Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 8
Gajahmada 411 Sebuah bintang jatuh melintas meninggalkan jejak berupa garis lurus memanjang untuk kemudian lenyap entah ke mana. Sebagian orang percaya siapa pun yang mendapat kesempatan melihat jatuhnya bintang seperti itu, menjadi pertanda yang bersangkutan akan mendapatkan anugerah kamulyan. Gajahmada ingat, telah beberapa kali di waktu malam ia menyaksikan bintang jatuh, tetapi yang namanya kamulyan sejauh itu masih belum terlihat mendekatinya.
"Karena Tuanku adalah bagian pasukan Bhayangkara," berkata Bekel Gajahmada, "maka sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan dengan cara Bhayangkara."
Gajahmada melangkah. Jayanegara termangu sejenak. Saat tersadar, Jayanegara bergegas menyusul.
"Tunggu Gajahmada," Jayanegara berkata, "apa yang kamu maksud dengan cara Bhayangkara?"
"Dalam menempuh perjalanan," jawab Gajahmada, "Bhayangkara tidak pernah ada yang ditandu."
Jawaban itu membuat Jayanegara terpaku. Sejenak Jayanegara terhenyak, tetapi kemudian tawanya muncrat berderai. Dengan terpingkal-pingkal Kalagemet tertawa geli atau menertawakan diri sendiri.
Gajahmada ikut tertawa. Bahkan, keduanya tertawa meledak bersama-sama. Gajahmada ingat, belum pernah Kalagemet tertawa terpingkal begitu lepas seperti itu.
Ketika perjalanan itu akhirnya terhadang oleh sungai, Jayanegara ambyur. Seperti orang yang kehilangan masa anak-anak yang bahagia, Jayanegara membalas dendam dengan berenang sepuas-puasnya.
Bekel Gajahmada memerhatikan keadaan sejenak. Ketika merasa aman, Bekel Gajahmada ikut menceburkan diri, melarutkan segala macam lumpur yang melekat di tubuhnya. Sejenak Bekel Gajahmada mampu melupakan apa yang terjadi. Sesekali Kalagemet menenggelamkan diri dan menciprat-cipratkan air. Jayanegara merasa aneh. Untuk pertama kalinya sepanjang hidupnya ia menemukan 412
Gajahmada kegembiraan yang aneh. Kegembiraan itu sebelum ini belum pernah diperolehnya. Gajahmada hanya memerhatikan saja apa yang dilakukan rajanya itu.
Namun, tiba-tiba pimpinan pasukan Bhayangkara itu terdiam oleh sesuatu yang menyentuh gendang telinganya. Gajahmada segera bergerak mendekati Jayanegara. Gajahmada segera memberi isyarat kepada Jayanegara untuk tidak bersuara.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, terdengar suara melengking.
Sebuah siulan dengan tanda-tanda khusus. Siulan itu ternyata berbalas.
Gajahmada yang semula tegang tersenyum. Tanda-tanda khusus pada siulan itu sangat dikenalinya, justru karena Gajahmada yang menciptakan siulan dengan cara khusus itu untuk alat berhubungan yang disamarkan sedemikian rupa.
"Siapa?" bisik Jayanegara.
Di wajah Raja Majapahit itu kembali membayang cemas.
"Mereka Bhayangkara Tuanku," jawab Gajahmada.
Meski demikian, Gajah meminta Jayanegara untuk bersembunyi sambil menunggu apa yang akan terjadi. Gajahmada segera membawa Jayanegara menepi dan melenyapkan diri di antara rerumputan. Sejenak kemudian, Bekel Gajahmada melihat dua orang muncul dari arah utara, dengan bergegas ia berjalan menuju selatan. Gajahmada melihat di arah selatan juga muncul tiga sosok orang. Salah seorang yang baru muncul dari arah selatan itu batuk-batuk, batuk tua.
"Ki Buyut," bisik Gajahmada memberi tahu Jayanegara.
Jayanegara kaget. "Ki Buyut Mojoagung?" Jayanegara balas bertanya.
Gajahmada mengangguk. "Syukurlah," berkata Jayanegara.
Beberapa saat lamanya Jayanegara merasa bersalah dan cemas memikirkan nasib Ki Buyut Mojoagung. Sepeninggalnya, Jayanegara membayangkan nasib Ki Buyut tentu buruk sekali. Ra Kuti tentu telah Gajahmada 413
melemparkan tubuh orang itu ke dalam kobaran api yang membakar pendapa rumahnya.
Bekel Gajahmada melihat dua orang muncul dari arah utara serta tiga orang yang muncul dari selatan itu bertemu dan berbicara, pembicaraan yang kelihatannya sangat penting. Setelah merasa menemukan simpulan atas apa yang telah terjadi, Bekel Gajahmada bersiul nyaring. Suaranya melengking dengan nada yang khas. Suara itu mengejutkan mereka. Pembicaraan yang berlangsung pun terhenti. Sekali lagi Gajahmada bersiul, Gajahmada memang bermaksud menggoda.
Dua orang dari mereka bergegas menuju ke arah yang diperkirakan menjadi sumber suara siulan itu. Gajahmada mengajak Sri Jayanegara membenamkan diri, bersembunyi di antara rumput-rumput.
Dua orang itu kebingungan.
Pada jarak yang amat dekat mereka berdiri menebar pandangan.
Salah seorang dari mereka bersiul membelah malam dengan harapan siulan itu akan mendapat balasan, tetapi siulan itu tidak berbalas.
Bekel Gajahmada bermaksud melanjutkan menggoda, tetapi Jayanegara tidak mampu menahan diri. Jayanegara bersin.
Dua orang itu terlonjak kaget dan serentak mencabut senjata di pinggangnya. Gajahmada tidak mampu menahan, akhirnya tertawa.
"Kakang Bekel," ucap salah seorang dari mereka.
Dua orang itu lebih kaget lagi melihat siapa yang ikut muncul dari sungai.
"Tuanku Jayanegara?" desis yang lain.
Jayanegara dan Gajahmada tertawa. Dua orang itu kebingungan melihat Jayanegara dan Gajahmada bisa begitu lepas tertawa berderai.
"Apa kabarmu Bhayangkara Kartika Sinumping dan Lembu Pulung, apa telah kauselesaikan tugasmu dengan baik?" bertanya Gajahmada.
"Tugas telah kami selesaikan dengan baik, Kakang Bekel," Kartika Sinumping menjawab. "Saat kami bermaksud kembali ke kotaraja, kami 414
Gajahmada berpapasan dengan rombongan Ra Kuti yang berpacu bagai orang yang dikejar hantu. Kami langsung mengambil simpulan mereka memburu Kakang dan Sri Baginda. Itu sebabnya, kami menyusul kemari.
Kami berhasil menyelamatkan Ki Buyut dan mencerai-beraikan kuda-kuda mereka."
Gajahmada tersenyum senang. Gajahmada merasa puas memperoleh laporan itu. Sekali lagi Gajahmada bersiul nyaring. Tiga orang yang masih menunggu di sebelah selatan segera ikut bergabung.
Sebagaimana Kartika Sinumping dan Lembu Pulung, Panjang Sumprit dan Jayabaya tak kalah kaget bertemu dengan Jayanegara dan Gajahmada di tempat itu. Apalagi, mereka melihat Bekel Gajahmada dan Jayanegara keluar dari sungai dengan tubuh yang basah kuyup.
Jayanegara bergegas mendekati Ki Buyut dan memegang pundaknya. Tak ada yang terucap dari mulutnya. Namun, Jayanegara merasa sangat bersyukur karena apa yang dicemaskan menimpa Ki Buyut Mojoagung tidak terjadi. Seperti membaca kecemasan yang membayang di wajah Ki Buyut, Gajahmada ikut menepuk pundaknya.
"Ki Buyut jangan cemas," berkata Gajahmada. "Nyai Buyut saat ini berada di tempat yang aman."
Ki Buyut hanya mengangguk.
Bahwa Bekel Gajahmada telah memberi jaminan istrinya aman, hal itu membuatnya lega. Namun, Ki Buyut seperti orang yang tidak sanggup berbicara. Pengalaman mengerikan yang nyaris menimpanya membuat Ki Buyut membutuhkan waktu untuk menenteramkan diri.
Dengan singkat empat Bhayangkara yang mendapat tugas mengawal para sekar kedaton dan Ibunda Ratu Prajnaparamita mengungsi ke Rimbi memberikan laporannya. Gajahmada menyimak laporan itu dengan cermat. Bhayangkara Kartika Sinumping lalu mengulangi bercerita keberhasilannya mengikuti Ra Kuti sampai di Kabuyutan Mojoagung dan mencerai-beraikan kuda-kuda tunggangan yang mereka sembunyikan di bulak sawah di luar Kabuyutan.
Kini Gajahmada merasa telah tiba saatnya untuk menguraikan apa yang terjadi.
Gajahmada 415 "Pertama," Bekel Gajahmada berkata, "kita harus mengamankan Sri Baginda berlindung di tempat yang tak terjamah. Kabuyutan Mojoagung yang semula kukira cukup aman, ternyata terbukti tidak. Ra Kuti memiliki barisan telik sandi yang tidak bisa diremehkan. Mereka ternyata mampu mengendus jejakku dengan baik. Itulah sebabnya, kebetulan sekali karena kalian bergabung maka tugas kalian berempat adalah mengikutiku mengawal Sri Baginda. Ke mana kita akan pergi, aku tidak bisa mengatakan, tetapi yang jelas perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang jauh dan amat membosankan."
Empat orang Bhayangkara itu, Lembu Pulung, Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, dan Jayabaya menyimak dengan baik semua yang dipaparkan Bekel Gajahmada. Namun, karena pertimbangan tertentu, Gajahmada sama sekali tidak berbicara masalah terdapatnya mata-mata yang menyusup di antara pasukan Bhayangkara. Masalah itu sangat peka, bisa menimbulkan rasa tidak enak di antara Bhayangkara terhadap Bhayangkara lainnya.
"Yang kedua," lanjut Bekel Gajahmada, "karena tindakan Ra Kuti tidak bisa dibenarkan, kita tak bisa tinggal diam membiarkan perbuatannya berlalu begitu saja. Kita menyusun kekuatan melakukan pembalasan. Ra Kuti yang merasa dirinya pantas menjadi raja akan melihat tak gampang untuk bisa menjadi raja. Ra Kuti sama sekali tidak mendapat dukungan dari rakyat, padahal dukungan para kawula adalah hal yang sangat penting. Karena ia tak mengakar dan dibenci oleh banyak orang, kita harapkan hal itu nantinya akan bisa kita gunakan untuk membalas memberikan pelajaran kepadanya."
Empat Bhayangkara itu mengangguk.
"Yang ketiga," lanjut Gajahmada, "tolong pinjamkan pakaian kering untuk Sri Baginda dan untukku."
Para Bhayangkara saling pandang. Mereka terperangah.
"Yang tidak ada kutunya," tambah Jayanegara.
Gajahmada tertawa mendengar itu. Empat Bhayangkara yang lain heran melihat sikap Jayanegara yang tampaknya banyak berubah. Diawali
416 Gajahmada dengan keraguan, akhirnya empat Bhayangkara itu ikut-ikutan menyumbangkan tawanya.
Setelah berganti pakaian kering, Kalagemet merasa agak sedikit nyaman. Bekel Gajahmada segera mengambil langkah mengamankan Ki Buyut Mojoagung yang dianggapnya sangat berjasa. Paling tidak pada saat berbahaya, Ki Buyut telah mengambil langkah pengamanan yang sangat menentukan nasib Jayanegara. Jika saja Ki Buyut Mojoagung terlambat bertindak, kemungkinan yang sangat buruk akan menimpa Jayanegara.
43 Sementara itu, kekecewaan yang luar biasa mengacak-acak hati Ra Kuti. Kini makin terbayang di benaknya, upaya meringkus Jayanegara yang jelas-jelas menggunakan rumah Ki Buyut Mojoagung untuk bersembunyi itu bakal kandas lagi. Ra Kuti harus melihat kenyataan betapa liciknya pasukan Bhayangkara. Mereka ulet melebihi tali janget, licin melebihi belut.
Setelah bergerak sekian lama, pasukan yang dipimpin Ra Kuti itu kehilangan jejak. Jejak yang ditemukan melintas dari ladang jagung itu telah lenyap entah ke mana. Prajurit yang memiliki kemampuan khusus melacak jejak itu terlihat bingung dan kecewa.
"Bagaimana?" bertanya Ra Kuti kepadanya.
Prajurit itu menoleh, "Hamba Tuanku, jejak itu lenyap."
Ra Kuti menggerataki wajah prajurit itu dengan pandangan amat tidak senang.
"Lenyap bagaimana?" desak Ra Kuti.
Gajahmada 417 Prajurit berkemampuan khusus melacak jejak itu memerhatikan sungai yang memanjang di depannya. Agaknya buronan mereka menyadari jejak-jejaknya sedang diikuti. Sungai kecil yang membentang itu dimanfaatkan dengan baik untuk menghapus.
"Mereka menggunakan sungai itu untuk melenyapkan jejak, Tuanku," jawab prajurit itu. "Mereka bisa ke hilir dan bisa pula menuju ke arah hulu. Di sebelah mana mereka mentas, tidak bisa hamba temukan di waktu malam seperti ini."
Kecewa sekali Ra Kuti. "Keparat," umpatnya.
Ra Kuti jengkel sekali. Jauh-jauh dari kotaraja dengan sebuah harapan yang kental bisa meringkus Jayanegara, ternyata upayanya masih kandas karena berbenturan dengan keuletan pasukan Bhayangkara dalam memberikan perlindungan terhadap Jayanegara. Kejengkelannya tambah menjadi karena kini pasukan berkuda itu telah kehilangan kuda-kuda tunggangannya. Apalah artinya pasukan berkuda tanpa kuda, sebagaimana apa artinya pasukan panah jika tak memiliki anak panah.
Pada saat yang demikian itulah, tiba-tiba hening malam yang membikin gerah Ra Kuti itu pecah oleh melesatnya watang sanderan dengan suara melengking tinggi. Serentak para prajurit kaki tangan Rakrian Kuti berloncatan membentuk barisan mempersiapkan diri amat cermat menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi. Watang sanderan dengan nada seperti itu hanya dimiliki Bhayangkara. Prasangka yang menggumpal itu akhirnya menjadi kenyataan. Bhayangkara ternyata memang hadir di tempat itu.
Para prajurit menunggu perintah. Akan tetapi, Ra Kuti belum memberi perintah. Rakrian Kuti masih memerlukan menghitung berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Pada saat yang demikian itulah, sekali lagi terdengar anak panah sanderan melesat, membubung memanjat ke langit dengan meninggalkan suara melengking.
Ra Yuyu beringsut mendekati Ra Kuti.
"Bagaimana?" bisik Ra Yuyu.
418 Gajahmada Ra Kuti tidak menjawab. Sebenarnyalah Ra Kuti agak kebingungan menghadapi perkembangan keadaan. Satu hal yang diketahui Ra Kuti sekaligus kurang begitu disenanginya adalah Bhayangkara yang tidak punya keberanian bertempur beradu dada. Mereka selalu bersembunyi di bayang-bayang pohon dan memanfaatkan kelengahan musuh melalui hunjaman serangan yang mematikan.
Bagi Ra Kuti, ia lebih senang beradu dada dengan musuh nyata daripada berhadapan dengan Bhayangkara yang berperilaku seperti hantu.
Adakalanya muncul dalam wujud nyata, tetapi tidak jarang pula hanya muncul dalam wujud bayangan. Cara bertempur seperti itu menurut Ra Kuti merupakan gambaran sikap pengacut, tidak jantan, dan menjengkelkan.
Hening malam begitu senyap. Hanya riuh binatang malam serta sesekali suara anjing menggonggong di kejauhan ditingkah suara binatang pengerat lainnya. Semua seperti tidak peduli dengan apa yang terjadi.
Bagi malam dan segala macam isinya, persoalan yang dihadapi Ra Kuti bukanlah persoalan mereka.
"Jumlah mereka sebenarnya tidak seberapa," berkata Ra Kuti.
"Akan tetapi, mereka tak berani beradu dada. Cara bergerilya yang mereka lakukan benar-benar licik dan pengecut serta menjijikkan.
Seharusnya untuk menjaga nama besar pasukan Bhayangkara, mereka harus berani muncul menghadapi kita beradu dada."
Ra Yuyu membenarkan apa yang diucapkan Rakrian Kuti. Cara berperang yang dianut pasukan Bhayangkara benar-benar membuat jengkel. Menyergap dari kegelapan di saat musuh lengah sungguh perbuatan pengecut dan membuat perut mual.
Pada saat yang demikian, sekali lagi terdengar suara siul panjang.
Suara yang demikian berasal dari lidah yang ditekuk dan udara yang diembuskan dengan kuat dan hasilnya terdengar amat nyaring. Ra Kuti dan para pengiringnya berdebar-debar sebab suara itu berasal dari jarak yang sangat dekat. Ra Kuti mengangkat tangan kanan ke atas sambil mengepal. Anak buahnya berada dalam kesiagaan tertinggi. Sejenak mereka menunggu, tetapi masih belum terjadi apa pun.
Gajahmada 419 "Aneh," desis Ra Kuti, "permainan apa sebenarnya yang mereka lakukan."
Setelah menunggu sejenak, Ra Kuti mengayunkan tangan memberi isyarat untuk kembali melangkah. Prajurit berkuda yang kehilangan kuda dan berjumlah sekitar lima puluh orang itu kembali bergerak maju sambil tetap berada dalam kesiagaan tertinggi. Mereka sadar, Bhayangkara yang selalu membuat pusing itu telah berada dalam jarak sangat dekat. Bahkan, semua juga yakin sesuatu akan segera terjadi.
"Keparat," umpat Ra Kuti. "Aku masih belum bisa menebak apa yang akan mereka lakukan. Apa pun itu, sebentar lagi pasti akan terjadi.
Permainan macam apa yang disiapkan Bhayangkara kali ini?"
Ra Kuti menjadi sangat curiga. Suara siulan melengking atau anak panah sanderan itu tidak terdengar lagi. Keadaan yang demikian, keadaan yang serasa dibungkus oleh teka-teki itu membuatnya sangat gelisah. Ra Kuti sadar pasukan Bhayangkara yang kecil itu bisa melakukan hal-hal yang tidak terduga.
"Barangkali mereka sudah pergi," terdengar seorang prajurit berbisik. Ra Kuti mendengar itu. "Jumlah mereka tidak seberapa, mereka tentu perlu berpikir sepuluh kali, bahkan seribu kali untuk berhadapan dengan kita."
Ra Kuti merenungkan ucapan itu. Boleh jadi, benar Bhayangkara yang membayangi mereka tidak berani melakukan apa-apa. Imbangan jumlah kekuatan yang ada menyebabkan mereka tidak berani bertindak.
Yang penting bagi Bhayangkara adalah melindungi Jayanegara. Kembali Ra Kuti mengayun tangan kanan sebagai syarat untuk kembali melangkah, menyusur ladang bekas tanaman ketela. Ra Kuti tidak memerhatikan tanah yang diinjaknya begitu gembur. Keadaan yang tidak menentu itu membuat dada Ra Kuti menjadi sesak. Beban kemarahannya meluap dan akhirnya tak tertahankan lagi.
"Aku tidak mau mendengar di Majapahit ada pasukan yang bernama Bhayangkara lagi," bergetar Ra Kuti. "Kita bergerak. Kita temukan mereka dan kita tumpas habis jangan menyisakan seorang pun.
420 Gajahmada Ini kesempatan kita untuk meringkus Jayanegara. Kita tidak perlu pulang tanpa menyeret mayat Jayanegara. Kita lanjutkan perburuan ini."
Ra Kuti menggigil, matanya jelalatan. Para prajurit kaki tangannya berada dalam kesiagaan tertinggi.
"He Bhayangkara," berteriak Ra Kuti dengan suara keras, "ayo keluarlah. Jangan bermain petak umpet seperti anak-anak. Bermain sembunyi-sembunyian seperti itu hanya pantas dilakukan oleh bocah kecil, tidak pantas dilakukan Bhayangkara. Ayo keluar."
Hening kembali menggerataki. Teriakan lantang Ra Kuti tidak bersambut, tak ada suara yang membalas. Ra Kuti benar-benar jengkel.
"Bergerak," perintah Ra Kuti sekali lagi sambil mengangkat tangan kanannya.
Burung bence terbang melintas di atas, menyumbang suaranya membelah malam. Dari kejauhan terdengar lolong anjing bersahut-sahutan. Anjing yang berperilaku seperti itu tentu melihat orang. Apakah orang yang menyebabkan anjing itu menggonggong adalah Gajahmada dan Jayanegara" Andai saja Ra Kuti mau memercayai prasangkanya, sebenarnyalah anjing-anjing itu menggonggong karena melihat rombongan orang, di dalam rombongan itu terdapat Gajahmada dan Jayanegara.
Pada saat yang demikian itulah, tak disadari oleh siapa pun, Ra Kuti sama sekali tak menduga, tanah yang mereka injak merekah. Ada jari-jari yang menyembul, bahkan lengan yang menggeliat dan pedang yang siap mengancam. Tiba-tiba sebuah anak panah sanderan membubung memanjat langit. Asal anak panah itu dari beberapa jengkel di arah depan. Isyarat itu adalah sebuah perintah bagi Bhayangkara untuk bergerak. Maka tanah gembur yang diinjak-injak pasukan Ra Kuti itu tiba-tiba bergerak menyibak. Ra Kuti dan Ra Yuyu terlambat menyadari keadaan. Mendadak sebuah kegaduhan yang sulit ia mengerti terjadi.
Pasukan Bhayangkara memang seperti dedemit. Begitu muncul dari tanah gembur mereka langsung memberikan serangan yang mematikan.
Sungguh malang nasib mereka yang sama sekali tidak siap menerima Gajahmada 421
serangan dadakan itu, ayunan pedang yang sangat tajam membelah tubuh mereka.
Maka terjadilah pertempuran yang susah dipahami. Serangan yang muncul dari tengah- tengah mereka menyebabkan siapa pun mengalami kesulitan untuk membedakan lawan dan kawan. Korban berjatuhan.
Para Bhayangkara yang lebih siap memanfaatkan keadaan itu dengan sebaik-baiknya.
"Ada apa ini?" teriak Ra Kuti kebingungan.
Ra Kuti ternyata masih belum juga menyadari apa yang terjadi. Ra Kuti kebingungan memikirkan dari mana datangnya serangan itu. Ra Kuti tetap tidak habis mengerti mengapa serangan itu bisa berasal dari tengah-tengah pasukan mereka.
Tiba-tiba seseorang terlihat berlari ke arah Ra Kuti mengayunkan sebuah serangan. Ra Yuyu dengan sigap melenting menghadangnya, benturan pedang menimbulkan percikan api. Tetapi, sekali lagi orang itu menggeliat, menjulurkan serangan ke arah Ra Kuti. Ra Kuti meloncat menghindar. Ra Kuti segera mencabut senjatanya dan mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
"Kaubodoh sekali, Ra Kuti," tiba-tiba terdengar bisik tertahan.
"Mengapa kau tidak berhasil menyelesaikan persoalan. Jayanegara lolos lagi."
Ra Kuti tersentak, tetapi dengan mematikan orang itu menyerang.
Tangan kanannya yang memegang pedang mengayun menebas pinggang kanan. Ra Kuti meloncat mundur. Orang itu kembali menyusulnya dengan sebuah serangan.
"Jayanegara bersembunyi di Kabuyutan Mojoagung," berkata orang itu dengan suara tertahan. "Kesempatan itu seharusnya bisa kaumanfaatkan dengan baik. Kini, ia lolos lagi dan aku mengalami kesulitan untuk menemukan arah mana yang dituju Gajahmada."
Ra Kuti masih terbungkam, tetapi dia tak mau serangan itu benar-benar melukai tubuhnya. Itu sebabnya, Ra Kuti membalas memberikan serangan.
422 Gajahmada Yang terjadi kemudian adalah pertarungan yang seru. Ra Kuti memberikan serangan yang adakalanya beruntun dan mematikan.
Meskipun demikian, tidak mudah bagi Ra Kuti untuk melumpuhkan lawannya. Dengan tidak kalah sengit pula Bhayangkara itu menyerangnya, tetapi di sela-sela pertempuran yang terjadi mereka sempatkan berbicara.
"Di mana Jayanegara sekarang?" tanya Ra Kuti tak sabar.
Sebuah serangan menyebabkan Ra Kuti melenting dan berjumpalitan.
"Sudah aku bilang," jawab lawannya, "Gajahmada mengawalnya sendirian entah ke mana. Para Bhayangkara hanya ditugasi membayang-bayangi dari jarak terpisah."
Ra Kuti sungguh kecewa. Menangkap Jayanegara sulitnya bukan kepalang. Ibaratnya Jayanegara telah berada dalam genggaman tangannya, namun karena berkulit licin, Jayanegara lolos lagi. Untuk menangkapnya lagi bukan pekerjaan yang mudah.
"Aku berhasil mengepung Jayanegara yang bersembunyi di ladang jagung. Dengan cara bagaimana ia bisa meloloskan diri dari tempat itu?" desak Ra Kuti sekali lagi.
"Kau menginjak-injak tubuhnya yang terbenam dalam tanah lumpur," jawab Bhayangkara telik sandi itu.
Kembali pertarungan berlangsung dengan sengitnya. Bhayangkara itu memberikan serangan beruntun, tetapi Ra Kuti mampu melayaninya dengan baik. Tidak jauh dari tempat itu Ra Yuyu dan beberapa orang prajurit menjaga pertempuran itu dengan ketat.
"Keparat bangsat," desis Ra Kuti yang akhirnya menyadari kebodohannya sendiri. "Gajahmada memang belut."
Licin selicin belut itu yang menyebabkan Ra Kuti gagal dan gagal lagi. Bhayangkara dan terutama Gajahmada selalu tidak kekeringan akal untuk mengatasi keadaan sesulit apa pun, termasuk membenamkan diri dalam lumpur, hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Gajahmada 423 "Ikuti terus mereka," kata Ra Kuti sambil terus bertempur. "Jangan hanya mengandalkan aku. Kalau kau merasa mungkin, bunuh saja. Kalau kaumampu melakukan, percayalah, aku tak akan pernah melupakan apa yang kaulakukan itu."
Bhayangkara yang sebenarnya telik sandi Ra Kuti itu kemudian melenting menjauh. Dengan cara yang tidak mencolok ia telah berkesempatan berbicara dengan Ra Kuti. Bhayangkara itu mengambil jarak dan berbaur dengan pertempuran yang berlangsung riuh.
Ra Yuyu dan sekitar lima orang prajurit mengawal Ra Kuti sangat ketat, menjaga segala macam kemungkinan yang bisa menimpanya.
Namun, apa sebenarnya yang terjadi dalam pertempuran yang sangat riuh dan berdarah itu" Para prajurit kaki tangan Ra Kuti terlambat menyadari keadaan. Dengan perhitungan yang akurat, para Bhayangkara yang semula bersembunyi di dalam tanah melakukan serangan dadakan.
Serangan itu menyebabkan para prajurit kaki tangan Ra Kuti terkejut dan kacau-balau. Serangan yang muncul dari tengah-tengah mereka sendiri menyebabkan mereka mengalami kesulitan mengenali kawan dan lawan. Para prajurit kaki tangan Ra Kuti bertempur sejadi-jadinya.
Serangan dadakan itu menyebabkan siapa pun mencurigai orang yang berada di dekatnya.
Satu demi satu korban pun berjatuhan seiring dengan bentuk perang itu sendiri yang telah berubah karena akhirnya para prajurit itu berkelahi di antara mereka. Mendung yang tiba-tiba melintas ikut membutakan mata siapa pun. Sementara itu, para Bhayangkara sendiri telah pergi entah ke mana.
Setelah memerhatikan perkelahian aneh itu Ra Kuti merasa menemukan sesuatu yang janggal.
Ra Kuti gemetar seperti buyutan.
"Berhenti. Hentikan pertempuran, hentikan!" teriaknya.
Teriakan Ra Kuti cukup berpengaruh serta mampu menghentikan perang yang terjadi dengan kisruh itu. Akan tetapi, segenap prajurit kaki tangannya berada dalam kesiagaan tertinggi. Mereka masih 424
Gajahmada menggenggam pedang dengan erat. Dari beberapa tempat terdengar suara mengumpat kasar yang diucapkan oleh mereka yang terluka parah, bahkan mereka yang berada dalam keadaan sekarat.
"Kalian bertempur melawan siapa?" teriak Ra Kuti.
Apa yang ditanyakan Ra Kuti itu terasa aneh. Pertanyaan itu segera menggiring mereka untuk bertanya dengan siapa mereka sebenarnya bertempur.
"Kalian bertempur melawan kalian sendiri. Bhayangkara itu telah berhasil memancing kalian untuk saling bunuh dan tidak mengenali teman sendiri. Sekarang mana Bhayangkara itu" Mana mereka?"
Semua dada yang hadir di tempat itu berdesir. Penjelasan Ra Kuti itu ternyata mengejutkan sekali. Seseorang dari mereka bergegas menyalakan obor dan membawa obor itu dari sudut ke sudut. Semua terhenyak manakala melihat kenyataan bahwa Bhayangkara yang sebelumnya melakukan serangan dadakan itu lenyap entah ke mana.
"Ini benar-benar gila," Ra Kuti mengumpat. "Hanya orang gila yang bisa melakukan ini. Dan, hanya orang bodoh juga yang bisa diperlakukan seperti ini. Goblok semua."
Betapa getir hati Ra Kuti dan para kaki tangannya. Akan tetapi, itulah yang harus mereka rasakan. Mereka ternyata telah terjebak ke dalam permainan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Hanya dengan sebuah pancingan sederhana, mereka telah bertempur dengan kawan-kawan sendiri. Naifnya, telah jatuh korban cukup banyak dalam pertempuran itu. Bhayangkara yang sudah mengacak-acak keadaan itu raib entah ke mana seolah bumi membelah diri dan menelan mereka.
"Keparat," umpat Ra Kuti.
Dada Ra Kuti terasa sangat nyeri. Justru karena itu Ra Kuti terdiam, tidak bisa berbicara lagi.
Setelah agak larut barulah para prajurit kaki tangan Ra Kuti memeriksa keadaan. Dengan oncor mereka memeriksa semua yang hadir Gajahmada 425
di tempat itu, memeriksa siapa saja yang terluka bahkan terbunuh dalam perang brubuh yang singkat itu. Mereka tidak melihat seorang pun Bhayangkara. Sulit mereka memahami melalui cara bagaimana Bhayangkara raib dari tempat itu, yang jelas jejak-jejak yang mereka tinggalkan benar-benar menyakitkan. Mereka saling bantai di antara mereka sendiri. Barangkali saat itu pasukan Bhayangkara tengah melenggang entah ke mana atau tertawa terbahak-bahak menertawakan kebodohan mereka.
"Diamput," umpat Ra Kuti amat kasar.
Namun, sekasar apa pun Ra Kuti mengumbar segala macam serapah tidak akan bisa membalik keadaan. Apa yang telah terjadi tak mungkin diulang kembali. Ra Kuti yang sulit menerima kenyataan nyaris dibuat gila. Kepalanya berdenyut seperti akan retak.
"Hitung berapa yang mati, berapa yang terluka," perintah Ra Kuti setelah berusaha sekuat tenaga menguasai diri.
Kekecewaan itu kian menjadi saat Ra Kuti memperoleh laporan jumlah korban yang mati nyaris seperempat. Sepuluh di antaranya terluka amat parah. Dengan demikian, kekuatan pasukan yang dibawanya hanya tinggal separuh saja. Lebih getir lagi saat Ra Kuti teringat, mereka telah kehilangan kuda tunggangan, padahal jarak yang membentang antara Kabuyutan Mojoagung ke kotaraja tidak bisa dikatakan dekat. Jarak sedemikian jauh itu terpaksa harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Melihat perkembangan keadaan yang seperti itu, Ra Kuti terpaksa harus berpikir keras. Kenyataan pahit yang akhirnya harus ditelan oleh Ra Kuti, di dalam gelap malam dan jauh dari kotaraja seperti itu, bukan Bhayangkara yang mereka buru, tetapi merekalah yang diburu Bhayangkara. Jumlah yang jauh lebih banyak ternyata bisa tidak berarti apa-apa.
"Apa boleh buat," ucap Ra Kuti, "kita tinggalkan tempat ini, kita pulang ke kotaraja."
Sebenarnyalah apa yang dilakukan Ra Kuti dan para prajuritnya selalu dibayang-bayangi oleh Bhayangkara. Ra Kuti yang merasa sangat gerah ingin segera meninggalkan tempat itu. Perjalanan jauh yang 426
Gajahmada ditempuhnya dari kotaraja ke Kabuyutan Mojoagung ternyata membuahkan hasil tidak seperti yang diharapkan membuat perutnya mual.
Ra Kuti mengambil sebuah keputusan yang membuat para prajurit bawahannya terperangah. Mereka yang terbunuh terpaksa ditinggalkan di tepi bulak itu. Bahkan, mereka yang terluka parah dan dianggap tidak akan mampu bertahan juga ditinggalkan. Pada mereka dijanjikan untuk segera diadakan penjemputan.
Ra Kuti tak ingin ada gangguan dalam perjalanan kembali itu, tetapi beberapa prajurit lain mempersoalkan. Mereka tak bisa menerima perlakuan yang tidak manusiawi itu. Penolakan yang dilakukan ternyata begitu keras sehingga Ra Kuti harus mengubah keputusannya. Maka perjalanan kembali itu bukan perjalanan yang lancar tanpa adanya kuda.
Perjalanan kembali itu juga dibayangi rasa was-was.
Dengan cara yang cerdik, Bhayangkara telah berhasil membuat kekacauan di dalam pasukan Ra Kuti. Seperti orang yang berada di ketinggian sebuah puncak gunung, yang mereka lakukan sekadar menggelindingkan sebuah batu. Batu itu membentur bawahnya dan menimpa bagian bawahnya lagi. Ketika sampai di bawah yang terjadi sebuah tanah longsor, membuat Ra Kuti kelabakan karena para prajurit pendukungnya larut dalam keadaan yang sengaja diciptakan Bhayangkara itu.
Langkah yang diambil pasukan Bhayangkara itu penuh muatan bahaya dan ternyata memang meminta korban. Salah seorang dari mereka terluka sangat parah. Sabetan pedang serta ayunan trisula menghajar pinggangnya bagian belakang dengan telak, meretakkan tulang punggungnya.
Napas prajurit Bhayangkara Risang Panjer Lawang tersengal. Para Bhayangkara mengelilinginya. Semuanya cemas, tetapi Risang Panjer Lawang berusaha tegar bahkan tersenyum.
Kebersamaan yang terjalin selama ini menciptakaan ikatan yang begitu kental dan akrab antara mereka dan Risang Panjer Lawang. Melihat Gajahmada 427
keadaan Risang Panjer Lawang yang seperti itu Singa Parepen nyaris liar. Dengan sekuat tenaga Gagak Bongol berusaha menenteramkan hatinya.
"Maafkan semua dosaku," berkata Panjer Lawang dengan tersendat.
Napasnya makin tersendat.
"Kau tidak akan mati Risang," Singa Parepen mengguncang lengannya. "Kau tidak akan mati."
Tetapi, darah yang mengalir dari tubuh Risang Panjer Lawang makin banyak. Dalam siraman cahaya obor yang mereka nyalakan, terlihat tubuh Bhayangkara itu makin pucat. Dari keadaan tubuhnya bisa diyakini Risang Panjer Lawang akan meninggalkan mereka. Hidupnya tak akan bisa diselamatkan lagi.
"Jika aku mati," ucap Risang Panjer Lawang dengan suara makin lemah, "aku bangga mati sebagai Bhayangkara. Janganlah kematianku sia-sia. Berjuanglah dengan sekuat tenaga dan kembalikan Baginda Jayanegara ke singgasananya."
Para Bhayangkara yang mengerumuni tubuh terkulai lemah itu menyimak dengan saksama. Suasana sangat sunyi. Tak seorang pun bersuara, bersama-sama menunggu saat-saat terakhir Bhayangkara Risang Panjer Lawang meninggalkan mereka semua. Maka terjadilah yang harus terjadi. Mata Bhayangkara Risang Panjer Lawang terpejam untuk selama-lamanya
Semuanya terhenyak. Meski para Bhayangkara telah dibekali oleh sebuah kemungkinan, mati bisa mengintai di medan pertempuran, tetapi ketika kematian itu menimpa salah seorang dari mereka, rasa pedih itu tetap menyeruak mengacak-acak sanubari.
Namun, seseorang berbicara dalam hati, "Mampuslah kau Risang Panjer Lawang. Keinginanku agar kaumampus menjadi kenyataan.
Semuanya dilibas duka karena merasa sangat kehilangan oleh kematianmu.
Akan tetapi, tak seorang pun yang menduga termasuk kau sendiri, akulah yang membenamkan tombak dan mengayunkan pedang itu. Dengan 428
Gajahmada demikian, akulah yang akan mewarisi semua yang kaumiliki, terutama istrimu yang diam-diam membuatku gila itu."
Suara yang bergema hanya dalam hati itu adalah suara telik sandi kaki tangan Ra Kuti. Sebagaimana yang lain, Bhayangkara telik sandi itu juga ikut menekuk wajahnya, bahkan paling dalam.
Kematian Panjer Lawang memang sangat menyengat. Duka mendalam membuahkan kemarahan. Singa Parepen yang amat kehilangan orang yang dianggapnya saudara itu kehilangan kendali.
Matanya liar kemerahan, bahkan membasah. Suaranya lantang saat berteriak sambil mencabut senjatanya.
"Keparat kau Ra Kuti. Aku bunuh kau."
Gagak Bongol dan Lembang Laut berusaha memeganginya, tetapi Singa Parepen begitu kuat. Dengan sekali sentak ia berhasil melepaskan diri. Namun, Lembang Laut berhasil mengganjal kakinya hingga jatuh.
Bhayangkara yang lain membantu meringkus Singa Parepen. Singa Parepen masih berteriak-teriak liar.
"Singa Parepen. Tenanglah," ucap Bhayangkara Pradhabasu.
Napas Singa Parepen tersengal. Dengan susah payah Singa Parepen berusaha menenteramkan diri sendiri. Namun, air matanya membanjir.
"Kita semua harus merelakan kepergiannya," berkata Lembang Laut. "Kematian Risang Panjer Lawang tidak akan sia-sia. Ia mati secara kesatria maka nirwana yang diperolehnya. Kemarahanmu kepada musuh harus kautahan. Kita semua marah. Kita semua akan bahu-membahu menjungkalkan Ra Kuti. Tenanglah."
Apa yang diucapkan Lembang Laut belum meredam kemarahan Singa Parepen, tetapi dengan sekuat tenaga Parepen menumbuhkan kemauan untuk mengendalikan diri. Meskipun demikian, napasnya tetap saja tersengal, seolah kekurangan pasokan udara.
Semua benar-benar merasa kehilangan. Kematian Risang Panjer Lawang itu seolah mengingatkan siapa pun bahwa kematian bisa menimpa siapa saja, bisa terjadi melalui peristiwa apa saja, melalui pertempuran dalam peperangan, usia tua atau muda.
Gajahmada 429 Gagak Bongol yang dituakan oleh para Bhayangkara segera mengambil keputusan.
"Kita semua jangan larut dalam kesedihan," ucap Bongol. "Apa yang menimpa Risang Panjer Lawang harus kita jadikan pembakar semangat untuk berjuang sekuat tenaga menggusur Ra Kuti dan mengembalikan Sri Baginda sebagai raja yang sah. Sekarang, marilah kita laksanakan kewajiban kita memberikan penghormatan kepada Risang Panjer Lawang."
Semua bergerak. Tanpa banyak berbicara para Bhayangkara mengumpulkan kayu kering yang cukup banyak tersedia di tepian hutan itu. Mereka siap menyelenggarakan upacara pembakaran layon sebagaimana keyakinan yang dianut Risang Panjer Lawang.
Manakala tumpukan kayu kering yang diperoleh cukup memenuhi kebutuhan, layon diletakkan di atasnya. Masing-masing telah memegang obor dan disulut bersama-sama ke tumpukan kayu. Api mulai berkobar dan dingin malam tidak bisa mencegah api yang mengantarkan Risang Panjer Lawang dalam upacara muksa itu. Para Bhayangkara terpaku diam, tidak seorang pun yang mengeluarkan suara. Di setiap wajah tergambar raut duka.
Jika yang lain cukup tegar untuk tidak menitikkan air mata, tidak demikian dengan Singa Parepen. Dalam siraman cahaya api terlihat wajahnya memerah, matanya juga memerah dan basah. Singa Parepen tidak mampu melupakan betapa kentalnya persahabatan yang terjalin di antara mereka. Persahabatan itu bahkan melebihi hubungan saudara.
Apalagi, Singa Parepen ingat, Risang Panjer Lawanglah yang memberikan dorongan agar ia terjun mengabdikan diri menjadi bagian dari Bhayangkara dan memperoleh kesempatan untuk mengabdi kepada negara.
Melewati tengah malam upacara muksa itu usai. Lembang Laut dan Gagak Bongol mengambil keputusan untuk memberikan kesempatan istirahat. Segenap Bhayangkara memanfaatkan kesempatan itu dengan baik untuk memperoleh kesegaran tubuh pada esok harinya.
Gagak Bongol menggamit Lembang Laut, dua orang itu segera memisahkan diri untuk membicarakan suatu hal yang sangat penting.
430 Gajahmada "Ada apa?" bertanya Lembang Laut.
Gagak Bongol menerawang, diam sejenak.
"Aku perlu membicarakan kematian Risang Panjer Lawang," kata Gagak Bongol. "Ada yang tidak wajar pada kematiannya."
Lembang Laut mencuatkan alis.
"Aneh bagaimana?" Lembang Laut bertanya.
Gagak Bongol menghela desah. Ada kesedihan yang demikian kental mengeram di sudut dadanya. Gajahmada yang menganggapnya ceroboh sehingga menjadi penyebab bocornya persembunyian Jayanegara menjadikan hatinya gundah. Telik sandi kaki tangan Ra Kuti yang menyusup di tubuh Bhayangkara itu sungguh menjengkelkan. Meski Gagak Bongol telah berusaha keras memilah, tetap saja tidak berhasil menemukan nama yang paling layak dicurigai menjadi mata-mata Ra Kuti.
"Kita salah menerka," kata Gagak Bongol. "Sebelumnya kita menduga, telik sandi Ra Kuti itu berada di antara mereka yang ngotot pergi ke Krian, dugaan itu ternyata salah. Telik sandi itu justru berada di tempat sebaliknya."
Lembang Laut manggut-manggut, "Lalu?"
"Kematian Risang Panjer Lawang," ucap Gagak Bongol, "karena perbuatan telik sandi itu, bukan anak buah Ra Kuti yang melakukan."
Lembang Laut terhenyak. Pandangan matanya lekat tertuju kepada Gagak Bongol.
"Kauyakin itu?" tanya Lembang Laut.
"Kaulihat bagaimana luka Risang Panjer Lawang?"
Lembang Laut masih belum paham.
"Luka itu jelas dilakukan melalui serangan pedang dari arah belakang dengan ayunan dari kanan ke kiri. Risang Panjer Lawang tak bisa melihat siapa yang melakukan karena terjerembab dilanjutkan sebuah trisula menghunjam ke punggungnya. Apa yang menimpa Panjer Lawang Gajahmada 431
tidak perlu terjadi karena kita semua dalam ikatan saling menjaga satu dengan lainnya. Semua saling mengawasi dan terawasi."
Lembang Laut manggut-manggut.
"Kaubenar," balas Lembang Laut. "Jika ada yang bisa melakukan itu, tentulah teman sendiri."
"Nah, siapa orangnya?" tanya Gagak Bongol.
Pertanyaan itu larut dalam hening yang tiba-tiba menyeruak. Siapa sebenarnya telik sandi itu. Keberadaannya benar-benar seperti bisul di tubuh, terasa sakit dan sangat mengganggu. Apalagi, bagi Gagak Bongol yang terpukul oleh kecurigaan Gajahmada. Boleh jadi Gajahmada masih memercayainya, tetapi tetap saja tuduhan itu melekat pada tubuhnya, yang dianggap sebagai pintu kebocoran rahasia persembunyian Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung.
Gagak Bongol memegangi kepalanya yang masih pusing.
"Aku yakin," bisik Gagak Bongol pada diri sendiri, "aku tidak pernah membagi rahasia itu dengan siapa pun. Bahkan, tidak denganmu.
Lalu dari mana sumber kebocoran itu. Bagaimana telik sandi musuh bisa mengetahui Sri Baginda berada di Mojoagung?"
Lembang Laut memahami rasa gundah yang berkecamuk dalam hati sahabatnya itu.
"Sudahlah," Lembang Laut menghibur. "Aku mengenalmu sebagaimana Kakang Bekel Gajahmada juga mengenalmu dengan baik, Kakang bekel tahu kau bukan telik sandi itu."
"Aku mengerti," jawab Gagak Bongol. "Kakang bekel tidak membunuhku seperti yang dilakukannya pada Saprang karena Kakang Bekel percaya dan tahu benar siapa aku. Masalahnya, aku dianggap sebagai sumber kebocoran yang bisa berakibat mengerikan bagi Tuanku Jayanegara itu. Aku dianggap melakukan kecerobohan."
Lembang Laut diam sesaat, lalu menengadah.
"Kauyakin tidak pernah berbicara dengan siapa pun?" bertanya Lembang Laut.
432 Gajahmada "Aku yakin sekali," Gagak Bongol menjawab. "Jika aku tergoda untuk bercerita setidak-tidaknya kepadamu aku bercerita. Kenyataannya aku tidak lakukan itu. Aku juga tak pernah mengigau karena mabuk."
"Jika demikian," jawab Lembang Laut, "pasti telik sandi itu memperoleh dari sumber lain."
Gagak Bongol resah. "Masalahnya, Kakang Bekel menganggap kemungkinan dari sumber lain itu mustahil."
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kembali hening sejenak. Tidak bosan-bosannya Gagak Bongol memilah-milah nama teman-temannya untuk menemukan jejak telik sandi itu, tetapi tetap sulit untuk menemukan. Satu demi satu para Bhayangkara dikenalnya dengan baik.
Pengabdian mereka terhadap negara tak perlu diragukan lagi, tetapi ternyata di antara wajah-wajah keras dan kukuh penuh pengabdian itu ada pencolengnya, ada bajingannya.
Gemetar marah Gagak Bongol mengingat itu.
"Aku harus menemukan," bisik Gagak Bongol. "Mungkin saja orang itu menyembunyikan diri di balik banyak wajah yang dimilikinya, tetapi aku pasti mampu menemukannya. Akan kubeset wajah orang itu sehingga terlihat wajah aslinya."
Sang waktu bergerak mendekati pagi. Gagak Bongol kesulitan mendamaikan diri hingga menjelang pagi tangan kanan Bekel Gajahmada itu baru bisa tidur. Lembang Laut mengalami hal serupa.
Bahkan, Lembang Laut melihat salah seorang dari temannya duduk termangu merenungi perapian.
"Kau tidak bisa tidur?" tanya Lembang Laut.
Bhayangkara yang ditanya menggeleng.
"Aku mengantuk, tetapi mataku sulit terpejam," jawabnya,
"kepalaku pusing sebelah."
Lembang Laut duduk di sebelahnya.
Gajahmada 433 "Apa yang kaupikir?" tanya Lembang Laut.
Bhayangkara itu masih memusatkan perhatiannya pada perapian di depannya, seperti tidak mendengar pertanyaan itu. Namun, sejenak kemudian ia menoleh.
"Aku sibuk bertanya, kapan semua kemelut ini akan berakhir.
Perbuatan Ra Kuti itu telah membuat susah orang banyak. Semuanya berada dalam bayangan ketakutan. Keadaan seperti ini sama sekali tidak menyenangkan."
Lembang Laut termangu. "Apa ada yang kaucemaskan?"
"Tentu," jawabnya. "Kau mengetahui, aku punya keluarga. Aku punya adik perempuan. Jika penjarahan, perampokan, dan pemerkosaan itu menimpa mereka, aku amat bersalah karena tak bisa memberikan perlindungan kepada mereka."
Lembang Laut diam. Bhayangkara Lembang Laut memang mengenal Bhayangkara temannya itu dengan baik. Bahkan, beberapa kali ia mengunjungi rumahnya dan berkenalan dengan keluarganya.
Lembang Laut tahu Bhayangkara temannya itu amat berbakti kepada kedua orang tuanya, sangat mencintai dan melindungi adiknya. Dalam keadaan yang seperti itu wajar siapa pun cemas. Hanya satu hal yang Lembang Laut belum tahu, Bhayangkara di sampingnya itulah yang sebenarnya menjadi mata-mata Ra Kuti, telik sandi yang sangat merepotkan gerak pasukannya.
Benar sebagaimana yang dibayangkan Gagak Bongol, Bhayangkara telik sandi musuh itu memang mempunyai wajah yang amat lentur, amat sempurna menyembunyikan kenyataan dirinya sebagai mata-mata kaki tangan Ra Kuti, menjadi pengkhianat yang sanggup menikam teman-teman sendiri.
Bersamaan keduanya menguap. Lembang Laut dan mata-mata itu tertawa bersama. Tak banyak bicara, keduanya membaringkan diri di atas rumput. Lembang Laut memejamkan mata berusaha mengistirahatkan benaknya.
434 Gajahmada "Aku berhasil membunuh Risang Panjer Lawang," berkata telik sandi itu untuk dirinya sendiri. "Kalau aku mau, sebenarnya aku bisa membantai semua Bhayangkara ini satu per satu. Aku bisa meracun mereka semua dengan menggunakan racun yang pernah diberikan Tanca kepadaku. Dan, itu salah satu pilihan yang terpaksa aku lakukan jika upaya meringkus Jayanegara menjadi berlarut-larut dan belum membuahkan hasil. Aku tinggal mempertimbangkan, apakah cara itu harus kulakukan atau tidak. Aku sangat tergoda untuk melakukan, tetapi apa manfaatnya jika Jayanegara belum kusentuh. Aku harus bersabar."
Berbeda dengan Bhayangkara yang lain, Bhayangkara telik sandi Ra Kuti itu mampu tidur dengan menyungging senyum. Bahkan, hanya sejenak kemudian Bhayangkara telik sandi itu mampu melarutkan diri dalam mimpi yang indah. Sebaliknya dengan Bhayangkara Gagak Bongol, ia tak bisa mengesampingkan rasa gundahnya.
Bhayangkara Gagak Bongol merasa jengkel karena sampai sejauh itu masih belum mampu menemukan jejak yang benar, jejak dari telik sandi musuh yang sesungguhnya. Bhayangkara Gagak Bongol terus berusaha memilah-milah, tetapi tetap saja tangan kanan Bekel Gajahmada itu tersandung jalan buntu. Semua jalan telah ia lewati, semua kemungkinan telah ia timbang dengan sebaik-baiknya, tetapi tetap saja bayangan telik sandi itu belum ia temukan Sang waktu pun kemudian bergerak merambat merayapi kodratnya, tengah malam terlampaui menuju menjelang datangnya pagi. Waktu dengan segala macam warna kegelisahan yang diakibatkan oleh kekacauan yang terjadi di Majapahit, masih dihiasi sumpah serapah yang diobral Ra Kuti. Ra Kuti benar-benar merasa jengkel. Jayanegara yang menurut anggapannya sudah berada dalam genggamannya, tetapi ternyata luput dari cengkeramannya membuatnya gemas setengah mati.
Bahwa pasukan Bhayangkara yang hanya kecil saja itu ternyata mampu memberikan kesulitan kepadanya dengan jumlah korban yang tak bisa disebut kecil, hal itu membuat kepalanya akan meledak.
Dan, kini setelah semua kegagalan itu ia dan pasukan pengiringnya harus kembali ke kotaraja dengan berjalan kaki, padahal pimpinan Gajahmada 435
Dharmaputra Winehsuka itu merasa letih luar biasa. Ra Kuti yang merasa telah menjadi raja setelah berhasil menjungkalkan Jayanegara itu amat ingin ditandu. Betapa nikmatnya jika perjalanan kembali ke kotaraja itu dengan ditandu. Tentu nikmat sekali. Dengan ditandu Ra Kuti tentu bisa lenggut-lenggut menikmati goyangan tempat duduknya dan jika perlu tidur sekalian dalam tandu itu.
Di belakangnya, para prajurit pengiringnya mengikuti ke mana pun langkahnya tanpa banyak bicara. Para prajurit pengiringnya tidak ada yang berbicara. Tidak jauh berbeda dengan Ra Kuti, sebenarnya mereka juga merasa jengkel terhadap ulah Bhayangkara yang menyebabkan mereka harus kembali dengan berjalan kaki itu.
Hingga kemudian Ra Kuti benar-benar letih. Kakinya tidak mampu mendukung kemauannya lagi. Ra Kuti berhenti.
"Aku ini seorang raja," mendadak Ra Kuti berteriak. "Seperti inikah perlakuan yang kuperoleh sebagai raja?"
Para prajurit yang mengiring Ra Kuti terdiam, mereka menunggu apa yang akan diucapkan Ra Kuti. Namun, ternyata Ra Kuti tidak melanjutkan kata-katanya. Ra Kuti duduk di atas sebuah bongkahan batu. Ra Yuyu mendekatinya.
"Ada apa?" bisik Ra Yuyu.
Memperoleh pertanyaan seperti itu Ra Kuti meradang.
"Ada apa?" teriaknya. "Keadaan seperti ini kau masih bertanya ada apa?"
Ra Yuyu terdiam. Ra Yuyu mengenal Ra Kuti dengan baik.
Berlangsung lama mereka bersahabat sehingga Ra Yuyu mengenal tabiat Rakrian Kuti dengan baik. Jika Ra Kuti sudah seperti itu, Ra Yuyu berpendapat lebih baik diam. Ra Yuyu memang diam. Ra Yuyu sekadar duduk di sebelahnya tanpa berbicara lagi.
"Aku ingin segera tiba," ucap Ra Kuti. "Apakah kau tidak bisa mengusahakan kuda untukku?"
Ra Yuyu diam sejenak. 436 Gajahmada "Mungkin aku bisa mengusahakan kuda," ucap Ra Yuyu. "Aku akan membangunkan penduduk yang memiliki kuda, tetapi aku tidak yakin bisa memperoleh dua ekor saja di padusunan yang dihiasi penduduk melarat seperti ini. Kau tidak mungkin kembali ke kotaraja tanpa pengawalan. Gajahmada dan teman-temannya yang selalu membayangi perjalanan kita bisa meringkusmu dan menyeret di belakang kuda yang kita peroleh itu."
Ra Kuti tidak senang dengan gambaran itu. Wajahnya menebal.
"Hati-hatilah kau berbicara Ra Yuyu," berkata Ra Kuti. "Aku tidak senang dengan ucapan seperti itu. Aku seorang raja. Kau tidak pantas mengucapkan itu."
Ra Yuyu geli. Ra Yuyu merasa yang ada di depannya tetap Rakrian Kuti, temannya.
"Maksudku," lanjut Ra Yuyu, "sebaiknya kau tetap berada di tengah pengawalmu. Bhayangkara akan berpikir seribu kali jika bermaksud meringkusmu."
Mau tidak mau Ra Kuti memang harus mempertimbangkan hal itu, apa yang diucapkan Ra Yuyu memang bisa menjadi kenyataan.
Pasukan dengan kekuatan cukup besar saja dapat diacak-acak oleh pasukan Bhayangkara, apa jadinya jika dirinya terpisah dari para pengawalnya.
"Kita harus berjalan lagi," kembali Ra Yuyu menekan.
Ra Kuti berusaha meredakan diri. Ra Kuti bertambah jengkel karena amat merasa bukan Bhayangkara yang sedang ia buru, tetapi merekalah yang justru menjadi santapan yang sewaktu-waktu bisa digilas oleh pasukan kecil itu.
"Apa mereka terus membayangi kita?" Ra Kuti bertanya.
Pertanyaan itu oleh Ra Yuyu dirasa agak bodoh.
"Mereka berada di belakang kita," jawab Ra Yuyu tegas. "Mereka terus mengintai dan selalu menunggu kesempatan. Karena itu kita harus terus bergerak. Jangan berhenti."
Gajahmada 437 Kembali Ra Kuti harus mengumbar sumpah serapahnya.
Perjalanan kembali itu sungguh menjengkelkan. Merupakan siksaan dalam hatinya di kala harus menyimpan semua kejengkelan itu tanpa bisa menumpahkannya. Jika saja ada orang yang dengan suka rela mau ditendang tubuhnya maka dengan senang hati Ra Kuti akan menghajarnya.
Sang waktu terus berjalan menapaki kodratnya. Rombongan pasukan yang terluka itu terus berjalan pula, adakalanya dengan melintasi bulak panjang atau memasuki perkampungan. Beberapa penduduk yang melakukan tugas ronda terkejut saat rombongan itu melintasi pedukuhan mereka. Bahkan, setelah mengetahui bahwa mereka adalah para prajurit yang menyandang senjata, para peronda itu tak ada yang berani menyapa sekadar memberikan salam. Apalagi, orang yang berada paling depan dalam rombongan itu tak henti-hentinya mengumbar serapah. Rontok nyali para peronda itu.
Ketika kemudian pagi datang dan matahari menyapa siapa pun, pagi yang cerah itu justru menjadi bencana bagi sebuah keluarga kaya di pedukuhan yang mereka lewati. Keluarga kaya itu disinggahi Ra Kuti yang dengan kesombongannya memperkenalkan diri sebagai raja.
Pimpinan Winehsuka itu memaksa keluarga kaya itu untuk menyiapkan makan untuk dirinya dan segenap pengawalnya. Ra Kuti tak segan-segan membentak dan mengobral umpatannya manakala mendapat pelayanan yang kurang begitu memuaskan hatinya. Dua anak gadis keluarga kaya itu sangat cemas karena beberapa prajurit memandanginya dengan lahap, seolah akan menelan dengan rakusnya.
Bahkan, akhirnya dua ekor kuda jantan yang mereka miliki pun diminta dengan paksa.
Dengan kuda itu Ra Kuti memutuskan mendahului kembali ke kotaraja, para pengawalnya harus menempuh perjalanan itu dengan berjalan kaki.
"Mimpi apakah kita semalam?" bisik lelaki kaya itu kepada istrinya, setelah rombongan yang dianggapnya penjarah itu pergi meninggalkan rumah mereka.
438 Gajahmada Dengan pandangan mata pucat gemetar yang mengacak-acak jantung, istrinya bergayut di lengan suaminya.
"Siapa mereka?" berbisik istrinya. "Benarkah ia seorang raja seperti yang diucapkannya. Mengapa sebagai raja ia berperilaku jahat seperti itu?"
Suaminya yang bertubuh tinggi dan masih menyisakan kegagahan di masa muda hanya diam. Ia tak memiliki jawaban untuk pertanyaan yang dilontarkan istrinya.
"Sudahlah," bisik suaminya, "yang penting bencana tidak menimpa kita. Aku mendengar kisah menyeramkan yang terjadi di kotaraja, banyak rumah dijarah dan perempuan-perempuan yang diperkosa. Kita beruntung karena tidak mengalami bencana itu. Mengenai dua ekor kuda itu kita harus ikhlas."
Suami istri keluarga kaya itu termangu.
Beberapa saat kemudian tetangganya berdatangan ingin mengetahui apa yang telah terjadi. Mereka terkejut ketika mengetahui rombongan prajurit bersikap kasar itu mengawal Ra Kuti.
Dalam pada itu, di pagi yang sama para Bhayangkara telah menggeliat bangun. Pasukan khusus Bhayangkara itu tidak segan ambyur menceburkan diri ke sungai meski hari masih pagi dan udara cukup dingin. Beberapa orang di antaranya kembali menyalakan perapian dan menyiapkan makan.
Bahwa sebagai Bhayangkara akan selalu akrab dengan kesulitan dan mungkin berjumpa dengan bahaya yang bisa seharga dengan kematian sangat disadari oleh segenap Bhayangkara. Akan tetapi, kematian Risang Panjer Lawang benar-benar meninggalkan kesedihan di hati sahabatnya. Singa Parepen masih digelut kesedihan oleh kematian Panjer Lawang. Singa Parepen yang kehilangan sahabatnya yang paling akrab terlihat belum bisa menerima kenyataan itu. Bhayangkara Singa Parepen berubah menjadi pendiam, sesekali matanya menerawang menjelajahi langit yang amat luas.
Gajahmada 439 "Risang Panjer Lawang," bisik Bhayangkara Singa Parepen untuk diri sendiri. "Beristirahatlah dengan tenang. Percayalah, aku akan membalaskan kematianmu."
Tetapi sebagaimana Bhayangkara yang lain, Singa Parepen tak boleh larut dalam kesedihan. Singa Parepen berusaha mengendapkan diri meski ada sesuatu yang menggelegak di dalam dadanya. Sebagaimana Bhayangkara yang lain, Singa Parepen juga harus mempersiapkan diri menghadapi segala macam kemungkinan di hari yang serba tidak menentu itu.
Lembang Laut yang berdiri di sebelah Gagak Bongol bertepuk tangan meminta perhatian. Semua memandangnya.
"Sebagaimana yang diperintahkan Kakang Bekel kepadaku,"
berucap Lembang Laut. "Kita akan menempuh perjalanan cukup panjang ke arah barat. Ke arah mana sesungguhnya tujuan kita, sayang sekali aku belum bisa mengatakan. Yang jelas perjalanan ini bisa sehari, dua hari, atau bisa juga beberapa hari, bahkan beberapa bulan."
Para Bhayangkara menyimak dengan cermat penjelasan itu.
Walau tidak terucapkan, para Bhayangkara menghubungkan keputusan itu dengan keberadaan telik sandi yang diyakini berada di tubuh mereka. Karena ada telik sandi itulah Bekel Gajahmada terpaksa mengambil langkah pengamanan yang tidak lazim.
"Sebelum kita berangkat," lanjut Lembang Laut, "mungkin ada masalah yang perlu kita bicarakan?"
Singa Parepen memanfaatkan kesempatan itu. Parepen bangkit,
"Kebetulan kita menempuh perjalanan ke arah barat," ucapnya. "Aku mengusulkan untuk singgah di Saradan. Risang Panjer Lawang adalah saudara kita. Risang Panjer Lawang telah gugur dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, kita harus menyampaikan berita itu kepada keluarganya."
Gagak Bongol dan Lembang Laut saling tatap. Lembang laut yang memegang arah perjalanan yang akan ditempuh, manggut-manggut.
440 Gajahmada "Aku sependapat," berkata Lembang Laut. "Aku tidak keberatan dan mendukung usulan itu. Perjalanan kita memang bisa melewati hutan Saradan. Kita singgah untuk menyampaikan belasungkawa kepada keluarga Risang Panjer Lawang. Namun, kalau ternyata tidak memungkinkan, kita akan melakukan di saat lain."
Kelihatannya sekadar pembicaraan biasa. Namun, dari yang biasa itu menjadi tidak biasa bagi telik sandi Ra Kuti. Mata-mata yang pintar menyembunyikan jati diri itu menengadah memandang langit pagi yang terang. Sesungguhnya telik sandi itu berpikir keras.
"Jika benar melewati Saradan," kata telik sandi itu untuk dirinya sendiri, "berarti Gajahmada memang dengan sengaja mencari tempat yang benar-benar aman dan sulit dijangkau. Boleh jadi arah yang diambil Madiun, bahkan melintasi Gunung Lawu. Bisa juga dari daerah yang disebut Madiun ke arah utara, ke Angawiyat atau balik arah ke Bojonegoro. Bahkan, bisa jadi ke tempat yang lebih jauh lagi, Wonosobo misalnya?"
Dalam diam otak telik sandi itu terus berputar dan berputar mencoba menemukan jawabnya. Jika semula dengan sangat mudah ia menemukan Kabuyutan Mojoagung sebagai tempat yang diyakini dipilih Bekel Gajahmada untuk menyembunyikan Jayanegara, untuk yang kali ini tidak gampang bagi telik sandi itu untuk menebak ke mana Bekel Gajahmada membawa Jayanegara.
"Gajahmada boleh cerdik," bisik telik sandi itu kepada diri sendiri.
"Akan tetapi, aku tak boleh kalah cerdik. Jika akhirnya rombongan ini bergabung, aku akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menebar tembang kematian. Bukan hanya Jayanegara yang akan sekarat karena menelan racunku, Bhayangkara yang lain juga, terutama Gajahmada itu."
Setelah diperoleh kesepakatan dengan dipimpin oleh Lembang Laut dan Gagak Bongol, perjalanan menempuh jarak yang jauh itu dimulai.
Dalam perjalanannya para Bhayangkara bersikap ramah kepada penduduk pedukuhan yang mereka lewati. Adakalanya tidak segan-segan mereka menyapa para petani yang sibuk di sawah. Adakalanya mereka
Gajahmada 441 harus melayani pertanyaan beberapa penduduk yang ingin mengetahui apa yang terjadi di kotaraja.
44 Dalam pada itu, lagi-lagi Bekel Gajahmada menggunakan cara pengawalan yang tak lazim. Empat orang Bhayangkara berkuda, masing-masing Kartika Sinumping, Lembu Pulung, Panjang Sumprit, dan Jayabaya dipecahnya menjadi dua. Dua orang diminta mendahului untuk mengamati keadaan di depan, dua orang yang lain diminta untuk selalu membayang-bayangi di bagian belakang. Jika ada gerakan pasukan Ra Kuti yang mungkin mencoba mencegat dari depan atau bahkan menyusul dari belakang, diharapkan bisa diketahui lebih dini sehingga bisa diambil langkah-langkah pengamanan.
Bekel Gajahmada yang masih curiga terhadap kemungkinan terdapatnya telik sandi di antara pasukan Bhayangkara memilih melakukan pengawalan sendirian. Gajahmada juga belum bermaksud memanfaatkan kuda-kuda milik anak buahnya karena untuk sementara merasa lebih aman dan tersamar melalui berjalan kaki, kecuali bila waktu malam datang kembali.
Meskipun agak tersendat dan beberapa kali memberi kesempatan kepada Jayanegara untuk beristirahat, Gajahmada telah cukup jauh meninggalkan Kabuyutan Mojoagung. Dalam perjalanan itu Jayanegara tak lagi banyak mengeluh. Meskipun mengalami keletihan yang luar biasa, otot-otot kakinya mulai mampu menyesuaikan diri. Manakala matahari memanjat lebih tinggi, tubuhnya basah kuyup oleh keringat yang bagai diperas dari tubuhnya.
442 Gajahmada Setelah melewati bulak panjang yang menghijau dengan tanaman jagung, Gajahmada dan Jayanegara memasuki pedukuhan kecil. Gajahmada melihat dua orang lelaki tengah menurunkan beberapa butir kelapa.
"Selamat siang Kisanak," sapa Gajahmada dengan ramah.
Salah seorang dari dua lelaki itu menjawab sapaan Gajahmada dengan ramah. Kalagemet tidak henti-hentinya memandangi beberapa butir kelapa yang berserakan di tanah. Tiba-tiba Jayanegara merasa gatal sekali lehernya.
"Kami sedang menempuh perjalanan jauh ke Madiun," Bekel Gajahmada berkata. "Kebetulan sekali kami melihat Kisanak menurunkan beberapa butir kelapa. Kalau Kisanak tidak keberatan, kami ingin membeli beberapa butir yang masih muda. Apakah Kisanak keberatan?"
Ternyata dua orang lelaki penduduk pedukuhan itu ramah dan lugu.
Ketika Gajahmada mengulurkan uang kepeng sebagai pengganti kelapa, dua orang itu menolaknya. Bahkan, salah seorang kembali memanjat untuk memetik beberapa butir kelapa yang masih muda.
"Izinkan aku memperkenalkan diri," mendadak Jayanegara berkata.
"Namaku Gemet dan ini saudara tuaku, Kakang Gajahamuk. Siapakah nama Kisanak?"
Lelaki berkumis tipis di depan Jayanegara tersenyum. Bersamaan itu dari atas lima butir kelapa muda berjatuhan.
"Namaku Jayasangkan. Dan, yang berada di atas itu meski usianya sebaya denganku, ia keponakanku. Martani namanya."
Jayanegara manggut-manggut sambil memerhatikan wajah laki-laki yang mengaku bernama Jayasangkan itu. Dari wajah Jayasangkan tersirat pancaran pandangan mata yang penuh ketulusan, wajar, tidak dibuat-buat, penuh keakraban. Dalam lipatan kenangan Jayanegara, di istana banyak sekali orang yang selalu menunduk mengangguk hormat kepadanya. Ra Kuti misalnya, demikian rapi menyembunyikan bulu-bulu yang tumbuh lebat menyelimuti jantungnya.
Gajahmada 443 Penghormatan Ra Kuti yang berlebihan, ucapan pujian yang sangat berlepotan ternyata menyembunyikan warna hati yang lain.
"Untuk apakah semua kelapa ini, Kisanak?" kembali Sri Jayanegara bertanya.
Gajahmada memungut bendo yang tergeletak. Dengan bendo itu Gajahmada melubangi kelapa muda. Gajahmada tidak menyerahkan kelapa itu untuk diminum Jayanegara, tetapi dengan lahap Gajahmada meminumnya sendiri.
Jayasangkan tersenyum tulus dan lugu.
"Dengan kelapa ini kami membuat minyak kelentik," jawabnya.
"Kami juga membuat gula kelapa. Hasilnya lumayan untuk tambahan kebutuhan dapur. Apalagi, pada saat ini harga gula kelapa cukup bagus.
Minyak kelentik juga dibutuhkan orang banyak."
Kalagemet manggut-manggut dan menoleh kepada Gajahmada yang kembali melubangi kelapa muda berikutnya. Dengan amat serakah Gajahmada memuasi rasa hausnya. Leher dan pakaian yang dikenakannya basah kuyup.
"Minyak kelentik dibuat dari kelapa?" tanya Jayanegara dengan alis mencuat.
Ki Jayasangkan terheran-heran memperoleh pertanyaan itu. Siapa pun tahu minyak kelentik terbuat dari kelapa. Kelapa diparut kemudian diambil santannya. Santan kelapa itulah jika bagian kanil-nya yang berwarna putih mengapung saat direbus, dididihkan terus-menerus sampai habis airnya akan menyisakan minyak kelentik. Apabila minyak kelentik itu disaring menyisakan blondo yang bila dimakan bersama ketan, rasanya lezat sekali. Tidak ada seorang pun sepengetahuannya yang tidak tahu bagaimana membuat minyak kelentik, kini di depannya ada orang yang merasa heran.
Justru karena itu Jayasangkan terbungkam. Pandangan matanya tidak berkedip memandang lelaki di depannya.
444 Gajahmada Jayasangkan manggut-manggut melihat betapa halus tangan orang itu, orang yang sehari-harinya terbiasa bekerja keras tentu memiliki tangan yang kasar, jari-jarinya keras dan kulitnya menebal.
"Kenapa?" Jayanegara bertanya.
Jayasangkan kemudian tersenyum, "Saya merasa aneh jika ada orang yang tak tahu minyak kelentik itu terbuat dari kelapa. Saya kira tidak ada yang tidak tahu."
Gajahmada yang sedang minum air kelapa tersedak. Gajahmada tidak kuasa menahan senyumnya. Namun, Gajahmada segera membuang semua kesan dari permukaan wajahnya. Gajahmada kembali melanjutkan menikmati kelapa muda di tangannya.
Jayanegara rupanya benar-benar belum tahu, minyak kelentik itu terbuat dari kelapa.
"Jadi, minyak kelentik terbuat dari kelapa," gumam Jayanegara.
"Lalu bagaimana cara membuatnya?"
Jayasangkan dengan senang hati menjelaskan proses pembuatan minyak kelentik. Bahkan, Jayasangkan bertutur pula bagaimana cara membuat gula kelapa yang berasal dari legen. Paparan itu sangat menarik perhatian Jayanegara.
Setelah menghabiskan dua butir, barulah Bekel Gajahmada mengupas lagi kelapa muda yang tersisa. Dengan tangan kirinya dan terlihat tidak canggung sama sekali, Bekel Gajahmada mengangsurkan kelapa muda itu kepada Jayanegara. Jayanegara meminumnya.
Jayanegara yang haus luar biasa itu dengan lahap menghabiskan isi kelapa muda itu. Apa yang dilakukan dua orang lelaki yang mengaku bernama Gemet dan Gajahamuk itu membuat Jayasangkan terheran-heran.
Jayanegara merebahkan diri bersandar pohon melinjo di belakangnya.
"Lemas," berkata raja yang tergusur itu. "Tadi lemas kehausan, sekarang lemas kekenyangan."
Gajahmada 445 Jayasangkan tidak kuasa menahan tawanya yang terkekeh mendengar ucapan yang menurutnya lucu itu. Keponakan Ki Jayasangkan setelah turun dari pohon kelapa ikut bergabung.
Semilir angin yang begitu sejuk memancing kantuk. Jayanegara begitu tergoda untuk berbaring, tetapi dengan matanya Gajahmada memberi isyarat kepadanya untuk tidak melakukan itu. Jayanegara membatalkan niatnya.
"Kalau kami boleh tahu," ucap Jayasangkan, "apakah Kisanak memang berasal dari Madiun atau Kisanak ada keperluan di Madiun?"
"Kami kembali ke Madiun," jawab Gajahmada.
"Dari kotaraja?" Martani ikut bertanya.
Gajahmada belum menjawab.
"Kami mendengar kotaraja saat ini sedang dilanda huru-hara.
Benarkah berita itu Kisanak?" lanjut Martani.
Gajahmada bermaksud menghindari pertanyaan itu dengan berpura-pura tidak tahu. Namun, Jayanegara mendahului.
"Ra Kuti berontak," berkata Jayanegara seperti tanpa beban. "Ra Kuti dengan teman-temannya, beberapa orang yang oleh Jayanegara diberi anugerah gelar Dharmaputra Winehsuka melakukan tindakan makar. Barangkali Jayanegara sudah tidak layak menjadi raja sehingga Jayanegara harus digusur dari singgasananya. Sekarang Ra Kuti yang menjadi raja, bergelar Sri Maharaja Agung Batara Prabu Kuti Wisnumurti."
Jayasangkan dan Martani saling pandang. Gajahmada termangu.
Jayanegara tersenyum datar.
"Bagaimana dengan nasib Sang Prabu?" tanya Martani.
Ada kecemasan yang membayang di wajahnya.
Jayanegara yang memejamkan mata sejenak itu kembali melek.
"Tidak perlu ada yang peduli dengan nasib Jayanegara," kata Jayanegara. "Kisah tentang Jayanegara sudah habis. Semua perhatian 446
Gajahmada saat ini sebaiknya dipusatkan kepada Prabu Kuti. Siapa tahu sebagai raja yang baru Prabu Kuti mempunyai perhatian terhadap pedukuhan ini, bukankah selama ini Jayanegara tidak mempunyai perhatian terhadap pedukuhan ini" Siapa tahu sebagai raja baru, Prabu Kuti mampu membawa kehidupan rakyat Majapahit menjadi lebih cerah dan bergairah, siapa tahu Majapahit lebih makmur, aman tenteram kerta raharja."
Ucapan Gemet itu mengusik sekali. Tatapan mata Jayasangkan menerawang.
"Beberapa waktu yang lalu," ucap Jayasangkan, "telah lewat beberapa orang pengungsi. Mereka bercerita tentang kekejaman Ra Kuti yang sangat mengerikan. Pemerkosaan dan penjarahan menghantui siapa pun. Tentu saja kami tidak menghendaki raja dengan perilaku seperti itu. Lebih dari itu, Ra Kuti tidak memiliki hak. Ra Kuti bukan keturunan Rajasa. Hanya keturunan Rajasa yang mempunyai hak menduduki takhta."
Jayanegara terdiam. Gajahmada tak berbicara apa pun.
"Tetapi bukankah Jayanegara sama sekali tak punya perhatian terhadap pedukuhan ini?" lanjut Jayanegara.
Jayasangkan menggeleng. "Sri Baginda Jayanegara itu seorang raja yang harus mengurus orang banyak. Perhatian Tuanku Jayanegara tidak harus dengan datang ke pedukuhan ini. Pada kenyataannya perhatian Tuanku Sri Jayanegara selama ini telah tersalur melalui saluran yang ada, melalui perangkat kademangan sampai tingkat paling bawah."
Jayanegara agak terhenyak. Jayanegara sama sekali tidak menyangka akan memperoleh jawaban seperti itu. Sri Jayanegara melihat sebuah kenyataan bahwa ternyata begitu besar kecintaan rakyatnya terhadap rajanya yang tergusur.
"Aku tidak tahu apakah kelak aku akan bisa kembali menduduki takhta Majapahit," berkata Jayanegara untuk dirinya sendiri. "Jika aku bisa kembali, pada suatu ketika kelak, aku akan menyempatkan secara Gajahmada 447
khusus untuk mengunjungi dan memberikan perhatian kepada pedukuhan ini. Bukan hanya pedukuhan ini, tetapi juga kehidupan segenap kawula Majapahit. Semua harus mendapat perhatian."
Pada saat yang demikian, tiba-tiba pembicaraan itu terhenti oleh terdengarnya derap kuda di kejauhan. Gajahmada bergegas bangkit memerhatikan. Ketika jarak pandang mencukupi Gajahmada melihat Bhayangkara Jayabaya yang duduk di atas kuda yang berderap itu.
Dari tatapan matanya Jayanegara seolah bertanya, "Ada apa?"
Namun, Gajahmada tidak berkata apa pun. Penunggang kuda itu makin dekat. Bekel Gajahmada bergegas menyongsongnya. Jayasangkan dan Martani saling pandang, menyiratkan penasaran.
"Ada apa?" bisik Gajahmada setelah Jayabaya turun dari kuda.
"Tidak seberapa jauh di depan setelah melewati pedukuhan ini, kami menemukan lima puluh ekor kuda milik Ra Kuti. Saat ini Kartika Sinumping sedang menjaga kuda itu. Apa yang harus kami lakukan?"
Gajahmada tersenyum. "Tunggu kami berdua di sana," jawab Gajahmada.
"Baik," jawab Jayabaya tegas. "Aku kembali."
Jayabaya bermaksud meloncat ke atas kudanya.
"Tunggu," cegah Gajahmada. "Ada beberapa butir kelapa muda.
Bawalah." Bhayangkara Jayabaya tersenyum lebar. Dengan langkah sigap, Jayabaya mendekati Jayanegara yang duduk bersandar pohon.
Bhayangkara Jayabaya memberikan penghormatan kepada Kalagemet.
Bekel Gajahmada bermaksud mencegah, tetapi terlambat. Tanpa banyak bicara Jayabaya memungut tiga butir kelapa muda dan kembali ke kudanya. Sesaat kemudian kuda itu berderap meninggalkan tempat itu.
Jayasangkan dan Martani tambah penasaran.
"Bagaimana?" bertanya Jayanegara.
"Kita lanjutkan perjalanan," jawab Gajahmada pendek.
448 Gajahmada Jayanegara bangkit berdiri dan meliukkan tubuhnya yang pegal.
"Kami sangat mengucapkan banyak terima kasih Kisanak," ucap Sri Jayanegara. "Kami akan mengingat sampai kapan pun keramahan ini. Kelapa muda hijau ini serasa menyambung umur kami. Kami yang kehausan dan hampir mati karenanya seolah hidup kembali. Sekarang, izinkan kami mohon diri untuk melanjutkan perjalanan. Sebagai tanda terima kasih kami, tolong terimalah ini, uang yang jumlahnya tidak seberapa."
Jayasangkan dan Martani saling pandang. Uang yang dikatakan tidak seberapa itu sangat banyak nilainya bagi mereka. Apalagi, uang itu terbuat dari emas.
"Aku sudah mengatakan," ucap Jayasangkan. "Kami ikhlas, kelapa muda itu tidak perlu dibayar."
Jayanegara menggeleng. "Terimalah Kisanak," lanjut Jayanegara.
Akhirnya, Jayasangkan mau menerima uang itu. Kalagemet melambaikan tangan tanda perpisahan. Dengan tatapan bingung Jayasangkan dan Martani memandangi kedua orang yang tampaknya berusaha menyelubungi jati diri itu.
"Siapa mereka?" bertanya Martani.
Jayasangkan hanya bisa menggeleng.
"Mereka tentu orang yang sangat kaya," ucap Martani. "Uang pemberiannya sebagai pengganti kelapa muda yang kita berikan demikian banyak."
Jayasangkan termangu, kegelisahannya kian menjadi.
"Kaulihat bagaimana sikap orang yang berkuda tadi?" tanya Jayasangkan.
Martani mengerutkan kening, "Bagian mana?"
"Orang yang turun dari kuda itu," ucap Jayasangkan. "Menilik sikapnya seperti seorang prajurit."
Gajahmada 449 Martani dan Jayasangkan kian menegang, berbagai prasangka muncul dan menggoda.
"Mereka memperkenalkan diri kepadamu?" bertanya Martani.
"Ya," jawab Jayasangkan. "Yang berbadan tegap itu Gajahamuk, yang memberi uang bernama Gemet. Orang yang bernama Gemet itu aneh karena cara pembuatan minyak kelentik saja tidak tahu."
"Gemet?" desis Martani.
"Ya," jawab Jayasangkan.
"Kalagemet?" lanjut Martani.
Jayasangkan terhenyak. Dengan pandangan bingung ia menatap wajah Martani. Tatapan mata bingung itu sejenak kemudian segera berubah menjadi terbelalak bahkan disusul dengan bibir yang gemetar tak terkendali.
Masih dengan wajah bingung Jayasangkan memandangi uang yang ada dalam genggaman tangannya, lalu tatapan matanya tertuju kepada dua orang yang berjalan makin jauh itu.
"Orang itu," bergetar sekali suara Jayasangkan. "Orang itu, Sri Baginda Jayanegara?"
Maka gemparlah isi dada Jayasangkan dan keponakannya.
Jayasangkan untuk beberapa saat terpaku tidak bisa bicara. Martani, keponakannya yang usianya sebaya dengan dirinya, tidak kalah bingung pula. Keduanya butuh waktu beberapa lama untuk bisa mendamaikan diri. Namun, tetap saja jantungnya berpacu kencang tidak mau didamaikan.
Dengan tak banyak bicara Jayanegara dan Gajahmada berjalan melintasi pedukuhan yang ada di depannya. Ternyata pedukuhan itu bukan padukuhan yang dihuni oleh banyak penduduk. Pedukuhan itu pun tidak seberapa luas. Setelah berjalan beberapa lama Jayanegara dan Gajahmada kembali memasuki bulak panjang. Di seberang bulak panjang itulah Bhayangkara Kartika Sinumping dan Jayabaya menunggu mereka.
450 Gajahmada "Berita penting apa yang tadi diberikan Jayabaya untukmu?" tanya Jayanegara.
"Untuk selanjutnya, kita tidak perlu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki Tuanku," berkata Gajahmada. "Kita mempersingkat perjalanan jauh ini dengan berkuda. Kuda-kuda milik Ra Kuti yang semalam diacak-acak Jayabaya dan teman-temannya itu ditemukan."
Di langit matahari memanjat makin tinggi. Akan tetapi, angin semilir yang berembus dari arah utara itu juga mampu memberi kesegaran untuk mengimbangi teriknya. Sri Jayanegara terus melangkah mengikuti Gajahmada, bahkan sesekali Kalagemet memperlebar langkah kaki mendahului Gajahmada.
Meski masih jauh Gajahmada melihat kuda-kuda yang dimaksud.
Gajahmada tersenyum membayangkan Ra Kuti tentu mencak-mencak kehilangan kuda sedemikian banyak itu.
"Di mana kalian temukan kuda-kuda ini?" tanya Gajahmada setelah sampai.
"Di tepi hutan sana," jawab Kartika Sinumping. "Para penduduk tidak ada yang berani mengusik. Mereka yang memberi tahu kami."
Gajahmada manggut-manggut. Bekel Gajahmada berpikir, banyak hal yang bisa dilakukan dengan adanya kuda-kuda itu.
"Kita berbagi tugas," ucap Gajahmada. "Aku dengan Jayabaya akan mendahului dengan berkuda. Kartika Sinumping menunggui kuda-kuda sampai Lembu Pulung dan Panjang Sumprit tiba. Selanjutnya, susul Lembang Laut dan yang lain di belakang. Lembang Laut tahu ke mana arah yang harus diambil untuk menyusulku. Kalian paham?"
Kartika Sinumping dan Jayabaya mengangguk.
"Bagaimana dengan sisa kuda-kuda ini" Apakah akan kita lepaskan?" tambah Kartika Sinumping.
Gajahmada berpikir sejenak. Di satu sisi, kelak di kemudian hari saat dibutuhkan, kuda itu akan sangat membantu upayanya menjungkalkan Ra Kuti dan mengembalikan Jayanegara duduk di
Gajahmada 451 singgasananya. Namun, jika kuda-kuda itu dibawa, akan meninggalkan jejak yang dengan mudah diendus oleh telik sandi Ra Kuti.
"Kau mempunyai gagasan?" tanya Bekel Gajahmada.
Kartika Sinumping mencuatkan alis.
"Ada Demang Pandankali yang tinggal tidak jauh dari sini.
Bagaimana kalau aku menitipkan kepadanya?"
Gajahmada mengangguk. "Baik, tetapi jangan tinggalkan jejak cerita apa pun."
Untuk selanjutnya Gajahmada dan Sri Jayanegara yang dikawal Bhayangkara Jayabaya mendahului perjalanan itu. Hanya sejenak kemudian Panjang Sumprit dan Lembu Pulung datang.
45 Dalam pada itu, di saat itu pula di waktu bersamaan dengan wajah menebal serasa melebihi tebalnya dinding bata, Ra Kuti telah tiba kembali ke kotaraja. Sumpah serapahnya diumbar di mana-mana. Siapa pun yang berada di segenap sudut istana pasti mendengar bagaimana Ra Kuti mengobral berbagai macam umpatan itu. Siapa pun yang mendekat pasti memperoleh dampratan.
"Kau kenapa?" bertanya Tanca.
"Gajahmada," ucap Ra Kuti dengan napas tersengal. "Orang itu menjijikkan sekali. Aku ingin sekali membenamkan gagang tombak itu ke mulutnya tembus sampai duburnya."
Ra Tanca tersenyum, "Apa yang terjadi?"
452 Gajahmada Ra Kuti terpancing, napasnya tersengal.
"Jayanegara telah berada dalam genggaman tanganku," ucapnya.
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi mereka masih mampu meloloskan diri. Gajahmada ternyata memang licin melebihi belut. Pada suatu saat kelak, pasti aku beset wajahnya. Akan kugantung Bhayangkara tidak tahu diri itu di alun-alun."
Ra Tanca hanya tertawa. "Sudah begitu," lanjut Ra Kuti, "masih bisa-bisanya mereka memberikan kesulitan kepadaku. Kami kehilangan kuda-kuda."
Ra Tanca tertawa. Ra Tanca percaya pasukan Bhayangkara bisa melakukan itu. Bahkan, melakukan hal yang tak terduga mereka bisa.
"Aku letih sekali," ucap Ra Kuti. "Aku letih jiwa dan raga. Tulang-tulangku serasa remuk semua."
Tanca memandang Ra Kuti. Sulit menebak warna perasaan macam apa yang ada di benak Ra Kuti itu.
"Aku akan memanggil seorang emban untukmu," berkata Ra Tanca.
"Emban itu akan memijat tubuhmu."
Ra Tanca keluar dari bilik Ra Kuti. Bilik itu sebelumnya digunakan oleh Jayanegara. Ra Tanca kemudian memberi perintah untuk memanggil seorang emban. Emban itu bertubuh gemuk dan agak tua.
Emban itu mendapat perintah memijat Ra Kuti. Dengan takut emban itu masuk ke dalam bilik Ra Kuti. Beberapa saat sebelumnya emban gemuk itu mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana Rakrian Kuti mengumbar berbagai serapah. Berbagai macam perbendaharaan makian itu seolah ditujukan kepada dirinya.
Di dalam bilik, Ra Kuti berbaring menelungkup. Matanya yang kemerahan memandangi wajah emban itu. Di mata Ra Kuti wajah emban itu begitu buruk mengerikan. Justru karena itu, Ra Kuti memejamkan mata seolah bila terlampau lama memandangnya akan terkena sakit mata. Tanpa banyak bicara dan masih dibayangi rasa takut, emban gemuk itu akan melaksanakan tugasnya.
"Apakah hamba sudah diperkenankan memulai tugas hamba, Tuanku?" bertanya emban itu dengan suara nyaris berbisik.
Gajahmada 453 "Apa?" bertanya Ra Kuti dengan suara agak serak. "Aku tidak mendengar."
Emban itu agak gugup. "Apakah hamba sudah diperkenankan memulai memijat?" berbisik emban itu.
"Ya. Lakukanlah," jawab Ra Kuti datar.
Dengan gugup emban itu memulai tugasnya. Emban bertubuh gemuk itu memang mempunyai kemampuan memijat. Itu sebabnya, emban gemuk itu sering dimintai bantuan oleh beberapa prajurit. Bahkan, Sri Jayanegara termasuk orang yang sering memanfaatkan tenaga emban gemuk itu. Emban bertubuh gemuk itu pun memulai pekerjaannya.
Tangannya yang gempal dan kuat merayapi lengan Ra Kuti. Mula-mula Ra Kuti agak merasa risih, tetapi setelah beberapa saat berlalu, Ra Kuti harus mengakui pijatan emban gemuk itu nyaman. Apalagi, ketika kakinya yang pegal luar biasa dirayapi.
Akhirnya, Ra Kuti benar-benar pasrah. Ra kuti membiarkan apa yang dilakukan emban gemuk itu. Termasuk ketika emban itu bertambah berani, tanpa meminta izin lebih dulu memijat punggung dan menggerayangi pundak. Ra Kuti sejenak seperti terlena, bayangan kemarahannya kepada Jayanegara telah sirna entah ke mana perginya.
Ra Kuti yang penat itu berusaha melupakan apa pun, melupakan kemarahannya kepada Bekel Gajahmada dan ulah para Bhayangkara.
Sebenarnya emban gemuk itu tidak bermaksud melakukan sesuatu yang berada di luar kepatutan. Justru dari benak Ra Kuti sendiri yang kemudian muncul nafsu yang menggelegak. Ra Kuti mencoba untuk meredam, tetapi gangguan itu begitu kuat mencengkeram kepalanya.
Ra Kuti tiba-tiba berbalik. Dengan tatapan mata amat beringas, dipandangnya wajah emban gemuk itu.
Emban gemuk itu ketakutan.
"Ampun Tuanku," ucap emban gemuk itu ketakutan.
Tetapi, emban gemuk itu benar-benar tidak mengetahui di mana letak kesalahannya.
454 Gajahmada "Lepas bajumu," tiba-tiba Ra Kuti berkata.
Emban gemuk itu kebingungan.
Emban gemuk itu membutuhkan waktu beberapa saat lamanya untuk memahami apa yang dikehendaki Ra Kuti.
"Aku bilang, lepas pakaianmu," ucap Ra Kuti dengan suara agak bergetar.
Emban gemuk itu benar-benar dibuat gugup dan ketakutan.
Emban gemuk itu segera melucuti pakaian yang dikenakannya. Emban gemuk itu baru terbelalak, ketika tiba-tiba Ra Kuti menerkamnya dengan beringas. Bagi emban gemuk itu, melakukan seperti apa yang dikehendaki Ra Kuti itu bukanlah hal yang baru baginya. Namun, manakala Ra Kuti yang menghendaki, emban bertubuh gemuk itu hanya bisa terbelalak.
Keberingasan Ra Kuti dalam melepas kobaran nafsunya membuat emban itu membeku.
Pada saat yang demikian itulah, tiba-tiba pintu terbuka. Tanca yang telah membuat sejenis lulur untuk membantu memulihkan kesehatan Ra Kuti terbelalak. Rakrian Tanca sama sekali tidak menduga kegiatan di dalam bilik itu telah berubah. Dengan senyum yang aneh Ra Tanca menutup kembali pintu itu. Ra Kuti menganggap kemunculan Ra Tanca itu seperti tak pernah terjadi. Ra Kuti menuntaskan hasratnya.
Manakala semuanya telah usai, bukan kepuasan yang diperoleh Ra Kuti, tetapi justru rasa mual. Ra Kuti memandang emban gemuk itu dengan tatapan jijik.
"Keluar!" bentak Ra Kuti kasar.
Emban gemuk itu kaget. "Aku bilang, keluar," lanjut Ra Kuti dengan sangar.
Emban gemuk itu bergegas memunguti pakaiannya dan membalut tubuhnya alakadar-nya. Dengan ketakutan emban gemuk itu lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Di depan pintu emban gemuk itu terjatuh.
Ra Kuti tiba-tiba meradang. Entah apa yang berkecamuk dalam dadanya, tetapi Ra Kuti membutuhkan penyaluran. Ra Kuti meludah kasar disusul dengan umpatan yang kasar pula.
Gajahmada 455 Di depan pintu, Ra Tanca hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Dipandanginya emban gemuk itu yang terbirit-birit sambil melolong, menjadi perhatian para emban lainnya. Masih dengan senyumnya yang aneh Ra Tanca memasuki bilik yang digunakan Ra Kuti. Pimpinan Winehsuka yang mengalami kelelahan luar biasa itu masih mengumbar berbagai perbendaharaan sumpah serapah yang dimilikinya.
Apa yang baru dilakukannya kepada emban gemuk itu makin memancing rasa mual.
Tanca berdiri mematung. Tanca belum berbicara apa pun.
"Bangsat," umpat Ra Kuti.
Ra Kuti berbalik dan memandang Ra Tanca.
"Kau mengumpati siapa Ra Kuti?" tanya Ra Tanca.
Ra Kuti terbungkam. Sisa racun anak panah yang melukai lengannya masih menyisakan rasa sakit. Bau emban gemuk yang baru saja digelutinya itu juga menyisakan rasa mual. Namun, Ra Kuti masih diam.
Ra Kuti tidak tahu harus menjawab bagaimana terhadap pertanyaan Tanca itu.
"Kau raja cluthak," ucap Ra Tanca datar dan agak melecehkan.
Tidak ada perubahan di wajah Ra Kuti yang tetap membeku.
"Kau raja yang tidak mampu menjaga martabatmu. Emban gemuk berwajah jelek seperti itu ternyata kauterkam. Jangan-jangan seekor kambing dipupuri akan memancing hasratmu."
Menggigil Ra Kuti. "Cukup!" bentak Ra Kuti dengan nada datar. "Jangan kauulangi kata-kata itu. Atau, aku akan menyobek mulutmu."
Ancaman itu tidak membuat Ra Tanca gemetar. Ra Tanca justru menggeleng-geleng.
"Aku hanya mengingatkanmu, Ra Kuti," balas Tanca. "Aku hanya menjadi imbanganmu untuk berpikir di saat kau tidak mampu berpikir.
Aku tidak akan membiarkan mulutku mengucapkan sesuatu apabila tidak ada penyebabnya. Aku melihatmu melakukan perbuatan yang tidak 456
Gajahmada pantas dilakukan seorang raja. Kalau Ra Kuti sebelumnya yang melakukan tidak menjadi soal. Lain persoalannya jika yang melakukan Ra Kuti sekarang. Apa yang kauperbuat akan selalu diperhatikan orang dan menjadi bahan gunjingan."
Ra Kuti terdiam oleh ucapan itu. Dengan tatapan mata kurang senang Ra Kuti memandang Tanca.
"Kau tak berpikir sebelum berbuat," lanjut Ra Tanca. "Kau tak membayangkan, cerita seperti apa yang akan diobral emban gemuk itu di luar sana. Kalau emban itu merasa harus berbagi cerita karena baru saja mengalami peristiwa yang luar biasa bagi dirinya, bakal beredar kisah mengerikan tentang Ra Kuti. Orang pun akan bertanya, apabila perbuatanmu seperti itu, apakah kaulayak menjadi raja?"
Penjelasan yang diberikan Ra Tanca itu masuk akal. Ra Kuti terpaksa merenungkannya, tetapi dia bisa mengambil jalan yang paling gampang.
"Jika demikian, bungkam dia," ucap Ra Kuti.
Tanca terbelalak. "Mumpung emban mengerikan itu belum mengobral cerita kaubunuh dia," ulangnya.
Ra Tanca menggeleng-gelengkan kepala.
"Kau ini aneh," ucap Ra Tanca. "Bagaimana kau memandang emban itu saat kau tiba-tiba tak bisa membendung hasratmu. Sekarang kau menjatuhkan perintah untuk membunuhnya. Sangat bertolak belakang."
"Bungkam dia sebelum mengobral cerita," tegas Ra Kuti.
"Dan, di luar sana," tambah Ra Tanca, "akan beredar cerita Ra Kuti memberi perintah untuk membunuh seorang emban karena ketakutan aibnya diketahui oleh orang banyak."
Ra Kuti meradang, "Bunuh emban itu agar tidak mengobral aib itu."
Tanca kembali menunduk dan menggelengkan kepala. Dengan tatapan mata yang sulit ditebak maknanya, Ra Tanca memandang Ra Kuti.
Gajahmada 457 "Prajurit yang melaksanakan perintah itu yang nantinya akan mengobral cerita. Berarti kau juga harus memberi perintah untuk membunuh prajurit yang kauberi tugas mengakhiri hidup emban gemuk itu, bagaimana?"
Ra Kuti terbelalak. Kesabarannya habis.
"Aku tidak memberi perintah kepada prajurit yang lain. Perintah itu, kau yang harus melakukannya."
Ra Tanca nyaris tersedak. Ra Tanca memerlukan waktu beberapa jenak untuk termangu.
"Aku?" bertanya Tanca seperti orang bodoh. "Aku yang harus melaksanakan tugas membungkam mulut emban gemuk itu?"
Ra Kuti tidak bersuara. Pandangannya lurus ke manik mata Ra Tanca, tembus ke jantungnya.
"Tidak sudi," lanjut Tanca tegas. "Aku tidak sudi menyelesaikan sisa pekerjaan yang menjijikkan itu."
Ra Kuti bangkit dan berjalan mondar-mandir.
Dengan cepat Ra Kuti mengabaikan persoalan yang mungkin bakal muncul jika emban gemuk itu mengobral cerita. Bahkan, Ra Kuti tidak peduli misalnya cerita itu beredar dari ujung ke ujung kotaraja. Yang membuat Ra Kuti meradang adalah setiap kali ingatannya tertuju kepada Jayanegara dan Gajahmada. Hanya dua orang itulah yang bisa membuat darahnya mendidih dan dinding kepalanya seperti akan bengkah.
Ra Kuti merasa seperti duduk di atas bara jika dua orang itu belum ada dalam genggamannya.
Di saat yang demikian itulah, Ra Pangsa dan Ra Wedeng telah tiba kembali setelah sebelumnya merasa melakukan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Perjalanan yang ditempuh dengan membawa pasukan segelar sepapan menuju Krian ternyata sia-sia belaka. Dengan wajah yang merah padam dan berada di puncak kejengkelan yang tak terbendung, Ra Pangsa dan Ra Wedeng memaksa diri bertemu Ra Kuti.
458 Gajahmada Ra Tanca membuka pintu yang diketuk. Dua Winehsuka yang jengkel itu telah berdiri di depan pintu.
"Di Krian tidak ada apa-apa," ucap Ra Wedeng langsung ke persoalan yang dibawanya, nadanya melengking tinggi.
Ra Wedeng memandang Kuti dengan mata tidak berkedip.
Napasnya berlarian. Melihat semua itu, Ra Tanca tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ra Tanca pun terpaksa melengos ke arah lain. Ra Wedeng dan Pangsa saling pandang. Tatapan mata mereka menyiratkan rasa amat tidak senang dan segera butuh penjelasan.
"Ada apa sebenarnya?" ucap Wedeng dengan suara bergetar.
Suasana menjadi hening. Ra Kuti belum juga membuka mulutnya, Ra Kuti memilih diam dan duduk di bibir pembaringan. Meski mendadak muncul keinginannya yang tidak tertahan lagi, ia ingin mengobral sumpah serapah dan berbagai makian kata-kata kotor yang dimilikinya. Namun, Ra Kuti ternyata mampu menahan diri.
Ra Pangsa dan Ra Wedeng mengalihkan pandangan kepada Tanca.
"Apa yang telah terjadi?" desak Pangsa.
Ra Tanca kembali tersenyum.
"Kalian menjadi korban kecerdikan Bekel Gajahmada," ucap Tanca.
"Kita semua menjadi korban kecerdikannya. Sekarang marilah kita merasa betapa sebenarnya kita ini orang-orang yang bodoh di mata Bekel Gajahmada. Kita dipermainkan oleh seorang prajurit yang hanya berpangkat Bekel."
Ra Pangsa dan Wedeng akhirnya saling pandang. Winehsuka Ra Banyak yang bersandar di dinding tidak berbicara apa pun. Keadaan yang seperti tidak menentu itu membuat mereka bingung.
"Krian hanya tempat untuk menyesatkan kami?"desak Pangsa.
"Ya," jawab Ra Kuti. "Yang kita hadapi Gajahmada yang banyak Gajahmada 459
akal dan punya kecerdikan untuk menyulap Krian menjadi sebuah umpan pepesan kosong tidak ada isinya. Saat ini barangkali Gajahmada dan Jayanegara makin jauh meninggalkan kotaraja ke arah barat. Krian tidak ubahnya Jayanegara palsu yang kalian kejar sebelumnya, hanya sebuah umpan menyesatkan. Apabila ingin memburunya ke arah yang benar, mungkin jejak-jejaknya masih bisa ditemukan ke arah barat."
"Keparat," umpat Pangsa dan Wedeng nyaris bersamaan.
Ra Yuyu yang semula berwajah datar, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Ra Yuyu yang ikut memburu Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung tidak akan bisa melupakan, bagaimana mereka telah dipermainkan oleh Bekel Gajahmada. Pasukan berkuda berkekuatan besar telah dibuat tumpul seperti ayam jago kehilangan tajinya.
Pembicaraan itu mendadak menyebabkan Ra Kuti meradang.
Pimpinan Winehsuka itu tiba-tiba bangkit. Ingatannya tertuju kepada Panji Saprang yang terbunuh.
"Kenapa bisa demikian?" berdesis Ra Kuti.
Para Winehsuka saling pandang.
"Kita selalu gagal bukan hanya karena kecerdikan Bekel Gajahmada itu, tetapi juga karena apa pun sepak terjang kita diawasi oleh telik sandi musuh. Ada telik sandi musuh di sekeliling kita, bahkan mungkin berada dalam jarak yang sangat dekat denganku."
Ra Tanca mendadak mencuatkan alisnya. Pangsa dan Wedeng saling pandang. Apa yang diucapkan Ra Kuti itu sangat mengusik hati mereka.
"Mata-mata?" tekan Ra Yuyu yang semula lebih banyak diam.
Winehsuka Ra Kuti memandang Tanca dengan tatapan mata tajam, nyaris tak berkedip. Pandangan yang sama ditebar diarahkan kepada Pangsa, Wedeng, dan Yuyu. Dengan senyum kecil, senyum yang sangat aneh, Ra Kuti melangkah mondar-mandir, tetapi sesaat kemudian senyum yang aneh itu lenyap digantikan oleh permukaan wajah yang sangat keruh.
460 Gajahmada "Perasaanku cukup peka untuk bisa menangkap keberadaan telik sandi itu," lanjut Ra Kuti. "Aku tidak yakin Gajahmada punya kemampuan sedemikian cerdik. Untuk melakukan gerakan dan mengolah berbagai langkah yang diambilnya Gajahmada perlu dukungan telik sandi. Aku sangat curiga ada telik sandi yang menyusup di antara kita karena keberadaan mata-mata kita di antara Bhayangkara telah mereka ketahui. Seharusnya Gajahmada tak menyadari keberadaan Panji Saprang. Hanya jumlah yang terbatas yang mengetahui keberadaan Panji Saprang sebagai kaki tangan kita. Namun, bagaimana Bekel Gajahmada bisa mengendus hal itu dengan cepat."
Ra Tanca termangu dan manggut-manggut, namun Ra Pangsa tidak bisa menerima tuduhan itu.
"Kau menuduh di antara kami ada yang berkhianat?" Ra Pangsa mendesak.
Pandangan Yuyu dan Wedeng menyiratkan pertanyaan serupa.
"Kalau benar ada pengkhianat itu, siapa orangnya?" Ra Yuyu ikut mendesak dengan kasar.
Rupanya, meski menyimpan kecurigaan, Ra Kuti belum mempunyai dugaan, siapa mata-mata Jayanegara itu. Bahkan, akhirnya Ra Kuti merasa ragu, apakah memang benar dan mendasar dugaan itu.
Apabila berbicara berbagai hal yang berhubungan dengan telik sandi maka pasukan Bhayangkara memiliki kesatuan kecil Sandiyudha, yang memang digembleng secara khusus bagaimana menjadi mata-mata yang andal. Bagi Ra Tanca, terasa aneh jika Ra Kuti mempersoalkan mata-mata di lingkungannya. Apalagi, di sebuah tempat yang tidak bisa diyakini telah bersih sekali. Seorang gamel perawat kuda pun bisa jadi seorang telik sandi yang menyamar, bahkan seorang emban yang melayani sarapan atau memijat tubuhnya, boleh jadi kepanjangan tangan telik sandi juga.
Kegagalan Ra Kuti, yang ia sendiri tidak menyadarinya adalah kemampuan khusus yang dimiliki pasukan Bhayangkara dalam menghadapi tekanan. Sebesar apa pun tekanan diperolehnya, akan Gajahmada 461
memberikan tekanan balik yang amat kuat berlipat dari tekanan yang diterimanya.
Telah dikepung sedemikian rapat serta dibayangi hujan anak panah lembing serta ayunan pedang, Gajahmada yang hanya seorang melakukan pengawalan Jayanegara, ternyata masih mampu meloloskan diri.
"Aku ingin beristirahat," mendadak Ra Kuti mengalihkan pembicaraan. "Aku ingin mengosongkan benakku. Aku ingin mendapat kesempatan untuk melupakan apa pun. Kalian keluar dari ruangan ini."
Tanpa banyak bicara Ra Pangsa, Ra Wedeng, dan Ra Yuyu beranjak meninggalkan ruangan itu, disusul Ra Tanca paling belakang.
Seorang prajurit berpangkat rendahan yang bertugas menjaga pintu segera menutupnya. Dengan gagah prajurit rendahan itu berdiri di depan pintu sambil menyilangkan pedangnya. Prajurit itu berangan-angan, dalam pemerintahan Ra Kuti nasibnya akan berubah. Ia yang selama ini menjadi prajurit rendahan berharap akan naik pangkat setidak-tidaknya menjadi lurah prajurit. Dengan demikian, ia memiliki hak untuk memerintah karena ia memiliki anak buah, tidak seperti selama ini ia selalu diperintah.
Angan-angan prajurit itu sebenarnya hanya sesederhana itu. Bila ia memiliki anak buah, ia bisa memerintah anak buahnya untuk memijat betisnya yang gampang pegal.
Ra Yuyu menghadang langkah Ra Tanca. Pangsa dan Wedeng ikut mengelilinginya.
"Ada apa sebenarnya?" desak Pangsa.
Ra Tanca menghentikan langkahnya.
"Apa yang kaumaksud dengan pertanyaan itu?"
Pangsa yang merasa jengkel itu kian jengkel.
"Ra Kuti menyebut adanya mata-mata."
Ra Tanca melangkah. Ra Pangsa, Ra Wedeng, dan Ra Yuyu mengimbangi gerak langkahnya.
462 Gajahmada "Soal telik sandi," jawab Ra Tanca, "sebagaimana kalian, aku baru mendengar kali itu Ra Kuti mengungkapkannya. Namun, sebenarnya apa yang diutarakan Ra Kuti bukan hal yang aneh. Aku pun merasakan apa yang dimaksud Ra Kuti itu benar bahwa di dalam dinding istana ini memang bertebaran telik sandi musuh. Jangan kaukira setiap prajurit yang mengaku berpihak kepada kita dengan sepenuh hati memang berpihak kepada kita, bisa jadi semua itu hanyalah luarnya sementara isi hatinya siapa yang tahu. Prajurit yang demikian itu bisa menjadi sumber keterangan bagi Bekel Gajahmada. Lagi pula, pasukan Bhayangkara memiliki Sandiyudha, apa yang aneh dengan mata-mata, justru aku membenarkan karena kita berada di sarangnya. Keberadaan Panji Saprang yang dengan mudah diketahui Gajahmada, bisa jadi karena keteledoran Panji Saprang sendiri."
"Akan tetapi," Ra Yuyu memotong, "Ra Kuti bermaksud mengatakan bahwa mata-mata itu justru berada di antara Dharmaputra Winehsuka."
Tanca berhenti melangkah.
"Aku tidak mendengar Ra Kuti mengatakan itu," jawab Ra Tanca.
"Ra Kuti tidak menyebut di antara Winehsuka ada yang berkhianat. Ra Kuti hanya berhitung, telik sandi musuh itu mungkin berada pada jarak yang amat dekat. Kalau memang seperti yang kaukatakan, lantas siapakah mata-mata itu" Aku atau kau atau siapa?"
Suasana menjadi hening sejenak. Ra Pangsa dan Ra Wedeng diam terpaku. Ra Yuyu merasa tidak puas. Ra Pangsa yang masih penasaran menatap Ra Tanca dengan pandangan lekat dan tanpa berkedip.
"Apakah kegagalan kami di Krian juga menjadi bagian dari keberadaan mata-mata yang disebut Ra Kuti itu?"
Tanca tersenyum sinis. "Soal itu, Ra Yuyu yang bisa bercerita."
Tanca mengakhiri kalimatnya sambil bergegas melangkah meninggalkan ketidakpuasan yang tersirat di permukaan wajah Ra Pangsa dan Wedeng. Dengan singkat dan jelas Ra Yuyu yang mengikuti perjalanan Gajahmada 463
Ra Kuti ke Kabuyutan Mojoagung menceritakan apa yang telah terjadi.
Pangsa dan Wedeng makin jengkel dan penasaran. Di mata Pangsa dan Wedeng, Gajahmada memang sosok yang sangat menjengkelkan.
Dalam pada itu, bangsal yang dihuni para emban geger karena tangis seorang emban yang meledak. Semula emban itu berusaha menahan diri untuk tidak menangis, tetapi beban yang disangganya tak mampu ditahannya lagi. Seperti bendungan yang diterjang banjir, bobol bendungan itu.
"Ada apa denganmu?" bertanya emban yang sedikit lebih tua.
Emban gemuk itu menangis sesenggukan.
"Ayo berceritalah," desak emban yang lebih tua.
Dengan sekuat tenaga emban gemuk itu berusaha meredakan diri menenteramkan gejolak hatinya.
"Berceritalah," giliran emban bertubuh kurus ikut mendesak.
Emban bertubuh gemuk itu masih sesenggukan, tetapi di sela-sela tangisnya mulai mengalir kisahnya.
"Tuanku Ra Kuti memanggilku," emban gemuk itu memulai ceritanya. "Aku diminta memijiti tubuhnya."
Seperti ada sesuatu yang mengganjal tenggorokan, emban bertubuh subur itu agak tersendat.
"Tak perlu ragu," bisik emban yang lebih tua. "Berceritalah, dengan bercerita bebanmu akan berkurang."
Emban gemuk itu menunduk. Tangisnya tak terdengar lagi.
"Ayo," desak emban yang bertubuh kurus.
"Aku," emban gemuk tersendat. "Tuanku Baginda Ra Kuti memaksaku melayaninya."
Emban yang lebih tua dan emban yang bertubuh kurus itu terbelalak mendengar jawaban itu. Untuk beberapa saat emban tua itu termenung seperti berusaha mencermati keadaan. Emban tua itu seperti sedang memilah dua hal, apakah yang terjadi itu merupakan sebuah bencana 464
Gajahmada mengerikan atau sebaliknya justru menjadi sebuah keberuntungan bagi emban gemuk itu.
Emban yang lebih tua itu manggut-manggut.
"Aku harus bagaimana?" emban bertubuh gemuk itu berbisik.
Emban yang berusia lebih tua itu ternyata mampu menempatkan diri sebagai sahabat yang baik.
"Apa yang kaualami itu bukan sebuah bencana," berkata emban yang lebih tua itu. "Kau justru beruntung."
Emban gemuk itu kebingungan.
"Jika benar yang kauceritakan itu," berkata emban yang berusia lebih tua itu, "maka nasibmu akan sangat baik. Ra Kuti itu seorang raja.
Jika Ra Kuti menghendakimu, nasibmu baik sekali. Kaubisa menjadi seorang permaisuri. Kalau perbuatan Ra Kuti itu menyebabkan kauhamil, apalagi kalau kaubisa memberinya anak laki-laki maka keturunanmu bisa menjadi seorang raja. Bayangkan, kau hanya seorang emban, tubuhmu gemuk dan wajahmu jelek. Kalau Ra Kuti menghendaki dirimu, bisa naik derajatmu. Selama ini kau menyembah, lain kali kau akan disembah-sembah. Bahkan, mungkin aku harus menyembahmu."
Seperti terbuai oleh semilir angin, angan-angan emban gemuk itu tiba-tiba membubung. Ucapan emban yang lebih tua yang dibingkai dengan indah itu membuat hati emban gemuk itu senang.
"Benar demikian?" tanya emban gemuk itu.
Emban gemuk itu termangu. Tatapan matanya dengan cepat berubah berbinar-binar, bahkan sejenak kemudian senyumnya mengembang.
"Aku bisa menjadi seorang permaisuri?" tanya emban bertubuh gemuk itu.
"Tergantung, apakah kaumampu memanfaatkan keadaan atau tidak," jawab emban yang berusia lebih tua. "Kau harus bisa mengambil hati Ra Kuti dan memanjakannya. Kalau Tuanku Kuti berkenan, apa yang aku ungkapkan itu benar-benar akan menjadi kenyataan."
Gajahmada 465 Emban bertubuh gemuk itu kian terayun. Angan-angannya makin melambung. Emban gemuk yang semula menangis sesenggukan itu mendadak berubah, senyumnya merekah seolah senyum itu meninggalkan jejak di mana-mana.
"Aku tidak mengira Ra Kuti ternyata gemar wanita bertubuh gemuk.
Selera yang aneh," ucap emban yang lebih tua itu dalam hati.
Apa yang diucapkan Tanca akhirnya menjadi kenyataan. Apa yang dilakukan Ra Kuti terhadap emban gemuk itu menjalar menjadi gunjingan di mana-mana. Semula hanya para emban saling berbisik bertukar cerita, tetapi dengan cepat cerita itu menyebarkan aroma bau busuk ke segala sudut. Cerita yang semula hanya sebatas gunjingan para emban, akhirnya menjadi pembicaraan para prajurit. Bahkan, cerita itu keluar pula dari dinding yang nantinya akan menjadi bibit kisah yang dibicarakan dengan seru oleh siapa pun.
46 Dalam pada itu, seiring dengan waktu yang terus berlalu, Gajahmada yang mengiring Jayanegara dengan dikawal Bhayangkara Jayabaya terus berderap memacu kudanya ke barat. Bekel Gajahmada yang berkuda paling depan sama sekali tidak banyak bicara.
Di belakangnya, Kalagemet berkuda sambil mulai terkantuk.
Jayanegara yang pada mulanya agak canggung kian terampil memegang tali kekang kendali kudanya. Bahkan, untuk beberapa saat lamanya, Jayanegara menikmati pengalaman baru itu, berkuda ternyata bisa memberikan kegembiraan melebihi indahnya saat melihat semua orang menunduk-nunduk menyembahnya.
466 Gajahmada Di belakang, pada jarak yang sedikit jauh, Bhayangkara Jayabaya berkuda tanpa banyak bicara. Sesekali angan-angannya melayang menjelajahi batas ruang dan waktu. Bhayangkara Jayabaya teringat pada kampung halamannya, pada ayah dan ibunya serta dua adiknya yang adakalanya menumbuhkan kerinduan karena hampir setahun lamanya Jayabaya meninggalkan halaman rumahnya.
Angan-angan Jayabaya kemudian beralih kepada seorang gadis, Danawari, anak tetangganya yang masih berada dalam ikatan kekerabatan keluarga. Gadis itulah yang selama ini menjadi pendorong pembakar semangatnya. Gadis itu pula yang dahulu kala mendorongnya untuk pergi mengubah nasib dan dengan setia menunggu kepulangannya.
Kepadanya Jayabaya berangan-angan akan membangun mahligai rumah tangganya sebagaimana Danawari berharap dengan Jayabaya akan berdampingan.
"Sedang apakah kau Danawari?" gumam Bhayangkara Jayabaya.
"Adakah kau saat ini membayangkan bagaimana keadaanku" Sedang apa aku?"
Bhayangkara Jayabaya memandang langit yang bersih dan membiarkan kerinduan hatinya berbicara. Setelah setahun berlalu dan kini ia menggenggam kebanggaan sebagai satu dari sangat sedikit pasukan khusus Bhayangkara, Jayabaya merasa telah tiba waktunya memenuhi janjinya kepada gadis itu, bahkan kepada Bekel Gajahmada pada sebuah hari Jayabaya pernah memperbincangkan secara khusus untuk meminta waktu menyempatkan mendahulukan kepentingan pribadi itu. Bekel Gajahmada tidak keberatan dan memberi izin.
Namun, kini arah angin mendadak berubah. Sebagaimana Jayanegara yang menjadi buron, para prajurit Bhayangkara juga menjadi sasaran bidik Rakrian Kuti. Bila Ra Kuti langgeng menjadi raja setelah tindakan makar yang dilakukannya, adakah Bhayangkara masih merupakan kebanggaan"
Sang waktu terus bergerak, dengan berkuda perjalanan menjadi lebih cepat dan aman, setidak-tidaknya makin jauh dari jangkauan pasukan berkuda pemberontak. Dengan cara pengawalan yang Gajahmada 467
dilakukannya, Bekel Gajahmada sama sekali tidak khawatir terhadap pengejaran yang dilakukan pendukung dan kaki tangan Ra Kuti, apabila ada yang dicemaskan justru mata-mata musuh yang menyusup di tubuh pasukannya. Sepanjang perjalanan yang ditempuhnya Bekel Gajahmada terus berusaha mengutak-atik dan membuat hitungan, menerka siapa sebenarnya pengkhianat itu, tetapi selalu terhalang oleh pengenalannya atas segenap anak buahnya yang semua baik.
Siang itu pun kemudian bergeser ke arah datangnya malam yang diterangi oleh cahaya bulan terang benderang. Setelah memerlukan beristirahat sejenak untuk memberikan kesempatan kepada kuda-kuda tunggangannya mengisi perut dengan menyantap rumput menghijau yang tumbuh subur di tepian sebuah sungai, Gajahmada memimpin perjalanan itu kembali dengan mengabaikan keluhan Jayanegara yang merasa amat pegal seluruh tubuhnya.
Jauh di belakang, rombongan pasukan Bhayangkara di bawah pimpinan Gagak Bongol dan Lembang Laut memacu kudanya berderap menuju arah yang sama dan hanya beberapa jenak waktu yang mereka gunakan untuk beristirahat memberi kesempatan kuda tunggangan mereka memulihkan tenaga. Jarak yang membentang dengan ibu kota Majapahit makin jauh dan makin jauh. Membayangkan jarak yang demikian jauh itu Ra Kuti tentu merasa tak yakin akan mampu meringkus Jayanegara yang dianggap bisul di tubuhnya. Apalagi dengan jarak yang demikian jauh, pada jarak jangkauan cukup saja sulitnya tidak ketulungan mengingat pasukan Bhayangkara yang hanya kecil saja itu punya kemampuan bertahan luar biasa, juga banyak akalnya.
Sang waktu bergulir hingga pagi berikutnya tiba, Jayanegara benar-benar dalam keadaan letih. Di sebuah perempatan jalan Gajahmada menghentikan kuda tunggangannya. Gajahmada tidak berbicara apa pun, tetapi matanya yang tajam memandang beku ke jalan panjang di depan yang entah berujung ke mana. Isyarat tangan kiri yang diangkat dan mengepal segera diterjemahkan oleh Bhayangkara Jayabaya.
"Bagaimana, Kakang Bekel?" bertanya Jayabaya.
Kartika Sinumping, Panjang Sumprit, dan Lembu Pulung memerhatikan dari atas kuda masing-masing, mereka menjauh ketika 468
Gajahmada Gajahmada memberi isyarat dengan tangannya untuk menjauh. Ketiga Bhayangkara itu tahu, Bekel Gajahmada akan memberikan perintah sandi atau perintah khusus.
"Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, tetapi bukan adu jago," ucap Gajahmada tegas yang disimak dengan cermat oleh Jayabaya.
"Apa maksudnya itu Kakang Bekel?"
"Coba kauulang kalimat itu!" ucap Gajahmada.
Jayabaya mengerutkan kening.
"Orang-orang melakukannya dengan penuh gairah sampai lupa kepada anak dan istri, namun bukan adu jago."
Wajah Gajahmada masih tetap membeku. Namun, sejenak kemudian ia mengangguk. Jayanegara mengerutkan kening karena merasa belum memahami maksud Gajahmada. Pimpinan pasukan Bhayangkara itu menyempatkan mendongak ke angkasa melihat ribuan ekor burung branjangan terbang berarakan entah dengan tujuan ke mana. Di belahan langit yang lain seekor burung elang terlihat dimusuhi seekor burung lain yang lebih kecil. Burung lebih kecil itu tentu marah besar kepada burung elang yang mencuri telor atau bahkan memangsa anaknya.
"Hafalkan apa yang aku sampaikan itu dan katakan pada Lembang Laut manakala telah sampai di Angawiyat. Dari perempatan jalan ini aku akan mengambil arah lain. Ke mana Lembang Laut menyusul adalah dari bagaimana otaknya bisa menemukan jawaban dari kalimat sandi itu," ucap Gajahmada.
Bhayangkara Jayabaya manggut-manggut.
"Kamu, Panjang Sumprit, dan Lembu Pulung, lanjutkan perjalananmu sekarang juga, sementara perjalananku berikutnya hanya akan ditemani Kartika Sinumping," lanjut Gajahmada lagi.
Tanpa harus banyak diulas lagi, Bhayangkara Jayabaya segera bertindak menerjemahkan perintah itu dengan tangkas.
Gajahmada 469 "Semua berangkat, Kartika Sinumping tinggal," Bhayangkara Jayabaya berteriak.
Tiga Bhayangkara yang ditunjuk itu segera menyentakkan tali kendali kuda mereka dan berderap melanjutkan perjalanan menuju arah yang masih jauh dan membutuhkan banyak waktu untuk sampai ke tempat yang dituju. Debu tebal berhamburan mengepul untuk kemudian tersapu bersama angin.
Kartika Sinumping mendekati Bekel Gajahmada.
"Kelak kita akan kembali untuk menjungkalkan Ra Kuti dari perbuatannya. Oleh karena itu, mendahului saat itu tiba, aku minta kau melaksanakan perintah yang aku berikan," ucap Gajahmada.
Kartika Sinumping memandang tajam, tetapi tak berbicara apa pun.
"Kamu kembalilah ke kotaraja Majapahit untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Aku beri kewenangan kepadamu sepenuhnya untuk mengambil langkah dan tindakan guna mempersiapkan serangan balik yang mematikan, lakukan hubungan dengan pihak mana pun yang masih mendukung Tuanku Jayanegara. Pantau tindakan apa saja yang dilakukan Ra Kuti dan bagaimana sikap rakyat dalam memandang pemerintahannya. Lebih bagus lagi jika kamu bisa membentuk jaringan telik sandi dan pasukan bawah tanah untuk mengganggu gerakan apa pun yang dilakukan Ra Kuti, beri kesan Bhayangkara tetap berada di kotaraja dan membayangi tingkah mereka. Kelak apabila aku ingin bertemu denganmu, aku akan melepas panah tiga ganda yang itu berarti tengah malam kamu harus menemuiku di Sumur Gandrung. Paham?"
"Paham, Kakang Bekel," jawab Kartika Sinumping tangkas.
Sri Jayanegara mendekatkan kudanya dan mengeluarkan sesuatu dari buntalan pakaiannya.
"Bawa ini sebagai bukti, kau tidak ubahnya aku," kata Kalagemet.
Kalagemet yang di kemudian hari bergelar Sri Jayanegara itu menyerahkan sebuah lencana terbuat dari emas mengilat. Dalam 470
Gajahmada pasewakan, Jayanegara mengenakan lencana berbentuk segi lima berpahat gambar mahkota ber-teretes-kan berlian melekat pada baju di bagian dada kirinya. Mapatih Arya Tadah juga memiliki lencana sebagai tanda jabatan Mahapatih yang didudukinya, tetapi tidak terbuat dari emas.
"Jangan sampai benda itu hilang," ucap Gajahmada.
Kartika Sinumping mengangguk.
"Dan, jangan kaujual," tambah Jayanegara yang tersenyum.
Wajah Kartika Sinumping yang semula tegang melumer dan tertawa.
"Kau sudah punya gambaran, langkah apa yang akan kaulakukan?"
"Sudah Kakang Bekel."
"Bagus," jawab Gajahmada. "Hargai waktu dengan mahal, berangkat dan berjuanglah. Bagaimana cara Tuanku Jayanegara bisa kembali ke tampuk pimpinannya, sebagian adalah bagaimana caramu mempersiapkan jalan kembali."
"Akan aku buatkan terowongan khusus untuk itu," jawab Kartika Sinumping tegas. "Terowongan itu tembus langsung ke jantung Ra Kuti bersama segenap pendukungnya. Aku akan menggunakan gagasan dan berusaha melahirkan gagasan-gagasan untuk itu sekaligus menerjemahkannya."
"Bagus," jawab Gajahmada. "Aku percaya itu. Berangkatlah dengan menggunakan jalan lain supaya kamu tidak berpapasan dengan rombongan Gagak Bongol dan Lembang Laut. Sebelum mata-mata yang menyusup di tubuh Bhayangkara tertangkap aku menganggap gerakan apa pun yang kita lakukan tidak aman. Kau memahami?"
Tentu Kartika Sinumping sedikit sulit memahami. Maka dengan jelas dan gamblang Bekel Gajahmada menceritakan bagaimana sepak terjang perbuatan telik sandi Ra Kuti yang menyusup di tubuh pasukan Bhayangkara. Kartika Sinumping yang belum memperoleh berita dari siapa pun kaget ketika Gajahmada menyebut Panji Saprang telah mati.
Naga Pembunuh 14 Sarang Perjudian Karya Gu Long Istana Pulau Es 22
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama