Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 2
"Sudah kausampaikan kepada Haryo Teleng dan Suryo Manduro
apa yang terjadi semalam?" tanya Gajah Mada.
"Sudah!" jawab Gajah Enggon sambil mengangguk.
"Lalu, langkah apa yang telah kalian ambil?" tanya Gajah Mada
kepada Haryo Teleng. "Aku telah menyebar semua pasukan sandi yang dimiliki pasukan
Jalapati," jawab Haryo Teleng.
62 Tandya, Jawa Kuno, siap
Hamukti Palapa 49 "Aku juga," Panji Suryo Manduro menambah. "Begitu aku
memperoleh berita itu, aku langsung menggelar taklimat, tanpa kecuali
segenap prajurit Sapu Bayu harus pasang mata dan telinga menjadi
kepanjangan prajurit sandi Jalapati."
Senyap yang menyelinap membelit para perwira itu menapaki
waktu yang bergeser perlahan. Matahari yang memanjat sedikit naik
menyemburatkan cahaya yang berbeda dari biasanya, menjadi pertanda
betapa udara sedang kotor. Sebenarnyalah butir-butir abu melayang
tersapu angin ke mana pun udara bergerak. Warna putih di manamana. Ketika Gajah Mada mengakhiri pertemuan dan menjatuhkan
perintah yang harus segera dilaksanakan. Di sela waktu yang ada, ia harus
memikirkan membangun kembali rumahnya yang ambruk. Gajah Mada
merasa penasaran, mengapa rumahnya yang dibangun megah dengan
dinding bata pilihan justru ambruk, tidak demikian dengan rumah-rumah
berdinding kayu. Meski pilih tanding di olah keprajuritan, Gajah Mada
jenis orang yang bodoh dalam rancang bangun bangunan.
Sejengkal setelah taklimat yang diberikan lewat, puluhan prajurit
berkuda berpacu kencang meninggalkan bangsal kesatrian dengan
tugas tidak sebagaimana lumrahnya. Perjalanan yang ditempuh itu bisa
memakan waktu berhari-hari, khususnya prajurit yang terpilih memeriksa
keadaan gunung paling jauh, seperti Gunung Raung di ujung timur Jawa
dan Mahameru di dekat Malang dan Lumajang. Untuk ke Lumajang harus
ditempuh dengan berkuda. Sementara itu, untuk ke Raung prajurit itu
memilih menuju ke Ujung Galuh. Dari Ujung Galuh, ia bisa langsung
mengambil garis lurus ke arah timur menggunakan perahu. Dengan
perahu berlayar lebar, jarak yang demikian jauh bisa ditempuh hanya
dalam dua atau tiga hari.
50 Gajah Mada 5 H ari demi hari berlalu hingga sang waktu menyentuh hari ke lima.
Kabar bencana yang terjadi telah diterima dengan pasti bahwa benar
sebagaimana diduga, gunung yang meletus adalah Gunung Kampud.
Yang mengherankan adalah gempa bumi yang getaran kekuatannya terasa
sampai ke Kotaraja Majapahit terjadi bersamaan dengan meletusnya
Gunung Kampud. Jika hanya Gunung Kampud yang meledak, gempa
bumi yang muncul tak akan terlalu jauh dari sekitarnya. Ratusan orang
yang tinggal di daerah Pabanyu Pindah harus menerima kenyataan pahit
karena perkampungan mereka tersapu rata dengan tanah.
Burung merpati yang terlatih membawa kabar telah kembali ke
kandangnya dengan isi berita terikat di kakinya. Dikendalikan langsung
oleh Senopati Panji Suryo Manduro bekerja sama dengan Mahamenteri
Halu Dyah Lohak, serombongan kereta kuda dan beberapa pedati penuh
bahan makanan dikirim bergerak menuju sasaran. Untuk pengamanan,
pengiriman bantuan itu dikawal oleh sejumlah prajurit dengan kekuatan
cukup. Siapa tahu ada perampok yang menghadang. Untuk melihat
bagaimana bencana yang menimpa Pabanyu Pindah, Dyah Lohak
yang mewarisi jabatan Dyah Wismanata sebagai mahamenteri halu
sebelumnya, memutuskan turun langsung mendatangi tempat itu.
Namun, hari demi hari yang berlalu membuat Gajah Enggon makin
resah gelisah karena belum ada titik terang apa pun terkait dua benda
pusaka negara yang hilang. Satu demi satu prajurit telik sandi yang disebar
telah kembali dengan tangan hampa. Merasa sebagai orang yang paling
bertanggung jawab terhadap hilangnya benda itu sekaligus terhadap
terjaminnya keamanan istana, Gajah Enggon layak merasa cemas.
Sampai hari ke sepuluh setelah gempa bumi di Pabanyu Pindah dan
Gunung Kampud meletus, Senopati Gajah Enggon masih menyimpan
rasa penasaran itu. Prajurit sandi terakhir yang pulang melaporkan bahwa
tidak ada titik terang apa pun. Ketika dibelit oleh cemas yang makin
Hamukti Palapa 51 meningkat, Gajah Enggon terpaksa berpaling pada sahabat lama. Sahabat
yang memiliki ruang, waktu, dan gerak jauh lebih lapang dari dirinya.
"Bagaimana kabarmu, Kakang Gajah Enggon?" dengan senang hati
mantan Bhayangkara Pradhabasu menerima kehadiran sahabatnya.
Pradhabasu menerima jabat tangan Gajah Enggon dengan kuat,
menandai eratnya hubungan di antara mereka. Gajah Enggon tidak
sekadar berjabat tangan, tetapi ditandainya pertemuan yang berbau rasa
rindu itu dengan pelukan. Saling tonjok yang mereka lakukan juga masih
atas alasan yang sama. Untuk pertama kali setelah tak pernah tertawa,
Pradhabasu tertawa lebar. Gajah Enggon tertawa lebih lebar. Gajah
Enggon dan Pradhabasu saling memerhatikan tubuh.
"Kedudukan sebagai senopati menyebabkan tubuhmu menjadi
gemuk," Pradhabasu berkata dalam nada berseloroh.
Namun, pimpinan pasukan Bhayangkara itu tidak menganggap
kata-kata tuan rumah sedang berseloroh. Gajah Enggon merasakan
kebenaran kata-kata itu. Dengan tubuhnya yang seperti sekarang,
Gajah Enggon kurang gesit. Makan yang agak berlebihan menyebabkan
perutnya agak buncit. Sejauh ini Gajah Enggon telah berusaha mengurangi berat badannya
dengan banyak melakukan olah tubuh, dengan berlari mengelilingi alunalun di depan istana lima kali sehari, juga kegiatan olah tubuh yang lain,
tetapi Gajah Enggon merasa tubuhnya yang telanjur agak gemuk sulit
untuk dikecilkan lagi. Kelenturan dan kelincahannya agak berkurang.
Gajah Enggon yang mengedarkan pandangan, perhatiannya segera
tertuju kepada bocah yang sedang meringkuk di sudut ruang sambil
matanya sibuk memerhatikan gasing. Benda yang bisa berputar dan
memberikan suara mendengung itu hanya dipegang dan diamati. Jika
sudah demikian larut perhatian bocah itu pada sebuah benda, petir
meledak sekalipun tak akan mampu menggesernya. Gajah Enggon
juga menebar pandangan matanya mencari-cari, tetapi orang yang
dicari tidak tampak. Perempuan berwajah cantik itu selalu membuatnya
penasaran. 52 Gajah Mada "Kau mengira ia tinggal bersamaku?" tanya Pradhabasu yang
mampu menebak apa yang ada dalam benak Gajah Enggon.
Gajah Enggon mengangguk. "Kau berkepentingan dengannya" Barangkali kau sedang membawa
perintah Raden Kudamerta?"
Gajah Enggon menyeringai dan kemudian tertawa.
"Aku datang untuk membawa kepentinganku sendiri. Aku datang
untuk menemuimu. Kalau aku ingin tahu bagaimana kabar perempuan
itu, itu sebatas rasa ingin tahu tanpa maksud apa pun. Aku ikut bahagia
jika perempuan itu menemukan kebahagiaannya."
Pradhabasu memerhatikan Prajaka yang sangat larut dalam
dunianya, dunia yang tidak bisa ditembus oleh orang lain. Seiring waktu
yang berlalu, akhirnya Pradhabasu pasrah, tak lagi berharap Prajaka bakal
sembuh. Maka, dibiarkan apa pun yang dilakukan dan ke arah mana
pun perkembangan kejiwaan bocah itu. Pradhabasu merasa yakin kelak
Prajaka pasti akan mampu menemukan jalan hidupnya.
"Bagaimana kabar istana sekarang?" tanya Pradhabasu.
Pertanyaan yang dilontarkan Gajah Enggon belum dijawab,
Pradhabasu justru membalas dengan pertanyaan.
"Tak ada yang luar biasa. Tuan Putri Prabu Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani sangat menikmati kebahagiaan rumah tangganya.
Sementara itu, kebekuan Tuan Putri Prabu Rajadewi Maharajasa juga
berhasil diluluhkan oleh Raden Kudamerta. Masing-masing Prabu Putri
sedang sangat menikmati kebahagiaan rumah tangganya. Tiap hari
dijalani tak ubahnya sebuah perjalanan bulan madu."
Pradhabasu menyimak cerita itu dengan raut muka bersungguhsungguh. Juga ketika Gajah Enggon melanjutkan.
"Tetapi, ada kejadian luar biasa yang terjadi bersamaan dengan
terjadinya gempa bumi sepuluh hari yang lalu. Kedatanganku kemari
untuk meminta saranmu. Aku yakin kamu yang berada di luar dinding
Hamukti Palapa 53 istana banyak melihat dan mendengar. Siapa tahu bisa aku pergunakan
untuk menelusuri hilangnya cihna pusaka dan songsong Udan Riwis yang
jengkar 63 dari gedung perbendaharaan pusaka."
Raut muka Pradhabasu berubah menjadi sangat tegang.
"Dua benda itu jengkar?"
Gajah Enggon mengangguk. "Ya," jawabnya. "Ruang perbendaharaan pusaka dijebol maling."
"Bagaimana ceritanya bisa hilang?" tanya Pradhabasu dengan
sangat heran. Dengan ringkas dan jelas Gajah Enggon menceritakan apa yang
terjadi. Kehadiran pelaku pencurian yang menggunakan kekuatan sirep
dalam membobol ruang harta pusaka membuat Pradhabasu terheranheran. Istana yang dijaga demikian ketat ternyata bisa kemalingan,
membuatnya terheran-heran, apalagi malingnya ternyata menggunakan
ilmu sirep, hal itu makin menambah rasa gumun-nya.64
Dengan demikian, kini terbukti terlalu sombong jika Bhayangkara
beranggapan, bahkan semut sekalipun tak akan mampu menerobos
ke istana tanpa ketahuan. Siapa pun maling yang berhasil menerobos
rapatnya penjagaan istana tentu tertawa terbahak-bahak menertawakan
pasukan Bhayangkara. Jika berita itu menyebar, Bhayangkara akan
menjadi bahan tertawaan. "Di ruang harta dan pusaka ada banyak benda berharga yang lain,
tetapi hanya dua pusaka itu yang dipilih. Maling dengan bentuk perbuatan
macam itu, apa maunya?" tanya Gajah Enggon.
Pradhabasu tidak segera menjawab. Yang terlintas di benaknya justru
bagaimana sikap Gajah Mada, tepatnya bagaimana cara pandangnya.
Keberadaan kain cihna gringsing lobheng lewih laka yang melatari buah maja dan songsong Udan Riwis lebih dianggap sebagai lambang negara dan
63 Jengkar, Jawa, meninggalkan tempat
64 Gumun, Jawa, heran 54 Gajah Mada benda yang diderajatkan sebagai pusaka negara. Jika benda lambang
negara itu hilang dicuri orang, bukankah yang demikian itu berkaitan
dengan perlambang pula, setidaknya ada sebuah pesan terselubung di
balik pencurian itu. Pesan terselubung apa" Apakah ada lagi pihak yang berniat
melakukan makar setelah apa yang dilakukan Ra Kuti dan sembilan tahun
kemudian disempurnakan oleh Ra Tanca" Ada pihak yang bermimpi
mendirikan negara baru, atau bahkan ingin merebut Majapahit"
"Kauingat keris Empu Gandring?" tanya Pradhabasu mendadak
membelok. "Kenapa dengan keris Empu Gandring?" balas Gajah Enggon.
Soal keris Empu Gandring tentulah Gajah Enggon mengetahui
sampai ke lipatan paling kecil. Keris itu dibuat dari logam yang bukan
logam sembarangan. Empu Gandring memanfaatkan bongkahan
logam yang jatuh dari langit sebagai bahan baku keris yang dibuat.
Pembuatannya pun sangat melelahkan karena logam berwarna biru
itu sangat sulit ditempa dan berjiwa. Barulah setelah dilambari dengan
tirakat, logam itu bisa dikuasai. Jiwa yang mengeram dalam logam bisa
dikendalikan. Rupanya bongkahan batu besi itu mempunyai aura yang jahat, meski
diyakini siapa yang mampu menguasainya akan menggenggam wahyu
kekuasaan. Ken Arok memesan keris itu kepada Empu Gandring di
Lulumbang. Karena ketidaksabarannya melihat keris yang dipesannya
belum rampung, Ken Arok menggunakan keris itu untuk membunuh
pembuatnya. Empu Gandring terhenyak, sangat tak percaya dan tak bisa
menerima keris hasil karyanya menempatkan tubuhnya sebagai sebuah
warangka. Empu Gandring mati. Namun, sempat menjatuhkan
kutukannya bahwa keris pusaka itu akan meminta banyak darah terutama
mereka yang berebut kekuasaan, termasuk Ken Arok sendiri. Kutukan
itu menjadi mimpi buruk Ken Dedes yang sangat mencemaskan anak
keturunannya. Hamukti Palapa 55 Untuk kegelisahan Ken Dedes, ada tembang untuk itu.
" Eling-eling Ken Arok, sira den eling, tibane supata piwalese awak mami,
sira nemahi palasatra. Kairing sapta janma kang sira kanthi, katiban curiga minangka patukon mami, sira nemahi palastra! "65
Terbukti benar keris itu membunuh. Membunuh Empu Gandring,
membunuh Akuwu Tunggul Ametung, lalu membunuh prajurit Kebo
Ijo, kemudian membunuh Ken Arok, membunuh pengalasan dari Batil
utusan Anusapati, juga membunuh Anusapati. Tohjaya menyusul mati di
Katang Lumbang setelah digempur sepasang ular naga di satu sarang.66
Kutukan pembantaian itu masih ada jejak bayangnya atau
disempurnakan dengan runtuhnya semua pilar Tatag Rambat Bale
Manguntur Istana Singasari yang digempur oleh besan tak tahu diri.
Meski keris itu amat berdarah, setidaknya mulai muncul dan mekar
sebuah anggapan, keris pusaka itu tempat bersemayam wahyu kedaton.
Siapa orang yang bisa menguasainya, orang itu akan menjadi raja. Atau,
lebih mengarah lagi, siapa yang ingin menjadi raja, hendaknya harus
menguasai keris itu. Namun, di belakang keyakinan itu juga ada keyakinan
lain, siapa yang menjadi raja dengan memanfaatkan kekuatan keris Empu
Gandring, ia harus siap kehilangan nyawa sebagai penebus kutukan yang
dilepas Empu Gandring. Ketika pemerintahan berada di tangan bersama, diselenggarakan
oleh Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, Ranggawuni sebagai raja
dengan abiseka Sri Wisnuwardhana, sementara saudara sepupunya,
Mahisa Cempaka, sebagai Ratu Angabaya dengan nama abiseka
Narasinghamurti, saat itulah perintah untuk menghancurkan keris itu
dilakukan. Sri Wisnuwardhana dan Narasinghamurti dibayangi oleh
65 Eling-eling Ken Arok, sira den eling, tibane supata piwalese awak mami, sira nemahi palasatra.
Kairing sapta janma kang sira kanthi, katiban curiga minangka patukon mami, sira nemahi palastra,
Jawa, ingat-ingatlah Ken Arok, ingat-ingatlah, saat jatuhnya kutukanku, kau akan mati. Diikuti oleh tujuh orang yang kaubawa (semua) terkena keris sebagai harga yang aku minta, kau mati! Kalimat di atas adalah bunyi tembang Mas Kumambang yang ditulis oleh almarhum Ki Narto Sabdo, menggambarkan bagaimana dahsyat kutukan Empu Gandring yang tidak rela atas kematiannya.
66 Sepasang ular naga di satu sarang, julukan untuk pemerintahan bersama yang dilakukan Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
56 Gajah Mada rasa cemas gelisah, kutukan Empu Gandring yang mewarnai perjalanan
pemerintahan negara sejak masih beribu kota di Kutaraja masih akan
hidup hingga pemerintahan beribu kota di Singasari. Oleh karena itu,
kedua raja kembar tersebut memutuskan untuk memenggal mata rantai
kutukan itu jangan sampai berkelanjutan.
Serombongan prajurit di bawah pimpinan Senopati Bungalan
ditugasi melarung keris itu ke kawah Gunung Kampud, tepat di kawahnya
yang bergolak. Di titik didih yang menyengat, meski keris itu berbahan
batu bintang yang jatuh dari langit, akan hancur dan melumer. Bungalan
yang kembali dari puncak Gunung Kampud melapor kepada dua raja
kembar yang memberi perintah bahwa tugas telah berhasil dilaksanakan,
meski dengan susah payah.
Namun, lebih kurang setahun kemudian sepasang raja itu bermimpi
bersama-sama tentang hal yang sama, tetapi dengan bentuk berbeda,
bahwa Bungalan ternyata telah berbohong. Keris itu belum dilarung.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di hadapan raja, Bungalan bersumpah bahwa tugas benar-benar telah
dilaksanakan, keris telah hancur di kawah yang mendidih. Sumpah
Bungalan itu dikuatkan oleh para prajurit yang ketika itu menemaninya
naik ke puncak Kampud. Akan tetapi, sejarah kemudian membuktikan, perebutan kekuasaan
terjadi bukan hanya karena kutukan-kutukan. Sebenarnya nafsulah
penyebabnya. Nafsu menggelegak, bahkan menyebabkan orang berpikir
tidak waras, pohon disembah, laut disembah, hantu disembah. Bendabenda itu disembah karena dianggap memiliki kekuatan, disembah karena
dianggap sebagai sarang wahyu.
Untuk mendapat kekayaan, berjenis ilmu hitam digeluti. Tak hanya
binatang yang saling bantai dengan binatang, adakalanya manusia, bahkan
jauh lebih bengis. Harta, takhta, dan wanita bagi kaum lelaki, selalu
memunculkan nafsu angkara.
Demikianlah keyakinan orang berubah dan bergerak mengenai
bagaimana asal mula keris Empu Gandring yang diyakini tempat
bersemayamnya wahyu. Setelah keris Empu Gandring, kini boleh jadi
cihna nagara dan songsong Udan Riwis dicurigai sebagai sarang wahyu
Hamukti Palapa 57 keraton pula. Dengan alasan itu, benda yang hanya berwujud kain
dan payung itu dicuri. Didasari keyakinan, siapa yang bisa memiliki
dan menguasai jiwa dua benda itu bakal bisa menjadi raja. Boleh jadi,
malingnya ingin menjadi raja atau malingnya mempunyai kegemaran
mengumpulkan benda-benda yang mempunyai nilai tertentu.
"Bisa jadi, maling berkemampuan sirep itu punya keyakinan yang
keblinger," kata Pradhabasu.
"Maksudmu?" balas Gajah Enggon.
Pradhabasu tidak mengubah arah pandangnya yang jatuh ke
halaman rumah. "Siapa tahu ada orang yang berpendapat cihna gringsing lobheng lewih
laka dan songsong Kiai Udan Riwis merupakan pusaka keraton sarang
wahyu. Maling itu mencuri karena berharap bisa menjadi raja melalui
cara itu. Dengan memiliki dua pusaka itu, muncul anggapan wahyu akan
hinggap pada dirinya dan akan mengantar siapa pun orang itu untuk
menggenggam tampuk kekuasaan atas pemerintahan."
Gajah Enggon merasakan permukaan jantungnya bagai dirambati
ratusan ekor semut. "Begitu?" tanya Gajah Enggon.
"Keris Empu Gandring pernah mengalami peran macam itu. Siapa
orang yang bisa menguasai keris Empu Gandring, orang itu kewahyon akan
menguasai takhta. Melalui terbentuknya anggapan macam itu, sekarang
payung Udan Riwis dan kain lambang negara yang dianggap bertuah,
dianggaplah sebagai sarang wahyu."
Gajah Enggon tidak menganggap kilah itu tak masuk akal. Gajah
Enggon justru menganggap kilah itu sangat masuk akal. Setidaknya,
benda-benda yang hilang itu memang pantas kalau dianggap sebagai
sarang wahyu. Cihna yang hilang merupakan lambang negara yang dibuat
pertama kali, dibatik dan digambar berdasar perintah Raden Wijaya.
Siapa pun yang mendapat tugas membuat lambang negara itu, pasti
mengerjakannya dengan tidak sembarangan. Membuat lambang negara
58 Gajah Mada pusaka pastilah dilambari dengan pati geni, dengan laku prihatin luar biasa,
yang akhirnya menempatkan diri sebagai wadah wahyu.
Pun demikian dengan songsong Udan Riwis. Benda itu kini bukan
benda sembarangan lagi. Benda itu disembah karena dipercaya punya
kekuatan. Kekuatan yang ada pada payung itu bahkan mampu menolak
hujan agar tak turun atau sebaliknya, menghadirkan hujan ketika saatnya
dibutuhkan. Wajar kalau muncul anggapan cihna buah maja berlatar kain bercorak
geringsing berwarna merah dan payung Udan Riwis adalah benda bertuah
yang menyimpan wahyu pinunjul, wahyu kedaton.
Gajah Enggon menengadah memandang belandar dan usuk.
"Bagaimana sikap para Prabu Putri?" tanya Pradhabasu.
Gajah Enggon yang menengadah menoleh.
"Aku telah menyampaikan hilangnya benda pusaka itu kepada Kakang
Gajah Mada, tetapi belum kepada Tuan Putri Tribhuanatunggadewi dan
Tuan Putri Rajadewi. Bahkan, Paman Mahapatih Amangkubumi pun
belum diberi tahu. Kakang Gajah Mada memberi kesempatan kepadaku
untuk bertanggung jawab terhadap hilangnya benda-benda pusaka itu
dengan batas waktu. Jika dalam waktu tiga bulan payung Udan Riwis
dan lembaran kain lambang negara itu belum ditemukan, kecurian itu
akan dilaporkan kepada kedua Prabu Putri. Aku benar-benar merasa
berada di ujung tanduk," kata Gajah Enggon.
Tiba-tiba Pradhabasu tersenyum.
"Kau merasa berada di ujung tanduk, cemas akan kehilangan
jabatanmu yang kini membuat tubuhmu gendut itu?"
Amat ringan Gajah Enggon menggeleng.
"Sama sekali tidak seperti itu," jawab Gajah Enggon. "Pangkat dan
derajat bukan hal yang penting buatku. Dicopot dan andai dihukum
mati pun tidak masalah. Masalahnya adalah soal tanggung jawab. Aku
orang yang paling bersalah atas peristiwa kemalingan itu. Aku harus bisa
Hamukti Palapa 59 mengembalikan benda pusaka itu ke gedung perbendaharaan pusaka
dan mengungkap apa latar belakangnya."
Hening dengan gesit menyelinap dan mewarnai pembicaraan
yang terjadi. Gajah Enggon menekuk-nekuk jemari dan dilanjutkan
dengan mengkucal-kucal rambut yang dibiarkan terurai. Senyap yang
merayap menemani Pradhabasu yang berjalan mondar-mandir sambil
sibuk berpikir. Pradhabasu menuangkan air dari dalam bumbung yang penuh air
rebusan serai, yang ia suguhkan didampingi sepotong gula aren.
"Apakah kira-kira ada kaitannya dengan Keta 67atau Sadeng?" tanya
Gajah Enggon. Pradhabasu tidak menjawab karena tidak tahu jawabnya.
"Saat ini Sadeng dan Keta secara sembunyi-sembunyi sedang
melakukan gerakan mencurigakan yang amat mungkin mengarah ke
makar. Kalau memang ke sana arah gerakan itu dan dipandang perlu
didukung oleh kekuatan wahyu, dicurilah dua benda itu. Demikian nalarnya,
bukan" Apakah kira-kira seperti itu cara pikir orang Keta dan Sadeng?"
Pradhabasu tidak menjawab, tetapi ia mencerna apa yang dikatakan
Gajah Enggon. Mengenai Sadeng maupun Keta yang secara delikan 68
sedang menghimpun kekuatan, keterangan tentang itu dirinyalah yang
melaporkan pertama kali ke Majapahit. Namun, setiap kali digelar
pasewakan selalu saja penguasa Sadeng dan Keta hadir di Majapahit
sehingga sangat sulit menjatuhkan tuduhan. Apalagi, kewajiban untuk
mengirim upeti selalu dipenuhi tanpa kurang secuil pun. Namun, siapa tahu
di balik wajah orang Keta dan Sadeng itu menyembunyikan wajah lain.
Berbeda dengan kehadiran utusan yang selalu datang ke pasewakan
tahunan yang selalu menunduk dalam-dalam ketika menekuk wajah
67 Keta, di mana negara itu berada menjadi sebuah pertanyaan besar. Namun, Prof. Dr. Slamet Muljono dalam peta rekonstruksi yang dibuatnya menempatkan Keta di Besuki ( Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya).
68 Delikan, Jawa, sembunyi-sembunyi
60 Gajah Mada dalam menyembah raja. Sebaliknya, telik sandi pasukan khusus
Bhayangkara yang dikirim menyusup ke dua wilayah itu memberi
laporan berbeda. Di tempat yang tersembunyi dan tidak dilakukan di pusat kota, geladi
perang dan upaya menghimpun kekuatan dilakukan. Sebuah lapangan
terbuka dibangun di tengah hutan yang terpencil dan tidak dirambah
siapa pun. Di tempat itu geladi dilakukan, diikuti pasukan berkekuatan
segelar sepapan 69 yang mencoba mempelajari rahasia gelar perang.
"Mungkinkah Sadeng dan Keta mendalangi pencurian dua benda
pusaka itu?" ulang Gajah Enggon.
"Kemungkinan itu ada," jawab Pradhabasu. "Untuk menelusurinya,
bisa kaukirim telik sandi khusus untuk keperluan menemukan dua pusaka
itu. Atau, aku punya pendapat lain, cobalah kau menghadap Tuan Putri
Gayatri. Pradhabasu tergoda oleh batuknya. Dengan wedang serai
kegemarannya, mantan prajurit pilihan dari pasukan khusus Bhayangkara
itu membasahi tenggorokannya.
"Mintalah Tuan Putri Gayatri bercerita bagaimana riwayat kedua
pusaka itu," lanjut Pradhabasu. "Siapa tahu dari sana kau akan
memperoleh arah yang harus kautuju untuk menemukan kembali kedua
pusaka yang hilang itu. Selanjutnya, aku mempunyai saran, sebaiknya
peristiwa kemalingan itu segera dilaporkan kepada kedua Prabu
Putri. Jika kau harus dicopot sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara
sebagai tanggung jawab atas kecurian itu, terima saja keputusan itu dan
selanjutnya kaupunya waktu sangat luang untuk mencari kedua pusaka
itu. Kau tak mungkin punya waktu dengan keadaanmu sekarang. Kau
juga tidak mungkin mengandalkan anak buahmu."
Gajah Enggon mengerutkan kening.
"Aku harus menghadap Ratu Gayatri?" tanya Gajah Enggon.
69 Segelar sepapan, pasukan dengan kekuatan total~zaman sekarang setara dengan penggelaran kekuatan gabungan dari semua korps.
Hamukti Palapa 61 "Tuan Putri Biksuni Gayatri tahu persis riwayat cihna dan songsong
yang hilang itu. Kaukorek keterangan itu sampai bagian sekecil-kecilnya.
Kalau kau tak mungkin mencari sendiri, selebihnya biarlah aku yang
melacakkan untukmu."
Senopati Gajah Enggon manggut-manggut sambil menahan
senyum tipis yang akan mengembang.
"Andai gagasanmu itu aku turuti, apakah dengan demikian kita
akan menempuh perjalanan panjang?" tanya Enggon.
"Itu amat mungkin aku lakukan. Lagi pula, sudah lama aku menahan
keinginanku untuk kembali menempuh perjalanan panjang," jawab
Pradhabasu. "Bagaimana dengan anakmu?" tanya Gajah Enggon.
"Tentu aku tak perlu membawanya menempuh perjalanan panjang
yang akan aku tempuh. Soal Prajaka, anakku, ada orang yang terbiasa
mengurusnya." Tak berkedip Gajah Enggon memandang lawan bicaranya. Senyum
yang ditahan akhirnya merekah juga.
"Selama ini aku berharap kau mengawininya, itukah yang
kaulakukan?" Pertanyaan yang berbelok mendadak itu menyebabkan Pradhabasu
merasa lehernya agak tercekik. Wajah Dyah Menur atau Sekar Tanjung
datang melintas. "Aku mengawini Dyah Menur Sekar Tanjung" Kau berpikir seperti
itu?" "Ya," jawab Gajah Enggon.
Pradhabasu tersenyum, tetapi dengan segera senyum itu muksa dari
wajahnya. Pembicaraan yang membelok mendadak itu menyebabkan
Pradhabasu tak bisa mencegah kehadiran wajah mantan Patih Daha di
benaknya. Sosok yang memberinya kecemasan sekaligus sosok yang
membuatnya selalu berangan-angan.
62 Gajah Mada "Bagaimana dengan Kakang Gajah Mada, apa Kakang Patih Gajah
Mada juga berpikir seperti itu?"
Gajah Enggon menatap lurus mata Pradhabasu.
"Aku tidak tahu bagaimana cara pandang Kakang Gajah Mada,"
Gajah Enggon menjawab. "Namun, aku yakin Kakang Gajah Mada
mempunyai cara melihat jauh ke depan. Dan, demi kepentingan yang
lebih besar, tidak peduli jika untuk cara pandang macam itu menyebabkan
harus ada pihak yang menjadi korban. Ibarat tangannya sendiri pun jika
perlu dipotong. Jika Kakang Gajah Mada datang ke sini dan bertanya
soal itu, lebih bagus kalau kamu mengarang cerita perempuan itu sudah
mati." Semula wajah Pradhabasu datar saja, tetapi beberapa jenak kemudian
senyumnya mencuat. Senyum yang oleh Gajah Enggon dibaca sinis.
"Perempuan itu memang sudah mati," jawab Pradhabasu.
Tak berkedip Gajah Enggon.
"Perempuan itu memiliki cinta dan kesetiaan. Ia punya harga diri.
Selama ini aku sulit memahami kenapa adikku mampu mengambil
pilihan mati saat mana aku kabarkan kematian suaminya. Cinta, harga
diri, dan kesetiaan punya kekuatan yang mendorong orang melakukan
itu. Di alam kematiannya sana, adikku bahagia bisa bertemu dengan
Mahisa Kingkin." Wajah Gajah Enggon tegang.
"Kau berkata sesungguhnya?" tanya senopati pimpinan Bhayangkara
itu. Pradhabasu memamerkan wajah datarnya. Jika Pradhabasu
tersenyum, itu berarti apa yang diucapkan tidak bersungguh-sungguh.
"Benarkah yang kaukatakan itu?" Gajah Enggon memberi
tekanan. Wajah Pradhabasu tetap datar, tak ada jawaban yang keluar dari
mulutnya. Hamukti Palapa 63 "Kalau ya," tambah Gajah Enggon, "mungkin aku perlu mengabarkan
kepada Raden Kudamerta supaya beliau tidak lagi memikirkannya. Juga
ada baiknya kulaporkan itu kepada Kakang Gajah Mada agar Kakang
Gajah Mada tidak terhantui adanya klilip 70 yang bisa mengganggu
peralihan kekuasaan istana di waktu yang akan datang."
Pradhabasu termangu beberapa saat. Alasan yang disampaikan
Gajah Enggon itulah sebenarnya yang menjadi penyebab ia merasa
enggan bertemu dengan Gajah Mada.
Setelah sekian lama waktu berlalu sejak kematian Sri Jayanegara,
belum sekalipun Pradhabasu datang menemui Gajah Mada. Setidaknya
dua kali Gajah Mada datang berusaha menemui, tetapi Pradhabasu
berhasil menghindar. Gajah Mada yang datang mengira dirinya sedang
menempuh perjalanan panjang dari satu daerah ke daerah lainnya
dalam rangka memuaskan diri terhadap rasa ingin tahu dan kegemaran
bertualang. "Aku tidak keberatan," kata Pradhabasu. "Dengan begitu, bocah yang
tidak bersalah itu akan aman. Kakang Patih Gajah Mada menganggapnya
sebagai sumber bahaya kekuasaan istana atau mencemari garis trah.
Baiklah aku sependapat, sampaikan kepada Kakang Patih Gajah Mada
nasib buruk yang menimpa Dyah Menur. Ia telah mati lampus dengan
bakar diri bersama anaknya sebagai pilihan pahit yang harus diambil."
Gajah Enggon tak menjawab, tetapi mengangguk membenarkan.
Dalam hati, Gajah Enggon berniat akan mengabarkan hal itu.
"Tetapi, bagaimana cerita yang sesungguhnya terjadi?" Gajah
Enggon mengejar. Pradhabasu menggeleng dengan tegas.
"Sebaiknya aku tidak memiliki cerita lain kecuali ibu dan anak itu
memang telah mati. Itu kabar yang bagus untuk Kakang Gajah Mada
dan mungkin kabar pahit bagi Raden Kudamerta. Namun, dengan
70 Klilip, Jawa, arti harfiahnya debu, arti kiasannya sesuatu yang berpotensi mengganggu dan menimbulkan masalah di kemudian hari.
64 Gajah Mada mendengar cerita itu, Raden Kudamerta akan meniti tonggak baru,
mulai mengarahkan pandangan ke depan tanpa harus dibayangi wajah
Dyah Menur dan anaknya. Ia hanya boleh menatap Prabu Putri Dyah
Wiyat Rajadewi Maharajasa tanpa harus menatap wajah lain selain Prabu
Putri." Gajah Enggon merasa bukan bocah kecil yang bisa dibohongi,
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi Gajah Enggon bisa memahami alasan Pradhabasu menghapus
nama Dyah Menur dan anaknya semata-mata untuk menyelamatkan
mereka dari kejaran Gajah Mada. Demi kepentingan yang jauh lebih
besar, demi kebesaran dan keagungan negara, penyakit bernama Dyah
Menur harus dihapus keberadaannya. Bahkan, andaikata penyakit itu
melekat di tangan, Gajah Mada diyakini tidak akan segan menebas
tangannya. Seharian Gajah Enggon berada di rumah bekas Bhayangkara
Pradhabasu. Banyak hal dibicarakan hingga akhirnya sore datang
menjelang. Gajah Enggon memutuskan pulang.
"Aku iri kepadamu," kata Gajah Enggon.
Pradhabasu terkejut. Dahinya mencuat seiring senyumnya yang
ditahan. "Hah, apa yang harus diirikan?" balas Pradhabasu.
"Dengan kedudukanmu sekarang, kau bisa bebas lepas terbang
seperti burung. Ke mana pun kau bisa tanpa harus terpagari waktu."
Pradhabasu tidak menanggapi kata-kata itu. Senyumnya yang
akhirnya melebar pun bertambah lebar dengan tawanya yang berderai.
Sejenak kemudian, suara derap kuda yang ditunggangi pimpinan pasukan
Bhayangkara itu membelah udara pedukuhan yang tak begitu ramai,
meski berada cukup dekat dengan kotaraja. Sepanjang jalan yang dilintasi,
debu mengepul ke udara. Pradhabasu akan kembali masuk ke rumahnya ketika tetangga
sebelah datang dengan bergegas.
"Ada apa, Ki Sangga?" tanya Pradhabasu dengan ramah.
Hamukti Palapa 65 Ki Sangga bernama lengkap Sangga Rugi. Orang bertubuh kurus
kering dan hanya berkemul sarung itu memandang ke jejak kuda yang
makin jauh melintas bulak panjang. Perut Ki Sangga Rugi sedang penuh
dengan rasa ingin tahu, selalu ingin tahu meskipun bukan urusannya.
Sikapnya yang demikian sering menyebabkan beberapa tetangganya
merasa sebal, tetapi Ki Sangga Rugi memang tak mengenal kata sebal.
"Siapa orang itu?"
Pradhabasu geleng-geleng kepala, lalu tersenyum.
"Pimpinan pasukan khusus Bhayangkara," jawabnya apa adanya.
"Waah?" dengan segera alis Ki Sangga Rugi mencuat.
Pradhabasu tersenyum. "Ia sahabatku," Pradhabasu memberi penjelasan.
Ki Sangga Rugi terbelalak.
"Masa?" Ki Sangga Rugi tidak percaya.
"Kenapa?" balas Pradhabasu.
"Tak mungkin ia pimpinan pasukan Bhayangkara. Tidak mungkin
ia datang ke sini untuk menemuimu. Kamu itu siapa?"
Memperoleh pertanyaan itu, Pradhabasu segera tersenyum. Ia
lakukan itu sambil garuk-garuk kepala.
"Jadi, kalau seorang senopati tidak boleh datang mengunjungiku
ke sini?" Ki Sangga Rugi merasa curiga. Tetangganya yang bernama
Pradhabasu itu sungguh keterlaluan dalam membual. Kalau bercerita
siapa saja para raja turun-temurun sejak dari zaman Singasari, seolah
Pradhabasu keturunan raja. Kalau menceritakan bagaimana sepak terjang
orang-orang Bhayangkara, seolah Pradhabasu pernah menjadi bagian
dari pasukan Bhayangkara. Sungguh sikap yang sangat menyebalkan.
Kalau bukan karena rasa belas kasihannya, tentu telah digamparnya
mulut sombong itu. 66 Gajah Mada Begitu sombongnya, kini Pradhabasu mengarang cerita seolah
pimpinan pasukan khusus itu datang mengunjunginya. Padahal, ia yang
merasa kenal dengan Gajah Mada yang lebih sangar dan lebih terkenal,
sama sekali tidak pernah membual.
"Jangan menceritakan hal yang tidak benar," kata Ki Sangga Rugi
memberi saran. Pradhabasu terbelalak. "Apa maksudmu?" tanya Pradhabasu.
Ki Sangga Rugi bahkan bertolak pinggang.
"Sudah aku bilang, janganlah membual. Coba siapa tamu itu tadi"
Tidak usahlah mengarang-ngarang cerita dengan niat menggelembungkan
kepala. Aku bukan orang bodoh. Aku bukan anak kemarin sore yang
akan gampang silau."
Pradhabasu makin bingung. Pradhabasu sulit memahami mengapa
ada tetangga yang sikapnya aneh seperti itu.
"Maksudmu aku tidak bodoh itu bagaimana?"
"Kamu itu siapa" Tak mungkin seorang senopati, apalagi senopati
Bhayangkara datang ke sini."
Pradhabasu akan tertawa, tetapi ditahannya keinginan untuk tertawa
itu sekuat tenaga. "Kamu bertanya siapa orang itu, aku tidak mengundang kamu
datang untuk selalu ingin tahu urusan orang lain. Lalu kujawab, ternyata
kamu curiga jawabanku tidak benar. Terserahlah!"
"Maksudku, jujur sajalah," jawab Ki Sangga Rugi.
"Kalau kusebut nama lain, mungkin kau masih tak akan percaya.
Bagaimana jika kusebut nama sahabatku yang datang itu Gajah Enggon?"
jawab Pradhabasu. "Nah, begitu," kata Ki Sangga Rugi.
Hamukti Palapa 67 Akan tetapi, sejenak kemudian Ki Sangga Rugi terbelalak.
Pradabhasu sama sekali tidak berminat meladeni tetangga yang satu itu.
Pradhabasu beranjak masuk ke rumah.
"Tunggu," kata Ki Sangga Rugi.
Pradhabasu berhenti dan berbalik.
"Kenapa?" balas Pradhabasu.
"Kamu tadi menyebut orang itu Gajah Enggon?"
Pradhabasu tak menjawab. Hanya dipandangi dan ditunggu apa
yang akan dikatakan Ki Sangga Rugi.
"Bukankah Gajah Enggon itu nama senopati pimpinan pasukan
Bhayangkara?" "Ya," jawab Pradhabasu. "Kau melihat wajahnya, bukan" Kau masih
bisa mengenali ia adalah Gajah Enggon?"
Namun, Ki Sangga Rugi punya keyakinan yang dipegang teguh
tak ubahnya agama. Bagi Ki Sangga Rugi, tidak mungkin tetangganya
bersahabat dengan pejabat penting istana.
"Sangat tidak masuk akal dan sangat mustahil orang penting di
Majapahit bersedia datang berkunjung ke rumah Pradhabasu, rumah
yang jelek, rumah yang sangat tidak pantas didatangi punggawa kerajaan
setinggi senopati. Kalau dibiarkan, Pradhabasu pasti akan membual
bahwa Prabu Putri Tribhuanatunggadewi dan adiknya akan datang
mengunjungi rumahnya yang akan ambruk itu. Sikap Pradhabasu yang
demikian harus dihadang. Jika dibiarkan, ia akan nglunjak,"71 pikir Ki
Sangga Rugi. Dan, Ki Sangga Rugi rupanya punya cadangan bualan yang tak
akan habis dikuras. "Kautahu Gajah Mada?" tanya Ki Sangga Rugi.
71 Nglunjak, Jawa, kurang ajar
68 Gajah Mada "Ya," balas Pradhabasu. "Hampir setiap orang Majapahit tak ada
yang tak pernah mendengar nama itu. Gajah Mada adalah pahlawan
yang telah menyelamatkan Prabu Sri Jayanegara dari kejaran Ra Kuti
sampai ke Bedander yang terletak di Pegunungan Kapur Utara. Gajah
Mada juga yang berhasil meredam persaingan antara pendukung Raden
Cakradara dan Raden Kudamerta yang ingin berebut kekuasaan setelah
kematian Prabu Sri Jayanegara. Gajah Mada pernah menjadi patih di
Kahuripan mendampingi Tuan Putri Sekar Kedaton Sri Gitarja, juga
pernah menjadi patih di Daha mendampingi Prabu Putri Dyah Wiyat
ketika masih menjadi pemangku wilayah Daha. Gajah Mada pula yang
dengan tangkas membunuh Rakrian Tanca karena telah meracuni Sang
Prabu Jayanegara." Ki Sangga Rugi mencuatkan alis. Entah bagaimana ceritanya,
tetangga sebelahnya itu banyak tahu. Bedander pun tahu. Apalagi,
Pradhabasu masih melanjutkan bercerita apa yang diketahuinya.
"Ketika itu Gajah Mada dengan sekitar lima belas anak buahnya
membawa keluar Prabu Jayanegara dari dinding istana dengan membuang
umpan ke Krian. Ra Kuti dan para Dharmaputra Winehsuka yang lain
mengejar umpan itu ke Krian. Ternyata tidak ada siapa-siapa di sana.
Di antara pasukan Bhayangkara rupanya ada yang berkhianat dan
memberi petunjuk, Prabu Jayanegara disembunyikan di rumah Ki Buyut
Mojoagung. Untung Bekel Gajah Mada masih mampu menyelamatkan
Prabu Jayanegara sampai ke wilayah jauh di Bojonegoro dan kemudian
ditolong oleh Lurah Bedander.
Di Bojonegoro, pengkhianat bernama Singa Parepen atau Bango
Lumayang itu akhirnya dibunuh oleh Gajah Mada. Semula sangat sulit
untuk mengungkap siapa jati diri pengkhianat itu, tetapi karena pintar
dan jitunya Gajah Mada dalam bersiasat yang dibantu oleh seorang anak
buahnya maka pengkhianat itu muncul ke permukaan."
Ki Sangga Rugi terheran-heran, nama Singa Parepen baru pertama
kali Ki Sangga Rugi mendengarnya.
"Singa Parepen" Bagaimana kamu bisa tahu semua itu?"
Hamukti Palapa 69 Pradhabasu tersenyum lebar.
"Karena aku gemar melanglang buana ke mana-mana. Aku punya
kegemaran pergi dari satu tempat ke tempat lain sehingga aku banyak
melihat dan mendengar. Terus, ada apa dengan Gajah Mada" Kenapa
tiba-tiba kau bertanya tentang Gajah Mada?"
Ki Sangga Rugi merasa memperoleh waktu untuk meledakkan isi
perutnya. "Gajah Mada itu sahabatku, teman akrabku yang baik," ucapnya
dengan segenap rasa puas.
Pradhabasu tersenyum. "O, ya, bagus itu. Tak banyak orang mendapat kesempatan
bersahabat dengan Gajah Mada. Yang aku dengar, Gajah Mada itu
berwajah sangar. Yang aku dengar, Gajah Mada juga sulit tertawa. Ooo,
jadi ia sahabatmu?" "Kalau ke rumahku," Ki Sangga Rugi menjawab tangkas, "ia amat
betah dan malas pulang. Kegemarannya makan ketela bakar. Aku tidak
mau menyuguhi nasi karena berapa bakul pun nasi kusediakan selalu
habis." Pradhabasu mendadak merasa perutnya sakit.
"Begitu?" "Ya," jawab Ki Sangga Rugi. "Kalau aku ke kotaraja, Gajah Mada
selalu berharap aku singgah. Seorang prajuritnya ditempeleng Gajah
Mada karena tidak memperlakukan aku dengan baik."
Pradhabasu mencuatkan alis.
"Kenapa Gajah Mada menempeleng anak buahnya?"
"Prajurit itu menghalang-halangi niatku bertemu dengan Gajah
Mada," kata Sangga Rugi. "Perbuatannya itu ketahuan oleh Gajah Mada
dan ia marah sekali. Prajurit itu lalu ditempeleng dan dipukuli sampai
babak belur." Pradhabasu makin termangu dan takjub.
70 Gajah Mada "Gajah Mada menghukum anak buahnya seperti itu karena tidak
menghormati dirimu?"
"Benar!" jawab Ki Sangga Rugi. "Kalau aku ke kota, ikut saja. Nanti
kamu akan aku perkenalkan dengan Gajah Mada."
Pradhabasu menggeleng. "Tidak usah," jawabnya. "Aku takut berkenalan dengan Gajah Mada.
Yang aku dengar Gajah Mada itu pemarah. Kepalan tangannya dua kali
besar kepalan tanganku. Aku takut."
Ki Sangga Rugi tertawa bergelak. Tertawa dengan rasa puas yang
memenuhi rongga dadanya. Namun, Pradhabasu bukan jenis orang
yang ingin memberi pelajaran untuk urusan macam itu. Pradhabasu
sama sekali tidak memasukkan segala omong kosong dan bualan itu
ke dalam hati. Pradhabasu justru gelisah, apa yang dituturkan Gajah
Enggon memang sangat membekas dalam hatinya. Pradhabasu curiga,
pencurian terhadap dua benda yang tidak bernilai dan sekaligus tak
ternilai itu merupakan sebuah lambang. Lambang apa" Ada kaitannya
dengan rencana makar yang dilakukan penguasa Keta dan Sadeng" Atau,
karena hal lain" "Prajaka!" Pradhabasu memanggil.
Sang Prajaka sama sekali tidak terusik.
"Prajaka, lihat aku!" Pradhabasu mempertajam warna suaranya.
Memperoleh bentakan itu, Sang Prajaka menoleh. Namun, arah
pandang bocah yang dililit sakit jiwa itu tertuju ke arah lain.
"Pandang mataku, Prajaka!" perintah Pradhabasu dengan tegas.
Sang Prajaka menggerakkan bola matanya perlahan, tertuju langsung
dan lurus ke mata Pradhabasu. Cukup lama Prajaka tidak berkedip. Hal
itu yang membuat Pradhabasu sering terheran-heran. Kemampuan tidak
berkedip itu bisa berlangsung lama. Pradhabasu sendiri pernah mencoba
untuk bertahan tak berkedip, tetapi tak mampu, hanya beberapa kejap
matanya langsung berair. Hamukti Palapa 71 "Aku akan pergi. Kau akan aku titipkan di Bibi Tanjung, bagaimana?"
Pradhabasu bertanya. Hanya untuk satu hal Sang Prajaka bisa tersenyum. Satu hal itu
adalah Bibi Tanjung yang amat baik dan tulus dalam menyayanginya.
Namun, itu pun hanya sejenak. Senyum yang berlepotan teka-teki
itu kemudian menghilang tidak ada jejaknya. Meskipun demikian,
Pradhabasu telah telanjur menandainya.
Sang Prajaka mengangguk, tak lebih dan tak kurang. Hanya
tiga hal yang bisa ia lakukan saat berurusan dengan orang lain, yaitu
mengangguk, menggeleng, atau diam. Jika berkenan, Prajaka akan
mengangguk. Sebaliknya, jika tidak berkenan, ia akan menggeleng,
itu pun arah pandang matanya tidak akan ditujukan kepada orang di
depannya. Selebihnya, ia pilih diam membisu. Andaikata gunung meledak
di depannya, ia akan tetap membisu.
Sang Prajaka seperti punya dunia sendiri, dunia yang tak ada
hubungannya dengan dunia wajar yang semestinya. Kembali Sang Prajaka
larut dalam tatapan matanya yang aneh. Tatapan mata yang tembus jauh
menjebol sekat antara yang kasatmata dan tak kasatmata, seolah melalui
pandangan mata yang aneh itu, Prajaka mampu melihat gerak tingkah
para hantu dan makhluk halus lainnya.
Pertemuannya dengan Senopati Gajah Enggon mendorong
Pradhabasu mengambil keputusan untuk kembali berkelana dari satu
wilayah ke wilayah lain. Hanya dengan cara seperti itu jejak dua pusaka
yang hilang itu bisa ditelusuri dengan lebih teliti. Perjalanan berkelana
seperti itu bukannya tanpa bahaya karena masih banyak wilayah yang
belum aman di pelosok Majapahit, terutama yang jauh dari kotaraja.
Kemarau panjang banyak menimbulkan kesulitan dan kesulitan sering
menjadi penyebab orang mengambil jalan pintas, maling bermunculan,
demikian juga dengan perampok atau begal.
Menghadapi bahaya itu senjata harus disiapkan, termasuk anak
panah yang amat mungkin digunakan berburu saat kehabisan bahan
makan di jalan. Untuk keperluan yang membutuhkan waktu agak lama
itu, Pradhabasu harus menitipkan anaknya. Terhadap keperluan itu, tak
72
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Mada perlu ada yang dicemaskan karena ada orang yang dengan senang hati
akan membantu mengurus. Dilakukannya itu tidak hanya dengan senang
hati, tetapi dengan ketulusan tanpa tepi.
Persoalan yang dicemaskan Pradhabasu menembus ke waktu yang
jauh ke masa depan Prajaka, yang dalam hal apa pun sangat bergantung
kepada dirinya. Jika Sang Prajaka mampu mandiri, tentu tak ada yang
perlu digelisahkan. Dengan keterbelakangan seperti itu, Pradhabasu
cemas jika kelak tiba saatnya ia mati, lalu siapa yang akan mengurus bocah
itu, siapa yang akan memberinya makan dan melindunginya jika ia berada
dalam bahaya. Dengan keterbelakangan macam itu, tidak mungkin ada
perempuan yang mau menjadi istrinya. Hidup tanpa masa depan yang
demikian sering memunculkan pertanyaan, apa gunanya hidup.
Pradhabasu meraih endong 72 penuh dengan anak panah yang
digantungkan di dinding untuk dibersihkan. Kurang cermat Pradhabasu
dalam memegang endong itu hingga jatuh berserakan di lantai. Sang
Prajaka melirik sekilas dan kembali larut pada tanduk menjangan
penghias dinding. Pradhabasu memunguti anak panah itu satu per satu
dan menatanya. "Dua puluh delapan."
Pradhabasu tertegun dan tangannya berhenti memunguti anak
panah. Dengan muka sangat heran Pradhabasu memandang anaknya.
"Apa tadi kaubilang?" tanya Pradhabasu.
Pradhabasu terheran-heran karena jarang sekali mendengar Prajaka
berbicara. Namun, Prajaka tidak mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya
terayun-ayun mirip orang menunggang kuda atau lebih mirip orang
menahan sakit perut yang amat sangat. Ia lakukan itu dengan alasan
hanya ia sendiri yang tahu. Gerakan itu dilakukan seperti tidak berasal
dari perintah otaknya. Pradhabasu yang merasa heran menumpahkan anak panah yang
telah telanjur dimasukkan ke dalam endong dan menghitungnya satu
72 Endong, Jawa, wadah anak panah
Hamukti Palapa 73 per satu. Ketika pekerjaan itu tuntas, mata mantan prajurit Bhayangkara
itu terbelalak. Tak cukup hanya terbelalak, Pradhabasu kembali
menghitungnya. "Dua puluh delapan," desisnya. "Bagaimana kamu bisa menghitung
secepat itu, Prajaka?"
Sang Prajaka tidak menjawab. Kesibukan mengayunkan tubuh
dengan mata tidak bergeser dari arah pandangnya baginya lebih penting
daripada menjawab pertanyaan yang diajukan ayahnya. Rasa penasaran
membelit Pradhabasu yang mendorongnya melakukan pembuktian.
Sekepal anak panah dipisahkan, sisanya dibuang berserakan ke lantai.
Pradhabasu menyentuh pundak bocah itu dan memerhatikan dengan
cermat bagaimana bahasa permukaan wajahnya.
"Dua puluh satu," ucap Prajaka setelah melirik sekilas.
Hanya sekilas, waktu yang secara lumrah tidak cukup digunakan
menghitung. Dengan gugup dan rasa heran, Pradhabasu memungut anak panah
yang ditebar dan segera menghitungnya. Makin terbelalak Pradhabasu.
Didorong oleh rasa tidak percaya, Pradhabasu kembali memungut semua
anak panah dan menghitung ulang.
"Kau ini pandai atau goblok?" desis Pradhabasu sambil tak mampu
menguasai diri. Sang Prajaka terus mengayun tubuhnya, terus bergerak sambil
mendekap perut. Ia lakukan itu kali ini sambil dengan memejam mata.
Dengan tidak melihat apa-apa, Prajaka gampang larut ke dunia lain, dunia
yang bukan wilayah lumrah manusia. Barangkali di sana para hantu bisa
dilihat wujudnya secara telanjang. Barangkali melalui cara itu akan tampak
bagaimana hantu perempuan menyusui anaknya atau bagaimana para
makhluk halus bermasyarakat antara satu dan lainnya, atau bahkan bisa
melihat arwah ibunya yang telah mengambil kematian sebagai pilihan
demi cinta dan kesetiaan pada lelaki yang menjadi suaminya, Mahisa
Kingkin. 74 Gajah Mada Pradhabasu memeras otak, mencoba mencari jawab keadaan anaknya.
Akan tetapi, sekeras apa pun Pradhabasu berpikir, ia tak memperoleh.
Sang Prajaka tetap sibuk dengan gerak ayunan berkudanya.
"Prajaka, berhentilah mengayun!" kata Pradhabasu.
Namun, Sang Prajaka tetap mengayun, mirip gerakan orang
menunggang kuda yang dilakukan tanpa henti dan tak akan pernah
berhenti jika tidak diperintah untuk berhenti. Pradhabasu melihat Sang
Prajaka sangat menikmati kegiatan yang satu itu.
"Prajaka, berhentilah dan duduklah dengan tenang!" Pradhabasu
menjatuhkan perintah. Sang Prajaka akhirnya berhenti. Ia menoleh dengan menggerakkan
seluruh kepala amat pelan, serasa menggunakan penghayatan. Tatapan
matanya menyebabkan Pradhabasu merasa miris. Tatapan mata itu bisa
terlihat kosong tanpa cahaya dan tanpa dosa, tetapi tatapan mata itu juga
bisa lebih tajam dari pisau paling tajam.
"Aku lapar!" desis bocah itu sambil kembali mengayun.
Pradhabasu merasa tertampar wajahnya, dipeluknya bocah itu
amat erat. 6 S ang waktu bergerak melintasi malam dan menyongsong
datangnya pagi berikutnya dengan udara yang menghangat dan langit
cerah. Sebagaimana saran yang diterima dari Pradhabasu, Gajah Enggon
tidak ingin menunda waktu. Ia sempatkan di sela kesibukan yang padat
untuk menghadap Ibu Suri Rajapatni.73
73 Rajapatni, gelar yang diberikan Raden Wijaya kepada Gayatri
Hamukti Palapa 75 Sebagaimana biasa, Ibu Suri yang terlihat masih cantik itu
menampakkan raut muka yang amat sejuk. Akan tetapi, usianya memang
telah tua dan orang tua sebagian berpikir ingin segera mati. Persiapan
menjemput kematian lalu dilakukan dengan sebaik-baiknya. Itulah
kegiatan yang lebih sering dilakukan oleh anak mendiang Prabu Sri
Kertanegara74 itu, yang lebih sering berbuat baik kepada sesama,
menolong mereka yang dalam butuh pertolongan, memberi suluh
mereka yang berada dalam kegelapan, dan lebih sering berada di
sanggar pamujan. Untuk satu hal Ibu Suri Gayatri layak merasa iri. Dalam waktu dua
tahun terakhir dengan hanya berselisih beberapa bulan, Ibu Suri kedua
dan ketiga memperoleh anugerah Hyang Widdi menyusul ke alam
langgeng bertemu dengan mereka yang telah pergi lebih dulu. Ibu Suri
yang masih hidup kini tinggal Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari
yang keadaan kesehatannya mulai menyedihkan. Kematian dua adiknya,
Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita dan Sri Jayendradewi Dyah
Dewi Pradnya Paramita kembali menghadap penciptanya menyebabkan
Ibu Suri pertama itu sangat kehilangan.75
Ibu Suri kehilangan nafsu makan, tak bergairah dalam beberapa
hal menyebabkan keadaan tubuhnya kian hari kian memburuk. Ibu
Suri Tribhuaneswari juga jarang bicara dan hanya mau berbicara dengan
adiknya. Ajakan berbicara dari para emban sama sekali tidak digubrisnya,
termasuk ketika Gajah Mada datang mengunjungi, Ibu Suri melirik pun
tidak. Bahkan, ketika kedua Prabu Putri kakak beradik datang berkunjung,
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tidak digubris.
74 Sri Kertanegara, Raja Singasari terakhir berpermaisuri Bajradewi. Kertanegara dikaruniai 6 orang putra yang empat orang di antaranya dikawinkan semua dengan Raden Wijaya, masing-masing adalah 1. Sri Wiswarupakumara, 2. Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari, 3. Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, 4 Sri Jayendradewi Dyah Dewi Pradnya Paramita, 5. Sri Jayendradewi Dyah Dewi Gayatri, dan seorang anak bungsu yang dikawinkan dengan Ardaraja, anak Jayakatwang dari Gelang-Gelang yang justru menyerbunya.
75 Terdapat catatan yang berbeda antara sumber berita yang menyebut para istri Raden Wijaya. Sumber berita kakawin Negarakertagama dengan tegas menyebut, empat anak Kertanegara semua diperistri oleh Raden Wijaya. Mereka adalah Tribhuaneswari, Narendraduhita, Pradnya Paramita, dan Gayatri. Sebaliknya, sumber Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama hanya menyebut dua.
76 Gajah Mada "Bagaimana kabarmu, Enggon?" tanya Biksuni76 Gayatri.
Gajah Enggon beringsut lebih mendekat sambil memperbaiki sikap
duduknya dan menyembah. "Hamba, Ibu Suri," jawab Gajah Enggon. "Kabar hamba selama
ini selalu baik, tak kurang suatu apa. Selama ini hamba selalu berdoa
untuk kesehatan Ibu Suri."
Biksuni Gayatri tersenyum dan mengangguk.
"Terima kasih untuk doa kesehatan yang kaupanjatkan, Gajah
Enggon. Aku doakan untukmu pula semoga Hyang Widdi selalu
membebaskan dirimu dari mata rantai sebab dan akibat."
Dengan sangat santun dan menghindarkan bertatapan mata secara
langsung Gajah Enggon bersikap.
"Kedatanganmu tentu membawa sebuah keperluan, Enggon?"
Gajah Enggon teringat pada saran Pradhabasu sahabatnya, untuk
sebaiknya bicara terus terang apa adanya. Soal lenyapnya dua pusaka,
cihna nagara dan songsong Kiai Udan Riwis, tak perlu disembunyikan
lagi. Menyembunyikan hal itu dari Prabu Putri dan Ibu Suri justru
merupakan kesalahan. "Hamba, Tuan Putri Ibu Suri," jawab Gajah Enggon. "Kedatangan
hamba kali ini untuk memohon petunjuk."
Biksuni Gayatri menyimak dan menempatkan diri untuk mendengar.
Biksuni menyimak apa yang akan disampaikan Enggon.
Gajah Enggon siap melanjutkan.
"Mohon ampun, Tuan Putri, bersamaan dengan gempa bumi yang
terjadi beberapa hari yang lalu, sebenarnya istana kecurian benda yang
sangat penting. Hamba sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara harus
bertanggung jawab atas hilangnya benda pusaka itu."
76 Biksuni, biksu perempuan, juga sebutan bagi Ibu Suri Gayatri setelah memutuskan mengabdikan diri secara penuh pada agama Buddha yang dianutnya.
Hamukti Palapa 77 Ibu Suri Gayatri tidak menampakkan perubahan wajah apa pun. Bagi
seorang biksuni dan para biksu pada umumnya, harta benda hanyalah
masalah duniawi yang amat menyesatkan. Harta benda merupakan
simpul awal dari munculnya nafsu keserakahan dan keserakahan adalah
pintu gerbang kegelapan. "Benda apa yang hilang, Gajah Enggon?" tanya Gayatri.
Gajah Enggon mengambil napas lebih dalam.
" Cihna lambang negara gringsing lobheng lewih laka dan payung Kiai
Udan Riwis telah jengkar dari gedung istana. Untuk melacak keberadaan
benda itu, hamba menyebar banyak prajurit, tetapi hingga kini hamba
belum berhasil menemukan titik terang di mana cihna dan songsong
itu berada. Dengan hilangnya kedua benda pusaka itu, menjadi tanda
adanya pihak yang berniat melakukan makar lagi karena maling benda
itu berpikir cihna dan songsong yang hilang tersebut merupakan benda
keramat tempat bersemayam wahyu."
Ibu Suri Biksuni Gayatri menampakkan wajah datar. Apa yang
disampaikan Gajah Enggon itu ternyata tidak berkemampuan
mengagetkan Gayatri. "Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa bumi?"
Gayatri memberi tekanan. "Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon.
Manakala Gayatri kemudian memejamkan mata adalah dalam
rangka mengenang apa yang bisa di ngatnya pada malam terjadinya
gempa itu. "Malam itu udara yang mengalir terasa aneh. Apakah kau mencatat
hal itu?" tanya Ibu Suri Gayatri.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon tangkas dan terkejut
karena Ibu Suri Gayatri juga menandai udara yang terasa aneh pada
malam peristiwa itu terjadi.
"Apa yang kaurasakan saat itu?" lanjut Gayatri.
78 Gajah Mada "Hamba menandainya sebagai kekuatan sirep," jawab Gajah
Enggon. Senyap dan hening menggeliat menari, menyita perhatian. Ibu
Suri Gayatri termangu dalam berpikir, atau kenangannya terlempar
kembali ke masa silam, ke lipatan kenangan yang menjadi bagian
dari sejarah yang jika tidak ada yang mencatat akan lenyap tak ada
jejaknya. "Rasanya seperti baru kemarin," ucap Gayatri setengah berbisik.
Gajah Enggon amat terpancing.
"Mohon Tuan Putri berkenan menceritakan asal-muasal dua benda
pusaka itu," Gajah Enggon berkata.
Ibu Suri Gayatri termangu ketika kenangannya tergiring kembali
ke masa lalu yang terjadi seolah baru kemarin sore.
"Aku dan Nyai Pamandana yang membatik cihna itu. Aku
mengerjakan bagian bulatan wilwa, sedangkan Nyai Pamandana
mengerjakan bagian luarnya sampai tuntas. Kami kerjakan dalam waktu
berbulan-bulan dengan penuh keprihatinan."
"Dengan istri Kiai Pamandana?" ulang Gajah Enggon.
"Ya," Ibu Suri Gayatri menjawab tegas.
Gajah Enggon layak merasakan permukaan jantungnya bagai
dirambati ribuan ekor semut mendengar nama itu diucapkan Ibu Suri
Gayatri. Pamandana bukanlah nama yang boleh dianggap sepi atau tidak
ada. Nama Pamandana boleh dibilang sejajar dengan nama Mapatih
Nambi dan nama-nama lain, seperti Lembu Sora, Gajah Pagon, Mahisa
Pawagal, Banyak Kapuk, mantan maling Wirota Wiragati, dan Kebo
Kapetengan. Merekalah orang-orang luar biasa yang memberikan pengorbanan
dengan jiwa dan raga terhadap Raden Wijaya, yang pontang-panting
menyelamatkan diri dari kejaran Mahisa Mundarang dari Gelang-Gelang
Kediri, yang menyerbu Singasari ketika kerajaan sedang tidak dijaga oleh
Hamukti Palapa 79 prajurit karena semua dikirim ke Sumatra. Mahisa Mundarang adalah
patih dari Raja Jayakatwang77
Nama-nama itu kemudian terpahat di benak segenap rakyat
Majapahit sebagai cikal bakal pejuang yang membangun negara baru
bernama Majapahit yang terus membesar dan berkembang. Untuk kurun
waktu lama, Pamandana diangkat menjadi pejabat penting oleh Raden
Wijaya. Berbarengan dengan kematian Sang Prabu, Pamandana lenyap
tak ada kabarnya. Konon, ia mengambil pilihan sebagai pertapa dengan
menghabiskan waktu untuk tapabrata di hutan-hutan. Menilik usianya
yang sangat tua, mungkin Kiai Pamandana sudah mati.
Seiring perkembangan waktu, nama-nama yang seangkatan dengan
Pamandana berguguran. Nambi yang menjadi korban fitnah Mahapati
gugur dalam mempertahankan benteng Pajarakan, Lembu Sora terbunuh
dalam pemberontakan bersama Juru Demung dan Gajah Biru dan juga
sebagai akibat fitnah yang ditebar oleh Mahapati. Sementara itu, namanama lain, seperti Gajah Pagon, Banyak Kapuk, dan Pawagal tak ada
jejaknya, serasa lenyap ditelan bumi.
Di mana mereka, pertanyaan itu sungguh sangat mengganggu rasa
ingin tahu. "Kalau songsong Kiai Udan Riwis, aku hanya mencatat cerita
yang kuterima dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, ayahku. Bahwa
benda itu memiliki usia yang panjang sekali. Penobatan yang dilakukan
terhadap leluhurku, Prabu Ranggawuni dan Prabu Mahisa Cempaka,
sebagai Sri Wisnuwardhana dan Ratu Angabaya Narasinghamurti juga
dipayungi songsong itu. Bagaimana kisah pembuatan payung kebesaran
itu, aku tidak tahu. Yang kita lihat, songsong itu berumur panjang, awet,
dan selalu menyebarkan aroma wangi karena beberapa bagian terbuat
dari kayu cendana." 77 Jayakatwang, baik Pararaton maupun Negarakertagama menyebut Jayakatwang adalah Raja Kediri. Akan tetapi, prasasti Mula Malurung yang bisa lebih dipercaya menyebut Jayakatwang adalah Raja Gelang-Gelang berkat perkawinannya dengan Nararya Turuk Bali, putri Sang Prabu Seminingrat. Prasasti Mula Malurung juga menyebut, Jayakatwang adalah kemenakan dari Prabu Seminingrat. Dengan demikian, antara Kertanegara dan Jayakatwang bersaudara sepupu. Akan tetapi, yang jelas pada diri Jayakatwang mengalir darah Wangsa Kertajaya.
80 Gajah Mada Gajah Enggon termangu.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika hamba harus melacak jejak dua benda pusaka yang hilang
itu," kata Gajah Enggon, "ke manakah hamba harus pergi, Tuan
Putri" Hamba mohon petunjuk dan siap untuk menemukan kembali.
Bahkan, andai harus dengan menyeberang lautan api, hamba akan
lakukan!" Ibu Suri Gayatri memerlukan memejamkan mata lebih lama untuk
jawaban yang akan diberikan. Bagaimanapun Gayatri adalah orang yang
bermata awas, bukan mata wadag-nya yang awas, tetapi mata batinnya yang
tajam melebihi mata wadag. Gajah Enggon tidak berniat mengganggu
ketika Ratu Gayatri seperti larut dalam pemusatan semadi. Sekejap demi
sekejap sang waktu bergeser menawarkan keheningan yang kental di
ruang itu. Gayatri kembali membuka mata.
"Pergilah ke Ujung Galuh,78 mulailah pencarian yang akan kaulakukan
dari tempat itu," ucap Biksuni Gayatri. "Kehidupan pribadimu boleh
dikata akan berawal dari tempat itu. Jalani saja pencarianmu seperti air
yang mengalir. Jika kau harus hanyut, hanyutlah. Jika tiba saatnya harus
menepi, menepilah. Dekatilah hujan yang turun di musim kemarau yang
menyengat ini. Hujan akan membawamu menemukan jejak pusaka yang
murca 79 itu." Gajah Enggon menyembah. Meski samar, petunjuk itu membuat
Gajah Enggon merasa lega. Baginya Ujung Galuh bukanlah tempat yang
tak jelas. Jika ada bagian yang membuat Gajah Enggon merasa heran
adalah, apa maksud Ibu Suri mengatakan hidupnya boleh dikata akan
berawal dari sana" "Hamba mohon restu, Tuan Putri Ibu Suri," kata Gajah Enggon.
"Dengan petunjuk yang Tuan Putri Ibu Suri berikan kepada hamba,
78 Ujung Galuh, sekarang Surabaya. Pelabuhan ini merupakan muara Kali Mas yang menjadi sempalan Kali Brantas.
79 Murca, Jawa Kuno, lenyap
Hamukti Palapa 81 kiranya tiba waktunya hamba memulai perjalanan panjang untuk
melacak benda itu agar tidak menjadi penyebab terjadinya huru-hara
pertumpahan darah." Gayatri tersenyum sejuk. "Kuberikan restuku, Gajah Enggon," jawab Gayatri. "Akan tetapi,
bagaimana dengan kedudukan dan jabatanmu sebagai pimpinan pasukan
khusus Bhayangkara?"
Gajah Enggon yang telah siap beringsut mundur, memberikan
sembahnya. Dalam sikap yang demikian ia menjawab.
"Hamba sudah cukup lama menjabat sebagai senopati pimpinan
pasukan khusus Bhayangkara. Hamba akan mengajukan permohonan
mengundurkan diri agar bisa dengan leluasa menelusuri jejak maling
payung dan lambang negara itu, dan memberi kesempatan kepada
prajurit di lapis bawah hamba agar mendapat kesempatan yang sama
sebagaimana yang hamba peroleh," jawab Gajah Enggon dengan
penuh keyakinan. Biksuni Gayatri senang mendapat jawaban seperti itu. Biksuni
Gayatri senang karena Gajah Enggon tidak terjerat oleh pangkat dan
kedudukan yang tinggi, dan tidak menganggap jabatan sebagai pesona
duniawi yang menyilaukan.
Biksuni Gayatri mengangguk manakala sekali lagi Gajah Enggon
memberikan penghormatannya. Dengan langkah lebar dan penuh
keyakinan, Gajah Enggon berniat menghadap kedua Prabu Putri di
istana. Menggunakan salah satu ruang yang menjadi bagian tak terpisah
dari Manguntur, di sana pertemuan itu akan dilakukan.
82 Gajah Mada 7 Pasewakan diselenggarakan amat terbatas. Hal itu untuk memenuhi
permintaan Senopati Gajah Enggon yang telah menyampaikan pesan
kepada seorang pengalasan abdi dalem pelayan dalam. Gajah Mada dan
Mahapatih Arya Tadah hadir pula menghadap. Akan tetapi, masingmasing suami Prabu Putri tidak ikut hadir di pasewakan. Dua orang emban
mendampingi Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani untuk melayani
semua kebutuhan Prabu Putri. Di sebelahnya, duduk pada dampar
yang dirancang dalam bentuk sama, Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa dilayani oleh Emban Prabarasmi yang siaga menjalankan
apa pun yang diinginkan. Duduk dengan sedikit terkantuk-kantuk, Arya Tadah yang tua
memerhatikan ke arah lapangan luas di depan Bale Manguntur. Musim
penghujan yang belum juga datang menjadikan lapangan sangat tandus.
Jika ada yang tidak terusik, tetap hijau, dan tetap berdaun lebat di
sepanjang tahun adalah barisan pohon bramastana.80 Di bawah pohon
bramastana yang rindang, beberapa ekor kijang yang telah jinak karena
dipiara sejak masih kecil sedang mengais rumput kering. Sungguh
malang nasib kijang itu karena musim kemarau yang berkepanjangan,
tetapi untunglah kijang-kijang itu berada dalam tanggung jawab pekatik 81
istana. Kijang-kijang yang dilepas bebas itu menyebabkan dua ekor harimau
klangenan yang dikerangkeng di sangkar besi mondar-mandir gelisah,
gemas melihat mangsa yang begitu menggiurkan, tetapi tidak mungkin
digapai karena jeruji besi yang menghalangi. Di mata harimau dalam
kerangkeng itu, tak ada jenis makanan yang begitu lezat selain daging
dan darah kijang. 80 Bramastana, Jawa Kuno, beringin
81 Pekatik, Jawa, abdi istana yang mengurusi kandang kuda
Hamukti Palapa 83 Dulu ketika Ra Kuti memberontak dan berhasil memorakporandakan istana, Ra Kuti pernah melemparkan mayat manusia sebagai
makanan harimau tersebut. Harimau itu mencatat, daging manusia
ternyata lebih enak daripada daging rusa dan kambing. Sudah lama
harimau itu menunggu-nunggu akan memperoleh kesempatan yang
sama, tetapi kesempatan untuk dhahar daging manusia itu belum pernah
terulang kembali. Waktu bergeser sejenak. Gajah Mada merasa jengkel karena Gajah
Enggon belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, pertemuan
itu diselenggarakan atas permintaan Gajah Enggon. Menempatkan
kedua Prabu Putri harus menunggu benar-benar merupakan sikap yang
tidak sopan. Namun, kejengkelan Gajah Mada itu tidak harus berumur panjang.
Dari salah satu pintu, Gajah Enggon muncul. Dengan bergegas dan
napas sedikit terengah, Gajah Enggon naik ke pendapa dan beringsut
menempatkan diri. Bergegas pula Gajah Enggon memberi hormat
dengan menyembah kedua Prabu Putri, yang masing-masing dibalas
dengan anggukan kepala. "Mohon ampun, Tuan Putri Prabu," kata Gajah Enggon sigap.
"Hamba agak terlambat karena sedikit tertahan di istana Ibu Suri
Gayatri." Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani mengangguk dan
memberi senyum yang amat tulus. Sebaliknya, betapa tebal wajah
Gajah Mada yang menahan marah. Apa pun alasan yang diberikan,
menempatkan Prabu Putri sampai harus menunggu benar-benar
tak sopan. Perasaan yang demikian juga dirasakan oleh Dyah Wiyat.
Akan tetapi, bahwa penyebab keterlambatan itu karena tertahan
Ibu Suri Gayatri dengan segera Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
membuang perasaan jengkel itu. Hanya Mapatih Arya Tadah yang
tak terbaca warna macam apa yang bersembunyi di balik raut mukanya
yang datar. "Kami telah menerima permintaan yang kamu ajukan dan telah
kuhadirkan Paman Tadah dan Kakang Patih Gajah Mada. Silakan
84 Gajah Mada Kakang Enggon, apa yang akan kausampaikan dalam pertemuan ini?"
tanya Prabu Putri Tribhuanatunggadewi dengan suara datar penuh
wibawa. Gajah Enggon melirik Gajah Mada, yang dilirik sedang lurus
memandang ke depan. Perlahan Gajah Enggon merapatkan kedua
telapak tangannya dan melekatkan di ujung hidung. Sikap menyembah
itu dilakukan lebih lama dari lazimnya.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon. "Permohonan
hamba untuk diadakan pertemuan ini adalah karena hamba harus
mempertanggungjawabkan apa yang terjadi dua pekan yang lalu.
Hamba bersalah telah meminta Kakang Gajah Mada untuk menahan
dan menyembunyikan peristiwa yang terjadi bersamaan dengan
terjadinya gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meledaknya Gunung
Kampud." Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Rajadewi Maharajasa
sama sekali tidak memiliki keterangan apa pun terkait apa yang disampaikan
Enggon. Dua Prabu Putri itu saling pandang. Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani melirik Gajah Mada, yang dilirik dengan segera
merapatkan kedua telapak tangannya.
"Ada peristiwa apa bersamaan dengan terjadinya gempa bumi?"
tanya Prabu Putri Rajadewi.
Pertanyaan itu lebih ditujukan kepada Gajah Mada. Gajah Mada
dengan segera mempersiapkan diri memberikan jawaban.
"Hamba, para Prabu Putri," jawabnya. "Bersamaan dengan gempa
bumi yang terjadi saat itu sebenarnya istana telah kemalingan."
Jawaban itu mengagetkan para Prabu Putri sekaligus mengagetkan
Mahapatih Arya Tadah, yang terbaca dari perubahan sikap duduknya.
Arya Tadah bahkan merasa perlu menggeser kursi.
"Apa yang dibobol maling?" tanya Tribhuanatunggadewi.
Senyap menyelinap, mengalir, dan menggoda. Meski pertanyaan
itu ditujukan kepada Gajah Mada, mantan Patih Daha itu menyerahkan
Hamukti Palapa 85 kepada Gajah Enggon untuk menjawab. Gajah Enggon menyampaikan
jawabnya dengan kepala menunduk.
"Ampun, Tuan Putri. Gedung perbendaharaan pusaka dijebol
orang. Benda yang hilang ada dua, yaitu cihna gringsing lobheng lewih laka
dan songsong Kiai Udan Riwis. Meskipun ada benda-benda lain yang
berharga, dua benda itu yang dipilih oleh pencurinya. Pencurian yang
menurut hamba sangat aneh."
Senyap yang merayap adalah atas nama kaget yang dialami oleh
kedua Prabu Putri dan Mapatih Arya Tadah. Rasa terkejut itu untuk
keberanian maling, siapa pun orang yang telah berani melakukan
pencurian di istana, pasti memiliki nyali luar biasa besar. Rasa kaget
berikutnya untuk benda-benda yang dicuri. Ada banyak benda lain yang
lebih berharga jika berniat dijual, ada keris-keris berlapis emas, ada pula
jambangan berharga sangat mahal karena juga terbuat dari emas dan
timang berteretes berlian, benda itu sama sekali tidak diusik. Orang yang
melakukan pencurian rupanya lebih tertarik pada nilai yang melekat pada
benda-benda pusaka itu dan sama sekali tidak silau pada benda yang lain,
meski jauh lebih berharga.
"Terhadap kecurian yang terjadi itu, hambalah yang bersalah dan
layak dihukum. Sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara sekaligus paling
bertanggung jawab pada keamanan istana, terbukti hamba tidak berhasil
menjalankan tugas dengan baik. Istana telah kemalingan, dilakukan itu
seolah istana tidak ada yang menjaga," lanjut Senopati Gajah Enggon.
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi mengarahkan pandangan
matanya kepada Gajah Mada, tetapi Gajah Mada membeku.
"Hamba telah meminta kepada Kakang Gajah Mada untuk berkenan
memberi hamba waktu guna melacaknya dan memohon kepadanya
agar peristiwa itu jangan dulu disampaikan kepada Prabu Putri, tetapi
hingga dua pekan telah lewat, terbukti hamba tak mampu menemukan
dua pusaka yang lenyap itu. Kepada diri hamba sendiri, hamba telah
berjanji, apa pun yang terjadi hamba harus bisa menemukan kembali
pusaka-pusaka yang hilang. Oleh karena itu, kepada Tuan Putri Prabu
sekalian dengan disaksikan Kakang Gajah Mada dan Paman Mahapatih
86 Gajah Mada Amangkubumi Arya Tadah, dengan ini hamba mohon Tuan Putri Prabu
berkenan melepas kedudukan dan jabatan hamba sebagai senopati
pimpinan pasukan Bhayangkara karena untuk selanjutnya hamba akan
pergi menelusuri jejak lenyapnya pusaka itu."
Hening yang mengalir memberi kesempatan kepada Mahapatih Arya
Tadah untuk memahami duduk persoalan. Juga memberi kesempatan
kepada kedua Prabu Putri untuk mengendapkan diri dari rasa kaget
yang membelit. Sebenarnyalah Sang Prabu Putri Tribhuanatunggadewi
dan Rajadewi Maharajasa terheran-heran dan agak sulit memahami.
Berita kemalingan atas benda-benda pusaka itu memberangus perhatian
mereka. "Yang dicuri itu hanya cihna dan payung?" Dyah Wiyat bertanya.
Senopati Bhayangkara Gajah Enggon merapatkan dua telapak
tangannya, sebuah cara membenarkan pertanyaan itu.
"Padahal, di gedung pusaka ada banyak benda lain yang lebih
berharga?" Gajah Enggon mengangguk amat dalam.
"Lantas, apa artinya semua itu" Untuk maksud dan tujuan apa
seseorang mencuri payung dan lambang negara" Benda-benda itu sama
sekali tidak berharga kecuali jika dinilai dari sisi sejarahnya, bukankah
demikian, Kakang Gajah Mada?"
Patih Gajah Mada berniat menjawab, tetapi Gajah Enggon mendahului
merapatkan kedua telapak tangannya dan melekatkan ke ujung hidung.
Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi mendahulukan Gajah
Enggon untuk berbicara. "Terkait dengan pencurian benda-benda lambang negara itu, hamba
telah meminta saran dan pendapat dari sahabat hamba, Pradhabasu.
Pradhabasu curiga, benda-benda pusaka itu dianggap sebagai tempat
bersarangnya wahyu sebagaimana keris Empu Gandring dahulu juga
dianggap seperti itu. Orang mencuri benda itu karena berpikir benda
itu akan bisa mengantarnya memegang kekuasaan. Artinya, secara
Hamukti Palapa 87 tersamar ada sebuah rencana makar di balik pencurian itu. Hamba lalu
berkeputusan, hamba harus turun langsung untuk melacak jejaknya."
Kedua Prabu Putri kakak beradik itu saling pandang, disusul
kemudian masing-masing mengarahkan perhatiannya kepada Mahapatih
Arya Tadah. Arya Tadah yang dimintai pendapat segera memberikan
penghormatannya. "Apakah hamba di zinkan mengajukan beberapa pertanyaan kepada
Enggon?" Arya Tadah bertanya.
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani mengangguk tak
keberatan. "Silakan, Paman Mapatih."
Gajah Enggon beringsut dan mempersiapkan diri berhadapan
langsung dengan Patih Arya Tadah.
Bagi Tadah, persoalannya bukan hanya bagaimana istana bisa
menjadi tempat yang mudah diterobos. Jika istana telah dijaga sedemikian
ketat oleh pasukan pilih tanding dan mumpuni seperti Bhayangkara
ternyata bisa diterobos dengan mudah, lalu bagaimana jaminan
keselamatan terjadap kedua Prabu Putri. Jika gedung perbendaharaan
pusaka bisa dimasuki tanpa hambatan, boleh jadi bilik Prabu Putri yang
paling pribadi pun bisa dimasuki.
Siapa pun orang yang berniat jahat, bukankah itu sama halnya
dengan apa yang dulu dilakukan Ken Arok yang bisa memasuki bilik
Tunggul Ametung dengan leluasa tanpa ketahuan siapa pun dengan
meninggalkan jejak kematian Akuwu Tumapel, dan menimpakan lepotan
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
fitnah di wajah pengalasan Kebo Ijo.
"Jadi, ada maling menerobos gedung pusaka?" tanya Tadah.
"Benar, Paman," jawab Gajah Enggon.
Tak berkedip Arya Tadah menatap wajah Gajah Enggon.
"Apa yang dilakukan Bhayangkara malam itu" Jika gedung pusaka
bisa digerayangi maling dengan leluasa, lantas bagaimana dengan
88 Gajah Mada keselamatan para Prabu Putri" Apakah saat itu mereka tidur semua
atau bagaimana" Jika seperti itu cara bekerja prajurit pasukan khusus
Bhayangkara, untuk apa istana harus mengeluarkan uang sebagai gaji
mereka?" Gajah Enggon berdesir. Pertanyaan dan sindiran yang sangat
menohok itu harus diakui memang mencemaskan. Gajah Mada tidak
menampakkan warna hati apa pun, tidak tersenyum andaikata sindiran
Mapatih Arya Tadah itu membuat hatinya senang. Wajah Gajah Mada
yang datar mirip tembok. "Paman Patih benar. Aku harus mengakui kecemasan Paman Patih.
Benar pula apa yang Paman Patih sampaikan, para prajurit Bhayangkara
yang bertugas menjaga istana sejak petang telah dibelit oleh rasa kantuk
yang datang secara tidak wajar. Hal tersebut karena ada kekuatan sirep
yang sangat kuat." Jawaban itu membingungkan kedua Prabu Putri sekaligus
membungkam mulut Mapatih Arya Tadah. Akan halnya Gajah Mada,
ia masih belum merasa puas dengan kilah yang diajukan Gajah Enggon.
Soal maling menyebar kekuatan sirep agar para prajurit pengawal
istana terlena dan tertidur, kilah itu belum bisa ia terima sepenuhnya.
Seharusnya Bhayangkara tidak menempatkan sirep sebagai kambing
hitam. Ilmu sirep itu andaikata ada, mestinya bisa dimentahkan.
"Kekuatan sirep?" ulang Mapatih Arya Tadah.
Gajah Enggon mengangguk, membenarkan jawaban itu.
"Bagaimana kau bisa menandai sang maling menggunakan sirep?"
Gajah Enggon menunduk makin dalam. Dalam sikap itu jawaban
ia berikan. "Bagaimana dengan Mapatih Amangkubumi sendiri?" balas Gajah
Enggon. "Pada hari dan tepatnya menjelang gempa bumi itu datang,
apakah Paman Patih tidak merasakan sesuatu yang tidak wajar?"
Mahapatih Amangkubumi Arya Tadah bagai dipaksa mengenang
apa yang terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa bumi dua pekan
Hamukti Palapa 89 yang lalu. Mahapatih Arya Tadah berdesir ketika harus mengakui
kebenaran apa yang disampaikan Enggon. Soal kekuatan sirep yang
menyebar, hal itu sempat ditandainya. Sebagai orang yang telah kenyang
makan asam garam kehidupan, bukanlah pekerjaan yang sulit bagi Arya
Tadah untuk menandai keganjilan seperti sirep itu.
Hadir sehalus apa pun kekuatan yang bertumpu pada ilmu hitam
itu, dengan mudah bisa ditandainya. Istana dibobol maling mungkin
mustahil dan terasa tak mungkin, lain halnya jika maling itu menggunakan
kekuatan sirep. Arya Tadah yang memang menandai hadirnya kekuatan
sirep itu menduga ada kaitannya dengan gempa bumi karena gunung
meletus. Justru karena itu, Mahapatih Arya Tadah terbungkam. Lirikannya
diberikan kepada Gajah Mada dan dengan bergegas merapikan sikap
duduknya kembali. Wajah Gajah Mada yang datar tak memancing
Mapatih Arya Tadah bertanya sesuatu kepadanya.
Arya Tadah mengembalikan waktu kepada kedua Prabu Putri. Arya
Tadah yang manggut-manggut membingungkan mereka.
"Bagaimana, Paman?" Prabu Putri Tribhuanatunggadewi bertanya.
Arya Tadah menyembah. "Hamba, Tuan Putri," jawabnya. "Hamba menandai malam ketika
menjelang gempa bumi itu memang ada sesuatu yang aneh terjadi."
"Yang disebut sirep itu?" Tribhuanatunggadewi memberi tekanan
dengan menerkanya. Arya Tadah mengangguk. Baik Prabu Putri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani
maupun Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa belum memiliki pemahaman
yang cukup atas ilmu sirep, mendengarnya bahkan baru kali itu. Itulah
sebabnya, rasa ingin tahu mereka tak bisa dibendung.
"Sebenarnya apa ilmu sirep itu?" tanya Sri Gitarja.
Dyah Wiyat menyimak. 90 Gajah Mada "Hamba, Tuan Putri," Patih Tadah menjawab. "Ilmu sirep adalah
ilmu para maling, semacam teluh yang disebar ke udara yang akan
menyebabkan siapa pun yang berada di wilayah sebaran kekuatan sirep
itu terhantam rasa kantuk luar biasa dan tertidur. Dengan demikian,
maling itu akan bisa bertindak dengan amat leluasa. Malam itu hamba
memang menandai kehadirannya, mungkin apa yang dikatakan Enggon
benar adanya." Sri Gitarja dan Dyah Wiyat saling pandang. Jawaban Mapatih
Amangkubumi Arya Tadah menggiring Sri Gitarja dan Dyah Wiyat
untuk mengenang apa yang terjadi di malam terjadinya gempa bumi.
Setelah memperoleh jawabnya, raut muka Sri Gitarja berubah tegang.
Dyah Wiyat menyusul setelahnya. Melihat itu, Gajah Mada menghirup
tarikan napas lebih panjang. Dari raut muka yang dibacanya, Gajah
Mada tahu kedua Prabu Putri terkena pengaruh kekuatan sirep itu,
sebagaimana dirinya juga terkena. Dengan demikian, Gajah Mada harus
menimbang kembali, apakah masih menempatkan kemunculan sirep itu
sebagai kambing hitam. "Bagaimana dengan Adi Prabu Putri?" tanya Sri Gitarja.
Dyah Wiyat ragu, tetapi mengangguk setelahnya.
"Aku ingat, saat itu aku memang tidur lebih awal. Suamiku mengalami
kesulitan membangunkan aku. Aku ingat, beberapa jenak setelah petang
datang, aku mengantuk sekali. Emban Prabarasmi yang memijiti aku
bahkan ikut tertidur di bilikku."
Sri Gitarja mengarahkan pandangan matanya kepada Emban
Prabarasmi. Yang diperhatikan wajahnya menunduk, tak berani
menengadahkan kepala. Maka, Sri Gitarja mendadak disergap gelisah ketika
kenangannya sampai pada simpulan yang sama, di hari kejadian, Sri Gitarja
pun tidur lebih awal. Rasa tidak nyaman itu mekar membayangkan apa
jadinya jika maling itu tak hanya melakukan tindak perbuatan pencurian,
tetapi berbuat lebih jauh dengan mencelakainya atau melakukan tindakan
cabul. Hal macam itu mungkin saja terjadi mengingat kemampuan sirep
menyebabkan semua orang yang berada di wilayah sasarannya terlena.
Hamukti Palapa 91 "Aku tidak ingin peristiwa macam itu terulang kembali," kata Sri
Gitarja. "Maka, kuminta ada jaminan peristiwa itu tidak akan terulang
kembali. Kalau memang ada orang dengan kemampuan sirep macam
itu, harus dicarikan orang yang mampu menandingi. Aku tak mau ada
orang yang dengan diam-diam menyelinap ke dalam bilik pribadiku dan
melihat bagaimana aku dan suamiku tidur."
Gajah Mada berdesir karena arah pandangan mata Prabu Putri Sri
Gitarja diarahkan kepadanya. Bergegas Gajah Mada merapatkan kedua
telapak tangannya memberikan sembah, tetapi Patih Gajah Mada merasa
tidak harus menjawab pertanyaan itu. Kewenangan atas pengamanan
istana dengan semua isinya berada di tangan pasukan Bhayangkara. Kini,
kewenangan itu tidak berada dalam tanggung jawabnya.
Mantan Breh Daha, Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa,
mengambil alih pembicaraan, ditujukan arah pandang matanya kepada
Gajah Enggon. "Bagaimana dengan laporan telik sandi yang Kakang sebar untuk
mencari benda-benda pusaka yang hilang itu?" tanya Dyah Wiyat.
Gajah Enggon masih dalam sikapnya, duduk agak tegak dengan
kedua telapak tangan masih saling melekat.
"Hamba, Tuan Putri, semua telah kembali tanpa hasil apa pun. Sama
sekali tidak ada jejak maling itu," jawabnya.
"Dan, Kakang Senopati telah bertemu dengan Kakang Pradhabasu?"
Gajah Enggon mengangguk dalam.
"Hamba!" Teringat kepada Pradhabasu menyebabkan Dyah Wiyat tergoda oleh
rasa ingin tahu yang nyaris terlontarkan. Namun, mengingat rasa ingin
tahu itu bersifat sangat pribadi maka ditahannya rasa penasarannya.
"Apa kata Kakang Pradhabasu?"
Gajah Enggon memerlukan waktu beberapa jenak untuk berpikir,
ke mana arah pertanyaan itu.
92 Gajah Mada "Soal kedua benda pusaka yang hilang itu, apa kata Kakang
Pradhabasu?" ulang Prabu Putri.
Gajah Enggon mengangguk. "Hamba telah meminta kepada Adi Pradhabasu membantu hamba
ikut melacak jejak dua benda pusaka itu. Pradhabasu menyanggupi akan
menemani perjalanan hamba untuk melakukan pelacakan bersamasama." "Lalu, apa petunjuk Ibunda Ibu Suri?" tanya Sri Gitarja.
"Ibu Suri memberi petunjuk agar hamba memulai pencarian dari
Ujung Galuh," jawab Gajah Enggon.
"Apa alasan Ibu Suri meminta Kakang mengawali pencarian kedua
benda pusaka yang hilang itu dari Ujung Galuh?" lanjut Prabu Putri Sri
Gitarja. Gajah Mada yang ikut terpancing rasa penasarannya, menyimak
jawaban yang akan diberikan Gajah Enggon. Namun, ternyata Gajah
Enggon memberikan jawaban yang memang menyebabkan rasa
penasaran. "Tuan Putri Ibu Suri hanya memberi petunjuk agar hamba memulai
pelacakan dua pusaka itu dari Ujung Galuh. Hanya itu, Tuan Putri, tidak
ada penjelasan apa pun dari Tuan Putri Ibu Suri, mengapa hamba harus
memulai dari Ujung Galuh," jawab Gajah Enggon.
Gajah Enggon merasa sebaiknya tidak menceritakan seutuhnya
pembicaraan yang terjadi dengan Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri.
Ada bagian tertentu dalam petunjuk itu yang bersifat pribadi dan
membuatnya penasaran. Apa yang diucapkan Ibu Suri Gayatri masih
terngiang-ngiang di telinganya, ?" kehidupan pribadimu boleh dikata
akan berawal dari tempat itu. Jalani saja pencarianmu seperti air yang
mengalir, jika kau harus hanyut, hanyutlah. Jika tiba saatnya harus menepi
maka menepilah. Dekatilah hujan yang turun di musim kemarau yang
menyengat ini. Hujan akan membawamu menemukan jejak pusaka
yang murca itu"."
Hamukti Palapa 93 Karena Ibu Suri menyebut dengan tegas sebagai kehidupan pribadi,
Gajah Enggon tak ingin berbagi.
Prabu Putri Sri Gitarja mengarahkan pandangan matanya kepada
Gajah Mada. "Apa saranmu, Kakang Gajah Mada?" bertanya Sri Gitarja. "Senopati
Gajah Enggon telah mengajukan permohonannya" Seyogianya aku
meminta saranmu!" Sama sekali tidak ada rasa keberatan bagi Gajah Mada jika Gajah
Enggon mundur dari jabatannya sebagai pimpinan pasukan Bhayangkara.
Apalagi, Gajah Enggon punya alasan yang memang harus mendapat
perhatian. Dengan dipenuhinya permohonan Gajah Enggon itu, dengan
sendirinya memunculkan pertanyaan, siapa yang harus diangkat menjadi
penggantinya" "Hamba bisa memahami alasan Senopati Gajah Enggon, Tuan
Putri," jawabnya. "Gajah Enggon memiliki alasan yang harus didukung
penuh. Masalah yang muncul adalah, siapa orang yang ditunjuk menjadi
penggantinya. Untuk itu, kiranya hamba perlu menyampaikan saran
bahwa siapa pun yang ditunjuk sebagai pengganti Enggon haruslah
prajurit yang juga berasal dari Bhayangkara."
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani mengangguk.
"Siapa?" tanya Prabu Putri Sri Gitarja.
Gajah Mada menoleh kepada Gajah Enggon. Gajah Mada yakin,
Gajah Enggon pasti memiliki orang yang dijagokan, siapa sebaiknya
yang menggantikan kedudukannya.
"Barangkali Gajah Enggon telah memiliki calonnya, Tuan Putri,"
jawabnya. Prabu Putri Sri Gitarja memandang Gajah Enggon yang dengan
sigap menyembah. "Bagaimana, Kakang Gajah Enggon?" tanya Sri Gitarja.
"Jika diizinkan, hamba mencalonkan Kakang Gagak Bongol,"
jawabnya. 94 Gajah Mada Hening sejenak menyelinap meminta perhatian, mengombak ayun
semua pemilik dada dan isinya. Arya Tadah manggut-manggut.
"Pendapatmu, Kakang Gajah Mada?" Prabu Putri Dyah Wiyat
bertanya. Gajah Mada mengangguk. "Gagak Bongol adalah salah seorang perintis dan memiliki
pengabdian yang panjang di pasukan Bhayangkara. Hamba sependapat
dengan Gajah Enggon. Dengan kedudukannya sebagai pimpinan
pasukan Bhayangkara maka pangkat Gagak Bongol perlu dinaikkan
menjadi pasangguhan atau senopati."
Prabu Putri Dyah Wiyat mengarahkan pandangan kepada Mapatih
Arya Tadah. Rupanya Arya Tadah sependapat dengan usulan Gajah
Enggon yang disetujui Gajah Mada.
"Hamba mendukung, Tuan Putri," kata Arya Tadah.
Prabu Putri Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani akan bangkit
dari tempat duduknya. Dua orang emban sigap melayani.
"Apakah masih ada lagi hal yang perlu dibicarakan?" tanya Prabu
Putri. "Dari hamba tidak, Tuan Putri," jawab Gajah Mada.
Gajah Enggon mengangguk perlahan.
"Demikian juga dengan hamba."
Arya Tadah hanya menggelengkan kepala ketika Prabu Putri
mengarahkan tatapan mata kepadanya. Ketika kedua Prabu Putri
bangkit dari tempat duduk bersamaan, Arya Tadah menyusul
kemudian. Sang waktu yang bergulir telah mengantar semua yang hadir di
pasewakan terbatas itu ikut menikmati udara yang makin menghangat
hingga akhirnya tuntas sudah semua yang dibahas. Jika masih ada rasa
penasaran, itulah yang dirasakan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa,
yang memberikan perintah secara khusus kepada Emban Prabarasmi
Hamukti Palapa 95 yang selalu mengawalnya. Dengan berbisik, Dyah Wiyat mendekatkan
mulutnya ke telinga Prabarasmi.
"Cepat kaususul Kakang Gajah Enggon," perintah Prabu Putri.
"Sampaikan kepada Kakang Senopati Gajah Enggon supaya menemui
aku." "Hamba, Tuan Putri," jawab Emban Prabarasmi.
Gajah Enggon tengah melintas halaman paseban ketika melihat
Emban Prabarasmi berlari-lari sambil melambaikan tangan. Gajah
Enggon yang tanggap segera berbalik.
"Ada apa?" tanya Gajah Enggon.
"Tuan Putri Prabu Putri meminta Kakang menghadap beliau secara
khusus." "Sekarang?"
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya," jawab Prabarasmi.
Senopati Gajah Enggon mengerutkan kening dalam menduga
hal penting apa yang mendorong Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa memanggilnya untuk berbicara hanya berdua. Tentu
persoalan yang Sang Prabu Putri tidak ingin ada orang lain yang ikut
mengetahui. Pertanyaan itu tiba-tiba menggiring Gajah Enggon ke pemilik
wajah cantik yang pernah dilihatnya hampir tiga tahun yang lalu, wajah
berlepotan duka nestapa yang punya anggapan, mati mungkin lebih
baik daripada menghadapi kehidupan dunia dengan kepahitan yang
melebihi bratawali.82 82 Bratawali, Jawa, bahan jamu yang pahitnya luar biasa
96 Gajah Mada 8 G ajah Enggon berbalik dan berjalan beriringan dengan Emban
Prabarasmi. Dari tempatnya berada, Gajah Enggon melihat di halaman
Bale Manguntur tengah berlangsung pergantian prajurit pengawal istana.
Gajah Enggon mengira Prabu Putri Rajadewi akan menerimanya di
istananya, tetapi rupanya Prabu Putri menunggu di Bale Gringsing. Gajah
Enggon agak bingung menempatkan diri karena meski di tempat itu
ada sebuah kursi, tetapi Dyah Wiyat memilih berdiri. Prabu Putri Dyah
Wiyat berjalan mondar-mandir sambil tak menggeser arah pandangan
matanya dari Gajah Enggon yang datang mendekat.
Gajah Enggon akan berjongkok, tetapi Dyah Wiyat bergegas
mencegah. "Tuan Putri berkenan menyampaikan sesuatu?" tanya Gajah
Enggon. Dyah Wiyat yang melangkah mondar-mandir itu berhenti.
"Ada bagian penting dalam pembicaraan tadi yang mencuri
perhatianku, tetapi aku tak mungkin menyampaikan di depan orang lain,
seperti Paman Arya Tadah maupun Kakang Patih Gajah Mada, juga
tidak di hadapan Kangmbok Ayu Prabu Putri Sri Gitarja."
Gajah Enggon mengangguk. "Soal apa, Tuan Putri?" tanya Gajah Mada.
"Ketika kau menemui Kakang Pradhabasu, adakah Kakang
Pradhabasu bercerita sesuatu?"
Gajah Enggon langsung bisa menebak ke mana arah pertanyaan itu.
"Atas nama siapakah Tuan Putri Prabu menanyakan hal itu?" tanya
Enggon. "Atas nama Tuan Putri Prabu sendiri atau atas nama suami
Tuan Putri Prabu?" Hamukti Palapa 97 Dyah Wiyat terdiam agak lama, lalu mencair senyum dan sikapnya.
"Seharusnya kau bertanya bagaimana sikapku atas Dyah Menur
Sekar Tanjung." Sigap Gajah Enggon mengangguk.
"Bagaimana sikap Tuan Putri terhadap perempuan bernama Dyah
Menur itu?" Rupanya masih ada semacam beban di hati Dyah Wiyat yang masih
mengganjal dan selalu mengganggu ketenangan hatinya.
"Aku akan membongkar isi hatiku dan aku tempatkan Kakang
untuk menjadi wadah dengan sebuah permintaan, hanya Kakang
Enggon yang tahu dan tidak untuk dibocorkan ke orang lain," kata
Dyah Wiyat. "Hamba, Tuan Putri," jawab Gajah Enggon, "sungguh merupakan
kehormatan tiada terkira karena Tuan Putri berkenan. Hamba bersumpah
akan menjaga isi pembicaraan ini dengan sebaik-baiknya dan tidak akan
sampai bocor ke orang lain."
Emban Prabarasmi yang berdiri di dekat pintu tahu diri. Emban
Prabarasmi keluar dari ruangan itu dan menempatkan diri di halaman.
Untuk jangan sampai mendengar pembicaraan yang terjadi di dalam,
Emban Prabarasmi menyobek ujung kain kacunya dan memilin
sedemikian rupa hingga bisa disumpalkan ke lubang telinga.
Pintu dibiarkan terbuka untuk jangan menimbulkan fitnah
karena meski Dyah Wiyat adalah seorang Prabu Putri, ia tetap wanita.
Pertemuan yang hanya berdua dengan lelaki lain di Bale Gringsing itu bisa
menimbulkan cerita macam-macam yang tak benar. Jika cerita seperti itu
beredar dari telinga ke telinga, ketika sampai ke urutan seratus, ceritanya
telah berubah bentuk sama sekali.
"Dalam menghadapi keberadaan Dyah Menur itu," kata Dyah
Wiyat, "aku tidak bersikap seperti Kakang Gajah Mada yang ingin
mengenyahkannya. Tujuan Kakang Gajah Mada jelas, ia tidak ingin
kehidupan rumah tanggaku terganggu oleh kehadiran perempuan lain.
98 Gajah Mada Apalagi, perempuan lain itu mempunyai seorang anak yang bisa menjadi
gangguan di masa depan."
Gajah Enggon menyimak. "Bagaimana dengan sikapku sendiri?" Dyah Wiyat melanjutkan.
"Sepatutnya aku bersikap seperti Kakang Gajah Mada. Perempuan
mana yang mau ditempatkan sebagai istri kedua karena telah ada
perempuan yang lain yang menempati kedudukan sebagai istri pertama.
Jujur aku harus mengatakan, Kakang Enggon, bahwa dulu aku memang
menyimpan perasaan seperti itu. Namun, perkenalanku dengan
perempuan itu, meski hanya dalam waktu singkat, telah membuka mataku
bahwa ia perempuan yang terlalu baik untuk disakiti, bahwa ia sama
sekali tidak bersalah dihadapkan pada sikapku yang tidak senang maupun
sikap Kakang Gajah Mada yang tidak bisa menerima kehadirannya.
Sementara aku"."
Terhenti ucapan Dyah Wiyat karena serasa ada sesuatu yang
mengganjal lorong tenggorokan, menyebabkan Sang Prabu Putri
kedua itu harus menarik napas lebih dahulu. Meski Dyah Wiyat
memang telah berniat untuk menjadikan Gajah Enggon sebagai tempat
mencurahkan isi hati, tetap saja ada masalah dan wilayah yang sulit untuk
ditumpahkan. "Hamba akan menjaga rahasia itu rapat-rapat," pancing Gajah
Enggon. Dyah Wiyat kembali bulat.
"Sementara aku sendiri tidak bisa dibilang bersih. Bagaimana aku
punya hak untuk mempermasalahkan suamiku, saat aku tersadar, aku
sendiri menyimpan masalah. Aku punya cerita dan masa silam yang
membuatku sangat sadar, aku sama sekali tidak memiliki hak mengusik
keberadaan Dyah Menur. Kesadaranku atas keadaanku sendiri dan
setelah aku bertemu dengan Dyah Menur, membuat aku sama sekali
tidak keberatan andai ia bersama-sama denganku menempatkan diri
sebagai istri yang mengabdi kepada suami yang sama, bukan untuk saling
bersaing, tetapi untuk saling berbagi dan melengkapi. Soal suamiku
Hamukti Palapa 99 memiliki istri lain, bukankah Ayahanda Prabu Kertarajasa Jayawardhana
beristri lima?" Gajah Enggon mengangguk. "Sebelumnya hamba mohon ampun, Tuan Putri," ucap Gajah
Enggon. "Soal keadaan Tuan Putri, apakah hal itu berkaitan dengan
pengalasan Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca?"
Dyah Wiyat tidak menoleh dan baru mengangguk setelah
terdiam. Hening pun menyelinap. Dyah Wiyat melontarkan pandangan
matanya lewat jendela yang terbuka. Pandangan mata itu jatuh pada
ujung beberapa tombak yang bergerak. Itu berarti, di tempat itu ada
beberapa orang prajurit yang berjalan melintas. Ketika pandangan
matanya bergeser lebih jauh lagi, tampak pohon nyiur melambai-lambai.
Perhatian Dyah Wiyat agak tersita oleh adanya orang yang memanjat
pohon itu. Jika orang itu terjatuh, pasti mati. Rupanya siapa pun orang
yang memanjat pohon kelapa itu jelas orang yang sangat terampil dengan
pekerjaannya karena pekerjaan memanjat itu bisa dilakukan dengan
sangat mudah. Dyah Wiyat yang merapat ke jendela melihat puncak
bangunan Wipra sedang diberbaiki. Dyah Wiyat memutar tubuh, Gajah
Enggon menempatkan diri di belakangnya.
"Hamba sudah mendengar itu, Prabu Putri," lanjut Gajah Enggon.
"Namun, jika Tuan Putri berkenan bercerita lebih jauh, sejauh mana
hubungan antara Tuan Putri dengan Rakrian Tanca?"
Desir tajam menggerataki punggung Dyah Wiyat. Pertanyaan itu
menyebabkan mendadak mata Dyah Wiyat terpejam. Terbukti, meski
telah diniatkan untuk berbicara blak-blakan, tetap saja ada wilayah
yang sangat sulit dibongkar. Dyah Wiyat merasa, meski Gajah Enggon
bersumpah akan menjaga rahasia, hubungan asmaranya yang telah
demikian jauh amat sulit untuk diceritakan. Haruskah bagaimana bentuk
hubungan asmara itu dibongkar pula"
Persoalan yang kini berada di depannya adalah sejauh mana ia
mampu jujur kepada diri sendiri, bukan berbicara jujur kepada Gajah
100 Gajah Mada Enggon, mengingat apa hak Gajah Enggon mengorek wilayah yang
amat pribadi itu. "Apakah Prabu Putri telah melakukan hubungan suami-istri dengan
Ra Tanca?" pancing Gajah Enggon.
Hening yang senyap merayap menemani Prabu Putri yang berjalan
perlahan ke arah jendela dan membuka lebih lebar. Muatan hatinya
terbelah pada gugup menghadapi pertanyaan Gajah Enggon yang
menyudutkan dan kenangan pada sebuah hari ketika ia berpura-pura
jatuh sakit. Itulah kesempatan yang ia miliki untuk bisa bertemu dengan
Ra Tanca. Manusia hanyalah titah sawantah 83 yang ketempatan hasrat dan
nafsu. Ra Tanca adalah seorang laki-laki muda yang menggenggam
hasrat dan Dyah Wiyat adalah gadis berkeinginan dijamah. Apalagi, yang
bernama manusia itu hanya makhluk yang amat gampang lupa, mudah
menggampangkan. Mereka hanyalah kayu kering yang berhadapan
dengan api yang mengeram di kedalaman hati mereka sendiri. Maka,
api pun membakar hingga tuntas tanpa sisa. Hangus yang melibas
semula hanya berasal dari sentuhan tangan. Akan tetapi, yang semula
hanya bersentuhan tangan itu merupakan awal dari semua lanjutannya,
bergerak menyeberang tuntas ke seberang sungai.
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, adakah ia seharusnya tidak
tersentuh persoalan macam itu hanya karena ia seorang sekar kedaton,
adik Raja Sri Jayanegara, anak Raden Wijaya yang menjadi cikal bakal
berdirinya Majapahit" Dyah Wiyat hanya manusia biasa, bertulang,
berdaging, dan berhasrat. Jika orang lain boleh dan berhak untuk tidak
mempu menahan diri, demikian juga dengan sekar kedaton. Ia punya
hak yang sama. Manusiawi namanya ketika manusia terantuk kekeliruan.
Manusiawi karena tak sempurna atau bahkan bisa disebut utuh dari
ketidaksempurnaannya. 83 Titah sawantah, Jawa, makhluk dengan segala kekurangannya
Hamukti Palapa 101 Bagian dari wilayah itu hanya sebatas waktu sepenginang,84 di rentang
waktu berpura-pura sakit dan diobati. Hanya sependek itu, tetapi
bekas yang ditimbulkannya amat dalam dan menumbuhkan keinginan
berkelanjutan, lagi dan lagi, yang oleh karenanya Dyah Wiyat gampang
sakit dan sakit-sakitan. Itulah alasan yang ia miliki dan paling masuk
akal untuk bertemu hanya berdua dengan Rakrian Tanca, sang kekasih
hati belahan asmaranya. Setidaknya, akibat dari hubungan itu berbuah keadaan yang tak
nyaman. Istri Ra Tanca yang datang belakangan justru menganggapnya
sebagai perusak rumah tangga orang lain.
Rajadewi berbalik dengan pandangan mata lurus diarahkan ke raut
muka Senopati Gajah Enggon. Rajadewi hanya punya satu dari dua
pilihan, mengangguk membenarkan dugaan Gajah Enggon itu atau
menggeleng tidak mengakui. Manakah dari dua pilihan itu yang harus
diambil, mengangguk atau menggeleng"
Perlahan, amat perlahan Rajadewi"mengangguk!
Gajah Enggon mendadak merasa isi dadanya penuh dan meluap.
Namun, tidak jelas atas nama perasaan yang mana, marah karena Prabu
Putri yang dikagumi kecantikannya itu telah ceroboh tidak mampu
menjaga diri, atau iri pada kemujuran Ra Tanca yang memiliki kesempatan
untuk bisa bersama dengan Sang Putri sampai tuntas dalam arti yang
sesungguhnya. Padahal, Gajah Enggon pernah berkhayal hal yang sama.
Setidaknya, Gajah Enggon pernah memiliki keinginan serupa.
Gajah Enggon merasa napasnya menjadi sesak. Sekuat tenaga Gajah
Enggon berusaha mengendalikan diri. Namun, Gajah Enggon segera
tersadar, apa pun yang dilakukan Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa semasa masih sebagai sekar kedaton bukan wilayah haknya.
Bahkan, sampai sekarang pun tidak berada di wilayah haknya. Bukan hak
Gajah Enggon untuk ikut campur tangan. Apa pun atau sejauh mana
pun hubungan yang terjadi antara Sekar Kedaton Dyah Wiyat dengan
84 Sepenginang, Jawa, waktu yang dibutuhkan untuk makan sirih, maksudnya waktu pendek sekali 102
Gajah Mada pengalasan Dharmaputra Winehsuka Rakrian Tanca, sepenuhnya hak
dan urusan mereka, berada di wilayah yang sangat pribadi yang tentu
tidak butuh ikut campur orang lain.
Apalagi, kini setelah waktu dua tahun lebih berlalu dan mendekati
tiga tahun, Ra Tanca telah menjadi bagian dari bongkahan masa lalu,
menjadi bagian dari sejarah, sudah mati. Pelampiasan rasa tidak senang
macam apa yang bisa dilakukan kepada orang yang sudah mati" Meludahi
kuburannya" Atau, membongkar dan membangunkannya untuk
ditantang perang tanding"
Semula Gajah Enggon berpikir, rasa tidak senangnya kepada
Rakrian Tanca yang terbentuk sejak lama sama sekali tidak beralasan.
Bencinya bagai muncul begitu saja hanya dari melihat raut wajahnya atau
dari caranya tersenyum meremehkan. Lalu, benci itu menjadi beralasan
setelah melihat sepak terjangnya yang bersama-sama dengan Rakrian
Kuti melakukan makar yang menyebabkan sedemikian banyak korban
jatuh. Rasa benci itu akhirnya memperoleh pembenaran, menjadi kian
beralasan ketika sekitar tiga tahun yang lalu Ra Tanca membunuh
Jayanegara. Namun, kini setelah mendengar secara langsung pengakuan
Dyah Wiyat, rasa bencinya makin menjadi. Jika benci itu bersayap, ia
akan membubung dan membubung makin tinggi. Sadarlah kini Gajah
Enggon, alasan kebencian yang paling benar adalah cemburu, merasa
iri kepada keberuntungan orang lain. Amat sulit bagi Gajah Enggon
melihat Dyah Wiyat bisa kebablasan seperti itu, ditelan makhluk bulus
bernama Ra Tanca. Senyap menari dan menyelinap di ruang Bale Gringsing. Sepasang
kupu-kupu tiba-tiba melintas masuk lewat jendela, tetapi barangkali
menyadari ruang Bale Gringsing itu tidak semestinya mereka masuki,
kupu-kupu itu membubung dan tidak terlihat lagi. Gajah Enggon yang
menunduk menyembunyikan wajahnya yang tebal.
Gajah Enggon tidak mendongak membalas tatapan mata Dyah
Wiyat yang dilatari raut muka sedikit pucat dan bibir bergetar. Meski
demikian, Dyah Wiyat merasa lega. Mendadak, dadanya yang semula
Hamukti Palapa 103 penuh menjadi berongga. Lega yang diperoleh setara dengan mendapat
kesempatan berteriak sekeras-kerasnya di tengah senyapnya ara-ara.85
Namun, Dyah Wiyat masih menyimpan cemas Gajah Enggon tak
mampu menjaga rahasia. "Aku membutuhkan kekuatan yang sangat besar menceritakan hal
itu kepadamu, Kakang Gajah Enggon. Tepatilah janjimu untuk jangan
kauceritakan kepada siapa pun," ucap Dyah Wiyat dengan suara amat
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lirih. Bagai orang yang kehilangan sesuatu yang sangat berharga
yang menimbulkan rasa demikian kecewa, Gajah Enggon kesulitan
mengangguk. Demikian berat pula ia berusaha menengadahkan kepala.
Agak bersusah payah Senopati Gajah Enggon mengendalikan diri melalui
menarik napas sangat perlahan, dihirup sampai dalam dan dibuang
dengan tuntas. Sekuat tenaga pula Gajah Enggon menghapus segala
jejak dari wajahnya. "Hamba tidak akan pernah bercerita kepada siapa pun, Tuan Putri
Prabu. Cukuplah hamba yang mengetahui cerita itu. Namun, hamba
meminta agar Tuan Putri Prabu jangan bercerita lagi kepada orang lain,"
jawab Gajah Enggon dengan suara sedikit serak dan bergetar.
Dyah Wiyat mengangguk. Dyah Wiyat yang berdiri membelakangi
jendela melangkah mendekat, demikian dekat menyebabkan Gajah
Enggon membungkuk dan melangkah mundur mengambil jarak.
"Sekarang ceritakan kepadaku," kata Rajadewi Maharajasa.
"Bagaimana keadaan Dyah Menur itu?"
Gajah Enggon merapatkan kedua telapak tangannya dalam sikap
menyembah dan kepala menunduk.
"Hamba, Tuan Putri," jawabnya. "Hamba memang menyempatkan
bertanya soal itu kepada Pradhabasu. Hamba menanyakan bagaimana
kabarnya dan di mana ia sekarang, tetapi jawaban Pradhabasu adalah
jawaban yang tuntas."
85 Ara-ara, Jawa, bulak/sawah
104 Gajah Mada Dyah Wiyat mengerutkan kening.
"Jawaban yang tuntas bagaimana maksudnya?" tanya Dyah
Wiyat. "Dyah Menur sudah tidak ada. Hidupnya telah berakhir tuntas."
Desir tajam menggerataki permukaan wajah Dyah Wiyat dan
menimbulkan rasa panas yang membakar. Dengan mata terbelalak, Dyah
Wiyat tidak mengalihkan perhatian dari wajah Gajah Enggon. Mulut
perempuan itu setengah terbuka dan agak bergetar.
"Dyah Menur Sekar Tanjung mati?" ulang Dyah Wiyat melalui
pertanyaan yang sangat hati-hati.
Gajah Enggon menyembah. "Demikian yang disampaikan Pradhabasu kepada hamba," jawab
Enggon dengan amat ragu. Dyah Wiyat yang memejamkan mata adalah dalam rangka
mencermati jawaban itu, mengintip dan menimbangnya dari berbagai
sudut. Dyah Wiyat tidak dengan serta-merta bisa menerima cerita itu.
"Apakah menurut Kakang Gajah Enggon, apa yang disampaikan
oleh bekas prajurit Bhayangkara Pradhabasu itu bisa dipercaya?" bertanya
Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Gajah Enggon menerawang. "Hamba merasa tidak yakin, Prabu Putri," jawab Enggon.
"Untuk mendapatkan jawabnya dan agar aku yakin, sebaiknya aku
turun menemui Kakang Pradhabasu, bagaimana menurutmu?"
Gajah Enggon menyembah dan mengangguk.
"Tak ada salahnya, Tuan Putri. Barangkali Pradhabasu memiliki
jawaban berbeda dari jawaban yang diberikan kepada hamba. Namun,
sebaiknya Prabu Putri tak perlu turun ke pedukuhan tempat Pradhabasu
tinggal karena jalan menuju rumahnya sangat buruk, kereta kuda
tidak bisa dibawa masuk ke pedukuhan itu. Sebaiknya, hamba yang
Hamukti Palapa 105 memanggil dan meminta agar Pradhabasu datang menghadap Prabu
Putri ke istana. Mantan prajurit Bhayangkara Pradhabasu pasti akan
menghadap." Dyah Wiyat menggeleng. Sifat khusus dari pertemuan itu dan untuk
menghargai sikap Pradhabasu yang telah berkeputusan mengambil jarak
terhadap istana, Dyah Wiyat memilih lebih baik ia yang mendatangi.
Kehadiran Pradhabasu ke istana tak mungkin bisa disimpan sebagai
sebuah rahasia. Patih Gajah Mada pasti mampu mengendusnya.
Akan berbeda jika Prabu Putri Dyah Wiyat yang mendatangi tempat
Pradhabasu tinggal. "Sebaiknya aku yang mendatanginya. Menurutmu, kapan aku harus
melakukan itu, Kakang?" tanya Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Memanah Burung Rajawali 31 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 25
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama