Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 3
Gajah Enggon balas menatap pandangan mata Dyah Wiyat.
"Tentu lebih baik secepatnya, Tuan Putri, karena sebagaimana
kesepakatan antara Pradhabasu dengan hamba, kami akan pergi
menempuh perjalanan bersama dengan jangka waktu tak terbatas, sampai
kedua benda pusaka itu ditemukan."
Dyah Wiyat menggerataki ruangan Bale Gringsing bagai
mencermati pori-pori pada lapisan dinding yang berwarna tanah itu.
Ketika pandangan matanya akhirnya jatuh di raut muka kepala seekor
menjangan yang hanya tinggal tanduk dan belulang, sejatinya ia tidak
memandang dalam memandang, apa yang berada di kelopak matanya
justru wajah yang selalu menghantuinya, wajah yang hadir di setiap mimpi
dan menyelinap di setiap kesempatan.
Sungguh amat tersiksa ketika ia mempunyai keinginan untuk
bertemu dengan orang itu, tetapi tidak kesampaian juga. Apalagi, kini
Gajah Enggon menyampaikan berita yang mencemaskan, orang itu telah
mati. Jika berita itu benar, terputuslah mata rantai kemungkinan ia akan
membawa perempuan itu ke istana dan menempatkannya di tempat
duduk yang terhormat. Benarkah Dyah Menur, Sang Sekar Tanjung itu sudah mati" Mati
macam apa yang telah menimpanya, adakah kematian karena lampus
106 Gajah Mada diri"86 Jika itu yang terjadi, sungguh Dyah Menur menebus nasib malang
yang menimpanya dengan harga yang sangat mahal. Dan, jika ada
penyesalan yang tak terbayar, itulah penyesalan yang dialami oleh Prabu
Putri yang disembah oleh orang se-Majapahit.
9 S epuluh kapal besar dengan tenaga yang diperoleh dari angin
yang mendorong layar, telah berhari-hari bergerak menyusur pantai,
masing-masing diawaki oleh lima puluh orang. Sungguh barisan perahu
itu merupakan pemandangan yang langka dan jarang terjadi. Beberapa
orang penduduk, terutama para nelayan yang tinggal di sepanjang pesisir
pantai utara memerhatikan wujud perahu berukuran besar itu dengan
sangat takjub. Tak jauh dari tempat mereka tinggal, ada pelabuhan yang
banyak disinggahi kapal, tetapi kapal seperti yang kali ini lewat dalam
barisan itu sama sekali belum pernah dilihat sebelumnya.
"Ibu, Ibu, lihat itu," seorang bocah berteriak-teriak amat gaduh
menyaksikan kapal dengan layar yang lebar sedang bergerak mengarah
ke matahari terbit. Sang ibu yang sedang memanggang ikan hasil tangkapan suaminya
bergegas keluar. Seperti anaknya, ibu muda berambut panjang itu
terheran-heran takjub. Matanya terbelalak kaget.
Takut jika kapal itu datang dengan keperluan menculiknya, bocah
kecil itu bersembunyi di belakang ibunya. Namun, begitu ayahnya
muncul, bocah itu bergegas menempatkan diri di belakang ayahnya.
Dengan bersembunyi di punggung ayahnya, bocah itu merasa aman.
86 Lampus diri, Jawa, bunuh diri
Hamukti Palapa 107 "Apakah itu kapal culik, Ayah?" tanya bocah berusia lima tahun itu.
Namun, pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban. Sang ayah
rupanya sedang sangat takjub menyaksikan kapal demikian besar
yang seumur-umur belum pernah dilihatnya. Apalagi, jumlah kapal
yang berbaris itu begitu banyak, sepuluh sekaligus, dengan tiang-tiang
menjulang tinggi penuh dengan tali-temali. Pada sebagian tiang dan
sebagian tali, berkibar bendara dan lambang-lambang yang tampak
gagah. Betapa perkasa barisan kapal itu ketika tiba-tiba terdengar suara
melengking panjang sangkakala yang ditiup saling berbalas, suaranya
menggelegar menggetarkan udara.
Kecemasan bisa datang tanpa alasan. Ketakutan anaknya tiba-tiba
menular, rasa takjubnya dengan kasar berubah menjadi cemas. Lakilaki itu segera menggelandang istrinya masuk ke dalam rumah. Pintu
segera dikunci dengan diselarak. Melalui lubang di dinding, rasa ingin
tahunya disalurkan. Dengan cermat lelaki yang tinggal di tepi pantai itu
menimbang, apakah kentongan dengan nada titir harus dipukul bertalu
atau tidak. "Kalau kapal-kapal itu berbelok ke sini, kita harus segera bersembunyi
di belakang papringan,"87 bisik sang suami dengan jantung nyaris berhenti
berdetak. Sang istri mencuatkan alis.
"Apa mereka akan berbelok kemari?"
"Aku pernah mendengar penculikan orang-orang yang nantinya
akan dijadikan budak atau kerja paksa. Di suatu tempat entah di mana,
orang diikat dan diperjualbelikan mirip binatang."
Namun, ketakutan itu memang tak berasalan sama sekali. Kapalkapal besar dengan layar lebar itu bergerak terus ke arah timur. Layarnya
yang berwarna merah dan biru mirip ikan pethek. Lambungnya berwarna
87 Papringan, Jawa, rumpun bambu
108 Gajah Mada kecokelatan dilengkapi dengan perahu-perahu kecil yang diletakkan
menggantung. Meski di kejauhan, terlihat jelas beberapa orang yang
mengawaki kapal itu. Beberapa orang bahkan berada di puncak layar,
dengan gesit sebagian lain lagi merayapi tali layar.
Ukuran kapal nyaris sama, tetapi yang berada di tengah memang
memiliki ukuran paling besar. Tidak seperti kapal di depan maupun
di belakangnya, layar kapal itu berlapis lima, yang agaknya memang
dirancang untuk memberi daya dorong yang cukup terhadap ukuran
kapal yang sangat besar. Kapal dengan ukuran itu tentu muat banyak
orang, bisa jadi dua kali lipat kapal-kapal yang di depan maupun di
belakang. Berbeda dengan pasangan suami istri dan anaknya yang ketakutan,
di bagian lain dari pantai yang memanjang itu justru banyak orang yang
keluar, menjadikan kapal-kapal itu sebagai tontonan yang menarik
karena seumur-umur mereka baru melihat kapal berukuran besar secara
langsung. Beberapa nelayan ada yang menceritakan bertemu dengan kapal
besar, tetapi jauh di tengah lautan yang luas, tidak pada jarak yang dekat
dengan pantai seperti kali ini. Ketika kapal macam itu melintas pada
jarak yang sangat dekat dengan pesisir, jadilah pemandangan luar biasa
yang membangkitkan gairah dan rasa takjub.
"Kita pernah berpapasan dengan kapal besar, tetapi tidak sebesar
itu," kata Welut Buntet.
Jalak Langes yang berdiri di sebelahnya tidak menanggapi ucapan
itu, pandangan matanya lebih cermat memerhatikan bentuk kapal yang
lewat. Ketika Jalak Langes bisa menandai adanya sesuatu yang khusus,
dengan segera alisnya mencuat. Jalak Langes bahkan berubah menjadi
sangat tegang. "Menurutmu, itu kapal apa?" tanya Jalak Langes.
Welut Buntet memerhatikan dengan lebih cermat, tetapi ia tidak
tahu ke mana arah pertanyaan tetangga sekaligus temannya dalam
mencari ikan itu. Hamukti Palapa 109 Setidaknya, Welut Buntet dan Jalak Langes bukanlah nelayan
sembarangan. Sebagai nelayan dengan pekerjaan mencari ikan dan
menjadikan kegiatan berlayar sebagai kegemaran, wilayah pesisir Jawa
bagian utara telah dijelajah sampai tuntas. Karena penjelajahan itu
mereka bisa tahu, nun jauh di utara sana ada sebuah pulau yang sangat
besar. Lalu, di timur setelah Jawa ada Bali dengan pemandangan yang
elok menarik. Lalu, di arah timurnya, di tempat yang sangat jauh yang
membutuhkan waktu sampai hitungan bulan berlayar untuk sampai ke
sana, mereka mengalami nasib buruk tersapu badai hingga terdampar
di sebuah pulau tanpa penghuni.
Oleh karena tak ada penduduk yang tinggal di tempat itu, apa
boleh buat diambil ah langkah membuat perahu baru. Akan tetapi, siapa
sangka pulau itu banyak dihuni makhluk mengerikan mirip kadal yang
berukuran besar sampai sebesar seekor kerbau paling besar. Di tempat
itulah, mereka disuguhi tontonan yang paling mengerikan bagaimana
seekor kerbau yang sangat besar disantap beramai-ramai oleh kawanan
kadal itu. Soal pengalaman menjelajah lautan bahkan telah membawa mereka
ke tempat yang lebih jauh lagi. Di arah timur lagi ada pulau yang dihuni
oleh orang-orang berkulit hitam melebihi hitamnya arang. Orangorang telanjang itu bahkan berniat membantainya tanpa alasan yang
jelas. Untung Welut Buntet dan Jalak Langes masih memiliki banyak
cadangan nyawa. Ketika dalam perjalanan kembali yang tersesat amat jauh dan bahkan
bertahun-tahun lamanya, perahu yang dinaiki membawa ke daratan
yang sangat besar. Di daratan itu tinggal orang-orang bersabit dengan
bentuk yang aneh. Sabit itu jika dilempar dengan kuat akan memutar
balik arah. Dengan wawasan yang demikian luas, Welut Buntet dan Jalak Langes
segera membaca adanya sesuatu yang luar biasa di balik pelayaran yang
berbaris berduyun-duyun itu.
Jalak Langes yang penasaran tak perlu mengulang pertanyaannya.
"Apakah akan ada perang?" letupnya.
110 Gajah Mada Welut Buntet mengerutkan dahi.
"Kau benar," jawabnya. "Kalau kapal dagang pastilah tidak akan
berbaris sebanyak itu. Itu kapal perang. Berarti, mereka sedang dalam
perjalanan menyerbu ...."
"Menyerbu ke mana?" Jalak Langes mendadak cemas.
Barisan kapal besar yang melintas itu memang kapal perang
yang telah beberapa hari berlayar menempuh perjalanan dari ranah
Swarnabhumi dengan tujuan Majapahit. Bahwa barisan kapal itu bukan
kapal niaga, terlihat dari para awaknya yang bersenjata dan lambang anak
panah yang terpasang pada gendewa yang terentang. Pada kapal yang
lain, ada lambang tombak dan trisula dalam genggaman tangan.
Di anjungan kapal utama yang paling besar, tampak seorang
pemuda gagah dengan tubuh yang gempal dan kuat. Tatapan matanya
tajam menyapu sepanjang pantai. Pemuda yang meski masih muda,
tetapi telah menjadi pucuk pimpinan armada yang berlayar itu bernama
Aditiawarman.88 Meskipun masih muda usia, Aditiawarman memiliki
masa depan yang sangat cerah cemerlang karena ia calon pewaris takhta
di Swarnabhumi. "Masih jauhkah perjalanan kita, Paman?" tanya Aditiawarman
kepada lelaki yang berdiri di sebelahnya.
Dengan tatapan sangat khas, mata sedikit sipit dan seperti terkantukkantuk, Pu Wira memerhatikan pulau yang samar-samar terlihat di arah
timur laut. Pulau yang ditandai dengan nama Pulau Madura itu menjadi
pertanda pelabuhan Ujung Galuh sudah dekat. Perjalanan ke Majapahit
88 Aditiawarman, saudara sepupu Jayanegara, anak dari Dara Jingga. Sumber Pararaton menyebut, Dara Petak diperistri Raden Wijaya dan beranak Kalagemet, sedangkan Dara Jingga dikawinkan dengan seorang
"Dewa", mempunyai anak bernama Tuan Janaka bergelar Sri Marmadewa yang kemudian menjadi raja di Melayu dengan gelar abhiseka Aji Mantrolot, yang oleh para ahli diidentifikasi sebagai Aditiawarman.
Sebaliknya, sumber Kidung Harsa Wijaya menyebut, sebelum dikawinkan dengan seorang Dewa, Dara Jingga juga diperistri oleh Raden Wijaya, tetapi karena tidak suka tinggal di Jawa, Dara Jingga dikembalikan ke Melayu. Seorang Dewa yang dimaksud adalah Dyah Adwaya Brahma yang adalah salah seorang dari 14 pengiring pengiriman arca Amoghapasa berangka tahun 1286 atas perintah Kertanagera. Pengiring pengiriman arca Amoghapasa yang lain di antaranya adalah Rakrian Sirikan Dyah Sugata Brahma, Samgat Payanan Hyang Dipangkaradasa, dan Rakrian Demung Pu Wira.
Hamukti Palapa 111 hampir sampai ke tujuan. Bagi Pu Wira yang telah lama tinggal di
Swarnabhumi, perjalanan yang ditempuhnya kali ini bagai perjalanan
pulang kampung setelah sekian lama meninggalkan Singasari sejak
penaklukan Melayu digelar.
Ada sebuah alasan mendasar, mengapa Aditiawarman membawa
rombongan begitu besar jauh dari ranah Swarnabhumi ke Ibu Kota
Majapahit. Berita bahwa saudara sepupunya mati terbunuh menyebabkan
jiwanya terpanggil untuk datang menengok Majapahit. Lowongnya
tampuk pimpinan setelah meninggalnya Prabu Sri Jayanegara membuka
peluang baginya sebagai saudara laki-laki terdekat Kalagemet untuk
tampil karena ia adalah anak Dara Jingga.
Aditiawarman yang adalah pewaris takhta Swarnabhumi itu sama
sekali tidak merasa canggung ikut merasa memiliki Majapahit dan
merasakan sebagai tanah tumpah darah leluhur karena ditubuhnya
mengalir darah Singasari. Ayahnya, Dyah Adwaya Brahma, adalah seorang
Rakrian Mahamenteri Singasari yang mendapat tugas dari Sri Kertanegara
untuk tidak hanya mengirim arca Amoghapasa beserta Saptaratna89
yang ditegakkan di Dharmasraya, Rakrian Mahamentri Dyah Adwaya
Brahma sekaligus sebagai pejabat Singasari yang mewakili Kertanegara.
Belakangan Rakrian Mahamenteri Dyah Adwaya Brahma bahkan diambil
menantu oleh Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa90 yang oleh
karenanya Sang Adwaya Brahma juga bergelar Mauliawarmadewa.
Di samping mengawini empat putri Kertanegara, Raden Wijaya juga
mengawini Dara Petak,91 putri boyongan yang dibawa dari Melayu yang
diberinya gelar Indreswari dengan kedudukan sebagai Stri Tinuhweng
89 Saptaratna, Jawa Kuno, berarti tujuh permata, merupakan lambang seorang cakrawartin, yang semua ditulis pada alas arca Amoghapasa berupa kuda, cakra, permaisuri, ratna, menteri, hulubalang, dan gajah.
Sangat mungkin tak hanya sekadar lambang, Raja Kertanegara benar-benar mengirim seorang putri, dua orang pejabat, seekor gajah, seekor kuda, senjata cakra, dan permata kepada Raja Swarnabhumi.
90 Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa, Raja Swarnabhumi
91 Dara Petak, lebih kurang sepuluh hari setelah pengusiran tentara Tartar, Lembu Anabrang yang memimpin ekspedisi ke Melayu pulang dengan membawa dua putri boyongan kakak beradik, Dara Petak dan Dara Jingga. Menurut Kidung Panji Wijayakrama, Dara Petak dikatakan Sang Anwam Inapti yang artinya yang muda diperistri oleh baginda. Dengan demikian, Dara Petak adalah adik Dara Jingga.
112 Gajah Mada Pura.92 Dara Petak adalah salah seorang anak Raja Swarnabhumi,
Mauliawarmadewa. Seorang lagi anak Mauliawarmadewa yang diboyong
ke tanah Jawa bernama Dara Jingga yang karena merasa tidak betah
hidup di Jawa, lalu dipulangkan ke kampung halamannya.
Dari perkawinannya dengan Dyah Adwaya Brahma, Dara Jingga
berputra Aditiawarman yang dengan pertalian darah itu, Sri Jayanegara
adalah saudara sepupunya. Sri Jayanegara terbunuh, berita itu sampai
di Swarnabhumi agak terlambat karena lebih dari dua tahun lamanya
Aditiawarman menuntut ilmu pengetahuan ke India. Kematian saudara
sepupunya itu menjadi daya tarik tersendiri bagi Aditiawarman karena
bukankah sebagai saudara laki-laki terdekat, terbuka lebar kemungkinan
dirinya yang akan ditunjuk sebagai pengganti Jayanegara, siapa tahu.
Pu Wira yang telah dianggap pamannya amat meyakini hal itu.
"Apakah memang ada kemungkinan seperti itu, Paman?"
Pertanyaan itu dilontarkan Aditiawarman beberapa bulan lalu ketika
kabar kematian itu sampai di Swarnabhumi.
Pu Wira amat yakin. "Mengapa tidak, Aditiawarman," Pu Wira menjawab. "Mendiang Sri
Baginda Wijaya memiliki banyak istri, yang tidak seorang pun melahirkan
putra laki-laki kecuali bibimu Dara Petak. Saudara sepupumu itu tidak
memiliki saudara lelaki dari ibu tirinya yang lain. Secara nalar, kamulah
orang yang berada pada urutan pertama yang berhak mewarisi takhta
itu setelah kematian kakakmu."
Aditiawarman sebenarnya tak merasa tertarik dengan apa yang
disampaikan Pu Wira, tetapi rupanya masalah itu dibicarakan di ruang
sidang istana. Bagaimanapun, berita kematian yang sangat terlambat
diterima itu tetap mengagetkan. Dara Jingga yang makin tua pernah
dibuat penasaran, ingin tahu bagaimana kabar saudara kandungnya. Hal
itu karena mimpi yang datang secara beruntun dalam tiga hari.
92 Stri Tinuhweng Pura, kedudukan sebagai istri utama yang diperoleh Dara Petak karena amat dikasihi Raden Wijaya dan memberinya putra laki-laki.
Hamukti Palapa 113 Dalam mimpi itu, Dara Jingga melihat saudaranya berada dalam
perahu yang terkatung-katung di tengah laut. Empat bulan setelah itu
berita kematian saudara kandungnya ia terima. Dara Petak ternyata
berumur lebih pendek dari dirinya. Kali ini, berita kematian Jayanegara
datang amat telat. "Sebaiknya kamu pergi ke Jawa," Dara Jingga memberi saran. "Ibu
kandung Prabu Majapahit adalah bibimu. Ada banyak hal yang bisa
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaulakukan dengan perjalanan ke Jawa itu. Yang pertama, agar keluarga
istana tahu, Swarnabhumi tidak pernah kehilangan tali persaudaraan
dengan Majapahit. Dengan kaupergi ke Jawa, kau bisa menengok
kuburan bibi dan saudara sepupumu."
Aditiawarman mengangguk. Ayahnya, Dyah Adwaya Brahma,
sedang amat larut dalam memandang gapura istana Swarnabhumi.
Aditiawarman masih dengan setia menunggu ayahnya berbicara. Dyah
Adwaya Brahma mendahului apa yang akan disampaikannya dengan
mengisi paru-parunya lebih dahulu melalui tarikan napas yang sangat
panjang, serasa tak cukup udara yang dibutuhkan untuk mengisi paruparunya. "Aku sependapat dengan ibumu," kata Dyah Adwaya Brahma.
"Berangkatlah ke tanah Jawa, tetapi dengan hati yang bersih. Kamu orang
Swarnabhumi maka Swarnabhumilah hakmu, bukan Majapahit. Meski
Sri Jayanegara itu saudara sepupumu dan kamu adalah saudara lelaki
paling dekat, hal itu tak berarti kamu punya hak merampas kekuasaan
para kerabat di sana."
Setelah keputusan diambil, persiapan perjalanan sangat jauh itu
dilakukan. Untuk menyingkat waktu dan mengirit tenaga, perjalanan
lewat laut yang diambil. Apalagi, dua puluh tahun terakhir Swarnabhumi
berhasil membangun puluhan kapal dagang dengan ukuran besar. Ibu
Kota Swarnabhumi berada di tengah daratan Pulau Perca, tetapi memiliki
pelabuhan laut tak jauh dari Tumasek yang menjadi tempat lalu-lalang
berbagai jenis kapal. Melihat kapal-kapal dagang yang lewat selat Tumasek mengilhami
mendiang Raja Mauliawarmadewa untuk membangun kapal serupa. Lalu,
114 Gajah Mada didatangkanlah empu pembuat kapal dari tanah Tumasek sekaligus hal
itu dijadikan sebagai ajang belajar orang-orang Swarnabhumi hingga
akhirnya mampu membuat kapal yang bahkan berukuran jauh lebih
besar tanpa harus melibatkan para empu dari Tumasek.
Tahun demi tahun berlalu. Jumlah kapal yang berhasil dibuat makin
lama makin banyak, yang bisa digunakan untuk berdagang dengan
negara-negara sahabat yang berada pada jarak dekat maupun yang berada
di wilayah lebih jauh. Karena kemampuan berdagang yang sangat besar
itulah yang menyebabkan Swarnabhumi menjadi negara kaya meski
bukan negeri dengan wilayah yang luas. Sikapnya yang bersahabat dengan
negara-negara tetangga mendorong Swarnabhumi tidak membangun
kekuatan perang, tetapi lebih mengedepankan hubungan damai. Itu
sebabnya, keberadaan negeri Swarnabhumi didengar sampai ke belahan
bumi yang lain. Angin kering yang berembus kencang dari arah belakang mendorong
barisan kapal itu makin cepat mendekati sasaran. Dari lepas laut wilayah
menjelang Gresik, wajah Pulau Madura makin terlihat jelas. Nun jauh di
depan, tampak ratusan perahu berukuran sedang tersebar di sepanjang
pantai, itulah pelabuhan yang sangat terkenal dengan nama Ujung Galuh,
yang menghubungkan Majapahit dengan dunia.
10 K emarau yang bagai tanpa ujung itu sudah sangat menyiksa,
ditambah abu tebal sumbangan dari Gunung Kampud yang meledak,
menyebabkan sesak napas yang terjadi terasa makin mencekik leher.
Pradhabasu memerhatikan pekarangan rumahnya sambil berkhayal,
andaikata terjadi keajaiban, langit tiba-tiba berubah menjadi gelap, lalu
Hamukti Palapa 115 hujan turun dengan petir menari-nari, keadaan yang gersang itu seketika
akan berubah. Debu-debu akan tersapu habis dan rumput-rumput pun
akan tumbuh subur kembali. Orang-orang akan bekerja keras menanam
padi di sawah, bocah-bocah akan berlarian bermain hujan, dan paceklik
pun akan berakhir. "Sedang apa kamu?" tiba-tiba terdengar sebuah sapa.
Pradhabasu tidak perlu menoleh karena telah hafal dengan suara
itu. Ki Sangga Rugi yang datang mendekat, menempatkan diri di
belakangnya. Pradhabasu mengarahkan tatapan matanya ke arah seekor
kuda milik tamunya yang diikat di bawah pohon sawo. Sang tamu yang
sedang kecapekan ia biarkan beristirahat di bilik pribadinya. Ki Sangga
Rugi memerhatikan kuda itu sekilas, tetapi kuda itu tak memancing rasa
ingin tahunya. "Aku mau ke kota," kata Ki Sangga Rugi.
Pradhabasu tidak menoleh.
"Kamu tidak ingin titip salam" Kalau ya, akan aku sampaikan
salammu," lanjut Ki Sangga Rugi.
Pradhabasu masih tidak menoleh, tetapi apa yang diucapkan Ki
Sangga Rugi itu menggelitik hatinya.
"Aku menitip salam kepada siapa?"
"Kepada Gajah Mada. Aku ke kota untuk menemuinya. Bagaimana
kalau kamu ikut" Aku akan memperkenalkan kamu dengan beliau."
Pradhabasu menoleh, dipandanginya Ki Sangga Rugi dengan penuh
perhatian. "Jadi, kamu akan menghadap Patih Gajah Mada?" tanya Pradhabasu.
"Ya," jawab Sangga Rugi dengan rasa bangga.
"Apakah kalau aku titip salam, Gajah Mada akan menanggapi?"
"O, tentu, Gajah Mada itu sahabatku yang baik. Ia akan memberi
perhatian. Bahkan, kalau aku mintakan pekerjaan untukmu, Gajah Mada
116 Gajah Mada pasti akan memberi. Lebih baik, mintalah pekerjaan kepada Patih Gajah
Mada daripada menganggur tidak punya pekerjaan."
Pradhabasu manggut-manggut, disusul senyumnya yang merekah
penuh minat, matanya bahkan sedikit agak terbelalak.
"Kebetulan aku ingin bekerja yang lebih baik. Aku sudah malas
menjadi seorang petani, apalagi dengan kemarau panjang seperti ini.
Aku ingin bekerja apa saja di istana untuk menyambung umur. Apakah
Patih Gajah Mada sahabatmu itu bisa memberiku pekerjaan?" tanya
Pradhabasu. Ki Sangga Rugi mengerutkan kening dalam sibuk dan riuh
berpikir. "Ya, ada pekerjaan yang bisa dihadiahkan untukmu," Ki Sangga
Rugi meletup dengan raut muka berbinar penuh kebanggaan.
"Pekerjaan apa kira-kira yang tersedia untukku?" tanya
Pradhabasu. "Pekerjaan sebagai gamel,93 mau" Atau, kalau kamu mau, pekerjaan
merawat pekarangannya. Gajah Mada punya pekarangan yang luas, tetapi
sayang terbengkalai karena tak ada yang mengurus. Kalau kuajukan kau
untuk pekerjaan itu, Patih Gajah Mada pasti akan menerima lamaranmu
dengan senang hati. Kalau pekerjaan itu kamu anggap berat karena kamu
pemalas, mungkin pekerjaan gamel sudah cukup baik."
Pradhabasu terbelalak. Matanya nyaris lepas.
" Gamel yang mengurus gamelan?" Pradhabasu meletup. "Keterlaluan
kamu, masak kamu menawarkan pekerjaan sebagai pengurus gamelan"
Seumur-umur aku belum sekali pun menyentuh gamelan dan tidak tahu
bagaimana cara menabuh. Jika jadi gamel yang mengurus gamelan,
dibayar setinggi apa pun aku tidak mau. Kalau menjadi prajurit aku mau,
misalnya menjadi Bhayangkara, tolong tanyakan kepada sahabatmu, Ki
Patih Gajah Mada, apakah bisa memberiku jabatan sebagai senopati di
pasukan Bhayangkara?"
93 Gamel, Jawa, orang yang bekerja mengurus kandang kuda
Hamukti Palapa 117 Ki Sangga Rugi terbelalak.
"Apa katamu" Menjadi prajurit Bhayangkara dengan pangkat
senopati?" Pradhabasu mengangguk. "Ya!" Ki Sangga Rugi tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perut.
"Gila kamu!" Pradhabasu tidak ikut tertawa.
"Jangan keras-keras kamu tertawa, nanti tamuku akan terbangun."
Diingatkan seperti itu, Ki Sangga Rugi segera membungkam
mulut dan dengan segera matanya mencuat mewakili rasa ingin tahunya
yang seketika meluap. Kuda yang terikat di batang sawo meranggas itu
benar-benar jenis kuda yang tegar penuh dengan otot. Pemilik kuda
macam itu tentulah seorang prajurit yang pilih tanding. Siapa pemilik
kuda tegar itu" "Siapa tamumu?" tanya Ki Sangga Rugi.
Pradhabasu tersenyum. "Bukan siapa-siapa, bukan orang penting, hanya seorang sahabat
akrab," jawab Pradhabasu.
Dalam hati, Ki Sangga Rugi merasa penasaran. Setidaknya sulit
memahami, mengapa tetangganya yang hanya orang biasa, tidak kaya, dan
mempunyai anak yang cacat, orang macam itu justru banyak didatangi
tamu, sedangkan dirinya yang lebih hebat dan kaya, terkenal, dan orang
penting tak pernah menerima tamu.
Andaikata sahabatnya yang bernama Gajah Mada itu mau datang
menengoknya, akan dipukulnya gong kebanggaannya atau kentongan
untuk mengundang para tetangga. Akan dipamerkannya Patih Gajah
Mada itu dengan mengajaknya berjalan dari ujung ke ujung pedukuhan
dari pagi hingga petang supaya para tetangga tahu ruang pergaulannya
118 Gajah Mada benar-benar tidak sembarangan, kenalannya orang-orang besar di
istana, bahkan jika perlu kedua Prabu Putri juga menganggapnya
sebagai sahabat. Nah, jika tamu-tamu terhormat dari istana itu datang
berkunjung, para tetangga tidak akan menyepelekan dirinya. Semua akan
menaruh rasa hormat kepada dirinya. Semua orang akan membungkuk
memberi hormat kepadanya.
"Kamu harus mengatakan kepadaku, siapa tamumu!" desak Ki
Sangga Rugi. "Kenapa aku harus melapor kepadamu?" balas Pradhabasu dengan
alis mencuat sebelah. Jika Ki Sangga Rugi memahami pertanyaan yang setengah menyindir
itu, mestinya ia segera sadar untuk tidak terlalu jauh ikut campur urusan
orang lain atau mengetahui urusan orang lain. Namun, Ki Sangga Rugi
bukan orang macam itu. Ki Sangga Rugi merasa harus tahu siapa tamu
tetangganya itu. Ia menganggap sikapnya yang demikian tidak ada yang
salah. "Pokoknya aku harus tahu," jawabnya ngeyel.94.
Pradhabasu mendengus. "Aku tidak pernah punya rasa ingin tahu terhadap apa pun urusanmu.
Aku bukan bawahanmu, bagaimana aku wajib menceritakan siapa tamuku
kepadamu?" jawabnya dengan sedikit geli sekaligus jengkel.
Ki Sangga Rugi tidak mampu menjawab. Ia merasa bibirnya
menebal. "Sudah, berangkat sana kalau mau ke kotaraja," Pradhabasu mengusir.
"Jika kamu terlambat, kamu tidak akan bertemu dengan Gajah Mada."
"Aku tak perlu tergesa-gesa. Aku pasti bertemu dengan Gajah Mada
di rumahnya. Ia tidak pernah ingkar janji. Kalau mengundangku datang,
ia pasti berada di tempat. Yang penting sekarang, aku harus tahu siapa
pemilik kuda tegar itu."
94 Ngeyel, Jawa, ngotot Hamukti Palapa 119 Pradhabasu makin sulit memahami sikap tetangganya itu.
"Memang kenapa dengan kuda itu?" tanya Pradhabasu.
"Itu kuda yang bagus," balasnya.
Soal kuda yang bagus, Ki Sangga Rugi benar adanya. Kuda yang
terikat di bawah pohon sawo itu benar-benar kuda pilihan, kekar, dan
pasti sanggup diajak menempuh perjalanan jauh. Otot-ototnya yang
bertonjolan dengan warna bulu yang putih bersih menjadi ukuran betapa
mahal harga kuda itu. Dengan musim kemarau sedang gila-gilanya, yang
dengan demikian rumput amat sulit diperoleh, berarti pemilik kuda itu
mampu memberi makan dalam jumlah yang cukup. Siapa pun pemiliknya,
tentu orang yang kaya. Namun, rasa penasaran Ki Sangga Rugi tidak perlu berlangsung
lama. Pintu rumah Pradhabasu yang semula tertutup itu terbuka. Tamu
yang membuat Ki Sangga Rugi amat penasaran keluar sambil meliukkan
badan. Betapa terperanjat Ki Sangga Rugi melihat orang itu, orang yang
sungguh sangat dikenalinya. Mendadak datang rasa pegal yang menjalari
seluruh tubuhnya. Ki Sangga Rugi kaget bersamaan dengan lututnya
yang gemetaran. "Hanya sebentar kautidur?" tanya Pradhabasu.
"Aku tidak bisa tidur," jawab Gajah Mada. "Tetapi, rasa pusingku
sudah hilang. Aku harus kembali ke istana."
Tak banyak bicara, Gajah Mada menuju kudanya yang terikat di
pohon sawo. Juga tak perlu memerhatikan lebih cermat seorang lelaki
yang berada di belakang Pradhabasu. Penampilan Gajah Mada yang kekar
sangat sesuai dengan kuda tunggangannya yang juga kekar. Dengan
wajah membeku dan tak peduli pada orang di belakang Pradhabasu,
Gajah Mada memacu kudanya membalap, menghamburkan debu-debu
sekaligus meninggalkan jejak kegelisahan di hati tuan rumah.
Sikap dan cara pandang Gajah Mada memang membuatnya gelisah.
Ki Sangga Rugi yang bingung berusaha menguasai diri.
"Itu tadi...," ucapnya tidak tuntas.
120 Gajah Mada Bekas Bhayangkara Pradhabasu terus memerhatikan jejak debu yang
berhamburan memanjang melintas bulak sampai ke ujung pedukuhan,
yang di sana terdapat sebuah jalan besar yang akan membawa siapa
pun sampai ke pintu gerbang Purawaktra. Sebenarnyalah, jarak rumah
Pradhabasu dengan kotaraja tidak seberapa jauh.
"Itu tadi Patih Gajah Mada, bukan?" tanya Ki Sangga Rugi dengan
gugup. "Ya!" jawab Pradhabasu pendek.
"Tetapi, mengapa ia berada di rumahmu?"
Pradhabasu telah cukup sabar berhadapan dengan tetangganya yang
terlalu banyak membual dan sibuk membesarkan isi dada itu. Sebenarnya
sikap yang demikian itu tidaklah masalah, tetapi ketika Ki Sangga Rugi
terlalu banyak mengganggu dan menyita waktunya, hal itu makin lama
membuatnya jengkel. Menanggapi Ki Sangga Rugi serasa membuang
waktu sia-sia. "Memang kenapa kalau Gajah Mada datang ke rumahku" Tidak
boleh?" balas Pradhabasu.
"Tetapi"." Ki Sangga Rugi merasa ragu melanjutkan kata-katanya.
Ki Sangga Rugi menatap Pradhabasu sekaligus menapaki rasa
herannya. "Untuk keperluan apa Gajah Mada datang ke sini?"
Pradhabasu tak mampu menahan tawa.
"Gajah Mada sebenarnya datang untuk mencarimu. Ia kemari
menanyakan di mana rumah kamu. Lalu, aku tunjukkan kautinggal di
sebelah. Melihat kamu sibuk menganyam ikrak,95 Gajah Mada merasa
tidak tega mengganggu. Jadi, ia batalkan niat menemuimu."
Ki Sangga Rugi dengan segera menimbang, apakah yang
disampaikan tetangganya itu masuk akal atau tidak. Karena agak lama
95 Ikrak, Jawa, alat untuk mewadahi dan membuang sampah
Hamukti Palapa 121 Ki Sangga Rugi tidak berbicara, Pradhabasu segera mengayun langkah
meninggalkannya. "Tunggu," Ki Sangga Rugi menyela.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pradhabasu berbalik. "Ada apa lagi?" balasnya dengan tidak bersahabat.
"Gajah Mada tak berpesan apa-apa" Ia pasti meninggalkan pesan
untukku, bukan?" Pradhabasu makin jengkel melihat Ki Sangga Rugi masih belum
menyadari keadaan, tetapi pilihan yang diambil adalah tetap berusaha
menguasai diri dan tidak membiarkan kepalan tangannya mengayun
menghajar wajah tetangganya itu. Justru karena itu, kepalanya serasa
mau pecah. "Tadi kamu sudah berhadapan langsung dengan Patih Gajah Mada,
mengapa tak kautanyakan sendiri?"
Ki Sangga Rugi bingung dan merasa tidak ada lagi yang bisa
dipertahankan. Semua bualannya runtuh karena tidak ditopang kenyataan.
Dengan demikian, tidak ada gunanya lagi mengaku kenal dan bersahabat
dengan Gajah Mada, yang ternyata malah bersahabat akrab dengan
Pradhabasu. Ketahuan telah merangkai cerita bohong menyebabkan
wajah Ki Sangga Rugi menebal. Dengan segera Ki Sangga Rugi berniat
membangun kilah untuk menguruk kebohongannya dengan kebohongan
yang baru. Namun, kilah yang mana lagi yang bisa dihadapkan ke
tetangganya yang ternyata menyimpan banyak rahasia itu.
Setidaknya, kini muncul pertanyaan yang sangat mengganggu,
Pradhabasu itu sebenarnya siapa" Mengapa ia yang hanya penduduk
biasa bisa kenal dan berhubungan dengan orang-orang penting di
Majapahit" Beberapa hari yang lalu, seorang senopati pimpinan pasukan
khusus Bhayangkara datang mengunjunginya. Lalu, hari ini orang yang
memegang kekuasaan sangat tinggi, Patih Gajah Mada, juga datang
mengunjungi. Dengan latar belakang macam apa, orang-orang yang
bukan sembarangan itu datang mengunjungi Pradhabasu, ayah dari
seorang bocah yang mengalami cacat pikiran.
122 Gajah Mada Sebodoh dan sebebal apa pun, Ki Sangga Rugi akhirnya sampai
pada simpulan bahwa tetangganya yang bernama Pradhabasu itu pasti
menyembunyikan rahasia besar, rahasia berkaitan dengan jati dirinya di
masa silam. "Siapa sebenarnya dia?" tanya Ki Sangga Rugi untuk diri sendiri.
Namun, setidaknya Ki Sangga Rugi telah belajar dari pengalaman
untuk tidak memaksakan diri ikut campur dan mengetahui urusan orang
lain, untuk tidak perlu memaksa mengetuk dan dibukakan pintu hanya
untuk memastikan rasa penasaran seperti kali ini. Ki Sangga Rugi tak
berani melangkah mengejar Pradhabasu yang telah menutup pintu.
Yang ia lakukan hanyalah memandang pintu itu dengan semua rasa
bingungnya. Pradhabasu berusaha menguraikan beban yang menyesakkan
dadanya melalui sebuah tarikan napas yang panjang, mengembuskan
udara yang mendekam di paru-parunya untuk digantikan udara yang
baru. Raut wajah Gajah Mada sahabatnya ketika menyampaikan
keperluannya serasa masih melekat di benaknya, masih terekam kuat
kalimat-kalimatnya. "Tugasku adalah menjamin keutuhan kekuasaan istana," kata
Gajah Mada. "Untuk keperluan itu, apa pun yang menjadi perintang
haruslah disingkirkan. Hal itu perlu dipahami dengan pemikiran,
kepentingan yang lebih besar haruslah mengalahkan yang kecil. Artinya,
kepentingan negara berada di atas segalanya. Penyakit yang mengancam
dan membahayakan negara harus ditumpas. Pengalaman yang terjadi
selama ini telah membuktikan, penyakit itu bahkan harus ditumpas sejak
masih berupa bibit. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang merepotkan di
kemudian hari karena cara penyelesaian yang kurang baik di saat ini.
Untuk hal yang satu ini, kau harus membantuku, bukannya menjadi
penghalangku." Kata-kata yang diucapkan Gajah Mada itu utuh lengket di benaknya
tanpa satu kata dan kalimat pun tercecer, juga bagaimana raut muka
Gajah Mada ketika mengucapkan dan matanya yang tajam dalam
mempertegas. Niat untuk memberangus bibit penyakit yang bakal
Hamukti Palapa 123 merepotkan di kemudian hari itu benar-benar dilandasi kesungguhan.
Gajah Mada benar-benar tidak main-main.
"Sekarang katakan, di mana perempuan dan anaknya itu" Jika
dibiarkan, mereka bisa menjelma menjadi bibit pemberontakan. Katakan
di mana dia?" tanya Gajah Mada.
Pradhabasu menelan pertanyaan itu dan mengulumnya. Pradhabasu
yakin bahwa kejujuran belum tentu akan berakibat baik. Adakalanya tak
mengatakan yang sebenarnya justru merupakan tindakan yang bijak.
Mengenai tamsil yang dibuat Gajah Mada sebagai bibit pemberontakan
atau makar, Pradhabasu melihat hal itu terlalu berlebihan. Ketakutan
yang berlebihan bahkan bisa disebut sakit.
"Aku tak tahu di mana ia sekarang berada. Kalau aku menggunakan
apa yang terjadi pada adikku sebagai ukuran, boleh jadi perempuan itu
sudah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri," jawab Pradhabasu datar.
Jawaban yang membuat Gajah Mada merasa tidak puas. Pandangan
matanya kepada Pradhabasu diliputi rasa curiga. Pradhabasu yang dulu
amat dipercayainya itu, kini menjadi orang yang pintar menyembunyikan
rahasia, bahkan untuk membungkus rapat rahasia itu, jika perlu
dilengkapinya dengan sumpah segala, sumpah akan diterjang petir
jika bohong. Namun, untuk sebuah kepentingan yang amat diyakini,
Pradhabasu merasa tak keberatan jika harus melakukan.
"Aku tidak percaya," jawab Gajah Mada.
Pradhabasu balas memandang tatapan mata Patih Gajah Mada
seolah menusuk langsung ke gumpalan benaknya. Pradhabasu benarbenar tak berniat mengedepankan rasa sungkan. Senyum yang mencuat
adalah senyum sinis. Patih Gajah Mada membaca kejengkelan bekas anak
buahnya itu, yang amat terbaca dari tarikan bibirnya.
"Maksudmu?" balas Pradhabasu.
"Aku tidak percaya perempuan itu bunuh diri. Penyebab yang sama
tidak berarti akan menimbulkan akibat yang sama. Apa yang terjadi pada
adik kandungmu belum tentu akan terjadi pada perempuan itu."
124 Gajah Mada Pradhabasu tersenyum. "Aku tidak mengatakan perempuan itu lampus diri. Aku hanya
mengatakan kemungkinan itu ada. Beberapa tahun ini aku dicemaskan
oleh kemungkinan macam itu karena ia pernah mengungkapkannya.
Perempuan itu merasa tak ada gunanya lagi hidup di dunia ini. Aku
cemas kalau ternyata itu benar. Meski aku tidak menemukan jawaban
yang pasti, aku yakin perempuan yang kautempatkan sebagai duri dalam
daging itu telah tiada."
Gajah Mada memandang Pradhabasu dengan tatapan mata menusuk
langsung ke ulu hati. Akan tetapi, Pradhabasu memiliki kekuatan cukup
besar dan tegar untuk memberi perlawanan. Meski orang yang berada di
hadapannya batu karang bernama Gajah Mada, Pradhabasu tak merasa
takut menghadapinya. Bahkan, andai yang bernama Gajah Mada itu
sebuah gunung sekalipun. Pradhabasu tak merasa harus menimbang untuk berdiri berhadapan.
"Ingat, Pradhabasu," Gajah Mada mengancam, "bahwa aku akan
menyalahkanmu jika kelak tiba-tiba datang seseorang menghadap Prabu
Putri Dyah Wiyat dan mengaku-aku sebagai anak suaminya. Kamu harus
bertanggung jawab terhadap kemungkinan macam itu."
Pradhabasu tersenyum. Tanpa harus merasa sungkan, Pradhabasu
memamerkan rasa jengkelnya.
"Kamu berpandangan picik dan menggunakan kebenaran
berdasarkan takaranmu. Kalau apa yang kaucemaskan itu terjadi,
mengapa aku yang harus bertanggung jawab" Mengapa bukan Sri Wijaya
Rajasa Sang Apanji Wahninghyun yang kamu tanyai" Mengapa harus
Pradhabasu, apa hubungannya dengan Pradhabasu?"
Gajah Mada berjalan mondar-mandir sambil bertolak pinggang.
Tubuhnya yang besar kekar penuh otot-otot yang melingkar,
menjadikannya tak tertandingi dalam adu okol melawan siapa pun.
Matanya tajam dengan alis yang tebal, merontokkan nyali siapa pun
yang mencoba menantang seberapa besar wibawanya.
Hamukti Palapa 125 Gajah Mada juga memiliki keyakinan amat kuat. Caranya memandang
masalah tak lagi menggunakan ukuran benar dan salah. Ukuran yang
ia gunakan adalah seberapa besar pengaruhnya terhadap negara,
apakah akan merugikan atau menguntungkan. Segala hal yang bisa
membahayakan negara disebutnya sebagai penyakit. Terhadap segala
hal yang dianggapnya penyakit harus berani memangkas meski ibarat
terhadap tangan atau kaki. Penyakit yang kecil jika dibiarkan akan
membesar dan ketika kesadaran untuk melawannya datang, keadaan
akan telanjur terlambat. Hal seperti itu benar-benar dirasakan oleh bekas Bhayangkara
Pradhabasu. Jika ia menyebut sebuah tempat yang di sana seorang
perempuan bernama Dyah Menur Hardiningsih atau Sekar Tanjung dan
anaknya berada, Patih Gajah Mada akan mengirim pasukan berkekuatan
segelar sepapan untuk mencabut nyawa perempuan itu dan memberangus
nyawa anaknya. Gajah Mada diyakini akan sanggup melakukan itu atas
nama negara. Memastikan perempuan itu dan anaknya tidak akan menimbulkan
bahaya di kemudian hari rupanya masih belum cukup baginya.
"Apakah Raden Kudamerta pernah datang ke tempat ini?" tanya
Gajah Mada. Pradhabasu menggeleng. "Kau mengatakan sejujurnya?"
Pradhabasu tertawa. "Dengan cara bagaimana aku harus meyakinkan kamu bahwa apa
yang aku ucapkan benar apa adanya" Apa pun yang aku sampaikan, kau
tidak percaya karena jawaban yang aku berikan tidak sesuai dengan apa
yang kauharapkan. Sejauh ini aku belum pernah kedatangan tamu Raden
Kudamerta Wijaya Rajasa Sang Apanji Wahninghyun. Namun, kalau ia
datang untuk mematai-matai aku, baik secara langsung maupun dengan
menugasi orang lain, sebaiknya kautanyakan langsung hal itu kepada
yang bersangkutan. Aku tidak tahu soal itu."
126 Gajah Mada Jawaban blak-blakan yang diberikan Pradhabasu itu ternyata
mampu melumerkan wajah Gajah Mada yang membeku. Suara tawanya
yang kemudian berderai mencairkan keadaan, tidak lagi menyebabkan
Pradhabasu merasa sesak napas.
Pradhabasu menyeringai. "Baiklah, aku bisa memahami jawabanmu," kata Gajah Mada.
"Kau memang punya jawaban, tetapi bukan berarti aku bisa menerima
jawabanmu. Bagaimana keadaan yang sebenarnya, hanya kau yang tahu,
kebenarannya ada di kedalaman hatimu. Aku hanya mengingatkan,
Pradhabasu. Entah bagaimana keadaan yang sesungguhnya, aku tak
ingin di kemudian hari muncul masalah sebagai akibat keberadaan
perempuan itu dan anaknya. Jika mereka muncul, kaulah orang pertama
yang akan kugantung di alun-alun Majapahit, tepat di pintu gerbang
Purawaktra." Hening yang merayap bukan senyap yang menakutkan. Ancaman
itu tidak membuat Pradhabasu merasa cemas. Senyumnya yang
merekah menjadi bukti bagi Patih Gajah Mada, jawaban Pradhabasu
adalah jawaban yang sungguh-sungguh dan mewakili keadaan
sesungguhnya. "Tiga malam aku kurang tidur, bolehkah aku mengurai rasa
kantukku barang sejenak?"
Pertanyaan Gajah Mada yang mendadak membelok itu menyebabkan
Pradhabasu mengerutkan kening.
"Apakah terjadi sesuatu?"
Gajah Mada mengarahkan pandangan matanya ke seberang
jalan. "Ya. Aku menunggu maling itu masuk lagi," jawabnya.
Pradhabasu mengerutkan kening, penasarannya terpancing.
"Maling?" "Ya." Hamukti Palapa 127 Pradhabasu merasa belum paham seutuhnya.
"Ibu Suri Rajapatni Biksuni Gayatri memanggilku dan mengingatkan,
boleh jadi maling yang mencuri cihna gringsing lobheng lewih laka dan
songsong itu akan masuk kembali ke ruang perbendaharaan pusaka.
Aku tak percaya dengan pasukan Bhayangkara meski berkekuatan penuh
melakukan penjagaan istana. Maka, aku ikut melibatkan diri dalam
pengamanan istana secara langsung. Ternyata, perhitungan Ibu Suri
Rajapatni Biksuni Gayatri salah."
Pradhabasu memandang Gajah Mada dengan segala keheranannya.
Manggut-manggut yang ia lakukan amat perlahan.
"Tuan Putri Ibu Suri Gayatri" Beliau?"
"Ya," jawab Gajah Mada. "Ramalan beliau ternyata tidak benar.
Maling yang kedatangannya akan disambut dengan meriah itu ternyata
tidak menampakkan diri."
Pradhabasu menggeleng tegas.
"Aku tidak sependapat," jawabnya. "Ibu Suri adalah orang yang
sidik paninggal, orang yang waskita. Jika Ibu Suri Biksuni mengatakan
demikian, berarti benar-benar akan terjadi. Kalau sampai semalam
maling itu belum menampakkan diri, bukan berarti ia tidak datang. Ia
akan menerobos masuk ke ruang perbendaharaan pusaka menunggu
penjagaan lengah. Kurasa kau harus memerintahkan untuk melakukan
pengawalan dengan lebih ketat, dilengkapi orang-orang berkemampuan
menangkal dan mencurigai kehadiran sirep."
Sirep yang dibicarakan mengingatkan Gajah Mada pada kantuknya.
Untuk hasrat ingin tidur kali ini tidak harus karena kekuatan sirep yang
menyihir, cukuplah karena tidak tidur tiga hari tiga malam. Untuk
keadaan yang demikian, senyampang ia masih bernama manusia pasti
punya batas kemampuan, tidak peduli orang itu adalah Gajah Mada,
pemilik nama yang sangat menggetarkan dari ujung ke ujung pelosok
Majapahit. Jika ada orang yang tidak menganggap nama itu menjulang
tinggi, hanyalah Ra Krian Kembar, putra Raja Pamelekehan, yang
entah oleh alasan apa, ia amat membenci Gajah Mada.
128 Gajah Mada Pradhabasu mondar-mandir dari ujung ruang ke ujung ruang.
Bagaimanapun juga, sikap Gajah Mada yang telah ditumpahkan itu
meresahkannya. "Dyah Menur harus terlindung. Jika aku tak membuka mulut, ia
cukup terlindung dari keadaan yang menyulitkan itu."
Pradhabasu tidak berhenti mondar-mandir dari ujung ke ujung
ruang rumahnya yang sederhana. Dari jendela rumahnya yang terbuka,
ia melihat Ki Sangga Rugi masih berdiri bingung di tepi jalan, tidak lagi
di halaman. Ki Sangga Rugi pasti masih dilibas rasa kaget melihat Patih
Gajah Mada keluar dari rumah Pradhabasu. Sungguh hal itu membuatnya
bingung, tidak mampu memahami bagaimana ceritanya, Pradhabasu
yang melarat dan hanya orang biasa itu didatangi tamu-tamu terhormat,
tamu bukan sembarang tamu.
"Siapa Pradhabasu itu?" tanya Ki Sangga Rugi penasaran.
Ki Sangga Rugi mendadak merasa memang ada yang tak wajar
pada tetangga bernama Pradhabasu itu. Ia datang entah dari mana. Ia
tinggal sebagai warga baru setelah membeli sepetak tanah di pedukuhan
itu. Ia hidup sendiri dengan seorang anaknya yang mengalami cacat
jiwa. Dari mana Pradhabasu berasal, siapa saja kerabat keluarganya,
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan di mana mereka tinggal, tak ada keterangan apa pun terkait hal
itu. Kesadaran adanya rahasia yang disembunyikan oleh tetangganya itu
amat terlambat. Rasa tak nyaman yang timbul menyebabkan jantungnya
berdebar. Ki Sangga Rugi akhirnya membawa langkah kakinya ke rumah
sebelah yang dipisahkan oleh pekarangan yang luas. Pemilik rumah
itu seorang petani yang sakit-sakitan dan bertubuh kurus serta terlihat
tua meski usianya belum genap empat puluh tahun. Meski keadaannya
demikian, ia memiliki nama yang gagah, tidak seperti Sangga Rugi yang
berarti menyangga kerugian. Sebaliknya, tetangga yang bertubuh kurus
itu bernama Jalak Mangore.
"Mau menawarkan bualan apa?" tanya Jalak Mangore melihat
kedatangan tetangga yang sangat dikenalnya itu.
Hamukti Palapa 129 Terhadap Jalak Mangore, Ki Sangga Rugi merasa tak ada gunanya
membual. Sudah cukup lama mereka bergaul, bahkan boleh dikata sejak
masih bocah. Dengan demikian, Jalak Mangore sangat tahu siapa Ki
Sangga Rugi. Ki Sangga Rugi langsung berbicara ke masalah yang membuatnya
heran dan penasaran. "Sudah berapa lama tetangga kita, Pradhabasu, itu tinggal di
pedukuhan kita?" tanya Ki Sangga Rugi.
"Sudah lebih dari sepuluh tahun, kenapa?"
Ki Sangga Rugi memegang kepala dan mengkucal-kucal rambutnya
yang beberapa pekan tidak dikeramasi dengan lerak dan merang yang
dibakar. Yang demikian menjadi pertanda, Ki Sangga Rugi sedang
berpikir keras. Berbeda dengan Ki Jalak Mangore yang punya kebiasaan
memegang kepala saat berpikir, tidak jarang Ki Sangga Rugi justru sambil
mengelus-elus dengkulnya saat berpikir. Apakah itu berarti Ki Sangga
Rugi berpikir memakai dengkul" Tidak juga karena otaknya tetap di
kepala, bukan di dengkulnya.
"Kautahu siapa dia" Dari mana ia berasal?" tanya Ki Sangga
Rugi. Ki Jalak Mangore tidak memandang dengan tatapan aneh karena
ia sangat mengenal siapa Ki Sangga Rugi.
"Aku tidak tahu," jawab Ki Jalak Mangore.
"Kok bisa sampai tidak tahu?" Ki Sangga Rugi mengejar.
Pertanyaan yang dilontarkan Ki Sangga Rugi itu menjengkelkan
hatinya, seolah tidak tahu jawabnya merupakan sebuah kesalahan.
"Tiap orang itu punya urusan sendiri-sendiri. Aku punya urusanku
sendiri, kamu juga punya urusanmu sendiri, demikian juga dengan
Ki Pradhabasu itu, memiliki urusannya sendiri. Jadi, janganlah kau
bertanya mengapa aku sampai tidak tahu siapa Ki Pradhabasu itu
karena jika aku lakukan itu, itu sama halnya dengan aku ikut campur
130 Gajah Mada dan ingin tahu urusan orang lain. Itu sama halnya aku tidak senang jika
kamu ikut campur urusanku. Apa atau siapa Ki Pradhabasu, biarlah
itu menjadi rahasia pribadinya. Yang penting, selama berada di sini ia
bergaul dengan baik, tidak merugikan tetangganya, tidak merugikan
dirimu." Disindir macam itu menyebabkan Ki Sangga Rugi merasa wajahnya
menjadi amat tebal. Namun, sindiran itu tidak mampu mengalahkan
perilakunya yang telah membolot. Watuk 96 bisa disembuhkan, tetapi
watak sembuhnya bersamaan dengan datangnya kematian.
"Tamu-tamu yang mendatanginya orang-orang penting," ucap Ki
Sangga Rugi. Ki Jalak Mangore sedikit terpancing.
"Kenapa dengan tamu-tamunya?"
"Bahkan, Patih Gajah Mada bersahabat dengannya. Beberapa hari
yang lalu, Ki Gajah Enggon, senopati pimpinan pasukan Bhayangkara
datang. Dengan ruang pergaulan seperti itu, lalu siapa Ki Pradhabasu
itu?" Ki Jalak Mangore semula diam dan meresapi, tetapi sejenak
kemudian tawanya berderai.
"Kamu pasti terantuk batunya?"
Wajah Ki Sangga Rugi menebal.
"Yang aku dengar selama ini, kau mengaku bahwa Gajah Mada
itu sahabatmu, bahkan Tuan Putri Prabu Putri juga sahabatmu, atau
Tuan Putri Ibu Suri Biksuni Gayatri sering mengundangmu ke istana
kediamannya. Kausibuk mengarang cerita orang-orang penting itu
sahabatmu adalah karena ingin menggelembung, ingin terlihat sebagai
bukan orang sembarangan. Sekarang kau terkaget-kaget melihat tetangga
sebelah kita didatangi orang penting dari istana, bukan kamu seperti yang
kamu impikan. Bukankah seperti itu yang sedang kaurasakan?"
96 Watuk, Jawa, batuk Hamukti Palapa 131 Ki Sangga Rugi merasa tidak senang, wajahnya memerah. Sebaliknya,
tanpa harus merasa sungkan, Ki Jalak Mangore tertawa terkekeh.
Demikian gelinya Ki Jalak Mangore dalam tertawa sambil memegangi
perut. "Aku kemari tidak untuk mengajakmu membicarakan sahabatsahabatku." "Cukuplah, jangan membual lagi. Kau ini bukan siapa-siapa," Ki
Jalak Mangore mengunci pembicaraan. "Sebaiknya pulang saja dan
hentikanlah kebiasaanmu usil urusan orang lain."
Diusir dengan cara itu, Ki Sangga Rugi tidak punya pilihan lain.
Ki Sangga Rugi mengayunkan langkahnya untuk pulang. Ia batalkan
rencananya untuk pergi ke kotaraja dalam rangka menyempurnakan
bualannya. Cerita tentang ia akan menghadap Gajah Mada telah rontok,
tak ada gunanya lagi dipertahankan.
Ki Sangga Rugi yang telah berada di tepi jalan terkejut saat menoleh
ke arah kanan. Tampak di sana serombongan prajurit tengah berjalan
ke arahnya. Ki Sangga Rugi yang memerhatikan dengan lebih cermat
melihat ada tandu yang dipikul oleh beberapa orang, sebagian yang
lain menuntun kuda dan bersenjata lengkap. Untuk menandai siapa
orang penting yang berada dalam rombongan itu, seorang prajurit
mengibarkan sebuah umbul-umbul, bukan sembarang umbul-umbul,
tetapi dhuaja yang memiliki makna.
Melihat Ki Sangga Rugi kebingungan, Ki Jalak Mangore
menyusulnya. "Ada apa?" tanya Ki Jalak Mangore.
Akan tetapi, Ki Sangga Rugi tak perlu menjelaskan apa yang
dilihatnya. Ki Jalak Mangore memerhatikan pemandangan yang sama.
"Itu Prabu Putri," ucap Ki Jalak Mangore.
"Prabu Putri?" ulang Ki Sangga Rugi.
Ki Sangga Rugi merasa jantungnya berhenti berdenyut. Lututnya
mulai gemetar, tak hanya lututnya, mulutnya juga.
132 Gajah Mada "Bukankah ia sahabatmu?" tanya Ki Jalak Mangore. "Barangkali ia
datang kemari untuk mengunjungimu."
Namun, Ki Sangga Rugi tangkas dalam menjawab.
"Tidak, tidak mungkin."
Kehadiran Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa di
pedukuhan itu benar-benar mengagetkan. Para penduduk segera berlarian
keluar untuk menuntaskan rasa kaget dan memberikan sembahnya.
Berderet-deret para penduduk berjongkok dan menyembah.
Ki Jalak Mangore ikut berjongkok ketika rombongan itu makin
dekat, yang diikuti contoh itu oleh Ki Sangga Rugi. Di belakang
rombongan itu, puluhan orang berjalan mengikuti. Mereka adalah
penduduk yang tinggal di sepanjang jalan yang dilewati Prabu Putri.
Makin lama rombongan itu makin dekat dan akhirnya terlihat dengan
jelas siapa yang datang. Prabu Putri Rajadewi Maharajasa yang jelita tidak
merasa sungkan membagi senyumnya. Tangannya dilambaikan kepada
siapa pun yang tersapu matanya. Ki Sangga Rugi gugup membungkuk
ketika Prabu Putri menatap wajahnya.
Berhenti berdenyut jantung Ki Sangga Rugi melihat rombongan itu
membelok ke rumah Pradhabasu. Pemilik rumah yang tidak menyangka
akan kedatangan tamu agung itu gugup dan bingung menerima
kehadirannya. Betapa bingung Pradhabasu karena tidak memiliki kursi
yang pantas untuk tempat duduk Prabu Putri. Pradhabasu tidak hanya
menyembah Prabu Putri, tetapi juga menyalami beberapa prajurit yang
dikenalnya. Pradhabasu menjabat tangan Gagak Bongol dan memberikan
pelukan yang hangat seolah tak ada lagi jejak dendam yang pernah ada.
Ki Sangga Rugi melirik Ki Jalak Mangore.
"Menurutku, Ki Pradhabasu itu bukan orang sembarangan,
bukankah dalam sehari ia kedatangan dua tamu terhormat dari
istana?" Ki Sangga Rugi tak bisa berbicara. Mulutnya terkunci. Bagaimana
cara membuka mulut, Ki Sangga Rugi lupa harus lewat mana.
Hamukti Palapa 133 Ada sekitar lima puluh orang prajurit dari kesatuan khusus
Bhayangkara yang melakukan pengawalan terhadap Prabu Putri yang
dipimpin langsung oleh pimpinan pasukan yang baru, Gagak Bongol,
yang kini pangkatnya telah dinaikkan menjadi senopati. Di antara mereka
yang menemani Prabu Putri Dyah Wiyat terlihat Senopati Gajah Enggon
yang telah melepas jabatan Bhayangkara.
Para prajurit Bhayangkara, antara lain Macan Liwung, Bhayangkara
Jayabaya, dan Bhayangkara Riung Samudra berada di dalam rombongan
itu pula. Begitu tiba di rumah Pradhabasu, dengan cekatan para prajurit
pilihan itu menyebar melindungi tempat itu dengan penjagaan yang
sangat ketat. Rumah yang sederhana itu dipagar betis depan, belakang,
dan menyamping. Senopati Gagak Bongol menyempatkan mengitari rumah sambil
mencari-cari sosok wajah yang dirindukannya, itulah wajah Sang
Prajaka yang untuk beberapa lama pernah menjadi anaknya. Namun,
Prajaka tidak kelihatan batang hidungnya. Gagak Bongol terpaksa harus
menahan rasa ingin tahunya dan mencoba mencari kesempatan untuk
bertanya nanti jika telah mendapatkan waktu.
Kehadiran Prabu Putri Dyah Wiyat di pedukuhan itu ternyata
menyentuh hati nurani para tetangga Pradhabasu, yang dengan segera
menempatkan diri sebagai hamong tamu 97 yang baik. Beberapa orang
tetangga dengan cekatan mengusung kursi-kursi yang mereka miliki.
Beberapa orang yang lain mendadak punya gagasan memanjat pohon
kelapa untuk menurunkan beberapa janjang kelapa muda. Para prajurit
dengan senang hati menikmati kelapa muda yang disuguhkan.
Di rumah Ki Jalak Mangore dengan seketika terjadi kesibukan
yang luar biasa ketika ibu-ibu pedukuhan itu juga mempunyai gagasan
membuat makanan untuk disajikan kepada para prajurit. Kebetulan
ada jagung muda dan ketela pohung. Kebetulan pula ada tetangga yang
memiliki buah nangka yang cukup layak untuk disajikan.
97 Hamong tamu, Jawa, penerima tamu, istilah ini sering digunakan dalam perhelatan perkawinan adat Jawa.
134 Gajah Mada "Ini rumahmu?" tanya Dyah Wiyat yang memilih berdiri dan dengan
isyarat tangan meminta kepada Pradhabasu untuk tidak perlu duduk.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Pradhabasu.
"Mana istrimu?" lanjut Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa.
Pradhabasu tersenyum jengah. Pertanyaan itu menggelitik ulu
hatinya. Mantan prajurit Bhayangkara Pradhabasu menggeleng
lemah. Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa tersenyum dan
mengalihkan pandangan matanya kepada Gajah Enggon dan Gagak
Bongol yang berada pada jarak paling dekat.
"Aku ingin berbicara hanya berdua dengan Pradhabasu, bisakah
aku mendapatkan keleluasaan dan kerahasiaan?"
Perintah yang diberikan Prabu Putri itu dengan segera diterjemahkan
dengan baik oleh Gajah Enggon dan Gagak Bongol. Mereka keluar dari
dalam rumah dan menutup pintu. Perintah juga disalurkan kepada para
Bhayangkara yang lain. "Selama Sang Prabu Putri berbicara dengan Pradhabasu, tidak boleh
ada yang mengganggu. Separuh yang lain perkuat belakang rumah."
Kehadiran Sang Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa
benar-benar membuat penduduk pedukuhan itu merasa senang dan
bangga, sebagian yang lain merasa terheran-heran melihat Pradhabasu,
tetangga mereka, ternyata mempunyai daya tarik yang penting sampaisampai bukan hanya senopati pimpinan pasukan Bhayangkara dan
Patih Gajah Mada yang datang berkunjung ke rumahnya, bahkan Prabu
Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa berkenan turun ke tempat itu
mengunjunginya. "Siapa sebenarnya Paman Pradhabasu itu?" tanya seorang lelaki
kepada lelaki yang lain. "Aku tidak tahu, tetapi agaknya ia bukan orang sembarangan,"
jawab lelaki kedua. "Aku tahu jawabnya," kata lelaki ketiga yang nimbrung.
Perhatian kemudian tertuju kepada lelaki ketiga itu.
Hamukti Palapa 135 "Siapa?" "Paman Pradhabasu itu sebenarnya bukan orang sembarangan. Ia
bekas seorang prajurit Bhayangkara. Boleh dikata, Paman Pradhabasu itu
merupakan cikal bakal berdirinya pasukan Bhayangkara. Itu sebabnya,
ia bersahabat dengan Patih Gajah Mada. Bahkan, Prabu Putri menaruh
hormat dan segan kepadanya. Menurut yang aku dengar pula, Paman
Pradhabasu itu mempunyai jasa yang luar biasa terhadap keselamatan
mendiang Sang Prabu Jayanegara saat terlunta-lunta di Bedander. Paman
Pradhabasu dan Patih Gajah Mada adalah dua orang yang berhasil
mengungkap jati diri pengkhianat yang menyusup dalam pasukan
Bhayangkara." Para lelaki yang menggerombol itu masih penasaran. Ki Sangga
Rugi makin tak mampu menenangkan diri.
"Dari mana kautahu itu" Apakah Ki Pradhabasu menceritakan
kepadamu?" tanya salah seorang dari mereka yang menggerombol.
Lelaki pemilik keterangan penting itu ternyata menggeleng.
"Paman Pradhabasu tak akan mau menceritakan jati dirinya karena
ia bukan jenis orang sombong yang suka pamer seperti Ki Sangga Rugi,"
lanjutnya. Wajah Ki Sangga Rugi bertambah menebal dari semula yang sudah
tebal, apalagi ketika orang-orang di sekitarnya tiba-tiba tertawa.
"Lanjutkan, dari mana kautahu Ki Pradhabasu itu mantan
Bhayangkara," salah seorang yang menggerombol mengingatkan lelaki
itu untuk menyelesaikan ceritanya.
"Saudara sepupuku mengikuti pendadaran sebagai prajurit
Bhayangkara. Jadi, ia tahu karena ada semacam pengenalan siapa saja
orang-orang yang begitu berjasa dalam membangun pasukan khusus itu.
Hanya sayang, saudara sepupuku tidak berhasil lolos dalam penyaringan.
Untuk bisa menjadi bagian dari pasukan khusus Bhayangkara, harus
melalui penyaringan yang amat berat," lanjutnya.
Hening yang kemudian terjadi adalah karena kenyataan yang
mengagetkan itu. Ki Sangga Rugi yang merasa bibirnya sudah tebal
136 Gajah Mada menjadi lebih tebal lagi. Bibir sumur yang tebal dirasakan masih kalah
tebal. Itu pun masih ditambah matanya berkunang-kunang dan air liurnya
menjadi pahit. Sayangnya untuk meludahkan pun, Ki Sangga Rugi lupa
bagaimana caranya. "Untuk keperluan apa Prabu Putri itu menemuinya?" tanya Ki
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangga Rugi. Orang-orang yang menggerombol itu serentak nyaris tertawa,
tetapi karena bisa dianggap tidak pantas, dengan sekuat tenaga mereka
berusaha mengusai diri. "Sebaiknya kautanyakan langsung kepada Prabu Putri," jawab salah
seorang di antara mereka. "Bagaimana" Apakah perlu aku sampaikan
kepada salah seorang prajurit itu, kau mengajukan permohonan
berbicara?" Ki Sangga Rugi amat gelisah, terlihat jelas gerakan menelan di
lehernya. Di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana, Pradhabasu
yang telah menebak untuk keperluan apa Prabu Putri Dyah Wiyat
datang ke rumahnya segera mempersiapkan diri untuk menjawab.
Rasa sangat hormatnya ditampakkan lewat kedua tangannya yang
ngapurancang.98 "Aku tidak melihat anakmu" Ke mana bocah itu?"
Anak yang dimaksud tentulah Prajaka. Di mana bocah itu berada
dan sedang bersama siapa adalah hal yang tidak boleh dikatakan. Orang
yang kepadanya Pradhabasu menitipkan Sang Prajaka, orang itulah
yang sedang dicari Gajah Mada, dan kali ini dicari pula oleh Prabu
Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Bahkan, kepada Sang Prabu
Putri sekalipun, Pradhabasu sanggup berbohong untuk melindunginya.
Berbohong kepada ratu mungkin sesuatu yang salah, tetapi berbohong
demi kebaikan masih bisa dimengerti.
98 Ngapurancang, Jawa, kedua tangan saling berpegang dengan posisi di perut, hampir mirip bersedekap
Hamukti Palapa 137 "Sang Prajaka punya kegemaran baru yang sesuai dengan keadaannya. Sore nanti hamba baru akan menjemputnya dari sungai," jawab
Pradhabasu. Dyah Wiyat belum paham. "Mengapa di sungai?" kejar Rajadewi Maharajasa.
"Memancing ikan, Tuan Putri."
Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa memerhatikan ruang
tamu rumah sederhana itu dengan saksama dan penuh perhatian. Di
empat tiang saka utama, tergantung empat buah tanduk menjangan.
Namun, yang paling mendebarkan adalah hiasan kepala harimau lengkap
dengan kulitnya yang ditempelkan di dinding. Betapa sangar warna
loreng binatang itu. "Kamu yang menangkap harimau itu?" tanya Prabu Putri.
Pradhabasu merapatkan dua telapak tangannya dalam sikap
menyembah. "Empat bulan lalu, seekor harimau turun dari hutan, mengamuk
membahayakan penduduk, hamba terpaksa membunuhnya."
"Dengan anak panah?" tanya Prabu Putri Dyah Wiyat.
"Tidak, Tuan Putri. Hamba tidak punya kesempatan mempersiapkan
anak panah. Yang hamba pegang kebetulan pisau Bhayangkara. Pisau
itulah yang hamba pakai untuk menghadapi simbah."99
Prabu Putri melangkah lebih dekat untuk memerhatikan wujud kulit
harimau itu dengan lebih jelas. Prabu Putri merabanya dan merasakan
betapa lembut bulu binatang yang amat buas itu. Jika bulu binatang
itu bisa dibuat baju, tentu akan terasa hangat di saat udara sedang
dingin. Namun, bukan hanya kulit harimau itu yang dikaguminya, dari
ukurannya yang begitu besar dapat dibayangkan betapa Pradhabasu
harus bekerja keras dan sekuat tenaga menghadapi binatang bertubuh
99 Simbah, Jawa, kakek atau nenek, sebutan ini oleh banyak pihak sering digunakan untuk menyebut nama harimau sebagai penghormatan sekaligus supaya jangan diganggu jika bertemu.
138 Gajah Mada perkasa dan dipersenjatai kuku yang sanggup menyobek perut dengan
sekali ayun, dan taring yang mampu meremuk dan menyobek bagian
tubuh mana pun. Dengan dua senjata macam itu, harimau bahkan sanggup membantai
seekor kerbau paling besar. Kerbau, meski bertubuh besar, tidak memiliki
nyali yang besar. Jika kerbau ambruk karena ketakutannya sendiri,
harimau akan dengan mudah menerkam lehernya untuk menghentikan
tarikan napasnya. "Hyang Widdi memberi kesempatan kepada hamba berumur
panjang, Prabu Putri," Pradhabasu menjelaskan.
"Mengerikan sekali," gumam Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa. Akhirnya, setelah berbicara yang seperti tanpa tujuan itu, tibalah
kini saatnya bagi Prabu Putri untuk mengutarakan apa keperluannya
datang mengunjungi Pradhabasu.
"Kau sudah menebak untuk keperluan apa aku datang?" tanya
Dyah Wiyat. "Hamba, Prabu Putri. Hamba memang telah punya gambaran
keperluan apa yang Prabu Putri bawa. Tentu terkait soal yang tadi juga
dibawa oleh Kakang Gajah Mada," jawab Pradhabasu.
Prabu Putri Rajadewi Maharajasa terkejut, dua matanya menyipit.
"Kakang Gajah Mada datang kemari?"
"Hamba, Prabu Putri," jawab bekas Bhayangkara Pradhabasu.
"Untuk keperluan apa Kakang Gajah Mada mencari Dyah Menur"
Kakang Gajah Mada benar mencari Dyah Menur, bukan?"
Pradhabasu melekatkan dua telapak tangannya dan membawanya
ke ujung hidung. "Hamba tak tahu apakah sikap Kakang Gajah Mada akan sama
dengan sikap Prabu Putri," jawab Pradhabasu.
"Bagaimana sikap Kakang Gajah Mada?"
Hamukti Palapa 139 Pradhabasu dengan segera menimbang, apakah sikap Patih Gajah
Mada itu harus diceritakan kepada Prabu Putri, kalau ya, bagaimana sikap
Patih Gajah Mada, apakah ia tidak keberatan Prabu Putri tahu bagaimana
sikapnya. Sebaliknya, bagaimana andaikata Gajah Mada menyalahkannya"
Menganggapnya sebagai orang yang tumbak cucukan.100
"Kakang Gajah Mada mempunyai sikap yang bisa hamba maklumi,
Sang Prabu," kata Pradhabasu dengan nada suara terjaga. "Kakang Gajah
Mada tidak ingin ketenangan rumah tangga Prabu Putri terganggu.
Kakang Gajah Mada juga tidak ingin Tuan Prabu Putri direpotkan di
kemudian hari. Kedatangan Kakang Gajah Mada menemui hamba belum
lama adalah dalam upayanya menjamin hal-hal yang demikian tidak akan
terjadi. Demikian sikap Kakang Gajah Mada, Sang Prabu."
Terdiam tak mampu berbicara Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa usai mendengar apa yang dikatakan bekas Bhayangkara
Pradhabasu. Jauh di kedalaman hatinya, Prabu Putri bisa memahami
sikap Gajah Mada yang demikian. Apalagi, mengingat pada dirinya
melekat kedudukan sebagai prabu yang memimpin negara, yang oleh
karenanya tak lagi memiliki kehidupan pribadi.
Namun, Prabu Putri bukanlah sejenis benda yang tidak punya
perasaan. Prabu Putri tetap berhati nurani, yang tidak semata
menggunakan apa yang berada dalam benaknya. Akan tetapi, juga apa
yang berada di dadanya. Meski seorang prabu atau raja putri, ia tetap
perempuan. "Lalu, apa jawabmu terhadap keperluan Kakang Gajah Mada itu?"
tanya Prabu Putri Dyah Wiyat.
"Hamba sampaikan bahwa hamba telah kehilangan jejak atas
perempuan malang bernama Dyah Menur itu. Hamba sampaikan kepada
Kakang Gajah Mada, amat mungkin perempuan itu telah mati. Mati
adalah pilihan yang diambil oleh adik hamba setelah tahu suaminya
mengalami nasib malang. Mungkin saja Dyah Menur mengambil pilihan
itu karena tak melihat pilihan lain yang terasa lebih nyaman."
100 Tumbak cucukan, Jawa, peribahasa yang ditujukan untuk orang yang gemar mengadu 140
Gajah Mada Dyah Wiyat tersenyum getir.
"Setelah melihat suaminya dirampas perempuan lain?"
Pradhabasu terkejut ketika rangkaian kalimatnya menggiring Prabu
Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa membalas dengan jawaban yang
menohok. Jawaban yang dengan jelas menempatkan Sang Prabu Putri
Dyah Wiyat sebagai pihak yang harus bertanggung jawab jika perempuan
bernama Dyah Menur itu sampai mati bunuh diri. Tetapi, benarkah soal
bunuh diri itu" "Yang benar bagaimana keadaannya" Apakah benar seperti yang
kausampaikan kepada Kakang Patih Gajah Mada, perempuan itu telah
mati?" Bahwa Pradhabasu terdiam cukup lama adalah karena bingung,
bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu.
"Bagaimana, Kakang Pradhabasu?" Dyah Wiyat mengejar.
Pradhabasu mengarahkan pandangan matanya ke celah pintu yang
sedikit terbuka. Di sana beberapa prajurit Bhayangkara melakukan
pengawalan dengan ketat. Terlihat Bhayangkara Jayabaya sibuk dengan
kelapa mudanya. Juga terlihat Gagak Bongol sedang beramah-tamah
dengan penduduk. Gagak Bongol mungkin menceritakan sesuatu yang
amat lucu yang menyebabkan beberapa orang tetangga Pradhabasu
tertawa terpingkal-pingkal.
Pradhabasu kembali mengarahkan perhatiannya kepada Prabu Putri.
"Jika boleh hamba tahu, sebelum hamba menjawab pertanyaan
Prabu Putri, apa yang akan Prabu Putri lakukan jika Prabu Putri bertemu
dengan perempuan itu?" Pradhabasu bertanya.
Amat perlahan dan dihayati sekali Prabu Putri mengangguk.
"Demi Hyang Widdi, aku bersumpah untuk menghapus
kecemasanmu, Kakang Pradhabasu. Aku berniat baik. Perkawinan
suamiku lebih dulu dengan perempuan itu bukanlah kesalahannya
juga bukan kesalahanku karena hal itu terjadi jauh sebelum Kakang
Kudamerta dan aku saling di kat. Bagiku tak masalah jika suamiku beristri
Hamukti Palapa 141 tak hanya aku. Mendiang Ayahanda Prabu Sri Kertarajasa Jayawardhana
memiliki lima orang istri."
Pradhabasu maju selangkah, tetapi masih berada dalam kepatutan,
tidak terlampau dekat dengan Prabu Putri. Pada jarak yang demikian,
Pradhabasu memandang langsung ke mata Dyah Wiyat.
"Apakah Prabu Putri akan mengajak Dyah Menur ke istana dan
membangunkan untuknya sebuah istana?" tanya Pradhabasu.
Dengan sigap Dyah Wiyat menjawab, "Kenapa tidak?"
Pradhabasu menggeleng tegas. Jika Dyah Menur dibuatkan istana
dan dengan berterang ditempatkan sebagai salah satu istri Wijaya Rajasa
Sang Apanji Wahninghyun, ia akan berhadapan dengan Gajah Mada
yang pasti tidak akan menyetujui rencana itu.
Patih Gajah Mada orang yang kukuh pendirian. Sikapnya bulat
dalam menjaga ketenteraman rumah tangga Prabu Putri yang pernah
didampingi sebagai patih saat Dyah Wiyat masih menjadi pemangku
Daha dengan gelar Breh Daha. Prabu Putri Dyah Wiyat amat mengenal
sikap Gajah Mada yang demikian itu.
Lebih jauh ke depan, karena Dyah Wiyat adalah pucuk pimpinan
Kerajaan Majapahit yang secara bersama-sama menggelar pemerintahan,
munculnya Dyah Menur yang memiliki seorang anak laki-laki dari Raden
Kudamerta boleh jadi akan menjadi sumber masalah dalam pergantian
kekuasaan kelak di kemudian hari. Gajah Mada harus menjamin hal
yang demikian tidak boleh terjadi. Ibarat sumber penyakit, sumber
penyakit itu harus dibuang. Ibarat bibit makar, mumpung masih bocah
harus ditumpas. "Hamba mohon maaf, Tuan Putri," jawab Pradhabasu. "Jawaban
hamba kepada Prabu Putri sama dengan jawaban hamba kepada Kakang
Gajah Mada. Prabu Putri berhati mulia dengan memikirkan nasib Dyah
Menur. Hanya sayang, perempuan itu sudah tidak ada di dunia ini.
Sebaiknya Prabu Putri melupakannya."
Prabu Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa merasakan dadanya
berdesir. 142 Gajah Mada "Aku tidak percaya dengan jawaban itu, Kakang Pradhabasu.
Beranikah Kakang menjamin jawaban itu benar dengan bersumpah di
hadapan Hyang Widdi?" Prabu Putri menyudutkan.
Pradhabasu merasa lehernya tercekik. Sebagai kawula Majapahit
yang apalagi sedang berhadapan dengan Prabu Putri, apalah haknya
untuk berbohong. Di hadapan raja wanita itu, ia harus berkata jujur.
"Sebaiknya Prabu Putri melupakannya. Andaikata Dyah Menur itu
masih hidup dan Prabu Putri membawanya ke istana, akan ada banyak
anak panah terarah ke dada perempuan itu, yang dilakukan dengan tidak
berterang. Sang Prabu Putri tak akan mampu melindunginya. Maka,
biarlah ia berada dalam kedamaiannya sekarang."
Prabu Putri Dyah Wiyat amat memahami jawaban itu.
"Berarti ia masih hidup, bukan?" kejarnya.
"Ia sudah mati. Hidupnya sudah habis. Prabu Putri sebaiknya
melupakan perempuan itu, dan hamba menyarankan kepada Prabu
Putri untuk menghibur Raden Kudamerta agar tak berlama-lama dalam
bersedih dan melupakannya."
Jawaban yang disampaikan Pradhabasu itu merupakan jawaban yang
mengambang dan tidak membuatnya puas.
"Aku ingin bertemu dengannya untuk sekali saja. Beri aku
kesempatan," Dyah Wiyat meminta dengan suara memelas.
Pradhabasu yang menunduk, menengadah dan menghirup udara
memenuhi paru-parunya. "Dyah Menur Hardiningsih sudah mati, Sang Prabu. Bagaimana
Prabu Putri akan bertemu dengan seseorang yang sudah mati?"
"Tunjukkan kepadaku, di mana kuburannya."
Pertanyaan yang mengarah itu makin membingungkan Pradhabasu.
Berhadapan dengan Patih Gajah Mada, ia bisa berkilah. Namun, sulit
ia melakukan itu di hadapan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. Secara
tersamar jawaban yang ia berikan bermuatan isyarat, Dyah Menur masih
hidup. Hamukti Palapa 143 "Kakang Pradhabasu," Dyah Wiyat memberi tekanan yang lebih
tajam. "Aku tidak ingin menggunakan hakku sebagai seorang raja putri
untuk menerima jawaban yang jujur. Aku ingin Kakang Pradhabasu
mau memberi jawaban yang jujur dengan ikhlas berlatar kedekatan
kita selama ini. Apa Kakang tega tidak mau mengatakan keadaan yang
sesungguhnya?" Pradhabasu makin tersudut dan merasa tak punya pilihan lain.
"Hamba akan menyampaikan keadaan yang sebenarnya, tetapi
hamba mempunyai permintaan."
"Ya," jawab Dyah Wiyat dengan amat tangkas. "Apa permintaan
Kakang?" "Hamba hanya memohon Prabu Putri berkenan memahami
keadaan." Kerut kening Dyah Wiyat menandai bagaimana ia menimbang
keadaan. "Bahwa hamba harus menjamin Dyah Menur berada dalam keadaan
aman. Kakang Gajah Mada dengan sikapnya yang demikian merupakan
sumber bahaya atas keselamatan perempuan itu. Mungkin hamba tak
keberatan mempertemukan Prabu Putri dengan Dyah Menur, tetapi
mohon jangan dibawa ke istana."
Prabu Putri memandang Pradhabasu dengan raut muka berseriseri. Bahwa Dyah Menur masih hidup, hal itu menyenangkan hatinya.
Selama ini ia berangan-angan akan mempertemukan suaminya dengan
Dyah Menur, agaknya peluang itu masih terbuka untuknya.
"Hamba juga meminta agar Prabu Putri tidak mempertemukan Dyah
Menur dengan Tuanku suami Prabu Putri," tambah Pradhabasu.
Segera Prabu Putri mencuatkan alis.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mengapa?" Pradhabasu memejamkan mata untuk mengumpulkan segenap
kekuatan karena jawaban yang akan disampaikan haruslah dilambari
dengan keberanian. 144 Gajah Mada "Hamba punya alasan untuk itu, Prabu Putri," jawab Pradhabasu.
"Karena baru saja dan belum lama, Dyah Menur akhirnya mau membuka
hati terhadap keinginan hamba. Dyah Menur Hardiningsih telah menjadi
istri hamba." 11 P radhabasu memandang tak berkedip ke arah jalan memanjang
yang akan membawa rombongan Prabu Putri yang ditandu kembali
ke Istana Majapahit. Di arah pandang matanya, bayangan rombongan
itu masih terlihat, tetapi sejenak kemudian lenyap ketika berbelok.
Ketika Pradhabasu mengarahkan pandangan matanya sedikit ke kiri,
di halaman rumah Ki Sangga Rugi, beberapa orang tetangga sedang
menggerombol. Di halaman rumah Ki Jalak Mangore, para tetangga yang berkumpul
jumlahnya lebih banyak lagi. Yang masih berkumpul di situ termasuk
orang-orang dari pedukuhan sebelah yang ikut mangayubagya 101 kehadiran
Prabu Putri di pedukuhan itu. Rupanya kabar kehadiran Sang Prabu
Putri dengan cepat menyebar dan diketahui oleh banyak orang melalui
gethok tular. "Apa jawabmu terhadap pertanyaan yang diajukan Prabu Putri?"
tanya Senopati Gajah Enggon.
Pradhabasu berbalik dan menatap wajah Gajah Enggon tanpa
berkedip. Tak ada senyum di wajah Pradhabasu yang justru terlihat
tegang. 101 Mangayubagya, Jawa, ikut menyambut dan memberi hormat
Hamukti Palapa 145 "Menurutmu, apakah aku telah melakukan sebuah kesalahan?"
tanya Pradhabasu. Gajah Enggon sedikit bingung.
"Kesalahan bagaimana" Karena kamu berbohong, atau justru
menjawab apa adanya" Jawaban yang mana yang kauberikan?"
Pradhabasu mencairkan sikapnya. Senyumnya mulai mencuat meski
sulit dipahami senyum itu berlatar belakang macam apa.
"Aku menjawab apa adanya," jawab Pradhabasu. "Akan tetapi,
jawaban yang apa adanya itu, aku sama sekali tidak tahu apakah akan
menyebabkan Prabu Putri berkenan. Lebih-lebih, jika jawabanku itu
disampaikan kepada Tuanku Wijaya Rajasa Hyang Parameswara Sang
Apanji Wahninghyun."
Gajah Enggon menatap Pradhabasu dengan rasa penasaran yang
makin menanjak. "Sebenarnya apa jawaban yang kauberikan, apakah Dyah Menur
itu masih hidup?" Pradhabasu memerlukan waktu untuk termangu, seperti melamun
atas hadirnya wajah Dyah Menur Hardiningsih, Sang Sekar Tanjung,
di kelopak matanya, perempuan cantik, tetapi selalu murung. Adakah
murung di wajah perempuan itu akan terkelupas bersamaan dengan
keputusan yang telah diambil.
"Dyah Menur memang masih hidup," jawab Pradhabasu.
"O, terus?" "Sang Prabu Putri berniat membawa Dyah Menur ke istana dan
akan dibuatkan istana," tambah Pradhabasu.
"Bagus itu," jawab Gajah Enggon dengan tangkas. "Aku tidak
menyangka, Prabu Putri ternyata berhati mulia dan mau berbagi.
Kalau kau mencemaskan sikap Kakang Patih Gajah Mada, kurasa
ketakutanmu itu tidak perlu terjadi setelah Sang Prabu Putri dengan
terang mengumumkan keberadaan Dyah Menur."
146 Gajah Mada Senyum Pradhabasu terasa getir, ia menggeleng.
"Apa yang masih menjadi ganjalan hatimu?"
Betapa panjang tarikan napas Pradhabasu dalam mengisi paruparunya. "Aku keberatan karena Dyah Menur telah menjadi istriku," jawab
Pradhabasu. Terbelalak Gajah Enggon mendapat jawaban itu. Namun, dengan
segera Gajah Enggon tersenyum. Dijabatnya tangan sahabatnya dengan
genggaman yang amat kuat.
"Selamat!" kata Gajah Enggon.
Pradhabasu menerima jabat tangan itu sekaligus menjadi simpul
pembuka senyumnya yang lebih lebar lagi.
"Sebaiknya kita berangkat. Sebenarnya aku sudah berkemas untuk
perjalanan panjang yang akan kita tempuh. Aku tinggal mengeluarkan
kuda dan berpamitan kepada para tetangga."
Gajah Enggon mengedarkan pandangan matanya ke pekarangan
rumah Pradhabasu yang gundul tak ada tanaman apa pun. Jika ada tanaman
yang hidup, hanyalah beberapa pohon ketela pohung yang meranggas
karena demikian parahnya keadaan. Ke depan, jika hujan belum turun
juga, boleh dikata rakyat Majapahit akan menderita. Gajah Enggon orang
yang ramah. Melihat orang-orang menggerombol di halaman rumah Ki
Sangga Rugi, Gajah Enggon justru mendatanginya.
"Bagaimana dengan kemarau panjang ini?" Gajah Enggon
membuka percakapan dengan ramah.
Beberapa orang itu berebut saling menjawab.
"Keadaan akan memburuk, Tuan Senopati. Jika bulan depan hujan
belum turun juga, masa panen berikutnya akan mundur."
Gajah Enggon mencerna jawaban itu.
"Tetapi, bagaimana dengan bahan makanan" Apakah mencukupi
untuk beberapa waktu ke depan?" tambah Gajah Enggon.
Hamukti Palapa 147 Orang-orang itu saling pandang.
"Bagaimana dengan lumbung, apakah masih ada persediaan?"
Kembali orang-orang itu saling tengok.
"Lumbungku sudah habis, Tuan Senopati," Ki Sangga Rugi
menjawab. Tetangganya terkejut, kaget oleh jawaban yang ternyata jujur. Adalah
agak aneh, Ki Sangga Rugi yang selama ini sering membusungkan dada
itu ternyata mampu pamer wajah memelas.
Senopati Gajah Enggon memandang Ki Sangga Rugi dengan iba.
"Ke depan makan apa?" tanya Enggon.
" Tiwul!"102 Manggut-manggut Gajah Enggon.
"Yang lain?" tanya Gajah Enggon.
"Kalau aku sedikit lebih beruntung. Semula aku menduga tahun
ini akan terjadi kemarau panjang. Jadi, aku menyisihkan panen untuk
memenuhi tumbu 103 di lumbung. Dugaanku atas kemarau panjang itu
benar. Setidaknya untuk tiga bulan ke depan, keluargaku tidak akan
kelaparan. Aku bukan orang yang kaya, Senopati. Aku hanya beruntung
perhitunganku kali ini benar. Ke depan, aku juga punya ramalan
tersendiri, yaitu ketika orang-orang saling berbalap menanam padi,
aku menyisihkan pekarangan untuk kutanami cabai karena cabai akan
mengalami kelangkaan."
Gajah Enggon amat tertarik terhadap perhitungan orang itu.
"Bagaimana cara kamu memperkirakan kemarau panjang akan
terjadi?" 102 Tiwul, Jawa, makanan yang terbuat dari gaplek. Gaplek adalah ketela pohung yang dikeringkan.
103 Tumbu, Jawa, di zaman penyimpanan gabah masih menggunakan lumbung, beras diletakkan di wadah padi yang dibuat dari anyaman bambu dengan ukuran besar yang disebut tumbu.
148 Gajah Mada Orang itu membalas tatapan Gajah Enggon dengan raut muka biasa
sebagai tanda keluguannya.
"Aku hanya mengandalkan ilmu titen.104 Sewindu yang lalu keadaan
seperti ini. Padahal, sewindu sebelumnya juga terjadi kemarau panjang.
Dari hitungan itu, aku menduga kemarau panjang akan datang, ternyata
benar. Aku bernasib mujur telah mempersiapkan diri menyongsong
kedatangan masa paceklik ini dengan sebaik-baiknya. Panen di
pertengahan tahun yang lalu tidak kujual seluruhnya, sebagian aku
simpan di lumbung." Gajah Enggon memandang orang itu dengan tatapan mata
takjub. "Jadi, kau mengamati selama bertahun-tahun" Untuk mengetahui
apa yang terjadi sekarang ini berdasar pengamatanmu delapan tahun
lalu?" Orang itu tersenyum, apa yang kemudian diucapkannya bukanlah
karena kesombongannya. Wajahnya menyiratkan keluguannya saat
menyampaikan pendapatnya.
"Kalau ramalanku tidak salah, Tuan," ucapnya. "Setelah musim
hujan nanti tiba, dimulai sejak Warsa Udan,105 Sarat Rontok,106 dan Hemanta Dingin,107 Majapahit akan menghadapi masa bahan makanan berlimpah.
Namun, selanjutnya para petani harus berhati-hati di bulan Sisira 108
yang sejuk berkabut, Basanta 109 dengan dedaunan luruh sampai ke masa
Grisma 110 yang panas. Bulan-bulan ini banyak sekali hama penyakit.
Sewindu yang lalu para petani padi gagal panen."
104 Ilmu titen, Jawa, ilmu pengamatan, hafal terhadap tanda-tanda alam
105 Warsa Udan, Jawa kuno, penanggalan berdasarkan musim yang dalam setahun terdiri atas enam musim.
Warsa Udan mencakup dua bulan, yaitu Srawana dan Badra.
106 Sarat Rontok, idem 105, mencakup bulan Asuji (Aswayuja) dan bulan Karttika
107 Hemanto Dingin, idem 105, mencakup bulan Margasirsa dan bulan Posya
108 Sisira, idem 105, mencakup bulan Magha dan Palguna
109 Basanta, idem 105, mencakup bulan Cetra dan Wesakha
110 Grisma, idem 105, mencakup bulan Jyestha dan Asadha
Hamukti Palapa 149 Gajah Enggon layak merasa kagum terhadap lelaki tua itu, yang
meski hidup di desa, memiliki pengetahuan yang tidak boleh diremehkan
terhadap penanggalan berdasar musim. Bahkan, mampu menandai
adanya hal-hal khusus pada bulan-bulan itu.
Rasa ingin tahu Gajah Enggon melebar lebih jauh.
"Paman memiliki berapa putra?" tanya Gajah Enggon.
Pertanyaan yang membelok dengan tiba-tiba itu menyebabkan orang
itu mendadak tertawa lebar.
"Aku punya dua belas anak, Tuan," jawabnya dengan mulut
menyeringai. "Banyak sekali," kata Enggon.
"Ya," jawab orang itu. "Anakku dua belas dan sudah mentas 111
semua. Masing-masing telah kukawinkan dan memberiku tujuh belas
orang cucu." Gajah Enggon memandangi orang itu tanpa berkedip.
"Pada bulan Srawana 112 kemarin, anakku yang pertama memberiku
cucu lagi. Pada bulan Badra, kukawinkan anak bungsuku. Dua bulan
setelah itu, yaitu pada bulan Karttika, Hyang Widdi berkenan memanggil
istriku untuk menghadap ke alam pangrantunan."113
Gajah Enggon termangu dan bahkan ikut larut melihat laki-laki itu
tersenyum yang sebenarnya berusaha menghapus jejak kesedihan yang
sempat mencuat. Bagi suami mana pun, kematian seorang istri selalu
meninggalkan duka yang mendalam.
Gajah Enggon lalu mengarahkan pandangan matanya ke seorang
lagi. 111 Mentas, Jawa, mandiri atau maksudnya telah berkeluarga
112 Srawana, Jawa Kuno, bulan pertama menurut penanggalan Matahari-Rembulan, bulan selanjutnya adalah Badra (Pada, Wada), Asuji (Aswayuja), Karttika, Margasirsa, Posya, Magha, Palguna, Cetra, Weshaka, Jyestha, dan Asadha
113 Pangrantunan, Jawa, alam penantian setelah kematian
150 Gajah Mada "Kalau kamu bagaimana?"
"Keadaanku lebih parah daripada Ki Sangga Rugi," kata orang itu.
"Aku tidak punya gaplek atau jagung. Lumbungku berukuran paling
besar di pedukuhan ini, tetapi tidak ada isinya sama sekali. Masa panen
kemarin padiku rusak parah diberangus tikus. Untuk menahan lapar,
aku terpaksa menurunkan kelapa!"
Gajah Enggon mencuatkan sebelah alisnya.
"Makan kelapa?"
"Ya. Sebagian aku bawa ke pasar Daksina."
Gajah Enggon yang melihat secara langsung kehidupan yang
menyesakkan dada itu menahan napas. Namun, ia punya cara untuk
menyelamatkan nasib buruk para tetangga Pradhabasu itu.
"Besok di hari Saniscara,"114 kata Gajah Enggon, "cobalah kalian
ke istana dan melakukan pepe.115 Katakan bahwa kalian berasal dari
pedukuhan ini. Katakan bahwa kalian adalah tetangga Ki Pradhabasu dan
mintalah bantuan. Istana pasti mengeluarkan cadangan bahan makanan
untuk membantu kalian menyambung umur."
Mata Ki Sangga Rugi berbinar.
"Benarkah itu, Senopati?" tanya Ki Sangga Rugi. "Apakah bantuan
pasti akan turun diberikan kepada kami?"
"Ya," jawab Gajah Enggon yakin. "Katakan saja kalian adalah
tetangga Ki Pradhabasu, nasib kalian pasti akan diperhatikan."
Tawaran yang diberikan Gajah Enggon itu sungguh menarik minat,
sekaligus hal itu memancing rasa penasaran mereka terhadap siapa
sebenarnya Pradhabasu, orang yang selama ini dianggap remeh yang
ternyata menyembunyikan jati diri.
114 Saniscara, Jawa Kuno, hari Sabtu. Nama-nama hari menurut penanggalan Jawa Kuno adalah Radite= Minggu, Soma=Senin, Anggara=Selasa, Buda=Rabu, Wraspati=Kamis, Sukra=Jumat, dan
Saniscara=Sabtu 115 Pepe, Jawa, unjuk rasa yang diperkenankan menurut undang-undang
Hamukti Palapa 151 "Apakah aku boleh bertanya soal tetangga kami itu, Tuan Senopati?"
bertanya salah seorang dari mereka.
"Kenapa?" balas Gajah Enggon.
"Soal Ki Pradhabasu itu, siapakah sebenarnya dia?"
Gajah Enggon memandang wajah orang-orang di depannya satu
per satu. "Apakah kalian belum tahu siapa dia?" tanya Gajah Enggon.
"Belum," jawab orang-orang itu serentak.
"Pradhabasu tidak pernah menceritakan siapa dirinya?" tanya Gajah
Enggon lagi. "Tidak," kali ini yang menjawab Ki Sangga Rugi.
Gajah Enggon tersenyum. "Pradhabasu itu bukan orang sembarangan. Andai ia tidak
mengundurkan diri dari kesatuan Bhayangkara, pangkatnya mungkin
telah menggapai senopati. Tetapi, itulah Pradhabasu, yang tidak silau
dengan gemerlapnya pangkat. Ia pilih berada di luar karena sebuah
keyakinan yang harus dipegang teguh. Itu sebabnya siapa pun orang
di Majapahit menghormatinya. Patih Gajah Mada menghormatinya,
aku menghormatinya, bahkan kedua Prabu Putri, semua menaruh rasa
hormat kepadanya. Pradhabasu memang bukan orang sembarangan."
Hening menyibak menyeruak.
Ki Sangga Rugi yang selama ini terlalu meremehkan tetangganya
itu, yang sering meremehkannya melalui bualannya yang muluk-muluk,
atau menganggapnya sebagai orang yang tak berguna, merasa harus
segera mengakhiri kebiasaan buruknya. Tak ada gunanya membual
mengaku bersahabat dengan Gajah Mada untuk menggelembungkan
diri. Indahnya kebohongan dan khayalan, ketika berhadapan dengan
kenyataan, sungguh amat menyakitkan.
Berangan-angan punya uang banyak, berangan-angan beristri cantik,
atau menyandang jabatan dan pangkat tinggi, akan terasa nyeri di ulu
152
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Mada hati ketika tersadar bahwa semua yang indah itu hanya khayalan. Tidak
ada gunanya melakukan semua itu di hadapan Pradhabasu.
Suara kuda meringkik memecah perhatian mereka. Dari halaman
samping rumahnya, Pradhabasu menuntun kuda kebanggaannya.
"Apakah Ki Pradhabasu itu akan pergi?" bertanya Ki Jalak
Mangore. "Ya," jawab Gajah Enggon.
"Ke mana dan berapa lama?"
Gajah Enggon mengarahkan perhatiannya ke Pradhabasu yang
sibuk memasang pelana di atas kuda.
"Ia akan pergi bersamaku untuk melaksanakan tugas negara. Ia
memang bukan prajurit yang karenanya harus tunduk pada perintah
pimpinannya. Meski Ki Pradhabasu berada di luar, dengan senang hati
ia akan memberikan bantuan jika negara membutuhkan. Perjalanan yang
akan ditempuhnya adalah semata-mata karena panggilan jiwanya, bukan
karena panggilan isi perut."
Penampilan Pradhabasu telah berubah dan tampak mendebarkan.
Rambutnya yang semula dibiarkan terurai kini digelung keling tepat di
atas kepala. Pakaian yang dikenakan ringkas dan ketat, menggambarkan
kelincahan dan kekuatannya. Yang paling menyita perhatian adalah
rentengan pisau yang ditata berantai pada selempang terbuat dari kulit
harimau dan persediaan anak panah di endong yang diselempangkan di
punggung dan sebagian ditata menggantung di pelana kudanya. Benarbenar sebuah penampilan yang berubah dan mendebarkan.
Melihat Pradhabasu yang telah siap, Gajah Enggon yang berada
di halaman rumah Ki Sangga Rugi harus mempersiapkan diri. Orangorang yang berkumpul bergeser menuju rumah Pradhabasu. Demikian
juga dengan orang-orang yang menggerombol di bawah pohon saman,
di tepi jalan, maupun yang berada di dekat pagar.
Pradhabasu memandangi mereka. Pandangan matanya juga jatuh
ke wajah Ki Sangga Rugi. Cara Ki Sangga Rugi membalas tatapan mata
Hamukti Palapa 153 Pradhabasu telah berubah. Ki Sangga Rugi tak lagi berani menengadah
dan membusungkan dada. "Para sanak tetangga semua," kata Pradhabasu, "aku akan pergi
untuk waktu yang panjang. Aku menitipkan rumah ini. Kalau kayu
penopangnya doyong, bantulah dengan menegakkan kembali. Tetapi,
kalau telanjur ambruk karena diterjang angin, biarkan saja sekalian. Kelak
ketika aku pulang, aku akan merepotkan para sanak tetangga untuk
membangunnya kembali."
Hening yang menyelinap adalah karena isi semua dada bagai
terampas dan terasa mendelong,116 dan yang paling merasakan sentakannya
adalah Ki Sangga Rugi. Bagaikan kehilangan tenaga, Ki Sangga Rugi
berusaha sekuat tenaga bertahan berdiri. Dengan sekuat tenaga pula, ia
menggerakkan kaki melangkah mendekat.
Pradhabasu memberikan perhatiannya.
"Ada apa?" tanya Pradhabasu.
Komat-kamit Ki Sangga Rugi akan bicara dengan dua telapak tangan
saling remas. Namun, betapa sulit melontarkan kata-kata dari mulutnya.
Pradhabasu sangat memahami keadaan tetangganya itu, yang rupanya
sangat terpukul manakala melihat kenyataan yang sesungguhnya.
"Aku minta maaf," akhirnya terlontar juga sebuah ucapan dari
mulutnya. Pradhabasu tersenyum. "Apa yang harus dimaafkan, aku tidak melihat kesalahan apa pun
yang kaulakukan." "Betapa sombongnya aku selama ini dan betapa buta mataku karena
tidak melihat siapa kau."
Pradhabasu tak henti-hentinya mengumbar senyum.
116 Mendelong, Jawa, seperti berongga
154 Gajah Mada "Menurutku, tak ada masalah yang menyebabkan kau harus merasa
bersalah. Sudah, Ki Sangga Rugi. Janganlah kau melihatku dengan cara
berbeda dari sebelumnya. Tak ada yang berubah pada diriku, siapakah
aku, aku tetap Pradhabasu tetanggamu. Kau tak perlu mengubah
sikap." Ki Sangga Rugi menunduk makin dalam.
Akhirnya, Pradhabasu merasa telah tiba waktunya untuk berpamitan.
Tanpa menyangga beban, Pradhabasu naik ke punggung kuda yang telah
disiapkan. Demikian pula dengan Senopati Gajah Enggon.
Pradhabasu melambaikan tangan.
"Selamat jalan, Ki Pradhabasu," teriak salah seorang penduduk.
Pradhabasu tersenyum lebar.
Sejenak kemudian, dua orang pilih tanding itu membalapkan
kudanya dengan meninggalkan debu di sepanjang jalan yang dilewati,
dan masih menyisakan rasa takjub yang tidak berkesudahan bagi para
tetangganya. Di langit tak ada selembar pun mendung yang dirindukan,
tak ada mega yang menjadi cikal bakal hujan.
"Ada satu hal yang tadi belum sempat aku tanyakan," kata Pradhabasu.
"Kau sudah menghadap Ibu Suri Gayatri?"
"Sudah," jawab Gajah Enggon sambil mempercepat gerak kudanya
agar bisa berpacu berdampingan.
"Apa kata Tuan Putri Biksuni?" lanjut Pradhabasu.
Dengan Pradhabasu sedikit memperlambat dan dengan Gajah
Enggon mempercepat laju kudanya, akhirnya kedua satria itu berderap
berdampingan. "Ibu Suri Rajapatni memberiku petunjuk samar-samar. Aku disuruh
memulainya dari Ujung Galuh. Aku disuruh mengikuti jejak hujan.
Dengan cara itu, kita akan menemukan kembali kedua benda pusaka
yang hilang itu. Tuan Putri Ibu Suri Gayatri mengatakan, boleh dikata
hidupku bahkan baru dimulai dari tempat itu," jawab Pradhabasu.
Hamukti Palapa 155 Pradhabasu mengerutkan kening, sebagaimana Gajah Enggon,
Pradhabasu tidak mampu menebak apa di balik pesan yang aneh itu.
Perjalanan itu rupanya dirasakan sebagai hal yang menyenangkan
bagi kuda kekar milik Pradhabasu maupun kuda milik Gajah Enggon
yang begitu bergairah. Kedua binatang itu saling membalap dengan
kecepatan tinggi, makin jauh ke timur sedikit membelok ke arah utara,
di arah sana letak pelabuhan besar bernama Ujung Galuh yang selalu
sibuk siang dan malam. Belum berapa jengkal perjalanan itu ditempuh, dari arah berlawanan
terlihat berderap lima ekor kuda yang ditunggangi oleh orang-orang yang
pasti mumpuni dan perigel dalam olah berkuda. Bagai kesetanan dan
mungkin takut kehilangan waktu, orang-orang berkuda itu membalap
membelah angin. Karena jalan di depan menyempit dan salah satu pihak
harus mengalah, Pradhabasu memperlambat diri, bahkan berhenti.
Rombongan orang-orang berkuda itu makin dekat, makin dekat,
dan kemudian bersimpangan. Orang-orang itu tergesa-gesa sekali. Itu
sebabnya, mereka tidak mengurangi kecepatan. Rombongan orang
berkuda itu sama sekali tidak tertarik pada keberadaan mereka berdua.
"Siapa mereka?" tanya Pradhabasu.
"Entah!" jawab Gajah Enggon.
"Ada yang menarik perhatianmu?"
Gajah Enggon menggeleng. "Apakah mereka akan membuat onar di Majapahit?" lanjut
Pradhabasu. Pradhabasu agak cemas, tetapi tidak dengan Gajah Enggon. Jika
ada pihak yang berniat berbuat onar di Majapahit, dengan mudah akan
diketahui karena demikian rapatnya penjagaan atas keamanan istana dan
kotaraja. Telik sandi disebar di mana-mana, apalagi karena peringatan
yang diberikan oleh Ibu Suri Gayatri bahwa maling akan mencoba masuk
kembali ke lingkungan istana sehingga penjagaan benar-benar diperketat.
Segenap prajurit telah diturunkan dalam berbagai penyamaran.
156 Gajah Mada Pradhabasu sependapat, siapa pun orang-orang berkuda itu, tak
boleh menghentikan perjalanan yang ditempuhnya. Apa pun yang
akan mereka lakukan di kotaraja, andai mereka hendak berbuat jahat,
pengawalan prajurit yang berlapis-lapis pasti akan menghadang mereka.
Prajurit sandi bahkan akan langsung memantau mereka sejak pertama
masuk di lingkungan kotaraja.
Pradhabasu menggerakkan kendali kudanya sebagai isyarat untuk
kembali berderap, debu tebal pun mengepul. Kuda Pradhabasu adalah
kuda pilihan dan sangat gemar dipacu, apalagi jika ada pesaing yang
bisa ditantang beradu balap. Pun demikian dengan kuda milik Senopati
Gajah Enggon yang bergumpal-gumpal ototnya. Bagai terbang mereka
melesat. 12 M atahari yang semula berada di puncak telah sedikit doyong
ke arah barat, menjadi penyebab semua bayangan benda apa pun,
pepohonan, batu, tiang rumah, dan orang berdiri mengayun ke sebelah
timur. Matahari yang orang memanggilnya dengan sebutan srengenge,
dipuja bagai Dewa dengan panggilan Hyang Bagaskara, juga ada yang
menyebut Batara Surya, geliatnya sungguh memeras keringat siapa
saja. Panas menggigit itu yang menjadi penyebab air yang menguap
dari sungai-sungai, yang kemudian kering dan dari laut yang tak hentihentinya mendeburkan ombak menggerus pantai, tidak sempat berubah
menjadi awan, seolah air yang menguap itu langsung murca tak ketahuan
jejaknya. Padahal, semua orang merindukan awan-awan itu. Semua
orang berharap-harap cemas atas kehadirannya. Tidak hanya semua
Hamukti Palapa 157 orang, tetapi cobalah dengar jerit semua pepohonan, bahkan yang paling
tangguh terhadap kebutuhan air sekalipun. Nyu danta 117 meranggas
dengan daun-daun mem- belarak 118 kering.
Perempuan itu yang semula sibuk mengucurkan air dari dalam
bumbung ke beberapa pohon cabai yang ditanam di pekarangan rumahnya, mendongakkan kepala ketika terdengar derap kuda dari kejauhan.
Senyum perempuan itu akan merekah karena telanjur menduga siapa
orang yang berkuda itu. Namun, segera dibatalkan ketika pendengarannya
mampu memindai kuda yang datang itu lebih dari satu.
"Apakah itu ayahmu, Prajaka?" pertanyaan itu terlontar dari
mulutnya. Sang Prajaka dengan penuh keyakinan mengangguk. Selebihnya,
bocah cacat jiwa itu tak pernah menggeser pandangan matanya dari
pohon nyu danta di depannya. Setidaknya, berapa jumlah lidi yang
tersisa dari satu pelepah telah ia hitung dengan tuntas. Bocah itu, entah
apakah ia layak disebut bodoh dengan kemampuannya yang langka itu.
Dengan kemampuan aneh itu, Prajaka mampu melihat sesuatu yang
orang lain tidak tahu. Namun, karena ketakmampuannya menjalin
hubungan dengan orang lain menyebabkan Prajaka dianggap sebagai
bocah bermasalah. "Kamu yakin itu ayahmu, Prajaka?" tanya perempuan itu lagi.
Prajaka, meski diam, kembali mengangguk. Bocah itu begitu yakin,
orang berkuda yang datang itu memang ayahnya, tak peduli meski
suara derap itu berasal dari dua ekor kuda. Irama derap yang mungkin
berbeda-beda untuk setiap kuda dapat dibedakan dengan amat mudah
dan jelas oleh ketajaman mata hatinya, hal yang tidak mungkin dilakukan
orang biasa. Perempuan itu perempuan yang berwajah cantik, paling cantik
dari para tetangga di pedukuhannya. Namun, dengan saksama
117 Nyu Danta, Jawa Kuno, kelapa gading
118 Belarak, Jawa, daun kelapa kering
158 Gajah Mada menyembunyikan kecantikannya melalui penampilan dan pakaian
sederhana yang dikenakannya. Rambut yang hanya digelung melalui cara
paling sederhana agar tidak menarik perhatian lelaki, dilengkapi sikap
yang menutup diri agar para tetangga tidak terlalu sering datang.
Namun, bahwa pada dasarnya ia memang cantik, rambut dibuat
awut-awutan pun tetap cantik. Kecantikan yang terlalu kuat dan menonjol
itulah yang menyebabkan para laki-laki di pedukuhan itu, baik yang tua
maupun muda, banyak yang menyisihkan waktu sekadar mengangankan
dan membawanya ke alam mimpi. Akan tetapi, lelaki mana yang berani
menggoda perempuan itu karena konon suaminya yang jarang berada
di rumah, bukan orang sembarangan. Ia mantan prajurit dari pasukan
khusus Bhayangkara yang pasti akan menggilas siapa pun yang berani
menggoda istrinya. Untuk berani menggoda perempuan itu, benar-benar
diperlukan nyali yang besar.
Tubuh perempuan cantik itu tinggi semampai sepadan dengan
ukuran badannya yang langsing, tetapi padat. Wajahnya bersih dengan
tatapan yang selalu berseri. Matanya mungkin bagian yang paling indah
dan menyenangkan. Tidak tersenyum saja sudah cantik, apalagi ketika
tersenyum, ibarat lintang panjer sore yang muncul bersamaan dengan
senja datang atau lintang panjer rahina yang akan lenyap menjelang pagi
datang, begitu gemerlap dan sering menyebabkan orang salah paham.
Perempuan itu sebenarnya bersikap biasa saja, lawan bicaranyalah yang
salah mengartikan. Di antara penduduk pedukuhan itu memang ada yang tak mampu
mengendalikan diri, Ki Draba Alit namanya. Meski ia telah beristri
dan memiliki enam orang anak, kegelisahannya menggeliat melihat
kecantikan Dyah Menur, tetangga yang tinggal di pedukuhan Payaman
belum genap empat tahun. Ki Draba Alit sering sakit meriang dan minta
dikeroki istrinya, yang bingung karena akhir-akhir ini sering mendapati
suaminya tak sehat. Sisa nyali yang dimiliki Ki Draba Alit dalam menyalurkan hasratnya
hanyalah dengan melintas halaman rumah Dyah Menur saat pergi ke
sawah atau sepulangnya, pilihan jalan yang terasa aneh karena lebih jauh
Hamukti Palapa 159 dan melingkar. Melalui cara itu, Ki Draba Alit berharap akan mendapat
kesempatan melihat Dyah Menur menjemur pakaian atau memetik daun
singkong di pekarangan. Andaikata mungkin, sungguh menyenangkan jika
bisa menawarkan diri membantu menjemur. Bisa bertegur sapa dengan
perempuan itu sungguh berharga lebih mahal dari bongkahan emas.
Di sisa kesempatan yang dimilikinya, Ki Draba juga berandai-andai,
andaikata ia hidup sendiri, andai ia tidak punya istri yang dengan demikian
ia bebas berhubungan dengan perempuan lain, atau... andai perempuan
bernama Dyah Menur itu bisa dimiliki.
Hanya sebatas itu yang Ki Draba Alit berani. Selebihnya tidak
karena tak ingin nyawanya tercabut. Sejak datang dan bertempat tinggal
di Payaman, Pradhabasu secara blak-blakan memperkenalkan Dyah
Menur sebagai istrinya sekaligus memperkenalkan dirinya sebagai mantan
prajurit Bhayangkara. Hal itu menyebabkan para lelaki di Bulu Payaman
tak ada yang berani berbuat macam-macam kepada Dyah Menur meski
Pradhabasu sering berpergian entah ke mana.
Orang-orang lugu itu pun percaya, antara Dyah Menur dan
Pradhabasu memang merupakan pasangan suami istri. Tidak seorang
pun yang menyadari ada sebuah sandiwara rumit yang membungkus
persoalan di antara mereka.
Ki Draba Alit telah dua kali melintas di jalan depan rumah yang
terpencil itu. Ia berani melakukan karena yakin perempuan itu sedang
sendiri. Hal itu bisa ditandai dengan kosongnya kandang kuda, yang
berarti Ki Pradhabasu sedang tidak berada di rumah. Namun, suara kuda
yang datang berderap di siang itu mendorong Ki Draba Alit terbirit-birit.
Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sigap, lelaki yang sudah pantas disebut kakek itu melompat pagar
dan bersembunyi di balik barisan pagar pohon bersemak belukar. Dari
tempatnya, Ki Draba Alit mengintip.
Dyah Menur tersenyum senang melihat siapa yang datang. Namun,
dengan segera perempuan cantik itu menghapus jejaknya dari raut
mukanya karena Pradhabasu datang tidak sendirian. Dyah Menur
memiliki daya ingat yang tidak buruk. Wajah orang yang datang bersama
Pradhabasu itu pernah dilihatnya di Balai Prajurit beberapa tahun yang
160 Gajah Mada lalu. Dyah Menur bahkan juga tahu nama orang itu adalah Gajah Enggon,
seorang prajurit dengan pangkat senopati yang menjadi pucuk pimpinan
dari pasukan khusus Bhayangkara.
Hampir empat tahun bagi Dyah Menur bukan waktu yang
pendek untuk sebuah luka di hati. Namun, bukan waktu yang lama
untuk sebuah kenangan, juga bukan waktu yang sudah cukup untuk
mengambil keputusan. Pada suatu hari dua tahun yang lalu, Pradhabasu
telah mengutarakan isi hatinya, mengajak melupakan masa silam dan
menawarkan untuk saling berbagi dalam merenda waktu.
Yang bisa dilakukan Dyah Menur ketika itu adalah meminta
waktu karena masih belum siap. Bukan perkara gampang bagi Dyah
Menur untuk berdamai dengan diri sendiri, melupakan lelaki kekasih
hatinya yang telah direnggut oleh wanita lain yang bukan sembarang
perempuan karena ia adalah perempuan yang kini menjadi salah satu
dari Prabu Putri. Setelah menyampaikan hasrat hatinya itu, Pradhabasu
tak pernah lagi membicarakan. Bagai orang yang lupa, Pradhabasu tak
lagi mempersoalkan. Memenuhi permintaan Dyah Menur yang tidak ingin tinggal seatap,
Pradhabasu tinggal di rumah sendiri bertetangga dengan Ki Sangga Rugi
dengan jarak yang sebenarnya tak seberapa jauh, tak sampai setabuh
waktu yang dibutuhkan dalam berkuda. Di tempat tinggalnya yang
baru, Dyah Menur yang tak memiliki ayah dan ibu itu benar-benar
hidup sendiri. Sebenarnya masih ada beberapa sanak yang tak begitu
jauh dalam pertalian darah. Akan tetapi, Dyah Menur memang dengan
sengaja menjauhkan diri dari mereka.
Akan tetapi, bukan berarti Pradhabasu membiarkan Dyah Menur
Hardiningsih lepas dari perlindungannya. Sepekan sekali, ia muncul
menengoknya dan itulah saat yang menyenangkan bagi Sang Prajaka
yang merasa menemukan sosok ibu baru. Sang Prajaka benar-benar
mendapatkan limpahan kasih sayang yang tulus.
Waktu mungkin terasa bergerak lambat, tetapi tak pernah berhenti
meski barang sejenak. Lambat laun seiring dengan itu, Dyah Menur
mulai terbiasa dengan keadaan yang tidak bisa dielaknya.
Hamukti Palapa 161 Jika semula setiap waktu wajah Raden Kudamerta selalu menyelinap,
selanjutnya hal itu tak sering lagi. Dengan segala kesibukan yang
dilakukan, Dyah Menur yang oleh Emban Prabarasmi diberi nama lain
Sekar Tanjung, berhasil mempersempit ruang kenangan yang menjadi
hantu abadi dan selalu membayanginya.
Untuk selanjutnya, raut wajah Raden Kudamerta jarang menyelinap
di mimpi-mimpinya. Jika semula ada semacam rasa tidak rela kehilangan
suami karena harus menjadi suami perempuan lain, kini perasaan macam
itu mulai terkikis dan terganti oleh rasa ikhlas yang sesungguhnya, bukan
keikhlasan semu. Selanjutnya dalam beberapa bulan terakhir, isi hati Dyah Menur
mulai dijejali wajah lain, wajah yang begitu sabar dan setia. Dyah Menur
sangat berharap Pradhabasu kembali mengajak berbicara soal yang dulu
pernah dibahas, tetapi tak sebagaimana yang ia inginkan, mungkin benar
Pradhabasu telah lupa pada persoalan itu. Sebagai seorang perempuan,
ia merasa tidak pantas mendahului berbicara soal itu. Maka, yang bisa ia
lakukan hanyalah menunggu dan menunggu. Berhadapan dengan waktu
Sepasang Pedang Iblis 6 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Suling Naga 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama