Ceritasilat Novel Online

Sepasang Naga Penakluk Iblis 8

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


hadapi bersama. Kalau seorang di antara kita menghadapi kesulitan,
bertemu dengan lawan yang amat tangguh seperti Hek-sim Lo-mo dan
anak buahnya, barulah kita saling mengabari dan saling bantu.
Setujukah engkau?" Liong-eng atau Tan Cin Hay mengangguk. Diapun tahu bahwa kalau
mereka selalu berkumpul, banyak sekali bahayanya. Mereka itu saling
kagum, dan kalau terlalu sering berkumpul, bukan tidak mungkin akan
terjalin hubungan yang lebih akrab dan mesra di antara mereka dan hal
itu akan merupakan kelemahan mereka.
"Baik, Liong-li. Akan tetapi, bagaimana kita akan dapat saling
menghubungi atau mencari?"
497 "Aku berasal dari Lok-yang, maka akupun tidak akan meninggalkan
Lok-yang jauh-jauh. Aku akan berada di sekitar Lok-yang, dan kalau
engkau ingin bertemu atau menghubungi aku, datanglah engkau ke
tepi sungai ini. Aku akan mendirikan sebuah pondok di sini untuk
tempat peristirahatan, dan di tempat inilah engkau akan menemui aku.
Dan bagaimana dengan kau" Kalau aku perlu denganmu, ke mana aku
harus mencarimu?" "Aku" Aku akan berada di sekitar Telaga See-ouw! Aku tidak dapat
melupakan telaga yang indah itu. Kampung halamanku tidak jauh dari
telaga itu di mana orang tuaku hidup bertani, dan kuburan isteriku
juga berada di sana."
"Bagus, kalau begitu semua telah disepakati. Aku girang sekali dapat
menjadi sahabatmu, Liong-eng dan mudah-mudahan tidak lama lagi
kita akan dapat saling bertemu kembali." Iapun bangkit berdiri.
Liong-eng juga bangkit berdiri. "Kita berpisah sekarang, Liong-li?"
Wanita itu tersenyum, manis sekali.
"Ada pertemuan harus ada perpisahan, dan hanya perpisahan yang
membuat pertemuan berikutnya menjadi teramat indahnya! Bukankah
begitu?" Liong-li tersenyum, mengangguk.
Sungguh menyenangkan sekali mempunyai seorang sahabat sejati
seperti Liong-li ini, wataknya aneh akan tetapi amat gagah dan baik,
pandangan luas, dan hatinya bebas. Dan yang lebih dari itu, wanita ini
498 pernah menyelamatkan nyawanya, dan dia sendiripun pernah
menyelamatkan nyawanya. "Selamat jalan dan selamat berpisah, Liong-li," katanya sambil
membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, bersoja.
Liong-li membalas penghormatan itu, lalu tiba-tiba mengulurkan
tangan kanannya, mendekati Liong-eng. Sambil tersenyum orang
muda itu menyambut uluran tangan itu, menyambut dalam jabatan
tangan yang hangat di mana kedua tangan itu saling genggam penuh
getaran persahabatan. Begitu keduanya melepaskan jabatan tangan, keduanya saling
pandang, tersenyum dan keduanya lalu berkelebat lenyap, yang
seorang ke utara, seorang ke selatan menurut arah sungai yang
membelok ke selatan itu. Sebentar saja yang nampak hanyalah dua
titik, satu hitam satu putih yang makin lama makin saling menjauhi
sampai akhirnya lenyap. "Y" Rumah besar di lereng bukit luar kota itu memang menyeramkan.
Bentuknya seperti sebuah benteng yang dikelilingi pagar tembok yang
tinggi dan tebal. Di sebelah dalam pagar tembok terdapat beberapa
bangunan mengelilingi bangunan induk yang besar dan kuno, seperti
kuil-kuil saja. Bukit itu merupakan sebuah di antara bukit-bukit yang
mengelilingi Telaga Po-yang di Propinsi Kiang-si.
Di bukit-bukit itu memang terdapat banyak bangunan kuno,
peninggalan jaman dahulu, kuil-kuil tua yang sudah tidak
dipergunakan sebagai kuil lagi, hanya menjadi peninggalan kuno yang
499 kadang-kadang dikunjungi orang untuk dikagumi. Akan tetapi,
bangunan yang satu ini, yang terletak di lereng Bukit Merak, tidak
pernah dikunjungi orang! Semua orang di sekitar daerah itu tidak ada yang berani, apa lagi
berkunjung, mendekatipun mereka tidak berani. Kecuali mereka yang
mempunyai keperluan seperti pedagang beras dan kebutuhan lain
untuk dikirimkan kepada penghuni bangunan besar itu.
Kalau para penduduk di sekitar tempat itu takut mendekatinya karena
telah mendengar betapa para penghuni rumah besar itu bengis dan
galak, juga lihai dan suka main pukul, para tokoh kang-ouw lebih
takut lagi untuk mendekati tempat itu. Dunia kang-ouw sudah
mengetahui bahwa rumah besar di lereng bukit yang disebut Bukit
Merak itu adalah tempat tinggal dari Siauw-bin Ciu-kwi (Iblis Arak
Muka Tertawa), seorang di antara datuk sesat yang dikenal dengan
sebutan Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang kini merajalela di dunia
persilatan setelah puluhan tahun mereka tidak pernah mencampuri
urusan dunia. Baru beberapa tahun ini Kiu Lo-mo terjun ke dunia ramai dan dunia
kang-ouw menjadi gempar karena sepak terjang mereka yang
menggegerkan dunia persilatan, menaklukkan seluruh golongan hitam
untuk menjadi anak buah mereka di daerah kekuasaan masing-masing.
Siauw-bin Ciu-kwi yang menguasai seluruh daerah Propinsi Kiang-si,
dalam waktu beberapa tahun saja sudah menalukkan sebagian besar
kaum sesat dan diapun diangkat menjadi Beng-cu (pemimpin) oleh
para tokoh sesat yang tidak mampu menandingi ilmu kepandaiannya
yang konon amat tinggi sehingga dia dinamakan seorang yang sakti.
500 Malam itu amat sunyi di sekitar lereng Bukit Merak. Lampu-lampu
gantung di atas pagar tembok dan di luar rumah-rumah besar tua itu
nampak berkelap-kelip di antara kegelapan malam, menambah
seramnya suasana yang amat sunyi itu. Tidak ada seorangpun
penduduk di sekitar Telaga Po-yang berani mendekati Bukit Merak,
apalagi sampai ke lerengnya, baru di kaki bukit itu saja mereka tidak
berani. Lebih baik mengambil jalan memutar yang lebih jauh dari
pada harus melalui kaki Bukit Merak.
Akan tetapi, dalam keremangan cuaca malam yang hanya disinari oleh
laksaan bintang di langit, nampak empat orang laki-laki mendorongdorong seorang hwesio, mendaki kaki bukit terus ke lereng. Beberapa
kali, kalau hwesio itu berjalan kurang cepat, dia didorong oleh empat
orang yang berjalan di belakangnya sambil dibentak sehingga hwesio
itu terhuyung-huyung ke depan.
Hwesio itu usianya sudah enampuluhan tahun, bertubuh kurus dan
bermuka pucat. Ke- palanya gundul dan jubahnya yang kuning itu
agak kumal. Dia melangkah sambil merangkap kedua tangan di depan
dada, agaknya dia sudah menyerahkan segalanya kepada Yang Maha
Kuasa, maklum bahwa dia tidak berdaya dan terjatuh ke dalam tangan
orang-orang yang jiwanya dikuasai nafsu iblis.
Hwesio ini bernama Loan Khi Hwesio, ketua dari sebuah kuil kecil di
sebuah bukit yang berada di sebelah barat Telaga Po-yang. Sore tadi,
dia kedatangan empat orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya
ini, dan dengan suara kasar mereka memaksa dia harus ikut bersama
mereka untuk menghadap Beng-cu di lereng Bukit Merak!
501 Lima orang hwesio yang menjadi pembantunya, hwesio-hwesio muda,
tentu saja tidak merelakan dia yang menjadi ketua kuil diculik begitu
saja. Mereka melawan, akan tetapi apa daya lima orang hwesio yang
hanya menguasai sedikit ilmu silat menghadapi empat orang yang
lihai itu" Dengan mudah lima orang hwesio itu dihajar sampai pingsan
semua dan dia pun dipaksa untuk ikut mereka ke Bukit Merak.
Loan Khi Hwesio maklum siapa yang disebut Beng-cu itu. Dia sudah
mendengar tentang Siauw-bin Ciu-kwi, seorang datuk besar kaum
sesat yang amat sakti dan kejam. Maka, diapun pasrah dan hanya
mempergunakan kekuatan batinnya untuk menghadapi ancaman
bahaya maut ini. Empat orang itu yang rata-rata berusia empatpuluh tahun, memiliki
tubuh yang kokoh kuat dan wajah yang bengis, orang-orang yang
sudah biasa melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak
mereka. Mereka adalah sebagian dari para pembantu Siauw-bin Ciukwi, hanya merupakan pembantu rendahan saja, bukan pembantu
utama yang berilmu tinggi.
Kini mereka tiba di depan pintu gerbang yang terbuat dari kayu tebal.
Seorang di antara empat tukang pukul itu membunyikan genta dan
dari dalam pintu, seorang penjaga mengintai melalui lubang daun
pintu, kemudian membuka pintu gerbang itu, dibantu oleh seorang
teman karena pintu gerbang itu amat berat saking tebal dan besarnya.
Loan Khi Hwesio didorong masuk dan hampir saja jatuh karena
kakinya tersandung batu. 502 "Hayo cepat!" bentak seorang di antara empat jagoan itu sambil
menangkap lengan hwesio itu dan menyeretnya menuju ke sebuah
bangunan induk di dalam tembok yang seperti benteng.
Setelah mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup terang, hwesio itu
didorong masuk sampai jatuh menelungkup. Akan tetapi, dia bangkit
lagi tanpa mengeluh, kedua tangan masih dirangkap depan dada dan
mulutnya berkemak-kemik membaca doa untuk mohon kekuatan
kepada Yang Maha Kuasa. Dia lalu mengangkat muka memandang.
Kiranya di dalam ruangan itu duduk beberapa orang yang kesemuanya
memandang kepadanya, bagaikan segerombolan anjing srigala
kelaparan. Loan Khi Hwesio merasa betapa dia seperti seekor kelinci
yang dikepung srigala-srigala itu sehingga diam-diam diapun bergidik
walaupun penyerahan dirinya kepada Tuhan telah membuat dia tidak
merasa takut. Dia merasa ngeri menghadapi manusia-manusia yang
pada lahirnya saja sudah nampak sedemikian mengerikan dan penuh
dengan kepalsuan dan kekejaman.
Siauw-bin Ciu-kwi mudah dikenal oleh orang yang baru mendengar
namanya dan belum pernah melihat mukanya. Seorang laki-laki yang
usianya kurang lebih limapuluh tahun, tubuhnya pendek dengan perut
gendut, nampak semakin pendek karena duduk di atas kursi yang
besar dan dalam. Dia nampak seperti seekor katak bersembunyi di dalam lubangnya.
Kepalanya botak, sedemikian botaknya sehingga kelihatan gundul.
Mukanya sungguh aneh. Muka yang seperti muka kanak-kanak,
gemuk dengan kedua pipi tebal, akan tetapi mulutnya terus
menyeringai, tersenyum lebar!
503 Seluruh wajahnya tersenyum kecuali matanya. Sepasang mata itu
sama sekali tidak tersenyum, sama sekali tidak membayangkan
keramahan atau kegembiraan, melainkan sepasang mata yang
mencorong dengan sinar yang tajam menusuk dan mengandung
kekejaman dan kecerdikan luar biasa. Agaknya karena mulutnya yang
selalu menyeringai itulah maka dia dijuluki Siauw-bin (Muka
Tertawa). Di atas meja di depannya nampak sebuah guci arak besar dan di
tangannya nampak cawan arak yang tak pernah kosong karena setiap
kali dia meneguk isi cawan, selalu ada tangan halus yang mengisi
cawan itu kembali dari guci arak. Tangan halus itu milik seorang
wanita muda yang selalu duduk di samping Beng-cu itu, seorang
wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun yang berwajah cantik
manis, pesolek, dengan mulut penuh gairah dan sepasang mata yang
indah. Melihat seorang wanita yang memiliki bentuk tubuh demikian indah,
wajah manis dan sikap yang genit memikat, orang tidak akan mengira
bahwa wanita ini sungguh bukan seorang wanita yang lemah! Biarpun
ia dapat menjadi hangat dan penuh kemesraan, namun di balik semua
keindahan itu tersembunyi kekuatan yang amat dahsyat, kekejaman
yang membuat seorang penjahat sekalipun menjadi ngeri, dan
kepandaian silat yang membuat namanya terkenal di seluruh Propinsi
Kiang-si. Wanita yang kini seolah-olah menjadi pelayan terkasih dari Beng-cu
itu terkenal dengan julukan Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun).
Nama kecilnya adalah Lui Cin Si, akan tetapi di dunia kang-ouw,
nama ini tidak dikenal orang, akan tetapi kalau sekali orang menyebut
504 Tok-sim Nio-cu, penjahat yang paling kejam sekalipun akan merasa
serem dan takut! Ketika Siauw-bin Ciu-kwi muncul di dunia persilatan dan bermukim
di Propinsi Kiang-si, tentu saja seperti banyak tokoh kang-ouw, Toksim Nio-cu juga tidak sudi untuk menyerah dan takluk kepada datuk
besar yang baru muncul ini. Apa lagi melihat orangnya yang tidak
mengesankan, hanya seorang laki-laki setengah tua yang pendek
berperut gendut dan selalu senyum-senyum seperti orang sinting.
Tok-sim Nio-cu bahkan memandang rendah dan ia menantang datuk
ini. Sungguh di luar perkiraannya, menghadapi si pendek gendut itu,
dalam beberapa jurus saja, kurang dari sepuluh jurus, ia sudah
terjungkal roboh! Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu bukan orang yang
mudah menyerah. Tidak mudah bagi Siauw-bin Ciu-kwi untuk menalukkan wanita liar
ini, yang masih merasa penasaran dan ia mengumpulkan kawankawannya untuk mengeroyok. Baru setelah berkali-kali semua
usahanya menentang Siauw-bin Ciu-kwi gagal dan berkali-kali ia
dirobohkan tanpa dibunuh, akhirnya Tok-sim Nio-cu menyatakan
takluk dan menyerah! Setelah Tok-sim Nio-cu menyerah, kini ia malah menjadi seorang
pembantu yang paling dipercaya oleh Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan
tidak hanya itu, ia juga menjadi kekasih Beng-cu itu dan karena ini,
kekuasaannya amat besar dan hanya di sebelah bawah kekuasaan sang
Beng-cu! Yang lebih menggirangkan hatinya lagi, ternyata si pendek
gendut yang tidak dapat dibilang ganteng dan tidak memiliki banyak
daya tarik sebagai seorang pria terhadap wanita itu, ternyata adalah
505 seorang pria yang jantan bagi seorang wanita haus laki-laki seperti
Tok-sim Nio-cu! Seorang pria yang dapat memuaskan hatinya!
Di samping ini, juga Beng-cu itu berkenan mengajarkan beberapa
jurus ilmu silat yang tinggi kepadanya, menguruknya pula dengan
kemuliaan, kemewahan dan kedudukan sehingga membuat wanita
genit itu benar-benar takluk dan setia! Demikianlah, wanita ini bahkan
tidak malu-malu dan tidak merasa rendah untuk menuangkan arak dan
melayani Beng-cu seperti seorang pelayan biasa saja, biarpun di depan
banyak orang! Tentu saja tidak ada seorangpun berani memandang
rendah kepadanya, yang kekuasaannya hanya di bawah kekuasaan
Beng-cu! Hanya Tok-sim Nio-cu seorang yang duduk di samping Beng-cu
menghadapi meja, seperti seorang pelayan, juga seperti seorang
kekasih atau isteri, karena Beng-cu tidak mempunyai isteri. Ada pula
enam orang wanita muda yang menjadi semacam selir, atau dayang
atau juga pelayan, menjadi penghibur Beng-cu. Mereka duduk
bersimpuh di atas lantai, siap untuk melaksanakan perintah Beng-cu,
baik perintah untuk bermain musik, menari, bernyanyi, atau juga
beramai "mengeroyok" Beng-cu melayani segala kehendak pria
pendek gendut yang amat sakti itu! Mereka adalah gadis-gadis pilihan
yang mau tidak mau kini menjadi pelayan dan penghibur datuk besar
itu. Di belakang datuk itu, nampak tiga orang laki-laki yang nampak aneh
dan tidak seperti manusia biasa. Memang mereka bukan manusia
biasa, melainkan manusia berwatak iblis yang sejak lama menjadi
tokoh-tokoh sesat di Propinsi Kiang-si. Seperti juga Tok-sim Nio-cu,
mereka ditundukkan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dengan kekerasan dan
506 mereka baru mau sungguh-sungguh takluk setelah kalah mutlak
menghadapi Beng-cu yang sakti itu.
Kini mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Beng-cu yang


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai mengambil hati mereka dengan melimpahkan kemuliaan dan
kemewahan. Juga, menjadi pembantu Beng-cu mengangkat nama
mereka lebih tinggi di dunia kang-ouw membuat mereka semakin
disegani dan ditakuti orang.
Yang pertama hanya dikenal julukannya saja, yaitu Lim-kwi Sai-kong
(Si Muka Singa Setan Hutan), dan memang sebelum menjadi
pembantu utama Beng-cu, dia menjadi seorang penunggu hutan yang
ditakuti. Usianya sudah enampuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan
mukanya seperti muka singa, penuh dengan cambang bauk dan
persegi menyeramkan, wajah yang penuh kegarangan dengan mata
yang lebar dan sinarnya aneh.
Pakaiannya selalu hitam dari kain tebal dan tidak pernah bersih,
tubuhnya juga berbau binatang hutan. Sebatang golok besar tak pernah
meninggalkan pinggangnya dan sehelai rantai baja besar melilit pula
pinggang itu. Biarpun dia seperti seorang hutan tulen, namun jangan
dikira bahwa dia hanya buas dan mengandalkan tenaga raksasa saja,
seperti seekor singa. Tidak, di samping tenaga besar dan kebuasannya,
juga dia memiliki ilmu silat yang dahsyat, bahkan pandai pula
mempergunakan khi-kang untuk mengeluarkan auman yang
menggetarkan jantung dan melumpuhkan kaki seorang lawan!
Orang kedua kurang mengesankan sebagai seorang jagoan, apa lagi
sebagai seorang pembantu utama dari Siauw-bin Ciu-kwi. Dia seorang
pria berusia tigapuluh lima tahun bernama Ciong Koan dan berjuluk
507 Pek-i Kongcu (Tuan Muda Baju Putih). Pria muda ini selalu
mengenakan pakaian putih, akan tetapi bukan putih sederhana,
melainkan putih pesolek, rambutnya disisir licin dan diminyaki.
Seorang pria yang berwajah tampan, mulutnya memiliki senyum
memikat akan tetapi matanya jelas membayangkan kecabulan.
Pria berbaju putih ini dahulunya adalah seorang murid Kun-lun-pai
yang memiliki keahlian bermain pedang. Dari remaja dididik untuk
menjadi seorang pendekar. Akan tetapi setelah dewasa, dia runtuh
oleh nafsunya sendiri, melakukan penyelewengan-penyelewengan
karena diperbudak oleh berahi yang tidak wajar.
Akhirnya, dia terseret oleh lingkungan dan menjadi seorang tokoh
sesat yang suka mempermainkan wanita, baik melalui rayuan dan
ketampanannya, maupun melalui paksaan mengandalkan kelihaiannya. Entah berapa banyak gadis diperkosanya, isteri orang
dirayunya sehingga melakukan penyelewengan. Setelah ditaklukkan
oleh Siauw-bin Ciu-kwi, dia menjadi seorang pembantu setia dan
kekejamannya bertambah karena selalu berdekatan dengan para datuk
dan tokoh sesat. Orang ketiga bernama Lok Hun berjuluk Hek-giam-ong, berusia
empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan sesuai dengan
julukannya, yaitu Hek-giam-ong (Raja Maut Hitam), maka seluruh
kulit tubuhnya, dari muka sampai kaki, berwarna hitam gelap.
Mukanya yang hitam itu amat menyeramkan, apa lagi karena
wajahnya itu amat dingin, matanya seperti tanpa sinar, mulutnya tidak
pernah tersenyum dan muka itu seperti topeng saja, tidak pernah
membayangkan apa yang dirasakannya. Senjata istimewanya adalah
sebuah ruyung yang berat.
508 Demikianlah keadaan Siauw-bin Ciu-kwi dan empat orang pembantu
utamanya. Dengan hati yang penuh penyerahan karena maklum bahwa
dia terjatuh ke dalam tangan orang-orang berhati iblis, Loan Khi
Hwesio memandang kepada mereka semua sambil berdiri dan
merangkap kedua tangan depan dada.
"Hwesio sialan! Berlutut kau!" bentak Lim-kwi Sai-kong dengan
suaranya yang mengguntur ketika dia melihat betapa tawanan itu
berdiri saja di depan Beng-cu.
"Omitohud......!" Loan Khi Hwesio menjura sambil tetap merangkap
kedua tangan depan dada. "Pinceng tidak pernah berlutut, kecuali
kepada Sang Buddha......"
Para anak buah rendahan yang tadi menangkap dan mengantar hwesio
itu menghadap Beng-cu, sudah disuruh keluar dan tidak boleh ikut
mendengarkan dan melihat apa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kini
yang menyaksikan hanyalah Beng-cu dan para pembantunya,
termasuk enam orang dayang yang menjadi pembantu dan juga selirselirnya.
Mendengar jawaban pendeta itu, Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah
biasa menjadi algojo dari Beng-cu, berseru, "Beng-cu, haruskah
kupatah-patahkan kakinya agar dia mau berlutut?"
Siauw-bin Ciu-kwi yang sejak tadi menyeringai, kini tertawa dan
menenggak secawan arak, lalu memberikan cawan kosong kepada
Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si untuk diisi kembali.
"Biarkanlah, nanti saja kalau dia tidak mau mengaku, baru kau boleh
siksa dia sampai setengah mati!" kata Siauw-bin Ciu-kwi, sengaja
509 mengancam untuk mengecilkan hati hwesio itu. Kemudian dia
bertanya kepada tawanan itu. "Apakah engkau yang bernama Loan
Khi Hwesio?" Loan Khi Hwesio menjura dengan sikap hormat. "Benar sekali,
pinceng bernama Loan Khi Hwesio. Tidak tahu ada urusan apa maka
pinceng dipaksa datang ke tempat ini?"
"Ha-ha-ha, Loan Khi Hwesio, apakah engkau benar tidak tahu atau
tidak dapat menduganya" Ataukah hanya berpura-pura saja?"
"Pinceng sungguh tidak tahu dan tidak dapat menduga......"
Tiba-tiba Beng-cu itu menggebrak meja dengan marah walaupun
mulutnya masih menyeringai. "Serahkan peta itu kepadaku!"
Wajah yang sudah pucat itu semakin pucat dan mata pendeta itu
terbelalak memandang kepada wajah yang kekanak-kanakan itu.
"Peta" Peta apakah yang kaumaksudkan?"
"Hwesio tolol!" kembali Lim-kwi Sai-kong membentak marah. "Jaga
sikap dan bicaramu! Engkau menghadap Beng-cu yang berkuasa di
seluruh Kiang-si! Salah sedikit saja bicaramu, kaki tanganmu akan
dibuntungi dan lidahmu akan dipotong!"
Tentu saja hwesio itu menjadi semakin ngeri. "Maaf, Beng-cu.
Sungguh, pinceng tidak mengerti peta apa yang dimaksudkan itu......"
Siauw-bin Ciu-kwi mendengus dan mulutnya menyeringai semakin
lebar. 510 "Huh, peta apa lagi kalau bukan peta Patung Emas!"
"Peta Patung Emas" Pinceng...... tidak...... tidak tahu......"
"Brakkk!" kembali Beng-cu menggebrak meja. "Tak perlu bohong!
Kami sudah tahu bahwa engkau telah mendapatkan sebagian dari peta
itu. Peta yang ada gambarnya patung emas, peta harta terpendam di
Telaga Po-yang! Sudahlah, tidak perlu pura-pura tidak tahu lagi.
Serahkan peta itu kepadaku dan engkau akan kami bebaskan dan
boleh melanjutkan pekerjaanmu di kuil tua itu! Akan tetapi kalau
engkau tidak mau menyerahkan, tidak mau mengaku di mana adanya
peta itu, engkau akan disiksa sampai mati!"
Seluruh tubuh pendeta itu gemetar, mulutnya terasa kering dan
suaranya lirih dan gemetar ketika ia berkata, "Sungguh, pinceng tidak
menyimpannya...... pinceng tidak tahu peta itu di mana......"
"Hek-giam-ong, paksa dia mengaku di mana peta itu!" kata Siauw-bin
Ciu-kwi. Pembantunya yang menerima perintah ini bangkit dari kursinya.
Tubuhnya yang tinggi kurus itu menjulang tinggi dan mukanya yang
seperti topeng hitam itu nampak dingin dan tidak membayangkan
sesuatu. Akan tetapi ketika dia melangkah dan mendekati Loan Khi
Hwesio, sinar matanya mencorong penuh ancaman.
Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya kemakkemik membaca doa karena dia maklum bahwa bahaya maut
mengancamnya. Dia tidak takut mati, akan tetapi menghadapi
ancaman siksaan, tentu saja hatinya merasa ngeri.
511 "Hwesio, sekali lagi kuulangi permintaan Beng-cu. Serahkan peta itu
atau katakan di mana adanya peta itu sekarang!" kata Hek-giam-ong
Lok Hun dengan muka tidak membayangkan sesuatu, tetap dingin dan
suaranya juga terdengar datar saja sehingga terdengar menyeramkan,
lebih menyeramkan dari pada kalau suara itu mengandung bentakan
marah. "Tidak.... tidak tahu...... pinceng tidak tahu!"
Tiba-tiba tangan Hek-giam-ong meluncur dan menangkap lengan kiri
hwesio itu. "Katakan, atau akan kupatahkan jari tanganmu satu demi
satu!" Loan Khi Hwesio menggeleng kepala. "Omitohud...... maafkan...
pinceng sungguh tidak tahu......!"
Hek-giam-ong yang memegang lengan kiri hwesio itu dengan tangan
kanan, lalu menangkap ibu jari tangan itu dengan tangan kirinya dan
menekuk ibu jari itu ke belakang punggung tangan.
"Kreekkk!" tulang ibu jari itu patah dan Loan Khi Hwesio
mengeluarkan suara rintihan. mukanya yang semakin pucat itu basah
dengan keringat yang keluar dari tubuhnya saking nyerinya. Kini
telujuknya ditekuk ke belakang sampai patah tulangnya, dan satu demi
satu, perlahan-lahan, kelima jari tangan kirinya ditekuk ke belakang
sampai patah tulangnya. Loan Khi Hwesio merintih, mengerang,
bahkan menjerit. Ketika kelingkingnya ditekuk patah, dia meraung
dan pingsan! Ketika dia siuman kembali, tangan kanannya sudah dipegang tangan
kiri algojo itu. "Nah, sekarang katakan terus terang, di mana peta itu"
512 Kalau engkau tidak mau mengaku, jari-jari tangan kananmu akan
kupatah-patahkan seperti tangan kirimu tadi!" Hek-giam-ong
mengancam Tubuh Hwsio itu menggigil. Dia kini bangkit duduk. Tangan kirinya
tak dapat dia gerakkan, nyeri bukan main, rasa nyeri yang datang dari
jari-jari tangan itu dan terus menerus sampai ke jantungnya. Akan
tetapi, dia tetap berusaha melindungi dirinya dengan doa, walaupun
kini dia mulai meragukan apakah doanya akan berguna dalam keadaan
seperti itu. Dia menggeleng kepala. "Pinceng...... tidak...... tidak tahu......" Dan
diapun memejamkan kedua matanya dan mulutnya berkemak-kemik,
menanti datangnya saat penyiksaan yang lebih hebat.
Dan siksaan itupun datang! Seperti tadi, ibu jari tangan kanannya
ditekuk ke belakang sampai mengeluarkan bunyi "krekkk!" dan tulang
ibu jari itu patah sambungannya, disusul jari-jari yang lain. Baru tiga
batang jari yang dipatahkan, kembali hwesio itu sudah jatuh pingsan,
karena tidak dapat menahan lagi perasaan nyeri yang menusuk
jantung. Ketika untuk kedua kalinya dia siuman, seluruh tubuhnya terasa nyeri.
Rasa nyeri dari kedua tangannya itu menjalar ke seluruh tubuh. Dua
buah tangannya sudah tidak dapat dia gerakkan lagi. Dia bangkit
duduk lalu menunduk dan memejamkan kedua matanya, mohon
kekuatan dari Yang Maha Kuasa, dan menyerahkan seluruh jiwa
raganya. Ketika dia tenggelam ke dalam penyerahan ini, terjadilah keanehan
pada dirinya. Tadinya, dari kedua tangannya keluar denyut-denyut
513 yang amat nyeri, kiut-miut rasanya, menusuk-nusuk jantung. Sukar
digambarkan bagaimana perasaan nyeri itu. Ada rasa panas, perih,
menusuk-nusuk dan mencabut-cabut. Akan tetapi, rasa berdenyutdenyut itu kini berubah sama sekali!
Tidak lagi mendatangkan nyeri, bahkan mendatangkan nikmat!
Sungguh! Tidak perlu lagi dia merintih. Denyut-denyut nyeri tadi kini
bertukar denyut nikmat. Ataukah penerimaannya, alat penerimaannya
yang berubah" Bukankah nyeri dan nikmat hanyalah permainan dari
perasaan belaka" Penyerahannya yang sebulatnya kepada Tuhan
melenyapkan perbedaan antara nyeri dan nikmat, antara enak dan
tidak enak, sehingga diapun tidak tahu lagi apakah kedua tangannya
itu terasa nyeri ataukah nikmat!
Loan Khi Hwesio yang memejamkan matanya itu kini tersenyum.
Senyum wajar karena bebas dari rasa nyeri, bahkan merasakan
kenikmatan pada kedua tangannya.
Melihat hwesio itu tersenyum, Beng-cu berpandangan dengan para
pembantunya. Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang datuk besar. Dia
menduga bahwa tentu hwesio yang tentu saja memiliki ilmu kebatinan
yang mendalam itu agaknya sudah mampu menguasai perasaan nyeri,
maka dalam keadaan semua jari tangannya patah-patah itu masih
mampu tersenyum, senyum sama sekali bebas dari rasa nyeri!
"Loan Khi Hwesio, apakah engkau masih juga belum mau
menyerahkan peta itu?" terdengar Siauw-bin Ciu-kwi bertanya.
"Kesempatanmu untuk bebas dari maut hanya tinggal yang terakhir!"
514 Tanpa membuka matanya, Loan Khi Hwesio berkata, "Omitohud biar
dibunuh sekali- pun, pinceng tidak dapat memenuhi permintaan itu.
Pinceng tidak tahu di mana peta yang dimaksudkan itu......"
"Jahanam! Engkau tidak akan mati begitu saja! Giam-ong,
pergunakan siksaan Selaksa Tetes Air!"
Sepasang mata dari muka yang hitam itu mengeluarkan sinar berkilat,
agaknya perintah ini mendatangkan perasaan gembira di hatinya yang
penuh dengan sifat yang sadis dan kejam bukan main. Dia lalu
mengambil seember besar air dan menggantung ember itu. Kemudian,
setelah menotok tubuh Loan Khi Hwesio sehingga pendeta ini tidak
mampu bergerak, dia memaksa hwesio itu duduk di bawah ember,
mengikat tubuh hwesio itu dengan sebuah bangku. Ember itu telah
dilubangi kecil dan kini dari bawah ember, air menetes-netes satusatu!
Loan Khi Hwesio sendiri tidak mengerti apa artinya hukuman seperti
ini. Dia hanya merasa ada air menetes dan menimpa kepalanya yang
gundul. Akan tetapi tentu saja hal itu tidak merupakan siksaan. Hanya
tertimpa setetes air dan membuat kepalanya basah. Tetes demi tetes air
menimpa kepalanya dan mulailah air mengalir turun dari kepala,
membasahi leher. Akan tetapi hal itu tidaklah menyiksa benar. Yang
lebih menyiksa adalah bahwa dia sama sekali tidak mampu
menggerakkan tubuhnya, bukan hanya karena diikat pada bangku,
melainkan karena tertotok. Menggerakkan kepalapun tidak mampu!
Agaknya, Beng-cu dan para pembantunya tidak lagi memperhatikan
dia. Kini ada pelayan datang membawa hidangan dan mereka mulai
makan minum sambil tertawa-tawa. Itukah yang dimaksudkan mereka
515 untuk menyiksanya" Memaksa dia melihat, atau lebih tepat
mendengarkan orang-orang berpesta"
Hwesio yang masih memejamkan matanya itu tersenyum di dalam
hati. Agaknya para penjahat ini tidak tahu bahwa dia, sebagai seorang
hwesio, sudah lama sekali menalukkan nafsu makan enak. Mendengar
atau bahkan melihat sekalipun orang-orang makan enak, seujung
rambut dia tidak kepingin!
"Tukk......! Tukk.....! Tukkk......!!"
Terdengar keluhan keluar dari mulut Loan Khi Hwesio! Air yang
menimpa kepalanya itu, setetes demi setetes, kini tidak lagi terasa
seperti tetesan air biasa! Melainkan terasa amat menyakitkan. Air
setetes itu seperti berubah menjadi sebutir baja yang keras dan berat!
Dia tidak tahu bahwa air yang menetes-netes satu-satu dan yang
menimpa di suatu titik tertentu, memiliki kekuatan yang amat dahsyat.
Batu dan besi saja lama-lama akan dapat berlubang tertimpa air setetes
demi setetes di tempat yang sama, apa lagi kepala orang!
Kini setiap tetes air yang menimpa kepala terasa seperti palu godam
dan mendatangkan suara berdengung di telinganya, rasa nyeri yang
sukar dapat dipertahankannya lagi! Dia masih menyerah, akan tetapi


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena tadinya dia tidak mengira akan mengalami siksaan seperti ini,
maka penyerahannya berbeda dengan tadi ketika tulang jari-jari
tangannya dipatahkan. Kini dia mengaduh, mengeluh, menjerit dan
meraung! Beng-cu dan para pembantunya masih makan minum dengan lahap.
Akan tetapi, diam- diam Beng-cu dan para pembantunya
516 memperhatikan keadaan pendeta yang sedang mengalami penyiksaan
hebat itu dan senyum Siauw-bin Ciu-kwi melebar. Bagus, pikirnya,
hwesio itu mulai merasakan hebatnya penyiksaan itu dan tidak
mungkin dia mampu bertahan sampai detik terakhir!
Kini keadaan Loan Khi Hwesio semakin payah. Setiap kali air
menetes dan menimpa kepalanya, tubuhnya tergoncang hebat lalu
menggigil. Hek-giam-ong Lok Hun yang sudah biasa menjadi algojo penyiksa
dan pembunuh, tahu saatnya yang tepat, maka dia sudah menghampiri
hwesio itu lalu membebaskan totokannya. Begitu dibebaskan, keadaan
hwesio itu semakin tersiksa. Dia berusaha mengelak dari serangan air
yang menetes, akan tetapi tenaganya sudah habis dan dia hanya
mampu menggerakkan sedikit saja kepalanya. Kembali air menimpa
dan dia meraung! "Bodoh, membiarkan diri tersiksa seperti ini hanya karena sepotong
peta yang tidak ada harganya!" Kini Siauw-bin Ciu-kwi menghampiri
dan mengejek. "Peta itu hanya merupakan barang duniawi, mengapa
engkau sebagai seorang pendeta masih begitu kukuh
mempertahankannya" Katakanlah di mana peta itu dan engkau akan
kubebaskan!" Dalam keadaan setengah sadar dan hampir gila oleh rasa nyeri, mulut
pendeta itu berkata lemah, "......pinceng..... berikan... kepada
dermawan Thio...... dermawan Thio....." Diapun terkulai dan
nyawanya melayang. Serangan air yang menetes-netes itu telah mencabut nyawanya. Lebih
baik begitu kiranya bagi hwesio yang bernasib malang ini. Banyak
517 korban siksaan seperti itu bernasib lebih buruk lagi, yaitu tidak mati
akan tetapi hidup sebagai seorang yang sinting,
PENGAKUAN terakhir dari hwesio itu membuat Siauw-bin Ciu-kwi
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, sungguh manjur sekali cara memaksa
orang mengaku dengan air menetes itu, ha-ha-ha!"
Kemudian suara ketawanya berhenti dan dia mengerutkan alisnya,
memandang kepada para pembantunya, "Dermawan Thio" Siapakah
itu" Cin Si, kuserahkan tugas ini kepadamu! Carilah orang yang
disebut dermawan Thio itu sampai dapat!"
Tok-sim Nio-cu tersenyum manis. "Jangan khawatir, Beng-cu. Kau
serahkan urusan ini kepadaku dan tentu beres! Kalau memang benar
ada orang yang dimaksudkan itu, tentu akan segera dapat kutemukan!"
Pertemuan itu berakhir dengan masuknya Siauw-bin Ciu-kwi ke
dalam kamarnya sendiri, ditemani oleh enam orang dayangnya dan
malam itu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si meninggalkan sarang itu untuk
melaksanakan tugas vang diberikan kepadanya.
Mayat hwesio itu dikubur tanpa upacara oleh anak buah Siauw-bin
Ciu-kwi dan tak seorangpun di antara penduduk di sekitar daerah itu
yang mengetahui apa yang terjadi dengan kepala kuil yang biasanya
hidup tenteram dan damai itu dan ke mana dia menghilang. Para
hwesio lainnya dalam kuil itupun hanya dapat bercerita bahwa kepala
kuil itu diculik empat orang yang tidak mereka kenal!
"Y" 518 Bintangnya memang sedang terang cemarlang! Dengan lenggang yang
ringan dan hati penuh kegembiraan, Thio Kee San meninggalkan
rumah judi itu dan pergi menuju ke Rumah Merah, yaitu sebuah
rumah pelesir di sudut kota Nan-cang.
Senja telah mendatang dan dia tidak mau terlambat. Dia harus tiba di
rumah pelesir itu sebelum Bi Hwa, bunga Rumah Merah itu dipesan
laki-laki lain! Baru saja dia meninggalkan rumah judi dengan
kemenangan yang cukup banyak di dalam saku bajunya. Bi Hwa tentu
akan girang bukan main! Thio Kee San adalah seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun.
Hidupnya membujang dan dia memiliki sebuah perahu pelesir di
Telaga Po-yang di mana dia menyewakan perahu dan memperoleh
nafkahnya dari pekerjaan itu. Hasil pekerjaannya itu cukup memadai,
bahkan lebih dari cukup untuk keperluan hidupnya yang hanya
membujang. Bahkan kelebihannya dapat dia pakai untuk memuaskan
kesenangannya, yaitu berjudi dan bersenang-senang dengan wanita
pelacur di Rumah Merah! Baru beberapa bulan ini, dia akrab sekali dengan Bi Hwa, bunga
Rumah Merah. Hubungan mereka bukan sekedar hubungan seorang
pelacur dan langganannya. Sama sekali bukan. Lebih mendalam dari
pada sekedar pelesir. Agaknya ada perasaan kasih sayang di antara
mereka dan bagi Bi Hwa. Thio Kee San adalah seorang pria yang amat mencintanya, yang
memberikan apa saja kepadanya! Dan memang Kee San seorang
bujangan yang tak pernah menyimpan uang. Kalau ada kelebihan
519 uangnya, dia hamburkan dan berikan kepada siapa saja yang
disukanya. Bahkan sering sekali dia mendermakan uangnya kepada kuil yang
dipimpin oleh Loan Khi Hwesio, kuil di dekat Telaga Po-yang di
mana dia pernah memperoleh pertolongan. Ketika dia menderita
penyakit payah dan semua temannya sudah mengira bahwa dia tentu
akan mati karena segala macam obat tidak ada yang dapat
menyembuhkannya, kuil itulah yang menolongnya. Dia minta obat ke
kuil itu dan menerima semacam obat sederhana yang kemudian
ternyata mampu menyembuhkannya!
Karena itu, setiap kali dia mempunyai kelebihan uang, kalau tidak
dipakai untuk bersenang-senang, tentu akan didermakan kepada Loan
Khi Hwesio. Karena perbuatan inilah, maka Loan Ki Hwesio dan para
hwesio di kuil itu menganggapnya sebagai orang yang amat budiman,
dan menyebut dia "Dermawan Thio"!
Tentu saja hati Kee San pada sore hari itu gembira bukan main. Sudah
beberapa hari dia tidak mengunjungi Bi Hwa yang menjadi
kekasihnya. Bukan karena Bi Hwa enggan menerimanya kalau dia
tidak membawa uang, sama sekali tidak. Akan tetapi dia sendiri yang
merasa malu. Beberapa hari ini dia memang tidak memiliki uang dan nasibnya baru
sial, kalah melulu dalam perjudian. Dia malu kalau harus berkunjung
ke Rumah Merah tanpa uang yang cukup di sakunya. Malu karena
tidak akan dapat mengajak Bi Hwa berpesta, malu pula kepada Bibi
Ciang yang mengurus Rumah Merah itu, biarpun Bi Hwa tidak akan
520 segan-segan dan tidak akan merasa sayang untuk mengeluarkan
uangnya sendiri untuk mereka berdua.
Dan hari ini dia menang cukup banyak! Dapat dia pergunakan untuk
bersenang-senang dengan Bi Hwa yang sudah amat dirindukannya.
Bukan uang kemenangan yang cukup banyak itu saja yang akan
dihamburkan bersama Bi Hwa dan sisanya akan diberikan kepada Bi
Hwa semua, akan tetapi di samping itu ada sebuah benda lain yang
akan dia berikan kepada kekasihnya itu.
Seperti yang sudah dibayangkannya, Bi Hwa menyambut
kedatangannya dengan gembira sekali. Biarpun dia belum
memberitahu akan kemenangannya, wanita itu sudah menyambutnya
dengan wajah cerah, dengan senyum manis, pandang mata penuh
kasih, dan dengan rangkulan dan cumbuan yang menyatakan betapa
rindunya wanita itu kepadanya. Sikap ini saja sudah mengayun
perasaan Kee San ke sorgaloka, karena baginya sikap ini
menunjukkan bahwa wanita pelacur itu sungguh-sungguh mencinta
dirinya, bukan sekedar mengharapkan uangnya!
Kegembiraan Bi Hwa bertambah ketika kekasihnya itu menceritakan
tentang kemenangannya yang cukup banyak di meja judi. Mereka lalu
berpesta, menghadapi hidangan yang lezat dan anggur yang sedap.
Dan malam itu mereka saling melepas rindu, dan Bi Hwa berhasil
membuat Kee San berjanji bahwa pria itu akan mengumpulkan uang
agar dapat menebus diri kekasihnya dari Bibi Ciang sehingga mereka
dapat menjadi suami isteri yang sah.
"Koko, percayalah bahwa hatiku selalu tersiksa setiap kali ada pria
meniduriku dan aku teringat kepadamu. Aku benci pekerjaan ini
521 setelah aku bertemu denganmu, koko. Aku ingin menjadi isterimu,
ingin menjadi..... ibu anak-anakmu......"
Kee San merasa terharu. Sampai berusia empatpuluh tahun, dia sendiri
tidak pernah memikirkan berumah tangga, akan tetapi kini wanita ini,
biar hanya seorang pelacur, namun sungguh amat menarik hatinya dan
dia akan merasa berbahagia kalau dapat hidup bersama Bi Hwa
selamanya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka sudah bangun dari tidur dan
mereka bercakap-cakap. Agaknya berat bagi Bi Hwa untuk melepas
kekasihnya pergi, dan berat pula bagi Kee San untuk meninggalkan
kekasihnya. Akan tetapi, dia harus pergi, harus ke telaga untuk
mencari nafkah karena hari itu kabarnya banyak pengunjung datang
berpesiar ke telaga. Dia mengeluarkan seluruh isi kantungnya dan
diberikannya semua sisa uangnya kepada Bi Hwa. Wanita ini menjadi
terharu. "Koko, semua uang pemberianmu kusimpan dan kutabung agar kelak
dapat kita pergunakan untuk menebus diriku. Harap engkau jangan
lagi bermain judi, koko. Hari ini engkau menang akan tetapi hari esok
berturut-turut engkau akan kalah. Demikianlah perjudian, sekali
menang lima kali kalah. Engkau kumpulkan uang agar cepat dapat
membebaskan diriku, koko."
Kee San mengangguk-angguk, membenarkan ucapan kekasihnya.
"Baik, Bi Hwa, mulai hari ini aku akan rajin mencari uang dan
menyerahkannya kepadamu agar cepat terkumpul jumlah untuk
menebus dirimu. Ah, benar, aku masih mempunyai sebuah benda yang
amat berharga. Biar engkau saja yang menyimpan benda itu."
522 "Benda berharga apakah itu, koko?" tanya Bi Hwa sambil memandang
penuh perhatian ketika kekasihnya mengeluarkan sebuah gulungan
kain kuning dari saku bajunya.
"Isi gulungan kain ini adalah sebuah potongan peta kuno yang
kuterima dari Loan Khi Hwesio, kepala kuil di dekat telaga sana.
Karena terima kasihnya kepadaku yang sudah banyak memberi derma
kepada kuil, maka dia menyerahkan peta ini kepadaku."
"Peta kuno" Untuk apa, koko" Mengapa pula amat berharga?"
"Aku sendiri tidak tahu peta apa, akan tetapi menurut Loan Khi
Hwesio, banyak sekali orang memperebutkan peta ini. Kalau mereka
tahu bahwa peta ini ada padaku, mereka akan berebut untuk
membelinya dariku dan harganya cukup untuk menebus kebebasan
dirimu!" Mata yang indah itu terbelalak. "Sepuluh tail emas?"
"Ya, bahkan lebih dari itu! Peta ini merupakan rahasia tempat
persembunyian harta karun dan ini merupakan setengah dari peta yang
lengkap. Yang setengah lagi entah berada di tangan siapa. Demikian
kata Loan Khi Hwesio, aku sendiri belum pernah membukanya."
"Kenapa dia memberikan kepadamu dan tidak menjualnya saja
sendiri?" Kee San tersenyum dan merangkul kekasihnya. "Loan Khi Hwesio
adalah seorang pendeta, bukan seorang pedagang. Dia
menyerahkannya kepadaku, tentu merasa yakin bahwa aku akan
menyerahkan sebagian hasil penjualannya untuk kuil."
523 "Lalu bagaimana engkau akan menjualnya?"
"Kalau ada yang mencarinya, akan kutemui orangnya dan
kutawarkan......, dan kita akan memiliki modal untuk berdagang,
setelah kau kutebus dari Bibi Ciang. Nah, kausimpan ini baik-baik, Bi
Hwa dan jangan beritahukan kepada siapapun juga tentang peta kuno
ini." Bi Hwa menerima gulungan kain itu dan menyimpannya di tempat
yang aman. Dengan penuh harapan Bi Hwa menyongsong hari baik
itu, yaitu hari di mana ia dibebaskan sebagai pelacur, menjadi isteri
Kee San dan mereka memulai hidup baru, dengan memiliki uang
modal hasil penjualan peta kuno dan hidup berbahagia!
Sementara itu, dengan hati penuh kegembiraan karena kenangan yang
amat manis dari Bi Hwa masih melekat di hati dan masih terasa di
badan, Kee San menuju ke Telaga Po-yang untuk bekerja
menyewakan perahunya kepada para pelancong. Seperti juga Bi Hwa,
harinya penuh harapan masa depan yang amat cerah, memiliki modal
berdagang, dan wanita yang dicintanya setiap hari siang malam
menemaninya! Bi Hwa akan menjadi miliknya sendiri, tidak perlu lagi dia harus
membagi kekasihnya itu dengan pria-pria lain yang berani membeli,
atau menyewa diri Bi Hwa seperti sekarang ini. Ingatan ini selalu
menghantuinya, selalu mengganggu perasaannya. Setiap kali
perahunya disewa orang, dia pasti teringat kepada Bi Hwa, yang
seperti juga perahunya, dapat dipakai siapa saja yang sanggup
membayar dan menyewanya! 524 Benar seperti telah didengarnya, hari itu telaga yang indah, Telaga Poyang didatangi banyak tamu. Kee San tidak perlu menanti lama.
Perahunya adalah sebuah di antara perahu-perahu terindah di telaga
itu, dengan bentuk yang kokoh, tempat duduk yang bersih dan dicat
baru, dengan layar yang belum ada tambalannya lagi.
Di antara para tamu yang memenuhi bandar di tepi telaga, terdapat
pula seorang wanita cantik yang pakaiannya indah. Wajahnya yang
manis itu dirias sehingga nampak semakin cerah, senyumnya memikat
dan sepasang matanya memiliki kerling yang tajam sehingga tidak ada
pria yang bertemu dengan wanita ini yang tidak memandang dengan
penuh pesona dan beberapa kali menengok. Wanita berusia tigapuluh
tahun dan yang memiliki daya tarik kuat ini bukan lain adalah Lui Cin
Si atau Tok-sim Nio-cu (Nona Berhati Racun)!
Tidak sukar bagi wanita yang berpengalaman ini untuk mencari
dermawan Thio! Ia menerima tugas dari Siauw-bin Ciu-kwi dan
langsung saja ia pergi ke kuil di mana mendiang Loan Khi Hwesio
menjadi ketuanya. Untung bahwa ketika anak buah Beng-cu menculik
Loa Khi Hwesio dari kuil ini dan melukai lima orang hwesio di situ, ia
tidak ikut sehingga para hwesio itu tidak mengenalnya.
Ia beraksi sebagai seorang ibu rumah tangga yang bersembahyang
mohon berkah di kuil itu, dan dengan royal ia memberi uang
sumbangan kepada hwesio penjaga yang masih kelihatan pucat karena
luka pukulan yang dideritanya belum sembuh benar. Tentu saja
hwesio itu merasa girang dan mendoakan kepada Lui Cin Si agar
semua permintaannya dalam sembahyangan itu akan terkabul.
525 Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Tok-sim Nio-cu Lui Cin
Si untuk bertanya di mana tempat tinggal dermawan Thio yang pernah
didengarnya sebagai seorang yang berbudi dan suka menderma
kepada kuil. Hwesio yang sama sekali tidak menduga buruk itu
menerangkan bahwa dermawan Thio bernama Thio Kee San, pemilik
perahu yang suka menyewakan perahu di Telaga Po-yang.
Begitu mendengar keterangan ini, Tok.sim Nio-cu bergegas pergi
meninggalkan kuil dan langsung saja ia pergi ke Telaga Po-yang dan
pada pagi hari itu iapun berada di antara banyak pelacong yang
memenuhi bandar Telaga Po-yang.


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tempat ini, tidak sukar pula baginya untuk memperoleh keterangan
tentang Thio Kee San. Akan tetapi karena perahu milik Kee San telah
disewa orang, terpaksa ia menyewa sebuah perahu lain, sebuah perahu
kecil yang didayung sendiri ke tengah telaga. Karena sudah
memperoleh keterangan yang cukup jelas tentang bentuk, warna cat
dan warna layar dari perahu milik Kee San, maka iapun mulai mencari
perahu yang dimaksudkan itu.
Akhirnya, setelah bersusah payah mendayung perahu menyusup di
antara banyak perahu di telaga, ia melihat warna perahu dan layar
milik Kee San itu berada di ujung telaga yang sunyi. Tidak ada perahu
lain di sana, hanya sebuah perahu itu, maka dengan cepat didayungnya
perahu kecilnya itu mengejar ke sana.
Kebetulan, pikirnya, di tempat yang sepi itu ia segera dapat bertindak,
tanpa diketahui orang lain, kecuali tentu saja mereka yang menyewa
perahu Kee San itu. Akan tetapi itu merupakan persoalan yang mudah
saja. Apa artinya beberapa orang melihat ia menculik Kee San" Kalau
526 perlu, bunuh saja mereka dan habis perkara! Soal bunuh membunuh
ini merupakan makanan sehari-hari bagi seorang tokoh, sesat seperti
Tok-sim Nio-cu! Akan tetapi, alangkah terkejut rasa hati tokoh sesat ini ketika
perahunya sudah mendekati perahu besar milik Kee San, ia melihat
seorang laki-laki dihajar oleh tiga orang laki-laki yang tinggi besar
seperti raksasa! Laki-laki itu dijadikan bulan-bulan pukulan dan
tendangan mereka dan dari jauh Tok-sim Nio-cu melihat betapa lakilaki yang dipukuli itu sama sekali bukan lawan mereka, dan agaknya
tiga orang tinggi besar itu memaki-maki sedangkan yang dipukuli
menjerit-jerit kesakitan!
Tok-sim Nio-cu tidak tahu siapa mereka, akan tetapi melihat sikap
tiga orang laki-laki tinggi besar itu, dengan mudah ia mengetahui
bahwa mereka adalah ahli-ahli silat yang pandai. Oleh karena itu,
tidak sukar baginya untuk menduga bahwa yang dipukuli itu tentulah
orang yang dicarinya, yaitu Thio Kee San!
Wanita perkasa itu mengerahkan tenaganya dan perahu kecilnya
meluncur dengan amat cepatnya. Ketika tiba di dekat perahu besar,
sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah meloncat ke atas perahu besar.
Akan tetapi, bukan main marahnya hati Tok-sim Nio-cu ketika
melihat bahwa laki-laki yang dipukuli itu telah tewas.
Ia memandang kepada tiga orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa
itu yang juga memandang kepadanya dengan terkejut dan heran. Siapa
yang tidak heran melihat betapa tiba-tiba saja muncul seorang wanita
cantik di perahu itu, muncul seperti setan saja"
527 Melihat tiga orang laki-laki yang berwajah bengis dan bertubuh
raksasa ini, Tok-sim Nio-cu mengerutkan alisnya. Ia sudah pernah
mendengar tentang mereka ini walaupun belum pernah saling jumpa.
"Hemm, kiranya Po-yang Sam-liong (Tiga Naga dari Po-yang) yang
berada di sini!" katanya dengan nada suara mengejek, senyumnya
manis namun mengandung pandang mata merendahkan.
Tiga orang tinggi besar itu memang menyeramkan. Tubuh mereka
hampir satu setengah, kali tubuh laki-laki normal dan tubuh itu kokoh
kekar penuh otot-otot menggelembung. Mereka kini saling pandang,
merasa heran betapa wanita cantik ini telah mengenal mereka.
"Heh-heh, Leng-te (adik Leng), apakah diam-diam engkau
mempunyai simpanan wanita begini cantiknya dan kini ia menyusul
ke sini?" berkata seorang di antara mereka yang berewok. Dia adalah
Poa Seng, orang tertua di antara tiga bersaudara yang dijuluki Po-yang
Sam-liong itu. Poa Leng yang berkepala botak itu menggaruk botaknya sambil
menyeringai, "Uwah, sayang aku tidak kenal dengannya. Mungkin
Teng-te yang diam-diam mempunyai peliharaan yang cantik ini?"
Poa Teng yang mulutnya ompong tertawa, akan tetapi segera
menutupi mulutnya yang ompong agar tidak kelihatan oleh wanita
cantik itu. "Tidak, akupun tidak kenal dengannya. Sayang sekali!
Akan tetapi sekarang kita berkesempatan untuk mengenalnya,
bukan?" Dua orang kakaknya tertawa dan si berewok Poa Seng yang
menjadi orang tertua, memandang kepada wanita itu dengan penuh
selidik. 528 "Nona cantik, siapakah engkau yang telah mengenal kami" Dan mau
apa engkau datang ke sini?"
Tiga orang ini tidak begitu heran bahwa wanita ini mengenal mereka.
Mereka adalah tiga orang tokoh yang seolah-olah menguasai Telaga
Po-yang. Semua pedagang dan pemilik perahu setiap bulan membayar
"pajak" kepada mereka melalui kaki tangan mereka. Walaupun
mereka sendiri jarang turun tangan ke lapangan, hanya mengutus anak
buah, namun nama mereka dikenal semua orang di daerah telaga itu.
Yang membuat mereka heran adalah bahwa wanita cantik itu seorang
diri berani menemui mereka dengan cara yang cukup mengejutkan,
yaitu meloncat dari perahu kecil ke atas perahu besar, membuktikan
bahwa wanita ini memiliki kepandaian. Anehnya, mereka bertiga
belum pernah mengenalnya!
"Aku datang untuk mencari Thio Kee San!" jawab Tok-sim Nio-cu
sambil lalu dan memandang kepada tubuh laki-laki yang menggeletak
tak bernyawa lagi di atas papan perahu. Ia tidak memperkenalkan diri,
seolah merasa terlalu tinggi untuk memperkenalkan nama besarnya
kepada orang-orang rendahan!
Kembali tiga orang raksasa itu saling pandang dan si berewok tertawa
bergelak. "Mencari Thio Kee San" Nah, itu dia orangnya!"
Biarpun tadinya sudah menduga bahwa tentu orang yang disiksa itu
Thio Kee San yang dicarinya, ketika mendengar hal ini Tok-sim Niocu terkejut dan marah sekali. Celaka, tugasnya menjadi kacau karena
ulah tiga orang ini. Akan tetapi, tiga orang ini adalah tokoh-tokoh
529 besar Telaga Po-yang, tentu mereka membunuh Thio Kee San bukan
tanpa alasan! Jangan-jangan merekapun menghendaki peta kuno itu dari tangan
Thio Kee San, dan siapa tahu mereka telah merampas peta itu!
Dengan sinar mata mencorong, ia menghadapi tiga orang raksasa itu.
"Kalian berani membunuh orang yang sedang kubutuhkan?"
Mendengar ucapan itu, si botak tertawa.
"Ha-ha-ha, dia sudah mati, nona! Akan tetapi jangan khawatir, masih
ada kami bertiga yang kiranya lebih dari cukup untuk menemanimu
sepuasmu. Betul tidak, Seng-ko dan Teng-te?"
Dua orang itu tertawa membenarkan.
Tok-sim Nio-cu sudah marah sekali. Ingin rasanya sekali serang ia
membunuh mereka itu. Akan tetapi ia adalah seorang wanita yang
amat cerdik. Tidak, ia harus menahan kemarahannya. Tidak boleh ia
membunuh mereka. Pertama, mereka itu masih amat berguna baginya
apalagi setelah Thio Kee San tewas.
Tentu rahasia itu telah berpindah tangan, ke tangan mereka! Ia harus
dapat menyelidiki hal ini dan kalau benar peta itu telah berada di
tangan mereka, ia harus merampasnya dari mereka. Dan menyerang
mereka di perahu ini, sungguh tidak baik. Mereka terkenal sebagai
tiga orang tokoh telaga, sedikit banyak mereka tentu pandai berenang,
jauh lebih pandai dari ia sendiri yang hampir tidak pandai renang.
530 Kalau berkelahi di situ dan mereka itu menggulingkan perahu, ia akan
celaka! Ia harus memancing mereka mendarat, baru ia merasa aman
untuk bertanding melawan mereka. Pula ia tidak boleh membunuh
mereka, setidaknya seorang di antara mereka harus dibiarkan hidup
sebelum peta itu dapat ia temukan.
Dengan menekan kemarahannya, Tok-sim Nio-cu kini tersenyum.
Manis sekali. "Hemm, aku tertarik kepada orang she Thio ini karena dia
menjanjikan banyak uang kepadaku. Dia sudah berjanji akan menanti
di bandar, akan tetapi meninggalkan aku, maka aku menyusulnya.
Sekarang, dia sudah mampus, kalau kalian bertiga sejantan dia dan
juga seroyal dia, tentu saja akupun lebih menyukai yang hidup dari
pada yang mati." Ia memainkan bibirnya dengan pandai sekali
sehingga ketika bicara, mulutnya seperti menantang penuh gairah.
Tiga orang raksasa itu tentu saja menjadi gembira sekali. Si berewok
langsung saja menggunakan lengannya yang besar dan panjang untuk
merangkul pinggaug Tok-sim Nio-cu dan mengangkatnya tinggitinggi, lalu mencium bibir itu dengan kasar!
Tok-sim Nio-cu membalas ciuman itu penuh gairah dan memang ia
adalah seorang wanita yang sudah berpengalaman. Walaupun hatinya
merasa mendongkol sekali, namun ia dapat memperlihatkan sikap
yang memikat. Ia meronta manja.
"Lepaskan......! Lepaskan aku, aku tidak mau kalau di sini......,
lepaskan......!" 531 Sambil tertawa, si berewok yang sudah mulai panas itu melepaskan
wanita yang meronta manja. "Kenapa, manis" Bukankah engkau juga
suka?" "Tentu saja aku suka, akan tetapi tidak di sini. Aku...... aku ngeri dan
suka mabuk air. Pula, dengan adanya mayat itu, bagaimana mungkin
hatiku bisa tenteram" Marilah kita ke darat dan di sana baru kita
benar-benar dapat menikmati kesenangan. Asalkan kalian benar jantan
dan royal seperti orang she Thio itu!" Berkata demikian, Tok-sim Niocu mengerling dengan sikap menantang.
Tiga orang bersaudara itu girang sekali. "Mari kita ke darat," kata si
berewok kepada dua orang adiknya. "Kita tinggalkan saja mayat itu di
sini. Takkan ada yang menyangka kita yang melakukan."
"Andaikata ada yang menyangkapun, perduli apa?" kata si botak.
"Benar," kata yang ompong. "Kita katakan saja bahwa dia tidak
membayar pajak dan melawan kita, lalu terpaksa kita membunuhnya!"
"Mari kita cepat pergi, kita pergunakan perahuku!" kata Tok-sim Niocu kepada mereka.
Mereka berempat lalu berloncatan ke atas perahu kecil itu dan melihat
cara mereka meloncat dan tiba di perahu tanpa menimbulkan banyak
guncangan mengertilah Tok-sim Nio-cu bahwa tiga orang ini memang
lihai dan tidak boleh dipandang rendah.
Nio-cu mendayung perahunya dengan cepat, menuju ke pantai yang
sepi, pantai yang merupakan sebuah hutan kecil. Setelah tiba di darat,
532 iapun meloncat ke atas daratan dengan gerakan yang demikian cekatan
sehingga mengejutkan tiga orang raksasa itu.
Mereka bertigapun berloncatan ke darat dan kini sikap Tok-sim Niocu berubah. Ia berdiri sambil bertolak pinggang menanti mereka
bertiga mendarat dan kini ia menghadapi mereka dengan sikap
angkuh. "Po-yang Sam-liong, sekarang dengarlah baik-baik. Kalian telah
berlancang tangan membunuh Thio Kee San! Oleh karena itu kalian
harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu dan katakan kepadaku,
mengapa kalian membunuhnya" Dengan alasan apa kalian membunuh
orang she Thio itu?"
Melihat perubahan sikap ini, dan jelas kelihatan betapa wanita itu
tidak menghormati mereka bahkan memandang rendah, si berewok
Poa Seng marah sekali. "Haiii, nona! Ketahuilah bahwa kami sudah biasa memberi hadiah
besar kepada orang yang menyenangkan hati kami, akan tetapi akan
kami bunuh orang yang membikin kami marah! Kenapa sikapmu
berubah-ubah dan engkau ternyata palsu" Awas, jangan membikin aku
marah karena engkau tentu akan mengalami siksaan hebat!"
Tok-sim Nio-cu yang berniat untuk menundukkan tiga orang ini agar
ia dapat merampas peta yang dikehendaki, menjebikan bibirnya yang
merah dan yang tadi membalas ciuman si berewok dengan panas
penuh gairah. "Huh, apa artinya srigala-srigala membentak seekor
singa betina" Kalian yang mencari mampus kalau kalian berani
berlagak di depanku!"
533 Tiga orang itu terkejut dan marah bukan main. "Seng-ko, serahkan
saja perempuan ini padaku. Aku akan membekuknya dan kita perkosa
dia lalu serahkan kepada anak buah agar ia dipermainkan sampai
mati!" Poa Teng yang ompong membentak, dan biarpun gigi
ompongnya membuat kata-katanya tidak begitu jelas, namun cukup
dimengerti oleh Nio-cu yang menghadapinya dengan mata bernyala.
Tanpa menanti persetujuan kakaknya, Poa Teng sudah menubruk
dengan mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan kokoh
kuat itu untuk memeluk Nio-cu, gerakannya seperti seekor biruang
menyerang seekor kijang muda. Akan tetapi, tubrukan itu mengenai
tempat kosong dan hampir tidak nampak olehnya ketika tubuh Nio-cu
berkelebat amat cepat, meloloskan diri melalui, bawah lengan
kanannya. Poa Teng cepat membalik dan untung dia tidak terlambat karena saat
itu, Nio-cu sudah membalas dengan tendangan kakinya yang cepat
dan kuat. Poa Teng miringkan tu-buhnya dan lengannya yang panjang
bergerak cepat ketika tangannya berusaha menangkap kaki yang
menendangnya itu. Namun, kaki itu sudah ditarik kembali dan
sebelum Poa Teng sempat menyerang lagi, tangan kiri Nio-cu sudah
menyambar. Demikian cepatnya sambaran tangan itu sehingga tahutahu pipi kanan Poa Teng terkena tamparan keras.
"Plakkk!" Poa Teng terbatuk-batuk dan melangkah mundur, mukanya
menjadi merah sekali. Giginya yang tinggal beberapa buah itu, kini
copot lagi dua buah yang di kanan oleh tamparan tadi, dan sialnya,
dua buah gigi itu copot dan meloncat ke dalam memasuki perutnya!
534 "Perempuan keparat, kubunuh kau!" bentaknya marah dan diapun
menyerang kalang kabut, kedua lengannya yang panjang itu
menyambar-nyambar dan jari-jari tangannya mencengkeram, kakinya
yang panjang dan besar menendang-nendang.
Namun semua itu dapat dielakkan oleh Nio-cu dengan amat
mudahnya karena memang ia memiliki tingkat kepandaian yang jauh
lebih tinggi. Apa lagi wanita ini memang memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang sudah matang, membuat ia mampu bergerak
seperti seekor burung walet saja.
Kalau Tok-sim Nio-cu menghendaki, agaknya tidak sukar baginya
untuk merobohkan lawannya, bahkan membunuhnya. Akan tetapi ia
tidak bermaksud membunuh mereka sebelum peta itu berada di
tangannya. Tiga orang ini merupakan jejak terakhir untuk menemukan
peta setelah orang she Thio itu tewas.
"Plak-plakk!" Kini tubuh Poa Teng terpelanting dan terbanting keras
oleh tamparan yang disusul tendangan itu. Sambil bergulingan, Poa
Teng sudah mencabut senjatanya, yaitu seutas rantai baja yang tadi
melibat pinggangnya. Dari mulutnya mengalir darah, yaitu dari bekas
dua buah gigi yang copot tadi.
"Teng-te, tahan dulu!" Si berewok Poa Seng membentak dan dia
melangkah maju menghadapi Tok-sim Nio-cu, mengamati wanita itu
dengan penuh selidik. "Nona, bukankah engkau ini yang berjuluk
Tok-sim Nio-cu?" Wanita itu mengangguk dan bertolak pinggang. "Benar, akulah Toksim Nio-cu!"
535 Tiga orang laki-laki raksasa itu terkejut bukan main mendengar nama
ini. Sudah lama mereka mendengar akan nama Tok-sim Nio-cu,
seorang di antara para tokoh sesat yang terkenal lihai di Propinsi
Kiang-si. "Ah, kiranya Tok-sim Nio-cu yang sudah lama kami dengar nama
besarnya! Akan tetapi, sepanjang ingatan kami, kami Po-yang Samliong selamanya belum pernah bermusuhan denganmu! Kenapa hari
ini engkau sengaja hendak menentang kami, Nio-cu?" kembali si
berewok berkata, sikapnya jauh berbeda dari tadi, kini jelas agak jerih.
Bukan hanya nama besar wanita itu yang membuatnya jerih, akan
tetapi kenyataan betapa adiknya tadi sama sekali tidak berdaya
menghadapi kelihaian Nio-cu.
"Po-yang Sam-liong, dengarlah baik-baik. Aku diutus oleh Beng-cu
untuk menangkap Thio Kee San. Akan tetapi ternyata kalian telah


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lancang membunuhnya!"
"Beng-cu......" Kaumaksudkan...... yang terhormat Siauw-bin Ciukwi?" Si berewok berkata dan jelas bahwa dia dan adik-adiknya kini
merasa gentar sekali. Tentu saja mereka sudah mendengar akan nama
besar datuk yang menguasai hampir seluruh dunia kang-ouw di
Propinsi Kiang-si! "Benar sekali!"
"Tapi...... tapi... kami bertiga tidak pernah mengganggu beliau.......,
kami tahu diri dan kami hanya melakukan pekerjaan kecil di Poyang......"
536 "Hemm, kamipun tidak perduli akan pekerjaan kalian di sini. Akan
tetapi kalian sudah lancang membunuh orang yang dikehendaki Bengcu, itu berarti menentangnya! Untuk itu kalian harus bertanggung
jawab. Nah, katakan terus terang, mengapa kalian membunuh Thio
Kee San?" Tiga orang raksasa itu saling pandang, dan si berewok Poa Seng
berkata lantang, "Itu urusan kami, tidak ada sangkut-pautnya
denganmu, Nio-cu. Kami tidak bermaksud menentangmu atau Bengcu yang mulia. Dia kami bunuh karena urusan kami sendiri!"
Nio-cu mengerutkan alisnya. "Hemm, tidak perlu kausembunyikan
lagi. Kalian membunuhnya dan merampas sebuah peta kuno, bukan?"
Tiga orang itu kelihatan terkejut sekali. "Tidak, kami tidak merampas
peta darinya!" kata Poa Seng.
Nio-cu kecewa sekali mendengar ini dan dia memandang wajah penuh
berewok itu dengan tajam menyelidik. "Kalau bukan untuk merampas
selembar peta, lalu mengapa kalian membunuhnya" Hayo jawab!"
"Nio-cu, bagaimanapun juga, kami bukanlah anak buahmu, bukan
anak buah Beng-cu. Kami berhak hidup dan bekerja sendiri tanpa
mengganggumu. Urusan kami dengan Thio Kee San adalah urusan
kami sendiri dan tidak dapat kami ceritakan kepadamu."
"Bagus! Kalau begitu, jelas kalian menantangku!"
"Apa yang akan kaulakukan?" tanya pula si berewok yang memang
sudah merasa jerih. 537 "Kalau kalian tidak mau berterus terang, terpaksa aku akan
membunuh dua orang di antara kalian, dan menyeret yang seorang
lagi ke depan Beng-cu!"
Tiga orang itu nampak jerih, akan tetapi Poa Seng merasa betapa
kehormatan dia dan adik-adiknya diinjak-injak. Bagaimanapun juga,
mereka bertiga merupakan kelompok yang paling berkuasa di Poyang, ditakuti lawan disegani lawan. Karena merasa betapa mereka
kuat dan berkuasa, maka biarpun mendengar akan munculnya Siauwbin Ciu-kwi yang mengangkat diri menjadi Beng-cu, mereka tidak
mau tunduk dan tidak merasa menjadi bawahan datuk itu walaupun
tentu saja mereka tidak berani menentang dengan berterang.
Kini, muncul seorang pembantu Beng-cu itu, seorang wanita lagi dan
mereka dipandang rendah sekali. Namun, dia juga bukan orang bodoh.
Dia sudah mendengar banyak sekali tentang Beng-cu, seorang yang
kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa, dengan banyak
pembantunya yang lihai. Menentang dengan berterang sama saja
dengan mencari penyakit, bahkan dapat mati konyol.
"Nio-cu, engkau tahu bahwa selama ini kami sama sekali tidak berani
dan tidak pernah menentang kekuasaan Beng-cu. Hanya kami
menjauhkan diri dan bekerja sendiri di telaga ini. Sekarang, karena
engkau memaksa kami untuk membuka rahasia kami sendiri yang
tidak ada hubungannya denganmu, marilah kita berjanji begini saja.
Kalau engkau seorang diri dapat memenangkan kami bertiga, maka
kami akan menceritakan segalanya kepadamu, tanpa ada yang kami
rahasiakan lagi tentang Thio Kee San itu. Akan tetapi kalau
sebaliknya engkau tidak mampu menangkan kami bertiga, harap
engkau tidak lagi mengganggu kami. Bagaimana?"
538 Nio-cu tahu bahwa sebetulnya tiga orang raksasa itu takut kepada
Beng-cu. Akan tetapi karena ia hanya seorang diri, mereka melihat
kesempatan untuk lolos, atau melakukan penentangan dengan aman.
Kalau mereka kalah, mereka akan mengaku dan tidak akan terancam
nyawa mereka. Dan kalau mereka menang, tentu mereka dapat berbuat
apa saja, mungkin membunuhnya dan menghilangkan jejaknya. Bengcu tidak akan mengetahuinya! Nio-cu tersenyum mendengar usul itu.
"Kalian masih berhuntung bertemu dengan aku. Kalau kalian
berhadapan dengan Beng-cu sendiri atau pembantunya yang lain,
tentu kalian akan mati konyol! Baiklah, aku menerima tantanganmu!"
berkata demikian, Nio-cu yang maklum akan kelihaian tiga orang itu,
meloncat ke belakang sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang
pedang di tangan kanan dan sebuah kipas di tangan kiri!
Melihat wanita cantik itu telah siap siaga dengan sepasang senjata di
tangan, Po-yang Sam-liong juga tidak sungkan-sungkan lagi. Poa
Seng yang berewok mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan,
yaitu sebatang golok besar yang lebar dan mengkilap tajam, dengan
punggung golok berbentuk gigi gergaji. Poa Leng yang berkepala
botak memegang sebatang tombak pendek, sedangkan si ompong Poa
Teng memegang rantai bajanya. Mereka bertiga segera menggerakkan
kaki mengepung wanita itu dari tiga jurusan, membentuk Sha-kak-tin
(Barisan Segi Tiga), satu di depan, seorang di kanan dan seorang lagi
di kiri. Tok-sim Nio-cu yang cerdik maklum akan ketangguhan tiga orang
lawannya, maka iapun tidak mau keduluan. "Lihat senjata!" bentaknya
dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sekali, pedang di tangan
539 kanannya menyerang Poa Seng yang berada di depannya, kemudian
kipasnya juga menyambar dengan tertutup dan gagangnya menotok ke
arah dada Poa Leng di sebelah kirinya.
Dua orang itu cepat mengelak sambil menangkis dan pada saat itu,
Poa Teng yang tadi berada di sebelah kanan Nio-cu sudah memutar
rantai bajanya dan senjata itu menyambar ke arah kepala wanita itu.
Akan tetapi Nio-cu sudah memperhitungkan bahwa kalau ia
menyerang dua orang lawannya, tentu seorang pengeroyok yang tidak
diserangnya akan menyerang.
Cepat ia membalik ke kanan dan pedangnya meluncur ke arah perut
Poa Teng sambil merendahkan tubuh menekuk lutut. Poa Teng
terkejut bukan main. Rantainya menyambar lewat di atas kepala lawan
dan tahu-tahu pedang wanita itu sudah menyelonong ke arah
perutnya! "Uhhh......!" Dia berseru kaget dan melempar tubuh ke belakang.
Untung ada dua orang saudaranya yang cepat menyerang Nio-cu
sehingga wanita ini tidak dapat mendesak Poa Teng yang terhuyung
ke belakang ketika melempar tubuh ke belakang itu. Nio-cu sudah
memutar pedangnya, menangkis dua senjata lawan yang
menyerangnya, kemudian begitu tangan kirinya mengebut, sinar-sinar
lembut menyambar ke arah Poa Seng dan Poa Leng!
Dua orang itu terkejut dan cepat sekali mereka melempar tubuh ke
kanan kiri sambil memutar senjata. Sinar-sinar hitam lembut itu
adalah jarum-jarum hitam halus yang menyambar keluar dari ujung
gagang kipas ketika kipas itu dikebutkan!
540 Karena ketiga orang lawannya terhuyung, Nio-cu tidak menyianyiakan kesempatan ini. Pedangnya diputar cepat, juga kipasnya
menotok dan akibatnya Poa Leng yang kurang cepat mempergunakan
tombak pendeknya untuk melindungi diri, telah kena di?cium
pundaknya oleh ujung pedang. Baju bagian pundaknya robek berikut
kulit dan sedikit daging. Darah mengalir dan Poa Leng terhuyung ke
belakang! Melihat betapa adiknya terluka, Poa Seng terkejut. Dia memutar
goloknya dengan maksud mendesak dan memberi kesempatan kepada
kedua adiknya untuk melakukan serangan balasan. Namun, pedang di
tangan Nio-cu juga diputar cepat dan membentuk sinar bergulunggulung yang lebih cepat sehingga gulungan sinar pedang itu dapat
memasuki gulungan sinar golok dan tahu-tahu ujung pedang itu sudah
menggurat pergelangan tangan yang memegang golok!
"Auhhh......!" Poa Seng terkejut, menarik kembali goloknya, akan
tetapi kaki Nio-cu yang dapat bergerak cepat sudah mengirim
tendangan. "Dukk!!" Lutut kanan Poa Seng tercium ujung sepatu dan tanpa dapat
dipertahankannya pula, dia jatuh bertekuk lutut!
Dua orang adiknya menyerang membabi buta, namun gerakan mereka
itu terlalu kasar dan lamban bagi Nio-cu yang memiliki tingkat
kepandaian jauh lebih tinggi sehingga semua serangan mereka dapat
dielakkan atau ditangkis. Belum lewat tigapuluh jurus, kembali
pedang di tangan kanan Nio-cu menemui sasaran, sekali ini paha kiri
Poa Teng yang terpelanting roboh. Darah bercucuran dari pahanya
yang terobek. 541 Melibat kenyataan pahit ini, Poa Seng segera berseru, "Tahan
senjata!" Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya akan kalah
dan tentu akan menderita lebih hebat lagi. Lawan ini terlampau
tangguh. Pada hal, ia hanya seorang wanita dan seorang pembantu dari
Beng-cu. Apa lagi kalau Beng-cu itu maju sendiri. Mengerikan! Pula,
dia teringat akan kemesraan dan kehangatan yang diperlihatkan Niocu tadi. Kalau mereka berteman, ada harapan sekali waktu dia akan
dapat menikmati kemesraan cumbuan wanita cantik itu.
Nio-cu menahan kedua senjatanya dan bagaikan bermain sulap saja,
pedang dan kipasnya sudah disimpannya kembali dan ia berdiri sambil
bertolak pinggang memandangi tiga orang bekas lawannya sambil
tersenyum. "Bagaimana pendapat kalian?"
Poa Seng mewakili kedua orang adiknya yang sudah terluka itu,
menjura kepada Nio- cu, menarik napas panjang dan berkata,
"Sungguh tidak kosong belaka nama besar Tok-sim Nio-cu, Kami
mengaku kalah!" katanya dengan jujur.
"Bagus! Karena aku sendiri adalah utusan dan pembantu Beng-cu,
maka kekalahan kalian itu berarti bahwa mulai saat ini kalian harus
pula membantu Beng-cu dan melaksanakan semua perintahnya.
Setujukah kalian?" Tiga orang itu maklum bahwa baru melawan seorang pembantu Bengcu saja mereka kalah, maka kalau mereka menentang Beng-cu sama
dengan bunuh diri! "Kami setuju!" kata mereka serempak.
542 "Ketahuilah bahwa aku diutus Beng-cu untuk menangkap orang she
Thio, karena kami mendengar bahwa orang itu yang menyimpan peta
rahasia Patung Emas! Akan tetapi ketika aku tiba di sini, ternyata
kalian sudah membunuh dia! Nah, apakan kalian telah merampas peta
itu" Kalau sudah, berikan kepadaku dan kalian berarti sudah berjasa
besar terhadap Beng-cu."
Tiga orang raksasa itu saling pandang dan kembali Poa Seng
menghela napas panjang. "Kami akan bercerita terus terang kepadamu, Nio-cu. Sesungguhnya
sudah lama kami mendengar tentang peta rahasia harta karun
bergambar patung emas itu. Namun kami menganggap berita itu
hanya semacam dongeng saja. Akan tetapi, pada suatu hari kami
mendengar dari seorang anak buah kami yang bertugas sebagai tukang
perahu, bahwa dia melihat tanpa sengaja ketika Thio Kee San
membuka sebuah gulungan ketika berada di dalam perahunya. Dari
belakang, dia melihat bahwa gulungan itu berupa peta dan ada
gambarnya patung emas. Thio Kee San segera menyimpan gulungan
itu ketika anak buah kami mendekat. Laporan inilah yang membuat
kami hari ini memaksa Kee San untuk mengaku. Akan tetapi dia
berkeras tidak mau mengaku, mengatakan bahwa dia tidak memiliki
peta itu. Saking kecewa dan marah, kami memukulinya dan diapun
tewas. Kami tidak berhasil mengetahui di mana adanya peta itu, apa
lagi merampasnya!" Sampai beberapa saat lamanya Nio-cu mengamati wajah tiga orang itu
dengan penuh selidik. Akhirnya iapun menarik napas panjang. "Kalian
sungguh bodoh dan kasar, tidak mampu membujuk dia agar mengaku.
Banyak cara penyiksaan yang akan membuat dia mengaku sebelum
543 dia mampus. Akan tetapi, aku percaya kepada kalian dengan
keyakinan bahwa kalian pasti tidak berani berbohong. Membohongi
aku berarti membohongi Beng-cu dan kalian tahu apa hukumannya!"
"Nio-cu, untuk apa kami berbohong" Selain kami tidak berani
menentang Beng-cu, juga kami tadi sudah berjanji dan kami telah
kalah. Kami memukuli Thio Kee San sampai mati karena kami merasa
kecewa dan marah sekali. Kami mengira bahwa dia memang benarbenar tidak mempunyai peta itu."
"Kalian bodoh! Dia memiliki peta itu!"
"Ahhh.....?"" Tiga orang itu terbelalak dan jelas nampak betapa
mereka menyesal sekali telah membunuh orang she Thio itu.
Sikap mereka itu menambah keyakinan hati Nio-cu bahwa mereka
tidak berbohong. Tiga orang raksasa tolol itu memang tidak berhasil
merampas peta. Mereka bertiga itu hanya memiliki kelebihan otot,
akan tetapi kekurangan otak.
"Kini kalian mengerti bahwa perbuatan kalian membunuhnya itu
berarti merugikan Beng-cu! Maka, kalian harus bertanggung jawab
dan kalian kuserahi tugas untuk mencari peta itu sampai dapat!"
Tiga orang itu terbelalak. "Tapi...... tapi, Nio-cu" Bagaimana
mungkin" Dia sudah mati..... dan peta itu tidak ada padanya. Sudah
kami geledah seluruh badannya. Juga sebelum kami menemuinya di
telaga, kami sudah menggeledah rumahnya dan tidak berhasil
menemukan peta itu!"
544 Nio-cu tersenyum. "Kalian memang bodoh, karena itu aku tidak akan
meninggalkan kalian. Kalian menjadi pembantu-pembantuku, anak
buahku. Aku yang akan mengatur rencananya, kalian tinggal
melaksanakannya saja. Aku yakin kita akan dapat menemukan peta
itu." Tiga orang itu kelihatan lega. Kalau Nio-cu yang menjadi pemimpin,
mereka banya pembantu atau anak buah, maka segala kegagalan tentu
ditanggung oleh Nio-cu. Akan tetapi Poa Seng masih merasa
penasaran. "Nio-cu, kalau Thio Kee San itu sudah mati tanpa memberi
keterangan tentang peta, bagaimana kita akan dapat menemukan
benda itu" Kepada siapa lagi kita bertanya kalau dia sudah mati"
Harap memberi penjelasan agar kami tidak bingung dan tahu apa yang
harus kami lakukan."
"Sam-liong, coba kalian pikir. Andaikata Kee San menyimpan peta
itu, setelah kalian menyiksa dan memukuli dia, sudah pasti dia akan
mengaku! Untuk apa dia memberatkan peta itu kalau dia akan
dibunuh" Tidak ada gunanya bagi dia, dan tidak ada benda yang
cukup berharga di dunia ini yang lebih dihargai dari pada nyawa.
Tidak, kalau Kee San sampai nekat menutup mulut dan lebih baik
mati dari pada membuka rahasia peta itu, hal ini berarti bahwa dia
tidak menyimpannya!"
Tiga orang raksasa itu saling pandang, dan pandang mata mereka
bodoh, tanda bahwa mereka tidak mengerti.
"Nio-cu, kalau tidak disimpannya, lalu di kemanakan" Sungguh aku
menjadi bingung," kata Poa Seng,
545 "Aku juga!" sambung Poa Leng.
"Akupun tidak mengerti!" kata Poa Teng.
Nio-cu menjebikan bibirnya yang menggairahkan, bukan sekedar gaya
melainkan memang ia mendongkol sekali.
"Kalian ini orang-orang she Poa memang bodoh sekali. Sepatutnya
kalian semua bernama Poa Gong (sinting atau tolol)! Tentu saja peta
itu dia serahkan kepada orang lain!"
"Diserahkan kepada orang lain?" seru Poa Seng. "Akan tetapi kalau
diserahkannya kepada orang lain, kenapa dia tidak mau mengaku kami
gebuki sampai mampus" Kalau dia mengaku, setidaknya dia tidak
akan mati, mungkin hanya tiga perempat atau setengah mati saja."
Nio-cu menarik napas panjang. Ia amat cerdik, maka menghadapi
orang-orang yang tidak secerdik dirinya, ia menjadi kurang sabar.
"Apakah kalian tidak dapat menggunakan sedikit saja otak dalam


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala kalian" Kalau Kee San memilih mati dari pada membuka
rahasia itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia amat sayang kepada
orang yang diserahi peta itu. Untuk melindungi orang itulah maka dia
rela kalian gebuki sampai mampus. Nah, sudah jelas, bukan" Kalian
kini tinggal cari saja siapa orangnya yang paling dikasihi oleh Kee
San, dan tentu kalian akan menemukan peta itu ada padanya!"
Kini Poa Seng dan kedua orang adiknya mengangguk-angguk.
Barulah sadar mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang
wanita yang selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga amat
546 cerdik! Dan orang sehebat ini hanya menjadi pembantu Beng-cu,
maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sang Beng-cu itu!
"Hebat, Nio-cu. Engkau memang hebat bukan main!" kata Poa Seng
mengangguk-angguk dan terang-terangan dia mengacungkan kedua
ibu jarinya ke atas tanda kagum. Aih, kalau saja aku dapat memiliki
seorang wanita seperti engkau ini, beberapa malam saja, puaslah
hidupku di dunia ini!"
Biarpun ucapan itu kasar bukan main, akan tetapi wajah Nio-cu
menjadi kemerahan saking bangga dan girangnya. Justeru kekasaran
Poa Seng itu amat menarik hatinya, dan pujian yang keluar dari mulut
kasar itu adalah pujian yang tulus tanpa maksud merayu sedikitpun.
"Bekerjalah dengan baik. Kalau engkau berhasil, siapa tahu aku begitu
berterima kasih kepadamu sehingga kuanggap engkau cukup berharga
untuk menjadi teman baikku."
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Bukan hanya janjimu yang manis itu yang
membesarkan semangatku, Nio-cu. Akan tetapi mulai saat ini memang
kami sudah takluk kepada Beng-cu melalui engkau, dan kami akan
bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami bukan pembantupembantu yang tidak ada gunanya."
"Ingat, di sini tempat pertemuan kita menyelidiki peta. Selama kita
menyelidiki peta itu, setiap senja menjelang malam aku berada di sini
dan kalian dapat menemui aku di sini."
"Kenapa begini rahasia, Nio-cu" Kalau kita bertemu di bandar
umpamanya, siapa yang akan berani mengganggu kita?" Poa Seng
membantah. 547 "Bukan begitu, bodoh. Engkau tentu sudah mendengar betapa peta itu
dijadikan perebutan oleh orang-orang kang-ouw. Biarpun kami tidak
takut, akan tetapi lebih enak bekerja tanpa banyak gangguan yang
hanya akan menambah pekerjaan saja. Contohnya, lihat. Bukankah
tadinya aku akan dapat menangkap Thio Kee San dengan mudah, akan
tetapi karena kalian juga memperebutkan peta maka pekerjaanku
menjadi semakin repot?"
"Kau benar...... kau benar......!" Poa Seng mengangguk-angguk dan
merekapun berpisah. "Y" Setelah mendapatkan keterangan yang amat jelas dari Nio-cu yang
cerdik sekali itu, dengan amat mudah Po-yang Sam-liong yang
menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan siapa orang
yang paling disayang oleh mendiang Thio Kee San, dapat menemukan
kenyataan bahwa mendiang Thio Kee San sering kali berkunjung ke
Rumah Merah, yaitu rumah pelesir milik Bibi Ciang!
Kee San sudah tidak mempunyai keluarga sama sekali, tiada ayah
tiada ibu atau saudara, maka tidak ada lagi orang yang disayangnya
kecuali teman-temannya. Dan dalam penyelidikan Po-yang Sam-liong,
Kee San tidak mempunyai sahabat yang terlalu dekat.
Sahabat-sahahat dalam perjudian bukanlah sahabat dekat dan tidak
mungkin ada perasaan sayang di antara para penjudi yang selalu
memperebutkan kemenangan uang itu. Satu-satunya tempat hanyalah
rumah pelesir itu! Demikian perhitungan Tok-sim Nio-cu ketika
mendapat keterangan dari Po-yang Sam-liong.
548 "Tidak salah lagi!" demikian katanya kepada tiga orang pembantu
baru itu. "Rumah Merah itulah tempatnya! Dia pasti mempunyai
seorang kekasih atau seorang sahabat yang disayangnya, dan melihat
bahwa dia rela mengorbankan nyawa dari pada mencelakai orang yang
disayangnya, kiranya orang itu tentu seorang wanita. Carilah sampai
dapat siapa orang yang amat disayangnya di rumah pelesir itu. Kalau
perlu tangkap semua penghuninya dan paksa mereka mengaku!"
Gegerlah rumah pelesir itu ketika pada suatu malam, Po-yang Samliong datang berkunjung. Para tukang pukul di rumah pelesir itu tentu
saja kehilangan keberanian dan kegalakan mereka ketika mengenal
tiga orang datuk sesat yang menguasai daerah Telaga Po-yang itu,
bahkan menyambut mereka seperti kalau menyambut orang-orang
berpangkat tinggi saja. Apa lagi ketika tiga orang raksasa itu mulai menyatakan maksud
kedatangan mereka, yaitu untuk mencari tahu siapa kekasih atau
sahabat baik Thio Kee San, semua orang menjadi pucat ketakutan.
Mereka sudah mendengar bahwa Kee San ditemukan orang mati di
atas perahunya di telaga, dan sekarang tiga orang ini bertanya siapa
sahabat terbaik dari korban itu! Semua orang mengatakan tidak tahu.
"Kalian tidak tahu" Baik, kami akan memaksa kalian mengaku!"
bentak Poa Seng dan semua penghuni rumah pelesir itu, Bibi Ciang,
enam orang pelacur, dan lima orang tukang pukul, mereka kumpulkan
dalam ruangan belakang. Mereka semua disuruh duduk di atas lantai
sedangkan tiga orang raksasa itu duduk di atas kursi.
"Kalian berani menyembunyikan orang itu dari kami, ya" Nah,
sekarang akan kami tanya seorang demi seorang!" kata pula Poa Seng.
549 Dia menyuruh lima orang anak buahnya menjaga para tawanan itu dan
bersama dua orang adiknya dia lalu memasuki sebuah kamar.
Pertama-tama, Bibi Ciang sendiri yang dipanggil memasuki kamar.
Dengan tubuh gemetar ketakutan wanita setengah tua memasuki
kamar yang segera ditutup pintunya dari dalam. Semua orang yang
menanti di luar merasa tegang sekali dan mereka menjadi semakin
ketakutan ketika terdengar jerit kesakitan dan tangis nenek pemilik
Rumah Merah itu. "Aduuuhhh...... ampun... ampunkan saya..... sungguh mati saya tidak
tahu..." nenek itu meratap ketika ia ditanya tentang peta sambil
dijambak rambutnya sampai sebagian rambutnya jebol.
"Katakan, siapa kekasih dan teman terbaik dari Thio Kee San dalam
rumah pelesir ini!" bentak Poa Seng sambil mengendurkan
jambakannya agar wanita itu dapat menjawab.
Poa Teng sudah melibatkan rantai bajanya di leher wanita tua itu, siap
untuk mencekiknya! Tentu saja semangat wanita itu sudah terbang
dan hampir ia jatuh pingsan saking takutnya.
"Kekasihnya" Ah, kekasihnya yang amat disayangnya adalah Bi
Hwa....., ya Bi Hwa...... bunga rumah pelesir kami......"
Rantai itu dilepaskan. Tiga orang raksasa saling pandang, lalu dengan
suara agak halus Poa Seng berkata, "Ceritakan tentang hubungan
mereka dan yang mana Bi Hwa ini. Cerita sebenarnya, kalau kau tidak
ingin kami siksa lebih mengerikan lagi!"
550 Sambil berlutut dengan muka pucat, rambut awut-awutan dan tubuh
gemetar ketakutan, Bibi Ciang lalu bercerita. "Bi Hwa adalah seorang
di antara para pelacur, menjadi bunganya karena ia paling cantik dan
paling laris. Dan Kee San amat mencintanya, bahkan dia ingin
mengumpulkan uang untuk menebus Bi Hwa yang akan diambil
sebagai isterinya......"
Bukan main girangnya hati tiga orang tokoh sesat itu mendengar ini.
Tak disangkanya akan semudah itu mereka mendapatkan orang yang
dimaksudkan oleh Tok-sim Nio-cu dan kembali mereka merasa amat
kagum kepada Nio-cu yang memiliki perkiraan dan perhitungan
sedemikian tepatnya. Poa Seng berkedip kepada dua orang adiknya, lalu mendorong Bibi
Ciang bangkit. "Hayo tunjukkan kepada kami yang mana pelacur yang
bernama Bi Hwa!" Mereka bertiga lalu mendorong Bibi Ciang keluar dari dalam kamar.
Semua orang yang berada di ruangan itu, dengan muka pucat
ketakutan melihat betapa Bibi Ciang keluar terhuyung-huyung,
dengan rambut awut-awutan, muka pucat dan basah air mata.
Bibi Ciang dengan tangan gemetar lalu menunjuk ke arah Bi Hwa
yang berada di situ bersama para pelacur lainnya. Po-yang Sam-liong
memandang dan mereka melihat seorang wanita muda yang memang
cantik manis, dengan riasan muka tidak setebal para wanita muda
yang lain. Bahkan wanita ini menundukkan muka, diam seperti
patung, tidak seperti orang-orang lain yang nampak ketakutan. Pelacur
ini memang lain dari pada yang lain. Poa Seng lalu memberi isyarat
kepada dua orang adiknya dan mereka bertiga lalu mengamuk!
551 Semua orang, kecuali Bibi Ciang dan Bi Hwa, mereka pukuli dan
tendangi sampai mereka itu jatuh bangun dan mengeluh kesakitan.
Bahkan lima orang tukang pukul itupun menerima tamparan dan
tendangan tanpa berani melawan sama sekali. Setelah puas menyiksa
mereka, Poa Seng menghampiri mereka satu demi satu dan bertanya
dengan suara lantang. "Hayo katakan, siapa kekasih Thio Kee San di sini?"
Semua orang yang ditanya menuding ke arah Bi Hwa yang masih
berlutut dan menundukkan muka tanpa bergerak. Poa Seng lalu
menjambak rambut Bi Hwa dan memaksa waanita muda itu
mengangkat muka. Bi Hwa mengangkat mukanya yang pucat, akan
tetapi matanya itu memandang penuh sinar kebencian, sama sekali
tidak membayangkan rasa takut!
"Engkau yang bernama Bi Hwa dan engkau kekasih Thio Kee San!"
bentak Poa Seng, kini melepaskan rambut itu dan tangan yang tadi
menjambak, kini mengelus pipi yang halus.
Bi Hwa menjawab dan suaranya mengejutkan semua orang karena
gadis ini menjawab dengan suara yang kaku dan penuh kebencian.
"Dan kalian bertiga tentu pembunuh-pembunuh koko Thio Kee San!
Kalian orang-orang terkutuk, kejam dan jahat! Apa kesalahan Sankoko maka kalian membunuhnya?"
Melihat sikap ini, Po-yang Sam-liong saling pandang dan tertawa
bergelak. Mereka merasa girang sekali karena sikap itu saja
menunjukkan bahwa memang antara wanita ini dan Kee San terdapat
hubungan yang erat. 552 "Ha-ha-ha!" Poa Seng tertawa. "Dan engkaupun akan mampus kalau
engkau tidak mau berterus terang kepada kami!" Berkata demikian,
dia mengangkat tubuh wanita itu, dipondongnya ke dalam kamar,
diikuti oleh dua orang adiknya, dipandang dengan muka pucat oleh
semua orang yang masih merintih dan mengerang kesakitan karena
dihajar oleh tiga orang raksasa itu. Lima orang pelacur yang tadi ikut
pula dihajar, menangis terisak-isak.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamar, Poa Seng melempar tubuh
Si Hwa ke atas pembaringan. Gadis itu pucat sekali, akan tetapi
matanya tetap memandang penuh kebencian. Kee San, satu-satunya
orang di dunia ini yang mencintanya dengan tulus dan juga dicintanya,
yang menjadi gantungan harapan hidupnya, telah dibunuh oleh tiga
orang ini! Apa lagi yang perlu ditakuti"
Baginya, bahkan mati menyusul kekasihnya jauh lebih baik dari pada
hidup, melanjutkan hidup sebagai seorang: pelacur hina! Karena sakit
hati, duka dan kebencian itu membuat Bi Hwa, seorang wanita yang
lemah, saat itu tidak mengenal rasa takut sama sekali walaupun ia tahu
bahwa ia berada di tangan tiga orang yang amat kejam dan jahat!
"Nah, nona manis. Sekarang katakanlah terus terang, di mana engkau
menyimpan peta yang kauterima dari Thio Kee San itu" Berikan
kepada kami dan kami tidak akan menyiksamu, tidak akan
membunuhmu," kata Poa Seng, suaranya tidak sekasar tadi dan
mengandung bujukan. Kini mengertilah Bi Hwa mengapa kekasihnya dibunuh. Karena peta
itu! Tiga orang manusia iblis ini menghendaki peta bergambar patung
emas itu! Dan Kee San menjadi korban karena pernah memiliki peta
553 itu. Dan sekarang, peta itu berada di tangannya, dan iapun terancam
maut. Akan tetapi, untuk apa menyerahkan peta itu kepada tiga orang
manusia ini" Ia memang sudah mendengar akan peristiwa yang amat
menyedihkan itu. Bukan hanya karena kematian kekasihnya, akan
tetapi juga ia sudah mendengar akan terculiknya Loan Khi Hwesio,
ketua kuil. Kekasihnya pernah mengatakan bahwa dia menerima peta itu dari
Loan Khi Hwesio. Kemudian, Loan Khi Hwesio sebagai pemegang
peta pertama diculik orang dan mungkin sekali dibunuh, sesudah itu,
Kee San sebagai pemegang peta kedua juga dibunuh! Dan peta itu kini
berada di tangannya, maka tidak aneh kalau nyawanya pun terancam.
Oleh karena itu, ia sudah lebih dulu menyingkirkan peta itu, bukan
untuk menyelamatkan diri yang sudah putus harapan setelah kematian
kekasihnya, melainkan untuk menyelamatkan peta agar jangan
terjatuh ke tangan para pembunuh kekasihnya! Tidak! Ia tidak akan
mengaku. Biar mereka membunuhnya. Ia tidak rela kalau sampai peta
itu terjatuh ke tangan mereka yang membunuh kekasihnya, iapun
sudah tidak mengharapkan hidup lebih lama lagi.
"Aku tidak tahu!" jawabnya ketus, akan tetapi matanya mengeluarkan
sinar seolah-olah ia merasa gembira dapat melihat kekecewaan pada
pandang mata tiga orang itu.
"Hemm, jangan memaksa kami untuk menggunakan siksaan, nona
manis. Sayang kecantikanmu. Lebih baik engkau mengaku terus
terang dan kami akan menebusmu bebas dari Bibi Ciang, bahkan kami
akan memberi banyak uang kepadamu. Engkau dapat membeli
seorang suami yang baik dan......"
554 "Sudahlah, tidak perlu membujuk dan kalau mau siksa, mau bunuh
aku, silakan. Aku tidak tahu!" Bi Hwa berseru dengan nekat.
Poa Seng memandang kedua orang adiknya. "Geledah kamarnya!"
Dua orang raksasa itu keluar dan menyeret Bibi Ciang untuk
menunjukkan di mana kamar Bi Hwa. Mereka mengobrak-abrik
seluruh isi kamar, bahkan merobek kasur dan bantal untuk mencari
peta itu. Namun sia-sia belaka. Mereka tidak dapat menemukan peta
itu. Sementara itu, di dalam kamar, Poa Seng juga merobek-robek semua
pakaian yang menutupi tubuh Bi Hwa, untuk mencari kalau-kalau peta
itu disembunyikan di dalam baju. Namun diapun tidak berhasil.
Ketika Poa Leng dan Poa Teng kembali ke dalam kamar dan
melaporkan kepada Poa Seng bahwa mereka tidak berhasil, tiga orang
itu menjadi marah dan penasaran. Mulailah mereka menyiksa Bi Hwa.
Namun, Bi Hwa tetap membisu dan kalau mengeluarkan suara, ia
hanya berkata, "Aku tidak tahu!" atau kadang-kadang malah ia
memaki, "Kalian ini iblis-iblis terkutuk, membunuh kekasihku yang
tidak berdosa!" Po-yang Sam-liong sampai kehabisan kesabaran. Mereka itu menyiksa
sejadi-jadinya, memperkosa Bi Hwa secara bergantian, menyayat
kulitnya dan sampai keadaannya lebih banyak mati dari pada hidup,
Bi Hwa tetap tidak mau mengaku dan mengatakan tidak tahu! Setelah
ia tidak mampu bersuara lagi, ia hanya menggeleng kepala dan
pandang matanya penuh kebencian kepada tiga orang penyiksanya itu.
555 Po-yang Sam-liong menjadi semakin penasaran. Akan tetapi mereka
khawatir kalau sampai terjadi wanita ini tewas di tangannya sebelum
mereka berhasil menemukan peta, maka mereka lalu menggulung
tubuh yang sudah sekarat itu dengan selimut, lalu meninggalkan
rumah pelesir itu. Tentu saja Bibi Ciang dan para pelacur, juga para tukang pukul,
menjadi geger dan dengan berita tentang diculiknya Bi Hwa oleh
orang-orang jahat segera tersiar dengan luas. Akan tetapi, tak


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorangpun di antara para penghuni rumah pelesir itu berani
mengatakan bahwa pelakunya adalah Po-yang Sam-liong!
Ketika Tok-sim Nio-cu menerima Po-yang Sam-liong yang membawa
Bi Hwa yang sudah mendekati mati itu tanpa memperoleh hasil, Niocu mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali.
"Kalian ini benar-benar poa-gong (tolol)! Sudah kukatakan, jangan
melakukan kekerasan sebelum berhasil! Lihat perempuan ini. Di
tangannyalah rahasia peta itu, dan kalian membuatnya hampir mati
sebelum ia mengaku di mana adanya peta itu! Hayo cepat rawat ia
baik-baik sampai ia sembuh benar! Kalau sudah sembuh, nanti aku
yang membujuknya." Po-yang Sam-liong menggunakan segala daya untuk menyembuhkan
kembali Bi Hwa. Mereka tidak mengganggunya, memberi obat dan
makan, melayaninya dengan sebaiknya. Akan tetapi tiga hari
kemudian, setelah kesehatan wanita itu agak membaik dan
kekuatannya pulih, pagi-pagi mereka mendapatkan bahwa wanita itu
telah membunuh diri di dalam pondok darurat yang mereka buat di
556 hutan tepi telaga itu! Bi Hwa menggantung diri dengan sabuknya
sendiri setelah ia diberi pakaian lengkap oleh Po-yang Sam-liong!
Tentu saja Po-yang Sam-liong menjadi bingung dan ketika Nio-cu
datang, iblis betina inipun marah bukan main. "Dasar kalian yang
kasar dan tolol! Aih, sungguh menyesal aku menyuruh kalian yang
menyelidiki urusan ini. Kalian hanya menggagalkan urusan saja,
bukan membantu!" "Nio-cu, maafkan kami. Maksud kami hendak memaksa Bi Hwa
mengaku, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa ia begitu keras
kepala, tidak mau mengaku dan menantang segala siksaan!" Poa Seng
mengepal tinju penuh penasaran dan penyesalan.
"Hemm, kalian hanya orang-orang kasar! Sudahlah, kalian boleh
pulang. Akan tetapi ingat, bahwa kalian telah menjadi anak buah
Beng-cu dan setiap waktu apa bila Beng-cu membutuhkan tenaga
kalian, maka kalian harus siap untuk membantu."
"Baik, Nio-cu dan terima kasih."
Tok-sim Nio-cu meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan
kepada Siauw-bin Ciu-kwi.
Tentu saja datuk ini merasa kecewa. "Hemm, kenapa tidak kaubasmi
saja Po-yang Sam-liong yang tolol itu, menggagalkan urusan saja!"
"Kedudukan dan kekuasaan mereka cukup kuat di daerah telaga,
Beng-cu. Sayang kalau mereka dibasmi begitu saja. Mereka sekali
waktu dapat berguna bagi kita, apa lagi mereka sudah kutaklukkan
557 dan mengaku kekuasaan Beng-cu dan sudah berjanji untuk
membantu," bantah Tok-sim Nio-cu.
Kalau saja bukan Nio-cu yang telah dianggap gagal dalam tugasnya
itu, tentu Siauw-bin Ciu-kwi akan marah besar dan menghukum
pembantu yang gagal itu. Akan tetapi, di samping sebagai pembantu,
Tok-sim Nio-cu juga menjadi kekasihnya, seorang wanita yang amat
pandai menyenangkan hatinya.
Sementara itu, para pembantu yang mendengar semua cerita Nio-cu,
juga merasa penasaran. "Beng-cu, biarkan aku yang pergi mencari peta itu. Mendengar cerita
Nio-cu, aku yakin bahwa peta itu masih berada di sekitar Nan-cang
dan Telaga Po-yang. Agaknya pelacur itu telah menyerahkannya
kepada orang lain!" kata Pek I Kongcu Ciong Koan.
Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk. "Baik, cari dan temukanlah,
Kongcu!" Julukan Pek I Kongcu ini telah demikian terkenal sehingga Beng-cu
sendiri juga lebih suka menyebutnya Kongcu seperti juga para
pembantunya. Dengan penuh keyakinan akan kemampuan sendiri, Pek I Kongcu lalu
berangkat untuk melaksanakan tugasnya. Jejak itu masih jelas
nampak, pikirnya. Yang terakhir peta itu berada di tangan Bi Hwa,
bagaimana mungkin dapat lenyap tanpa bekas" Sudah jelas bahwa
agaknya Bi Hwa telah menduga akan datangnya bahaya, maka ia
segera menyingkirkan peta itu, dan ke mana lagi wanita itu
menyembunyikannya kalau tidak menyerahkannya kepada orang lain"
558 Tentu seseorang yang amat dipercayanya, dan hal inilah yang harus
dia selidiki. "Y" Perahu itu meluncur sunyi di Telaga Po-yang. Menjelang senja itu,
telaga telah ditinggalkan orang dan hanya ada satu-dua buah perahu
saja yang nampak di atas telaga, yaitu perahu para nelayan yang masih
mencoba-coba mengadu untung dengan mengail ikan.
Setelah meluncur ke bagian tepi dekat hutan yang rimbun, perahu itu
berhenti dan penumpang tunggalnya, seorang pria muda, segera
melakukan persiapan memancing ikan. Dia bukan seorang nelayan,
juga beberapa buah perahu nelayan itu ditumpangi nelayan yang
mengail dengan harapan tipis. Kalau pria berpakaian putih di atas
perahu itu seorang nelayan, tentu tidak sebesar itu semangatnya untuk
mengail. Semua nelayan di Telaga Po-yang tahu bahwa sekarang bukan musim
mengail ikan, melainkan musim mencari uang melalui penyewaan
perahu kepada para pelancong. Di waktu hari cerah musim panas itu,
telaga dibanjiri pelancong, bukan ikan.
Ikan-ikan. itu sudah kenyang karena setiap hari, dari pagi sampai sore,
para pelancong membuang banyak sisa makanan ke dalam telaga dan
ikan-ikan itu berpesta pora pula sehingga setelah telaga itu
ditinggalkan para pelancong, ikan-ikan yang kekenyangan itu sudah
terlalu malas untuk mencari makanan di dekat permukaan air.
Beberapa orang nelayan yang mengadu untung itu agaknya memang
amat kekurangan, atau mungkin hanya iseng, dari pada tidak ada yang
dikerjakan sore itu. 559 Pria muda itu berusia kurang lebih duapuluh enam tahun. Pakaiannya
serba putih, sederhana namun bersih. Wajahnya bersih dan tampan,
juga amat sederhana dan dia lebih mirip seorang terpelajar yang
miskin. Tubuhnya sedang dan ketika dia bergerak melempar umpan di ujung
mata kailnya, tubuh itu mengandung kelenturan. Akan tetapi kalau
orang menentang pandang matanya, ada sesuatu pada pandang mata
yang berlawanan dengan kelembutan yang nampak pada mukanya,
sesuatu yang amat kuat dan berwibawa, sinar mata yang kadangkadang mencorong, akan tetapi selalu ingin bersembunyi di balik mata
yang redup. Bagaimanapun juga, lekukan di ujung dagunya membayangkan
kekuatan hatinya, dan ada tahi lalat hitam kecil di lehernya sebelah
kiri. Sebuah buntalan kain berada di atas perahu kecil itu, buntalan
yang agak panjang, terbuat dari kain hijau yang tebal dan kuat. Hal ini
menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa melakukan perjalanan
jauh dan buntalan itu adalah bekal dalam perjalanan, pakaian dan lainlain.
Karena dia bukan nelayan, bukan pula penggemar kesenangan
mengail yang biasa memancing di telaga itu, maka diapun tidak tahu
bahwa sore hari seperti itu, ikan-ikan lebih senang bermalas-malasan
di dasar telaga karena perut mereka sudah kenyang. Dengan sabar dia
memegangi joran pancingnya. Akan tetapi setelah lewat setengah jam
belum juga ada ikan yang menyambar umpannya, bahkan dia melihat
ada bayangan ikan yang lumayan besarnya berenang tak jauh dari tali
pancingnya tanpa memperdulikan bahwa ada orang yang memberi
umpan enak, kesabarannya mulai menipis.
560 "Hemm, apakah umpannya yang tidak cocok dengan selera ikan-ikan
di sini?" gerutu- nya.
Kembali ada bayangan ikan berenang di bawah permukaan air, ikan
sebesar betisnya. Cepat dia menarik jorannya dan menghadang ikan
itu dengan umpannya. Ikan itu hampir menabrak umpan, akan tetapi
jangankan mencaplok umpan, bahkan menciumpun tidak, lewat begitu
saja tanpa menoleh! "Wah, ini namanya orang kelaparan diejek dan dipandang rendah oleh
ikan!" Dia mengomel lalu mengangkat pancingnya, membuang umpan
di mata kail dan diapun bangkit berdiri di dalam perahunya, dengan
joran di tangan tanpa tali dan pancing lagi.
Joran itu terbuat dari bambu dan ujungnya runcing, semacam bambu
sebesar jari tangan yang kuat. Matanya dengan tajam memandang ke
permukaan air yang masih diterangi matahari senja yang kemerahan.
Apa yang dinanti-nantikanpun tiba. Tidak perlu dia menanti terlalu
lama seperti ketika mencoba menangkap ikan dengan pancing tadi.
Seekor ikan yang sebetis besarnya meluncur lewat, perlahan-lahan
dalam jarak dua meter dari perahunya. Seekor ikan yang kepalanya
hitam dan ekornya kemerah-merahan, ketika berenang dan membelok,
perutnya kelihatan keputihan. Tangan yang memegang joran itu
menegang, bergerak dan joran itupun meluncur seperti anak panah ke
arah ikan. "Ceppp......!" Joran itu meluncur masuk ke dalam air. Tentu tidak
mengenai sasaran karena ikan dapat bergerak amat cepatnya di dalam
air dan menangkap ikan secara demikian tentu saja jauh lebih sukar
561 dari pada mengail seperti tadi! Akan tetapi, joran itu muncul kembali
dan diujungnya nampak ikan menggelepar, perutnya ditembusi ujung
joran yang runcing! "Ha-ha, terisi juga perutku yang lapar ini!" Pria itu bicara seorang diri,
mendayung perahunya mendekati jorannya dan meraih joran itu. Ikan
yang sebesar betis dan cukup gemuk. Dia lalu menaruh ikan dan
jorannya ke dalam perahu, mendayung perahu ke arah hutan.
Dari peristiwa itu saja mudah diduga bahwa pria muda itu bukanlah
orang sembarangan. Cara dia melempar joran dan tepat mengenai ikan
yang sedang berenang di bawah permukaan air, membuktikan bahwa
dia seorang yang amat pandai.
Dan memang hal ini benar adanya. Pria itu bernama Tan Cin Hay dan
di dunia persilatan, dia terkenal dengan julukan Pek-liong-eng
(Pendekar Naga Putih). Apa lagi ketika beberapa bulan yang lalu dia
berhasil membasmi gerombolan penjahat di bawah pimpinan Hek-sim
Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal jahat!
Hek-sim Lo-mo adalah seorang datuk besar dunia hitam yang amat
lihai, dan dia dibantu oleh banyak tokoh-tokoh sesat yang memiliki
kepandaian tinggi pula. Namun, Pek-liong-eng Tan Cin Hay berhasil
membasmi dan membunuh datuk itu dan semua pembantunya,
bersama seorang pendekar wanita yang juga menjadi amat terkenal
namanya. Pendekar wanita itu adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita
Naga Hitam) dan bernama Lie Kim Cu.
Pendekar Naga Putih ini tinggal di sebuah dusun yang sunyi di dekat
kota Hang-kouw, di dekat Telaga See-ouw. Kalau sekarang dia berada
di Telaga Po-yang adalah karena dia sedang melakukan perantauan
562 dan lewat dekat telaga itu. Dia memang suka melancong di telaga,
maka dia tidak melewatkan kesempatan itu untuk berpesiar di telaga
ini dan sorenya, dia memancing ikan karena merasa perutnya lapar
dan malas untuk makan di rumah makan. Telaga Po-yang terkenal
dengan ikan-ikan ekor merah yang kabarnya amat lezat dagingnya.
Pendekar ini adalah seorang laki-laki yang bernasib malang, menjadi
korban kejahatan. Dahulunya dia seorang putera guru yang hidup di
dusun dan dia telah mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya.
Ketika dia dan isterinya yang baru mengandung muda itu berpesiar
naik perahu di Telaga See-ouw, muncullah orang-orang jahat yang
hendak mengganggu isterinya.
Dia melakukan perlawanan, akan tetapi tidak ada gunanya. Dia
bahkan dipukul dan dilempar keluar perahu, hampir saja mati
tenggelam. Adapun isterinya ditangkap dan diperkosa sampai mati
oleh para penjahat! Dengan hati penuh dendam dan duka, Tan Cin
Hay menjadi murid mendiang Pek I Lojin, seorang kakek sakti.
Setelah tamat belajar ilmu silat, dia menjadi seorang pemuda
gemblengan yang tinggi ilmunya. Dia menuntut balas, menghajar dan
membunuh mereka yang pernah menghina, memperkosa dan
membunuh isterinya, dan sejak itu dia menjadi seorang pendekar yang
setiap saat siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan
keadilan, membela rakyat kecil miskin yang menjadi korban
penindasan, pemerasan dan kejahatan.
Pengalaman pertamanya sebagai pendekar yang paling hebat adalah
ketika dia menentang gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo,
seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dia berhasil
563 membasmi gerombolan itu bersama Hek-liong-li, dan sejak itu,
biarpun terpisah jauh, dia menjadi sahabat pendekar wanita itu dan
saling berjanji bahwa kalau masing-masing menghadapi bahaya dan
membutuhkan bantuan, mereka akan saling mengabari.
Demikianlah sedikit riwayat hidup Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang
pada senja hari itu seorang diri berada di Telaga Po-yang dan kini dia
sudah mendarat sambil membawa seekor ikan gemuk sebesar betis.
Perahu kecil itu dia ikat dengan sebatang pohon dan dia sendiri lalu
memasuki hutan, berhenti di tempat terbuka di mana rumputnya
gemuk dan tempatnya bersih, dilindungi pohon besar dan terdapat
banyak batu-batu yang enak dijadikan tempat duduk atau tidur karena
batu-batu itu besar, rata dan bersih.
Tak lama kemudian, Liong-eng (Naga Putih) sudah duduk
menghadapi api unggun yang terlindung antara dua batu besar, dan
memanggang daging ikan segar! Dari dalam buntalannya dia
mengeluarkan garam dan sekedar bumbu, sehingga kini daging ikan
yang sudah dibumbui itu mengeluarkan bau yang sedap, membuat
perutnya yang sudah lapar itu terasa semakin lapar. Dia masih
mempunyai bekal roti kering yang cukup banyak. Roti kering dan
panggang ikan saja sudah lebih dari mencukupi untuk menenangkan
perut lapar. Ketika ikan itu hampir matang dan tinggal beberapa kali balikan lagi,
tiba-tiba pendengaran Liong-eng yang terlatih dan amat tajam itu
menangkap gerakan dan langkah orang menghampiri tempat itu. Dia
bersikap waspada, akan tetapi melanjutkan pekerjaannya seolah-olah
tidak tahu bahwa ada orang menghampiri tempat itu.
564 "Siancai (damai)......! Sungguh dosamu besar sekali, orang muda!
Engkau menjadi seorang penggoda yang amat kejam......!"
Liong-eng menengok dan dia melihat seorang kakek berusia
enampuluh tahunan, berpakaian seperti seorang pendeta dengan
rambut digelung ke atas. Biarpun kakek itu mengeluarkan suara
teguran, namun wajahnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, dan
sepasang matanya itu ditujukan ke arah ikan yang masih dipegang dan
dipanggangnya. Tentu saja dia merasa heran mendengar teguran itu.
"Totiang, mengapa begitu" Apa dosaku, dan kenapa totiang
mengatakan aku seorang penggoda kejam?"
KAKEK itu menghela napas, hidungnya kembang kempis dan diapun
duduk di atas batu dekat Liong-eng, menikmati kehangatan api
unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin.
"Sejak pagi tadi pinto (aku) belum makan apapun. Perut ini terasa
lapar dan tiba-tiba saja hidung ini mencium bau sedap ikan
dipanggang sehingga perutku terasa semakin lapar dan tersiksa.
Karena engkau yang membakar ikan, bukankah berarti engkau telah
menggoda pinto dan menyiksa perut pinto" Alangkah besar dosamu,
orang muda, kalau engkau tidak menebusnya dengan mengajak pinto
makan malam." Hampir Liong-eng tertawa bergelak mendengar ucapan itu, akan tetapi
dia tidak mau bersikap tidak sopan mentertawakan seorang tosu
(pendeta Agama To). Dengan hormat dia lalu berkata, "Kalau


Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang totiang merasa lapar seperti juga aku, mari silakan makan
malam bersamaku, totiang."
565 "Siancai......! Kalau begitu, tadi engkau bukannya menggoda, orang
muda, melainkan sengaja memancing dan mengundang pinto makan
malam. Terima kasih, terima kasih!"
Dengan segala senang hati Liong-eng lalu mempersilakan kakek itu
duduk di dekat api unggun. Panggang ikan itu sudah matang dan
diapun mengeluarkan buntalan roti kering. "Silakan, totiang, mari kita
makan seadanya!" "Siancai...... terima kasih. Roti kering dan ikan panggang, diantar
anggur dari He-nan. Sedaaap!"
"Sayang anggurnya tidak ada, totiang."
"Jangan khawatir, pinto masih menyimpan anggurnya, cukup untuk
kita berdua. Anggur aseli He-nan, manis dan harum!" Tosu itupun
mengeluarkan sebuah guci anggur dari dalam buntalannya dan
memang benar anggur itu mengeluarkan bau harum ketika dibuka
tutupnya. Isinya masih hampir penuh, lebih dari cukup untuk mereka
berdua. Begitu menggigit roti kering lalu disusul secuwil daging ikan yang
masih panas, mengunyahnya, tosu itu berseru, "Terima kasih kepada
Tuhan! Sungguh Tuhan Maha Pengasih dan Pemurah! Belum pernah
pinto makan selezat ini.......!"
Kembali Liong-eng tertawa, akan tetapi diapun melirik ke kanan
karena kembali pendengarannya menangkap gerakan orang dari sana.
Cuaca sudah mulai gelap dan sinar api unggun itu terbatas sekali,
tidak cukup menembus kegelapan malam yang tebal.
566 "Omitohud! Dua orang makan minum seenaknya tanpa
memperdulikan seorang lain yang kelaparan. Apakah itu bukan suatu
dosa besar" Semoga dosa besar itu diampuni, omitohud......."
Liong-eng menengok dan diapun tersenyum. Kiranya yang bicara itu
seorang hwesio yang usianya sebaya dengan pendeta tosu yang sedang
duduk di dekatnya. Hanya bedanya, kalau tosu itu menggelung
rambutnya ke atas, hwesio ini mencukur gundul rambutnya. Kalau
tosu itu tinggi kurus, hwesio ini agak pendek dan gendut perutnya.
Keduanya sama-sama memakai pakaian pendeta yang sederhana.
Liong-eng cepat bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Selamat malam, lo-suhu. Kalau lo-suhu lapar, silakan duduk dan
makan malam bersama kami, makan malam seadanya, hanya roti
kering, ikan panggang dan...... anggur manis milik totiang ini."
"Silakan, hwesio kelaparan! Ikan panggangnya lezat bukan main dan
anggur pinto inipun manis dan enak. Silakan makan dan minum
bersama! "Omitohud, terima kasih...... terima kasih, semoga Sang Buddha
memberkahi anda berdua!" Hwesio gendut itupun duduk di dekat api
unggun, dan perut gendutnya itu agaknya tidak menjadi penghalang
ketika dia duduk, bahkan dia lalu bersila dengan bentuk teratai, yaita
kedua kaki di atas kedua paha.
Tanpa rikuh lagi, hwesio itu lalu mengambil roti kering dan
memasukkannya ke mulutnya, dikunyah perlahan-lahan.
"Ini ikan panggangnya, lo-suhu. Silakan!"
567 Hwesio itu menggeleng kepalanya. "Omitohud...... pinceng
berpantang melakukan kekejaman dan kekerasan, apa lagi membunuh.
Lebih-lebih makan daging! Tidak, pinceng cukup dengan ini saja!"
Dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata adalah sayur asin!
Dia makan roti kering dan sayur asin itu, nampak nikmat sekali.
"Hwesio, mari kauminum anggur pinto. Ini anggur He-nan aseli, enak
segar dan manis!" tosu itu menawarkan anggurnya.
Akan tetapi hwesio itu menolak sambil tersenyum ramah.
"Omitohud......! Pinceng berpantang minuman keras yang akan
mengeruhkan pikiran. Pinceng minum ini saja, heh-heh!" Dia
mengeluarkan sebuah guci terisi air jernih dan minum air itu.
Mereka makan minum tanpa berkata-kata lagi dan akhirnya mereka
merasa kenyang. Hwesio itu mengelus perutnya yang gendut.
"Omitohud, pinceng mengucap syukur kepada Sang Buddha yang
telah memberkahi kita semua!"
Tosu itupun menengadah, memandang langit yang dipenuhi bintang
cemerlang. "Pinto berterima kasih kepada Tuhan yang telah
memberkahi kita semua dengan segala keindahan dan kenikmatan
dalam hidup ini! Sian-cai...... sungguh jarang ada manusia yang dapat
menikmati hidup yang begini indah!"
Liong-eng diam-diam tertarik sekali. Tanpa disangkanya, dalam
perantauannya yang santai ini, dia bertemu dengan dua orang pendeta
yang nampaknya sama-sama bijaksana, akan tetapi memiliki cara
hidup yang berlainan sama sekali. Karena itu, timbul suatu akal di
dalam hatinya untuk mempertemukan keduanya ini dalam suatu
percakapan atau perdebatan yang tentu akan menarik sekali.
568 Dia seorang yang cerdik dan dia tadi melihat bagaimana dua orang
pendeta itu memiliki kebiasaan yang amat berbeda, bahkan
berlawanan ketika mereka makan dan minum. Tosu itu makan daging
ikan dan minum anggur sebaliknya, hwesio itu tidak makan daging
Kitab Mudjidjad 18 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long Jaka Galing 2

Cari Blog Ini