Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 3
Temenggung Panji Watang menebar senyum kepada segenap senopati bawahannya.
"Kinilah saatnya," teriak Panji Watang. "Kita akan berdiri menginjak-injak bangkai mereka. Saat ini pasukan Jalapati dan Jala Rananggana berebut tulang tanpa daging di belakang istana. Pujut Luntar dan Banyak Sora akan sama-sama mati dalam perang itu. Kita yang akan menikmati kehancuran mereka. Sekarang saatnya kita bergerak. Gempur istana."
118 Gajahmada Apa yang diucapkan Temenggung Panji Watang itu disambut tepuk tangan dan sorak-sorai oleh segenap prajurit yang berada di bawah kendalinya. Para prajurit mengangkat senjata ditingkah suara genderang yang dipukul bertalu. Senopati Ranggayuda sibuk memberikan perintah melalui ayunan klebet.
"Pasang gelar Garudanglayang. Berangkat sekarang," lanjut Temenggung Panji Watang.
Perintah itu disambut dengan sorak-sorai. Dengan bersorak-sorai dan penuh semangat segenap prajurit bergerak, diiringi dengan suara tambur dan genderang. Umbul-umbul dan lambang kesatuan berwujud kalajengking dikibarkan menjadi penambah semangat mereka. Dengan bergeraknya pasukan Jalayuda itu maka Istana Bale Manguntur Wilwatikta benar-benar berada dalam bahaya.
16 Dalam pada itu, perang yang terjadi antara pasukan Jalapati dan Jala Rananggana makin berkecamuk. Akibat kekeliruan dalam penggunaan gelar perang yang digunakan serta karena kelemahan dalam telik sandi menyebabkan pasukan Jala Rananggana kacau-balau. Ikatan gelar perang Diradameta yang mereka lakukan benar-benar berantakan.
Mayat-mayat bergelimpangan. Bau anyir darah menyebar.
Pada akhirnya pasukan Jala Rananggana tidak mampu lagi mempertahankan gelar perang yang mereka bangun. Ikatan Diradameta tidak berbentuk lagi. Yang ada sekarang perang brubuh, perang tanpa ikatan yang lazim disebut sebagai perang Pasir Wutah. Temenggung Pujut Luntar sulit sekali menerima kenyataan itu, betapa hanya dalam Gajahmada 119
waktu yang amat singkat pasukannya yang terkenal amat kuat dan berkemampuan menggempur musuh dengan dahsyat bisa berantakan porak-poranda.
Ibarat cincing-cincing klebus atau telanjur basah, Pujut Luntar yang memiliki harga diri yang tinggi merasa lebih baik mati daripada menyerah.
Itu sebabnya, Pujut Luntar tidak peduli lagi dengan nasib pasukannya yang porak-poranda, tidak peduli lagi dengan gelar perang gajah mengamuknya yang kocar-kacir kehilangan ikatan dan kendali. Yang ada kini hanya keinginannya untuk memenangkan perang tanding pribadi menghadapi Temenggung Banyak Sora.
Namun, memenangkan perang tanding melawan Temenggung Banyak Sora bukanlah pekerjaan yang gampang karena Temenggung Banyak Sora sebagaimana dirinya juga menguasai olah kanuragan dengan baik. Pendek kata, Pujut Luntar harus berjuang keras agar bisa keluar dari kemelut yang tengah membelenggunya.
Dalam pada itu ketika dua orang Temenggung itu sedang saling mengintip celah kekuatan, Ra Kuti telah bergabung kembali dengan saudara-saudaranya para Winehsuka. Ra Kuti merasa kecut melihat perkembangan keadaan. Sebagai seorang prajurit, Ra Kuti bisa menghitung kehancuran pasukan Jala Rananggana tinggal menunggu waktu, apalagi mereka telah lepas dari ikatan gelar perang, sedang sebaliknya pasukan Jalapati tetap berada dalam ikatan utuh dan kuat mencabik-cabik lawannya.
"Bagaimana?" Pangsa tidak bisa menahan kecemasannya.
Ra Kuti masih menebar pandang memerhatikan perang yang terus berkecamuk.
"Bagaimana Ra Kuti?" Wedeng tidak mampu lagi menutupi gelisahnya.
Ra Wedeng merasa wajahnya menjadi amat tebal.
Hanya Ra Tanca yang memandang medan perang dengan tatapan datar dan tenang. Rakrian Tanca yang menguasai ilmu pengobatan, memandangi orang-orang yang terluka dan sekarat dengan hati bergolak.
120 Gajahmada Namun, bagaimana warna isi hatinya, tetap saja tak seorang pun tahu.
Ra Kuti membasuh keringatnya. Tatapan matanya tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
"Panji Watang ternyata orang gila. Lebih gila dari yang kita duga,"
berkata Ra Kuti. Yuyu bergeser mendekat. Berdiri tepat di hadapan Ra Kuti.
"Panji Watang kenapa?" tanya Rakrian Yuyu.
"Mereka telah menyiapkan pasukan dan akan menyerbu siapa pun yang memenangkan pertempuran. Saat aku tawarkan jabatan mahapatih jika ia mau melibatkan diri berpihak kepada kita, ia menghendaki jabatan raja," Ra Kuti menjawab.
Para Winehsuka saling pandang. Para Winehsuka merasa keadaan yang mereka hadapi makin jauh dari harapan dan makin tidak terkendali.
Para Winehsuka tahu benar orang dengan tabiat macam apakah Temenggung Panji Watang itu. Seandainya Panji Watang berhasil menggilas semuanya dan tampil sebagai orang pertama di Majapahit, orang-orang macam para Winehsuka akan bernasib amat buruk.
Amat boleh jadi para Winehsuka dijatuhi hukuman mati karena dianggap sebagai penyulut terjadinya perang. Sementara Panji Watang bisa melenggang tampil sebagai penyelamat, menyelamatkan Majapahit dari kehancuran mengerikan. Panji Watang akan dipuji-puji, sementara para Dharmaputra Winehsuka akan dicaci maki. Setiap orang yang berpapasan wajib mengumpati mereka.
Para Dharmaputra Winehsuka gelisah.
"Jadi bagaimana, Ra Kuti?" bertanya Ra Banyak.
Ra Kuti menoleh kepada Ra Tanca, tetapi Tanca memandang ke perang yang makin berkecamuk.
"Yang penting kita harus bisa menyeret pasukan Jalayuda untuk melibatkan diri," berkata Ra Kuti. "Dalam perang yang makin riuh dan kisruh kita bermain. Aku percayakan hal itu kepada Ra Tanca."
Gajahmada 121 Ra Tanca masih tetap menebar pandang. Namun, sejenak kemudian Ra Tanca menoleh pada Ra Kuti.
"Aku bermain apa?" tanya Ra Tanca.
Ra Kuti memandang Ra Tanca dengan lekat.
"Sebuah luka dari senjata yang kaulumuri warangan yang sangat beracun, baik itu luka kecil atau besar, aku yakin sudah cukup untuk mengantar Temenggung tidak tahu diri itu melongok gerbang kematiannya. Jika Panji Watang telah binasa, aku yang akan tampil memimpin perang."
Para Winehsuka serentak manggut-manggut dan serentak memerhatikan wajah Ra Tanca.
"Baik," jawab Ra Tanca tegas, "akan kulaksanakan perintahmu itu.
Aku sediakan senjata beracun yang dimaksud."
Ra Kuti memandang Ra Tanca dengan tatapan sedikit agak aneh.
"Hanya menyiapkan senjata?" desak Ra Kuti.
Ra Tanca tersenyum. Lagi-lagi amat sulit menerjemahkan makna di balik senyum itu.
"Aku siapkan anak panah, pedang, atau tombak. Setiap sentuhan senjata itu, kujamin akan membuat korbannya mati. Racun yang kupergunakan bukan sekadar warangan, tetapi racun ular yang sangat mematikan. Bisa ular bandotan kuaduk dengan bisa ular weling dan ular sendok. Tak ada manusia yang sanggup melawan racun itu."
Ra Tanca berhenti sejenak, seseorang yang mengerang kesakitan di kejauhan sangat mengganggu nuraninya.
"Tetapi, aku keberatan jika aku harus melaksanakan tugas itu,"
lanjutnya. Ra Kuti melepas pandangan matanya dari Tanca. Bagi Ra Kuti, kesanggupan Ra Tanca itu telah lebih dari cukup. Ra Kuti yang semula telah putus asa merasa menemukan celah untuk meraih apa yang nyaris hilang.
"Kita semua para Winehsuka," berkata Ra Kuti, "akan bertempur
122 Gajahmada bahu-membahu dengan pasukan Jalayuda. Kita kelilingi Temenggung Panji Watang seolah melindunginya. Ingat, hanya sebuah goresan kecil akan mengantarkannya ke gerbang kematian. Jangan sampai para prajurit Jalayuda menaruh curiga pada rencana kita."
Ra Kuti masih memberikan penjelasan yang disimak dengan sebaik-baiknya oleh para Winehsuka yang lain. Rakrian Tanca segera menyiapkan racun yang dibutuhkan. Tanca meski masih berusia muda, memiliki kemampuan pengobatan yang dikuasainya dari banyak belajar kepada para ahli pengobatan yang lain. Kemampuan meramu racun yang dikuasainya bisa diyakini tidak ada yang dapat menandinginya.
Konon, Ra Tanca sendiri kebal terhadap berbagai racun.
17 Di ladang jagung yang terletak di bagian belakang istana, perang masih berkecamuk. Tekanan yang diberikan pasukan Jalapati tinggal menunggu waktu akan mengakhiri petualangan pasukan Jala Rananggana. Bekel Gajahmada yang didampingi beberapa orang Bhayangkara memercayakan pengamanan lingkungan istana kepada anak buahnya. Gajahmada yang ingin melihat secara langsung pertempuran yang terjadi mendekati medan pertempuran di tapal batas dinding timur dengan wilayah Santanaraja. Dari ketinggian sebuah menara Bekel Gajahmada mengamati pertempuran yang berkecamuk itu.
"Akhir dari pertempuran telah bisa kita tebak," berkata Bekel Gajahmada. "Selanjutnya, kita punya pekerjaan untuk meringkus Rakrian Kuti dan teman-temannya dan menghadapkannya ke meja adiyaksa.
Hukuman mati jelas-jelas akan menunggu mereka. Yang aku cemaskan kini justru pasukan Jalayuda. Gerak pasukan itu harus diamati."
Gajahmada 123 Bhayangkara Gajah Geneng dan Bhayangkara Pradhabasu menyimak ucapan Bekel Gajahmada. Namun, perhatian mereka tetap tertuju pada medan pertempuran. Di sana pasukan Jala Rananggana makin kocar-kacir.
Sementara itu, perkelahian yang terjadi antara Banyak Sora dan Pujut Luntar telah berubah menjadi perang tanding pribadi. Keduanya memamerkan kemampuan cukat trengginas-nya dalam olah kelahi. Pujut Luntar bahkan tertinggal jauh dari pasukannya yang makin terdesak.
"Keparat!" Temenggung Pujut Luntar yang kecewa itu mengumpat.
Pujut Luntar marah menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak terduga. Rencana dan mimpi ndakik-ndakik yang disampaikan Ra Kuti ternyata kosong besar. Istana yang tidur pulas dalam serangan dadakan itu ternyata menyambutnya dengan jauh lebih garang. Kini Pujut Luntar bahkan merasa terkucil sendiri.
Di anjungan menara Gajahmada memerhatikan perang yang berkecamuk dengan saksama, juga memerhatikan pertarungan antara Banyak Sora dan Pujut Luntar yang berubah bentuk menjadi perkelahian pribadi. Perang tanding itu tidak boleh dibantu atau diganggu oleh siapa pun karena berada di wilayah harga diri.
Bekel Gajahmada yang berada di anjungan menara mengawasi perang yang terjadi terganggu perhatiannya oleh kedatangan seorang mata-matanya. Bekel Gajahmada segera turun karena melihat isyarat berita yang dibawa anak buahnya itu sangat penting.
"Ada apa?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Gawat Kakang Bekel," jawab telik sandi itu, "pasukan Jalayuda dengan kekuatan segelar sepapan, lengkap dengan tambur, umbul-umbul, rontek serta lambang kesatuannya, telah bergerak akan menyerbu."
Gajahmada benar-benar kaget, terkejut bagai disengat kelabang.
Hantaman sebuah alugora seolah mengenai ulu hatinya. Gajahmada terhentak membayangkan kesulitan yang akan datang. Persoalan pertama belum selesai, persoalan berikutnya muncul. Wajah pimpinan Bhayangkara 124
Gajahmada itu bahkan pucat pasi. Bahwa telah diduga Panji Watang memang menyimpan maksud tertentu, tetapi siapa menduga Panji Watang akan bertindak secepat itu.
"Kauperoleh keterangan Panji Watang akan melakukan apa?"
bertanya Gajahmada tidak sabar.
"Mereka akan menyerang istana langsung melalui Purawaktra.
Mereka menggunakan Garudanglayang. Sepenginang lagi mereka akan segera sampai."
Bekel Gajahmada benar-benar pucat.
Untuk sesaat lamanya Gajahmada kebingungan. Namun, Bekel Gajahmada segera menenteramkan diri sendiri untuk tenang dan tidak gugup menghadapi keadaan macam apa pun. Gajahmada memberi isyarat. Dua pengawalnya bergegas meloncat turun.
"Pertama," berkata Bekel Gajahmada, "beri tahu Gagak Bongol dan Lembang Laut mengenai perkembangan tak terduga ini. Minta kepada mereka untuk meyakinkan Sri Baginda agar berkenan mempersiapkan diri mengungsi. Kedua, hujani pasukan Jalayuda yang akan membedah dinding istana dengan anak panah. Pertahankan dinding istana dengan sekuat-kuatnya, sekali lagi hujan anak panah susul-menyusul.
Jangan memberi kesempatan mereka untuk menjebol pintu atau menggunakan tangga untuk memanjat dinding. Aku sendiri akan menemui Rakrian Temenggung Banyak Sora menyampaikan perkembangan yang tidak terduga ini. Nah, cepatlah kembali ke istana, waktumu tipis."
Singkat, tegas, dan jelas apa yang diperintahkan Bekel Gajahmada.
Dua Bhayangkara yang mengawalnya segera berlari kencang untuk mempersiapkan diri melaksanakan perintah itu. Dengan cepat Bekel Gajahmada berlari menuju dua temenggung yang sedang berseteru.
Gajahmada mengeluarkan lencana Mahapatih Tadah dan diangkatnya tinggi-tinggi menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang umbul-umbul kecil, lambang kesatuan Bhayangkara.
Gajahmada 125 Dengan dua benda itu di tangan, Bekel Gajahmada segera berlari cepat menerobos sisa perang yang masih berkecamuk. Pasukan Jalapati yang melihat lambang-lambang yang diacungkan Gajahmada bergegas menyibak memberi jalan. Bekel Gajahmada langsung menuju perang tanding yang berlangsung seru antara Banyak Sora dan Pujut Luntar, keduanya telah berada pada keadaan siap saling berbunuh.
"Berhenti!" Gajahmada berteriak amat keras.
Banyak Sora segera meredakan diri. Pujut Luntar mengambil jarak.
Teriakan Bekel Gajahmada yang mencuri perhatian, apalagi ia memegang klebet Bhayangkara yang digerakkan mobat-mabit, menyebabkan semua orang segera menghentikan perang. Masing-masing berloncatan mengambil jarak untuk mengamankan diri.
"Ada apa?" bertanya Banyak Sora kepada Bekel Gajahmada.
Gajahmada tidak mau bertele-tele.
"Pasukan Jalayuda melakukan tindakan pengecut," berkata Bekel Gajahmada, "mereka siap menggempur istana melalui Purawaktra, alun-alun depan."
Terkejut Temenggung Banyak Sora. Temenggung Pujut Luntar yang mendengar pula hal itu tidak kuasa menahan tertawanya yang terbahak-bahak. Pujut Luntar terpingkal-pingkal sampai air matanya keluar.
Sejenak suasana benar-benar hening. Para prajurit Jalapati yang nyaris menyelesaikan tugas dengan menghancurkan petualangan pasukan Jala Rananggana itu mulai membayangkan bahaya lain yang tidak kalah besar tengah mengancam istana. Bekel Gajahmada melihat Temenggung Banyak Sora yang bingung itu terlampau membuang-buang waktu.
"Atas nama Tuanku Jayanegara dan atas nama Mahapatih Arya Tadah, ringkus Temenggung Pujut Luntar."
Perintah yang justru berasal dari Bekel Gajahmada yang memegang lencana Mahapatih Tadah itu diterjemahkan dengan saksama oleh segenap prajurit. Mereka berloncatan menyergap Temenggung Pujut Luntar.
126 Gajahmada Entah karena apa, Temenggung Pujut Luntar tidak melakukan perlawanan. Temenggung Pujut Luntar hanya tertawa tergelak-gelak saat beberapa prajurit mengikat tangannya, menjadi bandan yang harus dijebloskan ke dalam penjara istana.
Bagaikan tersadar oleh keadaan yang gawat itu, Banyak Sora meminta para senopatinya berkumpul. Perang brubuh nyaris usai karena pasukan Jala Rananggana kocar-kacir, bahkan berakhir ketika para prajurit Jala Rananggana akhirnya melihat pimpinan mereka menyerah tanpa perlawanan. Lebih dari itu, mata para prajurit Jala Rananggana mulai terbuka, kesadaran mereka mulai tergugah bahwa sebenarnya mereka telah dijerumuskan Ra Kuti ke dalam keadaan yang sangat tak menyenangkan itu. Ra Kuti sendiri yang ternyata pengecut, sekarang entah berada di mana. Orang yang suaranya sangat lantang dalam menyemangati nafsu untuk berperang itu ternyata tidak kelihatan ujung hidungnya.
Banyak Sora mengangkat tangan, meminta perhatian. Suaranya amat lantang.
"Pekerjaan belum selesai," berkata Banyak Sora sambil menahan kecewa yang luar biasa. "Kini kita dihadapkan pada keadaan lebih gawat.
Pasukan Jalayuda ikut-ikutan lupa diri dan mencoba ikut menggoyang pilar istana Wilwatikta. Aku ingin bertanya, apakah sepak terjang Panji Watang itu akan kita biarkan?"
"Tidaaak!" jawab para prajurit serentak dengan suara gemuruh.
Banyak Sora menebar pandang diarahkan kepada para prajurit Jala Rananggana yang kebingungan.
"Dan kalian," lanjut Banyak Sora kepada sisa-sisa pasukan Jala Rananggana, "tidakkah kalian menyadari bahwa kalian telah melakukan perbuatan yang keliru" Kalian ditipu dan dimanfaatkan oleh Ra Kuti yang kehilangan akal waras dan menjadi gila itu. Kalian dijadikan korban bagi keinginan dan angan-angan gilanya."
Para prajurit kesatuan Jalayuda saling pandang. Para senopati pimpinan kelompok- kelompok kecil pasukan itu menunduk saat di-belejeti kesalahannya.
Gajahmada 127 Kini setelah semuanya terjadi mereka melihat kenyataan yang tak terbantah dan amat menyakitkan bahwa mereka diperalat serta dikorbankan oleh para Dharmaputra Winehsuka dalam menggapai angan-angannya.
"Bagaimana?" teriak Banyak Sora. "Apakah kalian, para prajurit Jala Rananggana akan memegang harga diri dengan membuta seperti yang telah dicontohkan Temenggung Pujut Luntar" Kalau memang itu yang kalian kehendaki, aku dan segenap prajurit Jalapati tidak keberatan.
Silakan kembali mengangkat senjata. Aku dan pasukan Jalapati tak segan-segan untuk memenuhi keinginan kalian mengintip seperti apakah pintu neraka itu sebenarnya. Akan kutumpas kalian sekarang juga."
Tak ada yang berani menjawab.
Segenap prajurit Jala Rananggana tak ada yang kuat mengangkat kepala sekadar untuk menengadah. Rasa bersalah mengganduli kepala mereka. Nada suara Banyak Sora yang keras itu tiba-tiba berubah melunak, tetapi tetap tegas dan berwibawa.
"Jika kalian punya kebeningan hati untuk berpikir atau sudah terbebas dari kepala yang keruh, marilah kita lupakan. Kita anggap apa yang terjadi itu hanya sebagai sebuah kealpaan. Mari kita bahu-membahu menebus kekeliruan untuk melawan para petualang tidak tahu diri yang mencoba merusak sendi-sendi kehidupan itu. Kalian tidak percaya bahwa tatanan menjadi rusak" Tengok ke langit utara itu, asap yang membubung itu berasal dari pasar yang dibakar oleh para penjarah yang mencoba memanfaatkan keadaan."
Rupanya api yang membakar pasar telah melambungkan asap hitam ke langit. Bahkan, asap kebakaran itu berasal dari tempat-tempat yang lain. Tidak hanya pasar yang dibakar. Yang menyedihkan bahkan bangunan-bangunan tempat ibadah ikut dibakar. Ketika keheningan pikiran kembali pulih, terasa sangat menyedihkan perang yang baru saja berakhir itu karena itulah perang melawan diri sendiri, perang saudara yang akibat lukanya semua merasakan. Rintih kesakitan dan teriakan mereka yang sekarat akibat pedang menyobek lambung atau bahkan tembus memburaikan usus menjadi pemandangan menyedihkan sekaligus menumbuhkan pertanyaan, mengapa harus terjadi"
128 Gajahmada "Bagaimana?" teriak Banyak Sora. "Kita diam saja atau kita melawan petualang-petualang itu?"
"Kita lawan!" jawab para prajurit Jalapati dan pasukan Jala Rananggana serentak.
Napas Temenggung Banyak Sora tersengal. Banyak Sora mengalihkan pandangan matanya kepada Bekel Gajahmada. Gajahmada tahu Banyak Sora membutuhkan beberapa keterangan.
"Mereka menggunakan Garudanglayang," Gajahmada memberi keterangan dengan tegas.
Banyak Sora mengangguk. Banyak Sora percaya dengan keterangan itu. Dalam lingkungan keprajuritan Wilwatikta, pasukan Bhayangkara memang memiliki barisan telik sandi yang andal dan dapat dipercaya.
Bahkan, sebenarnya di dalam hati Banyak Sora merasa kagum kepada Bekel Gajahmada karena kemampuannya membentuk pasukan kecil, tetapi berkemampuan luar biasa.
Banyak Sora menengadah, seolah mencari sesuatu di celah nabastala.
Banyak Sora berpikir keras. Ada beberapa pilihan untuk menghadapi gelar perang Garudanglayang. Nama Garudanglayang digagas dari perilaku burung garuda yang terbang melayang-layang, tetapi matanya tajam mengintai dan siap menyambar musuh. Dalam banyak hal, Garudanglayang memang gelar perang yang mendebarkan. Jika seorang pimpinan pasukan telah menjatuhkan pilihan menggunakan gelar itu, yang bersangkutan benar-benar percaya diri dan merasa yakin pasukannya akan memenangkan peperangan. Apalagi, sasarannya adalah bangunan yang tidak bergerak yang disebut kedaton.
Banyak Sora berpikir, gelar perang Diradameta cukup kuat untuk digunakan menghadapi Garudanglayang. Atau, bisa juga menggunakan gelar Cakrabyuha yang pertahanannya amat kuat dan rapat. Hanya Glatikneba yang jelas tidak bisa digunakan menghadapi gelar perang Garudanglayang itu. Namun di sisi lain, Banyak Sora harus memerhatikan prajuritnya yang kelelahan dan terluka. Kekuatan pasukan Jalapati berkurang banyak akibat benturan pertempuran yang telah terjadi.
Gajahmada 129 Segenap prajurit telah berkurang tingkat kesegaran tubuhnya, mereka tentunya kelelahan. Jika ada yang masih tersisa hanyalah semangat yang masih berkobar makantar-kantar.
"Pasang gelar Cakrabyuha!" teriak Banyak Sora.
Pasukan Jalapati adalah pasukan yang benar-benar telah terlatih cukat trengginas. Demikian perintah itu telah jatuh, semua bergerak cepat. Aba-aba diberikan dari tambur dan suara sangkakala. Tidak berapa lama kemudian, pasukan gabungan antara Jala Rananggana dan pasukan Jalapati itu telah siap untuk bergerak. Akan tetapi, Banyak Sora juga masih menyisakan orang untuk mengurusi mereka yang terluka tanpa membedakan lawan atau kawan.
Prajurit yang juga menguasai ilmu pengobatan alakadar-nya, berusaha menolong mereka yang terluka dan mengurus yang terbunuh.
18 Bende Kiai Samudra kembali dipukul bertalu-talu. Bekel Gajahmada merasa sedikit lega. Setelah minta diri kepada Temenggung Banyak Sora, pimpinan pasukan Bhayangkara itu berlari menuju arah kudanya yang disembunyikan di belakang pohon nyamplung. Dengan cepat seolah takut kedahuluan dedemit, Gajahmada membalap menuju istana melalui pintu gerbang timur.
Sepanjang jalan di Santanaraja Bekel Gajahmada melihat pintu-pintu rumah telah tertutup rapat, penghuninya mungkin bersembunyi di dalam rumah itu atau bisa pula telah mengungsi entah ke mana. Sesampai di dalam benteng, Gajahmada terus membedal kudanya langsung menuju bangunan utama di garis lurus dengan Purawaktra.
130 Gajahmada "Bagaimana Kakang Bekel?" tanya Gagak Bongol tidak kuasa menutupi rasa cemasnya.
"Keadaan menjadi gawat," ucap Gajahmada, "seperti yang kita duga, Temenggung Panji Watang menyimpan maksud tersendiri. Panji Watang telah menggerakkan pasukannya akan menggempur istana."
Suara tambur terdengar dipukul gemuruh.
"Nah itu mereka datang. Jalayuda telah datang bagaikan banjir bandang," lanjut Gajahmada.
Dari kejauhan terdengar suara tambur dan genderang yang dipukul bertalu untuk membakar semangat mereka yang akan berlaga. Genta dan bende bersahutan di mana-mana.
"Telah kaupersiapkan pengungsian untuk Baginda?" bertanya Bekel Gajahmada.
"Sudah," menjawab Gagak Bongol tegas, "apakah kami harus melakukan sekarang?"
Gajahmada menggeleng. "Keberadaan Tuanku Jayanegara untuk sementara tetap berada di istana amatlah penting. Jika sampai tersiar kabar Tuanku Jayanegara meloloskan diri dari istana, hal itu akan menyebabkan prajurit yang bertempur kehilangan semangat. Jika para prajurit yang berperang itu mengetahui Sri Baginda masih berada di dalam istana, mereka akan bertempur seperti orang yang sedang kesetananan. Jika kita menghitung istana benar-benar sudah tidak bisa dipertahankan lagi maka pengungsian Sri Baginda terpaksa harus dilakukan."
Gagak Bongol merasa agak heran.
"Prajurit yang mana lagi yang akan bertempur dan harus dibakar semangatnya itu?" tanya Gagak Bongol.
Rupanya Gagak Bongol belum mengetahui perkembangan yang telah terjadi.
Gajahmada 131 "Prajurit Jalapati," Gajahmada menjawab, "mereka telah berhasil mengakhiri petualangan pasukan Jala Rananggana dan meyakinkan prajurit yang tersisa kembali ke jalan yang benar melindungi istana dan Sri Baginda. Gabungan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana itu, kita harapkan mampu mengimbangi sepak terjang pasukan Jalayuda."
Gagak Bongol dan Lembang Laut manggut-manggut.
"Kalian tetap berada di sini," lanjut Bekel Gajahmada, "aku akan memimpin Bhayangkara mempertahankan pintu gerbang."
Gagak Bongol mencegah. "Kau tidak menghadap raja lebih dulu?"
Bekel Gajahmada hanya mengangkat tangannya sebagai isyarat penolakannya karena ada hal yang jauh lebih penting yang harus dilakukannya.
Bekel Gajahmada bergegas berlari menuju pintu gerbang yang telah ditutup rapat. Pintu gerbang Purawaktra yang tinggi dan terbuat dari kayu yang sangat tebal itu diselarak dengan ganjal besi yang sangat kuat.
Dari balik dinding, Bekel Gajahmada memerhatikan alun-alun, yang di arah sana pasukan segelar sepapan sedang mempersiapkan diri.
Sebenarnyalah pasukan Jalayuda telah berada di alun-alun. Dengan penuh keyakinan, pasukan dari kesatuan perang Jalayuda yang telah pasang gelar perang Garudanglayang itu menghimpun diri lebih dulu di alun-alun. Panji Watang sekali lagi menyempatkan memberikan perintah dan petunjuk kepada para senopati bawahannya.
Pintu gerbang istana tertutup rapat. Sementara itu, dari balik dinding pasukan Bhayangkara telah siap melaksanakan perintah Bekel Gajahmada untuk menghujani musuh dengan anak panah. Namun, pasukan Jalayuda rupanya menyadari kemungkinan itu. Itu sebabnya, mereka mempersiapkan tameng dan tangga dalam jumlah cukup banyak.
Tameng akan digunakan melindungi para prajurit dari hujan anak panah, sedangkan tangga nantinya akan digunakan untuk memanjat dinding.
132 Gajahmada Namun, andaikata mereka berhasil melewati dinding pun masih dihadang oleh kolam memanjang berpagar semak perdu yang juga memanjang, yang di balik gerumbul lebatnya semak dan perdu itu anak panah dan lembing mengintai.
"Kalian telah siap?" Temenggung Panji Watang berteriak.
"Siap!" jawab prajurit bawahannya serentak.
Panji Watang tersenyum, yakin kemenangan berada dalam genggamannya.
"Akan ada hujan anak panah dari balik dinding!" Panji Watang berteriak. "Namun, jangan ragu dan takut menghadapi upaya prajurit Bhayangkara yang sia-sia itu. Yang menggunakan tameng di depan melindungi mereka yang membawa tangga."
Dari tempat yang lebih tinggi, Temenggung Panji Watang memerhatikan segenap prajurit Jalayuda yang telah pasang gelar Garudanglayang. Dengan gelar perang yang kukuh seperti itu, Temenggung Panji Watang merasa akan mudah sekali menggempur dinding istana.
"Serbuuuu!" teriak Panji Watang.
Perintah telah diberikan, disambut dengan teriakan riuh para prajurit yang mulai bergerak. Tambur dan genderang pembakar semangat dipukul bertalu-talu, susul-menyusul tanpa henti. Dari balik dinding, para Bhayangkara merentang gendewa. Panah telah ditempatkan pada tali. Dengan jantung berdegup kencang mereka menunggu musuh masuk ke dalam jarak jangkau anak panah itu.
Dengan cermat dan saksama Bekel Gajahmada memerhatikan gerakan lawan.
Demikianlah, manakala akhirnya pasukan Jalayuda yang mencoba mengail keuntungan dari kekisruhan yang terjadi memasuki jangkauan anak panah, Gajahmada segera mengayunkan tangannya sebagai isyarat kepada segenap anak buahnya untuk melepas anak panah. Hujan anak Gajahmada 133
panah terjadi, susul-menyusul menyambar pasukan musuh. Meski pasukan Jalayuda menggunakan tameng, anak panah itu mampu menyelinap.
Pasukan Bhayangkara adalah pasukan yang amat terlatih, berkemampuan luar biasa. Hampir semua prajurit Bhayangkara berkemampuan melepas anak panah dengan cermat dan akurat. Walau gerakan musuh itu dilindungi oleh tameng, anak panah yang dilepas mampu menerobos di sela-selanya menggapai sasaran.
Panji Watang kaget. Tak disangkanya pasukan Bhayangkara bisa melakukan hal yang nyaris langka itu. Panji Watang tentu tak pernah membayangkan betapa setiap hari dan setiap saat para Bhayangkara selalu berlatih dan menyempurnakan kemampuan. Dalam hal kemampuan melepas anak panah, sasaran yang digunakan bukan hanya benda diam, melainkan juga benda yang bergerak. Bahkan, benda yang bergerak cepat.
Segenap prajurit yang dilindungi tameng itu berderap berlari bersama. Namun, sekali lagi hujan anak panah berhamburan dari dinding kukuh yang melindungi istana. Beberapa prajurit Jalayuda kembali bergelimpangan.
Pada saat yang demikian itulah, tiba-tiba terdengar suara bergetar nyaring. Suara bende yang dipukul bertalu menggetarkan udara.
Getar bende itu ternyata mampu membenamkan ingar-bingar tambur dan genderang. Temenggung Panji Watang merasa permukaan hatinya berdesir oleh perbawa luar biasa yang berasal dari bende itu.
Temenggung Panji Watang lebih kaget lagi manakala dari balik dinding sebelah selatan dan utara secara bersamaan muncul sebuah barisan lengkap dengan lambang-lambangnya.
Panji Watang bergegas memberi isyarat.
Sangkakala segera ditiup melengking menerjemahkan perintah Temenggung Panji Watang itu. Pasukannya yang semula bergerak siap menjebol dinding menerobos hujan anak panah segera ditata kembali.
134 Gajahmada Dengan cekatan pasukan Jalayuda mengikat diri dalam ikatan gelar perang yang kukuh.
Ternyata entah mengapa, Temenggung Banyak Sora telah mengubah keputusannya. Semula pasukannya tetap menjadi satu dalam pusaran Cakrabyuha. Namun, sebuah gagasan telah muncul untuk memecah pasukan gabungan antara Jalapati dan Jala Rananggana itu menjadi dua dan masing-masing muncul bersamaan dari arah utara dan selatan.
Pasukan sebelah utara menggunakan gelar perang Cakrabyuha, sementara pasukan yang muncul dari balik dinding arah selatan menggunakan gelar perang Diradameta.
Cakrabyuha dan Diradameta siap menghajar Garudanglayang.
Temenggung Panji Watang kaget karena tidak mengira bakal mendapatkan musuh yang sangat kuat. Bahkan, Panji Watang merasa harus menghadapi dua kekuatan sekaligus.
"Bagaimana dengan pertempuran di bagian belakang istana itu, apa telah usai?" bertanya Panji Watang kepada diri sendiri.
Dada pimpinan Jalayuda itu terpacu.
Panji Watang memerhatikan keadaan. Temenggung pimpinan pasukan Jalayuda itu mengumpat kasar saat melihat kenyataan, pasukan yang dihadapinya menggunakan dua buah ciri khusus yang dimiliki oleh pasukan Jalapati dan Jala Rananggana.
Menggigil Panji Watang melihat kenyataan itu.
"Keparat!" umpatnya. "Iblis!"
Berbeda dengan Temenggung Panji Watang yang mengira pasukan Jalapati dan Jala Rananggana akan sama-sama hancur, dengan demikian pasukan Jalayuda tinggal menginjak siapa pun yang akan muncul menjadi pemenang, sebaliknya Ra Kuti telah menduga hal itu akan terjadi. Rakrian Kuti yang terlihat selalu bersama-sama dengan para Rakrian Winehsuka yang lain terpaksa harus menggeleng-gelengkan kepala melihat Jalapati dan Jala Rananggana bisa bersatu.
Gajahmada 135 "Gila," desis Ra Kuti, "bagaimana dengan nasib Pujut Luntar, orang itu menyerah atau sudah mampus di tangan Banyak Sora?"
Sebagaimana Temenggung Panji Watang, Ra Kuti merasa pasukan Jalayuda tengah menghadapi dua buah kekuatan. Dari satu arah Cakrabyuha siap berpusing, sebaliknya dari arah lainnya lagi Diradameta siap mengamuk dengan kekuatan gading dan belalai.
"Bagaimana Ra Kuti?" tiba-tiba Tanca yang tidak banyak bicara itu membuka mulut. "Apa kita masih boleh berharap, rencana kita akan terwujud?"
Ra Kuti merasa pertanyaan Tanca itu seperti sebuah sindiran yang ditujukan kepadanya. Menebal wajah Rakrian Kuti dirasa melebihi tebalnya dinding istana Majapahit.
"Mukti atau mati," jawab Ra Kuti tegas. "Hanya ada dua pilihan yang kita hadapi, mukti atau mati. Kalau berhasil mukti. Kalau tidak berhasil mati. Jauh-jauh hari aku sudah menekankan hal itu. Peluang masih ada. Aku yakin pasukan Jalayuda akan muncul sebagai pemenang karena mereka masih berada dalam keadaan segar. Sebaliknya, aku melihat pasukan Jala Rananggana dan Jalapati berada dalam keletihan.
Mereka kehilangan sebagian kesegaran mereka."
Ra Kuti memandang Tanca begitu dekat, lalu menebar tatapan wajahnya pada Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Para Rakrian Winehsuka menyimak pembicaraan Ra Kuti dengan saksama.
"Begitu perang pecah," lanjut Ra Kuti, "kita laksanakan apa yang telah kita sepakati. Kita membaurkan diri dalam perang yang kita upayakan dengan segala macam cara agar menjadi kisruh. Ingat, sebuah goresan kecil saja dari senjata beracun itu akan mengantarkan Temenggung Panji Watang mengintip gerbang neraka."
Dua belah pihak yang akan berperang telah berhadap-hadapan.
Pasukan Jalayuda berada dalam kesiagaan penuh. Pasukan Jalapati dan sisa-sisa pasukan Jala Rananggana yang menyatukan diri juga berada dalam puncak kesiagaan penuh. Kalau ada perbedaan di antara mereka
136 Gajahmada adalah pasukan Jalayuda masih bersih. Sebaliknya, prajurit yang berpihak kepada istana telah bersimbah peluh dan darah.
19 Di sisi lain, di balik dinding pasukan Bhayangkara mengamati perkembangan yang terjadi itu. Bekel Gajahmada menghitung keadaan dengan cermat. Gajahmada harap-harap cemas. Keadaan pasukan Jalapati yang bergabung dengan pasukan Jala Rananggana tidak bisa disebut baik karena banyak di antara mereka yang telah terluka, bahkan terbunuh. Sebaliknya, pasukan Jalayuda masih utuh.
Andaikata Banyak Sora tidak berhasil membendung gelombang yang datang itu maka apa boleh buat, Bekel Gajahmada harus mengungsikan Sri Jayanegara.
Ketika masing-masing masih berhadapan, saat kedua belah pihak saling menunggu aba-aba untuk saling menyerbu, saat itulah tiba-tiba ada orang yang meminta perhatian.
"Tunggu!" orang itu mencoba berteriak.
Suaranya yang tua nyaris tenggelam oleh suara genderang dan bende yang riuh. Akan tetapi, baik pasukan yang berpihak kepada istana maupun pasukan yang melakukan pemberontakan mengenal orang yang meminta perhatian. Orang itu sudah tua, bahkan langkahnya tertatih-tatih. Orang itu adalah Arya Tadah yang diiring oleh beberapa prajurit yang mengawalnya dengan setia. Pengawal Arya Tadah meminta perhatian segenap pihak dengan menabuh genderang dengan irama berderap.
Gajahmada 137 "Gila," desis Bekel Gajahmada, "apa yang dilakukan Mahapatih Tadah itu?"
Bekel Gajahmada menjadi amat cemas. Keadaan benar-benar gawat, sementara lelaki tua dari kepatihan itu berada di tengah-tengah pasukan yang akan berlaga dan mengadu kekuatan itu.
Namun, baik pasukan dari pihak Jalayuda maupun pasukan Jalapati-Jala Rananggana masih menaruh hormat kepada Mahapatih Arya Tadah.
Kedua belah pihak menahan diri untuk belum saling menyerang ketika Tadah meminta mereka untuk menahan diri. Tadah terlihat berbicara kepada pengawalnya. Dua orang pengawal itu kemudian berlari-lari, seorang menuju pasukan Jalayuda dan seorang lagi menuju pasukan Jalapati.
"Ada apa?" Banyak Sora bertanya ketika prajurit itu mendekat.
Prajurit pengawal wisma kepatihan itu memberikan penghormatan sebagaimana mestinya.
"Mapatih Tadah," berkata prajurit itu dengan napas tersengal,
"meminta kepada Rakrian Temenggung Banyak Sora untuk menghadap.
Demikian pula dengan Rakrian Temenggung Panji Watang juga diminta untuk menghadap. Segala sesuatunya masih bisa dicegah. Perang harus dihindari."
Banyak Sora menghela napas begitu dalam. Segala rasa hormat tertuju kepada Tadah yang sudah tua itu yang masih berusaha mencegah terjadinya pertumpahan darah walaupun kedua pasukan telah berhadap-hadapan, siap untuk saling berbantai.
"Aku akan menghadap!" berkata Banyak Sora tegas.
Di pihak pasukan Jalayuda, Temenggung Panji Watang juga telah menerima utusan Tadah. Panji Watang yang semula mengira mudah baginya untuk menggilas istana merasa kecut hati ketika harus menghadapi gabungan pasukan Jala Rananggana dan Jalapati. Tawaran Mahapatih Arya Tadah itu baik untuk dipertimbangkan. Apalagi, secara pribadi Temenggung Panji Watang juga menghormati Mahapatih yang tua itu.
138 Gajahmada "Baiklah," jawab Panji Watang, "aku akan menghadap."
Dari atas dinding istana Bekel Gajahmada berdebar-debar melihat perkembangan yang tidak terduga itu.
"Bukan main," desis Bekel Gajahmada, "moga-moga Mapatih Arya Tadah berhasil. Tampaknya Temenggung Panji Watang masih bisa diajak bicara untuk menghindarkan Wilwatikta dari kehancuran."
Pasukan Jalayuda menyibak memberi jalan kepada pimpinan mereka yang akan menghadap Mahapatih Arya Tadah. Demikian pula dengan pasukan Jalapati segera menyibak untuk memberi jalan kepada pimpinannya yang akan menghadap Tadah.
Tetapi kedua belah pihak serentak mengangkat busur menjaga berbagai kemungkinan. Pasukan Jalayuda siap menyerbu jika sampai Temenggung Panji Watang berada dalam bahaya. Sebaliknya, gabungan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana juga siap untuk berbuat sesuatu seandainya Banyak Sora berada dalam bahaya.
Jantung Ra Kuti serasa dipacu kencang melihat perkembangan tidak terduga itu.
"Gila!" umpat Ra Kuti. "Apa yang akan mereka lakukan itu?"
Ra Tanca tersenyum sinis.
"Mahapatih Tadah masih dihormati," ucap Ra Tanca. "Arya Tadah memanggil Banyak Sora dan Panji Watang. Jika keduanya bisa didamaikan, pertempuran ini akan urung. Kauboleh mulai membayangkan nasibmu."
Ra Kuti tegang. Kemungkinan seperti yang disampaikan Tanca itu amat mungkin terjadi. Jika pertempuran itu sampai batal, habislah mereka. Jayanegara tentu akan menjatuhkan perintah untuk memburunya, menangkapnya hidup atau mati. Kalau tertangkap hidup, nasibnya akan menjadi buruk. Hukuman picis akan dilakukan di alun-alun.
Ra Kuti kebingungan. Para Rakrian Winehsuka yang lain juga kebingungan. Banyak Sora dan Panji Watang telah menghadap Patih Gajahmada 139
Arya Tadah. Dengan kekecewaan yang mendalam Patih Tadah memandang Panji Watang. Panji Watang yang merasa berada di pihak yang salah berulang kali membuang wajah menghindari tatapan wajah, baik dengan Mahapatih Tadah maupun Banyak Sora.
Berulang kali Tadah menghela tarikan napas panjang. Berusaha meredakan gejolak di dalam dadanya yang ringkih karena usia yang sudah lanjut itu. Bahkan, sesekali batuknya bergetar di antara kata-katanya yang serak sarat keprihatinan.
"Banyak Sora!" Tadah berkata datar.
Banyak Sora yang tidak menggeser tatapan matanya dari wajah Panji Watang menoleh kepada Tadah.
"Saya Mahapatih," jawab Banyak Sora.
"Kuminta kau memerintahkan kepada pasukanmu untuk mengendalikan diri. Lihat mereka semua mengangkat busur dengan anak panah siap menghujani kita."
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Banyak Sora memandang pasukannya. Jalapati dan Jala Rananggana memang berada dalam kesiagaan tertinggi. Banyak Sora tidak memberi jawaban karena di antara prajurit Jalayuda yang memegang watang juga merentang busur dengan anak panah siap melesat pula.
"Juga kepadamu, Panji Watang," lanjut Tadah, "rasanya gemetar kakiku yang tua ini berada di bawah ancaman busur-busur yang siap menerbangkan ratusan, bahkan mungkin ribuan anak panah. Lakukanlah bersama-sama, beri perintah kepada mereka untuk tidak melakukan itu. Kalian tidak keberatan bukan?"
Panji Watang dan Banyak Sora dengan bersamaan memberikan isyarat kepada segenap prajuritnya untuk menurunkan anak panah masing-masing. Para prajurit dari kedua belah pihak rupanya menyadari, pimpinan mereka sedang berunding. Sebagian prajurit ada yang merasa lega karena berharap pertumpahan darah bisa dihindari. Sebagian lainnya justru tidak sabar lagi. Di sisi lain, seperti terpojok di sudut, Ra Kuti dan Winehsuka lain kebingungan.
140 Gajahmada "Bagaimana keadaanmu, Watang?" dengan aneh Tadah bertanya.
Pertanyaan itu membuat Panji Watang kebingungan. Dalam keadaan yang kisruh seperti itu, Mahapatih Tadah masih sempat-sempatnya menanyakan kabar keselamatan.
Panji Watang gelisah. "Keadaanku baik, Mapatih!" jawabnya sambil menunduk.
"Dan kau Banyak Sora?" Mahapatih Tadah menoleh pada Banyak Sora. "Bagaimana keadaanmu?"
Wajah Temenggung Banyak Sora serasa menebal. Nyaris tak tertahan keinginannya untuk mengayunkan tangan menggampar wajah Panji Watang yang telah berkhianat terhadap negara.
Napas Banyak Sora tersengal.
"Bagaimana aku bisa menyebut keadaanku baik, Mahapatih?" jawab Banyak Sora. "Mapatih melihat tubuhku penuh darah dan luka arang kranjang karena harus melayani kegilaan Temenggung Pujut Luntar.
Ternyata tak hanya Pujut Luntar yang menjadi gila kleleken klerak. Aku tidak habis mengerti mengapa Pujut Luntar menjadi lupa diri. Bahkan, tidak hanya Pujut Luntar. Kini aku menghadapi pasukan segelar sepapan yang dipimpin temenggung yang lain, yang juga keracunan kembang kecubung. Jadi, bagaimana aku bisa mengatakan keadaanku baik?"
Sindiran itu menggerataki dada Panji Watang. Akan tetapi, Temenggung Panji Watang hanya diam tidak menanggapi.
Arya Tadah kembali meletupkan batuk tuanya. Dengan keprihatinan yang sangat kental Arya Tadah memandang Panji Watang.
"Yang namanya manusia," Arya Tadah bicara, "tidak ada yang sempurna. Manusia adalah tempat segala macam ketidaksempurnaan serta berbagai kekurangan. Manusia sering alpa dan lupa kendali. Hal semacam itulah yang saat ini terjadi. Ra Kuti kehilangan akar tempat pijakan, merasa melambung di awan tinggi. Jika dianggap penyakit maka penyakit yang disandang Ra Kuti itu telah menulari Pujut Luntar, bahkan Gajahmada 141
Temenggung Panji Watang. Tak kausadarikah itu Panji Watang, kau melakukan tindakan yang salah?"
Panji Watang menunduk. "Apa yang kaucari dengan petualanganmu ini?" lanjut Tadah dengan suara datar dan kecewa.
Panji Watang kesulitan untuk menjawab.
Banyak Sora tersenyum sinis.
"Pujut Luntar menjadi gila karena kesengsem jabatan, Mapatih,"
berbicara Banyak Sora dengan nada suara yang ketus. "Karena iming-iming akan mendapat kedudukan sebagai mapatih dari Ra Kuti, Pujut Luntar langsung mabuk. Namun, ternyata pimpinan Jalayuda menyimpan angan-angan yang lebih gila, Gusti Mapatih. Pimpinan Jalayuda ini menginginkan kedudukan sebagai raja. Ia berharap pasukan Jalapati dan Jala Rananggana akan sama-sama hancur sehingga ia bisa muncul di atas bangkai-bangkai yang berserakan, tampil sebagai pemenang."
Panji Watang merasa berdiri di atas bara.
Di-belejeti macam itu menyebabkan Panji Watang tidak berkutik.
"Kalau boleh aku menawarkan," berkata Tadah, "mari kita lupakan kejadian ini. Perang yang sangat berdarah dan meminta korban sangat banyak masih bisa kita hindari. Kalau kau menginginkan kedudukan sebagai raja, apa boleh buat kau harus melanjutkan perang ini sampai hancur-hancuran. Dan, itu bukan jaminan bahwa kau pasti bakal berhasil karena sebagaimana kaulihat pasukan Jala Rananggana dan pasukan Jalapati telah bergabung menjadi satu serta siap menghadapi apa pun yang kaulakukan. Namun, kalau hanya sekadar jabatan mapatih, aku tidak keberatan untuk menyerahkan kepadamu."
Temenggung Panji Watang mulai bisa menengadah. Namun, mulutnya masih tetap bungkam.
Panji Watang merasa tawaran yang diberikan itu seperti tawaran orang tua untuk menenangkan seorang bocah yang merajuk dengan 142
Gajahmada memberinya gulali. Tawaran itu bagi Mapatih Tadah mungkin bersungguh-sungguh. Sebaliknya, bagi Rakrian Temenggung Panji Watang bagai buah kedondong yang telah habis dagingnya akan tersangkut di tenggorokan. Bahkan, Panji Watang kemudian merasa tawaran itu menjadi sebuah penghinaan baginya.
Panji Watang bahkan merasa cincing-cincing klebus. Telanjur basah dan harus diseberanginya sekalian.
Sebaliknya, bagi Banyak Sora tawaran yang diberikan Mapatih Tadah kepada Panji Watang itu akan meretakkan dinding kepalanya. Bagi Banyak Sora, perbuatan Panji Watang yang berani melakukan tindakan makar itu layak mendapat ganjaran hukuman mati. Tidak ada hukuman yang layak diberikan kepada pengkhianat negara kecuali hukuman mati, digantung di alun-alun atau hukum picis di dekat pasar Daksina.
"Renungkan, Panji Watang," lanjut Tadah. "Pertimbangkan kehancuran yang akan terjadi. Akan banyak janda menangisi suaminya.
Akan banyak anak menangisi bapaknya yang gugur di palagan. Belum lagi para orang tua yang meratapi kematian anaknya. Juga, akibat berantai dari kekacauan yang akan timbul jika perang tak tercegah, perampokan dan pemerkosaan akan merajalela."
Arya Tadah yang tua mulai tersengal.
"Batalkan keinginanmu menggilas istana. Sebagai imbalannya, aku tidak akan keberatan menyerahkan jabatan mahapatih kepadamu. Sekaligus aku memberi jaminan, Sri Baginda tak akan mengutak-atik persoalan ini.
Banyak Sora juga tak akan mempersoalkan. Mereka tidak akan berani melakukan itu karena kau memiliki pasukan segelar sepapan yang bisa kaugunakan menggilas mereka yang tidak sependapat denganmu. Atau, jika kau tetap tidak mungkin mengubah keputusanmu, kurasa Tuanku Jayanegara tidak akan keberatan untuk lengser keprabon dan menyerahkan takhta kepadamu. Jika Tuanku Kertarajasa Jayawardhana hidup kembali ke dunia ini, beliau akan memenuhi keinginanmu asal kaumampu membawa kesejahteraan bagi Wilwatikta. Semua akan memenuhi keinginanmu, asal perang yang melukai Wilwatikta ini bisa dihindari."
Gajahmada 143 Ucapan Tadah yang mengalir seperti air bening di sungai itu rupanya mampu menyentuh perasaan Temenggung Panji Watang. Panji Watang terlihat menahan gejolak yang mengharu biru dadanya. Apa yang selama ini tak terlihat olehnya karena terbungkus oleh keinginannya yang menggebu-gebu, akhirnya harus menjadi bahan renungannya. Pada akhirnya, Panji Watang bahkan merasa amat malu.
Mata Panji Watang memerah. Suaranya bergetar.
"Mapatih Tadah," ucap Panji Watang dengan suara amat serak.
"Bagaimana?" Tadah tua melayaninya dengan sabar.
"Aku mengaku bersalah," ucap Panji Watang.
Ada derak melebihi gugurnya lereng gunung menerjang lembah.
Banyak Sora sama sekali tidak mengira Panji Watang mendadak berubah.
Banyak Sora jadi tak mampu berbicara.
Arya Tadah senang karena upayanya mencegah perang akan membuahkan hasil. Tadah yang telah berusia lanjut itu mendekati Temenggung Panji Watang dan menepuk-nepuk pundaknya.
Diperlakukan seperti itu, Panji Watang merasa isi dadanya makin berderak.
Gajahmada yang berdiri di atas dinding istana merasa amat lega melihat perkembangan yang baik itu. Gajahmada yang semula merasa cemas mulai melihat kemungkinan Majapahit akan bisa diselamatkan dari bencana perang. Untuk selanjutnya, yang harus dilakukan adalah memburu biang keladi dari semua kekacauan, Ra Kuti.
Tadah memandang langit seperti mencari sesuatu di sana.
"Marilah kita hindarkan Majapahit dari perang," Tadah berkata.
"Selanjutnya, tangkaplah biang keladi dari semua kekisruhan ini.
Petualangan Ra Kuti telah banyak menelan korban. Banyak prajurit gugur karena perbuatannya. Lebih dari itu, mulutnya yang culas itu menyebabkan persahabatan menjadi retak, persaudaraan hancur karenanya."
144 Gajahmada Banyak Sora dan Panji Watang saling pandang. Meski keduanya masih belum berbicara, dua temenggung itu bersepakat untuk menangkap Ra Kuti.
Akan tetapi, tentu saja ada yang tidak senang melihat perkembangan seperti itu. Orang itu adalah Ra Kuti dan para Darmaputra Winehsuka.
Dari jauh Ra Kuti melihat, dengan mulutnya yang oleh Ra Kuti dianggap berbisa, Tadah berhasil melunakkan Temenggung Panji Watang. Jika perang itu bisa digagalkan maka dirinya dan para Winehsuka akan berubah menjadi tikus-tikus yang diburu anjing.
Sungguh keadaan itu tidak menyenangkan.
Ra Kuti tiba-tiba mengangkat busur. Gendewa itu telah direntang, dua buah anak panah beracun telah disiapkan. Pada dasarnya Ra Kuti adalah seorang prajurit yang memiliki kemampuan olah kanuragan amat mumpuni. Ra Kuti juga mempunyai kemampuan membidik sasaran yang bergerak dengan hasil yang akurat.
Ra Kuti yang marah itu segera melepas dua buah anak panahnya.
Anak panah beracun bisa ular itu melesat dengan sasaran Mapatih Arya Tadah. Anak panah yang melesat deras itu menimbulkan suara mendesing dengan nada tinggi.
Dari atas dinding regol istana, Gajahmada kaget melihat panah yang melesat cepat. Akan tetapi, jaraknya yang sangat jauh menyebabkan Bekel Gajahmada tidak bisa berbuat sesuatu. Dengan cemas Bekel Gajahmada melihat apa yang akan terjadi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Adalah Temenggung Banyak Sora yang melihat bahaya yang mendatangi Tadah. Dengan cekatan Banyak Sora segera meloncat mengayunkan pedangnya. Anak panah yang mestinya menghunjam tepat di jantung Arya Tadah itu berhasil ditepisnya.
Melihat keadaan yang tidak terduga itu Panji Watang melenting.
Namun, anak panah kedua melesat dengan garis lintasan mengarah pada tubuhnya. Anak panah beracun itu menyentuh lengannya. Anak panah itu tidak berhenti, tetapi terus melesat menghunjam di lengan Banyak Sora yang berdiri pada lintasan garis lurus.
Gajahmada 145 Segenap prajurit dari kedua belah pihak kaget melihat perkembangan yang tidak terduga itu. Pada umumnya para prajurit tak bisa menafsirkan dengan jelas apa yang terjadi. Yang mereka lihat adalah Panji Watang dan Banyak Sora yang berjumpalitan.
Keadaan itu segera memancing ketegangan yang semula sempat mereda. Ra Kuti yang melihat upayanya membuahkan hasil tidak menunda waktu memanfaatkan keadaan itu.
"Serbuuuuu!" Ra Kuti berteriak.
Ternyata teriakan itu sudah cukup mampu untuk menggerakkan kedua pasukan yang berhadap-hadapan dan berada dalam kesiagaan yang sangat tinggi itu. Dengan berlarian para prajurit dengan berbagai senjata serta umbul-umbul itu berlari menghambur menuju lawannya.
Bekel Gajahmada menggigil melihat perkembangan yang terjadi dan tidak terduga itu. Perang telah pecah karena ada pihak yang berhasil mengail di air keruh. Gajahmada merasa yakin orang berperilaku pengecut yang telah melepas anak panah itu adalah Rakrian Kuti.
Arya Tadah gemetar menyaksikan perkembangan yang tidak terduga itu. Beberapa prajurit pengawalnya segera mengamankan orang kedua di Majapahit itu ke tempat yang terlindung.
Banyak Sora dan Panji Watang kembali saling berhadapan. Banyak Sora merasa kepalanya akan meledak melihat sikap pengecut yang dikiranya baru saja dilakukan pasukan Jalayuda. Demikian juga dengan Panji Watang, pimpinan pasukan Jalayuda itu sangat marah melihat sikap perbuatan yang dikiranya baru saja dilakukan oleh pasukan Jalapati. Banyak Sora segera berancang-ancang untuk melakukan sebuah serangan. Sebuah tombak yang ada di tangan prajurit bawahannya dirampasnya. Dengan tombak itu ia akan mengadu guna kasantikan jaya kawijayan melawan musuhnya.
Namun, Banyak Sora kemudian merasa ada sesuatu yang tidak wajar pada lengannya. Anak panah itu segera dicabutnya. Darah yang menetes tidak berwarna merah, tetapi kehitam-hitaman. Bahkan, racun pada anak panah itu mulai bekerja. Keringat bagai diperas dari wajahnya.
Banyak Sora mendadak merasa mulai mengalami kesulitan bernapas.
146 Gajahmada Sebaliknya, keadaan Temenggung Panji Watang tidak kalah buruk.
Anak panah amat beracun yang dilepas Ra Kuti telah menyerempet lengannya. Sebagaimana yang dikatakan Ra Tanca yang meramu racun ganas itu, sebuah goresan kecil saja dari senjata beracun itu sanggup mengantarkan siapa pun ke pintu gerbang kematian. Jangankan sebuah goresan yang langsung bersentuhan dengan darah, bahkan dengan menyentuhnya sudah membuka pintu gerbang untuk melongok wilayah kematian.
Racun itu amat ganas. Rakrian Temenggung Banyak Sora menggigil kesakitan kemudian bahkan jatuh terduduk. Matanya melotot kepada Temenggung Panji Watang yang pucat pasi. Seiring dengan darah yang mengalir merambati pembuluh, racun terbawa menjelajahi sekujur tubuh.
Banyak Sora menjulurkan tangan berusaha menggapai, tetapi rasa sakit akibat racun yang amat ganas itu tidak bisa dilawannya.
Banyak Sora sekarat. Keadaan Temenggung Panji Watang tidak lebih baik dari Banyak Sora. Racun yang menggores lengan kanannya mulai bekerja. Butiran darah di sekujur tubuhnya pecah oleh racun itu. Sejenak kemudian dari hidung dan telinganya menetes darah merah.
Tidak berselisih lama dari apa yang dialami Banyak Sora, Panji Watang jatuh terduduk.
Ra Kuti pun merajalela. Dengan mulus Ra Kuti mengambil alih kendali pasukan Jalayuda.
Perintah-perintahnya segera mengalir mendorong pasukan Jalayuda yang melihat pimpinannya mati mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan dalam gelar perang Garudanglayang itu segera menghambur menyerbu pasukan Jalapati dan Jala Rananggana.
Gajahmada sangat cemas. Gajahmada yang melihat Temenggung Banyak Sora dan Panji Watang sekarat telah sampai pada sebuah simpulan, kedua Temenggung itu terkena anak panah yang sangat beracun. Ingatan Gajahmada segera tertuju pada Rakrian Tanca, salah seorang dari Winehsuka yang memiliki kemampuan meramu racun Gajahmada 147
tanpa tanding. Tanca tentu terlibat langsung atau tidak langsung dengan pembunuhan menggunakan anak panah beracun itu.
Kecemasan Bekel Gajahmada kian menjadi-jadi karena pasukan Jala Rananggana dan Jalapati bertempur tanpa ada yang mengendalikan lagi. Perang yang terjadi kemudian menjadi perang brubuh menghadapi pasukan yang masih dalam ikatan.
Ra Kuti yang telah mengambil alih kendali pasukan Jalayuda ternyata mampu bertindak cekatan. Rakrian Kuti merasa gelar perang Garudanglayang yang semula dipilih Panji Watang kurang mempunyai daya pukul yang kuat untuk menghancurkan pasukan Jala Rananggana dan Jalapati yang terpisah.
"Cakrabyuha!" teriak Ra Kuti memberi perintah.
Teriakan Ra Kuti itu disambung oleh Pangsa yang meniup terompet sangkakala, mengumandangkan perintah berubahnya gelar Garudanglayang ke Cakrabyuha. Segenap prajurit Jalayuda menerjemahkan perintah itu dengan sebaik-baiknya. Pasukan yang semula berbentuk garuda terbang melayang dan siap mencengkeram itu berubah menjadi pusaran gerigi yang siap melibas apa pun.
Bekel Gajahmada tidak kuasa menahan diri lagi.
Gajahmada yang berada di atas dinding itu segera meloncat.
Tubuhnya melayang turun. Bekel Gajahmada segera mengibaskan lambang Bhayangkara yang dipegangnya meminta perhatian kepada pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang terpisah di sebelah kiri dan kanan.
Lantang Gajahmada berteriak, "Aku Bekel Gajahmada, atas nama Mapatih Arya Tadah yang telah menyerahkan lencananya kepadaku dengan ini mengambil alih kendali atas pasukan Jalapati dan Jala Rananggana. Kedua pasukan aku perintahkan menyatu dan pasang gelar Diradameta."
Tidak seperti Ra Kuti yang dengan gampang mengendalikan pasukan Jalayuda, sebaliknya Bekel Gajahmada mengalami kesulitan untuk memberikan perintah karena tak ada sangkakala yang dapat digunakan
148 Gajahmada memperpanjang perintahnya. Menyadari akan hal itu, Bekel Gajahmada segera bergegas mendekati seorang prajurit yang memegang genderang dan sangkakala.
Sejenak kemudian, suara sangkakala menggetarkan udara.
Dua pasukan yang terpisah itu berusaha untuk menyatu.
Sayang sekali upaya yang dilakukan Bekel Gajahmada itu terlambat.
Pusaran gerak Cakrabyuha dengan cepat menerobos, mencoba menghalang-halangi pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang akan menyatu. Bagai putaran cakra, pasukan Jalayuda mencoba menggilas lawan.
Tak seorang pun yang tahu atau tidak seorang pun yang peduli kepada Temenggung Panji Watang dan Temenggung Banyak Sora yang mengembuskan tarikan napas terakhir. Bahkan, kedua tubuh yang tergeletak beku itu terinjak-injak mereka yang berlaga.
Bekel Gajahmada yang mencoba mengambil kendali pasukan yang kehilangan pimpinan itu berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengatur perlawanan. Aba-aba teriakan dan isyarat tambur diberikan untuk membendung banjir bandang Cakrabyuha. Keputusan Ra Kuti mengubah Garudanglayang menjadi Cakrabyuha serta upayanya membelah pasukan Jalapati agar tidak menyatu benar-benar membuat Gajahmada kebingungan dan serba salah.
20 Maka yang kemudian terjadi di halaman Istana Wilwatikta itu benar-benar sebuah perang yang sangat berdarah. Bau anyir darah Gajahmada 149
menyebar di mana-mana ditingkah suara umpatan dan teriakan kesakitan.
Suara bende Kiai Samudra yang dipukul bertalu-talu untuk membakar semangat mereka yang berlaga makin melengking serasa akan memecahkan gendang telinga berbaur dengan suara genderang dan tambur.
Awan hitam mulai menggantung di langit.
Sri Jayanegara yang oleh Bekel Gajahmada diminta untuk tetap berada di istana induk berjalan mondar-mandir. Namun, kegelisahannya makin menjadi hingga kemudian tidak tertahankan lagi. Jayanegara membuka pintu. Prajurit Bhayangkara Gagak Bongol dan Lembang Laut bergegas mendekat. Kedua prajurit itu telah mengetahui perkembangan terakhir yang terjadi di halaman istana.
"Bagaimana perkembangan di luar?" bertanya Jayanegara.
Gagak Bongol dan Lembang Laut bersamaan memberikan sembah.
"Hamba Tuanku," Gagak Bongol berkata sekaligus mewakili temannya, "perkembangan telah bergerak tak terduga. Pertempuran di halaman belakang istana telah berakhir. Temenggung Pujut Luntar berhasil ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Akan tetapi, Temenggung Panji Watang mencoba memanfaatkan keadaan itu dengan ikut bermain-main, menyerang istana langsung dari halaman depan."
"Kurang ajar!" desis Jayanegara.
Tatapan mata Jayanegara benar-benar tegang.
"Lalu?" Jayanegara meminta Gagak Bongol untuk melanjutkan.
"Rakrian Temenggung Banyak Sora berhasil menyadarkan sisa pasukan Jala Rananggana kemudian menggabungkannya menjadi satu untuk menghadapi sepak terjang pasukan Jalayuda. Namun, Mahapatih Tadah muncul berusaha mencegah perang. Rakrian Banyak Sora dan Panji Watang dipanggil dan didamaikan. Upaya itu hampir saja berhasil, tetapi tiba-tiba melesat anak panah beracun yang membunuh Temenggung Panji Watang dan Banyak Sora sekaligus. Kini Kakang
150 Gajahmada Gajahmada mencoba mengendalikan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana menghadapi petualangan Ra Kuti."
Sesak napas Jayanegara Kalagemet mendapat laporan itu. Riuh genderang dan lengking suara bende, tambur, dan terompet yang dibunyikan beruntun seolah akan menjebol pintu gerbang istana, menggoyang pilar-pilar pendapa.
Jayanegara kembali masuk ke dalam biliknya. Perhatian Sri Jayanegara tertuju pada dua buah kotak besi di atas meja. Beberapa saat lamanya Jayanegara termangu memandangi kedua kotak besi itu.
Di dalam kedua kotak itu terdapat harta benda pusaka yang tidak ternilai harganya, berbagai perhiasan ber-teretes-kan intan berlian dan benda-benda pusaka yang terbuat dari emas sangat mahal.
"Jika istana terpaksa bedah harus dilakukan penyelamatan pada benda-benda pusaka itu. Bagaimana cara melakukannya?" Jayanegara gelisah beberapa saat lamanya.
Walaupun telah berusaha tenang dengan memercayakan keselamatannya kepada Bhayangkara, jika pasukan yang menyerbu itu seperti banjir bandang maka apa boleh buat Sri Jayanegara harus meloloskan diri dari istana seperti yang dikehendaki Bekel Gajahmada.
21 Sebenarnyalah perang di halaman istana makin berkecamuk.
Pasukan Jalayuda dengan gelar perang Cakrabyuha berputar bagaikan cakra bergerigi tombak dan pedang siap menerjang apa saja. Kekuatan cakra itu makin menggila karena para Dharmaputra Winehsuka berada di ujung geriginya.
Gajahmada 151 Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Pangsa, Ra Yuyu, dan Ra Banyak, menjadi gerigi tajam yang menyambar-nyambar dengan ayunan pedang serta tombak. Susul-menyusul tiada henti menyebabkan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana merasa menghadapi beban yang berat.
Bekel Gajahmada tak putus asa menghadapi keadaan itu. Dengan sekuat tenaga Gajahmada memberikan aba-aba dan perintah. Sebenarnya para senopati yang semula adalah anak buah Temenggung Banyak Sora, kurang begitu suka mendapat perintah dari Gajahmada yang hanya berpangkat Bekel. Namun, Gajahmada memiliki lencana Mahapatih Tadah yang keberadaannya seolah tidak ubahnya Arya Tadah sendiri.
Waktu terus bergerak, matahari memanjat makin tinggi. Burung gagak beterbangan mewartakan kehadirannya. Bau anyir darah sangat menggoda burung-burung itu. Burung pemakan bangkai berjenis langka terlihat membubung amat tinggi.
Dalam pada itu, para penjarah yang merasa mendapat kesempatan karena terjadinya kekacauan seperti mendapat kesempatan. Beberapa rumah milik orang kaya mereka datangi. Di bawah ancaman senjata, orang-orang kaya dibuat tidak berkutik. Bukan hanya harta yang harus mereka serahkan kepada penjarah, bahkan para gadis mulai tidak aman dari pemerkosaan.
Asap tebal masih mengepul dari pasar Jatipasar dan pasar Daksina.
Asap juga mengepul dari arah barat. Beberapa buah lumbung padi yang berisi gabah dan palawija dibakar penjarah. Tangis dan ratapan ketakutan menjadi bagian dari keadaan yang kisruh itu. Mahapatih Tadah hanya bisa mengelus dada melihat perkembangan yang menyedihkan itu. Dari reruntuhan Singasari yang diserang Kediri, Raden Wijaya, menantu Sri Kertanegara mencoba membangun Bumi Tarik yang kemudian bisa berkembang menjadi sebuah negara yang besar dan berwibawa. Kini beberapa orang petualang dengan sangat tidak bertanggung jawab mencoba merusak semuanya hanya karena dorongan hasrat pribadi. Betapa kecewa Arya Tadah dan betapa kecewa Kertarajasa Jayawardhana seandainya bangkit dari kematiannya dan menyaksikan sepak terjang para petualang itu.
152 Gajahmada Meskipun dengan susah payah Gajahmada berusaha keras mengendalikan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang mendapat tekanan luar biasa dan bertubi-tubi. Kemampuan Gajahmada yang hanya berpangkat Bekel itu ternyata sanggup merepotkan pasukan pemberontak yang dikendalikan Ra Kuti.
Seiring dengan sang surya yang memanjat langit makin tinggi dan belahan nabastala yang lain dikemuli mendung, pasukan yang bertempur makin menggila. Satu demi satu korban berjatuhan. Seorang prajurit terjerembab karena tombak telah merobek pahanya, disusul kemudian oleh prajurit yang lain ambruk tanpa kepala. Ternyata prajurit itu tidak sadar, sebilah pedang yang amat tajam menyambar lehernya dari arah belakang.
Perlahan tapi pasti, pasukan yang mati-matian berusaha melindungi istana mengalami kesulitan. Tekanan yang diberikan pasukan dengan gelar Cakrabyuha itu benar-benar merepotkan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang terpisah menjadi dua. Seandainya kedua pasukan itu bisa digabung menjadi satu, tekanan itu akan bisa dimentahkan.
"Menyatu, cepat bergabung menjadi satu!" teriak Gajahmada.
"Wahai pasukan Jalayuda," dari belakang Ra Kuti balas berteriak,
"kini tiba saatnya untuk menggulingkan Jayanegara yang tidak tahu diri itu. Jangan beri kesempatan musuh berlindung di balik dinding istana.
Majuuuu!" Pasukan Jalayuda yang bertempur bagai orang mabuk kembang kecubung segera bergerak maju memberikan tekanan yang lebih kuat lagi. Mereka tak peduli lagi perintah itu berasal dari siapa. Mereka tidak berpikir perintah itu tidak berasal dari Temenggung Panji Watang.
Teriakan Rakrian Kuti disusul dengan suara sangkakala sehingga menjadi perintah yang mereka kerjakan dengan membabi buta.
Ra Kuti merasa sangat senang karena pasukan Jalayuda benar-benar telah berada dalam genggaman tangannya.
"Mundur ke Purawaktra!" perintah Gajahmada.
Gajahmada 153 Bekel Gajahmada tak ingin pintu gerbang pecah karena tekanan yang luar biasa. Itu sebabnya, Gajahmada segera meloncat, tidak sekadar memberi perintah, tetapi juga memberi contoh apa yang harus dilakukan.
Bekel Gajahmada berusaha keras membawa pasukannya mendekat pintu gerbang.
Ada dua hal yang menjadi pertimbangan Bekel Gajahmada, pertama pintu gerbang itu harus dipertahankan mati-matian. Kedua, pintu gerbang itu pula jalan yang harus digunakan jika pasukan yang berpihak kepada istana itu tak mampu lagi menahan gempuran.
Dari atas dinding regol, pasukan Bhayangkara merentang gendewa.
Akan tetapi, dalam keadaan perang seperti itu sangat sulit bagi Bhayangkara untuk membidik karena lawan dan kawan terus bergerak, membaur menjadi satu dalam perang yang makin mengarah ke perang brubuh. Bisa saja hujan anak panah diarahkan ke pusat putaran Cakrabyuha, tetapi cara itu kurang membuahkan hasil karena semua prajurit melindungi diri dengan tameng. Di sisi lain jumlah anak panah yang mereka miliki terbatas. Anak panah tidak bisa dihambur-hamburkan begitu saja.
Korban makin berjatuhan. Korban makin bergelimpangan.
Seiring dengan waktu yang terus bergerak, Gajahmada akhirnya telah sampai pada sebuah simpulan, tidak mungkin bagi pasukan yang berpihak pada istana itu keluar sebagai pemenang. Pasukan Jalayuda dalam gelar perang Cakrabyuha mampu memberikan tekanan yang luar biasa berat.
Gajahmada harus mengambil sebuah keputusan. Seperti makan buah simalakama, keputusan itu tak ubahnya mengorbankan ayah untuk menyelamatkan ibu atau sebaliknya. Bekel Gajahmada dihadapkan pada pilihan sulit menyelamatkan pasukan yang bertempur bersamanya dan dengan terpaksa tidak bisa menyelamatkan pasukan lainnya yang bertempur terpisah di sebelah selatan yang juga sama-sama mendapatkan tekanan kuat dari putaran gerigi gelar perang Cakrabyuha.
"Buka Purawaktra!" teriak Gajahmada. "Buka pintu gerbang!"
154 Gajahmada Teriakan Gajahmada ditangkap oleh prajurit Bhayangkara yang berada di atas dinding. Dengan bergegas prajurit itu berloncatan turun dan membuka selarak pintu regol yang amat besar dan terbuat dari besi.
Pintu regol terbuka. "Pasukan, masuk ke dalam istana!" teriak Bekel Gajahmada.
"Lindungi yang lain. Ayo cepat!"
Pasukan gabungan Jalapati dan Jala Rananggana yang mendapat tekanan luar biasa itu segera masuk ke dalam gerbang Purawaktra.
Beberapa prajurit yang lain berloncatan memberikan perlindungan. Para Bhayangkara yang berada di atas dinding segera membantu dengan melepas anak panah, menghujani pasukan Jalayuda.
"Jangan biarkan mereka masuk!" teriak Ra Kuti. "Gempuuur!"
Pasukan Jalayuda berusaha menerjemahkan perintah itu. Namun, gerak langkah mereka agak terhambat oleh hujan anak panah yang sangat mengganggu. Penyelamatan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Dengan berdesak pasukan Jalapati dan Jala Rananggana berebut masuk. Dengan sekuat tenaga pasukan di pihak pemberontak berusaha memberikan tekanan. Dengan sekuat tenaga pula pasukan Bhayangkara yang berada di atas dinding berusaha menghambat tekanan Ra Kuti dengan hujan anak panah. Jika regol yang terbuka tidak bisa ditutup lagi sama halnya dengan mengundang bahaya.
Hujan anak panah tidak begitu dipedulikan karena pasukan Jalayuda menggunakan tameng untuk melindungi diri. Mereka terus menekan.
Melihat pintu regol telah terbuka dan melihat gabungan prajurit Jalapati-Jala Rananggana berusaha masuk ke dalam istana, mendorong Ra Kuti memberikan tekanan lebih keras. Di sisi lain, Gajahmada pun memberikan perintah untuk melawan mati-matian agar penyelamatan itu bisa berjalan lancar.
Bekel Gajahmada yang masih berada di luar dinding istana memberi isyarat kepada Bhayangkara di atas dinding untuk memberikan hujan anak panah lebih banyak lagi.
Gajahmada 155 Laksana air yang mengalir, pasukan yang berusaha keras melindungi istana itu masuk ke dalam lingkungan Tatag Rambat Bale Manguntur yang dikelilingi oleh dinding yang tinggi. Dengan saling melindungi dan dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi, prajurit Jalapati yang menggabungkan diri dengan prajurit Jala Rananggana berangsur-angsur masuk ke dalam istana yang memberi ruang dan kelegaan lebih lapang.
Bahaya justru terjadi ketika jumlah prajurit yang berada di luar menyusut.
"Cegah mereka menutup regol!" teriak Ra Kuti. "Serbuuu!"
Dengan bersorak-sorai dan mengabaikan hujan anak panah, pasukan Jalayuda memberikan tekanan lebih kuat lagi. Bekel Gajahmada yang masih berada di luar bersama belasan orang yang tersisa berusaha memberikan perlawanan mati-matian.
"Aku harus selalu waspada," bisik Bekel Gajahmada pada diri sendiri.
Gempuran yang dilakukan Ra Kuti makin menggila dan merajalela.
Impitan yang dirasakan pasukan Jalapati dan Jala Rananggana nyaris membuat napas menjadi amat sesak. Gabungan pasukan yang sudah tidak berbentuk itu bersusah payah bergerak menuju Purawaktra yang terbuka. Bahwa Purawaktra merupakan pintu gerbang yang tidak seberapa luas dengan daun pintu menjulang tinggi, menjadi tempat yang sangat sempit menampung pasukan yang berjejal-jejal berusaha memasukinya.
Lagi-lagi Gajahmada dihadapkan pada pilihan yang sangat berat dan tidak memberikan kesempatan padanya untuk mengambil pilihan lain. Jika pintu regol itu tidak segera ditutup maka banjir bandang pasukan pihak pemberontak akan menyerbu istana bagai air bah yang mengamuk di musim hujan.
"Tutup pintu regol!" teriak Bekel Gajahmada.
Para prajurit yang masih berada di luar pintu regol itu kaget karena jika pintu ditutup, tak ada kemungkinan bagi mereka untuk menyelamatkan diri. Melihat bahaya yang datang dan kemungkinan pasukan musuh akan menerobos masuk, Bhayangkara berusaha keras 156
Gajahmada untuk menutup pintu utama itu. Dan, menutup regol itu ternyata bukan pekerjaan yang gampang karena ada tekanan yang kuat dari luar. Justru tekanan itu berasal dari sisa prajurit yang terjebak di luar.
Dengan amat bersusah payah pintu regol tertutup.
Malang bagi para prajurit yang terjebak di luar karena tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Bekel Gajahmada yang termasuk salah seorang dari mereka yang tertinggal segera mengamuk sejadi-jadinya.
Seorang demi seorang dari sekitar belasan orang itu berjatuhan. Bekel Gajahmada hanya bisa menahan pedih di dalam dadanya menyaksikan keadaan itu. Namun, Bekel Gajahmada bukanlah jenis prajurit pengecut yang akan tinggal glanggang colong playu melarikan diri dari mereka.
"Bantai mereka semua," teriak Ra Kuti, "tetapi aku inginkan Gajahmada itu hidup-hidup. Aku sendiri yang akan membunuhnya."
Bekel Gajahmada prajurit pilihan. Secara pribadi Bekel Gajahmada memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni. Itu sebabnya, tidak gampang bagi prajurit pemberontak untuk meringkusnya hidup-hidup.
Malah siapa pun prajurit musuh yang berani mendekatinya akan mati disambar tombak bergagang pendek yang ada di tangannya.
Satu demi satu prajurit di pihak istana yang terjebak itu ambruk diterjang pedang atau trisula. Jumlah yang tersisa dalam hitungan belasan orang di luar dinding Purawaktra yang menghadap ke arah barat itu dengan sangat cepat berkurang. Seorang demi seorang harus menggeliat meregang nyawa. Dengan tidak menyisakan belas kasihan, pasukan Jalayuda menghujaninya bukan hanya dengan anak panah, tetapi juga ayunan tombak dan pedang.
Orang terakhir yang terjebak di luar dinding itu ambruk, tubuhnya menggeliat.
"Tangkap Gajahmada itu hidup-hidup!" berterak Ra Kuti di kejauhan.
Namun, tidak mudah menangkap Bekel Gajahmada. Gajahmada yang akhirnya merasa tersisa dan sendiri harus menggunakan lambaran Gajahmada 157
kemampuan olah kanuragan yang dimilikinya. Dengan gesit Bekel Gajahmada segera menjejak tanah, tubuhnya berloncatan lincah memanjat dinding dikejar pula oleh hujan anak panah.
Ra Kuti dan para Rakrian Winehsuka yang lain berdesir melihat kegesitan yang luar biasa itu. Pesona yang ditinggalkan Bekel Gajahmada membungkam mulut mereka. Beberapa orang senopati yang merasa pilih tanding terbelalak karena secara pribadi mereka tidak memiliki kelincahan gerak seperti itu.
"Harusnya ia tidak berpangkat bekel!" seseorang berbicara pada diri sendiri. "Kemampuan semacam itu hanya pantas dimiliki seorang senopati."
Bekel Gajahmada yang telah berdiri di atas dinding istana yang menjulang segera menebarkan pandangan matanya ke arah selatan, di sana pasukan gabungan antara Jalapati dan Jala Rananggana yang terpisah menjadi kebingungan. Gajahmada segera menyambar klebet berlambang Bhayangkara yang dipegang anak buahnya. Bekel Gajahmada menggerakkan klebet itu mengayun-ayun ke kiri dan ke kanan serta sesekali dikibaskan menyilang ke kiri dan kanan, sebuah isyarat yang harus dibaca oleh mereka. Melalui klebet itu Gajahmada memberi isyarat kepada mereka untuk mengundurkan diri. Membaca perintah itu, pasukan yang terpisah itu berhamburan melarikan diri mundur dari medan perang.
"Keparat!" umpat Ra Kuti melihat musuhnya berhasil berlindung di balik dinding.
Ra Kuti sangat jengkel. Sebuah kesempatan yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik telah lepas. Para prajurit yang berada di pihak istana telah lenyap di balik dinding. Di atas dinding, Bhayangkara yang sangat menjengkelkan siap menghujani pasukannya dengan panah.
Pertempuran berhenti dengan sendirinya. Segenap prajurit Jalayuda kehilangan musuh yang lenyap di balik pintu gerbang Purawaktra yang menutup. Di antara para prajurit Jalayuda ada yang mengumpat dan mengumbar serapah untuk melepaskan impitan yang menyesakkan dada.
158 Gajahmada Namun, ada pula di antara mereka yang kemudian baru merasa nyeri karena luka-luka.
Bahkan, rasa sakit yang semula diabaikan mulai terasa mengganggu dan tidak tertahankan lagi. Beberapa prajurit Jalayuda ambruk menahan nyeri. Namun, di antara para prajurit itu ada pula yang masih bisa berpikir, merasa ada sesuatu yang janggal pada pertempuran itu.
"Mengapa Ra Kuti memimpin kita?" prajurit itu bertanya-tanya.
"Kenapa kita dipimpin dan memperoleh perintah dari orang itu?"
Ra Kuti yang merasa perjalanan yang ditempuhnya baru sampai di tengah perjalanan merasa perlu pertempuran itu dilanjutkan kembali.
Menjebol regol adalah sasaran berikutnya. Dengan demikian, upaya untuk menjungkalkan Sri Jayanegara akan menjadi kenyataan.
Dalam perang yang terjadi, dengan mudah Ra Kuti memberi perintah. Tidak sadar apa yang terjadi pasukan Jalayuda mau melaksanakan perintah itu karena dalam perang yang melibatkan pasukan segelar sepapan harus ada yang mengendalikan. Namun, kini setelah sebagian prajurit mendapat kesempatan berpikir, mereka dililit rasa tidak pada tempatnya, mengapa Ra Kuti memberikan perintah kepada mereka.
Apa hak Ra Kuti memberi perintah kepada mereka.
Ra Kuti bukannya tidak menyadari hal itu. Melihat para prajurit menatapnya dengan aneh, Ra Kuti agak kebingungan. Namun, Rakrian Kuti tak kehilangan akal. Rakrian Kuti yang mempunyai kemampuan memengaruhi orang lain dan berbakat menjungkirbalikkan keadaan mencoba menggunakan bakatnya itu. Tanpa banyak bicara, Ra Kuti berjalan menyibak prajurit Jalayuda yang memandanginya dengan tatapan aneh. Para Rakrian Winehsuka yang melihat perkembangan tak terduga itu bergegas mengikuti.
Ternyata sosok mayat Temenggung Panji Watang yang dituju Ra Kuti. Pimpinan Winehsuka itu berjongkok di depan jasad yang tidak bernapas lagi itu. Ra Kuti termangu beberapa saat lamanya. Tidak ada yang memerintahkan, para prajurit berdatangan. Para senopati pemimpin kelompok-kelompok kecil dari pasukan Jalayuda itu mengelilingi pimpinannya yang telah tidak bernapas, menjadi mayat beku.
Gajahmada 159 Dengan tangan kanannya Ra Kuti menutup mata mayat Panji Watang yang melotot. Ra Kuti segera mengubah suaranya menjadi serak, seolah dirinyalah yang paling berduka dengan kematian Panji Watang itu.
"Perubahan yang diinginkan selalu meminta korban," berkata Ra Kuti. "Aku mengenal dengan baik siapa dan orang macam apa Kakang Temenggung Panji Watang. Kami banyak berbicara dan bertukar pikiran.
Aku sering pula berbeda pendapat dengannya. Namun, beda pendapat itu tak menyebabkan kami berselisih jalan. Sayang, anak panah telah melukai tubuhnya. Anak panah sangat beracun yang kita tahu hanya pasukan Bhayangkara yang memakai."
Ra Kuti berdebar-debar, tidak yakin apakah akan bisa memengaruhi segenap senopati yang memimpin kelompok-kelompok kecil dalam pasukan Jalayuda supaya tetap bisa dimanfaatkan untuk menggempur istana, dijadikan landasan kakinya dalam menggapai hasrat keinginannya duduk jigang di atas dampar kencana Wilwatikta.
"Temenggung Panji Watang tiada," Rakrian Kuti berkata dengan nada suaranya yang makin serak dan bergetar. "Sekarang apakah yang akan kita lakukan?"
Pertanyaan yang kelihatannya sederhana itu ternyata membuat para senopati pasukan Jalayuda kebingungan. Mereka bingung karena tidak punya jawaban yang bisa diyakini atau dijadikan pegangan sekaligus menjadi arah yang jelas apa yang akan dilakukan setelah pimpinan mereka tiada. Semula para senopati dan segenap prajurit memang telah sepakat satu kata satu hati untuk menghantam istana dan menurunkan Jayanegara dengan paksa dari singgasana yang didudukinya. Jika upaya itu berhasil, Temenggung Panji Watang akan menggantikan Jayanegara menjadi orang utama di Majapahit.
Namun, Temenggung Panji Watang telah pralaya. Jadi, apa yang harus dilakukan" Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.
"Tidak peduli siapa pun yang memimpin," lanjut Ra Kuti.
"Keinginan serta cita-cita mulia Rakrian Temenggung Panji Watang untuk menggulingkan Sri Jayanegara yang keblinger dan tidak tahu diri itu harus ada yang melanjutkan sampai benar-benar menjadi kenyataan."
160 Gajahmada Para senopati dan prajurit yang mengelilingi mayat Rakrian Panji Watang saling pandang satu dengan lainnya. Ucapan Ra Kuti yang mengalir tenang itu menyihir mereka.
"Atau apakah kita akhiri petualangan ini hanya cukup sampai di sini saja?" Ra Kuti menekan. "Jika hanya sampai di sini dan Jayanegara tidak digulingkan, Jayanegara yang pendendam itu akan melakukan pembersihan habis-habisan. Seorang demi seorang dari kita semua akan dibabat habis. Lari dan bersembunyi pun akan dikejar. Selanjutnya, Jayanegara akan menghapus keberadaan pasukan Jalayuda yang disegani kawan ditakuti lawan hingga tidak ada jejak bekasnya sama sekali."
Rupanya mulai terbuka mata segenap senopati dan sebagian prajurit yang berkumpul itu bahwa apa yang terjadi tak mungkin disudahi hanya sampai di situ. Perang memang harus dilanjutkan sampai tuntas, sampai Jayanegara benar-benar berhasil diringkus.
"Bagaimana?" tanya Ra Kuti. "Kalian sepakat?"
Seorang senopati tampil mewakili teman-temannya.
"Tak ada pilihan lain, perang memang harus dilanjutkan sampai diperoleh keyakinan Jayanegara terguling."
Para senopati lainnya sependapat, terlihat dari mereka yang manggut-manggut membenarkan. Ra Kuti merasa tiba saatnya untuk menggiring mereka.
"Seperti yang aku bilang," berkata Ra Kuti, "tidak menjadi soal siapa yang akan memimpin perang ini. Tadi aku lancang mengambil alih kepemimpinan karena aku melihat Temenggung Panji Watang dibunuh dengan cara sangat licik. Kini aku kembalikan kepada kalian, siapa yang bakal memimpin, menjadi pucuk pimpinan pasukan Jalayuda, membedah pintu gerbang yang tebal dan kukuh itu. Siapa pun yang akan mengendalikan perang akan kudukung sepenuh hati. Segenap Dharmaputra Winehsuka juga akan mendukung."
Tak ada seorang pun senopati dalam pasukan Jalayuda itu yang berani menampilkan diri mengambil kendali.
Gajahmada 161 "Bagaimana kalau kau saja?" seorang senopati tiba-tiba menyampaikan pendapatnya.
Ra Kuti memang telah menduga akan seperti itu. Namun, Rakrian Kuti kaget. Atau, tepatnya pura-pura kaget. Senopati yang baru saja melontarkan usulannya itu memandang teman-temannya. Senopati itu lega karena temannya sependapat dengan gagasan itu.
"Jangan aku," jawab Ra Kuti. "Aku tidak keberatan untuk tampil mengendalikan pasukan, tetapi apakah para prajurit Jalayuda akan mau menerima kehadiranku sebagai pimpinan yang mengendalikan pertempuran?"
"Tak soal," jawab senopati yang mengusulkan Ra Kuti, "kami akan menempatkan diri di bawah perintahmu sampai upaya itu benar-benar membuahkan hasil."
Ra Kuti tidak tersenyum meskipun dalam hati pimpinan Winehsuka itu tersenyum. Ra Kuti bangkit dan memandang regol istana seolah mengukur seberapa tebalnya. Di nabastala mendung yang tebal makin merata di segala penjuru. Mendung tebal dan suasana yang suram itu seolah menjadi gambaran apa yang terjadi. Majapahit sedang berwajah suram, dibalut duka dan sakit.
"Aku akan penuhi keinginan kalian," berkata Rakrian Kuti. "Tetapi sebaiknya berundinglah lebih dulu. Hanya itu permintaanku."
Para senopati pasukan Jalayuda yang masih lengkap itu kemudian berunding antara satu dengan lainnya. Di antara mereka terlihat pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Apa yang sedang mereka bicarakan Ra Kuti tidak mendengar atau tidak ada gunanya mencuri dengar. Ra Kuti sudah mempunyai gambaran apa yang sedang mereka bicarakan. Para senopati pasukan Jalayuda memang tak punya pilihan lain kecuali perang harus diselesaikan sampai tuntas. Untuk itu, harus ada yang menjadi pemimpin mengendalikan gerak pasukan.
Dalam hal itu Rakrian Kuti telah menunjukkan keberhasilannya dengan memorak-porandakan gabungan pasukan Jalapati dan Jala 162
Gajahmada
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rananggana. Jelas Ra Kuti mempunyai pandangan yang tajam dalam menghitung berbagai kemungkinan di medan pertempuran.
Dengan wajah ditekuk Ra Kuti berdiri. Ra Tanca dan Ra Yuyu mendekat. Disusul kemudian oleh Ra Banyak, Ra Wedeng, dan Ra Pangsa.
"Mereka orang-orang bodoh," bisik Ra Kuti. "Tubuh mereka sangat kekar. Otak mereka amat kecil."
Ra Wedeng tersenyum mendengar kata-kata yang menurutnya sangat lucu itu. Winehsuka lainnya juga tersenyum. Hanya wajah Ra Tanca yang tetap datar tidak menyiratkan isi perasaannya. Ra Tanca menengadah memandang langit memerhatikan mendung tebal. Namun, dalam keadaan seperti itu Ra Tanca masih sempat membayangkan sebuah wajah melalui lamunannya di tengah peperangan itu. Wajah yang amat cantik jelita yang selama ini mengganggu tidurnya, membuatnya tidak nyaman melakukan apa saja.
"Bagaimana?" tanya Ra Kuti pada Senopati Jalayuda yang mewakili teman-temannya.
"Kami telah mengambil sikap," ucap senopati itu. "Kami akan menempatkan diri di belakangmu."
Ra Kuti memamerkan wajah bijak. Jika wajahnya yang bijak itu dikelupas, akan muncul wajahnya yang lain, rupa serigala. Wajah kelobot memang menyembunyikan wajah kelobot lainnya.
"Baiklah," berkata Ra Kuti tegas, "jika demikian, perintahku yang pertama, tebang pohon kelapa. Dengan gelondongan pohon kelapa itu kita jebol dinding istana. Sekuat apa pun dinding yang terbuat dari bata itu tentu jebol dihantam pohon kelapa yang didorong di atas pedati atau dipikul beramai-ramai. Jangan hanya satu, kalau perlu empat atau lima."
Para Senopati Jalayuda menerima perintah itu tanpa menyisakan perasaan lain. Di bawah Ra Kuti mereka berharap bisa menjungkirbalikkan keadaan. Jika Jayanegara terguling, mereka akan bisa berbuat apa saja. Yang berpangkat senopati bisa dengan mudah
Gajahmada 163 dan semaunya menaikkan pangkat itu menjadi Temenggung, prajurit menjadi bekel, dan bekel menjadi senopati. Atau, kalau mau prajurit langsung naik pangkat menjadi Temenggung. Prajurit yang asal usulnya perampok yang dibina sejenak boleh kembali ke perangai aslinya.
22 Dalam pada itu di balik dinding istana, dari atas dinding Bekel Gajahmada menebar pandang. Bekel Gajahmada dengan cermat menghitung keadaan dan berbagai kemungkinan.
"Menghadapi keadaan yang seperti ini," Bekel Gajahmada berpikir,
"apa yang akan dilakukan Ra Kuti" Tindakan apa yang akan dilakukannya" Seandainya aku adalah Ra Kuti, apa yang aku lakukan?"
Pandangan Gajahmada menjelajahi setiap sudut dengan mata tajam seperti mata elang. Sebagaimana di depan Purawaktra, pintu gerbang istana raja yang menghadap ke arah barat, di belakangnya atau menempati separuh dari wilayah istana juga berupa hamparan alun-alun.
Berdampingan dengan sepanjang dinding yang mengelilingi istana terdapat parit memanjang yang akan menghambat gerakan Ra Kuti seandainya mereka berhasil memasuki wilayah istana dengan memanjat dinding. Jika hal itu terjadi, mereka akan menjadi sasaran empuk para Bhayangkara yang melakukan baris pendhem di balik semak.
"Istana tidak bisa dipertahankan lagi. Bahkan, jika Ra Kuti tidak melakukan apa-apa, cukup dengan mengepung rapat benteng ini beberapa hari saja, mereka yang berada di dalam istana akan kelimpungan. Kalau bahan makanan habis, terpaksa bendera berwarna putih dikibarkan," berkata Bekel Gajahmada dalam hati.
164 Gajahmada Persoalan yang menghadang Gajahmada adalah dengan cara bagaimana ia akan menyelamatkan Jayanegara.
"Itu bukan persoalan," berkata Gajahmada dalam hati. "Ra Kuti tidak mungkin mampu melacak jejakku membawa Tuanku Jayanegara.
Masalahnya setelah Sri Baginda meloloskan diri, bagaiman sikap Ra Kuti terhadap pasukan yang masih tertahan di dalam. Apa akan ditumpas habis?"
Bekel Gajahmada berhitung dengan cermat. Gajahmada melihat pasukan Jalayuda yang berada di luar dinding belum melakukan persiapan-persiapan penting untuk melanjutkan kembali gempuran ke istana. Gajahmada merasa sedih karena dari tempatnya terlihat Ra Kuti sama sekali tak peduli pada mereka yang menjadi korban dalam pertempuran itu. Mereka yang luka parah maupun yang terbunuh dibiarkan begitu saja.
Gajahmada kembali menebarkan tatapan matanya ke dalam lingkungan istana. Prajurit Jalapati dan Jala Rananggana terlihat kelelahan.
Gajahmada tak tahu, apakah mereka masih mampu bertempur jika Ra Kuti menyerbu berusaha menjebol dinding.
Di dalam dinding Bale Manguntur, para prajurit dari kesatuan Jalapati dan Jala Rananggana yang kelelahan duduk bertebaran di mana-mana. Mereka yang terluka mendapatkan perawatan. Para abdi dan beberapa lelaki menyiapkan minuman dan makanan sekadarnya.
Namun, suasana yang muram tak tercegah melingkupi semuanya, wajah-wajah yang suram dan duka yang mendalam. Sebagian dari para prajurit saling menanyakan siapa saja yang telah menjadi korban dalam perang yang berkecamuk itu. Seorang prajurit yang merasa kehilangan sahabat karibnya terbunuh dalam perang brubuh, merasa terpukul dan kecewa sekali. Prajurit itu berusaha menahan diri untuk tidak menangis, tetapi air matanya tetap saja keluar. Ia tidak hanya menangisi sahabat karibnya yang tewas dalam pertempuran itu, tetapi juga menangisi pedih luka lengannya yang putus oleh sambaran pedang.
"Kakang Bekel," terdengar suara menyapa pelan.
Gajahmada 165 Gajahmada menoleh. Riung Samudra dan Panji Saprang, keduanya prajurit Bhayangkara yang dipercaya Bekel Gajahmada, mendekat.
"Bagaimana?" balas Gajahmada datar.
"Maafkan aku, Kakang Bekel," berbicara Riung Samudra. "Apakah kita akan dapat mempertahankan istana?"
Pertanyaan semacam itu rupanya menghantui para Bhayangkara.
Semua bertanya-tanya sebagaimana Bekel Gajahmada juga bertanya dalam hati, apakah mungkin istana dipertahankan lagi. Segenap prajurit Jalapati dan Jala Rananggana yang berhasil masuk ke dinding istana berada dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mempertahankan istana.
"Bagaimana menurutmu?" Gajahmada justru balik bertanya.
Riung Samudra dan Panji Saprang saling berpandangan.
"Rasanya tidak mungkin!" jawab Panji Saprang.
"Kenapa tidak mungkin?" desak Gajahmada.
"Baru saja aku dan Riung Samudra bertukar pikiran," Saprang menjawab. "Pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang mendukung istana telah kehilangan kekuatan dan semangat tempurnya. Tidak ada cadangan pasukan lagi untuk menghadapi para pemberontak itu.
Terakhir, kami bertanya dalam hati, apa yang akan dilakukan Ra Kuti jika ingin memenangkan perang. Kami mencoba membayangkan dan berpikir menggunakan caranya, apa kira-kira tindakan musuh?"
Gajahmada mengenal Panji Saprang dan Riung Samudra yang memiliki kecerdasan. Perhitungan-perhitungan mereka sering tidak meleset dari kenyataan. Dengan tidak berkedip Bekel Gajahmada memandang keduanya.
"Jika kau menjadi Ra Kuti, apa yang akan kaulakukan?" desak Bekel Gajahmada.
"Ada banyak kemungkinan," jawab Riung Samudra, "mereka tentu 166
Gajahmada akan berupaya keras menjebol dinding atau memecahkan regol. Upaya itu akan sulit dilaksanakan jika para Bhayangkara yang menjaga dinding memiliki anak panah yang cukup. Pada kenyataannya jumlah anak panah yang ada tidak mencukupi kebutuhan. Di pihak Ra Kuti, ada banyak cara yang bisa diambil. Mereka mungkin menggunakan gelondongan kayu atau batang kelapa yang dipikul beramai-ramai untuk menghantam dinding yang terbuat dari bata ini. Selanjutnya, ada kemungkinan lain yang lebih mencemaskan."
Gajahmada memandang kedua bawahannya dengan tatapan tajam.
"Kemungkinan mencemaskan yang bagaimana?" desaknya.
Riung Samudra menghela desah napas gelisah.
"Apa yang bisa Kakang Bekel lakukan jika Ra Kuti menghujani istana dengan anak panah berapi?"
Berdesir dada Gajahmada. Apa yang diutarakan kedua Bhayangkara bawahannya itu benar-benar luput dari perhatian. Semula Gajahmada memperhitungkan kemungkinan musuh akan berupaya menjebol dinding dengan menggunakan gelondongan kayu. Kalau benar apa yang disampaikan Panji Saprang dan Riung Samudra, Ra Kuti menghujani istana dengan anak panah berapi, memang tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghadapi hal itu. Apabila istana sampai terbakar maka penghuni istana akan berhamburan keluar.
Gelisah Bekel Gajahmada. "Apakah Ra Kuti akan menggunakan cara itu?" Gajahmada bertanya datar.
Panji Saprang dan Riung Samudra saling pandang.
"Kemungkinan seperti yang kami utarakan itu," Saprang berkata,
"berasal dari sebuah pertanyaan, apakah yang akan kulakukan andai aku adalah Rakrian Kuti. Kita semua tidak tahu apakah Ra Kuti akan menggunakan cara itu atau tidak."
Gajahmada manggut-manggut. Memang benar. Ada banyak kemungkinan dan cara yang bisa dipilih Ra Kuti. Jika Ra Kuti kehilangan Gajahmada 167
akal waras, boleh jadi Ra Kuti akan menghujani istana dengan anak panah berapi. Dengan demikian, akan habislah nasib bangunan istana yang dibangun dengan susah payah oleh Raden Wijaya atau Kertarajasa Jayawardhana.
"Marilah kita menebak," berkata Gajahmada, "apakah Winehsuka gila itu akan menggunakan cara itu atau tidak?"
Bekel Gajahmada menatap Saprang dengan tak berkedip.
"Kurasa Ra Kuti atau para Winehsuka yang lain pasti sempat berpikir tentang gagasan itu. Menghujani musuh yang terkurung dalam sebuah bangunan dengan anak panah berapi bukan gagasan baru. Di dalam pendadaran prajurit, siasat semacam itu selalu dibicarakan."
Tambah gelisah Gajahmada.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Gajahmada tertuju pada Riung Samudra.
"Aku cenderung meyakini kemungkinan itu, Kakang Bekel," jawab Riung Samudra.
Gajahmada sependapat. Menghujani bangunan yang digunakan berlindung dengan menggunakan anak panah berapi bukanlah siasat baru, bahkan prajurit dengan pangkat paling rendah sekalipun tentu berpikir kemungkinan itu karena pada saat pendadaran mereka telah dibekali berbagai wawasan dan siasat dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang ditemukan di medan perang. Cara itu tentu tidak terlupakan oleh Ra Kuti. Masalahnya Ra Kuti akan menggunakan atau tidak" Andai saja ada sebuah kepastian yang diperoleh dari telik sandi.
Bekel Gajahmada terpaksa berpikir keras.
Namun, tiba-tiba terdengar suara berdesing. Gajahmada segera memerhatikan dari mana suara berdesing itu berasal. Sebuah anak panah sanderan melesat membubung ke udara, berasal dari tempat Ra Kuti berada. Anak panah itu jatuh tidak jauh dari Bekel Gajahmada yang segera memberi isyarat kepada seseorang untuk mengambil.
168 Gajahmada Pada anak panah itu ada rontal yang terikat tali.
Dengan tidak sabar lagi Gajahmada segera membuka rontal itu, yang ternyata memang surat dari Ra Kuti.
"Putaran cakramanggilingan terus bergulir," tertulis di dalam rontal itu, "kini sudah waktunya cerita tentang Jayanegara berakhir. Jika dilanjutkan akan menjadi kisah yang memuakkan dan membuat perut menjadi mulas. Aku, Rakrian Kuti, meminta semua yang ada di balik dinding untuk menyerah. Para prajurit akan kuampuni karena hanya Jayanegara dan Bekel Gajahmada yang paling kuanggap bersalah.
Gajahmada dan Jayanegara harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan diadili dan dijatuhi hukuman mati. Kalau perintah ini tidak dilaksanakan, istana akan terbakar dan hanya menyisakan arang membara."
Tidak terjadi perubahan pada raut wajah Bekel Gajahmada setelah membaca surat yang dikirim melalui anak panah itu. Bekel Gajahmada hanya tersenyum. Surat itu diberikan pada Saprang dan Riung Samudra yang berebut membacanya. Justru Panji Saprang dan Riung Samudra yang tidak bisa menahan amarah. Wajah kedua Bhayangkara itu merah padam dan menebal.
"Sombong sekali orang itu," desis Panji Saprang. "Kalau saja dia ada di sini, akan kusumpalkan gagang pedangku ini ke mulutnya. Akan kubenamkan hingga tembus ke pantatnya."
"Bagaimana Kakang Bekel?" bertanya Riung. "Akan kita balas atau tidak surat itu?"
Bekel Gajahmada terdiam. Surat ancaman yang dikirim menggunakan anak panah itu benar-benar harus menjadi pertimbangannya karena dalam penutupnya Ra Kuti menyebut istana akan terbakar dan menyisakan karangabang.
"Apa yang baru saja kalian sampaikan ternyata benar. Ra Kuti akan membakar istana dengan menggunakan anak panah. Membakar sarangnya agar semut-semutnya berhamburan!" berkata Gajahmada.
Gajahmada 169 Riung Samudra dan Panji Saprang saling pandang. Bekel Gajahmada termangu berpikir keras. Tiba-tiba wajah Bekel Gajahmada berubah oleh sebuah gagasan yang muncul dalam benaknya.
"Panji Saprang," berkata Gajahmada.
Panji Saprang mendekat. "Di antara prajurit Bhayangkara, kau memiliki kemampuan bidik paling sempurna. Nah, kaulihat itu, bisakah kau mengukur jarak sasaranmu?" lanjut Gajahmada.
Panji Saprang memandang ke arah yang dimaksud Bekel Gajahmada. Pada arah yang ditunjuk memang terlihat Ra Kuti yang dikelilingi para Winehsuka yang lain serta beberapa Senopati Jalayuda.
Panji Saprang menengadah dan memerhatikan gerak angin. Sesaat kemudian ia kembali tersenyum.
"Bagaimana?" desak Bekel Gajahmada.
"Akan kucoba," jawab Panji Saprang tegas, "setidak-tidaknya aku pasti bisa melesakkan panahku menembus tubuh salah seorang dari mereka."
Bekel Gajahmada merasa puas dengan jawaban itu. Tidak perlu menunggu lagi, Bekel Gajahmada membalik rontal surat Ra Kuti.
Gajahmada termangu sejenak. Dengan tanpa ragu Gajahmada kemudian menggigit ujung jarinya hingga berdarah. Dengan darah itu Gajahmada menulis surat balasan. Surat itu kemudian diserahkan kepada Panji Saprang yang kemudian segera mengikatnya ke bedor anak panah yang akan membawanya ke alamat yang dituju.
Panji Saprang mengambil satu anak panah lagi. Gajahmada merasa heran.
"Kau membutuhkan dua anak panah?" tanya Gajahmada.
Panji Saprang hanya tersenyum tidak menjawab rasa penasaran itu.
Anak panah pertama segera dipasang pada tali gendewa yang direntang.
Panji Saprang lalu melepas anak panah itu sambil memerhatikan dengan 170
Gajahmada saksama lintasan geraknya. Anak panah itu membubung memanjat udara untuk kemudian jatuh tidak jauh dari tempat di mana Ra Kuti berada.
Seorang prajurit yang tersambar anak panah ambruk seketika.
Di sana terlihat Ra Kuti panik dan mengumpat. Dengan gugup Ra Kuti menyambar sebuah tameng untuk melindungi diri.
"Kenapa kau melakukan itu?" bertanya Gajahmada. "Kau memberi tahu Ra Kuti?"
Panji Saprang tersenyum. Panji Saprang kembali memasang warastra yang diambil dari endong di punggungnya dan memasangnya di gendewa.
"Jarak yang akan ditempuh anak panahku sangat jauh," jawabnya.
"Aku perlu mengukur lintasan dan sudut agar anak panahku benar-benar mampu menggapai Ra Kuti. Ia bersembunyi di balik tameng, kurasa tidak ada gunanya ia melakukan itu."
Gajahmada yang sempat dibuat curiga manggut-manggut.
Panji Saprang kembali merentang gendewa. Kali ini ia telah siap dengan anak panah kedua yang akan membawa surat balasan untuk Ra Kuti. Dari tempatnya berada Saprang bisa melihat sasaran dengan amat jelas. Sebaliknya, Ra Kuti tidak bisa memperkirakan dari mana asal anak panah karena Panji Saprang berada di balik dinding.
Gendewa telah direntang. Panji Saprang memerlukan waktu beberapa saat untuk membidik. Setelah merasa yakin anak panah yang ujungnya beracun itu dilepas. Derak tali gendewa terlepas disusul oleh anak panah yang melesat membubung memanjat udara untuk kemudian menukik.
Bekel Gajahmada dan Riung Samudra mengikuti gerak lintasan anak panah itu dengan saksama. Dengan sangat cepat dan membubung tinggi anak panah itu melesat memanjat udara kemudian meliuk menukik menuju sasaran.
Dada Gajahmada serasa meledak saat melihat anak panah itu mengarah sasaran kemudian benar-benar menjamahnya. Benar apa yang dikatakan Panji Saprang, tidak ada gunanya Ra Kuti melindungi diri Gajahmada 171
dengan tameng karena anak panah itu mampu menjebolnya.
"Gila!" umpat Gajahmada, meletupkan kekagumannya.
Adalah Ra Kuti yang kaget bukan kepalang ketika sebilah panah menyambar dengan deras. Ra Kuti terlambat untuk menghindar, anak panah itu menancap dengan deras menjebol tameng dan menancap di lengannya. Ra Kuti melolong dan mengumpat-umpat kasar.
"Keparat bajingan laknat, pengecut biang bangsat," umpat Rakrian Kuti dengan semua perbendaharaan kata kasar yang dimilikinya.
Ra Kuti menggigil seperti orang kedinginan.
Luka yang diderita ternyata menimbulkan rasa sakit luar biasa.
Rakrian Kuti melolong menahan sakit yang nyaris tidak tertahankan itu.
Nyeri yang dirasakannya serasa akan meretakkan batok kepala memorak-porandakan isinya. Melihat anak panah melukai lengan Ra Kuti, dengan sigap dan cekatan para petualang pemberontak meraih tameng melindungi diri.
Dari balik dinding, Bekel Gajahmada, Riung Samudra, dan Panji Saprang tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan hasil luar biasa itu.
"Keparat iblis!" kembali Ra Kuti mengumpat sambil meringis menahan nyeri. "Kita harus menemukan orang yang melakukan perbuatan gila ini. Aku akan memecah kepalanya dengan palu. Aduh, sakit sekali, keparat!"
Ra Tanca beringsut mendekat untuk memeriksa. Ra Pangsa dan Ra Yuyu melindunginya dari kemungkinan serangan anak panah lagi.
"Lakukan sesuatu!" teriak Ra Kuti. "Cepat!"
Dari pemeriksaan sekilas Ra Tanca tahu anak panah itu beracun.
Rakrian Tanca bertindak cekatan. Dari bungkusannya Ra Tanca mengeluarkan beberapa butir pilis yang kemudian dihancurkannya dan ditaburkan ke sekitar luka. Pilis itu ternyata malah menambah nyeri.
"Gila!" bentak Ra Kuti. "Apa yang kauperbuat?"
172 Gajahmada Tanca tidak suka dibentak seperti itu.
"Anak panah pembawa surat balasan ini direndam racun. Pilih hidup atau pilih mati. Kalau pilih mati maka biarkan saja racun itu bekerja menggerogoti darahmu!" jawab Tanca dengan nada agak ketus.
Ra Kuti pucat pasi. Akhirnya, Ra Kuti pasrah terhadap apa pun yang akan dilakukan Ra Tanca. Dengan hati-hati Ra Tanca mematahkan anak panah itu. Ra Tanca tidak mungkin menariknya karena jika hal itu dilakukannya justru akan merusak jaringan urat dan otot lengan Ra Kuti.
"Tahanlah!" bisik Ra Tanca
Ra Kuti terbelalak, "Apa yang akan kaulakukan?"
"Aku akan mengeluarkan anak panah ini," jawab Ra Tanca.
Ra Kuti memejamkan mata dengan segala ketakutannya. Tanpa keraguan sama sekali Ra Tanca mendorong anak panah itu hingga tembus dan kemudian menariknya sekuat tenaga. Ra Kuti seperti tercekik tidak bisa bernapas. Napasnya sulit disalurkan dari tenggorokannya. Masih dengan wajah dingin, Ra Tanca yang ahli dalam bidang pengobatan itu menaburkan bubuk pilis ke atas luka. Akhirnya setelah sejenak kemudian Ra Kuti mulai bisa menguasai diri.
"Gila!" umpat Ra Kuti. "Gilaaaaaaa!"
"Tahanlah kemarahanmu, Ra Kuti," Ra Tanca berbicara tenang.
"Kemarahanmu justru akan memperkuat daya kerja racun anak panah itu. Aku sedang berusaha menawarkan."
Ra Tanca memerhatikan bekas luka itu dengan lebih saksama dan membaui racun pada darah yang kehitam-hitaman. Ra Tanca kemudian memijat beberapa buah simpul syaraf pada lengan dan leher Ra Kuti.
Selanjutnya memijat pada sekitar luka. Darah berwarna kehitam-hitaman dipaksa keluar dari luka itu. Usahanya berhasil. Darah yang semula berwarna hitam berubah menjadi merah. Dengan masih terbelalak Ra Kuti memerhatikan luka itu.
Gajahmada 173 "Bagimana?" tanya Ra Kuti dengan khawatir.
"Sudah berhasil kukeluarkan racun itu!" jawab Ra Tanca.
Ra Kuti yang marah masih merasa perlu membuang serapah.
"Iblis!" umpatnya sekali lagi. "Bagaimana dengan batang kelapa itu" Gelondongan kelapa itu sudah diperoleh apa belum" Aku ingin regol istana itu dijebol sekarang juga. Kita cari orang kurang ajar yang telah melepas anak panah ini. Akan kubeset wajahnya, akan kuminum darahnya lalu kuremuk kepalanya."
Ra Kuti benar-benar marah. Jika saja ada orang yang mau ditempeleng dengan sukarela maka Ra Kuti akan menghajarnya hingga babak bundas. Ra Tanca memandang gagang anak panah. Pada gagang itu terdapat rontal.
"Tidak kaubaca rontal itu, Ra Kuti?" tanya Tanca dengan suara tenang.
Ra Kuti seperti tersadar dan dengan tangan gemetar berusaha membuka lembaran rontal itu. Hal pertama yang dilihatnya adalah warna merah darah yang digunakan menulis rontal itu.
"Kalau berani kemarilah Ra Kuti," tertulis pada rontal itu, "kebetulan istana memang sedang membutuhkan ganjal dampar, kaulayak menduduki tempat itu. Dari aku, Gajahmada."
Kemarahan yang menggerataki dada Ra Kuti menanjak menggapai puncak. Merah padam wajah pimpinan gerakan makar itu. Sedemikian marah Ra Kuti, tangannya sampai bergetar dan justru karena itu untuk beberapa saat lamanya tidak mampu bicara. Matanya melotot dan tentu akan terlepas jika otot-otot matanya tidak memeganginya dengan kuat.
"Gajahmada," desis Ra Kuti dengan suara bergetar, "akan aku beset wajahmu dengan menggunakan tanganku sendiri."
Dengan tatapan mata tajam dan menahan amarah yang luar biasa Ra Kuti memandang ke arah dinding istana. Seolah dengan kekuatan memancar dari tatapan matanya, Ra Kuti bermaksud menjebol dinding 174
Gajahmada serta memburu ke mana pun Bekel Gajahmada bersembunyi. Penghinaan yang dilakukan pimpinan Bhayangkara itu benar-benar tidak bisa dimaafkan.
"Bagaimana dengan gelondongan pohon kelapa itu?" teriak Ra Kuti. "Sudah siap apa belum?"
Seorang senopati yang bertanggung jawab atas pengadaan gelondongan kelapa untuk menjebol pintu gerbang bergegas mendekat.
"Yang kita butuhkan telah siap Ra Kuti!" jawab senopati itu dengan suara tegas.
Rakrian Kuti yang terpancing kemarahannya oleh penghinaan yang dilakukan Gajahmada segera menyiagakan pasukan dan bersiap kembali menggempur istana. Persiapan-persiapan yang terjadi tidak lepas dari pengamatan Bekel Gajahmada dan para Bhayangkara yang terus berjaga-jaga di balik dinding.
Gajahmada yang melihat persiapan itu segera meloncat turun. Para senopati pasukan Jalapati dan Jala Rananggana mengerumuninya.
"Bagaimana?" bertanya salah seorang dari mereka. "Apa yang harus kita lakukan?"
Bekel Gajahmada termangu sejenak. Bekel Gajahmada merasa agak kesulitan untuk meminta kepada pasukan yang telah berada di dalam istana itu untuk bersiaga kembali. Keadaan mereka benar-benar sangat parah. Namun, Gajahmada tidak punya pilihan lain kecuali harus menyampaikan keadaan yang sesungguhnya bahwa mustahil mempertahankan istana itu.
"Ra Kuti telah menyiagakan pasukannya, juga gelondongan kayu untuk menjebol regol," ucap Bekel Gajahmada.
Para senopati saling pandang.
"Kita memang berada dalam keadaan terjepit," lanjut Gajahmada dengan nada datar. "Ra Kuti yang menguasai wilayah di luar istana bisa berbuat apa pun dengan leluasa. Mereka punya banyak pilihan, antara Gajahmada 175
lain berusaha menjebol regol dan dinding dengan menggunakan gelondongan kayu yang dihantamkan ke regol. Pilihan lain adalah menghujani istana dengan panah berapi. Kalau pilihan kedua itu yang diambil Ra Kuti, kita semua bisa membayangkan apa kira-kira yang bakal terjadi."
Empat orang senopati itu menyimak penjelasan Bekel Gajahmada dengan cermat. Sejenak mereka seperti tersihir dan lupa bahwa prajurit yang baru saja memberi wejangan itu hanya berpangkat bekel.
"Bukankah kita bisa menghambat gerakan mereka dengan hujan anak panah?" bertanya salah seorang dari senopati itu.
"Sayang sekali," Gajahmada menjawab, "jumlah anak panah tidak mencukupi untuk menciptakan hujan."
Suasana menjadi hening di antara mereka. Justru dari alun-alun suara tambur kembali terdengar riuh. Rupanya Ra Kuti menyiagakan kembali pasukannya untuk menyerbu. Gajahmada segera menyiapkan pasukan panah yang siap menghambat laju gerakan mereka.
Namun, Gajahmada harus melihat kenyataan dan bertindak bijak.
Pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang berada dalam keadaan letih luar biasa itu tak mungkin dipaksa bertempur lagi melampaui batas kemampuan mereka. Hanya ada beberapa pilihan yang dihadapinya tanpa memberikan pilihan yang lain. Pilihan itu pun sangat tidak menyenangkan.
"Apa boleh buat," Gajahmada berkata, "rupanya aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mengungsikan Tuanku Jayanegara. Akan tetapi, kelak aku pasti akan kembali untuk memberi pelajaran kepada para Dharmaputra Winehsuka bahwa betapa mahal harga tebusan perbuatan mereka."
Bekel Gajahmada segera mengadakan pembicaraan dengan para senopati pimpinan prajurit Jalapati dan Jala Rananggana. Melalui pembicaraan itu telah diperoleh kesepakatan, Bekel Gajahmada akan berusaha mengungsikan Jayanegara melalui pintu belakang. Para prajurit 176
Gajahmada gabungan Jalapati dan Jala Rananggana diminta untuk menghambat sekadar untuk memberikan waktu yang cukup untuk meloloskan diri.
Para Bhayangkara yang mengintai di atas dinding segera ditarik untuk mengawal Jayanegara dan tugas mereka digantikan oleh para prajurit Jalapati.
Apabila ada yang resah karena pertimbangan-pertimbangan tertentu adalah Bekel Gajahmada. Keterangan yang diperolehnya dari orang yang menyelubungi diri di balik topeng dan tebalnya kabut sangat mengganggu ketenangan hatinya.
"Bagaskara Manjer Kawuryan memberi tahu aku bahwa dalam pasukanku terdapat mata-mata. Jika klilip itu tidak segera kuenyahkan maka ke mana pun aku pergi, Ra Kuti akan terus membayang-bayangi.
Harus aku temukan cara agar telik sandi musuh pengkhianat Bhayangkara itu menampakkan jati dirinya. Siapa sebenarnya pengkhianat di antara kami itu?" pertanyaan itu terus berkecamuk di benaknya.
Masih dengan diganduli berbagai tanda tanya, Gajahmada berlari menuju ke Bale Manguntur dan langsung mengarah ke wisma tempat tinggal raja yang berada di bagian belakang istana setelah melewati penyekat Bajang Catur.
Sebenarnyalah, apa yang dicemaskan Bekel Gajahmada itu menjadi kenyataan. Tiba-tiba dari balik dinding dan tidak diketahui siapa pelakunya, seseorang telah melepas anak panah. Bukan anak panah sewajarnya karena yang dilepas panah jenis tertentu yang bila membubung ke udara menimbulkan suara berdesing tajam.
Seorang prajurit berlari-lari membawa anak panah itu kepada Rakrian Pangsa. Pangsa segera membuka rontal yang terikat pada batang panah dan cepat-cepat membacanya.
"Jayanegara akan segera meloloskan diri," tertulis di dalam rontal itu. "Cegat semua pintu gerbang, utamanya pintu belakang istana."
Dengan langkah lebar Pangsa membawa berita yang sangat penting itu kepada Rakrian Kuti.
Gajahmada 177 "Jayanegara akan meloloskan diri?" tertawa Ra Kuti. "Mereka pikir gampang untuk melarikan diri?"
Ra Kuti bertindak cepat dan tidak mau berlama-lama. Perintahnya segera jatuh untuk mencegat Sri Jayanegara. Sejenak kemudian pasukan berkuda yang telah disiagakan berderap kencang menuju sasaran.
Jodoh Rajawali 23 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Sang Ratu Tawon 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama