Ceritasilat Novel Online

Hamukti Palapa 13

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 13


Dan, tak sebagaimana pasewakan yang digelar ketika Majapahit
kedatangan tamu para utusan negara bawahan. Kali ini Mahapatih Arya
664 Gajah Mada Tadah terlihat duduk di kursi kepatihan yang disediakan untuknya. Arya
Tadah yang duduk sambil batuk-batuk itu benar-benar menjadi pusat
perhatian. Gajah Mada duduk bersila dengan menempatkan diri di tengahtengah lantai yang dilambari permadani. Gajah Mada diapit oleh
Senopati Gagak Bongol di sebelah kanannya dan Senopati Haryo
Teleng dan Panji Suryo Manduro di sebelah kiri. Beberapa Bhayangkara
wredha yang telah bekerja keras memadamkan api pemberontakan
yang dilakukan Ma Panji Keta dan Adipati Sadeng duduk berjajar di
belakangnya. Di tempat agak terpisah, Ra Kembar duduk berdampingan
dengan Banyak. Wajah Kembar merah padam karena sedang menjadi
perhatian pula. Setidaknya keberaniannya melawan perintah pimpinan
dan mendahului berperang sedang menjadi buah bibir banyak orang.
Lembu Peteng yang bersahabat akrab dengan Ra Kembar, Banyak,
dan Warak duduk tidak jauh dari mereka sambil bersandar tiang saka
penyangga Manguntur. Yang tengah menjadi perhatian pula adalah Aditiawarman yang
membuat kejutan luar biasa. Aditiawarman yang telah pamit pulang
ke Dharmasraya ternyata masih berada di Majapahit dan bahkan telah
memberikan sumbangan pengabdian yang luar biasa lewat apa yang
dilakukan di Sadeng. Perang melumpuhkan Sadeng adalah perang
pemuda dari Dharmasraya itu, bukan perang milik Kembar, bahkan
juga bukan perang milik Gajah Mada.
Di mata Gajah Mada, Ra Kembar hanya pecundang. Andaikata
Kembar bukanlah anak Raja Pamelekehan, tentu telah digilasnya pemuda
sombong itu. Sebenarnya bagaimanakah cara pandang Gajah Mada
terhadap Ra Kembar, pemuda yang di mana-mana selalu menjelekjelekkan dirinya" Jika bukan karena orang tuanya, tentulah sudah
berantakan wajah pemuda itu babak belur oleh ayunan tangannya.
Masalahnya, Raja Pamelekehan secara pribadi pernah menemuinya.
"Aku titipkan anakku, Anak Mas Gajah Mada, tolong kaubimbing
ia agar menjadi prajurit yang baik!"
Hamukti Palapa 665 Hampir kepada semua pihak, Raja Pamelekehan menitipkan anak
kesayangannya. Kepada Prabu Putri Sri Gitarja, Raja Pemelekehan
meminta supaya Kembar mendapatkan bimbingan dan dilindungi.
Demikian pula kepada Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa,
Raja Pamelekehan menitipkan anaknya. Kepada suami Sri Gitarja
dan suami Dyah Wiyat, Raja Pamelekehan juga menitipkan anaknya,
termasuk kepada Mahapatih Arya Tadah dan bahkan Ibu Suri Gayatri.
Gajah Mada curiga, jangan-jangan kepada pengemis yang sering
berkeliaran di depan rumahnya, Raja Pamelekehan juga menitipkan
keselamatan anaknya. Pendek kata, di Majapahit, Ra Kembar mendapat perlindungan dari
banyak orang karena orang tuanya adalah raja bawahan yang dianggap
paling berjasa pada Majapahit yang diukur dari jumlah upeti yang
dikirim dan bagaimana cara menjilat sampai berlepotan. Karena keadaan
macam itulah, Kembar diampuni kesalahannya ketika dengan lancang ia
memimpin penyerbuan ke Karang Watu ketika Majapahit diganggu oleh
rencana pemberontakan yang melibatkan istri mendiang Ra Tanca.
Kesalahan itu kini diulangi lagi. Agar dirinya disebut pahlawan,
Ra Kembar telah melanggar perintah pimpinannya dengan mengirim
pasukan. Pembelotan yang ia lakukan harus ditebus dengan harga yang
amat mahal. Jika tak segera muncul pangeran pati dari bumi Dharmasraya
dengan segenap prajuritnya, tentu tergilas habis Ra Kembar oleh pasukan
gajah yang dimiliki negara bawahan bernama Sadeng itu.
Dalam pasewakan kali ini, Gajah Mada akan meminta kepada kedua
Prabu Putri supaya Kembar dan komplotannya dijatuhi hukuman. Tidak
peduli ia anak emas Raja Pamelekahan atau anak siapa pun.
Gajah Mada menoleh dan melanjutkan memerhatikan siapa saja
yang hadir di pasewakan itu. Gajah Mada merasa suasana pasewakan kali
ini sungguh berbeda, tak ada bisik-bisik, tidak ada percakapan dengan
orang yang duduk di sebelah, semua tegang, semua mengarahkan
pandangan matanya ke Arya Tadah, bahkan ke dampar yang didudukinya.
Meski tidak sebagus dampar yang diduduki raja, dampar kepatihan tetap
menarik perhatian. 666 Gajah Mada Yang berwajah amat tegang adalah Mahamenteri Hino Dyah
Janardana. Jabatan mahapatih yang akan ditinggalkan Arya Tadah
menyebabkan ia tidak bisa tidur berhari-hari. Untuk jabatan yang sangat
di ncarnya itu, Dyah Janardana telah menemui Sri Kertawardhana dalam
rangka mendekati Prabu Putri Sri Gitarja dan juga mendekati Wijaya
Rajasa Sang Apanji Wahninghyun dalam rangka mendekati Prabu Putri
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, dengan harapan dirinyalah yang akan
terpilih menjadi mahapatih.
Duduk diapit oleh Mahamenteri Hino dan Halu, Mahamenteri
Sirikan Dyah Mano mampu bersikap amat santai. Hal itu karena ia tak
menyimpan nafsu mewarisi jabatan yang akan ditinggalkan Arya Tadah.
Dyah Mano merasa yakin, Gajah Madalah nantinya yang akan dipilih
oleh kedua Prabu Putri. Selanjutnya, wajah Mahamenteri Halu atau mahamenteri termuda
dari Kementerian Katrini, Dyah Lohak, berkeringat sekali. Dengan
peluh bagai diperas dari tubuhnya, Dyah Lohak merasa yakin, amat
yakin malah, bahwa dirinyalah nantinya yang akan terpilih menjadi
mahapatih yang baru karena telah menerima dukungan dari mana pun.
Ada banyak pihak yang memberi dukungan agar dirinya yang diangkat
menjadi mahapatih. Dukungan-dukungan itu bahkan telah disampaikan
kepada para Prabu Putri. Suasana hari itu terasa panas dan berdebu. Angin yang berembus
kencang menjadi penyebab lantai yang telah dibersihkan tampak kotor
kembali. Kemarau kali ini sungguh kemarau yang keterlaluan. Mendung,
apalagi hujan yang dirindukan belum tampak batang hidungnya.
Alun-alun di depan Manguntur maupun yang berada di luar gerbang
Purawaktra kering kerontang, menyebabkan beberapa ekor menjangan
yang menjadi klangenan terlihat merana. Akan tetapi, para menjangan
itu termasuk beruntung karena mendapat jatah rumput dari pekatik yang
tak hanya mengurus kuda. Namun, yang merasakan terik demikian menggigit adalah dua ekor
harimau yang hanya bisa mondar-mandir dalam kandang kerangkeng
besi. Harimau itu amat bergairah melihat menjangan-menjangan itu.
Hamukti Palapa 667 Meski binatang itu telah mencari-cari, tak ditemukan celah yang cukup
untuk menerobos keluar dan mencengkeram salah satu menjangan
itu. Pasewakan yang belum dibuka karena harus menunggu kehadiran
kedua Prabu Putri itu terasa hening. Tak ada seorang pun yang
berbicara. Akhirnya, telah tiba waktunya kedua Prabu Putri akan memasuki
pasewakan. "Para Prabu Putri dengan suami masing-masing akan memasuki
pasewakan. Kepada yang hadir, diminta memberikan penghormatan,"
ucap seorang tandha yang bertugas untuk itu dengan suara amat
lantang. Gajah Mada yang duduk di tengah-tengah segera mengambil sikap
yang sekaligus menjadi contoh bagi siapa pun untuk melakukan hal
yang sama. Didampingi para suami masing-masing, Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri Dyah Wiyat
Rajadewi Maharajasa memasuki bangunan rumah-rumahan kecil yang
disebut Bale Witana yang terlindung oleh kain tipis. Di belakang Bale
Witana, segenap perempuan emban dan abdi dalem yang lain duduk
berjajar dan siap melayani jika ada perintah yang diberikan dengan
mendadak. Memperoleh kesempatan pertama untuk berbicara, Gajah Mada
diminta melaporkan perjalanan peperangan yang terjadi di Keta dan
Sadeng. Dengan ringkas, tetapi jelas dan tak ada sebagian pun hal yang
tertinggal, Gajah Mada memberikan laporannya.
Merah padam wajah Ra Kembar ketika Gajah Mada menyinggung
sepak terjangnya yang tidak terpuji. Namun, Ra Kembar tidak mungkin
membantah apa yang disampaikan Gajah Mada karena memang
demikianlah yang ia lakukan.
"Demikianlah, Prabu Putri yang hamba cintai," kata Gajah Mada
di ujung uraiannya. "Penyerbuan ke Keta tidak sampai menimbulkan
668 Gajah Mada satu korban pun dari pihak Majapahit karena ketangkasan pasukan sandi
Bhayangkara yang berhasil menculik Ma Panji Keta.
Dalam penculikan itu, mohon Prabu Putri berkenan melihat jasa luar
biasa yang diberikan oleh mantan Bhayangkara Pradhabasu. Dipimpin
dan diarahkan sahabat hamba itu, akhirnya Ma Panji Keta berhasil
ditangkap dan prajurit pendukungnya dibubarkan.
Sementara itu, penyerangan terhadap pemberontak di Sadeng,
orang yang paling berjasa adalah sahabat hamba, Aditiawarman. Dengan
keberanian yang luar biasa dan melalui cara berperang yang aneh,
pasukan Sadeng yang lebih besar berhasil dikalahkan.
Untuk Pradhabasu, mohon Prabu Putri berkenan memberi hadiah
melalui memanggilnya kembali untuk membina pasukan Bhayangkara.
Demikian pula, mohon para Prabu Putri berkenan memberi penghargaan
kepada sahabat hamba dari tanah seberang dan semua pihak sesuai
dengan andil yang mereka berikan. Akan tetapi, hamba juga memohon
agar kedua Prabu Putri menghukum mereka yang bersalah dengan
hukuman yang setimpal. Kesalahan itu tak hanya dilakukan oleh Ma
Panji Keta dan Adipati Sadeng, tetapi juga kesalahan yang dilakukan
oleh prajurit yang telah melawan perintah atasan dan terbukti menjadi
penyebab terbunuhnya banyak prajurit."
Senyap kembali menyergap pasewakan itu. Semua menunggu apa
yang akan disampaikan kedua Prabu Putri. Apa yang diucapkan Gajah
Mada itu jelas diarahkan kepada Ra Kembar. Ra Kembar sempat
mendongakkan kepala, tetapi segera menunduk kembali.
Setelah Gajah Mada menyampaikan semua laporannya, Prabu Putri
Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Prabu Putri
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa melakukan hal yang tak biasanya
dilakukan raja. Keduanya tiba-tiba bangkit dan keluar dari Bale Witana.
Kedua Prabu Putri memilih berdiri dalam pasewakan yang digelar kali ini
agar ucapannya bisa terdengar jelas dari ujung ke ujung.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memandang Gajah Mada dengan
sangat tajam. Lalu, ia alihkan pandangan matanya ke raut muka
Hamukti Palapa 669 saudaranya yang datang dari Dharmasraya yang telah berjasa besar ikut
membantu memadamkan pemberontakan Sadeng. Kembar tidak berani
menengadahkan wajah ketika Dyah Wiyat menjatuhkan pandangan mata
ke raut mukanya. Akan tetapi, Sri Gitarja yang kemudian berbicara.
"Semua orang berjasa pada negara," Prabu Putri Sri Gitarja berkata.
"Atas nama negara, aku ucapkan terima kasih kepada Kakang Gajah
Mada yang telah mengendalikan penggelaran perang sedemikian rupa
sehingga akhirnya Sadeng dan Keta telah kembali ke pangkuan bumi
pertiwi. Untuk jasa-jasa yang luar biasa itulah, aku dan adikku telah
menyiapkan anugerah gelar, termasuk Ra Kembar, karena apa pun yang
dilakukan Kembar dengan segala akibatnya, ia lakukan itu dalam rangka
membela Majapahit. Kesembronoan Kembar memang harus diganjar
dengan hukuman. Untuk itu, ia akan mendapatkan pembinaan yang lebih
keras. Akan tetapi, Majapahit juga melihat apa yang dilakukan Kembar
karena cintanya pada negeri ini. Untuk keberanian dan kesetiaan itu,
layak jika Kembar mendapat anugerah sebagai bekel araraman, sementara
pada Gajah Mada menjadi angabehi.
Gajah Mada benar-benar terkejut mendapat jawaban yang tidak
terduga itu. Gajah Mada akan membantah, tetapi dilihatnya Arya Tadah
mengangkat tangannya. Arya Tadah meminta Gajah Mada untuk tidak
menolak semua keputusan yang diambil oleh kedua Prabu Putri.
Dengan perut mendadak terasa penuh, Gajah Mada terpaksa
membungkam mulut. Kini, terasalah bagi Gajah Mada bahwa Ra Kembar
memang mempunyai ruang gerak dan dukungan yang amat kuat. Ruang
gerak Raja Pamelekehan yang dianggap berjasa sekali pada Majapahit
dalam mengamankan anak kesayangannya benar-benar demikian luas.
Gajah Mada sadar, Cakradara dan Kudamerta pasti ikut campur
dalam pengambilan keputusan itu.
"Sial!" desis Gajah Mada.
Gajah Mada yang menunduk tak lagi menyimak apa yang
disampaikan kedua Prabu Putri yang membagi-bagikan hadiah gelar
670 Gajah Mada kepada semua orang yang dianggap berjasa. Gajah Mada menutup
mata hati dan telinganya ketika sidang pasewakan menyambut apa yang
diucapkan Sri Gitarja dengan tepuk tangan gemuruh.
Wajah Senopati Haryo Teleng berseri-seri atas anugerah gelar yang
diterimanya. Demikian pula dengan Senopati Panji Suryo Manduro,
menebar senyum berseri-seri setelah memperoleh anugerah jabatan
sebagai pasangguhan, tidak kurang Senopati Gagak Bongol dan beberapa
perwira Bhayangkara lainnya.
Gajah Mada yang membuka mata merasa pandangannya berkunangkunang. Meski dalam hati Gajah Mada tidak bisa menerima keputusan
yang diambil Prabu Putri terkait dengan Kembar yang memperoleh
anugerah kenaikan pangkat sebagai bekel araraman, dengan sekuat tenaga
Gajah Mada berusaha menguasai diri. Melalui tatapan mata dan isyarat
tangannya, Arya Tadah berusaha menenangkan Gajah Mada yang bergolak
menahan amarah. Perhatian Gajah Mada barulah kembali terpusat ketika
pembicaraan telah bergeser, kali ini soal dampar kepatihan.
"Selanjutnya, soal dampar kepatihan. Paman Tadah, silakan bicara,"
kata Prabu Putri Sri Gitarja menyilakan.
Arya Tadah rupanya benar-benar sakit. Arya Tadah bermaksud berdiri,
tetapi rasa nyeri di ulu hati memaksa Arya Tadah duduk kembali.
"Tidak apa-apa, Paman. Silakan Paman bicara sambil duduk," kata
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Arya Tadah mendahului ucapannya dengan batuk.
"Hamba, Tuan Putri Prabu," ucap Mapatih Arya Tadah. "Tak
hanya karena usia dan kesehatan hamba, tetapi ke depan, Majapahit
membutuhkan tangan yang lebih kekar dan orang yang mampu bekerja
lebih keras untuk kesejahteraan dan kejayaan Majapahit. Oleh karena
itu, hamba mohon diperkenankan untuk lengser dari jabatan hamba
sebagai patih amangkubumi. Selanjutnya, silakan Prabu Putri memilih,
siapa orang yang pantas menjadi pengganti hamba."
Arya Tadah mengakhiri ucapannya dengan menyembah. Bale
Manguntur menjadi amat hening ketika Arya Tadah tiba-tiba berusaha
Hamukti Palapa 671 bangkit dan kemudian mengambil jarak dari kursinya. Arya Tadah
mendekati Gagak Bongol dan menempatkan diri duduk di sebelahnya.
Gagak Bongol sontak meluap. Gagak Bongol segera meraih tangan Arya
Tadah yang tua dan menggenggamnya amat erat.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apa yang dilakukan Arya Tadah mempunyai arti yang luar biasa.
Dengan demikian, berarti kursi kepatihan benar-benar kosong. Bagai
berhenti denyut jantung Dyah Wiyat melihat Arya Tadah tersenyum,
tetapi dengan mata berkaca-kaca. Bagi Dyah Wiyat, Arya Tadah tak
hanya seorang mahapatih. Kedekatannya di masa lalu menjadikan Arya
Tadah tak ubahnya orang tuanya sendiri, apalagi ketika sedari bocah,
Arya Tadah ikut menjadi pemomongnya.
"Adakah yang ingin bicara atau mengajukan usulan sebelum kami
menentukan siapa yang akan ditunjuk menjadi mahapatih amangkubumi
yang baru?" bertanya Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani. Jantung Dyah Janardana berlarian, demikian juga dengan Dyah
Lohak. Kedua orang yang bersaing ketat itu bersama-sama mengarahkan
pandang matanya ke kursi yang kini telah kosong.
Tiba-tiba seseorang mengangkat tangannya. Prabu Putri Sri Gitarja
dan adiknya mengarahkan pandangan matanya.
"Lembu Peteng, apa yang akan kausampaikan?"
"Hamba, Prabu Putri," jawab Lembu Peteng. "Hamba mohon izin
untuk mengajukan Mahamenteri Halu Dyah Lohak sebagai mahapatih
yang baru. Dyah Lohak amat pantas menduduki jabatan yang sekarang
ditinggalkan oleh Paman Tadah."
Ingar-bingar oleh saling bisik Bale Manguntur mendengar usulan
yang berasal dari Lembu Peteng. Gajah Mada menunduk. Jika harus
memberikan penilaian, Gajah Mada lebih memilih Dyah Janardana
sebagai mahapatih yang baru daripada Dyah Lohak.
Akan tetapi, ingar-bingar suara bisikan itu kembali lenyap
ketika dari arah yang lain, seseorang mengacungkan tangan meminta
perhatian. 672 Gajah Mada "Apa yang akan Paman usulkan, Paman Dang Acarya Smaranata?"
tanya Prabu Putri Sri Gitarja.
Semua menyimak dan berdebar-debar. Kali ini yang akan memberi
usulan adalah Dang Acarya Smaranata yang mempunyai pengaruh amat
besar. "Hamba mengusulkan, dengan segala kearifan dan demi kepentingan
Majapahit di masa yang akan datang, hamba mohon Sang Prabu Putri
memilih Mahamenteri Hino Dyah Janardana sebagai mahapatih yang
baru." Jika usulan yang diajukan Lembu Peteng atas nama Dyah Lohak
disambut dengan ingar-bingar saling bisik antara yang setuju dan yang
menolak, usulan yang diajukan Dang Acarya Smaranata membungkam
semua mulut untuk tak berbicara. Dyah Janardana sendiri terkejut. Ia
amat kaget mendapat dukungan dari arah yang tidak terduga. Namun,
semua pihak kemudian melihat adanya alasan khusus, mengapa Dang
Acarya Smaranata mengusulkan Dyah Janardana. Tentulah Dang Acarya
Smaranata berharap penyebaran agama Syiwa akan makin meluas di
bawah pembinaannya melalui bekerja sama dengan mahapatih yang
beragama Syiwa pula. Lembu Peteng yang telah membangun kesepakatan dan menggalang
dukungan merasa harus mengambil sikap. Kembali Lembu Peteng
mengangkat tangannya meminta perhatian Prabu Putri. Bahkan, belum
lagi para Prabu Putri berbicara, Lembu Peteng telah mendahului.
"Mohon ampun, Tuan Putri," kata Lembu Peteng. "Izinkanlah
hamba mewakili kalangan muda menyampaikan keinginan agar Prabu
Putri tidak salah dalam memilih. Mohon Dyah Lohak yang ditunjuk
menggantikan Mahapatih Arya Tadah karena kami merasa yakin di
bawah kendali Mahapatih Dyah Lohak, Majapahit akan makin cemerlang
dan maju." Para Prabu Putri memandang tajam Lembu Peteng. Yang dipandang
sedang begitu semangat dalam bicara. Lembu Peteng bahkan mengepalkan
tangan mencoba membakar semangat membangun dukungan.
Hamukti Palapa 673 "Bukankah begitu, teman-teman" Setuju kepatihan didudukui Dyah
Lohak?" tanya Lembu Peteng dengan teriakan.
"Setujuuuu!" terdengar jawaban serentak dari kalangan prajurit yang
hadir di Bale Manguntur itu.
Di antara yang begitu bersemangat mengepalkan tangan adalah
Jabung Tarewes, Ra Kembar, dan Warak. Akan tetapi, Lembu Peteng
ternyata tidak berhenti sampai di situ. Lembu Peteng harus menuntaskan
dukungannya. "Bagaimana dengan Mahamenteri Halu Dyah Lohak, apakah
Mahamenteri Halu bersedia diangkat menjadi mahapatih di Majapahit?"
Pertanyaan yang dilontarkan Lembu Peteng itu dirasa amat
kebablasan. Akan tetapi, semua orang menunggu apa jawaban Dyah
Lohak. Dyah Lohak tidak merasa serba salah disudutkan pertanyaan
Lembu Peteng itu. Dyah Lohak bahkan berjongkok sambil tidak lupa
memberikan sembahnya kepada kedua Prabu Putri.
"Hamba bersedia, Prabu Putri," ucapnya lantang.
Jawaban itu disambut dengan sorak-sorai oleh para pendukungnya.
Merah padam Mahamenteri Hino Dyah Janardana yang merasakan
tikaman gunting dalam lipatan. Tidak diduganya, Dyah Lohak ternyata
mengkhianatinya. Dalam setiap kesempatan bertemu, Dyah Lohak selalu
menyampaikan dukungan sepenuhnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan
Lembu Peteng dan puluhan orang lain menjadi bukti nyata, Dyah Lohak
bermain untuk diri sendiri.
"Sial," desis Dyah Janardana.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
punya alasan untuk tak senang dengan usulan Lembu Peteng yang
demikian bersemangat. Sebelumnya telah didengar bersama kesanggupan
Dyah Lohak jika ditunjuk menjadi pengganti Arya Tadah. Namun, belum
didengar kesanggupan Dyah Janardana.
"Paman Janardana," kata Prabu Putri Sri Gitarja mengagetkan yang
dipanggil. 674 Gajah Mada Dyah Janardana segera mengambil sikap.
"Hamba, Tuan Putri," jawabnya sigap.
"Apakah Paman juga siap jika negara menunjuk Paman menjadi
pengganti kedudukan Paman Arya Tadah?"
Harapan yang mengempis di hati Dyah Janardana itu melambung
kembali. "Jika Baginda Putri berkenan, hamba siap menjalankan tugas
kepatihan," jawab Dyah Janardana.
Senyap yang terjadi berbau kegelisahan Mahamenteri Halu Dyah
Lohak dengan segenap pendukungnya. Lembu Peteng merasa perutnya
mendadak penuh. Sementara itu, orang-orang yang memberi dukungan
kepada Mahamenteri Hino merasa jantungnya berlarian.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa saling melirik. Mereka menoleh
ke belakang mengarahkan pandang mata kepada suami masing-masing.
Melihat istrinya memerlukan dukungan, Cakradara bangkit untuk
memberikan dukungan. Apa yang dilakukan Cakradara segera diikuti
pula oleh Raden Kudamerta. Namun, belum lagi Prabu Putri Sri Gitarja
berbicara, seseorang kembali mengangkat tangannya.
"Hamba mohon izin mengajukan usulan, Sang Prabu Putri."
Berdebar semua orang melihat Dang Acarya Samenaka Kanakamuni
mengangkat tangan. Sebagaimana Dang Acarya Smaranata, Dharmadyaksa
Kasogatan juga memiliki pengaruh yang amat besar.
"Silakan, Paman," Dyah Wiyat mempersilakan.
"Mohon ampun, Tuan Putri," kata Samenaka, "ke depan, benar apa
pendapat bekas Mahapatih Arya Tadah, orang yang diangkat menjadi
mahapatih haruslah orang yang kuat, berlengan kekar, dan memiliki nafas
yang sangat panjang. Hamba tidak sependapat jika jabatan mahapatih itu
di si oleh orang-orang tua yang sebaya dengan hamba dan sahabat hamba,
Tadah. Jika yang dipilih adalah orang yang sudah tua, Majapahit akan
rugi karena sebentar kemudian mereka akan pikun. Hamba mengusulkan
Hamukti Palapa 675 agar Majapahit memilih mahapatih dari lapisan usia muda, bukan wredha.
Semua ini demi kepentingan Majapahit."
Ucapan Dang Acarya Samenaka Kanakamuni benar-benar membuat
gempar. Pendapa Bale Manguntur bagai digoyang gempa bumi dengan
kekuatan amat keras. Sontak Senopati Haryo Teleng menengadahkan kepala. Sontak
pula Senopati Panji Suryo Manduro mendadak merasa pintu terbuka
demikian lebar baginya. Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
dan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa saling pandang untuk beberapa
jenak. Mereka bertukar pikiran melalui tatapan mata. Dalam gerakan
pelan dan anggun, Sri Gitarja mendekatkan mulut dan membisikkan
sesuatu ke telinga adiknya, yang dibalas dengan cara serupa. Kedua
Prabu Putri rupanya telah mengambil sebuah kesepatan.
Sri Gitarja melangkah mundur untuk memberi kesempatan kepada
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa berbicara.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menebar pandang dari ujung ke
ujung. "Ada banyak orang hebat dan luar biasa yang dimiliki Majapahit.
Mereka yang dicalonkan tak seorang pun yang diragukan bagaimana
pengabdiannya kepada Wilwatikta. Dalam memilih mahapatih yang
baru, Majapahit mempertimbangkan hal itu pula. Yang akan dipilih
menjadi mahapatih haruslah orang yang hebat, orang yang yang mau
bekerja keras." Tak terdengar suara apa pun di pasewakan. Semua menyimak apa
yang dikatakan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Bahkan,
jika ada yang batuk, orang yang duduk di sebelahnya segera mengingatkan
orang itu untuk meredam batuknya.
Dyah Wiyat kembali melanjutkan berbicara.
"Kami memutuskan . .," ucap Dyah Wiyat dengan suara pelan,
tetapi jelas. 676 Gajah Mada Semua degup jantung berhenti sejenak. Tidak ada seorang pun
yang membiarkan degup jantung terdengar keras untuk bisa menangkap
dengan jelas siapa nama yang akan disebut oleh Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa. "Demi membangun Majapahit yang besar," sambung Dyah Wiyat.
"Majapahit yang jaya dan gemilang, diperlukan tangan yang kukuh, kuat,
dan kekar. Majapahit menunjuk Gajah Mada!"
Mula-mula pelan goyangan itu. Namun, yang pelan itu makin lama
makin keras menyebabkan pilar pendapa Bale Manguntur berderak keras
seiring bumi tempat mereka berpijak bergoyang makin keras. Penyebutan
nama Gajah Mada menyebabkan hening beberapa jenak. Namun, yang
hening itu dengan segera berubah menjadi ingar-bingar oleh tepuk
tangan yang diawali oleh Bhayangkara Kendit Galih.
Pucat pasi wajah Mahamenteri Halu yang sebelumnya merasa
yakin dirinyalah yang akan diangkat menjadi mahapatih. Pucat pasi
dan tersenyum kecut Mahamenteri Hino Dyah Janardana yang tidak
menyangka orang yang dipilih sebagai mahapatih berasal dari arah yang
sama sekali tidak terduga.
Orang yang dengan seketika melonjak berteriak adalah Mahamenteri
Sirikan Dyah Mano, yang akhirnya melihat orang yang dijagokan Arya
Tadah benar. Andaikata Arya Tadah tidak menyebut nama Gajah Mada,
ia akan menempatkan diri ikut bersaing. Namun, Dyah Mano mempunyai
perhitungan, tak ada seorang pun yang bisa menandingi Gajah Mada
dalam pemilihan pejabat baru mahapatih tersebut.
Di tempat duduknya, mendadak Ra Kembar merasa wajahnya
menjadi demikian tebal melebihi tebal pilar istana. Kembar, bahkan
mengalami kesulitan bernapas beberapa saat lamanya. Tidak jauh dari
Kembar, Banyak dan Warak tidak kalah terkejutnya. Bersebelahan dengan
Gagak Bongol yang duduk tenang, Arya Tadah tersenyum senang.
Sorak-sorai menggemuruh berasal dari pasukan Bhayangkara dan
para prajurit kalangan muda. Senopati Panji Suryo Manduro dan Senopati
Haryo Teleng akhirnya harus menerima kekalahannya dengan ikhlas.
Hamukti Palapa 677 Senopati Haryo Teleng dan sejawatnya dari kesatuan Sapu Bayu itu melihat
bahwa Gajah Mada memang sosok yang paling tepat menduduki jabatan
yang ditinggalkan Arya Tadah. Gajah Mada sibuk menghitung jarinya.
"Kakang Gajah Mada, berdirilah," kata Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa. Seorang emban muda, emban yang sangat cantik, dengan membawa
nampan berisi selembar kain samir, datang mendekat.
Gajah Mada berdiri dan melangkah menghadap Prabu Putri Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa yang dengan senyum berseri mengalungkan
samir berwarna kuning. Sontak disambut tepuk tangan gemuruh
penobatan yang dilakukan dengan mendadak itu. Tidak segera larut tepuk
tangan yang masih menggema, sebagaimana tak segera larut kekagetan
semua pihak yang tidak pernah mengira Gajah Madalah yang akhirnya
terpilih menggantikan Arya Tadah.
Mantan Mahapatih Arya Tadah tersenyum senang dan tidak
segera menghentikan tepuk tangannya. Di tempatnya, duduk bersila,
Mahamenteri Sirikan Dyah Mano juga terus bertepuk tangan.
Satu-satunya orang yang pucat pasi dengan keringat dingin
membasahi seluruh tubuhnya hanya anak Raja Pamelekehan, Ra
Kembar. Tak disangkanya orang yang amat dibencinya itu dilambungkan
jabatannya dari yang semula patih dan masuk ke dalam Sang Panca Ri
Wilwatikta menjadi mahapatih. Jabatan yang tidak ada lagi di atasnya,
kecuali raja. Di tempat duduknya, Lembu Peteng bersikap seperti orang yang
menahan kencing. "Silakan jika Kakang Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada
akan berbicara," kata Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang bersama
dengan kakaknya kembali duduk dikawal oleh suami masing-masing.
Maka, semua perhatian tertuju kepada Gajah Mada yang berdiri
tegak, kekar, dan membumi. Mahamenteri Hino Dyah Janardana dan
Mahamenteri Halu Dyah Lohak butuh waktu beberapa jenak untuk
678 Gajah Mada menerima kenyataan itu. Namun, saat mereka bertanya ke kedalaman
hati, mereka akhirnya menerima Gajah Mada memang sosok yang pantas
menerima jabatan yang ditinggalkan pendahulunya.
Gajah Mada yang telah menduduki jabatan sebagai mahapatih itu
menyapu semua wajah yang hadir dan sedikit lebih lama ketika pandangan
matanya menjarah wajah Ra Kembar. Gajah Mada menuntaskan
pandangan matanya dari ujung ke ujung.
"Majapahit ke depan haruslah merupakan Majapahit yang besar,"
kata Mahapatih Gajah Mada mengawali sesorah-nya. "Kebesaran itu
hanya bisa diraih melalui dua hal, yaitu satu dan bersatu. Semua orang
harus merasa bersatu dan menjadi bagian dari yang satu. Majapahit
harus bisa menggandeng dan memaksa negara-negara dari ujung bumi
di sebelah timur ke ujung bumi di sebelah barat menjadi satu persatuan
dan kesatuan. Itu sebabnya, ke depan, Majapahit harus bekerja sangat
keras untuk mewujudkannya. Ke depan, Majapahit harus bisa mengajak
dan jika perlu memaksa negara-negara dari Onin di ujung timur sampai
Tumasek di ujung barat untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
satu dan bersatu, dalam persatuan dan kesatuan, di bawah bendera gula
kelapa, di bawah panji-panji kebesaran Majapahit."
Hening semua orang menyimak apa yang diucapkan Gajah Mada.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, hampir sebagian besar orang yang hadir di istana itu terperangah.
Hampir semua orang merasa, mimpi Gajah Mada itu adalah mimpi
teramat muluk. Tidak masuk akal.
"Untuk mewujudkan keinginanku atas Majapahit yang besar," lanjut
Gajah Mada dengan suara amat lantang, "untuk mewujudkan mimpi
kita semua, aku bersumpah akan menjauhi hamukti wiwaha sebelum
cita-citaku dan cita-cita kita bersama itu terwujud. Aku tidak akan
bersenang-senang dahulu sebagaimana hakikat arti dari hamukti wiwaha.
Aku memilih kebalikannya. Aku akan hamukti palapa sampai kapan pun,
sampai Majapahit yang aku inginkan dan kita inginkan bersama menjadi
kenyataan. Aku akan tetap berprihatin dalam puasa tanpa ujung, yang
itulah hakikat arti dari sumpahku, Sumpah Palapa, semata-mata demi
kebesaran Majapahit."
Hamukti Palapa 679 Meluap isi dada Gagak Bongol, meluap penuh banjir bandang isi
dada Aditiawarman, meluap isi dada para Bhayangkara, meluap pula isi
dada kedua Prabu Putri, dipenuhi semangat yang berkobar makantarkantar yang diucapkan oleh Gajah Mada.
"Aku bersumpah untuk tidak akan beristirahat," Gajah Mada
berteriak. "Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah
ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali,
Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa. "232
Senyap pendapa Bale Manguntur mendengar sumpah yang
disaksikan matahari yang panas menggila. Sumpah itu terlampau
mengerikan bagi sahabat-sahabat Gajah Mada karena betapa keras kerja
yang harus dilakukan untuk mewujudkan. Namun, orang seperti Gagak
Bongol, Aditiawarman, dan bahkan Pancaksara yang memahami pikiran
Gajah Mada bisa memahami dan menganggapnya sangat masuk akal.
Akan tetapi, tidak semua orang menganggap sumpah itu masuk
akal. Ra Kembar menganggapnya lucu, menggelikan karena lebih lucu
dari badut yang sering ditanggap dalam pentas yang digelar di alun-alun
Bubat. Tak kurang Arya Tadah yang digantikan ikut terperangah. Arya
Tadah kaget mendengar sumpah yang diucapkan Gajah Mada yang
dirasakan terlalu berlebihan, terlalu tidak masuk akal.
Tempat-tempat yang disebut Gajah Mada itu tempat-tempat yang jauh,
sangat luas, dan bahkan tidak diketahui di mana letaknya. Mengurus Jawa
sudah merupakan kerja besar dan melelahkan. Jadi, bagaimana Mahapatih
Gajah Mada bisa mengurus dunia yang membentang dari ujung timur
tempat matahari terbit sampai ujung barat tempat surya tenggelam"
Tidak masuk akal, menggelikan, dan mengundang rasa kasihan.
Sumpah telanjur diucapkan, tidak akan menikmati hamukti wiwaha
telanjur diucapkan, hamukti palapa untuk sepanjang masa berprihatin
232 Lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, samana ingsun amukti palapa, Jawa kuno, Sumpah Palapa tersebut berarti, jika telah berhasil menundukkan Nusantara, aku baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, telah tunduk, barulah aku akan beristirahat.
680 Gajah Mada telanjur diucapkan, padahal sampai kapan pun sumpah itu tidak mungkin
diwujudkan. Tak tahan Kembar menahan geli sambil memegangi perutnya.
Ra Kembar menulari Jabung Tarewes, menulari Banyak, Warak, dan
bahkan ikut memancing Arya Tadah untuk ikut tertawa. Namun, hanya
mereka yang tertawa. Semua orang masih terpesona pada jejak sumpah
mengerikan yang diucapkan Gajah Mada. Sumpah itu memang layak
disebut mengerikan. Entah dengan cara bagaimana Gajah Mada bisa
menanggungnya. Gajah Mada memandang Warak dengan tajam. Warak yang terkejut
terbungkam. Gajah Mada mengalihkan pandangan matanya kepada
Lembu Peteng. Lembu Petang pun segera menghentikan tawanya.
Banyak dan Jabung Tarewes gugup menyembunyikan wajahnya. Hanya
Kembar yang masih tertawa. Ia tidak peduli meski Gajah Mada telah
melotot sampai akan lepas bola matanya.
"Sumpah itu boleh-boleh saja. Bagus sekali Majapahit memiliki
mahapatih yang penuh semangat. Semangat pun boleh saja asal masuk
akal." Merah padam wajah Gajah Mada. Napasnya tersengal.
"Kembar dan siapa pun kalian yang tidak menyetujui sumpahku,
keluarlah ke alun-alun. Jika kalian bisa mengalahkan Gajah Mada, jabatan
sebagai mahapatih akan menjadi hak kalian," teriak Gajah Mada.
Mahapatih Gajah Mada berbalik dan mendekat ke Bale Witana.
Mahapatih Gajah Mada menekuk lutut memberikan sembahnya.
Mahapatih Gajah Mada yang merasa kecewa karena Arya Tadah ternyata
juga menertawakan sumpahnya itu, melangkah lebar ke alun-alun.
Yang kemudian merasa kebingungan adalah Kembar yang menerima
tantangan itu. Kembar mendadak pucat dan ciut nyalinya. Kembar
melirik Banyak dan Warak, yang dilirik tampak bingung. Namun, semua
orang mengarahkan pandangan matanya kepada Kembar, kepada Lembu
Peteng yang juga menyumbang tawa keras menertawakan sumpah Gajah
Mada, juga kepada Jabung Tarewes.
Hamukti Palapa 681 Akhirnya, Kembar tidak punya pilihan lain. Ia mengangkat kaki
dan mengayunkan langkahnya diikuti oleh teman-temannya. Semua
orang yang duduk di pasewakan berdiri untuk menyaksikan tontonan
yang sangat menarik. Gajah Mada yang hanya seorang, apa yang bisa
dilakukan menghadapi Kembar dan teman-temannya.
Gajah Mada menunggu Kembar mendekat. Kembar bingung tidak
tahu bagaimana cara menutupi kegugupannya.
"Aku harus mendapat jaminan tak ada orang yang meragukan
sumpahku," Gajah Mada berbicara dengan nada rendah dan Kembar
mendengarnya dengan jelas. "Oleh karena itu, jangan salahkan aku jika
harus menumpasmu karena kuanggap kau hanyalah sampah yang tak
berguna bagi kebesaran Majapahit yang aku inginkan."
Kembar mencabut kerisnya. Gajah Mada tidak keberatan menghadapi
apa yang dilakukan Kembar. Manakala Gajah Mada melambaikan tangan
perlahan adalah dalam rangka mempersilakan Kembar untuk meyerang
lebih dulu. Kembar melompat sambil mengayunkan kerisnya. Akan tetapi,
dengan amat gesit Mahapatih Gajah Mada berhasil menghindar
sambil mengayunkan tangan menghantam sekaligus memaksa Kembar
kehilangan senjatanya. Gajah Mada adalah seorang prajurit dengan
kemampuan kanuragan yang mengerikan bagi lawan-lawannya. Hanya
dengan sekali sentak pada pergelangan tangan, Gajah Mada berhasil
mengunci kepala Ra Kembar. Melalui sentakan kuat, patah leher itu.
Berikutnya Banyak dan Warak. Betapa kecut nyali dua prajurit itu
melihat, hanya dalam waktu pendek, Kembar telah kehilangan nyawanya.
"Majulah," tantang Gajah Mada.
Di belakang Banyak dan Warak, Lembu Peteng juga bingung
mengambil sikap. 682 Gajah Mada 46 M alam kali berikutnya adalah malam yang mengagetkan seluruh
penduduk di kotaraja. Itu karena petir yang meledak menggelegar
memekakkan telinga. Sang Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani yang sedang berbincang dengan suaminya di istana
terkejut. Bergegas Prabu Putri berlari dan membuka jendela. Dengan penuh
minat, Sri Gitarja memerhatikan langit yang gelap gulita.
"Mau hujan!" kata Prabu Putri.
Sri Kertawardhana bergegas turun ke halaman. Prabu Putri mengikuti
langkah sang suami. Bersama-sama pasangan suami istri yang bahagia itu
memerhatikan langit dengan mendungnya yang tebal. Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani bergegas menutup telinganya
ketika sekali lagi petir meledak. Begitu keras petir itu yang rupanya
menyambar pohon beringin di tengah alun-alun di depan Manguntur.
Petir juga mengagetkan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa yang
terlonjak dan melompat berpegangan tangan suaminya.
"Akhirnya, hujan yang kita tunggu turun juga," kata Kudamerta yang
bergegas turun ke halaman bersamaan dengan hujan deras yang mulai
turun. Melihat suaminya berbasah-basah, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
mencontoh dan menyambut datangnya hujan dengan tawa geli.
Tak hanya kedua Prabu Putri yang menyambut datangnya hujan
pertama itu dengan riang. Segenap penduduk menyambutnya dengan
sukacita. Apalagi, hujan yang kali ini turun benar-benar hujan yang deras.
Maka, seketika tak ada lagi debu karena semua basah kuyup. Barisan
pohon tanjung yang meranggas menyambut hujan itu dengan sukacita.
Demikian pula dengan burung cataka yang terbang jauh di langit yang
Hamukti Palapa 683 lama menahan haus, akhirnya bisa memuasi diri dengan mandi dan
memuaskan dahaga. Mahapatih Gajah Mada yang sedang berada di pintu gerbang
Purawaktra merasa amat takjub. Di hari ia dinobatkan sebagai mahapatih
yang baru menggantikan Arya Tadah, malam harinya hujan turun dengan
derasnya. Gajah Mada keluar dari bayangan gerbang Purawaktra dan
membiarkan dirinya basah kuyup karena hujan, sebagaimana para Prabu
Putri, yang tanpa setahu siapa pun, juga berbasah diri mandi air hujan,
tak peduli itu tengah malam.
Akan tetapi, hujan yang turun di kotaraja itu bukan soal sepele bagi
dua orang yang takut kehilangan banyak waktu. Mereka memacu kudanya
dengan kencang sambil mata mereka sangat awas memerhatikan dari
mana arah petir meledak. "Istana," ucap orang itu dalam hati setelah melihat sekali lagi petir
muncrat. Orang itu adalah Senopati Gajah Enggon yang memacu kudanya
amat kencang. Di belakangnya, istrinya yang dengan setia selalu
mengikuti ke mana pun suaminya pergi. Rahyi Sunelok membalapkan
kudanya tak kalah cepat. Apalagi, kuda tunggangan perempuan itu
bukanlah kuda sembarangan karena kuda itu merupakan kuda pilihan
yang diterimanya sebagai hadiah dari orang yang keberadaannya mirip
dongeng, Kiai Medang Dangdi.
Makin cepat Gajah Enggon berpacu dan akhirnya tibalah ia di pintu
gerbang Purawaktra. Mahapatih Gajah Mada terkejut melihat sahabat
yang telah lama tak diketahui jejaknya itu.
"Kau, Gajah Enggon?" tanya Gajah Mada.
Gajah Enggon melompat turun dan merasa hanya sedikit sekali
waktu yang dimiliki untuk menjelaskan mengapa ia pulang dengan
membawa perempuan. "Ini istriku," kata Gajah Enggon singkat.
684 Gajah Mada "Cucu Kiai Mahisa Pawagal?" balas Gajah Mada.
Gajah Enggon kaget karena berita perkawinannya telah sampai ke
telinga Gajah Mada. Namun, Gajah Enggon tak berlama-lama membelah
perhatian terhadap kagetnya karena ada hal yang jauh lebih penting yang
menjadi perhatiannya. "Maling payung dan cihna gringsing lobheng lewih laka berada di dalam
istana," kata Gajah Enggon yang membuat Gajah Mada terkejut.
"Di mana dia?" balas Mahapatih Gajah Mada.
Petir kembali meledak dengan muncrat di tengah alun-alun.
"Lihat itu," ucap Gajah Enggon.
Gajah Enggon bergegas berlari melintas alun-alun untuk membuktikan
dugaannya. Gajah Enggon benar, saat makin dekat ia berjalan menuju
lima pohon bramastana di tengah alun-alun, terlihatlah seseorang berdiri
tegak dengan tangan kanan memegang payung yang terbuka.
Gajah Enggon tidak segera mendekati maling yang kini telah berada
di depan mata itu. "Siapa dia?" bisik Gajah Mada.
Gajah Enggon tidak segera menjawab. Gajah Enggon terus
memerhatikan apa yang dilakukan orang itu, apa pun perbuatannya.
Kini, Gajah Enggon menggenggam sebuah simpulan.
"Siapa pun dia," ucap Gajah Enggon, "orang itu berniat baik."
Gajah Mada terkejut. Seiring dengan hujan yang terus turun dengan derasnya, prajurit
Bhayangkara yang bertugas mengamankan istana telah mengepung rapat
maling songsong dan cihna gringsing lobheng lewih lak a. Para prajurit yang
melakukan kepungan itu merasa heran karena maling itu tidak merasa
gugup atau berusaha melarikan diri. Sebaliknya dengan Gajah Enggon,
kini ia tidak merasa heran jika maling itu sama sekali tidak gugup berada
dalam kepungan yang rapat.
"Apa yang kita lakukan?" bertanya Senopati Gagak Bongol.
Hamukti Palapa 685 Gajah Mada memberi kesempatan kepada Gajah Enggon untuk
menjawab. Gagak Bongol terkejut melihat sahabatnya yang telah lama
menghilang itu. "Jangan diganggu," kata Gajah Enggon. "Biarkan apa pun yang
dilakukan orang itu. Ia berniat baik dengan perbuatannya. Nantilah
ketika ia telah selesai, kita ajak bicara."
Hujan benar-benar deras. Orang yang memegang payung terbuka
itu tetap pada sikapnya. Jika sebelumnya petir meledak menyambar
bramastana di tengah lapangan depan Manguntur, kini petir yang telah
berhasil dirangsang kehadirannya meledak di mana-mana, susulmenyusul dan bergelombang.
Namun, apa yang terjadi di tengah lapangan depan Manguntur tak
hanya menarik perhatian prajurit Bhayangkara. Prabu Putri Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa yang mendengar laporan bergegas datang. Jika Prabu Putri
Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani berpayung berdua
dengan suaminya, Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa benar-benar basah
kuyup didampingi suaminya.
Adalah Gajah Mada yang tak kalah kaget dan merasa cemas karena
Ibu Suri pun datang. Dibalut selimut tebal dilindungi payung lebar, Ibu
Suri Rajapatni Biksuni Gayatri mendekat bersamaan dengan hujan yang
mendadak mereda. Beberapa prajurit menggagas mengambil obor untuk
menerangi tempat itu. Atas perintah Gagak Bongol, para prajurit Bhayangkara telah
merentang gendewa. Hal yang rupanya menyebabkan Ibu Suri Rajapatni
Biksuni Gayatri tidak berkenan. Dengan isyarat tangannya, Ibu Suri
meminta semua prajurit menurunkan senjatanya.
"Turunkan senjata kalian," perintah Ibu Suri yang langsung
diterjemahkan dengan baik.
Gajah Enggon berdebar melihat maling payung itu melepas ikat
kepalanya dan menutup payung di genggamannya. Dengan langkah amat
yakin, maling itu mendekati Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri.
686 Gajah Mada "Bibi Sri Yendra," ucap maling itu, "telah aku selesaikan tugas yang
Bibi berikan kepadaku. Kini, mohon Bibi Sri Yendra berkenan menerima
kembali songsong Kiai Udan Riwis dan cihna gringsing lobheng lewih laka.
Selanjutnya, mohon Bibi berkenan melindungiku agar tidak terganggu
dalam perjalanan pulang."
Gajah Mada bingung. Ia benar-benar tidak bisa memahami apa
yang sesungguhnya terjadi. Gajah Mada bingung mengapa maling itu
memanggil Ibu Suri dengan sebutan Bibi dengan panggilan Sri Yendra.
"Branjang Ratus," balas Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri.
"Ya, Bibi," jawab orang yang ternyata bernama Branjang Ratus itu.
"Bibi ucapkan banyak terima kasih atas kerja keras yang kaulakukan.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Majapahit amat berutang budi dengan apa yang telah kaukerjakan.
Pulanglah dengan aman tanpa ada siapa pun yang berani mengganggumu.
Sampaikan salamku kepada ayahmu, Ki Buyut Ajar Padmaguna."
Ucapan yang terdengar jelas dari mulut Ibu Suri Rajapatni Biksuni
Gayatri dengan segera diterjemahkan oleh para prajurit yang membuat
kepungan dengan memasukkan kembali semua batang anak panah ke
endong dan pisau-pisau terbang ke wadah masing-masing. Semua prajurit
menyibak ketika maling payung itu akan meninggalkan alun-alun.
Namun, Branjang Ratus menyempatkan mendekati Gajah Enggon.
"Di depan pintu makam Trowulan," kata Branjang Ratus, "ada sosok
mayat yang mungkin perlu pemakaman. Ia adalah kaki tangan Kiai Wirota
Wiragati yang terpaksa aku bunuh."
Gajah Enggon segera tahu, siapa orang yang dimaksud. Ia adalah salah
satu orang yang bernafsu merebut payung Udan Riwis dan cihna gringsing
lobheng lewih laka. Belum lama Lanjar Manuraha mati di tangannya dan
Bremoro mati di tangan istrinya. Maka, mayat yang harus diurus di luar
makam Trowulan itu pastilah Udan Tahun.
"Jangan khawatir," jawab Enggon. "Aku yang akan mengurusnya."
Prajurit Bhayangkara akhirnya menyibak ketika orang yang
bernama Branjang Ratus itu berjalan meninggalkan kerumunan yang
Hamukti Palapa 687 semula mengepungnya. Seorang prajurit Bhayangkara bergegas berlari
mendahului ke Purawaktra untuk memberi tahu prajurit yang bertugas
jaga agar tidak mengganggu perjalanan orang itu.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
tidak mampu lagi menahan pertanyaannya.
"Ibu, siapa dia?" tanya Sri Gitarja.
"Namanya Branjang Ratus, anak Ajar Padmaguna. Akulah yang
memberi perintah kepadanya untuk mencuri payung dan cihna gringsing
lobheng lewih laka untuk meredam hawa panas dan tidak bersih yang
menyelimuti Majapahit."
Dyah Wiyat tak kalah heran.
"Ajar Padmaguna itu siapa Ibu" Dan, mengapa Ibu dipanggil dengan
nama Sri Yendra?" Dyah Wiyat memuasi rasa herannya.
Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri tersenyum melihat bintangbintang menyembul dari mendung yang menyibak.
"Ajar Padmaguna adalah pamanmu, Pamandana. Aku dan istrinya
yang dulu bersama-sama membatik cihna gringsing lobheng lewih laka. Soal
Branjang Ratus memanggilku dengan sebutan Sri Yendra, bukankah
namaku Sri Jayendradewi Dyah Dewi Gayatri?"
Gajah Mada terperangah mendengar jawaban itu, sebagaimana para
Prabu Putri terperangah. Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri mengarahkan pandangan
matanya kepada Gajah Enggon. Gajah Enggon menyembah.
"Selamat atas perkawinanmu, Gajah Enggon," ucap Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri. "Mana istrimu" Kalau boleh, aku pinjam
istrimu untuk malam ini saja. Biarlah ia menemaniku."
Dari kerumunan, Rahyi Sunelok menyibak dan melangkah mendekat.
Dengan sangat santun, istri Senopati Gajah Enggon itu menyembah.
688 Gajah Mada 47 K etukan di pintu tengah malam itu mengagetkan. Dyah Menur
yang tidak bisa tidur membuka matanya.
"Siapa?" tanya Dyah Menur dengan agak takut.
"Buka pintunya, Nyai. Ini aku," terdengar jawaban dari luar.
Sang Prajaka tentu mengenali suara itu. Dengan bergegas, Sang
Prajaka melompat turun dari pembaringan. Mendahului Dyah Menur,
Sang Prajaka membuka pintu dan menghambur. Demikian gugupnya
Sang Prajaka sampai harus terjatuh.
"Bapak!" Sang Prajaka memeluk ayahnya.
Pradhabasu terkejut melihat perubahan yang terjadi pada anaknya,
terutama pandangan matanya yang sangat hidup, bisa berbinar-binar,
dan tidak tersesat jatuh entah ke mana. Pradhabasu membiarkan ulah
anaknya yang tak sekadar memeluk, tetapi juga menjadikannya tak
ubahnya pohon dengan memanjatnya sambil berjingkrak.
"Akhirnya Bapak pulang juga," tambah Sang Prajaka sambil dengan
kuat remaja itu memeluk. Dyah Menur yang amat senang dengan kepulangan Pradhabasu
bergegas mendekat dan ikut memeluk. Memeluk amat erat yang dibalas
Pradhabasu dengan kerinduan yang sama. Kuda Swabhaya yang tidur lelap,
terbangun. Anak Sekar Tanjung dari suaminya terdahulu itu terbangun
dan mengkucal-kucal matanya. Namun, rasa kantuknya lebih penting. Itu
sebabnya, Kuda Swabaya kembali meringkuk dan memejamkan mata.
Yang menjadi saksi, sang waktu terus bergerak.
Surakarta Hadiningrat, Mei 2006
TENTANG PENULIS LANGIT KRESNA HARIADI (LKH), lahir
di Banyuwangi tahun 1959 pada posisi bungsu
dari sebuah keluarga besar dan satu-satunya dari
keluarga itu yang memilih dunia tulis-menulis sebagai
pelampiasan hobi, emosi, dan profesi, membentang
dari cerpen, novel, cerita bersambung silat, artikel,
skenario sinetron, dan drama radio.
Baginya, menulis adalah napas hidupnya. Menulis seperti orang
memetik gitar, seperti penyanyi mendendangkan lagu, atau seperti
perokok yang kecanduan. "Tidak boleh menulis boleh dibilang matilah
saya." Itulah sebabnya, kegiatan menulis itu akhirnya bermetamorfosis
dari yang semula hobi menjadi kebutuhan hidup. " Lha wong kalau tidak
menulis tidak makan." Jika ada kegiatan di luar tulis-menulis yang juga
ditekuni, masih berada di wilayah seni, menjadi MC misalnya.
Setelah Balada Gimpul, buku pertamanya yang diterbitkan Balai
Pustaka Jakarta, berturut-turut dengan kepala dinginnya (benar seperti
artinya karena harus dikompres jika sudah mendidih, indikasinya pusing)
lahir Kiamat Para Dukun diterbitkan oleh PT Era Intermedia, lalu Libby 1,
Libby 2, De Castaz, Alivia, Serong, Melibas Sekat Pembatas, Antologi Manusia
Laminating, yang masing-masing diterbitkan oleh Qalam Press. Gama
Media juga menerbitkan salah satu karyanya yang senapas dengan
karyanya yang lain, yang lahir atas keprihatinannya terhadap pembantaian
dukun santet di kampung halamannya, Banyuwangi, Kiamat Dukun Santet.
690 Gajah Mada Melalui koran yang terbit di Solo, Langit Kresna Hariadi menjadi dalang
atas karya berupa cerita bersambung silatnya yang berjudul Beliung dari
Timur. Malu disebut tak tahu diri karena juga menulis novel remaja,
padahal, "Berpikir seperti remaja sulitnya minta ampun, dunia mereka
aneh sekali," disiasatilah melalui menggunakan nama samaran Amurwa
Pradnya Sang Indraswari, lahirlah karya yang menyimpang jauh dari
pakem, berjudul Siapa Yang Nyuri Bibirku" dan Jaka Tarup terbitan Diva
Press. Gajah Mada adalah buku pertamanya yang diterbitkan oleh Penerbit
PT Tiga Serangkai yang lumayan mencuri perhatian dan mengundang
apresiasi. Karena saran dari sana sini untuk melanjutkannya maka
lahirlah Gajah Mada, Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara. Gajah
Mada, Hamukti Palapa adalah lakon Gajah Mada berikutnya yang telah
berhasil ia tuntaskan. Satu lagi karyanya berupa petunjuk praktis menulis
buku berjudul Mengarang" Ah Gampang, juga diterbitkan oleh penerbit
yang sama. Hamukti Palapa 691 M embaca Gajah Mada, Hamukti Palapa, setidaknya sedikit banyak
membantu kita memahami bagaimana rangkaian sejarah terkait dengan
Hamukti Palapa dan latar belakangnya.
Ada beberapa Rakrian yang merasa tak puas dengan kedudukan
dan jabatan yang mereka miliki. Para kesatria di bawah pimpinan Kuti
ini akhirnya menggelar makar berdarah .
Namun, beruntung Gajah Mada telah mendapat informasi penting
tentang akan adanya makar. Telik sandi tak dikenal terus menyalurkan
beberapa keterangan penting dengan menggunakan kata sandi, Bagaskara
Manjer Kawuryan, hingga Gajah Mada dan pasukan Bhayangkaranya yang
hanya berjumlah tak lebih dari dua puluh orang, berhasil menyelamatkan
Raja yang terus diburu. Gajah Mada harus menyelamatkan Jayanegara
hingga ke Bedander di Bojonegoro. Di Bedander, mata-mata yang
menyusup dalam pasukan Bhayangkara, berhasil diungkap jati dirinya,
tetapi telanjur meminta korban. Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara
selanjutnya menyerang balik dan berhasil menjungkalkan Ra Kuti dari
dampar yang bukan haknya.
Di klimaks cerita ini adalah kalimat sandi Bagaskara Manjer Kawuryan
ternyata keluar dari mulut orang yang tak terduga. Sungguh penuntasan
yang mengejutkan karena tidak akan sempurna membaca Gajah Mada,
Hamukti Palapa tanpa membaca buku pertama.
692 Gajah Mada K embali Langit Kresna Hariadi (LKH) bermain-main dengan
teka-teki dan menjadi tengara betapa piawai pengarang ini.
Setelah Jayanegara mati, hanya ada dua calon yang salah satunya
pasti diangkat menjadi Prabu Putri, mereka adalah Sri Gitarja dan Dyah
Wiyat, kakak beradik anak dari Gayatri, istri ke empat mendiang Raden
Wijaya yang telah memutuskan diri menjadi biksuni.
Masalahnya, para Sekar Kedaton itu memiliki calon suami yang
juga memiliki pendukung. Raden Cakradara, calon suami Sri Gitarja,
mempunyai banyak pendukung yang menginginkan Sri Gitarjalah
yang akan diangkat menjadi Prabu perempuan. Sementara itu, Raden
Kudamerta, calon suami, Sekar Kedaton Dyah Wiyat, juga memiliki
pendukung dengan kepentingan sama.
Pembunuhan demi pembunuhan yang dilakukan oleh orang tak
dikenal membawa Gajah Mada menelusuri kenyataan-kenyataan yang
tak terduga. Apalagi, Gajah Enggon harus pingsan berhari-hari karena
lemparan batu dan semua pihak mencemaskannya tak akan selamat dari
kematian. Namun, pingsan yang dialami Gajah Enggon justru menjadi
pemecahan terhadap semua teka-teki. Siapa saja mereka dan bagaimana
ulah mereka" Rupanya, buku ketiga yang Anda pegang ini perlu dilengkapi pula
dengan buku yang kedua. Hamukti Palapa 693 J ika Anda perhatikan, adakah nama Jalan Gajah Mada di
Bandung" Tidak akan Anda temukan nama jalan itu, dari timur di
Cileunyi sampai barat di Padalarang. Keadaan yang demikian itu adalah
akibat dari peristiwa lama yang terjadi di Lapangan Bubat yang menjadi
sentimen negatif berkepanjangan hingga sekarang. Peristiwa yang
dalam hal tertentu menyebabkan hubungan antara Sunda dan Jawa
agak terganggu. Adalah Rishang Saniscara Patriyawhura (woow, keren banget
namanya), ia seorang pelukis yang menyebabkan Dyah Pitaloka Citrasemi
jatuh cinta kepadanya. Dyah Pitaloka yang tersudut karena pinangan yang
diajukan Raja Hayam Wuruk memang tidak mampu mengelak. Namun,
sebagaimana Rose (Kate Winslet) yang jatuh cinta pada Jack Dawson
(Leonardo Di Caprio) dalam film Titanic, agaknya mirip itulah yang
dialami anak Prabu Maharaja penguasa Sunda Galuh ini. Dyah Pitaloka
Citrasemi mau menerima pinangan Prabu Hayam Wuruk dengan catatan
bahwa dirinyalah nanti yang akan diangkat menjadi raja menggantikan
ayahandanya. Syarat itu ternyata dipenuhi. Namun, Dyah Pitaloka yang
telah telanjur jatuh cinta kepada Saniscara mendapati sosok itu ternyata
hanyalah seorang laki-laki pengecut yang tidak mau bertindak dan hanya
kebingungan saat Sekar Kedaton Sunda Galuh itu mempersembahkan
jiwa dan raganya. Saniscara hanya bisa menyesali keadaan ketika semuanya telah
terlambat. Ilmu Ulat Sutera 1 Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Pedang Angin Berbisik 14

Cari Blog Ini