Ceritasilat Novel Online

Perawan Lembah Wilis 17

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


"Ahhhh ............ !" Tejolaksono berseru, tercengang
kemudian cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diikuti
oleh Ayu Candra, hendak menghaturkan sembah. "Harap
Paduka maafkan, karena hamba tidak tahu bahwa Paduka
?".." Akan tetapi Pangeran Panji Sigit cepat-cepat berlutut
juga dan mengangkat bangun Ki Patih Tejolaksono. "Duh
Rakanda Patih dan Ayunda, mohon jangan membikin saya
menjadi malu dan kikuk. Setelah saya menjadi suami
Diajeng Setyaningsih, berarti saya adalah adik ipar Paduka
sendiri. Rakanda Patih, saya tidak berani menerima
penghormatan Paduka berdua, bahkan sayalah yang
menghaturkan sembah kepada Rakanda berdua."
Ki Patih Tejolaksono menjadi gembira sekali menyaksikan kerendahan hati dan keramahan pangeran
muda itu. Dia tersenyum dan berkata, "Baiklah, Adinda
Pangeran, silahkan duduk. Sungguh amat besar rasa
bahagia di hati saya mendengar bahwa Adinda Pangeran
berkenan mengambil Yayi Setyaningsih sebagai isteri."
"Setyaningsih, kau bocah nakal! Sungguh terlalu sekali,
mengapa menikah secara diam-diam saja tidak mengundang kami" Betapa tega hatimu ............ melupakan
kami ............ " Ayu Candra menegur.
Setyaningsih menunduk. "Maafkan saya, Ayunda.
Sesungguhnya, belum lama saya dinikahkan secara
sederhana di Wilis. Ayunda Endang Patibroto menghendaki demikian, dan dia adalah ketua Padepokan
Wilis dan tinggal di sana semenjak ............ semenjak pergi
dari Selopenangkep."
"Aduh Dewa ............ Kasihan sekali Endang Patibroto
............ !" Ayu Candra terisak menangis sedangkan Ki
Patih Tejolaksono mengerutkan keningnya, merasa jantungnya seperti ditusuk keris berbisa. "Ohhh, Endang
Patibroto, mengapa engkau meninggalkan kami dan hidup
bersunyi sendiri di puncak Wilis ..........." Ah, betapa besar
penderitaanmu ..........." Kembali Ayu Candra menangis,
dan Setyaningsih ikut pula menangis.
Ki Patih Tejolaksono menghela napas panjang lalu
berkata, suaranya menggetar namun nadanya senang,
"Sudahlah, tidak perlu disedihkan karena hal itu sudah
terlewat. Kurasa, penderitaannya tidaklah lebih besar
daripada penderitaan kita, bahkan mungkin sekali dia lebih
senang karena dapat hidup tenteram dan damai di puncak
Wilis, tidak seperti kita yang selalu tertimpa keributan dan
kekacauan perang." Ayu Candra terhibur pula dengan ucapan suaminya yang
cukup beralasan ini, maka sambil menyusut air matanya ia
lalu bertanya, "Adinda Setyaningsih, bagaimana ............ bagaimana
dengan puteranya ............ ?"
Setyaningsih mengerling ke arah Ki Patih Tejolaksono
dan menjawab perlahan, "Ayunda Endang Patibroto
mempunyai seorang puteri, namanya Retna Wilis,
keponakanku cantik manis dan amat pintar. Kini telah
berusia enam tahun dan bahkan baru-baru ini mendapatkan
seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu Eyang Resi
Datujiwa ............ "
"Aahhhh, Kakangmas ............ Paduka harus menyusul
ke Wilis, harus memboyong Adinda Endang Patibroto dan
Nini Retna Wilis! Endang Patibroto adalah isteri Paduka
dan Retna Wilis adalah puteri Paduka, anak kita ............
ah, Kakangmas, Paduka harus memboyong mereka ibu dan
anak ............ harus ............ !" Ayu Candra terisak
menangis. Pangeran Panji Sigit bertukar pandang, dengan isterinya.
Pangeran muda ini telah mendengar dari isterinya bahwa
Retna Wilis adalah puteri Tejolaksono, bahkan Endang
Patibroto, kakak iparnya yang telah menjadi janda itu telah
menjadi isteri Ki Patih Tejolaksono. Ia hanya menunduk
dan mendengarkan dengan terharu, merasa kasihan kepada
Endang Patibroto dan puterinya, dan merasa kagum akan
kehalusan budi Ayu Candra.
"Diajeng Ayu Candra, apakah engkau sudah lupa akan
watak Endang Patibroto" Kalau dia sudah mengambil
keputusan, siapakah yang akan mampu merubahnya" Kalau
dia menghendaki untuk hidup bersama kita, tentu dia akan
datang sendiri, sebaliknya kalau dia tidak menghendaki,
disusul pun apa gunanya" Kita harus mengucap syukur
bahwa dia masih dalam keadaan selamat, demikian puteri
kita ............ Retna Wilis ............ " Ketika menyebut nama
ini, suara Ki Patih Tejolaksono agak menggigil karena ia
merasa terharu sekali. Dia mempunyai seorang putera,
namun Bagus Seta itu semenjak kecil dibawa pergi orangorang sakti dan belum juga kembali. Dia mempunyai
seorang puteri pula, namun selama hidupnya belum pernah
ia melihat puterinya yang sudah berusia enam tahun itu!
Setelah menarik napas panjang menenangkan penderitaan
batinnya, Tejolaksono lalu berkata kepada Setyaningsih dan
Pangeran Panji Sigit, "Sebaiknya Adinda berdua kini
menceritakan pengalaman Andika."
Tiba-tiba wajah Pangeran Panji Sigit yang tampan itu
menjadi muram dan ia berkata, "Ah, Rakanda Patih,
kedatangan kami berdua membawa berita yang amat buruk
dari Jenggala." Ki Tejolaksono mengangguk-angguk "Kami di Panjalu
telah mendengar berita terbawa angin lalu bahwa di
Jenggala terjadi kekacauan-kekacauan, bahkan kabarnya
Paman Patih Brotomenggala yang setia itu melakukan
pengkhianatan sehingga seluruh keluarga dihukum mati.
Sampai di manakah kebenaran berita ini Adinda
Pangeran?" "Duh Rakanda Patih, memang seperti mimpi buruk apa
yang terjadi di Jenggala. Bukan itu saja, bahkan ............
Ibunda Ratu sendiri kini telah diasingkan di pembuangan
yang terletak di kaki Gunung Anjasmoro ............ "
"Aduh para dewata yang agung! Sampai sedemikian
jauhnya" Mengapa ............ "
"Fitnah, Rakanda! Fitnah merajalela di Jenggala dan
Ramanda Prabu telah dicengkeram persekutuan yang lebih
jahat dan keji daripada iblis-iblis sendiri!" Dengan penuh
semangat namun dengan suara penuh duka Pangeran Panji
Sigit lalu menceritakan keadaan di Jenggala seperti yang ia
dengar dari mulut sang ratu sendiri. Ki Patih Tejolaksono
dan Ayu Candra mendengarkan dengan wajah berubah
pucat dan mata terbelalak. Setelah Pangeran Panji Sigit
selesai bercerita, Ki Patih Tejolaksono memukul pahanya
sendiri sampai mengeluarkan bunyi nyaring.
"Hebat ?""! Sang Prabu di Panjalu selalu merasa
sungkan untuk mencampuri urusan dalam istana Jenggala.
Akan tetapi kalau keadaan sudah sedemikian rusaknya, hal
ini sebaiknya harus dilaporkan kepada sang prabu!"
"Memang kedatangan saya di Panjalu ini selain
mengunjungi Rakanda Patih, juga menurut nasehat dari
Ibunda ratu untuk minta bantuan Uwa Prabu di Panjalu
agar Kerajaan Jenggala dapat diselamatkan dan dibersihkan
daripada pengaruh anasir-anasir jahat itu, Rakanda."
"Bagus! Kalau begitu, marilah sekaang juga kuantarkan
Adinda Pangeran menghadap sang prabu.'
Sang prabu di Panjalu menerima kunjungan keponakannya dengan penuh keramahan, akan tetapi ketika
Sang Pangeran Panji Sigit menceritakan tentang keadaan di
Jenggala, sang prabu menjadi kaget dan keningnya
berkerut-kerut. "Duh Jagad Dewa Bathara! Mengapa yayi prabu sampai
terperosok begitu dalam?"
"Gusti sesembahan hamba," Ki Patih Tejolaksono
berkata, "hamba teringat akan wejangan Sang Sakti
Bhagawan Ekadenta akan awan gelap yang mengancam
keselamatan kerajaan keturunan Mataram. Hal ini cocok
benar dengan. lenyapnya huru-hara yang tadinya ditimbulkan oleh orang-orang Sriwijaya dan Cola. Bukan
tidak mungkin kalau mereka itu yang berhasil menyelundup
ke Jenggala dan merusak Jenggala dari dalam Gusti.
Mohon beribu ampun, bukan sekali-kali hamba hendak
bersikap lancang akan tetapi sebaiknya hal ini tidak
didiamkan saja dan sudah sepatutnya kalau hamba
menerima perintah Paduka untuk membawa pasukan
pilihan dan membersihkan Jenggala daripada pengaruhpengaruh jahat itu, Gusti."
Sang prabu tersenyum tenang. "Memang sudah
sepatutnya kalau engkau sebagai patih muda bersiap-siap
untuk membela Jenggala karena Kerajaan Jenggala
merupakan kerajaan keluarga kami. Akan tetapi wawasanmu itu kurang tepat dan agaknya tidak akan
bijaksana kalau dilaksanakan, Patih 'Tejolaksono."
"Bolehkah hamba mengetahui mengapa tidak bijaksana
kalau dilaksanakan, Gusti" Padahal Jenggala sungguh amat
membutuhkan bantuan."
"Engkau harus ingat bahwa keadaan di Jenggala itu
bukan terjadi karena pengaruh dari luar yang dipaksakan,
melainkan semua terjadi atas kehendak yayi prabu sendiri.
Kalau kita mencampurinya, hal itu amatlah tidak baik dan
pula tidak semestinya, patihku yang setia. Jangan-jangan
malah akan menimbulkan salah faham dari pihak yayi
prabu sendiri. Tentu saja akan menjadi lain persoalannya
kalau yayi prabu sendiri yang mengajukan permintaan
bantuan secara resmi, tentu akan kukerahkan bala tentara
Panjalu untuk menyelamatkan Jenggala, tetapi, keadaannya
lain sama sekali. Belum tiba saatnya bagi kita untuk turun
tangan." Mau tidak mau Tejolaksono harus mengakui kebenaran
pendapat junjungannya ini dan dia tidak berani membantah
pula. Pangeran Panji Sigit sebagai keponakan sang prabu,
diminta untuk membawa isterinya dan berada di istana.
Sejak hari itulah, pikiran Ki Patih Tejolaksono
terganggu. Hatinya selalu memikirkan keadaan Jenggala
dan ia amat tidak puas dengan keputusan sang prabu. Dan
pada sore hari itu, Ki Patih Tejolaksono termenung seorang
diri di dalam taman bunga. Hatinya merasa yakin bahwa
dugaannya pasti tidak meleset jauh, bahwa ada tangantangan kotor dari Sriwijaya dan Cola yang menyebabkan
kekeruhan di Jenggala. Kalau ia teringat kepada orangorang sakti seperti Sang Biku Janapati, apalagi Sang Wasi
Bagaspati, dengan anak buah mereka yang sakti
mandraguna seperti Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Sariwuni, ia bergidik
dan merasa ngeri. Kalau orang-orang yang amat sakti dan
jahat seperti mereka itu, menandingi iblis sendiri, yang
sedang mengacau Jenggala, akan hebat dan mengerikan
akibatnya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika senja
hari itu Endang Patibroto menggunakan kepandaiannya
menyelundup ke Kota Raja Panjalu kemudian secara
rahasia ia melompatl dinding kepatihan dan memasuki
taman bunga, pada saat itu kebetulan Ki Patih Tejolaksono
sedang termenung seorang diri di alam taman itu.
"Kakangmas ?"".." Lirih sekali nanggilan yang keluar
dari mulut Endang Patibroto yang berdiri dengan muka
pucat dan air mata bercucuran ketika ia memandang pria
yang amat dicintanya itu. Hatinya diliputi keharuan.
Kekasihnya itu kini sudah agak tua, rambutnya di atas
telinga telah mulai bercampur uban, wajahnya yang masih
tampan dan gagah itu penuh garis-garis derita batin.
Apalagi dalam keadaan termenung itu, wajah Tejolaksono
kelihatan susah dan murung. Ki Patih Tejolaksono sedang
tenggelam dalam lamunannya, memikirkan keadaan
Jenggala, memikirkan Endang Patibroto dan puterinya yang
belum pernah dilihatnya itu, memikirkan Bagus Seta yang
belum juga kembali, sehingga ia agaknya tidak mendengar
panggilan halus lirih itu.


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakangmas Tejolaksono............ "
Ki Patih Tejolaksono tersentak kaget lalu bangkit dari
duduknya sambil membalikkan tubuh. Matanya terbelalak,
wajahnya pucat, sejenak ia mengejap-ngejapkan matanya,
bahkan menggunakan tangan menggosok kedua matanya
karena ia khawatir kalau-kalau renungannya membuat ia
seperti mimpi. Benarkah wanita yang berdiri dengan air
mata bercucuran ini Endang Patibroto, wanita yang tak
pernah dia lupakan selama ini, yang selalu ia rindukan,
yang membuat ia merana dan duka" Tidak salah lagi. Tak
ada wanita ke dua di dunia ini seperti Endang Patibroto.
Memang agak tua, dan wajah yang cantik itu lesu dan
membayangkan kedukaan hebat, rambut yang hitam
panjang itu kusut, pakaiannya pun lusuh. Akan tetapi dia
tetap Endang Patibroto! Sejenak mereka berpandangan, muka Ki Patih Tejolaksono pucat, air mata makin deras mengucur dari
kedua mata Endang Patibroto. Bibir kedua orang itu
menggigil, bergerak-gerak namun tidak ada suara yang
keluar. Akhirnya Ki Patih Tejolaksono mengeluarkan suara
lirih dan serak, "Engkau ............ .?"" Dalam suara bisikan ini
terkandung segala kerinduan, segala harapan, dan segala
teguran, membuat Endang Patibroto terisak lalu wanita itu
lari menghampiri, langsung menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Tejolaksono dan merangkul kedua kaki pria itu.
Tejolaksono berdiri seperti arca, menunduk dan memandang kepala yang rambutnya kusut, memandang
sepasang pundak yang terguncang-guncang karena tangis.
Setelah kini wanita itu merangkul kakinya, setelah ia
merasa betapa betisnya basah
kejatuhan air mata, yakinlah
hati Tejolaksono bahwa benar Endang Patibroto yang
kini berlutut di depan kakinya. Hatinya menjeritkan
kerinduan, hasratnya mendorong-dorongnya untuk
memeluk dan menciumi wanita yang amat dicintanya
ini. Akan tetapi melihat Endang Patibroto, teringatlah
ia akan semua penderitaan yang dialami keluarga semenjak
Endang Patibroto lolos dari Selopenangkep tanpa pamit.
Teringatlah ia betapa ia hidup nelangsa dan terbenam
kerinduan dan kedukaan ditinggal, pergi Endang Patibroto.
Teringatlah betapa kejam hati Endang Patibroto meninggalkannya, memutuskan cinta kasih mereka yang
sedang hangat-hangatnya dan timbullah kemarahan di hati
Tejolaksono. "Endang Patibroto, engkau yang sudah minggat meninggalkan kami tanpa memper-dulikan kami, sekarang datang
ada keperluan apakah?"
Endang Patibroto mene-ngadahkan muka yang basah air
mata, memandang ke wajah pria yang dicintanya itu. Akan
tetapi ketika ia mendengar suara itu, suara yang dingin
sekali, melihat wajah yang tak bersemangat, melihat yang
menatapnya penuh penyesalan dan sikap yang acuh tak
acuh, jantungnya seperti ditusuk-tusuk jarum dan wanita itu
tersedu-sedu. "Kakangmas Tejolaksono ............ " Rintihan suara
Endang Patibroto ini tersendat-sendat dan sukarlah baginya
untuk melanjutkan kata-katanya karena tangisnya membuat
tenggorokannya seperti tersumbat.
Tejolaksono memejamkan mata untuk menahan perasaan harunya mendengar suara wanita yang dicintanya
ini menyebut namanya dengan getaran penuh duka dan
penuh cinta kasih terpendam. Namun kemarahan hatinya
yang sakit masih tidak mengijinkan dia menyambut ulur
hati merindu, dan Tejolaksono kini bersidakap, sikapnya
tak acuh. "Kakangmas ............ , ampunkan semua kesalahanku
............ " Sejenak Tejolaksono tertegun dan hatinya yang penuh
cinta itu diliputi rasa heran dan kasihan. Inikah Endang
Patibroto yang dahulu" Wanita perkasa yang pantang
mundur menghadapi segala bahaya dan kesukaran" Wanita
yang tak kenal takut dan tak pernah meruntuhkan air mata"
"Sesungguhnyakah engkau merasa bersalah, Endang
Patibroto" Tidakkah yang kau lakukan itu malah benar
karena kalau engkau tidak meninggalkan kami engkau pun
akan mengalami segala kesengsaraan dan derita seperti
yang kami alami?" Ucapan ini halus dan tidak kedengaran
seperti orang marah, namun mengandung sindiran yang
lebih tajam dan menyakitkan hati daripada kata-kata keras.
"Aduh Kakangmas ...........". Endang Patibroto tidak
dapat melanjutkan kata-katanya dan tangisnya makin
mengguguk. Teringat ia betapa dahulu meninggalkan
Selopenangkep karena terpaksa, pergi dengan hati hancur
karena tidak mau menyusahkan hati Tejolaksono dan
terutama sekali Ayu Candra. Teringat ia betapa ia hidup
terlunta-lunta, melakukan perjalanan yang amat sengsara
dalam keadaan mengandung bersama Setyaningsi betapa
kemudian la rela menjadi kepala dari gerombolan Wilis,
hidup mengasingkan diri dari dunia ramai. Kemudian,
terutama sekali ia teringat betapa tertimpa malapetaka yang
hebat, diperkosa yang berarti dihina oleh Sindupati. Dan
kini, setelah ia kehilangan puterinya yang dilarikan Nini
Bumigarba sehingga ia terpaksa harus mencari ayah
puterinya untuk dimintai bantuan, ia diserang dengan
ucapan-ucapan penyesalan, ditusuk-tusuk perasaan hatinya
yang sudah luka-luka membutuhkan obat dan hiburan itu.
Pada saat itu, Ayu Candra yang memasuki taman
menyusul suaminya yang ia tahu seperti biasanya duduk
bersunyi diri di dalam taman, melihat suaminya berdiridengan muka marah dan seorang wanita menangis di depan
kakinya. Ayu Candra heran dan terkejut sekali, akan tetapi
ketika ia meneliti dari jauh dan melihat bahwa wanita itu
bukan lain adalah Endang Patibroto, ia menjerit sambil lari
menghampiri. "Endang Patibroto............ !!!"
Serta-merta ia menubruk dan memeluk wanita yang
sedang menangis itu dengan hati penuh keharuan dan
kegirangan. Menghadapi penyambutan yang sama sekali di
luar dugaannya ini, hati Endang Patibroto seperti diremas
dan ia hanya dapat sesenggukan sambil mambalas
rangkulan wanita yang menjadi madunya. Sungguh dia
tidak menyangka penyambutan ini, karena sesungguhnya
sebelum tiba di sana, Ayu Candralah yang ia khawatirkan
akan menyambutnya dengan sikap bermusuh.
"............ Ayunda ............ aku datang untuk ............
untuk minta maaf............ Kakanda Tejolaksono tidak sudi
mengampunkan aku ............ kuharap ............ Ayunda
memaafkan segala kesalahanku ............ " Endang Patibroto
terisak-isak dalam rangkulan Ayu Candra.
Dengan mata terbelalak Ayu Candra memandang ke
atas, ke arah wajah suaminya yang masih bersedakap
dengan muka muram dan keras. Ia lalu berkata dengan
lengan masih merangkul leher madunya
"Apa............ " Bukan engkau yang harus minta maaf,
Adikku ............ sebaliknya akulah yang harus minta maaf
kepadamu! Karena akulah, karena kebodohanku, karena
kehancuran hatiku kehilangan puteraku ............ aku telah
mengeluarkan kata-kata yang menyakiti hatimu ............
tidak, Endang Patibroto, bukan kau yang salah, melainkan
aku ............ !" Ayu Candra juga menangis.
"Alangkah mulia hatimu, Ayunda ............ dan
kemuliaanmu membuat aku merasa makin berdosa ............
sehingga patutlah kalau Kakanda Tejolaksono tidak sudi
memaafkan aku ............ , biarlah aku pergi saja ............ "
"Jangan ............ Tidak boleh kau pergi, Endang
Patibroto?".. " Ayu Candra yang kini menangis sampai
merangkul erat-erat. Kemudian Ayu Candra menarik
Endang Patibroto bangun berdiri, menghadapi suaminya
dan berkatalah wanita ini dengan muka basah air mata.
"Kakangmas, mengapa Paduka begini kejam terhadap
Adinda Endang Patibroto?" Suara ini penuh tuntutan dan
penuh teguran karena wanita ini maklum dengan penuh
keyakinan betapa suaminya banyak berduka karena rindu
kepada Endang Patibroto, betapa sesungguhnya suaminya
amat mencinta Endang Patibroto. Mengapa kini suaminya
seolah-olah marah dan menolak Endang Patibroto"
"Siapakah yang kejam, Diajeng?" Kini Ki Patih
Tejolaksono mendapat kesempatan untuk mengeluarkan isi
hatinya yang penuh kemarahan dan penyesalan. "Siapakah
yang pergi meninggalkan kita tanpa pamit, bahkan
membawa pergi adinda Setyaningsih, menimbulkan banyak
kedukaan pada keluarga kita" Andaikata dia tidak minggat,
belum tentu Bibi Roro Luhito tewas dan belum tentu
Adinda Pusporini lenyap. Andaikata dia berada di
Selopenangkep, belum tentu kadipaten itu mudah
dihancurkan musuh. Andaikata dia tidak pergi minggat,
tentu seorang anak tidak akan dipisahkan dari ayahnya,
bahkan kelahirannya pun di luar tahu ayahnya! Andaikata
dia tidak pergi, belum tentu begitu banyak malapetaka
terjadi dan begitu banyak kedukaan batin diderita ............ "
"Aduh, Kakangmas ............ !" Kalimat demi kalimat
merupakan ujung keris yang menusuk-nusuk hati Endang
Patibroto sehingga wanita itu mengeluh panjang dan
pingsan dalam rangkulan Ayu Candra!
"Endang Patibroto............ ! Adikku cah-ayu ............ ,
ingatlah ............ sadarlah ............! Ah, Kakangmas, betapa
kejam hatimu ............ !" Ayu Candra menangis mengguguk
ketika melihat wajah Endang Patibroto yang pucat itu.
Sesungguhnya, di dalam hati Ki Patih Tejolaksono
terdapat cinta kasih yang amat besar terhadap Endang
Patibroto. Kalau tadi ia bersikap keras adalah karena
hatinya sedang kusut, pikirannya sedang ruwet memikirkan
hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Kini melihat
wanita yang dicintanya itu roboh pingsan, ia menjadi amat
kasihan. Tanpa banyak kata lagi ia lalu meraih tubuh
Endang Patibroto dari rangkulan Ayu Candra.
Tubuh Endang Patibroto amat kuat. Hanya sebentar saja
ia tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, ia telah rebah di
sebuah pembaringan yang bersih dan indah. Ia belum
membuka matanya, akan tetapi telinganya telah dapat
mendengar kata-kata Ayu Candra. Ia tahu bahwa ia berada
dalam kamar, dijaga oleh Ayu Candra dan Tejolaksono.
"Kakangmas sendiri dahulu mengerti bahwa kepergiannya adalah karena ucapanku yang timbul dari
kedukaanku kehilangan Bagus Seta. Memang kita telah
banyak menderita, akan tetapi apakah Paduka tidak ingat
bahwa dia pun telah mengalami banyak penderitaan"
Ketika Setyaningsih datang, aku sudah minta kepadamu
untuk menyusul dan memboyong dia dan puterinya ke sini,
akan tetapi Paduka mengatakan bahwa kalau dia
menghendaki, dia akan datang sendiri. Kini dia telah
datang, akan tetapi Paduka sambut dengan kata-kata yang
pedas dan menyakitkan hati. Padahal aku yakin betapa
besar cinta kasih Paduka kepadanya! Betapa selama
bertahun-tahun ini Paduka mengenangnya dengan hati
berdarah. Kita semua sudah sama-sama menderita, setelah
berkumpul kembali semestinya saling menghibur untuk
menghilangkan semua kenangan duka."
Terdengar oleh Endang Patibroto betapa Tejolaksono
menghela napas panjang. "Aku dikuasai kemarahan karena dia telah membuat aku
banyak berduka selama ini,' Diajeng. Dan aku pun hanya
ingin menguji apakah benar-benar sekali ini dia ingin hidup
bersama kita ............" Tiba-tiba Tejolaksono menghentikan
kata-katanya karena dia tahu bahwa Endang Patibroto
sudah mulai menggerak-gerakkan pelupuk matanya, tanda
bahwa dia mulai sadar. Ayu Candra juga melihat ini, maka
wanita ini bangkit lalu berkata,
"Karena dia datang dalam keadaan, begini, tanpa
membawa bekal, aku

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan menyediakan semua keperluannya, Kakangmas. Juga aku akan memberi kabar
kepada Setyaningsih agar datang berkunjung." Tanpa
menanti jawaban, wanita yang bijaksana ini lalu
meninggalkan kamar itu. Tejolaksono duduk di tepi pembaringan, memandang
wajah Endang Patibroto. Setelah kini kemarahannya hilang,
ia memandang wajah itu dengan penuh keinduan dan cinta
kasih. Hatinya terharu, dan terpesona memandang bulu
mata yang panjang melengkung itu mulai bergerak-gerak,
kemudian kelopak mata itu perlahan-lahan terbuka.
Dua pasang mata beradu dan saling melekat sampai
lama. Tak perlu lagi kiranya mulut mengeluarkan kata-kata
kalau dari dua pasang mata itu keluar begitu banyak
pernyataan yang hanya dapat ditangkap oleh rasa. Mulut
dapat mengeluarkan seribu satu macam kata-kata bohong,
namun sinar mata mencerminkan isi perasaan hati dan
keduanya yakin betapa dalam cinta kasih di antara mereka
melalui pandang mata mereka.
Melihat betapa perlahan-lahan sepasang mata yang amat
tajam dan selalu dikaguminya itu mengalirkan air mata,
Tejolaksono berkata halus,
"Kau ............ kaumaafkan kekasaranku tadi ............
Diajeng ............ "
Endang Patibroto tersedak oleh isaknya sendiri, lalu ia
pun bangkit duduk. "Sudah sepatutnya kalau Paduka marah kepadaku,
Kakangmas ............ kuharap kini Kakangmas dapat
mengampunkan aku?"".."
"Aku maafkan semua perbuatanmu yang telah lalu,
Endang Patibroto ..........." Tejolaksono memegang kedua
tangan kekasihnya ini dan jari-jari tangan mereka
mengeluarkan getaran cinta kasih yang amat besar.
"Terima kasih, Kakangmas Tejolaksono ............"
"Duhai Adinda, betapa rindu kepadamu ............ betapa
kering melayu hatiku selama kautinggalkan ............
Diajeng Endang Patibroto ............ betapa besar cinta
kasihku kepadamu............ !" Ki Patih Tejolaksono
merangkul leher wanita itu dengan kasih mesra. Akan tetapi
tiba-tiba Endang Patibroto tersedu dan melepaskan diri dari
pelukan, lalu meloncat turun ke bawah pembaringan dan
berlutut di sifu, menangis terisak-isak dan berkata dengan
suara terputus-putus. "............ aduh Kakangmas pujaan hamba ............ aahh,
harap jangan sentuh aku, Kakangmas ............ jangan
membelai Endang Patibroto yang hina ini ............ aku
............ aku ............ telah ternoda, tidak bersih lagi ............
aku manusia hina yang sudah cemar ............ Kakangmas,
kau bunuh saja aku............ !!"
Wajah Ki Patih Tejolaksono menjadi pucat sekali. Ia
cepat mengangkat bangun Endang Patibroto, ditariknya
wanita itu duduk di tepi pembaringan menghadapinya
dengan pandang mata tajam ia berkata,
"Diajeng Endang Patibroto. Apa artinya semua ini"
Ceritakanlah apa yang telah terjadi sehingga Adinda
bersikap seperti ini! Kita telah menjadi suami isteri, tidak
boleh ada rahasia lagi di antara kita, Diajeng."
"Kakangmas ............ malapetaka hebat telah menimpa
diriku............ membuat aku terhina, tercemar dan ternoda
............ !! "Ceritakanlah, ceritakanlah ............ " Tejolaksono
mendesak tidak sabar lagi.
"Terjadinya di waktu aku mengadakan sayembara
tanding untuk mencarikan jodoh Setyaningsih ............ "
Endang Patibroto lalu bercerita tentang pertemuannya
dengan orang yang mengaku bernama Warutama,
kemudian betapa dalam keadaan pingsan dia diperkosa oleh
Warutama. Semua dia ceritakan tanpa tedeng aling-aling
dengan persiapan menghadapi segala akibatnya. Wanita
perkasa ini maklum bahwa kalau hal itu tidak ceritakan
kepada Tejolaksono, selalu akan ada jurang pemisah yang
lebar terasa olehnya antara dia dan kekasihnya.
"Demikianlah, Kakangmas ............ setelah dia pergi
barulah teringat olehku bahwa orang yang wajahnya sudah
berubah itu sebetulnya adalah si keparat Sindupati ............
" Ki Patih Tejolaksono bangkit berdiri, mukanya menjadi
merah sekali, matanya terbelalak, kedua tangannya terkepal
dan la berkerot-kerot saking marahnya, mulutnya membisikkan kutukan hebat, "Bedebah ?"..!!!"
Jantung Endang Patibroto serasa dirobek-robek dan
wanita ini menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu. "Duh
Kakangmas ............ aku rela kauhina, bahkan aku siap
kaubunuh sekali pun ............ memang aku wanita hina
............ duh Ibunda ............ mengapa malapetaka yang
menimpa Ibu dahulu kini menimpa anakmu pula ............
?" Tejolaksono membungkuk dan mengangkat bangun
Endang Patibroto dengan memondongnya dan dengan
penuh kasih sayang mendudukkan wanita itu kembali ke
atas pembaringan, merangkul dan menciuminya.
"Tidak, kekasihku. Engkau sama sekali tidak hina! Aku
tidak akan mengulang apa yang dahulu salah dilakukan
oleh mendiang ayahmu. Dahulu pun, seperti engkau telah
tahu, ibumu diperkosa orang ............ ayahmu menyesal
dan menyalahkannya, sehingga terjadilah ekor atau akibat
yang amat hebat. Kini peristiwa seperti itu menimpa
dirimu, Diajeng. Aku sama sekali tidak menyalahkan
engkau, Diajeng yang bernasib malang ............ bukan
kehendakmu terjadi hal seperti itu. Namun kita harus
membalas kekejian Sindupati ............ eh, kau bilang dia
bernama Warutama sekarang" Si keparat! Dan dia menjadi
Patih Jenggala! Celaka?""!"
Endang Patibroto seolah-olah Gunung Semeru yang
tadinya menindih perasaan hatinya kini telah lenyap,
dadanya lapang hatinya merasa bahagia sekali. Dia tidak
perduli apakah Warutama sekarang menjadi Patih Jenggala
atau menjadi setan. Kegirangan hatinya mendapat
kenyataan bahwa pria yang dicintanya ini tidak marah dan
tidak menyalahkannya dalam peristiwa pemerkosaan itu
membuat ia lupa segala. Dipeluknya Tejolaksono dan
dengan sedu-sedan ia berbisik di dada suami itu,
"Aduh, terima kasih, Kakangmas ............ terima kasih
............ terima kasih ............ !"
Tejolaksono dapat memahami keharuan hati Endang
Patibroto. Dia maklum betapa besar artinya sikapnya dalam
peristiwa itu bagi seorang wanita, apalagi seorang wanita
seperti Endang Patibroto. Diam-diam dia merasa kagum
akan sikap Endang Patibroto yang tidak ragu-ragu
menceritakan hal itu kepadanya dalam kesempatan
pertama. Hanya seorang wanita yang berhati murni saja
yang akan mengaku secara terus terang seperti ini. Hanya
wanita yang menghendaki agar di antara cinta kasih mereka
tidak terdapat penghalang dalam bentuk apa pun juga, yang
menghendaki cinta kasih yang murni, yang akan berani
menceritakan pemerkosaan terhadap dirinya dengan resiko
patahnya rantai kasih itu sendiri. Ia membiarkan Endang
Patibroto melampiaskan kelegaan hatinya dalam tangis, dan
dengan belaian kasih mesra ia mengusap-usap rambut yang
kusut itu. Peristiwa pemerkosaan itu sama sekali tidak
mempengaruhi cintanya, bahkan memperdalam cintanya
yang kini dilengkapi dengan perasaan kasihan yang
mendalam. Dan Tejolaksono tidak sadar bahwa kalau di
dunia ini jarang terdapat wanita yang begitu murni cintanya
seperti Endang Patibroto, lebih jarang lagi terdapat pria
yang dapat menerima peristiwa pemerkosaan dengan dada
begitu lapang, dengan pengertian begitu mendalam seperti
perasaan hatinya terhadap Endang Patibroto!
"Diajeng, sudahlah jangan menangis. Percayalah, aku
sudah lupa lagi akan peristiwa yang menimpa dirimu
sungguh pun aku takkan dapat melupakan Warutama yang
jahat itu. Tenangkan hatimu karena peristiwa keji itu takkan
diketahui orang lain, tidak akan diketahui oleh Ayu
Candra, oleh siapa pun juga, bahkan tidak akan diketahui
oleh anak kita ............ eh, di mana Retna Wilis, anak kita
itu" Diajeng, aku sudah banyak mendengar tentang dia dari
Adinda Setyaningsih, kenapa kau tidak membawa dia ke
sini?" Wajah Endang Patibroto yang tadinya merah berseri
karena bahagia mendengar ucapan penerimaan Tejolaksono
mengenai malapetaka yang menimpa dirinya, kini menjadi
muram dan ia menghela napas panjang, lalu mengangkat
mukanya dari dada suaminya. '
"Kakangmas, memang nasibku selalu malang, dirundung
malapetaka. Anak kitatu, Retna Wilis, sudah baik-baik
mendapatkan seorang guru yang sakti mandraguna, yaitu
Ki Datujiwa, akan tetapi tiba-tiba muncul nenek iblis Nini
Bumigraba yang membunuh Ki Datujiwa dan menculik
Retna Wilis ............ "
"Duh para Dewata ............ , mengapa begini ............ ?"
Tejolaksono mengeluh dengan hati pedih. Puteranya, Bagus
Seta, sampai kini belum juga pulang. Kemudian, puterinya
yang belum pernah dilihatnya, Retna Wilis, diculik orang
pula! "Diajeng, bagaimana bisa terjadi hal itu" Mengapa
Diajeng tidak melindunginya dan melawan mati-matian?"
Tejolaksono memang belum pernah mendengar nama Nini
Bumigarba sehingga ia merasa terheran-heran mengapa
isterinya ini yang amat sakti, ditambah lagi dengan Ki
Datujiwa yang menurut keterangan Setyaningsih amat sakti
sehingga dalam sayembara dapat menandingi dan
mengalahkan Endang Patibroto, tidak mampu melindungi
Retna Wilis. Endang Patibroto lalu menceritakan dengan suara duka
namun dengan sejelasnya tentang kedatangan Nini
Bumigarba yang menyeramkan. Sebagai penutup ceritanya
ia berkata, "Nenek iblis itu luar biasa sekali, Kakangmas. Jangankan
hanya aku, sedangkan Ki Datujiwa yang sakti itu pun sama
sekali bukan tandingannya. Nenek itu bukan seperti
manusia, mukanya pun tidak dapat tampak nyata, tertutup
semacam halimun kehitaman. Ahh, Kakangmas bagaimana
kita harus mencari dan menolong anak kita itu ............ ?"
Endang Patibroto berduka sekali sehingga suaminya segera
merangkulnya untuk menghibur.
"Betapapun sakti mandraguna nenek itu, namun kalau
dia hanya menghendak Retna Wilis menjadi muridnya,
puter kita akan selamat. Hanya aku khawatir ............ nenek
itu begitu kejam dan seperti Iblis, bagaimana puteri kita
dapat menjadi muridnya" Kita harus berusaha mencarinya,
dan mencegahnya menjadi murid nenek itu. Akan tetapi
............ ah, aku teringat ............ kau bilang nenek itu
mukanya tidak tampak karena tertutup halimun hitam"
Aneh sekali ............ "
"Apa maksudmu, Kakangmas" Apakah Paduka pernah
bertemu dengan dia?"
"Bukan dengan dia, bahkan mendengar namanya pun
belum pernah. Akan tetapi aku pernah berjumpa dengan
seorang maha sakti yang juga wajahnya selalu tertutup
semacam halimun, akan tetapi halimun putih dan kakek
sakti mandraguna itu adalah seorang suci yang membawa
putera kita Bagus Seta menjadi muridnya ............ "
Tejolaksono lalu menuturkan semua pengalamannya
semenjak mereka berpisah. Banyak suka-dukanya dalam
pertemuan antara dua orang yang saling mencinta ini,
banyak hal-hal yang mengharukan dan menimbulkan
gelisah, akan tetapi kebahagiaan karena mereka dapat
berkumpul kembali merupakan hiburan yang amat besar.
Setelah berkumpul kembali, mereka menjadi besar hati dan
akan sanggup memikul semua beban dan derita hidup
bersama-sama. Ayu Candra yang bijaksana membiarkan mereka itu
saling menuturkan semua pengalaman, tidak mengganggu
mereka dan hanya mengirimkan pengganti pakaian yang
baru dan bersih untuk Endang Patibroto, menyuruh abdiabdi wanita untuk mengirim hidangan, dan baru pada
keesokan harinya Ayu Candra menghadap suaminya dan
bertemu dengan madunya bersama-sama Setyaningsih dan
Pangeran Panji Sigit. Pertemuan yang mengharukan, apalagi ketika Setyaningsih mendengar bahwa Retna Wilis diculik orang.
Mukanya yang berkulit kuning bersih dan cantik jelita itu
mengeras, alisnya berkerut dan matanya memancarkan api
kemarahan. Ia menoleh kepada suaminya dan berkata,
"Bagaimana pendapat Kakanda akan hal itu" Bukankah
semua itu termasuk rencana persekutuan iblis yang sedang
berusaha mencengkeram kedua kerajaan keturunan Mataram" Saya merasa yakin bahwa nenek iblis yang
bernama Nini Bumigarba itu tentu mempunyai hubungan
dengan tokoh-tokoh jahat seperti yang telah diceritakan
rakanda patih kepada kita, tokoh-tokoh dari Sriwijaya dan
Cola." Pangeran Panji Sigit mengangguk-angguk. "Uwa Prabu
telah mengirimkan banyak penyelidik ke Jenggala,
mempelajari keadaan di sana. Dan sebaiknya kalau kita
sendiri tidak tinggal diam, menyelidiki ke mana Retna Wilis
adik kita itu dibawa pergi. Rakanda Patih, biarlah saya


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri bersama Setyaningsih pergi melakukan penyelidikan, mencari jejak nenek yang jahat itu."
Tejolaksono termenung. "Menurut penuturan ayundamu
Endang Patibroto, nenek itu amatlah saktinya, bukan
merupakan lawan kita. Memang seharusnya kita melakukan penyelidikan dan kami percaya penuh akan
kemampuan Adinda Pangeran dan Setyaningsih, akan
tetapi harap jangan sembrono dan jangan sekali-kali
mencoba untuk melawan nenek itu. Cukup kalau bisa
mendapatkan jejaknya dan bisa mengetahui di mana
adanya anakku Retna Wilis, kemudian melaporkan kepada
kami." "Jangan khawatir, Rakanda Patih. Kami akan bersikap
hati-hati sekali dan tidak hanya kami berdua yang
menyelidik, melainkan kami akan berusaha menyebar
barisan penyelidik ............ " Ucapan Pangeran Panji Sigit
ini terhenti karena pengawal memberi tahu akan
kedatangan Pangeran Darmokusumo bersama isterinya.
Mereka ini datang berkunjung setelah mendengar bahwa
Endang Patibroto telah "pulang" ke rumah suaminya yang
baru, yaitu Patih Tejolaksono. Seperti telah diketahui, baik
Pangeran Darmokusumo maupun isterinya keduanya
adalah sahabat-sahabat baik Endang Patibroto. Di waktu
mudanya, isteri pangeran ini yang bernama Puteri
Mayagaluh adalah sahabat baik Endang Patibroto (baca
Badai Laut Selatan), bahkan puteri ini adalah adik kandung
mendiang Pangeran Panjirawit. Adapun Pangeran Darmokusumo sendiri, seorang pangeran terkemuka dari
Panjalu, pernah bekerja sama dengan Endang Patibroto
ketika mereka berdua memimpin pasukan menyerbu
Blambangan beberapa tahun yang lalu.
Pertemuan ini pun mengharukan, juga amat menggembirakan. Percakapan mengenai pengalaman mereka masing-masing membawa ke persoalan negara,
yaitu Kerajaan Jenggala yang sedang diliputi mendung
gelap. Terutama sekali Puteri Mayagaluh dan adik tirinya,
Pangeran Panji Sigit, keduanya menundukkan muka dan
merasa prihatin sekali kalau memikirkan keadaan ayah
mereka, sang prabu di Jenggala yang sudah sepuh itu, yang
kini seolah-olah berada dalam cengkeraman iblis jahat!
Ketika percakapan tiba pada persoalan diculiknya Retna
Wilis, Pangeran Darmokusumo yang sudah kurang lebih
lima puluh tahun usianya itu berkata sambil mengerutkan
alisnya, "Nini Bumigarba" Wajahnya tertutup halimun kehitaman" pernah aku mendengar dongeng wanita sakti
yang mukanya selalu tertutup halimun, namanya Dewi
Sarilangking ............ "
"Itulah dia!!" Endang Patibroto berseru. "Dewi
Sarilangking yang sekarang bernama Nini Bumigarba,
kepandaiannya hebat ............ !"
Pangeran Darmokusumo mengangguk-angguk. Ketika ia
mendengar niat Pangeran Panji Sigit untuk bersama
isterinya pergi mencari jejak, ia berkata.
-oo0dw0oo- Jilid XXXI "MEMANG seharusnya dilakukan penyelidikan. Kurasa
masih ada hubungannya peristiwa ini dengan kekacauan di
Jenggala. Biarlah aku akan mengerahkan pasukan-pasukan
istimewa bagian penyelldik yang sudah berpengalaman
untuk meneliti dan mencari jejak ke mana dibawanya Retna
Wilis." Tiba-tiba Endang Patibroto berkata dengan muka merah,
"Kita semua sudah mendengar dan melihat kenyataan
bahwa Jenggala berada dalam cengkeraman iblis-iblis
laknat, bahkan fihak mereka telah berhasil menyelundupkan seorang manusia terkutuk seperti Warutama menjadi patih di Jenggala. Mau tunggu kapan
lagi" Sebaiknya kita langsung menyerbu Jenggala dan
membersihkan oknum-oknum pengacau itu, membinasakan
dan membasmi mereka. Biarlah aku sendiri yang akan
menghadap sang prabu di Panjalu untuk memimpin
pasukan menghancurleburkan mereka itu!!"
Tejolaksono bertukar pandang dengan Pangeran Darmokusumo. Mereka berdua menahan senyum karena
mereka telah mengenal watak wanita ini yang ternyata tidak
berubah banyak. Dan mereka yakin bahwa kalau wanita ini
memimpin pasukan menyerang ke Jenggala, pasti akan
terjadi geger, sungguhpun sekali ini hasilnya belum dapat
dipastikan mengingat betapa musuh menggunakan banyak
orang-orang yang sakti. "Aku sendiri pun telah mengajukan usul seperti itu, akan
tetapi tidak diterima oleh gusti sinuwun. Dan memang
kalau dipikir secara mendalam, penyerbuan dengan
pasukan itu bisa menimbulkan salah duga, disangka Panjalu
menyerang Jenggala. Musuh telah mempergunakan siasat
halus, dan jalan satu-satunya menghadapi mereka dengan
diam-diam pula," kata Tejolaksono.
"Tepat seperti yang dikatakan Adinda Patih Tejolaksono,
biarlah saya yang menghadap Ramanda Prabu dan mohon
perkenan beliau untuk. membentuk pasukan rahasia yang
tugasnya menentang para pengacau di Jenggala dengan
secara rahasia dan diam-diam. Dan kita harus mengadakan
kontak dengan orang-orang Jenggala sendiri yang masih
setia kepada paman prabu dan bibi ratu di Jenggala agar
perjuangan pasukan rahasia ini akan dapat berhasil."
Keluarga yang terdiri dari orang-orang sakti mandraguna
ini mengadakan perundingan dan akhirnya diambil
keputusan mengangkat Pangeran Darmokusumo sebagai
pemimpin pasukan rahasia yang akan dibentuk, sedangkan
Patih Tejolaksono menjadi komandan pasukannya dibantu
oleh Endang Patibroto. Akhirnya, keluarga Tejolaksono yang cerai-berai tidak
karuan itu kini dapat berkumpul kembali, sungguhpun
belum lengkap. Pusporini masih belum ada kabarnya,
Bagus Seta masih belum diketahui berada di mana,
sedangkan Retna Wilis pun lenyap digondol nenek iblis
tanpa diketahui ke mana dibawanya.. Akan tetapi,
berkumpulnya kembali Tejolaksono dan Endang Patibroto
merupakan hal yang selain menggembirakan semua orang
termasuk Ayu Candra, juga mendatangkan semangat dan
kelegaan hati. Semua orang, termasuk Pangeran Darmokusumo sendiri, merasa bahwa kalau kedua orang
sakti yang saling mencinta ini bersatu, tidak akan ada
kesulitan yang takkan dapat mereka atasi! Dan buktinya,
begitu Endang Patibroto tiba, terus saja terbentuk pasukan
rahasia yang tadinya tak pernah disinggung-singgung oleh
Tejolaksono yang agaknya kehilangan semangat. Kini,
dengan hati girang Ayu Candra mendapat kenyataan betapa
suaminya telah pulih kembali semangatnya, tidak pernah
melamun, wajahnya selalu berseri, bahkan kalau menyinggung soal belum kembalinya Pusporini, Bagus
Seta, dan Retna Wilis, ia kini penuh harapan seolah-olah
kehadiran Endang Patibroto telah mempertebal keyakinan
dan kepercayaan akan diri sendiri!
Sebagai langkah pertama dari pasukan rahasia ini,
Pangeran Darmokusumo mengutus lima belas orang ahliahli penyelidik pilihan yang gagah perkasa untuk
menyelundup ke Kota Raja Jenggala melakukan penyelidikan akan keadaan pengaruh jahat yang mencengkeram Jenggala, sedangkan Pangeran Panji Sigit
bersama isterinya, Setyaningsih, menyamar sebagal rakyat
biasa, memimpin selosin orang perajurlt pilihan untuk
mulai dengan tugas mereka mencari jejak Nini Bumigarba
yang membawa lari Retna Wilis.
==mch-dw== Pada waktu itu, telah genap lima tahun Pusporini dan
Joko Pramono menjadi murid sang sakti Resi Mahesapati.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua tahun yang
lalu, Wiraman dan Widawati yang menjadi korban racun
ular Puspo Wilis sehingga di luar kesadaran mereka telah
melakukan hubungan sanggama sehingga terpaksa Widawati semenjak saat itu menyerahkan jiwa raganya
menjadi isteri Wiraman, juga diterima oleh Resi
Mahesapati sebagai murid-muridnya. Biarpun hanya
menerima gemblengan selama dua tahun, namun Wiraman
yang tadinya adalah seorang pengawal yang gagah perkasa
itu mendapatkan kemajuan yang luar biasa, sedangkan
Widawati cucu Ki Patih Brotomenggala itu pun kini
menjadi seorang wanita yang kosen.
Akan, tetapi yang tinggi sekali tingkat ilmu kepandaiannya adalah Pusporini dan Joko Pramono. Berkat
sifat kedua orang muda ini yang selalu bersaing sampai tiga
tahun lamanya, mereka memperoleh kemajuan pesat. Baru
setelah terjadi peristiwa penaklukan ular Puspo Wilis dan
mereka itu hampir saja menjadi korban pengaruh hawa
beracun ular itu, keduanya saling menginsyafi dengan
penuh kesadaran bahwa sesungguhnya mereka itu saling
mencinta. Bahwa semua persaingan mereka itu sama sekali
bukan berdasarkan iri dan benci, melainkan berdasarkan
cinta kasih sehingga mereka selalu ingin menonjolkan diri
di mata masing-masing orang yang dicintanya dengan dasar
niat ingin dikagumi dan ingin dihargai atau lebih tepat lagi
ingin dicinta! Semenjak peristiwa itu, mereka tidak lagi
bersaing, bahkan sering mereka itu memperlihatkan sikap
mengalah, terutama sekali Joko Pramono, dan biarpun
mulut mereka tak pernah menyatakan sesuatu, namun
pandang mata mereka sudah terang-terangan menyatakan
isi hati yang penuh cinta. Namun, tiadanya persaingan
bukan berarti bahwa ketekunan mereka mengendur. Sama
sekali tidak. Setelah mendengar penuturan Wiraman akan
keadaan di Jenggala, kemudian mendengar wejangan Resi
Mahesapati, mereka belajar makin rajin dan kini mereka
mempunyai cita-cita dalam belajar, yaitu untuk kelak
dipergunakan menolong Jenggala, membersihkan kerajaan
itu dari manusia-manusia iblis yang berusaha mencengkeramnya.

Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi hari itu Resi Mahesapati memanggil keempat orang
muridnya itu menghadap. Dengan suara halus ia berkata,
"Tugasku telah selesai memberi bimbingan kepada kalian
mengejar ilmu. Joko Pramono dan Pusporini, telah genap
lima tahun kalian mempelajari ilmu dan sudah tiba saatnya
kalian turun gunung memanfaatkan segala yang kalian telah
pelajari. Seperti telah berkali-kali kutekankan adalah
menjadi tugas kalian untuk berdarma bakti kepada
kebajikan, kebenaran dan keadilan. Dan karena pada saat
ini mendung telah meliputi Jenggala dan sebagian dari
Panjalu, maka kalian harus turun gunung dan membantu
usaha membersihkan mendung yang mengancam keselamatan rakyat kerajaan-kerajaan keturunan Mataram.
Ingat bahwa mereka yang mengancam keselamatan itu
adalah orang-orang yang memiliki ilmu-ilmu yang tinggi,
bahkan ada di antara mereka yang lebih sakti daripada
tokoh-tokoh kedua kerajaan, bahkan aku sendiri tidak akan
mampu melawannya. Akan tetapi, untuk menghadapi
mereka yang sakti mandraguna ini akan muncul seorang
pendekar muda dan kepadanyalah kalian akan membantu.
Apa yang akan kalian lakukan di hari depan, terserah
kepada kebijaksanaan kalian, aku orang tua hanya dapat
membekali doa restu. Juga engkau Ki Wiraman, engkau
dan Widawati tidak terlepas pula daripada kewajiban untuk
membantu usaha menentang pengaruh buruk itu. Pergilah
kalian berempat dan aku dapat memandang kepergian
kalian berempat dengan hati lapang karena kurasa, usahaku
selama ini tidak akan sia-sia."
"Akan tetapi, Eyang resi. Kemanakah hamba berdua
harus menuju?" tanya Pusporini yang sebetulnya ingin
sekali kembali ke Selopenangkep mencari keluarganya.
"Rundingkanlah nanti bersama Joko Pramono, dan
terutama sekali, dengarkan nasehat Ki Wiraman. Dia ini
lebih berpengalaman dalam hal perjuangan dibandingkan
dengan kalian berdua. Nah, berangkatlah tanpa ragu-ragu,
karena setiap cita-cita harus dimulai dengan tekad bulat.
Sedikit saja keraguan akan menghambat tercapainya citacita." Setelah berkata demikian, Resi Mahesapati yang
duduk bersila itu meramkan mata, tanda bahwa dia mulai
bersamadhi dan tidak mau diganggu lagi. Empat orang itu
lalu menyembah dan berpamit dengan hati terharu, teringat
akan kebaikan budi kakek ini selama mereka berada di situ.
Kemudian berangkatlah mereka meninggalkan tempat di
mana mereka digembleng itu. Adapun batu mustika ular
Puspo Wilis sejak lama telah diberikan kepada Pusporini
dan kini menjadi penghias leher Pusporini sebagai sebuah
mata kalung yang indah sekali, mengeluarkan sinar
kehijauan. Karena masih terpengaruh oleh rasa duka harus berpisah
meninggalkan guru yang mereka cinta itu seorang diri di
puncak gunung, empat orang itu menuruni gunung tanpa
bicara dan baru setelah mereka tiba di kaki gunung dan
untuk penghabisan kali menengadah ke puncak seolah-olah
merupakan pandang penuh harapan dan permintaan doa
restu, baru mereka berunding.
"Menurut pendapat saya, lebih baik kalau Andika berdua
dari sini langsung memasuki Jenggala untuk melakukan
penyelidikan tentang keadaan kerajaan itu sekarang.
Andika berdua tidak dikenal, tentu saja akan lebih mudah
melakukan perjalanan ke daerah yang kacau itu. Sedangkan
saya sendiri bersama diajeng Widawati akan langsung
menuju ke Panjalu, melaporkan segala keadaan dua tahun
yang lalu kepada sang prabu di Panjalu." Demikian
Wiraman menyatakan pendapatnya. Joko Pramono dan
Pusporini tak dapat membantah kebenaran pendapat ini
dan mereka mengangguk. "Benar sekali pendapat Paman. Kami akan menyelidiki
keadaan Kota Raja Jenggala, kemudian kami akan pergi
menyusul Paman ke Panjalu," kata Joko Pramono.
"Kalau Paman tiba di Panjalu, harap Paman kunjungi
kediaman Kakangmas Tejolaksono dan ceritakan keadaanku kepada keluargaku. Akan tetapi, betulkah
Kakangmas Tejolaksono kini telah menjadi patih muda di
Panjalu seperti yang Paman ceritakan dahulu?"
Wiraman mengangguk. "Saya pun hanya mendengar
beritanya saja bahwa setelah berhasil mengamankan
kekacauan kekacauan yang timbul di wilayah barat Adipati
Tejolaksono diangkat menjadi patih muda. Tentu akan saya
selidiki tentang keluarga Andika, dan saya akan menghadap
Gusti Patih Tejolaksono."
Dari kaki gunung itu, rombongan mereka dipecah
menjadi dua, Wiraman dan Widawati menuju ke Panjalu,
sedangkan Joko Pramono dan Pusporini melanjutkan
perjalanan mereka ke Jenggala untuk melakukan tugas
menyelidiki sebelum mereka menyusul pula ke Panjalu.
Kedua orang muda murid Sang Resi Mahesapati itu
melanjutkan perjalanan dengan gembira. Setelah lima tahun
1amanya mereka mengejar ilmu di puncak gunung, kini
mereka menghadapi dunia ramai dengan hati penuh
ketegangan, apalagi kalau mereka mengingat akan cerita Ki
Wiraman tentang keadaan Jenggala yang kacau-balau dan
akan kekuasaan-kekuasaan jahat yang mencengkeram
kerajaan itu. Namun ketegangan ini hanya timbul karena
mereka ingat akan tugas mereka sebagai orang-orang
berkepandaian yang melaksanakan tugas menentang
kejahatan, bukan sekali-kali karena rasa takut. Hati mereka
besar dan mereka mempunyai penuh kepercayaan kepada
diri sendiri. Selama lima tahun digembleng oleh Sang Resi
Mahesapati yang sakti mandraguna, kedua orang muda ini
memperoleh kemajuan yang hebat. Mereka bukan lagi
orang-orang muda remaja lima tahun yang lalu. Biarpun
lima tahun yang lalu mereka telah memiliki kepandaian
yang cukup tinggi, namun semua aji kesaktian mereka
masih mentah, sama sekali berbeda dengan keadaan mereka
sekarang yang telah menyempurnakan semua aji itu di
bawah bimbingan Sang Resi Mahesapati. Pusporini telah
berusia dua puluh satu tahun, sedangka Joko Pramono
telah berusia dua puluh dua tahun, dan mereka berdua telah
memiliki kedigdayaan yang matang.
"Mudah-mudahan saja tugas kita akan berjalan lancar
sehingga kita dapat segera pergi ke Panjalu untuk mencari
rakandamu Gusti Patih Tejolaksono," terdengar Joko
Pramono berkata ketika mereka berdua berjalan seenaknya
memasuki hutan belantara yang sudah dekat dengan Kota
Raja Jenggala. Mereka telah melakukan perjalanan selama
tujuh hari dan tidak pernah mereka menemui halangan. Di
sepanjang perjalanan mereka melalui dusun-dusun dan
mendengar akan keadaan di Jenggala yang mengecilkan
hati. Para penduduk dusun menceritakan betapa kini
kekacauan dari kota raja itu menular menjalar ke dusundusun, di mana para ponggawa yang diangkat oleh petugas
kerajaan, diganti secara paksa oleh ponggawa-ponggawa
baru yang memerintahkan agar rakyat memuja-muja Sang
Bathari Shiwa. Berita ini hanya dicatat dalam hati oleh
kedua orang muda itu untuk kelak mereka laporkan ke
Panjalu. Akan tetapi karena mereka bertugas menyelidik,
mereka tidak mau melibatkan diri dengan para ponggawa
baru itu dan selalu menjauhkan diri dari pertentangan yang
tidak ada artinya dan hanya akan mengganggu tugas
penyelidikan mereka. Tujuan utama mereka adalah kota
raja untuk menyelidiki keadaan di sana karena mereka tahu
bahwa yang menjadi pusat biang keladi semua kekacauan
adalah kota raja. "Kenapa sih engkau ingin tergesa-gesa pergi ke Panjalu
dan menemui Rakanda Patih Tejolaksono?" tanya
Pusporini, di dalam hatinya mentertawakan pemuda itu
karena tentu saja ia sudah dapat menduga sebabnya.
"Kenapa" Tentu saja untuk meminang adiknya yang
cantik manis, galak, sakti mandraguna dan ...........
merupakan wanita paling mulia di dunia ini bagiku, puteri
yang bernama Dyah Pusporini ........... !"
Pusporini meruncingkan bibirnya, mengejek. "Aku tidak
mau bicara tentang perjodohan sebelum tugas kita selesai,
sebelum semua anasir jahat dibasmi habis dari Jenggala dan
Panjalu!" "Wah, bagaimana kalau sampai belasan tahun belum
selesai?" Joko Pramono mencela dan memandang gadis di
samping kirinya dengan mata terbelalak lebar.
Pusporini mengerling ke kanan dan tersenyum. "Kalau
sampai belasan tahun mengapa" Siapa sih yang tergesagesa?" "Wah, aku akan menjadi jejaka tua dan engkau akan
menjadi perawan tua!' kata Joko Pramono setengah
berkelakar akan tetapi juga setengah bersungguh. sungguh.
"Kalau bertemu dengan rakandamu itu, aku akan nekat
meminangmu hendak kulihat kalau keluargamu menetapkannya dan mendesakmu, engkau akan dapat
berkata apa lagi!" "Engkau memang orang nekat, lebih baik namamu
dirubah menjadi Joko Nekat saja!" Pusporini menggoda
sambil tertawa. Sesungguhnya di dalam hatinya ia pun
tidak sabar lagi menanti pinangan pemuda yang dicintanya
ini. Usianya sudah dua puluh satu tahun dan pada jaman
itu, seorang wanita berusia dua puluh satu tahun biasanya
tentu telah menjadi seorang ibu dari dua tiga orang anak!
"Sstttt ........... di depan ada orang .........." Joko Pramono
berbisik dan gadis itu sudah dalam keadaan siap, hilang
sikapnya berkelakar. Kedua orang muda itu berjalan terus
dengan langkah tenang, namun pandang mata mereka
waspada dan penuh perhatian karena mereka maklum
bahwa di dalam gerombolan alang-alang dan pohon di
sebelah depan terdapat banyak orang bersembunyi.
K.etika mereka tiba di tempat terbuka yang agak luas,
dikelilingi pohon-pohon dan alang-alang, tiba-tiba terdengar
bentakan keras, "Kisanak yang lewat, berhenti dulu!!"
Dari balik semak-semak di sekeliling tempat itu
berloncatan keluar banyak orang laki-laki yang memakai
kain dan celana seragam, bertubuh tinggi besar dan melihat
betapa mereka itu lalu serempak membuat gerakan
mengurung secara teratur, mudah diduga bahwa mereka itu
bukanlah perampok, melainkan sebuah pasukan yang
terlatih, akan tetapi sikap mereka tiada bedanya dengan
perampok-perampok. Pandang mata mereka kini menjalari
wajah dan tubuh Pusporini dan gadis ini menghitung
sembilan belas mulut yang menyeringai penuh nafsu kurang
ajar terhadap dirinya. Hanya sebuah pasukan kecil yang
terdiri dari tujuh belas orang yang dikepalai dua orang lakilaki tinggi besar yang dapat dibedakan dari para anak
buahnya melihat pakaiannya yang lebih mewah. Pusporini
dan Joko Pramono yang terkurung di tengah-tengah itu
berdiri dengan sikap tenang-tenang saja.
Dua orang pimpinan pasukan itu lalu melangkah maju.
Sejenak mereka memanclang pemuda dan pemudi itu
penuh selidik, dan seorang di antara mereka berdua, yang
hidungnya besar mbengol yang menandakan bahwa dia
seorang yang gila wanita, tertawa dan berkata,
"Kakang Maruto, aku tetap tidak percaya kalau perawan
denok seperti ini menjadi mata-mata! Huah-ha-ha, kalau
mereka mengirim mata-mata sedenok sungguh menyenangkan sekali. Biar dikirim empat losin pun aku
masih kurang!" "Adi Saru, jangan sembrono. Orang-orang Panjalu amat
cerdik, tentu mengirim mata-mata yang pandai menyamar.
Heh, kisanak!" kata orang ke dua itu yang jenggotnya
berjuntai panjang sampai dua kilan. "Kalian berdua
siapakah dan dari mana hendak ke mana?"
Joko Pramono yang selalu bersikap hati-hati tetap tidak
ingin melibatkan diri dalam pertempuran sebelum mereka
tiba di Kota Raja Jenggala menyelidiki keadaan dan dapat
mencari Ki Mitra yang menjadi juru taman di rumah guru
kesenian seperti yang mereka ketahui dari pesan Ki
Wiraman, menjawab, "Kami kakak beradik penghuni di
kaki Gunung Kawi, hendak pergi ke kota raja mencari
paman kami yang bekerja di sana."
"Hemm, Andika terlalu gagah dan tampan untuk
menjadi seorang pemuda dusun biasa!" kata si jenggot
panjang. "Dan perawan ini terlalu denok untuk menjadi perawan
gunung. Lihat kulitnya putih kuning dan halus, matanya
yang masih membayangkan keturunan menak, jeli dan
tajam pandangannya, bulu mata yang lentik, ha-ha-ha,
perawan denok ini lebih cantik daripada puteri di istana!
Kalian baru boleh lewat kalau aku sudah memeriksa dara
ini!" kata si hidung besar sambil menyeringai kepada
Pusporini. "Memeriksa bagaimana maksudmu?" tanya Joko
Pramono, suaranya dingin dan sinar matanya mengandung
kemarahan yang ditahan-tahan. Hatinya panas sekali
melihat kekasihnya hendak diperlakukan secara kurang
ajar, dan kalau menurutkan panasnya hati, ingin ia
memukul remuk kepala si hidung besar saat itu juga. Akan
tetapi pemuda ini masih menekan hatinya, ingin mencari
penyelesaian secara damai agar tugas mereka tidak


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terganggu. "Huah-ha-ha-ha, memeriksa bagaimana" Jangan khawatir, kisanak. Aku tidak akan menyusahkan adikmu,
bahkan sebaliknya, dia akan senang sekali setelah kuperiksa
nanti. Aku harus menggeledahnya, siapa tahu dia
membawa surat-surat rahasia, membawa benda-benda
rahasia yang disembunyikan di balik pakaiannya. Mari,
manis, marl ikut bersamaku ke balik semak-semak tebal
agar jangan ada mata lain melihatmu sehingga engkau akan
menjadi malu, denok !" Si hidung besar mengulurkan
tangan hendak memegang lengan Pusporini, akan tetapi
gadis itu melangkah mundur sambil tersenyum manis
sehingga si hidung besar yang melihat senyum yang
mencipta lesung pipit di pipi yang manis sekali terpesona.
"Nanti dulu, kisanak!" Joko Pramono melangkah maju di
depan Pusporini, memandang mereka berdua, tidak
memperdulikan anak buah pasukan yang tertawa-tawa
melihat lagak seorang di antara pemimpinnya tadi.
"Sebelum Andika berdua mengambil tindakan, ingin kami
bertanya, siapakah Andika berdua dan pasukan ini pasukan
apa" Mengapa Andika hendak memeriksa kami dan dengan
hak apakah?" Si jenggot panjang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, melihat
wajah dan dandananmu, engkau seperti bukan bocah
gunung, akan tetapi pertanyaanmu ini menyatakan bahwa
engkau benar seorang dusun yang tidak tahu apa-apa.
Dengarlah baik-baik, aku Maruto dan Adi Sarudigdo ini
adalah dua orang perwira Jenggala yang sudah kondang
kaonang-onang (terkenal), pemimpin pasukan Pasopati
yang tidak mengenal takut atau mundur atau kalah.
Pasukan kami merupakan pasukan yang paling jagoan di
Jenggala, menjadi kembang di antara pasukan pengawal di
luar istana. Kini banyak berkeliaran mata-mata yang
dikirim oleh Panjalu dan entah sudah berapa banyak matamata yang kami bunuh. Karena itu, kami berhak untuk
memeriksa setiap orang yang kami curigai dan sudah
menjadi hak Adi Sarudigdo yang memang mempunyai
kepandaian khusus untuk menggeledah wanita untuk
memeriksa adikmu ini. Nah, sudah jelaskah" Kalau kalian
melawan, berarti kalian akan mati tanpa diperiksa lagi!"
Joko Pramono sudah menjadi marah sekali. Jelas
olehnya sekarang betapa rendah watak pasukan ini dan dari
sikap mereka ini saja ia sudah dapat menilai bahwa mereka
ini tentulah bukan perajurit-perajurit sejati dari Jenggala
yang dahulu terkenal sebagai perajurit-perajurit dan satriasatria utama. Kini pasukan ini tiada bedanya dengan
segerombolan penjahat yang kasar dan liar dan sudah dapat
diduga bahwa mereka ini tentulah menjadi anak buah
daripada mereka yang kini menguasai Jenggala. Kesabarannya lenyap dan hal ini tampak dari sinar matanya
yang berkilat. Melihat keadaan pemuda in!, Pusporini lalu
berkata lirih, "Biarkan aku menghadapi mereka." Joko Pramono
melangkah mundur karena ia tahu bahwa gadis yang
dikasihinya itu tentu sudah marah luar biasa melihat sikap
dan mendengar ucapan dua orang pemimpin pasukan
Pasopati ini dan hendak turun tangan sendiri. Ia mengalah
dan mundur. Pusporini tersenyum-senyum dan melangkah maju,
memandang kepada perwira yang tinggi besar yang
berhidung besar, lalu berkata, suaranya merdu dan halus,
matanya bersinar-sinar sehingga wajahnya menjadi makin
jelita, "Andika ini seorang perwira gagah perkasa dari
Jenggala dan sudah lama aku mendengar bahwa perwiraperwira Jenggala adalah satria-satria perkasa. Apakah
Andika ini juga menjadl anak buah Ki Patih Warutama
yang kabarnya sakti mandraguna itu?"
Si hidung besar mengangkat dadanya sampai membusung, hidungnya berkembang-kempis mendenguskan hawa kebanggaan dan kesombongan. "Hehheh, tidak salah dugaanmu, puteri yang jelita seperti
bidadari kahyangan! Aku Sarudigdo, perwira digdaya, sakti
mandraguna dan menjadi tangan kanan gusti patih di
Jenggala! Dengan kepalan tangan kiri aku sanggup
memukul pecah kepala seekor harimau kumbang, dengan
tangan kanan aku sanggup memukul pecah kepala seekor
harimau gembong, dengan kedua kakiku aku sanggup
menjegal roboh seekor gajah. Dengan golokku si dukun
peminum darah aku sanggup ........... "
"Menyembelih ayam." Pusporini melanjutkan. "Cukuplah, yang penting sekarang engkau tadi mengatakan
hendak menggeledah aku. Benarkah engkau ini seorang ahli
menggeledah wanita?"
"Ha-ha-ha, Kakang Maruto hanya berkelakar! Akan
tetapi yang jelas, setiap orang wanita yang kena kugerayang
tubuhnya tentu akan bertekuk lutut, akan gandrunggandrung kepadaku, karena aku memiliki Aji Asmaragama
dan setiap orang dara, termasuk engkau, Manis, kalau
sudah ku ........... "
"Cukup sudah! Dengan cara bagaimana engkau hendak
menggeledahku?" Pusporini menahan kemarahannya.
"Heh-heh, tak perlu kukatakan, engkau nanti akan
menikmatinya sendiri. Marilah, denok, kita bersembunyi di
balik semak-semak yang tebal sana ........... heh-heh ...........
" "Seorang gagah tidak perlu sembunyi-sembunyi. Di sini
pun mengapa?" Perwira itu membelalakkan matanya sehingga hidungnya
yang besar kelihatan makin mbengol. "Di sini" Dilihat
semua orang?" "Mengapa tidak" Bagaimana sih caranya?" Pusporini
tetap menggoda. "Wah, sayang dong kalau banyak yang lihat. Pertamatama kau harus membuka kembenmu (ikat pinggang),
kemudian ........... bajumu dan kutangmu dan...........
........... " "Begini?" Pusporini mengudar (melepaskan) ujung
kembennya sepanjang satu meter. Kembennya yang dari
sutera merah berkembang itu dibuka sedikit dan semua
mata, terutama mata si hidung besar sudah membelalak
penuh gairah. Akan tetapi tiba-tiba Pusporini dengan
gerakan yang cepat sekali mengebutkan ujung kemben itu
ke arah muka si hidung besar.
"Tarr ........... plakkkk!"
"Waduhhhh ..... Aduh biyung ?""..!!" Sarudigdo si
hidung besar itu mendekap hidungnya dengan tangan
sambil mengaduh-aduh. Hidungnya yang besar terkena
sambaran ujung kemben menjadi remuk dan berubah
menjadi segumpal daging yang berdarah. Pusporini sambil
tersenyum menyelipkan lagi ujung kembennya di pinggang.
"Iblisss ........... jahanang ........... kurang ajang ........... !"
Sarudigdo memaki-maki dengan suara bindeng, kemudian
ia menubruk dengan kedua lengan dipentang, seperti seekor
harimau buas menubruk seekor domba. Namun Pusporini
bukanlah domba betina yang lemah. Tubrukan itu mudah
saja dielakkan dengan miringkan tubuhnya ke kiri, dan
pada saat itu kakinya melayang naik sedemikian cepatnya
sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata.
"Siuuuuttt ........... ngekkkk!!" Ujung kakinya sudah
bersarang ke dalam perut Sarudigdo. Tubuh perwira ini
memang kebal dan di antara kawan-kawannya ia terkenal
sebagai seorang yang otot kawat balung wesi (urat kawat
tulang besi), kulitnya juga tebal sekali. Akan tetapi karena
tendangan itu amat kuatnya, biarpun kulitnya tidak apaapa, akan tetapi isi perutnya terasa melilit-lilit seperti
digiling atau ditusuk-tusuk seribu batang jarum karatan. la
meringis-ringis mendekap perut dengan kedua tangan,
terengah-engah dengan lidah terjulur keluar seperti seekor
anjing kehausan, matanya mendelik dan sejenak ia lupa
akan hidung besarnya yang remuk karena perutnya terasa
lebih nyeri daripada hldungnya. Kini ia tidak dapat
memaki-maki dengan suara bindeng seperti tadi, melainkan
hanya........... dapat........... mengeluarkan........... suara
"nguuukkk ........... nguuukkk ........... " seperti lutung
ketakutan. Maruto dan para anak buah pasukan yang disebut
dengan nama garang "Pasopati" itu terbelalak. Hampir
mereka tak dapat percaya bahwa seorang gadis cantik jelita
seperti itu dapat merobohkan Sarudigdo dalam dua
gebrakan saja. Padahal kedua orang itu, Sarudigdo dan
Maruto, adalah orang-orang pilihan Pangeran Kukutan dan
Ki Patih Warutama sendiri, dan keduanya adalah bekas
pentolan dari gerombolan Gagak Serayu!
"Perempuan iblis!" Maruto yang tadinya terbelalak itu
membentak marah, golok besarnya terhunus dan cepat
seperti angin menyambar ia telah menerjang maju,
membacokkan goloknya ke leher Pusporini.
?"?" jangang ........... jangang ........... bunuh, tangkap
dang untuk ........... untukku ........... " Sarudigdo masih
dapat mengeluarkan kata-kata setelah mulas perutnya agak
mereda. Melihat kesaktian Puspirini, nafsunya makin
menggelora dan dia ingin memiliki wanita itu sebelum
menyiksanya sekeji mungkin! Akan tetapi Maruto tidaklah semata keranjang
temannya dan dia sudah marah sekali, maka bacokannya itu dilakukan sepenuh tenaga dan tujuannya hanya satu, yaitu
membunuh wanita ini. Joko
Pramono hanya tersenyum memandang, siap menyerang
apabila anggauta-anggauta pasukan itu maju mengeroyok. Akan tetapi para perajurit
itu tidak berani maju tanpa komando. Biasanya, kedua
orang pemimpin mereka itu tidak pernah terkalahkan, maka
sekali ini pun mereka percaya bahwa Maruto tentu akan
dapat membunuh gadis itu.
Pusporini tenang-tenang saja. Melihat golok berkelebat
menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya sehingga golok
menyambar dekat pundak, kemudian ia merendahkan diri
secara otomatis dan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya
menyodok ke depan, menggunakan Ajinya Pethit Nogo!
Terdengar bunyi bercuit saking hebatnya tusukan jari
dengan Aji Pethit Nogo yang kini telah mencapail
kesempurnaannya berkat gemblengan Sang Resi Mahesapati. Di dalam latihannya, dengan Aji Pethit Nogo
ini, dari jarak satu meter Pusporini sanggup menggunakan
angin pukulannya membuat air sungai terpecah dan
muncrat-muncrat, dan sentuhan jari tangannya dapat
membuat batu-batu gunung remuk menjadi bubuk! Batang
pohon jati tua yang sudah keras seperti besi menjadi bolongbolong kalau tercium jari-jarinya yang halus kecil dengan
bentuk mucuk bung (seperti re-bung) itu.
Pusporini menyerang dengan Aji Pethit Nogo dari jarak
satu meter sehingga jari-jari tangannya tidak menyentuh
tubuh lawan. Memang ia tidak sudi menyentuhkan jari-jari
tangannya pada tubuh laki-laki macam Maruto dan tadi
pun ia menghajar hidung Sarudigdo yang baginya
menjijikkan itu dengan tungkak kakinya! Akan tetapi,
pukulan yang mengandung hawa sakti itu telah mengenai
dada Maruto dan terdengarlah Maruto memekik keras,
goloknya terlepas, tangan kirinya mendekap dada dan ia
terjengkang roboh, berkelojotan dengan mata, hidung,
mulut dan telinganya mengucurkan darah dan tewas
seketika! Gegerlah para anak buah pasukan itu! Melihat kematian
kawannya, Sarudigdo terkejut sampai lupa akan rasa nyeri
di hidung dan perutnya. "Serbu ........... ! Bunguh........... ! Habiskang mereka........... !!" teriaknya bindeng dan ia sendiri sudah
menerjang dengan goloknya. Karena sedikit banyak ia


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa gentar dan ngeri terhadap Pusporini, sekarang dia
membacokkan goloknya kepada Joko Pramono yang masih
berdiri tenang-tenang saja sambil tersenyum. Melihat
datangnya golok ini, Joko Pramono sama sekali tidak
mengelak dan setelah golok menyambar dekat, ia
mengangkat tangannya memapaki golok dengan telapak
tangan kosong! Sarudigdo girang sekali, mengira bahwa
tangan pemuda itu pasti akan terbabat goloknya si dukun
sampai putus. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika golok
itu dapat dicengkeram tangan Joko Pramono yang dengan
enaknya meremas golok Itu menjadi patah-patah dan
hancur berkeping-keping seperti orang meremas kerupuk
saja! Muka Sarudigdo yang sudah buruk sekali akibat
hidungnya remuk itu, terbelalak dengan mata lebar dan
pada saat itu, Joko Pramono menyambitkan remukan golok
di tangannya yang seperti hujan menyambar ke arah muka
yang buruk itu, amblas dan menancap masuk ke dalam
dahi, mata, pipi dan mulut. Sarudigdo mengeluarkan suara
seperti seekor kerbau disembelih, tubuhnya roboh dan
kedua tangannya mencakar-cakar mukanya sendiri yang
sudah penuh darah, kemudian berkelojotan dan mati dekat
mayat Maruto. "Rini, sudah kepalang tanggung, habiskan saja bedebahbedebah ini!" kata Joko Pramono dan dua orang muda itu
kini kembali berlomba. Mereka berdiri saling membelakangi
dan bersicepat merobohkan semua pengeroyok yang
bersenjata golok dan tombak. Sepak terjang mereka seperti
sepasang burung garuda menyambar-nyambar dan dari
kedua telapak tangan mereka tersebar maut karena setiap
kali telapak tangan bergerak menampar atau kaki berkelebat
menendang, tentu ada pengeroyok yang roboh dan tewas!
Pasukan itu tadi disombongkan oleh dua orang
pemimpinnya sebagai pasukan yang pantang mundur dan
tidak mengenal takut, akan tetapi kini melihat betapa
kawan-kawan mereka seperti mentimun melawan durian,
ada dua orang di antara mereka yang terbirit-birit dan
terkencing-kencing melarikan diri.
"Hemm, kalian hendak lari ke mana?" Pusporini berkata
mengejek dan cepat memungut dua batang tombak yang
berserakan di tanah, lalu bergerak hendak melontarkan dua.
batang tombak itu ke arah dua orang yang hendak
melarikan diri. Akan tetapi lengannya dipegang olehJoko Pramono
dengan halus dan pemuda ini berkata, "Jangan, Rini!
Mereka tentu lari ke induk pasukan dan lebih baik kita
mengikuti mereka. Kita sudah kelepasan tangan melibatkan
diri dalam pertempuran dan sudah banyak membunuh anak
buah para pengacau, tidak baik bekerja setengah-setengah
kepalang tanggung. Mari kita selidiki keadaan induk
pasukan mereka!" Pusporini menoleh dan sejenak mereka berpandangan.
Baru sekali ini selama mereka berkumpul, mereka
melakukan pertempuran bersama-sama dan hasil pertandingan ini membuat mereka lebih dekat satu sama
lain. Perlahan-lahan sinar kemerahan yang membayangi
wajah cantik itu dan memancar keluar dari sinar matanya,
melunak dan akhirnya gadis itu tersenyum, senyum manis
yang timbul dari lubuk hatinya, bukan seperti senyumnya
kepada perwira Jenggala tadi yang merupakan senyum
buatan untuk menyembunyikan kemarahan yang meluapluap. "Hampir aku lupa akan tugas kita ........... " kata
Pusporini sambil membuang dua batang tombak itu,
kemudian memandang ke arah mayat-mayat yang
berserakan memenuhi tempat itu. Tujuh belas orang mati,
termasuk si jenggot panjang dan si hidung besar, dan
keadaan di situ sunyi sekali, sunyi yang mengerikan. "Mari
kita ikuti mereka!" Sepasang orang muda yang perkasa ini lalu berkelebat
meninggalkan tempat itu, mengikuti bayangan dua orang
sisa pasukan Pasopati yang melarikan diri pontang-panting
itu. Dari jauh mereka melihat dua orang itu lari terus,
biarpun napas mereka telah kerenggosan hampir putus, dua
orang itu tidak berani berhenti dan lari terus. Menjelang
senja, barulah dua orang itu sampai di tempat tujuan dan
ternyata mereka itu tidak lari ke induk pasukan seperti yang
mereka sangka, melainkan lari memasuki sebuah rumah
gedung yang berada di sebuah dusun, letaknya di pinggir.
Melihat adanya empat orang penjaga di pintu gerbang, Joko
Pramono dan Pusporini dapat menduga bahwa rumah itu
tentulah rumah seorang pembesar yang berkuasa, karena
kalau hanya rumah seorang kepala dusun saja tidak
mungkin dijaga empat orang pengawal yang pakaiannya
indah seperti pengawal istana. Di pendopo luar tampak
pondok sesajen yang seperti juga di cltsun-dusun lain, dua
orang muda itu melihat bahwa yang dipuja-puja oleh
penghuni rumah gedung ini adalah Sang Bathara Shiwa.
Dengan hati-hati mereka melompati pagar tembok yang
mengelilingi rumah itu, dan dengan hati-hati mereka
menyelinap dan mengintai.
"Apa kau bilang" Pasukan Pasopati binasa semua oleh
dua orang laki-laki dan wanita" Sungguh menggelikan!"
bentak seorang laki-laki tinggi besar dan dengan sikap
marah laki-laki ini mengelebatkan pedangnya yang panjang
dan ........... "capp!" pedang itu amblas setengahnya ke
dalam tiang rumah itu. Laki-laki ke dua, yang juga tinggi
besar, berdiri pula dari tempat duduknya, memandang
penuh penghinaan kepada dua orang pelarian yang kini
berlutut di lantai, lalu membentak,
"Dan kalian tidak tahu nama mereka" Bahkan kalian
berani meninggalkan pasukan membiarkan kawan-kawan
tewas sedangkan kalian sendiri melarikan diri" Pengecut tak
tahu malu! Beginikah perajurit-perajurit pilihan yang
menjadi anggauta pasukan Pasopati?"
Joko Pramono dan Pusporini yang mengintai, melihat
bahwa dua orang laki-laki setengah tua yang marah-marah
itu benar-benar kelihatan amat kuat, tidak saja hal ini
terbayang pada tubuh mereka yang tinggi besar, akan tetapi
juga gerak-gerik dan sikap mereka jelas menunjukkan
bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuatan
dan ilmu kepandaian. "Hamba ........... hamba berdua ........... bukan melarikan
diri karena takut ........... hanya ingin melaporkan hal itu
kepada paduka ........... " kata seorang di antara mereka.
"Pengecut! Sama saja dengan menunjukkan tempat ini
kepada musuh!" bentak orang yang berpedang dan cepat
sekali tangannya sudah mencabut pedang di tiang tadi dan
sekali pedang berkelebat, leher kedua orang itu telah
terbabat putus! Gerakan pedang ini amat cepat dan mahir
sekali, juga sekali babat membuntungi dua buah kepala
menunjukkan tenaga yang amat kuat.
"Adi Kroda, kita harus cepat-cepat mengajak mereka
berangkat dari sin!! Lekas kau persiapkan kuda dan
memberi tahu Eyang Cekel Wisangkoro agar kita dapat
cepat membawa pergi mereka. Karena dua orang itu adalah
orang-orang Panjalu yang hendak merampas kedua orang
tamu kita!" "Engkau benar, Kakang Dwipa. Aku pergi!" kata kakek
tinggi besar ke dua yang melangkah cepat keluar dari dalam
ruangan itu. Kakek pertama juga meninggalkan ruangan
setelah memanggil dua orang pengawal dan memberi
perintah menyingkirkan dua mayat tadi, dan tanpa
diketahui kakek yang ahli bermain pedang ini, yang pergi
sambil membawa pedang disarungkan di pinggang, Joko
Pramono dan Pusporini mengikuti dengan jalan menyelinap
dan berindap-indap melalui taman di luar gedung,
dilindungi oleh kegelapan malam yang mulai tiba.
Dua orang kakek tinggi besar itu adalah Gagak Dwipa
dan Gagak Kroda, dua di antara Lima Gagak Serayu, yaitu
sisa dari tiga orang saudara mereka yang tewas ketika
berperang melawan pasukan Joko Wandiro atau Adipati
Tejolaksono yang kini telah menjadi patih muda di Panjalu.
Dua orang Gagak Serayu ini masih mendendam kepada
Panjalu dan telah mengumpuikan sisa gerombolan mereka
kemudian mengabdikan dirinya kepada Wasi Bagaspati dan
akhirnya memperoleh "kedudukan" sebagai kepala-kepala
pasukan pengawal, menjadi hamba-hamba setia dari
Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama di Jenggala!
Seperti telah diketahui, Gagak Dwipa adalah seorang ahli
pedang yang kuat sedangkan Gagak Kroda memiliki tubuh
yang kebal. Mereka ini sama sekali tidak tahu bahwa
mereka kini sedang dibayangi oleh seorang muda yang sakti
mandraguna, yang telah membasmi pasukan Pasopati yang
menjadi anak buah mereka.
Gagak Dwipa memasuki ruangan dalam gedung itu dan
dua orang muda yang elok bangkit berdiri menyambut
kedatangannya. Gagak Dwipa segera menjura dengan
penuh hormat kepada laki-laki muda yang tampan itu, juga
kepada wanita cantik yang berdiri di sebelah kirinya lalu
berkata, "Mohon maaf, Gusti Pangeran, kalau hamba datang
mengganggu Paduka berdua yang sedang beristirahat. Akan
tetapi terpaksa hamba memberitahukan bahwa sekarang
juga perjalanan harus dilanjutkan, harap Paduka berdua
suka mempersiapkan diri."
Sementara itu, Pusporini yang mengintai di luar bersama
Joko Pramono, tiba-tiba memegang lengan temannya itu.
Ketika Joko Pramono merasa betapa jari tangan Pusporini
yang memegang lengannya gemetar, ia cepat menengok dan
alangkah terkejut hatinya ketika melihat wajah yang cantik
itu menjadi pucat. Biarpun wajah itu hanya menerima
penerangan suram-suram yang menyorot dari dalam
gedung, namun Joko Pramono sudah mengenal betul wajah
wanita ini dan ia segera memandang penuh pertanyaan.
Pusporini mendekatkan mulutnya ke telinga temannya dan
berbisik, "Dia ........... Setyaningsih ........... "
"Joko .Pramono terkejut dan merasa heran sekali. Tentu
saja ia sudah banyak mendengar penuturan gadis ini
tentang keluarganya, maka nama Setyaningsih sudah
dikenalnya baik-baik sebagai saudara tiri gadis ini dan adik
kandung Endang Patibroto. Maka ia cepat memandang
kembali ke sebelah dalam dan kini ia memandang wanita
muda itu penuh perhatian. Ia melihat bahwa wanita itu
sebaya dengan Pusporini dan amat cantik jelita, berkulit
kuning langsat dan sinar matanya tajam. berpengaruh,
membayangkan kekerasan hati. Diam-diam ia menjadi
kagum akan tetapi juga terheran-heran seperti Pusporini
mendapatkan wanita itu berada di tempat ini dan seakanakan menjadi tokoh penting yang dihormati kakek tinggi
besar itu. Bahkan pemuda tampan yang berdiri di sebelah
kanannya itu disebut gusti pangeran!
Melihat Pusporini seakan-akan tak dapat menahan
kerinduan hatinya dan seperti hendak berseru memanggil,
Joko Pramono cepat menyentuh lengan gadis itu dan
menggelengkan kepala sambil member! isyarat dengan
telunjuk di depan mulut, minta gadis itu agar jangan
mengeluarkan suara. "Paman Dwipa, apa pula artinya ini?" Pemuda tampan
yang disebut gusti pangeran itu berkata, alisnya yang hitam
berkerut. "Telah dua hari kita mengadakan perjalanan dan
isteriku lelah sekali, ingin beristirahat malam ini. Kita telah
berada di wilayah Jenggala, di tempat sendiri, mengapa
tergesa-gesa" Bukankah besok kita dapat melanjutkan
perjalanan pagi-pagi dan sore hatinya dapat tiba di kota
raja?" "Mohon maaf, Gusti. Sesungguhnyalah apa yang Paduka
katakan, akan tetapi telah terjadi hal-hal yang gawat.
Hendaknya Paduka ketahui bahwa pada masa ini kita
menghadapi banyak musuh yang dikirim oleh Panjalu
........... " "Ah, betapa mungkin" Uwa Prabu di Panjalu ........... "
"Mungkin bukan oleh gusti sinuwun di Panjalu, akan
tetapi semenjak pengkhianatan mendiang Patih Brotomenggala, kaki tangannya masih selalu berusaha
mengacaukan Jenggala. Baru saja hamba mendapat
keterangan bahwa ada beberapa orang mata-mata musuh
yang akan menangkap Paduka berdua ........... "
"Eh" Aneh sekali! Aku dan isteriku berpakaian
menyamar sebagai penduduk biasa, siapa mengetahui
bahwa aku adalah Pangeran Panji Sigit dari Jenggala dan
ini isteriku?" Ucapan ini kembali mengejutkan hati Pusporini sehingga
di luar kesadarannya gadis ini memegang lengan Joko
Pramono dan ........... mencubitnya keras-keras!
Untung Joko Pramono dapat menahan diri, kalau tidak
tentu ia akan memekik, bukan karena nyeri melainkan
karena ........... girang. Cubitan seorang gadis yang dicinta
mendatangkan rasa nyeri yang sedap di hati!
"Ah, Paduka tidak tahu betapa pandai mendiang Patih
Brotomenggala sehingga banyak kaki tangannya mendapat
dukungan tokoh-tokoh di Panjalu. Maafkan hamba, demi
keselamatan Paduka sendirilah terpaksa malam ini juga
hamba akan mengiringkan Paduka berdua menuju ke kota
raja. Setelah Paduka tiba di sana menghadap gusti sinuwun,
baru akan legalah hati hamba dan akan bebas hamba
daripada tanggung jawab yang berat ........... "
Pusporini dan Joko Pramono dapat menangkap isyarat
yang terpancar keluar dari pandang mata Setyaningsih dan
Pangeran Panji Sigit. Pangeran itu menarik napas panjang
dan akhirnya berkata kepada Gagak Dwipa yang
menundukkan muka dengan hormat, "Baiklah kalau begitu,


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paman. Engkau sudah begitu baik untuk mengantar kami,
tentu saja kami akan menurut segala langkah yang kauambil demi keselamatan kami."
Pada saat itu, masuklah Gagak Kroda. Setelah memberi
hormat kepada pangeran muda bersama isterinya itu, ia lalu
berkata kepada Gagak Dwipa,
"Kakang Dwipa, kereta telah slap di luar."
Pangeran muda itu dan isterinya melangkah keluar dari
gedung diikuti oleh kedua orang kakek tinggi besar. Sebuah
kereta yang indah telah menanti di luar, dan berangkatlah
suami isteri itu, dikawal oleh kedua orang kakek itu sendiri
bersama tiga orang pengawal yang kelihatannya memiliki
kepandaian yang cukup tinggi.
Joko Pramono dan Pusporini tetap mengikuti dari jauh.
Mereka menggunakan aji kesaktian mereka sehingga lari
mereka cepat sekali, tidak tertinggal oleh larinya kuda yang
menarik kereta di sebelah depan. Sambil membayangi
kereta itu dari jauh mereka bercakap-cakap.
"Sungguh aneh luar biasa!" kata Pusporini kemudian
mengomel. "Mengapa kau melarang aku menjumpai
Setyaningsih" Kau tidak tahu betapa rinduku kepadanya!
Ingin sekali aku mendengar dari mulutnya sendiri
bagaimana dia sampai bisa menjadi isteri seorang Pangeran
Jenggalai Luar biasa........... !"
"Hemm, suaminya memang hebat. Seorang pangeran!
Begitu tampan dan gagah! Wah, tentu kau akan dapat
belajar dari dia bagaimana untuk dapat memancing hati
seorang pangeran. Aku berani bertaruh, tentu akan banyak
pangeran yang akan tergila-gila kepadamu!"
Tiba-tiba Pusporini berhenti dan memandang pemuda
.itu dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Kau ........... mendem (mabuk)!! Siapa ingin memancing
hati pangeran" Apa maksudmu dengan ucapan gila itu?"
Joko Pramono terkejut dan merasa betapa rasa cemburu
membuat ia kelepasan bicara. "Eh ........... ohh ........... maaf
........... aku ........... aku hanya bermaksud bahwa amat
terhormat menjadi isteri pangeran ........... bahwa ...........
bahwa aku seperti batu kerikil kalau dibandingkan dengan
seorang pangeran yang seperti batu intan ........... "
"Wah, lebih gila lagi. Kaukira aku perempuan macam
apa yang silau oleh ketampanan seorang pangeran" Jadi kau
........... kau cemburu ........... " Ceriwis kau! Genit kau! Cih,
aku jemu! Sudahlah, aku tidak sudi bertemu dengan
Setyaningsih ?"..!" Gadis itu terisak, membalikkan
tubuhnya dan lari pergi. Sejenak Joko Pramono melongo, kemudian ia mengerahkan tenaga berlari cepat mengejar Pusporini.
"Pusporini ........... berhentilah ........... ampunkanlah aku
........... berhenti ........... !"
Akan tetapi gadis itu berlari cepat sekali dan Joko
Pramono menjadi bingung karena ia maklum bahwa kalau
Pusporini tidak mau memperlambat larinya, tentu akan
sukar baginya untuk menyusul dan tentu mereka tidak akan
dapat mengikuti suami isteri dalam kereta itu.
"Pusporini........... ! Aku tobat minta ampun........... !
Tunggulah aku, mari kita mengejar mereka. Setyaningsih
dan suaminya dalam bahaya ........... !!"
Mendengar kalimat terakhir itu, tiba-tiba Pusporini
berhenti dan membalikkan tubuhnya. Pandang matanya
berkilat dan pipinya basah air mata. Joko Pramono terkejut
dan merasa menyesal sekali. Belum pernah ia melihat gadis
itu menangis. Ia lalu melompat dekat dan serta-merta
menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu!
"Pusporini ........... aku mengaku salah ........... aku telah
gila, ampunkan aku! Ampunkan mulutku yang lancang,
betapa gila aku pernah meragukan perasaanmu yang suci."
Pusporini tadinya marah sekali, akan tetapi melihat lakilaki yang dicintanya itu berlutut di depannya, ia menjadi
terharu sekali. "Joko Pramono, bangkitlah. Tidak layak
seorang pria berlutut di depan wanita. Kumaafkan engkau,
akan tetapi jangan sekali-kali lagi bicara seperti tadi ...........
kau telah menyayat hatiku."
Joko Pramono bangkit berdiri dan mereka berpandangan, penuh maaf dan penuh pengertian sehingga
pandang mata mereka berubah mesra. Akhirnya Pusporini
yang lebih dahulu menunduk dengan muka kemerahan.
"Apa maksudmu bahwa Setyaningsih terancam bahaya?"
"Aku tidak main-main. Aku mencurigai dua orang kakek
itu. Tidak melihatkah engkau tadi Setyaningsih dan
suaminya bertukar isyarat pandang mata" Tentu mereka itu
tidak menjadi sekutu mereka, entah apa yang telah terjadi.
Akan tetapi ada perasaan di hatiku seolah-olah mereka
masuk perangkap." "Ah, kalau begitu, kejar ........... !" Pusporini mendahului
Joko Pramono dan berlari cepat sekali mengejar ke arah
larinya kereta yang kini sudah tak tampak lagi. Joko
Pramono juga mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari
cepat. Di dalam hatinya terasa lega sekali karena ia merasa
seolah-olah baru saja terhindar daripada malapetaka
terbesar selama hidupnya!
Sebetulnya apa yang terjadi dengan Setyaningsih dan
suaminya" Seperti telah kita ketahui, Pangeran Panji Sigit
dan Setyaningsih merupakan dua orang tokoh pasukan
rahasia yang dipimpin Pangeran Darmokusumo dari
Panjalu. Mereka ini bersama beberapa orang pengawal yang
merupakan ahli-ahli penyelidik, menyelundup memasuki
daerah Jenggala dan tugas mereka adalah mencari jejak
Nini Bumigarba yang telah menculik Retna Wilis. Lama
mereka itu bersama anak buah mereka melakukan
penyelidikan, namun tak seorang pun pernah mendengar
nama Nini Bumigarba, apa lagi melihat nenek menyeramkan itu. Jejak nenek itu lenyap sama sekali dan
mereka menjadi bingung karena tidak berhasil sedikit pun
juga. Karena itu, Pangeran Panji Sigit dan isterinya lalu
memisahkan diri dari para penyelidik dengan niat untuk
memasuki Kota Raja Jenggala. Pangeran itu bertekad untuk
menghadap ramandanya dengan resiko menghadapi
musuh-musuh rahasia Kerajaan Jenggala. Akan tetapi dia
merasa yakin bahwa hanya di istana sajalah ia akan dapat
mendengar tentang nenek itu.
Dua hari yang lalu, ketika mereka sedang berjalan
memasuki sebuah dusun, mereka bertemu dengan pasukan
yang dipimpin oleh Gagak Dwipa dan Gagak Kroda. Di
antara anak buah pasukan ini terdapat pula seorang
perajurit Jenggala yang tentu saja segera mengenal
Pangeran Panji Sigit, sungguhpun pangeran itu menyamar
dalam pakaian penduduk biasa. Ia cepat memberitahukan
hal ini kepada kedua orang kakek itu yang cepat mengatur
siasat. Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sudah mendengar
tugas rahasia dari Pangeran Kukutan bahwa kalau mereka
mendengar akan adanya Pangeran Panji Sigit, mereka harus
membawanya ke istana! Kiranya Pangeran Kukutan telah
mendengar bahwa adik tirinya itu pernah datang
menghadap ratu yang diasingkan, maka timbul rasa
khawatir di hatinya. Ia merundingkan hal ini dengan
Suminten yang segera bangkit seleranya, bangun nafsunya
mendengar akan kembalinya Pangeran Panji Sigit. Seorang
wanita seperti Suminten ini, yang setiap hari berganti
kekasih, akan menjadi bosan dengan pria-pria tampan yang
dengan senang hati melayani segala kehendak dan
nafsunya. Sebaliknya, ia akan merasa tersiksa dan
menderita penyakit wuyung (rindu asmara) kalau ada pria
yang menolak cintanya! Dan pria yang menolaknya, satusatunya pria tampan yang menolaknya adalah Pangeran
Panji Sigit. Bukan ini saja. Orang pertama yang membangkitkan
berahinya, yang menjadi cinta pertamanya namun yang tak
sudi melayaninya adalah Pangeran Panjirawit, suami
Endang Patibroto yang pertama. Bahkan kasih tak terbalas
inilah yang sesungguhnya membuat perubahan besar dalam
hidup Suminten, yang membuat dia dari seorang abdi
menjadi wanita yang paling berkuasa di seluruh Jenggala.
Cinta kasihnya yang gagal terhadap Pangeran Panjirawit ini
pulalah yang menjadikan dia seorang wanita pengabdi
nafsu berahi yang keranjingan, seorang wanita yang haus
akan cinta kasih yang tak pernah dapat memenuhi hatinya.
Dan Pangeran Panji Sigit mempunyai wajah yang mirip
dengan kakak tirinya itu!
Gagak Dwipa dan Gagak Kroda menjadi girang sekali
dan cepat-cepat dia bersama pasukannya bersembah sujut
memberi hormat kepada Pangeran Panji Sigit. Tentu saja
pangeran muda ini menjadi terkejut sekali. Dia bersama
isterinya sudah menyamar dengan pakaian penduduk biasa,
namun ternyata pasukan itu mengenalnya. Terpaksa, untuk
menyembunyikan tugas rahasianya yang berbahaya, ia pun
menyatakan bahwa ia sedang dalam perjalanan pulang ke
kota raja untuk menghadap ramandanya sang prabu di
Jenggala. Demikianlah, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih
dikawal oleh Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, naik sebuah
kereta dan sampai di dusun itu di mana mereka beristirahat
di sebuah gedung besar yang menjadi tempat peristirahatan
para petugas Kerajaan Jenggala yang melakukan tugas
berjaga dan menyelidili wilayah perbatasan.
Ketika dua orang kakek itu memaksa mereka
melanjutkan perjalanan di waktu malam, hati Pangeran
Panji Sigit dan isterinya menjadi curiga. Akan tetapi kalau
mereka menolak, tentu kedua orang kakek itu mencurigai
mereka, maka mereka menurut dan diam-diam mereka
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Malam itu
bulan purnama bersinar di angkasa yang bersih dan cerah
sehingga kalau saja tidak digoda oleh kecurigaan yang
membuat hati mereka tidak nyaman, tentu perjalanan itu
merupakan perjalanan yang amat menyenangkan. Kanan
kiri jalan yang bermandikan cahaya bulan keemasan
amatlah sedap dipandang. Sudah hampir dua jam kereta berjalan cepat dan tibatiba, di sebuah jalan perempatan, kereta berhenti. Pangeran
Panji Sigit dan Setyaningsih saling berpandangan kemudian
mereka menyingkap tenda sutera penutup jendela kereta
dan memandang keluar. Di bawah sinar bulan yang terang,
tampak tiga orang penunggang kuda menghadang di depan
kereta yang dihentikan. Sejenak Pangeran Panji Sigit
tertegun dan memandang penuh perhatian. Benarkah
ucapan Gagak Dwipa bahwa ada orang-orang Panjalu yang
hendak mengganggunya" Tidak mungkin! Kalau toh ada
utusan dari Panjalu, tentu utusan itu adalah anggauta
pasukan rahasia atau anak buah Pangeran Darmokusumo,
atau juga anak buah Patih Tejolaksono.
Akan tetapi dia tidak mengenal mereka itu dan tampak
olehnya bahwa tiga orang itu dipimpin oleh seorang kakek
yang usianya sudah empat puluh tahun, berjubah kuning
seperti pakaian pendeta, kakinya telanjang, rambutnya
putih terurai sampai ke pinggang, mukanya kehitaman
dengan hidungnya yang panjang berbentuk paruh burung
kakatua, tubuhnya kurus tinggi.
"Pangeran Panji Sigit, kami atas nama kerajaan dan atas
perintah gusti patih di Jenggala, ditugaskan menangkap
Andika bersama wanita yang datang bersama Andika!"
Kakek itu berkata, suaranya nyaring dan serak.
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih cepat meloncat
keluar dari kereta itu, berdiri dengan sikap siap. Sedikit pun
mereka tidak menjadi gentar, apalagi Setyaningsih, dengan
muka angkuh memandang kepada kakek itu, sinar matanya
memancarkan kemarahan. "Tidak mungkin! Mengapa pula Patih Jenggala hendak
menangkap aku" Paman Dwipa dan Paman Kroda, apa
artinya ini?" bentak Pangeran Panji Sigit. Akan tetapi,
dengan heran dan marah pangeran itu melihat betapa kedua
orang kakek tinggi besar itu pun sudah melompat turun dan
bergabung dengan tiga orang itu yang sudah melompat
turun dari kuda masing-masing. Bahkan Gagak Dwipa
tertawa mengejek lalu berkata,
"Pangeran Panji Sigit, ketahuilah bahwa paman ini
adalah Paman Cekel Wisangkoro, kepercayaan dari Gusti
Pangeran Kukutan. Sebaiknya Andika berdua menyerah
saja agar dapat ditangkap secara terhormat, daripada harus
dipergunakan kekerasan. Kalau gusti patih memerintah agar
Andika ditangkap, tentu ada alasannya yang kuat!"
"Hemm, kiranya kalian berdua adalah orang-orang jahat
yang sengaja hendak mencelakakan kami!" Tiba-tiba
Setyaningsih berkata, suaranya dingin dan mengandung
ancaman mengerikan. "Kakangmas Pangeran adalah putera
gusti sinuwun di Jenggala yang hendak pulang ke istana
ramandanya sendiri. Siapa pun tidak berhak menangkapnya!" "Hemm, galak benar isteri pangeran ini! Kalian hendak
melawan kami?" bentak Gagak Kroda yang wataknya
berangasan. Adapun lima orang yang tadi mengawal kereta,


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama dua orang perajurit yang bertugas memanggil
Cekel Wisangkoro dan kini datang bersama kakek pendeta
itu, telah maju mengurung Pangeran Panji Sigit dan
isterinya. "Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, memang tadinya aku
sudah curiga terhadap kalian. Semenjak kecil aku berada di
Jenggala dan selalu aku melihat perwira-perwira dan
pengawal-pengawal yang berjiwa satria, tidak seperti kalian
orang-orang kasar melebihi gerombolan perampok. Kiranya
kalian adalah pemberontak-pemberontak yang mengatur
siasat untuk mencelakakan kami! Tunggu saja sampai aku
menghadap ramanda prabu, pasti pengawal-pengawal palsu
macam kalian ini akan dijatuhi hukuman mati!"
"Bodoh! Kenapa kalian melayani mereka bicara" Lekas
tangkap!" Cekel Wisangkoro tak sabar lagi. "Gusti
Pangeran Kukutan sudah tak sabar menanti!"
"Hayo tangkap mereka!" Gagak Dwipa memberi aba-aba
kepada tujuh orang perajurit pengawal yang menjadi anak
buahnya. Dia memandang rendah kepada pangeran yang
halus sikapnya itu, juga isterinya yang cantik jelita dan
lemah lembut, oleh karena itu ia memerintahkan anak
buahnya untuk turun tangan menangkap suami isteri itu.
Tujuh orang perajurit itu dengan penuh gairah lalu
menubruk maju. Hanya dua orang yang menerjang
Pangeran Panji Sigit, sedangkan yang lima orang lagi, yaitu
mereka yang tadi mengawal kereta, seperti anjing-anjing
kelaparan berebut tulang, telah berlomba menerkam
Setyaningsih. Mereka adalah orang-orang kasar, bekas anak
buah gerombolan Gagak Serayu, orang-orang yang sudah
biasa menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga sejak
melihat Setyaningsih, sudah bergelora nafsu berahi mereka.
Kini, mereka memperoleh kesempatan untuk menangkap,
tentu saja mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
ini untuk sekedar menggerayang dan meremas tubuh yang
menggairahkan hati mereka itu.
Akan tetapi sungguh di luar dugaan mereka bahwa
wanita muda cantik jelita itu bukanlah makanan empuk
seperti yang mereka kira. Bahkan sebaliknya! Begitu mereka
menubruk, Setyaningsih yang sejak tadi sudah menahannahan kemarahannya, sama sekali tidak mengelak, bahkan
menyambar mereka dengan tamparan-tamparan sakti.
"Wuut-wuut........... plak-plak-plak ........... !" Tiga di
antara lima orang itu terpelanting dan memegangi kepala
yang serasa akan pecah! Muka mereka bengkak-bengkak
membiru akibat pukulan yang dikerahkan dengan Aji Gelap
Musti yang pernah dipelajari dari ayundanya, yaitu Endang
Patibroto ketika ia berada di puncak Wilis!
Mereka semua terkejut setengah mati. Lima orang itu
adalah orang-orang yang memiliki kedigdayaan, bertubuh
kebal, namun sekali gebrakan saja Setyaningsih telah
merobohkan tiga orang yang agaknya takkan dapat bangkit
lagi cepat-cepat. Mereka ini, dua orang perajurit yang lain
menjadi gentar, akan tetapi juga marah. Mereka ini
menerjang maju, tidak untuk menggerayang tubuh,
melainkan untuk memukul roboh dan menangkap wanita
perkasa itu dengan kekerasan.
Pangeran Panji Sigit mungkin tidak seganas isterinya,
juga tidak sesakti isterinya. Akan tetapi, pangeran ini telah
pula menerima gemblengan dan petunjuk Ki Datujiwa,
maka menghadapi dua orang perajurit pengawal itu tentu
saja bukan merupakan lawan berat baginya. Dengan
cekatan sekali pangeran muda ini mengelak dari setiap
sergapan, cengkeraman atau pukulan, kemudian ia pun
membalas dengan pukulan-pukulannya yang cukup ampuh.
Berbeda dengan Pangeran Panji Sigit yang sifatnya
memang pemurah dan betapapun juga tidak ingin
membunuh ponggawa kerajaan ramandanya sendiri,
Setyaningsih yang sudah marah sekali itu kini mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya berkelebat
ke depan dan terjangan kedua orang perajurit itu pun ia
sambut dengan pukulan-pukulan Pethit Nogo!
"Werrr ........... plak-plak ........... !" Dua orang perajurit
itu roboh terjengkang dan tubuh mereka berkelojotan, tak
mampu bangkit kembali. Jiiid XXXII SESUNGGUHNYA, di antara ilmu-ilmu yang dimiliki
Endang Patibroto, ilmu pukulan Gelap Musti amatlah
hebat. Akan tetapi bagi Setyaningsih, Aji Pethit Nogo-nya
lebih ampuh karena sejak kecil ia telah dilatih ibunya
dengan aji pukulan ini, sedangkan Aji Gelap Musti hanya ia
pelajari beberapa tahun saja ketika ia tinggal bersama
ayundanya. Kalau tiga orang yang pertama kali dirobohkan
dengan Gelap Musti tadi hanya merasa kepalanya pecah
dan sukar dapat bangkit kembali, adalah dua orang korban
Aji Pethit Nogo ini tak mungkin dapat hidup lagi karena
mengalami gegar otak yang amat hebat! Pada saat yang
hampir bersamaan, Pangeran Panji Sigit juga sudah berhasil
memukul roboh seorang pengeroyok dengan tulang pundak
remuk, dan membanting seorang pengeroyok lain sehingga
kedua orang itu pun tidak mampu bertanding lagi.
"Wah, kiranya kalian juga memiliki sedikit kepandaian?"
bentak Gagak Kroda, benar-benar terkejut karena tak
disangkanya sama sekali bahwa suami isteri itu akan dapat
merobohkan tujuh orang anak buahnya, terutama isteri
pangeran itu yang telah merobohkan lima orang sedemikian
mudahnya. "Majulah, Gagak Dwipa dan Gagak Kroda! Inilah
Setyaningsih dan ketahuilah bahwa aku adalah adik
kandung Endang Patibroto! Suami ayundaku, Pangeran
Panjirawit tewas oleh para perajurit Jenggala sendiri, dan
kini suamiku, juga seorang Pangeran Jenggala, kini hendak
ditangkap oleh perajurit-perajurit Jenggala sendiri! Akan
tetapi, kalian hanya akan dapat melakukan hal itu melalui
mayatku! Benar ucapan Ayunda Endang Patibroto bahwa
di Jenggala banyak terdapat iblis-iblis menyamar sebagai
ponggawa kerajaan!" Setyaningsih biasanya pendiam dan
tidak banyak cakap, akan tetapi kini kemarahannya
memuncak ketika ia melihat suaminya hendak diganggu
orang. Mendengar disebutnya nama Endang Patibroto, kedua
orang pentolan Gagak Serayu itu saling pandang dengan
mata terbelalak dan muka berubah. Tentu saja mereka sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang wanita sakti yang bernama Endang Patibroto dan kini mereka berhadapan dengan adik kandung wanita sakti itu! Pantas saja tandangnya begini hebat! Selama, petualangan mereka, dua orang bersaudara ini baru satu kali berhadapan dengan orang yang sakti dan yang telah merobohkan mereka, bahkan telah menghancurkan kesatuan Lima Gagak Serayu sehingga tiga orang adik
mereka roboh tewas, yaitu Tejolaksono. Dan mereka sudah
mendengar bahwa Endang Patlbroto memiliki kedigdayaan
yang setingkat dengan Tejolaksono! Maka begitu mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan berkulit
kuning langsat, yang menjadi isteri Pangeran Panji Sigit ini
adalah adik kandung Endang Patibroto, tentu saja mereka
terkejut dan gentar. "Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, kenapa kalian tidak
lekas menangkap dua orang ini" Perlukah aku melaporkan
kepada Gusti Pangeran Kukutan bahwa kalian jerih
terhadap seorang gadis Terdengar Cekel Wisangkoro berkata mengejek.
Mendengar ini, dua orang kakek tinggi besar itu menjadi
merah mukanya. Mereka hanya terkejut mendengar
disebutnya Endang Patibroto, akan tetapi tentu saja mereka
tidak takut menghadapi pangeran muda itu dan isterinya
yang hanya merupakan seorang gadis muda. Serempak
mereka berdua lalu menerjang maju dengan suara gerengan
mereka. Karena maklum bahwa suami isteri muda itu
memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang
ringan, maka Gagak Dwipa sudah mengerjakan bedok atau
pedangnya yang panjang dan kuat itu untuk menerjang
Setyaningsih, sedangkan Gagak Kroda sudah menubruk
Pangeran Panji Sight untuk menggelut dan menangkapnya.
Perintah yang mereka terima adalah menangkap Pangeran
Panji Sigit, maka tentu saja mereka tidak berani membunuh
pangeran ini. Karena ini, maka Gagak Kroda yang kuat dan
kebal tubuhnya itulah yang menghadapi Pangeran Panji
Sigit dengan tangan kosong, adapun Gagak Dwipa
menerjang Setyaningsih dengan senjata tajam untuk
merobohkannya, kalau perlu membunuhnya! Membunuh
wanita ini tidak menjadi larang bagi mereka.
Dua orang kakek itu adalah kepala-kepala perampok
yang semenjak muda sudah berkecimpung dalam dunia
kekerasan. Mereka dahulunya menjadi pimpinan gerombolan Gagak Serayu dan selain kepandaian mereka
cukup tinggi, juga pengalaman mereka dalam bertempur
sudah matang. Apalagi semenjak kesatuan mereka, Lima
Gagak Serayu dihancurkan oleh Tejolaksono dan tinggal
mereka berdua yang hidup, dua orang ini sudah
menggembleng dirinya lebih rajin lagi dan kini mereka
merupakan lawan yang tangguh bagi suami isteri muda itu.
Apa-lagi Pangeran Panji Sigit yang biarpun sejak kecil
mempelajari olah keperajuritan, namun tidaklah sesakti
Setyaningsih yang memang terlahir dalam keluarga sakti.
Pangeran ini yang mempergunakan kerisnya, didesak hebat
oleh Gagak Kroda yang tandangnya seperti sang raksasa
Kumbokarno, menubruk sambil menggereng, kedua
lengannya yang besar panjang berbulu itu menyambarnyambar dengan cengkeraman-cengkeraman kuat, kalau
tubrukannya dielakkan sehingga tubuhnya terdorong ke
depan, ia terus menggulingkan tubuhnya dan sambil
bergulingan ini ia mengejar terus hendak menangkap kaki
pangeran muda itu! Pangeran Panji Sigit terdesak hebat dan menjadi agak
ngeri dan jijik melihat cara berkelahi yang tidak pakai
aturan ini. Beberapa kali ujung kerisnya berhasil mencium
kulit lawan, bahkan dua kali ia berhasil menusuk dada
kanan dan lam-bung kiri, akan tetapi tusukan kerisnya
mental, seolah-olah ia menusuk segumpal karet tebal yang
amat ulet dan keras! Tentu saja pangeran ini terkejut sekali
dan maklum bahwa lawannya memiliki kekebalan yang
amat kuat, maka ia berlaku hati-hati sekali dan menujukan
serangan kerisnya pada bagian-bagian yang berbahaya dan
tidak dilindungi kekebalan. Namun, ia tidak diberi
kesempatan karena Gagak Kroda sudah mendesaknya
dengan rangsekan bertubi-tubi dan pangeran ini pun
maklum bahwa sekali tubuhnya kena dicengkeram jari-jari
tangan yang sebesar buah pisang ambon itu, tentu sukar
baginya untuk dapat meloloskan diri! Maka ia kini hanya
mengandalkan kelincahan gerak tubuhnya untuk menghindar dengan loncatan ke sana ke mari dan karena
tubuh Gagak Kroda yang tinggi besar itu tidak dapat
bergerak segesit dia, maka untuk sementara waktu Pangeran
Panji Sigit masih dapat bertahan.
Pertandingan antara Setyaningsih melawan Gagak
Dwipa lebih hebat lagi karena Gagak Dwipa sepak
terjangnya dalam penyerangan tidak seoerti Gagak Kroda
yang berusaha menangkap hidup-hidup Pangeran Panji
Sigit. Gagak Dwipa yang mempergunakan pedangnya
berusaha untuk mengalahkan wanita muda yang sakti
mandraguna itu dengan bacokan-bacokan dan tusukantusukan mematikan. Akan tetapi Setyaningsih yang


Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memegang keris melakukan perlawanan gigih dan gerakangerakannya amat cepat memusingkan kepala Gagak Dwipa.
Setiap serbuan pedang dapat dielakkan atau ditangkis
dengan tenaga yang kuat, dan di samping membalas dengan
tusukan kerisnya, juga tangan kiri Setyaningsih kadangkadang mengirim pukulan-pukulan sakti yang amat ampuh.
Biarpun pukulan tangan kiri belum ada yang mengenai
tubuh Gagak Dwipa, akan tetapi angin pukulannya itu saja
sudah membuat Gagak Dwipa terdesak dan kadang-kadang
terhuyung mundur. Sayang bahwa perhatian Setyaningsih
terpecah kepada pertandingan suaminya. Ia tahu bahwa
suaminya terdesak oleh lawannya, maka kadang-kadang ia
meninggalkan Gagak Dwipa yang sedang terhuyung,
menggunakan kesempatan itu untuk menerjang ke arah
Gagak Kroda yang sudah mendesak suaminya. Inilah yang
menyebabkan Gagak Dwipa belum juga dapat dikalahkannya. Pangeran Panji Sigit makin terdesak. Gagak Kroda
terlalu kebal dan kuat sehingga tusukan kerisnya tidak
melukai kulit raksasa itu. Dengan penasaran dan juga
marah karena isterinya yang terpaksa membantunya itu
kadang-kadang bahkan terancam keselamatannya oleh
Gagak Dwipa, pangeran ini berseru keras dan membalas
serangan lawan dengan menujukan kerisnya ke arah mata.
Kemarahan pangeran ini memperlipatgandakan kekuatannya sehingga sesaat lamanya Gagak Kroda
terdesak dan mundur karena matanya selau terancam ujung
keris yang runcing. Juga Setyaningsih menjadi marah karena kegelisahannya
melihat suaminya yang terdesak. Biarpun belum sempurna
karena hawa sakti di tubuhnya belum kuat benar,
Setyaningsih pernah belajar aji kesaktian yang hebat dari
Endang Patibroto, yaitu pekik sakti Sardulo Bairowo.
Mulailah ia mengeluarkan pekik sakti ini dan suaranya
membuat Gagak Dwipa menjadi terkejut sekali dan ketika
ia terhuyung, tamparan tangan kiri Setyaningsih mampir di
pundaknya, membuat tubuh raksasa ini terpelanting. Kalau
saja pada saat itu Pangeran Panji Sigit tidak sedang terdesak
dan Setyaningsih mengirim serangan susulan, pasti Gagak
Dwipa akan terpukul tewas. Akan tetapi kembaii
Setyaningsih meloncat ke arah lawan suaminya, dengan
pekik pendek-pendek melengking tinggi ia menerjang
Gagak Kroda. Sebuah tamparan tangan kirinya mengenai
dada kanan Gagak Kroda. Tubuh raksasa ini amat kebal,
apalagi dadanya yang setiap hari "sarapan" bacokan golok
dan tusukan ujung tombak. Tadi pun tusukan-tusukan keris
di tangan Pangeran Panji Sigit tak pernah dapat menggores
kulit dadanya. Akan tetapi kini kena diserempet tamparan
Pethit Nogo tangan kiri Setyaningsih, raksasa ini mengaduh
dan terhuyung ke belakang sambil memegang dadanya yang
serasa panas terbakar. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara terkekeh dan
bagaikan menyambarnya halilintar, tampak sinar hitam
seperti ular hidup menyambar ke arah kepala Setyaningsih.
Wanita muda ini terkejut sekali karena hawa pukulan yang
keluar dari sinar hitam ini amat kuatnya. Ia menangkis
dengan kerisnya, terdengar suara nyaring dan kerisnya
terpental dari tangannya!
Setyaningsih memekik nyaring, pekik Sardulo Bairowo,
tubuhnya mencelat ke samping ketika sinar hitam itu terus
mengejarnya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa
sinar hitam itu adalah tongkat di tangan kakek yang
Badai Awan Angin 24 Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Peristiwa Merah Salju 8

Cari Blog Ini