Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 7
Sebuah gagasan tiba-tiba muncul di benak Lembang Laut.
"Baiklah," berkata Lembang Laut. "Aku bisa mengerti alasan Kakang Gagak Bongol untuk mendahulukan rencananya. Sebaliknya, aku pun mengerti alasan kecemasan kalian. Jika demikian halnya, mengapa kita tidak mengambil jalan tengah. Siapa yang ikut Mahisa Kingkin, silakan bergabung dengannya. Sebaliknya, silakan pula yang ingin bergabung dengan Kakang Gagak Bongol dan aku."
"Gila!" Pradhabasu meradang. "Tidak bisa seperti itu. Selama ini kita selalu ditekankan untuk selalu berada dalam kebersamaan, tetapi yang sekarang terjadi, kita sudah pecah. Ada yang ikut Kakang Gagak Bongol, ada yang ikut ke Krian. Cara macam apa ini" Pernahkah sebelum ini kita mengambil keputusan seperti ini" Keputusan macam ini merupakan keputusan yang paling aneh yang pernah aku temui."
"Bukan begitu," Gagak Bongol memotong, "kita masih utuh. Kita tidak mengalami perpecahan. Keputusan ini jangan dianggap sebagai Gajahmada 351
perpecahan. Aku sependapat dengan Lembang Laut. Siapa yang ingin bergabung denganku menyusup kotaraja lebih dulu dan siapa yang ingin bergabung dengan Mahisa Kingkin mendahului ke Krian. Apa pun yang kita lakukan sama-sama pentingnya. Silakan."
Para Bhayangkara terdiam beberapa saat lamanya. Meski Gagak Bongol sudah mempersilakan, para Bhayangkara masih ragu-ragu untuk bergerak.
"Aku ikut Kakang Gagak Bongol," berkata Singa Parepen.
"Aku ikut ke Krian," Pradhabasu angkat bicara.
Dua orang yang telah memulai itu disusul oleh yang lainnya hingga kemudian terbagilah Bhayangkara itu menjadi dua kelompok, sebagian memutuskan untuk ikut Gagak Bongol dan Lembang Laut menyusup ke kotaraja, sebagian lainnya bersama-sama Mahisa Kingkin dan Pradabasu memutuskan mengambil arah ke Krian.
Gagak Bongol dan Lembang Laut yang berdiri berdampingan saling menggamit. Keduanya merasa yakin, siapa pun telik sandi itu, pasti berada di antara mereka yang memutuskan mengambil arah ke Krian. Lembang Laut dan Gagak Bongol merasa telah berhasil mempersempit daerah kecurigaannya.
"Sebuah cara yang kasar dan bodoh sekali," telik sandi yang menyusup di antara Bhayangkara itu berbicara untuk diri sendiri.
"Akhirnya, aku benar-benar yakin Sri Jayanegara dan Gajahmada tidak berada di Krian. Aku yakin setelah merasa mengetahui siapa saja yang mengambil jalan ke Krian, Bongol dan Lembang Laut itu pasti akan mengatakan yang sebenarnya bahwa Gajahmada dan Jayanegara tidak akan pernah ditemukan di Krian. Jika benar seperti itu, aku tinggal menebak dan mereka-reka, ke mana sebenarnya Gajahmada membawa Kalagemet itu."
Telik sandi itu tersenyum, tetapi dengan segera ia menyembunyikan senyumnya di balik wajah yang datar tanpa meninggalkan kesan.
"Kelihatannya Bekel Gajahmada telah meninggalkan pesan khusus untuk mereka berdua supaya berusaha keras menemukan telik sandi 352
Gajahmada yang menyusup di tubuh mereka. Bukan pekerjaan gampang untuk menemukanku. Kulitku sangat peka dan gampang sekali berubah warna," mata-mata itu berbicara pada diri sendiri.
Perhitungan telik sandi itu benar. Sejenak kemudian terlihat Gagak Bongol dan Lembang Laut berbicara berdua.
"Bagaimana menurutmu?" bisik Lembang Laut.
"Ini sudah upaya puncak yang berhasil kita lakukan," Bongol menjawab bisikan itu. "Telik sandi itu berada di antara mereka. Apa Mahisa Kingkin orangnya, Pradhabasu, atau siapa pun, yang jelas telik sandi itu pasti berkepentingan pergi ke Krian."
Lembang Laut manggut-manggut.
"Berikutnya apa?" tambah Lembang Laut.
"Jika kita biarkan mereka ke Krian," jawab Gagak Bongol, "itu sama halnya dengan menjerumuskan mereka ke dalam bencana. Pasukan yang dikirim Ra Kuti dengan cara disamarkan itu jelas menuju Krian.
Sudah tiba saatnya kita sampaikan hal yang sebenarnya. Perhatikan baik-baik. Siapa yang terlihat paling kecewa setelah kusampaikan cerita itu, orang itu patut kita curigai."
Lembang Laut mengangguk. Nama mereka yang memutuskan pergi ke Krian itu diingatnya dengan baik, dihafalkan, dan disimpan rapi dalam benaknya.
Para prajurit Bhayangkara telah menata diri dan siap bergerak. Meski sebagian merasa ada yang aneh melihat sikap Gagak Bongol dan Lembang Laut yang seolah-olah ada sesuatu yang mereka rahasiakan, mereka mencoba mengesampingkan atau menganggapnya memang begitulah seharusnya.
Kuda-kuda yang semula disembunyikan telah disiapkan. Bahkan, sejenak kemudian masing-masing telah berloncatan mempersiapkan diri.
Mereka telah bertengger di atas kuda tunggangan itu dan siap menarik tali kendali jika perintah telah dijatuhkan.
Namun, Gagak Bongol memberi isyarat untuk menunggu sejenak.
Gajahmada 353 "Ada apa lagi?" Mahisa Kingkin jengkel.
Gagak Bongol mengangkat tangan kanannya.
"Tidak ada gunanya kalian ke Krian," Gagak Bongol bicara.
"Kakang Bekel Gajahmada dan Tuanku Jayanegara tidak berada di sana."
Semua tersentak. Ucapan Gagak Bongol itu mengagetkan. Tidak sengaja Mahisa Kingkin menarik kendali kudanya sehingga kuda itu melonjak dengan kaki di atas dan suara meringkik keras.
Kini semua perhatian tertuju kepada Gagak Bongol. Semua menuntut penjelasan. Bahkan, beberapa di antaranya jengkel karena merasa seperti dipermainkan.
"Semua ini Kakang Bekel yang memberi perintah," Bongol membuka cerita. "Di hadapan kita semua, Kakang Bekel meminta kita untuk menemuinya di Krian. Kakang Bekel memberi perintah itu dengan perhitungan yang cermat. Kakang Bekel Gajahmada cemas di antara kita ada yang tertangkap. Siapa pun yang tertangkap maka Ra Kuti akan berusaha keras untuk mengorek keterangannya. Ra Kuti tak akan segan-segan melakukan siksaan yang tak terbayangkan untuk bisa memperoleh keterangan itu. Itulah sebabnya, untuk menghadapi kemungkinan seperti itu Kakang Bekel membuang umpan palsu, Krian."
Segenap Bhayangkara termangu. Nyaris serentak setelah mereka saling pandang satu dengan lainnya, beberapa di antaranya manggut-manggut. Dengan saksama Lembang Laut memerhatikan semua wajah untuk menemukan siapa yang merasa paling kecewa. Namun, justru Lembang Laut yang harus kecewa karena tidak berhasil menemukan wajah itu.
"Jadi, ke mana Kakang Bekel membawa Tuanku Jayanegara?"
Pradhabasu bertanya. "Hanya aku yang tahu," jawab Bongol. "Sayang sekali, Kakang Bekel meminta untuk tak mengatakan di mana ia berada. Kakang Bekel 354
Gajahmada hanya memberi perintah padaku untuk membawa kalian ke tempat pertemuan yang sebenarnya."
Mata-mata kaki tangan Ra Kuti mengerutkan kening.
Kini, jelas duduk persoalannya. Segenap Bhayangkara bisa menerima keterangan itu. Sebaliknya, telik sandi Ra Kuti dengan bersusah payah berupaya menghapus kesan apa pun yang muncul di wajahnya. Meski demikian, hal itu bukanlah pekerjaan yang gampang baginya.
"Kuakui kau memang cerdik, Gajahmada," telik sandi itu berbicara pada diri sendiri. "Kaumampu membuang jejak dengan cara luar biasa.
Akan tetapi, jangan kaukira aku tidak akan bisa menemukan jejakmu.
Salah besar jika kau beranggapan mampu melenyapkan diri di balik batu atau bongkahan tanah. Tidak ada tempat untuk bersembunyi dariku."
Masih dengan wajah yang datar tidak menyiratkan gejolak perasaan apa pun, telik sandi kaki tangan Ra Kuti itu memeras otak. Sebuah jejak samar-samar telah diperoleh, masalahnya sekarang, bagaimana menguak jejak hanya samar-samar itu supaya menjadi terang benderang.
"Di mana kau Gajahmada?" telik sandi itu berdesis.
Dengan bersusah payah telik sandi itu berusaha mengumpulkan semua jejak ingatan, khususnya terhadap orang-orang yang berada di barat kotaraja yang mempunyai hubungan akrab dengan Gajahmada.
Orang-orang itu mempunyai kemungkinan didatangi Gajahmada untuk menitipkan Jayanegara. Satu demi satu nama-nama yang ada dipilah-pilah.
Hingga kemudian, tiba-tiba telik sandi itu berdesir.
"Mojoagung?" desisnya. "Di barat ada Buyut Mojoagung."
Nama itu mengguncang isi dadanya hingga berderak-derak.
Telik sandi itu menjadi tegang. Beberapa bulan lampau Bekel Gajahmada pernah bercerita tentang seseorang yang memiliki kemampuan ketajaman mata hati, kemampuan meramal berbagai hal
Gajahmada 355 yang berkaitan dengan masa yang masih belum terjadi. Bekel Gajahmada sedemikian membanggakan orang itu hingga disebutnya sebagai orang berkemampuan weruh sakdurunge winarah. Mungkinkah Gajahmada menyembunyikan Jayanegara di tempat itu"
"Amat mungkin," bisik telik sandi itu untuk diri sendiri.
Telik sandi itu kembali menimbang-nimbang. Namun, kemungkinan yang lain memang harus diabaikan karena mata-mata Ra Kuti itu sangat yakin Gajahmada pasti menyembunyikan Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung. Hal yang sesuai sekali dengan kebalikan arah dari umpan yang diberikan di arah timur, Krian.
"Kali ini kaukena, Gajahmada," bisiknya. "Aku tak akan meleset.
Aku berani bertaruh jari kelingkingku. Kau pasti di sana. Kini tinggal bagaimana caranya memberi tahu Ra Kuti. Jika terlambat, Gajahmada bisa bergerak lagi. Makin ia banyak bergerak, hal itu akan makin menyulitkan."
Siapa pun mata-mata kaki tangan Ra Kuti itu, setelah ia merasa berhasil menemukan jejak arah yang benar, ia justru menjadi gelisah.
Nyaris saja ia berjalan mondar-mandir untuk membuang kegelisahannya, tetapi prajurit itu memang luar biasa. Sebagai mata-mata ia mempunyai raut wajah yang lentur. Wajahnya bisa menjadi garang jika berurusan dengan keselamatan Jayanegara dan negara. Akan tetapi, di balik wajahnya masih bersembunyi wajah yang lain, seperti lembaran kelobot, di baliknya masih menyembunyikan lembaran kelobot lain.
Akhirnya, setelah menunggu sejenak, rombongan kecil pasukan dengan kemampuan luar biasa itu mulai bergerak. Sasaran mereka adalah kembali menyusup ke kotaraja serta melakukan gerakan-gerakan yang diharapkan mampu membuat Ra Kuti merasa gelisah dan tidak bisa tidur tenang.
356 Gajahmada 38 Pasukan yang berkekuatan nyaris segelar sepapan memang telah disusupkan ke Krian. Ra Kuti yang mendasarkan laporan mata-matanya yang amat dipercaya karena langsung disusupkan di jantung kekuatan pasukan Bhayangkara berharap keterangan itu benar. Diharapkan pula upaya meringkus Jayanegara dan Gajahmada kali ini bisa membuahkan hasil.
Ketika senja mulai membayang Ra Kuti merasa gelisah. Ra Kuti cemas, upaya penangkapan di bawah kendali Ra Wedeng dan Ra Banyak kembali gagal tidak membuahkan hasil. Apalagi, Sri Jayanegara dikelilingi oleh pasukan yang meski kecil, licin melebihi belut.
Ra Kuti gelisah. Benaknya dijejali berbagai kecemasan yang bersumber dari belum tertangkapnya Jayanegara. Ra Kuti cemas seandainya Ra Wedeng dan Ra Banyak bertindak kurang sabar yang bisa menyebabkan Gajahmada berhasil mengendus kehadirannya.
Gajahmada orang yang banyak akal dan sanggup berbuat apa saja untuk menyelamatkan Jayanegara dari sergapan. Tetapi, bagaimana jika apa yang dikatakan Tanca benar bahwa Krian tak lebih dari umpan yang dipasang Gajahmada untuk menyesatkannya"
Bagaimana kalau telik sandi itu yang benar, Jayanegara memang ada di Krian"
"Tidak seharusnya aku percayakan penyergapan ini kepada Ra Wedeng dan Banyak. Mestinya aku sendiri berangkat memimpin mereka."
Ra Kuti berjalan mondar-mandir. Sakit yang dideritanya karena luka beracun di lengan mulai pulih, meski belum bisa dikatakan sembuh sama sekali.
"Bagaimana dengan Ra Tanca?" bertanya Ra Kuti kepada Ra Yuyu.
"Aku membutuhkan Ra Tanca. Mana dia?"
Gajahmada 357 Ra Yuyu sebenarnya merasa jengkel karena di matanya Ra Tanca tak banyak berbuat. Ra Tanca hanya bisa bicara tanpa melakukan sendiri semua gagasannya. Tetapi, Ra Kuti lebih membutuhkan orang itu daripada yang lain yang kehadirannya bahkan seperti tak dianggap oleh Ra Kuti.
Ra Yuyu tidak menjawab pertanyaan itu. Justru karena itu Ra Kuti meradang. Ada beberapa orang prajurit di depan yang juga mendengar perintah itu tidak segera bergerak melaksanakan perintah. Sebagai seorang raja Ra Kuti sangat tersinggung.
"Tidak ada yang mendengar, ha?" Ra Kuti berteriak. "Ra Tanca mana" Aku butuh Ra Tanca. Panggil Ra Tanca menghadap aku."
Barulah dua orang yang mendapat tugas mencari Ra Tanca itu bergegas pergi melaksanakan tugas. Tetapi, kedua prajurit itu segera bingung karena dicari di mana pun Ra Tanca tidak ada. Para prajurit yang menjaga regol istana tidak ada yang memiliki keterangan Ra Tanca ada di mana. Justru karena tidak berhasil menemukan Ra Tanca, keduanya tidak berani kembali.
"Bagaimana?" yang pertama mengeluh.
Yang kedua menekan dada. "Jika kita kembali ke sana, Ra Kuti akan mendamprat kita."
"Jadi, bagaimana sebaiknya?" lanjut yang pertama.
"Aku mau tidur saja. Aku lelah sekali," jawab prajurit yang kedua seperti sekenanya.
Prajurit yang pertama termangu.
"Kaubenar," gumamnya. "Aku juga mengantuk. Kita pergi saja, biarlah prajurit yang lain yang melaksanakan tugas itu. Kalau kita ditanya, kita mencari Ra Tanca ke mana-mana tidak ketemu."
Prajurit yang pertama tersenyum.
"Katakan saja, kita mencarinya sampai di Situbondo dekat Blambangan."
358 Gajahmada Kedua prajurit itu tertawa kemudian pergi meninggalkan tempat itu.
Dari balik bayangan sebuah pohon, seseorang termangu. Seseorang itu mendengar pembicaraan yang terjadi antara kedua prajurit itu.
Pembicaraan itu menyiratkan sebuah gambaran, betapa para prajurit tidak menghargai Ra Kuti. Bukan para prajurit itu yang tak menghargai Ra Kuti, tetapi sikap Ra Kuti dan sebagian Dharmaputra Winehsuka yang menyebabkan para prajurit bersikap seperti itu.
Seseorang itu adalah Ra Tanca.
Sejak peristiwa pembantaian orang-orang yang melakukan pepe, Ra Tanca merasa sangat terpukul jiwanya. Tanca yang menempatkan diri di antara para pemberontak itu akhirnya dibayangi oleh rasa bersalah melihat perkembangan keadaan yang cenderung mengerikan. Ra Tanca merasa saran dan pendapatnya tidak ada gunanya lagi, diabaikan dengan kasar oleh Ra Kuti dan diterjemahkan dengan cara urakan oleh Ra Pangsa.
Ra Tanca menghela napas. Dengan langkah yang berat akhirnya Ra Tanca menemui Ra Kuti.
"Ada apa Ra Kuti?" tanya Ra Tanca setelah berhadapan.
Ra Tanca bersandar di dinding.
"Dari mana saja kau?" hardik Ra Kuti.
Ra Tanca tersenyum kecut. Di depannya Ra Kuti telah berubah menjadi sosok anak-anak yang selalu bergantung kepada orang lain.
Ra Kuti termangu sejenak. Mungkin karena kemudian menyadari ada yang terasa aneh dengan sikapnya, Ra Kuti mengendorkan diri.
Dipandangnya Tanca dengan tidak berkedip.
"Aku akan menyusul ke Krian. Bagaimana menurutmu?"
Setelah peristiwa pepe yang berdarah, baru kali ini Ra Kuti kembali membutuhkan saran-sarannya. Rakrian Tanca justru mengunci otak tidak mau berpikir. Tak ada manfaatnya.
Yang dilihat Ra Kuti adalah Ra Tanca yang diam.
Gajahmada 359 "Beri aku pendapat," desak Kuti.
Ra Tanca tersenyum, sinis menyungging.
"Kau sudah habis," jawab Ra Tanca. "Kau merasa menang, tetapi sebenarnya kau telah kalah. Peristiwa pepe itu bukti kau telah kalah dalam peperangan ini. Kau hanya merebut istana ini dan menguasainya, tetapi kau tidak menguasai negara. Rakyat tidak mendukungmu. Bahkan, para prajurit jika kedalaman hati mereka dibedah maka akan terlihat mereka juga tidak ada yang mendukungmu. Kau seorang pembantai, di mata kawula yang mestinya mendapatkan pengayoman, seperti itulah wujudmu."
Sebenarnya Ra Kuti merasa tak senang mendengar jawaban itu.
Terasa pahit memang. Namun, lambat laun Ra Kuti yang semula mengabaikan peringatan yang diberikan Ra Tanca itu harus melihat kenyataan peringatan itu tak bisa dianggap remeh. Kenyataan yang ada memang benar seperti yang diucapkan Ra Tanca. Ra Kuti tidak bisa menolak, apa yang dikatakan Tanca memang benar adanya.
Ra Kuti berdesah. "Aku tidak membutuhkan sesorahmu yang serba mengerikan itu, Ra Tanca. Aku akan ke Krian, bagaimana pendapatmu?"
Ra Tanca melempar pandangan ke malam yang kelam. Tidak terlihat kesan apa pun di permukaan wajahnya.
"Terserah apa pun yang akan kaulakukan. Untuk hal yang seperti itu, kurasa aku tidak perlu memberikan pendapat."
Ra Kuti melihat Ra Tanca mulai jengkel kepadanya. Perbuatan biadab yang dilakukan Ra Pangsa terhadap keluarga Kayun yang berlanjut dengan pepe yang dilakukan nyaris merata oleh penduduk kotaraja dan berakhir dengan pembantaian keji, membuat Ra Tanca tidak sepenuhnya lagi dalam mendukung sepak terjangnya. Perkembangan yang terjadi dan arah yang berbelok membuat Tanca benar-benar kecewa.
"Semua peringatan mengerikan yang kausampaikan itu," berkata Ra Kuti, "aku tidak peduli dan aku mengabaikannya. Rawe-rawe rantas 360
Gajahmada malang-malang putung. Sedalam apa pun sungai yang harus aku seberangi, tidak akan menghalangi langkahku. Jadi, tak ada gunanya segala macam sesorah yang kauberikan itu."
Ra Tanca melengos. Ra Tanca malas bersilat lidah. Merasa tidak dibutuhkan lagi, juga pendapat-pendapatnya yang tidak didengar, Tanca ngeloyor pergi.
"He, tunggu!" Ra Kuti mencegah.
Namun, Ra Tanca terus berlalu.
Ra Kuti hanya bisa menghela desah. Bibit cemas mulai tumbuh dan mekar di sudut hatinya.
Akan tetapi, Ra Kuti berpendapat kunci dari semua persoalan terletak pada Jayanegara dan Bhayangkara. Kalau Jayanegara berhasil diringkus dan dibungkam untuk selamanya, semua pihak yang berkepentingan dengan takhta akan melihat kenyataan, Ra Kuti harus diterima menjadi raja tanpa ada pilihan lain lagi.
"Yuyu," ucap Ra Kuti dengan nada agak lunak.
Ra Yuyu yang melamun nyaris larut. Dengan perlahan ia menengadahkan kepala.
"Tolong siapkan pengawalan untukku," lanjut Ra Kuti. "Sebaiknya aku sendiri yang memimpin penyergapan di Krian. Kita memiliki waktu yang cukup panjang dan lapang untuk bisa sampai di Krian sebelum segala sesuatunya terjadi."
"Baik," jawab Ra Yuyu sigap.
Ra Yuyu bergegas meninggalkan tempat itu. Di halaman Ra Yuyu bersimpangan jalan dengan orang yang melangkah bergegas. Nyaris Ra Yuyu mengabaikan orang itu. Tetapi, demikian Ra Yuyu melihat siapa orang itu, ia berhenti bahkan berbalik bergegas mengikuti langkahnya.
Dengan langkah yakin orang itu menghadap Ra Kuti. Beberapa orang prajurit segera menyilangkan tombak di depan pintu menghadangnya, tetapi Ra Yuyu segera memberi isyarat kepada para prajurit untuk Gajahmada 361
membiarkan orang itu lewat. Ra Tanca yang melihat kehadirannya tak begitu tertarik dan malah melangkah menjauh.
Ra Kuti terkejut melihat orang itu.
"Mengapa kau berada di sini?"
Orang itu yang tidak lain adalah telik sandi yang menyusup di antara pasukan Bhayangkara bersama-sama dengan Gagak Bongol dan Lembang Laut, berhasil memisahkan diri tanpa menarik perhatian dan memanfaatkan waktu yang ada untuk menyelinap ke istana menemui Ra Kuti.
"Krian itu ternyata umpan," telik sandi itu langsung berbicara.
"Gajahmada dan Jayanegara tidak ada di sana."
Ra Kuti terbelalak. Dengan mulut setengah terbuka pimpinan Dharmaputra Winehsuka itu menatap wajah telik sandi yang berada di depannya.
"Gajahmada benar-benar belut," lanjut telik sandi itu. "Bekel Gajahmada menyadari ada mata-mata di tubuh pasukannya. Itu sebabnya ia melempar umpan untuk menyesatkan mataku. Gajahmada memerintahkan para Bhayangkara untuk menyusul ke Krian, padahal sebenarnya ia mengambil arah lain."
Ra Kuti menggigil. Rasa kecewa yang sangat dalam itu membuncah dan mengharu biru, membikin sesak isi dadanya.
"Aku telah mengirim pasukan yang bergerak dalam penyamaran.
Mereka nyaris berkekuatan segelar sepapan untuk meyakinkan upaya penyergapan itu harus berhasil. Ternyata Krian itu hanya umpan?"
Ra Kuti menjadi pucat. Ra Kuti sungguh kecewa.
"Gajahmada tidak akan ditemukan di Krian," jawab mata-mata kaki tangannya itu. "Yang benar, kaubisa menemukan mereka di Kabuyutan Mojoagung."
Mulut pimpinan Dharmaputra Winehsuka itu terkatup. Suasana ruangan yang semula adalah bilik pribadi milik Jayanegara itu menjadi hening. Ra Kuti dan Yuyu menunggu telik sandi itu berbicara lebih lanjut.
362 Gajahmada "Pengiriman pasukan ke Krian itu ada manfaatnya," berkata telik sandi itu. "Dengan demikian, Gajahmada dan para Bhayangkara melihat, umpan yang ditebar itu telah kaumakan, keadaan itu menyebabkan mereka lengah. Ini saatnya kau menyergap Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung. Usahakan harus berhasil. Karena jika tidak, aku akan mengalami kesulitan untuk melakukan hubungan denganmu. Aku akan mengalami kesulitan untuk menyampaikan berita kepadamu."
Ra Kuti manggut-manggut. "Bagaimana kaubisa yakin Kalagemet itu berada di Mojoagung?"
Ra Kuti bertanya. "Bagaimana kalau itu juga umpan?"
Telik sandi itu tersenyum.
"Tidak ada seorang pun yang menyebut Kabuyutan Mojoagung.
Tempat itu bukan umpan karena aku yang menemukan sendiri dari utak-atik yang aku lakukan. Aku yakin sepenuhnya Gajahmada menyembunyikan Jayanegara di sana. Apabila umpan ditebar ke arah timur, arah yang sesungguhnya justru sebaliknya."
"Bagaimana kaubisa temukan tempat itu?" desak Ra Kuti.
"Sebaiknya jangan banyak bertanya Ra Kuti," bicara mata-mata itu. "Serbu saja rumah Buyut Mojoagung. Sergap Jayanegara pada saat ia tengah tidur lelap."
"Baik," berkata Ra Kuti dengan sigap.
Ra Kuti percaya, meskipun telik sandi itu tidak mengutarakan bagaimana cara ia memperoleh tempat itu, Ra Kuti yakin telik sandi itu pasti telah melakukan perhitungan yang cermat.
"Aku minta diri," berucap mata-mata itu. "Aku harus segera berada di antara teman-temanku. Jika aku terlalu lama tidak berada di antara mereka, mereka bisa curiga."
"Pergilah," jawab Ra Kuti. "Dan, ingatlah. Aku tidak akan melupakan jasa-jasamu. Kelak kita akan memetik arti kemenangan bersama-sama."
Gajahmada 363 Telik sandi yang menyusup di antara pasukan Bhayangkara itu segera minta diri. Demikian besar penghargaan yang diberikan Ra Kuti sampai-sampai Ra Kuti mau mengantarkan kepergiannya hingga ke halaman.
"Tunggu," tiba-tiba berkata Ra Yuyu.
Telik sandi itu berhenti.
"Bawa ini," ucap Ra Yuyu sambil memberikan sesuatu. "Jika terjadi perkembangan yang tidak terduga, kaubisa memanfaatkannya, pesan yang kaukirim pasti akan sampai kepadaku."
Ra Yuyu menyerahkan buntalan kain berisi seekor burung dara, burung yang lazim digunakan untuk mengirim berita.
Telik sandi itu termangu.
"Aku mengerti," ucap Ra Yuyu. "Jika teman-temanmu mengetahui kau membawa burung ini, mereka akan merasa curiga. Kecurigaan itu tidak akan pernah terjadi jika tidak ada orang yang membuka buntalanmu."
"Bagaimana kalau bersuara?" desak mata-mata itu.
"Dia tidak akan bersuara," jawab Ra Yuyu. "Aku telah memotong lidahnya. Kau hanya membutuhkan sedikit waktu untuk memberinya makan, di luar itu tak ada masalah dengan burung ini."
Tanpa banyak bicara telik sandi kaki tangan Ra Kuti menerima burung itu. Telik sandi itu memang melihat ada manfaatnya menggunakan burung dara itu untuk mengirim berita. Berita yang telah ditulis di atas sehelai rontal tinggal diikatkan pada tubuh burung itu. Jika kemudian burung itu dilepaskan ke udara, apa pun pesannya pasti akan sampai di tangan Ra Kuti.
Isi dada Ra Kuti tiba-tiba saja meluap. Ra Kuti merasa, inilah saatnya meringkus Jayanegara. Sekali ini upaya itu tidak boleh gagal lagi. Ra Kuti sadar kalau masih gagal maka akan makin sulit untuk bisa menangkap Jayanegara yang dikawal Gajahmada yang memiliki benak berisi otak amat encer dan banyak akal itu.
"Ra Yuyu," berkata Ra Kuti dengan nada agak berbisik.
364 Gajahmada Ra Yuyu mendekat. "Siapkan pasukan berkuda. Aku membutuhkan sekitar lima puluh orang untuk meringkus Kalagemet. Tetapi, jangan sekalipun kaubicara tentang ke mana kita akan pergi. Aku sendiri yang akan memimpin penyergapan kali ini."
"Aku mengerti," jawab Yuyu.
Ra Yuyu segera bertindak cekatan. Pasukan berkuda dengan prajurit pilihan dan telah diyakini kesetiaannya kepada Ra Kuti telah disiapkan.
Ra Kuti sendiri yang akan memimpin penyerbuan ke Mojoagung itu.
Ra Kuti ternyata cukup cerdik. Untuk mengelabui Bhayangkara yang bertebaran di sela-sela kegelapan malam, keberangkatan menuju Kabuyutan Mojoagung itu tidak langsung mengambil arah ke barat, tetapi mengambil arah ke timur.
39 Sebenarnyalah gerakan pasukan berkuda yang langsung dipimpin Rakrian Kuti itu terpantau oleh para Bhayangkara.
Bhayangkara Singa Parepen menyampaikan hal itu pada Gagak Bongol.
"Sayang sekali," berdesis Gagak Bongol. "Kakang Bekel Gajahmada tidak melengkapi umpan di Krian itu dengan jebakannya sekaligus. Jika hal itu dilakukan, tidak sulit untuk meringkus Ra Kuti, meski ia berada di antara seratus orang pasukan berkuda."
"Apakah kita perlu membuat jebakan itu?" berbicara Lembang Laut. "Mungkin kita perlu menyusul mereka?"
Gajahmada 365 Gagak Bongol termangu sejenak.
"Sebaiknya tidak usah," jawabnya. "Yang kita lakukan saat ini adalah mencari hubungan dengan beberapa pihak yang berseberangan sikap dengan Ra Kuti. Mungkin hal itu ada manfaatnya di kemudian hari, sambil kita meninggalkan jejak untuk Ra Kuti bahwa Bhayangkara akan selalu menjadi bayang-bayangnya, yang mengikutinya ke mana pun ia melangkah. Pada saatnya nanti bayang-bayang itu akan meringkusnya.
Apabila perlu bayang-bayang itu akan membenamkannya ke sungai."
Setelah berbincang beberapa saat, Bongol memimpin para Bhayangkara yang lain untuk bergerak. Sebelumnya mereka telah sepakat untuk bertemu lagi di waktu tengah malam di sebuah tempat yang sudah ditentukan. Tempat itu bernama Sumur Gandrung. Di waktu malam tak ada yang berani mendekati tempat itu karena diyakini oleh banyak orang Sumur Gandrung adalah tempat bersemayam para hantu.
Malam yang menjamah Majapahit lebih senyap dari malam sebelumnya. Sebagian orang bahkan berpendapat malam hari adalah wilayah yang paling mengerikan karena di daerah itu waktu itu bisa datang orang yang tidak diundang dan berbuat jahat, yang ujung-ujungnya selalu ke penjarahan, perampokan, dan pemerkosaan. Itulah sebabnya, penduduk kotaraja memilih untuk mengunci pintu rapat-rapat dan bersembunyi. Kolong tempat tidur dianggap menjadi tempat yang cukup aman untuk menyembunyikan diri.
Dalam bayang-bayang gelap malam itulah para Bhayangkara menyebar. Kehadirannya benar-benar bisa dirasakan oleh kaki tangan Rakrian Kuti. Sepak terjang para Bhayangkara itu ternyata mampu menghadirkan rasa aman karena para prajurit yang berpihak kepada Ra Kuti tidak berani lagi berbuat sesuatu yang justru akan membahayakan diri mereka sendiri. Mereka sadar, dari kegelapan malam beberapa anak panah bisa dilepas berhamburan menghujani mereka.
Lebih-lebih tanda kehadiran Bhayangkara menguasai malam itu memang ditunjukkan dengan sengaja. Sebuah anak panah sanderan melesat dari kegelapan malam, membubung memanjat udara sambil 366
Gajahmada meninggalkan suara melengking tinggi. Itulah anak panah sanderan yang menjadi ciri khusus yang hanya dimiliki Bhayangkara.
Keberadaan Bhayangkara itu benar-benar dirasakan kehadirannya karena dari arah yang lain dan menyebar terdengar jawaban serupa.
Anak panah terdengar melengking memanjat udara.
Suara melengking anak panah sanderan yang memecah keheningan malam itu seolah menjadi peringatan bagi siapa pun untuk tidak melukai hati rakyat lagi. Bagi siapa pun yang berani menantang peringatan itu, sangat mungkin tidak akan bisa memandang terbitnya matahari esok pagi.
Seseorang yang menyusuri gelapnya malam berhenti dan memerhatikan suara melengking tinggi itu dengan saksama. Seseorang yang menyusur malam itu manggut-manggut kemudian tersenyum.
Rupanya orang itu merasa tidak sendirian di kota yang seolah telah berubah menjadi kuburan mengerikan itu. Setelah bisa memperkirakan dari mana anak panah itu dilepas, orang itu bergegas berjalan lagi, berupaya mencari orang yang berani memberikan peringatan yang menyimpan arti tak bisa dianggap sepele itu.
Dengan tenang ia melangkah menuju sumber suara.
Seseorang itu mengenakan caping lebar. Namun, caping itu tidak digunakan di kepalanya. Caping itu justru dibiarkan menggantung di punggung.
Akhirnya, setelah beberapa saat berjalan, orang itu berhenti. Dari mulutnya kemudian terdengar suara melengking bagai burung bence yang menyayat membelah malam. Suara tiruan bence itu bahkan seperti menjadi jawaban terhadap suara anak panah sanderan. Sejenak kemudian dari rimbunnya semak dan perdu muncul seseorang.
"Kakang Bekel, kaukah itu?" terdengar suara menyapa.
Gajahmada tersenyum mendengar sapaan yang akrab itu. Dengan erat Gajahmada menggenggam uluran tangan dari Gagak Bongol dan Lembang Laut.
Gajahmada 367 "Kau berada di sini?" lanjut Lembang Laut.
Gajahmada mengangguk. "Tadi siang aku menyusup. Aku melihat apa yang mereka lakukan pada penduduk yang melakukan pepe. Aku juga mendengar semalam kalian telah membebaskan Mapatih Tadah."
Gagak Bongol mengangguk. "Kami berhasil membebaskan Mahapatih Arya Tadah. Beliau saat ini berada di tempat yang aman. Sebaliknya, justru kami yang tak sabar ingin mendengar, bagaimana Sri Baginda Jayanegara?"
"Sri Baginda juga berada di tempat yang aman. Tidak perlu ada yang dicemaskan mengenai keadaan Sri Baginda."
Lembang Laut manggut-manggut kemudian tersenyum.
"Yang jelas bukan di Krian?"
Gajahmada tidak bisa menahan senyumnya. Pimpinan Bhayangkara itu menepuk-nepuk pundak Lembang Laut. Sebagaimana pada Bongol, Gajahmada juga menaruh kepercayaan yang tinggi kepada Lembang Laut.
"Aku melemparkan umpan itu karena di tubuh kita terdapat penyakit yang bisa membahayakan kita secara keseluruhan. Tampaknya Ra Kuti menangkap umpan itu dengan penuh gairah. Apakah benar demikian?"
"Benar Kakang Bekel," jawab Lembang Laut. "Meski Ra Kuti berusaha menyamarkan, kami memang melihat prajurit yang dikirim bergelombang. Mereka tidak berangkat secara berkelompok, tetapi terpisah-pisah. Arahnya jelas, Krian."
"Artinya," lanjut Gajahmada, "pengkhianat itu ada. Tubuh Bhayangkara disusupi oleh telik sandi kaki tangan Ra Kuti. Kalian sudah menemukan jawaban siapa telik sandi itu?"
Suasana pun menjadi hening. Semua digoda oleh pertanyaan itu, siapa sebenarnya mata-mata yang tidak tahu malu, tega-teganya menjadi pengkhianat, mengkhianati teman-temannya sendiri.
368 Gajahmada Dengan singkat dan gamblang Gagak Bongol dan Lembang Laut melaporkan upaya mereka mengetahui siapa sebenarnya mata-mata itu.
Setidak-tidaknya, hal itu bisa dilihat dari mereka yang ngotot pergi ke Krian. Telik sandi itu jelas berada di antara mereka. Gagak Bongol menyebut nama-nama yang berada dalam kelompok itu.
"Itulah mereka Kakang Bekel," lanjut Lembang Laut. "Tetapi sebenarnya untuk menemukan salah seorang di antara mereka, bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan, boleh dikata pekerjaan yang makan hati.
Menyakitkan sekali saat kita harus mencurigai teman sendiri. Apalagi, setelah sekian lama kita selalu bersama, mengalami suka dan duka bersama pula."
"Aku mengerti," potong Gajahmada, "namun, kita harus menemukannya. Ibarat penyakit yang melekat di tubuh kita, apa boleh buat jika perlu tangan pun harus dipotong karena penyakit itu melekat pada tangan itu."
Sejenak pembicaraan itu terhenti oleh anak panah yang melengking karena pada bedor-nya dilengkapi sanderan. Lagi-lagi suara itu menjadi pertanda keberadaan Bhayangkara serta menjadi peringatan bagi kaki tangan Ra Kuti untuk tak berbuat macam-macam.
"Kapan kalian akan berkumpul?" bertanya Gajahmada.
"Tengah malam nanti," jawab Gagak Bongol. "Kami sepakat berkumpul di Sumur Gandrung."
Gajahmada termangu, waktu untuk bertemu memang masih cukup lama.
Sementara itu, sebagaimana Bhayangkara yang lain, seorang dari mereka terlihat mengendap-endap di gelap malam, menyusur jalanan yang senyap. Dia adalah Bhayangkara Pradhabasu. Pradhabasulah orang yang baru melepas panah sanderan, diarahkan ke kelompok prajurit di regol istana. Pengaruh perbuatannya luar biasa. Prajurit kaki tangan Ra Kuti yang berkumpul di depan regol itu segera berloncatan mencari perlindungan. Benar apa yang dikatakan Ra Kuti sendiri, dalam gelap malam bukan Ra Kuti yang menguasai keadaan, Bhayangkaralah yang berbicara.
Gajahmada 369 Pradhabasu yang melangkah itu berhenti. Dengan cekatan Pradhabasu bersiaga. Di depannya tiba-tiba seseorang muncul menghadang. Isyarat sandi yang diberikan tidak mendapat tanggapan.
Dengan demikian, Pradhabasu yakin orang itu bukan bagian dari Bhayangkara.
"Siapa kau?" tanya Pradhabasu.
"Siapa aku tidak penting, namun sampaikan kepada Bekel Gajahmada dengan kalimat sandi Bagaskara Manjer Kawuryan. Kuharap kaumau menyampaikan pesanku untuk pimpinanmu, sebuah pesan yang penting sekali. Sebaiknya jangan kautunda untuk menyampaikannya,"
jawab orang itu. Pradhabasu terdiam. Ia berusaha memerhatikan wujud orang itu, tetapi rupanya dengan sengaja sosok yang baru muncul itu menyamarkan wujudnya. Wajahnya dibalut dengan secarik kain.
"Pesan apa?" tanya Pradhabasu.
Pradhabasu mendekat, orang itu melangkah mundur.
"Sampaikan kepada Gajahmada, saat ini sang perampok bergerak ke Mojoagung. Jika terlambat Gajahmada akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan anak asuhnya."
Pradhabasu termangu beberapa jenak. Pradhabasu butuh waktu beberapa saat untuk mencerna ucapan orang itu.
Justru karena itu Pradhabasu terlambat menyadari keadaan. Ketika Pradhabasu akhirnya merasa pesan itu tak bisa dianggap remeh, orang yang muncul dibungkus teka-teki itu telah lenyap di kegelapan malam.
Pradhabasu meloncat mengejar, tetapi orang itu telah menghilang. Gelap malam dengan ganas membungkusnya hingga tubuhnya tidak tertangkap oleh pandangan mata Pradhabasu.
"Siapa orang itu?" Pradhabasu berpikir. "Ia meninggalkan pesan untuk Kakang Bekel. Tampaknya pesan yang penting dan tidak bisa ditunda. Bagaskara Manjer Kawuryan artinya matahari terang benderang.
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pesan itu agaknya mempunyai arti khusus bagi Kakang Bekel 370
Gajahmada Gajahmada. Padahal, di mana Kakang Bekel sekarang, aku tidak tahu.
Hanya Kakang Gagak Bongol yang tahu."
Pradhabasu segera mengambil simpulan.
"Sebaiknya aku sampaikan hal ini kepada Kakang Bongol."
Pradhabasu yang beranggapan pesan itu tidak bisa diremehkan segera bertindak. Tiga buah anak panah sanderan sekaligus disiapkan.
Sesaat kemudian setelah anak panah itu dilepas terdengar suara lengkingan yang menyayat dengan nada yang berbeda. Kalau Bhayangkara melepas isyarat seperti itu berarti terjadi hal luar biasa yang membutuhkan perhatian Bhayangkara yang lain.
Suara melengking itu membubung memanjat langit, getaran suaranya terlontar sampai ke sudut-sudut malam. Para Bhayangkara yang bertebaran tersentak oleh isyarat itu, masing-masing segera mengambil sikap. Demikianlah, sejenak kemudian para Bhayangkara yang lain berdatangan. Pradhabasu terkejut karena melihat Gajahmada bersama Gagak Bongol dan Lembang Laut.
"Kakang Bekel," Pradhabasu masih dililit pesona. "Kau berada di sini?"
"Sejak tadi siang aku menyusup memasuki kotaraja," jawabnya.
"Kamu yang baru melepas isyarat tanda bahaya?"
"Ya," jawab Pradhabasu sigap. "Ada seseorang yang baru saja muncul menghadangku. Orang itu meninggalkan sebuah pesan yang sangat penting untukmu. Syukur kau berada di sini."
Gajahmada mencuatkan alis.
"Orang itu menyebut nama kalimat sandi Bagaskara Manjer Kawuryan. Apakah benar kalimat sandi itu untukmu?" Pradhabasu melanjutkan.
"Ya," jawab Gajahmada tegas.
"Jika demikian, apa aku berhak menyampaikan langsung, didengar oleh yang lain?"
Gajahmada 371 Gajahmada sependapat, memang ada bagian-bagian tertentu dari berita yang diterimanya tidak harus didengar oleh anak buahnya. Apalagi, jika berita itu berkaitan dengan telik sandi musuh yang diyakini ada dalam tubuh Bhayangkara. Gajahmada segera memberi isyarat. Para Bhayangkara yang lain segera menjauh.
"Bagaimana pesannya?" desak Gajahmada tidak sabar.
"Kakang Bekel," ucap Pradhabasu, "menerima pesan orang itu aku seperti menyangga beban yang sangat berat. Benarkah saat ini Sri Baginda berada di Mojoagung?"
Tersentak Gajahmada. Bahkan, Gajahmada menggigil.
Untuk sekejap lamanya apa yang disampaikan Pradhabasu itu mampu membuat Gajahmada bingung. Bukan pekerjaan yang gampang bagi Gajahmada untuk menenangkan diri setelah mendengar hal yang sangat mengagetkan itu. Keberadaan Sri Jayanegara di Kabuyutan Mojoagung hanya dirinya dan Gagak Bongol yang tahu. Di mana Jayanegara terpagari dengan teka-teki yang sangat rapat. Ternyata kini apa yang diyakini amat rahasia itu sudah bukan rahasia lagi.
Gajahmada menggigil. "Apa pesan lanjutannya?" desak Gajahmada.
Pradhabasu sadar, pesan itu ternyata bukan pesan sembarangan.
"Bagaskara Manjer Kawuryan berpesan, saat ini perampok bergerak ke Mojoagung. Jika Kakang Bekel terlambat, Kakang akan kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan anak asuh Kakang, bukankah yang dimaksud anak asuh itu Tuanku Jayanegara?"
Berderak isi dada Bekel Gajahmada. Pimpinan Bhayangkara itu merasa keadaan yang kini dihadapinya benar-benar gawat. Gajahmada merasa apa yang dikerjakannya sudah cermat dan telah melalui berbagai macam perhitungan. Namun, ternyata Gajahmada masih kecolongan.
Wajah pimpinan Bhayangkara itu kini menjadi beku.
Selain dirinya, hanya Gagak Bongol yang mengetahui di mana Jayanegara berada. Kalau sekarang rahasia itu telah diketahui musuh, 372
Gajahmada berarti Gagak Bongol telah membocorkannya. Gagak Bongol pengkhianat itu, yang telah tega menjual diri kepada Ra Kuti, Gajahmada amat sulit menerimanya.
Betapa pahitnya, Gajahmada harus menelan kenyataan itu. Dengan sekuat tenaga Gajahmada berusaha berpikir bening.
"Telah kausampaikan pesan itu untukku," berkata Bekel Gajahmada, Pradhabasu menyimak dengan tegang, "Simpan apa yang kauketahui itu untuk dirimu sendiri."
Pradhabasu mengangguk, "Aku tidak akan membocorkan kepada siapa pun. Aku bersumpah."
Bersamaan dengan itu, Bhayangkara yang lain telah berdatangan dan lengkap di tempat itu.
"Gila. Bekel Gajahmada rupanya," telik sandi kaki tangan Ra Kuti yang kaget melihat Gajahmada menggumam dalam hati. "Kenapa Gajahmada berada di sini. Bagaimana Jayanegara?"
Semua Bhayangkara menunggu Gajahmada berbicara. Seandainya saat itu hari berada di siang, tentu semua akan melihat betapa kelam wajah Bekel Gajahmada itu. Wajah menyiratkan rasa kecewa tiada terkira.
"Gagak Bongol ikut aku," berkata Gajahmada tegas. "Yang lain menunggu di sini."
Perintah telah dijatuhkan. Gajahmada tidak perlu mengulang lagi apa yang diucapkannya. Dengan bergegas Gajahmada melangkah yang segera diikuti oleh Gagak Bongol di belakangnya.
"Ada apa Kakang Bekel?" tanya Gagak Bongol heran.
Gajahmada membeku. Hening sejenak.
"Aku tidak percaya kalau kau pengkhianat itu," kata pimpinan Bhayangkara. "Katakan padaku, kecerobohan macam apa yang telah kaulakukan?"
Gagak Bongol yang merasa tidak tahu ujung pangkal dan duduk persoalannya, kebingungan.
Gajahmada 373 "Aku tidak mengerti apa yang Kakang maksud," jawabnya.
Bekel Gajahmada benar-benar marah. Isi dadanya menggelegak butuh penyaluran. Ia benar-benar dibuat pusing sepak terjang telik sandi kaki tangan Ra Kuti itu.
"Ada dasarnya aku menuduhmu, kaulah pengkhianat itu," lanjut Bekel Gajahmada. "Selain aku hanya kau yang mengetahui Sri Baginda Jayanegara kuamankan di Mojoagung. Bagaimana rahasia ini bisa jatuh di tangan Ra Kuti. Bagaskara Manjer Kawuryan yang aku ceritakan kepadamu itu, baru saja mengirim pesan untukku, Ra Kuti sedang menuju Mojoagung."
Pucat pasi Gagak Bongol. Sejenak Gagak Bongol tak bisa berbicara.
"Bagaimana?" desak Gajahmada.
Gagak Bongol lemas. "Bagaimana Bongol. Kau pernah berbicara dengan siapa?"
Gagak Bongol menengadah. "Aku bersumpah dengan disaksikan oleh para dewa di langit,"
suara Bongol terdengar serak bergetar. "Aku tidak pernah berbicara dengan siapa pun. Bahkan, dengan Lembang Laut yang kujadikan tempat bertukar pikiran aku tak menyebut tempat itu. Aku tidak tahu dengan cara bagaimana telik sandi mereka bisa menemukan jejakmu."
Gajahmada mengenal Gagak Bongol dengan baik. Selama ini mereka telah bekerja bahu-membahu, hubungan yang terjadi terbentuk sedemikian rupa, melebihi hubungan antara prajurit dengan prajurit, bahkan telah tercipta hubungan melebihi saudara.
Kini ganjalan itu muncul. Ganjalan itu mencemaskan Bongol.
"Mungkin benar kau bukan kaki tangan Ra Kuti," ucap Gajahmada dengan nada datar. "Mungkin benar pula telik sandi Ra Kuti berkemampuan sangat luar biasa sehingga rahasia yang hanya kita berdua yang tahu, bisa jatuh ke tangannya. Kalau kauingin membuktikan bahwa kemungkinan yang kedua itulah yang sebenarnya terjadi, kau harus bisa membuka kedok mata-mata itu."
Gagak Bongol menggeretakkan gigi. Rahangnya mengeras.
374 Gajahmada "Beri aku kesempatan," kata Gagak Bongol. "Aku yakin bisa mengelupas kulitnya."
Gajahmada mendengar janji yang diucapkan dengan suara serak bergetar itu. Gajahmada berharap, Gagak Bongol yang dikenalnya tetap sebagaimana Gagak Bongol sebelumnya. Tetapi, apabila terbukti Bongollah pengkhianat itu, ia tidak akan segan-segan menumpasnya.
Masih tersengal napas Gajahmada.
Satu hal yang Gajahmada tetap tak habis pikir, dengan cara bagaimana tempat persembunyian Jayanegara itu bisa sampai di telinga Ra Kuti.
Sulit bagi Gajahmada untuk menelusurinya.
"Simpan pembicaraan ini rapat-rapat," ucap Gajahmada. "Kita tidak punya waktu. Kita harus beradu cepat dengan Ra Kuti menuju Mojoagung."
Menyadari waktu yang ada sangat sempit, Gajahmada segera bertindak. Maka sejenak kemudian pasukan khusus Bhayangkara itu bergerak keluar dari kotaraja ke tempat kuda-kuda yang mereka sembunyikan di sebuah pategalan.
Tanpa banyak bicara, Gajahmada memimpin pasukan khusus itu berderap ke arah barat. Gajahmada membedal kudanya seperti orang kesetanan. Kuda itu melaju kencang bagaikan terbang, meninggalkan debu berhamburan serta suara derap yang mencemaskan penduduk.
"Kakang, kaudengar itu?" berbisik seorang istri kepada suaminya.
Derap kuda itu melintas sangat dekat karena rumah suami istri itu tepat berimpitan dengan jalan yang dilalui rombongan berkuda itu.
Sang suami mendekap istrinya dengan erat.
"Mereka hanya numpang lewat Nyai."
"Kira-kira ada apa Kiai, mereka akan ke mana?" bisik istrinya yang ketakutan.
Sang suami mendekap mulut istrinya sampai derap kuda-kuda itu makin jauh dan kian lamat-lamat untuk kemudian lenyap sama sekali dari telinga.
Gajahmada 375 "Jangan pikirkan apa pun," bisik suaminya. "Besok pagi-pagi aku harus ke sawah menengok tanaman jagung kita. Negara dalam keadaan kacau macam apa pun, kita harus tetap makan."
Sang istri tak berkata lagi. Berbeda dengan suaminya yang dengan gampang melanjutkan tidurnya, wanita cantik berusia muda itu mengalami kesulitan untuk menenteramkan diri. Berbagai cerita seram tentang penjarahan dan pemerkosaan yang didengarnya menyebabkan wanita itu dibayangi kegelisahan.
Masih dengan derap kencang Gajahmada memacu kudanya seperti orang yang cemas kekurangan waktu. Untunglah, bintang-bintang di langit dan sepenggal bulan yang timbul tenggelam di sela-sela mendung membantu memberi penerangan yang cukup untuk kuda tunggangannya melaju terus dengan kencang. Di antara segenap Bhayangkara yang mengiringinya, mata-mata kaki tangan Ra Kuti tersenyum.
"Perhitunganku ternyata benar," berkata telik sandi itu untuk dirinya sendiri. "Meski Gajahmada tidak mengucapkan, perjalanan ini jelas mengarah ke Kabuyutan Mojoagung. Rupanya Gajahmada mengetahui persembunyian Jayanegara telah bocor. Tentu seseorang telah memberi tahu Gajahmada mengenai hal itu. Artinya, Gajahmada juga meletakkan telik sandi memata-matai Ra Kuti. Bukan main. Itu artinya, Ra Kuti dan Gajahmada saling menempatkan telik sandi, saling mengawasi."
Benak telik sandi itu riuh dengan berbagai kemungkinan perhitungan. Tetapi, bukan pekerjaan yang mudah bagi telik sandi itu untuk bisa menemukan siapa mata-mata di pihak Gajahmada itu.
"Ahh peduli setan," ucap mata-mata kaki tangan Ra Kuti itu. "Aku tidak perlu peduli terhadap mata-mata Gajahmada itu. Yang penting pada saat ini, Kalagemet harus berhasil diringkus. Ra Kuti pasti bisa menyelesaikan permainan ini dengan baik. Pada saatnya nanti, para Bhayangkara akan terbelalak ketika mengetahui siapa sebenarnya aku."
Rombongan berkuda itu terus berderap ke arah barat menyusur jalanan yang membentang dari kotaraja hingga Kabuyutan Mojoagung.
Angin malam yang dingin tidak sanggup membekukan darah Bekel
376 Gajahmada Gajahmada yang menggelegak oleh amarah, yang seolah akan meretakkan dinding kepala. Kuda tunggangannya terus dipacu dengan kencang. Kalau bisa malah lebih kencang, atau terbang sekalian.
Di sisi yang lain, retak hati Gagak Bongol. Bhayangkara kepercayaan Bekel Gajahmada itu mencoba memutar ulang segala peristiwa yang telah terjadi untuk menemukan di belahan mana ia melakukan kecerobohan.
"Mungkin benar yang dikatakan Kakang Bekel," kata Bongol dalam hati. "Mungkin aku memang telah melakukan kecerobohan. Tanpa kusadari aku telah melakukan sesuatu yang salah, yang menyebabkan semua ini terjadi."
Kuda tunggangannya terus berderap kencang. Gagak Bongol tetap tidak habis mengerti.
"Aku yakin aku tak pernah menyebut tempat itu," ucap Bongol untuk diri sendiri. "Bahkan, kepada Lembang Laut pun aku tidak menyebut tempat itu. Jika ada kebocoran, pasti bersumber dari tempat lain, bisa saja dari Kakang Bekel sendiri."
Gagak Bongol merasa tak enak karena Gajahmada tentu meletakkan kecurigaan kepadanya. Betapa menyakitkan mendapat tuduhan itu.
Tuduhan sebagai pengkhianat tentu bukanlah tuduhan sembarangan dan boleh diabaikan. Bahkan, persoalan yang dihadapinya bisa menjadi bayang-bayang mengerikan, ngeri seandainya pengkhianat yang sesungguhnya tidak berhasil di-belejeti keberadaannya.
"Hanya ada sebuah cara untuk mengembalikan kepercayaan serta memulihkan nama baikku. Aku harus berhasil menemukan pengkhianat yang tidak tahu diri itu."
Gajahmada 377 40 Di samping kemampuan kanuragan, keterampilan secara pribadi dalam berbagai hal, dan kecerdikan untuk menyiasati keadaan macam apa pun, Bhayangkara memang licin melebihi belut, banyak akal, dan adakalanya sanggup melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan oleh siapa pun.
Ra Kuti benar-benar menyadari hal itu. Oleh karena itulah, pimpinan Winehsuka itu merasa perlu mengimbangi dengan cara serupa.
Ra Kuti sadar sepenuhnya, orang-orang Bhayangkara yang sangat dibencinya dan sebenarnya tidak seberapa jumlahnya itu menyebar serta membayangi apa pun yang dilakukan. Itu sebabnya, dengan diiringi oleh para prajurit berkuda dengan kemampuan pilihan, ia berderap ke arah timur untuk memberi kesan menempuh perjalanan ke Krian.
Dalam anggapan Ra Kuti, para Bhayangkara tentu menduga demikian.
Setelah beberapa saat meninggalkan kotaraja, menjelang arah jalan ke Kapopongan, Ra Kuti yang berderap paling depan membelokkan kudanya ke arah utara. Setelah beberapa saat lamanya menyusur jalanan yang membelah bulak dan perkampungan, Ra Kuti kembali membelokkan kudanya balik arah ke barat.
Perbuatan yang aneh itu membuat prajurit berkuda pengiringnya bingung. Namun, mereka terus mengekor di belakang tak banyak bertanya. Bahkan, para prajurit berkuda itu akhirnya sadar apa yang dilakukan Ra Kuti itu adalah bagian dari upaya untuk menyesatkan lawan yang mungkin membayangi di belakang.
Sangat bernafsu Ra Kuti berpacu. Barisan berkuda dengan suara gemuruh membelah malam itu seperti lampor berangkat kondangan.
Anak-anak dalam pelukan ibu atau bapaknya terkejut dan ketakutan.
378 Gajahmada Ketakutan itu bukan hanya milik anak-anak itu, tetapi juga menulari orang tuanya. Berita mengenai kraman yang mengguncang kotaraja memang telah menjalar ke mana-mana. Itu sebabnya, setiap terjadi gerakan pasukan selalu memunculkan rasa penasaran, tentang siapa mereka yang diburu pasukan itu ataukah justru pasukan berkuda itu yang justru tengah diburu-buru.
Dalam pada itu, di tepi sebuah bulak, "Padamkan api!" teriak seseorang.
Empat orang laki-laki di bulak panjang itu terkejut. Dengan bergegas mereka segera memadamkan perapian yang mereka buat untuk menghangatkan tubuh. Dengan bergegas pula mereka meloncat ke arah kuda masing-masing dan memaksa kuda itu untuk berbaring, bersembunyi di balik ilalang. Untung kuda-kuda mereka bukanlah kuda sembarangan. Kuda mereka adalah kuda yang memang sudah terlatih, termasuk untuk menghadapi kemungkinan semacam itu.
Dari persembunyiannya mereka memerhatikan.
"Siapa mereka?" berdesis salah seorang dari mereka.
"Banyak sekali," tambah yang lain.
Keempat lelaki yang bersembunyi di balik padang ilalang itu segera menahan napas sambil mengelus-elus bulu leher kuda masing-masing agar tidak bersuara. Dari persembunyian itu mereka memerhatikan serombongan orang berkuda yang berderap melintas makin lama makin dekat. Salah seorang dari keempat orang itu mendadak menyadari perapian yang mereka padamkan belum padam sempurna. Masih ada asap yang mengepul. Tetapi, mereka tak punya kesempatan lagi untuk menghapus jejak itu.
Rombongan berkuda itu terus berderap dengan sangat kencang.
Yang paling depan melecut kudanya, adakalanya sambil berteriak keras, disusul di belakangnya puluhan orang berpakaian prajurit bersenjata tombak dan pedang.
"Ra Kuti," desis salah seorang dari mereka yang bersembunyi itu.
"Ra Kuti?" yang lain mempertegas. "Kau melihat wajahnya?"
Gajahmada 379 "Bukan wajahnya," jawab yang pertama, "tetapi aku mengenali suaranya. Orang yang memiliki suara seperti itu, hanya Ra Kuti."
Temuan itu tentu menjadi hal yang amat penting.
"Kauyakin orang itu Ra Kuti?" tambah orang yang ketiga.
"Ya, aku yakin. Orang yang berkuda paling depan sambil berteriak-teriak parau itu memang Ra Kuti."
Empat orang itu saling pandang antara satu dan lainnya. Untuk beberapa kejap lamanya mereka terdiam untuk menemukan jawab yang paling sesuai atas temuan itu. Bahwa Rakrian Kuti berada dalam rombongan berkuda itu membuat mereka penasaran.
"Apa artinya ini?" berbisik orang yang pertama.
Pertanyaan yang terlontar itu juga menjadi pertanyaan lainnya. Berita simpang siur berkaitan dengan perkembangan terakhir di kotaraja menyebabkan mereka sulit menafsirkan keadaan.
"Berita terakhir yang kita dapat," berbicara orang ketiga, "istana telah berhasil dibedah musuh. Akan tetapi, Kakang Bekel Gajahmada yang mengawal Tuanku Jayanegara berhasil meloloskan diri. Tidak ada yang tahu, nasib apa sebenarnya yang menimpa Sri Baginda Jayanegara dan Kakang Bekel. Sekarang tiba-tiba kita bertemu rombongan pasukan berkuda dipimpin langsung oleh Ra Kuti. Apa artinya ini?"
"Memburu Kakang Bekel Gajahmada dan Baginda Jayanegara,"
jawab orang keempat. "Tepat," orang ketiga menegaskan. "Jawaban itu kiranya sangat masuk akal dan mendekati benar. Kalau begitu sekarang apa yang akan kita lakukan?"
Keempat orang itu kembali terdiam.
"Kita ikuti mereka," orang kedua dan keempat menjawab serentak.
Jawaban itu rupanya disetujui oleh yang lain. Dengan cukat trengginas terampil mereka melenting ke atas kuda masing-masing. Tanpa aba-aba keempat orang itu segera melesat membayangi Ra Kuti dengan para pengiringnya.
380 Gajahmada Siapa keempat orang itu" Mereka adalah pecahan pasukan Bhayangkara yang semula mendapat tugas khusus dari Bekel Gajahmada, bahkan paling awal bergerak di saat perang belum pecah untuk mengamankan kerabat istana, Ibu Ratu Prajnaparamita dan sekar kedaton menuju Rimbi. Di sanalah para istri mendiang Kertarajasa Jayawardhana berkumpul mengunjungi Ratu Gayatri yang telah meninggalkan gemerlap duniawi dan memilih jalan biksuni.
Setelah melaksanakan tugas mengawal ratu dan dua putri sekar kedaton, Breh Daha dan Breh Kahuripan dengan selamat, keempat Bhayangkara itu kembali ke kotaraja untuk mencari hubungan dengan Bhayangkara yang lain. Kenyataan yang mereka temukan benar-benar menyedihkan. Istana telah bedah, Jayanegara terusir. Untuk menemukan jejak Jayanegara jelas pekerjaan yang sangat sulit karena Gajahmada tentu menggunakan tingkat kerahasiaan amat tinggi.
Dua kelompok pasukan itu berderap dengan kencang membelah malam. Di depan pasukan berkekuatan amat besar dipimpin Ra Kuti yang amat bernafsu memburu Jayanegara, disusul di belakang oleh empat orang berkuda yang terus membayangi ke mana pun mereka bergerak.
41 Dingin malam menjamah Kabuyutan Mojoagung. Suara cenggeret amat riuh berpadu teriakan ratusan ekor katak yang saling pamer suara, menjadi paduan suara yang indah. Di langit kartika bertebaran di segenap sudut ruang membentang di jagat raya. Bulan sepenggal timbul tenggelam di antara mega-mega.
Ki Buyut Mojoagung menyendiri dalam bilik khusus yang biasa digunakan untuk memuja semadi, menjalin hubungan dengan Sang Gajahmada 381
Penguasa jagat raya. Nyai Buyut Mojoagung yang tua dan sakit-sakitan berada di bilik yang lain. Nyai Buyut gelisah membayangkan berbagai kemungkinan buruk bisa terjadi sehubungan dengan kehadiran Sri Jayanegara yang bersembunyi di tempat itu. Dalam bayangan kecemasan Nyai Buyut, seandainya Ra Kuti mengetahui rumahnya menjadi tempat persembunyian Jayanegara maka habislah semua.
Di samping dikenal sebagai orang yang paling dituakan dan dihormati di Kabuyutan Mojoagung, Ki Buyut juga dikenal sebagai orang yang memiliki ketajaman mata hati melebihi orang lain. Ki Buyut mempunyai kemampuan meramal hal-hal yang belum terjadi. Penduduk Kabuyutan Mojoagung tidak merasa aneh lagi jika melihat ramalan Ki Buyut akhirnya menjadi kenyataan.
Para petani, para pedagang, dan mereka yang membutuhkan berkah sering datang meminta petunjuk Ki Buyut. Biasanya dengan senang hati Ki Buyut membantu mereka yang membutuhkan itu. Khususnya petani, petunjuk yang diberikan Ki Buyut berkaitan dengan mangsa ketiga atau mangsa rendeng serta ramalan kapan kira-kira akan turun hujan, amat membantu mereka dalam bercocok tanam. Pernah terjadi, saat mana tiba-tiba penduduk disarankan untuk tak menanam padi dalam satu musim, petunjuk itu diabaikan. Semusim itu ternyata terjadi kemarau berkepanjangan, bahkan nyaris menyentuh hitungan setahun. Akibatnya, tidak pernah terjadi panen padi karena kelangkaan air, bahkan berbagai binatang pengganggu tanaman muncul dalam jumlah besar.
Meskipun demikian besar makna bantuan yang diberikannya, Ki Buyut melakukannya dengan ikhlas. Tidak pernah sekalipun Ki Buyut memungut upah. Andai ada yang memberi imbalan, imbalan itu ditolaknya. Kebanyakan orang kemudian berpendapat, imbalan semacam itu justru akan membuat kemampuan Ki Buyut menjadi luntur.
Dalam biliknya, Ki Buyut masih memusatkan semadi.
Tidak seperti biasanya, kali ini Ki Buyut benar-benar merasa tegang.
Telah lebih dari tiga kali Ki Buyut memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya untuk mencoba mengintip ke wilayah yang sebenarnya bukan wilayah yang menjadi haknya. Apa yang dilihatnya menyebabkan Ki Buyut cemas.
382 Gajahmada "Rumah terbakar," desis Ki Buyut. "Rumahku terbakar."
Ki Buyut yang tua itu tegang. Keringat dingin mulai mengembun di wajahnya. Kecemasan tak tercegah datang mulai membayang.
Beberapa saat lamanya Ki Buyut termangu mencoba mencari jawab atas pertanda aneh itu. Firasatnya berbicara bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Ki Buyut akhirnya harus yakin bahwa seperti itu terjemahan dari firasat yang didapatnya.
Apalagi, sejenak kemudian terdengar anjing menggonggong dengan suara melengking tinggi.
"Akan terjadi sesuatu di sini," ucap Ki Buyut yang tua itu pada diri sendiri. "Mungkin pemberontak sudah mengetahui Sri Baginda bersembunyi di rumah ini, lalu Rakrian Kuti mengerahkan prajuritnya ke Kabuyutan ini. Agaknya itu jawaban yang paling sesuai. Jika demikian yang akan terjadi, apa boleh buat aku harus bertindak."
Ki Buyut beringsut menepi. Dengan perlahan Ki Buyut mengetuk dinding ruangan itu, bersebelahan dengan bilik yang digunakan istrinya.
Nyai Buyut Mojoagung yang tidak bisa tidur mendengar dan bergegas bangkit menemui suaminya.
"Ada apa?" bisik Nyai Buyut.
Ki Buyut menatap wajah istrinya dengan lekat.
Nyai Buyut membaca raut wajah cemas di wajah suaminya.
"Sesuatu yang buruk akan terjadi," bisik Ki Buyut, disimak dengan baik oleh istrinya. "Mungkin keberadaan Tuanku Sri Jayanegara di tempat ini sudah diketahui oleh musuh. Kau mengungsilah. Aku akan memberi perintah kepada beberapa magersari untuk mengawalmu dan Tuanku Sri Jayanegara meninggalkan tempat ini."
Nyai Buyut cemas. Ki Buyut Mojoagung tidak perlu mengulang. Nyai Buyut tanggap terhadap kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Ki Buyut Mojoagung tidak mau bertele-tele. Lelaki tua itu segera keluar dari biliknya dan melangkah ke halaman. Sejenak diperhatikannya Gajahmada 383
langit yang luas. Jejak bintang kemukus, bintang yang diyakini banyak orang sebagai lambang terjadinya bencana, tidak terlihat karena awan yang berarak. Seorang magersari yang tidur di pendapa segera dibangunkannya. Magersari itu menjadi tegang mendengar paparan Ki Buyut. Magersari berbadan cukup kekar itu siap melaksanakan tugas yang diberikan kepadanya.
Dengan perlahan, Ki Buyut Mojoagung kemudian mengetuk pintu bilik yang digunakan Sri Jayanegara.
Jayanegara atau yang di masa mudanya lebih dikenal dengan nama Kalagemet itu terbangun. Ketukan pintu itu membuatnya tidak senang.
Butuh beberapa saat bagi Jayanegara untuk berpikir tenang. Jayanegara sejenak masih mengira berada di istana. Kesadaran yang kemudian muncul bahwa dirinya kini berada di rumah Ki Buyut Mojoagung membuat dada Jayanegara berdesir.
Jika tengah malam seperti itu pintu biliknya diketuk, pasti ada sesuatu yang amat penting. Jayanegara bangkit dan bergegas membuka pintu.
Cahaya ublik yang amat redup mendrip-mendrip tak cukup untuk menerangi ruangan itu.
"Ada apa Ki Buyut?" tanya Jayanegara.
Ki Buyut Mojoagung diam. Agak sulit bagi Ki Buyut menerangkan keadaan yang tengah mereka hadapi.
Sejenak hening, larut terbawa waktu. Jayanegara heran.
"Ki Buyut membangunkanku, tentu tidak untuk diam seperti ini,"
lanjut Jayanegara. "Ada persoalan apa?"
"Hamba Tuanku," kata Ki Buyut, "sesuatu yang buruk bakal terjadi.
Oleh karena itu, mumpung masih ada kesempatan, seorang magersari akan mengawal Tuanku untuk segera meninggalkan tempat ini."
Jayanegara kaget. Tatapan matanya tidak berkedip tertuju kepada Ki Buyut yang tua itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Jayanegara. "Tempat persembunyian ini sudah diketahui atau bagaimana" Apa ada pesan dari Gajahmada agar aku segera meninggalkan tempat ini?"
384 Gajahmada Ki Buyut Mojoagung kebingungan harus memulai ceritanya. Satu hal yang diyakini oleh Ki Buyut, firasat buruk yang diperolehnya itu tidak bisa dianggap remeh atau disepelekan. Sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi. Tetapi, rupanya untuk meyakinkan Jayanegara mengenai hal itu bukan pekerjaan mudah.
"Hamba Tuanku," berkata Ki Buyut. "Hamba harus menyampaikan hal ini hanya berdasar pada firasat. Bekel Gajahmada yang menitipkan keselamatan Tuanku kepada hamba memang belum menghubungi hamba."
"Hanya karena firasat?" Sri Jayanegara mencuatkan alis. "Aneh sekali.
Hanya karena kau mendapat firasat, kau berpendapat aku berada dalam bahaya dan dengan demikian harus segera pergi" Menggelikan sekali Ki Buyut."
Ki Buyut gelisah. "Hamba Tuanku," jawab Ki Buyut. "Memang benar hanya karena firasat. Namun, hamba meyakini firasat itu akan terjadi. Pada saat ini, mungkin Ra Kuti sedang dalam perjalanan menuju tempat ini."
"Gila," desis Jayanegara. "Kau ini siapa bisa bicara seperti itu"
Kauanggap dirimu dewa atau bagaimana?"
Ki Buyut yang tua itu hanya bisa menunduk. Memang sulit meyakinkan Jayanegara agar mau memercayai apa yang ia ucapkan.
Bahkan, bisa jadi Jayanegara akan berprasangka buruk kepadanya. Apa yang ia cemaskan itu segera menjadi kenyataan.
"Ada apa sebenarnya, Ki Buyut" Kau merasa tidak senang aku bersembunyi di rumahmu" Kau merasa khawatir dengan keberadaanku?"
Sesak isi dada Ki Buyut Mojoagung mendapat tuduhan itu. Namun, Ki Buyut Mojoagung tidak punya alasan yang masuk akal mengapa ia meminta Jayanegara untuk segera meninggalkan Kabuyutan Mojoagung.
Adalah wajar jika muncul prasangka di hati Jayanegara, Ki Buyut Mojoagung tak suka ia berada di rumahnya.
Gajahmada 385 "Bagaimana?" desak Jayanegara. "Seperti itukah perasaanmu kepadaku?"
"Ampun Tuanku," jawab Ki Buyut sambil menunduk. "Hamba tentu sama sekali tidak mempunyai perasaan seperti itu. Hamba melakukan semata-mata karena kecemasan hamba. Firasat hamba benar dan akan segera menjadi kenyataan, Tuanku. Tuanku harus segera meninggalkan rumah ini."
Jayanegara tetap tak habis mengerti. Akan meledak isi dadanya.
"Katakan sekali lagi Ki Buyut," berkata Jayanegara. "Kecemasanmu itu karena firasat. Firasatmu mengatakan Ra Kuti akan segera datang mengepung rumah ini. Itu sebabnya, sebelum semua itu terjadi aku harus segera pergi. Mumpung masih ada kesempatan aku harus segera menyelamatkan diri" Begitu maksudmu?"
Ki Buyut mengangguk mantap.
"Benar Tuanku, karena firasat hamba. Meski sekadar firasat, hamba yakin bakal terjadi."
Jayanegara atau Kalagemet menghela napas panjang. Kejengkelannya terpancing. Sebagai seorang raja, Sri Jayanegara merasa telah memperoleh perlakuan yang tidak pantas. Ra Kuti melecehkannya sedemikian rupa.
Perjalanan meloloskan diri yang dialaminya dari kotaraja hingga Kabuyutan Mojoagung seperti mimpi buruk. Untuk perjalanan melarikan diri itu, Bekel Gajahmada memaksanya melakukan hal-hal yang nyaris tidak masuk akal, mulai dari menerobos gorong-gorong sungai hingga merangkak di tanah-tanah berlumpur. Padahal, sebagai raja ia berhak menempuh perjalanan dengan tandu, dipikul oleh empat orang prajurit.
Semua itu membuatnya letih, lelah, dan sejenak ingin istirahat. Baru saja hal itu ia peroleh, sekarang Ki Buyut Mojoagung membuat ulah. Ki Buyut memintanya pergi meninggalkan rumahnya hanya karena firasat.
"Betapa sombongnya kalau begitu kau ini, Ki Buyut," Sri Jayanegara jengkel. "Kau sudah berani memastikan sesuatu akan segera terjadi 386
Gajahmada seolah kau ini Tuhan. Seolah kau ini yang mengatur segala hal yang akan terjadi. Sombong sekali jika cerita tentang firasat itu benar. Sebaliknya, jika cerita tentang firasat itu hanya akal-akalanmu untuk membungkus warna hatimu yang sebenarnya bahwa kau tidak suka aku bersembunyi di rumahmu, sikapmu itu sama sekali tak pantas karena kau berhadapan dengan Jayanegara."
Habislah sudah. Ki Buyut Mojoagung merasa berhadapan dengan orang yang berhati kaku. Ki Buyut merasa tak ada manfaatnya lagi untuk meyakinkan Jayanegara. Dalam kebingungan itu mulai membayang kecemasan karena Ki Buyut benar-benar yakin bencana buruk akan terjadi dan menimpa keluarganya.
"Apakah memang demikian suratan sejarah yang harus terjadi?"
Buyut Mojoagung berbicara untuk diri sendiri.
Pada saat yang demikian tiba-tiba seorang magersari datang dengan langkah bergegas dan gugup.
"Ki Buyut. Ada sesuatu yang harus kusampaikan, Ki Buyut."
Jayanegara dan Ki Buyut menoleh.
Seorang magersari berusia muda, membungkus tubuhnya di balik kain sarung, datang dengan tergopoh-gopoh. Wajah pemuda itu penuh lumpur bercampur dengan keringat.
"Ada apa?" bertanya Ki Buyut.
Napas magersari itu tersengal. Butuh waktu beberapa jenak baginya untuk menenteramkan diri.
"Ada apa?" ulang Ki Buyut.
"Saya baru saja dari sawah mengalirkan air. Suara yang gemuruh itu berasal dari ujung bulak Ki Buyut. Mereka akan segera datang."
Hening sejenak. Jayanegara dibalut rasa heran.
"Apa yang kaumaksud dengan gemuruh itu, Kisanak?" tanya Jayanegara.
"Suara derap kuda banyak sekali. Puluhan, mungkin ratusan," jawab pemuda itu.
Gajahmada 387 Jawaban itu mengagetkan Jayanegara. Apa yang dicemaskan Ki Buyut ternyata benar. Akan tetapi, tetap saja ada bagian-bagian tertentu dari rangkaian kejadian itu yang tak bisa dipahami. Bahwa Ki Buyut menyebut adanya firasat, hal itu sulit diterima akal. Bahwa tiba-tiba muncul pemuda itu membawa cerita tentang derap kuda yang gemuruh, juga menyimpan bagian yang sulit dipahami. Jayanegara mulai gelisah.
"Apa yang harus kami lakukan Ki Buyut?" bertanya magersari berusia muda itu.
Ki Buyut tak bisa berbicara. Beban yang disangganya sungguh berat.
Tarikan napasnya yang dalam menggambarkan betapa berat beban itu.
"Mengungsilah mumpung ada waktu," suara Ki Buyut terdengar serak.
Bayangan suram itu mulai menjadi kenyataan. Jika benar perhitungannya, Ra Kuti datang bersama pasukannya maka Kabuyutan Mojoagung bakal menghadapi bencana mengerikan. Ra Kuti bisa melakukan apa saja untuk bisa menangkap Jayanegara, termasuk dengan penyiksaan agar seseorang mau membuka mulut.
Pedih rasa hati Ki Buyut membayangkan penduduk sekabuyutan akan mengalami penyiksaan. Ra Kuti tentu sanggup melakukan itu untuk bisa menangkap Jayanegara. Ucapan Ki Buyut tidak perlu diulang.
Magersari muda itu diam sesaat, seolah berat meninggalkan Ki Buyut menghadapi keadaan rumit yang membayangi Kabuyutan Mojoagung itu. Namun, akhirnya magersari berusia muda itu melihat tidak ada pilihan lain yang lebih baik untuk dirinya.
Tanpa banyak bicara magersari muda itu pergi.
Jayanegara akhirnya cemas.
"Sebentar lagi, Tuanku," desis Ki Buyut. "Sebentar lagi mereka akan datang. Mohon Tuanku jangan mempersoalkan apa pun lagi. Demi keselamatan Tuanku, Tuanku Baginda harus segera meninggalkan tempat ini."
Jayanegara diam. Jayanegara tidak berbicara lagi. Jayanegara hanya bisa menelan kekecewaannya melihat perkembangan keadaan seperti itu.
388 Gajahmada "Apakah Gajahmada tertangkap dan tidak tahan menghadapi siksaan sehingga akhirnya menyebut tempat ini?" Kalagemet berandai-andai.
Entah apa penyebabnya, tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong bersahutan. Biasanya jika anjing berperilaku seperti itu, pertanda binatang itu melihat gerakan-gerakan yang mencurigakan.
Bahkan, sebagian orang percaya kalau anjing melolong dengan suara yang ngelangut pertanda anjing itu melihat barisan hantu.
"Kau sudah siap?" bertanya Ki Buyut pada istrinya.
Nyai Buyut menggigil cemas.
"Kiai sendiri bagaimana?" tanya Nyai Buyut.
Bertahun-tahun Ki Buyut dan istrinya menghadapi suka duka kehidupan bersama-sama. Pahit dan getir disangga bersama. Kini, tiba-tiba mereka dihadapkan pada keadaan yang diyakini bisa membahayakan jiwa mereka. Itulah sebabnya, kecemasan yang muncul terasa menyesakkan dada.
"Jangan cemaskan aku, Nyai," berkata Ki Buyut. "Aku tidak apa-apa. Aku bisa menghadapi keadaan ini."
Ki Buyut menoleh kepada Jayanegara.
"Sudah tidak ada waktu lagi, Tuanku. Silakan Tuanku berangkat."
Jayanegara tidak membantah. Raja Majapahit yang digulingkan Ra Kuti itu segera bergegas mengikuti langkah magersari yang ditunjuk Ki Buyut untuk mengawalnya. Dengan tersendat mereka berusaha menerobos malam.
Hanya sejenak setelah itu tiba-tiba terdengar sebuah isyarat berupa siulan panjang dan melengking mirip suara burung laut, yang dibalas dengan cara serupa. Sri Jayanegara yang masih sempat mendengar isyarat itu berdesir. Ternyata kecemasan Ki Buyut itu tidak mengada-ada, terlambat sekejap saja maka apa yang dialaminya akan mengerikan sekali.
Gajahmada 389 "Gila," desis Jayanegara. "Ternyata Ki Buyut itu yang benar dan aku yang salah menafsirkan keadaan."
Tanpa banyak bicara Jayanegara dan Nyai Buyut Mojoagung berjalan mengikuti langkah magersari yang ditunjuk Ki Buyut. Dengan mengendap-endap serta sesekali berhenti untuk mengamati keadaan, magersari itu membimbing perjalanan Jayanegara.
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
42 Sebenarnyalah rumah Ki Buyut telah dikepung rapat. Ra Kuti yang telah tiba di Kabuyutan Mojoagung meminta anak buahnya berhenti di tengah bulak dan meninggalkan kuda-kuda mereka di sana.
Selanjutnya, dengan berjalan kaki rombongan prajurit pilihan itu bergerak menuju rumah Ki Buyut. Seorang peronda malam bernasib malang. Ia harus babak belur lebih dulu sebelum dipaksa menunjukkan di mana rumah Ki Buyut Mojoagung. Berbekal keterangan itu, Ra Kuti mengatur anak buahnya melakukan penggerebekan.
Nyaris tanpa suara para prajurit itu bergerak, meloncat dari bayangan pohon satu ke bayangan pohon lainnya hingga akhirnya semua telah siap. Segenap prajurit menggenggam senjata masing-masing, watang terentang siap melakukan pembantaian. Dengan langkah lebar Ra Kuti melintasi pendapa dan mendekati pintu rumah Ki Buyut.
Ki Buyut tersentak ketika mendengar ketukan.
Namun, dibiarkannya ketukan pintu itu terdengar sekali lagi. Barulah Ki Buyut yang tua itu melangkah tertatih-tatih sambil tangan kanannya memegang sebuah lampu ublik yang sangat redup. Sedemikian redupnya lampu ublik itu sehingga Ki Buyut harus melongok-longok mencari orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya.
390 Gajahmada Ra Kuti berdehem. Ki Buyut terkejut.
"Siapa kau Kisanak" Ada apa malam-malam begini kau mengetuk rumahku?"
Ra Kuti memandang wajah laki-aki yang berada di depannya dengan saksama. Wajah yang tua, wajah yang entah mengapa di pandangan matanya terlihat tidak menyenangkan. Menurut Ra Kuti, sebaiknya tak perlu ada wajah tua yang seperti itu, sebaiknya mati saja.
"Kaukah Ki Buyut Mojoagung?" bertanya Ra Kuti datar.
Ki Buyut termangu, "Rasanya kau belum menjawab pertanyaanku Kisanak."
Ra Kuti tersenyum. "Aku Maharaja Kuti. Raja Majapahit berkenan mengunjungi rumahmu."
Ki Buyut membuat dirinya sendiri tersentak kaget. Bahkan, Ki Buyut Mojoagung juga membuat dirinya sendiri kebingungan untuk beberapa waktu. Di mata Ra Kuti, Ki Buyut sulit menerima penjelasan itu.
"Raja Majapahit?" gumam Ki Buyut. "Bukankah Raja Majapahit saat ini Sri Baginda Jayanegara, putra laki-laki Tuanku Kertarajasa Jayawardhana?"
Ra Kuti berdesir mendengar jawaban yang terasa lugu itu. Ra Kuti cemas keterangan yang diperolehnya dari mata-mata yang ditempatkannya di antara pasukan Bhayangkara ternyata keliru lagi.
"Aku sudah menyebut siapa diriku," kata Ra Kuti. "Sekarang giliranmu memperkenalkan diri padaku. Benar kau Ki Buyut Mojoagung?"
Ki Buyut mengangguk, "Benar. Aku orang yang kaumaksud."
"Bagus," Ra Kuti menyahut. "Kalau begitu aku memang berkepentingan denganmu. Jauh-jauh dari kotaraja aku datang ke Kabuyutan ini guna meringkus Jayanegara yang bersembunyi di rumahmu."
Sekali lagi Ki Buyut mampu membuat dirinya sendiri terlonjak kaget.
Gajahmada 391 "Jayanegara, bersembunyi di rumahku?"
Setelah berbasa-basi sejenak, akhirnya Ra Kuti tidak mau bertele-tele lagi.
"Geledah rumah ini. Tangkap Jayanegara," perintahnya.
Para prajurit yang mengiringinya bergerak dengan trengginas dan cekatan. Ra Kuti yang merasa yakin rumah itu telah terkepung rapat tanpa menyisakan ruang sejengkal pun tidak merasa khawatir Gajahmada atau Jayanegara yang bersembunyi di rumah itu mempunyai kesempatan meloloskan diri. Bahkan, Ra Kuti membayangkan, Gajahmada atau Jayanegara yang pasti mendengar pembicaraan yang terjadi itu akan menggigil ketakutan setengah mati.
Para prajurit yang mengiringinya bergerak cepat. Mereka melakukan penggeledahan rumah itu dengan saksama. Ra Kuti yang semula telah membayangkan akan mendapatkan Kalagemet yang berhasil digelandang harus berdebar-debar ketika sejauh waktu telah berlalu apa yang diangankan itu belum juga menjadi kenyataan. Prajuritnya belum ada yang menyetorkan wajah Jayanegara.
"Bagaimana?" bertanya Ra Kuti.
"Tidak ada," jawab Ra Yuyu.
Jawaban itu tentu menjadi jawaban yang sangat mencemaskan. Ra Kuti yang mengalami kegagalan, cemas bakal dihadapkan pada kegagalan serupa.
"Periksa sekali lagi," perintah Ra Kuti tegas. "Temukan jejak apa pun yang bisa membuktikan Jayanegara pernah berada di sini."
Ra Yuyu serta para prajurit bawahannya segera menerjemahkan perintah itu dengan saksama. Semua ruang di dalam rumah Ki Buyut itu diperiksa dengan teliti. Tetapi, Jayanegara atau Gajahmada tidak pernah ditemukan di tempat itu. Dengan tatapan mata nyaris tanpa berkedip Ra Kuti memandang Ki Buyut Mojoagung. Ki Buyut yang tua itu terlihat kebingungan melihat ulah tamu-tamu yang tidak diundang itu.
Ra Kuti menyentuh pundaknya menyebabkan Ki Buyut tergagap.
392 Gajahmada "Di mana Jayanegara?" bisik Ra Kuti.
Ki Buyut bersikap seolah tidak mendengar bisikan itu. Tatapan matanya menyiratkan sikap orang yang bingung.
Ra Kuti mendekatkan mulut ke telinga Ki Buyut, "Di mana Jayanegara?"
Ki Buyut Mojoagung memandang Ra Kuti. Ki Buyut menggelengkan kepala amat pelan.
"Aku tidak tahu, mengapa kau mengira Tuanku Sri Jayanegara berada di rumahku. Ini Kabuyutan Mojoagung, bukan istana."
Ra Kuti jengkel. Orang yang tua itu didorongnya hingga terjengkang.
Dengan tertatih-tatih Ki Buyut mencoba bangkit, namun terjatuh lagi.
Ra Kuti menjulurkan tangan membantu Ki Buyut untuk bangkit.
"Katakan kepadaku, Ki Buyut," akhirnya Ra Kuti memperbesar nada suaranya. "Aku bisa bersikap kasar kepadamu jika kau tidak mengatakan di mana Jayanegara. Aku tidak peduli meski kau sudah tua.
Ra Kuti tidak peduli dianggap orang yang tak tahu cara menghormati orang tua. Kau tinggal menyebut di mana Sri Jayanegara atau kau mengambil pilihan yang lain, pilihan sangat buruk yang mungkin tidak pernah terbayangkan sebelumnya."
Ki Buyut yang tua itu gemetaran.
"Bagaimana Ki Buyut?"
Ki Buyut menghela napas panjang, berusaha membuang sesak di dadanya.
"Aku harus mengatakan apa?" berkata Ki Buyut. "Apa aku harus mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku ketahui?"
Pandangan Ra Kuti nyaris tidak berkedip.
"Kau sudah terlalu tua untuk bersandiwara Ki Buyut. Kau kurang prigel menyembunyikan kebohongan. Petugas telik sandi yang aku sebar mampu mengendus tempat ini. Bau Kalagemet begitu menyengat. Ki Buyut tidak perlu menyembunyikan."
Gajahmada 393 Pada saat yang demikian itu, Ra Yuyu yang rupanya telah menemukan sebuah jejak bergegas mendekati Ra Kuti.
"Bagaimana?" tanya Ra Kuti.
Ra Yuyu melirik Ki Buyut.
"Pakaian ini milik Bekel Gajahmada," kata Ra Yuyu sambil menyerahkan selembar pakaian.
Ra Kuti meneliti pakaian itu.
Yang diperolehnya memang tidak hanya selembar pakaian, namun juga sebuah lencana yang hanya dimiliki oleh pasukan Bhayangkara.
Lencana semacam itu hanya para Bhayangkara yang memiliki. Orang kebanyakan atau prajurit dari kesatuan lain, tidak diperkenankan memiliki lencana seperti itu.
Ra Kuti berjalan mengitari Ki Buyut yang kebingungan.
"Benda ini," berkata Ra Kuti, "membuktikan sebuah hal yang tidak mungkin kauingkari Ki Buyut bahwa Bekel Gajahmada dari kesatuan Bhayangkara dan Kalagemet bersembunyi di sini. Mumpung aku masih menyisakan sedikit kesabaran cepat katakan di mana Jayanegara?"
Ki Buyut membisu. Ra Kuti yang makin tidak sabar berjalan mengitarinya sambil menunggu sejenak untuk memberi kesempatan kepada Ki Buyut melenturkan lidahnya. Tetapi, yang diperoleh Ra Kuti adalah Ki Buyut yang tiba-tiba telah berubah menjadi patung batu.
"Cepat bicaralah Ki Buyut," desak Ra Kuti.
Kian rapat Ki Buyut mengunci mulut. Ra Kuti bertambah jengkel.
Yang dihadapinya ternyata orang yang tua dan bebal, tidak tahu diri, biang penyakit, bau tanah, dan berbagai jenis makian yang lain yang tumbuh dengan subur di sudut hati Ra Kuti.
Ki Buyut masih tetap mematung. Ra Kuti mengguncangnya.
"Cepat katakan, di mana Jayanegara," teriak Ra Kuti. "Katakan di mana Jayanegara, kakek tua."
394 Gajahmada Bergeming Ki Buyut Mojoagung, meski Ra Kuti membentaknya dengan kasar. Bulat sudah keputusannya. Walau ia akan mengalami siksaan yang pedih, tidak akan ada secuil pun kalimat yang keluar dari mulutnya.
Akhirnya, Ra Kuti mulai berbuat kasar. Ki Buyut didorongnya hingga kembali terjengkang. Ki Buyut meringkuk menyaksikan napas Ra Kuti yang tersengal. Dari Bekel Gajahmada Ki Buyut mendapat gambaran betapa kasar orang yang bernama Kuti itu. Ternyata apa yang disampaikan Gajahmada itu masih belum benar. Yang benar, Ra Kuti jauh lebih kasar.
Ki Buyut terpaksa membasuh wajahnya yang berlepotan ludah. Ra Kuti baru saja meludahinya.
"He kakek tua yang tak tahu diri," teriak pimpinan Winehsuka.
"Kau ini sudah tua. Baumu bau tanah. Setelah perjalanan hidupmu yang panjang, apakah kau akan mengakhiri hidupmu dengan cara yang hina"
Sia-sia kauhidup selama ini kalau akhirnya kaumati dengan cara mengerikan. Pertimbangkan kakek tua. Aku membutuhkan jawaban, di mana Jayanegara."
Ki Buyut menggelengkan kepala. Selebihnya, tak ada secuil pun kalimat yang keluar dari mulutnya. Ki Buyut berusaha berdiri.
"Gila," desis Ra Kuti. "Begitu besar rupanya kecintaan dan kesetiaan yang kaumiliki. Kalau begitu, mari kita lihat, apakah kau memang benar-benar mampu memegang teguh kesetiaan itu."
Ra Kuti mengakhiri kalimatnya dengan mendorong tubuh Ki Buyut.
Tubuh yang tua renta itu sekali lagi terjengkang. Namun demikian, Ki Buyut dengan sepenuh hati menerima keadaan itu. Tetap teguh keputusannya untuk tak membuka mulut.
"Bakar rumah ini," teriak Ra Kuti.
Seorang prajurit yang baru menyalakan obor datang. Obor yang berkobar siap disulutkan ke dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu, namun Ra Kuti memberi isyarat kepada prajurit itu untuk mendekat. Obor yang menyala itu dimintanya. Dengan mengesampingkan nuraninya Ra Kuti menggerak-gerakkan obor itu di depan wajah Ki Buyut.
Gajahmada 395 "Aku bisa membakar rumah ini," Ra Kuti menggeram. "Aku juga bisa membuat tubuhmu matang atau hangus sama sekali. Dan, aku akan membuktikan ancaman itu kalau kau tidak mau mengatakan di mana Jayanegara. Gunakan otakmu untuk berpikir kakek tua. Untuk apa kaulindungi Jayanegara yang tidak memberi apa-apa kepadamu."
Ki Buyut memandang obor yang menyala. Ra Kuti menggerak-gerakkannya di depan hidung kakek tua itu.
Ra Kuti nyaris tidak sabar lagi. Akan tetapi, tiba-tiba pimpinan Winehsuka itu tersentak. Ada gemuruh suara yang tiba-tiba mengusik gendang telinganya. Meski masih lamat-lamat, Ra Kuti bisa mengenali suara gemuruh itu adalah suara derap kuda dalam jumlah yang banyak sekali. Para prajurit yang mengiring Ra Kuti segera berlarian menuju halaman dan bergegas menempatkan diri seiring dengan suara gemuruh yang makin lama makin dekat. Ra Kuti tegang.
"Tentu Bhayangkara," desisnya. "Tetapi, kenapa banyak sekali.
Bhayangkara tidak akan sebanyak itu."
Semua siaga di tempat masing-masing. Kuda-kuda yang datang berderap terdengar kian gemuruh, bagaikan barisan lampor beradu cepat memburu mangsa. Makanan lampor adalah bayi yang entah oleh alasan apa, dibuang oleh ibu yang baru saja melahirkannya.
Para prajurit pengiring Ra Kuti sibuk menata degup jantung.
Kuda-kuda berderap itu makin dekat dan sesaat kemudian muncul dari tikungan. Serentak para pengiring Ra Kuti mencabut senjatanya, busur-busur terentang, anak panah siap dilepas. Namun, mereka terbelalak.
"Gila," umpat Ra Kuti.
Kuda-kuda itu terus berderap, bahkan melintasi mereka menyusur jalan panjang di depan Kabuyutan ke arah barat.
"Itu kuda milik kita," teriak seorang prajurit kaget.
Sebenarnyalah kuda-kuda yang berderap kencang itu tanpa penunggang. Para prajurit bawahan Ra Kuti bisa mengenali kuda-kuda 396
Gajahmada itu milik mereka yang semula ditinggalkan di tengah sawah. Gemetar Ra Kuti menyaksikan keadaan itu. Amarah yang datang dengan tiba-tiba begitu menggelegak nyaris merontokkan isi dada serta meretakkan dinding kepalanya. Ra Kuti sama sekali tidak menyangka, jauh dari kotaraja, di tempat yang nyaris terpencil di Kabuyutan Mojoagung, para Bhayangkara masih sempat mempermainkannya.
Ra Kuti yang menggenggam amarah segera berbalik. Tangan kanannya masih memegang obor. Dengan langkah bergegas Ra Kuti kembali kepada Ki Buyut.
Namun, sekali lagi Ra Kuti terhenyak.
"Keparat," umpatnya dalam desis. "Mana dia" Mana orang itu, mana kakek tua yang bau tanah itu?"
Kali ini bukan nyaris merontokkan isi dada, tetapi benar-benar merontokkan jantungnya. Ra Kuti tidak melihat Ki Buyut lagi. Kakek tua renta itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ra Kuti menyapu dengan pandangan matanya, tetapi yang dicarinya tetap tidak ada, raib entah ke mana.
"Kakek tua itu menghilang," teriak Ra Kuti. "Cepat cari dia, temukan dan seret kemari."
Nyeri tiba-tiba muncul tepat di tengah-tengah dadanya, seolah menjamah ulu hatinya. Itulah yang dirasakan Ra Kuti. Dengan mata berkunang-kunang dan segenap kekecewaan yang dirasakannya, Dharmaputra Winehsuka itu berjalan menuju dinding bangunan. Obor yang berkobar disulutkannya dan sejenak api mulai membakar dinding anyaman bambu dan sirap. Hanya dalam waktu sekejap api merambat ke mana-mana, apalagi di bagian yang lain, beberapa prajurit yang membawa obor mengikuti contoh yang telah diberikan Ra Kuti. Sejenak kemudian, api berkobar dengan ganas menyantap rumah Ki Buyut dengan amat rakus.
Dari tempatnya berada, Ki Buyut memandang api yang membakar rumahnya dengan hati yang retak. Namun, Ki Buyut amat tabah menghadapi keadaan itu. Rumah yang terbakar bukan apa-apa.
Keselamatan rajanya menjadi hal yang amat penting melebihi apa pun.
Gajahmada 397 Di belakang Ki Buyut ada dua orang lelaki muda berdiri dengan kukuh. Dua orang lelaki itulah yang telah menyelamatkan Ki Buyut di saat yang amat gawat. Dari tempatnya berada, bersama-sama mereka memandang ke arah kobaran api.
Kebakaran besar yang melanda rumah Ki Buyut menimbulkan ledakan-ledakan yang gemuruh. Belandar dan usuk yang terbuat dari bambu utuh meledak beruntun. Panas api menyebabkan udara dalam bambu memuai kemudian meledak ketika batang bambu itu pecah.
Suara ledakan dan kebakaran itu mengagetkan penduduk Kabuyutan. Tetapi, tak seorang pun yang berani keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Seharian mereka membicarakan kekisruhan yang telah terjadi di kotaraja, tidak seorang pun yang menduga kerusuhan itu bakal berakibat berantai sampai di Kabuyutan mereka. Gemuruh derap beberapa ekor kuda menyebabkan dada menjadi sesak dan sulit untuk bernapas, kini ditambah lagi dengan kebakaran rumah Ki Buyut.
Di Kabuyutan Mojoagung, kini seolah tersaji hidangan berupa keadaan yang tidak menentu, keadaan yang mencemaskan siapa pun.
"Suara apa itu, Kang," bisik seorang istri kepada suaminya dengan segenap rasa cemas.
"Rumah Ki Buyut dibakar prajurit," jawab suaminya.
Perempuan muda yang telah memberikan seorang anak kepada suaminya itu sangat cemas. Ki Buyut Mojoagung baginya merupakan sosok tidak ubahnya kakeknya sendiri. Ki Buyut yang sangat dihormati itu kini mengalami bencana. Membayangkan kemelut yang dihadapi Ki Buyut seperti membayangkan hal itu menimpa orang tuanya.
"Apa salah Ki Buyut?" bertanya istrinya sekali lagi.
"Karena Ki Buyut menyembunyikan Sri Baginda Jayanegara."
Perempuan berkulit agak legam itu kaget. Beberapa saat lamanya ia tak bisa bicara. Sebaliknya dengan suaminya, tiba-tiba merasa menyesal karena telah membocorkan hal itu, padahal Ki Buyut telah berpesan untuk tidak membocorkan kepada siapa pun, termasuk kepada istrinya sendiri.
398 Gajahmada "Jangan bicarakan apa yang kuceritakan itu kepada siapa pun. Ki Buyut meminta untuk merahasiakan. Kalau rahasia itu sampai bocor, akibatnya akan mengerikan. Sebuah bencana mengerikan akan menimpa Ki Buyut. Jaga mulutmu," berkata lelaki muda itu.
Yang mungkin tidak disadarinya adalah bahwa apa yang dimaksud dengan rahasia itu kini sudah bukan rahasia lagi.
Dalam siraman cahaya yang cukup berlimpah dari kebakaran itu, para prajurit kaki tangan Ra Kuti bertindak cekatan. Salah seorang di antaranya menemukan sebuah jejak yang sangat penting. Dengan langkah bergegas ia menghadap Ra Kuti.
Ra Kuti yang kecewa memandangnya dengan tatapan datar.
"Apa yang kaulaporkan?" bertanya Ra Kuti bagai orang yang kehilangan gairah.
"Hamba menemukan jejak-jejak, Baginda," jawab prajurit itu dengan tangkas.
Rupanya prajurit itu punya kemampuan menarik hati. Ra Kuti sejenak terpesona oleh sebutan Sri Baginda yang terdengar menyenangkan di gendang telinganya. Sikap prajurit itu membuat Ra Kuti berkenan. Sejenak hatinya yang gundah sedikit terhibur.
Dengan bergegas Ra Kuti mengikuti langkah prajurit itu. Jejak yang dimaksud berada di halaman belakang rumah. Dengan kecekatan khusus yang hanya dimiliki oleh pelacak jejak yang ulung, prajurit itu meneliti jejak langkah kaki yang ditemukannya.
"Apa yang kautemukan?" desak Ra Kuti.
Prajurit itu belum menjawab. Dengan obor ia melakukan pemeriksaan.
"Jejak dua orang lelaki dan seorang perempuan, Tuanku," prajurit itu menjawab setelah merasa yakin.
"Bagus," berkata Ra Kuti. "Jejak itu sudah lama atau baru?"
"Ini jejak yang masih baru. Belum lama," jawab prajurit itu dengan sigap.
Gajahmada 399 Ra Kuti mengalihkan pandang kepada Ra Yuyu.
"Ini jejak Sri Jayanegara dan Gajahmada," ucap Ra Kuti. "Jejak kaki perempuan itu mungkin anggota keluarga Ki Buyut. Bisa anaknya atau bisa pula istrinya. Jangan kehilangan waktu. Cepat kejar."
Ra Yuyu bertindak cekatan. Sebuah isyarat segera diberikan. Segenap prajurit bawahannya segera berdatangan. Dengan sekali perintah semua segera bergerak, mengikuti salah seorang prajurit yang mempunyai kemampuan khusus melacak jejak.
Api berkobar membakar rumah Ki Buyut dan dengan ganas melahap apa saja. Dari tempatnya, Kalagemet yang bergelar Sri Jayanegara memerhatikan kobaran api itu dengan hati berdegup.
Terlambat sedikit, mungkin Ra Kuti akan melempar tubuhnya ke api yang berkobar itu. Api berkobar itu pula yang membuat Nyai Buyut gelisah. Sedemikian cemas Nyai Buyut memikirkan suaminya hingga mendadak kakinya lumpuh tidak bisa diajak bergerak. Magersari yang bertugas melakukan pengawalan kebingungan menghadapi Nyai Buyut yang tiba-tiba tidak mau melanjutkan perjalanan itu.
"Nyai," berkata magersari yang bertugas mengawal, "kita harus segera pergi. Ra Kuti mungkin menemukan jejak kita dan menyusul.
Ayo Nyai, kita berjalan lagi."
Tetapi, Nyai Buyut Mojoagung seperti tidak mendengar bujukan itu. Pandangannya tetap tertuju pada kobaran api yang kian menggila.
Sedemikian berat beban yang disangga oleh Nyai Buyut itu sehingga ia terhuyung-huyung di saat mulai kehilangan kesadaran. Dengan cekatan Jayanegara menangkap tubuh yang akan ambruk itu. Nyai Buyut Mojoagung pingsan.
"Bagaimana ini," Jayanegara gugup.
"Nyai," Magersari yang mengawal perjalanan itu mengguncang tubuh Nyai Buyut.
Namun, Nyai Buyut tidak memberikan jawaban. Perempuan tua itu telah kehilangan kesadarannya. Dengan cekatan magersari itu 400
Gajahmada memondong tubuh Nyai Buyut dan beranjak. Sri Jayanegara yang tidak mau ditinggal begitu saja bergegas mengikutinya.
Hanya terpaut jarak tidak seberapa jauh di belakang, Ra Kuti bersama para pengiringnya dengan riuh mengikuti jejak kaki yang tertinggal pada tanah gembur dan tanah berlumpur. Dengan penuh semangat mereka berlarian menyusur jejak itu. Berbeda dengan Sri Jayanegara dan magersari Ki Buyut yang menjadi penunjuk jalan, perjalanan mereka agak tersendat karena dilakukan dengan memondong Nyai Buyut yang pingsan. Sebaliknya, Ra Kuti dan pasukannya yang melakukan pengejaran bisa lebih leluasa bergerak. Itulah sebabnya, jarak antara keduanya tidak makin jauh, tetapi malah makin dekat.
Hingga akhirnya, meski lamat-lamat Jayanegara mampu menangkap teriakan-teriakan dari arah belakangnya.
"Tangkap Kalagemet," berteriak Ra Kuti. Ayo, siapa pun yang bisa menangkap Jayanegara, aku tak akan segan-segan memberikan ganjaran.
Kalau perlu semua prajurit yang ikut aku saat ini, kunaikkan pangkatnya menjadi lurah prajurit semua."
Teriakan Ra Kuti itu disambut dengan sorak gemuruh. Dengan semangat sangat menggebu mereka berlarian berebut lebih dulu untuk menemukan jejak yang tertinggal. Adakalanya jejak itu hilang karena tanah yang keras atau batu padas, tetapi lanjutan jejak itu segera ditemukan kembali saat melewati tanah gembur dan rerumputan.
Magersari Ki Buyut Mojoagung yang mendapat tugas meloloskan Jayanegara itu menjadi pucat. Langkah kakinya tidak sebebas jika tidak memondong Nyai Buyut. Teriakan-teriakan itu makin dekat di belakangnya. Kalagemet yang tak kalah cemas ikut membantu menggotong. Namun, apa yang dilakukan Sri Jayanegara malah mengganggu gerak magersari itu.
Dengan napas nyaris putus dan jantung dipacu kencang Jayanegara yang dikawal magersari Ki Buyut pontang-panting melarikan diri. Akan tetapi, apa pun yang mereka lakukan tidak bisa merentangkan jarak yang makin dekat. Suara teriakan-teriakan Ra Kuti dan prajurit pengiringnya makin jelas terdengar di belakang.
Gajahmada 401 Bahkan, bayangan prajurit dalam jumlah yang banyak itu mulai terlihat. Mereka berlarian sambil berteriak-teriak keras mendorong Jayanegara dan magersari makin larut dalam kegugupannya.
"Itu mereka. Kejaaaar," tiba-tiba terdengar teriakan.
Jayanegara gugup. Magersari pengiringnya tidak kalah gugup.
"Ke ladang jagung," teriak Jayanegara.
Bayangan Jayanegara dan magersari pengawalnya telah dilihat oleh Ra Kuti, merangsang mereka untuk bergerak mengejar. Sambil berteriak-teriak mereka berlarian memburu, seperti yang dilakukan orang ketika berburu babi perusak tanaman, apabila tertangkap babi itu maka tidak ada ampun baginya.
"Cepat menyebar," teriak Ra Kuti meluap. "Kepung ladang jagung itu. Jangan sampai lolos."
Di ladang jagung, Jayanegara dan magersari pengiringnya kebingungan. Dengan sekuat tenaga mereka terus berlari dan berlari menyelamatkan diri. Akan tetapi, jumlah mereka yang mengejar amat banyak, teriakan-teriakan mereka makin dekat di belakang. Hingga tiba-tiba, entah bagaimana caranya, dua orang lelaki telah menghadang.
Gugup sekali Jayanegara. "Gagak Bongol, ambil alih perempuan itu. Alihkan perhatian.
Tuanku Jayanegara, silakan ikuti hamba."
Berdesir tajam permukaan hati Jayanegara. Nyaris Raja Majapahit itu tidak percaya, dua sosok orang yang baru saja muncul menghadang itu ternyata Bekel Gajahmada dan Gagak Bongol. Justru karenanya Jayanegara tidak mampu berbicara.
Gagak Bongol bertindak cekatan. Nyai Buyut yang mulai sadar diambil alih. Gagak Bongol segera berlari diikuti oleh magersari. Tanpa banyak bicara Bekel Gajahmada menggelandang Jayanegara dan membawanya berlari ke arah lain, menyibak ladang jagung dengan tanah berlumpur. Akan tetapi, para prajurit kaki tangan Ra Kuti telah menyebar ke mana-mana, mengepung ladang jagung itu sebelah-menyebelah, 402
Gajahmada bahkan prajurit yang lain berlari cepat melakukan pencegatan di arah yang lain.
"Bagaimana Gajahmada?" Jayanegara cemas.
Gajahmada memerhatikan keadaan dengan cermat. Menilik suara teriakan-teriakan yang dilakukan para prajurit kaki tangan Ra Kuti, Bekel Gajah-mada mampu menafsirkan keadaan. Gajahmada melihat tidak ada peluang atau ruang yang bisa dilewati untuk meloloskan diri.
Gajahmada melangkah, kakinya terbenam ke tanah berlumpur.
Beberapa saat lamanya Gajahmada terdiam, memusatkan pikiran untuk menemukan gagasan. Sejenak kemudian Gajahmada manggut-manggut. Sri Jayanegara menjadi heran ketika tiba-tiba melihat Gajahmada menggali lumpur, seperti bocah kecil bermain tanah.
Jayanegara makin heran saat mana Gajahmada melumuri tubuhnya dengan tanah berlumpur itu.
"Silakan Tuanku berbaring," berkata Gajahmada.
Jayanegara kaget. "Apa?" tanya Jayanegara.
"Silakan Tuanku berbaring," jawab Gajahmada tegas.
Meski masih belum paham apa sebenarnya yang akan dilakukan Bekel Gajahmada, Jayanegara mengikuti saja perintah itu. Sri Jayanegara segera membaringkan diri di tanah berlumpur yang baru digali.
Gajahmada kemudian menguruk tubuhnya dengan tanah berlumpur itu.
"Tuanku harus bertahan," berkata Gajahmada kemudian. "Bahkan seandainya mereka menginjak-injak, Tuanku harus bertahan, jangan bersuara dan jangan bergerak. Bahkan, jangan bersin."
Jayanegara mulai mengerti apa yang dikehendaki Bekel Gajahmada.
Bekel Gajahmada yang masih merasa belum puas terus melumurinya dengan lumpur hingga membentuk gundukan. Gajahmada melakukan hal serupa untuk dirinya sendiri. Pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu berguling-guling di tanah serta membungkus dirinya dengan lumpur pula.
Gajahmada 403 Hanya sejenak kemudian, segenap prajurit kaki tangan Ra Kuti telah berdatangan menyibak ladang jagung. Apa yang diucapkan pimpinan pasukan Bhayangkara itu benar dan menjadi kenyataan. Jayanegara harus menahan diri untuk tidak berteriak ketika mereka yang menerobos ladang jagung itu menginjak-injak tubuhnya. Beberapa saat lamanya ladang jagung itu diaduk. Ra Kuti benar-benar dibuat penasaran.
"Gila," Ra Kuti geram. "Apa yang terjadi?"
Ra Yuyu tidak kalah heran.
"Ladang jagung ini telah dikepung rapat," desis Ra Yuyu.
"Tetapi mana mereka?" potong Ra Kuti.
Dua orang prajurit berlarian melintas.
"Berhasil ditemukan?" tanya Ra Kuti.
"Belum, Tuanku!" jawab prajurit itu.
Ra Kuti benar-benar jengkel. Setelah kegagalan demi kegagalan yang dialaminya, haruskah kini kegagalan itu terulang kembali"
"Mereka masih di ladang jagung ini," berteriak Ra Kuti. "Ayo dicari sekali lagi. Laksanakan."
Perintah itu segera diterjemahkan dengan baik. Para prajurit berlarian melakukan pemeriksaan menyisir ladang jagung itu. Seorang prajurit bahkan menemukan sebuah gagasan. Ladang jagung itu dibabati hingga ke pangkal batangnya yang segera diikuti pula oleh para prajurit yang lain. Hanya sejengkal dari tempat di mana Ra Kuti berdiri Jayanegara menahan napas dan rasa gatal. Apa yang dikatakan Gajahmada nyaris menjadi kenyataan. Jayanegara berusaha sekuat tenaga untuk tidak bersin, meski rasa gatal itu menggoda lubang hidungnya. Sebaliknya, Gajahmada, pimpinan Bhayangkara itu justru diuntungkan dengan perbuatan para prajurit kaki tangan Ra Kuti yang membabati pohon jagung. Batang-batang jagung itu justru menguruk dan menyamarkan persembunyiannya dengan sempurna.
Ra Kuti gemetar menahan amarah.
404 Gajahmada "Bagaimana ini?" Ra Kuti meletupkan kejengkelannya. "Bagaimana cara mereka meloloskan diri. Bukankah mereka terlihat memasuki ladang jagung ini. Mengapa lenyap. Apa mereka menggunakan ilmu panglimunan?"
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Rakrian Kuti itu disimak dengan saksama para prajurit pendukungnya. Pada dasarnya tak seorang pun yang bisa mengerti atau membayangkan, dengan cara bagaimana buronan itu bisa hilang, padahal mereka sudah terkepung rapat.
Apa yang diucapkan Ra Kuti itu disimak pula oleh Bekel Gajahmada dan Jayanegara yang membenamkan diri di gundukan tanah berlumpur.
"Jika akhirnya persembunyian ini ketahuan," kata Gajahmada dalam hati, "apa boleh buat. Aku harus bertindak cepat. Sekali meloncat aku harus berhasil meringkus Ra Kuti dan menyandera bangsat itu."
Ra Kuti termenung beberapa saat lamanya. Pada saat yang demikian itu seorang prajurit berlari-lari mendekat. Obor nyaris padam dalam genggamannya.
"Apa yang kautemukan?" tanya Ra Kuti.
Prajurit itu berdiri tegak di depan Ra Kuti.
"Mereka tak ada di ladang ini lagi, Tuanku," ucapnya. "Hamba menemukan jejak-jejak meninggalkan ladang jagung ini."
"Gila," umpat Ra Kuti. "Secepat itu, ke arah mana mereka?"
"Ke sana Tuanku," jawab prajurit yang berkemampuan melacak jejak itu.
"Kejar," teriak Ra Kuti.
Bergegas para prajurit kaki tangan Ra Kuti itu bergerak menuju arah yang baru ditunjuk. Berebut dulu mereka berlarian. Akan tetapi, sesungguhnya Ra Kuti tetap sulit menerima kejanggalan itu. Baginya, sulit memahami bagaimana buronan yang terjebak di ladang jagung seperti itu masih bisa meloloskan diri.
"Bhayangkara," desisnya. "Ini pasti perbuatannya. Bisa jadi, ini semacam jebakan atau umpan seperti yang terjadi sebelumnya."
Gajahmada 405 Gajahmada menggunakan ketajaman pendengarannya untuk membaca keadaan di sekelilingnya. Gajahmada bangkit setelah yakin aman. Seperti hantu yang keluar dari kuburan Bekel Gajahmada berdiri dan memerhatikan keadaan di sekelilingnya.
"Sudah aman Tuanku," berkata Bekel Gajahmada.
Jayanegara menggeliat menyibak lumpur di sekujur tubuhnya, nyaris Jayanegara berteriak-teriak menyumpahi keadaan itu. Akan tetapi, dilihatnya Bekel Gajahmada melekatkan jari di mulut, sebuah isyarat agar Jayanegara tidak bersuara. Bisa jadi, Ra Kuti yang sudah pergi itu akan kembali lagi. Jayanegara terdiam, mau tak mau Jayanegara harus larut memerhatikan keadaan yang dialaminya. Jayanegara merasa, apa yang dialaminya kali ini benar-benar luar biasa. Seumur-umurnya baru kali inilah Jayanegara mengalami peristiwa seperti itu.
"Kita pergi, Tuanku," berkata Gajahmada.
Gajahmada melangkah mendahului. Jayanegara bergegas mengikuti di belakangnya. Meski keadaan paling gawat telah berhasil dilalui dengan baik, bekas-bekasnya masih mengguncang dadanya. Sri Jayanegara berusaha sekuat tenaga untuk menenteramkan diri. Jantungnya berlarian kencang.
Hingga akhirnya Gajahmada berhenti tepat di bayangan pohon kelapa. Pimpinan Bhayangkara itu berdiam diri beberapa saat. Sesaat kemudian, Gajahmada bersiul nyaring. Suara siulan itu berbalas. Suara melengking nyaring terdengar dari beberapa arah. Dari balik bayangan pepohonan para Bhayangkara berloncatan muncul mengepung Gajahmada dan Jayanegara. Sri Jayanegara senang melihat kemunculan mereka. Dalam pengawalan pasukan khusus Bhayangkara itu, Jayanegara boleh mengesampingkan rasa cemasnya.
Beberapa saat para Bhayangkara memerhatikan keadaan Gajahmada dan Jayanegara yang berlepotan lumpur. Segenap Bhayangkara saling pandang, mereka tidak mampu menyembunyikan rasa geli melihat keadaan Gajahmada dan Jayanegara yang seperti itu, terutama Jayanegara. Para Bhayangkara kesulitan membayangkan bagaimana 406
Gajahmada Gajahmada bisa meyakinkan rajanya agar mau bermain lumpur. Mula-mula Singa Parepen yang tertawa. Namun, sejenak kemudian disambung oleh Bhayangkara yang lain.
Jayanegara terpaksa ikut tertawa.
"Kami menghaturkan sembah, Tuanku," ucap Singa Parepen mewakili para Bhayangkara yang lain.
Jayanegara tidak menjawab. Raja Majapahit yang baru digusur dari kalenggahan-nya itu hanya mengangguk. Saat mengangguk itulah segumpal tanah runtuh dari kepalanya.
Kini semua perhatian tertuju kepada Gajahmada. Para Bhayangkara menunggu perintah yang akan diberikan oleh pimpinan mereka.
Gajahmada memerhatikan langit memandang bintang-bintang yang bertaburan di sana. Bukan bintang-bintang gemerlapan itu yang mengusik hatinya, tetapi keberadaan mata-mata Ra Kuti yang merepotkannya, membuat sekujur tubuhnya merasa risih. Gatal oleh tanah berlumpur itu belum seberapa dibanding perbuatan mata-mata Ra Kuti. Rasanya risih seperti berlepotan kotoran.
Setelah sekian lama Bekel Gajahmada diam tak mempersoalkannya, kini ia tidak mau lagi mendiamkan hal itu. Bila semula Gajahmada berharap akan berhasil menemukan telik sandi itu dengan memancing agar ia muncul di permukaan, kini kejengkelannya sudah tidak bisa ditahan lagi. Gajahmada harus segera menumpahkannya.
Gajahmada tidak mau bertele-tele.
"Di antara kita ada mata-mata Ra Kuti," ucap Gajahmada dengan nada datar dan sangar. "Apa yang terjadi saat ini adalah akibat ulah mata-mata yang tidak tahu diri itu. Sebagai Bhayangkara, siapa pun orangnya yang telah mau merendahkan diri menjadi kaki tangan Ra Kuti, yang bersangkutan telah merendahkan martabatnya, tidak punya harga diri. Manusia yang tidak punya harga diri tak layak disebut manusia karena martabat yang demikian itu sama tingginya dengan martabat binatang."
Gajahmada 407 Bagaikan ada hentakan palu, semua yang hadir itu terbungkam.
Tak seorang pun yang berbicara. Bahkan, Jayanegara larut dalam ketegangan yang tiba-tiba mengalir.
Jayanegara menebarkan pandangan matanya.
"Aku berharap," lanjut Bekel Gajahmada, "siapa pun orangnya yang telah melakukan tindakan tidak terpuji itu segera menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Ra Kuti itu seorang petualang yang merusak tatanan. Lihat perbuatannya terhadap mereka yang melakukan pepe. Lihat pula keculasannya dalam peperangan yang terjadi. Ra Kuti mengadu domba sana sini untuk mendapatkan apa yang diinginkan meskipun apa yang dilakukan itu benar-benar tidak bermartabat, culas, dan licik.
Ia ingin menjadi raja bukan karena ingin membimbing negara ini menuju sebuah negara yang besar, tetapi semua itu dilakukan di atas keserakahannya. Ia tidak peduli meski untuk semua yang diinginkannya itu, ia harus berdiri di atas penderitaan siapa pun. Jadi, untuk apa mau menjadi keset gedibal Ra Kuti yang doyan menjarah, merampok, dan memerkosa. Pertimbangan macam apa yang mendorong telik sandi itu untuk mau menjadi kaki tangannya?"
Suasana menjadi hening. Semua menyaksikan betapa sangat marah Bekel Gajahmada saat itu. Kemarahan itu tidak bisa ditahan.
Para Bhayangkara saling pandang.
"Keparat," umpat telik sandi yang ternyata berada di antara mereka.
"Untuk apa kau-sesorah macam itu Gajahmada" Kau mengira aku akan tersentuh?"
"Sekali lagi aku ulangi," kembali berbicara Gajahmada, "siapa pun kalian yang telah menjadi pengkhianat itu sadarilah bahwa apa yang kaulakukan itu keliru. Aku beri kesempatan kepadamu untuk mengakui kesalahan. Kaubisa berbicara denganku empat mata atau kepada Lembang Laut yang akan mewakiliku. Aku menjamin akan menyudahi persoalan itu hingga di sini dan tidak akan memperpanjang lagi. Namun sebaliknya, jika siapa pun telik sandi itu tetap tak mau mengaku sampai batas waktu yang aku tentukan maka aku jamin nasibnya nanti akan sama dengan Panji Saprang, mati dengan cara yang sangat hina."
408 Gajahmada Telik sandi berwajah Bhayangkara itu hanya tersenyum sinis, menertawakan ancaman Bekel Gajahmada.
"Sekarang," lanjut Gajahmada, "masih ada pekerjaan yang jauh lebih mendesak. Susul Ra Kuti itu, bikin mereka kocar-kacir. Untuk pekerjaan ini, aku percayakan kepada Lembang Laut untuk memimpin.
Perintah lebih khusus, hanya kuberikan kepada Lembang Laut empat mata. Berangkatlah."
Perintah tak perlu diulangi. Para Bhayangkara bergerak cepat. Hanya Lembang Laut yang masih tertinggal untuk menerima perintah khusus yang diberikan Bekel Gajahmada.
"Apa yang harus aku lakukan, Kakang?" bertanya Lembang Laut dengan nada rendah.
Gajahmada memandang Lembang Laut tak berkedip.
"Aku tidak percaya Gagak Bongol itu mata-mata," ucap Gajahmada, "tetapi itu tak berarti Gagak Bongol tidak melakukan kecerobohan yang menyebabkan pemberontak mampu mengendus tempat persembunyian yang kupilih di Kabuyutan Mojoagung. Aku perintahkan kepadamu secara khusus untuk menemukan telik sandi itu, setidak-tidaknya dengan mempersempit lagi orang-orang yang kaucurigai.
Kau paham?" Lembang Laut mengangguk.
Gajahmada Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Selanjutnya, kaubimbing teman-temanmu untuk menempuh perjalanan ke Angawiyat. Mulai dari sekarang hingga sampai di Angawiyat, jangan sekalipun kau menyebut nama tempat itu kecuali hanya di dalam hatimu. Bimbing teman-temanmu ke sana tanpa harus mengucapkan ke mana kau harus pergi. Aku dan Sri Baginda akan menunggu di sana. Namun, jika sampai sejauh itu kau masih belum menemukan mata-mata itu maka aku mengawal Sri Baginda menempuh perjalanan sendiri, ke suatu tempat yang aku tidak perlu menyebutkan kepadamu di mana. Di Angawiyat aku akan memberi petunjuk arah kepadamu."
Lembang laut mengangguk. Gajahmada 409 "Pergilah," perintah Gajahmada.
Lembang Laut memberikan penghormatan kepada Jayanegara.
Sri Jayanegara atau yang di kala muda bernama Kalagemet itu tidak berkata apa pun. Jayanegara hanya mengangguk.
Langit begitu bersih. Bintang-bintang gemerlapan. Gajahmada dan Jayanegara tak bosan memandanginya. Dalam kesempatan khusus Gajahmada pernah penasaran, seperti apakah wujud bintang yang bercahaya kerlap-kerlip itu seandainya ada kemampuan untuk mendekatinya, dan kalau perlu menghitung berapa jumlahnya.
"Di manakah itu Angawiyat?" bertanya Jayanegara.
Gajahmada masih tetap menengadah.
"Di langit Tuanku," jawab Gajahmada dengan nada datar.
"Di langit?" Jayanegara heran. "Kauminta Lembang Laut menyusul kita di langit" Itu kalimat sandi?"
Gajahmada tersenyum. "Angawiyat memang berarti langit Tuanku," Bekel Gajahmada menjawab. "Tetapi memang ada sebuah tempat yang disebut Angawiyat.
Tempat itu cukup jauh dari sini. Kita membutuhkan waktu beberapa hari untuk bisa ke tempat itu. Angawiyat terletak tak seberapa jauh dari kaki Lawu ke arah timur laut. Atau beberapa waktu perjalanan dari Crubang."
Jayanegara berpikir keras.
"Di mana pun tempat yang kaumaksud itu," balas Jayanegara, "kalau tempat itu memang sangat jauh, kita akan menempuh perjalanan itu dengan cara seperti sebelumnya" Kita berjalan kaki?"
Gajahmada tidak menjawab, tetapi dipandangnya Jayanegara.
"Aku menuntut hakku, Gajahmada," ucap Jayanegara. "Aku seorang raja. Aku berhak mendapatkan perlakuan yang baik. Tidak seperti yang aku alami kali ini. Lihat diriku Gajahmada. Kaubenamkan aku di dalam tanah berlumpur sehingga wujudku sekarang seperti hantu.
Bahkan, hantu yang sebenarnya mungkin lari terbirit-birit melihatku."
410 Gajahmada Gajahmada tersenyum. Jayanegara tidak bisa menahan, senyumnya ikut terpancing. Jayanegara merasa pengalamannya meloloskan diri dari kepungan itu memang luar biasa. Pengalaman itu tak akan dilupakan sampai kapan pun.
"Tuanku," jawab Gajahmada, "hamba jujur harus mengatakan bahwa pendadaran yang dialami para prajurit Bhayangkara tidak ada artinya kalau dibanding dengan apa yang Tuanku lakukan saat ini. Hamba harus mengatakan, Tuanku telah lulus menjadi bagian dari pasukan Bhayangkara dengan baik."
Butuh waktu beberapa jenak bagi Sri Jayanegara untuk merenungkan ucapan Bekel Gajahmada itu. Jayanegara curiga, ucapan Gajahmada itu sekadar untuk membesarkan hatinya.
"Kau berusaha membuat bengkak hatiku, supaya kepalaku menggelembung?" tanya Jayanegara.
Gajahmada menggeleng. "Tidak Tuanku," jawab Gajahmada tangkas. "Yang dialami para Bhayangkara selama pendadaran adalah dalam bentuk rekayasa.
Sebaliknya, yang Tuanku alami benar-benar nyata. Tuanku mampu meloloskan diri dari kepungan pasukan Rakrian Kuti. Tuanku mampu menahan diri dengan baik meski mereka menginjak-injak tubuh Tuanku."
Jayanegara tersenyum. Seperti diingatkan, Jayanegara memang merasa pada bagian punggungnya terasa sakit. Dua orang prajurit kaki tangan Ra Kuti yang berlarian telah menginjak-injak tubuhnya.
"Jadi?" tanya Sri Jayanegara. "Menurutmu aku pantas menjadi bagian dari pasukan Bhayangkara?"
"Hamba Tuanku. Hamba mengatakan yang sebenarnya," jawab Bekel Gajahmada.
Jayanegara manggut-manggut, tetapi masih mencuatkan alis.
"Baiklah," kata Jayanegara tangkas, "aku senang mendapat pengakuan itu."
Hong Lui Bun 18 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Iblis Sungai Telaga 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama