Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
terjangan Endang Patibroto gagal dan tiba-tiba tampak tiga
sinar menyambar ke arah Endang Patibroto, Tejolaksono
dan Ayu Candra yang sedang berdiri menonton. Itulah tiga
buah anak panah yang tadi terampas oleh Wasi Bagaspati.
Tejolaksono dan Endang Patibroto cepat menggunakan
Aji Pethit Nogo, memukul runtuh anak panah itu,
sedangkan Ayu Candra yang sama sekali tidak mengira
akan diserang dengan anak panah, menjadi kaget dan
hampir saja menjadi korban kalau ia tidak cepat-cepat
meloncat ke belakang sampai terhuyung-huyung. Masih
untung baginya bahwa anak panah yang dipakai
menyerangnya adalah anak panah yang tadi digigit Wasi
Bagaspati dan dipergunakan menyerangnya dengan cara
ditiupkan sehingga tenaga luncurannya tidaklah sehebat
dua batang yang disambitkan kakek itu.
"Huah-ha-ha, kalian belum menyerah" Mau melihat
kesaktian Wasi Bagaspati" Hemmm ........ masih belum
terlambat untuk menyerah menjadi tawananku, Patih
Tejolaksono!" Biarpun di mulut kakek ini mentertawakan,
namun di dalam hatinya ia mendongkol dan penasaran
sekali mengapa dia, seorang tokoh besar yang selamanya
tak pernah terkalahkan, yang telah mengorbankan waktu
dan ketekunan selama puluhan tahun untuk mengejar ilmu,
yang kini menganggap bahwa aji kesaktiannya akan dapat
mengalahkan dewa, sekarang melawan dua orang yang
baginya merupakan tokoh-tokoh muda ini, dia selalu
didesak dan belum dapat balas menyerang! Harus ia akui
bahwa Tejolaksono dan Endang Patibroto merupakan
sepasang lawan yang hebat sekali, karena mereka itu dapat
bekerja sama dalam penyerangan-penyerangan yang
dahsyat. Ingin ia mengeluarkan jimat pusakanya, yaitu
senjata Cakra. Akan tetapi ia merasa sungkan kalau harus
mempergunakan pusakanya itu hanya untuk menghadapl
dua orang lawan muda. Maka ia mengeluarkan gertakan
karena kalau mereka ini suka menyerah, tidak perlu ia
mengeluarkan aji-aji yang selama ini menjadi ilmu
simpanan untuk dipergunakan melawan musuh yang
seimbang. "Sang Wasi Bagaspati! Andika mewakili negara asing
yang hendak menjajah, yang berarti mewakili angkara
murka, sedangkan kami berjuang untuk membela nusa
bangsa yang berarti mewakili kebenaran. Mungkinkah
kebenaran harus menyerah dan tunduk terhadap angkara
murka" Tidak, Sang Wasi. Kami akan melawan terus
karena yakin bahwa akhirnya kebenaranlah yang akan
menang!" "Babo-babo, tidak mendengar kata-kata halus andika,
Tejolaksono. Nah, majulah, dan rasakan kesaktian Wasi
Bagaspati!" "Pendeta palsu dukun lepus, siapa sudi mendengar
obrolanmu?" Endang Patibroto membentak sambil menghunus keris pusakanya. Tejolaksono juga sudah
mengeluarkan keris Megantoro dan kedua suami isteri ini
lalu menerjang maju dari depan, arah kanan kiri.
Tiba-tiba Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik melengking dan kedua kakinya menggedrug (menjejak)
tanah. Tanah seolah-olah tergetar hebat di bawah kaki
Endang Patibroto dan Tejolaksono, membuat mereka
seperti lumpuh seketika dan tubuh mereka terguling! Wasi
Bagaspati menubruk dengan kedua tangan mengirim
pukulan ke arah kepala dua
orang lawannya yang sudah
roboh terguling. "Dess! Desss!!" Debu mengebul ketika tanah dihantam kedua tangan Wasi
Bagaspati, sedangkan Endang
Patibroto dan Tejolaksono sudah melesat pergi mengelak
karena begitu tubuh mereka
terbanting, mereka mempergunakan tangan menekan tanah dan meloncat.
Tejolaksono dan Endang Patibroto terkejut. Mereka
maklum bahwa ilmu yang dikeluarkan oleh Wasi Bagaspati
itu adalah sejenis dengan aji-aji mereka Sardulo Bairowo
dan Dirodo Meta, akan tetapi yang jauh lebih kuat karena
memang kakek itu memiliki kekuatan batin yang luar biasa.
Selagi mereka berpikir bagaimana harus menghadapi ilmu
yang dahsyat itu, Wasi Bagaspati yang merasa penasaran
karena serangannya gagal, kembali melompat dekat dan
menjejak bumi sambil melengking seperti tadi. Tejolaksono
dan Endang Patibroto yang sudah siap itu mengerahkan
tenaga sakti untuk melindungi tubuh, namun percuma
karena kaki mereka tergetar hebat dan seketika mereka
terguling lagi seperi tadi!
Segumpal sinar hitam seperti asap menyambar ke arah
tubuh Tejolaksono dan Endang Patibroto. Keduanya
terkejut dan hendak mengelak, namun mereka roboh
kembali karena gerakan mereka terhalang oleh sebuah jala
hitam yang amat tipis namun yang mempunyai kekuatan
melebihi benang-benang baja! Mereka meronta-ronta,
namun dengan gerakan tangannya Wasi Bagaspati yang
tertawa-tawa itu membuat jala makin menyempit sehingga
akhirnya Tejolaksono dan Endang Patibroto meringkuk dan
terjepit menjadi satu tak mampu bergerak lagi.
"Pendeta keparat lepaskan mereka!" Ayu Candra
melompat ke depan dan menggunakan keris menyerang,
akan tetapi dengan tangan kanan memegang ujung jala
Wasi Bagaspati mengangkat tangan kirinya, menyampok
tangan Ayu Candra yang memegang keris sehingga senjata
itu ter pental jauh dan sekali kakek itu mengibaskan tangan
kirinya menyentuh pangkal telinga Ayu Candra, isteri Patih
Tejolaksono ini terbanting dalam keadaan pingsan.
"Huah-ha-ha, orang-orang muda kalau tidak dibunuh,
kelak akan merepotkan saja!"
Kakek itu sudah mengangkat tangan kirinya ke atas
dengan jari-jari terbuka dan membentuk cakar harimau,
siap digerakan turun mencengkeram kepala dua orang
tangkapannya yang sudah tak dapat membela diri itu.
"Kakanda Wasi jangan bunuh mereka!" Tiba-tiba
Sariwuni meloncat maju dan berteriak mencegah. Memang
lucu dan janggal kedengarannya kalau Sariwuni yang masih
kelihatan cantik dan muda itu menyebut "kakanda" kepada
Wasi Bagaspati yang sudah tua renta, lebih seratus tahun
usianya itu. Memang, Wasi Bagaspati ini selain sakti
mandraguna, juga mempunyai watak romantis sehingga
setiap orang wanita yang menjadi pelayan nafsunya selalu
diharuskan menyebutnya kakanda!
"Heh, mengapa kau berani mencegahku, Sariwuni?"
Wasi Bagaspati mengerutkan keningnya dan suaranya
tergetar tak senang. "Malam ini bulan purnama, dan mereka bertiga itu
bukan orang-orang sembarangan sehingga akan menjadi
korban yang amat berharga untuk Sang Dewi Bathari ......."
Sariwuni tersenyum manis dan kerlingnya menyambar ke
arah Tejolaksono dalam jala itu.
Sejenak Wasi Bagaspati meragu, kemudian tertawa. "Haha-ha-ha! Engkau ini makin mata keranjang saja, Sariwuni!
Engkau ingin menikmati pria tampan ini sebelum dia
dibunuh" Baiklah, membunuh mereka besok pagi juga
belum terlambat!" "Hamba hanya mendapatkan seorang, akan tetapi
bukankah Kakanda Wasi mendapatkan dua orang?" jawab
Sariwuni sambil melirik ke arah Endang Patibroto yang
meringkuk seperti ikan di dalam jala dan tubuh Ayu Candra
yang masih rebah pingsan di atas rumput. Ucapan ini
disambut tertawa bergelak oleh Wasi Bagaspati. Sariwuni
lalu mengatur anak buahnya untuk membawa teman-teman
yang terluka dan yang tewas, kemudian mereka
meninggalkan lima belas buah mayat para pengawal
Panjalu, tidak tahu bahwa seorang di antara mereka masih
belum tewas sehingga dapat memberi tahu tentang
tertawannya Tejolaksono dan dua orang isterinya yang
dibawa ke puncak gunung yang tampak dari hutan itu.
Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan
Pusporini menjadi gelisah sekali setelah mendengar pesan
perajurit itu. Hanya Bagus Seta yang tetap tenang,
kemudian tanpa banyak bicara pemuda remaja ini Ialu
menggali lubang dan mengubur kelima belas sosok mayat
para pengawal Panjalu itu. Melihat ini, tentu saja Joko
Pramono, bahkan Pangeran Panji Sigit sendiri bergegas
membantu, juga kedua orang bibi muda itu. Mereka
terpaksa menekan perasaan gelisah mereka melihat sikap
Bagus Seta yang tenang itu, dan mereka percaya penuh
bahwa pemuda remaja itu akan dapat menanggulangi
segala lawan dan mengatasi segala kesulitan.
Malam itu tenang bulan dan kebetulan sekali angkasa
bersih dan cerah, tidak tampak sedikitpun awan sehingga
bulan tersenyum-senyum bebas menyinarkan cahayanya
yang keemasan. Di puncak gunung kecil di luar hutan itu
terjadilah pesta yang luar biasa. Puncak gunung ini
merupakan tempat peristirahatan sementara dari Wasi
Bagaspati yang ditemani oleh Sariwuni dan sejumlah anak
buahnya sebanyak kurang lebih lima puluh orang.
Atas permintaan Sariwuni, tiga orang tawanan itu,
Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra, tidak
dibunuh oleh Sang Wasi Bagaspati. Dengan ilmu
kepandaiannya, mudah saja bagi Wasi Bagaspati untuk
membuat Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah
tak dapat bergerak di dalam jala itu roboh pingsan,
kemudian bersama Ayu Candra yang juga sudah pingsan,
mereka bertiga dibawa naik ke puncak pegunungan itu dan
dalam keadaan pingsan itu mereka bertiga diberi minum
secara paksa oleh Sariwuni. Minuman itu adalah minuman
yang mengandung racun perampas ingatan dan mengandung daya rangsang yang amat luar biasa.
Kemudian tiga orang yang masih pingsan itu direbahkan di
atas panggung yang terbuat daripada kayu dan bambu.
Biasanya, pesta pemujaan Bathari Durgo ini dipimpin oleh
Ni Dewi Nilamanik sebagai ketuanya, akan tetapi oleh
karena Ni Dewi Nilamanik sedang berada di Kota Raja
Jenggala memenuhi panggilan Ki Patih Warutama, maka
pesta ini diwakili oleh Sariwuni. Minuman beracun yang
dipergunakan Sariwuni itupun adalah milik Ni Dewi
Nilamanik. Selain Sariwuni, di situ terdapat tujuh orang wanita
cantik yang kesemuanya adalah murid-murid Ni Dewi
Nilamanik dan yang berada di situ untuk bertugas
membantu Sariwuni dalam melayani Wasi Bagaspati.
Adapun yang lainnya, terdiri dari laki-laki dan wanita,
hanyalah anak buah yang melakukan segala macam
pekerjaan kasar melayani segenap kebutuhan dan keperluan
sehari-hari, termasuk penjagaan dan kalau perlu bertempur
menghadapi musuh. Setelah bulan mulai bersinar, pesta pemujaan Bathari
Durgo pun dimulailah. Sebuah arca Bathari Durgo
diletakkan di atas panggung dan di sebelah kanannya
duduklah Sang Wasi Bagaspati di atas sebuah kursi.
Sariwuni dan tujuh orang wanita yang kesemuanya
berpakaian tipis serba putih itu duduk bersimpuh di depan
Wasi Bagaspati dan arca Bathari Durgo. Karena tempat itu
bukan menjadi pusat perkumpulan Agama Bathari Durgo,
bukan sebuah Durgoloka (Taman Bathari Durgo), maka
upacara pemujaan Bathari Durgo di waktu bulan purnama
itu pun diadakan sederhana sekali,tidak teperti kalau Ni
Dewi Nilamanik yang memimpinnya, lengkap dengan
gamelan segala macam. Tidak ada gamelan di situ dan
semua anak buah di situ setelah mempersiapkan pesta
makanan sederhana untuk Wasi Bagaspati, Sariwuni dan
tujuh orang murid Ni Dewi Nilamanik yang muda-muda
dan cantik-cantik itu, lalu berdiri mengelilingi panggung
menonton. Semenjak tali, pandang mata Wasi Bagaspati tertuju
kepada tubuh Ayu Candra dan Endang Patibroto yang
rebah terlentang di atas panggung, di ujung kiri sedangkan
di sudut kanan rebah tubuh Tejolaksono. Mereka bertiga
masih dalam keadaan pingsan, seperti tidur nyenyak.
Kemudian kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas, tanda
bahwa pesta boleh dimulai.
Melihat ini, Sariwuni memimpin tujuh orang wanita
muda itu menyembah di depan kaki Wasi Bagaspati,
kemudian menghampiri arca Bathari Durgo dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembah, lalu bertelungkup hampir tiarap di depan arca
itu sambil menyebar kembang setaman yang sudah
disediakan di situ. Sariwuni lalu membakar dupa harum
yang mengepulkan asap putih yang baunya semerbak
memenuhi udara di sekeliling panggung.
Setelah upacara penyembahan arca itu selesai, tujuh
orang wanita itu dipimpin oleh Sariwuni lalu bangkit
berdiri, dan mulailah mereka itu menari dengan iringan
tepuk tangan mereka dan berkerincingnya gelang-gelang
yang dipasang pada kaki mereka. Tari-tarian itu biarpun
hanya diiringi gamelan tepuk tangan dan berkerincingnya
gelang-gelang kaki, namun teratur dan amat indah,
sungguhpun gerakannya mengandung sifat-sifat yang
merangsang berahi dengan gerakan-gerakan pundak dan
perut. Mereka menari berputaran di sekeliling panggung
dan Sariwuni merupakan penari yang terpandai dan yang
paling indah gerakannya. Makin lama bunyi tepuk tangan dan berkerincingnya
gelang-gelang kaki makin cepat pula dan makin liar.
Sariwuni sendiri menari mendekati tubuh Tejolaksono yang
masih menggeletak terlentang dalam keadaan pingsan atau
mungkin juga tertidur nyenyak. Sariwuni mengitari tubuh
Tejolaksono itu, menari-nari dan makin lama makin
merendah tubuhnya sampai akhirnya ia menari sambil
berjongkok mengelilingi Tejolaksono, jarijari tangannya
yang bergerak-gerak seperti ular-ular kecil itu merayaprayap dan menyentuh-nyentuh tubuh Tejolaksono, sepasang
matanya makin lama makin bersinar penuh gairah.
Sementara itu, tujuh orang wanita masih bertepuk-tepuk
tangan dan menghentak-hentakkan kakinya untuk mencipta
bunyi yang berirama untuk mengiringi tari-tarian Sariwuni.
Mereka bertujuh hanya berdiri dan melenggang-lenggok
tidak pindah dari tempatnya, berjajar menghadapi Wasi
Bagaspati. Wasi Bagaspati tersenyum-senyum, menggerak-gerakkan
kepalanya menurutkan irama tepukan tangan, sambil
makan dan minum sajian yang dihidangkan di dekatnya.
Kemudian ia memandang ke arah Sariwuni yang
menyentuh-nyentuh dada dan leher Tejolaksono, kadangkadang menundukkan muka didekatkan dengan muka
Tejolaksono seperti orang menimang-nimang. Perlahanlahan Tejolaksono menggerakkan bulu mata, lalu membuka
matanya seperti orang dalam mimpi. Ia bangkit perlahan,
diikuti Sariwuni yang masih menari, dan ketika wanita itu
menarik tangannya, Tejolaksono bangkit berdiri dan ........
mulai menari! Wasi Bagaspati tertawa dan bangkit lalu menghampiri
tubuh Endang Patibroto dan Ayu Candra. Beberapa kali ia
meraba dan memijit tengkuk dua orang wanita itu yang
kemudian siuman dari pingsannya, bangkit berdiri dan
perlahan-lahan mereka berdua inipun mulai menari-nari
menurutkan irama tepukan tangan dan berdencingnya
gelang-gelang kaki. Sambil tertawa gembira Wasi Bagaspati
ikut pula bertepuk tangan dan kembali duduk di atas
kursinya. "Aduhh ........ untuk kedua kalinya Pusporini menyaksikan hal yang mengerikan ini," bisik Joko
Pramono. Mereka berlima bersembunyi di tempat gelap dan
hanya oleh cegahan Bagus Seta saja empat orang itu tidak
meloncat naik dan mengamuk di tempat itu. Joko Pramono
yang pernah diceritakan oleh Pusporini tentang pengalamannya ketika ia ditawan oleh Ni Dewi Nilamanik,
kini menyaksikan dengan mata sendiri keadaan yang amat
aneh dan yang pernah dialami oleh Pusporini. Dia merasa
amat heran, demikian pula Pusporini, Pangeran Panji Sigit
dan Setyaningsih melihat betapa orang-orang sakti seperti
Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra dapat
terpengaruh seperti itu, seperti manusia-manusia yang
kehilangan pikiran! Pusporini memandang dengan air mata bercucuran.
Melihat rakandanya dan kedua ayundanya berhal seperti
itu, melihat mereka yang telah bertahun-tahun tak
dijumpainya, hatinya terharu bukan main. Kalau menurutkan hatinya, ingin ia meloncat dan menyerbu,
membebaskan tiga orang yang dihormati itu dari keadaan
mereka yang menyedihkan. Akan tetapi Bagus Seta tadi
memberi isyarat agar mereka jangan bergerak dan ketika ia
melihat Wasi Bagaspati, mau tidak mau tengkuknya
meremang. ia melihat jelas pengaruh yang hebat keluar dari
sinar mata kakek itu, dari gerak-geriknya. Dengan bukti
tertawannya orang-orang sakti seperti ayundanya Endang
Patibroto dan rakandanya Tejolaksono, dapat dibayangkan
betapa saktinya kakek itu yang dapat ia duga tentulah Sang
Wasi Bagaspati. Maka ia menahan sabar dan menyerahkan
keputusan dan pimpinan dalam tangan Bagus Seta yang ia
percaya akan dapat menanggulangi Wasi Bagaspati yang
mengerikan itu. "Tanggalkan pakaian mereka!" Tiba-tiba terdengar
perintah keluar dari mulut Wasi Bagaspati.
Sariwuni sudah sibuk hendak membuka pakaian
Tejolaksono yang masih menari-nari seperti boneka hidup,
sedangkan tujuh orang wanita lainnya telah menyerbu
Endang Patibroto dan Ayu Candra untuk menanggalkan
pakaian mereka. Pekerjaan ini mereka lakukan sambil
tertawa terkekeh-kekeh dengan genit.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Wanita-wanita
sesat, mundur kalian!" Dan Bagus Seta sudah meloncat ke
atas panggung diikuti oleh empat orang pengikutnya.
Dengan tenang Bagus Seta mendorongkan tangannya dan
Sariwuni berikut tujuh orang itu terhuyung ke belakang dan
akhirnya roboh ke bawah panggung. Terdengar teriak-teriak
panik dari anak buah Sarlwuni yang menonton, dan
keadaan seketika menjadi geger. Bagus Seta mendekati
Tejolaksono, Ayu Candra dan Endang Patibroto. Ia
menyembah lebih dulu sebelum mengusap wajah mereka
bertiga itu satu kali dengan telapak tangan kanannya dan
seketika tiga orang itu menjadi sadar, memandang
terbelalak kepada Bagus Seta, Pangeran Panji Sigit, Joko
Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini.
"Bagus Seta ..... ..! Engkau ........ engkau Bagus Seta
........ !" Tiba-tiba Ayu Candra menjerit dan wanita itu
roboh pingsan dalam pelukan Pusporini yang cepat
menerima tubuh ayundanya yang pingsan saking kaget dan
girang itu. Tejolaksono merangkul puteranya yang berlutut dan
menyembahnya, akan tetapi karena maklum akan keadaan
yang gawat itu, Tejolaksono mengeraskan hatinya dan
berbisik, "Hati-hatilah, Nak. Dia sakti sekali ........ !!
Bagus Seta mengangguk tenang.
"Kita gempur dia! Bagus Seta, aku Ibumu Endang
Patibroto, mari kubantu engkau membasmi dukun lepus
ini!" bentak Endang Patibroto.
"Harap Ibunda serahkan saja kepada hamba," kata Bagus
Seta sambil tersenyum, kemudian ia bangkit berdiri dan
membalikkan tubuh melangkah maju menghadapi Wasi
Bagaspati yang memandang semua kejadian itu dengan
mata merah saking marahnya, juga saking herannya
menyaksikan betapa seorang pemuda remaja dapat
menyadarkan tiga orang itu dari pengaruh racun perampas
pikiran dan perangsang. Padahal kepandaian seperti itu
hanya dapat dilakukan oleh brang-orang yang telah
memiliki tenaga batin yang amat kuat, seperti dia sendiri
misalnya. Dan cara pemuda itu mendorong para wanita
turun dari panggung tanpa melukai mereka, benar-benar
mengagumkan, menyatakan bahwa pemuda itu memiliki
tenaga sakti yang amat kuat pula.
"Heh, bocah yang berani mati. Siapa kah andika?"
"Sang Wasi Bagaspati, namaku adalah Bagus Seta. Sang
Patih Muda Panjalu Tejolaksono adalah Ramandaku."
"Hemm, kulihat engkau seorang muda yang telah
memiliki sedikit kesaktian, agaknya engkau murid seorang
yang sakti. Ehhh ........ sekarang aku ingat ......! Bukankah
engkau bocah yang dahulu bersama Bhagawan Ekadenta
........ ?" "Bapa guru, dia telah melarikan empat orang tawanan
Jenggala! Itu mereka, mohon Bapa guru menangkap
mereka kembali!" Tiba-tiba terdengar suara lan-tang dan
muncullah Cekel Wisangkoro yang langsung melompat ke
atas panggung. Kembali Wasi Bagaspati tertegun. ia sudah mendengar
kemajuan-kemajuan yang dicapai para murid dan anak
buahnya dalam penyelundupan ke Jenggala dan penanaman pengaruh ke istana. Kini boleh dikata bahwa
Jenggala telah berada di dalam telapak tangannya, tinggal
menggenggam saja. Jenggala kini telah menjadi sekutu yang
sewaktu-waktu dapat dipergurtakan oleh negaranya untuk
diajak menyerang kerajaan-kerajaan lain seperti Panjalu dan
lain-lain. Kalau usaha itu berhasil dan kelak seluruh Jawadwipa telah dapat ditundukkan, tidak akan sukarlah untuk
menentang raja yang duduk di singgasana Jenggala dan
Jawadwipa yang lohjinawi itu akan menjadi milik Kerajaan
Cola! Seringkali ia diam-diam menertawakan rekannya dari
Sriwijaya, Biku Janapati yang tidak tampak mendapatkan
kemajuan apa-apa. Akhir-akhir ini dengan girang ia
mendengar akan ditawankan Pangeran Panji Sigit dan tiga
orang muda yang termasuk orang-orang bahaya bagi
Jenggala. Maka kini mendengar ucapan muridnya bahwa
pemuda remaja yang luar biasa inipun sudah membebaskan
tawanan yang kini hadir pula di atas panggung, ia menjadi
marah bukan main. Melihat munculnya Cekel Wisangkoro, Tejolaksono
yang maklum bahwa keadaan makin gawat, segera berkata
kepada Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan
Joko Pramono, "Kalian berempat lakukanlah tugasmu,
hadapi Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan kaki tangannya.
Aku dan kedua ayundamu akan membantu Bagus Seta!"
Biarpun keadaan gawat dan menegangkan, akan tetapi
jiwa kepemimpinan Tejolaksono tidak pernah tenggelam
dan dalam keadaan seperti itu ia dapat mengatur tugas dan
membagi-baginya dengan perhitungan masak. Ayu Candra
yang sudah siuman kinipun sudah slap sedia membantu
puteranya, dan keharuan serta kebahagiaan yang datangnya
demikian tiba-tiba kini tak dapat ditumpahkan, hanya
ditelan dan disimpan dalam rongga dada, kini berdiri di
dekat suaminya dan Endang Patibroto.
"Ha-ha-ha-ha! Tejolaksono, jangan kau bergirang lebih
dulu dengan adanya bantuan-bantuan yang tiba. Makin
banyak keluarga dan sekutumu berkumpul makin baiklah
bagiku agar sekaligus aku dapat membasmi penghalangpenghalang bagi tugasku!" Setelah berkata demikian, Wasi
Bagaspati lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor
harimau kelaparan dan ia menggerakkan kedua lengannya
mendorong ke depan. Serangkum tenaga dahsyat menyambar ke depan. Pada saat itu juga, Pusporini yang
mendahului yang lain-lain setelah menerima perintah
Tejolaksono, sudah menerjang Cekel Wisangkoro dengan
pukulan Pethit Nogo yang ampuh. Demikian hebat
terjangan dara perkasa ini sehingga tidak ada lain jalan bagi
Cekel Wisangkoro untuk menyelamatkan diri kecuali
melompat turun dari atas panggung. Pusporini mengejar
dan melompat turun pula, diikuti oleh Joko Pramono,
Pangeran Panji Sigit, dan Setyaningsih. Mereka ini
disambut oleh Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan tujuh orang
murid-murid Ni Dewi Nilamanik, dibantu pula oleh anak
buah yang datang menyerbu dengan senjata tombak dan
golok. Terjadilah pertandingan campuh yang hebat di
bawah panggung, di mana Pangeran Panji Sigit dan tiga
orang muda yang lain mengamuk.
Pukulan jarak jauh yang dilakukan Wasi Bagaspati
dengan jalan mendorongkan kedua lengannya amatlah
hebatnya. Berbeda ketika kakek ini menghadapi Tejolaksono bertiga isteri-isterinya, sekali ini Wasi
Bagaspati mengerahkan seluruh kekuatannya dan tenaga
sakti yang terkandung dalam pukulan mendorong ini
diperkuat oleh tenaga batinnya sehingga pukulan itu luar
biasa dahsyatnya. Seketika Tejolaksono dan kedua orang
isterinya, terutama sekali Ayu Candra, terhuyung ke
belakang, merasa seolah-olah ada gunung api menyerang
mereka. Bagus Seta melompat ke depan ayah dan kedua orang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ibundanya, melindungi mereka
dengan tubuhnya dan mendorongkan pula lengannya
ke depan sambil berkata dengan suara halus, "Yang menggunakan kekerasan akan menerima kekerasan pula, Sang Wasi!"
"Dessss !!" Terasa sekali
oleh Tejolaksono dan dua orang isterinya akan pertemuan dua tenaga raksasa
yang ampuh dan mujijat di
tengah udara, di antara Wasi
Bagaspati dan Bagus Seta, seolah-olah dua gunung api
bertemu dan saling membakar, saling menindih.
Bagus Seta masih berdiri tegak dan tenang, dan Wasi
Bagaspati memandang terbelalak, agak menggigil seperti
orang kedinginan, atau seperti orang yang merasa gentar
akan sesuatu sehingga meremang bulu tengkuknya. Tentu
saja Wasi Bagaspati sama sekali tidak pernah merasa
gentar, karena perasaan ini sudah lama terhapus dari
hatinya bersamaan dengan timbulnya perasaan percaya
kepada diri sendiri bahwa kesaktiannya sudah terlalu tinggi
untuk dapat dikalahkan lawan yang manapun juga. Kalau
ia kelihatan seperti menggigil adalah karena ia merasa
terlalu heran dan terlalu penasaran melihat kenyataan
betapa pukulannya yang ampuh dan mujijat tadi dapat
ditahan dan didorong kembali oleh seorang yang masih
begini muda! Kemarahannya memuncak karena dorongan rasa
penasaran ini dan sambil memekik dahsyat tubuhnya yang
tinggi itu kini menerjang maju dan kedua lengannya yang
panjang itu bergerak menyambar dari kanan kiri dengan
jari-jari tangan terbuka, berusaha menangkap dan
mencengkeram hancur tubuh Bagus Seta dengan tangannya
yang kuat melebihi cengkeraman baja. Bagus Seta tetap
bersikap tenang menghadapi terkaman kedua lengan yang
mengamuk seperti badai ini. Kelihatannya pemuda itu
hanya menggerakkan tubuhnya lambat-lambat saja akan
tetapi aneh sekall, kedua tangan yang menyambar-nyambar
itu selalu menangkap angin, tak pernah dapat menyentuh
tubuhnya. -oo0dw0oo- Jilid XL TUBUH Bagus Seta menjadi demikian ringan sehingga
setiap terkaman membuat tubuhnya bergerak menjauh
terdorong oleh angin yang mendahului gerakan tangan
lawan. Dilihat dari jauh, tampaknya Wasi Bagaspati seperti
seorang anak-anak yang berusaha menangkap seekor kupukupu, atau seorang gila yang berusaha menangkap asap!
Melihat kehebatan putera mereka, Tejolaksono dan
Endang Patibroto serta Ayu Candra terbelalak kagum, akan
tetapi Tejolaksono yang bijaksana dan dapat mengenal
kesaktian luar biasa yang dimiliki puteranya, cepat berkata,
"Mari kita membantu mereka di bawah!" Tubuhnya
melompat turun panggung diikuti Endang Patibroto dan
Ayu Candra. Di bawah panggung terjadi pertandingan yang lebih
ramai, seru dan dahsyat sekali. Empat orang muda
mengamuk seperti banteng-banteng terluka. Terutama
sekali sepak terjang Pusporini dan Joko Pramono yang
seakan-akan berlomba dan bersicepat merobohkan Cekel
Wisangkoro membuat cekel itu kewalahan. Melawan
seorang saja di antara dua orang murid Resi Mahesapati ini
masih diragukan apakah dia akan sanggup mengalahkannya, apalagi kini dua orang murid itu maju
bersama mengeroyoknya. Cekel Wisangkoro memutar
tongkat ularnya dengan nekat dan mengerahkan seluruh
kedigdayaannya, mengeluarkan segala ilmunya, namun siasia. Segala macam mantera telah ia ucapkan, manteramantera, yang mengandung kekuatan ilmu hitam yang
biasanya akan dapat melumpuhkan kekuatan lawan, akan
tetapi terhadap dua orang muda ini tidak mempan sama
sekali. Gerakan tongkat ularnya yang cepat itu tidak dapat
mengatasi gerak cepat kaki tangan Pusporini dan Joko
Pramono sehingga ia terus didesak mundur.
Ketika untuk kesekian kalinya tongkatnya tidak
menemui sasaran setelah ia sabetkan melingkar ke depan
menghantam dua orang lawannya yang mengelak cepat,
Joko Pramono mengirim pukulan yang ampuhnya
menggila, yaitu pukulan dengan Aji Cantuka Sekti, ke arah
dada lawan. Cekel Wisangkoro tergesa-gesa membuang diri
ke kiri menghindarkan pukulan maut itu. Akan tetapi dari
kiri menyambar tangan Pusporini yang menyerang dengan
pukulan Pethit Nogo. Cekel Wisangkoro kaget sekali, cepat
mengangkat tongkat ularnya, disabetkan ke arah pergelangan gadis itu. Akan tetapi Pusporini sudah
memutar pergelangan tangannya dan merubah tamparan
menjadi cengkeraman yang berhasil menangkap tongkat
ular! Cekel Wisangkoro terkejut, mengerahkan seluruh
tenaga dan menggereng sambil membetot untuk merampas
kembali tongkatnya, akan tetapi tongkat itu tidak dapat
terlepas dari cengkeraman Pusporini. Pada saat itu Joko
Pramono yang tidak mau kalah sudah memukul lagi dengan
Aji Cantuka Sekti ke arah perut lawan. Melihat, datangnya
pukulan, Cekel Wisangkoro dapat mengenal bahaya maut,
terpaksa ia melepaskan tongkatnya dan menggunakan
lengan kanan untuk menangkis pukulan itu. Akan tetapi
karena gerakannya ini agak terlambat dan tenaganya pun
tidak cukup dipersiapkan dalam menghadapi pukulan sakti
itu, ketika kedua lengan bertemu, tubuhnya terpental ke
belakang, lengan kanannya seperti lumpuh dan ia jatuh
terguling-guling. "Toloooonggg ......... tolong, Bapak guru, tolong !!"
Saking panik dan takutnya, kini Cekel Wisangkoro
berteriak-teriak minta tolong. Akan tetapi Wasi Bagaspati
yang sibuk dan bernafsu sekali merobohkan Bagus Seta itu
tidak memperdulikan teriakan muridnya ini. Belasan orang
anak buah yang tadinya tak dapat membantu karena
jalannya pertempuran amat cepat sehingga sukar bagi
mereka untuk turun tangan mencampuri dan membantu,
kini menerjang maju dengan tombak dan golok mereka
yang datang bagaikan hujan menyerang Pusporini dan Joko
Pramono. Akan tetapi terjangan itu sama dengan terjangan
sekumpulan laron terhadap api. Terdengar tombak patah
golok terbang dan pekik-pekik kesakitan ketika sepuluh
orang di antara mereka terpental kocar-kacir tercium
tendangan-tendangan kaki Pusporini dan Joko Pramono.
Akan tetapi hambatan ini menyelamatkan Cekel Wisangkoro yang telah lari entah ke mana karena ketika
Pusporini dan Joko Pramono memandang dan mencari,
bayangan cekel pengecut itu telah lenyap. Dengan marah
kedua orang muda perkasa ini lalu menoleh ke arah
pertandingan di bagian lain di mana tadi Setyaningsih dan
suaminya mengamuk. Seperti halnya Joko Pramono dan Pusporini yang segera
turun tangan menyerang orang-orang yang menjadi tokoh
penting dari fihak lawan, Pangeran Panji Sigit dan
Setyaningsih juga langsung menerjang Sariwuni ketika
mereka berdua meloncat turun dari atas panggung. Biarpun
Sariwuni tidak sehebat Cekel Wisangkoro kesaktiannya, dia
adalah kekasih Wasi Bagaspati dan tentu saja sudah banyak
menerima petunjuk Sang Wasi. Bahkan Sariwuni menerima
sebuah ilmu yang dahsyat dan mujijat, yaitu Aji
Wisakenaka yang membuat sepuluh buah kuku jarinya
merupakan sepuluh buah keris-keris kecil yang mengandung
racun ampuh! Begitu melihat turunnya Setyaningsih dan Pangeran
Panji Sigit dari atas panggung, Sariwuni lalu menyambut
mereka dengan cakaran-cakaran kukunya yang beracun.
Akan tetapi dengan mudahnya suami isteri ini mengelak
dan balas menyerang dengan pukulan-pukulan maut.
Terutama sekali Setyaningsih yang telah menerima
gemblengan ayundanya, Endang Patibroto, wanita muda
ini segera mencecar Sariwuni dengan tamparan Pethit
Nogo. Dalam kemarahan mereka terhadap Sariwuni yang
tadi menari-nari dan jelas mengandung niat kotor terhadap
Tejolaksono, suami isteri muda ini mengambil keputusan
tetap untuk membunuh wanita cabul ini.
Tujuh orang wanita murid-murid Ni Dewi Nilamanik
cepat maju dan membantu Sariwuni. Mereka adalah muridmurid Ni Dewi Nilamanik, tentu saja telah memiliki
kepandaian yang boleh diandalkan dalam pertempuran,
tidak seperti para anak buah di situ yang hanya dapat
bertempur berdasarkan ketaatan mereka terhadap perintah
pimpinan. Tujuh orang wanita yang masih berpakalan putlh
tipis sehingga tubuh mereka membayang seperti orang
bertelanjang bulat itu kini bergerak-gerak mengepung
Pangeran Panji Sigit dan Setyaningslh. Dari tubuh mereka
tercium wangi-wangian yang sengaja mereka pakai dalam
pesta tadi. Bau wangi dan ketelanjangan mereka ini
memuakkan hati Setyahingsih yang mengamuk makin
hebat. Dua orang penari itu telah roboh dengan kepala
pecah terkena sambaran aji pukulan Pethit Nogo,
sedangkan Pangeran Panji Sigit yang merasa enggan untuk
menyentuhkan tangannya kepada tubuh para pengeroyok
yang seperti telanjang itu, telah merobohkan seorang penari
dengan tendangan yang bersarang di lambung.
Sariwuni menjadi marah sekali melihat betapa dalam
waktu singkat tiga orang pembantunya telah roboh binasa.
Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menerjang
ke arah Setyaningsih dengan sebatang pedang yang ia cabut
dari punggungnya. Setyaningsih sengaja menanti datangnya
tusukan pedang. Melihat kelambatnya isterinya, Pangeran
Panji Sigit berseru, "Isteriku, awas ........ !" Akan tetapi
pedang di tangan Sariwuni sudah datang menusuk
sedangkan Pangeran Panji Sigit sendiri sedang dikeroyok
dua orang wanita yang memegang golok. Ketika pedang itu
hampir menyentuh Setyaningsih, wanita perkasa ini secara
tiba-tiba miringkan tubuh dan secepat kilat ia menangkap
pergelangan tangan Sariwuni, mengerahkan tenaga menambah tenaga serangan lawan terus mendorongkan
tubuh Sariwuni ke depan, ke arah seorang di antara dua
orang penari lain yang hendak menyerangnya dari
belakang. "Blessss ......... !" Pedang di tangan Sariwuni tanpa dapat
dicegah lagi memasuki perut seorang penari sampai tembus
ke punggungnya saking kerasnya luncuran pedang yang
ditambah oleh tenaga dorong Setyaningsih tadi. Terdengar
jerit mengerikan ketika penari itu roboh membawa pedang
Sariwuni yang melepaskan senjatanya dan berdiri
memandang dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjadi
demikian marah sehingga diterjangnya Setyaningsih dengan
nekat, menggunakan kedua cakar tangannya yang berkuku
hitam panjang beracun. Sebenarnya, kalau Sariwuni
menggunakan kedua tangan yang memiliki sepuluh buah
kuku beracun ini, dia malah lebih berbahaya daripada kalau
bersenjatakan pedang. Kini ia menyerang dengan nekat
saking marahnya, maka dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya terjangan kedua cakarnya ke arah tubuh
Setyaningsih. ' Setyaningsih maklum akan bahayanya serangan ini.
Wanita yang pendiam ini memiliki keberanian luar biasa
dan dalam detik penuh bahaya itu dia sudah dapat
menemukan akal yang jarang berani dilakukan orang lain.
Ia meloncat mundur mendekati seorang penari yang
membawa golok kemudian kakinya tergelincir dan
tubuhnya roboh! Melihat ini, Sariwuni menjadi girang dan
menubruk. Juga penari itu mengangkat goloknya membacok. "Setyaningsih ........!" Pangeran Panji Sigit yang khawatir
sekali cepat merobohkan dua orang penari yang
mengeroyoknya dengan pukulan kedua tangannya.
Menghadapi isterinya terancam bahaya, pangeran ini
tidak segan-segan lagi untuk menghantam dua tubuh
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berpakaian tipis semrawang itu sehingga mereka roboh dan
tewas seketika karena yang seorang patah tulang
tengkuknya sedangkan yang ke dua retak kepalanya terkena
pukulan Pangeran Panji Sigit. Dia lalu membalikkan tubuh
siap membantu isterinya, akan tetapi pangeran ini terbelalak
kagum menyaksikan sepak terjang isterinya.
Ternyata Setyaningsih yang memang jatuhnya adalah
buatan atau pancingan, melihat datangnya serangan
Sariwuni dan penari itu, cepat menggulingkan tubuh
mendekati penari, menangkap pergelangan tangannya,
tubuhnya sendiri meloncat bangun secara tiba-tiba dan
tubuh penari itu dipergunakan untuk menyerang Sariwuni
yang sedang menerkamnya. Sariwuni terkejut dan terpaksa
menangkis dengan cengkeraman sehingga lima buah kuku
hitam runcing mepancap di pipi penari itu yang menjerit
ngeri dan ketika tubuhnya dilepaskan, ia merintih-rintih,
mencakari mukanya yang berubah menjadi hitam,
berkelojotan menjerit-jerit sebentar kemudian selagi Sariwuni memandang korban ke dua ini dengan mata
terbelalak, kesempatan ini dipergunakan oleh Setyaningsih
untuk menubruk dan mengirim pukulan ke arah ulu
hatinya. Sariwuni berteriak marah dan menangkis dengan
tangan kanannya bahkan balas mencengkeram dengan
tangan yang menangkis itu, namun ia kalah cepat dan
Setyaningsih sudah merubah pukulan Pethit Nogo itu
dengan menangkap pergelangan tangan lawan. Pada saat
itu, Pangeran Panji Sigit sudah meloncat datang dan tangan
kiri Sariwuni yang mencakar ke arah Setyaningsih itu tibatiba ditangkap oleh Pangeran Panji Sigit. Tanpa berunding
lagi suami isteri ini dengan gerakan serentak lalu memutar
lengan yang mereka tangkap dari kanan kiri sambil
mengerahkan tenaga. "Krekkl Krekkk!" Sambungan sepasang lengan itu putus
di tiga tempat, yaitu di pundak, siku, dan pergelangan.
Tentu saja kedua lengan Sariwuni menjadi lumpuh seketika.
Dan pada saat itu, sebelum Setyaningsih dan suaminya
melepaskan lengan yang sudah lumpuh, terdengar bentakan
Endang Patibroto, "Ningsih! Pangeran! Minggir!!"
Tubuh Endang Patibroto yang baru saja meloncat turun
dari panggung bersama Tejolaksono dan Ayu Candra,
menyambar bagaikan seekor burung dan sebuah pukulan
dahsyat menghantam kepala Sariwuni sehingga remuk dan
isi kepalanya muncrat berhamburan. Untung Pangeran
Panji Sigit dan isterinya sudah meloncat mundur ketika
mendengar seruan ayunda mereka, kalau tidak tentu akan
terkena percikan darah dan otak. Semua orang anak buah
Sariwuni yang berada di situ memandang dengan muka
pucat dan hati penuh ketakutan. Memang Endang Patibroto
kalau sedang marah amatlah menakutkan sepak-terjangnya.
Dan dia amat marah kepada Sariwuni yang ia tahu hendak
mempermainkan suaminya. Rasa marah karena cemburu.
Setelah Cekel WiSangkoro melarikan diri dan Sariwuni
tewas, tujuh orang perkasa itu tentu saja bukan lawan para
anak buah di situ, apalagi karena tenaga yang agak boleh
diandalkan, yaitu tujuh orang penari yang membantu
Sariwuni juga sudah tewas. Terjadilah panik dan anak buah
itu melawan dengan nekat dan ada yang mulai lari
berserabutan saling tabrak.
Sementara itu, pertandingan antara Wasi Bagaspati dan
Bagus Seta juga berlangsung dengan seru. Mula-mula tidak
tepat disebut pertandingan kareria yang menyerang
hanyalah sefihak, yaitu Wasi Bagaspati yang masih
mempergunakan kecepatan dan tenaga dalam usahanya
menagkap tubuh Bagus Seta yang ringan seperti asap itu.
Makin penasaran karena ia telah mengerahkan seluruh
tenaga dan kecepatannya, bahkan membantu dengan
pengerahan kekuatan batin untuk menundukkan dan
mempengaruhi hati dan pikiran Bagus Seta. Namun semua
itu sia-sia belaka, pemuda itu tetap bersikap tenang sekali,
sedikit pun tidak goyah oleh tarikan tenaga mujijat dari
kekuatan batin Sang Wasi, dan tubuhnya masih selalu
berkelebat tak pernah dapat disentuh kedua tangan Wasi
Bagaspati. "Bocah keparat Bagus Seta! Apakah gurumu mengajar
engkau menjadi pengecut yang hanya panda! mengelak dan
menghindari semua pukulan lawan?" Bentak Wasi
Bagaspati yang kehabisan akal untuk dapat menangkapnya
dan kini berdiri dengan mata melotot.
Bagus Seta pun menghentikan gerakan tubuhnya, berdiri
tenang dan balas bertanya, "Apakah yang kau kehendaki
dariku, Sang Wasi?" "Kalau andika memang sakti mandraguna, hayo hadapi
aji pukulan dengan aji pukulan pula. Keluarkan
kesaktianmu, keparat!"
"Sang Wasi Bagaspati, kekasaran takkan dapat
mengatasi kehalusan, kekarasan takkan dapat menanggulangi kelunakan seperti juga kesalahan takkan
dapat memenangkan kebenaran. Suro diro jayaningrat lebur
dening pangastuti, Sang Wasi. Mengapa andika hendak
memaksakan keadaan yang sebaliknya" Andika menghendaki aku menggunakan kekerasan menghadapi
kekerasanmu" Andika yang menghendaki, bukan aku. Nah,
silahan!" Sete!ah berkata demikian, Bagus Seta membuka
kedua kakinya ke kanan kiri, tubuhnya agak merendah,
pandang matanya tajam ke depan dan kedua tangan
diangkat sedikit di kanan kiri lambung dengan jari-jari
tangan terbuka. Melihat ini, Wasi Bagaspati maklum bahwa
itulah sikap dan kuda-kuda orang yang mengandalkan
tenaga sakti untuk menghadapi lawan tangguh, maka ia
bersikap hati-hati, diam-diam mengerahkan tenaga pada
kedua lengannya dan tiba-tiba dari dalam dadanya keluar
suara menggetar yang tak terdengar telinga saking
rendahnya, namun yang wibawanya menggetarkan lawan
sehingga tanpa memukul pun getaran itu akan dapat
mengguncang jantung lawan dan menewaskannya.
Kemudian ia melompat ke depan dan memukul dengan
kedua telapak tangannya didorongkan ke arah dada Bagus
Seta. Hebat luar biasa kekuatan pukulan kedua lengan ini,
dan sekiranya yang didorong ini sebarisan orang yang
puluhan banyaknya, agaknya akan dapat didorong roboh
oleh kedasyatan tenaga sakti yang keluar dari sepasang
tapak tangan merah Sang Wasi Bagaspati. Bagus Seta sudah
waspada akan kedahsyatan lawan, nemun dengan sikap
tenang ia pun menggerakkan kedua lengannya didorongkan
ke depan menerima dua telapak tangan lawan itu.
"Dessss .......!!" Dua pasang telapak tangan yang penuh
hawa mujijat bertemu dan menimbulkan getaran hebat
sehingga panggung itu hampir roboh karena terguncang.
Tubuh Wasi Bagaspati terdorong mundur sampai lima
langkah sedangkan tubuh Bagus Seta tergoyang-goyang
seperti pohon waringin tertiup badai.
Wajah Wasi Bagaspati yang biasanya merah sekali itu kini menjadi agak pucat dan maklumlah ia bahwa pemuda remaja itu benar- benar memiliki kesaktian yang amat mengejutkan. Diam-diam ia merasa mendongkol sekali kepada Bhagawan Ekadenta yang agaknya sengaja menciptakan pemuda sakti ini untuk menentang usahanya. Pikiran ini membuat hatinya bergelora penuh penasaran dan kemarahan, membuat ia lupa diri dan
mulutnya berkemak-kemik, kemudian ia membentak,
"Bagus Seta, engkau lebih sombong daripada gurumu!
Kaukira berhasilkan mengalahkan Wasi Bagaspati, murid
terkasih Sang Hyang Bathara Shiwa" Lihatlah senjata ini
yang akan menghancurlumatkan tubuhmu, keparat!" Kakek
itu menggerakkan tangan kanannya yang tiba-tiba saja
sudah memegang senjatanya yang amat ampuh, senjata
Cakra yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata.
Melihat senjata itu, Bagus Seta mengerutkan alisnya.
"Sang Wasi Bagaspati, ingatlah akan kesucian pusaka itu.
Hendakkah andika jangan mencemarkannya dengan
mempergunakan nafsu angkara murka?"
"Senjata ini adalah milikku, perduli apa engkau akan
penggunaannya" Keparat, kalau engkau takut menghadapinya, hayo berlutut dan menyerah!" Suara ini
amat berpengaruh karena terdorong oleh kekuatan mujijat
maha dahsyat yang keluar dari cahaya senjata Cakra itu.
Maklum bahwa menghadapi senjata itu berarti
menghadapi perjuangan mati hidup seperti yang dipesan
gurunya, Bagus Seta lalu memejamkan mata sejenak,
kemudian mengangkat tangan kanannya yang sudah
memegang setangkai bunga Cempaka Putih di atas kepala.
Dengan mata menatap wajah Wasi Bagaspati dan setangkai
bunga Cempaka Putih diangkat tinggi, bunga yang segar
seakan-akan memang tumbuh di atas telapak tangan
pemuda itu dan mengeluarkan cahaya gemilang, ia berkata,
"Sang Wasi Bagaspati, kalau andika menghendaki
penentuan terakhir dalam hidup kita di dunia ini, aku sudah
siap menghadapimu!" Ketika Wasi Bagaspati melihat setangkai bunga
Cempaka Putih di tangan Bagus Seta, seketika kedua
kakinya menggigil dan jantungnya berdebar keras.
Terbayanglah peristiwa puluhan tahun yang lalu ketika ia
bertapa di bawah pohon Cempaka untuk mengisi kekuatan
mujijat pada senjata Cakra yang terletak di depan dia duduk
bersila. Dia sedang bersamadhi dengan tekun dan hening,
kekuatan mujijat memancar melalui dirinya dan meluncur
turun memasuki senjata Cakra itu. Tiba-tiba telinganya
mendengar suara perlahan dan matanya yang terpejam
seperti melihat cahaya putih berkelebat dan seketika
perhatiannya terpecah dan kekuatan mujijat itu berhenti
mengalir seperti air dibendung. Ketika ia membuka
matanya, ternyata di atas senjata Cakra itu terdapat
setangkai bunga Cempaka Putih yang agaknya rontok dari
pohon dan jatuh menimpa senjata Cakra sehingga
mengganggu keheningan samadhinya dan terhentilah
pengisian tenaga sakti ke dalam senjata itu. Hal ini
dianggapnya sebagai peringatan dari dewata bahwa
pengapesan yang merupakan pantangan bagi senjata pusaka
itu adalah setangkai bunga Cempaka Putih. Dan sekarang,
Bagus Seta memegang setangkai bunga Cempaka Putih
yang mengeluarkan sinar gemilang!
Tangan Wasi Bagaspati yang memegang senjata Cakra
menggigil ketika ia merasa betapa senjata pusakanya
menggetar dan seperti seekor kelinci ketakutan yang
berusaha untuk lari menyembunyikan dirinya. Dia bukan
seorang bodoh dan tanda-tanda seperti itu tak berani ia
menerjangnya. Cepat ia menyimpan kembali senjatanya
dan meloncat ke atas sambil membentak marah,
"Auuunggghh! Bagus Seta manusia keparat!" Kemarahannya ini adalah ketika ia melihat tewasnya
Sariwuni dan tujuh orang penari serta banyak anak . buah
di situ. "Awaslah engkau, akan tiba saatnya engkau
menyesali sikapmu memusuhi aku!"
"Aku tidak memusuhimu, Wasi Bagaspati," jawab.
Bagus Seta akan tetapi tubuh Wasi Bagaspati sudah
mencelat jauh, dalam sekejap mata saja sudah tak tampak
lagi seolah-olah ditelan bumi. Bagus Seta menghela napas
panjang, menyimpan bunga Cempaka Putih dan menengok.
Ketika ia melihat betapa ayah dan kedua bundanya, juga
dua pasang bibi dan pamannya mulai mengamuk di antara
para anak buah lawan yang lari berserabutan dengan panik,
ia lalu meloncat turun dan berkata halus,
"Kangjeng Rama, Ibu, Bibi, dan Paman! Harap menaruh
kasihan kepada mereka."
Tujuh orang sakti itu tertegun mendengar suara halus
Bagus Seta dan serentak mereka menghentikan amukan dan
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampiri Bagus Seta. Akan tetapi Endang Patibroto
membantah, "Puteraku sang sakti Bagus Seta. Mereka adalah anak
buah musuh yang mengacaukan negara, sudah sepatutnya
kalau dibunuh. Bukankah kita sedang berjuang?"
Bagus Seta tersenyum dan baru senyum ini saja sudah
mengusir sebagian besar kemarahan dan kebencian dari hati
Endang Patibroto terhadap musuhnya. "Ibunda benar,
perang membela nusa bangsa adalah perjuangan yang
menjadi kewajiban setiap orang satria. Akan tetapi, perang
menghadapi pihak yang melawan barulah namanya
perjuangan, adapun membunuhi pihak yang tidak mampu
melawan dan tidak mau melawan lagi namanya
penyembelihan yang lahir dari nafsu kebencian. Membunuh
dalam perjuangan sama sekali bebas daripada benci,
sebaliknya membunuh dengan hati membenci bukanlah
perjuangan namanya. Bedanya amat besar, Kanjeng Ibu."
Endang Patibroto melongo dan menghela napas panjang.
"Duhai puteraku, engkau membuka mata dan hatiku."
Ayu Candra sudah merangkul puteranya dan mengeluselus rambut kepala puteranya penuh kasih sayang. Tidak
ada kata-kata keluar dari mulut ibu akan tetapi getaran yang
keluar dari sentuhan jari-jari tangan, pancaran pandang
mata yang keluar dari sepasang mata yang basah itu,
merupakan pengganti kata-kata yang lebih menyentuh
perasaan dan mengharukan hati Bagus Seta yang betapapun
juga adalah seorang manusia biasa.
"Kanjeng Ibu ......... " Hanya demikian ia dapat berbisik
sambil menciumi ujung jari Ibunya.
Dengan sudah payah Ayu Candra dapat juga berbisik,
"Puteraku ......... Bagus Seta, tahukah engkau betapa berat
penderitaanku selama kautinggalkan dan betapa bahagia
hati ini setelah kau kembali?"
Bagus Seta tersenyum dan menahan hatinya jangan
sampai meruntuhkan air mata. "Tentu saja, Kanjeng Ibu.
Puteranda maklum ?"."
Terdengar isak tertahan dan ternyata Endang Patibroto,
Pusporini, dan Setyaningsih sudah menangis, tidak tahan
menyaksikan pertemuan antara ibu dan anak yang tidak
dihias banyak kata-kata namun yang menyentuh perasaan
menggugah keharuan itu. Terutama sekali Endang
Patibroto yang teringat akan puterinya, Retno Wilis,
hatinya nelangsa. Tejolaksono waspada akan semua ini dan untuk
membuyarkan suasana keharuan yang mencekam dan
menular itu cepat berkata,
"Bagus Seta, bagaimana kesudahan pertandinganmu
melawan Wasi Bagaspati" Ke manakah dia?"
Disebutnya nama ini benar saja membuat semua orang
sadar dan perhatian mereka tertarik. Bahkan Ayu Candra
sudah melepaskan rangkulannya untuk dapat lebih jelas
memandang wajah puteranya dan mendengarkan jawabannya. "Dia telah pergi ......... " jawab Bagus Seta.
Mereka lalu meninggalkan tempat itu untuk memberi
kesempatan kepada sisa anak buah Sariwuni untuk
mengubur para korban yang tewas dalam pertempuran itu.
Dalam pertemuan yang menggembirakan itu ramailah
mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing,
terutama sekali Bagus Seta dan Pusporini yang telah lama
meninggalkan keluarga mereka. Mereka bercakap-cakap di
luar sebuah hutan di kaki gunung itu sambil menanti
datangnya pagi karena malam telah mulai gelap setelah
bulan purnama menyelam di barat. telah cukup mereka
melepas rindu dan menceritakan pengalaman masingmasing, Tejolaksono lalu berkata,
"Mendengar penuturan kalian dan mengingat akan
perkembangan di Jenggala pada saat ini yang amat buruk,
tidak perlu lagi kita pergi ke Jenggala karena kita tentu akan
menempuh tentangan dari pengaruh-pengaruh jahat yang
kini mencengkeram Jenggala. Sebaliknya kita kembali ke
Panjalu dan melaporkan segala keadaan Jenggala itu
kepada sang prabu. Bagaimana pendapatmu, Bagus Seta?"
Tejolaksono yang maklum sepenuhnya bahwa kini tibalah
saatnya apa yang dahulu diramalkan Ki Tunggaljiwa,
sengaja menanyakan pendapat Bagus Seta karena puteraya
inilah yang akan dapat diandalkan untuk menghadapi
orang-orang sakti seperti Wasi Bagaspati yang berdiri di
fihak pengacau. "Pendapat Kanjeng Rama tepat sekali. Memang urusan
yang terjadi di Jenggala sudah menjadi urusan besar yang
menyangkut kerajaan dan kiranya hanyalah sang prabu di
Panjalu saja yang berhak memutuskan apa yang harus
dilakukan terhadap kekuasaan yang secara halus mencengkeram Jenggala."
Demikianlah, setelah sinar matahari pagi mulai
menggantikan malam mengusir embun, delapan orang
anggauta keluarga sakti mandraguna itu melakukan
perjalanan menuju ke Kota Raja Panjalu. Rombongan
keluarga yang amat hebat dan baru sekaranglah keluarga itu
hampir lengkap, hanya sayang masih berkurang seorang,
yaitu puteri Tejolaksono dari Endang Patibroto, Retna
Wilis! Adapun Joko Pramono sungguhpun belum menjadi
suami Pusporini, namun sudah dianggap sebagai keluarga
karena selain dia adalah kekasih dan tunangan Pusporini,
juga kakak seperguruannya. Apalagi ketika pemuda ini
malam tadi menceritakan riwayatnya, memperkenalkan diri
sebagai keponakan Ki Adibroto yang menjadi ayah Ayu
Candra, maka pemuda ini sesungguhnya masih adik
keponakan Ayu Candra sendiri, jadi masih keluarga pula.
-oo(mch-dwkz)oo- Sang prabu di Panjalu menjadi terkejut sekali ketika
mendengar pelaporan Tejolaksono tentang keadaan di
Jenggala, mendengar betapa parah keadaan kerajaan
adiknya itu. Lebih terkejut dan marah lagi ketika
mendengar akan kenyataan bahwa mereka yang berkuasa di
Jenggala sekarang adalah sekutu-sekutu dari utusan
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola, terutama sekali
Kerajaan Cola. Sang prabu yang arif bijaksana maklum
akan gawatnya persoalan, maklum bahwa hal ini selain
menyangkut jatuh-bangunnya Kerajaan Jenggala, juga
menyangkut keamanan Kerajaan Panjalu sendiri. Juga sang
prabu menyatakan kegirangannya akan berkumpulnya
keluarga Ki Patih Tejolaksono, lebih-lebih melihat Bagus
Seta sang prabu menjadi kagum dan seketika kepercayaannya tercurah kepada pemuda remaja ini.
"Kita harus turun tangan menyelamatkan Jenggala!" ujar
sang prabu. "Akan tetapi karena kekuasaan jahat itu
menggunakan jalan halus, amatlah tidak baik kalau kita
menggunakan jalan kekasaran.
Sebaiknya aku akan menulis sepucuk surat pribadi untuk
yayi prabu di Jenggala, mengangkat Bagus Seta menjadi
utusan pembawa surat. Karena surat ini bersifat pribadi,
kita mendapat alasan untuk menyampaikan surat itu ke
tangan yayi prabu sendiri. Syukur kalau para pengacau itu
memperbolehkan Bagus Seta menghadap yayi prabu
sehingga selain menyerahkan surat, dapat pula membebaskan yayi prabu daripada hawa jahat yang
mempengaruhinya agar sadar. Andaikata fihak pengacau
menggunakan kekerasan mencegah, maka kita mendapat
alasan pula untuk turun tangan menggunakan kekerasan.
Untuk keperluan Patih Tejolaksono dan keluarganya yang
sakti mandraguna kuperintahkan untuk mengawal Bagus
seta, dan kepada Pangeran Darmokusumo dan Kakang
Patih Suroyudo, kuperintahkan untuk mempersiapkan
barisan pilihan untuk membayangi dari belakang sehingga
apabila terjadi kekerasan, barisan kita akan dapat cepat
menyerbu ke Jenggala. Kuperintahkan andika sekalian
berusaha untuk membersihkan Jenggala dari semua oknum
jahat, menagkapi atau membasmi para pengacau dan
mengangkat kekuasaan yayi prabu di Jenggala. Puteraku
Pangeran Panji Sigit, menjadi kewajiban utama bagimu
untuk menyelamatkan kangjeng ramamu dari tangan
Suminten yang jahat karena untuk mengingatkan penyelewengan seorang ayah menjadi kewajiban seorang
anak." Setelah persidangan di hadapan sang prabu di Panjalu
bubar, para satria perkasa segera mempersiapkan tugas
masing-masing sambil menanti surat sang prabu dan
kelanjutan perintah untuk menentukan hari keberangkatan.
Akan tetapi sebelum perintah penentuan ini tiba,
datanglah penyelidik yang melaporkan hal yang amat
mengejutkan hati sang prabu di Panjalu, yaitu bahwa sang
prabu di Jenggala berada dalam keadaan sakit dan sebulan
lagi di Jenggala akan diadakan upacara pengangkatan
Pangeran Kukutan sebagai Raja Jenggala oleh sang prabu
yang sedang sakit! "Hemm, ini tentu siasat mereka. Sekali pengangkatan itu
sudah dilakukan secara resmi, kita tidak akan dapat berbuat
apa-apa lagi kecuali menyatakan perang. Namun sungguh
akan menyedihkan hati! sekali kalau menyatakan perang
dengan kerajaan saudara sendiri! Kalau begitu, hari ini juga
kalian harus berangkat dan suratnya kuubah berisi
permintaan agar yayi prabu menunda pengangkatan raja
baru sebelum bertemu dengan aku!"
Pesan sang prabu di Panjalu ini segera dilaksanakan oleh
Bagus Seta yang menerima surat untuk raja di Jenggala,
kemudian berangkatlah pemuda remaja yang sakti
mandraguna ini bersama seluruh keluarganya, yaitu
Tejolaksono, Ayu Candra, Endang Patibroto, Pangeran
Panji Sigit, Setyaningsih, Joko Pramono, dan Pusporini.
Rombongan keluarga sakti itu sepenuhnya berangkat untuk
berjuang membebaskan Jenggala daripada cengkeraman
kekuasaan jahat yang dikemudikan oleh Sang Wasi
Bagaspati sendiri. Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih
Suroyudo mengatur sebuah barisan yang pilihan dan cukup
besar, sejumlah sepuluh ribu orang mengiringkan rombongan keluarga sakti ini dari jauh. Ancaman perang
agaknya takkan dapat dielakkan lagi!
Barisan Panjalu yang menuju ke Jenggala itu telah
didahului oleh berita yang dibawa orang dari mulut ke
mulut dan cukup menggegerkan. Rakyat Jenggala yang
sudah muak menyaksikan peristiwa-peristiwa pembunuhan
dan kekacauan, kenaikan pajak dan penindasan-penindasan
terhadap para penyembah Bathara Wishnu yang setia,
diam-diam menjadi gembira dan penuh harapan, bahkan di
antara para orang mudanya banyak sudah bersiap-siap
untuk membantu fihak Panjalu apabila pecah perang.
Terutama sekali para panglima dan perajurit Jenggala yang
terpaksa menghambakan diri kepada kekuasaan baru di
Jenggala dengan pengorbanan perasaan, diam-diam juga
bersiap untuk memberontak dan membantu barisan Panjalu
apabila saat dan kesempatannya tiba.
Rombongan keluarga sakti yang berangkat lebih dahulu
dengan kuda-kuda pilihan, terpaksa berhenti di perbatasan
kota raja karena ditahan oleh rombongan penjaga yang
ratusan orang perajurit banyaknya. Tejolaksono sebagai
kepala rombongan segera maju menghampiri komandan
pasukan, seorang perwira yang sudah setengah tua dan
yang menyambut mereka dengan muka agak pucat karena
perwira ini dengan kaget mengenal orang-orang sakti ini,
terutama sekali ia gentar melihat bahwa Endang Patibroto
berada di antara rombongan ini.
"Hai, perwira Jenggala. Mengapa andika menahan
rombongan kami yang hendak lewat?"
Perwira itu memaksa diri membusungkan dada dan
bersikap gagah karena akan amat memalukan kalau di
hadapan seratus lebih anak buahnya ia memperlihatkan
sikap lunak dan takut, maka jawabnya, "Kami menjunjung
perintah gusti patih untuk menjaga di sini dan tidak
memperbolehkan orang luar memasuki tapal batas kota raja
sebelum lewat hari penobatan gusti pangeran pati menjadi
raja." Seorang perwira rendahan yang masih muda, yang
merupakan ponggawa baru dan termasuk kaki tangan Patih
Warutama, melangkah maju menyeret tombaknya yang
panjang dan berat. Perwira muda ini bertubuh tinggi besar,
kelihatan kuat dan bersikap kasar ketika bertanya.
"Kalian ini rombongan dari mana" Apakah kalian
kawula (rakyat) Jenggala?"
Pusporini tak dapat menahan kemarahannya lagi melihat
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagak perwira muda ini. Ia meloncat maju mendekati
perwira muda itu dan menudingkan telunjuknya ke hidung
orang itu sambil membentak, "Apakah matamu buta"
Tidakkah engkau melihat bahwa beliau ini adalah Gustimu
Pangeran Panji Sigit, pangeran dari Jenggala?"
Perwira muda itu menodongkan tombaknya ke dada
Pusporini dan menjawab kasar,
"Aku mengenal dia sebagai seorang pemberontak dan
pelarian. Juga engkau adalah seorang pelarian yang harus
kami tangkap!" Pusporini mengeluarkan seruan marah dan kaki
tangannya bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu
ia telah merampas tombak itu, dua kali mengayun tombak
terdengar suara "krek, krekl" dan robohlah perwira muda
itu dengan tulang kaki patah-patah. Kemudian Pusporini
mematah-matahkan tombak seperti orang mematahkan
biting raja sambil membentak, "Siapa lagi yang ingin
dipatahkan kakinya?"
Semua perajurit Jenggala menjadi pucat wajahnya, akan
tetapi mereka pun mulai bergerak hendak mengeroyok.
"Rini, jangan menggunakan kekerasan. Mundurlah!"
Tejolaksono membentak adik iparnya. Pusporini mundur
sambil cemberut. Endang Patibroto di dalam hati menyetujui perbuatan
Pusporini itu. Memang ada persamaan antara wataknya
dan watak Pusporini atau lebih tepat lagi, wataknya sendiri
lebih keras daripada watak Pusporini. Ia melangkah maju
dan berkata kepada perwira komandan pasukan itu,
"Heh perwira lancang! Kalau kalian tidak mengakui
Gustimu Pangeran Panji Sigit, apakah engkau begitu buta
tidak mengenal suamiku Tejolaksono, Gusti Patih Panjalu"
Apakah kalian ini seratus orang lebih sudah bosan hidup
dan minta kubunuh semua" Apakah engkau tidak mengenal
siapa aku?" Gentarlah hati perwira itu. Memang ia tadi sudah amat
takut melihat Endang Patibroto yang pernah menggegerkan
Jenggala, apalagi kini menyaksikan gadis muda Pusporini
dan mendengar ancaman Endang Patibroto.
"Saya ......... eh, hamba mengenal Gusti Patih
Tejolaksono dan mengenal pula paduka Gusti Puteri
Endang Patibroto, akan tetapi ......... hamba hanyalah
seorang petugas yang menjunjung perintah atasan .........
yang tentu akan menerima hukuman apabila hamba
melanggar perintah atasan ......... harap paduka memaklumi
keadaan hamba dan para perajurit."
Tejolaksono melangkah maju dan berkata, "Perwira
Jenggala, kami maklumi keadaan andika dan pembantumu
itu menerima hukuman atas sikapnya yang kasar.
Ketahuilah, kami pun tidak ingin menggunakan kekerasan
asal saja andika tidak menentang. Kami bukanlah
pelanggar-pelanggar yang hendak mengacau, melainkan
utusan-utusan pribadi dart gusti sinuwun di Panjalu, kami
membawa surat gusti sinuwun untuk dipersembahkan
kepada gusti sinuwun di Jenggala. Karena kedudukan kami
adalah rombongan utusan, maka tidak ada lagi sebutan
pelarian dan setiap rombongan utusan, apalagi utusan dari
kerajaan yang masih berkeluarga dengan Jenggala, andika
tidak boleh mengganggu kami dan bahkan harus
mengantarkan kami sampai ke kota raja."
Ucapan Tejolaksono yang mempunyai dasar kuat itu tak
dapat dibantah lagi oleh perwira itu, maka ia lalu
mengeluarkan perintah agar pasukannya memberi jalan,
bahkan kemudian dia sendiri bersama dua losin perajurit
mengiringkan rombongan ini menuju ke kota raja.
Karena pengawalan pasukan ini maka rombongan
keluarga sakti dapat sampai di luar pintu gerbang dinding
Kota Raja Jenggala. Akan tetapi di pintu gerbang ini,
mereka disambut oleh pasukan pengawal bersenjata lengkap
terdiri dari lima puluh orang lebih dan melihat sikap mereka
jelas dapat diduga bahwa mereka ini dari pengawalpengawal pilihan yang muda-muda dan kuat-kuat yang
dipimpin oleh Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik!
"Heh, perwira tolol! Apa yang kaulakukan ini" Mengapa
kau mengawal rombongan musuh ini sampai ke sini?"
bentak Ni Dewi Nilamanik dengan suara marah sambil
memandang dengan mata terbelalak kepada perwira tadi.
Perwira ini dengan tubuh menggigil lalu melangkah maju
dan berkata dengan suara gemetar,
"Hamba ...... hamba terpaksa mengantar mereka karena
mereka ini adalah utusan pribadi gusti sinuwun di Panjalu
yang dipimpin oleh gusti patih muda dari Panjalu ......... !"
"Keparat bodoh!" Ki Kolohangkoro membentak, tangannya menyambar dan pecahlah kepada perwira itu
yang tewas seketika. Rombongan keluarga sakti marah sekali, akan tetapi
karena hal yang terjadi adalah urusan dalam dan tidak
menyangkut diri mereka, terpaksa mereka menahan sabar
dan tidak mau mencampuri.
"Tejolaksono, andika muncul di sini bersama para
pelarian yang telah memberontak terhadap Kerajaan
Jenggala dan menjadi buronan kami, apakah kehendakmu?"
Ni Dewi Nilamanik bertanya dengan sikap angkuh.
Tejolaksono tersenyum menjawab, "Ni Dewi Nilamanik
dan Ki Kolohangkoro! Hadirku di sini bukanlah hal
mengherankan karena aku adalah Patih Muda Panjalu dan
kini memimpin rombongan utusan pribadi gusti sinuwum di
Panjalu. Akan tetapi melihat andika berdua memimpin
pasukan pengawal di Jenggala benar-benar patut diherankanl Pada pertemuan antara kita yang terakhir
sepuluh tahun yang lalu, kalian adalah kaki tangan
Kerajaan Cola yang mengacau daerah Panjalu dan
Jenggala. Bagaimana sekarang kalian dapat menjadi
pimpinan pengawal di keraton Jenggala?"
Ni Dewi Nilamanik tertawa. "Hi-hik, apakah anehnya
hal itu" Pangeran Panji Sigit adalah Pangeran Jenggala
yang berdosa, kini tahu-tahu muncul sebagai anggauta
rombongan utusan Kerajaan Panjalu. Memang keadaan
setiap orang selalu berubah. Sekarang, sebagai kepala
pengawal penjaga, aku berhak untuk melarangmu
memasuki kota raja sebelum engkau menjelaskan apa
kehendakmu." Hati Tejolaksono mendongkol sekali, akan ia menahan
perasaannya. Ia maklum bahwa kalau sikap Ni Dewi
Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seberani. ini, tentu
mereka ini mempunyai andalan. Ni Dewi Nilamanik
bukanlah seorang bodoh dan tentu saja cukup maklum
bahwa menghadapi rombongan keluarganya, apalagi
dengan hadirnya Bagus Seta yang selalu bersikap tenang
dan pendiam itu, Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro
takkan dapat mengatasinya. Pula, melihat kenyataan bahwa
memang kedua orang itu kini menjadi kepala pengawal,
terpaksa ia menjawab sebagaimana mestinya,
"Seperti telah dikatakan perwira yang dibunuh itu, kami
adalah rombongan utusan gusti sinuwun Panjalu."
"Diutus apa?" Ni Dew! Nilamanik memotong.
"Kami diutus menghadap gusti sinuwun Jenggala
.........!" "Ada keperluan apa?"
Api kemarahan terpancar dari sepasang mata Tejolaksono, akan tetapi ia menekan perasaannya dan
berkata sambil tersenyum menghina, "Wahai, pengawal
apakah andika ini begini kurang ajar" Sedikitpun tidak
menghormati junjunganmu sendiri! Atau kelirukah aku
mengatakan bahwa gusti sinuwun di Jenggala adalah
junjunganmu?" "Tejolaksono, tidak perlu banyak rewel. Pendeknya,
kalau ingin diperkenankan masuk kota raja, harus member!
tahu dengan jelas apa keperluanmu hendak menghadap
gusti sinuwun. Aku adalah kepala penjaga di sini dan
berhak menjaga keamanan dan setiap orang yang lewat,
tahu?" "Kami diutus mempersembahkan sepucuk surat 'pribadi
dari gusti sinuwun Panjalu untuk gusti sinuwun Jenggala."
"Serahkan saja surat itu kepada kami!" kata Ni Dewi
Nilamanik. "Hemm, ucapan apakah ini" Surat junjungan yang
dipercayakan kepada kami sama harganya dengan nyawa
kami, hanya gusti sinuwun Jenggala yang berhak menerima
tangan tangan kami!" jawab Tejolaksono.
"Tidak mungkin menghadap gusti sinuwun. Beliau
sedang sakit, tidak dapat menerima siapapun juga!"
"Kami telah mendengar akan berita itu. Justeru karena
beliau sakit maka gusti sinuwum Panjalu mengutus kami
untuk menjenguk dan mempersembahkan surat."
Ni Dewi Nilamanik tersenyum mengejek. "Andika
semenjak dahulu keras kepala, Tejolaksono. Baiklah, kalian
diperkenankan menghadap, akan tetapi harus kami kawal
agar kalian jangan sampai mendatangkan kekacauan di
sini!" "Sesukamulah. Yang penting bagi kami melaksanakan
tugas yang diperintahkan oleh gusti sinuwun kepada kami
sebagai utusan." Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan seruan memerintah
dan pasukan pengawal membuka jalan dan pintu gerbang
pun dibuka lebar-lebar. Tejolaksono dapat merasakan
sesuatu yang mengancam, akan tetapi ketika ia melirik
puteranya, ia melihat wajah Bagus Seta tetap tenang saja,
maka ia pun lalu mengangguk dan melangkah masuk
diikuti oleh semua rombongannya dengan sikap penuh
kewaspadaan. Baru kurang lebih dua ratus langkah mereka berjalan,
tiba-tiba dari luar pintu gerbang masuk barisan yang besar
jumlahnya dan pintu gerbang ditutup, kemudian terdengar
suara ketawa disusul suara nyaring,
"Huah-ha-ha-ha, pintu gerbang maut. Ada jalan masuk
tidak ada jalan keluar! Tejolaksono, serahkan surat rajamu
itu kepada kami dan menyerahlah, dengan demikian ada
kemungkinan kalian terbebas dari kematian!"
Keluarga sakti itu berdiri tegak dalam keadaan siap
waspada dan mereka melihat munculnya Wasi Bagaspati
dan Warutama yang memimpin barisan pengawal yang
segera bergabung dengan barisan yang baru masuk dari luar
pintu gerbang sehingga tempat itu kini terkurung oleh
barisan yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang!
"Wasi Bagaspati! Kami adalah utusan-utusan raja!
Biarpun andika datang dari Kerajaan Cola, akan tetapi
kurasa di sana pun terdapat peraturan bahwa utusan tidak
boleh diganggu!" "Utusan atau bukan, engkau harus tunduk akan peraturan di sini. Sang prabu
sedang sakit, tak boleh diganggu maka surat itu harus diberikan kepada kami.
Kalau menolak, berarti engkau akan mengacaukan menjelang penobatan raja baru di sini!" Endang Patibroto yang melihat munculnya Warutama, tiba-tiba menjadi
merah sekali wajahnya dan
sepasang matanya menyinarkan api yang seolah-olah hendak membakar patih
itu. "Sindupati manusia keparat, jahanam berwatak iblis dan
keji! Tibalah saatnya engkau mampus di tangan Endang
Patibroto!" Sambil memaki Endang Patibroto sudah
melompat seperti terbang saja, tubuhnya melayang dan
menyambar ke arah Warutama dengan pukulan sakti
Wisangnala selagi tubuhnya masih di udara.
Warutama tidak menjadi terkejut karena memang dia
sudah bersiap-siap menghadapi pertemuan dengan musuh
besarnya ini yang tentu saja takkan berani ia lakukan kalau
saja ia tidak mengandalkan kesaktian Wasi Bagaspati, Ni
Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro dan ribuan orang
pengawal. Kini melihat wanita sakti yang ditakutinya itu
menerjang maju dengan dahsyat, ia cepat menggulingkan
tubuh ke atas tanah dan menggelinding pergi, lalu meloncat
dan menyelinap lenyap ke dalam barisan pengawal.
"Tejolaksono, kalian hendak memberontak" Pengawal,
tangkap mereka!" bentak Wasi Bagaspati sambil tertawatawa saking girangnya karena ia merasa yakin bahwa kalau
keluarga sakti ini dapat dibasmi, tentu penghalang yang
amat besar bagi cita-citanya akan lenyap. Yang paling kuat
di antara rombongan itu adalah pemuda remaja aneh putera
Tejolaksono, akan tetapi di situ ada dia yang akan dapat
melawannya, dan dibantu oleh ribuan pengawal, tak
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin fihaknya akan kalah.
Tejolaksono dan keluarganya diserbu oleh orang-orang
tinggi besar, yaitu murid-murid Sang Wasi Bagaspati, juga
Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik sudah menerjang
maju. Tejolaksono dan keluarganya cepat bergerak
membela diri, sedangkan Endang Patibroto segera melepas
panah api yang sudah dipersiapkan sebelumnya untuk
memberi tanda kepada barisan Panjalu yang menanti-nanti
di luar kota raja untuk melihat munculnya tanda ini.
Wasi Bagaspati yang ingin cepat-cepat membasmi
keluarga sakti yang merupakan penghalang besar bagi
pelaksanaan tugasnya, bahkan merupakan ancaman bagi
kemajuan yang telah dicapai, mengeluarkan pekik
menyeramkan, kedua lengannya diangkat ke atas agak
melengkung dan tiba-tiba dari sepuluh jari tangannya
meluncur sinar merah seperti kilat membubung ke atas
kemudian menukik turun menyerang kepala Tejolaksono
sekeluarga yang delapan orang jumlahnya itu. Karena
Tejolaksono sekeluarga sedang dikeroyok banyak lawan,
tentu saja serangan yang datangnya dari atas ini sukar
untuk mereka hindarkan, akan tetapi pada saat itu, Bagus
Seta yang masih belum turun tangan berseru,
"Wasi Bagaspati, tidak malukah andika bermain
curang?" Pemuda remaja itu mengangkat tangan kanannya
ke atas dan dari telapak tangannya itu menyambar sinar
putih yang melengkung panjang dan membentuk lingkaran
besar sekali melindungi di atas kepala Tejolaksono
sekeluarga. Ketika sinar-sinar merah itu menukik turun dan
bertemu dengan lingkaran putih, sinar-sinar merah itu
terpental jauh kemudian lenyap disusul pekik Wasi
Bagaspati yang menjadi marah sekali.
"Heh si keparat Bagus Seta! Sekali ini aku akan
membasmi dan membunuh seluruh keluargamu, kemudian
menghancurkan Panjalu!"
Bagus Seta tetap tenang ketika menjawab, "Wasi
Bagaspati, andika siapakah berani bicara tentang membunuh" Seolah-olah andika berkuasa akan mati
hidupnya manusia?" "Kematian kalian telah berada di telapak tanganku, dan
engkau masih berani bicara sombong" Huah-ha-ha-ha!
Dikepung ribuan orang perajurit, masih ada lagi laksaan
perajurit sebagai cadangan, kalian hendak terbang ke mana"
Andaikan bersayap sekalipun, kalian takkan dapat lobos
dari kematian!" "Wasi Bagaspati, mati hidup berada di tangan Sang
Hyang Widhi, bagaimana andika berani mengeluarkan
ucapan seperti itu" Apabila Hyang Widhi tidak menghendaki seseorang mati, biar dia dikeroyok anak
panah sejuta pun tidak akan mengenainya. Sebaliknya
apabila kematian orang itu sudah dikehendaki Hyang
Widhi, tidak ada kekuasaan di dunia ini dapat
mencegahnya! Karena itu, kami menyandarkan dan
menyerahkan diri ke dalam tangan Hyang Widhi dan jika
kematian kami belum dikehendaki-Nya, segala usahamu
untuk membunuh kami takkan berhasil, Wasi Bagaspati!"
"Babo-babo, si keparat! Sang Hyang- Shiwa berhak
mencabut dan membinasakan setiap orang! Lihatlah ini!"
Wasi Bagaspati kembali mengangkat tangannya, kini hanya
tangan kirinya yang mengeluarkan asap menghitam yang
melayang ke arah kepala keluarga sakti itu. Asap tebal
hitam dan seperti hidup gerakannya, bahkan mengeluarkan
suara mendesis seperti ular mengamuk.
"Kanjeng Rama sekalian, harap menahan napas
sejenak!" Bagus Seta berkata dengan suara lirih akan tetapi
hebatnya, suara ini seolah-olah merupakan bisikan di dekat
telinga tujuh orang ayah bunda dan paman bibinya yang
sedang dikeroyok banyak musuh. Untung mereka
diberitahu oleh bisikan Bagus Seta karena asap hitam yang
hanya menyerang mereka itu sebelum datang menyambar,
dari jauh sudah lebih dulu menyerang dengan baunya yang
mengandung hawa beracun. Bagus Seta mengangkat pula tangan kirinya dan
keluarlah asap putih yang bergerak cepat naik menyusul
asap hitam. Terjadi pergumulan antara dua asap hitam
putih di udara, akan tetapi jelas tampak betapa asap hitam
itu digulung dan dihimpit dan akhirnya asap hitam seperti
seekor anjing kalah bergumul, melayang kembali ke telapak
tangan Wasi Bagaspati. "Auuunggghhh ..... !" Wasi Bagaspati memekik-mekik
dan mukanya menjadi merah sekali dan mencorong seolaholah telah menjadi bara api, kedua matanya berkilat-kilat,
giginya berkerot-kerot, menyeramkan sekali. Menurutkan
kemarahannya ingin ia mengeluarkan senjata Cakranya
yang sebetulnya tidak boleh dikeluarkan secara sembarangan saja, akan tetapi ia teringat akan bunga
Cempaka Putih yang dimiliki pemuda itu, maka ia
menahan kemarahannya ini dan cepat menubruk maju dan
menyerang Bagus Seta mempergunakan kedua tangannya.
Kini ia hendak membunuh pemuda ini menggunakan
tenaga kasar, karena dalam hal pertandingan menggunakan
batin ia tidak berhasil. Bagus Seta cepat menggerakkan tubuhnya menyambut
dan mulailah kedua orang yang memiliki kesaktian tidak
lumrah manusia ini bertanding dengan seru, tubuh mereka
berkelebatan dan lenyap dari pandangan mata orang biasa,
yang tampak hanyalah dua gulungan sinar merah dan putih
dari pakaian mereka. Sementara itu, anggauta keluarga lain sedang mengalami
pengeroyokan yang amat berat. Joko Pramono dan
Pusporini yang ingin menebus kekalahan mereka dari Ki
Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik lima enam tahun
yang lalu, sudah menerjang dua orang musuh ini dan
mereka telah terlibat dalam pertandingan yang amat seru.
Joko Pramono menghadapi Ki Kolohangkoro dan
Pusporini yang sudah marah sekali itu berhadapan dengan
Ni Dewi Nilamanik. Untung bagi kedua orang muda ini
yang menghadapi lawan berat karena gerakan mereka
dalam pertandingan ini amat cepat sehingga fihak pengawal
tidak ada yang berani ikut mengeroyok. Mereka tidak
mampu mengikuti kecepatan empat orang yang bertanding
ini sehingga kalau mengeroyok, besar bahayanya akan
mengganggu pergerakan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi
Nilamanik sendiri. Dan karena kini tingkat kepandaian dua
orang murid Resi Mahesapati itu amat tinggi, maka mereka
berdua dapat mendesak lawan yang makin lama merasa
betapa kuat dan beratnya dua orang lawan muda itu.
Keadaan anggauta keluarga sakti lainnya lebih payah
lagi. Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah lebih
banyak pengalamannya dalam perang dan pertandinganpertandingan keroyokan, mengamuk dengan hebat dan
sepak terjang suami isteri ini amat menggiriskan. Pasukan
pengawal yang kena diterjang mereka seperti mentimunmentimum bertemu durian, mawut dan kocar-kacir, banyak
yang tewas. Makin banyak datangnya pengeroyokan, makin
gembira dan bersemangat dua orang perkasa ihi mengamuk.
Ayu Candra juga mengamuk, akan tetapi seperti halnya
Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit, kepalanya menjadi
pening melihat banyaknya pengeroyokan yang makin
banyak itu. Ia menjadi jijik dan ngeri seperti orang
dikeroyok ribuan semut dan kalau pengeroyokan itu
dilanjutkan terus, agaknya tiga orang inilah yang takkan
kuat bertahan. Siapa yang tidak menjadi jijik dan ngeri
kalau melihat para pengawal itu seperti kemasukan setan,
roboh satu maju dua, roboh dua maju empat dan selalu
berlipat ganda sehingga mayat telah bertumpuk malang
melintang" Karena ngeri dan gentar, sebuah mata tombak berhasil
melukai ujung pundak Ayu Candra. Biarpun hanya kulit
dan sedikit daging saja yang terluka, namun Ayu Candra
terhuyung-huyung bukan karena luka itu melainkan karena
pening kepalanya menyaksikan para pengeroyok yang amat
besar jumlahnya, seperti ombak samudera hendak menelan
dirinya. Dalam keadaan terhuyung ini, lima tombak
meluncur ke arah tubuhnya, sedangkan dalam detik itu Ayu
Candra memejamkan mata untuk mengusir kepeningan
kepalanya. "Dinda ......... awas ........." Tejolaksono berseru dan
suara suaminya ini menyadarkan Ayu Candra. Ketika
memejamkan matanya tadi, ia merasa betapa nikmatnya
kehilangan semua pengeroyok yang tak tampak lagi, betapa
nikmatnya menjauhkan diri dari pengeroyokan yang
menjijikkan itu sehingga ia terlena dan lengah. Cepat ia
membuka matanya dan kaget melihat lima ujung tombak
sudah meluncur dekat. Ia segera melempar diri ke belakang
dan bergulingan. Tejolaksono sudah memaksa diri
meninggalkan para pengeroyoknya dengan sebuah loncatan
tinggi, kemudian tubuhnya menukik ke bawah dan
menggunakan kakinya menerjang lima orang yang
menyerang Ayu Candra itu. Lima orang itu menjerit dan
tubuh mereka terpelanting ke kanan kiri seperti disambar
halilintar. Dua orang di antara mereka pecah kepalanya dan
yang tiga orang patah tulang lengannya.
"Kenapa, isteriku ......... ?" Tejolaksono memeluk Ayu
Candra. Ayu Candra tersenyum. "Tidak apa-apa, Kakangmas,
hanya ......... tadi agak pening melihat banyaknya setansetan ini!" Mereka tak sempat banyak bicara karena kembali mereka
telah dikurung dan dikeroyok. Kini Tejolaksono bertanding
dekat isterinya yang tidaklah begitu sakti seperti Endang
Patibroto sehingga ia akan dapat melindunginya. Endang
Patibroto memang amat menggiriskan sepak-terjangnya. Ke
manapun ia berkelebat, di sana tentu tampak para pengawal
bergelimpangan dan Cara Endang Patribroto mengamuk
juga membikin kacau barisan lawan. Wanita sakti ini tidak
hanya mengamuk di suatu tempat tertentu, melainkan
berpindah-pindah, meloncat ke sana ke mari seperti tingkah
seekor burung elang menyambari sekumpulan anak ayam.
Hal ini ada sebabnya. Endang Patibroto amat membenci
Sindupati yang kini telah menjadi Patih Warutama. jahat
yang pernah memperkosanya di puncak Wilis itu harus
dibunuhnya karena kalau dia tidak dapat membalas
dendam ini, selamanya ia akan hidup menderita penasaran
dan sakit hati. Tadi ia tidak berhasil menyerang Warutama
yang menyelinap di antara para pengawal, maka kini
Endang Patibroto menerjang ke sana ke mari untuk mencari
musuh besarnya itu. Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih bertempur bahumembahu dan tidak pernah berpisah jauh. Suami isteri ini
maklum bahwa mereka berada dalam bahaya dan
sungguhpun mereka sama sekali tidak merasa gentar karena
penuh kepercayaan akan kemampuan keluarga mereka,
akan tetapi mereka ingin selalu berdekatan sehingga apa
pun yang akan terjadi, mereka takkan berpisah lagi dan
dapat saling bantu dan saling melindungi. Baiknya di antara
para pengawal dan perajurit, masih banyak terdapat orangorang lama yang merasa segan dan suka kepada Pangeran
Panji Sigit sehingga mereka mengeroyok secara terpaksa
dan setengah hati. Betapapun juga, karena jumlah
pengeroyok bukan main banyaknya, pangeran dan isterinya
ini pun terdesak hebat. Pertandingan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro berlangsung dengan hebat dan seru sekali.
Mereka ini sama kuat dan sama digdaya, dan sungguhpun
sepak-terjang Ki Kolohangkoro seperti seorang raksasa
mabuk, kasar dan liar menggiriskan, namun Joko Pramono
tetap tenang dan menyambut kekerasan dengan kekerasan
pula. Perlahan akan tetapi tentu, Joko Pramono mulai
dapat menindih dan mendesak Ki Kolohangkoro dengan
pukulan-pukulannya yang ampuh, mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya yang mengatasi kecepatan Ki
Kolohangkoro. Pusporini menemui tanding yang lebih kuat daripada Ki
Kolohangkoro. Ni Dewi Nilamanik memang lebih sakti
kalau dibandingkan dengan Ki Kolohangkoro yang kasar.
Wanita penyembah Durgo ini memiliki gerakan yang amat
cepat dan tubuh yang ringan di samping permainan kebutan
merahnya yang amat menggiriskan. Biarpun kalau
dibuat perbandingan, Pusporini masih menang
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
setingkat mengingat gemblengan Resi Mahesapati
telah membuat dara perkasa
ini memiliki aji kesaktian dan
hawa sakti yang bersih dan
kuat, namun ia kalah pengalaman oleh Ni Dewi Nilamanik. Cara wanita penyembah Durgo itu mainkan kebutannya benarbenar membuat Pusporini bingung dan terdesak sampai belasan jurus lamanya. Tibatiba ujung kebutan itu terpecah menjadi lima bagian
menyerang Pusporini di bagian tubuh yang berbahaya.
Ketika Pusporini menggunakan kedua tangannya sibuk
menangkis dengan kibasan jari tangan yang mengandung
hawa sakti Pethit Nogo, tiba-tiba bagian ke lima dari
kebutan itu telah menyambar dan melibat pinggang
Pusporini yang ramping! Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan
suara ketawa mengejek, dengan pengerahan tenaga sakti ia
menyendal untuk menarik roboh Pusporini, akan tetapi
suara ketawanya terhenti dan bahkan terganti suara ah-ahuh-uh orang yang menghimpun seluruh tenaganya. ia
menarik-narik dan menyendal-nyendal, namun sia-sia
belaka seperti seekor monyet hendak mencabut pohon
cemara. Tubuh Pusporini tidak bergeming. Hebat memang
aji kesaktian Argoselo yang dipergunakan oleh Pusporini.
Jangankan hanya Ni Dewi Nilamanik seorang, biar
ditambah tiga orang lagi belum tentu akan dapat menarik
roboh tubuh Pusporini yang ramping itu.
"Plakkk!" Sebagai balasan, Pusporini mempergunakan
kesempatan selagi Ni Dewi Nilamanik berkutetan hendak
menariknya roboh, Pusporini menempiling dengan Aji
Pethit Nogo ke arah pelipis Ni Dewi Nilamanik, dari atas
ke bawah. Betapapun saktinya Ni Dewi Nilamanik, kalau
tempilingan aji pukulan Pethit Nogo ini menyentuh
pelipisnya, tentu bagian kepala ini akan retak dan
nyawanya akan melayang. Akan tetapi Ni Dewi Nilamanik
biarpun sedang dalam keadaan penasaran, masih sempat
mengelak dengan menarik kepala ke belakang sehingga
yang kena ditampar hanya pundaknya saja. Namun hal ini
cukup membuat tubuh Ni Dewi Nilamanik terpelanting dan
libatan ujung kebutan di pinggang Pusporini terlepas. Ni
Dewi Nilamanik cepat meloncat dan wajahnya menjadi
merah sekali. Kalau saja ia tadi tidak cepat-cepat
mengerahkan aji kekebalannya ke pundak, tentu tulang
pundaknya sudah hancur. Kinipun rasa nyeri, panas dan
menusuk-nusuk membuat ia menyeringai. Kemarahannya
memuncak dan ia memekik keras, tubuhnya menerjang
maju, kebutannya mengeluarkan suara meledak-ledak
ketika menyambar-nyambar di atas kepala Pusporini.
Namun dara perkasa ini menyambutnya dengan gerakan
yang tak kalah cepatnya dan membalas dengan pukulan
yang tak kalah dahsyatnya.
-oo0dw0oo- Jilid XLI BETAPAPUN juga, Joko Pramono dan Pusporini yang
"menang angin" ini andaikata dapat merobohkan masingmasing lawannya, masih dinanti oleh lawan yang lebih
berat lagi, yaitu pengeroyokan beratus-ratus orang
pengawal! Keadaan keluarga sakti itu benar terhimpit.
Mereka berada di tengah-tengah kepungan ribuan orang
pengawal, dan di situ selain Wasi Bagaspati, Ki
Kolohangkoro yang melawan secara terang-terangan
dibantu orang-orang yang bergerak seperti arca hidup tak
kenal lelah dan tak kenal takut, juga masih terdapat orangorang seperti Warutama yang mengatur barisan secara
sembunyi. Memang benar ucapan Wasi Bagaspati tadi
bahwa pintu gerbang itu merupakan pintu gerbang maut
bagi kedelapan anggauta keluarga sakti, karena mereka
dapat masuk akan tetapi akan sukar sekali untuk dapat
keluar. "Huah-ha-ha-ha, Bagus Seta, sampai berapa lama
keluargamu akan dapat bertahan" Dapat membunuh semua
pengawal yang ribuan orang banyaknya" Dan di luar masih
ada lebih banyak lagi, ha-ha-ha!" Wasi Bagaspati tertawatawa dan pertandingan antara dia dan Bagus Seta masih
terjadi dengan serunya. Karena gerakan mereka berdua ini
didorong oleh kekuatan gaib dari ilmu batin, maka
pertandingan ini merupakan pertandingan yang amat aneh.
Kadang-kadang mereka berdua berkelebat lenyap berubah
menjadi sinar merah dan putih pakaian mereka, kadangkadang hanya berdiri tegak dan saling pandang mengadu
kekuatan sihir yang keluar dari pandang mata, atau hanya
melakukan gerakan-gerakan mendorong dari jarak jauh
untuk mengadu tenaga sakti mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan pintu
gerbang depan ambrol disusul masuknya barisan Panjalu
bersama rakyat yang sama besar jumlahnya, rakyat
Jenggala yang sepanjang jalan makin lama makin
bertambah banyak menggabung pada barisan Panjalu yang
hendal membebaskan mereka daripada belenggu penindasan mereka yang berkuasa di Jenggala pada waktu
itu. Masuknya barisan ini disertai sorak-sorai gegap-gempita
seolah-olah menjawab ucapan yang keluar dari mulut Wasi
Bagaspati tadi. Ternyata barisan yang dipimpin sendiri oleh
Pangeran Darmokusumo itu telah melihat tanda panah api
yang dilepas Endang Patibroto ketika keluarga sakti itu
terancam bahaya. Wasi Bagaspati terkejut sekali dan tak terasa ia mundurmundur dengan mata terbelalak. Tiba-tiba terdengar raung
yang mengejutkan, sepertl suitan harimau marah, dan
mendengar ini, Wasi Bagaspati terkejut dan cepat
menengok. Wajahnya yang merah itu kini agak berubah
ketika ia melihat pembantunya yang amat diandalkan, yaitu
Ki Kolohangkoto, sedang berkutetan dengan maut yang
hendak merenggut nyawanya melalui senjata nenggala yang
menancap di perut Ki Kolohangkoro sendiri, menancap
sampai tampak sedikit ujungnya di belakang perut !
Ternyata bahwa akhirnya kesaktian Joko Pramono
terlalu berat bagi Ki Kolohangkoro. Kakek penyembah
Bathoro Kolo ini selalu terdesak dan lebih banyak mengelak
dan menangkis daripada menyerang. Bahkan beberapa kali
pukulan ampuh dari tangan Joko Pramono telah mengenal
tubuhnya dan hanya kekebalannya yang luar biasa kuatnya
sajalah yang menjaga sehingga Ki Kolohangkoro tidak
roboh. Ketika mendengar ambruknya pintu gerbang dan
sorak-sorainya tentara Panjalu yang menyerbu ke dalam, Ki
Kolohangkoro terkejut sekali. ia menengok dan wajahnya
berubah pucat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Joko
Pramono untuk menerjang dengan pukulan Cantuka-sakti
yang amat hebat dan mengenai dada Ki Kolohangkoro.
Dada yang bidang itu tidak pecah akan tetapi tubuh si
kakek raksasa terjengkang ke belakang.
Joko Pramono menubruk maju, akan tetapi disambut
dari bawah oleh tusukan senjata nenggala di tangan Ki
Kolohangkoro. Joko Pramono cukup waspada, mengerakkan tubuhnya miring sehingga nenggala itu lewat
di dekat pinggangnya. Secepat kilat ia menangkap
pergelangan tangan lawan dan denagan gerakan tiba-tiba
membalikkan senjata nenggala dan mendorongnya ke perut
Ki Kolohangkoro! Joko Pramono meloncat ke belakang dan
Ki Kolohangkoro mengeluarkan suara meraung keras,
berusaha mencabut nenggalanya, bangkit terhuyunghuyung, menggunakan kedua tangannya memegang
nenggala, mencabut sambil mengerahkan tenaga. Nenggala
dapat tercabut, darah muncrat keluar didahului ususnya,
matanya terbelalak, kedua tangannya yang berlumuran
darah mengangkat nenggala tinggi-tinggi di atas kepala lalu
ia menubruk maju menyerang Joko Pramono dengan
dahsyatnya! Joko Pramono mengelak dengan lompatan ke
kiri dan tubuh kakek raksasa itu terjungkal ke depan dan
roboh, berkelojotan sebentar lalu terdiam.
Melihat tewasnya Ki Kolohangkoro, sedangkan Ni Dewi
Nilamanik juga terdesak sedangkan para perajurit Panjalu
sudah mengamuk, Wasi Bagaspati meloncat ke atas dan
melayang ke arah Ni Dewi Nilamanik sambil berseru,
"Dewi, kita pergi ..........!"
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan lengan kirinya dan
asap hitam mengebul, menyambar ke arah Pusporini. Gadis
perkasa ini cepat melompat ke belakang dan kesempatan ini
dipergunakan Ni Dewi untuk meloncat jauh, mengikuti
Wasi Bagaspati yang hendak melarikan diri.
"Kejar .......... !!" Tejolaksono berseru keras dan
berlombalah keluarga sakti itu melakukan pengejaran.
Bagus Seta hendak berseru mencegah, namun terlambat
karena semua keluarganya sudah mengejar, maka ia pun
lalu menggerakkan kaki meluncur ke depan ikut melakukan
pengejaran pula. Tangan kiri Wasi Bagaspati menggandeng tangan Ni
Dewi Nilamanik ketika berlari ia menengok dan tertawa
ketika melihat keluarga sakti mengejarnya. Tangan
kanannya bergerak dan jari-jari tangannya terbuka.
"Awas senjata rahasia .......... !" Bagus Seta berseru dari
belakang. Keluarga sakti terkejut dan benar saja, dari tangan Wasi
Bagaspati itu menyambar sinar berwarna hijau dan
bagaikan hujan datangnya benda-benda kecil menyerang
mereka dengan kecepatan yang luar biasa sekali.
Tejolaksono dan keluarganya cepat menggerakkan tangan
mengibas sambil berlompatan menghindar, bahkan dari
jauh Bagus Seta sudah mendorongkan tangannya sehingga
sebagian besar sinar hijau itu runtuh ke pinggir, akan tetapi
karena cepat dan kuatnya benda-benda kecil hijau itu
menyambari maka beberapa orang di antara mereka terkena
senjata rahasia bersinar hijau itu. Pangeran Panji Sigit
terkena pipinya, Ayu Candra terkena pada bahunyat
Pusporini terkena pundaknya, dan Setyaningsih juga
terkena senjata rahasla pada lengannya. Akan tetapi mereka
menjadi lega ketika melihat bahwa senjata-senjata rahasia
bersinar hijau itu hanyalah duri-duri berwarna hijau seperti
duri kembang mawar, dan hanya menancap setengahnya
sehingga ketika dicabut, hanya menimbulkan luka kecil
yang mengeluarkan setetes darah saja dan tidak terasa apaapa. "Untung tidak berbahaya. Kita harus lekas menyerbu ke
dalam istanal" kata Tejolaksono.
"Harus kutangkap Sindupati manusia jahanam!" kata
Endang Patibroto. "Aku akan membekuk batang leher Suminten siluman
betina itu!" kata Pusporini.
"Saya harap Kakangmas Patih suka lebih dulu
menyelamatkan kanjeng rama .......... " Pangeran Panji Sigit
berkata. Mendengar ini, semua orang baru sadar dan ingat bahwa
mereka melupakan hal yang terpenting.
"Ah, benar sekali. Kita harus menyelamatkan gusti
sinuwun," kata Tejolaksono. "Bagus Seta dan aku sendiri
akan menemani Pangeran Panji Sigit menyelamatkan gusti
sinuwun. Yang lain membantu rakanda Pangeran
Darmokusumo melakukan pembersihan! Ingat, kurangi
pembunuhan terhadap perajurit Jenggala. Musuh kita
hanyalah kaki tangan penjahat-penjahat itu!"
"Marilah Rakanda Patih ........!" kata Pangeran Panji
Sigit yang merasa gelisah mengingat akan keselamatan
ramandanya yang dikabarkan sakit keras itu. Tejolaksono
dan Bagus Seta lalu bergerak mengikuti Panji Sigit dan
berlari menuju ke istana. Perang telah terjadi merata di
seluruh kota raja. Hal ini tadi sesuai dengan siasat Pangeran
Darmokusumo yang lebih dahulu telah menyelundupkan
beberapa orang ke dalam kota raja, menguasai pintu
gerbang dan membagi tentaranya menjadi beberapa
kelompok sehingga mereka dapat menyerbu ke dalam kota
raja melalui beberapa pintu gerbang. Tentara Panjalu yang
dibantu oleh rakyat Jenggala sendiri telah menyusup ke
dalam sehingga di depan istana itu sendiri telah terjadi
pertempuran. Namun Pangeran Panji Sigit tidak memperdulikan pertempuran itu, terus saja berlari
memasuki istana. Beberapa pengawal yang masih setia kepada Suminten
dan Pangeran Kukutan menyambut mereka dengan tombak
di tangan, namun dengan mudah Tejolaksono merobohlon
mereka. Pangeran Panji Sigit yang sudah hafal akan
keadaan di istana ini, bergagas lari menuju kamar tidur
ramandanya. Pintu berukiran indah dari kamar tidur itu tertutup. Pintu
yang tebal dan indah, berukuran besar. Pangeran Panji Sigit
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengetuk daun pintu. Tidak ada jawaban dan tidak ada
suara dari dalam, sunyi sekali. Amat mengherankan karena
selamanya kamar Ini pasti dijaga pengawal dan di sebelah
dalam ada abdi dalem yang melayani segala keperluan yang
dibutuhkan sri baginda. Pangeran Panji Sigit mendorong
daun pintu, akan tetapi tak dapat dibuka.
"Dikunci dari dalam .......... " katanya cemas.
"Dalam keadaan seperti ini, tidak ada pilihan lain. Kita
paksa saja pintu ini terbuka. Bagaimana pendapatmu,
Bagus?" "Harap Ramanda membiarkan saya membuka pintu ini.
Mungkin sekali di sebelah dalam ada sesuatu yang
berbahaya dan tidak tersangka-sangka."
Ki Patih Tejolaksono mengangguk dan melangkah
mundur, bersama Pangeran Panji Sigit berdiri di belakang
Bagus Seta. Tejolaksono sudah maklum bahwa puteranya
amat sakti, akan tetapi sekali ini ia ingin melihat dengan aji
pukulan apa puteranya hendak memaksa daun pintu
terbuka. Ia melihat tangan kiri Bagus Seta, sebuah tangan
yang berkulit halus dan lembut, seperti tangan Ayu Candra,
bergerak mendorong perlahan, seperti tidak bertenaga.
Akan tetapi terdengar suara keras di sebelah dalam kamar
di balik pintu itu, seolah-olah palang pintu patah-patah dan
daun pintu bergerak terbuka dengan cepat sekali.
"Celaka !!" Tejolaksono dan Pangeran Panji Sigit
berteriak dengan hati penuh kengerian. Kiranya daun pintu
itu adanya terbuka sedemikian cepatnya karena dipasangi
tambang yang mengikat daun pintu, terus ke atas balok
melintang di bawah atap dan ujung tambang itu mengikat
sebuah batu sebesar kerbau yang tadinya tergantung di atas
pembaringan di mana sang prabu yang sudah tua itu
tampak berbaring dan tidur pulas.
Tentu saja jika pintu itu dibuka
dengan paksa dari luar, palangnya
patah, daun pintu itu terbuka dan
karena tarikan batu yang tidak ada
penahannya dan meluncur ke
bawah, daun pintu terbuka cepat
sekali, sama cepatnya dengan batu
sebesar kerbau yang kini jatuh
menimpa sang prabu, hanya tinggal beberapa jengkal lagi sehingga seorang sakti seperti
Tejolaksono sekali pun hanya
dapat berteriak dan tak berdaya menolong.
Akan tetapi Bagus Seta sudah menggerakkan lengan
kanannya didorongkan ke depan dan .......... batu sebesar
kerbau itu terhenti di udara, hanya dua jengkal di atas tubuh
sang prabu! Melihat ini, cepat Tejolaksono melompat maju
dan mendorong batu besar itu dengan kedua tangannya
sehingga batu itu kemudian jatuh menimpa meja yang
menjadi hancur berkeping-keping!
"Kanjeng Rama .......... !" Pangeran Panji Sigit lalu
menubruk ramandanya, sedangkan Bagus Seta melangkah
maju, menyembah lalu mengusap wajah sri baginda yang
tua keriputan dan pucat itu.
Terdengar sri baginda raja mengeluh dan membuka
matanya. Ketika melih?t Panji Sigit, wajah raja tua itu
berseri, lalu bangkit dan memeluk kepala puteranya yang
sesungguhnya amat disayangnya itu. "Duh para Dewata
yang Maha Murah .......... terima kasih bahwa engkau
masih hidup dalam keadaan sehat, puteraku, Sigit ..........!"
"Kanjeng Rama, hamba mendengar berita bahwa paduka
.......... gering ........."
"Ahhh, sakit parah sekali, Puteraku. Sakit jiwa ..........
bukan raga yang sudah tua ini .......... eh, siapakah satria
ini" Seperti pernah aku melihatnya .......... " Sri baginda
memandang kepada Tejolaksono yang berlutut.
"Hamba Tejolaksono, gusti."
"Wah benar! Tejolaksono yang gagah perkasa! Sekarang
patih dalam di Panjalu, bukan" Dan .......... pemuda ini
.......... pemuda luar biasa .......... begitu lembut pandang
matanya, siapakah andika, wahai bocah bagus?"
"Hamba Bagus Seta, putera kanjeng rama Tejolaksono."
"Ah, kalian semua datang terlambat. Aku pun sadar
setelah terlambat .......... aduh, Puteraku, betapa besar dosadosaku, betapa ringkih batinku. Ahhh, kini terlambat sudah,
segalanya, kerajaan ini telah berada dalam cengkeraman
mereka ?"" "Hamba sudah mengetahui semua itu, Kanjeng Rama.
Hamba sudah tahu akan persekutuan jahat antara
Suminten, Pangeran Kukutan dan Patih Warutama ?"."
"Bukan itu saja, Puteraku. Melainkan orang-orang sakti
dari Cola ..... ahhh, betapa kejinya bersekutu dengan musuh
negara .......... dan aku .......... aku tak berdaya lagi, setelah
aku dipisahkan dengan semua orang yang setia kepadaku
.........." "Hamba juga sudah tahu akan hal itu, Kanjeng Rama.
Dan berkat pertolongan satria-satria perkasa seperti rakanda
patih dan puteranya inilah maka kerajaan Paduka Kanjeng
Rama tertolong .........."
"Apa" Bagaimana kalian dapat masuk ke sini dan ..........
dan .......... batu itu .......... ah, aku tahu mereka memasang
batu itu di atasku sehingga kalau ada yang memaksa
membuka pintu, aku .......... aku ?"."
"Harap Paduka suka menenangkan hati, Sinuwun. Kini
bahaya sudah lewat bagi keselamatan Paduka," Bagus Seta
berkata, suaranya halus dan ramah, mengandung pengaruh
menenangkan hati yang mujijat.
"Andika benar, Bagus Seta, dan terima kasih atas
bantuan kalian. Akan tetapi, bagaimana .......... " Mereka
telah mencengkeram kerajaan ini, tidak hanya di istana,
juga di luar istana, di seluruh kerajaan, ponggawaponggawa diganti, pengawal-pengawal diganti ..... ..",
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai di luar dan sang prabu
bangkit berdiri. "Apakah itu" Jangan-jangan mereka datang
menyerbu. Puteraku, lekas kau bersembunyi, lekas keluar
dari kamar ini. Aku tidak ingin melihat karena kelalimanku
engkaupun menjadi korban. Tejolaksono, tolonglah
selamatkan puteraku keluar dari sini ..........!"
Pangeran Pinji Sigit bangkit berdiri dan menggandeng
tangan ramandanya sambil berkata, "Harap paduka jangan
khawatir, Kanjeng Rama. Suara itu adalah suara
kemenangan dari barisan Panjalu yang membantu kita,
yang menghalau dan membasmi oknum-oknum jahat yang
mencengkeram Jenggala. Marilah, mari kita sama
menyaksikannya, Kanjeng Rama." Pangeran itu menuntun
ramandanya keluar dari kamar, dan terus keluar menuju ke
ruangan depan istana. "Barisan Panjalu" Sampai menyerang untuk menolongku" Aduh, kasihan rakyatku .......... perang selalu
berarti penderitaan bagi rakyat jelata .......... !!"
"Akan tetapi perang sekali ini bahkan akan membebaskan mereka daripada penderitaan, Kanjeng
Rama. Selama ini mereka tertindas dan diperas oleh para
pengacau yang kini sedang kita basmi."
Sang prabu yang sudah tua itu melihat pertempuran
besar, hatinya penuh keprihatinan dan ia minta kepada
Pangeran Panji Sigit untuk membawanya ke panggung
depan istana di mana ia dapat melihat pertempuran yang
terjadi di alun-alun. "Berhenti .......... ! Semua kawulaku yang masih setia
kepadaku. Berhenti dan jangan melawan pasukan-pasukan
Panjalu .......... !!" Sang prabu berteriak-teriak, tetapi
teriakannya hilang ditelan suara perang yang amat gaduh.
"Gusti Sinuwun, bolehkan hamba mewakili Paduka
menghentikan mereka?" Bagus Seta bertanya halus. Sri
baginda mengangguk penuh harapan karena hatinya terasa
perih sekali menyaksikan betapa kawulanya sendiri, rakyat
Jenggala, membantu barisan Panjalu dan membunuhi
perajurit-perajurit Jenggala sendiri!
Bagus Seta lalu berdiri di dekat raja dan terdengar
suaranya, biasa saja seperti orang bicara, tidak berteriakteriak, dan jelas terdengar mengandung wibawa,
"Saudara sekalian yang sedang berpur, hentikanlah
pertempuran dan lihatlah ke sini, gusti sinuwun telah
berkenan keluar dan hendak bicara kepada Andika sekalian.
Barisan Panjalu diminta menghentikan pertempuran pula!"
Sri baginda sendiri bersangsi apakah suara pemuda ini
akan dapat terdengar oleh mereka yang sedang bertempur.
Suaranya sendiri yang ia teriakkan keras-keras tadi hilang
ditelan kegaduhan, apalagi suara pemuda ini yang hanya
perlahan saja. Mana mungkin terdengar oleh semua orang
yang sedang bertempur" Akan tetapi, sang prabu melihat
keanehan terjadi. Semua orang yang sedang bertanding itu
berhenti secara tiba-tiba dan menengok ke arah panggung.
Kemudian terdengarlah suara-suara mereka,
"Gusti sinuwun .........!"
"Sesungguhnya gusti sinuwun yang hadir!"
"Setelah sekian lamanya! Betapa kurus beliau .........!"
Dan berlututlah para rakyat dan perajurit Jenggala
menghadap raja mereka yang sudah amat lama tidak
pernah keluar dari dalam kamar itu. Kini kelompok
manusia di bawah itu terbagi dua. Yang berlutut tentulah
rakyat Jenggala, adapun yang tetap berdiri namun tidak lagi
menggerakkan senjata adalah perajurit-perajurit Panjalu.
Keadaan menjadi sunyi senyap dan melihat sekian
banyaknya orang yang tadi bertempur mati-matian itu kini
tidak ada yang bergerak, benar-benar mempesonakan. Tibatiba tampak ada beberapa orang bergerak, bahkan berlarian
menuju panggung. Mereka itu adalah Pangeran Darmokusumo yang diikuti oleh Endang Patibroto, Ayu
Candra, Pusporini, Setyaningsih, dan Joko Pramono.
Mereka ini bergegas menaiki panggung dan berlutut
menyembah di depan sang prabu yang menerima mereka
dengan senyum terharu. "Ah, puteraku mantu Darmokusumo, untung ada engkau
yang membantu. Dan andika, Endang Patibroto .......... ah,
betapa bertumpuk-tumpuk budi yang telah Andika lakukan
untuk Jenggala." "Mohon beribu ampun, Kanjeng Rama." Pangeran
Darmokusumo sebenarnya adalah keponakan Raja Jenggala, akan tetapi karena ia menikah dengan puteri
Jenggala yang bernama Maya Galuh, maka pamannya ini
menjadi ayah mertuanya dan ia menyebutnya kanjeng
rama. "Terpaksa hamba mengerahkan perajurit Panjalu untuk
membantu Paduka menghadapi kekuasaan jahat yang
mencengkeram Jenggala. Perkenankanlah hamba kini
memerintahkan barisan Panjalu untuk menghentikan
pertempuran dan keluar dari kota raja agar jangan sampai
terjadi kesalahfahaman antara perajurit-perajurit Panjalu
dan perajurit-perajurit Jenggala."
"Baik sekali usulmu, Puteraku. Lakukanlah."
Pangeran Darmokusumo menyembah lalu bangkit
berdiri dan mengeluarkan perintah dengan suara keras agar
semua pasukan Panjalu mengundurkan diri di luar dinding
kota raja, menanti perintah lebih lanjut, dan agar membawa
teman-temannya yang terluka atau tewas. Mendengar ini,
barisan Panjalu bergerak bagaikan semut, lalu keluar kota
raja dengan aman, sementara itu, para perajurit dan rakyat
Jenggala tetap berlutut di alun-alun menanti amanat raja
mereka yang telah sekian lamanya seolah-olah lenyap itu.
Setelah semua pasukan Panjalu mundur dan keadaan sunyi
kembali, sri baginda lalu berkata dengan suara lantang,
"Wahai semua kawulaku, dengarlah baik-baik. Selama
ini aku, raja kalian yang tua ini, telah tenggelam ke dalam
kelalaian, menderita sakit jiwa sehingga mengabaikan
urusan pemerintahan dan mengabaikan rakyatku. Kuminta
maaf kepada seluruh rakyatku dan syukur kepada Dewata
bahwa hari ini aku terbebas daripada keadaan itu. Kerajaan
kita untuk beberapa lama dicengkeram kekuasaan jahat
sehingga banyak ponggawa setia terhukum mati dan
digantikan oleh ponggawa-ponggawa yang sesungguhnya
adalah musuh-musuh negara. Karena itu, kuminta kepada
mereka yang tadinya terseret atau terpaksa mengabdi
kepada kekuasaan jahat itu untuk sadar kembali dan
menyatakan kesetiaan kepada kerajaan dengan jalan
menghalau atau membasmi mereka yang menjadi kaki
tangan kekuasaan jahat yang kelak akan diganti dengan
ponggawa-ponggawa setia di antara kalian. Pengangkatan
raja baru, mengingat akan usiaku yang telah lanjut, tetap
akan diadakan, akan tetapi yang akan menggantikan aku
bukanlah si Kukutan yang palsu itu, melainkan puteraku,
Pangeran Panji Sigit!"
Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sorak-sorai menyambut ucapan sri baginda ini dan
terjadilah kegaduhan ketika para perajurit bergerak
menangkapi perwira-perwira mereka sendiri yang tadinya
diangkat oleh Pangeran Kukutan dan Suminten. Tanpa
dikomando lagi mereka itu bergerak dan mengadakan
"pembersihan" di kalangan mereka sendiri. Sang prabu
menghela napas, tidak sampai hati menyaksikan akibat
daripada kelemahannya sendiri dan mengajak semua orang
yang berada di panggung untuk memasuki istana dan di
saat itu juga sang prabu membuka persidangan.
Tak lama kemudian bermunculanlah ponggawa- ponggawa lama yang tadinya terpaksa atau terpikat menjadi
kaki tangan kekuasaan baru. Mendengar anjuran sang
prabu tadi untuk sadar dan kembali, mereka ini
memberanikan berturut-turut maju dengan tubuh gemetar
dan kedua tangan dirangkapkan seperti serombongan anjing
melipat ekornya karena takut digebuk!
Bagus Seta dan Tejolaksono mengajukan permohonan
untuk mencari dan menangkap biang keladi semua
kekacauan, yaitu Suminten, Pangeran Kukutan, dan Ki
Patih Warutama. Akan tetapi setelah memperkenankan dan
baru saja mereka berdiri, tiba-tiba Pangeran Panji Sigit
roboh terguling, disusul robohnya Ayu Candra dan
Setyaningsih! Tiga orang itu roboh dan merintih-rintih di
atas lantai, Pangeran Panji Sigit menggaruk-garuk pipinya,
Ayu Candra menggaruk-garuk bahunya, dan Setyaningsih
menggaruk-garuk lengannya. Keadaan mereka amat aneh
karena sambil menggaruk-garuk muka mereka menjadi
merah sekali dan mulut mereka yang tadinya merintihrintih itu kini berbisik-bisik!
"Setyaningsih, kekasihku, isteriku ..... " Bisik Pangeran
Panji Sigit. "Rakanda Pangeran, pujaanku, junjunganku .......... "
Setyaningsih juga merintih-rintih dan berbisik mesra,
kemudian kedua orang itu merangkak Baling menghampiri
dan berpelukan, berciuman!
"Kakangmas Tejolaksono .......... ah, Kakangmas ..........
yang tercinta .......... !"
Ayu Candra juga menubruk dan merangkul leher
Tejolaksono yang terbelalak keheranan.
Sri baginda memandang semua ini dengan muka merah
dan mata melotot. Beginikah tingkah laku puteranya yang
baru saja ia umumkan akan dijadikan penggantinya" Akan
tetapi Bagus Seta cepat melangkah maju dan tiga kali
menepuk ia membuat tiga orang itu mengeluh dan pingsan.
Mereka dibaringkan di lantai dan Bagus Seta lalu berkata,
setelah mememriksa sejenak,
"Mereka ini terkena racun yang terbawa duri-duri yang
dipergunakan Wasi Bagaspati tadi. Racun ini jahat sekali,
mula-mula merangsang akan tetapi karena racunnya sudah
memasuki jalan darah, kalau tidak cepat tertolong dapat
membawa maut. Agaknya hamba harus cepat pergi mencari
obatnya untuk memunahkan racun Ular Wilis ini .......... "
Bagus Seta sudah bangkit, akan tetapi tiba-tiba Pusporini
dan Joko Pramono berseru hampir berbareng,
"Ular Wilis .......... ?""
Semua orang memandang mereka, dan Pusporini cepat
berkata, "Ah, sekarang hamba mengerti mengapa kalau
mereka bertiga terpengaruh racun, hamba sendiri yang juga
terkena duri itu di pundak hamba, tidak apa-apa! Karena
racun Ular Wilis dan karena hamba memakai mustika Ular
Wilis, maka selamat!"
Bagus Seta menoleh kepadanya. "Sungguh Dewata adil
dan penuh kasih kepada yang benar! Bibi Pusporini
mempunyai mustika Ular Wilis?"
Pusporini sudah mengeluarkan mustika ular yang
bercahaya hijau itu. Memang semenjak Resi Mahesapati
memberikan mustika itu kepadanya, ia mengalungkannya
dan tak pernah mustika itu terpisah dari tubuhnya. Bagus
Seta menerima mustika itu dan berkata lirih,
"Kehendak Hyang Wisesa selalu terjadilah! Betapa akan
kecelik rasa hati Wasi Bagaspati kalau dia mengetahui
Lencana Pembunuh Naga 2 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Kisah Sepasang Rajawali 15
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama