Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng Bagian 4
"Sejujurnya dia tidak selalu bersikap baik ter-hadap setiap murid
perguruan, tapi terhadap Put-ji Susiok serta kalian berdua, sikapnya
memang istimewa baiknya."
"Mungkin saja dia bersikap baik terhadap adikku, tapi jangan kau
ikut sertakan diriku."
"Ooh, jadi kau anggap sikap Sucouw terhadapmu kurang baik"
Bagaimana kalau aku saja yang bersikap baik terhadapmu?"
"Ciss, siapa sudi menerima kebaikanmu."
Habis berkata dia segera beranjak pergi diikuti Bu-seng di
belakangnya. Tiba-tiba bunga merah dalam genggamannya terlepas dan
terjatuh ke tanah. Melihat ada kesempatan untuk mendekati Sumoy nya, buru-buru
Bu-seng memungut bunga itu dan diangsurkan ke hadapan Lan Suileng
sambil berseru, "Sumoy, bungamu terjatuh, untung mataku
awas dan segera memungutnya kembali, coba lihat, bunganya
masih utuh, tidak ada yang rontok."
"Hmm, aku tidak mau bunga yang sudah terjatuh ke tanah."
"Tapi bungamu terjatuh di atas rumput, sama sekali tidak kotor,
coba lihat, bersih sekali," seru Bu-seng sambil meniup bunga itu.
"Biar bersih pun tidak mau!"
"Bukankah gara-gara menyukai bunga itu kau telah menyuruh
adikmu memetiknya" Coba lihat, pakai-an adikmu pun sampai
robek, kenapa sekarang malah tidak mau?"
"Karena sekarang aku sudah tidak menyukainya lagi."
"Kenapa?" "Aah, bawel amat kau, kenapa sih suka mencampuri urusan
tetek-bengek" Sekali tidak suka tetap tidak suka, kenapa mesti
kujelaskan" Hmm, bukankah barusan kau sempat menegurku suka
bermain" Kenapa kau sendiri malah mengurusi soal bunga?"
"Tapi.... bunga ini sangat indah, rasanya sayang untuk dibuang,"
seru Bu-seng tergagap. Tiba-tiba Lan Giok-keng berkata, "Mungkin saja bunga itu tidak
ternoda, tapi aku lihat pakaianmu justru ternoda air lumpur. Aah,
bukan sedikit, malah sebagian besar...."
Bu-seng yang berusaha mencari muka di hadapan Lan Sui-leng
jadi tidak suka hati setelah disindir Lan Giok-keng, segera katanya,
"Barusan kan hujan deras, masih untung cuma hujan, bajuku basah
lantaran air hujan, siapa bilang kena air comberan!"
"Ooh, rupanya kau menempuh hujan untuk mencari kami
berdua" Kebaikan hatimu sungguh membuat hatiku terharu."
"Terima kasih, aku tidak mengharap terima kasihmu, aku cuma
minta kau jangan bawel lagi."
"Baiklah, kalau memang kau benci dengan perkataanku, biar aku
tidak berbicara lagi."
Benar saja dia segera tutup mulut sambil mempercepat
langkahnya berjalan lebih dulu di depan.
Tiba-tiba terdengar Lan Sui-leng berkata, "Bu-seng Suheng, aku
rasa kau sedang berbohong."
"Aku berbohong?"
"Sudah jelas kau tercebur ke selokan dan ternoda air
pecomberan, kenapa dibilang basah kuyup karena hujan" Kapan sih
hujan?" Bu-seng kembali tertawa. "Belakang gunung tidak hujan bukan berarti bukit bagian depan
juga tidak hujan. Masa kau tidak pernah mendengar lagu rakyat
yang mengatakan di timur ada matahari di barat sedang hujan,
dibilang tidak berperasaan ternyata ada perasaan...."
"Oooh, rupanya begitu."
Mendadak Bu-seng seperti teringat akan sesuatu, dia seperti
ingin mengucapkan tapi kemudian urung, akhirnya dengan tergagap
katanya, "Padahal aku.... aku pun.... aai! Kalian tidak bakal
mengerti." Selesai berkata buru-buru dia berjalan ke sebuah simpang jalan
dan berlalu dengan begitu saja. Ketika angin gunung berhembus
lewat, terlihat jubahnya bergetar sampai menggelembung, seolaholah
sekujur tubuhnya telah dipenuhi tenaga murni.
Lan Giok-keng yang memandang bayangan punggungnya tibatiba
terlintas rasa curiga di hati kecilnya.
"Mungkinkah di antara mereka punya hubungan yang tidak boleh
diketahui orang lain?" pikirnya.
Begitu terbayang 'hubungan yang tidak boleh diketahui orang
lain', mendadak dia sendiri pun merasa amat terperanjat.
Bukankah hal ini sama artinya dia pun mencurigai Gihu sendiri"
Tidak benar, boleh saja dia mencurigai Ji-tianglo, namun tidak
sepantasnya mencurigai juga Gihu sendiri! Yang membuatnya lebih
terperanjat adalah 'caranya berpikir', diam-diam dia mengumpat diri
sendiri. Tiba-tiba terdengar Lan Sui-leng yang telah menyusul dan
menegur, "He adikku, kenapa wajahmu nampak sangat aneh" Aku
telah membantumu mengerjai si hidung kerbau kecil, kenapa kau
tidak tertawa, juga tidak bicara, sebetulnya apa yang sedang kau
pikirkan?" Lan Giok-keng tanpa berpaling segera menyahut, "Cici, kau tidak
usah banyak curiga, tidak ada yang kupikirkan."
Biarpun dia cerdik, sayang perkataan ini justru meninggalkan titik
kelemahan, kenapa dia harus kuatir Cicinya curiga"
Lan Sui-leng bukan orang bodoh, tanggapnya, "Adikku, kau kan
tahu kalau aku bukan orang yang banyak curiga, tapi kenapa mesti
mengelabui aku" Bukankah kau masih meragukan asal-usulmu?"
"Tidak!" "Baguslah kalau tidak. Adikku, lantas masalah apa yang masih
mengganjal di hatimu" Masa Cici sendiri juga tidak boleh tahu?"
Lan Giok-keng sadar, biar tidak mengakui pun Cicinya pasti tetap
curiga, maka sahutnya, "Ooh tidak apa-apa, aku hanya berpikir,
belakangan rasanya ada banyak peristiwa aneh yang terjadi di sini."
"Benar," Lan Sui-leng mengangguk, dia tahu yang dimaksud
adiknya adalah 'musibah' yang menimpa perguruannya, "Siapa yang
menyangka kalau Put-coat Supek pun bisa dilukai orang sehingga
harus digotong balik ke Bu-tong-san."
Sebenarnya dia masih ingin bertanya kepada adiknya, kejadian
apa lagi yang dia angggap 'aneh', namun saat itu mereka telah tiba
di depan istana Goan-hap-kiong tempat tinggal Ciangbunjin. Dimana
seluruh murid angkatan ketiga telah berkumpul sambil berkasakkusuk,
karenanya dia merasa tidak leluasa untuk bertanya lebih
lanjut. Kalau soal 'anak haram' pun adiknya berani menyampaikan
kepadanya, dia tidak percaya kalau masih ada soal lain yang tidak
berani dikatakan sang adik kepadanya.
Tentu saja dia tidak bakal mengira kalau adiknya benar-benar
masih ada rahasia lain yang tidak dikatakan kepadanya.
Persoalan yang cuma bisa disimpan di dalam hati, persoalan yang
tidak mungkin diberitahukan kepada orang lain merupakan satu
ganjalan yang paling menyiksa.
Bagi Lan Giok-keng, siksaan batin itu baru merupakan
permulaan. Padahal ayah angkatnya, Put-ji, sudah merasakan
siksaan itu selama enam belas tahun lamanya.
Satu jam berselang, di saat untuk pertama kalinya Lan Giok-keng
mengemukakan suara hatinya kepada sang Cici, dia pun sedang
terjerumus dalam kenangan masa lalu yang amat menyiksa, bahkan
tidak seorang pun pernah mendengar keluh-kesahnya.
Satu jam berselang, tepat di saat hujan turun dengan derasnya,
turun secara tiba-tiba. Biarpun hanya hujan, namun air hujan turun sangat deras,
bahkan disertai sambaran petir dan guntur.
Penyakit lamanya lagi-lagi mulai kambuh.
Setiap kali menjelang hujan turun, jantungnya selalu terasa
kejang, pikiran dan perasaannya ikut kalut dan terombang-ambing.
"Aai, lagi-lagi tumn hujan seorang diri dia duduk termenung di
dalam kamarnya. Ketika cahaya petir menyambar di luar jendela, tiba-tiba dia
teringat kembali dengan hari itu, hari hujan pada tujuh belas tahun
berselang. Di antara ranting dan tangkai pepohonan yang bergoyang
tertimpa hujan badai, dia seolah melihat 'Siau-sumoy' sedang
berjalan menghampirinya. Waktu itu Ho Giok-yan masih merupakan 'Siau-sumoy', belum
menjadi calon bininya. Hubungan itu tiba-tiba terputus, tiba-tiba berkesudahan di saat
hujan sedang turun dengan derasnya.
"Toa-suheng, aku tidak punya muka lagi untuk berbicara
denganmu...." Tidak perlu penjelasan dari Siau-sumoy pun dia sudah paham.
Dia tahu kedatangan Siau-sumoynya adalah untuk berpamitan. Pada
malam itulah dia telah pergi bersama Sutenya.
Ketika cahaya petir kembali menyambar, bayangan di depan
matanya seolah bertambah lagi dengan sesosok manusia. Selain
Siau-sumoy Ho Giok-yan, di situ masih ada pula adik
seperguruannya, Keng King-si.
Hari itu adalah hari hujan pada enam belas tahun berselang. Dia
berjumpa lagi dengan Siau-sumoy, kini Siau-sumoy sudah menjadi
Keng-hujin, nyonya Keng. Kalau dalam pertemuan pertama Siau-sumoy datang berpamitan,
maka pertemuannya kali ini berubah jadi perpisahan untuk
selamanya. Semua kejadian, semua peristiwa saat itu kembali terlintas di
depan matanya, dia tidak tahu apakah bayangan itu kejadian
sungguhan atau hanya khayalan, apakah dia sedang bermipi atau
tersadar" Di balik kilatan cahaya petir dan suara guntur, Keng King-si roboh
terjungkal tertembus pedangnya. Kemudian dia seperti mendengar
suara tangisan bayi yang baru lahir.
Sumoy terkapar di tengah genangan darah. Aah, seluruh jagad,
seluruh kehidupan, seluruh isi alam seolah telah berhenti, seolah
menjadi sunyi, hanya suara tangisan orok yang terdengar.
Aah tidak, tidak, dia seperti mendengar juga suara tertawa.
Suara tertawa yang samar, suara tertawa yang terhantar datang
secara lamat-lamat, seperti ada seperti pula tidak ada!
Enam belas tahun berselang, di saat hujan turun dengan
derasnya, waktu itu dia sama sekali tidak mendengar suara tertawa
semacam itu. Tapi suara tertawa itu bukan didengar dengan
telinganya tapi 'terdengar' oleh suara hatinya.
Inikah suara tertawa seperti apa yang dia bayangkan" Tidak, dia
sadar bahwa hal itu hanya khayalan, perempuan itu, perempuan
genit, perempuan cabul yang bergelar Lebah hijau itu tidak tertawa
pada saat itu, tapi dalam hati kecilnya dia pasti sedang tertawa
bangga. "Aai, kenapa aku bisa teringat perempuan ini?"
Dia paling tidak berharap membayangkan perempuan ini, apalagi
ketika dia selesai membayangkan Siau-sumoy, kemudian terbayang
pula perempuan ini. Bahkan dia sering 'menipu' diri sendiri.
"Bukan, bukan, semua itu hanya khayalanku belaka, hari itu dia
sama sekali tidak hadir di tempat kejadian!"
Begitu seringnya menipu diri sendiri sampai akhirnya dia percaya
dengan ungkapan itu. Aai, apakah hanya khayalan atau sungguh terjadi" Pada akhirnya
dia sendiri pun tidak jelas!
Cahaya kilat sekali lagi menyambar membelah angkasa,
bayangan yang muncul di depan mata kembali berubah.
Seorang kakek berwajah garang, seorang jago lihai dengan
cahaya pedang bagai sambaran petir!
Waktu berjalan begitu cepat.... dari enam belas tahun berselang
kini berubah jadi tiga bulan berselang, saat hujan turun dengan
derasnya tiga bulan berselang.
Waktunya makin dekat, tapi tempat kejadian justru makin jauh.
Kalau dua kali hujan deras dialami di desanya, maka hari hujan kali
ini justru berada jauh dari tempat kelahirannya, berada di wilayah
Liauw-tong yang amat jauh.
Tiga bulan yang lalu dia mendapat perintah dari gurunya untuk
mendatangi wilayah Liauw-tong, menyelidiki seseorang, seseorang
yang misterius dan penuh diliputi teka-teki.
Orang itu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
peristiwa pembunuhan yang menimpa Bu-tong-pay, peristiwa
pembunuhan terbesar sepanjang sejarah.
Hampir semua orang yang ada hubungannya dengan peristiwa ini
telah tewas, bagaimana dengan orang ini" Masih hidupkah dia atau
sudah mati" Oleh karena orang ini ada 'kemungkinan' masih hidup, maka dia
harus berangkat ke sana untuk mencari berita, kalau pun dia sudah
mati, dia pun berharap masih bisa menggali sedikit titik terang atas
kejadian di masa lampau. Orang itu tidak lain adalah Huo Bu-tou, orang yang dikenal Keng
King-si dan Ho Giok-yan sewaktu hidup di wilayah Liauw-tong.
Waktu itu statusnya adalah seorang juragan ikan, walau dalam
kenyataan dia adalah pengawal pribadi Nurhaci Khan dari negeri
Kim. Pada tahun kedua kembali dia merubah diri, kali ini menjadi
seorang perwira dari pasukan Kim-ih-wi kerajaan Beng. Boleh
dibilang orang ini nyaris penuh dengan teka-teki.
Hanya dengan menemukan orang ini, dia baru punya harapan
untuk memecahkan kasus pembunuhan ini. Dan hanya orang ini
juga yang bisa menerangkan apakah pada waktu itu adik
seperguruannya, Keng King-si, benar-benar pernah menjadi matamata
bangsa Boan. Kalau dibilang 'mendapat perintah' lebih cocok kalau dibilang
bukan hanya satu kali dia mengajukan permohonan kepada
Ciangbun Suhunya untuk melakukan perjalanan ini, tapi gurunya
tidak pernah mengabulkan permintaan itu.
Hingga hari itu ketika secara tiba-tiba gurunya memerintahkan
dia berangkat ke Liauw-tong untuk melacak peristiwa itu, hampir
saja dia tidak percaya dengan pendengaran sendiri.
Tiga bulan berselang dia tiba di dusun nelayan kecil dimana Huo
Bu-tou pernah bekerja menjadi juragan ikan, yaitu dusun nelayan
dimana Keng King-si dan Ho Giok-yan pernah tinggal.
Tempat lelang ikan sudah tiada, namun tidak banyak perubahan
yang terjadi di dusun itu, tentu saja masih banyak orang dusun
yang teringat pada Huo Bu-tou.
Tapi sayang dari mulut orang-orang itu dia tidak berhasil
mendapatkan apa yang dia inginkan. Orang-orang itu hanya tahu
kalau Huo Bu-tou adalah seorang juragan ikan, seorang pedagang
ikan yang sangat bersahaja.
Yang paling diingat orang-orang itu adalah hitungan sipoanya
yang sangat jago, biar pintar main sipoa namun belum pernah
mencari keuntungan pribadi, semua nota dihitung terperinci dan
jelas. Hanya itu saja yang diperoleh.
Rumah yang pernah ditempati Ho Giok-yan dan Keng King-si pun
masih utuh, rumah itu mereka bangun dengan mengeluarkan uang
banyak, sebagai penduduk dusun yang jujur, biarpun mereka sudah
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi dan tidak pernah kembali lagi, ternyata tidak ada penduduk
dusun yang berusaha memakai atau mengambil alih rumah itu.
Dia pura-pura mengaku sebagai famili jauh Keng King-si dan
memasuki rumah itu. Sayang bangunan rumah itu sudah bobrok
dan tidak terawat. Padahal biarpun dia tidak mengaku sebagai famili jauh pun tidak
bakal ada orang yang menggubris dia ketika memasuki rumah itu.
Rumah itu kosong melompong, yang ada tinggal sarang laba-laba
di sudut dinding serta sisa abu di bawah anglo. Sarang laba-laba
yang koyak seakan sedang menertawakan dirinya, menertawakan
dia yang belum mampu lolos dari jaring cinta, sementara abu di
bawah anglo meski sudah dingin namun di dasar hatinya masih
terasa hangat. Benar-benar tidak ada benda yang tertinggal, yang tersisa hanya
helaan napas yang tidak terkira, helaan napas karena berlalunya
impian musim semi. Tiba-tiba dia menemukan beberapa biji batu di sudut rumah.
Apa anehnya batu" Utara selatan, di pesisir, di gunung, hampir
semuanya terdapat batu"
Tidak, beberapa biji batu itu berbeda sekali. Batuan yang berasal
dari desa kelahirannya. Darimana dia bisa tahu" Karena dialah yang menyerahkan batuan
itu. Diambil dan diremasnya batuan itu, meremasnya seperti sedang
meremas jari tangan kenalan lama.
Di rumahnya (atau lebih tepat di rumah Sumoynya, Ho Giok-yan),
di belakang rumah mereka terdapat sebuah bukit, di atas bukit itu
terdapat sejenis bebatuan yang berbintik-bintik merah seperti pasir
merah, orang menyebutnya batu granit merah. Ada pula jenis batu
lain yang warnanya tiga bagian berwarna kuning dan tujuh bagian
berwarna merah tua, batuan ini disebut Hong-hiat-sik (batu kuning
darah). Ada orang bilang seandainya tidak terselip tiga bagian warna
kuning, pada hakikatnya batu itu bisa digunakan sebagai Ki-hiattong
palsu. Yang dimaksud Ki-hiat-tong adalah jenis batu granit
yang paling bagus dipakai untuk membuat stempel nama, bahkan
nilainya melebihi nilai emas murni.
Hanya saja kedua jenis bebatuan itu merupakan barang langka,
meski banyak terdapat di bukit itu namun sulit untuk menemukan
bongkahan batu dalam ukuran besar, yang ada pun paling hanya
butiran batu kecil. Ho Giok-yan sangat menyukai kedua jenis batu granit itu,
karenanya setiap kali menemukan kedua jenis bebatuan itu dia
selalu mengambil dan menghadiahkan kepadanya.
Dia sudah tidak ingat sejak kapan permainan itu dimulai, dia
hanya masih ingat ketika Ho Giok-yan bemsia empat belas tahun dia
menghadiahkan batu granit merah dan batu kuning darah itu
padanya. Ketika dia mulai belajar menyulam, dibuatlah sebuah kantung
kain untuk menyimpan bebatuan itu. Dia masih ingat apa yang
pernah diucapkan gadis itu, katanya bebatuan yang sangat indah itu
dalam pandang-annya melebihi batu permata.
Tapi tidak lama setelah mengucapkan perkataan itu, kembali dia
menyampaikan perkataan lain, katanya dia sudah tumbuh dewasa
hingga sangat menghargai usaha Toa-sukonya yang memberi
hadiah batu kepadanya, namun dia tidak ingin Toa-sukonya
membuang banyak waktu dan tenaga hanya untuk mengumpulkan
'mainan anak-anak' itu. Dan sejak itu pula dia mulai memperhatikan Sutenya telah
menggantikan peranannya selama ini, menjadi teman kencan
Sumoynya setiap kali naik gunung. Tentunya di atas gunung dia
bukan hanya mengambil bebatuan saja untuk Sumoynya bukan"
Impian masa lalu telah tertutup oleh jala laba-laba, buat apa
mesti dikenang kembali" Tapi dia masih tetap berkeliaran di seputar
rumah gobrok yang pernah ditempati Sumoynya.
Aai, orang pun sudah lama mati, buat apa mencari kembali
impian yang telah berlalu"
Akhirnya dia menemukan kembali kantong sulaman itu, kantong
itu sudah lama koyak dan rusak, tetapi dia masih tetap dapat
mengenalinya. Sumoy telah jauh-jauh membawa kantong itu ke Liauw-tong, tapi
mengapa sewaktu siap kembali ke dusun, dia justru melupakan
benda yang pernah dipandang sebagai benda mustika itu" Apakah
dia lupa membawanya" Atau memang sengaja membuangnya"
Mungkinkah kejadian ini membuktikan kalau telah terjadi konflik
batin dalam hati Sumoy"
Didekapnya kantong koyak itu di depan dadanya, diremasnya
bebatuan itu dengan mesra, dia tertegun.... termangu....
Mendadak suara guntur menggugahnya dari lamunan, hujan
turun sangat deras. Sebagai penerangan dia tancapkan obor di atas dinding rumah,
ketika angin kencang berhembus lewat, obor pun padam.
"Blaamm!", menyusul kemudian sebagian dinding rumah rubuh
ke tanah. Rumah itu kondisinya memang lapuk dan bobrok, tapi sebetulnya
belum sampai taraf nyaris roboh. Bukankah gelegar guntur tidak
sampai menyentuh dinding rumah itu" Mungkinkah hembusan angin
kencang sanggup merobohkannya"
Rasa terkejut membuatnya seolah tersadar kembali, janganjangan
dinding itu roboh karena digempur seseorang"
Belum habis ingatan itu melintas lewat, tampak sesosok
bayangan manusia telah menerobos keluar melalui celah dinding
yang roboh, belum lagi tubuhnya menyentuh tanah, desingan angin
tajam telah menyambar tiba.
Ternyata dugaannya tidak salah, dinding itu memang roboh
karena digempur orang itu dengan tenaga pukulannya yang
dahsyat. Cahaya kilat berkelebat lewat, pedang di tangan orang itu sudah
menusuk tenggorokannya, bukan cahaya petir yang menyambar tapi
cahaya pedang, cahaya pedang yang lebih cepat dari sambaran
petir! Untung dia cukup sigap dan sadar akan datangnya bahaya, cepat
pedangnya dicabut untuk menangkis, gerakan pedangnya tidak
terhitung lambat, dengan jurus Ya-can-pat-hong (bertarung malam
melawan delapan penjuru) dia sambut datangnya serangan musuh
jurus demi jurus. Pertarungan ini merupakan pertarungan paling sengit yang belum
pernah dialaminya sepanjang hidup, jauh lebih berbahaya, jauh
lebih mengerikan daripada pertarungannya melawan Keng King-si
tempo hari. Dalam pertarungannya melawan Keng King-si tempo hari, adik
seperguruannya itu masih berbelas kasihan kepadanya, beda
dengan orang di hadapannya sekarang, begitu bertemu jurus
mematikan dilancarkan bertubi-tubi, bukan saja sejak awal hingga
sekarang, bahkan semua jurus serangannya diarahkan ke bagian
yang mematikan. Suara bentakan ataukah suara guntur" Cahaya pedang atau
cahaya petir" Kedua belah pihak sama-sama tidak jelas, sama-sama
tidak bisa membedakan! Di saat cahaya petir kembali menyambar, dia berhasil melihat
wajah lawan dengan jelas.
Ternyata dia adalah seorang kakek berperawakan tinggi besar
yang berwajah gagah dan penuh wibawa.
"Siapa kau" Kita tidak saling mengenal, kenapa kau ingin
mencabut nyawaku?" bentaknya gusar.
Kakek itu mendengus dingin.
"Hmm, satu nyawa ditukar tiga nyawa, sudah keenakan buat
kau!" "Satu nyawa ditukar tiga nyawa" Apa maksud-mu" Aku tidak
mengerti apa yang kau maksud!"
"Seharusnya kau mengerti, secara beruntun engkau telah
menyebabkan tiga orang kehilangan nyawa! Tidak akan kubiarkan
kau mencelakai orang lagi!"
Menggunakan kesempatan di saat orang tua itu sedang
mengumpatnya, di saat cahaya petir kembali berkelebat, dia
gunakan baik-baik peluang itu, dengan jurus Pek-ho-liang-ci
(bangau putih pentang sayap) sebuah bacokan dilontarkan.
Inilah jurus andalannya, jurus yang paling dibanggakan,
sekalipun sudut babatan pedangnya sedikit melebar, namun
kecepatan serangannya luar biasa, biar serangan dilancarkan
belakangan namun ternyata tiba duluan.
Terdengar suara tulang yang retak menusuk pendengaran,
lengan kiri kakek itu tertusuk telak, disusul suara tulang belulang
yang hancur dan retak. Tapi pada saat yang bersamaan, dadanya ter-makan juga oleh
tusukan pedang lawan. Masih untung serangannya tiba duluan, karena kakek itu terhajar
lebih dahulu maka tusukan pedangnya yang menghujam di dada
pun kekuatannya jauh berkurang, coba bukan begitu, mungkin
tubuhnya sudah terbelah dua.
Dua belah pihak sama-sama terluka parah, hujan dan angin pun
ikut berhenti. Kakek yang kereng dan penuh wibawa bagai malaikat
itu telah tidak nampak. Biar hujan telah berhenti, darah masih meleleh keluar tiada
hentinya, yang meleleh adalah darah dari tubuhnya.
Sebetulnya mulut luka yang diderita tidak terlampau dalam,
darah yang meleleh pun tidak terlalu banyak, namun keadaan luka
itulah yang membuat hatinya bergidik.
Sekali lagi dia menyulut obor di atas dinding, lalu membuka baju
luarnya, ternyata di atas dadanya telah muncul tujuh buah lubang
kecil yang berjajar bagaikan tujuh bintang bujur utara. Tujuh lubang
kecil bekas tusukan ujung pedang!
Buru-buru dia membubuhkan obat luka di seputar mulut lukanya,
dengan cepat darah pun berhenti mengalir. Biarpun begitu, bekas
luka yang tertinggal justru membuatnya tidak terlupakan, bukankah
titik merah yang membekas di atas dadanya persis sama seperti
warna batu granit yang dia hadiahkan untuk sang Sumoy"
Kini dia sudah diakui oleh semua orang sebagai jago pedang
nomor dua dari Bu-tong-pay, usianya masih muda dan tenaganya
sedang mencapai puncaknya, siapa pun tidak bakal percaya kalau
dia nyaris tewas di ujung pedang seorang kakek.
Siapakah orang tua itu" Tiba-tiba dia teringat akan seseorang.
Tidak mungkin dia akan mengemukakan persoalan ini kepada
orang lain, kecuali kepada gurunya sendiri. Sebab dia ingin minta
pembuktian dari gurunya. Dari kejadian pada tiga bulan berselang, kini dia mulai
membayangkan kembali peristiwa yang baru saja terjadi kemarin.
Kemarin, begitu tiba di bukit Bu-tong, tindakan pertama yang
dilakukan adalah melaporkan semua kejadian itu kepada gurunya,
Bu-siang Cinjin. Dia perlihatkan juga bekas luka yang tertinggal di tubuhnya.
Selesai mendengarkan penuturannya, kemudian memeriksa pula
bekas lukanya, perlahan-lahan Bu-siang Cinjin berkata, "Aku belum
pernah bertemu Kwe Tang-lay, tapi aku tahu inilah hasil tusukan
dari Jit-sing-kiam-hoat (ilmu pedang tujuh bintang)!"
Gurunya membuktikan kalau apa yang diduga selama ini tidak
salah, ternyata orang tua itu adalah Ciang-ciu-kiam-khek (jago
pedang dari Ciang-ciu) Kwe Tang-lay yang sudah lenyap kabar
beritanya sejak empat belas tahun berselang!
Benarkah si jago pedang dari Ciang-ciu Kwe Tang-lay belum
tewas" Jika orang tua ini benar-benar adalah Kwe Tanglay, berarti tekateki
lain yang sudah mereka curigai selama ini pun telah
memperoleh pembuktian. Kemungkinan besar tokoh misterius yang saru itu, Huo Bu-tou
adalah putra Kwe Tang-lay.
Berita yang belum pernah mendapat pembuktian itu diperoleh
Suhengnya, Put-coat tojin, setelah melakukan penyelidikan lama.
Enam belas tahun berselang, ketika baru saja dia tiba di Bu-tongsan,
sejak pertemuan pertama kali dengan Put-coat, Tosu itu sudah
pernah mengemukakan kecurigaannya ini.
Kelihatannya sang guru dapat membaca suara hatinya, dia pun
berkata, "Seharusnya dalam dua hari mendatang Suhengmu, Putcoat,
sudah balik ke Bu-tong, tunggu saja sampai dia kembali,
tanyakan langsung kepadanya. Dia adalah penduduk kota Ciang-ciu,
sewaktu masih kecil pernah bertemu Kwe Tang-lay. Jadi persoalan
tentang Kwe Tang-lay, dia jauh lebih tahu ketimbang aku."
Lagi-lagi turun hujan. Memandang air hujan yang turun bagai dituang dari langit,
kembali hatinya mengejang, pikirnya, 'Aai.... perubahan cuaca
benar-benar susah diramalkan, padahal tadi cuaca begitu bersih dan
cerah, tiba-tiba saja hujan turun begitu deras. Aai.... dalam suasana
begini, rasanya tidak mungkin Put-coat Suheng akan balik ke
gunung hari ini.' Menyaksikan daun dan ranting pohon yang terombang-ambing
dimainkan angin, perasaan hatinya terasa makin kalut, mendadak
dia merasa hawa dingin yang menggidikkan lamat-lamat muncul
dalam hatinya. "Mengapa Ciangbun Suheng bukannya menyuruh
Suheng berangkat ke Liauw-tong, sebaliknya malah menyerahkan
tugas ini kepadaku?" pikirnya.
Tidak bisa disalahkan kalau dia berpendapat begitu, tidak
seorang pun yang tahu akan asal-usul Huo Bu-tou dan hanya Putcoat
seorang yang berhasil menemukan setitik jejaknya, padahal
sejak awal Put-coat telah melaporkan kecurigaannya itu kepada
sang Suhu. Terlepas apakah Kwe Tang-lay benar-benar adalah ayahnya Huo
Bu-tou atau bukan, jika Suhunya ingin mengutus seseorang untuk
melacak jejaknya di Liauw-tong, seharusnya orang yang paling
cocok untuk tugas ini adalah Put-coat.
"Jangan-jangan Put-coat Suheng sudah pernah datang ke Liauwtong
tapi gagal menemukan sesuatu jejak sehingga kali ini Suhu
mengutus aku yang ke situ" Tapi sekalipun begitu, kenapa Suhu
masih berusaha mengelabui aku?"
"Jika Put-coat Suheng belum pernah berkunjung ke situ, kenapa
baru enam belas tahun kemudian Suhu mengutus aku ke situ"
Sungguh membikin aku tidak habis mengerti!"
Terlepas dalam situasi seperti apa pun, semuanya cukup
menimbulkan kecurigaan dalam hatinya. Tentu saja dia tidak berani
menuduh Suhunya punya rencana lain, tapi tidak tahan kembali dia
berpikir, 'Mengapa Suhu menyerahkan tugas ini padaku"
Mungkinkah di balik semua ini masih terselip maksud Tam?"
"Tapi.... aku banyak berhutang budi pada Suhu, hubungannya
denganku melebihi hubungan ayah dan anak, bahkan aku berhutang
banyak padanya. Tidak, aku tidak boleh tidak percaya padanya,
tidak sepantasnya aku mencurigai Suhu sendiri."
Sekalipun dia telah berusaha untuk menghilangkan rasa
curiganya terhadap Suhunya, namun lamat-lamat perasaan bergidik
mulai mencekam hatinya. Tentunya dia tidak bakal tahu kalau Suhunya telah mengirim Putcoat
untuk membawa pulang tulang belulang Bu-kek Tianglo untuk
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikubur di atas gunung. Put-coat sendiri pun pernah berpendapat seperti dia, merasa
dialah orang yang paling pantas untuk melaksanakan tugas ini.
Hanya saja perasaan Put-coat tidak sebimbang dan sepanik dirinya.
Cahaya petir berkelebat, suara guntur menggelegar di angkasa,
kilatan cahaya pedang Kwe Tang-lay, suara makiannya yang keras
menggelegar seakan terlintas kembali di depan mata.
"Hmm, satu nyawa ditukar tiga nyawa, sudah keenakan buat
kau!" "Dia menuduhku sebagai penyebab kematian tiga orang,
siapakah tiga orang yang dimaksud" Kalau dia benar-benar Kwe
Tang-lay, berarti salah satu di antaranya yang dimaksud adalah
putranya, orang yang telah berganti dengan nama bangsa Boan
sebagai Huo Bu-tou. Aah, bila dugaanku tidak salah, berarti Huo Butou
pun ikut tewas?" Betulkah dia sangat berharap Huo Bu-tou telah tewas" dia sendiri
tidak tahu, bahkan dia terkejut kenapa dirinya bisa mempunyai
pikiran seperti itu. Dia tidak berani berpikir lebih jauh, hanya berkata dalam
batinnya, 'Siapakah dua orang yang dimaksud" Keng-sute tewas
karena aku salah tangan, apakah dia salah satu di antaranya"
Tapi.... apakah kematian Sumoy pun gara-gara ulahku"'
"Kenapa tidak mungkin" Bukankah Sumoy bunuh diri gara-gara
melihat suaminya tewas di tanganku" Aai.... selama ini tidak pernah
kukaitkan kedua persoalan itu menjadi satu, aku.... aku benar-benar
kelewatan!" Bukan saja dia merasakan hatinya bergidik, bahkan dia merasa
hatinya sakit, sakit bagai disayat-sayat.
Sekali lagi bayangan Ho Giok-yan melintas di depan matanya,
menyusul kemudian bayangan Keng King-si, terakhir melintas pula
bayangan Kwe Tang-lay....
Makin lama dia merasa hatinya semakin bergidik, bulu kuduknya
bangun berdiri. Ooo)*(ooO BAB III Banyak keanehan di balik tulang
Mengangkat ketua baru Daun jendela terbuka lebar karena hembusan angin, butiran air
hujan membasahi seluruh tubuhnya.
Suara hujan, suara angin menderu-deru di telinganya. Kembali
hatinya terasa kejang. Setiap kali turun hujan, perasaannya selalu terjerumus dalam
ketidak-tenangan, apalagi hari ini.
"Aai, kemana perginya anak Keng" Kenapa sampai sekarang
belum juga kembali!"
Dia hanya berharap ada seseorang dapat berbincang dengannya,
apalagi kalau dia dapat mengutarakan seluruh isi hatinya kepada
orang itu. Padahal orang yang paling dekat dengannya tidak lebih hanya
anak angkatnya seorang, Lan Giok-keng. Tentu saja dia tidak bisa
meluapkan seluruh rahasia hatinya kepada anak angkatnya itu.
Tiba-tiba teringat olehnya akan seseorang, seorang yang menjadi
pemimpin para Tianglo, seorang yang posisinya jauh di atas
kedudukannya, paman gurunya, Bu-liang Totiang.
Hanya Bu-liang Totiang seorang yang mengetahui semua rahasia
hatinya. Sekalipun tidak tahu seluruhnya, paling tidak hubungannya
dengan orang ini jauh berbeda dengan orang lain.
Tapi begitu terbayang orang ini, tidak kuasa hatinya langsung
bergidik, bulu romanya berdiri. Sekalipun selama enam belas tahun
terakhir Bu-liang Totiang belum pernah mengompasnya gara-gara
dia mengetahui rahasia hatinya, namun setiap kali teringat orang
ini, perasaan ngeri dan seram selalu menghantui dirinya.
Di tengah sambaran petir dan guntur, dia duduk di depan jendela
seorang diri, hatinya kalut sekalut daun-daunan yang diterbangkan
angin, berbagai adegan peristiwa terlintas dalam benaknya bagai
sambaran kilat. Ho Giok-yan, Keng King-si, Siang Ngo-nio, Bu-liang
Totiang, Lan Giok-keng dan terakhir kakek kekar yang nyaris
merenggut nyawanya. Membayangkan si kakek yang menakutkan itu, dia sangat
berharap Suhengnya bisa segera balik ke gunung.
Hubungannya selama ini dengan Put-coat tidak terhitung baik,
bahkan jauh di bawah hubungan sebagai sesama saudara
seperguruan. Tapi bagaimanapun juga dia selalu merasa bahwa kakak
seperguruannya yang agaknya kurang begitu suka berdekatan
dengannya itu jauh lebih bisa dipercaya daripada Bu-liang Susioknya
yang belakangan semakin dekat dengannya. Paling tidak
sekembalinya Put-coat, dia bisa mengurai teka-teki seputar Kwe
Tang-lay. Tapi hujan turun begitu deras.
"Mungkin hari ini Put-coat Suheng tidak bakal balik ke gunung,"
pikirnya. Hujan turun makin lama semakin lebat, perasaan tidak tenang
yang mencekam hatinya pun makin lama semakin menjadi, bahkan
lamat-lamat dia mulai menangkap firasat jelek. Pada tiga kali hari
hujan yang lalu, dia selalu menjumpai peristiwa yang tidak
menguntungkan, apa pula yang akan dia hadapi pada hari hujan kali
ini" Siapa tahu hujan kali ini hanya hujan lewat, walaupun turun
dengan derasnya, namun hujan itu cepat datangnya perginya pun
sangat cepat, tiba-tiba saja hujan angin berhenti seketika.
Menyusul cerahnya udara, perasaan hatinya ikut pula jadi cerah.
Pada saat itulah tiba-tiba seseorang berjalan masuk, orang itu
tidak lain adalah Bu-liang Totiang.
Setelah tertegun sejenak, akhirnya perasaan yang mulai menjadi
cerah tiba-tiba terasa tenggelam kembali, agak kesal tegurnya,
"Susiok, di tengah hujan sederas ini, ada apa kau datang kemari?"
"Put-ji, Suhengmu telah balik!"
"Haha, Put-coat Suheng telah kembali?" teriak Put-ji terkejut,
"dia balik dalam keadaan hujan deras" Sungguh tidak kusangka...."
"Masih ada peristiwa lain yang lebih tidak kau sangka, dia
kembali dengan digotong orang!" kata Bu-liang Totiang.
Tidak terlukiskan rasa kaget Put-ji, agak gemetar tanyanya, "Dia
kembali dengan digotong" Karena sakit atau terluka?"
"Terluka, bahkan lukanya parah sekali, konon sepanjang
perjalanan dia sudah tujuh hari tujuh malam tidak sadarkan diri."
Put-ji benar-benar terkesiap, saking kagetnya untuk sesaat dia
sampai tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Bu-liang Totiang berkata, "Jangankan kau, aku sendiri
pun tidak menyangka bakal terjadi peristiwa seperti ini, padahal
tugas yang diemban Put-coat kali ini bukanlah tugas yang
membawa resiko besar...."
"Sebenarnya tugas apa yang sedang dia laksanakan?" tanya Putji
dengan jantung kebat-kebit.
"Kau belum bertemu Ciangbunjin" Apakah Ciangbun Suhu belum
memberitahukan kepadamu?" tanya Bu-liang Totiang sedikit
tercengang. Dari perkataan itu secara lamat-lamat Put-ji menangkap ada
sesuatu yang tidak beres, sahutnya, "Suhu hanya memberitahu
kalau Suheng telah turun gunung dan baru kembali dua hari
kemudian." "Tempat yang dia datangi adalah tempat yang paling kau kenal
dalam hidupmu." "Ooh, tempat yang paling kukenal?" Put-ji tertegun.
"Tempo hari, bukankah kau telah mengubur jenazah Bu-kek
Tianglo serta Sute dan Sumoymu di sebuah bukit dekat desamu"
Kalau tidak salah bukit itu bernama Boan-liong-san bukan" Put-coat
mendapat perintah untuk pergi ke bukit Boan-liong-san dan
membawa pulang tulang belulang Bu-kek Tianglo agar bisa dikubur
di sini. Ehmm, semestinya hal ini sudah dilakukan sejak awal."
Begitu mengetahui kejadian itu, selain kaget Put-ji pun merasa
bingung dan tidak habis mengerti, menurut keadaan yang
sesungguhnya, mereka berdua seharusnya bertukar tempat untuk
melaksanakan tugas ini. "Kenapa Suhu tidak menyuruh aku melaksanakan tugas ini dan
sebaliknya malah mengirim aku ke wilayah Liauw-tong?"
Kelihatannya Bu-liang Totiang dapat membaca suara hatinya, dia
segera berkata, "Bukannya aku ingin mengatai gurumu, tapi aku
rasa semakin tua dia memang semakin pikun. Kaulah yang
mengubur jenazah Bu-kek Tianglo, semestinya tugas ini paling
cocok dilakukan oleh dirimu. Tapi bicara masalah ini, untung saja
tugas itu bukan dibebankan kepadamu, kalau tidak, mungkin kaulah
yang harus balik ke gunung dengan digotong orang."
Put-ji hanya bisa tertawa getir, pikirnya, 'Aku sendiri pun nyaris
kehilangan nyawa sewaktu berada di Liauw-tong, coba kalau bukan
karena jurus Pek-ho-liang-ci bisa kugunakan lebih cepat, mungkin
nasibku jauh lebih tragis ketimbang nasib Suheng, kalau dia masih
bisa digotong balik dalam keadaan hidup, mungkin mayatku sudah
terkapar di tengah rumah kosong tanpa terawat."
Hanya saja dia tidak ingin menceritakan nasib sial yang
dialaminya di wilayah Liauw-tong itu kepada Bu-liang Totiang,
karenanya sembari tertawa getir tanyanya, "Siapa yang telah
melukai Put-coat Suheng?"
"Masih belum jelas, aku hanya tahu Bouw It-yu yang
mengantarnya kembali. Begitu tiba, dia langsung menghadap
Ciangbunjin untuk melaporkan peristiwa ini hingga tidak sempat
berbincang denganku. Aku rasa kini Ciangbunjin pasti sedang
berusaha menolong Put-coat, ayoh kita segera ke sana."
Dugaan Bu-liang Totiang memang tepat sekali, saat itu Bu-siang
Cinjin, Ciangbunjin Bu-tong-pay sedang mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mengobati luka muridnya sembari membersihkan
sisa racun dari dalam tubuhnya.
Dalam ruang tidur Ciangbunjin, selain Bouw It-yu, di situ masih
ada pula salah seorang Tianglo Bu-tongpay yang lain, Bu-si Tojin.
Murid-murid angkatan yang lebih muda hanya bisa menunggu
kabar di luar kuil Hok-tin-koan, tidak seorang pun diperkenankan
masuk, tentu saja kecuali Put-ji.
Dengan meringankan langkah kakinya, Put-ji berjalan masuk ke
dalam ruangan mengikut di belakang Bu-liang Totiang.
Baru melangkah masuk ke dalam ruangan, dia segera mendengar
Bu-siang Cinjin sedang bertanya, "Apakah dia terkena senjata
rahasia keluarga Tong dari Suchuan?"
"Boleh dibilang senjata rahasia dari keluarga Tong, tapi boleh
juga dikatakan bukan senjata rahasia keluarga Tong. Karena dia
telah terhajar jarum Lebah hijau milik Siang Ngo-nio," jawab Bouw
It-yu. Pembicaraan itu berlangsung lirih dan tidak jelas, namun
beberapa orang yang hadir dalam ruangan itu dapat mendengar
dengan jelas sekali. Sebagaimana diketahui, Siang Ngo-nio adalah wanita simpanan
Tong-jikongcu, sementara jarum lebah hijau itupun dibuat
berdasarkan resep rahasia keluarga Tong, namun perempuan ini
sama sekali bukan anggota perguruan itu, dia pun tidak pernah
membuat senjatanya persis seperti resep simpanan perguruan itu,
sebab di antara senjata rahasia yang diandalkan keluarga Tong,
sama sekali tidak terdapat jarum lebah hijau.
Dalam pada itu terlihat' Bu-si Tojin sedang menyahut sambil
mengernyitkan dahinya, "Ternyata terkena jarum lebah hijau milik
perempuan siluman itu, tidak heran Put-coat Sutit tidak sadarkan
diri selama berhari-hari!"
Biarpun keningnya berkerut, sama sekali tidak terlintas rasa
terkejut di wajahnya, sebab dia memang sudah cukup mengetahui
akan kelihaian jarum lebah hijau itu.
Reaksi yang diperlihatkan Bu-liang Totiang pun persis sama
seperti dia. Sebaliknya Put-ji justru merasakan hatinya bergetar keras, ketika
nama "Siang Ngo-nio" meluncur dari mulut Bouw It-yu dan masuk
ke dalam pendengarannya, dia seolah merasa ada suara guntur
yang menggelegar keras di sisi telinganya, sekali lagi "kilatan
guntur" dan "sambaran petir" melintas di depan wajahnya, dia
seakan-akan menyaksikan kembali sorot mata Siang Ngo-nio yang
membetot sukma sedang mengawasi dirinya. Aah, apalagi "hawa
siluman" yang terpancar keluar dari balik tubuhnya.
Sinar matanya terasa jauh lebih menakutkan daripada kilatan
cahaya petir, tanpa terasa paras mukanya berubah hebat.
"Apakah kau mengetahui asal-usul jarum lebah hijau itu?"
terdengar Bu-liang Totiang berbisik lirih di sisi telinganya.
Seakan tersadar kembali dari lamunannya, Put-ji merasa
bayangan semu di depan matanya lenyap seketika, cepat dia
mengangguk. "Konon jarum lembah hijau milik Siang Ngo-nio termasuk jarum
yang amat beracun, bukankah begitu?"
Nama busuk jarum lebah hijau milik Siang Ngo-nio memang
sudah tersohor di seantero dunia persilatan, semua jago yang
pernah berkelana di dunia persilatan, biar belum pernah menjumpai
pun paling tidak mereka pasti pernah mendengarnya.
Sebelum menjadi pendeta, Put-ji adalah murid Ji-ouw Tayhiap Ho
Ki-bu, tentu saja dia mengetahui hal itu dengan jelas.
Seakan sedang menghiburnya, dengan suara lembut kembali Buliang
Totiang berkata, "Ciangbunjin sedang menggunakan Thaykheksinkang untuk membersihkan racun dari tubuhnya, sementara
tenaga dalam yang dimiliki Put-coat pun sudah dilatih hampir
mendekati empat puluh tahun lamanya, dia tidak akan mati
segampang itu. Selama napasnya masih ada, nyawanya pasti akan
tertolong!" Put-ji segera merasa hatinya lega kembali, pikirnya, 'Untung
rahasia hatiku tidak sampai diketahui Susiok, jika dia sampai tahu
kalau aku sudah lama kenal Siang Ngo-nio, dalam kasus lama
maupun kasus baru, posisiku jadi berbahaya sekali karena
kecurigaan terhadapku jadi lebih besar."
Semua orang menaruh rasa percaya dan keyakinan yang besar
atas kehebatan tenaga dalam yang dimiliki Bu-siang Cinjin, tapi
yang menakutkan ternyata kejadian tidak selancar apa yang mereka
duga semula, walau setengah jam sudah lewat namun Put-coat
masih belum juga sadar dari pingsannya, kini paras muka Bu-siang
Cinjin telah diliputi rasa duka yang amat dalam.
"Put-ji, kemarilah, gantikan aku," tiba-tiba terdengar Bu-siang
Cinjin memanggil. Mendengar panggilan itu, cepat Put-ji duduk di hadapan Put-coat
dan menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh saudara
seperguruannya itu. "Aah tidak lama kemudian terdengar Put-coat mendesis lirih, lalu
berseru, "Put-ji, ternyata kau...."
Nada suaranya terdengar gemetar, memburu dan sangat
menusuk pendengaran, seakan berasal dari suara seseorang yang
lain. Bu-siang Cinjin yang mendengar suara teriakan itu segera
merasakan rasa sedih yang tidak terkirakan.
Tiba-tiba Put-ji merobek pakaian yang dikenakan sehingga
terlihat tujuh bekas luka yang berjajar di atas dadanya.
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Haha, ilmu pedang tujuh bintang dari Kwe Tang-lay!" jerit Putcoat
terperanjat. "Apakah dia adalah seorang kakek tinggi besar yang berwajah
menyeramkan dan timpang kaki kanannya?"
"Betul, kau.... kau.... kau telah bertemu dengannya...."
Secara beruntun dia mengulang kata "kau" sampai beberapa kali,
nada suaranya makin lama semakin rendah dan lirih, seolah sudah
tidak bertenaga lagi untuk berkata lebih jauh.
Semua orang tidak habis mengerti mengapa di saat yang gawat
dan penting begini, Put-ji justru mengajukan pertanyaan yang
menyangkut masalah lain, mengapa dia harus membuang tenaga"
Apakah pertanyaan itu tidak bisa ditanyakan nanti saja setelah
Suhengnya sembuh" Semua orang memang tidak mengerti, tapi Bu-siang Cinjin
mengetahui dengan amat jelas, dia sadar kalau muridnya tidak
bakal sembuh. Didengar dari nada suara Put-coat yang telah berubah, dapat
diketahui kalau hawa sesat telah menyumpat urat nadinya, kalau
sekarang dia masih bisa tersadar kembali, hal ini tidak lebih hanya
secercah sinar terakhirnya sebelum padam.
Mati hidupnya Kwe Tang-lay merupakan kunci utama dalam
pemecahan kasus pembunuhan pada enam belas tahun berselang,
jika Put-ji tidak menanyakan sekarang juga, bisa jadi selamanya dia
tidak akan punya kesempatan untuk membongkarnya.
Tidak ada yang lebih jelas dari Bu-siang Cinjin tentang betapa
parahnya luka dalam yang diderita Put-coat, bahkan dia tahu kalau
luka itu mustahil bisa disembuhkan lagi, itulah sebabnya dia
memerintahkan muridnya untuk menggantikan dia mengobati luka
Put-coat, tindakan ini tidak lepas merupakan tindakan coba-coba
saja. Sekalipun akhir yang mesti dia hadapi mendatangkan rasa sedih
yang mendalam, namun kejadian itu sama sekali tidak di luar
dugaannya. "Terima kasih Suheng!" bisik Put-ji.
"Put-ji, kau.... kau harus...."
"Aku harus apa?" Put-ji merasa hatinya bergetar keras, apa kata
berikut yang akan dia ucapkan"
Belum selesai ingatan itu melintas, terdengar Put-coat telah
melanjutkan kembali kata-katanya, "Kau.... kau harus baik-baik
menjaga diri!" Tidak kuasa lagi Put-ji menghembuskan napas lega, biarpun
ucapan itu mempunyai dua arti yang saling bertentangan, namun
siapa pula yang akan berpikir dari sudut tidak baik?"
Put-coat adalah murid pertama Ciangbunjin, bila tidak mengalami
sesuatu musibah, otomatis dialah yang bakal naik menjadi
pengganti Ciangbunjin. Oleh sebab itu semua orang mengira pesan
dari Put-coat itu memang sengaja disampaikan kepada Sutenya agar
lebih waspada membawa diri.
Atau dengan perkataan lain, dia telah menyerahkan posisi
sebagai 'putra mahkota' kedudukan Ciangbunjin itu kepadanya.
Berkilat sepasang mata Bu-siang Cinjin setelah mendengar
perkataan itu. Tiba-tiba terdengar Put-coat berkata lagi dengan nada tinggi,
"Tidak, tidak ada sangkut-pautnya dengan Sute...."
Tapi baru bicara separuh jalan, lagi-lagi dia memejamkan mata.
Mendengar perkataan itu Put-ji merasa lega sekali, pikirnya,
'Untung saja Suheng memahami keadaanku!'
Dalam pada itu semua orang lagi-lagi tertegun.
"Tidak ada sangkut-pautnya dengan Sute!", jika ditinjau dari
ucapan itu, mungkin dia maksudkan kalau "persoalan ini tidak ada
hubungannya dengan Sute", lantas "urusan" apa yang dimaksud"
Sayang waktu itu situasi sedang tegang, semua orang sedang
berusaha menyelamatkan nyawa Put-coat sehingga tidak seorang
pun yang berkenan untuk berpikir lebih jauh.
Cepat Bu-liang Totiang menggantikan posisi Put-ji dengan
menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh Put-coat.
Tidak selang berapa lama kemudian Put-coat memuntahkan
segumpal darah kental, lalu katanya lirih, "Suhu, maafkan Tecu
tidak bisa menyelesaikan tugas secara baik, Bouw It-yu memahami
semua masalah, silakan Suhu bertanya...."
Sayang belum selesai perkataan itu diucapkan, dia sudah putus
napas dan pergi ke langit barat.
Jubah pendeta yang dikenakan Bu-siang Cinjin segera
bergelombang bagai terhembus angin, wajahnya yang kuning layu
seolah selembar daun kering yang terombang-ambing dimainkan
badai. Tiada air mata, setetes pun tidak ada. Tapi siapa pun dapat
melihat bahwa dia lebih sedih, lebih tersiksa batinnya ketimbang
menangis. "Yang meninggal telah tiada, Suheng, jaga dirimu baik-baik!"
serentak Bu-liang Totiang dan Bu-si Tojin berseru.
"Harap Suhu menahan rasa sedih dan membalaskan dendam atas
kematian Suheng," bisik Put-ji pula.
Hanya Bouw It-yu seorang yang membungkam tanpa bicara,
kelihatannya dia sudah dibuat tertegun saking kagetnya.
Perlahan-lahan Bu-siang Cinjin berkata, "Kalian semua boleh
keluar dulu, aku ingin menenangkan diri."
Wajahnya kaku tanpa emosi.
Tanpa banyak bicara Bu-liang Totiang segera berjalan keluar
meninggalkan ruangan itu.
"It-yu!" mendadak Bu-siang Cinjin berseru lagi, "Kau tetap tinggal
di sini, ada persoalan yang hendak kubicarakan denganmu."
Ucapan terakhir Put-coat sebelum menghembuskan napas
terakhir adalah meminta gurunya untuk bertanya kepada Bouw Ityu,
jadPsiapa pun tidak merasa tercengang bila Ciangbunjin minta
dia seorang diri tetap tinggal di sana.
Walau begitu, perintah Bu-siang Cinjin yang minta mereka semua
untuk keluar, paling tidak meninggalkan juga perasaan kecut
bercampur getir di hati semua orang.
Put-ji berjalan paling belakang, dia merapatkan pintu ruangan,
kemudian berjalan menuju ke halaman kedua, dia tidak
meninggalkan Hok-tin-koan sebaliknya malah duduk di atas undakundakan.
Dari pintu gerbang menuju ke ruang ketua, orang harus melalui
tiga lapis halaman luas, tempat ini adalah halaman bagian tengah.
Dari halaman ini tidak mungkin orang bisa mendengar suara
pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan.
Sekarang dia sudah menjadi satu-satunya murid Ciangbunjin,
oleh sebab itu walaupun tadi Ciangbunjin telah memerintahkan
semua orang untuk mundur dari situ, tidak terkecuali dirinya, namun
untuk berjaga agar Ciangbunjin tidak mengalami suatu kejadian di
luar dugaan, dia merasa wajib untuk tetap tinggal di sana merawat
Suhu dan siapa pun tidak akan mengatakan kalau dia tidak
seharusnya berbuat begitu.
Tetap tinggal di halaman kedua sudah termasuk menghindar dari
semua pembicaraan yang sedang berlangsung.
Dia duduk termangu di atas undak-undakan batu, mendengar
suara langkah kaki yang kacau bergeser keluar pintu sebelum
akhirnya suasana pulih kembali dalam keheningan.
Kelihatannya anggota perguruan yang sedang berjejal menunggu
berita di luar To-koan telah mendengar perintah Bu-siang Cinjin
yang disampaikan kedua Tianglo hingga serentak mereka
membubarkan diri. Keheningan mulai mencekam seluruh jagad, keheningan yang
terasa aneh. Paras mukanya ikut berubah, berubah sangat aneh,
bahkan dia mulai mendengar detak jantung sendiri.
Tentu saja dia bukan hanya mendengar debar jantung sendiri,
dia pun mendengar suara lain. Justru karena dia mendengar suara
lain, detak jantungnya jadi ikut berdebar.
Dia telah mendengar suara pembicaraan gurunya dengan Bouw
It-yu, pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan.
Sebetulnya dari halaman itu orang tidak bakal bisa mendengar
pembicaraan di dalam ruangan, tapi bagi orang lain yang tidak
mampu mendengar, dia justru dapat mendengarnya dengan jelas,
sebab kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya sekarang sudah
menduduki posisi keempat dalam deretan para jago Bu-tong-pay.
Tanpa harus bertiarap di lantai pun dia dapat menangkap semua
pembicaraan yang sedang berlangsung dalam ruangan, sekecil apa
pun suara itu. Dia mendengar gurunya sedang bertanya, "Kau mengetahui
barang yang kuinginkan?"
"Lapor Ciangbunjin," terdengar Bouw It-yu menjawab, "Tecu
telah membawanya kemari."
Menyusul kemudian terdengar suara benturan benda yang agak
berat di atas meja. Tidak usah melihat pun Put-ji dapat menebak kalau Bouw It-yu
sedang meletakkan sebuah karung goni di atas meja, selama ini
karung goni itu selalu digendong di punggung Bouw It-yu, karung
yang memberi kesan berat dan mantap, namun tidak seorang pun
yang tahu apa isi karung itu.
Orang lain memang tidak ada yang tahu, namun ada satu
pengecualian, karena 'orang lain' itu tidak termasuk Put-ji, tanpa
diberitahu Bouw It-yu pun dia sudah dapat menebak apa isi karung
itu. Betul saja, terdengar gurunya bertanya, "Apakah semuanya
sudah dibawa kemari?"
"Sepotong pun tidak ada yang ketinggalan."
"Bagus, sekarang keluarkan semua kepingan itu satu per satu
dan diletakkan di atas meja, biar aku memeriksanya lebih seksama."
"Keluarkan semua kepingan itu satu per satu", kalau isinya bukan
tulang belulang lalu apa" Put-ji merasa hatinya semakin tenggelam.
Dia seakan-akan melihat si Lebah hijau Siang Ngo-nio sedang
bersembunyi di balik kegelapan sambil tertawa kepadanya.
Enam belas tahun berselang, di saat hujan sedang turun dengan
derasnya, di atas bukit Boan-liong-san.
Dia sedang bersitegang dengan Sutenya, lalu pelayan tua yang
selama ini selalu loyal kepada keluarga Ho tidak kuasa menahan diri
dan menerjang maju menghajar Keng King-si.
Baru maju beberapa langkah, tiba-tiba orang tua itu menjerit
kesakitan lalu roboh terkapar dalam keadaan tidak bernyawa. Waktu
itu dia segera menuduh Keng King-si hendak 'melenyapkan saksi',
malah termasuk Sumoynya pun menyangka orang tua itu tewas di
tangan suaminya. Biarpun waktu itu hujan sudah berhenti, namun cuaca masih
belum cerah, mereka sama sekali tidak dapat melihat apakah ada
orang yang bersembunyi di balik pepohonan, mereka pun tidak
mendengar sedikit suara pun.
Tapi dia tahu, si Lebah hijau Siang Ngo-nio pasti sedang
bersembunyi di balik kegelapan sambil mentertawakan mereka.
Karena orang tua itu sudah tewas terhajar jarum lebah hijau milik
Siang Ngo-nio, dan perempuan itu tahu bahwa dia pun telah
mengetahui hal ini. Mungkin saja senjata rahasia andalannya bisa mengelabui Keng
King-si serta Ho Giok-yan, tapi mungkinkah bisa mengelabui Ko
Ceng-kim" Ko Ceng-kim yang pernah menjadi "suami istri semalam"
dan pernah tidur seranjang dengannya"
Sambil menghantam dada, dia mulai mengumpat diri sendiri,
"Kenapa aku begitu bejad moral" Kenapa begitu tidak malu, sebagai
seorang murid perguruan besar ternyata pernah tidur seranjang
dengan perempuan cabul yang tersohor akan kekejiannya" Aai....
andaikata Sumoy tidak meninggalkan aku, mungkin aku pun tidak
akan terpikat dan terpedaya oleh perempuan siluman itu!"
"Aku sangka dia hanya iseng, setelah bermain semalaman maka
keesokan harinya sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi, siapa
tahu bakal berakibat seperti ini...."
Karena ulah dan perbuatannya yang memalukan itulah, mau
tidak mau dia harus berusaha merahasiakan keberadaan Siang Ngonio.
Kalau dia memang tahu bahwa peristiwa itu merupakan hasil
perbuatan Siang Ngo-nio, mengapa pula dia masih menuduh
Sutenya" Jelas hal ini disebabkan alasan lain.
Waktu itu dia berpikir, 'Keng-sute telah menjadi mata-mata
bangsa Boan, hal ini sudah jelas dan terbukti. Bagaimanapun
dosanya amat besar dan pantas dihukum, apa salahnya kalau
kutambahi dengan satu dosa baru"'
Tapi sekarang, "bukti" yang bisa menunjukkan bahwa Keng Kingsi
telah menjadi mata-mata bangsa Boan, surat yang ditulis Huo Butou
untuk Keng King-si, telah memperlihatkan titik kecurigaan yang
makin lama semakin bertambah banyak, dan kelihatannya yang
disebut sebagai 'barang bukti' itu sudah tidak bisa dipertahankan
lagi keberadaannya. Jika dia tidak bisa lagi menempelkan dosa itu atas nama Keng
King-si, mau tidak mau dia harus mulai menguatirkan 'perbuatan
tidak senonoh'nya bakal terbongkar. Tindakannya membunuh Keng
King-si boleh disebut sebagai 'salah membunuh', tapi setelah tahu
pelayan tua itu tewas karena terhajar jarum beracun lebah hijau
milik Siang Ngo-nio dan dia masih tetap menuduh Sutenya, dengan
cara apa peristiwa ini harus dijelaskan"
Jika dia tidak mempedulikan soal liangsim dengan mengatakan
bahwa saat itu dia tidak tahu, tetapi bagaimana bila Siang Ngo-nio
tertangkap" Apakah perempuan itu tidak bakal mengaku punya
hubungan khusus dengannya" Bagaimana pula cara dia
menghubungi Siang Ngo-nio agar menyangkal semua kejadian itu"
Tiada suara pembicaraan lagi dari dalam kamar sang ketua, dia
tahu Suhunya dan Bouw It-yu pasti sedang memeriksa kerangka
manusia. Apa jadinya bila rahasia itu ketahuan gurunya" Sementara dia
masih berpikir ke sana kemari, mendadak terdengar suara orang
terbatuk-batuk. Dasar sedang punya pikiran maling, suara batuk itu
seketika membuatnya terkesiap.
Ketika mendongakkan kepala, dia melihat ada seorang tojin tua
bertubuh bungkuk sedang berjalan menghampirinya.
Begitu tahu siapa yang muncul, dia pun tertawa geli, ternyata
orang itu adalah seorang tojin bisu tuli yang selama ini melayani
keperluan gurunya. Tidak diketahui siapa nama asli tojin itu, tapi lantaran dia bodoh
bahkan mendekati idiot dan lagi lantaran dia bisu tuli, semua orang
memanggilnya si tojin bisu tuli.
Sejak berusia sepuluh tahun lebih si tojin bisu tuli telah datang ke
gunung Bu-tong, waktu itu Bu-siang Cinjin baru saja menjabat
sebagai Ciangbunjin baru, melihat keadaannya yang mengenaskan
dan pantas dikasihani, dia pun menerima untuk membantu melayani
keperluannya. Hingga kini, si tojin bisu tuli sudah empat puluh tahun bekerja
sebagai pembantu Bu-siang Cinjin. Tahun ini usianya sudah
mendekati enam puluh tahun, tapi bentuk muka serta gerakgeriknya
kelihatan jauh lebih tua ketimbang Bu-siang Cinjin yang
sudah berumur delapan puluh tahun.
Tampaknya dia merasa tercengang juga sewaktu melihat
perubahan wajah Put-ji yang aneh, perasaan bingung dan tidak
habis mengerti menghiasi wajahnya.
Tidak diketahui dia bersembunyi dimana saat itu, untuk berbicara
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan si tojin bisu tuli ini terpaksa dia harus menggunakan bahasa
tangan yang sederhana, tapi dia sadar tidak bakal ada keterangan
yang bisa dikorek dari mulutnya.
Terpaksa Put-ji menggunakan ibu jari dan jari kelingkingnya yang
ditempel jadi satu sambil menuding ke arah ruangan di halaman
belakang, maksudnya Bu-siang Cinjin sedang berbicara dengan
seorang murid dan minta agar dia tidak mengganggu.
Setelah menuding dada sendiri kemudian menuding ke arahnya,
dia rentangkan kedua telapak tangannya, seolah hendak
menyerahkan sebuah benda kepadanya, berbareng itu dia berjalan
ke arah luar sambil berpaling ke arahnya.
Maksudnya, tolong kau jaga pintu sambil melayani keperluan
Suhu, sementara aku harus pergi lebih dulu.
Tojin bisu tuli itu segera manggut-manggut dan duduk di atas
undak-undakan. Perlu diketahui, meskipun Put-ji tidak kuatir orang lain menaruh
curiga kepadanya, tapi dia tidak ingin memberi kesan lain kepada
Bouw It-yu sewaktu dia keluar dari ruangan, menyaksikan dirinya
masih berada di situ. Baru saja keluar dari pintu To-koan, tiba-tiba terdengar
seseorang sedang berkata, "Apa aku bilang, kau tidak perlu kuatir,
tuh lihat, bukankah ayah angkatmu telah datang."
Ternyata Bu-liang Totiang serta Lan Giok-keng sedang menunggu
kemunculannya di situ. Dengan perasaan terkejut Lan Giok-keng segera berseru, "Suhu,
coba lihat, wajahmu sangat tidak sedap dilihat! Aku tahu, kau pasti
amat sedih atas kematian Supek, tapi janganlah kelewat sedih
hingga merusak kesehatan sendiri. Bagaimana dengan Sucouw?"
"Bocah ini benar-benar perhatian, sayang aku telah berbuat salah
kepadanya," batin Put-ji. Cepat sahutnya, "Aah, tidak apa-apa,
urusan orang dewasa lebih baik tidak usah kau campuri, mana
Cirimu?" "Dia sudah pulang."
"Kalau begitu kau pulanglah lebih dulu, tidak usah menunggu aku
makan malam." Lan Giok-keng seperti ingin mengucapkan sesuatu lagi, tapi Buliang
Totiang segera menepuk bahunya dan membujuk dengan
lembut, "Anak baik, perasaan gurumu sedang kurang baik, aku pun
masih ada urusan yang harus dibicarakan dengannya, menurut aja,
sana, pulanglah lebih dulu."
Menunggu Lan Giok-keng berlalu dari ujung bukit, Bu-liang
Totiang baru berpaling dan memandang Put-ji dengan senyum tidak
senyum, katanya, "Tampaknya bocah ini benar-benar mempunyai
perasaan seorang anak terhadap ayah kepadamu, itu berarti dia
masih belum mengetahui rahasia asal-usulnya."
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba lanjutnya, "Tapi aku lihat dia
sudah mulai curiga!"
"Darimana kau tahu?" tanya Put-ji terkejut.
"Tadi seorang muridku telah kuperintah untuk pergi mencari
putramu, waktu itu dia sedang berlatih pedang bersama Cicinya di
tepi telaga di bawah bukit Cian-ki-hong, secara tidak sengaja
muridku mendengar pembicaraan mereka berdua."
"Apa yang sedang mereka berdua bicarakan?"
"Sebenarnya bukan apa-apa, cuma putramu sudah mulai curiga
karena banyak orang membicarakan masalah 'anak haram' di
belakangnya. Selain itu dia pun merasa bimbang kenapa sikap orang
tuanya terhadap mereka berdua sangat berbeda."
"Lalu apa kata Cicinya?"
"Tentu saja Lan Sui-leng menganggap berita itu hanya isapan
jempol dan membujuknya agar jangan percaya dengan isu itu."
"Tapi menurut pengamatan muridku, agaknya dia pun mulai
setengah percaya setengah tidak terhadap perkataan Cicinya itu."
Put-ji- terbungkam dalam seribu bahasa, pikirnya, Aah, berarti
semua ini hasil kecerobohanku. Di kemudian hari aku harus
berpesan kepada Lan Kau-san agar memperlakukan sama kedua
anak itu, jangan sampai mereka kelewat memanjakan dirinya.'
Terdengar Bu-liang Totiang berkata lebih lanjut sambil
tersenyum, "Put-ji, kau tidak perlu kelewat kuatir, tidak nanti Lan
Kau-san suami istri akan membongkar rahasia asal-usul mengenai
Giok-keng. Asal aku pun tidak menyiarkan berarti selama hidup dia
tidak bakal tahu soal rahasia ini!"
Put-ji menghembuskan napas lega, namun perasaannya tetap
kalut dan tidak tenang, pikirnya, 'Entah apa maksud dan tujuannya
memberitahu soal ini kepadaku"'
Belum habis ingatan itu melintas, terdengar Bu-liang Totiang
berkata lagi sambil tertawa terbahak, "Giok-keng telah mengajarkan
ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat yang dia pelajari darimu kepada
Cicinya, hehehe.... perbuatanmu sungguh membuat aku merasa
kagum!" Sepintas pembicaraan itu seolah saling tidak berhubungan, hal ini
membuat Put-ji kebingungan setengah mati, katanya cepat, "Kalau
Keng-ji benar-benar berani mewariskan ilmu itu tanpa
sepengetahuanku, baiklah, sekembalinya nanti akan kuberi
peringatan kepadanya."
"Tidak, tidak, maksudku bukan dia yang mengajarkan ilmu
pedang itu kepada Cicinya secara diam-diam. Maksudku, masalah
kau mengajarkan ilmu pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya."
"Maksud Susiok, tidak seharusnya kelewat awal kuwariskan ilmu
pedang tingkat tinggi itu kepadanya?"
"Tidak, tidak, Giok-keng sangat cerdas, lagi pula sangat disayang
Ciangbunjin, tidak bakal ada yang berani menegurmu sekalipun kau
kelewat awal mengajar kan Thay-kek-kiam-hoat kepadanya.
Hehehe, atas tindakanmu itu, untuk merasa kagum pun aku merasa
tidak sempat, mana berani mengatakan kalau tidak seharusnya
berbuat begitu." "Perkataan Susiok kelewat serius, mengajarkan ilmu pedang
kepada murid adalah kewajiban seorang guru, mana berani
menerima rasa kagum dari Susiok?"
"Terlalu banyak kembangan dalam jurus pedang yang kau
ajarkan kepada Giok-keng, mungkin orang lain tidak memahami
maksudmu, tapi aku tahu dengan jelas sekali. Kenapa aku tidak
boleh mengatakan merasa sangat kagum?"
Dia sengaja menandaskan katanya sewaktu menyinggung soal
'kembangan'. Rupanya Put-ji mempunyai tujuan pribadi, dia kuatir Lan Giokkeng
bakal bertindak tidak menguntungkan terhadapnya di saat dia
tahu rahasia asal-usul dirinya, maka sewaktu mengajarkan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat kepadanya, sengaja dia merubah
banyak kunci penting dan perubahan aneh dengan kembangankembangan
yang tidak berguna. Sekilas pandang mungkin jurus pedang itu nampak gagah dan
indah, padahal sama sekali tidak berguna sewaktu digunakan.
Tidak terlukiskan rasa kaget Put-ji begitu rahasianya terbongkar,
pikirnya, 'Jangan-jangan dia ingin menggunakan kesempatan ini
untuk mengompas aku" Tapi dia adalah ketua para Tianglo, jika dia
sampai mengancamku, aku bakal kehabisan daya. Mending kuajak
dia bicara blak-blakan.' Berpikir sampai di situ segera ujarnya, "Semenjak Tecu datang ke
gunung Bu-tong, Susiok selalu menyayangi dan memperhatikan
diriku, budi kebaikan ini entah dengan cara bagaimana mesti Tecu
balas. Jika perbuatan Tecu ada yang dianggap tidak benar, harap
Susiok segera menegur secara langsung."
"Kau salah paham," lagi-lagi sahut Bu-liang Totiang sambil
senyum tidak senyum, "justru apa yang telah kau lakukan sangat
sesuai dengan kehendakku, siapa bilang salah. Hehehe, betul,
dahulu aku memang pernah sedikit membantumu, tapi di kemudian
hari justru akulah yang akan mengandalkan dirimu. Jadi kau tidak
usah kelewat sungkan, aku tidak mampu menerimanya."
"Susiok, perkataanmu malah membuat aku serba salah," kata
Put-ji gugup, "bila ada perintah, silakan disampaikan."
"Hahaha, mana aku berani memberi perintah kepadamu,
hehehe.... aah betul, aku belum menyampaikan ucapan selamat
kepadamu!" Put-ji terkesiap. "Baru saja Put-coat Suheng menemui ajalnya, peristiwa ini sangat
menyakitkan hati Tecu. Darimana datangnya kegembiraan?"
Bu-liang Totiang menatapnya sekejap, kemudian katanya lagi,
"Aku pun merasa kasihan bercampur sayang atas kematian yang
tragis diri Put-coat. Tapi yang mati pun sudah mati, bagimu justru
masih ada tanggung jawab berat yang berada di pundakmu, jadi
kau tidak usah kelewat bersedih. Bila masa berkabung sudah lewat,
seharusnya kita mempersiapkan peristiwa yang menggembirakan.
Sebetulnya peristiwa gembira ini selain menjadi peristiwa gembira
perguruan, terlebih untuk kau pribadi. Masa kau masih belum
paham?" Sebenarnya Put-ji sudah dapat menebak apa yang dimaksud, tapi
ia tetap berlagak tidak mengerti.
"Maafkan kebodohan Tecu, aku benar-benar tidak habis mengerti
darimana datangnya peristiwa gembira itu."
"Kau benar-benar tidak mengerti atau pura-pura bodoh" Setelah
kematian Put-coat, berarti kaulah yang akan menjadi putra mahkota
pengganti kedudukan Ciangbunjin. Kini Ciangbun Suheng Bu-siang
Suheng telah berusia lanjut, kematian Put-coat secara tragis pasti
akan memaksanya tidak berniat lagi meneruskan jabatan
Ciangbunjinnya. Itu berarti dalam waktu dekat posisi ketua akan
diwariskan kepadamu. Masa kejadian semacam ini bukan peristiwa
yang patut digembirakan?"
"Aah, kemampuan Tecu sangat terbatas, pengetahuanku pun
cetek, biarpun Suhu ingin mewariskan posisi itu kepadaku, belum
tentu Tecu berani menerimanya."
Bu-liang Totiang segera menunjukkan sikap kurang senang,
tegurnya, "Put-ji, aku tidak pernah menganggap orang luar
kepadamu, masa kau masih berlagak sungkan kepadaku!"
"Tapi Tecu benar-benar tidak mampu menduduki jabatan
Ciangbunjin, tidak berani bahkan tidak pantas, aku bicara
sejujurnya!" "Pintar amat kau bermain sandiwara!" pikir Bu-liang Totiang
dalam hati, tapi kalau diperhatikan wajahnya yang begitu serius,
nampaknya dia pun bukan sedang bersandiwara.
Bu-liang Totiang memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba
berkata, "Aku tahu, rasa sedih dan terharu atas kepergian
Suhengmu timbul dari lubuk hatimu yang tulus. Tapi toh kau telah
berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwanya, kalau pada
akhirnya jiwanya tidak terselamatkan, hal ini bukan salahmu."
Perkataan itu kedengarannya halus, padahal mengandung
sindiran yang sangat tajam, membuat Put-ji sangat terkesiap. Tanpa
sadar teriaknya, "Susiok pun telah berusaha dengan sepenuh
tenaga." "Betul, tapi sayang waktu aku berusaha menolong dengan
sepenuh tenaga, keadaan sudah terlambat. Ehm, sejujurnya aku
sendiri pun tidak menyangka kalau begitu cepat dia mati."
"Suheng dihajar orang dengan ilmu pukulan Thay-kek-sinkang
hingga terluka nadinya, ditambah pula dia terkena racun jahat
jarum Lebah hijau, sebelum tiba di gunung, dia sudah mesti
bertahan beberapa hari lamanya."
"Betul, urat nadinya terluka parah karena terhajar Thay-keksinkang
yang menghantam tubuhnya secara terbalik. Sudah
terhitung hebat dia masih bisa bertahan sampai di gunung meski
harus berjuang selama beberapa hari diantar Bouw It-yu. Cuma
kalau cara pertolongan dilakukan secara benar dan tepat, mungkin
saja dia tidak mati secepat itu!"
Berubah paras muka Put-ji.
"Jadi maksud Susiok.... kau curiga...."
"Hahaha, kau tidak usah banyak curiga," tukas Bu-liang Totiang
sambil tertawa tergelak, "orang yang menyalurkan tenaga murni ke
dalam tubuh Put-coat untuk memunahkan luka racunnya hanya
Ciangbun Suheng, kau dan aku tiga orang. Masa aku mencurigai
Ciangbun Suheng dan dirimu?"
Dia sengaja tidak menyinggung dirinya, juga tidak menambahkan
ucapan "kau tidak akan mencurigai diriku bukan?", tentu saja hal ini
dimaksudkan bahwa dia sangat terbuka dan tidak berniat untuk
melakukan perbuatan seperti itu.
Tapi bagi Put-ji bukan berarti dia tidak boleh curiga, malahan hal
ini justru merupakan kecurigaannya yang paling utama.
Ternyata setelah Put-coat dilukai urat nadinya oleh pukulan
tenaga sakti Thay-kek-sinkang yang disalurkan secara terbalik,
maka orang yang mengobati lukanya selain harus memiliki tenaga
Thay-kek-sinkang yang sempurna, dia pun harus mengerti cara
penyembuhan. Untuk menyembuhkan luka semacam ini, orang harus
menggunakan teknik 'menggiring' dan tidak boleh menggunakan
teknik 'membuyarkan' atau 'menyumbat', dengan demikian hawa
racun yang menggumpal baru bisa diurai dan didesak keluar dari
tubuh. Oleh karena itulah saat Put-ji hendak mengobati Suhengnya tadi,
gurunya, Bu-siang Cinjin sempat memperingatkan hal ini.
Tapi sewaktu Put-ji mulai menyalurkan tenaga murninya, dia
segera menjumpai ada sesuatu yang ganjil dan tidak beres, muncul
tenaga penghalang yang sangat besar dan jauh di luar dugaannya.
Tentu saja dia tidak akan mencurigai gurunya, tapi mungkinkah
sebelum gurunya turun tangan, sudah ada orang lain yang mencoba
mengobatinya dengan cara yang tidak lazim"
Dia pun tidak akan mencurigai Bouw It-yu, pertama karena Bouw
It-yu masih muda, sekalipun dia ingin mencelakai Put-coat pun
belum tentu memiliki Thay-kek-sinkang sehebat itu. Kedua, jika dia
berniat mencelakai Put-coat, buat apa harus menggunakan cara
seperti ini" Kenapa tidak tinggalkan dia saja di tempat yang jauh
dan tidak perlu diantar balik ke gunung Bu-tong.
Bu-liang Totiang menjumpai Put-coat jauh sebelum gurunya
bertemu dia, tapi dia tidak yakin apakah Bu-liang Totiang pernah
menyentuh tubuh Put-coat, oleh karena itu dia tidak berani
memastikan Bu-liang Totiang yang diam-diam melakukan perbuatan
keji itu. Setelah termenung sejenak dia mendongakkan kepala,
mengawasi Bu-liang Totiang, lalu katanya, "Kematian Put-coat
Suheng sedikit mencurigakan, Tecu ingin melacak dan menyelidiki
sebab kematiannya." "Masa kau masih belum bisa menenangkan hatimu?" kata Buliang
Totiang hambar, paras mukanya sama sekali tidak berubah,
"Padahal sekalipun kau bisa menyelamatkan nyawa Put-coat pun dia
tidak lebih hanya bisa bertahan sesaat. Seorang manusia cacad
yang untuk makan pun perlu disuapi orang lain hanya akan menjadi
beban orang banyak, bagi perguruan maupun bagi dia sendiri sama
sekali tiada manfaatnya!"
Put-ji dapat menangkap duri tajam di balik perkata annya itu,
tanpa terasa berubah hebat paras mukanya.
"Bila peristiwa ini tidak bisa terlacak hingga jelas, mungkin di
kemudian hari Tecu bakal menerima tuduhan yang tidak benar!"
akhirnya Put-ji memberanikan diri untuk mengucapkan perkataan
yang sejak tadi ingin disampaikan.
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia tahu dengan jelas, kemungkinan besar perkataan itu akan
menimbulkan ketidak puasan Bu-liang Totiang terhadapnya, namun
dia tidak ambil peduli, dia tidak ingin berpikir terlalu jauh.
"Buat apa kau mesti repot-repot berbuat begitu," dengan senyum
tidak senyum kembali Bu-liang Totiang berkata, "Baik Ciangbunjin
maupun aku sama sekali tidak ada yang curiga kepadamu, siapa lagi
yang berani menaruh curiga" Lebih baik jadilah Ciangbunjin dengan
tenang dan alim, jika ada yang tidak mau takluk, aku akan menjadi
tulang punggungmu!" "Terima kasih Susiok, hanya saja...."
"Tidak usah banyak bicara lagi, turuti perkataanku, kujamin kau
tidak bakal salah." Ketika bicara sampai di situ, tiba-tiba ia mendesis lirih, "Sstt, ada
orang datang, sepertinya Bouw It-yu. Mungkin dia akan mencarimu
untuk berbicara, biar aku pergi lebih dulu."
Belum lagi Bu-liang Totiang berjalan keluar meninggalkan hutan
pohon siong, dari tikungan bukit terlihat ada seseorang berjalan
mendekat, benar saja, tampak Bouw It-yu muncul menghampirinya.
Sekali lagi suara pembicaraan yang berlangsung dalam ruang
tidur gurunya mendengung di sisi telinganya.
Lalu dia seakan mendengar suara karung goni yang berat
diletakkan di atas meja. "Baiklah, keluarkan sepotong demi sepotong, letakkan di atas
meja, biar kuperiksa dengan seksama!" suara gurunya kembali
mendengung. Sepotong demi sepotong" Kalau bukan tulang lalu benda apa
lagi" Tidak tahan dia tertawa getir, pikirnya, "Jangan-jangan tuduhan
pembunuhan atas Put-coat Suheng akan terjatuh ke pundakku"
Kalau dilihat dari situasinya bisa jadi dosa itu akan ditimpakan ke
diriku. Bisa jadi Bouw It-yu sedang menjalankan perintah Suhu
untuk mengajakku kembali ke ruangan dan mengadiliku!
Apalagi kalau Suhu sampai mengetahui hubunganku dengan
Siang Ngo-nio, hehehe.... jangankan jadi pewaris Ciangbunjin,
untung kalau tidak diusir keluar dari perguruan! Hmm, perkataan
Bu-liang Susiok memang betul, kini posisiku sangat rawan dan
berbahaya, mana ada peluang bagiku untuk menyelidiki sebab
kematian Put-coat Suheng" Siapa tahu hasil pelacakanku justru
semakin tidak menguntungkan posisiku!"
Dalam waktu singkat berbagai ingatan berkecamuk dalam
benaknya, mula-mula dia ingin berlagak seolah tidak melihat Bouw
It-yu, berusaha menghindar secepatnya dan kabur turun gunung.
Tapi dia pun cukup sadar, mustahil baginya untuk bisa
meloloskan diri, lagi pula dengan mengambil langkah seribu,
bukankah seluruh usahanya selama ini bakal sia-sia"
Sementara dia masih ragu, Bouw It-yu telah menghampiri sambil
menyapa. "Put-ji Suheng, sungguh kebetulan aku memang sedang
mencarimu," ternyata itulah perkataan pertama yang diucapkan.
Diam-diam Put-ji tercekat, namun perasaan itu tidak sampai
diutarakan, buru-buru tanyanya, "Ada urusan apa Bouw-sute
mencari aku?" "Suheng tidak perlu sungkan-sungkan, aku rasa ada satu
masalah yang seharusnya kulaporkan kepada-mu."
"Kau bilang aku sungkan padahal kau sendiri sungkan juga
kepadaku, bagaimanapun kita sesama saudara seperguruan, kalau
ada masalah katakan saja terus terang."
"Tadi Ciangbunjin menahanku seorang diri, mula-mula aku
merasa heran, ternyata masalahnya adalah...."
"Aku hanya tahu mentaati perintah Ciangbunjin, persoalan yang
tidak seharusnya kuketahui lebih baik tidak usah kudengar."
"Suheng, kau banyak curiga. Kini kau adalah satu-satunya murid
Ciangbunjin, persoalan apa lagi yang tidak boleh kau ketahui" Cuma
tadi masih ada orang lain di situ, kalau Ciangbunjin minta kalian
mundur, tentu saja beliau tidak enak mengecualikan dirimu."
Ada empat orang yang berada dalam ruangan Bu-siang Cinjin
waktu itu, selain Put-ji dan Bouw It-yu, di situ masih ada Bu-siang
Cinjin dan Bu-si Tojin dua orang Tianglo.
Terkejut bercampur girang segera Put-ji bertanya, "Ciangbunjin
yang suruh kau menyampaikan hal ini kepadaku?"
"Suheng, dengan hubunganmu yang begitu khusus dengan
Ciangbunjin, apakah Ciangbunjin perlu mengucapkan kata-kata
semacam itu?" "Jadi kalau begitu ucapan itu muncul atas inisiatifmu sendiri?"
tanya Put-ji tertegun. Tampaknya Bouw It-yu turut melengak.
"Ucapan Suheng kelewat serius, masa kau masih belum tahu
status dirimu sendiri?"
"Ooh, apa statusku?"
"Suheng, kau adalah calon Ciangbunjin perguruan kita, sudah
seharusnya kulaporkan semua masalah kepadamu, masa hanya soal
inipun aku mesti tunggu perintah Ciangbunjin" Lagipula Ciangbunjin
sudah kelewat lelah, aku harus memintanya untuk lebih cepat
beristirahat." Put-ji tidak dapat memastikan apakah perkataan Bouw It-yu itu
sejujurnya atau justru merupakan kebalikannya, dia pun berpikir,
'Bagus, biar kudengar dulu persoalan apa yang hendak dia
sampaikan, kalau masalahnya memang karena aku bakal jadi
Ciangbunjin lantas dia berusaha membaikiku, ya sudahlah. Tetapi
kalau tidak, hm, sekalipun aku tidak mampu lolos dari Bu-tong-san,
memangnya kemampuanku tidak dapat menaklukkan bocah keparat
ini?" Karena itu dia pun membungkam pertanda mengijinkan rekannya
untuk berbicara. Terdengar Bouw It-yu berkata lebih jauh, "Persoalan ini harus
kumulai dari Put-coat Suheng, karena dialah yang minta tolong aku
untuk melakukannya. Tempo hari Put-coat Suheng mendapat
perintah dari Ciangbunjin untuk berangkat ke gunung Boan-liongsan
dan mengangkut balik tulang belulang Bu-kek Tianglo agar bisa
dikebumikan di gunung Bu-tong, tentang masalah ini tentunya
Suheng sudah tahu bukan?"
Put-ji tidak menyangkal, serunya, "Lantas kenapa?"
"Karena Put-coat Suheng terluka parah, terpaksa tugas ini dia
serahkan kepadaku untuk melaksanakannya. Tapi.... ternyata
kejadian berikut sama sekali di luar dugaanku...."
"Oh, peristiwa apa yang membuat kau merasa di luar dugaan?"
"Semula kusangka hanya Bu-kek Tianglo seorang yang terkubur
di situ, siapa tahu ternyata terdapat tiga buah kerangka. Yang satu
adalah kerangka Keng King-si, masih ada satu lagi konon adalah
kerangka dari pelayan tua Ji-ouw Tayhiap Ho Ki-bu yang
bernama.... bernama...."
"Orang tua itu bernama Ho Liang," sambil berusaha
mengendalikan debar jantungnya sahut Put-ji, "enam belas tahun
berselang dia bersama Bu-kek Tianglo, Keng King-si dan Ho Giokyan
tewas di tempat itu. Berhubung waktu yang kumiliki saat itu
sangat terbatas, hanya dua liang yang bisa kugali untuk mengubur
jenazah mereka semua."
"Oh, rupanya begitu, mestinya tidak ada yang perlu diherankan.
Hanya saja...." "Hanya saja apa?"
"Ketika kuserahkan tulang beluang yang berada dalam karung
goni itu kepada Ciangbunjin, ketiga sosok kerangka itu sudah
berbaur menjadi satu, tapi Ciangbunjin masih sempat-sempatnya
mengeluarkan tulang itu sepotong demi sepotong untuk diperiksa
dengan seksama, coba bayangkan apa tidak aneh perbuatannya
itu?" "Nah ini dia, akhirnya sampai juga pada pokok masalahnya!"
batin Put-ji, tapi di luar ujarnya, "Sebetulnya tidak ada yang perlu
diherankan, semasa masih hidup dulu, Bu-kek Tianglo adalah jago
nomor dua perguruan kita selain Ciangbunjin, kenyata-an dia tewas
secara misterius dan membingungkan, bisa jadi Suhu ingin
menyelidiki sebab kematiannya dari tulang belulang tubuhnya. Tidak
banyak jago di kolong langit yang mempunyai kemampuan untuk
membunuh Bu-kek Tianglo, bila dapat dilacak sebab kematiannya
dari bentuk tulang, bisa jadi hasil penyelidikannya itu akan sangat
membantu dalam melacak jejak sang pembunuh."
Dia sengaja tidak menyinggung Keng King-si serta Ho Liang,
karena dia ingin tahu bagaimana reaksi Bouw It-yu.
"Ucapan Suheng tepat sekali, selain meneliti dengan seksama,
Ciangbunjin juga telah menaburi jarum peraknya dengan bubuk
yang terbuat dari cula badak untuk memeriksa kadar racun yang
tertinggal di tulang belulang itu. Tulang orang tua katanya beda
dengan tulang orang muda, tulang orang yang pernah belajar ilmu
silat tingkat tinggi pun berbeda dengan tulang orang yang belum
pernah belajar silat. Tentu saja aku tidak mengerti, tapi Ciangbunjin
mampu membedakannya secara pas dan tepat."
"Apakah Ciangbunjin berhasil menemukan sesuatu?"
"Ya, beliau berhasil menemukan sesuatu, katanya Keng King-si
tewas ditusuk orang dengan pedang, karena pada tulang
belulangnya terdapat bekas tusukan pedang, sedang Bu-kek Tianglo
tewas karena isi perutnya tergoncang oleh pukulan Thay-keksinkang
yang membuat tulang belulangnya agak kendor dan empuk.
Sementara orang tua itu...."
"Bagaimana dengan orang tua itu?" tanya Put-ji cepat, dalam hati
diam-diam dia mengambil keputusan, jika kematian Ho Liang telah
diketahui akibat keracunan oleh jarum lebah hijau, maka secepat
kilat dia akan menotok jalan darah pingsan Bouw It-yu, kemudian
melarikan diri ke bawah gunung, dia tidak ingin kasusnya ketahuan
gurunya. Perlahan-lahan Bouw It-yu menjawab, "Tidak ditemukan sesuatu
gejala di tulang belulang Ho Liang, selesai melakukan pemeriksaan
Ciangbunjin menyimpulkan kalau dia mati karena emosi yang tidak
terkendali, bisa jadi secara tiba-tiba dia kena serangan jantung
sehingga mati mendadak!"
Diam-diam Put-ji menghembuskan napas lega, dia merasa
seolah-olah batu besar yang menindih di atas dadanya sudah
tersingkirkan. Namun perasaan heran tetap mencekam hatinya, rasa
keheranan yang luar biasa.
Mungkin orang lain tidak tahu, tapi dia mengetahui dengan jelas
sekali, dia tidak percaya kalau sambitan jarum lebah hijau dari Siang
Ngo-nio waktu itu tidak berhasil mengenai tubuh Ho Liang.
"Kelihatannya Suheng menaruh perhatian luar biasa terhadap
pelayan tua mendiang gurumu itu?" tiba-tiba Bouw It-yu berkata.
Tercekat hati Put-ji. "Jangan sampai dia mengetahui rahasia hatiku," pikirnya cepat,
segera katanya, "Orang tua itu sangat akrab denganku, dialah yang
merawat aku hingga dewasa, sikapku terhadapnya sama seperti
sikapku terhadap Suhu, telah kuanggap sebagai angkatan tuaku
sendiri." "Ooh, rupanya begitu. Ehm, omong-omong aku malah merasa
tidak enak sendiri."
"Kenapa?" Put-ji tak habis mengerti.
"Karena aku telah melakukan sesuatu perbuatan yang merugikan
orang tua itu." "Ah, Sute sedang bergurau. Semasa masih hidup dulu kau tidak
pernah bersua dengannya, darimana bisa melakukan perbuatan
yang merugikan dia"'
"Bukan semasa dia masih hidup, tapi setelah mati."
"Apa maksudmu?"
"Ketika memasukkan tulang belulang ketiga orang itu ke dalam
karung, lantaran karungnya agak kecil dan lagi aku tidak ingin
tersiksa waktu membawanya pulang, maka aku lebih
mengutamakan tulang belulang Bu-kek Tianglo, kemudian baru
tulang Keng King-si, itulah sebabnya hanya tulang kedua orang ini
yang kubawa lengkap, sedangkan tulang milik orang tua itu...."
"Kau tidak membawa pulang tulang belulangnya?" seru Put-ji
bermandikan keringat dingin.
"Ya, kecuali tulang tengkorak kepalanya, tulang yang lain telah
kubawa serta, maklum karungnya kecil dan sudah tidak muat."
Tentu saja Put-ji tidak percaya dengan penjelasan itu, namun
untuk sesaat dia pun tidak tahu bagaimana harus menanggapi
perkataan itu. Kembali Bouw It-yu berkata, "Tidak heran kalau Suheng jadi
marah, memang tidak seharusnya aku kelewat egois sehingga
melakukan perbuatan semacam ini."
"Aku tidak menyalahkan dirimu, sudah kenyataan seorang
pelayan tua memang tidak bisa menandingi nilai seorang Tianglo
sebuah perguruan besar."
"Tapi dia orang tua sedikit berbeda dengan kebanyakan orang.
Dia adalah kerabat Suheng dan sudah dianggap orang tua sendiri.
Cuma.... tentang kerangka kepalanya...."
Biarpun Put-ji berusaha menenangkan diri, tidak urung ia
bertanya juga, "Ada apa?"
"Waktu itu ketiga sosok kerangka manusia itu telah kukeluarkan,
liang kubur pun telah kutimbun kembali. Padahal tengkorak
kepalanya tidak sempat kubawa, jadi terpaksa...."
"Kau buang?" "Untung tidak sampai kubuang, kalau tidak, aku bakal semakin
bersalah kepada dia orang tua dan dirimu. Aku telah membuat liang
kecil di sekitar sana untuk mengubur tengkorak kepala itu, jika kau
ingin menemukannya kembali, mungkin kita masih dapat
mengambilnya. Suheng, perlukah kita segera berangkat ke sana
untuk membawanya kembali?"
"Kita bicarakan lain waktu saja, toh kerangka tubuhnya sudah
tidak utuh, mau dikubur kemana pun tengkorak kepalanya, aku rasa
sama saja." "Betul," Bouw It-yu manggut-manggut, "kini Suheng adalah bakal
Ciangbunjin, masih banyak urusan penting lain yang harus Suheng
selesaikan, bagaimana mungkin ada waktu untuk menguras masalah
yang tidak penting. Justru aku yang agak bodoh, masa tidak bisa
memilah mana urusan penting dan mana yang tidak."
Bouw It-yu menyebut dirinya 'bodoh', padahal Put-ji sedikit pun
tidak merasa bodoh apalagi pikun.
Orang yang mati keracunan biasanya seluruh tulang belulangnya
akan berubah jadi hitam. Sekalipun sudah mati banyak tahun pun
gejala itu masih dapat dijumpai bila kita periksa tulang belulangnya.
Hal semacam ini merupakan pengetahuan umum dan diketahui
kebanyakan orang. Tapi ada satu pengecualian. Tewas karena jarum lebah hijau
menembusi otaknya merupakan satu pengecualian.
Jarum lebah hijau mengandung racun yang amat ganas, begitu
mengenai otak seseorang, maka semua saraf yang ada dalam otak
akan lumpuh, sirkulasi darah pun akan ikut berhenti juga.
Oleh karena itu kandungan racunnya hanya tertinggal di dalam
otak dan tidak mungkin menyebar ke bagian tubuh lainnya. Itu
berarti tanda keracunan hanya akan dijumpai di tengkorak bagian
kepala saja, sementara tulang belulang bagian lainnya tidak jauh
berbeda dengan tulang belulang manusia kebanyakan.
Put-ji tahu kalau Ho Liang tewas karena dibokong oleh Siang
Ngo-nio, tapi dia tidak tahu secara pasti jarum lebah hijau itu sudah
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghajar bagian tubuh yang mana pada diri Ho Liang.
"Jangan-jangan Bouw It-yu berhasil mengenali gejala keracunan
itu dari tengkorak kepalanya hingga sengaja tidak menyerahkan
kepada Ciangbunjin?" demikian dia berpikir, 'keluarga Bouw mereka
tersohor karena kehebatan ilmu silatnya, pergaulan mereka pun
sangat luas. Meskipun hubunganku dengan Siang Ngo-nio
berlangsung secara rahasia, lagi pula hanya dalam jangka waktu
singkat, namun asal mereka mau melakukan pelacakan atas
rahasiaku, rasanya tidak gampang untuk mengelabui mereka."
Diam-diam dia mencoba untuk mengawasi mimik wajah Bouw Ityu,
namun sikap pemuda itu selalu tunduk dan hormat, sama sekali
tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan dari wajahnya.
"Mengapa dia harus melakukan tindakan ini" Jangan-jangan
sama seperti Bu-liang Tianglo, ingin menggunakan kejadian itu
untuk mengompasku setelah aku berhasil menjabat posisi
Ciangbunjin?" kembali Put-ji berpikir.
Semakin dibayangkan dia semakin curiga dan bimbang, hatinya
amat masgul dan kesal. "Atau mungkin semua itu hanya dugaanku dan kecurigaanku
belaka" Pepatah mengatakan, serangan air bah dibendung dengan
tanah, serangan panglima dihadang dengan tentara, sampai
sekarang aku masih belum jelas maksud tujuannya, lebih baik aku
baru bertindak bila dia sudah melakukan suatu gerakan."
Setelah mengambil keputusan, dia pun balik bertanya kepada
Bouw It-yu, "Bouw-sute, beruntung kali ini ada kau yang mengantar
Put-coat Suheng pulang gunung, sayang aku terlambat mendapat
berita ini hingga tidak bisa ikut menyambutmu di bawah bukit,
bahkan tidak sempat pula berbicara untuk terakhir kalinya dengan
Suheng. Apakah dia sempat menitipkan pesan untukku?"
"Sewaktu berada di bukit Boan-liong-san, luka yang dideritanya
sudah sangat parah, waktu itu dia hanya mampu menyerahkan
tugas kepadaku kemudian tidak sadarkan diri. Dia sudah pingsan
selama tujuh hari tujuh malam sebelum tiba di gunung Bu-tong.
Suheng bara bisa tersadar kembali sesudah memperoleh
pertolongan Ciangbunjin."
Put-ji sengaja menghela napas panjang.
"Aai, rupanya dia sudah jatuh pingsan selama tujuh hari tujuh
malam, sayang lukanya tidak sempat terobati, coba dia bisa tiba
satu-dua hari lebih awal, mungkin keadaannya bisa berbeda."
"Aai, sebenarnya aku pun tahu kalau lukanya harus segera
diobati, sayang kemampuan tenaga dalam-ku cetek sehingga
walaupun ada niat namun tidak berdaya karena tidak punya
kekuatan. Untuk keter-lambatan ini harap Suheng mau
memaafkan." Di balik nada suaranya, jelas kedengaran kalau dia mulai tidak
senang. Buru-buru Put-ji berkata lagi, "Bouw-sute, kau tidak perlu
menyesal dan kau pun tidak usah berpikir yang bukan-bukan. Aku
tahu kau telah berusaha semaksimal mungkin, untuk itu aku merasa
berterima kasih sekali. Aku pun tahu dalam perguruan kita
sekarang, hanya Ciangbunjin dan Bu-liang Tianglo berdua yang
memiliki kekuatan tenaga dalam sehebat itu."
"Baguslah bila Suheng pun memahami akan hal ini. Dan itu pula
alasannya mengapa aku tidak berusaha mengobati lukanya
sepanjang jalan. Tenaga dalamku cetek, ilmu silat perguruan pun
baru mengerti sedikit, padahal luka dalam yang diderita Put-coat
Suheng hanya bisa diobati oleh jago perguruan kita yang memiliki
tenaga dalam sempurna. Cuma.... Suheng, tadi kau mengatakan
kalau dalam perguruan kita hanya ada dua orang yang memiliki
tenaga dalam sehebat itu, apakah ucapan itu tidak kelewat
merendahkan diri sendiri?"
Sementara dia berusaha membela diri dengan mengemukakan
berbagai alasan, ternyata pemuda ini tidak lupa menyanjung bakal
Ciangbunjin' ini dengan beberapa patah kata manis.
"Aah, mana berani aku dibandingkan dengan kehebatan
Ciangbun Suhu serta ketua Tianglo, kalau mau dipaksakan pun
kemampuanku paling hanya setengah mereka. Ooh benar, bicara
tentang Ciangbun Suhu dan Tianglo, aku ingin tanya, sewaktu naik
gunung tadi, apakah kau bertemu Bu-liang Tianglo terlebih dulu?"
Rupanya setelah bicara berputar-putar, akhirnya dia kemukakan
juga pertanyaan yang selama ini mengganjal dalam hatinya.
"Benar," Bouw It-yu mengangguk, "ah, waktu itu aku hanya
berpikir ingin cepat bertemu Ciangbun Suhu hingga sesaat lupa
untuk minta tolong kepada Bu-liang Tianglo agar melakukan
pertolongan pertama. Hanya saja.... aku rasa kalau selisih waktu
pun paling cuma setengah batang hio, jadi tidak semestinya...."
"Bouw-sute tidak perlu menyesali diri sendiri, betul, kalau selisih
waktu paling hanya setengah batang hio. Apakah waktu itu Bu-liang
Tianglo sempat memeriksa denyut nadi Put-coat Suheng?"
"Tidak, sama sekali tidak," tampaknya Bouw It-yu merasa
keheranan atas pertanyaan ini.
"Ooh, setahuku Bu-liang Tianglo sangat menguasai ilmu
pertabiban, karena itulah aku mengajukan pertanyaan itu."
"Bu-liang Tianglo hanya mengajukan beberapa pertanyaan secara
tergesa-gesa, kemudian minta aku secepatnya bertemu
Ciangbunjin." "Ooh, rupanya kalian bersama-sama menghadap Ciangbunjin?"
"Tidak, dia menyusul kemudian bersama Bu-si Tianglo."
Kuatir adik seperguruannya curiga, Put-ji tidak bertanya lebih
jauh, katanya kemudian, "Bouw-sute, kau pasti sudah menempuh
perjalanan siang malam, lebih baik cepatlah pergi beristirahat."
"Suheng, kau pun harus baik-baik menjaga diri, jangan kelewat
bersedih, masih banyak urusan penting perguruan yang berada di
atas bahumu." Setelah kedua orang itu berpisah, Put-ji berjalan seorang diri
sambil berpikir, 'Bila kejadiannya seperti apa yang dia katakan,
berarti Bu-liang Tianglo sama sekali tidak menyentuh sang
penderita, lalu siapa yang telah mencelakai Put-coat?"
Simpul mati ini membuat dia pusing, bingung dan tidak habis
mengerti, akhirnya sambil tertawa getir pikirnya pula, "Pepatah kuno
mengatakan lebih baik menyapu pekarangan sendiri dan tidak usah
mencampuri salju di atap tetangga. Asal Suhu tidak menaruh curiga
kepadaku, kenapa aku mesti repot-repot pergi menyelidki siapa
yang telah mencelakai Put-coat Suheng" Hanya saja tengkorak
kepala itu masih tetap merupakan bibit bencana bagiku di kemudian
hari, badai dan ombak dahsyat pun telah berhasil kulewati, tidak
lucu kalau sampai aku harus menderita kapal karam di sungai kecil.
Bouw It-yu tampaknya merupakan seorang lawan yang sangat lihai,
aku harus hati-hati menghadapinya."
Sebagaimana diketahui, sepanjang hidup dia telah melakukan
dua kesalahan besar, pertama, karena 'salah membunuh' adik
seperguruannya, Keng King-si. Kedua, karena dia pernah
mempunyai hubungan istimewa dengan Siang Ngo-nio yang
terkenal dalam dunia persilatan sebagai perempuan siluman berhati
busuk. Benarkah Keng King-si bersekongkol dengan bangsa Boan untuk
mengkhianati perguruan" Hingga kini masalah itu masih diliputi
tanda tanya, oleh karena itu apakah dia telah 'salah' membunuh
atau tidak, sampai sekarang pun belum ada kepastian.
Tapi andaikata dia benar-benar telah salah membunuh pun
menurut situasi yang dihadapinya saat itu, dia masih punya alasan
yang kuat untuk membela diri, semisal situasi terdesak pun paling
dia hanya akan mengaku sebagai 'salah' membunuh.
Kesalahan semacam ini menurut dugaannya tidak bakal
mempengaruhi prosesinya menjadi pengganti Ciangbunjin,
sebaliknya bila orang lain sampai tahu dia punya hubungan khusus
dengan Siang Ngo-nio, apalagi kalau sampai diketahui juga bahwa
jauh sebelum kejdian dia sudah tahu kalau Ho Liang mati karena
terhajar jarum beracun yang dilepas Siang Ngo-nio tapi selama ini
dirinya berusaha merahasiakannya, tidak usah diprotes orang pun
dia merasa tidak punya muka lagi untuk menancapkan kaki di
gunung Bu-tong. Di saat dia masih murung dengan pikiran yang sangat kalut itulah
tiba-tiba Bu-liang Totiang sekali lagi muncul di hadapannya.
"Begitu lama kau berbincang dengan Bouw It-yu, bisa diduga ada
berita baik yang telah dia sampaikan kepada-mu bukan?"
"Darimana Susiok bisa menduga dia datang membawa berita
gembira?" balas Put-ji sambil berusaha mengendalikan gejolak
perasaannya, "dia tidak lebih hanya menceritakan pengalamannya
ketika mengantar Put-coat Suheng balik ke gunung."
"Bukankah itu merupakan sebuah berita gembira" Bayangkan
sendiri, kalau dia tidak menganggap kau sebagai bakal Ciangbunjin,
buat apa mesti memberi laporan kepadamu?"
"Aah, mana bisa dibilang kalau hal ini merupakan satu kejadian
besar. Terus terang, kalau bukan dibina dan didukung Tianglo,
mungkin tempat berpijak bagiku di Bu-tong-san pun tidak ada,
mana berani mengharapkan kedudukan Ciangbunjin?"
Nada bicaranya saat ini sudah jauh berbeda, maksud lain di balik
perkataan itu adalah asal Bu-liang Totiang bersedia mendukung dia
menjadi Ciangbunjin, dia pun tidak akan menampik untuk
melakukan apa pun. Bu-liang Totiang segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bukankah sudah kuutarakan sejak awal, aku pasti akan
mendukungmu, masa baru sekarang percaya" Justru karena aku
sangat memperhatikanmu maka sengaja kunanti kedatanganmu di
sini, coba kalau tidak, mungkin aku sudah pergi sejak tadi."
Tempat dimana dia mengajak Bu-liang Totiang berbicara
sekarang berada lebih kurang satu li dari tempat dimana dia
berbicara dengan Bouw It-yu tadi, dari jarak yang begitu jauh
rasanya mustahil bagi Tosu itu untuk menangkap semua
pembicaraannya kendatipun dia menempelkan telinganya di atas
permukaan tanah. Tapi bila Bu-liang Totiang yang dulunya memang tidak berada di
situ, tapi berbalik ke situ setelah mendengar suara langkah kakinya,
jelas hal ini susah untuk dikatakan.
"Aah, peduli amat dia sempat mendengar atau tidak, selama dia
berlagak bodoh, kenapa aku pun tidak berlagak bodoh. Toh dia
berniat memperalat aku, apa salahnya kalau aku pun memperalat
dia?" demikian Put-ji berpikir.
"Bagaimana keadaan gurumu?" tiba-tiba Bu-liang Totiang
bertanya. "Maksudmu?" seru Put-ji tertegun.
Biarpun dia pintar, tidak urung kali ini dibuat bingung juga oleh
pertanyaan itu. Sebagaimana diketahui, kesehatan Ciangbunjin merupakan
masalah terbesar yang paling dikuatirkan setiap anggota Bu-tongpay
saat ini, khususnya bagi Putji pribadi. Sebab dialah orang
pertama yang langsung terpengaruh oleh kejadian itu.
Itulah sebabnya Bu-liang Totiang sengaja mengajukan
pertanyaan itu, karena dengan pertanyaan itu dia dapat menyelidiki
reaksinya. Diam-diam Put-ji merasa sangat menyesal, menyesal kenapa
tidak menanyakan kesehatan Suhu dari mulut Bouw It-yu tadi.
Namun dia pun tidak berani mengakui kekhilafannya itu di depan
Bu-liang Totiang, baginya lebih baik ditegur oleh Susioknya ini
daripada semisal dia balik bertanya, "Begitu lama kau berbincang
dengan Bouw It-yu, sebenarnya urusan besar apa yang sedang
kalian bicarakan?" Pertanyaan semacam ini jelas merupakan sebuah pertanyaan
yang sulit untuk dijawab.
Terpaksa Put-ji memberi penjelasan sebisanya, katanya, "Usia
Suhu sudah mencapai delapan puluh tahunan, setelah mengalami
berbagai peristiwa dan perubahan, sudah barang tentu kesehatan
maupun kesegaran tubuhnya jauh berbeda dibanding dengan hari
biasa. Hanya saja menurut laporan It-yu, secara garis besar kondisi
tubuhnya tidak terlampau jelek, sewaktu memerintahkan It-yu
untuk menyerahkan tulang belulang Bu-kek Tianglo kepadanya, dia
masih sanggup memeriksa tulang belulang itu satu demi satu
dengan seksama." "Jadi itukah yang dibeberkan It-yu kepadamu" Tentu saja dia
merasa kurang leluasa untuk mengungkap kondisinya kelewat
parah. Padahal menurut pandanganku, hawa murni Ciangbun
Suheng telah mengalami kerusakan yang parah, malah.... malah
keadaannya begitu parah hingga susah untuk diobati lagi.
"Sutit, bukannya aku sengaja mensyukuri kejadian ini, tapi
kelihatannya saat kau menjabat sebagai Ciangbunjin sudah tidak
lama lagi. Mulai sekarang kau harus membuat persiapan, daripada
sampai waktunya kau kelabakan sendiri."
"Jika apa yang diucapkan Susiok benar, dalam keadaan kalut dan
sedih, mana mungkin Tecu bisa mengambil segala keputusan"
Harap Susiok mau mengaturkan semuanya bagiku," sahut Put-ji
dengan air mata meleleh membasahi pipinya.
"Hahaha, bagus, bagus, ternyata kau sangat memahami maksud
hatiku, kau memang pantas menjadi orang besar bagi perguruan
kita. Bagus.... bagus.... semoga kau selalu teringat dengan
perkataanmu hari ini, berbuatlah sebaik mungkin!"
Secara beruntun dia mengucapkan kata "bagus" berkali-kali, hal
ini menunjukkan rasa pujiannya kepada keponakan muridnya itu.
Bagi Put-ji sendiri, walaupun dia tidak berani memberikan
'senyum penuh pengertian' kepadanya, namun jelas jalan pikirannya
sudah seia sekata dengan paman gurunya itu.
Malam itu dia tidak dapat tidur nyenyak, benaknya dipenuhi
berbagai masalah dan pikiran, khususnya peristiwa yang mungkin
bakal terjadi keesokan harinya.
Sekalipun besok, belum tentu gurunya secara resmi akan
mengangkat dia menjadi penerus Ciang-bunjin, paling tidak dia
berharap niat itu dapat disebar luaskan kepada umum.
Malam yang gelap akhirnya berlalu, hari esok sekarang telah
berubah menjadi hari ini.
Tidak ada peristiwa apa pun yang terjadi, karena dia sama sekali
tidak dapat bertemu gurunya.
Si tojin bisu tuli bertugas menjaga pintu gerbang, ketika dia
mohon bertemu pertama kali tadi, dengan gerakan tangannya yang
khas tojin bisu tuli memintanya untuk segera mengundurkan diri.
Ketika dia memohon untuk kedua kalinya, si Tojin bisu tuli bukan
saja tidak menggubris, bahkan pintu gerbang ditutupnya rapatrapat.
Hari ini dia gagal bertemu Suhu, begitu juga pada hari kedua.
Bukan dia seorang saja yang tidak dapat bertemu Suhu, Bu-liang
Totiang serta Bu-si Tojin pun gagal berjumpa Ciangbunjin, nasib
mereka setali tiga uang dengan dirinya.
Tentu saja tojin bisu tuli sedang melaksanakan perintah
Ciangbunjin, kalau tidak, mana berani dia bersikap seperti itu
terhadap kedua orang Tianglo itu.
Sebagai seorang Tianglo, ternyata Bu-liang Totiang serta Bu-si
Tojin harus ditolak menghadap, tentu saja kejadian ini membuat
mereka jadi kikuk, canggung dan serba salah.
Kalau mereka hanya canggung dan kikuk, berbeda dengan Put-ji,
selain terkesiap, dia pun penuh diliputi rasa curiga dan tidak tenang.
Sebab dia merasa keduduk-an dirinya jauh berbeda dengan kedua
orang Tianglo itu, kini dia sudah menjadi satu-satunya murid
Pendekar Pedang Dari Bu-tong Karya Liang Yu Sheng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciangbunjin, apalagi pergaulannya selama enam belas tahun boleh
dibilang membuat hubungan batin mereka melebihi ayah dan anak,
berbeda dengan hubungan kedua orang Tianglo itu.
Tapi mengapa Suhunya selain enggan bertemu kedua orang
Tianglo itu, mengapa enggan juga bertemu dirinya" Atau mungkin
Suhunya sudah mengetahui tingkah lakunya yang tidak jujur
sehingga tidak lagi mempercayainya"
Untung saja jawaban itu bukan merupakan satu-satunya
jawaban. Mungkin saja Bu-liang Totiang sedang mengejek dirinya,
mungkin juga dia hanya melakukan praduga terhadap masalah yang
mungkin terjadi, namun baginya, dia masih mempunyai sebuah
penjelasan lain. Bisa jadi Ciangbunjin menderita luka dalam yang parah hingga
perlu menutup diri untuk berlatih, bagi orang yang mempelajari
tenaga dalam tingkat tinggi, di saat bersemedi, dia memang tidak
bisa diganggu segala suara maupun kejadian.
Agar dapat mententeramkan hati sendiri, terpaksa Put-ji harus
menerima penjelasan yang terakhir.
Walaupun dia sudah menerima penjelasan ini, pada hari ketiga
dia tetap datang tepat pada saatnya untuk memberi salam kepada
gurunya. Pada hari ini tidak nampak Bu-liang Totiang maupun Bu-si Tojin,
mungkin lantaran gengsi dan juga karena sudah dua hari beruntun
ditolak untuk bertemu, maka hari ini tidak nampak mereka datang
berkunjung. Hari ini Put-ji datang dengan mengajak serta Lan Giok-keng.
Di luar dugaan, ternyata hari ini terjadi sedikit perubahan.
Ketika melihat kehadiran Lan Giok-keng, si tojin bisu tuli itu
kelihatan sangat gembira. Setelah masuk ke dalam, dia muncul
kembali sambil memberi tanda.
Kepada Put-ji dia menggoyangkan tangannya berulang kali
sementara terhadap Lan Giok-keng justru menggapai, jelas sekali
dia mengundang Lan Giok-keng untuk masuk ke dalam.
Sambil tertawa paksa Put-ji pun segera berkata, "Keng-ji, tidak
kusangka rejekimu sungguh bagus, ternyata orang yang paling
disayang Sucouw tetap adalah dirimu, cepat masuk dan jangan lupa
sampaikan salamku untuk Sucouw."
Tojin bisu tuli itu hanya memperkenankan Lan Giok-keng seorang
yang masuk ke dalam, Put-ji yang sebenarnya ingin menunggu di
luar pintu ternyata diusir pergi dari situ.
Terpaksa dengan perasaan tidak senang Put-ji balik kembali ke
To-koan sendiri, dengan susah payah akhirnya hingga menjelang
senja baru nampak Lan Giok-keng balik kembali.
"Bagaimana dengan Sucouw?" buru-buru Put-ji bertanya.
"Sucouw kelihatan kurus dan menakutkan, kedua pipinya
cembung ke dalam. Wajahnya seperti diliputi selapis hawa berwarna
abu-abu, hanya sepasang matanya yang kelihatan masih bersinar.
Coba kalau bukan di hari biasa Sucouw amat menyayangi aku,
mungkin aku benar-benar tidak berani mendekatinya."
Mendengar laporan itu, di samping gembira Put-ji pun merasa
kuatir, kembali tanyanya, "Apa saja yang telah dikatakan Sucouw
kepadamu?" "Sambil membelai kepalaku, Sucouw memuji aku sebagai anak
baik." "Tentu saja Sucouw amat menyayangimu," kata Put-ji cepat,
sementara hatinya merasa kecut sekali, "Tapi.... bukankah kau
sudah pergi sangat lama, tentunya masih ada persoalan lain yang
dibicarakan bukan?" "Ya, ada, bahkan kejadian yang sama sekali tidak kuduga!"
"Kejadian apa yang tidak kau duga?" seru Put-ji terkejut.
"Sucouw bertanya kepadaku, bagaimana dengan latihan ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoatku" Aku pun menjawab bahwa seluruh
rangkaian ilmu pedang itu telah selesai kupelajari, hanya tidak
diketahui bagus tidak hasil latihanku itu?"
Sebelum mengajarkan ilmu pedang kepada muridnya, terlebih
dulu Put-ji telah minta ijin kepada Ciangbunjin. Hanya saja dia
sedikit tercengang dan di luar dugaan karena tidak menyangka
dalam keadaan sakit, Ciangbunjin bukannya bertanya soal lain justru
pertanyaan itulah yang pertama diajukan.
"Jadi Sucouw minta kau mempraktekkan di hadapannya?" tanya
Put-ji kemudian. "Bukan cuma mempraktekkan, bahkan Sucouw minta aku
bertanding pedang melawan tojin bisu tuli."
"Bertanding pedang melawan tojin bisu tuli?" Put-ji tertegun.
"Benar. Suhu, kau tidak menyangka bukan" Aku diminta
bertarung melawan seorang tosu tua yang bisu tuli, bahkan di hari
biasa pun berjalan sambil membungkukkan badan, belum pernah
kudengar kalau orang ini pernah berlatih ilmu silat."
"Tentunya kau tidak mampu melawan dia bukan?"
"Senjata yang dia gunakan bukan pedang sungguh an, melainkan
pedang kayu yang dibuat saat itu juga. Waktu itu dia mengambil
sebatang kayu bakar, terus telapak tangannya seperti sebilah golok
tajam saja, menyayat ke kiri dan kanan, tidak selang beberapa saat
kemudian jadilah sebilah pedang kayu yang panjangnya tiga kaki
dengan lebar tiga inci. Bayangkan saja, lihai bukan kemampuannya"
Tapi saat itu aku berpikir begini, biar telapak tanganmu lihai, namun
mana mungkin pedang kayumu sanggup menandingi ketajaman
pedang bajaku" Asal kubabat pedang kayunya hingga putus, dia
mau bertanding pakai apa" Siapa sangka pedang kayunya begitu
ringan bagaikan selembar kertas saja yang menempel di atas
pedangku, sampai aku selesai memperagakan rangkaian ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat, pedangku tidak pernah mampu
mematahkan pedang kayunya. Ketika sampai jurus terakhir, tibatiba
aku merasa ada satu kekuatan besar yang menghisap
pedangku, bukan saja aku gagal mematahkan pedang kayunya,
sebaliknya malah pedangku yang berhasil dia rampas!"
Put-ji tertawa paksa. "Sudah puluhan tahun lamanya tojin bisu tuli melayani
Ciangbunjin, tidak aneh jika dia pun pandai bersilat."
Biarpun di mulut dia berkata begitu, dalam hati diam-diam
merasa terkejut juga, pikirnya, 'Bukankah ilmu silat yang dimiliki
tojin bisu tuli sudah jauh melampaui kemampuanku" Tidak disangka
selama belasan tahun dia selalu menyembunyikan identitasnya
hingga aku pun nyaris berhasil dia kelabui.'
Namun baginya kehebatan ilmu silat yang dimiliki Tojin bisu tuli
hanya merupakan masalah kedua, yang paling penting sekarang
adalah ingin mencari tahu apa maksud tujuan gurunya meminta Lan
Giok-keng bertarung melawan tosu itu.
"Selesai bertanding apa kata Sucouw kepadamu?" tanyanya.
"Apa yang kemudian diucapkan Sucouw pun sama sekali di luar
dugaanku, dia hanya mengucapkan tiga patah kata."
"Tiga patah kata?"
"Ya, tiga patah kata," sahut Lan Giok-keng sambil menirukan
lagak Sucouwnya, "Bagus, bagus sekali!"
"Tidak ada perkataan lain?" gumam Put-ji terkejut bercampur
keheranan. "Selesai mengucapkan ketiga patah kata itu Sucouw segera
memejamkan matanya bersemedi, aku pun tidak berani lagi
mengganggu dia orang tua."
"Bagus, bagus sekali!", apa maksudnya" Kalau di dengar sepintas
seolah-olah dia sedang memuji permainan pedang Lan Giok-keng
yang dianggap bagus sekali, tapi dengan kedudukannya sebagai
seorang Ciangbunjin yang memiliki kepandaian silat tinggi, sekalipun
bukan seorang ahli pedang, apakah dia tidak dapat melihat kalau
ilmu pedang yang dilatih Lan Giok-keng hanya jurus kembangan
yang sama sekali tidak berguna"
Bila penjelasan ini tidak benar, berarti tinggal satu penjelasan
lagi. Kata "Bagus, bagus sekali!" itu tentu mengandung arti
kebalikan. "Jangan-jangan Suhu sudah tahu akan keegoisanku, hanya saja
sungkan untuk berterus terang di hadapan anak Keng" Karena
merasa sangat tidak puas, maka dia sengaja mengucapkan ketiga
patah kata itu?" "Jika Suhu menegurku secara langsung, mungkin tidak sulit
bagiku untuk memberi penjelasan. Yang aku takuti justru bila Suhu
menaruh curiga kepadaku, tidak mungkin perasaan itu dia
kemukakan." Masih ada satu persoalan lagi yang membuatnya tidak tenteram,
selain 'kecurangan' yang telah dia lakukan sewaktu mewariskan ilmu
pedang kepada Lan Giok-keng, mungkinkah Suhunya berhasil juga
menemukan 'kecurangan' lain yang telah diperbuatnya"
Belum sempat dia menanyakan hal ini kepada muridnya, tiba-tiba
Lan Sui-leng muncul di tempat itu.
Selesai memberi hormat kepada Put-ji, gadis itu langsung
menegur adiknya, "Apakah kau sudah lupa hari apakah sekarang
ini?" "Hari apa?" tanya Lan Giok-keng tertegun.
"Coba lihat," omel Lan Sui-leng sambil menggeleng kepala
berulang kali, "ternyata kau benar-benar lupa! Hari ini kan hari
ulang tahun ayah." "Aah betul," seolah baru sadar, teriak Lan Giok-keng, "Aku
seharusnya teringat akan hal ini, tapi belakangan...."
"Aku paham. Belakangan kau memang sedang kesal dan masgul
gara-gara peristiwa yang menimpa Supek serta Sucouwmu. Aku
tidak akan menyalahkan dirimu. Ayoh ikut aku pulang, kita semua
sedang menunggumu untuk makan bersama."
Menyusul kemudian kepada Put-ji katanya, "Suhu, sebetulnya
ayah ingin mengundangmu meneguk secawan arak dan makan dua
biji bakpao. Tapi ayah kuatir kau sedang melayani Ciangbun cinjin
sehingga tidak berani mengganggumu."
Tentu saja Put-ji tidak mungkin menghalangi muridnya agar tidak
pulang memberi selamat kepada ayahnya, terpaksa dia berkata,
"Aku adalah saudara lama ayahmu, seharusnya aku ikut Keng-ji
untuk menyampaikan selamat kepadanya. Tapi.... aai, kau sendiri
juga tahu, belakangan aku kelewat repot, rasanya susah membagi
diri untuk urusan lain, baiklah biar anak Keng saja yang mewakiliku
menyampaikan ucapan selamat."
Malam itu, pikiran dan perasaan Put-ji sangat kalut, dia berusaha
memejamkan mata namun tidak juga dapat tidur. Akhirnya setelah
berjuang dengan susah payah, menjelang kentongan kelima dia
terlelap juga dalam tidurnya.
Ternyata di dalam mimpi pun dia belum bisa mendapatkan
ketenangan, dalam tidurnya dia seolah-olah balik kembali ke gunung
Boan-liong-san, di tengah hujan badai yang deras, dia seolah
melihat Keng King-si yang berlepotan darah berjalan
menghampirinya, menyusul di belakangnya Ho Giok-yan,
perempuan itu dengan rambut kusut dan wajah penuh amarah
sedang memandangnya dengan mata mendelik, menyusul kemudian
tampak Ho Liang menunjukkan tengkorakkepalanya yang berlubang
dan tiba-tiba roboh terjungkal di hadapannya.
Aah, Siang Ngo-nio pun ikut datang, ia mengenakan baju
berwarna merah darah, bibirnya yang kecil mungil tiba-tiba berubah
jadi besar dan lebar, selebar ember rongsok, dia sedang
menyeringai dengan bibir lebarnya sambil tertawa mengejek....
Bu Kek Kang Sinkang 6 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Bende Mataram 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama