Ceritasilat Novel Online

Hartanya Penghianat 2

Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping Bagian 2


"Siapa" " tanya suara seorang wanita dari dalam kamar.
"Kamu siapa" " tanya pula wanita di dalam itu. Tak lantas dia mau membuka pintu. "Ada urusan apa kamu hendak mencari Nona Wie Menny" "
"Kami hendak mewartakan halnya Ong Sie Koen kedapatan mati di kali."
Secara mendadak daun pintu dibuka, maka di situ muncul seorang wanita yang tubuhnya kate dan kecil, yang mengawasi dengan roman curiga.
"Kamu siapa" " dia tanya. "Kenapa kamu ketahui Ong Sie Koen mati di kali" "
"Akulah In Hong," In Hong menjawab. "Aku mempunyai hubungan dengan polisi maka aku memperoleh kabar itu. Sekarang ini mayatnya Ong Sie Koen berada di kamar mayat menantikan anggauta keluarganya datang untuk mengenali dan mengambilnya."
"Oh! Adakah kabarmu ini benar" " tanya wanita itu, yang romannya lantas bingung dan berduka.
"Pasti benar!" In Hong memberikan kepastiannya.
"Jikalau begitu, silahkan masuk!" kata si wanita.
"Duduklah dulu!"
Itulah kamar tamu diantara mereka kemarin berbicara dengan si orang perempuan yang mengenakan Shanghai-dress hitam bergigi-balang putih perak.
"Adakah kau Nona Wie Menny, yaitu Nyonya Ong Sie Koen sendiri" " In Hong tanya.
"Ya," si orang perempuan menjawab sambil meng-angguk.
"Kemarin lohor, nyonya ada di rumah atau tidak" "
"Kemarin lohor jam satu, aku keluar, baru hari ini aku pulang," sahut si nyonya.
"Kemana kau pergi kemarin, nyonya" "
"Ada apakah maksudmu maka kau menanya begini" " Si nyonya balik menanya. Sekarang tampak lenyap
kedukaannya, hanya tinggal bingungnya dan dia coba melenyapkannya.
"Dalam urusan suamimu ini, nyonya," kata In Hong, "polisi menerka pasti dia telah mati dengan menerjunkan diri ke dalam sungai, sedangkan aku, aku menyangka dia telah orang celakai, maka itu, aku hendak minta keteranganmu, supaya kalau benar sangkaanku, dapat aku bekerja untuk membikin terang perkara suamimu ini."
"Oh, aku mengarti sekarang!" kata Wie Menny. "Kau tentulah Nona In Hong yang namanya sangat tersohor!"
Dengan cepat roman bingungnya lenyap.
Maka ia lantas berkata terus, "Nona In Hong, datangmu ini sangat kebetulan. Aku memang lagi memikir buat pergi kepada polisi untuk memohon perlindungannya serta sekalian mencari si orang jahat. Aku masih ragu-ragu sebab aku sangsi polisi suka menolong aku atau tidak. Sebenarnya kemarin aku telah diculik orang jahat, sedangkan kematiannya suamiku mestinya ada hubungannya dengan sepak terjangnya komplotan penjahat itu."
"Kau diculik penjahat" " Kat Po tanya.
"Benar. Kemarin lohor kira jam satu, aku lagi bingung memikirkan Sie Koen. Satu malam itu, dia tidak pulang. Aku ingin mencari dia di rumahnya beberapa sahabat. Belum jauh aku meninggalkan rumahku itu, di tempat sunyi sebelah sana itu, tiba-tiba aku dipegat dan dikurung lima orang jahat. Dengan ancaman senjata api, aku dipaksa menaiki sebuah oto model kuno yang warnanya kuning muda."
"Bukankah itu kereta yang tempat duduknya penumpang lerpisah dari tempat duduknya si sopir" " In Hong tanya.
"Betul. Aku dibawa ke tempat sepi di Tsao-ho-ching, dipaksa masuk ke dalam sebuah rumah gubuk yang buruk. Di situ aku diikat pada sebuah pembaringan kayu bobrok. Tubuhku digeledah, anak kunci diambil. Seorang penjahat, yang bermuka kuning mirip lilin, menyuruh semua kawannya pergi keluar dari gubuk, hingga aku berada berdua saja dengannya. Aku duga penjahat ini sedang menyamar, untuk tak memperlihatkan wajahnya yang asli. Cuma empat buah gigi emasnya, atas dan bawah, yang tak dapat disalin rupanya... Dia lantas menanyakan banyak hal padaku, semua mengenai Sie Koen, tentang penghidupan suamiku dahulu dan sekarang. Aku beritahu padanya, aku menikah dengan Sie Koen baru beberapa bulan, dari itu, tentang penghidupannya dulu-dulu, aku tidak tahu, aku pun tidak pernah menanyakan, sedangkan Sie Koen sendiri juga tidak pernah menceritakannya."
"Kemudian" "
"Penjahat itu agak tak puas dengan jawabanku itu. Lantas dia tanya hal yang terjadi satu hari dimuka, diwaktu tengah hari, disaat kami bersantap. Ketika itu Sie Koen pernah bicara telepon dengan seorang sahabatnya. Si penjahat tanya she dan namanya sahabat itu, teleponnya nomor berapa, dan apa saja yang Sie Koen bicarakan dengan sahabatnya itu. Tapi nama sahabat itu, nomor teleponnya dan urusan yang suamiku bicarakan itu, semuanya aku tidak tahu. Lalu dia tanya, habis bicara telepon itu, apa saja kata Sie Koen kepadaku. Aku membilangi bahwa Sie Koen bangsa pendiam, karenanya, Sie Koen tidak bicara apa juga. Dia tidak percaya aku, dia tertawa tawar, lantas dia menghunus sebilah pisau belati. Dia mengancam hendak menikam aku kalau aku tetap tidak mau memberikan keterangan padanya. Aku takut sekali, aku sangat bingung. Aku tetap membilang bahwa aku tidak
tahu. Dia masih menanya berulang-ulang, dia terus mengancam. Akhirnya dia percaya aku tidak apa-apa, maka dia menyuruh dua orang kawannya menunggui aku, dia sendiri lantas pergi bersama dua kawannya yang lain lagi."
Menny berhenti sebentar, baru ia melanjuti pula, "Sementara itu, aku memperhatikan satu diantara dua penungguku itu. Dialah yang hidungnya merah. Dia bicara dengan lagu suara penduduk Tsao-ching. Karena itu aku menduga, gubuk itu mesti gubuknya sendiri. Seterusnya orang tidak mengganggu padaku, sampai tadi lohor lebih kurang jam tiga, seorang penjahat datang padaku, untuk memberitahukan bahwa pada sepak terjang mereka itu sudah terjadi kekeliruan, oleh karenanya tanpa perjanjian apa juga aku dimerdekakan, cuma aku dipesan dengan ancaman, sekeluarnya aku dari situ, tak dapat aku menyebut-nyebut lagi perkara penculikan itu. Dia mengancam hendak membinasakan aku apabila aku membuka rahasia mereka. Setelah itu aku melihat dia memberikan uang kepada si hidung merah itu. Aku lantas dimerdekakan, anak kunciku dikasi pulang. Dengan sebuah oto hitam, yang diparkir di tepi jalan, aku diangkut pergi, diturunkan di dekat Kiang-wan. Oto itu dilarikan keras meninggalkan aku."
"Apakah kau dapat melihat nomornya oto hitam itu" "
"Tidak. Ketika itu, aku tidak dapat memikir sampai disitu.
Baru kemudian aku ingat akan tetapi oto sudah pergi jauh..."
Menny nampak sangat menyesal.
"Kau tidak tahu, tidak apalah," kata In Hong. "Mungkin Juga dia memakai nomor palsu. Sekarang, mari aku tanya, benarkah kau tidak tahu apa-apa tentang Ong Sie Koen" "
"Benar-benar aku tidak tahu. Dia bertabiat aneh dan mulutnya tertutup rapat bagaikan peles tersumbat."
"Bagaimana dengan sahabat yang menelepon itu serta nomor teleponnya" Apa juga kau tidak tahu" "
"Benar, benar aku tidak tahu."
"Coba kau ingat-ingat, urusan apa yang suamimu bicarakan ditelepon itu" Asal kau mengingat satu atau dua patah kata, mungkin itu ada harganya untuk penyelidikan kami."
In Hong sabar sekali. "Aku ingat kira-kira..." kata si nyonya. "Katanya, 'Oh, mereka menampik..." Kau harus ingat, malam panjang itu banyak impiannya, maka kau harus bekerja lebih keras... Jikalau kau tidak berdaya, bagaimana jikalau kau serahkan itu padaku, untuk aku yang melakukannya... Baik..: Habis meletaki pesawat pendengar telepon itu, Sie Koen lantas duduk berpikir dalam kamar tulisnya. Aku mengajak dia bicara, dia menyahuti tetapi tanpa dihati. Itu hari juga lebih kurang jam enam, dia menelepon pula, kali ini dia menjanjikan seorang yang bernama Lie Hoe Sin untuk pergi minum kopi di tempat adiknya. Selang setengah jam, dia pergi seorang diri, untuk seterusnya dia tidak kembali lagi..."
In Hong mengangguk. " Ada keterangan apa lagi yang dapat kau berikan padaku" "
"Itulah apa yang aku ketahui. Adakah itu faedahnya" "
"Besar sekali, nyonya!"
Kecurigaan Kat Po terhadap Menny lenyap berangsur-angsur. Sekarang pastilah sudah bahwa dia benar Wie
Menny adanya dan apa yang dia bilang dapat dipercaya, bahwa nyonya ini, dengan begitu, menjadi pihak lawannya si nyonya Shanghai-dress hitam yang bergigi-balang putih perak itu.
"Tahukah kau apa namanya tempat di dekat Tsao-ho-ching itu di mana terdapat itu gubuk butut" " tanyanya kemudian.
"Aku tidak tahu. Cuma aku masih ingat di dekat situ ada sebuah kuburan yang pekarangannya luas sekali, yang terkurung tembok, yang batu tanda perbatasannya diukir dengan empat huruf besar yang berarti itulah tempat pekuburan Keluarga Oey."
"Nona Menny," kata In Hong kemudian, "buat berlaku waspada, untuk menjaga dirimu, sekarang baik secara diam-diam kau mengungsi ke rumah salah seorang sanak atau sahabat karibmu, untuk bersembunyi di sana, dan baru kau pulang ke rumahmu ini sesudah aku berhasil membikin perkara suamimu menjadi terang."
"Terima kasih, Nona In Hong," berkata si nyonya, yang terus menulis sebuah nomor telepon yang dia kasikan pada si nona.
"Hendak aku pergi ke rumah kakakku buat satu atau dua minggu, jikalau kau memerlukan aku, dapat kau menelepon padaku. Inilah nomor teleponnya"
In Hong menyambuti nomor telepon itu, lalu ia berpamitan. Mereka berjalan keluar bersama, karena Menny mengantari para tetamunya.
Ketika lewat di dekat tempat di mana pesawat telepon, In Hong melihat ada tergantung sehelai kertas yang ada catatannya banyak nomor telepon serta nama orang. Ia ketarik hati, ia minta kertas itu.
Menny tidak berkeberatan, dia memberikan.
Tiba di rumah, Kat Po melihat In Hong lantas duduk berdiam saja. Dia menjadi tidak sabaran.
"In Hong, apakah yang kau pikirkan" " tegurnya. "Kenapa kau bukan lantas bekerja" Bukankah kita telah memperoleh petunjuk walau pun sedikit" "
"Petunjuk apakah itu" " In Hong tanya, acuh tak acuh.
"Bukankah dapat kita pergi ke Tsao-ho-ching mencari si hidung merah" Menurut Wie Menny, rumah gubuk itu mesti rumahnya si hidung merah itu. Dari mulut dia kita tentu akan memperoleh keterangan siapa yang berada dibelakang layar..."
"Memang, inilah salah satu jalan," kata In Hong. "Hanya aku berani pastikan si hidung merah tak akan ketahui siapa orang dibelakang layar itu. Aku mempunyai jalan lebih langsung untuk mencari dia."
"Jalan apakah itu, In Hong" "
"Aku maksudkan sahabatnya Sie Koen yang diajak bicara ditelepon itu. Jikalau aku tidak menerka keliru, sahabat itu ialah si orang dibelakang layar, dan dia juga orang dengan kulit muka seperti lilin kuning yang telah menculik Wie Menny, yang giginya memakai emas. Dia telah menyamarkan diri."
"Bukankah dia pun lagi menanyakan she dan namanya orang berbicara telepon dengan Sie Koen itu" " tanya Kat Po.
"Kenapa dia justeru sahabatnya Ong Sie Koen" "
"Dia bicara telepon bukan untuk menanyakan she dan nama si sahabat. Sebab dia sendirilah orang yang tersangkut itu."
"Habis, dia menanyakan apakah" " tanya Kat Po heran.
"Dia menanyakan kalau-kalau Wie Menny ketahui tentang usaha mereka berdua."
"Usaha apakah dari mereka berdua itu" "
"Berdua mereka memegang sebuah rahasia besar. Sie Koen mencela sahabatnya kurang gesit, memikir buat kerja seorang diri saja. Karena itu, terutama karena rahasia besar itu si sahabat lantas mencelakai Sie Koen. Dengan begitu sekarang si sahabat sendiri yang menyimpan rahasia!"
"Kenapa kau ketahui Sie Koen mencela sahabatnya kurang gesit dan halnya si sahabat yang menyimpan rahasia" "
"Kau akan ketahui itu apabila kau memahamkan pembicaraan telepon Sie Koen. Tentang si sahabat menyimpan rahasia, itu pun mudah diterka. Bukankah sahabat itu si penjahat, telah menculik Menny dan ketika dia menanya Menny, dia menanyakan seorang diri" Itulah karena dia tak ingin kawan-kawannya mengetahui rahasia itu. Dia cuma mau tahu sendiri saja. Dia pula menculik Menny supaya kita jangan dapat bicara dengan Nyonya Sie Koen itu. Dia kuatir Menny nanti membuka rahasia, supaya kita tidak memperoleh jalan untuk menyelidikinya. Dilain pihak dia menyuruh si wanita berpakaian Shanghai-dress dengan gigi balang putih perak itu menyaru jadi Menny, untuk memancing kita, guna membinasakan kita beramai. Dia gagal memeriksa Menny. Dia mendapat kenyataan Menny benar-benar tidak tahu apa-apa, maka itu, legalah hatinya. Dia jadi lebih lega pula ketika malam itu dia mestinya telah menerima laporan dari si wanita jahat halnya kita sudah diceburkan ke sungai hingga mestinya tak dapat kita hidup lebih lama pula. Itulah sebabnya kenapa Menny dimerdekakan. Dia tidak takuti segala apa lagi, jadi
tak ada perlunya buat menahan lebih lama pula pada Nyonya Sie Koen."
"In Hong," tanya Kat Po, "umpama kata Menny ketahui rahasia itu, atau she dan nama orang, atau nomor teleponnya saja, apakah dia bakal dibinasakan" "
"Ada kemungkinannya asal Menny tahu satu saja diantara tiga hal itu!"
"Sebenarnya rahasia itu rahasia apakah" " Kat Po tanya pula. Dia tidak mengarti.
"Buat sementara ini, aku belum tahu," sahut In Hong.
"Aku cuma menduga itu mesti ada sangkut pautnya dengan Tong Soat Koan yang mati kelelap dan Tjoei Go yang mati sebagai setan penggantungan. Atau tegasnya, itu ada hubungannya dengan persaudaraan Lie yang enam orang itu.
Sie Koen mengundang Lie Hoe Sin minum kopi. Lie Hoe Sin itu ialah yang nomor lima dari persaudaraan Lie itu."
"Sekarang," tanya Kat Po, "apakah kau hendak membuat penyelidikan dengan berdasarkan keterangannya Wie Menny atau pelbagai catatan di dalam memo yang kau ambil dari rumahnya nyonya itu" "
"Tidak. Aku cuma henda memahamkan itu. Yang ingin aku cari tahu paling dulu ialah tentang Lie Hoe Sin dan Lie Hoe Gan."
"Kenapa kau tidak mau cari dahulu si bandit hidung merah di Tsao-ho-ching itu" "
"Aku hendak lebih dahulu mencari pokoknya. Kamu bertiga, kamu berdiam di rumah, untuk beristirahat, jangan kamu sembarangan bertindak. Sekarang juga aku hendak
pergi kepada dua saudara Lie itu. Andaikata mereka tidak ada di rumah, akan aku terus pergi ke Venus Dancing hall."
VIII Seperginya In Hong, Kat Po bergelisah sendirinya. Ia tidak mengarti akan cara bertindaknya kakak seperguruan itu, yang ia anggap telah mengambil jalan mutar. Dari tidak mengarti, ia menjadi penasaran. Kenapa In Hong tidak mengambil jalan memotong, yang dekat"
Menurut ia, asal si bandit hidung merah dibekuk, maka teranglah sudah perkara gelap itu Berdasarkan pengakuannya si hidung merah, bukankah mudah akan mencekuk penjahat yang bersembunyi dibelakang layar..."
Bukankah dengan begitu, rahasia besar itu akan lantas pecah sendirinya"
Bukankah orang dibelakang layar itu mudah dikenali karena mempunyai empat buah gigi emas"
Jikalau si jahat tidak lekas dibekuk, maka di sungai di jembatan Tsing-shih itu pasti bakal timbul lebih banyak mayat lagi!
Tong Soat Koan telah meminta ganti sembilan jiwa, sekarang baru lima, masih ada empat jiwa lagi! Kejahatan itu jadinya perlu segera dicegah dan ditindas!
"Eh, Kat Po, kenapa kau tampaknya sangat tidak tenang?" tanya Hiang Kat, yang melihat orang seperti berdiri salah dan berduduk salah.
"Tidak apa-apa, aku Cuma merasa iseng," Kat Po menjawab.
Ia mendusta karena ia percaya Hiang Kat telah dapat membade hatinya. Tak mau nona itu nanti mencegah ia pergi ke Tsao-ho-ching.
"Jikalau kau iseng, mari aku temani kau main catur."
"Tidak, aku tidak mau main catur. Sebelah kakiku terasakan tak enak, kalau dipakai duduk diam saja, mungkin dia menjadi makin tak enak lagi. Hendak aku berjalan-jalan sebentar di luar, untuk melemaskannya."
"Bukankah kau hendak pergi ke Tsao-ho-ching" " Hiang Kat tanya.
"Oh, bukan, bukan.." Kat Po menyangkal, cepat. "Benar-benar aku hendak berjalan-jalan saja sebentaran."
Kat Po jujur, tak pernah ia mendusta, maka itu, Hiang Kat percaya padanya.
"Kau terendam lama di sungai, mungkin otot-otot kakimu kaku," katanya. "Sekarang kau baik rebah-rebahan saja, nanti aku ambilkan air hangat untuk dipakai menghangatkannya."
"Terima kasih, Hiang Kat. Jangan kau ambilkan aku air hangat. Aku lebih suka berjalan-jalan saja."
"Baiklah kalau begitu. Mari aku temani kau."
"Tak usah, tak usah," Kat Po menolak pula. "Kau lagi repot, kau mesti menyediakan santapan malam. Biar aku pergi berdua Ouw A. Aku akan jalan hanya seputaran."
"Baiklah kalau begitu. Tapi ingat, jangan kamu pergi jauh-jauh!"
"Mungkin aku pergi jauh juga," kata Kat Po. "Belum pernah aku jalan sampai di ujungnya sebuah jalan besar yang panjang. Atau aku hanya akan putar kayun di sekitar sini."
Ia berkata demikian karena Ia belum pernah pergi ke Tsao-ho-ching.
"Nah, kau pergilah!" kata Hiang Kat. "Kau mesti lekas kembali!"
Kat Po mengangguk, terus bersama Ouw A, ia bertindak keluar. Di luar pagar pekarangan ia menoleh dan mengulapkan tangannya seraya berkata, "Sampai ketemu pula, Hiang Kat!"
Hiang Kat pun membalas lambaian tangannya.
Setindak demi setindak, Kat Po mengajak Ouw A berjalan. Setindak demi setindak, mereka meninggalkan rumah mereka. Makin jauh, makin jauh mereka pergi.
Sang Surya dan musim rontok, yang bercahaya keemas-emasan, mulai selam di ufuk barat. Akhirnya, dengan sebuah roda tiga, mereka pergi ke Tsao-ho-ching.
"Kat Po, kita pergi kemana" " tanya Ouw A, heran. Ia tolol tetapi ia mengarti bahwa untuk berjalan-jalan tak usahlah orang duduk kereta.
"Ouw A, aku hendak pergi membekuk si telur busuk!" sahut Kat Po, terus terang. "Ialah si telur busuk yang membunuh orang! Kau pikir saja, apakah bangsa mereka itu dapat dikasi tinggal hidup sekali pun buat satu atau dua hari lamanya" "
"Memang tidak! Tidak sekali pun satu atau dua jam!" sahut Ouw A.
"Benar! Nah, sekarang kau bilanglah, kau suka atau tidak, mengikut aku membekuk si telur busuk beberapa antaranya, untuk membinasakannya" "
"Aku memang paling gemar membekuk si telur busuk!" Ouw A kata, gembira.
Ketika mereka sampai di Tsao-ho-ching, cuaca belum lagi gelap. Dengan tanya-tanya orang, Kat Po dapat mencari tempat pekuburan Keluarga Oey. Benar, tidak jauh dan situ, terlihat sebuah rumah gubuk. Tempo Kat Po berdua menghampirkan, pintu gubuk itu dikunci dengan sebuah kunci kuningan model kuno.
"Si hidung merah tidak ada di rumah!" kata Kat Po, menyesal.
"Dia tidak ada di rumah, habis kemana kita pergi mencarinya" " tanya Ouw A.
Kat Fo melihat kelilingan.
"Tempat ini sepi dan tidak ada tetangganya," katanya. "Mari kita pergi ke sana, untuk mencoba mencari keterangan"
Ia menunjuk ke depan, sejauh satu lie atau lebih, di sana tampak samar-samar sebuah kampung kecil.
Ouw A menurut. Mereka sampai di tempat yang ditunjuk itu di mana mereka mendapatkan belasan rumah bilik, di depan itu ada sebuah tegalan kosong. Kebetulan di depan sebuah rumah ada seorang laki-laki tua lagi berduduk menghisap pipa panjang. Kat Po bertindak kepada orang tua itu.
"Paman, dapatkah aku numpang bertanya" " ia menyapa.
Orang tua itu mengawasi, ia mengurut kumisnya. "Kamu tanya apa" " ia membaliki.
"Aku mohon bertanya tentang si hidung merah dan rumah gubuk di dekat tempat pekuburannya Keluarga Oey," Kat Po memberitahukan.
"Oh, apakah kau maksudkan si hidung merah Touw Kin" Dialah penjaga kuburannya Keluarga Oey itu. Ada urusan apakah kamu" "
"Kami ingin bicara sedikit dengannya."
"Kalau begitu, pergi kamu cari dia di gubuknya."
"Dia tidak ada di sana dan pintunya pun dikunci."
"Baik kamu tunggui saja di depan rumahnya, dia tentu akan pulang."
"Kami tidak dapat menunggu lama!" kata Kat Po, yang tidak sabaran.
"Jikalau demikian, pergi cari dia di rumah makan, aku tanggung kamu bakal dapat menemuinya!"
"Rumah makan yang mana itu" Dimanakah letaknya" "
"Di sana, sekira dua atau tiga lie, ada sebuah pasar. Di sana ada sebuah warung teh serta sebuah rumah makan. Kamu pergi saja ke satu diantaranya."
Kat Po menurut, Ia ajak Ouw A pergi ke pasar itu.
Mereka mendapatkan sebuah rumah makan yang buruk segalanya tetapi setiap meja penuh dengan tetamu, sampai di meja kasir penuh juga.
"Rumah makan ini sangat ramai," kata Ouw A. "Entah si hidung merah, dia ada di sini atau tidak..."
"Aku akan menunggu di muka pintu," kata Kat Po. "Kau yang masuk mencari padanya."
"Kelihatannya semua orang di sini berhidung merah," kata Ouw A, yang tolol, yang menjadi bingung.
"Kau cari saja yang hidungnya paling merah, yang bernama Touw Kin," Kat Po kata.
Ouw A mengangguk, ia bertindak masuk. Seorang pelayan menyambut.
"Nona mau minum" " sapanya. "Menyesal, semua kursi penuh. Kalau suka, nona menyender saja di meja kasir itu..."
"Aku tidak mau minum, aku hanya mencari orang," sahut Ouw A terus terang.
Ia lantas menghampirkan meja pertama, untuk mengawasi tetamu-tetamu yang duduk di situ. Rata-rata mereka sudah berusia lanjut tetapi hidungnya tidak cukup merah. Ia terus pergi ke meja nomor dua. Ia berdiri mengawasi setiap tetamunya, yang semua muda dan bertubuh tegap.
"Aha!" kata seorang. "Di sini telah datang seorang ahli nujum wanita! Eh, berapakah bayarannya buat satu orang" "
"Siapa yang mau melihat-lihat kau!" kata Ouw A.
"Habis, mau apa kau mengawasi kami" " tanya seorang muda lainnya.
"Aku mau melihat hidungmu merah atau tidak" "
"Aneh! Ada apakah sangkutnya hidungku merah atau tidak" " tegur orang itu, yang dengan sebilah tangannya lantas menutup hidungnya sendiri. "Kau pergilah! Awas, nanti kau merasai bogem mentahku!"
"He, apakah kau mau berkelahi" " tanya Ouw A. "Kau tahu siapa aku" "
"Kau siapa" "
"Akulah nenek moyangnya si tukang berkelahi! Lekas kau singkirkan tanganmu dan kasi aku lihat hidungmu!"
Anak muda itu menjadi gusar, ia berbangkit berdiri sambil terus melayangkan tinjunya.
Ouw A tidak menyingkir, ia hanya mengangkat tangannya, menyambuti tinju orang, untuk dicekal pergelangan tangannya.
"Mari kasi aku lihat hidungmu!" katanya.
Pemuda itu meronta tetapi sia-sia belaka. Segera ia ketahui si nona liehay.
"Kau lihatlah!" katanya, terpaksa, hatinya panas.
Ouw A melihat hidung orang tidak merah, ia melepaskan cekalannya.
"Hidungmu tidak merah," katanya, "kau tidak ada sangkut pautnya!"
Lantas ia pergi ke lain-lain meja, mengawasi setiap tetamu. Ia tidak menemui orang yang hidungnya merah sekali.
Di satu pojok ada sebuah meja dengan dua orang tetamunya, tetamu yang satu berhidung besar tetapi hidungnya itu hitam kemerah-merahan. Terpaksa ia kembali kepada Kat Po.
"Di sini tidak ada si hidung merah, ada juga yang hidungnya hitam," katanya. "Mari kita pergi ke warung teh."
Kat Po menurut tanpa bersangsi. Tapi, belum jalan jauh, mendadak ia mendapat pikiran, "Orang berhidung merah, itulah biasa, tidak demikian dengan orang yang hidungnya hitam... Bukankah itu hidung yang disamarkan" "
Maka ia lantas kata, "Mari kita kembali! Mungkin si hidung hitam sebenarnya berhidung merah!"
Ouw A menurut. Selagi berjalan, mereka melihat seorang dengan baju dan celana biru lagi berlari-lari pergi dengan seorang lain, yang berdandan secara Barat, yang naik sepeda, mendayung sepedanya beberapa ratus tindak di sebelah depannya.
"Itulah dia si hidung hitam!" kata Ouw A. Ia kenali dua orang yang tadi itu.
"Mari kita susul!" mengajak Kat Po. Dan ia lantas lari.
Ouw A pun lari menyusul. Si baju biru lari ke tegalan, tapi belum jauh, ia tercandak.
"Kau toh Touw Kin, penjaga kuburan Keluarga Oey?" tanya Kat Po.
"Bukan, bukan! Aku bukan Touw Kin," orang itu menyangkal, tapi romannya bingung.
"Kau benar atau bukan, hidungmu akan jadi buktinya" kata Kat Po, yang sambil memegang tangan orang, memakai ujung bajunya orang itu menyusut hidungnya.
Hanya sedetik, lantas nampak hidung sejati orang itu. Sebuah hidung yang merah sekali!
"Hampir kita terpedayakan!" kata Ouw A. "Kiranya dia menyembunyikan hidung merahnya!"
"Touw Kin, bukankah kau tahu bahwa kau sudah melakukan satu perbuatan busuk" " Kat Po tanya, bengis.
"Tidak, nona, tidak pernah aku berbuat busuk..." orang itu membantah.
"Bukankah bersama seorang kawanmu kau telah memperdayakan menculik seorang wanita yang kau keram di dalam rumah gubukmu" " Kat Po desak. "Kau jawablah!"
"Tidak, tidak!" orang itu menyangkal terus, kepalanya digoyang-goyangkan.
"Kau tetap menyangkal" " tanya Ouw A. "Awas, akan aku banting kau hingga mampus!"
Nona yang kuat ini sudah lantas mengangkat tubuh orang tinggi-tinggi.
"Lepas, lepaskan aku!" teriak Touw Kin. "Akan aku mengaku..." Ia takut sekali.
"Kau bicara terus terang, kau akan memperoleh keampunan," kata Kat Po. "Ouw A, kasi dia turun!"
Ouw A menurut. "Nah, lekas kau berikan pengakuanmu!" bentaknya.
"Sebenarnya akulah seorang baik-baik," berkata Touw Kin. "Kerjaku ialah menjagai pekuburan Keluarga Oey itu. Cuma aku doyan minum arak. Kemarin tengah hari aku kedatangan seorang kakakku dan sanak jauh, dia minta pinjam gubukku buat satu atau dua hari, buat menyembunyikan seorang perempuan. Aku dijanjikan upah setahil uang emas. Aku kemaruk, aku berikan gubukku itu. Lohornya kakakku itu datang bersama beberapa kawannya. Mereka membawa seorang wanita. Tadi lohor wanita itu sudah dimerdekakan."
"Siapakah itu orang bermuka kuning yang bergigi emas" " tanya Kat Po.
"Aku tidak kenal dia."
"Kau menyangkal pula, ya" "
"Memang aku tidak kenal dia, juga yang lain-lainnya. Aku cuma kenal kakakku itu, yang bernama Oey Hok Kin."
"Jadinya kakakmu itu menjadi konco bandit, bukan" " tanya Kat Po.
"Dia bukan bandit hanya tukang pukul..."
"Ha, tukang pukul!" sela Kat Po "Tukang pukul itu ialah buaya darat! Dia menjadi tukang pukul siapa" "
"Dia menjadi orangnya Siang Hoat, cabang atas yang mendapat julukan Pa-put-sie..."
"Pa-put-sie itu berarti kalau dihajar, dia tak pernah mati, maka itu, tentunya Siang Hoat itu si buaya besar!"
"Dimanakah tinggalnya dia" "
"Dia tinggal di sebelah barat Wu-chio-chang di Tsao-chiato, membuka toko barang kelontong. Isterinya bernama Kiang Kiauw Tin, jandanya Touw Eng Djin. Mereka menikah selekas kematiannya Eng Djin itu."
"Kenapa kau tahu hal mereka begini jelas?"
"Kakakku itu yang memberitahukannya."
"Apakah Siang Hoat mempunyai empat buah gigi emas" "
"Aku tidak tahu. Kemarin selama di gubukku, aku lihat si muka kuning seperti pemimpin mereka, semua orang menurut perintahnya. Kakakku pun menurut saja. Dia mungkin Siang Hoat."
Girang Kat Po dengan keterangannya Touw Kin itu. Kiang Kiauw Tin mesti si pemegang peranan utama, sebab dialah yang menyebabkan kematiannya Tong Soat Koan dan Tjoei Go. Maka ia pikir, asal ia menawan Kiauw Tin dan Siang Hoat, perkara itu bakal menjadi terang dan selesai.
Maka ia lantas merdekakan si hidung merah, lalu bersama Ouw A ia pergi dengan berjalan kaki, sampai mereka mendapatkan kereta roda tiga yang membawanya ke Tsao-chiato.
Hari sudah gelap ketika mereka sampai di depan toko kelontong Siang Hoat. Mereka melihat dua orang bocah usia belasan berada di depan toko. Rupanya kedua bocah itu menjadi pelayan toko.
"Sekarang kaulah yang menjaga di depan," kata Kat Po pada Ouw A. "Aku yang akan masuk ke dalam buat membekuk Kiang Kiauw Tin dan Siang Hoat."
Ouw A menurut, maka ia berdiri menyender di tiang lentera jalan besar dimuka toko. Kat Po terus bertindak memasuki toko itu.
"Bukankah ini tokonya Pa-put-sie Siang Hoat" " ia tanya kedua bocah itu.
Salah seorang bocah mengangguk.
"Apakah Siang Hoat ada di rumah" "
"Apakah kau mempunyai urusan dengannya" " bocah itu balik bertanya.
"Ya" "Guru kami tidak ada di rumah. Dapat kau berurusan dengan ibu guru kami, Subo Kiang Kiauw Tin."
"Mana dia ibu guru kamu itu" "
"Dia ada di atas lauwteng lagi tidur," sahut bocah yang lainnya. "Kau tunggu sebentar, nanti aku mengabarkan kedatanganmu kepadanya."
"Tak usah, nanti aku sendiri yang naik ke lauwteng!" Kat Po kata.
Ia takut Kiauw Tin curiga dan kabur, bahkan ia naik dengan menjejak meja, untuk berlompat. Tepat ia tiba di undakan tangga, di atas lauwteng terdengar berkeriningnya kelenengan. Ia tidak takut, ia naik terus. Baru ia naik kira dua per tiga tangga lauwteng, atau dan atas terlihat jatuhnya sehelai daun pintu!
Ia terkejut, lekas ia mengangkat kedua tangannya, untuk menjaga. Sudah berat, daun pintu itu menekan terus. Terang dari atas ada orang yang menolaknya.
Dengan tenaganya yang besar, Kat Po dapat bertahan. Dengan begitu, ia cuma terintang tetapi tak tertindih. Karena daun pintu sebesar mulut tangga, tak dapat ia naik terus. Toh dan sela-sela daun pintu itu, Ia melihat kakinya dua orang, sepasang kaki wanita dan sepasang kaki pria. Jelas sekali, mereka itulah yang menolak, yang bertahan.
Tengah kedua pihak berkutat, di bawah tangga muncul seorang lain. Ia bertindak berindap-indap menaiki undakan tangga, sebelah tangannya mencekal sebilah pisau belati. Bagaikan bayangan, ia menghampirkan si nona.
Kat Po mengerahkan tenaganya. Perlahan-lahan, daun pintu terangkat naik. Dua orang di atas itu kalah tenaga. Justeru itu orang yang mendatangi itu datang semakin dekat, secara mendadak ia menikam!
Berbareng dengan itu, dua orang di atas itu kewalahan. Mereka menghentikan percobaannya merintangi, mereka melepaskan daun pintu, terus mereka lari ke dalam kamar. Disaat itulah, tikaman sampai kepada tubuhnya si nona!
IX A Poan si detektip muda yang terokmok keluar dari rumahnya enam orang persaudaraan Lie. Ia bertindak di
jalan besar, perlahan gerakan kakinya, agaknya ia tak bertujuan. Ia menuju ke arah utara.
B?rbareng dengan itu, dan arah depannya, mendatangi seorang wanita. Selagi mereka berpisah masih jauh tak dapat ia melihat dengan tegas wajah wanita itu, akan tetapi ia mengenali pakaiannya ialah sweater dan wol dan celana jas yang panjang yang bersemu kuning muda.
Tak salah lagi, dialah In Hong si Burung Kenari. Hanya selagi si nona mendatangi kira belasan tindak lagi, tiba-tiba ia terkejut sendirinya.
Itulah sebab mendadak ia ingat halnya Oey Eng sudah dikuncikan di dalam oto oleh Tong Soat Koan dan telah diceburkan kedalam sungai Whang-poo! Jadi orang bukan mestinya Oey Eng...
Toh, dengan mendekatinya si wanita, ia mengenali In Hong!
"Oh!" ia berseru tertahan, lantas ia putar tubuh terokmoknya, untuk pergi lari.
"A Poan!" demikian suara panggilan, yang nyaring tetapi empuk.
A Poan kabur terus, hanya belum jauh, ia sudah tercandak In Hong, yang mengejarnya, yang menyambar lengannya.
"A Poan!" kata pula si nona.
"Nona, lepaskan aku..." seru A Poan, hatinya memukul. "Bukankah kita bersahabat erat" Maka untuk minta ganti jiwa, baik kau pergi kepada Detektip To saja..."
"A Poan!" kata si nona, "kemana perginya otakmu" Benarkah kau begini tolol dan bertakhayul" Kau kira aku si setan yang mati kelelap di dalam sungai" Ah!"
"Bukankah kau sudah mati di dasar sungai" " A Poan tanya.
"Memang aku kecemplung ke sungai tetapi aku tidak mati di dasarnya," sahut si nona, sabar.
"Oh, selamat, selamat!" A Poan akhirnya berseru. Mendadak ia menjadi girang sekali. "Nona In, aku beri selamat padamu! Hanya, nona, bagaimana caranya kamu lolos dan ancaman maut itu.
In Hong suka memberikan keterangannya.
"Oh. nona." kata si detektip bersyukur dan kagum. "Kamu berhasil menolong diri kamu, itulah berkat kecerdasan kau. Sekarang, nona, kemana kau hendak pergi" "
"Aku mau pergi ke rumah Keluarga Lie untuk menemui Hoe Sin dan Hoe Gan,"
"Aku baru saja dan rumah mereka itu. Dua-dua mereka tidak ada, katanya mereka telah pergi ke tempat dansa."
"Kalau begitu, hendak aku menyusul mereka di sana. Apakah kau mempunyai tempo" Mari kita pergi bersama."
A Poan setuju, maka ?a mengikut nona itu. Di tengah jalan, Ia memberikan keterangan halnya Lie Hoe Gan melihat setannya Tjoei Go jalan di tembok dan bahwa Hoe Sin tidak keruan-keruan mencoba menggantung diri. Ia pun menerangkan hash pemeriksaan mayatnya Ong Sie Koen.
"Coba pikir, Nona In," kemudian ?a menambahkan. "Tubuhnya Ong Sie Koen tidak terluka sama sekali, cuma di dalam paru-parunya kedapatan air sungai yang mengandung lumpur. Bukankah itu tanda bahwa dia benar mati kelelap" Buka?kah kematiannya itu aneh" Kenapa dia tidak kelelap di lain tempat justeru di tempat di mana
lebih dahulu daripada dia telah mati empat orang lainnya" Bukankah itu berarti bahwa benar setannya Tong Soat Koan lagi meminta ganti jiwa, bahwa setan itu telah menggunai pengaruh gaibnya membikin orang menerjunkan dirinya sendiri ke sungai di jembatan Tsing-shih itu" "
In Hong tidak menjawab, sebaliknya, keterangannya detektip itu ia pikirkan.
Tak lama tibalah mereka di Venus Dancing Hall dan berhasil menemui Hoe Gan dan Hoe Sin disaat Hoe Gan tengah berbicara dengan seorang setengah tua yang dandanannya rapih, menerangkan hal dia dan saudaranya diganggu setan. Melihat Hoe Gan kedatangan tetamu, orang itu mengundurkan diri.
A Poan lantas perkenalkan Oey Eng kepada dua saudara Lie itu serta ia menuturkan juga halnya si nona baru lolos dari ancaman malapetaka.


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nona In, syukur kau beruntung seperti kami!" kata Hoe Gan.
In Hong bersenyum. "Aku tidak mengarti," katanya, "kenapa kau percaya di dalam dunia ada setan, lebih-lebih kau percaya setan dapat mengganggu orang" "
"Nona, pandanganmu sama dengan pandangannya Phoa Djoe Hin," kata Hoe Gan. "Dia pun tidak percaya setan dan menganjurkan aku jangan kena disesatkan ketakhyulan. Akan tetapi kenyataannya ialah benar..."
"Siapa itu Phoa Djoe Hin" "
"Dialah orang yang barusan bicara dengan kami. Dia menjadi direktur Dancing Hall ini. Dia tidak percaya setan
tetapi mengenai pengalamanku, dia tidak dapat memecahkannya."
"Itulah tak heran. Disini kita bicara dari hal gangguan manusia, bukan lakon memedi!"
"Aku tidak sependapat dengan kau, nona. Kecuali kau dapat memberi penjelasan yang masuk dalam akalku..."
"Benar," A Poan nimbrung. "Sebelum nona memberikan bukti, tak dapat aku menyetujui kau..."
"Ya, Nona In. Aku ingat A Poan pernah membilangi aku bahwa nona ingin datang ke rumahku buat membekuk setan. Benarkah itu" "
"Benar. Hanya aku maksudkan manusia yang menyamar jadi hantu!"
Selama itu Hoe Sin, orang nomor lima dan persaudaraan Lie, berdiam saja.
Hoe Gan penasaran. Ia kata, "Bagaimana dengan pengalamanku itu malam ketika aku bertemu dengan setannya Tong Soat Koan" Di tengah jalan besar, dia mendadak berada di depanku, lalu mendadak pula di belakangku! Kalau dia benar manusia, bagaimana dia dapat bergerak sesebat itu" "
"Mengenai ini pasti saja aku memberikan jawabanku," sahut In Hong tenang.
"Inilah soal pertama, yang kau tidak dapat segera menjelaskannya," kata Hoe Gan pula. "Sekarang lainnya hal. Kenapa pada tubuh dia ada bau tanah dan rumput segar" Apa pada tubuh manusia ada bau demikian macam" "
"Ada kemungkinan dia telah memakai patih rumput atau air lumpur pada tubuh atau rambutnya"
"Ya, itu mungkin juga. Bagaimana dengan itu uang, yang dapat berkentring nyaring, lalu menjadi uang-uangan yang diperantikan dikirim ke alam baka" Aku minta uang dan dia, lalu uang ifti menjadi uang-uangan yang memakai timah" Bagaimana nona menjelaskannya itu" "
"Dalam hal uang yang dapat berubah itu, mestinya di Dancing Hall ada seorang yang bersekongkol atau berkerja sama dengannya, yang menukar uang dengan uang-uangan. Mengenai uang di sakumu, itulah uang yang di tengah jalan dia curi dari sakumu, yang dia tukar dengan uang-uangan sebagai gantinya."
"Ya, ini pun ada kemungkinannya. Sekarang kejadian selama di jembatan. Aku lari ke sebelah timur, Tong Soat Koan sudah menantikan di ujung timur itu. Ketika aku lari ke barat, dia sudah menantikan di barat juga. Kalau dia benar manusia, tak dapat dia berlari-lari mundar mandir secepat itu..."
"Apakah kau telah melihat tegas roman dia" " In Hong balik bertanya.
"Diwaktu gelap seperti itu, tak dapat aku melihat nyata. hanya pakaiannya, dapat aku melihatnya. Pakaian itu sama saja. Bagaimana pendapatmu, nona" "
"Ini juga nanti saja aku menjawabnya."
"Aku rasa, tak dapat kau menjelaskannya, nona. Malam itu, habis dan tempat dansa, aku pulang. Selagi memegang palangan tangga, tanganku kotor, maka aku terus pergi ke kamar mandi di tingkat tiga, untuk mencucinya. Tiba-tiba aku melihat Tjoei Go lagi bergelantungan pada lehernya. Aku lari ke kamar tidurku, atau di tingkat dua, aku melihat dia sudah menantikan aku di bawah tangga... Kalau dia manusia, dapatkah dan kamar mandi dia begitu cepat berada di dalam kamar lalu di kaki tangga" "
"Juga pertanyaan ini, aku mesti menunda untuk menjawabnya."
"Kemarin dulu rnalam aku pulang dan tempat dansa, dan kamarku aku melihat Tjoei Go tergantung bergelayutan di luar jendela utara, lalu dia berjalan di tembok gudang sebelah depan. Aku lantas memanggil kakakku yang nomor empat serta isterinya, mereka itu juga melihatTjoei Go jalan ditembok, lantas dalam sekejap, dia bergelantungan pula seperti lagi main ayunan! Jarak diantara jendela utara dan tembok gudang itu sedikitnya dua puluh kaki Iebih. Dapatkah itu dilakukan oleh seorang manusia" Nona In, apakah pendapatmu" "
"Tentang itu, A Poan pernah menjelaskan padaku. Buat sesaat ini, belum bersedia aku menjawabnya."
A Poan merasa tak enak hati. Ia melihat Oey Eng terdesak Hoe Gan.
Hoe Gan berkata pula, "Aku tahu, Nona, tak dapat kau menjawab semua itu. Sekarang tidak, nanti juga tidak. Sekarang ada satu soal lagi, yang paling penting. Kakak Hoe Sin melihat Tjoei Go main ayunan di luar kamar tidur, di luar jendela, habis itu lantas kakak menggantung dirinya sendiri di undakan tangga. Syukur aku kebetulan pulang dan dapat aku segera menolongnya, kalau tidak, tentulah kakak akan mati tergantung. Mengenai ini, apakah pendapat nona" "
"Maaf, juga ini tak dapat aku menjawabnya sekarang," In Hong.
"Nona In," kata Hoe Gan pula, "semua pertanyaanku hampir kau tak dapat menjawabnya. Sebenarnya, apakah itu perbuatan manusia atau memedi" "
"Itulah permainan memedi," sahut In Hong, "hanya memedi itu ialah manusia yang menyamar! Itulah pasti sekali!"
"Jadinya manusia menyamar sebagai memedi dan mempermainkan kami?" kata Hoe Gan. "Tidak, tidak! Kami berenam saudara, kami tidak mempunyai musuh! Pula tak mungkin ada orang yang demikian berpengaruh dapat mempengaruhkan kakakku sampai dia sudi menggantung diri!"
"Tuan Lie Hoe Sin, benarkah kau mau sendiri menggantung diri?" In Hong tanya orang she Lie yang nomor lima itu, yang sejak tadi berdiam saja.
"Aku tak tahu jelas," sahut orang yang ditanya. "Aku melihat seorang perempuan bergelantungan main ayunan di luar kamarku, ketika aku mementang jendela, untuk melihat tegas, dia lenyap secara mendadak. Tatkala itu aku merasa bahwa aku tengah berkhayal. Lantas aku memejamkan mataku, untuk tidur, lalu tanpa merasa, tubuhku telah tergantung di tengah-tengah tangga..."
Bicaranya Hoe Sin kurang tegas. Dia telah kehilangan empat buah giginya. Kalau dia bicara, angin molos disela-sela gigi ompong itu. Pantaslah kalau dia jadi pendiam.
"Tuan Lie, apakah baru yang belakangan ini saja kau mencabut empat buah gigimu" " In Hong tanya.
Mukanya orang she Lie itu bersemu merah, tetapi dia mengangguk dengan perlahan.
"Nona In, matamu tajam sekali," Hoe Gan mewakilkan kakaknya menjawab. "Sejak masih muda, giginya kakakku sudah kurang sehat, maka itu, dia telah memakai delapan buah gigi palsu. Baru saja tadi pagi, empat buah gigi emasnya rusak, tak leluasa dia berbicara, maka itu, empat
buah gigi yang rusak itu dia telah loloskan, diserahkan pada dokter gigi untuk ditukar dengan yang baru, dengan gigi porselen saja."
In Hong mengangguk untuk keterangan itu, akan tetapi kepada Hoe Sin, ia bicara terus. Ia tanya, "Tuan Lie, kemarin dahulu jauh lohor, kira jam enam, benarkah ada seorang yang bernama Ong Sie Koen berbicara telepon denganmu mengajak kau pergi ke cafe untuk memasang omong" "
"Ya, benar," sahut Hoe Sin, agak tergugu. "Hanya dua jam aku menantikan di sana, tidak juga Ong Sie Koen muncul."
"Kamu berjanji untuk bertemu, urusan apakah itu yang hendak dibicarakan" "
"Entah urusan apa. Aku mengenal dia disebabkan aku bertemu dengannya baru satu atau dua kali di tempat dansa." ketika itu seorang pelayan datang menyeduh teh mereka, kemudian dia pergi ke meja lainnya.
"Tuan Lie," tanya pula si nona, "di dalam rumah kamu berenam, selama yang paling belakang ini, pernah terjadi sesuatu kesulitan atau tidak" "
"Kita berenam sangat rukun satu sama lain," Hoe Gan kembali mewakilkan saudaranya menjawab, "apa yang mengganggu, yang menimbulkan kegaduhan, ialah lakon setan itu!"
"Aku maksudkan kalau-kalau ada terjadi sesuatu yang lainnya, yang istimewa?"
"Tidak, tidak ada," sahut Hoe Gan pula, "kecuali ada tiga makelar tanah yang dengan mendesak hendak membeli rurnah kediaman kita serta tanah pekarangan di sekitarnya..."
"Oh! Bukankah itu suatu urusan yang istimewa" " kata In Hong. "Memang biasanya makelar persil suka sekali menjual belikan rumah atau tanah kosong, sebab dengan begitu dia jadi akan mendapatkan uang kaget. Kamu tidak sudi menjual rumah kamu, bukankah?"
"Aku bersama kakakku ini setuju sekali buat menjualnya," kata Hoe Gan. "Kami menganggap rumah kami tidak memberuntungi kami karena timbulnya setan itu. Keempat saudaraku yang lainnya sebaliknya sangat tak menyetujuinya, mereka katanya sangat merasa senang tinggal di rumah kami serta pekarangan di sekitarnya."
"Bukankah ketiga makelar itu mencoba membeli rumah kamu dengan mereka berpisah masing-masing?" tanya In Hong.
"Ya, mereka berpisahan tetapi datangnya hampir setiap hari bergantian. Mereka membujuki kami. Kesudahannya kakak kami yang nomor satu jadi habis sabar, maka juga tadi pagi dia memesan pengawal pintu untuk selanjutnya melarang ketiga makelar itu menginjak lagi rumah kami!"
"Tahukah kau, ketiga makelar itu dan perusahaan mana" "
"Mereka bukan pegawai perusahaan, mereka bekerja sendiri."
"Apakah mereka pernah menyebut namanya orang atau orang-orang yang hendak membeli rumah dan tanah itu" "
"Mereka kata, sebelum pembicaraan beres, tak mau mereka menyebut namanya si calon pembeli."
"Jikalau begitu, berani aku pastikan," kata In Hong akhirnya, "bahwa lakon setan dalam rumah kamu itu ada hubungannya dengan usahanya si makelar membeli rumah kamu, ya, hubungan yang erat sekali!"
"Ah, rasaku tak mungkin!" kata Hoe Gan, menggeleng kepalanya. "Ketika rumah masih menjadi miliknya Kiang Kiauw Tin, memang ada seorang budak perempuan bernama Tjoei Go yang mati menggantung diri di sini, dan tempo Tan Tek Song yang memilikinya, Tek Seng juga tidak kerasan mendiaminya, karenanya dia telah jual kepada kami. Laginya tidak ada sesuatu yang istimewa pada rumah ini, karena inilah rumah biasa saja. Kenapakah orang sangat mengingininya" Kawanan makelar itu berani membeli dengan harga satu lipat lebih tinggi daripada harga yang layaknya. Coba tidak empat saudara kami ini mencegah, siang-siang kami sudah melepasnya kepada salah seorang makelar itu."
"Bukankah mereka hendak membeli berikut tanah pekarangan di sekitarnya" " In Hong menegaskan.
"Benar. Katanya mereka tidak mau membeli rumah tanpa pekarangan."
"Sekarang, dapatkah kamu menemani aku melihat-lihat rumah kamu berikut pekarangannya itu?" In Hong tanya.
"Dengan segala senang hati," sahut Hoe Gan.
Benar seperti katanya tuan rumah yang bungsu itu, rumah Keluarga Lie rumah biasa saja. Di tingkat bawah ada kamar tetamu, kamar bersantap dan ruang kantoran. Di tingkat kedua dan ketiga, ada masing-masing dua buah kamar tidur yang besar yang menghadap ke selatan, semua itu ditempati keempat saudara Lie yang sudah menikah. Di tingkat kedua, ada sebuah kamar tidur yang menghadap ke utara, kamar itu ditempati Hoe Sin. Hoe Gan sendiri tidur di sebuah kamar di tingkat ketiga, yang menghadap ke utara juga.
Di pinggir tangga dan tingkat kedua dan ketiga, masing-masing ada jendclanya yang sama-sama menghadap ke
utara, yang memakai kaca remuk. Luarnya jendela itu ialah sebuah lorong kecil. Di depan itu adanya gudang yang bertingkat empat. Bertetangga dengan rumah ini ada sebuah gedung besar dan indah tetapi tanpa taman dan juga tidak ada yang tinggali.
Di sebelah kiri rumah Keluarga Lie ini ada sebuah pekarangan, yang luas sekali, yang dipakai Keluarga Lie sebagai bengkel reparasi kereta bermotor, sebagaimana di situ nampak beberapa buah oto yang lagi dibikin betul.
Pondokan pegawai pabrik, sejumlah enam puluh orang lebih, merupakan sebuah gubuk buruk di sebelah kiri rumah Keluarga Lie itu. Tembokan pondokan itu separuh tembok dan separuh seng. Temboknya ialah tembok keluarga itu, dan lantainya tanah kuning. Di dalam bengkel, kuli-kuli sedang bekerja.
Habis melihat-lihat, In Hong semua pergi ke ruang tamu. Hoe Sin tidak menemani lebih lama. Dia agaknya tak begitu senang yang si nona memeriksa rumahnya itu, dia mengundurkan diri dengan menggunai alasan.
"Keempat kakakmu pandai ilmu teknik, bukan" " In Hong tanya. "Mereka toh yang memimpin bengkel reparasi" "
"Benar," Hoe Gan mengangguk. "Cuma kami berdua yang asing dengan mesin-mesin. Sebabnya ialah kami tidak menyukai pekerjaan semacam itu."
"Apakah kakakmu yang sulung, Hoe Djin, berada di rumah" "
"Katanya dia lagi keluar berhubung dengan urusan bengkelnya."
"Ketika kamu baru membeli rumah ini, bukankah bengkel itu bekas lapangan tenis" "
"Benar. Tadinya rumah ditempati Kiang Kiauw Tin dan lapangan tenisnya disewakan kepada sebuah perkumpulan, bertepatan habis kontrak mereka, kami membelinya, maka itu kami ambil pulang pekarangan itu dan kami pakai sebagai bengkel"
"Bukankah tembok seng itu dibangun oleh perkumpulan tenis itti" "
"Tidak salah. Mereka membangunnya sebagai tempat beristirahat. Kakakku Hoe Djin yang pakai itu sebagai pondokan kuli. Tembok papan di bagian timur dan utaranya baru ditambah,"
"Ah," kata In Hong, "kakakmu bernama Hoe Djin, artinya, dia kaya dengan rasa perikemanusiaan atau cinta kasih, tetapi tidak sesuai nyatanya. Buktinya, dia justeru put jin, yaitu tidak ada rasa kasihannya! Kenapa dia membangun pondokan buruhnya demikian buruk" Apakah pondokan itu terpakai teorus tiap siang dan malam?"
"Ya. Semua buruh kami berasal dari kampung, di sini tidak ada yang mempunyai rumah atau pondokan lain."
"Gubuk seng yang baru itu, bukankah itu bangunan kamu?"
"Benar, nona. Kau menanyakan sampai segala urusan remeh begini, adakah itu hubungannya dengan perkara si setan mati gantung diri dan setan air itu?"
"Ada hubungannya yang erat!" sahut si nona. "Soal-soal tadi yang kau ajukan, yang aku tidak dapat lantas jawab, sekarang dapat aku beberkan satu demi satu. Kau kata waktu kau menemukan Tong Soat Koan, dia mendadak ada di belakangmu, lalu mendadak pula berada di depanmu. Kau merasa aneh, bukan" Sebenarnya itulah soal yang sederhana sekali. Itulah disebabkan adanya dua orang
wanita, yang potongan muka dan tubuhnya mirip satu sama lain, yang berdandan sebagai Tong Soat Koan. Mereka itu masing-masing di kedua ujung jembatan, dengan begitu, kau kena dibuat kaget dan heran karenanya. Demikian juga halnya dengan Tjoei Go yang tampak di kamar tidur dan di kaki lauwteng tingkat dua. Lebih mudah menyamar jadi Tjoei Go daripada menyaru menjadi Tong Soat Koan..."
"Ketika malam itu aku berteriak, beberapa saudaraku datang dengan segera," kata Hoe Gan, "tetapi mereka itu tidak menemui orang asing siapa juga. Kalau Tjoei Go bukannya setan hanya manusia hidup yang menyamarnya, habis kemana perginya dua orang yang menyamar menjadi dianya itu" "
Orang she Lie ini menunjuk roman heran dan sangat tak percaya.
"Tjoei Go di kaki lauwteng tingkat dua itu, kabur dan jendela di betulan tangga dan Tjoei Go yang di dalam kamarmu, menyingkir dari jendela kamar," sahut In Hong. "Dengan sendirinya, mereka juga masuk dengan jalan jendela itu masing-masing. Sekarang aku tanya kau, biasanya setiap kamu naik di undakan tangga lauwteng, kamu pernah mendapatkan pegangan tangga itu kotor atau tidak, kotor dengan arang atau lainnya" "
"Tidak," sahut Hoe Gan.
"Mereka itu tahu baik kebiasaanmu saban malam pulang dan tempat dansa jam berapa serta halnya kau suka meraba-raba pegangan tangga lauwteng di dalam gelap gulita. Untuk membikin supaya kau mesti pergi dulu ke kamar mandi untuk mencuci tangan, sengaja pegangan tangga itu dikotorkan dengan arang atau lainnya, supaya kau tertipu mereka. Halnya Tjoei Go dapat jalan di tembok dan main ayunan di luar jendela sambil dia menggantung diri, itulah
soal yang mudah sekali. Mereka yang menyamar menjadi Tjoei Go itu pasti sekali mengarti silat serta ilmu lunak dan keras, atau mungkin sekali mereka pernah turut main dalam sirkus atau biasa membuka pertunjukan seperti kebanyakan orang Kang-ouw. Untukmu, kecuali setan, tentu tidak ada manusia yang dapat jalan rebah melintang di tembok, bukan" "
Hoe Gan mengangguk. "Kenyataannya," kata In Hong pula, "orang itu dapat berjalan di tembok, karena dia ada pembantunya, yang berada di atas genteng gudang, yang mengulur tambang yang hitam, buat mengikat tubuhnya, hingga dia tinggal menggeraki saja kaki dan tangannya, seperti orang yang lagi bertindak jalan. Sengaja mereka memperlihatkan diri di tempat guram, supaya kau tidak dapat melihat tambang itu, dan apa yang terlihat hanya samar-samar, dan sinar api dan kamar kosong di sebelahnya. Sengaja mereka pakai gudang tempat beraksinya itu. Kalau tidak, mana bisa api itu menyala dan padam seketika" Tentang Tjoei Go muncul di luar jendela dan jalan di tembok, biarnya bergantian, teranglah orangnya terdiri dan dua orang. Ialah, yang main ayunan satu orang, yang jalan di tembok satu orang lain."
"Habis, bagaimana dengan halnya kakakku menggantung dirinya" " tanya Hoe Gan, yang mulai mengarti.
"Hal kamu itu mempunyai dua macam pengertian. Pertama tentang kakakmu. Disaat dia tidur, orang menghampirkannya dan membikin dia pingsan dengan obat pulas, lantas dia dikalungi tambang. Tapi mereka tidak mau membikin kakakmu itu mati. Maka mereka menggantungnya disaat yang dipilih, yang tepat, yaitu selagi kau baru pulang dari tempat dansa, hingga kau sempat menolongi dia. Kenapa mereka tidak mau
membunuh kakakmu itu" Itulah sebab dia, seperti juga kau, setuju untuk menjual rumah kamu. Kau kecemplung di sungai di jembatan Tsing-shih, di tempat yang sunyi itu, bahkan di waktu malam. Kenapa demikian kebetulan, di waktu demikian itu, ada orang menolongimu" Itulah sebab kau juga setuju menjual rumahmu. Dalam hal ini, pasti bahwa orang sudah merencanakannya dengan baik sekali. Mereka tahu kau bersahabat dengan A Poan, dan siang-siang mereka sudah menyiarkan berita setan-setannya Tong Soat Koan yang mati kelelap dan Tjoei Go yang menggantung diri hendak meminta korban-korban pengganti jiwa. Mereka mau pinjam mulutmu, supaya polisi percaya berita atas cerita mereka itu, supaya perkara itu dapat ditutup secara mudah. Bukankah sepak terjang setan tak usah diselidiki terlebih jauh" Si penjual sayur itu juga konco mereka, sedangkan Liok Djin Kiat yang itu malam kau ketemukan di tempat dansa, dia pun menjadi pembantu mereka itu..."
"Mengenai Liok Djin Kiat, kau keliru menerka, nona," kata Hoe Gan. "Liok Djin Kiat justeru yang menasihati aku supaya jangan aku percaya setan atau takhayul, supaya aku jangan mengacaukan diriku sendiri."
"Walau pun dia menasihati kau jangan percaya takhayul tetapi maksudnya yang benar mestinya supaya kau mengarti jelas tentang lakon Tjoei Go itu. Bukankah malam itu, sepulangnya kau dan tempat dansa, kau telah melihat Tjoei Go di kamar mandi, di dalam kamarmu dan di bawah lauwteng tingkat dua" Sekarang mari aku tanya kau, kenapa setannya Tjoei Go tidak muncul beberapa malam yang lalu hanya justeru setelah kau berbicara dengan Liok Djin Kiat, setelah kau ketahui tentang nasibnya budak perempuan itu" Jikalau kau suka memikirkannya dengan
tenang, tidak nanti kau percaya hal adanya setan yang minta ganti jiwa!"
"Habis, bagaimana kau artikan dengan halnya kakakku menggantung diri" "
"Dia tentunya membunuh diri karena ada suatu sebab lain"
"Nona In, penjelasanmu ini tidak dapat memuaskan aku. Tong Soat Koan membuang diri ke sungai dan Tjoei Go menggantung dirinya, itulah bukan kejadian yang dibuat di dalam satu saat saja. Jauh sebelum kami membeli rumah kami, peristiwa itu sudah terjadi!"
"Memang benar kematiannya Tong Soat Koan dan Tjoei Go terjadi jauh lebih lama, tetapi justeru karena dua kejadian itu, orang mendapat alasan memainkan lakon munculnya setan mereka yang meminta ganti jiwa. Dengan begitu mudahlah mereka beraksi! Mereka mempunyai maksud besar dan sangat buruk!"
"Maksud besar dan buruk, Nona In" " kata Hoe Gan, heran. "Bukankah itu berarti soal kecil diperbesar" Mungkinkah itu dilakukan cuma sebab mereka ingin membeli rumah kami yang sederhana ini" "
"Memang, rumah ini tak ada keistimewaannya!" A Poan kata.
"Tentang ini, belum ada kesimpulanku," In Hong memberitahukan. "Tapi aku percaya didalam tempo yang singkat akan aku memperolehnya."
Segera nona ini memohon mengundurkan diri, bersama A Poan. ia berjalan dengan tindakan perlahan, sembari berjalan itu ia mengambil kesempatan memberitahukan si terokmok tentang lakonnya Wie Menny atau nyonya Ong Sie Koen.
"Jikalau begitu," kata A Poan, "tidak salah lagi, si muka kuning seperti lilin itulah yang menyamar, yang menjadi peran utama dalam peristiwa ini. Tadinya aku percaya lakon setan, tak tahunya, semua inilah akal muslihat yang liehay! Menny bilang dia mempunyai empat buah gigi emas, justeru pagi tadi Lie Hoe Sin yang pendiam itu telah menyingkirkan gigi emasnya. Kenapa dia tidak menukar giginya sebelum Menny diculik atau lewat beberapa hari setelah penculikan itu" Kenapa hanya baru sehang satu hari saja" Laginya, Ong Sie Koen menelepon Lie Hoe Sin, menjanjikan pertemuan di dalam warung teh, tapi justeru lohornya, sesudah Sie Koen pergi, dia terus hilang jiwanya! Ada apakah hubungannya diantara mereka itu berdua" Sedangkan tadi, selama di tempat dansa, aku lihat Hoe Sin tidak puas mendengar kau menanyakan segala sesuatu mengenai keluarganya. Melihat dari semua itu, sungguh Hoe Sin mencurigakan! Diakah si pemegang peran utama?"
X Kat Po mendapat lihat orang membokongnya. Di dalam hatinya segera ia mengarti bahwa ia sedang dijebak. Tidak ayal lagi ia memutar tubuhnya seraya melayangkan sebelah kakinya, menendang penyerangnya itu.
Ia mendupak ke dada kiri, keras sekali dupakannya itu, maka si penyerang roboh bergelantungan, terus jatuh ke kaki tangga, untuk rebah tak berkutik pula dan dan mulutnya keluar darah hidup!
Akan tetapi serangannya pembokong itu juga mengcnai tepat betis si nona, hanya Kat Po tidak menghiraukan lukanya, dia cabut pisau belati yang nancap di betisnya.
Sembari membawa itu, dengan kaki borboran darah, ia lari naik ke lauwteng tingkat dua, maksudnya mencari si
kepala penjahat Kiang Kiauw Tin, untuk membekuknya, guna menumpas aksi kejahatannya terlebih jauh.
Sampai di atas, Nona Kat mendapatkan pintu kamar tertutup dan terkunci. Tanpa bersangsi, ia menggempurnya, dengan pundaknya.
Ketika daun pintu menjeblak, ia melihat dua orang berada di dalam kamar itu. Yang satu ialah seorang pria dengan pakaiannya setengah baru, yang lainnya seorang wanita dengan tubuh langsing dan roman elok. Hanya keduanya segera lari menyingkir dengan melompati jendela!
Ia menguber ke jendela, untuk melongok ke bawah. Dua orang itu lari di jalan besar, Ouw A tampak mengejarnya. Tanpa bersangsi pula, ia juga lompat keluar dan jendela itu, untuk turut mengejar.
Di dalam keadaan biasa, lompatan itu tidak berarti, hanya sekarang, selagi betisnya terluka, ia terhambat, maka dengan sendirinya, lukanya bertambah nyerinya. Tapi ia penasaran, ingin ia membekuk kedua orang itu, dengan menahan sakit, ia paksa lari mengejar!
Kedua orang itu, pria dan wanita, lari ke arah gang yang sunyi dan buruk keadaannya. Ouw A mengejar terus, ia disusul Kat Po, kakak seperguruannya itu.
"Kat Po," kata Ouw A sambil mengejar, "pria itu, yang mengenakan pakaian jas abu-abu, dialah orang yang di dalam rumah makan di Tsao-ho-ching berbicara dengan si hidung merah!"
"Sayang aku alpa," sahut Kat Po. "Seharusnya sejak di Tsao-ho-ching tadi aku sudah mencurigai dia. Baiklah, sekarang mereka tak dapat dikasi lolos pula!"
Dan ia mengejar terus. Orang berlari-lari, berkejar-kejaran. Tidak lama, lewat di lorong yang buruk itu, mereka sampai di sebuah tempat terbuka, pekarangan yang tiga penjurunya terkurung pagar pohon bambu, sedangkan di bagian selatannya, di luar pagar adaIah jalan besar yang lebar tetapi sunyi di mana ada sebuah lentera dengan sinar apinya kuning dan guram, hingga dengan begitu terlihat di dalam pekarangan itu pelbagai macam batu yang merupakan rupa-rupa macam alat berolahraga. Di bagian yang tak terpagar bambu itu ada sebuah gang kecil yang menjurus pada belasan rumah tinggal serta sebuah warung teh yang besar.
"Kat Po, apakah kau terluka" " tanya Ouw A. "Kakimu berdarah! Mari kita pulang saja!"
Kat Po mengenakan celana putih maka diantara sinar lampu, walaupun guram, terlihat tegas darahnya yang merah.
"Kakiku kena tertikam musuh!" sahut Kat Po, yang lupa akan rasa nyerinya, "tapi tak apa untuk menumpas penjahat besar, itulah tak ada artinya!"
Kedua orang yang dikejar itu, setibanya di dalam tempat terbuka itu, sudah lantas berteriak-teriak beberapa kali. Atas itu dari dalam warung teh lantas muncul empat puluh lebih orang, yang semuanya buaya darat, segera mereka maju mengurung Kat Po berdua Mereka itu membawa thie-chio, pisau belati, toya dan lainnya senjata.
Sepasang wanita dan pria itu, yang lari ke dalam warung teh, sudah muncul pula dengan cepat, sekarang mereka pada mencekal sebilah pisau belati yang mengkilat, mereka mencampuri diri di antara puluhan orang itu, untuk turut mengepung kedua nona.
"Awas kepala anjingmu!" seru Ouw A sambil ia meninju kepalanya seorang musuh.
Buaya darat itu sudah berpengalaman dalam pertempuran tetapi dia tidak menyangka ada musuh yang berkelahi dengan menyerang kepala sambil diberitahukan, maka ia menerka si nona cuma mengancam, Ia berwaspada terhadap lain-lain anggauta tubuhnya.
Nyata ia keliru menerka. Ouw A memang membawa kebiasaannya. Tak pernah dia mau mendusta atau menggertak saja. Benar-benar dia menyerang ke arah kepala. Maka celakalah si buaya darat, sia-sia belaka dia menangkis atau berkelit, kepalanya sudah terhajar terlebih dahulu. Tak ampun lagi, robohlah dia setengah mati, tubuhnya tak berkutik!
Ouw A sendiri lantas mencari lain musuh lagi.
"Awas dada anjingmu!" ia berseru pula.
Seorang buaya darat bernama A Eng sama pendapat seperti kawannya yang roboh itu, dia menyangka Ouw A menggertak padanya, dia menyerang, akan tetapi Ouw A dului dia.
Dalam kagetnya, dia berkelit tetapi tidak urung, pundaknya kena tertolak keras, maka dia terpental setombak lebih. Sambil berteriak dia merayap bangun, untuk memperingati konco-konconya. Karena itu, kawanan buaya darat itu jadi berlaku cerdik, saban-saban mereka mendahului bersiap sedia.
Ouw A gagah, dia berkelahi terus.
Dilain pihak, Kat Po pun kena dikurung.
Lama-lama, kawanan buaya darat itu kewalahan juga. Separuh dan mereka roboh atau terluka. Lantas si wanita, yang tubuhnya langsing, berseru, "Lekas panggil guru kamu!"
"Tak usah dipanggil! Suhu sudah datang!" menjawab seorang buaya darat.
Ouw A dan Kat Po melirik. Segera ia melihat datangnya seorang yang bertubuh tinggi dan besar, yang romannya bengis. Dia muncul berlari-lari dan sebuah gang kecil.
"Siapa berani berlingkah di sini?" dia itu bertanya, keras. Begitu dia tiba, dia lantas menyerang kepada Ouw A.
Datangnya orang ini, yang dikatakan guru, merobah suasana. Kawanan buaya darat itu tak terdesak terus.
"Apakah kau Pa-put-sie Siang Hoat" " tanya Ouw A sambil melayani. "Jagalah kepala anjingmu!"
"Kau kenal aku, lekas kau minta ampun!" kata orang yang ditegur itu, yang benar-benar Siang Hoat adanya, Si jago yang "tak pernah mati".
"Hm! Kaulah Pa-put-sie Siang Hoat, aku justeru hendak menghajarmu mampus!" seru Ouw A. "Kau jagalah dada anjingmu! Jagalah pinggang anjingmu Awas perut anjingmu!"
Siang Hoat liehay, dia juga berpengalaman, karena itu justeru Ouw A menyerang sambil saban-saban menyebutkan anggauta tubuh yang diarahnya, dia selalu dapat menolong dirinya dan pelbagai serangan si nona. Hanya, karena dirabuh itu, dia repot juga. Dia pula sangat mendongkol karena dia selalu disebut-sebut sebagai anjing!
Dengan Siang Hoat melayani Ouw A, kawanan buaya darat lantas meluruk semua kepada Kat Po. Inilah berbahaya buat nona itu.
Dalam keadaan biasa, dia dapat bertahan. Sekarang lain. Lukanya tetap mendatangkan rasa nyeri dan darahnya
masih terus meleleh keluar. Ia tidak lagi dapat bergerak dengan merdeka.
Sudah begitu, kembali ada golok yang melesat mengenai ia. Bacokan itu tidak berbahaya tetapi toh darahnya menambah keluar. Demikian, ia jadi kena terkurung hebat.
Diantara rombongan penyerang, yang paling licik adalah si nyonya langsing serta kawannya itu yang mengenakan pakaian jas. Dengan senjatanya masing-masing, sebilah pisau belati mereka menyerang disaat lawannya terdesak atau lagi membaliki belakang kepada mereka. Mereka gesit sekali, dapat mereka mundur dengan cepat setiap kali Kat Po merangsak kepada mereka.
Cara berkelahi kawanan penjahat itu menuruti ajarannya Kiang Kiauw Tin si cerdik dan licin. Hal itu membuat dadanya Kat Po panas sekali, saking ia mendongkol.
Karena itu, ia jadi berkelahi sampai ia melupakan dirinya, hingga ia tak dapat menggunai lagi kecerdasannya. Ia cuma ingin dapat membekuk si wanita langsing, ialah Kiang Kiauw Tin, dan laki-laki dengan baju abu-abu itu.
Sementara itu, di tempat yang sepi itu, mulai tampak munculnya beberapa orang, yang kebetulan berlalu-lintas di situ. Mereka lantas berhenti untuk menonton dan luar pagar.
"Kembali kawanan buaya darat itu menghina orang," kata satu diantaranya. Dialah seorang tua, yang menjadi salah seorang penduduk berdekatan, yang pernah diganggu kawanan itu.
"Nona itu telah terluka, darahnya keluar terus, lama-lama dia bisa celaka... Baik kita melaporkan pada kantor polisi terdekat atau orang polisi yang bertugas di ujung jalan itu..."
"Apakah gunanya itu" kata seorang tua lainnya. "Kawanan ini biasa tidak menghiraukan polisi! Kalau tidak, tidak nanti mereka berani mengganas begini rupa..."
"Memang," kata orang yang ketiga. "Dulu pernah terjadi pertempuran seperti ini, lantas orang polisi yang terdekat diberitahukan, lantas dia datang, tetapi ketika dia sudah mengintai di antara pagar, dia kata, "Aku sendiri saja, tidak dapat aku menawan mereka itu, nanti aku pulang dulu ke kantor buat minta bantuan." Dia lantas pergi, sampai lama baru dia muncul bersama tujuh atau delapan kawannya. Kawanan buaya darat itu liehay, tempo polisi datang, mereka sudah pada menghilang. Yang ditangkap polisi justeru dua orang penduduk, yang segan diperas buaya darat itu, dan mereka justeru lagi terluka dan rebah karena dikeroyok..."
"Ya, entah berapa banyak orang yang pernah dicelakai kawanan ini," kata orang yang keempat. "Tapi, aku rasa, kali ini mereka tentu tidak akan berhasil... Lihat nona yang berpakaian putih itu, dia sudah terluka, dia tetap gagah, sedang kawannya, meski ia agak tolol, ia kosen sekali, ia membuat Siang Hoat terdesak dan kewalahan..."
"Aneh si nona berpakaian hitam itu," kata seorang lainnya lagi. "Kenapa dia demikian tolol, selagi mau menyerang, dia selalu menyebut arah anggauta tubuh yang hendak diserangnya itu" Bukankah dengan begitu musuh jadi dapat bersiaga siangsiang" Lihat, dia selalu gagal dengan serangannya. Dengan begitu Siang Hoat benar-benar akan terhajar tanpa bisa mati!"
"Siang Hoat liehay tetapi dia kalah licik daripada isterinya, Kiang Kiauw Tin," ada lagi lain orang, yang berbicara. "Kiauw Tin licik dan telengas sekali, dia pula lebih kosen daripada suaminya. Dan dialah yang biasa mengatur segala rencana dan siasatnya! Lihat itu, dia selalu
main curang, main membokong saja! Senantiasa dia bekerja sama Hok Kin."
Teranglah orang yang berbicara belakangan ini ketahui jelas hal ikhwalnya Kiang Kiauw Tin dan Siang Hoat. Menurut dia, Kiauw Tin mempunyai seorang adik, namanya Kiauw Eng.
Si adik cantik dan potongan muka dan tubuhnya sama dengan kakaknya. Ia pun cerdik dan telengas seperti kakaknya itu. Mereka berdua kosen sebab ayah mereka berasal seorang bandit besar di Kwan-gwa, baru kemudian mereka berdua pindah ke Shanghai, mulanya dengan menjual silat.
Mereka pindah ke Shanghai ini sebab ayah mereka mati dalam satu keributan diantara kaum sendiri. Kiauw Tin menikah dengan Touw Eng Djin, si hidung belang, lalu kemudian dia ikut Siang Hoat.
Kiauw Eng sebaliknya menikah dengan Hok Kin, muridnya orang she Siang itu, dengan begitu, mereka jadi dapat bekerja sama dan jadi terlebih ganas pula.
"Ha, lihat, lihat!" seru seorang. "Lihat Pa-put-sie yang menempur si nona baju hitam itu! Mereka seperti sedang berlatih..."
Siang Hoat, yang melayani Ouw A, mendapat kenyataan serangan si nona jadi semakin mudah dikelitnya. lnilah sebab dia telah menjadi sangat kebiasaan dengan caranya si nona, yang terus setiap menyerang menyebutkan dahulu anggauta-anggauta tubuh yang hendak diserangnya.
Sampal sebegitu jauh, selalu ia dapat mengegoskan diri. Cuma dipihaknya, dia belum dapat melakukan serangan balasan.
Dilain pihak, Kat Po terus terkurung, agaknya ia tidak mempunyai harapan untuk mendobol kurungan itu.
Kiauw Tin dan Hok Kin yang licik selalu meneruskan bokongan-bokongan mereka, membikin orang repot dan senantiasa mesti bersiaga. Mereka pula sengaja saban-saban tertawa dingin, untuk membikin mendongkol lawannya itu.
Kawanan buaya darat itu juga berlaku cerdik, mereka menyerang secara beraturan, bergantian mereka merangsak dan mundur. Tapi semua itu disebabkan Kat Po tidak segesit sebelumnya ia terluka.
Akhir-akhirnya tibalah saatnya yang Kat Po tidak dapat bertahan pula dan ejekannya Kiauw Tin dan Hok Kin. Ketika ia melihat d ua orang itu kembali membokong pula padanya, ia berpura-pura tidak dapat melihat.
Ia mau menanti sampai mereka itu sudah menikam dan pisau belati mereka hampir mengenai sasarannya, baru dengan cara sangat mendadak hendak ia mendak, sembari mendak ingin memutar tubuhnya untuk berbareng menyapu dengan sebelah kakinya.
Ia telah memikir baik, apa mau, gerakannya lambat, tak secepat yang ia pikir itu. Tengah ia mendak, pisaunya Hok Kin sudah mengenakan pundaknya yang kin!
Hal ini membuat ia merobah rencananya. Ia meluncurkan tangan kanannya, menyambar ke arah lehernya Hok Kin, sedang tangan kirinya menyambar Iehernya Kiauw Tin. Ia mencekik keras sampai Hok Kin sukar bernapas. Karena ia mengerahkan tenaga di tangan kanannya, tangan kininya tidak bertenaga secukupnya. Pundak kirinya juga telah terluka.
Kiauw Tin tidak dapat dicekik sepeti Hok Kin, sebaliknya, nyonya yang licik ini meneruskan menikam
dadanya yang kanan. Ia kaget dan kesakitan, dua-dua cekalannya tenlepas, terus tubuhnya noboh!
"Hore!" bersorak kawanan buaya darat.
"Awas perut anjingmu!" demikian suaranya Ouw A.
Siang Hoat mendengar itu, tetapi ia mendengar keliru. Suara berisik yang menyebabkan. Ouw A menyebut "perut," ia mendengarnya "kepala" Maka Ia menjaga kepalanya.
Hebat serangannya si nona, yang mengenakan perut orang yang menjadi sasarannya itu. Berbareng dengan suara "duk" keras, robohlah si buaya darat, bahkan dia mati seketika!
Ketika itu Kiauw Tin membungkuk dengan niatnya menikam pula dada kin Kat Po, untuk menghabiskan nyawa musuhnya itu, atau ia kaget mendengar Hok Kin berteriak keras itu, sedangkan Ouw A pun sudah lantas lompat kearahnya.
Ia dapat melihat gelagat buruk, sebelum si nona sampai padanya, ia bersiul keras, memberi isyarat pada kawan-kawannya, menyusul mana ia memutar tubuh dan mengangkat kakij, lari keras sekali.
Perbuatannya itu segera ditelad kawan-kawannya. Maka didalam sekejap itu, lari serabutanlah kawanan penjahat itu.
Ouw A memburu pada Kat Po. Tak mau ia mengejar musuh. Ia kaget melihat kakak seperguruannya terluka parah.
"Kat Po, akan aku antar kau ke rumah sakit!" katanya sambil membungkuk.
"Jangan!" kata Kat Po, menjawab, suaranya lemah. "Pergi kau kejar Kiang Kiauw Tin...!"
**dw** In Hong pulang ke rumahnya untuk tidak mendapatkan Kat Po dan Ouw A. Selagi ia hendak menanyakan Hiang Kat, bel telepon berdering.
"Halo!" sahut Hiang Kat. "Ya. Kamu di mana" Kami lagi menantikan kamu untuk bersantap malam..."
"Tak usah kamu menantikan Kat Po demikian suara dilain ujung, suara yang sangat perlahan dan sember, disusul dengan tangis tersedu-sedu.
"Apa katamu..."
Hati nona ini mendadak menjadi tegang.
"Kat Po tak akan pulang lagi untuk bersantap malam..." kembali suara sedih diujung sana, suara yang lantas berhenti.
"Apa" " tanya Hiang Kat terkejut. "Hayo, bicaralah biar terang...!"
"Kat Po bakal mati..." demikian jawaban Ouw A.
"Apa" " teriak Hiang Kat. "Kamu di mana" "
"Kami di Tai Wang Miao di Tsao-chia-tu, di rumah sakit... Lekas kamu datang, lekas, jangan lambat, nanti..."
Bukan main kagetnya Hiang Kat
"In Hong, hayo lekas!" ia mengajak kakak seperguruannya.
In Hong pun telah mendengar dan menduga. Seketika juga mereka berangkat.
Ketika mereka sudah berada di dalam sebuah kamar, di sana Ouw A duduk berdiam di sisi pembaringan, dengan saputangannya dia lagi menepas airmatanya.
Kat Po rebah tak berkutik di atas pembaringan itu, mukanya pucat seperti selimutnya yang putih.
In Hong tidak melihat orang masih bernapas atau tidak. Hiang Kat sebaliknya sudah tak dapat menahan mengucurnya airmatanya.
Dengan menguati hati, In Hong keluar dan kamar, mencari dokter yang bertugas.
"Dokter, di bagian mana lukanya Kat Po" " tanyanya.
"Betis kirinya, juga pundak kirinya, telah kena tertikam pisau belati," sahut dokter yang ditanya.
"Yang berbahaya ialah luka di dada kirinya, yang mengenai paru-paru..."
"Oh.! Adakah daya untuk menolongnya" "
Dokter itu menggeleng kepala.
"Telah kami mendayakan sebisa kami..." sahutnya, berduka. "Sekarang ia tinggal menanti saatnya saja..."
In Hong segera kembali ke kamar. Ia tenang tetapi airmatanya sudah meleleh keluar. Napasnya Kat Po menjadi sangat lemah dan nadinya seperti tak berdenyut pula.
"Dapatkah Kat Po ditolong" " tanya Hiang Kat. Dia masih mengharap...
In Hong menggeleng kepala.
"Kalau begitu, kita cuma mesti mendampingi dia sampai dia berhenti bernapas..." katanya. "Ketika tadi dia keluar bersama Ouw A, dia kata cuma mau berjalan-jalan sampai di ujung jalan besar, siapa tahu, dia pergi begini jauh..."
In Hong berdiam. Ouw A pun berdiam terus. Bersama Hiang Kat, cuma airmata mereka yang tak mau berhenti keluar. Semua terbenam dalam kesedihan yang sangat.
Tiba-tiba Kat Po membuka dua matanya. Ia melirik. Maka ia melihat In Hong bertiga mendampinginya. Lantas ia bersenyum. Habis itu, airmatanya mengembeng dan meleleh turun di kedua pipinya yang pucat itu.
"Aku tidak sangka bahwa begini cepat kita mesti berpisah hingga aku tidak dapat membantu kamu menumpas habis manusia-manusia jahat..." kata dia, suaranya terputus-putus setiap patahnya, setiap katanya semakin Iemah, dan ketika sampai kepada kata-kata "jahat" itu, berhentilah ia.
Demikianlah hari terakhir dari si nona gagah, yang menentang kejahatan dan kelaliman...
Hiang Kat dan Ouw A memeluk keras-keras tubuh orang. "Kat Po Kat Po...!" demikian suara mereka, yang dalam. Akan tetapi Kat Po tidak menjawab buat selama-lamanya...
XI Besoknya, tengah hari In Hong bersama Hiang Kat dan Ouw A telah membakar jenazahnya Kat Po, yang abunya dikubur di dalam sebuah kuburan di tempat pekuburan umum. Selesai itu, mereka pulang dengan semuanya berdiam saja.
Baru setibanya mereka di dalam rumah, Ouw A membuka mulutnya, "Oey... In Hong, tahukah kau kemana kaburnya Kiang Kiauw Tin dan Kiang Kiauw Eng kakak beradik itu" "
"Satu jam sebelumnya aku sampai di rumahnya Kiang Kiauw Eng, mereka sudah kabur dengan membawa semua barang-barang mereka yang berharga," sahut In Hong. "Semua penduduk di dekat-dekat rumah mereka sangat membenci mereka itu, maka juga mereka suka membantu aku..."
"Dalam hal apakah mereka membantumu" "
"Dalam hal petunjuk. Toko kelontong mereka dibuka oleh Siang Hoat dan warung teh itu oleh Hok Kin. Kiauw Tin tinggal di atas lauwteng di toko kelontong, dan Kiauw Eng di sebuah rumah lain. Kakak beradik itu meninggalkan toko dan warung mereka, bahkan mereka mensia-siakan juga mayatnya Siang Hoat dan Hok Kin, entah kemana kaburnya mereka itu. Akan tetapi tetangga mereka, yaitu Nyonya Sun Toama, telah memberi petunjuk padaku. Toama itu melarat, pernah dia bekerja sebagai separuh bujang pada Kiauw Eng. Menurut Toama, mereka itu mempunyai tiga orang sanak kemana mereka suka pergi melancong. Yang satu yaitu engku, atau paman mereka, seorang saudagar beras di Mutu, Soochow. Yang lainnya yaitu iebo, atau bibi mereka, yang hidup bertani di luar kota barat dan kota Changchow. Yang ketiga ialah kakak misan mereka, yang membuka pabrik arak di Tsingtao. Maka itu buat sementara ini pastilah mereka menyingkir ke salah satu dan tiga tempat itu. Biar bagaimana, cepat atau lambat, kita pasti akan dapat membekuk mereka, untuk menumpasnya."
Tengah mereka bicara itu, datang telepon dari A Poan si detektip muda. Ia minta bicara dengan In Hong. Mulanya Ia menyatakan berdukacita untuk wafatnya Kat Po, yang dikatakan berkorban untuk masyarakat, kemudian ia kata, pernah ia pergi ke sarang penjahat tetapi mereka itu sudah kabur semua, tak ada satu buaya darat juga yang terbekuk.
"Meski begitu, mereka belum berhenti bekerja," si terokmok menambahkan. "Ternyata sekarang mereka itu lagi beraksi pula..."
"Bukankah kamu menemui pula mayat mengambang di jembatan Tsing-shih?" In Hong tanya.
"Benar" "Siapakah mayat itu" "
"Dialah Lie Hoe Djin, saudara tertua diantara enam saudara Lie. Dia kedapatan mati sama seperti lima korban Iainnya. Kemarin dia keluar untuk terus tidak kembali tagi.
"Tahukah kau, kenapa dia keluar" Atau, tahukah kau, siapa yang menjanjikannya untuk berbicara" Bukankah dia mengusahakan kendaraan bermotor?"
"Menurut keterangannya Hoe Gie, saudara Lie yang nomor dua, yang menjanjikan Hoe Djin ialah direktur dan pengusaha pengangkutan Hong Soen dan tempat pertemuannya yaitu restoran Hoa Mou. Tadi pagi aku pergi mencari keterangan, aku mendapat kenyataan tidak ada perusahaan pengangkutan dengan nama Hong Soen itu. Yang aneh ialah Hoe Sin, saudara yang nomor lima. Satu malam dia tidak pulang, atau pagi-pagi tadi dia muncul dengan matanya masih kesap-kesip. Nona In, bagaimana pendapatmu mengenai pelbagai peristiwa di jembatan Tsing-shih itu" "
"Aku baru mendapatkan sebagian kesimpulan," sahut In Hong. "Beberapa korban di jembatan Tsing-shih itu, berikut dua yang lainnya, yaitu Sie Koen dan Hoe Djin ini, semuanya terbinasakan di lain tempat, lalu mayatnya diangkut dan dibuang ke dalam sungai itu..."
"Akan tetapi mereka tidak terluka, cuma di paru-paru mereka kedapatan endak lumpur serta air sungai..."
"Untuk membunuh mereka, penjahat dapat menggunai cara bengis dan kejam, yaitu mereka melelapkan korban-korbannya ke dalam jambangan atau bak mandi. Bukankah jambangan ada endaknya" Bukankah kematian itu sama dengan kematian orang kelelap di sungai" Sengaja saja semua korban dibuang di jembatan Tsing-shih itu, untuk mereka dapat menggunai alasan lakon setan air meminta ganti jiwa. Sekarang ini usahaku masih belum selesai, akan tetapi aku percaya, lambatnya besok pagi, aku akan sudah berhasil menyelesaikannya..."
"Besok pagi" " A Poan tanya, menegaskan.
"Ya, besok pagi!" In Hong memberi kepastian. "Sekarang aku minta supaya di dalam tempo satu dua jam, mayatnya Lie Hoe Djin sudah selesai diperiksa dengan dibedah, supaya mayatnya itu segera diserahkan kepada keluarganya untuk diurus lebih jauh!"
Sampai disitu pembicaraan telepon itu.
Habis bersantap tengah hari, In Hong keluar buat dua jam lebih, diantaranya ia pergi ke rumah Keluarga Lie untuk memberi petunjuk pengurusannya Lie Hoe Djin. Ia pulang sesudah ia membeli sebuah tape recorder.
"In Hong, buat apakah alat ini" " Hiang Kat tanya.
"Guna mencatat pengakuannya si orang dibelakang Iayar!"
"Kau maksudkan Kiang Kiauw Tin, Kiang Kiauw Eng, Siang Hoat dan Oey Hok Kin bukannya orang-orang dibelakang Iayar itu" "
"Memang mereka bukannya si pemegang peranan utama. Kematian empat orang yang terdahulu pun tidak ada sangkut pautnya." bicara.
"Aku masih kurang jelas..."
"Aku juga tidak mengarti sama sekali!" Ouw A turut bicara.
"Siang Hoat menjadi buaya darat besar, dia pun kepala dan kawanan tukang pukul. Hok Kin bersama A Eng menjadi kepala-kepala yang nomor dua dan kawanan itu. Siapa mempunyai musuh, dia dapat menyewa kawanan itu untuk dia menuntut balas, guna melampiaskan dendamnya, atau mereka sendiri yang menghajar setiap musuhnya. Mereka menjamin segala asal mereka dibayar secara memuaskan, sampal pun mereka bersedia menyimpan rahasia. Demikianlah nasibnya kedua korban yang pertama, pegawainya si tuan tanah dan keponakannya si saudagar obat, entah siapa musuh mereka, yang menyewa tukang-tukang pukul itu. Tentu sekali mereka itu berempat, satu demi satu, dipancing dahulu oleh Kiang Kiauw Tin dan atau Kiang Kiauw Eng, supaya mereka pergi ke tempat yang dijadikan jagal dimana jiwa mereka dirampas..."
"Apakah kau telah mencoba mencari tahu siapa-siapa pesuruh-pesuruh itu" "
"Sekarang ini tak dapat kita mencari tahu tentang mereka, kecuali kita berhasil membekuk Kiang Kiauw Tin atau Kiang Kiauw Eng atau A Eng, untuk memaksa mereka memberikan pengakuan. Orang dibelakang layar itu mempunyai suatu maksud besar dan dia pun cerdik sekali. Dia minta Siang Hoat membinasakan korban-korbannya, yang dibuang ke sungai. Dia menganggap, membuang mayat-mayat ke sungai bukan alasan cukup kuat untuk menyembunyikan sepak terjangnya itu, maka dia menjambret hal kematiannya Tong Soat Koan dan Tjoei Go, buat memainkan lakon hantu pengganggu. Kiang Kiauw Tin dan Kiang Kiauw Eng yang dijadikan setan-setan itu. Lie Hoe Gan yang muda dijadikan alat tanpa
bayaran guna menyiarkan berita untuk melindungi padanya. Tidak cukup dengan lakon setan air itu, dua saudara Kiang pun disuruh menyamar menjadi setannya Tjoei Go yang muncul di rumahnya Keluarga Lie."
"Siapakah yang menyamar menjadi Wie Menny di rumahnya Ong Sie Koen" Dia Kiauw Tin atau Kiauw Eng" " tanya Ouw A.


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dua-dua mereka yang menyamar menjadi Tong Soat Koan dan Tjoei Go, yang menjadi Wie Menny mungkin Kiauw Eng. Kabarnya dia selain pandai silat juga pandai berenang, rupanya setelah menerjunkan otonya ke sungai, dia lompat ke air untuk terus berenang pergi. Mestinya Hok Kin sudah menantikan bersama otonya di suatu tempat yang dijanjikan untuk menyambut padanya, buat mengajaknya pulang."
"Oto siapakah oto tua itu" "
"Mestinya itu otonya si orang dibelakang layar."
"Mungkinkah Siang Hoat dan Kiauw Tin beramai mengetahui maksudnya si orang dibelakang layar?" Hiang Kat pun bertanya.
"Aku kira, kecuali dia sendiri dan Ong Sie Koen, tidak ada orang yang ketiga yang ketahui maksud besarnya itu. Hal itu dapat dibuktikan dengan halnya ia sendirilah yang menculik Menny dan memeriksanya."
"In Hong, tahukah kau rahasia besar itu rahasia apa" "
"Walaupun aku dapat menerka tetapi masih belum pasti seratus persen. Sebegitu jauh penyelidikanku, aku sudah tahu siapa orang dibelakang layar itu, hanya sebelum ada bukti-bukti yang nyata tak dapat aku lancang memastikan terkaanku itu."
"Siang Hoat dan Hok Kin sudah mati dan Kiauw Tin dan kiauw Eng sudah kabur, kenapa tadi malam Hoe Djin toh mati terbunuh?"
"Di antara mereka masih ada si A Eng. Mungkin Hoe Djin sudah ditawan sebelumnya pertempuran kamu, atau dia telah dibinasakan, hingga tinggal tunggu saatnya saja untuk membuang mayatnya ke sungai"
Demikian pembicaraan mereka.
Lohornya jam empat, dengan membawa tape recordernya, yang dimasuki ke dalam travelling bag, In Hong mengajak Hiang Kat dan Ouw A pergi ke stasiun kereta api, untuk membeli tiga helai karcis kereta cepat, yang berangkat jam 04.40, guna pergi ke Soochow.
Akan tetapi ketika kereta singgah di Sichan, stasiun barat, diam-diam mereka turun dan gerbong, untuk secara diam-diam juga kembali ke kota, untuk memasuki bengkel reparasi Keluarga Lie diluar tahunya siapa pun.
Justeru itu waktu, bengkel sepi sekali, tak ada seorang pegawai juga nampak di situ. Cuma Lie Hoe Gan yang menantikan tibanya mereka.
"Nona In, pesanmu telah aku lakukan," Hoe Gan kata. "Setelah kau membekuk pembunuhnya kakakku, apabila kau membutuhkannya, kau dapat gunakan satu diantara beberapa otoku yang berada di sana itu. Sekarang ini, andai kata tidak ada kerjaan lagi untukku, hendak aku mengundurkan diri lebih dahulu..."
"Baiklah, kau boleh pergi!" kata In Hong.
Orang she Lie itu berlalu dengan cepat. Setelah itu, si nona bekerja di dalam pondokan para pegawal bengkel.
"In Hong," tanya Hiang Kat, ragu-ragu, "apakah kita berdiam di sini menanti datangnya si orang dibelakang layar yang mengantarkan diri masuk ke dalam perangkap" "
"Ya!" sahut In Hong singkat.
"Kenapa dia mau mengantarkan dirinya" " Hiang Kat tanya pula, tak mengarti.
"Itulah untuk harta karunnya," sahut In Hong, yang memberikan keterangannya ini. "Si orang dibelakang layar bersam?-sama Ong Sie Koen, semasa pendudukan Jepang atas kota Shanghai, telah bekerja sebagai Hankan, yaitu pengkhianat-pengkhianat bangsa, dengan bekerja sama Kenpei, mereka mengeduk dan memeras harta rakyat. Gedung besar di sebelah itu ialah rumah tinggal mereka diwaktu itu. Setelah Jepang tunduk, semua Hankan pada pergi menyembunyikan diri dan mereka ini berdua tidak menjadi kecuali. Ketika itu, mereka dibingungkan harta mereka. Tak ikhlas mereka meninggalkannya, juga tak dapat mereka membawanya pergi. Mereka pun dapat menerka yang rumah mereka bakal disita. Karenanya tak dapat harta itu disimpan di dalam gedung itu! Apa daya sekarang" Lantas mereka mengasah otak. Lantas mereka ingat lapangan tenis di sebelahnya. Lapangan tempat main tenis itu dapat mereka gunakan. Mereka tahu, kontrak sewaannya masih ada setengah tahun. Mereka percaya tempo itu cukup buat mereka beristirahat, sampai nanti suasana reda dan mereka dapat kembali ke Shanghai dengan aman, untuk menggalinya. Setelah mengambil keputusan, pada suatu malam mereka bekerja secara diam-diam. Menggali tanah dan memendam harta karun mereka itu. Mereka keluar dan pintu belakang dan memanjat tembok di gang untuk sampai di tempat yang dipilih. Habis menggali, mereka mengangkut harta mereka dengan membuka pintu gang. Selesai menyembunyikan harta,
mereka kembali ke gedung mereka, buat bersiap mengangkat kaki. Terkaan mereka tak tepat seluruhnya, mereka keliru menduga waktu setengah sampai satu tahun. Shanghai aman sesudah dua tahun lebih. Setelah bekerja keras, dapat mereka kembali ke Shanghai. Lantas mereka melihat lapangan tenis sudah salin rupa, yaitu telah menjadi bengkelnya Hoe Sin bersaudara. Mulanya mereka menjadi kaget dan bingung sekali, mereka mau menyangka harta mereka sudah lenyap. Baru belakangan, sesudah melakukan penyelidikan, hati mereka menjadi tenang, Mereka percaya harta mereka belum terbongkar. Tempat itu ialah yang sekarang menjadi pondokan pegawai di bagian ruang bersantap dan beristirahat. Sukarnya ialah mereka tidak dapat ketika untuk melakukan penggalian, guna membongkar dan mengambil harta karun mereka itu."
"Habis" " tanya Hiang Kat.
"Mereka mengasah otak pula. Mereka memang cerdik sekali. Lantas mereka menggunai perantara makelar, yang disuruh pergi pada Keluarga Lie, untuk membeli rumah berikut pekarangan yang menjadi bengkel reparasi itu. Daya mereka ini gagal. Empat saudara Lie tidak bersedia menjual tetapi yang dua, yaitu yang nomor lima dan nomor enam, menyetujuinya. Rumah itu mesti dibeli, atau akan tak ada ketika mereka buat menggali tanah di tempat pondokan pegawai itu. Apa akal sekarang" Maka timbullah lakon munculnya si setan air dan setan penggantungan yang meminta ganti jiwa. Maksudnya itu ialah untuk membikin persaudaraan Lie tak kerasan tinggal lebih lama di gedungnya itu, supaya mereka suka menjualnya. Mereka pun sudah pikir untuk membinasakan andai kata ada orang atau orang-orang she Lie itu yang menentang menjualnya. Selagi mereka berikhtiar itu, orang dibelakang layar telah mendapat kenyataan bahwa Ong Sie Koen pula lagi bekerja
seorang diri secara diam-diam. Tak sudi dia dicurangi, maka dia menyuruh Siang Hoat membunuh Sie Koen. Dia berhasil. Selanjutnya, tinggal dia sendiri yang menyimpan rahasia harta karun itu."
"In Hong, dan mana kau ketahui rahasia ini?" Hiang kat tanya, heran.
"Dan hasil penyelidikanku Aku telah mencari hikayatnya gedung berikut pekarangannya Keluarga Lie itu, secara kebetulan saja sekalian aku mendapat keterangan bahwa gedung itu bekas tempat kediamannya si Hankan berdua. Maka aku mencampur urusan dan memikirkannya, maka aku memperoleh kesimpulanku ini. Sekarang tinggal aku menunggu kenyataannya."
"Wie Menny bicara dari hal orang yang bergigi emas empat itu. Jadi diakah si orang dibelakang layar itu bebareng si Hankan" "
"Benar. Aku telah pergi pada dua puluh lebih dokier gigi, akhirnya aku ketahui siapa yang paling belakang mencabut empat buah gigi emasnya. Dia telah menukar namanya tetapi tidak she-nya. Habis dia merdekakan Menny, dia merasa gigi emasnya bakal jadi bahaya, untuk berlaku berhati-hati, lantas gigi emas itu disingkirkan. ini pun dugaanku belaka. Maka itu, sekarang aku mengatur perangkapku ini. Aku harap, siapa terjebak, dialah si orang dibelakang layar itu!"
"Habis, bagaimana kau dapat menerka dia bakal masuk perangkap sendirinya" "
"Itulah sebab aku telah minta persaudaraan Lie untuk melakukan penguburan jenazah kakaknya secara besar-besaran, supaya semua pegawainya meninggalkan pondokan mereka, supaya semalaman suntuk mereka menghadiri upacara sembahyang yang istimewa itu.
Berbareng dengan itu, aku juga menyuruh Lie Hoe Gan menyiarkan berita tentang kematian kakaknya itu sekalian perihal tentang kita telah berangkat dengan kereta api cepat jam 04.40 lohor ke Soochow untuk melakukan penangkapan atas dirinya Kiang Kiauw Tin dan Kiang Kiauw Eng. Setelah berita itu tersiar, si orang dibelakang layar sudah lantas mengintai kita. Tadi di peron kereta api, aku melihat seorang kaki tangannya memasang mata atas diri kita. Tentu sekali, dia melihat kita naik kereta api tetapi tidak tahu bahwa kita turun di lain stasiun dan terus menuju langsung kemari."
"Oh, Oey... In Hong!" seru Ouw A, yang sulit sekali mengubah panggilannya, "kenapa kita tidak mau lantas membongkar harta karun itu" Dengan harta itu dapat kita menolong banyak orang melarat dan bersengsara..."
"Niatku ada tetapi sulit untuk menjalankannya," kata En Hong. "Kau lihat sendiri, tidakkah bengkel ini luas sekali, lebarnya lebih daripada seribu meter persegi" Habis, di bagian mana yang kita mesti gali" Tidak dapat kita membongkar seluruhnya, bukan" Maka aku mesti menggunai siasatku ini. Sudah tentu harta karun itu akan aku kembalikan kepada orang banyak!"
"Kapankah dia bakal datang" Jam berapa kiranya" "
"Hari ini, mulai dan cuaca gelap sampai besok sebelum fajar. Begitulah andaikata terkaanku tidak meleset."
Sementara itu sang waktu berjalan. Dengan perlahan sang terang pergi, untuk digantikan sang gelap. Makin lama, langit makin legam, hingga sukar orang melihat sesuatu di depan mata.
Kira-kira jam sebelas, maka terlihatlah munculnya satu bayangan orang, yang datang dan arah barat. Selagi
mendekati, nampak dia membawa pacul dan sekop pada pundaknya.
Langsung dia menghampirkan bengkel, gerak-geriknya menyatakan bahwa dia tahu pasti semua pegawai bengkel sudah pergi ke rumah kematian.
Di pondokan buruh, bayangan itu menyoroti dengan lampu batere, untuk melihat ke sekitarnya. Setelah itu, segera dia bekerja. Dia menyingkirkan dua buah pembaringan kayu. Habis itu, dia mulai memacul, menggali tanah dibawah pembaringan. Setelah tanah terbongkar, dia menyingkirkan-nya ke sisi dengan sekopnya.
Selagi tanah galian itu merupakan sebuah tumpukan mirip bukit-bukitan, tempat yang digali itu merupakan sebuah liang yang dalam. Sekali lagi bayangan itu menyoroti Iampunya, lalu tampak dia bersenyum. lnilah sebab matanya telah melihat teromol kuningan yang disimpan di dalam tanah itu.
Dia berhenti dulu, akan menyusuti peluhnya, baru dia mulai menggali pula, di sekitar teromol. Selagi dia menggunai sekop, ujung alat itu mengenakan teromol hingga terdengar suaranya yang nyaring.
Terus bayangan itu bekerja, sampai satu kali, waktu dia lagi menuang tanah ke sisinya, mendadak ada bayangan yang berlompat ke dekatnya sambil bayangan itu mengasi dengar bentakan perlahan tetapi berpengaruh, "Jangan bergerak!"
Dia terkejut, sampai dia melongo. Lekas-lekas dia menyorotkan lampu baterenya ke arah bayangan itu, hingga dia melihat seorang dengan sweater dan celana kuning, yang sebelah tangannya, mencekal sebuah revolver.
"Kaukah Nona In Hong" " dia tanya.
"Benar!" sahut orang dengan pakaian wama kuning itu. "Tak salah terkaanku, benar-benar kau! Bukankah kau Phoa Djoe Hin, direktur dan Venus Dancing Hall" Tadi di peron kereta api aku melihat salah seorang pelayanmu! Sekarang, silahkan kau pergi ke sana untuk kita duduk memasang omong!"
Djoe Hin tidak berani membantah, tetapi dia berjalan dengan hati mendongkol. Segera juga mereka sudah berduduk di kursi.
"Nona In," kata direktur rumah dansa itu, "kita tidak bermusuhan, tidak dahulu, tidak sekarang, maka itu, kenapa kau sangat menentang aku" Di dalam teromol itu ada uang emas tiga ribu dua ratus tahil aku bersedia menyerahkan separuhnya kepadamu!"
"Oh..." kata In Hong, berpikir.
Djoe Hin mendapat harapan. Dia mendesak.
"Nona In, kau bukannya orang polisi," demikian katanya, "buat apa kau mencampur tahu urusan di luar garis ini" Mari kita bekerja sama, kau boleh ambil itu jumlah senibu enam ratus tahil emas. Langit tahu, bumi tahu, kecuali kau dan aku, tidak ada lain orang yang ketahui urusan kita ini! Tidak dapatkah kau menerima" "
"Hm, bagus sekahi hitunganmu!" kata Si nona. "Kau juga sangat baik hati! Cuma, hendak aku tanya dahulu, bukankah separuh harta itu miliknya Ong Sie Koen" Bukankah karena dengan kebaikan hatimu ini, kau tidak rugi setahil juga" "
"Nona In, aku bukan bangsa serakah," kata Djoe Hin, tak menghiraukan perkataan orang, "suka aku menyerahkan enam bagian padamu dan aku sendiri akan mengambil hanya empat bagian. Kau akur, bukan" "
Ia tidak melihat si nona menolak, hanya ia menduga nona itu menghendaki lebih.
"Jikalau kau hendak bekerja sama denganku, lebih dahulu kau mesti tuturkan padaku duduknya semua kejadian, yaitu segala perbuatanmu," kata In Hong. "Aku ingin keterangan yang jelas, lantaran masih ada bagian-bagian yang aku kurang mengarti. Aku hendak membalaskan sakit hatinya Kat Po, dan itu perlu aku ketahui pasti siapa yang membunuhnya!"
"Terang sekali itulah perbuatannya Kiang Kiauw Tin dan Kiang Kiauw Eng berdua," kata Djoe Hin. "Thian tahu, aku tidak menitahkan mereka membunuh Nona Kat Po!"
"Siapakah yang menyuruh membinasakan Ong Sie Koen dan Lie Hoe Djin" Siapakah yang menganjurkan kedua wanita itu menyamar menjadi setan-setannya Tong Soat Koan dan Tjoei Go" "
"Mengenai ini, terhadap orang yang cerdas tak usah diberi penjelasan!" kata Djoe Hin, tertawa.
"Tidak demikian! Kau ingin bekerja sama denganku, kau perlu memberi penjelasan lengkap! Aku perlu ketahui jelas sekali siapa musuhnya Kat Po!"
Berkata begitu, nona ini membuat main sinar baterenya.
Phoa Djoe Hin menghendaki pemberesan lekas.
"Mengenai Ong Sie Koen dan Lie Hoe Djin, aku yang menyuruh Siang Hoat yang membunulrnya," kata dia. "Mengenai si setan air dan setan penggantungan, aku yang menyuruh Kiang Kiauw Tin berdua Kiang Kiauw Eng menyamar. Tapi dalam hal kematiannya Kat Po, aku tidak punya sangkutan sama sekali..."
"Kau menyuruh Kiauw Tin dan Kiauw Eng menyamar menjadi setan-setan, berapa banyak kau membayar kepada mereka itu" "
"Aku memberikan mereka upah dua puluh tahil emas.
"Berapa banyak kau membayar pada Siang Hoat dan kawan-kawannya" "
"Kepada mereka aku menjanjikan tiga puluh tahil perak buat setiap jiwa!"
"Bukankah namamu yang benar ialah Phoa Hin Ie" "
"Benar! Oh, kau dapat mencari keterangan demikian jelas" "
Kembali In Hong membuat main api baterenya.
"Jadinya, kau tidak bersangkut paut dengan pembunuhan atas diri Kat Po" "
"Benar-benar tidak! Inilah aku pastikan!"
"Aku ingat dua-dua Phoa Hin Ie dan Ong Sie Koen ialah Hankan...!"
Djoe Hin tertawa, dia mengangkat pundak.
Tepat itu waktu, Hiang Kat dan Ouw A muncul dengan berbareng. Mereka lompat keluar dan belakang almari pakaian di sisi kursi di mana Djoe Hin berduduk. Tangannya Hiang Kat memegang tape recorder, dan tangannya Ouw A mencekal alat pendengarnya.
"Jiwanya Kat Po dikorbankan dalam tipu-dayamu yang keji!" kata In Hong, lagu suaranya berobah dengan mendadak, menjadi bengis dan berpengaruh.
"Bagaimana kau tetap menyangkal kau tidak ada sangkut pautnya" Kau menyuruh Kiang Kiauw Eng menyamar menjadi Nona Wie Menny dan memancing
kami naik ke oto, untuk dicemplungkan ke dalam sungai Whang-poo. Apakah katamu mengenai kejahatanmu itu" "
Djoe Hin gelagapan. "Itu... itu..." katanya, terputus-putus dan tertunda.
"Ouw A, ringkus dia biar keras!" In Hong memberikan perintahnya.
Djoe Hin tidak berdaya. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak, bahwa semua pembicaraannya, atau pengakuannya telah dicatat di dalam tape recorder itu.
Memang, pertama kali baterenya In Hong dinyalakan, itulah tanda untuk Hiang Kat bekerja dengan tape recordernya. Demikian seterusnya.
Dengan dinaiki ke dalam sebuah oto sedan, Djoe Hin dibawa ke Yangtze-poo. Kendaraan itu dikasi jalan dengan perlahan.
"Nona In, apakah kau juga hendak menyemplungkan aku ke dalam sungai" " tanya si penjahat, yang menjadi takut bukan main.
In Hong tidak menjawab. Ia terus mengendarai otonya, berputeran, sampai sekian lama, baru ia memutar arah ke kantor polisi.
Itu waktu saatnya Detektip To Tjie An dan A Poan istirahat dan tugas mereka bakal diwakilkan kepada Pok Thong, pembantunya, heran mereka melihat In Hong muncul bersama-sama Djoe Hin yang terbelenggu.
"Nona In," tanya A Poan, "mungkinkah direktur tempat dansa ini ada sangkut-pautnya dengan pelbagai perkara jiwa itu?"
"Ya," In Hong menjawab. "Dia bukan cuma pemegang peran utama, dia juga seorang Hankan, dialah pengkhianat
bangsa yang bernama Phoa Hin Ie yang sekian lama dapat lolos kabur!"
"Nona In," berkata Detektip To, tawar, "kematiannya Kat Po disebabkan kamu sangat usilan, kamu suka mencampur urusan luaran, hingga kamu memperoleh sangat banyak musuh! Yang sudah tinggal sudah, buat apakah mencari yang baru" Nona Ini, suka aku memberi nasihat padamu, baiklah kau pilih sebuah tempat yang sunyi dimana kau dapat menempatkan diri dengan tenang, jikalau tidak, ada kemungkinan kau bakal menelad nasibnya Kat Po... Inilah maksud baik dari aku, aku harap kau tidak keliru menerimanya!"
"Tuan To, aku mengarti maksudmu yang baik!" sahut In Hong, yang bersuara dingin. "Tapi kami bekerja untuk keadilan dan penikemanusiaan, walau pun kami mesti mengorbankan jiwa kami, kami tidak merasa sayang atau menyesal! Hanya, dalam perkara bunuh diri di jembatan Tsing-shih, tidak dapat kau memutuskan bahwa itulah membunuh diri, hingga karenanya kau melepas tangan tak mau memeriksanya terlebih jauh! Maaf, tuan, sekarang ini aku berlaku lancang, hendak aku merobohkan pertimbangan dan keputusanmu itu!"
"Kau kata dialah si pemegang peran utama, kau mempunyai buktinya atau tidak" "
"Tuan To, kau dengar saja sendiri!" kata In Hong, yang terus meletaki tape recordernya serta membunyikannya.
"Coba kau bicara!" kata Pok Thong pada Djoe Hin, "coba kau ikuti suara tape recorder itu!"
Djoe Hin tidak berani membantah. Suara itu benar suaranya. Ia pun lantas mengakui segala apa.
"A Poan," perintah Pok Thong, "sekarang kau tahan dulu dia ini!"
Detektip muda ini menjadi wakil, maka dialah yang berkuasa memberikan perintahnya.
A Poan menurut, lant?s dia kurung Djoe Hin di tempat tahanan polisi itu.
"Nona In, bagaimana caranya kau menawan Djoe Hin" " kemudian Tjie An bertanya.
"Secara kebetulan saja," sahut In Hong, yang sengaja merobah keterangannya. "Aku menduga kepada seorang lain, aku mengira dia bakal datang ke rumah Keluarga Lie untuk mencuri sesuatu yang penting, maka aku menantikan di rumah keluarga itu. Orang yang aku sangka itu tidak muncul, tahu-tahu Phoa Djoe Hin yang datang dengan membawa pacul dan sekop, yang pergi ke pondokan kuli-kuli. Aku lantas susul dia dan membekuknya, kemudian dengan akal aku memancing pengakuannya. Tadinya aku heran kenapa dia membawa-bawa pacul dan sekop, seperti orang yang mau pergi ke ladang. Aku tidak sangka dialah si penjahat sedangkan orang yang aku curigai sebenarnya tidak bersalah apa-apa..."
"Hm! Dia mau bekerja di ladang!" kata Tjie An. "Dialah si pengkhianat bangsa, buat apa dia bekerja di ladang" Dialah yang secara paksa mau membeli rumah dan tanahnya Keluarga Lie!"
"Ya, aneh sekali!" kata In Hong. "Apa perlunya segala pacul dan sekop" "
"Hm! Dia membawa pacul dan sekop, dia pergi ke pondokan kuli-kuli, dia mau bekerja di Iadang..." kata Tjie An.
"Oh!" In Hong mendadak berseru, sambil ia berjingkrak bangun. "Oh, aku kelupaan penaku di rumahnya Keluarga Lie! Tuan To, maafkan aku, sampai kita ketemu pula!"
Tanpa menanti suaranya berhenti, nona ini sudah lantas bertindak keluar dan kantor polisi.
Mendadak Tjie An pun berlompat bangun.
"Ah, aku tahu!" serunya. "A Poan, mari turut aku! Kita susul Nona In Hong!"
"Buat apakah" " tanya si terokmok, heran.
"Kau kira dia mau pergi ke bengkel keluarga Lie untuk mengambil penanya" " kata sep-nya itu. "Bukan, bukan! Dia ingat tanah yang digali Djoe Hin, di sana ada dipendam harta karunnya si Hankan! Mari kita susul dia!"
Tiba di luar kantor, In Hong sudah tak nampak lagi.
Detektip ini tidak mau sudah dengan begitu saja, dia mengajak A Poan naik ke otonya untuk kabur ke rumahnya persaudaraan Lie.
Hanya sebentar, tiba sudahlah mereka di rumah Keluarga lie, di pondokan yang buruk. Tidak ada orang di dalam rondokan itu, apa yang tampak ialah pacul dan sekop, serta tiga buah pembaringan yang disingkirkan dan tempat keletakannya.
"Syukur" seru si detektip. "Saban-saban dia mendahului aku, tetapi kali ini, akulah yang mendahului dia! A Poan, lekas kau gunai pacul itu menggali tanah di bawah pembaringan ini, pasti hartanya si pengkhianat bangsa dipendam di sini!"
"Kenapa kau tidak mau menggali sendiri, tuan" " sebawahan itu tanya.
"Pasti akan aku bantu kau!" kata sep itu. "Hanya hendak aku menulis surat dahulu!"
Dan ia mengeluarkan buku notesnya serta pena, terus ia menulis sebagai berikut,
Nona Oey Eng Kau terlambat satu tindak !
Harta yang dipendam di sini
telah aku ambil! To Tjie An Selesai itu, benar-benar ia telah membantu sebawahannya. Tapi ia tidak biasa bekerja berat, lekas sekali ia letih.
"A Poan, kau menggalilah sendiri!" katanya kemudian. "Aku letih sekali."
, Lantas ia duduk di sebuah kursi sambil ia menyedot sigaretnya, dengan sabar ?a mengawasi sebawahannya itu bekerja sedangkan si terokmok sudah lantas bermandikan peluh!
Akhir-akhirnya terlihatlah sebuah teromol, atau peti kuningan, A Poan segera memberitahukannya kepada sep-nya.
"Ha-ha!" tertawa si detektip, yang lantas berbangkit bangun, meskipun letihnya belum lenyap seluruhnya. "Harta ini kita yang mendahulukan mendapatkannya!"
Bukan main ia girang, terus ia menambahkan, "A Poan, setelah hartanya kita ambil, kau masuki surat ini di dalam
teromol, lalu teromolnya kau pendam pula, biarkan In Hong yang menggali dan mengambilnya! Biar dia, setelah membaca suratku ini mendongkol setengah mati!"
A Poan mengangkat teromol itu secara mudah sekali, terus ia membuka tutupnya. Ketika ia telah melihat isi teromol, mulanya dia mejublak saja, lalu dia tak dapat mengatasi dirinya, dia tertawa terbahak-bahak!
"He, A Poan!" tanya si sep. "apakah isinya teromol" Emas atau intan biduri" "
"Bukan emas, bukannya intan, tuan!"
"Apakah" "
"Tidak apa-apa!"
"Tidak apa-apa! Apakah sebenarnya" " Tjie An mulai merasa tak enak.
"Hanya sehelai kertas yang ada tulisannya" " sahut si sebawahan.
"Inilah dia," dan ia menyerahkan surat itu.
Tjie An menyambuti, terus ia membaca,
Harta dalam teromol ini berasal dari pemerasan atas
rakyat. Maka itu, harta itu
perlu dikembalikan kepada
rakyat juga! Di bawah itu ada Lukisan kecil dan mungil dan seekor burung kenari.
Parasnya Detektip To menjadi kecut.
"Baik, Oey Eng...!" ia berseru. "Kau..."
Tak dapat ia meneruskan kata-katanya.
"Sabar, tuan," kata A Poan, "jangan kau gusar atau menyesal sampai setengah mati ..."
XII Di dalam sebuah kamar hotel di Tsing-tao, In Hong bersama Hiang Kat dan Ouw A lagi membicarakan perkara setan air dan setan menggantung diri itu, atau lebih benar, tentang kejahatannya Phoa Djoe Hin.
"Ouw A," berkata Hiang Kat, "ketika di rumahnya A Eng di Shanghai, kau membekuk si A Eng itu, sudah selayaknya kau membiarkan jiwanya tinggal hidup, dengan begitu, dapat kau mengorek keterangan dan mulutnya, supaya ketahuan siapa yang membinasakan itu kedua pemuda pemogoran, keponakannya si saudagar obat dan pegawai laki-lakinya si tuan tanah. Sekarang dia dan yang lainnya sudah mati, sulit untuk mengetahuinya. Juga, jikalau dia masih hidup, akan mudah kita mencari Kiang Kiauw Tin dan Kiang Kiauw Eng, tidak seperti sekarang, kita mesti mencari secara rapah-repeh.."
"Sebenarnya aku cuma meninju dia satu kali, siapa sangka dia tak dapat bertahan dan satu pukulan saja.." sahut Ouw A.
"Sudah, Hiang Kat," kata In Hong. "Jangan kau tidak sabaran! Pasti kita akan dapat mencari mereka itu..."
"Tapi kita sudah berdiam satu minggu di kota Tsing-tao ini," kata Hiang Kat, "dan setiap malam kita pergikan pelbagai restoran dan cafe tanpa hasil! Celakanya kita tidak tahu apa namanya rumah makan serta she dan namanya kakak misan mereka itu! Bagaimana kita bisa cari mereka" In Hong, aku tidak mengarti, kenapa kau bukan pergi ke Changchow atau Soochow, kau justeru pergi ke Tsingtao ini" Bukankah ada kemungkinan mereka tidak menyingkir ke sini" "
"Bibi mereka tinggal di Changchow sebagai petani dan paman mereka membuka toko beras di Soochow, kedua tempat itu tidak cocok untuk Kiauw Tin dan Kiauw Eng," kata In Hong, menerangkan, "untuk orang-orang wanita sebangsa mereka, kota Tsingtao ini yang paling tepat, yang paling cocok dengan cara hidup mereka. Jikalau terkaanku cocok, pasti kita bakal berhasil mencari mereka di sini. Malam ini kita pergi ke restoran-restoran di tepi laut!"
Dan In Hong mewujudkan niatnya itu, selagi hari magrib, bersama Hiang Kat dan Ouw A, ?a pergi ke pesisir. Ia bersama Hiang Kat berdandan sebagai nona-nona modern yang romantis, sedangkan Ouw A menyamar sebagai seorang pria yang gemar akan air kata-kata.
Di pesisir Tsing tao itu terdapat banyak rumah makan. In Hong bertiga niat pergi kepada tiap-tiap rumah makan itu, di mana mereka berdiam belasan atau beberapa puluh menit, untuk secara diam-diam memasang mata.
Selagi mereka mau pergi ke rumah makan yang kelima, mereka melihat tiga orang pria mendatangi dengan jalannya limbung, tandanya mereka itu sudah sinting.
"Mari kita pergi cari itu dua nona asal Shanghai," kata salah seorang, selagi mereka mendekati rombongan In Hong lagi belasan tindak.
"Ah, tak mau aku," kata seorang yang lain. "Kedua nona itu besar kepalanya! Kalau mereka melihat tetamu tua sedikit saja, mereka tidak menghiraukan, sebaliknya, tetamu yang muda, mereka sambut sambil tertawa gembira..."
"Mustahil mereka menampik kalau kita mengodol saku lebih dalam" " kata orang yang ketiga.
"Mari kita kuntit mereka..." Hiang Kat kata perlahan. "Kedua nona itu datang dan Shanghai, pasti merekalah Kiauw Tin berdua..."
In Hong mengangguk. Ketiga pria itu berjalan terhuyung-huyung sambil bicara pula.
"Heran!" kata seorang. "Kenapa malam ini kakiku sebelah panjang dan sebelah pendek" "
"Dan kau, Lao Thio, kau pun dipengaruhi perasaan hatimu. Bukan jalan besar yang bergerak ke kin dan kanan, atau gandrung ke depan, dan belakang, kau sendirilah yang jalannya terhuyung-huyung secara aneh itu!"
"Oh..." "Ya, kamu sudah sinting! Lebih baik kita pulang saja!"
"Tidak, aku tidak sinting!"
"Aku juga tidak sinting! Hayo kita pergi kepada kedua nona itu!"
Terus mereka berjalan, sampai mereka memasuki sebuah restoran dengan merek "Welcome" yang besar dan indah penlengkapannya.
In Hong bertiga mengikuti sampai di dalam, dengan begitu mereka bisa lihat rumah makan itu banyak
tetamunya dan sejumlah nona-nona pelayan lagi bergurau dengan mereka itu masing-masing.
Suara berisik membuat Hiang Kat tak kerasan. Tapi mereka mempunyai maksud, terpaksa ia menyabarkan diri.
Ketiga orang pria itu mendapat penyambutan hangat dan sejumlah tetamu.
Mereka itu pada menyapa, "Thio Toaya! Ong Jieya, Lie Samya...!"
"Eh, mana kedua nona pelayan itu" " tanya Thio Toaya.
"Mereka lagi pergi cuci muka," seorang menjawab.
"Lekas suruh mereka keluar untuk melayani kami!" kata si Thio Toaya.
"Sabar, Thio Toaya," kata pengurus restoran. "Harap tunggu sebentar, mereka akan lekas keluar."
Si Thio itu mengangguk, terus dia berpaling. Tiba-tiba dia terperanjat. Sinar mata dia bentrok dengan wajahnya In Hong den Hiang Kat. Di mata dia, kedua nona mirip sepasang bidadari yang baru turun dan khayangan.
"Oh, Loo Ong, kau lihat!" kata dia pada kawannya. "Lihat dua nona itu! Mereka jauh lebih cantik dan manis daripada kedua nona dan Shanghai! Mari kita bergurau dengan mereka..."
Suara orang she Thio ini nhyaring, hingga In Hong dan Hiang Kat mendengarnya, tetapi kakak beradik seperguruan ini duduk berdiam tanpa bergeming.
Tidak demikian dengan Ouw A, yang duduk pisah di lain meja, yang hatinya bergolak.
Lekas-lekas In Hong mengedipi mata pada adik Seperguruan yang aseran itu.
Sementara itu si Thio dan si Ong, yang sudah sinting itu, telah menghampirkan si Burung Kenari.
"Nona-nona duduk minum berdua saja, terlalu sunyi," kata si Thio. "Mari kami temani kamu!"
Lalu tangannya diulur ke pipi Nona In.
Oey Eng tidak mau urusannya gagal, ia bersikap sabar. Ia cuma berkelit.
Si Ong sebaliknya mau memegang tangannya Hiang Kat, atas itu, si nona berkelit seraya menolak tubuh orang ke samping.
Si Thio pun mau mengusap pipi orang, dia turut ditolak juga. Coba mereka tidak dekat dengan tembok, tentu keduanya sudah terpelanting roboh.
"Kamu tidak kenal tiga orang itu" " kata seorang tetamu, yang duduk dekat In Hong. "Merekalah jago di sini, baik kamu lekas menyingkir..."
Ketika itu, dan dalam muncul dua orang nona.
In Hong yang jeli melihat mereka bukanlah Kiauw Tin dan Kiauw Eng.
"Bukankah mereka itu baru datang dan Shanghai" " ia tanya si tetamu yang baik hati itu.
Si tetamu mengangguk. Mendapat jawaban itu, In Hong lantas berbangkit. Di situ tidak ada kedua burung yang mereka cari hendak mereka pergi ke lain tempat.
Justeru itu, si Thio bertiga menjadi tidak senang. Belum pernah mereka ditampik, apa pula dengan cara keras itu. Melihat kedua nona mau berlalu, mereka lantas menghadang.
"Kamu buta, ha" " tegur si Thio. "Kamu berani memukul orang, ya" "
"Locoti pakaiannya!" teriak si Ong. "Rotani padanya!"
Dan pinggangnya, dia sudah lantas menanik sehelai cambuk lunak terbuat dan kulit.
In Hong lebih mementingkan urusan, tak mau ia mencari onar. Orang pun lagi dipengaruhi arak.
"Kami cuma menolak perlahan saja, harap kamu memaafkan," ia kata.
"Kamu dua wanita hutan, dan mana kamu datang" " bentak si Ong. "Bagaimana kamu berani menghina tuan-tuan besar kamu bertiga" Boleh jikalau kamu mau dapat ampun! Kamu mesti berlutut dan mengangguk tiga kali, atau kamu memberi selamat kepada kami dengan enam gelas brandy!"
Ketika itu Ouw A sudah berjingkrak bangun, dia gusar sekali.
"Sudahlah," kata In Hong, tetap tenang. "Untuk mengangguk dan minum enam gelas brandy, baik lain kali saja..."
Si Ong gusar, tangannya diulapkan, maka menyambarlah cambuknya ke muka In Hong.
Oey Eng berkelit, tangannya diangkat, untuk menyambuti, hingga ia berhasil memegang ujung cambuk, terus ia menarik. Hanya dengan satu kali gentak, cambuk kulit itu sudah berpindah tangan.
Ouw A, yang tidak sabaran, berlompat bangun, tangannya lantas diulur.
"Perlahan," kata In Hong.
Akan tetapi si Thio sudah kena dilempar hingga keluarn rumah makan.
Si Ong dan si Lie lantas menghunus pisau belati, terus mereka menyerang. Bahkan mereka, telah lantas dibantu beberapa kawan mereka, yang kebetulan lagi makan minum di dalam restoran itu.
Maka didalam sekejap, terjadilah pertempuran yang ramai. In Hong sabar tetapi ia terpaksa melayani. Para tetamu, yang tidak berkepentingan, lantas pada mundur ke sisi.
Ouw A mendengar kata terhadap In Hong, ia berlaku lunak, walaupun demikian, setiap lawan yang datang dekat padanya dan menyerangnya, dia sambuti untuk terus dicekal dan dilemparkan keluar.
Si Thio, si Ong dan si Lie, ketiganya sudah rebah merintih tanpa dapat bangun lagi, sebab mereka roboh terbanting keras. Yang lainnya, siapa tidak rebah, dia kabur dengan luka-luka yang ringan.
Selekas musuh-musuh tidak berdaya dan kabur, In Hong bertiga lekas meninggalkan rumah makan itu, untuk mereka terus pergi ke restoran yang lainnya, buat terus mencari kedua saudara Kiang.
Beberapa restoran telah dipergikan dengan tanpa basil. Paling belakang mereka masuk ke dalam Restoran "Sweet" yang tetamunya sedikit. Mereka duduk dengan membelakangi dua orang nona pelayan, yang lagi berbicara satu dengan lain.
"Eh, ya, kau tahu atau tidak, pemilik dan Restoran Blue Heaven mempunyai dua adik misan yang sangat cantik yang baru saja datang dan Shanghai" " demikian kata salah seorang nona pelayan itu.
"Mereka itu sangat ketarik dengan penghidupan sebagail nona pelayan, mulai kemarin malam, mereka telah menjadi bar girls di restoran kakak misannya itu, akan tetapi barusan saja, mereka telah berkemas-kemas dan dengan tersipu-sipu mereka pergi naik kereta api. Sebabnya ialah mereka telah mendengar kabar halnya telah terjadi perkelahian di dalam Restoran Welcome dimana seorang pria dan dua orang wanita sudah berkelahi dengan beberapa tetamu lainnya. Mereka berangkat selekasnya mereka menelepon kepada stasiun kereta api menanyakan jam berangkatnya kereta malam."
"Aku dengar hal mereka itu," sahut sang kawan. "Menurut dugaanku, mungkin mereka buronan dari Shanghai dan mungkin sekali orang-orang yang berkelahi di dalam restoran itu ialah orang-orang polisi rahasia dan Shanghai yang sedang mengejarnya..."
Baru saja ia mendengar begitu, mendadak Ouw A lompat kepada kedua nona itu, untuk mencekal lengan keduanya.
"Bagaimana kamu tahu mereka lari dengan naik kereta api" " tanyanya, keras.
Kedua nona itu kaget hingga mereka menjerit, lalu melongo. In Hong dan Hiang Kat menghampirkan kedua nona itu.
"Lepaskan tanganmu!" kata si Burung Kenari kepada kawannya. Sedang kepada kedua nona, ia berkata, "Maaf! Aku menyesal atas kejadian ini. Tapi jangan kamu takut, bahkan aku mau minta keterangan kamu, nona-nona..."
Suara In Hong sabar dan tenang, dia bersenyum
"Kamu membikin orang kaget," kata seorang nona "Apa itu yang kau hendak tanyakan" "
"Tentang kedua bar girls dan Blue Heaven itu," kata In Hong. "Bagaimana kau ketahui tentang mereka" "
"Aku ketahui itu dari seorang tetamu," sahut si nona. "Dia baru saja datang dan Restoran Welcome dimana katanya telah terjadi perkelahian, seorang pria dan dua orang wanita menghajar sejumlah orang luntang-lantung. Tempo kedua nona itu mendengar kabaran itu, mereka ialah kakak beradik she Kiang, sudah lantas menanyakan jam kereta api malam, lantas mereka bersiap sedia dan berangkat pergi..."
"Oh, kamukah itu pria dan wanita yang kelahi di Welcome" " tanya nona yang lainnya.
"Ya," menjawab In Hong, terus terang. "Apakah , adatelepon di sini" "
"Ada." In Hong lantas bicara dengan pimpinan dari stasiun kereta api. Ia mendapat keterangan bahwa kereta yang biasa berangkat jam 09.30 sudah berangkat pada dua jam yang lalu, tinggal kereta yang penghabisan, yang akan berangkat ke Tsinan pada jam 11.37.
Ia lantas melihat jam tangannya. Tepat itu waktu jam 11.30.
"Mari kita berangkat sekarang!" ia mengajak Hiang Kat dan Ouw A.
Di luar rumah makan, mereka lompat naik atas taxi yang pertama diketemukan.
"Lekas, ke stasiun kereta api!" ia beritahukan sopir. "Kami mau menyusul kereta yang berangkat jam 11.37."
"Dengan tempo tujuh menit, mana kita dapat menyandak?" tanya sopir itu
"Kau coba saja!" kata In Hong, yang segera menyodorkan beberapa lembar uang kertas, melihat mana, sopir itu Iantas menancap gas hingga otonya lantas kabur bagaikan terbang.
"In Hong, pastikah mereka akan berangkat ke Tsinan" " Hiang Kat tanya.
"Diwaktu kesusu seperti ini, mereka tidak mempunyai pilihan," sahut In Hong.
Ketika oto sampai di Stasiun, kereta baru mulai berangkat. Bertiga In Hong lompat turun, untuk lari masuk ke peron, untuk mengejar. Dengan berlompatan, mereka mencoba naik di gerbong terakhir, yaitu gerbong kelas dua.
Dugaan Oey Eng tidak meleset. Memang Kiang Kiauw Tin dan Kiang Kiauw Eng berada di dalam kereta itu, di kelas dua juga, bahkan di gerbong terakhir itu.
Mereka itu cerdik, selagi berada di dalam kereta, senantiasa mereka memandang keluar jendela. Maka mereka melihat tiga orang muncul di peron dan berlari-lari mengejar kereta malam itu. Mereka lantas menduga kepada In Hong bertiga. Lantas mereka pergi ke belakang, menantikan di muka pintu.
Ketika Kiauw Eng melihat seorang nona bertubuh langsing dan gesit lompat keinjakan kaki kereta, karena ?a menerka kepada In Hong, segera ?a menyambut dengan satu dupakan.
Tapi dupakannya itu gagal.
Nona yang diserang, yaitu Hiang Kat, melihat bahaya, tidak dapat ia melawan, dengan terpaksa ?a lompat turun ke rel kereta api.
Ouw A mau lompat naik di sebelah kiri, ia disambut Kiauw Tin, kakinya belum menginjak tangga ketika tendangan menyambar ke kepalanya.
Dengan sebat ia mengangkat sebelah tangannya, menyambuti kaki itu, untuk dipegang dan ditarik. Maka bersama-sama Nona Kiang, ia gagal naik ke atas kereta. Ia tidak roboh sebab ?a masih berlari-lari.
Selagi Hiang Kat lompat turun, In Hong terus mengejar kereta. Ia mengulur tangannya, akan menyambar besi tangan-tangan kereta itu, bersiap buat lompat naik.
Mendadak Kiauw Eng menghunus pisau belati dengan apa dia membacok tangan orang!
Tak dapat In Hong menjambret terus, atau tangannya bakal terbacok kutung, akan tetapi ia cerdik. Dengan sebelah tangannya, ia mengeluarkan cambuk lunak yang ia dapat rampas dan si pemabukan, dengan itu, ia menyerang kaki Kiauw Eng.


Hartanya Penghianat Serial Oey Eng Si Burung Kenari Karya Xiao Ping di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nona itu terkejut, dia lompat mundur. Ketika ini digunakan In Hong untuk menjambret pula untuk naik terus, sedangkan dengan cambuknya ia menyerang lagi.
Dalam kaget dan bingung, terutama karena dia jeri, Kiauw Eng lari ke dalam kereta.
In Hong mengejar. Ia melihat orang masuk ke dalam kamar kecil, kamar toilet. Ketika ia sampai di depan pintu, pintu itu sudah dikunci dan dalam.
Ia mengintai di lubang kunci, maka ia melihat Kiauw Eng membuka jendela untuk lari naik ke atas gerbong.
Ia lari balik, untuk pergi keluar. Dengan naik di besi palangan, atau tangan-tangan, ia sempat melihat Si nona pemburon lari di atas wuwungan gerbong, untuk lompat ke
gerbong di depan, gerbong yang lainnya. Oleh karena tidak ada lain jalan, ia pun naik ke atas gerbong itu, untuk menyusul.
Cuaca gelap tetapi si Burung Kenari dapat melihat Kiauw Eng. Dia itu terpaksa berhenti berlari terus karena gerbong lainnya sudah tidak ada lagi. Ia menyusul, hingga mereka berada bersama di atas satu gerbong.
"Nona In Hong, mengapa kau mendesak begini rupa padaku?" demikian satu suara yang merdu, walau pun nadanya rada menggetar, mungkin saking bingung dan gusar.
"Aku beritahu padamu, aku cuma menyamar menjadi setan air dan setan penggantungan, yang membinasakan nona Kat Po ialah orang-orangnya kakak Kiauw Tin. Jadi kematian nona itu tidak ada sangkut pautnya dengan aku..."
"Kamu berdua saudara sangat jahat!" kata In Hong "Kamu bukan cuma membunuh Kat Po satu orang! Karena telah membinasakan entah berapa banyak jiwa, maka juga hutang jiwa kamu sudah bertumpuk!"
"Tidak, tidak!" kata Kiauw Eng, suaranya sember. "Semua itu perbuatan kakakku seorang, aku tidak campur tahu."
Ia bertindak maju, lalu menekuk lututnya. Ia memohon "Nona In Hong, kau ampuni aku..."
"Aku tidak mau mencelakai kau," kata In Hong. "Aku cuma menghendaki kau menenima keputusan undang-undang negara, maka itu akan aku serahkan kau kepada pengadilan. Mari turut aku secara baik-baik..."
Suara si nona berhenti dengan tiba-tiba.
Mendadak Kiauw Eng berbangkit dan tangannya, yang mencekal pisau belati, menyambar ke muka. Hebatnya serangan itu ialah mereka berdua berada sangat dekat satu dengan lain.
Syukurlah In Hong waspada, matanya tajam, tubuhnya gesit. Ia berkelit dan tangannya menyambar, untuk menangkis. sambil menangkap.
Kiauw Eng pun liehay, dapat dia menarik pulang tangannya itu, untuk menyerang pula, hingga di atas kereta itu, selagi kereta berjalan, mereka jadi bertempur. Dia pun liehay. Tapi dia bukanlah lawan In Hong. Cepat sekali dia kena tertendang hingga terguling dari atas gerbong.
Ketika itu, kereta masih belum lari keras. In Hong lari turun, untuk lompat terus, turun ke tanah, membiarkan kereta itu kabur sendirinya...
Tak sulit buat Oey Eng mencari Kiauw Eng, yang jatuh dengan terbanting hebat hingga pecahlah kepalanya si manis dan cantik, yang suaranya merdu, tetapi hatinya berbisa bagaikan kala. Maka dengan cara menyedihkan itu, tamatlah lakon nona itu.
Seorang diri dengan mengikuti rel, In Hong kembali.
Lekas juga ia menemukan Hiang Kat dan Ouw A, yang lagi bertindak menyusul padanya.
"Ouw A, berhasilkah kau membekuk Kiang Kiauw Tin" " ia tanya.
"Ya!" Ouw A menjawab sambil mengangguk.
"Mana dianya" "
"Telah aku lemparkan ke jurang..."
"Aku mau mencegah tetapi sudah tidak keburu," bilang Hiang Kat. "Lebih dahulu, dia telah menekuk patah batang lehernya Kiauw Tin!"
"Bukan niatku mematahkan batang lehernya," kata si sembrono, "adalah batang lehernya yang tak dapat bertahan dari putaran tanganku!"
T A M A T Rahasia Peti Wasiat 4 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Tokoh Besar 2

Cari Blog Ini