Ceritasilat Novel Online

Dendam Sembilan Iblis Tua 2

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


besar yang mematikan tiba. Penghancuran arca, penangkap atas
diri Bunga Kuning, semua itu hanya merupakan percobaan kecilkecilan saja.
Tiga orang datuk besar dari Kiu Lo-mo itu amat cerdik. Mereka
yang berdiri di belakang layar mengatur kesemuanya, dan
mereka tidak tergesa-gesa. Bahkan ketika mereka dilapori
tentang ditangkapnya Bunga Kuning, mereka yang mengatur
72 siasat dan pada malam hari itupun, mereka tidak membolehkan
Thai-san Ngo-kwi sendiri yang maju mengantar Bunga Kuning
menyelundup ke dalam rumah Hek-liong-li.
"Kita tidak boleh memandang rendah Hek-liong-li dan sembilan
orang pelayannya. Jangan sampai untuk hasil yang kecil kita
mempertaruhkan nyawa Thai-san Ngo-kwi," demikian kata Kim Pit
Siu-cai kepada suheng dan sumoinya. Thai-san Ngo-kwi, muridmurid keponakan mereka merupakan pembantu-pembantu utama
yang penting bagi mereka.
"Y" Malam itu gelap sekali. Langit tak berbintang, tertutup awan awan
gelap. Karena cuaca yang buruk, maka belum juga tengah
malam, kota Lok-yang sudah sepi sekali. Sore-sore sudah banyak
yang memasuki kamar tidur atau setidaknya berada di dalam
rumah. Mereka yang suka bermalam panjang, lebih senang
berada di rumah kawan-kawan atau di rumah pelesir atau rumah
judi yang hangat. Bahkan para peronda penjaga keamanan pun
nampak malas untuk berkeliaran di malam gelap dan dingin itu.
Keadaan yang sunyi ini menguntungkan dua orang berpakaian
serba hitam yang menggandeng seorang lain yang juga
berpakaian serba hitam. Orang yang digandeng ini adalah Bunga
Kuning yang mukanya sudah dihitamkan dengan arang dan
pakaiannya yang serba kuning kini tertutup pakaian hitam.
Kedua lengan gadis ini setengah lumpuh karena sebelum
berangkat, Thai-kwi telah menotok kedua pundaknya. Kedua
kakinya masih dapat bergerak lincah, akan tetapi karena kedua
73 pergelangan kaki itu dibelenggu dengan rantai, tentu saja ia tidak
akan mampu berlari cepat. Dan dua orang yang mengawalnya itu
adalah dua orang anak buah Thai-san Ngo-kwi yang paling lihai.
Mereka sudah siap dengan pedang di tangan sehingga sewaktuwaktu, apabila Bunga Kuning membuat gerakan mencurigakan,
mereka akan dapat membunuhnya!
Pagar tembok dua meter yang atasnya dipasangi tombak merah
itu bukan penghalang bagi dua orang penjahat itu. Dengan ringan
mereka meloncat bersama Bunga Kuning yang juga meloncat ke
atas tembok, melewati tombak merah dan tak lama kemudian
mereka sudah berindap-indap dan menyusup-nyusup di antara
pohon-pohon bunga di sebelah kiri bangunan tempat tinggal Hekliong-li. Gelap di situ dan lampu-lampu gantung yang dipasang di
sekitar rumah itu nampak berkelap-kelip, ditelan kegelapan yang
pekat. Ketika tiba di belakang bangunan itu, di luar sebuah pintu besi
yang tertutup rapat, Bunga Kuning memberi isyarat dengan
matanya ke arah sebuah batu besar yang berdiri di balik semak
rumpun bunga dan berbisik. "Putar batu itu ke kiri dua kali."
Seorang di antara dua pengawalnya, yang bertubuh tinggi besar,
segera menghampiri batu besar itu dan menggunakan kedua
tangan untuk memutar batu besar itu dua kali. Tanpa
mengeluarkan suara, pintu besi itupun terbuka! Orang kedua
yang bertubuh tinggi kurus tetap memegangi lengan Bunga
Kuning dan sebelah tangannya memegang pedang, sikapnya
waspada. 74 Mereka bertiga masuk dan Bunga Kuning menunjuk ke arah
tombol besi yang berada di balik pintu. "Dorong tombol itu untuk
menutup pintu dan tarik kalau hendak membukanya," bisiknya.
Kembali si tinggi besar mencoba tombol itu dan benar saja. Pintu
itu mudah dibuka dan ditutup dari dalam menggunakan tombol
itu. Bunga Kuning membawa dua orang itu masuk semakin dalam,
melalui bermacam-macam alat rahasia yang rumit-rumit. Dua
orang itu diam-diam merasa gembira, karena agaknya tawanan
itu tidak menipu mereka. Mereka bukan saja bertugas untuk
membunuh Hek-liong-li kalau terbuka kesempatan. Andaikata
tidak, mereka sudah mengetahui akan rahasia jebakan yang
dipasang di rumah itu, yang semula amat ditakuti oleh Thai-san
Ngo-kwi. Mereka sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sejak mereka
memasuki pagar tembok, semua gerakan mereka telah diikuti
oleh Hek-liong-li dan delapan orang pelayannya! Bagaimana
mungkin begitu" Kiranya ketika berada di luar pagar tembok tadi, tanpa diketahui
dua orang penawannya, Bunga Kuning secara sengaja menginjak
sebuah batu tersembunyi yang sengaja dipasang di situ. Kalau
batu itu terinjak, maka di dalam akan ada tanda bahwa di luar
pagar tembok ada orang yang mendekat. Dan sejak itu, Liong-li
sudah melakukan pengintaian!
Untung saja Bunga Kuning memberi tanda itu. Andaikata tidak,
dalam kegelapan itu, mungkin saja ia sendiri akan menjadi korban
75 penyergapan Hek-liong-li dan para pelayannya. Karena ia
menginjak tanda itu, maka Hek-liong-li menjadi waspada.
Ketika ia mengintai, ia melihat orang ketiga yang ditawan itu,
dengan rantai di kedua kaki. Biarpun muka itu sudah dihitamkan
dengan arang, dan pakaian kuning tertutup baju hitam, Liong-li
segera dapat mengenalnya sebagai si Bunga Kuning. Diam-diam
Liong-li merasa gembira juga kagum terhadap anak buahnya itu,
yang biarpun berada dalam keadaan gawat dan terancam maut,
masih dapat bersikap tenang dan cerdik sesuai dengan
gemblengan yang ia berikan kepada semua anak buahnya.
Bunga Kuning maklum sepenuhnya bahwa injakan batu tanda
bahaya tadi tentu telah membuat semua rekan dan juga
majikannya waspada. Maka, iapun tidak membuat usaha untuk
menyerang kedua orang pengawalnya. Tidak perlu ia
membahayakan dan mempertaruhkan nyawanya, karena sekali
nonanya keluar turun tangan, dua orang kasar ini tentu akan
mudah dibuat tidak berdaya tanpa ia mempertaruhkan nyawanya
seperti kalau ia sendiri yang memberontak dan menyerang.
Sepasang mata Hek-liong-li yang tajam dan mencorong,
menembus kegelapan ketika ia mengintai keadaan Bunga Kuning
dan dua orang penawannya. Ia menanti saat yang tepat untuk
turun tangan tanpa membahayakan keselamatan anak buahnya
itu. Ia amat menyayang para anak buahnya, bukan saja
menganggap mereka itu pembantu setia, akan tetapi juga kawankawan yang akrab dan murid-murid yang taat.
76 Bunga Kuning yang masih digandeng si tinggi kurus juga dapat
menduga bahwa tentu nonanya sedang membuat persiapan dan
mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Ia melihat betapa si
tinggi kurus selalu menggandeng lengan kirinya yang setengah
lumpuh, dan pedangnya selalu ditodongkan di lehernya. Adapun
si tinggi besar selalu melangkah di belakangnya, dengan pedang
menodong punggungnya pula.
Iapun sengaja membawa dua orang penawannya itu ke tempattempat terbuka dengan maksud memberi kesempatan kepada
Liong-li untuk turun tangan. Setiap kali tiba di tempat terbuka, ia
sengaja berhenti. Pada saat yang baik, Bunga Kuning berhenti di
bawah sebatang pohon. Ia sengaja mengajak mereka keluar dari
ruangan belakang ketika mereka membisikkan bahwa mereka
ingin agar Bunga Kuning menunjukkan tempat tidur Hek-liong-li"
"Nona kami selalu tidur di bangunan kecil yang berada di taman,
tidak pernah tidur di dalam gedung induk," bisik Bunga Kuning,
"kalau ingin melihatnya, kita harus menyeberangi taman itu."
Demikianlah, ketika tiba di bawah sebatang pohon dan banyak
semak berbunga di sekitar situ, Bunga Kuning sengaja berhenti.
Lampu yang tergantung di pohon, sebuah lampu taman yang
indah dan cukup terang, membuat mereka bertiga menjadi
sasaran yang jelas. Iapun mengatur jarak sehingga si tinggi besar
yang berada di belakang itupun berada agak di kanan sehingga
kalau ia harus menyingkir, ia dapat meloncat ke sebelah kiri yang
paling jauh dari jangkauan kedua orang pengawalnya.
77 Dan perhitungan Bunga Kuning ini memang sesuai dengan
perhitungan Hek-liong-li. Melihat betapa kembali anak buahnya
itu berhenti, kini di bawah pohon yang ada lampu penerangannya,
ia yang mengintai dari balik semak di sebelah depan agak ke
kanan, segera turun tangan. Akan tetapi Liong-li bukanlah
seorang yang berwatak curang. Tidak sudi ia kalau harus
bertindak curang melukai lawan secara sembunyi, apa lagi
membunuhnya. Ia hanya ingin menggunakan serangan gelap
untuk memberi kesempatan kepada Bunga Kuning menghindarkan diri dari penodongan pedang.
"Wuut......! Wuuuutt......!" Dua butir kerikil menyambar dengan
cepatnya ke arah dua orang yang menodong Bunga Kuning
dengan pedang itu. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu Bunga Kuning. Begitu
mendengar kedua orang itu berteriak dan pedang mereka
terlepas dari pegangan iapun cepat melempar tubuhnya dengan
tangan masih setengah lumpuh dan kedua kaki dipasangi rantai
itu ke arah kiri, dan bergulingan atas tanah.
Kawan-kawannya cepat menolongnya, membuka rantai dari
kakinya dan memulihkan kedua lengannya yang tertotok. Adapun
dua orang pengawal yang tadinya terkejut setengah mati karena
tiba-tiba saja lengan mereka dekat siku terasa nyeri dan lumpuh
sehingga pedang mereka terlepas, kini cepat menyambar pula
pedang mereka karena kelumpuhan itu hanya beberapa detik
saja dan pulih kembali. 78 Akan tetapi mereka telah terlambat karena mereka telah dikepung
oleh sembilan orang wajah cantik yang berpakaian berwarnawarni termasuk Bunga Kuning yang tadi mereka tawan dan kini
sudah berdiri bebas dengan pedang di tangan, dan di depan
mereka berdiri seorang wanita yang amat cantik, tidak bersenjata,
berpakaian ringkas yang membuat bentuk tubuhnya nampak
jelas, pakaian dari sutera tipis halus berwarna hitam, namun
indah karena ada hiasan hitam kelabu di tepi baju dan ada
sulaman naga hitam di dalam lingkaran abu-abu.
"Hek-liong-li......!" Dua orang itu menggerakkan bibir menyebut
nama ini, akan tetapi tidak ada suara yang keluar dari mulut
mereka. Mereka itu terpesona, kagum, kaget, dan juga takut
setengah mati. Kalau saja mereka tidak menahan diri sekuat
tenaga, tentu celana mereka sudah menjadi basah saking takut
dan ngerinya menghadapi pendekar wanita yang tiba-tiba saja
muncul ini. Di antara sembilan orang nona pelayan atau juga pembantu dan
murid Hek-liong-li ada yang menyalakan lampu lain sehingga
tempat itu menjadi terang sekali. Dua orang laki-laki yang
biasanya membunuh orang tanpa berkedip itu kini menghadapi
Liong-li dengan muka pucat dan kaki gemetar.
Sepasang mata wanita cantik itu seperti mata naga, mencorong
dan menembus seperti menusuk jantung mereka.
"Hemm, kiranya kalian dua ekor anjing busuk yang telah merusak
arcaku dan mencoba pula untuk meracuni aku di rumah makan!"
Ucapan wanita cantik itu terdengar merdu dan halus, namun
79 mengandung hawa dingin yang menusuk tulang, mengandung
ancaman yang membuat kedua orang itu menggigil.
"Bukan...... bukan kami yang melakukan itu......!" Kini si tinggi
besar berkata dengan muka pucat sekali.
"Li-hiap, yang berdiri di belakang semua itu adalah Thai-san Ngokwi yang berdiam di puncak Bukit Hitam. Dua orang ini adalah
anak buah mereka." Bunga Kuning melapor. "Dan dua ekor anjing
ini harap li-hiap serahkan saja kepada saya, li-hiap!"
"Dan kepada saya!" kata pula Bunga Biru. "Kami berdua yang
pernah mereka serang dengan curang dan kini tiba saatnya kami
berdua melakukan pembalasan."
Liong-li tersenyum dan mengangguk. "Mereka berdua telah
mengetahui rahasia tempat kita, walaupun hanya sebagian saja.
Mereka memang layak mampus agar tidak dapat membuka
rahasia." Bunga Kuning dan Bunga Biru, dengan pedang di tangan,
menghampiri dua orang laki-laki yang berwajah pucat ketakutan
itu. "Nah, tikus-tikus busuk, kini kita dua lawan dua. Hayo perlihatkan
kegaranganmu sekarang!" teriak Bunga Kuning yang segera
menerjang dengan pedangnya, menyerang si tinggi kurus yang
tadi selalu mencengkeram lengan dan menodongnya.
80 Adapun si Bunga Biru sudah maju pula menyerang laki-laki tinggi
besar. Tidak ada pilihan lain bagi dua orang anak buah Thai-san
Ngo-kwi kecuali melawan mati-matian untuk membela diri.
Namun, bukan saja mereka memang kalah tingkat dibandingkan
dua orang pelayan yang juga murid-murid Liong-li itu, akan tetapi
di samping itu merekapun sudah ketakutan setengah mati dan
rasa takut ini mengurangi tenaga dan kecepatan mereka. Adu
silat pedang itu berlangsung hanya duapuluh jurus lebih dan
akhirnya dua orang laki-laki itupun roboh tersungkur dengan dada
ditembusi pedang dan mereka tewas seketika.
"Bungkus dengan kain kasar mayat mereka, masukkan dalam
kereta pengangkut barang dan siapkan di depan. Tiga orang ikut
bersamaku, dan yang lain menjaga rumah baik-baik. Aku sendiri
yang akan mengirimkan hadiah ini kepada Thai-san Ngo-kwi di
Bukit Hitam!" kata Hek-liong-li.
Tak lama kemudian, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda
besar mendaki Bukit Hitam. Pintu dan tirai kereta itu tertutup dan
yang nampak hanyalah seorang gadis berpakaian merah
memegang kendali kuda. Dua buah lentera kereta itu menerangi
jalan karena biarpun malam sudah amat larut mendekati fajar,
namun cuaca masih amat gelapnya.
Dari jauh hanya nampak dua buah nyala api dari dua lentera itu
bergerak-gerak menakutkan. Tentu akan disangka semacam
setan kalau orang melihat dari jauh. Dua orang pelayan Liong-li
yang lain, yang berbaju kuning dan biru, berada di dalam kereta.
Dua orang anak buah ini dipilih karena mereka pernah dibawa ke
81 puncak bukit itu dan mengenal jalan. Tidak ada pelayan lain
kecuali yang tiga orang itu. Bahkan Hek-liong-li sendiri tidak
nampak di kereta! Sebelum tiba di puncak, menjelang fajar, cuaca tidak begitu gelap
lagi walau masih remang-remang karena sinar matahari baru
menjenguk sedikit di balik puncak. Namun burung-burung jenis
yang rajin, sudah bangun dan membuat persiapan bekerja sambil
berteriak saling memanggil.


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi mahluk-mahluk kecil yang pandai terbang ini, nampaknya
pekerjaan setiap hari merupakan suatu kebahagiaan tersendiri
yang disambut dengan persiapan yang riuh dan menggembirakan. Bagi mereka yang ada hanyalah satu, yakni
setiap hari bekerja untuk menghidupi diri sendiri dan anak-anak
mereka yang masih belum mampu mencari makan sendiri. Hanya
mencari makan untuk mempertahankan hidup, itu saja.
Tiba-tiba saja nampak cahaya yang amat terang. Ang-hwa
(Bunga Merah) yang mengendalikan kereta cepat menahan dua
ekor kudanya dan ketika ia memandang ke sekeliling, ternyata
kereta itu berada di tempat terbuka dan tempat itu sudah
dikepung banyak orang. Tidak kurang dari duapuluh orang
mengepung tempat itu, dan sedikitnya sepuluh orang memegang
obor besar yang agaknya tadi dinyalakan serentak sehingga
nampak cahaya yang menyilaukan mata.
Duapuluh orang lebih itu membawa golok di pinggang, ada yang
memegang tombak, dan wajah-wajah yang tertimpa sinar obor
kemerahan itu nampak bengis, seperti wajah setan layaknya. Dan
82 di depan kereta muncul lima orang yang berdiri bertolak pinggang
dengan sikap sombong. Ang-hwa dan dua orang rekannya, yaitu Lan-hwa dan Ui-hwa
yang mengintai dari celah-celah tirai, melihat bahwa mereka
adalah lima orang yang bertampang dan bersikap menyeramkan.
Seorang bertubuh tinggi besar berkulit hitam legam, yang kedua
pendek gendut dengan muka menyeringai jelek, yang ketiga
tinggi kurus, keempat tinggi besar agak bongkok dan yang kelima
sedang saja, akan tetapi senyumnya mengejek dan sombong.
Biarpun dikepung dan dihadapi sedikitnya duapuluh lima orang,
Ang-hwa (Bunga Merah) nampak tenang-tenang saja. Setelah
saling pandang dengan lima orang itu, dengan suaranya yang
lincah dan lantang Ang-hwa bertanya, "Apakah kaliani ini yang
disebut Thai-san Ngo-kwi (Lima Setan Thai-san)?"
Mereka memang Thai-san Ngo-kwi. Seperti sudah kita ketahui,
lima orang kepala gerombolan murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi
yang juga merasa sakit hati kepada Pek-liong-eng dan Hek-liongli, bersekongkol dengan dua orang paman guru dan seorang bibi
guru mereka, merencanakan balas dendam kepada dua orang
pendekar itu. Ngo-kwi (Setan Kelima) yang paling muda di antara mereka,
usianya tigapuluh lima tahun pesolek dan tampan, bertubuh
sedang dan pembawaannya seperti seorang kong-cu (tuan muda)
dari kota, tertawa dibuat-buat sambil memandang ke arah Anghwa yang memegang kendali kuda.
83 "Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa Hek-liong-li mempunyai
sembilan orang pelayan yang manis-manis dan yang berpakaian
merah merupakan pelayan yang paling cantik paling lihai.
Agaknya engkaulah nona baju merah itu" Kami memang benar
Thai-san Ngo-kwi. Nah, nona merah, apakah engkau datang
untuk menemani kami bersuka-ria" Marilah engkau turun ke
dalam pelukanku, manis!" Jelas bahwa ucapan ini bukan sekedar
menggoda, melainkan juga mengandung ejekan yang tidak
memandang sebelah mata kepada para pembantu Hek-liong-li.
Memang benar pendapat Ngo-kwi ini. Ang-hwa adalah seorang
yang paling cerdik, juga paling tangguh dalam ilmu silat, di antara
rekan-rekannya. Karena melihat bakat yang ada pada diri Anghwa, maka Hek-liong-li tidak saja menurunkan ilmu silat yang
lebih tinggi kepadanya, juga amat mempercayainya sehingga
untuk urusan penting, Ang-hwa yang diserahi tugas
pelaksanaannya. Gadis berusia duapuluh lima tahun ini sudah
tiga kali putus cinta, dikhianati pria, maka setelah bertemu Hekliong-li, iapun rela menghambakan diri dan kini merupakan
pelayan, murid, dan sahabat terbaik Hek-liong-li.
Mendengar ucapan Ngo- kwi, Ang-hwa sama sekali tidak
terpancing menjadi marah. Bahkan sebaliknya, ia tersenyum
manis sekali memandang kepada Ngo-kwi.
"Kiranya benar kalian Thai-san Ngo-kwi. Memang kunjunganku ini
mempunyai tugas penting, yaitu aku diutus oleh Hek-liong Li-hiap
(Pendekar Wanita Naga Hitam) untuk menyerahkan hadiah yang
amat berharga kepada kalian sebagai tanda penghormatan!"
84 Mendengar ini, lima orang kepala penjahat itu saling pandang,
ada yang terheran, ada yang curiga, ada pula yang kagum dan
ada yang tidak percaya. Akan tetapi Thai-kwi, orang pertama dari
mereka, berusia empatpuluh lima tahun dan bertubuh tinggi besar
muka hitam, maklum akan kecerdikan Hek-liong-li dan tidak ingin
adik seperguruannya yang termuda dan mata keranjang itu
menggagalkan rencana mereka, segera melangkah maju
mendekati kereta. "Nona, kalau benar engkau diutus Hek-liong-li datang ke sini
untuk mengirim hadiah kepada kami, nah, serahkan hadiah itu
kepadaku. Akulah Thai-kwi, orang pertama dari Thai-san Ngokwi."
Ang-hwa tersenyum. "Nah, itu baru sambutan yang tepat. Thaikwi, terimalah kiriman dari nona kami, akan tetapi hati-hati,
barang kiriman yang dua buah ini cukup berat. Sambutlah!"
Tiba-tiba dua buah benda besar panjang terlempar keluar dari
dalam kereta, seperti menerjang kepada Thai-kwi. Orang pertama
Thai-san Ngo-kwi ini memang lihai. Dia terkejut dan mengira
bahwa ada orang-orang keluar dari kereta menyerangnya, maka
sambil berteriak dia bergerak, memukul dan menendang ke arah
dua buah benda yang menubruknya itu.
"Bukk! Bukkk!" Dua buah benda itu terbanting dan tidak bergerakgerak lagi.
Ketika semua orang memandang, mereka terkejut setengah mati.
Bahkan Thai-kwi sendiri terbelalak dan mukanya berubah merah
seperti dibakar. Karena kulit mukanya memang sudah hitam,
85 ketika darah naik ke kepala saking marahnya, warna mukanya
menjadi semakin gelap. Dua buah benda itu bukan lain adalah tubuh dua orang laki-laki
yang terbungkus kain, hanya mukanya saja yang nampak, muka
dua orang anak buahnya yang tadi disuruh mengawal Ui-hwa
(Bunga Kuning) mempelajari rahasia tempat tinggal Hek-liong-li!
Mereka kini dikirim oleh Liong-li kepada mereka sudah menjadi
mayat! Tentu saja Thai-san Ngo-kwi menjadi marah bukan main, juga
para anak buahnya berteriak-teriak karena marah. Bukan saja
dua orang rekan mereka terbunuh, akan tetapi juga Liong-li
mengirim mayat mereka, hal ini sungguh merupakan penghinaan
yang hebat. Namun, di balik kemarahan ini terdapat kengerian
karena cara yang dilakukan Liong-li ini menunjukkan betapa
hebatnya wanita itu, betapa beraninya!
"Keparat! Nona baju merah, engkau berani membawa mayatmayat anak buah kami ke sini, apakah nyawamu rangkap?"
bentak Thai-kwi dan pada saat itu muncullah Lan-hwa dan Ui-hwa
dari balik tirai kereta. Setelah tadi melempar keluar dua mayat anak buah penjahat, dua
orang gadis itu bersiap-siap dan setelah tiba saatnya, mereka
meloncat keluar dan berdiri di kanan kiri kereta bagian depan,
mendampingi Ang-hwa yang masih duduk di atas kereta. Tiga
orang gadis cantik ini bersikap tenang dan siap siaga
menghadapi pengeroyokan banyak lawan.
86 Melihat ini, kemarahan Thai-kwi memuncak. "Bagus!" teriak Thaikwi. "Hek-liong-li mengirim tiga orang anak buahnya dan kami
masih untung satu kalau membunuh mereka bertiga ini!"
"Twako, jangan bunuh. Serahkan dulu mereka bertiga kepadaku!
Setelah kita mempermainkan mereka sepuasnya, barulah mereka
itu dibunuh!" kata Ngo-kwi dan ucapannya ini disambut gembira
oleh anak buah mereka. Thai-kwi mengangguk-angguk dan tersenyum. "Begitu juga lebih
baik. Nah, kerahkan semua tenaga dan tangkap tiga orang gadis
ini hidup-hidup. Kita akan mempermainkan dan menyiksanya,
baru mengirim mayat mereka ke rumah Hek-liong-li!"
Para pengepung itu menyeringai dan mereka semua menyimpan
senjata mereka, mengepung kereta itu dan mata mereka berkilat,
wajah berseri karena mereka seperti akan berlumba siapa yang
dapat lebih dulu menangkap tiga orang wanita muda yang cantik
manis itu. Akan tetapi, melihat mayat dua orang rekan mereka,
para anak buah penjahat itupun maklum bahwa biarpun
merupakan wanita-wanita muda yang cantik, namun pihak lawan
adalah orang-orang yang lihai dan tidak boleh dipandang ringan,
maka mereka tidak berani langsung menyerang, bahkan
membiarkan pimpinan mereka, lima orang Thai-san Ngo-kwi
untuk turun tangan. Sebelum lima orang kepala gerombolan itu turun tangan, tiba-tiba
terdengar suara tawa merdu dan entah dari mana datangnya,
tiba-tiba saja di atas kereta itu telah berdiri seorang wanita yang
cantik luar biasa. Nampak semakin luar biasa karena
87 kemunculannya yang tiba-tiba, berpakaian sutera hitam dan
wajahnya yang bulat telur itu disinari api obor yang banyak. Tadi,
lima orang Thai-san Ngo-kwi hanya melihat berkelebatnya
bayangan hitam, dan tahu-tahu wanita itu telah berdiri di atas
kereta, tanpa mengguncangkan kereta seolah-olah yang
menimpa atas kereta itu bukan manusia, melainkan seekor
burung. "Hek-liong-li.....!"
terdengar teriakan-teriakan mendengar sebutan ini, Liong-li tersenyum manis.
kaget dan "Hemm, kalian masih mengenal Hek-liong-li, namun tetap berani
mengganggunya, berarti kalian memang sudah bosan hidup.
Kalian merusak arca di pekarangan rumahku, kemudian kalian
mencoba untuk meracuniku, lalu menawan orangku. Thai-san
Ngo-kwi, selama ini aku Hek-liong-li tidak pernah mengganggumu, kenapa sekarang kalian melakukan hal-hal tidak
pantas kepadaku" Aku tidak mau membunuh orang tanpa
mengetahui urusannya!"
Biarpun hatinya jerih menghadapi pendekar wanita pembunuh
gurunya itu, namun karena dia berada bersama empat orang adik
seperguruannya, bahkan masih ada lagi duapuluh orang lebih
anak buah mereka, Thai-kwi yang marah itu membentak.
"Hek-liong-li, kami akui bahwa yang merusak arca di pekarangan,
yang menyuruh meracuni dan kemudian menculik anak buahmu
adalah kami, Thai-san Ngo-kwi! Mengapa kami memusuhimu"
Hek-liong-li, mungkin engkau sudah lupa, namun kami tidak akan
pernah dapat melupakan bahwa guru kami, Siauw-bin Ciu-kwi,
88 tewas di tangan engkau dan Pek-liong-eng! Nah, sekarang tiba
saatnya engkau membayar hutang nyawa kepada guru kami!"
Bibir yang merah basah dan manis itu tersenyum mengejek.
"Aha, kiranya kalian murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi. Tidak
mengherankan kalian pandai mempergunakan siasat licik dan
curang busuk. Siauw-bin Ciu-kwi tewas karena ulahnya sendiri,
karena kejahatannya. Dan kalian pun akan mampus karena
kejahatan kalian sendiri kalau kalian melanjutkan perbuatan jahat
kalian. Sebaiknya, selagi masih ada kesempatan, kalian
bertaubat, membuang senjata dan berjanji tidak akan berbuat
jahat lagi. Aku Hek-liong-li bukan orang kejam dan suka
memaafkan kalian yang telah merusak arca dan mencoba
meracuniku." "Hek-liong-li, bersiaplah untuk mampus menebus hutangmu
kepada guru kami!" Thai-kwi membentak dan dia memberi isyarat
kepada empat orang adik seperguruannya.
Mereka berlima serentak menyerang Hek-liong-li, sedangkan
duapuluh orang lebih anak buah mereka sambil berteriak-teriak
maju mengepung dan menyerang Ang-hwa, Lan-hwa dan Ui-hwa.
Terjadilah pertempuran seru di tempat itu, hanya diterangi oborobor dan di atas tanah. Juga matahari pagi mulai memperbesar
cahayanya menjenguk dari balik puncak.
Thai-san Ngo-kwi bersenjatakan golok besar dan selain ilmu
golok yang dahsyat, mereka juga telah mewarisi ilmu pukulan
ampuh dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, yaitu yang disebut Anghwe-ciang (Tangan Api Merah). Sambil memainkan golok dengan
89 tangan kanan, merekapun mengerahkan tenaga Ang-hwe-ciang
pada tangan kiri sehingga tangan kiri mereka itu berubah menjadi
merah warnanya dan mengepulkan asap atau uap kemerahan.
Lebih hebat lagi, ketika mereka berlima menyerang dari lima
jurusan, mereka kadang bergulingan dan sambil bergulingan itu
golok mereka menyambar atau tangan kiri mereka memukul.
Tangan kiri yang merah itu tidak kalah dahsyatnya dibandingkan
golok di tangan kanan. Namun Hek-liong-li adalah seorang ahli silat yang sudah
berpengalaman menghadapi banyak macam penjahat lihai. Ia
masih ingat benar akan keampuhan Ang-hwe-ciang dari
mendiang Siauw-bin Ciu-kwi, maka kini iapun amat berhati-hati.
Ia masih belum mempergunakan pedangnya, hanya mengandalkan kelincahan tubuhnya untuk menghindarkan diri
dari serangan bertubi yang dilakukan lima orang kepala
gerombolan itu. Untuk menghadapi pengeroyokan lima orang lawan tangguh itu,
Liong-li sengaja mempergunakan langkah ajaib yang disebut Liuseng-pow (Langkah Pohon Liu). Kedua kakinya bergeser dan
melangkah secara aneh, tubuhnya meliuk-liuk seperti batang
pohon liu tertiup angin, dan hebatnya, semua serangan lima
orang lawan tak pernah mampu menyentuh dirinya. Untuk
mengimbangi langkah ajaib Liu-seng-pouw ini, Liong-li juga
menyelingi dengan serangan kedua tangannya yang
mempergunakan ilmu Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang
gerakannya halus namun setiap kali tangannya menampar, angin
pukulan menyambar dengan amat kuatnya.
90 Thai-san Ngo-kwi menjadi kewalahan. Setiap kali tangan Liong-li
menampar dan mereka mengelak, tetap saja hawa pukulan itu
membuat mereka terhuyung sehingga mereka maklum bahwa
sekali saja terkena tamparan itu, berbahayalah bagi keselamatan
nyawa mereka. Selagi mereka kebingungan, terdengar suara tawa yang
menyeramkan, seperti suara kuntilanak yang tertawa dan


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncullah Ang I Sian-li yang biarpun usianya sudah lebih dari
setengah abad, masih nampak ramping dan cantik, pesolek pula.
"Hek-liong-li, inilah saatnya engkau mati!" teriak nenek itu dan
begitu ia menyerang. Hek-liong-li terkejut. Ia dapat mengindarkan diri dengan langkah
ajaibnya, namun tetap saja sebagian gelung rambutnya terlepas
ketika dilanda angin pukulan yang berdesir tajam.
Liong-li cepat memperhatikan wanita itu, akan tetapi ia merasa
belum pernah bertemu atau mengenal orang ini. Ia tidak diberi
banyak kesempatan untuk berpikir, apa lagi bertanya karena
begitu serangan pertama itu luput, nenek tadi sudah menyerang
lagi, lebih dahsyat dari pada serangan pertama. Karena ingin
mengukur sampai di mana kekuatan pukulan lawan, Liong-li
sengaja menyambut pukulan itu dengan tangannya sambil
mengerahkan tenaga sin-kang.
"Desss......!!" Dua tangan itu bertemu dan akibatnya, keduanya
terdorong mundur sampai empat-lima langkah tanpa dapat
mereka cegah lagi. 91 Nenek itu terbelalak kaget, dan diam-diam Liong-li juga terkejut
karena ia tahu bahwa nenek ini benar-benar amat lihai, memiliki
kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri. Maka,
tanpa ragu lagi kini tangan kanannya bergerak dan nampaklah
sinar hitam berkelebat ketika pedang Hek-liong-kiam (Pedang
Naga Hitam) telah tercabut dari sarungnya.
Thai-san Ngo-kwi tentu saja tidak tinggal diam. Hati mereka besar
setelah melihat munculnya nenek berpakaian serba merah itu.
Melihat Ang I Sian-li sudah bergebrak melawan Hek-liong-li,
merekapun segera menyerang dengan senjata golok mereka.
Liong-li maklum bahwa ia menghadapi banyak lawan yang
tangguh, maka iapun cepat memutar pedangnya dan pedang itu
lenyap berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menyambarnyambar. Terdengar suara nyaring berkerontangan dan lima
orang penyerang itu berloncatan ke belakang dengan muka pucat
karena ujung golok mereka patah-patah ketika bertemu gulungan
sinar hitam. Ang I Sian-li memang belum pernah bertemu dengan Liong-li dan
hanya mendengar bahwa gadis pendekar itu lihai dan telah
menewaskan empat orang rekannya dari Kiu Lo-mo (Sembilan
Iblis Tua). Kini, dalam gebrakan pertama saja ia maklum bahwa
berita tentang Hek-liong-li tidaklah bohong. Gadis itu memiliki
tenaga sin-kang yang mampu menangkis pukulannya.
Kini sekali putar pedangnya saja ia mampu mematahkan ujung
lima batang golok dari para murid Siauw-bin Ciu-kwi. Ia menoleh
kepada duapuluh lebih anak buah Thai-san Ngo-kwi, dan melihat
92 betapa merekapun dibuat kocar-kacir oleh tiga orang nona
pelayan Hek-liong-li. Ang I Sian-li memberi isyarat dengan siulan melengking. Ia
memang tidak bermaksud membunuh Liong-li begitu saja.
Gerakan pertama ini hanya untuk mengacau dan merongrong
Hek-liong-li. Untuk membunuh gadis pendekar itu, ia harus
bersatu dengan dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai dan
Pek-bwe Coa-ong. Mendengar isyarat itu, Thai-san Ngo-kwi juga memberi isyarat
kepada anak buah mereka untuk mundur dan merekapun
berlompatan meninggalkan tempat itu sambil menyeret dan
menarik teman-teman yang sudah terluka dalam pertempuran itu.
"Jangan kejar!" Liong-li berseru ketika melihat tiga orang
pembantunya hendak melakukan pengejaran.
Terlalu berbahaya mengejar musuh di daerah mereka sendiri,
apa lagi musuh itu terdiri dari banyak orang jahat yang dipimpin
seorang yang amat lihai seperti nenek berpakaian merah tadi.
Yang membuat ia heran adalah nenek tadi. Siapakah ia dan
mengapa pula ia membantu Thai-san Ngo-kwi"
Kalau lima orang pemimpin gerombolan itu memusuhinya, ia tidak
merasa heran karena mereka adalah para murid Siauw-bin Ciukwi yang tewas di tangan ia dan Pek-liong. Akan tetapi nenek
berpakaian merah itu, mengapa memusuhinya"
"Mari kita pulang dan mulai saat ini kita harus melakukan
penjagaan ketat di rumah," katanya kepada tiga orang
93 pembantunya. Merekapun naik kereta dan pulang kembali ke
Lok-yang. Setelah Liong-li tiba di rumah dengan selamat, ia lalu mengatur
penjagaan ketat siang malam secara bergilir agar setiap saat ada
musuh datang, mereka dapat mengetahuinya. Mereka semua
siap-siaga untuk melawan musuh kalau ada yang berani
mengganggu. Liong-li diam-diam mengutus seorang anggauta piauw-kiok
(perusahaan pengiriman barang) untuk mengantarkan surat
kepada Pek-liong yang tinggal di dusun Pat-kwa-bun dekat
Telaga See-ouw di Hang-kouw. Peristiwa yang baru saja ia alami
perlu diketahui oleh Pek-liong, karena bukankah mereka berdua
yang dahulu menantang Siauw-bin Ciu-kwi" Kalau kematian
datuk sesat itu hendak dibalaskan oleh para muridnya, maka
bukan ia seorang yang terancam, juga Pek-liong tentu akan
mereka cari. Karena itulah, ia perlu memberitahu Pek-liong agar
waspada. "Y" Rumah itu tentu tidak akan menyolok dan menarik perhatian
kalau berada di dalam kota besar. Akan tetapi karena adanya di
dusun Pat-kwa-bun, maka tentu saja nampak megah dan mewah
di antara rumah-rumah dusun yang kecil sederhana. Rumah itu
cukup besar, dengan pekarangan yang luas. Dari taman di
depan, kebun di belakang, dari genteng sampai ke dinding, daun
pintu dan jendelanya, dapat dilihat bahwa rumah itu terpelihara
94 baik-baik dan selain menyenangkan. nampak megah, juga bersih dan Di taman atau pekarangan depan rumah, selain terdapat berbagai
macam bunga yang sedang berkembang, juga terdapat sebuah
arca berbentuk seekor naga dengan warna putih. Seekor Naga
Putih! Baru bentuk arca ini saja akan membuat orang-orang dunia
persilatan dapat menduga bahwa rumah ini tentu tempat tinggal si
pendekar Naga Putih. Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) Tan Cin Hay adalah
seorang pendekar yang telah membuat nama besar dengan
sepak terjangnya yang menggemparkan, baik seorang diri atau
terutama sekali kalau dia berpasangan dengan Hek-liong-li
(Pendekar Wanita Naga Hitam) Lie Kim Cu. Tan Cin Hay atau
yang di dunia kang-ouw disebut Pek-liong (Naga Putih) adalah
seorang pria yang usianya sekitar tigapuluh tahun, wajahnya
tampan bersih tidak dikotori kumis atau jenggot karena dicukur
rapi, tentu hanya akan disangka seorang tuan muda atau seorang
pelajar yang lembut kalau saja dagunya tidak berlekuk
mununjukkan kejantanan dan sinar matanya tidak mencorong
seperti mata naga. Tubuhnya sedang saja dan pakaiannya yang serba putih itu di
ringkas dan sederhana dan kalau orang berada di dekatnya baru
akan melihat bahwa di lehernya sebelah kiri terdapat sebuah tahi
lalat hitam. Orangnya pendiam, sederhana dan sikapnya rendah
hati sehingga bagi yang belum mengenalnya, tentu akan
menganggap dia seorang terpelajar karena penampilannya sama
sekali tidak membayangkan seorang jagoan. Pada hal, Pek-liong
95 memiliki ilmu kepandaian yang membuat geger dunia kang-ouw,
membuat gentar hati para penjahat karena dia selalu menentang
kejahatan. Dalam usianya yang tigapuluh tahun itu, Pek-liong hidup
membujang di rumahnya yang besar, ditemani oleh enam orang
pelayan pria yang usianya antara tigapuluh tiga sampai
empatpuluh tiga tahun. Para pelayan itu bukanlah pelayan biasa
karena mereka telah digemblengnya dengan ilmu silat sehingga
mereka juga dapat dianggap sebagai muridnya atau
pembantunya. Sebetulnya, Pek-liong bukanlah seorang perjaka yang tidak
pernah menikah. Dia adalah seorang duda! Kurang lebih sepuluh
tahun yang lalu dia hidup bersama seorang isteri tercinta sebagai
pengantin baru. Ketika itu isterinya sedang mengandung anak
pertama. Akan tetapi malapetaka datang menimpa suami isteri
ini. Dalam keadaan mengandung tiga bulan, isterinya itu diculik dan
diperkosa penjahat sampai mati. Dia sendiri nyaris tewas.
Dendam sakit hati yang sedalam lautan sebesar gunung
membuat Tan Cin Hay belajar ilmu silat secara mendalam, dan
akhirnya dia berhasil membalas dendam kepada para penjahat
yang telah menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya.
Dan sejak itulah nama Pek-liong terkenal di mana-mana karena
dia selalu menentang kejahatan dan bertindak tegas terhadap
penjahat yang manapun. Namanya bersama Liong-li semakin
menjulang ketika mereka berdua berhasil membinasakan datuk96
datuk besar golongan hitam, terutama sekali setelah mereka
membinasakan empat orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis
Tua). Bersama Hek-liong-li, Pek-liong telah menewaskan Hek-sim
Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak
Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan), dan
Tiat-thouw Kui-bo (Biang Iblis Kepala Besi), empat di antara Kiu
Lo-mo yang terkenal sebagai datuk golongan hitam.
Memang amat mengherankan semua orang melihat betapa Pekliong yang menjadi duda sejak usia duapuluh satu tahun itu tidak
pernah menikah lagi. Pada hal dia tampan, gagah perkasa, dan
kaya raya. Banyak wanita yang akan merasa berbangga dan
berbahagia apa bila dipersuntingnya. Namun, Pek-liong tidak
pernah mau mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan.
Walaupun beberapa kali dia terlibat dalam ikatan asmara dengan
beberapa wanita, namun hubungan mereka itu hanyalah
hubungan yang terdorong gairah nafsu kedua pihak belaka, tidak
pernah dilanjutkan dengan ikatan cinta dalam pernikahan.
Keadaannya yang seperti itu persis dengan keadaan Hek-liong-li.
Biarpun Pek-liong jarang mencari keributan di dunia persilatan,
dan lebih banyak bersantai di rumah, menyibukkan diri dengan
membaca kitab-kitab kuno dan mengurus taman dan kebun
buahnya, namun dia tidak pernah lupa untuk berlatih silat.
Bahkan, dengan enam orang pembantunya sebagai lawan
berlatih, hampir setiap hari dia memperdalam ilmu-ilmunya,
menyempurnakan kekurangannya dan juga dia selalu berlatih
menghimpun tenaga untuk memperkuat sin-kangnya. Maka,
97 keadaannya tetap sehat dan kuat, bahkan dengan bantuan kitabkitab kuno, dia dapat memperoleh kemajuan dalam ilmu silatnya.
Seperti juga rumah Hek-liong-li, rumah pendekar ini penuh
dengan alat-alat rahasia sehingga biarpun di waktu malam dia
dan enam orang pembantunya tidur nyenyak, mereka tidak perlu
merasa khawatir karena alat-alat rahasia itu merupakan penjaga
keamanan yang amat setia dan boleh diandalkan.
Malam itu gelap dan dingin sekali. Di angkasa tidak nampak
bulan, namun sebagai gantinya, bintang yang tak terhitung
banyaknya bertaburan. Dusun Pat-kwa-bun sudah sunyi sekali,
biarpun tengah malam masih jauh. Orang-orang lebih senang
berada di rumah masing-masing di malam sedingin itu.
Dusun ini memang aman. Agaknya, dengan tinggalnya Pek-liong
di dusun itu, tidak ada penjahat yang berani lancang mengganggu
ketentraman dusun Pat-kwa-bun. Siapa yang berani mempermainkan kumis harimau" Jangankan baru penjahat kecil,
biar para tokoh kang-ouw kenamaan yang lihai sekalipun akan
merasa lebih aman kalau menjauhi Pat-kwa-bun agar tidak
sampai bentrok dengan si Naga Putih.
Akan tetapi agaknya di malam gelap itu terjadi hal yang luar
biasa. Sesosok bayangan hitam yang gerakannya ringan dan
lincah sekali, berkelebat di luar pagar tembok di belakang rumah
itu bagaikan seekor kucing saja, bayangan hitam itu meloncat ke
atas tembok yang tingginya ada dua meter dan sejenak dia
mendekam di atas pagar tembok, mengintai ke sebelah dalam.
98 Di bawah pagar sebelah dalam merupakan kebun belakang
rumah Pek-liong. Bayangan itu menggerakkan tangan kanan,
melemparkan sebuah batu ke bawah. Kiranya dia hendak melihat
apakah tempat itu dipasangi jebakan. Setelah yakin bahwa tidak
ada reaksi ketika dia melemparkan batu, tubuhnya melayang
turun ke sebelah dalam dan kakinya tepat menginjak batu kecil
yang tadi dia lemparkan. Dia tidak berani sembarangan melangkah lagi. Dia maklum
bahwa tempat tinggal si Naga Putih itu penuh dengan rahasia dan
jebakan, maka dia bersikap hati-hati sekali. Setiap kali kakinya
hendak melangkah, selalu dia dahului dengan lemparan batu ke
arah tempat yang akan diinjaknya. Dan sikapnya ini memang
menolongnya. Ketika dia tiba di dekat lorong kecil menuju ke pintu belakang
rumah itu, begitu dia melemparkan sebuah batu ke atas tanah
yang akan dijadikan tempat berpijak, tiba-tiba saja ada tiga
batang anak panah meluncur ke arah tempat itu dan andaikata
dia tidak mencobanya dulu dengan batu, tentu dirinya yang
diserang anak panah. Agaknya di tempat yang dia lempari batu tadi dipasang alat
rahasia sehingga kalau terpijak orang, lalu senjata anak panah itu
bekerja melalui alat rahasia yang dipasang. Dia melemparkan
batu ke tempat lain dan akhirnya dapat tiba di depan pintu
belakang dengan selamat. Daun pintu itu tidak berapa tinggi, hanya lebih tinggi sedikit dari
orang itu dan lebarnya satu meter. Ketika dia berdiri di depan
99 pintu, di mana terdapat sebuah lampu gantung, nampak bahwa
dia seorang laki-laki yang bertubuh sedang, matanya tajam
seperti mata kucing, pakaiannya serba hitam dan muka bagian
bawah tertutup kain hitam pula. Dia memegang sebatang pedang
telanjang dan gerak geriknya memang ringan sekali.
Sejenak dia meneliti pintu itu. Jalan masuk hanya melalui pintu
belakang ini. Dia tidak berani mengambil jalan dari atap. Terlalu
berbahaya, pikirnya. Dia mengambil sebatang kayu sebesar
lengan yang banyak terdapat di kebun itu, lalu menggunakan
benda itu untuk mendorong daun pintu sambil mengerahkan
tenaganya. Daun pintu dapat didorongnya terbuka, palangnya
sebelah dalam patah.

Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hal ini membuktikan betapa kuatnya tenaga orang ini. Dengan
hati lega dia menyimpan pedangnya di sarung yang menempel di
punggung, kemudian dengan hati-hati dia melangkah memasuki
pintu yang sudah terbuka.
Pada saat tubuhnya tiba diambang pintu, tiba-tiba terdengar
suara berdesing dan dari sebelah kanannya meluncur sebatang
tombak menyerang ke arah dadanya! Cepat sekali gerakan
tombak itu, namun si bayangan hitam itu ternyata lihai sekali. Dia
cepat menggerakkan lengan kanan menangkis sambil
mengerahkan tenaga. "Krekkk!" Gagang tombak dari kayu itu patah-patah ketika
bertemu dengan lengannya dan pada saat itu, dia sudah
melompat ke depan. Sebatang tombak dari kiri meluncur akan
tetapi karena dia sudah melompat ke depan, tombak itu meluncur
100 lewat di belakang tubuhnya dan tidak mengenai sasaran. Kiranya
di ambang pintu itu terdapat alat rahasia yang menggerakkan dua
tombak dari kanan kiri begitu terinjak kakinya.
Bayangan hitam itu mengeluarkan suara tawa kecil mengejek,
lalu dia bergerak maju lagi dengan hati-hati, menggunakan
sebatang kayu untuk mencari jalan yang aman. Akhirnya dia tiba
di pintu besi yang menembus ke bangunan induk gedung itu.
Pintu besi itu tingginya dua meter dan lebarnya hampir dua meter,
daun pintu terbagi dua dan tertutup rapat.
Agaknya tidak mungkin mendobrak daun pintu yang kokoh kuat
ini, pikir si bayangan hitam itu. Akan tetapi dia adalah seorang
ahli dalam hal alat rahasia dan jebakan pada pintu. Dia tahu
bahwa di sebelah luar pintu pasti ada alat pembuka pintunya.
Sepasang mata di atas kain hitam penutup muka itu mengamati
ke adaan sekitar pintu dengan sinar mata tajam. Melihat sebuah
arca singa kecil tak jauh dari pintu, diapun tertawa kecil dan
menghampiri arca itu. Diputar-putarnya arca itu ke kanan kiri dan
akhirnya sepasang daun pintu besi itu bergerak terbuka ke kanan
kiri tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Dengan mata berkilat karena gembira, si bayangan hitam
berindap-indap memasuki lubang pintu itu. Karena tadi dia pernah
terancam bahaya ketika melewati ambang pintu pertama, kini
dengan hati-hati dia melemparkan batu sebelum kakinya
menginjak ambang pintu. Setelah tidak melihat adanya bahaya,
dia berani melangkah masuk.
101 Kiranya di belakang pintu itu merupakan jalan terowongan yang
tidak begitu lebar, selebar pintu itu dan kanan kirinya dari dinding
tinggi. Tidak ada pilihan lain kecuali maju melalui lorong itu ke
depan. Untung bahwa lorong itu mendapat penerangan dari atas
sehingga terang dan si bayangan hitam berindap melangkah ke
depan. Akan tetapi baru belasan langkah dia maju, tiba-tiba dia menahan
langkahnya dan matanya terbelalak memandang ke depan
karena dari depan muncul dua buah patung manusia dari kayu
yang keduanya membawa tombak dan menyerbu ke depan
menyerangnya! Karena lorong itu sempit, tidak leluasa untuk
bergerak, maka si bayangan hitam terpaksa mundur dan bersiapsiap dengan pedang di tangan.
Maksudnya untuk mencari tempat yang luas di luar pintu agar
mudah baginya untuk bergerak. Dia mundur dan tidak tahu
betapa dua buah daun pintu besi itu bergerak menutup perlahanlahan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Ketika dia tiba di ambang pintu, barulah dia menyadari datangnya
bahaya, bukan dari dua buah patung kayu, melainkan dari dua
buah daun pintu yang kini bergerak cepat menghimpitnya dari
kanan kiri. Dalam kagetnya, si bayangan hitam melepaskan
pedangnya dan menggunakan kedua tangan untuk menahan
daun pintu yang menghimpitnya. Dia mengerahkan seluruh
tenaganya dan berhasil menahan dua buah daun pintu, namun
diapun tidak mampu membebaskan diri.
102 Dia telah terjebak, kedua tangan menahan daun pintu besi yang
terus menghimpit. Bagaimanapun kuatnya, tenaganya terbatas
dan tidak mungkin dia bertahan terus. Perlahan-lahan, dua buah
daun pintu itu semakin menutup, kedua lengannya semakin
terhimpit. Setelah lewat puluhan menit, dari mulut dan hidungnya
mengalir darah, kedua tangannya sudah tertekan sampai ke
kepalanya, tubuhnya sudah mulai terhimpit.
Akhirnya, setelah mengeluarkan jerit mengerikan dia terkulai. Dua
buah daun pintu menutup terus, menghimpit tubuhnya sehingga
ringsek dan ketika kepalanya terjepit, kepala itu mengeluarkan
suara dan retak-retak. Orang itupun tewas secara mengerikan.
Jeritan tadi membangunkan Pek-liong dan enam orang
pembantunya. Mereka terbangun dan berlarian menuju ke tempat
itu. Melihat ada orang terjepit daun pintu dan tewas, Pek-liong
menghela napas panjang, merasa heran mengapa ada orang
demikian tolol berani memasuki tempat tinggalnya yang dipasangi
banyak alat rahasia itu. "Coba lihat, siapa orang yang sudah bosan hidup itu," katanya.
Ketika para pembantunya melepaskan korban dari pintu dan
membuka penutup muka, Pek-liong sendiri tidak mengenal muka
yang sudah rusak karena kepalanya terjepit retak oleh daun pintu.
"Rawat dan kubur mayatnya baik-baik, dan bersihkan pintu ini,"
katanya dan diapun kembali ke kamarnya.
103 Akan tetapi, peristiwa itu membuat Pek-liong-eng tidak dapat
tidur. Dia duduk termenung di dalam kamarnya, menduga-duga
siapa kiranya yang mengirim pembunuh ke tempat tinggalnya.
Sudah lama tidak pernah ada orang memusuhinya. Tentu saja
amat sukar menduga siapa orang itu dan siapa yang
menyuruhnya karena di dunia kang-ouw dia mempunyai banyak
sekali musuh, atau para tokoh kang-ouw yang mendendam
kepadanya. Sudah terlalu banyak penjahat dia tentang dan dia
basmi sehingga tentu saja banyak yang mendendam kepadanya.
Sayang, pikirnya, kalau saja dia tahu akan munculnya pembunuh
itu, tentu akan dia tangkap hidup-hidup agar dia dapat mengorek
keterang darinya siapa yang mengutusnya. Dia merasa yakin
bahwa orang itu hanyalah orang suruhan saja. Orang yang tewas
terjepit pintu besi itu berarti hanya memiliki kepandaian biasa
saja, maka tentu ada orang lain yang lebih lihai yang berdiri di
belakang layar. Membayangkan semua pengalamannya ketika dia menentang
para penjahat untuk menduga siapa kiranya yang patut dia
curigai, diapun teringat akan Hek-liong-li. Dan diam-diam diapun
terkejut. Kalau dia diancam pembunuh, besar kemungkinannya
Liong-li mengalami hal yang sama.
Selama beberapa tahun ini, mereka selalu maju bersama
menentang para penjahat. Kalau ada penjahat mendendam
kepadanya, maka penjahat itupun tentu mendendam kepada
Liong-li. Tentu Liong-li juga mengalami ancaman penjahat,
pikirnya. 104 Dia tidak mengkhawatirkan Liong-li. Dia tahu sepenuhnya betapa
lihainya rekannya itu, bahkan tempat tinggal rekannya itu
mengandung alat rahasia yang lebih rumit dibandingkan yang
dipasang di rumahnya. Juga Liong-li mempunyai sembilan orang
gadis pembantu yang boleh diandalkan.
Tidak, dia tidak mengkhawatirkan keselamatan Liong-li hanya
ingin sekali tahu apakah Liong-li juga mengalami hal yang sama
dan bagaimana pendapat Liong-li mengenai penyerangan itu.
Dan timbullah perasaan rindu yang amat sangat kepada
pendekar wanita itu. Jelas ada orang yang berusaha untuk membunuhnya, pikir Pekliong. Sungguh tidak enak mengetahui ada orang yang mengarah
nyawanya tanpa mengetahui siapa orangnya. Kiranya tidak akan
mungkin ada orang dapat menyusup ke dalam tempat tinggalnya,
dan satu-satunya cara untuk memancing harimau keluar dari
tempat sembunyinya, hanyalah dengan memberinya umpan.
Kalau ada orang menghendaki kematiannya, maka orang itu
harus di pancing keluar dan umpannya adalah dirinya sendiri.
Demikianlah, mulai hari berikutnya, setiap pagi Pek-liong
berjalan-jalan keluar dari rumahnya, menuju ke tempat-tempat
yang sepi di sekitar Telaga Barat (See-ouw) yang indah
pemandangan alamnya. Sengaja dia berperahu seorang diri,
mendarat di tepi telaga yang paling sunyi dan jarang dikunjungi
orang, Namun, sampai tiga hari tidak terjadi sesuatu. Mereka yang
kebetulan melihatnya, dan sudah mengenalnya memberi hormat
105 dengan ramah, dan para pelancong dari tempat lain yang tidak
mengenalnya, tidak ada yang memperdulikannya.
Pada hari keempat, pagi-pagi dia sudah berperahu, memancing
ikan dan setelah mendapatkan tiga ekor ikan yang cukup besar,
diapun mendarat di pantai sepi dekat hutan. Tempat ini menjadi
tempat kesayangannya karena selain sunyi, juga rumputnya tebal
dan bersih dan di tempat itu sejuk, tenang dan sedap baunya,
bau pohon cemara, damar dan rumput.
Setelah menarik perahunya ke darat, Pek-liong membawa
perlengkapan dan roti yang dibawanya dari rumah,
membentangkan kain di atas rumput, lalu dia asyik memanggang
tiga ekor ikan yang ditangkapnya dengan pancing tadi. Dia
memang sengaja membawa bumbu dari rumah, dan
memanggang ikan hasil pancingan di dekat telaga itu merupakan
satu di antara kesenangan dan kebiasaannya.
Tak lama kemudian terciumlah bau sedap ikan panggang yang
sudah dibumbui. Baunya dapat tercium sampai jauh dan Pekliong tersenyum seorang diri. Memancing harimau keluar dari
sarangnya tidak berhasil, yang berhasil dipancingnya hanya tiga
ekor ikan gemuk, dan sekarang bau bakaran ikan itu siapa tahu
akan memancing keluarnya orang yang selama ini dicarinya dan
diharapkan kemunculannya.
Ah, angan-angan kosong, dia mencela diri sendiri. Musuh yang
menginginkan kematiannya tentulah seorang tokoh yang lihai,
bagaimana mungkin dapat dipancing keluar dengan aroma ikan
106 panggang seperti memancing keluar seorang yang kelaparan
saja! Dia sudah menurunkan tiga ekor ikan yang ditusuk dengan
ranting itu dari atas api. Aromanya membuat perutnya tiba-tiba
terasa lapar bukan main. Dibukanya bungkusan roti dan juga guci
anggur yang dibawanya dari rumah. Selagi dia hendak sarapan,
tiba-tiba dia menghentikan gerakannya dan telinganya
menangkap gerakan kaki orang tak jauh dari situ. Akan
munculkah harimau yang dipancingnya selama tiga hari ini"
Lalu dia teringat. Kalau ada musuh menyerangnya di situ, tentu
sarapan paginya akan terinjak-injak dan rusak. Sayang kalau
sampai terjadi demikian, maka cepat dia menutupi makanan itu
dengan kain bersih dan diapun bangkit, lalu menjauhi tempat itu,
sejauh sepuluh meter agar kalau terjadi perkelahian, sarapan
pagi yang dibuatnya dengan susah payah itu tidak akan terinjakinjak dan rusak! Dengan hati geli Pek-liong dapat mengikuti
gerakan orang itu dari pendengarannya dan dia tahu bahwa
orang itu, yang memiliki gerakan ringan kini mengintai dari balik
sebatang pohon besar tidak jauh dari situ.
"Sobat yang bersembunyi dari balik pohon, kalau hendak bicara
dengan aku, keluarlah engkau!" katanya sambil menahan tawa.
Hening sejenak, lalu terdengar suara dari balik pohon, suara yang
lirih dan lembut seperti suara kanak-kanak, atau suara wanita.
"Apakah engkau berjuluk Pek-liong-eng?"
Pek-liong tersenyum. Agaknya inilah "Harimau" yang
dipancingnya selama tiga hari ini! "Benar sekali, akulah yang
107 disebut Pek-liong-eng! Kalau engkau mencariku, keluarlah dan
mari kita bicara!" Seperti yang telah diduganya, dari batang pohon besar itu muncul
seseorang, akan tetapi Pek-liong terbelalak kaget dan heran
karena sama sekali di luar dugaannya, yang muncul adalah
seorang gadis yang amat cantik manis! Gadis itu berusia paling
banyak delapanbelas tahun, cantik manis dengan muka yang
putih kemerahan, rambutnya panjang dikuncir menjadi dua dan
diikat pita merah, pakaiannya serba biru dan ringkas, di
punggungnya nampak gagang sepasang pedang, matanya
bersinar-sinar, mata orang yang lincah dan periang, akan tetapi
saat itu mulut yang manis itu cemberut dan kelihatan marah
sekali. Setelah gadis itu melangkah maju, kini mereka berhadapan
dalam jarak empat meter. Sejenak mereka saling pandang dan
Pek-liong tidak menyembunyikan pandang matanya yang kagum
akan kecantikan gadis itu. Cantik dan gagah, akan tetapi sedang
marah, demikian kesannya terhadap gadis itu. Sebaliknya, gadis
itupun mengamati Pek-liong dan nampak tertegun sehingga
sampai lama mereka hanya saling pandang tanpa mengeluarkan
kata-kata. "Nah, nona siapakah dan ada keperluan apakah mencariku?"
akhirnya Pek-liong yang bertanya.
"Engkau benar yang berjuluk Pek-liong-eng, dan bernama Tan
Cin Hay?" gadis itu bertanya, suaranya kini nyaring. Suara yang
108 merdu, pikir Pek-liong, sayang dalam keadaan marah tanpa
sebab. "Benar, dan nona siapakah?"
"Aku bernama Pouw Bouw Tan......."
"Nama yang indah sekali, serasi dengan orangnya......."
"Simpan saja rayuanmu itu. Aku datang untuk menangkapmu!"
Kini Pek-liong terbelalak. "Menangkap aku" Apa salahku, nona?"
"Engkau telah menyebabkan kematian kakakku!"
"Ehh" Aku tidak mengenal kakakmu dan tidak merasa telah
membunuh kakakmu!" "Akan tetapi kakakku tewas karena engkau, maka engkau harus
kutangkap dan kuhadapkan kepada ayah. Di sana engkau boleh
membela diri sesukamu."
"Kalau aku tidak mau ditangkap?"
"Pedangku yang akan memaksamu!" kata gadis itu, sikapnya
gagah sekali sehingga mau tidak mau Pek-liong tertawa. Gadis ini
seperti seekor burung yang baru saja belajar terbang dan kini
memamerkan kemampuannya terbang!
"Baiklah, nona. Tentang tangkap menangkap ini, kita bicarakan
nanti setelah kita sarapan pagi "
109 "Sarapan?" Gadis itu terbelalak heran.
"Engkau tentu suka makan ikan panggang dan roti lunak, bukan"
Enak sekali untuk sarapan pagi selagi perut lapar."
"Ikan panggang......?" Gadis itu tadi memang sudah mengilar
ketika mencium bau ikan panggang.
"Mari, nona. Mari kita sarapan dulu, baru bicara tentang urusan
kita." Tanpa banyak cakap lagi Pek-liong lalu melangkah ke arah
hamparan kain di atas rumput. "Tidak baik membicarakan urusan
penting dengan perut kosong, bisa masuk angin."
Gadis itu masih termangu dan terheran, akan tetapi seperti di luar


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehendaknya, kakinya melangkah mengikuti Pek-liong dan ketika
pemuda itu dengan ramah memberi isyarat agar ia duduk di
hamparan kain, iapun duduk berhadapan dengan pemuda itu.
Pek-liong membuka makanan yang tadi dia tutupi, lalu
mempersilakan gadis itu makan. "Mari, rotinya masih baru, ikan
panggangnya masih hangat, dan anggur ini manis dan tidak
terlalu keras, buatanku sendiri, nona Bouw Tan. Namamu
mengingatkan aku akan bunga bouw-tan yang indah.
Pouw Bouw Tan adalah seorang gadis kang-ouw yang tidak
pemalu. Ia puteri seorang guru silat aliran Kun-lun-pai yang
pandai dan sudah biasa merantau seorang diri mengandalkan
sepasang pedangnya. Ia tabah, lincah dan gagah, maka kini
melihat sikap Pek-liong yang tidak ceriwis, melainkan ramah dan
nampak bersungguh-sungguh, iapun ikut duduk makan roti dan
110 panggang ikan dan minum anggur merah yang disuguhkan Pekliong.
Pendekar ini sendiri merasa kagum dan senang. Seorang gadis
yang cantik, berani dan tabah sekali. Sayang datang
memusuhinya, hendak menangkapnya. Kalau saja datang
sebagai seorang sahabat, alangkah akan menyenangkan
suasananya, seperti sedang pesiar di telaga bersama seorang
kekasih saja. Mereka makan minum tanpa bicara dan dari cara gadis itu
makan, Pek-liong tahu bahwa gadis itupun lapar, seperti dia, dan
jujur, makan secara bebas tanpa malu-malu seperti kebanyakan
gadis lain. Setelah mereka selesai makan, barulah Pek-liong
berkata. "Engkaukah kiranya orang yang menghendaki kematianku, nona"
Jadi engkaukah yang mengirim orang beberapa hari yang lalu
untuk memasuki rumahku?"
Bouw Tan memandang dengan alis berkerut. Mata yang bening
indah itu memandang penuh selidik dan penasaran.
"Aku tidak menghendaki kematianmu dan aku tidak pernah
menyuruh siapapun memasuki rumahmu. Aku hanya ingin
menangkapmu dan menghadapkan kepada ayah karena engkau
penyebab kematian kakakku."
Jawaban ini membuat Pek-liong semakin tertarik. Kalau bukan
nona ini yang menyuruh orang memasuki rumahnya, maka berarti
111 pancingannya telah gagal. Umpannya ternyata disambar oleh
ikan yang tidak dikehendakinya!
Ikan itu adalah gadis aneh ini, yang tidak ada sangkut pautnya
dengan orang yang mencoba memasuki rumahnya, akan tetapi
yang hendak menangkapnya karena dia dianggap menjadi
penyebab kematian kakaknya! Sungguh menarik.
"Nona Pouw Bouw Tan, sungguh aku menjadi bingung sekarang.
Selama hidupku, sayang sekali aku belum pernah mengenalmu,
baik orang maupun namanya. Baru sekarang ini aku bertemu dan
mengenalmu. Akan tetapi engkau mengatakan bahwa aku
menjadi penyebab kematian kakakmu, dan engkau hendak
menangkap aku dan membawa aku menghadap ayahmu!
Sungguh luar biasa. Mimpi apakah aku semalam maka hari ini
hendak ditangkap orang tanpa salah" Siapakah ayahmu itu dan
mengapa kaukatakan aku menyebabkan kematian kakakmu?"
"Tugasku hanya membawamu menghadap ayah, di sana engkau
akan mendengar semua penjelasannya. Kita tidak mempunyai
banyak waktu, mari kita berangkat, Pek-liong!" Gadis itu bangkit
dan sikapnya kembali kaku dan tegas.
Pek-liong bangkit perlahan-lahan dan tersenyum. "Nona, engkau
sudah mengenal aku sebagai Pek-liong-eng dan engkau berani
hendak menangkap aku begitu saja. Apa kaukira engkau akan
mampu mengalahkan aku?"
Bouw Tan mengerutkan alisnya dan matanya berkilat, tangannya
meraba gagang sepasang pedangnya. "Aku tahu bahwa engkau
seorang pendekar yang lihai. Akan tetapi aku tidak takut. Kalau
112 perlu aku akan menggunakan pedangku. Demi membalas
kematian kakakku, aku rela mempertaruhkan nyawaku!"
Pek-liong mengerutkan alisnya. Ini gawat! Jelas bahwa gadis ini
bukan orang jahat, akan tetapi ia mengandung dendam yang
amat hebat, dan agaknya bukan hanya gertakan kosong. Kalau
dia melawan, tentu gadis itu akan menyerangnya mati-matian.
Tentu saja dia tidak ingin mengalahkan gadis yang tidak berdosa
ini. "Ke mana engkau akan membawaku, nona?"
"Tidak jauh. Kami tinggal di kota Hang-kouw."
Kota itu berada di seberang Telaga Barat. Tentu akan makan
waktu perjalanan sehari penuh. Agaknya urusannya dengan
gadis ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan urusan
penyusupan penjahat ke rumahnya tiga hari yang lalu. Akan
tetapi apa boleh buat. Dia juga ingin sekali tahu apa sebenarnya
yang telah terjadi maka gadis ini nekat hendak menangkapnya
dan menghadapkan dia kepada ayahnya.
"Baiklah kalau begitu, nona. Mari kita berangkat," katanya sambil
tersenyum sabar. "Nanti dulu. Engkau harus kubelenggu kedua tanganmu agar
lebih mudah bagiku membawamu ke sana."
Pek-liong membelalakkan kedua matanya. "Kedua tanganku
dibelenggu?" 113 "Untuk meyakinkan hatiku bahwa engkau tidak akan menipuku
dan tidak akan melarikan diri dalam perjalanan," kata gadis itu
galak. Hampir Pek-liong tertawa bergelak mendengar ini,`dan melihat
sikap galak itu. Seolah-olah dia seorang maling kecil saja! Akan
tetapi, diapun melihat kelucuan dalam peristiwa ini, maka diapun
menyodorkan kedua lengannya ke depan, dan berkata, "Nah,
belenggulah kalau itu yang kaukehendaki, nona Bouw Tan."
"Tarik kedua tanganmu ke belakang tubuh!" bentak Bouw Tan.
Ini sudah keterlaluan, pikir Pek-liong, akan tetapi dia masih
tersenyum dan tanpa membantah dia menarik kedua tangan ke
belakang tubuhnya. Nona itu lalu mengikat kedua pergelangan
tangannya dengan rantai besi yang sudah dipersiapkannya
sebelumnya. Setelah melihat bahwa ikatan itu kuat sekali barulah
Bouw Tan berkata. "Nah, mari kita berangkat. Jangan marah karena aku harus yakin
bahwa engkau tidak akan melarikan diri," tambahnya.
Pek-liong kembali tersenyum. Bocah ini nakal, pikirnya. Enak saja
membelenggu orang lalu minta agar dia tidak marah!
"Baiklah, aku tidak akan marah. Aku ingin sekali tahu apa yang
akan kuhadapi di Hang-kouw."
Karena Pek-liong bersikap tenang, penurut dan sama sekali tidak
melawan, sikap Bouw Tan juga lebih manis. Bahkan ketika
mereka melakukan perjalanan di sepanjang pantai telaga yang
114 luas itu menuju ke kota Hang-kouw, gadis itu mau menceritakan
tentang kematian kakaknya.
"Ayah bernama Pouw Kiat yang di kota Hang-kouw dikenal
sebagai Pouw-kouwsu (guru silat Pouw) karena memang
pekerjaan ayah adalah guru silat. Ayah murid Kun-lun-pai dan
perguruan silat ayah cukup dikenal. Ayah hanya mempunyai dua
orang anak, yaitu kakakku bernama Pouw Bouw Ki dan aku.
Kakak Bouw Ki berusia duapuluh lima tahun. Kakakku sering
mewakili ayah mengajar ilmu silat kepada para murid yang sudah
pandai. "Pada suatu hari, kurang lebih seminggu yang lalu, kakak Bouw
Ki tewas terbunuh orang tanpa ada yang mengetahui siapa
pembunuhnya. Akan tetapi, di baju kakakku yang putih ada
tulisannya dan tulisan itulah yang membuat aku datang untuk
menangkapmu dan membawamu menghadap ayah."
Tentu saja Pek-liong merasa tertarik sekali. "Bagaimana bunyi
tulisan itu?" "Bunyinya begini: Pek-liong-eng telah menebus dosanya dan akan tiba giliran
Hek-liong-li." Pek-liong mengerutkan alisnya. Kalau saja kedua tangannya tidak
dibelenggu ke belakang, tentu saat itu dia sudah meraba-raba
dagunya, kebiasaannya kalau dia sedang berpikir keras.
Kemudian dia bertanya, 115 "Kau tadi mengatakan bahwa tulisan itu ditulis di atas baju
kakakmu yang putih. Apakah kakakmu biasa memakai pakaian
serba putih?" Gadis itu mengangguk. "Semenjak ibu kami meninggal dunia lima
tahun yang lalu, kakak Bouw Ki selalu mengenakan pakaian
serba putih, seperti yang kaupakai, juga perawakannya serupa
denganmu walaupun wajahnya tidak sama benar."
"Kalau begitu, dia menjadi korban salah bunuh! Tentu disangka
aku maka dia dibunuh!" Pek-liong berseru.
"Kamipun menyangka demikian. Karena engkau maka kakakku
tewas, oleh karena itu, aku harus menangkapmu dan kubawa
kepada ayah karena pembunuhan ini ada hubungannya dengan
dirimu." "Tapi yang salah membunuh adalah penjahat itu, bukan aku,
nona!" Pek-liong memprotes.
Tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring dan dua orang muncul
dari balik semak belukar. Mereka adalah dua orang laki-laki yang
berusia kurang lebih empatpuluh tahun, keduanya bertubuh tinggi
besar dan nampak kokoh kuat.
Seorang bermuka hitam dan sebatang golok besar terselip di
pinggangnya, sedangkan orang kedua brewok dan memegang
sebatang tombak. Yang tertawa adalah si muka hitam dan diapun
berkata dengan suara parau.
116 "Ha-ha-ha-ha, sekali ini kami tidak akan salah membunuh orang,
Pek-liong-eng, dan kami bahkan mendapat upah seorang gadis
yang cantik, heh-heh!"
Mendengar ini, Bouw Tan mencabut sepasang pedangnya dan
dengan gagah ia menghadapi kedua orang laki-laki kasar itu.
Matanya berapi-api dan ia membentak nyaring.
"Jadi kaliankah yang telah membunuh kakakku Pouw Bouw Ki,
dan meninggalkan tulisan di bajunya itu?"
"Ha-ha-ha, kami Thian-te Siang-houw (Sepasang Harimau Langit
Bumi) tidak pernah bekerja setengah-setengah. Sekali ini kami
tidak akan salah bunuh lagi!" Setelah berkata demikian, kedua
orang itu menggunakan senjata mereka untuk menyerang ke arah
Pek-liong, "Trang-tranggg.......!!" Gadis itu dengan gagahnya telah
menggerakkan sepasang pedangnya menangkis, dan berdiri di
depan Pek-liong, bersikap melindunginya.
"Jahanam busuk, kalian telah membunuh kakakku, maka hari ini
aku akan membalas kematian kakakku!"
Si brewok kini menyeringai. "Aih, nona manis. Kami tidak sengaja
membunuh kakakmu. Minggirlah, biar kami membunuh Pek-liongeng lebih dulu, nanti kami akan minta maaf dan bersikap manis
kepadamu!" Akan tetapi ucapan ini bagaikan minyak disiramkan pada api,
membuat kemarahan Bouw Tan semakin berkobar, "Kalian iblis
117 busuk!" bentaknya dan sepasang pedangnya sudah menjadi sinar
bergulung-gulung menyambar ke arah dua orang laki-laki itu.
Si muka hitam berseru setelah menangkis serangan Bouw Tan.
"Kita taklukkan kuda betina ini dulu, baru kita bunuh Pek-liongeng!"
"Benar," kata si brewok, "tapi jangan lukai gadis ini, sayang kalau
sampai ia terluka, heh-heh!"
Bouw Tan marah sekali dan iapun memutar kedua pedangnya.
Pek-liong segera mengenal ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut yang
indah. Akan tetapi dia pun terkejut melihat gerakan dua orang
tinggi besar itu. Ternyata merekapun lihai sekali dan permainan
golok dan tombak mereka cukup berbahaya.
Andaikata harus melawan satu di antara mereka saja, mungkin
Bouw Tan masih mampu menandingi karena tingkat mereka
seimbang. Akan tetapi karena dua orang itu maju berdua, maka
setelah lewat belasan jurus saja, gadis itu terdesak hebat.
Pek-liong hanya menonton saja karena dari gerakan mereka,
tahulah dia bahwa dua orang itu tidak akan melukai Bouw Tan.
Hatinya terasa panas oleh amarah karena dia dapat menduga
apa yang menjadi isi hati kedua orang busuk itu. Tentu mereka
ingin mengalahkan Bouw Tan tanpa melukainya, dan setelah
mereka membunuh dia, tentu mereka akan mempermainkan
Bouw Tan. Sungguh dua orang manusia yang amat jahat dan keji, akan
tetapi diapun ingin sekali mengetahui mengapa mereka
118 memusuhinya. Melihat tingkat kepandaian mereka, tidak pantas
kalau mereka itu memusuhinya, tentu mereka hanyalah anak
buah saja, dan ada tokoh lain yang menyuruh mereka.
Tempat kedua orang itu menghadang merupakan tepi telaga
yang amat sepi, dan tidak ada orang lain kecuali dia yang
menyaksikan perkelahian itu. Seperti telah dikhawatirkannya,
setelah lewat duapuluh jurus, akhirnya tangkisan yang amat kuat
membuat kedua pedang gadis itu terlepas, dan gadis itupun
roboh oleh sapuan gagang tombak pada kedua kakinya. Sebelum
ia dapat bangkit, si brewok sudah menubruk dan menotoknya
sehingga gadis itu rebah telentang tanpa mampu bergerak lagi.
Kedua orang itu tertawa bergelak, dan si muka hitam berkata,
"Kau tunggulah sebentar, manis. Setelah kami membunuh Pekliong-eng, kami akan mengajak engkau bersenang-senang
sepuasnya, ha-ha-ha!"
Kini, si muka hitam yang memegang golok besar dan si brewok
yang memegang tombak, menghampiri Pek-liong yang masih
berdiri dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang. Pek-liong
nampak tenang-tenang saja, sebaliknya Bouw Tan yang rebah
tak mampu bergerak itu memandang dengan sinar mata ngeri
dan penuh penyesalan. Akan tetapi ia tidak berdaya, bahkan ia
terancam bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut.
"Pek-liong-eng, sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!"
bentak si muka hitam. 119 "Engkau tidak perlu penasaran karena engkau akan mati di
tangan dua orang gagah. Kami adalah Thian-te Siang-houw yang
namanya terkenal di kolong langit!" kata si brewok.
"Hemm, Thian-te Siang-houw, kalian telah membunuh Pouw
Bouw Ki, mengapa?" tanya Pek-liong sikapnya masih tenang saja
sehingga Bouw Tan merasa heran sekali. Ia gelisah setengah
mati, akan tetapi pendekar yang nyawanya seperti bergantung
kepada sehelai rambut itu demikian tenangnya!
"Ha-ha, tadinya kami salah kira. Dia berpakaian putih,
perawakannya seperti engkau. Setelah tahu kami keliru, kami
merasa bahkan kebetulan karena kekeliruan itu akan dapat
memancing engkau keluar. Perhitungan kami tepat. Engkau akan
mampus sekarang juga!"


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua orang itu kini menerjang dengan senjata mereka, menyerang
Pek-liong dari kanan kiri. Bouw Tan yang tidak dapat bergerak,
merasa ngeri sekali dan ia memejamkan mata, tidak ingin melihat
pendekar itu terkoyak-koyak tubuhnya.
Ia memejamkan matanya dan tak terasa matanya menjadi basah
karena ia menyadari bahwa ialah yang membuat pendekar itu
mati konyol. Ia telah membelenggu kedua tangan pendekar itu
sehingga tentu saja tidak akan mampu melawan dan akan mati
tercincang. Akan tetapi tidak terdengar apa-apa, tidak terdengar teriakan
kesakitan atau robohnya badan, hanya terdengar suara senjata
berdesing-desing. Bouw Tan membuka matanya dengan hati
tegang, dan ia segera terbelalak.
120 Pek-liong sama, sekali tidak roboh mandi darah dengan tubuh
tercincang. Sama sekali tidak. Tubuh pendekar yang kedua
tangannya masih terikat ke belakang tubuh itu bergerak dengan
ringan dan lincah sekali, menyelinap di antara sambaran kedua
senjata lawan. Setiap bacokan golok, setiap tusukan tombak,
semua tidak mampu menyentuhnya, bahkan menyentuh
bajunyapun tidak. Bouw Tan terbelalak dengan muka berubah merah sekali. Ia
seperti telah buta! Dengan kedua tangan terikat ke belakang,
pendekar itu mampu mempermainkan dua orang bersenjata pada
hal ia sendiri dengan sepasang pedangnya telah kalah dalam
waktu yang tidak terlalu lama!
Hampir ia tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan
pandang matanya. Akhirnya ketika Pek-liong mengeluarkan
seruan-seruan nyaring, kakinya bergerak terputar dan kedua
orang itu terpelanting, senjata mereka terlempar dan merekapun
mengaduh-aduh, mencoba bangkit akan tetapi sukar sekali.
Pek-liong meloncat ke dekat tubuh Bouw Tan, dengan ujung
sepatunya dia menendang dua kali ke arah pundak dan pinggang
dan...... gadis itu dapat bergerak kembali. Pendekar itu telah
membebaskan totokannya hanya dengan ujung sepatunya
Begitu dapat bergerak, Bouw Tan sudah meloncat dan
mengambil sepasang pedangnya yang tadi terpukul jatuh, dan
sebelum Pek-liong tahu apa yang akan dilakukannya, gadis itu
sudah meloncat ke arah dua orang yang tadi dirobohkan Pek121 liong, sepasang pedangnya bergerak seperti kilat menyambar ke
arah dua orang yang sudah tidak berdaya melawan itu.
"Nona, jangan......!" teriak Pek-liong dengan kaget, akan tetapi
terlambat, dua orang itu sudah roboh mandi darah dengan leher
hampir putus dibabat sepasang pedang di tangan Bouw Tan.
Pek-liong meloncat dekat dan merasa menyesal sekali.
"Aihh, kenapa engkau membunuh mereka nona?" tegurnya
dengan nada menyesal. "Kenapa tidak" Merekalah pembunuh-pembunuh kakakku, dan
aku harus membalas dendam. Sekarang, kematian kakakku telah
terbalas, hatiku telah merasa puas."
"Akan tetapi, nona, mereka itu sesungguhnya hendak
membunuhku. Kakakmu hanya menjadi korban salah duga saja,
dan aku sebetulnya ingin sekali memaksa mereka mengaku siapa
yang menyuruh mereka untuk membunuhku. Sekarang mereka
telah kaubunuh sehingga aku tetap tidak mengetahui siapa orang
yang menyuruh mereka."
Bouw Tan baru menyadari hal ini dan ia merasa menyesal juga.
"Ah, maafkan aku, tai-hiap, aku telah terburu nafsu, dan...... aku
telah membelenggu kedua tanganmu, dan dengan kedua tangan
terbelenggu engkau dapat merobohkan dua orang yang tak dapat
kulawan dengan sepasang pedangku. Aku menyesal dan merasa
malu sekali, kau maafkan aku, tai-hiap. Mari kubukakan belenggu
tanganmu......!" Gadis itu menghampiri Pek-liong untuk
membukakan tali pengikat kedua pergelangan tangan pendekar
itu. 122 "Tidak perlu repot-repot, nona Bouw Tan," kata Pek-liong dan
sekali dia mengerahkan tenaga, ikatan itupun putus dan kedua
tangannya bebas. Melihat ini, wajah Bouw Tan berubah merah sekali.
"Tai-hiap, kenapa tadi engkau mau saja kubelenggu kedua
tanganmu" Kenapa engkau membiarkan dirimu menjadi
tawananku?" tanyanya, heran dan juga malu.
Pek-liong tersenyum. "Aku tertarik akan urusan itu dan ingin pula
melihat perkembangannya, nona. Karena itu aku sengaja
membiarkan diriku menjadi tawanan untuk memancing keluarnya
para pembunuh itu. Mereka itu hanyalah anak buah, nona dan
pasti ada musuh besar yang berdiri di belakang layar."
"Dan aku telah terburu nafsu membunuh mereka sehingga
menggagalkan penyelidikanmu, tai-hiap. Maafkan aku......"
"Sudahlah, nona. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Tanpa
merekapun, pasti aku akan dapat bertemu dengan musuh itu
karena dia pasti akan melanjutkan usahanya untuk
membunuhku." "Tapi, bukan engkau saja yang diancamnya, tai-hiap. Menurut
surat yang ditulis di baju kakakku, selain engkau, juga Hek-liong-li
diancam......" Pek-liong tersenyum. "Hal itu tidaklah aneh, nona. Memang kami
berdua dimusuhi banyak orang dari golongan sesat. Akan tetapi,
seperti juga aku, Liong-li dapat menjaga diri sendiri."
123 "Suhengku sudah pergi mencari Hek-liong-li. Bukankah ia tinggal
di Lok-yang?" "Hem, siapakah suhengmu itu?"
"Suheng bernama Lu Kong Bu, dan setelah kakakku terbunuh,
kami membagi tugas. Aku pergi mencarimu karena lebih dekat,
sedangkan suheng pergi mencari Hek-liong-li yang jauh tempat
tinggalnya." Pek-liong adalah seorang pendekar yang sudah banyak
pengalamannya. Mendengar suara gadis itu ketika menyebut
nama suhengnya, ada sesuatu yang lain, ada suatu kemesraan
dalam sebutan itu dan dia dapat menduga bahwa hubungan
antara Bouw Tan dan Lu Kong Bu itu pasti lebih mendalam dari
pada hanya seorang suheng dan sumoi.
"Lu Kong Bu itu pergi mencari Hek-liong-li untuk memberitahu
bahwa ia terancam oleh pembunuh kakakmu?" tanyanya,
menahan rasa geli hatinya. Orang seperti Liong-li tentu saja tidak
membutuhkan peringatan lagi.
"Tentu saja. Kami sekeluarga telah mendengar nama besar
kalian, dan kami merasa berkewajiban untuk memberitahu. Akan
tetapi, karena mengingat bahwa kematian kakakku karena
engkau, maka tadi aku bersikap keras dan menangkapmu. Harap
maafkan aku tai-hiap."
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Aku perlu bertemu
dengan ayahmu untuk menjelaskan persoalan, juga untuk
124 menyelidiki tentang dua orang yang mengaku berjuluk Thian-te
Siang-houw ini. Mungkin ayahmu mengenal nama mereka."
Berangkatlah mereka berdua meninggalkan dua mayat penjahat
itu, menuju ke kota Hang-kouw. Keluarga Pouw yang masih
dalam suasana berkabung itu, menyambut kedatangan Pek-liong
dengan hormat. Untung saja Pek-liong tidak lagi terbelenggu,
kalau dia datang dengan kedua tangan terikat tentu Pouw Kiat
atau yang dikenal dengan sebutan Pouw-kauwsu (guru silat
Pouw) akan marah kepada puterinya.
Setelah diperkenalkan oleh puterinya dan mendengar cerita Bouw
Tan tentang dua orang penjahat yang menghadang mereka dan
yang mengaku sebagai pembunuh Pouw Bouw Ki, Pouw-kauwsu
merasa puas juga. Pembunuh-pembunuh puteranya telah
terbalas. "Paman Pouw, apakah ada permusuhan antara keluargamu
dengan mereka yang menamakan diri Thian-te Siang-houw?"
Pek-liong bertanya. "Mereka itu lihai sekali, ayah. Yang bermuka hitam memainkan
golok dan yang brewok memainkan tombak. Aku tentu sudah
tewas pula di tangan mereka kalau tidak ada Tan-taihiap yang
menolongku," kata Bouw Tan, tentu saja ia malu untuk bercerita
kepada ayahnya betapa Pek-liong menolongnya dalam keadaan
kedua tangan terbelenggu ke belakang dan ia yang melakukan
itu! "Thian-te Siang-houw......?" Pouw-kauwsu mengingat-ingat. "Aku
pernah mendengar nama itu, sepasang tokoh yang pernah
125 mengacau di daerah Lembah Yang-ce. Akan tetapi seingatku,
kami belum pernah bermusuhan dengan mereka. Aku lebih
percaya bahwa mereka memang salah membunuh orang mengira
bahwa anakku adalah engkau, taihiap," kata guru silat itu.
"Memang sungguh menyedihkan nasib puteraku, namun
bagaimana juga, kini penasarannya telah terbalas dengan
matinya dua orang penjahat itu."
"Aku akan menyelidiki siapa yang menyuruh Thian-te Siang-houw
melakukan pembunuhan itu, paman. Aku merasa yakin bahwa
yang menyuruhnya bukan musuh keluargamu, melainkan musuh
kami, yaitu aku dan Hek-liong-li."
"Bagaimana dengan suheng, ayah" Apakah dia belum kembali
dari Lok-yang?" tanya Bouw Tan.
"Belum, karena Lok-yang cukup jauh. Dengan adanya Pek-liongeng dan Hek-liong-li yang akan melakukan penyelidikan, aku
yakin hahwa penjahat yang menyuruh bunuh anakku pasti akan
terungkap dan tertangkap."
Pek-liong tidak tinggal lama di situ, lalu berpamit, pulang ke
rumahnya dan dia segera menyuruh seorang pembantunya untuk
melakukan penyelidikan ke sekitar Lembah Yang-ce, menyelidiki
tentang Thian-te Siang-houw, tokoh mana yang baru-baru ini
nampak berhubungan dengan dua penjahat yang telah tewas itu.
"Y" Suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing tinggal di susun Kianco di luar kota Cin-an. Mereka telah lima tahun menikah dan
126 hidup rukun, mempunyai seorang anak laki-laki yang sudah
berusia tiga tahun lebih bernama Song Cu.
Song Tek Hin yang pandai ilmu sastera dan silat membuka
sebuah perguruan bun (sastera) dan Bu (silat) di mana banyak
anak-anak muda belajar dengan pembayaran sekadarnya.
Mereka mempunyai sawah ladang dan kehidupan mereka
lumayan walaupun tidak kaya.
Dan nama suami isteri ini dihormati orang, karena keduanya
merupakan orang-orang yang berwatak lembut dan ramah, juga
bukan hanya Song Tek Hin saja yang pandai ilmu silat, bahkan
isterinya, Su Hong Ing, tidak kalah oleh suaminya. Wanita ini
adalah murid Bu-tong-pai dan memiliki ilmu silat yang cukup lihai.
Song Tek Hin yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun itu
bertubuh tegap dan wajahnya tampan, gerak geriknya halus dan
biarpun dia pandai ilmu silat namun pakaiannya seperti seorang
sasterawan. Isterinya berusia duapuluh empat tahun, cantik
manis dengan kulit putih mulus dan senyumnya menawan.
Seperti suaminya, iapun sederhana, tidak kelihatan bahwa ia
seorang pendekar wanita yang lihai, dan sikapnya selalu ramah
kepada siapapun. Tidak mengherankan apabila suami isteri ini
disuka oleh penduduk dusun itu, dan bahkan banyak orang dari
kota Cin-an datang ke dusun itu untuk berguru kepada Song Tek
Hin. Pada suatu senja yang cerah dan tenang. Rumah Song Tek Hin
sudah sepi karena suami isteri itu mengajar para murid dalam
ilmu silat dan baca tulis mulai pagi sampai lewat tengah hari. Di
127 waktu sore dan malamnya mereka berdua tidak mau sibuk
mengajar, melainkan mengurus hasil sawah ladang dan
beristirahat. Senja hari itu mereka mengaso di ruangan belakang sambil
bermain-main dengan Song Cu, anak tunggal mereka. Dua orang
pelayan mereka, seorang wanita setengah tua sedang
membersihkan perabot rumah di ruangan depan sedangkan
pelayan kedua, suami wanita itu, sedang menyapu kebun
belakang. "Semalam aku bermimpi......" Su Hong Ing berkata akan tetapi
segera menahan ucapannya.
Suaminya yang sedang menimang Song Cu memandang
isterinya dengan heran. "Kenapa berhenti" Engkau mimpi
apakah?" Su Hong Ing tersenyum dan wanita muda ini memang memiliki
daya tarik luar biasa kalau tersenyum. Manis sekali. "Janji dulu
engkau tidak akan cemburu."
"Ehh! Aneh sekali engkau ini. Masa orang mimpi dicemburui?"
Isterinya tersenyum lagi dan melanjutkan. "Aku bermimpi naik
perahu di Telaga See-ouw bersamamu, Song Cu tidak ikut. Kita
berdua berperahu seperti...... seperti......"
"Ha-ha, aku mengerti, seperti kita sedang berbulan madu dahulu,
kan?" suaminya menggoda.
128 Wajah isterinya kemerahan dan mengangguk. "Akan tetapi bukan
itu yang penting, koko. Ketika kita berperahu, aku melihat sebuah
perahu lain dan ternyata di dalam perahu itu adalah...... Pekliong-eng dan Hek-liong-li......"
Kembali suami itu tertawa mendengar isterinya agak ragu
menyebutkan nama pendekar itu.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh lucu, Ing-moi. Kalau aku cemburu
kepada Pek-liong-eng, apakah engkau juga cemburu kepada
Hek-liong-li" Kita sama-sama tahu, Ing-moi. Mereka berdua itu
bukan hanya bekas kekasih kita, orang-orang yang kita cinta,
akan tetapi terutama merekalah yang menyebabkan kita dapat
saling jatuh cinta dan menjadi suami isteri, di samping mereka
berdua adalah penolong-penolong kita. Karena merekalah maka
sampai hari ini kita masih bernapas. Tidak, Ing-moi, sampai
matipun aku tidak akan mencemburui engkau dan Pek-liong-eng."
"Aku mengerti perasaanmu, Hin-ko. Betapapun kita berdua
memuja dan mengagumi mereka, mereka itu laksana dua buah
bintang yang terlampau tinggi untuk kita, dan akupun sama sekali
sudah tidak pernah mengharapkan lagi kepada Pek-liong-eng.
Kebahagiannku adalah denganmu, sebagai isterimu. Akan tetapi
aku merasa tidak enak hati setelah bermimpi itu, karena dalam
mimpi itu, aku melihat perahu mereka terguling, dan ketika kita
mendayung perahu kita menghampiri untuk menolong, perahu
kita sendiripun terguling."
129 "Aih, itu hanya mimpi, Ing-moi. Jangan dipikirkan lagi. Andaikata
benar terjadi, kalau hanya perahu mereka terguling saja, dua
orang pendekar sakti itu pasti akan mampu menyelamatkan diri."
"Mudah-mudahan begitu," kata Su Hong Ing dan suami isteri
inipun melamun, terkenang akan pengalaman mereka lima tahun
yang lalu. Hong Ing pernah tergila-gila kepada Pek-liong, bahkan
ia rela menyerahkan diri kepada pendekar itu dan mereka berdua


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenggelam dalam lautan asmara. Akan tetapi, kemudian ternyata
bahwa Pek-liong adalah seorang pemuda yang aneh, yang tidak
mau terikat oleh pernikahan.
Pek-liong-eng meninggalkannya walau dengan lembut dan
mesra, dan demikian pula dengan Song Tek Hin yang pernah
terlena dan tergila-gila kepada Hek-liong-li dan mereka berkasihkasihan. Akan tetapi seperti juga Pek-liong-eng, Hek-liong-li tidak
mau terikat pernikahan dan meninggalkannya. Karena patah hati
oleh sikap kedua pendekar itu, Song Tek dan Su Hong Ing saling
menghibur dan saling jatuh cinta, akhirnya menikah.
Selagi mereka melamun, pelayan wanita setengah tua masuk dan
melaporkan bahwa di luar datang seorang tamu.
"Siapakah tamu itu?" tanya Tek Hin yang merasa terganggu
karena dia dan isterinya sedang santai dan beristirahat. Dia tidak
ingin diganggu urusan atau kesibukan pada saat seperti itu.
"Ia seorang wanita tua yang cantik dan pakaiannya indah seperti
wanita bangsawan, katanya ada keperluan penting sekali ingin
bertemu dengan tuan dan nyonya," kata pelayan itu. "Ia datang
berkereta, kereta indah ditarik dua ekor kuda.
130 Tentu saja suami isteri itu merasa heran bukan main. Mereka
tidak mempunyai keluarga bangsawan. Su Hong Ing lalu
menyerahkan Song Cu kepada pelayannya.
"Bawa Song Cu bermain-main di belakang dengan suamimu,
kemudian persiapkan air teh di dapur agar kalau kubutuhkan
sudah ada." Pelayan itu memondong Song Cu dan pergi ke belakang. Suami
isteri itu saling pandang, kemudian mereka melangkah keluar
menyambut tamu. Ketika tiba di luar, keduanya merasa heran bukan main. Seperti
diceritakan pelayan mereka, tamu itu seorang wanita yang cantik
dan berpakaian mewah, sukar ditaksir berapa usianya. Ia pesolek
dan kelihatannya seperti berusia empatpuluhan tahun,
senyumnya ramah dan sikapnya lembut. Tentu saja suami isteri
itu tergopoh memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada, yang dibalas oleh wanita itu.
"Apakah kalian suami isteri yang bernama Song Tek Hin dan Su
Hong Ing?" tamu itu mendahului bertanya, suaranya lembut dan
halus seperti sikap seorang wanita bangsawan.
"Benar sekali," kata Tek Hin. "Siapakah toanio dan ada keperluan
apakah mencari kami?"
Tek Hin dan Hong Ing masih terbelalak heran memandang wanita
itu. Pakaiannya yang mewah itu serba merah, pantasnya dipakai
gadis remaja! 131 "Kalian tentu masih ingat kepada dua orang sahabat kalian, yaitu
Pek-liong-eng Tan Cin Hay dan Hek-liong-li Lie Kim Cu, bukan"
Aku adalah sahabat baik mereka yang diutus datang berkunjung."
Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang bukan main. Mereka
segera memberi hormat lagi. "Ahh, maafkan kami yang tidak tahu
sehingga menyambut kurang hormat, toanio. Silakan duduk......
silakan duduk....." kata suami isteri tu dengan sikap hormat dan
gembira. Baru saja mereka membicarakan dua orang pendekar
sakti itu dan kini muncul seorang utusannya, seorang sahabat
baik mereka. Akan tetapi wanita cantik berpakaian merah itu menggeleng
kepala dan menggoyang tangannya. "Tidak banyak waktu,
.......aku datang diutus mereka untuk menjemput kalian. Mereka
dalam ancaman bahaya dan mereka membutuhkan bantuan
kalian sekarang juga."
Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Selama lima tahun
mereka tidak mendengar berita tentang dua orang pendekar yang
mereka kagumi itu, dan sekarang tiba-tiba sepasang pendekar itu
mengirim utusan menjemput mereka karena membutuhkan
bantuan! "Apakah yang terjadi dengan mereka?" tanya Song Tek Hin.
"Di mana mereka sekarang?" tanya pula Su Hong Ing.
Wanita itu mengeleng kepala tidak sabar. "Tidak banyak waktu
bicara. Nanti saja di kereta kita bicara. Sekarang cepat kalian ikut
denganku sebelum terlambat. Pek-liong dan Liong-li amat
132 membutuhkan bantuan kalian!" Wanita itu membalik kan
tubuhnya. "Kalau kalian tidak mau membantu, sudahlah aku pergi
saja." Tentu saja suami isteri itu cepat mencegahnya. "Tunggu, kami
mengambil senjata dulu!" kata mereka dan mereka lari ke dalam
untuk mengambil sepasang pedang mereka dan memesan
kepada pelayan agar menjaga Song Cu baik-baik. Kemudian
mereka lari keluar dan ternyata wanita itu sudah duduk di atas
kereta sambil memegang kendali kuda.
"Toanio, tunggu......!" seru suami isteri itu dan mereka segera
menghampiri kereta. "Masuklah ke dalam dan tutup semua pintu dan tirai kereta!" kata
wanita itu. Song Tek Hin dan Su Hong Ing mentaati permintaan itu, mereka
masuk ke dalam kereta dan menutup daun pintu dan tirai jendela.
Kereta itu dilarikan kencang oleh wanita baju merah tadi dan
suami isteri itu saling pandang dengan hati tegang, khawatir
menduga-duga apa yang terjadi dengan sepasang pendekar yang
mereka kagumi. Mereka tidak tahu ke mana kereta dilarikan, hanya tahu bahwa
mereka dilarikan cepat keluar dari dusun. Lebih dari sejam
lamanya kereta berlari kencang sehingga mereka menjadi tidak
sabar. "Toanio, ke manakah kita pergi?" Song Tek In berteriak
mengatasi kegaduhan suara kaki kuda dan roda kereta.
133 Kereta itu berhenti dan suami isteri itu dengan hati tegang,
mengira akan bertemu dengan sepasang suami isteri itu,
membuka pintu kereta. Akan tetapi, mereka melihat bahwa
mereka berada di tengah hutan yang sunyi! Dan wanita
berpakaian merah itu telah turun pula dari atas kereta, dan berdiri
sambil bertolak pinggang dan mulutnya senyum-senyum genit.
"Apa artinya ini" Di mana Pek-liong dan Liong-li?" tanya Su Hong
Ing alisnya berkerut dan ia mulai curiga.
"Pek-liong dan Liong-li belum berada di sini. Justeru dengan
adanya kalian berdua kami mengharapkan mereka akan muncul."
"Toanio, harap jangan main-main. Jelaskan apa maksudmu. Kami
tidak banyak waktu untuk main-main!" Song Tek Hin berkata
dengan nada marah pula. Kini senyum genit itu lenyap dari bibir wanita baju merah. "Siapa
main-main dengan kalian" Kalau ingin tahu, sekarang kalian
menjadi tawanan kami, mengerti?"
Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. "Apa pula ini?"
bentak Su Hong Ing sambil meraba gagang pedangnya. "Kaukira
akan mudah saja menawan kami?"
"Siapakah engkau ini sebenarnya dan mengapa mengaku hendak
menawan kami?" bentak pula Song Tek Hing.
Kini wanita itu tertawa, terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh, kalian ini
anak-anak masih berbau bawang! Kalian masih hijau maka tidak
134 mengenalku. Dunia persilatan menyebut aku Ang I Sian-li (Dewi
Baju Merah), heh-heh-heh!"
Biarpun suami isteri itu belum pernah bertemu dengan datuk ini,
namun mereka sudah mendengar namanya dan wajah mereka
berubah pucat. Mereka pernah mendengar bahwa Ang I Sian-li
adalah seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Setan Tua) yang
merupakan datuk-datuk kaum sesat yang amat kejam.
Bahkan mereka pernah mendengar bahwa wanita berpakaian
merah itu demikian kejamnya seperti siluman atau iblis betina,
kabarnya suka menghisap habis darah bayi untuk memperkuat
tubuhnya dan memperdalam ilmu hitamnya! Tanpa banyak cakap
lagi, mereka lalu mencabut pedang, maklum bahwa mereka
berhadapan dengan seorang datuk sesat yang kejam.
"Kiranya kami berhadapan dengan Ang I Sian-li," kata Tek Hin,
menenangkan hatinya. "Engkau adalah seorang datuk kang-ouw
tingkat atas, dan kami tidak pernah memotong jalan hidupmu,
kenapa hari ini engkau mengganggu kami?"
"Aku tidak mengganggu, hanya menawan kalian untuk
memancing munculnya Pek-liong dan Liong-li. Merekalah musuh
kami yang sebenarnya, kalian ini hanya orang-orang yang tidak
ada artinya." Tentu saja suami isteri itu marah dan tidak sudi ditawan begitu
saja. "Iblis betina jahat!" bentak Hong Ing dan ia sudah
menggerakkan pedangnya, disusul suaminya yang juga sudah
menyerang dengan pedangnya.
135 Namun Ang I Sian-li hanya tersenyum mengejek dan ia
menghadapi serangan suami isteri itu dengan tangan kosong
saja! Tubuhnya bergerak cepat, berubah menjadi bayangan
merah yang berkelebatan di antara gulungan dua sinar pedang
suami isteri itu. Betapapun cepatnya suami isteri itu
menggerakkan senjata, mereka tak pernah dapat mengenai tubuh
lawan karena ke mana pun mereka menyerang, bayangan merah
itu berkelebat lenyap dan berpindah tempat.
"Heh-heh-heh, kalian anak-anak kecil berani melawanku" Biar
kalian belajar sepuluh tahun lagi, masih belum dapat
menandingiku. Guru-guru besar kalianpun takkan mampu
menang dariku. Nah, lepaskan senjata kalian!"
Suami isteri itu tidak perduli. Tek Hin menusukkan pedangnya ke
arah lambung lawan dari kiri, sedangkan pada saat yang hampir
bersamaan Hong Ing menyabetkan pedangnya ke arah leher
wanita baju merah itu. Serangan suami isteri itu sungguh amat
berbahaya dan keduanya merupakan serangan maut.
Namun sekali ini Ang I Sian-li tidak mengelak sama sekali, akan
tetapi dua buah tangannya bergerak seperti ular, yang kiri
menangkap ujung pedang yang menusuk lambung, yang kanan
menangkap ujung pedang yang menyabet leher. Dua tangan
kosong itu begitu saja menangkap dua batang pedang yang amat
tajam dan yang dipegang oleh ahli silat yang sudah cukup lihai
dan memiliki sin-kang cukup kuat! Kalau tidak kuat kedua tangan
itu, tentu sekali tarik saja tangan itu akan putus berikut lima
jarinya! 136 Suami isteri itu terkejut dan mengerahkan tenaga untuk menarik
kembali senjata mereka dan membikin putus tangan lawan. Akan
tetapi, betapa pun mereka mengerahkan seluruh tenaga, pedang
mereka seperti telah melekat di kedua tangan itu dan sedikitpun
tidak dapat ditarik. Bahkan kini Ang I Sian-li mengerahkan tenaganya dan pedang itu
tergetar hebat. Tangan suami isteri yang memegang pedang
masing-masing ikut tergetar dan telapak tangan mereka terasa
panas sekali. Mereka terkejut dan cepat melepaskan gagang
pedang karena merasa tangan mereka seperti terbakar!
"Heh-heh-heh, kalau aku bermaksud membunuhmu, sama
mudahnya dengan membalikkan telapak tanganku!" katanya dan
sekali jari-jari tangannya mencengkeram, terdengar suara "krekkrek" dan kedua pedang itupun patah-patah! Suami isteri itu
terbelalak dan mereka maklum bahwa wanita ini sama sekali
bukan tandingan mereka! "Kalian masih hendak melawan?" Ang I Sian-li bertanya,
tersenyum mengejek. Suami isteri itu saling pandang. Mereka bukan penakut, akan
tetapi mereka juga bukan orang nekat yang ingin mati konyol. Di
rumah mereka masih ada Song Cu yang amat membutuhkan
mereka. Dengan lunglai Tek Hin lalu berkata, suaranya terdengar
lantang. "Ang I Sian-li, kami tidak pernah bermusuhan denganmu, akan
tetapi hari ini engkau memaksakan kehendakmu kepada kami.
Nah, apa yang harus kami lakukan?"
137 "Kalau engkau mengutus kami melakukan kejahatan, sampai
matipun aku tidak sudi melakukannya!" Kata Su Hong Ing dengan
sikap gagah. Wanita itu tertawa. "Sudah kukatakan, kami tidak akan
mengganggumu asal kalian mentaati perintah kami. Nah, Song
Tek Hin, engkau yang laki laki sepatutnya menjadi kusir. Biar aku
dan isterimu duduk di dalam. Aku akan menunjukkan kemana
engkau harus menjalankan kereta, dan jangan sekali-kali bermain
gila." Suami isteri itu saling pandang, maklum bahwa mereka telah
kalah dan tidak ada jalan lain kecuali taat pada saat itu. Tek Hin
mengangguk dan diapun lalu naik ke atas kereta, memegang
kendali kuda. Hong Ing didorong halus oleh Ang I Sian-li
memasuki kereta dan mereka duduk bersanding, menghadap ke
depan. "Engkau mengambil jalan lurus saja dan jangan membelok
sebelum kuberitahu," kata Ang I Sian-li.
"Memasuki kota Cin-an?" tanya Tek Hin dan dalam suaranya
terkandung kegembiraan. Dia mempunyai banyak kenalan di kota itu, banyak pula orang
gagah di sana dan kalau kereta itu memasuki kota Cin-an yang
ramai, dia dapat bersama isterinya meloncat keluar dan kalau
wanita itu hendak menangkap mereka, tentu akan banyak kawan
membantu. 138 Akan tetapi jawaban Ang I Sian-li melenyapkan harapannya.
"Tidak, sebelum masuk kota, mengambil jalan ke kiri sampai ke
tepi Sungai Kuning."
Perjalanan itu cukup jauh dan Tek Hin sengaja menjalankan
kereta itu tidak terlalu cepat karena dia masih mengharapkan
dapat bertemu di jalan dengan rombongan orang yang dikenalnya
dan yang sekiranya dapat membantunya. Misalnya rombongan
piauwsu (pengawal barang kiriman) yang lihai dan yang sudah
dikenalnya. Ang I Sian-li yang duduk bersanding Hong Ing kelihatan
mengantuk dan tak lama kemudian, diguncang-guncang oleh
kereta, ia tertidur. Dari napasnya yang halus dapat diketahui
bahwa wanita ini telah pulas.
Tentu saja hal ini tidak pernah lepas dari perhatian Hong Ing.
Sejak tadi, ia sering melirik dan memperhatikan wanita itu.
Mereka duduk bersanding, dan wanita itu nampaknya tidak
memperhatikannya, akan tetapi karena ia tahu betapa lihainya
wanita itu, ia tidak berani menyerang secara mendadak.
Kalau saja wanita itu tidak selihai itu, kalau hanya sedikit lebih
lihai darinya, dalam keadaan duduk bersanding seperti itu, sekali
menggerakkan tangan menotok saja mungkin ia akan dapat
membuat wanita itu tidak berdaya. Akan tetapi ia duduk
bersanding dengan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo,
datuk sesat yang beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkatnya.
Akan tetapi sekarang wanita itu tertidur. Dari pernapasannya,
tahulah Hong Ing bahwa wanita itu sudah pulas. Betapapun


Dendam Sembilan Iblis Tua Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

139 lihainya, kalau sedang pulas tentu tidak akan membela diri, tidak
akan mengerahkan sin-kang dan bukankah sekali pukul saja ia
akan dapat menewaskannya"
Akan tetapi, iapun tidak ingin membunuh orang tanpa alasan
kuat, cukup menotoknya dan membuatnya tidak berdaya saja
agar ia dan suaminya dapat terlepas dari bahaya. Beberapa kali,
ketika jalan yang tidak rata membuat kereta itu terguncang, ia
sengaja melanggar pinggang wanita di sebelahnya dengan
sikunya, seperti yang tidak disengaja karena guncangan kereta.
Dan wanita itu sama sekali tidak pernah terbangun, bahkan
menggerakkan bulu matapun tidak. Agaknya sudah pulas benar,
pikir Hong Ing. Hong Ing mengatupkan bibirnya dan bersiap-siap. Diam-diam ia
mengerahkan tenaganya yang akan dijadikan sasaran adalah
pundak kiri, yaitu jalan darah kim-ceng-hiat. Kalau jalan darah itu
ditotoknya, tentu wanita itu dalam satu-dua detik tak mampu
bergerak dan akan disusulnya dengan totokan pada jalan darah
hong-hu-hiat di belakang pundak dan ia tentu akan menjadi lemas
tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.
Setelah mendapat kesempatan baik, selagi jalannya kereta tidak
banyak guncangan agar totokannya mengenai tepat, Hong Ing
menggerakkan tangan kirirya, diangkatnya ke atas dan dengan
jari tangan diluruskan ia menotok ke arah pundak kiri Ang I Sianli.
"Wuuuuttt...... tuukk!" Hong Ing menjerit saking nyerinya.
140 Jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya seperti menotok baja,
bahkan ada tenaga yang membuat tenaga totokannya membalik.
Kedua jari itu nyeri sekali, kiut miut rasanya, sampai menusuk
jantung, rasanya seperti patah-patah dan seketika menggembung
bengkak. Mendengar jeritan isterinya, Tek Hin menghentikan kereta dan
cepat menengok. "Ing-moi, apa yang terjadi?" Dan melihat
isterinya memegangi tangan kiri sambil meringis kesakitan, dia
memandang kepada Ang I Sian-li dan berkata marah, "Ang I
Sian-li, kalau engkau mengganggu isteriku, aku akan mengadu
nyawa denganmu!" Ang I Sian-li tertawa, "Heh-heh, Song Tek Hin. Kalau engkau
banyak tingkah, isterimu kubunuh dulu baru engkau. Ketika aku
tadi tertidur, ia menotok pundakku dan kini jari tangannya
bengkak. Apakah engkau hendak menyalahkan aku?"
Mendengar jawaban ini, Tek Hin memandang isterinya. "Ing-moi,
bagaimana dengan tanganmu" Engkau duduk sajalah di sini, biar
kuobati tanganmu." Ang I Sian-li juga berkata. "Nah, duduk saja engkau di depan
dekat suamimu agar aku dapat tidur nyenyak tanpa gangguan."
Hong Ing pindah duduk di samping suaminya. Tek Hin memeriksa
tangan itu dan ternyata dua buah jari itu membengkak dan biru,
akan tetapi masih untung tidak sampai patah sehingga tidak
berbahaya, walaupun rasanya nyeri bukan main.
141 Setelah mengurut tangan isterinya, Tek Hin melanjutkan
perjalanan. Di dalam hati, suami isteri merasa khawatir bukan
main. Wanita itu sungguh sakti, dalam keadaan tidur pulas masih
mampu melindungi diri seperti itu.
Pada sore harinya, barulah mereka tiba di tepi Huang-ho dan Ang
I Sian-li menyuruh Tek Hin memasukkan kereta ke dalam sebuah
hutan di tepi sungai besar itu, mendaki sebuah bukit kecil penuh
hutan belukar. Dan ternyata di puncak bukit itu, terlindung hutan
yang lebat, terdapat sebuah bangunan besar yang nampaknya
masih baru. Bangunan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan
kereta itu memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa
orang yang nampaknya bengis dan kuat.
Suami isteri itu oleh Ang I Sian-li diajak memasuki bangunan
induk dan di ruangan tengah mereka melihat bahwa di situpun
terdapat belasan orang laki-laki yang nampaknya kuat dan
bengis. Melihat munculnya Ang I Sian-li, semua orang cepat bangkit
berdiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada. Ang I Sian-li menyambut penghormatan mereka dengan sikap
angkuh, lalu bertanya, "Apakah yang lain belum tiba?"
"Belum toa-nio. Hanya ada pembawa berita yang mengatakan
bahwa rombongan dari Nan-cang akan datang besok, sedangkan
yang dari kota raja mungkin besok lusa baru tiba."
142 "Antar mereka ini ke kamar tamu nomor tiga yang sudah
dipersiapkan," kata Ang I Sian-li kepada anak buahnya, dan
kepada suami isteri itu ia berkata, "Kalian tentu tidak akan begitu
bodoh untuk mencoba melarikan diri, karena selain di sini ada
aku, juga terdapat banyak anak buahku yang lihai. Kalau kalian
tidak melawan dan tidak mencoba melarikan diri, kalian tidak
akan diganggu." "Akan tetapi, mengapa kami ditahan di sini dan sampai berapa
lama?" tanya Tek Hin memprotes.
"Sampai selesai urusan kami dengan Pek-liong dan Liong-li.
Tunggu saja sampai besok lusa, sampai dua orang rekanku tiba.
Kalau kalian tidak mencoba untuk lari, kalian akan diperlakukan
sebagai tamu. Akan tetapi, kalau-kalian mencoba lari, aku
terpaksa akan membelenggu kalian seperti dua orang tahanan!"
"Mari, silakan!" kata seorang tinggi kurus bermata juling kepada
suami isteri itu. Tek Hin dan Hong Ing saling pandang, maklum akan kebenaran
ucapan Ang I Sian-li bahwa mencoba lari sama saja dengan
mencari penyakit. Dari pada tinggal sebagai tawanan yang
dibelenggu dan mungkin diganggu, lebih baik sebagai tamu.
Soal melarikan diri, mereka akan bersabar dan mencari
kesempatan sebaiknya. Kalau mereka ditahan sebagai tamu,
berarti mereka mempunyai harapan dan kemungkinan
meloloskan diri, sebaliknya kalau dibelenggu dan dikeram dalam
kamar tawanan, sulitlah untuk lolos.
143 Dengan taat mereka lalu mengikuti si kurus juling itu menuju ke
lorong masuk ke belakang dan ternyata sudah ada sebuah kamar
yang dipersiapkan untuk mereka. Kamar itu cukup
menyenangkan, berikut kamar mandi lengkap, ukurannyapun
cukup besar, dan bersih. Tempat tidur, meja kursi, semua
lengkap. Hanya dua buah jendelanya dipasangi ruji baja yang
Naga Dari Selatan 10 Medali Wasiat Hiap Khek Heng Karya Yin Yong Rajawali Hitam 7

Cari Blog Ini