Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 16

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 16


berwarna putih sederhana, pakaian seorang pertapa. Hanya
sepasang gelang sederhana yang menghias kedua tangannya
yang bertelanjang sampai ke siku. Sang ratu itu sedang
duduk bersamadhi, hening dan tidak bergerak seperti
sebuah arca. Wajahnya yang tua itu membayangkan
ketenangan, namun gurat-gurat pada dahinya jelas
membayangkan penderitaan batin yang hebat. Betapapun
juga, mulutnya menjadi pencerminan kesabarannya
sehingga makin mengharukan hati Pangeran Panji Sigit
yang segera menggandeng tangan isterinya, diajak maju dan
menjatuhkan diri berlutut di depan sang ratu sambil berkata
lirih, "Duhai Ibunda Ratu yang mulia, hamba Panji Sigit
bersama isteri datang menghadap Paduka .......... " kata
Pangeran Panji Sigit dengan suara terharu.
Wanita itu membuka kedua matanya. Wajahnya berseri,
matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, tanda bahwa
hatinya gembira sekali. "Panji Sigit .......... Ah, Pangeran, alangkah gembira
hatiku. Mendekatlah, Puteraku wong bagus .......... "
Panji Sigit mendekat dan wanita tua itu lalu membelai
rambut kepalanya. Sentuhan ini membuat hati Panji Sigit
makin terharu sehingga dua titik air mata membasahi
pipinya. "Dia ini isterimu, Kulup" Ah, Nini, mendekatlah,
Mantuku .......... !"
Setyaningsih menyembah dan menghampiri. Dengan
kedua tangan di atas kepala kedua orang itu, sang ratu
menengadah seolah-olah mohon berkah dewata untuk
sepasang orang muda itu. Wajahnya jelas membayangkan
keharuan dan kegembiraan.
"Duhai Ibunda Ratu .......... apakah yang telah terjadi
.......... " Paduka ?"."
"Husshhhh, Panji Sigit puteraku. Tidak ada apa-apa
denganku, cerita tentang aku tidak menarik. Lebih baik
kauceritakan pengalamanmu semenjak kau pergi dari
istana. Bagaimana sekarang tahu-tahu pulang membawa
isteri yang begini cantik jelita" Anak nakal, agaknya engkau
baru pulang dari taman sorga dan mempersunting seorang
bidadari .......... "
Di dalam hatinya, Pangeran Panji . Sigit makin terharu
dan kagum sekali ia akan ketenangan dan ketabahan hati
sang ratu. Sudah mengalami nasib yang demikian sengsara
dan terhina, masih bersikap tenang, tidak menonjolkan
penderitaan pribadinya. Dan seorang wanita yang begini
telah dibuang oleh sang prabu! Maka ia pun menenangkan
perasaan hatinya dan bercerita tentang pengalamannya
setelah dia pergi meninggalkan istana. Betapa ia memasuki
sayembara di lembah Wilis dan berhasil mempersunting
Setyaningsih. "Kanjeng Ibu, dia ini bukan orang lain, melainkan adik
kandung dari Ayunda Endang Patibroto yang kini menjadi
ketua Padepokan Wilis." Ia menutup ceritanya.
"Ahhhh .......... Endang Patibroto manluku yang terkena
fitnah dan .......... kasihan puteraku Panjirawit .......... Jadi
Andika adik kandung Endang Patibroto" alangkah baiknya,
kalian menyambung kembali ikatan yang terputus oleh
keadaan. Aku girang sekali, Panji Sigit dan Setyaningsih."
"Duh Kanjeng Ibu, sekarang hamba mohon Paduka suka
menceritakan, mengapa Paduka sampai menjadi begini
?"". sungguh bingung dan sedih hati hamba mendengar
dalam perjalanan tentang paduka .......... "
Sang ratu tersenyum. "Apa yang engkau dengar,
Pangeran?" "Hamba mendengar cerita orang dalam perjalanan
hamba bahwa Paduka di .......... diasingkan ke tempat ini
oleh Ramanda Prabu karena katanya Paduka ..... Paduka
melakukan fitnah kepada ibunda selir .......... "
Sang ratu mengangguk. "Memang tampaknya begitulah,
Puteraku. Akan tetapi sebetulnya di balik kenyataan ini
terdapat rahasia-rahasia yang amat pelik. Nah, kau
dengarlah penuturanku, karena engkau sebagai seorang
Pangeran Jenggla berhak mengetahuinya." Maka berceritalah wanita tua itu dengan suara tenang dan sabar.
Diceritakan segala peristiwa yang terjadi di dalam istana,
yang tidak diketahui orang lain. Tentang sepak terjang
Suminten dan Pangeran Kukutan tentang persekutuannya
dengan ki patih yang baru, tentang kelemahan sri bagind
dan kemudian betapa dia sendiri terjebal ke dalam
perangkap yang mereka pasang yang menjebloskannya
sehingga mengakibatkan dia terbukti melakukan fitnah dan
dihukum buang. "Ah, si keparat, iblis betina yang keji!" Pangeran Panji
Sigit mengepa tinju, mukanya merah dan matanya
terbelalak penuh kemarahan. "Agaknya dahulu pun dia
sengaja menggoda dan menyinggungku agar aku pergi dari
istana dan dia dapat berbuat sesukanya! Keparat!"
"Kakangmas, tenanglah .......... " Setyaningsih memperingatkan. Sang ratu tersenyum. "Wah, isterimu ini mengagumkan,
Pangeran. Agaknya tidak semudah ayundamu dikuasai
kemarahan. Dia benar, Puteraku, tenanglah dan ceritakan
kepadaku, apa yang dia lakukan dahulu terhadap dirimu."
"Hamba .......... hamba merasa malu untuk menceritakan
peristiwa menjijikkan itu, Kanjeng Ibu!"
"Biarlah hamba yang bercerita, Kanjeng Ibu. Sebelum
Kakanda Pangeran pergi dari istana, Kakanda pernah
digoda oleh .......... Ibunda selir, dibujuk rayu dan diajak
bermain asmara. Kakanda Pangeran tidak mau melayani
niatnya yang kotor itu, kemudian Kakanda yang merasa
malu sekali lalu pergi meninggalkan istana."
Sang ratu mengangguk-angguk. "Hemm .......... tidak
aneh. Betapa banyaknya pangeran yang terjatuh oleh
rayuannya! Syukur engkau teguh hati, Angger."
"Ibunda Ratu, kita harus menghancurkan iblis betina itu!
Penghlnaan terhadap Paduka harus dibalas. Biarlah hamba
yang .......... !" "Jangan, Kulup. Jangan menurutkat hati panas. Ingatlah
bahwa benci dan dendam hanya akan mengotori dan
mengeruhkan batin sendiri. Aku tidak membenci Suminten,
aku tidak mendendamnya, setelah aku mendapat ketenangan batin di sini baru kuketahui akan hal ini. Aku
menerima nasib dan sisa hidupku yang tak lama lagi ini
tidak boleh sekali-kali dikotori oleh benci dan dendam."
"Akan tetapi, lblis betina itu telah merusak kebahagiaan
Paduka, telah menghina Paduka sehingga Paduka
mengalami nasib sengsara seperti ini. Dia adalah musuh
Paduka .........." "Keliru wawasanmu, Angger. Boleh jadi dia menganggap aku sebagai musuh, akan tetapi biarlah kalau
begitu. Aku tidak menganggap dia atau siapa saja sebagai
musuh, dan peristiwa yang menimpa diriku tidak kuanggap
sebagai salah siapa-siapa, melainkan semata-mata adalah
tepat seperti yang dikehendaki Sang Hyang Wisesa. Apa
pun yang terjadi di dunia ini adalah tepat seperti yang
dikehandaki-Nya, karena di luar kehendak-Nya, takkan
terjadi sesuatu." Diam-diam Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih
menjadi kagum dan di dalam hati mereka tunduk terhadap
wawasan yang sedemikian hebatnya, yang sukar dilaksanakan oleh siapa pun.
"Maaf, Ibunda Ratu, hamba takkan sanggup dan berani
membantah kebenaran wejangan Paduka itu. Akan tetapi,
kerajaan berada dalam cengkeraman manusia-manusia iblis,
kerajaan terancam bahaya, juga Ramanda Prabu .......... ah,
betapa mungkin hamba yang melihat hal itu semua lalu
berpeluk tangan, mendiamkannya saja?"
"Hal itu lain lagi persoalannya, Puteraku. Sudah menjadi
kewajibanmu sebagai seorang pangeran dan ksatria untuk
membela Ramandamu dan kerajaan. Sudah menjadi
kewajibanmu pula untuk menghalau musuh negara. Akan
tetapi kalau demikian, semua tindakanmu mempunyai
dasar yang bersih, bukan semata-mata karena kebencian
dan hendak membalas dendam yang ditimpakan kepadaku.
Mengertikan engkau akan perbedaannya, Angger Pangeran?" Pangeran Panji Sigit menganggukangguk. Tahulah ia
sekarang apa yang dimaksudkan ibu tirinya ini. Tentu saja
sebagai seorang gemblengan, ia sudah banyak menerima
wejangan dari guru-gurunya, sudah mengerti pula akan
perbedaan antara dua perbuatan yang sama. Hanya sama
tampaknya, namun seperti bumi dan langit perbedaannya
yang terletak pada dasar perbuatan itu yang menjadi sebab.
Membunuh dan membunuh tidaklah sama kalau membunuh yang pertama berdasarkan kebencian dan
dendam sedangkan membunuh yang ke dua berdasarkan
membela negara. Bukanlah perbuatannya yang dinilai,
melainkan yang tersembunyi di balik perbuatan itu,
pendorong dan pamrihnya. "Hamba mengerti, Kangjeng Ibu. Akan hamba usahakan
sekerasnya agar hamba tidak melibatkan persoalan pribadi
dalam perjuangan hamba, melainkan persoalan membela
negara dan melindungi Ramanda Prabu. Hamba bermohon
diri, Kanjeng Ibu, sekarang juga hamba bersama
Setyaningsih hendak mulai menentang dan menghalau iblisiblis yang mencengkeram Kerajaan Jenggala."
"Kau terlalu sembrono, Pangeran. Kalian berdua tidak
boleh pergi ke Jenggala, hal ini amat berbahaya bagi kalian
berdua." "Hamba tidak takut. Harap Kanjeng Ibu jangan
khawatir. Selama hamba pergi merantau, hamba telah
menerima banyak gemblengan ilmu, dan di samping hamba
ada Diajeng Setyaningsih yang memiliki kesaktian. Hamba
berdua dapat menjaga diri. Pula, di kota raja banyak
terdapat para ponggawa yang masih setia kepada Ramanda
Prabu, dan banyak sahabat-sahabat hamba .......... "
"Ah, engkau tidak tahu, Angger. Seluruh ponggawa telah
menjadi kaki tangan Kukutan. Dan ketahuilah bahwa Ki
Patih Warutama memiliki kesaktian yang amat luar biasa
sehingga dia berhasil menyelamatkan ramandamu dari
serbuan orang-orang jahat seperti yang kuceritakan padamu
tadi. Engkau sudah pernah bentrok dengan Suminten. Hal
ini amat berbahaya bagimu. Sekali Suminten menudingkan
telunjuknya kepadamu, engkau akan dikeroyok dan
ramandamu takkan dapat berbuat apa-apa karena
ramandamu kini tidak pernah keluar dari dalam kamarnya.
Tak ada seorang pun sahabat yang berani membelamu,
Angger." Pangeran Panji Sigit mengerutkan alisnya yang tebal.
"Habis, apakah yang harus hamba Iakukan, Kanjeng Ibu"
Apakah menerima nasib dan berdiam diri saja?"
"Hanya ada satu jalan terbaik yang dapat kutunjukkan
kepadamu, Puteraku. Pergilah engkau bersama isterimu ke
Panjalu. Di Jenggala sendiri sudah tidak ada orang yang
akan dapat menolong kerajaan. Panjalu sajalah yang akan
dapat mengatasi keadaan. Pergilah menghadap uwa prabu
di Panjalu dan ceritakan semua yang telah kaudengar
dariku tadi. Di sana banyak terdapat orang-orang pandai,
bahkan Adipati Tejolaksono pun kabarnya berada di
Panjalu menjadi patih muda. Nah, ke sanalah tempat
engkau mencari bantuan, Angger."
Pangeran Panji Sigit bukanlah seorang pemuda yang
hanya menurutkan nafsu amarah. Mendengar nasehat ini ia
dapat menerima, maka ia pun lalu berpamit dan pergilah ia
bersama Setyaningsih menuju ke Panjalu. Setyaningsih juga
merasa girang sekali karena mendengar bahwa Adipati
Tejolaksono telah pindah ke Panjalu, dengan demikian dia
akan mendapat kesempatan untuk berkunjung dan bertemu
dengan mereka, terutama sekali dengan Pusporini yang
sudah amat dia rindukan. Tidak ada halangan merintangi
perjalanan sepasang suami isteri yang perkasa ini, dan
perjalanan dilakukan dengan cepat.
-oo0dw0oo- "Kalian berhati-hatilah. Ular itu bukan sembarang ular,
melainkan ular yang sudah bertapa ratusan tahun lamanya.
Sudah ribuan kali berganti kulit dan sudah banyak
menerima cahaya sakti bulan dan matahari. Batu mustika


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu berada di dalam kepalanya, di atas lidah, tepat di antara
kedua matanya. Mustika itu tidak ada gunanya bagi seekor
ular, hanya menambah kebuasannya membahayakan
mereka yang lewat di hutan itu, namun sebaliknya amatlah
berguna kelak bagi kalian berdua. Aku sudah memberi ijin
kepada kalian, pergi cari ular itu, bunu dia sebagai
hukuman karena dia telah menelan tiga orang anak
penggembala, dan ambil mutiaranya. Akan tetapi hatihatilah!" Demikian pesan Sang Resi Mahesapati kepada
dua orang muridnya, Joko Pramono dan Pusporini. Telah
tiga tahun lebih mereka berdua digembleng oleh guru
mereka yang sakti mandraguna itu di puncak Gunung Kawi
dan biarpun guru mereka ini tidak menurunkan ilmu baru,
namun gemblengannya hebat luar biasa sehingga aji-aji
yang telah mereka berdua miliki kini memperoleh kemajuan
pesat sekali dan kekuatan sakti mereka menjadi berlipat
ganda. "Eyang Resi, untuk membunuh ular dan mengambil
mustika di dalam kepalanya saja mengapa Eyang menyuruh
dia ini ikut" Dia hanya akan menghalang-alangi
pekerjaanku saja. Biar kulakukan sendiri, Eyang. Hamba
berjanji akan membawa mustika ular itu kepada Eyang
tanpa bantuan dial" kata Pusporini sambil melirik-lirik ke
arah Joko Pramono. Hatinya sedang kesal karena tadi pagi
dalam latihan mempergunakan tenaga sakti memukul air,
ternyata air telaga muncrat lebih tinggi ketika dipukul Joko
Pramono dan pemuda itu sengaja mengejeknya.
"Wah-wah, coba Eyang Resi perhatikan, bukankah
murid Eyang yang satu. ini makin lama makin sombong"
Makin besar kepala!" Joko Pramono juga menyerang
marah. "Apa" Kepalaku besar" Tidak sebesar kepalamu!
Engkaulah yang sombong! Pagi tadi dia menyombongkan
tenaganya dan mengatakan bahwa aku kalah kuat olehnya,
Eyang Resi. Coba, bukankah dia yang sombong?"
"Aku kan bicara apa adanya?" bantah Joko
Pramono. "Aku pun bicara apa adanya. Memangnya aku membutuhkan bantuanmu untuk membunuh ular itu?" "Wah aksinya. Melihat ular nanti ku rasa kau akan menjerit- jerit kegelian dan ketakutan!" "Coba saja! Memangnya aku ini anak kecil" Sepuluh ekor ular ditambah engkau aku tidak takut!"
Sang Resi Mahesapati tertawa bergelak. "Sudah, sudah
.......... ha-ha-hal ?". Kalian ini seperti bocah-bocah nakal
saja; Mendengarkan kalian bertengkar setiap hari, benarbenar membuat aku awet muda! Pertengkaran kalian itu
membayangkan jiwa muda yang masih panas membara,
semangat yang menyala-nyala dan .......... dan .......... ha-haha, benar-benar lucu. Sekarang begini saja. Kalian berdua
kuijinkan berlomba mencari dan membunuh ular Puspo
Wilis itu. Siapa yang nanti membawa mustika dan
menyerahkannya kepadaku, kuanggap lebih pandai!"
"Baik, hamba pamit mundur, Eyang!" Pusporini
menyembah lalu berkelebat, sekejap mata saja lenyap dari
hadapan gurunya yang duduk di depan pondok bambu.
"Hamba pun minta diri, Eyang!" Joko Pramono juga
berkelebat cepat mengejar Pusporini, khawatir kalau kalah
dulu. Kembali kakek tua renta itu tertawa bergelak dan
menengadah ke angkasa, mulutnya berkemak-kemik, "Lucu
.......... lucu .......... alangkah indahnya hidup bagi orangorang muda .......... ha-ha-ha.......... !"
Seperti burung terbang setidaknya seperti seekor kijang
Pusporini lari sambil mengerahkan seluruh aji kesaktian
Bayu Sakti yang pernah ia pelajari dari Adipati Tejolaksono
dahulu. Namun kini Aji Bayu Sakti yang ia pergunakan
jauh mendapat kemajuan yang hebat sehingga larinya amat
cepat, tubuhnya ringan sekali dan kedua kakinya seolaholah tidak menginjak tanah melainkan terbang di atas ujung
rumput-rumput hijau! Dalam hal tenaga sakti mungkin dia
kalah kuat setingkat kalau dibandingkan dengan Joko
Pramono, akan tetapi dalam aji keringanan tubuh dan
kecepatan berlari, pemuda itu masih sukar untuk dapat
mengalahkannya. Apalagi sekarang Pusporini mengerahkan
seluruh kepandaiannya karena ia memang sedang berlomba
dengan pemuda itu! Jauh di belakang, makin lama makin jauh tertinggal,
Joko pramono juga berlari secepatnya melakukan
pengejaran. Di dalam hatinya, pemuda ini sebetulnya sama
sekali tidak berniat untuk mendahului Pusporini, sungguhpun harus ia akui bahwa kalau berlomba lari ia
takkan menang. Namun, ia melakukan pengejaran karena
di dalam hatinya timbul rasa khawatir akan keselamatan
gadis yang menjadi teman belajar, menjadi teman berlatih
akan tetapi juga menjadi lawan bertengkar itu. Seringkali ia
merasa heran mengapa dia selalu bertengkar dengan
Pusporini, mengapa agaknya ada terasa kenikmatan dan
kegembiraan di hatinya kalau mereka sedang bertengkar itu.
Bagi dia, Pusporini tampak paling manis kalau sedang
marah-marah seperti itu! Dan pemuda ini merasa di dalam
hatinya bahwa mereka berdua selalu bertengkar karena
tidak mau kalah, karena masing-masing ingin dihargai,
ingin dikagumi. Namun, sehari saja tidak bertengkar,
apalagi tidak berjumpa, merupakan siksaan batin yang tiada
taranyal Demikianlah, dua orang muda itu berlari-lari seperti
terbang menuju ke sebuah hutan di lereng Gunung Kawi
sebelah timur, yaitu hutan yang oleh guru mereka disebut
hutan Kaloka, di mana terdapat ular besar Puspo Wilis
yang bertapa dan yang harus mereka bunuh dan ambil
mustikanya. Beberapa pekan yang lalu, ular itu telah
menelan tiga orang anak penggembala kerbau yang sedang
menggembala kerbau di pinggir hutan.
Sementara itu, dari kaki Gunung Kawl sebelah timur,
tampak dua orang berjalan kaki, mendaki lereng. Mereka
adalah seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan
gagah, berusia empat puluhan tahun, mengiringkan seorang
gadis yang usianya takkan lebih dari dua puluh tahun,
seorang gadis tinggi semampai yang manis sekali, berwajah
cerah bermata jeli. Gadis itu tidak tahu betapa pria yang
mengiringkannya memandang kepadanya dari belakang
dengan pandang mata mesra, dan betapa pria itu berkalikali menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Mereka itu bukan lain adalah Wiraman dan
Widawati, pengawal perkasa yang setia kepada Ki Patih
Brotomenggala dan cucu mendiang ki patih itu, satusatunya orang dari keluarga kepatihan yang lolos dari
cengkeraman maut. Sebagai orang-orang yang diburu oleh
kaki tangan Pangeran Kukutan, keduanya harus selalu
berpindah-pindah dan bersembunyi-sembunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Tujuan perjalanan
Wiraman adalah ke Panjalu, namun karena ia harus
melakukan perjalanan sambil bersembunyi, maka mereka
terpaksa mengambil jalan memutar yang amat jauh dan
sukar. Bagi Wiraman sendiri, seorang pengawal gemblengan
yang bertubuh kebal dan kuat, perjalanan sukar dan jauh itu
tidaklah amat berat. Akan tetapi patut dikasihani Widawati,
biarpun dia pernah ia mempelajari ilmu olah keperajuritan,
namun karena sebagai cucu patih dia lebih sering
melakukan pekerjaan-pekerjaaan halus dan tubuhnya tidak
begitu terlatih, perjalanan itu amatlah menyiksa dan
melelahkan. Apalagi semua kesukaran ini diderita dengan
hati hancur apabila teringat akan nasib buruk yang
menimpa keluarganya. Untung baginya, di sampingnya
terdapat Wiraman yang pandai menghiburnya, yang slap
membela dan melindunginya, dan yang menjamin akan
segala keperluannya di sepanjang perjalanan.
Ketika mereka sampai di sebuah tanjakan terjal, di luar
sebuah hutan yang nampaknya angker dan liar, kaki
Widawati tersandung dan ia terhuyung ke depan. Untung
pada saat itu Wiraman cepat melompat dan menyambar
lengannya sehingga dia tidak sampai jatuh tersungkur, akan
tetapi renggutan tangan Wiraman itu membuat tubuh
Widawati tersentak ke belakang dan berada di dalam
pelukan pria itu, rapat bersandar di atas dada yang bidang.
"Hati-hatilah .......... !" Hanya demikian Wiraman dapat
berkata karena pria segera memejamkan mata, dadanya
bergelombang ketika perasaan yang aneh meresap di dalam
tubuhnya. Tangan kanannya masih memegang lengan
Widawati, tangan kirinya memegang pundak gadis itu.
Merasa betapa punggung dan kepala gadis itu bersandar ke
dadanya, mencium keharuman khas dari rambut dan peluh
gadis itu, berdebar jantungnya dan kakinya.
Widawati amat lelah. Juga tadi la terkejut karena
tersandung dan akan. tersungkur ke depan, di mana
terdapat jurang yang dalam. Kini merasa betapa ia selamat
dan mendapat sandaran yang kokoh kuat, ia merasa aman
dan tenteram. Tiada henti-hentinya Wiraman melimpahkan
budi kebaikan kepadanya. la tidak tahu,, apa yang akan dia
lakukan kalau di sampingnya tidak ada Wiraman.
Tanpa disadari lagi, ketika kali ini kembali Wiraman
yang menolongnya pada saat yang tepat, menjadi bukti
bahwa Wiraman selalu memperhatikannya, selalu menjaganya, ia bersandar pada dada yang bidang dan kuat
itu dan sampai beberapa lamanya mereka hanya berdiri
dalam keadaan seperti itu, keduanya memejamkan mata.
Widawati dapat mendengar dengan telinganya betapa dada
yang bidang itu berdetak-detak keras. Hal ini menyadarkannya dan ia segera memisahkan diri.
"Terima kasih, Kakang Wiraman, engkau telah
menyelamatkan aku .......... "
"Ah, tidak perlu berterima kasih, Diajeng. Memang
sudah menjadi kewajibankulah untuk menjaga dan
melindungimu. Engkau tentu lelah sekali, dan di depan
adalah hutan yang amat lebat, mari kita mengaso dulu."
"Baik, Kakang .......... "
Maka duduklah mereka berdua di bawah sebatang
pohon, berteduh dari panas terik matahari yang membakar
kulit. Widawati menyusuti peluhnya dengan ujung baju,
menjilat-jilat bibirnya yang merah dengan ujung lidah.
Sebentar Wiraman terpesona memandang mulut itu, ketika
pandang mata mereka bertemu, Wiraman cepat-cepat
menunduk dan berkata, "Engkau tentu haus, Diajeng. tunggu sebentar kucarikan
air .......... " Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah pergi
mencari air gunung yang jernih. Ditampungnya air itu
dengan daun talas dan dibawanya air itu kepada Widawati
yang menerima dan meminumnya dengan lahap karena
memang ia haus sekali. Sampai lama mereka beristirahat di situ. Angin sumilir
membuat Widawati mengantuk. Ia bersandar pada batang
pohon dan memejamkan matanya. Wiraman tidak
mengganggunya, melainkan duduk pula tidak jauh dari situ,
memandang ke arah hutan lebat dengan pandang mata
melamun. Berkall-kali, sama halnya ketika dalam per
jalanan tadi, Ia memandang ke arah Widawati, menghela
napas panjang dan menggeleng-geleng kepala, menghela
napas lagi. "Kakang Wiraman."
Wiraman terkejut, seperti disentakkan dari alam mimpi.
Tadinya ia tengah melamun, memandang ke hutan dan
mengglgit-gigit rumput yang tanpa disadarinya telah ia
cabut dari dekat kakinya. Ia menoleh dan pandang mata
mereka bertemu, bertaut, dan dari pandang mata Wiraman
masih memancar sinar cinta kasih yang jelas dan mesra.
Mereka tidak berkata-kata lagi, hanya pandang mata
mereka yang melekat dan seolah-olah mewakili mulut dan
hati. Akhirnya Widawati yang berkata lirih,
"Kakang .......... , engkau kenapakah" Sejak tadi kulihat
engkau menarik napas panjang dan menggeleng-geleng
kepala. Ada sesuatu yang mengganggu hatimu, Kakang.


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Katakanlah, apakah gerangan yang kau susahkan" Kalau
tidak kau ceritakan kepadaku, aku tentu akan menganggap
bahwa akulah yang menyusahkan hatimu, Kakang."
"Ah, tidak .......... tidak sama sekali, Diajeng .......... aku
hanya .........." Wiraman terdiam, amat sukar agaknya
untuk mengeluarkan isi hatinya. Mereka berpandangan
kembali dan slnar mata penuh ketulusan hati dari gadis itu
seolah-olah memberi semangat dan keberanlan kepadanya.
"Biarlah kubukakan semua rahasia hatiku, Diajeng. Aku
seorang laki-laki yang suka berterus terang, dan aku berani
pula mempertanggungjawabkan semua perbuatan atau
ucapanku. Semenjak aku bertemu denganmu, Diajeng,
ketika kau dibawa oleh Kakang Mitra .......... semenjak
itulah terjadi sesuatu yang tidak wajar di hatiku. Bagiku,
ada sesuatu pada dirimu yang mengikat, mempesona, dan
mengguncang hatiku. Ada suatu daya tarik luar biasa yang
tidak wajar. Bukan kecantikanmu, bukan pula kemudaanmu, entah apamu aku sendiri tidak dapat
mengatakan, melainkan yang sudah pasti, ada sesuatu yang
membuat aku amat tertarik. Inikah yang disebut ikatan
Karma" Aku harus jujur, Diajeng, dan dengan segala
kejujuran kunyatakan sekarang juga demi menjaga segala
kepura-puraan bahwa aku .......... cinta kepadamu,
Diajeng." "Ahhh .......... I" Suara Widawati seperti rintihan
perlahan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. Sepasang
mata yang lebar jernih Itu mulai basah.
"Aku bukan..seorang yang tidak tahu diri, Diajeng. Aku
sadar bahwa aku telah beristeri, telah mempunyai anakanak, dan bahwa usiaku pun sudah setengah tua! Aku
bukan seorang penghamba nafsu, aku mencinta isteri dan
anak-anakku, sampai kini aku belum pernah mengambil
selir. Akan tetapi terhadap engkau, Diajeng, entah mengapa
aku sendiri tidak mengerti. Ada sesuatu yang menarik
hatiku sehingga hatiku menjerit bahwa aku mencintamu,
bukan cinta nafsu, akan tetapi .......... ah, seolah-olah aku
tidak akan sanggup untuk berpisah lagi dad sampingmu
"Kakang Wiraman.......... " Widawati mulai terisak.
"Mungkin aku telah menjadi gila, Diajeng," suara
Wiraman terdengar gemetar, "akan tetapi .......... demi
semua Dewata, aku tidak berpura-pura, tidakpula dimabuk
nafsu. Sudah banyak kujumpai puteri-puteri cantik jellta,
lebih cantik dari padamul sudah pula kuhadapl godaan
wanita-wanita cantik, namun aku selalu menghindari
karena hatiku tidak suka menerima semua itu. Akan tetapi
terhadap engkau, aku benar-benar jatuh! Duhai Dewata,
salahkah Wiraman ini" Salahkah Wiraman yang setengah
tua ini menjatuhkan hatlnya kepada seseorang, dalam hal
ini seorang gadis seperti, Widawati" Berdosakah kalau hati
ini jatuh cinta?" Ucapan-ucapan terakhir itu tidak lagi
ditujukan kepada Widawati, melainkan kepada diri sendiri
atau kepada para dewata. Sampai lama keadaan sunyi, hanya terdengar Widawati
menangis sesenggukan sambil menyembunyikan mukanya
di balik telapak tangannya. Kemudian terdengar gadis itu
berkata lirih, "Kakang, bagaimana aku akan menjawab" Engkau
merupakan satu-satunya orang yang paling baik bagiku,
seorang yang telah melimpahkan budi kepadaku. ..........
cintamu itu, sungguhpun amat mengejutkan hatiku, namun
aku percaya akan kemurnianhya. Engkau adalah seorang
pria yang patut dihormati, patut disuwitani, patut dicinta.
Sesungguhnya, alangkah akan mudahnya bagi hatiku untuk
membalas cinta kasih-mu, Kakang, akan tetapi .......... "
"Akan tetapi aku sudah terlalu tua bagimu" Pantas
menjadi ayahmu, menjadi pamanmu" Katakanlah terus
terang, Diajeng. Aku Wiraman bukan seorang lemah dan
aku dapat menghadapi semua kenyataan dengan mata
terbuka dan pikiran sadar."
"Bukan, bukan begitu, Kakang Wiraman. Aku pun
maklum bahwa cinta tidaklah melihat usia, tidak pula
melihat kedudukan dan keadaan seseorang. Akan tetapi
.......... engkau telah mempunyai anak isteri, Sedangkan aku
.......... aku semenjak dahulu bercita-cita untuk cinta
mencinta dengan satu orang saja, tidak suka aku dimadu
.......... tidak suka aku melihat seorang pria mempunyai
selir. Banyak sudah terbukti kekacauan timbul karena selir,
contohnya sang..prabu sendiri .......... "
"Akan tetapi, tidak semua selir sejahat dia, Diajeng.
Bukan sekali-kali aku menyatakan ini untuk memaksamu
menjadI selirku. Tidak. Sudah kukatakan tadi bahwa aku
mencintamu bukan oleh dorongan nafsu. Aku hanya tidak
ingin berpisah darimu dan .......... dan .......... ah, sudahlah,
Diajeng, aku hanya membuatmu berduka saja: Sudah
cukup bagiku kalau engkau mendengar akan perasaan
hatiku, sudah cukup kalau engkau mengetahui bahwa aku
mencintamu. Lebih daripada itu, tidak kuharapkan. Kalau
engkau tidak membalas cintaku, itu pun dapat kuterima
dengan penuh kesadaran. Aku tidak menyalahkanmu,
hanya aku sendiri-lah yang gila. Aku tidak ingIn
menyeretmu ke lembah kedukaan dan kesengsarain, dan
semoga Sang Hyang Wisesa akan dapat mengangkatku
daripada keadaan yang gila ini. Kau tinggallah di sini,
Diitjeng, aku akan memburu kijang untuk kIta makan.
dagingnya. Di dalam hutan di depan itu pasti banyak
binatang buruan." Tanpa menanti jawaban, Wiraman sudah lari meninggalkan Widawati memasuki hutan yang liar itu
untuk mencari binatang buruan, terutama kijang yang
lembut dan lezat rasa dagingnya.
Jilid XXIX HATINYA, terasa ringan, dadanya lapang setelah ia
membuka rahasia hatinya. Ia tidak mengharapkan balasan
cinta karena maklum bahwa tak mungkin seorang gadis
seperti Widawati dapat mencinta seorang setengah tua
seperti dia. Dia tidak berduka akan kenyataan yang sudah
diketahuinya ini, dan dia hanya ingin melihat Widawati
hidup bahagia. Wiraman menjadi terheran-heran ketika ia memasuki
hutan itu karena hutan ltu amat sunyi, tidak tampak seekor
pun binatang buruan. Hanya burung-burung beterbangan dl
atas pohon dan agaknya hurung-burung itu pun dalam
keadaan gelisah. Karena belum juga melihat adanya
binatang buruan, Wiraman menyusup makin dalam ke
dalam hutan dengan hati penasaran. Ia harus mendapatkan
makanan untuk Widawati, kalau tidak murigkin menangkap atau membunuh seekor binatang yang dapat
dimakan dagingnya sedikltnya ia harus bisa mendapatkan
buah-buah untuk gadis itu. Wiraman mengusap peluhnya.
Di sekitarnya pohon pohon raksasa menjulang ,tInggi dan
membuat hutan itu kelihatan gelap dan menyeramkan.
Pakaiannya, pakaian pengawal sudah 1usuh dan basah oleh
kerlngat. la merasa makin heran karena kini la telah berada
di tengah hutan, namun masih juga belum ditemuinya
seekor pun binatang buruan. Mulailah ia putus asa untuk
mendapatkan daging binatang dan ia kIni mencari-cari ke
atas kalau-kalau ada buah yang dapat dimakan. Sudah lebih
satu jam ia berkeliaran di hutan tanpa hasil. WIdawati tentu
menunggunya dengan hati gelisah dan perut lapar. Teringat
akan gadis itu, teringat pula ia akan pengakuannya terhadap
Widawati, cinta kasihnya, Wajah orang gagah ini menjadi
merah. Berhakkah ia menyatakan cinta kasihnya secara
terus terang seperti tadi" Benarkah ia seorang pria yang
mata keranjang, yang mudah tergiur hatinya melihat
perawan cantik" Tidak! Biasanya dia tidak pernah tertarik
kepada wanita lain, betapapun cantiknya dan muda
belianya. Dia mencinta isterinya dan teringat akan
penderitaan isterinya ketika melahirkan anak-anaknya,
teringat pula betapa isterinya terlunta-lunta karena dia
menjadi seorang buruan, cintanya diperdalam dengan rasa
kasihan. Tidak! Dia bukan seorang yang kurang setia,
bukan seorang suami yang bosan kepada isterinya karena
cintanya terhadap isterinya bukanlah cinta nafsu belaka,
melainkan cinta yang mendalam dan murni. Isterinya tentu
akan memaafkannya, dan akan menyetujuinya kalau dia
menjatuhkan hati kepada seorang wanita seperti Widawati.
Selamanya dia tidak pernah mempunyai selir seperti orang
lain. Dan terhadap Widawati, ada sesuatu yang amat aneh
pada diri gadis itu yang menarik hatinya. Bukan nafsu
semata! Widawati tidaklah terlalu cantik kalau dibandingkan dengan wanita-wanita cantik yang pernah
dijumpainya. Tiba-tiba Wiraman yang mengaso duduk di bawah
pohon itu tersentak kaget dan meloncat bangun. mendengar
jerit mengerikan. Jerit seorang wanita yang ketakutan!
Widawati! Jerit itu datangnya dari arah di mana tadi
meninggalkan gadis itu. Bagaikan seekor kijang ketakutan,
dengan sigap Wiraman lari ke arah suara jerit yang kini
makin santer dan berulang-ulang didengarnya itu. Keris
pusaka telah berada di tangannya dan sambil mengerahkan
tenaga berlari cepat, jantungnya berdebar penuh kekhawatiran. "Aiiihhhh .......... ! Kakang Wiraman .......... tolongggg
.......... !" Pucat wajah Wiraman. Kalau tadi ia masih setengah
berharap bahwa jerit wanita itu bukan keluar dari mulut
Widawati, kini harapan itu musnah dan kekhawatirannya
makin memuncak. Widawati dalam bahaya! Ia mengerahkan seluruh tenaganya dan berloncatan ke arah
jerit yang terakhir didengarnya itu. Tibalah ia di sebuah
tempat terbuka di mana pohon-pohon raksasa agak
berjauhan tumbuhnya. Dan apa yang ia lihat membuat bulu
romanya bangun, kedua kakinya menggigil dan mukanya
panas karena marah dan khawatir. Widawati berada di situ,
menggigil dan bingung, matanya terbelalak memandang ke
depan, Mulutnya bergerak-gerak terbuka tanpa ada suara
yang keluar. Agaknya saking takutnya, gadis itu kehilangan
suaranya! Bajunya compang-camping, robek sebagian besar
sehingga tampaklah sebagian dari dadanya. Kulit tubuhnya
banyak yang terkait dan tergores duri-duri sehingga pecah
mengeluarkan darah. Apakah yang membuat dara itu
ketakutan setengah mati seperti itu" Wiraman sejak tadi
sudah melihatnya dan ia sudah siap dengan seluruh urat
syaraf menegang, gagang keras dipegang erat di tangan.
Ular itu tidaklah amat besar. Kurang lebih sepaha
manusia besarnya, akan tetapi amat panjang dan kulit
tubuhnya yang membelit pohon itu amat indahnya,
berwarna dasar hijau dengan kembang-kembang kuning
bergaris merah. Karena warna yang kehijauan, dari jauh
tidak tampak di antara daun-daun pohon. Akan tetapi
sepasang matanya yang merah menyala amat mengerikan,
seolah-olah sepasang mata itu mengeluarkan api. Lidahnya
yang bercabang dan amat merah itu menjilat-jilat keluar
masuk cepat sekali. Kepalanya tergantung ke bawah dan
mendekati tubuh Widawati yang berdiri seperti arca,
dengan mata terbelalak kehilangan akal. Ular itu siap
agaknya untuk melakukan serangan terakhir, untuk
meluncurkan kepala dan menggigit daging lunak pada dada
dan leher dara itu. Pada detik yang tepat tubuh Wiraman sudah meloncat ke
depan, menerjang ular itu yang juga sudah meluncurkan
kepalanya dengan mulut terbuka lebar ke arah dada
Widawati yang membusung! "Ular jahanam!!" Wiraman mengeluarkan pekik dahsyat
dan untunglah bahwa kemarahannya membuat ia
mengeluarkan bentakan itu karena andaikata tidak, tentu
dia akan kalah cepat oleh ular itu dan tentu Widawati
sudah terkena gigitan mulut yang mengerikan itu. Karena
pekik yang nyaring ini, ular itu terkejut dan menahan
kepalanya yang sudah siap menggigit, lalu memutar kepala
memandang ke kanan dari mana tubuh Wiraman sudah
menerjang maju. Cepat sekali gerakan Wiraman, tangan
kanannya yang memegang keris sudah menyerang, keris
pusakanya ditusukkan tepat ke arah ular dari arah kanan.
"Tessss .......... Wiraman mengeluarkan seruan dan
cepat-cepat ia membuang diri ke kini sehingga terhindar
daripada serangan ular yang kini membalik dan
menyerangnya. Ternyata bahwa tusukan kerisnya itu sama
sekali tidak dapat menembus leher ular, bahkan sedikit pun
tidak dapat melukai kulit ular yang indah itu. Kerisnya


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meleset dan ular itu seolah-olah tidak merasakan
tusukannya lalu membalik dan menyerangnya.
Namun Wiraman tidak menjadi gentar. Demi keselamatan Widawati ia harus melakukan perlawanan. Ia
melihat betapa gadis itu masih berdiri terpaku di tempat
yang tadi, terbelalak seperti telah berubah menjadi arca.
Mukanya merah sekali dan hal ini amat mengherankan hati
Wiraman. "Diajeng, larilah .......... ! Pergilah menjauh .......... !"
teriaknya namun Widawati tIdak menjawab, juga tidak
bergerak. Terpaksa Wiraman menghentikan teriakannya
karena kini ular itu meluncur ke arahnya dalam sebuah
serangan yang amat cepat dan dahsyat.
Wiraman adalah seorang perajurit perkasa yang sudah
banyak mengalami pertandingan. Gerakannya sigap,
terampil dan matanya awas. Serangan ini dapat Ia
hindarkan dengan mengelak ke kiri, kemudian pada saat
kepala ular meluncur lewat, ia sudah menghunjamkan
kerisnya, kini mengarah mata kanan ular itu. Dia maklum
bahwa kulit ular itu kebal, maka kini ia menyerang matanya
karena tidak mungkin matanya kebal, pikirnya. Akan tetapi,
ternyata ular hijau Itu tangkas dan tidak dapat diakali begitu
saja. Kepalanya bergerak sedikit dan tusukan keris
Wiraman meleset karena tidak mengenal mata melainkan
mengenai kulit kepala. Bukan hanya meleset, bahkan
hampir terlepas dari tangan Wiraman karena "tangkisan"
dengan kepala itu mengandung tenaga yang amat kuat,
membuat tangan Wiraman seperti lumpuh sesaat. Dan
sebelum Wiraman dapat menguasai dirinya, tiba-tiba ular
itu mengeluarkan suara mendesis keras dan uap yang
kehijuan menyambar ke arah muka bekas pengawal ini.
Wiraman cepat miringkan mukanya, namun masih tercium
bau yang amat harum mengandung bau amis yang
memuakkan. Kepalanya menjadi pening, pandang matanya
gelap sedetik, kemudian berubah menjadi ganjil sekali
karena ia melihat beraneka warna-warna cemerlang
terbentang di depan matanya. Pohon-pohon tidak berwarna
hijau lagi melainkan berwarna indah barmacam-macam
seperti seribu pelangi mewarnai segala sesuatu yang berada
di depan matanya. Ia terpesona dan tak dapat bergerak
seperti berubah menjadi arca dan pada saat itu tubuhnya
telah dibelit ekor ular. Kepala ular Itu sejenak bergoyanggoyang seperti menari di depan mukanya, kemudian mulut
yang bergigi runcing itu dibuka lebar, siap untuk menggigit.
Wiraman maklum akan bahaya yang mengancam dirinya
namun ia masih terpesona oleh warna-warna aneh yang
mengelilinginya. Muka ular yang dekat dengan mukanya
itu pun kini tidak berwarna hijau seperti tadi, melainkan
menjadi bermacam-macam warnanya, cemerlang dan
amatlah indahnya. Sebagai seorang yang sudah banyak pengalaman
hidupnya, Wiraman segera dapat menekan perasaannya
dan mengerjakan otaknya. Kini terlintas di otaknya dalam
keadaan bahaya mengancam seperti itu bahwa dia telah
terkena racun yang amat hebat. Dan kini teringatlah ia akan
keadaan Widawati yang juga berdiri seperti orang
terpesona. Tidak salah lagi. Gadis itu yang agaknya tidak
lagi melihat bahaya, yang berdiri memandang dengan mata
kagum, tentu telah terkena racun pula seperti dia. Teringat
akan ini, Wiraman mengerahkan tenaganya, hendak
meronta dari libatan tubuh ular, hendak melawan matimatian dan menyelamatkan Widawati. Namun, sia-sia
belaka. Ular itu bukan main kuatnya dan kini moncong
yang terbuka lebar itu telah mendekatinya, mengeluarkan
bau amis-amis harum dan tampak olehnya rongga mulut
ular yang merah seperti darah. Karena usahanya untuk
melepaskan diri dari belitan ular sia-sia belaka, mendadak
Wiraman mendapat pikiran untuk mengorbankan dirinya
saja. Kalau ular ini sudah menelan tubuhku, tentu ia
menjadi kenyang dan tidak akan mengganggu Widawati
lagi. Pikiran ini membuat Wiraman menjadi tenang dan dia
memandang ular itu dengan penuh keberanian, bahkan ada
rasa girang terselip di hatinya bahwa pada detik terakhir ini
dia dapat melakukan sesuatu untuk Widawati.
"Desss .......... Wiraman hanya melihat berkelebatnya sesosok bayangan
manusia yang menghantam ke arah kepala ular yang sudah
siap mencaplok kepalanya. Wiraman mengerahkan tenaganya ketika merasa betapa Iibatan ular pada tubuhnya
menegang dan mengencang, kemudian tiba-tiba ekor itu bergerak dan melontarkannya ke udara Wiraman terkejut sekali dan hanya dan mencegah tubuhnya terbanting keras dengan cara meringankan tubuhnya menyembunyikan kepala dalam pelukan kedua tangannya. Ketika ia berguling lalu meloncat bangun dalam keadaan pening, ternyata ia telah terlempar tidak jauh dari tempat
Widawati berdiri. Gadis itu masih berdiri seperti arca
dengan mata terbelalak. Ketika ia menoleh, kagum dan
kaget sekali melihat seorang gadis cantik sedang bertanding
melawan ular sakti itu. Tak lama kemudian berkelebat
bayangan orang lain dan muncul seorang pemuda yang
tangkas dan tanpa banyak cakap gadis dan pemuda itu lalu
mengeroyok ular yang mengamuk hebat sambil berdesisdesis mengerikan. Melihat gerakan mereka, Wiratama dapat mengenal
orang-orang sakti. Maka dia lalu menghampiri Widawatl,
merangkul pundaknya dan membawa gadis yang masih
terpesona itu pergi dari situ. Widawati terisak lalu
terhuyung, tubuhnya lemas. Wiraman cepat memondongnya lari menjauhi tempat berbahaya itu. Setelah jauh berada
di dalam hutan, Wiraman menurunkan tubuh Widawati ke
atas rumput hijau yang tebal. Dia sendiri masih merasa
pening dan pandang matanya masih aneh seperti tadi,
masih tampak warna-warna yang cemerlang indah. Namun
dia berusaha melawan perasaan aneh dan pandangan luar
biasa itu dengan kekuatan batinnya, karena ia harus cepatcepat menolong Widawati yang agaknya berada dalam
keadaan tidak wajar. Gadis ini setelah ia turunkan dan
baringkan di atas rumput, menggeliat-geliat dan mengeluarkan rintihan-rintihan lirih. Karena khawatir,
Wiraman cepat memeriksanya, dan melihat guratanguratan merah di leher dan dada, ia menjadi bingung. Dia
tidak tahu apa yang menyebabkan guratan-guratan yang
mengeluarkan sedikit darah seperti tertusuk dan terbarut
duri. Hanya terkena duri ataukah luka karena ular"
"Diajeng .......... apanya yang nyeri. Di mana yang luka
.......... ?" Akan tetapi Widawati hanya merintih dan menggeliatgeliat sambil memejamkan matanya. Wiraman terpaksa
menekan perasaannya karena melihat tubuh yang muda
dan sebagian besar tidak tertutup rapat karena bajunya
robek-robek, ia diserang rangsangan aneh yang membuat
napasnya menjadi sesak. Setan! Dia mengutuk diri sendiri,
lalu berusaha mencurahkan perhatiannya untuk memeriksa
dan menolong gadis ini dari bahaya. Karena dia tidak tahu
apakah luka-luka guratan di leher dan dada beracun ataukah tidak, ia cepat berkata lirih dan merasa heran mengapa
suaranya menjadi menggetar seperti itu dan mukanya terasa
panas, bahkan seluruh tubuhnya menjadi panas.
"Diajeng, maaf .......... aku akan membersihkan lukamu
dari racun ...... "Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menempelkan
mulutnya pada luka guratan di leher Widawati dan
mengecupnya untuk menyedot darah dan mengeluarkan
racun jika kiranya luka itu ada racunnya.
Akan tetapi begitu bibirnya mengecup luka di pangkal
leher yang melekuk dan hangat itu, naik sedu-sedan dari
dadanya yang membuat napas Wiraman menjadi sesak.
Terpaksa ia memejamkan mata untuk melawan rangsangan
hebat yang mengguncang seluruh tubuh dan perasaannya.
Telinganya mendengar betapa Widawati mengeluh dan
mengeluarkan suara aneh. Dia cepat menyedot darah yang
terasa asin panas, meludahkannya, membuka mata
kemudian menyedot lagi luka yang agak ke bawah di bawah
tulang pundak kiri. Hampir ia tidak kuat menghisap luka itu
karena pada saat itu dari dalam pusarnya naik rangsangan
yang tidak wajar, yang membuat matanya berkunang,
napasnya memburu kepalanya berdenyut-denyut. Pada saat
itu, ia merasa betapa dua buah lengan yang halus hangat
melingkari lehernya, betapa wajah yang halus dan panas itu
mendekap mukanya, betapa hidung yang mancung itu
mendengus-dengus seperti kehabisan napas. Widawati telah
memeluknya, dan menciuminya!
Wiraman hanyalah seorang manusia biasa. Memang dia
seorang manusia gemblengan yang telah lama berlatih
untuk menguasai hawa nafsunya sendiri. Namun saat itu
tanpa ia sadari, ia telah terbius oleh racun ular Puspo Wilis
yang amat hebat. Racun yang keluar dari desis ular itu
mula-mula telah meracuni Widawati sehingga dara itu
menjadi terpesona, pandang matanya melihat beraneka
warna cemerlang indah, telinganya berdengung-dengung
mendengar gamelan yang merayu indah, dan tubuhnya
terangsang oleh hawa nafsu yang selama ini belum pernah
dikenalnya. Kemudian Wiraman juga terkena racun itu.
Biarpun ila sudah berusaha untuk meneguhkan hatinya,
untuk menekan perasaannya, namun keadaan tldak
membantunya. Kalau saja ia tidak khawatir akan
keselamatan Widawati, kalau saja ia tidak berusaha
menghisap racun yang disangkanya berada dalam luka-luka
guratan yang sebetulnya hanya guratan terkena duri-duri
saja, agaknya pria itu akan dapat menguasai rangsangan
yang timbul dari racun ular Puspo Wilis itu. Akan tetapi,
keadaan tidak demikian. Dia harus menghisap luka-luka
itu, di leher yang indah, di dada yang menggairahkan.
Semua ini memperlipatgandakan rangsangan yang menguasainya, ditambah lagi dengan pelukan dan ciuman
Widawati 'yang berada dalam keadaan tidak sadar dan
dipermainkan oleh pengaruh racun. Wiraman jatuh!
Gadis yang telah menyelamatkan Wiraman pada detik
terakhir tadi bukan lain adalah Pusporini. Dalam lomba,
lari mencari ular, Pusporini menang cepat, akan tetapi
karena ia harus mencari-cari dengan teliti dan tidak dapat
berlari cepat di dalam hutan itu, Joko Pramono dapat
menyusulnya dan pemuda ini sudah mulai pula mencaricari dalam hutan sebelum Pusporini berhasil menemukan
ular Puspo Wilis yang dicari-cari. Kemudian, tiba-tiba
terdengar pekik yang keluar dari mulut Widawati tadi.
Pusporini yang berada dalam jarak lebih dekat, lebih dahulu
tiba di tempat itu dan kebetulan sekali ia menyaksikan
betapa ular itu sudah hendak mencaplok kepala Wiraman.
Pusporini menggunakan Aji Bayu Tantra, tubuhnya
mencelat ke depan laksana kilat menyambar dan dengan
pukulan Aji Pethit Nogo ia menghantam ke arah kepala
ular itu! Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya
menyaksikan betapa ular itu tidak remuk kepalanya oleh
pukulannya Pethit Nogo, melainkan tersentak ke belakang,
melepaskan lingkarannya dan melemparkan tubuh Wiraman sampai jauh. Pusporini maklum bahwa ular inilah
yang dimaksudkan Sang Resi Mahesapati, maka ia cepat
menerjang maju lagi dengan pukulan Pethit Nogo yang
lebih keras lagi ke arah moncong yang mendesis-desis itu.
"Desss .......... !!"
Pukulan Pethit Nogo amatlah ampuhnya, akan tetapi
benar-benar luar biasa sekali ular itu karena kepalanya tidak
pecah terkena pukulan itu, hanya desis mulutnya makin
menghebat seolah-olah dia bersambat kesakitan. Tubuhnya


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini sudah membelit pohon lagi dan kepalanya bergoyanggoyang kemudian ia membalas dengan luncuran kepalanya
yang amat cepat, mengimbangi kecepatan gerak tangan
Pusporini tadi. KepaIanya itu seolah-olah merupakan
tangan seorang lawan tangguh yang mengirim pukulan ke
arah dada Pusporini, bahkan lebih hebat daripada pukulan
orang karena mulutnya terbuka, mengirim semburan uap
kehijauan dan giginya siap menggigit. Pusporini penasaran
dan menangkis, akan tetapi biar pun ia berhasil menangkis
serangan itu, ketika lengannya bertemu dengan leher ular,
tenaga serangan binatang itu membuat ia terhuyung ke
belakang. Dan ular itu dengan amat cepatnya sudah
menerjang lagi dengan mulut mendesis-desis.
"Plakk!!" Kepala ular itu terlempar belakang oleh sebuah
pukulan keras yang dilakukan Joko Pramono yang sudah
tiba di situ. Hebat pukulan ini, tidak kalah hebat oleh Aji
Pethit Nogo tadi, bahkan mengandung tenaga yang lebih
kuat lagi karena itulah pukulan dengan Aji Cantuka Sekti.
Namun ular itu hanya pening sebentar karena kembali ia
sudah membalas dengan serangan kuat ke arah leher Joko
Pramono yang tertegun dan cepat menangkis.
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!" Pusporini
membentak. "Aku tidak membantumu! Kita berlomba membunuhnya!" jawab Joko Pramono.
Celakalah binatang itu karena sekarang dia dikeroyok
dua oleh sepasang orang muda sakti yang berlomba untuk
membunuhnya! Betapapun kuatnya ular yang sudah
ratusan tahun umurnya ini; berat juga ia menanggulangi
amukan dua orang muda murid Sang Resi Mahesapati. Ia
menjadi bulan-bulan pukulan sakti, tidak mampu balas
menyerang dan untuk melampiaskan kemarahannya, ular
itu terus-menerus mendesis-desis mengeluarkan uap hijau
yang makln lama makin tebal. Dua orang muda itu tadinya
terlalu mengandalkan kekebalan tubuh dan kekuatan hawa
sakti mereka, akan tetapi lama-kelamaan mereka menjadi
terkejut sekali karena napas mereka sesak dan pandang
mata mereka selain berkunang-kunang juga mulailah
tampak warna-warna cemerlang yang amat aneh.
"Pusporini .......... hati-hati .....racun .......... !" Joko
Pramono memperingatkan, agak terengah napasnya.
"Kalau takut racun, pergilah!" jawab Pusporini tak acuh
sungguhpun ia sendiri merasa heran mengapa pandang
matanya melihat warna-warni cemerlang sehingga wajah
Joko Pramono memiliki warna cemerlang yang amat indah
dan luar biasa. Keduanya kini mengerahkan tenaga dan biarpun ular itu
tidak remuk kepalanya oleh pukulan-pukulan mereka, akan
tetapi jelas menjadi agak lemah. Bahkan kini ekor yang tadi
membelit pohon telah terlepas dan membelit tubuh Joko
Pramono. Pemuda ini mengerahkan hawa saktinya
sehingga belitan yang kuat itu tidak terasa olehnya, malah
ia sudah mencengkeram perut ular itu. Pada saat yang
sama, Pusporini yang mengelak dari gigitan kepala ular itu,
cepat sekali menggunakan kesempatan itu menangkap leher
ular. Tadi tidak mungkin hal dilakukan karena ular itu
memiliki gerakan yang amat gesit. Akan tetapi setelah
tenaganya berkurang dan agaknya binatang itu lelah,
kegesitannya pun berkurang sehingga lehernya dapat
ditangkap Pusporini. Melihat ini, Joko Pramono takut kalau
ia sampai kalah, maka ia membetot tubuh ular yang ia
cengketam perutnya itu. Purporini tidak mau kalah, ia juga
membetot leher binatang itu. Terjadilah tarik-menarik
antara Pusporini dan Joko Pramono. Sungguh sial binatang
itu yang kini tidak mampu bergerak, dijadikan seperti
tambang untuk tarik-tarikan adu tenaga. Kekuatan ular
terletak pada urat-urat di tubuhnya yang dapat digerakgerakkan dan dapat menggeliat-geliat. Kini setelah
tubuhnya ditarik, lumpuhlah dia. Dua orang muda itu terus
menarik, mengerahkan tenaga saktinya dan .......... "krakk
.......... !" tubuh ular itu terobek dan putus menjadi dua!
Bagian belakangnya berada di tangan Joko Pramono
sedangkan bagian depannya berada di tangan Pusporini.
Dua bagian tubuh ular itu masih menggeliat-geliat hidup,
bahkan bagian depan yang berada di tangan Pusporini tibatiba melakukan gerakan sarentak dan kulit tubuhnya
mengeluarkan minyak, kepalanya mendesis keras dan
.......... tubuh itu dapat melepaskan diri dari pegangan
Pusporini. Dari kepala sampai ke bagian tubuh yang
buntung masih ada semeter lebih panjangnya. Ular yang
tinggal sepotong itu begitu tiba di tanah lalu meluncur cepat
hendak melarikan diri. Pusporini seperti, orang terpesona atau bingung karena
dia berdiri terbelalak saja memandang. Adapun Joko
Pramono ketika melihat ini, melemparkan bagian belakang
ular yang berada di tangannya kemudian berteriak,.......... ,
"Pusporini! Jangan biarkan dia lari"..!
Pemuda Itu menubruk, berbareng dengan Pusporini yang
juga menubruk, agaknya gadis ini sadar kembali oleh
teriakan Joko Pramono. Mereka masih berlomba, berebutan. Begitu ular itu dapat
ditangkap, dua pasang tangan berebut dulu menangkap
bagian kepala dan merobek mulut ular itu.
''Kraaaak .......... brettttt .......... !" Uap hijau makin tebal
mengepul. Kedua orang itu tidak memperdulikan,
melainkan berebut mencari batu mustika yang menurut
guru mereka berada di kepala ular. Mulut ular sudah robek
menjadi dua dan kini tampaklah benda mencorong di telak
(rongga mulut atas) yang bersinar hijau. Karena perebutan
ini, tangan mereka bertemu dan cengkeraman mereka
membuat setengah kepala ular bagian atas itu hancur. Sinar
berkelebat dan sebutir batu bulat lonjong meloncat karena
licin sekali dari dalam kepala yang hancur, jatuh ke atas
tanah. Itulah mustika ular yang dimaksudkan Sang Resi
Mahesapati, sebuah batu hijau mencorong yang besarnya
hanya seibu-jari kaki. Melihat benda ini, Joko Pramono dan
Pusporini menubruk ke bawah dalam detik yang sama.
Karena mereka tergesa-gesa dan batu itu amat kecil, apalagi
karena pandang mata mereka telah disilaukan warna-warni
yang aneh, mereka bertubrukan dan saling cengkeram.
Tanpa disengaja, Pusporini memegang lengan Joko
Pramono, sedangkan pemuda itu pemegang kedua pundak
Pusporini. Mereka beradu pandang, muka mereka hampir
beradu dan pada saat itulah terjadinya getaran yang amat
hebat, yang membuat keduanya menggigil, mata saling
pandang, napas agak terengah dan batu mustika ular
dilupakan. Bagaikan dalam mimpi, mereka saling pandang
penuh kemesraan, penuh gairah dan berahi,, mulut berbisik
lirih, "Pusporini .......... !"
"Joko Pramono ..........!"
Bagaikan digerakkan tangan-tangan setan yang tak
tampak, dua muka yang elok itu saling berdekatan, hidung
sudah hampir saling menyentuh, hembusan napas masingmasing terasa hangat di pipi. Rangsangan yang hebat
menguasai mereka, mendorong hasrat ingin saling
berpelukan, saling berciuman, saling melimpahkan cinta
kasih. Tangan mereka menggigil dan mulut mereka sudah
saling berdekatan, bibir sudah saling bersentuhan. Pada saat
itulah, keduanya sadar ketika pandang mata mereka
bertemu kembali. "Ah, ini tidak benar!" seru Pusporini melepaskan
pelukannya. "Memang salah! Harus kita lawan .......... !" Joko
Pramono juga berseru dan keduanya melepaskan pelukan
dan meloncat mundur. Akan tetapi mereka terhuyung lagi ke depan, saling
pandang penuh kasih mesra dan sebelum mereka sadar apa
yang mereka lakukan, keduanya sudah saling tubruk dan
saling rangkul. Joko Pramono menundukkan mukanya
mencium Pusporini dengan penuh nafsu yang dibalas oleh
gadis itu tanpa malu-malu lagi, dengan mata setengah
dipejamkan. Akan tetapi setelah ciuman yang bagi mereka seakan
tiada putus-putusnya itu mereka saling berpandangan dekat
sekali dan melihat bayangan sendiri di dalam manik mata
masing-masing, kesadaran mereka membuat keduanya
memekik keras, melepaskan dekapan dan meloncat tiga
tindak ke belakang, berdiri terbelalak. Mereka berdua
melawan rangsangan yang membuat mereka ingin saling
dekap dan ingin melakukan hal-hal yang lebih berani lagi
untuk melampiaskan dorongan hasrat yang amat kuat, dan
terdengarlah Joko Pramono berkata terengah-engah,
"Pusporini .......... racun .......... racun ular .......... kita
harus melawan .......... kumpulkan hawa sakti ..........
bernapas sempurna mengusir hawa jahat .......... !"
Pusporinl yang terengah-engah mengangguk dan keduanya lalu menjatuhkan diri duduk bersila dan melakukan samadhi sekuat mungkin, melawan rangsang-an yang amat hebat itu. Sungguhpun mereka itu adalah orang- orang gem-blengan, namun mereka masih muda dan masih berdarah panas; maka dapat dibayangkan betapa sukar-nya melawan racun yang merangsang nafsu berahi itu. Syukur
bahwa keduanya adalah murid-murid sang sakti Resi
Mahesapati yang sudah cukup mengisi mereka dengan
kekuatan batin yang dahsyat sehingga setengah jam
kemudian mereka pun sudah berhasil mengusir hawa
beracun dari tubuh dan kepala mereka. Keduanya sadar dan
begitu membuka mata saling berpandangan, keduanya malu
sekali. Entah mana yang lebih merah mukanya, Pusporini
ataukah Joko Pramono. Akan tetapi pengalaman itu
membuat mereka berdua makin yakin akan perasaan hati
selama ini bahwa biarpun lahirnya mereka selalu berlomba
dan bersaingan, namun di dalam hati. mereka sudah
berakar benih cinta kasih yang mendalam.
"Batu mustika itu .......... !" kata Joko Pramono tiba-tiba
dan keduanya memandang ke arah batu yang masih terletak
di antara mereka. Akan tetapi aneh sekali. Kini keduanya
tidak bersicepat berdahuluan merebut batu. Keduanya tetap
duduk bersila dan tenang-tenang saja. Ketika kembali
mereka beradu pandang, keduanya. menunduk dan tahulah
mereka bahwa kini mereka tidak berpura-pura lagi, tidak
perduli akan batu mustika itu, tidak ingin bersaing dan
mengalahkan satu kepada yang lain.
"Pusporini .......... "
"Hemm .......... ?" Tanpa mengangkat muka Pusporini
menjawab lirih. "Batu itu .......... mengapa tidak kau ambil?"
"Kau ambillah, sama saja."
Joko Pramono tidak bergerak dari duduknya dan sunyi
sampai lama. "Pusporini .......... "
"Hemmm.......... ?"
"Alangkah bahayanya racun itu........."
"Benar, mengerikan .......... "
"Untung engkau kuat .......... "
"Engkau pun kuat, Joko Pramono."
"Hemm, masih baik kita berdua sadar. Hal itu berarti
bahwa kita saling menghargai, bahwa kita saling .......... "
?"?" apa .......... "
"Saling m?ncinta !"
"Husshhh!". Setelah kini terlepas dari bahaya yang
mengerikan itu, saking girangnya Pusporini mulai timbul
kembali kegalakannya, sungguhpun kini dia sama sekali
tiada niat untuk bersaing lagi dengan Joko Pramono.
"Pusporini, tidakkah kau merasa di dalam hatimu seperti
yang kurasakan sekarang?"
Pusporini mengangguk lalu menyambung, "Sudahlah.
Kau bawa batu itu dan kita kembali kepada Eyang Resi.
Kita serahkan batu itu kepada Eyang Resi."
Joko Pramono tersenyum penuh kebahagiaan, lalu
bangkit, mengambil batu, membersihkannya dari darah
dengan bajunya, mengamatinya sebentar. penuh kekaguman, lalu menghampiri Pusporini yang juga sudah
bangkit. Ia menyerahkan batu itu dan berkata,


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau yang membawa dan menyerahkannya kepada
Eyang Resi, Pusporini."
"Tidak! Kau saja .......... "
"Aku laki-laki, aku lebih patut mengalah."
Mereka berdiam. Pusporini menerima batu itu dan
keduanya sejenak merasa terheran-heran akan perubahan
yang mendadak ini. Tadinya mereka ingin sekali saling
mengalahkan dan bersaing, kini mereka ingin sekali saling
mengalahl "Eh, kulihat tadi si laki-laki gagah dan gadis itu .......... ke
mana mereka?" Joko Pramono tiba-tiba bertanya dan memandang ke
kanan kiri. Pusporini juga teringat, cepat menyimpan batu mustika
ular di dalam kembennya dan juga mencari-cari denga
pandang matanya. "Ah, jangan-janga mereka telah tewas
karena racun ular. Mari kita mencari mereka."
Keduanya lalu melompati bangkai ular dan mencari-cari.
Tak lama kemudian mereka berdiri terhenyak dan
memandang ke atas rumput tebal di bawah pohon, di mana
mereka melihat laki-laki itu dan gadis yang berpakaian
robek-robek rebah di situ! Keduanya agaknya pingsan
dalam keadaan masih saling berpelukan!
"Ihhh .......... Bedebah! Tak tahu malu!" Pusporini
berseru sambil membuang muka. Ia dapat menduga apa
yang telah terjadi antara kedua orang yang masih
berpelukan itu. Wajah Joko Pramono juga menjadi merah sekali, dan ia
hanya dapat berkata lirlh, "Betapa mungkin mereka masih
dapat berbuat seperti itu .......... ?"
"Dasar manusia rendah! Lebih baik kubunuh saja!" seru
Pusporini sambil menyambar sebuah batu besar di
dekatnya. Akan tetapi Joko Pramono cepat memegang
lengannya. Dia teringat akan sesuatu dan cepat berbisik,
"Jangan, Pusporini! Ingatlah keadaan kita tadi! Kita yang
sudah lama melatih diri dengan segala ilmu kesaktian,
masih hampir tidak kuat menghadapi rangsangan hawa
beracun. Tentu mereka berdua juga menjadi korban hawa
beracun ular itu." Pusporini melepaskan batunya dan menghela napas
sambil mengangguk. "Kalau begitu ...... patut dikasihani
mereka itu .......... siapakah gerangan mereka?"
"Kita bersembunyi di sana .......... ssttt, mereka sudah
bergerak. Kita dengarkan apa yang mereka katakan dan
kalau memang laki-laki itu seorang jahat, aku yang akan
memberi hajaran kepadanya. Mari .......... !" Keduanya
meloncat dan menyusup ke dalam semak-semak, mengintai.
"Aduh .......... Jagad Dewa Bathara .......... ! Apa yang
telah kulakukan ini .... ?"" Begitu sadar dari pingsannya dan
mendapatkan dirinya rebah berpelukan dengan Widawati,
Wiraman meloncat bangun. Melihat keadaan pakaian gadis
itu cepat ia membereskan dan menyelimuti gadis itu dengan
sarungnya karena baju gadis itu robek-robek, kemudian ia
duduk, menghela napas berkall-kali kemudian menutupi
mukanya dengar kedua tangan.
"Aku telah gila .......... ! Gila .......... Gila .......... !"
Wiraman menampari kepala sendiri dan merenggut-renggut
rambutnya. Isak tangis yang terdengar tiba-tiba membuat Wiraman
menurunkan kedua tangannya dan ia memandang
Widawati yang sudah duduk menangis itu dengan wajah
pucat. Gadis itu menangis terisak-isak dan air matanya
mengalir turun melalui cela-cela kedua tangan yang
menutupi muka. Beberapa kali Wiraman menelan ludah, agaknya sukar
baginya untuk membuka mulut, kemudian dapat juga ia
berkata, suaranya gemetar dan lirih, "Di ajeng Widawati
.......... aku .......... aku berdosa .......... aku telah merusakmu
.......... aku manusia berhati binatang. Aku terkutuk! Aku
patut dihukum seberat-beratnya, seribu kali mati pun masih
belum dapat mencuci dosaku kepadamu. Akan tetapi, demi
semua Dewata, aku bersumpah bahwa itu yang kulakukan
tadi benar-benar terjadi di luar kesadaranku, Diajeng
?"?"" Widawati masih menangis, makin mengguguk sampai
pundaknya terguncang. "Diajeng, penyesalanku lebih besar daripada penyesalanmu. Percayalah dan sebagai bukti, biarlah
kausaksikan kepalaku remuk oleh batu ini! Selamat tinggal,
Diajeng .......... !"
"Kakang .......... ! Jangan .......... !!" Widawati yang
menurunkan kedua tangannya dan melihat betapa laki-laki
itu sudah mengangkat sebuah batu besar hendak
ditimpakan kepalanya sendiri, menjerit dan menubruk.
"Jangan, Kakang ?"" lebih baik kaubunuh aku lebih
dulu?"".." Dan ia menangis tersedu-sedu.
Wiraman menjadi lemas. Diturunkan batu itu dan dieluselusnya rambut kepala yang bersandar di dadanya.
"Diajeng Widawati .......... apakah yang kau maksudkan"
Mengapa engkau berkata demikian" Aku telah menodaimu
aku telah berdosa dan aku hendak menebus dosa dengan
nyawaku. Mengapa kau melarangku?"
Widawati masih menangis di dada Wiraman ketika ia
menjawab, "Kakang .......... bukan kesalahanmu seorang
.........., aku teringat semua sekarang .......... ah, akulah yang
bersalah .......... aku gadis tak tahu malu .......... aku..........
aku yang menggodamu, Kakang .......... !"
Wiraman mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
Terbayanglah semua peristiwa tadi, peristiwa yang amat
mesra namun juga amat memalukan setelah kini diingat
dalam keadaan sadar. Memang sesungguhnyalah, dia tidak
memperkosa Widawati, hal itu terjadi bukan karena
kekerasan atau bujukan. Sama sekali bukan, melainkan
terjadi atas kehendak kedua fihak. Terjadi karena
rangsangan yang luar biasa, yang membuat keduanya
seperti mabuk, melakukan hal itu karena tidak dapat
menguasai diri sendiri, tidak sadar menjadi boneka-boneka
yang dikuasai nafsu, dipermainkan rangsangan nafsu
sampai mereka pingsan. Wiraman menarik napas panjang. "Sekarang aku pun
ingat, Diajeng. Tidak salah lagi, kita menjadi korban hawa
racun ular itu .......... ah, setan telah menguasai kita berdua
.......... dan .......... dan hal itu telah terlanjur .......... terjadi
di luar kesadaran kita."
"Aku aku. malu sekali, Kakang. Kaubunuhlah aku
?"?" Wiraman mendorong kedua pundak gadis itu, memaksanya untuk beradu pandang dengannya. "Diajeng,
setelah hal itu terjadi di luar kesadaran kita .......... apakah
.......... apakah engkau merasa terhina" Apakah engkau
merasa menyesal?" Widawati terpaksa memandang wajah Wiraman dengan
mata merah dan muka basah air mata. Ia menggeleng
kepala. "Bukan merasa terhina atau menyesal .......... hanya
malu .......... karena aku .......... seolah-olah telah
merampasmu dari isterimu, Kakang .......... "
Wiraman menarik napas panjang lagi. "Ah, jangan
berkata demikian, Diajeng Widawati. Hal ini telah terjadi di
luar kehendak kita, berarti bahwa Hyang Widi Wisesa telah
menentukan demikian. Kalau engkau sudi .......... aku pun
bersumpah bahwa mulai saat ini kau kuanggap sebagai
seorang Isteriku .......... dan aku akan melindungimu
sebagai seorang suami, selama-lamanya, Diajeng ........"
Widawati mengeluh dan menyandarkan mukanya di
dada Wiraman. "Ahh, Kakang .......... aku hidup
sebatangkara di dunia ini, hanya engkaulah yang
kupandang, hanya engkau seorang yang menjadi sandaran,
hidupku .......... tadinya engkau kuanggap sebagai seorang
kakak, sebagai pengganti orang tua dan saudara-saudaraku
.......... akan tetapi, sekarang terjadi hal ini .......... terserah
kepadamu, Kakang, terserah kebijaksanaanmu."
"Jangan khawatir, kelak kalau bertemu dengan
keluargaku, akan kuceritakan semua peristiwa ini. Isteriku
seorang yang bijaksana, tentu dapat memahami dan akan
menerimamu sebagai saudara muda dengan tangan dan hati
terbuka." Agak lega hati Wiraman bahwa peristiwa yang
mengerikan itu berakhir dengan dipertemukannya hatinya
dengan hati Widawati sehingga terdapat persesualan faham.
Tiba-tiba ia teringat akan dua orang muda sakti yang tadi
telah menolongnya. "Ah, di mana mereka .......... " Diajeng, kalau tidak ada
dua orang muda yang sakti mandraguna datang menolong,
tentu kita berdua telah berada di dalam perut ular itu."
Widawati bergidik. "Aku pun samar-samar melihat
berkelebatnya bayangan mereka. Mari kita cari mereka,
Kakang?"." Keduanya bangkit berdiri dan Widawati kini menggunakan sarung Wiraman untuk menutupi tubuh
atasnya, karena pakaiannya koyak-koyak. Akan tetapi
ketika mereka berdua keluar dari belakang semak-semak,
mereka melihat dua orang muda sakti itu berdiri dengan
wajah berseri. Seketika wajah Widawati menjadi merah
sekali dan jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.
Apakah kedua orang muda itu melihatnya dan mendengarkan semua percakapannya dengan Wiraman"
Akan tetapi, Wiraman segera maju dan memberi hormat.
"Syukur kepada para Dewata Yang Agung bahwa
Andika berdua dalam ke-, adaan selamat. Saya yakin
bahwa Andika berdua yang sakti mandraguna telah berhasil
membunuh ular siluman itu. Boleh-kah kami mengenal
nama Andika berdua yang sakti mandraguna?"
Joko Pramono yang tadi mendengarkan percakapan
mereka dan bersama Pusporini mendapat kesan baik atas
diri Wiraman dan Widawati, juga merasa kasihan kepada
dua orang itu, membalas penghormatan itu dan menjawab,
"Nama saya Joko Pramono dan dia ini adalah adik
seperguruan saya, namanya Pusporini. Kami adalah muridmurid Sang Resi Mahesapati yang mentaati perintah guru
kami untuk membunuh ular sakti Puspo Wilis. Andika
siapakah dan mengapa sampai berada di dalam hutan liar
ini?" Berdebar jantung Wiraman. Dia telah diselamatkan oleh
dua orang sakti ini, dan mereka itu telah mengaku dan
memperkenalkan diri secara terus terang. Sungguhpun dia
belum pernah mendengar nama mereka, belum pula
mendengar nama Sang Resi Mahesapati, namun ia dapat
menduga bahwa mereka ini tentu murid-murid seorang
pertapa yang maha sakti. Sudah sepatutnya sebagai orang
yang berhutang budi, ia mengaku terus terang akan
keadaannya dan keadaan Widawati. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka berdua adalah orang-orang
buruan yang harus melakukan perjalanan secara rahasia,
membuka rahasia mereka berarti membahayakan keselataman Widawati. Wiraman merasa serba salah dan
setelah ragu-ragu sebentar, ia lalu menjawab, setengah
benar setengah bohong, "Nama saya Wiraman dan dia ini adalah adik misan
saya bernama Widawati. Kami berdua adalah perantauperantau dari dusun yang hendak pergi ke kota raja Panjalu,
dengan niat mencari pekerjaan di sana .......... "
"Eh, paman mengapa bersembunyi-sembunyi dan
membohong kepada kami?" Tiba-tiba Pusporini mencela.
Gadis ini memang lincah dan kenes, juga paling membenci
segala macam bentuk kebohongan karena dia sendiri tidak
pernah membohong dan selalu menghendaki kejujuran.
"Paman bukan orang dusun, apa-lagi Ayunda ini, pasti.
sekali bukan seorang gadis dusun! Cara Paman melawan
ular tadi pun menunjukkan bahwa Paman bukan seorang
petani biasa! Kami tidak keberatan Paman tidak mengaku
siapa sebenarnya Andika berdua karena bukan urusan
kami, akan tetapi kami pun tidak suka dibohongi karena
yang membohong dan menyembunyikan diri hanyalah para
pengecut. Dan kami yakin Paman bukan seorang
pengecut!" Ucapan ini keluar dari hati yang jujur karena
setelah tadi mendengar percakapan mereka, Wiraman
mendatangkan kesan yang baik dalam hati Pusporini, maka
gadis perkasa ini menjadi kecewa mendengar pengakuan
Wiraman yang tidak sejujurnya.
Merah wajah Wiraman dan sejenak ia tidak dapat bicara.
Tak disangkanya ia akan bertemu dengan gadis sakti yang
begini terus terang tanpa tedeng aling-aling kalau bicara!
"Saya .......... sesungguhnya .......... " ia menggagap.


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat keadaan .Wiraman ini, Widawati menjadi
kasihan. Gadis ini tentu saja maklum mengapa Wiraman
perlu membohong, tentu untuk menjaga keselamatannya
karena mereka berdua belum mengenal betul siapa adanya
muda-mudi yang sakti itu. BagaImana kalau mereka itu
orang-orang yang pro kepada kekuasaan baru yang kini
mencengkeram Jenggala" Cepat ia membela, siap mengorbankan dirinya, "Sesungguhnya, saya bernama Widawati dan saya
adalah satu-satunya cucu Ki Patih Brotomenggala di
Jenggala yang terbebas daripada malapetaka yang
membasmi keluarga kepatihan. Dan Kakang Wiraman ini
hanya mengantar saya menuju ke Panjalu minta
pengadilan.......... "
"Diajeng .......... !" Wiraman hendak mencegah, namun
pengakuan itu telah lengkap.
Pusporini dan Joko Pramono terkejut sekali mendengar
pengakuan itu dan mereka saling pandang. Kemudian
Pusporini cepat melangkah maju dan memegang tangan
Widawati sambil berkata, "Ah, kIranya Andika ini cucu Ki Patih Brotomenggala di
Jenggala" Dan keluarga-kepatihan Jenggala terbasmi habis"
Apa artinya itu" Apa yang telah terjadi di Jenggala?"
Widawati dan Wiraman saling pandang dan pada
pandang Wiraman terdapat pesan kepada Widawati, agar
jangan mengaku sebelum mengenal siapa adanya dua orang
muda-mudi ini. Melihat ini, Pusporini menjadi tidak sabar
dan cepat berkata, "Andika berdua tidak perlu curiga. Kami adalah orangorang yang setia kepada kerajaan. Ketahuilah, aku adalah
seorang dari Kadipaten Selopenangkep. Sang Adipati
Tejolaksono adalah rakandaku, kakak misanku! Ayunda
Endang Patibroto adalah kakakku! Masih tidak percayakah
Andika kepadaku?" Kini yang menjadi amat terkejut adalah Wiraman,
sedangkan Widawati memandang dengan mata terbelalak
karena tentu saja ia sudah mendengar dan tahu siapa
adanya Endang Patibroto yang dahulu menjadi isteri
Pangeran Panjirawit di Jenggala! Serta-merta kedua orang
ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan Widawati lalu
menangis. "Sungguh merupakan kemurahan para Dewata bahwa
hamba berdua mendapat pertolongan dari Paduka yang
menjadi saudara muda Gusti Patih Tejolaksono di Panjalu
.......... !" kata Wiraman dengan girang sekali.
Kini giliran Pusporini yang tercengang. "Apa kau bilang"
Rakanda Tejolaksono adalah adipati di Selopenangkep,
mengapa Andika menyebutnya gusti patih?"
Wiraman melongo. "Betapa mengherankan pertanyaan
Paduka ini! Gusti Adipati Tejolaksono kini telah menjadi
patih muda di Panjalu. Bagaimana Paduka sampai tidak
mengerti?" Pusporini mengangguk-angguk. "Syukurlah kalau begitu.
Ketahuilah, Paman Wiraman. Telah bertahun-tahun aku
meninggalkan Selopenangkep dan menjadi murid Eyang
Resi Mahesapati. Sekarang ceritakannya kesemuanya,
ceritakanlah apa yang terjadi di Jenggala, siapa sebenarnya
Andika ini, dan mengapa kepatihan Jenggala terbasmi, oleh
siapa." Maka berceritalah Wiraman tentang dirinya, betapa dia
bersama sebelas orang temannya sebagai orang-orang
kepercayaan mendiang Ki Patih Brotomenggala melakukan
tugas mengawal secara diam-diam pada sri baginda yang
mengadakan perburuan. Betapa kemudian sri baginda
diserbu penjahat. Dia menceritakan semua rahasia, juga
membongkar rahasia orang yang bernama Raden Warutama yang dengan licik telah dapat mengangkat diri
menjadi patih di Jenggala. Dia juga menceritakan
bagaimana Ki Patih Brotomenggala difitnah dan dijatuhi
hukuman mati sekeluarga dan hanya Widawati saja yang
kebetulan dapat lolos. Diceritakan pula betapa Kerajaan
Jenggala kini dicengkeram oleh selir baru yang bernama
Suminten dan persekutuan antara Suminten, Pangeran
Kukutan, dan patih baru yang bernama Warutama.
"Karena hamba berdua merupakan orang-orang buruan
Jenggala, maka hamba mengajak .......... Diajeng Widawati
untuk melarikan diri ke Panjalu, untuk mohon bantuan dan
pengadilan sri baginda di Panjalu. Karena hamba berdua
melakukan perjalanan secara rahasia, maka hamba
melewati daerah-daerah yang sunyi. Siapa nyana, di sini
hamba berdua diserang ular siluman dan untung tertolong
oleh Paduka. Akan tetapi hamba ............ " Wiraman tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena ia teringat akan
peristiwa yang terjadi antara dia dan Widawati.
Joko Pramono maklum akan isi hati bekas pengawal
yang gagah perkasa itu, maka ia cepat berkata, "Paman
Wiraman harap menenangkan hati. Aku dan Pusporini
yang menjadi saksi bahwa Paman berdua telah menjadi
korban racun ular yang amat jahat. Kami berdua yang
menjadi saksi akan perlindungan dan pembelaan Paman
yang amat setia terhadap cucu mendiang Ki Patih
Brotomenggala." Wiraman mengangkat muka memandang wajah Joko
Pramono dengan penuh syukur dan terima kasih.
"Kalau begitu, perkenankan hamba berdua untuk
melanjutkan perjalanan agar dapat segera sampai di
Panjalu." "Nanti dulu, Paman. Cerita Paman sungguh menarik
hati dan aku sendiri ingin pergi menjumpai Rakanda
Tejolaksono di Panjalu, Akan tetapi, aku harus minta ijin
dulu dari Eyang Resi dan sebaiknya Andika berdua ikut
dengan kami menghadap Eyang Resi untuk mendapat
nasehat dan doa restunya."
Wiraman tidak berani membantah, apalagi sebagai
seorang gagah perkasa, ia pun ingIn sekali menghadap guru
dua orang muda yang sakti itu, yang ia percaya tentu
memiliki ilmu kesaktian, yang luar biasa hebatnya. Adapun
Widawati yang telah menyerahkan jiwa raga dan nasibnya
ke tangan Wiraman, hanya menurut saja. Berangkatlah
mereka berempat menuju ke puncak Gunung Kawi dan di
sepanjang perjalanan Wiraman dihujani pertanyaanpertanyaan, terutama sekali oleh Pusporini yang ingin tahu
tentang keadaan keluarganya. Ketika mendengar akan
kejahatan Suminten yang telah mencengkeram Jenggala
melalui sang prabu yang lemah dan tua, dua orang murid
Resi Mahesapati ini menjadi marah.
Akan tetapi sungguh berbeda dengan kedua orang
muridnya yang marah mendengar kelaliman merajalela di
Jenggala, Sang Resi Mahesapati malah tersenyum lebar,
seolah-olah tidak merasa heran dan juga tidak menganggap
peristiwa-peristiwa mengerikan yang terjadi di Jenggala itu
sebagai hal-hal yang menjadikan penasaran. Ia menerimanya dengan tenang, tersenyum dan menganggukangguk, menganggapnya sudah wajar!
"Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun
buruk menurut penilaian orang, adalah wajar dan sudah
ditentukan oleh Sang Hyang Widi Wisesa, sesuai dengan
hukum karma, sama wajarnya dengan perkembangan
sebab-akibat sebutir benih yang ditanam lalu tumbuh,
berdaun, berkembang, dan berbuah. Dan sesungguhnya,
untuk menghadapi semua itulah maka aku dahulu
mengambil kalian sebagai murid, Joko Pramono dan
Pusporini!" "Eyang Resi, kalau begitu, hamba mohon Eyang sudi
memperkenankan hamba pergi bersama Paman Wiraman
berdua ke Panjalu untuk menghadap Rakanda Tejolaksono
dan membantunya membebaskan Jenggala dari cengkeraman persekutuan busuk itu!" kata Pusporini penuh
semangat. "Ha-ha, belum tiba saatnya, Pusporini. Ingatkah engkau
akan janjimu dahulu bahwa kalian berdua harus lima tahun
menerima gemblengan" Baru berjalan tiga tahun, dan yang
kalian bantu bukanlah Sang Patih Muda Tejolaksono.
Jangan tergesa-gesa, muridku."
. "Pusporini, agaknya engkau lupa akan tugas yang kita
lakukan atas perintah Eyang Resi. Mengapa tidak kau
keluarkan mustika ular itu dan kita sama sekali belum
menceritakan hasil tugas kita kepada Eyang Resi."
Pusporini terkejut. Peristiwa perjumpaan
dengan Wiraman dan Widawati, kemudian mendengar tentang
rakandanya, membuat ia lupa sama sekali akan hal itu.
Cepat ia mengeluarkan batu mustika ular itu dan
menyerahkannya kepada Resi Mahesapati, sedangkan Joko
Pramono lalu menceritakan secara ringkas tentang hasil
mereka membunuh ular Puspo Wilis. Tentu saja ia tidak
menyinggung-nyinggung tentang peristiwa mengerikan
yang hampir saja menyeret mereka menjadi hamba-hamba
nafsu karena pengaruh racun mujijat dari ular itu, juga tidak
menceritakan tentang keadaan Wiraman dan Widawati.
Kakek itu menerima batu mustika ular, memandanginya
sejenak dan mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Kemudian sinar matanya yang halus penuh wibawa itu
menyapu ke arah wajah keempat orang itu. Sinar mata ini
begitu penuh pengertian sehingga tanpa dapat ditahan lagi
empat orang yang duduk menghadap itu menundukkan
muka yang menjadi merah padam, terutama sekali
Wiraman dan Widawati. "Kau simpaniah batu mustika ular Puspo Wilis ini,
Pusporini. Ketahuilah bahwa di antara semua binatang
berbisa, ular Itu telah menghimpun segala macam bisa dan
kebal terhadap semua bisa karena khasiat batu mustika ini.
Batu ini kelak, sesuai dengan kehendak para Dewata, akan
dapat menyelamatkan banyak orang yang terancam
keselamatannya oleh racun-racun yang disebar oleh orangorang sesat. Semua luka berbisa dapat digosok bersih
dengan batu ini, dan semua racun dalam tubuh dapat
dibersihkan dengan minum air yang merendam batu ini."
"Eyang, mengapakah hamba belum diperkenankan pergi
ke Panjalu sekarang untuk membantu pembersihan di
3enggala terhadap persekutuan jahat?" Pusporini masih
penasaran. "Telah tiga tahun hamba mempelajari ilmu dari
Eyang, dan hamba merasa cukup kuat untuk menghadapi
lawan-lawan jahat itu. Hamba tidak takut biar menghadapi
iblis sekalipun yang mengeruhkan Kerajaan Jenggala!"
Kakek itu tertawa. "Pusporini, engkau tidak tahu. Caloncalon lawanmu adalah orang-orang yang sakti mandraguna,
dikemudikan oleh orang-orang yang maha sakti. Jangankan
hanya engkau dan Joko Pramono, biar aku sendiri belum
tentu dapat menandingi mereka. Karena itu, bersabarlah
dan belajarlah lebih rajin lagi. Selama dua tahun. Kalau
sudah tiba masanya, tentu kuperkenankan kalian berdua
untuk pergi. Juga Ki Wiraman dan Nini Widawati
kuperkenankan tinggal selama dua tahun di sini. Ki
Wiraman adalah seorang hamba yang setia di Jenggala,
adapun Nini Widawati adalah seorang korban kekeruhan
yang melanda Jenggala, karena itu keduanya berhak untuk
menerima ilmu sekedarnya dan kelak menjadi pembantupembantu yang baik. Tentu saja kalau Andika berdua suka
menerima bimbinganku .......... "
Wiraman sudah menyembah dan menjawab dengan
suara mantab, "Hamba menghaturkan banyak terima kasih
bahwa Paduka sudi menurunkan kasih sayang dan hendak
memberi petunjuk kepada hamba berdua Diajeng Widawati." Demikianlah, semenjak hari itu, bukan hanya Pusporini
dan Joko Pramono yang dengan rajin memperdalam ilmu
mereka, juga Wiraman dan Widawati digembleng dengan
aji-ajI kesaktian oleh Sang Resi Mahesapati di puncak
Gunung Kawi. -oo0dw0oo- Semenjak perginya Setyaningsih yang ikut bersama
suaminya, Pangeran Panji Sigit, dari Gunung Wilis, maka
bagi Endang Patibroto dan puterinya, Retna Wilis, tempat
itu menjadi sunyi. Setyaningsih adalah seorang gadis yang
pendiam, namun setelah dia pergi, mereka merasa
kehllangan. Apalagi bagi Endang Patibroto yang selalu
menekan penderitaan batinnya. Bertahun-tahun wanita
sakti yang bernasib malang ini menekan perasaan rindunya
kepada Tejolaksono, satu-satunya pria di dunia ini yang
amat dicintanya, ayah dari Retna Wilis. Kemudian
ditambah dengan malapetaka hebat yang menimpa dirinya,
yaitu penghinaan berupa perkosaan atas dirinya yang
dilakukan oleh Sindupati atau Warutama. Penderitaan
batin ini ditahannya secara diam-diam, tak seorang pun
mengetahuinya.

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini kepergian adik kandungnya, Setyaningsih, membuat Endang Patibroto makin menderita
dan kesepian, memperhebat rasa rindunya kepada
Tejolaksono. Betapapun juga, demi untuk puterinya, ia
mempertahankan diri dan tekun menggembleng puterinya
itu yang kini mempunyai seorang guru yang boleh
diandalkan yaitu Ki Datujiwa yang sakti mandraguna.
Pada suatu pagi yang cerah, mereka bertiga duduk bersila
menerima sepenuhnya cahaya matahari pagi, bermandi
cahaya untuk menerima inti kesaktian sinar sang surya.
Endang Patibroto duduk bersila, mengatur napas, akan
tetapi sukar-lah baginya untuk menenteramkan pikirannya
yang melayang-layang penuh kerinduan kepada Tejolaksono dan Setyaningsih. Pikirannya yang muram dan
kacau ini ia coba menenteramkannya dengan mendengarkan wejangan-wejangan yang keluar dari mulut
Ki Datujiwa yang sedang menggembleng Retna Wilis. Guru
dan murid itu pun duduk bersila menghadap ke timur.
Retno Wilis bersila seperti Arca, wajahnya yang cantik itu
gemilang bersinar terkena cahaya matahari yang keemasan,
dengan tekun ia mendengarkan suara yang keluar dari
mulut gurunya. "Muridku, Retna Wilis, camkanlah baik-baik. Di dunia
ini, tidak ada kesaktian yang lebih tinggi daripada
menaklukkan dan menguasai nafsu-nafsu diri pribadi
karena inilah yang merupakan syarat terpenting menuju ke
arah sempurnanya segala ilmu yang dipelajari manusia.
Ilmu macam apa pun akan menjadi ilmu yang
menghasilkan buah-buah kebaikan apabila dimiliki oleh
orang yang telah dapat menguasai nafsu-nafsu pribadi.
Sebaliknya, segala macam ilmu akan menjadi ilmu hitam
yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain apabila
ilmu itu dimiliki oleh orang yang menjadi hamba daripada
nafsu-nafsunya." Endang Patibroto yang ikut mendengarkan, dapat
merasakan kebenaran wejangan ini dari pengalaman. Di
waktu mudanya ia sudah banyak berdekatan dengan orangorang sakti golongan sesat dan orang-orang sakti yang
bersih, dan. ia dapat merasakan bahwa mereka yang
termasuk golongan sesat itu adalah orang-orang yang selalu
bertindak menurut-kan hawa nafsu. Dan betapapun.
saktinya dia yang menurutkan hawa nafsu, akhirnya akan
roboh sebagai akibat daripada tindakannya sendiri.
"Dan tidak ada, kemenangan yang paling mutlak dan
besar kecuali kemenangan yang diperoleh dari sikap
mengalah, muridku. Mengalah dengan tulus ikhlas,
mengalah bukan karena takut, melainkan mengalah karena
sadar bahwa jalan kekerasan bukanlah jalan yang baik.
Memang betul bahwa engkau sejak kecil digembleng dan
mempelajari ilmu kesaktian, akan tetapi bukanlah kehendak
ibu-mu dan kehendakku untuk mendidik engkau menjadi
orang yang mengandalkan kesaktian mengejar kemenangan
dengan kekerasan. Mengalah adalah laku yang paling
utama, muridku." Sekali ini, di dalam hatinya Endang Patibroto tidak
dapat menyetujui sepenuhnya akan wejangan Ki Datujiwa.
Mengalah untuk menang" Ah, betapa tidak sesuai dengan
kenyataan! Dia sudah mengalah kepada Ayu Candra,
meninggalkan Kadlpaten Selopenangkep, meninggalkan
orang yang dicintainya, Adipati Tejolaksono, akan tetapi
dia tidak merasakan kemenangan karena mengalah ini! Dia
menderita sampai bertahun-tahun! Akan tetapi, dapatkah
kepergiannya tanpa pamit itu digolongkan perbuatan
mengalah" Endang Patibroto menarik napas panjang,
pikirannya menjadi bingung.
"Heh-heh-heh, ini dia anak yang kucari! Sukar mencari
yang lebih baik daripada ini! Sayang dirusak oleh omonganomongan kosong pertapa dungu!"
Tiga orang yang sedang bersila itu terkejut sekali. Lebihlebih Endang Patibroto dan Ki Datujiwa. Mereka berdua
adalah orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, yang
tidak saja sudah memiliki telinga yang terlatih bahkan
mempunyai apa yang dinamakan telinga batin sehingga
dapat mendengar apa yang sukar tertangkap oleh
pendengaran telinga biasa. Akan tetapi kedatangan orang
ini sama sekali tidak mereka ketahui dan secara tiba-tiba
saja ada suara yang kedengarannya begitu dekat, akan
tetapi ketika mereka memandang, tidak tampak bayangan
seorang pun manusia di situ! Endang Patibroto merasa
betapa bulu tengkuknya berdiri. Ia maklum bahwa yang
bicara itu adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti
iblis, mungkin dapat menghilang atau dapat mengirimkan
suara dari tempat jauh. Apalagi Endang Patibroto, bahkan
Ki Datujiwa sendiri yang memiliki kesaktian lebih tinggi
dari wanita itu, juga menjadi pucat wajahnya dan dapat
menduga bahwa yang datang adalah orang yang amat tinggi
tingkat kesaktiannya. Jantungnya berdebar aneh dan kakek
ini cepat mempergunakan kekuatan batinnya untuk
menindas guncangan itu, lalu ia berkata, suaranya tenang
penuh wibawa, "Salam dan hormatnya Ki Datujiwa harap diterima oleh
sahabat sakti mandraguna yang berkenan datang mengunjungi Wilis! Jika Andika mempunyai kepentingan
dengan kami, sudilah kiranya datang, kami membuka
kedua tangan menanti kunjungan Andika!" Dari ucapan ini
Endang Patibroto dapat menarik kesimpulan bahwa suara
itu datang dari orang yang masih berada di tempat jauh.
Namun suaranya tadi demikian jelas seolah-olah pembicaranya berada di depannya.
Kembali 'terdengar suara yang tadi, "Datujiwa bocah
kemarin sore! Tak tahu engkau bersopan-sopan aku
memang akan datang!" Mendadak bertiup angin keras yang
menerbangkan daun-daun di pohon, merontokkan daundaun kuning dan tampaklah berkelebat bayangan orang
seperti asap bergulung-gulung. Tahu-tahu di situ telah
berdiri seorang nenek yang berpakaian serba hitam. Nenek
ini sukar ditaksir berapa usianya, kedua lengannya
mengenakan sepasang gelang emas dan wajahnya
diselimuti uap kehitaman sehingga sukar dilihat mukanya.
Nenek itu berdiri tegak dan amat menyeramkan karena
kehadirannya membawa hawa yang luar biasa, dingin dan
mengerikan sehingga kembali Endang Patibroto bergidik.
Sekian banyaknya orang-orang sakti ia jumpai, akan tetapi
dibandingkan dengan nenek ini, mereka itu hanya seperti
kanak-kanak saja. ( Bersambung jllid ke XXX )
Jilid XXX KI DATUJIWA yang biasanya bersikap tenang itu kini
memandang nenek itu dengan wajah pucat dan ia berkata,
"Dewi Sarilangking ............ ! Maafkan kalau saya keliru
menduga ............ bukankah Andika ini Sang Dewi
Sarilangking yang kemudian terkenal dengan julukan Nini
Bumigraba ............ "
"Hik, hik, Datujiwa! Matamu masih tajam. Lima puluh
tahun yang lalu kita pernah bertemu dan engkau masih
belum lupa kepadaku. Bagus! Hai ini saja sudah
menyelamatkan kepalamu!"
"Saya menghaturkan salam dan hormat kepada Nini
Bumigarba yang sakti mandraguna. Kalau boleh saya
bertanya, apakah kehendak Andika sehingga memberi
penghormatan kepada kami dengan kunjungan ke Wilis
ini?" "Ketahuilah, heh engkau Datujiwa! Aku sedang
nganglang jagad (mengelilingi dunia) untuk, mencari
seorang murid yang cocok. Di sini aku melihat bocah ini,
hatiku tertarik sekali. Dia cocok untuk mewarisi ilmuilmuku. Sayang engkau telah merusaknya dengan
omongan-omongan kosong tentang mengalah dan macammacam obrolan tiada guna."
Sebelum ada yang menjawab, Retna Wilis yang baru
berusia enam tahun itu bangkit berdiri dan berkata kepada
nenek aneh yang mukanya diselimuti uap hitam itu,
suaranya nyaring dan matanya bersinar-sinar, "Nenek yang
aneh! Aku adalah murid Eyang Datujiwa yang sakti.
Engkau hendak mengambil murid aku" Apakah kesaktianmu" Apakah engkau lebih sakti dari Eyang
Datujiwa" Aku hanya mau menjadi murid orang yang
memiliki kesaktian lebih dari Ibuku dan Eyang Datujiwa!"
"Retna............ Diam kau!" bentak Endang Patibroto
yang masih merasa ngeri melihat nenek itu. Ia mengerti
bahwa nenek ini biarpun seorang sakti, namun dikelilingi
oleh hawa jahat seperti iblis. Mana mungkin ia
membolehkan puterinya menjadi murid nenek iblis ini"
"Heh-heh-heh, semangatnya boleh juga! Nah, Datujiwa,
engkau mendengar sendiri. Hayo bangkit dan kau lawan
aku beberapa jurus untuk membuka mata calon muridku!"
"Tidak! Tidak boleh anakku diambil murid orang begitu
saja!" Endang Patibroto berteriak marah. Kekhawatirannya
bahwa anaknya akan diambil murid nenek iblis itu
membuat ia marah dan lupa akan kengeriannya. Timbul
keberaniannya dan kalau Endang Patibroto sudah marah,
biar setan dan iblis sendiri muncul di depannya, dia tidak
akan mundur selangkah untuk melawannya!
Nenek yang tadinya sama sekali tidak memperhatikan
Endang Patibroto, kini membalikkan mukanya memandang
penuh perhatian. "Hemm ............ jadi engkaukah yang
menjadi ibu anak ini" Wah, engkau boleh juga. Pantas saja
mempunyai puteri seperti dia. Siapakah namamu, Nini?"
"Namaku Endang Patibroto dan akulah ketua Padepokan Wilis. Retna Wilis adalah puteriku, dan dia
menjadi murid Ki Datujiwa atas kehendakku. Aku, tidak
memperkenankan dia menjadi muridmu, harap kau orang
tua jangan memaksa!"
"Heh-heh-heh, siapa yang memaksa" Anakmu itu dengan
suka hati sendiri datang kepadaku. Bukankah begitu, Retna
Wilis yang manis" Engkau yang datang sendiri kepadaku"
Lihatlah." Retna Wilis hanya memandang dengan matanya yang
lebar bersinar-sinar, akan tetapi tiba-tiba anak itu lalu
berjalan menghampiri nenek itu. Ada sesuatu yang
mendorongnya sehingga kedua kakinya dengan sendirinya
melangkah menghampiri nenek iblis itu.
"Retna Wilis! Jangan lancang engkau!" Endang Patibrotb
membentak. "Heh-heh, tidak ada yang memaksa dan engkau pun
akan merelakan anakmu, Endang Patibroto. Retna Wilis
bocah ayu, kembalilah dulu kepada ibumu, aku tidak
memaksa siapa-siapa dan kalau kau ingin menyaksikan
kesaktianku, Ibu dan gurumu ini boleh belajar seratus tahun
lagi masih takkan mampu menandingiku."
Setelah Ratna Wilis berjalan mendekatinya, Endang
Patibroto maklum dari pandang mata anaknya bahwa
anaknya tadi menghampiri si nenek iblis itu bukan atas
kehendak sendiri. Kemarahannya memuncak dan ia lalu
menerjang maju, meloncat dan menampar dengan tangan
terbuka. Hebat bukan main gerakan Endang Patibroto ini
karena dalam kemarahannya dan dugaannya bahwa
lawannya amat sakti, ia meloncat dengan Aji Bayu Tantra
dan menghantam dengan Aji Pethit Nogo yang ampuh
sekali. "Wuuuutttt ............ dessss ............ tubuh Endang
Patibroto terpental membalik seperti dilontarkan. Padahal
pukulannya belum menyentuh tubuh nenek itu masih
terpisah setengah meter. Akan tetapi ada hawa mujijat yang mendorongnya ke belakang sehingga kalau dia tidak memiliki ilmu keringanan tubuh yang hebat tentu ia telah terbanting! "Jangan ............ Ni

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dewi............ !" Namun
cegahan Ki Datujiwa itu terlambat karena Endang Patibroto dalam kemarahan-nya telah memekik dengan aji kesaktian Sardulo Bairowo dan dia telah menerjang lagi
sambil menggunakan pukulan Gelap Musti yang amat
dahsyat. "Blaarrrr !!" Pukulan yang hebat bagaikan halilintar
menyambar itu juga tidak sampai menyentuh tubuh si
nenek yang hanya tersenyum. Pukulan itu tertumbuk pada
dinding yang tak tampak, namun yang kuatnya melebihi
baja, dan yang membuat Endang Patibroto terhuyunghuyung ke bela-kang dengan tubuh tergetar hebat. Kini
Endang Patibroto memandang dengan mata terbelalak.
"Hi-hi-hik, kau benar-benar hebat. Tak kusangka engkau
sehebat ini, Nini. Ah, makin berhargalah puterimu. Ibunya
begini hebat, dan sudah sepatutnya kalau puterinya kelak
lebih hebat lagi. Siapa-kah gurumu, Nini Endang
Patibroto?" Suara itu terdengar halus lembut dan manis sekali dan
ada pengaruh yang mendorong Endang Patibroto untuk
menjawab dengan suara gemetar, "Guruku ............ adalah
Dibyo Mamangkoro ............ !!
"Heh-heh-heh-heh! Pantas ............ pantas ............ Dibyo
Mamangkoro adalah paman dari iblis betina Mamangsari
isteri Prabu Boko! Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Dan
aku adalah guru dari Mamangsari! Kalau kini puterimu
belajar kepadaku, berarti dia menjadi murid dari Eyang
Canggahnya sendiri ............ hi-hik!"
Endang Patibroto terbelalak dan tertegun. Pantas saja
nenek ini sakti seperti iblis sendiri, kiranya adalah guru dari
Mamangsari permaisuri Sang Prabu Boko yang kabarnya
dahulu memiliki aji-aji kesaktian sejajar dengan kesaktian
Sang Prabu Boko! Akan tetapi kini Ki Datujiwa yang sudah bangkit berdiri
maju dan memberi hormat kepada nenek itu. "Sadhu-sadhusadhu ............ Nini Bumigarba! Pengambilan murid harus
dilakukan dengan suka rela antara guru dan muridnya, juga
harus pula mendapatkan ijin orang tuanya. Memaksakannya berarti memperkosa dan hal itu amatlah
tidak baik. Apalagi Retna Wilis sudah menjadi muridku,
biarpun kepandaianku masih dangkal, kalah jauh kalau
dibandingkan dengan kepandalanmu, akan tetapi dia
menjadi muridku secara suka rela, Kalau aku sebagai
gurunya melarang dia menjadi murid orang lain, ibunya
sendiri pun tidak setuju, tidak semestinya Andika
memaksakan kehendakmu, Nini Bumigarba."
Kini dari balik tabir asap atau uap menghitam itu tampak
sepasang mata yang menyinarkan api. "Datujiwa! Engkau
ini siapa berani menentangku" Sudah kukatakan bahwa aku
tidak memaksa, dan bocah ini dengan suka sendiri hendak
menjadi muridku, dengan syarat aku harus dapat
mengalahkanmu. Tidak perlu banyak wawasan lagi,
majulah dan lawanlah aku kalau kau hendak mempertahankan kedudukanmu sebagai guru Retna Wilis!"
Ki Datujiwa menoleh kepada Retna Wilis dan bertanya,
suaranya halus dan sikapnya masih tenang,
"Angger, Retna Wilis. Benarkah engkau akan suka
berguru kepada Nini Bumigarba ini kalau dia dapat
mengalahkan aku?" Retna Wilis semenjak kecil dimanja ibunya dan anak ini
paling ingin menjadi seorang yang sakti. Dia belum dapat
membedakan mana baik dan mana jahat, bahkan tidak
memperdulikannya. Baginya, kalau dia bisa menjadi
seorang sakti, seperti ibunya, atau melebihi, dia akan
merasa senang sekali. Kini ditanya oleh gurunya, dia
menjawab sambil mengangguk, "Benar, Eyang. Saya
percaya bahwa Eyang yang sakti tentu akan dapat
mengalahkan nenek ini."
Ki patujiwa menghela napas dan ketika bertemu pandang
dengan Endang Patibroto, ia makin kecewa. Dalam
pandang mata Endang Patibroto, ia dapat merangkap
pernyataan wanita itu yang ingin agar dia turun tangan
menandingi Nini Bumigarba. Agaknya Endang Patibroto
sendiri pun percaya bahwa dia akan dapat mengalahkan
nenek ini. "Baiklah, Nini Bumigarba. Entah apa hubungannya
kemunculanmu yang aneh ini dengan munculnya awan
gelap dari Sriwijaya dan Cola, aku tidak tahu. Akan tetapi,
jangan salah menduga bahwa aku menghadapimu karena
memperebutkan siswa. Kalau hanya untuk itu, aku rela
mengalah. Akan tetapi terpaksa aku melupakan kebodohan
sendiri menentangmu karena aku tahu pasti bahwa kalau
Retro Wilis menjadi muridmu, dia akan kaubawa
menyeleweng daripada kebenaran dan kelak dia hanya akan
menimbulkan malapetaka saja. Nah, aku sudah siap!"
Nini Bumigarba bergelak, suara ketawa yang mengandung kekejaman karena Sesungguhnya nenek ini
marah sekali. Rahasianya telah dibuka oleh dugaan Ki
Datujiwa dan dia mengambil keputusan untuk melenyapkan orang yang dianggapnya hanya akan menjadi
penghalang saja ini. "Nah, hadapilah kematianmu!" Nini Bumigarba mendengus dan kedua tangannya bergerak seperti orang
menampar. Jarak antara dia dan Ki Datujiwa ada dua
meter jauhnya, akan tetapi tamparannya itu mendatangkan
angin dan hawa pukulan amat dahsyatnya. Ki Datujiwa
yang maklum akan kesaktian lawan, cepat mengelak dan
menangkis. Namun tetap saja ia terhuyung-huyung ke
belakang dengan wajah pucat.
"Hi-hi-hik, Retna Wilis bocah ayu lihatlah, baru sekali
pukulan saja dungu yang menjadi gurumu ini sudah tidak
kuat!" Nini Bumigarba melangka maju dua tindak dan
kembali kedua tangannya menampar dari kanan kiri.
Ki Datujiwa sebetulnya bukan seorang sakti biasa saja.
Dia memiliki kesaktian yang sudah tinggi tingkatnya dan
jaranglah ada orang yang mampu menandinginya. Endang
Patibroto sendiri yang memiliki kesaktian menggemparkan
kedu kerajaan Jenggala dan Panjalu, masih kalah olehnya.
Akan tetapi kini dia menghadap Nini Bumigarba, bukan
manusia lumrah, maka dia terpaksa mengerahkan seluruh
tenaga batin dan tenaga saktinya. Kembali dia menangkis
pukulan jarak jauh itu sambil meloncat ke kiri sehingga kini
tidak lagi dia terhuyung. Dia maklum bahwa kalau dia
membalas dengan pukulan jarak jauh, tenaga saktinya
masih tidak akan kuat merobohkan si nenek iblis, maka kini
dengan nekat ia lalu melanjutkan loncatannya mengelak
tadi, sebelum kakinya kembali menyentuh tanah ia sudah
melejit dan tubuhnya menyambar miring ke arah Nini
Bumigarba, tangan kananhya menatnpar dan ia mengeluarkan pekik nyaring. Telapak tangan kakek ini
berubah merah dan pukulannya ini kalau mengenai tubuh
lawan, dapat membuat tubuh lawan tewas dalam keadaan
hangus! "Plakkk ............ Pukulan telapak tangan itu sama sekali
tidak menyentuh kulit tubuh Nini Bumigarba, masih
sejengkal jauhnya, akan tetapi sudah tertangkis hawa sakti
yang kuat sekali sehingga Ki Datujiwa terpelanting jatuh!
Dengan sigapnya Ki Datujiwa meloncat bangun, akan
tetapi gerakannya ini dipapaki oleh sebuah tamparan tangan
kiri Nini Bumigarba. Telapak tangan nenek ini tidak
menyentuhnya, namun hawa pukulan yang ampuhnya
menggila telah mengenai kepala sehingga kakek yang sakti
itu mengeluarkan suara keluhan perlahan dan robohlah ia,
roboh miring tak betgerak lagi karena nyawanya telah
meninggalkan badan. "Kau ............ kau bunuh dia...........?"
Endang Patibroto memeklk marah dan siap untuk
menyerang nenek itu. Akan tetapi tiba-tiba Retna Wilis
berseru, "Ibu; dia hebat sekali! Eyang Datujiwa dikalahkannya
dengan mudah! Ibu, aku suka menjadi muridnya!"
"Retna Wilis ............ !!" Endang Patibroto membentak
akan tetapi tiba-tiba terjadilah keanehan. Endang Patibroto
merasa seolah-olah tubuhnya kemasukan air dingin yang
mengusir semua kemarahannya, membuat semangatnya
lemah dan tubuhnya lesu dan dingin. Ketika ia mengangkat
muka, ia melihat betapa kini tabir asap yang menyelubungi
wajah nenek itu lenyap, tampaklah wajah yang masih
membayangkan kecantikan, wajah yang kini dalam
pandang matanya tampak agung dan suci, yang mempunyai
sinar mata seperti kilat menyambar. Ia pun menunduk dan
seperti bukan atas kehendak sendiri, Endang Patibroto
berkata, "Baiklah, Retna Wilis, kuijinkan engkau menjadi murid
Nini Bumigarba ............ "
Nini Bumigarba tertawa mengikik, tubuhnya menyambar
didahului asap hitam kemudian ia melayang pergi dari situ
dan lenyaplah nenek itu bersama Retna Wilis!
Setelah nenek itu lenyap, barulah Endang Patibroto
seperti disiram air dingin, seperti baru sadar dari mimpi
buruk. Ia terbelalak mencari anaknya, kemudian menjerit,
"Retna ............ Anakku ............ ! Jangan pergi............ !"
Ia lalu meloncat dengan Aji Bayu Tantra, melakukan
pengejaran ke arah lenyapnya tubuh nenek tadi. Namun
sampai ke bawah puncak ia berlari-lari, dipandang penuh
keheranan oleh semua anggauta Padepokan Wilis yang
tidak tahu apa yang telah terjadi. Kemudian Endang
Patibroto berlari-lari ke puncak, kini diikuti oleh semua
anak buahnya yang menduga terjadi hal-hal yang amat
hebat. Ketika para anggauta Padepokad Wilis tiba di
puncak, mereka terbelalak memandang ketua mereka itu
menangisi Ki Datujiwa yang telah menjadi mayat!
Beberapa hari kemudian, setelah mengurus jenazah Ki
Datujiwa dan berkabung, Endang Patibroto mengumpulkan
semua anak buahnya. Dengan rambut awut-awutan dan
pakaian lusuh dia berkata,
"Puteriku diculik orang. Aku akan pergi mencarinya.
Kalian semua bekerja seperti biasa dan jagalah Padepokan
Wilis baik-baik. Jangan mencari perkara dengan orang luar
dan hanya kalau ada orang luar datang mengganggu, lawan
sekuatnya. Tunggu sampai aku kembali ke sini." Demikian
pesannya dan semua anak buahnya mengantar kepergian
ketua mereka itu dengan hati penuh prihatin.
Setelah jauh meninggalkan Wilis, Endang Patibroto
menjadi bingung. Kemana ia harus mencari puterinya"
Penculik puterinya adalah seorang manusia seperti iblis,
sukar sekali dicari jejaknya. Andai-kata dia berhasil
menemukan puterinya bersama penculiknya sekali pun,
apakah dayanya" Dia tidak akan dapat berbuat apa-apa
terhadap seorang yang sakti mandraguna seperti Nini
Bumigarba itu! Makin nelangsa rasa hati Endang Patibroto,
nelangsa dan merasa ditinggalkan seorang diri di dunia
yang penuh derita ini. Teringatlah Endang Patibroto kepada
ayah Retna Wilis dan tiba-tiba wanita perkasa ini
menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis terisak-isak.
Wanita gagah perkasa yang di waktu mudanya menimbulkan geger, yang tidak mengenal takut tidak
mengenal susah berwatak keras seperti baja itu kini
menangis sesenggukan. "Joko Wandiro ............ aduhh, Joko Wandiro ............ ,
bagaimana anakmu ............ Tidak tahukah engkau betapa
hancur hatiku ............ ?" Ia merintih-rintih menyebut nama
kecil Tejolaksono. Terbayanglah wajah kekasihnya itu.
Tejolaksono atau Joko Wandiro, adipati di Selopenangkep
dan rasa rindunya tak tertahankan lagi. Dia harus mencari
Tejolaksono. Dia harus menyampaikan kesusahan ini
kepada ayah Retna Wilis. Hanya bersama Tejolakson saja


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di sampingnya ia akan merasa kuat menghadapi Nini
Bumigarba, merasa kuat untuk melanjutkan hidup,
menempuh gelombang kehidupan, mengatasi segala
kepahitan dan derita. Dia tidak perlu malu kepada Ayu
Candra. Setelah mendapat pikiran ini, bulat tekad di hati Endang
Patibroto untuk kembali ke Selopenangkep minta bantuan
Tejolaksono untuk bersama-sama mencari puteri mereka
yang dilarikan Nini Bumigarba. Wanita perkasa ini
melakukan perjalanan cepat siang malam tanpa berhenti
dan dalam beberapa hari saja tiba-lah dia di Kadipaten
Selopenangkep. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa hatinya
ketika mendapat keterangan bahwa Adipati Tejolaksono
tidak lagi menjadi adipati di Selopenangkep dan bahwa
Adipati Tejolaksono telah di ganti orang lain. Namun
kekecewaan in terobati oleh keterangan bahwa kekasihnya
itu kini telah menjadi patih muda Kota Raja Panjalu! Diamdiam ia merasa girang dan bersyukur bahwa kini orang
yang dicintanya telah mendapat kemuliaan. Kemudian rasa
girang dan syukur ini terganggu pula oleh berita bahwa di
dalam kekacauan yang ditimbulkan oleh musuh-musuh
Panjalu, Selopenangkep pernah diduduki musuh dan dalam
perang itu banyak sekali orang gagah Selopenangkep yang
gugur, di antaranya adalah Roro Luhito, ibu tirinya yang
gugur dalam medan perang. Juga bahwa adik tirinya
Pusporini, lenyap dalam keributan itu. Ketika Endang
Patibroto mendengar cerita tentang hancurnya Selopenangkep dan larinya Tejolaksono bersama Ayu
Candra, ia menjadi terharu. Ah, kiranya orang yang
dikasihinya itu pun mengalami penderitaan. Putera mereka,
Bagus Seta, masih belum kembali dan akhirnya Tejolaksono
berdua Ayu Candra saja yang masih tinggal, namun
kemudian terpaksa pula lari dari Selopenangkep.
"Aku harus menyusul mereka ke Panjalu," pikirnya.
Tidak ada orang lain di dunia ini yang dapat ia sambati,
yang dapat ia harapkan bantuannya untuk mencarI kembali
anaknya yang hilang. Tanpa mengenal lelah Endang Patibroto lalu meninggalkan Selopenangkep dan melakukan perjalanan
yang jauh dan melelahkan, yaitu menuju ke Kota Raja
Panjalu di timur. Sungguh ia tidak mengira bahwa ia masih
akan kembali ke kota raja, padahal ketika ia tinggal di
Wilis, ia berjanji dalam hatinya tidak akan mencampuri
urusan kedua Kerajaan Panjalu dan Jenggala lagi.
Endang Patibroto adalah seorang wanita yang sudah
amat terkenal, baik di Panjalu maupun di Jenggala. Karena
maklum akan hal ini, Endang Patibroto memasuki Kota
Raja Panjalu secara diam-diam, menggunakan kepandaiannya untuk masuk dengan cara meloncati pagar
tembok yang mengelilingi kota raja. Kemudian ia pergi
mencari tempat tinggal Patih Muda Tejolaksono. Waktu itu
telah lewat tengah hari, menjelang senja dan dengan
gerakan seperti seekor burung srikatan, Endang Patibroto
meloncati pager di belakang kepatihan, kemudian melayang
turun masuk ke dalam taman kepatihan.
Teringat bahwa ia telah berada di taman tempat tinggal
kekasihnya dan bahwa ia akan bertemu dengan orang yang
selama bertahun-tahun ini menjadi kembang mimpi,
menjadi kenangan yang menimbulkan kerinduan, jantungnya berdebar karena girang dan tegang, juga amat
terharu. Pada saat itu, kebetulan sekali Patih Muda Tejolaksono
sedang duduk di dalam taman bunga, duduk melamun
seorang dia. Hati Ki Patih Tejolaksono sedang ruwet,
pikirannya tidak tenang dan hatinya selalu merasa tidak
enak. Hal ini disebabkan karena ki patih ini memikirkan
keadaan di Jenggala. Beberapa pekan yang lalu, secara tak
terduga-duga ia dan isterinya, Ayu Candra, menerima
kedatangan Setyaningsih dan suaminya, Pangeran Panji
Sigit. Suami isteri yang untuk beberapa tahun hidup
kesepian di Panjalu ini tentu saja menjadi girang dan
hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri
ketika melihat Setyaningsih tiba-tiba muncul itu. Baru
setelah Setyaningsih yang menangis itu memeluk Ayu
Candra, mereka sadar bahwa yang mereka alami bukanlah
dalam mimpi. "Aduh, adikku yang cantik ...... engkau ............ engkau
Setyaningsih ............ Puji syukur kepada para dewata
bahwa engkau ............ engkau sekarang telah menjadi
puteri jelita ............ betapa lamanya engkau pergi, Adikku
............ " Akhirnya Ayu Candra dapat berkata setelah
berangkul-rangkulan dan bertangisan.
Setyaningsih mengusap air matanya kemudian memberi
hormat, menyembah kepada Ki Patih Tejolaksono yang
memandang penuh keharuan. Wajah ki patih yang masih
tampan itu penuh gores-gores tanda kepahitan dan
penderitaan batin yang menimpanya selama bertahun-tahun
ini. Setelah mengelus rambut kepala Setyaningsih penuh
keharuan, Ki Patih Tejolaksono berkata;
"Adinda Setyaningsih, sungguh saat ini amat membahagiakan hatiku. Duduklah dan ceritakan semua
pengalamanmu. Siapakah ksatria perkasa yang datang
bersamamu ini, Adinda?"
Wajah yang ayu itu tiba-tiba menjadi merah dan dengan
suara lirih ia berkata memperkenalkan,
"Dia ............ dia adalah ............ suami hamba, dia
Pangeran Panji Sigit dari Jenggala."
Maling Budiman Berpedang Perak 2 Pendekar Guntur Lanjutan Seruling Naga Karya Sin Liong Meteor Kupu Kupu Dan Pedang 2

Cari Blog Ini