Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
sendiri tentu marah dan merasa kehilangan karena Jenderal
Ciang dan Perwira Lui merupakan pembantu-pembantunya yang
setia. Tunggu sampai beberapa hari, kalau suasananya sudah
dingin dan mereka semua mengira bahwa engkau pasti sudah
lolos dari kota raja, barulah aku akan mengatur agar supaya
engkau dapat keluar dari kota raja."
"Baiklah paman. Akan tetapi, apakah paman dapat memberi
petunjuk kepadaku, di manakah kiranya orang tuaku sekarang?"
Panglima Kwe menggeleng kepala dan menghela napas. "Aku
sudah berusaha menyebar orang-orangku untuk mencari,
namun tidak berhasil menemukan jejak mereka. Aku hanya
486 mempunyai satu perkiraan, yaitu besar sekali kemungkinannya
mereka pergi ke utara untuk mencari Ouw Kan karena
mendengar akan ciri-ciri penculik itu dari tukang kebun yang
belum terbunuh mati, kami sudah dapat menduga bahwa
pelakunya adalah Ouw Kan yang berjuluk Toat-beng Coa ong.
Dia adalah seorang suku bangsa Hui dan berasal dari Sin-kiang.
Kini dia membantu pemerintah bangsa Kin di utara. Karena itu
besar kemungkinan ayah ibumu mencarinya ke utara, atau ke
Sin-kiang." Sampai seminggu lamanya Bi Lan bersembunyi di dalam rumah
Panglima Kwee dan dalam waktu seminggu itu, hubungannya
dengan keluarga itu menjadi akrab. Terutama sekali Kwee Cun
Ki. Pemuda itu nampak benar-benar tertarik kepada Bi Lan,
bahkan berulang kali dia mengatakan kepada gadis itu bahwa
dia ingin menemani gadis itu mencari orang tuanya di utara dan
Sin-kiang. Ketika pada hari kedelapan Panglima Kwee mengatakan kepada
Bi Lan bahwa waktunya sudah tiba bagi Bi Lan untuk
diselundupkan keluar kota raja, Cun Ki mengulangi keinginannya
itu kepada Bi Lan, di depan ayah ibunya. "Lan-moi, sekali lagi
aku minta agar engkau suka kutemani untuk mencari orang
tuamu. Melakukan perjalanan seorang diri di daerah musuh itu
sungguh amat berbahaya bagimu."
Panglima Kwee dan isterinya sudah maklum bahwa putera
tunggal mereka itu jatuh cinta kepada Bi Lan. Di dalam hati,
mereka setuju sekali kalau Bi Lan menjadi mantu mereka. Kwee
Gi segera berkata, "Kami setuju kalau Cun Ki menemanimu, Bi
487 Lan. Dengan bantuannya, tentu akan lebih mudah menemukan
orang tuamu." "Benar, Bi Lan," kata Nyonya Kwee. "Dengan adanya Cun Ki
yang menemanimu, hati kami tidak akan merasa gelisah seperti
kalau engkau pergi seorang diri. Seorang gadis merantau
seorang diri tanpa kawan di tempat yang jauh itu, apalagi di
daerah musuh, sungguh hatiku akan merasa gelisah selalu.
Engkau sudah kuanggap seperti anak sendiri, Bi Lan."
Ucapan nyonya ini sebetulnya sudah merupakan isyarat yang
jelas bahwa ia ingin Bi Lan menjadi anak mantunya. Akan tetapi
Bi Lan tidak mengerti dan ia cepat menjawab.
"Terima kasih atas kebaikan hati paman, bibi dan juga Ki-twako.
Kalian telah menolongku dan bersikap baik sekali kepadaku.
Untuk itu aku mengucapkan banyak terima kasih. Akan tetapi,
aku ingin melakukan perjalanan seorang diri. Terima kasih atas
penawaranmu untuk menemaniku, Ki-twako. Ketahuilah bahwa
aku masih mempunyai tugas pribadi yang harus kuselesaikan.
Kelak, kalau semua tugas dan urusanku sudah selesai, aku pasti
akan datang berkunjung untuk mengucapkan terima kasihku."
Karena Bi Lan bersikeras menolak, maka Cun Ki tidak berani
memaksa, hanya dia merasa kecewa bukan main. Dia tadinya
mengharapkan bahwa kalau melakukan perjalanan bersama,
gadis yang membuatnya tergila-gila itu akan tergerak hatinya
dan akan membalas cintanya. Akan tetapi melihat Bi Lan
berkeras tidak mau ditemani, tentu saja dia tidak berani
memaksa yang akan membuat gadis itu marah.
488 Usaha membawa Bi Lan keluar kota raja dipersiapkan. Sebuah
kereta berhenti di depan gedung keluarga panglima Kwee.
Kusirnya seorang laki-laki yang masih muda, berwajah tampan.
Tak lama kemudian, Panglima Kwee masuk ke dalam kereta dan
di belakang kereta terdapat belasan orang perajurit pengawal
menunggang kuda. Rombongan kecil ini lalu berangkat dan
keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah utara.
Para perajurit yang menjaga di pintu gerbang segera memberi
hormat ketika melihat bahwa penumpang kereta itu adalah
Panglima Kwee Gi dan isterinya.
Pada hari-hari kemarin, tentu ada perwira anak buah Perdana
Menteri Chin Kui yang ikut menjaga dan mengawasi. Kalau ada
mereka, biarpun yang lewat itu Panglima Kwee, tentu mereka
akan melakukan pemeriksaan yang teliti. Akan tetapi, pencarian
pembunuh itu kini sudah tidak ketat 1agi. Seminggu telah lewat
dan pembunuh itu tidak ditemukan jejaknya. Dianggap sudah
kabur dari kota raja, maka kini di pintu gerbang hanya dijaga
para perajurit keamanan biasa.
Panglima Kwee adalah komandan pasukan keamanan, maka
tentu saja para perajurit percaya kepadanya dan setelah
memberi hormat, para penjaga itu membiarkan kereta dan
pengawalnya lewat keluar dari pintu gerbang.
Belasan orang perajurit itu adalah orang-orang kepercayaan
Panglima Kwee. Setelah rombongan tiba jauh dari pintu
gerbang, di jalan yang sunyi, rombongan berhenti. Seorang
pengawal muda turun dari atas kudanya, menanggalkan pakaian
luarnya dan kini mengenakan pakaian yang sama dengan yang
489 dipakai kusir, lalu menggantikan kedudukan kusir. Kusir itu
bukan lain adalah Bi Lan yang menyamar sebagai kusir. Semua
perlengkapannya telah dibungkus dalam buntalan pakaian yang
disembunyikan dalam kereta. Dalam buntalan itu, selain
pakaiannya, juga ada sekantung uang emas sebagai bekal,
merupakan hadiah dari Panglima Kwee.
Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi hormat kepada
Panglima Kwee Gi dan isterinya, Bi Lan lalu menunggangi kuda
yang tadi ditunggangi pengawal yang kini menjadi kusir, dan
gadis itupun membedal kudanya, membalap ke arah utara,
diikuti pandang mata Panglima Kwee Gi dan isterinya.
Kekecewaan dan keharuan membayang dalam pandang mata
suami isteri itu. Mereka lebih senang melihat gadis itu berada di
rumah mereka, sebagai anak mantu mereka! Kini gadis itu telah
pergi, menuju ke seberang utara yang dikuasai bangsa Kin,
tempat berbahaya sekali dan entah mereka akan dapat bertemu
lagi dengan gadis itu ataukah tidak.
*** Thian Liong menuruni lereng bukit itu sambil melamun. Dia
merasa kecewa dan menyesal sekali karena sebuah di antara
tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya telah gagal. Dia
telah berhasil menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Cu
Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, bahkan telah beruntung diberi
kesempatan mempelajari ilmu dari kitab itu oleh ketua Siauw-limpai sehingga dia memperoleh kemajuan besar dalam ilmu
silatnya. Kemudian dia juga telah menyerahkan kitab Kiauw-ta
Sin-na kepada Ciang Losu ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi kitab
yang ketiga, yaitu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang
490 seharusnya dia berikan atau kembalikan kepada Kun-lun-pai
seperti yang diperintahkan gurunya, telah lenyap dicuri gadis liar
berpakaian merah muda itu.
Dia harus bertanggung jawab. Dia harus dapat merebut kembali
kitab itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu
kepada Kun-lun-pai. Akan tetapi dia tidak mengenal siapa gadis
itu, siapa namanya dan ke mana harus mencarinya!
Kalau dia tidak dapat menemukan gadis maling itu dan
mengembalikan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat kepada
Kun-lun-pai, dia belum mau sudah karena dia mengabaikan
perintah gurunya dan dia merasa "berhutang" kepada Kun-lunpai. Wah, gadis berpakaian merah muda itu! Gemas sekali dia!
Awas kau, kalau dapat kutemukan, bukan saja kitab itu
kurampas darimu, juga engkau patut diberi hajaran. Akan
kupukul pantatmu sampai sepuluh kali, seperti yang dia seorang
bapak memukul pantat anaknya yang nakal ketika dia
berkunjung ke dusun kaki bukit dulu. Biar tahu rasa kau!
Demikian gemas rasa hati Thian Liong sehingga dia bersungutsungut sendiri. Gadis liar! Rampok, maling! Kurang ajar betul.
Tiba-tiba wajah gadis berpakaian merah muda yang tadinya dia
membayangkan sebagai wajah setan, berubah dan tampaklah
wajah lain. Wajah seorang gadis lain yang berpakaian serba
hijau dan memakai bunga mawar merah di rambutnya. Wajah
Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sianli! Gadis yang satu ini
sama liarnya, juga sama lihainya, sama kurang ajarnya. Masa
ingin pinjam kitab Sam-jong Cin-keng milik Siauw-lim-pai dan
pinjamnya pakai memaksa lagi!
491 Hemm, bagaimanapun juga dia telah menghajar gadis itu
dengan mengalahkannya sehingga ia pergi dengan marah
marah. Tidak sekurang ajar gadis baju merah muda yang
mencuri kitab milik Kun-lun-pai! Ah, kenapa nasibnya begini"
Bertemu dengan dua orang gadis liar yang sama-sama
membikin dia pusing dan marah. Tiba-tiba terbayang wajah
seorang gadis lain! Nah, yang ini lagi! Tiada hujan tiada angin,
menyerangnya mati-matian dan setelah dia berhasil
mengalahkannya, dia harus mengawininya! Gila! Kalau dia
menolak, gadis bernama Kim Lan itu harus membunuhnya dan
kalau gagal, harus membunuh diri sendiri atau akan dibunuh
gurunya! Aturan mana ini" Si nenek yang menjadi guru Kim Lan
dan sumoinya yang bernama Ai Yin itu boleh jadi sudah gila,
mengadakan peraturan seperti itu kepada murid-murid
wanitanya. Gila! Apakah para wanita itu sudah gila semua"
Setelah meninggalkan Siauw-lim-si, Thian Liong mengambil
keputusan untuk melaksanakan dua kewajiban yang dipesan
oleh gurunya. Pertama, dia harus merebut kembali kitab pusaka
milik Kun-1un-pai itu. Dan kedua, gurunya pesan agar dia
membantu Kerajaan Sung menghadapi musuh-musuhnya. Dia
mengingat-ingat. Suhunya pernah menyebut nama Perdana
Menteri Chin Kui sebagai orang jahat dan berkhianat dan yang
telah mempengaruhi kaisar. Dia diberi tugas untuk
menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh para pembesar
yang jahat. Akan tetapi, yang lebih dulu harus dia kerjakan
adalah mencari gadis setan berbaju merah itu untuk merampas
kembali kitab pusaka Kun-lun-pai!
492 Dia mengenang kembali pertemuannya dengan gadis
berpakaian merah itu. Hemm, cantik jelita dan lincah jenaka
memang. Tapi galaknya minta ampun. Dan kejam. Begitu saja
membunuh orang, biarpun yang dibunuhnya itu seorang
penjahat. Akan tetapi ilmu silatnya amat hebat. Hanya dengan
sebatang ranting, ia mampu mempermainkan si gendut,
perampok lihai itu, bahkan membunuhnya. Permainan
rantingnya mirip ilmu pedang.
Thian Liong menghentikan langkahnya, memejamkan matanya
untuk membayangkan kembali gerakan gadis baju merah itu
ketika bertanding melawan perampok gendut. Dia banyak tahu
akan aliran ilmu silat dari gurunya. Gurunya pernah
membeberkan rahasia dasar gerakan silat perguruan-perguruan
besar, bahkan ilmu silat dari aliran luar pedalaman Cina seperti
ilmu silat yang berdasar pada aliran Tibet, Gobi, Mancu, Mongol
dan lain-lain. Sekarang dia teringat benar. Gerakan kedua kaki gadis baju
merah itu ketika bergeser, dengan berjingkat dan berputar. Itu
adalah gerakan dasar ilmu silat aliran Tibet yang diajarkan
pendeta Lhama di Tibet. Gurunya, Tiong Lee Cin-jin sudah
pernah bertahun-tahun tinggal di Tibet dan mempelajari ilmu silat
dari suku bangsa itu. Ah, tidak salah lagi. Dia ingat benar. Gadis yang mencuri kitab
Ngo-heng Loan-hoan Kun-hoat milik Kun-lun-pai itu ada1ah
seorang ahli silat aliran Tibet. Mungkin ia murid seorang tokoh
pendeta Lhama yang sakti. Karena itu, dia harus mencari ke
daerah utara, daerah yang diduduki bangsa Kin karena besar
kemungkinan gadis maling itu melarikan diri ke sana. Pula,
493 dalam perjalanan dia mendengar betapa bangsa Kin di utara itu
melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyat pribumi
Han. Agaknya di sanalah dia akan lebih banyak dibutuhkan
rakyat yang terjajah daripada di selatan.
Demikianlah, dia melakukan perjalanan ke utara, ke daerah yang
dikuasai pemerintah bangsa Kin. Sesungguhnya, kerajaan Kin
tidaklah begitu kuat. Andaikata Kaisar Kao Tsung yang kini
bertahta di kota raja baru Nan-king mengerahkan para
panglimanya seperti mendiang Gak Hui untuk menyerbu ke
utara dan melakukan perlawanan, besar kemungkinan mereka
akan mampu mengusir bangsa Kin dari tanah air. Akan tetapi,
Kaisar Kao Tsung terlalu lemah dan terlalu dipengaruhi Perdana
Menteri Chin Kui dan antek-anteknya yang menakut-nakuti
kaisar, yang mengatakan bahwa bangsa Kin terlalu kuat dan
sebagainya, maka Kaisar Kao Tsung mengalah dan tidak pernah
melakukan perlawanan. Dia hanya puas dengan daerah di
sebelah selatan Sungai Yang-ce yang dikuasainya. Memang
daerah selatan ini jauh lebih subur dibandingkan daerah utara,
namun kekalahan Dinasti Sung dari bangsa Kin ini
menyuramkan kebesaran Kerajaan Sung yang pernah berjaya.
Benar saja seperti yang telah didengar dalam perjalanannya,
ketika memasuki daerah jajahan itu, Thian Liong melihat
keadaan rakyat yang hidup menyedihkan. Bukan hanya banjir
besar di musim hujan dan kekeringan di musim panas yang
membuat mereka hidup dalam keadaan miskin, hanya cukup
untuk makan secara hemat sekali, akan tetapi yang, lebih
daripada itu adalah tekanan dari para pembesar yang membuat
mereka dicekam rasa ketakutan. Di kota kota, para pedagang
ditekan dengan pajak yang luar biasa besarnya, yang memaksa
494 banyak pedagang kecil menjadi bangkrut. Hanya pedagang yang
besar dan mampu menyogok para pembesar saja yang dapat
hidup. Kehidupan rakyat di pedusunan tidak lebih baik. Hampir setiap
orang kepala dusun, sikapnya seolah menjadi raja kecil yang
menentukan mati hidupnya tiap warga dusun! Sang kepala
dusun berhak menentukan apa saja. Keputusan pribadinya
menjadi hukum tak tertu1is yang harus dipatuhi. Tidak ada
satupun yang salah pada dirinya. Semua harus dianggap benar
dan harus ditaati setiap warga dusun. Dia bisa merampok
terang-terangan yang disebut menyita barang mereka yang
berdosa, bisa memperkosa anak gadis orang yang disebutnya
menikahinya sebagai selir. Tak seorangpun berani menentang
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehendaknya kalau orang itu masih ingin hidup. Kalau kepala
dusunnya seperti itu, kaki tangannya lebih mengerikan lagi!
Melihat keadaan seperti ini, jiwa kependekaran Thian Liong
bangkit dan di mana saja dia berada, dia tentu turun tangan
memberi hajaran kepada mereka yang bertindak sewenangwenang mengandalkan kekuasaan dan kekerasan, dan
menolong mereka yang tertindas dan lemah tak berdaya. Dia
tidak pernah menyembunyikan namanya dan mengaku bernama
Thian Liong setiap kali perbuatan gagahnya menggegerkan
sebuah dusun atau kota. Sebentar saja dia dianggap sebagai Si
Naga Langit (Thian Liong) seolah-olah mahluk yang menjadi
lambang kebesaran dan kesaktian itu turun dari langit untuk
membela dan menolong rakyat yang menderita!
Dalam perjalanan ini, tidak lupa Thian Liong bertanya-tanya,
mencari keterangan tentang seorang gadis yang cantik jelita dan
495 yang pakaiannya serba merah muda. Akan tetapi sampai hari ini,
ketika dia menuruni lereng bukit di kaki Pegunungan Thai-san,
tidak ada orang yang dapat memberi keterangan kepadanya
tentang gadis itu. Ketika dia melihat sebuah dusun yang cukup besar dan ramai di
kaki bukit, Thian Liong segera memasukinya. Dusun itu tampak
cukup ramai dan tidak seperti yang dia lihat di dusun-dusun yang
pernah dilaluinya, dusun ini kelihatan tenang. Penduduknya tidak
tampak begitu dicekam ketakutan seperti dusun-dusun lain
sebelah selatan. Mungkin semakin dekat tempat itu dengan
pemerintah pusat di Peking, semakin baiklah pembesarnya
karena takut kepada atasan yang sewaktu?waktu dapat
melakukan pemeriksaan, tidak seperti dusun-dusun yang jauh,
yang tak pernah dilalui pejabat pejabat yang memeriksa
keadaan di dusun-dusun. Dusun Leng-ciu dapat juga disebut kota karena tampak ramai,
banyak toko dan bahkan ada rumah makan dan rumah
penginapan, walaupun sederhana. Dia mendapat harapan untuk
mendengar berita tentang gadis baju merah di tempat ini. Hari
sudah siang dan Thian Liong merasa perutnya lapar karena
sejak kemarin malam dia belum makan. Pagi tadi tidak sempat
makan karena dia melakukan perjalanan naik turun bukit dan
tidak melewati dusun. Melihat sebuah rumah makan yang
kosong, tidak ada tamunya, dia lalu masuk.
Seorang pelayan setengah tua, berusia kurang lebih empatpuluh
tahun, menyambutnya dengan senyum ramah.
"Siauw-ko (saudara muda) hendak makan apa" Dan minum?"
496 "Hidangkan nasi dan masakan sayur, minumnya air teh saja."
"Air teh" Ah, siauwko, kami mempunyai arak yang lezat!"
pelayan itu menawarkan. "Terima kasih, paman. Aku eh, aku tidak biasa
minum arak, takut mabok," jawab Thian Liong sambil tersenyum.
"Bagus! Bagus! Aku sendiri juga hampir tidak pernah minum
arak, lebih baik teh, menyehatkan. Sebal sekali
anakku laki-laki itu, setiap hari mabok. Ayaaa
bikin jengkel orang tua saja!" Pelayan itu menggeleng-geleng kepala
lalu pergi untuk menyediakan makanan yang dipesan Thian
Liong. Pemuda ini tersenyum sendiri, akan tetapi juga timbul niatnya
untuk mengajak pelayan yang suka bicara itu untuk bercakapcakap. Siapa tahu dia tahu tentang gadis yang dicarinya. Apalagi
saat itu, rumah makan sepi tidak tampak tamu lain.
Ketika pelayan itu mengantar nasi dan semangkuk sayur, sepoci
teh dengan cawannya, Thian Liong mengajaknya bicara sambil
makan. "Duduklah, paman dan mari temani aku minum teh. Nanti kalau
ada tamu boleh paman tinggalkan aku."
Pelayan itu menerima undangan itu dengan senang dan setelah
minum teh secawan, Thian Liong bertanya, "Paman, aku ingin
sekali bertanya. Apakah paman pernah melihat seorang gadis
497 cantik berpakaian serba merah muda, punya lesung pipit di
kanan kiri bibirnya dan gadis itu pandai ilmu silat?"
Pelayan itu mengerutkan alisnya. "Gadis cantik jelita dan pandai
ilmu silat" Wah, ada, benar tentu ia yang kau maksudkan itu!
Masih muda belia, senyumnya semanis madu, kerling matanya
seperti kilat menyambar, kalau tertawa semua bunga
bermekaran, matahari bersinar semakin terang!"
"Betul, betul dara itu yang kumaksudkan! Di mana ia, paman?"
"Tapi pakaiannya bukan serba merah muda, melainkan putih,
sutera putih halus dengan perhiasan gemerlapan. Memang ada
yang merah, akan tetapi bukan pakaiannya melainkan sabuknya,
sabuk sutera merah. Pakaiannya serba putih, elok anggun
seperti burung Hong, karena itu semua orang menyebutnya Pek
hong Niocu (Nona Burung Hong Putih)!"
Tiba-tiba ada serombongan orang memasuki rumah makan dan
pelayan itu cepat bangkit. "Maaf, siauw-ko, ada tamu!" Bergegas
dia menyambut rombongan terdiri dari empat orang itu. Seorang
laki-laki muda berusia duapuluh lima tahun, seorang gadis cantik
berusia sekitar duapuluh tahun, dan suami isteri setengah tua
sekitar limapuluh tahun. Pelayan itu segera mempersilakan mereka duduk menghadapi
sebuah meja sebelah dalam, terhalang tiga meja dari tempat
Thian Liong makan. Thian Liong tidak memperhatikan mereka
yang tampaknya seperti penduduk biasa. Dia sedang melamun,
merenungkn cerita pelayan tadi.
498 Tidak mungkin nona yang disebut Nona Burung Hong Putih itu
gadis maling yang mencuri kitab pusaka Kun?lun-pai. Walaupun
sama cantik dan sama pandai silat, namun pakaiannya jauh
berlainan. Maling wanita itu berpakaian serba merah muda,
kalau yang diceritakan pelayan itu pakaiannya serba putih. Pula,
maling wanita itu tidak memegang senjata, ketika membunuh
perampok, hanya mempergunakan sebatang ranting. Akan tetapi
Burung Hong Putih ini menggunakan sehelai sabuk sutera
merah! Tentu bukan gadis yang dicarinya. Betapapun juga, ia merasa
tertarik. Siapa tahu gadis maling itu berganti warna pakaiannya"
Atau, setidaknya, mungkin sebagai sama-sama wanita pandai
ilmu silat, Burung Hong Putih ini mengenal gadis berpakaian
merah muda. Tiba-tiba dua orang laki-laki muda berusia antara duapuluh lima
sampai duapuluh tujuh tahun memasuki rumah makan itu.
Melihat betapa mereka berdua berjalan terhuyung sambil
menyeringai dan tertawa-tawa, mudah diduga bahwa keduanya
sudah mabok. "Kita baru saja minum, masa mau minum lagi ?"
kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
"Ha-ha-ha, di sini tempatnya mi bakso yang paling
enak di dunia ! Ha-ha, heii, pelayan, hidangkan mi
bakso komplit dua porsi! Cepat
!!" Dua orang itu lalu
499 mengambil tempat duduk di meja yang berdekatan dengan meja
rombongan pertama. Pelayan setengah tua itu agaknya
mengenal mereka karena dia bergegas menghampiri meja itu
dan menggunakan kain lap untuk membersihkan meja itu.
"Oh, Bouw-kongcu (Tuan Muda Bouw) dan Ban-kongcu (Tuan
Muda Ban). Silakan duduk, silakan
duduk " kata pelayan itu dengan sikap hormat.
"Cerewet!" bentak si tinggi kurus yang disebut Bouw-kongcu.
"Hayo cepat sediakan bakmi bakso dua mangkok, bodoh!"
bentak Ban-kongcu yang tubuhnya tinggi besar dan sikapnya
kasar. "Baik, baik, ji-wi kongcu (tuan muda berdua)
" pelayan itu ialu cepat-cepat mengambilkan pesanan dua orang
muda itu. Ketika dia lewat di dekat Thian Liong, dia
berbisik, "hemm mereka putera kepala Dusun Bouw
dan Kepala Keamanan Ban " Thian Liong melirik ke arah dua orang itu. Mereka mengeluarkan
sebuah guci yang tadi dibawa Ban-kongcu dan bergantian
minum lagi sambil tertawa-tawa.
"Ehh" Manis sekali!" Tiba-tiba Bouw-kongcu yang tinggi kurus itu
memandang kepada gadis cantik yang duduk bersama
rombongan pertama tadi. Gadis itu menundukkan mukanya.
500 "Heh-heh, kalau engkau suka, biar ia menemani kita makan
minum," kata Ban-kongcu sambil bangkit berdiri.
"Ya, heh-heh, tentu saja. Ajak ia ke sini si manis itu heh-heh."
Orang muda she Ban yang bertubuh tinggi besar itu lalu bangkit
berdiri dan menghampiri meja rombongan empat orang itu. Dia
langsung menghampiri nona tadi dan berkata.
"Nona manis, Bouw-kongcu mengundang engkau makan minum
bersama kami. Hayo, manis!"
Gadis itu tampak ketakutan dan menggeleng-geteng kepala.
Pemuda itupun bangkit berdiri, diikuti laki-laki setengah tua.
"Sobat, apa artinya ini" Kami tidak mengenal anda, jangan
paksa adik saya untuk makan bersama, itu tidak sopan
namanya!" kata pemuda itu dengan sikap marah. Juga laki-laki
setengah tua itu marah. "Jangan ganggu anakku!" bentaknya.
Ban Gu, demikian nama putera kepala keamanan dusun itu,
membelalakkan matanya yang sudah lebar, memandang kepada
ayah dan puteranya itu berganti-ganti. "Ha-ha, kalian berani
menentangku, ya" Kalian belum mengenal siapa aku dan siapa
Bouw-kongcu itu?" "Sabarlah, sobat," ayah pemuda itu mencoba untuk
menyabarkan Ban Gu. "Kami sekeluarga baru saja tiba di kota
Leng-ciu ini, kami tidak mengenal siapa kalian berdua dan
kamipun tidak melakukan kesalahan apapun. Karena itu, harap
501 jangan ganggu puteri saya, jangan ganggu kami yang hanya
ingin makan di sini."
"Bodoh! Aku Ban Gu adalah putera Kepala Pasukan Keamanan
di sini dan Bouw-kongcu adalah putera kepala daerah yang
berkuasa di sini, tahu" Hayo! nona ini harus menemani kami
makan minum dan siapapun tidak boleh menghalangi!" Setelah
berkata demikian, Ban Gu menangkap pergelangan tangan
gadis itu dan menariknya berdiri.
Pemuda yang menjadi kakak gadis itu marah. "Engkau kurang
ajar, hendak menghina adikku?" Dia maju dan hendak
menangkap pundak Ban Gu untuk ditariknya agar terlepas dari
adiknya. Akan tetapi agaknya Ban Gu seorang yang pandai ilmu
silat. Sekali dia melayangkan tinjunya, pemuda itu terpelanting
roboh. Ayah pemuda itu maju hendak mencegah Ban Gu menarik
puterinya, akan tetapi sekali lagi Ban Gu mengayun tangan dan
laki-laki setengah tua itupun terpelanting menabrak kursi. Sambil
terbahak Ban Gu menangkap lagi tangan gadis itu dan
menyeretnya menuju ke meja di mana Bouw-kongcu menunggu
sambil menyeringai senang.
"Ting-yi !" Ibu itu memburu, akan tetapi sebuah
tendangan dari Ban Gu membuat nyonya itu terjengkang. Gadis
itu menjerit, akan tetapi dengan mudah Ban Gu mengangkatnya
dan memaksanya duduk di atas kursi di samping Bouw-kongcu.
Pada saat itu, Thian Liong sudah hampir tidak dapat menahan
kemarahannya. Akan tetapi dia menahan diri karena terdengar
502 derap kaki kuda di luar rumah makan dan seorang gadis
berpakaian serba putih berkilau melompat turun dari punggung
kuda. Thian Liong yang tadinya sudah bangkit berdiri untuk
menghajar dua orang pemuda berandalan itu duduk kembali
saking heran dan kagumnya. Gadis ini benar-benar
mengingatkan dia akan gadis maling yang mencuri kitab pusaka
Kun-lun-pai. Bentuk tubuh yang denok semampai itu sama,
wajahnya memang agak beda, akan tetapi keduanya sama
cantik dan sepasang mata itupun sama-sama mencorong,
bibirnya tersenyum nakal dan gerakannya gesit sekali. Tanpa
disadarinya, Thian Liong mengamati dengan penuh perhatian.
Gadis itu berusia sekitar sembilanbelas tahun, pakaiannya dari
sutera putih bersih berkilauan, pinggang ramping itu dililit sabuk
merah. Rambutnya dikuncir tebal panjang diberi pita merah dan
di atas kepalanya terhias sebuah perhiasan berbentuk burung
Hong putih dari perak bermata mirah yang indah sekali. Agaknya
gadis itu sengaja membuat perhiasan yang sesuai dengan
julukan yang diberikan orang, atau orang-orang memberi julukan
kepadanya karena di antaranya melihat perhiasan itu.
Wajahnya manis sekali, kulitnya putih bersih, seperti biasa kulit
wanita dari utara. Matanya mencorong seperti bintang dan
senyumnya yang manis itu mengandung kenakalan. Tubuhnya
yang ramping padat itu amat menggairahkan, dengan lekuk
lengkung yang sempurna. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia
seorang wanita bangsawan bangsa Kin, dengan hiasan bulu
indah pada leher dan pada sepatunya yang terbuat dari kulit
berwarna hitam mengkilat berbentuk sepatu tinggi membungkus
betis (sepatu boot). Gadis itu melompat turun dan berlari
503 memasuki rumah makan dan memegang sebatang pecut kuda.
tangan kanannya masih "Aku mendengar ada keributan di sini! Siapa yang membikin
ribut?" suaranya nyaring dan merdu dan biarpun ia bicara dalam
bahasa pribumi Han, namun terdengar lucu karena aksennya
asing suku bangsa Kin. Suami isteri setengah tua dan putera mereka sudah bangkit
berdiri sambil menyeringai kesakitan, dan mereka bertiga yang
melihat wanita itu datang dengan sikap demikian anggun dan
berwibawa, mereka bertiga hanya dapat menuding ke arah gadis
yang masih duduk ketakutan, apalagi dua orang pemuda yang
duduk di kanan kirinya itu dengan kurang ajar menowel-nowel
dan meraba-raba dengan tangan mereka.
Gadis baju putih itu melihat ke arah yang ditunjuk tiga orang itu
dan kini alisnya berkerut melihat gadis yang duduk di antara dua
orang pemuda yang jelas sedang berbuat tidak sopan
kepadanya, meraba-raba dada dan menowel dagu dan pipi.
"Hemm, kiranya kalian ini dua ekor buaya darat yang membikin
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ribut di sini?" bentak gadis itu sambil menghampiri meja di mana
Bouw Kui, putera kepala daerah, dan Ban Gu, putera kepala
pasukan keamanan kota Leng-ciu itu duduk mengapit gadis itu.
Dua orang pemuda itu terkejut mendengar ada suara wanita
memaki mereka sebagai buaya darat. Cepat mereka bangkit dan
memutar tubuh menoleh dan memandang. Keduanya terbelalak
kagum. 504 "Huihhh! Alangkah menyeringai kagum. cantiknya!" kata Bouw Kui sambil "Hebat! Seperti bidadari! Toako, engkau sudah punya yang itu,
yang ini untukku!" kata Ban Gu.
"Ah, tidak, Gu-te (adik Gu). Biar gadis pemalu dan penakut itu
untukmu, aku memilih yang baru datang dan pemberani ini!" kata
Bouw Kui. Pelayan setengah tua itu tahu-tahu sudah berada di dekat meja
Thian Liong. "Uhh, mereka mencari penyakit. Mereka pasti akan
celaka !" bisiknya dan Thian Liong menonton dengan
ingin tahu sekali. "Hei, kalian katak buduk! Hayo cepat kalian menjatuhkan diri
berlutut dan minta ampun seratus kali, atau, aku akan menyiksa
kalian sampai mampus!" bentak gadis itu sambil bertolak
pinggang. JILID 14 Ban Gu yang merasa dimaki-maki itu menjadi marah juga. "Heh,
jaga mulutmu, perempuan liar! Tahukah engkau siapa kami"
Toako, ini adalah Bouw-kongcu, putera kepala daerah Bouw!
Dan aku adalah Ban Gu, putera kepala pasukan keamanan kota
505 ini. Berani engkau memaki kami" Kau bisa kutangkap dan
kumasukkan penjara!"
"Memaki kalian" Menyiksa dan membunuh kalian pun aku
berani," kata gadis itu dan tiba-tiba cambuk kuda di tangannya
menyambar ke depan. Cepat sekali ujung cambuk itu
menyambar, seperti kilat menyambar.
"Tar-tarrr !!" dua kali cambuk itu menyambar dan
dua orang pemuda itu mengaduh, kedua tangan mendekap
mu?ka mereka yang tampak ada balur memanjang merah dan
berdarah! Tentu saja mereka marah sekali. Mereka berdua
pernah belajar silat, apalagi Ban Gu yang memiliki ilmu silat
yang cukup tangguh dan dia terkenal sebagai pemuda ugalugalan yang suka mengandalkan kekuatannya dan terutama
kedudukan ayahnya. "Perempuan gila !!" Dia membentak dan tangan
kanannya sudah mencabut sebatang. golok, lalu dia melompat
ke depan dan menyerang dengan goloknya.
Bouw Kui juga tidak tinggal diam. Diapun sudah mencabut
goloknya dan menerjang ke depan pula. Gadis yang ketakutan
itu segera berlari menghampiri orang tuanya dan mereka
berempat segera pergi dari situ, keluar dari rumah makan tanpa
pamit karena merekapun belum makan apa-apa. Mereka merasa
lebih cepat mereka meninggalkan Leng-ciu lebih baik.
"Tar-tar-tar-tarrrr !" Pecut itu meledak-ledak.
506 Thian Liong memandang kagum. Bukan main gadis itu. Gerakan
perutnya itu bukan gerakan sembarangan, melainkan gerakan
tangan yang memiliki tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat
kuat sehingga pecut yang hanya terbuat dari bambu itu kini
berubah menjadi senjata yang kuat menangkis sambaran golok
tanpa menjadi rusak! "Trang-tranggg ! Dua kali pecut itu meledak lagi,
tepat mengenai pergelangan tangan kedua orang pemuda yang
memegang golok. Golok itu terlepas dan jatuh berkerontangan di
atas lantai. Kini pecut itu menari-nari, meledak-ledak dan tubuh
dua orang pemuda menjadi bulan-bulan?an pecut.
Dua orang kongcu itu meloncat-loncat seperti dua ekor monyet
menari karena tubuh mereka dihujani lecutan cambuk yang
merobek-robek pakaian dan kulit tubuh mereka sehingga tubuh
mereka itu kini mandi darah! Mereka merasa betapa tubuh
mereka nyeri semua perih-perih dan panas, sakit sampai
menusuk ke dalam tulang sumsum. Mereka jatuh terguling dan
tanpa malu-malu lagi mereka berlutut dan menyembah-nyembah
sambil mengangguk-anggukkan kepala seperti dua ekor ayam
makan padi sambil merintih-rintih.
"Aduh ampun ampun jangan bunuh !!" Keduanya minta-minta ampun.
Gadis itulah yang oleh banyak orang di banyak tempat dijuluki
Pek Hong Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih! Ia
menghentikan cambukannya, hidungnya mendengus dan ia
segera berkata kepada Ban Gu.
507 "He, kamu tikus she Ban! Cepat engkau panggil Kepala Daerah
Bouw dan Kepala Pasukan Keamanan datang ke sini. Cepat dan
tikus she Bouw ini biar berlutut terus di sini sampai kamu
kembali bersama dua tikus yang kupanggil itu!"
Mendengar ini, Ban Gu diam-diam merasa girang sekali, akan
memanggil ayahnya dan Bouw-taijin, baru tahu rasa engkau,
perempuan iblis, pikirya. Dia mengangguk, lalu bangkit berdiri
dan berlari dengan terhuyung-huyung karena tubuhnya terasa
nyeri semua, seperti disayat-sayat rasa seluruh tubuhnya.
Banyak orang kini menonton peristiwa itu. Akan tetapi tentu saja
mereka tidak berani mendekat, hanya menonton dari jarak agak
jauh sehingga rumah makan itu tampak sepi ditinggalkan orang.
Bahkan mereka yang melalui jalan di depan rumah makan itu
tidak berani lewat. Semua orang berbisik-bisik dan merasa tegang karena kalau
sang pembesar yang merupakan raja dan panglimanya itu
muncul bersama pasukannya, tentu gadis itu akan celaka. Akan
tetapi mereka yang sudah pernah melihat sepak terjang Burung
Hong Putih, diam-diam merasa gembira sekali dan tahu bahwa
mereka akan memperoleh tontonan yang menyegarkan hati
mereka yang selama ini banyak mengalami penindasan itu.
Tak Iama kemudian, datanglah rombongan dua orang pembesar
itu. Agaknya karena tergesa-gesa dan agar mereka cepat tiba di
tempat itu, kedua orang pembesar itu naik sebuah kereta dan di
belakang kereta terdapat duapuluh orang lebih perajurit penjaga
keamanan yang biasanya suka dipergunakan untuk melakukan
"pembersihan" kepada rakyat jelata untuk memaksa mereka
508 membayar pajak atau melakukan apa saja yang dikehendaki
kepala daerah atau komandan pasukan itu.
Begitu kereta berhenti di depan rumah makan, Ban Gu yang
tidak sempat berganti pakaian, masih berpakaian koyak-koyak
dan tubuh berlumuran darah, turun diikuti oleh ayahnya yang
bertubuh tinggi besar berperut gendut sekali, berpakaian
sebagai seorang perwira yang serba gemerlapan dan gagah.
Wajah Ban Ho Tung, kepala pasukan keamanan ini, penuh
brewok sehingga tampak menyeramkan, dan wajah itu sudah
membayangkan bahwa dia biasa bersikap keras dan galak.
Orang kedua, usianya sebaya dengan Ban Ho Tung, adalah
Bouw Ti, kepala daerah Leng-ciu yang berpakaian sebagai
seorang bangsawan, tubuhnya tinggi kurus, kumisnya seperti
tikus dan sikapnya angkuh dan sombong sekali, jalannya saja
dibuat-buat segagah mungkin, namun malah tampak lucu karena
tubuhnya yang kerempeng seperti seorang pemadat berat itu.
"Mana ia perempuan iblis, penjahat dan pemberontak itu?" tanya
Ban-ciangkun (Perwira Ban) kepada
puteranya, sikapnya petentang-petenteng (membusungkan dada menantang).
"Ia tadi berada di dalam rumah makan ini, ayah," kata Ban Gu
sambil menuding ke dalam.
"Siapa mencari aku?" terdengar bentakan nyaring merdu dan
dari dalam rumah makan itu melangkah keluar gadis berpakaian
putih itu. Tangan kanannya memegang pecut dan ujung pecut
509 melingkar di leher Bouw Kui yang diseret sehingga pemuda itu
berjalan dengan kaki tangannya seperti seekor anjing.
"Tikus kecil Ban, kamu ke sini. Berlutut!" Gadis itu membentak
sambil menudingkan telunjuk kirinya kepada Ban Gu.
Pemuda ini memang merasa sakit hati dan marah sekali. Dia kini
tidak merasa takut lagi. Bukankah ada ayahnya dan ada Bouwtaijin beserta duapuluh lebih perajurit di belakangnya"
"Perempuan iblis, engkau akan tahu rasa nanti "
"Wuuuttt tarrrr !!" Pecut itu sudah melayang
dan tepat membelit kaki Ban Gu, kemudian sekali tarik tubuh
Ban Gu terseret ke depan kaki gadis itu dalam keadaan berlutut!
Ban Gu menjadi pucat dan dia berteriak-teriak.
"Tolooonggg , ayah, toloonggg
!" "Hemm, kalian ini dua orang pemuda brengsek, mengandalkan
kedudukan orang tua untuk menghina wanita-wanita. Kalian
sudah sepantasnya dihajar!" Setelah berkata demikian, kembali
ia menggerakkan cambuknya dua kali.
"Tarrrr!! Tarrr!!"
Dua orang itu menjerit dan tangan mereka mendekap pinggir
kepala yang berdarah-darah karena daun telinga kanan mereka
telah putus terpenggal ujung cambuk dan kini dua potong daun
telinga itu menggeletak di atas tanah! Keduanya lalu merangkak
melarikan diri ke arah orang tua mereka.
510 "Perempuan jahat! Berani engkau menyiksa dan menghina
putera kami" Kami adalah kepala daerah di Leng-ciu ini!"
"Keparat! Dan aku adalah kepala pasukan keamanan di Lengciu. Engkau telah berani menghina kami, berarti engkau sudah
bosan hidup!" bentak pula Ban Ho Tung sambil mencabut
pedangnya lalu dia memberi isyarat kepada duapuluh empat
orang anak buahnya untuk menangkap atau mengeroyok gadis
berpakaian putih itu. Para perajurit yang sudah turun dari kuda
masing-masing maju mengepung.
Gadis itu mengeluarkan suara melengking seperti suara burung
dan tiba-tiba tangannya sudah melolos ikat pinggang, yang
berupa sabuk sutera merah. Ketika para perajurit menyerbu, ia
bergerak bagaikan seekor burung cepatnya. Tubuhnya melesat
dan seolah lenyap, merupakan bayangan yang berkelebatan di
antara gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar.
Terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan para perajurit itu
roboh berpelantingan ketika mereka disambar sinar merah dari
sabuk sutera merah yang digerakkan secara amat lihai itu.
Diam-diam Thian Liong yang keluar dan ikut nonton perkelahian
itu merasa kagum sekali. Tingkat kepandaian silat gadis ini,
biarpun gerakannya aneh dan asing, namun dibandingkan
tingkat ilmu silat yang dimiliki gadis maling berpakaian merah
muda atau tingkat Ang Hwa Sian-li Thio Siang In, agaknya tidak
kalah atau sukar ditentukan siapa yang paling lihai di antara
mereka! Setelah merobohkan duapuluh empat orang perajurit itu, Si
Burung Hong Putih melihat betapa dua orang pembesar itu
ketakutan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi ia melompat
511 mengejar, dan sinar merah sabuk suteranya meluncur ke depan.
Tahu-tahu leher kedua orang itu telah terbelit ujung sabuk yang
ternyata menjadi panjang sekali dan sekali tarik, dua orang itu
roboh terguling-guling ke arah kakinya!
Dua orang itu bangkit berdiri dengan leher masih terbelit ujung
sabuk merah. Pembesar Bouw yang berwatak angkuh dan
sombong, biarpun ketakutan setengah mati melihat puteranya
terpotong daun telinga kanannya dan semua perajurit
pengawalnya dihajar sampai berjatuhan, namun masih mencoba
untuk menggertak gadis itu.
"Nona, engkau telah berdosa besar sekali! Pasukan kerajaan
akan datang, menangkapmu sebagai seorang pemberontak
yang jahat!" "Srattt !" Gadis itu menggerakkan tangan kirinya
dan ia telah mencabut sebatang pedang bengkok diukir gambar
seekor naga, mengkilap saking tajamnya dan ukiran naga itu
terbuat dari emas! "Kalian ingin kupenggal leher kalian dengan ini?"
Ketika Bouw Ti dan Ban Ho Tung melihat pedang bengkok yang
diukir gambar naga dari emas itu, seketika mata mereka
terbelalak dan wajah mereka menjadi pucat, tubuh mereka
gemetar dan kedua kaki menggigil. Mereka lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan gadis itu, membentur-benturkan dahi di tanah
sambil berkata dengan suara penuh ketakutan.
512 "Ampun beribu ampun, hamba sama sekali tidak tahu
bahwa paduka yang mulia adalah "
"Tidak perduli aku siapa! Apakah kalian berdua mengakui dosadosa kalian?" bentak gadis itu sambil mengancam dengan
pedang bengkoknya dan melepaskan sabuk sutera merahnya
dari leher mereka. "Hamba hamba tidak tahu kesalahan dan dosa apakah yang telah hamba perbuat, yang mulia
" Bouw Ti meratap dan melihat sikap dua orang pejabat itu yang
berlutut lalu menyebut yang mulia kepada nona itu, Bouw Kui
dan Ban Gu yang masih kesakitan terkejut dan ketakutan, lalu
ikut berlutut mendekam di atas tanah, tidak berani bergerak,
bahkan menahan napas agar tubuh mereka tidak membuat
gerakan. Demikian pula para perajurit pengawal, mereka juga ketakutan
dan berlutut di atas tanah. Ada pula di antara mereka yang
sudah lama menjadi perajurit mengenal pedang bengkok dengan
ukiran naga emas itu. Itu adalah pedang tanda kekuasaan yang
diberikan oleh Sribaginda Kaisar sendiri. Pemegang pedang itu
boleh menghukum dan membunuh pembesar mana saja tanpa
lebih dulu minta ijin dari Kaisar!
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, orang she Bouw dan orang she Ban. Kalian berdua
adalah orang-orang pribumi yang dipercaya oleh Sribaginda,
diberi kedudukan dan kekuasaan untuk mengatur rakyat di
daerah kalian, menjaga keamanan dan mengusahakan
513 kesejahteraan dan ketenteraman bagi rakyat. Akan tetapi
ternyata kalian menindas rakyat, bangsamu sendiri, dan
membiarkan anak-anak kalian menjadi pemuda berandalan yang
jahat dan kejam. Dan sekarang kalian masih bertanya dosa apa
yang kalian lakukan" Hayo jawab!"
Dua orang pembesar itu menjadi semakin ketakutan.
"Hamba layak dihukum
akan tetapi hamba mohon beribu ampun dan hamba berdua berjanji tidak akan melakukan
penindasan lagi, akan melaksanakan tugas kewajiban hamba
sebaik-baiknya." "Hemm, benarkah itu" Kalian akan berusaha agar kehidupan
rakyat di daerah ini menjadi sejahtera dan makmur" Kalian akan
bertindak seadil-adilnya?"
"Hamba bersumpah!" Dua orang pembesar itu menjawab
dengan berbareng. "Baik, sekarang disaksikan oleh semua orang yang melihat
kejadian ini dari jauh itu," ia menuding ke arah banyak orang
yang berdiri di kejauhan, "biarlah sekarang aku memberi
hukuman ringan kepada kalian!" Berkata demikian, secepat kilat
sinar pedang berkelebat dan dua orang pembesar itu mengaduh
dan memegangi tangan kiri mereka yang sudah kehilangan jari
kelingking masing-masing, terbabat putus oleh pedang yang
amat tajam itu. "Sekarang hanya jari kelingking kiri kalian yang
kuambil, lain kali kalau aku masih mendengar atau melihat kalian
berlaku sewenang-wenang kepada rakyat, kalian akan
514 kutangkap dan kuseret ke pengadilan kota raja, atau kalau aku
tidak sabar, akan kupenggal leher kalian di sini juga!"
"Ampunkan hamba !" Dua orang itu menyembahnyembah. Dua orang putera mereka juga menyembah-nyembah
ketakutan. Gadis itu menyarungkan lagi pedangnya dan melibatkan sabuk
sutera merah di pinggangnya, lalu menghampiri kudanya,
melompat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya
meninggalkan tempat itu. Ketika ia melewati orang-orang yang
berkerumun nonton dari kejauhan, ada yang berseru, "Hidup Pek
Hong Niocu !" Serentak semua mulut, seperti dikomando, berseru,
"Hidup Pek Hong Nio-cu
!!" Akan tetapi, gadis itu hanya tersenyum dan membedal kudanya
meninggalkan kota Leng-ciu. Ia tidak tahu bahwa ada bayangan
orang berkelebat dan mengikutinya keluar dari pintu gerbang
kota sebelah utara. *** Yang dijuluki Pek Hong Nio-cu itu sebetulnya adalah seorang
puteri kaisar yang lahir dari seorang selir kaisar yang cantik.
Selir ini adalah seorang pribumi (bangsa China aseli yang
menyebut dirinya bangsa Han). Biarpun ia hanya puteri seorang
selir, namun karena selir itu menjadi kesayangan kaisar Dinasti
515 Kin, maka tentu saja anak perempuan ini juga amat disayang
dan dimanja kaisar. Ia diberi nama Moguhai dan sejak kecil ia memiliki watak yang
begal dan lincah seperti seorang anak laki-laki. Dalam usia lima
tahun saja, ia sudah berani menunggang kuda dan
membalapnya, berlumba dengan para putera bangsawan,
bahkan yang usianya lebih tua dari padanya. Ia suka pula
bermain panah-panah?an sehingga sejak kecil dapat
melepaskan anak panah dengan jitu.
Ketika para putera bangsawan yang sudah berusia sepuluh
tahun ke atas mulai berlatih ilmu silat, Puteri Moguhai yang
berusia enam tahun juga tidak mau ketinggalan, ikut-ikutan
berlatih ilmu silat. Tentu saja guru silatnya tidak berani melarang
karena ia puteri kaisar, pula ketika guru-guru silat melihat betapa
bocah perempuan ini memiliki bakat yang luar biasa, mereka
bahkan bersemangat untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya.
Maka tidak mengherankan apabila Puteri Moguhai memperoleh
kemajuan pesat dan setelah berusia sepuluh tahun, dalam
latihan, ia dapat mengalahkan murid-murid pria yang usianya
lebih beberapa tahun dari padanya! Para gurunya tentu saja
menjadi girang dan bangga dan mereka seolah berlumba untuk
menurunkan ilmu-ilmu simpanan mereka kepada sang puteri,
bukan hanya karena senang mempunyai murid demikian
cerdiknya, melainkan tentu saja ada pamrih untuk
menyenangkan hati sang kaisar!
Ketika Puteri Moguhai berusia sepuluh tahun, pada suatu hari,
ketika itu senja telah tiba, ia berjalan-jalan ke dalam taman
istana yang luas. Cuaca remang-remang, akan tetapi ia masih
516 dapat menikmati bunga-bunga yang bermekaran karena waktu
itu musim semi telah tiba. Ketika ia mendekati sebuah pondok
yang berada di tengah taman itu, pondok kecil tempat
peristirahatan keluarga kaisar, ia dari jauh melihat ibunya
memasuki pondok itu bersama seorang laki-laki. Jelas tampak
olehnya bahwa laki-laki itu bukan kaisar, bukan ayahnya!
Puteri Moguhai baru berusia sepuluh tahun dan belum dapat
menduga apa-apa yang melanggar susila. Ia hanya merasa
heran sekali, akan tetapi tidak berani mendekati pondok, hanya
merunduk-runduk lebih dekat lalu bersembunyi di balik semaksemak di samping pondok untuk mengintai ke arah pintu dengan
maksud agar dapat melihat siapa laki-laki itu, kalau nanti keluar
dari pondok. Di atas pondok itu tergantung sebuah lampu
sehingga ia akan dapat melihat wajah laki-laki itu nanti. Ia
mendekam di situ, hati-hati sekali tidak berani banyak bergerak,
bahkan ketika ada nyamuk menggigitnya, ia hanya mengusir
nyamuk itu, tidak berani menamparnya.
Sementara itu, yang memasuki pondok itu memang Ibu Puteri
Moguhai yang dulu adalah seorang wanita pribumi bernama Tan
Siang Lin. Kini ia adalah seorang selir terkasih dari Kaisar Kin.
Usianya sekitar duapuluh delapan tahun namun masih tampak
cantik jelita dan gerak-geriknya lembut, seperti seorang gadis
muda. Selir kaisar itu memasuki pondok yang diterangi lampu gantung
itu bersama seorang pria. Laki-laki itu berpakaian sederhana,
tubuhnya sedang namun tegap, wajahnya bersih, tampan dan
senyumnya menawan, sikapnya juga lembut dan sinar matanya
517 mencorong. Begitu memasuki pondok dan daun pintunya
ditutup, selir kaisar itu lalu mengeluh.
"Sie-koko (Kanda Sie)
!" Dan ia sudah menubruk
hendak merangkul pria itu Akan tetapi pria itu
menyambut dengan memegang dan menahan kedua pundak
wanita itu, lalu berkata dengan suara halus namun penuh
wibawa. "Tidak, Lin-moi. Jangan lakukan itu. Ingat, engkau adalah isteri
seorang pria bahkan seorang kaisar! Aku tidak ingin melihat
engkau menjadi seorang isteri yang melakukan hal tidak pantas
dan mengkhianati suami. Mari, duduklah, kita bicara baik-baik
dan pantas." Dia mendorong wanita itu duduk di atas buah kursi,
sedangkan dia duduk di kursi depan wanita itu. Tan Siang Lin
atau yang kini menjadi selir kaisar itu menggigit bibir dan
mengusap beberapa butir air mata yang menetes di atas kedua
pipinya. "Akan tetapi, Sie-ko, aku aku rindu padamu apakah engkau
tidak cinta lagi padaku, koko?" Dalam suara itu terkandung
kesedihan yang ditahan-tahan.
Laki-laki itu menghela napas panjang. "Lin-moi, justeru karena
aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku, maka aku tidak ingin
melihat engkau menyimpang dari kebenaran. Aku ingin melihat
engkau bahagia sebagai seorang isteri kaisar yang dimuliakan,
dihormati, dan bersih dari pada noda."
518 "Lalu, kenapa engkau datang berkunjung ke taman ini, koko"
Pada hal kunjunganmu ini berbahaya sekali, kalau sampai
ketahuan, pasti nyawamu taruh-annya. Apa maksudmu
berkunjung ini, kalau bukan karena
rindu padaku seperti juga aku merindukanmu?"
Laki-laki itu tersenyum. "Aku hanya ingin menyaksikan sendiri
bahwa engkau hidup bahagia di sini, Lin-moi. Aku mendengar
dan kini melihat sendiri bahwa engkau menjadi seorang selir
yang dikasihi kaisar, dihormati dan dimuliakan orang, walaupun
engkau seorang pribumi Han. Juga aku mendengar tentang
siapa lagi nama anak itu ?"
"Puteri Moguhai " "Ya, nama yang indah, walaupun agak asing terdengarnya. Aku
mendengar pula tentang anak itu. Kabarnya ia cerdik sekali dan
berbakat baik dalam ilmu silat. Karena itu, kedatanganku ini
untuk menyerahkan kitab-kitab ini kepadamu. Kelak, setelah
anak itu berusia empatbelas tahun dan sudah memiliki dasar
ilmu silat yang baik, kau berikan kitab?kitab ini dan suruh ia
melatih sendiri. Sudah kuberi petunjuk-petunjuk jelas dalam
kitab-kitab ini. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadanya, Linmoi, dan ini, suruh ia kelak selalu memakai ini dan semoga
Tuhan selalu melindunginya."
Selir kaisar itu menerima tiga buah kitab dan sebuah perhiasan
rambut berbentuk burung Hong dari perak dengan mata mirah.
Ia menerimanya dengan terharu sekali.
519 "Sekarang aku harus pergi, Lin-moi. Hati-hatilah engkau
menjaga diri dan hati-hati pula mendidik dan menjaga puterimu."
Pria itu bangkit berdiri dan hendak melangkah ke pintu.
"Nanti dulu, koko. Masih ada satu hal yang ingin kuceritakan
padamu ini merupakan rahasia pribadiku
dan hanya engkau saja yang boleh mendengarnya."
Pria itu duduk kembali dan menatap wajah Tan Siang Lin
dengan sinar mata mencorong. "Apakah itu, Lin-moi?"
"Ketika aku melahirkan
sebetulnya kembar, keduanya perempuan "
anakku itu terlahir Pria itu membelalakkan kedua matanya. "Kembar"
yang seorang lagi ?"
Dan "Ketika aku melahirkan, yang membantu adalah seorang wanita
tua yang menjadi bidan, dan ditemani seorang sahabat baikku.
Ia seorang janda pangeran, suaminya sudah mati dan ia tidak
mau menikah lagi, pada hal ia masih muda, sebaya dengan aku.
Kami menjadi saha?bat yang akrab sekali, bahkan telah
bersumpah mengangkat saudara. Ia seorang puteri kepala suku
bangsa Uigur, namanya Miyana. Ketika melihat aku melahirkan
bayi perempuan kembar, Miyana menangis dan mengatakan
kepadaku bahwa kaisar adalah seorang yang percaya bahwa
anak kembar wanita akan membawa malapetaka maka besar
kemungkinan anak kembarku akan dibunuh! Maka, atas usul
Miyana, anak yang satunya lagi ia selundupkan keluar dari
kamarku sehingga aku dianggap melahirkan seorang anak
perempuan saja, yaitu Moguhai itulah. Bidan tua itupun dipesan
menyimpan rahasia, akan tetapi beberapa hari kemudian ia mati
520 karena sakit mendadak. Aku menduga bahwa itu perbuatan
Miyana yang takut kalau-kalau bidan itu membuka rahasia."
Pria itu mengangguk-angguk. "Hemm, lalu
satunya lagi itu?" anak yang "Tak lama kemudian Miyana yang sudah janda, pulang kepada
orang tuanya, kepada ayahnya yang menjadi kepala suku Uigur.
Tentu saja anak itu diam?diam dibawanya dan sampai sekarang
aku tidak pernah lagi, mendengar tentang ia dan anak itu. Nah,
itu, koko, dan hanya engkau seorang yang mengetahui."
Pria itu menghela napas panjang. "Aih, sungguh nasib
mempermainkan keturunan kita, Lin-moi. Inikah hukuman akibat
dosa kita herdua" Nah, terima kasih atas semua ceritamu, Linmoi dan jangan lupa berikan kitab?kitab itu kepada Moguhai.
Sekarang aku pergi."
Pria itu melangkah keluar, diikuti oleh selir kaisar itu. Moguhai
yang mengintai di luar melihat mereka keluar dan ia menatap
wajah pria itu dengan penuh perhatian. Ia melihat mereka berdiri
berhadapan di luar pintu, lalu pria itu memegang pundak ibunya
dan berkata dengan suara lirih, "Nah, selamat tinggal, Lin-moi,
semoga engkau hidup berbahagia. Selamat tinggal!"
"Selamat jalan, Sie-koko jaga dirimu baik-baik!" kata ibunya
dengan suara mengandung isak.
Tiba-tiba pria itu mengerakkan kedua kakinya, sekali berkelebat
dia telah lenyap dari situ. Moguhai terbelalak! Setankah yang
dilihatnya tadi" Kalau manusia, mana mungkin menghilang
521 begitu saja" Ibunya bergaul dengan setan yang disebutnya Siekoko"
Saking tidak dapat menahan keheranannya, gadis cilik itu lalu
lari menghampri ibunya. "Ibu !" "Eh, engkau Moguhai" Dari mana engkau
?" Ibunya bertanya kaget, sama sekali tidak mengira anaknya muncul
begitu tiba-tiba. Jangan-jangan anak itu telah melihat
"Ibu, apakah ibu mempunyai sahabat setan?"
"Ehh" Setan ?"
"Aku tadi melihat ibu dengan seorang laki-laki yang ibu sebut
Sie-koko, akan tetapi dia menghilang seperti setan!"
Siang Lin segera merangkul anaknya dan diajaknya masuk ke
dalam pondok itu. Dia memeluk dan berkata dengan nada suara
serius. "Anakku, dia itu bukan setan, melainkan seorang pendekar yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dia seorang sakti, Moguhai dan
dia dia itu dahulu
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjadi sahabat baik ibumu. Lihat, dia meninggalkan kitab-kitab
dan perhiasan rambut ini untukmu. Kalau kelak engkau
mempelajari tiga buah kitab ini, berarti dia itu juga gurumu,
Moguhai. Akan tetapi ingat, anakku, jangan katakan tentang dia
itu kepada siapapun juga. Kalau sampai diketahui Kaisar, ibumu
522 ini tentu akan dihukum mati, dan mungkin engkau juga tidak
akan terluput dari hukuman."
"Akan tetapi kenapa, ibu" Ayahanda Kaisar tentu tidak akan
marah mendengar aku mendapatkan seorang guru yang sakti."
"Engkau tidak mengerti, anakku. Dia itu seorang pendekar
bangsa Han, tentu ayahmu akan menaruh curiga dan mengira
dia itu mata-mata dari kerajaan Sung yang akan menyelidiki
istana. Karena itu, demi keselamatan kita sendiri, jangan
katakan kepada siapapun juga. Engkau berjanji?"
Moguhai mengangguk-angguk. "Baik, ibu."
Demikianlah, Moguhai hanya tahu dari ibunya bahwa laki-laki,
yang memberi kitab kepadanya itu adalah "Paman Sie" dan ia
tidak pernah bertemu lagi dengannya. Tiga kitab itu merupakan
kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang ampuh dan tinggi. Yang
pertama mengajarkan cara berlatih untuk menghimpun sin-kang
(tenaga sakti) sehingga ia selain memiliki tenaga dalam yang
hebat, juga dapat mengerahkan tenaga sakti, untuk membuat
dirinya ringan dan dapat bergerak cepat seperti terbang. Kitab
kedua berisi pelajaran ilmu silat yang menggunakan senjata
sabuk dan ilmu ini dilatih Moguhai dengan sehelai sabuk sutera
panjang merah. Adapun kitab ketiga berisi pelajaran ilmu pedang yang aneh
akan tetapi hebat sekali. Itulah ilmu pedang Sin-coa-kiamsut
(Ilmu Pedang Ular Sakti) yang dimainkan dengan pedang
bengkoknya, pedang khas bangsa Kin sehingga kini, setelah
berusia sembilanbelas tahun, Moguhai menjadi seorang gadis
yang lihai bukan main sehingga ia mendapat julukan Pek Hong
523 Nio-cu atau Nona Burung Hong Putih karena perhiasan
rambutnya juga berupa burung Hong perak bermata mirah!
Pek Hong Nio-cu atau Puteri Moguhai meninggalkan kota Lengciu menunggang kudanya. Biarpun ia puteri Kaisar, namun ia
berjiwa pendekar. Hal ini berkat ibunya yang sering
menceritakan tentang sepak terjang para pendekar persilatan
yang selalu berjuang untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, selalu menentang kejahatan, melawan para
penindas dan membela rakyat kecil yang tertindas. Karena
itulah, ia seringkali meninggalkan istana dan merantau ke
daerah-daerah. Setiap bertemu kejahatan, ia pasti menantang
yang jahat dan memberi hajaran keras. Banyak pembesar yang
korup menerima hajaran keras darinya dan banyak gerombolan
penjahat dibasminya. Kaisar yang mendengar akan sepak
terjang puterinya ini, merasa kagum dan bangga, maka lalu
menghadiahkan pedang bengkok berukir naga emas yang
menjadi tanda kuasaan besar. Semua pembesar maklum bahwa
pemilik pedang naga emas itu berkuasa seperti kaisar sendiri,
boleh menghukum atau membunuh siapa saja tanpa ijin kaisar!
Ketika Pek Hong Nio-cu menjalankan kudanya dengan santai
keluar kota Leng-ciu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dari
belakangnya dan tahu-tahu di tengah jalan berdiri seorang
pemuda. Jalan itu sepi, tidak ada orang lain kecuali mereka
berdua. Pemuda itu berdiri tegak di tengah jalan, jelas
menghadang perjalanan kudanya.
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia memperhatikan
seorang pemuda biasa saja, menggendong buntalan seperti
524 orang-orang yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya
sederhana dan wajah pemuda itupun biasa saja walaupun dapat
dibilang tampan namun tidak ada yang terlalu menonjol atau
mencolok. Seorang pemuda dusun biasa!
"Hei, minggir kamu! Apa tidak melihat kudaku hendak lewat"
Apa ingin tertubruk kuda!" tegurnya.
Pemuda itu adalah Thian Liong. Dengan tenang dia lalu
mengangkat kedua tangannya ke depan dada sambil
membungkuk sedikit sebagai penghormatan.
"Maafkan aku, Pek Hong Nio-cu "
"Eh! Dari mana engkau mengenal nama julukanku?" Pek Hong
Nio-cu menegur, agak kesal karena perjalanannya terganggu.
"Aku mendengar dari orang-orang yang menyaksikan engkau
menghajar orang pembesar brengsek di kota Leng-ciu tadi!
Sungguh hebat sekali perbuatanmu tadi, nona. Aku merasa
kagum sekali kepadamu!"
"Hemm, aku tidak butuh pujianmu!" bentak Pek Hong Nio-cu
karena sudah sering ia mendengar laki-laki memujinya yang
sebetulnya hanya merupakan rayuan untuk menyenangkan
hatinya. Ia sudah mendapatkan kenyataan bahwa semua adalah
perayu-perayu gombal kalau sudah berhadapan dengan wanita
cantik! "Aku tidak memuji kosong, nona, melainkan bicara sebenarnya!"
525 "Sudahlah, aku tidak mau mendengar ocehanmu. Apa
maksudmu menghadang perjalananku" Minggir, atau kutabrak
engkau!" "Maaf, Pek Hong Nio-cu. Tadi, ketika melihat engkau beraksi,
aku mengira bahwa engkau adalah seorang gadis yang pernah
kukenal, gadis yang mencuri pusakaku."
"Tikus busuk!" Pek Hong Nio-cu yang pada dasarnya berwatak
keras dan galak itu sudah melompat turun dari punggung
kudanya. Agar kuda itu tidak melarikan diri, ia mengikatkan
kendali kuda pada sebatang pohon di tepi jalan dan cepat ia kini
berdiri menghadapi Thian Liong dengan sikap menantang.
"Kurang ajar, berani engkau mengira aku sebagai pencuri?"
Thian Liong kini memandang dengan mata terbelalak. Bukan,
gadis ini bukanlah gadis berpakaian merah, pencuri kitab Ngoheng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun?lun-pai itu. Hanya bentuk
tubuhnya saja yang sama, juga sama-sama cantik jelita.
Setelah Pek Hong Nio-cu turun dari kuda dan Thian Liong
memandang wajahnya dengan penuh perhatian, dia terbelalak.
Wajah yang bulat itu, pandang mata tajam dan senyum
mengejek itu, dan terutama tahi lalat di ujung bibir kanan itu! Tak
salah lagi! Siapa, lagi kalau bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang
In" Memang benar, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau,
akan tetapi pakaian mudah saja diganti, dari yang berwarna
hijau kini menjadi yang berwarna putih. Tahi lalat itu, tak salah
lagi! Thian Liong tertawa dan melangkah maju lalu menudingkan
telunjuknya ke arah hidung gadis itu.
"Hei! Bukankah engkau Thio Siang In?"
526 "Ngawur! Siapa itu Thio Siang In?" Pek Hong Nio-cu membentak
kehilangan kesabaran karena menganggap pemuda itu mainmain.
"Aih, In-moi (adik In), masa engkau sudah lupa kepadaku" Atau
pura-pura lupa" Aku Souw Thian Liong! Jangan marah
kepadaku dan lupakanlah hal yang lalu. Kitab itu sudah
kukembalikan yang berhak, yaitu Siauw-lim-pai yang menjadi
pemilik sah. Maafkan kalau dulu aku tidak dapat
meminjamkannya kepadamu, In-moi."
"Ngaco! jangan kira engkau dapat main-main dan kurang ajar
kepadaku. Sambut ini!" Bentak Pek Hong Nio-cu ia sudah
menerjang dengan pukulan kilat ke arah ulu hati Thian Liong.
Melihat pukulan yang cepat dan kuat sekali itu, Thian Liong
cepat mengelak mundur. "In-moi, aku tidak main-main, dan aku
tidak ingin berkelahi denganmu."
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu, malah menyerang semakin ganas
dan gencar. Serangan-serangan gadis itu sungguh tak boleh
dipandang ringan karena pukulannya mengandung tenaga sakti
yang amat kuat. Thian Liong menjadi terkejut dan timbul kegembiraannya untuk
menguji kembali kepandaian gadis ini yang dulu pernah dia
kalahkan. Siapa tahu Siang In sudah mempelajari ilmu-ilmu baru
yang lebih lihai. Maka dia cepat mengelak dan membalas
serangan lawan dengan tamparan-tamparannya yang kuat.
Pek Hong Nio-cu yang kini merasa terkejut dan heran. Pemuda
yang disangkanya pemuda dusun biasa itu ternyata bukan main.
527 Tidak saja dapat menghindarkan serangannya yang cepat dan
bertubi, bahkan mampu membalas dengan tamparan yang
mengandung tenaga sakti yang kuat. Pek Hong Nio-cu menjadi
penasaran sekali lalu mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya
dan menyerang dengan dorongan telapak tangannya. Thian
Liong ingin mengukur tenaga gadis itu maka diapun menyambut
dengan tangkisan sambil mengerahkan sinkangnya pula.
"Wuuuttt dukkk!" Tubuh Pek Hong Nio-cu
terdorong ke belakang sampai lima langkah! Ia terbelalak dan
menjadi marah karena melihat pemuda itu hanya mundur
selangkah saja. Dalam adu tenaga sakti ini jelas bahwa ia kalah
kuat. "Srettt !!" Tampak gulungan sinar merah
berkelebat dan setelah sinar itu bergulung-gulung, lalu sinar itu
mencuat dan menyambar ke arah kepala Thian Liong. Itulah
senjata sabuk merah yang telah diloloskan Pek Hong Nio-cu dari
pinggangnya. "Hyaattt !" Sinar merah itu menyambar cepat
sekali, akan tetapi Thian Liong yang maklum akan berbahayanya
senjata sabuk sutera merah itu, sudah cepat merendahkan
dirinya sehingga sabuk itu lewat di atas kepalanya. Begitu sinar
itu lewat di atas kepala, tangan Thian Liong menyambar dan
ujung sabuk sudah dapat dipegangnya!
Pek Hong Nio-cu terkejut. Ia mencoba untuk menarik sabuknya,
namun tetap saja ujung sabuk berada di tangan Thian Liong, tak
528 dapat terlepas dari pegangannya. Pek Hong Nio-cu marah sekali
cepat ia maju dan mengirim tendangan berantai ke arah tubuh
Thian Liong. Pemuda ini menggunakan tangan kanannya yang
bebas untuk menangkis tendangan-tendangan itu sehingga
gadis itu merasa kakinya nyeri bertemu dengan tangan Thian
Liong. Ia membetot sekuat tenaga.
Thian Liong khawatir kalau-kalau sabuk sutera merah itu putus.
Dia tidak mau merusak senjata lawan, maka tiba-tiba dia
melepaskan pegangannya dan otomatis tubuh Pek Hong Nio-cu
terjengkang ke belakang. Thian Liong terkejut karena gadis itu
tentu akan terbanting jatuh. Akan tetapi ternyata tidak. Tubuh
yang padat langsing itu membuat pok-sai (jungkir balik) ke
belakang sampai lima kali dengan indahnya dan tidak terbanting
sama sekali, dan kembali berdiri dengan tegak, bahkan sabuk
sutera itu telah dilibatkan kembali ke pinggangnya. Agaknya
sambil berjungkir balik tadi ia masih sempat menyimpan kembali
sabuknya. "Hebat!" Thian Liong memuji kagum.
Gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
bagus. Akan tetapi yang dia puji malah semakin marah. Pek
Hong Nio-cu menganggap pujian Thian Liong itu sebagai ejekan
dan kini begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah
mengeluarkan pedang bengkoknya yang mengeluarkan cahaya
berkilauan saking tajamnya!
"Manusia sombong!" bentak gadis itu, kemarahannya memuncak
karena dua kali ia telah kalah, pertama dalam ilmu silat tangan
kosong, bahkan kedua kalinya, ia yang bersenjatakan sabuk
529 sutera merah tidak mampu mengalahkan pemuda yang
bertangan kosong itu. "Kalau memang engkau gagah, cabut
pedangmu dan lawan pedangku ini!"
Thian Liong mulai menyesal mengapa dia jadi menimbulkan
permusuhan yang berlarut-larut dengan gadis yang galak, lihai
dan jelas berjiwa pendekar yang tadi menentang pembesarpembesar jahat sewenang-wenang itu. Dan diapun mulai curiga.
Dia sama sekali tidak merasa salah lihat. Gadis ini jelas Thio
Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li yang rambutnya dihias
mawar merah dan pakaiannya serba hijau. Akan tetapi selain
tanda-tanda itu, juga Ang Hwa Sian-li bersenjata sepasang
pedang. Akan tetapi gadis ini, yang wajahnya serupa benar, pakaiannya
serba putih, bersenjata sabuk sutera merah, dan pedangnya
bukan sepasang pedang melainkan sebatang pedang bengkok!
Selain itu, ketika tadi bertanding, dia melihat ilmu silat mereka
juga sama sekali berbeda. Ilmu silat yang dimainkan Thio Siang
itu memiliki dasar ilmu silat dari daerah barat, bahkan ganas dan
keji seperti yang biasa dipergunakan orang-orang golongan
sesat. Akan tetapi sebaliknya ilmu silat yang dimainkan Pek
Hong Nio-cu ini memiliki dasar yang bersih. Ternyata ilmu silat
antara kedua orang gadis itu sama sekali berbeda, walaupun
tingkatnya kira-kira hampir sama.
Setelah mempertimbangkan semua ini, dia lalu menjura dengan
hormat. "Maafkan aku, nona, kalau aku telah salah mengenal
orang. Biarpun nona serupa benar, bahkan persis, seorang
gadis bernama Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li,
namun senjata dan ilmu silat nona sama sekali berlainan.
530 Karena itu aku mulai yakin bahwa aku telah salah mengenal
orang. Karena itu, harap engkau suka maafkan aku karena aku
tidak bermaksud buruk terhadap dirimu."
Pek Hong Nio-cu memandang dengan sinar mata mencorong.
Mulutnya merengut dan kembali jantung Thian Liong berdebar.
Kalau cemberut marah seperti itu, sungguh persis sekali gadis
ini dengan Thio Siang In. Ang Hwa Sian-li, Thio Siang In dulu
juga cemberut seperti ini ketika dia marah kepadanya!
"Engkau sudah memamerkan kepandaian mengalahkan aku dua
kali dan masih bilang tidak berniat buruk terhadap aku" Hayo
cabut pedangmu dan jangan kepalang kalau hendak mengujiku.
Sebelum engkau dapat mengalahkan pedangku ini, aku masih
belum mengaku kalah!"
"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Aku
Souw Thian Liong mengaku bersalah dan mohon maaf," kembali
pemuda itu berkata. "Hemm, aku tahu, engkau tentu Si Naga Langit yang selama ini
disohorkan orang maka engkau menjadi begini sombong! Kalau
engkau tidak mau mencabut pedangmu, terpaksa aku akan
menyerangmu juga! Lihat pedang!"
Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dengan pedang bengkoknya
dan begitu menyerang, ia sudah mengeluarkan jurus yang lihai
dari ilmu pedang Sin-coa Kiamsut, yaitu jurus Sin-coa-jut-thong
(Ular Sakti Keluar Guha) dan pedangnya berubah menjadi sinar
terang meluncur ke arah dada Thian Liong!
531 Thian Liong terkejut. Tadi, serangan tangan kosong dan sabuk
sutera merah gadis itu baginya masih belum merupakan
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
serangan terlalu berbahaya. Akan tetapi serangan pedang
bengkok ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Maka, dia
cepat melompat ke belakang sambil mencabut Thian-liong-kiam.
Melihat pemuda itu sudah mencabut pedangnya, Pek Hong Niocu menyerang lagi, lebih ganas dari pada tadi. Pedangnya
membuat gerakan seperti seekor ular dan tahu-tahu pedang itu
"mematuk" dari samping. Serangannya tak terduga-duga dan
gerakannya selain cepat juga aneh. Beberapa kali Thian Liong
mengandalkan gin-kang untuk mengelak dan berlompatan ke
sana-sini. Akan tetapi bayangan tubuhnya dikejar terus oleh
gulungan sinar mengkilat pedang bengkok itu. Ketika pedang
bengkok itu menyambar ke arah lehernya dengan bacokan dari
samping, terpaksa Thian Liong menangkis dengan pedangnya.
"Tranggggg !" Bunga api berpijar terang ketika
dua batang pedang bertemu. Thian-liong-kiam adalah sebatang
pusaka ampuh, akan tetapi ternyata pedang bengkok pemberian
kaisar itupun ampuh sekali sehingga tidak menjadi rusak. Akan
tetapi Pek Hong Nio-cu merasa betapa tangannya yang
memegang pedang gemetar dan terguncang hebat.
Kembali ia terkejut dan diam-diam ia harus mengakui bahwa
lawannya yang berjuluk Si Naga Langit itu benar-benar lihai
sekali. Akan tetapi dasar ia seorang gadis yang keras kepala, ia
tidak mau mengaku kalah dan menyerang terus dengan
mengeluarkan semua kemampuannya.
532 Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia
mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar
merupakan ilmu pedang tingkat tinggi yang hebat sekali. Hanya
sayang, agaknya gadis ini belum menguasai benar ilmu pedang
itu, belum matang permainannya. Andaikata gadis itu sudah
menguasai sepenuhnya, Thian Liong mak?lum bahwa
pedangnya itu akan merupakan bahaya besar bagi lawannya.
Memang sesungguhnya demikian. Pek Hong Nio-cu atau yang
nama aselinya Puteri Moguhai ini menerima ilmu pedang itu dari
"pamannya", yaitu yang oleh ibunya disebut sahabat she Sie,
yang memberikan tiga kitab ilmu silat kepadanya, juga hiasan
rambut burung Hong Perak. Sayang ia hendak menyembunyikan
ilmu pemberian "Paman Sie" itu dari orang lain, terpaksa
melatihnya sendiri secara diam-diam, tidak di bawah pimpinan
seorang ahli sehingga ia tidak dapat menguasai ilmu itu
sepenuhnya. Thian Liong mengimbangi permainan pedang gadis itu. Dia tidak
ingin membuat gadis itu sakit hati, tidak mau mengalahkan
secara mutlak, apa lagi melukainya. Maka setelah bertanding
ramai selama tigapuluh jurus, tiba-tiba Thian Liong mengerahkan
sin-kangnya, membuat pedang lawan melekat pada pedangnya.
Pek Hong Nio-cu terkejut dan mencoba membetot lepas
pedangnya, namun tanpa hasil, dan tiba-tiba Thian Liong
membentak. "Lepas!" Dia menggerakkan pedangnya dengan sentakan dan
Pek Hong Nio-cu tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi.
Pedang itu seperti direnggut lepas dari tangannya, lalu melayang
ke atas. Akan tetapi Thian Liong sengaja melompat ke belakang
533 sehingga ketika pedang meluncur turun, Pek Hong Nio-cu dapat
menangkapnya dengan tangan kanannya. Wajahnya berubah
merah sekali dan ia menyimpan lagi pedangnya di sarung
pedangnya. Thian Liong cepat menghampiri dan dia menjura dengan kedua
tangan dirangkap di depan dada dan membungkuk hormat.
"Harap engkau suka maafkan aku, nona. Sesungguhnya aku
tidak bermaksud untuk bertanding denganmu dan aku tadi tidak
berbohong ketika mengatakan bahwa engkau sungguh serupa
benar dengan seorang pendekar wanita bernama Thio Siang In
yang berjuluk Ang Hwa Sian-li, karena itu, maafkan kesalahanku
mengenal orang, nona."
Sikap yang sopan dari Thian Liong sedikitnya menurunkan kadar
kemarahan dan rasa penasaran di hati Pek Hong Nio-cu. Ia
memandang pemuda itu dengan penuh perhatian, diam-diam
merasa kagum karena pemuda itu benar-benar telah
mengalahkannya. Begitu sederhana dan rendah hati, akan tetapi
sesungguhnya memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
"Hemm, engkau tentu hendak mengatakan bahwa ilmu
kepandaian gadis pendekar sahabatmu itu jauh lebih tinggi
daripada kepandaianku, bukan?" kata Pek Hong Nio-cu dengan
suara mengandung kepahitan.
"Ah, tidak sama sekali, nona! Tingkat kepandaian kalian
berimbang, bahkan, aku mau berterus terang, kalau ilmu
pedangmu tadi sudah kaukuasai sepenuhnya dan kaulatih
dengan sempurna, jangankan Ang Hwa Sian-li, bahkan aku
sendiri belum tentu dapat menang melawanmu."
534 Pek Hong Nio-cu mulai tertarik, selama beberapa bulan ini ia
sudah mendengar akan ketenaran nama Si Naga Langit yang
disohorkan sebagai seorang pendekar yang selalu menentang
kejahatan. Akan tetapi biasanya, begitu yang ia dengar, para
pendekar itu selain menjadi pembela kebenaran dan keadilan,
juga bersikap memusuhi pemerintahan Kerajaan Kin. Sebagai
seorang yang berjiwa pendekar, Pek Hong Nio-cu tentu saja
merasa cocok dengan sepak terjang para pendekar itu yang
selalu menentang kejahatan. Akan tetapi sebagai seorang puteri
Kaisar Kerajaan Kin, sebagai bangsa Nuchen yang mendirikan
wangsa Kin, tentu saja ia merasa tidak senang kalau para
pendekar menentang dan memusuhi pemerintah bangsanya!
Memang, iapun tahu bahwa ibunya adalah seorang pribumi,
seorang wanita berbangsa Han, akan tetapi ayahnya adalah
Kaisar berbangsa Nuchen, Kaisar Kerajaan Kin!
"Souw Thian Liong, benarkah engkau yang disohorkan orang
dengan sebutan Si Naga Langit?" Pek Nio-cu bertanya sambil
menatap tajam wajah pemuda itu.
Wajah Thian Liong berubah kemerahan. Dia merasa rikuh juga
dengan namanya yang disohorkan orang itu. Semua sepak
terjangnya hanya didorong sebagai kewajibannya semata, sama
sekali bukan untuk mencari ketenaran nama. "Yah, begitulah
orang-orang menyebut saya, padahal itu adalah nama aseli
saya," katanya malu-malu.
"Jadi engkau seorang pendekar yang malang melintang di dunia
kang-ouw, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan
keadilan?" 535 "Akan kuusahakan semampuku untuk membela kebenaran dan
keadilan yang sudah menjadi kewajibanku, Pek Hong Nio-cu.
Memang untuk itulah aku dengan susah payah mempelajari ilmu
silat." "Dan sebagai seorang Han, engkau berkewajiban pula untuk
menentang dan memusuhi pemerintah Kerajaan Kin?" gadis itu
mendesakkan pertanyaan ini.
Akan tetapi Pek Hong Nio-cu memandang heran ketika pemuda
itu menggeleng kepalanya lalu menghela napas. "Kerajaan Sung
Utara telah kalah dan kekalahan itu harus diakui. Urusan negara
diselesaikan oleh negara melalui perang. Apa artinya bagi
perorangan untuk melawan balatentara negara" Tidak, Pek
Hong Nio-cu, aku tidak mencampuri urusan negara. Mungkin
kalau negaraku berperang, bisa saja aku membantu dan menjadi
perajurit. Akan tetapi di luar itu, aku tidak mencampuri. Aku
menentang bangsa apa saja yang bertindak sewenang-wenang
dan jahat. Biar bangsaku sendiri, kalau dia melakukan kejahatan
tentu akan kutentang dan biar bangsa apapun kalau dia berada
di pihak benar dan tertindas, akan kubela. Aku setuju sekali
dengan tindakanmu di kota Leng-ciu tadi, Pek Hong Nio-cu."
"Tindakan yang mana?" tanya gadis itu, semakin tertarik.
"Engkau telah membela seorang gadis pribumi dengan
keluarganya ketika diganggu pemuda-pemuda putera pembesar,
bahkan menghajar para pengawal mereka, kemudian engkau
memberi hajaran keras kepada dua orang pembesar Kerajaan
Kin. Tindakanmu itu membuktikan bahwa engkau berjiwa
pendekar dan bertindak membela kebenaran dan keadilan tanpa
536 pandang bulu sehingga para pembesarmu sendiri, kalau?kalau
mereka bersalah, kauhukum berat! Karena itulah aku merasa
kagum sekali kepadamu, Pek Hong Nio-cu."
Pek Hong Nio-cu mengerutkan alisnya. "Pembesarku" Apa
maksudmu dengan kata itu, Souw Thian Liong?"
'Thian Liong tersenyum. "Engkau tidak perlu bersembunyi lagi,
Pek Hong Nio-cu. Aku sekarang dapat menduga siapa engkau
sebenarnya." "Hemm, begitukah" Coba katakan, siapa aku?" kata gadis itu
dengan kepala ditegakkan, anggun menantang.
"Engkau tentu seorang puteri bangsawan yang berkedudukan
tinggi sekali, dan kalau aku tidak keliru menduga, engkau tentu
puteri dari istana, puteri Kaisar Kerajaan Kin sendiri."
Sepasang alis itu berkerut, sepasang mata itu berkilat, dan hati
Pek Hong Nio-cu semakin tertarik. Selama ini tidak ada orang
yang tahu bahwa ia adalah puteri kaisar. Ketika ia
memperlihatkan pedang bengkok, dua orang pembesar itupun
hanya tahu bahwa ia mempunyai kekuasaan dari kaisar untuk
menghukum siapa saja yang bersalah akan tetapi merekapun
tidak tahu sama sekali bahwa ia sesungguhnya adalah puteri
kaisar. "Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Souw Thian Liong?"
tanyanya. "Mudah saja. Sikapmu, begitu anggun dan agung dan sikap
seperti ini jelas menunjukkan bahwa engkau seorang puteri
537 bangsawan tinggi. Kemudian, setelah engkau memperlihatkan
pedang bengkok itu kepada dua orang pembesar brengsek,
mereka berlutut ketakutan. Berarti pedang itu menjadi tanda
kekuasaanmu yang amat tinggi. Setelah engkau mencabut
pedang itu dan kita bertanding, aku melihat ukiran naga emas
pada pedang bengkok itu dan ternyata pedang itu juga
merupakan pedang pusaka yang mampu beradu dengan
pedangku. Ukiran naga emas hanyalah patut dimiliki seorang
kaisar, maka mudah menduga bahwa tentu engkau
mendapatkan pedang itu dari Kaisar sendiri. Demikianlah, aku
dapat menduga bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kerajaan
Kin, melihat bahwa pakaianmu adalah pakaian seorang puteri
bangsa Kin, Pek Hong Nio-cu."
Pek Hong Nio-cu kini memandang kagum kepada pemuda itu.
Harus ia akui bahwa dalam hal ilmu silat, ia masih kalah jauh
dibandingkan pemuda itu dan ternyata pemuda itu juga cerdik
sekali sehingga dapat menduga bahwa ia adalah puteri kaisar
sendiri. "Hemm, kiranya engkau selain lihai ilmu silatmu, juga
mempunyai pikiran yang amat cerdik, Souw Thian Liong. Aku
girang dapat berkenalan dengan seorang pandai sepertimu, apa
lagi aku sudah mendengar bahwa engkau adalah seorang
pendekar penentang kejahatan yang dikenal sebagai Si Naga
Langit!" Puteri itu kini memandangnya dengan senyum manis. Hilang kini
kesan angkuh dan galak dan wajah itu menjadi cantik jelita dan
manis sekali. Kembali Thian Liong terheran-heran karena dia
ingat benar bahwa gadis di depannya itu adalah wajah Ang Hwa
538 Sian-li Thio Siang In! Pandang mata penuh keheranan dan
penasaran dari mata pemuda itu agaknya dapat terlihat oleh
sang puteri. "Hei, Souw Thian Liong! Kenapa engkau memandangku seperti
itu?" ia menegur, alisnya berkerut.
Thian Liong menyadari keadaannya dan ia cepat
menjura dengan hormat. "Maafkan saya, tuan puteri
"Hushh !" , jangan sebut aku seperti itu. Biarpun
engkau sudah mengetahui siapa aku sebenarnya, jangan sebutsebut itu dan anggap saja engkau berhadapan dengan Pek
Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita biasa, bukan seorang
puteri kaisar!" Thian Liong tersenyum maklum. "Baiklah, Pek Hong Nio-cu, dan
maafkan aku tadi yang memandangmu dengan penuh perasaan
heran dan juga penasaran. Sesungguhnyalah, wajahmu, gerakgerikmu, tiada bedanya sedikitpun dengan Ang Hwa Sian-li Thio
Siang In. Kalau engkau mengaku bahwa engkau adalah Thio
Siang In yang menyamar, aku tentu percaya sepenuhnya."
Pek Hong Nio-cu memandang penuh selidik dan tampaknya ia
tertarik sekali. "Hemm, coba perhatikan dengan seksama. Sama
benarkah aku dengan gadis bernama Ang Hwa Sian-li Thio
Siang In itu?" "Sungguh mati, sama sekali tidak ada bedanya.
539 Bahkan tahi lalat di ujung bibir itu sama benar! Wajah dan
bentuk tubuh serupa, sedikitpun tiada bedanya. Yang beda
hanyalah pakaian dan ilmu silat berikut senjatanya, juga gaya
bahasanya." "Bagaimana perbedaannya?"
"Ang Hwa Sian-li Thio Siang In itu berpakaian serba hijau dan
rambutnya terhias bunga mawar merah. Senjatanya juga
sebatang pedang dan gerakan silatnya sungguh berbeda
dengan gerakanmu, ilmu silatnya bersifat keji seperti biasa
dimiliki golongan sesat. Akan tetapi ia sendiri bukan seorang
gadis jahat yang sesat. Bukan, ia juga berjiwa pendekar, hanya
agak keras dan galak dan gaya bicaranya seperti logat orangorang dari daerah barat."
"Ia itu seorang sahabat baikmu?" tanya Pek Hong
Nio-cu yang kini duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Thian
Liong juga duduk di atas sebatang akar pohon yang menonjol di
atas tanah. "Tidak juga, secara kebetulan saja kami saling jumpa ketika aku
berkunjung ke Bu-tong-pai dan melerai perkelahian antara ia dan
pihak Bu-tong-pai karena salah paham." Dengan singkat dia lalu
menceritakan tentang perjumpaannya dengan Ang Hwa Sian-li
di Bu-tong-pai di mana gadis itu berselisih dengan orang-orang
Bu-tong?pai karena kesalahpahaman mereka.
"Hemm, kalau begitu gadis itu jelas bukan aku karena aku belum
pernah pergi berkunjung ke Bu-tong-pai," kata Pek Hong Nio-cu.
"Akan tetapi tadi engkau mengira aku seorang gadis yang
540 mencuri kitab pusakamu. Apa artinya itu" Apakah Thio Siang In
itu mencuri kitab pusakamu?"
"Bukan, bukan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In yang mencuri
kitab itu. Akan tetapi seorang gadis cantik lain. Tadinya aku
mengira engkau adalah ia karena perawakan kalian mirip. Gadis
itu berpakaian serba merah muda, juga cantik jelita, cerdik,
galak. Gerakan ilmu silatnya seperti berdasarkan ilmu silat Tibet.
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia lihai sekali dan ia telah mencuri kitab pusaka Ngo-heng Lianhoan Kun-hoat, kitab pusaka yang seharusnya kuserahkan
kepada pemiliknya yang sah, yaitu Kun-lun-pai. Akan tetapi kitab
itu dicurinya dan aku sekarang sedang mencari gadis itu untuk
merampas kitab itu kembali."
"Wah, Souw Thian Liong! Agaknya di mana-mana engkau selalu
bentrok dengan gadis-gadis cantik yang lihai! Tadi engkau juga
mengatakan bahwa engkau bentrok dengan Thio Siang In itu
karena ia juga ingin pinjam kitab!"
Thian Liong menghela napas panjang. "Memang nasibku yang
buruk. Thio Siang In hendak memaksa pinjam kitab Sam-jong
Cin-keng yang harus kuserahkan kepada Siauw-lim-pai. Maka
kami bertanding dan aku menyesal sekali kenapa aku harus
selalu bertanding dengan gadis cantik yang lihai. Dan sekarang
di sini aku harus bertanding pula melawan engkau, Pek Hong
Nio-cu. Aahhh, agaknya sudah nasibku harus dibenci semua
gadis cantik yang lihai."
"Akan tetapi aku tidak benci padamu, Souw Thian Liong. Aku
bahkan kagum padamu. Akan tetapi untuk apa sih engkau
membagi-bagikan kitab" Kepada Bu-tong-pai dan kepada
541 Siauw-lim-pai, mungkin kepada partai persilatan lain" Kenapa
engkau membagi-bagikan kitab kepada mereka?"
Mendengar kata-kata itu, Thian Liong tersenyum dan hatinya
merasa girang. Gadis baju merah itu telah mencuri kitab milik
Kun-lun-pai sehingga dia kini harus bersusah payah mencarinya,
pada hal dia tidak tahu siapa nama gadis itu dan di mana tempat
tinggalnya. Dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In juga hendak
memaksa pinjam kitab yang bukan miliknya sehingga terpaksa
mereka harus bertanding dan gadis itu pergi dengan menangis
dan benci kepadanya. Akan tetapi gadis ini, puteri kaisar
Kerajaan Kin tidak benci kepadanya bahkan mengatakan
kagum! "Terima kasih, Pek Hong Nio-cu. Senang hatiku mendengar
bahwa engkau tidak benci kepadaku. Baiklah kuceritakan
mengapa aku membagi-bagi kitab kepada para pimpinan partai
persilatan. Semua itu adalah atas perintah guruku. Ketika aku
turun gunung, suhu menyerahkan tiga buah kitab kepadaku
untuk diberikan kepada pemiliknya, masing- masing, yaitu kitab
Sam-jong Cin-keng kepada Siauw-lim-pai, kitab Kiauw-ta Sin-na
kepada Bu-tong-pai, dan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun?hoat
kepada Kun-lun-pai. Tiga buah kitab itu tadinya dicuri orang dari
pemiliknya masing-masing dan kebetulan suhu yang dapat
menemukannya kembali dan menyuruh aku mengembalikannya
kepada yang berhak. Akan tetapi di tengah jalan, gadis baju
merah yang tidak kukenal itu telah mencuri Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat milik Kun-lun-pai. Kitab Sam-jong Cin-keng sudah
kuserahkan kepada Siauw-lim-pai dan demikian pula kitab
Kiauw-ta Sin-na kukembalikan kepada Bu-tong-pai. Tadinya Ang
Hwa Sian-li Thio Siang In hendak pinjam kitab Sam-jong Cin542
keng milik Siauw-lim-pai dengan paksa kepadaku, akan tetapi
kutolak sehingga kami bertanding dan ia pergi dengan
meninggalkan kebencian kepadaku. Sekarang, terpaksa aku
harus mencari gadis baju merah untuk minta kembali kitab milik
Kun-lun-pai itu." "Hemm, siapakah gurumu itu, Thian Liong?"
"Guruku dikenal sebagai Yok-sian (Tabib Dewa) bernama Tiong
Lee Cin-jin." "Ahh, manusia sakti yang dikabarkan setengah dewa itu" Aku
sudah mendengar akan nama besarnya! Pantas engkau begini
lihai, kiranya engkau murid Si Tabib Dewa itu. Kau tahu, Thian
Liong, ketika di istana ayahku berjangkit penyakit yang amat
berbahaya sehingga banyak yang sakit pagi sorenya mati dan
sakit sore paginya mati, Si Tabib Dewa itu melayang di atas kota
raja dan membagi-bagikan obat penawar penyakit. Tak
seorangpun melihatnya dengan jelas, hanya melihat
bayangannya saja berkelebat ketika dia meninggalkan obat itu."
Thian Liong mengangguk-angguk. Dia percaya cerita itu karena
memang gurunya sering melakukan hal-hal yang aneh dan dia
tahu bahwa bagi gurunya, semua manusia itu, bangsa apapun
juga, sama saja dan siap menjulurkan tangan menolong.
"Suhu memang selalu siap menolong siapapun juga," katanya
pendek. "Wah, melihat engkau membagi-bagi?kan ilmu silat, aku jadi
teringat kepada Paman Sie!"
543 Thian Liong memandang wajah yang cantik jelita itu dan
bertanya, "Paman Sie" Siapakah dia?"
Pek Hong Nio-cu menggeleng kepala dan tersenyum.
"Entahlah, kata Ibuku, dia sahabat baik ibuku dahulu dan dia
juga guruku karena seperti juga engkau, dia membagi tiga buah
kitab kepadaku. Akan tetapi dia jauh lebih tua daripada engkau,
Thian Liong." "Nio-cu, setelah aku mengetahui bahwa engkau sesungguhnya
puteri kaisar Kerajaan Kin, bolehkah aku mengetehui siapa
namamu?" "Namaku adalah Puteri Moguhai." "Dan gurumu?"
"Sudah kukatakan, guruku terakhir adalah Paman Sie yang
memberi tiga buah kitab kepadaku dan aku melatih sendiri ilmuilmu dari tiga kitab itu. Guru-guruku yang pertama, yang
mengajarkan ilmu silat dasar kepadaku adalah jagoan-jagoan
istana." Thian Liong mengangguk-angguk. "Pemanmu itu tentu seorang
yang berilmu tinggi. Terus terang saja, Pek Hong Nio-cu, kalau
ilmu sabuk dan ilmu pedangmu itu kaulatih di bawah bimbingan
seorang guru pandai, tentu engkau akan menguasainya dengan
baik dan kurasa dengan itu akan sukar dicari orang yang akan
mampu menandingimu. Ilmu-ilmumu itu kulihat tadi amat hebat,
dahsyat dan sulit sekali diduga perubahannya, hanya sayang
engkau belum menguasainya secara matang.
544 "Tepat,sekali dugaanmu, Thian Liong. Aku merasa girang
bertemu denganmu dan kuharap eagkau dapat memberi
petunjuk kepadaku." "Ah mana mungkin, Nio-cu" Yang dapat memberi petunjuk tentu
hanya pamanmu itu yang tentu sudah menguasai tiga kitab yang
diberikan kepadamu."
"Sekarang, engkau hendak pergi ke mana, Thian Liong?"
JILID 15 "Sudah kukatakan tadi, aku haruslah mencari gadis baju merah
yang telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik
Kun-lun-pai. Dan mengingat ilmu silatnya berdasar aliran Tibet,
aku akan mencari ke barat."
"Ah, kebetulan sekali, Thian Liong. Akupun akan melakukan
perjalanan ke sana. Di dekat perbatasan Sin-kiang terdapat
seorang pamanku, Pangeran Kuang yang memimpin pasukan
yang berjaga di perbatasan. Aku akan menemui dia untuk suatu
keperluan penting sekali dan mungkin saja dia yang mempunyai
banyak pengalaman akan dapat memberi petunjuk kepadamu
tentang gadis baju merah yang mencuri kitab itu. Kita dapat
melakukan perjalanan bersama."
Dalam hati Thian Liong timbul perasaan rikuh. Melakukan
perjalanan bersama seorang gadis yang demikian cantik jelita,
puteri kaisar pula" ''Akan tetapi " dia meragu.
545 "Hemm, apakah engkau tidak suka melakukan perjalanan
bersama seorang puteri kerajaan bangsa Nuchen yang
memusuhi bangsa Han" Katakan saja terus terang!" kata Nio-cu
sambil memandang tajam. Thian Liong menggeleng kepalanya. "Tidak,
Permusuhan antara kerajaan tidak berarti permusuhan
perorangan. Aku tidak memusuhimu, akan tetapi
Nio-cu. apa akan kata orang kalau aku, seorang pemuda, melakukan
perjalanan berdua dengan engkau, seorang gadis
?" Dia menahan mulutnya tidak mengatakan cantik jelita.
"Apa salahnya" Yang penting kita bersahabat dan tidak
melakukan sesuatu yang tidak pantas. Kalau ada mulut usil
bicara sembarangan, biar kupukul hancur mulut itu!"
Thian Liong menghela napas. Bagaimana dia dapat mencari
alasan untuk menolaknya" Dia tidak berdaya menghadapi gadis
yang berhati keras namun tidak dapat dibantah karena
ucapannya memang benar itu.
"Baiklah kalau engkau memang menghendaki demikian. Akan
tetapi kuperingatkan, melakukan perjalanan bersama aku tidak
akan menyenangkan karena aku seorang yang miskin dan biasa
hidup sederhana, terkadang harus melewatkan malam di tempat
terbuka, di kuil-kuil kosong, di guha-guha, bahkan di bawah
pohon. Mana mungkin engkau dapat melakukan perjalanan
seperti itu?" 546 Pek Hong Nio-cu tertawa, suara tawanya mengingatkan Thian
Liong kepada Ang Hwa Sian-li. Alangkah miripnya. Sama-sama
begitu bebas kalau tertawa, tidak ditutup-tutupi atau malu-malu
seperti gadis Han pada umumnya. Bebas membuka mulut
sehingga tampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara,
bagian dalam mulut yang merah dan lidah yang merah muda.
"Tentu saja aku tidak sudi tidur di tempat-tempat kotor seperti
itu!" katanya setelah tawanya reda. "Akan tetapi akupun tidak
perlu harus sengsara seperti itu. Kau tahu, aku membawa cukup
banyak emas untuk membeli segala keperluan kita di dalam
perjalanan, dan pedangku ini dapat membuat semua pembesar
di daerah bertekuk lutut dun melayani segala keperluanku.
Maka, kalau kita melakukan perjalanan bersama, perlu apa kita
harus bersusah payah seperti yang kaugambarkan tadi" Mari
kita berangkat. Tak jauh dari sini, di depan sana terdapat sebuah
dusun dan kita dapat membeli seekor kuda untukmu."
Thian Liong merasa rikuh kalau selalu dibiayai gadis itu, akan
tetapi dia tidak dapat membantah. Bagaimanapun juga, gadis itu
adalah puteri kaisar, tentu saja kaya raya dan memiliki
kekuasaan tinggi. Diapun lalu berjalan cepat di samping kuda
yang ditunggangi Pek Hong Nio-cu.
*** Dua orang gadis itu melewati perbatasan kerajaan Sung Selatan
dan memasuki daerah Kerajaan Kin utara. Keduanya berjalan
kaki dan melihat langkah mereka yang tegap dan gesit, apalagi
melihat pedang yang tergantung di punggung mereka, mudah
diduga bahwa mereka berdua adalah gadis-gadis kang-ouw
547 yang pandai ilmu silat. Yang seorang berusia duapuluh tahun,
bermuka bulat dan cantik, bertubuh tinggi ramping. Yang kedua
lebih pendek, juga cantik dengan wajahnya yang berbentuk bulat
telur, usianya sekitar sembilanbelas tahun. Keduanya memiliki
wajah cantik dan bentuk tubuhnya yang menggiurkan sehingga
di dalam perjalanan mereka, banyak mata pria mencuri pandang
dengan kagum. Namun jarang ada yang berani mengganggu
mereka, melihat pedang yang tergantung di pungung mereka.
Mereka memang bukan gadis sembarangan, melainkan dua
orang murid Kun-lun-pai yang pandai ilmu silat, terutama lihai
ilmu pedang mereka. Yang pertama adalah Kim Lan dan yang
kedua adalah su-moinya (adik seperguruannya) Ai Yin.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena dikalahkan
oleh Thian Liong, sesuai dengan sumpah yang diharuskan oleh
guru mereka, Biauw In Su-thai, Kim Lan harus menjadi isteri
Thian Liong dan kalau Thian Liong menolak, Kim Lan harus
membunuhnya! Sakit hati karena cintanya ditolak pria, membuat
Biauw In Su-thai mengambil sumpah para murid wanitanya
seperti itu. Kemudian ia menyesal ketika ditegur Kui Beng
Thaisu ketua Kun-lun-pai dan ia dihukum harus bertapa di
pondok pengasingan. Akan tetapi Kim Lan sudah terlanjur pergi
untuk mencari dan membunuh Thian Liong yang menolak
menjadi suaminya. Ai Yin yang amat mencinta sucinya (kakak
seperguruannya) ikut pergi bersama Kim Lan.
Demikianlah, setelah melakukan perjalanan selama hampir dua
bulan Kim Lan belum juga dapat menemukan Thian Liong. Ia
lalu mengajak su-moinya untuk pergi mengunjungi bibinya yang
548 tinggal di dusun Lui-touw di Propinsi Shantung, di lembah
Sungai Huang-ho. Ai Yin menurut saja kepada sucinya.
"Suci, kalau sekiranya tinggal di dusun tempat tinggal bibimu itu
enak, lebih baik kita tinggal saja di sana dan tidak usah ke Kunlun-pai, tidak perlu bersusah payah mencari Souw Thian Liong.
Mencari seseorang yang tidak diketahui ke mana perginya,
mana mungkin" Ke mana kita harus mencarinya" Kita hidup di
dusun saja bertani, suci," kata Ai Yin.
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon besar di pinggir
sebuah hutan. Siang itu hawa udara amat panasnya dan mereka
telah melakukan perjalanan sejak pagi tadi.
Kim Lan menyusut keringat dari lehernya, memandang wajah
su-moinya dengan alis berkerut dan pandang mata sedih. Lalu ia
menghela napas panjang. "Aih, mana bisa begitu, su-moi" Kita
berdua sudah yatim piatu dan sejak kecil kita dirawat dan dididik
oleh subo Biauw In Su-thai penuh kasih sayang. Subo
menganggap kita seperti anaknya sendiri ia menjadi pengganti
orang tua kita. Bagaimana kita dapat menjadi murid murtad"
Apa lagi kita sudah bersumpah dan sungguh memalukan
seorang gagah mengingkari sumpahnya sendiri!"
Tiba-tiba tampak debu mengepul tinggi dan terdengar derap kaki
banyak kuda mendatangi dari utara. Setelah dekat ternyata
mereka adalah sepasukan perajurit terdiri dari duapuluh empat
orang, dipimpin oleh dua orang perwira. Dari pakaian seragam
mereka mudah diketahui bahwa mereka adalah pasukan
Kerajaan Kin yang menguasai daerah sebelah utara Sungai
Yang-ce. Ketika dua orang perwira itu melihat dua orang gadis
549 yang duduk di tepi hutan pinggir jalan itu, mereka segera
mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya berhenti.
Semua kuda berhenti dan tentu saja hal ini menimbulkan debu
mengepul tinggi di siang hari terik itu.
"Menyebalkan!" kata Kim Lan yang pemarah dan ia bangkit
berdiri sambil menutupi hidung dan mulutnya dengan sehelai
saputangan. Ai Yin juga menutupi hidung dan mulut, dan bangkit
berdiri pula. Dua orang perwira dan anak buah mereka itu telah melihat
bahwa dua orang gadis itu cantik dan hanya berdua saja, maka
timbul keisengan mereka. Dua orang perwira itu segera saling
bicara, kemudian sambil tertawa keduanya melompat turun dari
atas kuda masing-masing dan melangkah dengan gagah
menghampiri Kim Lan dan Ai Yin. Dua losin perajurit itupun
berlompatan dari atas kuda mereka, tertawa-tawa melihat
Kisah Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tingkah kedua orang pimpinan mereka yang mereka anggap
lucu. Sudah berbulan-bulan mereka meronda di perbatasan dan
haus akan hiburan maka peristiwa ini mereka anggap sebagai
hiburan yang menarik. Kim Lan berbisik kepada su-moinya. "Su-moi, hati-hati, mereka
itu agaknya mencari perkara."
Dua orang gadis itu memandang penuh perhatian. Dua orang
perwira itu berusia empatpuluh tahun lebih, yang seorang
bertubuh tinggi besar bermuka merah halus, sedangkan yang
kedua bertubuh lebih pendek gempal dengan muka penuh
brewok. Dengan langah gagah dibuat-buat kedua orang perwira
itu menghampiri dua orang gadis itu. Kini Kim Lan dan Ai Yin
550 sudah melepaskan tangan dari muka mereka sehingga
tampaklah wajah mereka yang cantik. Dua orang perwira itu
memandang penuh gairah dan menyeringai lebar.
Setelah mereka berhadapan, dua orang perwira itu cengarcengir memandang kepada dua orang gadis itu dan yang tinggi
besar itu bertanya kepada Kim Lan.
"Nona berdua siapakah dan mengapa berada di sini?"
Kim Lan mengerutkan alisnya dan memang pada dasarnya Kim
Lan berwatak galak dan angkuh, maka ia menjawab dengan
sikap galak dan suara ketus. "Kami berada di tempat umum dan
tidak ada sangkut pautnya dengan kalian. Ada urusan apa
engkau bertanya-tanya?"
"Ha-ha-ha!" Perwira tinggi besar itu tertawa dan menoleh kepada
temannya yang brewokan. "Lihat, betapa galaknya nona ini!
Wah, aku suka yang galak-galak begini, makin liar semakin
menyenangkan. Ha-ha-ha! Biarlah engkau mendapat yang
satunya itu, Koan-te (adik Koan)!"
"Ha-ha-ha!" Yang brewokan juga tertawa senang. "Aku lebih
suka yang sikapnya halus ini!"
"Nona, jangan galak-galak. Marilah kalian ikut dengan kami,
bersenang-senang daripada kesepian di sini!" Setelah berkata
demikian, perwira tinggi besar menjulurkan tangannya hendak
mengusap pipi Kim Lan. Bukan main marahnya Kim Lan. "Wwuutt
plak!" 551 Tiba-tiba Kim Lan sudah maju menampar dengan tangannya,
mengenai pipi si perwira tinggi besar sehingga orang itu
terhuyung ke belakang. Agaknya perwira itu memiliki tubuh yang
kuat maka tamparan itu hanya membuatnya terhuyung.
"Jahanam, engkau bosan hidup!" Kim Lan membentak dan
sekali tangannya bergerak, ia sudah mencabut pedangnya. Ai
Yin juga sudah mencabut pedangnya dan kedua orang gadis itu
sudah siap memasang kuda-kuda dengan gagahnya!
Dua orang perwira itu marah sekali. Terutama si tinggi besar
yang kena ditampar pipinya. Dia juga mencabut golok yang
tergantung di pinggangnya, diikuti perwira yang brewok. "Berani
kalian melawan kami! Kalian tentu mata-mata dari pemberontak
di Kerajaan Sung Selatan!" kata si perwira tinggi besar.
"Kalau kami laporkan kepada Perdana Menteri Chin Kui, kalian
tentu akan ditangkap dan dihukum berat!" kata pula perwira
brewokan dan mereka berdua memberi isyarat kepada para
anak buahnya. Dua losin perajurit itu sudah bergerak maju
mengepung dengan senjata tajam di tangan.
"Hayo kalian dua orang gadis Han cepat membuang pedang
kalian dan menyerah, atau kalian akan mati dengan tubuh
hancur!" bentak pula perwira tinggi besar.
"Jahanam busuk, kalian semua yang akan mampus oleh pedang
kami!" bentak Kim Lan dan iapun sudah menerjang maju dengan
gerakan pedangnya, menyerang Perwira tinggi besar.
Ai Yin tidak tinggal diam, iapun menggunakan pedangnya
Menyerang perwira brewokan. Gerakan pedang dua orang gadis
552 murid Kun-lun-pai ini hebat bukan main, cepat dan dahsyat
karena mereka mainkan Tian-lui-kiamsut (ilmu Pedang Kilat
Guntur). Dua orang perwira itu cepat menggerakkan golok
mereka menangkis sambil berlompatan ke belakang, terkejut
menghadapi serangan kilat yang dahsyat itu. Perajurit-perajurit
lalu bergerak mengeroyok dan dua orang gadis itu menghadapi
pengeroyokan duapuluh empat orang perajurit yang dipimpin
dua orang perwira itu. Dengan memainkan pedang mereka menggunakan ilmu pedang
andalan mereka, yaitu Tian-lui-kiamsut, Kim Lan dan Ai Yin
mengamuk bagaikan dua ekor singa betina yang haus darah.
Para murid wanita Kun-lun-pai yang langsung di bawah
bimbingan Biauw In Su-thai memang sudah terbiasa dengan
sifat galak dan keras guru mereka itu sehingga mereka sendiri
rata-rata memiliki sifat yang keras. Berbeda dengan para murid
wanita yang langsung ditangani Hui In Sian-kouw yang berwatak
lembut, merekapun rata-rata berwatak lembut.
Kim Lan dan Ai Yin sebagai murid-murid kesayangan Biauw In
Su-thai berwatak keras walaupun Ai Yin lebih lembut
dibandingkan Kim Lan yang galak. Mereka berdua mengamuk
dengan pedang mereka dan sebentar saja sudah ada empat
orang perajurit terjungkal mandi darah dan pedang kedua orang
gadis itu sudah mulai berlumuran darah. Akan tetapi, dua orang
perwira itu kiranya bukan orang-orang lemah. Mereka berdua
merupakan lawan yang lumayan tangguhnya dan dibantu oleh
banyak perajurit cukup merepotkan Kim Lan dan Ai Yin yang
mulai terdesak karena hujan serangan para pengeroyoknya
yang jauh lebih banyak itu.
553 Biarpun mereka dapat merobohkan dua orang perajurit lagi,
namun Kim Lan dan Ai Yin kini merasa lelah sekali. Mereka
terpaksa harus saling membelakangi agar tidak dapat diserang
dari belakang dan mereka hanya dapat mempertahankan diri,
memutar pedang untuk menghalau semua senjata yang datang
menyerang seperti hujan itu.
Kim Lan dan Ai Yin mulai merasa lelah sekali Mereka kehabisan
tenaga. Untuk melarikan diri, mereka tidak mempunyai
kesempatan lagi. Pula, andaikata mereka dapat melarikan diri,
pasukan itu dapat mengejar mereka dengan naik kuda. Tidak
ada jalan lain, mereka harus melawan terus mempertahankan
diri sampai akhir. Akan tetapi dua orang perwira itu agaknya tidak menghendaki
mereka berdua mati begitu saja. "Kepung terus, jangan bunuh
mereka. Tangkap hidup-hidup!" teriak dua orang perwira itu.
Inilah yang ditakuti dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu.
Membayangkan tertawan hidup-hidup oleh segerombolan orang
ini, mereka berdua menjadi ngeri. Lebih baik mati daripada
tertawan hidup-hidup, pikir mereka sambil mengamuk terus.
Pada saat yang amat gawat bagi kedua orang gadis itu, tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. "Ji-wi Li-hiap (Dua Nona Pendekar)
jangan khawatir, mari kita basmi tikus-tikus busuk ini!"
Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu beberapa orang
perajurit Kin terpelanting, diterjang seorang pemuda yang
gerakannya amat dahsyat. Pemuda itu berusia sekitar duapuluh
enam tahun, berkulit putih, wajahnya bundar dan tampan
dengan alis tebal dan sepasang mata tajam, sikapnya gagah.
554 Tubuhnya sedang dan tegap dan pakaiannya bersih rapi. Dia
memegang sebatang pedang dengan ronce merah. Begitu dia
menerjang dengan pedangnya, empat orang perajurit
berpelantingan. Para pengeroyoknya terkejut sekali, apalagi ketika pemuda itu
dengan gerakan pedangnya yang amat dahsyat kini menerjang
kepada dua orang perwira dan dalam beberapa jurus saja dua
orang perwira itu terjungkal mandi darah dan tewas! Tentu saja
para perajurit menjadi terkejut dan gentar. Sebaliknya, Kim Lan
dan Ai Yin menjadi girang dan bersemangat. Mereka berdua
mengamuk dan sudah merobohkan empat orang pengeroyok
lagi. Akhirnya, sisa pasukan itu ketakutan dan mereka lalu melarikan
diri, berloncatan ke atas punggung kuda mereka dan
membalapkan kuda meninggalkan tempat yang berbahaya itu,
meninggalkan mayat-mayat dua orang perwira dan kawankawan mereka.
Kim Lan dan Ai Yin kini berhadapan dengan pemuda yang telah
menyelamatkan mereka dari ancaman bahaya yang bagi mereka
lebih mengerikan dari pada maut itu.
Kim Lan merangkap kedua tangan ke depan dada memberi
hormat kepada pemuda itu, diturut oleh Ai Yin. "Terima kasih
atas bantuan tai-hiap (pendekar besar) yang telah
menyelamatkan kami berdua dari pengeroyokan pasukan itu."
Pemuda itu membalas penghormatan mereka lalu dengan sikap
halus dan senyum ramah dia menjawab, "Harap ji-wi lihiap
(pendekar wanita berdua) tidak bersikap sungkan. Sudah
555 menjadi kewajiban kita untuk saling bantu menentang kejahatan.
Mari kita bicara di tempat lain. Tempat ini tidak nyaman untuk
bicara, pula kalau sisa pasukan tadi datang membawa bala
bantuan yang besar jumlahnya, kita bisa repot."
Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan sikapnya yang
hormat mengajak kedua orang gadis meninggalkan tempat itu
dan memasuki hutan. Kim Lan dan Ai Yin mengerti bahwa
ucapan pemuda itu memang benar, maka merekapun mengikuti
pemuda itu dan sebentar saja mereka bertiga yang
mempergunakan ilmu berlari cepat sudah meninggalkan tempat
di mana mayat-mayat para perajurit bergelimpangan itu. Mereka
berhenti di bagian terbuka dalam hutan itu.
"Nah, di sini kita dapat bicara dengan lebih nyaman," kata
pemuda itu. "Perkenalkan, nona berdua, namaku Cia Song,
seorang murid Siauw-lim-pai. Kalau aku tidak salah lihat,
permainan pedang kalian tadi adalah dari Kun-lun-pai.
Benarkah?" "Tidak salah dugaanmu, Cia-taihiap (pendekar besar
Cia) " "Aih, nona. Harap jangan sebut tai-hiap padaku. Kita muridmurid dua partai persilatan besar yang segolongan, jadi seperti
saudara saja. Kalian seperti adik-adikku seperguruan sendiri."
"Ah, engkau baik sekali, Cia-twako (kakak Cia)!" kata Ai Yin
kagum. 556 "Baiklah, Cia-twako. Perkenalkan, aku bernama Kim Lan dan ini
su-moiku (adik seperguruanku) bernama Ai Yin, murid-murid
Kun-lun-pai." "Hemm, Lan-moi dan Yin-moi, senang sekali dapat bertemu dan
berkenalan dengan kalian di sini. Akan tetapi, bagaimana
sampai kalian berdua dikeroyok tikus-tikus tadi?" tanya Cia
Song, murid Siauw-lim-pai yang pernah kita kenal.
Dia adalah murid Hui Sian Hwesio yang pernah bertemu dengan
Thian Liong ketika Thian Liong berkunjung ke Siauw-lim-pai
untuk menyerahkan kitab Sam-jong Cin-keng kepada Hui Sian
Hwesio. Cia Song inilah yang dulu menangkap kemudian
membunuh Hui-houw-ong Giam Ti yang dituduh sebagai
pemerkosa Kwee Bi Hwa, puteri Kwee Bun To.
"Kami berdua sedang melakukan perjalanan dan tiba di sini
ketika rombongan pasukan itu muncul dan mereka hendak
ganggu kami, maka kami melawan dan dikeroyok," kata Ai Yin.
Gadis ini diam-diam kagum kepada Cia Song yang tampan dan
gagah, dan yang telah menyelamatkan ia dan sucinya itu.
"Akan tetapi, kalian berdua jauh-jauh datang ke sini, ada urusan
Naga Dari Selatan 16 Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama