Ceritasilat Novel Online

Hamukti Palapa 8

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 8


Kapetengan, Pamandana, dan para pimpinan kelompok yang lain.
"Sayang sekali, kita tidak punya waktu. Untuk sebuah serangan
dadakan, sebaiknya mari kita siapkan gelar Supit Urang untuk menjemput
mereka. Jika Supit Urang tidak cukup kuat, kita mengubah gelar ke
Cakrabyuha, salurkan perintah!"
Maka, terjadi kesibukan yang luar biasa di balik pagar semak
perdu pedukuhan itu sejalan dengan pasukan musuh berjalan kaki yang
terlihat makin lama makin dekat. Melihat semua itu, Raden Ardaraja
benar-benar bingung dan tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Dengan cermat saksama, Raden Wijaya membangun persiapan
dan dengan sukacita Wirota Wiragati menggabungkan diri untuk
ikut memberikan sambutan paling meriah kepada pasukan musuh.
Dengan hangat penuh persahabatan, Prajurit Pamandana menerima
Wirota Wiragati di kelompoknya bersama dengan Banyak Kapuk dan
Kapetengan. Pasukan dari Gelang-Gelang yang meninggalkan Mameling makin
lama makin dekat. Dengan jantung serasa berhenti berdegup, segenap
prajurit Singasari menunggu. Raden Ardaraja merasa berdiri di atas bara.
Sementara itu, Lurah Prajurit Jaran Guyang yang berpura-pura mati
sangat tersiksa oleh rasa ingin tahu atas keadaan senyap yang sedang
berlangsung. Senyap itu berarti pasukan berjalan kaki dari Gelang-Gelang
yang datang menyusul itu berada dalam bahaya. Tetapi, Jaran Guyang
tak mampu melakukan apa pun. Di sekelilingnya, para prajurit Singasari
sedang melakukan baris pendhem.
Jarak makin lama makin dekat. Wirota Wiragati yang berdiri tegak
di sebelah kudanya mempersiapkan rencananya dengan sebaik-baiknya.
Dari balik pohon-pohon semak dan belukar yang rimbun, terlihat
pasukan musuh dari Gelang-Gelang amat bernafsu. Mereka berjalan
berduyun-duyun tanpa menyiagakan gelar perang.
384 Gajah Mada Betapa terperanjat pasukan jalan kaki dari Gelang-Gelang itu, ketika
dari balik pepohonan, berhamburan anak panah menerjang mereka,
menyebabkan beberapa orang prajurit yang tidak mempersiapkan
melindungi diri di balik tameng berjatuhan. Belum lagi rasa kaget itu
mereda, dari arah kiri dan kanan bermunculan puluhan prajurit Singasari
yang tidak segera diketahui apa yang akan dilakukan karena mereka belum
melakukan apa pun dan hanya menempatkan diri bersiaga penuh.
Ketika jarak makin dekat, Sanggramawijaya berdebar-debar melihat
jumlah pasukan musuh ternyata jauh lebih besar dari jumlah pasukannya,
setidaknya satu setengah kali lebih besar. Menghadapi jumlah yang
lebih besar seperti itu, tak ada pilihan lain bagi Sanggramawijaya kecuali
melakukan serangan dadakan yang diharapkan mampu mengurangi
jumlah lawan dalam waktu singkat.
"Sekarang!" teriak Raden Wijaya.
Perintah itu diterjemahkan dengan saksama. Hujan anak panah
berhamburan dari balik pepohonan semak dan perdu, amat mengagetkan
para prajurit Gelang-Gelang. Apalagi, ketika dari sepanjang tepian
pedukuhan berbatas sawah itu, bermunculan prajurit yang menyerang
dengan sorak-sorai gemuruh, yang benar-benar menjadikan pasukan
Gelang-Gelang kalang kabut.
Akhirnya, ketika lebih dari seribu prajurit yang semula melakukan
baris pendhem muncul semua, dengan amat sempurna mereka telah
menyiapkan gelar perang Supit Urang yang dari kanan dan kiri siap
memberikan tekanan melalui penjepit-penjepitnya yang amat kuat.
Sementara itu, dari bagian tengah, hujan anak panah benar-benar terjadi
karena didukung oleh persediaan anak panah yang sangat berlimpah.
"Gila," teriak salah seorang prajurit Gelang-Gelang.
Melihat pasukan Singasari siap melumat dengan membuka gelar
yang telah disiagakan dengan sempurna, prajurit Gelang-Gelang yang
menyadari bahaya amat besar akan menelan mereka segera mundur.
Seseorang berteriak dengan keras dari arah belakang yang entah
berasal dari mulut siapa.
Hamukti Palapa 385 " Diradameta!" teriak suara itu amat keras.
Perintah itu mestinya berasal dari mulut Lurah Prajurit Jaran
Guyang, tetapi karena Lurah Prajurit Jaran Guyang agaknya telah tumpas
bersama prajurit berkuda yang pergi mendahului, seorang prajurit yang
sebenarnya bukan siapa-siapa, tetapi punya nyali, segera mengambil alih
kendali dengan gagah berani.
" Diradameta!" teriak prajurit rendahan itu dengan suara keras.
Perintah itu ternyata dilaksanakan dengan baik. Segenap prajurit
Gelang-Gelang segera mengatur diri membentuk gelar gajah mengamuk
dengan prajurit yang membawa tameng menempatkan diri di depan.
Raden Wijaya yang tak ingin pasukan musuh berhasil membangun
pertahanan dan daya serang yang kuat, segera memberi isyarat untuk
bergerak menyerbu. Bagaikan rob, ribuan prajurit di bawah kendalinya
bergerak menerjang. Benar-benar malang nasib prajurit Gelang-Gelang yang telah
menyerbu Kota Mameling itu karena dalam benturan pertama, langsung
mendapatkan tekanan yang amat berat dari prajurit Singasari. Dengan
penuh semangat, Sanggramawijaya yang berada di balik pengawalan
yang ketat menyalurkan semua perintahnya.
Pertempuran amat riuh berlangsung di barisan bagian depan.
Prajurit Singasari yang tertata dalam satu kesatuan yang utuh saling
mengikat dan melindungi serta memberi tekanan yang bertubi-tubi,
menyebabkan pasukan Gelang-Gelang benar-benar kalang kabut.
Pasukan anak panah menghujani dari arah supit di kiri dan kanan.
Sementara itu, ujung tombak bergagang panjang terus memberikan
tekanan dari arah tengah. Amat sulit untuk membedah bagian tengah
itu karena jangkauan gagang tombak yang lebih panjang, apalagi dari
sela-selanya anak panah terus dilepas susul-menyusul.
Namun, prajurit Gelang-Gelang memberikan perlawanan yang sama
kerasnya, bahkan memiliki semangat tempur makantar-kantar. Apalagi,
dihitung dari jumlah, mereka lebih banyak daripada pasukan Singasari,
386 Gajah Mada ditambah lagi setidaknya mereka adalah pihak yang pernah mengenyam
sakit hati yang berkepanjangan setelah negaranya yang bermula bernama
Kediri digempur habis-habisan oleh pendiri wangsa Girindra. Dengan
bersusah payah, pasukan Gelang-Gelang berhasil menghimpun dari
dalam gelar Diradameta, yang berasal entah dari perintah siapa karena
lurah prajurit yang memimpin pasukan itu tidak ada.
Dirada adalah kata lain dari dwipangga, juga kata lain dari hesti atau gajah. Diradameta berarti gajah mengamuk dengan mengandalkan
dua gadingnya. Lurah Prajurit Jaran Guyang yang akhirnya berhasil
meloloskan diri dari tindihan kudanya terheran-heran melihat pasukannya
mampu memberi perlawanan melalui gelar perang gajah mengamuk.
Yang sulit dipahami adalah sepeninggalnya siapakah orang yang
berhasil mengambil alih pimpinan. Jaran Guyang memutar pandangan,
dan tatapan matanya jatuh ke wajah membeku yang berdiri di belakangnya,
wajah Raden Ardaraja. Dengan bingung, Raden Ardaraja memandang
wajah Jaran Guyang yang sungguh sangat dikenalinya.
"Apa yang terjadi?" tanya Raden Ardaraja.
Jaran Guyang memandang dengan sangat takjub laki-laki sebaya
dengan dirinya yang berdiri di depannya. Tentu Jaran Guyang mengenal
Ardaraja dengan baik. "Raden?" letup Jaran Guyang.
"Katakan apa yang telah terjadi, Kakang Jaran Guyang?"
Meluap isi dada Lurah Prajurit Jaran Guyang yang mengalami
kesulitan untuk bercerita.
"Sekaranglah saatnya, Raden," kata Jaran Guyang. "Sekaranglah
saatnya Gelang-Gelang membalas penghinaan yang dulu pernah dialami
leluhur Raden, mendiang Sang Prabu Sri Kertajaya yang mati dengan
nista dan terhina oleh perbuatan Ken Arok, maling dari Karautan itu.
Aku mendapat tugas untuk memancing prajurit Singasari agar keluar
ke Mameling. Namun, yang sebenarnya, Ayahanda Raden, Sang Prabu
Jayakatwang, dengan dukungan penuh para prajurit Gelang-Gelang yang
Hamukti Palapa 387 dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang akan menyerbu Manguntur
Singasari bagai banjir bandang. Saat ini pasukan Gelang-Gelang telah
meninggalkan Lawor dan Sidabawana memasuki Singasari. Utang pati
akan dibayar pati." Raden Ardaraja layak jika disebut sedang mendaki puncak
kebingungannya. Ia bingung, tak tahu bagaimana harus menempatkan
diri. Raden Ardaraja sangat mencintai istrinya. Raden Ardaraja juga
sangat menghormati mertuanya. Kini, ia berada di persimpangan
jalan yang sungguh membingungkan, mana dari dua pilihan yang
membingungkan itu yang harus dipilih" Membela negara Singasari berarti
harus berhadapan dengan ayahnya sendiri.
"Apa yang harus aku lakukan, Kakang Jaran Guyang?"
Lurah Prajurit Jaran Guyang bingung melihat Ardaraja bingung.
"Kenapa harus bingung, Raden?"
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanya Raden Ardaraja.
"Raden harus berbalik membela Ayahanda Jayakatwang. Raden
harus ingat bahwa sebenarnya Singasari adalah musuh negera kita."
Raden Ardaraja termangu beberapa saat lamanya.
Dalam gebrakan awal, segenap prajurit Singasari yang berada di
bawah pimpinan Sanggramawijaya berhasil memberikan tekanan yang
sangat berat yang menyebabkan prajurit Gelang-Gelang kacau.
Akan tetapi, perintah yang diberikan oleh seorang prajurit rendahan
yang dengan gagasan pribadinya mencoba mengatasi keadaan dengan
memimpin pembentukan gelar Diradameta, lambat laun berhasil
mengurangi tekanan. Meski Singasari masih mampu menyudutkan,
dengan mati-matian prajurit Gelang-Gelang berusaha melawan.
"Kakang Jaran Guyang yang memimpin pasukan itu, bukan?"
berbisik Raden Ardaraja yang bersembunyi di balik rimbunnya
pepohonan. "Ya!" jawab Jaran Guyang.
388 Gajah Mada "Lalu, siapa yang mengambil alih kendali?" tanya Raden Ardaraja
lagi. "Aku tidak tahu, Raden," jawab Jaran Guyang.
Sebenarnyalah di barisan belakang, ada sebuah pemandangan yang
terasa sangat aneh. Beberapa prajurit Gelang-Gelang memerhatikan
ulah seorang temannya yang memiliki pangkat paling rendah, nama
prajurit itu Panji Bangil. Entah dari mana Panji Bangil memperoleh
kemampuannya. Dari atas batu besar, Panji Bangil berteriak-teriak
menyalurkan perintah. "Dari mana Panji Bangil mendapat kemampuan itu?" tanya seorang
prajurit yang merasa kenal dengan Panji Bangil dan selama ini bahkan
selalu menjadikannya sebagai suruhan bentuk perintah apa pun.
"Aku tidak tahu, mungkin ia sedang kewahyon,"209 jawab prajurit di
sebelahnya. Mungkin didorong oleh tanggung jawabnya sebagai seorang prajurit,
atau boleh jadi didorong oleh angan-angannya yang menjulang tinggi,
Panji Bangil terus berteriak menyalurkan perintah, baik melalui klebet
di tangan kanannya atau melalui sangkakala di tangan kirinya. Tak
ada seorang pun dari segenap prajurit Gelang-Gelang yang menolak
semua perintah itu. Semua mengira perintah itu berasal dari orang yang
berhak. Seiring dengan pertempuran yang berlangsung dengan dahsyatnya,
langit yang semula demikian terik berubah menjadi gelap karena mendung
tebal mulai muncul di mana-mana. Dalam keadaan yang demikian, ada
banyak burung walet yang beterbangan, dan beberapa ekor burung elang
yang terbang berputar-putar luput dari perhatian siapa pun.
Angin berembus keras membawa bau anyir darah ke segala penjuru.
Tembang pertempuran di mana pun selalu sama, dendangnya berupa
teriakan pelampiasan amarah atau jerit kesakitan mereka yang terluka
parah dan merasa pintu kematian akan menjemputnya.
209 Kewahyon, Jawa, memperoleh wahyu
Hamukti Palapa 389 Seorang prajurit Singasari yang robek perutnya dengan usus terburai
keluar, apalagi usus itu ada yang robek, yakinlah prajurit itu kematian
akan segera datang menjemput. Sadar kematian akan tiba, prajurit itu
justru memejamkan mata dan membaca puja mantra, berdoa menurut
keyakinan agama Syiwa yang dianut.
Tak jauh dari sosok yang akan segera mati itu, seorang prajurit
melolong-lolong memanggil nama ibunya. Sebuah luka menyobek
lengannya, menyebabkan sekujur tubuh dari lengan sampai paha
menjadi merah. Luka prajurit itu sebenarnya tidak terlalu parah, tetapi
ketakutannya yang menyebabkan ia kehilangan kesadaran, pingsan.
Lambat laun pasukan Gelang-Gelang yang semula kocar-kacir
mulai mampu memberikan perlawanan. Lurah Prajurit Jaran Guyang
terheran-heran melihat ada yang mampu mengambil alih kendali atas
pasukannya melalui Diradameta. Pasukan Singasari yang membuka
gelar perang Supit Urang harus mengkaji ulang pilihan gelar itu karena
mulai kehilangan kekuatan untuk memberi tekanan yang lebih ganas
lagi. "Prajurit Singasari, ubah gelar perang ke Cakrabyuha!" teriak Raden
Wijaya sangat keras yang terdengar sampai ke ujung bulak.
Dengan bergegas dan tangkas, prajurit Singasari yang memang
terlatih itu segera mengubah gelar perang yang semula Supit Urang
menjadi gelar perang Cakrabyuha, yang diyakini itulah cara untuk
menggagalkan pasukan Gelang-Gelang membangun gelar gajah
mengamuk. Raden Ardaraja memerhatikan perubahan yang berlangsung sangat
cepat itu dengan mata mendelik.
"Mampukah Gelang-Gelang menghadapi Cakrabyuha?" tanya anak
Jayakatwang itu kepada Lurah Prajurit Jaran Guyang.
"Sebaiknya aku segera kembali ke pasukan, Raden, dan marilah
Raden aku persilakan untuk bersama-sama memberi tambahan kekuatan
menggempur musuh. Ayo, Raden, silakan buang segala keraguan," kata
Jaran Guyang. 390 Gajah Mada Namun, pembicaraan yang terjadi antara Raden Ardaraja dengan
Jaran Guyang terhenti oleh sebuah suara yang tiba-tiba meledak
menggelegar dan berlangsung susul-menyusul. Suara itu meledak
menggemuruh, mengagetkan pasukan yang bertempur di masing-masing
pihak, juga mengagetkan Raden Wijaya yang dengan seketika mengenali
suara apakah yang menggelegar itu.
Pamandana yang bertempur bahu-membahu dengan Mahisa
Pawagal, yang berada pada jarak paling dekat dengan sumber suara itu,
terkejut dan segera menoleh.
Langsung menjadi pusat segala perhatian, baik kawan maupun
lawan, Wirota Wiragati memukul bende Kiai Samudra dengan sekuat
tenaganya. "Ayo, orang-orang Singasari, tumpas habis musuh yang berusaha
merobohkan pilar-pilar Istana Singasari," berteriak Wirota Wiragati.
Raden Wijaya yang mengenali suara amat khas dari bende Kiai
Samudra itu amat terkejut.
"Bende Kiai Samudra yang semula jengkar dari perbendaharaan pusaka
Istana Singasari, bagaimana benda itu bisa berada di tangannya?"
Betapa dahsyat pengaruh dari suara bende Kiai Samudra yang
ditabuh dengan susul-menyusul oleh Wirota Wiragati. Suara bende itu


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan seketika membakar semangat prajurit Singasari yang semula
sudah kesetanan, kini menjadi makin kesetanan karena setiap ayunan
senjata yang mereka lakukan atau setiap tarikan anak panah yang dilepas
dari busur yang terentang, dilakukan dengan sepenuh tenaga, tanpa rasa
takut dan mengenal rasa sakit. Boleh dibilang membabi buta.
Bende itu adalah bende Kiai Samudra, dipukul berdentang-dentang
dan berada di pihak Singasari. Sementara itu, meski Gelang-Gelang juga
membawa bende, bukan jenis bende yang mempunyai wibawa. Bende
milik Gelang-gelang yang memberi warna ribut, bukan warna semangat,
langsung tenggelam oleh getar menggelegar yang keluar dari bende
terbuat dari campuran tembaga dan perunggu itu itu. Maka, tekanan
yang amat dahsyat kembali dirasakan oleh pasukan Gelang-Gelang.
Hamukti Palapa 391 "Bende itu sudah lama menghilang dari ruang perbendaharaan
pusaka Singasari. Jadi, kamu yang mencuri?" teriak Pamandana amat
keras di sela pertempuran.
Wirota Wiragati tidak mendengar pertanyaan itu. Suara gelegar
bende Kiai samudra telah menguasai gendang telinganya, merampok
semua ruang di lorong-lorong telinganya.
Kapetengan yang berada pada jarak dekat menyentuh pundaknya.
"Apa?" balas Wirota Wiragati.
Kapetengan yang bertolak pinggang karena tidak kebagian musuh
tersenyum. "Pamandana bertanya, apakah kamu orang yang mencuri bende ini
dari gedung pusaka Istana Singasari?"
Wirota Wiragati menggoyang telapak tangannya.
"Bukan aku," jawab Wirota Wiragati. "Aku merebut bende ini dari
maling lain. Maling Handaru Pritha pelakunya."
Kapetengan termangu, nama Handaru Pritha tentu sudah dikenalnya
sebagai maling yang malang melintang dan mengganggu ketenangan
Singasari. Kemunculan Handaru Pritha boleh dikata bersamaan dengan
kemunculan penjahat berjuluk Kelana Bhaya atau Cayaraja yang telah
berhasil ditumpas beberapa tahun yang lalu.
Mendung yang demikian tebal di langit akhirnya merasa telah tiba
saatnya mengguyur sampai basah kuyup mereka yang melakukan prang
bandayuda 210sampai berdarah-darah. Ketika hujan itu melumuri luka,
menjadi merah luka itu, segala darah yang mengental luntur. Boleh jadi, hujan
itu memberi kesegaran dan semangat yang menyebabkan yang bertempur
makin membabi buta. Namun, air hujan yang bercampur dengan keringat
memberi rasa perih bukan kepalang pada tubuh yang terluka.
210 Prang bandayuda, Jawa, perang gila-gilaan
392 Gajah Mada 24 S ebagaimana kemudian tercatat dalam ingatan para kawi,211 Raden
Wijaya dan para perwira muda anak buahnya berhasil menggilas musuh
dan menghancurkannya di Mameling. Ardaraja yang dibingungkan oleh
dua pilihan, akhirnya mengambil salah satu pilihan, yaitu berpihak kepada
ayahnya. Raden Ardaraja melarikan diri bergabung dengan pasukan
penyerbu. Menghadapi sikap Raden Ardaraja yang demikian, Raden Wijaya
tidak marah. Raden Wijaya bisa memaklumi karena mungkin akan
bersikap yang sama jika bertukar tempat.
Raden Wijaya yang merasa dengan gilang-gemilang berhasil
menghancurkan musuh bersama segenap prajurit dan perwira-perwira
muda yang menjadi temannya, amat terkejut ketika kembali ke Singasari,
mendapati istana telah terbakar. Rupanya geger yang terjadi di Mameling
hanya sebuah umpan agar istana kosong, tidak dijaga prajurit. Maka,
benar apa yang dicemaskan oleh mantan Mapatih Raganata dan mantan
Temenggung Wirakreti. Sri Kertanegara harus mengakui kebenaran
peringatan dua orang pejabat yang telah dipecatnya itu, tetapi apa artinya.
Nasi telah telanjur membubur.
Dengan gagah berani, Raganata dan bekas Temenggung Wirakreti
menempatkan diri tak ubahnya Kumbakarna yang rela gugur membela
negaranya, bukan gugur karena membela Sri Kertanegara.
Kertanegara mati diranjab dan istananya dibakar. Ratusan anak
panah yang dilepas menghunjam tubuhnya, mengingatkan semua orang
terhadap nasib buruk yang dialami Abimanyu dalam perang besar darah
Barata di Kurusetra. Sia-sia pula upaya Patih Angragani melindungi
211 Para kawi, Jawa Kuno, penulis kakawin. Kakawin sendiri berasal dari kata dasar kawi.
Hamukti Palapa 393 istana. Jumlah prajurit Gelang-Gelang yang bagaikan rob memang tak
mungkin terlawan. Angragani pun terbunuh dalam pertempuran itu.
Nasibnya tak semujur Patih Mahisa Anengah yang selamat karena
tidak berada di istana. Patih Mahisa Anengah menyusul Raden Wijaya
ke Mameling. Raden Wijaya dan segenap prajurit yang masih tersisa menggempur
prajurit Gelang-Gelang yang telah menguasai istana. Akan tetapi,
kekuatan yang dimiliki Raden Wijaya tidak sepadan dengan pasukan
Gelang-Gelang yang berlipat jumlahnya. Banyak korban mati dalam
pertempuran itu dan lambat laun Raden Wijaya harus menerima
kenyataan kalah dalam peperangan itu. Bahkan, pasukannya harus kocarkacir diburu oleh pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin langsung oleh
Mahisa Mundarang. Hanya karena matanya terbutakan oleh semburan
tanah, Mahisa Mundarang tak berhasil menangkap dan membunuh
Raden Wijaya. Semangat prajurit Singasari kembali berkobar ketika Raden Wijaya
membagi-bagikan kain geringsing berwarna merah untuk dijadikan
cawat. Malam harinya, dengan dukungan sekitar enam ratusan prajurit
yang tersisa, bersama semua pimpinan kelompok yang ada, Medang
Dangdi, Lembu Sora, Kebo Kapetengan, Wirota Wiragati, Pamandana,
dan pimpinan yang lain, serangan gerilya dilakukan.
Dalam penyerbuan itu tiga orang sekar kedaton bisa diselamatkan.
Mereka adalah Sekar Kedaton Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuaneswari,
Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, dan Sri Jayendradewi Dyah
Dewi Pradnya Paramita. Namun, Sekar Kedaton Sri Jayendradewi Dyah
Dewi Gayatri tertangkap musuh dan dibawa ke Gelang-Gelang.
Terus diburu-buru oleh pasukan Gelang-Gelang, Raden Wijaya
akhirnya menyeberang dan berlindung ke Sungeneb dan diterima baik
oleh Arya Wiraraja. Atas saran Arya Wiraraja, Raden Wijaya justru
diminta untuk berpura-pura menyerah kepada Prabu Jayakatwang karena
dengan cara demikianlah semua siasat nantinya bisa diatur.
Prabu Jayakatwang yang membaca surat yang dikirim Arya Wiraraja
melalui Wirondaya bisa menerima penyerahan diri itu. Kedatangan
394 Gajah Mada Raden Wijaya diterima dengan baik di Gelang-Gelang. Di Istana GelangGelang itulah Raden Wijaya bisa bertemu dengan Ratna Sutawan,212
yang menyebabkan hatinya tidak tenang. Meskipun jantungnya berlarian
sulit dikendalikan, Raden Wijaya harus menyembunyikan isi hatinya
rapat-rapat. Namun, Raden Wijaya masih belum memiliki waktu untuk
menyelamatkan tunangannya yang telah berganti nama itu. Kesempatan
barulah diperoleh ketika perang kembali berkobar. Bala tentara dari
Tartar dengan rajanya bernama Kubilai Khan yang datang ke tanah Jawa
dengan niat menghukum Sri Kertanegara yang telah berani menghina
utusannya, oleh Raden Wijaya dibelokkan ke Gelang-Gelang, Kediri.
Itulah saat yang paling tepat untuk menyelamatkan Gayatri sekaligus
membalas dendam atas penghancuran yang terjadi terhadap negara
leluhurnya, Singasari. Akan tetapi, dalam penyerbuan itu pasukan dari Tartar harus
menelan bencana. Dengan jitu, Raden Wijaya dan anak buahnya
menyerang pasukan Tartar yang sedang dalam keadaan terlena karena
pesta pora dan mabuk. Para panglima tentara Tartar, antara lain Shihpi, Kau Hsing, dan Iheh-Mi-Shih harus menerima nasib sangat pahit
karena ketika kembali ke Tartar harus menghadapi hukuman mati dari
rajanya. Kubhilai Khan harus menelan pilis 213 pahit dan amarah setelah
jauh sebelumnya, Meng-khi, utusan yang dikirim ke Singasari pada tahun
1289 dipotong telinganya oleh Prabu Sri Kertanegara. Permintaannya
agar Singasari mengakui kekuasaan Cina ditolak dan tulisan penolakan
dipahatkan di dahi Meng-khi.
212 Ratna Sutawan, setelah Gayatri menjadi tawanan, oleh Prabu Jayakatwang, ia diberi nama Ratna Sutawan. Kidung Panji Wijayakrama menyebut, menghadapi Gayatri yang demikian cantik jelita, Prabu Jayakatwang diam-diam jatuh hati.
213 Pilis, Jawa, pil Hamukti Palapa 395 25 H ening kembali menyita semua perhatian di bilik pribadi Ibu
Suri Gayatri. Tidak berkedip Gajah Mada dalam menyimak apa yang
dituturkan Ibu Suri Gayatri. Berbeda dengan yang lain, perhatian Patih
Gajah Mada sangat terpusat pada sosok bernama Arya Wiraraja yang
dianggapnya sebagai biang kekacauan. Arya Wiraraja boleh dikata dalang
yang bermain di belakang layar. Hanya dengan mengipasi, Arya Wiraraja
telah mendorong Jayakatwang menyerang Singasari. Dalam penyerbuan
menusuk dari belakang itu telah jatuh banyak korban. Ribuan rakyat di
Mameling terbunuh, demikian juga dengan ribuan rakyat di Singasari,
termasuk raja dan beberapa pejabat penting istana.
Lalu, dengan ringannya seolah tak bersalah, Bupati Sungeneb
itu berbalik. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Arya Wiraraja
menempatkan diri di belakang Raden Wijaya.
Arya Wiraraja memberi saran kepada Raden Wijaya untuk menyerah
sebagai bagian dari siasat besar yang didalanginya. Setelah ia meruntuhkan
Singasari sebagai pembalasan rasa sakit hatinya kepada Sri Kertanegara
dengan meminjam tangan Jayakatwang, melalui permainan di belakang
layar pula, Arya Wiraraja mengatur serangan balasan pada Kediri yang
semula justru didalanginya.
Untuk semua itu, Arya Wirarajalah orang yang telah mengundang
masuk pasukan dari Tartar untuk menyerbu Jawa. Seorang pelaut
dikirim dari Sungenep untuk menyerahkan sebuah surat undangan
kepada Kubhilai Khan. Undangan yang bukan sembarang undangan.
Namun, itulah undangan iming-iming akan mendapat anugerah putri
cantik. Diminta kepada Raja Kubhilai Khan untuk menyerbu Jawa. Jika
Kubhilai Khan kemudian mengirim pasukan, hal itu dilakukan bukan
karena iming-iming akan mendapat persembahan gadis cantik, melainkan
lebih karena membalas perbuatan Sri Kertanagera yang telah memotong
telinga Meng-khi. 396 Gajah Mada "Sayang, Arya Wiraraja telah mati. Kalau masih hidup aku pasti
mendatangi untuk mem- belejeti otaknya," ucap Gajah Mada di dalam
hati. Arya Tadah yang duduk mematung tidak berbicara apa pun.
Demikian pula dengan Gagak Bongol, yang merasa sangat beruntung
bisa menyimak cerita yang langsung dituturkan oleh pelaku sejarah. Prabu
Putri Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa menyimak dengan mata amat iba
karena kinilah saatnya ia tahu penderitaan macam apa yang dialami oleh
ibunya ketika menjadi tawanan di Gelang-Gelang. Di sebelahnya, sang
suami juga tak punya niat menyela sedikit pun. Disimaknya dongeng
Ibu Suri Gayatri dengan penuh perhatian.
Jika Raden Cakradara duduk di atas kursinya, berbeda dengan apa
yang dilakukan sang istri yang justru duduk di lantai. Prabu Putri Sri
Gitarja Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani duduk bersimpuh amat
dekat dengan kaki dua ibundanya. Ibu Suri Tribhuaneswari yang semula
lebih banyak memejamkan mata kini duduk tegak, matanya menyala
memelototi semua kejadian di masa silam.
"Bencana sangat mengerikan itu nyaris aku alami lebih kurang
beberapa pekan sebelum penyerangan dengan bala bantuan dari Tartar
dilakukan. Saat itu malam hari, langit sedang mendung. Aku yang telah
berganti nama menjadi Ratna Sutawan sedang berada di bilik pribadiku,
yang merupakan bagian dari taman keputren.?"
Ibu Suri Gayatri mememejamkan mata, menenggelamkan diri ke
wilayah kenangan yang menjadi bagian dari masa lalunya.
Hujan sedang turun mengguyur segala penjuru sejak datangnya
petang hingga malam penuh gelap gulita. Kentongan mulai mengoyak
malam karena beberapa tempat terendam banjir dan membutuhkan
bantuan. Dalam keadaan yang demikian, Gayatri menderita batin luar biasa.
Tiap hentakan petir yang menyobek udara dan memuncratkan kilat selalu
menggiring kenangannya kepada ayahanda yang telah tiada. Sekali lagi
muncrat kilat disusul guntur membelah udara akan menggiring kerinduan
Hamukti Palapa 397 Gayatri pada saudara-saudaranya, dan tumbuh pertanyaan bagaimana
dengan nasib mereka. Ketukan di pintu selalu membuat Gayatri merasa was-was, demikian
pula ketika di tengah gelap gulita itu tiba-tiba terdengar pintu diketuk.
"Siapa?" tanya Gayatri dengan suara tertelan.
"Aku, Raden Ayu," terdengar sebuah jawaban.
Mendengar dan mengetahui siapa orang yang mengetuk pintu,
Gayatri bergegas membuka dan bergegas pula menutup kembali.
Seorang emban abdi istana datang membawa makanan dan buahbuahan. Usianya sedikit lebih tua dari Gayatri dan bertubuh gemuk.
"Apa yang kaubawa, Rukmini?" tanya Gayatri.
Emban Rukmini meletakkan nampan di atas meja dan mengambil
lampu ublik yang menyala mendrip-mendrip 214 untuk menerangi semua jenis
makanan yang dibawa. Emban Rukmini terlonjak ketika petir kembali meledak sangat keras
dan serasa terjadi di jarak yang amat dekat.
"Apa yang terjadi dengan Dewa Hujan sehingga demikian marah?"
Gayatri yang seperti tengah melamun itu, kemudian mendongak,
perhatiannya tercuri. "Apa katamu?" tanya Gayatri.
"Dewa Hujan demikian marah, banjir di mana-mana, bahkan alunalun berubah menjadi laut setinggi lutut."
"Menurutmu, Dewa Hujan sedang marah?"
"Ya," jawab Emban Rukmini.
Tak ada perubahan apa pun di wajah Gayatri meski ia merasa
sependapat dengan apa yang dikatakan emban gemuk itu. Dewa di langit
layak merasa marah. Hyang Widdi tentu tak akan memaafkan perbuatan
214 Mendrip-mendrip, Jawa, kondisi lampu menyala kecil sekali, serasa akan mati tertiup angin 398
Gajah Mada yang dilakukan oleh Prabu Jayakatwang yang telah merebahkan pilar
Istana Singasari dan membunuh ayahnya.
Teganya Prabu Jayakatwang menusuk dari belakang. Sudah begitu,
pandangan mata penguasa Gelang-Gelang itu seperti akan menelannya,
menunjukkan hasrat dan nafsu yang diperlihatkan dengan terangterangan. "Aku tidak ingin makan," kata Gayatri. "Untukmu saja, Rukmini!"
Emban Rukmini memandang Gayatri beberapa jenak.
"Raden Ayu makan sedikit sekali, bagaimana Raden Ayu tidak mau
makan?" Gayatri tersenyum. "Siapa yang menyuruh mengirim makanan ini?" tanya Gayatri.
"Tuan Putri Permaisuri yang menyuruh!" jawab Emban Rukmini.
Gayatri memandangi makanan yang khusus dikirim untuknya, ada
pisang matang dan ada beberapa masakan yang semua mengundang
selera. Namun, minatnya sama sekali tidak ada meski sebenarnya Gayatri
merasa lapar karena belum makan nasi sejak pagi. Sepotong pohung
direbus dan sebutir telur ayam rupanya sudah cukup menjadi ganjal


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perut sepanjang hari hingga malam.
"Adakah berita terbaru yang bisa kauberikan kepadaku, Rukmini?"
tanya Gayatri. "Ada, Raden Ayu. Sekelompok prajurit yang ditugasi mengejar
Raden Wijaya telah kembali."
Gayatri terpancing minatnya.
"Bagaimana nasib Raden Wijaya?" tanya Sekar Kedaton bernasib
malang itu. "Sayang sekali, aku tak memperoleh kabarnya. Patih Mundarang
bersama Lurah Prajurit Jaran Guyang telah pulang. Akan tetapi, tak
ada Raden Wijaya bersama mereka, tak tampak tawanan yang dibawa
pulang." Hamukti Palapa 399 Amat sulit bagi Gayatri untuk menerjemahkan keadaan itu.
Terlampau sulit bagi Sekar Kedaton Gayatri untuk mencoba menerka
bagaimana nasib kakak-kakaknya, semua serba gelap gulita.
Keadaan yang demikian itu sungguh sangat menyiksa batinnya.
Apalagi kini, ia dihadapkan pada sikap Prabu Jayakatwang yang aneh
kepadanya. Dari matanya, sangat jelas terlihat minat Raja Jayakatwang
terhadap kecantikannya. Anugerah penggantian namanya menjadi Ratna
Sutawan menjadi pertanda buruk.
Malam menukik kian tajam, hujan pun telah mereda, bahkan
perubahan mencolok terjadi. Malam yang semula digelut mendung tebal
berubah menjadi terang benderang. Ketika bulan purnama memperoleh
celah menerobos mendung yang terbelah, itulah awal dari menyibaknya
mendung yang tersapu ke utara. Angin membuangnya ke atas Laut Jawa.
Dalam keadaan yang demikian, terjadi pembicaraan antara dua orang
lelaki yang terjadi tak jauh dari kandang kuda Istana Gelang-Gelang.
"Menurutmu, aku layak beristri lagi?" tanya orang pertama.
Orang pertama itu tidak sedang mabuk, pikirannya sangat waras
dan sebenarnya ia sedang letih setelah menempuh perjalanan yang
demikian jauh. "Ya," jawab orang kedua yang sedang mabuk. "Ki Patih sangat
layak punya istri lagi."
Yang dipanggil dengan sebutan Ki Patih itu tidak lain adalah Mahisa
Mundarang, laki-laki mabuk di depannya adalah Lurah Prajurit Jaran
Guyang. "Yang aku dengar, Sang Prabu berminat kepadanya. Bahkan, Sekar
Kedaton Istana Singasari itu sudah dianugerahi nama baru, Ratna
Sutawan." "Didahului saja!" kata Jaran Guyang.
Usulan itu menjadikan udara yang sudah hening makin hening.
Patih Mahisa Mundarang yang sedang terpesona oleh kecantikan
Sekar Kedaton Singasari sibuk menimbang usulan yang baru saja
diterimanya. 400 Gajah Mada Pada awalnya, Mahisa Mundarang berharap akan mendapat anugerah
memiliki Sekar Kedaton Singasari. Apalagi, jika ia berhasil menangkap
Raden Wijaya dan menyeretnya ke Gelang-Gelang. Namun, rupanya
tidak hanya dirinya yang tertarik kepada Sekar Kedaton Singasari. Sri
Baginda Prabu Jayakatwang ternyata juga tertarik kepada gadis itu.
"Minumlah, Ki Patih!" kata Lurah Prajurit Jaran Guyang menawarkan
tuak dalam bumbung yang dipegangnya.
Jika semula Patih Mundarang hanya memandangi bumbung itu,
akhirnya Patih Mundarang mendekat dan menerimanya. Beberapa teguk
langsung ia minum dengan agak ceroboh, menyebabkan pakaiannya
basah. Namun, Patih Mundarang tak peduli, lagi dan lagi Patih Mundarang
mengisi perutnya dengan minuman yang bisa menyebabkan orang lupa
diri itu. Namun, karena pada dasarnya Patih Mundarang sudah terbiasa
minum jenis minuman itu, pengaruhnya tidak segera tampak.
"Aku harus memiliki Gayatri," ucap Patih Mundarang.
"Aku sependapat, Ki Patih. Tunggu apa lagi?" jawab Lurah Prajurit
Jaran Guyang memanasi. "Gadis itu sangat cantik untuk aku biarkan berlalu begitu saja!"
tambah Patih Mundarang lagi.
"Padahal, Sang Prabu juga suka, dahului saja!"
Patih Mundarang melangkah mondar-mandir. Setelah maju, berbalik
mundur lagi, maju lagi, lalu mundur lagi. Setelah menimbang, akhirnya
Patih Mundarang pergi dari tempat itu. Lurah Prajurit Jaran Guyang
tak berbicara lagi. Prajurit yang pernah tertimpa kuda itu pilih mencari
tembok untuk sandaran. Dengan bersandar, Lurah Prajurit Jaran Guyang
kembali menenggak tuaknya.
Malam menusuk makin tajam ketika ketukan sekali lagi mengagetkan.
Sekar Kedaton Singasari Gayatri, yang mulai merasa mengantuk bergegas
membuka mata dan mengoyang lengan Emban Rukmini yang tidur di
sebelahnya. "Ada apa, Raden Ayu?" tanya Emban Rukmini.
Hamukti Palapa 401 Suara ketukan di pintu terdengar lagi.
"Kaudengar itu?"
"Siapa?" Emban Rukmini berteriak.
"Ini aku, tolong bukakan pintu."
Emban Rukmini mengenali suara itu, dan bergegas turun.
"Jangan!" cegah Gayatri yang langsung merasa cemas.
Sebagaimana Emban Rukmini, Gayatri juga mengenal pemilik suara
itu. Di tengah malam seperti itu, pemilik wajah sangar menakutkan
itu datang minta dibukakan pintu, tentulah dengan membawa maksud
buruk. "Tidak apa-apa, Raden Ayu. Patih Mundarang tentu membawa
pesan penting. Aku akan bukakan pintu," ucap Emban Rukmini.
Emban Rukmini sama sekali tidak peduli pada ketakutan yang
dialami Gayatri. Emban Rukmini bergegas menuju pintu dengan Gayatri
berusaha sekuat tenaga menghalanginya. Namun, Emban Rukmini
memiliki tenaga yang lebih kuat. Dengan sekali dorong, Gayatri bahkan
terjatuh. Terang benderang yang menerangi ruangan itu manakala pintu
dibuka lebar, berasal dari cahaya sasadara purnama yang menerobos
masuk. Sungguh langit menjadi sangat bersih setelah sebelumnya diguyur
hujan demikian deras. "Keluarlah!" ucap Patih Mundarang ditujukan kepada Emban
Rukmini. Gayatri merasa cemas bencana mengerikan akan terjadi.
"Maksud, Ki Patih?" tanya Emban Rukmini.
Patih Mundarang memerhatikan wajah Emban Rukmini dengan
rasa heran. Baginya perintah itu sudah sangat jelas.
"Tinggalkan tempat ini, aku ada urusan penting dengan Gayatri!"
Patih Mahisa Mundarang berbicara tegas.
402 Gajah Mada Gayatri yang merasa cemas meletup, "Jangan, jangan pergi, Mbakyu
Emban Rukmini. Jangan tinggalkan aku!"
Dengan terheran-heran, Emban Rukmini memerhatikan raut muka
Patih Mundarang. Dari semburan napasnya, Emban Rukmini tahu Patih
Gelang-Gelang itu sedang dalam keadaan mabuk.
"Ki Patih mau apa?" tanya Emban Rukmini.
"Bukan urusanmu," jawab Patih Mundarang.
Dari yang semula masih dibelit oleh rasa kantuk, Emban Rukmini
mulai utuh kesadarannya dan membaui sesuatu yang mencemaskan.
"Ki Patih," kata Emban Rukmini, "sebaiknya Ki Patih kembali ke
kepatihan. Ini tengah malam, untuk apa Ki Patih datang ke sini?"
Patih Mundarang menatap wajah Emban Rukmini dengan raut
muka tidak senang. Kepada siapa pun yang berani menghalang-halangi
keinginannya, kepadanya Patih Mundarang akan memandang dengan
tatapan tidak senang. Apalagi, jika keinginan itu adalah menjamah
perempuan cantik, yang jika tidak terlampiaskan, akan menyebabkan
kepala pusing sebelah. "Jangan banyak bertanya dan ingin tahu urusan orang. Pergilah,
jangan ganggu aku." Emban Rukmini menyesal telah membukakan pintu. Dengan
bergegas, emban itu menempatkan diri menghadang apa yang akan
dilakukan Patih Mundarang.
"Tidak boleh!" kata Emban Rukmini garang.
Rupanya sebagai sesama perempuan, Emban Rukmini tak bisa
menerima apa yang akan dilakukan Patih Mundarang. Meski Gayatri
seorang tawanan, tak layak ia diperlakukan seenaknya. Sekar Kedaton
Singasari Gayatri menempatkan diri bersembunyi di belakangnya,
jantungnya tak lagi bisa dikendalikan. Sekar Kedaton sulit membayangkan
apa yang terjadi jika bencana itu benar-benar mendatanginya.
"Pergilah Rukmini, aku membutuhkan perempuan itu," kata Patih
Mundarang lebih garang. Hamukti Palapa 403 "Membutuhkan untuk apa?" balas Emban Rukmini tak kalah
garang. Namun, segarang apa pun, Emban Rukmini tetaplah seorang
perempuan yang dalam hal otot atau tenaga kalah dibanding Patih Mahisa
Mundarang. Ketika orang kedua di Gelang-Gelang itu maju berusaha
menggapai Gayatri, Emban Rukmini dengan gagah berani berusaha
menghalangi. Namun, apa yang bisa dilakukan emban itu. Dengan sekali
dorong, Emban Rukmini terjengkang menghantam dinding dengan
amat keras. Patih Mundarang tidak perlu mengulang mendorong. Emban
Rukmini memasuki wilayah tidak sadarkan diri. Demikian kepalanya
menghantam dinding, Emban Rukmini pun semaput.
Betapa panik Gayatri mendapati keadaan yang sangat gawat itu.
Tanpa perlu berbicara apa pun, Patih Mahisa Mundarang mempersiapkan
diri untuk melampiaskan nafsunya.
Mahisa Mundarang melepas pakaian yang dikenakan dan siap untuk
berlaga. Tersudut tanpa bisa menghindar, Gayatri merasa dunia akan
kiamat. Jika nista menimpanya melalui pemerkosaan yang dilakukan
Patih Gelang-Gelang, Gayatri tak melihat lagi apa gunanya hidup.
Mati mungkin jauh lebih terhormat daripada hidup dengan
menyangga beban berat seperti itu. Itulah sebabnya, Gayatri tidak
merasa ragu lagi untuk mengeluarkan patrem 215 dari balik bajunya.
Patih Mundarang boleh saja menjamah tubuhnya, tetapi tubuh setelah
kehilangan nyawa. Menggigil Gayatri ketika Mahisa Mundarang melangkah mendekat
dengan liur meleleh di bibirnya. Tinggal selangkah lagi tangan kekar
itu akan menggapainya. Gayatri yang tersudut benar-benar tidak punya
celah untuk menyelamatkan diri. Patrem beracun warangan itu siap bicara,
syukur-syukur kalau bisa melukai pelakunya.
215 Patrem, Jawa, keris kecil yang didesain untuk perempuan. Dalam banyak peristiwa, patrem justru lebih digunakan perempuan untuk bunuh diri daripada ternista diperkosa.
404 Gajah Mada Namun, langkah kaki Mahisa Mundarang mendadak ada yang
merintangi. Sesuatu yang janggal menyentuh gendang telinganya.
"Bayi menangis" Bayi siapa itu?"
Mahisa Mundarang berbalik. Kesempatan itu dipergunakan Gayatri
beringsut ke pojok ruang. Gayatri bahkan menempatkan diri di samping
tempat tidur. Perempuan malang itu berpikir, kolong pembaringannya
akan menyelamatkan kehormatannya dari jangkauan Patih GelangGelang itu. Suara bayi menangis itu terdengar sangat jelas. Mahisa Mundarang
terkejut ketika mengenalinya. Setidaknya suara bayi menangis itu
lebih mencuri perhatian daripada keinginannya menumpahkan nafsu.
Bergegas, Mahisa Mundarang membuka pintu untuk melihat siapa yang
berada di luar. Di depan pintu, seorang lelaki sedang menggendong bayi. Dalam
gendongannya, bayi itu ternyata tidak aman, sebuah pisau tampak
berkilat-kilat ditimpa cahaya bulan.
"Telah kuikuti rencanamu sejak kau melangkah ke luar dari
rumahmu. Berani kauganggu perempuan itu, bayi ini akan mati!" ucap
orang itu. Mahisa Mundarang gemetar, gesekan gigi di barisan rahang atas
terhadap rahang bawah menimbulkan suara berderak-derak. Bayi berusia
belum genap setahun yang menangis keras itu menyita perhatiannya.
Mahisa Mundarang kini merasa keselamatan bayi itu jauh lebih penting
daripada rencananya semula menikmati tubuh Sekar Kedaton Istana
Singasari. "Siapa kamu?" tanya Mahisa Mundarang.
Wajah pembawa bayi itu terlihat dengan jelas.
"Tidak perlu tedeng aling-aling. Aku Wirota Wiragati. Aku maling
yang amat kejam. Aku tak akan segan-segan membunuh anakmu jika
kau berani menjamah Sekar Kedaton Singasari. Terus terang, aku merasa
heran, Ki Patih. Rupanya ingatanmu sangat buruk, sebelumnya kita
pernah bertemu." Hamukti Palapa 405 Dengan saksama, Patih Mahisa Mundarang berusaha memerhatikan
wajah laki-laki di depannya dan berusaha mengingat-ingat. Akan tetapi,
pemilik wajah tampan yang bisa terlihat dengan jelas oleh terang cahaya
obor dan bulan itu belum pernah dikenalnya. Mahisa Mundarang
berusaha mengingat-ingat, tetapi tak ada kenangan apa pun terkait
orang itu. Belum sekalipun Mahisa Mundarang merasa pernah bertemu,
padahal pertemuan itu terjadi dalam pertempuran di bawah pimpinan
Raden Wijaya. Sekembali dari penyerbuan di Mameling dan terkejut
melihat Istana Singasari terbakar, Wiragati bersama-sama Raden Wijaya
dan segenap prajurit pendukungnya harus lari lintang pukang diburuburu oleh Mahisa Mundarang dan anak buahnya.
Jika Wirota Wiragati bisa menandai wajah Mahisa Mundarang,
sebaliknya tidak demikian dengan Mahisa Mundarang.
"Di mana kita pernah bertemu?" tanya Mahisa Mundarang.
Ternyata benar, Patih Mahisa Mundarang lupa. Justru karena itu,
Wirota Wiragati tidak berniat membuka jati dirinya. Dengan tersenyum,
Wirota Wiragati memutar pisau di tangannya. Bayi dalam pelukannya
menangis keras, tentu karena rasa sakit akibat Wirota Wiragati
mencubitnya. Tangis itu sungguh membuat ayahnya merasa panik.
Ketika Mahisa Mundarang bermaksud mendekat, Wirota Wiragati
mengangkat belatinya. Mahisa Mundarang merasa jantungnya akan pecah,
tetapi ia tidak mampu melakukan apa pun. Pandangan matanya tertuju
pada sebilah pisau di tangan laki-laki yang mengaku maling bernama
Wiragati itu. Bayi itu menangis keras dan mencemaskan hatinya.
"Bagaimana kau bisa mencuri anakku?" tanya Mahisa Mundarang.
Pertanyaan yang dilontarkan itu terdengar sangat bodoh di telinga
Wirota Wiragati. Akan tetapi, Patih Mahisa Mundarang layak merasa
heran karena ada banyak prajurit yang bertugas menjaga keamanan
istana kepatihan. Sebagaimana istana raja, istana kepatihan dikelilingi dinding yang
tinggi dan menyulitkan siapa pun yang berniat masuk dengan cara tidak
406 Gajah Mada benar. Sejak penyerbuan ke Singasari, istana raja dijaga ketat untuk
menghadapi kemungkinan serangan balasan. Demikian juga dengan
kepatihan, ada puluhan prajurit yang berjaga-jaga memagari istana.
Bahkan, hujan yang turun demikian deras tak menyebabkan para prajurit
terlena, semuanya berada dalam kesiagaan tertinggi.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, Wirota Wiragati memiliki penjelasannya.
"Bukankah sudah aku bilang, aku adalah seorang maling. Akulah
Maling Wirota Wiragati yang telah malang melintang di sepanjang pantai
Jawa. Namaku dikenal orang mulai dari barat di Alas Roban, membentang
sampai ke timur di Bajulmati. Nama Maling Wirota Wiragati amat ditakuti
orang-orang kaya, terutama mereka yang mengumpulkan kekayaan
dari ketamakan. Tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi
kehadiranku, tidak juga rumahmu. Istrimu saat ini sedang tidur pulas
dan tidak menyadari kehilangan anaknya, demikian pula dengan para
prajurit anak buahmu yang menjaga kepatihan, tak seorang pun yang
terjaga. Lebih dari itu, sejak sekarang, bersiaplah untuk bekerja keras
lagi, hartamu sudah aku kuras habis tanpa sisa."
Jika Mahisa Mundarang merasa kepalanya akan meledak, itulah
saatnya hal itu akan terjadi. Perhatiannya lalu tertuju pada buntalan
kain berwarna hitam yang berada di punggung orang yang mengaku
maling itu. Suara gemerincing terdengar ketika orang yang menculik anaknya
itu menggoyangnya, tentulah karena buntalan itu berisi uang dan semua
perhiasan kekayaan yang dimilikinya. Apalagi, ketika orang yang mengaku
maling itu mengeluarkan seuntai kalung berwarna emas kekuningan.
Akan tetapi, lagi-lagi Mahisa Mundarang tidak punya pilihan.
Dipaksa oleh keadaan, Mahisa Mundarang harus menahan diri karena
amat sadar, jika ia tak mampu menguasai diri, anaknya bisa berada
dalam bahaya. Jika tersudut, maling tampan itu pasti akan memanfaatkan anaknya
sebagai tameng atau sandera. Tanpa ragu-ragu, Wirota Wiragati
mendekati Gayatri. Mahisa Mundarang benar-benar mati kutu. Mahisa
Mundarang pun menyibak, memberi jalan.
Hamukti Palapa 407 "Bagaimana keadaanmu, Tuan Putri?" pertanyaan itu ditujukan
kepada Gayatri. Manakala ada orang yang berpihak kepadanya meski orang itu baru
dikenalnya, tak ada keraguan secuil pun bagi Gayatri untuk menempatkan
diri di belakangnya. Mahisa Mundarang memandang tak berkedip, tangannya mengepal
dan napasnya mengombak dengan deras, mirip gempuran ombak laut
selatan yang menerjang tebing susul-menyusul tak berkesudahan.
"Selembar saja rontok rambut anakku," ancamnya, "kau akan mati
melalui cara paling mengerikan dan tak pernah terbayangkan."
Wirota Wiragati hanya tertawa terkekeh.
Ketika kesadarannya kembali utuh dan nalarnya kembali jalan, Patih
Mundarang segera bertindak. Patih Mundarang yang tidak berpakaian
di tubuh bagian atas dan hanya mengenakan cawat, berjalan mundur
menuju pintu. Akan tetapi, Wirota Wiragati bisa menebak apa yang ada
di benaknya dan apa yang akan dilakukan.
"Kau akan memanggil bala bantuan, Ki Patih?" tanya Wirota
Wiragati. Terhenti langkah Patih Mundarang, jantungnya akan pecah melihat
pisau di tangan penculik anaknya itu diayun-ayunkan.
"Tetapi, silakan saja!" kata Wirota Wiragati. "Aku sama sekali
tidak keberatan dengan kehendak Ki Patih yang satu itu. Silakan pukul
kentongan atau lepas anak panah sanderan. Silakan panggil para prajurit,
silakan juga panggil Raja Gelang-Gelang kemari. Ayo, lakukan, Ki
Patih." Patih Mundarang menganggap ucapan itu sebagai ancaman yang
artinya, jika ia berani memukul kentongan, anaknya akan mati. Oleh
karena itu, Patih Mahisa Mundarang membatalkan niatnya.
Namun, melihat itu, Wirota Wiragati justru membentak.
"Cepat pukul kentongan, Ki Patih. Aku ingin semua orang ke sini
atau anakmu akan mati!"
408 Gajah Mada Patih Mundarang bingung. "Masih belum jelas perintahku" Cepat pukul kentongan atau
anakmu akan mati!" Patih Mundarang bingung, setidaknya merasa aneh karena maling
itu justru ingin dikepung rapat.
"Keluar kau, dan pukul kentongan! Aku ingin semua orang ke sini."
Patih Mahisa Mundarang kembali melangkah mundur dan langsung
bergegas ke arah kentongan yang tergantung di halaman. Sejenak
kemudian, hening malam itu koyak oleh suara titir yang dipukul keras
dan beruntun. Segenap prajurit yang menjaga istana terkejut dan
bertindak. Di dalam biliknya, Prabu Jayakatwang yang sedang merancang
pembuatan karangan yang akan diberinya judul Kidung Wukir Polaman 216
terkejut. Prabu Jayakatwang bangkit berdiri. Permaisuri Sang Prabu yang
bernama Turuk Bali terbangun dan bergegas mendatangi suaminya.
"Suara kentongan?"
Prabu Jayakatwang memerhatikan keadaan dengan cermat. Suara
kentongan itu menyampaikan pesan pertanda ada bahaya. Sejenak
kemudian kentongan itu berbalas dari tempat lain. Karena dipukul
bertalu dan beruntun penuh semangat, kentongan itu kembali berbalas
dari tempat lain dan tempat lainnya lagi. Seketika, mencuat alis Raja
Gelang-Gelang. "Serangan balasan dari Singasari?" meletup kecemasan Prabu
Jayakatwang. Prabu Jayakatwang keluar dari biliknya dan melihat para prajurit
yang mengurusi ketenangan istana berlarian menuju ke sumber suara.
Dari asalnya, Raja Gelang-Gelang segera menarik simpulan, sumber
suara ternyata berasal dari keputren.
216 Kidung Wukir Polaman, judul kidung yang ditulis oleh Jayakatwang selama menjadi tawanan kelak setelah diringkus oleh pasukan Tartar.
Hamukti Palapa 409 "Suara itu dari arah keputren," ucap Jayakatwang.
Justru karena itu, Permaisuri Turuk Bali mendadak merasa cemas.
"Ratna Sutawan?"
Bergegas Permaisuri Narrarya Turuk Bali mengayunkan langkah
tanpa keraguan. Tidak seperti suaminya yang berpikir adanya serangan
balasan dari Singasari, Permaisuri Turuk Bali hanya berpikir keselamatan
keponakannya. Ia bukannya tak tahu gelagat aneh dari cara memandang
yang dilakukan Sang Prabu Jayakatwang kepada Gayatri. Diam-diam
Permaisuri Nararrya Turuk Bali sudah merancang bagaimana cara
menggagalkan niat suaminya itu sekaligus melindungi Gayatri dari
kemungkinan berada dalam bahaya. Kecantikan Gayatri menjadi
penyebab bahaya mendekatinya.
Dengan sekuat tenaga, Patih Mahisa Mundarang mengayunkan
pemukul kentongan yang menggantung di halaman keputren,
mengundang banyak prajurit ke tempat itu. Para prajurit berlarian dan
merasa heran melihat Patih Mundarang yang melakukan itu. Lebih heran
lagi karena mereka mendapati Patih Mahisa Mundarang tidak berpakaian,
padahal udara sedang dingin.
"Ada apa, Ki Patih?" tanya seorang prajurit.
"Ada maling masuk dan bersembunyi di keputren."
Perhatian para prajurit tertuju ke keputren. Patih Mundarang
menggigil manakala melihat pintu telah tertutup rapat dan tak mudah
untuk membukanya karena pintu bangsal keputren terbuat dari kayu
jati pilihan dan tebal. Jika pintu sudah tertutup dari dalam, untuk
membukanya hanya berharap orang yang berada di dalam yang akan
membuka. "Kepung berkeliling!" kata Mahisa Mundarang. "Jangan biarkan
maling itu lolos dari keputren."
Puluhan prajurit yang berdatangan bergegas menerjemahkan
perintah yang diterima. Kepungan yang sangat rapat yang dilakukan
terhadap bangsal keputren itu menyebabkan mustahil siapa pun yang
410 Gajah Mada terjebak di dalamnya bisa selamat meloloskan diri kecuali bisa ambles
ke dalam bumi. Patih Mundarang yang memerhatikan keadaan, masih mendengar
tangis bayinya. Namun, sejenak kemudian tangis bayi itu mereda. Hal
itu karena bayi itu merasa nyaman berada di pelukan Gayatri.
"Aku mengucapkan terima kasih karena kau telah menolongku!"
kata Gayatri. Wirota Wiragati tersenyum. Gayatri melihat betapa tampan pemuda
yang mengaku maling dan telah menolongnya itu. Wirota Wiragati
menatap dengan pandangan mata amat lekat dan larut, seolah sebuah
pesona sedang membelitnya. Keadaan yang sama dialami oleh
Gayatri. Pandangan pertama melalui pertemuan pertama itu amat
membingungkan karena memunculkan getar yang langsung mengusik
dasar hati. Untuk beberapa saat, Gayatri kehilangan kesadarannya, dan
ketika kesadaran itu kembali, Gayatri bingung dan tersipu.
"Tuan Putri Sekar Kedaton," kata Wirota Wiragati. "Apakah saat
ini Tuan Putri Sekar Kedaton dalam keadaan baik?"
Pertanyaan yang dilontarkan Wirota Wiragati itu sangat santun.
"Apakah menurutmu, aku dalam keadaan baik?" balas Gayatri
sambil mengelus-elus kepala bayi dalam pelukannya.
Dengan kehangatan yang diberikannya, bayi anak Patih Mundarang
yang nyaris memerkosanya itu bahkan tertidur. Ingar-bingar macam apa
pun yang terjadi rupanya tak akan berpengaruh apa pun pada bayi yang
belum genap berusia setahun itu. Naluri keibuan Gayatri membuatnya
tak peduli bayi itu anak siapa.
"Sebenarnya siapakah kau, Kakang Maling" Mengapa kaupertaruhkan
nyawa dan keselamatanmu untuk menolongku?" tanya Gayatri.
Wirota Wiragati mendekat ke dinding. Melalui celah, ia melihat
telah hadir banyak prajurit yang mengepung rapat depan, belakang,
dan samping. Mendapati dirinya telah terkepung rapat, Wirota Wiragati
tersenyum. Hamukti Palapa 411 "Aku datang ke sini mengemban tugas, Tuan Putri Sekar Kedaton!"
kata Wirota Wiragati. "Mengemban tugas" Tugas dari siapa dan apa?"
"Raden Wijaya yang menugasiku!"
Gayatri amat terkejut. "Kakang Narrarya Sanggramawijaya?"
Wirota Wiragati mengangguk. Seketika berbinar mata Gayatri.
Dengan amat takjub Sekar Kedaton Singasari itu memandang pemuda
tampan di depannya. Rambut pemuda itu dibiarkan terurai tidak digelung
keling. Matanya tajam dan berkilat-kilat. Satu hal yang membuat Gayatri
terpesona adalah senyumnya. Senyum sedikit meremehkan dengan
barisan gigi rapi dan putih bersih.
"Aku datang dengan tugas menyelamatkan Tuan Putri. Aku harus
membawa lari Tuan Putri dari tempat ini. Aku juga mengemban tugas
mengukur dan melihat kesiapan prajurit Gelang-Gelang."
Gayatri meniru apa yang dilakukan Wirota Wiragati. Dari sebuah
celah, ia mengintip apa yang terjadi di luar. Dari celah itu terlihat oleh
Gayatri puluhan prajurit dengan senjata lengkap. Ada yang membawa
anak panah, ada yang menyiagakan tombak panjang, dan ada pula
yang telah menelanjangi pedang panjang. Ada di antara prajurit yang
mengepung keputren itu yang bermain-main dengan senjata yang tak
lazim, cambuk terjuntai panjang sehingga menimbulkan bunyi meledak
menggetarkan udara. Untuk bertempur, senjata macam itu tak ada
manfaatnya. Lain halnya jika digunakan menyiksa, setiap ayunan di
punggung memang akan meninggalkan jejak sakit yang luar biasa.
"Bagaimana keadaan Kakang Raden Wijaya" Bagaimana pula
dengan saudaraku yang lain" Kangmbok Ayu Tribhuaneswari?" tanya
Gayatri tidak sabar. Wirota Wiragati masih tetap mengintip keadaan di luar.
"Saat ini semua berada dalam keadaan selamat di Madura dalam
perlindungan Bupati Wiraraja di Sungeneb, Tuan Putri. Raden Wijaya,
412 Gajah Mada Sekar Kedaton Tribhuaneswari, demikian pula dengan Sekar Kedaton
Narendraduhita dan Sekar Kedaton Pradnya Paramita, tak kurang suatu
apa. Mereka semua dalam keadaan selamat."
Gayatri menghela tarikan napas amat lega. Setelah sekian lama huruhara terjadi di Singasari yang meminta korban kematian orang tuanya,
inilah saat pertama kali ia memperoleh kabar yang sangat melegakan.
Saudara-saudaranya yang lain ternyata berada dalam keadan selamat.
Gayatri kembali memejamkan mata untuk menikmati kabar yang
sungguh melegakan hati itu.
"Jadi, kau adalah suruhan Kakang Raden Wijaya untuk mencuriku?"
Wirota Wiragati mengangguk.
Gayatri menengadah sambil mengayun-ayun bayi dalam pelukannya.
Apa yang diberikan Gayatri ternyata merupakan jawaban yang
mengejutkan. Gayatri menggeleng. Sekali lagi dan dengan tegas, Gayatri
menggeleng sebagai jawaban tidak bersedia.
"Sebenarnya bukan dengan cara dicuri ini yang aku inginkan,"
ucapnya. Wirota Wiragati memandang gadis cantik di depannya dengan
segenap rasa penasarannya.
"Apa yang Tuan Putri Sekar Kedaton inginkan?" tanya Wirota
Wiragati. Sejenak Gayatri terdiam. "Aku ingin diperlakukan seperti Shinta yang diculik Rahwana.
Prabu Ramawijaya yang marah datang ke Alengka dengan pasukan segelar
sepapan untuk menghukum apa yang telah diperbuat Rahwana. Demikian
pula dengan Gelang-Gelang. Aku ingin perbuatan Paman Jayakatwang
mendapatkan hukuman. Kematian Ayahanda Prabu Sri Kertanegara
harus dibalas. Istana Gelang-Gelang ini harus diuruk dengan ribuan
mayat, termasuk Sang Prabu sendiri. Istananya harus dibakar menjadi
karang abang sebagaimana dialami oleh Singasari atau sebagaimana
Alengka dibakar oleh Sang Hanuman."
Hamukti Palapa 413 Takjub sekali Wirota Wiragati memandang perempuan di depannya.
Tak disangkanya, Sekar Kedaton Gayatri memiliki semangat yang
membara, semangat yang berasal dari dendam yang membara.
"Tuan Putri akan memilih tetap bertahan di sini?"
"Jika Kakang Raden Wijaya berencana menyerbu GelangGelang sebagai balas dendamnya, aku pilih tetap berada di sini dan
menunggu." Wirota Wiragati berjalan mondar-mandir. Apa yang diperintahkan
Raden Wijaya agaknya tak bisa diterjemahkan dengan baik di lapangan.
Bukan pasukan Gelang-Gelang yang menjadi penghambatnya, tetapi
justru oleh sikap Gayatri sendiri yang malah ingin bertahan.
"Benar Kakang Raden Wijaya akan memberi hukuman pada
Gelang-Gelang?" Wirota Wiragati mengangguk.
"Yang aku tahu, Raden Wijaya saat ini sedang menghimpun
kekuatan untuk sebuah serangan balasan. Untuk menyerbu Gelanggelang tidaklah semudah membalik tangan, dibutuhkan prajurit dalam
jumlah banyak, ribuan."
"Bagus, kalau begitu aku memilih untuk tetap bertahan di sini."
Wirota Wiragati bingung. Dari Raden Wijaya, ia telah menerima
tugas untuk mencuri dan membawa lari Gayatri. Namun, yang hendak
dicuri dan dibawa lari justru memiliki sikap dan kehendak sendiri.
"Tuan Putri Sekar Kedaton Gayatri telah mengalami nasib yang
buruk dan akan tetap dibayangi oleh kemungkinan nasib buruk.


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana Tuan Putri akan tetap bertahan di tempat ini?" tanya Wirota
Wiragati. Gayatri menunduk sejenak, lalu mendongak. Tanpa canggung dan
seolah telah mengenal lelaki di depannya cukup lama, amat lekat Gayatri
dalam menatap wajah laki-laki itu.
"Aku telah banyak belajar," kata Gayatri. "Jika aku mengalami hal
seperti tadi, aku akan bunuh diri. Kalau Muhisa Mundarang berniat
414 Gajah Mada mengulangi rencananya, akan aku benamkan sebuah cundrik 217 beracun
ke dadaku. Mereka yang ingin tubuhku hanya akan memperoleh mayatku.
Demikian pula dengan Prabu Jayakatwang, ia hanya akan memperoleh
mayatku jika berkeinginan menjamah tubuhku."
Wirota Wiragati memandang dengan heran.
"Apakah Sang Prabu Jayakatwang juga pernah akan melakukan
itu?" "Aku melihat nafsunya dari bahasa wajahnya," balas Gayatri.
Wirota Wiragati meletakkan jari tangannya di mulut. Melalui sebuah
celah, ia mengintip untuk mengetahui bagaimana keadaan di luar. Wirota
Wiragati dan Gayatri melihat Prabu Jayakatwang telah turun pula ke
tempat itu. "Ada apa ini?" tanya Prabu Jayakatwang.
"Maling mencuri anakku, Prabu," jawab Mahisa Mundarang
tersengal. "Anakmu?" tanya Prabu Jatakatwang kaget.
"Mahisa Dremba, Prabu!" jawab Mahisa Mundarang.
Prabu Jayakatwang merasa ada yang aneh. Bahwa ada maling yang
mampu menembus penjagaan prajurit kepatihan sungguh sangat aneh.
Lebih aneh lagi maling yang masuk ke istana kepatihan itu menculik
anak Mahisa Mundarang dan ketika maling itu dikejar, ia bersembunyi
di keputren. Kebetulankah semua itu"
"Jadi, kau memergoki maling itu?" tanya Prabu Jayakatwang.
"Benar, Prabu. Ketika kukejar, ia masuk ke keputren. Aku tak
bisa berbuat apa-apa karena maling itu mengancam akan membunuh
anakku." Wirota Wiragati tertawa dalam hati dan berbalik mengarahkan
perhatian kepada Gayatri.
217 Cundrik, Jawa, sama dengan patrem
Hamukti Palapa 415 "Rupanya bayi anak Mahisa Mundarang yang aku culik ini bernama
Mahisa Dremba. Bukankah dremba itu berarti serakah atau doyan makan"
Mengapa Mahisa Mundarang memberi nama anaknya sejelek itu?" tanya
Wirota Wiragati. Gayatri tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu.
"Tuan Putri, ingin sekali lagi aku menawarkan. Marilah Tuan Putri
meloloskan diri dari tempat ini," ucap Wirota Wiragati meluruskan
pembicaraan. Gayatri memandang dengan tatapan mata tajam.
"Aku sudah bulat dengan keputusanku. Setelah mendengar semua
yang Kakang ceritakan kepadaku, aku memilih untuk bertahan di
tempat ini. Aku menunggu pengulangan kembali atas apa yang terjadi
di Alengka." Wirota Wiragati jengkel. "Bukan perkara yang gampang untuk menyerbu tempat ini,
Tuan Putri," kata Wirota Wiragati. "Membutuhkan waktu lama untuk
menghimpun kekuatan, mengumpulkan para pemuda, dan kemudian
melatihnya menjadi prajurit. Tak semudah membalik tangan. Keinginan
Tuan Putri itu hanya menuruti hawa nafsu. Lagi pula, belum tentu
sejarah yang terjadi di kisah Ramayana akan terulang kembali dalam
kehidupan Tuan Putri Sekar Kedaton. Belum tentu Raden Wijaya bisa
menempatkan diri sebagai Prabu Rama dalam menyelamatkan Shinta
karena Raden Wijaya dan Prabu Rama berada dalam kehidupan berbeda.
Silakan bangun dari mimpi, Tuan Putri."
Gayatri memandang Wirota Wiragati dengan menyimpan kecewa.
Namun, Gayatri mampu menerima semua kilah yang dipaparkan Wirota
Wiragati. "Kita telah terkepung," kata Gayatri. "Bagaimana cara Kakang
membawaku keluar dari tempat ini?"
"Yang penting, Tuan Putri Sekar Kedaton harus bersedia hamba
bawa keluar dari tempat ini. Tuan Putri tak perlu menunggu pengulangan
416 Gajah Mada kisah Ramayana. Butuh waktu bertahun-tahun untuk mewujudkan itu.
Keinginan Tuan Putri Sekar Kedaton itu tidak masuk akal dan terlalu
muluk." Sekar Kedaton Singasari yang tertawan itu termangu beberapa jenak.
Ia butuh waktu untuk merenungkan ucapan itu.
"Bagaimana cara kita meloloskan diri dari tempat ini?"
"Kita lihat saja nanti, Tuan Putri!" jawab Wirota Wiragati.
Dalam kebingungannya, Gayatri kian bingung melihat ulah laki-laki
yang akan menolong dirinya itu. Wirota Wiragati kembali meminta bayi
dalam gendongan Gayatri. Gayatri memandang dengan tatapan amat aneh.
"Apakah kau benar-benar akan membunuh anak ini?" tanya Gayatri
dengan suara sangat perlahan.
Maling Wirota Wiragati tersenyum.
"Tentu tidak, Tuan Putri. Namun, barangkali bayi ini merupakan satusatunya pintu yang kita miliki untuk meloloskan diri dari tempat ini."
Para prajurit bersenjata anak panah serentak mengarahkan
bidikannya ketika tiba-tiba pintu berderit terbuka. Dengan tidak
menyimpan keraguan secuil pun, Wirota Wiragati menuju halaman.
Namun, tak seorang pun yang berani bertindak melihat anak Patih
Mundarang berada dalam bahaya.
Wirota Wiragati memecah keheningan dengan tertawa. Mula-mula,
suara tawanya bernada rendah dengan mulut terkatup. Namun, ketika
Wirota Wiragati tertawa dengan membuka mulut, suaranya terdengar
mengombak, menyapa semua orang. Raja Gelang-Gelang yang berdiri
bersebelahan dengan Permaisuri Turuk Bali hanya memandang tanpa
berbicara. Pusat perhatian tertuju kepada Wirota Wiragati. Maling dari pesisir
Keta itu berhenti tertawa. Tanpa keraguan, ia mendekati ayah dari bayi
yang berada dalam gendongannya.
Hamukti Palapa 417 "Bagaimana rasanya, Ki Patih?" tanya Wirota Wiragati.
Patih Mahisa Mundarang bingung, pertanyaan itu agak aneh dan
tidak jelas apa maksudnya. Justru karena itu, ia tidak menjawab.
"Jawablah pertanyaanku, Ki Patih! Sungguh merupakan kebiasaan
buruk jika ditanya tidak menjawab. Aku ingin tahu, bagaimana rasanya
ketika keinginan demikian menggebu, hasrat demikian menggelegak,
tetapi tak menjadi kenyataan. Hasratmu tentu mengerak membatu
menjadi semacam batu akik yang jika diolah bisa menjadi hiasan untuk
sebuah cincin." Merah padam wajah Mahisa Mundarang. Namun, tangannya bagai
terbelenggu. Jika tidak mencemaskan anaknya, tentu dengan sepenuh
kekuatan akan digamparnya pelaku tindak kejahatan berjenis penculikan
bayi itu. Tentu akan disempal tangan-tangan orang itu sampai berpatahan
atau dengan menggunakan tali, ia akan mengikatnya di belakang delapan
ekor kuda klangenannya dan menyeretnya ke arah yang berbeda,
tentu akan berantakan tubuh orang kurang ajar itu. Apalagi, kini ia
melecehkannya, mengoloknya.
Dengan saksama, para prajurit mencari celah yang tepat untuk
menyelamatkan bayi di pelukan penculik itu. Sayang, celah itu bagai
tidak ada. Pisau tajam yang melekat di leher bayi itu memaksa semua
prajurit harus menahan diri. Bagi Mahisa Mundarang, Mahisa Dremba
tentu memiliki nilai sama pentingnya dengan menjaga ketenteraman
Istana Gelang-Gelang. "Aku tidak akan memaafkan perbuatanmu," desis Mahisa Mundarang
terdengar amat jelas. "Kujamin kau pasti akan mati di tanganku."
Ancaman itu ternyata sama sekali tidak menakutkan Wirota
Wiragati. Ia tertawa terkekeh sambil tangan kanannya yang memegang
pisau kembali melekat pada leher bayi di pelukannya. Bayi yang tak
tahu persoalan itu begitu lelap, bahkan bergerak menempatkan diri
pada keadaan yang paling nyaman. Barulah ketika Prabu Jayakatwang
melangkah mendekat, Wirota Wiragati memberikan perhatiannya, suara
tawanya yang terkekeh lenyap.
418 Gajah Mada "Siapa sebenarnya kamu, anak muda, dan apakah yang kaulakukan
di tempat ini" Kamu punya nyali luar biasa besar!"
Wirota Wiragati akan menjawab, tetapi Patih Mundarang
mendahului. "Orang ini maling, Sang Prabu. Ia mencuri harta dan menculik
anakku. Aku memergoki dan mengejarnya, ia lari dan bersembunyi di
tempat ini." Memperoleh jawaban yang memutar balik kenyataan itu
menyebabkan Wirota Wiragati tertawa geli. Namun, sejenak kemudian,
Wirota Wiragati dengan sepenuh kesadaran menghentikan tawanya, bayi
mungil di pelukannya menggeliat.
"Benar, Sang Prabu," Wirota Wiragati berbicara. "Dengan sengaja
aku memang menjatuhkan pilihanku untuk memasuki rumah Patih
Mundarang yang dijaga amat ketat. Makin dijaga sangat ketat, sungguh
memancing keinginanku untuk menjajal masuk. Yang aku peroleh di
rumah Patih Mundarang sungguh sangat jauh dari yang aku bayangkan.
Aku mengira Patih Mundarang adalah orang yang kaya raya. Ia seorang
patih dan kini tidak sekadar patih, tetapi mahapatih amangkubumi. Maka,
bayanganku tentulah ia kaya raya. Ternyata dugaanku bahwa Patih Mahisa
Mundarang kaya raya salah. Yang benar, Patih Mahisa Mundarang amat
sangat kaya raya, bahkan boleh dibilang mungkin jauh lebih kaya raya
dari rajanya sendiri. Apa yang berada dalam buntalan besarku ini adalah
periasan yang nilainya bahkan cukup untuk membuat negara sendiri!"
Sesak napas Patih Mahisa Mundarang dipermainkan seperti itu.
Jumlah kekayaan yang dikupas habis itu menyebabkan Patih Mundarang
menjadi tidak nyaman. Apa yang dikatakan maling penculik anaknya
tentang bisa membuat negara sendiri itu tentu sangat berlebihan.
Dibanding dengan kekayaan Prabu Jayakatwang, tentulah kekayaan
Mahisa Mundarang belumlah seberapa. Namun, sekantong penuh berisi
berbagai perhiasan tetap saja menumbuhkan pertanyaan, dengan cara
bagaimana Mahisa Mundarang mengumpulkan perhiasan berharga
mahal sebanyak itu. Hamukti Palapa 419 "Jadi, kau hanya seorang pencuri?" tanya Prabu Jayakatwang.
Prabu Jayakatwang menunggu jawaban. Di sebelahnya, Permaisuri
Turuk Bali ikut menunggu jawaban itu.
Wirota Wiragati berjalan memutar dan memerhatikan semua
anak panah yang tertuju pada tubuhnya. Puluhan anak panah yang
mengepungnya itu membuatnya ngeri.
"Tolong anak panahnya diturunkan, semua!" kata Wirota
Wiragati. Perintah itu tidak mendapat jawaban. Semua anak panah masih
tetap teracung pada tubuhnya.
"Kini, akulah yang punya hak memberi perintah atau anak ini akan
mati. Semua anak panah supaya diturunkan!"
Namun, masih bergeming para prajurit itu, tetap pada sikapnya.
"Tolong penuhi permintaannya," akhirnya terdengar sebuah
jawaban. Para prajurit yang memberikan kepungan rapat itu merasa janggal
karena perintah itu tidak berasal dari mulut Patih Mundarang, tak juga
dari mulut Sang Prabu, tetapi berasal dari mulut seorang perempuan.
Serentak para prajurit yang merentang langkap menurunkan senjatanya
karena Permaisuri Turuk Bali yang meminta. Seumur-umur baru kali
itulah sebuah perintah diberikan oleh Permaisuri, padahal selama
ini, Permaisuri bukan jenis ratu yang gemar ikut campur urusan
suaminya. Permaisuri melangkah mendekat, tetapi Wirota Wiragati dengan
segera mengangkat pisau. "Jangan mendekat!" Wirota Wiragati membentak.
Permaisuri terpaksa membatalkan langkahnya.
"Maling adalah jenis pekerjaan nista. Namun, menculik bayi
adalah perbuatan yang lebih nista lagi. Berikan bayi itu kepadaku!" kata
Permaisuri. 420 Gajah Mada Hening pun menjalar. Bagi Wirota Wiragati, ucapan Permaisuri
Turuk Bali itu menohok, tetapi sekaligus menjadi pembuka simpul
kemarahannya. "Menculik bayi adalah perbuatan nista?" tanya maling dari Keta
itu. "Benar, Tuan Putri Permaisuri Gelang-Gelang. Sejujurnya, selama
ini pekerjaan yang aku geluti hanya maling. Aku tak bisa bekerja jenis
lain, bertani atau menjadi nelayan misalnya. Kalau soal menculik bayi,
terus terang baru kali ini aku melakukan. Menculik bayi benar perbuatan
nista, tetapi masih ada jenis perbuatan yang lebih nista. Mau mengetahui
perbuatan nista apa yang aku maksud, Tuan Putri Perrmaisuri?"
Permaisuri Turuk Bali mengerutkan dahi.
"Tuan Putri tidak ingin tahu perbuatan yang lebih nista dari
menculik bayi?" Prabu Jayakatwang yang kemudian memecah keheningan di udara
dingin setelah diguyur hujan yang amat deras itu.
"Perbuatan apa yang kamu maksud, anak muda?"
Wirota Wiragati tertawa pendek.
"Tanyakan kepada Patih Mundarang, perbuatan nista macam apa
yang kumaksud itu." Perlahan Prabu Jayakatwang menoleh kepada patihnya. Demikian
pula dengan Permaisuri Turuk Bali, mengarahkan perhatiannya kepada
patih yang diam-diam tidak ia sukai itu. Namun, Mahisa Mundarang
tidak berkata apa pun, tidak menyebut jenis perbuatan lebih nista apa
yang dimaksud oleh maling kurang ajar itu.
"Ayo, Patih Mundarang, berceritalah dengan jujur apa yang
kaulakukan?" Kebingungan Mahisa Mundarang.
"Aku melakukan apa?" letupnya.
Wirota Wiragati tertawa geli.
"Berceritalah, Ki Patih, mengapa Ki Patih berada di sini!"
Hamukti Palapa 421 "Maling keparat, jangan mencoba mengarang cerita ngawur. Kau
telah memasuki rumahku dan menculik anakku!"
Wirota Wiragati berjalan mendekat dan berhenti pada jarak
sejengkal di depannya. "Berceritalah, Patih Mundarang! Misalnya, mengapa di udara
sedemikian dingin seperti malam ini kau tidak memakai baju, pilih
bertelanjang dada" Mengapa bertelanjang dada di tengah malam macam
ini?" Pertanyaan yang dilontarkan Wirota Wiragati membuat Patih
Mundarang bingung sekaligus menumbuhkan pertanyaan di benak
semua prajurit yang hadir di istana keputren itu. Tak kurang Sang Prabu
Jayakatwang yang belum juga memahami apa yang dimaksud maling
penculik bayi itu.

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akhirnya, tiba saatnya bagi Wirota Wiragati untuk membongkar
apa yang sesungguhnya terjadi.
"Patih Mundarang akan memerkosa Sekar Kedaton Singasari.
Aku yang mengetahui rencananya, hanya meminjam bayinya untuk
menggagalkan niatnya. Ia memerkosa Sekar Kedaton Singasari, kujamin
bayi ini mati." Udara yang semula tenang mendadak bergetar di halaman istana
keputren itu. Andaikata saat itu siang hari, tentu akan terbaca bagaimana
merah padam wajah Patih Mundarang. Ucapan maling penculik bayi
itu menyebabkan Prabu Jayakatwang yang diam-diam telah menyusun
rencana akan menempatkan Gayatri sebagai selir, terkejut. Demikian
pula dengan Permaisuri Turuk Bali, tak kurang kagetnya.
"Bohong!" teriak Mahisa Mundarang.
Namun, Mahisa Mundarang tak mampu melanjutkan kalimatnya.
Kembali Wirota Wiragati memecah keheningan dengan mencuri
perhatian melalui suara tawanya yang bergetar pelan.
Prabu Jayakatwang memandang patihnya dengan tatapan mata
heran. 422 Gajah Mada "Kaulakukan itu, Patih?" tanya Raja Gelang-Gelang.
"Bohong!" teriak Patih Mundarang. "Dasar maling keparat. Ternyata
di samping seorang maling, kau memiliki mulut culas. Berani-beraninya
kau menuduhku melakukan perbuatan itu?"
Mengombak napas Patih Mahisa Mundarang, mulutnya gemetar
komat-kamit. Kepalanya mulai retak melihat maling penculik anaknya itu
tersenyum. Darahnya mendidih demikian bergolak hingga andai sebutir
telur dicemplungkan, akan matang telur itu sekaligus akan berubah
warnanya sewarna darah mati.
"Wahai prajurit kepatihan, berikan kesaksianmu!" teriak Patih
Mahisa Mundarang. Wirota Wiragati tak menyangka Patih Mahisa Mundarang
masih mampu berkelit dengan menggunakan kesaksian para prajurit
bawahannya. "Maling itu bohong, Tuanku!" teriak seorang prajurit yang segera
tanggap. "Benar," tambah prajurit yang lain.
"Aku saksinya!" seorang prajurit kepatihan menambahi lagi.
"Patih Mundarang tidak melakukan perbuatan itu. Aku menyaksikan
Patih Mundarang berada di kepatihan dan tidak pergi ke manamana. Dasar maling keparat bermulut culas. Kau harus menebus
perbuatanmu dengan harga setimpal. Akan kusobek mulutmu dengan
tombak ini." Prabu Jayakatwang yang semula mengarahkan perhatiannya kepada
patihnya, lalu menoleh pada Wirota Wiragati. Kesaksian para prajurit
kepatihan itu cukup kuat untuk dipercaya. Rupanya justru maling itulah
yang membual dengan mengarang cerita ngawur.
Akan tetapi, keheningan malam itu pecah oleh sesuatu yang mencuri
perhatian. Sebuah jambangan penuh air, tempat kembang teratai ditanam,
ambruk pecah berantakan. Lurah Prajurit Jaran Guyang datang dengan
terhuyung-huyung, tubuhnya basah kuyup oleh air tuak.
Hamukti Palapa 423 Dari bumbung yang dipegangnya, Lurah Prajurit Jaran Guyang
mengisi mulut. Dari bumbung itu pula ia membasahi tubuhnya. Di
udara dingin, tuak akan menghangatkan tubuhnya. Ketika tubuhnya
hangat sampai pada gerah, dibutuhkan air untuk membasahi rambutnya.
Bukannya rasa segar yang dirasakan Lurah Prajurit Jaran Guyang, tetapi
malah risih. "Bagaimana, Ki Patih" Berhasil?" tanya Jaran Guyang dengan suara
aneh karena sambil bersendawa.
Patih Mahisa Mundarang terbungkam mulutnya.
"Pergi kau, Jaran Guyang!" Mundarang menghardik.
Namun, Lurah Prajurit Jaran Guyang yang dianggap berhasil
menyerbu Mameling untuk menarik pasukan Singasari keluar dari
istana itu benar-benar mabuk setelah minum dan menghabiskan tuak
sebumbung. Perintah yang diberikan Patih Mahisa Mundarang sama
sekali tidak masuk ke telinganya.
"Pergi, kau!" kembali Mahisa Mundarang menghardik.
Namun, Raja Gelang-Gelang terpancing rasa ingin tahunya.
"Apa yang kamu maksud dengan berhasil itu?" tanya Prabu
Jayakatwang. Jaran Guyang terkekeh, telunjuknya terarah kepada Mahisa
Mundarang. "Patih Mundarang akan mendahului Sang Prabu. Patih Mundarang
menginginkan Gayatri yang cantik. Sebelum Sang Prabu memilikinya,
Patih Mundarang memutuskan untuk mencicipi tubuhnya lebih dulu."
Kembali Lurah Prajurit Jaran Guyang tertawa terkekeh. Barulah
mulutnya terdiam ketika dengan sangat deras ayunan tangan Patih
Mahisa Mundarang menggampar mulut prajurit yang sedang berada
dalam keadaan mabuk sangat parah itu. Ayunan tangan Patih Mundarang
sekali lagi bahkan mengantarkannya untuk kehilangan kesadarannya.
Lurah Prajurit Jaran Guyang yang terkulai amat mungkin telah patah
tulang-tulang penyangga lehernya.
424 Gajah Mada Mengombak napas Patih Mundarang.
"Sang Prabu percaya ucapan orang yang sedang mabuk?"
Prabu Jayakatwang termangu dan melangkah mendekati Lurah
Prajurit Jaran Guyang dan memerhatikan keadaan dengan cermat. Akan
tetapi, Lurah Prajurit Jaran Guyang itu tidak bisa ditanyai.
"Jadi, mana yang benar?" tanya Prabu Jayakatwang.
Patih Mundarang berbalik dan mengedarkan pandangan matanya.
"Benar, Sang Prabu!" kembali terdengar ucapan prajurit. "Aku
saksinya bahwa Patih Mahisa Mundarang berada di rumah, tidak ke
mana-mana. Patih Mahisa Mundarang justru memburu maling itu. Itu
sebabnya, Patih Mundarang berada di sini."
Prabu Jayakatwang mengarahkan pandangan matanya pada wajah
prajurit yang baru saja memberi kesaksian. Namun, sekali lagi seorang
prajurit memberi kesaksian.
"Aku saksinya, Sang Prabu," kata prajurit itu. "Aku melayani Ki
Patih membuang waktu dengan berbincang-bincang. Bagaimana bisa
maling itu menuduh Ki Patih berada di sini dan berniat memerkosa
perempuan tawanan dari Singasari itu."
Mendengar kesaksian-kesaksian itu, Prabu Jayakatwang agaknya
pilih percaya pada apa yang dikatakan Patih Mundarang. Namun, semua
perhatian kemudian tercurah pada pintu keputren yang terbuka lebar.
Gayatri melangkah keluar, yang sejenak kemudian disusul oleh Emban
Rukmini. Emban Rukmini menempatkan diri di depan Sekar Kedaton
Singasari dan berhadapan langsung dengan Sang Prabu. Berdebar-debar
Patih Mundarang melihat itu.
Prabu Jayakatwang mengenal Emban Rukmini dengan baik. Itu
sebabnya, ia tahu jika ada yang tidak pada tempatnya. Apalagi, jika
yang tidak pada tempatnya itu adalah benjolan memar sebesar telur di
kepalanya. "Kenapa keningmu?" tanya Prabu Jayakatwang kepada Emban
Rukmini. Hamukti Palapa 425 Emban Rukmini menyempatkan menoleh kepada Patih Mundarang
sebelum berbicara. Dalam siraman cahaya bulan, Patih Gelang-Gelang
itu berusaha mencegah melalui isyarat kedipan matanya.
"Hamba berusaha menghalangi Patih Mahisa Mundarang yang akan
memerkosa Sekar Kedaton Singasari. Namun, tubuh hamba dibanting
membentur pintu. Akibatnya, hamba tidak sadarkan diri dan keadaan
hamba seperti ini." Sebuah kesaksian yang amat telak dan tak mungkin dibantah lagi.
Apalagi, ketika Emban Rukmini melemparkan pakaian milik Patih
Mundarang di depannya. Wirota Wiragati tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi
perutnya yang tiba-tiba sakit karena geli yang tak tertahankan. Patih
Mundarang berubah menjadi orang yang tak punya mulut. Demikian
pula dengan para prajurit yang menjadi kaki tangannya. Permaisuri
Narrarya Turuk Bali kembali melangkah maju, perhatiannya ia tujukan
kepada keponakannya. "Benar kau mengalaminya, Gayatri?" tanya Permaisuri Narrarya
Turuk Bali. Dengan pandangan mata berkilat-kilat, Gayatri mengarahkan
pandangan matanya pada orang yang sejak kini sangat dibencinya, Patih
Mahisa Mundarang. Ke hadapan wajah Permaisuri Narrarya Turuk Bali,
Gayatri mengangguk. Permaisuri dan Raja saling pandang.
"Bagaimana dengan bayi itu?" tanya Permaisuri Narrarya Turuk
Bali. Wirota Wiragati yang sedang menatap wajah Patih Mahisa
Mundarang, bergegas berbalik ketika sadar pertanyaan itu diarahkan
kepadanya. Kepada Permaisuri, Wirota Wiragati menaruh hormat, tetapi
tidak kepada yang lain. Apalagi, kepada Patih Mahisa Mundarang.
"Aku ingin menukar bayi ini dengan Tuan Putri Sekar Kedaton
Singasari. Bayi ini akan aku biarkan selamat, tetapi Sekar Kedaton
Singasari pergi bersama aku," kata Wirota Wiragati.
426 Gajah Mada Mendadak halaman keputren itu digilas senyap. Dengan adanya
permintaan itu, sadarlah Prabu Jayakatwang, patihnya, dan para prajurit
yang mengepung rapat keputren, bahwa maling di istana kepatihan dan
penculik bayi itu tak sekadar maling biasa. Dengan permintaan yang
dilontarkan itu, bisa diketahui dengan jelas maling itu tentu berhubungan
dengan Singasari. Mungkin ia merupakan bagian dari telik sandi. Bisa jadi,
maling itu suruhan Raden Wijaya.
"Siapa sebenarnya kamu?" Prabu Jayakatwang bagai mengulang
dari awal lagi. Wirota Wiragati tidak menjawab. Yang ia lakukan kembali melangkah
ke arah pintu keputren. Sekar Kedaton Singasari tanggap pada isyarat
yang diberikannya. Gadis cantik yang menyebabkan banyak pemuda
tergila-gila itu, bergegas mengikuti.
"Kamu belum menjawab pertanyaanku!" ucap Prabu Jayakatwang.
"Kamu telik sandi Singasari" Kamu menyusup kemari atas perintah
Sanggramawijaya?" Wirota Wiragati ternyata telah menjatuhkan pilihan untuk tidak
menjawab pertanyaan itu. "Bagaimana, Sang Prabu?" balas maling dari Keta itu. "Aku ingin
menukar bayi bernama Mahisa Dremba ini dengan Sekar Kedaton
Singasari." Rupanya Prabu Jayakatwang bukanlah jenis orang yang mudah
digertak. "Bukan kamu yang punya tawaran," jawab Sang Prabu. "Sebaiknya,
kamulah yang harus menyerah. Selebihnya, kami yang akan berbaik hati
menentukan nasib macam apa yang akan kaualami."
Wirota Wiragati tertawa. Jika berada dalam keadaan tersudut
macam itu, maling mana pun pasti akan berusaha mencari cara untuk
menyelamatkan diri. Akan tetapi, yang dilakukan Wiragati justru kembali
masuk ke keputren dan menutup pintu rapat-rapat.
"Apa permintaan Kakang akan diluluskan?" tanya Gayatri.
Hamukti Palapa 427 Wirota Wiragati meletakkan bayi yang disandera itu di pembaringan
dan bergegas memerika semua pintu dan jendela untuk mencari titik
kelemahannya. Sekar Kedaton Singasari bingung melihat apa yang
kemudian dilakukan Wirota Wiragati, yang menempatkan diri berdiri
di tengah ruangan sambil menengadah memandang pusat belandar
dan kasau. Wirota Wiragati kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku
bajunya. "Tutup telinga Tuan Putri dengan kapuk ini. Kalaupun Tuan Putri
masih mampu mendengarnya, upayakan abaikan suara apa pun yang
akan terdengar. Paham, Tuan Putri?"
Gayatri masih bingung, tetapi sejenak kemudian ia mengangguk.
Sejenak setelah itu, jika terdengar suara seruling yang berasal dari
keputren, itulah saat yang akan membingungkan Prabu Jayakatwang.
Maling yang menculik bayi itu sungguh punya nyali rangkap sembilan.
Dengan terkepung rapat macam itu, ia masih sempat mengolok-olok.
Suara seruling yang terdengar menggeliat mengoyak udara dirasakan
sebagai ledekan oleh Prabu Jayakatwang, dirasakan sebagai penghinaan
oleh Patih Mahisa Mundarang, dan dirasakan sebagai pelecehan oleh
segenap prajurit Gelang-Gelang yang merapatkan kepungan. Selebihnya,
dirasakan aneh karena masih sempat-sempatnya maling itu meniup
seruling. Sangat mungkin hal itu dilakukan karena putus asa, tidak mampu
meloloskan diri dari pagar betis yang sangat rapat itu.
Bulan di langit terang benderang, apalagi bulan sedang purnama
dan tak terganggu oleh mendung yang telah menyibak entah ke mana.
Namun, sejatinya tengah berlangsung keadaan yang tidak wajar seiring
dengan alunan seruling yang menggetarkan udara itu.
Sesuatu tengah melayang di udara, kalau itu kabut maka itulah kabut
yang tidak wajar dan kalau kemudian ada rangsang kantuk maka itu pun
rangsang kantuk yang luar biasa.
Di halaman keputren, dengan kepungan yang begitu rapat, para
prajurit bingung tak tahu harus berbuat apa. Mereka menunggu perintah
dari Patih Mundarang. Namun, perintah yang ditunggu tak kunjung
428 Gajah Mada datang. Jika perintah untuk bertindak itu datang dari Sang Prabu
Jayakatwang, nyatanya Raja Gelang-Gelang itu juga tidak menjatuhkan
perintah apa pun. Betapa canggung sikap Patih Gelang-Gelang karena
terbukti berniat memerkosa Gayatri, gadis tawanan yang kelak akan
diperistri Raja Jayakatwang, dan ditempatkan sebagai garwa selir. Yang
jelas, tindakan Patih Mahisa Mundarang itu sangat tidak disenangi
rajanya. Lambat, tetapi pasti, udara memang bermuatan sesuatu yang tidak
wajar. "Apa yang kita lakukan?" berbisik seorang prajurit bersenjata
panah. "Diam saja!" "Hanya diam" Sampai kapan?"
"Kalau menurutmu, bagaimana?"
"Kita serbu saja. Api dilontarkan maka tikus akan berlarian. Jika
maling itu keluar, kita pukuli sampai mati, sementara jika Sekar Kedaton
Singasari keluar, kita jarah saja sebagai pembalasan apa yang pernah
dilakukan Tumapel terhadap Kediri. Nasib Sekar Kedaton Kediri
saat itu jauh lebih mengerikan. Ken Arok yang memenangkan perang
menjatuhkan perintah untuk memerkosa Sekar Kedaton beramai-ramai.
Nyaris semua prajurit berbaris antri untuk mendapatkan kesempatan
menikmati tubuh Sekar Kedaton Kediri. Tak mampu menghadapi
kenyataan pahit yang dialami, Sekar Kedaton memilih mati bunuh
diri." Merinding bulu kuduk beberapa prajurit yang menyimak pendapat
itu. "Sekar Kedaton Kediri mengalami nasib buruk itu. Keberhasilan
penyerbuan yang dilakukan terhadap Singasari bukan berarti dendam
sudah terbalas. Kematian Prabu Sri Kertajaya mungkin terbalas dengan
kematian Sri Kertanegara. Namun, pemerkosaan yang dilakukan orang

Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang Ken Arok dan bahkan Ken Arok sendiri masih belum lunas,
Hamukti Palapa 429 belum terbayarkan hingga sekarang. Sekaranglah kesempatan untuk
melunasinya." Patih Mahisa Mundarang yang berdiri tak jauh dari bisik-bisik itu
bisa menyimak dengan jelas. Dalam hati, Patih Mundarang sangat setuju
dengan pendapat prajurit anak buahnya itu.
Mahisa Mundarang yang mengalami kesulitan untuk berbicara, apalagi
kemudian telah terbukti dengan jelas ia memang berniat memerkosa
Sekar Kedaton Singasari, tidak tahu bagaimana cara mencairkan keadaan.
Patih Mahisa Mundarang melihat Prabu Jayakatwang menguap. Ketika
Mahisa Mundarang mengedarkan perhatian kepada beberapa prajurit,
perhatiannya tercuri oleh keadaan yang janggal, banyak prajurit yang
menguap nyaris bersamaan dan susul-menyusul. Bahkan, suara menguap
amat keras terdengar dari belakangnya.
Patih Mahisa Mundarang merasa sangat curiga, perbendaharaan
pengalamannya yang banyak segera sampai pada sebuah simpulan yang
mangagetkan. Apalagi, ketika Patih Gelang-Gelang itu memerhatikan
keadaan. "Kabut!" desisnya.
Mahisa Mundarang yang menengadah memerhatikan bulan,
mendapati keadaan yang tidak sewajarnya.
"Apa yang dikatakan Paman Bendung Wura ternyata benar!"
desisnya. Dengan penuh perhatian, Mahisa Mundarang memerhatikan
keadaan. Dengan amat curiga, Patih Gelang-Gelang mengamati kabut
yang mengapung melayang di mana-mana. Juga dengan penuh perhatian,
ia mengamati para prajuritnya yang berubah kehilangan semangat. Ada
prajurit yang berdiri sambil bersandar dinding, ada pula yang berusaha
tetap tegak berdiri berpegangan pada gagang tombaknya. Patih Mahisa
Mundarang makin curiga ketika melihat Prabu Jayakatwang memegang
kening sambil menguap beberapa kali.
"Sirep, ilmu para maling," desisnya.
430 Gajah Mada Masih belum merasa yakin dengan keadaan di sekelilingnya, Mahisa
Mundarang mengarahkan perhatiannya kepada diri sendiri. Bahkan,
untuk keperluan itu, Patih Mahisa Mundarang memejamkan mata. Segera
sadarlah Patih Gelang-Gelang itu bahwa kecurigaannya benar. Melalui
keheningan mata hati, Mahisa Mundarang merasakan ada sesuatu yang
aneh di balik alunan seruling yang mengombak alun itu, bagai sesuatu
yang membetot sukma. "Ada serangan sirep, pusatkan perhatian!" ucap Mahisa Mundarang.
Beberapa prajurit tersadar dan berusaha mengambil sikap, tetapi
agaknya sikap yang terlambat karena kekuatan sirep yang dilepas melalui
suara seruling itu makin mencengkeramkan kukunya.
Prabu Jayakatwang berjalan terhuyung-huyung dilibas rasa kantuk
yang tak terlawan. Permaisuri Nararrya Turuk Bali bahkan tersungkur
jatuh terduduk bersandar penyangga kentongan.
Sejalan dengan itu, kabut yang diundang oleh Wirota Wiragati
melalui pemusatan pikiran dan kekuatan yang berasal dari bawah
sadarnya makin membentuk. Ketika bahan bakunya mulai berlimpah,
makin cepat kabut itu menebal. Mahisa Mundarang bahkan sampai
pada keadaan di mana matanya tidak lagi mampu menangkap bayangan
sejengkal di depannya. "Semua siaga, keadaan kabut ini tidak wajar," teriak Patih Mahisa
Mundarang. Akan tetapi, sia-sia apa yang dilakukan Mundarang. Kesadaran
semua orang yang membuat pagar betis mengelilingi keputren itu telah
terampas dengan sempurna. Satu-satunya orang yang masih terjaga
hanyalah dirinya. Rangsang kantuk bisa dilawannya melalui kesadaran
atas anaknya yang berada dalam bahaya, tetapi tak mungkin baginya
melawan kabut yang kian lama kian pekat merampok jarak pandang.
Patih Mahisa Mundarang yang membutuhkan pelampiasan itu
tiba-tiba berteriak, "Dasar pengecut! Kutantang kau, maling keparat.
Tak perlu kautakut menghadapi para prajuritku. Cukuplah yang ada
hanya kau dan aku!" Hamukti Palapa 431 Wirota Wiragati tidak menanggapi tantangan itu, tetapi suara
seruling yang ditiupnya langsung berhenti.
"Tuan Putri, kita harus pergi sekarang," ucap Wirota Wiragati.
Gayatri bagai orang terbangun dari tidur setelah sebagian kesadaran
yang ia miliki melesat entah ke mana. Dengan takjub, Sekar Kedaton
Singasari memerhatikan keadaan di sekelilingnya.
"Kau yang menciptakan kabut ini?" tanya Gayatri.
"Tidak, Tuan Putri," balas Wirota Wiragati, "semua ini ciptaan
Hyang Widdi. Hamba hanya mengundangnya untuk hadir ke tempat
ini. Mumpung kabut amat tebal dan semua prajurit ketiduran, mari kita
tinggalkan tempat ini."
Gayatri masih terpesona keadaan di sekitarnya. Kabut yang demikian
tebal, yang menyebabkan ia mengalami kesulitan melihat apa pun di
sekelilingnya, benar-benar menyita perhatian. Wirota Wiragati terpaksa
memberi waktu pada gadis itu untuk menyalurkan rasa penasarannya.
Tiba-tiba Gayatri berbalik.
"Bayi itu kita bawa?"
"Tidak, Tuan Putri!" jawab Wirota Wiragati. "Aku tidak ingin
membuat kesalahan berikutnya. Menculik dan memanfaatkan bayi itu
merupakan sebuah kesalahan besar yang aku lakukan."
Gayatri segera mempersiapkan diri dengan bergegas mengambil
sebuah buntalan kain berisi semua benda miliknya. Namun, Gayatri
merasa masih ada yang belum tuntas.
"Tadi kaubilang, para prajurit tertidur, benarkah demikian?"
"Benar, Tuan Putri," jawab Wirota Wiragati.
"Dengan cara bagaimana kaulakukan itu?"
"Waktu kita hanya sedikit, Tuan Putri. Aku minta sebaiknya Tuan
Putri jangan terlalu banyak bertanya."
Tanpa ragu, Wirota Wiragati memegang tangan Gayatri dan
membimbingnya menuju pintu. Entah oleh dorongan warna hati macam
432 Gajah Mada apa, Gayatri tak mau hanya dipegang pergelangan tangannya. Untuk
memperoleh rasa aman atau lebih dari itu, Gayatri menyelinapkan jarijarinya, saling silang dengan jari-jari tangan Wirota Wiragati. Ketika
Wirota Wiragati melampiaskan sebagian beban hatinya melawan tekanan
yang luar biasa itu, dengan sepenuh hati pula Gayatri membalasnya.
Gayatri bahkan mencium tangan itu.
Perlahan agar tidak menimbulkan suara, Wirota Wiragati membuka
pintu. Di luar kabut demikian pekat, tebal membutakan mata.
Jika Gayatri bingung memikirkan bagaimana cara menembus
warna putih yang tak bisa ditembus mata, sebaliknya dengan penuh
keyakinan, Wirota Wiragati mempersiapkan diri menerobos pagar betis
itu. Toh, apalah yang bisa mereka lakukan karena semua prajurit telah
bergelimpangan. Namun, ada sesuatu yang berada di luar dugaan Wirota Wiragati.
Sesuatu yang luput dari perhitungannya, yang menyebabkan rencananya
tidak berjalan sesuai apa yang ia kehendaki.
Suara tertawa itu entah datang dari mana. Mula-mula hadir dengan
nada rendah seolah berasal dari mulut yang terbungkam, kemudian
berubah menjadi suara bergelak yang keluar dari mulut terbuka. Suara
itu terkekeh lalu bergelak-gelak, lalu terbahak-bahak.
Wirota Wiragati bergegas menyeret Sekar Kedaton Singasari kembali
masuk ke dalam bilik keputren dan bergegas mengunci pintunya. Dengan
penuh perhatian sekaligus rasa cemas, Wirota Wiragati memerhatikan
suara tawa itu. Akibat yang muncul benar-benar membuat Wirota
Wiragati merasa cemas. Dengan serentak, semua orang yang tertidur, terbangun dan
terbebas dari kekuatan sirep. Dengan cepat pula kabut tebal itu
mengombak menipis makin tipis, makin tipis untuk kemudian lenyap
tidak ada jejaknya. Prabu Jayakatwang yang terbangun, kebingungan. Demikian pula
dengan istrinya, Permaisuri Narrarya Turuk Bali sulit memahami keadaan
dirinya yang ambruk dan tergeletak di tanah. Para prajurit yang semula
Hamukti Palapa 433 merapatkan kepungan, tak seorang pun yang memahami apa yang
mereka alami. Lebih-lebih ketika mereka melihat, di sebelah Patih Mahisa
Mundarang berdiri dua orang laki-laki. Seorang muda usia dan yang
seorang sudah tua. Di dalam bilik keputren, Wirota Wiragati langsung berada di puncak
panik dan kebingungannya.
"Ada apa, Kakang?" tanya Gayatri.
"Guruku!" jawab Wirota Wiragati.
"Guru?" tanya Gayatri.
Wirota Wiragati mengangguk.
Gayatri tertular rasa cemas. Jika Wirota Wiragati bisa sampai
demikian cemas, tentulah keadaan menjadi sangat bahaya. Apalagi, kabut
yang semula demikian tebal telah lenyap entah ke mana, dan dari selasela lubang dinding, terlihat para prajurit yang semula bergelimpangan
telah kembali membuat pagar betis yang sangat rapat.
"Guru ilmu maling?" tanya Gayatri.
Wirota Wiragati mengangguk.
"Apakah kita bisa meloloskan diri dari tempat ini, Kakang?"
Wirota Wiragati bingung, tak tahu bagaimana cara menjawab
pertanyaan itu. Wirota Wiragati perlu mengukur keadaan dengan
mengintip keluar. Apa yang dicemaskan rupanya benar.
Wirota Wiragati tentu tidak akan lupa wajah orang yang kepadanya
ia pernah belajar bagaimana meniup seruling. Kepadanya pula ia belajar
menumpangkan muatan rasa kantuk agar orang yang mendengar alunan
seruling yang ditiup terlena. Pada orang itu pula, Wirota Wiragati belajar
mengundang kabut untuk membingungkan dan membutakan mata,
sebuah cara agar bisa meloloskan diri dari kepungan serapat apa pun.
Pada orang itu pula ia harus menyetorkan sebagaian besar hasil curiannya
dan hanya sebagian kecil untuk dirinya sendiri.
434 Gajah Mada Bagaimana mungkin semua kemampuan yang ia punya dihadapkan
dengan orang yang mengajari. Apa pun yang ia lakukan, dengan amat
mudah Ki Bendung Wura akan mementahkan semua jurus akal julig-nya.
"Mati aku!" Wirota Wiragati gelisah.
Sekar Kedaton Singasari membaca kecemasan itu.
"Kakang Maling!" kata Gayatri. "Kakang jangan pikirkan aku. Aku
akan tetap aman meski masih terpenjara di Gelang-Gelang. Silakan
Kakang menyelamatkan diri, aku tidak apa-apa."
Wirota Wiragati tidak menjawab. Ia memberi isyarat melalui telunjuk
yang dilekatkan di bibir.
Di luar keputren, Prabu Jayakatwang merasa membutuhkan
penjelasan dengan segera. Sang Prabu Jayakatwang yang menggandeng
istrinya, mendekati Patih Mahisa Mundarang yang berdiri dengan
orang-orang yang belum dikenalnya. Patih Mundarang dengan segera
menjelaskan apa yang diketahui dan memperkenalkan dua orang laki-laki
yang kehadirannya bagai tidak diundang itu.
"Maling penculik itu telah menyerang kita dengan kekuatan sirep,
Sang Prabu," kata Patih Mahisa Mundarang. "Untunglah dua tamu
yang aku undang ini telah hadir. Mereka ini Paman Bendung Wura dan
muridnya, Ki Handaru Pritha. Mereka berhasil mementahkan sirep yang
disebar maling itu."
Prabu Jayakatwang merasa masih belum memahami.
"Sirep?" Patih Mahisa Mundarang mengangguk.
"Bagaimana dengan kabut tebal tadi?" tanya Permaisuri Narrarya
Turuk Bali. "Kabut itu juga bagian dari permainannya," tambah Patih Mahisa
Mundarang. Prabu Jayakatwang mengarahkan pandangannya kepada orang yang
disebut dengan nama Bendung Wura bergantian dengan wajah muridnya
yang ditandai nama Handaru Pritha.
Hamukti Palapa 435 "Ia salah seorang muridku, Sang Prabu," kata Ki Bendung Wura.
"Dasar maling, Wirota Wiragati merasa tidak cukup menjadi maling
di luaran sana. Ia mencuri banyak sekali dariku, gurunya. Sekarang
izinkanlah aku membantu menangkap maling itu."
Prabu Jayakatwang mengangguk.
"Wirota Wiragati, menyerahlah!" teriak Ki Bendung Wura.
Wirota Wiragati menghela tarikan napas amat panjang dan berat
untuk mengisi semua lorong di paru-parunya. Kehadiran gurunya
di tempat itu menyebabkan ia tak punya banyak pilihan, termasuk
memanfaatkan sanderanya yang sedang tidur dengan lelap. Gayatri
membaca kecemasan itu. Wirota Wiragati menoleh ketika tangan Gayatri
menyentuh lengannya dan memintanya menoleh.
"Tinggalkan aku, Kakang. Yang penting, bagaimana Kakang bisa
selamat." Wirota Wiragati akan menjawab, tetapi Gayatri mendahului
meletakkan jari telunjuk ke mulutnya, meminta untuk jangan
menyela. "Tetapi, berjanjilah kepadaku," lanjut gadis cantik kembang taman
Singasari itu. "Aku harus berjanji apa?" tanya Wirota Wiragati.
"Kelak Kakang harus menjemputku dan membawaku pergi dari
tempat ini. Aku akan ikut ke mana pun Kakang pergi!"
Wirota Wiragati membalas tatapan mata amat larut itu, membawa
dirinya ikut larut. Dengan sepenuh hati, Wirota Wiragati memejamkan
mata untuk menerjemahkan warna hati macam apakah yang begitu kuat
menggelegak dalam hatinya. Wirota Wiragati membuka mata.
"Tuan Putri," bisik pemuda tampan itu.
Gayatri menengadah. "Jawablah pertanyaanku, apakah Tuan Putri tahu warna hati macam
apa yang aku rasakan?"
436 Gajah Mada Wirota Wiragati semula mengira, Gayatri akan menggeleng, rupanya
tidak. Gadis yang terpenjara nasibnya itu mengangguk.
"Aku tahu apa yang Kakang rasakan, dan aku memiliki warna hati
yang sama." Berbinar mata Wirota Wiragati, dan oleh karenanya, apa yang
dijanjikan Gayatri sontak menjadi percik api membakar semangat.
Sekar kedaton Singasari tidak keberatan ketika dengan perasaan meluap,
Wirota Wiragati mendekapnya. Dengan sepenuh hati, gadis anak Raja
Kertanegara itu membalas dengan penuh perasaan.
"Aku pegang janjimu, Tuan Putri," kata Wirota Wiragati. "Kelak aku
akan datang lagi menyelamatkanmu. Aku akan menjadikanmu sebagai
istriku. Namun, jika apa yang aku inginkan ini tidak menjadi kenyataan,
aku bersumpah akan wadat, tak akan menyentuh wanita mana pun untuk
menjadi istriku. Selanjutnya, aku akan menjadi maling dengan segala
kebengisanku. Bumi langit menjadi saksiku!"
Bergetar udara oleh sumpah yang diucapkan dengan mulut terkatup


Hamukti Palapa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Merinding bulu kuduk Gayatri menyadari sumpah itu benar-benar
bukan perkara ringan. Gayatri merasa sekujur tubuhnya bagai dirambati
oleh ribuan ekor semut. Menggelegak yang ia rasakan adalah karena sebuah kesadaran,
sumpah yang diucapkan Wirota Wiragati pasti akan diwujudkan.
Wiragati pasti akan datang kembali menggunakan cara apa pun untuk
bisa membebaskan dirinya. Sebaliknya, jika dirinya tak memegang janji,
Wirota Wiragati benar-benar akan wadat.
Wirota Wiragati mempersiapkan diri untuk bertindak.
"Menyerahlah, Wirota Wiragati!" terdengar suara dari luar.
"Kautahu benar, tidak ada gunanya mengulur waktu!"
Dari dalam buntalan yang rupanya ke mana-mana selalu dibawa,
Wirota Wiragati mengeluarkan sesuatu yang berada dalam keadaan
terbungkus. Hamukti Palapa 437 "Kuhadiahkan ini untukmu, simpan dan jagalah seperti kau menjaga
nyawamu." Gayatri menerima bungkusan itu. Namun, Wirota Wiragati melarang
ketika ia berniat membuka.
"Jangan sekarang!" ucap Wirota Wiragati.
Suara tertawa terkekeh-kekeh terdengar dari luar ketika udara yang
hening pecah kembali oleh suara seruling. Wirota Wiragati kembali
meniup seruling di tangannya, melahirkan suara mendayu meliuk yang
sebenarnya indah didengar telinga.
"Tak ada gunanya kau mencoba mengulang permainan sirepmu
itu, Wiragati!" kembali terdengar suara dari luar, suara yang dikenali
sebagai bekas gurunya. Namun, Wirota Wiragati telah kembali memusatkan perhatiannya
dengan hanutupi babahan hawa sanga.218 Matanya terpejam sambil jemari
tangan kirinya terus memainkan lubang seruling.
Sikap Wirota Wiragati yang demikian sungguh menjengkelkan
gurunya. "Dasar tak tahu diri. Kaupikir bisa menggunakan permainan itu
untuk melawan gurumu sendiri?"
Semua orang memusatkan perhatian dengan memerhatikan liuk
irama seruling yang mereka dengar. Namun, Patih Mundarang tidak
menandai hadirnya rangsang kantuk sebagaimana Ki Bendung Wura juga
mulai merasa aneh. Melalui ketajaman mata hatinya, Ki Bendung Wura
merasakan, irama itu ditujukan ke arah lain, bukan untuk memancing
datangnya rasa kantuk, tetapi entah untuk mengundang apa. Ki Bendung
Wura merasa heran karena tak pernah mengajari kemampuan yang satu
ini. 218 Hanutupi babahan hawa sanga, Jawa, kalimat ini sering diucapkan oleh para dalang wayang kulit, berarti menutup sembilan lubang nafsu di seluruh tubuh. Kalimat tersebut juga bisa diartikan sebagai bersemadi.
438 Gajah Mada "Setan alas!" desis Ki Bendung Wura yang jengkel karena tak juga
bisa menebak apa yang dilakukan bekas muridnya.
Handaru Pritha adalah orang yang menyimpan dendam bukan
kepalang kepada Wirota Wiragati karena telah merampas bende Kiai
Samudra yang telah berhasil ia kuasai dengan mencurinya dari ruang
perbendaharaan pusaka Istana Singasari. Sekarang kesempatan untuk
memperoleh benda itu kembali terbuka lebar. Namun, sebagaimana
gurunya, Handaru Pritha tak merasakan rangsang kantuk yang muncul
bersamaan dengan alunan seruling yang meliuk-liuk mirip tarian ular
itu. "Apa yang sedang dilakukan Wiragati itu, Kiai?" tanya Handaru
Pritha. "Aku tak tahu," jawab gurunya. "Kita tunggu permainan apa yang
akan digelar murid tak tahu diri yang mencoba-coba melawan gurunya
itu." Bagai tanpa tujuan, Wirota Wiragati terus meniup serulingnya
menapaki nada tinggi. Suaranya mengalir melalui udara menabrak apa
pun. Menabrak dinding dan menjalari permukaan tanah. Menyapa
katak-katak yang bersahutan di genangan air sisa hujan. Juga menyapa
kunang-kunang yang beterbangan begitu riang, pun menyapa ular-ular
yang keluar dari sarangnya dalam mencari mangsa.
Alunan suara itu menyimpan sifat aneh. Ia bisa bergerak jauh lebih
panjang. Ia bergerak dengan jangkauan lebih jauh, tak hanya terdengar
sebatas dinding istana, tetapi udara memberinya kesempatan untuk
lewat lebih jauh, menyapa grumbul-grumbul 219 pepohonan, menyapa
celah-celah tanah, bahkan menyapa penghuni rongga besar di bawah
tanah yang tak jauh dari pohon gurda yang ambruk karena diterjang
angin. Lambat laun upaya yang dilakukan Wirota Wiragati menuai hasil.
Ada banyak tamu yang menggeliat datang mendekati sumber suara
219 Grumbul-grumbul, Jawa, lebat
Hamukti Palapa 439 itu. Ia muncul dari lubang-lubang di tanah, ia muncul dari rekahan,
dari balik rimbun dedaunan, dan ada pula yang merayap turun dari
batang pohon dengan arah ketertarikan yang sama, sumber suara yang
menggeliat. Demikian juga dengan penghuni lubang besar dalam tanah tak
jauh dari pohon gurda, yang sedang merasa malas karena kekenyangan,
suara indah menyenangkan bagi makhluk itu mengusiknya dari tidur,
memaksanya keluar dan merayap-rayap. Ulah dan kehadiran para
binatang melata itu sontak membungkam mulut para katak yang semula
begitu riuh saling sapa bersahutan.
"Sebenarnya apa yang dilakukan anak itu?" tanya Ki Bendung Wura
yang belum menyadari kehadiran makhluk-makhluk berbahaya itu.
Namun, justru karena rasa ingin tahu yang menyebabkan Ki
Bendung Wura pilih menunggu sampai diketahui jawabnya. Bahwa
dari balik alunan seruling itu tidak ada tumpangan kekuatan sirep, Ki
Bendung Wura menduga sesuatu yang aneh bakal terjadi. Ketika jawaban
itu diperoleh, agak terlambat bagi Ki Bendung Wura menyadari.
"Sialan!" desisnya.
Handaru Pritha terkejut menyaksikan guru malingnya terkejut,
demikian pula dengan Patih Mahisa Mundarang.
"Ular, ada banyak ular!" teriak seorang orang prajurit.
Teriakan itu mangagetkan sekaligus menyadarkan adanya bahaya
Seruling Samber Nyawa 14 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Pendekar Bodoh 10

Cari Blog Ini