan baik. Kelak apabila semua mimpi telah tergapai, aku tidak akan pernah melupakanmu. Apabila aku menjadi seorang patih dan itu merupakan batu lompatanku untuk bisa menjadi raja, akan aku bawa kau untuk selalu berada di belakangku. Kau akan aku beri wilayah sehingga kau bisa menjadi raja kecil di tempat itu."
Rubaya tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi bayangan wajah Raden Kudamerta yang amat dikenalnya mengombak di kelopak matanya.
Dalam kehidupan sehari-hari Raden Kudamerta sahabat yang menyenangkan, yang tidak menganggap dirinya lebih rendah. Namun kali ini apa boleh buat, Raden Kudamerta harus berada di sasaran bidiknya, padahal selama ini tidak ada seorang pun yang bisa lolos dari ayunan pisaunya. Kemampuan mengayunkan pisau macam itu pada umumnya sangat dikuasai oleh orang-orang Bhayangkara. Sebagai bagian dari pasukan sandiyudha, semua prajurit Bhayangkara harus terlatih dan mengusai kemampuan melempar pisau dengan tingkat ketepatan bidikan tak ubahnya anak panah.
"Temanten baru itu tentu tak akan menyangka, siang hari nanti, setelah semalam berasyik masyuk dengan istrinya, akan mengalami peristiwa yang menyakitkan," kata hati Rubaya.
Apa yang diharapkan Rangsang Kumuda memang menjadi
kenyataan. Ketika pagi benar-benar pecah, Kotaraja Majapahit dikagetkan oleh dua ekor kuda yang masing-masing memanggul mayat di punggungnya. Pembunuhan aneh itu dengan segera mendapatkan perhatian dari pasukan Bhayangkara. Gajah Enggon bergegas memeriksa secara langsung.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 123
12 Dua ekor kuda itu menyita perhatian Gajah Enggon yang tak berkedip dalam memandanginya. Namun, Gajah Enggon tidak
mengenali siapa pemilik kuda tegar itu. Di atas paha kanannya melekat cap bakar bergambar bulatan dibelit ular. Selebihnya ia hanya kuda berwarna cokelat. Sedangkan yang seekor lagi tidak memiliki tanda apa pun, tidak ada cap punggung atau tanda khusus yang lain yang bisa dikenali. Gajah Enggon kemudian mengarahkan perhatiannya pada dua sosok mayat yang digeletakkan di bangunan jaga.
"Bagaimana mayat-mayat ini ditemukan?" tanya Senopati Gajah Enggon.
Seorang prajurit melangkah mendekat. Prajurit itu adalah pimpinan kesatuan kecil yang bertugas menjaga pintu gerbang barat saat mayat itu ditemukan.
"Pagi sekali, masih boleh dibilang gelap gulita karena kabut amat tebal. Kuda itu masuk dari pintu gerbang kota bagian barat dan langsung menerobos masuk pintu yang terbuka. Aku sudah berteriak menghentikannya, ternyata kuda itu nyelonong masuk begitu saja. Sulit mengejarnya karena terbatasnya jarak pandang. Ketika aku berhasil menghentikannya, ternyata kuda itu membawa mayat. Kuda itu kubawa balik arah, tetapi malah berpapasan dengan kuda yang kedua. Dugaanku ternyata benar, kuda yang kedua pun membawa mayat di punggungnya,"
jawab prajurit itu. "Malam ini kamu bertugas menjaga pintu gerbang barat?" tanya Enggon.
"Ya," jawabnya. "Aku yang memimpin."
Gajah Enggon memutar otak dan memerhatikan semua wajah yang hadir di pintu gerbang barat itu dengan penuh perhatian.
124 Gajah Mada "Apa kau mengenal orang-orang yang terbunuh ini?" tanya Enggon.
Prajurit itu menggeleng, "Tidak."
"Namamu siapa?" lanjut pimpinan Bhayangkara Gajah Enggon.
"Namaku Dlapa Welah, Ki Lurah," jawab prajurit bermata sedikit juling itu.
Beberapa saat lamanya Gajah Enggon memandang Dlapa Welah.
Yang dipandang balas memandang, namun Gajah Enggon merasa prajurit itu menatap ke arah lain. Gajah Enggon berbalik dan menjatuhkan titik pandangnya jauh ke timur. Di sana ada cahaya semburat berwarna kemerahan.
Di arah timur matahari menyembul di garis cakrawala. Ampak-ampak kabut yang semula begitu tebal menyibak, sebagian membubung, sebagian menguap, dan sebagian lagi tersapu terbawa angin menjauhi kotaraja. Wajah-wajah yang semula berjarak batas kini tampak jelas.
Pandangan mata Gajah Enggon hinggap di wajah Bhayangkara Riung Samudra yang segera tanggap dan bergegas datang mendekat. Di samping Riung Samudra, berdiri seorang prajurit muda berbadan tegap dan kukuh. Meski masih muda, ia memiliki kemampuan memadai sehingga ditarik menjadi bagian dari pasukan khusus itu. Prajurit Bhayangkara muda bernama Kendit Galih itu berasal dari Singasari.
Keinginannya menjadi prajurit Bhayangkara membawanya datang ke Ibukota Majapahit.
"Ada perintah untukku?" tanya Riung Samudra.
Gajah Enggon ternyata masih menyimpan persoalan yang amat mengganggu itu di mulutnya yang terbungkam. Butuh beberapa jenak waktu untuk mengeluarkan isi pemikiran dari kedalaman benaknya.
"Kamu tahu kenapa orang ini dibunuh dan mayatnya harus
diletakkan ke atas punggung kuda dan diarahkan kuda itu ke dalam kota?"
Riung Samudra tidak segera menjawab pertanyaan yang sebenarnya sepele itu.
"Pembunuhan dilakukan di luar kota," jawab Riung Samudra setelah merasa menemukan simpulan.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 125
"Pembunuhan terjadi di luar dinding kota, benar seperti katamu,"
Enggon menjawab. "Tetapi, mengapa mayat itu harus diletakkan di atas kuda dan diarahkannya kuda itu untuk berderap masuk kota?"
Riung Samudra berpikir keras, tetapi tidak menemukan jawabnya.
Gajah Enggon membaca raut wajah Bhayangkara Kendit Galih yang mulutnya berkomat-kamit seperti akan mengutarakan pendapat.
Diberikan kesempatan itu kepada Kendit.
"Kamu punya pendapat, Kendit?" tanya Gajah Enggon.
Kendit mengangguk. "Katakan bagaimana pendapatmu!" kata Enggon memberi
kesempatan. "Menurut pendapatku, pelaku pembunuhan ini tentu bukannya tanpa maksud. Dikirimnya mayat-mayat dengan diletakkan di atas punggung kuda adalah untuk membawa pesan. Hanya saja aku tak tahu siapa atau pihak mana yang ingin dibuat gentar oleh pengiriman mayat ini serta siapa atau pihak mana yang merasa berkepentingan mengirim pesan," jawab Kendit dengan kalimat yang urut dan runtut.
Jawaban Kendit Galih itu membuat Riung Samudra bingung.
"Aku tidak paham maksudmu, bagaimana mayat-mayat itu bisa dianggap tak ubahnya pesan" Aku tidak melihat pesan apa pun."
Kendit Galih akan balas menjawab, namun Gajah Enggon
mengangkat tangan meminta Kendit tidak menanggapi.
"Kendit Galih benar, Samudra," Gajah Enggon membalas. "Kamu salah bila menganggap mayat-mayat ini tak membawa pesan. Kedatangan mayat-mayat ini sudah merupakan pesan. Jelas ada sesuatu yang tidak main-main di balik mayat-mayat yang dikirim ini. Kematian mereka jelas ada hubungannya dengan kematian-kematian sebelumnya, kematian Ki Panji Wiradapa, Klabang Gendis, dan kematian sahabat kita, Lembang Laut. Semua kematian itu, termasuk mayat-mayat yang baru datang terjadi hanya dalam waktu semalam, pada hari yang sama Sri Baginda Prabu Jayanegara mati terbunuh."
126 Gajah Mada Riung Samudra menyimak dengan cermat sebagaimana Bhayangkara Kendit Galih memerhatikan ucapan pimpinan pasukan Bhayangkara itu dengan sangat bersungguh-sungguh.
"Telusuri kematian ini. Segera temukan jawabnya, siapa saja mereka.
Lalu, segera berikan laporannya kepadaku, secepatnya," ucap Gajah Enggon.
"Baik, Kakang," jawab Riung Samudra.
Tak lebih dari sepuluh orang prajurit yang bertugas menjaga keamanan pintu gerbang barat itu bergegas mendekat ketika Bhayangkara Riung Samudra melambai, meminta mereka mendekat. Riung Samudra akan mengajukan beberapa pertanyaan sebagai pendalaman ketika dari arah Purawaktra terdengar seekor kuda membalap dengan sangat kencang. Gajah Enggon bahkan bergegas mengangkat busur, berjaga-jaga bila penunggang kuda itu membahayakan mereka atau berniat melintas tanpa berhenti.
Akan tetapi, Gajah Enggon segera menurunkan gendewanya,
demikian pula dengan Bhayangkara Kendit yang telah menyiagakan pisau-pisau terbangnya. Melihat siapa penunggang kuda bertubuh kekar itu, Kendit pun mengembalikan pisau-pisaunya yang direnteng rapi di pinggang dan punggungnya. Senopati Gajah Enggon segera memimpin memberikan penghormatan kepada orang itu.
Gajah Mada yang melompat turun dari kuda segera mengarahkan perhatiannya pada mayat-mayat yang ditemukan. Kematian mayat pertama karena lehernya dijerat, sementara kematian kedua melalui sebuah pisau belati yang melesat menerobos mulut dan tenggelam di tenggorokan orang itu. Kematian yang masing-masing tidak memberi kesempatan untuk menjerit.
"Sudah diketahui siapa mereka?" tanya Gajah Mada.
"Belum, Kakang," jawab Gajah Enggon.
"Cabut pisau itu," perintah Gajah Mada.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 127
Riung Samudra segera menjalankan perintah itu. Pisau itu pun dicabut. Darah merah yang melekat pada pisau dibasuh dengan cara menancapkan ke batang pohon pisang yang tumbuh tidak jauh dari tempat itu dan dilakukannya sampai tiga kali. Pisau itu segera diserahkan kepada Gajah Mada yang memerhatikan amat cermat ciri-ciri khusus yang ada.
"Bukan pisau milik Bhayangkara," kata Riung Samudra.
Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya kepada Riung
Samudra. "Menurutmu begitu?" tanya Gajah Mada.
"Ya," jawab Riung Samudra.
"Bagaimana menurutmu, Enggon?" tanya Gajah Mada kepada
Gajah Enggon. Gajah Enggon menimang pisau itu bergantian dengan tangan kanan dan kiri dan tanpa ancang-ancang lebih dulu, pisau itu diayunkan ke batang pohon tak jauh dari tempat itu. Pisau itu melesat dan langsung menancap tepat di tengah dahan pohon sawo yang sedang tumbuh lebat di pekarangan rumah orang.
"Nah, bagaimana?" tanya Gajah Mada. "Meski bentuk dan
ukurannya berbeda, pisau itu mempunyai sifat tak ubahnya pisau milik pasukan Bhayangkara. Bagian terberat bukan pada gagang, tetapi pada ujungnya."
Bhayangkara Gajah Enggon, Riung Samudra, dan Kendit Galih menyimak apa yang diucapkan Gajah Mada dengan saksama dan penuh perhatian. Demikian pula dengan beberapa prajurit yang bertugas menjaga keamanan regol di sebelah barat yang berdiri pada jarak sedikit jauh. Mereka tak ingin ada yang lolos satu kalimat pun dari pembicaraan itu.
"Menurutmu, apa penyebab kematian yang dialami orang yang pertama," kata Gajah Mada.
"Dijerat lehernya," jawab Gajah Enggon. "Ia tak sempat melakukan perlawanan. Orang yang membunuhnya mungkin orang yang amat dikenalinya dan melakukan pembunuhan dengan mendadak tanpa diduga."
128 Gajah Mada Gajah Mada sependapat dengan jalan pikiran Senopati Gajah Enggon.
"Lalu orang yang kedua?" Gajah Mada menambah. "Tenggelamnya pisau ke mulut korbannya, melalui genggaman tangan atau diayunkan dalam jarak jauh yang langsung tenggelam ketika mulut korbannya sedang terbuka?"
Senopati Gajah Enggon merasa ragu untuk menjawab.
"Bagaimana, Samudra?" tanya Gajah Mada.
Riung Samudra juga tidak mempunyai jawaban. Riung Samudra menggelengkan kepala.
"Bagaimana menurutmu, Kendit?"
Kendit Galih memandang mayat dengan luka di mulut itu dengan cermat, saksama, dan penuh perhatian. Kendit Galih menoleh kepada Gajah Mada.
"Orang itu mati oleh ayunan pisau belati dengan kecepatan tinggi.
Kalau dari ayunan tangan yang menggenggam pisau, ia pasti punya waktu untuk mengelak atau pisau itu akan melukai tempat lain, pipi atau bahkan wajah. Orang yang membunuh benar-benar memiliki kemampuan mengayunkan pisau yang luar biasa."
"Hanya orang Bhayangkara yang terlatih menggunakan pisau terbang macam itu," kata Gajah Mada terasa pahit. "Sebelum dua orang ini, setidaknya terjadi tiga kematian, seorang di antaranya Bhayangkara Lembang Laut yang mati dipatuk ular. Keterlibatan Lembang Laut harus segera diungkap. Harus segera diketahui apa peran Lembang Laut, apakah ia melakukan tindakan yang salah yang tidak sesuai dengan cara pandang Bhayangkara, atau karena hal lain. Jika dijebak, Lembang Laut harus dibersihkan namanya."
Sebuah teka-teki yang mencemaskan, apalagi bila mengingat kematian yang terjadi beruntun itu terjadi berimpitan waktu dengan kematian Sri Jayanegara. Lebih-lebih salah seorang yang menjadi korban adalah Panji Wiradapa.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 129
"Gajah Enggon," berkata Gajah Mada dengan suara datar.
"Bagaimana, Kakang?"
"Kumpulkan para pimpinan pasukan di Balai Prajurit. Aku akan memberikan taklimat. Ada banyak masalah yang harus aku sampaikan sebelum siang nanti akan diselenggarakan pembakaran layon Sri Baginda Jayanegara. Sebelumnya layon akan disemayamkan lebih dulu di Balai Prajurit untuk mendapatkan penghormatan dengan tata cara keprajuritan."
"Baik, Kakang. Perintah Kakang Gajah akan segera aku laksanakan."
Gajah Mada melompat kembali ke atas kudanya dan serentak mendapatkan penghormatan dari para prajurit yang ditinggalkan.
Dengan kecepatan tinggi, Patih Daha itu melaju kembali ke arah semula untuk melaporkan perkembangan yang terjadi itu kepada Arya Tadah.
Mapatih Majapahit Arya Tadah semalam suntuk tak beristirahat dan memantau perkembangan yang terjadi. Gajah Mada juga tidak tidur dan terus menyalurkan perkembangan kepada Arya Tadah. Seharusnya Gajah Mada juga melaporkan perkembangan yang terjadi itu kepada Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, tetapi Gajah Mada menimbang, semua yang terjadi harus diatasi tanpa harus merepotkan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. Atau, baru akan dilaporkan bila semua telah tuntas berhasil diatasinya.
"Kendit Galih," berkata pimpinan Bhayangkara Senopati Gajah Enggon.
Kendit Galih bergegas mendekat.
"Tak banyak pandai besi di Majapahit ini, utamanya pandai besi yang mampu membuat pisau macam itu. Telusuri di mana pisau itu dibuat, telusuri pula siapa atau pihak mana sebagai pemesannya."
" Tandya." "Laksanakan segera."
Bhayangkara berusia muda dan tangkas itu segera melompati pagar untuk mengambil pisau yang menancap di pohon sawo. Tugas yang baru diterimanya itu dilaksanakan dengan baik. Senopati Gajah Enggon berbalik dan berhadapan dengan Bhayangkara Riung Samudra.
130 Gajah Mada "Aku akan mempersiapkan taklimat yang akan diberikan Kakang Gajah Mada. Aku tegaskan kembali tugas untukmu, temukan jati diri orang-orang yang mati ini," perintah Gajah Enggon kepada Riung Samudra.
"Baik, Kakang. Akan aku laksanakan perintah yang Kakang
berikan." Riung Samudra mengawali pekerjaannya dengan membelejeti
pakaian yang dikenakan mayat-mayat itu untuk menemukan barangkali terdapat titik terang jati diri yang bisa digunakan membuka selubung kematiannya. Riung Samudra mengerutkan kening ketika menemukan sebuah rajah, rajah yang kecil saja, dalam bentuk mirip ular yang membelit sebuah bulatan di pangkal lengannya.
"Bagian ini mirip kepala ular. Apa ini?" desis Riung Samudra.
Riung Samudra bergegas memeriksa mayat berikutnya. Lagi-lagi Samudra menemukan lambang rajah dalam bentuk yang sama.
"Lambang yang sama, lambang apa ini?"
13 Balai Prajurit dibersihkan dan dengan mendadak dipersiapkan untuk sebuah upacara penghormatan menggunakan tata cara keprajuritan. Balai Prajurit berbentuk pendapa besar menghadap ke arah timur dengan pohon-pohon besar di sekitarnya, dikelilingi oleh pagar berlapis.
Pagar pertama di bagian dalam dan pagar ke dua di bagian luar. Tepat di tengah halaman berdiri tegak sebuah patung laki-laki mengenakan pakaian kebesaran raja sebagai penggambaran sosok Raden Wijaya, yang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 131
dipayungi songsong rangkap tiga. Telapak tangan kanannya dalam sikap tegak di depan dada dan tangan kiri memegang gagang gada yang ujungnya menyentuh tanah. Patung itu dibuat sesuai dengan ukuran aslinya. Orang-orang tua yang masih punya kenangan atas wajah Raden Wijaya melihat betapa mirip wajah patung itu dengan mendiang Kertarajasa Jayawardhana di usia empat puluhan tahun. Para orang tua masih menyimpan kenangan betapa gagah dan tampan Raden Wijaya kala itu.
Pagar dalam dikelilingi pagar bagian luar berupa tanah lapang yang dipayungi pohon-pohon besar, di antaranya pohon saman dengan ukuran besar, ada pula beberapa pohon jati raksasa yang tidak cukup dipeluk oleh dua orang yang bersama-sama menyambungkan tangan. Pada ujung-ujung rantingnya penuh dengan berbagai binatang yang dibiarkan hidup dengan bebas dan dilindungi oleh undang-undang, tak diperkenankan siapa pun mengganggunya, baik dengan melepas anak panah, melepas plinteng 147 bahkan yang dengan sekadar mengayunkan batu. Yang berani melakukan akan berhadapan dengan tegak tegasnya Kitab
Kutaramanawa. Jenis-jenis binatang yang bisa hidup bersama meski mereka berbeda adalah burung blekok, burung berkulit putih yang selalu akrab dengan para petani yang mengolak sawah. Di samping blekok, pohon-pohon di sekitar Balai Prajurit itu juga dipenuhi kalong, mirip kelelawar, namun dengan ukuran lebih besar. Malam hari binatang-binatang itu pergi entah ke mana, namun siang harinya berkumpul kembali di tempat itu.
Lapangan di depan Balai Prajurit itu tentu kalah luas dari lapangan di balik dan di luar pintu gerbang Purawaktra, namun lapangan di halaman luar Balai Prajurit juga dipergunakan untuk berlatih tata kelahi olah kanuragan, mulai dari gulat sampai pencak silat, dari olah keterampilan ngembat watang sampai ketangkasan melempar pisau.
Namun, untuk perang dalam ukuran besar, bagaimana pasang gelar Diradameta, Cakrabyuha, Supit Urang,148 dan lain-lain dilakukan di alun-alun istana.
147 Plinteng, Jawa, katapel
148 Diradameta, Cakrabyuha, Supit Urang, Jawa Kuno, nama-nama siasat perang berskala besar, awalnya istilah-istilah perang itu berasal dari Mahabarata terutama episode Baratayuda.
132 Gajah Mada Pada dasarnya dari Balai Prajurit inilah semua kegiatan keprajuritan diatur, bagaimana siasat perang atau rencana-rencana yang disusun dikendalikan. Balai Prajurit dibangun bertumpu pada pengalaman atas pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, utamanya yang terakhir dilakukan oleh para Dharmaputra Winehsuka. Pembangunan Balai Prajurit itu digagas oleh Gajah Mada ketika ia masih berpangkat bekel, pangkat yang masih rendah sehingga gagasannya belum bisa diwujudkan.
Barulah ketika atas jasanya Bekel Gajah Mada dianugerahi pangkat yang lebih tinggi dengan menjabat sebagai patih di Jiwana, angan-angannya agar Majapahit memiliki Balai Prajurit disampaikan kepada Sri Jayanegara Sang Prabu Maharaja Adhiraja Sri Wiralanda Gopala. Gagasan itu diterima dan dibangunlah Balai Prajurit terpisah dari lingkungan istana.
Udara dingin tak bersisa lagi. Kabut telah menyibak meski masih ada sisanya, menjadikan garis-garis matahari yang timbul karena terhalang oleh pohon-pohon tampak indah sekali. Puluhan orang bekerja keras menyapu halaman yang luas dan membersihkan pekarangan. Daun-daun kering dikumpulkan lalu dibakar, semak dan perdu dibabat habis.
Puluhan orang yang lain bekerja keras serasa diburu waktu mempersiapkan apa pun yang dibutuhkan.
Melalui anak panah sanderan yang di lepas membubung ke langit dilengkapi dengan suara sangkakala dan tambur dengan derap irama tertentu, isyarat itu berhasil ditangkap oleh mereka yang dipanggil diminta berkumpul. Panggilan itu ditujukan kepada para senopati pimpinan satuan pasukan, masing-masing dari kesatuan Japalapati dan kesatuan Sapu Bayu yang berasal dari leburan dua pasukan Jalayuda dan Jala Rananggana dan orang-orang tertentu dari kelompok Bhayangkara.
Tidak butuh waktu lama, mereka yang dipanggil mulai berdatangan ke Balai Prajurit. Tak ada wajah yang tidak bersungguh-sungguh, semua wajah tampak tegang.
Sang waktu merambat sedikit siang ditandai dengan matahari kian menanjak tinggi ketika mereka yang dipanggil untuk menerima taklimat telah lengkap. Sejenak kemudian derap kuda terakhir yang memasuki Balai Prajurit membawa sosok prajurit yang paling disegani di Majapahit, Gajah Mada. Seorang prajurit berpangkat rendahan bergegas menerima Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 133
kendali kudanya saat mana Gajah Mada telah meloncat turun. Diikatnya kuda itu pada palang kayu yang ditanam di halaman yang memang disiapkan untuk keperluan itu.
"Sudah berkumpul semua?" tanya Gajah Mada.
"Sudah," jawab Senopati Gajah Enggon.
Gajah Mada menebarkan pandangan matanya pada pasukan yang telah pacak baris 149di halaman dan dihadapkan ke selatan untuk menghindarkan Gajah Mada dari bertatapan mata langsung dengan matahari yang akan menyilaukannya. Pasukan itu terdiri atas para prajurit dengan pangkat perwira dan hanya beberapa yang berpangkat bintara.
Meski dalam kelompok bintara, tetapi prajurit yang harus bergabung di dalam taklimat itu memegang kendali tugas amat penting dan membawahi beberapa kelompok prajurit. Hanya ada dua perwira yang berpangkat senopati, masing-masing Senopati Haryo Teleng memimpin pasukan Jalapati dan Senopati Panji Suryo Manduro memimpin pasukan Sapu Bayu. Jabatan dan tugas dua orang itu sangat tinggi karena memegang kendali atas pasukan dengan kekuatan satu bregada.150
Sejak huru-hara yang dilakukan Ra Kuti, atas perintah Raja Sri Jayanegara dilakukan penataan kembali tatanan keprajuritan yang ada.
Satu keputusan penting adalah pangkat tertinggi adalah senopati. Pangkat temenggung tidak lagi digunakan di keprajuritan, namun masih tetap digunakan di luar itu. Pimpinan tertinggi disebut panglima perang atau senopati agung yang dipegang langsung oleh Jayanegara yang mangkat.
Atas pertimbangan pengabdian luar biasa yang diberikan selama ini dan dianggap paling berpengalaman maka meski tanpa ada serah terima yang jelas, juga tidak dari Ratu Gayatri, Gajah Mada langsung mengambil kendali menempatkan diri tidak ubahnya panglima perang itu. Melihat itu, tak seorang pun yang menolak karena semua berpikir Patih Daha Gajah Mada memang mampu dan layak berada di tempat yang sekarang ia pegang. Tidak seorang pun yang mempersoalkan 149 Pacak baris, Jawa, berbaris
150 Bregada, Jawa, bisa diidentikkan dengan satuan berkekuatan satu korps, satu korps sendiri merupakan gabungan dari divisi-divisi.
134 Gajah Mada kepemimpinan Gajah Mada karena ia memegang samir khusus yang diterimanya dari Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. Gajah Mada juga mengenakan lencana kepatihan yang dengan sendirinya keberadaan Gajah Mada tak ubahnya Mahapatih Arya Tadah sendiri.
"Para wadya sumadya, tandya," amat lantang pimpinan Bhayangkara Gajah Enggon memberi aba-aba kepada pasukannya.
" Tandya," jawab pasukan yang disiapkan dengan serentak.
Gajah Mada mempersiapkan diri sebelum berbicara dan menebar pandangan mata menyapu wajah semua pimpinan prajurit, pimpinan dari satuan masing-masing. Dari apa yang terjadi itu terlihat betapa besar wibawa Gajah Mada, bahkan beberapa prajurit harus mengakui wibawa yang dimiliki Gajah Mada jauh lebih besar dari wibawa Jayanegara. Sri Jayanegara masih bisa diajak bercanda, tetapi tidak dengan Patih Daha Gajah Mada, sang pemilik wajah yang amat beku itu.
"Sebagaimana kalian semua mengetahui," Gajah Mada akhirnya memulai kata-katanya, "kemarin petang telah terjadi peristiwa yang melukai negara. Dharmaputra Winehsuka Ra Tanca telah melakukan tindakan tak tahu diri dengan membunuh Sang Prabu melalui racunnya.
Kita semua kecolongan dengan kejadian itu. Para prajurit ditugaskan untuk menjaga keamanan dan ketenteraman negara. Melekat dengan tugas itu para prajurit juga berkewajiban menjaga keselamatan raja.
Kejadian kemarin itu menjadi bukti bahwa kita tidak melaksanakan tugas dengan baik. Pengamanan raja dilakukan tidak serapat melaksanakan tugas yang lain. Dengan amat mudah Ra Tanca membunuh Sang Prabu dengan racunnya. Letak kesalahan peristiwa ini adalah pada langkanya orang-orang yang menguasai ilmu pengobatan sehingga tak ada yang bisa mengawasi dan menjadi pembanding ketika Ra Tanca dengan ilmu pengobatannya justru meracun Sri Baginda. Oleh karena itu, untuk selanjutnya harus dikaji ulang bagaimana seharusnya menjaga keselamatan raja karena bahaya ternyata bisa datang dari mana saja, bahkan dari orang yang sangat dekat sekalipun."
Ucapan Gajah Mada itu disimak dengan amat cermat. Tidak seorang pun yang menanggapi. Satu-satunya orang yang berbeda sikap, tetapi Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 135
hanya menyimpan di dalam hati adalah Ra Kembar. Ra Kembar meski menyandang gelar Rakrian, ia hanya seorang lurah yang membawahi sekitar lima puluh prajurit. Ra Kembar yang berasal dari kesatuan Sapu Bayu tersenyum sinis. Ra Kembar punya alasan untuk tidak senang kepada Gajah Mada karena ia bersahabat akrab dengan segenap Dharmaputra Winehsuka.
"Gajah Mada bisanya hanya menyalahkan orang lain," kata hati Ra Kembar. "Saat Ra Tanca membunuh Sang Prabu di biliknya, bukankah ia berada di ruangan itu. Ia yang mengawasi Ra Tanca melakukan pengobatan. Artinya, ia mestinya bertanggung jawab terhadap keselamatan rajanya, mengapa orang lain yang tidak bersalah harus menanggung akibatnya. Lucu Gajah Mada."
Meski berpendapat demikian, Ra Kembar tidak melontarkan
pendapatnya itu. Ra Kembar menyimpan pendapat itu dalam hati.
"Kita tahu Ra Tanca mempunyai banyak alasan untuk membunuh Sri Baginda Jayanegara," Gajah Mada menambahkan. "Alasan itu berkaitan dengan peristiwa sembilan tahun silam yang rupanya masih meninggalkan dendam di hati Ra Tanca. Alasan yang lain adalah alasan yang dibuat-buat dan tak masuk akal. Desas-desus Sri Baginda mengganggu istrinya adalah tidak benar karena kita semua mengenal siapa Sang Prabu. Sri Baginda tak mungkin mengganggu istri Rakrian Tanca itu, secantik apa pun ia. Justru amat masuk akal perbuatan Rakrian Tanca itu karena ada pihak yang mendalangi atau memanfaatkannya.
Terbukti hanya beberapa jengkal waktu setelah Sri Baginda meninggal karena pembunuhan, telah terjadi pembunuhan lain susul-menyusul.
Senopati Gajah Enggon akan menjelaskan siapa mereka yang mati beruntun itu."
Senopati Gajah Enggon melangkah menempatkan diri di sebelah Gajah Mada.
"Setelah kematian Sri Baginda, semalam seorang prajurit berasal dari kesatuan Jalapati bernama Panji Wiradapa mati," berkata Gajah Enggon. "Ki Lurah Panji Wiradapa dibunuh orang dengan cara dilemparkan tubuhnya ke kobaran perapian dan nyaris tubuhnya tidak 136
Gajah Mada bisa dikenali. Kematian Panji Wiradapa ini menarik perhatian, atau tepatnya justru sosok Ki Panji Wiradapa yang menarik perhatian, dan Kakang Patih Daha nanti yang akan menjelaskan siapa sebenarnya Ki Panji Wiradapa. Nyaris bersamaan waktu dari kematian Ki Panji Wiradapa yang terbakar dan masih bisa dikenali jati dirinya oleh Raden Kudamerta, disusul oleh dua kematian berikutnya. Seorang prajurit bernama Klabang Gendis yang biasanya bertugas mengawal Raden Kudamerta menyusul terbunuh, sebuah panah melesat tembus ke tenggorokannya. Pada jarak yang tak seberapa jauh, ditemukan lagi sesosok mayat yang kali ini cukup mengagetkan, ia bagian dari pasukan Bhayangkara. Bahkan, sepak terjangnya sangat terpuji ketika ikut melakukan penyelamatan Sri Baginda ke Bedander. Bhayangkara Lembang Laut tewas dengan jejak telapak tangan digigit ular. Kematian prajurit bernama Klabang Gendis adalah dibunuh Lembang Laut, kematian Lembang Laut dipatuk ular pada tangannya, bukan pada kakinya dan itu diyakini sebagai pembunuhan."
Amat hening halaman Balai Prajurit itu, tak seorang pun yang menyela ucapan Gajah Enggon. Hal yang sebelumnya masih merupakan berita yang simpang siur maka kali ini berita kematian itu menjadi jelas, terutama berita tentang kematian Bhayangkara Lembang Laut yang mengagetkan.
"Berikutnya, pagi ini kita dikirimi dua sosok mayat tak dikenal yang dibunuh di luar dinding kotaraja entah tempat itu di mana. Mayat yang pertama diletakkan di punggung kuda dengan kematian akibat leher tercekik, sementara mayat berikutnya mati dengan mulut diterobos pisau terbang. Dua mayat itu belum kita ketahui jati dirinya dan sedang dilakukan penyelidikan untuk menguak siapa mereka. Yang jelas, kematian-kematian yang terjadi itu merupakan peringatan bagi kita bahwa sangat mungkin siang ini, bersamaan dengan upacara yang dilakukan untuk menghormati Sri Baginda akan terjadi sesuatu."
Para pimpinan satuan dan kesatuan yang berkumpul di halaman Balai Prajurit memamerkan wajah bersungguh-sungguh. Tak seorang pun menyela bahkan tidak seorang pun berniat memalingkan wajah dari raut muka Gajah Enggon.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 137
"Selanjutnya, apa yang diperkirakan akan terjadi dan apa yang harus diperbuat, Kakang Gajah Mada akan melanjutkan taklimatnya. Aku minta supaya disimak dengan baik," lanjut Senopati Gajah Enggon.
Semua perhatian selanjutnya ditujukan kepada Gajah Mada.


Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih ingat nama Mahapati?"
Pertanyaan yang dilontarkan Gajah Mada itu langsung menyengat, seperti ular yang mematuk kaki dengan mendadak dan menyentak.
Beberapa di antara perwira saling pandang, sebagian di antaranya tidak mengalihkan perhatian dari Gajah Mada.
"Masih ingat Ramapati?" tanya Gajah Mada.
"Masih," semua menjawab serentak, hanya Kembar yang tidak menjawab.
Tentu para perwira tak akan pernah lupa nama Mahapati yang sekitar sepuluh tahun lebih sangat menggegerkan Majapahit. Mahapati juga bernama Ramapati, ia memiliki hati yang amat berbulu dan raut muka yang amat culas, demikian setidaknya para kawula meyakini betapa Ramapati adalah penjahat paling berbahaya di Majapahit yang hanya sekadar mulut culasnya saja telah cukup untuk membuat kekacauan luar biasa. Perang yang terjadi ketika Majapahit menyerbu Tuban adalah karena hasutan Mahapati. Majapahit menyerang Lumajang adalah karena orang ini pula. Mahapati pula yang mengipasi Sora supaya melakukan makar, yang kemudian digilas Majapahit. Selanjutnya, Mahapati adalah guru para Rakrian Dharmaputra Winehsuka yang semuanya menjadi pemberontak, seolah makar adalah warisan nyata dari guru kepada para muridnya.
Dalam Kitab Mahabarata terdapat tokoh jahat yang ke mana pun dan di mana pun ia berada selalu mengadu domba, memfitnah sana memfitnah sini. Sosok bernama Sangkuni menebar finah sampai pada kadar berlepotan sehingga sesama darah Barata harus berperang dan saling berbunuh di hamparan padang luas bernama Kurusetra. Segenap rakyat Majapahit yang ingat sepak terjang Mahapati tentu menghubungkan perilakunya dengan tokoh Sangkuni. Semua itu ia lakukan 138
Gajah Mada karena nafsu yang tidak terkendalikan. Ramapati atau Mahapati amat ingin menjadi patih amangkubumi. Nafsu itu yang mendorongnya membalik kalimat ketika berhadapan dengan raja maupun ketika berhadapan dengan Mahapatih Amangkubumi Nambi yang pulang ke Lumajang karena ayahnya meninggal.
Kepada raja dilaporkan, Nambi tidak ingin pulang ke Majapahit karena tak lagi mengakui Majapahit. Sementara kepada Nambi, Mahapati menyarankan untuk tidak usah buru-buru pulang karena masih berada dalam masa berkabung.
Perang saat itu terjadi dengan korban manusia ribuan jumlahnya.
Benteng Pajarakan digempur habis-habisan, sementara Nambi yang sangat marah dan kecewa mempertahankan benteng itu habis-habisan.
Nambi gugur dalam pertempuran itu.
Gajah Mada mengedarkan pandangan mata menjelajah wajah ke wajah tanpa seorang pun terlewat. Ketika singgah di wajah Ra Kembar, Gajah Mada berhenti sedikit lebih lama. Namun, Gajah Mada tidak membiarkan dirinya terpaku pada raut muka Ra Kembar yang ia tahu secara pribadi Ra Kembar tidak suka padanya. Yang ia tak tahu adalah oleh alasan apa Ra Kembar tidak menyukainya.
"Kalian semua tentu masih ingat siapa Ramapati yang juga bernama Mahapati itu," Gajah Mada menegaskan.
Beberapa perwira mengangguk.
"Tentu kalian ingat. Lantas siapakah orang yang demikian setia mendampingi Mahapati, yang ketika Mahapati dihukum mati atas perintah dan keputusan Baginda Jayanegara, orang itu menghilang tak ada kabar jejaknya. Ada yang ingat siapa orang itu?"
Para perwira itu saling pandang, mereka tak perlu berpikir keras.
"Ki Brama Ratbumi Rajasa?" seseorang menjawab ragu.
"Ya benar," jawab yang lain.
Kembali semua wajah terarah ke muka Gajah Mada.
"Brama Ratbumi Rajasa bukan namanya. Orang bernama Brama Ratbumi itu hanya menambahi sendiri untuk gagah-gagahan. Ia Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 139
pengagum Rajasa atau supaya dianggap trah Rajasa Girindrawangsa.
Itu sebabnya, ia menambahkan nama Rajasa di belakang namanya."
Nama itu, Ki Brama Ratbumi, memang pernah demikian terkenal.
Ia adalah tangan kanan Mahapati dan boleh dibilang Mahapati berpikir dan bertindak dengan menggunakan otak tangan kanannya itu. Manakala belang Mahapati akhirnya diketahui, kamanungsan dari tindak perbuatan jahatnya, Ki Brama Ratbumi menghilang, lenyap bagai tenggelam di bumi yang merekah terbelah. Waktu berlalu, orang-orang nyaris melupakannya, meski sebenarnya demikian banyak orang yang menyimpan dendam kepada orang itu dan berkeinginan menuntut balas, baik secara pribadi atau menyeretnya di depan Kitab Kutaramanawa.
"Kenapa kau mengingatkan kami pada nama itu?" tiba-tiba
terdengar sebuah pertanyaan.
Gajah Mada mencari dari arah mana pertanyaan itu berasal. Ternyata Rakrian Kembar yang melontarkan.
"Pertanyaan bagus," Gajah Mada menjawab. "Sebulan lalu telik sandi pasukan Bhayangkara menemukan jejaknya. Ada sebuah rencana makar yang tersadap samar-samar, yang gerakannya sedang kita endus. Gerakan itu dikendalikan oleh Brama Ratbumi. Boleh jadi, jaringan yang ia buat telah mengakar di kesatuan kalian masing-masing tanpa kalian sadari.
Aku mempunyai dugaan yang entah benar entah tidak, Panji Wiradapa adalah Brama Ratbumi."
Tanah tempat berpijak bagai bergoyang karena raksasa yang melaksanakan tugas menyangga bumi mengalami keletihan dan merasa perlu beralih tangan. Semua wajah terkejut seperti dilibas gempa bumi yang datang dengan mendadak tanpa memberi isyarat. Di tempatnya berdiri, Gajah Mada memandang Ra Kembar yang manggut-manggut.
"Melalui pengamatan yang terus dilakukan oleh telik sandi yang melekat pada jarak amat dekat, diketahui selama ini Panji Wiradapa menyusup dalam wujud prajurit. Ia berada di satuan yang bertanggung jawab mengawal dan melindungi Raden Kudamerta. Aku telah meminta bantuan seorang sahabat lama, ia berasal dari pasukan Bhayangkara yang aku tugasi mengamati orang itu. Dari mata-mata itulah, yang tidak perlu 140
Gajah Mada kusebut, kita tahu Panji Wiradapa punya pengaruh sangat besar terhadap Raden Kudamerta. Di depan Raden Kudamerta, ia hanya prajurit biasa dan rendahan. Namun, ia benar-benar punya pengaruh amat besar ketika hanya berdua."
Senopati Gajah Enggon termangu. Jika Gajah Enggon merasa penasaran, itu karena ia sama sekali tidak tahu siapa Bhayangkara yang melaksanakan tugas sandi itu.
Gajah Mada akan melanjutkan kata-katanya, tetapi niatnya melanjutkan taklimat terpaksa ia hentikan. Seorang prajurit dengan pakaian yang mudah dikenali, seorang prajurit Bhayangkara yang memacu kudanya amat kencang berbelok tajam ketika tepat berada pada garis lurus dengan Balai Prajurit. Para perwira ikut mengarahkan perhatiannya kepada siapa yang datang.
Dengan gesit Riung Samudra melenting turun dan dibiarkan kudanya bebas.
"Apa yang akan kaulaporkan?" bertanya Gajah Mada.
Gajah Enggon ikut menyimak.
"Mayat-mayat itu sudah berhasil kuketahui jati dirinya. Kupastikan dari keterangan seorang prajurit kesatuan Jalapati yang selama ini bertugas mengawal Raden Kudamerta. Yang mati dijerat lehernya bernama Kinasten, sementara yang mati lewat pisau yang menerobos mulutnya bernama Arya Surapati. Kedua orang itu pengawal utama Raden Kudamerta. Dua mayat itu masing-masing memiliki rajah di lengan berbentuk mirip kepala ular. Semula aku tidak paham, bentuk benda apa yang dirajahkan itu, ternyata gambar kepala ular sendok."
Gajah Mada melirik Senopati Gajah Enggon.
"Gambar kepala ular sendok?" tanya Gajah Mada dengan mata tak berkedip.
"Ya. Aku yakin rajah itu gambar ular sendok yang membelit buah maja."
Keterangan baru itu menyebabkan Gajah Mada termangu beberapa saat.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 141
"Pisau itu dibuat di mana, siapa pemesannya?"
Bhayangkara Riung Samudra menggeleng lemah.
"Bhayangkara Kendit belum memberikan laporan."
Gajah Mada terdiam beberapa saat. Para perwira yang pacak baris di halaman Balai Prajurit tak seorang pun bisa menebak, laporan apa yang diberikan Bhayangkara Riung Samudra kepada bekas pimpinannya itu.
"Ada lagi yang akan kaulaporkan?"
"Tidak, Kakang Gajah," jawab Bhayangkara Riung Samudra.
Gajah Mada kembali pada sikapnya semula. Kerut mukanya
memberi tanda ia berpikir keras sebelum melanjutkan taklimatnya.
Akhirnya, Gajah Mada kembali bersuara ditujukan kepada para perwira yang masih dalam sikap pacak baris di tempat masing-masing.
"Aku simpulkan kematian-kematian aneh itu berhubungan antara satu dengan lainnya. Panji Wiradapa orang yang dekat dengan Raden Kudamerta. Seorang prajurit dengan nama Klabang Gendis yang menyusul mati disambar anak panah adalah pengawal Raden Kudamerta.
Berikutnya Bhayangkara Riung Samudra baru saja melaporkan, dua sosok mayat yang ditemukan pagi ini di atas punggung kuda adalah Kinasten, seorang prajurit dengan tugas mengawal Raden kudamerta, lalu berikutnya Arya Surapati mati dengan sebuah pisau tenggelam di mulut, ternyata adalah juga orang dekat Raden Kudamerta. Satu-satunya kematian yang tidak ada hubungannya secara langsung seperti korban yang lain hanya kematian Lembang Laut. Kematian Lembang Laut dalam hal ini karena gugur dalam melaksanakan tugasnya. Ia sedang menyusup ke dalam kekuatan itu dan melakukan penyelidikan. Sebenarnya ada dua orang yang secara bersama-sama menyusup ke dalam kekuatan tak dikenal itu, tetapi sampai sekarang ia masih belum menemui aku. Kalau kalian ingin tahu siapa dia" Dia bukan seorang prajurit lagi meski pernah mengabdikan diri sebagai Bhayangkara."
Kisah Pedang Di Sungai Es 8 Pusaka Rimba Hijau Karya Tse Yung Patung Emas Kaki Tunggal 2

Cari Blog Ini