Ceritasilat Novel Online

Gajahmada 4

Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 4


Terdapat beberapa pintu yang mungkin dilewati Sri Jayanegara. Ra Kuti segera memberikan perintah untuk mengepung istana dan mengelilinginya dari ujung ke ujung. Dengan demikian, tak mungkin Jayanegara meloloskan diri.
Perintah itu segera diterjemahkan dengan sebaik-baiknya.
Berita bahwa Sri Jayanegara akan melarikan diri dari istana menyebar ke segenap pasukan Jalayuda, menjadikan dorongan semangat bagi mereka untuk berusaha menangkap Jayanegara hidup atau mati.
Apalagi, Ra Kuti mempunyai kemampuan membakar semangat mereka dengan mengobral berbagai macam janji.
Gajahmada telah menemui Gagak Bongol dan Lembang Laut.
"Bagaimana, Kakang Bekel?" Gagak Bongol bertanya. Dari wajahnya jelas tidak tenang.
"Keadaan sudah tidak bisa dipertahankan lagi!" jawab Gajahmada.
"Kita harus menyiapkan pengungsian."
Gajahmada tak mau berjudi dengan keterbatasan waktu. Dengan agak bergegas Gajahmada menemui Jayanegara. Pintu bilik pribadi Raja Majapahit itu diketuknya.
"Siapa?" ada pertanyaan dari dalam.
"Hamba Tuanku!" jawab Gajahmada. "Ada hal penting yang perlu hamba sampaikan kepada Tuanku."
Pintu yang tertutup itu kemudian terbuka.
Beberapa saat lamanya Sri Jayanegara memandang Bekel Gajahmada. Mulut Gajahmada justru tiba-tiba terkunci, merasa tidak 178
Gajahmada tega menyampaikan kenyataan pahit yang terjadi kepada rajanya. Namun, Jayanegara justru tersenyum.
"Aku tahu!" kata Jayanegara. "Jika kau memutuskan mengungsikan aku, aku siap. Sebaliknya, jika kau akan menyerahkanku pada Ra Kuti, aku siap."
"O, tidak Tuanku," Gajahmada memotong, "hamba dan para Bhayangkara tidak akan pernah menyerah, apalagi punya gagasan untuk menyerahkan Tuanku kepada Ra Kuti. Hamba akan mengungsikan Tuanku ke tempat yang aman. Akan tetapi, hamba bersumpah, pada suatu ketika kelak hamba pasti akan kembali untuk membeset kulit Ra Kuti."
Jayanegara manggut-manggut.
"Dengan cara bagaimana kau akan membawaku meninggalkan tempat ini?" Jayanegara kembali bertanya.
"Istana telah dikepung, Tuanku!" ucap Gajahmada. "Meski demikian, Tuanku tidak perlu cemas. Pasukan Bhayangkara pasti bisa menerobos kepungan itu. Hamba juga sudah menyiapkan tiruan Tuanku untuk mengelabuhi mereka. Di saat musuh terpancing oleh tiruan Tuanku, saat itulah Tuanku meloloskan diri dari pintu yang lain."
Jayanegara menebar pandangan mata ke seluruh ruangan. Seolah terlampau berat bagi Raja Majapahit itu untuk berpisah dari tempat kediamannya, apalagi seharusnya dalam keadaan macam apa pun istana harus dipertahankan mati-matian. Sri Kertarajasa Jayawardhana atau Raden Wijaya telah membangun Majapahit dengan susah payah.
Kalagemet atau Jayanegara yang hanya mewarisi saja ternyata tidak mampu mempertahankan dari jarahan orang yang tidak bertanggung jawab.
"Ampun Tuanku," berkata Bekel Gajahmada, "waktu yang ada amat mepet. Tuanku harus meninggalkan istana sekarang juga."
Betapa kecewa Kalagemet. Namun, pada kenyataannya memang tak ada pilihan lain.
Gajahmada 179 Sri Jayanegara memandang kedua kotak besi di sebelahnya dengan segenap kebingungan. Ada harta yang tiada ternilai harganya di dalam kotak itu yang harus diselamatkan dari jarahan Ra Kuti. Sebuah hal yang diyakini Jayanegara adalah gemerlap harta berkesanggupan membuat orang berbuat dan berpikir tidak sewajarnya. Termasuk Bhayangkara sekalipun.
Dari halaman samping, tepatnya dari kandang macan terdengar suara harimau mengaum. Binatang klangenan itu ternyata gelisah karena penciumannya yang tajam mampu menangkap adanya bau darah yang menyengat. Harimau itu tentu kelaparan karena seharian tidak ada yang menyediakan makanannya.
"Kalau aku tinggalkan istana ini," bertanya Sri Jayanegara, "lalu siapa yang akan mengurusi harimau itu?"
Gajahmada agak jengkel karena Jayanegara masih banyak pertimbangan. Bahkan, seekor harimau pun mampu merintangi langkahnya.
"Tuanku," jawab Gajahmada, "harimau itu tentu ada yang mengurus. Jika Rakrian Kuti menduduki istana ini, Ra Kuti tentu akan merawat harimau itu dengan baik. Ra Kuti tentu berpikir, harimau itu harus diberi makan. Bahkan, jika perlu Ra Kuti sendiri akan masuk ke dalam kandang untuk sarapan harimau itu."
Jayanegara terdiam. Gagak Bongol yang mendengar pembicaraan itu nyaris tak bisa menahan tertawa. Sekuat tenaga Gagak Bongol berusaha menahan diri dan membuang tatapan wajahnya ke arah lain. Sri Jayanegara tidak merasa ada sesuatu yang lucu pada ucapan Gajahmada itu. Kembali Jayanegara menebar pandang ke seluruh ruang.
"Tuanku, waktu kita mepet sekali!" desak Gajahmada. "Mohon Tuanku segera berangkat sekarang juga."
Sri Jayanegara melangkah mondar-mandir. Jayanegara yang tidak segera mengambil keputusan itu menambah kejengkelan Bekel 180
Gajahmada Gajahmada. Rasa-rasanya Bekel Gajahmada ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya.
Di luar bilik pribadi istana itu, beberapa orang prajurit Bhayangkara telah bersiap diri. Semua gelisah karena harus menunggu. Waktu yang bergerak dirasa terlampau cepat. Gajahmada bertambah gelisah ketika dari arah pendapa istana telah terdengar sorak-sorai gemuruh. Rupanya pasukan pemberontak telah berhasil menjebol regol Purawaktra. Bagai banjir bandang pasukan yang sudah kesetanan itu memasuki alun-alun dalam. Pasukan Jalapati dan pasukan Jala Rananggana yang berhasil dihimpun kembali dengan susah payah mencoba membendung gerakan pasukan yang mengalir seperti sungai itu. Dari arah belakang Rakrian Kuti terdengar berteriak-teriak memberi semangat kepada pasukannya.
Sebenarnyalah, saat mana para prajurit yang berada di atas dinding regol kehabisan anak panah maka dengan leluasa pasukan Jalayuda yang menggunakan gelondongan pohon kelapa menghantam regol berkali-kali. Meski telah diselarak dengan besi yang kuat, dihantam dengan gelondongan kelapa berkali-kali, pintu regol itu pun jebol.
Pasukan Jalayuda menyambut keberhasilan itu dengan bersorak-sorak riuh rendah. Dengan beringas pasukan yang terbujuk oleh janji-janji dan angan-angan yang muluk itu menerobos masuk ke dalam istana dan menyerbu dengan beringas. Maka terjadilah pertempuran yang riuh, pertempuran yang tidak terikat dalam perang gelar lagi.
"Tangkap Jayanegara!" teriak Ra Kuti. "Tangkap Kalagemet. Kita seret dia ke alun-alun dan ikat di belakang empat ekor kuda yang berlawanan arah. Ayooo, jangan sampai Jayanegara dan Bekel Gajahmada lolos."
Pertempuran yang amat riuh berkecamuk di dalam istana. Dari tempatnya berada Bekel Gajahmada bahkan mulai bisa melihat pertempuran yang terjadi itu menyebar ke segala penjuru.
Bekel Gajahmada terpaksa harus menelan keresahannya.
"Tuanku!" Gajahmada gelisah. "Tuanku harus menghargai waktu."
Gajahmada 181 Rasa kecewa yang dirasakan Jayanegara ternyata benar-benar sempurna. Sesempurna itu pula Jayanegara tak bisa menerima kenyataan itu. Jayanegara yang di masa muda bernama Kalagemet itu seolah harus mempertanggungjawabkan yang terjadi pada mendiang ayahnya yang sudah mendahului pergi menghadap Sang Pencipta.
"Istana ini tidak mungkin dipertahankan lagi?" Jayanegara bertanya lirih. "Aku harus terusir dari tempat ini?"
Gajahmada menggeleng-geleng amat jengkel.
"Silakan Tuanku mengintip keluar!" jawab Gajahmada agak kasar.
"Silakan Tuanku melihat dengan mata kepala sendiri, pertempuran telah menyebar ke mana-mana. Pasukan pemberontak benar-benar berupa banjir bandang. Kita tidak punya waktu lagi."
Gagak Bongol terpancing ikut tidak sabar melihat sikap Sri Jayanegara yang belum mengerti juga terhadap keadaan.
"Ampun Tuanku," berbicara Gagak Bongol, "kami para prajurit Bhayangkara rela mati untuk melindungi Tuanku. Akan tetapi, kami merasa kecewa karena Tuanku sendiri belum juga mengerti terhadap keadaan. Jika Tuanku tidak segera memenuhi saran Kakang Bekel Gajahmada maka kita semua akan mati, termasuk Tuanku. Barangkali Ra Kuti lebih senang jika bisa melemparkan tubuh Tuanku ke dalam kandang macan yang kelaparan itu."
Gajahmada kaget oleh ucapan Gagak Bongol yang dirasanya sangat kasar itu. Tetapi ternyata ucapan itu mampu membangunkan Jayanegara yang sejenak seperti orang yang kebingungan.
"Baiklah!" ucap Jayanegara. "Apa boleh buat jika kita harus pergi meninggalkan istana. Mari, masuklah semuanya."
Gajahmada, Gagak Bongol, dan Lembang Laut kebingungan mendengar jawaban Jayanegara itu. Yang dibutuhkan adalah segera meloloskan diri dari istana, tetapi Sri Jayanegara malah meminta mereka untuk masuk ke dalam biliknya.
Para Bhayangkara saling pandang kebingungan.
182 Gajahmada "Masuklah!" ucap Jayanegara sekali lagi. "Semuanya. Aku minta semua masuk."
Gajahmada dan Gagak Bongol saling lirik. Nyaris kepala Gajahmada yang jengkel itu meledak. Namun, Bekel Gajahmada memang harus menyabarkan hati menghadapi sikap Jayanegara yang terasa aneh itu. Gajahmada melepas isyarat kepada prajurit Bhayangkara yang lain, yang telah bersiaga di depan pringgitan.
Di sudut pahoman atau tempat meletakkan sesaji pemujaan serta dari Bale Witana tempat raja menerima mereka yang sewaka beberapa prajurit kaki tangan pemberontak terlihat berlari-lari sambil mengacung-acungkan senjata.
"Jaga rapat bilik Jayanegara!" teriak Ra Pangsa.
Namun, Jayanegara berteriak, "Semua masuk. Aku minta semua masuk!"
Meski diganduli rasa heran, segenap prajurit Bhayangkara masuk ke dalam bilik pribadi prabu. Manakala semua Bhayangkara telah masuk ke dalam bilik itu, mereka makin dibuat bingung oleh sikap Jayanegara yang menutup pintu dengan selarak.
"Tuanku," Lembang Laut merasa dadanya nyeri, "apa Tuanku berpikir tempat ini cukup aman dari Ra Kuti" Ra Kuti tidak akan mengalami kesulitan untuk menjebol pintu ini. Yang kita butuhkan saat ini meloloskan diri dari istana. Bukan bersembunyi di ruangan ini."
Sri Jayanegara menebar pandangan matanya ke segenap prajurit Bhayangkara yang ada. Tanpa banyak bicara Jayanegara melangkah menuju ke meja batu yang terletak di sudut ruangan itu.
"Jika kita harus pergi," ucap Jayanegara, "aku tidak ingin harta istana yang dimiliki negara dijarah Ra Kuti. Harta benda itu milik rakyat, dikumpulkan dari upeti dan pajak yang harus digunakan untuk membangun negara. Harta itu berada di dalam kedua peti itu, keduanya harus dibawa dan tidak boleh terpisah dariku!"
Para Bhayangkara makin jengkel melihat sikap Sri Jayanegara yang masih juga belum bertindak cekatan. Para Bhayangkara jengkel karena Jayanegara masih sempat-sempatnya berpikir hal lain.
Gajahmada 183 Sementara itu, atas perintah Ra Kuti pasukan yang telah menerobos masuk ke dalam lingkungan istana sebagian langsung bergerak menuju bangunan induk yang digunakan oleh Jayanegara sebagai tempat tinggal.
Suara Ra Kuti yang berteriak-teriak pun mulai terdengar dari bilik pribadi Jayanegara itu.
"Tangkap Jayanegara dan Gajahmada!" berteriak Ra Kuti. "Kita seret mereka di belakang kuda."
Pertempuran makin menjadi. Bukan lagi pertempuran dalam tananan gelar, tetapi kacau-balau seperti pasir wutah. Suara benturan pedang dan tombak berbaur dengan teriakan kesakitan dan umpatan kasar. Pertempuran di dalam istana itu benar-benar menjadi pertempuran yang amat berdarah. Bau anyir darah itu pula yang membuat harimau klangenan Jayanegara gelisah dan mondar-mandir dalam kerangkeng.
Bau darah itu benar-benar menggoda binatang ganas berkaki empat itu.
Jayanegara makin terlihat tak cekatan dalam mengambil keputusan.
"Apakah itu suara Ra Kuti?" bertanya Jayanegara.
Serasa akan pecah dinding kepala Bekel Gajahmada.
"Benar Tuanku!" jawab Gajahmada. "Itu suara Ra Kuti."
Jayanegara manggut-manggut.
"Aku telah mengangkatnya sebagai orang yang diberi kebahagiaan, aku angkat dia sebagai Dharmaputra Winehsuka, tetapi inilah balasannya kepadaku!" desis Jayanegara.
Akhirnya, Gajahmada benar-benar sampai pada batas kesabarannya.
"Teman-teman!" kata Gajahmada yang menahan sesak. "Marilah kita keluar dari ruangan ini dan mempertahankan kehormatan kita. Kita pasukan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja boleh tertumpas habis. Akan tetapi, setidak-tidaknya Ra Kuti juga harus mati bersama kematian kita. Kita keluar."
Perintah telah dijatuhkan oleh Gajahmada yang merasa kecewa melihat sikap Jayanegara yang tidak bertindak cekatan. Semula memang 184
Gajahmada masih ada waktu dan kemungkinan untuk menyelamatkan Jayanegara.
Akan tetapi, kesempatan itu kini sudah terhapus. Pasukan pemberontak telah membanjiri halaman istana. Tak mungkin meloloskan diri menyelamatkan Jayanegara yang dinilainya lamban itu.
Gagak Bongol bergegas akan membuka selarak pintu.
"Tunggu!" cegah Sri Jayanegara. "Jangan buka pintu itu dulu, tolong angkat meja batu ini. Aku akan menunjukkan sesuatu pada kalian."
Para Bhayangkara makin dibuat heran. Tetapi, Riung Samudra dan Panji Saprang tak menolak permintaan Jayanegara itu.
Kedua prajurit itu segera menggeser meja dimaksud. Semua yang hadir berdesir.
Ternyata di bawah meja batu itu terdapat sebuah lubang yang mengarah ke dalam tanah. Bekel Gajahmada yang termangu sesaat karena menyempatkan berpikir bergegas menyambar lampu ublik.
Seorang prajurit diminta menyalakan batu titikan.
"Tembus di manakah lorong ini, Tuanku?" bertanya Gajahmada.
"Nanti kau akan melihat sendiri," jawab Sri Jayanegara, "bawa kedua kotak besi itu. Benda-benda itu tidak boleh terjatuh di tangan Ra Kuti!"
Dengan tangkas Gajahmada segera mengambil perintah.
"Kita semua mengawal Tuanku Sri Jayanegara lewat lorong ini.
Depan sendiri Gagak Bongol dan Lembang Laut, disusul Tuanku Jayanegara dan aku. Lainnya di belakang, bawa kedua peti itu. Ayo."
Gagak Bongol dan Lembang Laut yang memegang ublik segera memasuki ruangan bawah tanah yang disusul kemudian oleh Sri Jayanegara dan Bekel Gajahmada. Sepuluh orang pasukan Bhayangkara yang lain mengiring di belakang. Dengan susah payah dua orang Bhayangkara paling belakang berusaha menutup kembali pintu rahasia berupa meja batu itu. Udara yang pengap dan panas segera menjemput kehadiran mereka.
Adalah Ra Pangsa dan Ra Banyak telah sampai di depan bilik pribadi Jayanegara. Keduanya segera menggulingkan gupala penghias taman.
Gajahmada 185 Gupala yang terbuat dari batu itu diangkat berdua dan dihantamkan ke pintu. Dengan sekali hantam pintu itu jebol. Dua Winehsuka itu semula berharap akan menemukan Jayanegara dan para Bhayangkara bersembunyi ketakutan di ruangan itu. Namun, ternyata tidak ada siapa pun di sana.
"Gila!" umpat Ra Banyak. "Mana mereka?"
Banyak dan Pangsa saling pandang. Mereka bergegas memeriksa ruangan itu. Bahkan, di kolong tempat peraduan juga diperiksa. Tetapi, mereka tidak menemukan siapa pun seolah-olah para Bhayangkara yang sebelumnya dengan jelas mereka lihat memasuki bilik pribadi raja itu lenyap begitu saja tanpa jejak seperti ditelan bumi.
Sejenak kemudian Ra Wedeng dan Ra Yuyu yang disusul kemudian oleh Ra Tanca sampai pula di tempat itu.
"Mana mereka?" bertanya Rakrian Tanca.
"Entah!" jawab Ra Pangsa. "Kami mendobrak pintu. Mereka hilang.
Sepanjang dinding istana telah dipagari prajurit. Tidak mungkin ada yang meloloskan diri tanpa ketahuan. Aku yakin mereka masih berada dalam istana, entah bersembunyi di sebelah mana."
Para Winehsuka sepakat, memang tak mungkin bagi Jayanegara dan Bhayangkara meloloskan diri keluar dinding istana tanpa diketahui.
Mereka sepakat pula, Jayanegara dan Bhayangkara tentu bersembunyi, entah bersembunyi di bangunan mana.
"Aku akan melaporkan hal ini kepada Ra Kuti!" berkata Tanca dengan nada datar.
Perang terus berkecamuk. Namun, dengan cepat Ra Kuti mengendalikan keadaan. Pasukan Jalapati yang bergabung dengan pasukan Jala Rananggana diminta untuk menyerah. Ra Kuti berjanji tidak akan mengusik mereka apabila mau menyerah. Sebagian prajurit menerima tawaran itu, sebagian yang lain yang mempunyai harga diri terus mengadakan perlawanan. Namun demikian, prajurit yang mengadakan perlawanan itu akhirnya mengalami kesulitan yang luar
186 Gajahmada biasa. Tekanan yang mereka rasakan makin tidak tertahankan lagi yang pada ujungnya memaksa mereka untuk meletakkan senjata.
"Ra Kuti, ada hal yang aneh, Bhayangkara dan Jayanegara tidak ada," seru Ra Tanca.
"Apa?" Ra Kuti kaget. "Mustahil. Istana ini telah dikepung rapat.
Tak mungkin Jayanegara dan para Bhayangkara itu bisa meloloskan diri. Mereka pasti masih berada di dalam dinding. Mereka bersembunyi di suatu tempat. Karena itu, geledah semua bangunan. Juga amankan harta benda yang dimiliki Jayanegara, periksa dengan teliti bilik pribadinya."
Ra Tanca mengangguk, "Aku akan sampaikan perintah penggeledahan itu."
23 Di lorong bawah tanah para Bhayangkara terus bergerak.
Perjalanan bawah tanah itu ternyata bukanlah perjalanan yang mudah.
Gagak Bongol dan Lembang Laut yang menjadi cucuk lampah harus mengawasi lorong dengan cermat. Keduanya cemas kalau sampai ada ular berbisa yang menghadang mereka.
Berbeda dengan kecemasan Gajahmada. Pimpinan pasukan Bhayangkara itu teringat dengan apa yang diucapkan sosok tidak dikenal yang mengaku bernama Manjer Kawuryan, yang memberitahunya tentang kemungkinan di dalam tubuh pasukan Bhayangkara ada yang berkhianat menjadi kaki tangan Ra Kuti. Jika pengkhianat itu bermaksud memanfaatkan keadaan maka hal itu sungguh berbahaya.
Gajahmada 187 "Ada pengkhianat di antara Bhayangkara." Gajahmada berbicara pada diri sendiri. "Tetapi siapa pengkhianat itu?"
Tanpa banyak berbicara, pasukan kecil itu terus bergerak. Gagak Bongol dan Lembang Laut terus berjalan sambil dengan amat teliti memerhatikan keadaan di depan. Gajahmada menempel Jayanegara dengan ketat.
Pada saat yang demikian itulah Gajahmada berdesir karena telinganya yang tajam mampu menangkap gerakan salah seorang Bhayangkara berusaha mendahului langkah Bhayangkara yang lain.
Dengan demikian, bisa diperoleh simpulan, orang itu berusaha mendekati Jayanegara. Gajahmada segera menghunus kerisnya.
Gajahmada bertambah tegang saat mendengar isyarat-isyarat tertentu yang tidak lazim. Ada yang berdesis dan dijawab dengan siulan kecil. Bahkan, suara jari yang dijentikkan dengan jempol tangan. Sebagai orang yang mengenyam dunia telik sandi, Gajahmada sangat yakin ada makna tertentu di balik isyarat tidak wajar itu.
Namun, Bekel Gajahmada tetap diam dan menunggu perkembangan.
Sebenarnyalah memang ada salah seorang dari Bhayangkara yang berusaha mendekati Jayanegara. Gerakannya memang tidak menarik perhatian bagi yang lain, tetapi benar-benar harus diperhatikan dengan cermat oleh Bekel Gajahmada.
Akhirnya, orang itu makin dekat, bahkan sampai di belakang Bekel Gajahmada. Pimpinan pasukan Bhayangkara itu tidak mau mempertaruhkan keadaan. Tanpa banyak bicara, Gajahmada tiba-tiba mengayunkan tangannya membenamkan kerisnya ke tubuh Bhayangkara itu. Terdengar sebuah jerit kemudian disusul oleh tubuh terjengkang.
"Berhenti semua!" teriak Gajahmada.
Pasukan kecil itu berhenti.
"Ada apa?" bertanya Jayanegara.
188 Gajahmada "Ada apa, Kakang Bekel?" terdengar lagi sebuah pertanyaan dari belakang.
Keris yang dipegang Bekel Gajahmada ternyata memang sangat beracun. Ayunan yang dilakukan Bekel Gajahmada dengan telak menenggelamkan keris itu tepat ke dada menembus jantung korbannya.
Tubuh celaka yang terkena keris itu terjerembab bersandar dinding dan hanya membutuhkan waktu yang amat singkat untuk mati.
"Ada apa Gajahmada?" kembali Jayanegara yang sangat cemas bertanya.
"Ada pengkhianat di antara kami, Tuanku," jawab Gajahmada dengan tegas, "hamba sudah lama mengetahui bahwa memang ada pengkhianat di antara pasukan Bhayangkara, tak malu-malunya menjadi kaki tangan Ra Kuti. Hal ini menyedihkan dan mengecewakan sekali."
Lorong bawah tanah itu mendadak menjadi hening. Tak ada seorang pun yang berbicara. Gagak Bongol yang membawa lentera bergegas berbalik untuk memeriksa siapa yang telah menjadi pengkhianat itu. Lentera yang nyaris padam itu ternyata masih bisa menerangi raut wajah pengkhianat yang mati ditikam keris Gajahmada.
Gagak Bongol terbelalak. "Gila!" desis Gagak Bongol. "Panji Saprang?"
Ucapan Gagak Bongol mengagetkan. Para Bhayangkara yang mengiring Jayanegara terhenyak, tersentak kaget oleh kenyataan yang tidak terduga itu. Bagi Gajahmada, sangat sulit membayangkan Panji Saprang ternyata pemberontak. Entah bujukan macam apa yang telah menjerumuskan Panji Saprang hingga bersedia menjadi kaki tangan Ra Kuti. Apa yang telah terjadi itu menjadi renungan bagi semua yang berada di lorong bawah tanah itu. Semua memahami, mengapa Panji Saprang mau berkhianat terhadap negara.
Gajahmada termangu sejenak mengenang bagaimana sepak terjang Bhayangkara Panji Saprang selama ini. Begitu pintarnya Panji Saprang
Gajahmada 189 dalam memerankan diri, bahkan ia menyempurnakannya melalui anak panah yang dilepas dan berhasil menyambar tubuh Ra Kuti.
"Kita bicarakan adanya pengkhianat itu di lain waktu. Ayo berjalan lagi."
Gagak Bongol kembali menjadi cucuk lampah dan berjalan paling depan sambil meraba-raba lorong yang amat gelap dan hitam kelam itu. Dalam hati para Bhayangkara, bahkan Bekel Gajahmada sekalipun, semuanya masih merasa heran dan penasaran terhadap adanya lorong bawah tanah itu. Telah cukup lama mereka mengabdi menjadi pasukan khusus pengawal istana, tetapi belum pernah sekalipun mereka mendengar adanya cerita tentang lorong bawah tanah. Kini dengan merambat perlahan, mereka menelusuri lorong bawah tanah itu.
24 Dalam pada itu, Ra Kuti dan para Winehsuka menjadi geram dan merasa heran karena tidak berhasil menemukan Jayanegara.
Pertempuran telah selesai dilanjutkan dengan pemeriksaan semua ruang dan bangunan untuk menemukan Sri Jayanegara yang diyakini masih tetap berada di dalam dinding yang mengelilingi istana.
Namun, bagaikan lenyap ditelan bumi, Jayanegara dan pasukan Bhayangkara pengawalnya hilang tidak diketahui di mana rimbanya.
Rakrian Kuti merasa sangat penasaran dan curiga. Segenap sudut ruangan itu diperhatikannya dengan cermat. Ra Kuti bahkan melongok ke bawah tempat tidur, tetapi tidak ada sesuatu yang mencurigakan di kolong itu.
Ra Kuti memerhatikan ruangan pribadi raja itu dengan lebih cermat lagi.
Ditelusurinya dinding dan sudut-sudut ruangan.
190 Gajahmada "Bagaimana cara Jayanegara meloloskan diri?" tanya Ra Kuti pada diri sendiri. "Tentu ada sebuah cara yang mereka gunakan untuk minggat tanpa ketahuan. Tidak mungkin mereka lenyap begitu saja kecuali mereka bisa menghilang."
Hingga akhirnya Rakrian Kuti mulai berpikir kemungkinan adanya pintu rahasia, bahkan lorong bawah tanah. Ra Kuti yang merasa jengkel luar biasa itu menggerataki seluruh ruangan dengan pandangan matanya.
"Jika Jayanegara belum berhasil diringkus," berkata Ra Kuti, "hatiku sungguh tidak akan pernah tenang. Jayanegara nantinya akan menjadi duri dalam daging karena bisa saja di kemudian hari ia menghimpun kekuatan dan membalas. Oleh karena itu, Jayanegara harus ditangkap. Aku tak ingin di dunia ini masih ada orang yang bernama Kalagemet. Kalagemet Jayanegara harus ditangkap dan diumpankan ke kandang macan."
Akhirnya, perhatian Ra Kuti tertuju pada meja batu di sudut ruangan.
Justru karena meja itu terbuat dari batu dan bukan dari kayu, meja itu sungguh menarik perhatiannya.
"Geser meja itu!" perintah Ra Kuti.
Ra Pangsa dan Ra Yuyu juga dihinggapi rasa curiga pada meja batu itu. Mereka bergegas menggesernya. Semua yang hadir di ruangan itu terbelalak saat melihat di bawah meja memang terdapat sebuah lorong ke bawah tanah.
"Gila!" umpat Ra Kuti kasar sekali. Ra Kuti benar-benar tak bisa menahan amarahnya. "Keparat bangsat!"
Ra Kuti melongok ke dalam lorong, tetapi yang dilihatnya hanya gelap dan warna hitam. Didorong oleh rasa kecewa dan jengkel yang tidak tertahan Ra Kuti berteriak keras. Suaranya bergema di lorong yang entah di mana ujungnya berada.
"Jayanegara!" teriak Ra Kuti dengan suara keras dan serak. "Kau tak akan bisa meloloskan diri dari tanganku!"
Suara itu menggema memantul-mantul dan dengan sangat cepat menyusup ke ujung lorong. Jayanegara bahkan kaget oleh suara serak itu. Seolah Ra Kuti berada pada jarak yang amat dekat.
Gajahmada 191 "Jangan pedulikan, Tuanku!" ucap Gajahmada menenangkan.
Jayanegara tidak menjawab dan terus berjalan mengikuti gerak langkah Gagak Bongol dan Lembang Laut. Lampu ublik yang mereka gunakan hanya bernyala kecil sehingga amat menyulitkan gerakan mereka.
Dalam pada itu, merah padam wajah Ra Kuti. Napasnya tersengal dan tersendat. Anak panah beracun yang mengenai lengan kanannya menyebabkan tubuhnya berkeringat. Dengan liar Ra Kuti memandang semua orang.
"Susul mereka!" perintah Ra Kuti dengan suara bergetar. "Aku menginginkannya untuk kuumpankan ke kandang macan. Ayo cepat susul mereka. Yang lain cegat mereka jangan sampai lepas."
Ra Pangsa dan Ra Wedeng bertindak cekatan. Kedua Winehsuka itu segera memanggil beberapa prajurit bersenjata yang berjaga-jaga di luar. Rakrian Pangsa dan Rakrian Wedeng memimpin langsung prajurit itu untuk mengejar mereka yang melarikan diri. Obor dinyalakan untuk menerangi ruang bawah tanah itu. Obor dengan minyak jarak yang cukup dan dengan nyala yang benderang.
Begitu mereka memasuki sebuah belokan di lorong bawah tanah itu maka terlihatlah nyala obor yang timbul tenggelam di kejauhan.
"Itu mereka!" berteriak Ra Pangsa. "Ayo kita kejar!"
Ra Pangsa dan Ra Wedeng berjalan paling depan, disusul oleh sekitar lima belas orang prajurit bawahannya. Dengan bergegas mereka memburu sambil berteriak-teriak.
Teriakan para prajurit itu sebagaimana halnya teriakan Rakrian Kuti, terdengar jelas sampai di ujung lorong. Gajahmada meminta kepada para Bhayangkara itu untuk bergerak lebih cepat. Namun, lorong itu ternyata bukanlah lorong yang pendek. Ujung lorong seolah tidak diketahui berada di mana. Bagi dua prajurit Bhayangkara yang bertugas membawa dua peti, perjalanan itu sungguh sangat menyiksa.
"Kejar mereka!" teriak Ra Pangsa.
192 Gajahmada "Kau akan lari ke mana Jayanegara?" teriak Ra Wedeng.
Bekel Gajahmada agak jengkel karena pasukannya kurang leluasa dalam bergerak karena ublik yang mereka gunakan untuk menerangi lorong itu sesekali harus dijaga jangan sampai padam. Sebaliknya, bagi pasukan yang dipimpin oleh Ra Wedeng dan Ra Pangsa diuntungkan oleh cahaya ublik yang terlihat di depan.
Teriakan bersahutan mereka yang memburu Jayanegara memantul-mantul dan bergema ke mana-mana.
Jarak mereka menjadi dekat.
"Akan tembus di manakah lorong ini, Tuanku?" bertanya pimpinan pasukan khusus Bhayangkara.
"Sebentar lagi kita akan sampai!" jawab Jayanegara.
Apa yang dikatakan Jayanegara benar. Setelah melewati sebuah belokan, ujung lorong telah kelihatan. Samar-samar gelap gulita mulai temaram cahaya yang jatuh dari permukaan tanah. Gagak Bongol kurang waspada, obor di tangannya tiba-tiba padam.
"Sial!" desis Gagak Bongol.
"Ayo cepat!" perintah Gajahmada. "Kita harus cepat sampai di ujung lorong. Ayo!"
Pada sisa jarak yang ada, pasukan Bhayangkara yang mengawal Jayanegara itu terpaksa merayap tanpa nyala obor. Gagak Bongol yang berjalan paling depan harus meraba-raba dinding, sementara dari arah belakang teriakan-teriakan pasukan pemberontak yang mengejar mereka terdengar makin dekat. Dengan riuh rendah serta sangat bernafsu, pasukan kecil yang dipimpin Pangsa memburu mereka. Demikian riuh mereka yang ditugaskan mengejar Sri Jayanegara itu hingga Gajahmada mampu menyimpulkan jumlah mereka tentu cukup banyak. Bahkan, mungkin dua atau tiga kali lipat jumlah mereka.
Sejenak terjadi kegaduhan ketika Ra Pangsa yang berada paling depan sendiri terjatuh karena tersandung, disusul oleh mereka yang Gajahmada 193
berada di belakangnya. Dengan obor mereka menerangi sosok mayat yang tergeletak itu.
Di depan, Gajahmada meminta untuk bergegas.
"Cepat," teriak Gajahmada, "yang di masih belakang, hambat mereka dengan anak panah."
Gagak Bongol yang pertama kali keluar dari dalam lorong bawah tanah kebingungan karena belum berhasil mengetahui di mana berada karena tempat itu berada dalam pekarangan dikelilingi oleh dinding yang tinggi. Setelah Gagak Bongol disusul kemudian oleh Lembang Laut dan Sri Jayanegara. Gajahmada tidak segera naik. Bekel pimpinan Bhayangkara itu memilih memberi kesempatan kepada anak buahnya satu per satu untuk naik. Ra Wedeng dan Ra Pangsa mengalami sedikit hambatan karena anak panah yang dilepas berhamburan.
Akhirnya, setelah dengan susah payah semua pengiring Sri Jayanegara telah sampai di atas permukaan tanah. Gagak Bongol bertindak cekatan. Sebuah batu sebesar anak gajah yang tergeletak tak jauh dari tempat itu segera digeser dan didorong beramai-ramai untuk menyumbat ujung lorong itu.
"Gila!" umpat Ra Wedeng.
Ra Wedeng mencak-mencak ketika akhirnya menyadari upaya mengejar Jayanegara di lorong bawah tanah itu sia-sia. Ujung lorong itu telah tersumbat oleh sebuah batu yang amat besar.
"Bagaimana Wedeng?" tanya Pangsa.
Ra Wedeng menggigil menahan marah. Pekerjaan menelusuri lorong bawah tanah itu bukan pekerjaan mudah. Setelah sampai di ujung, dengan licik dan pengecut Gajahmada menyumbat lorong itu. Ra Wedeng merasa mendadak sesak napas.
"Kita kembali!" perintah Ra Wedeng.
Apa boleh buat, meskipun kecewa Ra Wedeng dan Ra Pangsa harus kembali ke arah semula. Pekerjaan kembali itu ternyata bukan 194
Gajahmada pekerjaan yang gampang. Udara terasa makin pengap, seolah mereka harus memperebutkan udara yang jumlahnya amat terbatas.
Bekel Gajahmada menebar pandang.
"Di mana kita ini?" tanya Bhayangkara Gajah Pradamba yang juga bernama Gajah Enggon.
Bekel Gajahmada manggut-manggut. Gajahmada mengenali tempat itu dengan baik.
"Kita berada di pekarangan wisma kepatihan," Gajahmada menjawab. "Gagak Bongol, periksa di depan."
Hanya dengan sebuah isyarat, dengan cepat pasukan kecil itu bergerak mencari perlindungan yang ada di tempat itu. Masing-masing lenyap di balik pohon, bertiarap di antara semak perdu dan melenting ke balik semak. Gajahmada sendiri mengamankan Jayanegara di balik pohon mangga yang besar.
Sejenak kemudian Gagak Bongol telah kembali.
"Bagaimana?" tanya Gajahmada sambil menahan suaranya.
"Wisma ini telah dikuasai oleh pemberontak. Aku tak melihat Mahapatih Tadah. Sangat mungkin Mapatih Tadah diringkus oleh musuh dan sekarang nasibnya entah bagaimana!" Gagak Bongol menjelaskan dengan sigap.
"Bagaimana nasib Paman Tadah?" bisik Jayanegara.
"Kita belum tahu Tuanku!" jawab Gagak Bongol. "Tetapi kita semua akan segera memperoleh jawabnya."
Suasana hening. "Ada berapa jumlah mereka?" bisik Gajahmada.
"Sekitar dua puluh orang Kakang Bekel," jawab Gagak Bongol.
Gajahmada manggut-manggut dan berpikir.
"Butuh berapa orang untuk mengamankan depan?" Bekel Gajahmada bertanya.
Gajahmada 195 Gagak Bongol diam sesaat.
"Aku butuh dua orang Kakang!" Jawab Gagak Bongol. "Kami bertiga kurasa cukup untuk membungkam mereka."
Bekel Gajahmada menebar pandangan. Anak buahnya yang semula melenyapkan diri bermunculan kembali. Gajahmada mengangkat tangan kanannya mengepal sebagai permintaan agar anak buahnya tidak ada yang mengeluarkan suara. Dengan isyarat tangan, Gajahmada memberi perintah kepada Gagak Bongol, Lembang Laut, dan Gajah Pradamba untuk bergerak.
Mereka yang ditunjuk berlarian dengan gesit, nyaris tidak menimbulkan suara. Gajahmada kembali memberi isyarat pada anak buahnya untuk melenyapkan diri di balik semak atau di bayangan pohon.
Ketika memandang ke arah langit, Gajahmada merasa cahaya matahari agak kekuningan. Beberapa ekor burung gagak dan burung pemakan bangkai yang hidungnya sangat peka terhadap bau darah beterbangan berputar-putar.
Dengan sebuah isyarat Bongol membagi tugas. Gesit dan trengginas Lembang Laut dan Gajah Pradamba berlarian lewat pringgitan serta adakalanya melenyapkan diri di balik dinding. Gagak Bongol yang bertugas mengamankan ruang dalam melihat dua orang prajurit pemberontak sedang berjalan mondar-mandir. Dua buah pisau beracun segera dikeluarkannya dari balik lengan bajunya. Dengan perhitungan yang cermat dan akurat, Gagak Bongol mengayunkan tangannya dengan deras mendorong pisau itu untuk terbang tenggelam di masing-masing dada sasarannya.
Dua orang prajurit bernasib sial itu ambruk. Matanya melotot seperti akan lepas.
Gagak Bongol menyaksikan saat dua prajurit itu sekarat untuk kemudian memamerkan tarikan napasnya yang terakhir. Gagak Bongol melangkahinya serta masih menyempatkan diri meludahi prajurit pemberontak itu.
Gagak Bongol melenting dan bersembunyi di balik pintu.
196 Gajahmada Sorang prajurit pemberontak yang barangkali memperoleh mimpi buruk sebelumnya, dengan tenang membuka pintu sambil membawa makanan. Dengan sigap Gagak Bongol mencekik lehernya dari belakang.
Sebuah kunci tangan yang amat kuat menyebabkan prajurit itu tidak bisa bernapas dan lehernya patah. Ketika Gagak Bongol melepaskannya, tubuh prajurit itu jatuh terkulai.
Tidak ada lagi orang yang ada di dalam ruang itu.
Sebaliknya, Lembang Laut mengintip halaman. Ada lima orang prajurit yang sedang duduk bersandar dinding. Mereka tertawa-tawa antara satu dengan lainnya. Lembang Laut segera mengangkat busurnya dan lima buah anak panah langsung dipasang pada tali rentang busur itu.
Dengan kemampuan bidiknya yang luar biasa Lembang Laut mengarahkan anak panahnya kepada lima orang yang akan dijadikan sasarannya sekaligus. Setelah merasa yakin, Lembang Laut melepasnya.
Anak panah itu melesat cepat menggapai sasaran. Empat orang terjengkang seketika dengan dada tembus dan tidak perlu waktu lama untuk berkelejotan kemudian mati. Namun, seorang di antaranya lolos dari kematian dan dengan sigap melenting mempersiapkan diri.
Orang itu akan berteriak memberi isyarat pada teman-temannya.
Dengan cekatan Lembang Laut memasang anak panah untuk mencegah orang itu membuka mulut. Namun, Lembang Laut merasa tidak memiliki waktu cukup. Lembang Laut segera mengambil pisau di balik lengan bajunya dan siap melemparkan pisau itu. Akan tetapi, sebelum Lembang Laut melakukan sesuatu, ia melihat sosok prajurit pemberontak yang akan menjadi sasarannya itu telah ambruk. Anak panah telah menyambar tengkuknya.
Dari arah balik pintu, Gajah Pradamba muncul sambil mengepalkan tangan dan memamerkan senyum khasnya. Lembang Laut tidak bisa menyembunyikan senyum sambil membalas dengan mengepalkan tangan pula.
Lembang Laut melenting melewati dinding batas penyekat serta bermaksud menuju halaman samping. Akan tetapi, Lembang Laut Gajahmada 197
melihat mayat-mayat yang bergelimpangan berserakan di sana. Lembang Laut menggeleng-geleng kepala membayangkan entah dengan cara bagaimana Gajah Pradamba yang di kala muda bernama Enggon itu melakukan.
Dalam pada itu, Gagak Bongol mendengar sebuah suara yang agak ganjil.
"Gila!" desis Gagak Bongol. "Suara apa itu, riuh sekali?"
Suara itu suara berahi. Dengus laki-laki dan perempuan tanpa tedeng aling-aling melepas lenguh nafsu. Gagak Bongol yang merasa penasaran melangkah mengendap-endap, ingin mengetahui apa sebenarnya yang tengah berlangsung begitu riuh. Gagak Bongol menggeleng-geleng kepala menyaksikan apa yang terjadi. Seorang prajurit berpangkat lurah menilik tanda kepangkatan yang dimilikinya, tengah menggeluti seorang perempuan yang mengimbangi dengan tidak kalah bernafsu.
"Keparat!" desis Gagak Bongol yang merasa mual menyaksikan apa yang terjadi. "Aku mengenal Lurah Sorandono dengan baik. Aku tahu perempuan itu bukan istrinya. Jelas ia jenis wanita murahan yang bisa dipakai oleh siapa pun. Di dalam perang seperti ini, orang-orang semacam Sorandono tentu akan memanfaatkan keadaan dengan sebaik-baiknya untuk memuaskan keserakahannya."


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bongol mendekat. Dari endong busur, Gagak Bongol mengambil sehelai anak panah. Dengan ujung anak panah itu Gagak Bongol menyentuh punggung Lurah Prajurit Sorandono.
Sorandono merasa amat terusik oleh sentuhan anak panah itu.
"Tunggu," teriak Sorandono, "aku masih belum selesai. Tunggu giliranmu."
Gagak Bongol hanya mendengus. Dengan sekali ayun, pedang di tangan kanannya menyambar deras ke arah Sorandono yang langsung berteriak keras meregang nyawa. Perempuan yang digeluti Sorandono terbelalak. Amat kaget.
"Waktumu hanya sedikit untuk pergi dari hadapanku," berkata Gagak Bongol dengan nada amat sangar, "cepat pergi atau kau memilih mati menyusul laki-laki ini?"
198 Gajahmada Dengan gugup wanita itu menyambar pakaiannya, menutupi tubuhnya alakadar-nya, lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu. Begitu gugup wanita itu sampai harus jatuh bangun saat melintasi pintu.
Gagak Bongol menyiapkan sehelai pisau terbang ketika pintu berderit. Ternyata Pradamba dan Lembang Laut muncul dari pintu itu.
"Bagaimana?" tanya Gagak Bongol.
Gajah Pradamba tidak menjawab. Perhatiannya tertuju kepada tubuh yang tergeletak di atas pembaringan dengan luka melintang membelah punggungnya.
"Ada perempuan lari tunggang-langgang," bertanya Gajah Pradamba, "ada apa, apa yang terjadi?"
Gagak Bongol tersenyum. "Sayang kalian datang terlambat," jawabnya, "baru saja aku menyaksikan tontonan yang amat menggairahkan. Namun, karena aku merasa tidak senang jika kalian ikut-ikutan melihat maka tontonan yang menggairahkan itu aku hentikan dengan paksa."
Gajah Pradamba dan Lembang Laut memandang Gagak Bongol dengan tatapan mata datar. Dua prajurit pilihan dari pasukan Bhayangkara itu kemudian memerhatikan mayat yang tergeletak di depannya.
"Tidak usah kita bayangkan apa yang terjadi," ucap Lembang Laut,
"tidak baik untuk anak-anak!"
Gagak Bongol dan Gajah Pradamba tidak bisa menahan senyum.
Dalam perang dan keadaan yang gawat, masih bisa-bisanya mereka bercanda dan guyon. Ketiga prajurit pilih tanding dari kesatuan khusus pasukan Bhayangkara itu kemudian memeriksa segenap ruang. Namun, mereka tidak bisa menutupi kecemasan atas nasib Mahapatih Arya Tadah. Tentu telah terjadi sesuatu padanya.
"Laporkan kepada Kakang Bekel Gajahmada," ucap Gagak Bongol kepada Lembang Laut. "Katakan wisma kepatihan telah dibersihkan."
Gajahmada 199 Tanpa banyak bicara Lembang Laut meninggalkan tempat itu.
Gagak Bongol dan Gajah Pradamba melanjutkan pemeriksaan. Meski tempat itu telah diaduk, tidak ada jejak kejelasan nasib Mahapatih Arya Tadah. Bahkan, di beberapa sudut terlihat bekas-bekas perang dan beberapa prajurit pengawal wisma kepatihan terbunuh.
"Bagaimana?" Gajahmada menyongsong Lembang Laut.
Lembang Laut tidak menjawab, tetapi dengan gerakan khusus isyarat tangan, Lembang Laut melapor bahwa pekerjaan pembersihan wisma kepatihan yang dikuasai musuh telah berhasil diselesaikan dengan baik.
"Bagaimana dengan nasib Paman Tadah?" tanya Gajahmada yang sudah tidak sabar lagi.
Lembang Laut menggeleng. "Wisma kepatihan telah diduduki!" jawab Lembang Laut. "Sangat mungkin Mahapatih Tadah digelandang dihadapkan kepada Ra Kuti.
Jika Mahapatih Tadah dibunuh, tentu kami temukan mayatnya."
Gajahmada cemas. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi dan menimpa Mahapatih Tadah. Mungkin saja Ra Kuti menjadi gila dan menghabisi hidup orang kedua yang amat berkuasa di Majapahit itu.
Akan tetapi, mungkin pula Rakrian Kuti masih menyimpan rasa hormat kepada Mahapatih Tadah dan tak mengambil keputusan buruk terhadapnya. Apalagi, apabila Ra Kuti pintar, berbuat buruk kepada Mapatih Tadah yang dicintai dan dihormati orang banyak justru akan mengundang kebencian kepadanya.
"Mari kita masuk ke dalam wisma!" Bekel Gajahmada menjatuhkan perintahnya.
Tanpa bersuara, para prajurit Bhayangkara yang mengiring Jayanegara memasuki wisma kepatihan dari pintu belakang.
200 Gajahmada 25 Sementara itu, di lorong bawah tanah Ra Pangsa dan Ra Wedeng terpaksa harus mengumpat-umpat. Kegagalan mengejar Sri Jayanegara beserta para Bhayangkara pengiringnya menyebabkan mereka menjadi sangat kecewa. Kejengkelan itu makin menjadi karena perjalanan kembali menelusuri lorong bawah tanah itu bukan pekerjaan yang mudah. Api obor yang mereka gunakan menerangi lorong makin mengecil karena kehabisan minyak jarak hingga akhirnya ketika ujung lorong masih jauh, api obor itu benar-benar telah padam.
Lorong bawah tanah itu menjadi gelap gulita.
"Gila!" umpat Ra Pangsa kasar sekali. "Nyalakan obor itu."
Sekelompok prajurit itu seperti terjebak ke dunia yang sangat menyesatkan. Bahkan, untuk memandang telapak tangan sendiri pada jarak yang amat dekat, mereka tidak mampu melakukan.
Ketika semua orang merasa menjadi buta dan tidak tahu apa pun, gelap hitam menjelma menjadi kekuatan luar biasa yang mampu mengundang kepanikan, bahkan ketakutan seolah di dalam gelap malam bersembunyi tangan-tangan berkuku panjang dan tajam yang siap mencabik-cabik dan mencengkeram mereka.
Ra Pangsa dan Ra Wedeng hanya bisa mengumpat-umpat amat kasar. Akhirnya, yang bisa mereka lakukan hanyalah merayapi dinding dengan pelan. Waktu bagi mereka terasa bergerak amat lambat.
Di ujung lorong, tepat di bilik pribadi Jayanegara, Ra Kuti makin tidak sabar menunggu. Racun anak panah yang sempat melukai lengannya terasa kembali mengganggu. Rakrian Tanca yang telah berhasil mengurai racun itu meminta kepada Rakrian Kuti untuk tenang. Akan tetapi, karena pimpinan pemberontak itu tidak bisa tenang maka sisa racun yang masih tertinggal kembali mengusik.
Gajahmada 201 Wajah Ra Kuti pucat. "Jayanegara harus berhasil ditangkap!" berkata Ra Kuti dengan nada amat geram. "Aku tidak akan tenang menjadi Raja Majapahit selama Jayanegara masih hidup. Jayanegara nantinya akan menjadi duri dalam dagingku. Sewaktu-waktu Jayanegara dan Gajahmada akan kembali mengganggu ketenanganku."
Dengan tatapan datar, tetapi sarat teka-teki, Ra Tanca menatap wajah Ra Kuti.
"Tidak ada gunanya semua yang kauperoleh ini jika akhirnya kau harus mati, Ra Kuti."
Ra Kuti kaget oleh ucapan itu. Dipandanginya Rakrian Tanca dengan tatapan mata tak berkedip.
"Apa maksud ucapanmu?" Ra Kuti bertanya sambil mencuatkan alis.
"Jangan kauabaikan peringatanku," jawab Ra Tanca. "Jika kau tidak mau menenangkan diri dan banyak bergerak maka sisa racun itu, selemah apa pun, akan menjadi sumber kesulitan bagimu. Sebagian darahmu yang membeku akan menyumbat pembuluh-pembuluh darah dan menghentikan detak jantungmu. Kalau sudah demikian kaubisa berbuat apa?"
Ra Kuti memandang Ra Tanca dengan sangat tidak senang. Akan tetapi, Ra Kuti memang tak bisa menolak kenyataan bahwa detak jantungnya bagai dipacu lebih kencang. Bahkan, matanya agak berkunang-kunang.
Ra Kuti segera duduk di sudut pembaringan yang biasanya digunakan oleh Jayanegara. Betapa empuk alas tempat tidur itu, memancing keinginan Ra Kuti untuk mengelus-elusnya. Ra Kuti bahkan segera membaringkan diri dan memejamkan mata. Mulut pimpinan pemberontak itu menyunggingkan sebuah senyum, gambaran kepuasan hatinya yang tiada terkira karena telah berhasil menjungkalkan Sri Jayanegara dari singgasana. Apa yang selama ini dipendam dalam hati dan selalu menjadi angan-angan telah menjelma menjadi kenyataan.
202 Gajahmada Namun, hanya sejenak Rakrian Kuti mengumbar angan-angan karena dari lubang di mana pintu lorong ke bawah tanah itu berada terdengar suara riuh rendah. Ra Pangsa dan Ra Wedeng dengan napas tersengal keluar dari lubang itu, disusul oleh beberapa prajurit yang semula mengiringi mereka.
Wajah mereka hitam dan kotor.
"Mana Jayanegara?" Ra Kuti tidak sabar. "Kalian berhasil menangkap?"
Pangsa dan Wedeng belum bisa menjawab. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri yang tersengal, berusaha mengisi paru-parunya dengan udara yang masih segar.
Ra Kuti tidak sabar, "Bagaimana" Kalian berhasil?"
Ra Pangsa dan Ra Wedeng saling pandang.
Ra Pangsa kembali menghadapkan wajahnya kepada Ra Kuti dan menggeleng. Makin merah padam wajah Ra Kuti memperoleh jawaban itu.
"Jadi kalian tidak berhasil menangkap Jayanegara?" teriak Ra Kuti.
Suaranya pecah. Serasa akan lepas mata pimpinan Winehsuka itu. Ra Kuti sampai tak bisa berbicara lagi. Dengan beringas Rakrian Kuti mencengkeram pakaian yang dikenakan Ra Pangsa, tangan kanannya siap mengayun.
Namun, Ra Pangsa tidak mau diperlakukan seperti itu. Ra Pangsa berontak melepaskan diri.
Ra Kuti menggigil, "Keparat!"
Ra Kuti benar-benar kecewa. Keinginannya untuk mempermalukan Jayanegara sedemikian menggebu. Ra Kuti sudah menyusun rencana akan menggelandang Jayanegara dan Gajahmada ke alun-alun halaman istana dan mewajibkan setiap orang yang lewat untuk meludahinya.
Agaknya angan-angan itu sulit untuk menjadi kenyataan.
"Sebenarnya, apa yang telah terjadi?" Ra Tanca memecah keheningan.
Gajahmada 203 Ra Pangsa menoleh kepada Tanca.
"Ujung lorong disumbat dengan batu sehingga kami tidak berhasil menyusul mereka. Di ujung lorong kami temukan Panji Saprang mati dengan luka di dada. Gajahmada telah mengetahui penyusupan Panji Saprang di antara mereka," Pangsa menjawab.
Sedikit berubah raut wajah Rakrian Kuti mendengar kematian Panji Saprang. Semula Ra Kuti berharap telik sandi yang disusupkan di antara pasukan Bhayangkara itu akan memberikan jejak-jejak yang bisa dilacak.
Namun, ternyata Panji Saprang telah mati.
"Hanya Panji Saprang?" desak Ra Kuti.
"Ya," jawab Pangsa tegas.
"Kalian tak berhasil mengetahui di mana ujung lorong bawah tanah itu?" lanjut Ra Kuti.
Ra Pangsa menggeleng tegas.
Ra Kuti mondar-mandir sambil mencuatkan alis. Sesekali tangannya mengelus-elus keningnya yang lebar seolah merangsang otaknya agar bisa menemukan jawaban atas teka-teki yang mengganggunya.
"Tembus di mana kira-kira ujung lorong ini?" Ra Kuti bertanya pada diri sendiri. "Yang jelas lorong ini pasti melintasi tempat yang tidak ada paritnya."
Di samping licik dan culas pada dasarnya Ra Kuti memiliki otak cerdas dan pintar menghitung keadaan beserta berbagai kemungkinannya.
Raut wajah Rakrian Kuti seketika berubah.
"Wisma kepatihan!" ucap Ra Kuti terlonjak. "Lorong di bawah tanah ini pasti tembus ke wisma kepatihan. Cepat, kerahkan prajurit sebanyak-banyaknya ke wisma kepatihan."
Ra Yuyu dan Ra Banyak yang semula lebih banyak diam bergegas meninggalkan ruang itu melaksanakan perintah yang diberikan oleh Ra Kuti. Sejenak kemudian sekelompok pasukan telah siap dan bergerak menuju wisma kepatihan. Ra Kuti benar-benar tidak ingin kecolongan, diperintahkan pula untuk menyebar prajurit mengamankan kotaraja dan
204 Gajahmada menutup empat pintu gerbang untuk menjaga kemungkinan Jayanegara meloloskan diri dari kotaraja.
26 Dalam pada itu, di wisma kepatihan, Bekel Gajahmada dan segenap prajurit Bhayangkara telah memeriksa wisma kepatihan dengan cermat. Dari seorang abdi istana yang dibebaskan dari ikatan dan secarik kain yang digunakan menyumpal mulutnya, Gajahmada mengetahui nasib apa yang menimpa Mahapatih Tadah.
Sebenarnyalah Arya Tadah yang tua serta sakit-sakitan itu telah digelandang, dibawa ke penjara.
Gajahmada menyapu tempat itu dengan pandangan matanya.
Ada sesuatu yang harus dihitung dan dipertimbangkan menghadapi keadaan yang seperti itu. Gajahmada menatap Gagak Bongol dengan lekat.
"Lepas bajumu!" perintah Gajahmada.
Gagak Bongol kaget. Perintah itu amat aneh.
"Tuanku, silakan Tuanku melepas pakaian!" lanjut Gajahmada.
Bukan hanya Gagak Bongol yang kaget, tetapi juga Sri Jayanegara tidak kalah kaget.
Gagak Bongol manggut-manggut karena telah menebak apa yang dikehendaki Gajahmada. Namun, justru Sri Jayanegara yang sulit menerima perintah itu.
"Apa maksudmu Gajahmada?" Jayanegara mencuatkan alis.
Gajahmada 205 "Hamba Tuanku," jawab Gajahmada. "Tuanku harus melakukan penyamaran. Jika Tuanku mengenakan pakaian seperti itu, siapa pun akan dengan mudah mengenali Tuanku. Silakan Tuanku memakai pakaian milik Gagak Bongol."
Jayanegara hanya bisa menghela napas. Namun, sejenak kemudian Jayanegara terpaksa tersenyum.
Gagak Bongol yang kemudian menjadi salah tingkah.
"Ampun Tuanku!" Gagak Bongol berbicara, kepalanya menunduk.
"Ada apa?" balas Jayanegara.
"Pakaian hamba mungkin akan terasa gatal-gatal di tubuh Tuanku,"
ucap Gagak Bongol. Bekel Gajahmada yang jarang tersenyum terpaksa harus tersenyum mendengar ucapan itu. Sejenak kemudian, segenap yang hadir tidak bisa menahan tawanya. Bahkan, Sri Jayanegara juga tertawa.
"Pakaian gatal mungkin masih bisa kutahan," ucap Jayanegara, "tetapi entah dengan bau."
Kembali semua tertawa berderai. Namun, Gajahmada segera memberi isyarat untuk diam. Suara tertawa yang berderai itu akan menimbulkan tanda tanya dan mungkin malah memancing rasa ingin tahu.
Jayanegara tidak ragu memakai pakaian milik Gagak Bongol yang pas dengan ukuran tubuhnya. Semua prajurit Bhayangkara tersenyum melihat penampilan Jayanegara yang telah berbeda sama sekali. Siapa pun akan mengira Jayanegara adalah bagian dari prajurit Bhayangkara.
"Gagak Bongol, kaugunakan pakaian Sri Baginda. Aku percayakan kepadamu untuk memancing pasukan pemberontak itu ke arah lain."
Gagak Bongol tidak menunggu perintah itu diulang kembali. Busana khusus yang hanya boleh dipakai raja itu dipakainya. Bhayangkara yang hadir tertawa melihat Gagak Bongol telah berpenampilan lain sama sekali. Semua yang hadir kembali tertawa justru karena melihat Jayanegara mendekat dan menyembah Gagak Bongol
206 Gajahmada Namun, Gajahmada segera memberi isyarat untuk diam.
"Aku tidak akan mengulang perintahku. Cukup sekali saja dan laksanakan dengan baik," berucap Gajahmada. "Segenap prajurit Bhayangkara, kalian harus meloloskan diri melalui pintu gerbang timur.
Mungkin kalian bisa memanfaatkan kuda-kuda yang dimiliki Ki Jayengsuro. Upayakan para pemberontak itu benar-benar merasa yakin Tuanku Jayanegara bersama kalian melarikan diri ke arah timur. Akan halnya bagaimana dengan Tuanku Jayanegara, itu urusanku."
Bekel Gajahmada menghentikan sejenak rangkaian kalimatnya.
Matanya kembali menebar menggerataki semua wajah yang hadir di hadapannya.
"Untuk beberapa saat mungkin kita akan bercerai-berai. Akan tetapi, setelah itu kuminta kalian untuk menyusulku ke Rakrian. Kalau sampai besok petang kalian belum muncul juga di Rakrian, aku akan meninggalkan kalian ke sebuah jurusan yang tidak perlu aku sebut ke mana. Apakah ada yang ingin bertanya?"
Tak ada yang bertanya. Semua menganggap perintah yang diberikan pimpinan mereka telah cukup jelas. Rakrian dimaksud adalah sebuah tempat di arah timur laut dari kotaraja Majapahit. Tempat yang juga disebut Krian tersebut merupakan anugerah raja pada para Dharmaputra Winehsuka yang masing-masing dipanggil dengan sebutan Rakrian.
Tanpa harus dicampuri oleh Bekel Gajahmada, para prajurit yang bertugas mengalihkan perhatian para pemberontak segera mengadakan berbagai persiapan terutama merancang apa yang akan dikerjakan. Pada saat yang demikian itulah, Gajahmada menggamit Prajurit Gagak Bongol dan memintanya untuk berbicara hanya berdua.
"Ada apa?" Gagak Bongol merasa heran.
Gajahmada memandang Gagak Bongol dengan tajam.
"Pasukan kita disusupi komplotan pengkhianat. Panji Saprang yang ternyata salah seorang pengkhianat itu telah berhasil kita habisi. Akan tetapi, Gajahmada 207
aku merasa yakin masih ada temannya yang lain yang sampai saat ini belum bisa kita ketahui siapa. Oleh karena itu, berhati-hatilah serta cermati semua Bhayangkara yang utamanya berbuat aneh-aneh dan di luar kewajaran. Di samping itu, besok kau tidak akan pernah menemukan aku di Krian."
Gagak Bongol bingung. Pandangan Gagak Bongol tidak bergeser sejengkal pun dari wajah Gajahmada.
"Hanya kau yang tahu bahwa aku tak akan menuju Krian. Aku sebut tempat itu hanya untuk membuktikan memang ada pengkhianat yang kita curigai di antara kita. Jika Ra Kuti menyerbu Krian, berarti pengkhianat busuk itu benar-benar ada. Kita harus berhasil menemukan orangnya."
Gagak Bongol manggut-manggut.
"Aku mengerti Kakang Bekel. Aku akan mengawasi mereka semua, meski di dalam hati aku harus merasa kecewa karena ada prajurit Bhayangkara yang tidak punya malu dengan menjadi gedibal Ra Kuti."
Gajahmada menepuk-nepuk pundak Gagak Bongol. Gajahmada bisa mengerti dan merasakan kekecewaan Gagak Bongol. Secara pribadi Gagak Bongol dan Panji Saprang telah bergaul dengan baik. Keakraban yang terjalin selama ini mendadak terkoyak oleh kenyataan tidak terduga, Panji Saprang ternyata telik sandi yang disusupkan Ra Kuti.
"Hanya Kakang seorang yang mengawal Sri Baginda Jayanegara.
Bagaimana dengan barang bawaan Tuanku itu" Benda-benda itu bisa menarik perhatian banyak orang!" berkata Gagak Bongol.
Gajahmada termangu berpikir.
Namun, Gajahmada menggeleng, "Jangan pikirkan. Aku yang akan mengurus."
Gagak Bongol mengangguk. "Selanjutnya, apa yang harus aku lakukan setelah tugasku memancing mereka aku selesaikan?" tambah Gagak Bongol.
"Kau sendiri punya gagasan?" balas Bekel Gajahmada.
208 Gajahmada Gagak Bongol terdiam. Tatapan matanya yang semula tidak menampakkan gejolak, tiba-tiba menjadi berkilat-kilat.
"Malam hari akan menjadi wilayah kekuasaanku. Aku akan menyusup kembali ke kotaraja untuk membebaskan Mapatih Arya Tadah dan menghadirkan mimpi buruk yang akan menghantui tidur Ra Kuti,"
jawab Gagak Bongol tegas.
Gajahmada sependapat dengan gagasan itu. Apa yang akan dilakukan Gagak Bongol sebenarnya sama dengan perintah yang akan diberikannya.
"Aku percaya kau pasti bisa melakukan," ucap Gajahmada sambil menepuk-nepuk pundak Gagak Bongol. "Setelah kausampai di Krian, bergeraklah ke Mojoagung. Bertamulah kepada Ki Buyut Mojoagung.
Ki Buyut akan memberi petunjuk yang harus kaukerjakan."
Gagak Bongol tersenyum. "Tampaknya kita harus bergerak sekarang," tambah Gajahmada.
Sejenak kemudian para prajurit Bhayangkara yang mengawal "Sri Jayanegara" itu telah bergerak. Seorang penduduk yang bertempat tinggal berseberangan dengan wisma kepatihan melihat sekelompok prajurit berlarian melintas jalan melewati ladang pekarangan mengawal Sri Jayanegara.
Dengan cekatan para prajurit pilihan itu bergerak ke timur, menuju wisma Ki Jayengsuro, seorang saudagar kaya raya yang menekuni jual beli ternak kerbau dan kuda. Bahkan, untuk semua kebutuhan kuda para prajurit Majapahit, Ki Jayengsuro itulah yang memenuhinya.
"Tuanku," berkata Gajahmada, "kita tak mungkin bisa pergi dengan leluasa jika harus membawa kedua peti itu. Oleh karena itu, sebelum hamba mengamankannya, hamba mohon izin untuk mengetahui isinya."
Jayanegara membuka kedua peti itu. Dua peti berukuran besar itu berisi berbagai perhiasan emas dan permata yang memang berkesanggupan untuk mengubah akal waras seseorang.
Jayanegara memandangi wajah Gajahmada.
Gajahmada 209 Dengan cekatan Bekel Gajahmada menutup kedua peti kemudian mengikatnya dengan tali janget. Dengan gesit Bekel Gajahmada memanjat tiang dan menarik salah satu peti itu ke wuwungan wisma dan ditempatkan di tempat yang tidak terlihat.
Gajahmada turun. "Menurut Tuanku, apakah ada orang yang akan mengira di tempat itu kita menyembunyikan harta yang tidak ternilai harganya?"
Jayanegara menggeleng, "Kurasa tempat itu cukup aman!"
jawabnya. "Mari Tuanku," berkata Bekel Gajahmada setelah mengamankan peti berikutnya. "Kini giliran kita yang meninggalkan tempat ini."
27 Hanya berselisih waktu sejenak setelah semuanya pergi, para prajurit pemberontak di bawah pimpinan Ra Yuyu dan Ra Banyak datang.
Dengan sigap mereka mengepung wisma kepatihan. Ra Yuyu dan Ra Banyak menjadi tegang ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman wisma, bahkan di semua sudut justru mayat-mayat anak buahnya.
Dengan isyarat tangan Ra Banyak memberikan perintah. Prajurit bawahannya segera bergerak berlarian memeriksa semua sudut. Namun, Ra Yuyu dan Ra Banyak kembali harus menelan kekecewaan karena mereka datang sesaat lebih lambat. Mendidih serta bergolak isi dada Ra Banyak ketika di dinding ruang dalam melihat sebuah tulisan yang tampaknya memang ditinggalkan untuk mereka.
210 Gajahmada "Mimpi buruk akan segera membayangimu, Ra Kuti." Demikian isi tulisan di dinding itu. "Kami akan datang lagi untuk menggantungmu di tengah pasar. Jangan harap bisa menjamah Jayanegara karena justru kau dan segenap kaki tanganmu yang akan diikat di depan pasar dan semua orang akan mengencingimu. Dari kami para Bhayangkara."
"Keparat!" umpat Ra Banyak dan Ra Yuyu hampir bersamaan.
Ra Banyak benar-benar marah dan tidak mampu menguasai diri.
Pintu butulan ditendangnya dengan amat keras hingga pecah berantakan, tetapi pintu itu rupanya terbuat dari kayu jati yang sangat keras dan tebal. Ra Banyak mengaduh-aduh kesakitan.
"Bhayangkara keparat," umpat Rakrian Banyak, "kalau kau ada di sini, akan aku culek matamu. Kalau kau ada di sini, akan kujejalkan pangkal pedang ini ke mulutmu."
Ra Banyak melangkah mondar-mandir sambil masih menahan nyeri di betisnya. Ra Yuyu lebih banyak diam, tetapi hatinya tidak kalah mendidih.
Betapapun kecewa Ra Yuyu dan Ra Banyak, mereka harus melihat kenyataan betapa pasukan Bhayangkara memang lebih licin dari belut.
Pada kenyataannya sebagaimana yang dialami Ra Pangsa dan Wedeng di lorong bawah tanah, Ra Yuyu dan Ra Banyak pun terlambat sesaat.
Namun, yang sesaat itu merupakan waktu yang sangat berharga dan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Bhayangkara untuk meloloskan diri.
Setelah para prajurit melakukan pemeriksaan untuk beberapa saat lamanya, seorang di antara mereka yang memiliki kumis tebal dan melintang berlari-lari mendatangi Ra Yuyu dan Ra Banyak.
"Apa yang kautemukan?" bertanya Ra Yuyu tidak sabar.
"Lorong bawah tanah itu tembus pekarangan belakang!" jawab prajurit rendahan itu dengan sigap.
Ra Yuyu melotot, "Kaupikir kita ke sini hanya untuk menemukan ujung lorong itu ha?"
Gajahmada 211 Prajurit berpangkat rendahan itu kebingungan karena laporan yang diberikannya tidak membuat Ra Yuyu dan Ra Banyak berkenan. Mata Ra Yuyu tidak sekadar melotot, tetapi sudah kemerahan. Serabut pembuluh darah matanya rupanya telah dipenuhi darah yang dipompa kemarahannya. Namun, sesaat kemudian seorang prajurit yang lain datang dengan napas tidak kalah tersengal.
"Mereka melarikan diri menuju gerbang timur," lapor prajurit itu.
Ra Yuyu dan Ra Banyak saling pandang.
Rupanya keterangan memang diperoleh dari seorang penduduk yang tinggal berseberangan dengan wisma kepatihan. Ra Yuyu dan Ra Banyak tidak mau kehilangan waktu. Perintah untuk mengejar segera dijatuhkan, seorang prajurit yang lain ditugasi kembali ke istana untuk memberitahu Ra Kuti atas apa yang terjadi. Pasukan berkuda pun segera berderap kencang mengejar buronannya.
Ki Jayengsuro yang ketakutan oleh terjadinya perang menutup pintu rumahnya rapat-rapat. Ki Jayengsuro dan anak-istrinya meringkuk di dalam bilik sambil tidak henti-hentinya berdoa semoga sesuatu yang buruk sebagai akibat dari perang yang terjadi di siang itu tidak menular menjamah keluarga mereka.
Namun, Ki Jayengsuro terlonjak.
"Ada apa Kiai?" istrinya bertanya cemas.
Ki Jayengsuro bangkit berdiri dan beranjak ke dinding mengambil sebilah pedang yang tergantung di sana.
"Kiai!" istrinya tambah cemas. "Jangan."
Ki Jayengsuro ragu. Namun, suara kuda-kuda yang meringkik di kandang amat mengganggunya.
Tentu ada orang yang akan berbuat jahat dengan memanfaatkan keadaan yang kisruh dengan mencuri kuda dagangan miliknya.
"Jangan Kiai!" kembali istrinya mencegah. "Biar mereka mengambil kuda itu asal kita selamat."
212 Gajahmada Ki Jayengsuro di kala muda adalah seorang prajurit. Di tubuhnya masih mengalir sikap serta sifat seorang prajurit yang tidak mudah takut atau gemetar menghadapi keadaan apa pun. Ki Jayengsuro mengabaikan peringatan yang diberikan istrinya. Ki Jayengsuro bergegas menuju halaman belakang. Melihat banyak orang berada di halaman belakang rumahnya, Jayengsuro kaget.
Lembang Laut yang melihat Ki Jayengsuro tersenyum, "Apa kabar Ki Jayengsuro?"
Ki Jayengsuro mengenali orang itu dan beberapa orang yang lain sebagai pasukan khusus Bhayangkara yang bertugas melindungi keluarga istana. Ki Jayengsuro merasa degup jantungnya berhenti saat melihat seseorang yang diyakininya sebagai Sri Jayanegara menilik busana khusus yang dikenakannya.
Lembang Laut mendekat Ki Jayengsuro dan menepuk pundaknya.
Sri Jayanegara yang dipandangnya mengalihkan tatapan wajahnya ke arah lain.
"Ra Kuti telah mbalela, Kiai," berkata Lembang Laut, "mereka telah melakukan tindakan makar dan menduduki istana. Kami segenap pengawal istana berkewajiban menyelamatkan Tuanku Jayanegara. Akan tetapi, pada suatu ketika kelak kami akan kembali dan memberi pelajaran pada Ra Kuti yang tidak tahu diri itu."
Ki Jayengsuro manggut-manggut dan menyimak penjelasan prajurit Bhayangkara itu dengan saksama.
"Oleh karena itu, kami pasukan Bhayangkara membutuhkan bantuanmu. Kelak kau akan dianggap sebagai orang yang amat berjasa kepada pasukan Bhayangkara dengan bantuan yang telah kauberikan itu. Sang prabu tentu tidak akan melupakan jasamu!" lanjut Lembang Laut.
Ki Jayengsuro yang menunduk kembali menengadah. Perhatiannya tertuju kepada Sri Jayanegara. Sayang sekali Sri Jayanegara tidak mengarahkan pandangan matanya kepadanya. Apabila Sri Jayanegara berkenan menoleh maka Jayengsuro akan memberikan sembahnya.
Gajahmada 213 "Bantuan apa yang bisa kuberikan, Kisanak Prajurit?" tanya Jayengsuro.
"Kau akan membantu?" desak Lembang Laut.
Jayengsuro mengangguk mantap.
"Bagus!" lanjut Lembang Laut. "Kami semua membutuhkan kuda-kudamu, sejumlah kami yang hadir ini. Apakah kaukeberatan?"
Mata Ki Jayengsuro berbinar.
"Tentu tidak Kisanak Prajurit. Silakan Kisanak semua dan Tuanku Jayanegara menggunakan kuda-kuda itu. Silakan pakai kuda-kuda yang paling tegar."
Semula Lembang Laut mengira akan menghadapi sikap Ki Jayengsuro yang keberatan terhadap permintaan itu. Namun, di luar dugaan, Ki Jayengsuro dengan ketulusan hatinya malah mempersilakan.
Bhayangkara Lembang Laut segera memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mengeluarkan kuda-kuda itu dari kandang.
"Kami sangat menghargai pengorbanan yang kauberikan untuk menyelamatkan Tuanku Jayanegara. Apa yang kaulakukan ini barangkali akan membahayakan dirimu. Karena itu, sebaiknya kau dan segenap keluargamu segera menyelamatkan diri. Pada suatu hari nanti Tuanku Jayanegara tidak akan melupakan budi baikmu ini," lanjut Lembang Laut.
Serombongan pasukan berkuda berderap meninggalkan rumah Ki Jayengsuro membelah udara siang yang tenggelam oleh hiruk-pikuk berita pemberontakan yang terjadi. Dengan trengginas pasukan Bhayangkara berpacu ke arah timur melintasi perkampungan Santanaraja dan berbelok ke utara menuju Bajang Ratu lalu membelok ke timur lagi. Pada lapis paling depan, para Bhayangkara yang siap menghujani siapa pun yang berani menghadang dengan anak panah.
Pada bagian tengah dari rombongan itu, siapa pun akan mengira orang itu adalah Jayanegara. Apabila ada yang mampu berpikir jernih, sebenarnya ada yang aneh karena Jayanegara kurang begitu prigel berkuda.
214 Gajahmada Adalah sebuah kebetulan bersamaan dengan itu dari arah selatan terlihat beberapa penunggang kuda yang berderap kencang membelah angin. Mereka adalah pasukan berkuda yang dipimpin oleh Ra Yuyu dan Ra Banyak.
"Itu mereka!" berteriak Ra Yuyu yang terlonjak melihat rombongan berkuda itu. "Tangkap mereka. Jangan biarkan mereka lolos dari kotaraja."
Para Bhayangkara yang berkuda itu melihat di arah belakang pasukan berkuda telah mengejar mereka. Lembang Laut segera mengepalkan tangan sebagai isyarat agar mereka membedal kuda makin cepat. Debu mengepul di jalanan yang mereka lewati.
Meskipun Ra Yuyu dan Ra Banyak berusaha keras mengejar mereka, jarak yang memisahkan dua rombongan orang berkuda itu tidak makin dekat. Secepat apa pun Ra Yuyu dan pasukannya melesat membelah udara, secepat itu pula para Bhayangkara berderap kencang ke arah timur.
Pintu gerbang sebelah timur terlihat terbuka. Tampak dari kejauhan beberapa orang prajurit berjaga-jaga. Para prajurit pengawal pintu gerbang melihat ada yang aneh di arah barat. Sekelompok orang berkuda terlihat dikejar oleh kelompok yang lain. Pimpinan prajurit penjaga pintu gerbang sebelah timur itu tanggap pada keadaan. Dengan cukat trengginas mereka segera berlarian menghadang. Beberapa di antaranya siaga menutup bilah pintu.
"Cepat tutup pintu gerbang!" perintah dijatuhkannya.
Beberapa prajurit di regol segera berloncatan dan beramai-ramai berusaha menutup pintu regol. Namun, rupanya pintu regol itu sangat tebal serta membutuhkan tenaga beberapa orang untuk menggesernya.
Dengan sekuat tenaga mereka mendorong pintu gerbang yang juga lazim disebut Kori Setangkep itu.
"Ayo Cepat!" Bhayangkara Gagak Bongol yang mengenakan pakaian Jayanegara berteriak. "Mereka akan menutup pintu gerbang."
Bila pintu gerbang sampai tertutup maka para prajurit Bhayangkara itu akan mengalami kesulitan karena dari arah belakang prajurit berkuda dengan jumlah jauh lebih banyak dari jumlah mereka akan memberikan
Gajahmada 215 tekanan yang menyulitkan. Lembang Laut melecut kudanya agar berderap lebih kencang. Sambil berkuda dan dengan keterampilan yang luar biasa, Lembang Laut merentang busur.
Dua anak panah lepas dari busur itu dan melesat dengan sangat cepat menimbulkan suara berdesing. Ada dua prajurit yang celaka oleh ulahnya. Dengan telak dua anak panah itu menyambar ke dada mereka, tembus hingga ke punggung. Dua orang prajurit pemberontak itu terjengkang tanpa sempat berkelejotan untuk kemudian mati terinjak-injak teman-temannya sendiri. Bhayangkara Singa Parepen yang berada di belakang Lembang Laut tidak kalah cekatan. Tiga anak panah lepas dari busurnya, melesat dengan cepat menuju sasaran. Prajurit pemberontak yang menjaga gerbang masih mempunyai kesempatan untuk menghindar. Salah seorang di antara mereka segera mengayun pedang menyambar anak panah yang datang. Upayanya membuahkan hasil. Namun, tidak demikian nasib kedua orang temannya. Anak panah itu menyambar tepat di kening, membuat prajurit pemberontak bernasib buruk itu terjengkang dan ambruk. Seorang lagi jatuh terduduk karena sebuah anak panah menembus perutnya, mengobrak-abrik ususnya.
Para prajurit pemberontak yang mengamankan pintu gerbang itu terpaksa berlarian menghindar dari bahaya. Beberapa prajurit yang lain membalas dengan melepas anak panah. Sayang sekali upaya mereka tidak membuahkan hasil. Ra Yuyu dan Ra Banyak terpaksa mengumpat kasar melihat buronan mereka berhasil lolos melewati pintu gerbang timur.
"Kejar mereka!" berteriak Ra Banyak.
Dengan sangat bernafsu Rakrian Banyak melecut kudanya, berderap susul-menyusul dengan Ra Yuyu beserta segenap anak buahnya. Debu mengepul tebal diacak-acak oleh kaki kuda itu. Terpisah jarak beberapa tombak di depan, pasukan Bhayangkara yang berhasil memancing mereka berderap makin kencang pula.
216 Gajahmada 28 Laporan mengenai Sri Jayanegara yang berusaha meloloskan diri dari istana itu telah sampai pula di telinga pimpinan Winehsuka. Rakrian Kuti amat bernafsu. Meski Tanca sudah mengingatkan, Ra Kuti tidak memedulikan luka di lengannya yang sewaktu-waktu bisa kambuh.
Rakrian Kuti segera menyiapkan pasukan berkuda berkekuatan amat besar untuk memburu Jayanegara.
Beberapa saat kemudian dari alun-alun istana berderap sekelompok pasukan berkuda yang dipimpin langsung oleh Ra Kuti sendiri. Ra Kuti benar-benar khawatir jika Jayanegara tidak berhasil ditangkap dan segera dihukum mati, di kemudian hari Jayanegara pasti menjadi sumber kesulitan.
Dari balik sebuah dinding pekarangan rumah kosong, dua orang lelaki memerhatikan gerakan pasukan berkuda itu. Mereka menggunakan pakaian alakadar-nya. Penampilannya bahkan tidak menarik perhatian.
Mereka adalah Sri Jayanegara dan Bekel Gajahmada.
"Akan ke mana mereka?" bertanya Jayanegara.
Bekel Gajahmada memandang pasukan berkuda yang berderap susul-menyusul itu. Ra Kuti terlihat berkuda paling depan.
"Mengejar angin, Tuanku!" jawab Gajahmada pendek.
Gajahmada menggamit tangan Jayanegara. Dengan bergegas mereka berjalan beriringan.
"Kita akan ke mana?" kembali Jayanegara bertanya.
"Kita akan meloloskan diri melalui pintu gerbang sebelah utara!"
jawab Gajahmada. "Pintu gerbang tentu dijaga dengan ketat."


Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gajahmada 217 "Kita lihat saja nanti."
Perjalanan Bekel Gajahmada dan Jayanegara tidak mengalami hambatan yang berarti. Penyamaran yang mereka lakukan begitu sempurna sehingga siapa pun yang berpapasan dengan mereka tidak akan ada yang mengira salah seorang di antara mereka adalah Raja Majapahit.
Apa yang dibayangkan Sri Jayanegara benar sesuai dengan kenyataan.
Pintu gerbang kotaraja sebelah utara yang disebut Bajang Ratu dijaga ketat oleh para prajurit pemberontak. Jumlah mereka bahkan amat banyak. Dari balik rimbun pohon lumbu, Bekel Gajahmada dan Jayanegara mengintai.
"Pintu gerbang dijaga ketat," berkata Jayanegara, "apalagi anak buahmu baru saja melintasi pintu itu. Bagaimana kita keluar dari balik dinding ini, Bekel Gajahmada?"
"Ampun Tuanku," jawab Gajahmada, "sebenarnyalah hamba telah menyiapkan sebuah cara untuk bisa keluar dari balik dinding itu. Untuk itu, silakan Tuanku mencoba menahan napas. Hamba harus mengetahui seberapa lama Tuanku bisa menahan napas."
Jayanegara terheran-heran. Namun, Raja Majapahit itu tidak menolak apa yang diminta Bekel Gajahmada. Setelah menghirup udara cukup banyak, Jayanegara menahan napas untuk beberapa saat lamanya. Ketika akhirnya Jayanegara tidak mampu menahan lagi, napas yang ditahan itu dilepasnya.
"Bagaimana?" bertanya Jayanegara.
"Bagus," jawab Bekal Gajahmada, "sekarang, mari kita membenamkan diri ke sungai itu. Kita merayap agar tidak kelihatan."
Jayanegara terbelalak, "Gila!"
Namun, Gajahmada tidak memberi kesempatan kepada Sri Jayanegara untuk larut dalam berbagai pertanyaan dan pertimbangan.
Gajahmada menggamitnya dan mulai beringsut menuju sungai kecil yang mengalir sejajar dengan dinding batas kotaraja. Apa boleh buat, Jayanegara terpaksa harus memenuhi keinginan Bekel Gajahmada.
218 Gajahmada Dengan merayap Jayanegara mengikuti di belakang kemudian ikut membenamkan diri ke sungai kecil itu tanpa menimbulkan suara yang bisa memancing perhatian para prajurit pemberontak yang mengamankan pintu gerbang utara. Masih dengan gerakan perlahan tanpa suara Bekel Gajahmada membimbing Sri Jayanegara mendekati ujung kali.
"Sekarang apa yang akan kita lakukan?" bisik Jayanegara.
Gajahmada menahan senyum.
"Kita akan keluar melalui gorong-gorong, Tuanku!" jawabnya.
Jayanegara kembali terbelalak. Cara yang digunakan pimpinan Bhayangkara dalam upaya menyelamatkannya itu ternyata sangat mengerikan. Meloloskan diri dari balik dinding ke luar dinding melewati gorong-gorong dengan air yang sedemikian deras, membayangkan saja Sri Jayanegara belum pernah.
"Tahan napas Tuanku!" pinta Gajahmada.
Jayanegara memandang Gajahmada tak berkedip.
"Kaugila Gajahmada," desis Sri Jayanegara. "Kau akan membunuhku dengan membenamkan aku ke dalam air?"
Gajahmada menatap Sri Jayanegara beberapa saat lamanya.
Pimpinan pasukan Bhayangkara itu mencoba memaklumi ketakutan yang membayangi Jayanegara. Namun, Gajahmada tidak melihat pilihan atau cara lain untuk meloloskan diri ke luar dinding kotaraja itu.
"Tidak ada jalan lain, Tuanku," ucap Gajahmada. "Atau mungkin Tuanku akan memilih meminta izin melewati pintu gerbang itu?"
Ucapan Bekel Gajahmada itu memaksa Sri Jayanegara termangu.
Ibarat makan buah simalakama, Sri Jayanegara tidak diberi kesempatan untuk memilih karena memang tidak ada pilihan lain. Menyadari hal itu Sri Jayanegara yang tak bisa berenang itu mendadak pucat pasi.
"Benarkah tak ada cara lain?" kembali Jayanegara menawar.
Gajahmada tidak menjawab. Pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu malah membenamkan diri ke dalam air. Jayanegara Gajahmada 219
kebingungan karena Gajahmada lenyap. Bekel Gajahmada ternyata mampu melenyapkan diri di bawah permukaan air cukup lama.
Gajahmada kembali muncul ke permukaan justru di belakangnya.
"Tuanku hanya menahan napas," ucap Gajahmada, "selama menahan napas itulah Tuanku akan hamba bimbing menerobos gorong-gorong. Kekuatan Tuanku menahan napas itu sudah cukup untuk mengantar Tuanku sampai seberang."
Jayanegara memerlukan merenungkan ucapan Gajahmada itu beberapa saat lamanya.
"Baiklah," ucap Jayanegara tegas, "terserah kamu."
Mengikuti petunjuk yang diberikan Gajahmada, Sri Jayanegara segera mengisi dadanya dengan udara sebanyak-banyaknya. Dengan bekal udara yang cukup itu Jayanegara segera membenamkan diri ke dalam air mengikuti gerak Gajahmada. Dengan secepat-cepatnya Bekel Gajahmada menggelandang Sri Jayanegara, pekerjaan yang ternyata tidak gampang karena Jayanegara tidak mampu berenang. Hanya dalam waktu tak berapa lama, Jayanegara mulai mengalami kesulitan yang bisa membahayakan nyawanya. Sri Jayanegara merasa lehernya tercekik dan akan mati. Jayanegara menjadi amat panik.
Jayanegara meronta keras dan nyaris lepas. Bekel Gajahmada bertindak sigap dengan memegang tangan Sri Jayanegara dan berenang secepat-cepatnya. Perjalanan yang singkat itu serasa setahun lamanya.
Akhirnya, setelah sampai di ujung Gajahmada segera menyembul ke permukaan. Sri Jayanegara yang nyaris mati pucat pasi dan dengan amat serakah menghirup udara melalui napasnya yang tersengal, matanya terbeliak melotot.
"Gila!" umpat Jayanegara di antara napasnya yang tersengal. "Ini benar-benar gila."
Gajahmada tersenyum. Bekel Gajahmada yang menebarkan pandangannya merasa lega karena tak terlihat seorang prajurit pun di luar dinding. Bekel Gajahmada yang kembali menatap Jayanegara merasa heran karena melihat Sri Jayanegara justru tersenyum.
220 Gajahmada "Ini benar-benar pengalaman luar biasa," ucap Sri Jayanegara, "aku tidak akan pernah melupakannya sampai kapan pun."
Tanpa banyak berbicara Bekel Gajahmada naik dan menjulurkan tangannya menolong Sri Jayanegara mentas dari sungai itu. Dengan berlari cepat mereka berusaha menerobos ke ladang jagung yang tumbuh rimbun.
Rupanya Sri Jayanegara masih terpengaruh oleh pengalaman yang dianggapnya sangat luar biasa itu. Sulit bagi Jayanegara membayangkan betapa baru saja ia menerobos gorong-gorong, tembus sampai ke ujungnya. Jayanegara menggeleng-geleng takjub.
"Kenapa Tuanku?" bisik Gajahmada.
"Tadi itu aku hampir mati."
Mendengar jawaban itu Gajahmada tak kuasa menahan tawanya yang lepas berderai.
"Sekarang bagaimana?" tantang Jayanegara.
Gajahmada bangkit berdiri dan memandang langit.
"Kita akan bertahan di sini Tuanku," jawab Gajahmada, "tentu tidak akan ada yang mengira, Raja Majapahit bersembunyi di ladang jagung ini. Jika hari telah gelap, barulah kita tinggalkan tempat ini. Untuk sementara kita akan beristirahat di sini."
29 Dalam pada itu, pasukan Bhayangkara yang meloloskan diri dari kotaraja berderap makin jauh. Pada jarak yang tidak makin dekat dan juga tidak makin jauh, hanya beberapa ratus tombak di belakangnya, Ra Yuyu dan Ra Banyak beserta segenap pengiringnya terus mengejar.
Gajahmada 221 Dengan sangat bernafsu pasukan yang dipimpin Ra Banyak dan Ra Yuyu itu mengejar sambil mengacung-acungkan pedangnya. Sesekali bahkan melepas panah dari arah belakang.
Akhirnya, setelah waktu berjalan cukup lama, Ra Yuyu dan Ra Banyak harus melihat kenyataan, secepat apa pun mereka berpacu jarak yang memisahkan mereka tidak makin dekat malah makin menjauh. Ra Yuyu mengumbar segala macam perbendaharaan sumpah serapah yang dimilikinya. Namun, hal itu sama sekali tidak membantunya.
"Ayo, kejar terus. Aku menginginkan mereka!" teriak Ra Yuyu lantang.
"Tangkap Jayanegara!" teriak Ra Banyak tidak kalah lantang. "Kita seret Jayanegara di belakang kuda. Ayoooo!"
Kejar-kejaran antara kedua kelompok pasukan itu berlangsung seru.
Pasukan Bhayangkara yang menjadi buron mampu merentang jarak lebih panjang karena kuda-kuda yang mereka gunakan benar-benar kuda pilihan. Kuda-kuda dagangan milik Ki Jayengsuro itu mampu melesat membelah angin dengan kecepatan tinggi. Sebaliknya, meski Ra Yuyu dan Ra Banyak dengan segenap anak buahnya telah berusaha dengan sekuat tenaga, tetapi jarak yang memisahkan mereka makin membentang bukannya makin dekat malah makin jauh. Ra Yuyu hanya bisa menggeretakkan gigi.
Setelah waktu beberapa saat lamanya berlalu dan jarak yang mereka tempuh makin jauh, malah muncul pertanyaan di hati para Bhayangkara, mengapa mereka harus lari terbirit-birit bagai pengecut. Sambil berkuda Lembang Laut menengok ke arah belakang mencoba mengukur berapa jumlah kekuatan lawan. Lembang Laut mengerutkan kening.
Jumlah pasukan pemberontak yang memburu mereka walaupun jauh lebih banyak, sebenarnya bukan pekerjaan yang sulit bagi pasukan Bhayangkara menghadapinya. Itu sebabnya, saat melewati sebuah tikungan tajam, Lembang Laut tiba-tiba menarik kendali kekang kudanya.
Kuda Lembang Laut melonjak dengan kaki depan terangkat ke atas.
Sikap Lembang Laut itu mengagetkan temannya yang lain. Serentak mereka juga menarik tali kendali kudanya.
222 Gajahmada "He, ada apa?" bertanya Gajah Geneng.
Bhayangkara Lembang Laut merentang anak panah.
"Tak seharusnya kita lari terbirit-birit," ucap Lembang Laut dengan nada datar, tetapi sangar. "Aku ingin bermain-main lebih dahulu. Gatal tanganku sebelum mbarang amuk membantai mereka."
Serentak semuanya sependapat dengan gagasan itu. Mereka segera menata diri berbaris berjajar menghadang di tengah jalan. Gagak Bongol yang menyamar sebagai Jayanegara sejenak kebingungan.
"Hee, aku bagaimana?" bertanya Gagak Bongol. "Apa yang harus kulakukan?"
"Silakan Tuanku duduk manis," jawab Lembang Laut, "biarlah kami selesaikan mereka lebih dahulu."
Gagak Bongol tertawa bergelak.
Setelah sekian lama perjalanan yang mereka tempuh dan di hitungan waktu untuk menyesatkan pasukan pemberontak sudah cukup, kini Gagak Bongol merasa tiba saatnya untuk membuka jati diri. Pasukan Bhayangkara yang terlindung oleh tikungan itu berbaris berjajar. Gagak Bongol segera mengambil alih kendali dari Lembang Laut dan memberi isyarat untuk mengangkat busur. Anak panah yang pada ujungnya dilumasi racun telah siap lepas dari gendewa.
Derap para prajurit kaki tangan Ra Kuti yang memburu mereka terdengar makin dekat dan makin jelas. Terdengar dari suara derap kuda itu, Ra Yuyu atau Rakrian Banyak tak memerintahkan untuk mengurangi kecepatan. Hal itu sangat menguntungkan pasukan Bhayangkara. Demikian mereka muncul, Gagak Bongol segera melepas anak panah disusul oleh teman-temannya.
Ra Yuyu dan segenap anak buahnya sama sekali tidak menduga akan terjadi peristiwa seperti itu. Mereka belingsatan dan kaget bukan kepalang. Malang bagi barisan prajurit yang berada di samping kanan karena hujan anak panah menghajar mereka. Pasukan Bhayangkara adalah prajurit yang sangat terlatih dan memiliki kemampuan bidik luar biasa.
Gajahmada 223 Maka akibatnya luar biasa. Pasukan Ra Yuyu dan Ra Banyak yang sama sekali tak mengira akan memperoleh serangan dadakan itu jatuh bergelimpangan.
Gagak Bongol dan Lembang Laut dengan sengaja mengarahkan anak panah pada kuda yang paling depan. Kuda itu ambruk disusul kuda di belakang yang terhalang ikut-ikutan ambruk. Dengan cermat serta penuh perhitungan para Bhayangkara melepas anak panah. Apa boleh buat, dalam perang hanya ada sebuah hukum. Jika tidak mau dibunuh hanya ada satu pilihan tersisa, membunuh.
Ra Yuyu dan Ra Banyak dengan cekatan melenting berusaha mencari perlindungan. Pasukan yang berada di belakang dengan trengginas berusaha melindungi diri dengan tameng dan mencuri kesempatan membalas dengan anak panah pula.
Serangan tidak terduga di tikungan jalan yang terjadi itu benar-benar membuat kalang kabut Ra Yuyu dan Ra Banyak. Keduanya hanya bisa menggeram melihat anak buahnya satu demi satu jatuh bergelimpangan tanpa mendapat kesempatan melindungi diri sama sekali. Akan tetapi, Gagak Bongol dan teman temannya bukan orang yang tidak punya hati nurani. Gagak Bongol segera mengangkat tangan sebagai perintah untuk menghentikan serangan. Namun demikian, pasukan Bhayangkara tetap merentang anak panahnya, siap menghajar kembali.
Hening merayap. Beberapa prajurit yang terluka merintih kesakitan dan sebagian di antaranya bahkan langsung mati. Ra Yuyu dan Ra Banyak kemudian bahkan melihat lebih dari sepuluh orang anak buahnya telah terluka melalui serangan mendadak itu. Yang kemudian memaksanya harus menghitung keadaan adalah sikap pasukan Bhayangkara. Mereka tetap duduk di atas kuda dan masing-masing telah siap melepas anak panah.
"Semoga kalian belajar dari keadaan," berkata Gagak Bongol,
"kami pasukan Bhayangkara bukan jenis pembantai yang tidak punya perasaan. Kalau kami mau, tidak akan ada yang bisa kembali dengan selamat dari tempat ini."
224 Gajahmada Ra Yuyu dan Ra Banyak terbelalak. Demikian pula para prajurit bawahannya, semua kaget dan kebingungan. Orang yang baru saja bicara dengan suara lantang itu berpakaian layaknya raja. Mereka bahkan menduga orang itu adalah Sri Jayanegara. Kini pada jarak yang sangat dekat mereka melihat orang itu ternyata bukan Jayanegara. Ra Yuyu dan Ra Banyak bahkan mengenali orang itu sebagai Gagak Bongol.
"Gila!" Ra Banyak berdesis.
Rakrian Yuyu dan Rakrian Banyak saling pandang. Kini mereka menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan. Mereka ternyata telah tertipu. Orang yang mereka duga Jayanegara dan dengan mati-matian diburu, ternyata hanya seorang Bhayangkara yang didandani layaknya raja. Melihat mereka kebingungan Bhayangkara Gagak Bongol tertawa terbahak. Disusul oleh segenap Bhayangkara yang lain juga ikut tertawa.
Ra Yuyu dan Ra Banyak merasa wajahnya menebal melebihi tebal dinding kotaraja atau istana.
"Kalian mengira aku adalah Tuanku Jayanegara?" Bhayangkara Gagak Bongol berbicara lantang. "Lihatlah aku dengan saksama. Kalian tentu sudah mengenal dengan baik siapa aku."
Apabila ada rasa kecewa yang amat menyakitkan, itulah rasa kecewa yang dirasakan Ra Yuyu dan Ra Banyak. Dan, Lebih menyakitkan lagi karena kini mereka berada dalam ancaman anak panah.
"Dengarkan kalian semua!" Gagak Bongol berteriak dengan suara amat lantang. "Kuampuni nyawa kalian dan kalian boleh pergi. Hanya Ra Yuyu dan Ra Banyak yang harus tetap tinggal."
Menjadi gempar para prajurit pemberontak yang terjebak itu.
Mereka saling pandang antara satu dengan lainnya. Kini perhatian mereka tertuju pada Ra Yuyu dan Ra Banyak. Ra Yuyu dan Ra Banyak menyadari bahaya besar yang membayang di hadapannya. Kedua Winehsuka itu saling mengkedipkan mata sebagai isyarat antara satu dengan lainnya.
Dengan bersamaan mereka meloncat melenting cepat ke atas kuda dan segera membedal balik arah.
Gagak Bongol dan kawan-kawannya tidak menduga Ra Banyak dan Yuyu akan melakukan hal yang tak terduga itu. Dengan cepat busur-Gajahmada 225
busur yang terentang itu dilepas. Anak panah berhamburan menghajar mereka. Sebuah anak panah melesat tepat mengenai pantat kuda yang dinaiki Ra Yuyu. Kuda itu jatuh berguling. Namun, dengan cekatan Ra Yuyu berlari dan meloncat bersatu kuda dengan Ra Banyak.
Lembang Laut bergegas membidik. Namun, bayangan tubuh Ra Yuyu dan Ra Banyak segera lenyap di balik tikungan jalan. Apa boleh buat, dua orang itu ternyata harus lepas. Lembang Laut dan Gagak Bongol harus menggeram kecewa karena kesempatan untuk menghukum dua orang Winehsuka itu terpaksa tidak menjadi kenyataan.
Derap kuda Ra Banyak dan Ra Yuyu makin menjauh. Nyaris saja Lembang Laut membedal kuda dan memburunya, tetapi Gagak Bongol segera mencegahnya. Gagak Bongol yakin di belakang Ra Banyak dan Ra Yuyu, sepasukan berkuda yang berkekuatan lebih besar dan sangat mungkin dipimpin Ra Kuti sedang mengejar mereka.
Gagak Bongol meloncat turun.
"Jangan ada yang bergerak dan letakkan senjata dan anak panah!"
perintah Gagak Bongol dengan tegas.
Prajurit pemberontak yang terjebak itu tidak punya pilihan. Mereka terpaksa harus memenuhi perintah itu. Jika mereka menolak maka hujan anak panah beracun akan mengantarkan mereka menjenguk pintu gerbang kematian. Mereka yang punya anak dan istri belum menginginkan itu, bahkan yang tak punya tanggungan keluarga pun belum ada yang ingin mati.
"Menjauh dari kuda dan berkumpul di sana!" sekali lagi Gagak Bongol memberikan perintah.
Tanpa harus diulang, prajurit kaki tangan Ra Kuti itu harus melaksanakan perintah itu. Gagak Bongol tertawa lebar dan mengibaskan jubah busana raja yang dikenakannya. Dari pinggangnya Gagak Bongol mengeluarkan cambuk. Cambuk berjuntai panjang diayun cepat. Ayunan sendal pancing cambuk itu menimbulkan suara ledakan yang cukup mengagetkan. Kuda-kuda milik anak buah Ra Yuyu itu melonjak dan berlarian tanpa arah.
226 Gajahmada "Kalian telah melihat sendiri!" berkata Gagak Bongol dengan suara yang lantang. "Ra Yuyu dan Ra Banyak ternyata bukan seorang pimpinan yang baik. Kalian ditinggalkan di sini. Seharusnya, sebagai pimpinan yang bertanggung jawab, dalam keadaan macam apa pun Winehsuka Ra Yuyu dan Ra Banyak itu akan tetap bersama kalian. Semoga apa yang terjadi itu juga apa yang terjadi di istana saat ini akan menjadi renungan kalian semua."
Gagak Bongol menghentikan sejenak rangkaian ucapannya. Gagak Bongol memandang para prajurit yang terbujuk oleh rayuan Ra Kuti itu dengan tatapan mata tidak berkedip. Para prajurit pemberontak yang terjebak itu saling pandang. Bhayangkara Gagak Bongol menengadah.
Telinganya yang tajam lamat-lamat menangkap suara banyak sekali kuda yang berderap. Tepat seperti hitungannya, upaya memancing para prajurit pemberontak serta mengalihkan perhatian mereka dari Gajahmada dan Sri Jayanegara membuahkan hasil. Bhayangkara Gagak Bongol tersenyum membayangkan betapa kecewanya Rakrian Kuti setelah mendapat laporan dari Ra Yuyu dan Ra Banyak bahwa yang dikira Jayanegara itu hanya "Jayabongol".
Gagak Bongol melenting, dengan ringan tubuhnya melayang ke atas kuda.
"Mari teman-teman," berkata Gagak Bongol, "kita tinggalkan tempat ini dan kembali ke kotaraja melalui arah lain. Kita meriahkan keadaan yang terjadi di Majapahit dengan permainan bisul. Kita ciptakan bisul-bisul di pantat Ra Kuti sehingga Winehsuka yang tak tahu diri itu merasa tidak tenang duduk di singgasana. Kita jadikan hari-hari yang berlalu sebagai mimpi buruk baginya."
Tanpa banyak bicara Gagak Bongol berbalik arah. Perlahan kudanya bergerak disusul oleh Bhayangkara yang lain. Beberapa saat kemudian debu kembali mengepul diacak-acak kaki kuda mereka. Di langit sang surya terlihat pucat menyaksikan ulah manusia yang saling tikam antara satu dengan lainnya.
Sementara itu, Ra Kuti yang memimpin sendiri sepasukan berkuda berkekuatan amat besar berderap paling depan. Tangan kanannya yang Gajahmada 227
terkena anak panah terasa ngilu. Meskipun Ra Tanca telah mengeluarkan racun anak panah itu, sisa-sisanya masih memberi gangguan.
Dengan sangat bernafsu Ra Kuti berkuda, disusul Ra Tanca yang selalu mengawalnya ke mana pun dia pergi. Ra Tanca tabib muda yang memiliki rambut panjang dan wajah tampan itu tidak terlampau banyak bicara. Dengan mata tajam, tetapi seperti menyimpan banyak teka-teki, Ra Tanca melepas tatapan matanya jauh ke depan.
Rakrian Kuti beserta pasukan berkuda yang mengiringinya mulai memasuki bulak panjang. Rakrian Kuti mencuatkan alisnya saat melihat di ujung bulak ada penunggang kuda berderap kencang seolah dikejar hantu. Ketika Ra Kuti memerhatikan lebih jelas lagi, pimpinan Winehsuka itu makin penasaran karena kuda itu jelas ditunggangi oleh dua orang penumpang. Rakrian Kuti memacu kudanya makin kencang.
Ketika jarak makin dekat, Rakrian Kuti bisa mengenali orang itu yang tidak lain adalah Ra Yuyu dan Ra Banyak. Hal itu menyebabkan Ra Kuti kaget dan bertambah penasaran. Bahwa kedua Winehsuka itu kembali dengan keadaan tidak wajar membuat Ra Kuti mencuatkan sebelah alisnya.
Ketika jarak makin dekat, Ra Kuti mengangkat tangannya. Pasukan berkuda yang mengiringinya serentak berhenti. Kuda-kuda meringkik riuh rendah. Ra Yuyu dan Ra Banyak meloncat turun. Kedua Winehsuka itu pucat pasi.
"Apa yang terjadi?" tanya Ra Kuti dengan tatapan marah. "Mengapa hanya kalian berdua yang kembali" Mana Kalagemet?"
Mendapat perhatian dari segenap pasukan berkuda membuat Ra Yuyu dan Ra Banyak agak kebingungan dan salah tingkah.
"Kau tidak mendengar pertanyaanku" Mana Sri Jayanegara, mengapa kalian berdua kembali dengan cara yang aneh ini?" desak Ra Kuti.
Ra Banyak menghela napas, gambaran sesak di dadanya.
"Kami tertipu!" jawab Ra Banyak datar.
Ra Kuti kaget. Tatapan matanya makin tajam, bahkan kemerahan.
"Tertipu bagaimana?" desak Ra Kuti dengan suara bergetar.
228 Gajahmada Sejenak semua menjadi hening. Prajurit berkuda pengiring Rakrian Kuti tidak seorang pun yang berbicara atau berbisik. Ra Banyak balas memandang Ra Kuti.
"Para Bhayangkara itu ternyata culas dan licik," berkata Ra Banyak.
"Orang yang kami kira Jayanegara karena berpakaian seperti layaknya Jayanegara itu, ternyata bukan Jayanegara."
Jika ada kelabang yang menyengat dan mengagetkan atau jika ada petir yang meledak ketika langit tengah benderang, keadaan itulah yang dialami Ra Kuti. Ra Kuti nyaris tidak percaya dengan telinganya.
"Yang kami kira Jayanegara itu," lanjut Ra Yuyu, "ternyata Gagak Bongol, Bhayangkara yang menyamar sebagai raja."
Ra Kuti amat tak senang. Dadanya mengombak oleh amarah yang menghantamnya telak. Dengan sangat bernafsu Ra Kuti dan segenap pasukan berkuda pengirinya berpacu bagai kesetanan untuk memburu Sri Jayanegara dan berusaha menangkapnya hidup atau mati. Rakrian Kuti telah menyiapkan sebuah rencana, Jayanegara akan dipermalukan di alun-alun depan Purawaktra, digelandang mengelilingi benteng dan memerintahkan kepada semua orang lewat supaya meludahinya. Kini terbukti bahwa ternyata Ra Kutilah yang merasa dipermalukan. Saat ini entah di mana, mungkin Jayanegara dan terutama Bekel Gajahmada tengah terbahak-bahak menertawakannya.
Ra Kuti yang merasa sangat kecewa itu akhirnya bahkan tidak bisa mengumpat lagi. Bagai orang yang kehilangan tenaga bersamaan dengan hilang semangat, Ra Kuti turun dari kuda. Ra Tanca bergegas meloncat dan menangkap lengan Ra Kuti. Ra Kuti yang mulai terpengaruh oleh luka beracun di lengan kanannya, terhuyung-huyung dan nyaris jatuh.
Tatapan mata Ra Kuti menyiratkan kekecewaan luar biasa. Jika ada orang yang mau menyediakan diri untuk ditempeleng maka dengan senang hati Ra Kuti akan menempeleng orang itu. Ra Tanca bertindak sigap. Ra Kuti segera dibimbingnya untuk duduk di atas batu.
"Ambil keputusan, Ra Kuti," Ra Tanca berbisik, "semua orang menunggu perintahmu."
Gajahmada 229 Ra Kuti yang kehilangan gairah itu menebar pandang.
"Aku menginginkan Jayanegara. Kalagemet akan menjadi sumber kesulitan di kemudian hari. Aku menginginkan Kalagemet untuk makanan macan."
Rakrian Tanca yang mumpuni dalam ilmu tabib itu mulai membaca keadaan Ra Kuti yang mulai tidak waras. Pengaruh racun yang berasal dari anak panah dan pengaruh obat penawar menyebabkan kesadaran Ra Kuti jauh berkurang. Bahkan, untuk berpikir jernih pun Ra Kuti mengalami kesulitan.
"Kita kembali ke kotaraja," berteriak Ra Tanca yang terpaksa mengambil keputusan mewakili Ra Kuti.
Seorang prajurit membantu Ra Tanca menolong Ra Kuti naik ke punggung kuda. Ra Tanca memberi isyarat untuk bergerak. Sejenak kemudian pasukan berkuda yang nyaris berkekuatan segelar sepapan itu kembali berderap balik arah. Jika semula pasukan berkuda itu berpacu bagai berebut cepat dengan angin, berbeda sekali dengan saat kembali ke kotaraja, semua terlihat lesu dan kehilangan gairah, kuda-kuda pun dipacu alakadar-nya.
Semua prajurit bagian dari para pemberontak itu mulai membayangkan bahwa kekuasaan Ra Kuti nantinya tidak akan langgeng karena Kalagemet atau Jayanegara kelak akan menjadi sumber masalah yang merepotkan. Kalagemet didukung oleh pasukan Bhayangkara serta orang-orang yang masih menaruh kesetiaan kepada pendiri Wilwatikta, Raden Wijaya, akan mengusik kekuasaannya dan terus mengganggunya.
30 Sang waktu bergerak merambat sebagaimana kodratnya. Huru-hara di kotaraja itu benar-benar meninggalkan keadaan yang mengerikan.
230 Gajahmada Kotaraja berubah menjadi kota mati. Sangat berbeda dengan keadaan sehari sebelumnya. Perang pecah yang disulut pemberontakan para Winehsuka itu dimanfaatkan oleh para petualang dan penjarah. Meski waktu kemudian beranjak ke arah sore dan akan disusul datangnya malam, asap terlihat mengepul di mana-mana, dari gedung atau bangunan yang dijarah.
Bagi sebagian orang, bagi gadis-gadis yang diperkosa, bagi para saudagar yang rumahnya dibakar, bagi orang tua yang kehilangan anaknya mati di palagan tanpa kedudukan yang jelas apakah dianggap pahlawan atau bukan, apa yang terjadi itu merupakan mimpi buruk. Pendek kata, semua pintu tertutup, tak ada lagi orang yang berani bicara bebas. Pada saat yang demikian itu semua orang merasa pohon atau bebatuan memiliki mata dan telinga yang berkesanggupan menyampaikan apa pun pembicaraan mereka kepada Ra Kuti.
Lawan berbincang yang semula dianggap teman dan tidak akan membahayakan bisa jadi mata-mata yang akan menyampaikan isi pembicaraan itu kepada para Winehsuka. Bahkan, tak tertutup kemungkinan adanya pihak yang memanfaatkan keadaan itu. Mumpung kisruh, kekisruhan itu digunakan untuk mencelakakan orang yang tidak disukai dengan cara nabok nyilih tangan atau meminjam kepalan tangan orang lain. Benar-benar suasana yang sangat suram. Tak ada wajah di kotaraja saat itu yang tidak suram.
Ketika perang itu telah rampung, para prajurit baik yang ada di pihak Ra Kuti maupun yang berasal dari pasukan Jalapati dan Jala Rananggana yang telah menyerah segera melakukan penelitian terhadap para korban. Jika korban berhasil dikenali, keluarganya segera diberi tahu. Yang terjadi kemudian hujan tangis dan ratapan amat menyayat.
Seorang perempuan yang hamil tua semaput ketika mendapat kabar suaminya terbunuh dalam perang itu.
Matahari makin doyong ke arah barat ketika Ra Kuti beserta pasukan berkuda pengiringnya memasuki gerbang istana. Ra Kuti hanya melihat sekilas pada kesibukan setelah perang. Sebaliknya, semua orang menatapnya dengan pandangan agak aneh. Bagi sebagian prajurit, Ra Gajahmada 231
Kutilah yang dianggap paling bertanggung jawab atas semua kekacauan dan banyaknya korban yang jatuh.
Para Winehsuka berkumpul lengkap di pendapa.
"Pasukan Bhayangkara benar-benar gila!" Ra Kuti membuka kalimatnya. "Meskipun hari ini kita telah berhasil memenangkan perang, kemenangan itu kuanggap baru separuh kita peroleh. Kemenangan baru kuanggap mutlak apabila Jayanegara telah mati. Dengan demikian, tak akan ada lagi yang mengusik kedudukanku. Kenapa Jayanegara harus mati" Karena selama ini orang terlampau menghormati Wijaya, ayahnya.
Penghormatan yang membuta tanpa melihat bagaimana si Kalagemet itu melaksanakan pemerintahan. Orang-orang yang menghormati Jayanegara itulah yang akan selalu meniup-niupkan pendapat, keberadaanku sebagai raja menggantikan Sri Jayanegara sama sekali tidak bisa diterima karena aku bukan keturunan Wijaya."
Rakrian Kuti menghentikan rangkaian kalimatnya sejenak. Rakrian Kuti menebar pandang untuk mencari kesan, apakah para Winehsuka anak buahnya itu mengerti dan meresapi apa yang diucapkannya atau tidak.
"Kalagemet harus mati!" Ra Kuti lebih menegaskan. "Baru saja kita dilecehkan oleh permainan pasukan Bhayangkara sehingga kita terkecoh dan kehilangan waktu sangat banyak. Waktu yang banyak itu bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Gajahmada untuk menyelamatkan Kalagemet. Jelasnya, Gagak Bongol yang menyamar menjadi Kalagemet mendobrak pintu gerbang timur itu hanyalah untuk mencuri kesempatan agar bisa mengungsikan Jayanegara. Meski demikian, meski kita telah kehilangan waktu, bukan berarti kita akan tinggal diam tidak merasa perlu memburu Jayanegara. Sebar semua telik sandi, cari jejak-jejaknya.
Jayanegara harus ditemukan meski bersembunyi di liang semut."
Perintah telah dijatuhkan.
Rakrian Kuti bangkit berdiri dan beranjak meninggalkan pagelaran menuju ke wisma pribadi Jayanegara. Kini Ra Kuti merasa berhak tinggal di istana dan menempati bilik pribadi yang semula menjadi tempat 232
Gajahmada peristirahatan Jayanegara, diiringi Ra Tanca yang dengan setia selalu mengikuti langkahnya.
Di dalam bilik angan-angan Ra Kuti melambung. Dengan tatapan takjub ia melihat diri sendiri, melihat dengan terkagum-kagum pada apa yang telah dilakukannya. Ra Kuti merasa apa yang telah diperbuatnya benar-benar luar biasa. Ra Kuti merasa tidak akan ada orang lain yang sanggup melakukan pekerjaan besar seperti yang telah dilakukannya, menjungkalkan Jayanegara dari singgasana. Ra Kuti makin bergelak ketika angan-angannya tertuju pada Anabrang, orang yang sungguh sangat dibencinya.
"Keberhasilan yang aku peroleh kali ini benar-benar hebat," berkata Ra Kuti. "Aku sekarang seorang raja. Bagaimana pendapatmu Ra Tanca?"
Ra Tanca tidak menjawab. Ra Tanca membiarkan Ra Kuti melarutkan diri ke dalam kepuasan yang diperolehnya. Diperhatikannya Ra Kuti yang berjalan mondar-mandir dan sesekali tersenyum puas. Ra Tanca tidak berkata apa pun saat melihat Ra Kuti menari-nari di bilik itu.
"Aku sekarang raja," Ra Kuti tertawa, "aku Sri Maharaja Kuti, raja besar yang akan menurunkan raja-raja besar. Namaku nantinya akan dicatat sejarah, diperbincangkan dengan riuh oleh anak cucu sebagai Raja Majapahit yang paling besar. Akan kubentangkan sayap Wilwatikta melintas ke seberang samudra."
Ra Kuti tertawa bergelak seperti orang wuru kembang kecubung.
Ra Tanca tetap memandanginya. Ra Tanca baru bergerak ketika melihat Ra Kuti terhuyung-huyung. Pengaruh racun dan obat penawar yang mengalir dalam darah menyebabkan Ra Kuti adakalanya kehilangan akal waras.
"Bayangkan," lanjut Ra Kuti, "kalau aku tidak memiliki otak cerdas dan encer, bagaimana mungkin aku bisa meraih semua ini. Bagaikan permainan dam-daman, aku berhasil menggerakkan semua orang bersatu padu demi kepentinganku. Lihat apa yang telah kita lakukan terhadap pasukan Jala Rananggana. Temenggung Pujut Luntar yang Gajahmada 233
bodoh itu bisa kumanfaatkan dengan baik untuk kepentinganku. Lihat pula apa yang aku lakukan terhadap Rakrian Temenggung Panji Watang.
Temenggung Panji Watang bagiku tidak lebih dari ganjal alas kaki yang kumanfaatkan dengan baik untuk meraih apa yang kuinginkan. Semuanya kini menjadi kenyataan. Kalau bukan Ra Kuti, siapa yang sanggup melakukan itu, siapa sanggup" Seandainya Paman Mahapati atau Ramapati masih hidup, apakah keculasan otak yang dimilikinya akan mampu digunakan mencipta keadaan seperti ini?"
Ra Kuti tertawa bergelak dan kembali terhuyung-huyung.
Melihat keadaan Ra Kuti seperti itu, Ra Tanca segera bangkit dan menuntun Ra Kuti berbaring di pembaringan. Ra Kuti tidak menolak dan malah menikmatinya. Alas tempat tidur terbuat dari sutra halus itu diusap-usapnya.
Namun, sejenak kemudian tiba-tiba hadir rasa mual yang tidak bisa dicegah. Ra Kuti berusaha menahan, tetapi rasa mual itu makin menjadi.
Akhirnya, isi perutnya tumpah ruah mengotori pembaringan itu.
"Sudah aku bilang," Ra Tanca akhirnya bicara, "jika kau tak mampu menahan diri melawan dirimu sendiri, sisa racun yang masih mengalir dalam darahmu itu akan membunuhmu."
Rakrian Kuti ternyata tersinggung. Dengan melotot Ra Kuti memandang Ra Tanca. Napasnya mulai tersengal.
"Apa gunanya aku memilikimu kalau kau tidak mampu mengatasi keadaanku ini?" teriak Ra Kuti.
Jawaban justru diperoleh dari perutnya. Ra Kuti merasa seisi perutnya bergolak. Kembali Rakrian Kuti harus memuntahkan segala macam isinya. Bahwa racun anak panah itu memang bekerja terlihat dari warna kehitaman pada kotoran yang dikeluarkannya.
Dalam pada itu, senja membayang bergerak menuju petang. Para Winehsuka telah mengatur pengamanan istana sedemikian rupa untuk menjaga berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan. Bangunan istana yang dikelilingi dinding tinggi dijaga amat rapat dan berlapis-lapis. Dengan 234
Gajahmada penjagaan seperti itu tidak mungkin bagi pasukan Bhayangkara sekalipun untuk menyusup masuk.
Seiring dengan waktu yang ada, memenuhi perintah yang diberikan Ra Kuti, para Winehsuka bekerja cekatan menyebar mata-mata untuk melacak jejak Kalagemet. Apa yang diperintahkan para Winehsuka itu menjadi bencana bagi penduduk karena perintah itu diterjemahkan sebagai penggeledahan dari rumah ke rumah. Penggeledahan itu bisa berkembang menjadi perampokan, pemerasan, bahkan pemerkosaan.
Dengan semena-mena para prajurit yang kehilangan kendali itu memanfaatkan keadaan. Pendek kata, pemberontak yang menang perang itu malah menjelma menjadi penjarah dan perampok.
Sebuah rumah di sudut kota digedor. Dengan sangat ketakutan pemilik rumah itu membuka pintu. Demikian pintu dibuka, dengan beringas para prajurit yang mendapat tugas melaksanakan penggeledahan itu menerobos masuk. Semua sudut ruang dan bahkan kolong bawah tempat tidur diperiksa dengan cermat. Jika tidak menemukan apa yang dicarinya maka persoalan dengan gampang berbelok arah.
"Kau menyembunyikan Jayanegara?" dengan sangar prajurit pemberontak itu bertanya.
Tentu saja pemilik rumah itu ketakutan dan tidak mampu menguasai diri. Pemilik rumah yang sudah tua itu gemetar.
"Tidak Tuan," jawab pemilik rumah yang ketakutan itu, "kami tidak tahu apa-apa."
Di dalam hati prajurit itu sebenarnya percaya dengan ucapan laki-laki tua itu, tetapi ada sebuah hal yang sungguh menarik perhatiannya.
Di sudut ruang, seorang gadis yang mungkin anak atau cucu kakek tua itu berdiri dengan amat ketakutan. Kecantikan gadis itu amat menarik perhatiannya.
"Semuanya keluar dari ruangan ini. Aku akan menanyai semua penghuni rumah ini satu per satu. Kumulai dari gadis itu. Ayo, yang lain keluar."
Gajahmada 235 Yang terjadi kemudian adalah nasib malang dan nista yang sangat menyakitkan bagi gadis itu. Aib yang menimpanya menjadi mimpi sangat mengerikan, mimpi buruk yang tak akan dilupakannya sampai kapan pun. Bahkan jika boleh memilih, gadis itu merasa tak ada gunanya lagi hidup di dunia ini.
Dan, apa yang terjadi itu merupakan gambaran yang terjadi di kotaraja. Malam itu menjadi malam yang benar-benar menakutkan.
Penggeledahan dengan dalih mencari Jayanegara itu berubah menjadi perampokan dan pemerkosaan. Keadaan itu juga dimanfaatkan mereka yang memiliki kepentingan pribadi, sakit hati pribadi, atau dendam pribadi.
Apa yang terjadi itu tak lepas dari perhatian para Bhayangkara.
Sebenarnyalah, Gagak Bongol beserta segenap anak buahnya telah menyusup kembali ke kotaraja. Mereka mengamati perkembangan yang tengah berlangsung dengan riuhnya.
"Perbuatan Ra Kuti benar-benar biadab," Gagak Bongol berkata dengan amarah yang terpaksa harus ditelan. "Orang yang harus bertanggung jawab atas segala kekacauan yang terjadi ini adalah Rakrian Kuti. Pemerkosaan yang terjadi, perampokan, dan semua penjarahan, semua perbuatan biadab itu dilakukan oleh kaki tangannya. Kita melihat Ra Kuti sama sekali tidak mencegah perbuatan biadab itu."
Sebenarnyalah, para Bhayangkara benar-benar merasa sedih melihat perkembangan yang sungguh sangat mengerikan itu. Tatanan yang ada menjadi rusak. Para prajurit yang mestinya menjadi pengayom berubah menjadi pagar memakan tanaman.
"Apa yang harus kita kerjakan?" Bhayangkara Gajah Enggon memecah keheningan. "Apakah kita akan mendiamkan keadaan ini?"
Bhayangkara Singa Parepen dan Bhayangkara Riung Samudra mengepalkan tangan. Perbuatan liar para petualang di bawah kendali Rakrian Kuti itu sungguh biadab dan sulit untuk bisa diterima.
"Kita tak bisa tinggal diam," ucap Singa Parepen, "kita harus melakukan sesuatu untuk melindungi orang-orang yang tidak bersalah itu dari perbuatan keji itu."
236 Gajahmada Gagak Bongol mengangkat tangannya meminta perhatian. Para Bhayangkara diam.
"Sebagaimana pesan Kakang Gajahmada," berbicara Gagak Bongol, "besok malam kita akan menyusul Kakang Bekel dan Tuanku Jayanegara ke Krian. Malam ini, kita masih memiliki waktu untuk bermain-main. Kita manfaatkan waktu yang ada itu untuk menjadikan Ra Kuti makin pusing tujuh keliling. Karena berhadapan langsung kita tidak mampu maka cara yang harus kita tempuh adalah menghadapinya dengan bergerilya. Setidak-tidaknya para prajurit yang melakukan penggeledahan dengan semena-mena itu harus kita beri pelajaran. Kita berpencar. Selanjutnya, kita masing-masing bertanggung jawab terhadap keselamatan diri kita sendiri dan keselamatan Bhayangkara seutuhnya.
Jika ada yang tertangkap, jangan mengkhianati pasukan secara keseluruhan.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah cari keterangan nasib Mapatih Arya Tadah. Kita berharap moga-moga Ra Kuti tak menjadi gila dengan membunuhnya. Jika Mapatih Tadah masih hidup kita upayakan sebuah cara untuk membebaskannya."
Para Bhayangkara sependapat dengan usulan Gagak Bongol.
Mereka pun berpencar berbagi tugas, meredam sepak terjang para prajurit Jalayuda yang telah berubah menjadi penjarah, perampok, bahkan pemerkosa. Para Bhayangkara bergerak berkelompok-kelompok. Dengan amat gesit mereka berlarian tanpa menimbulkan suara untuk kemudian lenyap entah ke mana. Di malam hari, Bhayangkara mampu bergerak tidak ubahnya hantu itu sendiri.
Lembang Laut juga akan memisahkan diri. Namun, Gagak Bongol menggamitnya.
"Ada apa?" bertanya Lembang Laut.
"Aku mempunyai sebuah gagasan," Gagak Bongol berbisik,
"bagaimana kalau kita menyusup ke istana?"
Lembang Laut memandang Gagak Bongol tak berkedip.
"Istana dijaga sangat ketat. Kita melihat sendiri bagaimana Ra Kuti yang gila itu membetengi istana dengan kekuatan berlapis-lapis, nyaris Gajahmada 237
tak ada celah yang bisa kita gunakan untuk menyelinap. Tidak mungkin kita masuk ke istana!" jawab Lembang Laut.
Gagak Bongol tersenyum. "Kita masuk melalui lorong bawah tanah itu. Jika Ra Kuti ada di bilik Tuanku Jayanegara, kita bunuh Winehsuka gila itu di sana. Apabila kita berhasil sama halnya kita berdua mengakhiri perang ini."
Istana Tanpa Bayangan 2 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 4

Cari Blog Ini