Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
dan tewas di tangan gurunya sendiri!"
"Tapi ibuku....! Tentu ia terbunuh oleh pasukan pemerintah!" kata Eng Eng, mulai tertarik
karena apa yang dicerita-kan Cia Sun itu agaknya memang masukakal. Ia sudah melihat
mayat Sui Lan dan luka yang mengakibatkan kematian-nya memang luka beracun yang
dikenal-nya sebagai racun dari pedang Siangkoan Kok!
Dengan sikap tenang Cia Sun meng-geleng kepala, kini senyumnya meng-hilang dan dia
mengerutkan alisnya, me-ngenang kembali peristiwa menyedihkan itu. "Sudah kuceritakan
tadi, ketika pa-sukan menyerbu, aku cepat ikut di baris-an depan karena aku ingin mencegah
agar engkau dan ibumu tidak sampai ikut diserang. Ketika kami tiba di sana, kami melihat
ibumu berkelahi dengan ayahmu dan ibumu roboh tertendang ayahmu. Aku cepat mencegah
ketika pasukan hendak menyerang ibumu yang sudah roboh, dan memerintahkan mereka
mengejar ayahmu yang melarikan diri. Aku lalu memondong tubuh ibumu yang pingsan dan
ternyata ia telah menderita luka-luka parah, tentu ketika berkelahi melawan ayahmu." Cia Sun
berhenti sebentar untuk mengamati wajah Eng Eng dan melihat bagaimana tanggapan dan
sikap gadis itu terhadap ceritanya.
"Terus, lalu bagaimang" "Eng Eng mu-lai tertarik dan pada saat seperti itu, ia lupa akan
kemarahan dan kebenciannya terhadap Cia Sun.
"Kubawa ibumu ke dalam rumah dan kurebahkan di bangku panjang. Kucoba untuk
merawatnya, akan tetapi sia-sia. Ibumu hanya siuman untuk bicara sedikit kepadaku,
meninggalkan pesan-pesan dan akhirnya ia meninggal dunia dalam rang-kulanku."
"Ibuku...., bagaimana aku dapat mem-percayaimu" Engkau berbohong. Ketika engkau
merayuku, engkau hanya pura-pura...."
"Tidak, Eng-moi. Langit dan Bumi menjadi saksi bahwa aku sungguh men-cintamu, sejak
pertama kali kita ber-temu, sampai sekarang...."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
210 "Bohong! Pendusta!" Eng Eng marah kembali karena ia teringat akan per-cakapan antara
pemuda ini dan orang tuanya, tentang pengakuan Cia Sun ke-pada ayah ibunya bahwa
pemuda itu te-lah mencinta seorang gadis lain.
"Eng-moi, kenapa engkau tidak per-caya kepadaku dan menuduhku berbo-hong?" Cia Sun
bertanya dan dia merasa kepalanya pening sekali, bumi seperti berputaran. Itu adalah akibat
racun dari jarum Eng Eng, juga karena dia meng-alami tamparan-tamparan malam tadi.
Namun, dia mempertahankan diri agar tidak jatuh pingsan lagi. Dia memandang gadis itu
dengan sinar mata penuh per-mohonan.
Eng Eng melompat berdiri dan ber-tolak pinggang, memandang kepada pa-ngeran itu dengan
sinar mata membakar. Makin diingat tentang percakapan keluar-ga pangeran itu, semakin
panaslah hati-nya. "Bagaimana aku dapat percaya omong-an perayu busuk macam engkau" Engkau- telah
mencinta seorang gadis lain dan masih engkau berani mengatakan bahwa engkau
mencintaku?" Biarpun kepalanya sudah pening sekali, akan tetapi mendengar ucapan itu, Cia Sun
membelalakkan matanya dan berkata de-ngan suara mengandung penasaran. "Sekali ini,
engkau yang berbohong, Eng-moi! Aku tidak pernah dan tidak akan mencinta gadis lain
kecuali engkau seorang!"
"Pendusta besar! Kedua telingaku sendiri mendengar pengakuanmu kepada ayah ibumu
bahwa engkau men-cinta gadis lain yang bernama Sim Hui Eng! Hayo sangkal kalau engkau
berani! Kuhancurkan mulutmu kalau engkau ber-dusta!"
Cia Sun mencoba untuk tersenyum,akan tetapi karena rasa nyeri berdenyut--denyut di
kepalanya,membuat kepala seperti akan pecah rasanya, senyumnya menjadi pahit sekali.
"Aku tidak berdus-ta, Eng-moi. Memang benarlah, aku men-cinta Sim Hui Eng,
sejak pertama kali jumpa sampai sekarang dan aku akan tetap mencintanya karena Sim Hui
Eng adalah engkau sendiri, Eng-moi.... ahhh...." Cia Sun tidak dapat menahan lagi rasa nyeri
di dada dan kepalanya. Dia pingsan lagi.
Dia tidak tahu betapa Eng Eng me-mandang kepadanya dengan mata terbe-lalak dan muka
pucat. Sampai lama Eng Eng mengamati wajah Cia Sun, pandang matanya meragu. Ia
bernama Sim Hui Eng" Apa pula artinya ini" Benarkah semua yang diceritakan Cia Sun" Ia
ha-rus tahu apa artinya semua itu. Cia Sun mengaku kepada orang tuanya bahwa dia hanya
mencinta gadis yang bernama Sim Hui Eng, dan kini dia menjelaskan bahwa Sim Hui Eng
adalah ia sendiri! Bagai-mana pula ini" Namanya seperti dikenal Cia Sun adalah Siangkoan
Eng, kemudian karena ibunya membuka rahasia bahwa ia bukan puteri kandung Siangkoan
Kok, ia pun tidak sudi lagi memakai nama ke-luarga Siangkoan, lebih memilih marga ibunya,
yaitu Lauw. Dan kini, tiba-tiba saja Pangeran Cia Sun mengatakan bah-wa ia she Sim, dan
nama lengkapnya Hui Eng! Jangan-jangan pangeran ini tidak berbohong dan sudah mengenal
ayah kan-dungnya. Ayah kandungnya! Ibunya amat membenci ayah kandungnya. Benarkah
ayah kandungnya she Sim" Benarkah semua cerita Cia Sun" Sayang bahwa pemuda ini
keburu jatuh pingsan sehingga tidak dapat melanjutkan keterangannya.
Eng Eng berlutut di dekat tubuh Cia Sun. Hatinya sempat berdegup ketika ia berada begitu
dekat dengan pangeran itu, dan keharuan mulai menggigit perasaan-nya ketika ia melihat
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
211 wajah yang tam-pan itu bengkak-bengkak. Ia cepat me-ngeluarkan sebutir pil, lalu
menggunakan bekal air minumnya untuk memasukkan pil itu ke dalam mulut Cia Sun yang
di-bukanya dengan penekanan kepada ra-hang pemuda itu. Pil itu sukar ditelan maka terpaksa
ia mendekatkan mulutnya dan meniup ke dalam mulut pemuda itu sehingga pil itu dapat
tertelan karena ia telah menotok beberapa jalan darah, membuat pemuda itu hanya setengah
pingsan. Kemudian ia mengurut sana-sini, mengobati luka-luka memar itu dengan semacam
obat gosok yang selalu dibawanya sebagai bekal. Kemudian, ia menempelkan tangan kirinya
ke dada pemuda itu, menyalurkan sin-kang untuk membantu pemuda itu terbebas dari luka
sebelah dalam tubuhnya. Akhirnya Cia Sun membuka matanya dan dia tersenyum melihat gadis itu ber-simpuh di
dekatnya dan menempelkan telapak tangan ke dadanya. Terasa be-tapa lembutnya telapak
tangan yang mengeluarkan hawa panas itu.
"Ah, Eng-moi, engkau masih mau mengobati dan menolongku" Terima ka-sih...." katanya
lembut dan wajah yang kini hanya tinggal membiru karena beng-kaknya sudah hilang itu
tersenyum! Se-nyum itulah yang menikam jantung Eng Eng. Kalau pangeran itu marah-marah
dan memaki-makinya, kiranya tidak akan sesakit itu hatinya. Sejak ditangkapnya tadi, sampai
disiksanya, pangeran itu tidak pernah marah, bahkan selalu ber-bicara lembut, pandang
matanya penuh kasih dan mulutnya tersenyum.
"Aku mengobatimu hanya agar engkau tidak mampus sekarang," katanya, suara-nya diketusketuskan. "Hayo katakan, apa maksudmu dengan kata-katamu tadi bah-wa aku bernama Sim
Hui Eng! Jangan mempermainkan aku kalau kau tidak ingin kusiksa lebih berat lagi!"
"Sejak tadi aku tidak pernah mem-permainkanmu, tidak pernah berdusta, Eng-moi. Engkau
yang kurang sabar men-dengarkan keteranganku. Nah, sekarang kulanjutkan ceritaku tadi.
Sebelum ibu-mu meninggal dunia dalam rangkulanku, ia menceritakan suatu rahasia yang
amat mengejutkan hatiku, juga tentu akan mengejutkan hatimu dan mungkin engkau semakin
tidak percaya kepadaku. Nah, sudah siapkah engkau mendengarkan ceri-taku tentang
pengakuan ibumu?" Eng Eng merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kini ia ham-pir yakin bahwa
pangeran ini tidak per-nah berbohong kepadanya! Tidak pernah berbohong dan ia sudah
menculiknya, menyiksanya dan bahkan nyaris mem-bunuhnya. Kemungkinan ini membuat
darahnya berdesir meninggalkan mukanya, membuat wajahnya menjadi pucat sekali.
"Ceritakan semua!" perintahnya.
"Rahasia yang dibuka bibi Lauw Cu Si ini seluruhnya mengenai dirimu, Eng--moi. Pertamatama, engkau bukanlah anak kandung Siangkoan Kok ketua Pao-beng-pai!" Cia Sun mengira
bahwa gadis itu akan terkejut sekali mendengar ini. Akan tetapi dia kecelik. Gadis itu se-dikit
pun tidak kelihatan kaget atau heran, bahkan mulutnya seperti memben-tuk senyum
mengejek. "Aku sudah tahu. Dia adalah ayah tiriku." katanya pendek.
Cia Sun menggeleng kepalanya. "Bu-kan, Eng-moi. Sama sekali bukan ayah tirimu. Dia
bukan apa-apamu." Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
212 Eng Eng terbelalak. "Apa.... apa maksudmu" Aku dibawa ibu ketika masih kecil, berusia dua
tiga tahun ketika ibu-ku menikah dengan Siangkoan Kok! Ke-napa kaukatakan dia bukan
ayah tiriku?" "Inilah rahasia besar yang dibuka ibumu kepadaku, Eng-moi. Memang benar ketika bibi
Lauw Cu Si itu menikah de-ngan Siangkoan Kok, ia membawa se-orang anak kecil dian anak
itu adalah engkau, Eng-moi. Akan tetapi, engkau bukanlah anak kandung bibi Lauw Cu Si!"
"Ehhh....!!?"" Eng Eng berseru se-tengah menjerit. "Apa" apa maksudmu....!!?" Tangan
gadis itu menangkap lengan Cia Sun dan mencengkeramnya, seluruh tubuhnya gemetar dan
wajahnya semakin pucat. "Aku mendengar dari Nyonya Siang-koan Kok yaitu bibi Lauw Cu Si, Eng--moi. Agaknya
karena tahu bahwa ia akan tewas, maka ia membuka rahasia itu kepadaku. Engkau bukan
anak kandung-nya, engkau telah ia culik dari orang tuamu ketika engkau masih kecil,
ke-mudian diaku sebagai anaknya sendiri."
"Tapi.... tidak mungkin! Apa bukti-nya" Bagaimana aku dapat mengetahui benar tidaknya
ceritamu ini?" "Sabar dan tenanglah, Eng-moi. Aku pun tadinya terkejut dan kalau bukan bibi Lauw Cu Si
sendiri yang bercerita, aku pun pasti tidak akan percaya. Akan tetapi, aku lalu teringat kepada
Yo-toako! Engkau ingat Sin-ciang Tai-hiap Yo Han?"
Eng Eng mengerutkan alisnya. Tentu saja ia teringat kepada pendekar yang amat lihai itu.
"Apa hubungannya dia dengan ceritamu itu?"
"Eng-moi, ingatkah engkau akan peng-akuan Yo-toako bahwa dia hendak men-cari seorang
gadis yang diculik orang sejak kecil" Gadis itu bernama Sim Hui Eng dan Yo-toako bertugas
untuk men-carinya. Bahkan dia kemudian ditipu Siangkoan Kok yang menyuruh mendiang
Tio Sui Lan untuk memancingnya ke dalam gua kemudian menjebak dan me-nangkapnya.
Nah, gadis yang dicari-cari-nya itu adalah engkau, Eng-moi. Engkau-lah gadis yang ketika
kecil diculik itu, dan penculiknya adalah bibi Lauw Cu Si yang selama ini kauanggap sebagai
ibumu sendiri." Eng Eng masih terbelalak dan seperti berubah menjadi patung. Ia tentu saja masih diombangambingkan kebimbangan. "Tapi.... tapi apa buktinya bahwa.... ibuku meninggalkan pesan itu
kepadamu, dan apa buktinya bahwa aku benar-benar gadis yang bernama Sim Hui Eng itu"
Tanpa bukti, bagaimana mungkin aku dapat mempercayai ceritamu?"
Cia Sun menghela napas panjang. "Tentu saja aku tidak dapat membuktikan bahwa mendiang
bibi Lauw Cu Si membuka rahasia itu kepadaku, juga ketika kami bicara, tidak ada seorang
pun saksi-nya. Dan ia sudah meninggal dunia, jadi tidak mungkin lagi ditanyai. Akan tetapi,
aku mempunyai suatu tanda rahasia yang ada pada dirimu, seperti yang diceritakan Yo-toako
kepadaku. Ketika Yo-toako menerima tugas mencari anak yang hi-lang diculik itu, orang tua
anak itu mem-beritahukan kepadanya adanya dua tanda rahasia di badan anak itu yang
merupa-kan ciri-ciri khas atau tanda sejak lahir. Kalau aku katakan tanda-tanda itu. dan
kemudian ternyata cocok dengan keadaan dirimu, apakah engkau masih akan menganggap
aku pendusta yang patut kausiksa dan kaubunuh di depan makam bibi Lauw Cu Si?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
213 Tentu saja Eng Eng menjadi bingung dan salah tingkah. Ia merasa ngeri kalau
membayangkan bahwa pangeran itu benar dan sama sekali tidak berdusta, sama sekali tidak
menipunya, dan ia telah menyiksanya seperti itu!
"Katakanlah, tanda-tanda apa yang ada pada anak yang diculik itu?" tanya-nya, suaranya
jelas terdengar gemetar. "Yo-toako hanya berpegang kepada, tanda-tanda itu saja untuk mencari anak yang hilang
terculik itu, maka tentu saja amat sukar karena tanda-tanda itu ter-dapat di bagian tubuh yang
selalu ter-tutup...."
"Katakan cepat, tanda-tanda apa itu?" tanya Eng Eng dengan suara nyaring karena ia sudah
tidak sabar sekali. "Pertama, anak itu mempunyai sebuah tahi lalat hitam di pundak kirinya, dan ke dua, ia pun
mempunyai sebuah noda merah sebesar ibu jari kaki di tela-pak kaki kanannya."
Eng Eng meloncat ke belakang, ter-belalak dan seluruh tubuhnya menggigil. Melihat ini, Cia
Sun menguatkan tubuh-nya dan bangkit berdiri, menghampiri dengan pandang mata khawatir.
"Kenapa, Eng-moi.... dan be.... be-narkah ada tanda-tanda itu pada diri-mu...." Benarkah
bahwa engkau ini Sim Hui Eng?" Suara pangeran itu juga ge-metar karena dia meresa tegang,
kha-watir kalau-kalau gadis ini bukan Sim Hui Eng seperti yang disangkanya.
Sampai lama Eng Eng tidak mampu bicara, mukanya yang pucat kelihatan seperti mau
menangis dan ketika ia ber-tanya, suaranya hampir tidak dapat di-dengar, "Bagaimana.... perasaanmu ter-hadap aku kalau aku tidak memiliki tanda--tanda itu,
kalau aku bukan Sim Hui Eng?"
"Eng-moi, masihkah engkau meragu-kan cintaku kepadamu" Ketika aku jatuh cinta dan
meminangmu, engkau adalah puteri ketua Pao-beng-pai, bukan" Eng-kau tetap engkau
bagiku, satu-satunya gadis yang kucinta, baik engkau mem-punyai tanda atau tidak, baik
engkau puteri Siangkoan Kok atau bukan, atau puteri siapapun juga. Aku tetap cinta padamu,
Eng-moi, biar engkau akan membunuhku sekalipun. Tapi.... untuk me-yakinkan, benarkah
engkau memiliki tanda--tanda itu?"
Tiba-tiba Eng Eng menjatuhkan diri berlutut dan menangis terisak-isak. Tentu saja pangeran
itu terkejut dan khawatir, lalu dia pun berlutut di depan gadis itu. "Eng-moi, kenapa, Engmoi...." Ah, ma-afkan kalau aku membuat hatimu ber-duka, Eng-moi. Lebih baik aku melihat
engkau marah-marah kepadaku seperti tadi daripada melihat engkau bersedih seperti ini, Engmoi." Ucapan itu membuat Eng Eng se-makin mengguguk. Cia Sun merasa hati-hya seperti
ditusuk-tusuk melihat keadaan kekasihnya itu dan dia pun me-nyentuh pundak gadis itu
dengan lembut. "Eng-moi, ada apakah...."
Akhirnya Eng Eng dapat bicara tanpa menurunkan kedua tangannya dari muka, dan air mata
mengalir melalui celah--celah jari kedua tangannya. "Kau.... kaulihat sendiri.... apakah.... ada
tanda--tanda itu...."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
214 Ia lalu menyingkap baju di bagian pundak kiri dan melepas sepatu dan kaos kakinya yang
kanan. Cia Sun memandang pundak yang berkulit putih mulus itu dan di sana, jelas sekali
nampak sebuah titik hitam, sebuah tahi lalat. Dan pada tela-pak kaki yang putih kemerahan itu
nam-pak pula noda merah. "Kau.... kau benar-benar Sim Hui Eng....!" serunya seperti bersorak gem-bira.
Eng Eng kini merangkul ke arah kaki Cia Sun, "Pangeran...., ampunkan aku.... aku telah
berbuat kejam dan tidak adil kepadamu.... aku.... aku layak kau pu-kul. Balaslah, Pangeran,
pukullah aku, siksalah aku, bunuhlah aku.... huuu-hu-huuuuu....!" Gadis itu tersedu-sedu,
me-nangis dengan perasaan menyesal, malu, dan juga marah kepada diri sendiri dan amat iba
kepada pria yang dicintanya namun yang telah disiksanya tanpa salah itu. Bahkan pangeran
itu telah mencegah pasukan membunuh Lauw Cu Si sehingga dia merupakan satu-satunya
orang yang telah menemukan rahasia dirinya. Pange-ran ini telah berjasa kepadanya.
Sebalik-nya, ia menuduhnya sebagai pembunuh dan ia telah menyiksanya dengan kata-kata,
dengan perbuatan. Ingin ia menciumi sepatu pangeran itu untuk menyatakan penyesalannya.
Melihat betapa gadis yang dicintanya itu merangkul kakinya dan mencium se-patunya, Cia
Sun cepat merangkul, me-narik dan mendekap kepala itu, seolah--olah hendak
membenamkannya ke dadanya untuk disimpan di dalam dada dan tidak akan dilepaskannya
lagi selamanya. Dia sendiri pun membenamkan mukanya yang basah air mata ke dalam
rambut itu. Sampai beberapa lamanya mereka berpelukan dan bertangisan, dan. Eng Eng
beberapa kali mengusap dan membelai muka yang masih ada bekas-bekas tam-paran
tangannya itu dengan jari-jari ge-metar.
Setelah gelora keharuan hati mereka mereda, Cia Sun membiarkan Eng Eng duduk bersandar
di dadanya. Dia mem-belai rambut yang kusut itu dan ber-bisik, "Sudahlah, Eng-moi, sudah
cukup engkau menyesali diri. Aku tidak akan menyalahkanmu. Memang batinmu meng-alami
guncangan hebat. Akhirnya semua kegelapan lewat dan kini kita berdua tinggal menyongsong
sinar kebahagiaan." "Pangeran...." Cia Sun menghentikan kata-kata itu dengan sentuhan bibirnya pada bibir Eng Eng.
"Hushhh...., kalau kau menyebutku pangeran, lalu apa bedanya dengan se-luruh wanita yang
menjadi kawula dan menyebutku seperti itu. Engkau adalah calon isteriku, engkau
tunanganku, eng-kau kekasihku, ingat?"
Eng Eng tersipu, akan tetapi terse-nyum penuh bahagia. "Kakanda.... Cia Sun...." Betapa
merdunya panggilan itu. "Adinda Hui Eng...." Sang pangeran berbisik dan sebutan nama yang terdengar asing baginya
itu mengingatkan Eng Eng akan keadaan dirinya.
"Kakanda Pangeran, dengan hati berdebar penuh ketegangan, sekarang aku menanti engkau
memberitahu kepadaku, siapa sebenarnya orang tuaku" Ayah ibuku masih hidup?"
"Engkau akan terkejut, berbahagia dan bangga sekali kalau mendengar siapa ayah ibumu,
Eng-moi. Ketika engkau masih kuanggap sebagai puteri Siangkoan Kok, aku sudah kagum
dan cinta pada-mu. Ketika aku mendengar dari bibi Lauw Cu Si siapa ayah ibumu,
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
215 kekagum-anku kepadamu bertambah-tambah. Ke-tahuilah bahwa ayahmu bernama Sim Houw
dan ibumu bernama Can Bi Lan eh, kenapa kau, Eng-moi (adinda Eng)?"
Mendengar disebutnya dua nama itu sebagai ayah ibunya, Eng Eng sudah me-loncat berdiri
sehingga terlepas dari rangkulan pangeran itu. Ia berdiri dengan mata terbelalak dan muka
pucat. "Ayahku.... Pendekar Suling Naga dan ibuku Si Setan Kecil....! Aihhhhh.... Ka-kanda....
celakalah aku sekali ini...."
Cia Sun cepat bangkit dan merangkul gadis itu. "Tenanglah, Moi-moi, kenapa engkau
berkata begitu" Bukankah sepatut-nya engkau berbangga" Ayah ibumu ada-lah suami isteri
pendekar yang sakti dan nama mereka terkenal sekali di dunia persilatan!"
"Aih, engkau tidak tahu, Koko! Ah, betapa malunya aku berhadapan dengan mereka.
Ketahuilah, aku pernah mewakili Pao-beng-pai mendatangi tiga keluarga besar para pendekar
itu dan menantang mereka mengadu kepandaian. Bahkan dalam peristiwa itu, Siauw-kwi Can
Bi Lan, ibu kandungku itu maju untuk me-nandingiku, akan tetapi aku, si tinggi hati tak tahu
diri ini, aku bahkan meng-hinanya dan menantang Pendekar Suling Naga, ayahku sendiri
untuk maju menan-dingiku! Aku telah bersikap angkuh dan menghina tiga keluarga besar dan
ter-nyata Pendekar Suling Naga adalah ayah-nya sendiri. Bagaimana aku dapat ber-hadapan
dengan mereka, Koko?" Dalam rangkulan Cia Sun, seluruh tubuh Eng Eng gemetar seperti
orang terserang demam. "Jangan risaukan hal itu, Eng-moi. Engkau tidak dapat disalahkan. Ketika itu, engkau
mewakili Pao-beng-pai dan engkau tentu menganggap para pendekar itu sebagai musuh.
Apalagi engkau hanya melaksanakan tugas, karena ketika itu engkau menganggap bahwa kau
adalah puteri ketua Pao-beng-pai. Dan aku me-ngerti mengapa engkau mendapatkan tugas itu.
Mungkin bibi Lauw Cu Si yang kauangap sebagai ibumu itulah yang mem-punyai peran
penting, sengaja membujuk Siangkoan Kok agar engkau melakukan penghinaan terhadap
keluarga besar para pendekar itu."
Gadis itu menatap wajah Cia Sun. "Eh, kenapa begitu?"
"Aku sudah melakukan penyelidikan dan mengetahui siapa sebetulnya men-diang bibi Lauw
Cu Si itu. Ia adalah seorang keturunan pimpinan Beng-kauw yang telah hancur. Karena ia
seorang tokoh sesat, tentu saja ia memusuhi keluarga besar dari Pulau Es, Gurun Pasir, dan
Lembah Siluman. Itu pula yang menyebabkan ia menculikmu, yaitu untuk membalas dendam
kepada Pendekar Suling Naga dan isterinya yang terkenal sebagai pendekar-pendekar yang
menen-tang golongan sesat. Dengan mengadukan engkau melawan keluarga pendekar itu,
melawan golongan orang tuamu sendiri, agaknya bibi Lauw Cu Si menemukan kepuasan
tersendiri." "Akan tetapi, Koko. Kalau orang tua-ku itu Pendekar Suling Naga dan isteri-nya yang
merupakan sepasang suami isteri pendekar yang sakti, kenapa aku sampai dapat terculik" Dan
kenapa pula mereka tidak mencari si penculik dan merampasku kembali?"
"Pertanyaan seperti itu juga kuajukan kepada Yo-toako ketika kami membicara-kan anak
hilang itu. Menurut keterangan Yo-toako, Pendekar Suling Naga dan isterinya sudah sejak
kehilangan puteri mereka itu berusaha sampai bertahun--tahun untuk menemukan anak
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
216 mereka kembali. Namun semua usaha itu sia--sia belaka. Agaknya, si penculik, yaitu bibi
Lauw Cu Si, dengan cerdik sekali telah menghilang, yaitu menjadi isteri Siangkoan Kok dan
tak seorang pun me-ngira bahwa engkau adalah anak yang diculik. Semua orang, bahkan
Siangkoan Kok sendiri, menganggap engkau adalah puteri bibi Lauw Cu Si."
Eng Eng mengangguk-angguk, semua rasa penasaran hilang, akan tetapi tetap saja ia
mengerutkan alisnya. Kalau saja ia mendengar bahwa ayah ibunya adalah orang-orang biasa,
bahkan petani miskin sekalipun, ia tentu akan berbahagia sekali dan merasa rindu untuk
segera da-pat bertemu dengan orang tuanya yang aseli. Akan tetapi, Pendekar Suling Naga!
Semua pengalamannya ketika ia menan-tang tiga keluarga besar itu terkenang dan makin
dikenang, semakin merah wa-jahnya karena ia merasa malu bukan main.
"Koko, aku.... aku takut untuk ber-temu dengan mereka, aku takut dan malu...."
Cia Sun merangkul pundaknya, dan mengajaknya menghampiri kuda mereka.
Matahari telah naik tinggi dan di jalan raya sana lalu lintas sudah mulai ramai.
"Eng-moi, buang saja semua perasaan itu. Percayalah, orang tuamu tidak pernah berhenti
memikirkanmu, bahkan se-karang pun masih minta bantuan Yo--toako untuk mencarimu.
Mereka akan berbahagia sekali kalau dapat menemukan anak mereka kembali, dan tentang
ke-munculanmu tempo hari, mereka tentu akan dapat mengerti. Jangan khawatir, akulah yang
akan menemanimu ke sana menghadap mereka, dan aku yang tanggung bahwa mereka tentu
akan menerima dengan bahagia dan tidak akan ada yang menyesalkan tindakanmu dahulu."
"Aih, aku merasa ngeri bertemu mereka, Koko. Bagaimana kalau aku tidak usah
memperlihatkan diri saja kepada mereka" Biarlah ini menjadi rahasia kita berdua saja. Aku....
aku tidak mau mem-buat suami isteri pendekar itu mendapat malu besar dan nama baik
mereka ter-cemar karena mempunyai anak seperti aku ...."
"Hushhhhh, jangan berkata begitu, Moi-moi. Coba jawab apakah engkau mencinta aku
seperti aku mencintamu?"
"Apakah hal itu masih perlu ditanya-kan lagi, Koko" Aku mencintamu, bahkan kekejamanku
terhadapmu tadi pun karena terdorong cintaku padamu, karena panas-nya hatiku mendengar
engkau mencinta Sim Hui Eng yang kukira gadis lain. Aku cinta padamu, Koko."
"Bagus, dan karena kita saling men-cinta, apakah engkau mau menjadi isteri-ku?"
Gadis itu mengangguk. Sebagai puteri ketua Pao-beng-pai yang sejak kecil hi-dup dalam
suasana kekerasan, ia tidak canggung atau malu mengaku tentang perasaan cintanya, "Tentu
saja aku mau,koko!" "Nah, kalau begitu, karena aku se-orang pangeran yang tidak mungkin me-ninggalkan tatasusila dan adat-istiadat, aku akan melamarmu dengan terhormat dan baik-baik. Dan untuk itu,
engkau harus mempunyai wali, mempunyai orang tua. Sekarang, mari kita pergi ke Lok-yang, ke rumah orang tuamu. Setelah engkau diterima dengan baik, aku akan kembali ke kota
raja dan aku akan me-ngirim utusan untuk meminangmu secara terhormat."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
217 Gadis itu mengerutkan alisnya, akan tetapi begitu sinar matanya bertemu dengan pandang
mata pangeran itu, ia pun mengangguk dan menurut saja ketika digandeng ke arah dua ekor
kuda mereka yang sedang makan rumput. Tak lama kemudian, sepasang orang muda yang
berbahagia ini pun sudah melarikan kuda, menuju ke Lok-yang.
Karena Cia Sun merupakan seorang keluarga kaisar, bahkan cucu kaisar, seorang pangeran
yang pandai bergaul dan terkenal di kalangan para pejabat daerah, maka di sepanjang
perjalanan dengan mudah saja dia mendapatkan pelayanan yang penuh penghormatan,
mendapatkan tempat bermalam di rumah para kepala daerah, dijamu pesta dan mendapatkan
penukaran kuda-kuda baru sehingga perjalanan ini cukup menyenang-kan bagi Eng Eng.
*** Yo Han mendaki lereng bukit itu. Bukit Naga. Thian-li-pang berada di le-reng paling atas,
dekat puncak. Sudah hampir setengah tahun dia merantau, mencari Sim Hui Eng, puteri
Pendekar Suling Naga. Namun, usahanya sia-sia. Tak pernah dia berhasil mendengar
ke-terangan tentang penculikan terhadap putri pendekar sakti itu. Dia sudah me-masuki dunia
kang-ouw, bahkan banyak menundukkan tokoh-tokoh sesat, hanya untuk dimintai keterangan
kalau-kalau ada yang mengetahui, siapa yang pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga
dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi semua usahanya, dari bujuk halus sam-pai kekerasan,
tidak ada hasilnya. Agak-nya tidak ada seorang pun tahu siapa yang menculik puteri pendekar
itu. Pen-culiknya agaknya lihai dan cerdik bukan main sehingga setelah menculik anak itu, dia
seperti menghilang ke dalam bumi membawa anak culikannya!
Akhirnya Yo Han mengambil kesimpul-an bahwa tanpa banyak tenaga pembantu, akan
sukarlah menemukan anak yang hilang itu. Dia teringat kepada Thian-li-pang. Dia telah
dianggap sebagai pemimpin besar Thian-li-pang dan anak buah Thian-li-pang adalah orangorang berpengalaman dan memiliki hubungan luas dalam dunia kang-ouw. Mungkin para
tokoh kang-ouw yang ditanyainya, merasa enggan untuk membuka rahasia rekan mereka
sendiri yang melakukan penculik-an, karena dia dianggap sebagai Pen-dekar Tangan Sakti,
seorang pendekar yang menentang kejahatan. Kalau anak buah Thian-li-pang yang melakukan
penyelidikan, mungkin akan lebih mudah. Orang-orang kang-ouw tentu akan ber-sikap lebih
terbuka di antara golongan sendiri. Benar sekali, kenapa sejak dahu-lu dia tidak minta bantuan
para ang-gauta Thian-li-pang, pikirnya menyesali diri sendiri. Paman Lauw Kang Hui tentu
akan senang membantuku dan lebih besar harapannya untuk dapat menemukan orang yang
pernah menculik puteri Pendekar Suling Naga!
Demikianlah, pada pagi hari itu, Yo Han mendaki lereng Bukit Naga. Dia sama sekali tidak
tahu bahwa Thian--li-pang telah terjadi perubahan yang amat besar. Tidak tahu bahwa Lauw
Kang Hui dan beberapa orang tokoh Thian--li-pang telah tewas, terbunuh oleh Ouw Seng Bu,
yang kini menjadi ketua Thian--li-pang!
Memang Thian-li-pang telah berubah sama sekali semenjak dipegang pimpinan-nya oleh
Ouw Seng Bu. Pemuda yang telah menemukan ilmu silat yang amat hebat ini membiarkan
para anggauta Thian-li-pang berbuat apa saja dengan bebasnya. Bahkan dia menjalin
hubungan lagi dengan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa--pai, seperti yang pernah dilakukan Thian-li-pang dahulu sebelum muncul Yo Han yang membersihkan perkumpulan pejuang itu, dan
Ouw Seng Bu bahkan mempunyai cita-cita untuk mempersatukan semua kelompok pejuang
dengan dia yang men-jadi pemimpin besar. Kalau semua ke-kuatan kelompok pejuang sudah
diper-satukan, baik itu dari golongan pendekar maupun golongan sesat, dan dia yang menjadi
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
218 pemimpin besar, tentu perjuang-an mengusir penjajah Mancu akan ber-hasil. Dan kalau sudah
berhasil, dia yang menjadi pemimpin besar, tentu berhak untuk menjadi kaisar kerajaan baru!
Be-sar sekali jangkauan cita-cita pemuda ini.
Setelah secara kebetulan bertemu dengan Cu Kim Giok di dekat Ban-kwi--kok, menolong
gadis itu dari ancaman Siangkoan Kok, dan berhasil pula me-nundukkan bekas ketua Paobeng-pai yang berjanji untuk membantunya, Ouw Seng Bu mengajak, Kim Giok berkunjung
ke Bukti Naga. Cu Kim Giok sudah men-dengar tentang perkumpulan Thian-li-pang yang di
dunia kang-ouw (sungai telaga, atau persilatan) dikenal sebagai sebuah perkumpulan para
patriot yang berjuang untuk menggulingkan pemerintah penjajah. Itulah sebabnya, ia merasa
kagum dan tertarik sekali kepada Ouw Seng Bu, pemuda tampan dan gagah yang mengaku
sebagai ketua Thian-li-pang. Dan di sepanjang perjalana menuju ke Bukit Naga, Kim Giok
melihat betapa sikap Seng Bu memang amat baik. Pe-muda itu pendiam, juga sopan, juga
ra-mah terhadap dirinya. Cu Kim Giok adalah puteri tunggal suami isteri pendekar. Ayahnya, Cu Kun Tek, merupakan
pendekar keturunan lang-sung dari keluarga Cu, majikan Lembah Naga Siluman. Ibunya tidak
kalah lihai dibandingkan ayahnya, karena ibunya adalah murid mendiang Bu Beng Lokai.
Tentu saja sebagai anak tunggal, Kim Giok telah mewarisi ilmu-ilmu, dari ayah ibunya, dan
biarpun usiarya baru delapan belas tahun lebih, Kim Giok telah menjadi seorang pendekar
wanita yang amat lihai. Akan tetapi, tentu saja ia kurang pengalaman karena kali ini
merupakan yang pertama ia merantau seorang diri untuk meluaskan pengalamannya. Biarpun
demikian, ia sudah membawa banyak bekal nasihat dan pesan kedua orang tuanya. Andaikata
Seng Bu bersikap ceriwis terhadap dirinya, terdapat kegenitan dalam pandang mata atau katakatanya saja, tentu ia akan menjauhkan diri. Akan tetapi, sikap Seng Bu sungguh baik. Dia
nampak seperti seorang pemuda pen-diam yang sopan dan berwatak pendekar sejati! Inilah
sebabnya mengapa Kim Giok mekasa tertarik sekali, kagum dan merasa suka.
Rasa kagumnya semakin bertambah ketika Kim Giok dan Seng Bu tiba di Bukit Naga, di
pusat perkampungan Thian--li-pang. Para anggauta Thian-li-pang rata-rata kelihatan gagah
perkasa dengan pakaian yang rapi dan bersih, baik pria-nya maupun wanitanya, dan mereka
se-mua itu menyambut kedatangan Seng Bu dengan sikap yang amat menghormat!
Masih begitu muda, akan tetapi telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pe-juang Yang
terkenal gagah perkasa. Dan melihat perkampungan Thian-li-pang itu, Kim Giok menaksir
bahwa anggauta perkumpulan itu tidak kurang dari seratus orang banyaknya.
Akan tetapi, hati gadis itu merasa penasaran ketika pada keesokan harinya ia melihat lima
orang tamu yang datang menghadap ketua Thian-li-pang. Dua orang di antara tamu-tamu itu
adalah dua orang tosu (pendeta) berambut pan-jang yang pada baju di dadanya terdapat
lukisan teratal putih. Orang-orang Pek--lian-kauw (Agama Teratai Putih)! Dan tiga orang
pendeta lainnya mengenakan gambar pat-kwa (segi delapan) padadada-nya. Ia pernah
mendengar akan nama perkumpulan pemberontak yang namanya tidak bersih di dunia kangouw karena para anggautanya tidak pantang melaku-kan segala macam kejahatan!
Setelah lima orang tamu itu mening-galkan perkampungan Thian-li-pang baru-lah Kim Giok
memberanikan diri me-nemui ketua Thian-li-pang untuk melampiaskan rasa penasaran di
dalam hati-nya. Ia melihat pemuda itu sedang duduk di ruangan rapat yang luas, sedang
mem-beri perintah kepada belasan orang pembantunya. Melihat ini, Kim Giok yang sudah
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
219 tiba di ambang pintu, mundur kem-bali. Akan tetapi Seng Bu telah melihat-nya dan ketua ini
berseru dengan camah. "Nona Cu, masuk sajalah. Di antara kita orang sendiri tidak ada rahasia. Masuk dan silakan
duduk." Setelah gadis itu memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di sudut, agak
jauh dari mereka yang sedang melakukan perunding-an, Seng Bu melanjutkan, "Harap tunggu
sebentar, Nona, pembicaraan kami sudah hampir selesai."
Kim Giok mengangguk dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka, akan te-tapi Seng Bu
tidak melirihkan suaranya ketika melanjutkan pengarahannya kepada para pembantunya.
"Kalian sudah tahu akan tugas-tugas kalian" Terserah kalian membagi tugas, kalian harus
ingat apa yang terpenting dalam tugas kalian. Yang pertama menghubungi semua kelompok
-pejuang, membujuk mereka agar suka bekerja sama dengan mengemukakan alasan seperti
yang kujelaskan tadi. Ka-lau ada yang tidak bersedia bekerja sama, selidiki keadaan mereka,
siapa para pe-mimpinnya dan sampai di mana tingkat kepandaian mereka agar aku dapat
meng-ambil tindakan. Dan ke dua, selidiki kelemahan-kelemahan yang ada pada keluarga
kaisar, terutama orang-orang yang dekat hubungannya dengan kaisar. Sudah mengerti
semua?" Belasan orang itu menyatakan me-ngerti dan Seng Bu lalu mempersilakan mereka keluar.
Sikap pemuda itu demi-kian tegas dan berwibawa sehingga Kim Giok yang ikut
mendengarkan merasa kagum sekali. Setelah belasan orang pem-bantunya keluar, Seng Bu
menghampiri Kim Giok dan duduk berhadapan dengan gadis itu. Sikapnya seperti biasa amat
sopan dan ramah, menghormati gadis yang dianggap sebagai seorang tamu agung di Thian-lipang. "Nona Cu, selamat pagi. Maafkan, bahwa aku meninggalkanmu seorang diri karena
kesibukanku menerima tamu ma-lam tadi dan memberi tugas kepada para pembantuku.
Apakah semalam Nona enak tidur, dan apakah pelayanan kepada Nona tidak ada yang
mengecewakan?" "Terima kasih, Pangcu (Ketua). Pela-yanan cukup memuaskan dan aku merasa terlalu
disanjung di sini. Pangcu, aku se-ngaja datang mencarimu karena aku me-lihat sesuatu yang
membuat hatiku me-rasa penasaran sekali dan aku mengharap-kan jawabanmu yang
sejujurnya." Seng Bu menatap wajah gadis itu. Sejak pertama kali berjumpa, dia telah terpesona. Dia
bukanlah seorang pria yang mudah terpikat kecantikan wanita. Akan tetapi, belum pernah dia
bertemu dengan seorang gadis muda seperti Kim Giok. Gadis ini manis sekali dan ter-utama
yang membuat dia terpesona ada-lah sepasang matanya. Mata itu demi-kian indahnya. Selain
ini, ilmu silat gadis itu pun cukup tinggi, dan sikapnya demi-kian pendiam dan gagah. Semua
ini di-tambah lagi kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri pendekar dari Lembah Na-ga
Siluman! Kiranya sukar dicari kedua-nya gadis seperti ini. Selama ini, Seng Bu sibuk
menggembleng diri dengan ilmu yang ditemukan di dalam sumur maut, maka dia pun tidak
sempat memikirkan hal lain. Apalagi, dia memang bukan ter-golong pemuda yang suka
bergaul dengan gadis-gadis cantik. Dan baru sekarang dia merasa kagum dan tertarik kepada
se-orang gadis. "Nona Cu, aku tidak menyembunyikan sesuatu darimu. Kalau ada hal yang membuat engkau
merasa penasaran, tanyakan-lah dan aku akan menjawab sejujurnya."Kim Giok juga menatap
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
220 tajam sehing-ga dua pasang mata bertaut, seperti saling menyelidik, kemudian Kim Giok
berkata, "Pangcu, bukan aku sebagai tamu ingin mencampuri urusan tuan ru-mah. Akan
tetapi, aku suka menjadi tamu Thian-li-pang karena aku merasa yakin bahwa perkumpulanmu
ini adalah perkumpulan orang-orang gagah yang merupakan pejuang-pejuang sejati seperti
yang pernah kudengar dibicarakan orang di dunia kang-ouw. Aku percaya itu, apalagi setelah
aku mengenalmu. Akan tetapi apa yang kulihat hari ini mem-buat aku merasa penasaran
bukan main. Aku melihat para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai menjadi tamu Thian-li-pang! Bagaimana ini" Aku sudah men-dengar bahwa kedua perkumpulan itu adalah
perkumpulan jahat yang banyak ditentang oleh para pendekar!"
Seng Bu tersenyum, dengan berani menentang pandang mata gadis itu tanpa merasa
canggung. "Ah, kiranya itu yang membuatmu penasaran, Nona. Hal ini membutuhkan
penjelasan yang panjang lebar, Nona. Akan tetapi, apakah Nona tertarik oleh urusan
perjuangan" Lika--liku perjuangan amat rumit, Nona. Di-pandang sepintas lalu dari segi
kepende-karanmu, memang rasanya janggal kalau melihat kami berhubungan dengan orang-orang dari golongan yang ditentang para pendekar. Akan tetapi, dalam perjuangan,
kepentingan pribadi dan golongan terpaksa harus dikesampingkan. Yang ter-penting adalah
urusan perjuangan, urusan usaha untuk membebaskan bangsa dan negara dari cengkeraman
penjajah Man-cu." "Maksudmu bagaimana, Pangcu?"
"Tentu engkau telah mengetahui ham-pir satu setengah abad negara kita di-jajah bangsa
Mancu, dan selama satu se-tengah abad itu semua usaha perjuangan rakyat untuk merebut
kembali tanah air selalu gagal. Mengapa begitu" Karena tidak ada persatuan di antara para
ke-lompok yang berjuang! Bahkan banyak kelompok perjuangan yang saling gempur sendiri,
bersaing dan memperebutkan kebenaran demi kepentingan pribadi atau golongan. Itulah
sebab utama kegagalan perjuangan selama ini, dan kami dari Thian-li-pang melihat kekeliruan
itu, maka kini kami berusaha untuk mengubahnya.
"Caranya?" "Mempersatukan semua golongan, tanpa membedakan mana golongan putih mana golongan
hitam, mana golongan pendekar atau mana yang dinamakan kaum sesat. Pendeknya, siapa
saja, dari golongan manapun, apa pun pekerjaannya, bagaimana bentuk sepak terjangnya,
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
asalkan dia itu menentang pemerintah penjajah Mancu, dia adalah sekutu kita! Dengan cara
ini, maka di seluruh negeri akan terdapat persatuan yang kokoh dan kalau sudah tercapai
persatuan itu, maka menggulingkan pemerintah penjajah bukan merupakan masalah yang
sukar lagi." "Jadi pendirian itukah yang membuat Pangcu tidak memandang bulu dalam memilih sahabat,
dan suka menerima Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai sebagai sahabat pula?"
"Benar, Nona. Kalau misalnya Thian-li-pang, Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-pai, yang
ketiganya merupakan perkumpulan pejuang, bersatu padu dan bersama-sama menentang
penjajah, bukankah itu akan jauh lebih kuat daripada kalau kami ber-juang sendiri-sendiri
secara terpisah" Apalagi kalau seluruh kekuatan yang ada, baik dari golongan hitam maupun
putih, dapat bersatu padu!"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
221 "Tidak dapat disangkal kebenaran pendapat itu, Pangcu. Akan, tetapi kita kaum pendekar
bagaimana mungkin be-kerja sama dengan kaum sesat" Justeru tugas utama kita adalah untuk
menen-tang segala perbuatan jahat dari kaum sesat, membela yang lemah tertindas dan
menentang yang kuat tapi jahat!
Ketua yang masih muda itu tersenyum ramah. Dia bicara penuh semangat, akan tetapi tidak
terbawa perasaan, masih tetap tenang dan tersenyum sehingga membuat gadis itu pun tidak
terbawa dan terseret dalam perbantahan yang memperebutkan kebenaran sendiri.
"Sudah kukatakan tadi bahwa dalam perjuangan, kepentingan pribadi dan ke-pentingan
golongan harus disingkirkan lebih dahulu. Tanpa sikap seperti itu, bagaimana mungkin ada
persatuan dan tanpa persatuan bagaimana mungkin ada kekuatan" Buktinya, semua usaha
per-juangan yang lalu selama ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam, gagal
semua. Karena terpecah--pecah! Kalau kita menuruti kepentingan pribadi dan golongan,
misalnya kalau kita tidak mau bersatu dengan golongan sesat dan memusuhi mereka, maka
kita akan terpecah belah dan akibatnya melemah-kan diri sendiri. Dengan demikian, yang
untung adalah pemerintah penjajah! Me-ngertikah engkau, Nona?"
Cu Kim Giok bukan seorang gadis yang bodoh. Ia termenung dan menelan ucapan ketua itu
dalam hatinya, dan mulailah ia mengerti akan apa yang di-maksudkan Seng Bu.
"Aku mengerti, Pangcu. Akan tetapi karena sejak kecil orang tuaku menanam-kan jiwa
kependekaran dalam hatiku, rasanya amat berat bagiku menerima kenyataan dari kebenaran
pendapatmu tadi. Kalau kita para pendekar tidak me-nentang golongan sesat, bukankah
kehidupan rakyat akan menjadi semekin parah dan sengsara, tertindas kejahatan tanpa ada
yang membela dan melindungi?"
"Tentu saja kita tidak kalau terjadi kejahatan di depan mata kita, Nona. Kita wajib
melindungi menjadi korban kejahatan. Akan tetapi, urusan itu merupakan urusan yarg tidak
diutamakan kepentingannya, lebih pen-ting urusan perjuangan sehingga kalau pun kita
menentang kejahatan, harus dicegah agar jangan sampai menimbulkan keretakan persatuan
antara golongan. Ketahuilah, Nona, bahwa peristiwa ke-jahatan hanya merupakan akibat dari
tidak sehatnya pemerintah. Seperti se-buah penyakit, kejahatan, ketidakamanan,
ketidakmakmuran dan bahkan kesengsara-an rakyat hanya merupakan bintik-bintik kecil
akibat penyakit itu. Memberantas dan mengobati bintik-bintiknya saja tidak akan banyak
manfaatnya karena bintik--bintik itu akan muncul lagi setelah di-obati selama penyakitnya
masih ada. Kita harus lebih mementingkan pengobat-an penyakitnya, sumber penyakit itu
sendiri. Dalam hal ini, sumber penyakit-nya terletak pada pemerintahan. Bangsa dan tanah air
kita dicengkeram penjajah Mancu, tentu saja pemerintahnya tidak sehat dan memeras rakyat
jelata. Kalau penjajahan itu dapat kita bongkar dan kita ganti dengan pemerintah bangsa
sendiri, maka penyakit itu sembuh pada sumbernya dan tidak akan timbul bintik--bintik
berbahaya. Segala bentuk kejahat-an akan dapat kita tumpas. Penindasan yang dilakukan para
penjahat itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan penindasan dan penghisapan yang
dilaku-kan penjajah terhadap kita."
Kim Giok tersenyum dan mengangguk--angguk. Ia kagum sekali dan kini ia da-pat mengerti
sepenuhnya, "Sekarang aku mengerti, Pangcu, dan aku tidak pena-saran lagi melihat Thian-lipang bersaha-bat dengan golongan sesat, kalau mak-sudnya untuk mempersatukan tenaga
melawan penjajah." Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
222 Sejak percakapan itu, Kim Giok se-makin kagum dan tartarik kepada ketua Thian-li-pang itu,
dan sebaliknya Seng Bu juga telah jatuh hati kepada puteri Lem-bah Naga Siluman. Ketika
Seng Bu min-ta agar gadis itu tinggal di Thian-li-pang sebagai tamu kehormatan selama
beberapa hari, Kim Giok tidak menolak.
Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Yo Han mendaki Bukit Naga, Cu Kim Giok telah
tinggal selama lima hari di perkampungan Thian-li-pang. Hubungannya dengan Seng Bu
semakin akrab namun ketua itu masih tetap bersikap sopan dan tidak pernah menyatakan
perasaan hati-nya. Kim Giok sudah mendengar banyak dari Seng Bu tentang Thian-li-pang,
dan ia mendengar pula kisah yang aneh, pe-ristiwa mengerikan yang terjadi beberapa bulan
yang lalu, yaitu tentang pembunuh-an terhadap ketua Thian-li-pang yang dilakukan oleh
seorang yang tadinya di-anggap sebagai pemimpin Thian-li-pang, yaitu Sin-ciang Tai-hiap Yo
Han. Ia su-dah mendengar nama itu, maka menyata-kan keheranannya kepada Seng Bu
meng-apa Yo Han yang dianggap sebagai pe-mimpin besar malah membunuh ketua Thian-lipang. Dengan cerdik Seng Bu menceritakan bahwa pembunuhan itu di-lakukan Yo Han untuk
membalas dendam atas kematian gurunya yang bernama Ciu Lam Hok. Demikian pandainya
Seng Bu bercerita sehingga Kim Giok percaya dan gadis ini pun merasa tidak senang kepada
pendekar yang di juluki Si Tangan Sakti itu.
Kita kembali kepada Yo Han yang sedang mendaki Bukit Naga dengan san-tai. Kembali ke
tempat ini, di mana selama bertahun-tahun dia hidup dalam sumur maut bersama gurunya,
mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, mendatangkan segala macam
kenangan lama padanya. Bahkan kenangan itu berkembang sampai akhirnya dia ter-kenang
kepada Tan Sian Li, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya sejak dia masih seorang
pemuda remaja. Akan tetapi, percakapannya dengan Cia Sun, setidaknya menimbulkan lagi
harapan baru dalam hatinya. Ketika dia mening-galkan Sian Li, di rumah orang tua gadis itu
yang menjadi suhu dan subonya per-tama kali, harapannya sudah hancur lu-luh. Dia
mendengar betapa suhu dan subonya hendak menjodohkan Sian Li dengan seorang pangeran
di kota raja! Tentu saja seorang pangeran jauh lebih pantas menjadi suami seorang gadis
se-perti Si Bangau Merah itu daripada dia! Dia yatim piatu miskin dan papa, tidak mempunyai
tempat tinggal yang tetap! Akan tetapi, kebetulan dia bertemu de-ngan Pangeran Cia Sun,
bersahabat bah-kan pernah senasib sependeritaan yang mendorong mereka mengangkat
saudara. Dan dari adik angkatnya yang pangeran ini dia mendengar bahwa adik angkatnya
itulah pangeran yang hendak dijodohkan dengan Sian Li! Akan tetapi, di samping berita
mengejutkan itu, terdapat ke-nyataan yang membuat dia tumbuh lagi semangatnya, timbul
pula harapannya, yaitu bahwa Pangeran Cia Sun dan Tan Sian Li tidak saling mencinta.
Pangeran itu bahkan mencinta gadis lain, yaitu puteri ketua Pao-beng-pai!
Dalam perjalanannya menuju ke Thian--li-pang, dia pun sudah mendengar akan pembasmian
Pao-beng-pai yang dilakukan pasukan pemerintah. Dia mengira bahwa tentu adik angkatnya,
Pangeran Cia Sun, yang melakukan penyerbuan itu, walaupun ada kesangsian di hatinya
apakah sang pangeran mau melakukan hal itu meng-ingat akan cintanya terhadap Siangkoan
Eng. Tiba-tiba Yo Han menghentikan lang-kahnya dan dia mengerutkan alisnya. Dia mendengar
suara orang bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan suara itu makin mendekat, tanda bahwa
mereka yang bercakap-cakap itu sedang berjalan me-nuruni lereng. Yo Han menyelinap ke
balik pohon besar. Sudah lama dia me-ninggalkan Thian-li-pang dan dia tidak tahu bagaimana
keadaannya. Walaupun dia percaya sepenuhnya kepada Lauw Kang Hui yang diserahi
pimpinan per-kumpulan itu, namun sebaiknya kalau dia menyelidiki keadaannya karena
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
223 bagai-manapun juga, kalau sampai terjadi hal--hal yang tidak benar di Thian-li-pang, dialah
yang bertanggung jawab. Gurunya berpesan agar dia menyelamatkan Thian--li-pang dari
penyelewengan, maka biarpun dia tidak memimpin langsung, dia harus selalu mengawasi.
Mereka yang tertawa-tawa tadi se-karang telah datang dekat dan dari balik batang pohon, Yo
Han mengintai. Alis-nya terangkat dan kemudian berkerut tidak senang ketika dia melihat dua
orang anggauta Thian-li-pang berjalan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan dua
orang pendeta muda yang dari tanda gambar di dadanya diketahuinya sebagai dua orang
anggauta Pat-kwa-pai! Dia merasa heran bukan main. Bagaimana mungkin anggauta Thian-lipang bergaul demikian akrabnya dengan anggaut Pat--kwa-pai yang terkenal sebagai
golongan sesat yang menggunakan kedok perjuang-an, atau dapat juga dikatakan
pemberon-tak- pemberontak yang tidak segan meng-gunakan kejahatan dan kekejaman dalam
pemberontakan mereka"
Yo Han menahan diri, ingin tahu lebih banyak, maka dari jauh dia membayangi empat orang
itu. Dia tidak mengenal para anggauta Thian-li-pang. Yang dikenalnya hanyalah Lauw Kang
Hui dan pimpinannya, bahkan dia tidak tahu nama para pimpinan mudanya satu demi satu.
Akan tetapi melihat sikap mereka, siapa lagi mereka itu kalau bukan anggauta Thian-li-pang"
Dan mereka telah berada di wilayah Thian-li-pang, maka kehadiran dua orang anggauta Patkwa-pai sung-guh mencurigakan sekali. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar
bagi Yo Han untuk membayangi mereka, kadang malah demikian dekat sehingga dia dapat
mendengarkan sebagian dari percakapan mereka. Setelah mendengar percakapan itu dia pun
yakin bahwa dua orang itu adalah anggauta Thian-li-pang.
"Kenapa kalian khawatir?" terdengar seorang di antara dua anggauta Thian-li-pang itu
berkata kepada dua orang tosu itu. "Kalau hanya kami berdua yang menghilang dari tempat
penjagaan, tidak akan kentara. Pula siapa sih yang akan berani mendaki Bukit Naga dan
meng-ganggu wilayah Thian-li-pang" Baru men-dengar nama Thian-li-pang saja, nyali
mereka sudah terbang melayang!" Mereka tertawa-tawa.
"Pula, berapa lamanya untuk sekedar bersenang-senang dengan kalian di dusun bawah sana"
Andaikata para pimpinan mengetahui kalau kami pergi bersama kalian, tentu tidak akan
dimarahi. Bu-kankah Thian-li-pang bersahabat baik de-ngan Pat-kwa-pai?" Kembali mereka
ter-tawa-tawa dan tidak tahu betapa Yo Han mengepal tinju mendengarkan percakapan itu.
Akhirnya, empat orang itu tiba di dusun yang berada di kaki Bukit Naga. Di dusun itu
terdapat sebuah kedai arak dan ke sanalah mereka masuk. Yo Han yang memakai caping
lebar, duduk pula dengan memilih tempat jauh di sudut dan capingnya tidak dilepas sehingga
mukanya tertutup. Ketika pelayan datang meng-hampiri, dia memesan arak dan semang-kuk
bubur. Terdengar ribut-ribut di meja empat orang itu. Agaknya pemilik kedai arak menghampiri
mereka dan menuntut agar mereka lebih dahulu mengeluarkan uang untuk membeli makanan
dan minuman yang mereka pesan.
"Sudah terlalu sering teman-teman kalian makan minum di sini tanpa mem-bayar! Aku tidak
mau dirugikan, harap kalian suka membayar lebih dulu." kata pemilik kedai itu, seorang lakilaki ber-usia lima puluhan tahun yang kurus agak bongkok.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
224 Seorang anggauta Thian-li-pang yang tinggi bermuka kuning, bangkit dan ber-tolak
pinggang. "Apa katamu" Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau ber-hadapan" Kami
berdua adalah anggauta Thian-ii-pang dan dua orang sahabat kami ini adalah anggauta Patkwa-pai. Kami adalah pejuang! Kami adalah pah-lawan bangsa, pembela rakyat dan tanah air!
Masa hanya mengeluarkan sedikit makanan dan minuman saja bagi kami engkau tidak rela"
Kami berjuang dengan taruhan nyawa dan engkau tidak mau menjamu makan minum kepada
kami?" Seorang di antara dua orang tosu Pat-kwa-pai menggebrak meja dan de-ngan sikap bengis
berkata, "Hayo cepat keluarkan hidangan untuk kami atau eng-kau ingin kedaimu ini kami
hancurkan?" "Kalian sungguh kejam!" Pemilik kedai itu membantah dan mempertahankan miliknya.
"Kalau hanya dua tiga orang saja yang datang minta makan minum, kami rela, akan tetapi
kalau setiap hari datang dan jumlah kalian sampai puluhan orang selalu minta makan dan
minum dengan gratis, kami dapat bangkrut! Ka-mi pun mempunyai keluarga yang harus
hidup dari hasil usaha kami yang kecil ini."
"Jahanam, masih banyak cakap" Eng-kau memang perlu dihajar!" bentak se-orang anggauta
Thian-li-pang bermuka kuning tadi dan sekali kaki kanannya terayun menendang, pemilik
kedai itu terpelanting keras.
"Penuhi permintaan kami tanpa ba-nyak cakap lagi atau engkau akan ku-hajar sampai
mampus!" bentaknya. "Ayah....!" Dari dalam berlari keluar seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan ia segera
menubruk ayahnya yang sudah bangkit duduk sambil menyeringai kesakitan.
Melihat gadis itu, yang cukup manis, seorang di antara dua orang anggauta Pat-kwa-pai
tersenyum menyeringai dan segera menangkap lengan gadis itu dan menariknya lalu
memaksanya duduk di sebuah bangku dekat meja mereka. "Ha-ha-ha, tukang warung. Cepat
keluarkan hidangan itu atau kami akan membawa pergi gadismu. Nona, kautemani kami
makan minum di dini dan cepat suruh pelayan mengeluarkan hidangan dan arak terbaik."
katanya. Gadis itu tidak berani meronta, bahkan membujuk ayahnya yang sudah bangkit
berdiri. "Ayah, turuti saja permintaan me-reka."
Empat orang itu tertawa bergelak melihat pemilik kedai dengan terhuyung memasuki dapur
untuk menyediakan hi-dangan bagi empat orang itu.
"Manis, engkau lebih bijaksana dari-pada ayahmu. Untung engkau muncul, kalau tidak tentu
ayahmu telah menjadi mayat." kata si muka kuning sambil men-colek dagu gadis itu.
Gadis itu membuang muka dan ber-kata, "Kami telah memenuhi permintaan kalian,
menyuguhkan hidangan, harap jangan ganggu aku lagi." Gadis itu bang-kit berdiri.
"Duduk saja, engkau tidak boleh per-gi." kata seorang tosu Pat-kwa-pai.
"Aku akan membantu ayah memper-siapkan hidangan untuk kalian." bantah gadis itu.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
225 "Dan menaruh racun dalam hidangan-nya, ya" Ha-ha-ha, kami tidak sebodoh itu, Manis.
Kami berempat makan mi-num dan engkau harus menemani kami, ikut pula makan minum
sehingga kalau hidangan itu beracun, engkau yang akan lebih dulu keracunan!"
Si muka kuning menekan pundak gadis itu sehingga ia terduduk kembali.
Tiba-tiba terdengar suara lembut namun nadanya mengejek. "Ini rumah makan macam apa,
membiarkan empat ekor buaya darat mengotorinya! Sungguh mendatangkan bau busuk sekali,
empat orang maling kecil mengaku pejuang seperti empat ekor tikus mengaku hari-mau!"
Jelas sekali makna ucapan itu dan empat orang tadi tentu saja mengerti bahwa merekalah
yang dimaki tikus dan maling! Hampir mereka tidak percaya ada orang berani memaki
mereka seperti itu. Mengatakan mereka maling kecil dan tikus. Tentu saja mereka terbelalak
dan muka mereka berubah kemerahan ketika mereka menoleh dan memandang ke arah meja
di sudut kanan, di mana duduk seorang laki-laki yang mengenakan se-buah caping lebar
sehingga muka dan kepala orang itu tertutup sama sekali. Akan tetapi tidak dapat diragukan
lagi. Orang bercaping itulah yang mengeluar-kan ucapan menghina tadi karena ucap-annya
datang dari arah itu dan di sudut itu tidak ada orang lain kecuali dia. Serentak empat orang itu
meninggalkan gadis puteri pemilik kedai dan dengan langkah lebar mereka menghampiri meja
di mana Yo Han duduk. Yo Han bersikap tenang saja, bahkan kini menuangkan arak ke dalam cawannya yang telah
kosong. "Heiii, kaukah yang tadi mengeluarkan ucapan menghina kami!" bentak seorang di
antara mereka. Yo Han mengangkat cawan araknya dan membawanya ke mulut. "Heiii, apa-kah engkau tuli"
Kalau benar engkau yang tadi bicara, coba ulangi ucapanmu kalau engkau berani!" kata si
muka ku-ning yang ingin mendapat kepastian bah-wa orang bercaping ini yang tadi bicara.
Apalagi melihat orang bercaping itu ter-nyata masih muda, maka dia agak me-rasa ragu
apakah benar pemuda itu be-rani mengeluarkan ucapan seperti itu.
"Kalian berempat memang maling kecil dan tikus-tikus busuk. Pergilah!" kata Yo Han,
menahan kemarahannya mengingat bahwa dua di antara mereka adalah termasuk anak
buahnya sendiri, anggauta Thian-li-pang!
"Jahanam!" "Keparat!" Empat orang itu marah sekali dan menggerakkan tangan memukul dari de-pan belakang dan
kanan kiri. Yo Han menggerakkan tangan yang memegang cawan arak ke sekelilingnya dan
empat orang itu berteriak dan terhuyung mun-dur karena muka mereka disiram arak. Biapun
hanya arak, dan tidak banyak pula karena isi cawan itu dibagi empat, namun ketika mengenai
muka, terutama mata, membuat mereka sejenak tidak mampu membuka mata dan kulit muka
terasa perih. Setelah menggosok-gosok mata dan dapat melihat lagi, empat orang itu men-cabut golok
mereka dan serentak menyerang sambil memaki dengan kamarah-an memuncak. Orang-orang
yang sedang makan minum di situ menjadi ketakutan dan berhamburan lari keluar, juga
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
226 pemilik kedai dan puterinya, beserta para pelayan, sudah bersembunyi di balik meja dengan
tubuh gemetar ketakutan. Yo Han masih tetap duduk, akan tetapi kedua tangan mengambil sepasang sumpit dan juga
dua buah mangkok yang kosong. Begitu empat orang dengan golok mereka menyerbu dekat,
kembali kedua tangan Yo Han bergerak. Dua sumpit menembus pundak kanan dua orang tosu
sehingga golok mereka terlepas dan me-reka mengaduh-aduh, sedangkan dua buah mangkok
menghantam muka dua orang anggauta Thian-li-pang dengan keres. Dua orang Thian-li-pang
itu terjengkang ro-boh dengan muka berdarah karena mang-kok yang menghantam muka
mereka tadi pecah-pecah dan melukai mereka. Tidak sampai membunuh mereka, akan tetapi
mereka terjengkang roboh dengan muka berlumuran darah dan pingsan! Dua orang tosu
terbelalak dan tidak berani melawan lagi, bahkan melarikan diri keluar dari rumah makan itu
ketika Yo Han dengan sikap sembarangan saja mencengkeram baju di punggung kedua orang
anggauta Thian-li-pang itu dan melempar tubuh mereka yang pingsan ke sudut ruangan itu di
mana mereka rebah bertumpuk. Kemudian, dia melanjutkan makan minum seolah-olah tidak
pernah terjadi sesuatu. Pemilik rumah makan tadi bersama puterinya segera menghampiri Yo Han dan
membungkuk-bungkuk. "Terima kasih atas pertolongan Tai-hiap, akan tetapi.... ah,
bagaimana dengan nasib kami" Tentu mereka akan datang dan akan menghan-curkan rumah
kami, bahkan mungkin kami akan mereka bunuh...."
"Benar apa yang dikatakan Ayah, Tai--hiap," kata gadis itu sambil menangis. "Harap Tai
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hiap suka melepaskan dua orang itu, karena sudah pasti kami yang menderita karena
pembalasan mereka.?" Paman dan Nona, jangan khawatir. Aku akan menanti di sini sampai
mereka semua datang. Aku yang akan menang-gung bahwa kalian tidak akan diganggu lagi
oleh mereka. Tenang sajalah. Nanti akan kuganti semua kerugian karena ke-rusakan yang
diakibatkan karena keribut-an ini. Sekarang, tolong tambahkan arak seguci untukku. Aku
akan menanti me-reka datang semua."
Biarpun khawatir sekali ayah anak itu tidak berani membantah lagi. Mereka tadi sudah
melihat betapa mudahnya pemuda bercaping ini mengalahkan empat orang pengacau, akan
tetapi me-reka tahu belaka betapa kuatnya Thian--li-pang dan kalau mereka semua itu
da-tang, apakah pemuda itu akan mampu menghadapi mereka seorang diri saja"
Dua orang tosu Pat-kwa-pai yang sedang bermain-main ke Thian-li-pang tadi, tentu saja tidak
mau tinggal diam. Mereka terluka dan masing-masing menderita kesakitan dengan sebatang
sumpit masih menancap dan menembusi pundak mematahkan tulang pundak, dan dua orang
teman mereka ditawan. Mereka cepat mendaki lereng Bukit Naga yang menjadi sarang Thianli-pang dan sambil meringis kesakitan mereka melapor ke-pada para anggauta Thian-li-pang
yang melakukan penjagaan di pintu gerbang perkampungan perkumpulan itu. Tentu saja para
anggauta Thian-li-pang menjadi gempar dan marah mendengar bahwa dua orang kawan
mereka dirobohkan seorang asing di dusun yang berada di kaki bukit. Mereka segera melapor
kepada kepala jaga. Mereka menganggap urusan itu ter-lalu kecil untuk dilaporkan kepada
ketua, bahkan mereka tidak ingin ketua men-dengar bahwa mereka tidak mampu
mem-bereskan urusan kecil itu.
"Di mana jahanam itu sekarang" tanya seorang murid yang tingkatnya lebih tinggi.
"Di dalam kedai arak dusun itu," kata dua orang tosu itu.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
227 Murid yang termasuk tingkat atas dari Thian-li-pang itu mengumpulkan empat orang saudara
lain. "Kalian tetap berjaga saja di sini, kami berlima yang akan menghajarnya." katanya dan
lima orang yang memiliki tingkat tiga di Thian-li-pang itu segera turun dari lereng bukit
sambil berlari cepat. Sebentar saja, lima orang murid Thian-li-pang yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini
telah tiba di depan kedai arak itu. Mereka melihat betapa kedai arak itu sepi sekali, dan ada
beberapa orang yang mengitai dari jauh dengan sikap ketakutan. Dengan sikap gagah lima
orang itu memasuki kedai dan ter-nyata di dalam ruangan kedai yang biasa-nya penuh tamu
itu, sekarang kosong. Hanya ada seorang tamu sedang minum--minum seorang diri di sudut
dan mereka melihat orang itu mengenakan caping lebar sehingga tidak nampak mukanya. Dan
mereka melihat pula dua orang adik seperguruan mereka duduk bersandar dinding di lantai
sudut itu dengan muka berlumuran darah! Ketika dua orang itu melihat lima orang kakak
seperguruan mereka muncul di pintu rumah makan, mereka segera bangkit.
"Suheng, tolonglah kami...." kata mereka dan mereka hendak menghampiri kawan-kawan
mereka, akan tetap begitu tangan Yo Han bergerak, dua butir ka-cang menyambar dan
mengenai dada kedua orang itu, membuat mereka me-ngeluh dan roboh kembali!
Melihat itu, lima orang yang baru datang tentu saja menjadi marah sekali. "Jahanam busuk!"
bentak seorang di an-tara mereka dan lima orang itu serentak menyerang Yo Han dari
sekelilingnya. Yo Han masih tetap duduk di atas bangku-nya, kedua tangannya bergerak, juga
kedua kakinya menyambar dan empat orang pengeroyok roboh terpelanting! Orang kelima
yang melihat ini, terbe-lalak kaget dan dengan jerih dia me-langkah mundur. Empat orang
yang ro-boh itu mencoba untuk mencabut pedang dan menyerang lagi, akan tetapi sebelum
mereka dapat melakukan serangan, kem-bali kaki tangan Yo Han bergerak tanpa dia turun
dari bangkunya dan empat orang itu roboh kembali, pedang mereka terlepas berkerontangan
dan mereka ti-dak mampu bangkit.
Melihat ini orang ke lima segera meloncat keluar dan melarikan diri ke-takutan. Dia tidak
tahu bahwa memang Yo Han sengaja melepasnya, dengan mak-sud agar dia melapor kepada
pimpinan Thian-li-pang. Dengan tenang dia lalu turun dari bangkunya, dan bagaikan
mencengkeram punggung baju mereka dan melemparkan mereka satu demi satu ke sudut
sehingga kini di situ berserakan dan bertumpuk enam orang anggauta Thian-li-pang. Ketika
melakukan. ini, enam orang itu dapat sekilas melihat tampangnya dan dua di antara mereka
terbelalak. "Sin.... ciang.... Tai-hiap...." Mereka berbisik dan jatuh pingsan saking kaget dan
takutnya. Tentu saja mereka ke-takutan sekali karena mereka telah me-lawan pemimpin besar
Thian-li-pang! Apalagi mereka juga menyadari bahwa mereka telah melakukan
penyelewengan besar dari garis-garis yang ditentukan pemimpin besar ini, menyadari bahwa
Thian-li-pang telah berubah semenjak ketua Lauw Kang Hui tewas dan pimpin-an dipegang
oleh Ouw Seng Bu. Yo Han tidak peduli dan melanjutkan minum seorang diri. Dia harus melurus-kan kembali
Thian-li-pang seperti pesan mendiang suhunya, yaitu kakek Ciu Lam Hok. Dia sengaja
merobohkan para ang-gauta Thian-li-pang dan menumpuk mereka di sudut ruangan rumah
makan itu untuk memancing datangnya para pim-pinan Thian-li-pang ke situ, terutama sekali
Lauw Kang Hui. Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
228 Dia tidak langsung datang ke Thian-li-pang karena maklum betapa besar bahayanya kalau dia
melakukan itu. Kalau benar para pemimpin Thian-li-pang sudah menyeleweng dan dia
dimusuhi, maka mendatangi pusat Thian-li-pang sama dengan menghadapi buaya besar
karena Thian-li-pang memiliki anggauta yang rata-rata kuat, juga para pemimpinya lihai di
samping tempat itu berbahaya dan penuh rahasia. Dia harus dapat memancing para
pemimpinya keluar ke rumah makan ini, agar lebih leluasa dia turun tangan menghajar
mereka dan memaksa mereka ke jalan benar seperti dikehendaki mendiang Ciu Lam Hok
gurunya. Sementara itu, anggauta Thian-li-pang yang ketakutan dan lari pulang, membuat para
anggauta lainnya menjadi gempar. Mereka tidak berani menganggap persoalan itu kecil lagi,
apalagi ketika rekan mereka menceritakan betapa empat kawannya roboh dengan mudah
sekali oleh si caping lebar yang aneh. Mereka lalu berangkat untuk melaporkan peristiwa itu
kepada ketua mereka. Ketika itu, ketua Thian-li-pang yang baru, Ouw Seng Bu, sedang menjamu dua orang tamu
yang dihormatinya, yaitu Cu Kim Giok dan Siangkoan Kok. Seperti telah diceritakan dibagian
depan, Cu Kim Giok tertarik kepada Ouw Seng Bu dan menganggap pemuda itu seorang
ketua perkumpulan besar Thian-li-pang yang tampan, gagah perkasa dan berjiwa patriot,
membuat ia merasa tunduk dan kagum bukan main. Adapun Siangkoan Kok, bekas ketua Paobeng-pai, juga dapat ditundukan Ouw Seng Bu dengan ilmunya yang luar biasa sehingga kini
Siankoan Kok yang sudah hancur perkumpulannya itu mau menggabungkan diri untuk
menentang pemerintah dan mencari kedudukan yang tinggi. Demikian besar rasa kagum Cu
Kim Giok kepada Ouw Seng Bu sehingga ia tidak berkeberatan untuk makan bersama dua
orang tosu wakil Pek-lian-kauw dan dua orang tosu wakil Pat-kwa-pai yang datang sebagai
tamu Thian-li-pang. Padahal, sejak kecil ia sudah mendengar dari ayah ibunya bahwa peklian-kauw adalah perkumpulan yang banyak melakukan kejahatan, walaupun perkumpulan itu
terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah Mancu. Alasan yang dikemukakan
Ouw Seng Bu bahwa untuk menentang penjajah, semau kekuatan harus bersatu, tanpa
membeda-bedakan antar golongan putih atau hitam, dapat ia terima bahkan membenarkannya.
Demikianlah, pada saat itu, Ouw Seng Bu, makan minum semeja dengan Siangkoan Kok, Co
Kim Giok, dan empat orang tosu, yaitu dua tokoh Pat-kwa-pai dan dua orang tokoh Pek-liankauw. Wakil Pat-kwa-pai yang bertubuh tinggi kurus bernama Im-yang-ji, murid kepala dari
ketua Pat-kwa-paiyang lihai, bersama adik seperguruannya. Adapun wakil Pek-lian-kauw
adalah kui Thian-cu yang sudah kita kenal ketika dia me-wakili Pek-lian-kauw hadir dalam
pesta yang diadakan Siangkoan Kok ketika masih menjadi ketua Pao-beng-pai, ber-sama
seorang adik seperguruannya pula.Ouw Seng Bu yang merasa bergembi-ra sekali telah
mendapatkan dua sekutu yang boleh dibanggakan, Siangkoan Kok yang selain amat lihai juga
dapat diharapkan menghimpun ba-nyak orang menjadi anak buah mereka, dan Cu Kim Giok.
Gadis puteri majikan Lembah Naga Siluman ini tentu saja merupakan seorang sekutu yang
amat besar artinya, karena tentu akan dapat menjadi jembatan agar para tokoh kang--ouw
lainnya suka bergabung dengan Thian--li-pang. Selain itu, sejak pertemuan yang pertama
kalinya, hati Ouw Seng Bu su-dah terjerat dan dia tahu bahwa dia jatuh cinta kepada gadis
yang bermata indah, dan amat manis itu.
"Mari kita minum untuk persatuan antara kita yang kokoh kuat untuk me-numbangkan
penjajah dan mengusir mereka dari tanah air tercinta!" kata Ouw Seng Bu penuh semangat.
Enam orang lain yang duduk semeja itu menyambut dengan penuh semangat pula, bahkan Cu
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
229 Kim Giok merasa bangga karena ia me-rasa yakin bahwa ayah ibunya tentu akan merasa
bangga pula melihat puteri mereka kini bersekutu dengan para pejuang yang hendak
menumbangkan pemerintah penjajah Mancu!
Baru saja mereka mengosongkan ca-wan, seorang anggauta Thian-li-pang ter-gopoh-gopoh
memasuki ruangan itu. Dia adalah kepala jaga, dan biarpun dalam hal tingkatan, orang ini
masih adik se-perguruan Ouw Seng Bu, yaitu murid mendiang Lauw Kang Hui, akan tetapi
karena kini Ouw Seng Bu telah menjadi ketua dan orang itu bukan lain hanya seorang anak
buah, ketua Thian-li-pang yang masih muda itu mengerutkan alis-nya dan merasa terganggu.
"Hemmm, ada urusan apa sampai eng-kau datang mengganggu kami?" bentak-nya dengan
sikap berwibawa. "Harap maafkan kelancangan saya, Pangcu. Akan tetapi saya hendak me-lapor bahwa ada
seseorang yang telah merobohkan dan menawan enam orang anggauta kita di kedai arak
dusun bawah sana." Kerut di antara mata Seng Bu se-makin mendalam dan matanya mencorong marah.
"Hemmm, muncul seorang pengacau saja kalian tidak mampu mem-bereskannya sendiri dan
masih melapor kepada kami?"
"Maaf, Pangcu. Mula-mula, dua orang anggauta kita bersama seorang teman anggauta Patkwa-pai dan seorang ang-gauta Pek-lian-kauw minum di kedai itu, bertemu dengan si
pengacau yang me-robohkan dua orang anggauta kita, akan tetapi hanya melukai dua orang
tosu sahabat dan membiarkan mereka pergi. Dua orang anggauta Thian-li-pang itu
ditawannya di kedai. Kemudian, lima orang saudara tua kami turun lereng untuk memberi
hajaran. Akan tetapi, empat orang di antara mereka roboh dan ditawan, seorang dapat
melarikan diri melapor dan menurut laporannya, empat orang saudara tua itu dalam
segebrakan saja roboh oleh pengacau yang bercaping lebar itu."
"Hemmm....!" Ouw Seng Bu diam--diam terkejut. Yang disebut saudara tua adalah para
anggauta yang tingkatnya sejajar dengannya, yaitu murid atau mu-rid keponakan mendiang
Lauw Kang Hui. Kalau empat orang di antara mereka roboh dengan mudah oleh pengacau itu,
dapat dibayangkan betapa lihainya orang itu.
"Ah, siapa berani melukai anggauta Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?" seru Im Yang-ji, tokoh
Pat-kwa-pai dengan ma-rah. Dia sudah mulai mabuk maka mudah sekali panas hati
mendengar bahwa se-orang anak buahnya dilukai orang. "To-yu, kita harus menghajar orang
itu!" katanya kepada dua orang tosu Pek-lian--kauw.
Kui Thian-cu mengangguk dan bangkit berdiri, memberi hormat kepada Seng Bu sambil
berkata, "Pangcu, biarlah kami berempat yang menghajar orang itu dan menyeretnya ke sini
agar Pengcu dapat menghukumnya. Pangcu tidak perlu ma-rah-marah dan terganggu makan,
minum. Sebaiknya, Pangcu, Nona dan Siangkoan Lo-cian-pwe melanjutkan makan minum.
Kami berempat akan segera kembali menyeret si pengacau itu."
Ouw Seng Bu mengangguk dan bangkit berdiri membalas penghormatan empat orang tosu
itu. "Kalau Cu-wi hendak menghajar si pengacau yang telah me-lukai anggauta Pek-liankauw dan Pat--kwa-pai, silakan dan harap jangan mem-bunuhnya karena saya ingin
melihatnya dan menanyainya mengapa dia berani memusuhi kita."
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
230 Empat orang tosu itu mengangguk dan ke luar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Setelah
mereka pergi, Ouw Seng Bu menoleh kepada Cu Kim Giok sambil tersenyum. "Aih, ada-ada
saja. Sayang sekali masih terdapat orang-orang yang tidak menghargai perjuangan kita
se-hingga mereka itu bukan membantu kita, bahkan memusuhi kita dan rela menjadi antek
penjajah Mancu. Siapa tidak akan merasa menyesal kalau orang-orang pandai yang termasuk
golongan pendekar, seperti Sin-ciang Tai-hiap Yo Han itu, membiarkan dirinya menjadi
anjing pen-jilat dan antek penjajah Mancu"
"Sangat menyakitkan hati memang!" kata Siangkoan Kok sambil menuangkan arak dari
cawan ke dalam mulutnya. "Bahkan para pendekar dari keluarga pendekar terbesar di dunia
persilatan, rela mengekor kepada penjajah Mancu. Harap maafkan aku, nona Cu. Selama ini,
aku belum pernah mendengar keluar-ga Cu dari Lembah Naga Siluman men-jadi antek
Mancu walaupun hubungan keluargamu dekat sekali dengan keluarga Pulau Es dan Gurun
Pasir. Dua keluarga pendekar itu sejak dahulu membantu penjajah Mancu, sungguh
mengecewakan sekali. Apakah mereka tidak tahu bahwa bangsa Mancu adalah bangsa liar
yang menjajah tanah air dan bangsa" Kita berjuang untuk membebaskan bangsa dari
cengkeraman penjajah, dan mereka tidak membantu kita malah memusuhi kita!"
Wajah Kim Giok berubah agak ke-merahan. Selain pengaruh arak, juga hatinya tersentuh. Ia
telah jatuh cinta kepada Ouw Seng Bu dan merasa yakin akan kebenaran pemuda itu, akan
ke-murnian perjuangan melawan penjajah, dan ia pun tahu bahwa di antara keluar-ga Pulau
Es dan Gurun Pasir, memang terdapat hubungan yang akrab dengan kerajaan Mancu, bahkan
ada pertalian hubungan darah. Biarpun ayah ibunya tidak pernah memusuhi kerajaan Mancu
secara berterang, akan tetapi juga mere-ka tidak pernah menjadi pembantu lang-sung atau
pejabat. Akan tetapi, harus diakui bahwa keluarga orang tuanya de-kat dengan keluarga Pulau
Es dan Gurun Pasir. Kini pandangannya kepada Siang-koan Kok juga berubah. Kakek ini
adalah seorang pejuang sejati, pikirnya, seperti juga Seng Bu, walaupun kakek ini ber-watak
keras dan aneh, tidak seperti Seng Bu yang halus dan tampan.
"Biarpun, keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir tidak memusuhi kita secara terang--terangan,
namun mereka tidak mau ber-satu dengan kita untuk menghancurkan penjajah. Kita harap saja
nona Cu akan dapat membujuk mereka dan membuka mata mereka betapa pentingnya
perjuangan menentang penjajah. Yang ku-khawatirkan hanyalah satu orang saja yaitu Sinciang Tai-hiap...." "Hemmm, orang itu memang berbahaya dan dia pun telah menjadi antek pen-jajah. Bahkan
dia bergaul akrab sekali dengan seorang pangeran Mancu, yaitu Pangeran Cia Sun." kata
Siangkoan Kok yang lalu menceritakan dengan singkat betapa Yo Han dan Pangeran Cia Sun
pernah menyelundup ke dalam perkumpul-annya, Pao-beng-pai sehingga mengakibat-kan
perkumpulannya itu dihancurkan pa-sukan pemerintah. "Jelas bahwa pasukan itu dibawa
datang oleh Yo Han dan Cia Sun yang bekerja sebagai mata-mata," katanya.
"Yo Han memang harus dibasmi. Dia pun merupakan ancaman bagi Thian-li--pang, karena
dia pernah diangkat oleh mendiang suhu Lauw Kang Hui sebagai pemimpin Thian-li-pang.
Dia dapat se-waktu-waktu muncul di sini dan meng-gunakan hak kekuasaannya untuk
meng-ubah Thian-li-pang, dari perkumpulan pejuang menjadi perkumpulan pengekor
kerajaan Mancu." kata Seng Bu penasaran.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
231 "Biarpun dia datang. Kita sambut dia dengan pedang aku akan membantumu
menundukkannya, Pangcu." kata Siang-koan Kok yang masih merasa sakit hati kalau teringat
kepada Yo Han dan Cia Sun yang dianggap menjadi penyebab kehancuran Pao-beng-pai.
"Akan tetapi, dia lihai bukan main, paman Siangkoan," kata Seng Bu, "Se-baiknya kalau kita
menggunakan siasat untuk menundukkannya, dan kuharap Pa-man dan juga nona Cu suka
membantuku untuk menundukkannya kalau dia berani datang di sini."
"Tentu saja aku akan membantumu, Pangcu," kata Kim Giok tanpa ragu lagi, Sin-ciang Taihiap adalah seorang yang jahat, pikirnya, telah mengkhianati Thian--li-pang, membunuh ketua
Thian-li-pang, bahkan bergaul dengan Pangeran Cia Sun dari kerajaan Mancu. Yo Han telah
membunuh banyak tokoh Thian-li-pang dan orang sejahat itu memang harus ditentang.
"Kalau perlu, kita minta bantuan tenaga ketua Pek-lian-kauw dan ketua Pat-kwa-pai," kata
Siangkoan Kok yang diam-diam juga merasa jerih terhadap Sin-ciang Tai-hiap.
"Memang aku sudah mempunyai ren-cana, dan sudah mengirim surat kepada mereka," kata
Seng Bu. Mereka melanjutkan makan minum dan merasa yakin bahwa dua orang tosu Pek-lian-kauw
dan dua orang tosu Pat kwa-pai tadi akan mampu membereskan kerusuhan dan menyeret
pengacaunya ke markas Thian-li-pang.
*** Empat orang tosu itu memasuki ru-mah makan dengan hati-hati, dan di belakang mereka
nampak dua belas orang anggauta Thian-li-pang tingkat tertinggi, siap dengan pedang di
tangan. Ketika mereka memasuki pintu depan rumah makan, Kui Thian-cu tokoh Pek-liankauw yang memimpin rombongan. itu, memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk
berhenti. Tadi dia sudah merundingkan dengan Im-yang-ji dan dua orang tosu lain untuk
mempermainkan pengacau yang berada di rumah makan itu dengan mempergunakan
kekuatan sihir. Kini, mereka berempat mengerahkan kekuatan sihir, mempersatukan kekuatan
mereka, mulut mereka berkemak-kemik membaca mantram, mata mereka memandang ke
arah caping yang menutupi kepala dan muka Yo Han, kemudian mereka menudingkan
telunjuk kanan ke arah caping itu. Kui Thian-cu yang menjadi juru bi-cara mereka berempat,
segera berkata dengan suara bergema dan mengandung kekuatan sihir.
"Caping yang berada di atas kepala pengacau, terbanglah ke sini!"
Para anggauta Thian-li-pang yang bergerombol di luar pintu rumah makan itu terbelalak
heran dan kagum melihat betapa caping yang menutupi kepala orang yang duduk
membelakangi mereka di sudut itu tiba-tiba saja terbang me-layang ke atas meninggalkan
kepala itu, dan empat orang tosu itu sudah siap untuk mentertawakan Yo Han. Akan tetapi
wajah mereka yang tadinya me-nyeringai itu berubah seketika ketika ca-ping yang melayang
ke atas itu kini menyambar ke arah mereka seperti pe-luru yang berputar-putar mengeluarkan
suara berdesing! Tentu saja mereka ter-kejut bukan main dan mereka cepat mengelak. Caping
itu seperti berubah menjadi seekor burung elang yang me-nyambar-nyambar kepala mereka
sehingga mereka sibuk berloncatan ke sana-sini. Akhirnya, setelah gagal memperoleh kor-ban
caping itu melayang kembali ke arah kepala pemiliknya dan hinggap di atas kepala seperti
burung terbang kembali ke sarangnya! Kini empat orang tosu itu saling pandang, maklum
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
232 bahwa pemilik caping itu telah mempermainkan mereka dan bahwa kekuatan sihir mereka
tadi sama sekali tidak berhasil!
Kui Thian-cu yang melihat betapa ruangan itu terlalu sempit dan banyak terhalang meja dan
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bangku sehingga ka-wan-kawannya tidak akan leluasa untuk mengeroyok lawan yang
agaknya amat lihai ini, segera membentak, "orang ber-caping sombong! Engkau berani
melukai para anggauta Thian-li-pang, Pat-kwa--pai dan Pek-lian-kauw. Kalau engkau
memang berkepandaian, dan bukan se-orang pengecut, keluarlah dan mari kita mengadu
kepandaian di luar yang luas! Kalau engkau tidak mau keluar, kami akan membakar rumah
ini!" Setelah ber-kata demikian, Kui Thian-cu memberi isyarat dan bersama teman-temannya,
dia pun melangkah keluar dan menanti di luar rumah makan.
Mendengar ucapan yang bernada me-ngancam itu, pemilik kedai dan puterinya menjadi
ketakutan, nekat keluar dari persembunyian mereka dan menjatuhkan diri berlutut di depan
Yo Han. "Tai-hiap.... tolonglah.... harap Tai--hiap keluar dari sini dan berkelahi diluar saja....jangan
sampai rumah kami dibakar....!"
Juga enam orang anggauta Thian--li-pang yang masih meringkuk di sudut ruangan itu dan
tidak berani bergerak, menjadi pucat ketakutan. Mereka sejak tadi takut pergi dari situ, takut
kalau dirobohkan lagi oleh si caping lebar yang amat lihai. Akan tetapi sekarang ada ancaman
dari tosu tadi, kalau mereka diam saja di situ, tentu mereka akan ikut terbakar!
Yo Han tentu saja tidak ingin me-rugikan si pemilik rumah makan, tanpa menjawab dia pun
menyambar buntalan pakaiannya, menggendong buntalan pakai-annya, mengeluarkan
sepotong emas dan melemparkannya ke atas meja.
"Ini untuk pengganti semua kerugian-mu, Paman," katanya sambil melangkah keluar
perlahan-lahan. Tentu saja ayah dan anak itu terkejut dan gembira bukan main. Pemberian itu
puluhan kali lebih banyak daripada kerugian yang mereka derita.
Sementara itu, ketika si caping lebar melangkah lambat-lambat keluar dari rumah makan,
empat orang tosu dan se-losin anggauta Thian-li-pang memandang dengan hati tegang. Yo
Han melangkah dengan muka ditundukkan sehingga mereka belum dapat melihat wajahnya.
Setelah tiba di depan empat orang tosu itu, Yo Han berhenti melangkah.
"Heiii, orang asing!" bentak Kui Thian--cu marah. "Siapakah engkau dan apa pula sebabnya
engkau melukai para anggauta Thian-li-pang, Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw?"
Tanpa mengangkat mukanya yang me-nunduk dan tertutup caping, Yo Han menjawab,
suaranya terdengar dingin, "Sejak dahulu Pat-kwa-pai dan Pek-lian--kauw adalah penjahatpenjahat yang ber-kedok perjuangan, tidak aneh kalau hari ini mereka melakukan kejahatan.
Akan tetapi, Thian-li-pang adalah pejuang-pe-juang sejati, sekarang anak buahnya
me-nyeleweng, patut disesalkan dan dibuat penasaran!"
"Keparat, enak saja engkau membuka mulut! Perlihatkan mukamu, atau engkau begitu
pengecut untuk memperkenalkan diri?"
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
233 "Kui Thian-cu, aku bukan orang asing bagimu," kata Yo Han dan kini dia meng-angkat
mukanya sehingga sekilas nampak wajahnya, akan tetapi dia sudah menun-duk kembali.
Mereka yang sudah menge-nalnya, terkejut, termasuk Kui Thian--cu.
"Ah, kiranya Sin-ciang Tai-hiap" Sejak kapan engkau memusuhi Pat-kwa-pai dan Pek-liankauw?" "Kui Thian-cu, aku tidak memusuhi siapapun, akan tetapi akan menghajar siapa saja yang
berbuat jahat. Anak buah Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai melaku-kan kejahatan bersama anak
buah Thian--li-pang yang menyeleweng, maka kuhajar mereka. Pergilah dan jangan
mencampuri urusanku dengan Thian-li-pang, ini me-rupakan urusan dalam Thian-li-pang
sen-diri." Akan tetapi Kui Thian-cu sudah ma-rah sekali, apalagi memang dia tahu bahwa ketua Thianli-pang, sekutunya, harus membunuh orang ini yang merupa-kan ancaman bagi perkumpulan
itu, "Se-rang dan bunuh dia!" bentaknya dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya, diikuti
Im Yang-ji dan dua tosu lain yang sudah mencabut pedang. Yo Han dikeroyok empat orang
tosu! Yo Han bergerak cepat, tubuhnya berkelebatan dan menyelinap di antara gulungan sinar
empat batang pedang itu. Sementara itu, selosin anak buah Thian--li-pang tadi terkejut bukan
main ketika melihat wajah Yo Han. Akan tetapi, mereka semua telah menjadi anak buah Ouw
Seng Bu dan mereka sudah ikut melakukan penyelewengan, maka tentu saja mereka pun tidak
menghendaki Yo Han yang berkuasa di Thian-li-pang kare-na hal itu akan berarti hilangnya
semua kesenangan yang selama ini mereka per-oleh semenjak Seng Bu menjadi ketua. Maka,
mereka pun serentak ikut me-ngeroyok!
Seorang di antara mereka diam-diam sudah lari naik ke lereng bukit untuk melapor kepada
ketuanya. Ketika dia tiba di pusat, Thian-li-pang, Ouw Seng Bu yang menjamu Siangkoan
Kok dan Cu Kim Giok, baru saja selesai makan mi-num.
"Celaka, Pangcu. Sin-ciang Tai-hiap Yo Han telah muncul. Dialah orang yang mengacau
tadi!" anggauta itu melapor dengan suara gemetar.
Mendengar ini, Ouw Seng Bu me-loncat bangkit dan dia nampak gugup. Akan tetapi, melihat
Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok di situ, dia menenangkan diri. "Di mana dia sekarang?"
"Dia berada di luar rumah makan, dikeroyok oleh keempat orang tosu dan sebelas orang
anggauta kita, Pangcu. Saya lari pulang untuk melapor kepada Pangcu."
Ouw Seng Bu yang amat cerdik itu bertindak cepat sekali. "Paman Siangkoan Kok, harap
Paman tidak memperlihatkan diri kepada Yo Han dan bersembunyi di dalam kamar Paman.
Nona Cu, harap engkau beritirahat di dalam kamarmu sampai nanti aku memberitahukan
segala-nya kepadamu. Aku akan menghadapi Yo Han dan menerimanya dengan baik-baik
untuk mencegah jatuhnya banyak korban." Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok meng-angguk
dan mereka pergi ke kamar ma-sing-masing yang sudah diberikan kepada mereka sejak
mereka tiba di situ. Ouw Seng Bu cepat mengumpulkan anak buahnya dan dengan tegas memesan agar mereka
semua memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada Yo Han dan bersikap seperti dahulu
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
234 agar tidak me-nimbulkan kecurigaan di hati Pendekar Tangan Sakti. Kemudian, dia menuju
ke kamar Cu Kim Giok dan mengetuk daun pintunya.
Setelah Cu Kim Giok muncul, Ouw Seng Bu berkata, "Nona Cu, sekarang saatnya engkau
membantuku. Aku ingin menalukkan Yo Han tanpa mendatangkan banyak korban, dan aku
akan berpura--pura tidak tahu bahwa dia yang telah menyebar pembunuhan di sini. Engkau
bersikaplah sebagai seorang tamuku, se-orang sahabat baikku...."
"Tapi, apa manfaatnya kehadiranku...."
"Banyak sekali, Nona. Engkau akan menimbulkan kepercayaan di hatinya bahwa kita tidak
mempunyai maksud tertentu terhadap dirinya. Kalau melihat engkau sebagai tamuku, pasti dia
akan percaya kepadaku. Marilah, Nona, aku.... sungguh aku membutuhkan pertolonganmu.
Ataukah.... engkau begitu tega tidak mau membantuku?" Ouw Seng Bu. Sudah dapat melihat
selama dia bergaul dengan Kim Giok bahwa gadis itu pun membalas perasaan hatinya, bahwa.
gadis itu pun jatuh cinta kepadanya, maka dia mem-pergunakan sikap lunak dan menarik rasa
iba gadis itu. Dia berhasil, Cu Kim Giok mengangguk.
"Baiklah, Pangcu. Aku akan, mem-bantumu."
"Engkau tidak perlu bicara atau ber-buat apa pun, hanya mengaku saja bahwa engkau
menjadi sahabatku. Nah, aku tidak ingin menyuruhmu berbuat jahat atau berbohong bukan?"
Mereka berdua segera berlari cepat menuruni lereng bukit dan ketika mereka memasuki
dusun dan tiba di depan kedai arak, mereka berdua tertegun.
Apa yang telah terjadi" Yo Han di-keroyok oleh empat orang tosu lihai dari Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-kauw, juga oleh sebelas orang murid Thian-li-pang tingkat atas. Para pengeroyok itu
semua menggunakan pedang sedangkan Yo Han bertangan kosong! Akan tetapi, tubuhnya
yang dapat dibuat ringan seperti bayangan itu berkelebatan di atas belasan ba-tang pedang dan
setiap kali terbuka ke-sempatan, begitu kaki atau tangannya bergerak menyambar, tentu
seorang pe-ngeroyok dapat dirobohkan! Dia mengenal gerakan silat orang-orang Thian-lipang, mengenal cakar beracun mereka, maka dengan mudah dia dapat mengenal bagian lemah
mereka sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan atau kaki, seorang anggauta Thian-lipang terjungkal. Dia tidak mau membunuh mereka, hanya merobohkan dan membuat mereka
tidak mampu bangkit kembali karena patah tulang atau menotok mereka sehingga tidak
mampu beegerak kembali. Akhirnya, sebelas orang Thian-li-pang roboh tak dapat bangkit
kembali dan tinggal dua orang tosu Pek-lian-kauw dan dua orang tosu Pat-kwa-pai saja yang
masih mengeroyoknya dengan serangan membabi-buta karena sejak tadi, serangan pedang
mereka tidak pernah mengenai tubuh pemuda itu.
"Orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat--kwa-pai, kalian pergilah. Aku tidak ingin bermusuhan
dengan kalian dan jangan mencampuri utusan kami orang-orang Thian-li-pang!" dua kali Yo
Han menegur dan menyuruh mereka pergi.
Ketika empat orang itu terus meng-amuk tanpa mempedulikan kata-katanya, Yo Han menjadi
marah. "Kalian ini orang--orang bandel yang pantas menerima hajaran!" Dia pun bergerak
cepat, meng-gunakan ilmu silat Bu-kek Hoat-keng dan angin berpusing cepat sekali, membuat
empat orang tosu itu ikut terputar dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, pedang mereka
beterbangan lepas dari tangan dan mereka pun seperti dilontar-kan tenaga yang amat kuat,
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
235 terlempar dan terbanting sampai beberapa meter jauhnya! Agaknya Si Tangan Sakti me-mang
tidak ingin membunuh mereka sehingga mereka hanya terbanting keras tanpa menderita luka
parah.Pada saat mereka terbanting itulah, Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok menuruni lereng.
Ouw Seng Bu mengenal gerakan Yo Han itu. Dia pun merasa sanggup bergerak menimbulkan
angin berpusing seperti itu seperti yang pernah dia pe-lajari dalam sumur!
Empat orang tosu mendapat hati ke-tika melihat Seng Bu. Mereka dengan muka meringis
kesakitan karena pinggul mereka tadi terbanting keras, bangkit menyongsong kedatangan
Seng Bu. "Pangcu...." kata mereka, akan tetapi Seng Bu mengangkat tangan memberi hormat.
"Harap To-tiang berempat suka me-maafkan kami dan meninggalkan tempat ini. Biarkan
kami menyelesaikan urusan dalam Thian-li-pang."
Empat orang tosu itu merasa heran, akan tetapi karena mereka sudah mak-lum bahwa ketua
baru itu tentu akan menggunakan siasat, mereka pun memberi hormat,dan pergi dari tempat
itu tanpa banyak cakap lagi. Kini Seng Bu berdiri berhadapan dengan Yo Han dan keduanya
saling pandang. "Kiranya Sin-ciang Tai-hiap yang da-tang! Harap maafkan siauwte dan para anggauta Thianli-pang yang tidak tahu akan kedatangan Tai-hiap dan tidak sem-pat menyambut seperti
mestinya." Dia memberi hormat.
Yo Han mengerutkan alisnya, meman-dang penuh selidik. Dia tadi mendengar Kui Thian-cu
menyebut "pangcu" kepada pemuda tampan ini! Dengan sikap tenang namun suaranya tegas
dan menyelidik, Yo Han berkata, "Wajahmu tidak asing bagiku. Bukankah engkau seorang di
an-tara para murid suheng Lauw Kang Hui" Kenapa tosu tadi menyebutmu sebagai pangcu"
Di mana suheng Lauw Kang Hui dan apa yang terjadi dengan Thian-li--pang" Mengapa
bersahabat dengan orang--orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai dan mengapa pula ada murid
Thian-li-pang yang dapat melakukan kejahatan di dusun ini?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan itu, Seng Bu merasa seperti dihujani serangan yang
berbahaya. Dia memberi hormat lagi. "Tai-hiap, banyak sekali hal--hal yang amat hebat telah
terjadi di tempat kita. Suhu.... suhu telah....mati dibunuh orang.... dan aku terpaksa untuk
sementara mewakili dan diangkat men-jadi pangcu karena tidak ada orang lain yang dapat
memegang kedudukan itu se-bagai pemimpin sementara. Suhu Lauw- Kang Hui dibunuh
orang, demikian pula suci Lauw Sek, suheng Lauw Kin, susiok Su Kian den susiok Thio Cu.
Semua te-was dibunuh orang...."
"Ahhh?"" Yo Han benar-benar merasa terkejut. "Siapakah yang membunuh me-reka?"
"Panjang ceritanya, Taihiap. Marilah, ktta naik ke tempat kita dan di sana nanti aku
menceritakan semuanya. Ba-nyak sekali rahasia tersembunyi di balik semua peristiwa yang
mengerikan itu, Taihiap."
Yo Han masih mengerutkan alisnya, akan tetapi dia mengangguk dan ketika mereka mulai
mendaki bukit dan melihat gadis manis yang datang bersama Ouw Seng Bu ikut pula
mendaki, dia berhenti dan bertanya.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
236 "Nanti dulu, siapakah Nona ini?" "Taihiap, Nona ini adalah nona Cu Kim Giok, ia seorang
sahabat baikku dan sekarang menjadi tamu terhormat di Thian-li-pang. Ia bukan gadis
sembarang-an, Taihiap. Kuyakin Taihiap pernah men-dengar tentang keluarga majikan
Lembah Naga Siluman, yaitu keluarga Cui Nah, Nona ini adalah puteri dari pendekar besar
Cu Kun Tek dari Lembah Naga Siluman."
"Ahhh, kiranya Nona dari keluarga yang terkenal itu," kata Yo Han sambil memberi hormat.
Kim Giok cepat membalas penghormatan itu. "Harap Yo-taihiap tidak bersikap merendah.
Sudah lama aku mendengar tentang nama besar Taihiap. Sa-yang dalam pertemuan tiga
keluarga besar di rumah Paman Suma, Ceng Liong di Hong-oun, Taihiap tidak ikut hadir."
Yo Han tersenyum dan sejenak ma-mandang gadis itu penuh selidik. "Jadi engkau adalah
sahabat baik dari.... eh, ketua Thian-li-pang ini?"
"Benar, dan baru beberapa hari aku menjadi tamu dari Thian-li-pang."
"Taihiap agaknya sudah lupa kepadaku. Aku murid termuda dari mendiang suhu Lauw Kang
Hui, namaku Ouw Seng Bu," ketua itu memperkenalkan diri.
Yo Han mengangguk-angguk. "Ya, aku sekarang teringat. Jadi semua murid tertua dari
suheng Lauw Kang Hui telah dibunuh orang?"
Diam-diam Cu Kim Giok mengerling dan mengamati wajah pendekar itu. Me-nurut cerita
yang didengarnya dari. Seng Bu, orang inilah yang membunuh Lauw Kang Hui dan para
muridnya. Apakah sekarang dia berpura-pura" Ataukah ada rahasia lain di balik pembunuhan
itu dan pembunuhnya bukan Sin-ciang Tai-hiap melainkan orang lain" Wajah tampan dengan
sinar mata tajam mencorong itu sukar diduga apa yang terkandung dalam hatinya.
"Taihiap, nanti saja akan kuceritakan semua setelah kita tiba di rumah." kata Seng Bu dan Yo
Han mengangguk. Mere-ka lalu mendaki lereng bukit dan ketika mereka tiba di pintu gerbang
perkampung-an Thian-li-pang, para murid Thian-li-pang menyambut mereka dengan sikap
meriah dan gembira. "Sin-ciang Tai-hiap telah datang!" demikian mereka berteriak dan bersorak sambil memberi
hormat. Yo Han menerima penyambutan itu dengan senyum, akan tetapi di dalam hatinya merasa
heran bukan main. Be-tapa jauh bedanya antara sikap, para anggauta Thian-li-pang yang
berada di perkampungan ini dengan mereka yang tadi berada di dusun! Seolah tidak wajar
lagi! Setelah mereka memasuki ruangan dalam, Seng Bu berkata kepada Cu Kim Giok, "Nona Cu,
maafkan saya, harap Nona suka beristirahat dan meninggalkan kami berdua untuk
membicarakan soal perkumpulan kami."
Cu Kim Giok mengangguk, lalu me-ninggalkan ruangan utu. Seng Bu menutup pintu ruangan
itu, kemudian dia pun mempersilakan Yo Han untuk duduk.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
237 Yo Han duduk dan menghela napas panjang. "Nah, sekarang ceritakanlah semua. Apa yang
telah terjadi di sini" Cerutakan semua dengan jelas."
Tiba-tiba Ouw Seng Bu menjatuhkan diri berlutut di depan Yo Han sambil menangis! Yo
Han mengerutkan alisnya dan menegur dengan tegas, "Ouw Seng Bu, sikapmu ini sungguh
memalukan se-kali! Engkau telah ditunjuk sebagai ke-tua, akan tetapi anak buah Thian-lipang menyeleweng, Thian-li-pang mengadakan persekutuan dengan partai-partai sesat seperti
Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, dan sekarang engkau menangis seperti anak kecil atau seperti
wanita lemah, yang cengeng. Engkau tidak patut men-jadi ketua Thian-li-pang!"
"Yo-taihiap, harap maafkan dan ka-sihanilah saya! Saya terpaksa menjadi ketua karena tidak
ada orang lain lagi. Hanya sayalah satu-satunya murid men-diang suhu yang dianggap paling
kuat. Akan tetapi, setelah suhu dan para su-siok dan suheng tewas, saya menjadi bi-ngung dan
tidak dapat mengendalikan semua murid, tidak dapat mencegah ka-lau ada yang melakukan
penyelewengan. Mereka itu condong untuk memberontak dan saya tidak berdaya menghadapi
mereka. Juga saya tidak berani menolak ketika Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw melakukan
pendekatan, takut kalau-kalau mereka akan memusuhi kami. Sekarang Tai-hiap telah pulang,
maka saya menyerahkan kepada Tai-hiap untuk meng-atur kembali perkumpulan kita ini."
"Sudahlah, duduklah dan sekarang ceritakan apa yang terjadi dan bagai-mana suheng Lauw
Kang Hui dan yang lain-lain sampai dibunuh orang, dan siapa pembunuh mereka itu."
Seng Bu duduk dan menghapus air matanya. "Peristiwa yang terjadi itu amat mengerikan dan
penuh rahasia, Yo--taihiap. Kami hanya melihat ada bayang-an hitam yang menangkap
mereka se-orang demi seorang dan membawa me-reka masuk ke dalam sumur tua itu. Dan
setelah mereka itu dibawa masuk sumur, sampai sekarang tidak ada kabar cerita-nya dan kami
semua menganggap bahwa mereka tentu telah tewas terbunuh.?"Hemmm, siapakah bayangan
hitam itu?" Yo Han bertanya, alisnya berkerut, penasaran sekali.
"Itulah yang membuat kami semua penasaran, Tai-hiap. Tak ada yang dapat melihatnya,
hanya melihat bayangan hi-tam seperti setan, menangkap mereka dan membawa loncat ke
dalam sumur. Tentu saja peristiwa itu membuat semua anggauta menjadi panik dan ketakutan,
dan untuk meredakan kepanikan mereka, terpaksa saya untuk sementara meng-gantikan
kedudukan suhu dan memimpin mereka."
"Akan tetapi, kenapa kalian tidak memasuki sumur itu untuk menyelidikit apa yang terjadi di
sana" Siapa tahu suheng Lauw Kang Hui dan yang lain--lain belum tewas?"
Seng Bu kelihatan terkejut dan ke-takutan. "Maafkan kami, Yo-taihiap. Tentu saja kami juga
berpikir demikian, mengharapkan mereka belum tewas dan sewaktu-waktu akan muncul
keluar. Akan tetapi, untuk menyelidikinya, untuk me-masuki sumur tua itu, siapa yang
berani?" "Tidak berani" Aih, tak kusangka orang-orang Thian-li-pang berubah men-jadi penakut dan
pengecut!" Lalu sambil menatap tajam wajah Seng Bu dia melanjutkan, "Dan engkau sendiri,
yang telah menerima menjadi ketua, kenapa engkau tidak memasuki sumur itu untuk
menyelidikinya?" Seng Bu menundukkan mukanya. "Ma-afkan kami semua, Yo-taihiap. Sebetul-nya kami
ingin sekali, akan tetapi kami takut. Kalau suhu dan para susiok, suci dan suheng sendiri tidak
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
238 berdaya dibawa masuk ke sumur oleh bayangan hitam itu, lalu bagaimana mungkin kami akan
mampu menandinginya" Memasuki sumur berarti mati konyol, dan kami semua, tidak
berani." Yo Han menghela napas panjang, ter-ingat akan mendiang kakek Ciu Lam Hok. Gurunya itu
adalah seorang yang gagah perkasa, bahkan kedua orang pa-man gurunya, mendiang Ban-tok
Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, biarpun keduanya menyeleweng dari jalan kebenaran, tetap saja
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa. Demikian pula murid mereka, Lauw
Kang Hui, memiliki keberanian dan kegagahan. Akan tetapi bagaimana sekarang para murid
Thian--li-pang begitu penakut dan pengecut" Gurunya berpesan agar dia mengawasi Thian-lipang dan mengusahakan agar Thian-li-pang pulih kembali menjadi per-kumpulan besar yang
berjiwa pahlawan pembela nusa bangsa.
"Sudah berapa lamakah peristiwa hi-langnya suheng Lauw Kang Hui ke dalam sumur tua itu
terjadi?" "Sudah kurang lebih tiga bulan, Yo-taihiap."
Yo Han merasa penasaran dan khawatir. Kalau sampai tiga bulan mereka tidak keluar dari
dalam sumur tua itu, kecil sekali harapannya mereka masih hidup. Akan tetapi, mati atau
hidup me-reka itu, dia harus mengetahui dengan pasti.
"Baik, kalau begitu biar aku sendiri yang akan memasuki sumur itu dan me-lakukan
penyelidikan." Yo Han berkata.
Ouw Seng Bu memandang dengan mata terbelalak. "Akan tetapi, Tai-hiap. Itu berbahaya
sekali!!" Yo Han tersenyum, "Seorang gagah tidak gentar menempuh bahaya, asal itu dilakukan demi
kebaikan. Lupakah engkau akan pelajaran kegagahan dari Thian--li-pang?"
"Be.... benar, Tai-hiap. Akan te-tapi.... sumur tua itu penuh rahasia dan menyeramkan, tentu
banyak iblis menjadi penghuninya di sana dan tak seorang pun berani memasukinya. Saya
takut kalau sampai terjadi sesuatu atas diri Tai-hiap...."
"Mati hidup di tangan Tuhan. Aku tidak minta ditemani siapapun kalau memang kalian takut.
Biar aku sendiri yang masuk dan kalian berjaga di luar sumur raja. Sediakan sehelai tali yang
kuat dan panjang, sekaran juga aku akan memasuki sumur menyelidiki keadaan suheng Lauw
Kang Hui dan yang lain--lain."
"Baik, Taihiap."
"Dan mulai saat ini, Thian-li-pang harus memutuskan hubungan dengan Pat--kwa-pai dan
Pek-lian-kauw. Para murid dilarang bergaul dengan mereka, dan kalau ada yang melanggar,
akan dihukum berat. Dua orang anggauta Thian-li-pang yang membuat kerusuhan di rumah
ma-kan, harus dihukum kurung selama sepekan. Nah, laksanakan!"
"Baik, Taihiap." Ouw Seng Bu mem-buka daun pintu dan berseru memanggil pembantunya.
Para murid kelas tertinggi dari Thian-li-pang datang berlarian dan berkumpul di luar pintu
ruangan itu. Seng Bu lalu berkata dengan suara lan-tang kepada mereka.
Si Tangan Sakti > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
239 "Seluruh anggauta agar bersiap-siap dan berkumpul di dekat sumur tua dan sediakan sehelai
tambang yang kuat dan panjang. Sin-ciang Tai-hiap sendiri akan turun ke dalam sumur
melakukan penye-lidikan sekarang juga!"
Terdengar seruan-seruan kaget di an-tara para anggauta Thian-li-pang, akan tetapi mereka
segera menanti perintah ketua mereka dan diantar oleh Ouw Seng Bu pergi ke bagian
belakang perkampung-an Thian-li-pang dan tiba di dekat sumur tua. Sumur pertama yang
pernah men-jadi tempat tahanan kakek Ciu Lam Hok yang berada di tempat itu juga, tidak
terlalu jauh dari situ, telah ditutup de-ngan batu-batu sehingga tidak nampak lagi lubangnya.
Sumur ke dua ini lebih besar, juga amat dalam karena kalau di-jenguk dari atas, tidak nampak
dasar-nya, hanya gelap menghitam. Sebetulnya, tanpa tambang sekalipun Yo Han akan
mampu menuruni sumur itu dengan me-rayap, akan tetapi lebih mudah meng-gunakan tali,
juga untuk naik kembali, mudah kalau ada talinya.
Hampir seratus orang anggauta Thian--li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi
sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka me-nyerahkan segulungan tali
yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.
"Tai-hiap, apakah tali ini memenuhi syarat?" tanya Seng Bu sambil mem-perlihatkan tali itu
kepada Yo Han. Yo Han menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam
sumur se-telah ujung itu diikatkan kepada se-bongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali
dan sampai lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur dan tali itu memng cukup
panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali mengendur, masih ada sisa tiga
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 3 Pendekar Pedang Sakti Munculnya Seorang Pendekar ( Bwee Hoa Kiam Hiap ) Karya Liong Pei Yen Bende Mataram 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama