Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 4
Gajah Mada menyempatkan menghirup udara mengisi parupurunya hingga penuh. 142 Gajah Mada "Siapa pun orang yang berada di belakang pembunuhanpembunuhan itu, ia lakukan perbuatan itu dengan sasaran Raden Kudamerta. Orang-orang yang terbunuh itu, semua orang dekat Raden Kudamerta. Apa tujuan dilakukannya perbuatan itu kita belum mengetahui, bahkan pihak mana yang melakukan kita hanya menerka, tidak bisa memastikan secara langsung. Siang ini, ketika keadaan sedang hiruk pikuk memberikan penghormatan kepada Raja Pralaya, aku menduga bakal ada orang yang memancing di air keruh. Oleh karena itu, lewat kesempatan ini aku perintahkan untuk dilakukan pengawalan berlapis terhadap kerabat istana, tidak menutup kemungkinan Raden Kudamerta akan menjadi sasaran pembunuhan setelah kita temukan sebuah kenyataan, orang-orang yang mati terbunuh itu mempunyai hubungan dekat dengan Raden Kudamerta. Jika Raden Kudamerta dijadikan sasaran, pelakunya tentu akan menggunakan serangan jarak jauh, bisa menggunakan anak panah, bisa pula melalui ayunan pisau belati seperti yang dialami mayat di punggung kuda itu. Siang nanti kalian harus waspada terhadap orang-orang dengan kemungkinan niat seperti itu."
Segenap perwira yang berkumpul dalam pacak baris di halaman Balai Prajurit sangat memahami perintah itu.
"Kepada Senopati Haryo Teleng dan Senopati Panji Suryo Manduro, kuminta untuk tak hanya menerjunkan pasukan secukup kebutuhan, tetapi juga dukungan sandi. Taklimat selesai," ucap Gajah Mada mengakhiri semua petunjuknya.
Penghormatan serempak segera diberikan kepada Gajah Mada yang kemudian meninggalkan tempat itu karena ada pekerjaan penting yang harus dilaksanakan di istana. Senopati Gajah Enggon melanjutkan menyampaikan pengarahan dan membagikan tugas yang harus mereka kerjakan seiring dengan mulai tumbuhnya rasa penasaran atas alasan apa suatu pihak berniat menghancurkan Raden Kudamerta, menghabisi orang-orang dekatnya dan barangkali menempatkan Raden Kudamerta di arah bidik selanjutnya.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 143
14 Pagi itu adalah pagi yang cerah, sungguh berbeda dengan malam sebelumnya yang dibungkus kabut sangat tebal, yang hilang entah melenyap ke mana. Namun, jejaknya masih tertinggal di dedaunan yang mengembun, gemerlapan diterpa sinar mentari yang jejak sinarnya membentuk garis-garis panjang. Burung-burung bersahutan di antara sesama mereka, burung kepodang dengan warna bulunya yang kekuningan saling menyapa dengan sesama kepodang. Demikian pula dengan burung prenjak yang bersahutan di antara sesamanya. Burung prenjak dengan ukuran kecil merasa amat senang menyambut datangnya pagi yang amat berbeda itu. Pagi kali ini adalah pagi yang cerah dengan jejak basah yang melimpah sisa hujan yang turun menjelang pagi.
Burung-burung dan berbagai macam satwa yang menyambut
datangnya pagi dengan segala kegembiraannya sama sekali tidak peduli dengan duka yang terjadi di Majapahit. Mereka tak peduli meski segenap manusia dari ujung barat ke ujung timur, membentang dari utara ke selatan menangis menimbulkan genangan air mata.
Bila ada yang terganggu adalah para burung blekok yang selama ini dengan tenang menempati dahan-dahan pohon bramastana, baik di alun-alun di depan gerbang Purawaktra maupun di sepanjang jalan dalam lingkungan istana. Segenap kawula yang datang menyemut sejak pagi sangat mengganggu ketenangan mereka. Burung-burung itu terpaksa mengalah pilih pergi sejak dini.
Yang juga tak kalah tidak peduli dengan keadaan apa pun adalah sepasang harimau klangenan yang dipasung kebebasannya dalam ke-rangkeng. Pasangan harimau loreng berpenampilan garang itu dipelihara sejak masih bayi. Diberi makanan sampai kenyang berupa daging pilihan, menjadikan harimau itu kini bertubuh kuat dan kekar. Namun, karena dipelihara sejak masih kecil dan diberi makanan yang berlimpah maka harimau itu berkembang menjadi harimau tak lumrah, setidaknya ia amat 144
Gajah Mada jinak untuk ukuran harimau. Pawang yang mengurusi pasangan harimau itu bahkan bisa bercanda dengan harimau itu seenaknya. Hanya bila terlambat diberi makan, harimau itu bisa berubah menjadi harimau galak serta siap memamerkan gigi-giginya yang mencuat dan akan menerkam siapa pun yang membuatnya marah.
Tidak jauh dari kandang itu puluhan menjangan seperti mengolok-olok. Rusa dibiarkan hidup bebas di luar kandang dan dijamin tidak akan kehabisan makanan karena limpahan rumput ada di mana-mana.
Rusa-rusa itu bahkan merumput sangat dekat dengan sepasang harimau itu yang hanya bisa mondar-mandir amat bernafsu ingin menerkam, kehendak yang terhalang oleh jeruji yang amat kuat.
Namun, setidaknya sekali dalam sebulan, rusa yang mudah
berkembang biak itu ditempatkan dalam nasib yang sial. Pawang yang diberi kepercayaan mengurus harimau tak segan-segan menangkap salah satu dari menjangan itu dan melemparkan ke kandang. Para prajurit, bahkan Baginda Raja Majapahit mendiang Sri Jayanegara menyaksikan peristiwa itu sebagai tontonan yang menggairahkan. Manakala harimau melompat menerkam menjangan yang malang maka disambutlah peristiwa itu dengan sorak yang menggemuruh menjejali isi dada siapa pun yang menyaksikan saat darah muncrat dari tubuh rusa yang malang.
Hari itu akan diselenggarakan upacara pembakaran layon Sri Jayanegara. Semua orang, tua, muda, bersatu padu tanpa ada yang memberi perintah. Mereka bekerja sama bahu-membahu. Semua orang juga akan bersatu padu bekerja sama tanpa upah untuk pencandian yang akan dibangun di beberapa tempat, di antaranya tak jauh dari lapangan Bubat, di Sukhalila serta di dalam lingkungan istana.
"Aku akan ikut bekerja bakti," berbicara seorang laki-laki kepada laki-laki kedua di sebelahnya. "Aku pilih ikut membangun yang di Kapopongan."
Lelaki di sebelahnya mencuat alisnya.
"Apakah Baginda akan dicandikan di Kapopongan?" tanya orang itu.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 145
"Ya, aku dengar seperti itu. Katanya di Simping juga. Kalau di Simping akan dibangun aku tak ikut. Biar orang-orang di Blitar saja yang membangun. Aku sering pergi ke Blitar dengan berkuda, butuh waktu sehari semalam untuk sampai di Blitar. Lagi pula, makanan di Simping kurang begitu enak, bumbunya terlalu menyengat tak seenak masakan istriku. Pertimbangan utama mengapa aku memutuskan mengawini perempuan yang kini menjadi istriku, meskipun wajahnya jelek adalah karena ia pandai masak. Aku adalah penjelajah warung-warung dan menyantap berbagai jenis makanan yang kata orang enak, warung Mbah Darmo Sambur yang katanya enak itu, ahh, masih kalah enak dari masakan istriku. Dalam urusan pengetahuan bumbu dapur dan bagaimana cara menakar dalam ukuran yang tepat dan kemudian memasaknya, aku yakin tak ada yang mengalahkannya."
Orang di sebelahnya tersenyum. Ia mengenal tetangganya itu cukup baik dan rumahnya cukup dekat walau masih bersela beberapa rumah lagi. Ia juga tahu istri laki-laki itu memang berwajah jelek, tetapi masakannya memang enak.
"Ajak saja istrimu ke Simping," ia berkata.
"Waah, jangan," jawab laki-laki beristri jelek itu. "Bisa gawat nanti.
Jangan sampai istriku ikut ke Simping, kalau bisa seumur hidupnya jangan sampai ia tahu di mana itu Simping berada. Jangan sampai ia tahu bahkan denahnya sekalipun."
"Kenapa?" tanya orang di sebelahnya lagi dengan rasa heran.
"Bahaya besar kalau istriku sampai tahu. Jika ia ikut, akan ketahuan aku punya istri muda di sana."
Laki-laki yang bertanya di sebelahnya terbelalak, dan segera berubah menjadi tawa ketika tahu orang yang mengaku punya istri muda di Blitar itu tertawa. Orang itu rupanya sedang bercanda, namun sebuah canda yang keterlaluan karena dilakukan ketika Majapahit sedang berkabung.
"Sssst," seseorang memberi isyarat agar diam sambil melekatkan telunjuk jari di mulutnya.
Orang-orang yang tertawa itu segera membungkam mulut. Yang lain segera menekuk wajah dalam-dalam. Mereka tidak menyadari, berada 146
Gajah Mada dalam jarak cukup dekat, seorang telik sandi sedang mengamati. Namun, telik sandi yang disebar untuk mengamankan upacara pembakaran layon itu tidak melakukan apa pun. Ia tahu, orang- orang itu sedang bercanda, mencairkan keadaan yang terlalu beku.
Para telik sandi dari kesatuan sandiyudha Bhayangkara memang telah disebar untuk menjaga keamanan dan mengamati keadaan.
Kekuatan pasukan Bhayangkara itu masih ditambah dengan telik sandi dari pasukan yang lain yang semuanya bahu-membahu bekerja sama.
Penampilan para telik sandi itu tidak mungkin lagi bisa dikenali karena dibungkus berbagai penyamaran, ada yang berubah menjadi seorang petani lugu, ada pula yang berdandan amat kumal.
Tidak jauh dari telik sandi itu, dan agaknya luput dari perhatiannya, seorang lelaki yang menyimpan sebuah rencana menilik sebuah belati tersembunyi di balik lengan bajunya, bergerak mengikuti arus. Dengan belati tajam itu, seseorang akan menjadi sasaran ayunan tangannya.
Dalam melempar pisau belati, orang itu berkemampuan bidik luar biasa Hari mulai merambat siang saat pintu Purawaktra akhirnya terbuka.
Serentak orang-orang berdiri dan mendekat. Dari Purawaktra yang terbuka, sebuah kereta didorong perlahan oleh beberapa prajurit yang mewakili masing-masing kesatuan. Kereta kuda yang diberi nama Rata Pralaya151 itu ditarik oleh hanya dua ekor kuda yang dituntun oleh seorang prajurit yang dalam pekerjaan sehari-harinya merangkap sebagai gamel atau pekatik.
Kereta kuda itu, atau tepatnya di atas layon yang dibaringkan di dalam peti terbuka, sebuah songsong berlapis tiga, paling bawah paling lebar, makin mengecil ke arah ujungnya digunakan memayungi jasad Sang Prabu. Songsong itu bukan payung sembarangan, namun termasuk benda pusaka yang dimiliki istana, menjadi bagian dari pusaka-pusaka yang lain, baik yang berbentuk keris, trisula, atau tombak.
Bahwa payung itu dianggap bukan benda sembarangan, benda itu diboyong dari Istana Singasari dan digunakan memayungi Raden Wijaya ketika diwisuda menjadi Raja Majapahit pertama. Segenap rakyat Majapahit yang tua-tua usianya tentu tidak akan pernah lupa betapa 151 Rata Pralaya, Jawa, kereta kematian, atau kereta pengangkut jenazah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 147
gagah Raden Wijaya yang bertubuh tinggi tegap, berdiri dengan tangan kiri memegang gagang gada dengan ujungnya menyentuh tanah dan tangan kanan diletakkan di depan dada dengan telapak tegak, di belakangnya seorang prajurit memayunginya dengan songsong pusaka rangkap tiga. Bila payung itu dibuka diyakini bahkan mendung sekalipun akan menyingkir menjauh.
Pemegang songsong itu, orang yang bertugas memayungi jasad Sang Prabu adalah Pakering Suramurda. Pakering Suramurda melaksanakan tugas memayungi Raja Pralaya itu dengan saksama. Ia tidak memberikan payung itu kepada pihak lain yang ingin menggantikan tugasnya. Dengan payung tak pernah lolos dari tangannya, Pakering Suramurda benar-benar menghayati tugasnya. Dengan memegang songsong kebesaran itulah Pakering Suramurda benar-benar berniat memberikan penghormatannya kepada mendiang Prabu Sri Jayanegara.
"Di bawa ke mana layon Sang Prabu itu?" bertanya seseorang.
"Ke Balai Prajurit," jawab seseorang yang lain.
"Ooooo?" orang pertama bergumam.
Sebelum dilakukan upacara pembakaran layon sebagaimana
keyakinan agama yang dianut Sri Jayanegara, Raja Pralaya itu disemayamkan lebih dulu ke Balai Prajurit dan akan dilakukan penghormatan secara keprajuritan mengingat Jayanegara bukan sekadar seorang raja, namun secara pribadi Sri Jayanegara adalah bagian dari pasukan Bhayangkara. Anggota kehormatan sebagai Bhayangkara itu diberikan oleh kesatuan Bhayangkara karena saat melakukan pelarian ke Bedander, Jayanegara menunjukkan sikap perilaku tidak ubahnya Bhayangkara. Sri Jayanegara tidak segan menerobos terowongan air, menempuh perjalanan tanpa harus ditandu. Pendek kata, perjalanan melarikan diri ke Bedander di Pegunungan Kapur Utara itu menghadapi beban yang melebihi ambang batas pendadaran yang biasanya diberikan kepada para prajurit yang ingin menyatu dengan pasukan sandiyudha Bhayangkara. Dalam pelarian ke Bedander, Sri Jayanegara mampu melewati beban yang berat dan bertubi-tubi itu.
"Kelak kalau aku mati, perlakukan kematianku selayaknya
Bhayangkara." 148 Gajah Mada Ucapan Jayanegara itulah yang menjadi acuan untuk diberikan penghormatan secara keprajuritan.
Mula-mula hanya para prajurit yang ditugasi mendorong kereta Rata Pralaya, tetapi karena demikian besar cinta rakyat kepada rajanya, mereka berebut saling mendorong dengan bergantian. Gajah Enggon yang bertanggung jawab terhadap keamanan perjalanan dari istana ke Balai Prajurit berniat mencegah, namun Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri melalui isyarat mata dan tangannya meminta kepada Gajah Enggon untuk membiarkan mereka yang berkeinginan membantu mendorong kereta. Biksuni Rajapatni Gayatri melihat keinginan para kawula itu semata-mata didasari rasa cintanya pada Sang Prabu.
Di belakang raja mangkat, Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri dengan pakaian jubah memilih berjalan kaki. Ratu Biksuni berjalan didampingi oleh Mahapatih Arya Tadah, yang di kiri dan kanannya dipagari prajurit bersenjata rapat yang siaga mencegah siapa pun yang bermaksud mendekat. Di luar lapis prajurit dengan pakaian yang jelas terbaca dari mana kesatuan mereka, para prajurit telik sandi memasang mata dan telinga, memerhatikan dengan cermat semua wajah dari jarak amat dekat.
Gajah Enggon benar-benar melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya. Gajah Enggon bahkan merasa yakin akan ada pihak yang berusaha mengail di air keruh. Pihak yang belum diketahui secara jelas maksud dan tujuannya itu bisa jadi bahkan akan membahayakan nyawa keluarga istana.
Pada dasarnya Senopati Gajah Enggon yang bahu-membahu
dengan Senopati Panji Suryo Manduro dan Senopati Haryo Teleng memberikan pengawalan yang amat ketat pada semua kerabat istana, namun pengawalan paling ketat diarahkan pada Ratu Gayatri. Dengan Sri Jayanegara telah tiada dan kekuasaan atas negara diambil alih Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri maka dialah orang paling utama di Majapahit pada saat ini. Oleh karenanya harus memperoleh pengawalan paling utama.
Di belakang Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, berjalan Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani, yang berdampingan dengan Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 149
suaminya. Cakradara yang menyandang gelar Cakreswara Sri Kertawardhana Prabu Singhasari memandang ke depan dengan tatapan mata yang tajam nyaris tidak berkedip. Pandangan matanya lurus ke depan meski ia merasa sedang menjadi pusat perhatian siapa pun.
Di belakang Cakradara dan istrinya, anak bungsu Raden Wijaya yang terlahir dari Ratu Gayatri berjalan berdampingan dengan suaminya.
Raden Kudamerta yang oleh Ratu Gayatri dianugerahi gelar Sri Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun itu tidak mampu memusatkan perhatiannya pada rangkaian acara yang diikutinya. Ketika mata Kudamerta terpejam, selalu muncul wajah seseorang yang amat mencuri dan menyita perhatiannya. Wajah itu wajah perempuan yang di pelukannya ada bayi yang tengah menyusu.
Rupanya wajah itulah yang menyebabkan Raden Kudamerta kurang sepenuh hati menerima kehadiran Dyah Wiyat untuk selalu muncul dan melekat dalam setiap gerak kegiatannya, dalam ayunan irama kehidupannya di sepanjang hari di sepanjang waktu karena bukankah pasangan suami istri haruslah selalu menghamburkan waktu dan menghabiskannya bersama-sama"
Di kiri dan kanan Cakradara dan istrinya, juga di kiri dan kanan Dyah Wiyat dengan suaminya, dua lapis prajurit menempatkan diri saling melekatkan punggung untuk melindungi mereka.
Lalu para Ibu Ratu yang lain, Ibu Ratu Tribhuaneswari terpaksa harus ditandu karena kesehatannya tak memungkinkan untuk berjalan kaki. Demikian pula dengan Ibu Ratu Narendraduhita harus diusung di atas tandu yang dipikul oleh empat orang prajurit perkasa. Sebagaimana Ibu Ratu Gayatri yang memilih berjalan kaki, demikian pula dengan Ibu Ratu Pradnya Paramita yang murah senyum, sambil melambaikan tangan kepada segenap rakyatnya, memilih berjalan dan adakalanya menyempatkan menerima uluran sembah mereka.
Di belakang Ibu Ratu Pradnya Paramita, berbaris dalam kelompok terpisah, para pejabat istana termasuk di antaranya para pemuka masing-masing agama. Samenaka yang memangku jabatan sebagai Darmadyaksa Ring Kasogatan berjalan berdampingan dengan pemuka agama Siwa 150
Gajah Mada dan Hindu. Tak ada percakapan apa pun di antara para pejabat istana yang berjalan beriringan. Semua wajah tersaput mendung. Duka nestapa bergentayangan di mana pun serta menyapa semua wajah.
Menyaksikan peristiwa yang melibatkan gegap gempita gelegak jiwa orang banyak dalam satu warna duka, Pancaksara yang selalu tidak betah berada di sebuah tempat. Atau, kalau bisa betapa ingin membelah diri menjadi puluhan orang sekaligus semata-mata didasari keinginan untuk bisa menyaksikan kejadian di tempat-tempat berbeda.
Pancaksara menutupi tubuhnya dari terik matahari dengan caping lebar, serta jenis pakaian yang menjadi ciri khasnya, berbaju mirip jubah tanpa lengan dan buntalan besar terbuat dari anyaman dami yang berisi semua peralatan tulisnya. Sebagian yang terjadi ia pindahkan ke bentuk tulisan, sebagian besar yang lain ia pahat di benaknya.
Ruas jalan yang lebar menuju Balai Prajurit penuh sesak. Lautan manusia mengombak karena saling desak ingin mendekat, menyebabkan Gajah Mada merasa cemas. Pembunuhan yang terjadi di malam sebelumnya menimbulkan tanda tanya yang belum diketahui jawabnya, apa sebenarnya sasaran utama dari peristiwa itu. Dalam tumpahan lautan manusia macam itu, bila seseorang mengayunkan pisau atau anak panah, akan sulit ditangkap atau diketahui jati dirinya.
Kecemasan yang demikian dibaca pula oleh Gajah Enggon. Melihat tumpahan lautan manusia itu segera mendorongnya memberi perintah yang disalurkan melalui anak panah sanderan yang melesat membubung memanjat langit dengan suara desing melengking tinggi. Sangat memahami makna di balik isyarat anak panah sanderan itu, segenap prajurit yang tak hanya dari kesatuan Bhayangkara, tetapi juga prajurit dari kesatuan lain makin meningkatkan kewaspadaan.
Seorang prajurit Bhayangkara sebagaimana perintah Patih Daha Gajah Mada secara khusus terus menempatkan diri tidak jauh dari Raden Cakradara. Prajurit sandi itu bukanlah prajurit sembarangan karena ia termasuk cikal bakal kesatuan pengawal raja. Untuk terus menempel melekat kepada Raden Cakradara, Senopati Gajah Enggon menempatkan Bhayangkara Gajah Geneng. Sementara itu, untuk selalu melekat Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 151
kepada Raden Kudamerta, Senopati Gajah Enggon memasang Macan Liwung. Sedangkan anggota pasukan Bhayangkara yang lain disebar dalam penampilan penyamaran melindungi dengan amat rapat, hanya beberapa saja yang secara nyata tampil berpakaian kebesaran Bhayangkara.
Disiram oleh hangatnya udara yang cenderung panas dan menggigit bahkan berkesanggupan membakar kulit, meski terhambat oleh banyak orang yang berjejal-jejal, kereta layon itu makin mendekati Balai Prajurit.
Pintu gerbang yang terbuat dari bilah kayu amat tebal telah dibuka, mempersilakan semua orang untuk masuk, layaknya mengucapkan selamat datang kepada Jayanegara, Sang Raja yang bernasib malang.
Tambur besar dipukul menggetarkan udara yang seketika mengombak, ditambah jerit sangkakala yang lebih mengoyak udara, apalagi manakala bende Kiai Samudra yang dipikul dua orang ikut berbicara maka ingar-bingar suasana di lingkungan Balai Prajurit memancing sebuah ledakan yang menggemuruh di dada segenap orang.
Kecintaan yang demikian besar terhadap Sang Prabu Sri Jayanegara yang mungkin sebagian besar karena kenangan terhadap ayahnya yang amat dihormati dan disuyuti, menyebabkan seorang lelaki yang berdiri di bawah pohon gurdo mendadak menjerit dan berteriak keras untuk kemudian semaput, kehilangan semua kesadarannya.
Ternyata tak hanya kakek tua itu yang semaput. Kali ini seorang perempuan di sebelah kiri gapura bentar, yang merupakan pintu tengah melekat pada dinding pagar bagian dalam yang mengelilingi Balai Prajurit bagian dalam. Sudah terkuras habis air mata perempuan itu sejak pertama ia menerima kabar kematian Sang Prabu, sempurna kesedihan perempuan itu dengan semaput pula.
Malang bagi perempuan itu, bila kakek tua segera ditolong oleh banyak orang yang menggotongnya beramai-ramai, sebaliknya perempuan itu tidak ada yang menolong karena tak ada yang melihat ia pingsan. Tempat ia berada terlindung oleh semak. Namun, beberapa jenak kemudian, perempuan yang pingsan itu siuman dengan sendirinya dan bergegas merapat sebagaimana orang lain.
152 Gajah Mada Jerit tangis dan orang pingsan ada di mana-mana, yang umumnya benar-benar didorong oleh rasa kehilangan dan kesedihan yang luar biasa.
Namun, ada pula orang yang semaput dengan alasan yang berbeda.
Orang itu bahkan seorang laki-laki dengan tubuh besar dan tinggi kekar.
Karena berada di tempat yang salah, orang itu mendapat tekanan dari orang-orang di belakangnya. Juga mendapat tekanan dari arah kanan dan kirinya. Sialnya, orang-orang di depannya tiba-tiba mundur dan mengimpit dirinya maka makin berkunang-kunang orang bertubuh gagah itu setelah sebelumnya sudah berkunang-kunang cukup lama.
Orang itu terhuyung-huyung untuk kemudian ambruk karena tidak memiliki sisa kesadaran untuk menguasai diri. Ia ambruk menimpa orang di belakangnya yang ikut ambruk dan ambruk. Setidaknya ada lima orang yang ikut ambruk akibat tertimpa orang itu. Namun, hanya orang itu yang bernasib sial terinjak-injak tubuhnya oleh orang yang benar-benar berjejal.
Akhirnya, Rata Pralaya berhasil melintasi gerbang tengah berupa pintu kayu yang dipahat dalam bentuk candi bentar, mirip dengan Candi Wringin Lawang, hanya bedanya pintu berbentuk candi bentar ini berukuran lebih kecil dengan jarak satu dan lainnya tidak begitu jauh maka bisa dibayangkan betapa sulitnya para prajurit dalam melaksanakan tugas mengamankan segenap kerabat istana.
Berjejal-jejal para kawula mendekat didorong keinginan menyentuh kereta. Tangis mereka yang didendangkan bersamaan menimbulkan suara mendengung mirip suara lebah, atau mungkin sama sekali tak mirip dengan suara lebah. Tak jauh dari tempat itu, di salah satu dahan pohon nangka ratusan atau mungkin ribuan ekor lebah yang menempati sarang berbentuk gentong kebingungan oleh suara yang aneh itu. Mereka beranggapan suara tangis yang dilakukan beramai-ramai itu sama sekali tidak mirip dengan suara mereka.
Di antara banyak orang itu, seseorang sebenarnya ingin ikut menyumbang tangis meski sekadar pura-pura. Orang itu berusaha mengeluarkan tangis dari mulutnya, tetapi tidak bisa. Mengeluarkan air mata dari kelopak matanya mungkin sulit, namun aneh kalau sekadar menangis pura-pura ternyata tidak bisa.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 153
Tangan kanan orang itu berada dalam keadaan siaga. Apabila sebuah pisau jatuh dari dalam lengan bajunya maka telapak tangan itu akan melanjutkan melempar mengayunkan pisau itu ke arah sasaran. Orang itu adalah Rubaya, sementara orang yang menjadi sasarannya adalah Raden Kudamerta. Pisau itu diharap menghunjam ke dada sasarannya.
Dilakukan perbuatan itu karena ada orang yang terlalu tinggi dalam membangun angan-angan. Untuk menggapai cita-citanya maka suami Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa harus mengalami nasib buruk. Untuk menggapai angan-angannya setidaknya telah beberapa nyawa terbunuh.
Tak jauh dari Rubaya, seorang lelaki dalam dandanan lelaki tua berjalan amat kesulitan yang dilakukan dalam kepura-puraan agar ia dikira benar-benar telah tua renta. Namun, setua apa pun orang itu mampu mengatasi tekanan orang yang berjejal berimpit-impitan. Dengan sekuat tenaga, orang dengan rambut memutih yang tak lain adalah Rangsang Kumuda itu terus berusaha membayangi Rubaya, yang dengan sebuah janji dan upah akan melaksanakan pekerjaan atas kepentingannya.
Di halaman Balai Prajurit yang cukup luas, upacara penghormatan kepada Sri Jayanegara akan dilaksanakan. Upacara keprajuritan yang akan dilanjutkan dengan pembakaran layon itu akan dipimpin Patih Daha Gajah Mada yang telah mengenakan pakaian kebesarannya. Tepat di depan tumpukan kayu yang disusun tinggi, dikibarkan bendera gula kelapa setengah tiang sebagai pertanda negara berkabung. Seorang prajurit dengan pangkat senopati memegang cihna, lambang negara berbentuk buah maja dengan latar belakang kain yang dibatik bercorak gringsing lobheng lewih laka yang melatari gambar wilwa. Tak jauh darinya, seorang prajurit menabuh genderang dengan irama berderap.
Tak seorang pun yang duduk. Tidak ada dampar yang disiapkan untuk acara itu, bahkan untuk Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri sekalipun. Semua mengikuti acara dengan berdiri.
Patih Daha Gajah Mada yang akan memimpin jalannya upacara merasa telah tiba waktunya. Ia mendekati Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. Manakala telah pada jarak dekat, Gajah Mada memberikan sembahnya.
154 Gajah Mada "Ada yang ingin kausampaikan, Gajah Mada?"
"Hamba, Tuan Putri Rajapatni," jawab Gajah Mada. "Apakah Tuan Putri Ratu berkenan memberikan sesorah?"
Gayatri memandang Gajah Mada sambil menimbang.
"Kalau menurutmu bagaimana?" balas Ratu Gayatri.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Mada. "Menurut hamba, oleh terjadinya beberapa pembunuhan semalam yang masih belum diketahui apa maksudnya maka hamba berpendapat, sebaiknya Tuan Putri Ratu tidak memberikan sesorah."
Bukannya takut, karena sebagai biksuni, Ratu Gayatri tak lagi mengenal takut, tetapi memang tak baik apabila sampai terjadi kekacauan di tempat yang amat padat itu.
"Aku tidak akan memberikan sesorah, " balas Ratu Gayatri.
Gajah Mada menyembah sambil melangkah mundur. Bahwa Ratu Gayatri ternyata bersedia tidak memberikan sesorah, hal itu menenteramkan hatinya. Apabila ada pihak yang berniat jahat, keberadaan Ratu Gayatri yang menempatkan diri di tempat terbuka akan dengan mudah menjadi sasaran, baik melalui sambaran anak panah atau lemparan pisau. Akan tetapi, muncul pula pertanyaan dari kedalaman hati Gajah Mada, siapa orang gila yang akan membunuh seorang biksuni"
Sebagaimana Senopati Gajah Enggon, Gajah Mada bersikap sangat waspada. Gajah Mada menyapukan pandangan matanya ke segala penjuru. Satu demi satu wajah orang yang berjejal-jejal dicermatinya.
Tatapan Gajah Mada singgah pula ke seorang kakek tua yang berjalan tertatih-tatih. Bila Gajah Mada mengarahkan pandangannya ke orang itu agak lebih lama, adalah karena didorong oleh rasa cemas melihat usia dan penampilannya yang demikian renta. Gajah Mada sama sekali tidak sadar, justru lelaki renta itulah yang mestinya dicurigai. Mengalir ikut arus, lelaki tua itu terus bergerak mengikuti lelaki yang lain, lelaki yang menyembunyikan sebuah pisau di balik lengan bajunya.
Rubaya dengan rencananya mengarahkan pandangan matanya
kepada Raden Kudamerta yang berdiri bersebelahan dengan istri yang baru dikawininya. Rubaya mencoba menebak, warna gejolak macam Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 155
apa yang ada di balik wajah amat datar itu. Akan tetapi, raut muka Raden Kudamerta memang benar-benar datar, beberapa kali matanya terlihat tidak bercahaya, mewakili hasrat atau gejolak jiwanya.
Menempatkan diri di belakang Raden Kudamerta, Bhayangkara Macan Liwung yang dipasang untuk melindunginya menyebar pandang matanya dengan penuh kecurigaan. Tatapan mata Macan Liwung sempat berhenti di raut muka Rubaya, namun Macan Liwung kembali mengedarkan pandangan matanya karena merasa tidak ada yang menarik di wajah orang itu. Berdasar pada tugas amat khusus yang diterimanya dari Senopati Gajah Enggon, Bhayangkara Macan Liwung menduga Raden Kudamerta berada dalam bahaya.
Tak jauh dari dari Raden Kudamerta dan Dyah Wiyat, Raden Cakradara dan Sri Gitarja berdiri bersentuhan lengan dengan sesekali Sri Gitarja menyentuhkan jari tangannya ke jari tangan laki-laki yang sejak semalam telah sah menjadi suaminya itu. Sri Gitarja terlihat begitu cantik, namun daya tahannya tidak sekuat adiknya. Sinar matahari yang menggerataki mukanya menyebabkan merona merah dengan bintik-bintik keringat di kening dan punggungnya. Di belakang pasangan suami istri itu, Gajah Geneng yang dipasang untuk selalu melekat kepada mereka, berada dalam kesiagaan tertinggi.
Dalam keadaan yang demikian, kembali terdengar suara melengking anak panah sanderan yang membubung memanjat langit. Kali ini membawa jejak asap di lintasannya dengan warna hitam. Itulah isyarat dari Senopati Gajah Enggon yang ditujukan kepada para Bhayangkara untuk makin meningkatkan kewaspadaan. Isyarat itu juga ditujukan kepada pasukan dari kesatuan Jalapati dan Sapu Bayu untuk bersiaga pula. Mata para prajurit yang semula telah melotot makin melotot. Derajat kewaspadaan mereka kian meningkat. Rubaya yang tangannya mulai gatal juga amat memahami isyarat itu.
Dari kereta duka, jasad Sang Prabu Pralaya Sri Jayanegara diturunkan oleh beberapa orang. Melalui pijakan kaki bertingkat yang telah disiapkan sebelumnya, tubuh yang telah ditinggalkan nyawanya itu diangkat bersama-sama dan diletakkan di atas tumpukan kayu. Suara doa yang 156
Gajah Mada dilantunkan secara bersama-sama melalui tata cara agama yang berbeda-beda lambat laun mengikis suara tangis. Tak ada lagi orang yang menjerit kehilangan kendali. Semua dengan saksama mengarahkan perhatiannya ke puncak panggung.
Mengombak pandangan mata Ibu Ratu Tribhuaneswari memandang layon yang akan segera dibakar. Demikian pula dengan Ibu Ratu Narendraduhita, merasa matanya berkunang-kunang, tetapi dengan sekuat tenaga janda Raden Wijaya itu bertahan. Di tempatnya berdiri dengan dikelilingi prajurit Bhayangkara yang menjaga muka dan belakang, samping kanan dan kirinya, Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri telah siap mengikuti rangkaian upacara penghormatan terakhir yang akan disusul pembakaran layon.
" Wadyabala, sumadya, tandya, " terdengar suara teriakan sangat keras.
Serentak para prajurit yang telah pasang gelar upacara bersikap sempurna di tempat masing-masing. Suara lantang itu berasal dari mulut Patih Daha Gajah Mada yang menempatkan diri sebagai pimpinan upacara. Tidak hanya para prajurit yang seketika tutup mulut, segenap rakyat pun demikian. Penuh perhatian mereka mengikuti rangkaian upacara yang terjadi.
Dipimpin oleh Patih Daha Gajah Mada, diiringi suara genderang yang ditabuh berderap memanjang, penghormatan secara keprajuritan diberikan kepada Sri Jayanegara. Degup jantung siapa pun serasa berhenti berdenyut ketika peristiwa utama itu terjadi. Apalagi, ketika obor mulai dinyalakan dan masing-masing berada di tangan keluarga raja. Lunglai Ibu Ratu Tribhuaneswari ketika kepadanya diserahkan obor yang sudah menyala. Ibu Ratu Tribhuaneswari ternyata tidak punya cukup kesadaran untuk melaksanakan pekerjaan itu. Namun, Ibu Ratu Narendraduhita dan Ibu Ratu Pradnya Paramita mampu memegang gagang obor itu menggunakan sisa kesadaran yang masih dimiliki dan bersiap diri untuk bersama-sama dengan yang lain menyalakan tumpukan kayu yang telah dibasahi dengan minyak kental kehitaman yang secara khusus didapat dari sebuah sumur di wilayah Tuban.
Demikianlah, ketika Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tidak memberikan sesorah, rangkaian acara itu dilanjutkan dengan pembakaran layon.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 157
Diawali Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang menyalakan pertama kali, disusul oleh para Ibu Ratu yang lain. Cukup tegar Sri Gitarja ketika menyulutkan lidah api obornya, ternyata tak demikian dengan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Beban berat yang disangganya akhirnya lepas tersalur melalui cara itu. Air matanya membanjir berleleran ketika lidah api obornya memberi sumbangan nyala yang berkobar melahap tumpukan kayu. Panas yang timbul terasa menyengat, asap membubung yang semula berwarna hitam keputihan dan cukup mengganggu mata akhirnya menghilang karena tumpukan kayu akhirnya terbakar dengan sempurna.
Bukan atas nama kematian kakaknya, Sri Jayanegara, tetapi atas nama kemelut yang bersumber dari hatinya sendiri, Dyah Wiyat menangis.
Semua orang mengira ia menangisi kakaknya, padahal tangisnya bersumber dari alasan lain.
Hening menggeratak, tak seorang pun yang bicara. Semua perhatian tertuju kepada kobaran api. Dari arah para pemuka agama dan rombongannya, terdengar suara doa yang dipanjatkan dengan menggeremang serasa mengantar nyawa Jayanegara yang telah terpisah dari raganya, melayang membubung tinggi memasuki pintu gerbang yang telah terbuka untuknya. Bau kemenyan yang dilemparkan ke dalam kobaran api amat menyengat.
Untuk memastikan jasad Sang Prabu habis terbakar dan hanya tersisa tulang belulangnya yang kelak akan diperabukan dan dilarung di laut selatan, para prajurit melemparkan tumpukan kayu yang tersedia dalam jumlah berlimpah. Beberapa orang prajurit bahkan naik ke panggungan dan melemparkan kayu-kayu dari tempat itu.
Pada saat yang demikian itulah, Rubaya merasa telah tiba waktunya.
Rubaya beringsut dengan tidak menyolok untuk mencapai jarak yang cukup dengan sasarannya. Sebagaimana perintah yang diterima dari Rangsang Kumuda, ia harus bisa menenggelamkan pisau terbangnya ke dada Raden Kudamerta. Di latihan yang dilakukannya tiap hari, Rubaya tak pernah meleset. Apabila dada yang dijadikan sasaran maka dadanya pasti kena. Demikian pula apabila tenggorokan yang dijadikan sasaran 158
Gajah Mada maka tenggorokannya pasti bisa digapai. Namun, untuk memastikan sasaran kali ini tidak akan meleset Rubaya merasa perlu bergerak lebih dekat.
"Aku lempar pisauku dan secepatnya aku membuat kekacauan supaya bisa lolos dari tempat ini," kata hati Rubaya atas nama rencana yang akan dilakukan.
Macan Liwung yang bertanggung jawab atas keselamatan Raden Kudamerta dan istrinya mulai merasakan bau bahaya yang akan mendekat. Karenanya Bhayangkara Macan Liwung berada pada puncak kewaspadaannya. Demikian pula dengan Gajah Geneng, matanya melotot nyaris sejengkal. Pesan yang diberikan Gajah Mada yang disalurkan melalui Senopati Gajah Enggon dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi, rupanya ada pihak lain yang ikut bermain pula. Pihak yang merasa harus bertindak atas nama panggilan jiwa. Dengan penampilan yang sederhana, orang itu tak ubahnya orang kebanyakan.
Padahal, ia mempunyai peran dan jasa yang besar ketika Majapahit diguncang huru-hara sembilan tahun yang silam. Orang yang amat terluka hatinya itu memilih mengundurkan diri dari kehidupan pengamanan istana. Di sebuah rumah sederhana di luar dinding kotaraja ia bertani.
Kini, karena sebuah alasan menyebabkan orang itu harus ikut campur.
Dengan tak menarik perhatian, orang itu terus berjalan yang adakalanya harus melawan arus.
Pusat perhatian tertuju pada api yang makin berkobar dan kian menjadi, melalap tubuh Sri Jayanegara. Ledakan-ledakan terjadi karena di antara kayu yang digunakan terdapat ruas bambu kering. Panas menyebabkan udara dalam batang bambu mekar yang ketika makin memuai berkesanggupan memecahkan batang bambu itu dengan ledakan yang cukup keras. Manakala ledakan keras itu pertama kali terjadi memang mengagetkan siapa pun, namun ledakan-ledakan berikutnya justru ditunggu-tunggu kehadirannya.
Saat semua perhatian sedang terpusat macam itulah Rubaya merasa telah tiba waktunya. Dengan memutar pergelangan tangan, pisau yang Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 159
semula tersimpan di balik lengan bajunya melorot turun dengan gagang menempatkan diri di telapak tangan. Rubaya mencari kesempatan. Dan, saat ledakan batang bambu yang terbakar terulang kembali, dengan perhitungan cermat ia mempersiapkan diri mengayunkan pisaunya.
Dengan ayunan kuat ia melempar. Namun, pada saat bersamaan, orang tak dikenal, orang yang merasa terpanggil hatinya karena kata hati nurani, orang itu yang terus menempel segera melompat dan menerjang. Dengan hantaman tangannya ia berusaha mencegah ayunan pisau, tetapi orang itu sedikit terlambat. Pisau itu telah telanjur melesat.
Raden Kudamerta yang menjadi sasaran bidik terhenyak manakala merasakan sakit yang datang dengan tiba-tiba. Perih yang bukan kepalang terasa di dada kirinya, yang ketika dengan cermat ia perhatikan ternyata berasal dari sebilah pisau yang tertancap di dadanya.
Terduduk Raden Kudamerta menahan nyeri, menyebabkan Dyah Wiyat terkejut dan mendekapnya dengan segala kebingungan. Dengan trengginas Macan Liwung yang merasa kecolongan mencari-cari dari mana asal pisau yang melesat itu. Bhayangkara Macan Liwung segera meloncat ke sumber kegaduhan yang terjadi di arah kanan.
Tiba-tiba saja terdengar teriakan, entah siapa yang berteriak, menunjuk kepada Rubaya yang kebingungan.
"Orang itu pelakunya."
Rubaya memang layak kebingungan karena rencananya berantakan.
Rubaya tak mungkin menyelamatkan diri dengan membuat kegaduhan dan menerobos orang-orang yang berjejal-jejal karena tangannya terkunci ditelikung ke belakang. Rubaya berusaha meronta, namun makin ia meronta pangkal lengannya terasa sangat sakit. Rubaya menoleh untuk melihat siapa orang yang melakukan perbuatan itu, namun Rubaya merasa tidak mengenal orang itu.
Macan Liwung tercekat dengan leher serasa tercekik. Macan Liwung terkejut melihat siapa yang memberi sumbangan peran menangkap pelempar pisau. Justru karena itu Macan Liwung malah terdiam. Kemunculan orang itu setelah sekian tahun menghilang sungguh mengagetkan.
160 Gajah Mada Dan kegaduhan itu segera merambat.
"Ada apa?" seseorang berteriak dengan suara keras.
"Raden Kudamerta dilempar pisau," jawab yang lain dengan berteriak.
"Hah, siapa pelakunya?"
Kegaduhan yang terjadi menyebabkan orang-orang yang berada di tempat itu teraduk bagai gabah den interi.152 Akan tetapi, pusat perhatian memang segera tertuju kepada orang yang telah terbukti berniat membunuh Raden Kudamerta. Rubaya merasa dirinya mendadak terperangkap dan tak mungkin lolos. Orang yang telah meringkus dirinya memiliki kekuatan yang tak bisa dilawan. Apabila Rubaya bergerak berusaha berontak maka tekanan pada siku tangannya akan bisa mengakibatkan tangannya patah.
"Mati aku. Aku terjebak," Rubaya berkata pada diri sendiri.
Rubaya meronta, namun makin meronta pangkal lengannya terasa sakit. Bila dipaksakan meronta, lengannya bahkan bisa patah.
"Orang itu yang bermaksud membunuh Raden Kudamerta, hajar dia."
Ucapan yang entah siapa yang melontarkan itu merupakan isyarat bagi siapa saja untuk bergerak. Kematian Sri Jayanegara menyebabkan siapa pun mudah marah, tiba-tiba kini muncul lagi orang yang berniat membunuh Raden Kudamerta maka kemarahan yang berjejal di dada dengan segera menggelegak membutuhkan penyaluran.
"Hajar dia." Perintah itu yang berasal entah dari mulut siapa dengan segera dilaksanakan oleh orang-orang yang demikian geram. Bak buk buk ayunan kepalan tangan menghajar wajah pelempar pisau itu. Hanya dalam hitungan kejap, hidung Rubaya yang malang berdarah.
Tidak ada gunanya Macan Liwung dan orang yang melumpuhkan Rubaya berusaha mencegah. Ayunan tangan demi ayunan tangan, tendangan kaki dan hantaman menggunakan batu bata menyebabkan 152 Gabah den interi, Jawa, perumpamaan untuk kondisi kacau-balau Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 161
dengan amat cepat laki-laki yang melukai Raden Kudamerta itu babak belur berdarah-darah. Cekatan Macan Liwung melindunginya, namun hajaran itu bahkan sebagian mengenai tubuh Macan Liwung.
Macan Liwung berteriak sekuatnya, "Hentikan, hentikan semua, jangan main hakim."
Teriakan Macan Liwung yang menggelegar itu berbuah hasil. Orang-orang yang menghajarnya itu akhirnya bisa menguasai diri. Beberapa prajurit dari kesatuan Bhayangkara bergegas membantu Macan Liwung dan membentuk pagar betis untuk melindungi pembunuh bersenjata pisau itu. Dengan cekatan pula mereka mengikat tubuh Rubaya menggunakan tali janget. Rubaya yang membaca nasib di depan mata hanya bisa menyumpah dalam hati.
Melihat kegaduhan yang terjadi, Patih Daha Gajah Mada dan Senopati Gajah Enggon bergegas datang dengan langkah yang terbuka lebar. Oleh kekacauan yang terjadi itu para prajurit bergegas merapatkan diri melindungi kerabat istana. Sangat ketat pagar betis berlapis tameng itu.
"Apa yang terjadi?" Gajah Mada bertanya sambil mengarahkan pandangan matanya kepada orang yang sedang menjadi pusat perhatian.
"Orang ini akan membunuh Raden Kudamerta. Untung Adi
Pradhabasu segera mencegahnya. Raden Kudamerta terluka, tetapi tidak seberapa parah."
Gajah Mada tertegun karena Macan Liwung menyebut nama
Pradhabasu. Gajah Mada memerhatikan wajah laki-laki dalam penyamaran itu dengan cermat saksama. Demikian juga dengan Gajah Enggon, tidak mengalihkan perhatiannya. Cukup lama Pradhabasu menghilang. Lebih dari lima tahun Pradhabasu tidak berada dalam kesatuan pasukan Bhayangkara lagi. Orang itu kini muncul lagi membawakan peran yang mengagetkan. Gajah Enggon mengguncang pundak sahabatnya dengan kuat. Pradhabasu tersenyum.
"Aku nyaris tidak mengenalimu, Pradhabasu," berkata Gajah Mada.
Pradhabasu tidak menjawab, tersenyum pun tidak.
162 Gajah Mada "Apa yang terjadi?" tanya Gajah Enggon.
"Aku membayangi sepak terjang orang ini sudah cukup lama, setidaknya sudah beberapa bulan ini. Kecurigaanku ternyata benar. Lebih baik sekarang kauperiksa bagaimana keadaan Raden Kudamerta. Aku khawatir pisau yang digunakan orang ini beracun."
Bagai diingatkan, Gajah Mada dan Gajah Enggon segera melangkah mendekati kerumunan orang yang mengelilingi Raden Kudamerta.
Bersimbah darah dada kiri suami Dyah Wiyat itu, namun Gajah Mada melihat luka itu tidak terlampau berbahaya. Dengan cekatan Dyah Wiyat melakukan langkah-langkah perawatan suaminya. Pisau yang menancap telah dicabut. Dalam pandangan sekilas Gajah Mada bisa mengambil simpulan pisau itu tidak beracun karena warna darahnya tidak menjadi kehitaman.
Gajah Enggon memungut pisau itu.
"Pisau yang sama," kata senopati pimpinan pasukan Bhayangkara itu.
Gajah Mada mengangguk. "Bawa Raden Kudamerta ke Balai Prajurit," Gajah Mada memberi perintah.
Dengan cekatan tubuh Raden Kudamerta diangkat beramai-ramai, digotong ke Balai Prajurit. Menghadapi keadaan macam itu, apalagi peristiwa itu terjadi di depan matanya secara langsung menyebabkan Dyah Wiyat gugup. Dyah Wiyat mengikuti dari belakang dengan segala kecemasan yang membuncah. Melihat Raden Kudamerta bersimbah darah, para Ibu Ratu yang akhirnya melihatnya menjadi terkejut. Tak bisa dicegah, segenap kawula berduyun-duyun mendekat untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi.
Raden Cakradara yang semula berjongkok tak bisa menahan rasa penasaran. Di sebelahnya, Sri Gitarja memandang Patih Daha itu dengan bingung.
"Apa yang terjadi?" tanya Cakradara.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 163
Pertanyaan itu tidak dijawab oleh Gajah Mada. Cakradara merasa, untuk kali ini tatapan mata Gajah Mada kepadanya tak lagi tulus. Ada sesuatu di balik tatapan mata yang tampak mengombak itu. Mereka yang dalam semalam menjadi korban adalah orang-orang dekat Raden Kudamerta, sementara Raden Kudamerta sendiri juga menjadi sasaran yang untungnya luka yang dialaminya tidak terlampau berbahaya karena Pradhabasu muncul di saat yang tepat. Usaha Pradhabasu menggagalkan upaya pembunuhan telah berhasil, setidaknya telah menyebabkan arah pisau meleset. Pisau yang semula tertuju ke jantung itu bergeser sejengkal ke tempat yang tidak berbahaya.
Cakradara mendekati Gajah Mada.
"Sebenarnya ada apa, Gajah Mada?"
"Aku belum memiliki jawabnya, Raden," jawab Gajah Mada sambil berbalik.
Tanpa bicara Gajah Mada meninggalkan Cakradara ke arah
Pradhabasu yang berdiri berdampingan dengan Macan Liwung dan Gajah Enggon.
Setidaknya Patih Daha Gajah Mada berniat menumpahkan rasa kangen dan mengajukan beberapa pertanyaan penting kepada Pradhabasu. Akan tetapi, peristiwa susulan kembali terjadi. Peristiwa yang sama sekali tidak diperkirakan Gajah Mada. Gajah Enggon pun tidak mengira. Rangkaian peristiwa yang terjadi benar-benar beruntun dan terjadi dalam hitungan kejap demi kejap. Mula-mula terlontar sebuah pertanyaan entah dari mulut siapa.
"Bagaimana keadaan Raden Kudamerta?"
Dan, jawabnya juga entah dari mulut siapa, namun sangat
merangsang. "Mati, Raden Kudamerta mati."
"Hah" Raden Kudamerta mati?"
Mengombak semua isi dada siapa pun, bagai minyak tersulut api, amat mudah untuk terbakar. Apalagi, isi semua dada itu sedang sewarna, sedang marah tidak bisa menerima cara kematian rajanya.
164 Gajah Mada "Raden Kudamerta mati, pisau itu mengenai jantungnya."
Maka tak bisa dicegah, apa yang menimpa Rubaya terulang kembali.
Kawula yang marah memberikan desakan yang amat kuat sementara prajurit yang melindungi jumlahnya sangat kalah banyak, yang celakanya di antara prajurit itu bahkan ada yang termakan hasutan itu. Ayunan demi ayunan tangan kembali terarah kepada Rubaya, bahkan seorang kakek tua renta ikut memberikan sumbangannya. Apa yang dilakukan kakek tua itu paling telak dan menentukan nasib. Orang itu menyeringai dengan mata terbelalak ketika memasukkan ular kecil saja ke balik baju Rubaya. Padahal, ular itu berjenis weling.
"Gila kau! Apa yang kaulakukan ini?" Rubaya meletup sambil berusaha berontak, namun tidak berguna ia berontak.
Laki-laki tua itu, ia Rangsang Kumuda, tersenyum penuh arti.
Rangsang Kumuda bergegas menjauh sambil dengan segera membasuh kesan apa pun dari raut mukanya. Rangsang Kumuda sadar, apabila Rubaya sampai tertangkap dan bisa dikorek semua keterangan dari mulutnya, hal itu akan membahayakannya. Apalagi, apabila Rubaya membuka simpul hubungannya dengan Raden Kudamerta. Oleh karena itu, sebagaimana yang lain, orang-orang yang menjadi mata rantai yang menghubungkan dengan dirinya harus dipangkas. Dengan kematian Rubaya, tak seorang pun yang bisa menjelaskan siapa sebenarnya Rangsang Kumuda.
Rubaya menggeliat, namun justru karena itu ular weling itu mematuknya. Bisa ular weling adalah jaminan bagi siapa pun yang terkena pasti mati. Tak ada penawarnya, tidak ada pula obat yang bisa digunakan menyembuhkannya. Rubaya terbelalak meronta sangat kuat dan dengan segera warna tubuhnya berubah menjadi kebiruan. Napasnya dengan segera tersengal untuk kemudian dengan cepat tubuhnya membeku.
Namun, keadaan yang sudah demikian tidak menyebabkan semua orang berhenti menganiaya. Seseorang mengambil bata merah, dihajarkan bata merah itu ke kepalanya. Seseorang lagi yang memegang kayu mengayunkan kayu itu ke tubuhnya. Seorang yang lain lagi, kebetulan ia memiliki tangan yang besar dan kekar, sekuat tenaga ia ayunkan kepalan tangannya menghajar hidung. Rubaya berdarah-darah.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 165
"Berhenti," Gajah Mada yang berhasil mendekat berteriak keras.
Namun, bahkan perintah yang diberikan Gajah Mada itu tidak digubris. Orang-orang kalap, yang benar-benar marah karena rajanya dibunuh, yang bertambah marah karena mendengar Raden Kudamerta juga dibunuh, kemarahannya butuh penyaluran.
"Berhenti, berhenti, jangan lakukan itu," Gajah Enggon ikut berteriak.
Teriakan Gajah Enggon juga tak dipedulikan. Semua telinga tiba-tiba tidak mendengar apa pun. Kata hati yang butuh penyaluran yang terdengar jelas dan harus dilaksanakan, menyebabkan telinga menjadi buntu, semua orang sepakat untuk budek.
Yang berhasil membubarkan mereka dan memaksanya untuk
mundur justru ular yang keluar dari sela kancing baju yang dikenakan orang dihajar beramai-ramai itu. Melihat ular yang sebenarnya berukuran pendek saja itu, membuat bubar mereka yang kalap. Semua orang tahu ular jenis weling yang memiliki ciri-ciri warna hitam dan putih berselang-seling merupakan binatang melata yang paling mematikan, tak ada dan belum ada sejarahnya manusia yang mampu bertahan hidup bila dipatuk oleh ular itu.
"Ular, ular. Ada ular keluar dari tubuhnya."
Trengginas salah seorang prajurit mengayunkan pedangnya menebas binatang melata yang kebingungan dan berusaha merayap itu.
Memanfaatkan waktu, para prajurit segera membentuk pagar betis.
Namun, apalah artinya pagar betis itu karena orang itu sudah tidak bernyawa, tak ada napas dari mulutnya.
Gajah Mada benar-benar jengkel. Gajah Mada yang berdiri di sebelah mayat itu menjadi pusat perhatian.
"Orang ini mati dan pelakunya harus dituntut di hadapan
Kutaramanawa," teriak Gajah Mada dengan suara menggelegar.
Mendadak saja datangnya kesadaran itu, dan mendadak pula gemuruh amarah yang semula meluap-luap beralih warna. Warna 166
Gajah Mada susulannya adalah ketakutan, cemas karena Gajah Mada pasti akan menyeret pelaku pembunuhan beramai-ramai itu dan mengadili mereka menggunakan Kitab Undang-Undang Kutaramanawa. Maka jurus yang mereka gunakan adalah jurus menyelamatkan diri. Jurus lari terbirit-birit.
Gajah Mada membalik mayat yang tengkurap. Gajah Mada saling lirik dengan Gajah Enggon. Kematian orang yang tertangkap basah berencana membunuh Raden Kudamerta itu bukan karena
pengeroyokan beramai-ramai, tetapi lebih karena dipatuk ular weling itu.
Gajah Mada benar-benar marah. Tindakan tanpa kendali itulah yang disesalkannya. Kekacauan yang timbul dimanfaatkan oleh orang tak dikenal, orang yang sama dengan pembunuh Bhayangkara Lembang Laut menilik cara membunuh yang amat khas, menggunakan ular yang sangat beracun.
Gajah Enggon menggumam, "Rupanya masih ada orang yang
mampu bermain-main dengan ular setelah Rakrian Tanca."
Gajah Mada tidak menoleh, tatapan matanya lurus, "Bisa jadi, Ra Tanca telah mewariskan ilmunya itu kepada orang lain."
15 Masih di hari yang sama. Ruangan di istana Ratu Gayatri sangat senyap. Tak seorang pun yang bicara. Duduk bersila tepat di hadapan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, Gajah Mada yang telah siap menyampaikan laporan menunggu Ratu Gayatri bicara. Di belakang Patih Daha itu duduk bersila Senopati Gajah Enggon dan bekas prajurit Bhayangkara Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 167
yang pernah memberikan sumbangsih pengabdian kepada negara. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri nyaris tidak mengenali laki-laki yang kini berambut amat panjang itu.
Mahapatih Mangkubumi Tadah berada di ruangan itu pula.
Sementara itu, para Ibu Ratu yang lain tidak terlihat satu pun. Para Ibu Ratu yang lain sangat lelah mengikuti rangkaian upacara yang sangat menguras tenaga untuk ukuran usia mereka. Sangat terbatas dan tertentu yang boleh hadir dalam pertemuan itu, bahkan Raden Cakradara pun tidak diizinkan. Demikian pula dengan Sri Gitarja dan Rajadewi Maharajasa yang ingin mengetahui duduk persoalan yang terjadi, tidak diizinkan ikut. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri melarang mereka karena permintaan Gajah Mada. Di hadapan Ratu, Gajah Mada telah menyampaikan tidak bisa leluasa berbicara secara blak-blakan.
"Rupanya benar peringatan yang kauberikan, Gajah Mada?" ucap Gayatri.
Gajah Mada tidak menjawab ucapan itu. Yang ia lakukan adalah merapatkan dua telapak tangannya. Hanya Gajah Mada yang melakukan itu, Gajah Enggon dan Pradhabasu tidak melakukan. Patih Arya Tadah pun tidak.
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana, Paman Tadah?" lanjut Ratu Gayatri ditujukan kepada Mahapatih Arya Tadah.
Arya Tadah segera merapatkan dua telapak tangannya yang
kemudian dibawa melekat ke ujung hidung.
"Hamba, Tuan Putri Ratu," jawab Patih Mangkubumi. "Ternyata benar kecemasan Patih Daha."
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mengedarkan pandangan matanya.
Sebelum Ratu meminta penjelasan panjang lebar dari Gajah Mada, perhatiannya diarahkan lebih dulu kepada Pradhabasu. Ratu Biksuni ingat, telah beberapa tahun lamanya Pradhabasu menghilang dari istana.
Kecewa berat yang dirasakan menyebabkan Pradhabasu pilih berada di luar lingkungan istana. Ratu Biksuni juga amat memahami apa penyebab Pradhabasu memilih berada di luar istana. Rasa kecewanya kepada Bhayangkara Gagak Bongol yang menyebabkan.
168 Gajah Mada "Bagaimana kabarmu, Pradhabasu?" bertanya Gayatri.
Pradhabasu segera memberikan penghormatannya. Kedua telapak tangannya segera dirapatkan dan dilekatkan ke hidung.
"Sembah dan bakti hamba, Tuan Putri Biksuni," jawab Pradhabasu.
Gayatri tersenyum. "Aku terima," jawab Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. "Ke mana saja selama ini kau menghilang, Pradhabasu?"
Pradhabasu kembali merapatkan dua telapak tangannya, kali ini diletakkan di depan dada.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Pradhabasu. "Hamba sibuk bercocok tanam di kaki Gunung Arjuno, tetapi hamba juga memuasi rasa ingin tahu hamba dengan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu wilayah ke wilayah lain untuk melihat bagaimana keadaan dan kehidupan wilayah Majapahit. Hamba mengunjungi Singasari, hamba juga mengunjungi Kediri. Selanjutnya, hamba berjalan jauh ke timur sampai melintas Selat Bali, melihat kehidupan rakyat Blambangan yang tenang dan damai, namun juga melihat semangat yang makantar-kantar di Keta dan Sadeng. Hal itu antara lain yang harus hamba sampaikan kepada Tuan Putri Ratu untuk mendapatkan perhatian. Kalau disebut sepenuhnya menghilang sebenarnya tidak benar, Tuan Putri, karena setidaknya dalam dua bulan ini hamba menghadap Kakang Gajah Mada untuk menyampaikan laporan penting. "
Hening ruangan itu. Semua menyimak apa yang disampaikan
Pradhabasu. Tak satu kalimat pun yang tercecer dari perhatian. Senopati Gajah Enggon memerhatikan dengan penuh minat. Gajah Mada sama sekali tak menampakkan perubahan pada raut wajahnya. Ratu Gayatri mengedarkan pandangan matanya menggerataki semua wajah yang menghadap. Ia lakukan itu sambil mengunyah apa yang diucapkan bekas Bhayangkara Pradhabasu.
"Semangat makantar-kantar di Keta dan Sadeng?" lanjut Ibu Ratu Gayatri.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 169
"Hamba, Tuan Putri," balas Pradhabasu.
"Bisa kausampaikan lebih rinci?"
Gajah Mada tidak bisa menyembunyikan minatnya. Itu sebabnya, ia beringsut agar bisa melihat Pradhabasu ketika sedang berbicara.
"Menurut hamba, Keta 153dan Sadeng154 saat ini sedang menyiapkan makar, Tuan Putri," ucap bekas Bhayangkara Pradhabasu.
Memperoleh jawaban itu, Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri melirik Mahapatih Mangkubumi Arya Tadah. Bersamaan dengan itu Mapatih Mangkubumi Arya Tadah juga mengarahkan pandangan matanya ke wajah Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri. Setelah saling berbicara melalui pandangan mata, Ratu Gayatri mengarahkan tatapan matanya kepada Gajah Mada.
"Ada sebuah wilayah di bumi Majapahit ini bernama Keta?" Ratu Rajapatni bertanya.
"Hamba, Tuan Putri Ratu," jawab Pradhabasu. "Wilwatikta memiliki wilayah bernama Keta. Dua hari dua malam dengan berkuda perjalanan yang ditempuh ke arah timur, antara lain akan melewati Porong, Pasuruan, dan Probolinggo, terus ke arah timur menyusur sepanjang pantai, akan tiba di sebuah tempat bernama Keta."
Biksuni Gayatri menyimak jawaban itu dengan penuh perhatian.
Keningnya sedikit berkerut.
"Apakah Keta berada setelah atau sebelum Besuki?" tanya Rajapatni.
Gajah Mada merasa, ia yang harus menjawab pertanyaan itu.
"Hamba, Tuan Putri. Keta adalah juga bernama Besuki."
153 Keta, Kakawin Negarakertagama menyebut, Keta melakukan pemberontakan pada tahun 1331, 3 tahun setelah kematian Jayanegara.
154 Sadeng, Kakawin Negarakertagama menyebut pemberontakan Sadeng terjadi bersamaan dengan pemberontakan yang dilakukan Keta. Pararaton menceritakan lebih rinci peristiwa pemberontakan ini yang menunjukkan adanya semacam persaingan di antara para perwira prajurit, khususnya antara Gajah Mada dan Rakrian Kembar. Di mana Sadeng tidak diketahui, namun diduga kuat berada di wilayah Bali.
170 Gajah Mada Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri termangu untuk beberapa saat lamanya. Ratu kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Arya Tadah.
Arya Tadah merasa waktunya untuk bicara telah tiba.
"Terasa aneh bila Keta dan Sadeng akan melakukan pemberontakan.
Dalam lima tahun pasewakan utusan Keta dan Sadeng selalu hadir di Balairung."
Hening menggeratak beberapa saat. Sebagai pertanda sebuah wilayah tetap tunduk pada Majapahit bisa dilihat dari hadir dan tidaknya pimpinan wilayah itu di pasewakan ageng yang dilaksanakan secara berkala.
Apabila penguasa wilayah tidak bisa hadir karena jarak yang memang jauh atau karena masalah waktu, diharapkan penguasa wilayah itu menghadap istana di lain kesempatan. Namun, apabila dalam dua kali pasewakan tidak hadir, penguasa wilayah akan mendapat teguran dan harus menjelaskan ketidakhadirannya dan bisa dianggap melakukan tindakan makar.
Ketika penguasa Pakuwon Tumapel tidak hadir beberapa kali di Istana Kediri, Kediri menganggap Tumapel melakukan makar. Ken Arok yang saat itu menguasai Tumapel setelah merampasnya dari Tunggul Ametung memang melakukan makar.
"Bagaimana caramu menilai Keta dan Sadeng akan melakukan makar" Paman Arya Tadah menyaksikan Keta dan Sadeng selalu hadir dalam setiap pasewakan yang diselenggarakan istana?"
Pradhabasu merapatkan dua telapak tangannya.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Pradhabasu. "Keta dan Sadeng perlu dicurigai karena dengan pandangan mata secara langsung, hamba melihat upaya memperkuat diri. Ketika hamba berada di Keta, sedang dilakukan penerimaan prajurit baru dengan jumlah kekuatan amat jauh melampaui keperluan wilayah yang hanya sebesar Keta. Sebaliknya, ketika hamba menyeberang ke Sadeng, di wilayah itu bahkan dilakukan kegiatan yang lebih besar. Hamba benar-benar terkejut melihat kekuatan prajurit yang dimiliki Sadeng dan latihan perang yang mereka lakukan. Hamba meyakini, saat ini sedang ada persiapan pemberontakan. Apabila dibiarkan maka lima tahun ke depan Keta akan memiliki kekuatan seimbang dengan separuh kekuatan Majapahit."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 171
Laporan Pradhabasu ternyata mampu menyita perhatian ruangan itu.
"Bagaimana, Paman Tadah?" bertanya Ratu Gayatri.
Mahapatih Arya Tadah menyempatkan diam untuk beberapa saat sebelum ia memberikan pendapat. Arya Tadah bahkan menyempatkan bertukar pandang dengan Gajah Mada. Arya Tadah juga menyempatkan mendahulukan batuknya sambil merapatkan dua telapak tangannya dalam sikap menyembah.
"Hamba, Tuan Putri. Menurut hamba, mungkin perlu dikirim telik sandi ke dua wilayah itu untuk nantinya bisa digunakan sebagai sikap Majapahit dalam mengambil tindakan. Senopati Gajah Enggon mungkin bisa menunjuk siapa telik sandi yang bisa dikirim. Hamba berpendapat, keterangan yang diberikan Pradhabasu harus segera mendapat perhatian.
Semua masalah yang bisa membahayakan keutuhan negara tak boleh diremehkan dan sedini mungkin harus diatasi."
Gajah Mada menunduk menyimak ucapan itu. Sejenak kemudian ia menengadah dan mengarahkan pandangan matanya ke Ratu Gayatri.
"Bagaimana, Gajah Enggon?" bertanya Gayatri.
"Hamba akan siapkan, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon amat sigap. "Hamba akan menyiapkan pasukan segelar sepapan yang dibutuhkan untuk menghancurkan Sadeng dan Keta apabila dua wilayah itu berniat melakukan pemberontakan."
Gajah Mada tiba-tiba merapatkan dua telapak tangannya, sebuah cara meminta perhatian dari Ratu Gayatri.
"Kau mempunyai pendapat, Gajah Mada?" tanya Biksuni Gayatri.
"Hamba, Tuan Putri," Gajah Mada berkata. "Hamba sependapat dengan Paman Arya Tadah bahwa sedini mungkin masalah Keta dan Sadeng harus segera diatasi. Hamba juga sependapat untuk segera dikirim telik sandi. Namun, hamba tidak bisa menerima gagasan Gajah Enggon untuk segera mengirim pasukan segelar sepapan ke dua wilayah itu. Hamba berpendapat menghancurkan dua wilayah itu melalui perang berkekuatan 172
Gajah Mada besar tidak seharusnya selalu dianggap benar. Ibarat ular, apabila kepala bisa ditangkap maka lumpuh ular itu. Oleh karena itu, sebaiknya yang dikirim prajurit telik sandi dengan sifat dan kemampuan khusus. Hamba berpendapat Keta ataupun Sadeng bisa dikalahkan tanpa harus diserbu.
Menurut hamba, penyerbuan itu sendiri akan memakan biaya yang sangat besar."
Hening ruangan itu. Gajah Enggon termangu karena untuk ke sekian kalinya melihat Gajah Mada mengutarakan pendapat yang berbeda, pendapat yang aneh dan tidak lazim.
"Apa yang bisa dilakukan pasukan telik sandi itu tanpa dukungan pasukan dengan kekuatan segelar sepapan, Kakang Gajah?" bertanya Gajah Enggon oleh rasa penasaran yang menggumpal.
Gajah Mada tidak menjawab pertanyaan itu. Namun, rupanya yang penasaran tak hanya Gajah Enggon. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri juga merasa penasaran.
"Bagaimana jawaban pertanyaan Gajah Enggon itu, Gajah Mada?"
Gajah Mada merapatkan dua telapak tangannya dan menyembah.
"Hamba, Tuan Putri," jawabnya. "Menggebuk Keta dan Sadeng dalam perang besar membutuhkan biaya besar. Perang itu sendiri harus didukung dengan cadangan makanan yang juga besar. Penyelesaian terhadap apa yang akan dilakukan Keta dan Sadeng bisa dijawab dengan langkah yang sederhana. Barisan telik sandiyudha yang dikirim tidak sekadar mengintip dan mengawasi apa yang terjadi. Pasukan sandi itu harus bisa mengerjakan banyak hal, bisa perusakan, penculikan, penyelamatan, sampai adu domba. Barisan sandi itu bahkan juga harus mampu memecah belah persatuan dan kesatuan orang-orang Keta maupun Sadeng terhadap rencana makar yang mereka lakukan. Pendek kata, pasukan sandi dengan sifat khusus itu harus bisa mengelola yang semula musuh menjadi teman atau berpihak pada kita."
Gayatri memandang Gajah Mada lebih lekat dan cukup lama. Namun, sebagai biksuni, Gayatri merasa tidak nyaman harus membicarakan perang atau semacamnya yang pasti akan menjadi sebab kesengsaraan.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 173
"Jika bisa, Keta maupun Sadeng harus kembali ke pangkuan Majapahit tanpa melalui pertumpahan darah. Cerita tentang perang di mana-mana selalu sama. Perang akan mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan yang luar biasa. Akan banyak istri yang kehilangan suami.
Akan banyak ayah yang kehilangan anaknya, anak tak akan bertemu dengan ayahnya untuk selamanya. Akan terjadi rusaknya tatanan dan aturan hidup bersama, banyak orang akan kehilangan kendali karena tekanan jiwa luar biasa, orang menjadi liar, menjadi gila. Orang menjadi penjarah dan pemerkosa, korban di mana-mana. Aku sapendapat dengan Gajah Mada, Keta dan Sadeng harus kembali ke pangkuan ibu pertiwi, tetapi kalau bisa dihindarkan cara-cara yang akan menyebabkan jatuhnya banyak korban. Perang apabila terpaksa dilakukan hanyalah sebagai pilihan terakhir dan bukan yang utama."
Gajah Enggon menunduk. Dalam cara pandang terhadap keutuhan negara, Sri Jayanegara jelas berbeda dengan Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri yang seorang pendeta putri agama Buddha. Namun, terhadap pandangan dan pendapat Gajah Mada, Gajah Enggon masih merasa penasaran. Gajah Enggon berjanji akan mempersoalkan hal itu di lain waktu.
Gajah Enggon berniat membantah pendapat Gajah Mada, tetapi melalui isyarat gelengan kepalanya, Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tidak memberi izin. Tiba saatnya Ratu Gayatri mengalihkan pembicaraan.
"Pradhabasu," kata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri.
"Hamba, Tuan Putri Ratu," jawab Pradhabasu sigap.
"Aku mempunyai sebuah pertanyaan untukmu," Ibu Ratu Biksuni berbicara. "Apakah kamu masih akan membiarkan dirimu terseret ke mata rantai sakit hati dan dendam" Waktu telah lama berlalu, apakah sebagai ungkapan rasa tidak sependapat kau masih akan tetap berada di luar sana" Sebagai pengganti sementara Anakmas Sri Jayanegara yang telah kembali ke swargaloka sebelum nanti diputuskan siapa raja yang baru, aku ingin menawarkan kepadamu untuk kembali. Pintu Bhayangkara masih terbuka untukmu. Bukankah demikian, Gajah Enggon?"
174 Gajah Mada Gajah Enggon yang tidak menduga akan mendapatkan limpahan pertanyaan yang mendadak berbelok kepada dirinya itu segera merapatkan dua telapak tangannya dalam sikap menyembah.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon. "Hamba sependapat dengan Tuan Putri Ratu. Pada saat terakhir walaupun Adi Pradhabasu berada di luar Bhayangkara, kembali ia telah membuat jasa. Kalau tidak karena kesigapannya, barangkali pisau itu telah menancap di bagian yang berbahaya di dada Raden Kudamerta. Mungkin bisa terkena jantungnya.
Sebagaimana Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni, hamba juga amat berharap Adi Pradhabasu akan kembali menjadi bagian dari Bhayangkara."
Senyap merayap. Dalam waktu sedikit lebih lama Bhayangkara Pradhabasu melekatkan dua telapak tangannya di dada dan dengan amat perlahan membawanya ke ujung hidung. Dengan segera Pradhabasu teringat peristiwa sembilan tahun yang lalu, waktu yang sebenarnya cukup lama, namun serasa terjadi masih kemarin petang. Apa yang menimpa sahabat kentalnya, yang sangat kental hubungan persaudaraan itu, tertebas kepalanya oleh fitnah yang dilakukan Bango Lumayang atau Singa Parepen. Gagak Bongol yang tidak berpikir ulang setelah melihat remah jagung pakan burung merpati yang diduga sebagai alat pengirim berita ke Majapahit langsung menebas kepalanya dari belakang. Apa yang dilakukan Gagak Bongol itu terjadi tepat di depan matanya.
Gerakan pedang yang menyisir mendatar kemudian membabat leher tak bisa lenyap dari benaknya, tidak bisa hilang bagaimanapun cara melupakan. Merah warna darah yang muncrat sebagian besar bahkan berlepotan ke wajahnya. Bertahun-tahun mimpi buruk itu selalu menyelinap ke ruang tidurnya. Betapa susah upaya Pradhabasu menghindar bahkan dengan cara tidak tidur, tetap saja tidak bisa mengelak ibarat dengan bersembunyi ke liang tikus sekalipun.
Pradhabasu telah melakukan gugatan melalului Kitab Undang-Undang Kutaramanawa yang salah satu pasalnya berbunyi, siapa yang melakukan pembunuhan akan mendapat ganjaran setimpal dengan dibunuh pula.
Namun, Sri Jayanegara melalui kekuasan mutlak yang dimilikinya membebaskan Gagak Bongol dari semua tuduhan. Gagak Bongol tidak Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 175
bersalah, ia bahkan dianggap telah melakukan tindakan yang benar. Bila siapa yang salah yang menjadi persoalan, Singa Parepen Bango Lumayang yang salah dan ia telah mendapatkan hukumannya di Bedander setelah kamanungsan.
Mestinya Pradhabasu bisa segera melupakan itu, tetapi wajah seseorang, ia seorang perempuan yang memilih mati lampus diri, wajah itu tidak bisa dilupakan. Dengan cara apa pun wajah perempuan itu tidak bisa dilupakan. Wajah itu milik istri Mahisa Kingkin yang sekaligus adalah adik kandungnya.
Bagian dari mimpi buruk itu, ketika itu siang hari. Setelah perjalanan sangat panjang yang melelahkan dari Bedander, Pradhabasu menyempatkan diri mengurus kepentingannya sendiri. Jantung Pradhabasu berdetak amat kencang ketika meloncat turun dari kuda, membuat bocah kecil berusia dua tahun yang sedang bermain tanah ketakutan dan menangis. Ibunya yang keluar dari pintu dengan segera menenangkan hati anaknya. Wajah perempuan itu dengan seketika berubah berbinar senang. Setelah sekian lama tidak bertemu kakak kandungnya, tiba-tiba kakaknya muncul. Bukankah itu berarti akan ada berita bagaimana suaminya, kapan pulang"
"Kakang Basu?" desis perempuan pemilik wajah cantik itu.
Pradhabasu bingung, namun dengan segera ia melangkah mendekat.
Prajurit Bhayangkara itu segera mengulurkan tangannya berniat menggendong keponakannya, menyebabkan bayi tiga tahun itu menangis keras. Pradhabasu tidak membatalkan niat untuk menggendong dan memeluk bayi itu. Tangis si kecil itu justru dengan sangat telak menyentuh simpul perasaannya. Pradhabasu tak kuasa menahan air matanya.
Kembangrum Ring Puri Widati nama perempuan itu, bingung
melihat kakak yang dirindukan sekian lama sebagaimana ia merindukan suaminya menangis. Hati seorang perempuan adalah hati yang amat peka.
Tak sebagaimana kaum lelaki yang berbicara dengan mengedepankan isi benaknya, perempuan berbicara dengan lebih mengedepankan hatinya. Dan hati yang peka itu segera meraba sesuatu yang mencemaskan.
176 Gajah Mada "Kakang Basu!" Pradhabasu tak merasa perlu bersedu sedan. Pradhabasu segera membasuh air matanya. Pradhabasu meraih kepala adiknya dan memeluknya dengan kuat.
Maka sadarlah Kembangrum bahwa sesuatu telah terjadi pada suaminya. Laki-laki yang amat dirindukan kepulangannnya itu tidak akan kembali untuk selamanya. Hanya satu kata tergambar jelas dari sikap kakaknya, mati. Mahisa Kingkin tidak kembali karena gugur di palagan.
Pradhabasu membimbing Kembangrum kembali masuk ke dalam
rumah, namun dengan tiba-tiba Kembangrum melorot kehilangan kekuatan. Ia tak mampu meski untuk sekadar berdiri.
Kenangan itu, bagaimana cara melupakan. Kematian Mahisa
Kingkin dibabat kepalanya oleh Gagak Bongol, bagaimana cara melupakan"
Ruang dalam istana itu menjadi amat senyap. Gajah Mada terkejut mendengar tuturan itu. Ibu Ratu Rajapatni Gayatri bahkan ikut larut dalam rangkaian peristiwa yang dituturkan Pradhabasu. Gajah Enggon dan Arya Tadah sama sekali tak mengira kematian Mahisa Kingkin ternyata meninggalkan keturunan.
"Jadi, Mahisa Kingkin punya anak keturunan?" tanya Ibu Ratu Gayatri.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Pradhabasu.
"Dan istri Mahisa Kingkin adalah adikmu?"
Pradhabasu tidak menjawab pertanyaan itu, apa yang diceritakan sudah cukup jelas.
"Anak Mahisa Kingin, laki-laki atau perempuan?" tanya Rajapatni.
Pradhabasu mengangkat sembahnya dan melekatkan ke ujung
hidung. "Hamba, Tuan Putri, anak Mahisa Kingkin seorang bocah lelaki."
Ibu Ratu Gayatri merasakan dadanya agak sesak. Akan tetapi, dengan segera isi hati dengan warna duka itu dikendalikannya. Larut Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 177
dalam kesedihan sangat tidak sesuai dengan sikap Buddha yang harus mampu membebaskan diri dari kesedihan, juga dari rasa gembira yang berlebihan.
"Lalu, bagaimana keadaan adikmu" Apakah ia sudah mampu
menghilangkan kesedihannya, atau mungkin sudah bersuami kembali?"
Pertanyaan itu menyebabkan isi dada Pradhabasu mendadak penuh, demikian penuh hingga rona wajahnya berubah. Pradhabasu harus memejamkan mata untuk mengendalikan diri.
"Bagaimana keadaan adikmu?"
Pradhabasu merapatkan dua telapak tangannya.
"Sebelum menjawab pertanyaan itu, hamba mohon izin untuk menyampaikan sebuah kisah?" Pradhabasu menjawab.
Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mengangguk memberikan izinnya.
"Aku izinkan," jawab Gayatri.
Pradhabasu menghirup udara memenuhi isi rongga paru-parunya, amat penuh melalui tarikan napas panjang.
"Kala itu menurut Kitab Mahabarata," Pradhabasu bercerita dengan kepala menunduk, "perang besar terjadi di Kurusetra. Hastina menggelar pasukan di bawah pimpinan senopati perang Raja Salya. Dalam pertempuran melawan Yudistira yang memiliki hati bersih dan suci, Prabu Salya gugur dalam perang itu. Adalah istrinya, Dewi Setyawati yang amat mencintai suaminya mengais ribuan mayat yang salang tunjang bergelimpangan. Hujan turun deras dan gelap gulita amat menyulitkan Dewi Setyawati menemukan mayat sang suami yang dikasihi. Ketika kilat muncrat, Dewi Setyawati menemukan mayat suaminya tersangkut di kereta perang. Atas nama rasa cinta dan kesetiaan, Dewi Setyawati memilih lampus. Dewi Setyawati melakukan itu untuk menyusul suaminya, demi kesetiaan, demi cintanya."
Bergoyang ruang itu, genting-gentingnya bergoyang, tiang saka bergoyang, isi dada yang menyimak berderak-derak. Gajah Enggon 178
Gajah Mada merasa permukaan jantung dan hatinya bagai dirambati oleh ribuan ekor semut. Keringat dingin segera mengembun dari permukaan telapak tangannya. Seseorang yang menyimak cerita itu dari balik pintu merasa dadanya ikut berantakan.
Pintu yang semula tertutup kemudian terbuka. Seorang prajurit Bhayangkara yang ikut mendengar pembicaraan itu tidak kuasa untuk berdiam diri. Prajurit Bhayangkara itu, ia Gagak Bongol, dengan wajah merah padam ia memaksakan diri ikut bergabung di pertemuan dengan peserta yang amat terbatas itu. Gagak Bongol menempatkan diri duduk di belakang Pradhabasu tanpa Pradhabasu mengetahui kehadirannya.
Gagak Bongol memberikan hormat sembahnya kepada Ratu Gayatri yang memberikan tatapan matanya.
Bila ada yang disesalkan Gagak Bongol sebagai dosa yang
berkepanjangan, adalah kisah yang baru kali ini ia dengar dari mulut Pradhabasu.
Gajah Mada merasa wajahnya menebal, demikian pula dengan Gajah Enggon merasa isi dadanya sangat sesak. Di tempat duduknya yang sedikit lebih rendah dari tempat duduk Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri, Mahapatih Arya Tadah merasa tak salah mengikuti pertemuan terbatas itu karena dengan demikian Mapatih Arya Tadah mendapat kesempatan secara langsung mendengar penuturan Pradhabasu, mendengar alasan macam apa yang dimiliki sehingga Pradhabasu memilih berada di luar.
Demikian hening suasana di ruangan itu, bahkan Ibu Ratu Rajapatni Biksuni tidak mampu melontarkan pertanyaan.
"Cerita senada dengan apa yang dialami oleh Setyawati dalam kisah itu tidak perlu jauh-jauh. Majapahit memiliki kisah yang mirip ketika Adipati Ranggalawe di Tuban berpamitan kepada kedua orang istrinya bahwa ia akan maju ke medan perang menghadapi Mahapatih Nambi.
Ketika itu, Nyai Mertaraga dan Nyai Tirtawati tidak bisa menerima pamitan suaminya yang akan maju perang. Barulah ketika kedua orang istri itu tidur lelap, diam-diam Adipati Ranggalawe meninggalkan mereka maju ke dalam pertempuran. Dua orang perempuan yang demikian Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 179
mencintai suaminya itu memilih ikut lampus setelah tahu suaminya mati.
Pilihan yang diambil atas nama cinta dan kesetiaannya."
Melalui dua cerita itu, Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri telah membaca sangat jelas bahwa istri Mahisa Kingkin memilih mati lampus diri karena demikian besar rasa cinta dan kesetiaannya pada sang suami. Wajah Mahapatih Arya Tadah memerah mendengar tuturan itu. Sementara itu, Gajah Mada meski isi dadanya mengombak, namun mampu
menyembunyikan warnanya di balik wajah yang datar.
Amat berbeda dengan raut muka Gagak Bongol. Gagak Bongol merasa kesalahan yang dilakukan sembilan tahun silam tidak bisa ditebus dengan cara apa pun.
"Jadi, adikmu melakukan apa yang dilakukan istri Salya?" bertanya Gayatri.
Pradhabasu yang menunduk itu tidak menjawab, sementara Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri merasa pertanyaan itu sebenarnya tak perlu dilontarkan. Kisah yang dituturkan Pradhabasu itu merupakan lambang sasmita yang cukup jelas artinya. Istri Mahisa Kingkin telah melaksanakan darma kesetiaan seorang istri kepada suaminya. Tidak ada kebanggaan seorang istri daripada menyusul dan menemani sang suami di alam kematian. Setidaknya Kembangrum Ring Puri Widati memiliki keyakinan, betapa nista seorang istri yang tidak memiliki kesetiaan dan betapa nista baginya bila tidak mempunyai keberanian untuk menyusul suaminya ke alam kematian.
Sebuah patrem yang sangat beracun dipilih Kembangrum sebagai pembuka pintu gerbang kematiannya. Sakit luar biasa disambutnya dengan senyum merekah. Di balik kematian yang akan dilongoknya, Kembangrum Ring Puri Widati merasa yakin suaminya membuka tangan dan menyongsongnya dengan pelukan penuh rasa kegembiraan.
Kembangrum tak sempat berpikir bagaimana anaknya. Bahkan bayinya yang sedang menangis keras itu tidak dipedulikannya.
Suasana terasa sangat senyap dan hening. Di luar dinding ruang khusus itu semburat cahaya surya menerjang apa saja, menerangi hingga benderang. Di angkasa nabastala membentang biru, sungguh berbalikan 180
Gajah Mada dengan keadaan beberapa saat yang lalu, ketika pembakaran layon Sri Jayanegara diselenggarakan, mendung menebar di sebagian besar langit.
Sisa-sisa pembakaran layon itu masih terlihat jejaknya dari asap melayang kehitaman yang tersapu angin ke arah tenggara seolah terisap oleh kekuatan kasat mata yang berasal dari puncak gunung yang terlihat temaram di sana.
Tidak jauh dari ruangan khusus itu, seorang emban bertubuh gemuk tengah sibuk mengamati remaja yang sedang bermain tanah. Anak itu, meski usianya telah berada di pintu gerbang remaja, terlihat sangat tolol oleh kelainan jiwa yang disandangnya. Emban itu hanya memerhatikan tingkahnya. Emban itu sama sekali tidak terusik perhatiannya meski bocah itu menyeringai. Emban itu rupanya tengah terpusat pikirannya ke hal lain, ke pembicaraan yang sedang berlangsung di ruangan yang dalam kegunaan sehari-hari dimanfaatkan oleh Ratu Gayatri. Udara yang panas menyebabkan emban gemuk itu mandi keringat.
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri mengalihkan tatapan matanya ke belakang Pradhabasu. Matanya amat tajam menatap Gagak Bongol yang duduk bersila. Gagak Bongol merapatkan dua telapak tangannya dalam sikap menyembah. Gagak Bongol menunggu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri paring dawuh, 155 tetapi Ratu Gayatri merasa belum perlu berbicara dengannya.
"Apa yang terjadi itu menjadi mimpi buruk berkepanjangan, Tuan Putri Ratu," Pradhabasu melanjutkan. "Tak hanya kematian Mahisa Kingkin, sahabat sejati yang juga adik ipar hamba yang selalu menyelinap dalam mimpi, tetapi apa yang menimpa adik hamba menjadi beban tak tertanggungkan. Hamba berusaha keras untuk melupakan, namun karena setiap kali hamba harus bertatapan muka dengan anak yang mereka tinggalkan, hamba tak mungkin melupakan. Meski sembilan tahun telah lewat, hamba tak mungkin melupakan. Hamba merasa terharu karena Tuan Putri Ratu telah berkenan meminta hamba untuk mengabdi kembali di kesatuan Bhayangkara, namun hamba tak mampu. Beribu ampun, hamba mengartikan pengabdian hamba tak harus hamba salurkan lewat 155 Paring dawuh, Jawa, berbicara
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 181
Bhayangkara semata. Hamba punya banyak jalan agar berguna bagi negeri ini sebagaimana Gagak Bongol juga memiliki caranya sendiri mengabdi pada negerinya. Gagak Bongol yang telah membunuh orang yang tak bersalah, telah menjadi penyebab adik hamba mati bunuh diri dan keponakan hamba kehilangan hak yang mestinya menjadi miliknya. Hak untuk tumbuh dan berkembang dengan limpahan kasih sayang ayah dan ibunya."
Jawaban atas permintaan agar mau kembali menyatu dengan
pasukan khusus Bhayangkara telah diberikan. Agaknya Pradhabasu telah kukuh dengan pendiriannya. Jawaban Pradhabasu itu menyebabkan isi dada Gagak Bongol yang menggumpal menjadi makin bergumpal-gumpal. Gagak Bongol merasa isi dadanya amat sesak dan sulit untuk bernapas.
"Apakah kau akan menyampaikan sebuah pertanyaan, Gajah
Mada?" bertanya Ratu Rajapatni.
Gajah Mada agak kaget, tetapi segera menata diri.
"Hamba hanya terkejut, Tuan Putri Ratu," jawab Gajah Mada.
"Hamba tidak menyangka ada hubungan yang amat pribadi antara mendiang Mahisa Kingkin dan Adi Pradhabasu. Hubungan yang ternyata bahkan sampai berupa kakak dan adik ipar. Hamba sama sekali tidak menyangka. Hamba mengira keakraban yang terjalin antara Pradhabasu dan mendiang Mahisa Kingkin adalah karena persahabatan mereka yang terjalin akrab sebagaimana umumnya hubungan di antara Bhayangkara."
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Ibu Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri lebih mengagetkan lagi. Pertanyaan itu ditujukan kepada Gagak Bongol.
"Dan apakah pendapatmu, Gagak Bongol?" tanya perempuan tua itu.
Gagak Bongol terkejut dan kebingungan. Lebih terkejut lagi Pradhabasu yang sama sekali tak menyangka Gagak Bongol berada di belakangnya. Pradhabasu segera menoleh. Dua orang yang berselisih paham itu bersirobok pandang dengan tatapan mata yang sama-sama 182
Gajah Mada merah mewakili warna hati masing-masing yang bergolak. Pradhabasu kembali mengarahkan pandangan matanya kepada Ratu Gayatri, namun sejenak kemudian Pradhabasu menunduk.
"Bongol," suara Ratu Gayatri terdengar tenang tertuju kepada Gagak Bongol.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gagak Bongol dengan suara serak.
Gagak Bongol menyempatkan merapikan duduknya.
"Kau menyimak dengan utuh apa yang diceritakan Pradhabasu?"
Gagak Bongol mengangguk. "Hamba, Tuan Putri. Hamba adalah salah satu pemeran dari lakon pahit yang diceritakan Adi Pradhabasu. Meski peristiwa itu telah berlalu sembilan tahun lamanya, sudah menjadi bagian dari masa silam, amat sulit bagi hamba melupakan. Hamba tak mungkin melupakan dengan segenap rasa penyesalan yang tumbuh di hati hamba. Sebagaimana Adi Pradhabasu, hamba juga terbebani oleh peristiwa itu walau beban itu sama sekali tak ada seujung kuku dibanding beban yang disangganya.
Lebih-lebih, ternyata ada bagian dari cerita lama itu yang tak hamba ketahui bahwa Mahisa Kingkin ternyata meninggalkan seorang istri yang mengambil pilihan lampus diri dan meninggalkan seorang anak. Hamba sangat menyesal, Tuan Putri. Andai saja hamba boleh memilih, hamba akan lebih senang andai waktu bisa diputar kembali. Hanya saja, yang terjadi telah telanjur terjadi dan tak mungkin diubah lagi. Meski demikian, masih ada kesempatan untuk setidak-tidaknya menuntaskan yang belum tuntas, merampungkan yang masih belum rampung, dan menyempurnakan yang masih belum sempurna."
Udara mengalir lembut, tidak mengusik jendela yang terbuka untuk berderit, tidak mengusik dedaunan untuk bergoyang lebih kasar. Udara mengalir dengan amat lembut, memberi kesempatan pada senyap untuk bicara, pada hening untuk bicara, tak memberi kesempatan untuk bersuara atas benang jatuh, bahkan tarikan napas mereka yang hadir di ruangan itu. Maka hening sekali ruangan itu. Bhayangkara Pradhabasu menyimak ucapan Gagak Bongol dengan penuh perhatian. Dire-Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 183
sapkannya kata-kata itu satu demi satu hingga menyusup jauh ke kedalaman hatinya. Pradhabasu merasa, inilah saatnya ia mendengar apa kata hati orang yang membunuh Mahisa Kingkin itu.
Gajah Mada membeku bagai gopala yang terbuat dari gumpalan batu paling keras yang diperoleh dari urukan lahar Gunung Kelud atau bisa jadi batu yang keluar terlempar dari gunung itu saat meledak beberapa tahun yang lalu. Atau, Gajah Mada adalah patung itu sendiri.
Di tempat duduknya, Mapatih Arya Tadah yang tua, yang tubuhnya makin kurus seiring bertambahnya usia ikut memerhatikan pembicaraan yang terjadi serta berusaha menebak keputusan macam apa yang akan diambil Gagak Bongol setelah Pradhabasu yang lenyap beberapa tahun lamanya itu muncul kembali. Mapatih Arya Tadah menelan ludah yang mulai terasa pahit.
Gajah Enggon menahan napas, lalu mengembuskannya amat pelan.
Dadanya terasa sesak. Perselisihan antara Pradhabasu dan Gagak Bongol telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Sri Jayanegara sampai harus turun tangan memberikan penyelesaian, namun rupanya Pradhabasu masih membawa rasa tidak puasnya. Cerita tentang istri Mahisa Kingkin yang mati bunuh diri dan anak lelaki yang ditinggalkannya, Gajah Enggon sama sekali tidak memiliki keterangan itu sebelumnya. Gajah Enggon yang juga menggunakan nama Pradamba itu amat bisa merasakan beban berat macam apa yang disandang sahabatnya yang menghilang beberapa tahun lamanya itu.
Ratu Gayatri menatap mata Gagak Bongol dengan tidak berkedip.
"Menuntaskan yang belum tuntas, merampungkan yang masih
belum selesai, dan menyempurnakan yang masih belum sempurna. Apa yang kaumaksud dengan kata-katamu itu, Gagak Bongol?"
Gagak Bongol menunduk. Bibirnya agak bergetar saat akan
berbicara karena gejolak yang membuncah dan menggelegak di dadanya.
Namun, betapa pun beratnya Gagak Bongol memang harus berbicara.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gagak Bongol. "Hamba berpendapat, keputusan yang dijatuhkan oleh mendiang Tuanku Sri Baginda Jayanegara kala itu masih belum mewakili rasa keadilan. Hamba sangat siap jika 184
Gajah Mada keputusan itu harus dikaji kembali. Hamba siap bila harus dihadapkan di depan Undang-Undang Kutaramanawa. Dengan ketulusan hati hamba ingin mendapatkan hukuman supaya dengan demikian hamba segera terbebas dari mimpi buruk rasa bersalah yang selalu menghantui perjalanan hidup hamba. Bila hamba harus menghadapi hukuman mati, hamba tidak akan menghindar seperti apa yang pernah dilakukan Sora menghadapi tuntutan Lembu Taruna."
Ratu Gayatri merasa dadanya agak sesak. Ratu Gayatri memberikan tatapan matanya kepada Arya Tadah. Melalui tatapan mata itu Ratu Gayatri meminta kepada Patih Amangkubumi itu untuk memberikan jawaban. Arya Tadah yang tanggap pada sasmita segera merapatkan kedua telapak tangannya. Gajah Mada memejamkan mata. Dalam memejam Gajah Mada merasa ada sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Namun, Gajah Mada menunggu giliran, akan berbicara setelah nanti Mahapatih Arya Tadah bicara.
"Hamba mohon izin menyampaikan pendapat hamba, Tuan Putri,"
kata Arya Tadah. "Silahkan, Paman," jawab Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri.
Arya Tadah menyempatkan diri memperbaiki sikap duduknya
sebelum bicara. Juga menyempatkan menggerataki wajah Pradhabasu dan Gagak Bongol bergantian. Arya Tadah juga menyempatkan memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.
"Menurut hamba," Arya Tadah berkata. "Keputusan yang diambil mendiang Tuanku Sri Jayanegara sudah benar. Gagak Bongol hanya bernasib sial karena berada di tempat yang salah, lalu mendengar keterangan yang salah yang mendorongnya melakukan tindakan yang salah. Letak kesalahan ada pada Singa Parepen si Bango Lumayang. Ia yang bersalah karena berkhianat mengkhianati teman-temannya, mengkhianati pasukan Bhayangkara. Akibat dari fitnah keji itu menyebabkan Gagak Bongol mengambil tindakan yang pasti akan dilakukan pula oleh Bhayangkara yang lain."
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 185
Hening menggeratak. Arya Tadah menyempatkan memerhatikan raut muka Pradhabasu dengan saksama.
Arya Tadah melanjutkan, "Bongol bernasib sial karena terjebak dalam permainan fitnah yang dilakukan telik sandi mata-mata pihak musuh. Menurut hamba, keputusan Baginda Jayanegara sudah benar.
Terasa pahit sekali memang, tetapi apa boleh buat Pradhabasu harus menerima keadaan itu."
Semua menyimak pandapat Arya Tadah dengan cermat dan penuh perhatian. Gajah Mada menunduk membenamkan tatapan matanya ke bumi di depannya. Gagak Bongol sibuk menahan gejolak yang mengaduk-aduk mengguncang isi dadanya. Akan halnya Pradhabasu, raut mukanya yang datar tenang dan damai sangat bertolak belakang dengan gugatan yang dilemparnya selama ini.
Mata Gagak Bongol terlihat merah.
"Gajah Mada, apa pendapatmu?" bertanya Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri.
Patih Daha Gajah Mada mengisi paru-parunya lebih dulu melalui tarikan napas yang sedikit mengombak. Gajah Mada merapatkan telapak tangannya dan oleh gejolak isi hatinya, ia berbicara masih tetap dengan sikap itu. Betapapun isi pembicaraan di ruang khusus itu tidak merangsang jantung Gajah Mada berpacu lebih kencang, apalagi sampai berdebar-debar. Sungguh amat berbeda dengan sikap Pradhabasu dan Gagak Bongol, bahkan Gajah Enggon. Orang yang paling tenang menyikapi keadaan itu hanya Ratu Gayatri yang telah sempurna dalam mengambil jarak terhadap hal-hal yang bersifat urusan duniawi.
Gajah Mada mempersiapkan diri menjawab.
"Hamba bisa memahami gejolak dan beban berat yang selama ini diam-diam disangga oleh Adi Pradhabasu. Bukan karena hamba sependapat dengan Paman Arya Tadah, namun pendapat hamba lebih karena isi Undang-Undang Kutaramanawa. Tak ada satu pasal pun dalam kitab itu yang bisa digunakan untuk menghukum Gagak Bongol."
186 Gajah Mada Lalu hening. Senyap tidak pernah berhenti mengalir, amat berbalikan dengan upacara pemakaman yang berlangsung sebelumnya yang amat ingar-bingar.
Angin semilir berembus lembut melalui jendela yang terbuka membawa bau kemenyan dari pahoman. Meski hanya semilir, angin itu mampu menggeser jendela untuk lebih terbuka. Semilir angin pula yang menyebabkan daun-daun pisang bergoyang mobat-mabit bagai orang melambaikan tangan perpisahan. Namun, seorang emban bertubuh gemuk memiliki sumber keringat yang berlimpah dan tumpah ruah.
Emban yang duduk beristirahat di dingklik kayu di luar ruangan utama itu sibuk berkipas diri. Semilir angin sama sekali tidak mampu meredakan gerahnya. Emban itu benar-benar mandi keringat. Kenangannya terhadap bagaimana Sri Jayanegara disemayamkan melalui pembakaran layon menumbuhkan kesan yang begitu mendalam yang pada ujungnya menjadi penyebab keringat terperas dari tubuhnya.
Emban gemuk itu, pusat perhatiannya tertuju kepada seorang bocah yang oleh Pradhabasu dititipkan kepadanya. Bocah yang memiliki wajah sangat khas itu pendiam sekali. Diajak berbincang dengan cara apa pun tak mau menjawab. Diberi senyum tak digubris sama sekali, bahkan beberapa jenis makanan yang disediakan untuknya sama sekali tidak dilirik. Emban gemuk itu merasa agak kasihan. Ia merasa ngeri membayangkan memiliki anak dengan keterbelakangan jiwa macam itu.
Ketika Gajah Mada akhirnya mengurai telapak tangannya yang merapat dalam sembah adalah bersamaan dengan ketika Gagak Bongol memulai melakukan hal yang sama. Ratu Rajapatni Biksuni yang tanggap segera mengangguk memberi izin untuk berbicara.
"Hamba sangat menghargai pendapat Paman Tadah, hamba juga menghargai pendapat Kakang Patih Daha. Akan tetapi, menurut hamba, akan menjadi berbeda bila cara pandang itu diarahkan dari anak mendiang Mahisa Kingkin yang telah hamba bunuh itu. Adi Pradhabasu tentu sangat menghayati dan bisa mewakili perasaan anak itu yang pasti merasa terlahir dari batu yang terbelah, tidak memiliki ayah dan ibu. Anak peninggalan Adi Mahisa Kingkin itu tentu menganggap Adi Basu adalah Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 187
ayah sekaligus ibunya. Seseorang dihukum bukan sekadar karena kesalahan yang diperbuatnya, tetapi bisa dari ketidakhati-hatiannya.
Ketidakhati-hatian hamba menyebabkan Mahisa Kingkin mati di tangan hamba. Ketidakhati-hatian hamba telah menyebabkan seorang perempuan memilih mati lampus diri. Rangkaian sebab yang menimbulkan akibat itu pun masih terus berlanjut. Sebagai akibat ketidakhati-hatian hamba menyebabkan seorang bocah yang tidak tahu apa-apa harus kehilangan orang tua, padahal kehilangan orang tua itu mempunyai banyak arti dan tak sekadar seperti yang tampak. Namun sungguh kehilangan banyak hal, antara lain hilang kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, kehilangan limpahan kasih sayang. Di mata bocah itu, orang tuanya mati karena dibunuh dan hambalah ter-tuduhnya."
Ruang yang sudah senyap itu menjadi tambah senyap. Gajah Mada memejam mata, sejatinya tengah merenungkan kebenaran dari apa yang diucapkan Bongol yang rupanya merupakan sisi-sisi yang belum tertampung dalam Kitab Kutaramanawa.
"Hamba telah melakukan tindakan ceroboh, hamba tidak hati-hati bertindak, hamba telah alpa. Sementara yang hamba lihat, untuk kecerobohan yang menjadi penyebab matinya seseorang, ketidakhati-hatian dan alpa yang menyebabkan pihak lain amat dirugikan, hal-hal yang demikian itu masih belum tercantum dalam Kitab Undang-Undang Kutaramanawa."
Ucapan Gagak Bongol itu rupanya mampu memberi kesan yang mendalam di benak Gajah Mada. Gajah Mada mengerutkan kening dan dengan lugas menampakkan apa yang sedang dilakukan, Gajah Mada sedang berpikir keras. Apa yang disampaikan Gagak Bongol itu ia rasakan kebenarannya bahwa masih ada hal-hal yang belum terangkum dalam Kutaramanawa. Orang yang tidak sengaja melakukan sesuatu, tetapi berakibat celakanya orang lain, dirugikannya orang lain, atau dirugikannya kepentingan masyarakat luas, mestinya pelakunya dihukum.
"Oleh karena itu," tambah Gagak Bongol dengan suara makin serak,
"Tuan Putri Ratu, hamba mohon untuk berkenan membuka kembali 188
Gajah Mada peristiwa pembunuhan yang hamba lakukan itu dan berkenan memberikan keadilan yang seadil-adilnya. Bila Tuan Putri Ratu Rajapatni Biksuni berkenan memberikan hukuman mati, tidak akan hamba hindari hukuman mati itu. Mungkin memang itulah cara penebusan yang bisa menghapus mimpi buruk yang selalu membayangi hamba."
Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri memandang Gagak Bongol lebih lekat seolah bahkan dengan mengelupas lapisan kulitnya untuk mengetahui warna macam apa di balik kulit yang dikelupas. Ucapan Gagak Bongol tidak hanya memberi jejak kesan yang mendalam di lubuk hati Gajah Mada. Sebaliknya, Pradhabasu mengalami kesulitan untuk meratakan warna permukaan wajahnya. Pradhabasu menunduk amat dalam.
"Pradhabasu," Ratu Gayatri berkata dengan suara lirih.
Pradhabasu sangat sibuk dengan diri sendiri. Itu sebabnya, Pradhabasu tidak mendengar panggilan itu. Barulah ketika Pradhabasu menengadah, ia terkejut melihat pandangan Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri tertuju kepadanya. Tidak hanya pandangan Ratu Gayatri, tetapi juga pandangan Arya Tadah. Pradhabasu tersadar ada yang terlewat dari perhatiannya. Bergegas Pradhabasu menyembah.
"Kau telah mendengar apa yang dikatakan Gagak Bongol."
Pradhabasu masih dalam sikap menyembah dan tidak menurunkan tangannya.
"Hamba, Tuan Putri," jawabnya.
"Aku ingin mendengar apa tuntutanmu?" tanya Gayatri.
Pradhabasu membalas tatapan mata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri dengan tidak berkedip. Pandangan itu kemudian dialihkan ke permukaan wajah Mapatih Arya Tadah serta dengan perlahan Pradhabasu mengarahkan pandangan matanya kepada Gajah Mada. Setelah kembali menyembah, Pradhabasu beringsut agar bisa bertatapan mata dengan Gagak Bongol. Setelah sekian lama meninggalkan Bhayangkara, inilah saatnya Pradhabasu berjumpa kembali dengan Gagak Bongol.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 189
"Katakan apa tuntutanmu, Pradhabasu," berkata Ratu Gayatri.
"Apabila kauwakili anak Mahisa Kingkin, tuntutan apakah yang kauajukan terhadap kecerobohan Gagak Bongol yang menjadi penyebab kematian ayahnya?"
Pradhabasu memandang Gagak Bongol. Sebaliknya, Gagak Bongol tak merasa segan untuk membalas tatapan mata itu. Jauh di dalam hati Gagak Bongol terpendam kerinduan kepada sahabatnya, rindu bisa bergaul sebagaimana dulu pernah bersama. Canda dan gurau itu tak mungkin terjadi karena munculnya ganjalan yang membelah antara mereka.
"Mohon izin untuk berbicara blak-blakan, Tuan Putri Ratu," kata Pradhabasu.
"Jika itu yang kau kehendaki, kau tidak perlu merasa sungkan! Dan, sejak awal kau sudah aku minta berbicara blak-blakan," jawab Ratu Rajapatni Gayatri dengan suara amat tenang.
Pradhabasu mengangguk. "Hamba tidak akan menempatkan diri mewakili keponakan hamba menuntut agar dijatuhkan hukuman kepada Kakang Gagak Bongol.
Apabila bocah itu menuntut balas mungkin hamba akan menyampaikan biarlah ia melakukan sendiri meski hamba yakin keponakan hamba tak mungkin bisa melakukan. Dalam kesempatan ini hamba hanya ingin mengajukan permohonan supaya Kakang Bongol membantu mengasuh bocah itu, syukur-syukur kalau Kakang Bongol mau mengambilnya sebagai anak. Itu permohonan hamba."
Seketika ada desir aneh merampok ruang itu. Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri merasa aneh, demikian juga dengan Mapatih Arya Tadah yang tua dan rambutnya telah memutih. Tuntutan yang diajukan Pradhabasu sungguh terasa janggal, sama sekali berbalikan dengan tuntutan keras yang diajukan semula sampai-sampai harus memilih keluar tak bergabung lagi dengan pasukan Bhayangkara, pilih menjadi seorang petani mengerjakan sawah dan ladang di luar dinding batas kotaraja.
Di tempatnya duduk bersila, Patih Daha Gajah Mada mengerutkan keningnya. Gajah Mada sibuk berpikir keras berusaha mengetahui karena 190
Gajah Mada alasan apa Pradhabasu mengajukan permohonan aneh dan ganjil macam itu. Namun, Patih Daha Gajah Mada memilih diam. Gajah Mada memilih menunggu apa kata Pradhabasu selanjutnya. Di tempatnya duduk bersila, Senopati Gajah Enggon merasa kakinya mulai kesemutan. Beberapa kali Gajah Enggon mencuri kesempatan mengurutnya menggunakan tangan kanannya.
"Sejak awal kita membicarakan keponakanmu, siapa sebenarnya nama bocah itu, Basu?" bertanya Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri.
Pradhabasu merapatkan dua telapak tangannya.
"Sang Prajaka, Tuan Putri."
Rajapatni mengerutkan dahi.
"Sang Prajaka?"
Pradabasu mengangguk. "Nama yang bagus. Di mana bocah itu sekarang?"
Bergelut Dalam Kemelut Takhta Dan Angkara Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bocah itu tak pernah jauh-jauh dari hamba, Tuan Putri. Saat ini pun tak jauh dari hamba. Hamba menitipkan Prajaka pada seorang emban yang masih kenal baik dengan diri hamba."
Ratu Gayatri tak mengalihkan pandangan matanya, amat lurus dan bahkan tak berkedip. Pandangan matanya beralih kepada Gagak Bongol.
"Jauh lebih berat dari hukuman mati, Gagak Bongol," berkata Ratu Rajapatni Biksuni Gayatri sambil tersenyum.
Akan tetapi, wajah Gagak Bongol dilibas oleh bingung yang luar biasa. Gagak Bongol mengalami kesulitan menyikapi permintaan yang sama sekali tidak diduganya itu. Masih dengan pandangan macam itulah Gagak Bongol dengan perlahan mengalihkan pandangan matanya kepada Ratu Gayatri. Akan tetapi, Gagak Bongol kehilangan kata-kata.
Tak satu kalimat pun keluar dari mulutnya.
"Apakah anak peninggalan Bhayangkara Mahisa Kingkin itu saat ini juga kaubawa?" tanya Rajapatni Gayatri.
Pradhabasu yang menyembah itu mengangguk.
Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara 191
Istana Pulau Es 7 Heng Thian Siau To Karya Liang Ie Shen Iblis Ular Hijau 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama