Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
membunuhku. Akan tetapi hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah para
pengecut, bukan orang gagah...."
"Tutup mulutmu yang busuk, iblis betina tanpa nama!" Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal
galak itu sudah melon-cat maju ke depan wanita itu. "Berani engkau mengeluarkan kata-kata
menghina ayahku dan seluruh keluarga kami" Bocah sombong macam engkau hendak
menantang kami" Majulah, aku yang akan me-wakili semua keluarga untuk menghajar-mu!"
Gadis muda itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan dengus dari hidung, memandang
rendah. "Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong" Tentu engkau yang bernama Kao Hong
Li. Bibi muda, kepandaianmu masih terlalu rendah. Kenapa tidak menyuruh suamimu saja, Si
Bangau Putih Tan Sin Hong ini, untuk mewakilimu" Aku ingin bertanding de-ngan tokoh
paling tangguh dari tiga ke-luarga besar, bukan dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih
tanggung--tanggung."
Kembali semua orang terheran. Wa-nita muda ini agaknya mengenal para anggauta tiga
keluarga besar itu. Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah
mempela-jari keadaan mereka, wajah dan nama mereka, dan mungkin sekali mendapat
keterangan jelas tentang ilmu yang me-reka miliki masing-masing. Sikap gadis itu telah
membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.
"Biarkan aku saja yang menghadapi-nya!" terdengar bentakan nyaring dan nampak bayangan
berkelebat ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.
Gadis itu memandang penuh perhatian. "Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan
berjuluk Siauw-kwi (Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau.
Kulihat suamimu Pendekar Suling Naga Sim Houw juga berada di sini. Kalau dia barulah ada
harganya untuk melawan aku!"
"Wah, bocah sombong, agaknya otak-mu tidak waras!" terdengar bentakan dan tubuh Kam
Bi Eng berkelebat cepat men-dekati gadis itu. "Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari
sini, atau aku yang akan menghancurkan mulutmu yang lancang!"
Gadis itu memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, lalu menoleh dan memandang
kepada Suma Ceng Liong. "Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan ke-luarga Suling Emas dan
Naga Siluman! Lebih baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar
nama besar Suma Ceng Liong, keturunan lang-sung dari Pendekar Sakti Pulau Es!"
"Ibu, biarkan aku yang menghajarnya!" Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata
mencorong marah. "Tidak, sebaiknya aku saja yang meng-hadapinya!" terdengar teriakan yang di-barengi
berkelebatnya bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ. Nyonya Gak atau Souw
Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid perempuan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
31 yang hadir di situ, semua maju, mempersiap-kan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar
itu. Gadis itu kini tertawa. Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan
giginya yang rapi dan bersih. "Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar
masih me-miliki semangat dan galak-galak. Akan tetapi aku tetap menghendaki orang ter-kuat
yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang seorang saja, kecuali tentu saja
kalau kalian hendak mengeroyokku."
"Jahanam sombong, sambutlah serang-anku!" Suma Lian sudah menerjang de-ngan dahsyat
ke arah gadis itu. Ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi
tanda penye-rangan, ia sudah menyerang dengan to-tokan jari tangannya. Terdengar suara
bersuitan ketika tangannya bergerak, menunjukkan betapa kuatnya tangan yang melakukan
serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat lihai.
"Hemmm, bagus!" Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya me-lesat cepat
bagaikan kilat dan ia sudah melayang ke belakang, ke tempat ter-buka yang lebih luas sambil
tadi meng-hindarkan diri dari totokan maut. "Di sini lebih luas, mari kita main-main sebentar.
Engkau tentu yang bernama Suma Lian, bukan" Namamu cukup terkenal, pantas untuk
menjadi lawanku. Mari!"
Suma Lian yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi
Eng. Selain telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia
pernah digembleng oleh Bu Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di antara semua
anggauta ke-luarga wanita yang hadir di situ pada saat itu, Suma Lian merupakan orang yang
paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih belum setinggi ia tingkat
kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu yang aneh itu maka ia suka
menerima Suma Lian menjadi lawannya.
Suma Lian meloncat ke depan gadis itu dan semua orang memandang dengan hati tegang dan
penuh perhatian karena biar gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak
bernama, na-mun dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya. Mereka
tahu bahwa Pao-beng-pai merupakan partai pemberontak yang menentang pe-merintah seperti
halnya Thian-li-pang, Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai
bukan perkumpulan silat maka para tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.
Dua orang wanita itu kini saling berhadapan dalam keadaan siap siaga. Suma Lian, dalam
usia empat puluh ta-hun, masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah
bosan untuk berlatih silat bersama suaminya. Karena ia pun seorang pendekar wanita yang
berpengalaman, ia dapat menduga bahwa gadis yang bersikap sombong be-rani menentang
para anggauta tiga ke-luarga besar, tentu mempunyai kepandai-an yang dapat diandalkan.
Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diam--diam ia pun sudah mengerahkan tenaga
Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua lengannya.
Gadis itu bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi, matanya mencorong
memandang lawan, mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa
ia pun tidak berani main-main. Agaknya ia memang telah memperoleh keterangan yang cukup
me-ngenai para anggauta keluarga, dan ia maklum bahwa yang dihadapinya adalah pendekar
wanita anggauta keluarga Pulau Es yang amat tangguh.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
32 Gadis itu bersikap tenang sekali. Me-lihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan
kebutannya kepada gadis baju kuning yang tadi mengawalnya. Ke-butan itu meluncur
bagaikan anak panah ke arah gadis baju kuning, mengejutkan semua orang karena seolah-olah
gadis itu menyerang pembantunya sendiri! Akan tetapi, gadis baju kuning dengan tenang
namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil menjepit gagang kebutan itu dengan
jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar menjadi se-makin heran. Kalau si baju
kuning itu, yang agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan seperti itu, mudah
diduga bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai. Gadis itu kini membetulkan ikat sabuk
sutera di pinggangnya, meng-gulung kedua lengan baju sampai ke siku sehingga nampak
kedua lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.
"Suma Lian, aku sudah siap. Keluar-kan semua kepandaianmu!" Gadis itu menantang.
"Iblis betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang
boleh bergerak lebih dulu!" Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak dengan
kedua lengan menyilang di depan dada, sepasang mata-nya mencorong di antara kedua tangan
yang dibuka jari-jarinya.
"Awas, aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi....!" Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin
lama semakin meninggi. Dua belas orang pengawalnya dan empat orang pelayan wanitanya
mengambil se-suatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing dengan benda kecil itu.
Suma Lian terkejut ketika merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya.
Tahulah keturunan ke-luarga Pulau Es ini bahwa gadis itu bu-kan sekedar tertawa, melainkan
telah melakukan penyerangan seperti yang di-katakan tadi, penyerangan melalui getar-an
suara tawa! Ilmu macam ini, meng-gunakan getaran suara untuk menyerang lawan,
merupakan ilmu yang hanya mampu dilakukan oleh orang yang telah memiliki sin-kang
(tenaga sakti) yang amat kuat. Suma Lian sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan
Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki ilmu sihir dari nenek moyangnya.
Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempela-jari ilmu ini dan menguasai kekuatan sihir.
Maka, menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga
melindungi diri dan "menutup" pendengarannya dari dalam, memandang gadis yang tertawa
itu de-ngan senyum mengejek. Para anggauta keluarga para pendekar yang hadir di situ, juga
mengerahkan sin-kang dan mereka semua mampu menangkis getaran suara tawa itu. Akan
tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir sebagai tamu, tersiksa sekali. Mereka
mencoba untuk menutupi telinga dengan kedua ta-ngan, namun agaknya getaran itu
me-nembus tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal
pingsan. Melihat ini, Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa,
mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Iblis betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!"
Dan suara tawa itu pun terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak
mempengaruhi lawan mau-pun para anggauta keluarga lainnya, ha-nya merobohkan orangorang yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.
"Kamu anak kecil sombong! Kaukira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat
menakut-nakuti kami?" ben-tak Suma Lian dan nyonya ini pun mem-balas dengan serangan
tamparan tangan kiri. Terdengar bunyi angin menyambar dahsyat dan gadis itu cepat
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
33 mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian. Pukulan ini dielakkan
pula oleh Suma Lian dan segera terjadi perkelahian seru antara kedua orang wanita cantik itu.
Semua pendekar menonton dengan penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihainya
Suma Lian. Wanita ini sudah mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan dahsyat. Ilmuilmu dari keluarga Pulau Es ditambah ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman. Dan tidak
tanggung-tanggung Suma Lian mengeluar-kan ilmu-ilmu itu. Ia sudah mengeluarkan
beberapa jurus dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), Sin-coa-kun
(Silat Ular Sakti), bahkan menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari
Penembus Tulang dan Jari Pencabut Nyawa) namun aneh-nya, gadis itu seolah-olah mengenal
se-mua jurus itu dan mampu mengelak atau menangkis. Ketika para pendekar
mem-perhatikan dasar gerakan yang dipergunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu,
mereka merasa heran. Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung
dasar banyak macam aliran silat. Yang jelas kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai terdapat di
situ, juga ke-lincahan gerakan silat Bu-tong-pai. Akan tetapi, gerakan kedua tangan ketika
mengelak dan balas menyerang, jelas bukan dari kedua aliran itu, dan cara penyerangan yang
tiba-tiba dan licik ber-bahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu dari golongan sesat!
Namun, ter-nyata gadis itu lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan
agaknya sedikit banyak ia telah me-ngenal jurus-jurus silat yang diperguna-kan Suma Lian
untuk menyerangnya se-hingga ia mampu mengelak atau menang-kis dengan tepat. Sementara
itu, dalam hal tenaga sin-kang dan keringanan tubuh, ia tidak berada di bawah tingkat Suma
Lian! Hal ini saja sudah amat mengagum-kan dan mengherankan hati para pen-dekar yang
berada di situ. Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling
Naga Sim Houw, tiga orang di antara para pendekar yang memiliki ilmu kepandaian paling
tinggi di antara me-reka semua, diam-diam merasa heran dan terkejut. Pada jaman itu, kiranya
sukar mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu kepandaian Suma
Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggauta keluarga, yang
dikagumi sebagai anggauta keluarga termuda yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi,
agaknya masih belum dapat menandingi Suma Lian. Akan tetapi, gadis muda yang hanya
dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu menandingi, bahkan kini mulai
mendesak Suma Lian dengan ilmu silat yang aneh. Ia melakukan dorongan-dorong-an atau
pukulan jarak jauh yang amat dahsyat, yang mendatangkan angin seperti gelombang samudra
sedang membadai. Suma Lian mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongandorong-an itu, namun agaknya ia masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi
bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa pa-sangan kuda-kuda kaki Suma Lian ter-geser ke
belakang sedikit, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap teguh.
"Haiiiiittttt....!" Tiba-tiba gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan
tetapi kini ia meng-ubah kuda-kuda kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya
merendah seperti berjongkok, pinggulnya yang besar menonjol dan hampir menyentuh tanah.
Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya menyambar angin dah-syat ke arah
perut Suma Lian. Suma Lian yang sudah cukup penga-laman itu dapat mengenal serangan dah-syat yang
berbahaya. Akan tetapi kalau ia mengelak terus, hal itu akan mem-buktikan bahwa ia tidak
berani mengadu tenaga dan membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang keras hati dan
pem-berani itu tidak mau mengalah. Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari Te-naga Sakti
Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es. Biarpun kepandaian-nya dalam pengerahan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
34 sin-kang ini belum setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokoh-tokoh wanita keturunan
keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat. Ia mengerahkan tenaga
ga-bungan itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangan-nya pula.
Benturan dahsyat antara dua tenaga sakti tak dapat dihindarkan pula. Tidak nampak oleh
mata memang, dan dua pa-sang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, namun
keduanya seperti mendorong dinding yang kokoh kuat. Tu-buh Suma Lian nampak
terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan bibirnya mengembangkan
senyum mengejek. Keduanya tak pernah mengen-durkan tenaga, dan sebentar saja nampak
betapa Suma Lian berkeringat dan dari kepalanya mengepul uap.
Melihat ini, semua orang merasa te-gang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka
maklum bahwa adu tenaga sin-kang itu sudah mencapai titik yang gawat. Seorang di antara
mereka akan terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di fihak terancam. Akan
tetapi mereka tidak berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan amat berbahaya bagi
kedua orang wanita per-kasa yang sedang mengadu tenaga itu.
Akan tetapi, seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat
bahaya maut mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan
menggunakan kedua tangannya untuk melerai.
Kakek perkasa berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong
Bukit Kanan Kiri, kedua tangannya dikembangkan dan di-dorongkan dari samping ke arah
tengah--tengah di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sin-kang itu.
Bagaikan angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua
orang yang sedang bertanding itu terdorong dan kehilangan keseimbangan. Tenaga mereka
yang tadi saling tekan itu terlepas, dan akibatnya Suma Lian terpelanting dan gadis itu
terdorong ke belakang. Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat
bangun dengan muka agak pu-cat dan napas terengah, sedangkan gadis itu ketika terdorong ke
belakang, mem-buat gerakan jungkir-balik yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya
melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian ter-bebas dari ancaman bahaya, namun dari
akibat dorongan kekuatan sin-kang Suma Ceng Liong yang melerai, semua orang tahu bahwa
dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang ter-desak.
Gadis itu menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata mencorong, kulit wajahnya
memerah karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang,
telunjuk tangan kiri diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.
"Pendekar besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?" Ia berkata
mengejek. Di waktu mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak
ugal-ugalan. Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun tentu saja tidak seperti
dahulu, walaupun dia masih berwatak gembira. Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya
melaku-kan pengeroyokan dia hanya tersenyum.
"Bu-beng Sio-cia, aku tidak melaku-kan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma
Lian sudah kalah olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi" Masih penasaran dan ingin
menantang seorang di antara kami?" Biarpun kata--kata itu membuat pengakuan akan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
35 kekalahan Suma Lian, namun juga mengan-dung penawaran kalau-kalau gadis itu masih mau
menantang lagi, dan semua orang juga tahu bahwa menghadapi Suma Lian, gadis itu hanya
lebih unggul sedikit. Jelas kalau melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang setingkat, ia
tidak akan mampu menang. "Seperti kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membukti-kan kehebatan
nama besar para pendekar tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya
bertanding satu kali saja, kecuali kalau kalian hen-dak mengeroyokku! Aku hanya ingin
meninggalkan pesan bahwa Pao-beng-pai adalah perkumpulan para patriot yang tidak rela
melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh orang-orang biadab Mancu. Sebaliknya, tiga
keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek dan penjilat penjajah asing! Selamat tinggal!"
Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya,
sedangkan dua belas orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli
seperti pasukan pengawal.
Ia pun menerima kembali kebutan-nya dari tangan gadis pakaian kuning yang menyerahkan
kebutan itu sambil memberi hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya seorang puteri istana,
se-dangkan para pengikutnya amat menghor-matinya.
Sejak tadi, Tan Sian Li sudah ter-bakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah
sejak tadi sebelum Suma Lian maju, ia sendiri sudah me-nerjang gadis itu. Kini, mendengar
ucap-an gadis itu yang dianggapnya amat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin Sian
Li mampu menahan diri" Dadanya seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah ibunya
melarangnya, ia sudah meloncat ke atas dan bagaikan seekor burung bangau merah, tubuhnya
meluncur ke arah gadis depan joli itu dan mulutnya membentak garang, "Iblis betina
sombong! Sambut serang-anku!"
Akan tetapi gadis itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang men-jadi
pengawalnya itulah yang menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan
mereka menyambut dorongan tangan Sian Li dari atas.
"Dukkk!" Sian Li terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat
orang yang digabung itu, dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas. Gadis sombong
itu menyu-ruh empat orang pelayan mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap ia tidak
cukup berharga untuk menjadi lawannya!
"Jangan mengganggu nona kami yang mulia!" kata si baju kuning yang agaknya merupakan
pemimpin dari mereka ber-empat. Mereka sudah mengepung Sian Li dan menghadang Sian
Li, melindungi nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bu-kan main.
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Minggir! Apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak Sian Li galak.
"Sian Li, jangan membunuh orang!" Ayahnya memperingatkan.
Tiba-tiba gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga
nampak aneh dan mengerikan karena suara tawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah
yang ramah dan periang, bukan oleh wajah yang biarpun cantik namun dingin itu.
"Heh-heh-heh, ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
36 Ditantang seperti itu, Sian Li mem-bentak, "Iblis betina, engkau boleh se-kalian maju
mengeroyokku, akan kuroboh-kan kalian semua!" Setelah berteriak demikian, Sian Li
menerjang ke depan, disambut oleh empat orang gadis pelayan yang berpakaian menyolok
masing-masing mewakili satu warna itu.
Setelah bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang
gadis pelayan itu bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai
ilmu silat tinggi dan menjadi lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali si baju
kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti empat ekor burung walet, dan rata-rata memiliki
sin-kang yang cukup kuat.
Ternyata gadis tanpa nama wakil Pao--beng-pai itu tidak membual ketika me-nertawakan
Sian Li. Empat orang pela-yannya memang lihai bukan main. Me-reka adalah gadis-gadis
berbakat yang agaknya telah digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh karena mereka
berempat adalah empat orang pilihan dari pasukan wanita Pao-beng-pai, me-wakili empat dari
tujuh kelompok warna yang ada.
Diam-diam Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik. Tadi ia memang meman-dang rendah
kepada empat orang pelayan itu, walaupun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis
cantik Pao-beng--pai yang tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian. Kini,
ia sendiri merasa repot ketika empat orang pengeroyoknya, bergerak cepat sehingga nampak
mereka itu menjadi empat macam bayangan dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di
sekeliling dirinya. Mereka pun melakukan serangan bertubi--tubi secara teratur sekali,
bergiliran dan setiap kali Sian Li membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu
mengelak, maka mereka mempersatukan tenaga untuk menangkisnya! Dengan de-mikian,
serangan Sian Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang membuat ia cukup repot. Dan
yang lebih menyakit-kan hatinya, suara tawa merdu itu sering terdengar olah gadis Pao-bengpai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya!
Panaslah rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi ia belum mampu mendesak empat orang
pengeroyoknya dan memperoleh kemenangan, hal itu adalah kare-na peringatan ayahnya agar
ia tidak membunuh orang. Maka, ia pun menahan diri, menahan sebagian tenaganya dan tidak
pula mengeluarkan semua kepandai-annya. Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia
mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat
Sakti Bangau Me-rah). Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia
me-nyambar turun dan menyerang empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah,
seindah gerakan burung bangau dan karena pakaiannya serba merah, maka memang tepat
sekali ia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu itu. Ilmu yang amat indah
gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat dan kini empat orang pelayan wanita Paobeng-pai itu nampak terkejut. Mereka ber-usaha menahan diri dengan menggabung-kan
tenaga, namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti
diserang angin badai dan mereka terbanting roboh. Mereka tidak tewas, tidak pula terluka
parah, akan tetapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa mereka telah menderita
luka-luka dalam walaupun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih menahan
tenaganya, meng-ingat akan pesan ayahnya tadi.
Dengan senyum mengejek kini Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan me-nantangnya.
"Iblis betina, sekarang eng-kau majulah kalau memang engkau me-miliki keberanian!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
37 Gadis itu mendengus. "Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih
banyak waktu untuk memberi ha-jaran kepada bocah sombong macam kamu!" Setelah
berkata demikian, gadis itu memasuki joli dan memberi isyarat kepada para pengawalnya.
Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan
orang pria yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah
oleh Sian Li. "Heiii, tunggu kau iblis betina!" Sian Li hendak mengejar.
"Sian Li, tahan....!" Sin Hong ber-seru dan gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi
mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan cepatnya. Karena merasa kecewa dan
penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya. Semua orang juga
memandang ke arah rombongan yang menjauh. Ketika ia menengok memandang ayahnya
itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan agak kehijauan. Sebagai se-orang ahli
pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di bukit Liong-san,
sekali pandang saja Sian Li terkejut.
"Bibi Suma Lian, engkau keracun-an....!" katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.
Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi
Suma Lian tidak merasakan sesuatu.
"Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!" kata Suma Ceng Liong.
"Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!" kata Gu Hong Beng yang
mengkhawatirkan keadaan is-terinya.
"Jangan!" cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis
itu, apalagi suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
"Harap Bibi jangan khawatir, aku dapat mengobati Bibi." kata Sian Li se-telah ia memegang
nadi tangan Suma Lian. "Mari kita ke kamar, Ibu, aku min-ta Ibu suka membantu dan
memperkuat tenaga sin-kangku." katanya kepada ibu-nya, Kao Hong Li. Tiga orang wanita
ini lalu memasuki rumah, masuk ke kamar.
Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li
bersila di belakangnya, ber-sama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibu-nya membantunya
dengan menempelkan tangan di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sinkang dan me-nyalurkan ke dalam tubuh Suma Lian. Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu
dan anak ini menyusup ke dalam tubuh Suma Lian melalui punggungnya, Sian Li berbisik
lirih. "Bibi, gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang Tangan Menyangga Langit,
kerahkan te-naga sin-kang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi."
Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan kuat memasuki tubuhnya melalui
punggung, segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan kedua lengannya dan
mendorong ke atas dengan kedua telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari
kedua telapak tangannya. Sampai tiga kali, atas anjuran Sian Li, ia melakukan gerakan itu dan
Sian Li menghentikan penyaluran tenaga-nya, minta ibunya melepaskan tangan-nya pula.
Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, ia girang sekali melihat wajah itu
tidak lagi pucat ke-hijauan, melainkan sudah kembali ke-merahan. Akan tetapi sepasang alis
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
38 Suma Lian berkerut karena sekarang ia me-rasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia
memberitahukan ini kepada Sian Li, gadis itu tersenyum.
"Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah
keluar dan bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan
lenyap." Sian Li mengeluarkan sebuah botol dan meng-ambil tiga butir pil dari dalam botol,
menyerahkannya kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.
"Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li." katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian
Li. "Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi." kata Sian Li.
Semua orang bergembira melihat Su-ma Lian keluar dari kamar dalam keada-an sehat dan
sudah sembuh. Mereka me-muji ilmu pengobatan Sian Li yang man-jur. Sebetulnya, hampir
semua di antara mereka akan mampu menyembuhkan Su-ma Lian yang tidak terluka parah.
Akan tetapi cara yang mereka pergunakan hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang
ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat dapat dikata hanya ngawur,
mengandalkan kekuatan sin-kang untuk mengusir racun dalam tubuh orang yang terluka. Hal
ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.
Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa lega
bahwa gangguan rombongan gadis cantik tadi dapat diatasi. Suasana menjadi gembira
kembali. Akan tetapi setelah pesta selesai dan para tamu me-ninggalkan tempat itu, keluarga
itu sen-diri masih berkumpul dan mereka membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai
tadi. Mereka semua merasa heran dan pe-nasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak
pernah ada urusan de-ngan mereka, kini tiba-tiba memperlihat-kan sikap memusuhi mereka.
Melihat semua anggauta tiga keluarga besar merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat
kedua tangan minta agar mereka semua diam. Kemudian dia ber-kata. "Mungkin aku dapat
menerangkan mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu."
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lalu menceritakan
dugaannya. "Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul
setelah Kerajaan Beng jatuh dan kekuasaan diganti oleh Keraja-an Ceng, yaitu pemerintah
yang sekarang. Seperti yang kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para
pa-triot, orang-orang gagah yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa
Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini. Mereka berjuang un-tuk mendirikan
kembali Kerajaan Beng, dan berusaha untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintah
Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang--oreng pandai, bekas keluarga kaisar
Ke-rajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan di-hancurkan
oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan
Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati."
"Akan tetapi kenapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?" tanya Suma
Hui, isterinya dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula dalam hati
mereka. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
39 "Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita
semua tahu bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para
penjahat atau go-longan sesat. Kalau sekarang Pao-beng--pai memusuhi kita, padahal dahulu,
ketika masih dipimpin para patriot Heng tidak, hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai
bangkit kembali dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada kemungkin-an lain melihat betapa
gadis tadi me-maki kita sebagai antek pemerintah pen-jajah Mancu, yaitu bahwa di samping
memiliki pimpinan dari golongsn sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih menentang
pemerintah Mancu dan mere-ka menganggap kita sebagai musuh, bu-kan hanya karena kita
menentang go-longan sesat, akan tetapi juga karena tak dapat disangkal lagi, keluarga kita
per-nah membantu pemerintah Kerajaan Ceng." Kao Cin Liong berhenti dan meng-hela napas
panjang. "Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!" Gak Ciang Hun
berseru penasaran. "Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan
pemerintah Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang
kakek Suma Han, walaupun tidak pernah mem-bantu pemerintah Mancu, namun beliau
menikah dengan puteri Mancu sehingga keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan
masih dapat dikata ke-turunan ibu Mancu. Kenyataan ini agak-nya yang membuat keluarga
Pulau Es dianggap sebagai antek Mancu oleh Pao--beng-pai."
Mereka yang merasa sebagai keturun-an keluarga Pulau Es, saling pandang dan tidak dapat
membantah kenyataan itu, walaupun dalam hati mereka merasa penasaran. Biarpun nenek
mereka seorang puteri Mancu, namun mereka tidak per-nah membantu pemerintah penjajah
Man-cu! "Sekarang tentang keluarga Gurun Pasir," kata pula Kao Cin Liong me-lanjutkan. "Memang
keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng sekarang ini, akan tetapi
dahulu, ketika aku masih muda, aku pernah men-jadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal
yang membuat aku sampai kini me-rasa menyesal walaupun tugasku dahulu meredakan
pemberontakan di daerah perbatasan yang dilakukan oleh suku--suku bangsa lain. Akan
tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya pekerjaan-ku itu dan aku mengundurkan diri.
Se-menjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada pemerintah Mancu. Tentu saja
kita selalu menentang golong-an sesat, dan mungkin sekali inilah yang menyebabkan Paobeng-pai memusuhi kita."
"Pendapat paman Kao Cin Liong me-mang masuk di akal," kini Cu Kun Tek berkata.
Pendekar yang tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, akan tetapi sekarang,
setelah dia men-jadi suami Pouw Li Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, dia
bersikap tenang. "Akan tetapi mengapa pula Pao-beng-pai tadi menyinggung ke-luarga
kami?" Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu lalu berkata.
"Keluarga Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah
Ceng, akan tetapi anggauta keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui
pernikahan dan perguruan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, juga selain
itu, para anggauta keluarga Lem-bah Naga Siluman juga selalu menentang golongan sesat.
Tidak mengherankan ka-lau dimasukkan dalam daftar musuh oleh Pao-beng-pai."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
40 "Kalau begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok
perjuangan, seperti halnya Pek--lian-kauw dan lain-lain!" kata Kao Hong Li.
Ayahnya menghela napas panjang. "Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis
tadi, ia seperti bukan se-orang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia
tentu murid orang-orang yang pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan
ilmu keluarga kita semua."
Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang berani mati
membikin kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi
mereka yang lebih tua ber-sikap tenang, bahkan menasihati yang muda agar tidak tergesa
mengambil tindakan. "Sebaiknya kalau kita bersikap was-pada saja dan tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri,"
kata Sim Houw yang selalu bersikap tenang itu. "Bagaimana-pun juga, kalau Pao-beng-pai
melakukan gerakan memusuhi pemerintah Ceng hal itu bukan urusan kita. Kalau kita
me-musuhi mereka, dapat saja mereka me-nuduh bahwa kita benar-benar membela
pemerintah. Hal ini tentu akan menda-tangkan heboh di dunia persilatan. Sudah untung tadi
tidak terjadi hal yang lebih hebat dan kita sudah mampu memper-lihatkan bahwa kita tidak
boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita, tentu saja harus kita
hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang tadi
terjadi dan meng-anggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak
tahu diri." Para tokoh tua membenarkan pen-dapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan,
mengerutkan alisnya dan ia pun mengeluarkan pendapatnya. "Aku melihat dari sikap gadis
tadi bahwa ia amat membenci keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biarpun ia
ber-sikap sombong, hal itu kurasa karena kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak
seperti golongan sesat pada umum-nya, bahkan sepak terjangnya teratur dan para anak
buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang pu-teri kerajaan saja.
Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Melihat
tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi, tidak mungkin ia begitu tolol untuk
me-nantang kita selagi semua anggauta ke-luarga kita berkumpul. Tentu keberanian-nya
terdorong kebencian yang amat be-sar."
"Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan pe-nyelidikan
sampai di mana kekuatan ki-ta." kata Kam Hi Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah, para anggauta tiga ke-luarga besar itu sampai jauh malam mem-bicarakan gadis
Pao-beng-pai itu, men-duga-duga dan merasa heran karena pe-ristiwa itu memang amat aneh
dan men-curigakan. Kalau ada pihak golongan sesat datang memusuhi seorang dua orang di
antara mereka, hal itu tidaklah aneh karena memang mereka selalu menentang kejahatan.
Akan tetapi, seorang gadis muda berani mendatangi dan menantang seluruh anggauta tiga
keluarga besar selagi mereka berkumpul, sungguh ini hanya dapat dilakukan oleh seorang gila
yang tentu saja tidak lagi mengenal apa artinya takut. Dan gadis itu bersikap demikian
tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari ke-tiga keluarga itu sudah
pasti tidak akan mengeroyoknya, dan agaknya kunjungan-nya itu telah direncanakan dengan
perhitungan yang masak. Memang, andaikata yang menghadapi gadis tadi Suma Ceng Liong
atau Sim Houw, atau Tan Sin Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
tentu gadis itu tidak akan menang, akan tetapi siapapun di antara tiga orang pendekar ini
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
41 sudah pasti pula tidak akan mau melukai apa-lagi membunuh seorang gadia muda yang
menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh gadis Pao-beng--pai itu
maka ia berani menantang se-demikian nekatnya.
Sampai jauh malam baru para ang-gauta tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masingmasing yang sudah di-persiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang
bermalam di situ. Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan
bertanya-tanya dengan wajah khawatir apakah ada di antara para anggauta keluarga yang
me-lihat gadis itu. Namun, tak seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuh-kan diri
dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram dan khawatir sekali. Tan Sin Hong
menghiburnya. "Sudahlah, anak kita bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah dewasa, dan ia pun
sudah memiliki ilmu kepandai-an yang cukup untuk menjaga diri sen-diri."
"Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang was-pada, dapat
terancam bahaya." Isterinya membantah.
Semua anggauta kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.
Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin
Liong. "Lihat Ayah, cucu-mu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya"
Hatiku merasa geli-sah sekali, apalagi mengingat akan peris-tiwa yang baru kemarin terjadi."
Dengan tenang Kao Cin Liong me-nerima surat cucunya itu, lalu membaca-nya dengan suara
cukup keras agar terdengar oleh semua anggauta keluarga yang mendengarkan. Dalam
suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan
Can Bi Lan yang hilang sejak kecil itu. Juga ia ingin melakukan pe-nyelidikan terhadap Paobeng-pai. "Harap Ayah dan Ibu jangan khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati."
demiki-an ia mengakhiri suratnya.
"Aih, anak itu, kenapa demikian ne-kat!" seru Can Bi Lan. "Biarpun kami berterima kasih
sekali kepada Sian Li akan tetapi ke mana ia akan mencari anak kami" Kami berdua sendiri
pun sudah hampir putus harapan karena ber-tahun-tahun mencari tak pernah berhasil!"
"Memang sejak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!" kata Kao Hong Li.
"Bagaimanapun juga, ia masih belum matang benar biarpun kepandaiannya sudah lumayan.
Bagaimana ia akan mampu menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kangouw, terutama golongan sesat?"
Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. "Ha-ha-ha, Hong Li,
kenapa engkau begitu meman-dang ringan puterimu sendiri" Ingat, ia adalah Si Bangau
Merah Tan Sian Li! Kurasa benar ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk
menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman, lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan
meng-ikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi" Tenangkanlah hati-mu,
dan biarkan puterimu meluaskan pe-ngalaman dan menambah pengetahuan."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
42 Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini
berkata. "Benar apa yang di-katakan adik Suma Ceng Liong, Sian Li telah memiliki
kemampuan besar untuk menjaga diri. Biarpun ia keras hati, na-mun ia tidak ceroboh, ia
cukup waspada dan pula ia juga cerdik." Mendengar ini, Suma Ciang Bun menganggukangguk membenarkan. Setelah para tokoh tua dalam ke-luarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li,
tiba-tiba terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. "Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku
pergi mencari dan membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang dan
menyelidiki Pao-beng-pai?"
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak
itu. Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu wajah Nyo-nya Gak atau Souw Hui
Lian menjadi kemerahan. Ia tahu benar apa yang ber-ada dalam hati puteranya, maka ia pun
mengangguk dan menjawab singkat. "Eng-kau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi
melarangmu melakukan apa saja asal apa yang kaulakukan itu baik dan benar, Ciang Hun."
Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya.
"Terima kasih, Ibu. Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman
dan Bibi, saya mohon diri!" Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar
dari rumah itu dengan cepat setelah dia menyambar sebuah buntalan yang ter-nyata sudah dia
persiapkan sejak dia mendengar akan kepergian Sian Li pagi tadi!
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Mereka berdua adalah orang--orang
berpengalaman, maka tanpa diberi penjelasan sekalipun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa
artinya. Mereka dapat menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri
mereka. Bukan karena mereka tidak setuju karena Gak Ciang Hun juga merupakan seorang
pen-dekar gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang merupakan anak mu-rid
keluarga Pulau Es pula. Akan tetapi mereka sudah mengambil keputusan un-tuk menjodohkan
puteri tunggal mereka dengan Pangeran Cia Sun. Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata.
"Sian Li se-betulnya tidak boleh pergi sekarang kare-na kami bertiga sedang bermaksud pergi
ke kota raja, untuk meresmikan per-tunangan anak itu dengan Pangeran Cia Sun."
"Pangeran....?" Kao Cin Liong me-mandang puterinya dengan alis berkerut. "Engkau akan
bermenantukan seorang pangeran" Kenapa engkau tidak pernah memberitahu kami?" Tentu
saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mere-ka semua dimaki sebagai antek-antek
Kerajaan Mancu. Mereka semua me-nyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja
untuk Kerajaan Mancu, dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa ia hendak bermenantukan
seorang pangeran Mancu! Tentu saja Tan Sin Hong dan isteri-nya tahu apa yang dipikirkan kakek itu. Sin Hong cepat
membantu isterinya. "Ayah, kami memang belum memberitahu karena hal itu belum resmi.
Kami pernah bertemu dan berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah
kami saling mufakat untuk menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami
bertiga hendak berkunjung ke kota raja untuk mengukuhkan itu."
"Tapi....tapi kenapa seorang pange-ran....?" Kao Cin Liong berkata lirih. Dia tentu saja tahu
siapa Pangeran Cia Yan. Yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong, maka dengan sendirinya
Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
43 Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. "Kalau seorang pa-ngeran kenapa,
Ayah" Kami tidak melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan
adalah seorang pangeran yang baik, dan kami sudah melihat dan menyelidiki keadaan
Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat,
sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li."
Kao Cin Liong menghela napas pan-jang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu
menentang perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanya akan membuka
kenyataan pahit bahwa keluarga Pulau Es sendiri adalah keturun-an Mancu dari pihak ibu!
Dia tidak menentang orang Mancu, tidak menentang manusianya, hanya merasa tidak enak
karena justeru orang Mancu yang kini menjajah tanah air dan bangsanya.
Semantara itu, tentu saja diam-dian, Nyonya Gakmengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh
cinta kepada Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya, dan
kini ia sendiri mendengar dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan de-ngan
seorang pangeran! Ia pun hanya menyerah dan hatinya merasa yakin bah-wa perjodohan
berada di tangan Tuhan! Kalau memang anakku berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun
rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri juga.
Selama beberapa hari, berangsur--angsur para anggauta keluarga meninggal-kan rumah Suma
Ceng Liong dan akhir-nya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya,
Kam Bi Eng. Suami isteri yang sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan
merasa kehilangan sekali. Baru saja ru-mah mereka demikian cerah meriah de-ngan adanya
para anggauta keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong dan sunyi. Makin sedih hati
mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas ketika
pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, me-nurut
keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalan urus-an pemberontakan
yang terjadi di daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak. Tentu saja suami
isteri ini sama sekali tidak tahu, sama se-kali tidak pernah menduga bahwa murid mereka
tersayang itu sebetulnya telah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri.
Sian Li tidak men-ceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang
men-jaga agar suami isteri ini tidak merasa menyesal.
"Kita harus mengambil seorang murid lagi!" tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada
isterinya. "Ah, ke mana kita harus mencari" Tidak banyak terdapat anak yang ber-bakat, bertulang dan
berdarah baik, juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil,
seperti Sian Lun." Kam Bi Eng tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.
"Kita harus mencari," kata suaminya. "Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga
dapat menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah se-makin tua. Apakah semua
ilmu yang kita pelajari dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur" Sayang sekali!
Kita harus mewariskan kepada seorang murid yang pantas."
"Hemmm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua su-dah menurunkan
ilmu-ilmu kita kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li" Sayang
sekali anak kita itu sampai sekarang tidak mem-punyai keturunan, kalau ada, tidak akan
susah-susah kita mencari murid. Cucu--cucu kita sendiri akan kita warisi ilmu--ilmu kita."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
44 "Benar, akan tetapi baik Suma Lian maupun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmuilmu dari kita. Mereka juga mempunyai guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya
mengua-sai ilmu-ilmu kita berdua, dan aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita agar kelak
dapat diteruskan dan dikembangkan oleh seorang murid yang berbakat." Pendekar itu menarik
napas panjang. Isterinya tersenyum. "Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan men-cari seorang
murid. Akan tetapi kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan
mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada seorang murid yang kelak menjadi seorang penjahat,
maka nama kita akan ternoda selama-nya."
Suaminya mengangguk-angguk. "Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke
mana saja sampai menemu-kan seorang murid yang cocok. Bagai-mana pendapatmu?"
Isterinya memandang dengan wajah berseri. "Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini,
melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kun-jungi keluarga, juga sahabatsahabat la-ma, sekalian mendengarkan berita ten-tang Pao-beng-pai."
*** Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan
sukar dikunjungi orang biasa. Lembah ini selain mempunyai ba-nyak hutan liar yang dihuni
binatang--binatang buas, juga terkenal banyak ular-nya yang berbisa dan terdapat pula
pen-jahat-penjahat yang berbahaya karena para penjahat yang menjadi buronan pe-merintah
maupun buronan para pendekar, kalau sudah memasuki lembah ini lalu lenyap dan sukar
ditangkap. Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat
rawa-rawa yang berbisa, bahkan di beberapa tempat terdapat lumpur maut, yaitu rawa
ber-lumpur yang dapat menyedot siapa saja yang terjatuh ke dalamnya. Sekali kaki terperosok
ke dalam lumpur maut ini, jangan harap akan dapat selamat kalau tidak tertolong orang lain
yang menarik-nya keluar. Kalau malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan
menyeram-kan, terdengar suara-suara aneh seolah--olah laksana iblis berpesta pora di situ.
Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok (Lembah Selaksa Racun)!
Akan tetapi, kalau ada orang yang memiliki kepandaian, kemampuan dan keberanian
sedemikian tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah, dia akan ternganga
keheranan kalau melihat di bagian paling dalam dari lembah itu. Di dataran yang tinggi dan
terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian tanah yang amat
indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Pe-tak rumput hijau
segar dan bersih di-seling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah
yang lebat dengan buahnya. Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak ber-diri
sebuah bangunan yang anggun dan megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di
tempat itu tentu akan merasa seperti dalam mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota
raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah dan besar, juga gedung itu te-rawat
baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Yaitu, gedung yang
jelas terawat baik dan me-gah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tidak nampak
seorang pun manusianya, tidak pula terdengar ke-sibukan atau suara apa pun dari sana.
Seperti rumah kosong saja, padahal me-lihat perawatannya, tidak mungkin rumah gedung itu
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
45 kosong. Untuk merawat dari petak rumput, halaman, taman dan gedung itu saja setiap hari
dibutuhkan te-naga belasan orang!
Pagi hari itu cuaca amatlah cerah-nya. Hawa udara juga hangat oleh mata-hari pagi dan sejuk
oleh bersilirnya angin gunung yang membawa keharuman bunga--bunga yang sedang mekar,
daun-daun dan rumput hijau. Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul,
yang datang dari belakang gedung di mana terdapat sebuah kebun yang subur. Mata-hari
mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi semakin hangat, cua-ca semakin cerah,
namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di
sebuah hutan, beterbang-an sambil mengeluarkan bunyi seperti ketakutan. Juga suara monyetmonyet di pohon-pohon besar cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan
kacau menunjukkan bahwa mereka juga ketakutan. Semak-semak bergerak, ter-dengar bunyi
ranting kering patah ter-injak, daun-daun kering tersaruk kaki dan ternyata yang membuat
burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari jalan di hutan
itu. Seorang yang berjalan paling depan me-megang sebatang golok dan dengan benda tajam
ini dia membabati semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak
nampak adanya lorong atau jalan setapak sekalipun karena me-mang tidak pernah ada
manusia berani lewat di situ. Terlalu besar bahayanya. Karena itulah, maka tiga orang ini
ter-paksa harus membuka jalan baru. Be-berapa kali mereka itu menemui jalan buntu. Akan
tetapi, ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru ke-nyataan bahwa mereka bertiga
berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka
adalah orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di
tempat yang membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga penasaran. Dari
rumpun belukar yang bekas dibabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah
mereka lewati. Kiranya perjalanan me-reka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan
tidak pernah dapat keluar dari hutan!
"Hemmm, kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok. "Tadi pun kita
sudah lewat di sini."
"Sudah tiga kali kita kembali ke tem-pat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat
keluar dari hutan keparat ini?" orang kedua mengomel.
"Jelas bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur
sehingga merupakan se-macam jebakan. Kita harus berhati-hati," kata orang pertama yang
bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
"Kita adalah tamu-tamu yang di-undang, bagaimana mereka berani meng-hina kita dengan
membuat jebakan dalam hutan ini?" orang ke dua bertanya pena-saran. Dia bertubuh pendek
gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu. Perutnya yang
gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
"Kalian tenang dan bersabarah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. "Kita
sendiri yang bersalah, kita tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya
penjemput. Karena kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah sengaja membiarkan kita
berkeliaran dan tersesat di sini."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
46 Tiga orang itu berhenti melangkah, kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia
kurang lebih lima puluh tahun dan melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka
adalah go-longan orang-orang kang-ouw, petualang--petualang yang hidup berlandaskan
ke-kerasaan dan mengandalkan tebalnya kulit kerasnya tulang dan lihainya ilmu silat.
"Hemmm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang
rendah kita?" si muka hitam mengomel lagi.
"Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka
kuning dan berkumis kecil berjuntai ke bawah. "Kita adalah tamu dan karena kita telah
mencari jalan sen-diri, kita harus dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi
dari atas pohon." Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan
dengan cekatan seperti seekor mo-nyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di
pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas pohon dan tiba--tiba dia berteriak.
"Ahhh, bukan main....! Betapa megah-nya sarang mereka....! Itu, di sana sa-rang mereka,
besar dan megah sekali!"
Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah, tertarik dan mereka pun cepat memanjat
pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Tidak jauh
lagi nampaknya dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak
ada orang di sana. "Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang segera
menyerosot turun dari pohon. Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar
menuju ke arah di mana tadi mereka melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak
belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka nampak hamparan rumput dan
melihat ini, si gendut girang sekali.
"Wah, sekarang baru enak jalannya!" katanya dan dia pun hendak lari ke de-pan, akan tetapi
baru saja kakinya meng-injak hamparan rumput, kaki itu ter-jeblos ke bawah, diikuti kaki ke
dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lum-pur tertutup rumput sampai sepinggang
dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apalagi merasa betapa tubuh-nya tersedot
dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
"Tolooonggg...., Twako..... Ji-ko, to-long....!" Dia berkaok seperti seekor babi disembelih,
matanya melotot penuh ke-ngerian, mukanya pucat sekali. Melihat ini, si muka hitam terkejut
dan cepat dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu dan menjulurkan
lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar ta-ngan kakak
seperguruan atau kakak se-gerombolan itu dan menangkap tangan, memegangi dengan kedua
tangannya lalu dia pun menarik sekuatnya dengan mak-sud untuk menarik tubuhnya keluar
dari dalam lumpur. Akan tetapi, terjadilah hal yang me-ngejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi
besar itu berteriak karena dia terbetot dan tak dapat dielakkannya lagi, dia pun terjatuh ke
dalam lumpur di sebelah si gendut! Kira-nya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan
tenaga sedotan lumpur itu terlalu kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang
mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu menarik saudara-nya itu keluar dari kubangan
lumpur. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
47 "Tolong.... Twako (Kakak Tertua) tolong....!" kini si muka hitam juga ber-teriak-teriak
ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah rontaannya mem-buat tubuhnya cepat sekali
amblas sam-pai ke pinggang! Adapun si gendut sudah terbenam sampai ke dada.
Melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu
mengerutkan alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw
berjuluk Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang
adiknya yang sudah berpengalaman itu kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan
bodoh! "Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya men-dongkol.
Mendengar bentakan kakak me-reka, kedua orang itu sadar dan mereka pun kini berdiam diri,
sama sekali tidak bergerak sehingga tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam
dan mereka melintangkan kedua lengan de-ngan tangan terbuka sehingga kedua le-ngan dan
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangan yang dibuka jari-jarinya itu sedikit banyak dapat melawan sedot-an lumpur dan
menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat terbenam. Sementara itu, orang pertama dari Tiatliong Sam--heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang cukup panjang dan kuat,
mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan ujung ikat
pinggang itu kepada sebatang pohon yang besar, lalu dia melemparkan dahan itu ke dekat
kedua orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali. Kini kedua orang itu menarik
tubuh mereka sambil berpegang kepada dahan kayu, dibantu si kumis tipis, dan biarpun
de-ngan susah payah melawan sedotan lum-pur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar
dari kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah
dan ketika mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergerak saking gembira dan lega
hati mereka, juga karena lucu me-lihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
"Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga
kehilangan ketenangan." Sang kakak mengomel.
"Aih, maafkan kami, Twako. Meng-hadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan
tetapi siapa orangnya tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu" Membuat kita
merasa tak berdaya seperti boneka dan melihat ke-matian merayap begitu dekat dan
ber-angsur-angsur, perlahan-lahan tapi pasti. Hihhh, masih ngeri kalau kukenangkan
kembali!" kata si gendut.
"Hemmm, kubangan lumpur ini me-mang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh
licik dan kejam bukan main. Huhhh!" kata si muka hitam.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu ter-letak di sana. Akan
tetapi, biar aku yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain." kata si
kumis tipis dan kini dia pun berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang
adiknya yang masih terbungkus lumpur itu mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan ber-bahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa
berhenti melangkah karena me-reka tiba di tepi jurang yang dalamnya tak dapat dilihat atau
diukur! Jurang itu demikian curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alangalang yang tebal. Membayangkan diri terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup mem-buat
bulu tengkuk meremang. Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sa-ma sekali tidak ada!
Perjalanan mereka sama sekali mati, terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
48 menguna-kan kepandaian melompati jurang pun tidak mungkin, karena jurang itu lebar sekali
dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan kalau mereka bersayap dan
dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi dan mereka
menyimpang dari arah di mana gedung itu berada! Jalan buntu.
"Jahanam! Kita diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan mengepal
tangan. Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai
mengering dan tubuh terasa kaku dan gatal-gatal.
"Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" kata pria si mu-ka hitam dan
tiba-tiba dia menampar lehernya. Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet
pecah. Kira-nya seekor lintah menempel dan meng-hisap darah di lehernya tanpa
dirasakan-nya! Dia bergidik dan menyumpah--nyumpah, ditertawakan si gendut yang merasa
lucu. Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain
lebih menderita dari-nya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nam-pak tiba-tiba menjadi kecil tak
berarti kalau yang untung itu melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar
darinya. Demikian sifat dan watak se-seorang yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri
dan dengki. Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang
adiknya yang kasar. "Jangan sem-barangan bicara kalian! Kita berada di daerah kekuasaan
Pao-beng-pai!" Lalu dia memandang ke seberang sana, memasang kedua tangan seperti
corong di kanan kiri mulutnya, kemudian mengerahkan khi-kang dan berteriak lantang.
"Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di
sini memenuhi undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk ja-lan!"
Suara itu lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan khikang, dan gemanya ter-dengar dari sekeliling tempat itu.
"Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan." tiba-tiba
terdengar suara lembut dan mereka bertiga terkejut sekali ka-rena ketika mereka menengok ke
arah suara di belakang mereka, ternyata di situ telah berdiri seorang wanita cantik!
Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak mereka lihat atau de-ngar, tahutahu telah di situ, tersenyum manis. Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima
tahun usianya, berpakaian serba putih dan wajahnya demikian cantik sehingga muncul di
tem-pat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang
juga pendek-pendek besar seperti perutnya, dan berkata. "Nona manis, engkau ini bidadari,
siluman atau-kah manusia?"
Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis ber-pakaian putih itu
tersenyum ramah. "Aku adalah manusia biasa, aku seorang di antara perajurit Pao-beng-pai
yang diutus untuk menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)."
"Bukan main!" kata si muka hitam yang tadi terpesona dan baru sekarang dapat
mengeluarkan suara. "Apakah se-mua perajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita seperti
engkau ini, Nona!" Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
49 Gadis itu menggeleng kepala. "Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka
mengikuti aku." "Nanti dulu!" teriak si gendut. "Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan
dan pakaianku kotor seperti ini!"
"Aku juga!" kata si muka hitam. Me-reka berdua tadi bertanya apakah semua perajurit Paobeng-pai cantik-cantik se-perti nona ini, dan kalau begitu banyak-nya gadis cantik di sana,
tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam keadaan sekotor itu.
Gadis itu tersenyum dan nampak de-retan giginya berkilauan. "Jangan kha-watir. Sebelum
tiba di sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya jernih dan Ji-wi (Anda
Berdua) dapat membersihkan diri di sana."
Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata meng-ambil jalan
membelok ke kiri memasuki hutan! Dan gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat,
diikuti oleh tiga orang itu yang tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan
mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu. Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu
melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas, dan begitu saja gadis itu melangkah
masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka perhatikan, ternyata kaki gadis
itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat bagian yang keras
karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka mengikuti
jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah melewati hutan itu, tiba-tiba saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang
airnya jernih dan di dekat situ terdapat pula air terjun kecil yang bersih pula airnya. Seperti
berebut, si muka hitam dan si gendut segera man-di di bawah air terjun, membersihkan badan
dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus kain tebal
yang tidak tembus air, maka pakaian mereka dalam buntal-an itu tidak kotor, hanya
pembungkusnya saja yang kotor dan kini, mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus
yang kotor itu. Sementara menanti kedua orang adik-nya mandi dan mencuci pakaian, si ting-gu kurus yang
berkumis tipis duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak
keterangan yang bisa dia dapatkan dari gadis itu. Gadis itu hanya menceritakan bahwa
pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebut-kan siapa namanya, mengundang orang--orang gagah
di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam perjuangan menentang
penjajah. "Aku tidak boleh banyak bicara, dan nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi
kesempatan berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas." demikian katanya
mengakhiri keterangannya.
"Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dahulu dipimpin oleh orang--orang yang
menamakan diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian,
aku mendengar bahwa Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba
ada pimpinan Pao-beng-pai yang mengundang orang-orang kang-ouw" Jangan-jangan kami
datang hanya untuk dicaci-maki dan dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia
menunjuk ke arah dua orang adiknya yang sedang membersihkan diri di bawah pancuran air
terjun. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
50 Gadis itu kembali tersenyum. "Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberitahu
bagaimana kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang" Memang, daerah kami
merupakan daerah berbahaya dan kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan
menghadapi bahaya. Tadi kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi
memper-kenalkan diri, maka aku sengaja datang menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam--wi
menghadapi kesukaran tadi."
Si tinggi kurus menghela napas pan-jang. "Sudahlah, bagaimanapun juga kami yang bersalah
karena tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah
tiba dan sudah mendapat jemputan?"
"Sudah banyak yang datang, dan ma-sih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini."
Dua orang yang membersihkan diri kini sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan
senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini mengenakan pakaian
yang bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau
karena mereka mempergunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum
yang dibuat-buat, seperti biasa lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi
kurus yang tidak berwatak mata keranjang seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan
cemberut. Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya
merupakan sambungan dari ju-rang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi,
walaupun masih tidak mungkin diloncati orang walau me-miliki ilmu meringankan tubuh
yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat
diukur. "Wah, kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.
"Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.
Gadis itu menggeleng kepala dan me-mandang ke seberang sana. "Tidak ada jalan lain. Inilah
jalan satu-satunya."
"Maksudmu, Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.
"Menyeberangi jurang ini." kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang dan terbelalak. "Akan tetapi, siapa
yang akan mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?" tanya si gen-dut tanpa malu-malu
lagi. "Tidak meloncati, melainkan menye-berang."
"Tapi, bagaimana mungkin" Tidak ada jembatannya...." kata pula si muka hitam."Tunggu
dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki
yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
51 Gadis berpakaian putih itu mengeluar-kan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya,
lalu meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring de-ngan irama tertentu, lalu ia
menghenti-kan tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya. Tak lama kemudian, dari
seberang terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari balik sebatang pohon
besar yang tumbuh di seberang sana, muncul seorang gadis cantik yang berpakaian serba
kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu
membidik. "Singgg.... wirrrrr....!" Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ter-nyata pada ekor
anak panah diikatkan sebatang tali sebesar ibu jari kaki. Keti-ka anak panah meluncur ke arah
dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap te-nang sekali hanya miringkan tubuhnya dan
tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan gerakan yang cepat bagaikan
seekor ular mematuk. Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru mereka percaya
bahwa gadis berpakaian putih ini bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu
kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan tali pada batang pohon besar dan dari
se-berang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat. Mereka melihat betapa tali
itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan kuat namun mengait kendur
sehingga dari se-berang sana dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka
kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.
"Nah, kita menyeberang melalui jem-batan tali ini," kata gadis pakaian putih.
"Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.
Biarpun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi namun belum pernah dia
mencoba untuk berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai
tali se-besar ibu jari kaki, di atas jurang yang dalamnya tak dapat diukur! Sekali saja kaki
meleset atau tali itu putus, maka sudah dapat dipastikan nyawa akan me-layang ketika badan
akan terbanting hancur di dasar jurang!
Gadis itu tersenyum mengejek. "Siapa bilang main-main dengan nyawa" Kami sudah
ratusan, bahkan ribuan kali me-nyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang
kehilangan nyawanya. Justeru tempat ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak
mampu menyeberang dengan tali ini, berarti tidak pantas untuk menjadi tamu Pao--beng-pai."
Setelah berkata demikian, ia lalu melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya
hinggap di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan
berkata. "Marilah, Sam-wi, silakan menyeberang." Setelah berkata demikian, ia pun lalu
melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti berjalan di atas jem-batan besi yang
lebar saja. "Jangan membikin malu saja." kata si tinggi kurus dan dia pun meloncat ke atas tali dengan
gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti oleh si gendut. Mereka bertiga
adalah orang--orang kang-ouw yang sudah menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
yang lumayan, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar
bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apalagi tali itu direntang di
atas jurang yang ter-amat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali.
Setelah mereka semua tiba di sebe-rang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah
menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak
gemetar kedua kakinya. Walaupun wajahnya ter-senyum dan diperlihatkan ketenangan dan
kegagahan, namun jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
52 walaupun tadi dia sempat berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah
jurang, mem-bayangkan kalau-kalau sampai terjatuh.
Setelah tiba di seberang, sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di sebe-rang sana dan
gadis berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis
berpakaian serba kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut
menjadi semakin gembira. Kalau Pao-beng-pai memiliki perajurit seperti ini semua, tanpa
ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!
"Nona, kalau tidak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian
dapat menyeberang?" tanya si tinggi kurus.
Kini si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. "Tentu
saja kami mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami." Ia saling
pandang dengan yang pakaian putih, lalu keduanya ter-senyum geli.
"Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, sila-kan mengikuti kami menghadap pimpinan kami." kata
si baju putih. Mereka melanjutkan perjalanan, si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu,
dan si baju kuning ber-jalan di belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang
tadi ke-lihatan oleh si tinggi kurus dari puncak pohon.
Tiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Paobeng-pai merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka
melihat dengan jelas. Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan
rumput yang luas dan terawat baik. Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan
gedung yang bersih dan seperti istana!
Kalau tadi, dari atas pohon, mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu mereka muncul,
bagaikan semut saja, nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari
pria yang bertubuh kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hi-tam,
ada yang biru. Namun, para peraju-rit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas
nampak bahwa mereka itu berdisiplin.
Ketika Tiat-liong Sam-hengte me-masuki pekarangan, bermunculan penjaga--penjaga yang
berpakaian abu-abu, ber-kelompok di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendapa bagian
luar gedung itu. Mereka berdiri dengan sikap tegak se-perti arca, dan ketika tiga orang tamu
itu lewat, mereka memberi hormat ke-pada gadis berpakaian putih seperti perajurit memberi
hormat kepada seorang yang lebih tinggi pangkatnya. Tiga orang itu pun dapat menduga
bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang perajurit rendahan,
melainkan seorang perwira pula.
Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para tamu
yang sudah datang diper-silakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan
darurat sebelah kiri. Mari, kita persilakan Sam-wi me-nunggu pula di sana seperti para tamu
lain." Tiat-liong Sam-hengte hanya meng-angguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu,
mereka telah kehilangan wi-bawa. Gedung itu memang megah, de-ngan perabot-perabot yang
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
53 pantasnya berada di istana kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian
tertib dan penuh wibawa, membuat mereka diam-diam merasa jerih dan mak-lum bahwa
mereka memasuki sarang se-buah perkumpulan yang besar dan kuat.
Kiranya di sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan
itu, telah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat--liong Sam-hengte mengenal
beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang--ouw yang terhitung golongan hitam atau
golongan sesat. Mereka melihat ada orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tokoh-tokoh sesat yang terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air,
merasa cocok dan senang, apalagi di ruangan itu, para ta-mu yang dipersilakan menunggu
tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan kue serba melimpah. Setelah gadis baju
putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan bercakapcakap dengan akrab ber-sama orang-orang yang telah mereka kenal. Dan di ruangan ini,
mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di
bela-kang Pao-beng-pai ini.
Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini merupakan perkumpulan yang
tadinya telah mati karena dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain
yang memberontak terhadap Kerajaan Ceng (Mancu). Muncul seorang yang gagah perkasa
dan dialah yang mengumpulkan kembali bekas anak buah Pao-beng-pai, mempergunakan
uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-beng-pai bangkit kembali dan kini
bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat daripada dulu.
Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun, bertubuh
tinggi besar dan ber-wajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia
mengaku sebagai keturunan keluarga kaisar Kera-jaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada bukti--bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah
jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, akan tetapi karena dia kaya raya, dan berilmu tinggi,
maka orang-orang yang ditarik menjadi anggauta Pao-beng--pai percaya saja.Di samping
harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun me-ngetahui dari mana datangnya
dan me-nurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh
ini pun memiliki kepandaian silat yang hebat. Banyak sudah jagoan yang tadinya
menentangnya, banyak tidak per-caya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak
yang menaluk lalu menjadi pembantunya dengan imbalan yang cukup besar sehingga
kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin terpandang karena di situ berkumpul
banyak tokoh yang berilmu tinggi.
Siangkoan Kok mempunyai seorang isteri yang selain cantik, Juga lihai bukan main. Isterinya
itu bernama Lauw Cu Si berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku
sebagai ke-turunan keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan tokoh-tokoh sesat
yang pernah menjagoi dunia kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut "pangcu" (ketua),
maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan semua anak buahnya agar menyebutnya
"toanio" (nyonya besar).
Masih ada lagi seorang tokoh dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis
berusia dua puluh tiga tahun yang cantik jelita namun tidak kalah lihainya dibandingkan ayah
ibunya, yaitu ketua Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng, ayah
ibunya menyebutnya Eng Eng. Akan te-tapi semua anak buah Pao-beng-pai di-haruskan
menyebutnya Sio-cia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun dan dingin
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
54 inilah yang pernah dengan berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng
Liong dan menantang untuk mengadu ilmu silat.
Keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng--pai lima tahun
yang lalu. Dengan ke-pandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru
berusia delapan belas tahun, berhasil membang-kitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah
perkumpulan yang kuat. Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi ratarata anak buah ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggauta
itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu
adalah anggauta pria, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu
dan kelompok bersera-gam hitam-hitam yang tingkatnya lebih tinggi daripada yang abu-abu.
Adapun si-sanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua pu-luh
sampai tiga puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka ini digembleng secara khusus sehingga
merupakan pasukan yang lihai, lebih lihai dibandingkan para ang-gauta pria. Para anggauta
wanita ini memiliki dua tingkat pula, yang pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, hanya terdapat empat orang diantara mereka sebagai pimpinan, selebih-nya dibagi
menjadi pasukan yang ber-seragam hitam, kuning, dan biru.
Para anggauta yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang
lebih dari tiga puluh tahun usianya. Dan mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Paobeng-pai mempunyai peraturan yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup
serba kecukupan, akan tetapi me-reka harus taat akan semua peraturan dengan ancaman
hukuman berat kalau mereka melanggar. Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan
bahwa se-lama mereka masih menjadi anggauta Pao-beng-pai, mereka tidak diperbolehkan
menikah! Juga bagi para anggauta wanitanya, selain tidak boleh menikah, ti-dak boleh pula
melahirkan anak. Dapat dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para ang-gauta itu adalah
orang-orang yang sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja amat menyiksa dan karena
mereka me-rasa sayang kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggauta Pao-beng-pai, juga karena mereka takut akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang
berani melanggarnya. Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua
anggauta, dan larangan me-lahirkan bagi anggauta wanita. Akibatnya, untuk menyalurkan
kebutuhan berahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang tidak wajar, bahkan kadang jahat.
Kare-na mereka adalah orang-orang yang me-miliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi
orang awam, maka banyak di antara para anggauta pria mempunyai kekasih di luar, bahkan
ada pula yang melakukan perkosaan terhadap para wanita di dusun--dusun yang berada di luar
daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang berada di lereng dan kaki Gunung Setan. Juga para anggauta
wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam men-jalin hubungan
gelap dengan sesama ang-gauta yang pria, atau mempunyai ke-kasih gelap yang mereka pilih
dari para penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil
sebagai hubungan gelap itu.
Mereka adalah orang-orang dari go-longan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka
anggap wajar saja. Maka, tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat
ditakuti oleh penduduk di pegunungan itu.
Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun
mereka ini bersikap tidak peduli. Selama para anggauta tidak melanggar peraturan dan
larangan, cukup-lah. Selain itu, Siangkoan Kok yang biar-pun kaya raya namun harus
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
55 mengeluarkan biaya besar untuk perkumpulannya, se-gera mengambil tindakan untuk
men-datangkan dana. Caranya adalah me-nundukkan dan menalukkan semua gerom-bolan
penjahat di kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, memaksa mereka mengakui
kekuasaan Pao-beng-pai. Yang membangkang dihancurkan, dan yang taluk diharuskan
membayar semacam "upeti" setiap bulan. Bahkan Pao-beng-pai menguasai banyak tempat
perjudian dan pelacuran di berbagai kota, dan dari penghasilan semua itulah keuangan Pao-beng-pai menjadi kuat. Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar--gemborkan
sebagai suatu usaha untuk perjuangan, yaitu menghancurkan peme-rintah penjajah Mancu dan
membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!
Mingkin orang lain akan menganggap bahwa, cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan
mimpinya terlalu muluk. Namun, Siangkoan Kok berusaha sungguh--sungguh dan kini dia
mulai hendak men-dekati semua golongan untuk diajak be-kerja sama. Kalau dia berhasil,
maka usahanya itu akan menjadi bahaya yang cukup besar bagi pemerintah Mancu. Dia
mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tidak rela
tanah air dan bangsa dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban--kwi-kok di Gunung
Setan dan mengadakan pertemuan besar.
Pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao--beng-pai. Seperti
juga halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu ter-cengang dan kagum. Mereka itu
setelah tiba di perbatasan wilayah Pao-beng--pai, disambut oleh seorang murid Pao-beng-pai
dan diantar sampai ke gedung yang megah seperti istana itu. Di sepan-jang perjalanan ini saja
mereka melihat kenyataan betapa tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar
diserang musuh, berbahaya dan penuh jebakan alam.
Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari
itu. Bukan hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai anti pemerintah
Mancu seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang
sesat, bahkan ada pula golongan pendekar yang datang berkunjung. Mereka ini pada
umumnya merasa tertarik dan ingin me-ngenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka
merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali.
Kalau golongan para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang
dari go-longan sesat tentu saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi
mereka untuk mendapatkan ke-untungan besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan
sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.
Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk
umum, yaitu para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung.
Asalkan dia merasa bahwa dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang,
walau-pun tingkat ilmu silat mereka itu masih jauh daripada pantas untuk menghadiri
pertemuan seperti itu. Siangkoan Kok memang pandai meng-ambil hati orang. Sebelum pertemuani dimulai,
sebelum dia keluar menemui para tamu, mereka itu telah disuguhi arak dan anggur yang baik,
makanan yang lezat. Setelah menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat
royal. Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala
macam binatang ber-limpah ruah, guci arak tak pernah ko-song, dan masakan-masakan
termahal dihidangkan. Banyak di antara para tamu yang tercengang dan terheran melihat
masakan yang belum pernah mereka ra-sakan sebelumnya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
56 Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya
muncul! Memang aneh, akan tetapi cara seperti ini amat menyenang-kan para tamu. Tadi
mereka dijamu hi-dangan yang royal tanpa merasa sungkan karena pihak tuan rumah hanya
mewakil-kan kepada para gadis cantik yang men-jadi anggauta Pao-beng-pai. Para gadis
cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah, bahkan mereka
tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan
ucap-an yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini
saja menunjukkan betapa taatnya para anggauta Pao-beng-pai. Biasanya, para anggauta
wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini membunuh
seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan
tetapi, dalam melayani para tamu itu, mereka tidak pernah marah, bahkan tidak berani marah
karena mereka sudah dipesan oleh ketua mereka agar melayani para tamu baik-baik dan
manis, dan dilarang untuk bersikap keras terhadap mereka.
Dalam suasana gembira dan puas makan minum sampai kenyang, para ta-mu menyambut
munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng--pai itu muncul sambil
tersenyum, namun sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang
kagum dan segan. Orang tinggi besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia
persilat-an, namun namanya secara tiba-tiba menjulang tinggi ketika dia membangun kembali
Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak isterinya memiliki ilmu
kepandaian yang hebat! Siangkoan Kok memang gagah. Tu-buhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu
karang, wajahnya yang tam-pan gagah itu berwibawa dan kening-ratan, langkahnya mantap
dan gagah seperti seekor singa, sebatang pedang tergantung di pinggang dan pakaiannya rapi
dan terbuat dari sutera mahal walaupun tidak berkesan mentereng. Rambut-nya tidak dikuncir,
melainkan digelung dan diikat ke atas. Ini saja merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati
peratur-an pemerintah Mancu bahwa semua pria diharuskan menguncir rambutnya! Usianya
sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang usianya empat puluh lima tahun, namun
masih nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata
wanita ini jeli dan bersinar tajam, mulutnya selalu di-hias senyum yang membayangkan
kebang-gaan, seperti senyum seorang puteri ke-rajaan yang menyadari akan kekuasaan-nya,
kemuliaannya dan kecantikannya. Ia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang oleh
para anggautanya selalu disebut Toanio. Semua mata me-mandang kagum karena wanita ini
me-mang pantas untuk menjadi seorang wa-nita bangsawan tinggi.
Akan tetapi yang paling menarik per-hatian semua tamu adalah gadis yang melangkah
perlahan di belakang suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat
menarik hati. Usia-nya sekitar dua puluh tiga tahun, pakai-annya lebih mewah daripada
pakaian ibu-nya. Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias
sebuah tiara kecil penuh permata ber-kilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi
amat dingin. Pandang mata-nya lebih banyak menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat
muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang me-rasa ngeri karena sinar mata itu
men-corong seperti mata seekor naga. Di punggung gadis ini nampak sebatang pe-dang
beronce merah, dan tangan kirinya memegang sebuah hud-tim berbulu me-rah. Kebutan
pendeta ini sungguh mem-buat orang merasa heran. Bagaimana seorang gadis cantik
membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh se-orang pendeta" Gadis ini adalah
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
57 Siang-koan Eng, gadis yang pernah menggempar-kan pesta pertemuan tiga keluarga besar di
rumah pendekar Suma Ceng Liong.
Di belakang ayah ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang
berpakaian serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua
anggauta wanita dari Pao-beng-pai. Mereka ini dapat juga dianggap sebagai murid-murid
yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan isterinya, dan tingkat kepandaian mereka hanya
di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para anggautanya disebut Sio-cia atau
Nona. Setelah para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, Siangkoan
Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan, yaitu di sudut
yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat mereka.
Dengan isyarat tangannya, Siang-koan Kok mempersilakan para tamu un-tuk duduk, dan
seorang di antara empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini
berseru de-ngan suaranya yang merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan
penge-rahan khi-kang. "Cu-wi (Anda Sekalian) yang terhor-mat. Pangcu kami mempersilakan Cu-wi untuk duduk
dan diharap agar masing-masing memperkenalkan diri, sebutkan nama, dari perkumpulan atau
aliran ma-na, dan bertempat tinggal di mana."
Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa
angkuhnya sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di
antara mereka segera memperkenalkan diri. Satu demi satu, kepala rombongan para tamu
memperkenalkan nama, nama perkumpul-an yang diwakilinya, dan tempat tinggal mereka.
Dengan cara demikian, bukan saja tuan rumah mengenal siapa tamu--tamunya, dan seorang
gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan
diri. Lebih dari delapan puluh orang sudah memperkenalkan diri, mewakili tiga puluh
perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian
besar dari golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan
diri karena me-reka ini termasuk mereka yang meng-anggap sikap tuan rumah itu sombong
dan angkuh. Melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya,
kembali bangkit berdiri dan berteriak dengan suaranya yang lantang.
"Harap para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, suka memperkenal-kan diri
secepatnya agar perkenalan ini dapat segera selesai!"
Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat wakil-wakil dari partai persilat-an yang besar.
Dua orang murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, dua orang murid Bu-tong-pai
dan dua orang murid Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di
dunia persilatan dan mereka memiliki murid-murid yang pandai dan yang ter-kenal sebagai
golongan pendekar. Untuk menjaga kebesaran nama partai masing--masing, delapan orang
yang sudah saling pandang dan dari pandang mata mereka saja mereka maklum bahwa
mereka ber-pendapat sama, maka mereka pun diam saja di tempat duduk mereka, tidak
mem-perkenalkan diri dan akan melihat per-kembangan selanjutnya. Sisa dari mereka yang
belum memperkenalkan diri nampak-nya ragu-ragu karena mereka pun ber-sandar kepada
sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu,
mere-ka merasa tidak enak juga. Mereka ada-lah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan
rumah telah menjamu mereka se-cara royal sekali. Kalau sekarang tuan rumah bersikap
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
58 angkuh dan minta mereka memperkenalkan diri, tentu saja mereka merasa sungkan untuk
tidak melakukan itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti mereka telah merendahkan
diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang belum mereka kenal orang-orang macam apa adanya
mereka itu. Tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bu-lat, usianya
sekitar tiga puluh tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawan-nya. Mereka agaknya
mewakili pula satu rombongan, dan si muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah
lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya.
"Kami bertiga mewakili sebuah per-guruan silat, dan sebelum memperkenal-kan diri, kami
ingin memrotes cara per-kenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan
orang-orang yang diperintah untuk datang menghadap. Ka-rena itu, kami menolak cara
perkenalan seperti ini, dan menuntut agar pihak tuan rumah lebih dahulu memperkenalkan
diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!" Agaknya ucapan yang gagah ini disetujui
oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para wakil empat partai besar
mengangguk--angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin melihat
bagaimana sikap tuan rumah. Semua orang meman-dang ke arah tempat duduk tuan rumah.
Akan tetapi ketua Pao-beng-pai itu, is-terinya, dan puterinya bersikap tenang dan acuh,
seolah-olah tidak terjadi se-suatu dan mereka menyerahkan saja ke-pada gadis berpakaian
putih yang me-wakili Siangkoan Kok bicara.
Gadis berpakaian putih itu dengan sinar matanya yang tajam memandang kepada si muka
bulat, juga ia melihat sikap mereka yang belum memperkenal-kan diri.
"Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya se-tuju dengan
usul saudara yang baru ber-bicara. Baiklah kalau begitu, kami akan memberi penjelasan.
Ketua kami telah menyambut Cu-wi (Anda Sekalian) de-ngan penuh kehormatan dan
keramahan. Cu-wi dijemput, diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mungkin...." "Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendiri yang menghidangkan!" ban-tah si muka
Kitab Pusaka 5 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Han Bu Kong 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama