Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
mereka sebagai tanda menaluk atau pajak. Mere-ka yang berani menentang, dihancurkan
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
150 dengan mudah karena selain Thian-li--pang mempunyai banyak anggauta yang tangguh, juga
ketuanya adalah seorang yang lihai. Tidak sukar bagi para ang-gauta Thian-li-pang untuk
mengambil cara hidup baru ini, yang sebetulnya hanya merupakan pengulangan atau
kam-buhan saja dari cara hidup mereka yang terdahulu. Dan memang hasilnya dapat
dirasakan oleh para anggauta, yakni ke-makmuran dan serba kecukupan, walau-pun uangnya
didapat dari hasil kekerasan dan kejahatan. Dalam waktu beberapa bulan saja, nama Thian-lipang semakin tersohor dan perkumpulan ini menjadi perkumpulan yang kaya dan
berpengaruh, juga amat ditakuti orang.
Ouw Seng Bu mempunyai alasan sen-diri untuk membenarkan tindakannya itu. Pernah dia
mengumpulkan semua ang-gautanya dan dengan panjang lebar dia menandaskan bahwa apa
yang mereka lakukan adalah benar. Mereka yang tadi-nya merasa penasaran juga melihat
ketua mereka kini menjalin hubungan baik lagi dengan Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai dan
gerombolan-gerombolan lain yang di du-nia kang-ouw terkenal sebagai gerombol-an jahat
dan golongan hitam, menjadi hilang perasaan penasaran itu setelah mendengar keterangan
ketua mereka yang baru dan masih muda itu.
"Perjuangan menentang pemerintah penjajah Mancu adalah perjuangan yang suci," demikian
antara lagi Seng Bu ber-kata, cita-citanya hanya satu, yaitu me-nentang dan menggulingkan
pemerintah penjajah, mengusir penjajah Mancu dari tanah air dan membebaskan bangsa dari
belenggu penjajah! Perjuangan tidak me-ngenal golongan putih atau golongan hitam. Yang
terpenting adalah cita-cita tercapai. Demi tercapainya cita-cita perjuangan, apa pun boleh kita
lakukan, tidak ada pantangan lagi!"
Ucapan Seng Bu disambut dengan gembira oleh semua anak buah Thian--li-pang cara yang
dipakai ketua mereka itu tentu saja membuka kesempatan be-sar bagi mereka untuk
memuaskan keinginan mereka sendiri dengan membonceng perjuangan! Mereka dapat saja
menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada rakyat, dapat melakukan
perampokan atau pencurian karena semua itu menjadi benar dan baik kalau mereka
menggunakan alasan demi perjuangan!
Tujuan menghalalkan segala cara! Itulah pendirian mereka yang telah di-cengkeram oleh
nafsu. Nafsu selalu meng-hendaki agar keinginannya tercapai, ter-salurkan dan terpuaskan.
Mengejar ke-inginan atau ambisi berarti membiarkan nafsu merajalela menguasai diri
sehingga kesadaran lenyap, akal sehat menjadi sakit, pertimbangan patah-patah. Nafsu untuk
mendapatkan apa yang diinginkan menyeret kita melakukan segala macam perbuatan yang
merugikan orang lain, yang sifatnya merusak. Tujuan mengum-pulkan harta sebanyaknya
menghalalkan kita melakukan penipuan, korupsi, pencurian dan sebagainya, karena harta
di-anggap sebagai sumber kesenangan. Tuju-an memperoleh kedudukan yang dianggap
sebagai sumber kemuliaan, kehormatan dan kesenangan menghalalkan kita me-lakukan
pengkhianatan, kelicikan, penipu-an dan menghantam siapa saja yang menghalangi kita, kalau
perlu membunuh penghalang itu! Semua ambisi, semua ke-inginan, tidak lain hanyalah
pengejaran terhadap apa yang dianggap menjadi sumber kesenangan. Pikiran yang sudah
bergelimang nafsu akan membela semua perbuatan itu, dengan memberi istilah yang indahindah dan muluk-muluk ter-hadap pengejaran keinginan itu, misalnya perjuangan, cita-cita
dan sebagainya. Yang terpenting justeru terletak ke-pada cara itu. Cara berarti tindakan, cara berarti saat ini,
sekarang. Tujuan hanya merupakan khayal, belum ada. Yang menentukan adalah cara itu,
tin-dakan itu, sekarang ini. Yang sekarang ini menentukan yang nanti, karena yang nanti
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
151 hanya merupakan akibat dan ke-lanjutan dari yang sekarang. Tidak mung-kin mencapai
tujuan yang baik dengan cara yang buruk, tidak mungkin mencapai tujuan yang bersih dengan
cara yang kotor. Kalau caranya kotor, akhirnya yang didapat sebagai akibat cara itu pun pasti
kotor. Kalau orang melakukan sesuatu sam-bil membayangkan tujuan yang hendak dicapai oleh
tindakannya itu, maka besar kemungkinan dia terseret oleh nafsu dan dibutakan oleh kemilau
tujuan yang hen-dak dicapai. Tindakan yang benar adalah tindakan yang tidak terbimbing
nafsu, melainkan tindakan yang dasarnya pe-nyerahan kepada Tuhan sehingga tindakan itu
akan selalu terbimbing oleh kekuasa-an Tuhan. Tindakan seperti ini merupa-kan tindakan
yang dilakukan demi tin-dakan yang penuh kasih terhadap tin-dakan itu, karena kekuasaan
Tuhan berlimpahan dengan kasih. Kalau kita mencintai apa yang kita lakukan, mencintai apa
yang kita kerjakan, demi pekerjaan itu sendiri tanpa membayangkan hasil-nya, maka apa yang
akan kita lakukan itu sudah pasti benar dan baik, sebagai kemampuan kita. Kalau kita belajar
dan mencintai apa yang kita lakukan, sudah pasti dengan sendirinya kita memperoleh
kemajuan dan ijazah tanpa kita mengejar-nya. Ijazah itu hanya merupakan akibat atau buah
daripada pohon yang kita ta-nam sendiri, yaitu mengerjakan pelajaran itu. Sebaliknya, kalau
kita belajar demi mendapatkan ijazah, maka kita akan mudah terseret karena yang kita
penting-kan hanya ijazahnya, bukan pelajarannya sehingga mungkin kita akan melakukan
penyelewengan dengan menyontek, de-ngan membeli, menyogok dan sebagainya.
Bukan berarti bahwa kita harus me-nolak kesenangan. Sama sekali bukan. Hidup menikmati
kesenangan merupakan anugerah dari Tuhan! Kalau Tuhan tidak menghendaki, tentu kita
tidak diberi perlengkapan sebagai sarana untuk dapat menikmati kesenangan itu. Kita berhak
menikmati kesenangan karena itu pemberian Tuhan. Akan tetapi kesenangan yang tidak
dibuat-buat, tidak dicari-cari, tidak dikejar-kejar. Kesenangan letaknya di dalam perasaan hati,
dan rasa senang yang menyelinap di dalam hati, tanpa dikejar-kejar, itulah kesenangan sejati
yang biasa kita namakan kebahagiaan. Kesenangan yang dikejar dan diberi ada-lah
kesenangan nafsu. Dan biasanya, kesenangan seperti ini lebih nikmat di-kenang dan
dibayangkan daripada dialami pada saatnya. Hal ini timbul karena per-bandingan dengan apa
yang kita kenang, apa yang kita bayangkan. Seolah-olah semua kenikmatan itu sudah menjadi
hambar, dihisap habis oleh kenangan dan bayangan masa lalu dan masa depan. Tanpa
kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, pada saat itu, kalau ke-senangan menyelinap
di hati, itulah ke-bahagiaan. Seperti melihat penglihatan indah, mendengar suara merdu,
mencium bau harum. Kita memperoleh kebahagiaan pada saat itu, dan habis pula pada saat
itu. Kalau kita menyimpannya dalam ingatan, maka kebahagiaan itu berubah menjadi
kesenangan. Pikiran, ingatan paling suka menguyah-nguyah pengalaman yang nikmat, lalu
membayangkan dengan latar belakang kenangan. Dari sini tim-bulnya pengejaran, dan kalau
yang di-kejar sudah dapat, akan terasa hambar karena tidak seindah yang dikenang dan
dibayangkan! Kebahagiaan adalah saat demi saat, tanpa kenangan masa lalu dan bayangan
masa depan. Bahkan hidup ada-lah sekarang, saat ini, saat demi saat. Yang lalu sudah mati
dan hanya kenang-an, yang akan datang hanya bayangan khayal.
Ouw Seng Bu telah mendapatkan ilmu yang luar biasa, ilmu yang menjadi aneh karena dia
mempelajarinya dari catatan yang tidak lengkap, dipelajari tanpa bimbingan guru sehingga
pelajaran yang ti-dak lengkap dan terbalik-balik itu me-nyeretnya ke alam yang mendekati
ke-gilaan. Memang dia menjadi lihai bukan main, akan tetapi, ilmu itu pun mem-pengerahi
hati akal pikirannya, membuat dia kadang-kadang kumat seperti orang gila, bahkan lebih
mengerikan lagi, se-perti iblis sendiri yang menjelma dalam tubuh manusia.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
152 *** "Apa kau bilang" Heh, Sun-ji (anak Sun), lupakah engkau siapa dirimu ini" Engkau adalah
cucu Kaisar, tahu" Eng-kau adalah seorang pangeran, cucu kaisar sendiri! Dan kau katakan
bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri ketua Pao--beng-pai, kaum pemberontak itu" Gila!"
"Ayah, apakah cucu kaisar itu bukan manusia" Dan puteri Pao-beng-pai juga bukan manusia"
Kami berdua sama-sama manusia, pria dan wanita, maka apa yang perlu diherankan kalau
kami saling jatuh cinta?" bantah Pangeran Cia Sun di de-pan ayahnya dan ibunya. Dia baru
saja pulang dan langsung melapor kepada ayah ibunya bahwa dia jatuh cinta kepada
Siangkoan Eng, puteri ketua Pao-beng--pai dan minta kepada orang tuanya agar meminang
gadis itu untuk menjadi isteri-nya.
"Anakku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu?" Ibunya membujuk dengan lembut
dan meletakkan tangannya di pundak puteranya. "Tentu saja engkau tidak mungkin dapat
disamakan dengan pemuda biasa yang lain, dapat menikah dengan sembarang gadis saja."
"Akan tetapi, Ibu. Kami sudah saling mencinta, dan cinta tidak mengenal pang-kat atau
derajat!" bantah Cia Sun.
"Cia Sun!" Ayahnya, Pangeran Cia Yan, membentak marah. "Ingat, sejak engkau masih
kecil, kami telah mengikat tali perjodohanmu dengan puteri Pende-kar Bangau Putih Tan Sin
Hong. Puteri-nya itu seorang gadis yang cantik jelita, berbudi, gagah perkasa dan bahkan
men-dapat julukan Si Bangau Merah. Kami bangga sekali mempunyai mantu seperti gadis itu.
Dan baru-baru ini, ayah ibu gadis itu datang ke sini. Mereka me-nantimu, akan tetapi sia-sia
saja mereka menanti walaupun kami telah mengirim orang untuk mencarimu dan
memanggil-mu pulang. Dalam pertemuan itu ayah ibumu sudah mematangkan urusan itu,
dengan resmi kami mengambil keputusan untuk menjodohkan engkau dengan Tan Sian Li.
Ialah calon jodohmu, bukan wa-nita lain!"
"Tapi, Ayah. Aku dan ia tidak saling mencinta, bahkan bertemu muka pun be-lum pernah!"
Cia Sun membantah. "Sudah cukup!" Pangeran Cia Yan membentak marah. "Engkau yang belum pernah
membalas budi ayah ibumu, sekarang bahkan hendak menjadi anak yang murtad dan tidak
berbakti" Pendeknya, Tan Sian Li adalah calon isterimu, bukan perempuan lain!"
Ibunya cepat melerai. "Anakku, ke-napa engkau menjadi bingung" Tentu saja engkau dapat
mengambil wanita lain sebagai selir kalau engkau menyukai gadis-gadis lain...."
Ayahnya memotong. "Tentu saja eng-kau boleh mempunyai selir, akan tetapi selir-selirmu
pun harus gadis baik-baik agar jangan menodai nama keluarga kita. Kita ini keluarga Cia,
keluarga Kaisar, tahu" Kalau engkau mencinta gadis lain, tentu boleh kaujadikan selir, dan
gadis itu... siapa tadi kau bilang" Ah, puteri ketua Pao-beng-pai" Kaumaksudkan
per-kumpulan pemberontak yang baru-baru ini mengadakan pertemuan rahasia dengan para
pemberontak lain untuk menggulingkan pemerintah" Gila!"
"Tapi Siangkoan Eng tidak seperti ayahnya, Ayah. Ia sama sekali tidak jahat, bahkan ia
berjanji kalau menjadi isteriku, tidak akan mencampuri urusan dunia kang-ouw, tidak akan
mencampuri urusan pemberontakan lagi...."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
153 "Ihhh, engkau agaknya sudah terkena guna-guna. Dan Pao-beng-pai...." Hemmm, kiranya
engkaulah pemuda yang ditawan mereka itu?"
"Ayah tahu tentang itu?" Cia Sun memandang ayahnya dengan heran. "Me-mang aku telah
ditawan mereka, dan kalau tidak ada Eng-moi, tentu aku telah mereka bunuh, atau dijadikan
sandera untuk mengacau pemerintah, Ayah."
"Sudah, jangan bicara lagi tentang gadis Pao-beng-pai itu. Sekarang pun pasukan telah
bergerak ke sana untuk membasminya sampai ke akar-akarnya dan membunuh seluruh
pimpinannya." Cia Sun terbelalak. "Ahhh" Apa yang Ayah katakan?" Pangeran Cia Yan menganggukangguk dan tersenyum, merasa menang. Lalu dia berkata bangga, "Apa kaukira pemerintah
bodoh" Di antara, para tamu, terdapat mata-mata kita yang diselundupkan. Ka-lau engkau saja
dapat menyelundup men-jadi tamu, apalagi mata-mata yang cerdik. Sekarang Ciong-ciangkun (perwira Ciong) telah membawa pasukan untuk membasmi gerombolan pemberontak itu
dan...." Pangeran Cia Yan terkejut me-lihat puteranya bangkit berdlri dan me-langkah
pergi."....Hei, kau mau ke mana?"
Cia Sun menoleh dan berkata, "Ayah, Ibu, aku harus pergi, aku harus menyela-matkan Engmoi dan ibunya. Mereka tidak bersalah, mereka tidak boleh ikut terbasmi!" Dan pemuda itu
pun berlari cepat meninggalkan rumah orang tuanya, tidak mempedulkan teriakan ayah
ibunya yang memanggilnya.
Kedua orang tua itu hanya menghela napas panjang dan menggeleng kepala saja. "Itulah
sebabnya aku ingin sekali dia menjadi suami seorang wanita per-kasa seperti Si Bangau
Merah," kata Pangeran Cia Yan kepada isterinya. "Se-menjak dia suka belajar silat, wataknya
pun berubah menjadi keras kepala dan berjiwa petualang. Kalau dia tidak men-dapatkan
seorang isteri yang pandai dan berwibawa, berilmu tinggi, tentu tidak ada yang akan mampu
mengendalikannya." Cia Sun cepat berlari ke markas pa-sukan untuk mencari Perwira Ciong yang sudah
dikenalnya. Akan tetapi dia ter-lambat. Perwira itu telah berangkat bersama pasukannya yang
berjumlah seribu orang. Cia Sun cepat melakukan pe-ngejaran, menunggang seekor kuda.
Pada waktu itu memang banyak ter-dapat perkumpulan atau kelompok orang--orang yang
melakukan usaha untuk me-nentang pemerintah kerajaan Mancu. Na-mun, satu demi satu,
perkumpulan pe-juang yang disebut pemberontak oleh kerajaan Mancu, dapat dihancurkan.
Ke-kuatan pasukan Mancu masih amat kuat, sedangkan para pejuang itu tidak mem-punyai
persatuan yang kokoh. Mereka bahkan membentuk kelompok sendiri--sendiri, bukan hanya
itu bahkan di antara mereka kadang terdapat bentrokan sen-diri yang tentu saja melemahkan
kekuatan mereka. Banyak pula bermunculan perkumpulan pejuang yang lebih condong
menjadi perkumpulan golongan sesat atau golongan hitam, karena mereka melaku-kan segela
macam bentuk kejahatan. Pao-beng-pai merupakan satu dian-tara perkumpulan pejuang yang pada hakekatnya memang
membenci, bahkan mendendam kepada kerajaan Mancu. Hal ini adalah karena pemimpinnya
atau pen-dirinya, Siangkoan Kok, adalah seorang keturunan keluarga kerajaan Beng yang
telah dijatuhkan oleh bangsa Mancu. Oleh karena itu, gerakan perjuangan Pao-beng--pai ini
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
154 lebih condong kepada gerakan untuk membalas dendam atau merampas kembali tahta
kerajaan Beng yang sudah dirampas oleh bangsa Mancu yang mendirikan kerajaan Ceng.
Namun, karena Siangkoan Kok, keturunan keluarga ke-rajaan Beng itu juga seorang datuk
se-sat, bahkan isterinya, Lauw Cu Si, juga keturunan pimpinan Beng-kauw yang ter-kenal
sebagai perkumpulan sesat, maka Pao-beng-pai juga merupakan perkumpul-an yang tidak
pantang melakukan ke-kejaman atau kejahatan.
Pihak pemerintah selalu mengamati perkembangan perkumpulan-perkumpulan pemberontak
seperti itu. Pemerintah memang maklum bahwa tidak mudah membasmi seluruh pemberontak
sampai ke akar-akarnya. Sudah seringkali pasu-kan pemerintah menghancurkan gerombol-an
pemberontak, akan tetapi para anak buahnya yang berhasil meloloskan diri, segera bergabung
lagi dengan kelompok pemberontak lain. Oleh karena itu, pe-merintah hanya memperhatikan
kelompok yang besar-besar dan berbahaya saja.
Ketika Pao-beng-pai mengadakan per-temuan dengan para tokoh kang-ouw, tentu saja
peristiwa ini tidak terlepas dari perhatian para mata-mata yang di-sebar oleh pemerintah.
Setelah menyaksi-kan pertemuan itu, mendengar betapa Pao-beng-pai menyusun kekuatan,
mengajak semua pihak yang menentang peme-rintah untuk bergabung dan bekerja sama untuk
melakukan pemberontakan, mata--mata cepat memberi kabar ke kota raja. dan para panglima
yang bertugas me-numpas setiap pemberontakan segera mengambil tindakan tegas dan cepat.
Panglima Ciong, yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan pandai,
yang sudah seringkali melakukan pembasmian terhadap para pemberontak, segera ditugaskan
untuk memimpin pasu-kan seribu orang menyerbu dan mem-basmi Pao-beng-pai di Han-kwikok, lem-bah Bukit Iblis.
*** Siangkoan Kok marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya, Siangkoan Eng, pergi dari
Ban-kwi-kok tanpa pamit. Selama belasan hari ini dia memang tidak pernah menengok lagi
kepada isteri dan puterinya itu, sejak dia marah-marah hampir membunuh Eng Eng. Dia tidak
mempedulikan mereka, dan berpengantinan dengan isterinya yang baru, yaitu bekas muridnya
yang dipaksanya untuk me-layaninya dan menjadi pengganti isterinya.
Dengan kemarahan meluap-luap, pria tinggi besar berusia lima puluh lima tahun ini, pergi
mencari Lauw Cu Si, isterinya yang sedang menangis di ruang-an belakang. Mukanya merah
sekali dan begitu melihat isterinya, yang menangis, dia pun membentak.
"Ke mana perginya anak durhaka itu" Engkau tentu yang sengaja menyuruhnya minggat,
bukan?" bentakan ini disertai tangannya menggebrak meja dan bagaikan tergetar seluruh
ruangan itu. Lauw Cu Si yang sedang menangisi kepergian puterinya, dan tadi duduk, se-gera
menghentikan tangisnya dan bangkit berdiri. Nyonya berusia empat puluh tahun ini masih
cantik. Kalau biasanya ia selalu tunduk dan penurut, kini ia bang-kit berdiri dan tegak
menghadapi suami-nya, mukanya diangkat dan sepasang matanya bersinar-sinar, menatap
wajah suaminya dengan penuh keberanian dan kemarahan, kemudian, telunjuk kirinya
ditudingkan ke arah muka suaminya dan terdengar suaranya, suara yang meng-getar dan
mengandung kemarahan yang hebat.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
155 "Kau....! Kau manusia binatang, kau iblis busuk, engkaulah yang membuat Eng Eng
melarikan diri, meninggalkan aku! Engkau yang harus bertanggungjawab. Ia bukan anakmu,
bukan darah dagingmu, bukanapa-apamu. Ia milikku, anakku, akan tetapi engkau hampir
membunuhnya! Sekarang ia pergi dan engkau yang harus bertanggung jawab!"
Kemarahan Siangkoan Kok meluap--luap. Selama ini, isterinya itu belum pernah memakinya
seperti itu. "Perempu-an busuk tak mengenal budi! Aku telah mengangkatmu dari lembah
kehinaan se-telah Beng-kauw hancur, juga memelihara anakmu seperti anakku sendiri. Dan
be-gini balas kalian kepadaku" Kalau tahu akan begini, sudah sejak dulu Eng Eng kubunuh,
dan kau juga!" "Apa" Kauhendak membunuh kami" Cobalah kalau engkau mampu! Kaukira aku takut
padamu?" Wanita itu saking sedihnya ditinggal pergi anaknya, menjadi marah dan nekat.
Walaupun ia tahu be-nar bahwa ilmu kepandaiannrya masih kalah dibandingkan suaminya, ia
berani menantang! "Bagus, kalau begitu mampuslah kau Lauw Cu Si, perempuan tak tahu diri!" Siangkoan Kok
menerjang isterinya de-ngan dahsyat. Namun, Lauw Cu Si yang sudah nekat, cepat mengelak
dan mem-balas dengan tidak kalah dahsyatnya. Bahkan wanita ini sudah mencabut
pe-dangnya, lalu menyerang bertubi-tubi. Siangkoan Kok juga mencabut pedangnya dan
suami isteri ini lalu berkelahi mati--matian. Lauw Cu Si adalah seorang to-koh sesat,
keturunan ketua Beng-kauw dan ia memiliki ilmu silat yang dahsyat dan keji pula. Tingkat
kepandaiannya sudah tinggi dan ia hanya kalah sedikit saja dibandingkan suaminya, maka
tidak-lah terlalu mudah bagi Siangkoan Kok untuk membunuh isterinya.Para murid dan
anggauta Pao-beng--pai yang melihat perkelahian ini, menjadi bingung sekali. Mereka tidak
berani men-campuri. Orang-orang yang mungkin be-rani mencampuri hanyalah Siangkoan
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eng, atau mungkin juga Tio Sui Lan, murid kepala dari Siangkoan Kok yang kini menjadi
selirnya itu. Akan tetapi pada saat itu, Eng Eng tidak ada, sudah pergi tanpa pamit, dan ketika
para murid men-cari Tio Sui Lan, mereka juga tidak dapat menemukan murid utama yang
selama beberapa hari ini menjadi isteri ketua mereka. Karena bingung, tidak tahu harus
berbuat apa, para murid dan anggauta Pao-beng-pai itu bahkan men-jauh, sama sekali tidak
berani mencam-puri perkelahian antara sang ketua dan isterinya, karena mereka tahu bahwa
mencampuri berarti akan mati konyol.
Pada saat semua orang menjadi bingung itu, terdengar suara gaduh di lereng bukit, suara
tambur dan terompet, suara sorakan riuh rendah.
Siangkoan Kok sudah dapat menekan dan mendesak Lauw Cu Si. Pedangnya berubah
menjadi gulungan sinar kemerah-an, dan biarpun Lauw Cu Si sudah me-lawan dengan nekat
saking marahnya, tetap saja ia kalah tingkat dan terdesak, bahkan ia telah menderita beberapa
luka karena tusukan dan bacokan pedang.
Suara tambur dan terompet itu me-ngejutkan Siangkoan Kok. Akan tetapi Lauw Cu Si tidak
peduli. Satu-satunya perhatian wanita ini hanyalah ingin membunuh pria yang selama ini
dipuja dan ditaatinya, karena pria ini hampir saja membunuh puterinya, dan kini ingin
mem-bunuhnya. Namun, Siangkoan Kok yang kini terkejut dan bingung mendengar suara
gaduh dan disusul sorak-sorat dan suara pertempuran, cepat menggerakkan kakinya
menendang. Karena isterinya memang sudah terdesak oleh pedangnya, maka tendangan itu
tidak dapat dielakkan Lauw Cu Si.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
156 "Desss....!" Kaki Siangkoan Kok yang besar dan kuat itu menghantam perut isterinya, dan
Lauw Cu Si terjengkang dan terlempar, roboh terbanting dan pingsan! Siangkoan Kok sudah
tidak lagi mempedulikan isterinya karena dari teri-akan-teriakan para anak buah Pao-beng-pai, dia dengan terkejut sekali menge-tahui bahwa sarangnya diserbu pasukan pemerintah!
Pada saat itu, muncul Tio Sui Lan bersama belasan orang perwira! Wanita muda itu
menudingkan telunjuknya ke arah Siangkoan Kok sambil berkata, "Inilah si jahanam
Siangkoan Kok, si manu-sia iblis!"
Melihat munculnya murid yang telah dipaksanya menjadi isterinya itu bersama belasan orang
perwira, Siangkoan Kok segera tahu apa yang terjadi. Murid ini telah mengkhianatinya!
Pantas sejak pagi Sui Lan tidak nampak. Ketika dia bangun tidur tadi, dia tidak melihat Sui
Lan di sisinya. Hal ini sudah membuatnya marah--marah, apalagi ketika mendengar bahwa
Eng Eng telah minggat meninggalkan Pao-beng-bai, kemarahannya memuncak. Selama ini
Eng Eng menjadi puterinya yang patuh, bahkan menjadi pembantu utama, menjadi tokoh
kedua sesudah dia di Pao-beng-pai. Kini, tahu-tahu murid yang telah dipaksanya menjadi
isteri selama belasan hari itu, tiba-tiba mun-cul dengan belasan orang perwira peme-rintah
yang membawa pasukan dan yang agaknya kini melakukan penyerbuan ke situ.
"Pengkhianat kau....!!" teriaknya sam-bil melotot memandang kepada wanita yang malam
tadi masih menjadi kekasih-nya tercinta.
Akan tetapi Sui Lan tersenyum meng-ejek, dan kedua matanya bercucuran air mata!
"Engkaulah manusia iblis! Dan ini pembalasanku, Siangkoan Kok!" teriaknya dan dengan
nekat Sui Lan yang sudah memegang pedang itu kini menerjang dan menyerang pria yang
selama ini menjadi gurunya yang ditaati, kemudian ketaatan-nya hancur bersama
kehormatannya yang direnggut secara paksa oleh orang yang dihormatinya itu.
Para perwira itu terkejut. Tadi ketika mereka memimpin pasukan mendaki le-reng Kwi-san
menuju Ban-kwi-kok (Lem-bah Selaksa Setan) setelah semalam me-ngurung tempat itu,
mereka bertemu dengan seorang wanita cantik yang me-nuruni lereng. Segera wanita itu
dikepung. Wanita itu adalah Tio Sui Lan! Ketika melihat bahwa tempat itu telah terke-pung
pasukan pemerintah, Sui Lan yang tadinya hendak melarikan diri, menjadi girangsekali. Ia
lalu menyatakan ingin membantu pasukan menghancurkan Pao--beng-pai. Ia mengatakan
bahwa tanpa petunjuk jalan yang mengenal tempat itu, penyerbuan akan menghadapi
kesulitan karena di sekeliling Ban-kwi-kok dipasangi jebakan-jebakan yang amat berbahaya.
Usulnya diterima dan demikianlah, ber-kat petunjuk wanita yang menjadi peng-khianat
karena sakit hati itu, pasukan pemerintah dapat naik sampai mengurung sarang Pao-beng-pai
dengan mudah. Kini, setelah berhasil menyusup dengan diam--diam dan penyerbuan
dilakukan serentak sehingga menggegerkan. para anggauta Pao-beng-pai, Sui Lan menjadi
petunjuk jalan bagi para perwira untuk mencari pemimpin pemberontakan dan melihat
pemimpin pemberontak itu baru saja merobohkan isterinya sendiri. Dan me-lihat Sui Lan tibatiba menyerang Siangkoan Kok, para perwira tentu saja ter-kejut dan khawatir karena mereka
semua sudah mendengar betapa lihainya katua Pao-beng-pai itu. Mereka serentak maju,
namun terlambat. Ketika Sui Lan me-nyerang Siangkoan Kok, ketua Pao-beng--pai ini
sedemikain marahnya sehingga dia menyambut bekas murid dan juga bekas kekasin paksaan
itu dengan pedangnya. Sambutan yang dahsyat dan penuh ke-beranian sehingga pedangnya
seperti kilat menyambar."Tranggg.... crakkk!" Pedang di ta-ngan Tio Sui Lan terlempar,
disusul tu-buhnya yang roboh mandi darah karena pedang di tangan Siangkoan Kok telah
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
157 menembus dadanya! Wanita yang malang itu tewas seketika karena pedang ketua Pao-bengpai itu beracun, juga pedang itu menembus jantungnya.
Belasan orang perwira cepat mener-jang dan mengeroyoknya. Mereka adalah jagoan-jagoan
dari kota raja. Biarpun kalau maju seorang demi seorang, me-reka bukan lawan Siangkoan
Kok, akan tetapi karena maju bersama, tentu saja ketua Pao-beng-pai menjadi kewalahan dan
repot sekali. Apalagi melihat keada-an di luar rumah yang gaduh. Dia ingin melihat keadaan
para anggautanya, maka dia pun meloncat ke belakang dan meng-hilang melalui sebuah pintu
yang segera tertutup sendiri ketika belasan orang per-wira itu hendak mengejar.
"Itu isterinya, kita basmi saja sekali-an!" teriak seorang perwira.
Saat itu, Lauw Cu Si sudah siuman dari pingsannya dan ia sudah bangkit duduk lalu berdiri
sambil memegang pe-dangnya yang tadi terlepas ketika ia roboh tertendang suaminya.
Melihat be-lasan orang perwira itu mengepungnya, ia pun melintangkan pedang di depan
dada. "Hemmm, bunuhlah aku. Aku memang telah terperosok, bodoh sekali menjadi isteri
Siangkoan Kok!" katanya dengan sikap gagah walaupun tubuhnya sudah luka-luka oleh
pedang suaminya dan ter-utama sekali, tendangan tadi masih te-rasa dan melemahkan
tubuhnya. "Bunuh ia!" teriak para perwira dan siap hendak mengeroyok.
"Tahan, jangan serang!" terdengar seruan dan ketika para perwira menoleh, mereka terkejut
dan heran mengenal Pangeran Cia Sun sudah berada di situ dengan pedang di tangan. "Lebih
baik cepat mengejar ketua Pao-beng-pai dan membasmi anak buahnya!"
Belasan orang perwira itu meragu, Tapi....tapi.... ia dapat berbahaya bagi Paduka...."
kata seorang perwira sambil menunjuk ke arah wanita itu.
"Tidak! Aku mengenalnya, ia tidak jahat. Kalian pergilah!"
Para perwira memberi hormat lalu cepat berloncatan keluar dari ruangan itu, untuk
memimpin anak buah mereka yang sedang bertempur melawan para angauta Pao-beng-pai,
"Bibi....!" kata Cia Sun. "Di mana Eng-moi....?"
Wanita itu hanya menggeleng kepala, hendak menggerakkan kakinya, akan te-tapi ia
terhuyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul Cia Sun.
"Bibi.... menderita luka-luka...." Oleh para perwira itu?"
Wanita itu menggeleng, hendak bi-cara, akan tetapi tiba-tiba ia mun-tah darah. Melihat ini,
terkejutlah Cia Sun, maklum bahwa wanita itu terluka parah. Dipondongnya Lauw Cu Si yang
setengah pingsan itu dan terpaksa dia melangkahi mayat Tio Sui Lan yang tadi-nya membuat
dia terkejut bukan main ketika pertama kali memasuki ruangan itu, mengira itu mayat
kekasihnya. Dia merebahkan tubuh Lauw Cu Si ke atas sebuah bangku panjang.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
158 Kini Lauw Cu Si dapat bicara, walau-pun terengah-engah dan menahan rasa nyeri. "Jahanam
itu.... Siangkoan Kok.... yang memukulku...."
Tentu saja Cia Sun merasa heran sekali. "Bibi, di mana Eng-moi?"
"Ia sudah pergi kemarin, tanpa pamit. Itu yang membuat Siangkoan Kok ma-rah...."
"Tapi kenapa Eng-moi pergi?"
"Ketika Siangkoan Kok tahu bahwa Eng Eng membebaskanmu, dia menghajar Eng Eng dan
hendak membunuhnya. Aku mencegahnya dan membuka rahasia bah-wa dia tidak berhak
membunuh Eng Eng yang bukan anaknya...."
"Bukan puterinya?" Tentu saja Cia Sun terkejut dan heran.
"Ketika aku menjadi isterinya, aku membawa Eng Eng yang sudah berusia dua tahun
lebih...." "Ah, kalau begitu Eng-moi puteri Bibi dengan suami lain?"
Wanita itu kembali menggelengkan kepala, hendak bicara akan tetapi kem-bali ia batukbatuk dan muntah darah, tendangan yang mengenai dadanya itu memang hebat sekali,
membuat ia men-derita luka dalam yang parah. Sejenak ia terngengah-engah, wajahnya pucat
sekali. Cia Sun sudah merasa bingung sekali mendengar bahwa Eng Eng yang ternyata bukan
puteri kandung ketua Pao-beng--pai itu telah pergi tanpa pamit. Dia tidak tahu harus berbuat
apa terhadap ibu Eng Eng yang keadaannya payah itu.
"Engkau.... benar.... seorang pange-ran?"
Cia Sun mengangguk. "Aku memang Pangeran Cia Sun, Bibi, akan tetapi aku mencinta Engmoi." "Kalau begitu, dengar baik-baik...." suaranya makin lemah seperti berbisik.
"Aku.... aku tidak dapat bertahan lama, aku akan mati.... dan inilah saatnya aku membuka
rahasia...., dan engkau tepat orangnya yang kuberitahu.... dengar, Eng Eng bukan puteri
Siangkoan Kok juga bukan anakku...."
"Ehhh" Lalu.... ia anak siapa, Bibi?"
"Ayah ibunya adalah orang-orang yang selalu dimusuhi golongan kami.... golong-an Bengkauw....aku amat membenci ayah ibunya, terutama ayahnya, karena itulah.... aku.... menculik
Eng Eng ke-tika ia berusia tiga tahun. Akan tetapi, aku.... aku amat mencintanya seperti
anakku sendiri.... juga Siangkoan Kok menyayangnya sampai engkau muncul...."
"Ahhh....!" bermacam perasaan meng-aduk hati pangeran itu. Ada perasaan kaget, heran,
akan tetapi juga kasihan dan bahkan ada perasaan girang. Girang bahwa kekasihnya itu bukan
anak kan-dung ketua Pao-beng-pai dan isterinya!
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
159 "Akan tetapi.... ke mana aku harus mencarinya, Bibi" Aku harus mencari dan
menemukannya, aku mencintanya dan akan mengambilnya sebagai isteriku!"
Cia Sun terkejut melihat wanita itu napasnya sudah empas-empis, dan agak-nya sudah tidak
mampu menjawabnya, matanya sudah terpejam.
"Bibi....! Bibi....! Katakan di mana Eng-moi!" Cia Sun mengguncang-guncang pundak wanita
yang sudah sekarat itu. Wanita itu membuka matanya yang sudah sayu dan suaranya hanya bisik--bisik saja. "Suling
Naga.... itulah ayah kandungnya.... tinggal di Lok-yang....cari.... cari ke sana...." Leher itu
ter-kulai, mata itu terpejam dan wanita itu pun mati.
Cia Sun bangkit berdiri, termenung. Sebutan "Suling Naga" terngiang di teli-nganya. Dan dia
tertegun. Dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Naga yang tinggal di Lok-yang.
Kalau dia tidak salah ingat, namanya Sim Houw, seorang pendekar yang sakti, terkenal
dengan ilmu pedangnya yang hebat, pedang yang berbentuk suling, pedang su-ling, atau
suling pedang. Jadi Eng Eng adalah puteri pendekar sakti itu! Ketika masih kecil diculik oleh
Lauw Cu Si karena wanita itu sebagai orang Beng--kauw menganggap pendekar itu sebagai
musuh besar. "Ahhh....!!" tiba-tiba dia terbelalak. Dia teringat kepada Yo Han. Bukankah Yo Han mencari
puteri pendekar itu yang hilang" Kalau begitu, anak yang dicari oleh Yo Han itu bukan lain
adalah Eng Eng! Dia mengingat-ingat. Yo Han, yang telah menjadi saudara angkatnya ketika
mereka berdua dikurung sebagai tahanan di sarang Pao-beng-pai, pernah menceritakan bahwa
anak yang dicari itu mempunyai ciri-ciri yang khas, dan ada noda merah sebesar ibu jari kaki
di ta-pak kaki kanannya. Mendengar suara pertempuran di luar, Cia Sun khawatir kalau-kalau gadis itu kembali dan
ikut pula bertempur mem-bela Pao-beng-pai melawan pasukan pemerintah. Cepat dia
menyelinap keluar dan mencari-cari. Pertempuran hampir selesai. Pihak pemberontak tidak
mampu menandingi pasukan yang jauh lebih besar jumlahnya, apalagi dipimpin oleh para
jagoan istana. Bahkan Siangkoan Kok juga tidak nampak dan ketika dia tanya-kan kepada
para perwira, mereka pun tidak tahu ke mana perginya ketua pem-berontak itu. Ternyata
Siangkoan Kok telah meloloskan diri, tidak mempeduli-kan anak buahnya yang dibantai
pasukan. Setelah mencari keterangan dan me-rasa yakin bahwa Eng Eng tidak pernah kembali dan
tidak terlibat dalam per-tempuran itu, Cia Sun segera meninggal-kan tempat itu untuk pergi
mencari ke-kasihnya. Banyak anggauta Pao-beng--pai tewas, sisanya ditawan. Gagallah
gerakan Pao-beng-pai, seperti dialami oleh banyak kelompok pemberontak ter-dahulu.
*** Gadis itu berdiri termenung di lereng itu, memandang ke depan, ke arah bukit menghitam
yang dinamakan orang Ban--kwi-kok (Lembah Selaksa Setan). Memang nampak
menyeramkan dari lereng itu, seolah-olah lembah itu memang sepantas-nya dihuni oleh setan
dan iblis. Para penduduk dusun di sekitar kaki Bukit Setan itu, menganggap Ban-kwi-kok
se-bagai lembah yang keramat dan tak se-orang pun berani mendaki ke sana. Akan tetapi,
menurut keterangan para peng-huni dusun, baru sebulan yang lalu lem-bah itu diserbu
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
160 pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Kabar itu mengatakan bahwa terjadi pertempuran
besar, ke-mudian pasukan pemerintah turun dan membawa banyak tawanan, kemudian
lembah itu nampak terbakar. Biarpun desas-desus mengatakan bahwa gerombol-an yang
bersembunyi di lembah itu telah terbasmi habis, dan lembah itu telah kosong, perkampungan
gerombolan pem-berontak telah dibakar, namun masih saja tidak ada seorang pun berani naik
ke sana. Gadis itu masih amat muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya. Cantik manis dan
nampak gagah dengan pakaiannya yang sederhana namun serasi dengan bentuk tubuhnya
yang padat dan ramping, dan pakaian itu bersih. Wajah-nya yang manis, dengan sepasang
mata-nya yang indah dan bersinar tajam, juga sederhana, tidak dipoles bedak dan gincu. Akan
tetapi, kulit mukanya memang sudah halus dan putih, dan kedua pipinya kemerahan karena
sehat, demikian pula sepasang bibirnya merah tanpa gincu. Biarpun ia muda dan cantik manis,
na-mun di sepanjang perjalanan, tidak per-nah atau jarang sekali ada pria yang berani
mengganggunya. Hal ini adalah karena penampilannya yang pendiam dan gagah, dengan
sebatang pedang di pung-gung sehingga mudah diduga bahwa ia bukan wanita sembarangan
yang boleh diganggu begitu saja, melainkan seorang wanita kang-ouw, seorang pendekar
wa-nita. Dan memang dugaan itu benar. Gadis muda ini adalah Cu Kim Giok, puteri dari pendekar Cu
Kun Tek dan Pouw Li Sian. Cu Kun Tek adalah pendekar yang me-rupakan keturunan para
pendekar Cu majikan Lembah Naga Siluman. Cu Kun Tek terkenal mewarisi ilmu pedang
Koai--liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Silu-man), juga ilmu tangan kosongnya Kiam--to
Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), dan Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan
Penjuru Angin) hebat sekali. Adapun ibu gadis itu, yang bernama Pouw Li Sian, bahkan lebih
lihai dibandingkan suaminya. Pouw Li Sian ini adalah murid mendiang Bu Beng Lokai yang
sakti. Ketika Cu Kim Giok diajak oleh ayah ibunya menghadiri ulang tahun dan per-temuan tiga
keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong, gadis ini merasa gembira bukan main dan
bangkitlah keinginan-nya untuk memperluas pengalaman dan pengetahuan dengan jalan
merantau se-perti yang dilakukan para pendekar. Ayah ibunya tidak merasa keberatan.
Mereka sendiri adalah pendekar-pendekar yang dahulu di waktu mudanya sudah biasa
melakukan penjalanan merantau memperluas pengalaman. Pula, puteri mereka telah mewarisi
ilmu kepandaian mereka dan tingkat kepandaian gadis itu hanya se-dikit selisihnya dengan
tingkat mereka sehingga Kim Giok telah memiliki bekal yang cukup untuk melindungi dan
men-jaga diri sendiri. Tentu saja Kim Giok juga amat ter-tarik dengan peristiwa yang terjadi di rumah Suma Ceng
Liong, yaitu muncul-nya seorang gadis cantik lihai yang meng-aku sebagai seorang puteri
tokoh Pao--beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar, oleh karena itulah pada siang hari
itu, ia tiba di Kwi-san dan kini termangu berdiri di lereng itu setelah ia mendengar keterangan
penduduk tentang penyerbuan pasukan pemerintah yang membasmi gerombolan Pao-beng-pai
di Lembah Selak-sa Setan.
Ah, pikirnya, aku datang terlambat. Andaikata tidak terlambat, tentu akan dapat menyaksikan
terbasminya gerombol-an itu, dan kalau perlu ia akan memban-tu pasukan. Bukan semata
karena ia ingin membantu pemerintah. Ayah ibunya berpesan agar ia tidak melibatkan diri
dengan pemerintah Mancu. Akan tetapi, ia dapat mempergunakan kesempatan selagi
gerombolan itu ditumpas, untuk membalas sikap sombong dara gadis Pao-beng-pai itu
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
161 terhadap tiga keluargabe-sar. Ia menduga-duga bagaimana dengan nasib gadis cantik itu.
Apakah ikut ter-bunuh" Atau tertawan"
Tidak ada gunanya lagi mendaki ke lembah yang sudah hancur itu. Tentu tidak ada lagi orang
di sana. Cu Kim Giok membalikkan tubuhnya hendak pergi meninggalkan lereng itu. Akan
tetapi baru belasan langkah ia berjalan, tiba--tiba pendengarannya yang tajam terlatih
mendengar gerakan orang. ia berhenti melangkah dan memandang ke sekeliling penuh
kewaspadaan dan tiba-tiba ber-munculan lima orang laki-laki yang nam-pak bengis. Mereka
itu berloncatan dari balik semak belukar. Melihat bahwa me-reka berhadapan dengan seorang
gadis yang cantik manis, mereka cengar-cengir dan menyeringai dengan sikap kurang ajar,
dengan mata yang liar dan bengis.
Kim Giok bersikap tenang, namun matanya yang indah tajam itu menyapu mereka. Lima
orang itu berusia antara tiga puluh tahun sampai empat puluh tahun, tubuh mereka rata-rata
kekar dan kuat. Pakaian mereka butut dan kotor, tentu telah lama tidak pernah berganti
pakaian. Melihat pakaian kotor itu se-perti seragam abu-abu, teringatlah ia akan beberapa
orang laki-laki yang ikut datang mengawal gadis Pao-beng-pai yang berkunjung ke rumah
Suma Ceng Liong tempo hari. Agaknya mereka ini sisa anggauta Pao-beng-pai, pikir gadis
yang cukup cerdik ini. Dan memang duga-annya benar. Lima orang itu adalah me-reka yang
berhasil lolos dari penyerbuan pasukan pemerintah. Karena takut mun-cul di tempat umum,
lima orang ini bersembunyi saja di Kwi-san, tidak jauh dari bekas sarang Pao-beng-pai.
Mereka mengharapkan dapat bertemu dengan seorang di antara para pimpinan mereka karena
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka tahu bahwa ketua mereka tidak tewas, juga tidak ikut tertawan. Hanya nyonya ketua
mereka yang tewas. Bahkan nona puteri ketua juga tidak ikut tertawan. Ketika dari tempat persembu-nyian
mereka nampak ada gadis yang datang ke tempat itu, mereka tadinya mengira bahwa gadis itu
tentulah Siang-koan Eng, dan mereka merasa girang sekali. Akan tetapi setelah mereka
muncul, mereka melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan puteri ketua mereka, melainkan
seorang gadis lain yang asing sama sekali, akan tetapi gadis itu cantik manis dan menarik.
Seorang di antara mereka, yang ber-hidung besar dan bermata lebar, agaknya menjadi
pimpinan mereka, melangkah maju dan tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu nampak
karena bajunya kehilangan kancing dan terbuka. Perut itu terguncang-guncang naik turun
ketika dia tertawa. "Ha-ha-ha-ha-ha, kawan-kawan, alang-kah beruntungnya kita hari ini! Ki-ta kedatangan
seorang bidadari yang cantik jelita, yang agaknya menaruh iba kepada kita dan datang untuk
menghibur kita. Ha-ha-ha-ha-ha!" Teman-temannya ikut pula tertawa. Mereka selama
se-bulan lebih dicekam ketakutan, kekurang-an dan kedukaan. Dan hari ini tiba-tiba, tanpa
disangka-sangka, mereka berhadap-an dengan seorang gadis cantik! Tentu saja mereka
bergembira. Anak buah Pao--beng-pai terdiri dari bermacam orang, akan tetapi kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang yang berjiwa sesat. Kalau membutuhkan, mereka tidak segan
untuk melakukan perampokan dan ber-bagai kejahatan lainnya. Kini, melihat seorang gadis
seorang diri di tempat sunyi itu, tentu saja timbul gairah mere-ka, seperti lima ekor harimau
kelaparan melihat munculnya seekor domba seorang diri.
"Heh-heh-heh, Nona manis, siapakah engkau, siapa namamu dan mengapa eng-kau berada di
sini seorang diri" Apakah engkau datang sengaja hendak menghibur kami berlima" Ha-haSi Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
162 ha!" Si hidung besar kembali berkata dan kini mereka ber-lima, sambil tersenyum
menyeringai, sudah mengambil posisi mengepung gadis itu agar tidak dapat melarikan diri.
Akan tetapi, sebetulnya lima orang itu harus tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang
gadis yang bukan gadis sembarangan saja. Hal ini sebetulnya dapat dilihat dari sikap Kim
Giok. Biar-pun dikepung lima orang itu, ia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada
sesuatu yang mengancam dirinya, tidak ada sesuatu yang perlu ditakuti.
"Aneh....aneh sekali...." Ia tidak menjawab pertanyaan, bahkan bergumam sambil
menggelengkan kepalanya. "Apanya yang aneh, Nona manis" Kami bukan orang-orang aneh, kami ada-lah laki-laki
sejati dan engkau sebentar lagi akan membuktikannya sendiri, heheh!" kata si hidung besar
sambil melangkah maju mendekat.
"Aneh mengapa masih ada sisa anak buah Pao-beng-pai, kenapa kalian tidak mampus atau
tertawan." kata Kim Giok, masih tenang saja.
Mendengar ucapan gadis itu, lima orang bekas anak buah Pao-beng-pai nampak terkejut,
saling pandang dan kini mengepung lebih ketat dengan sikap be-ngis mengancam.
"Nona, siapakah engkau sebenarnya dan mau apa engkau datang ke tempat ini?" Suara si
hiudung besar galak dan mengandung ancaman, tidak menggoda seperti tadi.
"Namaku tiduk ada sangkut-pautnya dengan kalian. Juga aku tidak mempunyai sangkut paut
dengan pembasmian Pao--beng-pai oleh pasukan pemerintah. Aku hanya heran mengapa
kalian tidak ikut mampus atau tertawan. Nah, karena di antara kita tidak ada urusan,
minggirlah dan biarkan aku lewat!" kata Kim Giok yang memang tidak ingin mencari
ke-ributan dengan bekas anak buah Pao-beng-pai yang sudah hancur itu. Kalau ia bertemu
dengan gadis tokoh. Pao-beng-pai yang pernah mengacau di rumah Suma Ceng Liong, tentu
akan lain lagi sikapnya. Akan tetapi ketika ia melangkah, lima orang itu cepat menghadangnya dan tetap
mengepungnya. Bahkan kini sikap mereka kembali seperti tadi, dengan pandang mata tidak
sopan. "Hemmm, engkau tidak boleh pergi sebelum menghibur kami, Nona manis!" Dan si hidung
besar cepat menggerakkan kedua lengannya yang panjang, jari-jari tangan yang besar panjang
itu hendak merangkul. "Wuuut.... plakkk! Aughhh....!" tubuh tinggi besar si hidung besar itu terjeng-kang. Ternyata
ketika kedua tangannya sudah hampir menyentuh kedua pundak gadis itu untuk merangkul,
gadis itu dengan gerakan cepat sekali menyelinap ke samping sehingga tubrukan itu luput dan
sekali Kim Giok menggerakkan ta-ngan kiri menampar, leher bawah telinga si hidung besar
kena ditampar dan orang itu pun terjengkang dan terbanting, me-lotot dan meraba lehernya
dengan mata terbelalak dan mulut mengaduh-aduh.
Empat orang temannya menjadi kaget dan marah. Mereka berempat cepat me-nyerbu, seolaholah hendak berlomba untuk lebih dulu dapat meringkus gadis manis itu. Namun, sekali ini
mereka membentur karang. Gerakan Kim Giok cepat bukan main, kaki dan tangannya
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
163 menyambar-nyambar dan dalam segebrak-an saja, empat orang itu pun terpelan-ting dan
roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya!
Lima orang itu mengaduh-ngaduh dan menyumpah-nyumpah. Dasar golongan kasar yang
tidak tahu diri dan yang se-lalu merasa diri mereka paling pandai, lima orang itu tidak melihat
kenyataan bahwa mereka sama sekali bukanlah la-wan gadis manis yang mereka sangka
domba itu. Mereka tidak menyadari bah-wa yang disangka domba itu sesungguh-nya seekor
singa betina yang amat tang-guh! Mereka merasa penasaran dan kini nafsu berahi mereka
terbang lenyap, terganti oleh nafsu amarah yang hanya dapat diredakan dengan darah! Mereka
mencabut golok mereka dan berloncatan berdiri.
Kim Giok sudah dapat menilai sampai di mana kemampuan lima orang lawan-nya, maka ia
pun tidak mau mencabut pedangnya, hanya berdiri tegak sambil tersenyum manis. Lima orang
itu sudah menggerakkan golok mereka dan bagai-kan binatang-binatang yang haus darah,
mereka sudah menyerang Kim Giok, serangan maut yang dimaksudkan untuk membunuh!
Namun, pandang mata mere-ka menjadi kabur ketika gadis itu ber-gerak cepat dan lenyap
bentuk tubuhnya, hanya nampak bayangannya berkelebat menyambar-nyambar bagaikan
seekor capung. Itulah Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuh gadis itu seolah-olah ber-gerak
dari delapan penjuru angin! Dan ketika lima orang itu membacok-bacok membabi-buta ke
arah bayangan tubuh gadis itu tanpa hasil, Kim Giok kembali membagi tamparan dan
tendangan, kini ia menambahi tenaganya sehingga lima orang lawan yang terkena tamparan
atau tendangan, roboh untuk tidak dapat bang-kit dengan cepat, hanya mengaduh-aduh, ada
yang patah tulang, ada yang nanar dan ada pula yang mendadak mulas perut-nya!
Kim Giok berdiri bertolak pinggang, memandang lima orang lawan yang masih mengeluh
kesakitan itu. "Hemmm, pantas saja Pao-beng-pai terbasmi pasukan pe-merintah. Kiranya
kalian hanya mengaku sebagai pejuang, akan tetapi sesungguh-nya hanyalah segerombolan
penjahat kecil yang tak tahu malu. Perampok dan peng-ganggu wanita. Orang-orang macam
kali-an ini mengaku pejuang?"
"Nona, ucapanmu lancang sekali!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan dalam, juga
amat berwibawa karena Kim Giok merasa betapa isi dadanya tergetar oleh suara itu. Ia
terkejut dan cepat menoleh ke kanan, ke arah datang-nya suara dan semakin kagetlah ia ketika
melihat bayangan mendaki lereng itu dari arah kanan. Kalau orang itu yang tadi
mengeluarkan suara, alangkah kuatnya khi-kang dari orang itu. Jelas bahwa dia mampu
mengirim suara dari jauh dengan demikian kuatnya, dan hal ini menunjuk-kan bahwa dia akan
berhadapan dengan seorang yang amat lihai.
Gerakan orang itu pun cepat bukan main. Sebentar saja dia telah berada di situ, berdiri tegak
berhadapan dengan Kim Giok. Gadis ini memang penuh per-hatian. Seorang pria jantan
berusia lima puluh lima tahun yang amat gagah, ber-tubuh tinggi besar dan kokoh kuat
bagaikan batu karang, mukanya persegi merah dan jenggotnya terpelihara rapi, di
pung-gungnya nampak gagang pedang dengan ronce merah.
"Pangcu....!!" lima orang itu segera memaksa diri memberi hormat dengan berlutut kepada.
orang yang baru tiba ini dan tahulah Kim Giok bahwa pria ini adalah ketua Pao-beng-pai!
Tentu orang ini ayah dari gadis lihai yang pernah mengacau pesta pertemuan keluarga. di
rumah Suma Ceng Liong! Biarpun mak-lum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat
lihai, namun puteri dari se-pasang pendekar Lembah Naga Siluman ini sedikit pun tidak
merasa gentar. Ha-nya ia bersikap waspada.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
164 Pria itu menengok ke arah lima orang anggauta Pao-beng-pai itu dan mendengus, marah, lalu
dia menghadapi Kim Giok lagi, pandang matanya tajam mencorong itu mengamati Kim Giok
penuh selidik, dari kepala sampai ke kakinya. Seperti- telah diceritakan di bagian depan ketika
Pao-beng-pai diserbu pasukan pemerintah, Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai ini, dikepung
oleh belasan orang jagoan is-tana yang datang bersama muridnya, Tio Sui Lan, murid utama
yang kemudian dia paksa menjadi isterinya setelah dia bercekcok dengan isterinya, Lauw Cu
Si. Dia membunuh Sui Lan dan melukai Cu Si, akan tetapi ketika dia menghadapi
pengeroyokan belasan orang jagoan istana yang membuatnya terdesak, dan men-dengar
keributan di luar dengan adanya penyerbuan pesukan pemerintah, dia ce-pat meninggalkan
para pengeroyoknya. Setelah tiba di luar, dia melihat betapa tempat itu diserbu oleh pasukan
yang besar sekali jumlahnya. Tahulah dia bah-wa semua usahanya telah gagal, gerakan-nya
hancur. Karena maklum bahwa melawan pasukan itu pun tidak akan ada gunanya dan
akhirnya bahkan hanya akan membahayakan diri sendiri, dia pun me-ninggalkan Ban-kwikok! Dia melarikan diri bukan karena takut, melainkan karena maklum betapa akan sia-sianya
melaku-kan perlawanan terus. Sebagai seorang yang amat cerdik dan licik, dia tidak mau
berlaku nekat dan mengorbankan diri. Tidak, demi cita-citanya, biarpun sekali ini
kelompoknya dihancurkan, ka-lau dia masih hidup, dia dapat mem-bentuk dan membangun
kembali Pao--beng-pai, berjuang terus sampai dapat menjatuhkan kerajaan Ceng, mengusir
orang-orang Mancu dari tanah air! Kare-na dia ingin mengetahui keadaan bekas markas Paobeng-pai yang telah dibasmi dan dibakar, maka siang hari itu dia mendaki Kwi-san dan
kebetulan dia me-lihat dan mendengar apa yang terjadi di lereng itu biarpun dia masih jauh.
"Nona, siapakah engkau yang begitu lancang memaki dan menghina Pao-beng--pai?"
bentaknya dengan alis berkerut dan wajah bengis.
Kim Giok adalah seorang gadis yang sejak kecil dilatih ayah ibunya sendiri, bukan hanya
ilmu silat tinggi, akan te-tapi juga kebudayaan dan ia tahu sopan santun. Menghadapi seorang
yang ke-dudukannya tinggi seperti ketua Pao--beng-pai, ia memang ada menaruh hormat.
Akan tetapi mengingat betapa pu-teri orang ini pernah menghina dan me-ngacau dalam
pertemuan tiga keluarga besar, ia merasa tidak senang dan ia pun tidak memberi hormat.
"Kalau aku tidak salah duga, tentulah engkau ini ketua Pao-beng-pai yang telah dibasmi
pasukan pemerintah!" katanya, dan ia pun menentang pandang mata pria itu dengan penuh
keberanian. "Benar, akulah Siangkoan Kok. Seka-rang katakan, siapa engkau dan kenapa engkau
menghina Pao-beng-pai!"
"Maaf, Pangcu. Aku sama sekali tidak menghina Pao-beng-pai. Bahkan aku akan
menghormati Pao-beng-pai kalau memang perkumpulan itu benar-benar merupakan
perkumpulan orang-orang gagah yang berjuang menentang penjajah Mancu. Akan tetapi, aku
hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Aku mendengar tentang penyerbuan pasukan
pemerintah terhadap Pao-beng-pai dan aku ingin melihat keadaan di sini. Aku, Cu Kim Giok,
ingin meluaskan pengalaman dan kesempatan ini tidak kulewatkan begitu saja. Akan tetapi,
apa yang kudapatkan" Lima orang itu muncul, mengaku sebagai anggauta Pao-beng-pai dan
mereka ber-sikap sebagai penjahat-penjahat kecil, hendak merampok dan mengganggu
wa-nita. Kalau memang anggauta-anggauta Pao-beng-pai seperti itu, lalu apa yang harus
kukatakan terhadap Pao-beng-pai?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
165 Siangkoan Kok melirik ke arah anak buahnya yang kini sudah bangkit berdiri bergerombol
sambil memandang penuh harapan, ingin melihat ketua mereka menundukkan gadis yang
telah menghajar mereka itu. Lalu dia berkata, "Tidak sembarang orang boleh menilai kami.
Nona, aku ingin melihat dulu sampai di mana kepandaianmu, baru aku akan meng-ambil
keputusan, apa yang harus kulaku-kan terhadap dirimu."
"Pangcu, kalau engkau membela me-reka itu, aku berani mengatakan bahwa memang Paobeng-pai dipimpin oleh orang yang tidak baik!" kata Kim Giok berani.
"Kita bicara lagi setelah kita meng-adu kepandaian. Nah, sambutlah serangan-ku ini!"
Setelah berkata demikian, Siang-koan Kok menggerakkan tangannya me-nampar ke arah
kepala gadis itu. Angin yang dahsyat menyambar, disusul angin yang menyambar dari
samping karana tangan kedua sudah mengikuti serangan pertama itu dengan mencengkeram
ke arah perut. Kim Giok memang kurang pengalaman bertanding, namun ia telah digembleng oleh ayah
bundanya sejak kecil, maka ia segera mengenal serangan yang berbahaya. Cepat ia pun
mengerahkan gin-kangnya dan tubuhnya sudahmencelat ke bela-kang untuk mengelak
sehingga serangan kedua tangan Siangkoan Kok yang be-runtun itu luput. Diam-diam
Siangkoan Kok maklum bahwa gadis ini biarpun masih muda, memang cukup berisi,
agak-nya tidak kalah dibandingkan dengan -mendiang Tio Sui Lan, murid pertama-nya. Dia
mendesak dengan pukulan-pukul-an yang mendatangkan angin berpusing. Kembali Kim Giok
menggunakan gin--kang dan mengelak dengan gerakan ce-pat sekali, membuat tubuhnya
hanya merupakan bayangan yang berkelebatan mengelak di antara hujan serangan la-wan.
Karena maklum bahwa lawannya benar-benar tangguh, Kim Giok mencabut pedangnya dan
nampaklah sinar berkilat dan terdengar bunyi desing yang aneh, seperti gerengan binatang
buas, seperti auman harimau. Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman),
pe-dang milik ayahnya yang diberikan ke-padanya agar gadis itu dapat melindungi diri
dengan baik. Melihat sinar pedang dan dengungnya yang menyeramkan itu, diam-diam Siang-koan Kok
terkejut dan kagum bukan main. "Ahhh, po-kiam (pedang pusaka) yang hebat!" teriaknya dan
begitu Kim Giok memainkan pedangnya, dia pun semakin kaget dan cepat mencabut
pedangnya sendiri, kaget karena dia mak-lum bahwa biarpun dia memiliki tingkat kepandaian
tinggi, namun terlalu ber-bahaya baginya kalau menghadapi pedang seperti itu dengan tangan
kosong saja. Apalagi gerakan ilmu pedang gadis itu pun hebat dan dahsyat, bagaikan seekor
naga yang mengamuk. Segera terjadi pertandingan pedang yang amat seru. Setelah lewat belasan jurus, tiba-tiba
Siangkoan Kok meloncat jauh ke belakang dan berseru, "Tahan dulu!"
Kim Giok berdiri tegak, pedang juga tegak lurus di depan dadanya.
"Nona, bukankah itu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang kaumainkan"
Dan tentu pedang itu Koai--liong-pokiam! Apa hubunganmu dengan keluarga Cu dari
Lembah Naga Siluman?"
Kim Giok tersenyum. "Namaku Kim Giok, tentu engkau dapat menduganya, Pangcu."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
166 "Ah, benar! Engkau tentu keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman! Sudah lama
aku mendengar tentang ke-luarga Cu yang gagah perkasa. Ah, sung-guh beruntung hari ini
dapat menguji kepandaian seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman. Nah,
sambutlah seranganku ini dan keluarkan seluruh ilmu pedang Naga Siluman itu, Nona!"
Setelah berkata demiklan, Siangkoan Kok menerjang ke depan dengan dahsyat karena dia
tahu betapa lihainya pedang dan ilmu pedang gadis muda itu. Dia memang sejak dahulu ingin
sekali menguasai semua ilmu silat tinggi di seluruh dunia, maka dia sejak dahulu memancing
para tokoh persilatan untuk mengadu ilmu dan dengan cara itu, dia dapat mempelajari ilmu
mereka. Kini, berhadapan dengan seorang keturunan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman,
tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu untuk memaksa Kim Giok
memainkan ilmu pedang itu. Justeru kelihaian Siangkoan Kok terletak kepada kekuatan
ingatannya sehingga sekali me-lihat, dia sudah hampir dapat mengingat dan menguasai
gerakan itu. Karena pe-ngetahuannya yang luas tentang ilmu--ilmu dari para tokoh besar,
maka dia pun tentu saja menjadi lihai bukan main.
Karena didesak lawan yang lihai, tentu saja terpaksa Kim Giok memainkan Kaoi-liong Kiamsut sepenuhnya, bahkan ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hebat memang ilmu pedang gadis
ini. Pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan mengeluarkan suara
mengaung, seolah-olah ada naga yang melayang-layang dan mengamuk. Melihat ini, lima
orang anak buah Pao-beng-pai itu diam--diam memaki diri mereka sendiri, seperti buta tidak
melihat bahwa gadis itu ada-lah seorang yang demikian lihainya. Ber-gidik mereka
membayangkan betapa tadi mereka berani hendak kurang ajar kepada gadis itu. Kalau tadi
gadis itu mencabut pedangnya, mungkin sekarang mereka telah menjadi setan-setan tanpa
kepala! Betapapun hebatnya ilmu pedang Koai--liong Kiam-sut, akan tetapi ketangguhan seseorang
bukan hanya bergantung se-penuhnya kepada ilmu silatnya, melainkan lebih banyak kepada
keadaan orang itu sendiri. Dibandingkan Siangkoan Kok, tentu saja Kim Giok kalah segalagala-nya, walaupun mungkin ilmu pedangnya tidak kalah dibandingkan ilmu pedanglawan. Ia
kalah tenaga, kalah pengalaman bertanding, juga jauh kalah matang dalam gerakan ilmu
pedang. Setelah lewat seratus jurus, karena ditekan terus sehingga ia harus berulang kali
mema-inkan ilmu pedangnya, ia sudah man-di keringat dan napasnya mulai ter-sengal.
Tahulah gadis ini bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan roboh oleh pedang lawan.
Namun, ia sudah dilatih ayah ibunya untuk tidak mengenal takut dan pantang menyerah
kepada seorang yang jahat. Lebih baik mati dengan pe-dang di tangan daripada menyerah
ke-pada pada seorang yang jahat dan yang tentu akan membuat ia lebih menderita daripada
kalau ia roboh dan tewas. Baru lima orang anak buahnya saja sudah seperti itu, apalagi
ketuanya! Maka, ia pun terus menggerakkan pedangnya dengan nekat, walaupun tenaganya
sudah banyak berkurang. Makin lama, semakin repotlah Kim Giok, hanya mampu mengelak dan me-nangkis saja, itu
pun setiap kali menang-kis, pedangnya terpental dan lengannya tergetar hebat. Pada saat itu,
terdengar suara tawa yang aneh, tawa mengejek yang mengandung getaran yang membuat
kedua orang yang sedang bertanding itu terpaksa menghentikan gerakan mereka karena
mereka merasa betapa jantung mereka terguncang. Mempergunakan ke-sempatan terlepas dari
desakan karena lawan menghentikan gerakan pedangnya, Kim Giok melompat ke belakang
dan menengok ke arah orang yang tertawa itu. Juga Siangkoan Kok menoleh.
Yang tertawa itu adalah seorang laki--laki muda yang usianya sekitar dua puluh tiga tahun,
gagah dan tampan sekali. Alisnya hitam tebal dan panjang, mata-nya mencorong, hidungnya
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
167 mancung dan mulutnya yang tersenyum itu manis, dagunya juga kokoh dan mukanya bersih.
Tubuhnya tegap berisi otot yang mem-buat dia nampak gagah. Pakaiannya tidak mewah
namun rapi dan bersih. Pemuda itu sudah menghentikan tawanya dan kebetulan dia
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memandang kepada Kim Giok. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, kemudian wajah
Kim Giok ber-ubah kemerahan dan ia pun menundukkan mukanya. Hatinya berdebar aneh
dan harus diakui bahwa ia merasa amat ter-tarik kepada pemuda yang tampan dan gagah itu.
Akan tetapi, sebaliknya Siangkoan Kok mengerutkan alisnya, matanya me-lotot marah. Tentu
saja dia memandang rendah kepada pemuda yang tidak di-kenalnya itu, yang berarti tidak
terkenal pula. "Heh siapa engkau berani menter-tawakan aku dan mencampuri urusanku?"
Pemuda itu bukan lain adalah Ouw Seng Bu yang belum lama ini telah ber-hasil menguasai
Thian-li-pang dan men-jadi ketuanya. Dia mendengar tentang kehancuran Pao-beng-pai oleh
pasukan pemerintah. Dia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Pao-beng-pai seka-rang
karena dia ingin memperkuat Thian--li-pang dengan bersekutu dan bekerja sama dengan para
perkumpulan lain yang besar seperti Pek-lian-kauw, Pat-kwa-pai, dan Pao-beng-pai. Biarpun
dia sen-diri belum pernah melihat Siangkoan Kok, namun dia sudah menyelidiki dan
mendengar bagaimana keadaan ketua Pao-beng-pai itu. Maka, ketika melihat pria setengah
tua yang gagah perkasa itu bertanding melawan seorang gadis yang juga lihai, akan tetapi
gadis itu terdesak, Ouw Seng sengaja mengeluarkan suara tawa yang dilakukan dengan
pengerahan khi-kang sehingga kedua orang yang se-dang bertanding itu terkejut dan
meng-hentikan pertandingan mereka.
Mendengar teguran Siangkoan Kok, Seng Bu yang datang untuk mencari ka-wan, tersenyum.
"Bukankah aku berhadap-an dengan Siangkoan Kok, pangcu dari Pao-beng-pai?" tanyanya,
kini sikapnya sopan dan ramah.
Siangkoan Kok mengamati pemuda itu. Dia seorang yang berpengalaman dan dari suara tawa
pemuda itu tadi saja, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang lemah. Akan
tetapi ka-rena dia tidak mengenalnya, maka dia memandang rendah.
"Engkau sudah tahu namaku, mengapa masih berani lancang mencampuri urusan-ku?"
bentaknya. "Siapa engkau?"
"Namaku Ouw Seng Bu dan seperti juga engkau, aku seorang pengcu (ketua) pula. Aku
adalah pangcu dari Thian-li--pang."
"Bohong!" Siangkoan Kok membentak marah. Sementara itu, lima orang bekas anak
buahnya kini sudah memegang golok masing-masing dan siap untuk membantu ketua mereka
kalau diperintahkan. Ada-pun Kim Giok, walau tidak mengenal siapa pemuda itu, akan tetapi
di dalam hatinya ia sudah condong berpihak ke-padanya sehingga kalau sampai pemuda itu
terancam bahaya, tanpa diminta pun ia pasti akan membantunya.
"Ha-ha-ha, orang muda. Jangan eng-kau mencoba untuk membohongi aku. Kaukira aku tidak
tahu siapa ketua Thian--li-pang" Ketuanya adalah Lauw Kang Hui, dan pemimpin besarnya
adalah Sin-ciang Tai-hiap Yo Han. Bukankah begitu" Engkau ini, orang bernama Ouw Seng
Bu tidak pernah dikenal. sebagai ketua Thian--li-pang!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
168 Seng Bu tersenyum dan menggeleng kepala. "Itu menandakan bahwa Pao-beng--pai yang
sudah hancur tidak lagi pandai meneliti keadaan di dunia kang-ouw. Eng-kau agaknya tidak
tahu, Pangcu, bahwa Lauw-pangcu dari Thian-li-pang telah tewas dan akulah yang menjadi
penggantinya. Adapun Yo Han, ah, dia bukan orang Thian-li-pang dan dia tidak mem-punyai
urusan apa pun dengan Thian--li-pang."
Siangkoan Kok masih sangsi, akan tetapi karena dia memang tidak tahu perkembangan di
dunia kang-ouw, maka dia tidak membantah lagi. "Kalau engkau benar ketua Thian-li-pang,
itu pun tidak memberi hak kepadamu untuk mencampuri urusanku! Nah, mau apa engkau
datang ke sini?" "Pangcu, aku mendengar bahwa Pao--beng-pai diserbu pasukan pemerintah. Begitulah
jadinya kalau kita tidak mau bekerja sama antara perkumpulan pe-juang. Aku datang hendak
mengulurkan tangan kepadamu, mengajakmu bekerja sama. Thian-li-pang sejak dahulu
terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gigih. Beberapa kali kami sudah menyusup ke
istana dan biarpun belum berhasil, namun nama kami cukup ditakuti. Akan tetapi setelah tiba
di sini, markas Pao-beng--pai sudah hancur, dan aku melihat Pang-cu bahkan bertanding
melawan seorang gadis muda. Siapakah Nona ini dan meng-apa pula bertanding melawan
Pangcu?" "Huh, ia berani berkeliaran di sini dan memukul anak buahku!" kata Siangkoan Kok dengan
singkat karena dia tidak meng-hendaki orang luar mencampuri urusannya. Akan tetapi Seng
Bu yang amat tertarik kepada gadis cantik manis yang juga lihai ilmu pedangnya itu, kini
sudah menghadapi Kim Giok lalu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.
"Nona sudah mengenal namaku. Aku Ouw Seng Bu, ketua Thian-li-pang dan kalau boleh aku
bertanya, siapakah Nona dan mengapa bertanding melawan Pangcu dari Pao-beng-pai yang
amat lihai?" Kim Giok cepat membalas penghormat-an itu dengan senyum ramah, lalu ia men-jawab,
"Namaku Cu Kim Giok dan aku sedang merantau untuk meluaskan penga-laman. Ketika tiba
di sini aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dibasmi pasukan pe-merintah, maka aku sengaja
hendak me-lihat bekas-bekasnya di sini. Tiba-tiba muncul lima orang itu yang hendak
me-rampok dan bersikap kurang ajar kepada-ku. Aku menghajar mereka. Lalu muncul Pangcu
dari Pao-beng-pai ini yang me-maksaku untuk bertanding."
Mendengar ini, Seng Bu kembali meng-hadapi Siangkoan Kok, "Aih, Pangcu se-mestinya
malu terhadap Cu-siocia (nona Cu) ini. Anak buahmu yang bersalah, sepantasnya engkau
yang minta maaf kepadanya dan menghukum anak buahmu, bukan malah menantang Cusiocia untuk bertanding." katanya mencela.
Wajah ketua Pao-beng-pai menjadi merah sekali dan matanya mencorong tajam. "Ouw Seng
Bu, engkau ini siapa berani berkata seperti itu kepadaku" Kalau engkau mengulurkan tangan
ingin bekerja sama dengan aku, setidaknya aku tentu harus tahu orang macam apa eng-kau ini
dan apakah engkau pantas duduk sejajar dengan aku!"
"Hemmm, sudah kudengar bahwa Si-angkoan Kok adalah seorang yang berwatak angkuh
dan selalu memandang rendah orang lain. Baiklah, akan tetapi bagaimana kalau aku mampu
menandingi ilmu silatmu?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
169 "Ouw Seng Bu, kalau engkau dapat mengalahkan aku, barulah aku mau men-jadi sekutumu,
bahkan aku akan membantu Thian-li-pang. Akan tetapi, kalau engkau tidak mampu
menandingi aku, engkau harus cepat berlutut minta ampun kepadaku dan tidak mencampuri
urusanku lagi. Kalau engkau bukan ketua Thian--li-pang, tentu akan kubunuh engkau."
"Bagus! Nah, aku sudah siap, Siang-koan Pangcu. Akan tetapi karena aku ingin bersahabat
denganmu, bukan ber-musuhan, maka sebaiknya kita bertanding dengan tangan kosong saja."
"Baik, sambutlah seranganku ini, orang she Ouw!" setelah berkata demikian, Si-angkoan
Kok yang sudah menyimpan pedangnya, menerjang dengan pukulannya yang mengandung
tenaga sin-kang yang dahsyat. Karena dia ingin cepat-cepat mengalahkan lawannya, maka dia
mengerahkan tenaganya yang disebut Kang--kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi) dan begitu
kedua tangan kakinya bergerak menggunakan ilmu ini, terdengar suara berkerotokan pada
buku-buku tulangnya! Lima orang anak buah Pao-beng-pai biarpun masih menderita nyeri, kini me-mandang
dengan wajah gembira karena mereka merasa yakin bahwa ketua me-reka yang sakti akan
dapat mengalahkan pemuda itu pula. Akan tetapi, Kim Giok memandang dengan sinar mata
khawatir. Pemuda itu jelas muncul dan membantu-nya, bahkan berani menegur bekas ketua
Pao-beng-pai untuk membelanya. Dan ia tahu betapa lihainya Siangkoan Kok, apa-lagi kini
mengeluarkan ilmu yang demi-kian mengerikan. Ia tidak dapat maju membantu, karena satu
di antara pesan yang ditekankan ayah bundanya adalah agar ia menjadi seorang yang gagah
dan pantang untuk bertindak curang. Dan maju melakukan pengeroyokan merupakan suatu
perbuatan yang curang dan ia tidak mau melakukannya. Maka ia hanya men-jadi penonton
yang risau, dan hanya siap untuk melindungi kalau pemuda she Ouw itu terancam maut.
Menghadapi serangan yang amat dah-syat dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu juga maklum
bahwa kalau dia memper-gunakan ilmu yang dipelajarinya dari Lauw Kang Hui saja, dia tidak
akan menang. Bahkan mendiang gurunya itu, Lauw Kang Hui, masih kalah setingkat
dibandingkan bekas ketua Pao-beng-pai ini. Akan tetapi dia sama sekali tidak merasa gentar.
Dia sudah cepat menge-luarkan ilmu rahasianya, yaitu Bu-kek Hoat-keng! Begitu kedua
tangannya ber-gerak, terdengar bunyi aneh bersiutan dan angin pukulan kedua tangannya
mendatangkan angin berpusing. Dengan mudah saja dia menangkis lima kali pukulan lawan
yang datang beruntung susul me-nyusul, kemudian dia pun membalas de-ngan cepat dan tak
kalah dahsyatnya! Siangkoan Kok terkejut bukan main. Sedikit banyak, dia sudah mengenal ilmu andalan dari
Lauw Kang Hui. Biarpun dia belum dapat menirukan, namun dia sudah banyak mendengar
dua ilmu andalan Thian--li-pang, yaitu Tok-jiauw-kang dan Kiam--ciang. Dia akan mengenal
dua ilmu ini. Dan karena mengenal, setidaknya dia akan lebih mudah menghadapi dan
me-lawannya. Akan tetapi, gerakan pemuda ini sama sekali tidak dikenalnya! Dia hanya
merasa ada angin berpusing datang menyambar dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga
untuk menyambutnya. "Plak! Desss....!!" Siangkoan Kok berjungkir balik ke belakang, dan setelah membuat salto
tiga kali barulah dia ter-bebas dari dorongan tenaga yang tentu akan membuatnya terjengkang
kalau saja dia tidak membuat salto tadi.
Seng Bu sendiri terkejut dan kagum melihat gin-kang yang diperlihatkan la-wan. Akan tetapi
dia menyerang terus dan sekali ini, Siangkoan Kok yang maklum bahwa lawan memiliki
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
170 tenaga yang mujijat, tidak mau mengadu tenaga se-cara langsung, melainkan menggunakan
kecepatan gerakan untuk menghindar dan membalas serangan itu dengan sepenuh tenaga.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat! Beberapa kali kalau kedua tangan mereka saling
bertemu, keduanya ter-dorong mundur. Tanpa diketahui orang lain, terjadi perubahan pada
diri Seng Bu, seperti biasa kalau dia memainkan ilmunya itu. Sepasang matanya menjadi liar,
senyumnya menjadi dingin mengeri-kan dan beberapa kali dia mengeluarkan suara tawa yang
aneh. "Siangkoan Kok, engkau takkan me-nang melawanku!" beberapa kali dia me-ngeluarkan
ucapan ini yang didahului dan diakhiri suara tawa ha-ha-hi-hi-hi seperti orang gila. Hal ini
membuat Siangkoan Kok merasa penasaran dan semakin ma-rah. Dia sudah mengerahkan
semua jurus yang menjadi andalannya, namun dia tidak mampu menembus benteng
per-tahanan lawan, biarpun lawannya juga belum mampu merobohkan atau mendesaknya.
Mereka memiliki tingkat yang seimbang!
"Ouw Seng Bu, mari kita bertanding dengan senjata!" bentaknya sambil meloncat ke
belakang dan mencabut pe-dangnya.
Seng Bu hanya terkekeh dan melihat pemuda itu agaknya tidak membawa senjata, Kim Giok
cepat menghampiri dan menyodorkan pedangnya.
"Kau pergunakanlah pedangku ini!"
Ouw Seng Bu memandang gadis itu dengan matanya yang mencorong liar sehingga Kim
Giok terkejut, akan tetapi pemuda itu menerima juga Koai--liong-kiam, lalu menghadap
siangkoan Kok dan tertawa.
"Heh-heh-heh, Siangkoan Kok. Perlu-kah diteruskan" Kalau aku membiarkan saja pun
engkau akan mampus. Lihat baik-baik kedua telapak tanganmu."
Mendengar ini, Siangkoan Kok cepat memeriksa kedua tangannya dan wajah-nya berubah
pucat. Kedua telapak tangan-nya berwarna menghitam dan terasa panas bukan main!
"Kau....! Aku.... keracunan....!" kata-nya.
"Ha-ha-ha, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak kusedot kembali hawa beracun itu,
engkau akan mati. Perlukah dilanjutkan" Atau engkau mengaku kalah?" Siangkoan Kok
menarik napas panjang dan menyarungkan pedangnya. Dia harus mengaku kalah, kalau ingin
hidup! "Baik-lah, Ouw-pangcu. Aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum kita bicara,
punah-kan dulu racun dari kedua tanganku."
"Baik, duduklah bersila, Siangkoan--pengcu, dan acungkan kedua telapak tanganmu ke atas,
menghadap ke bela-kang," kata Seng Bu.
Siangkoan Kok duduk bersila, meng-angkat kedua tangan ke atas dan meng-hadapkan kedua
telapak tangan yang menghitam itu ke belakang! Seng Bu yang telah menguasai Bu-kek Hoatkeng secara keliru, memang telah mendapat-kan pukulan yang mengandung hawa be-racun.
Kalau Siangkoan Kok tidak me-miliki sin-kang yang amat kuat, tentu dia telah tewas dengan
tubuh hangus. Untung bahwa ketua Pao-beng-pai itu memiliki sin-kang kuat sehingga hawa
beracun itu berhenti sampai di pergelang-an tangannya saja, dihambat oleh sin--kangnya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
171 Kini, Seng Bu menjulurkan ke-dua tangannya dan ditempelkan pada kedua tangan Siangkoan
Kok. Sampai beberapa menit lamanya dia mengerah-kan sin-kangnya sehingga tubuh kedua
orang itu menggigil dan perlahan-lahan, warna menghitam di kedua tangan Siang-koan Kok
menjadi hilang, tersedot ke dalam kedua tangan Seng Bu!
Setelah Seng Bu melepaskan kedua tangannya dan meloncat ke belakang, Siangkoan Kok
memeriksa kedua tangan-nya dan ternyata kedua telapak tangan-nya sudah bersih, lalu
memandang kepada Seng Bu dengan kagum.
"Ouw-pangcu, sekarang aku percaya. Engkau masih muda akan tetapi lihai bukan main, dan
aku akan suka menjadi sekutumu. Karena Pao-beng-pai sudah terbasmi pasukan pemerintah
penjajah, maka biarlah aku membantumu untuk memperkuat Thian-li-pang dan kita bersama
jatuhkan pemerintah kerajaan Man-cu!"
"Nanti dulu, Siangkoan-pangcu. Urusan di sini harus dibereskan dulu. Sebaiknya kalau
engkau minta maaf kepada Nona Cu, dan memberi hukuman kepada lima orang bekas anak
buahmu." Siangkoan Kok menghela napas pan-jang. Dia maklum bahwa pemuda yang mengaku ketua
Thian-li-pang itu lihai bukan main, memiliki ilmu pukulan yang amat aneh dan berbahaya.
Dia akan me-lihat keadaan di Thian-li-pang. Kalau memang pantas dia bantu, apa salahnya"
Baginya, yang penting adalah mengguling-kan pemerintah Mancu! Dan memang tidak
menguntungkan kalau dia bermusuh-an dengan keluarga Cu dari Lembah Naga Siluman.
"Nona Cu, maafkan sikapku tadi." Dia menjura kepada gadis itu. Tentu saja Kim Giok segera
membalas penghormatan ketua Pao-beng-pai itu.
"Tidak mengapa, Pangcu, hanya ke-salahpahaman saja." katanya.
Kini Siangkoan Kok menoleh ke arah lima orang anak buahnya yang menyeri-ngai. Ketika
dia melangkah maju meng-hampiri mereka, lima orang itu meman-dang dengan wajah pucat
dan mata ke-takutan. Melihat sikap ketua mereka yang sudah amat mereka kenal, mereka
ketakutan dan maklum bahwa ketua me-reka itu marah kepada mereka. Dengan kaki
menggigil, mereka lalu menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Siangkoan Kok menggerakkan
tangan kirinya lima kali dan lima orang itu pun terjengkang dan tewas seketika! Melihat ini,
terkejutlah Kim Giok. Lima orang itu memang jahat dan patut dihajar, akan tetapi hukuman
mati itu ia anggap terlalu keras. Akan tetapi karena yang membunuh adalah ketua mereka
sendiri, ia pun tidak dapat mencampuri.
Sementara itu, Seng Bu merasa se-nang dan puas melihat cara Siangkoan Kok membuktikan
kesungguhan niat kerja sama dengan dia. Dia kini menghadapi Kim Giok dan berkata,
sikapnya sudah pulih ramah dan sopan.
"Nona Cu, secara kebetulan kita sa-ling bertemu dan berkenalan di sini. Mendengar tadi
Nona berkata bahwa Nona sedang merantau untuk meluaskan pengalaman, sudikah Nona
menerima undanganku untuk berkunjung ke Thian-li-pang bersama Siangkoan Pangcu ini"
Pasti Nona akan mendapat pengalaman dan pengetahuan lebih luas."
Karena memang merasa tertarik dan kagum sekali melihat pemuda yang ter-nyata mampu
menundukkan Siangkoan Kok, pula ia pun tahu bahwa tanpa ban-tuan Ouw Seng Bu,
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
172 mungkin ia sudah menderita celaka di tangan ketua Pao--beng-pai dan anak buahnya, maka
Kim Giok mengangguk dan mengucapkan teri-ma kasihnya.
Akan tetapi, Siangkoan Kok agaknya merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan
bersama mereka. "Ouw-pangcu, aku bukan seorang yang suka mengingkari janji. Aku pasti
akan datang berkunjung ke Thian-li-pang, karena bukan hanya engkau yang membutuhkan
bantuanku, akan tetapi juga aku sendiri amat membutuhkan kerja sama dengan orang
se-pertimu. Memang engkau benar, tanpa kerja sama antara kekuatan-kekuatan yang ada,
perjuangan kita menentang penjajah tidak akan berhasil. Nah, silakan engkau dan Nona Cu
pergi dulu, Ouw--pangcu, aku akan menyusul segera ber-kunjung ke sana."
Ketua Thian-li-pang itu setuju dan demikianlah, dia mengajak Cu Kim Giok untuk pergi
lebih dahulu. Setelah mereka pergi, Siangkoan Kok menjatuhkan diri duduk di atas batu,
termenung meman-dang ke arah mayat lima orang anak buahnya yang malang melintang. Dia
mengerutkan alisnya. Terpaksa dia mem-bunuh mereka, untuk memuaskan hati Ouw Seng
Bu. Kini hatinya panas bukan main. Ketua Thian-li-pang itu memaksa-nya membunuh anak
buahnya sendiri. Dia, Siangkoan Kok, adalah keturunan kaisar kerajaan Beng, berdarah
bangsawan ting-gi. Bagaimana mungkin dia begitu di-rendahkan untuk menjadi pembantu
saja dari seorang pemuda ingusan macam Ouw Seng Bu, betapapun lihainya pemuda itu
karena menguasai ilmu pukulan beracun yang hebat" Tidak, dia harus menjadi kepala, dia
harus menjadi pemimpin, dia harus menjadi yang nomor satu. Dia akan mencari akal untuk
mengalahkan dan menjatuhkan Ouw Seng Bu. Dia mengepal tinju, kemudian dia melemparlemparkan lima buah mayat itu ke dalam jurang yang dalam agar tidak kelihatan terlantar di
tempat itu. *** Siangkoan Kok menuruni lembah Bukit Setan. Tiba di lembah terakhir dia ber-henti dan
memutar tubuhnya, memandang ke arah Ban-kwi-kok yang nampak meng-hitam dari situ.
Selama bertahun-tahun dia membangun kekuatan di tempat itu. Dan terpaksa, kini dia harus
meninggalkan tempat itu yang sudah kosong dan hancur. Selama belasan tahun dia
meng-himpun tenaga para anak buahnya, hanya untuk hancur dalam waktu sehari saja! Dia
merasa berduka dan menyesal sekali, maklum bahwa dia memang telah ber-sikap bodoh. Dia
terlalu mengandalkan kekuatan perkumpulannya. Perkumpulan yang menentang pemerintah,
seharusnya menyembunyikan diri, menghimpun ke-kuatan secara diam-diam pula, tidak
memamerkan kekuatan sehingga terbasmi sebelum sempat memberontak. Dia harus mulai
dari permulaan, menghimpun pem-bantu-pembantu yang lebih cakap dari-pada yang sudah.
Akan tetapi dia tahu betapa sukarnya hal itu tercapai. Yang jelas, dahulu dia dibantu oleh
isterinya, Lauw Cu Si yang selain setia juga amat lihai ilmunya, sebagai keturunan para
pimpinan Beng-kauw. Tidak mudah men-cari seorang pengganti isteri seperti Lauw Cu Si
yang pandai dan lihai. Ke-mudian dia berhasil menggembleng Eng Eng yang dianggap seperti
anak sendiri sehingga Eng Eng yang tinggal bersama-nya sejak berusia dua setengah tahun,
menjadi seorang gadis yang memiliki kelihaian melebihi ibunya! Dua orang wanita itu
tadinya merupakan pembantu--pembantu yang amat boleh diandalkan, terutam Eng Eng.
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi sekarang, semuanya telah hancur. Bahkan isterinya telah tewas, dan Eng Eng
telah lari, dan dia tahu bahwa sekarang Eng Eng bukan lagi anaknya, melainkan musuhnya!
Dan semua pembantu yang telah dididiknya, juga murid-muridnya, telah habis, entah tewas
entah ditawan pasukan pemerintah.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
173 Dia hanya seorang diri di dunia ini. Bah-kan lima orang bekas anak buahnya tadi pun
terpaksa dibunuhnya. "Aku tidak boleh putus asa," bisik Siangkoan Kok kepada dirinya sendiri sambil mengepal
tinju. "Aku harus men-cari lagi pembantu-pembantu yang lebih kuat lagi." Kalau saja orangorang seper-ti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok tadi dapat menjadi pembantu-pembantunya!
Kalau Ouw-pangcu tidak muncul, mung-kin dia sudah dapat membujuk atau me-maksa Cu
Kim Giok menjadi pembantu-nya yang baru, atau menjadi selirnya! Dia bukan tergila-gila
karena kecantikan dan kemudaan Kim Giok, melainkan ingin memiliki gadis itu agar dapat
menjadi pembantunya yang setia.
Dengan keputusan hati yang penuh harapan, penuh semangat, pria perkasa ini melanjutkan
perjalanan, dengan lang-kah lebar dia menuruni lereng terakhir. Di dalam sakunya masih
terdapat banyak emas permata untuk bekal perjalanannya, walaupun hal ini tidak
dipentingkan benar karena kalau dia membutuhkan biaya, tidak sukar baginya untuk
mengambil dari rumah orang yang manapun.
Ketika dia memasuki sebuah dusun yang cukup ramai di kaki Kwi-san, mata-hari telah
condong ke barat dan cuaca sudah mulai remang-remang, maka Siang-koan Kok mengambil
keputusan untuk melewatkan malam di dusun itu. Biarpun dia bekas ketua Pao-beng-pai yang
bermarkas di Lembah Selaksa Setan, di le-reng Bukit Setan itu, namun penduduk dusun di
kaki bukit ini tidak pernah me-lihatnya. Oleh karena itu, tak seorang pun mengenal pria tinggi
besar gagah perkasa yang pada senja hari itu me-masuki dusun. Akan tetapi, biarpun dia
sendiri belum pernah memasuki dusun itu, Siangkoan Kok sudah mendengar dari anak
buahnya bahwa dusun itu cukup ramai, penduduknya hidup cukup makmur karena sawah
ladang di daerah itu amat subur, dan bahwa kepala dusunnya kaya.
So-chung-cu (Kepala dusun So) ber-sama isterinya dan puterinya yang pada sore hari itu
sedang duduk di serambi depan, tidak menduga buruk ketika me-lihat seorang laki-laki
berusia lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi besar, ber-pakaian cukup pantas seperti
seorang kota yang pakaiannya dari kain sutera, memasuki halaman rumah mereka. Bah-kan
Lurah So segera bangkit berdiri sam-bil memandang penuh perhatian ketika orang itu datang
menghampiri mereka. Akan tetapi dia merasa heran karena merasa tidak mengenal tamu yang
datang itu. Kalau seorang pejabat dari kota, kenapa datang tanpa pengawal"
Kini mereka berdiri berhadapan. Juga isteri Lurah So dan puterinya yang ber-usia delapan
belas tahun, bangkit berdiri dan memandang kepada tamu itu. Karena tamu pria itu sudah
setengah tua, maka dua orang wanita itu tidak merasa sung-kan. Andaikata yang datang itu
seorang laki-laki muda, tentu So Biauw Hwa, puteri lurah itu, akan masuk ke dalam bersama
ibunya. "Apakah engkau kepala dusun di sini?" tiba-tiba tamu itu mendahului tuan ru-mah. Suaranya
menggelegar dan sikapnya berwibawa, juga sikapnya tidak meng-hormat si kepala dusun
seperti sikap penduduk dusun di situ pada umumnya. Akan tetapi, So-chung-cu tidak marah
karena dia menduga bahwa tentu tamu ini seorang dari kota, mungkin pejabat atau pedagang.
Dia hanya memandang sejenak lalu mengangguk."Benar, saya kepala dusun di sini. Siapakah
Saudara dan dari mana hendak ke mana" Ada keperluan apa Saudara berkunjung ke rumah
kami?" Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
174 Siangkoan Kok mengamati lurah itu. Seorang laki-laki yang sebaya dengannya, tinggi kurus.
Isterinya berusia empat puluhan tahun, masih cantik, dan puterinya yang berusia delapan
belas tahun itu berwajah manis dan matanya lebar indah seperti mata kelinci. Ruangan depan
itu pun memiliki prabot rumah yang cukup mewah, tanda bahwa lurah ini memang cukup
keadaannya. "Saya orang yang kebetulan lewat di dusun ini dan karena kemalaman, saya ingin
melewatkan malam di sini, di ru-mah ini." kata Siangkoan Kok dengan sikap acuh, seolaholah dia sudah merasa yakin bahwa permintaannya itu pasti dikabulkan. Mulailah Lurah So
mengerut-kan alisnya, juga isteri dan puterinya memandang dengan alis berkerut. Tamu ini
sungguh tidak sopan, dan permintaan-nya agak keterlaluan. Tidak memper-kenalkan nama,
tidak menceritakan mak-sud kedatangannya, datang-datang me-nyatakan ingin menginap di
rumah itu, bahkan tidak minta diterima!
"Hemmm, kalau ada tamu kemalaman di sini, kami sudah menyediakan tempat umum untuk
bermalam, yaitu di balai dusun. Akan tetapi setiap orang tamu harus mendaftarkan namanya,
tempat tinggalnya, agar kami tahu siapa yang datang bermalam. Nah, Saudara boleh pergi ke
balai dusun, itu di sebelah kiri, tiga rumah dari sini, dan di sana sudah ada petugas yang akan
melayanimu. Sila-kan!" kata tuan rumah itu, mengusir dengan nada halus.
Akan tetapi, jawaban yang diberikan tamu itu sungguh membuat keluarga lurah itu menjadi
terbelalak. Siangkoan Kok berkata dengan nada suara marah.
"Lurah So, tidak perlu banyak cakap lagi. Sediakan sebuah kamar terbaik di rumah ini
untukku! Sediakan air hangat untuk mandi. Setelah itu, aku ingin makan malam yang enak,
sediakan masakan yang lengkap, sembelih ayam dan bebek, dan aku ingin makan dilayani
wanita yang muda-muda dan cantik-cantik!" ber-kata demikian, Siangkoan Kok menger-ling
ke arah isteri dan puteri lurah itu. Dia bukan seorang mata keranjang, akan tetapi dia ingin
memperlihatkan kekuasa-annya, ingin dihormati secara berlebihan. Kalau dia pernah
memaksa mendiang Tio Sui Lan, muridnya karena dia marah kepada isterinya dan ingin
mendapatkan ganti isterinya. Dan Sui Lan yang pada saat itu paling dekat dengannya, maka
dia mengambil murid itu sebagai isteri secara paksa. Sebelum itu, dia tidak pernah
mengganggu wanita lain karena bukan kepada wanita cantiklah curahan nafsu dalam diri
Siangkoan Kok, melain-kan kepada pengejaran cita-citanya, yaitu membangun kembali
kerajaan Beng dan dia yang menjadi kaisar!
Tentu saja Lurah So marah bukan main mendengar permintaan kurang ajar seperti itu.
Seorang pejabat tinggi dari kota pun tentu tidak akan mengajukan permintaan seperti itu
secara langsung, seolah-olah dia merupakan abdi dari orang itu!
Lurah So tidak mau banyak cakap lagi, lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah lima
orang dari samping ru-mah, membawa seekor anjing yang di-rantai. Anjing itu besar dan
nampaknya menyeramkan. Lima orang itu adalah penjaga atau peronda yang malam itu akan
bertugas jaga di dusun itu, melaku-kan perondaan dan memang rumah sam-ping Lurah So
menjadi pusat penjagaan. "Usir orang yang tidak sopan ini ke-luar dari dusun!" perintah Lurah So de-ngan geram
sambil menunjuk ke arah Siangkoan Kok. Lima orang itu meng-hampiri dengan sikap bengis.
Para pe-tugas ronda di dusun itu memang dipilih warga dusun yang bertubuh kuat dan masih
muda. Biarpun mereka bukan tu-kang pukul, akan tetapi lima orang itu yang merasa mendapat
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
175 wewenang, lalu menghampiri Siangkoan Kok dengan sikap bengis mengancam. Sementara
itu, isteri dan puteri Lurah So yang merasa ke-takutan, sudah lari masuk ke dalam ru-mah.
"Hayo engkau cepat pergi dari sini!" kata seorang penjaga.
"Kalau tidak cepat pergi, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!" ben-tak orang kedua.
Siangkoan Kok memandang kepada mereka dengan senyum mengejek. "Aku tidak mau pergi
dan hendak kulihat, kekerasan macam apa yang hendak kalian lakukan terhadap diriku!"
Mendengar kata-kata dan melihat sikap penuh tantangan ini, lima orang penjaga menjadi
marah. Mereka berlima maju dan mengulur tangan hendak me-nangkap orang setengah tua
itu. Akan tetapi, begitu Siangkoan Kok menggerak-kan kedua tangannya, lima orang itu
ter-dorong dan terjengkang, terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya! Anjing yang
tadinya dipegang ujung rantainya oleh seorang dari mereka, terlepas dan anjing itu
menggonggong, lalu menubruk ke arah Siangkoan Kok dengan moncong dibuka lebar,
memperlihatkan gigi bertaring yang runcing.
Melihat serangan anjing besar itu, Siangkoan Kok menjadi marah. Tangan kirinya, dengan
jari terbuka menyambut tubrukan anjing itu, menyambar dari samping ke arah kepala anjing.
"Krekkk!" Anjing itu terbanting roboh dan berkelojotan dengan kepala pecah.
Lima orang penjaga itu terkejut dan mereka sudah mencabut golok masing--masing sambil
berloncatan berdiri. Akan tetapi, ketika Siangkoan Kok menggerak-kan kakinya, tubuhnya
berkelebat ke depan, kakinya dan tangannya bergerak dan lima batang golok itu beterbangan
lepas dari tangan pemegangnya.
"Apakah kalian ingin mampus seperti anjing itu?" bentaknya dan sekali tangan kirinya
meraih, dia sudah mencengkeram baju di tengkuk Lurah So.
"Kalau permintaanku yang pantas itu tidak dituruti, aku akan membunuh Lurah So
sekeluarganya, dan membakar rumah ini. Kalau ada penghuni dusun ini berani melawanku,
akan kubunuh mereka semua!" Dia melepaskan lagi cengkeramannya dan Lurah So dengan
muka pucat lalu me-nyuruh para penjaga itu mundur, kemudi-an dia membungkuk dan
memberi hormat kepada Siangkoan Kok.
"Maafkan kami.... karena tidak tahu kami telah berani membangkang perintah Tai-hiap
(Pendekar Besar)." "Cukup sudah! Cepat sediakan yang kupinta tadi. Kamar terbaik, mandi air hangat, lalu
makan malam yang meriah dilayani wanita-wanita muda dan cantik!"
"Silakan, Taihiap.... silakan, biar Taihiap mempergunakan kamar kami sendiri. Silakan!"
Dengan langkah lebar Siangkoan Kok memasuki rumah lurah itu, diiringkan Lurah So yang
masih ketakutan. Lima orang penjaga membawa pergi bangkai anjing dan dengan ketakutan
mereka menceritakan apa yang terjadi di rumah Lurah So kepada penghuni dusun. Semua
orang dusun dicekam ketakutan, akan tetapi mereka tidak berdaya, takut untuk melakukan
sesuatu karena keselamatan keluarga Lurah So telah dicengkeram tamu aneh itu.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
176 Terpaksa Lurah So melayani tamunya, memberikan kamarnya sendiri kepada Siangkoan
Kok, menyuruh pelayan me-nyediakan air hangat untuk mandi dan memerintahkan juru
masak untuk me-nyembelih ayam dan bebek, membuat masakan dan mempersiapkan makan
ma-lam sebaik mungkin untuk tamu aneh yang amat ditakuti itu. Diam-diam dia menyuruh
puterinya pergi meninggalkan rumah, mengungsi ke mana saja agar jangan sampai diganggu
tamu itu. Sementara itu, pada sore hari itu juga, seorang gadis berusia delapan belas tahun lebih juga
menuruni lereng Kwi--san. Gadis ini cantik jelita, dengan wajah yang bulat telur, kulitnya
putih kemerah-an, mata lebar dan sinarnya tajam, hi-dungnya mancung dan mulutnya selalu
terhias senyum yang amat manis karena ujung bibirnya dimeriahkan lesung pipit.
Dari pakaiannya yang serba merah, mu-dah diduga siapa adanya gadis jelita ini, apalagi kalau
nampak sebatang suling berselaput emas terselip di pinggangnya. Ia adalah Si Bangau Merah
Tan Sian Li! Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini hadir pula bersama ayah ibunya di
dalam pesta ulang tahun dan pertemuan keluarga di rumah Suma Ceng Liong. Diam-diam ia
kecewa karena tidak me-lihat Yo Han di sana, kemudian terjadi pengacauan yang dilakukan
Eng Eng dari Pao-beng-pai. Hal ini dijadikan alasan oleh Sian Li untuk meninggalkan ayah
ibunya dengan diam-diam di rumah Suma Ceng Liong, meninggalkan surat untuk ayah ibunya
bahwa ia pergi untuk mem-bantu Yo Han mencari puteri Sim Houw, yaitu Sim Hui Eng, dan
juga untuk me-nyelidiki Pao-beng-pai yang memusuhi tiga keluarga besar.
Karena tidak tahu ke mana Yo Han pergi, maka Sian Li mencari tanpa tuju-an tertentu. Ke
manapun ia pergi, ia bertanya-tanya tentang pendekar yang berjuluk Sin-ciang Tai-hiap
(Pendekar Tangan Sakti), namun tidak pernah me-nemukan orang yang dapat menunjukkan di
mana adanya pendekar yang dicarinya itu. Akhirnya, ia menuju ke Bukit Setan untuk
menyelidiki Pao-beng-pai. Dalam perjalanan menuju ke sanalah ia men-dengar akan
penyerbuan pasukan peme-rintah terhadap gerombolan pemberontak itu, mendengar betapa
Pao-beng-pai di-basmi oleh pasukan pemerintah. Namun, ia tetap pergi ke sana dan berhasil
naik sampai ke Lembah Selaksa Setan, melihat betapa bekas sarang Pao-beng-pai telah
menjadi puing karena dibakar oleh pasukan pemerintah.
Sian Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia meninggalkan lembah itu, di lembah sebelah
bawah, terjadi perkelahi-an antara Siangkoan Kok dan Cu Kini Giok yang kemudian dibantu
oleh Ouw Seng Bu. Hanya beberapa jam selisihnya ketika ia melewati lembah itu. Ia terus
menuruni lembah dan ketika tiba di kaki bukit, ia hendak menuju ke dusun yang tadi
dilihatnya dari lembah terakhir.
Pada saat itu memasuki hutan kecil yang berada di kaki bukit, untuk menuju ke dusun di
seberang hutan, tiba-tiba terdengar suara orang memanggilnya.
"Nona Tan Sian Li....!!"
Sian Li terkejut, menghentikan lang-kahnya dan membalikkan tubuhnya me-mandang.
Segera ia mengenal pemuda yang datang berlari-lari menghampirinya itu.
"Twako (Kakak) Gak Ciang Hun....!" serunya girang dan juga heran sekali.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
177 Terakhir ia berjumpa dengan pemuda itu di rumah Suma Ceng Liong ketika diada-kan
pertemuan antara tiga keluarga be-sar. "Bagalmana engkau dapat berada di sini?"
Dengan wajah berseri-seri karena gembira dapat menemukan gadis itu, Ciang Hun
menjawab, "Aku memang me-nyusul dan mencarimu setelah kami se-mua mengetahui
kepergianmu." Sian Li mengerutkan alisnya. "Kenapa, Gak-twako" Mau apa engkau menyusul dan
mencariku?" Ciang Hun menyadari kesalahannya. Hampir saja dia membuka rahasia hatinya. Tentu saja
dia menyusul Sian Li karena msngkhawatirkan gadis itu dan ingin membantunya. Semua ini
terdorong oleh perasaan cintanya kepada Sian Li! Akan tetapi, dia tidak berani mencerita-kan
itu. "Aku.... aku pun ingin ikut mencari puteri paman Sim Houw yang hilang sejak kecil, aku
ingin pula ikut menyeli-diki Pao-beng-pai. Aku sudah mendapat perkenan ibu, maka aku
cepat pergi me-nyusulmu, Nona. Kurasa, dengan tenaga kita berdua, akan lebih kuat dan...."
"Gak-twako, jangan sebut aku nona. Engkau membuat aku merasa sungkan saja.
Bagaimanapun juga, di antara kita masih ada hubungan, baik hubungan ke-luarga atau
perguruan. Nah, kalau aku menyebutmu kakak, sepatutnya kau me-nyebut aku adik, bukan?"
Wajah Ciang Hun menjadi kemerahan dan dia salah tingkah. Memang pemuda ini, walaupun
sudah berusia dua puluh sembilan tahun, namun belum berpenga-laman dalam pergaulan
dengan wanita, maka dia merasa canggung dan rikuh.
"Baiklah, Siauw-moi. Aku memang mencarimu ke Kwi-san, karena engkau ingin pula
menyelidiki Pao-beng-pai. Akan tetapi aku menjadi bingung ketika men-dengar bahwa Paobeng-pai telah dibasmi oleh pasukan pemerintah. Maka aku ha-nya berkeliaran di sekitar kaki
bukit sampai tadi kebetulan sekali aku me-lihatmu, maka aku mengejarmu."
Siang Li yang merasa lelah, tidak begitu senang membayangkan dirinya melakukan
perjalanan berdua saja dengan Ciang Hun. Bukan Ciang Hun yang di-harapkannya, melainkan
Yo Han! Dan ia mendapat kesan bahwa pandang mata Gak Ciang Hun terhadapnya begitu
penuh kagum, begitu mesra. Ini hanya berarti bahwa pemuda perkasa ini agaknya me-naruh
hati kepadanya, hal yang sama sekali tidak ia harapkan! Sian Li adalah seorang gadis yang
berwatak tegas dan keras. Ia lalu duduk di atas batu, di bawah pohon yang rindang. Matahari
sudah condong ke barat, namun sinarnya masih cukup panas dan duduk di tempat teduh itu
amat nyaman, apalagi karena ia sudah melakukan perjalanan melelah-kan menuruni Lembah
Selaksa Setan tadi. "Gak-twako, sesungguhnya, perjalanan-ku meninggalkan ayah ibu tempo hari terutama sekali
untuk mencari kanda Yo Han." Ia berkata dengan tekanan suara kepada nama pemuda itu, dan
matanya memandang tajam. Ciang Hun mengerutkan alisnya. "Yo Han" Kau maksudkan, Pendekar Tangan Sakti?"
Sian Li mengangguk dan ia semakin yakin akan dugaannya melihat betapa sinar mata
pemuda itu menunduk dan alisnya berkerut, jelas nampak dia ter-pukul. Sebaiknya berterus
terang, pikir gadis itu, daripada membiarkan dia ber-larut-larut hanyut dalam khayal.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
178 "Benar, Gak-twako. Aku ingin mencari Han-koko. Dia bertekad untuk me-nemukan puteri
Paman Sim Houw yang hilang, maka aku akan mencarinya kare-na aku tidak ingin ikut ayah
dan ibu ke kota raja."
Ciang Hun yang sudah dapat mengua-sai kekecewaan mendengar betapa gadis yang sejak
pertemuannya pertama kali telah merampas semangatnya ini men-cari-cari Yo Han, membuat
dia menduga bahwa tentu ada perhatian khusus dari gadis ini terhadap pendekar itu, untuk
mengalihkan perhatiannya sendiri, dia bertanya, "Kenapa engkau tidak ingin ikut dengan
orang tuamu ke kota raja, Nona.... eh, Siauw-moi?"
"Hemmm, orang tuaku mengajak aku ke kota raja untuk membicarakan urusan perjodohanku.
Aku tidak suka itu. Aku hendak dijodohkan dengan putera Pange-ran Cia Yan, bahkan ikatan
itu sudah dilakukan sejak dahulu dan kini orang tuaku hendak mematangkan urusan itu. Aku
tidak suka menjadi calon mantu pangeran!"
Ciang Hun memandang wajah gadis itu yang nampak cemberut, namun tidak mengurangi
kecantikannya. "Akan tetapi, kenapa, Siauw-moi" Bukankah menjadi mantu pangeran
merupakan suatu peng-hormatan besar, engkau akan hidup mulia dan terhormat, dan kurasa
putera pangeran itu pun seorang pemuda yang baik maka sampai diterima oleh ayah
ibu-mu...." "Tidak peduli bagaimanapun baiknya, aku tidak sudi! Ah, Twako, kurasa tidak perlu lagi aku
merahasiakan. Hanya ada seorang saja pria yang aku ingin men-jadi suamiku, pria yang
kucinta sejak dahulu, dia adalah Han-koko...."
"Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?" Ciang Hun bertanya, tidak merasa heran karena hal ini sudah
diduganya. Gadis itu meng-angguk, merasa puas karena ia memang ingin berterus terang agar
Gak Ciang Hun tidak lagi mengharapkannya.
"Dia memang seorang pendekar yang gagah perkasa. Aku pun kagum dan meng-hormatinya.
Pilihan hatimu tidak keliru, Siauw-moi. Akan tetapi bagaimana de-ngan pilihan orang tuamu,
pangeran itu....?" "Aku tidak mau! Ayah dan ibu harus dapat mengerti. Aku hanya mencinta Han-ko, aku akan
mencarinya." "Kalau begitu, aku akan membantumu, Siauw-moi. Aku akan membantumu men-cari sampai
kita dapat menemukan Yo Han!" kata Ciang Hun penuh semangat. Dia memang berjiwa
pendekar. Biarpun baru saja harapannya hancur lebur, bah-wa cintanya kepada Sian Li takkan
mung-kin terbalas, bahwa dia hanya bertepuk tangan sebelah, namun dia tidak menjadi patah
hati. Tidak, dia dapat menerima dan menghadapi kenyataan. Apalagi men-dengar bahwa
pilihan hati Sian Li adalah Yo Han, pendekar yang dia kagumi, dan dia tahu bahwa Yo Han
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh lebih baik dari dirinya sendiri! Dia tahu bahwa dia bukan jodoh Sian Li, akan tetapi hal
ini bukan berarti dia membenci Sian Li. Tidak, dia tetap menyayangnya, karena
bagaimanapun juga, di antara mereka masih ada hubungan dan ikatan antara tiga keluarga
besar. Dia harus membantu gadis itu, menemukan kekasihnya, calon suaminya, menemukan
kebahagiaannya. Sian Li mengangkat muka memandang wajah yang menunduk itu. Diam-diam ia merasa
terharu, dan juga kagum. Saorang pria yang hebat, pikirnya. Betapa akan mudahnya jatuh
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
179 cinta kepada pria ini, sekiranya di sana tidak ada Yo Han! Ia mengulur tangan dan menyentuh
lengan Ciang Hun. "Benarkah, Twako" Aih, engkau memang baik hati sekali. Engkau dan ibumu selalu berbuat
baik. Terima kasih, Twako!"
Ciang Hun mengangkat muka dan tersenyum melihat Sian Li begitu gem-bira. Begitu
kekanak-kenakan! "Mari kita lanjutkan perjalanan, matahari sudah condong ke barat.
Sebentar lagi gelap, kita harus dapat melintasi hutan ini se-belum malam tiba."
"Marilah, Gak-twako. Tadi kulihat dari atas bahwa di seberang hutan kecil ini terdapat
sebuah dusun. Kita ke sana se-belum malam tiba, Twako."
Mereka memasuki hutan itu dengan langkah cepat, akan tetapi ketika mereka hampir tiba di
seberang, mereka men-dengar isak tangis seorang wanita. Mere-ka terkejut dan heran, bahkan
sempat bulu tengkuk mereka meremang karena di waktu senja dan cuaca sudah hampir gelap,
terdengar isak tangis di hutan.
Siapa lagi kalau bukan siluman atau iblis yang mengeluarkan suara seperti itu untuk
menakut-nakuti mereka" Memang mereka merasa ngeri. akan tetapi mereka adalah dua orang
pendekar yang tidak mudah lari ketakutan, Mereka menghentikan langkah dan
memperhatikan, suara tangis wanita itu ditanggapi suara seorang wanita lain.
"Sudahlah jangan menangis. Tidak ada yang tahu bahwa kita bersembunyi di sini...."
Orang yang menangis itu berkata de-ngan suara ketakutan, "Tapi.... Ibu.... bagaimana dengan
ayah" Bagaimana ka-lau dia dipukul atau dibunuh iblis jahat itu....?"
Mendengar percakapan ini, Sian Li cepat menghampiri, diikuti oleh Ciang Hun. Kedua orang
Jala Pedang Jaring Sutra 9 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Kesatria Baju Putih 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama